PROSPEK SAPI PERAH DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR (The Prospect of Dairy Cattle Farming in the District of Timor Tengah Selatan, East Nusa Tenggara) SOPHIA RATNAWATY
dan
JACOB NULIK
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Timur
ABSTRACT Timor Tengah Selatan (TTS), one of the districts in East Nusa Tenggara (NTT) has the climate that was influenced by the dry and hot macro climate in NTT. The dry season is relatively long, although compare to that in NTT, TTS has the lowest temperature . This becomes a potential resources in raising the dairy cattle in TTS. The development of dairy cattle has been established by the TTS' Livestock Services in 2003 through the Quality Improvement for Livestock Development Program . Eight Friesian Holstein dairy cattle, six were cows and two were bulls, had been shipped from Blitar, East Java . During the period 2004 - 2005, the dairy cattle farming has contributed Rp . 15 Million per month to the local TTS' revenue . A community of Claretian in the village of Benlutu, Amunaban Barat, TTS had also raised the FH since 2003, from four heads and now became 21 heads. The fresh milk has been sold at price of Rp . 9,000/1 . The milk marketing supplies not only in Soe, but also reach Kupang and its surrounded . The main constraints in developing dairy cattle farms include : climate, capital and farmers' skill, milk marketing and technology experts and supervisors. Milk production is considered low due to the limited technology application as well as lack of people's awareness on milk consumption . The role of local government is needed to accelerate the development of dairy cattle farming, along with its supervise in technology from the experts . Credit allocation is also a factor that support the business, there for it's needed to consider by the local government in the district of TTS . Keywords : Prospect, dairy cattle ABSTRAK Timor Tengah Selatan (TTS) di Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya dipengaruhi oleh iklim makro NTT yang relatif panas. Musim kemarau relatif panjang, walaupun daerah ini dianggap memiliki temperatur terendah di NTT, sehingga berpotensi untuk pengembangan sapi perah . Pemeliharaan sapi perah telah diupayakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten TTS melalui Program Peningkatan Mutu Pengembangan Peternakan pada tahun 2003 . Jenis sapi adalah Friesian Holstein (FH) sebanyak 8 ekor, terdiri dari 6 ekor betina dan 2 ekor jantan, dimana ternak didatangkan dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Selama kurun waktu dua (2) tahun pemeliharaan yaitu tahun 2004 sampai dengan 2005 telah mampu memberikan kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah Kabupaten TTS sebesar Rp . 15 juta per bulan . Suatu komunitas Claretian di Desa Benlutu, Kecamatan Amanuban Barat Kabupaten TTS juga telah memelihara sapi perah FH sejak tahun 2003, dan saat ini berjumlah 21 ekor dari awalnya 4 ekor. Hasil susu segar telah dijual dengan harga Rp . 9 .000,- per liter . Pemasaran susu segar selain melayani konsumen di dalam Kota Soe juga melayani konsumen di Kupang dan sekitarnya. Iklim, modal dan skill, pemasaran dan tenaga ahli dalam bidang persusuan merupakan faktor pembatas utama dalam pengembangan usaha sapi perah. Produksi susu ini relatif masih terbatas karena belum didukung teknologi yang optimal dan rendahnya perhatian masyarakat untuk mengkonsumsi susu segar . Peran pemerintah daerah diharapkan dalam pengembangan sapi perah disertai pendampingan dari tenaga ahli . Alokasi kredit usaha juga merupakan kunci keberhasilan pengembangan peternakan sapi perah di Kabupaten TTS. Kata kunci : Prospek, sapi perah, Timor Tengah Selatan
396
Semiloka Nasional Prospek Indusiri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
PENDAHULUAN Pembangunan sub sektor peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sangat penting karena daerah ini merupakan salah satu wilayah yang mempunyai iklim yang sesuai untuk peternakan. NTT merupakan salah satu sentra produksi ternak di kawasan timur Indonesia, sementara pengembangan peternakan terutama dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi Bali belum optimal . Padahal sapi Bali merupakan salah satu komoditas unggulan yang mempunyai kontribusi cukup besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD), namun perkembangannya terus mengalami penurunan. Sub sektor peternakan mempunyai kedudukan strategis dalam pembangunan wilayah dan memiliki manfaat dari aspek ekonomi, penciptaan lapangan keda clan peningkatan kesejahteraan masyarakat (petani peternak) yang pada gilirannya berpengaruh terhadap struktur perekonomian wilayah. Dilihat dari aspek sosial budaya ternak mempunyai potensi dalam pemenuhan pangan, kegiatan adat istiadat dan status sosial. Populasi ternak sapi di NTT pada tahun 2001 sebesar 495 .051 ekor dan 80% dari total sapi Bali berada di Pulau Timor Bagian Barat (LITIK, 2002) . Petemakan sapi perah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1890, yang ditandai dengan diintroduksikannya berbagai ras sapi perah dari Australia ke Jawa Timur, diantaranya Ayrshire, Jersey dan Milking Shorthorn diikuti dengan impor sapi perah FH (Frisian Holstein) dari Belanda. Impor sapi perah secara besar-besaran terjadi pada akhir tahun 1970 an dan awal tahun 1980 dari Selandia Baru dan Australia. Tujuan utama impor pada saat itu adalah untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi perah untuk memenuhi permintaan susu yang semakin meningkat . Data dari Statistik Peternakan 2001 (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2001), perkembangan populasi sapi perah-meningkat dari 52.000 ekor pada tahun 1969 menjadi 347 .000 ekor tahun 2001 . Peningkatan populasi sapi perah ini juga diikuti peningkatan produksi susu dari 28.900 ton pada tahun 1969 menjadi 347 .000 ton tahun 2001 . Dari total populasi ternak sapi perah tahun 2002 sebesar
354.300 ekor, sekitar 95% terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan skala pemilikan 3-4 ekor dan produksi susu per ekor yang masih rendah yaitu dibawah 3500 kg/ekor/laktasi (SOEPODO, 2003) . Sebagian besar peternak (sekitar 81 .340 peternak) sapi perah ini bemaung dalam Koperasi Unit Desa (KUD) (SOEPODO, 2003). Pemeliharaan sapi perah di NTT, tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) pernah diupayakan pengelolaannya oleh Dinas Peternakan Kabupaten TTS pada tahun 2003 . Jenis sapi adalah Frisian Holstein (FH) dengan jumlah ternak sebanyak 8 ekor terdiri dari 6 ekor betina dan 2 ekor jantan, yang didatangkan dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur . Namun dalam perjalanan waktu sapi perah yang dikelola oleh Dinas Peternakan Kabupaten TTS ini terus mengalami kemunduran . Hal ini disebabkan karena faktor non teknis, padahal selama kurun waktu 2 tahun pemeliharaan yaitu tahun 2003 sampai dengan 2004, telah mampu memberikan kontribusi pada Pendapatan Ash Daerah (PAD) Kabupaten TTS . Untuk mengusahakan ternak sapi perah, diperlukan investasi modal yang tidak sedikit, sementara masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan atau pegunungan di NTT terhalang oleh permodalan, fmansial dan skill rendah. Sehingga bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan tidak mampu mengusahakan sapi perah. Demikian pula dari sisi pemasaran produksi air susu, belum banyak dikenal masyarakat atau konsumen . Konsumen susu segar masih sedikit bahkan dapat dihitung dengan jari serta terbatas hanya pada konsumen yang berada di perkotaan . Daya beli yang maslh rendah akibat pendapatan yang rendah dan pemahaman tentang gizi yang terbatas, menyebabkan konsumsi susu juga terbatas. PELUANG PEMELIHARAAN SAPI PERAH DI NTT Provinsi NTT yang memiliki musim kemarau panjang dan musim hujan pendek, dimana curah hujan 3 bulan, dan musim kemarau selama 9 bulan dengan temperatur yang cukup tinggi . Sapi perah FH biasanya membutuhkan lingkungan dengan temperatur ± 22°C, sementara rata-rata temperatur harian di NTT berkisar 32-34°C.
39 7
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
Sub sektor peternakan berperanan dalam pengeluaran sapi asal NTT, terdiri dari sapi struktur perekonomian daerah, peternakan Bali yang berasal dari Pulau Timor dan menyumbang 12% terhadap PDRB Provinsi menyumbang sebesar 20-25% dari total NTT, yang sebagian besar diperoleh dari pemotongan sapi di Jakarta (BAMUALIM, 1993) pengeluaran sapi potong sebesar 60 .000- (Tabel 1). 70 .000 ekor per tahun. Sebesar 91% dari total Tabel 1 . Pengeluaran ternak selama periode 1994-2003 dari Provinsi NTT Tahun Sapi 70.905 58 .735 54 .835 49 .990 119.699 65 .005 52 .022 55 .680 42 .410 35 .061
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sumber :
Kerbau 12 .841 13 .268 9.897 7.371 22 .242 10 .985 13 .896 9.528 6.319 3 .566
Jenis dan jumlah temak Kuda Kambing 7 .509 203 6 .445 30 5 .946 193 6 .146 100 7 .295 365 5 .715 5 .716 4 .588 2 .670 2 .868
Domba
Babi
15 7 10 8
5 .647 8 .265 1 .091 2 .411
DINAS PETERNAKAN PROIVINSI NTT (2003)
Tabel 2. Populasi temak besar di Kabupaten Timor Tengah Selatan selama tahun 2002-2007 Tahun Sapi 111 .776 113 .963 116.169 533 .710
2002 2003 2004/2005 2006/2007 Sumber : NTT dalam angka, BPS
Kuda 4 .826 4 .619 4 .706 97.952
NTT
Berbeda dengan temak sapi potong, sapi perah jarana dipelihara atau diusahakan oleh masyarakat . Hal ini disebabkan selain faktor iklim yang tidak mendukung, juga karena keterbatasan biaya untuk memelihara sapi jenis ini . Sementara sumberdaya manusia petani perdesaan dan ketersediaan modal relatif rendah dalam mendukung usaha sapi perah. Salah satu daerah yang relatif sesuai untuk memelihara temak sapi perah di NTT adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kabupaten dengan Ibu Kota SoE betjarak ± 110 km dari Kupang dan berada pada ketinggian > 700 m dpi dengan suhu udara rata-rata 24° C serta beriklim keying . Kabupaten TTS berada pada agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Kering (LKDTIK) . Komoditas utama clan unggulan adalah Jeruk Keprok SoE, disamping ternak (Tabel 2 .) .
398
Jenis dan jumlah temak Kerbau 529 507 515 139.592
Daerah yang cocok untuk memelihara temak sapi perah serta pernah dipakai sebagai tempat pemeliharaan jenis temak ini adalah Desa Noenbila, Kecamatan Mollo Selatan (yang pernah dikelola oleh Dinas Peternakan) clan di Desa Benlutu, Kecamatan Amanuban Barat (di kelola oleh Komunitas Claretian) yang masih eksis sampai saat ini . Ternak sapi perah yang dipelihara di Desa Benlutu sebanyak 21 ekor terdiri dari 7 ekor jantan, 14 ekor betina. Populasi temak besar yang mendominasi di Kabupaten TTS adalah temak sapi potong, sementara sapi perah tidak dipelihara (Tabel 3) . Pada Tabel 3 . diperlihatkan populasi ternak besar yang ada di dua kecamatan di Kabupaten TTS dimana dua kecamatan tersebut pemah dan sedang mengembangkan sapi perah .
Semiloka Nasional Prospek Indusiri Sap! Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
Tabel 3. Populasi temak di Kecamatan Mollo Selatan dan Kecamatan Amanuban Barat selama tahun 2003-
2007 Tahun Kuda 2002 2003 2004 2005 2006/2007
413 427 439 158 160
Kecamatan Mollo Selatan Sapi Kerbau 10.658 10.998 11 .306 10.285 10.439
44 45 46 18 27
Kecamatan Amanuban Barat Kerbau Kuda Sapi 85 84 91 45 46
8.243 10.476 8.745 18 .693 18 .973
20 22 20 21 31
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, BPS Kabupaten TTS
Manajemen pemeliharaan sapi perah di Desa Benlutu terkendala karena keterbatasan pakan, air juga iklim . Model kandang yang dibuat sederhana, namun cukup akomodatif untuk memelihara ternak sapi perah. Dari aspek pakan, walaupun terdapat keterbatasan karena ketersediaan pakan berkurang saat kemarau, namun secara umum dapat diatasi dengan memanfaatkan hijauan makanan ternak (HMT). Sebagai pakan basal, diberikan jerami padi dan sebagai konsentrat diberikan dedak padi dan jagung giling. PROSPEK PEMELIHARAAN SAPI PERAH DI KABUPATEN TTS Kondisi pemeliharaan asapi perah yang pernah dikelola Dinas Peternakan Peternakan sapi perah barn dimulai dalam tahun 2003, merupakan program dari Dinas Peternakan Kabupaten TTS melalui Proyek Peningkatan Mutu Pengembangan Peternakan di Desa Noenbila, Kecamatan Mollo Selatan . Desa Noenbila berada pada ketinggian ± 800 m dari permukaan laut dengan temperatur minimum 14 °C, temperatur maksimum 32°C dan kelembaban minimum 24% dan kelembaban maksimum 100% . Lokasi terletak pada lintang 09 ° 40' 290", garis bujur 124 ° 17' 770" (STASIUN IKLIM TOBU, 2002) . Jenis ternak sapi perah yang dikelola adalah sapi FH (Frisian Holstein) didatangkan dari Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Blitar, jumlah ternak sapi perah yang dipelihara .sebanyak 7 ekor terdiri dari 1 ekor jantan clan 6 ekor betina. memadai, Fasilitas kandang sangat dilengkapi dengan pipa sehingga air dapat tersalurkan dengan baik dan lancar . Lokasi pengembangan sapi perah yang dikelola Dinas
Peternakan tersebut, pernah dipergunakan sebagai tempat penelitian mahasiswa Pascasarjana Universitas Nusa Cendana, Kupang . Aspek yang diteliti adalah faktor pendinginan terhadap kondisi fisiologis dan produksi susu sapi FH laktasi pertama pada musim kemarau. Ternyata perlakuan pendinginan dengan menggunakan air dua kali sehari masing-masing selama 30 menit cukup memberikan pengaruh yang efektif terhadap produksi susu harian sapi FH laktasi pertama (tertimbang dan terkoreksi 4% FCM) yaitu sebesar 7,76 dan 11,49 liter/ekor/hari dibanding tanpa pendinginan sebesar 6,34 clan 8,42 liter/ekor/hari (SUBIANToRo, 2003). Ternak sapi perah telah berkembang dari 7 ekor menjadi 16 ekor, namun banyak kasus kematian saat induk sapi melahirkan yang disebabkan karena prolapsus dan distochia serta anak yang dilahirkan lebih banyak jantan sehingga ada beberapa ekor anak jantan yang dijual sedangkan anak betina tetap dipelihara . Pakan yang diberikan berupa makanan kasar (hijauan) seperti rumput alam, king gras, jerami padi (saat kemarau) serta makanan didatangkan penguat (konsentrat) yang langsung dari Jawa Timur. Makanan kasar diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari, sedangkan jumlah pemberian pakan konsentrat sebanyak 5 kg/ekor/hari . Jumlah pemberian konsentrat ini berkurang dari 5 kg menjadi 2 kg/ekor/hari, karena pencairan dana terlambat, maka untuk menghemat persediaan pakan konsentrat sambil menunggu pengiriman konsentrat yang barn dari Jawa tiba di SoE . Namun kondisi ini berlangsung setiap tahun, dan berdampak pada produksi susu yang dihasilkan tidak maksimal . Produksi susu dari 6 ekor induk sapi perah, menghasilkan sebanyak 6-10 liter/ekor/hari, maka dalam sebulan dapat menghasilkan susu sebanyak 1440 liter, dan telah dijual dengan
3 99
Semiloka Nasional Prospek Indusiri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
harga Rp. 5000,- per liter . Hasil penjualan susu telah memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Ash Daerah (PAD) Kabupaten TTS yaitu 300 liter/bulan/ekor, selama kurun waktu 2 tahun yaitu tahun 2003-2004, bila di konversi ke rupiah maka besar PAD dari produksi susu adalah sebesar Rp . 1.500 .000; per bulan. Namun kontribusi tersebut hanya berlangsung selama dua tahun saja, karena pada awal tahun 2005 produksi susu menurun drastis, bahkan di awal tahun 2006 aktivitas pemeliharaan sapi perah tidak terlihat lagi . Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten TTS, diketahui bahwa produksi susu menurun disebabkan lebih banyak karena faktor non teknis seperti pencairan dana yang terlambat yang berakibat penyediaan pakan dan konsentrat juga terlambat. Hal ini dapat terjadi karena semua ongkos produksi pemeliharaan sapi perah tergantung dari dana pusat, sehingga mekanisme pencairan dana harus mengikuti aturan yang telah ditentukan . Sementara dari aspek teknis, hampir tidak ada permasalahan yang berarti . Bila Pemerintah Daerah ingin menghidupkan kembali pemeliharaan sapi perah, sebaiknya dibuat secara swakelola dengan petani serta ditempatkan pada daerah yang cocok dalam menunjang kehidupan sapi perah . Namun sebelumnya petani harus dilatih bagaimana tata cara pemeliharaan ternak sapi perah dan didampingi oleh tenaga ahli dalam teknologi persusuan. Kondisi pemeliharaan sapi perah pada komunitas Claretian, Benlutu Di Kabupaten ITS terdapat sebuah Komunitas Claretian tepatnya di Desa Benlutu, Kecamatan Amanuban Barat berjarak ± 39 km dari Ibu Kota SoE . Komunitas Claretian ini
memulai terobosan promosi peternakan sapi perah sejak tahun 1995 di Fohorem (Timor Leste, sekarang) . Program kawin silang juga sudah terbilang sukses yang dibuktikan dengan lahirnya sapi-sapi jenis Grati . Pada tahun 1999, pada puncak kerusuhan di Timor Timur semua temak sapi tersebut mati . Sampai akhirnya pada Bulan Mei 2001 Komunitas Claretian mengirim seseorang ke Surabaya untuk mempelajari manajemen peternakan sapi perah sekaligus mengusahakan pembelian beberapa ekor sapi jenis Frisian Holstein (FH) . Pemilihan sapi FH, karena pertimbangan kecocokan suhu harian Benlutu yang berkisar t 26-27°C untuk siang hari dan di bawah itu untuk malam hari. Mungkin kisaran suhu harian ini tidak cukup ideal bagi sapi jenis FH, karena idealnya berkisar 1521 °C. Model kandang di Claretian Benlutu, sederhana dan tradisional namun cukup akomodatif. Kandang dalam dibangun dengan dua tingkat, yaitu tingkat pertama merupakan kandang individu (di sekat) yang merupakan tempat temak sapi beraktivitas termasuk pada saat diperah . Sedangkan pada bagian atas (tingkat dua) merupakan tempat penumpukan jerami (pakan), penyimpanan jerami di bagian atap juga dimaksudkan untuk antisipasi suhu panas dimana suhu panas terserap dan kelembaban ditingkat pertama (kandang individu) terjaga. Perkembangan populasi ternak sapi perah pada Komunitas Claretian, di Desa Benlutu dari tahun 2001 sampai dengan 2008 disajikan pada Tabel 4. Menurut sumber Komunitas Claretian jumlah ternak yang sebenamya adalah 27 ekor dari jumlah awal sebanyak 4 ekor, namun sebanyak 6 ekor mati termasuk beberapa ekor induk yang sedang laktasi .
Tabel 4. Perkembangan populasi temak sapi perah pada Komunitas Claretian, Desa Benlutu sejak tahun 2001-2008
Tahun
Jantan dewasa
Sex ratio temak sapi perch Betina dewasa Jantan muda
2001 2008
1 2
3 8
Sumber:
KoMUN[TAS CLARETIAN, BENLuTu
(2008)
400
5
Betina muda
Anak
Jumlah
5
1
4 21
Semiloka Nasional Prospek Indusbi Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
Penyebab kematian tidak diperoleh data beberapa sumber yang pasti namun menyatakan bahwa penyebab kematian karena saling menanduk dan sakit . Produksi susu tergantung pada jenis dan jumlah pakan yang diberikan. Jenis pakan yang
biasa diberikan terdiri atas dua bagian yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat . Pada Tabel 5 . berikut disajikan jenis dan jumlah pakan yang biasa diberikan untuk temak sapi perah di Desa Benlutu .
Tabel 5. Jenis dan jumlah pakan yang biasa diberikan untuk temak sapi perah pada Komunitas Claretian, Benlutu No 1.
2. 3. 4. 5.
Jenis pakan Kinggrass Jerami padi Daun lamtoro Dedak padi Jagung giling
Jumlah pemberian (kg) 15 10 10 2 1
Frekuensi pemberian 1 x pagi atau sore hari 2 x pagi dan sore hari I x pagi atau sore hari 2 x pagi dan sore hari 2 x pagi dan sore hari
Sumber : KOMUNiTAS CLARETIAN, BENLUTU (2008)
Pakan konsentrat terutama diberikan untuk induk-induk laktasi dan yang sedang bunting, pemberian dedak padi dan jagung giling yang sebelumnya di campur air dalam jumlah tertentu untuk induk laktasi, sedangkan untuk induk bunting hanya diberikan 2 kg dedak padi yang dicampur air. Pernah pula diberi pakan awet wafer terbuat dari daun lamtoro, yang disiapkan dari salah satu sekolah kejuruan di SoE . Selain itu batang pepaya yang dicincang juga pernah diberikan, hasilnya dapat meningkatkan produksi susu mencapai 4 liter per induk laktasi pada pagi hari, namun susu yang dihasilkan kurang kekentalannya maka pemberian batang pepaya dihentikan . Produksi susu dari satu ekor induk adalah sebanyak 2,5-3 liter untuk pemerahan pagi hari, sedangkan produksi susu pada sore hari lebih rendah yaitu 2 liter, sehingga total produksi susu adalah 4-5 liter/induk/hari. Susu perahan dari setiap induk laktasi baik yang dihasilkan pagi maupun sore hari disatukan dalam ember yang sama, kemudian disaring. Penyaringan dilakukan 3 kali lalu di masak sampai mendidih dan dimasukan Ice dalam jerigen kapasitas 5 liter serta disimpan dalam kulkas dengan suhu terjaga . Pemasaran susu dilakukan secara-rutin pada setiap had Rabu untuk melayani konsumen/ pelanggan di luar Kota SoE seperti Kupang, Camplong dan Lili. Sedangkan untuk pelanggan di dalam Kota SoE setiap hari Sabtu. Harga susu Benlutu dijual Rp . 9 .000; /liter, ternyata selain untuk dikonsumsi segar,
susu Benlutu cukup baik untuk bahan dasar pembuatan kue-kue tertentu . KENDALA PEMELIHARAAN SAPI PERAH DI KABUPATEN TTS Kabupaten TTS iklimnya dipengaruhi oleh iklim makro NTT yang relatif panas dan musim kemarau yang panjang . Walaupun daerah ini dianggap memiliki temperatur terendah di N1T, rataan temperatur utama selama musim kemarau masih diatas kisaran zona kenyamanan . Rata-rata suhu udara di Kabupaten TTS berkisar antara 13,4° C sampai dengan 34,3 °C pada bulan Agustus sampai dengan November (SUBIANTORO, 2003) . Sedangkan untuk sapi perah di daerah tropis temperatur optimal berkisar antara 10-26 °C (BRODY, 1956) dimana temperatur 25-26°C dianggap sebagai batas atas temperatur kritis (YouSEF, 1985). Dengan demikian sapi perah yang dipelihara di daerah ini akan mengalami cekaman suhu yang dapat menurunkan produksi susu. Terdapat cukup banyak faktor pembatas dalam upaya memelihara sapi perah, diantaranya adalah faktor : 1) Iklim, Provinsi NfT yang beriklim kering sering mengalami temperatur yang membubung tinggi ; 2) Modal, masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan atau perdesaan terkendata oleh permodalan dan skill kurang ; 3) Pengelolaan dan pemasaran susu, pemasaran produksi air susu di NIT belum begitu memadai atau menguntungkan para peternak, sebab daya beli masyarakat
40 1
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
yang masih rendah . Kebersihan produksi air susu dari peternak rakyat umumnya kurang sempurna hal
ini akan menurunkan mutu. Harga makanan dan ongkos tenaga yang tinggi sementara harga susu ditingkat peternak sangat rendah ; 4) Tenaga ahli, kurangnya tenaga ahli dalam bidang persusuan, maka pada umumnya produksi
susu
(rakyat)
kurang
bisa
berkembang ; 5) Komunikasi (sarana angkutan) yang sulit, banyaknya jalan yang masih sulit dilalui kendaraan yang akan menghambat laju
ANONYMOUS . 2003 . Kecamatan Amanuban Barat Dalam Angka 2003 . Statistik Kecamatan Amanuban Barat. BAMUALIM A dan J . NuLnc . 1999. Pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan Kepulauan Semi Ringkai . Frosiding Lokakarya Dampak Teknologi Pertanian Terhadap Lingkungan Dan Keanekaragaman Hayati . Kerjasama Yayasan KEHATI dan PPLHS Undana, Kupang 1999.
1 . Berdasar pada keadaan geografi dan iklim,
BAMUALIM A. 1994 . Usaha petemakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Pengolahan Dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Petemakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian, Noelbaki, Kupang, 1-3 Februari 1994-Kupang
Kabupaten TTS berpotensi untuk pengembangan usaha persusuan sapi perah
DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN . 2001 . Statistik Petemakan 2001 . Ditjen Petemakan, Jakarta.
pemasaran air susu .
KESIMPULAN
2 . Produksi susu segar sapi perah di NTT khususnya di Kabupaten TTS masih terbatas karena belum didukung teknologi yang optimal dan rendahnya animo masyarakat
untuk
mengkonsumsi
susu
segar. 3 . Susu segar sapi sudah dimanfaatkan, walau masih terbatas pada industri kue, sedangkan pemanfaatan sebagai minuman masih belum memasyarakat, karena masih belum paham akan manfaatnya susu segar sebagai sumber gizi.
1 . Pemerintah Daerah diharapkan perannya dalam pengembangan persusuan sapi perah . 2 . Membangun pola petemakan sapi perah swakelola dilengkapi dengan perkandangan yang standar bagi pemeliharaan sapi perah komersial serta pendampingan dari tenaga ahli maupun kredit investasi merupakan keberhasilan pengembangan kunci .
DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS. 2007 . Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2007. Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. ANONYMOUS . 2003 . Dalam Angka Mollo Selatan.
402
MARAWALI H.H., C . LiEM, D.A . BUDIANTO, Y . NGONGO, S. RATNAWATY, YUSUF, A. RUBIATI dan J. NULIK. 2003 . Hasil Partisipatory Rural Appraisal (PRA) pengkajian usaha agribisnis sapi di Kabupaten Timor Tengah Utara. NuLIK.J ., YusuF dan MARAWAm H.H. 2004 . Prospek era pengembangan agribisnis petemakan memasuki perdagangan bebas.
SARAN
peternakan sapi perah di Kabupaten M
LrriK, M. 2002 . Program pembangunan petemakan Nusa Tenggara Timur. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Pengembangan Jangka Menengah NTT (2003-2008) Yang Diselenggarakan Dinas Peternakan Propinsi NTT Di Kupang Tanggal 3-5 November 2002 .
Kecamatan Mollo Selatan 2003 . Statistik Kecamatan
SoEPoDO . 2003. Struktur ideal populasi sapi perah di Indonesia. Seminar Persusun Nasional PPSKI, Jakarta Indonesia . SuBIANTORO. 2003 . Pengaruh pendinginan terhadap kondisi fisiologis dan produksi susu sapi Frisien Holstein laktasi pertama di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada musim kemarau . Tesis Pascasarjana Universitas Nusa Cendana, Kupang. YusuF, C . LEEK D.A. BuDIANTO, Y . NGONGO, S . RATNAWATY, H.H. MARAWALI, A . RuBIATi dan J. NULIK. 2003 . Hasil Partisipatory Rural Appraisal (PRA) pengkajian usaha agribisnis sapi di Kabupaten Timor Tengah Selatan . WIRDAHAYATI . RB ., H.H. MARAWALt, A. ILA dan A. BAMUALIM . 1999 . Pengakajian usaha pertanian sapi potong menunjang usahatani terpadu di Pulau Timor. Prosiding Lokakarya Regional Penerapan Teknologi Indegenous Dan Maju Menunjang Teknologi
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas - 2020
Pembangunan Pertanian Di Nusa Tenggara . Kerja sama Kantor Wilayah Deptan Provinsi NTT clan BPTP Naibonat dengan Department of Primary Industry and Fisheries Darwin, Northern Territory, Australia, tanggal 1-2 Maret 1999, Kupang-NTT .
DISKUSI Pertanyaan : 1 . Apakah saudara sudah menghitung B/C ratio, sebab hal ini penting untuk mengetahui untung dan ruginya apabila ingin mengembangkan sapi perah di NTT? 2 . Pernahkah terjadi suatu penyakit di NTT, jika ada penyakit apa yang pernah menyerang sapi perah di NTT? Jawaban : 1 . Karni belum menghitung B/C ratio, saran kami terima . 2 . Penyakit yang sering terjadi pada sapi perah di Kabupaten Kupang adalah prolapsus dan distoxia
40 3