Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
MENYIAPKAN KONVERGENSI Blasius Sudarsono*) Pembelajar pada Kappa Sigma Kappa Indonesia Abstrak Perpustakaan, lembaga arsip, dan museum selama ini lebih banyak ditemui terpisah, berdiri sendiri-sendiri. Memang seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sudah ditemui penyatuan unit perpustakaan dan kearsipan dalam satu unit kerja. Wacana penyatuan tiga lembaga tersebut telah diakui secara global, kini bagaimana Indonesia menyikapi hal ini dalam pengelolaan warisan budaya dan intelektual dunia. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana sebagai bangsa kita harus menyiapkan diri untuk berhasil memanfaatkan peluang yang menguntungkan situasi global tersebut serta dimulai dari lingkungan pendidikan seperti sekolah perpustakaan mengingat sekolah perpustakaan jelas terletak dalam kesepakatan global tersebut. Kata kunci: konvergensi, perpustakaan, arsip, museum.
Benda-benda itu amat berharga dan bisa menjadi sumber kekayaan tak ternilai bagi negara di masa modern ini jika diperlakukan dengan benar. Namun, museum-museum di Indonesia belum dikelola dengan baik. Begitu mudah koleksi hilang atau diganti dengan yang palsu.
PENDAHULUAN Tiga kalimat pembuka tulisan ini penulis salin dari pernyataan Bruce W Carpenter, di Harian Kompas, 27 Juni, 2015, halaman 16. Tentu dapat segeradiduga muncul pertanyaan mengapa penulis menyalin pernyataan itu dan mengapa penulis memilih judul tulisan ini dengan istilah konvergensi? Apa yang dimaksud dengan konvergensi dan mengapa harus disiapkan? Lagipula 1
mengapa tulisan ini diusulkan untuk di muat dalam suatu penerbitan dari lembaga pendidikan perpustakaan? Melalui tulisan ini penulis bermaksud menyampaikan apa yang selayaknya kita pikirkan bersama dan bersyukurlah jika dapat dicapai kesepakatan bersama untuk mengerjakan pemikiran bersama kita itu. Bukanlah pretensi penulis untuk
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
membahasnya secara akademik. Tulisan ini memang bukan karya ilmiah, hanyalah “lamunan” penulis yang lebih dikenal juga dengan terminologi common sense. Hanyalah pemikiran logis penulis yang tentu jauh dari metode akademik.Tulisan yang sekedar menawarkan satu dari beragam kemungkinan pertumbuhan lembaga pendidikan perpustakaan di masa depan. Indonesia sudah mengenal pendidikan perpustakaan sejak awal dasa warsa 1950-an. Artinya kita mengenal “ilmu” ini sudah lebih dari enam dasa warsa. Kini diduga lebih dari tiga puluh lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakannya. Bagaimana keadaan lembaga pendidikan itu? Namun penulis juga bukan bermaksud membahas keberadaan dan kondisi lembaga pendidikan tersebut. Setelah menjalani jalan kepustakawanan yang cukup panjang, penulis lebih mudah tertarik denganapayang mungkin terjadi dan selayaknya disiapkan. Karena pengalaman penulis selama ini
menemukan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesiarelatif terlambat berkembang. Oleh sebab itu kata “menyiapkan” menjadi bagian bermakna dari judul tulisan ini. Kita harus lebih bersiap mengejar ketinggalan tersebut. Lalu mengapa diikuti kata konvergensi? Inilah inti tulisan. Konvergensi yang dimaksud adalah konvergensi perpustakaan, lembaga arsip, dan museum. Dalam istilah asing dikenal LAM (Libraries, Archives, and Museums). Kelompok Studi “Kappa Sigma Kappa Indonesia” dalam pertemuan rutin bulanan “Bincang Senang Kepustakawanan”kedua(BSK2) pada 14 Februari 2015, telah membicarakannya dengan tajuk “Dari Koeksistensi Menuju Konvergensi: Perpustakaan, Lembaga Arsip, dan Museum”.
MENUJU KONVERGENSI Keberadaan tiga lembaga tersebut di atas yaitu perpustakaan, lembaga arsip, dan museum selama ini lebih banyak ditemui terpisah, berdiri sendirisendiri.Memang seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sudah ditemui penyatuan unit perpustakaan dan kearsipan dalam satu unit kerja. Awalnya memang terjadi pro kontra atas penyatuan itu. Hal ini tidak perlu terjadi jika alasan penyatuan itu jelas dan benar. Setiap 2
daerah sesuai dengan otonominya tentu mempunyai alasan mendasar. Mudahmudahan penyatuan itu tidak sekedar karena keterbatasan dalam struktur organisasi dan keseragaman yang suka dianut di negeri kita, Namum memang berdasar konsep yang benar juga. Penggabungan dua unit kerja atau lebih memang tidak selalu mudah dilakukan. Selalu ada hal yang dapat
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
membuat lambatnya pola “bersatu” tersebut. Kita amati bagaimana penyatuan lembaga perpustakaan dan arsip di daerah. Pertanyaan pertama menyangkut persepsi, visi dan ekspektasi dari otoritas tertinggi di daerah tentang perpustakaan dan arsip. Hal ini akan berpengaruh pada kedudukan perpustakaan dan arsip dalam struktur organisasi pemerintahan daerah. Dari nama lembaga saja terjadi tawar menawar mana yang disebut lebih dahulu. Apakah Badan (Kantor) Perpustakaan dan Arsip atau Badan (Kantor) Arsip dan Perpustakaan? Kalaupun sudah sepakat akan nama, masih ada yang dapat menimbulkan konkurensi yaitu dari bidang apa pimpinan unit baru ini. Biasanya terjadi bias pada kegiatan unit kerja yang dipimpin. Situasi penyatuan unit kerja perpustakaan dan arsip di daerah kurang beruntung karena koordinasi ke Pemerintah Pusat tidak menuju pada satu lembaga. Urusan arsip mengacu pada Arsip Nasional (ANRI) sedang urusan perpustakaan mengacu pada Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas). Lancar tidaknya koordinasi ini tergantung juga pada interaksi antara Perpusnas dan ANRI. Bagaimana koordinasi tersebut? Sejauh yang penulis rasakan, sepertinya koordinasi tersebut belum mencapai posisi ideal. Dalam pengelolaan koleksi naskah kuna saja dapat disebut sebagai contohnya. Masih muncul perbedaan pemahaman apakah naskah kunadapat juga disebut sebagai arsip? Lalu muncul juga pertanyaan harus di mana idealnya disimpan? Di Perpusnas atau di ANRI? 3
Masih banyak hal lain yang seyogyanya disepakati oleh Perpusnas dan ANRI menyangkut perkembangan ke depan. Sepintas telah ditengok keberadaan perpustakaan dan kearsipan. Bagaimanakah dengan museum?Keberadaan museum terasa terisolasi,tersendiri,dan belum menjadi sentral perhatian pemerintah maupun masyarakat luas. Museum hampir selalu dikonotasikan dengan kondisi tua, usang, lapuk, tidak berguna, tidak menarik, dsb. Belum cukup kesadaran bahwa sebenarnya kondisi museum adalah indikator tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Koleksi museum menjadi bukti atau jejak perjalanan peradaban dan budaya bangsa. Belajar dari jejak itulah idealnya suatu bangsa melangkah menuju masa depan. Berbeda dengan perpustakaan dan arsip, sepertinya pemerintah maupun masyarakat belum sepenuhnya memaknai keberadaan museum dengan benar. Kalimat kedua dan ketiga(ditulis oleh orang asing lagi) yang dikutip mengawali tulisan ini secara jelas menjawab kondisi permuseuman kita: Namun, museum-museum di Indonesia belum dikelola dengan baik. Begitu mudah koleksi hilang atau diganti dengan yang palsu. Sejauh ini di Indonesia belum banyak didengar interaksi antara museum dengan perpustakaan maupun arsip. Padahal tiga lembaga ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya mengelola “koleksi”. Perpustakaan mengelola koleksi pustaka, di museum dikelola koleksi artefak, sedang kearsipan mengelola arsip.
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
Koleksi pustaka di perpustakaan, koleksi artefak di museum, dan koleksi arsip (sebagai bukti pertanggungjawaban administratif) adalah jejak langkah perjalanan bangsa dan negara. Bertolak dari kesamaan fungsi dalam mengelola "memori kolektif” bangsa dan negara itu dapat menjadi fokus kegiatan kolaboratif antara perpustakaan, arsip, dan museum. Ide kolaborasi tiga lembaga ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Informasi Sebagai Aset Bangsa. Sebuah seminar dalam rangka Hari Ulang Tahunke-62 Pendidikan Ilmu Perpustakaan & Informasi di Indonesia (Yudhawasthi, 2014). Dalam makalah ituYudhawasthi menguraikan secara rinci ide kolaborasi tiga lembaga: perpustakaan, arsip dan museum.Pemikiran ini bertolak dari penelitian yang dilakukan Komunitas Jelajah yang dipimpinnya atas keberadaan, peran, dan apresiasi masyarakat kepada tiga lembaga tersebut.Yudhawasthi menegaskan bahwa Perpustakaan, lembaga arsip dan museum di Indonesia harus dapat membuat dirinya menjadi lembaga yang memorable dan experience di tengah derasnya kemajuan teknologi dan modernitas untuk mengawal perjalanan
kekayaan informasi Indonesia sebagai aset bangsa. Sebelumnya, ide “menyatukan” lembaga pada tingkat nasional juga pernah ditulis dalam buku Perpustakaan Untuk Rakyat: Dialog Anak dan Bapak (Rahmawati & Sudarsono, 2012).Dalam buku itu tertulis provokasi penulis kepada teman-teman di Perpusnas dengan pertanyaan:”Berani gak kalian menargetkan bahwa pada Tahun 2025 tiga lembaga nasional ini yaitu 1) Perpustakaan Nasional, 2) Arsip Nasional, dan 3) Museum Nasional digabung dalam satu Lembaga Negara, dan bukan lagi Lembaga Pemerintahan?” Pada pertemuan BSK2 dari Kappa Sigma Kappa Indonesia 14 Februari 2015 kembali Yudhawasthi dan Sudarsono meneriakkan ide tersebut dengan istilah konvergensi. Pertemuan tersebut dilaporkan oleh Dyah Sulistyorini sebagai berita dengan judulMenggagas kolaborasi perpustakaan, arsip dan museum. Tulisan tersebut dapat diakses pada http://www.antaranews.com/berita/48190 3/menggagas-kolaborasi-perpustakaanarsip-dan-museum
IDE KONVERGENSI Konvergensi atas fungsi perpustakaan, arsip, dan museum di dunia internasional kembali bergulir dan semakin cepat sejak awal abad 21. Dikatakan kembali bergulir karena dari 4
awal sebenarnya ketiga lembaga itu memang adalah satu lembaga yang melakukan tiga fungsi tersebut. Mulai dikelola terpisah sejak ditemukannya mesin cetak yang mengakibatkan
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
meledaknya karya cetak yang mendominasi koleksi dengan jumlah yang semakin cepat berlipat. Pertumbuhan yang cepat itu sering juga disebut dengan ledakan pustaka. Koleksi perpustakaan semakin besar sehingga perlu cara atau metode baru dalam mengelola koleksi pustaka itu. Ini yang mendorong munculnya sekolah perpustakaan yang menyiapkan tenaga untuk mengelola koleksi yang tumbuh semakin cepat. Dapat dikatakan awal muncul (dibangunnya) sekolah perpustakaan karena ada keperluan dalam penyediaan pustakawan sebagai akibat ledakan pustaka. Kini konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum sudah menjadi tren di dunia internasional. Di negara maju konvergensi ini sudah menjadi kebijakan budaya suatu negara. Hal ini diikuti dengan komitmen pemerintah untuk menyediakan investasi besar, bahkan di beberapa negara menjawab tantangan itu dengan pembentukan lembaga baru serta mendorong diskusi lebih intens antara perpustakaan, arsip, dan museum.Peningkatan kemudahan akses pengetahuan bagi pengguna tiga lembaga tersebut sering disebut sebagai alasan untuk perlunya melakukan konvergensi.Pada dasarnya koleksi tiga lembaga tersebut adalah sumber 2004
5
pengetahuan. Meski dalam bentuk berbeda namun untuk suatu topik pengetahuan jelas diperlukan dari sumber pustaka di perpustakaan, arsip di lembaga arsip, maupun artefak dari koleksi museum. Maka upaya paling sederhana adalah membuat bagaimana pengguna jasa dapat mengakses pengetahuan yang diperlukan tanpa harus berpindah dari satu lembaga ke lembaga lainnya. Artinya koleksi tiga lembaga itu harus diintegrasikan dalam satu sistem simpan dan temu kembali pengetahuan.Integrasi sumber daya pengetahuan ini kini semakin mudah dilakukan karena boleh dikata semaunya dapat disimpan secara digital. Inilah minimal wujud nyata dari konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum.Tentu konvergensi yang dimaksud bisa berkembang lebih lanjut dengan partisipasi pengguna dalam menciptakan pengetahuan baru sebagai hasil analisis dan sistesis pengetahuan yang dapat diperoleh baik dari perpustakaan, arsip, maupun museum. Telah disebut terdahulu bahwa konvergensi ini bergulir kembali sejak awal abad 21. Secara garis besar berikut adalah tonggak kronologi kejadian terpenting di Amerika Serikat, Kanadadan dunia internasional pada umumnya,berdasar penelusuran penulis.
Kanada adalah negara pertama yang menggabungkan Perpustakaan dan Arsip Nasional-nya Library and Archives Kanada (LAC) pada 2004.Pemerintah Kanada berkomitmen untuk melaksanakan peran kunci dalam fungsi pengadaan, pelestarian, dan difusi warisan dokumenter bangsa dan negara. Pemerintah Kanadatanggap dalam menyesuaikan dan menjawab perubahan situasi sosial, ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
budaya, serta ekonomi untuk mendukung lembaga dokumenter dalam melayani masyarakat Kanada. 2005
Pada 19 Juli 2005 Rare Books and Manuscripts Section (RBMS) dariAssociation of College and Research Libraries (ACRL), salah satu divisi American Library Association (ALA), menerima dana dari Institute of Museum and Library Services (IMLS) untuk melakukan kegiatan penelitian “misi budaya” dari perpustakaan, arsip, dan museum serta untuk menguatkan komunikasi dan kolaborasi dari tiga lembaga tersebut.
2006
Pada 22-23 Juni 2006 di Austin, Texas diselenggarakan sebuah konferensi Libraries, Archives, and Museums in the Twenty-First Century: Intersecting Missions, Converging Futures? Dalam konferensi ini hadir para pemuka (praktisi) perpustakaan, arsip, dan museum untuk mengindentifikasi kepedulian bersama terkait dengan misi bersama dalam mengumpulkan, melestarikan, dan menyediakan akses pada artefak budaya dunia beserta dokumen sejarah terkait.
2008
Online Computer Library Center (OCLC) menyelenggarakan lokakarya perpustakaan, arsip, dan museum. Lokakarya ini menghasilakan laporan Beyond the silos of the LAMs: Collaboration among libraries, archives and museums diterbitkan oleh divisi OCLC Programs and Research.
2009
Pada konferensiAmerican Society for Information Science and Technology (ASIS&T) diselenggarakan panel dengan tema Information Organization in Libraries, Archives and Museums: Converging Practices and Collaboration Opportunities.
2009
Gerakan di Amerika Serikat ini ternyata segera menyebar luas secara internasional bahkan berkembang cakupan lembaga yang terlibat. Dalam simposium yang diselenggarakan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) disepakati perluasan lembaga yang terlibat sehingga menghasilkan akronim LAMMS: libraries, archives, museums, monuments and sites (perpustakaan, arsip, museum, munumen, dan situs).
2011
Association for Library and Information Science Education (ALISE) juga membahas konvergensi perpustakaan, arsip, dan museum serta implikasinya terhadap pendidikan program magister (graduate professional education). Pada tahun berikutnya 2012 hal ini dilanjutkan.
2014
Panel dari Royal Society of Canada menyimpulkan tiga pokok terpenting •
6
Pertama dan yang utama, perpustakaan dan arsip dalam era digital tetap vital bagi masyarakat Kanada. Perpustakaan dan arsip memerlukan tambahan ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
•
•
Menyiapkan Konvergensi
sumber daya untuk memenuhi beragam layanan yang diharapkan. Kesetaraan dalam masyarakat akan menghilangkan hambatan warga masyarakat dalamupaya memperoleh apa yang mereka perlukan untuk peningkatan kehidupan. Kedua, pustakawan dan arsiparis harus bekerja secara lebih harmonis dalam kerangka kerjasama nasional untuk melanjutkan pelestarian warisan tercetak dan mengembangkan serta memelihara akes digital. Lembaga pemerintah pada berbagai tingkatan harus berinvestasi sarana digital untuk selalu meningkatan upaya ini. Ketiga, program nasional digitalisasi, berkoordinasi dengan “lembaga memori” di seluruh negara harus direncanakan dan didanai untuk membawa warisan budaya dan pengetahuan Kanadaa ke dalam era digital, agar warga negara tetap yakin untuk memahami masa lalu dan mendokumentasikan masa kini sebagai pedoman langkah menuju masa depan.
KOLABORASI INTERNASIONAL Berawal pada Tahun 2008,Conference of Directors of National Libraries (CDNL) merumuskan visi jangka panjang tentang pembangunan perpustakaan dunia digital (global digital library). CDNL sepakat untuk membangun suatu sistem distribusi global atas koleksi digital yang komprehensif, terbuka, terhubung tanpa ikatan, dan terakses universal melalui internet.Termasuk di dalamnya akses atas materi dalam koleksi lembaga pengelola warisan budaya maupun koleksi pribadi, guna kepentingan penelitian, pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat, inovasi dan pembangunan ekonomi, serta untuk mempromosikan kesepahaman internasional. Hal ini sesuai dengan harapan penguatan kolaborasi strategis dengan pemangku kepentingan lain seperti professional dalam bidang warisan budaya, lembaga pengelola warisan 7
budaya, lembaga ilmiah, organisasi pemerintah baik nasional maupun internasional, organisasi non pemerintah, penerbit, lembaga jasa informasi, dan organisasi swasta lainnya. Dalam kegiatan lain, lembagalembaga non pemerintah yang menangani warisan budaya bertemu secara rutin membahas perihal kepentingan bersama. Pertemuan informal ini disebut LAMMS Coordinating Council.Pertemuan ke 6 pada Desember 2011 memutuskan mengadopsi Statement of Principles on Global Cross Sectoral Digitisation Initiativesserta mempromosikannya di antara para anggota yang terdiri atas: 1. International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), 2. International Council on Archives (ICA),
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
3. Coordinating Council of Audiovisual Archives Associations (CCAAA), 4. International Council of Museums (ICOM), 5. International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) 6. International Council for Scientific and Technical Information (ICSTI)
Enam organisasi ini sepakat pada tujuan bersama dalam mengumpulkan, merekam, menata, menyimpan, melestarikan, dan memberikan akses pada warisan budaya serta karya intelektual dunia dalam bentuk dokumenter. (lihat lampiran)
PERKEMBANGAN ILMU DAN PROFESI Sebelum konvergensi menjadi praktik dan kesepakatan dunia,jauh sebelumnya (pertengahan dasa warsa 1990) dari kalangan akademik dalam hal ini W Boyd Rayward telah melontarkan prospek digital convergence pada lembaga informasi seperti perpustakaan, arsip, dan museum. Rayward yang memulai mengangkat wacana tentang informasi elektronik dan kemungkinan integrasi fungsi perpustakaan, arsip, dan museum (Marty, 2014). Mengapa Marty mengacu Rayward menjadi akademisi pertama yang mengemukakan konvergensi ini bertolak dari artikel Rayward pada 1996 berjudul Libraries, museums and archives in the digital future: The blurring of institutional distinctions yang disampaikan pada Second National Preservaton Conference di Canberra yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Australia. Yang kedua pada 1998 berjudul Electronic information and the functional integration of libraries, museums, and archives. Dalam buku History and electronic artefacts.
8
Yang menarik harus penulis sampaikan di sini adalah: jika Rayward memang termasuk akademisi pertama yang memikirkan konvergensi, baru pada 2004 konvergensi itu nyata di Kanada dengan disatukannya Perpustakaan Nasional Kanada dan Arsip Nasional Kanada menjadi Library and Archives of Canada (LAC). Wacana konvergensi di Amerika Serikat juga baru diawali pada 2005. Dapat penulis sampaikan bahwa kaum akademisi memang secara teori dan ketajaman analisanya sudah lebih dahulu memikirkan kemungkinan yang kiranya terjadi mendahului pemikiran para praktisi. Apakah kasus ini terjadi dalam dunia perpustakaan dan kepustakawanan di Indonesia? Sayang selama perjalanan panjang penulis (40 tahun) sebagai pustakawan sepertinya jarang terjadi scientificcolloquium antara akademisi dan praktisi.Kita lebih sering menyelenggarakan seminar atau rapat kerja. Argumen Rayward mengapa harus terjadi konvergensi dikarenakan dunia
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
semakin mendigital. Sumberdaya yang ada dalam perpustakaan, arsip, dan museum mengalami digitalisasi ataupun memang terlahir sudah digital. Semua itu lebih mudah terakses melalui jaringan global. Pengguna tidak perlu (mau) tahu di mana sebenarnya “informasi” yang dicari itu berada atau dari mana asalnya. Padahal di sisi pustakawan, arsiparis, dan museolog menyiapkan agar semua itu bisa tampil di internet dengan upaya professional. Di sinilah terjadi beda persepsi antara pengguna dan pihak penyelenggara layanan informasi. Cepat atau lambat hal itu akan berpengaruh pada profesi pengelola sumberdaya informasi. Mau tidak mau memang harus ada perubahan orientasi pada pendidikan calon professional di bidang perpustakaan, arsip, dan museum. Berbicara tentang Rayward, kebetulan penulis tengah menyiapkan buku tentang dokumentasi. Ilmu dokumentasi yang dibidani oleh Paul Otlet dan Henri La Fontaine pada 1895 kini muncul kembali dengan gerakan baru. Ini hanya mungkin terjadi karena upaya penelitian Rayward pada 1968 dalam rangka menyusun disertasi. Dapat dikata Rayward-lah yang menghidupkan lagi ide dan konsep dokumentasi Paul Otlet. Apakah suatu kebetulan jika Michael K Buckland pernah heran dengan bangkai burung dalam museum zoology di kampusnya? Keheranan itu terjawab dengan artikel
9
Suzanne Briet’s pada Tahun 1951 yang berjudul Qu’est-ce que la documentation?Artikel tersebut diperloleh dari Rayward. Sejak itu Buckland mempelajari lebih dalam tentang dokumentasi yang lahir di Eropa. Adalah Niels Windfeld Lund di Norwegia yang merasakan kekecewaan dengan sekolah tempat dia mengajar (Royal School of Library and Information Science in Denmark). Dia mengusulkan Studi Dokumentasi namun ditolak karena ada anggapan bahwa dokumentasi adalah ”kuno”. Namun pada 1995 dia diminta membangun Documentation Science di Universitas Trompso, universitas paling utara di Norwegia. Kerjasama dengan Universitas California, Berkeley, School of Information Management and Systems,Lund membangun Documentation Academy Meeting (DOCAM) pada 2003. Kini pertemuan itu diselenggarakan tiap tahun.W Boyd
Rayward, Michael K Buckland, dan Niels Windfeld Lundkemudian mengusung gerakan baru dokumentasi (neodocumentation atau neo-documentalist). Ilmu dokumentasi sepertinya yang akan menjadi ilmu inti dalam konvergensi perpustakaan, arsip, museum, dan lembaga dokumenter lainnya.
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
PELUANG KITA Sampai di sini telah dibahas kesepakatan internasional dalam berkolaborasi untuk mengelola warisan budaya dan intelektual dunia. Menyadari situasi dan semangat internasional tersebut, kita sebagai bangsa tentu tidak ingin hanya menjadi penonton apalagi sebagai pecundang akibat kesepakatan global itu. Artinya sebagai bangsa kita juga harus menyiapkan diri untuk berhasil memanfaatkan peluang. Kata peluang secara bebas dapat diartikan sebagai situasi atau kondisi yang menguntungkan jika dimanfaatkan.Lalu apa yang dapat dikerjakan mulai dari lingkungan kita sendiri? Penulis maksudkan lingkungan kita sendiri adalah Universitas Pendidikan Ganesha, khususnya Jurusan Perpustakaan pada Fakultas Ilmu Sosial. Sekolah perpustakaan jelas terletak dalam semesta kesepakatan global tersebut. Seperti dalam sejarah telah terbukti bahwa awal sekolah perpustakaan dibangun karena meningkatnya kebutuhan akan pustakawan sebagai akibat ledakan pustaka. Jika kini ada kesepakatan global yang mengarah pada konvergensi dari beragam lembaga pengelola warisan budaya dan intelektual, maka sekolah perpustakaan juga harus bertransformasi agar siap menghadapi konvergensi itu. Jika sampai saat kini objek studi sekolah perpustakaan kebanyakan masih berfokus pada pustaka (meski sudah juga memasukan format digital), objek studi sekolah perpustakaan ke depan harus berfokus pada beragam format dari 10
keanekaragaman objek warisan budaya dan intelektual dunia. Berarti harus ada paradigma atau bahkan filosofi baru dari sekolah perpustakaan. Hal ini bisa saja menjadikan sekolah perpustakaan harus mengubah namanya. Pertanyaan pertama adalah, maukah sekolah perpustakaan bertransformasi? Andaikan mau, segera saja dapat diduga akan tidak mudah melaksanakan transformasi itu. Berbagai hambatan akan muncul. Dapat dikata, hambatan pertama tentu muncul dari pihak birokrasi pendidikan kita. Tidak mudah memodifikasi aturan kaku yang digariskan. Apalagi dengan adanya ketentuan baru tentang rumpun keilmuan dalam pendidikan tinggi. Karena itu muncul pertanyaan kedua yaitu, beranikah sekolah perpustakaan melakukan transformasi? Untuk menjawabnya tentu harus diukur terlebih dahulu kekuatan tawar jika berhadapan dengan birokrasi. Dalam hal ini sekolah perpustakaan harus dapat merumuskan strategi dan taktik transformasi yang direncanakan. Khusus mengenai Jurusan Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha, penulis berpendapat bahwa Jurusan ini berpeluang bertransformasi menuju puncaknya sebagai Bali School of Cultural Heritage Management (BSCHM).Pendapat ini bukan sekedar mengada-ada! Dengan melihat aset yang dimiliki Bali dalam warisan budaya, kemungkinan itu sangat besar. Apalagi
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
masih banyak warisan budaya baik artefak maupun non artefak yang belum terkumpul, terkelola, dan tersedia aksesnya secara lengkap dan benar. Ingat kalimat pertama mengawali tulisan ini: Benda-benda itu amat berharga dan bisa menjadi sumber kekayaan tak ternilai bagi negara di masa modern ini jika diperlakukan dengan benar.Memang sumber kekayaan itu harus benar dikelola tidak hanya bermodalkan pengetahuan dan ketrampilan, namun juga kebijaksanaan. Pengetahuan, ketrampilan dan kebijaksanaan dalam mengelola warisan budaya itulah yang bisa ditawarkan oleh Bali School of Cultural Heritage Management (BSCHM). Saat ini memang Jurusan Perpustakaan Universitas
Pendidikan Ganesha baru memiliki program D3 Perpustakaan. Pada program inilah ketrampilan teknis perpustakaan dipelajari. Bertolak dari yang sudah ada ini dapat ditambahkan D3 Kearsipan maupun D3 Permuseuman yang mempelajari teknik kearsipan dan teknik permuseuman. Selanjutnya pada jenjang di atasnya (D4 atau S1) mulailah dipelajari hal terkait manajemen lembaga pengelola warisan budaya. Pada tingkat selanjutnya (S2) dipelajari hal menyangkut kebijaksanaan dan pengembangan. Karena keunikan budaya dan keberadaan Bali, bukan tidak mungkin akanjuga menarik minat mahasiswa asing.
RANGKUMAN •
• • • • • •
11
Konvergensi yang dimaksud adalah memfokusnya (mengerucutnya) fungsi perpustakaan, arsip, dan museum pada fungsi pengelolaan warisan budaya dan karya intelektual dunia. Secara eksplisit penulis usulkan istilah warisan dokumenter budaya dan karya intelektual dunia (WDB & KID). Konvergensi ini sudah menjadi kesepakatan global yang diakui oleh: IFLA, ICA, CCAAA, ICOM, ICOMOS, dan ICSTI. Disepakati pada Desember 2011. Indonesia adalah anggota dari beberapa organisasi tersebut, dengan sendirinya juga terikat dalam pelaksanan kesepakatan itu. Pertanyaan mendasar apakah Indonesia akan mendapat keuntungan atau malah menjadi pecundang karena kesepakatan itu? Sekolah perpustakaan jelas memainkan peran penting dalam menyiapkan manusia pengelola warisan dokumenter budaya dan intelektual dunia. Ilmu dokumentasi akan menjadi ilmu inti yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam konvergensi lembaga dokumenter. Mau, berani, dan mampukan sekolah perpustakaan di Indonesia bertransformasi untuk siap bermain dalam permainan tersebut?
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
•
Menyiapkan Konvergensi
Jurusan Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha mempunyai peluang besar untuk bertranformasi.
BACAAN Duff, Wendy M and Jennifer Carter (2013) From coexistence to convergence: studying partnerships and collaboration among libraries, archives and museums. Information Research,vol. 18 no. 3, September, 2013 Helen R. Tibbo and Wendy Duff (2008) Toward a digital curation curriculum for museum studies: a North American perspective. Annual Conference of CIDOC. Athens, September 15 – 18. LAMMS Coordinating Council Secretariat (2012) Statement of Principles on Global Cross Sectoral Digitisation Initiatives. The Hague, Netherlands. Marty, Paul F. (2014) Digital Convergence and the Information Profession in Cultural Heritage Organizations: Reconciling Internal and External Demands. Library Trends, Vol. 62, No. 3. Rahmawati, Ratih dan Blasius Sudarsono (2012) Perpustakaan Untuk Rakyat. Jakarta: Sagung Seto – Kappa Sigma Kappa Indonesia. Ribeiro, Fernanda (2007) An Integrated Perspective for Professional Education in Libraries, Archives, and Museum: A New Paradigm, A New Training model. Journal of Education for Library and Information Science. Spring, 2007; 48, 2. Royal Society of KanadaExpert Panel Report(2014) The Future Now: Kanada’s Libraries, Archives, and Public Memory. Ottawa, Kanada. Urban, Richard J; Laura-Edythe Coleman; and Paul F. Marty (2014) Libraries, Archives, and Museums: Connecting Educational Communities and Cultures, ASIST, November 1-4. Yudhawasthi, C. Musiana (2014) Kolaborasi Perpustakaan, Lembaga Arsip dan Museum: Sebuah Upaya Membangun Lembaga Informasi yang Memorable & Experience. Makalah disampaikan dalam 12
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
Seminar Nasional Informasi Sebagai Aset Bangsa Dalam Rangka HUT Ilmu Perpustakaan & Informasi Indonesia Ke-62 Di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Jakarta, 9 Juli 2015 BS Lampiran
13
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
Statement of Principles on Global Cross Sectoral Digitisation Initiatives A shared vision for global digital heritage To this end IFLA, ICA, CCAAA, ICOM, ICOMOS and ICSTI adopt the CDNL recommendations and will promote these recommendations through its international constituency: Notwithstanding the fact that cultural heritage institutions operate in different environments, the above institutions encourage cultural heritage professionals in heritage institutions and/or with private collections to: 1. promote, encourage, and support the development of collaborative digital collections of all types; 2. promote and support the connecting of the digital collections of national cultural heritage institutions, and in cross sectoral dialogue with one another, to provide a window to the cultures of the world and to open up their rich and diverse holdings; 3. support cultural and linguistic diversity and multilingualism, and also respect indigenous cultures and cultural property; 4. promote the development of digital tools, products and services and common standards through standard setting organisations within their own organisations and through the International Internet Preservation Consortium (IIPC), and with a particular focus on critical issues such as long-term digital preservation, authenticity, and understanding the needs of our users; 5. ensure that learning on digital collection developments and best practice are shared between cultural heritage professionals, whether in cultural heritage institutions or working with private collections, at a cross sectoral level; 6. increase digital capability and support digital developments by cultural heritage professsionals, whether in cultural heritage institutions or working with private collections in the developing world; 7. work for widespread appreciation of the importance of intellectual property issues in the digital age; 8. advocate for solutions to intellectual property issues which strike the appropriate balance between the crucial public interest in ensuring access to information and ideas and also the rights of creators to be recognised and rewarded for their work; 9. advocate for the development of the global digital collections and for regulatory support (particularly through legal deposit and intellectual property regimes) and financial support for digital developments; 10. strengthen the strategic collaboration of cultural heritage professionals, through their cultural heritage institutions or through their private collections, with national and international government organisations, publishers, information providers, and other private sector organisations.
14
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015
Blasius Sudarsono
Menyiapkan Konvergensi
Long-term access to cultural heritage IFLA, ICA, CCAAA, ICOM, ICOMOS and ICSTI • Facilitate discussion and promote understanding of and cooperation on matters of common interest to the international cultural heritage sector in the areas of copyright, cultural heritage protection and recovery, effective advocacy and lobbying at international level, and long term preservation of and access to its institutions cultural heritage. • Support the promotion, facilitation and advocating for long-term access to the cultural heritage, in all formats, preserved by cultural heritage professionals, whether in private collections, or in the cultural heritage institutions of the world. • Are committed to cultural and linguistic diversity. • Promote mutual understanding as well as the sharing of best practices, mutual support and professional networking. • Seek to facilitate the cross sectoral collaboration of cultural heritage institutions and cultural heritage professionals, and the integration of access to collections for the benefit of the global community.
15
ACARYA PUSTAKA Volume 1, No. 1, Juni 2015