PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN (TINDAK) KEKERASAN YANG DILAKUKAN KELUARGA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL (Studi Kasus Di Kota Medan)
TESIS
Oleh: Muhammad Ansori Lubis 017005025/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2007 Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL TESIS KORBAN
:
PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
ANAK
(TINDAK) KEKERASAN YANG DILAKUKAN KELUARGA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL (Studi Kasus di Kota Medan) NAMA MAHASISWA : MUHAMMAD ANSORI LUBIS NOMOR POKOK : 017005025 PROGRAM STUDI
: Magister Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Chainur Arrasyid, SH. Ketua
Prof. Muhammad Daud, SH. Anggota
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS. Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH B.Msc NIP: 131 570 455
Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa NIP: 130 535 819
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan shalawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW atas terselesaikannya penulisan hasil penelitian tesis ini yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan Yang Dilakukan Keluarga Dalam Upaya Pembentukan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus di Kota Medan)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan, saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, Bapak Prof. Muhammad Daud SH dan Bapak Prof.Dr. Alvi Syahrin, SH.MS, atas kesediaannya membantu dalam rangka memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada para Dosen Penguji di luar komisi pembimbing yaitu, yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Prof. Warsani, SH., dan Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH., yang juga telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium sampai seminar hasil menjadi lebih sempurna dan terarah. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, dan Ibu Dr. Sunarmi, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Para Ibu dan Bapak Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Ilmu Hukum yang membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi, atas jasa dan budi baik para Ibu dan Bapak Dosen, penulis ucapkan terima kasih. 4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dalam memperlancar manajemen administrasi yang dibutuhkan. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
5. Para responden khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai perhatian di bidang perlindungan anak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan berupa data dan informasi yang penulis butuhkan dalam rangka penulisan tesis ini. 6. Ibu Sariaty PR. Siregar Br. Pardede selaku Ketua Umum Yayasan Perguruan Darma Agung yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 7. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, selaku Rektor Universitas Darma Agung tempat penulis bekerja yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 8. Bapak Faisal Akbar Nasution, SH.M.Hum., dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH.MS, selaku Dekan dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung yang telah memberikan dorongan dan masukanmasukan dalam penulisan tesis ini. 9. Rekan-rekan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu Antoni Tarigan, SH.CN, Majda El Muhtaj, M.Hum., Marlia Sastro, M.Hum, Habibie, SH, yang selalu memberikan bantuan, dorongan dan motivasi kepada penulis dalam rangka penyelesaian studi pada Program Magister Ilmu Hukum dan juga rekan-rekan di Fakultas Hukum UDA, Syawal A. Siregar, SH.Sp.N.MM, Alusianto Hamonangan, SH., Drs. Usman Marpaung, Manahan Nainggolan, SE dan Lanna Siregar, ST. Secara khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Ayahanda Alm. Haji Adam Nurdin Lubis dan Ibunda Hj. Nurhayati terima kasih buat do’a dan cintanya. Buat isteriku tercinta Dra. Maya Linsa Sipahutar serta anak-anakku tersayang Febby Putri Anasya Lubis, Muhammad Fadhil Lubis dan Alm. Nazwa Puteri Lubis terima kasih atas pengertian dan pengorbanan serta do’anya selama penulis mengikuti perkuliahan. Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang berlimpah dari Allah SWT. Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum, meski keberadaannya bagaikan setetes air di atas lautan yang luas dan dalam. Amin.
Medan, Pebruari 2007 Penulis,
Muhammad Ansori Lubis
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN (TINDAK) KEKERASAN YANG DILAKUKAN KELUARGA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL (Studi Kasus Di Kota Medan) Muhammad Ansori Lubis *) Chainur Arrasyid **) Muhammad Daud **) Alvi Syahrin **)
INTISARI Kekerasan terhadap anak atau violence (terutama child abuse, sexual exploitation dan economic exploitation) masih terus berlangsung. Di Indonesia, puluhan ribu perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi tujuan pelancong seks dari luar negeri. Selain menjadi komoditas seks, ada berjuta-juta anak Indonesia yang terpaksa bekerja sebelum waktunya secara tidak layak dalam berbagai bentuk pekerjaan seperti mengemis, menjajakan surat kabar di jalanan atau mengais-ngais gundukan sampah. Menurut taksiran, dewasa ini diperkirakan jumlah anak Indonesia usia di bawah 14 (empat belas) tahun yang secara ekonomis aktif adalah sekitar 2 sampai 4 juta anak. Tetapi sekedar angka saja, tidak dapat menggambarkan penderitaan fisik, intelektual, emosional dan moral yang harus ditanggung pekerja anak. Angka itu tidak mengungkapkan bagaimana hari depan seorang anak yang tidak berpendidikan, hari depan seseorang tanpa harapan akan perbaikan. Bentuk kekerasan yang dialami anak, bukan saja berasal dari kondisi atau keadaan keluarga dan bangsa, tetapi juga berasal dari perlakuan anggota keluarganya sendiri. Kekerasan di rumah tidak terjadi begitu saja tetapi ada kondisi sosial-budaya yang mendukung terjadinya kekerasan tersebut. Kondisi tersebut secara minimal dapat dikategorikan menjadi kondisi budaya, kondisi sosial dan kondisi ekonomi sedangkan bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual. Berdasarkan uraian di atas, permasalahannya adalah : (1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak menurut hukum positip; (2) bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dalam upaya pembentukan hukum pidana nasional.
_______________________ Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU. **) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hasil penelitian dalam tesis ini adalah menunjukkan bahwa pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap anak tidak diatur secara tersendiri, pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 23 Tahun 2004, UU No. 4 Tahun 1979, UU No. 3 Tahun 1999, sehingga dari berbagai peraturan perundangan tersebut tidak dijumpai keseragaman defenisi tentang anak dan batas usia siapa yang disebut dengan anak tersebut, untuk itu dalam pembentukan KUHP Nasional perlu ditegaskan batasan umur anak yang dapat dijadikan acuan bagi hukum positif khususnya dibidang perlindungan anak. Sedangkan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dalam pembentukan KUHP Nasional perlu diatur secara tegas tentang hak-haknya, yang dalam hal ini perlu diatur pertanggung jawaban perdata pelaku tindak kekerasan terhadap anak disamping pertanggung jawaban pidana. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa perkembangan menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan keluarga pada kenyataannya sering terjadi dalam kehidupan masyarakat sementara perlindungan terhadap anak korban kekerasan masih sebatas pemberatan hukuman kepada si pelaku tanpa memberikan ganti rugi kepada si korban. Kewajiban negara secara yuridis akan bergantung pada hukum positif yang ada di dalam negara tersebut untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap seorang anak, dan usaha perlindungan terhadap anak harus didukung oleh adanya hukum perlindungan anak yang efektif dan komprehensif. _________________________ Kata kunci : - Perlindungan Anak - Kekerasan terhadap anak - Pembentukan Hukum Pidana Nasional
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Law Protection Against Child Abuse Committed by Family in Efforts of Forming National Criminal Law (Case Study in Medan Town) Muhammad Ansori Lubis ∗ Chainur Arrasyid ∗ ∗ Muhammad Daud ∗ ∗ Alvi Syahrin ∗ ∗
ABSTRACT Violence against child (mainly child abuse, sexual exploitation and economic exploitation) has still been continuing. In Indonesia, thousands of girls under 18 years old, wander about in the afternoon and night as sex commodity, either to domestic sex marketing or foreign countries. An international organization predicts that Indonesia will be tourist sight-seer aim soon from abroad. Besides being sex commodity, there are millions of Indonesian children being forced to work before unreasonable time in various jobs as begging, peddling news paper in the street or scraping pile of rubbish. According to estimation, now a days it is estimated that there are around 2 or 4 million Indonesian children under 14 years old being active economy, but it is only in number, it can’t describe physical, intellectual, emotional and moral anguish that must be born by child worker. That number doesn’t express how a child’s future who doesn’t have education, without hope for improvement. The form of violence experienced by a child is not only from family and nation condition but also from his own family’s treatment. Violence at home doesn’t happen just like that but there is cultural social condition that supports the violence to happen. Minimally, that condition can be categorized to be cultural condition, social condition and economic condition while the form of violence experienced by a child can be violence actions in physics as well as mental and sexual. Based on the description above, the problems are (1) how law protection against child according to positive law; (2) how law protection against child abuse committed by family in efforts of forming national criminal law.
∗ **
Student of study Program of Law Magister in Post Graduate of North Sumatera University. Lecturer of Study in Law Magister of Post Graduate in North Sumatera University.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Research methode used is research methode of normative juridical law and sociological jurisdiction. The result of research in this thesis indicates that the arrangement of law protection against child is not arranged separately, the arrangement spreads in various legislation regulation as in regulation No. 23 year 2002, regulation No. 23 year 2004, regulation No. 4 year 1979, regulation No. 3 year 1999, with the result that from various legislation regulations are not found the same definition about child and whose age limit is said to that child, for that, in forming National KUHP needs explaining the child age limit that can be made in to a proposal for positive law, especially in child protection field, while law protection against child abuse committed by family in forming National KUHP needs arranging firmly about child’s rights, in this case, it needs arranging the responsibility of violence doer court of justice against child besides the responsibility of criminal. This is based on the consideration thet development indicates violence committed by family often happens in reality in society life while protection against child abuse is still severe punishment for the doer without giving compensation to the victim, juridically, country obligation will depend on positive law its self in thet country so that it can give reasonable protection against a child, and protection efforts against child must be supported by effective and comprehensive child protection law. ____________________ Keyword : - Protection child - Violence against child - Reforming the National Criminal Law
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… i
BAB I
: PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 A. Latar Belakang …………………………………………………. 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………………. 7 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 7 D. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8 1. Bagi Ilmu Pengetahuan ……………………………………… 8 2. Bagi Pemerintah/ Penegak Hukum ………………………….. 8 3. Bagi Masyarakat …………………………………………….. 8 E. Keaslian Penelitian …………………………………………….. 8 F. Metode Penelitian ……………………………………………… 9 1. Jenis Penelitian ……………………………………………… 9 2. Metode Kajian (Pendekatan) ……………………………….. 9 3. Sifat dan Bentuk Penelitian ………………………………… 10 4. Lokasi Penelitian …………………………………………… 11 5. Alat Pengumpulan Data ……………………………………. 11 6. Pengolahan, Analisis dan Konstruksi Data ………………… 12
BAB II
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK KEKERASAN A. Anak 1. Pengertian Anak …………………………………………….. 14 2. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia ……………….. 23 3. Convention on the Rights of the child/Konvensi Hak Anak
25
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
B. Child Abuse / Kekerasan Pada Anak 1. Psikologi Perkembangan Anak ……………………………... 49 2. Viktimologi/ Ilmu Pengetahuan mengenai korban …………. 54 3. Kekerasan pada Anak di dalam keluarga (Domestic Child Abuse) ……………………………………………………… 60 C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Tindak Kekerasan ... 65
BAB III
: KAJIAN TERHADAP KEKERASAN ANAK A. Kajian Empiris ………………………………………………..
83
B. Kajian Normatif ………………………………………………. 92 1. Keterbatasan Kerja Hukum ………………………………… 92 2. Perbedaan Dalam Mengartikan “Child abuse” di Indonesia . . 93 3. Perlindungan Yang Dapat Diberikan Hukum ……………… 97
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Anak Dalam Keluarga …………………………. 117 B. Perlindungan Anak Dalam Masyarakat ………………………. 126 C. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Anak ……………………… 128 D. Usaha-usaha Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan 132 E. Kekerasan Dikaitkan Dengan Pembentukan KUHP Nasional…135
BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …………………………………………………… 138 B. Saran ………………………………………………………….. 139
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 141
DAFTAR ISI Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… i
BAB I
: PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 A. Latar Belakang …………………………………………………. 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………………. 2 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 2 D. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 2 E. Keaslian Penelitian …………………………………………….. 2 F. Spesifikasi Penelitian…………………………………………… 2
BAB II
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK KEKERASAN A. Anak 1. Aspek Agama ……………………………………………..
4
2. Aspek Sosiologis ……………………….. ………………..
5
3. Aspek Hukum………………………………………………
5
B. Child Abuse / Kekerasan Pada Anak………………………….
7
C. Kekerasan pada Anak di dalam keluarga (Domestic Child Abuse)……………………………………..………………….
9
D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Tindak Kekerasan ... 11
BAB III
: KAJIAN TERHADAP KEKERASAN ANAK A. Kajian Empiris ………………………………………………..
14
B. Kajian Normatif ………………………………………………. 15 1. Keterbatasan Kerja Hukum ………………………………… 16 2. Perbedaan Dalam Mengartikan “Child abuse” di Indonesia . .16 3. Perlindungan Yang Dapat Diberikan Hukum ……………… 17 Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Anak Dalam Keluarga …………………………. 19 B. Perlindungan Anak Dalam Masyarakat ………………………. 21 C. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Anak ……………………… 22 D. Usaha-usaha Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan 24 E. Kekerasan Dikaitkan Dengan Pembentukan KUHP Nasional… 25
BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …………………………………………………… 27 B. Saran ………………………………………………………….. 28
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 29
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang berkedudukan mulia. Keberadaannya, melalui proses penciptaan yang dimensinya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transedental dari proses ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur Ilahiah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dari proses keyakinan (Tauhid Islam)
(1)
Penjelasan kedudukan anak dalam Agama Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra’ ayat (70) yang terjemahannya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan Anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
(2)
Penjelasan Surah Al-Qur’an tersebut diikuti dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya “Semua anak dilahirkan atas kesucian, sehingga ia jelas bicaranya, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan menjadi Yahudi atau Nasrani atau Madjusi
(1)
(2)
(3)
(3)
Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum perlindungan Anak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 6 T. M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, 1971, Al-qur’an Dan Terjemahannya, Khadim al Haramain asy Syasifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Hadist Ibn Maja, Al-Thabrani dan Al-Baihaqi, dalam Maulana Hassan Wadong, Loc.cit
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Pernyataan yang diberikan oleh Islam menjadi perhatian bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum yaitu Hukum Perlindungan Anak, baik dalam melakukan perlindungan, pembinaan, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya mempunyai tujuan menjadikan anak sebagai khalifah di tengah masyarakat. Negara Indonesia sebagai negara hukum, masalah perlindungan terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Pernyataan dari pasal tersebut, menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalam mendapat perlindungan hukum. Begitu pula arah kebijakan di bidang hukum, yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, di antaranya “menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.” Berdasarkan arah kebijakan di bidang hukum yang tertuang dalam GBHN tersebut, dapat dikatakan bahwa masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan, yang dilakukan oleh keluarga. Bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga, merupakan bagian yang terkecil dari bentuk kekerasan yang dialami anak. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Setiap hari, jutaan anak di seluruh dunia berhadapan dengan bahaya. Mereka menjadi korban peperangan, kekerasan, diskriminasi rasial, apartheid, agresi, pendudukan dan aneksasi. Setiap hari, jutaan anak menderita akibat kemiskinan dan krisis ekonomi
(4)
Di Indonesia, puluhan ribu perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi tujuan para pelancong seks dari luar negeri. (5) Selain menjadi komoditas seks, ada berjuta-juta anak Indonesia yang terpaksa bekerja sebelum waktunya secara tidak layak dalam berbagai bentuk pekerjaan, seperti mengemis, menjajakan surat kabar di jalanan atau mengais-ngais gundukan sampah. Menurut taksiran, dewasa ini diperkirakan jumlah anak Indonesia usia di bawah 14 (empat belas) tahun yang secara ekonomis aktif adalah sekitar 2 sampai 4 juta anak. Tetapi sekedar angka saja, tidak dapat menggambarkan penderitaan fisik, intelektual, emosional dan moral yang harus ditanggung pekerja anak. Angka itu tidak mengungkapkan bagaimana hari depan seseorang anak yang tidak berpendidikan, hari depan seseorang tanpa harapan akan perbaikan. Pekerja anak, merupakan pelanggaran yang tidak dapat dimaafkan atas hak-hak anak
untuk
mendapatkan
pendidikan, kebebasan, dan perlindungan dari
pemerasan. (6) Hal yang mengejutkan, adalah kenyataan bahwa masalah pekerja anak
(4) (5) (6)
Forum Keadilan, No. 11, 30 Juni 2002, hal. 11 Ibid Hadi Setia Tunggal (Ed), 2000, Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Rights of the Child), Harvarindo, hal, iii-iv
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
bukan saja mengancam hari depan anak secara individu, melainkan yang sangat berbahaya bagi hari depan bangsa dan negara di kemudian hari, karena masa depan negara terletak di tangan anak-anak masa kini. Bentuk kekerasan yang dialami anak, bukan saja berasal dari kondisi atau keadaan keluarga dan bangsa, tetapi juga berasal dari perlakuan anggota keluarganya sendiri. Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual. Seperti yang terjadi di kota Binjai Sumatera Utara awal April 2003, yaitu seseorang Abang mencabuli 2 (dua) orang adik kandungnya. Seorang ibu di kota Subang-Jawa Barat, awal Agustus 2003 menganiaya anak kandungnya hingga tewas. Peristiwa yang dialami seorang gadis cilik yang berusia 9 (sembilan) tahun di Tegal-Jawa Tengah, awal Mei 2003 yang dicabuli oleh ayah angkatnya. Seorang ibu di Tangerang awal Januari 2006 tega membakar anaknya hingga meninggal dunia seperti yang dialami Indah yang berusia 3 tahun. Dalam penelitian ini selain peneliti melihat perlindungan hukum yang telah diberikan terhadap anak korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang lain juga melihat tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan studi kasus di kota Medan. Hal ini dilakukan karena tindak kekerasan terhadap anak di Medan meningkat dari tahun ke tahun. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kasus yang sedang ditangani Polisi Kota Besar (Poltabes) Medan yaitu tahun 2003 dan Januari 2004 dengan jumlah kasus 168 kasus. Tindak kekerasan yang dialami anak tidak saja diterimanya dari orang lain tetapi juga dari keluarganya sendiri. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
“Keluarga dan Kekerasan” sekilas seperti sebuah paradoks. Kekerasan bersifat merusak, berbahaya dan menakutkan, sementara di lain sisi keluarga diartikan sebagai lingkungan kehidupan manusia, merasakan kasih sayang, mendapatkan pendidikan, pertumbuhan fisik dan rohani, tempat berlindung, beristirahat dan sebagainya, yang diterima anak dari anggota keluarganya hingga ia dewasa dan sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Apabila seorang anak mendapat tindak kekerasan dari keluarganya siapa yang menanggung kerugian yang dideritanya. Kerugian anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga tidak saja bersifat material, tetapi juga immaterial antara lain berupa goncangan emosional dan psikologis yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masa depannya. Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34, ditentukan bahwa kerugian yang diderita korban kejahatan meliputi kerugian fisik maupun mental (psysical on mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economie loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka (substansial impairment of their fundamental right). Selanjutnya dikemukakan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban
(7)
Dalam hukum pidana positif yang berlaku, kerugian yang dialami anak sebagai korban tindak kekerasan belum secara konkrit diatur. Artinya hukum pidana positif
(7)
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54-55
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, yaitu dengan adanya berbagai perumusan
tindak
pidana
dalam
perundang-undangan.
Sistem
sanksi
dan
pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Perlindungan anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga hanyalah berupa pemberatan sanksi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 356 ayat (1) KUHP, yang menentukan: “Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya 1e. Jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, isterinya (suaminya) atau anaknya”. Hal yang sama diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan sebagai berikut : (1). Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi, b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. ketidak adilan dan f. perlakuan salah lainnya. (2). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukanlah pertanggung jawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual. Di sisi lain dalam Pasal 51 ayat (2) Konsep KUHP tahun 2004, salah satu yang wajib dipertimbangkan hakim dalam pemidanaan adalah pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. Uraian dalam Rancangan KUHP tersebut, telah lebih luas memberikan perlindungan terhadap korban dibanding dengan pasal perundang-undangan yang tersebut di atas, akan tetapi masih berupa perlindungan secara tidak langsung kepada korban.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi permasalahan adalah : 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak menurut hukum positip Indonesia ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dikaitkan dengan pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap anak yang berlaku saat ini dan juga untuk Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mengetahui
perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan
dalam
keluarga dikaitkan dengan pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini secara umum diharapkan mempunyai manfaat/faedah yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam mendalami pengetahuan tentang perlindungan anak dan peradilan pidana anak. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya. 2. Bagi Pemerintah/Penegak Hukum Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan dan menjadi salah satu alternatif bagi pemerintah/penegak hukum dalam membenahi/penegakan hukum dalam rangka perlindungan anak di Indonesia, terutama dalam pembentukan hukum pidana nasional. 3. Bagi Masyarakat
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipublikasikan, sehingga masyarakat mendapatkan informasi tentang perlindungan anak korban kekerasan dalam keluarga dalam kaitannya dengan pembentukan hukum pidana nasional Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian dengan judul: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan Yang Dilakukan Keluarga Dalam Upaya Pembentukan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus di Kota Medan), sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder. 10 Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menemukan hukum in concreto. 11
10
11
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 10 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 43, membagi penelitian hukum doktrinal atas : a). penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah hukum positip, b) . penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Penelitian untuk menemukan hukum bagi suatu perkara in concreto merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu perkara tertentu dan dimanakah bunyi peraturan hukum itu dapat diketemukan. 12 Perkara tertentu dalam penelitian ini adalah perkara tindak kekerasan keluarga terhadap anak, akan tetapi terlebih dahulu melihat perkara tindak kekerasan yang dialami anak selain dari keluarganya sendiri. 2. Metode Kajian (Pendekatan). Metode Kajian (pendekatan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah perpaduan antara metode normatif analitis dan sosiologis. a. Metode kajian normatif analitis yaitu melihat hukum sebagai suatu peraturan yang abstrak atau sebagai lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. b. Metode kajian sosiologis, yaitu melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, metode ini memusat kan perhatiannya pada pengamatan mengenai efektivitas dari hukum. 13 Metode kajian normatif analitis dilakukan dengan meneliti data sekunder atau bahan-bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Metode kajian sosiologis dilakukan dengan meneliti data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari masyarakat. 3. Sifat dan Bentuk Penelitian. 12
13
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. cit, hal. 22 Bambang Sunggono, Op. cit, hal. 70
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif dengan bentuk preskriptif.
a. Deskriptif ialah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya.
14
Data
yang diaturkan dan ditafsirkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. b. Preskriptif ialah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 15
4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Ditetapkan Kota Medan sebagai tempat penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan kekerasan terhadap anak yang tinggi. 5. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder yang terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: a). Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945. b). Peraturan Dasar: 1). Batang Tubuh UUD 1945; 2). Ketetapan MPR
14
15
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (VI-Press), Jakarta, hal. 10 Ibid.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c).
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan.
d). Traktat, dalam hal ini konvensi Hak-hak Anak 5). Bahan hukum dari zaman penjajahan, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Bahan hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. 3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus.
b. Wawancara dan Kuesioner. Digunakan untuk memperoleh data primer dari responden dan narasumber.
6. Pengolahan, Analisis dan Konstruksi Data Di dalam penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. 16 Dalam melakukan analisis data, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Memilih data sekunder yang sesuai dengan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan. 16
Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 251
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
b. Membuat sistematika dari pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan anak korban tindak kekerasan. Data dianalisis secara logis, sistematis, dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Analisis data secara logis berarti cara berfikir yang digunakan runtut, tetap dan tidak ada pertentangan di dalamnya, sehingga kesimpulan yang ditarik dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Sistematis maksudnya setiap analisis saling kait mengkait karena merupakan satu kesatuan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Metode induktif maksudnya adalah dari data yang khusus ditarik kesimpulan yang umum setelah dibandingkan dengan studi kepustakaan mengenai perlindungan hukum anak dalam peradilan pidana anak. Selanjutnya berbagai ketentuan hukum terkait dengan perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana anak diterapkan pada data yang diperoleh (induktif). Menggunakan metode deduktif dan metode induktif, dapat diketahui perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana anak. Dari pembahasan dan analisis ini diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang dirumuskan/yang diangkat dalam penelitian ini.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB II PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK KEKERASAN
A. Anak 1. Pengertian Anak Pengertian anak dapat dilihat dari aspek yang sangat luas baik dari aspek agama, sosiologi hukum dan sebagainya. 1. Aspek Agama Pengertian anak menurut pandangan agama Islam dapat dilihat dari hikmah penciptaan manusia. Bahwa Allah SWT, pencipta alam ini telah memuliakan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
manusia. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat (70), Allah berfirman “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. Di antara kemuliaan yang paling besar yang Allah berikan kepada manusia adalah akal. Adanya akal menjadikan manusia mampu mengenal pencipta-Nya, mengenal makhluk-makhluk lain-Nya, mengambil petunjuk untuk mengenal sifatsifat-Nya dengan hikmah dan amanah yang Allah titipkan pada dirinya. 17 “Dari hikmah penciptaan manusia, Islam memandang pengertian Anak sebagai suatu yang mempunyai kedudukan mulia. Anak dalam bahasa Arab disebut “walad”, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh. Memandang anak dalam kaitan dengan perkembangan membawa arti bahwa: a. anak diberi tempat khusus yang berbeda dunia dan kehidupannya sebagai orang dewasa. b. Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya“ 18 “Hikmah penciptaan manusia dari arti kata anak itu sendiri, meletakkan kedudukan anak menjadi tanggung jawab orang tua. Tanggung jawab dimaksud adalah tanggung jawab Syari’ah Islam yang harus diemban dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Islam juga meletakkan tanggung jawab tersebut pada 2 aspek yaitu aspek duniawiah yang meliputi kesejahteraan, keselamatan di dunia dan aspek ukhrawiah yang meliputi pengampunan/pahala dari pembina, pemelihara dan pendidikan di dunia” 19 Tanggung jawab orang tua terhadap anak bermakna dari amanah Allah, bahwa anak sebagai titipanNya. Tanggung jawab tersebut bermakna dari amanah Allah, 17
Imam Ghazali, 1998, Hikmah Penciptaan Makhluk, Lentera, Jakarta, hal. 108-109
18
Imam Jauhari, 2001, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Penelitian di kota Binjai), Tesis, hal. 92 Maulana Hassan Wadong, Op.cit, hal. 10
19
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
bahwa anak adalah titipan saja untuk kedua orang tuanya, akan tetapi untuk masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian ini melahirkan hak-hak yang harus diakui, diyakini dan dilaksanakan serta harus diterima anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Keharusan pelaksanaan dari hak-hak anak diperkuat dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat (31), yang terjemahannya : “Dan janganlah kamu membunuh anakanakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada mu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar.
Di antara hak-hak anak dalam pandangan agama Islam, yaitu: a. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya ( Q. S. Al-Baqarah ayat (233) ) b. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar (Q. S. Mujaadalah ayat (11)) c. Hak untuk mendapatkan nafkah orang tuanya (Q. S. Qashash ayat (12) ) Beberapa hak tersebut menunjuk bahwa tidak sepanjang hidup anak menerima hak yang demikian, akan tetapi perlu pembatasan antara yang dikatakan sebagai anak dan dewasa. Berarti sebelum dewasa masih dikatakan anak. Menurut Fiqih Islam, seseorang dewasa dengan salah satu tanda berikut ini: a. Cukup berumur 15 tahun Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
b. Keluar mani c. Mimpi bersetubuh. d. Mulai keluar haid bagi perempuan. 20 Dari aspek agama (Islam)
tidak ada kriteria baku yang memberi batasan
tentang pengertian anak, hanya atas dasar keadaan biologis atau pertumbuhan jasmani yaitu dengan menyebutkan kata akhil baligh sebagai batasan antara yang dikatakan anak dan dewasa. 2. Aspek Sosiologi Kedudukan anak dalam aspek sosiologi menunjukkan anak sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat bangsa dan negara. “Pengertian anak dalam makna sosial lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan dan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa, disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisik pertumbuhan mental spiritual yang berada di bawah kelompok usia orang dewasa.” 21
Pengertian anak dari aspek sosiologis juga dapat dilihat melalui pendapat Zakiah Darajat yang menyebutkan anak sebagai generasi muda . “Menurut beliau generasi muda terdiri atas masa kanak-kanak umur 0-12 tahun, masa remaja umur 13-20 tahun dan masa dewasa muda umur 21-25 tahun.
20
Sulaiman Rasyid, dalam Chairuh Bariah, 2003, Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Di Kota Medan (Menurut konvensi Hak Anak dan Hukum Islam), Tesis, hal. 19
21
Maulana Hassan Wadong, Op.cit, hal. 12
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 tahap: a. Masa bayi umur 0 - menjelang 2 tahun Pada masa bayi keadaan fisik anak masih lemah dan kehidupannya masih sangat tergantung pemeliharaan orang tuanya, terutama ibunya. b. Masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun. Sifat anak suka meniru apa yang dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam. Anak mulai mencari teman sebaya, ia mulai berhubungan dengan orangorang dalam lingkungannya, mulai terbentuk pemikiran tentang dirinya. c. Masa kanak-kanak terakhir antara 5-12 tahun. Tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat, suka bekerja, lebih suka bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka menolong, menyayangi, menguasai dan memerintah”. “Pada masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja adalah masa goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dinilai sebagai perbuatan nakal. Usia 21-25 tahun masih dapat dikelompokkan dalam generasi muda, walaupun dari perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa dan emosi yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
juga stabil, namun dari segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapannya.
22
“Generasi muda adalah harapan bangsa. Oleh
karena itu generasi muda perlu dibina dengan baik, agar mereka tidak salah jalan dalam hidupnya. Pembinaan generasi muda yang pertama-tama harus dilakukan dalam lingkungan keluarga. Keluarga tempat membentuk pribadi anak sejak kecil. Di samping
pembinaan di dalam keluarga, ada pula
pembinaan di luar keluarga, seperti sekolah dan kursus-kursus keterampilan. 23 Dari aspek sosiologis, batasan atau ukuran yang dapat dikatakan sebagai anak adalah adanya keterbatasan kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spiritual yang berada di bawah kelompok
usia orang
dewasa. 3. Aspek Hukum Dalam aspek hukum, pengertian anak dapat dilihat melalui beberapa perundang-undangan: a. Menurut hukum adat Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam peraturanperaturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana- sini masih mengandung unsur agama. 24 Pengertian tentang anak yang diberikan oleh hukum adat, bahwa anak dikatakan minderjarigheid (bawah umur), yaitu
22
23
24
Zakiah Darajat dalam, Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal. 1-2 Ibid. Abdurrahman, dalam M.G. Endang Sumiarni dan Chandera Halim, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 1
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika tidak dikuasai oleh orang tuanya maka dikuasai oleh walinya (voogd)nya. 25 b. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian. c. Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai enam belas tahun. d. Anak menurut Undang-undang Perkawinan: Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 seorang pria diizinkan kawin (dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin) sesudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dimintakan dispensasi. e. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.” f.
Menurut Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights of Child) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1984 dan disahkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990, mendefinisikan anak secara umum sebagai manusia yang umurnya belum
25
Datuk Usman, dalam Chairul Bariah, Op.cit, hal. 18
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mencapai
18 (delapan belas)
tahun, namun
diberikan juga pengakuan
terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tidak dikenal istilah belum dewasa atau remaja, yang ada hanya istilah “anak” yang berarti “semua manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Selain itu juga dalam KHA ada 2 (dua) pendapat tentang bayi di dalam kandungan. Pendapat pertama menyatakan bahwa bayi yang berada di dalam kandungan juga termasuk ke dalam kategori anak yang seperti yang dimaksud oleh KHA. Pendapat Kedua, anak terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun. g. Pasal 2 butir (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menentukan bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) dan belum pernah menikah. Dalam rumusan pasal ini ada dua hal yang menyebabkan seseorang dikategorikan sebagai seorang anak, yang pertama adalah umurnya sudah mencapai 8 (delapan) tahun dan belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan yang kedua adalah belum pernah menikah karena jika seseorang tersebut sudah pernah menikah sekalipun ia belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
atau sekalipun ia kemudian bercerai, menurut undang-undang ini ia akan dikategorikan sebagai orang dewasa dan bukan sebagai anak. h. Anak dalam Hukum Perburuhan Undang-undang No. 12 tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah laki-laki atau perempuan yang berumur 14 (empat) tahun ke bawah. i. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dari aspek hukum beberapa perundang-undangan yang memberi pengertian tentang anak belum ada keseragaman. Dalam memberi kriteria atau batasan umur yang dapat dikatakan anak, tetapi sebagai pengertian umum yang diberikan oleh beberapa undang-undang tersebut, maka anak adalah: 1. Orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun 2. Termasuk juga anak yang masih di dalam kandungan. Anak mempunyai arti tersendiri di dalam kehidupan manusia yang berbeda-beda dan memiliki ciri khas tersendiri. Pengertian anak dalam suatu kebudayaan dan kebudayaan yang lain juga berbeda, tapi intinya adalah bahwa anak merupakan suatu yang berharga yang dikaruniakan Tuhan bagi sebuah keluarga, sebuah suku atau kelompok masyarakat tertentu, kehadiran seorang anak merupakan suatu yang baik dalam sebuah keluarga. Dalam sistem hukum nasional ada berbagai macam kriteria mengenai anak dan tiap-tiap peraturan mempunyai definisi tersendiri. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Dalam sistem hukum Indonesia tidak ada keseragaman di dalam menentukan batas kedewasaaan. Hukum pidana dan hukum perdata menentukan seseorang masih digolongkan anak atau tidak dengan menggunakan standar umur dan pernikahan, sedangkan dalam hukum adat dan hukum islam tidak menggunakan standar umur tetapi didasarkan pada keadaan biologis dari si anak. Apalagi ditambah dengan berbagai sering terjadinya penipuan-penipuan umur seorang anak Di Indonesia tidak semua orang mempunyai akte kelahiran akibatnya untuk menentukan usia seseorang dipergunakan rapor, surat baptis atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Sehingga umur seseorang dengan mudah disamarkan di Indonesia baik itu untuk bisa mendapatkan keringanan hukuman (orang yang sudah dewasa atau sudah kawin) berpura-pura sebagai anak. Atau didalam kasus-kasus perburuhan umur seorang anak disamarkan agar bisa dipekerjakan. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian anak sangat banyak, namun yang dipergunakan dalam hal ini adalah pengertian anak menurut UndangUndang Perlindungan Anak, dimana pengertian anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. 2. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, sejak penciptaan manusia sampai dengan saat ini anak memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dan hal tersebut semakin berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai contoh dahulu terdapat paham yang mengatakan bahwa banyak anak banyak rejeki, tetapi hal tersebut terjadi pada zaman feodal dimana pekerjaan manusia masih sangat homogen dan kebutuhan yang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
belum sebanyak zaman sekarang dan pada saat itu kuantitas sangat berpengaruh dalam peningkatan perekonomian suatu keluarga. Namun hal tersebut tidak akan menjadi relevan lagi di zaman ini, dimana manusia semakin banyak jumlahnya, yang berarti persaingan juga semakin besar satu sama lain. Diikuti dengan semakin beragamnya kebutuhan manusia dan meningkatnya ketergantungan manusia pada barang-barang. Pada saat ini kualitas dari suatu pribadi lebih penting dari pada kuantitas untuk memenangkan persaingan. Saat ini semakin banyak anak akan menyusahkan bagi orang tuanya karena biaya yang butuhkan untuk menghidupi anak tersebut yang tidak sedikit. Pemaknaan anak pun bergeser kearah peningkatan kualitas dari anak tersebut. Inilah yang menyebabkan semakin menjamurnya lembaga pendidikan-pendidikan untuk mendidik anak supaya nantinya menjadi orang yang berguna dan berkualitas. Dalam rangka untuk menghasilkan anak-anak yang berkualitas itu juga yang salah satu alasan adanya hukum perlindungan anak. Di Indonesia sendiri hukum yang mengatur tentang anak sudah ada sejak tahun 1925 pada masa kolonial Belanda, dengan lahirnya Staatsblaad 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No 9 yang mengatur tentang Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Diikuti pada tahun 1926 dengan lahirnya Staatsblaad 1926 No 87 tentang pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja diatas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-undang hukum Pidana yang disahkan mulai belaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya KUHP mengatur tentang anak yaitu Pasal 45,46, dan 47 yang memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana (Anak sebagai pelaku) sebaliknya di dalam Pasal 290, 292, Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
293, 294, 297, dan lain-lain memberikan perlindungan terhadap anak dengan memperberat hukuman atau mengkualifikasikan tindakan-tindakan tertentu sebagai tindakan pidana jika dilakukan terhadap anak, padahal tindakan tersebut tidak akan dikategorikan sebagai tindakan pidana jika dilakukan terhadap orang dewasa ( Anak sebagai korban). Dilanjutkan pada tahun 1948 dengan lahirnya Undang-undang No. 12 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Perburuhan yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahirlah Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 dengan lahirnya peraturan pelaksana No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak. Secara Internasional pada tanggal 20 November 1989 lahirlah konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang di ratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dimana melalui konvensi ini setiap Negara diwajibkan untuk menjamin hak anak-anak. Pada tahun 1948 dengan disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 1948 anak secara tegas dilarang bekerja.Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa
usia pekerja adalah
minimal 15 tahun dan
maksimal 55 tahun. Akan tetapi dalam kenyataan banyak anak yang terpaksa bekerja oleh karena alasan ekonomi di Indonesia. Untuk menyikapi masalah tersebut maka pemerintah mengeluarkan Permenaker No.1 Tahun 1987 tentang anak yang terpaksa bekerja. Anak yang terpaksa bekerja disyaratkan harus ada ijin tertulis dari orang tua/wali dengan lama bekerja 4 jam/hari, dengan upah yang sama dengan orang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dewasa, tidak bekerja pada malam hari, dan pada tempat-tempat yang berbahaya pada kesehatannya. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang No.12 Tahun 1948 jo Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Pada tahun 1974 diatur beberapa pasal tentang anak, seperti usia boleh kawin untuk pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16 (enam belas) tahun. Namun dalam prakteknya hal ini banyak dilanggar dengan diadakannya kawin adat atau kepercayaan, sehingga masalah usia sudah tidak diperhatikan. Ditambah dengan beberapa daerah tertentu, perkawinan jarang dicatatkan membuat masalah sendiri dalam menentukan status seorang anak. 3. Convention on the Rights of the Child/Konvensi Hak Anak Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat Internasional dan sebagai salah satu anggota dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), juga ikut meratifikasi Convention on the Rights of the Child/CRC melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 pada 25 Agustus 1990. CRC yang dilahirkan pada tahun 1989 melalui kesepakatan sidang Majelis Umum PBB ke-44 (resolusi PBB No. 44/25 tanggal 5 Desember 1989) tersebut secara otomatis mengikat Indonesia untuk mematuhi dan menjalankan ketentuan yang terdapat didalamnya sebagai konsekuensi peratifikasian yang telah dilakukan. Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktak atau pakta), merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis
dan
politis
oleh
karena
itu
konvensi
merupakan
suatu
hukum
internasional/instrumen internasional. Konvensi hak anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis politis diantara berbagai negara yang mengatur hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak berarti hak asasi manusia untuk anak dengan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
kata lain hak anak merupakan bagian integral dari HAM dan Konvensi Hak Anak merupakan bagian integral dari instrument internasional dibidang HAM. Hak asasi anak tetap diperlukan walaupun sudah ada HAM karena anak mempunyai kebutuhankebutuhan khusus yang berhubungan dengan situasinya/sifat sebagai anak yang rentan, tergantung, dan berkembang. Hubungan antara HAM dengan Konvensi Hak Anak adalah sebagai berikut: 1. KHA menegaskan berlakunya HAM bagi semua tingkatan usia, contohnya hak untuk bebas dari perlakuan aniaya, hak atas identitas dan kewarganegaraan dan hak atas jaminan sosial; 2. KHA meningkatkan standar HAM agar lebih sesuai dengan anak-anak contohnya dalam kondisi kerja, penyelenggaraan peradilan anak, serta kondisi perengutan kemerdekaan; 3. KHA mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan anak secara khusus, seperti pendidikan dasar, adopsi dan berhubungan dengan orang tua. Didalam KHA terkandung 4 prinsip utama yang berhubungan dengan penegakan hak dari seorang anak, yaitu: 1) Non Diskriminasi (Non Discrimination), artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM. 2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the Child), artinya bahwa dalam setiap tindakan yang menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama (prioritas ). 3) Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Survival and development), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini adalah pencerminan prinsip inivisibility HAM. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
4) Penghargaan terhadap pendapat/pandangan anak (respect for the views of the child), artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Konvensi Hak Anak mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun (namun diberikan juga pengakuan terhadap batas umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundang-undangan nasional). Mengenai sejak kapan seseorang dikategorikan anak ada dua pendapat, yang pertama sejak dalam kandungan dan yang kedua sejak orang tersebut dilahirkan. CRC terdiri dari 54 pasal yang dapat dikategorikan kedalam 4 jenis hak anak yaitu hak anak untuk mendapat perlindungan (Protection Rights), hak anak untuk mempertahankan eksistensi (Survival Rights), hak untuk berkembang fisik, psikis, dan biologis (Development Rights) dan hak partisipasi (Participation Rights). 1. Hak untuk mendapat perlindungan (Protection Rights). Hak seorang anak untuk mendapat perlindungan adalah salah satu ide dasar utama dari keseluruhan isi CRC yaitu mengatur hak-hak yang dimiliki oleh seorang anak dan kemudian memberikan atas perlindungan hak tersebut. Ada 3 kategori yang membagi pasal-pasal mengatur tentang perlindungan anak yaitu: 1. Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi: a. Pasal 2
: Prinsip Non Diskriminasi terhadap anak.
b. Pasal 7
: Hak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c. Pasal 23
: Hak Anak penyandang cacat untuk mendapatkan perawatan.
d. Pasal 30
: Hak Anak dari kelompok minoritas dan penduduk asli untuk mengamalkan budayanya.
2. Pasal mengenai larangan eksploitasi 1. Pasal 10
: Hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya.
2. Pasal 11
: Kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak diluar negeri
3. Pasal 16
: Hak anak untuk mendapat perlindungan atas gangguan terhadat kehidupan pribadi
4. Pasal 19
: Kewajiban negara untuk melindungi segala bentuk perlakuan yang salah oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab terhadap pengasuhannya.
5. Pasal 20
: Kewajiban negara untuk melindungi anak yang kehilangan keluarganya.
6. Pasal 21
: Mengatur adopsi sesuai dengan hukum nasional masingmasing negara dengan prinsip best interest for the child
7. Pasal 25
: Kewajiban negara untuk mengawasi secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan pada pengasuhan Negara baik karena alasan perawatan, perlindungan atau penyembuhan.
8. Pasal 32
: Kewajiban negara untuk melindungi anak dari pekerjaan yang berbahaya.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
9. Pasal 33
: Kewajiban negara untuk melindungi anak dari penyalagunaan narkotika.
10. Pasal 34
: Hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual.
11. Pasal 35
: Kewajiban negara untuk mengusahakan berbagai upaya untuk mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak.
12. Pasal 56
: Perlindungan terhadap segala bentuk eksploitasi anak yang belum tercakup dalam Pasal 32, 33, 34, 35.
13. Pasal 37
: Larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup dan penahanan semena-mena atau perampasan kemerdekaan yang semenamena.
14. Pasal 39
: Kewajiban negara untuk menjamin perawatan anak yang menjadi
korban
konflik
bersenjata,
penganiayaan,
penelantaran atau eksploitasi, agar mereka mendapatkan perawatan yang lebih layak dan proses reintegrasi sosial sampai pada tahap normal. 3. Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak : 1. Pasal 10
: Hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya.
2. Pasal 22
: Hak perlindungan bagi anak pengungsian.
3. Pasal 25
: Kewajiban negara untuk melakukan peninjauan periodik mengenai penempatan anak.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
4. Pasal 38
: Kewajiban negara untuk menghormati hukum humaniter internasional yang relevan bagi anak.
5. Pasal 39
: Kewajiban negara untuk melakukan rehabilitasi terhadap anak.
2. Hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Survival Rights). Dalam CRC setidaknya ada dua pasal yang mengatur mengenai hak untuk mempertahankan hidup dari seorang anak yaitu Pasal 6 dan Pasal 24 dari CRC. Pasal 6 mengandung dua macam hak yaitu hak anak untuk hidup (Rights to Life) dan hak untuk kelangsungan hidup dan pengembangan diri seorang anak (The Survival and Development of the Child). Pasal 6 berbunyi: 1. States Parties recognize that every Child has the inherent right to life. Artinya: Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup. 2. States Parties shall ensure to the maximum extent possible survival and development of the child. Artinya:
Negara-negara
peserta
semaksimal
mungkin
akan
menjamin
kelangsungan hidup dan pengembangan anak. Pasal 24 mengatur tentang kewajiban dari Negara-negara peserta untuk memberikan jaminan hak seorang anak untuk mendapatkan standart kesehatan tertinggi yang bisa didapatkan, demikian juga pada fasilitas perawatan dan rehabilitasi kesehatan, dan mereka harus mampu memastikan bahwa anak tidak akan dirampas hak nya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tertentu. Sedangkan dalam ayat-ayatnya Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
yang kedua diatur suatu ukuran dasar yang harus dilakukan pemerintah dalam mengimplementasikan konvensi ini yaitu dengan menurunkan angka kematian bayi, menyediakan pelayanan kesehatan primer, dll termasuk didalamnya mengembangkan kerjasama internasional yang berkaitan dengan masalah ini.
Pasal 24 menentukan: “States recognize the right of the child to the enjoyment of the highest attainable standart of helt an to facilities for the treatment of illness and rehabilitation of health. States Parties shall strive to ensure that no child is deprived of his her right of access to such health service.” Artinya: Negara-negara Peserta mengakui hak anak untuk memperoleh standart kesehatan tertinggi yang bisa dicapai serta atas fasilitas perawatan dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Peserta akan berupaya menjamin agar tak seorangpun dirampas haknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan seperti yang dimaksud. Selain Pasal 6 dan Pasal 24 dari CRC ada beberapa pasal yang juga berkaitan dengan masalah kelangsungan hidup yaitu: 1. Pasal 7 tentang hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan dan nama. 2. Pasal 8 tentang kewajiban negara untuk melindungi dan jika diperlukan memulihkan jati diri seorang anak. 3. Pasal 9 tentang hak anak untuk hidup dengan orang tuanya. 4. Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari perlakuan salah yang dilakukan oleh orang tuanya, walinya atau pengasuhnya. 5. Pasal 20 tentang tentang kewajiban nmelindungi anak yang kehilangan orang tuanya.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
6. Pasal 21 tentang adopsi sepanjang diperbolehkan oleh peraturan nasional Negara yang bersangkutan dengan prinsip the best interest of the child kepentingan terbaik untuk anak. 7. Pasal 23 tentang hak anak penyandang cacat untuk memperoleh pengasuh, pendidikan dan pelatihan. 8. Pasal 26 tentang hak anak terhadap tunjangan dan jaminan sosial. 9. Pasal 27 tentang tanggungjawab orang tua dalam memenuhi standart kehidupan anak
yang
memadai
dan
tanggungjawab
negara
untuk
menjamin
tanggungjawab itu bisa dipenuhi. 10. Pasal 28 tentang kewajiban negara dalam memenuhi hak anak akan pendidikan. 11. Pasal 30 mengatur tentang hak anak dari kelompok minoritas dan penduduk asli untuk mengamalkan budayanya. 12. Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari perkerjaan yang berbahaya. 13. Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari narkoba. 14. Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual. 15. Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk melakukan segala upaya dalam mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak. 16. Pasal 38 tentang kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin dihormatinya hukum humaniter internasional yang berkaitan dengan anak
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Secara khusus mengenai Pasal 19 Convention on the rights of the Child dimana didalam pasal tersebut diatur mengenai kewajiban Negara untuk melindungi seorang anak dari perlakuan yang salah (abuse) yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang lain yang diberi tanggungjawab untuk mengasuh anak tersebut serta untuk melaksanakan program-program pencegahan dan perawatan sehubungan dengan hal ini. Secara keseluruhan Pasal 19 menentukan: 1. States Parties shall take all appropriate legislative, administrative, social and educational measures to protect child from all forms of physical or mental violence, injury or abuse, negligent treatment, maltreatment or exploitation, including sexual abuse, while in the care of parent(s), legalguardian(s) or any other person who has the care of the child. Artinya: Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah legeslatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penalaran atau perlakuan salah, luka (injury) atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak. 2. Such Protective measures should, as apropriate, include effective procedures for establishment of social programmes to provide necessary support for the child and for those who have the care of the child, as well as for other forms of prevention and for indentification, reporting, referral, investigation, treatment and follow-up of instances oh child maltreatment describe heretofore, and as apropriate, for judicial involvement. Arinya: langkah-langkah yang perlindungan seperti itu, Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
hendaknya, jika dianggap layak, mencakup prosedur-prosedur yang efektif dalam menetapkan program-program sosial guna memberi dukungan yang diperlukan bagi anak, dan mereka yang berhak memelihara anak dan juga dalam menetapkan bentuk-bentuk pencegahan dan bagi kepentingan indentifikasi, pelaporan, rujukan, pemerikasaan, perlakuan dan tindak lanjut dari contoh-contoh pemeliharaan yang salah seperti yang diuraikan diatas dan jika perlu bagi kepentingan proses pribadi untuk keterlibatan peradilan. 3. Hak untuk bertumbuh dan berkembang (Development Rights). Rumusan Pasalpasal yang mengatur tentang hak untuk bertumbuh dan berkembang berusaha menjamin setiap anak untuk mendapatkan kehidupan yang memadai agar dapat berkembang dengan baik secara fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (Rights to Standart Living). Yang tentu saja hal ini dengan kuat sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang didapat oleh anak tersebut (the education rights). Ada pasalpasal yang mengatur mengenai hak ini dalam CRC adalah: 1. Pasal 6 dan 7 mengatur tentang hak atas identitas nama dan kebangsaan. 2. Pasal 5, 6, 13, 14 dan 15 mengatur tentang hak untuk pengembangan kepribadian sosial dan pisikologi. 3. Pasal 9, 10, 11 mengatur tentang hak untuk hidup tentang keluarga. 4. Pasal 12 dan 13 mengatur tentang hak untuk didengar. 5. Pasal 14 mengatur hak untuk berfikir, berhatinurani dan beragama. 6. Pasal 17 mengatur hak anak untuk memperoleh informasi.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
7. Pasal 24 mengatur mengenai hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengembangan fisik. 8. Pasal 28 dan 29 hak untuk memperoleh pendidikan. 9. Pasal 31 hak untuk bermain dan berekreasi. Dalam CRC faktor pendidikan baik bagi seorang anak menjadi perhatian khusus CRC tidak hanya sekedar mengatur tentang pendidikan tetapi juga memberi langkah kongkrit beserta arahan yang hendak dicapai. Pasal 28 menunjukkan langkah-langkah standart yang harus diambil dan Pasal 29 menunjukkan arah yang diinginkan untuk dicapai oleh Negara-negara peserta.
3. Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights). Hak ini berusaha menjadikan anak bukan hanya sebagai penerima dan bersifat pasif terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangannya tetapi juga dapat mengekspresikan pandangannya, isi hatinya secara bebas. Ada beberapa pasal yang mengatur hak untuk berpartisipasi dari seorang anak yaitu: 1. Pasal 12: Hak untuk menyampaikan pendapat secara bebas dalam segala hal yang berpengaruh terhadap anak yang bersangkutan serta hak didengar. 2. Pasal 13: Hak untuk memperoleh informasi. 3. Pasal 15: Hak untuk berserikat. 4. Pasal 17: Hak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindungi dari informasi yang tidak sehat. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
5. Pasal 42: Hak untuk memperoleh informasi tentang konvensi hak anak. Pasal 12 CRC mengatur bahwa Negara-negara peserta menjamin hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal terutama hal-hal yang menyangkut erat dengan anak itu. Selain itu seorang anak juga dijamin haknya untuk mengekspresikan pendapatnya tersebut, tentu saja tanpa melanggar hak dari orang lain (Pasal 13 CRC).
B. Child Abuse/ Kekerasan pada anak Abuse sendiri dalam pengertian masih banyak diperdebatkan yang sampai saat ini tak kunjung selesai. Dalam berbagai literature ada yang mengartikan abuse sebagai perlakuan yang salah, perlakuan yang kejam, atau sering juga yang langsung mengartikan sebagai kekerasan. Pengerian abuse sebagai kekerasan disebabkan oleh karena dalam perkembangannya, khususnya didalam ilmu pengetahuan hukum, kekerasan tidak hanya diartikan secara fisik saja tapi juga secara mental atau bahkan secara pasif (pengabaian). Dengan tidak melakukan apapun seseorang bisa menghasilkan dampak yang sama dengan yang ditimbulkan kekerasan. Sedangkan disisi lain tidak bisa dipungkiri abuse itu sendiri dalam pelaksanaannya tidak lepas dari unsur kekerasan. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan
yang
sangat
sulit
terungkap
kepermukaan.
Sulitnya
mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena rumah tangga dianggap sebuah lembaga sakral yang tidak boleh dimasuki oleh pihak lain. Membisu demi harmoni, merupakan jargon ampuh untuk menutup rapat-rapat kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam keseharian, banyak suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya maupun kepada anak-anaknya. Anak dan istri dijadikan pelampiasan kemarahan sang suami. Dalam keluarga pun anak-anak itu mendapat perlakuan yang tidak nyaman dari orang tua mereka. Mulai dari dikatakan bodoh, sampai dengan menggunakan tangan. Hal yang semacam ini tidak pantas diterima oleh seorang anak, pendekatan yang seharusnya dilakukan oleh orang tua adalah harus didasarkan pada rasa kasih sayang, jangan pernah sekalipun kita menghukm mereka. Yang kita lakukan adalah dengan mengoreksi, sebab anak-anak itu masih dalam proses perkembangan. “Keluarga dan kekerasan” sekilas seperti sebuah paradoks. Kekerasan bersifat merusak, berbahaya dan menakutkan, sementara di lain sisi, keluarga diartikan sebagai lingkungan kehidupan manusia, merasakan kasih sayang, mendapatkan pendidikan, pertumbuhan fisik dan rohani, tempat berlindung, beristirahat dan sebagainya, yang diterima anak dari anggota keluarganya hingga ia dewasa dan sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Kerugian anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
oleh keluarga, tidak saja bersifat materil, tetapi juga immateril antara lain berupa goncangan emosional dan psikologis, yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masa depan. Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34, ditentukan bahwa kerugian yang diderita korban kejahatan meliputi kerugian fisik maupun mental (physical on mental injury), penderitaan emosional (emosional suffering), kerugian ekonomi (economie loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka (substansial impairment of their fundamental right). Selanjutnya dikemukakan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban. 26) Dalam hukum pidana positif yang berlaku, kerugian yang dialami anak sebagai korban kekerasan belum diatur secara konkrit. Artinya hukum pidana positif memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau tidak langsung, yaitu dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan. Sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Dalam bahasa Belanda, Kekerasan diistilahkan dengan Geweld, keras; Perbuatan kekerasan (Indonesia) yang menggunakan kekuatan phisic atau jasmani yang dapat diperkirakan akibatnya oleh pihak yang terkena perbuatan itu menjadi pingsan, tak berdaya atau tidak dapat berbuat sesuatu. 27 Pengertian kekerasan (Abuse) menurut M.H. Tirtaamidjaja adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. Secara yuridis 26)
27
Maidin Gultom, Bentuk-bentuk Kekerasan, Makalah dalam seminar yang dilaksanakan oleh PPAI, 26-29 Maret 2004, Tempat Taman Rekreasi Dewi Bandar Baru Sibolangit. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu Semarang, 1977, hal. 511
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dalam Bab IX pasal 89 KUHP menyebutkan bahwa orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. 28 Menurut Pasal 89 KUHP defenisi kekerasan, adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, atau membuat orang tidak berdaya. Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. 29 Menurut Terry E Lawson (psikiater) Child Abuse adalah kekerasan terhadap anak mulai dari pengabaian sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak yang dapat diklasifikasikan kedalam 4 macam, yaitu : a. Emotional Abuse (kekerasan emosional). Emotional Abuse dapat terjadi apabila ada orang yang mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orangtua tidak memberikan apa yang diinginkan anaknya tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional tersebut berjalan konsisten. b. Verbal Abuse (kekerasan dengan perkataan). Verbal Abuse itu lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak. Ketika anak meminta sesuatu orang tua tidak meberikan malah membentaknya. Saat si anak mengajak berbicara orang tua tidak menanggapi justru menghardik dengan bentakan. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal ini jika semua kekerasan verbal ini terjadi dalam satu periode tertentu yaitu beberapa bulan, tahun.
28 29
Laden Marpaung, Kejahatan, Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 52. R. Soesilo, KUHP, Politeia, Bogor, hal. 98.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c. Physical Abuse (kekerasan fisik). Kekasaran jenis ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan itu meninggalkan bekas pada tubuh si anak, karena luka yang berbekas akan terus mengingatkan si anak akan peristiwa yang menyebabkan terjadinya luka tersebut. d. Sexsual Abuse (kekerasan seksual). Kekerasan jenis ini terjadi jika ada aktifitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap seorang anak. Menurut sebuah buku berjudul Child Abuse, A guide to Indentification and Management of Abusing Family yang diterbitkan oleh depatemen kesejahteraan sosial dan dewan pelayanan sosial Singapura (The Social Welfare Department and The Singapure Countil of Social Service).Child Abuse is when a Child is Wilfully assaulted or ill-treated in a manner likely to cause him/her unnecessary suffering or injury to his/her health (physical,emotional,mental,etc.) by a persons having custody,charge or temporary care of the child Artinya: kekerasan pada anak adalah ketika seorang anak, secara sengaja diserang atau dianiaya dengan sebuah tindakan yang menyebabkan anak tersebut mengalami penderitaan atau cidera yang tidak semestinya (secara fisik, emosional, mental dan lain-lain) oleh seseorang atau beberapa orang yang memelihara, bertanggung jawab, atau secara sementara merawat anak tersebut). Kekerasan pada anak muncul dalam berbagai macam bentuk, yang dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori berikut ini:
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
a) Physical Abuse (kekerasan pisik) menunjuk pada cidera yang ditemukan pada seorang anak bukan karena suatu kecelakaan tetap, cidera tersebut adalah hasil dari pemukulan dengan benda atau beberapa penyerangan yang diulang-ulang. b) Physical neglect (pengabaian fisik) kategori kekerasan ini dapat diidentifikasi secara umum dari kelesuan seorang anak, kepucatan dan dalam keadaan kurang gizi. Anak itu biasanya dalam keadaan kotor/tidak sehat, pakaian yang tidak memadai, dan kesehatan yang tidak memadai. Namun hal ini juga harus dilihat dari keadaan sosio ekonomi dari suatu keluarga. Contohnya dalam sebuah keluarga yang miskin yang walaupun telah memberikan yang terbaik bagi anak mereka tetapi tetap terlihat dalam keadaan seperti diatas maka hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai pengabaian secara fisik. c) Emotional abuse (kekerasan emosional) and neglect ( pengabaian). Menunjuk kepada kasus dimana orang tua/wali gagal menyediakan lingkungan yang penuh cinta kasih kepada seorang anak untuk bisa tumbuh, belajar dan berkembang. Kegagalan tersebut dapat dimanifestasikan dengan tidak memperdulikan, mendiskriminasi, menteror, mengancam, atau secara terangterangan menolak anak tersebut. d) Sexual abuse (kekerasan seksual). Kekerasan seksual menunjuk pada setiap aktifitas seksual antara orang dewasa dan anak. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Termasuk kategori penyerangan apabila seorang anak menderita cidera secara fisik dan trauma emosional yang luar biasa. Dalam kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan, anak tidak Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mengalami cidera fisik tetapi tetap saja menderita trauma emosional. Jika seorang dewasa melakukan hubungan seksual dengan seorang anak dibawah umur 14 tahun, maka tindakan tersebut disebut sebagai” carnal connection” pelaku ”statutory rape” akan mendapat ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan pelaku ”carnal connection” Kekerasan terhadap anak
memiliki beberapa karakteristik yang berbeda
dengan kekerasan yang terjadi pada orang dewasa karena : a. Menurut hukum anak adalah subjek yang belum sempurna (belum bisa secara sempurna melakukan perbuatan hukum). b. Suatu tindakan belum dikategorikan sebagai kekerasan pada orang dewasa tetapi sudah merupakan kekerasan jika dilakukan pada anak-anak. c. Dampak kekerasan pada anak lebih destruktif. d. Anak memiliki ciri sendiri secara psikologis, maupun biologis yang berbeda dari orang dewasa. e. Kekerasan pada anak bisa dikatakan hampir semua dilakukan oleh orang dewasa sebagai pelakunya. Di dalam KHA juga diatur mengenai child abuse, baik itu yang terjadi didalam keluarga ataupun yang terjadi diluar keluarga (public). Child abuse yang terjadi dalam lingkungan keluarga diatur dalam Pasal 19 ayat (1), dan untuk Child Abuse yang terjadi dalam lingkungan publik diatur dalam Pasal 24 ayat (3) perlindungan dari kebiasaan-kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan anak, Pasal 34 yang mengatur eksploitasi seksual dan penganiayaan seksual pada anak, Pasal 35 yang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mengatur perlindungan anak dari tindakan penculikan, penjualan, dan penyeludupan anak, Pasal 36 mengatur perlindungan anak dari berbagai macam eksploitasi yang mengancam kesejahteraan anak, Pasal 37 perlindungan anak dari tindakan kekerasan dalam hubungannya dengan anak yang berkonflik dengan hukum, Pasal 38 perlindungan anak dari tindakan kekerasan pada saat terjadi konflik bersenjata. Pasal 19 ayat (1) mengatur segala macam bentuk kekerasan fisik dan mental pada seorang anak yaitu: a. Injury or Abuse; Mengenai masalah identifikasi diserahkan pada masing-masing Negara/masyarakat untuk membuat definisinya masing-masing dalam hukum positif. WHO (World Health
Organization) sendiri sebagai lembaga kesehatan dunia sedang
mengembangkan sebuah protokol untuk mengidentifikasikan child abuse. b. Neglect or Negligent Treatment Neglect disebabkan karena ketidakmampuan orang tua/keluarga/masyarakat/negara untuk mencukupi kebutuhan seorang anak. Child neglect muncul dalam berbagai bentuk dan derajat variasi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Contohnya di negara-negara maju yang memiliki tingkat perekonomian dan sistem sosial yang tinggi kebanyakan kasus pengabaian yang terjadi adalah karena orang tua yang sibuk bekerja kemudian anak dibiarkan terbengkalai tanpa mendapat perhatian yang cukup. Untuk kasus negligent treatment/kelalaian (dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 24) berhubungan dengan terjadinya suatu kecelakaan pada si anak karena kelalaian orang tuanya. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
c. Maltreatment or Exploitation Including Seksual Abuse Kata eksploitasi disini menyangkut segala bentuk eksploitasi yang dilakukan terhadap anak (dalam bidang ekonomi Pasal 32 KHA, seksual Pasal 34 KHA, bentuk-bentuk eksploitasi lainnya Pasal 36 KHA). Dari bentuk-bentuk kekerasan yang dikemukakan di atas, maka pada dasarnya perbuatan kekerasan bermaksud untuk memaksa kehendak pelaku bertentangan dengan keinginan orang lain. 30 Dalam bahasa Inggris, kekerasan diistilahkan dengan violence 31 Secara etimology atau ilmu asal kata, violence merupakan gabungan dari “Vis” yang berarti daya atau kekuatan dan “Latus“ yang berasal dari kata “Ferre” yang berarti membawa. Jadi yang dimaksud dengan violence adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau tekanan berupa fisik maupun nonfisik. Dalam pengertian yang sempit, kekerasan mengandung makna sebagai
serangan atau
penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau serangan penghancuran perasaan yang sangat keras, kejam dan ganas atas diri. 32 Pengertian kekerasan menurut M.H. Tirtaamidjaja adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. 33 Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan kekerasan tidak terdapat dalam KUHP. Hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP menyebutkan bahwa membuat orang pingsan atau membuat 30
31
32
33
Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 61. John M.E. Chois dan Hassan Shadily, 1995, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 630 I. Marsana Windhu, 1999, Kekerasan Terhadap Anak, Dalam Wacana dan Realita, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), hal. 19-20 M.H. Tirtaamidjaja, dalam Laden Marpaung, Kejahatan, Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 52
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Semua bentuk kekerasan dari beberapa peristiwa di atas adalah bentuk kekerasan yang biasa dialami oleh orang dewasa. Tetapi bentuk kekerasan tersebut juga dialami anak, dalam hal ini anak sebagai korban tindak kekerasan akan berbeda penderitaan yang dialaminya dibandingkan dengan orang dewasa. Dalam hal ini pengertian anak sebagai korban tindak kekerasan atau pengertian korban. Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, bahwa yang dimaksud dengan korban ialah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melanggar penyalahgunaan kekuasaan. 34 Pengertian kerugian (“harm”) menurut resolusi tersebut, meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury) penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economie loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka (substantial impairment of their fundamental rights). 35 Selanjutnya dikemukakan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban, tanpa melihat apakah sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban, dan orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban. 36 Selain pengertian korban yang dikemukakan dalam resolusi PBB, tersebut ada juga pengertian yang sama dari korban, yaitu yang menderita jasmaniah dan rohaniah
34
35 36
United Nation, A Compilation of International Instruments, dalam Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54 Ibid, hal. 55 Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 75
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. 37 Dilihat dari pelaku tindak kekerasan terhadap anak pada beberapa peristiwa tersebut juga dapat dibedakan pelaku yang tidak dikenal, pelaku yang dikenal dan pelaku adalah keluarga korban. Dalam hal ini yang perlu ada pembatasan istilah keluarga yaitu : a. Menurut Pasal 1 butir (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979, menyatakan bahwa “Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan ibu dan anak”. b. Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa: “Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga” keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawa sampai derajat ke tiga”. Dalam hal ini perlu juga diketahui batasan istilah orang tua dan wali: 1). Pasal 1 butir 4 UU No. 23 Tahun 2002, menyatakan: “Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat” 2). Pasal 1 butir (5) UU No. 23 Tahun 2002, menyatakan:
37
Ibid.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
“wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataan menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 4. Dilihat dari korban pada beberapa peristiwa tindak kekerasan terhadap anak maka dikemukakan beberapa tipe korban. Menurut Stephen Schafer secara tegas menyatakan bahwa setiap individu, setiap manusia, potensial untuk menjadi korban. Artinya semua orang tanpa kecuali, dapat menjadi korban untuk itu, Schafer mengemukakan beberapa tipe korban (kejahatan) yaitu: a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi korban, untuk tipe ini kesalahan ada pada pihak si pelaku. b. Korban secara sadar atau tidak sadar melakukan suatu pebuatan yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dikatakan mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan, sehingga kesalahan terletak pada si pelaku dan korban. c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik/ mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah menjadi korban. d. Korban karena dia sendiri adalah pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Misalnya pelacur, perjudian, zina. 38 Berikut dikemukakan beberapa peristiwa tindak kekerasan yang dialami anak. 1. Seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Medan, harus meringkuk dalam penjara, akibat perbuatannya yang tidak mau bertanggung jawab menyetubuhi gadis di bawah umur. Perbuatan itu dilakukan terdakwa dengan cara semula berkenalan, merayu korban dan akhirnya terjadi perbuatan tak senonoh, saksi berhasil disetubuhi terdakwa. 39
38 39
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 90-91 Realita, 29 Mei 2002
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2. Like yang masih berusia 11 tahun penduduk Nagori Bandar Kecamatan Bandar, menjadi korban kebuasan 3 remaja ABG, dengan cara menggiliri korban di rumah salah satu remaja tersebut, pada saat orang tuanya tidak ada. 40 3. Beginilah jadinya kalau terlalu percaya kepada pacar. Kalau bertanggung jawab masih lumayan, namun bila tidak kemana akan mengadu, tentu ke kantor polisi apalagi bila sampai hamil di luar nikah. Demikianlah yang dialami CS (17 tahun), pria yang disayanginya tidak bertanggung jawab. 41 4.
Bocah berumur 5 tahun bernama Ayu, korban pencabulan oleh orang yang tidak dikenal. Korban sedang bermain lalu dipanggil orang yang tidak dikenal tersebut, Ayu langsung mengikuti panggilan dan mengikuti orang itu hingga membawanya ke rumah kosong. 42
5. Guru Silat sodomi 11 muridnya, keseluruhannya anak laki-laki. Perbuatan ini dilakukan guru silat pada saat sedang latihan. 43 6. Perdagangan orang (trafficking in person) terutama perempuan dan anak semakin meningkat akhir-akhir ini sebagai perbuatan illegal terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan dapat menimbulkan gangguan fisik, mental mengakibatkan kerentanan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. 44
40 41 42 43 44
Sinar Indonesia Baru, 25 September – 1 Oktober 2002 Medan Pos, 7 September 2002 Medan Pos, 21 September 2002 Medan Pos, 29 Juni 2002 Waspada, 18 Januari 2004
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
7. Seorang Ayah berinisial PS, mencabuli 2 putri kandungnya (berumur 14 dan 10 tahun) di kamar mandi. 45 8. Lukman seorang ayah memperkosa anak kandungnya sejak berusia 12 tahun sampai 17 tahun 46 9. Bocah berumur 5 tahun diperkosa ayahnya. 47 10. Di Binjai seorang Abang mencabuli 2 adik kandungnya. 48 11. Karena bertengkar, Paman membunuh anak pamannya (berusia 18 tahun). 49 12. Di Binjai ayah kandung berinisial “L” membacok 2 anak kandungnya (berusia 15 dan 5 tahun) hingga kritis karena salah seorang anak tersebut disuruh memasak bubur untuk makan malam oleh ayahnya. Sementara sang ibu diketahui melarikan diri karena tidak tahan dengan kekejaman L.
50
Dari beberapa peristiwa di atas dapat dilihat bahwa : Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak, yaitu dalam bentuk
pelecehan
seksual berupa pencabulan, atau perkosaan, trafficking atau perdagangan anak, pembunuhan, pembacokan atau pemukulan. Peristiwa-peristiwa tersebut hanya merupakan bahagian kecil tindak kekerasan yang terjadi di kota Medan. 51 Dari peristiwa-peristiwa tersebut dapat diketahui pelaku tindak kekerasan terhadap anak bukan saja orang yang tidak dikenal korban, akan tetapi juga pelaku yang dikenal 45 46 47 48 49 50 51
Medan Pos, 24 Maret 2004 Medan Pos (tanpa tanggal) Medan Pos (tanpa tanggal) Waspada, 4 April 2003 Klipping pribadi Penulis, tanpa tanggal Waspada, 10 Oktober 2003 Menurut laporan Kanit RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Poltabes Medan, Setiani Purba, Januari sampai Desember 2003 menangani 144 kasus Tindak Kekerasan Terhadap Anak, Waspada, 14 Maret 2004
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
korban dan mempunyai hubungan darah dengan korban atau dengan kata lain pelaku merupakan salah satu anggota keluarga korban sendiri. 1. Psikologi Perkembangan Anak Perhatian terbesar dari hukum perlindungan anak adalah perkembangan anak, yaitu bagaimana anak bisa berkembang dan bertumbuh dengan baik dari berbagai sisi kehidupannya, yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal. Berbicara tentang hukum yang tidak bisa lepas dari aturan-aturan, dan aturan yang diharapkan adalah aturan yang efektif dan komprehensif, yang mampu menghasilkan, hasil yang sedapat mungkin mendekati cita-cita pembuatannya. Oleh karenanya sangat penting bagi kita untuk mengerti dahulu tentang dasar psikologi perkembangan anak. Hukum yang akan semakin efektif dan semakin besar dampak positifnya jika terlebih dahulu ada pemahaman yang mengenai subyek dan objek yang diaturnya. Inilah mengapa dibutuhkan kerjasama antar disiplin ilmu pengetahuan. Albert Bandura (ahli psikologi) mengatakan bahwa tingkah laku anak (sebagai pengamat/observer) akan berkembang dan kemudian berubah, sangat dipengaruhi oleh proses belajar observasional. Artinya adalah seorang anak akan berubah sebagai hasil dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (orang tua, guru, saudara, teman, pahlawan, tokoh di film, dan lain-lain). Anak cenderung akan mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya. Hal ini melibatkan 4 proses observasional yaitu sebagai berikut :
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
1. Attentional, yaitu proses dimana Observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau penampilan model. 2. Retention, yaitu proses yang merujuk kepada upaya anak untuk memasukkan informasi tentang model, seperti karakteristik penampilan fisik, mental, dan tingkah lakunya kedalam memori. 3. Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa berbentuk keterampilan fisik atau kemampuan mengidentifikasi tingkah laku model. 4. Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak. Dalam proses ini terdapat faktor penting yang mempengaruhi, yaitu Reinforcement atau Punishment, apakah terhadap model atau langsung terhadap anak. Orang yang merawat/membimbing anak dapat ambil bagian untuk mengarahkan agar tidak mencontoh hal-hal lain yang tidak baik, melalui penegakan contohnya ketika anak mencontoh hal yang baik maka kita dapat memberikan dukungan, pujian, penegasan bahwa itu hal yang benar. Ataupun sebaliknya jika sianak mulai mencontoh hal yang tidak baik maka dapat diberikan sanksi, supaya tidak melakukannya lagi. Dari teori ini jika dihubungkan dengan masalah kekerasan pada anak, dapat kita tarik kesimpulan bahwa jika seorang manusia dewasa pada masa kanak-kanaknya sering mengamati tindakan-tindakan yang penuh kekerasan (lebih lagi jika kekerasan itu terjadi pada dirinya) maka, setelah ia memperhatikan ia akan merekam kejadian tersebut, kemudian yang terekam tersebut jika terjadi berulang kali akan menjadi Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
bagian dari karakternya, dan ketika dia dewasa akan mempengaruhi cara dia bertindak dan merespon. Akan berakibat buruk jika orang tua tidak bisa memberikan control dan contoh dan lebih buruk lagi jika orang tuanya sendiri yang melakukan tindak kekerasan tersebut terhadap anak. Menurut Dr. H. Syamsuh Yusuf LN.,M.Pd., ada beberapa alasan mengapa pemahaman atas perkembangan psikologi anak terjadi sangat penting bagi para pendidik, orang tua atau siapa saja yang berkepentingan dalam pendidikan anak, yaitu: 1. Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadi perubahan dalam banyak aspek perkembangan. 2. Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya. 3. Pengetahuan
tentang
perkembangan
anak
akan
membantu
mereka
mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya. 4. Melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Di samping itu, dapat diantisipasi juga tentang upaya untuk mencegah berbagai kendala atau faktor-faktor yang mungkin akan mengkontaminasi perkembangan anak. Ini berarti bahwa apa yang dialami dan dilihat seorang anak pada waktu dia kecil akan berpengaruh pada tingkah laku, dan tindakan-tindakan yang dia ambil pada saat dia dewasa sebagai hasil dari proses modeling (pembelajaran) yang dialaminya.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Selain faktor yang dijabarkan diatas ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perkembangan seorang anak. Ada faktor hereditas/keturunan, ada juga faktor lingkungan seperti lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya dan lain-lain. Lingkungan keluarga memiliki pengaruh yang paling kuat karena didalam lingkungan inilah seorang anak menghabiskan waktu yang paling lama untuk bertumbuh dan berkembang. Sigelman dan Shaffter berpendapat bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap masyarakat di dunia, atau suatu sistem sosial yang terbentuk dalam sistem sosial yang lebih besar. Dengan kata lain suatu masyarakat terbentuk dari banyak keluarga, sehingga apa yang terjadi dalam keluarga (dalam jumlah tertentu dan terakumulasi) akan secara langsung berpengaruh terhadap masyarakat. Jika banyak hal positif yang terjadi dalam sebuah keluarga maka akan menarik masyarakat pada hal yang positif dan jika hal yang negatif yang banyak terjadi maka akan terjadi sebaliknya. Anak (salah satu unsur penting keluarga) sendiri adalah embrio dari keluarga selanjutnya. Anak pada akhirnya ketika sudah beranjak dewasa akan membentuk suatu keluarga yang baru, anak yang bertumbuh dengan baik akan berpotensi lebih besar dalam menghasilkan keluarga yang baik. Rumah atau keluarga adalah lingkungan hidup pertama, dimana anak memperoleh pengalamanpengalaman pertama yang sudah mempengaruhi jalan hidupnya. Jadi lingkungan hidup pertama yang memberi tantangan pada anak supaya dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya itu. Tugas orang tua adalah menjadi pembimbing anaknya, supaya perkembangan anak yang dialami pada saat permulaan hidup, dapat Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
berlangsung sebaik-baiknya tanpa ada hambatan atau gangguan yang berarti. Tanggungjawab orangtua dalam pendidikan anak sebagian diserahkan kepada pihak sekolah, dimana terlihat dewasa ini seorang anak sudah mulai bersekolah sejak berusia 4 tahun. Selama kurang lebih 14 tahun seorang anak akan menjalani pendidikan di TK, SD, SLTP, SLTA. Pada masa antara 4 (empat) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan anak menuju dewasa. Keluaraga mempunyai peranan yang sangat penting dalam uapaya pengembangan seorang anak. Perawatan dan pemeliharaan orang tua yang penuh dengan kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, agama maupun budaya merupakan faktor yang kondusif dan positif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Masyarakat yang terdiri dari anggota masyarakat yang sehat pasti akan berpengaruh baik kepada pekembangan perekonomian masyarakat, turunnya angka kejahatan dan pelanggaran, intelegensia masyarakat dan lain-lain. Seorang anak perlu dipersiapkan secara khusus untuk kehidupannya setelah dewasa. Anak harus memperoleh cukup pengetahuan dan keterangan mengenai peranan mereka sendiri, hak-hak dan kewajiban-kewajiban di dalam keluarga maupun diluar kehidupan keluarga. Dengan menanggulangi masalah anak dan berusaha mengarahkan perkembangan kepribadian anak melalui bimbingan di rumah dan disekolah/luar sekolah, diharapkan anak-anak kelak akan menjadi warga negara yang ideal, berkepribadian kuat, matang, penuh pengabdian, baik bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama. 2. Viktimologi/Ilmu Pengetahuan mengenai Korban Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Anak dalam kekerasan pada anak menempati posisi sebagai korban, untuk itu kita perlu tahu juga mengenai ilmu pengetahuan dasar tentang korban. Permasalahan mengenai korban saat ini menjadi masalah yang universal kemanusiaan. Tidak hanya sudah maju, masalah korban menjadi masalah yang mulai diperhatikan secara lebih. Hal ini merupakan wujud perkembangan kesadaran masyarakat dunia akan hukum humaniter. Sebagai salah satu tanda perhatian masyarakat dunia dapat kita lihat dengan diadakannya Internasional Symposium on Victimology yang pertama di Yerusalem pada tahun 1973 dan yang kedua di Boston, Massachusette, Amerika Serikat pada tahun 1976. Korban sebenarnya bukan merupakan suatu masalah yang baru, hanya saja justru paling diabaikan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini menyebabkan seorang korban menjadi korban yang keduakalinya dari sistem peradilan pidana. Harus disadari korban memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pencarian kebenaran materil dari suatu kejahatan. Permasalahan korban harus diselesaikan dan dikaji secara interdisipliner. Tidak hanya dalam ilmu pengetahuan hukum atau kriminologi saja tetapi juga melibatkan psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Menurut Arif Gosita, seorang dosen Viktimologi dan Kriminologi Universitas Indonesia, yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita (dalam hal ini dapat berarti individu atau kelompok). Baik korban maupun si pembuat korban kedua-duanya adalah manusia yang memiliki martabat yang sama Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dan sederajat dengan kita semua sebagai keseluruhan anggota masyarakat, sehingga kita harus memperhatikan setiap tindakan dan sikap yang di ambil terhadap korban atau sipembuat korban demi keadilan dan hak azasi mereka, pembuat korban walaupun berkedudukan sebagai pelaku kejahatan dan dibenci oleh masyarakat tetaplah juga seorang manusia. Kesadaran seperti ini akan mencegah lahirnya korban lain yang tidak diinginkan baik itu sikorban sendiri, pembuat korban ataupun orang lain yang berhubungan dengan peristiwa itu. Victimologi (Inggris) berasal dari bahasa latin, kata victima yang berarti korban dan kata logos yang berarti ilmu pengetahuan . victimology pertama kali dikeluarkan oleh Benjamin Mendelson seorang pengacara di kota Yerusalem. Bermula pada tahun 1942 E de Greeff mengarang buku yang berjudul Amor et Crime d amour di Brusel yang membahas mengenai pentingnya huhungan antara korban dan pelaku kejahatan (khususnya kejahatan yang mengandung unsur rasa dendam). Pada tahun 1948 Von Hentig mengeluarkan bukunya yang berjudul The Criminal and His Victim mengenai pentingnya peranan korban dalam suatu kejahatan. Setahun W.H Nagel yang telah melakukan banyak pengamatan dan peninjauan mengenai masalah korban kejahatan mengeluarkan tulisannya yang bernama De Criminaliteit van Oss, Groningen. Sepuluh tahun setelah itu Victimologi mulai berkembang di seluruh dunia. Pada tahun 1958 hal ini menjadi tema konfrensi Kriminologi di Brusel, Belgia. Pada tahun 1959, P. Cornil salah seorang sarjana kriminologi berkesimpulan bahwa Victimologi seharusnya mendapat perhatian yang lebih besar dari Kriminologi dan bahwa Victimologi harus di perhatikan dalam Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
membuat kebijaksanaan kriminil dan juga dalam pembinaan pelangar. Sejak saat itu perhatian dunia internasional mulai meningkat terhadap masalah victimologi ditandai dengan banyaknya muncul karya-karya tulis mengenai masalah vicitimologi, dan diadakannya simposium-simposium tingkat internasional. Simposium I Victimologi di Jerusalem, Israel pada tanggal 5-6 September 1976, Simposium III di Munster, Jerman Barat pada tahun 1979, Simposium IV di Tokyo, Jepang pada tahun 1982 dan lainlain. Ada beberapa pandangan mengenai hubungan antara victimologi dan kriminologi. Yang pertama adalah yang berpendapat bahwa victimologi adalah bagian dari kriminologi yaitu sebagai sub kategori dari kriminologi. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kriminologi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dari kriminologi. Tetapi viktimologi sebenarnya menempatkan kriminologi pada suatu kedudukan dengan taraf ilmiah yang lebih tinggi. Dalam membahas masalah korban kejahatan kita perlu melihatnya secara kritis, macam korbannya, bentuk korban, peranan korban, hubungan antara korban dengan pembuat korban. Kadang-kadang masyarakat juga punya kaitan dalam lahirnya korban. Dengan bersikap memberi kesempatan kepada pembuat korban, oleh karena alasan takut, malas dan lain-lain. Masyarakat memberi kesempatan pembuat korban untuk melakukan, atau melakukan kembali perbuatannya sehingga timbullah korban. Masalah lain adalah masalah Pembiaran (permissiveness). Pembiaran menurut Arif Gosita bisa disebabkan karena pertama; masyarakat sendiri yang tidak mampu bereaksi terhadap penyimpangan yang terjadi, kedua; badan kontrol sosial atau si Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
korban sendiri memiliki ketakutan akan adanya kemungkinan timbulnya akibat yang bertentangan, ketiga; adalah adanya iklim sosial yang ada (dimana tidak ada reaksi yang luas dari adanya tingkah laku yang menyimpang tersebut). Pembuat korban akan menganggap ini sebagai toleransi yang diberikan oleh masyarakat. Perlu dicermati pembiaran berbeda dengan toleransi. Victim Area, faktor ini diungkapkan oleh Von Henting menganai adanya suatu aspek ekologis/tempat dimana seseorang mudah untuk menjadi objek kejahatan tertentu. Sebagai contoh daerah taman pada waktu malam, daerah lampu merah, pasar dan lain-lain menjadi tempat subur untuk terjadi suatu kejahatan tertentu. Faktor keikutsertaan korban dalam terjadinya suatu kejahatan adalah keadaan dimana korban ikut berperan aktif melakukan sesuatu yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan dan dirinya sendiri sebagai korban. Sebagai contoh, seorang wanita yang berpakaian minim, berkenalan dengan sembarangan orang, diajak jalan-jalan dan sebagainya menyebabkan dirinya menjadi korban perkosaan. Atau seseorang yang ingin mendapatkan barang yang berkualitas baik/terkenal dengan harga murah mengakibatkan dia menjadi korban penipuan, dan lain-lain. Faktor lain yang dapat mengakibatkan timbulnya korban kejahatan adalah peranan orang yang menyaksikan/saksi kejahatan. Saksi yang mengetahui akan terjadinya suatu tindak kejahatan tertentu, yang sebenarnya dapat melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya atau berlanjutnya suatu tindak kejahatan namun tidak melakukan apa-apa. Hal ini disebabkan karena saksi itu sendiri yang takut akan terjadinya sesuatu hal yang merugikan dirinya jika ia bertindak, atau ketika ia melapor Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
hal tersebut malah akan menyebabkan ia ikut serta, atau laporan yang sudah diberikan tidak pernah ditindak lanjuti oleh pihak yang berwajib dan lain-lain. Dapat terjadi suatu kemungkinan terjadinya korban adalah akibat dari strukturstruktur yang ada di masyarakat. Maksudnya adalah antara korban dan pembuat korban kemungkinan memiliki hubungan struktural, baik itu kabur atau jelas dan oleh karena adanya hubungan tersebut dirinya menjadi korban. Sebagai contoh adalah, hubungan atasan dengan bawahan, orang tua dengan anaknya, atau kondisi fisik seseorang dari masyarakat yaitu ketika seseorang memiliki kondisi fisik yang tidak sempurna, oleh karena kondisi fisik tersebut dirinya didiskriminasi oleh masyarakat, dan orang tersebut menganggap dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tuhan menciptakan dia seperti itu, Tuhan adalah pencipta dan dia hanyalah manusia. Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan untuk menindak lanjuti seseorang korban kejahatan adalah dengan mempelajari akibat-akibat yang timbul dari menjadi korban/yaitu apa yang dilakukan korban setelah dia menjadi korban. Setelah seseorang menjadi korban sikap apa dan tindakan apa yang kemudian diambilnya. Menjadi masalah jika tindakan yang diambilnya bersifat negative agresif yaitu dengan tidak melaporkan apa yang pernah dialaminya, membiarkan terjadinya korban lebih lanjut, memenuhi peranan korban negatif, frustasi, melakukan pembalasan karena dendam sampai melakukan hal yang sama yang pernah dilakukan terhadap orang lain di kemudian hari dan lain-lain. Hal ini menjadi suatu yang penting untuk kita kaji dan pikirkan karena harus diakui masalah tidak akan selesai dengan mudah hanya karena kita menghukum Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
pelakunya tetapi perlu juga kita melihat dari sisi yang lebih luas yaitu bagaimana nasib korban yang membutuhkan pemulihan dalam kehidupannya. Berbagai jenis treatment/perawatan yang dibutuhkan korban tindak lanjut yang perlu diambil apakah itu rehabilitasi, terapi khusus dan lain-lain. Harapan idealnya jika energi yang dimiliki si korban akibat pengalaman yang pernah dialaminya disalurkan kepada hal-hal/kegiatan yang bisa membantu mengurangi kejahatan yang serupa atau membantu merehabilitasi korban dengan jenis kejahatan yang serupa dengan yang pernah dialaminya. Yang menjadi kesimpulan dari sub bab ini adalah fenomena terjadinya suatu kejahatan yang dikaji melalui kriminologi tidak boleh hanya terfokus sebagian besar sebagai salah satu faktor yang mempunyai peranan sangat penting dalam terjadinya suatu kejahatan. Pencegahan suatu kejahatan tertentu perlu diselesaikan tidak hanya melalui pendekatan terhadap pelaku kejahatan tetapi juga melalui pendekatan terhadap korban dari suatu kejahatan dan karakteristik yang dimilikinya. Korban mempunyai peranan yang penting dalam terjadinya sebuah kejahatan. Tanpa korban kejahatan tidak mungkin ada. 3. Kekerasan pada Anak di Dalam Keluarga (Domestic child abuse) “Keluarga” dan “kekerasan” sekilas seperti sebuah paradoks, atau bahkan menjadi suatu yang mengagetkan bagi beberapa orang yang tidak biasa mempelajari perilaku manusia. Kekerasan yang bersifat merusak, berbahaya, dan menakutkan, sementara dilain sisi keluarga diartikan sebagai lingkungan kehidupan manusia dimana terdapat cinta, keamanan, kehangatan, peluang untuk mengalami pertumbuhan, dan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
tempat beristirahat ketika segala sesuatu di dunia luar terasa menekan. Ada beberapa keluarga memang mampu menciptakan lingkungan kehidupan yang mendekati ideal tetapi ada beberapa juga yang tidak. Kekerasan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak awal segala sesuatu dimulai. Banyak dari sejarah umat manusia diciptakan dengan kekerasan. Peperangan, penaklukan, pemberontakan selalu menyertai pendirian sebuah negara atau pemerintahan. Beberapa unsur kekerasan juga muncul didalam kebudayaan, keagamaan dan hal tersebut disadari atau tidak meresap kedalam unit terkecil dari suatu masyarakat, dan terwujud dalam berbagai upaya pemenuhan, perjuangan hidup dari suatu suku, klen, atau keluarga. Kekerasan sudah menjadi kewajiban dari kehidupan keluarga-keluarga dan individu-individu sejak awal dunia dijadikan. Bisa kita lihat bersama dari berbagai cerita yang tumbuh di dalam masyarakat mengenai dua bersaudara Kain dan Habel, Remus dan Romulus yang saling membunuh satu dengan yang lainnya atau Agrippina ibu dari kaisar Nero yang meracuni suaminya sendiri atau Raja Henry VIII dari Inggris yang memancung istrinya sendiri. Anak membunuh orang tua, orang tua membunuh anak, saudara membunuh saudara adalah bagian yang tidak bisa dipungkiri dari kehidupan manusia yang harus kita sadari. Ada banyak cabang ilmu pengetahuan yang mencoba untuk mencari penjelasan penyebab terjadinya fenomena ini dan mencoba paling tidak menguranginya. Jika kita ada didalam usaha tersebut maka kita akan dibawa kepada berbagai macam faktor
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
yang saling berinteraksi dalam menghasilkan kekerasan. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi 4 kategori yaitu Biologis, Psikologis, Sosiologis, Kebudayaan. Faktor biologis menjelaskan bahwa seseorang melakukan tindakan kekerasan salah satunya disebabkan karena adanya struktur anatomi manusia dan unsur biokimia didalamnya yang berhubungan dengan psikologi manusia yang menyebabkan adanya kemampuan manusia untuk merespon stress atau bahaya dan menyebabkan orang tersebut melakukan kekerasan. Kekerasan juga dihubungkan dengan orang-orang yang mengalami masalah tumor otak, saraf yang tidak normal, dan keseimbangan hormon. Ketiga faktor lainnya yaitu psikologis, sosiologis dan kebudayaan adalah bukan faktor yang berdiri sendiri-sendiri sebaliknya ketiga faktor tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Faktor psikologis-sosiologis dalam salah satu analisanya, mengatakan kehidupan sosial ekonomi yang lemah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyebabkan stress dan seorang manusia kehilangan haknya. Faktor ini merupakan penyebab terbesar terjadinya kriminalitas, kekerasan (salah satunya di dalam keluarga) dan bentuk-bentuk anti sosial lainnya. Hidup didalam suasana lingkungan yang penuh dengan kekerasan, mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk menyebabkan seseorang yang sudah mengalami banyak pengalaman kekerasan didalam lingkungan tersebut memiliki karakter untuk melakukan kekerasan dalam merespon suatu peristiwa dan masalah yang dihadapinya. Faktor kebudayaan mengatakan hampir setiap kebudayaan di dunia memiliki unsur kekerasan dalam aktifitas budaya, tata cara, upacara-upacara adat, agama dan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
lain-lain. Sebuah keluarga yang merupakan salah satu bagian dari kebudayaan tersebut tentu saja akan mewarisi unsur kekerasan tersebut. Pada masyarakat-masyarakat tertentu di Indonesia, kekerasan menjadi bagian budaya dan dianggap menjadi hal biasa. Contohnya di salah satu suku di Papua, pada acara penjodohan kaum wanita dan kaum pria dipisah menjadi dua bagian, kemudian bermain perang-perangan, sambil saling memukul dengan batang kayu. Blair Justice dan Rita Justice dalam bukunya abusing family mengungkapkan ada setidaknya 7 model yang dapat memiliki hubungan kausal dengan terjadinya kekerasan pada anak dalam lingkungan keluarga (Child Abuse) yaitu: 1) Psychodynamic model, yaitu teori yang mengungkapkan bahwa terjadinya kekerasan pada anak disebabkan karena kurangnya “mothering imprint/jejak ibu”. Dikatakan seorang yang tidak pernah merasakan dirawat atau diasuh oleh seorang ibu secara baik maka dia tidak bisa menjadi ibu dan merawat anaknya sendiri, 2) Personality or Character traid model, teori ini pada prinsipnya hampir sama pada teori Psychodinamic namun perbedaannya adalah dalam model ini tidak terlalu diperhatikan apa yang pernah dialami oleh orang tua sebagai pelaku kekerasan tetapi menganggap bahwa ini akibat orang tua si anak sendiri yang belum cukup dewasa, terlalu agresif, frustasi, berkarakter buruk dan sebagainya. 3) Social Learning Model, teori ini menegaskan bahwa kegagalan dari pelaku kekerasan untuk bertindak dengan baik didalam keluarga maupun masyarakat, adalah karena kurangnya kemampuan sosial, ditunjukkan dengan perasaan tidak puas karena
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
menjadi orang tua, merasa sangat terganggu dengan kehadiran seorang anak, menuntut anak untuk selalu bersikap seperti orang dewasa dan lain-lain. 4) Family Structure Model, tori ini tidak fokus secara langsung terhadap kekerasan terhadap anak tetapi kepada dinamika antar anggota keluarga yang memiliki hubungan causal dengan kekerasan kepada anak. Seperti lahirnya seorang anak yang tidak diinginkan dalam sebuah keluarga, si anak mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kekerasan dalam keluarga tersebut. 5) Enviromental Stress Model, teori ini melihat anak sebagai sebuah masalah multidimensional dan menempatkan ”kehidupan yang menekan” sebagai penyebab utamanya. Dikatakan bahwa jika ada perubahan dari faktor-faktor yang membentuk lingkungan manusia seperti kesejahteraan, pendidikan yang rendah, tidak adanya pekerjaan maka tidak akan ada kekerasan pada anak. 6) Social Phisycological Model, dalam teori ini “frustasi” dan “stress” menjadi faktor utama yang penting dalam menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak. Dan stress ini bisa datang dari banyak sebab, bisa dari adanya konflik rumah tangga, diisolasi secara sosial, terlalu banyak anak dan lain-lain. 7) Mental Illness Model, hanya ada satu alasan yang disampaikan teori ini bahwa kekerasan anak terjadi karena adanya kelainan saraf, penyakit kejiwaan adalah faktor yang selalu menyertai pelaku kekerasan kepada anak. Dari banyak faktor yang bisa diperkirakan sebagai causal terjadinya kekerasan, tidak ada satupun teori yang bisa menunjukkan secara pasti sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan kepada anak. Ini menunjukkan bahwa kekerasan kepada anak Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dalam keluarga khususnya adalah suatu masalah yang kompleks. Keluarga seperti yang disampaikan diawal, adalah tempat seorang mendapatkan kasih sayang, tempat berteduh dikala lingkungan luar begitu menekan, tempat bertumbuh dan lain-lain, kekerasan di dalam keluarga akan berdampak sangat besar bagi kehidupan seseorang terutama anak-anak. Kekerasan pada anak dalam lingkungan publik jelas berbeda karakteristiknya dengan kekerasan pada anak dalam lingkungan domestik. Kekerasan pada anak dalam lingkungan domestik memilik karakteristik utama yang menghambat pemberian pertolongan bagi korbannya, yaitu: a. Sifatnya yang cenderung tertutup, sehingga sulit untuk dideteksi oleh masyarakat dan aparat yang berwenang. b. Ketergantungan dari si anak pada pelakunya baik secara ekonomi maupun secara pisikologis (jika kasus diproses secara hukum terdapat resiko yang besar bagi si korban untuk menjadi korban yang kedua kalinya). c. Korban dalam keadaan yang tidak bebas menentukan pikiran/keputusan (si anak bingung disatu sisi tersiksa dengan perlakuan orang tuanya ingin menghentikan dengan melaporkan/menceritakan pada orang lain, di lain sisi dia takut bagaimana dengan nasibnya baik itu akibat ketergantungan yang dimilikinya terhadap orang tuanya tadi, ataupun apa yang akan menimpa dia jika orang tuanya itu dilaporkan. d. Ada stigma dari masyarakat yang melekat pada si anak (misalnya: anak yang durhaka melaporkan orang tuanya, anak itu keluarganya tidak benar, anak itu sudah tidak perawan karena orang tuanya, dan hal-hal buruk lainnya). Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Karena karakteristik yang dimiliki kekerasan kepada anak dalam lingkungan keluarga inilah maka perlu dilakukan perlindungan secara khusus yang berbeda jika kekerasan tersebut terjadi diluar lingkungan keluarga (publik). Ancaman hukum yang diberikan pada pelakunyapun akan berbeda karena kekerasan didalam keluarga dilakukan oleh orang yang menjaga/merawat anak tersebut sehingga ada tanggung jawab dan kepercayaan yang dibebankan baginya untuk memastikan anak tersebut terjaga dan terawat dengan baik. Dengan demikian juga dengan teknik penegakan hukum yang harus diambil oleh aparat yang berwenang, juga akan berbeda dengan teknik penegakan hukum yang dilakukan menghadapi tindakan kekerasan pada orang dewasa.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Tindak Kekerasan Menurut JCT. Simorangkir, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. 52 Defenisi hukum ini penting untuk mengetahui sifat dan tujuan dibuatnya hukum itu sendiri. Tujuan hukum itu sendiri adalah untuk untuk memperoleh kebenaran dan keadilan. Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup dengan manusia lain secara damai. 53
52 53
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pusaka, Jakarta, 1986, hal. 36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 134
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Arif Gosita mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis) yang menjamin anak benar-benar melaksanakan hak dan kewajibannya. 54 Bismar Siregar mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur dalam hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.55 Beberapa rumusan tentang hukum perlindungan anak menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut: 1. Hukum perlindungan anak adalah suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, hukum perlindungana anak itu beraspek mental, fisik, dan sosial (hukum). Ini berarti, pemahaman dan penerapannya secara integratif. 2. Hukum perlindungan anak adalah suatu interaksi antar pihak-pihak tertentu, akibat suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Perlu diteliti, dipahami dan dihayati yang terlibat pada eksistensi hukum perlindungan anak tersebut. Juga diteliti, dipahami, dan dihayati gejala yang mempengaruhi hukum perlindungan anak tersebut (antara lain individu dan lembaga-lembaga sosial). Hukum perlindungan anak merupakan suatu permasalahan yang sulit dan rumit. 3. Hukum perlindungan anak merupakan suatu tindakan individu yang dipengaruhi unsur-unsur sosial tertenu atau masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (dapat menjadi motivasi), lembaga-lembaga sosial (keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah dan sebagainya). Memahami dan menghayati secara secara tepat sebabsebab orang membuat hukum perlindungan anak sebagai suatu tindakan individu (sendiri atau bersama-sama) dipahami unsur-unsur sosial tersebut. 4. Hukum perlindungan anak dapat menimbulkan permasalahan hukum (yuridis) yang mempunyai akibat hukum, yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum. 5. Hukum perlindungan anak tidak dapat melindungi anak, karena hukum hanya merupakan alat atau sarana yang dipakai sebagai dasar atau pedoman orang melindungi anak. Jadi yang penting disini adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak. Sering diajarkan atau ditafsirkan salah, bahwa hukum itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu membuat orang salah menganggap hukum itu selalu benar, tidak boleh dikoreksi,dan sebagainya. 54
55
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia (disertasi), Program Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2003, hal. 69 Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 15
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
6. Hukum perlindungan anak ada dalam berbagai hukum, karena kepentingan anak ada dalam berbagai bidang keluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. 56
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perlindungan hukum terhadap anak dapat kita lihat dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut: a. Pasal 341 KUHP menentukan: Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum, karena makar mati terhadap anak (kinderdoodslag), dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. b. Pasal 342 KUHP menentukan: Seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambilnya sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada ketika dilahirkan atau tidak lama kemudian dari pada itu, dihukum karena pembunuhan anak (kindermoor), yang direncanakan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
c. Pasal 346 KUHP menentukan:
56
Era Hukum Jurnal Ilmiah Hukum No. 4/ Th V/April 1999, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Perdagangan Anak, Fakultas Hukum Taruma Negara, Jakarta, 1999, hal. 274-275
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. d. Pasal 347 KUHP menentukan: a. Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selamalamanya dua belas tahun. b. Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum selamalamanya lima belas tahun. e. Pasal 348 KUHP menentukan: i.
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati seorang perempuan dengan izin perempuan itu dipenjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
ii.
Jika karena perbuatan itu perempuan itu menjadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
f. Pasal 349 KUHP menentukan: Jika seorang tabib, dukun beranak, atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang tersebut dalam Pasal 346, atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka hukumannya yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga nya dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu. g. Pasal 326 KUHP menentukan : Barang siapa yang masuk bekerja sebagai anak kapal pada sebuah kapal (perahu), sedang diketahuinya bahwa kapal (perahu) itu digunakan untuk menjalankan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
perniagaan budak belian atau dipakai untuk keperluan itu, atau jika ia dengan sukanya sendiri tetap tinggal bekerja sesudah ia mendengar maksudnya atau gunanya kapal (perahu) itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. h. Pasal 330 KUHP menentukan: 1. Barangsiapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. 2. Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum dewasa umurnya dibawah dua belas tahun. i. Pasal 331 KUHP menentukan : Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang dicabut atau yang mencabut dirinya dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjaga dia, atau barangsiapa sengaja menyembunyikan anak itu dari penyelidikan pegawai kehakiman atau polisi, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, atau, jika anak itu umurnya di bawah 12 (dua belas) tahun, dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. j. Pasal 332 KUHP menentukan: 1e. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orang tuanya atau walinya, tetapi
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah. 2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barangsiapa melarikan perempuan dengan tipu, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak nikah. k. Pasal 287 KUHP menentukan: 1. Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahawa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 2.Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294. l. Pasal 288 KUHP menentukan : 1. Barangsiapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. 2. Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. 3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
m. Pasal 290 ayat (2) KUHP menentukan : Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya bahwa orang itu belum masanya buat dikawin. n. Pasal 292 KUHP menentukan : Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. o. Pasal 294 ayat (1) KUHP menentukan : Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutannya, anak peliharaannya, atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. p. Pasal 295 KUHP menentukan : 1. dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, didiknya atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang dibawah umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barangsiapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada ayat 1, menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa. q. Pasal 297 KUHP menentukan: Memperniagaan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. r. Pasal 305 KUHP menentukan: Barangsiapa menaruh anak yang dibawah umur tujuh tahun disuatu tempat supaya dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pada pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, dihukum penjara sebanyak-banyaknya lima tahun enam bulan. s. Pasal 308 KUHP menentukan: Kalau Ibu menaruh anaknya disuatu tempat supaya dipungut oleh orang lain tidak beberapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh karena takut akan diketahui orang ia melahirkan anak atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, maka hukuman maksimum yang tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi sehingga seperduanya.
2. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Selama lima tahun terakhir Indonesia bergerak cepat dalam upayanya memaktubkan hak asasi manusia dalam undang-undang. Maka salah satu langkah yang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
terpenting yang ditempuhnya adalah mengadopsi Undang-undang Perlindungan Anak. Undang-undang yang baru ini merupakan alat yang ampuh dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Di dalamnya diatur hak-hak dasar anak untuk memperoleh identitas, kebebasan, pendidikan, layanan kesehatan, hiburan dan perlindungan. Undang-undang ini merupakan kerangka kerja utama dan sangat bermanfaat dalam hal memberikan perlindungan kepada anak-anak yang paling rentan, termasuk anak-anak yang masih dieksploitasi dari segi ekonomi dan secara seksual, anak-anak yang diperdagangkan, anak-anak yang bermasalah dengan hukum, anakanak yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan, anak-anak yang berada dalam situasi konflik, anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak-anak yang diabaikan atau anak-anak yang di terlantarkan dan cacat. Pembuatan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 di atas dilatarbelakangi oleh peratifikasian Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990 setelah konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB guna mengatur masalah hak dan kebutuhan khusus anak-anak. Pasal 1 butir (1) intervensi UU No. 23 Tahun 2002, menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal ini mempunyai cakupan yang sangat luas. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtzekerheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigheit). Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku. Hal ini diperlukan untuk tercapainya kepastian hukum. Sudikno Mertokusumo menilai kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 57 Kepastian hukum yang menjadi harapan masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam hukum itu sendiri. Hal ini dikarenakan sekaligus apapun isi pasal-pasal yang terdapat dalam suatu peraturan hukum, menjadi tidak berarti apa-apa jika tidak dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Dalam penegakan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Perlindungan hukum terhadap anak juga dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2002 adalah sebagai berikut : 1. Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikoropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 2. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : 57
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 134
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang konflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (ayat 1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Perlakuan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini; c. Sarana dan prasarana khusus penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik untuk anak; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk berhubungan dengan orang tua atau keluarga. g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. (ayat 2) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui; a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. (ayat 3).
3. Pasal 66 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimakud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4. Pasal 69 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan: Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. (ayat 1) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (ayat 2). 5. Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Setiap orang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskrimiasi
terhadap
anak
yang
mengakibatkan
anak
mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya. (ayat 1) b. Penelantaran anak terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (ayat 2) 6. Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Setiap seorang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang terekspoloitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (napza), anak yang korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
kekerasan sebagaimana dimaksud pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 7. Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (ayat 1) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (ayat 2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (ayat 3) Pidana tambahan sepertiga dari ketentuan sebagaimana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. (ayat 4) 8. Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (ayat 1) Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3. Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bahwa kekerasan dalam rumah tangga kerap sekali terjadi, yang menjadi korbannya adalah anak. Diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi. Dalam hal ini hukum khususnya UU No. 23 Tahun 2004 memberikan perlindungan secara khusus terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga yakni antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 15 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. Mencegah berlangsunngnya tindak pidana b.
Memberikan perlindungan kepada korban
c.
Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. 2. Pasal 16 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: 1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. 3. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 3. Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. 4. Pasal 19 UU No.23 Tahun 2004 menentukan: Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 5. Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib : a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. 6. Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan :
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
1. Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. 2. korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. 7. Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan : Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan : 1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
9. Pasal 45 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan : Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
10. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan : Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00.(tiga puluh enam juta rupiah).
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BAB III KAJIAN TERHADAP KEKERASAN ANAK A. Kajian Empiris Kebanyakan data empiris mengenai kekerasan kepada anak di Indonesia, yang bisa didapatkan saat ini menggunakan media massa (surat kabar) sebagai sarana pengumpulan datanya. Kemampuan data yang dihasilkan tersebut dalam mewakili kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia sangat jauh dengan kenyataan. Karena pertama; berita-berita yang ditampilkan di surat kabar akan sangat berpengaruh pada keadaan peristiwa yang terjadi pada waktu itu, jika banyak peristiwa menarik maka kasus kekerasan pada anak akan otomatis berkurang karena kalah jual dengan berita “panas” saat itu. Kedua; sekalipun ada berita yang diberitakan, jalan cerita, kejadian sering ditambahkan atau justru terlalu sederhana sehingga tidak tersedia cukup data yang menggambarkan kejadian. Tetapi jika kita mau memandang dari segi positipnya, dengan semakin banyak (Lembaga Advokasi, LAAI, Lembaga Kesejahteraan Anak dan sebagainya) yang melakukan monitor kasus kekerasan kepada anak menunjukkan bahwa mulai dari peningkatan kesadaran, dan perhatian yang lebih bagi kasus kekerasan pada anak. Semakin banyak orang-orang yang peduli, mulai meneliti, membahas solusi-solusi yang mungkin dilaksanakan dan menganggap kekerasan pada Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
anak sebagai masalah yang serius dari suatu bangsa, dapat dianggap sebagai kemajuan dari perlindungan anak di Indonesia saat ini. Data empirik didapatkan dengan metode studi pustaka yaitu dengan mengacu pada hasil penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan pasca krisis ekonomi di Indonesia. Ada beberapa hasil penelitian dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi internasional ataupun pemerintah Indonesia yang penulis pakai dan semuanya bukan beralas dari pengumpulan data melalui media massa. Adapun tujuannya untuk mendapatkan penggambaran dari situasi aktual kekerasan pada anak di Indonesia, dan situ dapat kita teliti kendala-kendala yang dihadapi, karakteristik yang dimiliki kasus DCA di Indonesia (pelakunya, jenis kekerasan) pengaruh budaya masyarakat dan sebagainya yang tentu saja dapat mempengaruhi secara positif maupun negatif terhadap penegakan hukum perlindungan anak di Indonesia. Kekerasan di rumah tidak terjadi begitu saja tetapi ada kondisi sosial-budaya yang mendukung terjadinya kekerasan tersebut. Kondisi tersebut secara minimal dapat dikategorikan menjadi : 1) kondisi budaya, 2) kondisi sosial, 3) kondisi ekonomi. Kondisi pendukung dapat berbeda-beda berdasarkan lokasi tempat terjadinya kekerasan tersebut (contoh kekerasan yang terjadi
di ruang publik didominasi
pengaruh dari kondisi/keadaan tertentu, berbeda dengan kondisi yang mendukung jika kekerasan terjadi di dalam rumah/domestik). Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Kondisi budaya.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Kondisi budaya pendukung kekerasan dirumah antara lain adalah adanya pandangan tertentu antara orang dewasa terhadap anak-anak. Contohnya adanya pandangan : “Anak lelaki harus tahan uji ; anak lelaki tidak boleh cengeng ; ini baru anakku.” Pandangan ini menyebabkan seorang anak lelaki dididik secara keras oleh orang tuanya yang sering menjurus kearah kasar. Jika anak tersebut menangis dia malah akan mengalami kekerasan mental. Anak dibiarkan mengalami kekerasan-kekerasan fisik supaya tahan uji. Tindak kekerasan kepada anak lelaki dianggap wajar dan disisi lain menggangap rendah seorang anak perempuan, hal ini juga menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan. “Anak adalah harta kekayaan orang tua” Pandangan ini berpendapat, jika sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi maka anak-anak mereka dapat diperkerjakan untuk menambah penghasilan, sehingga mereka dipekerjakan pada usia relatif muda. “Anak harus patuh pada orang tua” Atas dasar pandangan ini kalau si anak tidak mau menjalankan suatu tugas dari orang tua (termasuk bekerja mencari uang) maka si anak akan mendapatkan sanksi yang cenderung menjurus tindak kekerasan. Anak dianggap belum terlalu berpengalaman sehingga harus dibimbing oleh orang tua dan harus mematuhi orang tua. Kondisi sosial Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
“Kebiasaan minum tuak dan berjudi” Keadaan mabuk sering menjadi alasan pembenar untuk melakukan tindakan kekerasan. Seorang ayah yang mabuk sering melakukan tindakan kekerasan pada keluarganya termasuk anaknya. Kebiasaan berjudi sering menyebabkan seseorang kehabisan uang yang seharusnya digunakan untuk membiayai keluarga. Keadaan ini menyulut konflik akan melahirkan tekanan/stress dan anak sering menjadi korban pelampiasan. “Hubungan suami istri yang kurang harmonis” Hubungan yang kurang harmonis
antar suami istri (karena suami
main
perempuan atau alasan lain) menyebabkan perselisihan dan dalam perselisihan si anak cenderung berpihak terhadap ibu dan ini juga menyebabkan si anak mengalami kekerasan. 2. Kondisi Ekonomi Kondisi ini dari banyak penelitian lain memang diketahu mempunyai dampak yang sangat besar dalam terjadi tindakan kekerasan. Kemiskinan dari satu keluarga yang terus menerus membuat tekanan yang sangat besar pada setiap orang, terutama orang tua yang harus menafkahi keluarganya. Dengan kondisi seperti ini berbagai bentuk kekerasan sering terjadi. Apalagi kondisi perekonomian bangsa ini yang sedang mengalami krisis ekonomi suatu keluarga juga mengalami goncangan. Dapat dibayangkan banyaknya kekerasan yang mungkin terjadi. Kondisi-kondisi yang diduga kuat memungkinkan bertahannya fenomena tindak kekerasan terhadap anak : 1. Masih belum dikenalnya konvensi hak-hak anak. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Masih terjadinya tindakan kekerasan ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak anak. Dan dalam penelitian dan wawancara ini tampak terjadi karena
kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang konvensi hak anak.
Dengan kata lain KHA sebenarnya belum dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan mereka yang banyak terlibat dalam menolong anak-anak terlantar pun masih banyak yang belum mengetahui tentang KHA. 2. Pemahaman yang kurang baik mengenai proses tumbuh kembang anak. Berbagai macam tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak juga mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap tumbuh kembang anak. Kekerasan kepada anak akan memberikan dampak negatif terhadap kejiwaan anak dan fisik. Mereka yang sejak kecil hidup dalam lingkungan kekerasan atau mengalami kekerasan dewasanya akan menjadi individu yang cenderung berprilaku menyimpang, kasar dan sebagainya. Jika dipahami tentu saja seorang dewasa tidak akan begitu mudah melakukan kekerasan pada anak-anak. 3. Kurang diterapkan metode pendidikan dengan lebih didasarkan pada kasih sayang. Kurangnya pemahaman seperti alasan diatas juga menyebabkan cara pendidikan dengan pendekatan yang salah. Mendidik anak terlalu keras tidak akan lebih baik hasilnya dari mendidik anak dengan dasar kasih sayang. Ada dugaan yang beralasan bahwa pendidikan dengan dasar kasih sayang tidak banyak digunakan. Orang dewasa cenderung menggunakan kekuatan dan kekerasan dalam mendidik anak. 4. Kurangnya pranata dan lembaga yang memperhatikan kesejahteraan anak. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Kurangnya pranata yang memperhatikan kesejahteraan juga adalah kondisi yang memungkinkan berlangsungnya kekerasan pada anak. Anak yang mengalami kekerasan tidak tau mau kemana untuk meminta perlindungan. Bertambahnya pranata dan lembaga yang memperhatikan anak akan mengurangi terjadinya kekerasan pada anak ini adalah logika yang pasti. 5. Masih ada pandangan tradisional yang kurang menguntungkan anak. Berbagai pandang tradisional yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat di Indonesia juga menyebabkan anak seringkali mengalami kekerasan budaya-budaya tertentu yang masih melegitimasi perlakuan kekerasan pada anak yang sangat merugikan anak. Dan seharusnya secara perlahan harus dihilangkan. 6. Adanya kondisi keluarga yang menyebabkan anak menjadi terlantar nasibnya. Kondisi-kondisi tertentu yang dihadapi keluarga (ekonomi, keharmonisan dan lainlain) juga memungkinkan anak mengalami kekerasan, baik sebagai pelampiasan stress ataupun melalui memperkerjakan anak secara paksa dan pemberian hukuman terhadap anak yang terlampau keras karena emosi.
B. Hasil Penelitian Pemerintah Indonesia Sebuah laporan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia bekerjasama dengan organisasi-organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan anak, sebagai pelaksanaan kewajiban negara meratifikasi Konvensi Hak Anak, untuk memberikan laporan kemajuan implementasi dari KHA pada situasi terkini mengenai perlindungan anak di Indonesia yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Kesejahteraan Masyarakat/Menko Kesra, tanggal 24 Januari 2002. Bagian V huruf J, memuat mengenai Abuse dan Neglect (menurut Pasal 19 Konvensi Hak Anak) : 1. Laporan yang dibuat oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat, dari 172 kasus pada tahun 1994, 421 kasus pada tahun 1995, dan 476 kasus pada tahun 1996. 2. Dalam kasus kekerasan pada anak di rumah, pola pikir tradisional yang kuat, yang masih terus berlangsung menyatakan bahwa masalah yang berhubungan dengan seorang anak adalah urusan internal keluarga, dan jika orang tua atau orang lain dalam keluarga melakukan kekerasan, intervensi dirasakan tidak dibutuhkan. Hal ini menjadi penghalang tersendiri dalam hukum perlindungan anak. 3. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kondisi sosial dan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Kekerasan dalam keluarga, secara umum, dipengaruhi oleh stereotipe gender yang menyatakan bahwa anak laki-laki harus sanggup menghadapi ujian, dan oleh pola pikir orang tua yang menyatakan bahwa orang tua mempunyai kewenangan mutlak atas anakanak mereka, oleh karena itu anak-anak harus mematuhi orang tua mereka. Budaya tersebut juga berpengaruh disekolah bahwa anak-anak harus mematuhi peraturanperaturan sekolah kalau tidak dipatuhi dilakukan kekerasan. 4. Faktor lain yang memberikan kontribusi atas terjadinya kekerasan didalam rumah tangga adalah perjudian, penghasilan yang tidak cukup, dan seorang suami yang berselingkuh.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
5. Berdasarkan hukum pidana Indonesia, beberapa bentuk dari kekerasan, termasuk penghinaan yang disengaja, cedera dan kekerasan, adalah sesuatu yang dilarang. Tetapi larangan ini tidak secara eksplisit ditujukan untuk melindungi anak. Dan juga ruang lingkup perlindungannya terbatas pada tempat umum, kecuali mengenai kekerasan seksual. 6.
Lingkungan domestik dan perluasan lingkungan domestik (lingkungan sekolah misalnya) dan institusi-institusi pidana, berada diluar jangkauan perlindungan yang diberikan oleh hukum pidana. Khusus mengenai kekerasan oleh orang tua tidak ada prosedur pengaduan yang dikembangkan.
7. Perlindungan hukum yang lebih jauh yang diberikan oleh Undang-undang Kesejahteraan Anak Tahun 1979 dan Undang-undang Perkawinan Tahun 1974, tetapi terhadap kedua undang-undang tersebut terdapat banyak kritik yang diberikan karena tidak mencantumkan ketentuan pidana, dan lagi pula tidak efektif. Undang–undang
Kesejahteraan
Anak
mengatur
bahwa
orang
tua
yang
mengabaikan kewajiban mereka terhadap seorang anak, dapat dicabut hak pengasuhannya. Hal yang sama juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 49. Permasalahan mengenai masalah kekerasan pada anak, baru mulai akhir-akhir ini menjadi perhatian di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh UGM dan UNICEF diharapkan dapat membantu Negara dalam mengambil langkah-langkah stategik yang relevan sesuai dengan kewajiban dalam Pasal 19 (kekerasan domestik) dan Pasal 39 (pemulihan kewajiban anak). Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak (sebuah lembaga independent kerjasama antara pemerintah dan masyarakat) memfasilitasi pelaksanaan studi di Malaysia beranggotakan tim interdisipliner untuk mempelajari bagaimana mengatasi kekerasan pada anak. Sebuah tim kecil dari para profesional dibidang kedokteran, dikordinasi oleh IDI, berkerjasama dengan UNICEF berusaha membuat draft, penuntun teknis/protocol bagi dokter untuk bisa mengidentifikasikan dan melaporkan kasus yang dicurigai sebagai kekerasan pada anak. Akan ditindak lanjuti dengan kebijakan, instruksi dan pelatihan tingkat nasional dan daerah bagi para dokter, perawat, demikian juga para penegak hukum, lembaga perlindungan anak dan lembaga bantuan hukum. Sementara konstribusi juga dilakukan dalam bidang pendidikan dan media massa dengan terus melakukan publikasi mengenai isi dari konvensi hak-hak anak kepada masyarakat. Beberapa inisiatif yang dilakukan oleh organisai-organisasi non pemerintah, universitas-universitas, organisasi profesional dibidang kedokteran, dan UNICEF, adalah mengusahakan untuk mulai membentuk suatu gambaran awal dari masalah kekerasan terhadap anak di Indonesia. Hal-hal yang didapatkan dari Malaysia memberikan inspirasi dan pengetahuan yang baru dalam menghadapi kekerasan pada anak. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi adalah: 1. Kurangnya data konprehensip mengenai kekerasan kepada anak, sehingga hanya informasi yang minimum yang berhubungan dengan masalah kekerasan terhadap anak yang ada. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2. Kurang adanya perhatian dari pemerintah terhadap kekerasan pada anak. 3. Faktor sosial-kultural, prasangka terhadap gender pria sebagai pelaku yang produktif didalam lingkungan masyarakat dan wanita sebagai pelaku yang reproduktif dalam lingkungan domestik, yang kemudian menumbuhkan diantara masyarakat, stereo tipe dan kepada gender suatu harapan dan prilaku yang salah (lelaki harus mampu bertahan ketika dipukul atau menghadapi kekerasan dan wanita diletakkan pada posisi yang membuat mereka sangat rentan terhadap kekerasan seksual) budaya feodal dan kekuasaan orang tua memanfaatkan anakanak pada posisi rendah didalam hirearki sosial masyarakat. 4. Metode pelaporan melalui media massa tidak peka terhadap anak-anak, dan memperkuat prasangka gender dengan segala implikasi pandangan masyarakat terhadap anak.
B. Kajian Normatif Dalam penelitian ini penulis membahas mengenai masalah perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan di dalam lingkungan keluarga. Kata kekerasan dalam lingkungan keluarga disini diartikan sebagai kekerasan domesik (Domestic Child Abuse). Sesuai dengan yang diatur didalam Pasal 19 ayat (1) Konvensi hak anak. KHA akan dipakai sebagai tolak ukur (pembanding) utama dalam menilai seberapa besar hukum perlindungan anak di Indonesia memberikan perlindungan, dan perlindungan apa saja yang dapat diberikan oleh hukum. KHA sudah diratifikasi oleh Indonesia,
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
berarti secara otomatis kebijakan pemerintah Indonesia untuk masalah hukum Perlindungan Anak harus selaras dengan KHA. 1. Keterbatasan Kerja Hukum Berhubungan dengan kekerasan pada anak ada dua hal yang membatasi kerja hukum. Yang pertama, kekerasan pada anak dalam keluarga berkaitan dengan hubungan antara orang tua dan anaknya dimana dalam hubungan tersebut terdapat kekurangan dalam perhatian, perawatan, cinta dan pengertian. Hal-hal seperti itu tidak bisa dihasilkan atau dipaksakan dengan keberadaan hukum. Yang kedua, kekuatan dan arti sebuah hukum sangat bergantung kepada penegakan/pelaksanaanya.
Dan
pelaksanaannya
yang
efektif
membutuhkan
keterlibatan dari banyak faktor dan banyak pihak, tidak hanya pada pengawasan tetapi juga pada pemberian sanksi, peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum. (Contohnya keikutsertaan media TV, koran, poster dan lain-lainnya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat).
2. Perbedaan Dalam Mengartikan “child abuse” di Indonesia. Dalam penelitian yang penulis lakukan ditemukan bahwa diantara para ahli hukum sendiri belum ada kesepakatan yang pasti untuk mengartikan apa itu child abuse. Ada yang mengartikan sebagai perbuatan yang salah pada anak, perbuatan yang kejam terhadap anak, dan ada juga yang mengartikan sebagai kekerasan kepada anak. Child Abuse dapat terjadi didalam rumah (domestik) atau diluar rumah (public) namun Child Abuse dapat disepakati melalui Convention of the Right of The Child Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Pasal 19 ayat (1), adalah Child Abuse yang terjadi dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak yang isinya adalah : 1. States Parties Shall take all appropriate Legeslative Administrative, social and educational measure to protect child from all forms of physical or mental violence, injury or abuse, negligent treatment, maltreatment or exploitation, including sexual abuse while in the care of parent (s), legalguardian(s) or any other person who has the care of the child. Artinya: Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif atau administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik, mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, luka (injury) atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak. Dalam berbagai rumusan kekerasan pada anak (Child Abuse) seperti yang diatur oleh beberapa negara seperti Singapura dalam The Children and Young Person(s) Act (Undang-undang tentang Anak dan Orang muda). Rumusan Child Abuse yang diatur juga adalah kekerasan pada anak yang bersifat domestik (Domestic Child Abuse). “Child Abuse is when a child is willfully assaulted or ill-treated in a manner likely to cause him/her unnecessary suffering or injury to his/her helath (physical, emosional, mental, etc.) by a person or person having custoday, charge or termporary care of the child”. Artinya: kekerasan pada anak adalah ketika seorang anak, secara sengaja diserang atau dianiaya dengan sebuah tindakan yang menyebabkan anak tersebut mengalami penderitaan atau cedera yang tidak semestinya (secara fisik, emosional, mental dan lainnya) oleh seorang atau beberapa orang yang memelihara, bertanggungjawab, atau secara sementara merawat anak tersebut). Tidak demikian dalam Undang-undang Perlindungan Anak Republik Indonesia yang walaupun tidak menuliskan secara spesifik mengenai rumusan Child Abuse tetapi mengatur child abuse secara umum yaitu child abuse yang terjadi dalam lingkungan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
domestik maupun publik. Keseluruhan pasal-pasal, dan prinsip-prinsip dalam Undangundang Perlindungan Anak banyak yang mengacu pada KHA. Agustinus Pohan dalam menterjemahkan rumusan Pasal 19 ayat 1 CRC sebagai penyalagunaan kekuasaan orang tua. Sedangkan Muhammad Joni dan Zulchainan Tanamans menterjemahkan sebagai salah perlakuan dari orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Mengapa Child Abuse yang banyak dibahas adalah yang terjadi didalam lingkungan domestic. Jika suatu kekerasan pada anak terjadi di publik maka tidak terlalu sulit bagi masyarakat untuk menjerat pelaku dengan pasal-pasal kriminal yang sudah ada. Tetapi menjadi sulit jika kekerasan pada anak yang terjadi bersifat domestik, dimana pelakunya adalah orang yang dekat dengan anak, yang merawat anak, bertanggung jawab terhadap anak tersebut. Kekerasan pada anak jenis ini memiliki sifat yang cenderung tertutup, berulang-ulang, sulit dideteksi, dan ada suatu benteng kewenangan orang tua terhadap anaknya yang membuat orang tua lain/masyarakat sulit ikut campur. 2. Disiplin Orang Tua dan Kekerasan pada Anak Seringkali di Indonesia pendidikan dijadikan alasan bagi orang tua untuk melakukan kejahatan. Bukan saja di Indonesia tetapi memang dikebanyakan negara Asia, dimana ikatan, prinsip-prinsip tradisional dalam keluarga termasuk didalamnya hak penuh orang tua untuk mendidik anaknya masih dipegang teguh. Sungguh berbeda dikebanyakan negara-negara Barat dimana kebebasan individual seseorang untuk memilih dan bertindak lebih dipegang. Tidak bisa dinilai memang cara mana yang Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
lebih baik untuk mendidik seorang anak, agar bisa menjadi seorang dewasa yang dicita-citakan, apakah dengan cara Asia atau dengan cara Barat. Di Indonesia alasan orang tua cenderung bersembunyi dibalik kekuasaannya yang dianggap mutlak oleh dirinya dan diakui oleh sebagian angota masyarakat tradisional. Sehingga masyarakatpun sering kali tidak dapat bertindak karena takut mengganggu keluarga orang. Sebagai contoh seperti yang terjadi di pulau Sumba, disana ditemukan kasus seorang anak perempuan yang dipukul oleh ayahnya dengan kayu penumbuk beras karena dianggap tidak mematuhi perintah ayahnya. Atau kalau kita pernah mendengar di pulau Jawa seringkali adanya anak dipasung oleh orang tuanya di rumah dengan diketahui tetangga, bahkan oleh orang-orang pemerintahan seperti kepala Desa di desa itu, namun masyarakat tidak melakukan apa-apa. Prinsip penting yang harus dipegang dalam perlindungan anak berkenaan dengan masalah ini adalah “seorang anak berhak untuk dilindungi bahkan dari orang tuanya sendiri” artinya seorang anak harus dilindungi dari siapa saja tanpa terkecuali. Tokoh orang tua, sekalipun ia adalah orang yang melahirkan anak tersebut, yang merawat anak tersebut, yang menyusui, yang menyekolahkan, membiayai sejak sianak lahir, atau apapun yang telah dilakukannya terhadap seorang anak tetap tidak bisa memiliki tubuh, jiwa, roh anak itu. Karena dalam hak asasi manusia salah satu hal yang mendasari adalah seorang tidak memiliki orang lain. Begitu juga dalam hal pendidikan seorang anak. Dengan alasan pendidikan sekalipun, kekerasan tidak boleh dilakukan pada seorang anak. Namun bagaimana dengan disiplin yang harus dilakukan orang tua pada anaknya jika dia melakukan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
kesalahan apakah tidak bisa dilakukan sama sekali. Harus ditetapkan suatu batasan mengenai masalah ini dalam hukum positif di Indonesia. Sebagai contoh seperti yang diterapkan di Singapura, ditetapkan suatu batasan apakah suatu tindakan kekerasan dikategorikan masih dalam tahap wajar sebagai disiplin orang tua atau sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah Abuse/kekerasan pada anak yang dilarang oleh UU. Sebuah tindakan dari orang tua terhadap anaknya akan dikategorikan sebagai Abuse jika cedera yang dialami anak sudah excessive (berlebihan) dan atau terjadi pada bagian-bagian vital dari seorang anak seperti muka, area orbital, area kemaluan dan lain-lain. Atau bisa juga cedera dalam yang dapat muncul sebagai sebuah kondisi medis yang akut kondisi organ perut yang akut, koma dan keretakan-keretakan. Bentuk lain dari abuse yang dapat berupa keracunan obat/bahan kimia yang dapat termanifestasikan sebagai keadaan mengantuk siang yang tidak normal, atau koma. Di Indonesia belum ada peraturan yang memadai yang mengatur tentang hal ini dengan memberi batasan yang jelas antara disiplin orang tua dan kekerasan pada anak.
3. Perlindungan Yang Dapat Diberikan Hukum Pada prinsipnya secara hukum tanggung jawab negara, akan bergantung pada peraturan-peraturan yang berlaku di negara tersebut dan mengikat negara, baik itu didalam bentuk produk hukum nasional, maupun internasional yang telah diratifikasi. Walaupun secara politis memang negara harus bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan warga negaranya dimanapun, dan masalah apapun.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Prof Jaap A. Doek berpendapat bahwa hukum dapat dikaitkannya dengan perlindungan anak dari tindakan kekerasan harus mengatur hal-hal dalam beberapa level berikut ini: 1. Identification/reporting of cases of child abuse (identifikasi/pelaporan kasus-kasus kekerasan pada anak). Beberapa negara mempunyai aturan-aturan yang menyatakan bahwa pelaporan atas terjadinya suatu kekerasan pada anak sebagai suatu perintah. Beberapa negara lain mengembangkan cara lain untuk mengidentifikasikan dan melaporkan terjadinya kekerasan pada anak dan ada pro dan kontra mengenai hal itu. Tetapi yang paling penting adalah semua usaha yang dibuat untuk mengatasi kekerasan pada anak harus termasuk suatu sistem yang efektif untuk mengidentifikasikan suatu kejadian/peristiwa kekerasan pada anak (child abuse). 2. Protection of the child abuse (perlindungan anak dari tindakan kekerasan) kemungkinan ukuran-ukuran perlindungan anak dapat ditemukan dihukum nasional suatu negara. Kemungkinan tersebut tidak selalu cukup sesuai dengan masalah-masalah child abuse/kekerasan pada anak. 3. Punishment of the perpetrator (hukuman bagi pelaku). Dalam membahas masalah pelaku kejahatan beberapa negara ada ketegangan/ pertentangan antara kebutuhan untuk perawatan/pemasyarakatan satu sisi dan kebutuhan untuk memberikan hukuman di sisi yang lain. Di beberapa negara, dalam undang-undang hukum pidana terdapat ketentuan yang khusus yang mengatur tentang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
berbagai bentuk dari kekerasan pada anak (fisik, seksual, emosional). Masalah yang sering terjadi adalah implementasi dari hukum pidana tersebut. Pasal 19 (ayat 1) CRC mengatur tetang Domestik child abuse/Intra familial yang pelakunya adalah orang tua, wali yang sah, orang lain yang memelihara anak. Namun pengertiannya juga melingkupi pada kakek/nenek, pacar dari ibu/ayah, orang tua tiri, saudara yang lain (paman, bibi), saudara kandung. Pasal 19 (ayat 2) CRC memberikan kita suatu ruang lingkungan kerja/langkah kerja dalam mengatasi atau mencegah kekerasan pada anak : Such protective measures should, as appropriate, include effective procedures for the establishment of social programmes to provide necessary support for the child and for those who have the care of the child, as well as for other forms of prevention and for indentification, reporting, referral, investigation, treatment and follow-up of instances of child maltreatment describe heretofore, and as appropriate, for judicial involvement. Artinya : langkah-langkah perlindungan demikian harus bilamana perlu melibatkan tindakan efektif untuk pengembangan program-program sosial guna memberikan dukungan yang diperlukan kepada anak atau bagi pengasuhannya, juga untuk bentuk-bentuk pencegahan lainnya serta untuk identifikasi, pelaporan, rujukan, penyidikan, penindakan, dan penentuan tindak lanjut atas kasus salah perlakuan terhadap anak sebagai mana telah diuraikan, termasuk, bilamana perlu, untuk keterlibatan pengadilan. Ukuran produk legislatif yang perlu dihasilkan dalam melaksanakan perlindungan anak adalah mencakup prosedur-prosedur yang efektif dalam: 1. Prevention ( pencegahan); 2. Identification, reporting dan referral (identifikasi, pelaporan dan penyerahan/ rujukan); Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
3. Investigation (penyelidikan); 4. Treatment and follow up (perawatan dan tindak lanjut); 5. Judical involvement (keterlibatan badan peradilan) Ad. 1. Prevention (pencegahan) Seperti ada pepatah “mencegah lebih baik dari pada mengobati”, pencegahan merupakan suatu cara yang baik yang bisa dilakukan dalam menyelasaikan suatu masalah. Dengan pencegahan,
kerugian, kehilangan, dan dampak buruk dari
terjadinya kekerasan pada anak dapat dihindari. Ada banyak produk hukum yang bisa digunakan untuk memberikan konstribusi bagi pencegahan kekerasan terhadap anak (child abuse). Produk itu bisa saja berhubungan dengan pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan pelayanan masyarakat. Tetapi ada suatu hal lain yang penting yaitu yang berkaitan dengan penerimaan penggunaan kekerasan pada anak. Kadang kala kita melihat guru, orang tua melakukan kekerasan pada anak dengan menampar, memukul dipantat sebagai bentuk hukuman dalam mendidik anak. Alasan mendidik bagi orang tua tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Bukan saja karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak anak tetapi alasan untuk mendidik tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan kekerasan kepada anak, karena anak yang dididik dengan menggunakan pendekatan kekerasan akan berpengaruh pada cara dia mempersopan dan bertindak nantinya ketika dia dewasa yang cenderung adanya unsur kekerasan.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Tidak juga berarti bahwa sebuah pukulan ringan yang diberikan orang tua, orang yang merawat anak untuk mengkoreksi kesalahan yang dilakukan oleh anak tersebut dapat langsung dikategorikan perbuatan kriminal. Tetapi hukum dalam konstibusinya terhadap pencegahan kekerasan terhadap anak harus memberikan batasan/standar yang jelas mengenai penggunaan kekerasan pada anak. Pengaturan ini menjadi penting bukan agar orang tua menjadi baik kepada anak-anak mereka tetapi karena ini adalah hak seorang anak. Jika kita berbicara mengenai pencegahan itu berarti kita akan melibatkan banyak peraturan yang secara tidak langsung akan berpengaruh kepada menurunnya tingkat DCA (domestic child abuse) di Indonesia walaupun didalam peraturan tersebut tidak sama kali mengatur dan menyinggung masalah DCA. Karena hukum positif suatu negara sebenarnya jika kita telusuri secara mendalam, saling mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung satu dengan yang lainnya. Salah satu bidang hukum lemah, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bidang yang lain. Ini disebabkan karena kesamaan wilayah penerapan negara tertentu. Seperti halnya penyebab utama dari berbagai masalah yang dihadapi Indonesia saat ini, krisis perekonomian Indonesia juga ikut ambil bagian di dalam meningkatkan kasus DCA di Indonesia. Seperti yang sudah pernah dibahas, krisis ekonomi di Indonesia memberikan goncangan yang hebat bagi keluarga Indonesia. Pengangguran yang semakin meningkat, karena banyak perusahaan yang bangkrut atau terpaksa mengurangi pegawai, investasi asing yang semakin menurun dan menekan kehidupan keluarga Indonesia karena kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup, atau orang tua Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
yang kena PHK. Tekanan dalam keluarga yang meningkat hampir pasti menimbulkan konflik dalam keluarga, dan dalam konflik tersebut anak tidak jarang menjadi korban kekerasan. Kesimpulannya berbagai aturan dan upaya-upaya yuridis lainnya yang dilakukan untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia akan berpengaruh kepada menurunnya angka DCA. Pembaharuan dari aturan-aturan penanaman modal asing akan diperlukan secara tidak langsung untuk mengurangi DCA. Kebijakan-kebijakan dalam bidang perekonomian yang berdampak positif bagi pemulihan ekonomi Indonesia, adalah termasuk upaya pencegahan DCA. Demikian juga dengan peraturanperaturan dalam bidang pendidikan, peraturan-peraturan dengan pendekatan yang lebih peka terhadap anak akan mengurangi secara langsung kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Ad.2 Identification and reporting (identifikasi dan pelaporan) Prosedur yang efektif dalam identifikasi dan pelaporan, kekerasan pada anak merupakan suatu yang krusial/sangat dibutuhkan dalam perlindungan anak. Pelaporan yang berkelebihan juga tidak tepat dan menggangu kehidupan suatu keluarga. Tetapi kasus yang tidak dilaporkan juga akan berbahaya bagi seorang anak. Berikut ini adalah masalah-masalah yang harus diperhatikan dalam penciptaan hukum dengan sistem pelaporan dan pengidentifikasian child abuse : 1. Definisi dari kekerasan pada anak (child abuse) dan pengabaian (neglect) yang dapat dilaporkan. Seperti berbagai bentuk dari child abuse, bentuk-bentuk khusus dari child abuse yang bersifat domestik atau publik, dilakukan oleh orang tua, orang yang memelihara anak, sekolah, tempat kerja. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2. Siapa yang harus melaporkan, apakah kelompok-kelompok profesional tertentu, semua profesional yang berhubungan dengan anak, ataukah setiap orang. 3. Melaporkan kepada siapa, kepada polisi, dinas sosial, pelayanan perlindungan anak, ataukah instansi lainnya. 4. Perlindungan bagi mereka yang harus melaporkan. Seperti kekebalan hukum bagi mereka yang melaporkan dengan iktikad baik (tapi tidak bagi pelaku sendiri), pencabutan prinsip kerahasiaan profesional. 5. Pertanggungjawaban kriminal dan publik bagi mereka yang tidak melaporkan. Kegagalan dalam melaporkan harus bersifat disengaja, ada kesengajaan yang menyebabkan terjadinya masalah-masalah dalam proses hukum selanjutnya. Perancis adalah contoh negara yang telah menerapkan pencabutan prinsip kerahasiaan profesional. Sehingga para profesional dibidang kedokteran dapat melaporkan kemungkinan suatu kasus kekerasan pada anak tanpa harus takut bertanggung jawab secara hukum. Contoh lain adalah Belanda yang kemudian diikuti oleh Belgia dan Jerman pada tahun 1972 membuat suatu badan khusus yang diberi nama CDB (Confidential Doctor Bereau) isinya adalah para ahli dalam bidang kedokteran (tentu saja secara part time agar tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai dokter), beberapa pekerjaan sosial, beberapa pekerjaan administratif. Gunanya lembaga ini adalah salah satunya ketika seseorang mencurigai terjadinya suatu kekerasan pada anak maka orang tersebut dapat menghubungi biro untuk dua alasan. Yang pertama untuk mendapatkan nasehat bagaimana harus bertindak, dan kedua bagaimana kasus tersebut dapat ditindak lanjuti Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
oleh CDB untuk di investigasi, mengkoordinir tindakan-tindakan yang perlu untuk diambil untuk mendukung dan melinduni anak, kemudian CDB dapat melakukan follow Up terhadap kasus tersebut untuk memastikan jika masih ada hal lain yang perlu dilakukan atau apakah yang telah mereka lakukan sudah dapat. Sistem ini berhasil meningkatkan laporan akan terjadinya kekerasan pada anak dan tentu saja menolong banyak anak. Kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan relatif sangat sedikit, karena.jika dibandingkan dengan keadaan-keadaan sosiologis, jumlah penduduk, dan faktor pendukung terjadinya kekerasan seharusnya lebih banyak dari itu. Sedikitnya laporan bukanlah sesuatu yang baik, sebaliknya tidak baik. Tentu saja tidak berarti kita berharap bahwa banyak kasus kekerasan yang terjadi, tetapi sedikitnya laporan justru menunjukkan bahwa banyak anak yang mengalami tindak kekerasan namun tidak mendapatkan pertolongan dan bantuan yuridis. Jumlah laporan yang ideal adalah sebanyak kasus yang terjadi walaupun sebenarnya hal ini tidak mungkin karena memang tidak pernah ada kejahatan yang dapat diketahui seratus persen semuanya oleh aparat di negara manapun dengan sistem hukum secanggih apapun. Dalam hubungannya dalam rumusan tindak kekerasan pada anak setidaknya ada dua undang undang dibuat oleh pemerintah, yang beberapa rumusan pasalnya secara langsung berkaitan dengan kekerasan pada anak dalam keluarga (domestic child abuse) yaitu, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dalam Undang- undang Perlindungan Anak Indonesia.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Hukum Indonesia juga seringkali tidak memiliki kriteria akan suatu tindak kejahatan. Sebagai contoh peraturan yang mengatur larangan berbuat cabul dengan anak-anak, hukum hanya merumuskan "perbuatan cabul” tetapi perbuatan itu sendiri tidak dijelaskan apakah itu pelecehan seksual secara umum atau berhubungan seksual. Atau contoh lainnya adalah seperti yang sudah dijabarkan di atas, dimana pada perlindungan anak tidak ada definisi yang jelas mengenai kekerasan fisik, mental, seksual atau perlakuan salah,dan pengabaian. Lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia berusaha membuat suatu rumusan undang-undang yang diharapkan memberikan perlindungan yang lebih efektif, peka terhadap anak, dan komprehensif. Sebagai konsekuensi ratifikasi pentingnya Konvensi Hak-hak Anak yang adalah bagian pencerahan masyarakat mengenai pentingnya anak dan penghargaan hak-hak anak, maka lahirlah Undang-undang Hukum Perlindungan Anak yang jika dilihat rumusan pasal-pasalnya sebagian besar mengacu pada Konvensi Hak-hak anak, walaupun konvensi ini tidak dicantumkan pada mukaddimah mengingat.
Bab IX Penyelenggaraan Perlindungan, Bagian Kelima Perlindungan Khusus. Pasal 59 tentang Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara untuk memberikan perlindungan khusus pada anak ...... anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, perlakuan salah, dan atau penelantaran. Pasal 69 ayat (1) tentang Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seperti yang di maksud Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis dan seksual Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dan dengan upaya sosialisasi perundang-undangan, pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. Pasal 69 ayat (2)
setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh atau turut serta melakukan kekerasan seperti yang diatur ayat (1). Pasal 71 ayat
(1) perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah atau
penelantaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan,
pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat. Pasal 71 ayat (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 77 (b) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental, maupun sosial dipidana 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta. Pasal 78 orang yang dengan sengaja membiarkan anak menjadi korban kekerasan …..dan lain-lain, dipidana 5 tahun dan atau/denda paling banyak seratus juta rupiah. Pasal 80 ayat (1)
orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman
kekerasan atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak tujuh puluh dua juta rupiah. Pasal 80 ayat (2) pemberatan jika anak luka berat (penjara maksimal 5 tahun dan atau denda seratus juta rupiah). Pasal 80 ayat (3) pemberatan jika anak mati (penjara maksimal 10 tahun dan atau denda dua ratus juta rupiah). Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Pasal 80 ayat (4) pemberatan jika yang melakukan orang tua (diperberat sepertiga). Pasal 81 ayat (1) setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta dan paling sedikit enam puluh juta rupiah. Pasal 81 ayat (2) ketentuan pasal 81ayat (1) berlaku bagi orang yang menipu untuk bisa bersetubuh dengannya atau dengan orang-orang lain. Pasal 82 setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta dan paling sedikit enam puluh juta rupiah. Dari pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa : 1. Negara mengakui kewajibannya dan tanggung jawabnya untuk memberikan perlindungan terhadap anak termasuk didalamnya terhadap kekerasan fisik, mental dan seksual, perlakuan salah, dan pengabaian. 2. Adanya pemisah antara kekerasan fisik, mental, dan seksual, dengan perlakuan salah, dan pengabdian. Namun ketiganya tidak dilengkapi dengan defenisi, batasan yang jelas baik dalam pasal-pasal maupun didalam penjalasan sehingga membuat kebingungan,
dan
nantinya
akan
kesulitan
dalam
mendefenisikan
dan
mengkualifikasikan suatu tindakan. Masalah indentifikasi adalah masalah yang sangat penting untuk menilai suatu tindakan dapat dihukum atau tidak. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
3. Peraturan Pasal 69 dan 71 juga berusaha mengikat orang yang menempatkan (bukan pelaku namun dengan sengaja supaya anak, mengalami hal-hal yang diatur dalam Pasal 69 dan 71), membiarkan (bukan pelaku namun membiarkan hal tersebut terjadi/tidak melakukan apa-apa), melakukan/melibatkan (pelaku), turut serta (termasuk menyuruh melibatkan anak) dengan sebuah kata “larangan” tetapi dalam ketentuan pidana tidak semua hal yang disebut diatas diatur. Pada Pasal 78 diatur bahwa orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak untuk mengalami kekerasan (fisik, mental, seksual) juga diancam pidana. Orang yang mengetahui namun tidak melakukan apa-apa dianggap sengaja membiarkan kekerasan terhadap anak terjadi. Dalam hal ini tidak ada ketentuan pidana bagi mereka yang membiarkan terjadinya perlakuan salah atau penelantaran padahal perbuatan
tersebut dilarang dalam rumusan Pasal 69 dan 71 dan untuk
keturutsertaan dalam melakukan kekerasan dapat dilengkapi dengan peraturan dalam KUHP karena pada ketentuan peralihannya mengijinkan pemberlakuan ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Masalah siapa yang dikategorikan sebagai “anak” dalam perundang-undangan menjadi suatu yang penting karena suatu kejahatan untuk dapat ditentukan terjadi pada anak-anak terlebih dahulu harus dilihat apakah seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang anak menurut undang-undang. Sedangkan masalahnya sendiri di Indonesia tidak ada kesamaan dalam mengkategorikan seseorang sebagai anak. Berbeda-beda peraturan akan memberikan defenisi yang berbeda pula mengenai anak. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Ini sangat berbahaya karena akan menjadi lubang pada jaring jeratan hukum sehingga pada beberapa kasus pelaku kekerasan pada anak dapat lolos. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330 anak adalah mereka yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. Jika pernikahan dilakukan sebelum mereka berumur 21 (dua puluh satu) tahun mereka tidak akan mendapatkan status sebagai anak-anak. Defenisi dua kali diulang dalam Undang-undang Kesejahteraan Anak No.4 Tahun 1979 dan UU No.1 Tahun 1974. artinya jika seorang anak (khususnya wanita) dipaksa untuk menikah setelah menyelesaikan sekolah dasar, anak itu akan kehilangan statusnya sebagai seorang anak dan kemungkinan tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah walaupun dia menginginkannya. Hal yang sama juga akan tetap terjadi walaupun anak tersebut kemudian bercerai dan bermaksud untuk kembali ke sekolah. Selain itu pernikahan yang dini bagi anak perempuan dibawah umur 18 (delapan belas) tahun juga dipergunakan untuk melegalkan pelacuran anak (contohnya dibeberapa desa di Jawa Barat orang tua mendorong anaknya untuk menjadi pelacur demi meningkatkan perekonomian keluarga dengan merencanakan perkawinan dini (kemudian bercerai) agar anak memenuhi syarat untuk bekerja di tempat-tempat lokalisasi. Di Indonesia sering juga terjadi penipuan-penipuan umur seorang anak. Tidak semua anak mempunyai akte kelahiran di Indonesia. Akibatnya untuk menentukan usia seseorang dipergunakan raport, surat baptis atau surat keterangan dari kepala Desa/Lurah saja. Sehingga umur seseorang dengan mudah disamarkan di Indonesia baik itu untuk bisa mendapatkan keringanan hukum (orang yang sudah dewasa atau Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
sudah kawin) berpura-pura sebagai anak-anak. Atau didalam kasus-kasus perburuhan, umur seorang anak disamarkan agar bisa dipekerjakan oleh orang tuanya. Di Indonesia terdapat banyak Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan kesejahteraan anak tetapi sangat kurang sekali peraturan pelaksananya sehingga memberikan kesulitan dalam pelaksanaannya (26 Undangundang dan hanya 5 PP). Undang-undang yang cenderung hanya menyediakan pengaturan-pengaturan secara umum menjadi sulit bahkan bisa dikatakan tidak bisa dilaksanakan tanpa peraturan pelaksana. Di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 20 jo Pasal 25, dikatakan bahwa masyarakat wajib dan bertanggung jawab berperan serta menyelenggarakan perlindungan anak. Rumusan pasal ini juga berarti setiap anggota masyarakat wajib dan bertanggungjawab melaporkan kasus kekerasan kepada anak yang diketahuinya. Jika mengetahui namun tidak melaporkan maka dianggap sengaja membiarkan anak tersebut, sehingga sesuai dengan Pasal 78 UU Perlindungan Anak orang tersebut dapat dipidana. Laporan itu sendiri secara langsung diajukan kepada kepolisian sebagai pihak yang berwenang menindaklanjuti berdasarkan KUHAP Pasal 4 dan Pasal 6 sebagai penyelidik dan penyidik kasus yang diduga sebagai tindak pidana. Namun secara tidak langsung juga dapat melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang perlindungan anak untuk mendapatkan bantuan yang lebih menyeluruh (dengan membantu melaporkan, melakukan tindakan-tindakan awal yang perlu dengan segera, mengevakuasi anak dan memberikan tempat tinggal sementara jika diperlukan Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dan lain-lain). Memang dalam rumusan undang-undang perlindungan anak disebutkan mengenai lembaga independent yang disebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia tetapi Lembaga tersebut ruang lingkup kerjanya terlalu hanya sebagai lembaga penasehat presiden dan lembaga sosialis peraturan-peraturan mengenai kesejahteraan dan perlindungan anak. Di Indonesia belum ada lembaga perlindungan khusus bagi pelapor kejahatan, apakah itu sejenis perlindungan saksi, atau pencabutan prinsip kerahasiaan profesional dan sebagainya tatapi Undang-undang Perlindungan anak Pasal 64 mengatakan bahwa pemerintah wajib melindungi saksi korban dan saksi ahli baik fisik maupun mental. Ad.3 investigasi (investigasi). Dalam tahap investigasi, hukum harus berperan untuk melindungi anak dan keluarganya dari ntervensi yang tidak tepat. Anak dan keluarganya punya hak untuk itu. Seperti yang tertulis didalam Pasal 16 CRC : 1)
2)
No child chall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his or her privacy, gamily, home, or correspondence, nor to unlawful attacks on his or her honouer and teputation .Arinya: tidak ada seorang anakpun akan dikenai campuran tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. The child has the right to the protection of the law against such interference or attack. Artinya: anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan tau serangan semacam itu. Yang kedua dalam investigasi harus dilakukan sesuai dengan hukum (dengan
cara yang sah) “audi et alteram partem”. Artinya bahwa setiap yang terlibat terutama orang tua, pelaku, dan anak itu sendiri jika memungkinkan harus di dengarkan. Sesuai dengan pasal 12 CRC mengenai hak untuk memberikan pendapat: Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
1. Stater parties shall asures to the child who is capable of forming his or her own views of the child being given due weight in accordance with the age and maturity of the child. Arinya: Negara-negara peserta akan menjamin anak-anak yang mampu mengembangkan pandangan-pandangannya, hak untuk menyatakan pandangan itu secara bebas dalam segala hal yang berpengaruh pada anak dan pandangan anak akan dipertimbangkan secara semestinya sesuai usia dan kematangan anak. 2. For this porpose the child shall in particular be provided the opportunity to be heard in any judical and administrative proceedings affecting the child, either directly, or through a representative or an propriate body in manner consistent with the procedural rules of national law. Artinya: untuk tujuan ini, anak akan diberi kesempatan khusus untuk didengar dalam setiap tata laksana hukum dan administrasi yang bersangkutan dengan diri si anak, baik secara langsung atau melalui seorang wakil atau badan yang memadai, dalam suatu cara sesuai dengan hukum acara pada perundang-undangan nasional. Penilaian yang dilakukan secara hati-hati pada sebuah kasus merupakan suatu yang krusial untuk menghasilkan tindakan yang efektif. Hati-hati maksudnya adalah dari sudut pandang hukum dan dengan penghormatan terhadap orang-orang yang terlibat. Dalam masalah investigasi DCA (domestic child abuse) tidak ada pengaturan secara khusus. Investigasi dilakukan sama seperti dengan kasus-kasus pidana lainnya dengan prosedur lembaga kepolisian sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan investigasi. Mengenai masalah perlindungan terhadap keluarga dan sianak dalam investigasi tentu saja sangat minim atau bisa dikatakan tidak ada. Bahkan pada investigasi pihak kepolisian sering bekerjasama dengan stasiun televisi tertentu untuk menyiarkan proses investigasi mereka. Anak sangat tidak dilindungi dalam investigasi dan bisa dikatakan diperparah dengan melakukan pelanggaran hak anak lainnya. Anak terutama yang kesadarannya masih rendah (karena umurnya yang masih sangat muda dan dengan pendidikan yang masih rendah) sering kali tidak sadar bahwa apa yang
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
akan menimpa mereka nanti sebagai dampak dari tindakan publikasi yang tidak bertanggung jawab tersebut. Ad.4 Treatment and follow up (perlakuan/penindakan dan tindak lanjut) Hukum tidak /seharusnya tidak boleh mengatur, menentukan /perlakuan apa yang harus dilakukan. Hukum tidak boleh mengatur tetapi apa yang harus diterapkan dalam sebuah kasus tertentu. Ini harus ditentukan oleh para ahli lainnya seperti psikolog, pekerja sosial dan lain-lain. Tetapi setiap anak yang mengalami kekerasan harus secara hukum diberi hak untuk mendapatkan perawatan selama dibutuhkan. Hukum harus memberikan beberapa prinsip-prinsip dasar dalam perawatan/perlakuan dengan tentu saja memperhatikan hak-hak anak dan orang tuanya. Sebagai contoh pengaturan adalah dalam kasus dibutuhkan supaya seorang anak untuk dipisahkan dari orang tuanya. Dalam kasus ini prinsip pemindahan/pemisahan seorang anak dari orang tuanya harus bersifat ultimate remedy. Jika hal ini bertentangan dengan keinginan dari orang tuanya maka hukum harus memberikan keputusan yang dibutuhkan. Dalam kasus pemisahan anak dari orang tua ini hubungan dari kontak antara anak dan orang tua harus dijaga kecuali bertentangan dengan prinsip best interest for the child, misalnya jika pelaku kekerasan adalah orang tuanya sendiri. Prioritas harus diberikan pada perawatan yang dapat menjaga anak tetap didalam keluarganya. Dalam hal anak tersebut ditempatkan pada kekuasaan pemerintah untuk dirawat maka harus ada peninjauan secara periodik membuat pemisahan tersebut sesingkat mungkin.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Dalam penjelasan di atas hukum harus mengatur jaminan bagi anak untuk mendapat treatment /perawatan dan follow up / tindak lanjut pasca peristiwa kekerasan. Di Indonesia walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai perawatan dan tindak lanjut bagi anak korban DCA tetapi Undang-undang Perlindungan anak (Pasal 64 ayat (3a) secara umum mengatur bahwa bagi anak korban tindak pidana pemerintah wajib untuk melakukan upaya rehabilitasi. Dalam KUHP walaupun dalam Pasal 97 menyinggung mengenai rehabilitasi tetapi bukan diperuntukkan untuk korban tetapi pelaku. Ad.5 Judical involment (keterlibatan badan peradilan) Jika kasus terpaksa harus dibawa ke pengadilan, maka hak dari orang tua dan hak anak harus dilindungi dan lebih detil lagi anak harus dilindungi dari terjadinya trauma akibat proses pengadilan. Keterlibatan peradilan kriminal dalam kekerasan pada anak dibutuhkan untuk menjatuhkan hukuman pada beberapa kasus kekerasan pada anak tertentu, bahkan sekalipun hasilnya adalah dengan dipenjarakannya orang tua atau anggota keluarga dari si anak. Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan norma-norma/ standar-standar yang ada didalam masyarakat dan penghukuman kadang-kadang perlu untuk menunjukkan ada tindakan-tindakan yang tidak bisa diterima pada saat yang sama mencegah mencoba untuk menghindarkan tindakan balas dendam oleh orang yang dirugikan. Tetapi secara umum dalam kasus kekerasan pada anak proses peradilan tidak terlalu membawa dampak yang positif kecuali sebagai ancaman bagi para pelaku untuk mempertimbangkan apa yang dilakukannya. Dengan
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
kata lain hukum pidana harus digunakan dengan banyak kreatifitas dan fleksibilitas. Rehabilitasi, pemulihan anak dan keluarga jauh lebih penting. Jika tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk membuat kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. Maka tujuan hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran materil yang tentu saja melibatkan banyak hak-hak manusia, kepentingankepentingan, haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan unsur-unsur manusia yang ada didalamnya selain mekanisme saja. Maksudnya seluruh pihak yang terlibat dalam peradilan pidana mulai dari hakim, penuntut umum/wakil masyarakat, terdakwa, pengacara/ penasihat hukum, saksi, dan korban harus mampu diakomodir hak- haknya, kepentingan-kepentingannya, kewenangan- kewenangannya. Ini berarti korban sebagai pihak yang dirugikan, dan diusahakan untuk dipulihkan keadaannya, dibalaskan apa yang dialaminya, harus menjadi salah satu perhatian utama yang harus dilindungi hakhak dan kepentingannya
agar tidak menjadikannya sebagai korban untuk kedua
kalinya. Berhubungan dengan pembahasan anak sebagai korban, anak sebagai korban harus mendapatkan perlindungan yang lebih besar dan dengan penerapan secara sensitif. Hukum Acara Pidana harus memperhatikan hal ini. Untuk bisa melakukannya perlu ada pengaturan-peraturan yang dibuat. Namun di Indonesia dari dua perundangan yang mengatur tentang hukum acara pidana yang mengatur tentang anak (Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) tidak ada yang memberikan perlindungan terhadap sebagai korban. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Pasal-pasal dalam Undang-undang
No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dimana dalam mukadimah menimbang huruf (b) menyatakan pertimbangan untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak melalui perangkat hukum yang lebih mantap, hanya mengatur anak sebagai pelaku. Padahal jika mau konsisten dengan mukadimah menimbang tadi dimana berusaha memberikan perlindungan terhadap anak, maka perkara anak yang dalam undang-undang hanya berarti pelaku kejahatannya adalah anak-anak (8-18 tahun) harus ditingkatkan ruang lingkupnya kepada anak sebagai korban (< 18 tahun). Karena ketika anak menjadi korban pun sianak tidak kehilangan sifatnya sebagai anak oleh karenanya perlu dilindungi dari berbagai hal yang merugikannya (contohnya: ketakutan tekanan dalam persidangan yang berarti kekerasan emosional bagi sianak, labeling masyarakat oleh karena sebagai korban jika mampu bersaksi ia harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya, dan lain lain).
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Adapun perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana dalam Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
Pasal
Kejahatan
Sanksi Pidana
Denda
77-78
Diskriminasi dan penelantaran
5 tahun
Rp 100 jt
79
Adopsi Ilegal
5 tahun
Rp 10 jt
80
Kejahatan Fisik
a.3,6 bulan
a. 72 jt
b.5 tahun (luka berat)
b. 100 jt
c.10 tahun (kematian) c. 200 jt 81-82
83,84,85
Kejahatan Seksual
Traffiking
a. Max. 15 tahun
Max 300 jt
b. Min. 3 tahun
Min 60 jt
a. Max 15 tahun –
a. max. 300 jt –
min 3 tahun
min 60 jt
b. 10 tahun
b. 200 jt
c.1 15 tahun
c.1 300 jt
c.2 10 tahun
2 200 jt
86
Pemaksaan untuk beragama
5 tahun
Rp 100 jt
87
Pelibatan anak dalam konfilk
5 tahun
Rp 100 jt
Bersenjata Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
88
Eksploitasi seksual komersil
89
10 tahun
Rp 200 jt
c. Pelibatan anak dalam
a. Pidana
mati, a. max. 500 jt -
kegiatan psikotropika
penjara
d. Alkohol dan zat adiktif
seumur
min 50 jt
hidup, atau max. 20 b. Max 200 jt tahun
min. 20 jt
b. Max. 10 tahunMin. 2 tahun 90
Kejahatan
Pidana
dijatuhkan
koorporasi/sindikat/kelompok
kepada
pengurus
koorporasi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Anak dalam Keluarga Guna mewujudkan tingkat kesejahteraan sosial yang memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang setara dengan perkembangan peradaban manusia pada zamannya. Fenomena ini menunjukan bahwa proses menuju tercapainya tingkat kesejahteraan tertentu akan ditentukan oleh standar nilai yang berlaku pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap zamannya memiliki standar kesejahteraan tersendiri, yang disepakati secara luas dengan mengacu pada nilai-nilai universal. Perwujudan sumber daya manusia yang berkualitas mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan sejak anak dalam kandungan. Insan terkecil tersebut membutuhkan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
maupun sosialnya, sehingga kelak menjadi pewaris masa depan yang berkualitas. Hal ini dapat terwujud apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan peran serta. Namun demikian kenyataannya menunjukan bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta bimbingan, rawatan, asuhan dan perlindungan terhadap diri anak, ternyata sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kondisi anak, dan situasi lingkungan yang ikut menentukan tingkat kesejahteraannya. Akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari masih ditemukan adanya anak yang belum memperoleh perlindungan yang memadai. Permasalahan yang cukup memprihatinkan saat ini adalah opini tentang perlakuan yang salah, eksploitasi, kekerasan baik kekerasan fisik, mental, ekonomi, dan penelantaran terhadap anak yang kurang mendapat perhatian yang memadai baik dalam keluarga maupun masyarakat. Aneka tindakan yang tidak wajar terhadap anak tersebut dapat menghambat tumbuh kembang mereka terutama karena hak-haknya tidak terjamin dengan baik. Saat ini diupayakan perlindungan bagi anak-anak, baik dalam keluarga dan masyarakat oleh berbagai segmen dalam masyarakat, namun masih bersifat persial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing segmen tersebut. Agar upaya ini dapat lebih terintegrasi, terencana dan menjangkau semua anak Indonesia, maka pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dan strategi perlindungan terhadap anak Indonesia, melalui Gerakan Nasional Perlindungan Anak bertepatan dengan Hari anak Nasional 1997, sebagai perwujudan komitmen dari semua pihak untuk meningkatkan intensitas perhatian Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
keluarga dan masyarakat dalam mengatasi berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak. 58 Keluarga merupakan komponen masyarakat terkecil di mana orangtua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian karena sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orangtuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Ada 3 (tiga) komponen yang saling terkait dengan hal tersebut yaitu : (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2) pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek - praktek pendidikan, (3) karakteristik psikologis orangtua. Jika suatu faktor dapat dipisahkan sebagai faktor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan anak, faktor itu jelas faktor keluarga atau orangtua. Unit keluarga, meskipun berubah secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi utama. 59 Dengan cara apa dan bagaimana orangtua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orangtua tentang anak (anak di mata orangtua). Cara-cara yang digunakan orangtua dalam
58
59
Sholeha Soeaidy, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 1990. hal.11.
Bagong Suyamto, Kekerasan Terhadap Anak, 23 November 2005. WWW. Google. Com.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
pengasuhan anak tersebut akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Pada dasarnya ada tiga cara pandang orangtua terhadap anak, yaitu: (1)
anak dipandang sebagai obyek,
(2)
anak dipandang sebagai subyek,
(3)
anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek.
Orangtua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritarian dalam mengasuh anak; dan orangtua yang memandang anak sebagai subyek, cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez-faire dalam mengasuh anak; sedangkan orangtua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritative dalam mengasuh anak. Ada 3 (tiga) tipe orangtua dengan karakteristiknya, yaitu: orangtua authoritarian, orangtua permissive, dan orangtua authoritative. 1. Tipe orangtua authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap-sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Orangtua ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang ‘kehendak diri’ anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut orangtua. Pendekatan authoritarian menekankan pada kepatuhan yang keras, tanpa variasi ataupun negosiasi, dan kurang
memperhatikan
lingkungan
sekitar.
Pendekatan
ini
terutama
direkomendasikan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
2.
Tipe orangtua permissive mencoba untuk mereaksi terhadap perilaku hasrat dan keinginan, impuls-impuls anak, dengan cara tidak menghukum tetapi menerima, mengiakan atau membolehkan. Orangtua ini tidak menawarkan dirinya kepada anak sebagai ‘agen’ yang aktif dan bertanggung jawab terhadap pembentukan atau modifikasi tingkah laku anak saat ini atau di masa depan. Orangtua tipe ini menjadikan dirinya sebagai sumber penghidupan (resource) bagi anak, dan menuruti keinginan atau kehendak anak. Pendekatan permissive atau laissezfaire menekankan pada kebebasan anak untuk berbuat atau beraktivitas dalam mengembangkan dirinya. Dasar pertimbangannya bahwa anak memiliki hak dan kebebasan dan harus diberi kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Orangtua permissive adalah longgar secara berlebihan dan disiplin yang diterapkan tidak konsisten.
3.
Tipe orang tua authoritative berusaha menunjukkan atau mengatur aktivitas anak mereka dengan cara-cara yang berpusat pada isu rasional. Orangtua berusaha merangsang tingkah laku yang diinginkannya pada anak melalui penjelasanpenjelasan dan mempertimbangkannya dengan anak. Orangtua tipe ini memberikan dorongan lisan (verbal) ‘saling memberi dan menerima’ serta mengizinkan anak untuk duduk bersama-sama untuk ikut mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik policy mereka. Orangtua ini menggunakan kontrol tegas tetapi pada tingkat yang tidak terlalu membebani anak dengan retriksi atau kekangan. Orangtua authoritative berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan dan induksi (prabawa) dalam membesarkan anak dengan aturan-
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
aturan yang dilihat sebagai hak dan kewajiban bersama yang saling melengkapi antara orangtua dan anak Orangtua authoritative adalah hangat tetapi tegas. Mereka menggunakan seperangkat standar untuk mengatur tingkah laku anak tetapi membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan anak. Mereka menekankan nilai yang tinggi pada perkembangan otonomi dan pengarahan diri, tetapi bertanggung jawab penuh terhadap perilaku anak. Para orangtua ini menanamkan kebiasaan-kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah dan menyenangkan dalam perbincangan dan penjelasan di seputar persoalan disiplin dengan anak-anak mereka. Setiap pendekatan yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak seperti yang diuraikan di depan, jelas memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Disiplin otoriter yang keras (‘authoritarian’), disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah, perasaan yang dapat dan sering berkembang menjadi kompleks martir. Pendekatan disiplin otoriter dan disiplin lunak (‘permissive’) dalam keluarga, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian
pada
anak.
Disiplin
yang
demokratis
(‘authoritative’)
biasanya
menghasilkan hubungan yang baik dan harmonis dalam keluarga. Dampak pola pengasuhan orangtua terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak adalah sebagai berikut. Pola pengasuhan permissive menyebabkan anak bersifat menurutkan kata hati, mau menang sendiri dan agresif. Akibat lainnya seperti: menentang, tidak mau mengalah terhadap orang dewasa atau orangtua, kepercayaan diri rendah, Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
orientasi untuk berkompetisi dan berprestasi rendah, kontrol diri sangat kurang, cepat marah, tanpa tujuan dan lemah dalam mengarahkan tujuan-tujuan aktivitasnya, serta bersifat menguasai dengan keras sekali. Pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stres atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah. Sedangkan pola pengasuhan authoritative, menyebabkan anak giat atau penuh semangat dan ramah tamah. Dampak lain dari pola pengasuhan authoritative adalah percaya diri, kontrol atau mawas diri baik, periang atau menyenangkan, mampu bergaul dengan baik antarteman sebaya, mampu mengatasi stres atau tekanan dengan baik, memiliki perhatian dan rasa ingin tahu pada cerita roman, dapat bekerjasama dengan baik dengan orang dewasa, taat atau mudah diatur, mempunyai tujuan tertentu, dan berorientasi prestasi. Selain itu anak akan selalu berpikir rasional dan punya semangat kompetisi yang sehat. Menyimak hasil-hasil penelitian di atas, orangtua atau orang dewasa lainnya di manapun berada (di rumah, di kantor, atau di lingkungan pergaulan masyarakat), sudah seharusnya memberi contoh berperilaku yang baik kepada anak-anak. Dengan begitu anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkepribadian dan berperilaku yang baik pula, dan terhindar atau menghindari perilaku kekerasan. Tetapi sebaliknya, jika contoh perilaku kekerasan yang disaksikan dan dirasakan anak sepanjang hidupnya, maka akan kita saksikan generasi yang cenderung berorientasi pada tindak kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ia hadapi. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Persoalannya sekarang, pendekatan manakah yang sebaiknya diterapkan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Apakah pendekatan permissive atau pendekatan authoritarian atau pendekatan authoritative yang direkomendasikan. Di dalam penerapan suatu disiplin sebagai upaya pembentukan dan pengembangan kepribadian dan perilaku anak, dianjurkan sedapat mungkin menghindari cara-cara kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. Sebagai acuan dalam penerapan disiplin pada anak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu: 1. Tujuan penerapan disiplin. Misalnya, bila tujuan penerapan disiplin itu adalah
menghilangkan perilaku menyimpang pada anak, dapat digunakan
pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang tepat; tetapi bila tujuannya adalah untuk mendorong kreativitas dan kebebasan anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya, maka sebaiknya digunakan pendekatan authoritative. 2. Konsistensi dari penerapan suatu disiplin. Misalnya, penerapan pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang digunakan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku tertentu pada anak, maka untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku yang sama pada anak yang sama dalam waktu yang berbeda, sebaiknya menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman. 3. Tingkat atau fase perkembangan anak. Perkembangan individu melalui fasefase tertentu, yaitu: fase bayi, fase anak, fase remaja, fase dewasa,dan fase Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
lansia. Masing-masing fase ini memiliki karakteritik dan kebutuhan, serta kemampuan yang berbeda-beda, yang menuntut perlakuan yang berbeda pula. Oleh karena itu, maka penerapan pendekatan disiplin, sebaiknya diatur regulasinya secara bertahap sedemikian rupa dari fase bayi sampai pada fase lansia. Pendekatan authoritarian dan pendekatan permissive dapat diterapkan secara kombinatif sesuai tingkat perkembangan anak, dengan acuan utama berorientasi pada pendekatan authoritative. Kiranya kita semua menyadari bahwa sebagai orangtua, kita adalah busur dan seperti apa anak kita nantinya sangat bergantung pada kita semua saat ini. Kiranya pemenuhan hak anak dan segala upaya perlindungan bagi mereka adalah menjadi sebuah nilai dalam kehidupan bukannya keterpaksaan karena ketakutan akan bayangan sanksi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002. Orang tua memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik, jiwa maupun emosional seorang anak. Konvensi maupun Undang-undang yang ada memberikan pengaturan mengenai bagaimana peran orang tua dalam pertumbuhan seorang anak. Konvensi Hak Anak memang memberikan penekanan terhadap peranan orang tua. Orangtua adalah pihak yang signifikan berperan dalam menentukan dan dalam pemenuhan serta perlindungan hak anak itu sendiri. Prinsip ini juga bukan hanya diakui di dalam konvensi hak anak tapi juga di dalam beberapa instrumen tentang bagaimana sistem peradilan atau administrasi peradilan anak itu sendiri. Dimana peran orangtua sangat penting untuk menentukan
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
mereka bisa dilindungi dan bisa dilakukan langkah-langkah terapi ketika menghadapi persoalan di depan pengadilan. Jadi orang tua adalah pihak yang menentukan ke arah mana anak mengalami proses evolusi. Anak akan mengalami proses evolusi dan karena itu dia perlu pendampingan orangtua. Orang tualah yang akan menjadi aktor signifikan untuk memandu kemudian memberikan dukungan kepada anak untuk bisa terealisasikannya hak anak. Jadi pada masa seperti ini orangtua adalah bagian yang cukup signifikan dan itu terumuskan di dalam norma-norma Undang-undang, baik Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 maupun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 memberikan norma yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk membawa orangtua sebagai aktor kriminal. Hal tersebut terlihat dari adanya ketentuan pidana yang dikenakan terhadap para orang tua apabila orang tua menelantarkan si anak, yaitu sanksi pidana. Namun pelaksanaan norma tersebut masih sangat bergantung pada budaya hukum dari suatu negara. Walaupun secara normatif yuridis ketentuan pidana tersebut sudah diformalkan, namun terlihat bahwa budaya hukum di Indonesia masih belum melihat pengabaian pihak orang tua terhadap anak merupakan suatu tindak pidana. Jadi penelantaran anak itu masih dianggap sebagai urusan domestik, bukan urusan yang sudah harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui mekanisme pertanggungjawaban hukum. Secara khusus anak merupakan bagian dari lingkaran kecil, yaitu keluarga. Sedangkan secara umum, anak merupakan bagian dari lingkungan besar, yaitu Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
masyarakat. Masalah yang menimpa anak tidak hanya dapat dilihat dari perspektif keluarga, tapi juga harus dilihat secara keseluruhan. Pada lingkaran kecil memang mungkin keluarganya bersalah, tetapi tidak selamanya kebenaran hakiki akan ditemui lingkaran kecil. Mari kita lihat bahwa mereka itu adalah korban daripada sebuah lingkaran besar yang akhirnya mereka terjebak dan tereksploitasi menjadi anak jalanan. Tidak ada orang yang mau menjadi anak jalanan atau menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan itu sudah menjadi prinsip hukum bahwa mereka adalah orang yang patut dilindungi.
B. Perlindungan Anak Dalam Masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada penyebaran penduduk, baik antar pulau maupun antar daerah yang belum merata serta masalah tingkat kemampuan penduduk masih relatif rendah. Kepadatan penduduk Jawa lebih tinggi dari luar Jawa. Disisi lain, kemampuan penduduk sangat menentukan tingkat produktivitas dan kualitas hidup. Kemampuan penduduk dapat dievaluasi, diukur dan dianalisis baik ditingkat individu, masyarakat maupun secara nasional. Patut dicatat bahwa kelompok masyarakat sensitif (dalam hal ini : orang cacat, masyarakat terasing, keluarga dan kepala keluarga kurang pendidikan, anak-anak dan lanjut usia yang terpaksa harus bekerja) dapat memberikan indikasi adanya ketidak mampuan atau kurangnya kemampuan penduduk untuk mengatasi tuntutan hidupnya. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kondisi dan tingkat kesejahteraan anak di Indonesia masih memerlukan perhatian. Partisipasi sosial relatif masih belum optimal. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Demikian pula jumlah dan kualitas tenaga pembangunan kesejahteraan sosial masih kurang, sehingga mengakibatkan pelayanan kesejahteraan sosial masih kurang, yang mengakibatkan pelayanan kesejahteraan anak belum dapat menjangkau semua anak Indonesia. Keberhasilan pembangunan nasional selama ini ternyata mempunyai implikasi sosial dan ekonomi yang luas terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan sosial bangsa Indonesia. Namun demikian, disadari ternyata masih terdapat sejumlah warga masyarakat yang menyandang permasalahan kemiskinan, ketelantaran, kecacatan ketunaan sosial, keterasingan, korban bencana dan masalah sosial lainnya yang belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pembinaan dan pelayanan sosial. Kondisi demikian pada akhirnya mendorong terjadinya kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat dan secara langsung maupun tidak langsung akan dapat menjadi faktor berpengaruh dalam upaya pemantapan perlindungan anak untuk menghadapi era globalisasi. C. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Anak Anak dianggap sebagai generasi masa depan, generasi penerus cita-cita bangsa, calon pemimpin masa depan yang diharapkan dapat menjadi harapan dalam pembangunan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Namun demikian anakanak yang juga hadir dalam kehidupan kita saat ini, belum memperoleh banyak peran untuk menunjukkan jati dirinya, bahkan realita menunjukkan bahwa anak-anak ternyata masih sangat rentan menjadi korban kekerasan baik secara fisik, mental, maupun sosial. Eksploitasi disemua aspek terhadap anak sering kita dengar dan selalu menghiasi berita-berita di media masa akhir-akhir ini. Yang lebih memprihatinkan lagi Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
sering kita dengar dan baca banyak kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga yang pelakunya adalah orang-orang terdekat dari korban itu sendiri. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak meliputi berbagai bentuk seperti ; fisik, seksual, ekonomis dan psikologis. Selain itu juga dapat dilihat dari segi perdata yang menjurus ke pidana atau kekerasan, misalnya adanya kelalaian orang tua dalam mengurus anak-anak mereka. Berkedok dari alasan ekonomi, atau tidak adanya pengetahuan hukum dari orang tua, hak-hak anak menjadi terampas. Berdasarkan atas jenisnya, kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat dibedakan menjadi: kekerasan fisik, kekerasan mental dan kekerasan seksual. Dari ketiga jenis kekerasan tersebut bisa diuraikan menjadi beberapa bentuk kekerasan. Berdasarkan riset penulis di Lembaga advokasi Anak Indonesia (LAAI) di Medan, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak yang ditangani ada 14 bentuk kasus, yakni: pemerkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan, penganiayaan/penyekapan, penculikan, penipuan/rayuan/ingkar janji, perampokan/penodongan, dijual/pelacuran/perdagangan bayi, sodomi, ditelantarkan, ditembak, kehamilan tidak diinginkan, kecelakaan, anak yang berkonflik dengan hukum. Monitoring yang dilakukan oleh Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun yaitu tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, banyak terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap anak, bahkan tiap tahun semakin meningkat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 1, berikut ini :
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Anak Menurut Bentuk Kekerasan Tahun 2002-2004 No
Bentuk kekerasan
(1)
(2)
Tahun 2002 (3)
Tahun 2003 (4)
Tahun 2004 (5)
1.
Perkosaan
41
47
51
2.
Pelecehan Seksual
36
42
43
3.
Pembunuhan
11
14
13
4.
Penganiayaan/Sekap
20
18
12
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
5.
Penculikan
11
8
6
6.
Penipuan/Rayuan/Ingkar Janji
16
13
12
7.
Perampokan/Penodongan
24
18
7
8.
Dijual/Pelacuran/Perdagangan Bayi
12
17
20
9.
Sodomi
5
4
3
10.
Ditelantarkan
6
10
17
11.
Ditembak
-
1
2
12.
Kehamilan tidak diinginkan
17
15
24
13.
Kecelakaan
18
21
21
14.
Anak yang berkonflik dengan hukum
28
34
41
245
259
272
Total Kasus
Sumber data : Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) Data dalam tabel di atas konteksnya masih luas yaitu kasus kekerasan terhadap anak secara umum, namun penulis akan berusaha mengkaji secara khusus yaitu kasuskasus kekerasan terhadap anak yang dapat terjadi dalam lingkup rumah tangga. Misalnya untuk kasus perkosaan, sekarang banyak terjadi perkosaan dalam rumah sendiri, dimana sering kita dengar dan baca di media massa ada seorang ayah yang memperkosa anak tirinya bahkan anak kandungnya sendiri. Adanya pelecehan seksual oleh keluarga terdekat seperti kakak, paman dan kakeknya. Penganiayaan/penyekapan seorang anak oleh ibu kandungnya sendiri sampai terjadinya pembunuhan hanya karena masalah kecil. Hanya karena sulitnya keadaan ekonomi keluarga, ibu atau ayah kandung rela menjual dan memperdagangkan anaknya sendiri. Kesibukan orang tua dalam bekerja untuk menghidupi keluarganya sehingga tanpa disadarinya anaknya sendiri ditelantarkan, dan tidak adanya perhatian dari orang tua mengakibatkan anakMuhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
anaknya terjerumus dalam pergaulan bebas dan penggunaan obat-obat terlarang sehingga mengakibatkan berkonflik dengan hukum. Berdasarkan data dari LAAI kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat, dimana secara total dalam tahun 2002 terdapat 245 kasus, meningkat menjadi 259 kasus pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 272 kasus pada tahun 2004. Kasus tersebut masih yang dimonitor oleh LAAI, kenyataannya kasus-kasus yang belum terungkap masih banyak lagi, terutama kasuskasus yang terjadi dalam rumah tangga yang biasanya masih ditutupi karena pelakunya adalah pihak keluarga sendiri.
Penanganan Kekerasan Terhadap Anak di Bawah Umur di Unit RPK Tahun 2004 - 2005 No
Bulan
Tahun
Tahun
Keterangan
2004
2005
1 Januari
20
16
2 Februari
30
27
- Perbuatan cabul = 146
3 Maret
17
21
- Melarikan anak di bawah umur = 44
Tahun 2004
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
4 April
11
17
- Pemerkosaan = 44
5 Mei
26
20
- Sodomi = 7
6 Juni
24
19
- Pelecehan = 4
7 Juli
33
14
8 Agustus
23
14
- Perbuatan cabul dibawah umur = 163
9 September
10
22
- Melarikan anak dibawah umur =
10 Oktober
11
9
- Pemerkosaan
=
8
11 Nopember
19
14
- Sodomi
=
2
12 Desember
21
15
- Pelecahan
Jumlah
245
208
Tahun 2005
=
32
3
Sumber Data : Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Kota Besar Medan. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2004 perbuatan cabul sebanyak 146 kasus, melarikan anak di bawah umur sebanyak 44 kasus, pemerkosaan sebanyak 44 kasus, sodomi sebanyak 7 kasus, pelecehan sebanyak 4 kasus. Pada tahun 2005, dapat diketahui bahwa perbuatan cabul dibawah umur sebanyak 163 kasus, melarikan anak dibawah umur sebanyak 32 kasus, pemerkosaan sebayak 8 kasus, sodomi sebanyak 2 kasus, pelecehan sebanyak 3 kasus. Bentuk kekerasan terhadap anak yang paling banyak kasusnya adalah anak yang menjadi korban perbuatan cabul, kasus ini dari tahun ke tahun juga semakin meningkat, hal ini ditunjukkan dalam tabel diatas, hal ini mengindikasikan bahwa
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
moral masyarakat semakin lama semakin merosot. Kasus lain yang semakin meningkat yaitu kasus penelantaran anak. Kasus-kasus tindak kekerasan terhadap anak yang semakin memprihatinkan ini, perlu ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait, yaitu dalam hal ini dari pihak keluarga, masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk pencegahan, perlindungan terhadap anak korban kekerasan maupun tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan.
D. Usaha-usaha Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Melihat situasi dan kondisi anak sebagai korban kekerasan secara umum dan kekerasan dalam rumah tangga secara khusus, sangat diperlukan perhatian dan tanggung jawab yang penuh bagi orang tua, masyarakat dan pemerintah agar hak-hak anak tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh anak dalam perkembangananya. Yang mengusahakan perlindungan anak adalah pemerintah dan atau masyarakat (Pasal 11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979). Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002, secara jelas telah diatur dalam salah satu pasalnya yakni Pasal 59 yang intinya bahwa Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak sebagai korban kekerasan. Perlindungan secara yuridis atau perlindungan hukum didasarkan pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002, Undang-undang No. 23 Tahun 2004, Konvensi Hak Anak dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menyangkut tentang perlindungan anak. Dalam hal ini Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia (PPAI) memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
tangga yang berkoordinasi dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Advokasi Anak Indonesia. Selain itu PPAI sebagai monitoring terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah dalam
mengeluarkan PERDA (Peraturan
Daerah) seperti PERDA No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (traffiking) Perempuan dan Anak. Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI), secara spesifik memberikan perlindungan anak dengan cara Litigasi dan Non litigasi. Litigasi maksudnya bahwa LAAI melindungi hak-hak anak yang sebagai baik itu korban kekerasan maupun anak sebagai pelaku kekerasan di Peradilan. Non litigasi LAAI juga melakukan hubungan koordinasi dengan masyarakat dalam hal pemberian seperti konseling, penguatan mental, memberikan penguatan mental pada si anak korban kekerasan. Sangatlah tidak bertanggungjawab dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan apabila anak tetap tidak diperlakukan dan diposisikan dalam status yang rendah. Oleh sebab itu, perlu di dicari solusi pemecahan permasalahan tersebut. Adapun solusi yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Perlu melakukan sosialisasi dan memasyarakatkan Konvensi Hak Anak dan Hak Asasi Manusia pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada pihak yang selama ini sering melakukan kekerasan terhadap anak. 2. Meningkatkan kualitas kampanye perlindungan dan penegakan hak-hak anak melalui media massa, media elektronik dan cetak, spanduk, poster, stiker, seminar-seminar yang berkaitan dengan kekerasan.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
3. Pelaku kriminal dan pelanggaran hak-hak anak di sektor publik dan keluarga hendaklah ditegakkan secara tegas dan jelas baik secara fisik, maupun materi. 4. Usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para hakim, jaksa, pengacara, polisi dan aparat penegak hukum lainnya terhadap anak dan hak-hak anak yang dimilikinya, dengan demikian penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan memberikan rasa keadilan dan hukuman yang mendidik masyarakat serta pelaku.
E. Kekerasan Dikaitkan Dengan Pembentukan KUHP Nasional Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual. Dalam hukum pidana, kerugian yang dialami anak sebagai korban tindak kekerasan belum secara konkrit diatur. Artinya hukum pidana memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan. Sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Dalam pembentukan KUHP Nasional, yang perlu diperhatikan adalah bahwa perkembangan dewasa ini yang menunjukkan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap anak pada kenyataannya sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
terhadap anak. Pengaturannya dalam KUHP Nasional bertujuan agar masyarakat luas lebih bisa melaksanakan hak dan kewajibannya dalam upaya perlindungan anak dalam lingkup rumah tangganya sesuai dengan dasar agama yang dianutnya. Penegak hukum dan aparat terkait dalam penanganan korban kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga agar lebih sensitif dan responsif terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga untuk pencegahan, perlindungan dan penegakan keadilan. Dalam pembentukan KUHP Nasional perlu diperhatikan juga bahwa kekerasan adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik menunjukkan pada cedera yang ditemukan, bukan karena suatu kecelakaan tetapi cedera tersebut adalah hasil dari pemukulan dengan benda atau beberapa penyerangan. Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang khususnya pada anak. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan menurut Konsep KUHP Baru
Tahun 2000 hanya bersifat pemberatan hukuman kepada si pelaku apabila
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
dilakukan oleh orang tuanya seperti yang disebutkan dalam Pasal 487 sedangkan menurut Konsep KUHP Tahun 2004 pemberatan hukuman hanya dapat dijatuhkan apabila perbuatan penganiayaan tersebut dilakukan dengan rencana lebih dahulu seperti yang dijelaskan dalam Pasal 566. Dari kedua Konsep KUHP Baru di atas, jelas terlihat tidak adanya perlindungan yang bersifat langsung kepada anak korban kekerasan baik bersifat materi maupun immaterial, hal ini mengakibatkan anak menjadi korban kedua kalinya disamping dia harus dituntut untuk membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ada terobosan hukum dalam Konsep KUHP Baru untuk mengadopsi aturan-aturan hukum di negara lain yang memberikan perlindungan hukum secara langsung terhadap korban kejahatan kekerasan seperti yang terdapat dalam sebuah Undang-undang di California tahun 1965, yang memberikan bantuan keuangan kepada korban kejahatan kekerasan. Negara (pemerintah) bertanggung jawab untuk menanggulangi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak khususnya yang dilakukan oleh keluarga serta mewujudkan hak-hak dan kewajiban para korban dalam suatu masyarakat. Ini merupakan sesuatu bentuk perlindungan penduduk yang konkret bersama-sama dengan seluruh anggota masyarakatnya. Pencantuman hal ini dalam peraturan perundang-undangan, membawa akibat kewajiban setiap anggota masyarakat untuk menjalankannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Sehubungan dengan hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia telah mengeluarkan pernyataan bahwa falsafah Pancasila harus diakui sebagai dasar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk ini merupakan penuntun serta pembimbing kehidupan bernegara dan pribadi seluruh rakyat, oleh karenanya semua kebijaksanaan serta ketentuan Pemerintah harus dijalankan secara utuh dan konsisten.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
1. Bahwa perlindungan hukum terhadap anak menurut hukum positif Indonesia tidak menjamin terpenuhinya hak-hak anak, khususnya hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini didasarkan kepada batas pertanggung jawaban pidana anak yang rendah, sehingga anak yang dimintai pertanggungjawabannya akan kehilangan hak-haknya. Kewajiban Negara secara yuridis dalam perlindungan anak akan bergantung pada hukum positif yang ada di dalam Negara tersebut untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap seorang anak, dan usaha perlindungan terhadap anak harus didukung oleh adanya hukum perlindungan anak yang efektif dan komprehensif. 2. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang dilakukan keluarga dikaitkan dengan pembentukan KUHP Nasional harus diatur secara tegas tentang hak-haknya, yang dalam hal ini harus diatur tentang pertanggungjawaban perdata pelaku tindak kekerasan terhadap anak disamping pertanggungjawaban pidana. Hal ini atas pertimbangan pemahaman bahwa perkembangan menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan keluarga pada kenyataannya sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran terhadap anak. Pengaturan dalam KUHP Nasional bertujuan agar masyarakat luas lebih bisa melaksanakan hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangganya sesuai dengan dasar agama yang dianutnya. Dengan
pembentukan KUHP Nasional dapat diketahui bahwa hukum yang
berlaku pada dasarnya merupakan wujud atau cerminan masyarakat. Hukum itu
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
sendiri adalah sebuah produk kultural, sehingga tidak berlebihan bila hukum yang berlaku merepresentasikan budaya atau nilai yang eksis di masyarakat.
B. Saran 1. Mengingat kekerasan terhadap anak setiap tahunnya meningkat, maka perlu diperhatikan secara serius baik itu Pemerintah, Masyarakat dan Lembagalembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen terhadap masalah anak dan untuk itu diperlukan usaha-usaha antara lain : a) Memasyarakatkan Konvensi Hak Anak dan Hak Asasi Manusia pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada pihak yang selama ini sering melakukan kekerasan terhadap anak. b) Meningkatkan kualitas dan kuantitas kampanye perlindungan dan penegakan hak-hak anak melalui media massa, media elektronik dan cetak, spanduk, poster dan seminar-seminar yang berkaitan dengan perlindungan anak. c) Pelaku kriminal dan pelanggaran hak-hak anak di sektor publik dan keluarga hendaklah ditegakkan secara tegas dan jelas baik secara fisik maupun materi. d) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para hakim, jaksa, polisi, advokat dan aparat penegak hukum lainnya terhadap anak dan hak-hak anak yang dimilikinya, dengan demikian penegakan hukum terhadap
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
pelaku kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan memberi rasa keadilan dan hukuman yang mendidik masyarakat serta pelaku. 2. Dalam kaitannya dengan pembentukan KUHP Nasional, perlu diatur perlindungan hukum yang bersifat langsung terhadap anak korban kekerasan baik yang bersifat publik maupun
yang dilakukan keluarga
dengan
memberikan ganti rugi kepada si korban dan terhadap pelaku kekerasan sebaiknya hakim lebih berani untuk menjatuhkan pidana maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mereka tidak mengulangi perbuatannya kembali.
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
BUKU Arief Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta. ____________1993, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung _____________________, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung _____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Bismar Siregar, 1986, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta. C. S.T. Kansil. 1986. Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Era Hukum. 1999. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Perdagangan Anak. Fakultas Hukum Tarumanegara, Jakarta. Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta Hadi Setia Tunggal (Ed), 2002, Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of The Child, Harvarindo) I. Marsana Windhu, 1999, Kekerasan Terhadap Anak, Dalam Wacana dan Realita, Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Imam Ghazali, 1998, Hikmah Penciptaan Makhluk, Lentera, Jakarta.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Irma setyowati Sumitro. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara, Jakarta. John M.E. Chols, Hassan Shadily, 1995, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta. Laden Marpaung, 1998, Kejahatan, Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta. Made Darnma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Maidin Gultom. Bentuk-bentuk Kekerasan. Makalah dalam Seminar PPAI (Pusat Perlindungan Anak Indonesia) Sumatera Utara, 26-29 Maret 2004, Berastagi, Sumatera Utara. ________________ 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Disertasi). Universitas Parahyangan, Bandung. Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. MG. Endang Sumiarni, Chandera Halim, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Muladi, Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Jakarta. Ninik Widiyanti, Yulius Waskita, 1987, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta Ronny Hanitijo Soemantro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. R. Soesilo, 1991, Kitab-kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor R. Soeroso, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Shanty Dellyana, 1984, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta Soejono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
_____________________, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta _____________________, 1990, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta _____________________, dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta. Sudarto, 1983, a. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung _____________________, 1983 b. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Sinar Baru, Bandung. _____________________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung _____________________, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 2000, Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights child), Harvarindo. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. TM. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, 1971, Al-qur’an Dan Terjemahannya, Khadim al Haramain asy Syasifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Topo Santoso, 2000, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy Syaamil, Bandung. Utrecht, Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta. Yan Pramadya Puspa. 1977. Kamus Hukum. Aneka Ilmu Semarang. Winarno Surachmad, 1970, Dasar-dasar Teknik Research, Pengantar Metodologi Penelitian, Tarsito, Bandung.
Majalah, Surat Kabar Realita, 29 Mei 2002 Sinar Indonesia Baru, 25 September – 1 Oktober 2005 Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Medan Pos, 29 Juni 2002 _________, 21 September 2002 _________, 7 September 2002 __________, 24 Maret 2004 __________, Tanpa tanggal __________, Tanpa tanggal Waspada, 30 Agustus 2003 __________, 4 September 2003 __________, 10 Oktober 2003 __________, 18 Januari 2004 Forum Keadilan, 30 Juni 2002 Swara Cantika, 30 Agustus 2003
Undang-Undang - Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak - Konvensi Hak-hak Anak. - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008
Muhammad Ansori Lubis : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban (Tindak) Kekerasan yang Dilakukan..., 2007 USU e-Repository © 2008