Nomor : 005/PUU-IV/2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PLENO MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH DAN DPR PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 MENGENAI PENGUJIAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL TERHADAP UUD 1945
SELASA, 11 APRIL 2006
JAKARTA 2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PANEL MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH DAN DPR PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 MENGENAI PENGUJIAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL TERHADAP UUD 1945 I.
KETERANGAN 1. 2. 3. 4.
Hari Tanggal Waktu Tempat
5. Acara
: Selasa : 21 Maret 2006 : 13.50 – 14.27 WIB : Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi RI Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat : Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR
6. Susunan Panel Persidangan : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Prof. Dr.JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H Prof. H.A. S NATABAYA, S.H., LLM Dr. HARJONO, S.H., MCL. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., MH. Prof. H.ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S MARUARAR SIAHAAN, S.H. SOEDARSONO, S.H.
7. Panitera Pengganti 8. Pemohon
( Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
: Cholidin Nasir, S.H. : Prof. Dr. Paulus Efendi, L, S.H. dkk. 1
Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
II. PIHAK YANG HADIR/BERBICARA DALAM PERSIDANGAN 1. Kuasa Hukum Pemohon a. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, S.H. M.H. b. Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H. c. Deny Kailimang, S.H., M.H. 2. Pemerintah a. Prof. Dr. Gani Abdullah, S.H. (Kepala BPHN) b. Qomarudin, S.H., M.H (Dirt Litigasi, Dephukham)
2 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
JALAANYA SIDANG SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB 1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara, Sidang Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia untuk pemeriksaan perkara ini, dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1 X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini dirancang sidang ini untuk mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak sebagai pembentuk Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang hari ini mulai akan diadakan pemeriksaan persidangan atas perkara yang diajukan oleh para Pemohon yang diberi Nomor 005/PUUIV/2006. Sebelum kita mulai, seperti biasa, saya ingin persilakan lebih dulu semua pihak yang hadir dalam sidang ini mulai dari Pemohon siapa saja yang hadir? Saya persilakan memperkenalkan diri dulu. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIAANTO SENOADJI, S.H. Selamat pagi Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. Dari Pemohon hadir, saya sendiri, Prof. DR. Indrianto Senoadji, S.H., di samping kami, Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H., dan Bapak Deny Kailimang, S.H., M.H., Sedangkan 2 (dua) penerima kuasanya berhalangan hadir, terima kasih.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya lanjutkan sebelah kiri dari Pemerintah siapa yang hadir?
4.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN)
Bismillahirrahmanirrahim. 3 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bapak Majelis Mahkamah Konstitusi yang terhormat, yang hadir ini adalah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H., mewakili menteri dan menteri sekarang masih berada di Rumania dan karena itu sudah pasti tidak bisa hadir. Kemudian di sebelah kiri saya adalah Direktur Litigasi, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan yang mendampingi saya, terima kasih. 5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Karena perkara ini sudah cukup memberi kesempatan kepada Pemerintah dan DPR untuk mengadakan persiapan, apa sudah ada rapat begitu? Itu masalah intern Pemerintah, tapi yang kami perlu cek karena selalu setiap satu perkara kami mewajibkan menterinya hadir. Apakah ada surat kuasa atau apa begitu? Ada?
6.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Surat Kuasa itu tetap kepada Menteri Hukum dan HAM dari Presiden dan khusus untuk kasus ini karena pada saat penyiapan ini menteri masih berada di luar negeri maka surat kuasa substitusi kepada saya sendiri itu belum ditandatangani menteri, terima kasih.
7.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, masalah administratif ya? Terus kalau begitu Dewan Perwakilan Rakyat ada? Dewan Perwakilan Rakyat sudah mengirim surat berhalangan hadir hari ini, alasannya adalah karena dalam masa reses terhitung mulai tanggal 25 Maret sampai dengan tanggal 30 April 2006. Dalam praktek, pengertian reses ini frei, padahal reses itu tidak ada sidang, itu artinya. Tapi biasanya dalam praktek selalu dipraktekkan seolah-olah frei, ini yang menjadi masalah kita sampai sekarang, sehingga hari ini harus dimaklumi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mohon izin tidak hadir, dengan harapan berarti akan hadir dalam sidang berikutnya untuk memberikan keterangan yang diperlukan. Oleh karena itu, hari ini yang ada hanyalah Pemerintah, itu pun masih ada masalah internal karena menteri belum ada di Jakarta. Tapi sebelum kita teruskan, saya persilakan dulu pihak yang terkait. Pihak yang terkait dalam hal ini adalah Komisi Yudisial, tidaklah tepat kiranya Komisi Yudisial yang memang berkaitan langsung kepentingannya dengan undang-undang yang dipersoalkan dalam perkara ini tidak diberi kesempatan untuk: 1. Hadir, menyaksikan, ikut dalam persidangan ini. 4 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
2.
Bilamana diperlukan memberi keterangan. Dan Komisi Yudisial juga sudah mengajukan surat yang kami terima dalam rangka memberikan keterangan. Tapi sebelum diteruskan, saya persilakan memperkenalkan diri lebih dulu, silakan.
8.
PIHAK TERKAIT YUDISIAL)
:
TRIMULYADI
SURYADI,
S.H.
(KOMISI
Terima kasih Majelis Hakim yang kami muliakan. Dari Komisi Yudisial hadir Ketua dan Wakil Ketua, kemudian sekaligus hadir Kuasa Hukum Komisi Yudisial, pertama Bapak Bambang Widjayanto, S.H., LL.M, yang kedua Bapak Iskandar Sonadji, S.H., yang ketiga Bapak Tri Mulyadi Suryadi, S.H., dan yang keempat Bapak Amir Syamsudin, S.H., yang terakhir tidak bisa hadir karena ada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terima kasih. 9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah Saudara-saudara sekalian, dengan demikian lengkap begitu ya? Lengkap dalam arti lengkap minus, minus Dewan Perwakilan Rakyat kita akan berikan kesempatan dalam sidang berikutnya. Dan hari ini adalah sidang sudah kita buka, kita persilakan lebih dulu Saudara Pemohon memberikan uraian pokok-pokok permohonan meskipun yang ditulis tentu sudah dibaca oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat termasuk oleh Pihak Terkait. Tapi untuk kepentingan sidang ini saya persilakan dijelaskan pokok-pokoknya termasuk oleh pihak terkait, tapi untuk kepentingan sidang ini saya persilakan dijelaskan pokok-pokoknya, dengan argumennya apa? Apa yang diminta dan lain-lain sebagainya, saya persilakan.
10.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Terima kasih Majelis Hakim yang kami muliakan. Sebenarnya pada saat Sidang Panel lalu, kami sudah memberikan inti permasalahan dari hak uji material ini. Jadi intinya mungkin saya dapat memberikan semacam highlight-istilah dari Hakim Majelis Konstitusi. Intinya adalah mengenai pertentangan antara pasal 24B dan dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 mengenai kewenangan dari Komisi Yudisial. Di dalam Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 perubahan ketiga dari Undang-undang Dasar ini. Intinya, Komisi Yudisial ini memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim 5 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Agung dan juga mempunyai wewenang lain dalam rangka pengawasan dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Jadi hakim, jadi kata-kata di dalam pasal rumusan dalam Konstitusi itu sudah tegas jelas bahwa kewenangan itu menyangkut usulan pengangkatan Hakim Agung dan fungsi pengawasan terhadap hakim, tidak ada kata-kata Hakim Agung maupun hakim Mahkamah Konstitusi. Dari Pasal 24B itu apa yang dimaksud dengan hakim mengenai persyaratan pengangkatan itu jelas ditegaskan dalam Pasal 25 dari perubahan ketiga Undang Undang Dasar 1945 yang intinya menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi atau untuk diberhentikan sebagai hakim ditentukan dengan undang-undang. Jadi pengertian hakim yang ada di dalam Pasal 24B dari perubahan ketiga itu, terbatas menurut pemahaman kami adalah hakim tingkat pertama atau banding yang diatur dalam Undang-undang Peradilan Umum, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, Hakim Agama pada Undang-undang pada Peradilan Agama, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Hakim Militer pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. Jadi eksplisit di dalam Konstitusi kita, tegas-jelas, fungsi pengawasan adalah hanya terhadap hakim, jadi pemahaman dari kami adalah hakim yang disebut dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai syarat-syarat menjadi hakim yang implementasinya tadi saya sebutkan di situ. Permasalahannya sekarang adalah yang diajukan keberatan oleh Pemohon adalah mengenai fungsi pengawasan dari hakim yang ada di dalam Undang-undang Komisi Yudisial, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dan yang kedua mengenai permasalahan penjatuhan sanksi terhadap hakim. Di dalam Undang-undang Komisi Yudisial yang pertama mengenai pengawasan hakim, itu adalah diatur dalam Pasal 20 walaupun rumusan kata-katanya itu menyerupai apa yang ada di dalam Konstitusi kita. Pasal 20 khusus untuk pengawasan hakim adalah sama bunyinya, mempunyai tugas Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Hakim, saya ulangi hakim dalam rangka melaksanakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Sekarang pembahasan adalah yang menyangkut pengawasan terhadap hakim. Inti permasalahannya adalah adanya perluasan atau penyimpangan, menurut kami, terhadap prinsip lex certa atau lex stricta dalam pendekatan hukum tata Negara. Bahwa suatu ketentuan tidak dapat diinterpretasikan atau diartikan lain daripada selain daripada maksud dirumuskannya aturan itu dalam suatu aturan perundang-undangan. Jadi di dalam Undang-undang Komisi Yudisial Pasal 1 butir 5, pengertian hakim itu mengalami pengertian yang ekstensif bahkan eksesif sekali. Di situ termasuk juga pengawasan 6 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
terhadap pengertian hakim pada hakim Mahkamah Agung yaitu Hakim Agung dan juga hakim pada Mahkamah Konstitusi, ini yang menjadi sebagai salah satu dasar dari Pemohon bahwa perluasan makna pada Pasal 1 butir 5 dari Undang-undang Komisi Yudisial ini memiliki dampak terhadap makna pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang dalam hal ini termasuk hakim Mahkamah Agung dan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Jadi intinya, persoalan penjatuhan sanksi Undang-undang Mahkamah Agung apabila, mohon maaf apabila pemaknaan dari Pasal 1 atau butir 5 ini diperluas secara eksesif, bahkan ekstensif di mana pengertian hakim itu termasuk adalah Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2), ayat (3), ayat (5), Pasal 25 ayat (3), ayat (4) yang tidak terpisahkan mengenai pemaknaan terhadap pengawasan hakim dan penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Jadi intinya, kami ingin sebagai Pemohon meluruskan pemaknaan dari Pasal 1 butir 5 dari Undang-undang Komisi Yudisial, karena Pasal 1 ini saya anggap, kami anggap bertentangan dengan pengertian hakim yang ada di dalam Pasal 24B Konstitusi kita dan yang disejajarkan/diparalelkan dengan Pasal 25. Hakim adalah ditentukan, menurut Pasal 25 Konstitusi kita menurut aturan dan syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang sebagaimana tadi sudah saya sebutkan di situ. Jadi kami menganggap pemaknaan yang sangat ektensif dan eksesif dari Pasal 1 butir 5 mengenai definisi hakim termasuk di dalamnya adalah Hakim Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi, memiliki dampak yang diferensial bertentangan dengan makna yang dicantumkan dalam Pasal 24B dari Konstitusi kita. Pasal 24B tegas-jelas, bahwa Komisi Yudisial hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan, mengajukan usulan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain adalah melakukan pengawasan mengenai masalah kehormatan dari hakim. Tidak ada kata-kata Hakim Agung maupun hakim pada Mahkamah Konstitusi. Pemaknaan melalui Pasal 1 butir 5 itu yang kami anggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip lex superio derogate lex generali sementara mungkin saya bisa jelaskan seperti itu. Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. 11.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Sudah cukup saya rasa, ya? 7 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Secara ringkas begitu, selain yang apa yang sudah ditulis itu disampaikan secara lisan dalam sidang ini. Untuk selanjutnya, saya akan memberikan kesempatan kepada Pemerintah dan DPR. DPR tidak hadir, ya tentu Pemerintah. Namun sebelum Pemerintah diberi kesempatan, perlu diberi beberapa catatan yang lebih dulu. Begini, yang nomor 1, ini perkara seperti kita ketahui, ini perkara yang sangat ditunggu ya oleh masyarakat dan ini perkara menyangkut Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial yang juga dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, saya berharap semua pihak memperlakukan perkara ini dengan sungguhsungguh dan demikian juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat, begitupun Pemerintah, sungguh-sungguh menganggap perkara ini sangat penting dan karena itu ada kesungguhan pula untuk memberi keterangan di dalam persidangan Karena apa? Karena persoalannya ini bukan hanya soal menang dan kalah. Bukan hanya sekadar menafsirkan kata-kata, tetapi Mahkamah Konstitusi harus menjadi solusi. Putusan apapun nanti, hasil dari persidangan, dari pemeriksaan ini diharapkan menjadi solusi konstitusional terhadap perkara ini. Oleh karena itu, proses menjadi sangat penting di samping hasilnya begitu, bukan? Di samping menang atau kalahnya itu. Oleh karena itu, sekali lagi, kalau hari ini menteri belum bisa hadir, tentu kita harapkan pada saatnya akan hadir. Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden, itu juga dengan sungguh-sungguh harus menghadiri dan memberi keterangan sendiri. Bila perlu diperlakukan agak lain perkara ini. Kalau perkara yang lain cukup satu kali, boleh jadi berkali-kali menterinya sendiri mesti hadir karena seriusnya persoalan ini. Lagi pula, yang mengajukan permohonan ini, meskipun pribadipribadi, tetapi berapa jumlahnya? 31 orang hakim agung dan karena itu ini perkara yang sangat penting. Hal yang kedua, sekali lagi sebelum kita teruskan, supaya tidak ada keragu-raguan, Mahkamah Konstitusi punya lima kewenangan. Satu, menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, memutus sengketa kewenangan konstitusional antara lembaga negara. Ketiga, memutus perselisihan hasil Pemilu. Keempat, memutus pembubaran partai politik dan yang kelima memutus tuntutan pemberhentian presiden atau wakil presiden atau impeachment. Dalam semua lima kewenangan ini ada hubungan-hubungan kepentingan yang saling bertaut satu dengan yang lain. Contoh, dalam persoalan pembubaran parpol posisi Mahkamah Konstitusi harus menengahi antara pemerintah, 8 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
penguasa dengan partai politik sebagai subjek hukum yang mau dibubarkan. Mahkamah Konstitusi harus imparsial di tengah. Hal yang kedua, dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi harus menengahi hubungan kepentingan antara penyelenggara Pemilu dalam ini KPU dengan peserta Pemilu. Dalam hal yang ketiga, yaitu impeachment. Impeachment itu yang diadili adalah presiden atau wakil presiden. Itupun, Mahkamah Konstitusi bersembilan harus netral di tengah, meskipun 3 di antara 9 hakim diangkat oleh Presiden dan tidak perlu mengundurkan diri karenanya. Karena di samping 3 orang yang diangkat oleh Presiden, masih ada 6 yang bukan diangkat oleh Presiden. Artinya bukan dipilih oleh Presiden. 9 hakim 3 dipilih DPR, 3 dipilih oleh Presiden, 3 dipilh oleh Mahkamah Agung. Demikian pula, dalam perkara perselisihan antara lembaga negara. Mengapa Mahkamah Konstitusi 9 orang 3 diangkat oleh Presiden, 3 Mahkamah Agung, 3 oleh DPR memang dengan demikian dimaksudkan supaya Mahkamah ini netral, tidak ditentukan pengangkatannya hanya oleh satu lembaga. Pun juga dalam hal pengujian undang-undang, meskipun yang membentuk undang-undang adalah DPR dan Presiden, tidak mesti 6 dari 9 orang mengundurkan diri. Itu maknanya supaya Saudara-saudara dapat memahaminya bahwa inilah Mahkamah yang secara transparan akan memeriksa perkara ini dan diharapkan menjadi solusi. Saya ingin mengajak semua, Anda semua melihat proses ini sebagai bagian dari kita mencari penyelesaian masalah ini. Baik Saudara-saudara, saya persilakan Saudara Pemerintah untuk memberikan keterangan sementara, begitu. Sebelum menterinya sendiri memberikan keterangan bersama juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana nian latar belakang undang-undang Komisi Yudicial ini, kok sampai menjadi seperti sekarang dan dipersoalkan oleh Saudara Pemohon? Saya persilakan. 12.
PEMERINTAH: Prof. Dr. ABDUL GANI ABDULLAH, S.H.(KETUA BPHN) Bapak Ketua Majelis Hakim yang terhormat, beserta hakim konstitusional yang lain yang terhormat. Perkenankan kami untuk menyampaikan penjelasan sebelum menteri memberikan penjelasan. Sesuai dengan yang dimintakan oleh Bapak Hakim Konstitusi untuk memberikan jawaban atau keterangan mengapa pasal-pasal yang ditunjuk, yang menjadi keberatan dari Pemohon untuk dimuat seperti itu. 9 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Penjelasan tertulis sudah kami siapkan untuk ditandatangani menteri tetapi berhubung menteri belum ada, belum bisa ditandatangani. Oleh karena itu, apakah yang belum ditandatangani ini dapat kami sampaikan kepada Majelis Hakim terhormat atau tidak, atau sambil menunggu nanti menteri menandatangani? Kami akan memberi keterangan sekitar kenapa pasal-pasal itu berbunyi atau bermateri muatan seperti itu. 13.
14.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Begini. Biar Saudara dilanjutkan saja memberikan keterangan, tetapi nanti kami perlakukan hanya informasi sementara, ya. Belum resmi, nanti yang resminya. Dan memang itulah sebabnya, saya selalu menganjurkan, ya ini kan urusan intern Pemerintah, ya. Setiap kali ada sidang di Mahkamah Konstitusi, yang ideal itu Pemerintah juga mempersiapkan diri seperti kalau mau sidang di DPR. Kalau mau sidang di DPR itu ada rapat antar instansi karena ini menyangkut soal yang serius sekali. DPR membuat undang-undang, di sini membatalkan undang-undang. Sama itu. Hans Kelsen mengatakan, “Parlemen itu adalah positive legislator sedangkan Verfassung Gerichtschaft itu adalah negative legislator”. Sama-sama legislator di sana positif membuat, di sini membatalkan. Jadi, semua pihak mestinya mempersiapkan diri sama sungguhsungguhnya, begitu. Tetapi tidak apa-apa, Pak,. Pak Gani silakan memberikan keterangan dulu sementara. Silakan. PEMERINTAH: Prof. Dr. ABDUL GANI ABDULLAH, S.H.(KETUA BPHN) Kami tidak mengomentari apa yang dikatakan Pak Ketua. Kami lanjutkan saja. Yang pertama, Pasal 24B ayat (1) yang materi muatannya tadi sudah disampaikan oleh Pemohon. Dalam soal naskah konstitusi, kami ingin menyampaikan bahwa di hadapan kami, ada naskah konstitusi yang dicetak oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Itu yang menjadi pegangan kami pada saat sekarang ini karena di dalam UndangUndang Dasar tidak ada amanat yang mengatakan bahwa ”Setiap naskah Undang-Undang Dasar ataupun perubahannya itu ditempatkan di mana sebagai tempat dimana asli itu ditemukan”. Oleh karena itu, banyak sekali naskah konstitusi yang diterbitkan oleh berbagai penerbit, kadang-kadang ada kekeliruan untuk mencetak huruf-huruf tertentu. Untuk menghindari demikian, kami berpegang pada naskah yang dicetak oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah 10 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Konstitusi. Khusus mengenai kata hakim atau kata lainnya. Di dalam pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dan saya yakin juga di Majelis Perwakilan Rakyat ketika membuat naskah Undang-Undang Dasar selalu berpatokan kepada kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku dalam memberikan rumusan-rumusan hukum atau kata-kata yang digunakan dalam materi muatan hukum. Begitu juga di dalam naskah UndangUndang Dasar ini, Kami yakin, Pemerintah yakin, kaidah-kaidah hukum bahasa Indonesia itu dipakai seperti itu. Dalam hal yang sudah tertentu, itu selalu digunakan huruf awalnya huruf besar. Dalam hal yang sudah tertentu. Tetapi dalam hal yang banyak jumlahnya, maka selalu menggunakan huruf kecil pada kata awal dari huruf itu. Itu selalu digunakan. Kadang-kadang, kita kurang memperhatikan hal demikian. Itu lah, sebab kami melihat bahwa di dalam naskah permohonan dari Pemohon, selalu saja menggunakan, menulis kata hakim, itu semuanya dengan huruf besar. Padahal Undang-Undang Dasar tidak menunjuk begitu. Undang-Undang Dasar dalam Pasal 24B, ketika menyebut kata hakim untuk 24B ayat (1) kata hakim itu huruf kecil, tetapi di dalam kutipan yang dibuat oleh Pemohon, perilaku hakim, hakim-nya huruf besar. Nah tulisan hakim yang dibuat oleh Pemohon sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, ya. Kemudian juga di sini, ada kata hakim agung, ketika ditulis hakim agung, huruf besar itu H karena awal kalimat, tetapi a nya huruf kecil, itu menunjukkan bahwa ketika berada pada di tengah kalimat, kata hakim agung, itu akan ditulis huruf kecil oleh Undang-undang Dasar. Inilah contoh-contoh yang dipakai, yang selalu dipakai dalam pembahasan pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. Dan saya yakin karena anggota MPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, di dalamnya ada Dewan Perwakilan Rakyat, maka kebiasaan atau tradisi ini, penggunaan bahasa Indonesia baku ini juga dibawa serta ke sana. Oleh karena itu, maka dalam konteks Pasal 1 ayat (5) Undangundang tentang Komisi Yudisial menggunakan kata hakim di situ, sebagai pengertian yang memang mengandung makna banyak, bermakna musaraf. Jadi, kata hakim itu di situ dalam konstitusi memang tidak hanya maksud hakim agung atau tidak hanya hakim pada lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, tetapi juga menyangkut hakim agung dan juga Hakim Konstitusi. Karena di dalam Undang-Undang Dasar sudah dikenal itu Hakim Konstitusi. Maka, bagaimanapun a coverage atau ruang lingkup dari pengertian kata hakim dengan huruf kecil ini meyangkut keseluruhan dari hakim yang ada di semua lingkungan peradilan termasuk Mahkamah Konstitusi. Jadi, apakah itu hakim agung atau pun Hakim Konstitusi, itu sudah termasuk. 11 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Di dalam Pasal 24A ayat (2) itu ada kata hakim agung, a nya huruf kecil. Akan tetapi di dalam permohonan, itu hakim agung selalu ditulis H besar, A besar. Itu tradisi di dalam konstitusi, itu tidak, seakanakan tidak mewarnai tulisan-tulisan ini. Nah, alangkah besar pengertian demikian maka kata hakim di dalam Pasal 24B ayat (1) itu dan yang lainlainnya sepanjang menjadi kata hakim, itu bermakna Hakim Agung, hakim pada lingkungan peradilan yang telah ditunjuk oleh UndangUndang Dasar dan juga Hakim Konstitusi. Jadi dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Undang-undang Komisi Yudisial itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Karena apa maksud hukum yang ada di dalam Undang-Undang Dasar itu bisa dimaknai oleh Undang-undang Komisi Yudisial dengan pengertian seperti itu. Contoh yang digunakan di dalam DPR selalu saja huruf besar itu, tertentu. Seperti ada undangan, “Kepada Yth. Prof. Gani beserta Istri”. Kalau tulisan huruf besar, berarti istrinya hanya satu itu, tapi “Prof. Gani beserta istri” dengan huruf kecil, ini yang diundang istri yang ke berapa? Itu salah satu contoh. Itulah salah satu bentuk kaidah yang digunakan oleh Undang-Undang Dasar, itu kelihatannya seperti itu, tetapi makna yuridis, makna konstitusionalnya, itu demikian. Oleh karena itu, apa yang disebut dalam Pasal 1 angka lima di dalam Undang-undang Komisi Yudisial, itu sudah me-reference maksud Konstitusi merumuskan kata hakim dengan huruf kecil itu. Kemudian yang kedua, yang kedua di sini, dikatakan itu memperluas, saya kira sudah jelas seperti tadi. Jadi Undang-Undang Dasar dalam memberlakukan pengawasan seperti diminta oleh UndangUndang Dasar itu sendiri kepada Komisi Yudisial. Dikatakan, itu dikecualikan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Berdasarkan tafsir hukum tadi, dari nilai historik dari kata hakim itu, maka bagaimanapun Komisi Yudisial mempunyai kewenangan pengawasan seperti di dalam Undang-undang Komisi Yudisial. Pada waktu perumusan mengenai ini, mengenai pasal ini, memang dari perdebatan di DPR. Tapi ada satu kesepakatan, bahwa Komisi Yudisial ada pemeriksa eksternal, jadi external auditor daripada seluruh lingkungan peradilan. Apakah itu Mahkamah Agung, apa itu namanya Hakim Agung itu sendiri, apalagi hakim yang di bawahnya, termasuk Hakim Konstitusi. Kalau tidak ada pengawasan dari luar, maka siapa lagi yang mengawasi Hakim Agung? Siapa lagi yang mengawasi Hakim Konstitusi? Ketika kami menyebut Hakim Konstitusi ini, itu selalu disertai dengan mohon maaf, karena yang saya hadapi langsung adalah Hakim Konstitusi. Jadi ketika saya menunjuk Hakim Konstitusi, berarti sudah disertai dengan mohon maaf ketika menyebut Hakim Konstitusi. Sehingga saya ada percaya diri untuk berani mengatakan itu. Sebab ada apa itu namanya, kalau bahasa 12 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Indonesianya ada sungkan juga dalam Mahkamah Konstitusi menyebut Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial dibentuk oleh undang-undang atas permintaan Undang-Undang Dasar, itu dimaksudkan untuk sebagai external auditor, pengawas eksternal dari lingkungan peradilannya. Itu diakui betul bahwa Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi dari lingkungan peradilan di bawahnya, itu diakui. Karena itu, pada waktu pembahasan, diinginkan ketika melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim dibawah Mahkamah Agung, sepanjang mengenai teknis yudisial, itu urusan Mahkamah Agung. Tetapi ketika berkait dengan harkat dan martabat dan perilaku hakim, maka bagaimanapun itu ada kaitan dengan keputusan yang dilakukannya. Sebab siapa tahu di dalam putusan itu ada unsur-unsur yang merendahkan martabatnya. Untuk hal ini Komisi Yudisial harus berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah Agung dengan Hakim Agung, artinya dia tidak bisa bekerja sendiri, itu ide yang hidup pada waktu itu, dia tidak bisa langsung bekerja sendiri, tapi harus berkonsultasi dengan Hakim Agung, dengan Mahkamah Agung. Dalam hal pengawasan itu terletak pada Hakim Agung, sebagai Hakim, maka pada posisi ini Komisi Yudisial pada waktu pembahasan itu berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah Agung untuk membicarakan masalah internal bagaimana cara melakukan pengawasan ini agar tidak terpengaruh kepada kemerdekaan pada waktu mengambil keputusan. Timbul persoalan pada waktu itu, Komisi Yudisial tidak berwenang memeriksa putusan, itu sudah intervensi kepada lembaga peradilan, itu disepakati. Tapi ketika putusan itu sudah dijatuhkan di depan sidang terbuka, maka ketika itu siapa saja boleh memeriksa putusan itu, termasuk Komisi Yudisial. Bisa dilakukan seperti itu, karena dia sudah dibaca di depan umum. Pengertian umum di sini, termasuk anggota Komisi Yudisial yang dianggap hadir di situ. Yang dilarang adalah pada waktu pembahasan itu, dia ikut memeriksa rancangan putusan yang sedang dikonsep oleh hakim, karena diduga ada unsur, berdasarkan laporan, ada unsur merendahkan martabat, ini yang tidak boleh. Karena itu tidak ada di sini soal itu, karena tidak dikehendaki pada waktu itu, karena sudah menerobos kemerdekaan hakim sebagaimana yang diminta oleh Undang-Undang Dasar. Ada yang menafsirkan pada waktu itu, bahwa kemerdekaan hakim itu adalah bebas dari pengaruh eksekutif, timbul pertanyaan apa Komisi Yudisial ini eksekutif atau tidak? Kita tidak mempersoalkan itu lagi pada waktu itu, tapi menjurus kepada tidak adanya institusi lain untuk intervensi ke dalam proses pengambilan keputusan di peradilan, itu disepakati betul. Oleh karena itu, dalam hal pengawasan terhadap Hakim Agung, itu sudah termasuk lingkup daripada pengawasan Komisi Yudisial, hanya teknis pelaksanaannya itu tidak tercantum di sini, karena antar lembaga 13 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
negara perlu ada berkoordinasi, perlu ada pembicaraan antara dua pihak mencari jalan yang terbaik secara hukum itu benar dan secara adat juga benar. Jadi dalam soal ini, ketika dia memeriksa hakim tinggi atau hakim pengadilan negeri, dia bisa melakukan seperti perintah undang-undang. Perlakuan tugas ini, pelaksanaan tugas ini tidak mengurangi sedikitpun tugas kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap pengadilan, karena masing-masing punya tugas. Internal di sana, kemudian eksternal di sini. Timbul persoalan, ketika terjadi perbedaan antara hasil pemeriksaan eksternal dengan hasil pemeriksaan internal, di situlah perlunya pertemuan antara kedua lembaga ini, tapi tidak dimasukkan dalam undang-undangnya. Karena bagaimanapun bisa dipahami, ketika bertemu dua hal yang bertentangan pada hal yang bersamaan, bagaimanapun kalau dilihat dari teori penyelesaian konflik, kedua pihak harus bertemu. Itu mengenai kewenangan pengawasan. Timbul sekarang pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi, kalau tidak diawasi oleh Komisi Yudisial, siapa lagi yang mengawasi? Tentu Allah yang mengawasi, satu kaki hakim itu di neraka, ketika berjalan di atas titian, satu kaki sudah di api neraka itu, sudah dekat-dekat, kaki yang satu ini masih nyangkut di situ. Pada posisi itu hakim itu perlu diawasi juga, sekalipun sudah dijamin oleh Allah seperti itu. Karena Allah mengatakan dalam agama Islam, kalau dilihat dari segi agama Islam, hakim itu diberi derajat yang khusus, kalau salah memutus tetap mendapat pahala. Itulah sebab, maka syarat menjadi hakim itu bisa dilihat dari empat kelompok hakim, ada yang mengetahui apa yang tidak diketahuinya, ada hakim yang tidak tahu apa yang dia tidak ketahui, ada hakim yang tidak tahu apa yang diketahui, dan ada hakim yang tahu apa yang diketahui. Karena itu jangan salah menempatkan hakim, ini ajaran agama Islam. Kalau lafalnya, “annahu yadrima yadri, annnahu laa yadrima laa yadri, annahu yadrima laayadri, la’nahu laa yadrima laa yadri”. itulah jaminannya. Kalau tidak, kalau menunggu pengawasan dari Allah, kapan pengawasan manusia terhadap hakim? Itu yang menjadi persoalan, itulah maksud daripada kenapa Undang-Undang Dasar itu memuat hal seperti itu dan mengapa Undang-undang Komisi Yudisial harus melakukan hal itu? Kalau sekarang tidak termasuk Hakim Agung, dia termasuk Hakim Konstitusi, timbul pertanyaan, siapa yang mengawasi mereka? Apa kehadiran Komisi Yudisial ini adalah suatu hal yang menganggu pelaksanaan kemerdekaannya? Di dalam pernyataan ini, itu ada disebut bahwa pengawasan Komisi Yudisial selama ini memanggil beberapa Hakim Agung, itu seakan-akan secara argumen a contrario tidak terjamin kemerdekaannya lagi oleh Undang-Undang Dasar, di dalam permohonan halaman 8. Kemerdekaan hakim dijamin oleh Undang-Undang Dasar 14 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
tidak terganggu oleh pengawasan ini. Allah saja tidak mau menganggu itu kewenangan hakim dalam memutus, apalagi manusia. Jadi di sini Pemohon sudah menyatakan, apalagi yang tertulis lex citra, kemudian lex cetera. Pada intinya, tadi dikatakan itu harus disebut, harus ditafsirkan, selain dari apa yang dimaksud oleh hukum itu sendiri. Kalau dalam hukum Islam, “tumaqassi syar’iatu”. Dalam ini, maqassil, hukumnya apa? Tafsir ilmu itu. Tuhan saja tidak ikut serta mencampuri urusan hakim memutus, tapi Tuhan tetap mengawasi, tetapi selama menjadi manusia, hakim itu harus diawasi. Inilah sebab Undang-undang Komisi Yudisial harus lanjut. Maka saya selalu katakan kepada Komisi Yudisial, “Jalan terus! Laksanakan tugas sesuai perintah Undang-Undang Dasar”, bukan saja perintah undang-undang, tetapi Undang-Undang Dasar, punya tanggung jawab moral, tanggung jawab kepada Tuhan. Pada suatu hari nanti ditanya, pada yaumil qiamat nanti ditanya, “Pak Muqoddas, tanggal sekian, tanggal sekian diberi tugas,
mengapa kau tidak jalankan? ”Iqra’ kitabakafan binafsikal yauma hasiba,
Pak. Akan baca rekaman nanti, begini rekaman Pak Muqoddas tidak pernah melaksanakan, “Habis Hakim Agung pada ngotot tidak mau diperiksa”. Memang Dia begitu, akan dimintai pertanggung jawab. Oleh karena itu, tugas yang diberikan oleh Konstitusi jalankan terus, soal ada pertentangan seperti ini, ini adalah kehidupan, dinamika penegakan hukum. Saya tidak perlu menyinggung bagaimana Hakim Konstitusi, tidak, tapi beginilah wujud kondisi empirik yang terjadi pada waktu pembahasan undang-undang ini, Undang-undang Komisi Yudisial. Karena apa? Karena Undang-Undang Dasar sudah mengatakan begitu, karena Undang-Undang Dasar mengatakan begitu, maka para Pemohon mencoba mengelaborasi Pasal 24B ayat (1) itu, perilaku hakim. Di sini diartikan, di sini seperti yang tertuang dalam apa tadi, di sini sudah disebut, sehingga dibaca kewenangan lain dalam rangka menegakkan kehormatan kedua martabat, serta perilaku hakim adalah hakim menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Ini menjadi keberatan, tapi dalam tulisannya ada kalimat yang dikatakan bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain, maka bermakna dari pasal Konstitusi ini, bermakna seakan-akan bermakna konstitusi begini, “Bahwa Komisi Yudisial mempunyai kewenangan lain di dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung”, tidak begitu. Kalau menurut pemahaman konsep Undang-undang Komisi Yudisial tidak seperti itu. Karena kalau seperti ini, berarti memberikan elaborasi dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar tidak memberi kewenangan kepada Pemohon untuk mengelaborasi seperti ini. Undang-undang saja tidak diberikan kewenangan untuk mengelaborasi, 15 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
ini Pemohon merubah seperti itu, untuk menambah alasan-alasannya bahwa demikianlah Undang-undang Komisi Yudisial itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kemudian yang nomor empat, tidak meliputi Hakim Agung, kata Hakim disini ditulis oleh Pemohon halaman 6 itu, nomor empat, “yang dimaksud kata Hakim, ‘H’ huruf besar”, padahal Undang-Undang Dasar tidak menulis huruf besar, jadi legal standing Pemohon pada konteks ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sehingga pengertian hakim tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, tidak demikian. Pada waktu pembahasan Undang-undang Komisi Yudisial pemahamannya adalah ketika bicara hakim, itu termasuk semua hakim yang ada dalam sistem hukum, sistem peradilan di Indonesia. Sudah itu yang nomor enam, kemudian dan seterusnya, di sini adalah disebut ada kaitan Undang-undang Mahkamah Agung, undangundang lain, kita di sini tidak menilai Undang-undang Mahkamah Agung, tidak menguji Undang-undang Komisi Yudisial dan undang-undang yang lain, tapi menguji Undang-undang Komisi Yudisial dengan UndangUndang Dasar, karena itu ini tidak perlu dibahas. Kemudian, pengawasan dalam kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi Komisi Yudisial tidak termasuk Hakim Agung. Ini tidak ada, Undang-undang Komisi Yudisial tidak mengharapkan adanya privilege tertentu pada hakim tertentu, tapi Komisi Yudisial dimaksudkan untuk memeriksa, mengawasi seluruh hakim. Bahwa pengawasan Komisi Yudisial dengan cara memanggil Hakim Agung, karena memutus suatu perkara merupakan akibat klausul hilang dan terganggunya kebebasan hakim. Secara yuridis ini adalah perasaan, perasaan itu bukan hukum, oleh karena itu tidak bisa dijadikan pegangan. Mengapa hakim punya perasaan seperti itu? Kalau memang sebagai hakim laksanakan tugas, soal ada diawasi oleh siapapun, ya begitulah sistem hukum yang berlaku di negara ini. Kalau tidak ada sistem hukum seperti itu, mau sistem apalagi? Undang-Undang Dasar sudah mengamanatkan seperti itu, kemudian dipenuhi pembentuk undang-undang atas permintaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Soal tidak diterimanya diawasi oleh Komisi Yudisial, itu adalah soal perasaan, dan perasaan bukan menjadi hukum. Perasaan tidak bisa mengalahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ataupun undang-undang. Itulah beberapa hal yang dapat disampaikan dengan lisan ini sebagai informasi. Kalau dalam dunia modern, siapa yang menguasai informasi, itu yang menguasai dunia. Ya, siapa tahu informasi ini bisa 16 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
menguasai Hakim Konstitusi dan bisa menanggapi permohonan ini secara konstitusional. Jadi, Pemerintah itu sependapat betul dengan apa yang dikatakan ketua tadi. Di sini tidak ada yang benar dan tidak yang cala, tapi konstitusionalitasnya itu yang dilihat. Oleh karena itu, Bapak Hakim Majelis yang terhormat, itulah beberapa hal yang sebagai informasi yang materinya adalah menceritakan bagaimana pemahaman Pemerintah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada waktu pembahasan atau perumusan Undang-undang Komisi Yudisial. Begitu juga halnya, kalau boleh disinggung sedikit pada waktu pembahasan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Tapi, menurut Pemerintah melihat begitu muncul Mahkamah Konstitusi itu, itu begitu tinggi peluangnya, tapi, Komisi Yudisial begitu muncul, itu dihadapkan dengan berbagai keberatan-keberatan. Dalam penegakan hukum pelaksanaan hukum itu suatu hal yang biasa. Kalau Komisi Yudisial mundur gara-gara soal itu, berarti tidak siap, pada waktu di tes itu tidak begitu bunyinya masingmasing. Semua siap untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bapak Majelis Hakim yang terhormat, saya kira demikian informasi dari Pemerintah. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita sekalian.
Assalamu’alaikum wr.wb.
15.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak Gani ini juga Ketua Tim RUU ini ya, Komisi Yudisial?
16.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Sebagai wakil dari menteri pada waktu pembahasan.
17.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh, lebih tinggi lagi dari ketua tim? 18.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ketua tim itu di tingkat departemen, tapi pada waktu pembahasan itu selalu mewakili menteri untuk menghadapi Dewan Perwakilan Rakyat, karena harus eselon satu.
17 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
19.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ini rancangan harus dari Pemerintah atau dari Dewan Perwakilan Rakyat ini?
20.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Dari Pemerintah.
21.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pemerintah ya, baik, Pak Gani ini sudah memberikan informasi. Dari informasi yang diberikan ini, nampaknya Pak Gani ini sudah lebih cocok Ketua Majelis Ulama Indonesia ini. Mantap ayat-ayat dan hadishadisnya. Sudah lebih tinggi lagi dari Ketua BPHN, harusnya Ketua MUI. Baiklah, Saudara-saudara, kita sudah mendengarkan betapapun keterangan ini sifatnya sementara, masih harus kita dengar keterangan resmi dari Pemerintah. tapi setidaknya informasi ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan. Apakah ada yang mau mengajukan pertanyaan, begitu? Nanti akan saya berikan kesempatan Komisi Yudisial dan Tim, untuk juga menyampaikan keterangan atau bertanya juga boleh, tapi sebelum itu saya ingin mengundang ada ke kanan dulu, silakan Pak Maruarar.
22.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih, Pak Ketua. Hari ini saya, agaknya kagum dengan penampilan Pak Gani agak prima hari ini dan saya juga menghargai betul tadi, bahwa menurut paparan dari Pak Gani bahwa konsep-konsep dan pemikiran yang ada mengenai Komisi Yudisial sudah terpikirkan betul. Terutama sekali tadi mengenai beberapa prinsip itu, tetapi Pak Gani mengatakan ketika ada benturan seharusnya ada koordinasi. Pertanyaan saya, ketika sudah terpikir perlunya koordinasi semacam itu, di dalam satu dua lembaga yang dikatakan di dalam Undang-undang Komisi Yudisial yaitu, pasal pertama dari Undang-undang Komisi Yudisial di luar ketentuan umum langsung menegaskan kemandirian Komisi Yudisial, dan dalam kewenangan bebas dari campur tangan ataupun pengaruh kekuasaan lainnya. Kalau tadinya Pak Gani melihat, bahwa memang ada perlu koordinasi, kenapa tidak ada satu muatan pun, karena di sini, bayangkan dua yang independen, dua “gajah” yang independen itu bisa satu yang mengawasi yang lain, tapi sama-sama mandiri. Kebutuhan koordinasi yang Pak Gani sebutkan tadi, tidak ada satupun disebutkan dalam 18 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Undang-undang Komisi Yudisial. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena konsep ini lahir atau rancangan lahir ini dari Pemerintah. Pertanyaan kedua saya, tadi Pak Gani sudah menyinggung bahwa hakim agung pun harus ada yang mengawasi. Itu merupakan suatu hal yang saya kira tidak bisa dinegasikan, tetapi pertanyaan selalu lahir lagi who watch, the watch man, kalau Komisi Yudisial pengawas. Kalau ada dalam hal ini konflik yang dipandang tidak pantas atau tidak wajar, siapa yang mengawasi Komisi Yudisial dalam konsep Bapak? Sekarang dalam keadaan begini, siapa lagi yang mengawasi, kan begitu? Tidak ada tertulis di dalam undang-undang ini. Ini konsepnya rancangan Pemerintah. Nah, tadi juga Pak Gani mengatakan bahwa tidak menganggu kewenangan kalau Pak Hakim dipanggil, karena sesudah putusan diumumkan di depan umum, setiap orang boleh memeriksa. Yang dilarang untuk dillakukan adalah memeriksa rancangan konsep, tetapi bagaimana dia dengan kaitan konsep bahwa Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi di dalam bidang teknis yang mempunyai jalur sendiri secara teknis justisial dan juga putusan itu masih di dalam kerangka proses belum mempunyai kekuatan. Bagaimana kira-kira pandangan Pak Gani di dalam hal seperti itu? Karena keluhan tadi yang dikatakan oleh Pemohon, bahwa panggilan-panggilan Komisi Yudisial yang dilakukan
sedemikian rupa terasa sangat menganggu, apalagi kalau misalnya keluhan-keluhan yang dikemukakan terhadap Komisi Yudisial itu telah langsung dipublikasikan. Di Komisi Yudisial seluruh dunia, tampaknya
tidak terjadi itu. Kita sudah melihat juga, misalnya data yang dibuat Komisi Yudisial bisa missequence tidak ada suatu gesekan sedikitpun, ketika ada komplein yang di periksa oleh mereka, dan hasilnya dilakukan. Tentu ada semacam kekurangan di dalam mekanisme dalam hal semacam ini, tadi yang Pak Gani katakan perlu ada koordinasi. Jadi, yang dikeluhkan itu belum dijawab tadi itu, bahwa panggilan dan kemudian pelaksanaan kewenangan, pemeriksaan itu tampaknya sangat menganggu terhadap independensi, karena independensi hakim itu modalnya tentu adalah trust. Begitu dipublikasikan, opini publik tentu akan terus langsung menerobos trust itu. Bagaimana di dalam Undangundang Komisi Yudisial tidak ada konsep atau pasal yang sedikit banyak mengatur hal itu? Pertanyaan saya yang terakhir, terhadap Mahkamah Agung ini sebenarnya, tapi saya kurang tahu apakah kepada kuasa ini yang pas. Kalau misalnya, Pasal 1 angka 5 itu dihapuskan dalam pemikiran, karena memang tidak ada yang tidak diawasi tadi dikatakan. Saya pikir, saya setuju juga itu. Mungkin ada gambaran tidak pada Pemohon, kira-kira bagaimana konsep pengawasan itu akan dilaksanakan, kalau hakim 19 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
agung itu berada di luar pengawasan Komisi Yudisial? Saya kira demikian pertanyaan saya, Pak Ketua. 23.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Satu–satu dulu ya, silakan.
24.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ya, Bapak Hakim Konstitusi yang terhormat. Menarik sekali pertanyaan Bapak-bapak Hakim Konstitusi yang terhormat, karena apa yang ditanyakan itu memang hidup waktu pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat itu. Yang pertama, soal kemandirian, kemudian soal koordinasi. Kenapa tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang koordinasi? Pada waktu pembahasan itu, itu memang ada pikiran mengenai perlunya koordinasi, tapi melihat tugas dua lembaga ini berada pada koridor yang sama, dengan tujuan dan wewenang yang berbeda, maka bagaimanapun kedua lembaga itu sangat memahami bahwa koordinasi itu diperlukan. Oleh Karena itu, tidak perlu dimuat secara eksplisit dalam undang-undang itu. Jadi, soal koordinasi tanpa dibuat dalam undang-undang pun kalau memang diperlukan, maka bagaimanapun dalam proses pelaksanaan tugas itu diperlukan. Sama halnya dengan adanya perintah, bahwa kalau lampu merah itu berhenti, tidak harus ada perintah kepada Ketua Komisi Yudisial mengendarai mobilnya harus berhenti di situ, oleh perintah undang-undang. Itu kira-kira logikanya, demikian. Kemudian yang kedua, hakim agung harus ada yang mengawasi. Kalau Komisi Yudisial mengawasi semua lingkungan, semua hakim seperti yang disebutkan tadi, maka sekarang siapa yang mengawasi Komisi Yudisial? Sesuai dengan struktur kenegaraan, Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada rakyat, itu melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak kepada siapa-siapa, karena yang memilih dan mengangkat dan yang mengusulkan pengangkatan mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat.
25.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Jadi, apa bedanya dalam struktur organisasi dia organ konstitusi yang sama? Kenapa Mahkamah Agung harus diawasi oleh Komisi Yudisial? Kenapa Komisi Yudisial diawasi rakyat?
20 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
26.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Hakim agung itu tidak pernah dilakukan pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat ketika mengadakan rapat kerja dengan unsur yudikatif selalu memanggil sekretaris jenderalnya. selalu begitu, tetapi Komisi Yudisial itu tidak, harus memanggil Komisi Yudisial, karena Komisi Yudisial itu bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hakim agung tidak bertanggungjawab Dewan Perwakilan Rakyat. Secara institusional, dia bertanggungjawab kepada Ketua Mahkamah Agung, tetapi secara substansial bertanggungjawab kepada Tuhan, karena dia memutus perkara dengan hati nuraninya. Tidak dengan yang lain-lain. kalau hati nurani mengatakan ini adil, dia akan putus dengan adil. Sekalipun secara legalitas, itu bunyi undang-undang, itu mengatakan lain. Kemudian yang kedua, tidak ada kewenangan untuk memeriksa putusan yang sedang di putus. tapi ada kewenangan untuk memeriksa putusan yang sudah dibacakan dalam sidang terbuka, berarti siapa saja bisa buka. Bagaimana dengan Mahkamah Agung? Bagaimana dengan kerangka konsep putusan? Kalau suatu putusan hakim yang sedang dikonsep oleh hakim majelis, maka Mahkamah Agung dengan kewenangan teknis yudisialnya mempunyai kewenangan untuk minta keterangan kenapa putusan demikian, kenapa putusan begitu, dan bahkan siapa tahu putusannya harus begini. Itu ada kewenangannya bagi Mahkamah Agung dalam konseps sistem peradilan kita, tapi kalau putusan yang sudah diputuskan yang sudah diketuk dalam sidang terbuka, siapapun boleh membaca. Termasuk mahasiswa yang mengadakan penelitian dan memgoreksi mengkritik putusan itu. Itu tidak menjadi soal.
27.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Tapi, membaca Pak, ya?
28.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ya.
29.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Mengkritik? Memeriksa? Tapi tidak menilai?
21 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
30.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ya. Kalau putusan itu sudah dibacakan di depan sidang terbuka terbuka untuk umum, maka individu katakanlah mahasiswa S2, meneliti soal putusan Mahkamah Konstitusi, dia boleh mengkritik, membaca, dan bahkan dia menilai, itulah ilmu pengetahuan, sebab apa ilmu pengetahuan itu muncul? Ketika beda pendapat. Tidak muncul ilmu pengetahuan, kalau sama pendapatnya. Dua orang professor beda pendapat itulah ilmu yang lahir pada ilmu yang ketiga. Begitu juga soal putusan.
31.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Jadi, begini Pak Gani, putusan itu adalah pilihan-pilihan, tapi yang Bapak maksud ini sebenarnya menilai, apakah pilihan itu benar atau tidak boleh itu di nilai?
32.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN)
Nah, dalam membaca putusan tidak bisa sepotong-potong. Ada
kontekstualitas mulai dari kalimat pertama, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”, Sampai dengan ketengannya itu, sampai dengan titiknya itu. Itu harus dibaca dan konteks konstektualitasnya harus kuat, tapi harus diingat juga, bahwa putusan itu sudah menjadi hukum. Kalau sudah menjadi hukum, maka cirinya dia itu, dia sifatnya mengatur, memaksa, kemudian dituruti dan dipelihara. Ketika dia tidak mempunyai nilai paksa, ketika itu dia mendapat nilai kritik atau penilaian dari kaum yang sedang belajar atau mahasiswa, karena itu tidak bisa dibatasi ketika masuk hal itu, yang tidak boleh adalah membaca putusan itu sepotong-sepotong. Kalau membaca sepotong-sepotong, dia akan mempunyai makna normatif lain, ketika jadikan patokan untuk itu. Mudah-mudahan, pikiran saya sependapat dengan pikiran Bapakbapak Hakim yang terhormat. 33.
HAKIM: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Tapi belum dijawab bahwa apa yang saya katakan, bahwa putusan itu belum selesai, dalam arti belum mempunyai kekuatan belum masih dalam proses banding, apakah ada bedanya itu Pak?
22 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
34.
PEMERINTAH: Prof. Dr. ABDUL GANI ABDULLAH, S.H.(KETUA BPHN) Ya, ketika putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka ketika itu Komisi Yudisial bisa masuk ke dalamnya. Pada waktu pembahasan DPR, tidak biasa. Sama dengan putusan yang belum diputus. Kalau putusan sudah diputus tetapi masih ada upaya banding dan lain sebagainya, maka putusannya sama saja dengan putusan yang belum diputus tadi, cuma mungkin, timbul pertanyaan operasional ketika diduga, ada laporan bahwa perkara itu sedang diupayakan kasasi, tetapi dalam putusan itu dipandang oleh masyarakat pelapor ada unsur merendahkan martabatnya, bagaimana soal ini? Saya kira Komisi Yudisial akan memanggil hakim yang bersangkutan dan tidak memeriksa putusan itu. Seandainya Komisi Yudisial memeriksa putusan yang belum in kracht itu, maka ini sudah melewati apa yang diinginkan oleh pembuat undang-undang. Saya kira, kalau Komisi Yudisial sudah melakukan itu, ya harus maklum juga. Saya tidak memberikan pembelaan tetapi sebagai manusia, tentu ada khilafnya, tetapi kalau khilafnya terus-menerus, itu bukan lagi. Saya bukan membela Komisi Yudisial karena yang mengetesnya, saya buat undang-undangnya, saya tidak begitu. Akan tetapi harus diakui juga bahwa ada kekeliruan. Kekeliruan ini apakah keluar dari undang-undang? Bisa keluar dari undang-undang. Oleh karena itu, perlu diluruskan. Mudah-mudahan putusan MK bisa meluruskan dalam pertimbangan hukumnya, walaupun dalam amarnya tidak begitu, tetapi minimal dalam pertimbangan hukumnya memuat hal-hal yang meluruskan pengertian yang seperti itu. Kemudian, ada lagi lalu bagaimana mempublikasikan yang tadi? Inikan, pengadilan itu soal trust, antara lain soal itu dan juga soal bevoeg. Soal bevoeg daripada hakim, kalau hakim itu on the bevoeg, saya kira walaupun di-trust, toh salah juga dia di depan Allah. Diharapkan nilai keadilan juga tidak sama, mungkin dia putus dengan dua tambah dua sama dengan 4 ada kepastian hukum. Padahal, nilai keadilan tidak ada pada dua tambah dua sama dengan empat, tetapi ada sepuluh kurang enam. Kenapa dia tidak putus dengan 10-6 yang hasilnya 4 juga, kan begitu? Jadi, ketika dalam proses itu berjalan, lantas ada laporan masyarakat, kemudian diperiksa oleh Komisi Yudisial, kemudian diumumkan. Timbul persoalan. Adakah kewenangan Komisi Yudisial untuk menyampaikan kepada publik mengenai hasil pelaksanaan tugasnya? 23 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Di sini, itu ada kewenangan karena setiap anggota publik atau masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh, mempunyai kebebasan untuk memperoleh informasi. Sekalipun undang-undang untuk memperoleh kebebasan belum keluar tetapi Komisi Yudisial sudah melakukan lebih dahulu. Apakah itu dikategorikan pencemaran nama baik? Mungkin itu out put-nya yang ditanyakan oleh Bapak Hakim yang terhormat. Timbul lagi soal trust, kemudian timbul lagi soal keterangan bekerja. Maka di sini adalah satu pikiran yang baik saya kira, kalau Pemohon asli itu dihadirkan beberapa untuk mendengarkan keterangan Pemerintah itu, supaya kita mempunyai persepsi yang sama. Kenapa undang-undang itu dibuat? Tanpa mengabaikan apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mungkin ini hanya soal persepsi yang berbeda. Saya kira itu, Bapak Hakim Konstitusi yang terhormat. Terima kasih. 35.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Kita catat, ya. Termasuk sarannya baik sekali supaya mungkin ada satu sidang nanti, di mana Pemohon prinsipal juga hadir. Akan tetapi bisa kita atur dulu, tahap-tahapnya, karena yang harus diberi kesempatan atau yang harus kita dengar di sini cukup banyak, DPR, Pemerintah, MPR juga, setidaknya mereka yang terlibat dalam merumuskan pasal–pasal mengenai Komisi Yudisial, kemudian juga para Ahli dari semua pihak, begitu, kita harus dengar karena masalah kita ini bukan hanya persoalan kata-kata, hukum konstitusi itu bukan hanya hukum kata-kata, tetapi ide-ide besar bernegara yang harus kita perdebatkan sambil kita bandingkan juga dengan negara beradab lain, seperti apa menata organisasi neganya, begitu bukan? Nah, cabangcabang kekuasaannya bagaimana ditata, itu perlu juga. Di samping, kita pun perlu mendengar misalnya dari emicus curiae, orang-orang yang merasa punya kepedulian mengenai persoalan ini. Bisa saja itu para pakar dari perguruan tinggi, LSM, jadi kita atur nanti bagaimana prosesnya, tetapi itu kita catat saran dari Saudara Pemerintah. Akan tetapi, sejauh ini keterangan Saudara Pemerintah itu kita harus pandang sebagai sementara belum resmi. Masih ada dua yang mau mengajukan pertanyaan? Oh, dari Pemohon? Silakan.
24 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
36.
KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H., M.H. Terima kasih. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Tadi karena ada pertanyaan mungkin dari Hakim Majelis mengenai bagaimana tanggapan Pemohon dalam hal ini kami, apabila pengertian pemaknaan dari Pasal 1 butir 5 itu tidak termasuk dalam pengertian hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Itu tadi yang dipertanyakan, itu siapa yang mengawasi? Mungkin saya bisa memberikan pendapat agar mohon nanti, kalau terlalu panjang mohon dipotong, diinterupsi. Jadi, memang pokok permasalahan ini semua adalah pemaknaan yang sangat meluas dan eksesif sekali dari pengertian hakim yang ada di dalam Pasal 1 butir 5, di mana di situ masuk pengertian hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi dan ini memiliki implikasi yang luas terhadap keberatan yang diajukan oleh kami Pemohon, yaitu terhadap fungsi pengawasan hakim dan persoalan penjatuhan sanksi. Itu ada relasinya, pengawasan yang mengakibatkan apa yang dinamakan penjatuhan sanksi. Apabila pengertian makna hakim itu diperluas, menyangkut hakim agung dan hakim pada Mahkamah Konstitusi, akibat terhadap apa yang dinamakan tadi teknis yudisial yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang diakui oleh konstitusi dalam Pasal 24, itu akan sangat mengganggu independensi mereka. Mungkin saya bisa memberikan ilustrasi, tetapi contoh dalam sejarah yang tidak perlu diulang lagi sebagai perbandingan. Perbandingan di negara-negara lain, khususnya di Asia, bisa dilihat dari di beberapa literatur mengenai Mahkamah Agung karena waktu itu belum ada Mahkamah Konstitusi di negara-negara tersebut. Satu, Filipina, itu selalu yang dijadikan alasan adalah masalah intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini, Supreme Court dari Filipina, saya beri contoh manakala Presiden Marcos pada saat itu mengeluarkan Internal Security Act semacam suversi, itu dilakukan uji hak materil ke Supreme Court ‘Mahkamah Agung’, Mahkamah Agung memberikan putusan terhadap hak uji materiil itu tanda kutip “memberikan dukungan kepada Presiden Marcos” artinya berpihak kepada kekuasaan, mengabdi kepada kekuasaan. Karena dianggap mengabdi kepada kekuasaan dikeluarkan semacam reward melalui apa yang dinamakan Marshal Law, kalau di sini Perpu. Yang sedang dikonsepkan oleh Komisi Yudisial, Perpu dikeluarkan oleh Pemerintah Filipina yang mengeluarkan aturan-aturan baru mengenai recruitment- recruitment, pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap Hakim Mahkamah Agung, karena putusan ini dianggap mengabdi kepada kekuasaan dalam review terhadap Undang-undang 25 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Mahkamah Agung yang baru melalui Perpu itu, mereka hakim-hakim agung itu dihadiahi, mereka yang tadinya memutus ini pensiun bulan depan, itu diperpanjang sampai 3 tahun, itu salah satu bentuk intervensi. Sebaliknya yang terjadi di India, pada saat Indira Gandhi Perdana menteri India itu mengeluarkan nasionalisasi bank asing, dilakukan yudisial review pada Supreme Court ‘Mahkamah Agung’, itu putusan mengenai nasionalisasi bank, dianggap tidak sah. Jadi tidak mengabdi kepada kekuasaan, Mahkamah Agung dianggap tidak mengabdi kepada kekuasaan, sekarang mereka memiliki apa yang dinamakan Mahkamah Konstitusi juga di Filipina sekarang ini. Karena dianggap tidak mengabdi kepada kekuasaan, dibuat dan dikeluarkan baru lagi Marshal Law juga Perpu, aturannya sama itu, mengatur mengenai recruitment, pengawasan, dan penjatuhan sanksi terhadap hakim-hakim agung, belum ada MK waktu itu. Apa isinya? Isinya karena tidak mengabdi, dikeluarkan semacam bukan reward tapi punishment, dengan review yang baru hakim-hakim agung itu yang akan memutus, masih menjabat sekitar 2 tahun lag, pada saat itu dikeluarkan Perpu langsung pensiun semua. Itu sebagai bukan ilustrasi tetapi contoh sejarah. Kita sudah sepakat bahwa di era reformasi, persoalan administrasi dan persoalan teknis yudisial diserahkan kepada Mahkamah Agung. Ada komitmen dari negara di sini bahwa kekuasaan kehakiman ini berdasarkan perubahan struktur ketatanegaraan diserahkan bukan saja kepada Mahkamah Agung, tetapi juga kepada sebuah Mahkamah Konstitusi. Bukan Komisi Yudisial, implikasi perluasan pemaknaan dari kata-kata hakim yang seolah-olah tadi ditafsirkan adalah hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, itu memiliki makna seperti yang saya beri contoh tadi. Akan menyangkut recruitment, akan menyangkut apa yang dinamakan pengawasan penjatuhan sanksi, Perpu dengan Komisi Yudisial. Kalau putusan dari Mahkamah Konstitusi itu dianggap tidak mengabdi kepada kekuasaan dengan Perpu yang baru bukan mengenai hakim agung, mungkin nanti suatu kali Perpu recruitment Hakim Mahkamah Konstitusi, putusan yang tidak dianggap tidak mengabdi kepada kekuasaan tanda kutip “itu akan menjadi bumerang” bagi independensi atau kemandirian dari kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24 dan 25. Jadi, persis apa yang dikatakan oleh Donald Shutter bahwa “Persoalan recruitment, persoalan pengawasan, persoalan penjatuhan sanksi kepada hakim agung atau hakim pada Mahkamah Konstitusi itu merupakan ruang gerak yang sangat bebas untuk melakukan intervensi”. Bukan persoalan SDM saja itu. Itu catatan sejarah sudah membuktikan itu. Kita dengan konstitusi Pasal 103 Konstitusi RIS intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Dengan era orde lama dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 itu juga pola administrasi. Sekarang, dengan era 26 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
orde barupun juga administrasi di bawah Depertamen Kehakiman. Era reformasi baru diserahkan pada Mahkamah Agung. Mungkin kita tidak menyadari bahwa suatu kali apabila Pasal 1 butir 5 itu tetap dipertahankan, Badan Pekerja MPR akan mengubah lagi Pasal 24B ahwa kekuasaan kehakiman cukup dilakukan oleh Komisi Yudisial saja tanpa diperlukan adanya Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, jadi begitu. Lalu, yang kedua, saya belum pernah mendengar dari para ahli ataupun literature-literatur bahwa ada kewenangan yang sangat besar dari suatu lembaga yang dinamakan Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan terhadap teknis yudisial putusan dari badan-badan peradilan. Apabila tadi Pemerintah menjawab bahwa kalau putusannya sudah dibacakan di hadapan publik itu dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial, tetapi belum menjawab bagaimana putusan dari badan peradilan yang belum berkekuatan tetapi juga sudah dibacakan di hadapan publik. Dalam sejarah, pendekatan historis maupun filosofis, apabila fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial itu juga diberikan untuk melakukan penilaian terhadap putusan-putusan dari badan-badan peradilan ataupun Mahkamah Konstitusi, itulah yang dinamakan bentuk intervensi. Saya rasa itu pendapat saya. 37.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, silakan, Pak. Bisa dipercepat? Supaya jawaban terhadap pertanyaan tadi, ”Bagaimana kalau pasal itu dicoret, bayangannya bagaimana pengawasannya? Terhadap... Silakan.
38.
KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIAANTO SENOADJI, S.H. Mungkin ada dari rekan saya, Pak.
39.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oh, silakan.
27 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
40.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Baik, terima kasih. Jadi sesuai dengan ketentuan undang-undang, di sini juga sudah diatur sebenarnya, di permohonan, kami juga sudah disebutkan bahwa dalam pengawasan ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004. Di dalam hal itu, dikatakan ”ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim anggota Mahkamah Agung diberhentkan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Mahkamah Agung” Dengan alasan, dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, kedua, melakukan perbuatan tercela, ketiga, terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Keempat, melanggar sumpah atau janjinya. Kelima, melanggar larangan yang dimaksud dengan Pasal 10, yaitu di antaranya adalah tidak boleh merangkap jabatan. Apa itu sebagai penasehat hukum, pengusaha, atau pelaksana putusan, tidak boleh menjadi pelaksana putusan Mahkamah Agung. Jadi di sini sudah diatur jelas bahwa pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan tersebut dalam ayat (1) tadi, dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Jadi di sini, juga disebutkan bahwa masalah ketentuan-ketentuan lebih lanjut tentang pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak pejabat yang diberhentikan sebagaimana yang dimaksud tadi diatur dengan peraturan Pemerintah. Hal yang menarik di sini, bahwa kedudukan protokol, ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim anggota Mahkamah Agung diatur denagn undang-undang. Jadi, inilah saya rasa jawaban kami bahwasnya seluruh yang mengenai konsep pengawasannya sudah diatur di dalam Undangundang No. 5 Tahun 2004 yang berfungsi kepada Mahkamah Agung itu dapat dilakukan pengawasan dan diambil tindakannya sesuai denag undang-undang dengan melalui pembelaannya melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Sedangkan hak ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim anggota Mahkamah Agung, protokolnya, kedudukannya itu diatur oleh undang-undang. Dan mengenai lebih lanjut mengenai pemberhentiannya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Jadi cukup jelas di dalam UU ini, ya? Nah ini yang saya tidak tahu, ini UU Tahun 2005 bagaimana Pemerintah di dalam hal ini menjabarkan ini ? Terima kasih.
28 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
41.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Ada dua lagi yang mau bertanya, setelah itu nanti saya beri kesempatan Komisi Yudisial. Kiri dulu atau kanan? Boleh kanan dulu, boleh. Hakim Harjono, setelah itu Hakim Natabaya.
42.
HAKIM : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L. Terima kasih, Bapak Ketua. Karena RUU ini rancangannya dari Pemerintah, maka barangkali pada Pemerintahlah banyak hal yang harus saya tanyakan. Di samping juga, tentunya pada Pemohon nanti. Kalau kita baca ketentuan Pasal 24B, itu bunyi ayat (1) bunyinya seperti ini “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain”. Jadi agaknya kita bisa tafsir di sini ada kewenangan yang utama yang disebut oleh Konstitusi, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain. Wewenang lain itu tentu saja setelah ada dibentuk Komisi Yudisial untuk kewenangan utamanya. Hal yang menjadi pertanyaan saya adalah pada saat Pemerintah harus menjabarkan atau menangkap pengertian Pasal 24B. Setelah susunan mempunyai wewenang lain, itu ada satu kalimat yang agak panjang “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Apakah Pemerintah tidak menangkap itu ada nuansa yang beda kalau katakan saja, ayat itu bunyinya adalah “Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mengawasi hakim agung” dan mengawasi hakim, itu saja. Jadi nuansa yang panjang tadi, dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat, itu dihilangkan saja, lalu bunyinya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melakukan pengawasan pada hakim. Itu berbeda atau tidak kira-kira? Ditafsirkan berbeda atau tidak oleh Pemerintah? Pertama itu, ya. Yang kedua adalah saya ingin bertanya. Apakah persoalan, karena tadi Pemerintah juga mengatakan bahwa katakan bahwa Komisi Yudisial adalah pengawas eksternal, ya? Ini pengawas eksternal ini harus ada satu klarifikasi ini, macam pengawas eksternal bagaimana ini? Apakah completelly pengawas eksternal ataukah ada kondisinya? Ada persyaratannya? Karena tadi disebut bahwa itu adalah pengawas eksternal. Apa betul bahwa pengawasan atau merasa diawasi itu persoalan perasaan saja? Perasaan saja? Karena usaha untuk menjaga supaya hakim ini dan inrealitas adalah dijaga kemandiriannya, itu diperjuangkan cukup lama, begitu dan ini bukan hanya persoalan perasaan, saya kira. 29 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Tadi dikaitkan dengan persoalan pengawas ekternal ini. Mungkin ada persoalan tarik ulur antara kebebasan hakim dan pengawasan eksternal. Apakah itu akan dijadikan suatu ekstrim yang kemudian satu mengalahkan yang lain? Apakah tidak ada di dalam benak Pemerintah pada saat akan menyusul pasal-pasal itu, kemudian dua-duanya itu itu bisa dibuat suatu formula. Ini yang satu pertanyaan. Yang kedua, yang berikutnya kepada Pemohon, ya? Pemohon sejauh ini di dalam permohonannya tadi dibacakan, tetapi tidak, karena dua kali memperbaiki, ya? itu ada satu alinea yang ditambahkan pada perbaikan terakhir. Pemohon juga malah tidak membacakan, tetapi justru Pemerintah yang mengingatkan itu bahwa ada persoalan itu. Di mana dalam kasusnya adalah telah dipanggilnya hakim-hakim agung itu. Mengkhawatirkan akan adanya suatu intervensi terhadap kebebasan. Jadi di sini sebetulnya ada dua topik yang dimasalahkan Pemohon. Yang satu adalah mempermasalahkkan secara pengertian hakim itu, apakah di dalam Undang-Undang Dasar hakim itu termasuk hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang kedua adalah persoalan pemanggilan itu dengan kebebasan hakim. Jadi menyangkut substansi. Substansi dari pelaksanaan pasal-pasal yang ada pada Undang-undang Komisi Yudisial. Itu tidak dielaborasi. Dan saya kira sejauh ini, baik Pemerintah maupun Pemohon, tadi Ketua sudah mengatakan ini bukan persoalan kata-kata saja. Penafsiran secara sistematis juga belum. Apakah memang kata-kata itu sudah mengatasi dari penafsiran sistematisnya? Tentu saja sisitematis ketatanegaraan dan juga harus original intens. Original intens daripada kenapa pasal ini keluar. Itu belum juga disinggung oleh dua baik Pemerintah oleh Pemohon. Ini saya kira hal-hal bisa diungkapkan dalam persidangan ini. Terima kasih, Pak Ketua. 43.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Lanjut dulu, ya. Ya, silakan Yang Terhormat Bapak Hakim Natabaya.
44.
HAKIM : Prof.H.A.S NATABAYA., S.H., LL.M
Terima kasih, Saudara Ketua. Ini kepada pembentuk undang-undang ini adalah antara lain Pemerintah. Apakah Pemerintah mencermati pada waktu penyiapan Undang-undang Komisi Yudisial ini? 1. Bahwa UUD mengatakan bahwa ”Kekuasan kehakiman itu dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, bla bla bla, dan sebuah Mahkamah Konstitusi” 30 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Artinya di dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman hanya ada dua badan. Ini dicermati atau tidak? 2. Apakah dicermati bahwa Komisi Yudisial itu adalah di dalam ranah kekuasaan kehakiman? Di dalam bab 9 yang disinggung adalah satu di dalam 24A dia hanya mempunyai kewenangan dikatakannya ”Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Ini satu di dalam ranah kekuasaan kehakiman itu bahwa Komisi Yudisial itu mempunyai kewenangan untuk mengusulkan calon hakim agung. Ketentuan Pasal 24A ayat (3) ini diulang di dalam 24B ayat (1) tetapi ditambah ada wewenang lain yang menambah sebetulnya dari wewenang Pasal 24A ayat (3) itu tadi adalah ”...menjaga penegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Nah, apakah Saudara pembentuk UU melihat bahwa Pasal 24C itu terpisah daripada Pasal 24A dan Pasal 24B? Itu adalah mengenai kewenangan daripada Mahkamah yang satunya MK yang tidak ”berbesan”, tidak ada kaitannya sama sekali dengan Komisi Yudisial. Apakah ini dimaknai pada waktu menyusun UU itu? Karena ini betulbetul di dalam hal apa namanya itu, sebab MK dari mulai mengenai calon tidak ada berkaitan dengan Komisi Yudisial? Nah, di dalam penyusunannya, apakah di dalam UU Komisi Yudisial itu Pemerintah memberikan keterangan yang cukup mengenai dalam pengawasan keputusan pengadilan? Apa yang dimaksud oleh Pemerintah pada Pasal 22 ayat (2) ”Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1), Komisi Yudisial wajib menaati norma, hukum, ketentuan Peraturan Perundang-undangan, dan b menjaga kerahasiaan keterangan karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukan sebagai anggota”. Dikaitkan dengan ayat (7), angka 7, ”Semua keterangan dan data sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia”. Bagaimana keterangan Pemerintah tadi yang menyatakan bahwasanya boleh saja diumbar-ambir keputusan daripada hakim. Apakah hakim di dalam pengadilan tingkat pertama, tingkat kedua, dan hakim agung. Bagaimana memaknai Pasal 22 ayat (2) dan yang Pasal 22 ayat (7) ini? 3. Bagaimana pemaknaan di dalam penyusunannya ini? Sebab kalau saya lihat keterangan Saudara Pemerintah tadi, lebih banyak keterangan pribadi, bukan keterangan betul-betul undang-undang. Sebab yang kita uji ini adalah Undang-Undang Dasar, undang-undang terhadap UndangUndang Dasar. Jadi Undang-Undang Dasar itu apakah memang betul dilaksanakan atau tidak. Dan yang harus perlu diperhatikan, Pasal 24B oleh karena itu Pasal 24B angka terakhir 4, susunan kedudukan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. 31 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Oleh karena itu, ini adalah penutup daripada Pasal 24A, 24B kewenangan atributif yang diberikan kepada DPR dan Pemerintah untuk menyusun hal itu, yang tidak ada kaitan dengan Pasal 24C, sekian terima kasih. 45.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, cukup ya? Silakan Pemerintah.
46.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Bapak Hakim Konstitusi yang terhormat, kemudian Saudara Pemohon, ada beberapa pertanyaan kepada Pemerintah, saya kira perlu ditanggapi. Mengenai pernyataan (…)
47.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bisa juga, beberapa pertanyaan itu tidak usah harus dijawab, dipaksakan dijawab semua.
48.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ya.
49.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bisa juga ditunda nanti dijawab. Kalau hal yang menyangkut policy, ada baiknya jangan buru-buru dijawab, nanti saja dulu. Kalau yang sifatnya informasi objektif, itu siapa yang punya informasi boleh dia memberi keterangan seperti yang Saudara bilang tadi, silakan.
50.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Ya. Terima kasih. Mengenai pernyataan yang terakhir yang disampaikan oleh Bapak Hakim Konstitusi tadi, bahwa keterangan yang Saudara sampaikan adalah lebih banyak keterangan pribadi. Saya kira pernyataan itu benar sekali, karena sistem hukum kita masih agak sulit membedakan mana pribadi dengan para pribadi itu melekat jabatan. Tapi pengertian kami, kehadiran di sini adalah pribadi yang diberi wewenang karena yang berbicara adalah wewenangnya. Karena itu apa yang kami sampaikan adalah wewenangnya itu sendiri. 32 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
51.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagian yang terakhir ini tidak cocok untuk Majelis Ulama, cocok untuk Pak Gani, terus-terus silakan.
52.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Bapak Hakim yang terhormat, apa lagi itu, ahli matematika saja dijawab sama profesor ini, dua tambah dua sampai final apa tidak? Tempo hari waktu undang-undang yang lain. Menyangkut Pemohon tadi, Pemohon mengelaborasi dua contoh, contoh itu saya kira tidak relevan dengan kasus Indonesia. Indonesia tidak pernah melakukan rekrutmen ulang setelah terjadi pertentangan Putusan Mahkamah Agung dengan kehendak Pemerintah, itu tidak pernah ada dalam sejarah sistem peradilan kita saya kira tidak ada case tentang itu. Soal ada intervensi individual, itu adalah soal yang lain. Tapi soal intervensi institusi, saya kira tidak ada, karena itu Bapak Hakim saya kira keterangan dari Kuasa Pemohon tadi, tidak begitu relevan dengan persoalan yang kita bicarakan. Kemudian yang kedua dari Kuasa Pemohon, bahwa ada kewenangan besar sekali dari KY (Komisi Yudisial) untuk melakukan pemeriksaan teknis. Tadi Pemerintah sudah mengatakan tidak ada kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara teknis, sebab intervensi itu harus dihindari. Pada waktu penyusunan perubahan Undang-undang Mahkamah Agung, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Peradilan Lain, sampai terakhir Undangundang Peradilan Agama, kecuali Undang-undang Peradilan Militer soal komitmen terhadap reformasi peradilan itu kuat betul. Pelaksanaan tadi, komitmen ini apa terjadi di lapangan apa tidak, itu urusan lain. Tapi pada waktu pembahasan undang-undang, komitmen itu ada. Sampai dengan pembahasan undang-undang Peradilan Militer, cuma belum selesai karena ada perbedaan kerangka teoritik yang diterapkan dalam Undangundang Peradilan Militer. Termasuk saya sendiri ikut dalamnya karena perbedaan kerangka teoritik sehingga belum selesai. Jadi saya kira hal itu tidak relevan, kemudian ditanyakan bagaimana suatu putusan sudah dijatuhkan tapi belum punya kekuatan tetap? Tadi juga sudah dijelaskan, saya kira tidak bisa itu masih tetap dikatakan intervensi kalau itu dilakukan pemeriksaan. Sudah itu soal Majelis Kehormatan, kemudian ketua, wakil ketua dan lain sebagainya dilakukan oleh Undang-undang Mahkamah Agung, di sini kita tidak membicarakan pertautan antara Undang-undang Komisi Yudisial dengan Undang-undang Mahkamah Agung. Kalau seandainya mau dilakukan seperti apa yang dilakukan seperti apa yang dikatakan 33 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
itu, maka Undang-Undang Dasar 1945 harus diadakan perubahan lebih lanjut, baru bisa meng-cover apa yang dikatakan tadi. Tapi secara existing Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan begitu, maka itulah yang harus dilakukan di dalam penyusunan suatu undang-undang. Kemudian tadi Bapak Hakim Konstitusi, Bapak Harjono tadi menanyakan mengenai perekatan hakim kemudian berkait dengan perlakuan hakim. Jadi kata-kata hakim agung di atas dikaitkan dengan perilaku hakim. Apakah itu punya kontekstual secara langsung atau tidak. Pemahaman kami sebagai pembuat undang-undang tetap konsisten dengan pernyataan tadi bahwa kalau di atas ditulis hakim agung, di bawah perilaku hakim, maka kata hakim itu termasuk di atas karena huruf kecil lebih dipakai di atas. Kalau ditulis huruf besar, maka tidak bisa kita utik lagi itu Mahkamah Agung, sudah secara eksklusif terpisah begitu, sebagai informasi dapat kami katakan bahwa kami sendiri selalu berdebat dengan ahli bahasa. Dia doktor bahasa di DPR, selalu berdebat. Menurut dia, menurut hukum bahasa ini sudah benar. Maka rumusan hukumnya harus diubah, lantas saya katakan menurut hukum bahasa betul, tapi menurut bahasa hukum tidak bisa digunakan. Itu akan merubah makna normative, itulah antara lain terjadi perdebatan. Jadi kami perhatian betul, peduli betul terhadap hukum bahasa ini untuk dipakai, mana yang tepat mana yang tidak, termasuk mencari makna konstitusional daripada Konstitusi itu sendiri. Jadi Pemerintah betul-betul berpegang pada pendapat itu dan DPR itu setuju sekali. Sudah itu, ada pengawasan internal itu totalis, pengawasan eksternal itu rotali atau ada syarat-syaratnya, ada koridor tertentu. Undang-Undang Dasar sudah melakukan, sudah memberikan landasan di dalam hal ini, bahwa kelihatannya Undang-Undang Dasar seakan-akan menganut seperti itu. Tapi kalau ditafsirkan di dalam Undang-undang Komisi Yudisial, dari segi yang sebaliknya itu tidak termasuk. Kalau begitu pengawasan eksternal itu tidak menyangkut soal Hakim Agung itu atau tidak menyangkut Hakim Konstitusi, itu bisa dimaknakan begitu. Tapi semangat pembuat undang-undang di mana semangat itu, itu diwarnai juga oleh kondisi lembaga peradilan kita yang seakan-akan kepercayaan masyarakat itu sudah mulai mengurang. Pada saat itu ada semangat untuk melakukan pengawasan agar peradilan ini melalui undang-undang ini. Jadi semangat itulah yang melatarbelakangi ini. Kalau umpamanya tidak ada ketidakpercayaan masyarakat atau apapun namanya terhadap lembaga peradilan, mungkin pasal ini tidak akan ada dan akan ada tafsir lain. Kita sudah memahami betul bagaimana Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang KPK itu dibuat, itu juga berdasarkan persepsi dan pemikiran-pemikiran seperti itu yang nantinya pada suatu hari KPK itu akan di stop atau diberhentikan atau dibubarkan dengan undang-undang karena memang 34 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
kondisi itu sudah pulih dengan baik, pulih dengan baik. Tapi selama itu, tetap saja kewenangan kejaksaan atau kekuasaan kepolisian diambil alih oleh KPK, itulah halnya juga dengan lahirnya Komisi Yudisial ini. Jadi untuk sementara begitulah adanya dalam Undang-undang Komisi Yudisial dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar dan tidak semua kami menjawab di sini, mudah-mudahan pada keterangan lebih lanjut itu bisa disampaikan. 53.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, cukup?
54.
PEMERINTAH : Prof. Dr. GANI ABDULLAH, S.H. (KEPALA BPHN) Masih ada Profesor Natabaya tadi menanyakan, apakah Pemerintah mencermati pada waktu persiapan Undang-undang KY? Bahwa Undang-Undang Dasar mengatakan kekuasan kehakiman itu pada MA, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain-lainnya ini dan sebuah Mahkamah Konstitusi, memang itu bunyinya, memang itu dicermati betul dan dicermati bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar ditulis huruf besar, tidak kecil. Jadi, Mahkamah Agung itu huruf besar juga, tapi hakim itu huruf kecil. Hal-hal itulah yang memberikan perhatian kepada pembuat undang-undang pada waktu itu untuk dicermati betul apa makna konstitusional yang ada di sini. Mungkin dari tafsir pribadi, mungkin ada perbedaan, tapi mengenai policy nanti akan ditulis lebih lanjut. Karena bagaimanapun apa yang ada di dalam undang-undang adalah suatu legal policy daripada negara ini yang dimuat dalam undang-undang dan tidak bisa dipisahkan dari pemikiranpemikiran yang ada. Oleh karena itu, kami sependapat sekali dengan Bapak Hakim Konstitusi, Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, tadi mengatakan bahwa para ahli pun akan diundang. Mohon ahli-ahli yang ada pada waktu penyusunan pasal Undang-Undang Dasar pada sidang MPR yang lalu mengenai ini, itu dipanggil juga. Jadi saya kira dihadirkan juga, agar kita tahu betul apakah makna konstitusional dari huruf kecil huruf besar ini, sehingga pembuat undang-undang tidak keliru terus calon-calon Pemohon pun tidak keliru terus, supaya ada pelajaran di sini, ada pembelajaran secara umum di sini. Jadi itu sependapat betul mengenai hal ini. Kemudian, pertanyaan Profesor Natabaya yang selanjutnya itu saya kira tidak cukup waktu untuk disampaikan di sini. Sekalipun Pemerintah bisa menjawabnya tapi butuh waktu sekitar 30-40 menit, 35 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
sedangkan sidang itu tidak memberikan waktu untuk seperti itu. Nanti akan dijawab pada sidang-sidang yang akan datang. Saya kira itu terima kasih.
Assalamu’alaikum wr. wb.
55.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, baik. Jadi nanti mudah-mudahan itu bisa dipersiapkan dengan baik jawaban resmi dari Pemerintah mengenai soal ini ya? Baik, saya lanjutkan ke Pemohon.
56.
KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, Mungkin karena ada pertanyaan dari Pak Harjono mengenai pemaknaan hakim. Jadi memang dalam permohonan kami, kami akui juga kami tidak mempermasalahkan tidak mempermasalahkan, karena kami juga bukan ahli bahasa pengertian hakim huruf besar huruf kecil seperti ilustrasi dari Pemerintah, surat ditujukan, “kepada yang terhormat, istri huruf kecil atau huruf besar”. Saya juga tidak akan mengilustrasikan Advokat Saudara Juan Felix ini besar, Saudara Indrianto Senoadji ini kecil sekali, saya tidak ilustrasikan begitu. Tapi mungkin kembali mengenai pemaknaan hakim, dalam sejarah pembentukan permasalahan Pasal 24B yang kami miliki dari Badan Pekerja Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang mungkin nanti Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memanggil mereka untuk didengar, untuk pengetahuan kita. Tapi di sini dari sekitar sepuluh fraksi, itu sama sekali tidak pernah mempermasalahkan. Jadi di dalam buku keempat jilid kedua dari risalah Rapat Komisi A ketiga dan keempat tanggal 6 November yang lalu, tahun 2001, pada saat membahas perubahan ketiga mengenai kekuasaan kehakiman. Itu dari sepuluh fraksi, hanya dua fraksi membicarakan relasi antara kekuasaan kehakiman dengan Komisi Yudisial, mungkin saya bisa intinya saja kalau ini terlalu panjang sekali, yaitu pada saat itu pimpinan dari Badan Pekerja MPR adalah Pak Zein Badjeber dari fraksi Partai Golongan, ini mempermasalahkan relasi, ini dari seluruh fraksi hanya dua fraksi, fraksi Partai Golongan dan fraksi Reformasi, itu adalah mungkin bisa kita dengar nanti Bapak Amidhan dari fraksi Partai Golongan. Beliau pun juga sudah mempermasalahkan bagaimana peran Komisi Yudisial di sini. Komisi Yudisial itu dikatakan adalah semacam lembaga yang melakukan law enforcement terhadap pengawasan saja, hakim sama sekali tidak 36 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
disebut Hakim Agung atau Hakim Mahkamah Konstitusi, sama sekali tidak. Hal yang kedua, itu intinya saja dari fraksi Reformasi Saudara Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi. Di sini beliau menekankan bahwa ini relasi antara kekuasaan kehakiman dilakukan pemisahan antara kekuasaan kehakiman yang dinamakan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial. Kita juga tidak mau tentu lembaga baru nanti yang namanya Komisi Yudisial mempunyai super power dan mempunyai conflic of interest, penekanan dari dua fraksi dari seluruh fraksi pada saat badan pekerja MPR itu membicarakan hubungan kekuasaan kehakiman dengan Komisi Yudisial, itu merupakan lembaga yang terpisah. Dalam struktur ketatanegaraan sama sekali Komisi Yudisial bukan merupakan kekuasaan kehakiman, mereka merupakan lembaga yang law enforcement terhadap court conduct, hakim, judge bukan dalam konteks hakim agung maupun Hakim Mahkamah Konstitusi, karena itu pemaknaan dari pendekatan secara historis maupun pemaknaan dari interpretasi sistematis, kami tetap mendekatkan diri pada prinsip-prinsip lexcerta, apabila Pasal 24B itu memang memberikan kewenangan pada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap prilaku dan kehormatan hakim agung dan Hakim Konstitusi harus sudah secara tegas dan jelas dicantumkan di dalam konstitusi kita, yaitu melakukan kewenangan Komisi Yudisial yaitu melakukan pencalonan dari hakim agung dan melakukan fungsi pengawasan terhadap kehormatan perilaku dari hakim, hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Selama tidak dicantumkan secara eksplisit tegas dan jelas seperti itu adalah merupakan menurut kami aturan-aturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi melanggar prinsip lex superiori, derogate lex imperiori. Saya rasa sementara pemahaman saya itu. Terima kasih, Yang Mulia. 57.
KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih Jadi, Saudara-Saudara sekalian ini keterangan-keterangan yang kami perlukan, masih banyak yang belum terungkap dan apalagi kalau menyangkut soal pihak yang dibicarakan dalam perkara ini Komisi Yudisial belum memberikan keterangan. Sekarang saya beri kesempatan apa yang dapat disampaikan oleh Komisi Yudisial dalam hal ini tentu pertama menyangkut soal undang-undangnya dan barangkali juga halhal yang lain perlu disampaikan atau mau mengajukan pertanyaan juga boleh kepada Pemerintah bila diperlukan, hanya waktunya karena 37 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
sekarang jam 12, Komisi Yudisial sendiri bisa membagi yang untuk hari ini, karena memang fokus sidang kita ini, sementara baru mendengarkan keterangan pembentuk undang-undang, maka harus dibayangkan juga bahwa Komisi Yudisial akan tetap dapat kesempatan untuk memberikan keterangan juga dalam sidang berikutnya, karena itu mungkin difokuskan saja untuk hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang undang-undang atau hal-hal yang berkaitan dengan fokus sidang hari ini saja dulu. Saya persilakan. 58.
PIHAK TERKAIT : M. BUSRO MUQQADAS, S.H., M. H.um (KETUA KOMISI YUDISIAL) Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Komisi Yudisial sudah menelaah dengan sesama dan sekaligus menghormati materi permohonan judicial review dari 31 hakim agung di Mahkamah Agung dan pada kesempatan ini perkenankan kami memberikan respon dalam bentuk tahap awal, kami dan para kuasa hukum kami ingin menyampaikan opening statement pada kesempatan ini, dan untuk Komisi Yudisial yang akan membacakan atau menyampaikan adalah Bapak Wakil Ketua, sedangkan untuk Kuasa Hukum kami serahkan sepenuhnya kepada mereka. Terima kasih.
59.
PIHAK TERKAIT : SAIMIMA (WAKIL KETUA KOMISI YUDISIAL)
Assalamu’alaikum we.wb.
Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, Kuasa para Pemohon, Pemerintah dan hadirin hadirat yang berbahagia. Sebelum kami membacakan opening statement yang telah kami susun, kami perlu jelaskan bahwa kami mendukung sepenuhnya statement dari Ketua Majelis Hakim Konstitusi tadi, bahwa perkara ini sangat penting, karena sangat pentingnya, maka yang hadir di sini adalah pimpinan Komisi Yudisial yaitu Saudara Ketua dan kami sendiri. Kami mengharapkan sidang-sidang berikut, 31 Hakim Mahkamah Agung yang menjadi Pemohon itu harus diikut sertakan, jadi bukan hanya diwakili oleh kuasanya. Selanjutnya kami membaca opening statement kami. Bahwa sebagaimana diketahui pada tanggal 13 Maret 2006, yang kemudian dilengkapi pada tanggal 27 Maret 2006, dan 29 Maret 2006 telah diajukan permohonan uji materil terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 38 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa Pemohon dalam permohonan uji materil tersebut adalah 31 orang hakim agung pada Mahkamah Agung dan pihak yang perlu didengar keterangannya untuk menanggapi permohonan adalah Presiden dan DPR. Bahwa permohonan yang diajukan tersebut pada intinya adalah mempertanyakan tentang hal-hal yang berkenaan dengan pengawasan hakim, diatur dalam Bab III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf E, dan ayat (5), serta berkenaan dengan usul penjadwalan sanksi yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5). Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab I Pasal 1 butir 5 dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Bahwa selain itu permohonannya diajukan juga mempertanyakan tentang Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undangundang”. Bahwa dalam permohonan uji material sebagaimana diuraikan di atas, Komisi Yudisial merasa sebagai pihak yang terkait langsung terutama dalam hal akibat yang akan diterima berkenaan dengan putusan apapun yang akan dijatuhkan dalam perkara permohonan uji material ini. Bahwa sebagai Pihak Terkait langsung Komisi Yudisial adalah lembaga yang bentuk untuk menjalankan kewenangan dan tugas sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, pada kesempatan ini perlu disampaikan bahwa Komisi Yudisial selaku lembaga yang menjalankan peraturan perundang-undangan, akan menghargai penuh seluruh proses persidangan maupun para Pemohon yang dalam hal ini 31 orang hakim agung pada Mahkamah Agung dan termohon dalam hal ini adalah Pemerintah dan DPR. Bahwa Komisi Yudisial selaku Pihak Terkait langsung akan mentaati dan menjalankan sebaik-baiknya putusan apapun yang akan dijatuhkan berkaitan dengan permohonan uji materil ini sebagai salah satu wujud penghargaan atas supremasi hukum dan supremasi konstitusi. Bahwa Komisi Yudisial selaku Pihak Terkait langsung juga akan memberikan keterangan selengkap-lengkapnya apabila waktu dan tempat telah diperkenankan untuk itu. Demikianlah pernyataan awal yang disusun dan disampaikan, semoga bermanfaat. Komisi Yudisial Republik Indonesia, Ketua M. Busro Mukodas, S.H. M. Hum. Terima kasih. 39 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
60.
KETUA Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Yang tertulis nanti bisa disampaikan, sudah ada ininya belum, nanti tolong disampaikan melalui Panitera, silakan.
61.
PIHAK TERKAIT YUDISIAL)
:
TRIMULYADI
SURYADI,
S.H.
(KOMISI
Terima kasih. Kami dari Tim Kuasa Hukum dari Komisi Yudisial perkenankanlah menyampaikan opening statement. Saudara Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi yang kami hormati dan sidang yang kami muliakan. Bersama ini diajukan permohonan agar sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi membuat pernyataan dekrelatif terlebih dahulu, sepanjang menyangkut kalimat yang secara eksplisit dikemukakan dan atau menyiratkan kepentingan Mahkamah Konstitusi seperti tersebut di dalam permohonan Nomor 005/ PUU-II/2006 untuk dianggap, serta dinyatakan tidak ada dan tidak dibahas, baik dalam persidangan maupun dalam putusan. Adapun alasan hukum yang menjadi dasar permohonan dimaksud adalah sebagai berikut; 1. Bahwa permohonan dari Pemohon secara jelas dan menarik masuk dan menempatkan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan permohonan. Tindakan ini telah menimbulkan complexio interminis dan menyebabkan dampak yang besar, tidak hanya pada permohonan dan putusan atas permohonan ini saja, tetapi juga ada tuntutan penerapan prinsip akuntabilitas peradilan yang kerap dikesampingkan dengan memaknai secara absolut dan berlindung dibalik prinsip independensi. 2. Bahwa tindakan pemohon dimaksud dapat dilihat perbaikan permohonan yang diajukan oleh para Pemohon melalui kuasa hukumnya pada hari Rabu tanggal 29 Maret 2006 jam 16.00 WIB yang mengemukakan sebagai berikut: ”Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undangundang Nomor 22 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan pengawasan hakim, serta usul penjatuhan sanksi menimbulkan kerugian pada Pemohon sebagai hakim agung, termasuk juga Hakim Mahkamah Konstitusi menjadi atau objek pengawasan, serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial, serta Petitum Pemohon agar pasal-pasal tertentu seperti dikemukakan di dalam 40 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
permohonannya a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi hakim agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi”. 3. De facto surat permohonan para Pemohon, dari Pemohon 1 sampai Pemohon 31 telah menyebutkan secara jelas bahwa jabatan para Pemohon adalah hakim agung pada Mahkamah Agung yang beralamat Medan Merdeka Utara Kav. 9-13 Jakarta Pusat, yaitu kantor Mahkamah Agung RI. Tidak satupun dari Pemohon yang mempunyai jabatan sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi, secara de jure Mahkamah Konstitusi bukanlah bagian dari Mahkamah Agung dan bahkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kedudukan sama selaku salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga tidak pada tempatnyalah menempatkan para hakim pada Mahkamah Konstitusi seolah-olah mempunyai poblem legal exsisten yang sama atau setidak-tidaknya berkeinginan dan berpendapat sama dengan para Pemohon dalam konteks pengawasan hakim. 4. Uraian yang diajukan sebagai dasar permohonan para Pemohon adalah untuk mengajukan uji materil Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam kapasitas perorangan, tidak dalam kapasitas mewakili Mahkamah Agung dan tidak hendak menguji materil Undang-undang Nomor 24 Yahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. 5. Tuntutan para Pemohon yang bertujuan untuk mendeligatemasikan kewenangan Komisi Yudisial agar tidak mempunyai kewenangan di dalam mengawasi hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, padahal perkara ini disidang dan diputuskan oleh seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang ada, tindakan sedemikian telah membawa dan mengakibatkan posisi Mahkamah Konstitusi menjadi sulit dan akan rawan, diragukan netralitas, serta objektifitasnya karena menyebabkan konflik kepentingan, di mana Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutus permohonan menyangkut kepentingannya sendiri. 6. Pada Pasal 29 ayat (5) dan (6) Bab IV di dalam titel hakim dan kewajibannya dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikemukakan secara tegas. ”Seorang hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan, apabila yang mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berpekara, dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim dan panitera yang bersangkutan dikenakan sangsi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundangundangan”. 41 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Selanjutnya rekan saya Bambang Wijayanto akan meneruskan, terima kasih. 62.
PIHAK TERKAIT : BAMBANG WIDJAJANTO, S.H. (KOMISI YUDISIAL)
Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, Pemerintah dan Pemohon. 7. kendati Komisi Yudisial sebagai Pihak Terkait langsung di dalam permohonan ini mengajukan permohonan seperti akan dikemukakannya pada butir kedelapan di bawah ini; sesuai prinsip lexcerta yang dikemukakan oleh Pemohon dan menjalankan lexces sancio sanca subenhonesta exprobeheren contraria, maka siapapun termasuk hakim pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk tidak menafsirkan teks pasal yang sudah jelas makna dan pengertiannya, serta juga mempunyai kewajiban untuk mentaatinya, karena jika tidak dilakukan, dia akan berhadapan dengan sanksi yang juga telah mengaturnya secara tegas. 8. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh fundamentum seperti yang di atas dimohonkan kepada Majelis Mahkamah Konstitusi untuk dan menjaga kredibilitas, kewibawaan, objektivitas, akuntabilitas dan netralitas Mahkamah Konstitusi dimohonkan pada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan terlebih dahulu sepanjang menyangkut kalimat yang eksplisit dikemukakan dan atau menyiratkan kepentingan Mahkamah Konstitusi seperti tersebut di dalam Permohan Nomor 005/PUU-IV/2006 dianggap serta dinyatakan tidak ada dan tidak dibahas, baik dalam persidangan maupun dalam putusan. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Hal seperti ini dimaksudkan seperti dikemukakan dalam butir kedelapan di atas menjadi penting, karena kendati permohonan ini dimaksudkan untuk menguji kewenangan Komisi Yudisial, namun Komisi Yudisial harus senantiasa menempatkan tugas pokoknya di atas dan melebihi kepentingannya sendiri, yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Seperti diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Junto Pasal 34 Ayat (3), Junto Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Tentu saja kami juga menghimbau dan mengajak segenap pihak yang terlibat dalam proses permohonan ini untuk senantiasa mengedepankan itikad baiknya di dalam mewujudkan cita-cita negara hukum yang demokratis dengan menempatkan independency dan akuntabilitas secara bersamaan. Demikianlah permohonan pernyataan deklaratif ini kami ajukan. Jakarta 11 April 2006, Kuasa Hukum Komisi Yudisial. 42 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Bapak Ketua, jadi ini bagian dari opening statement dan dalam saatnya nanti kami akan memberikan respon terhadap permohonanpermohonan segenap argumen permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Terima kasih. 63.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Saya rasa untuk sidang pertama ini tentu kami harus mengadakan musyawarah ya, termasuk tadi yang permintaan yang terakhir, apakah misalnya kan biasa ada Pemohon mengajukan permintaan untuk ada putusan sela begitu. Padahal dalam ketentuan undang-undang putusan sela hanya dikenal dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, itu pun tidak mutlak harus diberi dan kami harus musyawaratkan. Sekarang ada inovasi, usulan, menarik sekali supaya deklarasi, begitu kan? Ini juga harus kami musyawarahkan. Nanti sidang berikutnya tentu akan disampaikan jawabannya, termasuk seperti yang sudah lazim diselenggarakan selama 2,5 tahun, bisa saja semua keterangan pendapat dari semua pihak, silakan disampaikan dalam sidang ini, walaupun nanti akan dimusyawarahkan oleh kami dan itu akan terlihat di dalam putusan akhir, karena memang begitu semua keterangan-keterangan dan pendapat ini kita harus tampung dulu pada saatnya nanti baru kita musyawarahkan. Sering sekali perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi ini termasuk soal legal standing Pemohon sekali pun, tidak bisa primapasi langsung didelay dari permukaan, harus ada pembuktian walaupun hanya menyangkut legal standing, karena ada persoalan misalnya pembuktian kerugian konstitusional yang tidak bisa di sidang pertama diputuskan, harus setelah mendengar semua keterangan baru terakhir. Oh ini, dia
tidak dirugikan ini kalau begitu harus di- NO (niet ontvankelijk verklaard), tetapi kesimpulan semacam itu baru diperoleh di akhir. Nah,
itu juga biasanya sudah menjadi kebiasaan di sini, sehingga putusan yang sifatnya sementara belum bisa diberikan baru nanti terakhir. Namun, ini adalah usulan yang tidak lazim, karena itu kamipun harus mengadakan musyawarah khusus terhadap permintaan dari pihak terkait ini, begitu ya? Dan tentu Pihak Terkait dalam perkara Mahkamah Konstitusi hal pengujian undang-undang memang kami bedakan. Ada Pihak Terkait langsung, ada Pihak Terkait yang tidak langsung. Dalam hal ini dia terkaitnya langsung hanya tolong dimengerti Pihak Terkait walaupun langsung, tetap dia bukan pihak di dalam perkara. Pihak dalam perakra pengujian undang-undang adalah Pemohon, Pemerintah dan 43 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
DPR bukan pihak sesungguhnya, karena mereka adalah pemberi keterangan sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Jadi, dia tidak dalam arti pemohon dan termohon. Dalam perkara pengujian undang-undang tidak ada pihak termohonnya. Yang pihak termohonnya ada itu kalau di dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Dalam perkara Pemilu ya, itu ada pihak Pemohon dan Termohon, tetapi dalam hal pengujian tidak ada termohonnya. Nah, tetapi kita menciptakan apa yang kita sebut dengan pihak terkait langsung dan pihak terkait tidak langsung itu, yang tidak langsung itu keterangannya sebagai ad-informandum saja. Misalnya Emi Kuskurya yang nanti banyak juga peminat yang mau mengajukan permohonan untuk ikut intervensi dalam proses persidangan. Kita akan perkenankan, mengapa Saudara-saudara? Karena undang-undang yang dipersoalkan ini di Mahkamah Konstitusi ini milik kita semua. Sesudah disahkan oleh Presiden, sesudah dibuat oleh lembaga pembentuknya dia sudah mengikat kita semua dan karena itu kita punya kepentingan untuk menilainya dan di dalam pemeriksaan ini kiranya ada komunikasi biasa kan Pemohon nyentil-nyentil Pemerintah, Pemerintah nyentil, mohon itu tidak dianggap serius karena itu kami selalu membuat sidang di sini jangan terlalu tegang. Ya, ketawa-ketawa saja toh ini kan menyangkut kita semua dan ini bukan kepentingan pribadi kita, melainkan kepentingan kita melakukan penataan, ya sistem konstitusi negara kita ini supaya menjadi lebih baik. Jadi, saudara Komisi Yudisial, pimpinan Komisi Yudisial dan Saudara Kuasa Komisi Yudisial kami catat permintaannya, beri kesempatan kami merundingkan lebih dulu dan nanti sidang berikutnya kita akan menyampaikan jawab respon terhadap permintaan itu. Nah tidak dari sidang ini jelas bahwa belum lengkap keterangan yang kami perlukan terutama keterangan resmi Pemerintah belum ada, keterangan resmi DPR belum, dan kami catat usulannya tadi supaya Pemohon pun bisa Pemohon prinsipalnya dapat diatur supaya ada sidang, di mana Pemohon prinsipalnya juga hadir. Sekali lagi Saudara-saudara. Oh ya biar saja untuk sidang kali ini tidak apa-apa dulu, tetapi perlu disadari bersama karena perkara ini sangat penting bukan soal menang kalahnya saja. Bukan hanya soal kata-kata itu saja yang kita mau perdebatkan, tetapi sedapat mungkin kita harus membangun persepsi yang tepat tentang konstitusi kita dan juga tentang undang-undang yang mengatur kita. Supaya nanti dalam implementasinya tidak menimbulkan kekeliruan, kekeliruan ini juga bisa dimanfaatkan oleh orang lain untuk sengaja memang mengadu. Ini juga perlu menjadi catatan kita. Oleh karena itu, nanti untuk sidang berikutnya saya ingin anu kepada Panitera untuk mengatur Kuasa Pemohon dengan Sekjen Komisi Yudisial dan juga 44 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
dari Pemerintah untuk mengatur bagaimana dan juga Sekjen DPR bagaimana mempersiapkan sidang, di mana semua itu hadir. Jadi DPR-nya ada, menterinya ada, para Pemohon prinsipalnya ada tolong dibicarakan nanti bagaimana, sehingga Komisi Yudisial pun juga demikian ada satu kali sidang, di mana kita secara konprehensif saling mendengar, saling mendengar bagaimana itu persepsi masingmasing ya toh? Sebab kita ini dibatasi oleh ruang dan waktu kepintaran kita ini. Kadang-kadang di mana kita ditugaskan, tugas di mana kita berada itu mempersempit cara berpikir kita, karena kebutuhan kita untuk setia kepada tugas kita tanpa memperhatikan, orang lain pun harus setia kepada tugasnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang. Jadi, mari kita saling mendengar. Nah, jadi biar nanti diatur dulu bagaimana, sehingga persidangannya itu bisa semua pihak betul-betul terlibat, begitu Pak Gani ya? Pak Busro, bisa demikian ya? Nah lalu kalau demikian, kita bisa bersiap begitu untuk mempersiapkan sidang berikutnya, dan untuk itu sidang hari ini saya nyatakan selesai. 64.
PIHAK TERKAIT YUDISIAL)
:
TRIMULYADI
SURYADI,
S.H.
(KOMISI
S.H.
(KOMISI
Interupsi, Bapak Ketua? 65.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, Pak.
66.
PIHAK TERKAIT YUDISIAL)
:
TRIMULYADI
SURYADI,
Supaya posisi Komisi Yudisial sebagai pihak yang terkait langsung itu mantap ada kepastian. Sesuai dengan peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/MK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara pengajuan Undang-undang Pasal 14 Ayat (5), itu dikatakan bahwa Pihak Terkait langsung harus mengajukan permohonan dan permohonan itu sudah kami ajukan dan kami memang meskipun tidak bisa menbayangkan bahwa permohonan itu akan ditolak, karena bahkan sudah mendapatkan undangan dari Mahkamah Konstitusi, tetapi untuk demi kepastiannya karena di situ dikatakan setelah ada permohonan itu, maka bila permohonan itu dikabulkan akan buat ketetapan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Nah untuk sidang berikutnya kami mohon ketetapan itu sudah ada. 45 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
Saya kira ini hanya untuk tertib administrasinya saja, karena nanti andai kata misalnya ditolak kan aneh kami sudah menyiapkan suatu respon, tetapi permohonan kami ditolak. Hanya itu saja, sekian. Terima kasih. 67.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Jadi nanti di sidang berikutnya saja, karena kami harus musyawarah dulu, ya. Jadi, hari ini sidang kita fokusnya adalah untuk mendengar keterangan Pemerintah dan DPR. Ini fokusnya, tetapi ini pun belum selesai karena Pemerintahnya belum resmi dan DPRnya belum hadir. Ya kan, begitu? Maka kita akan lanjutkan sidang berikutnya itu ya, sidang berikutnya kita akan mendengarkan kira-kira urutannya begini ya, tetapi bisa diatur nanti di belakangan. Pertama, kita harus lakukan keterangan resmi Pemerintah, keterangan resmi DPR, keterangan Komisi Yudisial sekaligus saja, ya substansinya. Keterangan MPR, BP-MPR, itu yang kami akan musyawarahkan bagaimana caranya, karena beberapa soal tadi sudah disampaikan sebagai contoh ada Risalah MPR. Itu bisa kita jadikan refrensi, tetapi risalah itu sering kali dituliskannya umum sekali, ada hal-hal di dalam rapat-rapat kecil yang tidak masuk. Nah, kebetulan mumpung orang-orangnya masih hidup, begitu kan? Kita bisa panggil, misalnya Pak Zen Bajeber, Kemudian siapa lagi. Apalagi kalau mereka bukan anggota DPR begitu, jadi tidak terlibat lagi jadi kita bisa panggil. Hal-hal seperti ini perlu kita dengar. Setelah selesai nanti sidang formal mendengarkan keterangan resmi, baru yang selanjutnya adalah mendengar yang tadi semua kalangan itu tadi atau bisa juga dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan Ahli dari masing-masing pihak. Pihak Pemohon silakan mengajukan ahlinya bila perlu ahli dari dalam dan luar negeri sebanyakbanyaknya. Ya tetapi, bukan dalam arti sebanyak-banyaknya, sehingga mempersulit kita sendiri ya, kira-kira apa begitu. Kemudian Ahli dari Pemerintah dan Ahli dari DPR juga kita persilakan termasuk dari Komisi Yudisial sendiri. Coba kita berikan kesempatan semua pikiran-pikiran yang berbeda, perspektif yang berbeda kita dengar begitu, supaya kita menemukan kesimpulan yang paling tepat bagaimana menurut Undang-undang Dasar kita, karena Undang-Undang Dasar adalah de hoogste wet yang sudah kita sepakati sebagai pedoman tertinggi. Saya kira begitu Pak ya. Nanti kalau memang diperlukan nanti keputusan dalam bentuk ketetapan tersendiri kita akan buat itu, tentu 46 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006
saja sesuai dengan peraturan yang sudah kami tetapkan tersendiri di dalam beracara di Mahkamah Konstitusi. Saya kira demikian. Apa masih ada yang perlu disampaikan dari Pemohon untuk sidang ini? Habis, tidak ada lagi? Baik, kita akan ketemu dalam sidang berikutnya dalam waktu yang akan ditentukan kemudian. Terima kasih, dengan ini sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hari ini saya nyatakan ditutup.
Assalamu’alaikum wr.wb.
KETUK 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.23 WIB
47 Risalah Sidang Pleno Mendengar Keterangan Pemerintah dan DPR Perkara No. 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Selasa 11 April 2006