bagian IX
Diplomasi Luar Negeri Migas
S
elain menyiapkan, menyusun, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor migas, dalam hubungannya dengan dunia internasional, Ditjen Migas juga mempunyai misi untuk mempromosikan investasi melalui roadshow ke negara mitra potensial serta meningkatkan pemasaran migas dan LNG ke negara pembeli tradisional. Pada saat menjabat sebagai Direktur EP Migas, Rachmat sangat aktif berperan dalam pertemuan bilateral dengan negara mitra kerja sama seperti Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Amerika, Inggris, dan Australia. Disesuaikan dengan topik pembicaraan, pertemuan dapat dilakukan pada tingkat Menteri, Dirjen, maupun Direktur dengan mengikutsertakan pelaku bisnis dari kalangan BUMN. Topik yang dibahas bervariasi, mencakup pertukaran informasi tentang kebijakan, peraturan perUndangundangan yang baru dikeluarkan, serta proyek-proyek investasi yang ditawarkan. Pihak mitra biasanya menawarkan inovasi dan teknologi baru seperti pengembangan kilang mini LNG dan energi alternatif. Khusus hubungan bilateral dengan Australia, terdapat keterkaitan yang erat dengan pengembangan gas dekat perbatasan kedua negara, dan pengelolaan bersama blok migas di Timor Gap. Pada tingkat ASEAN, kegiatan semakin meningkat dengan terbentuknya Indonesia-MalaysiaThailand Growth Triangle (IMT-GT) pada tahun 1993 dan Brunei |
109
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada tahun 1994. Kedua bentuk kerja sama ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan negaranegara terkait. Keterlibatan Ditjen Migas adalah pada tingkat teknis pembicaraan sumber daya mineral dimana rencana pembangunan pipa gas ASEAN dibahas. Untuk melakukan negosiasi batas landas kontinen (continent shelf), sejak tahun 1969 dibentuk Tim Landas Kontinen yang bersifat lintas departemen (interdep). Landasan hukum yang dipegang oleh Tim saat negosiasi adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang kemudian diresmikan menjadi Undang-undang No. 4 PRP 1960, Kovensi Jenewa tahun 1958, Undang-undang tentang Landas Kontinen No. 1 tahun 1973, dan Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982. Deklarasi Djuanda merupakan dasar hukum negara kepulauan dengan implikasi bahwa seluruh laut pedalaman dan laut sekitar (sampai 12 mil laut) merupakan laut teritorial. Dengan sendirinya, kekayaan alam di dalam dan di bawah perairan tersebut berada dalam kekuasaan RI. Di luar itu, berdasarkan UNCLOS, Indonesia sebagai negara pantai berhak menetapkan wilayah pertambangannya pada landas kontinen sampai 200 mil laut, terlepas dari kedalamannya, atau apabila kedalamannya kurang dari 200 meter batas terluar dapat ditetapkan hingga 350 mil laut. Sebelum UNCLOS 1982 berlaku, di bawah Konvensi Jenewa 1958, batas landas kontinen dapat ditetapkan sampai 200 mil laut asalkan kedalamannya tidak lebih dari 200 meter. Apabila terdapat palung dalam yang terletak kurang dari 200 mil laut, maka palung tersebut menjadi batas terluar dari landas kontinen negara terkait. Contoh dari kasus terakhir ini adalah batas landas kontinen RI-Australia di selatan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ditetapkan di bawah Konvensi Jenewa. Batas landas kontinennya ditetapkan sangat dekat dengan garis pantai selatan NTT sesuai letak dari jalur palung yang berada di wilayah itu. Walaupun demikian, dengan berlakunya UNCLOS 1982, Indonesia tetap harus menghormati batas yang telah diakui dan diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara. |
110
|
Gambar 41. Pertemuan Bilateral RI – Korea Selatan Tahun 1994
Tim Landas Kontinen diketuai oleh Direktur Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu), dengan wakil ketua Direktur EP Migas. Anggota tim terdiri dari wakil-wakil dari Deplu, Ditjen Migas, Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) Angkatan Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dan institusi lain yang terkait. Sebagai penasihat Tim adalah Dr. Hasyim Djalal dan Dr. Etty Agoes dari Universitas Padjadjaran (Unpad). Keduanya merupakan pakar hukum laut internasional. Tugas anggota dari Ditjen Migas adalah memberikan informasi tentang peta lapangan migas, baik yang sudah produksi maupun potensial, serta prospek dan lead dari sumber daya migas. Tujuannya adalah untuk mengamankan jangan sampai lokasi cadangan dan sumber daya migas tersebut berada di luar garis batas yang dituntut oleh Tim. Saat Rachmat bergabung dengan Tim Landas Kontinen pada tahun 1992, masih cukup banyak garis batas yang belum terselesaikan, yaitu antara RI-Vietnam di laut Natuna, RI-Malaysia di lepas pantai Kalimantan Timur, RI-Filipina di utara Kepulauan Talaud, RI-Palau di utara Papua, dan RIAustralia di selatan NTT dan selatan Jawa. Sesuai konvensi, apabila terdapat daerah tumpang tindih karena jarak pantai antara dua negara yang berseberangan kurang dari 400 mil laut, maka secara umum prinsip |
111
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
garis-tengah (median-line) dapat digunakan oleh kedua negara. Namun UNCLOS memberi kebebasan kepada para pihak untuk bernegosiasi secara bilateral apabila dianggap ada ketidaksetaraan kondisi daerah yang berbatasan. “Pada masa awal pembentukan Tim Landas Kontinen, Indonesia cenderung berpegang pada prinsip median-line sebagai posisi tawar. Konsekuensi dari posisi ini, Indonesia terlihat statis karena tidak mungkin lagi bergeming dari posisi tersebut. Lain halnya dengan lawan negosiasi yang biasanya sangat agresif, langsung menuntut garis batas jauh melampaui median-line sebagai posisi awal mereka. Dan itu memang wajar sebagai bagian dari strategi negosiasi, sehingga kalau toh harus mundur untuk kompromi tidak sampai kurang dari garis batas yang sebenarnya mereka inginkan.” Rachmat memberikan ilustrasi waktu berunding dengan delegasi Vietnam. “Perundingan dengan Vietnam telah berlangsung sejak tahun 1978. Saat itu Vietnam mengajukan garis batas jauh ke selatan melampaui medianline. Salah satu alasan yang mereka ajukan adalah bahwa di dasar laut Natuna terdapat tapak bekas sungai Mekong purba yang memanjang melewati median-line. Mereka mencoba membuktikan bahwa landasan kontinen tempat sungai purba mengalir merupakan bagian dari daratan Vietnam. Alasan ini mungkin terlihat mengada-ada tapi dengan tuntutan ini mereka berada di atas angin. Sedangkan pihak Indonesia sebagai ‘good boy’ selama bertahun-tahun negosiasi tidak bisa berbuat lain selain terus berkutat pada median-line. Dalam bernegosiasi, untuk mencapai kompromi biasanya kedua belah pihak memundurkan tuntutan mereka sehingga daerah tumpang-tindih menjadi semakin sempit. Posisi Indonesia terlihat sangat kaku karena setiap kali Vietnam menawarkan untuk mundur dari tuntutan masing-masing, pihak Indonesia tidak punya fleksibilitas untuk itu. “Walaupun demikian, dengan posisi median-line tersebut ada keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia. Pada posisi ini, sebetulnya kita sudah mengamankan sumber daya migas kita sehingga dari sudut pandang ini kita tidak perlu menuntut lebih jauh lagi. Di depan dunia internasional, terutama para investor, Indonesia sudah bisa menunjukkan garis batas yang jelas dalam menawarkan potensi migas |
112
|
di daerah itu. Mereka tentu dapat melakukan penilaian sendiri apakah investasi mereka aman, dan ini terbukti bahwa mereka berani masuk dan melakukan eksplorasi di blok-blok migas yang ditawarkan pemerintah di wilayah itu walaupun negosiasi belum selesai. Mungkin juga mereka berpikir bahwa kalau pun garis batas itu bergeser nantinya, paling-paling host country yang berganti dan hak-hak mereka sebelumnya akan tetap dihormati. Namun secara umum Rachmat berpendapat bahwa kita tidak boleh terlalu naif dalam menentukan posisi awal. “Apa yang kita tuntut jangan langsung ditaruh di atas meja. Dalam negosiasi kita harus mengajukan posisi awal kita jauh melampaui apa yang menjadi tuntutan kita yang sebenarnya. Dengan demikian, kita mempunyai fleksibilitas dalam melakukan negosiasi. Syukur-syukur lawan negosiasi kita saat mencari kompromi mau menerima melebihi apa yang sesungguhnya kita inginkan. Kita tuntut saja sejauh mungkin dan cari alasannya, apapun itu.” Rachmat memberi contoh negosiasi batas landas kontinen di sekitar Pulau Ashmore yang merupakan pulau terluar Australia. Saat dia baru bergabung dengan Tim Landas Kontinen, kebetulan pembahasan batas RI-Australia dimulai lagi setelah sekian lama terhenti. Pulau tidak berpenduduk yang berhadapan dengan Pulau Rote ini sering dikunjungi nelayan tradisional pencari Teripang untuk mengambil air tawar. Pulau yang oleh para nelayan tradisional disebut Pulau Pasir ini terletak tepat pada lintasan garis batas landas kontinen NTT-Australia yang sedang dibahas. Keberadaan dan status pulau ini dapat merubah total penarikan garis batas di sekitar pulau itu tergantung pada hasil negosiasi selanjutnya. Berdasarkan UNCLOS 1982, dataran disebut pulau bila mampu mendukung kehidupan yang dapat diketahui antara lain dengan adanya pepohonan dan sebagainya. Apabila tidak, maka ia masuk dalam kategori karang. Berdasarkan konvensi ini, gosong atau karang tidak punya hak atas landas kontinen selain laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Sedangkan pulau, sekecil apapun itu, mempunyai hak atas landas kontinen sampai sejauh 200-350 mil laut. Menyadari krusialnya hasil negosiasi selanjutnya, kali ini Tim mengambil sikap yang agresif. Delegasi Indonesia menganggap bahwa Ashmore hanyalah |
113
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
sebuah karang kecil dan sama sekali tidak punya hak landas kontinen. Tim menolak anggapan Australia bahwa Ashmore adalah pulau. Untuk mendukung argumen mereka, delegasi Australia akhirnya memberikan foto satelit yang menunjukkan adanya dua pohon kelapa yang tumbuh di pulau itu. Untuk membuktikan bahwa foto itu bukan rekayasa, Tim Indonesia minta izin kepada pihak Australia untuk mengirim misi ke pulau itu. Dengan susah payah Tim Khusus yang dikirim untuk itu dapat mencapai pulau tersebut walaupun harus terjun ke laut karena kapal tidak bisa merapat ke pantai. Edy Hermantoro, staf Ditjen Migas yang ikut misi itu melaporkan bahwa memang ada dua pohon kelapa yang tumbuh di pulau itu. “Wah, kenapa kalian tidak tebang saja itu pohon,” kata Rachmat bergurau. Walaupun dengan bukti tersebut, Tim tetap pada pendirian bahwa tidak ada kesetaraan antara Pulau Ashmore dengan Pulau Rote baik luas maupun jumlah penduduk. Akhirnya tercapai kesepakatan bahwa Pulau Ashmore diberi hak atas landas kontinen tapi hanya sejauh dua kali batas laut teritorial. Pendekatan ini juga dipakai oleh Tim waktu negosiasi tentang batas landas kontinen antara Pulau Christmas dengan Pulau Jawa. Dengan argumen yang sama tentang ketidaksetaraan luas dan jumlah penduduk kedua pulau tersebut akhirnya dicapai kesepakatan bahwa landas kontinen Pulau Christmas hanya sejauh sepertiga dari jarak pulau ini dengan Pulau Jawa.
Gambar 42. Delegasi Perundingan Batas Landas Kontinen RI - Australia di Canberra, 1996
|
114
|
Lain lagi pengalaman Rachmat saat terlibat perundingan dengan Malaysia sehubungan dengan sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan di lepas pantai Kalimantan Timur. Pulau Sipadan berada sedikit di selatan garis 4o 10’ Lintang Utara yang membelah Pulau Sebatik menjadi dua, sebelah utara milik Malaysia dan sebelah selatan milik Indonesia, sedangkan Ligitan agak jauh di sebelah utara. Sebetulnya perundingan tentang status kedua pulau itu yang sudah berjalan lama, lebih ke masalah teritorial yang ditangani oleh Tim Khusus untuk itu. Dalam hal ini Tim Landas Kontinen sifatnya sebagai pendukung Tim inti tersebut. Pulau Sipadan yang luasnya hanya empat hektar ini sebenarnya merupakan puncak gunung bawah laut yang dalam. Lerengnya sangat curam hingga laut di sekitarnya sangat dalam. Kondisi ini sangat ideal karena airnya sangat jernih dan banyak terumbu karang yang dihuni oleh ikan berwarnawarni. Pihak Malaysia melihat kondisi ini sebagai peluang bisnis dan membangun cottage untuk wisatawan diving, namun pihak Indonesia kelihatannya tidak menaruh perhatian yang sepadan. Sedangkan Ligitan lebih berupa gugusan karang-karang kecil yang relatif gersang. Dalam perundingan antara Indonesia dengan Malaysia yang telah berlangsung sejak 1967, disepakati bahwa kasus kedua pulau ini dinyatakan sebagai status quo, dalam arti tidak boleh ada perubahan maupun kegiatan yang dilakukan pada kedua pulau tersebut. Namun dalam perkembangannya pada 1979 pihak Malaysia menerbitkan peta dengan memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayahnya. Secara diam-diam kemudian Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta dan bahkan menempatkan personil kepolisian di Pulau Sipadan. Karena pelanggaran pihak Malaysia terhadap status quo ini, perundingan dibuka kembali. Kedua belah pihak berupaya untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin baik itu masalah kependudukan, kepemerintahan dan sejarah terkait kedua pulau tersebut. Sebagai contoh, dari pihak Indonesia telah terkumpul data melalui survei, wawancara, dan arsip-arsip lama baik dari sumber lokal maupun ke negara Belanda seperti antara lain penguasaan Sultan Bulungan, kegiatan pemerintahan kolonial Belanda, serta hal-hal kecil seperti laporan kapten kapal perang Belanda di sekitar daerah itu. |
115
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
Menurut Rachmat data tersebut cukup komprehensif dan memadai untuk dikonfrontasikan dengan pihak Malaysia. Dari Direktorat EP Migas, Rachmat menambahkan data terkait dengan kegiatan migas. Dia memperoleh informasi bahwa pada tahun 1969 Pemerintah RI pernah memberikan blok migas kepada perusahaan Jepang dengan titik-titik koordinat sebelah utara berada tepat pada garis lintang ini. Blok tersebut sudah lama dikembalikan ke pemerintah karena tidak ditemukan potensi migas. Karena arsip dan peta blok yang sudah berumur 20 tahun itu tidak dapat ditemukan, dan ini sangat disayangkan oleh Rachmat, dia terpaksa meminta perusahaan yang berkantor di Tokyo itu agar dapat membantu mengirimkan apa yang dia perlukan. Beruntung bahwa perusahaan tersebut bersedia mengirimkan peta lengkap dengan titik-titik koordinat, dengan syarat bahwa mereka tidak akan dilibatkan dalam sengketa tersebut. Bagi Rachmat ini merupakan data yang sangat berharga karena keberadaan suatu blok migas diketahui oleh dunia internasional dan tidak pernah ada keberatan dari pemerintah Malaysia waktu itu. Keberadaan blok migas ini dapat dipakai sebagai bukti bahwa kepanjangan garis 4o 10’ LU ke arah timur telah dipakai sebagai batas landas kontinen dan juga pembagian wilayah teritorial seperti di Pulau Sebatik. Dengan demikian Pulau Sipadan yang terletak sedikit di selatan garis lintang tersebut dapat dianggap sebagai daerah teritorial RI. Perundingan yang dilakukan bergantian antara Jakarta dan Kuala Lumpur berjalan sangat alot. Pernah salah satu anggota delegasi Malaysia bercanda: ”Kenapa sih Indonesia keberatan? Itu kan satu pulau kecil saja yang kita punya dibanding dengan ribuan pulau yang kalian miliki?” Mendengar itu kita semua tertawa, mungkin maksudnya untuk mencairkan suasana yang serius waktu itu.
|
116
|
Gambar 45. Kunjungan Delegasi Yaman Tahun 1996
Pada tahun 1998, saat Rachmat tidak aktif lagi dalam perundingan karena pindah sebagai Sekretaris DKPP. Melihat perundingan mengalami jalan buntu, pemerintah kedua negara sepakat untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional. Sebetulnya posisi Indonesia ini melunak karena sebelumnya pihak Indonesia mengusulkan untuk membawa sengketa ini ke Dewan Tinggi ASEAN. Dengan usulan ini, Indonesia yakin akan dapat dukungan paling tidak dari Singapura dan Filipina karena mereka juga mempunyai sengketa teritorial dengan Malaysia. Dalam persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 2002 ternyata klaim Malaysia dimenangkan. Mereka hanya mempertimbangan masalah efektivitas dimana Pemerintah Inggris sejak tahun 1930 telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu, dan mengoperasikan mercusuar sejak1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia yang menjadi keberatan dari pihak Indonesia tidak masuk dalam pertimbangan. Rachmat menambahkan: ”Perlu juga dicatat bahwa Mahkamah Internasional tidak memutuskan hal-hal yang terkait dengan batas maritim dari kedua pulau tersebut. Hal ini berkaitan dengan sengketa Ambalat yang muncul dengan aksi sepihak Malaysia pada tahun 2005 dengan mengejar dan menangkap nelayan Indonesia di kawasan itu. Di |
117
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
wilayah Ambalat seluas 15 ribu kilometer persegi yang seluruhnya berupa laut itu, kita sudah memberikan wilayah kerja migas kepada beberapa operator PSC. Dari hasil ekplorasi yang mereka lakukan menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengandung sumber daya migas yang cukup menarik. Untuk itu kita tidak boleh lengah dan kita perlu menerapkan masalah efektivitas seperti yang dianut oleh Mahkamah Internasional dengan cara terus-menerus melakukan kontrol dan pengawasan melalui patroli yang dilakukan kapal-kapal perang kita serta terus melanjutkan kegiatan migas di wilayah itu.” Perundingan batas maritim dengan pihak Filipina telah dilaksanakan beberapa kali sejak tahun 1973, namun karena kekayaan mineral daerah perbatasan dengan Filipina dianggap kurang potensial, selama Rachmat menjabat di Ditjen Migas baru satu kali dilakukan pertemuan dengan pihak Filipina. Kendala terbesar dalam membahas batas landas kontinen di daerah ini adalah Konstitusi Filipina yang didasarkan pada Treaty of Paris 1898 yang menetapkan batas negara berbentuk persegi panjang mengelilingi kepulauan Filipina. Batas sebelah selatan yang berupa garis lurus arah Barat-Timur memasukkan Pulau Miangas yang merupakan wilayah teritorial Indonesia. Sebelum masalah batas landas kontinen dapat dibahas secara efektif diperlukan pemecahan masalah teritorial ini pada forum yang relevan untuk itu. Perundingan dengan Republik Palau, negara kepulauan dengan luas daratan sekitar 500 kilometer persegi yang terletak di sebelah utara Papua Barat, berdasarkan prioritas yang disusun oleh Tim Landas Kontinen waktu itu masih belum sempat diagendakan. Ada misi khusus yang Rachmat ikuti yaitu mendampingi Tim Pertamina ke Bagdad pada akhir 1992. Perjalanan ke Irak ini mempunyai kesan yang mendalam bagi Rachmat sehingga dia menceritakan sedikit lebih rinci. Sebagai wakil Pemerintah, Rachmat diminta untuk ikut melakukan perundingan dalam rangka penjajakan farm-in di lapangan migas di Irak. Termasuk Rachmat, anggota Tim berjumlah empat orang ditambah satu orang dari Perwakilan Pertamina London yang mendukung masalah logistik. Pada saat itu, Dewan Keamanan PBB sedang melakukan
|
118
|
embargo total terhadap Irak sebagai sanksi atas penyerbuan rezim Saddam Hussein ke Kuwait pada tahun 1990 yang ternyata baru dicabut pada tahun 2002. Seluruh wilayah Irak dinyatakan sebagai ‘no-fly’ zone, sehingga Tim harus mendarat di Amman, Yordania, untuk selanjutnya menuju ke Bagdad lewat jalan darat menembus padang pasir sejauh 1.000 km. Saat sampai di perbatasan Yordania-Irak hari sudah petang, supir Yordania yang membawa GMC (automobile) yang kita tumpangi keberatan untuk meneruskan perjalanan karena hari sudah menjelang malam. Dia minta kita untuk menginap di situ dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Dia menjelaskan bahwa akibat perang yang berlarut-larut kesejahteraan tentara Irak sangat buruk dan banyak yang kelaparan. Dia bilang bahwa di malam hari tentara ini suka bertindak liar dan bahkan berani melakukan perampokan terhadap para penumpang kendaraan yang melewati jalan itu. Untuk mendramatisir ceritanya dia menggerakkan tangannya di leher menandakan bahwa mereka juga suka membunuh kalau diperlukan. “Tapi ini sama sekali tidak ada dalam rencana, karena besok paginya kita sudah harus berada di Bagdad untuk melakukan pertemuan dengan pejabat Irak. Setelah sebentar berunding di antara anggota Tim, Pak Mudjihartomo pimpinan Tim memberi tahu supir bahwa kita tidak punya pilihan selain terus jalan. Ini adalah misi yang penting dan kita tidak mau pihak Irak tidak menaruh respect karena kita tidak menepati waktu, apapun alasannya,” Rachmat menggambarkan ketegangan situasi waktu itu. Di malam yang dingin, GMC melaju dengan cepat melintasi jalan yang lebar dan lurus menembus padang pasir. Jalan sangat sepi, di kiri kanan jalan jarang tampak dusun atau rumah penduduk. Konon kabarnya dalam situasi perang jalan ini bisa dijadikan landasan pesawat tempur. Pada awal perjalanan sekali-kali masih terlihat truk-truk tangki membawa BBM dari Bagdad untuk dibawa ke Jordan. Bahkan saat masih di wilayah Jordania banyak mobil penumpang yang sering pulang pergi ke Irak dengan tangki bensin yang dimodifikasi sehingga bisa diisi lebih banyak BBM. Harga BBM di Irak memang sangat murah karena produksi minyak negara itu yang begitu berlimpah tidak bisa diekspor karena embargo. Makin malam jalan makin sepi, di kejauhan terlihat di sana-sini api |
119
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
a | Rachmat Sudibjo
Gambar 44. Perjalanan di Daerah Yordania Menuju ke Bagdad
unggun yang dinyalakan oleh para tentara yang sedang istirahat. “Bukan supir GMC saja yang cemas, kita pun diam membisu dengan pikiran masing-masing. Tapi syukur alhamdulillah menjelang subuh kota Bagdad sudah terlihat di depan kita.” Dalam pertemuan di Kementerian Minyak Irak, Pertamina meminta kepada pihak Irak agar diberi kesempatan untuk farm-in di lapangan minyak Tuba. Pihak Irak tidak bisa langsung memberikan lapangan ini karena ada beberapa negara lain yang juga berminat. “Saya lihat bahwa walaupun daya alir batuan (permeabilitas) reservoir dari lapangan ini relatif kecil, tapi karena kandungan minyak yang besar, produksi lapangan ini masih dapat ditingkatkan dari produksi yang saat itu mencapai lebih dari 100 ribu barel per hari. Mereka berjanji akan memberikan perhatian khusus permintaan Pertamina tersebut sementara untuk blok eksplorasi Western Dessert 3 mereka dapat segera memproses untuk diserahkan kepada Pertamina. Bahkan kita sempat mengunjungi Camp Western Desert sekitar 300 km arah Barat Daya Bagdad. Saat makan siang disiapkan kambing guling dengan nasi kebuli di rongga perutnya yang ditaruh di atas nampan besar dan dimakan ramai-ramai langsung |
120
|
dari nampan itu. Waktu di Bagdad kita tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan mengunjungi situs kerajaan Babylonia kuno yang letaknya tidak jauh dari Bagdad, melihat sisa bekas jalan aspal yang paling tua di dunia. Saat kembali ke Amman karena masih punya waktu, kami sepakat untuk pergi ke Yerusalem, mengunjungi tempat-tempat suci di kota itu dan sudah tentu shalat di Masjid Al-Aqsa. Saat di kantor imigrasi Israel semua berjalan lancar, kecuali Mohamad Assegaff, anggota Tim yang jelas betul tampang Arabnya. Kita lihat dia digeledah lama sekali oleh petugas imigrasi wanita yang cantik. Rupanya Assegaf lupa sebelum berangkat dia seharusnya menyimpan suvenir jam tangan bergambar Saddam Hussein pemberian Departemen Migas Irak itu di hotel di Amman dan tidak membawanya masuk Israel. “Wah itu kan hanya akal-akalan si Israel cantik itu ya, dia menahan lama-lama karena sebenarnya tertarik pada anda,” teman-teman tertawa meledek Assegaff.
|
121
|
Pertambang
Diplomasi Luar Negeri Migas
|
122
|
a | Rachmat Sudibjo