PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO
TESIS
Oleh
FIRMAN EDDY 027020010/AR
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FIRMAN EDDY 027020010/AR
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2008
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
: PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO
Nama Mahasiswa
: FIRMAN EDDY
Nomor Pokok Program Studi
: 027020010 : ARSITEKTUR
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD) Ketua
(Ir. Bhakti Alamsyah, MT) Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc)
Tanggal Lulus: 19 Februari 2008
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal: 19 Februari 2008
Panitia Penguji Tesis Ketua Komisi Penguji
: Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD
Anggota Komisi Penguji
: Ir. Bhakti Alamsyah, MT Ir. Rudolf Sitorus, MLA Imam Faisal Pane, ST, MT Devin Defriza Harisdani, ST, MT
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Pemahaman peranan gender hampir tidak pernah dilakukan didalam pembahasan arsitektur Nusantara. Dengan perkembangan arsitektur post modern yang muncul akibat gagalnya modernisme yang dipicu oleh gerakan feminisme, mengakibatkan perhatian terhadap peranan gender muncul ke permukaan. Peranan gender dalam kajian ini difokuskan kepada peranan laki-laki maupun perempuan didalam perkembangan arsitektur Nusantara, dengan mengambil kasus arsitektur tradisional Karo dan arsitektur Karo kontemporer, untuk melihat sejauh mana perubahan peranan gender dalam tempat dan kurun waktu tertentu. Dari kajian ini ditemukan bahwa peranan gender dalam arsitektur Nusantara cukup dominan dan tidak banyak berubah selama kurun pengamatan, kecuali beberapa peralihan fungsi dan peran dari masing-masing gender. Kata kunci :Gender, Arsitektur Nusantara, Tradisi, Tradisional, dan Kontemporer.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
The gender is hardly discuss in understanding Nusantara architecture. The appeare of post modern architecture due to the failure of modernism which supported by the feminism movement lead the gender become the focus of many dicipline include architecture. The gender in this tesis is focus on the role women and man alike in accordance with the development of architecture in Nusantara. Karo architecture either traditional or contemporary is put as case study in order to trace the change of the role of gender within certain period and place. The finding of research shows that the role of gander in space formation in architecture Nusantara is dominant and has not been changed radically within period of observation, except some transformation of women and man activity shape the space. Key word : Gender, Nusantara Architecture, Tradition, Traditional, and Contemporary.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat ALLAH SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa tesis ini dapat terselesaikan pada waktunya, tesis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana, Program Magister Teknik Arsitektur, Universitas Sumatera Utara dalam bidang kekhususan Studi-studi Arsitektur. Tesis ini bertujuan untuk membuka wawasan berfikir mengenai arsitektur yang diwujudkan oleh adanya pengaruh gender dalam pembentukan ruang. Dengan membandingkan peranan gender dalam pembentukan ruang baik terhadap bangunan rumah tradisional Karo masa lalu dengan rumah yang didiami suku Karo kontemporer, diharapkan dapat memberikan gambaran pembentukan ruang yang khususnya dipengaruhi oleh gender pada masa yang akan datang.. Menyadari keterbatasan, penulis merasa wajib mengucapkan terima kasih kepada : Prof.Ir.M.Nawawiy Loebis, M.Phil.,PhD atas kesediaanya membimbing penulis dan memberikan arahan dalam membuka cakrawala berfikir, Ir. Bhakti Alamsyah, MT atas diskusinya yang memberi masukan bagi penulis dalam menyelesikan tesis ini dan bimbingannya dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga kepada Ir. Nurlisa Ginting, MSc selaku Ketua Program Magister Teknik Arsitektur dan Ir.Dwira N.Aulia, MSc selaku Sekretaris Program
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Magister Teknik Arsitektur juga kepada rekan-rekan angkatan 2002 yang banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi. Tesis ini dipersembahkan untuk orang tua tercinta, Mama dan Papa serta Bapak dan Ibu Mertua, dan abang serta adik-adik. Terima kasih atas dukungan dan doa restu sehingga terselesaikannya tesis ini. Dengan kesabaran dan cinta kasih yang tulus dari istri Laksmi Syahmenan yang tercinta dan ananda Fachreza Rizky Ardhaffa dan Rechvi Dimaz Anandya yang tersayang sehingga penulis memiliki dorongan yang kuat dalam terwujudnya tesis ini, terima kasih sayang.
Medan, Februari 2008
Penulis
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
F i r m a n E d d y lahir di Langsa, tanggal 18 Oktober 1969, anak ketiga dari lima bersaudara, putra pasangan H. Mahjuddin SH, dan Mainil. Menjalankan pendidikan formal SD di
tiga sekolah yaitu : SD Katholik Tanjung Pinang di
Tanjung Pinang, SD Katholik Giki Darmo di Surabaya, dan menamatkannya di SD Katholik di Bondowoso Jawa Timur pada tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 di Bondowoso Jawa Timur dan menamatkannya di SMP Negeri 1 Semarang Jawa Tengah pada tahun 1985. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Semarang Jawa Tengah pada tahun 1988, dan Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1995. Tahun 1995 sampai tahun 2000 bekerja di konsultan arsitektur di Jakarta sebagai arsitek. Sejak tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara sebagai Staf Pengajar. Tahun 2002 mengikuti pendidikan Pascasarjana Arsitektur bidang khusus Studi-Studi Arsitektur, Universitas Sumatera Utara. Alamat Penulis : Komplek Taman Setiabudi Indah II blok V no : 58 Medan. Telepon : (061) 8216213, (061) 77415527, 0811658011
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
08126499303,
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK......................................................................................................
i
ABSTRACT....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………
iii
RIWAYAT HIDUP…………………………………………………………
v
DAFTAR ISI………………………………………………………………... vi DAFTAR TABEL…………………………………………………………... x DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..
xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..
xiii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………… 1 1.1.
Latar Belakang……………………………………………
1
1.2.
Permasalahan……………………………………………..
7
1.3.
Tujuan Pengkajian………………………………………..
8
1.4.
Batasan Pengkajian……………………………………….
9
1.5.
Metode Pengkajian……………………………………….. 10
1.6.
Pengumpulan Data………………………………………..
12
1.7.
Alur Kerja Tesis…………………………………………..
13
1.8.
Sistematika Laporan……………………………………… 13
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB II
SEKILAS TENTANG ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO........................................................................................... 15 2.1.
Orientasi dan Pola Perkampungan………………………..
15
2.2.
Arah Rumah Tradisional…………………………………. 17
2.3.
Tipologi Bangunan……………………………………….. 19
2.4.
Pendirian Bangunan (Tulo Mulo).......................................
21
2.4.1. Persiapan Dan Penentuan Lokasi…………………
22
2.4.2. Pengadaan Bahan Bangunan……………………...
23
2.4.3. Upacara Sebelum Pendirian Bangunan…………...
24
2.4.4. Upacara Pada Saat Pendirian Bangunan………….
26
2.4.5. Upacara Menyiapkan Tanah Dapur………………. 27 2.4.6. Upacara Setelah Bangunan Selesai……………….
28
2.4.7. Upacara Memasang Peralatan Dapur……………..
29
2.4.8. Upacara Memasang Tungku……………………… 30 2.4.9. Upacara Memasuki Rumah………………………. 2.5.
31
Elemen Bangunan Dan Ruang Rumah Tradisional Karo (Siwaluh Jabu)……………………………………………. 33 2.5.1. Dapur……………………………………………... 33 2.5.2. Beranda…………………………………………… 34 2.5.3. Para……………………………………………….. 35
2.6. Pola Pembagian Ruang Dalam Rumah Tradisionl Karo
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
36
BAB III
KAJIAN PUSTAKA…………………………………………...
38
3.1.
38
Pemahaman Gender………………………………………
3.2. Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi dan Tradisional.. 40 3.3. Pemahaman Arsitektur Nusantara…………………………. 45 3.4. Pengertian tentang Rumah…………………………………
46
3.5. Peranan Gender Dalam Arsitektur Barat............................... 49 3.6. Peranan Gender Dalam Pembentukan Ruang.....................
54
3.7. Pembacaan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara..... 57 3.7.1. Ide............................................................................ 59 3.7.2. Image....................................................................... 60 3.7.3. Stilistik....................................................................
61
3.8. Peranan Gender Dalam Pembentukkan Rumah Kontemporer.......................................................................... 68
BAB IV
PERANAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN RUANG PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO...................
72
4.1. Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Tradisional Karo........................................
BAB V
PERANAN
GENDER
DALAM
79
PEMBENTUKKAN
RUANG PADA ARSITEKTUR KARO KONTEMPORER.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
85
5.1.
Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Karo Kontemporer.................................
BAB VI
89
KESIMPULAN............................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
143
DAFTAR TABEL
Nomor 4.1.
Judul
Halaman
Analisa peranan gender dari proses pembangunan rumah tradisional yang disertai dengan upacara-upacara adat………..
79
4.2.
Pemetaan aktifitas gender terhadap ruang-ruang.......................
81
4.3.
Analisa peranan gender penggunaan ruang-ruang yang ada sehari-hari, termasuk hari-hari tertentu bila ada acara adat…… 83
5.1.
Analisa pemetaan gender responden 1 Rumah keluarga Jamal Hayrudin Tarigan……………………..
5.2.
Analisa pemetaan gender responden 2 Rumah keluarga Armando Arih Persada Barus……………….
5.3.
93
Analisa pemetaan gender responden 3 Rumah keluarga Sumarlin Ginting…………………………….
5.4.
89
97
Analisa pemetaan gender responden 4 Rumah keluarga Gunung Kaban………………………………. 100
5.5.
Analisa pemetaan gender responden 5
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Rumah keluarga Surianto Sembiring………………………….. 104 5.6.
Analisa pemetaan gender responden 6 Rumah keluarga Sidharta Meliala……………………………..
5.7.
Analisa pemetaan gender responden 7 Rumah keluarga M. Meliala…………………………………...
5.8.
119
Analisa pemetaan gender responden 10 Rumah keluarga Ardjuna Ginting……………………………..
5.11.
116
Analisa pemetaan gender responden 9 Rumah keluarga Tampe Malem Bangun………………………
5.10.
112
Analisa pemetaan gender responden 8 Rumah keluarga M. Purba……………………………………..
5.9.
107
122
Analisa peranan gender mulai dari proses kepemilikkan rumah, proses pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan ruang-ruang..........................................................
5.12.
127
Analisa peranan gender terhadap penggunaan ruang-ruang pada arsitektur rumah suku Karo kontemporer………………..
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
129
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
1.1.
Alur Kerja Tesis……………………………………………...
13
2.1.
Desa Lingga………………………………………………….. 16
2.2.
Suasana perkampungan Karo di desa Lingga ……………….
2.3.
Mata angin yang digunakan di dalam menentukan arah pada
16
Karo..........................................................................................
18
2.4.
Rumah Kurung Manik dan perspektif potongan.....................
20
2.5.
Tungku dan pembesarannya dalam sebuah dapur untuk dua keluarga………………………………………………………
31
2.6.
Beranda Atau Teras (Ture)....................................................... 34
2.7.
Detail dan posisi para pada rumah tradisional Karo................
2.8.
Pembagian ruang rumah Karo.................................................. 37
2.9.
Suasana di salah satu ruang di dalam rumah tradisional Karo.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
36
37
3.1.
Dinding dan ruang gerak perempuan dalam rumah tinggal arsitektur Nusantara menurut pemikiran Barat.......................
3.2.
62
Dinding dan ruang gerak perempuan yang berlaku dalam rumah tinggal arsitektur Nusantara..........................................
66
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.1.
Judul Kuisioner Penelitian………………………………………...
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Halaman 145
BAB I PENDAHULUAN
1.8. Latar Belakang Dunia kehidupan perempuan dan dunia kehidupan laki-laki adalah dua dunia yang berbeda, namun tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Dua dunia yang saling berdampingan dan saling mengisi yang mempunyai cara hadir dalam suatu kehidupan yang spesifik dari kelompok kehidupan yang spesifik pula. Sehingga, berbeda cara membaca kedua dunia yang berdampingan ini. Salah satu cara memahami bagaimana dua dunia yang saling berdampingan ini dalam satu kelompok kehidupan ialah membaca tanda-tanda yang terlekat dalam arsitektur yang mereka miliki. Tanda-tanda yang terbaca pada bangunan rumah tinggal, seakan merupakan tatanan huruf, kata dalam suatu kalimat, melalui kodekode yang dapat ditangkap oleh pengamatnya. Akan tetapi seperti yang telah tertera diatas, berbeda pengamat akan berbeda pula interpretasi yang mereka dapatkan melalui kode ini, terlebih pengamat yang berasal dari luar kelompok kehidupan dimana bangunan yang diamati berada. Denotasi - konotasi makna, serta sistem berkaitnya suatu kehidupan wanita dan laki-laki dalam kelompok tertentu akan juga bisa diinterpretasikan 'berbeda' dari denotasi-konotasi makna dari kelompok lainnya. Sehingga akan memberikan interpretasi makna yang janggal dan berbeda dari makna yang berlaku sesungguhnya dirasakan oleh kelompok spesifik yang diamati, termasuk
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
pembacaan makna dengan pemikiran kontemporer terhadap makna yang terlekat pada bangunan rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara. Penelitian ini adalah upaya untuk memunculkan makna yang sedekatdekatnya dari makna
tentang peranan gender, yang menjadi unsur yang sangat
melekat pada bangunan rumah tinggal Arsitektur Nusantara. Kata 'rumah tinggal' yang selalu berkait dengan makna rumah tangga. Sedang kata rumah tangga sendiri akan berkait dengan ibu, bapak, dan anak. Dalam hal ini dengan demikian merancang dapat pula dikaitkan dengan pemecahan permasalahan antara kebutuhan laki-laki dan kebutuhan wanita dalam berkehidupan 'bersama'. Menurut Waterson (1979), apabila pemikiran tentang hal
ini dibalikkan
kemasa lampau, maka Tuhan, wanita, dan rumah-tinggal adalah dasar dari dua hal yang sangat melekat satu sama lain, yaitu rumah dan ibu, dimana pola kehidupan yang berlaku pada saat itu adalah agraris, maka rumah tinggal dapat dikatakan sebagai tempat hidup, tempat bernaung dan juga tempat yang aman bagi wanita, khususnya ibu/istri. Sebaliknya bagi laki-laki rumah tinggal dapat dikatakan sebagai kode ”perempuan dan daerah kekuasaannya”. Suatu signifikasi yang bisa didekati hanya dengan menganut aturan-aturan tertentu saja. Seperti istilah yang tidak asing lagi bagi setiap orang bahwa pada masyarakat agraris secara teritorial berlaku semacam hukum, ”ruang gerak perempuan adalah di dalam rumah sedangkan ruang gerak laki-laki adalah di luar rumah”. Yang tergambar dari pendapat Waterson diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam suatu bangunan tergambar secara khusus daerah-daerah kekuasaan (teritorial), baik
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
kekuasaan perempuan dan laki-laki. Disini terlihat adanya penggunaan istilah yang berkaitan dengan gender merupakan ciri khas arsitektur Nusantara. Dengan dasar ini maka pengkajian akan bertolak pada keunikan penggunaan istilah yang berkaitan dengan gender tersebut Dengan kemajuan zaman yang juga bermakna berlakunya pemikiran Corbusier tentang ”rumah tinggal modern adalah sebuah mesin untuk berkehidupan”, maka di bumi Nusantara ini ikut pula berubah. Pemikiran tentang kedudukan Putri Dayang Sumbi dan Timun Mas sebagai mahluk yang lemah dihadapan laki-laki juga ikut terpengaruh. Hal ini tidak lepas dari hasil pendidikan formal yang berlaku di bumi Nusantara dewasa ini, yang memberikan peluang bagi ”siapa saja” yang mengikuti pendidikan formal . Sehingga istilah-istilah ”lemah/harus dilindungi” bagi perempuan
sudah mulai pudar, karena perempuan dan laki-laki dianggap sama
kedudukannya yaitu sebagai elemen-elemen dari mesinnya Corbusier tadi. Tidak bisa dipungkiri kalau pada masa kini Dewi-dewi tadi berubah menjadi, Srikandi, Calon Arang, dan Nyi Pelet yang siap bertarung dengan derajat kemampuan 'bertarung' yang sama dengan laki-laki, yaitu dalam ajang penguasaan ilmu pengetahuan modern serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dengan demikian Dewi-dewi tersebut tidak perlu lagi memunculkan "kekuatannya" melalui ”kelemahannya”. Dengan muculnya pengetahuan dan teknologi, perseptif pemikiran mereka telah bergeser dari pemikiran yang selama ini pernah mereka miliki, misalnya mengenai pemikiran tentang gender. Perempuan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tidak perlu harus lemah, laki-laki tidak perlu harus kuat, akan tetapi keduanya ternyata masih saling membutuhkan. Kalau diamati lebih lanjut di bumi Nusantara ini, tidak semuanya begeser, masih ada hal yang mendasar dari pemikiran mengenai gender ini, yaitu apabila kedua gender ini dihadapkan pada Tuhan yang Maha Esa, yaitu bahwa kedua jenis kelamin ini akan saling bertemu dan akan saling bahu-membahu dalam mengemban tugas yang mulia yaitu berumah-tangga. Pengertian yang begitu melekat pada masyarakat Nusantara yaitu simbol kesadaran akan keberadaan Tuhan. Sesuai dengan beragamnya budaya yang berperan
memunculkan budaya Nusantara ini,
maka
terlihat begitu beragamnya tata-cara dalam mewujudkan tugas mulia tadi. Apapun keberagaman tadi, akan tapi ada satu hal yang penting, yaitu wadah yang berperan sebagai penanda adanya sebuah rumah tangga, yaitu rumah tinggal. Dari zaman ke zaman, manusia dengan segala perubahannya tetap saja mencari upaya untuk mendapatkan makna arsitektur melalui cara yang tersedia pada waktu itu. Salah satu yang berupaya ke arah ini adalah Jencks (1992), dengan Semiological Triangle-nya yang menyimpulkan bahwa makna arsitektur dapat didekati dengan simbolik (symbolic architecture). Dengan pemahaman ini upaya untuk mendapatkan makna arsitektur tersebut tidak lagi dengan cara sekedar memandang arsitektur dalam konteks pengertian membangun (techne), yang dipelopori Vitruvius, yaitu: kekuatan, keindahan, dan kegunaan (firmitas, venustas, utilitas), tetapi sudah menuju kemasalah yang lebih kompleks lagi antara lain adanya makna dalam proses tersubut.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pandangan Jencks tersebut menunjukkan bahwa subyektifitas terhadap arsitektur dalam upaya memperoleh makna telah menemui jalan buntu. Manusia mulai mencari identitas dirinya di hadapan arsitektur, yang selama ini telah dipandang sebagai obyek teori-teori arsitektur. Dengan pandangan Jencks maka terbukalah kemungkinan untuk menjalin komunikasi antara arsitektur sebagai penanda (signifier) dengan pengamat/penelaah. Namun, mengingat manusia di dunia ini bukanlah makhluk yang homogen dalam pemahamannya, maka pengertian arsitektur tersebut akan sulit untuk menjadi suatu pengertian teori arsitektur yang universal. Dengan kenyataan yang demikian, maka arsitektur harus dapat dipandang sebagai pengetahuan yang menyeluruh (holistic knowledge), selain itu haruslah dapat juga ditempatkan pengetahuan berdasarkan teori tertentu (theoritical knowledge). Bertolak pada identitas manusia di hadapan arsitektur yang dikemukakan Waterson (1990), perempuan dalam kelompok masyarakat vernakular terkesan hanya sebagai pengguna karya arsitektur untuk menjalankan rutinitas kehidupan sosialnya. Waterson
menganggap arsitektur itu sebagai identitas hunian, dimana identitas
hunian tersebut tidak akan terlepas dengan peran sosialnya. Waterson juga menyinggung adanya penamaan elemen konstruksi yang berkaitan dengan perempuan. Fenomena tersebut, apabila diamati secara cermat, menunjukkan adanya keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan, namun bukan ke arah yang mengindikasikan adanya peran aktif perempuan dalam berarsitektur. Waterson selanjutnya menyinggung tentang kehidupan perempuan dalam kelompok sosial
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
masyarakat vernakular. Menurutnya, perempuan menempati ruang-ruang tinggal mereka sedemikian rupa sehingga menampakkan adanya stratifikasi kedudukan priawanita, dimana perempuan menempati posisi yang lebih rendah. Namun, hal ini tidak tampak pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upacara adat, yang menempatkan mereka pada posisi yang sederajat, walaupun laki-laki berlaku sebagai pemimpin, sedangkan perempuan dikaitkan dalam hal persiapan upacara. Rapoport dalam bukunya House, Form, and Culture menyatakan bahwa arsitektur itu sebagai tanda (mark) dari suatu lingkungan binaan (built environment), atau juga sebagai tanda adanya sebuah kebudayaan (culture). Walau didalam tulisannya ia menyinggung tentang perempuan, tetapi tidak ditemukan tanda-tanda bahwa perempuan berperan dalam berarsitektur. Sebaliknya, perempuan cenderung berperan sebagai pengguna (user) karya arsitektur, yang pada umumnya dibuat oleh kaum laki-laki. Dengan demikian menurut Rapoport, adanya keseimbangan peran sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat vernakular sudah menjadi bagian dari suatu budaya. Pemikiran-pemikiran di atas memiliki suatu nilai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Namun pendapat tersebut adalah buah pemikiran orang-orang Barat, yang memahami arsitektur dari sudut pandang budaya mereka sendiri. Dalam dunia arsitektur Nusantara, kita justru mengenal adanya istilah-istilah elemen bangunan yang berkaitan dengan perempuan, misalnya: balok induk, dan ibu tangga. Istilah-istilah tersebut adalah istilah baku yang sering digunakan untuk pendidikan sekolah bangunan/arsitektur. Istilah-istilah lain yang berkaitan dengan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
perempuan juga dijumpai dalam bahasa non-arsitektural, yang menunjukkan suatu kelaziman penggunaan istilah-istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendapat jawaban apakah gender berarsitektur pada arsitektur Nusantara, tampaknya sulit apabila bergerak dari pengertian arsitektur sebagai hasil karya (artefact) atau kegiatan membangun seperti yang dimaksud Vitruvius. Hal ini disebabkan kenyataannya bahwa peranan gender perlu diteliti apakah berperan aktif dalam berarsitektur pada kehidupan masyarakat vernakuler Nusantara. Walau demikian, pada kenyataannya peranan gender bisa meninggalkan jejak-jejaknya (trace) dalam bentuk nama-nama yang melekat pada konstruksi bangunan arsitektur Nusantara. Selanjutnya, untuk dapat memperoleh makna dari nama-nama tersebut, arsitektur dalam hal ini haruslah terlebih dahulu dimengerti sebagai arsitektur pembawa berita (building as a message).
1.9. Permasalahan Masalah utama yang akan dibahas dalam pengkajian ini berkait dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membangun permasalahan utama. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: •
Bagaimana peranan gender pada pembentukan arsitektur Nusantara pada masa dimana pola kehidupan yang berlaku pada saat itu adalah agraris.
•
Bagaimana peranan gender pada pembentukan arsitektur Nusantara pada masa dimana yang berlaku pada saat itu adalah pola kehidupan kontemporer.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan dua pertanyaan diatas maka permasalahan utama adalah bagaimana gender mempunyai peran yang sentral dalam pembentukan arsitektur Nusantara atau bagaimana peranan gender membentuk bangunan khususnya rumah tinggal kontemporer. Untuk dapat menjawab permasalahan ini, maka perlu dijawab kedua pertanyaan diatas dengan analisa yang kuat, sehingga disamping dapat menjawab permasalahan utama sekaligus dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan arsitektur kontemporer. Dalam kajian ini digunakan Arsitektur Karo sebagai studi kasus dan dari studi kasus tersebut diharapkan dapat ditarik suatu pemahaman yang dapat berlaku secara obyektif dalam keilmuan arsitektur khususnya arsitektur Nusantara.
1.10. Tujuan Pengkajian Berangkat dari permasalahan di atas, maka tujuan dari pengkajian ini adalah ingin mengetahui sejauh mana gender mempunyai peran yang sentral dalam pembentukan arsitektur Nusantara atau bagaimana peranan gender membentuk ruang pada bangunan khususnya rumah tinggal kontemporer. Apakah peranan gender yang pada masa agraris sangat berpengaruh, atau justru pada masa sekarang peranan tersebut semakin menguat atau semakin tidak menentukan dalam pembentukan arsitektur.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
1.11. Batasan Pengkajian Apabila menelaah kata gender dalam permasalahan di atas, maka akan didapat makna yang sangat luas, dan agar pengkajian ini menjadi terarah maka dalam kajian ini perlu adanya suatu pembatasan. Gender bisa diartikan sebagai sebuah makhluk, juga bisa dikenal melalui ciri-cirinya fisiknya, selain itu juga dapat dikenal melalui bentuk-bentuk yang dapat memberikan dan mengisyaratkan pada gender laki-laki maupun perempuan. Demikian pula dengan kata arsitektur, kata ini bisa memberi makna membangun. Dalam hal ini, pembicaraan tentunya akan bertaut dengan bagaimana, mengapa, dan dengan alasan apa arsitektur tersebut bisa terbentuk, tetapi ada juga bentuk arsitektur yang lain, yang dikenal sebagai arsitektur dalam dunia kritik, yaitu suatu dunia arsitektur juga yang tidak menyangkut pautkan makna membangun di dalamnya. Untuk ini pengkaji juga masih harus menentukan makna yang mana yang harus ditentukan sehingga bisa menjawab permasalahan yang ada dalam pengkajian ini. Sedangkan batasan pada studi kasus yaitu rumah tradisional Siwaluh jabu pada desa Lingga di Kabupaten Tanah Karo, yang dibangun sekitar 150 tahun yang lalu,
yang hanya
dilakukan melalui data-data sejarah, dan rumah-rumah
kontemporer yang didiami oleh suku Karo di Kota Medan dan sekitarnya termasuk Kota Binjai dan Kabupaten Stabat, yang dibangun sekitar tahun 80 an dan masih berdiri dan dihuni sampai sekarang.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
1.12. Metode Pengkajian Metode yang dilakukan dalam kajian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif sampel penelitian mencakup dua aspek (Sanapiah, 1990:56-61) yaitu: informan dan situasi sosial. Informan merupakan subyek yang benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Sementara itu situasi sosial merupakan subyek yang akan diamati, dalam hal ini bisa berupa tempat (rona), lingkungan sosial, organisasi, dan sebagainya. Situasi sosial yang dimaksudkan adalah rumah dan segala kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Penentuan situasi sosial penelitian didasarkan pada dua kriteria utama, yaitu pertama, rumah yang diteliti harus merupakan tempat tinggal keluarga, atau mereka yang merupakan keturunannya (ahli waris). Kriteria kedua, rumah yang diteliti harus masih dihuni hingga saat penelitian ini dilaksanakan. Kajian ini nantinya akan menjawab pemasalahan yang diangkat. Untuk menjawab masing-masing permasalahan dibutuhkan metode yang berbeda. •
Tahapan pertama, yaitu melihat lingkup dan batas kemampuan yang dapat digunakan untuk menjelaskan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara pada satu daerah dengan daerah lain. Sebagaimana diketahui menurut sejarah bahwa antara waktu memiliki perbedaan sosial budaya, hal ini menyebabkan terjadinya pencarian makna atas peranan gender dalam arsitektur Nusantara pada masingmasing waktu tertentu. Untuk dapat melihat peranan gender pada tahap awal ini akan dilakukan penelusuran terhadap definisi gender sebagai makna sosial budaya dan sebagai makna biologis. Hal ini dilakukan disebabkan karena
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
mungkin salah satu gender di dalam kehidupan tradisional selalu ditempatkan sebagai pelengkap dalam kegiatan berarsitektur, sehingga harus dapat dipaparkan terlebih dahulu dalam fungsinya sebagai obyek di dalam berarsitektur. •
Tahapan Kedua, yaitu melihat peranan gender dalam arsitektur Nusantara pada Kasus, dalam hal ini kasus yang digunakan adalah Arsitektur Karo. Untuk dapat menjawab masalah ini, maka arsitektur Rumah Adat Karo akan diangkat sebagai kasus yang mewakili, dengan lebih memfokuskan pada fisik arsitektural melalui data-data sejarah, namun tidak mengesampingkan masalah sosial budaya sebatas tersedianya data dan informasi. Untuk menjawab permasalahan di atas maka digunakan adalah metode interpretasi obyektif, seperti yang dikemukakan oleh Emilio Betti (Poespoprodjo, 1987) "Proses pemahaman tidak bersifat pasif, tetapi senantiasa merupakan suatu proses rekognitif dan rekonstruktif serta melibatkan pengalaman interpretator dan minatnya pada masa kini.
•
Tahapan ketiga, yaitu melihat peranan gender dalam arsitektur Nusantara dapat berubah dari tradisional ke kontemporer. Untuk menjawab masalah ini digunakan metode Kritik Normatif (Normative Critisism) dengan model Kritik Sistematik (Systematic Critisism), dimana kritik ini merupakan perkaitan unsur-unsur atau prinsip-prinsip yang saling berkaitan dan merupakan dasar bagi suatu penilaian kritik yang teliti. Peranan gender dalam arsitektur tradisional dan peranan gender dalam arsitektur kontemporer akan menjadi subyek yang disandingkan, dengan menjajarkan kedua hal tersebut maka dapat digunakan untuk menjabarkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
sesuatu kajian yang lebih melihat kepada keabadian (timelessness) dan perubahan (temporal). •
Tahapan keempat, yaitu melihat peranan gender dalam pembentukkan rumah tinggal kontemporer. Yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman peran gender tersebut dalam merencanakan rumah tinggal kontemporer Untuk mendapatkan pemecahan permasalahannya, dilakukan suatu analisa terhadap beberapa bangunan rumah tinggal kontemporer yang didiami oleh suku Karo. Dari analisa ini diharapkan dapat menarik suatu simpulan yang obyektif bagi pemerkaya pemahaman arsitektur kontemporer.
1.13. Pengumpulan Data •
Pengambilan data dimulai dari data-data literatur tentang obyek kasus, sebelum masuk ke lapangan untuk melakukan pendataan langsung, sebagai pengecekan ulang terhadap data yang ada, dan melengkapi kekurangan data atau mencari data tambahan.
•
Selanjutnya dilakukan critical reading dalam membaca literatur.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
1.14. Alur Kerja Tesis PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR Kasus Arsitektur Karo Telaah terhadap Gender dan Arsitektur
Telaah Peranan Gender dalam Pembentukan Arsitektur Nusantara.
Telaah Arsitektur Tradisional Karo
Melihat Peranan Gender dalam Pembentukan Arsitektur Karo Kontemporer
Melihat Peranan Gender Dalam Pembentukan Arsitektur Tradisional
Mempertegas, Memperjelas, dan Memperkaya Peranan Gender dalam Pembentukkan Arsitektur Komtemporer
KESIMPULAN
Sumber: Penulis 2007 Gambar 1.1. Alur Kerja Tesis
1.15.
Sistematika Laporan
Berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan laporan tesis ini, dengan susunan sebagai berikut: Bab I
:
Mengupas latar belakang dari pengkajian,
disertai dengan perma-
salahan, tujuan, dan batasan pengkajian, pada bab ini juga dijelaskan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
metode yang dipakai, teknik penggalian data, dan alur kerja tesis. Bab II : Sekilas Menjelaskan tentang rumah tradisional Karo sebagai obyek kajian. Bab III :
Melakukan kajian pustaka terhadap pemahaman gender dan peranannya dalam arsitektur.
Bab IV :
Melakukan kajin peranan gender dalam pembentukkan ruang pada arsitektur tradisional Karo.
Bab V : Melakukan kajin peranan gender dalam pembentukkan ruang pada arsitektur Karo kontemporer. Bab VI :
Bagian ini merupakan kesimpulan dari hasil kajian untuk
langkah
pengkajian berkelanjutan dan rekomendasi untuk implementasi bagi perkembangan ilmu arsitektur kedepan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB II SEKILAS TENTANG ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO
Untuk dapat lebih memahami arsitektur tradisional Karo, maka dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat dari buku “Raibnya Para Dewa”, Kajian Arsitektur Karo, yang ditulis oleh M. Nawawiy (2004), seperti yang diuraikan dibawah ini.
2.6. Orientasi Dan Pola Perkampungan Pola perkampungan umumnya mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai, sehingga perletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap ke hulu sungai dan pintu belakang menghadap ke hilir sungai. Namun bisa juga
mengikuti arah Utara-Selatan, dimana pintu utama diletakkan
searah dengan aliran sungai atau dibagian Selatan, dengan demikian panjang bangunan pada arah utara selatan dan lebarnya pada arah Timur dan Barat. Dengan demikian tidak terdapat satu rumahpun yang dibangun menentang arus sungai.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
L
E
M
B
A
mata air percinahen
H H U T A N
mata air perkebunan
H U T A N G
L
05.00 0 1.2
LS
jam
0
1.206.000
1.203.000
L
1.20 7. 00 0
1.189.00 0
1.194.000
LOODS
1.200.000
S L
1.204.00
1.800.000
1. 20 0.40
0
1.19 7.00 0
LS
0.00
0
.0 00
1. 20
22 .000
S LS L J
L
rumah kurung manik N
jam
rumah sada tersek rumah dua tersek
ke kab
jambur
LS
lesung
L
lumbung
S
sopo
G
griten
ja an
jam
p
n dia an em
ia pr
he
pem
gereja
an
dia nw an ita
gereja
pagar batas rumah penduduk sungai PETA
waduk
LOKASI
KABUPATEN
KAMPUNG TANAH
LINGGA
KARO
SUMATERA UTARA
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.1. Desa Lingga
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.2. Suasana Perkampungan Karo di Desa Lingga
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.7. Arah Rumah Tradisional Ada beberapa mata angin di dalam masyarakat Karo, salah satunya adalah “Desa Siwaluh”, yang menunjukkan delapan penjuru, sama halnya dengan Mata Angin umum yang dipergunakan untuk menunjukkan arah, orientasi, menemukan sesuatu yang hilang menurut ilmu perdukunan, juga menentukan arah rumah, perkampungan, dan nasib serta peramalan. Pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-kenjulu, sesuai dengan arah mengalirnya air sungai di suatu kampung. Pengertian kenjahe dan kenjulu berbeda dengan pengertian Utara dan Selatan. Arah hilir di sebut kenjahe sedangkan arah hulu disebut kenjulu. Dalam ucapan sehari-hari arah kenjahe sering disebut kahe-kahe atau jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau Julu. Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada di sebelah kenjahe, dimana ditempatkan Jabu Raja, yang dianggap sebagai pangkal atau asal dari rumah. Jabu Raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture jahe), sedang menurut pendapat lain (Percikan Budaya Karo” hal-2) Jabu Raja atau Jabu Bena Kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture Julu) diarah Timur (Purba), tempat matahari terbit.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Tupak Salah Silima-Lima
Tupak Salah Sitipu-tipu
Desa Siwaluh
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.3. Mata Angin yang digunakan didalam menentukan arah pada Karo
Untuk rumah yang berorientasi Kenjahe-Kenjulu, ruang yang terletak di bagian hilir disebut Jabu Kenjahe, meliputi: Jabu Benana Kayu dan Jabu Lepar Benana Kayu, sedangkan ruang yang terletak di arah hulu disebut Jabu Kenjulu, yang meliputi: Jabu Ujung Kayu dan Jabu Lepar Ujung Kayu. Jabu Raja atau Jabu Benana Kayu merupakan pusat rumah yang ditempati oleh kelompok Bangsa Taneh (Sebayak atau Raja dan Penghulu), yang memimpin seluruh penghuni rumah, baik dalam hubungan internal sesama penghuni rumah maupun dalam hubungan eksternal yaitu hubungan dengan rumah lain atau dengan kampung. Peruntukkan ruang menggambarkan Daliken Sitelu (anak beru, kalimbubu dan senina) dan stratifikasi sosial masyarakat, yaitu penghuni Jabu Benana Kayu sebagai raja, selaku kepala keluarga besar (bangsa taneh), penghuni Jabu Ujung Kayu, Jabu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Lepar Benana Kayu, dan Jabu Lepar Ujung Kayu, sebagai kelompok keluarga dekat raja (Ginemgem yang artinya dilindungi), sedangkan penghuni Jabu Sidapurkeun Benana Kayu, Sidapurken Lepar Benana Kayu, Sidapurken Ujung Kayu, dan Sidapurken Lepar Ujung Kayu dapat dianggap sebagai rakyat biasa (Derip).
2.8. Tipologi Bangunan Menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja Sibayak. Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung- anjung). Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk
trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu
(dapur-dapur) yang terletak di atas beberapa tiang. Rumah tradisional Karo diperuntukkan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.4. Rumah Kurung Manik dan Perspektif Potongan
Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang pada malam hari dan lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka. Bagian dalam si waluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip) maupun oleh bangsawan (sibayak) tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga mereka dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, tempat tidur, menerima tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.
2.9. Pendirian Bangunan (Tulo Mulo) Pendirian bangunan baru minimal harus dimulai oleh empat kepala keluarga (jabu empat wuluh) yang akan mendiami daerah inti rumah, yaitu penghuni ruang Raja (Jabu Benana Kayu), yang dikhususkan bagi pemilik rumah dan sekaligus sebagai pemimpin, penghuni Jabu Ujung Kayu, yaitu anak beru Raja, penghuni Jabu Lepar Ujung Kayu, yaitu Kalimbubu dari raja, dan penghuni Jabu Lepar Benana Kayu, yaitu Kalimbubu dari penghuni Jabu Benana Kayu. Keempat ruang ini disebut Jabu Adat, yang menggambarkan Deliken Sitelu yaitu pemilik atau raja (Ego/Sukut) selaku keluarga penerima istri (anak beru),
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
keluarga yang memiliki keturunan yang sama (Sembuyak), dan keluarga pemberi istri (Kalimbubu). Penghuni rumah tersebut dapat bertambah sesuai dengan Tutur Siwaluh menjadi delapan keluarga yang berasal dari penghuni jabu lain, yang hubungan kekeluargaannnya lebih jauh dari kelompok diatas terhadap Raja, bahkan ruangan (Jabu) itu bisa dihuni rakyat kebanyakan (Derip). Mendirikannya memakan waktu, yang cukup lama, sampai beberapa tahun baru selesai. Mengingat banyaknya tahapan yang harus dikerjakan, mulai dari menebang kayu (nabah kayu), menarik kayu (ngerintak kayu), mencari ijuk untuk atap dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang melibatkan seluruh warga kampung.
2.9.1. Persiapan dan Penentuan Lokasi Keinginan mendirikan rumah terlebih dahulu dilakukan melalui permufakatan (Pesada arih) antara raja bakal pemilik rumah (bena kayu) dengan isteri, kemudian yang bersangkutan menanyakan pihak keluarga pemberi istri (kalimbubu) untuk tinggal bersama, selanjutnya memberitahukan pihak keluarga penerima istri (anak beru), dan diakhiri dengan memanggil biak senina, sehingga lengkap empat atau delapan keluarga. Kemudian diputuskan untuk segera mencari pertapakan rumah yang akan didirikan dengan bantuan seorang guru (dukun). Setelah tapak ditemukan maka di atasnya ditegakkan pelepah serta daun enau yang masih mudah (lambe) yang dinamai Ngumbang. Kemudian dicari petunjuk lewat mimpi (nipernipeken). Jika ternyata tidak ada yang bermimpi jelek berarti tidak ada yang berkeberatan mengenai tapak
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tadi. Petunjuk dukun diminta kembali untuk menentukan hari dan bulan yang tepat dan baik (guru simeteh wari siteluhpuluh) untuk melakukan upacara pembersihkan tanah tapak tersebut agar tempat itu serasi dan memberi rezeki bagi yang menempatinya. Sang guru menyediakan tiga cawan yang berisi air yang masing masing diberi nama Lau Penguras, Lau Mecihau dan Lau Metungei. Ketiga cawan ini ditinggalkan ditengah-tengah tapak selama satu malam. Esok harinya dilihat cawan mana yang airnya berkurang, apabila cawan Lau Penguras, maka harus dikorbankan seekor ayam berwarna merah (manuk megara) sebagai persembahan pengganti air yang berkurang. Apabila cawan Lau Mecihau yang berkurang akan dikorbankan seekor ayam berwarna Putih (manuk mbulan), dan apabila cawan yang berisi Lau Metungei yang berkurang airnya, dikorbankan seekor ayam berwarna Kuning (manuk megersing). Proses dilanjutkan dengan meminta ijin kepada Dewa penjaga tanah (biak taneh) disertai dengan menggali tanah dibagian tengah-tengah tapak jika tidak ada lagi pertanda buruk, maka pekerjaan ini di teruskan dengan mencari bahan bangunan ke hutan.
2.9.2. Pengadaan Bahan Bangunan Setiap penduduk kampung akan memberikan andilnya secara sukarela, yang disebut dengan tanggungan, seperti menyediakan ijuk dan lain-lain. Kerja sama demikian sangat penting mengingat pada waktu dulu sama sekali tidak ada peralatan yang dapat dibeli, jadi harus disediakan bersama-sama dan masih sederhana dan semua keperluan diambil dari alam. Didalam seluruh proses tidak dijelaskan di dalam
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
literatur peran laki-laki dan perempuan secara spesifik, tetapi setelah tapak tersedia, maka pada hari yang baik sesuai petunjuk dukun (guru), terdapat peran seorang anak gadis tanggung, yang masih perawan dan lengkap orang tuanya, beserta beberapa orang berangkat ke hutan untuk mencari pohon pertama yang harus ditebang sebagai tanda mulainya pembangunan rumah (nderasi). Setelah diadakan upacara, pohon tersebut ditebang dan ditinggalkan di hutan. Pohon tersebut ditinggalkan selama empat hari yang disebut waktu menunggu (salang sai), dalam waktu menunggu ini pembangunan rumah belum boleh dilanjutkan. Keadaan menunggu seperti itu terjadi berulang-ulang, seluruh kayu yang telah sampai di lokasi tidak boleh langsung dikerjakan, tetapi harus menunggu hari baik menurut petunjuk dukun. Misalnya pada hari pertama hanya boleh dilakukan pemahatan satu kayu saja, hal ini penting untuk menghindari malapetaka (bala).
2.9.3. Upacara Sebelum Pendirian Bangunan Upacara yang harus dilakukan sebelum pendirian suatu bangunan (perbelitanbelitan) adalah suatu upacara pemberian jaminan oleh tukang (pande) kepada keluarga yang membuat rumah dan pemberian jaminan oleh pemilik rumah disaksikan oleh penghulu disertai upacara makan untuk memohon restu para Dewa agar pembuatan rumah tidak
terhalang. Tukang (Pande) harus menjamin
penyelesaikan bangunan, sebaliknya pemilik bangunan menjamin penyediaan dan pelaksanaan. Apabila yang bersangkutan ingkar terhadap janji yang telah diberikan, maka janji tersebut harus dipenuhi oleh orang yang berperan sebagai pemberi jaminan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
(belit). Jaminan tersebut harus sepengetahuan penghulu yang juga memiliki peran dalam pembuatan perjanjian ini. Tempat
upacara pendirian bangunan (perbelitan)
penghulu dan waktunya
dilakukan di rumah
ditetapkan oleh penghulu. Sedangkan pemimpin dan
penyelenggara upacara pemberian jaminan adalah kepala kampung yang dihadiri oleh pemilik rumah beserta jaminan atau penjaminnya (belit) dan tukang (pande) beserta jaminan atau penjaminnya. Didalam upacara ini dilakukan makan bersama yang dibawa oleh pemilik rumah maupun tukang dan pemberi jaminan. Setelah selesai
pelaksanaan upacara makan, maka
menanyakan
kepala suku secara ritual akan
kepada mereka yang datang apa sebabnya upacara makan ini
dilaksanakan dan apa tujuanya, setelah dijelaskan, barulah kepala kampung dapat memulai upacara ini. Jalannya upacara pada awalnya kepala kampung menanyakan kepada pemilik rumah, siapa yang berperan sebagai penjamin andaikata yang punya rumah ini ingkar janji, maka yang bersangkutan akan menunjukkan penjaminnya (belit). Pertanyaan yang sama di tujukan kepada pande
jika pande terhalang dan
tidak bisa
menyelesaikan bangunan rumah maka si pande juga menunjuk pada penjaminnya (belit) yang juga ikut serta dalam upacara ini. Langkah selanjutnya penghulu menanyakan persetujuan semua penjamin.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.9.4. Upacara Pada Saat Pendirian Bangunan Upacara pada saat pendirian bangunan, seperti upacara menaikkan balok (ngampaiken tekang), dianggap penting selain karena besarnya balok yang akan dinaikkan memerlukan tenaga yang banyak dan dilakukan secara gotong royong (serayan), fungsi elemen ini juga penting karena balok adalah bagian bangunan yang paling menentukan kekuatan bangunan secara keseluruhan. Upacara memasang elemen dinding dimulai setelah pembangunan membuat teras depan (erbahan ture) selesai. Penyelenggaraan upacara menaikkan balok dipimpin oleh pengetua adat dan untuk upacara memasang elemen dinding dipimpin oleh guru yang dibantu oleh penerima gadis (anak beru) dari orang yang mendirikan rumah. Upacara menaikkan balok diikuti oleh kerabat raja calon penghuni rumah yaitu pihak penerima istri (anak beru), pihak seturunan (senina) dan pihak pemberi istri (kalimbubu), serta guru dan seluruh gadis yang sanak saudaranya masih lengkap (sangkep). Pemimpin upacara adalah guru yang biasa membuat sesajen untuk upacara itu. Upacara ini juga diiringi dengan ritual makan yang sudah dipersiapkan dengan menyisihkan sepiring nasi dan lauk-pauknya (cibalen) dan diletakkan ditempat tertentu sebagai persembahan kepada begu leluhur agar upacara ini mendapat restu dari para nenek moyang.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.9.5. Upacara Menyiapkan Tanah Dapur Dalam upacara menyediakan tanah untuk dapur (ngelengkapi taneh dapur), pertama-tama guru memilih tanah yang sesuai yaitu yang bebas dari penyakit dan serasi menurut pengelihatannya. Tanah diangkat dengan sejenis keranjang (beha) yang biasa dipakai untuk upacara adat, kemudian tanah tersebut diisi dengan ramuan (rudang sinikas gelar). Untuk membawa atau menjunjung tanah ini biasanya dipilih dari pihak penerima gadis (anak beru) yang punya rumah, yaitu seorang wanita yang masih gadis dan masih lengkap keluarganya (sangkep). Jalannya upacara pertama-tama menyiapkan ramuan dan sesajen di teras rumah (ture), kemudian dibawa dalam keranjang (beha), dijunjung oleh seorang wanita yang memakai tutup kepala tudung nisarintang dan kain (abit) yang di pakai dari pinggang sampai kaki betis (urus teha atau julu). Dengan berjalan didepan guru yang membawa sesajen dan mencipratkannya kepada semua penghuni rumah dan kemudian menuju ke dapur. Tanah yang dibawa dimasukkan ke semua dapur yang ada di dalam rumah, dan setiap sudut dapur di beri (rudang-rudang simelias gelar). Disamping itu, untuk mengisi dapur, para gadis atau wanita yang masih perawan dan lengkap keluarganya (sangkep) seperti tersebut diatas akan membawa ranting kayu bakar sambil bersenandung (eralep-alep).
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.9.6. Upacara Setelah Bangunan Selesai Upacara yang disebut ngarkari ini bertujuan untuk mengembalikan semua jerih payah dan tenaga para tukang (pande) selama melaksanakan tugasnya. Upacara diadakan di rumah yang di bangun pada saat pembayaran upah tukang. Tukang yang bersangkutan
didudukkan
di
jabu
bena
kayu
bersama
guru,
sedangkan
penyelenggaranya adalah kepala keluarga si waluh jabu yang akan menempati jabu bena kayu, dihadiri oleh keluarga yang lain yang akan menempati rumah tersebut. Peserta upacara adalah para Pande, guru, dan keluarga-keluarga penghuni rumah si waluh jabu. Yang menjadi pemimpin upacara adalah penghulu kampung (kesain), seperti halnya pada upacara pemberian jaminan (perbelit-belitan). Jika tidak ada lagi persoalan yang disampaikan oleh pihak yang hadir, maka penghulu kampung mengingatkan kembali perjanjian
yang diikrarkan pada
pemberian jaminan (perbelit-belitan). Penghulu kampung harus menunaikan ikrar jaminan yang dihadiri oleh penjamin (belit) keluarga yang membuat rumah dan penjamin (belit) dari tukang sendiri. Setelah selesai semua, maka tuan rumah (bena kayu) mengajak kepada semua peserta untuk makan bersama-sama dan menyisihkan sebagian makanan sebagai sesembahan bagi para begu. Setelah selesai upacara makan bersama, maka pihak penerima istri (anak beru) dari raja rumah yang baru menanyakan kira-kira apakah gerangan tujuannya para tamu diundang pada hari tersebut. Pengetua rumah si waluh jabu (jabu bena kayu) menjelaskan bahwa undangan ini dibuat karena rumah telah selesai, kemudian pihak penerima istri (anak beru) bertanya lagi, apakah segala hutang piutang dengan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tukang (pande) sudah lunas semuanya. Pemilik rumah menjawab semuanya telah selesai sambil menambahkan apakah dari pihak penerima istri (anak beru) dan semua yang hadir masih ada yang tersangkut
penyelesaiannya dengan tukang, jika tidak
ada lagi maka akhirnya pengetua rumah (jabu bena kayu) menyerahkan upacara penyelesaian ini pada penghulu kampung. Selanjutnya dilakukanlah penyerahan imbalan dihadapan penghulu kampung oleh pihak yang mendirikan rumah kepada tukang (pande) sebesar yang telah di janjikan semula. Selanjutnya pengetua rumah menyakan lagi kepada
guru pantangan-pantangan
yang harus dihindari dalam
menempati rumah selama satu tahun.
2.9.7. Upacara Memasang Peralatan Dapur Peserta upacara memasang tungku (Majekken Diliken) adalah seorang dari pihak pemberi istri yang sudah memiliki turunan (Si Utang Rido) yang bertugas memasang tungku. Bila seorang menantu atau seorang yang berposisi sebagai menantu (anak dari saudara perempuan) yang disebut Bere-Bere memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru), maka mertua atau paman pihak penerima istrinyanya (kalimbubu) yang akan memasang tungku. Dalam upacara tersebut diadakan tanya jawab ritual (perasiken), tentang siapa yang akan memasang tungku dan apakah tungku yang akan dipasang sudah tersedia atau belum. Pihak yang akan memasang tungku menyuruh salah seorang saudara yang seturunan dengannya (Senina Sepemerenna) mengambil tungku, sebagai oleh-oleh (luah) pihak pemberi istri dari
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
yang memasang tungku. Dengan disaksikan ke tiga pihak dalam kekerabatan Karo yaitu (Anak Beru, Biak Senina, dan Kalimbubu atau Tinggel-tinggel), dibawalah tungku itu dengan cara dijunjung di atas kepala, dengan alas (lanam) yang terbuat dari kain (uis) sakral yang disebut arinteneng atau digendong (i tempi) dan diselimuti (i ndawai) dengan kain, seperti layaknya menggendong bayi. Pihak penerima istri pengetua rumah (Anak Beru Simada Rumah), siap menunggu di rumah, sampai ada berita tentang kedatangan pihak pemberi istri (Kalimbubu) selaku pembawa tungku (Simaba Diliken). Dia berangkat saat matahari mulai beranjak naik (nangkih matawari) dan kembali (berkat) saat matahari mulai turun (nese matawari), dan mendirikan tungku dengan perlengkapannya. Setelah lepas berpantang (rebu) empat hari, terhitung sejak saat upacara memasuki rumah, maka pihak istri pengetua rumah yang memasang tungku, kembali kerumahnya masing-masing dan diberikan upah berupa makanan agar ia terhindar dari kutukan ( latengen /latengka / kemali).
2.4.8. Upacara Memasang Tungku Upacara dimulai setelah isteri (kemberahen) Kalimbubu di beri gelang yang terbuat dari benang putih (benang Teng /kul-kul), sebagai simbol ketulusan hati dan penangkal bala, kemudian ditaburkanlah tepung (cimpa gabor-gabor) dan digali lobang tempat tungku tengah akan dipasang. Pada lobang tempat tungku yang di tengah, ditanam segala perlengkapan yang telah tersedia yaitu besi, sirih tanpa cacat, buah pinang, kapur, dan gambir (belo cawir), kemudian dimulailah pemasangan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tungku. Yang pertama adalah tungku tengah, kemudian berturut-turut yang sebelah kanan dan kiri dari jabu. Setelah itu diambil ramuan dedaunan yang diselipkan pada keempat sudut dapur dan kemudian ditaburi dengan tepung (cimpa gabor-gabor), baru kemudian diambil ranting kayu api dan apipun mulai dihidupkan. Pemasangan tungku ini harus diiringi dengan pembacaan mantera-mantera (mangmang). Pada rumah delapan keluarga (siwaluh jabu), setiap dapur dilengkapi dengan lima buah batu tungku yang dipergunakan oleh dua keluarga (jabu). Oleh karena itu ada satu batu tungku (deliken) yang menjadi milik bersama.
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.5. Tungku dan pembesarannya dalam sebuah dapur untuk dua keluarga
2.4.9. Upacara Memasuki Rumah Memasuki rumah, biasanya dilakukan di pagi hari yang disebut penghulu hari (Nangkih matawari), agar keberuntungan selalu menyertai penghuni rumah. Urutan orang yang akan memasuki rumah dimulai dari penghuni Jabu Benana Kayu (Jabu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Raja, selaku pemimpin rumah), penghuni Jabu Ujung Kayu (anak beru dari penghuni jabu benana kayu), penghuni Jabu Lepar Benana Kayu (Sungkun Berita), kalimbubu penghuni Jabu Benana Kayu penghuni Jabu Lepar Ujung Kayu (Jabu Siman Minem), Penghuni Jabu Peninggel-Ninggel (Sedapuren benana kayu), Jabu Sidapurken Ujung Kayu yang menghuni Jabu Arinteneng, Guru/Dukun yang menghuni Jabu Sidapurken Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru, yang terakhir anak beru menteri yang menghuni Jabu Singkapuri Belo atau Jabu Sidapurken Lepar Benana Kayu. Semua penghuni harus masuk melalui pintu yang terdapat diarah hilir secara berurutan. Setiap kali penghuni rumah itu menginjakkan kakinya pertama kali dirumah, maka para hadirin terutama kaum wanita bersorak-sorak (ralep-alep). Setelah masing-masing penghuni menempati areanya maka dilakukan acara menghidupkan api yang didahului di dapur jabu benana kayu, kemudian diikuti jabu lainnya secara berurut seperti pada waktu memasuki rumah. Tiap-tiap keluarga merebus sebutir telur ayam, kemudian setelah matang dikumpulkan lalu diserahkan kepada dukun untuk ditenungkan maknanya, tentang baik dan buruknya serta nasib penghuni rumah di kemudian hari. Peristiwa ini disebut dengan “ ngoge kundulen naruh manok”, lalu disusul dengan makan bersama. Pada malam harinya diadakan upacara mengusir begu dan roh jahat (Muncang) dari rumah tersebut.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.5. Elemen Bangunan Dan Ruang Rumah Tradisional Karo (Siwaluh Jabu) Elemen bangunan dan ruang pada rumah tradisional Karo yang dipaparkan berikut ini adalah hanya yang mungkin berkaitan erat dengan dapat dilihatnya peranan gender didalamnya, diantaranya adalah seperti dipaparkan di bawah ini.
2.5.1.Dapur Setiap rumah tradisional Karo mempunyai 4 (empat) buah dapur, yaitu dua di bagian hilir dan dua di bagian hulu yang terdapat pada tiap ruang (jabu). Tiap dapur dipergunakan oleh dua keluarga yang saling bersebelahan (Sedapuren). Dapur berbentuk bujur sangkar, sekitar 2x2 meter persegi dilengkapi dengan anak batu (mutu), dan tiga buah tungku (diliken) persis di tengah dapur, yang dijadikan simbol kelompok kekerabatan masyarakat Karo yang disebut pengikat yang tiga (Deliken Sitelu) yaitu, anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena setiap dapur dipergunakan oleh dua keluarga, maka dalam setiap dapur terdapat dua pasang tungku yang seyogianya terdiri dari enam buah batu tungku (diliken). Namun ternyata hanya terdapat lima buah, dengan perhitungan bahwa diliken yang terletak di tengah dianggap berfungsi ganda. Bilangan diliken yang lima, saat ini ini dianggap sebagai perwujudan dari kelompok klan yang terdapat dalam masyarakat merga silima yaitu : Peranginangin, Karo-Karo, Ginting, Tarigan, dan Sembiring.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
2.5.2.Beranda Setiap rumah mempunyai dua buah beranda atau teras (ture) masing-masing terletak di sebelah hilir (ture jahe) dan satu lagi di bagian hulu (ture julu). Beranda ini terbuat dari lantai bambu bulat yang ditopang tiang setinggi ± 1,50 m. Beranda ini berfungsi sebagai tempat para perempuan menganyam (mbayu) bakul dan tikar, disiang hari. Waktu malam hari, berfungsi sebagai tempat berbincang dan memadu kasih antara gadis dan pemuda (nure-nure). Fungsi lainnya adalah tempat memandikan anak-anak, tempat memandikan jenazah bila ada anggota penghuni rumah yang meninggal dunia, tempat buang air kecil bagi anak-anak, dan lain-lain. Terdapat anak tangga yang menghubungkan tanah dengan teras (Ture) yang jumlahnya selalu ganjil (rata-rata lima).
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Gambar 2.6. Beranda Atau Teras (Ture) 2.5.3.Para Para adalah tempat barang berbentuk rak yang ditopang oleh beberapa tiang atau digantung dan diletakkan dibagian yang agak tinggi di dalam rumah, dan tidak jarang para ini dibuat bertingkat-tingkat dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada 4 para yang diletakkan bertingkat tepat di atas dapur yaitu:
• Para Pengeringan (Tuhor) Berada persis di atas dapur masing-masing ruang (jabu) yang terdapat di dalam rumah. Ukuran para tuhor ± 2x2 m, sesuai dengan luas dapur (Tuhor berarti kering/pengeringan, juma tuhor artinya ladang kering). Tiap-tiap sudut para tuhor diberi cuping, sebagai tempat untuk menggantungkan daging, parang, dan lainlain, dan di tengahnya sebagai tempat mengeringkan lada atau menyimpan nyiru, tampah, alat dapur, dan lain-lain. •
Para Penyimpanan Periuk (Kudin) Merupakan bagian dari para pengeringan (tuhor), yang terletak pada bagian atas, berbentuk bak, dengan kedalaman sekitar 30 Cm. Para ini berfungsi untuk tempat menyimpan kuali atau periuk (kudin) dan mengeringkan kemiri, dan lain-lain.
•
Para Sesajen (Ndegeng) Para ini terletak diatas “ Jabu Bata Ruang” yang terbuat dari balok atau papan dengan lebar ± 2 m dan panjang menurut panjang rumah ±
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
6 m. Para ini
berfungsi sebagai tempat memberikan sesaji kepada Dewa (Dibata) dan arwah leluhur. •
Para Layar Para ini terletak di bagian teratas dari ketiga para lainnya, yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan periuk sesembahan (kudin).
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.7. Detail dan Posisi Para pada Rumah Tradisional Karo
2.6. Pola Pembagian Ruang Dalam Rumah Tradisional Karo Pada awalnya dalam rumah tradisional Karo terdapat delapan keluarga (sui waluh jabu), namun akhirnya berubah menjadi empat keluarga, dua belas, dan enam belas keluarga. Tabu bagi masyarakat Karo menempati rumah dengan keluarga ganjil, misalnya tiga, lima, tujuh, sembilan, dan seterusnya. Dengan demikian rumah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
dilengkapi dengan dapur yang digunakan berpasang-pasangan, maka keluarga yang ganjil dianggap tidak mempunyai teman dan sanak keluarga (melumang). Keluarga dalam rumah Siwaluh Jabu membentuk dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat keluarga. Ruang diantara kelompok utama dibatasi oleh gang kecil (lobah) yang berawal mulai dari Ture Jahe ke Ture Julu. Laut, Hilir,Utara Ture Jahe Lepar Bena Kayu Sidapurken Lepar Bena Kayu Sidapurken Ujung Kayu
Bena Kayu Sidapurken Bena Kayu Lobah / Labah
Ujung Kayu
Sidapurken Lepar Ujung Kayu Lepar Ujung Kayu
Ture Julu Gunung, Hulu,Selatan
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.8. Pembagian ruang rumah Karo
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Sumber : Buku Raibnya Para Dewa Gambar 2.9. Suasana di salah satu ruang di dalam rumah tradisional Karo
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB III KAJIAN PUSTAKA
3.1.
Pemahaman Gender Gender tidak sama dengan jenis kelamin karena gender adalah perbedaan
tingkah laku antar jenis kelamin yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Gender secara konseptual berbeda dengan jenis kelamin (sex), dia lebih bermakna sebagai perilaku sosial, sehingga untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan pengertian jenis kelamin yang merupakan pemberian Tuhan (kodrat). Sementara gender sifatnya bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Gender menurut Mansour Fakih (1996), gender: “walaupun merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, tetapi merupakan konstruksi secara sosial maupun kultural”. Identifikasinya berupa maskulinitas dan feminitas, maskulin adalah karakteristik seksual yang bersifat kelaki-lakian, dan feminin adalah karakteristik seksual yang bersifat kewanitaan. Mansour Fakih (1996) memahami gender terutama berkaitan dengan adanya unsur-unsur yang melekat dan sifatnya bertolak belakang (dualisme). Sedangkan Mosse (dalam Chaze, 1996) menyatakan bahwa gender sebenarnya secara biologis sudah melekat ketika manusia dilahirkan, namun berbeda dengan jenis kelamin yang secara fisiologis biologis dapat dikenali, laki-laki dan perempuan. Gender cenderung
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
bersifat abstrak, dia berada pada aras konseptual. Gender menjadi isu sosial karena memang dikonstruksikan oleh masyarakatnya sendiri, baik disengaja atau pun tidak. Menurut Illich (1982) bahwa gender adalah sesuatu yang lain dan lebih dari sekedar jenis kelamin. Ia mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan takkan serupa di dua tempat yang berlainan. Apa yang tak bisa atau yang harus bisa dilakukan seorang lelaki berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Namun selama ini fakta penting itu selalu lolos dari mata para antropolog sosial, dan peristilahan mereka telah menjadi topeng unisex yang menutupi kenyataan. Gender dapat digunakan untuk membeda-bedakan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk-bentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi, yang dihubungkan dengan lelaki, dan perempuan dalam kebudayaan. Asosiasi itu membentuk gender sosial karena ia secara khusus terikat pada tempat dan waktu tertentu. Gender mengisyaratkan keterkaitan saling melengkapi (komplementer) yang sifatnya sukar diterka dan tidak simetris, hanya metafora yang dapat meraihnya. Transisi dari dominasi gender menjadi dominasi jenis kelamin merupakan perubahan kondisi manusia yang tanpa preseden. Pada masyarakat industri saat ini dimana perempuan memiliki kesetaraan ekonomis dengan kaum lelaki, apapun corak ekonomisnya, perempuan selalu memperoleh lebih sedikit dibanding lelaki. Dari beberapa pendapat diatas tentang gender maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah lebih kepada konstruksi sosial yang ditentukan oleh kultur dalam hubungannya dengan pembentukkan ruang pada sebuah rumah.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
3.2.
Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi Dan Tradisional Tradisi mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang
sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali mengalami perubahan, atau dalam konteks arsitektur dapat diartikan sebagai kecendrungan untuk bertahan dalam mempertahankan bentuk-bentuk yang telah desepakati bersama dengan menerima tata-nilai yang telah mentradisi. Di Bali tradisi bukan berarti sesuatu yang mandeg, tetapi dapat berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, asalkan tanpa kehilangan prinsip-prinsip pokok yaitu tujuan hidup dari masyarakatnya. Pamakaian bahan bangunan juga didasari pada penyesuaian terhadap alam disekelilingnya. Sehingga tidak akan terjadi kesulitan mengganti bagian dari bangunan yang telah rusak. Rumah tinggal yang lingkungan desanya banyak tumbuh pohon bambu, akan memanfaatkannya semaksimal mungkin; misalnya penutup atap dari belahan bambu, dinding dari anyaman bambu (gedek) dan sejenisnya. Ada beberapa aturan yang sering kali terasa kurang logis dan ada kesan “disembunyikan” maksud yang sebenarnya, seperti yang terdapat di daerah Banjar Klimantan Selatan, mengenai pantangan untuk sebuah rumah antara lain : •
Jangan membuat pintu yang menyebabkan letak tongkat berada ditengah pintu tersebut. Pintu demikian dianggap sebagai “pintu turunan mayat”, penghuninya akan sering mendapat peristawa kematian keluarga.
•
Jangan menanam pecahan botol ke dalam tanah di bawah kolong rumah, agar rumah dijauhi oleh iblis.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Ada juga semacam tabu yang berlaku di Kampung Naga, Jawa Barat. Warga Naga tidak diperbolehkan membangun rumah dengan atap genting. Atap rumah semata- mata dibuat dari daun nipah yang dicampur dengan ijuk. Meskipun pernah terjadi beberapa keluarga meninggalkan rumahnya karena mereka ingin tinggal di rumah beratap genting, kenyataannya sampai sekarang aturan tradisi nenek moyang tersebut tetap dipertahankan. Memang cukup aneh, karena kampung Naga ini tidak jauh letaknya dari jalan raya Tasikmalaya-Garut. Perubahan disana sini juga ada, rumah-rumah yang dulunya sunyi, kini sudah mulai terdengar suara radio. Makanpun sudah menggunakan piring kaca, yang dulunya memakai piring seng, karena penggunaan barang dari gelas ditabukan, dan diikuti pula dengan penggunaan jendela kaca nako. Gadis-gadisnya sudah bersolek dengan kosmetika kota. Dalam kehidupan masyarakat Naga dikenal adanya pantangan hari dan bulan. Pada hari-hari Selasa, Rabu, dan Sabtu tiap pekan, atau bulan Sapar dan Puasa setiap tahun, warga Naga dilarang mengadakan kegiatan tertentu, seperti dilarang melakukan ziarah dan membicarakan masalah kemasyarakatan dengan sesama maupun dengan orang luar. Sejak seabad yang lalu masyarakat Kudus Kulon yang berada disekitar Menara Kudus memiliki kultur tersendiri. Sosiologi kemasyarakatannya lebih eksklusif, tertutup, ningrat, dan tergolong fanatik dalam hal agama, yang umunya mereka sebagai pedagang kelas menengah ataupun atas. Dalam karya arsitekturnya ditunjukkan dengan dinding pekarangan yang sangat tinggi dan rapat. Rumah-rumah sering merupakan sebuah komplek yang menjadi satu karena ikatan keluarga
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
induknya, dengan semacam regol satu-satunya yang menghubungkan komplek rumah ini dengan jalan. Adat pekawinannyapun masih memandang masalah keturunan. Adat pingitan tertanam kuat, mempertegas adanya pantangan bahwa perjaka tidak boleh berhubungan langsung dengan seorang gadis. Dengan bantuan seorang perantara atau jomblang
(berkembang
menjadi
mak
jomblang),
orang
tua
sigadis
bisa
mempertimbangkan seorang perjaka bisa diterima atau tidak. Lewat jomblang ini calon menantu diharuskan lewat di depan rumah si gadis, lewat pintu sorong yang penuh jeruji berukir, orang tua gadis mengintip dari dalam rumahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa gender perempuan lebih menjadi obyek dan terpinggirkan di dalam hubungan kultural tersebut. Pada masyarakat Seram, terdapat suatu konstruk sosial berkenaan dengan aspek gender, yakni sisi lowau (hilir) rumah merupakan daerah laki-laki, sedang perempuan pada sisi lodaya atau hulu. Sedangkan dalam tatanan rumah Jawa, pendhapa yang terletak pada kebutuhan publik adalah merupakan wilayah “kekuasaan” laki-laki. Perempuan harus berada pada daerah yang privat, dan disebut krobongan yaitu yang terletak di bagian tengah rumah dan “tertutup”. Dari segenap penelusuran tersebut, terminologi gender dalam tulisan ini difokuskan pada karakteristik seksual (maskulin, feminin) yang melekat pada fenomena arsitektur, dan bersinggungan dengan perilaku sosial. Arsitektur tradisi cukup teruji dan mapan, karena sudah berlangsung sekian lamanya tanpa mengalami perubahan yang berarti. ”Penyesuaian diri” yang akan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
ditempuh seandainya mengalami hal-hal baru, biasanya menyangkut hal-hal yang bersifat lebih praktis. Dari keadaan ini pulalah seringkali orang meninggalkan pemakaian bentuk-bentuk tradisi pada rumahnya, dan menggunakan bentuk baru yang dijumpai di luar daerahnya yang dipandang lebih ekonomis atau lebih modern. Di Nias, rumah-rumah yang sering merasakan pengaruh kuatnya angin, lebih mempercepat proses rusaknya penutup atap dari rumpia, lalu mengadakan tindakan pencegahan dengan mengurangi ketinggian atap rumahnya. Yang terkena angin dari arah belakang lebih mudah menanggulanginya, penutup atap bagian belakang diganti dengan seng gelombang yang lebih awet, yang tidak akan tampak dari arah depan. Apalagi perumahan di desa-desa adat Nias selalu memanjang rapat dan saling berhadapan membentuk pelataran panjang sebagai tempat berkomunikasinya warga desa. Karena mahalnya pemeliharaan, pembuatan, dan dipandang kurang praktis, banyak bangunan tradisional di Toraja yang ditinggalkan pemiliknya. Dibuat rumah baru menurut adat Bugis yang lebih memungkinkan cahaya matahari masuk ke rumah, ruang dalam cukup luas, dan biasanya diolah lebih modern dengan menambahkan jendela-jendela kaca. Rumah tradisional hanya digunakan pada waktuwaktu tertentu saat dilakukan upacara adat yang diikuti oleh seluruh sanak keluarga, seperti pada saat terjadi upacara kematian. Pembangunan rumah tradisional lengkap dengan lumbungnya hanya sebagai unsur prestise saja. Bangunan tradisional adalah bangunan-bangunan (baik rumah ataupun bangunan lainnya) yang telah ada sejak lama, sejak dari masa nenek moyang kita,
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
dipelihara secara turun temurun baik bentuk maupun kehadirannya, tanpa adanya pengaruh-pengaruh luar yang berarti, yang dirancang secara adat, mulai dari pembentukan tapak (site), peletakkan batu pertama ataupun pemancangan tiang pertama, penuh dengan mentera dan upacara, sampai kepada acara masuk rumah. Menurut Zein M. Wiryoprawiro (dalam Josef, 1987), arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai arsitektur kuno. Kata “Tradisi” berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau dari kata “traditum” yang berarti mewariskan. Jadi tradisi dapat diartikan sebagai suatu proses penyerahan atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan zaman, maka sudah barang tentu arsitektur tradisional dapat mengalami perubahan. Namun pola dan bentuknya akan tidak begitu jauh dari pola dan bentuk yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Hal itu memang dapat dimengerti sebab “tradisi” itu dapat diartikan sebagai suatu “proses” tetapi juga dapat diartikan sebagai suatu “produk” atau hasil akhir. Tradisi yang masih terus hidup, meski ada perubahan, dapat diartikan sebagai proses. Sebagai contoh, arsitektur di Madura, dapat dikatakan sebagai proses, karena tampak masih hidup, meskipun juga mengalami perubahan. Sebaliknya tradisi yang berhenti, yang tidak dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya, dapat diartikan sebagai produk. Contohnya arsitektur kraton Kesultanan Yogyakarta merupakan tradisi yang sudah berhenti.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Sebagai proses arsitektur ini masih terus hidup dan menyesuaikan diri atau adaptif terhadap perubahan zaman. Sedangkan sebagai produk arsitektur ini sudah berhenti, sebagai “benda antik”, atau merupakan “seni klasik”, yang sudah tidak diproduksi lagi. Sehingga ia merupakan warisan budaya yang layak sebagai benda museum yang patut dihargai dan dilestarikan. Josef Prijotomo (1987) dalam memahami arsitektur tradisional lebih menekankan pada kerangka waktu. Menurut Prijotomo, arsitektur tradisional sebenarnya sudah memiliki pengertian yang bersumber dari antropologi/etnologi yang sangat menekankan adat dan budaya. Jadi yang dimaksud dengan arsitektur tradisi dan tradisional didalam pembahasan ini adalah:
yang tradisi adalah yang masih mengalami perubahan
dengan mengadaptasikan diri, sedangkan yang tradisional adalah yang sudah berhenti atau yang sudah tidak berkembang. Di dalam kajian ini gender akan diuraikan dalam konteks tradisi dan tradisional dengan mengambil kasus arsitektur Karo seperti yang telah disebutkan dalam batasan kajian pada bab satu.
3.3.
Pemahaman Arsitektur Nusantara Terminologi ”Nusantara”. menurut Iwan Sudrajat pada tulisannya
”Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara : Mengubah Angan-angan menjadi Kenyataan”
(Aly,1999), ditemukan dalam inskripsi tahun 1305 dan manuskrip
berbahasa Jawa dari abad ke 14 dan 15, termasuk dalam Pararaton, dimana Patih Gajahmada mengucapkan sumpah Palapa. Makna awal istilah tersebut sulit
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
dipastikan, tetapi penduduk Indonesia kemudian lebih mengartikan Nusantara sebagai ”archipelago” (nusa-antara) atau kepulauan Indonesia. Pengertian tersebut kemudian diperkuat oleh Suwardi Suryadiningrat, Ki Hajar Dewantara, dan Soekarno. Jadi arsitektur Nusantara adalah suatu kata yang mewakili arsitektur di wilayah yang mencakup seluruh Asia Tenggara bahkan Asia Timur termasuk Indonesia di dalamnya.
3.4.
Pengertian Tentang Rumah Menurut Projotomo (1992) bahwa rumah adalah hasil ulah tangan dan akal
manusia. Dia dirakit dan disusun dengan segenap kesadaran dan keyakinan bahwa di rumah ini (sebagian dari) hidup dan kehidupan manusia penghuni digantungkan padanya. Bila rumah ambruk penghuni bisa binasa, bila rumah terbakar atau tiris penghuninya bisa sengsara. Tidak sekedar itu saja ketergantungan hidup manusia pada rumah, diantaranya sebagai lingkungan hidup buatan, dimana kehidupan yang paling pribadi diselenggarakan, khususnya melangsungkan kegiatan-kegiatan yang menjadi kodrat manusia, seperti melangsungkan kontak dengan Penciptanya, menghormati leluhurnya, dan mengusahakan keturunan. Dalam rumah, keseluruhan bidang dinding, lantai, dan atap memisahkan ruangan di dalam rumah dengan lingkungan alamiahnya. Selanjutnya Prijotomo (1992), bumi adalah penggal alam semesta yang bukan ciptaan manusia, dia sudah ada sejak semula. Di sinilah manusia untuk seluruh bagian
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
hidup dan kehidupannya melangsungkan kontak dengan segenap isi alam itu sendiri, mulai dari sengatan matahari hingga memelihara hewan piaraan, mulai menjemur padi dan melepas anak-anak untuk bermain, hingga bercanda dan berlingkungan dengan keluarga-keluarga lain. Di luar rumah segala jenis kegiatan adalah penyelenggaraan kontak dan karena itu bersifat publik (berlawanan dengan rumah yang bersifat pribadi). Di sini pula segenap dinamika yang menandai keberadaan (eksistensi) manusia mendapatkan tempatnya. Di luar rumah pula penilaian terhadap kemampuan berkontak sosial dilakukan oleh lingkungan itu sendiri. Singkatnya, di luar rumah itulah terselenggra segenap hidup dan kehidupan yang kontras dengan yang ada di dalam rumah. Rumah harus dihubungkan dengan dunia luarnya, alam lingkungan luar mutlak mempunyai ikatan dengan lingkungan di dalam rumah. Dengan hadirnya tangga di rumah panggung, adalah wujud dari konsep penyatuan dalam kehidupan, yang merupakan unsur yang menghubungkan, melengkapkan, mengaitkan, dan menyempurnakan kesatuan dan penyatuan dari rumah dengan alam semesta, dan dengan lingkungan totalnya. Menurut Norman Crowe (1997), dalam mengenali rumah yang intergral dengan konsep tempat tinggal, maka pengertian yang lebih luas tentang tempat dimana kita tinggal selalu meletakkan rumah itu pada pusatnya. Suatu definisi modern tentang “rumah” adalah suatu “ tempat tinggal pribadi”. Dalam suatu pengertian rumah menjadi perwujudan pusat tempat dimana kita tinggal, plot tanah/ground kita, ladang kita, daerah kita, atau dunia kita, rumah sering dilihat
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
sebagai pusat dari domain kita tak perduli bagaimanapun besarnya domain itu. Tepat ketika rumah itu ada pada bagian tengah dari suatu domain yang lebih besar, pada bagian tengah rumah itu terletak perapian. Perapian itu telah secara tradisional menjadi fokus simbolis dan fokus nyata kehidupan orang-orang yang tinggal di sana. Dan itu juga tercermin dalam bahasa : misalnya, kata bahasa laten untuk perapian adalah “fokus”. Gaston Bachelard dalam buku ”Nature and The Idea of a Man-Made World” karangan Norman Crowe, menggambarkan atau merefleksikan suatu fakta umum bahwa rumah dalam pengalaman kita mempengaruhi cara kita memahami seluruh dunia, “karena rumah kita adalah sudut dunia kita”. Sebagaimana yang telah sering dikatakan, rumah itu adalah alam atau jagad pertama kita. Sebagai contoh, dalam wacana kebudayaan Jawa kita mengenal pemahaman dualitas (dualisme), adanya dua unsur yang dikotomis, oleh karena itu tatanan spasial rumah Jawa juga direkayasa menjadi tatanan yang mendua. Denah pada rumah Jawa memperlihatkan pembagian ruang-ruangnya terbagi menjadi dua kanan-kiri yang sama, senthong kiwo- senthong tengen, gandhok kiwo- gandhok tengen, dan seterusnya. Aspek gender pun dalam pandangan Jawa dikategorikan ke dalam sistem simbol dualisme, yang merupakan fenomena yang wajar jika dalam alam terdapat dua kutub yang bertolak belakang, seperti lingga dan yoni, bersifat feminin dan maskulin. Sifat maskulin-feminin itu tidak saja mengimbas pada dimensi spasial saja tapi juga pada tataran yang lebih khusus, seperti pusaka, yang merupakan aktualisasi dari gender sebab hanya diturunkan kepada anak laki-laki. Dalam keadaan tertentu baru diberikan kepada anak perempuan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Sejalan dengan hal diatas maka penelitian ini dilaksanakan pada lingkup bangunan rumah adat dalam wilayah Arsitektur Nusantara. Alasan pelingkupan adalah mengacu pada pemahaman bahwa kehidupan dan rona hunian keluarga pada rumah adat merupakan tipologi yang dekat dengan konstruk sosial keluarga yang menempati bangunan tersebut.
3.5.
Peranan Gender Dalam Arsitektur Barat Sekitar tahun 1980-an, kaum perempuan dan kaum laki-laki diseluruh negara-
bagian Amerika memulai percobaan dengan cara melakukan perubahan melalui keadaan dimana dunia buatan manusia merupakan dunia yang dibuat oleh kaum lakilaki
dan kaum perempuan. Untuk melakukannya, beberapa perancang berpikir
bahwa yang mereka butuhkan untuk menciptakan suatu tempat dimasa mendatang yang melibatkan suatu pertentangan perbedaan tradisi antara di dalam dan di luar bangunan, antara yang direncanakan dan yang dialami, antara tiruan dan natural, dan antara yang bermanfaat dan yang menyenangkan, yang membuat budaya dari kaum laki-laki dan kaum perempuan menjadi lebih nyata dari pengalaman hidupnya. Pada sisi lain para perancang banyak memandang dari sudut pragmatis, dimana mereka mencoba menemukan alternatif lain dari jenis tempat yang justru dapat membuat kaum wanita merasa tidak nyaman berada
pada tempat melakukan tugas–tugas
tradisional, seperti mengasuh anak, memasak, dan bersih–bersih. Ada juga yang memandang secara filosofi, menspekulasi bangunan dengan arsitektur yang terlalu sulit sehingga pada dasarnya akan menimbulkan masalah. Faktanya kita membangun
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
kebudayaan diluar dari lingkaran kebudayaan yang kita pahami, atau kita mengasingkan diri dari dunia tempat kita bermukim selama ini. Seluruh upaya ini tetap bersifat mencoba, dimana hal ini merupakan awal untuk menggagasi cara-cara lain dimana kita dapat mendiami dunia ini. Ini merupakan keinginan para perancang dari satu kelompok yang membedakannya dengan yang lain. Perempuan lebih keluar dari aturan tradisi pada tempat yang menjadi panutan disana, terlihat dari beberapa aspek sosial, apa yang para laki-laki dan perempuan lakukan dan bagaimana mereka berkelakuan, yang menyebabkan ruang-ruang yang mereka buat untuk diri mereka atau bagaimana mereka menggunakan ruang–ruang itu, menjadi sangat rumit dan sulit untuk dijelaskan. Para perempuan banyak menumbuhkan kekuatan politik dan ekonomi yang dapat melemahkan kebiasaan khusus para laki-laki, namun tuntutan untuk mengakhiri kebiasaan khusus para lakilaki tersebut belum dapat terwujud, malah sebaliknya hingga sekarang masih tetap berjalan sesuai dengan kaidahnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa hakikat perempuan untuk mematuhi laki-laki sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga masih dipegang sebagai suatu ketentuan dalam hidup berumah tangga. Perubahan yang diinginkan tetap harus dapat menyesuaikan dengan hakekat yang telah berakar pada kehidupan tradis kita.. Bagian pragmatik yang harus diperhatikan dari upaya ini adalah bagaimana awalnya terbentuk pemahaman manusia terhadap pengaruh gender didalam terbentuknya suatu ruang dalam arsitektur. Sebagai contoh saat ini tidak ada alasan bahwa kota masih merupakan tempat yang berbahaya bagi
kaum perempuan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pemikiran bahwa tempat umum di kota adalah tempat berbahaya bagi kaum perempuan masih merupkan suatu pemahaman pada peradaban awal, dimana perempuan diharuskan berada di dalam rumah, sedangkan para laki-laki yang mengatur di luar. Kondisi ini masih terjadi di negara-negara Timur Tengah dan bahkan pada masyarakat pedesaan di Eropa, dimana kaum perempuan dinyatakan berbahaya berada dijalan. Hal ini merupakan masalah hilangnya proporsi, karena penjagaan jalanan dengan lebih ketat hanya menciptakan suasana ketidak nyamanan bahkan kekerasan. Seperti biasanya, perempuan atau kaum minoritas merupakan kelompok yang sangat lemah dalam masyarakat. Kaum perempuan merasa sangat menderita akibat budaya ketakutan ini, dimana mereka tidak dapat banyak melakukan apa-apa untuk melindungi diri mereka sendiri. Yang biasa mereka lakukan adalah mengasingkan diri, baik di dalam rumah atau di perdesaan. Sub urbanisasi dari kebudayaan menciptakan jarak yang jauh, bahkan menjadi tempat yang sangat tertutup rapat dan merupakan tempat yang terisolasi untuk belanja, bekerja, ataupun belajar,
dan
mereka hanya bisa menerima keadan ini. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu solusinya adalah dengan menciptakan bentuk–bentuk baru sebagai pengganti dari kehidupan yang umum. Disamping rumah yang terisolasi dan jalanan yang kosong, kita butuh tempat hunian yang fleksibel, dimana kelompok kecil masyarakat dapat berbagi kepemilikan ruang dan tugas.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dalam buku Building Sex (Betsky, 1995), Dolores Hayden seorang guru sejarah arsitek di Yale, telah mengusulkan cara pemecahan secara menyeluruh berdasarkan proposal dalam skala kecil. Berdasarkan proposal ini pada tahun 1980 dan 1984, kelompok kecil kaum perempuan bisa berbagi banyak hal tentang kehidupan di pinggiran kota dan pedesaan, dengan menciptakan kehidupan komunal tertentu. Hyden dan partnernya mengusulkan bahwa kelanjutan kehidupan modern yang ideal dari ruang hidup yang fleksibel adalah bagaimana cara mereka mempertimbangkan alternatif lain bagi keluarga inti, dan mempertimbangkan bagaimana
mereka
bisa
memperluas
daerah
untuk
menambah
hubungan
kekeluargaan atau kelompok persahabatan yang berbagi kepemilikan, berbagi tempat, saling mengenal, atau bisa juga terdiri dari individu yang berbagi dalam mengasuh anak dan tugas yang lain. Hubungan antara rumah masyarakat pinggiran kota dengan rumah masyarakat tradisional (yang tinggal di pedalaman) pada budaya yang pertama, atau hubungan antara rumah keluarga yang berdiri sendiri dan rumah keluarga yang tinggal di apartemen, ataupun hubungan antara individu dengan ruang yang kolektif, kesemuanya dapat bekerja sama hanya jika tidak menutup diri dari dunia luar, mengulangi pola teladan secara fisik dan bekerja sama berdasarkan pada pengalaman. Dengan menciptakan suatu dunia yang sempurna di bagian dalam, mereka menyatakan kembali bahwa bagian eksterior ruang merupakan tempat bagi orang asing, dimana kita harus pergi dan harus memaksakan diri kita untuk bertahan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pada dasarnya banyak negara–negara di Eropa yang telah memikirkan kesuksesan dengan cara menciptakan lingkungan baik bangunan maupun perkotaan dimana semua kelompok dan kedua gender dapat hidup bersama. Sebagai contoh dalam kehidupan perkotaan di Belanda, bahwa presentase anggaran biaya pemerintahan mereka yang cukup besar disediakan untuk membangun perumahan yang ditujukan untuk menciptakan sebuah ruang tinggal bagi ibu tunggal (janda), dan juga membangun ruang tinggal kaum perempuan atau kaum laki-laki dapat hidup bersama, atau bagi kelompok nontradisi lainnya. Dengan rumah baru, mereka menjadi kelompok ekonomi menengah dan menciptakan perkembangan daerah pinggiran kota yang komunal, terbuka, dan adanya ruang yang mudah dicapai sebagai bagian yang integral dari semua proses pembuatan ruang bagi manusia untuk hidup. Ada tradisi lama di Belanda untuk membuat sesuatu dengan ruang terbatas yang dimiliki seseorang dan melihat hasil kerjanya. Pada saat sekarang tradisi seperti ini digunakan untuk menciptakan lingkungan bertetangga, dimana para arsitek melakukan percobaan dengan semua aspek bentukan rumah-rumah sampai ke tikungan jalan dan berbagai macam lingkungan berbelanja untuk menciptakan dunia dimana kaum laki-laki dan kaum perempuan dapat saling melihat, mengetahui, dan membuatnya nyaman. Pada saat yang sama Frank Gehry, juga tertarik untuk mempelajari bagaimana cara membangun dan kemudian menghuninya. Desain Gehry untuk rumahnya bukan berdasarkan bentuk pavilion domestik, bukan pula merupakan perluasan dari aturan tradisi sebuah rumah, tetapi berupa ruang tertutup yang mampu meredam bunyi pada
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
saat makan, memasak, dan bermain, dalam bentuk–bentuk geometris yang sangat sulit didefenisikan sebagai ruang yang terpisah. Gehry mendesain rumahnya sendiri menjadi sesuatu yang extreme namun logis dengan membayangkan dunia dimana rumah hanya berupa scaffolding, terbuat dari elemen–elemen yang padat, menjadi tempat dimana kita bisa melakukan banyak aktifitas sehari–hari. Hiasan dinding dari konstruksi ini bisa menjadi sebuah jaringan atau pergeseran bidang–bidang yang menyatakan bahwa ini merupakan buatan kita sendiri. Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa dalam arsitekitur Barat kontemporer sangat memberi kebebasan pada kita untuk membangun aturan di dunia kita sendiri. Meskipun arsitektur kaum laki-laki menciptakan keabstrakan dan hunian kaum perempuan menciptakan tempat dengan aturan–aturan barunya sendiri, namun masih memiliki rangkaian kesatuan dari konstruksi bangunan, pengalamanpengalaman dari percobaan-percobaan dalam arsitektur.
3.6.Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Gender selalu bersifat kedaerahan, namun didalam perkembangan saat ini gender mampu menyesuaikan terhadap perkembangan jaman. Gender dapat diibaratkan sebagai suatu dialek bahasa dalam kehidupan, dimana setiap orang yang berada pada suatu tempat akan mengalami suatu penyesuaian terhadap dialek suatu bahasa dimana orang tersebut berpijak. Logat atau dialek orangtuanya akan menjadi suatu dialek substandar bagi bahasa ibu yang diajarkan kepada anaknya, hal ini
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
menyebabkan bahasa ibu telah mengalami suatu perubahan akibat pengaruh yang dialami oleh seorang anak. Demikian juga diferensiasi antara gender dengan jenis kelamin sangat perlu dijelaskan agar pemahaman gender tidak mengarah kepada pemahaman jenis kelamin. Bila jenis kelamin adalah suatu permasalahan
yang dapat dibicarakan
dalam bahasa ilmu pengetahuan yang maknanya kurang lebih tunggal, namun gender menyiratkan keterkaitan saling melengkapi (komplementer) yang sifatnya sukar diterka dan tidak simetris. Gender mampu membeda-bedakan tentang tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk, gerak-gerik, dan persepsi yang dihubungkan dengan lelaki dan perempuan dalam rona kebudayaan. Sebagaimana telah dipaparkan bahwa salah satu peranan gender dalam kehidupan adalah bagaimana gender mampu melakukan pembedaan terhadap tempat. Tempat dalam arsitektur selalu identik dengan ruang, gabungan dari beberapa komposisi ruang akan membentuk suatu bangunan. Dalam penelitian ini bangunan yang dimaksudkan adalah rumah tinggal. Gender menyatu dalam tubuh manusia dan mampu mempengaruhi pembetukkan sebuah ruang. Tubuh yang bergerak dan memiliki ritme dalam berperilaku di ruang, mampu mempengaruhi dalam pembentukkan suatu bangunan rumah yang bukan sekedar tenda atau bangunan batu bata. Membangun rumah berarti berdiam di wilayah kehidupan lain, yakni suatu kehidupan yang tidak berada di alam bebas namun berada di dalam ruang yang
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
terbatas oleh dinding dan di dalam ruang tersebut berlangsung kegiatan yang didasarkan pada jenis dan karakter ruang. Laki-laki maupun perempuan hidup di dalam ruang dari sebuah rumah selalu berkaitan dengan gerak-gerik yang dilakukannya di dalam rumah. Namun bagi perempuan yang dapat melahirkan rangkaian kehidupan tanpa jeda, secara fenomenologis kaitannya dengan ruang punya arti khusus. Budaya bisa saja matrikal atau patrikal, kekuasaan bisa lebih besar di tangan perempuan atau di tangan lakilaki, tapi perempuan yang lebih memaknai hidup dalam sebuah rumah. Pada suatu kebudayaan dapat saja seorang lelaki membangun gedung, memancangkan suatu batas tempat, namun di kebudayaan lain hal tersebut dapat saja dilakukan oleh kaum perempuan. Dalam suatu ruang dapat saja batas yang di buat oleh perempuan tidak dapat dilanggar oleh laki-laki, namun ruang laki-laki walaupun secara nyata sudah dibatasi, masih dapat dilanggar oleh kaum perempuan. Interpretasi ini tidak menyebabkan hubungan antara gender perempuan dan gender laki-laki mengalami suatu hubungan yang terbatas, melainkan semakin menempatkan masing-masing gender untuk dapat memahami fungsinya masing-masing. Artinya dalam suatu bangunan rumah, gender perempuan dan laki-laki seolah-olah menempati dua “kotak” yang berbeda, namun sebenarnya mereka tetap mempunyai suatu ikatan batin terhadap nilai-nilai tradisi yang diperoleh dari lingkungan dimana mereka bermukim. Dalam mempersoalkan gender dari paparan diatas, terkesan bahwa di dalam dunia konseptualnya tidak tersimpan suatu visi yang dominan. Dalam konteks kehidupannya kontemporer, aspek gender bukan merupakan “barang” yang secara
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
eksplisit harus ditempatkan khusus, namun tetap akan menjadi suatu faktor di dalam membentuk suatu ruang dan bangunan, hal ini menandakan bahwa pada akhir-akhir ini gender sudah mulai kembali menjadi suatu pertimbangan di dalam membentuk suatu ruang dan bangunan.
3.7. Pembacaan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara Suatu pendapat yang umum dalam kehidupan kontemporer dewasa ini, yaitu perempuan masih “terkurung” di dalam bangunan rumah tinggal dalam Arsitektur Nusantara. Namun kata “terkurung” diatas bermakna bahwa perempuan menjadi orang yang memiliki peranan sentral dalam kehidupan rumah tangga. Bangunan-bangunan dalam tataran arsitektur Nusantara tertata dari elemenelemen yang menyusun bangunan tersebut, dimana elemen-elemen tersebut dapat membuat suatu makna terhadap bangunan tertentu. Dengan ciri seperti ini maka sebuah bangunan dapat
pula dianggap sebagai tatanan sebuah kalimat, yaitu
bermakna dan bisa dibaca. Ada dua hal yang berkait dari kalimat di atas yaitu bangunan dan rumah tinggal. Dengan demikian suatu bangunan akan dikenal melalui sikap dari pembaca bangunan. Menurut Struart Hall (Chandler, 2002) pembaca bangunan mempunyai 3 sikap dalam membaca sebuah bangunan: •
Dominant reading (or 'hegemonic'),
dimana pembaca bangunan akan
memusatkan perhatian sepenuhnya dengan menginterpretasikan bangunan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki, tanpa menghiraukan pesan atau berita yang diupayakan pembuat bangunan, juga tanpa muatan tertentu yang dikaitkan dengan kode yang dominan dari bangunan. Suatu bangunan yang dipahami dan disetujui sebagai sesuatu yang alami dan transparan. •
Negotiated reading, dalam hal ini ada semacam negosiasi dalam pembacaan bangunan, kadang setuju, kadang kontra, sehingga dalam cara membaca bangunan semacam ini pemikiran kontradiksi akan bisa muncul bila dikaitkan dengan kode yang dominan dari bangunan.
•
Oppositional reading ('counter-hegemonic'), dimana pembaca bangunan memang dari awal menempatkan dirinya berseberangan dari
kode yang
dominan dari bangunan. Dari ketiga sikap membaca bangunan yang mungkin dilakukan oleh pembaca ini, maka didalam pembahasan konteks Dunia Asitektur Nusantara, akan dihadapkan pada tiga hal yang penting, yaitu: pembuat bangunan, 'berita' yang termuat pada bangunan, dan pembaca bangunan yang dilakukan melalui kode. Apabila mengikuti pemikiran tentang kode oleh
Rolland Champagne
(Chandler, 2002) menyatakan bahwa kode adalah sebuah jaringan dari ide, image dan stilistik yang merupakan suatu prinsip yang kohesif.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
3.7.1. Ide Sejalan dengan pemahaman kode menurut Rolland Champagne, Waterson (1997) mengemukakan bahwa ide-ide membuat rumah tinggal yang dimiliki oleh Kalang pada masyarakat tradisional selalu berpatokan dengan mengkaitkan keberadaan Tuhan. Kesucian, pemindahan roh-roh dari batang-batang pohon di hutan yang akan menjadi penjaga kehidupan masyarakat tersebut di dunia, tetapi pada kenyatannya “Arsitektur Masyarakat” ini yang didominasi rumah tinggal akan hidup apabila laki-laki telah menempatkan perempuan sebagai istrinya ke dalam rumah tinggal tadi. Karena pada dasarnya laki-laki hanya melakukan kegiatan membangun rumah tinggal saja, selebihnya untuk mendapat pengakuan sebagai sebuah karya arsitektur masih bergantung kepada keberadaan perempuan sebagai jiwa dari bangunan yang telah terbangun tadi, baru proses berarsitektur bisa dikatakan lengkap. Maka hal ini bisa dimengerti bahwa apabila perempuan meninggalkan rumah, maka rumah akan kelihatan atau dianggap mati. Dengan demikian, munculnya rumah tinggal sebagai sebuah tanda keberadaan masyarakat itu akan muncul melalui berkaitnya ketiga elemen penting; Tuhan, perempuan, dan rumah tinggal. Perempuan yang tidak ternoda oleh apapun dan siapapun akan memberikan keselamatan bagi seluruh anggota keluarga yang menempati sebuah rumah tinggal. Akan tetapi apapun ide atau latar belakangnya, bagi kacamata pemikiran modern akan tetap menjadi pertanyaan : Apakah sebenarnya ide dinding rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara merupakan sebuah pelindung ataukah kurungan bagi perempuan yang menempatinya?
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
3.7.2. Image Suatu tatanan ruang dalam yang mempunyai image perempuan, biasanya akan selalu diperkuat oleh apa saja yang menunjang terbangunnya persepsi adanya perempuan dalam tatanan ruang dalam. Sekilas secara fisik tatanan pada bangunan rumah arsitektur Nusantara tidak terlihat, kecuali jika perempuan tadi bekerja. Hal ini bisa ditemui dengan adanya peralatan dapur atau juga peralatan-peralatan mengasuh anak.Yang terlihat dengan jelas ialah ruang dimana perempuan ini bekerja yang terletak jauh dari pintu masuk atau masih harus melewati ruang-ruang lain sebagai ruang yang melapisi ruang bekerja tadi. Dari tatanan semacam ini maka terasa adanya semacam image bahwa ada semacam ruang yang tidak bisa dicapai dengan mudah, yaitu ruang dimana perempuan itu bekerja melakukan tugas sehariharinya. Yang sering muncul adalah kesan tabu untuk mendekati ruang dimana perempuan ini bekerja. Dengan kata lain justru ruang dalam akan mempunyai semacam ciri yaitu melalui kesan 'tabu' tadi yang akan memunculkan 'image' perempuan. Selain itu dari sisi luar bangunan , ditandai pencapaian pintu masuk rumah yang selalu didahuli oleh semacam ruang transisi, yang memberi isyarat sirkulsi pencapaian yang tidak langsung. Kalaupun ada, maka pintu masuk semacam ini selalu saja dibuat tidak jelas atau malah tersembunyi. hal ini justru memperkuat keberadaan dinding yang berkesan padat dan mengurung. Berbeda dengan rumah tinggal di Barat, dapur modern tidak harus dirancang 'tersembunyi’ sedemikian rupa, setiap orang bisa melihat atau mecapainya dengan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
mudah. Terasa seakan melihat atau mencapai dimana perempuan tersebut bekerja dan bukan sesuatu yang tabu untuk didekati. Image perempuan masih bisa dirasakan dengan adanya hiasan yang membuat konotasi adanya perempuan (perempuan bisa indentik dengan berhias). Dengan demikian, image yang melekat pada rumah tinggal Arsitektur Nusantara adalah sebuah kurungan bagi perempuan yang menempatinya.
3.7.3. Stilistik Dengan mengumpamakan suatu rumah tinggal adalah sebuah tatanan seperti pada sebuah kalimat dalam ilmu bahasa, maka dengan beragamnya budaya di Nusantara ini, peranan stilistik menjadi sangat penting, yuatu gaya pengungkapan dalam berbahasa yang
hanya bisa dibaca atau dipahami oleh lingkungan yang
menggunakan bahasa tersebut. Dengan kenyataan ini, stilistik yang digunakan oleh masyarakat Nusantara berarti tidak harus sama dengan pembaca makna bangunan rumah tinggal tadi. Sehingga dengan image dan ide sebuah rumah tinggal dalam Arsitektur Nusantara berbeda dengan stilistik yang digunakan dalam rumah tinggal Arsitektur kontemporer, seperti jendela yang cukup lebar sehingga membuat tatanan ruang dalam cukup mendapat sinar matahari atau udara yang segar. Hiasan yang memberikan tanda-tanda wanita ( tirai, pot bunga ) sangat jelas terbaca dari sisi luar bangunan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Berbeda sekali dengan yang ada pada rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara, tanda yang menunjukkan adanya wanita dalam rumah tinggal dari sisi luar hampir tidak terlihat samasekali. Sehingga ada anggapan bahwa laki-laki sebagai pembuat
bangunan
rumah
tinggal
dalam
Arsitektur
Nusantara
memang
menggunakan stilistik “mengurung” perempuan yang menempatinya. Keberadaan pembatas ruang seperti dinding, dan ruang gerak dari perempuan di dalam sebuah rumah tinggal arsitektur Nusantara dapat digambarkan seperti di bawah ini:
a.
b.
Sumber : Santoso (2002) Gambar 3.1 : Dinding dan ruang gerak perempuan dalam rumah tinggal arsitektur Nusantara menurut pemikiran Barat •
Gambar a Dalam arsitektur tradisional, suatu dinding yang berkesan padat dan tertutup,
akan selalu memberikan kesan terlepasnya siapa saja yang berada dalam dinding pelingkup tadi dari dunia luar. Batas dari semua gerak dimunculkan melalui keberdaaan dinding pelingkup tersebut, yang berarti siapa saja yang berada dalam
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
lingkup di dalam tadi akan merasa tidak bebas. Gerakan manusia dianggap sebagai simbol keberadaan manusia itu sendiri, apabila lingkup gerak terbatas maka dinyatakan sebagai terkurung, sebaliknya apabila batasan tadi masih menjamin kebebasan bergerak, dinyatkan sebagai “baik, bebas, atau tidak mengurung''. Seperti pada pemikiran Barat tentang terkurungnya kaum wanita dalam rumah tinggalnya, di sudut yang gelap dan mati (Waterson, 1990), yang dari pernyataan ini dapat dipahami sebagai tertekannya kaum wanita oleh rancangan arsitektur yang dibuat oleh laki-laki dalam arsitektur Nusantara.
•
Gambar b. Suatu bentuk ideal bagi perempuan untuk berkegiatan di rumah menurut
pemikiran Barat. Perempuan dengan ruang yang mempunyai batas akan tetapi tidak membatasi. Sehingga disamping kegiatannya berumah-tangga, bukan berarti terlepas dari perkembangan dunia luar rumah. Termasuk bekerja seperti laki-laki. Wanita memang masih merupakan sentral dari sebuah rumah tangga, akan tetapi bukan sentral yang mutlak, karena wanita sendiri boleh pada waktu tertentu berkegiatan di luar rumah (misalnya bekerja). Dengan demikian sebagai kode tentang petanda ini adalah dinding rumah tinggal yang tidak harus masif, misalnya berjendela yang cukup lebar, penggunaan bahan tembus pandang, dan sebagainya. Dalam salah satu dasar pemikiran kontemporer, bahwa kehidupan ini adalah sebuah mesin. Dengan demikian maka tidaklah mengherankan kalau Le Corbusier
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
menyatakan bahwa bangunan dalam arsitektur adalah sebuah mesin untuk berkehidupan. Dengan demikian manusia tidak lagi perlu dibedakan antara laki-laki dan perempuan didalam beraktifitas dalam kehidupan, yang membedakan adalah jenis kelamin saja, atau dengan kata lain perempuan memiliki organ untuk melahirkan manusia sedangkan laki-laki tidak. Karena kedua jenis kelamin ini masing-masing mempunyai kemampuan untuk berfungsi dalam kehidupannya yang ”sama” baik, maka laki-laki hampir identik dengan perempuan. Dengan cara berfikir seperti ini, maka menurut pemikiran kontemporer keseimbangan antara laki-laki dan perempuan akan tercapai dalam hidup bersama. Demikian pula dalam membangun sebuah rumah tangga, bagi pemikiran Barat ”bahu-membahu” bukanlah berarti adanya pengertian depan dan belakang. Kalaupun ada pembagian tugas, hanyalah merupakan pembagian tugas secara fungsional saja. Laki-laki akan memperlihatkan jati dirinya hanya melalui keberhasilan yang dicapai dalam menjalankan fungsinya dalam kehidupan, dan tidak bisa dihindari bahwa faham materialisme akan menguasai dalam pemikiran semacam ini. Sedang dalam kehidupan masyarakat Nusantara pemahaman tersebut dapat berlaku sebaliknya. Kehidupan dalam masyarakat Nusantara adalah kehidupan berke-Tuhanan. Wanita mempunyai tugas yang sangat mulia, yaitu melahirkan dan memelihara keturunan atau generasi muda kelompok kehidupan mereka. Laki-laki dan perempuan jelas tidak sama dari sisi manapun pemikiran itu. Dengan ”meminta” seorang perempuan dari orang tuanya, merupakan awal seorang laki-laki memperlihatkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
upaya memunculkan jati dirinya sebagai laki-laki. Melalui prosedur pernikahan yang cukup rumit, laki-laki harus ”merendahkan” dirinya dihadapan orang-tua atau marga perempuan, hanya untuk bisa diakui sebagai seorang laki-laki. Pengertian laki-laki inipun akan membedakan dirinya dari pemuda atau anak laki-laki, yang dalam masyarakat masih belum diakui sebagai laki-laki secara ”penuh”. Dengan demikian maka perempuan ditempatkan pada tempat yang sangat penting dalam diri laki-laki masyarakat Nusantara, atau harus ”terlindungi” dengan sangat baik. Karena kalau perempuannya ternoda, maka ternoda pula jati diri laki-laki. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahwa laki-laki pada masyarakat Nusantara
”melemahkan/ membuat lemah” posisi perempuan terhadap laki-laki.
Demikian pula apabila seorang laki-laki mengawali membangun rumah tangganya, yang ditandai dengan perolehan izin dari orang tua pihak perempuan, juga ditandai ”penempatan” perempuan oleh laki-laki dalam wadah yang dibangunnya yaitu bangunan rumah tinggal. Apabila dua hal ini (pentingnya perempuan bagi laki-laki dan wadah) digunakan sebagai dasar ide, maka tidaklah mengherankan apabilah wadah tadi harus dibuat seaman mungkin dari apa saja yang bisa menodai perempuan. Maka rumah tinggal adalah ekspresi jati diri laki-laki yang memiliki rumah tinggal, sebaliknya rumah tinggal tanpa perempuan bukanlah sebuah rumah tinggal bagi masyarakat Nusantara. Demikian pula perbedaan pemikiran makna dinding rumah tinggal arsitektur Nusantara, yang bagi pemikiran kontemporer dengan denotasi makna: batas dalamluar, pemisah dalam-luar, yang akan mengarah kepada konotasi makna: terkurung,
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
terikat, atau terpenjara. Namun pembaca makna dinding pada bangunan rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara lebih agak ”lentur” dalam membaca bangunan rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara, kita akan bisa mendapatkan denotasi makna: jati diri seorang laki-laki, yang mengarah pada konotasi makna: perempuan. Melalui pemikiran diatas, maka dapat dipahami pemikiran tentang makna dinding bagi laki-laki (pembuat bangunan), demikian pula bagi perempuan yang memang dari awal memahami adanya dunia kehidupan, belakang bagi perempuan, depan bagi laki-laki, tanpa ada rasa yang ”negatif” tentang ini. Berumah tangga adalah melakukan tugas dari Tuhan, sedangkan Tuhan menentukan posisi ruang gerak perempuan dan ruang gerak laki-laki bagi masyarakat Nusantara. Dengan demikian pemikiran yang berdasar pada “letak/sifat dinding” tentang ruang gerak perempuan yang berlaku bagi masyarakat Nusantara adalah sebagai berikut:
a.
b.
Sumber : Santoso (2002) Gambar 3.2. Dinding dan ruang gerak perempuan yang berlaku dalam rumah tinggal Arsitektur Nusantara
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Gambar a Bagi masyarakat Nusantara, rumah adalah tempat teraman dan baik bagi
perempuan dalam melakukan perkejaan rumah tangganya, selama suaminya bekerja di luar rumah, bisa dikatakan rumah adalah daerah kekuasaan perempuan, sehingga hampir bisa dikatakan “tabu” bagi laki-laki untuk mendekatinya, selama suami/pemilik rumah tidak berada di rumah. Dengan demikian bagi perempuan dinding rumah adalah pelindung yang baik bagi kehidupan dirinya dan anak-anaknya, sehingga dinding sebagai sebuah petanda akan mempunyai denotasi: larangan untuk didekati/ tidak dianjurkan untuk didekati laki-laki dan mempunyai konotasi: perempuan bagi masyarakat setempat. Adapun kode yang memunculkan denotasikonotasi makna tersebut dimunculkan melalui kode yang beragam sesuai beragamnya arsitektur Nusantara.
•
Gambar b Betapapun
perubahan
dinding
dengan
pengaruh
faham
pemikiran
kontemporer, akan tetapi tetap saja bagi perempuan yang masih menganut pemikiran tradisi akan membuat semacam kode yang mempunyai makna denotasi daerah yang tabu dimasuki secara langsung oleh laki-laki yang bukan anggota keluarga. Kode untuk ini bisa berupa ruang pemisah antara ruang tamu/ruang publik dan dapur atau halaman belakang, bisa juga dinding
yang melindungi perempuan yang sedang
beraktifitas dari kontak langsung dengan laki-laki diluar anggota keluarga.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dengan demikian melalui kode yang terlekat pada dinding rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara yang dibaca dengan menggunakan denotasi dan konotasi yang dikehendaki oleh pembuat bangunan, dan melalui berita yang biasa dimengerti oleh masyarakat Nusantara, maka dengan menggunakan denotasi-konotasi makna yang tepat, maka terjawablah pertanyaan diatas tadi, yaitu dinding pada rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara adalah bukan merupakan “kurungan” bagi perempuan melainkan sebaliknya. Dengan demikian pula pemikiran Barat tidak akan perrnah sama dengan pemikiran masyarakat Nusantara. Sehingga dua cara berfikir ini tidak bisa dicampur adukan dalam membaca makna yang melekat pada bangunan arsitektur Nusantara.
3.8.Peranan Gender Dalam Pembentukkan Rumah Kontemporer Pada saat ini fungsi dan bentuk merupakan tema utama didalam kinerja pembentukan arsitektur. Ini telah lama menjadi bagian dari dunia perancangan dan merupakan otoritas bagi arsitek lebih dari satu abad terakhir (ketika kongruensi antara fungsi dan bentuk menjadi dogma). Keterkaitan fungsi dan bentuk banyak memperoleh perhatian dari pakar-pakar arsitektur. Socrates menyatakan bahwa bentuk yang baik dalam pengertian absolute jika terkait dengan fungsi. Tokoh arsitek modern, L. Sullivan mengatakan bahwa kehidupan dikenali dari ekspresinya, dan bahwa bentuk mengikuti fungsi, hal
inilah yang menurutnya sebuah ketentuan
hukum. Bersamaan dengan runtuhnya arsitektur modern pada pertengahan kedua abad ini, orang menemukan kembali pelajaran menyakitkan dari era fungsionalisme
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
abad ke 19, dimana gerakan ini menyebabkan penyempitan makna yang mengutamakan pertimbangan ekonomi dan efisiensi semata. Sejak itulah arsitektur mulai mengakhiri fungsionalisme. Kata fungsi pertama sekali digunakan dalam bahasa Inggris tahun 1533, berasal dari bahasa Latin “function”, akar katanya “fungi” yang berarti melakukan (perform). Dalam hal ini “perform” berarti suatu tindakan, proses, atau pekerjaan yang dalam pemakaian modern berarti tindakan untuk memenuhi tujuan-tujuan. Dengan demikian fungsi menunjukkan suatu pengertian aktif dan bukan pasif. Kongruensi antara bentuk dan fungsi menjadi bahasa formal dalam gerakan modern, dan menjadi bagian dari otoritas arsitektur. Koherensi yang diperoleh, baik melalui denah, ruang, dan econografi merupakan konsekwensi dari keinginan agar bentuk dapat dianalisis, atau melalui fungsi bentuk-bentuk dianalisis. Ini merupakan pengaruh politik arsitek untuk meyakinkan orang lain bahwa apa yang disimpulkannya benar dan berguna. Namun seperti diketahui, ini merupakan kesalahan besar yang harus dicatat dalam sejarah arsitektur, bahwa asumsi fungsionalisme tidak biasa dipakai lagi sebagai model perancangan masa depan. Ketika fungsi dan bentuk tidak kongruen, maka hubungan sebab akibat antara fungsi dan bentuk tidak dapat dipertahankan lagi. Hubungan sebab akibat antara fungsi dan bentuk sangat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, dalam hal ini salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Nusantara adalah gender. Pembentukan dan pembagian ruang berdasarkan gender dapat dipakai untuk menilai tingkat privasi ruang berdasarkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
jenis kegiatan yang terjadi di dalamnya. Akibat pembentukan dan pembagian ruang berdasarkan gender ini secara langsung akan berpengaruh pada fungsi ruang tersebut. Ada perbedaan pengguna dan penggunaannya pada kegiatan rutin dan temporal yang berlangsung. Ruang yang mempunyai sifat privat, bisa berubah menjadi semi privat atau ruang yang semula semi publik berubah menjadi publik. Perubahan sifat ruang merubah tingkat privasi ruang yang semula tinggi karena hanya dipergunakan oleh anggota keluarga saja, berubah menjadi rendah dengan penggunaan orang lain. Terjadi pula terhadap ruang yang hanya diperuntukkan bagi perempuan, namun dipergunakan oleh anggota keluarga laki-laki. Hal tersebut menjadi indikasi berkurangnya tingkat privasi yang disebabkan oleh pola hubungan sosial dan kebutuhan. Pada bangunan masa kini banyak sekali perubahan-perubahan secara fungsi akibat pengaruh perkembangan dan perubahan makna, terutama perubahan yang disebabkan oleh pengaruh gender. Sebagai contoh saat ini bahwa pemisahan antara ruang publik dan ruang privat terlihat dari adanya pemisahan jenis kegiatan, dengan membagi peran domestik dan publik yang dipisahkan menjadi fungsi sosial dan fungsi domestik. Ditandai dengan ruang tamu yang terletak di depan hunian yang menjadi fungsi sosial bagi laki-laki dan perempuan, sementara dapur selain sebagai fungsi domestik juga sebagai fungsi sosial bagi perempuan. Ruang dalam dan ruang tamu sepenuhnya menjadi tempat fungsi domestik. Jadi pembagian antar ruang publik dan ruang privat tidak mesti yang di depan berfungsi sebagai ruang publik dan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
semakin ke belakang bersifat privat dan ruang publik tidak mutlak untuk laki-laki saja melainkan juga untuk perempuan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB IV PERANAN GENDER DALAM PEMBENTUKKAN RUANG PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Muqoffa pada tahun 1998, bahwa pada umumnya konstruk rumah tradisional yang ada di Nusantara hampir memiliki kesamaan. Dijelaskan pada penelitian tersebut bahwa konstruk sosial di Karo hampir serupa dengan konstruk sosial orang Jawa, dimana laki-laki menempatkan diri pada posisi dominan, superordinat, sedangkan perempuan pada posisi subordinate. Fenomena pembagian makna dan fungsi pada hunian Karo tersebut, agaknya menjadi umpan yang menarik perhatian. Apakah konsep yang demikian masih dapat dite-mui saat ini dan sebenarnya bagaimana penghuninya memaknai pemahaman gender yang demikian dan bagaimana mereka mengkonstruksikannya pada tatanan arsitekturnya (pola spasial). Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Berdasarkan paparan pada bab sebelumnya dijelaskan bila menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah
yaitu rumah biasa dan rumah Raja Sibayak.
Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung- anjung). Secara umum Rumah Karo
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
memiliki bentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe) bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak di atas beberapa tiang. Pada rumah Karo pembagian ruang diperuntukkan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo. Secara umum peranan gender pada rumah Karo dapat dinyatakan sangat berpengaruh di dalam pembentukkan ruang dan bangunan rumah. Hal ini dapat dilihat pada beberapa bagian paparan yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada rumah Karo Si Waluh Jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip) maupun oleh bangsawan (Sibayak) tidak memiliki
pembatas fisik yang
memisahkan antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga yang masing masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga mereka dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
yang sedang dilakukan seperti untuk tempat makan, tempat tidur, menerima tamu, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat mereka. Peranan gender di rumah Karo sudah dilihat mulai pada saat mendirikan rumah, dimana pada bagian awal terlebih dahulu dilakukan melalui permufakatan (Pesada arih) antara raja bakal pemilik rumah (bena kayu) dengan isteri. Kemudian yang bersangkutan menanyakan kesediaan pihak keluarga pemberi istri (kalimbubu) untuk tinggal bersama, selanjutnya memberitahukan pihak keluarga penerima istri (anak beru), dan diakhiri dengan memanggil biak senina, sehingga lengkap empat atau delapan keluarga. Dapat dilihat pada saat mencapai permufakatan, gender perempuan dalam hal ini istri dari calon pemilik rumah menempatkan diri sebagai penentu kebijakkan. Selanjutnya peranan gender terutama kaum perempuan juga berlanjut pada bagian-bagian lain. Salah satu contoh adalah di saat upacara menyediakan tanah untuk dapur (ngelengkapi taneh dapur), pertama-tama guru memilih tanah yang sesuai yaitu yang bebas dari penyakit serta serasi menurut pengelihatannya. Tanah diangkat dengan sejenis keranjang (beha) yang biasa dipakai untuk upacara adat, kemudian tanah tersebut diisi dengan ramuan (rudang sinikas gelar). Untuk membawa atau menjunjung tanah ini biasanya dipilih dari pihak penerima gadis (anak beru) yang punya rumah, seorang perempuan yang masih gadis dan masih lengkap keluarganya (sangkep). Pelaksanaan upacara pertama adalah menyiapkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
ramuan dan sesajen di teras rumah (ture), kemudian dibawa dalam keranjang (beha), di junjung oleh seorang perempuan yang memakai tutup kepala tudung nisarintang dan kain (abit) yang di pakai dari pinggang sampai kaki betis (urus teha atau julu). Dengan berjalan di depan, sang guru membawa sesajen dan mencipratkannya kepada semua penghuni rumah
dan kemudian menuju ke dapur. Tanah yang dibawa
dimasukkan ke semua dapur yang ada di dalam rumah, dan setiap sudut dapur diberi (rudang-rudang simelias gelar). Di samping itu untuk mengisi dapur para gadis atau perempuan yang masih perawan dan lengkap keluarganya (sangkep) akan membawa ranting kayu bakar sambil bersenandung yang disebut (eralep-alep). Kemudian salah seorang dari pihak pemberi istri yang sudah memiliki turunan (Si Utang Rido) bertugas memasang tungku. Bila seorang menantu atau seorang yang berposisi sebagai menantu (anak dari saudara perempuan) yang disebut Bere-Bere memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru), maka mertua atau paman pihak penerima istrinyanya (kalimbubu) yang akan memasang tungku. Dalam upacara tersebut diadakan tanya jawab ritual (perasiken), tentang siapa yang akan memasang tungku dan apakah tungku yang akan dipasang sudah tersedia atau belum. Pihak yang akan memasang tungku menyuruh salah seorang saudara yang seturunan dengannya (Senina Sepemerenna) mengambil tungku, sebagai oleh-oleh (luah) pihak pemberi istri dari yang memasang tungku. Dengan disaksikan ke tiga pihak dalam kekerabatan Karo yaitu (Anak Beru, Biak Senina, dan Kalimbubu atau Tinggel-tinggel), maka dibawalah tungku itu dengan cara dijunjung di atas kepala, dengan alas (lanam) yang terbuat dari kain (uis) sakral yang disebut arinteneng atau digendong (i tempi) dan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
diselimuti (i ndawai) dengan kain, seperti layaknya menggendong bayi. Pihak penerima istri pengetua rumah (Anak Beru Simada Rumah), siap menunggu di rumah, sampai ada berita tentang kedatangan pihak pemberi istri (Kalimbubu) selaku pembawa tungku (Simaba Diliken). Dia berangkat saat matahari mulai beranjak naik (nangkih matawari) dan kembali (berkat) saat matahari mulai turun (nese matawari) dan mendirikan tungku dengan perlengkapan besi yang baik (besi mersik), benang putih (benang teng/kul-kul mbentar), tepung (cimpa gabor-gabor) yang akan ditaburkan ke tungku, ayam kuning (manuk megersing) yang dimasak dengan cara khusus, untuk dimakan bersama (pukulen), beras dalam karung kecil (setumba), telor ayam (naruh manuk), dan dedaunan ramuan (bulung-bulung simelias gelar). Dari paparan diatas maka dapat dijelaskan bahwa pada semua bagian dalam kehidupan di rumah Karo mulai dari awal pembuatan rumah sampai pemakaian ruang-ruang, peranan gender sangat berperan sesuai dengan kodrat masing-masing. Pada rumah Karo peranan gender perempuan menempati posisi yang sangat sentral terutama dalam ritual atau upacara adat. Beradasarkan buku Matinya Para Dewa, yang melakukan suatu kajian tentang Arsitektur Rumah Karo (Nawawiy, 2002), disampaikan beberapa penjelasan tentang pola pembagian rumah Karo khususnya rumah Siwaluh Jabu, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya di bab dua. Pada awalnya dalam rumah Karo terdapat delapan keluarga (sui waluh jabu), namun akhirnya berubah menjadi empat keluarga, dua belas dan enam belas keluarga. Tabu bagi masyarakat Karo menempati rumah dengan keluarga ganjil, misalnya tiga, lima, tujuh, sembilan, dan seterusnya. Dengan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
demikian rumah dilengkapi dengan dapur yang digunakan berpasang-pasangan, maka keluarga yang ganjil dianggap
tidak mempunyai teman dan sanak keluarga
(melumang). Keluarga dalam rumah Siwaluh Jabu membentuk dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat keluarga. Ruang diantara kelompok utama dibatasi oleh gang kecil (lobah) yang berawal mulai dari Ture Jahe ke Ture Julu, dalam rumah ini hanya terdapat empat dapur, satu dapur digunakan sepasang keluarga. Sedangkan denah rumah siwaluh jabu yang ditempati oleh delapan keluarga bisa diamati pada gambar 2.8 pada bab dua, sedangkan nama dan kedudukan keluarga dapat dijelaskan kembali seperti berikut ini: •
Bena kayu disebut juga
jabu rambu-rambu,
ditempati anak taneh yang
merupakan keluarga raja kampung yang dianggap sebagai pengetua di dalam rumah. •
Sidapurken Bena kayu, ditempati oleh keluarga yang bertugas mengawasi dan melihat (peningkir-ningkir yang artinya mengintai atau mengintip) keluarga anak bena kayu sintua (sintua artinya yang paling tua). Sidapurken Bena Kayu juga ditempati keluarga dukun (guru perkatika simeteh wari si teluhpuluh)
yang
bertugas menjalankan pengobatan (pertambar-tambar). •
Sidapurken
lepar ujung
kayu, ditempati keluarga simangan-minem (makan
minum) yang disegani dan dihormati sebagai anak sintua kalimbubu arin arinteneng sehingga disebut juga sebagai sianak manja (si elang-elang atau per ate-ate) yang selalu harus dilayani dan disediakan makanan dan minumannya.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Selain itu sidapurken lepar ujung kayu ditempati keluarga
yang bertugas
mengurusi ladang, huma, dan rumah (parpaula), juga bertugas sebagai pelayan kalimbubu. •
Lepar ujung kayu, ditempati keluarga arinteneng atau pendugi segala runggu (musyawarah),
yaitu keluarga yang harus menyelesaikan masalah kalimbubu
bena kayu selaku pengetua dalam rumah dengan jalan musyawarah. •
Lepar bena kayu, ditempati keluarga simangaloken yang tugasnya sebagai duta keluar rumah, kalau ada pesta di kampung maka yang mewakili ke delapan keluarga
tersebut, statusnya untuk menerima pembagian
makanan dan lain
sebagainya yang disebut Simangaloken. •
Sidapurken lepar bena kayu, ditempati keluarga seturunan bena kayu (biak senina jabu bena) disebut keluarga peninggel-ninggel, yang bertugas menyimak pembicaraan antara tamu dengan keluarga simangaloken. Selain itu juga ditempati keluarga kurungan manuk yang berperan sebagai tukang (pande) yang membuat segala perlengkapan dan peralatan yang diperlukan keluarga penghuni rumah.
•
Sidapurken ujung kayu, ditempati keluarga sukun berita, yang bertugas menanyakan (nungkuh berita) dan mengkonfirmasi berita kepada peninggelpeninggel dan yang menempatinya adalah anak tertua keluarga ujung kayu. Selain itu ditempati keluarga kelompok pemusik (penggual) yang berperan mengatur
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
penari dan bunyi-bunyian (sangkuten gong) bila ada upacara pemujaan di dalam rumah. •
Ujung kayu, ditempati keluarga tumpak bala seribu, merupakan anak beru Bena kayu yang bertugas mengatur tamu yang bagaimanapun jumlahnya harus tertib.
4.1. Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Tradisional Karo Dalam menganalisa peranan gender dalam tulisan ini menurut uraian yang sudah
dijabarkan bab dua, yaitu Sekilas
Analisa dimulai dengan melihat
Tentang Arsitektur Tradisional Karo.
pemetaan aktifitas dan teritorial gender laki-laki
maupun perempuan didalam penggunaan ruang-ruang dan waktu. Peranan gender di analisa dari proses pembangunan rumah tradisional mulai dari upacara ritual memulai pembangunan, pelaksanaan fisik konstruksinya, sampai dengan memulainya penggunaan ruang- ruang
yang ada, yang disertai dengan
upacara-upacara adat, dapat diamati pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Analisa peranan gender dari proses pembangunan rumah tradisional yang disertai dengan upacara-upacara adat.
•
•
Kegiatan Gender Tahapan awal mendirikan rumah (tahap persada arih/ permufakatan).
Gender Laki-Laki •
Penentuan pengadaan kayu
•
Dominan Sebagai raja bakal pemilik rumah (bena kayu).
Tidak dominan Dilakukan oleh seorang
Gender Perempuan •
•
Kesimpulan
Dominan Persada arih dilakukan antara bena kayu dengan istrinya sebagai penentu kebijakan awal.
Peran gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan.
Dominan Seorang anak gadis
Peran gender perempuan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
sebagai tanda dimulainya pembangunan rumah (nderasi) •
Jaminan terselenggarana pendirian rumah
dukun dan dilakukan penebangan oleh beberapa orang lakilaki.
• • •
•
Upacara pembangunan elemen-elemen arsitektural dan sturktural.
•
Upacara menyediakan tanah untuk dapur (ngelengkapi taneh dapur)
•
Memasuki rumah baru dengan ritual membawa dan menghidupkan tunggu.
•
•
•
Dominan Pemilik rumah menjamin penyediaan bahan dan pelaksanaan. Tukang (pande) menjamin penyelesaian pekerjaannya. Penghulu menetapkan waktu pekerjaan, dan pemberi jaminan / belit. Dominan Pihak anak beru dan pengetua adat memimpin upacara penaikkan balok, pendirian tiang, pembuatan teras depan, dan elemen dinding. Tidak dominan Walaupun dilakukan oleh pihak anak beru (penerima perempuan) dan masih dipimpin oleh seorang guru/ dukun.
Tidak dominan Anak beru simada rumah (penerima istri pengetua rumah) dalam posisi pasif dan menunggu.
•
•
•
•
•
tanggung yang masih perawan dan lengkap orang tuanya ikut menentukan akan kebaikan kayu.
sangat menentukan secara adat dan ritual.
Tidak dominan Tidak terlibat dalam kesepakatan penjaminan ini.
Peran gender laki-laki sebelum upacara formal melakukan kesepakatan untuk menjamin terselesaikannya pembangunan rumah.
Tidak dominan Pihak pemberi istri (kalimbubu) selalu dilibatkan dalam upacara seperti waktu menaikkan balok-balok utama bangunan.
Peran gender laki-laki lebih dominan dalam tahapan pelaksanaan konstruksi bangunan.
Dominan Walupun dari pihak anak beru namun dilakukan oleh perempuan yang masih gadis dan lengkap keluarganya yang berhak membawa dan menjunjung tanah bakal dapur, mengisi, membawa ranting kayu (bersenandung).
Peran gender perempuan sangat dominan menunjukkan peranannya dalam menguasai dapur/ tungku.
Dominan Pihak pemberi istri (kalimbubu) selaku pembawa tungku (simaba diliken) dan yang memasang tungku sebagai tanda dimulainya penghunian rumah. Melibatkan istri
Peran gender perempuan sangat dominan dalam ritual memasuki atau memulai penggunaan rumah.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
(kemberahen) kalimbubu dalam upacara. •
Upacara selesainya pengerjaan rumah/ selamatan dan persembahan bagi para begu.
•
Dominan Melibatkan pengetua rumah siwaluh jabu (jabu bena kayu), anak beru, tukang (pande), dan penghulu kampung, dalam hal perlunasan biaya, imbalan, dan pantangan rumah.
•
Tidak dominan Hampir tidak terlibat dalam pelunasan biaya-biaya pembangunan rumah.
Peran gender laki-laki sangat dominan terutama dari pihak anak beru dan tukangtukang.
Dari proses pembangunan rumah tradisional mulai dari upacara ritual memulai pembangunan, pelaksanaan fisik konstruksinya, sampai dengan penggunaan ruang- ruang yang ada, yang disertai dengan upacara-upacara adat, terlihat peranan gender perempuan dan gender laki-laki, terlihat samasama dominan. Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Kemudian peranan gender yang di analisa dari penggunaan ruang- ruang yang ada sehari-harinya termasuk pada hari-hari tertentu apabila ada acara adat seberti kelahiran anak, kematian, dan lain-lainnya, dapat diamati pada tabel-tabel di bawah ini, didahuliui dengan tabel pemetaan aktifitas sebagai berikut:
Tabel 4.2. Pemetaan aktifitas gender terhadap ruang-ruang. Pemetaan Aktifitas Gender Terhadap Ruang-Ruang Bapak/ laki-laki
• • • •
Sering berada di ruang satu kelompok keluarga di waktu pagi hari pada saat tidur malam, bercengkrama dengan keluarganya, makan, dan bersiap- siap ke ladang, namun tidak dominan. Bersinteraksi dengan kelompok keluarga lainnya di pinggiran lobah/ koridor, terutama diwaktu senggang, dan malam hari, namun tidak dominan. Pada saat upacara adat, mendominasi ruang komunal dari keseluruhan ruang yang ada sebagai ruang publik. Sebagai jabu benana kayu/ keturunan pendiri kampung/ bangsa teneh atau simantek kuta yang berlaku sebagai pemimpin rumah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
• • •
Ibu/ perempuan
• • •
•
• •
baik kedalam maupun keluar, mendominasi ruang-ruang keluarga bersama dalam keseharian maupun bila ada masalahmasalah dalam keluarga besar. Sering juga berada di bagian bawah rumah panggung untuk membersihkan kandang atau bahkan kadang-kadang memberi makan apabila tidak ke ladang. Pada upacara adat kamatian, mendominasi ruang beranda/ teras/ ture untuk memandikan jenasah (gender laki-laki). Pada upacara adat lainnya seperti upacara memasuki rumah, dan menyediakan tanah untuk dapur, seorang guru/ dukun mendominasi ruang komunal yang ada. Dominan berada di ruang satu kelompok keluarga di pagi hari sampai pada saat tidur malam, bercengkrama dengan keluarganya, makan, dan bersiap membantu ke ladang. Dominan bersinteraksi dengan kelompok keluarga lainnya di pinggiran lobah/ koridor, hampir disepanjang hari bila tidak keluar rumah. Dominan berada di beranda/ teras/ ture sepanjang hari terutama bila menganyam (mbayu), menjaga anak, memberi makan anak, dan lain sebagainya, bahkan pada saat-saat saklar seperti saat melahirkan anak. Dominan pada area dapur/ tungku terutama pada saat pagi dan siang hari, dan juga beriteraksi secara dominan dengan para (tempat penyimpanan bahan makanan, alat dapur, perkakas kerja, maupun tempat sesaji) yang berada persis di atas dapur. Sering juga berada di bagian bawah rumah panggung untuk memberi makan ternak, atau kadang-kadang turut membantu membersihkannya. Pada upacara adat seperti upacara menyediakan tanah untuk dapur, dan upacara memasang tungku pihak gender perempuan menjadi tokoh sentral dan mendominasi ruang komunal yang ada.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 4.3. Analisa peranan gender penggunaan ruang-ruang yang ada sehari- hari, termasuk hari-hari tertentu bila ada acara adat.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Ruang •
•
8 keluarga di dalam rumah • siwaluh jabu • • • •
Gender Perempuan
Ruang satu kelompok keluarga (sebagai ruang tidur, makan, dan berinteraksi terhadap keluarganya) Gang antara kedua kelompok keluarga (lobah/ koridor). Ruang komunal bila ada acara adat Dapur/ tungku Beranda/ ture Area bawah lantai/ kandang Tempat penyimpanan (para)
•
Dominan
•
Dominan
• • •
Dominan Dominan Dominan
•
Dominan
Gender Laki-Laki
•
Dominan
•
Dominan
Tampak bahwa peranan gender perempuan mendominasi penggunaan ruang-ruang yang ada di dalam rumah tradisional Karo dengan mengumpulkan 6 nilai dominasi dibandingkan dengan gender laki-laki yang hanya 2 nilai dominasi
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Dari analisa di atas, terilihat bahwa peranan gender pada rumah tradisional Karo dapat berlaku pada upacara-upacara ritual pembuatan rumah dan pemakaian ruang-ruang
yang
ada,
dan
tampak
peranan
gender
perempuan
lebih
mendominasinya. Namun yang menjadi perbandingan adalah bagaimana peranan gender dan fungsinya terhadap ruang-ruang yang ada di rumah Karo pada saat itu masih terlihat pada rumah orang Karo kontemporer. Hal inilah yang akan dilihat pada pengkajian berikutnya.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari keseluruhan analisa ini, dapat dilihat bahwa rumah tersebut direncanakan berdasarkan kebutuhan untuk beberapa keluarga, yang berdasarkan atas tata cara adat budaya. Beberapa aspek yang berdasarkan kebudayaan diantaranya terlihat dengan adanya prosesi upacara dari awal pembangunan rumah dan ruang komunal yang cukup luas yang digunakan untuk acara-acara kekeluargaan dan adat. Dengan site yang efisien disertai ornamen, aksesories eksterior yang sederhana, dan konsepsi struktural yang juga ditentukan oleh ketentuan adat,
seperti keharusan untuk
mengadakan pemena (tempat sirih), juga terdapat beberapa perabot sakral, seperti tempat duduk khusus untuk pemimpin. Juga terdapat aturan-aturan adat dalam pembagian ruang-ruang dan penggunaannya, termasuk konsepsi sirkulasi. Di rumah ini perletakan lahan perternakan ditempatkan di bawah bangunan. Juga terdapat beberapa aspek yang mengambarkan peranan gender dalam pembentukkan rumah tradisional Karo, seperti pada ruang-ruang komunal pada saatsaat dilakukan upacara adat, tampak gender laki-laki lebih dominan. Sedangkan hampir semua ruang yang digunakan sehari-hari merupakan
ruang-ruang yang
sangat dominan digunakan oleh gender perempuan. Di sini terlihat bahwa peranan gender dapat mempengaruhi didalam pembentukkan bangunan rumah tradisional Karo.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB V PERANAN GENDER DALAM PEMBENTUKKAN RUANG PADA ARSITEKTUR KARO KONTEMPORER .
Ada dugaan penyimpangan mengenai konsepsi ruang gender di hunian yang didiami oleh suku Karo pada saat ini, yaitu adanya kecenderungan pembagian yang spesifik antara jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, karena perempuan tidak lagi melakukan kegiatan domestik saja, namun juga sebagian melakukan kegiatan publik. Meskipun demikian, teritori kegiatan pada sebagian kegiatan di dalam ruang tertentu tetap dipertahankan, seperti misalnya di ruang tidur utama dan ruang bagian dalam. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan tidak serta merta diikuti oleh kesetaraan atau karena tidak adanya dominasi laki-laki atas perempuan. Di sini dapat disimpulkan bahwa hunian yang didiami oleh suku Karo tidak mutlak mengikuti kaidah arsitektur tradisional yang sepenuhnya dipengaruhi oleh aspek budaya, melainkan juga oleh aspek fungsionalisme struktural. Arsitektur hunian yang didiami oleh suku Karo masih menganut konsep dialektis dan pusat sebagai orientasi spasial yang didasarkan pada figur manusia seperti pemisahan bagian depan–bagian belakang dan bagian kiri–bagian kanan, sebagai dasar pembentukan ruangnya. Pada hunian yang didiami oleh suku Karo ini, bagian depan diidentikkan dengan publik, terang, laki-laki, dan ruang luar. Sedangkan bagian belakang diidentikkan dengan privat, gelap, perempuan, ruang
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
dalam, dan domestik. Bagian kanan diidentikkan dengan sakral dan baik, sementara bagian kiri diidentikkan dengan sesuatu yang buruk. Ruang tamu menjadi ruang antara kedua kutub tersebut seperti ruang yang bersifat semi publik, peralihan terang ke gelap, dan peralihan ruang laki-laki ke ruang perempuan. Disamping itu terlihat juga adanya kecenderungan hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pembagian peran. Masing-masing ingin mengaktualkan dirinya dengan kompromi-kompromi terhadap lainnya sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui, jadi secara umum tidak terjadi diskriminasi perempuan dalam penataan ruang atau perwujudan bentuk ruang. Juga terjadi kecenderungan adanya kesinambungan pada aspek fisik seperti bentuk bangunan dan pemakaian bahan bangunan, sementara pada aspek non fisik mengalami perubahan seperti pengguna ruang yang terjadi pada ruang tamu yang sudah tidak lagi didominasi oleh laki-laki seperti yang dijelaskan dalam beberapa literatur sebelumnya, melainkan sudah mengakomodir pengguna perempuan, sehingga sudah tidak ada superioritas laki-laki terhadap perempuan. Seperti halnya proses membangun rumah-rumah tradisional secara umum yang memiliki tata krama atau prosesi tertentu maka di masyarakat Karo pun dikenal berbagai aturan adat di dalam melakuan pendirian bangunan. Bahkan sangat ditaati dan diterapkan oleh masyarakat Karo baik secara individu maupun secara kelompok. Rumah yang merupakan tempat tinggal masyarakat pada umumnya juga sarat dengan perlambangan dari kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Karo saat ini, penerapan budaya Karo didalam bangunannya memang secara langsung tidaklah menggunakan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
adat tersebut secara utuh, namun secara tidak langsung digunakan sebagai konsekuensi dari bagian komunitas masyarakat Karo. Ada beberapa hal yang memang secara langsung harus dipatuhi, namun ada beberapa hal yang secara umum telah mengalami suatu penyesuaian serta mengalami suatu kecenderungan untuk berubah dan bahkan hilang. Sebagaimana yang dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa didalam menghuni rumah adat Karo terdapat sebuah aturan yang mesti ditaati, yaitu mesti dihuni oleh keluarga dalam jumlah genap, yang terkait dengan penggunaan dapur di sebuah rumah besar yang berjumlah 4 buah yang terletak dibagian hilir dan hulu. Setiap dapur digunakan oleh dua keluarga yang bersebelahan atau disebut sedapuren. Bagi masyarakat Karo merupakan hal yang tabu jika menempati sebuah rumah adat dengan keluarga ganjil karena akibatnya akan terdapat satu dapur yang digunakan hanya oleh satu keluarga, maka keluarga yang ganjil tersebut dianggap tidak memiliki teman dan sanak keluarga atau melumang. Rumah besar tersebut juga dipimpin oleh seorang pemimpin atau raja yang disebut Jabu Bena (Jabu Raja). Masing-masing penghuni memiliki pembagian tugasnya secara terpadu. Didalam rumah kontemporer yang didiami oleh suku Karo, aturan-aturan tersebut dapat dipastikan telah mengalami suatu perubahan yang sangat besar terutama didalam aturan sedapuren, karena rumah kontemporer bila ditinjau dari kepemilikannya, hanya dimiliki hanya satu orang saja. Aturan-aturan yang mengharuskan suatu rumah diisi oleh keluarga yang genap pada umumnya tidak akan ditemukan lagi, namun pada pengamatan yang dilakukan, hal tersebut sepertinya diaplikasikan dengan membuat suatu ruang yang
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
besar, dimana bila saat upacara adat, mereka dapat mengumpulkan anggota keluarga dalam suatu ruangan yang besar. Biasanya yang menjadi fokus utama adalah ruang tamu atau ruang keluarga. Hal tersebut diperkuat dengan pemahaman Merga Silima yang disepakati oleh masyarakat Karo sebagai dasar hubungan kekeluargaan yang sangat erat hingga saat ini. Sistem kekerabatan yang disebut Merga, dianggap sebagai sebuah sistem yang mengikat satu dengan lainnya. Merga pada masyarakat Karo ada lima yaitu: Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo, atau disebut Merga Silima. Dahulu sistem kekerabatan tersebut diterapkan melalui pengelolaan ruang dalam (interior) rumah besar. Sebuah rumah besar dapat dihuni oleh beberapa keluarga yang masih memiliki kekerabatan ini. Rumah besar tersebut dirancang sangat terbuka, hanya ruangan tidur saja yang tertutup terletak di sisi kiri dan kanan bangunan, dengan ukuran ruangan relatif kecil. Sedangkan bagian tengah memanjang dari depan ke belakang diperuntukkan bagi ruang sosialisasi untuk seluruh penghuni. Sehingga ketika sebuah keluarga melakukan aktivitas makan atau ngobrol, akan terlihat oleh keluarga di samping maupun di depannya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kekerabatan di kalangan masyarakat Karo masih sangat dijunjung tinggi, saling toleran, dan terbuka. Sejalan dengan permasalahan diatas maka dibawah ini akan disampaikan beberapa hasil pengamatan yang diwakilkan oleh 10 (sepuluh) bangunan rumah yang didiami oleh suku Karo yang merupakan representasi dari 23
responden yang
memberikan pemetaan terhadap peranan gender di rumah yang didiami oleh suku Karo kontemporer.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Karo Kontemporer Dalam menganalisa
peranan gender pada
analisa dimulai dengan melihat
arsitektur Karo kontemporer,
pemetaan aktifitas dan teritorial gender laki-laki
maupun perempuan didalam penggunaan ruang-ruang dan waktu, meliputi penggunaan ruang- ruang
yang ada sehari-harinya termasuk pada hari tertentu
apabila ada acara adat, yang didahuliui dengan tabel analisa pemetaan gender dan aktifitas responden-responden sebagai berikut:
Tabel 5.1. Analisa pemetaan gender responden 1 Rumah keluarga Jamal Hayrudin Tarigan Alamat
• Jalan Sei Merah No 18 Medan
Identitas rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah dibangun berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas • Ruang-ruang yang bersifat publik dibuat secara efisien terutama tampak pada ruang tamu dan teras rumah • Ditempati oleh satu keluarga
Nama-nama ruang
• • • • • • • • • •
Ruang Tamu Ruang keluarga Ruang sholat Kamar tidur Kamar mandi Dapur Ruang makan Ruang gosok Teras Gudang
1 buah 1 buah 1 buah 3 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pemetaan gender ruang-ruang
terhadap
•
•
•
Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore hari dan senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur, dan ruang makan terutama pagi dan siang hari, dan di ruang keluarga dan ruang tidur utama sepanjang hari. Anak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di sore hari, dan kadang-kadang di siang dan malam hari.
Daerah pengamatan
•
Pengamatan dilakukan pada seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Ruang keluarga, ruang sholat, Kamar tidur 3 buah, Kamar mandi 2 buah, Dapur, Ruang makan, ruang gosok, ruang cuci, gudang, garasi, dan halaman depan rumah.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien dan ruang terkesan menyempit dengan prabot yang cukup banyak, dan kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya belum terlihat.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum tidak dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup kuat dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruang-ruang belakang, yang cukup dominan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras, dan garasi, dengan ditemukannya beberapa penataan prabot dan dari kebiasaan pemilik rumah menempatkan peralatan kerja di garasi. Sedangkan untuk ruang tamu dan ruang keluarga kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang terkesan sangat efisien dan sempit dengan penggunaan prabot yang cukup banyak, dan aksesories pada dinding interior yang banyak.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dapur
Kamar tidur anak
Ruang makan Hasil analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu dan ruang keluarga, keduanya cukup dominan mempengaruhi penataan ruangnya, disamping karena intensitas pemakaian ruang yang hampir sama, seperti ditemukannya aksesories dan perabot yang selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruang-ruang belakang, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat,
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tampak pada teras, dan garasi, dengan ditemukannya beberapa penataan prabot dan dari kebiasaan pemilik rumah menempatkan peralatan kerja di garasi. Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.2. Analisa pemetaan gender responden 2 Rumah keluarga Armando Arih Persada Barus Alamat
• Jalan Bunga Sedap Malam VI-B No. 22C
Identitas rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan kebudayaan Karo masa lalu. • Rumah dibangun berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas dengan bukaan penghubung yang cukup besar dan terdapat koridor. • Ruang tamu sebagai area publik dibuat sangat luas sebagai tempat melakukan aktifitas adat. • Di belakang rumah terdapat areal kandang untuk berternak. • Di halaman depan terdapat ruko untuk tempat usaha. • Terdapat taman-taman yang cukup luas di samping rumah. • Terdapat carpot yang cukup besar di depan rumah. • Di diami satu keluarga, namun terpisah pada tapak yang sama terdapat penjaga toko yang juga masih kerabat dekat.
Nama-nama ruang
• • • • • • • •
Pemetaan gender ruang-ruang
terhadap
•
Ruang Tamu Kamar Tidur Ruang Makan Dapur Garasi Kamar mandi Toko Kandang
1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, di carpot pada pagi dan kadang-kadang di sore hari, di toko pada pagi sampai sore hari, dan di kandang pada saat- saat membersihkan dan memberi makan ternak.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur, ruang makan dan ruang keluarga terutama di pagi dan siang hari, pada siang dan sore hari juga telihat di toko, dan kadang-kadang juga membantu di kandang.
Daerah pengamatan
•
Pengamatan dilakukan pada seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 2 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur, Ruang Makan, dan koridor.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang sedikit dapat dirasakan terutama dengan dibuatnya koridor seperti rumah tradisional, dan dapur dibuat seakan-akan tidak terpisah dengan ruang tamu yaitu dengan bukaan yang besar. Di samping itu terlihat sekali kesederhanaan interior atau sedikit sekali aksesories pada dinding-dinding rumah mirip dengan interior rumah tradisional yang minim ornamen. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien dan namun ruang terkesan agak luas karena minimnya prabot yang ada, kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya belum terlihat.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga kurang dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruang-ruang belakang, yang cukup dominan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada garasi, dengan ditemukannya beberapa penataan dan kebiasaan pemilik rumah menempatkan peralatan kerja di garasi, juga pada toko dan kandang ternak, dimana terlihat sangat dominan dengan penataan yang dilakukan oleh gender laki- laki, walaupun gender perempuan sedikit ada pengaruhnya dan partisipasinya. Sedangkan untuk ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga dan ruang koridor kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini sedikit ditemui, terutama bila ada acara yang berbau adat. Namun untuk kesehariannya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
Dapur
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Kamar tidur utama
Kamar tidur anak
Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu yang juga diperuntukkan sebagai ruang keluarga, keduanya cukup dominan mempengaruhi penataan ruangnya, disamping karena intensitas pemakaian ruang yang hampir sama dan perabot yang selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruang-ruang belakang, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada garasi, dengan ditemukannya beberapa penataan prabot dan dari kebiasaan pemilik rumah menempatkan peralatan kerja di garasi, juga pada toko dan kandang ternak, dimana terlihat sangat dominan dengan penataan yang dilakukan oleh gender laki- laki, walaupun gender perempuan sedikit ada pengaruhnya dan partisipasinya
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 5.3. Analisa pemetaan gender responden 3 Rumah keluarga Sumarlin Ginting Alamat
•
Identitas Rumah
• Bangunan yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Bangunan rumah pada awalnya dibangun tidak berdasarkan tuntutan atau perencanaan pemiliknya sendiri, bangunan sudah ada sejak lama sebelum dimiliki. • Bangunan rumah cukup sederhana dengan pembagian ruang yang sangat jelas. • Besaran ruang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada saat ini, dengan ruang yang bersifat publik dibuat secara efisien terutama tampak pada ruang tamu dan teras rumah • Ditempati oleh satu keluarga
Nama-nama ruang
• • • • • •
Pemetaan gender ruang-ruang
terhadap
•
•
Jalan Bendungan No. 1 lingkungan I Medan Tuntungan
Ruang Tamu Kamar tidur Kamar mandi Ruang keluarga Teras Dapur
1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore dan malam hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur yang juga berfungsi sebagai ruang makan terutama pada pagi dan siang hari, dan di ruang keluarga dan ruang tidur utama hampir sepanjang hari.
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 2 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur 1 buah yang merangkap sebagai tempak makan, ruang keluarga, dan teras.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien dengan ruangruang yang sempit dengan prabot yang cukup sederhana, dan kencenderungan perencanaan awal yang memperhitungkan peranan gender belum terlihat.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga belum dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama dan dapur yang merangkap ruang makan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras, dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu senggangnya di sore dan malam hari. Sedangkan untuk ruang tamu dan ruang keluarga kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang terkesan sangat efisien dan sempit dengan penggunaan prabot sederhana, dan aksesories pada dinding interior sangat minim
Denah rumah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
Dapur
Kamar tidur anak Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan baik yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu dan ruang keluarga, keduanya cukup dominan mempengaruhi penataan ruangnya, disamping karena intensitas pemakaian ruang yang hampir sama, seperti ditemukannya aksesories dan perabot yang selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur yang juga berfungsi sebagai tempat makan, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu luangnya di teras.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.4. Analisa pemetaan gender responden 4 Rumah keluarga Gunung Kaban Alamat
•
Identitas Rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah ini dibangun berdasarkan tuntutan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas. • Tidak dijumpai atau tidak terlihat ruang-ruang yang memiliki makna simbolik. Tetapi kita bisa menemukan beberapa ruang yang memiliki karakter yang khas, seperti misalnya ruang tamu dan ruang keluarga yang memiliki luasan yang lebih besar daripada ruangan lainnya. Sedangkan ruang-ruang lainnya dibuat sangat efisien bahkan terasa sempit. • Ditempati oleh satu keluarga.
Nama-nama ruang
Ruang tamu Ruang keluarga Kamar tidur utama Kamar tidur anak Dapur KM/ WC
Pemetaan gender ruang-ruang
terhadap
•
•
•
Jalan. Sudirman Gg Matseh No. 30 E Binjai
1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah
Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore dan malam hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur yang juga berfungsi sebagai ruang makan terutama pada pagi dan siang hari, dan di ruang keluarga dan ruang tidur utama hampir sepanjang hari. Anak Dominan di ruang keluarga dan kamar tidur, dan juga sering beraktifitas di ruang tamu.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 2 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur yang juga merangkap tempat makan, ruang keluarga, dan teras
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien dengan ruangruang yang sempit dengan prabot yang cukup sederhana, dan kencenderungan perencanaan awal yang memperhitungkan peranan gender di dalamnya belum terlihat. Namun walaupun demikian ada sedikit usaha untuk lebih megutamakan ruangruang untuk kegiatan publik seperti dominannya ruang tamu dan ruang keluarga dengan mengorbankan ruang makan dan kamar-kamar yang sangat sempit, ruang ini dapat digunakan pada saat upacara ritual dengan adat Karo
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga belum dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama dan dapur yang merangkap ruang makan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras, dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu senggangnya di sore dan malam hari. Sedangkan untuk ruang tamu dan ruang keluarga kedua gender ini sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini sedikit ditemui, terutama bila ada acara yang berbau adat. Namun untuk kesehariannya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang tamu dan keluarga dibuat agak besar dengan prabot dan aksesories dinding yang sangat sederhana, sedangkan ruang-ruang lainnya terkesan sangat efisien dan sempit dengan penggunaan prabot sederhana, dan aksesories pada dinding interior juga sangat minim
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang Tamu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Ruang Makan
Dapur Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan baik yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu dan ruang keluarga, keduanya cukup dominan mempengaruhi penataan ruangnya, disamping karena intensitas pemakaian ruang yang hampir sama, seperti ditemukannya aksesories dan perabot yang selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur yang juga berfungsi sebagai tempat makan, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu luangnya di teras. Namun apabila ada acara keluarga atau yang berbau adat, maka gender lakilaki akan mendominasi ruang tamu , sedangkan ruang keluarga kedua gender ini bisa sama-sama mendominasi.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 5.5. Analisa pemetaan gender responden 5 Rumah keluarga Surianto Sembiring Alamat
•
Identitas Rumah
• Bentuk rumah hampir sama seperti rumah penduduk pada umumnya, dengan arti bahwa rumah tersebut tidak seperti rumah adat orang Katak Karo, dan tidak ada penggunaan simbol-simbol yang ada pada rumah Adat Karo , atau rumah yang dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah ini sudah ada sebelumnya, berarti dibangun tidak berdasarkan tuntutan atau perencanaan dari pemiliknya. • Ruang-ruang yang bersifat publik, seperti ruang tamu dibuat sangat efisien, namun fungsinya sering digabungkan sebagai ruang keluarga, bahkan tempat makan, sedangkan teras dibuat cukup besar. • Rumah sangat sederhana dan terkesan tidak layak untuk keluarga dengan 1 anak. • Kamar tidur dan ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang keluarga • Ditempati oleh satu keluarga.
Nama-nama ruang
• • • • • •
Pemetaan gender terhadap ruangruang
•
•
•
Desa Pamah Tambunan,Kecamatan Salapian,Kabupaten Langkat
Ruang tamu Kamar tidur Dapur Teras Carpot KM/WC
1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
Bapak Dominan berada di ruang tamu (yang juga merangkap sebagai ruang keluarga) terutama di malam hari, dan juga dominan di teras pada waktu sore dan malam hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur terutama pada pagi dan siang hari, dan di ruang tamu dan ruang tidur hampir sepanjang hari. Anak Dominan di ruang tamu sebagai tempat bermain sepanjang hari, dan kadang kadang di ruang tidur yang hanya ada satu-satunya.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu (yang juga berfungsi sebagai ruang keluaarga), Kamar tidur 1 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur, teras, dan carpot.
Pengamatan gender berdasar-kan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum sangat belum dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama dan dapur. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras, dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu senggangnya di sore dan malam hari. Sedangkan untuk ruang tamu (yang merangkap sebagai ruang keluarga dan bahkan ruang makan) dan ruang tidur yang hanya ada satu-satunya, kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga belum dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang dapur. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras, dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu senggangnya di sore dan malam hari. Sedangkan untuk ruang tamu (yang juga merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan) dan kamar yang hanya ada satu-satunya ini, terlihat laki-laki dan perempuan sama- sama dominan.
Karakteristik Ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini sama sekali tidak ditemui. Kesehariannya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dan bahkan sebagai tempat makan dibuat sangat efisien dan apa adanya dengan prabot secukupnya dan aksesories dinding yang sangat sederhana, sedangkan ruang lainnya terkesan sangat sempit dengan penggunaan prabot sederhana, dan aksesories pada dinding interior juga sangat minim, yang semuanya terkesan multi fungsi.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu dan keluarga
Kamar tidur
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dapur Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan baik yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang tamu yang difungsikan juga sebagai ruang keluarga bahkan sebagai tempat makan, keduanya baik laki-laki maupun perempuan cukup dominan mempengaruhi penataan ruangnya, disamping karena intensitas pemakaian ruang yang hampir sama, seperti ditemukannya aksesories dan perabot yang selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur dan dapur peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada teras dilihat dari kebiasaan pemilik rumah yang sering menghabiskan waktu luangnya di teras, dan juga carpot.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.6. Analisa pemetaan gender responden 6 Rumah keluarga Sidharta Meliala Alamat
•
Identitas Rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah ini dibangun berdasarkan tuntutan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas namun tidak terlalu tertutup. • Tidak dijumpai atau tidak terlihat ruang-ruang yang memiliki makna simbolik. Tetapi kita bisa menemukan beberapa ruang yang memiliki karakter yang khas, seperti misalnya ruang tamu yang memiliki luasan yang lebih besar
Jl. Coklat IV No. 14 Perumnas Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Nama-nama ruang
Pemetaan gender terhadap ruangruang
• • • • • • • •
•
•
•
daripada ruangan lainnya. Sedangkan ruang-ruang lainnya dibuat sangat efisien namun tidak terasa sempit. Ruang keluarga sengaja dibuat lebih besar dibandingkan ruang-ruang yang lain di lantai 2, Karena sering menerima keluarga dan sanak saudara ke rumah. Ditempati oleh satu keluarga, 2 lantai (rumah bertingkat) Ruang tamu 1 buah Ruang keluarga dan transisi 1 buah Ruang makan dan dapur 1 buah Ruang tidur utama 1 buah Ruang tidur anak 1 buah Kamar mandi 1 buah Balkon/jemur 1 buah Bapak Karena sering bekerja keluar kota, maka jarang berada di rumah. Namun bila berada di rumah lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga dan kadangkadang (waktu senggang) sering juga di balkon. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur yang merangkap sebagai ruang makan terutama pada pagi dan siang hari, dan di keluarga dan ruang tidur hampir sepanjang hari, namun kadang-kadang juga menghabiskan waktu di ruang tamu. Anak Dominan berada pada ruang keluarga, kamar tidur, dan balkon, dan kadang-kadang di ruang tamu
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 2 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur merangkap Ruang Makan, ruang keluarga, dan ruang makan.
Pengamatan gender berdasar-kan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang sedikit dapat dirasakan terutama dengan dibuatnya ruang tamu yang cukup besar dan dapur dibuat seakan-akan tidak terpisah dengan ruang tamu yaitu dengan bukaan yang besar dan hanya dibatasi partisi. Ruang-ruang lainnya dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien dan namun ruang terkesan agak luas karena minimnya prabot yang ada, dan ruang keluarga di lantai 2 dibuat juga cukup luas untuk mengantisipasi keluarga yang datang karena sistem kekerabatan orang Karo yang masih cukup kuat. namun kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya belum terlihat.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga kurang dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, ruang keluarga dan ruang tamu yang cukup dominan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak pada ruang keluarga dengan ditemukannya beberapa penataan dan kebiasaan pemilik rumah yang sering keluar kota, yang apabila pulang selalu menghabiskan waktunya di ruang keluarga dan kadangkadang di balkon lantai 2. Dan bila sedang keluar kota maka gender perempuan juga mendominasi ruangan ini. Sedangkan untuk ruang tamu kedua gender ini terlihat sama- sama dominan terutama apabila ada kerabat yang datang.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini sedikit ditemui, terutama bila ada acara yang berbau adat. Namun untuk kesehariannya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang tamu dibuat cukup besar dan dapur yang dibuat seakan-akan tidak terpisah dengan ruang tamu yaitu dengan bukaan yang besar dan hanya dibatasi partisi. Ruang-ruang lainnya dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien namun ruang masih berkesan agak luas karena prabot yang ada cukup efisien. Ruang keluarga di lantai 2 dibuat juga cukup luas untuk mengantisipasi keluarga yang datang karena sistem kekerabatan orang Karo yang masih cukup kuat.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
R.TAMU +0.05
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dapur
Kamar tidur
Ruang makan Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu, ruang keluarga, dan balkon, gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan mempengaruhi penataan ruangnya, walaupun intensitas pemakaian ruang yang tidak sama namun perabot ada selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur, dan ruang makan, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat,
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
tampak dominan pada ruang tamu terutama bila ada acaraacara keluarga dan adat.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.7. Analisa pemetaan gender responden 7 Rumah keluarga M. Meliala Alamat
•
Identitas Rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah dibangun berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas • Namun ada ruang-ruang yang memiliki makna simbolik yaitu ruang tamu dan ruang keluarga dengan membuat ruang tersebut lebih besar dari ruang yang lain • Ditempati oleh satu keluarga.
Nama-nama ruang
• • • • • • • • •
Pemetaan gender terhadap ruangruang
•
•
Jl. Coklat IV No. 08 Perumnas Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan.
Ruang tamu Ruang keluarga Ruang makan Ruang dapur Ruang tidur utama Ruang tidur anak Kamar mandi Teras Gudang
1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 2 buah 1 buah 1 buah
Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur, dan ruang makan terutama pada pagi dan siang hari, dan di ruang keluarga dan ruang tidur utama hampir sepanjang hari. Namun ada catatan bahwa seluruh perabotan dan susunannya ditentukan oleh ibu.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Anak Dominan berada pada ruang keluarga, dan sering juga di ruang tamu.
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 3 buah, Kamar mandi 2 buah, Dapur, Ruang Makan, Ruang Keluarga, gudang, dan teras.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien, namun ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan seakan menyatu menjadi ruang yang cukup besar tanpa batas-batas fisik seperti pada arsitektur tradisional, dan dengan ornamen yang sangat minim. Ruang-ruang ini pun terkesan luas dengan prabot yang cukup sederhana. Namun kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya juga belum terlihat.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum tidak dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup kuat dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruangruang belakang, yang cukup dominan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat tampak pada teras. Sedangkan untuk ruang tamu dan ruang keluarga kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang-ruang sangat efisien namun terkesan luas dengan penggunaan prabot yang sederhana, dan aksesories pada dinding interior yang juga sangat minim.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
Dapur
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Kamar tidur anak
Ruang makan Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan, gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan mempengaruhi penataan ruangnya, walaupun intensitas pemakaian ruang yang tidak sama namun perabot yang ada selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan area belakang rumah, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak dominan pada ruang tamu dan teras depan, terutama bila ada acara-acara keluarga dan adat.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 5.8. Analisa pemetaan gender responden 8 Rumah keluarga M. Purba Alamat
• Komplek Tasbi Blok E no. 82 Medan
Identitas Rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah dibangun tidak berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri karena sudah ada atau terbangun sebelum dibeli. • Pembagian ruang sangat jelas • Namun ada ruang-ruang yang memiliki makna simbolik yaitu ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, bahkan garasi yang dapat digunakan bersamaan bila ada acara keluarga maupun adat, dengan membuat ruang tersebut lebih besar dari ruang yang lain dan dengan pembatas partisi. • Ditempati oleh satu keluarga. • Ruang keluarga sebagai pusat dari sirkulasi. • Masih tidak ada penggunaan istilah-istilah ruang pada rumah adat Karo pada bangunan ini.
Nama-nama ruang
• • • • • • • •
Pemetaan gender terhadap ruangruang
•
•
•
Ruang tamu 1 buah Kamar tidur 3 buah Kamar mandi/ cuci 1 buah Dapur 1 buah Ruang makan 1 buah Garasi 1 buah Ruang keluarga 1 buah Teras 1 buah Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore hari dan waktu senggang, dan sering juga berada di garasi pada waktu libur. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur, dan ruang makan terutama pada pagi dan siang hari, dan di ruang keluarga dan ruang tidur utama hampir sepanjang hari. Anak Dominan berada pada ruang keluarga, teras, dan ruang tidur.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 3 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur, Ruang Makan, Ruang Keluarga, garasi, dan teras depan.
Pengamatan gender berdasar-kan hakekat lama suku Karo atau kaidah rumah tradisional
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 3 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur, Ruang Makan, Ruang Keluarga, garasi, dan teras depan.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga tidak dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan ruang-ruang belakang. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat tampak pada teras dan garasi. Sedangkan untuk ruang tamu dan ruang keluarga kedua gender ini terlihat sama- sama dominan.
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang-ruang sangat efisien namun terkesan luas dengan penggunaan prabot yang sederhana, dan aksesories pada dinding interior yang juga sangat sederhana.
Denah rumah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
Kamar tidur anak
Dapur Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
terutama ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan, gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan mempengaruhi penataan ruangnya, walaupun intensitas pemakaian ruang yang tidak sama namun perabot yang ada selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama, dapur, ruang makan, dan area belakang rumah, peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak dominan pada ruang tamu dan teras depan, maupun garasi, terutama bila ada acara-acara keluarga dan adat.
Sumber : hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.9. Analisa pemetaan gender responden 9 Rumah keluarga Tampe Malem Bangun Alamat
• Jalan Sei Beras Sekata Dusun IV, Medan
Identitas Rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah dibangun berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas • Ruang tamu memiliki makna simbolik karena sangat luas dibanding dengan ruang lainnya yang sangat sempit dan dapat digunakan bila ada acara keluarga maupun adat. • Ditempati oleh satu keluarga. • Masih tidak ada penggunaan istilah-istilah ruang pada rumah adat Karo pada bangunan ini. • Keadaan ruang keluarga berukuran kecil dan sempit, digunakan untuk menerima tamu yang dekat (tamu keluarga), ruang ini juga berfungsi sebagai tempat makan • Ruang keluarga ini sebagai pusat dari sirkulasi.
Nama-nama ruang
• • • • • • •
Ruang tamu Ruang keluarga Ruang tidur utama Ruang tidur anak Dapur Teras Kamar mandi
1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pemetaan gender terhadap ruangruang
•
•
•
Bapak Dominan berada di ruang tamu di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur, dan ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai tempat makan terutama pada pagi dan siang hari, dan juga dominan pada ruang tidur utama dan ruang tamu. Anak Dominan berada pada ruang tamu, ruang keluarga/ makan dan kamar tidur.
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain Ruang Tamu, Kamar tidur 2 buah, Kamar mandi 1 buah, Dapur, ruang keluarga/ makan, dan teras.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien, namun ruang tamu dibuat cukup besar tanpa batas-batas fisik seperti pada arsitektur tradisional, dan dengan hampir tanpa aksesories pada dindingnya. Ruang tamu ini pun terkesan sangat luas dengan prabot yang cukup sederhana. Sedangkan ruangruang lainnya terkesan sangat sempit. Namun kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya juga belum terlihat.
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga tidak dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur, dan ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat tampak pada ruang tamu, walaupun gender perempuan juga terlihat sama dominan di ruang tamu (kedua gender ini terlihat sama- sama dominan).
Karakteristik ruang
•
Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang-ruang sangat efisien namun ruang tamu dibuat sangat luas dengan penggunaan prabot yang sederhana, dan aksesories pada dinding interior yang juga sangat minim.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah rumah
Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
Dapur
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Kamar tidur anak Hasil Analisa
•
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu, dan ruang keluarga/ ruang makan, gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan mempengaruhi penataan ruangnya, walaupun intensitas pemakaian ruang yang tidak sama namun perabot yang ada selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama dan dapur peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat, tampak dominan pada ruang tamu dan teras depan terutama bila ada acara-acara keluarga dan adat.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Tabel 5.10. Analisa pemetaan gender responden 10 Rumah keluarga Ardjuna Ginting Alamat
• Jalan Bengam No. 116 Binjai
Identitas rumah
• Rumah yang ada dibangun sudah tidak berdasarkan budaya Karo masa lalu. • Rumah dibangun berdasarkan tuntunan atau perencanaan dari pemiliknya sendiri dari sebidang tanah. • Pembagian ruang sangat jelas • Ruang tamu dan ruang keluarga memiliki makna simbolik karena sangat luas dibanding dengan ruang lainnya dan dapat digunakan bila ada acara keluarga maupun adat. • Ditempati oleh satu keluarga.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
• Masih tidak ada penggunaan istilah-istilah ruang pada rumah adat Karo pada bangunan ini. • Bentuk rumah tidak menyerupai bentuk rumah adat karo, namun memiliki bentuk yang lazim seperti rumah masa kini • Tidak ditemukan unsur-unsur penataan fungsi dan bentuk bangunan yang mengacu kepada adat Karo. Nama-nama ruang
• • • • • • • • • •
Pemetaan gender terhadap ruangruang
•
•
•
Ruang tamu 1 buah Ruang keluarga 1 buah Dapur dan ruang makan 1 buah Kamar tidut anak 1 buah Kamar tidur utama 1 buah Kamar mandi 1 buah Ruang cuci+ jemur 1 buah Koridor samping 1 buah Teras 1 buah Ruang sholat 1 buah Bapak Dominan berada di ruang keluarga dan di ruang tamu terutama di malam hari, dan dominan di teras pada waktu sore hari dan waktu senggang. Ibu Dominan menghabiskan waktu di dapur/ ruang makan, dan ruang keluarga terutama pada pagi dan siang hari, dan juga dominan pada ruang tidur utama dan ruang tamu. Anak Dominan berada pada ruang keluarga, ruang tidur, dan ruang makan.
Daerah pengamatan
•
Seluruh ruang yang ada pada rumah ini, dimana rumah ini terdapat beberapa ruang antara lain ruang tamu, ruang keluarga, dapur/ ruang makan, gudang, kamar mandi, kamar, ruang sholat, ruang cuci-jemur, koridor, dan teras.
Pengamatan gender berdasarkan hakekat lama suku Karo atau kaidah arsitektur tradisional
•
Pengaruh hakekat lama budaya Karo dalam pembentukkan ruang-ruang hampir tidak ditemui. Semua ruang dibuat berdasarkan kebutuhan yang sangat efisien, namun ruang tamu dibuat cukup besar tanpa batas-batas fisik dan dapat digabungkan dengan ruang keluarga yang juga cukup luas, dan dengan hampir tanpa aksesories pada dindingnya. Ruang tamu ini pun terkesan sangat luas dengan prabot yang cukup sederhana. Sedangkan ruang-ruang lainnya juga terkesan demikian. Namun kencenderungan perencanaan awal memperhitungkan peranan gender di dalamnya juga belum terlihat.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengamatan pengaruh gender pada ruang-ruang yang ada
•
Karakteristik ruang
•
Pengaruh sifat kelelakian dan keperempuan yang mempengaruhi pembentukkan ruang hanya berpengaruh pada beberapa ruang, namun peranan gender tersebut secara umum juga tidak dipahami oleh pemiliknya. Ruang yang cukup dominan dipengaruhi oleh peranan gender perempuan terutama pada ruang tidur utama, dapur/ ruang makan, dan ruang keluarga. Sedangkan peranan gender laki-laki walaupun tidak begitu kuat tampak pada ruang tamu dan teras depan, walaupun gender perempuan juga terlihat sama dominan di ruang tamu (kedua gender ini terlihat sama- sama dominan) Pembatasan teritori secara fisik maupun secara adat untuk kegiatan laki-laki dan perempuan pada rumah ini tidak ditemui. Artinya laki-laki maupun perempuan dapat menggunakan ruang yang sama. Ruang-ruang sangat efisien namun ruang tamu dan ruang keluarga dibuat sangat luas dengan penggunaan prabot yang sederhana, dan aksesories pada dinding interior yang juga sangat minim.
Denah rumah
Denah Lantai 1
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Denah Lantai 2 Gambar beberapa ruang
Ruang tamu
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dapur
Kamar tidur anak
Ruang keluarga
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Hasil Analisa
Dari temuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada semua ruang-ruang tidak ada pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Pada ruang-ruang terutama ruang tamu, dan ruang keluarga gender laki-laki dan perempuan sama-sama dominan mempengaruhi penataan ruangnya, walaupun intensitas pemakaian ruang yang tidak sama namun perabot yang ada selalu dipakai bersama. Pada ruang-ruang lain seperti pada ruang tidur utama dan dapur/ ruang makan peranan gender perempuan cukup dominan. Sedangkan dominasi peranan gender lakilaki walaupun tidak begitu kuat, tampak dominan pada ruang tamu dan teras depan terutama bila ada acara-acara keluarga dan adat.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Analisa berikut ini dilakukan menurut uraian yang sudah
dijabarkan
terhadap10 responden di atas, mulai dari kepemilikan rumah, proses pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan ruang-ruangnya,sebagai berikut;
Tabel 5.11. Analisa peranan gender mulai dari proses kepemilikan rumah, proses pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan ruangruang Kegiatan Gender •
Tahapan awal mendirikan rumah (pembelian rumah)
•
Penentuan pengadaan material rumah, finishing arsitektural, prabot, perlengkapan rumah.
Gender Laki-Laki •
•
Dominan Sebagai kepala rumah tangga dari sebuah rumah yang dihuni oleh satu keluarga Tidak dominan Terutama pada material fisik sturktural rumah, seperti penentuan pamakaian atap, keamanan rumah, mekanikal elektrikal rumah, peralatan kerja, dan juga pada ruang kendaraan.
Gender Perempuan •
•
Kesimpulan
Dominan Sebagai istri pemilik rumah juga turut menentukan lokasi rumah.
Peran gender laki-laki dan perempuan samasama dominan.
Dominan Hampir semua ruangan rumah, terutama finishing ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar mandi, pemakaian prabot dan perlengkapan rumah,
Peran gender perempuan sangat menentukan cerah atau tidaknya sebuah rumah.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
terutama di dapur dan ruang makan. •
Jaminan pembelian/ kepemilikkan rumah dan perawatannya ke depan.
•
Pengembangan pembangunan elemen-elemen arsitektural dan sturktural (hampir semua rumah dalam kondisi beli jadi)
•
Penggunaan dan pengembangan peralatan dapur .
•
•
Memasuki rumah baru dengan ritual selamatan.
•
•
•
Dominan Pemilik rumah sebagai kepala rumah tangga membeli rumah, mengembangkannya, menjamin terselenggaranya energi di dalam rumah dan perawatan rumah ke dapan. Tidak dominan Ada beberapa tindakan kemungkinan pengembangan seperti penambahan kamar tidur, dan ruang-ruang untuk kendaraan.
Tidak dominan Hampir jarang melakukan kegiatan di dapur, dan menyerahkan sepenuhnya pengembangan dapur dan peralatannya kepada pihak perempuan. Dominan Pihak laki-laki sebagai kepala rumah tangga selalu ada kebangaan atas sebuah rumah baru yang baru ditempatinya
•
•
•
•
Tidak dominan Istri pemilik rumah bertanggung jawab penuh terhadap perawatan harian rumah.
Peran gender laki-laki dan perempuan hampir sama dominan di lihat dari tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dominan Menginginkan banyak pengembangan ke depan, seperti perluasan dapur, penambahan kamar tidur, perluasan area belakang rumah, dan perluasan secara vertikal ke atas.
Peran gender perempuan sangat dominan dalam tahapan pengembangan rumah ke depan.
Dominan Hampir semua kegiatan di area ini dikuasai dan rutinitas dilakukan oleh gender perempuan.
Peran gender perempuan sangat dominan menunjukkan peran besarnya dalam menguasai dapur
Dominan Pihak perempuan selalu mengharapkan adanya ketenangan dan keselamatan selama mendiami sebuah rumah yang baru ditempatinya.
Peran gender laki-laki dan perempuan samasama menginginkan berkah dari Tuhan dengan ditempatinya sebuah rumah, dengan mengadakan acara doa bersama kerabat dan keluarga besarnya.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari proses kepemilikan ruma, pembangunan, dan pengembangan, peranan gender perempuan terlihat lebih dominan dari pada gender laki-laki.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Dari analisis kajian 10 responden di atas, dominasi peranan gender terhadap penggunaan ruang-ruang pada arsitektur rumah suku Karo kontemporer,
dapat
dirumuskan dalam tabel seperti berukut ini:
Tabel 5.12. Analisa peranan gender terhadap penggunaan ruang-ruang pada arsitektur rumah suku Karo kontemporer Pemilik rumah 1. Jamal Hayrudin Tarigan
2. Armando Arih Persada Barus
Ruang
Gender Perempuan
• • • • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Area belakang Garasi Teras depan
• • • • • •
• • • • • • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Area belakang Garasi Teras depan Toko Kandang
• • • • • •
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Gender LakiLaki • •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• • • •
Dominan Dominan Dominan Dominan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
3. Sumarlin Ginting
4. Gunung Kaban
5. Surianto Sembiring
6. Sidharta Meliala
7. M. Meliala
• • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Teras depan
• • • • •
• • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Teras depan
• • • • •
• • • • • •
Tamu Keluarga Dapur Ruang tidur Teras depan Garasi
• • • •
• • • • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Balkon Karpot Teras depan
• • • • • •
• • • • • • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Area belakang Garasi Teras depan Gudang Karpot
• • • • • • •
• •
Dominan Dominan
•
Dominan
• •
Dominan Dominan
•
Dominan
• •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• • •
Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
•
Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
8. Keluarga M. Purba
9. Tampe Malem Bangun
10. Ardjuna Ginting
• • • • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Area belakang Garasi Teras depan
• • • • • •
• • • • •
Tamu Keluarga /makan Dapur Ruang tidur Teras depan
• • • •
• • • • • •
Tamu Keluarga Makan Dapur Ruang tidur Teras depan
• • • • •
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan
Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
• •
Dominan Dominan
•
Dominan
• •
Dominan Dominan
•
Dominan
Tampak bahwa peranan gender perempuan mendominasi penggunaan ruang-ruang yang ada pada setiap rumah responden pada rumah Karo kontemporer dibandingkan dengan gender laki-laki.
Sumber : Hasil analisa tahun 2007
Dari upaya kajian seperti pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa gender perempuan lebih dominan dari pada gender laki-laki dalam hal pemanfaatan secara dominan ruang-ruang pada arsitektur rumah suku Karo kontemporer. Rumah Karo kontemporer ini berciri-ciri yang sama dengan rumah tinggal kontemporer pada umumnya, yang dirancang untuk satu keluarga, dan dibangun tidak berdasarkan atas tata cara adat kebudayaan lagi. Beberapa aspek budaya yang masih dipertahankan diantaranya seperti, adanya ruang tamu maupun ruang keluarga yang dibuat relatif cukup luas yang mengindikasikan masih adanya perkerabatan
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
yang kuat, dengan kamar-kamar tidur dengan besaran ruang yang sangat efisien, dan interior bangunan yang minimalis dengan prabot yang sangat sederhana. Kalaupun ada kegiatan memelihara ternak, peletakan lahan perternakan dilakukan di areal belakang site atau terpisah dari bangunan. Sedangkan adat istidat yang hampir tidak ditemukan lagi pada saat ini, antara lain seperti seluruh prosesi upacara dari awal pembangunan rumah sampai upacara penggunaanya. Di samping itu ornamen-ornamen eksterior maupun konsepsi struktural bangunan adat Karo sudah tidak terlihat lagi pada bangunan Seluruh aturan adat dalam membuat pembagian ruang-ruang dan penggunaannya, termasuk konsepsi sirkulasi juga sudah tidak terlihat. Beberapa temuan yang dapat mengambarkan bagaimana peranan gender di dalam pembentukkan rumah suku Karo kontemporer diantaranya pada ruang-ruang terutama ruang tamu dan ruang keluarga dimana keduanya gender menggunakan ruang yang sama dominannya. Dan secara rata-rata, ruang dapur, ruang keluarga, ruang makan,
kamar tidur utama, dan area belakang rumah masih merupakan
ruang-ruang yang sangat dominan digunakan oleh gender perempuan. Sedangkan gender laki-laki lebih dominan (walaupun tidak terlalu kuat) pada area garasi/ karpot dan teras. Dari analisa kajian inii dapat dikatakan bahwa, masih ditemukan “peranan gender dapat mempengaruhi didalam pembentukkan bangunan rumah kontemporer”.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB VI KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian di dapatkan suatu pemahaman yang berlaku pada bangunan rumah suku Karo pada kontemporer, diantaranya bahwa pengaruh gender di dalam ruang sebuah rumah telah mengalami sebuah perubahan makna dibandingkan pada rumah tradisional Karo dimasa lalu. Pada rumah tradisional Karo pembagian ruang antara laki-laki dan perempuan sangat jelas sekali karena dibatasi oleh pengaruh-pengaruh adat istiadat yang sangat tabu untuk dilanggar oleh masingmasing gender. Pada masa itu pembagian ruang berdasarkan gender dapat dipakai untuk menilai tingkat privasi ruang berdasarkan jenis kegiatan yang terjadi di dalamnya. Namun pada masa kini makna lama tersebut hampir tidak ditemukan, hal ini didasarkan pada pengaruh keyakinan beragama yang lebih dominan dibandingkan pengaruh dan batasan yang ditimbulkan oleh adat istiadat kelompok masyarakat tersebut. Saat ini yang ditemukan antara lain adanya perbedaan pengguna dan penggunaannya pada kegiatan rutin dan temporal yang berlangsung. Pengaruh gender terhadap pembentukan ruang dapat memberikan perubahan terhadap sifat ruang, antara lain ruang privat, bisa berubah menjadi semi privat atau ruang yang semula semi publik berubah menjadi publik. Perubahan sifat ruang merubah tingkat privasi ruang yang semula tinggi karena hanya dipergunakan oleh anggota keluarga saja,
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
berubah menjadi rendah dengan pengguna orang lain. Terjadi pula terhadap ruang yang hanya diperuntukkan bagi perempuan, namun dipergunakan oleh anggota keluarga laki-laki. Hal tersebut menjadi indikasi berkurangnya tingkat privasi yang disebabkan oleh pola hubungan sosial dan kebutuhan. Pemisahan antara ruang publik dan ruang privat terlihat dari adanya pemisahan jenis kegiatan, dengan membagi peran domestik dan publik yang dipisahkan menjadi fungsi sosial dan fungsi domestik. Sebagai contoh dari hasil kajian yang di dapat pada obyek kasus antara lain salah satunya ditandai dengan ruang tamu yang terletak di depan hunian yang menjadi fungsi sosial bagi laki-laki dan perempuan, sementara dapur selain sebagai fungsi domestik juga sebagai fungsi sosial bagi perempuan. Ruang keluarga dan ruang makan sepenuhnya menjadi tempat fungsi domestik. Dari hasil kajian pada umumnya ruang tamu berada pada bagian depan rumah, sedangkan ruang dapur dan ruang makan pada umumnya berada pada bagian belakang. Hal ini menggambarkan bahwa semakin publik sifat sebuah ruang maka ruang tersebut akan menempati bagian rumah yang paling depan. Demikian juga sebaliknya semakin privat fungsi dari sebuah ruang maka ruang tersebut akan menempati bagian paling belakang dari rumah tersebut. Namun pengaruh gender tidaklah selalu mempengaruhi pada penempatan ruang di dalam rumah. Pada beberapa kasus pembagian sifat ruang menjadi tidak jelas dikarenakan bahwa ruang yang ada mempunyai dua sifat kegiatan yang berbeda, diantaranya ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang makan yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga dan dapur yang juga berfungsi sebagai
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
ruang makan. Hal ini memberikan gambaran bahwa penempatan dan pembagian ruang tidaklah selalu harus berdasarkan pada sifat ruang yang menempatkan ruang publik selalu berada di depan dan semakin kebelakang semakin privat, bahkan sekarang akibat fungsi ganda dari ruang yang disebutkan diatas menyebabkan penempatan ruang menjadi tidak jelas. Selain itu pergeseran makna pengaruh gender pada ruang juga memberikan gambaran antara lain ruang publik tidak mutlak sebagai ruang khusus laki-laki melainkan pada saat ini ruang publik juga dapat digunakan oleh kaum perempuan, bahkan bisa lebih dominan, misalnya bila ruang tamu tersebut sepanjang hari digunakan oleh gender perempuan, dikarenakannya terbatasnya ruang-ruang yang ada, sedangkan gender laki-laki hanya menggunakannya secara temporal. Ada penyimpangan mengenai konsepsi ruang yang diakibatkan pengaruh gender di hunian Karo saat ini, yaitu adanya kecenderungan pembagian yang jelas antara jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, karena perempuan tidak lagi melakukan kegiatan domestik saja, melainkan juga sebagian melakukan kegiatan publik. Meskipun demikian, teritori kegiatan pada sebagian kegiatan di dalam ruang tertentu tetap dipertahankan, seperti misalnya di ruang tidur utama dan ruang-ruang selain ruang tamu.. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan tidak serta merta diikuti oleh kesetaraan atau tidak adanya dominasi laki-laki atas perempuan. Disimpulkan bahwa hunian Karo kontemporer tidak mutlak mengikuti kaidah arsitektur tradisional yang sepenuhnya dipengaruhi oleh aspek budaya, melainkan lebih kepada aspek fungsionalisme struktural. Arsitektur hunian Karo kontemporer masih umumnya menganut konsep dialektis dan pusat sebagai orientasi spasial yang didasarkan pada figur manusia seperti pemisahan bagian depan–bagian belakang dan bagian kiri–bagian kanan sebagai dasar pembentukan ruangnya. Pada hunian Karo kontemporer, bagian depan diidentikkan dengan publik, terang, laki-laki, dan ruang luar. Sedangkan bagian belakang diidentikkan dengan privat, gelap, perempuan, ruang dalam, dan domestik. Bagian kanan diidentikkan dengan sakral dan baik, sementara bagian kiri diidentikkan dengan profan dan buruk. Ruang tamu menjadi ruang antara kedua kutub tersebut seperti ruang yang bersifat semi publik, peralihan terang ke gelap, dan peralihan ruang laki-laki ke ruang perempuan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Pada rumah suku Karo kontemporer menggambarkan bahwa faktor budaya tidak lagi menjadi salah satu faktor pembentuk arsitektur hunian suku Karo masa kini, dimana pada masa lalu gambaran faktor budaya tersebut menandai adanya pemisahan yang tegas antara ruang laki-laki dan ruang perempuan walaupun tidak secara fisik semata. Pola menetap setelah menikah pada masyarakat Karo mempengaruhi bentuk dan pola ruang hunian yang terbentuk. Pola menetap ini terkait erat dengan pola kekerabatan. Meskipun masyarakat Karo masih menganut pola setelah menikah menetap di keluarga perempuan/istri, ternyata yang memegang peranan utama didalam keluarga adalah suami /laki-laki, sehingga dapat dikatakan masih cenderung menganut pola patriarki (laki-laki lebih berkuasa bila dibandingkan dengan perempuan). Pada hasil pengamatan system kekerabatan suku Karo ditandai dengan selalu membentuk ruang-ruang yang bersifat publik antara lain ruang tamu, ruang keluarga selalu besar dan luas, karena sewaktu-waktu kerabat mereka hadir di rumah tersebut, dan ruang-ruang tersebut sebagai tempat untuk menampung mereka. Pada hasil kajian dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa terlihat adanya kecenderungan hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pembagian peran. Masing-masing ingin mengaktualkan dirinya dengan kompromi-kompromi terhadap lainnya sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui, jadi secara umum tidak mendiskriminasikan perempuan dalam penataan ruang atau perwujudan bentuk ruang bahkan gender perempuan lebih terlihat mendominasi. Dan dari pengamatan juga terjadi kecenderungan adanya kesinambungan pada aspek fisik seperti bentuk bangunan dan pemakaian bahan bangunan yang berusaha ingin menonjolkan kebudayaan Karo, namun tidak secara menyolok tampil pada kulit bangunan, sementara pada aspek non fisik mengalami perubahan seperti pengguna ruang yang terjadi pada ruang tamu yang sudah tidak lagi didominasi oleh laki-laki seperti yang dijelaskan dalam analisa sebelumnya, melainkan juga sudah mengakomodir pengguna perempuan, sehingga sudah tidak ada superioritas laki-laki terhadap perempuan. Juga namun dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender yang ada hanya merupakan manifestasi dari proses perubahan yang sedang terjadi dan tertangkap sebagai “tradisi” baru sebagai suatu tradisi kesetaraan gender yang juga mempengaruhi suku lain yang ada di Indonesia. Oleh karena itu setiap suatu suku membangun rumah, pemahaman pengaruh gender yang berlaku pada bangunan-bangunan adat masa lalu bergeser menjadi suatu pemahaman kesetaraan gender. Dengan demikian nyata terlihat dari bukti-bukti hasil studi literatur maupun temuan lapangan bahwa telah terjadi suatu kesetaraan gender dan ini semua terjadi dalam wadah arsitektur, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro. Ini sebagai sebuah bukti bahwa suku Karo dengan arsitekturnya sedang mengalami transisi yang luar biasa. Tinjauan dari arsitektur tradisional Karo, dari hasil kajian dapat disimpulkan beberapa aspek dari terselenggaranya rumah tradisional Karo yang berdasarkan kebudayaan itu , yaitu:
•
Terdapat prosesi upacara dari awal pembangunan rumah seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Adanya ruang komunal yang dibuat relatif cukup luas bahkan merupakan seluruh ruang-ruang yang ada, yang digunakan untuk acara-acara kekeluargaan dan adat di rumah tersebut. Hal ini disebabkan karena masyarakat Karo mempunyai perkerabatan yang kuat.
•
Bangunan berada pada site yang efisien dengan ornamen dan aksesories eksterior yang sederhana, yang kesemuanya sangat ditentukan oleh ketentuan-ketentuan adat.
•
Terdapat ornamen-ornamen eksterior maupun konsepsi struktural yang spesifik dari bangunan tradisional Karo. Seperti keharusan untuk mengadakan pemena (tempat sirih) dalam bangunan, Hal ini karena kepercayaan suku Karo lebih mengarah pada aninisme. Juga terdapat beberapa perabot sakral utama seperti tempat duduk khusus untuk pemimpin keluarga.
•
Terdapat aturan-aturan adat dalam membuat pembagian ruang-ruang dan penggunaannya, termasuk konsepsi sirkulasi di dalam.
•
Perletakan lahan perternakan ditempatkan di bawah bangunan, karena pada saat itu berupa rumah panggung. Juga didapat beberapa hasil temuan yang dapat mengambarkan bagaimana
peranan gender di dalam pembentukkan ruang rumah tradisional Karo, antara lain: •
Pada ruang-ruang komunal pada saat-saat dilakukan upacara adat, masih ada pembatasan gender terutama terhadap kegiatan adat yang dilakukan oleh laki-laki
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
maupun perempuan, yang mana gender laki-laki menggunakan ruang komunal lebih dominan. •
Secara rata-rata, seluruh ruangan yang ada yang digunakan sehari-hari, seperti tungku/ dapur, beranda/ teras, koridor, dan ruang-ruang utama yang didiami satu keluarga, masih merupakan ruang-ruang yang sangat dominan digunakan oleh gender perempuan. Kajian di atas dapat mengindikasikan ditemukannya bahwa peranan gender
dapat mempengaruhi didalam pembentukkan bangunan rumah tradisional Karo, atau walaupun semua obyek kasus menempatkan gender dalam suatu kesetaraan, namun masih terdapat dominasi gender di dalamnya. Tinjauan dari arsitektur Karo kontemporer, dapat disimpulkan bahwa gender perempuan juga lebih dominan dari pada gender laki-laki dalam hal pemanfaatan secara dominan ruang-ruang pada arsitektur rumah suku Karo kontemporer. Dan rumah tinggal suku Karo kontemporer mempunyai ciri-ciri yang hampir sama dengan rumah tinggal pada umumnya, dimana pada rumah tersebut telah dirancang sedemikian rupa berdasarkan kebutuhan ruang pada satu keluarga. Mayoritas Rumah tinggal suku Karo kontemporer dibangun sudah tidak berdasarkan atas tata cara adat kebudayaan Karo lagi. Melainkan telah mengalami suatu penyesuaian terhadap kondisi kehidupan saat ini.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari hasil pengamatan beberapa responden diketahui ada beberapa hal yang masih dipertahankan dalam rumah tinggal Karo kontemporer yang berdasarkan kebudayaan yaitu: •
Adanya ruang tamu maupun ruang keluarga yang dibuat relatif cukup luas dibanding dengan ruang-ruang lainnya yang dibuat sangat efisien dan cenderung sangat sempit. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Karo masih mempunyai rasa persaudaraan dan perkerabatan yang kuat, sehingga masih dibutuhkan suatu ruangan publik yang luas untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat kekeluargaan dan adat.
•
Bangunan dengan interior bangunan yang minimalis dengan prabot yang sangat sederhana, dan hiasan dinding yang bahkan bisa dikatakan polos dan disesuaikan dengan kebutuhan, seperti kamar-kamar tidur dengan besaran
ruangan yang
masih sangat efisien, dimana pada kamar tidur hanyalah berisikan tempat tidur dan perabotan hanya berupa lemari. •
Kalaupun ada kegiatan memelihara ternak, peletakan lahan perternakan dilakukan di areal belakang site atau terpisah dari bangunan. Dalam hal ini dapat dibilang bahwa masyarakat Karo saat ini mengubah peletakan ruangan berdasarkan perkembangan jaman, dahulu ternak ditempatkan di bawah bangunan, karena pada saat itu berupa rumah panggung, sedang sekarang area tempat bertenak diletakan di belakang yang berdekatan dengan area dapur dan ruang makan.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Sedangkan adat istidat dalam proses pembangunan dan bangunan rumah tradisional Karo, yang hampir tidak ditemukan lagi pada saat ini, antara lain : •
Seluruh prosesi upacara dari awal pembangunan rumah seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya sama sekali sudah tidak terjadi lagi disini, seperti peletakan batu pertama pada proses pembangunan rumah tinggal Karo yang disertai dengan dukun digubah menjadi upacara keagamaan sesuai dengan agama baru yang dianut.
•
Ornamen-ornamen eksterior maupun konsepsi struktural bangunan adat Karo sudah tidak terlihat pada bangunan saat ini, termasuk keharusan untuk mengadakan pemena (tempat sirih) telah dihilangkan dari dalam bangunan. Hal ini karena pergeseran faham religius yang dianut saat ini, dimana pada jaman dulu kepercayaan suku Karo lebih mengarah pada aninisme, sedangkan pada jaman sekarang mayoritas suku Karo telah menganut agama Kristen, dan bahkan ada yang beragama Islam. Juga beberapa perabot sakral utama seperti tempat duduk khusus untuk pemimpin keluarga juga telah ditinggalkan.
•
Seluruh aturan adat dalam membuat pembagian ruang-ruang dan penggunaannya, termasuk konsepsi sirkulasi di dalam bangunan juga sudah tidak terlihat lagi. Berdasarkan pengamatan dan analisa pada kasus diatas, didapat beberapa hasil
temuan yang dapat mengambarkan bagaimana peranan gender di dalam pembentukkan ruang rumah suku Karo kontemporer, antara lain:
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
•
Ruang-ruang terutama ruang tamu dan ruang keluarga sudah tidak ada pembatasan gender terutama terhadap kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Keduanya menggunakan ruang yang sama dominannya.
•
Secara rata-rata, ruang dapur, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur utama, dan area belakang rumah masih merupakan ruang-ruang yang sangat dominan digunakan oleh gender perempuan. Sedangkan gender laki-laki lebih dominan (walaupun tidak terlalu kuat) pada area garasi/ karpot dan teras. Dari analisa kajian di atas dapat dikatakan bahwa, masih ditemukan peranan
gender dapat mempengaruhi didalam pembentukkan bangunan rumah kontemporer. Walaupun semua obyek kasus menempatkan gender dalam suatu kesetaraan didalam menentukan mulai dari proses kepemilikan, pemakaian ruang, dan perawatan rumah, bentuk rumah, bentuk ruang, serta susunan ruang, maupun dari aspek interiornya dan penggunaan peralatan di dalam rumah, masih terdapat dominasi gender didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Sudianto (1999), Ngawangun Ki Nusantara, Arsitektur Unpar Beatriz Colomina, Editor (1992), Sexuality and Space. Princeton Architectural Press, New York. Betsky, Aaron (1995), Building Sex : Men, Women, Architectural and Construction of Sexuality. William Morrow and Company Inc, New York.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Chandler, David (2002), Semiotic for Beginner, documents/S4B/ sem 06 html, downloaded 4/14/07
www.aber.ac.uk/media/
Chaze, Vanessa (1996), ‘Edith Warton, The Decoration of Houses and Gender in turnof the Century America’ dalam : Architecture and Feminism. Editor Debra L Coleman dkk. Princeton Architectural Press, New York. Crowe, Norman (1997), Nature and The Idea of a Man-Made World, MIT Press Cambrige. Hadi, Sutrisno (1980), Metodologi Research Jilid 1. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Illich, Ivan (1982), Matinya Gender. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Illich, Ivan (1983), Gender. Marion Boyars Publisher Ltd, London Kuntowijoyo, (1994), Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Jurusan Sejarah F.Sastra UGM dan PT. Tiara Wacana. Mansour Fakih, (1996), Menggeser Konsepsi Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Moqoffa, Muhammad (1998), Aspek Jender pada Dalem Bangsawan di Surakarta Dalam Dinamika Perubahan Sosial, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung. Nawawiy, M dkk (2004), Raibnya Para Dewa, Kajian Arsitektur Kasro, Bina Teknik Press, Medan. Prijotomo, Josef (1992), Ideas and Forms of Javanese Architecture, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Prijotomo, Josef (2004), Arsitektur Nusantara : Menuju Keniscayaan, Wastu Laras Grafika, Surabaya. Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture. Engelwood Cliffs, Prentice Hall Inc, New York. Sanapiah, Faisal (1990), Penelitian Kualitatif : Dasar – Dasar dan Aplikasi. Yayasan Asih, Asah, Asuh, malang. Sitepu, Sempa (1996), Pilar Budaya Karo. Forum Komunikasi Masyarakat Karo.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Spain, Dapne, (1992), Gendered Space. The University of North Carolina Press, London. Waterson, Roxana (1990) The Living House: An Anthropology ogy of Architecture in South-East Asia, Oxford University Press, New York.
LAMPIRAN
Kuisioner Penelitian •
Peranan Gender Dalam Arsitektur
Penelitian ini dalam rangka pengumpulan data Tesis Sumatera Utara
pada Sekolah Pasca Sarjana, Universitas
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
Hari/ Tanggal : Jam Penelitian : Lokasi Penelitian :
Petunjuk pengisian: Mohon diisi dengan sebenar-benarnya menurut pendapat Bapak/ Ibu sendiri, karena hasil kuisioner ini semata-mata akan digunakan untuk kepentingan akademik, bukan untuk dipublikasikan.
Nama : Usia : Pekerjaan : Agama : Nama istri : Pekerjaan istri : Alamat : Suku suami : Suku istri : 1. Sekilas tentang rumah Bapak/ Ibu: a. Rumah dimiliki dengan membangun dari tapak tanah, atau membeli rumah jadi? b. Tahun berapa rumah Bapak/ Ibu dibangun atau di beli? c. Yang sangat menginginkan rumah ini apakah Bapak atau Ibu? 2. Selain Bapak/ Ibu yang menempati rumah ini, apakah ada keluarga lainnya yang tinggal di rumah ini secara permanen? 3. Apakah Bapak menginginkan perluasan ruang atau bangunan rumah ini, kalau ya, ruang apa saja yang ingin Bapak tambahkan atau yang ingin Bapak perluas?
4. Apakah Ibu menginginkan perluasan ruang atau bangunan rumah ini, kalau ya, ruang apa saja yang ingin Ibu tambahkan atau yang ingin Ibu perluas?
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
5. Siapa yang biasanya
paling
menentukan rencana/ disain dari
perluasan
bangunan rumah Bapak/Ibu?
6. Ruang-ruang mana sajakah di rumah yang sangat menjadi perhatian khusus dalam hal penataan perabot bagi Bapak? ( Dimohon juga dijelaskan contoh prabotnya)
7. Ruang-ruang mana sajakah di rumah yang sangat menjadi perhatian khusus dalam hal penataan perabot bagi Ibu? ( Dan mohon dijelaskan contoh prabotnya)
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
8. Apakah ada ritual-ritual khusus yang Bapak/ Ibu lakukan terhadap ruang-ruang yang ada di rumah? bila ada mohon dijelaskan ritual tersebut berupa apa dan tujuannya untuk apa?
9. Apakah Bapak/ Ibu pernah mengaplikasikan adat istiadat suku Karo di dalam hal beraktifitas sehari-hari di rumah, sehingga adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi
bentuk-bentuk ruang dan bangunan yang ada? )Bila ada,
dimohonkan juga contoh penerapannya).
10. Apakah Bapak/Ibu masih sering mengadakan acara-acara adat di rumah ini, dengan mengundang teman-teman se suku, atau terutama keluarga? Kalau ada
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
mohon dijelaskan seperti apa acara-acara adat tersebut, dan di ruangan mana saja yang biasanya digunakan?
11. Mohon tabel berikut ini diisi berdasarkan kebiasaan Bapak selama beraktifitas sehari-hari di rumah (mohon di isi langsung di dalam tabel di bawah ini): JAM
KEGIATAN
DI LAKUKAN
KETERANGAN
DI RUANG
5.00
-
6.00 6.00
-
7.00 7.00
-
8.00 9.00
-
10.00 10.00
-
11.00 11.00
-
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
12.00 12.00
–
13.00 13.00
–
14.00 14.00
–
15.00 15.00
–
16.00 16.00
-
17.00 17.00
-
18.00 18.00
–
19.00 19.00
–
20.00 20.00
–
21.00 21.00
–
22.00
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
22.00
–
23.00 23.00
-
24.00
12. Mohon
tabel berikut ini diisi berdasarkan kebiasaan Ibu selama beraktifitas
sehari-hari di rumah (mohon di isi langsung di dalam tabel di bawah ini): JAM
KEGIATAN
DI LAKUKAN
KETERANGAN
DI RUANG
5.00
-
6.00 6.00
-
7.00 7.00
-
8.00 9.00
-
10.00 10.00
-
11.00
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
11.00
-
12.00 12.00
–
13.00 13.00
–
14.00 14.00
–
15.00 15.00
–
16.00 16.00
-
17.00 17.00
-
18.00 18.00
–
19.00 19.00
–
20.00 20.00
–
21.00 21.00
–
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
22.00 22.00
–
23.00 23.00
-
24.00
13. Mohon
tabel berikut ini diisi berdasarkan kebiasaan
salah seorang anak
perempuan atau laki- laki, (salah satu anak saja), selama beraktifitas sehari-hari di rumah (mohon di isi langsung di dalam tabel di bawah ini): JAM
KEGIATAN
DI LAKUKAN
KETERANGAN
DI RUANG
5.00
-
6.00 6.00
-
7.00 7.00
-
8.00 9.00
-
10.00
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
10.00
-
11.00 11.00
-
12.00 12.00
–
13.00 13.00
–
14.00 14.00
–
15.00 15.00
–
16.00 16.00
-
17.00 17.00
-
18.00 18.00
–
19.00 19.00
–
20.00 20.00
–
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008
21.00 21.00
–
22.00 22.00
–
23.00 23.00
-
24.00
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan Bapak dan Ibu yang telah mengisi kuisioner ini. Besar harapan kami, data-data yang Bapak dan Ibu berikan akan menjadi dasar yang akurat dalam pengkajian yang akan kami buat yaitu Peranan Gender dalam Arsitektur, yang akan memberikan konstribusi bagi perkembangan teori arsitektur, dan juga akan membuka wacana bagi pelestarian identitas arsitektur, khususnya arsitektur Karo.
FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008