LAPORAN KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II / PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PADA RAPAT PARIPURNA Selasa, 7 Pebruari 2006 Assalamu’alaikum Wr.Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat Saudara Pimpinan Rapat Paripurna; Yang terhormat para Anggota DPR RI; Yang terhormat Saudara Menteri Hukum dan HAM selaku Wakil Pemerintah; dan hadirin yang kami muliakan. Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas perkenan-Nya kita dapat menghadiri Rapat Paripurna dalam keadaan sehat wal’afiat, guna Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pimpinan dan Peserta Rapat yang kami hormati, Berdasarkan Rapat BAMUS DPR-RI pada tanggal 23 Juni 2005, BAMUS memutuskan dan menugaskan kepada Komisi III DPR-RI untuk melakukan pembahasan terhadap RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Selanjutnya melalui Surat Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor B.07/Pres/6/2005 tanggal 9 Juni 2005, Pemerintah telah menunjuk dan menugaskan Menteri Hukum dan sebagai wakil Pemerintah bersama DPR-RI membahas Rancangan Undang-undang tersebut. Dalam rangka melaksanakan pembangunan hukum nasional yang diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional berdasarkan amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diwujudkan antara lain dengan pembentukan produk hukum baru yang diharapkan mampu mengamankan dan mendukung penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas aktif untuk mewujudkan tatanan baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dasar hukum mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan suatu perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur 1
beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses hukum acaranya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dan semakin canggih khususnya dibidang komunikasi maupun informasi menyebabkan wilayah negara yang satu dengan wilayah negara yang lain seakan-akan tanpa batas termasuk didalamnya hubungan kerjasama dibidang hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakan oleh negara manapun didunia ini, sehingga keberadaan Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana sangat penting sebagai dasar hukum bagi Pemerintah dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang merupakan pedoman dalam membuat dengan Negara asing. Menyadari hal itu Komisi III DPR-RI segera melakukan kegiatan pengkajian dan penelitian serta mengadakan rapat-rapat guna membahas dan merumuskan dengan hati-hati terhadap setiap permasalahan yang terdapat dalam Rancangan Undang-undang tersebut. Secara kronologis jalannya rapat dan beberapa masalah yang berkembang, dapat kami laporkan sebagai berikut : Mekanisme dan Kegiatan Rapat-rapat
1.
Pada tanggal 31 Agustus 2005 Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM dengan acara membahas mekanisme dan jadwal pembahasan RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana;
2.
Sebelum melakukan pembahasan ditingkat Panja, terlebih dahulu Komisi III DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum pada tanggal 6 September 2005 dengan Pakar Hukum Pidana yaitu Prof.Dr.Hikmahanto Juwana,SH,LLM, dan Prof.Dr.Romli Atmasasmita,SH, LLM., dengan agenda penyampaian beberapa pemikiran dan saran dari para pakar dalam rangka pembahasan RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana;
3.
Pada tanggal 12 September 2005, Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM untuk membahas materi umum RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang telah dituangkan dalam persandingan DIM Fraksi-Fraksi yang seluruhnya berjumlah 316 butir permasalahan terdiri atas : 128 butir permasalahan yang substansial; 33 butir bersifat redaksional/penyesuaian angka, pasal atau ayat; dan 158 butir bersifat tetap. Setelah membahas materi umum dilanjutkan dengan pembentukan PANJA yang ditugasi untuk membahas secara intensif dan mendalam terhadap materi dari RUU dimaksud.
4.
Memperhatikan dan melaksanakan penugasan Rapat Kerja Komisi III DPR-RI tersebut, PANJA telah melakukan pembahasan secara intensif dan mendalam terhadap materi RUU dimaksud dalam suasana demokratis, 2
dengan tetap memperhatikan prinsip ketelitian dan kehati-hatian, yang pelaksanaan pembahasannya dapat kami sampaikan sebagai berikut : 4.1. 4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
PANJA mulai melakukan pembahasan DIM pada tanggal 15 dan 19 September 2005. Mengingat padatnya acara/jadual Rapat-rapat di Komisi III dan kegiatan pansus-pansus DPR-RI yang membahas berbagai RUU yang melibatkan sebagian besar anggota Komisi III, menyebabkan pembahasannya belum dapat diselesaikan pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2005-2006. PANJA kembali melakukan pembahasan pada Masa Sidang II Tahun Sidang 2005-2006 yang pembahasannya dilaksanakan pada siang hingga malam hari. Walaupun Masa Sidang II begitu singkat namun karena pembahasannya dilaksanakan dari pagi hingga malam hari, seluruh materi yang dibahas dalam Panja dapat diselesaikan walaupun terdapat beberapa substansi yang masih dipending guna dicarikan/disempurnakan rumusan alternatifnya. Pada Masa Sidang III, Panja kembali melakukan pembahasan beberapa substansi yang pembahasannya belum dapat diselesaikan pada Masa Sidang sebelumnya. Selanjutnya dapat kami sampaikan beberapa substansi dalam pembahasan ditingkat PANJA yang krusial dan menjadi perdebatan sehingga memerlukan beberapa kali pendapat dari fraksi-fraksi guna mencapai titik temu antara Anggota PANJA dengan Pemerintah diantaranya: 4.5.1 Ketentuan Umum berisi uraian mengenai beberapa istilah yang memberikan pengertian atau definisi yang digunakan dalam perumusan pasal, yaitu mengenai definisi Keterangan, Pernyataan, Dokumen, Surat, Perampasan, Pemblokiran, Hasil Tindak Pidana, Pejabat, Kapolri, dan Menteri serta penambahan rumusan baru mengenai definisi Jaksa Agung yang di kutip dari Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI. 4.5.2 Penegasan mengenai asas dalam RUU ini, dianggap penting dengan pertimbangan bahwa asas hukum berisi dan mencerminkan prinsip-prinsip yang terkandung cita hukum, fungsi hukum, dan tujuan hukum. Adanya asas hukum ini diharapkan akan dapat menjamin penerapan dan penegakkan hukum secara adil, benar, tepat dan bermanfaat. 4.5.3 Mekanisme pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana oleh Pemerintah Indonesia. Permintaan Bantuan oleh Pemerintah Indonesia dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia melalui dua saluran yakni kepada negara asing secara langsung atau dapat memilih melalui saluran diplomatik. 3
4.5.4 Terkait dengan Pasal 9 ayat (3) yang mengatur ketentuan “ Permohonan Bantuan kepada Menteri dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi “. Panja berpandangan bahwa ketentuan pasal tersebut perlu disempurnakan mengingat kewenangan melakukan penyidikan dan penyelidikan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melainkan juga oleh Polri dan Kejaksaan. Berdasarkan ketentuan tersebut, Panja dan Pemerintah sepakat menyempurnakan kembali rumusan dalam Pasal 9 ayat (3). Setelah PANJA membahas kembali, disepakati rumusannya menjadi : ’’Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan Bantuan kepada Menteri selain Kapolri dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ’’. 4.5.5
Dalam hal mekanisme Pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana kepada Pemerintah Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2), dapat dilakukan melalui dua saluran yakni secara langsung kepada Menteri atau dapat memilih saluran diplomatik. Sedangkan permintaan oleh negara asing tersebut harus memuat ketentuan-ketentuan diantaranya: 1. maksud permintaan bantuan; 2. uraian bantuan yang diminta; 3. instansi dan nama pejabat yang melakukan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan; 4. uraian tindak pidana, tingkat penyelesaian perkara, ketentuan undang-undang, isi pasal dan ancaman hukumannya.
4.5.6
Terkait dengan Pasal 54 ayat (1) yang mengatur ketentuan “ Negara Peminta dapat mengajukan perubahan permintaan Bantuan berupa penambahan, pengurangan atau pembatalan kepada Menteri”, Panja berpandangan bahwa ketentuan pasal tersebut perlu disempurnakan dengan adanya pengaturan limitasi waktu perubahan permintaan, apakah sebelum diumumkan di media massa. Disamping hal tersebut harus juga diatur mengenai ketentuan jaminan terhadap masalah yang menimpa seseorang, seandainya setelah dilakukan penyitaan kemudian dibatalkan. Sehingga PANJA sepakat substansi dalam pasal tersebut harus disempurnakan kembali dengan memperhatikan dan memberikan jaminan bagi yang mengalaminya. Setelah PANJA membahas kembali secara teliti dan mendalam, disepakati rumusan tersebut disempurnakan, sehingga rumusannya menjadi : 4
“ Negara Peminta dapat mengajukan perubahan permintaan Bantuan berupa penambahan, pengurangan, atau pembatalan kepada Menteri sebelum pengumuman penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) “. 4.5.7 Selanjutnya dapat kami sampaikan bahwa, dalam Rancangan Undang-undang ini juga telah disepakati memuat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan materi muatan, diantaranya : 1. Undang-undang ini tidak mengurangi pelaksanaan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang selama ini telah dilakukan melalui wadah INTERPOL. 2. Kewenangan Menteri dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dari hasil harta kekayaan yang dirampas baik di Negara asing maupun di Indonesia. 3. Kerahasian dalam pengajuan permintaan Bantuan, isi permintaan dan setiap dokumen pendukung lainnya, dan adanya pemberian Bantuan atas permintaan tersebut serta kerahasian informasi, keterangan, dokumen atau barang atau alat bukti lainnya yang diberikan atau diserahkan oleh negara asing. 4.5.8
Selanjutnya berkaitan dengan Bab V mengenai Ketentuan Peralihan, diatur ketentuan bahwa semua perjanjian bantuan timbal balik yang telah diratifikasi sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku; dan semua permohonan timbal balik yang diajukan baik berdasarkan perjanjian maupun tidak, tetap diproses sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ketentuan Peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum atau kekosongan peraturan perundang-undangan, sehingga dengan adanya pengaturan dalam Ketentuan Peralihan dapat menjamin kepastian hukum, dan perlindungan hukum.
5. Setelah PANJA menyelesaikan keseluruhan pembahasan dari materi RUU
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, tanggal 24 Januari 2006 Komisi III DPR RI melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM guna mendengarkan laporan hasil Panitia Kerja yang telah menjalankan tugasnya dalam membahas dan mengkaji RUU tersebut. Melalui kesepakatan dari fraksi-fraksi, Komisi III DPR-RI menyetujui draft RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana hasil Pembicaraan Tingkat I untuk dilanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II pengambilan keputusan RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana guna disahkan menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR-RI hari ini, Selasa 7 Februari 2006. Yth. Saudara Pimpinan Dewan; Yth. Saudara Bapak/Ibu Anggota Dewan; Yth. Saudara Menteri Hukum dan Pemerintahiibeserta jajarannya; dan
HAM
yang
mewakili 5
Hadirin yang kami hormati. Pada kesempatan ini perkenankanlah kami untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Saudara Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya, dan seluruh staff ahlinya, yang bersama-sama anggota Komisi III telah melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang ini secara tekun dan cermat. Kami sampaikan ucapan terima kasih pula kepada semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran dalam pembahasan Rancangan Undang-undang ini.
Demikianlah Laporan Komisi III DPR-RI mengenai pembahasan dan perumusan terhadap RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana dan apabila ada kekurangan dan kesalahan baik dalam proses pembahasan RUU maupun dalam penyampaian laporan ini, dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan maaf. Selanjutnya perkenankanlah kami untuk menyerahkan RUU dimaksud kepada Sidang Paripurna hari ini guna diambil keputusan. Terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Jakarta, 7 Februari 2006 PIMPINAN KOMISI III DPR-RI KETUA,
TRIMEDYA PANJAITAN,SH
6