PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN (STUDI MENGENAI LEMBAGA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG) DISERTASI
Untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, Sp.A(K) Untuk dipertahankan dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
Oleh MANAHAN M.P SITOMPUL 028101005/S3 HK
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
: PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN (STUDI MENGENAI LEMBAGA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
Nama Mahasiswa
: Manahan MP. Sitompul
Nomor Pokok
: 028101005
Program
: Doktor (S3) Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H.) Promotor
(Prof. Dr. Amiruddin Abdul Wahab, S.H.) (Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H.) Co. Promotor Co. Promotor
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum,
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H.)
Tanggal Lulus
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,Msc.)
: 21 Januari 2009
Tim Penguji Luar Komisi : Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
(Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H.)
(Prof. Dahlan, S.H., M.H.)
(Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM)
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian di dalam atau di luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) Manahan M.P.Sitompul 1 Mariam Darus Badrulzaman 2 Amiruddin Abdul Wahab 3 Bismar Nasution 4 INTISARI Hukum Kepailitan adalah bahagian dari Hukum Ekonomi yang memiliki sifat Hukum Perdata maupun sifat Hukum Publik. Kepailitan merupakan suatu penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor secara bersama-sama. Hukum Kepailitan fungsinya mengatur kepentingan individu (subjek hukum) dan kepentingan masyarakat yang seimbang untuk mencapai kemakmuran bersama. Hukum Kepailitan Indonesia semula diatur dalam Faillisements Verordening (Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatblad Tahun 1906 Nomor 348). Peraturan dari zaman Belanda ini tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam menghadapi perkembangan terutama untuk mengatasi krisis moneter. Salah satu akibat krisis moneter ini adalah sulitnya dunia usaha untuk membayar utangutangnya baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, bahkan mengalami kesulitan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia ini mempunyai dampak negatif terhadap kepercayaan luar negeri. Untuk memulihkan kepercayaan ini, dengan alasan dan pertimbangan kegentingan yang memaksa, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, dan Perpu ini telah ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan (UUK). Fenomena Globalisasi nampak nyata dalam bidang ekonomi dilihat dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara bangsa, sehingga dunia tanpa batas sangat dirasakan dalam kegiatan perekonomian Internasional. Dalam bidang Hukum bisnis perlu adanya peraturan Hukum Kepailitan yang menciptakan keadaan kondusif bagi kehidupan perekonomian Nasional dan dapat mempertahankan perusahaan debitor yang terancam pailit akibat kesulitan membayar utang-utangnya. Komentar masyarakat terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, yang minta agar segera disempurnakan menjadi lebih komprehensif dan representatif, telah direspons oleh pemerintah melalui program legislasi membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (UUK dan PKPU). Perkembangan kepailitan dan penyebutan PKPU dalam judul Undang-Undang 1
Ketua Pengadilan Negeri Cilacap Guru Besar (Emeritus) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan 3 Guru Besar Fakultas Hukum Unisyiah Darussalam di Banda Aceh 4 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan 2
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
menunjukan bahwa PKPU merupakan sarana penting dalam penyelesaian utang piutang yang intinya perdamaian. Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Pemerintah juga telah membentuk Prakarsa Jakarta sebagai Lembaga Khusus yang berfungsi sebagai Mediator sekaligus fasilitator dalam penyelesaian utang piutang swasta diluar pengadilan. Khusus untuk pembayaran utang luar negeri swasta nasional dibentuk INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) untuk menyediakan Skema Adiministrasi penyelesaian utang piutang. Prakarsa Jakarta telah mengakhiri tugasnya pada tahun 2003 yang lalu, sedang INDRA telah dibubarkan kemudian setelah mencapai tugas-tugasnya. Hal ini telah memberi pengalaman bagi Indonesia dalam menanggulangi masalah utang piutang terutama akibat perubahan kurs dollar AS terhadap rupiah yang signifikan. PKPU sebagai lembaga yang fleksibel dapat difungsikan menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan antara debitor dengan para kreditornya. Pada umumnya dilakukan kombinasi antara moratorium (penundaan) dengan restrukturisasi utang dalam suatu perjanjian perdamaian yang harus dicapai dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Dari hasil penelitian di 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia, dari 600 (enam ratus) perkara Kepailitan dan PKPU yang masuk, hanya 92 (sembilan puluh dua) perkara atau 15% (lima belas persen) yang diselesaikan dengan perdamaian, sedang dalam 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) perkara atau 49% (empat puluh sembilan persen) debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi. Seyogianya dari 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi, masih banyak yang dapat diselamatkan apabila Undang-Undang Kepailitan dan PKPU berkiblat pada reorganisasi perusahaan dengan berpedoman pada Reorganization Chapter 11 USBC. Dalam hal Pengadilan Niaga diberi kewenangan memerintahkan perusahaan debitor yang terancam pailit untuk direorganisasi adalah salah satu ide yang ditawarkan. Oleh karena itu perubahan “UUK dan PKPU” menjadi “UUK dan Reorganisasi Perusahaan” adalah merupakan suatu harapan “futuristic View” dalam mewujudkan suatu Hukum Kepailitan Modern di Indonesia. Kata kunci
:-
Sengketa utang piutang Perdamaian Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
RESOLUTION OF RECEIVABLE AND LIABILITY DISPUTE OF A CORPORATE BY AGREEMENT IN AND OUT OF BANKRUPTCY (A Study of an Institution for Suspension of Payment ) Manahan M.P.Sitompul 1 Mariam Darus Badrulzaman 2 Amiruddin Abdul Wahab 3 Bismar Nasution 4 ABSTRACT Bankruptcy is a part of Economical Law having characteristics of civil and public laws. Bankruptcy is a public seizure over all the properties of debtors for satisfaction of creditors collectively. The law of bankruptcy functions to govern proportionally interests of individual (subject of law) and public to reach collective welfare. The Indonesian law of bankruptcy is initially stipulated in Faillisements Verordering (Staatblad of 1905 No. 217 related to Staatblad of 1906 No. 348). The rule of Netherlands cannot meet requirements of advances need especially to overcoming monetary crisis. One consequence of the monetary crisis not only the distress faced by any company to repay liability either domestic or foreign, further even to maintain the survival of their business. Such economic circumstances of Indonesia have negative impact on foreigners confidence. To recover this with the crucial reason and consideration, the Government has issued the Governmental Rule for substitution of the Laws (Perpu) No.1 of 1998 and this Rule has been established to be the Laws by the Laws No 4 of 1998 hereinafter referred to as The Laws of Bankruptcy (UUK) The globalization phenoment of economic is seem obviously, in terms of transfer of financial and resources as if there’s no world’s disparities. In Law of Business, the UUK can create condusive, circumstances for national economy and help any debtor led to bankruptcy with is due to failure to repay liability. The public comment on the Substituting Rule No. 1 of 1998 related to the Laws No. 4 of 1998 that claimed to immediately make it more comprehensive and representative has been responded by the Government through a legislation to establish and validate the Laws No 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment hereinafter referred to as the Laws of Bankruptcy and Suspension of Payment (UUK & PKPU). The progress of bankruptcy and citation of Suspension of Payment (PKPU) in the title of Laws shows that the Suspension of Payment (PKPU) is an important facility for recovery of receivable and liability which has an essence of agreement. Since the monetary crisis in 1998, the Government has established Prakarsa Jakarta as a Special Institution functioning to be a mediator and facilitator for resolution of private receivable and liability out of court. In particular, in repayment of foreign liability of the national private, INDRA 1
The Chief of Civil Court, Cilacap Professor (Emeritus) of Faculty of Law, Sumatra Utara University, Medan 3 Professor of Faculty of Law, Unsyiah Darussalam, Banda Aceh 4 Professor of Faculty of Law, Sumatra Utara University, Medan 2
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
(Indonesian Debt Restructuring Agency) has been established to provide an Administrative Scheme of Receivable and Liability Resolution. Both Prakarsa Jakarta and INDRA have completed their task in 2003 ago. It had given a valuable experience for Indonesia in dealing with the receivable and liability especially due to the significantly exchange rate of USA dollar to rupiah. PKPU as a flexible institution can function to resolute any dispute of receivable and liability of a corporate between debtor and creditor. In general, the combination of moratorium and restructurization of liability in an agreement should be accomplished no more than 270 (two hundred and seventy) days. From the study carried out at 5(five) Commercial Courts in Indonesia resulting from 600 (six hundred) cases of bankruptcy and Suspension of Payment (PKPU), there were only 92 (ninety two) cases or 15% (fifteen percents) that had been resolved in an agreement, whereas the remaining 297 (two hundred and ninety seven) cases or 49% (forty nine percents) of debtors were bankrupt and liquidated. Should the Laws of Bankruptcy and Suspension of Payment (PKPU) have been oriented, some would still be restructured out of 297 (two hundred and ninety seven) bankrupt and liquidate, referring to the Reorganization Chapter 11 of USBC. It become an idea offered to order those debtors leading to bankruptcy to reorganize. Therefore, the change “UUK dan PKPU” into “UUK dan Reorganisasi Perusahaan” is an expectation of futuristic view for realization of a modern law of bankruptcy in Indonesia. Keywords
: Dispute of Receivable and Liability Agreement Bankruptcy and Suspension of Payment
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Kata Pengantar Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan judul : “ Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian di Dalam atau di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)”. Penelitian ini dapat dilakukan berkat bimbingan dan arahan serta masukan dari Tim Promotor, yaitu yang terhormat Ibu Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H. selaku ketua, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Amiruddin A.Wahab, S.H. selaku anggota Tim Promotor, dan yang terhormat Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Anggota Tim Promotor sekaligus sebagai Ketua Program Study Doktor (S3) Ilmu Hukum. Kepada beliau disampaikan rasa terima kasih yang tulus atas budi baik yang telah memberikan curahan ilmu pengetahuan kepada penulis. Juga diucapkan terima kasih kepada Tim Penguji Luar Komisi yaitu : yang terhormat Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., yang terhormat Bapak Prof. Dahlan, S.H., M.H., yang terhormat Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM, yang telah memberi arahan, petunjuk dan koreksi dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini ; Dalam kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih yang khusus kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL, mantan Ketua Mahkamah Agung RI. atas restu dan simpati beliau pada setiap kegiatan akademik sehingga telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini; 2. Bapak H. Suryanto, S.H., mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang, Bapak M. Siringoringo, S.H., mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, Bapak Bagus Sugiri, S.H., Ketua Pengadilan Tinggi Semarang, atas izin dan restu beliau bagi penulis mengikuti pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum sampai selesai. Disadari bahwa penelitian dan penulisan disertasi ini hanya dapat diselesaikan berkat dorongan, budi baik dan bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
1. Bapak Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), Rektor/Ketua Senat Guru Besar Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti Pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc, Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S., mantan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta seluruh Bapak/ Ibu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Disampaikan juga terima kasih dan permohonan maaf kepada isteri tercinta Hartaty C.N. Malau, B.A., atas doa dan kesetiaannya mendampingi penulis dalam segala upaya untuk menyelesaikan disertasi ini. Kepada anak-anakku tersayang : Juristama Partogi Sitompul, S.P, Lawina Meiharti Sitompul, S.Psi, Junistira Herawati Sitompul dengan pesan agar tetap bertekad untuk menyelesaikan studi dan menambah ilmunya walau ada kendala akibat kegiatan penyelesaian disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada segenap sahabat seperjuangan dalam suka dan duka yang telah banyak berjasa memberi semangat dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini khususnya : Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., SiP, M.Hum, (Hakim Agung RI), Dr. Supandi, S.H., M.Hum, Dr. Iman Jauhari, S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, Dr. Soleman Mantayborbir, S.H., M.Hum, Dr. Triono Edy, S.H., M.Hum, Dr. Januari Siregar, S.H., M.Hum, Dr Purnama T. Sianturi, S.H.,, M.Hum dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu ; Atas segala kekeliruan dan kekurangan yang terdapat dalam disertasi ini penulis mohon maaf dan akan dapat diperbaiki kelak, semoga ada manfaaat dari penulisan disertasi ini.
Medan,
Januari 2009 Penulis
Manahan M.P. Sitompul
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP IDENTITAS : 1. Nama Lengkap dan Gelar : Manahan Malontige Pardamean Sitompul, SH. M.Hum 2. Tempat, Tanggal lahir : Tarutung, 8 Desember 1953 3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Agama : Kristen Protestan 5. Fakultas/Program Studi : Hukum/Ilmu Hukum 6. Pekerjaan/Jabatan Sekarang: Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Cilacap Jawa Tengah 7. NIP : 040046014 8. Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda/Hakim Madya Utama (IV/c) 9. Nama Orang Tua : a. Ayah : Ds. S.M.S. Sitompul b. Ibu : T.M. br. Panggabean 10. Status : Kawin tahun 1984 11. Isteri : Hartaty C.N. Malau, BA 12. Anak : a. Juristama Partogi Sitompul, S.P b. Lawina Meiharti Sitompul, S.Psi c. Junistira Herawati Sitompul 13. Alamat a. Rumah : 1). Jln. Setiabudi Psr. II. Komp. Taman Perkasa Indah BL.C No. 12 Medan. 2). Jln. Ir. Juanda Komp. Gumilir Indah BL 23. No 1 A Cilacap
b. Kantor
: Pengadilan Negeri Klas IB Cilacap Jln. Letjen Suprapto 67 Cilacap
RIWAYAT PENDIDIKAN : 1. Sekolah Dasar (SD) Negeri 9, Sibolga 1966 2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasrani Medan 1969 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Medan 1972 4. Akademi Penerbangan/LPPU, Curug-Tangerang 1974 5. Lembaga Indonesia Amerika (LIA), Tingkat Intermediate, Medan 1982 6. Fakultas Hukum USU (Hukum Internasional) Tamat tahun 1982 7. Pelatihan Calon Hakim Peradilan Umum 1984 8. Pelatihan Calon Hakim Niaga 1999 9. Pascasarjana (S2) Ilmu Hukum, USU, Tamat tahun 2001 10. Program Doktor (S3) Ilmu Hukum, USU, Masuk tahun 2002 RIWAYAT PEKERJAAN : 1. Tenaga Tehnis Keselamatan Penerbangan Pelud Polonia Medan 2. Calon Hakim di Pengadilan Negeri Medan 3. Hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe 4. Hakim Pengadilan Negeri Stabat 5. Hakim Pengadilan Negeri Binjai
1975-1983 1984-1985 1986-1991 1992-1997 1998-1999
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
6. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun 7. Ketua Pengadilan Negeri Simalungun 8. Hakim Pengadilan Negeri Pontianak 9. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sragen 10. Ketua Pengadilan Negeri Cilacap
1999-2000 2000-2003 2003-2004 2005-2007 2007-Sekarang
PENGALAMAN LUAR NEGERI : 1. Studi banding Sistem Peradilan Bankruptcy di Mahkamah Dagang Tinggi, Kuala Lumpur, penjelajahan perpustakaan di University Malaya (UM) dan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur (Nopember 2004) 2. Studi banding Sistem Hukum dan penjelajahan perpustakaan di National University Singapura dan Kedutaan Besar RI di Singapura (Nopember 2004) KARYA TULIS : 1. Syarat-syarat Pernyataan Pailit menurut Pasal 1 ayat (1) UU. No. 4 tahun 1998 dan Penerapannya oleh Peradilan Niaga, Tesis, PPs, USU, 2001. 2. Perbuatan Melawan Hukum (onrecht matigedaad) dalam Penyelesaian Sengketa Utang Piutang melalui Reorganisasi dan Restrukturisasi Perusahaan, PPs. USU,. 2003 3. Strategi Menyelesaikan Sengketa secara damai di Pengadilan, PPs, USU, 2003 4. Eksistensi Hak Ulayat menurut UU. No.5 tahun 1960 (UUPA), Studi kasus : Penyerahan Tanah Adat kepada Pemerintah Daerah TK II Ngada, Bajawa (NTT). PPs, USU, 1999 5. Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Perdagangan Internasional, PPs, USU, 2000. 6. Penerapan Metode Syllogisme dalam Penemuan Hukum, PPs, USU, 1999 7. Penegakan Supermasi Hukum di Indonesia, Pidato Ilmiah dalam “Adi Prima karya Award” tahun 2000 8. Peranan dan Wibawa Hakim sebagai tuntutan Reformasi, PPs, USU, 1998. 9. Evaluasi Politik Hukum Nasional, PPs, USU, 2003 10. Metode Penemuan Hukum di Indonesia dibandingkan dengan Sistem Common Law dan Civil Law, PPs, USU, 2003 11. Kajian Epistemologi Keilmuan terhadap Perpu nomor 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, PPs, USU, 1998 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
12. Kedudukan Dogmatika Hukum menurut Teori Ilmu Hukum dan Pengembangannnya melalui Penemuan Hukum di Indonesia, PPs, USU, 2003 13. Status Keilmuan Ilmu Hukum menurut Filsafat Ilmu Hukum, PPs, USU, 2003 14. Aspek Hukum Search and Rescue (SAR) Indonesia, ditinjau dari Segi Hukum Internasional, Skripsi, USU, 1982
Medan, Januari 2009 Penulis
Manahan MP. Sitompul, SH, M.Hum
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR SINGKATAN AAI ADB ADR APP AS BHP BI BJDA BPK Bapepam BPPN BUMN/D BV BW CAR CBA CV CVA DEPKEU DPR Fa IBRA IKAPI IMF INDRA IPO JITF KEPRES KKSK KUHPerdata LPJ MA MOU MPR MRA NIM NO NV PERMA PERPU PK PKPU PKPUS PMN PP PSA
: Assosiasi Advokat Indonesia : Asia Development Bank : Alternative Dispute Resolution : Asia Pulp and Paper : Amerika Serikat : Balai Harta Peninggalan : Bank Indonesia : Barang Jaminan Diambil Alih : Badan Pemeriksa Keuangan : Badan Pengawas Pasar Modal : Badan Penyehatan Perbankan Nasional : Badan Usaha Milik Negara/Daerah : Besloten Vennootschap : Burgerlijk Wetboek : Capital Adequacy Ratio : Collective Bargaining Agreement : Comanditaire Vennootschap : Company Voluntary Arrangement : Departemen Keuangan : Dewan Perwakilan Rakyat : Firma : Indonesian Bank Restructuring Agency : Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia : International Monetary Fund : Indonesia Debt Restructuring Agency : Initial Public Offering : Jakarta Inisiative Task Force : Keputusan Presiden : Komite Kebijakan Sektor Keuangan : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Laporan Pertanggung Jawaban : Mahkamah Agung : Memorandum Of Understanding : Majelis Permusyawarahan Rakyat : Master Restructuring Agreement : Master Restructuring Agreement : Niet Ontvankelijke Verklaard : Naamloze Vennootschap : Peraturan Mahkamah Agung : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang : Peninjauan Kembali : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara : Pusat Mediasi Nasional : Peraturan Pemerintah : Penyelesaian Sengketa Alternatip
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
PT RI RUU RUPS SE SEMA STPJ US USBC UU UUD 1945 UUK UUPT VOF WVK
: Perseroan Terbatas : Republik Indonesia : Rancangan Undang-Undang : Rapat Umum Pemegang Saham : Surat Edaran : Surat Edaran Mahkamah Agung : Satuan Tugas Prakarsa Jakarta : United State : United State Bankruptcy Code : Undang-Undang : Undang-Undang Dasar 1945 : Undang-Undang Kepailitan : Undang-Undang Perseroan Terbatas : Vennootschap Onder Firma : Wetboek Van Koophandel
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR SKEMA
Skema I.
Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian di dalam atau di luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga PKPU).
Skema II. Perbandingan Penyelesain Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Filosofi: Efisiensi.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL (LAMPIRAN)
Tabel 1 :
Data Perkara Actio Pauliana di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun 1999-2006
Tabel 2 :
Data Perkara Actio Pauliana di Pengadilan Niaga Semarang Tahun 2002-2006.
Tabel 3 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 1998-2006.
Tabel 4 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Medan Tahun 2003-2006.
Tabel 5 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Semarang Tahun 2002-2006.
Tabel 6 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Makasar Tahun 2002-2006.
Tabel 7 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya Tahun 2001-2006.
Tabel 8 :
Jumlah Perkara Permohonan Pailit dan dicounter dengan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari Tahun 1999-2006.
Tabel 9 :
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga (1).
Tabel 10:
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga (2).
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………..
ii
INTISARI ………………………………………………………………….
iv
ABSTRACT ………………………………………………………………..
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………..
x
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. xiii DAFTAR SKEMA ………………………………………………………...
xv
DAFTAR TABEL, (LAMPIRAN)………………………………………..
xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
xvii
BAB
BAB
I
II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
19
C. Tujuan Penelitian ................................................................
21
D. Kegunaan Penelitian ...........................................................
22
E. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................
23
F. Metodologi Penelitian ........................................................
47
G. Asumsi ................................................................................
53
H. Sistematika Penulisan .........................................................
54
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG
56
A. Di Pengadilan (in-court) .....................................................
56
1. Gugatan Perdata Biasa ...................................................
56
2. Arbitrase ........................................................................
66
3. Proses Kepailitan dan atau PKPU..................................
70
B. Di Luar Pengadilan (out-court) ..........................................
95
1. Menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution)...
95
2. Menggunakan jasa Mediator “Prakarsa Jakarta” ........... 111 3. Menggunakan Skema INDRA........................................ 117 4. BPPN dan Kewenangannya ........................................... 119
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
BAB III IMPELEMENTASI KETENTUAN PKPU DALAM UU KEPAILITAN DAN PKPU OLEH PERADILAN NIAGA
135
A. Asas-asas Hukum dalam Kepailitan ................................... 135 B. Penerapan Azas Itikad Baik dalam Praktik Kepailitan ....... 139 C. Sifat Hukum Publik dari Hukum Kepailitan ......................
187
D. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kepailitan dan PKPU ............................................................................
191
E. Peranan Peradilan Niaga dalam menyelesaikan Perkara Kepailitan dan PKPU .........................................................
198
F. Peranan Para Praktisi dalam Kepailitan dan PKPU ...........
200
G. Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan PKPU ..................
219
BAB IV PENGATURAN KEPAILITAN DAN REORGANISASI 239
PERUSAHAAN DI BEBERAPA NEGARA i.
Reorganisasi Perusahaan menurut Chapter 11 US Bankruptcy Code ................................................................
i.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundang-undangan di Beberapa Negara Common Law ..
i.
255
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundangundangan di Beberapa Negara Civil Law ...........................
v.
239
269
Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Reorganisasi dengan ketentuan PKPU ..................................................... 279
v. BAB
V
Undang-Undang Kepailitan Modern .................................. UPAYA
PERDAMAIAN
SENGKETA
281
UTANG
PIUTANG PERUSAHAAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES
KEPAILITAN
SERTA
DAMPAKNYA
TERHADAP LEMBAGA PKPU
294
A. Kinerja Prakarsa Jakarta dan INDRA ..................................
294
B. Putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tentang Kepailitan
dan
PKPU
serta
Penyebab
Gagalnya
Perdamaian ………………………………........................... 299 C. Putusan Pengadilan dan Langkah-langkah Reorganisasi Perusahaan
di
Amerika
Serikat
Serta
Manfaatnya
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Terhadap Sistem PKPU ....................................................... BAB VI PENUTUP
380 390
A. Kesimpulan ………………………………………………..
390
B. Saran ………………………………………………………
393
LAMPIRAN DAFTAR KEPUSTAKAAN
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada era reformasi yang sedang berlangsung dewasa ini tentu akan membawa kita pada perubahan-perubahan di bidang hukum maupun di bidang ekonomi. Reformasi ini tidak mudah dilaksanakan, karena sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1997 terjadi gejolak ekonomi dan moneter di Indonesia yang mempengaruhi kehidupan perekonomian nasional 1. Keadaan ini membawa negara kita dalam kesulitan besar di bidang perekonomian dan dunia usaha. Indonesia harus berjuang lebih keras lagi untuk benar-benar dapat mengatasi krisis yang melanda tersebut. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar 2. Fenomena globalisasi tampak dengan nyata dalam bidang ekonomi, berbagai bukti dengan jelas mendukung semboyan ‘satu dunia, satu ekonomi’. Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara bangsa, sehingga ungkapan ‘dunia tanpa batas’ dalam kaitannya dengan perekonomian internasional bukanlah ungkapan yang berlebihan 3. Untuk itu sangat diperlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak khususnya yang terkait dalam bidang hukum bisnis. Dalam bidang 1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 20 2 Syamsul Arifin dalam Komentar terhadap Makalah : Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran, sebagaimana dikutip oleh : Zulkarnain Sitompul, dalam Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin di Indonesia. FH.UI Program Pasca Sarjana 2003, h.3 3 Ichlasul Amal, Globalisasi, Demokasi dan Wawasan Nussantara : Perspektif Pembangunan Jangka Panjang, Kumpulan Tulisan dalam Buku : Wawasan Nusantara Indonesia, Pusat Kajian Kebudayaan, (Universitas Bung Hatta, 1992), h. 96 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
hukum ini perlu adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan keadaan yang kondusif bagi kehidupan perekonomian nasional, sehingga memungkinkan munculnya perusahaan yang produktif dan sehat yang membawa manfaat bagi masyarakat dan negara. Perusahaan-perusahaan dapat melakukan kegiatan usahanya dengan baik dan sukses bila didukung oleh modal yang kuat dengan organisasi yang solid serta perangkat hukum yang lengkap. Modal akan diperoleh terutama dari setoran para pendiri atau persero, tetapi juga dapat berasal dari pinjaman atau kredit dari bank, lembaga pembiayaan, pasar modal dari dalam maupun luar negeri. Para kreditor sebagai pemberi pinjaman tentunya akan bersedia memberi kredit dengan loan agreement apabila ada suatu kepastian bahwa uang yang dipinjamkan akan dikembalikan oleh debitor tepat pada waktunya. Krisis moneter yang berkepanjangan dan tidak diduga sebelumnya itu mengakibatkan dunia usaha tidak mampu mengembangkan usahanya, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya sendiri menjadi sangat sulit, seperti dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini : “Krisis moneter itu diawali dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar AS. Hal ini telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap para kreditor luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya”. 4 Keadaan ini sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar utang baik yang berasal dari pinjaman 4
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.29
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
kredit maupun kewajiban untuk memenuhi prestasi lainnya. Utang merupakan kewajiban yang timbul karena perjanjian atau oleh undang-undang yang harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditornya, dan bila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut maka timbullah hak para kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta debitor melalui kepailitan. Kepailitan adalah suatu lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting di bidang hak kebendaan hubungannya dengan hak dan kewajiban subjek hukum. Lembaga ini merupakan realisasi dari ketentuan pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab subjek hukum (perseorangan maupun badan hukum) terhadap perikatan-perikatan yang dilakukannya. Sebagai maksud dan tujuan dari kepailitan (bankruptcy) dapat dikutip dalam “Introduction” dari Australia Bankruptcy Law yang menyatakan : “When a person is unable to pay her or his debts and is in a hopeless financial position, the law should enable proceedings to be taken, either by the debtor or by a creditor, so that most kinds of the debtor’s property can be taken and used to pay the creditors in proportion to the amounts owed to each of them”. 5 Apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, di samping hak menagih (vorderingsrecht), kreditor mempunyai hak menagih atas kekayaan debitor (verhaalsrecht) sebesar piutangnya pada debitor. 6 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan utang dalam hukum perdata, haruslah lebih dahulu kita lihat pengertian dari perikatan. “Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak 5
Dennis Rose QC, Australian Bankruptcy Law (Introduction). Tenth Edition, (Canbera: The Law Book Company Ltd., 1994), h.1 6 Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h.3 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
dalam harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. 7 Pada mulanya dipahami bahwa prestasi itu haruslah berbentuk uang, tetapi perkembangan selanjutnya prestasi itu diartikan tidak selalu berupa uang, tetapi bisa juga berupa barang atau jasa. Hak atas prestasi itu lazim disebut dengan piutang dan kewajiban untuk prestasi itu disebut utang. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, setiap perikatan itu adalah untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Berarti prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan yang wujudnya dapat berupa uang, barang atau jasa. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, sumber perikatan tidak saja perjanjian melainkan juga undang-undang termasuk perbuatan melawan hukum yang mewajibkan debitor untuk memenuhi prestasi tertentu. Sehingga dasar terjadinya utang piutang antara debitor dan kreditor adalah perjanjian ataupun perbuatan melawan hukum berdasarkan Undangundang. Pengertian utang ini adalah dalam arti luas yang berpendapat bahwa utang tidak saja timbul dari perjanjian utang piutang, tetapi juga yang berasal dari perjanjian lainnya bahkan perbuatan melawan hukum yang prestasinya dapat dinilai dengan uang. Utang dalam arti sempit adalah yang berasal dari perjanjian utang piutang saja. Dalam menghadapi permasalahan utang ini, dilihat dari sikap dan tindakannya terhadap
kreditor terdapat 2 (dua) golongan debitor. Golongan
debitor yang beritikad baik (debtor good faith) dibedakan dengan golongan debitor yang beritikad tidak baik (debtor bad faith). Asas hukum “beritikad baik” perlu diterapkan untuk melindungi para kreditor dari kemungkinan manipulasi7
Ibid, h. 3
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
manipulasi utang dari pihak “debtor bad faith” 8. Debitor yang beritikad tidak baik dapat dilihat dari usaha-usaha debitor dalam mengelola perusahaannya dengan tidak berpedoman pada prinsip duty of care, sedang debitor yang beritikad baik dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan bisnis (business judgement) yang dilakukan benar-benar berpedoman pada prinsip duty of care sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan maupun para kreditornya. Bila terjadi sengketa utang piutang antara debitor dengan kreditor, terhadap debtor bad faith ini tidak ada pilihan lain dari mengajukannya ke pengadilan (in court) dengan acara perdata biasa (kreditor tunggal) atau melalui proses kepailitan jika ada dua atau lebih kreditor. Bagi debtor good faith sebelum upaya in court diterapkan perlu dicari upaya lain yang dapat menyelamatkan perusahaan si debitor sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Peraturan kepailitan di Indonesia idealnya harus mendukung terhadap kepentingan dunia usaha di samping mendukung kepastian hukum. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan (Faillisements Verordening, Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 Jo. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. “Dengan berlakunya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri (baca : IMF) agar para kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian Hukum” 9 dan tanggapan lain menyebutkan : “Perpu ini merupakan usaha bersama antara pemerintah Indonesia 8
H.P. Panggabean, Penerapan Asas-asas Peradilan dalam Kasus Kepailitan, Ulasan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, (Vol.7, 1999), h.33 9 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h.1 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
dengan The International Monetary Fund (IMF) dalam rangka stand by arrangement”. 10 Perpu Nomor 1 ini kemudian ditetapkan menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dan sebagai hasil legislasi telah diterbitkan UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Latar belakang dilakukannya
penyempurnaan
“Faillessements
Verordening”,
pemerintah
menjadikan salah satu pertimbangannya: Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan 11. Berdasarkan pasal 281 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kemudian dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan, Semarang, Surabaya, Makasar. Bila diperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 jo. Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, secara teknis banyak sekali perusahaan besar dan menengah akan memenuhi syarat (qualified) untuk dipailitkan di seluruh Indonesia, akibatnya ialah akan banyak perusahaan yang gulung tikar, proyek terbengkalai, karyawan terpaksa diputuskan hubungan kerjanya dengan perusahaan, perusahaan lain akan kekurangan bisnis, yang membawa dampak negatif terhadap perekonomian negara12. Para pihak yang maju
10
J. Djohansah, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga, (Mahkamah Agung RI, 1998), h.56 11 Perpu Nomor 1 Tahun 1998, Menimbang butir c. 12 T. Mulya Lubis. Komentar terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1998. dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, Rudhy A. Lontoh et.al (ed) (Bandung: Alumni, 2001), h.XV-XVI Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
ke muka pengadilan adalah perusahaan-perusahaan skala nasional dan internasional dengan nilai transaksi/ utang yang luar biasa 13. Hal ini akan berdampak besar terhadap tingkat pengangguran di Indonesia, yang menurut perhitungan pada akhir tahun 2003 akan mencapai 40 juta orang dengan 9,3 juta diantaranya pengangguran terbuka, sedang sisanya pengangguran semu 14. Pailitnya perusahaan besar dan menengah tersebut akan mengakibatkan penderitaan sosial dengan meningkatnya angka pengangguran secara nasional, karena yang dirugikan bukan hanya para debitor itu saja, tetapi juga para stake holders dari para debitor yang terdiri dari : a. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh perusahan-perusahaan para debitor yang pailit. b. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja, para pegawai dan buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan para debitor yang pailit. c. Para pedagang-pedagang kecil dan menengah yang memasok barang dan jasa kepada perusahaan-perusahaan para debitor yang pailit. d. Para pengusaha-pengusaha kecil dan menengah yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan para debitor pailit. e. Para nasabah, penyimpan dana pada bank-bank yang dinyatakan pailit. (atas permohonan BI berdasarkan pasal 2 ayat 3. UU No. 37 tahun 2004).
13
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Analsis Hukum Kepailitan Indonesia, (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003), h.21. 14 Jacob Nuwa Wea (Menakertrans) dalam berita berjudul “Pengangguran tahun 2003 akan bertambah 1,6 juta orang”. Harian Kompas 29-4-2003 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
f. Para pengusaha, termasuk para pengusaha kecil dan menengah, yang memperoleh kredit dari bank-bank yang dinyatakan pailit 15. Penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan akan merugikan debitor karena kehilangan asetnya, sementara kreditor tidak akan menerima piutangnya kembali dengan utuh. Perusahaan besar (debitor) sedapat mungkin diselamatkan karena magnitude yang ditimbulkannya sangat besar terhadap perekonomian negara termasuk kesempatan kerja 16. Bila semua perusahaanperusahaan besar debitor yang qualified untuk dinyatakan pailit, diajukan oleh para kreditornya ke pengadilan niaga, maka dapat dibayangkan akibat yang ditimbulkannya adalah keguncangan yang besar di bidang ekonomi dan sosial secara nasional. Untuk mengatasi keadaan ini perlu dicari solusi agar perusahaanperusahaan tersebut tidak segera dimohon untuk dinyataklan pailit. Oleh karena itu negara berkepentingan agar suatu perusahaan yang berutang (debitor) tidak mudah begitu saja dapat dinyatakan pailit. Dunia perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya juga sangat menginginkan dan berkepentingan agar perusahaan-perusahaan seyogianya tidak langsung dipailitkan apabila masih ada kemungkinan untuk diselamatkan dan disehatkan kembali. “Dalam praktek perbankan, bank bersedia memberikan kredit baru yang lazim disebut kredit injeksi demi mempertahankan kehidupan kegiatan usaha debitor apabila masih memiliki prospek yang baik” 17. Potensi dan prospek usaha debitor harus dilindungi karena hal itu merupakan tunas-tunas yang mampu berkembang 15
Mariam Darus Badrulzaman, Ruang Lingkup UU Kepailitan, Makalah dalam seminar Hukum Kepailitan oleh AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan 19-10-1998 16 Jusuf Anwar (Ketua Satgas Prakarsa Jakarta), pendapatnya dalam berita judul “Perusahaan debitor kakap tidak dipailitkan” Harian SIB, 29-4-1999. 17 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, h. 48 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
apabila diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang sehingga penjatuhan pailit haruslah merupakan “ultimum remidium” Perusahaan debitor dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang ke Pengadilan Niaga yang tujuannya mewujudkan suatu persetujuan dalam bentuk perdamaian antara debitor dan para kreditor. Penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan yang didasarkan pada itikad baik dari debitor, cara yang tepat demi kepentingan semua pihak adalah menggunakan negosiasi, dengan harapan akan memperoleh penyelesaian yang berpedoman pada prinsip win-win solution. Hasil negosiasi berdasarkan musyawarah secara bilateral antara para kreditor dan debitor ini dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama yang disebut collective bargaining agreement. Dalam praktek bisnis berkembang bentuk kesepakatan penundaan pembayaran utang secara informal yang dilakukan satu paket dengan reorganisasi (restrukturisasi) perusahaan. Reorganisasi (restrukturisasi) perusahaan memiliki banyak segi antara lain : 18 1. Restrukturisasi objek usaha bisnis, yakni mengundang restrukturisasi sampai batas-batas tertentu. 2. Restrukturisasi institusional (corporate restructuring), yakni restrukturisasi perusahaan secara kelembagaan. 3. Restrukrurisasi modal (financial restructuring), yakni restrukturisasi terhadap modal perusahaan.
18
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1994), h.16 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
4. Restrukrurisasi utang (debt restructuring), yakni restrukturisasi utang perusahaan yang dilakukan dengan : rescheduling, reconditioning atau refinancing. Maksud dari kesepakatan ini adalah bahwa pihak kreditor memberi kesempatan kepada debitor untuk membenahi perusahaannya baik dari segi institusinya, permodalannya maupun
dari jumlah utangnya dengan harapan
debitor akan mampu kelak membayar utangnya dan kembali bangkit mengembangkan usahanya. Apabila upaya mutual understanding berupa restrukturisasi utang tidak bisa terwujud karena tidak tercapai kata sepakat di antar kreditor dan debitor, maka apabila debitor berkeyakinan bahwa suatu masa utangnya dapat dibayar, dapat menggunakan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang secara formal dalam proses kepailitan. Di Amerika Serikat telah diatur Reorganization
yang termuat dalam
Chapter 11 Bankruptcy Reform Act of 1978 biasa disebut Bankruptcy Code. Ketentuan reorganisasi perusahaan di Amerika Serikat adalah suatu bagian dari ketentuan tentang kepailitan, sebagaimana dianut dalam sistem hukum common law. Reorganisasi perusahaan yang diatur dalam Chapter 11 Bankruptcy Code merupakan proses gabungan antara proses peradilan, negosiasi, dan rencana perjanjian ke dalam suatu jalur praktek hukum yang khusus, hal ini dirumuskan sebagai berikut : Chapter 11 business reorganization combine litigation, negotiation, and transactional planning into one process an intense microcosm of legal practice 19. Chapter 11 Bankruptcy Code ini sangat dikenal dan menjadi
19
Mark S Scarberry, et.al, Business Reorganization In Bankruptcy, Case and Materials,(St.Paul. Minnesota: 1996) h.v Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
acuan penyusunan ketentuan atau undang-undang tentang restrukturisasi utang dari berbagai negara di dunia 20. Surseance van betaling atau Suspension of payment yang dianut dalam sistem hukum civil law, adalah suatu lembaga penundaan pembayaran dalam ilmu hukum dagang yang diatur dalam peraturan kepailitan 21. Debitor dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran utangnya tersebut melalui pengadilan bila debitor berada dalam keadaan sulit untuk membayar utangnya secara penuh, misalnya perusahaan yang dikelola oleh debitor menderita kerugian, kebakaran yang menimpa pabrik, resesi ekonomi (krisis moneter) dan lain-lain peristiwa overmacht 22. Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren 23. PKPU ini diberikan oleh pengadilan untuk paling lama 270 hari, apabila sampai dengan batas waktu tersebut belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, maka pengadilan harus menyatakan debitor pailit 24. Permasalahan utama dalam hal ini adalah apakah dalam waktu 270 hari itu debitor memperoleh cukup kesempatan membenahi perusahaannya dengan melaksanakan reorganisasi dan restrukturisasi hingga dapat melanjutkan usahanya yang sedang mengalami 20
Sutan Remy Sjahdaeni, op.cit.h.360 Lee A Weng, Hukum Kepailitan (Faillisement) dan Penundaan Pembayaran (Surseance van betalling), bahan ceramah, Pengadilan Tinggi Medan, April 1998, h.131 22 Ibid. h.132 23 Pasal 212 UU Nomor 4 Tahun 1998 24 Pasal 217 ayat (4) jo. Pasal 217 A ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1998 21
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
kesulitan dan kembali mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Permasalahan lainnya adalah permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU tidak dapat diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan lebih dahulu 25. Ketentuan ini penyebab banyaknya permohonan PKPU yang diajukan semata-mata hanya untuk menghindarkan kepailitan, karena PKPU harus segera diberikan untuk sementara 26 tanpa memandang ada tidaknya prospek bahwa debitor dapat melunasi utang-utangnya. Hasil maksimum yang diperoleh dari proses kapailitan dan PKPU adalah perdamaian dan bila tidak tercapai perdamaian perusahaan debitor harus dinyatakan pailit dan assetnya dilikuidasi. Dari 363 perkara kepailitan dan PKPU yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat hingga tahun 2003 hanya 58 perkara (21%) yang diakhiri dengan perdamaian, sedang khusus perkara PKPU sejumlah 132 perkara hanya 33 perkara (25%) yang diakhiri dengan perdamaian 27. Apakah tidak seharusnya ada suatu aturan lain lagi yang ditujukan bagi dunia usaha untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami kesulitan 28. Untuk itu diperlukan aturan reoganisasi dan restrukturisasi perusahaan agar terhindar dari likuidasi akibat kepailitan. Tujuan utama dari reorganisasi perusahaan itu adalah untuk mencegah likuidasi : The fundamental purpose of reorganization is to prevent a debitor from
25
Pasal 217 ayat (6) UU Nomor 4 Tahun 1998 Pasal 213 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1998 27 Kesimpulan Data yang diperoleh dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 28 J.B. Huizink, Insolvensi, Kluwer-Deventer, Cetakan Kedua 1995, h.3 26
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
going into liquidation, with an attendant loss of jobs and possible misuse of economic resources 29. Suatu perusahaan yang menghendaki suatu reorganisasi harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perusahaannya berdasarkan asas due diligence, berdasarkan itu dapat diketahui layak atau tidaknya perusahaan itu direorganisasi. Kemudian debitor menawarkan pengaturan berupa rencana reorganisasi kepada para kreditornya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan para kreditor tertarik untuk menyetujui rencana reorganisasi si debitor dari pada menunggu hasil likuidasi proses kepailitan yakni : 1. Rencana yang ditawarkan dibantu oleh pendukung keuangan baik oleh keluarga maupun para relasi debitor 30. 2. Dengan tersedianya dana bagi rencana debitor, para kreditor akan menerima pelunasan akhir yang lebih menguntungkan daripada kepailitan si debitor, sehingga debitor yang sedang berada dalam kesulitan sering dapat mengubah posisinya di dalam perundingan dengan para kreditornya menjadi suatu keuntungan yang strategis 31. 3. Para kreditor ingin tetap menjaga adanya hubungan bisnis dengan debitor di masa depan 32. Reorganization plan yang ditawarkan memerlukan komitmen waktu yang memungkinkan
untuk
membangun
konsensus
yang
diperlukan
dengan
29
Mark S Scarberry, et.al. op.cit. h.3 J.B. Huizink. op.cit. h.27 31 Ibid h.26 32 Ibid h.8 30
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
menggunakan negosiasi sesuai dengan bargaining position yang dimiliki masingmasing pihak. Para pengusaha Indonesia cenderung menyelesaikan utang diluar pengadilan dan menjualnya, kecenderungan ini pada umumnya adalah untuk menghindari konfrontasi dan persepsi kesulitan penanganan hukum di pengadilan khususnya pengadilan niaga, dan sebagai tujuan praktisnya adalah agar dapat bernegosiasi dalam penyelesaiannya. Hal ini merupakan salah satu poin penting yang termuat dalam buku “Asia Pasific Restructuring and Insolvency Guide 2003-2004” 33. Dalam buku ini juga diuraikan bentuk restrukturisasi yang umum digunakan di Indonesia yakni penjadwalan kembali utang (rescheduling), pertukaran utang menjadi kepemilikan (debt to equity swap), pembiayaan kembali (refinancing), pembelian kembali utang (debt buy back), pemotongan utang (haircut), pemotongan tingkat suku bunga dan pengurangan tingkat suku bunga. Nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi daripada jumlah nilai dari masingmasing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan serta aktivanya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit daripada jika perusahaan itu dijual sebagai suatu going concern, nilai lebih dari penjualan suatu going concern adalah bahwa utang-utang harta pailit akan berada pada batas-batas yang ada 34. Pihak-pihak terkait akan menegosiasikan persetujuan restrukturisasi dan keluar melalui penjualan utang tersebut, maka para pedagang utang menjadi aktif dan terjadi pembelian kembali utang secara langsung atau 33
Harian Kompas 26-2-2004 berjudul “Penyelesaian utang lebih banyak di luar pengadilan” dalam berita peluncuran buku : Asia Pasific Restructuring and Insolvency Guide 2003-2004. 34 J.B. Huizink, loc.cit. h.8-9 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
tidak langsung oleh para debitor dan para pemegang saham, sehingga kinerja bisnis semakin membaik seiring dengan diikutinya persetujuan restrukturisasi dan penjualan utang. Proses restrukturisasi utang ini menjadi suatu kebutuhan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia 35, dan proses ini akan menjadi lebih luas dan lebih besar karena persaingan tingkat dunia yang ketat sebagai hasil ekspansi cepat yang menyebabkan struktur dari pasar utang itu sendiri. Penerapan pengaturan pendanaan keuangan yang semakin rumit ini akan melahirkan kelaskelas pemegang saham baru yang juga akan mengubah dinamika dari restrukturisasi, sehingga restrukturisasi
besar akan tetap berlanjut dan
menyibukkan para praktisi insolvensi di seluruh dunia. Peranan seorang business lawyer sangat penting dalam proses negosiasi untuk menjembatani perbedaan yang ada antara para kreditor dan debitor. Praktisi hukum yang bertindak sebagai negosiator harus mengerti tentang usaha bisnis yang dijalankan oleh debitor yang sedang kesulitan dan perlu diselamatkan. Membantu pelaksanaan reorganisasi dan restrukturisasi salah satu diantaranya adalah menghindari tantangan atas upaya tersebut dari pihak kreditor yang tidak yakin bahwa perusahaan debitor yang sedang sakit dapat diselamatkan. Tugas utama business lawyer si debitor adalah meyakinkan pihak kreditor bahwa perusahaan debitor yang gagal akan dapat berubah menjadi usaha yang menguntungkan apabila reorganization plan yang ditawarkan debitor disetujui oleh para kreditor.
35
Adalah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Penyelesaian sengketa utang piutang berdasarkan UU Kepailitan ditempuh melalui Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga (Commercial Court) berwenang mengadili perkara permohonan pailit dan PKPU. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan) dan berdasarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Ujung Pandang dan Pengadilan Negeri Semarang. Selain penyelesaian utang piutang melalui pengadilan (in-court), Pemerintah juga telah membentuk Jakarta Initiative Task Force (JITF) atau Prakarsa Jakarta dan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk menangani masalah utang piutang di luar pengadilan (out-court). Prakarsa Jakarta adalah sebagai wahana yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang sedang menghadapi masalah utang dapat bersepakat dengan para kreditornya untuk melakukan restrukturisasi, baik terhadap perusahaan maupun utang mereka, sehingga perusahaan tersebut memperoleh kembali akses untuk mendapatkan modal kerja serta penyetoran modal baru 36. Pemerintah menjadi fasilitator didalam proses negosiasi antara kreditor dan debitor, dan untuk itu pemerintah telah membentuk INDRA berdasarkan Kepres Nomor 95 Tahun 1998, dimana Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang luar negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible) dan penggunaannya
36
Sutan Remy Sjahdeini, Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative), Makalah dalam Seminar Hukum Kepailitan oleh AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan, 19-10-1998 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
bersifat sukarela (voluntary) 37. Proses restrukturisasi utang yang dilakukan melalui kedua lembaga mediasi tersebut adalah sebagai pelengkap terhadap pelaksanaan UU Kepailitan. Pembentukan Pengadilan Niaga, Prakarsa Jakarta dan INDRA yang memperoleh dukungan dari IMF dan Bank Dunia, diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia yang jatuh akibat krisis moneter yang melanda Indonesia. Globalisasi telah menyusupi semua aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ketergantungan antar bangsa semakin meningkat dan pengaruh negara maju terhadap negara berkembang semakin kuat. Keberadaan globalisasi tersebut dikuatkan oleh pendapat : 38 Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengeksport modal dan reorganisasi struktur produksi. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Khusus terhadap penyehatan bank yang dinyatakan tidak sehat oleh Bank Indonesia, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Kepres Nomor 27 Tahun 1998, jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 yang salah satu tugasnya adalah melalukan restrukturisasi bank dalam upaya penyehatan. Prakarsa Jakarta merupakan lembaga mediasi yang dibentuk pemerintah pada Nopember 1998 sebagai mediator penyelesaian utang piutang swasta pada 37
Sutan Remy Sjahdeini, Skema INDRA, Makalah dalam Seminar Hukum Kepailitan oleh AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan, 19-10-1998 38 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi : Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang Hukum pada FH UI, Jakarta, 4-1-1997, h.12-13. Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
krisis yang pembentukannya adalah merupakan salah satu persyaratan dari IMF, menjelang akhir tugasnya media Desember 2003 lembaga tersebut telah menyelesaikan 70 persen kasus utang piutang yang ditangani lembaga tersebut 39. Ruang lingkup kepailitan sebenarnya adalah perdata, karena menyangkut tentang harta kekayaan debitor dengan pihak lain (para kreditor), namun bila dilihat dari karakternya yang harus melindungi kepentingan seluruh kreditor, maka disinilah terlihat sifat hukum publik dari kepailitan. Putusan pernyataan pailit harus diumumkan kepada publik yakni diumumkan dalam Berita Negara R.I dan surat kabar harian (Pasal 13 ayat (4) UU Kepailitan). Dalam rangka upaya efisiensi dan demi kepentingan publik termasuk stake holders, perlu dikemukakan pendapat sebagai berikut 40 : Prosedur mempailitkan debitor seharusnya merupakan the last resort atau ultimum remidium dan prosedur untuk merestrukturisasi utang merupakan the prime resort atau primum remidium, sehingga skema penyelesaian hubungan debitor dan kreditor dalam dunia usaha harus diubah sehingga memiliki implikasi terhadap kebijakan hukum dalam proses legislasi yaitu dengan penyusunan RUU Restrukturisasi Utang dan sekaligus penyusunan RUU Perubahan Atas UU Kepailitan. Terciptanya keadilan dalam keseimbangan antara para kreditor dan debitor merupakan das sollen, karena dalam kenyataannya banyak perusahaan yang dinyatakan pailit dan insolvent (likuidasi) karena tidak memperoleh hak yang sepantasnya (das sein) akibat kelembagaan dan peraturan kepailitan dan PKPU yang belum memadai (sempurna).
39
Denaldy Mauna, Raymond Lee, (Staff Manajer Prakarsa Jakarta) dalam berita : Prakarsa Jakarta Selesaikan 70 Persen Restrukturisasi Utang, Harian Kompas 28-11-2003 40 Romli Atmasasmita, Editor : Aman Sembiring Meliala et.al., Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), h.37 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Menggali nilai-nilai keadilan berdasarkan musyawarah mufakat yang telah disosialisasikan dalam sejumlah norma hukum dalam praktek dunia usaha menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan dengan perdamaian, kiranya perlu dijadikan bahan serta pedoman untuk merevisi kelembagaan dan peraturan kepailitan dan PKPU. Upaya tersebut sekaligus memperoleh suatu ‘futuristic view’ politik hukum dalam bidang Hukum Bisnis khususnya Kepailitan dan PKPU. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, penelitian ini menjadi penting sebagai ide perspektif hukum dalam upaya pemikiran yakni mengambil alih norma-norma penyelesaian utang piutang perusahaan di luar pengadilan menjadi kewenangan pengadilan niaga berdasarkan ketentuan PKPU dalam UU Kepailitan dan PKPU dengan maksud hasil musyawarah (perdamaian) di luar pengadilan tersebut disahkan melalui penetapan (putusan) hakim pengadilan niaga dalam konteks perdamaian.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat diketahui : 1. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam perundang-undangan di bidang perekonomian nasional yang menyangkut penyelesaian sengketa utang piutang, secara filosofis adalah meletakkan dasar-dasar perlindungan yang seimbang antara debitor dan kreditor, sehingga dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak. Debitor yang diancam pailit tetapi masih punya
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
harapan untuk berjalan terus asalkan diberi kesempatan dan dukungan untuk memperbaiki usahanya, karena hal ini sangat penting bagi seluruh pihak sekaligus meningkatkan perekonomian nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga mengatur tentang PKPU (surseance van betaling atau suspension of payment) dengan maksud agar lembaga penundaan ini dapat dimanfaatkan oleh debitor dan para kreditor berdasarkan persetujuan bersama dengan
syarat-syarat yang
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Para debitor dapat mengajukan permohonan PKPU ke pengadilan niaga, namun dimungkinkan pula debitor memanfaatkan lembaga lain di luar pengadilan atas kesepakatan bersama dengan para kreditornya, dalam hal ini Prakarsa Jakarta dan INDRA sebagai lembaga mediasi yang telah berperan (eksis) selama ini. 3. Pelaksanaan reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan di Amerika Serikat telah diatur dalam Chapter 11 Bankruptcy Code, sedang di Indonesia hanya diatur tentang PKPU dan lembaga ini hanyalah merupakan salah satu aspek dari reorganisasi dan restrukrurisasi. Guna menemukan perumusan masalah dalam penelitian ini perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah yang perlu dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan terhadap masalah yang telah dirumuskan itu. Dalam melaksanakan perumusan masalah yang akan diketengahkan dalam penelitian ini juga harus diselaraskan dengan karakter serta metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang, serta hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan tiga perangkat pertanyaan seperti dirumuskan di bawah ini : 1. Bagaimana kinerja lembaga mediasi “Prakarsa Jakarta” dan INDRA dalam menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan. 2. Mengapa terjadi kegagalan dalam upaya penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan dengan perdamaian melalui Kepailitan dan PKPU. 3. Bagaimana pengaturan reorganisasi perusahaan di Amerika Serikat menurut Chapter 11 US Bankruptcy Code dibandingkan dengan PKPU dalam UU Kepailitan dan PKPU. C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperjelas pemahaman serta memberi gambaran konkrit terhadap masalah-masalah yang dirumuskan. Berpedoman pada hal tersebut diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran mengenai penyelesaian sengketa utang-piutang perusahaan. Dalam rumusan yang lebih luas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kinerja lembaga mediasi “Prakarsa Jakarta” dan INDRA dalam menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan. 2. Untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan upaya penyelesaian sengketa utangpiutang perusahaan dengan perdamaian melalui Kepailitan dan PKPU. 3. Untuk memperbandingkan pengaturan reorganisasi perusahaan di Amerika Serikat menurut Chapter 11 US Bankruptcy Code dengan PKPU dalam UU Kepailitan dan PKPU.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
D. Kegunaan Penelitian Dengan ditemukannya berbagai hal dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dan informasi tentang penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan, yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis antara lain : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum yang dapat mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya memberikan masukan bagi kalangan akademisi dan praktisi
dalam
rangka
penyusunan
RUU
tentang
reorganisasi
dan
restrukturisasi perusahaan dan RUU Perubahan Atas UU Kepailitan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada : a. Masyarakat secara umum agar lebih memahami cara penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan b. Para pelaku usaha yang tersangkut dengan sengketa utang piutang untuk mendapat
suatu
pemahaman
mengenai
penyelesaiannya
sehingga
memperoleh suatu pertimbangan dalam mengambil keputusan cara bagaimana yang paling tepat dan efisien untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. c. Pemerintah, instansi terkait dalam pembinaan perusahaan yang sedang mengalami masalah utang piutang, sebagai masukan dalam menyusun dan merumuskan peraturan-peraturan maupun kebijakan yang menyangkut penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Perkembangan ilmu selalu dipengaruhi oleh penemuan baru dalam hal metodologi, kontinuitas penelitian dan kesinambungan eksistensi ilmu itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya suatu teori yang menjelaskan hubungan diantara data dan fakta walaupun tidak begitu sempurna tetapi memberi pedoman tentang cara penelitian, tujuan penelitian serta pengumpulan data. Seperti dikemukakan oleh James E.Mauch, Jack W. Birch: ”Theory explains the relations among facts, though not completely. In turn, they guide research procedures, objectives and data collection. In (this) general sense, every thesis or disertation proposal should be based on theory”. 41 Teori akan berfungsi untuk memberikan petunjuk atas gejala-gejala yang timbul dalam penelitian. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar 42. Teori sebenarnya merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat luas. Kadang-kadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan an elaborate hypothesis, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu 43. Kerangka teori dan kerangka konsep dalam penelitian ini akan dikemukakan beberapa teori yang dapat memberikan pedoman dan arahan untuk 41
James E. Mauch, Jack W. Birch, Guide to the successful thesis and dissertation, Books in Library and Information Science, (New York: Marcel Dekker Inc, 1993), h.102 42 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h.27. 43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 126-127. Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
tercapainya tujuan penelitian ini yang berasal dari pendapat para ilmuwan dan selanjutnya disusun beberapa konsep yang bersumber dari berbagai peraturan dan perundang-undangan yang menunjang tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu : Sebagai Grand Theory yang dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini adalah teori yang dikemukakan oleh Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and Economic Development” berpendapat ada 5 (lima) fungsi atau kualitas hukum dalam pembangunan ekonomi yaitu 44 : 1. Predictability; kualitas hukum dapat menciptakan prediktabilitas terhadap perubahan dengan adanya globalisasi di bidang ekonomi, sehingga menjamin adanya kepastian hukum dalam dunia usaha khususnya pengembalian utang atas pemberian pinjaman (investasi). 2. Stability;
kualitas
hukum
untuk
menciptakan
keseimbangan
antara
kepentingan para kreditor dan debitor dalam rangka persaingan dalam pengembangan dunia usaha. 3. Fairness; kualitas hukum dalam mengatur prosedur yang menciptakan perlakuan yang sama antara kepentingan pemerintah di satu pihak dan kepentingan masyarakat dunia usaha di pihak lain, sehingga tercapai keadilan atau perlakuan yang seimbang di bidang hukum publik dan bidang hukum perdata. 4. Education;
fungsi
edukasi
melalui
program
sosialisasi
menjelaskan
perubahan/ perkembangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.
44
Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, dalam “Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 2”, dikumpulkan oleh : Erman Rajaguguk, (Jakarta: UI , 1995), h. 352 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
5. Special development abilities of the lawyer; hukum dapat berperan bilamana tersedia sarjana hukum yang memiliki kemampuan melihat hubungan hukum dan pembangunan dunia usaha untuk kesejahteraan masyarakat. Sebagai Middle Theory dapat dikemukakan 2 (dua) teori yang relevan dan dapat menjelaskan lebih jauh Grand Theory di atas. Pertama : The Globalization of Law dari Richard C. Breedon 45, mengemukakan : “Competition for trade and capital is not restricted by the boundaries of the nation-state, it has become an international pursuit as never before. The nation-state, and the laws it enacts, have not become suddenly obsolete. However the globalization laws while considering not only the needs of its companies and traditions, but also success in the international market place”. Di dalam era globalisasi, persaingan dalam bidang perdagangan dan ekonomi telah melampaui batas-batas suatu negara, maka negara yang memiliki posisi tawar atau bergaining power yang lebih kuat dapat mempengaruhi perubahan undang-undang di suatu negara lain berdasarkan kepentingankepentingan ekonomi dalam negerinya. Oleh karena itu undang-undang suatu negara dapat berubah karena tekanan dari luar maupun dari dalam negeri, sehingga suatu negara secara sadar mengubah undang-undangnya untuk mendapat akses kepada pasar internasional.
45
Richard C Breeden, The Globalization of Law and Business in the 1990’s, (volume 28, 1993 number 3) dalam Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 2, dikumpulkan oleh Erman Rajagukguk, (UI Jakarta: 1995), h, 706-709. Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Kedua : Teori Keadilan dari Aristoteles yang menyatakan Adil itu dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding dan mengemukakan ada 2 (dua) bagian keadilan yakni 46 : 1. Keadilan Komutatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan dalam hubungan individu dengan orang lain. 2. Keadilan Distributif yaitu kepantasan adalah suatu bentuk ‘sama’ dengan prinsip bahwa kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dalam cara yang berbeda. Keadilan memberikan tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya melainkan kesebandingan (kesamaan yang sebanding atau persamaan yang proporsional). Jika pembentuk undang-undang memerintahkan hakim supaya keputusannya memperhatikan keadilan adalah untuk menghindari pemakaian peraturan umum dalam hal-hal yang khusus yaitu dengan berpedoman pada kepantasan (redelijkheid) dan itikad baik. Teori Keadilan Distributif ini diperluas pengertiannya oleh Morris Ginsberg 47, dengan pemahaman bahwa keadilan itu berlawanan dengan : a. Pelanggaran
hukum,
penyimpangan,
ketidak-tetapan,
ketidak-pastian,
keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh peraturan. 46
Aristoteles, dikutip oleh I J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), h. 23-24, bandingkan dengan Thomas Aquino membedakan keadilan : 1. Keadilan umum atau keadilan legal (Legal Justice) yaitu keadilan menurut undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, 2. Keadilan Khusus yaitu keadilan atas dasar kesamaan/proporsional yang dibedakan dalam : a. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik, b. Keadilan komutatif, keadilan yang mempersamakan antara prestasi dan kontra prestasi, c. Keadilan vindikatif, yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana, lihat : Darji Darmodiharjo, et.al, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), h. 154 47 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 41 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
b. Sikap memihak dalam penerapan aturan c. Aturan yang memihak atau sewenang-wenang, melibatkan diskriminasi yang tidak berdasarkan perbedaan-perbedaan yang tidak relevan. Kesebandingan antara kepentingan kedua belah pihak antara para kreditor dan debitor haruslah didasarkan kepada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, dengan demikian diperlukan adanya “mutual understanding” untuk mencapai kesepakatan akhir. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa “Operational Theory” : Bargaining Theory (Calr M.Stevens) 48 : “Bargaining in its simplest format is the communication by both parties of the terms they require for consummation of transaction and the subsequent acceptance or rejection by both of the bargain. Negotiation is the set of techniques used to translate bargaining power into the ultimate settlement”. Teori Moratorium (J.B. Huizink) 49, menyatakan pendapatnya : Bahwa penundaan pembayaran itu bukan suatu figur hukum yang digunakan oleh pembentuk undang-undang untuk menghindarkan agar ganti kerugian kreditor tidak berubah menjadi suatu sarang ular juridis, tetapi adalah suatu upaya bagi debitor yang karena keadaan tertentu menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya pada waktunya. Melalui moratorium, debitor memperoleh kesempatan untuk menata urusan-urusannya dengan baik. Setelah berlalu beberapa waktu, ia akan mampu lagi untuk melunasi para kreditornya. Ia dapat pula mencoba untuk mengadakan pengaturan (pelunasan ) pembayaran. Teori Keadaan Memaksa (Force Majeur) Relatif atau De Subjectieve Overmaachtsleer menyatakan: “Keadaan memaksa itu ada, apabila debitor masih mungkin
melaksanakan
prestasi,
tetapi
praktis dengan kesukaran atau
48
John. A.Fossum, Labour Relation, Development, Structure, Process, (Business Publication: 1982) h. 211 49 J.B. Huizink, op.cit. h.2 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
pengorbanan yang besar (ada unsur diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditor tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi”. 50 Pada saat ini masih relevan untuk dikemukakan pendapat yang memberikan komentarnya terhadap Perubahan Hukum Perdata Indonesia dengan menyatakan 51: Apapun yang akan terjadi, pada masa sekarang baik pemerintah ataupun sektor swasta amat memperhatikan anggaran dasar. Kesuksesan usaha mereka lebih terjamin dengan ikatan hubungn keluarga dan keinginan yang sama daripada suatu sistem hukum yang tidak dapat dipaksakan. Untuk saat ini pembuat UU tidak dapat berharap untuk membuat rasa hukum dari keadaan ini. Sangatlah sulit membuat UU di sekeliling industri dan perusahaan dagang, karena pada prakteknya tidak jelas, tidak konsisten dan sering kali di bawah tangan. Dan kebijakan pemerintah juga tidak memberikan bimbingan yang memadai. Untuk meletakkan dasar bagi hukum yang baru pada perusahaan swasta adalah hal yang mustahil, karena alasan ideologi dan karena praktek dari perusahaan swasta tidak mudah disusupi. Konsekwensinya, tidak mungkin akan muncul suatu sistem hukum yang efektif untuk beberapa tahun mendatang. UU yang baru akan mengakibatkan kebingungan. Teori-teori tersebut diatas relevan jika dihubungkan dengan pendapat dari Prof. DR. M. Solly Lubis, SH yang menyatakan : Demi terpeliharanya dan tercapainya sistem hukum yang serasi dengan cita-cita dan moral pembangunan dalam Pancasila, kedua aliran juridis dogmatis dan sosial pragmatis harus dipadu dan bekerjasama. Keterpaduan inilah yang merupakan ciri khas hukum Indonesia
50
Mariam Darus Badrulzaman et.al. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001), h.27, lihat juga, Abdul R. Salman et.al., Essensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 19-20, bahwa : keadaan memaksa (overmarht) yang bersifat tidak mutlak (relatief), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan, tapi dengan biaya yang lebih tinggi, perubahan harga tinggi secara mendadak akibat regulasi pemerintah terhadap produk tertentu dan juga karena krisis ekonomi. 51 Daniel S.Lev, The Lady and The Banyan Tree : Civil Law Change in Indonesia, diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo “Sosok Wanita dan Pohon Beringin” dalam The American Journal of Comparative Law, Vol.20. 1972 Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
sebagai bangsa yang sedang membangun dan membedakannya dari hukum barat yang liberal individualistis materialistis 52. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah rumit, persoalan atau sengketa dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat bisnis di Indonesia. Hukum mempunyai 2 (dua) tugas utama yakni mencapai suatu kepastian hukum serta mencapai kesebandingan bagi semua warga masyarakat. Masalah kepastian hukum maupun kesebandingan hingga kini masih merupakan masalah yang sulit terpecahkan di bidang hukum sejak tahun 1942. Hukum Ekonomi (Economic law) perlu diperhatikan perubahannya karena peraturan yang bertalian dengan ekonomi seperti badan-badan usaha, orang perantara, surat-surat berharga, transportasi dan lain-lain sudah banyak yang usang justru beberapa hukum warisan kolonial sudah ditinggalkan oleh Belanda sendiri karena dipandang sudah usang 53. Namun di lain pihak, pada umumnya masyarakat Indonesia mempunyai suatu kecenderungan untuk menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara yang sehalus mungkin, suatu kompromi lebih disukai dari pada jatuhnya suatu keputusan dengan harapan untuk menyelesaikan perselisihan secara efektif tanpa menimbulkan keteganganketegangan sosial karena ada shame culture (budaya malu), “cara-cara menyelesaikan perselisihan dengan damai masih dianggap sebagai cita-cita masyarakat Indonesia” 54. Nilai-nilai keadilan dan azas demokrasi yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai dasar paradigmatik bagi Politik 52
M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002), h.25-26 M. Solly Lubis, Pembentukan Undang-undang secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Makalah dalam Serasehan Bidang Hukum, oleh Poldasu Medan Februari 1996. 54 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12 53
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
Hukum Perdata dan Dagang khususnya Kepailitan dan PKPU, apakah peraturan perundang-undangan tentang Kepailitan dan PKPU sudah merupakan interaksi ideal antara Potensi Nasional diperhadapkan dengan lingkungan Nasional, Regional terutama pengaruh Globalisasi Ekonomi yang terus berlangsung. Untuk memberikan arahan dan panduan terhadap pembentukan hukum nasional di bidang perekonomian khususnya hukum Kepailitan dan PKPU kaitannya dengan Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan, perlu dituangkan dalam skema berikut ini :
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008
SKEMA I : PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN (STUDI MENGENAI LEMBAGA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
8 UMPAN BALIK POTENSI NASIONAL - Perangkat dan Kehadiran Dunia Usaha - Perpu no 1/1998 jo.UU No. 4/1998 jo. No. 37/2004 - Lembaga Yudikatif dan Lembaga Penengah (INDRA, JITF, BPPN) 2 - Perdamaian Sebagai Solusi Penyelesaian Masalah di Dunia Usaha - Sistem Eropah Kontinental (Civil Law) tentang Kepailitan Wawasan dan Pradigma Nilai-nilai keadilan 4 Kebijakan Ekonomi dan asas demokrasi INTERAKSI khususnya kepailitan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar 1 paradigmatik bagi LINGKUNGAN NASIONAL/ Politik Hukum Perdata REGIONAL/GLOBAL dan Dagang, - Krisis Moneter yang Mempengaruhi Dunia Usaha khususnya Kepailitan. - Utang Swasta Nasional - Utang Swasta Luar Negeri dan Effeknya - Peranan PMA 3 Lembaga Asing (IMF) Praktek ADR (PSA) - Sistem Anglo Saxon (common law) dari (US.B.CODE) & pengaruhnya di Indonesia Ket : -
INDRA (Indonesia Debt Restructuring Agency) JITF (Jakarta Inisiative Task Force) BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) PMA (Penanaman Modal Asing) IMF (International Monetery Fund ADR (Alternative Dispute Resolution)
5
Kebijakan Nasional di Bidang Perekonomian/ Usaha khususnya kepailitan
UMPAN BALIK
-
-
6
Legislasi/law making dan law enforcement mengenai Peraturan Perudangundangan Tentang Kepailitan dan PKPU serta Restrukturisasi utang & Perusahaan
7
Terciptanya penyelesaian sengketa utang piutang Perusahaan secara adil dan saling menguntungkan semua pihak (Masyarakat)
8
PSA (Penyelesaian Sengketa Alternative US.B.CODE (United State Bankruptcy Code) PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Sumber : derivasi yang dimodifikasi dari Prof.Dr.M.Solly Lubis, SH, Skema Sistem Kehidupan Nasional Dalam Serba Serbi Politik dan Hukum, , (Bandung: Mandar Maju, 1989), h.233.
2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari Teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut operational definition. 55 Pada umumnya “perusahaan” adalah organisasi usaha yang dapat dilihat dalam bentuk badan hukum disebut Perseroan Terbatas. Bentuk-bentuk badan usaha dikenal juga Perseroan Firma (Fa). Perseroan Komanditer atau Comanditaire Vennotschap (CV). Selain itu masih ada bentuk usaha lain yang disebut maatschap atau persekutuan perdata sebagaimana diatur dalam KUH perdata. Bentuk Perseroan Terbatas (PT) merupakan yang lazim dan banyak di pakai alam dunia usaha di Indonesia karena PT merupakan asosiasi modal dan badan hukum mandiri. Bentuk PT ini berasal dari Hukum Dagang Belanda (WvK) dengan istilah Naamloze Vennotschap (NV). Pengertian perusahaan menurut John A. Shubin adalah : “A firm is an ownership organization which combines the factors of production in plant for the purpose of producing goods or services and selling them at a profit.”
56
(Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi kepemilikan yang menggabungkan faktor-faktor produksi di suatu tempat dengan maksud memproduksi barang atau jasa dan menjualnya untuk memperoleh laba). Berdasarkan pengertian ini, suatu organisasi itu haruslah bertujuan untuk memperoleh laba. Bila organisasi itu tidak bertujuan memperoleh laba, maka organisasi itu bukan perusahaan.
55
Sutan Remy Sjaehdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993), h. 10 56 Jhon A. Shubin dalam Wasis, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Bandung: Alumni, 1992), h.209-210
Perusahaan dalam bentuk-bentuk organisasi bisnis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 57 1. Perusahaan Persekutuan; terdiri dari : a. Badan Hukum : Perseroan Terbatas, Koperasi, Perkumpulan Saling Menanggung b. Badan Non Hukum : Persekutuan Perdata, Firma, CV 2. Perusahaan Perseorangan : Perusahaan Dagang Mengenai perusahaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang memuat definisi sebagai berikut : 58 Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan pengertian yang diberikan tersebut, ada lima hal yang pokok yang menjadi perhatian dalam PT : 1. PT Merupakan suatu badan hukum 2. Didirikan berdasarkan perjanjian 3. Menjalankan usaha tertentu 4. Memiliki modal yang dibagi dalam saham-saham 5. Memenuhi persyaratan undang-undang. 59 Perseroan terbatas juga didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang yang diberi hak dan diakui oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kekayaan
57
Abdul Kadir Muhammad, Dikutip oleh Abdul R. Saliman, Essensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 61 58 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 59 Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.7
Perseroan Terbatas terpisah dari pemilik-pemiliknya 60. Sebagai badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995, unsur-unsur tersebut adalah : 61 1. Organisasi yang teratur 2. Harta kekayaan sendiri 3. Melakukan hubungan hukum sendiri 4. Mempunyai tujuan sendiri Perseroan Terbatas mempunyai organ yang disebut organ perseroan, gunanya untuk menggerakan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. Menurut Weston, J. Fred, bentuk-bentuk restruksisasi perusahaan adalah : 62 1. Expansion
: Mergers and Acquisitions, Tender Offers, Joint ventures.
2. Sell-Offs
: Spin-Offs
(Split-offs
and
Split-ups)
Divestitures (Equity Carve-outs) 3. Changes in Ownership Stucture : Exchange
offers,
Share
Repurchases,
Going Private, Leveraged Buy-outs Dalam menjalankan suatu proses reorganisasi perusahaan, ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan sebagai berikut : 63
60
Sukanto Reksohadiprojo, et.al., Pengantar Ekonomi Perusahaan. (Jogyakarta: BPFE, 1991), h.75. 61 Ibid. h.8 62 Weston, J. Fred dalam Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.5-6 63 Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.6
1. Adanya kebutuhan akan dana baru (new funds) yang akan dipergunakan untuk modal kerja dan rehabilitasi properti. 2. Haruslah diketemukan dan diminimalkan sebab-sebab kegagalan operasi dan kegagalan managerial dari perusahaan yang direstrukturisasi. 3. Adanya kegagalan dari perusahaan tersebut, baik karena ketidakmampuannya menunaikan kewajiban finansialnya pada saat jatuh tempo ataupun karena jumlah kewajiban finansial melebihi aset-asetnya. Dalam setiap tindakan reorganisasi suatu perusahaan haruslah berkiblat kepada performance perusahaan yang lebih baik di masa depan setelah reoganisasi, artinya tindakan reorganisasi perusahaan haruslah feasible, yakni dapat meningkatkan earning power dari perusahaan yang bersangkutan. Untuk dapat meningkatkan earning power harus mempertimbangkan tindakan-tindakan tertentu dengan berbagai konsekuensi hukumnya masingmasing tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut : 64 1. Restrukturisasi sumber daya manusia 2. Restrukturisasi peralatan produksi atau peralatan kantor yang sudah out of date 3. Restrukturisasi utang, seperti dengan melakukan : reschedulling, refinancing haircut, converted debt dan lain-lain. 4. Improvisasi beberapa sektor penting seperti improvisasi bidang produksi pemasaran, iklan dan lain-lain. 5. Improvisasi atas produk yang akan dihasilkan atau bahkan memproduksi produk baru yang lebih sesuai dengan perkembangan dan permintaan pasar.
64
Ibid. h.6-7
Pendapat lain mengemukakan bahwa reorganisasi (restrukturisasi) perusahaan terdiri dari : 65 1
Reorganisasi juridis, yakni perubahan mengenai bentuk dari suatu perusahaan
2. Reorganisasi intern, yakni perubahan struktur organisasi intern 3. Reorganisasi finansial, yakni merupakan “Capital Restructuring” yang menyangkut perubahan menyeluruh dari struktur modal karena perusahaan telah
atau
sangat
cenderung
untuk
insolvable,
jadi
merupakan
“recapitalization” yang sangat drastis dan menyeluruh. Ada 4 (empat) syarat suksesnya Reorganisasi dalam Chapter 11 US Bankruptcy Code, yakni : 66 1. Mempertahankan agar usaha tetap jalan dengan cara : a. Mencegah gangguan terhadap usaha b. Mendapat dana untuk menjalankan usaha 2. Menggerakan Usaha 3. Menentukan tuntutan baik oleh debitor maupun terhadap kreditor. 4. Restrukturisasi utang dan pembagian keuntungan perusahaan. a. Perlunya restrukturisasi utang b. Berapa besar keuntungan diberikan kepada kreditor dalam rencana reorganisasi c. Penentuan nilai dalam hal kreditor diberi hak atas nilai likuidasi atau nilai reorganisasi
65
Bambang Riyanto, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, (Jogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1991), h.240. 66 Mark S. Scarberry et. al. op.cit. h.17-48
d. Menentukan nilai debitor dan nilai milik yang dibagikan berdasarkan rencana. Sebelum rencana reorganisasi disusun harus dilakukan lebih dahulu “Feasibility Study” untuk mengetahui apakah suatu perusahaan itu layak direorganisasi atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada asas “due diligence” yakni penelitian secara menyeluruh dan tuntas untuk memperoleh penilaian akhir. Untuk maksud tersebut debitor harus membuka semua “kartunya diatas meja”, artinya seluruh kekayaan dan utangnya diinventarisasi dengan jujur dan objektif. 67 Dapat diasumsikan bahwa penyebab utama dari insolvensi (kepailitan) adalah kesalahan manajemen, dan manajemen yang bersangkutanlah yang dapat diminta tanggung jawabnya 68, kecuali pihak manajemen dalam mengambil keputusannya telah berpegang teguh pada prinsip “duty of care”. Pihak manajemen suatu perusahaan telah dapat dikatakan melaksanakan prinsip duty of care apabila : 1. Membuat keputusan bisnis (business judgement) dengan tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat. 2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan. 69
67
J.B. Huizink, op.cit. h.27 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori Praktek, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h.23 69 Heidi Madanis Schooner, dalam Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, FH UI, Program Pasca Sarjana, 2002, h.35 68
Pihak manajemen telah melakukan keputusan bisnis yang tepat dan tidak melakukan pelanggaran prinsip duty of care apabila dalam membuat keputusan itu: 1. Memperoleh informasi yang cukup tentang masalah yang akan diputuskan sehingga percaya bahwa tindakkannya telah tepat 2. Tidak ada kepentingan dengan keputusan dan memutuskan berdasarkan itikad baik 3. Mempunyai dasar alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. 70 Secara tradisionil, aturan kebijakan bisnis (business judgement rule) melindungi para pihak manajemen dari tanggungjawab atas keputusan-keputusan bisnis tertentu yang merugikan perusahaan. 71 Apa yang dimaksud dengan “Business Judgment Rule” Charles R.O’Kelley, Jr. merumuskan sebagai berikut : 72 The business judgment rule is a principle of corporate governance that has been part of the common law for at least one hundered fifty years. It has traditionaly operated as a shield to protect directors from liability for they decisions. If the director are not entitled to the protection of the rule, then the court scrutinize the decision as to its intrinsic fairness to the coporation and the coporation’s minority shareholders. The rule is a rebuttable presumption the director are better equipped than the courts to make business judgement and that the directors acted without self-dealing or personal interest and exercised reasonable deligence and acted with good faith. A party chalengging a board of drector’s decision bears the burden of rebutting the presumption that the decision was a proper exercise of the business judgement of the board. 70
Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (New York: The Foundation Press Inc., Westbury, 1989), h.211 71 Lewis D.Solomon, et.al. Corporations Law and Policy, Materials and Problems, Third Edition, American Casebook Series, (St. Paul, Minn.: West Publising Co., St., 1994), h.695. 72 Charles R.O’Kelley, et.al. Corporations and Other Business Associations, (Boston, Toronto, London, 1992), h.257.
Seorang direktur perusahaan tidak akan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi jika telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memperhatikan prinsip-prinsip “due care”, “good faith”, dan mempunyai “rational bases” terhadap keputusan-keputusan bisnis yang dilakukan. 73 Para direksi perusahaan dan manajer lainnya dikatakan adalah sebagai pemegang fiducia yang harus bertindak jujur demi kepentingan pemberi fiducia (beneficiary) dalam satu hubungan “fiduciary duty”. Fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasarl dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara direktur dengan perseroan terdapat hubungan fiduciary, sehingga sebagai trustee atau agen direktur berkewajiban mengabdi sepenuhnya kepada perusahaan dengan sebaik-baiknya. 74 Prinsip fiduciary ini tidak lazim digunakan dalam hubungan kontraktual, karena sebenarnya dalam kontrak telah diatur hubungan keduanya secara jelas, sehingga tidak diperlukan lagi hubungan kepercayaan ini, hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini : Fiduciary principle are uncommon in contractual relations. If contracts can be written in enough detail, there is no need for “fiduciary” duties as well. Workers and bond holders alike must look their contractual right rather than invoke fiduciary claims. 75 Dasar dari kewajiban fiducia adalah untuk loyal kepada pemberi fiducia (duty of loyal), sehingga seorang pemegang fiducia (beneficiary) dengan tidak 73
Munir Fuady, op.cit, h.50 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku ketiga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.7 75 Frank H. Easterbrook, et.al., The Economic Structure of Corporate Law, (Combridge, Massachusetts, England : Harvard University Press, 1996) h. 90-91 74
mendahulukan kepentingan sendiri. Pemegang Fiducia wajib melaksanakan duty of care, kegagalan melaksanakan duty of care dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia.76 Fiduciary duty adalah kewajiban agent untuk memperlakukan prinsipalnya dengan jujur, hati-hati, loyal dan itikad baik serta memperlakukan prinsipalnya sebagaimana memperlakukan diri sendiri. 77 Untuk menghindarkan salah pengertian mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam disertasi ini, maka definisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut : Utang adalah kewajiban yang dinytakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang Asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 78. Sengketa adalah konflik yang terjadi antara para kreditor dengan debitor mengenai utang piutang yang dapat diselesaikan di Pengadilan (Niaga) atau di luar pengadilan.
76
Edward L. Symons dalam Zulkarnaen Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, suatu gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Bank Indonesia, FH UI Program Pasca Sarjana, 2002, h.33. 77 Henry Campbell Black dalam Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi versus Kepentingan Umum, FH UI, Pasca Sarjana, 2003, h.33. 78 A. Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta: Pradnya Pramita, cetakan keenam, 1991), h.303.
Piutang adalah sejumlah uang, barang-barang atau jasa yang timbul dari perjanjian tertentu atau karena undang-undang yang menjadi hak kreditor untuk menagih dan menerima pembayarannya dari debitor. Perusahaan adalah semua organisasi kepemilikan baik berbentuk badan hukum maupun non badan hukum yang bertujuan untuk memperoleh laba. Kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. 79 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah penundaan yang diberikan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan permohonan yang diajukan oleh debitor yang memperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Perdamaian adalah kesepakatan yang diambil dalam suatu rapat para kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas berdasarkan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor denga maksud untuk mengakhiri sengketa utang piutang dalam proses kepailitan maupun PKPU, baik dengan membayar sebahagian atau seluruh utang debitor kepada para kreditor, dan harus mendapat pengesahan dari Pengadilan Niaga. Restrukturisasi utang : modifikasi syarat-syarat utang piutang seperti satu atau lebih kombinasi berikut ini : 80
79
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, sixth edition, 1990, h.403.
1. Pengurangan tingkat bunga untuk sisa masa utang 2. Perpanjangan jangka waktu pelunasan atau pengunduran tanggal jatuh tempo dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari pada tingkat bunga yang berlaku di pasar untuk utang baru dengan resiko yang sama. 3. Pengurangan (absolut atau kontinjen) jumlah pokok atau jumlah yang harus dibayar pada saat jatuh tempo utang piutang sebagaimana yang tercantum dalam instrumen utang piutang atau dokumen perjanjian. 4. Pengurangan (absolut atau kontinjen) bunga yang terutang. Tender offer adalah suatu penawaran fomal untuk membeli sejumlah tertentu saham-saham suatu perusahaan pada tingkat harga tertentu atau suatu bentuk pengambil alihan suatu perseroan, dimana sebuah perusahaan atau individu menawarkan untuk membeli sejumlah atau seluruh saham perusahaan target pada tingkat harga yang ditentukan. 81 Divestitures adalah salah satu cara yang ditempuh oleh suatu perusahaan dengan melepaskan atau meniadakan sejumlah aktiva atau investasi melalui penjualan langsung, atau distribusi suaru blok besar saham perseroan lain yang teratur suatu perseroan yang disimpan sebagai investasi dengan motif untuk menghasiakan kas untuk ekspansi lini produksi, menghilangkan kinerja operasi yang tidak baik, untuk meningkatkan efisiensi perseroan atau untuk merestrukturisasi bisnis perseroan agar konsisten dengan tujuan-tujuan strategis. 82 Going concern adalah suatu asumsi yang menyatakan bahwa tiap perusahaan mempunyai umur yang tidak terbatas, sehingga tersedianya waktu
80
Agnes Sawir, Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.237 81 Ardiyos, Kamus Besar Akuntansi, (Jakarta:Citra Harta Prima), h. 920. 82 Ibid. h.335
untuk menyelesaikan usaha, melakukan kontrak-kontrak dan perjanjian dagang lainnya. 83 Bargaining atau tawar menawar adalah proses dimana dua pihak atau lebih berusaha untuk menetapkan apa yang dapat diberikan dan diperoleh atau apa yang harus dilakukan dan diterima dalam suatu transaksi diantara mereka. 84 Likuidasi adalah usaha pembubaran suatu bisnis, melunasi semua utang berdasarkan urutan prioritas, dan mendistribusikan aktiva-aktiva yang terssisa dalam bentuk tunai/kas kepada para pemiliknya, atau pembubaran suatu perusahaan dengan menjual semua bisnis atau aktivanya. 85 Moratorium : Legal authorization to delay payment of debt. 86 Mediasi : proses penyelesaian masalah dimana satu pihak luar tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. 87 Negosiasi : bentuk komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 88 Leveraged buy-out (LBO) adalah pengambilalihan suatu perusahaan dengan menggunakan dana pinjaman dengan cara perusahaan yang akan
83
Ibid. h.467 John. A. Fossum, op.cit. h.211. 85 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku Kedua, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1994, h.22. 86 The advanced Learner’s Dictionary of Current English, second edition by. A.S Hornby at.al, Oxford University Press, 1963. 87 Gary Goodpaster dalam Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h.59 88 Oppenhaim dalam Huala Adolf et.al, Masalah-masalah Hukum dan Perdagangan Internasional, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994), h.186. 84
mengakuisisi, kemudian membayar kembali pinjaman dari aliran kas perusahaan yang diakuisisi. 89 Sell-off adalah suatu perusahaan yang tidak sehat menjual saham kepada pihak lain dengan murah. Spin-off adalah pemisahaan anak perusahaan dari induk perusahaannya tanpa merubah kepemilikan ekuiti, dimana perusahaan induk menyerahkan kendali
operasi
kepada
anak
perusahaan
namun
pemegang
saham
mempertahankan persentase kepemilikan yang sama pada kedua perusahaan. 90 Joint venture adalah suatu bentuk kerja patnership atau persekutuan diantara dua orang, perseroan atau satuan usaha lainnya yang didirikan untuk melaksanakan suatu proyek tertentu dan bila proyek tersebut rampung maka persekutuan tersebut dibubarkan, sehingga persekutuan bersifat sementara. 91 Erning Power adalah nilai sekarang yang didiskontokan dari keuntungan suatu bisnis dimasa yang akan datang. 92 Merger atau penggabunganadalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 93 Akuisisi atau pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alihan perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. 94 Konsolidasi atau peleburan adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara 89
ardiyos, op. cit. h.548. Ibid. h.863 91 Ibid. h.521 92 Ibid. h.351 93 Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007 94 Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007 90
mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 95 Dari teori dan konsep yang telah dikemukakan perlu dibuatkan suatu skema perbandingan penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan yang dilaksanakan di luar pengadilan (out-court) dan di dalam pengadilan (in-court), yang akhirnya dapat diperoleh suatu tipe ideal penyelesaiannya sebagaimana pada skema berikut ini:
95
Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007
SKEMA II : PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN FISLOSOFI : EFISIENSI TEMPAT
LEMBAGA
Out-court 1. ADR:
a. Mediasi b. Negosiasi c. Konsiliasi d. Arbitrase
PELAKSANA -
Mediator Negosiator Konsiliator Arbitrator
Contoh APP (SMG) →negosiasi -
In-court R E S U M E
2. Restrukturisasi Utang - Rescheduling - Refinancing - Haircut - Converted debt 1. PKPU → Damai - Moratorium J Pailit 2. Kepailitan 3. Reorganization (USA)
Mediator swasta (PMN) - JITF - INDRA - BPPN (Pemerintah/fasilitator -
Hakim + Pengurus + Rapat Kreditor Hakim + Pengurus + Rapat Kreditor Hakim + Kurator Hakim + Bargaining Power
PERSETUJUAN/ PENETAPAN Agreement
SIFAT
SOLUSI AKHIR KREDITOR DEBITOR
Voluntair Win (tidak mengikat) mengikat Win
Win
Master Restructuring Agreement (MRA) Agreement Agreement Putusan sepihak
Voluntair
Win
Win
Voluntair Voluntair Mengikat
Win Win Win
Win Win Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Putusan Pengadilan
Mengikat
Lose
Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Lose
Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Putusan arbitrase
Win
PENYELESIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN YANG IDEAL In-court
Restrukturisasi utang J PKPU J Damai
Hakim + Bargaining Power
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Metodologi Penelitian Berdasarkan perbedaan konsep hukum, ada 5 (lima) tipe kajian hukum yaitu : 1. Filsafat Hukum, kajian hukum dengan orientasi kefilsafatan. 2. Ajaran Hukum Murni, dengan kajian “Law as it is written in the books” 3. American Sociological Jurisprudence, yang mengkaji “Law as it is decided by judges through judicial process”. 4. Sosiologi Hukum, yang mengkaji “Law as it is in society” 5. Sosiologi dan / atau Antropologi Hukum, yang mengkaji “Law as it is in (human) actions”. 96 Tipe kajian Filasafat Hukum, Ajaran Hukum Murni dan American Jurisprudence termasuk tipe penelitian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai kaidah yang disebut penelitian Normatif.97 Penelitian normatif pada umumnya adalah bersifat deduktif yakni dari hal-hal yang umum (norma-norma) kepada hal-hal khusus dalam peristiwa atau pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan juridis normatif, yang artinya penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat 98. Penelitian juridis normatif yang diterapkan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif karena didasarkan atas pertimbangan,
96
Soetandyo Wignyo Subroto dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju 2000), h.158-159 97 Sunaryati Hartono dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Manadar Maju), 2000. h.159. 98 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, (New York: W.W. Norton and Co., 1984), h.6.
pertama : menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua : metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan responden dan ketiga : metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. 99 Penelitian disertasi ini akan menganalisa Kepailitan dan PKPU sebagai “Law as is written in the books” maupun sebagai “Law as it decided by the judge through judicial process” hubungannya dengan filosofi yang terkandung dalam upaya penyelesaian sengketa utang piutang secara efisien untuk mencapai “winwin solution” bagi para pihak. Salah satu jenis penelitian hukum adalah perbandingan hukum 100, karena perbandingan hukum adalah suatu metode penyelidikan bukan suatu cabang ilmu 101. Comparative law is the comparison of the different legal system of the world. 102 Penelitian disertasi ini juga menggunakan metode perbandingan hukum, maka penelitian ini akan menganalisa perbandingan pengaturan dan pelaksanaan reorganisasi perusahaan di Indonesia dengan pengaturan reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan di Amerika Serikat. Dipilihnya sebagai perbandingan hukum pada sistim hukum Kepailitan Amerika Serikat, karena Chapter 11 US Bankruptcy Code tersebut sangat dikenal dan menjadi acuan penyusunan 99
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, Cetakan Kesebelas, 2000), h.5 100 Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI Press, 1986), h.14 101 Sunaryati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1970), h.1, bandingkan dengan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.101. 102 Konrad Zwigert, Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, (Oxford, Vol.1, Clarendom Press, 1987), h.2.
ketentuan dan undang-undang tentang restrukturisasi utang dari berbagai negara di dunia. Dalam melakukan perbandingan sistem hukum ada tiga komponen yang dapat dilihat, yaitu substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture) 103. Namun dalam penelitian ini perbandingan hukum yang dilakukan hanyalah dalam arti sempit saja atau lebih dikenal dengan “Micro Comparison” 104 yaitu hanya mempelajari masalah reorganisasi saja atas dasar metode perbandingan dengan pengaturan reorganisasi di Amerika Serikat. Perbandingan Hukum ini menekankan pada sistem common law di Amerika Serikat (karena negara ini cukup representatif mewakili negara common law). Sedang peraturan PKPU (Kepailitan) Indonesia berasal dari Hukum Belanda yang menganut sistem civil law (Eropa Kontinental). 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dilakukan dengan mempergunakan langkah-langkah sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseach) Untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tersier (penunjang) dilakukan penelitian kepustakaan. 105 Bahan hukum primer yang diteliti yaitu bahan hukum yang mengikat : Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Peraturan Perundang-
103
Lawrence Friedman, op.cit. h. 6-8 Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi versus Kepentingan Umum, FH UI, Program Pasca Sarjana, 2003, h.54. 105 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 116-117 104
undangan, Hukum Adat dan Jurisprudensi. 106 Bahan hukum sekunder yakni bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa Rancangan Undang-undang (RUU), buku atau hasil karya ilmiah ahli hukum dan hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. Bahan hukum tersier (penunjang) yakni bahan-bahan yang memberikan informasi dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia. b. Penelitian Lapangan Untuk memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan yaitu untuk memperoleh data tentang implementasi proses hukum kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga yakni melalui putusan dan penetapan hakim niaga, data ini akan diperkuat dengan hasil wawancara secara mendalam dengan menggunakan kuisioner terhadap para hakim pengadilan niaga, pengacara, kurator, debitor, kreditor yang langsung terlibat dalam kasus-kasus yang relevan sehingga akurat datanya dan aktual masalahnya. Penelitian ini dititikberatkan pada penelitian Kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data primer yang sifatnya sebagai pendukung. 2. Analisis Data Analsis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar 107. Analisis pengolahan data, pertama-tama dilakukan adalah proses pemeriksaan 106
Amiruddin et.al, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 118-119 107 Michael Quin Patton dalam Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung: Remana Rosdakarya, Cetakan kesebelas, 2000), h.103.
data dengan cara memilah-milah data, kemudian data tersebut di edit guna memastikan kesempurnaan pengisian setiap instrumen pengumpulan data. Selanjutnya dilakukan proses kategorisasi yakni memasukkan data ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan sesuai dengan kriteria-kriteria yang terkandung dalam tujuan penelitian. Baik bahan hukum primer, sekunder tersier serta informasi dari para ahli kemudian dianalisis hasilnya secara normatif berdasarkan metode analisis kualitatif dan hasilnya dapat dipaparkan dalam bentuk preskriptif analitis. Penelitian yang menyangkut sengketa utang piutang perusahaan akan dianalisis secara kualitatif. Analisa kuailtatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah dilakukan kuantifikasi terhadapnya. Penelitian kualitatif juga disebut bersifat holistic karena menganalisis data secara komprehensif dan mendalam, oleh karena itu disertasi ini pun membahas doktrin atau teori yang mendasari lahirnya peraturan atau putusan pengadilan yang menyangkut tentang Kepailitan dan PKPU. 3. Lokasi Penelitian dan Responden Untuk mengkaji bagaimana penerapan peraturan Kepailitan dan PKPU dengan jalan perdamaian di Pengadilan Niaga, maka akan dilakukan penelitian pada 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia yang telah dibentuk yaitu :
1. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 281 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah RI, namun kemudian berdasarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 wilayah hukumnya hanya meliputi wilayah : DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Lampung, dan Propinsi Kalimantan Barat. 2. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Ujung Pandang, berdasarkan Kepres Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara, Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Maluku dan Propinsi Irian Jaya. 3. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan, berdasarkan Kepres Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Riau, Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Bengkulu, Propinsi Jambi dan Daerah Istimewa Aceh. 4. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, berdasarkan Kepres Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Jawa Timur, Propinsi Kalimantan Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Bali, Propinsi NTB, Propinsi NTT, Dan Propinsi Timor Timur. 5. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Semarang, berdasarkan Kepres Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Jawa Tengah dan D.I Jogjakarta. Jakarta Inisiative atau Prakarsa Jakarta sebagai Lembaga Penengah dan INDRA sebagai lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk
menyelesaikan sengketa utang piutang swasta di luar pengadilan, juga akan dijadikan sebagai objek/tempat penelitian dalam penelitian ini.
Populasi 108 dalam penelitian ini adalah 5 (lima) pengadilan niaga, para hakim peradilan niaga, putusan-putusan/penetapan hakim peradilan niaga dan para praktisi hukum kepailitan. Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling 109, dan kemudian ditentukan sampel responden adalah sebagai berikut : 1. 15 (lima belas) orang hakim pengadilan niaga/hakim pengawas 2. 3 (tiga) orang hakim Mahkamah Agung 3. 5 (lima) orang ahli hukum Kepailitan 4. 5 (lima) orang Pengacara Kepailitan 5. 3 (tiga) debitor dan 3 (tiga) kreditor kasus Kepailitan 6. 300 (tiga ratus) kasus yang telah diputus peradilan niaga, dan sebagai bahan analisis dipilih ± 10 kasus yang menyangkut tentang perdamaian. F. Asumsi Untuk memfokuskan penelitian, maka disusunlah asumsi sebagai berikut : 1. Para pelaku usaha selalu memperhitungkan untung rugi dalam menjalankan usaha sehingga proses pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan proseduril akan memerlukan dana yang besar, para pelaku usaha cenderung memilih acara diluar pengadilan yang lebih cepat, tidak bertele-tele sehingga lebih efisien dan bersifat win-win solution.
108
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama, populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan sifat atau ciri yang sama. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1997), h. 121 109 Purposive Sampling adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian, supaya dalam sampel itu terdapat wakil-wakil dari segala lapisan populasi dan sampel itu memiliki ciri-ciri yang essensial dan cukup representatif. Lihat C. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 98
2. Peraturan Kepailitan dan PKPU masih banyak kelemahannya karena hanya berupa penyempurnaan dari peraturan Kepailitan produk kolonial, Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 dibuat atas desakan pihak asing (IMF), belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat di bidang perekonomian dan dunia usaha secara nasional. 3. Lembaga penengah (Prakarsa Jakarta dan INDRA) tidak populer dalam menyelesaikan sengketa utang piutang karena pelaksanaannya yang tidak menuju kepada efisiensi, karena sifatnya yang tidak wajib (Voluntary). 4. Sistem hukum Anglo Saxon yang dianut di Amerika Serikat tercermin dalam Chapter 11 US Bankcruptcy Code sehingga pengaturan dan pelaksanaannya lebih bersifat individualistis, lebih luas serta terperinci dalam mengatur hakhak dan kewajiban kreditor dan debitor dalam upaya reorganisasi suatu perusahaan, sedang PKPU yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan hanya menganut satu aspek saja dari reorganisasi perusahaan yaitu penundaan pembayaran (surseance van betaling), berasal dari sistem Hukum Eropah Kontinental.
G. Sistematika Penulisan Penulisan desertasi ini dibagi dalam 6 (enam) bab, yakni sebagai berikut : Bab pertama, merupakan pendahuluan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian, asumsi dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa utang piutang dalam peraktek di Indonesia, bab ini akan menguraikan dan membahas lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa utang piutang melalui pengadilan
(in-court), diluar pengadilan (out-court), yang keduanya akan menjelaskan bentuk-bentuk pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bagaimana peraktek secara nyata dilaksanakan, baik melalui Kepailitan (PKPU), maupun lembaga mediator (Penengah). Bab ketiga, membahas dan menguraikan pelaksanaan peraturan Kepailitan dan PKPU oleh Peradilan Niaga serta bagaimana perdamaian tercapai dan faktorfaktor apa penyebab gagalnya perdamaian tersebut; Bab keempat, membahas dan menguraikan tentang persamaan maupun perbedaan antara Reorganisasi menurut Chapter 11 US Bankcruptcy Code dengan PKPU menurut UU Kepailitan dan PKPU, dan selanjutnya diuraikan tentang bagaimana pengaturan reorganisasi perusahaan secara umum dibandingkan dengan PKPU di Indonesia. Bab kelima, mengemukakan kasus-kasus sebagai bahan analisis untuk mengetahui pendapat pengadilan tentang PKPU. Bab keenam, sebagai penutup akan mengemukakan beberapa saran dan kesimpulan.
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG
A. DI PENGADILAN (IN-COURT) 1. Gugatan Biasa Kreditor berhak mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang didasarkan adanya perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya, karena kreditor memerlukan perlindungan hukum akibat perbuatan debitor yang dianggap merugikan kreditor. Perlindungan ini adalah untuk menghindari perbuatan “eigenrichting” dari pihak-pihak bersengketa. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dengan gugatan ini disebut juga litigasi (litigation) yakni gugatan berdasarkan adanya sengketa, dimana gugatan dan jawaban merupakan simbol pengganti dari konflik yang terjadi. Kemudian oleh para pihak mempercayakan kepada pihak ketiga (hakim) untuk mengambil keputusan yang mungkin satu pihak dinyatakan menang dan pihak lain dinyatakan kalah (win-lose solution). Keputusan hakim ini harus dituruti para pihak bersengketa karena dalam mengambil keputusan, litigasi dalam batas-batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil keputusan itu. Melalui adjudikasi publik ini para pihak dapat mempelajari kelemahan dan kekuatan pihak lawan karena adanya suatu prosedur standar berupa hukum acara untuk mengemukakan dalil-dalil, bantahan-bantahan serta data yang menurut para pihak perlu diajukan sebelum pengambilan keputusan. Prinsip perlakuan yang adil kepada para pihak ditunjukkan dengan memberi kesempatan yang sama untuk didengar dan untuk mengajukan sesuatu adalah
dijamin oleh hukum formil maupun hukum materil. Fungsi dari litigasi adalah untuk
menyelesaikan
sengketa
dengan
menjaga
ketertiban
umum,
mempertahankan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Jadi litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang-undang, baik secara eksplisit maupun implisit. 110 Namun litigasi ini memaksa para pihak berada dalam posisi yang sulit karena menyangkut seluruh persoalan materil (hukum materil) maupun masalah formalitas (hukum formil). Oleh karena itu dalam proses ini diperlukan tenaga pembelaan (advocacy) untuk menjaga perlakuan yang sama maupun dalam hal melakukan penemuan fakta dalam sengketa. Dalam proses ini peranan hakim sebagai pihak netral sangat dibutuhkan kebijaksanaannya agar proses litigasi ini berjalan pada proporsi yang diperlukan, sehingga hakim boleh membuat penegasan-penegasan berupa penetapanpenetapan agar sengketa tidak meluas pada persoalan-persoalan yang tidak relevan dengan pokok permasalahan, dan dengan demikian hakim dapat mengetahui duduk sengketa, permasalahan hukumnya, hukum yang diperlakukan dan bagaimana putusannya menurut hukum dan keadilan. Hakim memberi putusan dengan berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 111. Proses litigasi menurut para pengamat memiliki banyak kekurangannya, dimana pihak-pihak ada yang dengan sengaja memperlambat proses ini untuk maksud-maksud tertentu sehingga penyelesaian perkara terkesan lambat dan makan biaya yang banyak. Terhadap proses litigasi melalui pengadilan ini muncul 110 111
Suyud Margono, op.cit. h. 24 Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman
berbagai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat pencari keadilan terutama dari kelompok masyarakat ekonomi, wujud kritik tersebut menurut Suyud Margono dapat diuraikan sebagai berikut 112 : a. Penyelesaian sengketa “lambat” (waste of time), kelambatan tersebut diakibatkan oleh pemeriksaan yang sangat formal dan sangat teknis, menjadikan arus perkara semakin deras, beban terlalu banyak (over loaded). b. Biaya perkara “mahal”, apabila diakitkan dengan lama penyelesaian perkara. Biaya perkara mahal membuat orang berperkara menjadi lumpuh dan terkuras waktu dan pikiran (litigation paralyze people). c. Perkara tidak tanggap (unresponsive), karena dianggap sering mengabaikan perlindungan hukum dan kebutuhan masyarakat, dan sering berlaku tidak adil atau unfair. d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa, tidak mampu memberikan penyelesaian
yang
memuaskan
yang
memberikan
kedamaian
dan
ketenteraman kepada pihak-pihak disebakan oleh : 1. Salah satu pihak pasti menang, dan pihak lain pasti kalah (win-lose) 2. Keadaan win-lose akan menumbuhkan bibit dendam, permusuhan serta kebencian 3. Putusan pengadilan membingungkan 4. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum (uncertainty) dan tidak bisa diprediksi (unpredictable) e. Kemampuan para hakim bersifat “generalis”, memiliki pengetahuan yang terbatas hanya di bidang hukum.
112
Suyud Margono, op.cit. h. 65-66
Selain kritik di atas yang paling menonjol adalah kritik terhadap sistem perkara yang tidak sistematis dan tidak didesain untuk menyelesaikan sengketa secara efisien karena hanya memberi putusan yang abstrak melalui proses banding, kasasi dan peninjauan kembali yang kemudian sulit dieksekusi. Masalah yang serius yang dihadapi peradilan Indonesia sekarang adalah persidangan yang tidak tepat waktu dan proses yang rumit sangat sering ditemukan. Bagi sektor bisnis khususnya pengusaha sangat berpedoman pada efektifitas dan efisiensi, gambaran pengadilan seperti diuraikan di atas, jelas tidak menarik bagi mereka. Adanya tuntutan sistem peradilan yang efektif dan efisien dimaksudkan adalah pemeriksaan persidangan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dari segi teori dan praktek tidak mungkin mendesain peradilan yang memberi kepuasan kepada semua pihak karena terlalu kompleks kepentingan yang harus dilindungi. Upaya maksimal yang dapat dilakukan hanyalah agar kepentingan para pihak dilindungi dengan cara diseimbangkan secara harmonis. Tipe ideal yang dikehendaki masyarakat pencari keadilan (justiabelen) adalah menghilangkan saling pertentangan antara tujuan efektifitas dan efisiensi dengan perlindungan hak dan kepentingan. Dilemanya adalah bila mengutamakan efektifitas dan efisiensi harus mengorbankan hak dan perlindungan kepentingan, sebaliknya bila mengutamakan penegakan hak dan perlindungan kepentingan harus mengenyampingkan efektifitas dan efisiensi. Salah satu sistem peradilan yang sangat dirasakan masyarakat yang tidak mencerminkan kepastian hukum adalah proses upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Meniadakan upaya hukum tersebut akan membuat sistem peradilan jadi efektif dan efisien, namun sekaligus dapat dianggap memperkosa hak dan menghancurkan perlindungan hak dan kesempatan membela kepentingan pihak-pihak. Walau ada berbagai kritik
atas proses litigasi ini sampai sekarang dipandang keberadaan pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan antara lain berperan sebagai : a. Katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum b. Tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan (the last resort), sehingga peradilan masih berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice). 113 Berdasarkan kedudukan dan keberadaan pengadilan tersebut peradilan masih tetap diakui memegang peranan, fungsi dan kewenangan sebagai : a. Penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of society) b. Wali masyarakat (are regarding as custodian of society) c. Pelaksana penegakan hukum yang lazim disebut judiciary as the upholders of the rule of the law. 114 Oleh karena itu penyelesaian sengketa di pengadilan dengan “judicial power” dianggap masih perlu dipertahankan, karena ajaran trias politica, badan judikatif ditempatkan sebagai satu-satunya badan resmi dan formal dalam peradilan. Lembaga ini masih dibutuhkan sebagai katup penekan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, namun diperlukan pula upaya pemberdayaan lembaga yang terdapat pada proses ligitasi di peradilan Indonesia dengan berpedoman pada prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan. 115
113
M. Yahya Harahap dalam Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), h. 64 114 Ibid, h. 65 115 Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk menyelesaikan sengketa agar lebih efektif dan efisien perlu dilakukan inovasi terhadap peraturan dan lembaga-lembaga yang menyangkut peradilan. Lembaga dading yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG mewajibkan hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak sebelum memeriksa pokok perkara. Mekanisme dading (damai) ini mempunyai beberapa keuntungan karena bila tercapai perdamaian akan ditungkan dalam bentuk akta perdamaian yang dibuat dan disetujui kedua belah pihak yang bersengketa dan selanjutnya diajukan kepada hakim yang memeriksa lalu hakim membuat suatu keputusan perdamaian yang memuat akta perdamaian itu sendiri ditambah perintah untuk melaksanakan isi perdamaian. Putusan perdamaian ini bersifat final and binding artinya terhadap putusan itu tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan mengikat bagi kedua belah pihak berperkara. Proses dading ini belum berjalan sebagaimana mestinya, karena hakim di persidangan masih membatasi diri hanya sekedar menyarankan para pihak untuk berdamai di luar persidangan. Hakim tidak memantau sejauh mana sarannya itu dilaksanakan dan dipenuhi para pihak karena perundang-undangan (HIR/RGB) tidak memberikan ketentuan yang bersifat imperatif (memaksa) kepada hakim untuk menerapkan lembaga dading. Karena tidak adanya peraturan perundangundangan yang menjelaskan metode dan prosedur tehnisnya sehingga hakim tidak aktif mendukung upaya menggunakan dading karena pada umumnya dipandang hanya sebagai suatu formalitas. 116 Dari kesimpulan Laporan Kegiatan Mahkamah Agung (MA) tahun 19992000 yang diajukan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dipaparkan data
116
Ali Budiardjo, et.al, Reformasi Hukum di Indonesia (PT Siber konsultan, 1999), h. 123
perkara di MA menunjukkan bahwa kelebihan perkara yang dapat diselesaikan dihubungkan dengan perkara yang masuk, angkanya relatif berimbang sehingga “MA selalu akan menghadapi masalah penyelesaian perkara disebabkan jumlah perkara yang diputus relatif sama dengan jumlah perkara baru yang masuk, pada hal jumlah tunggakan perkara sebelumnya tidak sedikit, maka dengan demikian seolah-olah telah terjadi kemandekan/stagnasi penyelesaian perkara di MA” 117. Tunggakan perkara di MA diduga terjadi oleh dua sebab, pertama karena tidak diterapkannya secara sungguh-sungguh (aktif) lembaga dading (perdamaian) yang tersedia dalam hukum acara yang berlaku, kedua karena tidak diindahkannya oleh peradilan tingkat pertama ketentuan hukum acara yang termuat dalam pasal 46 dan pasal 47 UU nomor 14 tahun 1985 yang secara tegas telah mencantumkan syarat formal pengajuan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali ke MA. Salah satu lembaga hukum
yang dapat dijadikan sarana penanggulangan
tunggakan perkara (management court) adalah dading (damai), karena hukum acara sebagai hukum publik sebenarnya tidak dapat diabaikan karena sifatnya memaksa (dwingen recht), maka seharusnya upaya damai dading harus diupayakan semaksimal mungkin. 118 Dalam rangka tujuan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan peraturan lembaga dading, MA telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/154 RGB). Dalam SE tersebut Hakim diperintahkan agar sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian, tidak
117
H.P. Panggabean, Upaya Perdamaian menurut Pasal 130 HIR, Makalah Rakernas MA, Yogyakarta, September 2001, h. 2 118 Ibid, h. 18
hanya sekedar formalitas, dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak mengumpulkan data dan argumentasi dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak, hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan serta keinginan masing-masing, selanjutnya mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solution). Untuk mengemban kewajiban hakim mengusahakan perdamaian diantara kedua belah pihak bersengketa di pengadilan, maka metode mediasi sangat cocok dikembangkan dan diterapkan. Hakim sebagai mediator diharapkan tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya selama melakukan tugas mediasi dan juga tidak berpihak namun mempunyai kemampuan untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan diantara kedua belah pihak bersengketa. Di Indonesia telah dibentuk sejenis annexed court dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Tahun 2003) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tertanggal 11 September 2003. Menurut PERMA tersebut semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Para pihak dapat memilih seorang mediator dari daftar maupun dari luar daftar yang disediakan oleh pengadilan, tetapi bila tidak dapat menyepakatinya, maka ketua majelis hakim dapat menunjuk seorang mediator dari daftar yang tersedia itu dengan penetapan, dan hakim yang memeriksa suatu perkara dilarang bertindak sebagai mediator bagi pekara yang bersangkutan.
Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator, dan setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator. Jika dalam waktu yang ditentukan menurut pasal 9 ayat (5) PERMA Nomor 2 Tahun 2003 mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya kepada hakim, dan setelah menerima pemberitahuan itu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan hukum acara (ligitasi). Jika mediator berhasil dengan tercapainya kesepakatan damai diantara pihak-pihak, maka mediator memberitahukan secara tertulis kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan bahwa proses mediasi telah berhasil dengan melampirkan akta perdamaian tersebut. Setelah menerima pemberitahuan itu hakim (majelis) akan membuat putusan perdamaian yang memuat akta perdamaian yang telah disepakati oleh para pihak berpekara. Adapun beberapa pertimbangan Mahkamah Agung RI mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini adalah : bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, karena mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperolah keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Bahwa pelembagaan mediasi dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengadilan dalam penyelesian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). PERMA ini adalah menyempurnakan aturanaturan yang telah ditetapkan dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/154 RGB) sehingga dalam bagian penutupan PERMA ini telah mencabut berlakunya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut.
PERMA ini
dikeluarkan adalah sementara menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur proses mediasi untuk mencapai perdamaian di pengadilan demi kepastian, ketertiban dan kelacaran dalam proses perdamaian para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Dengan diberlakukannya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini, maka terhadap pengadilan tingkat pertama telah ditambahkan (annexed) suatu acara (proses) tambahan yakni hakim mempersilahkan lebih dahulu para pihak menyelesaikan sengketanya melalui mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator lain dengan upaya mencari perdamaian sesuai dengan prosedur yang diatur dalam PERMA tersebut. Untuk itu pengadilan tingkat pertama harus mempersiapkan diri membangun annexed court ini dengan menyediakan sedikitnya 2 (dua) mediator yang telah memiliki sertifikat, serta mempersiapkan sarana gedung (ruangan) dan administrasinya dalam waktu segera mungkin. Diberlakukannya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini, secara umum adalah untuk memenuhi 2 (dua) keinginan sekaligus yakni mengatasi penumpukan perkara di pengadilan sekaligus merespons keinginan pencari keadilan (justiabelen) untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian sengketa dengan proses perdamaian dengan hasil yang lebih cepat, biaya ringan sehingga memuaskan kedua belah pihak bersengketa. PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini telah digantikan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang pada intinya berupa revisi dan pendayagunaan mediasi di Pengadilan.
2.
Arbitrase Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, dimana para
pihak menyetujui penyelesaian sengketanya diputuskan oleh pihak netral yang dipilih mereka sendiri. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa secara formal berdasarkan kesepakatan para pihak, dimana arbiter mempunyai wewenang memfasilitasi dan memutuskan sengketa melalui keputusan yang mengikat. 119 Pada prinsipnya arbitrase itu menghindari pengadilan karena arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa. Dibanding dengan adjudikasi publik (pengadilan), arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan bagi para pihak. Walaupun putusan arbitrase diperoleh dengan prosedur sederhana tapi sifatnya mengikat para pihak. Klausula arbitrase merupakan dasar utama pemberlakuan prosedur arbitrase ini, tetapi masih dimungkinkan dalam klausula perjanjian pengajuan sengketa ke pengadilan jika arbitrase tidak berhasil. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian Arbitrase telah dirumuskan sebagai berikut: 120 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sehubungan dengan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan tetap dan mengikat para pihak, maka putusan itu sama kekuatannya
119 120
Suyud Margono, op.cit. h. 48 Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999
dengan putusan pengadilan sehingga juga diberi berkepala : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 121 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, dan wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 122 Ketentuan tersebut di atas telah dengan tegas membatasi kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan sengketa perdata yang disertai perjanjian arbitrase. Jika kreditor ataupun debitor membuat perjanjian dengan klausula arbitrase, maka penyelesaian sengketa harus tunduk pada arbitrase, artinya pengadilan negeri tidak berwenang menyelesaikan perkara tersebut melainkan arbitor yang telah disepakati bersama itulah yang berwenang. Tetapi bila sengketa antara debitor dan kreditor tersebut diajukan ke pengadilan niaga dengan proses kepailitan atau PKPU, maka hal ini akan berbeda. Pengadilan Niaga bukan pengadilan negeri, sebab menurut ketentuan Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1998, pengadilan niaga berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan pailit dan PKPU. 123 Kewenangan mengadili pengadilan niaga terhadap sengketa perdata dengan klausula arbitrase telah ditegaskan pula dalam undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan & PKPU yang menyatakan pengadilan niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang menurut klausula arbitrase sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini. 124 121
Pasal 60 dan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 123 Parwoto Wignjosumarto, Titik taut Arbitrase dan Kepailitan Indonesia, Makalah Seminar Bankruptcy & Arbitration, Pusat pengkajian Hukum, Jakarta 8 Maret 2004, h. 3 124 Pasal 303 UU Nomor 37 Tahun 2004 122
Mahkamah Agung RI telah mengambil putusan dalam sengketa kewenangan mengadili antara arbitrase dan Pengadilan Niaga tentang sengketa perdata dengan perjanjian arbitrase yang pada pokoknya berpendapat bahwa Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan memutus sengketa perdata dengan perjanjian arbitrase. Sikap Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat dalam putusan No. 020 PK/N/1999 tanggal 18-10-1999 jo. No. 019/K/N/1999 tanggal 98-1999, dalam perkara antara PT. Megarimba Karyatama dan PT. Mitra Surya Tatamandiri sebagai para pemohon peninjauan kembali/termohon kasasi/para termohon pailit melawan PT Basuki Pratama Engineering sebagai termohon peninjauan kembali/pemohon kasasi/pemohon pailit dengan pertimbangan sebagai berikut dalam Putusan MA RI No. 020/PK/N/199 (Peninjauan Kembali) : 125 Bahwa berdasarkan pasal 280 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal status and power) pengadilan niaga memiliki kapasitas hukum (legal Capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. Pasal 377 dan Pasal 615-651 RV, telah menetapkan status hukum dan kewenangan arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian dalam kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan pengadilan negeri sebagai Pengadilan Negara biasa. Bahwa dalam kedudukannya sebagai extra judicial, kewenangan absolut arbitrase tidak bisa mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian insolvensi atau pailit oleh UU Nomor 4 tahun 1998 sebagai undang-undang khusus (special law). Dalam perkara yang sama pada tingkat kasasi, MA telah mempertimbangkan sebagai berikut dalam putusan No. 019 K/N/199 (Kasasi) : 126 Bahwa dari pendekatan ketentuan perundang-undangan dihubungkan dengan praktek pengadilan yang bersumber dari yurisprundensi, yang disingkirkan legal effect arbitrase sebagai extra judicial adalah kewenangan 125
Himpunan Putusan-putusan MA dalam Perkara kepailitan Jilid 4, (Jakarta : PT Tatanusa, 2000), h. 365 126 Himpunan Putusan-putusan MA dalam Perkara kepailitan Jilid 3, (Jakarta : PT Tatanusa), h.124
pengadilan Negeri dalam kedudukan kapasitas hukumnya sebagai Pengadilan Negara Biasa. Legal effect arbitrase tersebut sebagai extra judicial tidak dapat menyingkirkan kedudukan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan permohonan berkategori insolvensi atau pailit berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi itu bersumber dari perjanjian hutang yang mengandung klausula arbitrase (arbitral clausa). Alasannya, tata cara penyelesaian (settlement method) yang diajukan dalam bentuk permohonan insolvensi (pailit) kepada pengadilan niaga adalah cara penyelesaian yang berkarakter extra ordinary court melalui UU Nomor 4 tahun 1998, bukan tatacara penyelesaian yang bersifat konvensional melalui gugat perdata kepada Pengadilan Negeri. Dengan demikian status hukum (legal status) dan kapasitas hukum (legal capacity) Pengadilan Niaga yang berkarakter extra ordinary court yang khusus menyelesaikan permohonan pailit, tidak dapat disingkirkan kewenangannya oleh arbitrase dalam kedudukan dan kapasitas hukum sebagai extra-judicial. Pendapat maupun sikap Mahkamah Agung tersebut dapat juga dilihat pada putusan No. 013 PK/N/1999 tanggal 2-8-1999 jo. No. 012 K/N/1999 tanggal 255-1999 dan putusan No. 01 K/N/2002 tanggal 13-2-2002, yang pada pokoknya menyatakan
bahwa
klausula
arbitrase
dalam
perjanjian
tidak
dapat
mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan pailit.127 Putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga sebagai extra-ordinary court mengandung sifat hukum publik , karena berlaku bagi semua kreditor walaupun tidak sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan. Untuk melindungi kreditor lain sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan. Untuk melindungi kreditor lain yang tidak terikat perjanjian dengan klausula arbitrase, seharusnyalah kewenangan luar biasa yang dimiliki Pengadilan Niaga mengenyampingkan kewenangan arbitrase yang sifatnya party-contract saja. Berdasarkan beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut dan isi pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka tidak ada lagi permasalahan sengketa kewenangan mengadili antara arbitrase dan Pengadilan Niaga tentang 127
Ibid, h.45, h.266
sengketa perdata yang disertai perjanjian arbitrase, dengan kesimpulan bahwa kepailitan tidak tunduk pada klausula arbitrase.
3.
Proses Kepailitan dan atau PKPU
a.
Tinjauan Umum Kepailitan Kepailitan merupakan suatu penyitaan umum atas seluruh kekayaan
debitor untuk kepentingan kreditor-kreditor secara bersama-sama. Pailit hanya mengenai kekayaan dan tidak mengenai pribadi dari orang yang dinyatakan pailit (debitor). Faillissement adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara yang adil. 128 Sebagai maksud dan tujuan dari kepailitan (bankruptcy), dapat diuraikan keadaan yang menggambarkan : Bilamana seseorang atau badan hukum tidak sanggup membayar utang-utangnya dan dia berada dalam kesulitan keuangan, dimungkinkan menurut hukum baik atas permintaan debitor itu sendiri atau oleh satu kreditor, agar harta kekayaan tertentu dari debitor dapat diambil alih untuk membayar kepada para kreditor secara seimbang sesuai jumlah piutanganya masing-masing. Kepailitan adalah suatu lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting di bidang hak kebendaan. Lembaga ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang mengatur tentang tanggungjawab subjek hukum terhadap perikatan-perikatan yang dilakukannya. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor baik yang sekarang ada maupun yang akan diperolehnya menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan yang dilakukannya. 128
Victor M Situmorang et.al., Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), h.11
Selanjutnya pasal 1132 KUH Perdata menentukan lagi, bahwa benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama, hasil penjualan benda-benda itu dibagi di antara mereka secara berimbang menurut perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali di antara para kreditor itu mungkin terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan atau diprioritaskan. Akibat hukum dari kepailitan adalah si pailit tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan kepengurusan dan pemilikan terhadap harta kekayaan atau asset. Tetapi kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya, jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan.
129
Kepailitan tidak menghilangkan sama sekali kewenangan si pailit
untuk melakukan kepengurusan dan pemilikan harta yang berhubungan dengan pribadinya. Jadi tindakan yang membawa akibat-akibat hukum terhadap boedel pailit (asset) hanya dapat dilakukan oleh kurator yang ditunjuk dalam putusan pailit. Dalam batas-batas tertentu si debitor pailit dapat melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit, sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut akan merugikan harta pailit, kurator dapat meminta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit. Selanjutnya lebih jauh diatur tentang actio pauliana, yakni pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan. Jika si debitor dinyatakan pailit, semua hasil penjualan harta kekayaan akan dibagi secara berimbang di antara semua kreditor. Lembaga kepailitan ada rationya jika debitor memiliki lebih dari satu kreditor, sehingga konsep 129
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Mandar Maju, 1999), h.1
“concursus creditorium” merupakan kerangka dasar dalam kepailitan. Bila hanya satu kreditor, dan debitor tidak membayar utangnya, maka tidak perlu menggunakan lembaga kepailitan, sebab tidak ada persaingan yang menuntut perimbangan, oleh karena itu penyelesaiannya cukup dengan gugatan biasa ke pengadilan negeri dengan alasan cidera janji. Setiap debitor baik perorangan maupun badan hukum tidak berwenang menyatakan dirinya pailit, hanya pengadilan niaga yang bersangkutan yang berhak menyatakan pailit si debitor. Demikian juga pihak kreditor harus mangajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan niaga untuk menyatakan pailitnya si debitor. Dari segi hukum formil (hukum acara), yang terjadi pada saat pernyataan pailit adalah sitaan umum yang jatuh demi hukum atas semua harta si debitor. Sebagai akibatnya adalah bahwa sita individu yang diletakkan sebelumnya atas harta si debitor dengan sendirinya terangkat demi hukum. Pembagian secara berimbang (pari passu prorata parte) dalam kepailitan terdapat pengecualian terhadap kreditor yang mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kreditor yang memiliki hak untuk didahulukan adalah bersumber dari hak tanggungan dengan jaminan kebendaan yang dipegangnya. Pada kreditor pemegang jaminan kebendaan ini berada di luar kepailitan dan dapat menuntut pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dibanding dengan kreditor lainnya. Pemahaman terhadap peraturan kepailitan tidak dapat dipisah-
pisahkan dengan pemahaman terhadap peraturan hukum tentang jaminan (zekerheids rechten). 130 Insolvency sering dipersamakan dan dipertukarkan pemakaiannya dengan kata bankruptcy, yang keduanya diartikan sebagai kepailitan. Istilah Belanda “insolventie” memuat suatu makna tehnis yang berbeda dari istilah kepailitan, insovensi terjadi dalam rapat verifikasi di antara para kreditor yang dilakukan setelah putusan pernyataan pailit. Makna tehnis insolvensi sesuai ordonansi kepailitan tahun 1905 sebenarnya adalah suatu periode setelah dijatuhkannya putusan kepailitan yang tidak diikuti dengan perdamaian (accord) di antara pada kreditornya ataupun perdamaian telah ditolak dengan pasti. 131 Dalam sistem hukum anglo saxon (common law), insolvensi itu terjadi sebelum kepailitan, sedang dalam sistem hukum eropah kontinental (civil law), dianut pengertian bahwa insolvensi itu terjadi setelah kepailitan. Menurut
undang-undang
kepailitan, 132
putusan
pailit
itu
dapat
dilaksanakan serta merta (uit voerbaar bij voorraad), namun hal ini tidak langsung mengakibatkan si debitor secara definitif menjadi pailit. Tiap putusan pailit selalu diikuti dengan proses verifikasi atau pencocokan utang di antara para kreditor. Jika dalam verifikasi itu tercapai kesepakatan tentang cara pembayaran atau besarnya pembayaran utang debitor, maka masing-masing kreditor bersedia menerima pelunasan sebahagian dari piutangnya dan merelakan sisanya kepada debitor, oleh karena itu tercapailah apa yang dimaksud dengan accord. Sebagai akibat hukum dari accord, maka kepailitan terangkat demi hukum. Sebaliknya jika accord tidak tercapai, maka debitor pailit masuk dalam fase insolvensi dan 130
Setiawan, Kepailitan, Konsep-konsep Dasar Serta Pengertiannya, Ulasan Hukum (Varia Peradilan No. 156, Sept. 1998), h. 94 131 Ibid, h.100 132 Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1998 (Pasal 8 ay. 7 UU No. 37 tahun 2004)
kepailitan menjadi tetap. Insolvensi dapat terjadi dari peristiwa-peristiwa atau keadaan : 1) Perdamaian (accord) tidak ada ditawarkan 2) Perdamaian (accord) ditawarkan tetapi ditolak 3) Perdamaian (accord) diterima tetapi tidak disyahkan (homologasi) oleh Pengadilan niaga b.
Undang-Undang Kepailitan yang Baru Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan PKPU (UUK Baru) sejak tanggal 18 Oktober 2004, maka undangundang ini sudah merupakan hasil legislasi sebagaimana dikehendaki berbagai pihak. 133 Sebelumnya yang berlaku adalah Perpu nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (faillissements verordening) yang berlaku efektif tanggal 20 Agustus 1998, dan Perpu ini kemudian telah diterima oleh DPR menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (UUK Lama) yang berlaku sejak tanggal 9 September 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dikeluarkan oleh Pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945), terhadap pengeluarannya sebagian kalangan masyarakat melontarkan kritik dengan melihat ada kesan tergesa-gesa dalam penerbitan Perpu tersebut. Sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah undang-undang kepailitan sudah merupakan undang-undang yang baik, dapat dipedomani pertanyaan mendasar sebagai berikut : 1) Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan kreditor. 2) Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitor.
133
Komentar : “DPR mengatakan agar segera mengajukan RUU kepailitan yang baru, meskipun DPR telah mensyahkan Perpu menjadi UU, UUK harus segera disempurnakan dengan RUU Kepailitan yang lebih komprehensif” (Harian Kompas, 22 Juli 1998),
3) Seberapa jauh hukum pailit telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas dari pada hanya kepentingan debitor atau kreditor semata-mata 4) seberapa jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkan aturanaturan yang bersifat prosedural dan substantif. 5) Seberapa jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuantujuannya. 134 Harapan masyarakat pada umumnya agar Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang baru dapat bersifat antisipatif terhadap perkembangan ekonomi global, dapat mencegah adanya debitor nakal (tidak beritikad baik) dan selanjutnya memberi peluang bagi debitor beritikad baik dan masih punya harapan untuk bangkit kembali dari kesulitannya. Beberapa perubahan atau penambahan penting dalam UUK Baru antara lain sebagai berikut : 1) Memuat ketentuan umum pada Bab I yang terdiri dari pasal 1 seluruhnya berisikan 11 (sebelas) batasan atau pengertian yang salah satu memberi pengertian tentang utang, 135 sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998 pada bagian penjelasan, pengertian utang disebutkan sebagai utang pokok atau bunganya. 2) Penambahan wewenang Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap : Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun1998 hanya terhadap Perusahaan Efek. 136 3) Penambahan pengaturan yaitu permohonan pernyataan pailit terhadap : Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN yang 134
Douglas G. Baird dalam Munir Fuady, HukumKepailitan 1998 dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya bakti, 1998), h.2-3 135 Pasal 1 point 6 UU Nomor 37 Tahun 2004 136 Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 jo. Pasal 1 ayat 4 UU Nomor 4 Tahun 1998.
bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 137 4) Putusan Pengadilan Niaga/Mahkamah Agung harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan/ permohonan Kasasi atau Peninjauan Kembali diterima, sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun1998 jangka waktu tersebut hanya selama 30 (tiga puluh) hari. 138 5) Dimungkinkan memuat pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda (decenting opinion) dari hakim menjelis dalam putusan pernyataan pailit. 139 6) Permohonan kasasi dapat dilakukan kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas dengan putusan atas permohonan pernyataan pailit. 140 7) Pengajuan PKPU dapat juga dilakukan oleh kreditor, sedang dalam UU No. 4 Tahun1998 pengajuan PKPU hanya dapat dilakukan oleh debitor.141 8) Dalam pemberian PKPU tetap berikut perpanjangannya juga harus mendapat persetujuan dari kreditor separatis (pemegang hak agunan atas keberadaan), sedang dalam UU No. 4 Tahun1998 persetujuan itu hanya dari kreditor konkuren. 142
137
Pasal 2 (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 8 ayat (5) jo. Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 37 tahun 2004 139 Pasal 8 ayat (6) jo. Pasal 13 ayat (5) UU Nomor 37 tahun 2004 140 Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 37 tahun 2004 141 Pasal 222 ayat (1), (3) UU Nomor 37 tahun 2004, bandingkan dengan pasal 212 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1998 142 Pasal 229 UU Nomor 37 tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 217 ayat (5) UU Nomor 4 tahun 1998 138
9) Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998 masih dimungkinkan. 143 10) Dalam menetapkan rencana perdamaian dalam PKPU juga harus mendapat persetujuan dari kreditor separatis, sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998 persetujuan cukup diperoleh dari Kreditor Konkuren144 11) Dalam PKPU Counter permohonan harus diajukan pada Sidang Pertama Pemeriksaan Pailit 145, sedang dalam UU Kepailitan Lama tidak diatur secara tegas. 12) Permohonan PK telah diatur pada Bab IV UU Kepailitan Baru sedang dalam UU No. 4 Tahun1998 tidak ada diatur secara khusus tentang PK. 146 c. Syarat-syarat Pernyataan Pailit Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan : Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya. Dari isi pasal 2 ayat (1) tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (2), (3), (4), (5) dan pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 tahun 2004, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat juridis agar suatu subjek hukum dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut : 1) Adanya utang 143
Pasal 235 UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan pasal 220 UU Nomor 4 tahun
1998 144
Pasal 281 ayat (1b) UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 265 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1998. 145 Pasal 229 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 217 ayat (6) UU Nomor 4 tahun 1998 146 Pasal 295 s/d 298 UU Nomor 37 Tahun 2004
2) Minimal satu dari utang sudah jatuh waktu 3) Minimal satu dari utang dapat ditagih 4) Adanya debitor 5) Adanya kreditor 6) Kreditor lebih dari satu 7) Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang 8) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh : 1) Debitor 2) Satu atau lebih kreditor 3) Jaksa untuk kepentingan umum 4) Bank Indonesia jika debitornya bank 5) Bapepam jika debitornya : Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian 6) Menteri Keuangan jika debitornya : Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN di bidang kepentingan publik 9) Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa syarat-syarat pasal 2 ayat 1 tersebut telah terpenuhi. d. Hubungan PKPU dengan Kepailitan Sepintas dapat dilihat bahwa kepailitan itu berada di pihak kepentingan kreditor, sedang ketentuan mengenai PKPU tampak lebih memihak pada kepentingan debitor. Bila debitor yang merasa dirinya tidak mampu lagi membayar utangutangnya dapat dengan segera mengajukan permohonan PKPU untuk menghindari pembayaran atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu.
Permohonan PKPU dapat dilakukan dengan cara : a. Diajukan sendiri oleh debitor yang merasa tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai perdamaian yang ditawarkannya. b. Diajukan debitor setelah adanya permohanan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditornya, disertai dengan tawaran perdamaian c. Diajukan oleh kreditor yang memperkirakan debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian. Undang-undang kepailitan memberikan kesempatan pertama bagi kreditor dan debitor untuk menyelesaikan sengketa utang-piutangnya dengan jalan damai, hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang menyatakan : apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor dan pada saat yang sama atau kemudian oleh debitor mengajukan PKPU, maka PKPU harus diputus lebih dahulu. 147 Untuk permohoanan PKPU ini, harus segera ditetapkan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang. Pemberian PKPU yang bersifat tetap oleh para kreditor, secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada debitor untuk menata ulang seluruh kewajibannya yang telah jatuh waktu tersebut. Pemberian PKPU secara tetap ini harus diwujudkan dalam suatu bentuk perdamaian antara para kreditor dengan debitor. Apabila para kreditor dalam rapat
147
Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 (Pasal 217 ayat (6) UU No. 4 Tahun 1998)
kreditor tidak menyetujui memberikan PKPU secara tetap, maka debitor harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. e. Kreditor dalam Kepailitan Kreditor adalah subjek hukum baik perseorangan maupun badan hukum yang mempunyai hak untuk menagih sejumlah uang dari debitor setelah lewat waktu yang diperjanjikan atau karena kewajiban telah timbul karena undangundang. Kreditor dapat menyita dan melaksanakan penjualan benda milik debitor guna pelunasan piutangnya. Benda-benda mana yang dapat disita dan urutanurutannya serta cara penjualannya haruslah memperhatikan hak debitor serta menurut ketentuan hukum yang berlaku. Pada asasnya debitor tidak mempersoalkan siapa kreditornya selama semua kewajiban prestasi dan syarat-syaratnya sama. Kalau kreditornya tertentu yakni berupa tagihan atas nama maka “cara pengoperannya dilakukan dengan formalitas tertentu dengan membuat akte cassie” 148 atau dengan cara membuat pengakuan utang (schuld-bekentenis) baik atas tunjuk maupun atas bawa. Para kreditor dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai dengan tingkat kedudukannya yang dapat dibedakan dari cara pelunasannya oleh debitor. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Aneka Hukum Bisnis menyatakan: Hasil penjualan asset debitor yang dibayarkan kepada kelompok kreditor sebagai berikut : 1) Biaya eksekusi untuk benda bergerak/tidak bergerak yang tertentu (Pasal 1139 ayat (1) KUH perdata) 2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang (Pasal 1139 ayat (4) KUH Perdata) 3) Kreditor pada butir 1 dan 2 di atas adalah berdasarkan hak istimewa khusus (speciale voorrechten) terhadap hasil penjualan benda tertentu (Pasal 1134, 1138, 1139 ayat (1) dan (4) KUH Perdata).
148
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya, (Bandung : Alumni, 1993), h.26
4) Biaya perkara karena pelelangan (Pasal 1149 ayat (1) atas benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya. 5) Upah karyawan (Pasal 1149 ayat 94) atas benda bergerak dan tidak bergerak berupa : (Pasal 1138, 1149 KUH Perdata) 6) Kreditor (Negara) untuk pelunasan pajak (Pasal 1134 alinea 2 jo. UU tentang ketentuan Pajak No. 6 Tahun 1983) 7) Kreditor pemegang gadai dan hipotek (Pasal 1133 KUH Perdata) 8) Kreditor berdasarkan hak istimewa (privilege), selebihnya baik khusus dan umum (pasal 1134, 1139 KUH Perdata) 9) Kreditor yang mempunyai kedudukan sama (pari pasu, konkuren) yang dibayar seimbang (pond-pond gewijs) menurut besar kecilnya hutang (Pasal 1132 KUH Perdata). 149 Dari pengelompokan tersebut di atas dapat dilakukan pembagian kreditor ke dalam 3 (tiga) bagian besar, yaitu : 1) Kreditor Separatis (Secured Creditor) 2) Kreditor Preferen 3) Kreditor Konkuren (Unsecured Creditor) Kreditor separatis (pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya) berada di luar kepailitan karena dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
150
Namun
ditentukan kemudian bahwa bahwa hak eksekusi kreditor separatis ini ditangguhkan untuk paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. kreditor
yang
dijamin
151
Penangguhan ini tidak berlaku terhadap tagihan
dengan
uang
tunai
dan
hak
kreditor
untuk
memperjumpakan utang. 152 Jangka waktu penangguhan (stay) tersebut demi hukum berakhir pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. 153 Sedang hak eksekusi kreditor separatis ini
149
Mariam Darus Bz, op.cit. h.131-132 Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 151 Pasal 56 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 152 Pasal 56 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 153 Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 150
harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. 154 Kreditor preferen, 155 mempunyai kedudukan istimewa yang harus didahulukan dari kreditor lainnya. Biaya perkara, biaya eksekusi maupun privilege khusus dan umum serta utang pajak adalah tagihan-tagihan yang harus didahulukan pelunasannya. Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak istimewa dan bukan pula pemegang hak tanggungan, dan kedudukannya masingmasing adalah sama. Pembayaran utang kepada kreditor konkuren adalah menurut keseimbangan yang biasa disebut pembayaran secara “pari passu pro rata parte”. Pembayaran secara berimbang ini juga berlaku apabila ternyata dalam verifikasi jumlah harta lebih kecil dari jumlah utang. Berpegang pada asas concursus creditorium, bila putusan pernyataan pailit telah ditetapkan, maka diterima suatu anggapan hukum bahwa seluruh kreditor menjadi pihak dalam putusan tersebut dan terikat atas isi putusan itu. Berdasarkan pada asas dan anggapan hukum tersebut, maka setiap kreditor berhak mengajukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali atas putusan pernyataan pailit itu. f. Debitor dalam Kepailitan
154
Pasal 59 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 Istilah “preferen” digunakan oleh Sutan RemySjahdeini untuk kreditor pemegang hak jaminan (secured creditor), karena pembagian kreditor adalah : 1. Kreditor Konkuren (unsecured creditor) 2. Kreditor preferen (secured creditor) dan 3. Kreditor Pemegang Hak Istimewa (oleh UU diberi kedudukan didahulukan dari para kreditor Konkuren maupun Kreditor Preferen), lihat : Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.280. Bandingkan dengan pembagian kreditor yakni : 1. Kreditor Separatas. 2. Kreditor Preferen. 3. Kreditor Konkuren (Kreditor Bersaing), lihat H. Man S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan PKPU, (Bandung : Alumni, 2006), h. 35. 155
Debitor adalah si berhutang yang dapat dituntut atau diminta untuk membayar utang atau kewajibannya oleh si kreditor. Sering terjadi si debitor tidak memenuhi kewajibannya baik disebabkan karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya. Akibatnya si kreditor akan meminta pertanggung jawabannya si debitor. Debitor yang lalai yakni melakukan wanprestasi dapat digugat di depan hakim. Seorang debitor dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. 156 Mereka yang dapat dinyatakan sebagai debitor pailit adalah : a. Orang perorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah. b. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berbadan hukum seperti firma. c. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum. d. Harta peninggalan. Bagi jenis-jenis debitor tersebut di atas tidak jelas perbedaan pengaturannya dalam Undang-Undang kepailitan, artinya aturan kepailitan bagi perusahaan besar maupun perusahaan kecil, berbadan hukum atau tidak berbadan hukum sama saja aturan kepailitan yang diterapkan. Perlu dipikirkan dan dipertimbangkan apakah tidak sebaiknya dibuat aturan main yang berbeda untuk : 1) Perusahaan besar dan perusahaan yang tergolong perusahaan kecil dan menengah 2) Perusahaan koperasi dan non koperasi 156
h.147)
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XVII, (Jakarta : PT Inter Nusa, 1983),
3) Perusahaan debitor yang sahamnya telah terdaftar di bursa efek dan belum terdaftar 4) Perusahaan-perusahaan yang merupakan bank dan lembaga pembiayaan di satu pihak dan perusahaan lainnya. 5) Perorangan dan badan hukum 6) Perorangan yang pengusaha dan bukan pengusaha, ibu rumah tangga, pensiunan, dokter, pengacara, dan perorangan lainnya yang hidup dari pendapatan tetap maupun tidak tetap. 7) Perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di bawah jumlah tetentu dan perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di atas jumlah tertentu. 157 Dalam kepailitan, si debitor dapat berperan aktif sebagai pemohon pernyataan pailit untuk dirinya sendiri. Tetapi pada umumnya si debitor adalah sebagai pihak yang passif atas permohonan para kreditornya untuk dinyatakan si debitor pailit. Debitor perorangan yang menikah, jika hendak mengajukan permohonan pernyataan pailit haruslah terlebih dahulu memperoleh persetujuan suami atau isteri kecuali dalam perkawinannya tidak ada persatuan harta. 158 Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor, pengadilan niaga dapat memanggil kreditor apabila terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. 159 Untuk itu H.P Panggabean telah mengemukakan pendapat dan saran sebagai berikut : “Asas hukum “beritikad baik” perlu diterapkan untuk melindungi para kreditor dari kemungkinan manipulasi-manipulasi utang dari pihak “debtor bad faith”,
157
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.119 Pasal 4 ayat (1), (2) UU No. 37 tahun 2004 159 Pasal 8 ayat (1b), UU No. 37 tahun 2004 158
undang-undang kepailitan perlu dilengkapi ketentuan tentang keharusan bagi hakim untuk mendengar para kreditor.” 160 Lembaga kepailitan juga harus berfungsi untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan tidak adil, termasuk kecurangan yang dilakukan oleh debitor dengan cara meminta dipailitkan setelah berhasil menggelapkan harta perusahaannya secara bertahap. Dalam hal permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka kreditor mengalami kesulitan dalam menentukan siapakah yang diajukan sebagai debitor. Kesulitan tersebut terutama pada suatu perjanjian penanggungan atau borgtocht, karena pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi perjanjian si debitor, manakala si debitor sendiri tidak memenuhinya. Dalam hal ini kreditor pemohon pailit akan diperhadapkan kepada 2 (dua) pilihan apakah mengajukan si principal atau si guarantor sebagai debitor yang hendak dinyatakan pailit. Guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya, kedudukannya sama dengan debitor sehingga dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit dengan syarat-syarat lainnya yaitu : 1) Debitor benar-benar sudah tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. 2) Penanggung tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. 3) Harus dapat dibuktikan bahwa penanggung mempunyai dua atau lebih kreditor. 161 Dalam hal suatu badan hukum dinyatakan pailit, maka pengurus mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepailitan tersebut. 162 Dalam Pasal 97 ayat (1) jo Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, ditegaskan bahwa organ perseroan terbatas yang 160
H.P Panggabean, op.cit. h.33 Bernadette Waluyo, op.cit. h.1 162 Pasal 111 UU No. 37 Tahun 2004 161
bertanggung jawab untuk mengurus dan mewakili perseroan adalah direksi. Dalam Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tersebut dinyatakan, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi sedang kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kerugian itu. g. Perdamaian (accord) setelah pernyataan pailit Debitor yang telah dinyatakan pailit dapat menawarkan atau mengajukan perdamaian kepada semua kreditor secara bersama-sama dan harus diajukan dalam jangka waktu 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan menyerahkan rencana perdamaian tersebut kepada kepaniteraan Pengadilan Niaga. Keputusan atas perdamaian tersebut harus dilakukan setelah selesai pencocokan piutang atau paling lambat 21 (dua puluh satu) hari berikutnya. Kepada kurator dan panitia kreditor sementara diwajibkan memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. 163 Kreditor separatis dan kreditor preferen tidak boleh memberi suara (voting) berkenaan dengan rencana perdamaian kecuali kreditor tersebut melepaskan haknya untuk didahulukan (menjadi kreditor konkuren) sebelum pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan.
164
Rencana
perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih ½ (setengah) jumlah kreditor konkuren yang hadir dan haknya diakui atau sementara diakui yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah piutang kreditor
163 164
Pasal 144 s/d Pasal 147 UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 149 ayat (1), (2) UU No. 37 Tahun 2004
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. 165 Apabila dari hasil pemungutan suara hanya ½ (setengah) dari kreditor yang hadir dalam rapat dan mewakili paling sedikit ½ (setengah) dari jumlah piutang kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka boleh dilakukan pemungutan suara kedua dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah yang pertama. 166 Pengadilan Niaga harus menetapkan sidang paling cepat 8 (delapan) hari dan paling lama 14 (empat belas) hari setelah diterimanya rencana perdamaian yakni untuk mensahkan (homologasi) atau tidak mensahkan rencana perdamaian tersebut. 167 Pengadilan Niaga harus menolak pengesahan perdamaian apabila : 1) Harta debitor jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin dan/atau 3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih kreditor atau upaya lain yang tidak jujur. 168 Apabila pengesahan (homologasi) ditolak, kreditor yang menyetujui rencana perdamaian maupun debitor pailit berhak mengajukan kasasi, dalam hal pengesahan dikabulkan maka kreditor yang menolak perdamaian atau yang tidak hadir pada pemungutan suara, dan kreditor yang menyetujui perdamaian tetapi kemudian mengetahui perdamaian dicapai karena penipuan atau persekongkolan atau upaya lain yang tidak jujur, berhak mengajukan kasasi. 169
165
Pasal 151 UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 152 ayat (1), UU No. 37 Tahun 2004 167 Pasal 156 ayat (3), UU No. 37 Tahun 2004 168 Pasal 159 ayat (2), UU No. 37 Tahun 2004 169 Pasal 160 ayat (1), (2), UU No. 37 Tahun 2004 166
Perdamaian yang dihomologasi berlaku bagi semua kreditor konkuren baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. 170 Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka berakhirlah kepailitan. 171 Tetapi bila pengesahan ditolak dan putusan penolakan pengesahan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta debitor pailit berada dalam keadaan insolvent, namun kurator atau kreditor dapat mengusulkan supaya perusahaan debitor dilanjutkan dan usul tersebut wajib diterima apabila disetujui oleh kreditor yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui atau diterima dengan sementara dari kreditor konkuren. 172 Apabila usul melanjutkan perusahaan debitor pailit ditolak, maka kurator harus memulai pemberesan. 173 Menawarkan suatu perdamaian oleh debitor pailit adalah tidak lazim bila dibandingkan dengan hukum kepailitan negara-negara Anglo Saxon (common law system) yang memberi kesempatan mengajukan perdamaian (reorganization, rehabilitation, restructuring) diajukan sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan ke pengadilan atau diajukan sebelum pengadilan memutus debitor dinyatakan pailit. 174 Namun karena Indonesia menganut sistem hukum kepailitan negara-negara Eropah Kontinental (civil law system) yang mengikuti prosedur yang menyatakan pailit dulu si debitor namun masih diberi kesempatan melakukan perdamaian, tetapi bila tidak tercapai perdamaian itu barulah si debitor dinyatakan insolvent dan kurator berhak melakukan tugas pemberesan terhadap harta debitor. 170
Pasal 162 ayat UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 166 ayat UU No. 37 Tahun 2004 172 Pasal 180 ayat UU No. 37 Tahun 2004 173 Pasal 184 ayat UU No. 37 Tahun 2004 174 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.391-392 171
h. Perdamaian dalam PKPU PKPU dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor. Debitor dapat mengajukan PKPU apabila ia memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya kepada para kreditornya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan maksud mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditornya
175
.
Kreditor dapat mengajukan PKPU apabila ia memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang debitor kepada kreditornya 176. Hakekat atau tujuan utama pemberian PKPU adalah untuk memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor untuk mewujudkan suatu perdamaian dalam penyelesaian utang-piutang di antara mereka. Dalam proses pengajuan PKPU ini, debitor segera mungkin membuat daftar utang piutangnya dengan bukti-bukti secukupnya dan bila mungkin disertai dengan rencana perdamaian. Pengadilan Niaga yang menerima permohonan PKPU dan bila telah memenuhi syarat formal, maka harus mengabulkan “PKPU Sementara” dan harus pula menunjuk seorang Hakim Pengawas serta seorang atau lebih pengurus yang bersama-sama dengan debitor mengurus harta debitor.
175
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004 Pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Th. 2004 177 Pasal 225 ayat (2), (3) UU No. 37 Th. 2004 176
177
PKPU Sementara ini
berlaku paling lama 45 (empat puluh lima) hari, dan bila pada sidang terakhir debitor tidak hadir, Pengadilan Niaga wajib menyatakan debitor pailit. 178 Setelah diadakan sidang yang dihadiri debitor dan para kreditor, masih dapat diadakan penundaan-penundaan sidang dan jika ternyata dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari sejak PKPU Sementara rencana perdamaian tidak memperoleh persetujuan dari para kreditor, maka Pengadilan Niaga tidak dapat menetapkan “PKPU Tetap” pada saat itu juga debitor harus dinyatakan pailit. 179 Pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan : 1) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui, yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir. 2) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor separatis yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir. 180 Pengadilan Niaga harus mengangkat Panitia Kreditor apabila : 2) Permohonan PKPU meliputi utang yang rumit atau banyak kreditor. 3) Dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (setengah) dari seluruh tagihan yang diakui. 181 Jika PKPU dikabulkan, Hakim Pengawas
178
Pasal 225 ayat (4), (5) UU No. 37 Th. 2004 Pasal 228 UU No. 37 Th. 2004 180 Pasal 229 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004 181 Pasal 231 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004 179
dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan penyusunan laporan tentang keadaan harta debitor. 182 Jika permohonan pernyataan pailit dan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan (pernyataan pailit dimohonkan kreditor, dan kemudian permohonan PKPU diajukan oleh debitor), maka PKPU harus diputus terlebih dahulu, dan PKPU tersebut harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. 183 Selama PKPU berlangsung terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit.184 PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagihan kreditor separatis 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan (jumlahnya ditentukan oleh Hakim Pengawas) yang sudah ada dan belum dibayar sebelum PKPU dan tagihan tersebut bukan tagihan kreditor preferent. 3) Tagihan kreditor preferent tertentu. 185 Penangguhan pelaksanaan hak kreditor preferent dan kreditor sparatis berlaku selama berlangsungnya PKPU. 186 PKPU dapat diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan Niaga dalam hal : 1) Debitor selama waktu PKPU bertindak beritikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya. 2) Debitor telah merugikan atau mencoba merugikan kreditornya 182
Pasal 238 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004 Pasal 229 UU No. 37 Th. 2004 184 Pasal 260 UU No. 37 Th. 2004 185 Pasal 244 UU No. 37 Th. 2004 186 Pasal 246 UU No. 37 Th. 2004 183
3) Debitor
tanpa
persetujuan
Pengurus
melakukan
tindakan-tindakan
kepengurusan atau kepemilikan atas harta-hartanya 4) Debitor lalai melaksanakan kwajiban-kewajibannya yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga atau disyaratkan oleh pengurus 5) Selama waktu PKPU keadaan harta debitor tidak memungkinkan lagi dilanjutkan PKPU 6) Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya. 187 Debitor setiap waktu dapat memohon kepada Pengadilan Niaga agar PKPU dicabut dengan alasan harta debitor memungkinkan dimulainya pembayaran kembali, dan pengurus dan kreditor perlu didengar pendapatnya sebelum putusan diucapkan. 188 Debitor dalam mengajukan permohonan PKPU dapat menawarkan suatu perdamaian atau menawarkan setelah pengajuan PKPU kepada kreditor.189 Sebelum putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan ada putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan PKPU berakhir, maka gugurlah rencana perdamaian tersebut. 190 Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan : 1) Persetujuan lebih dari separuh jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang 187
Pasal 255 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004 Pasal 259 UU No. 37 Th. 2004 189 Pasal 265 UU No. 37 Th. 2004 190 Pasal 267 UU No. 37 Th. 2004 188
diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir, dan 2) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor separatis yang hadir mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditor separatis atau kuasanya yang hadir. 191 Pengadilan Niaga wajib menolak pengesahan perdamaian jika : 1) Harta debitor jauh lebih besar dari pada jumlah kreditor yang disetujui dalam perdamaian. 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin 3) Perdamaian dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan kreditor atau upaya lain yang tidak jujur, dan atau 4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya. 192 Perdamaian yang telah disahkan (homologasi), mengikat semua kreditor, kecuali kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.193 Apabila Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian, maka dalam putusan itu juga Pengadilan Niaga wajib menyatakan debitor pailit. 194 Tapi bila Pengadilan Niaga telah mengesahkan perdamaian melalui putusannya dan
191
Pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004 Pasal 285 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004 193 Pasal 286 jo, 281 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004 194 Pasal 285 ayat (3) UU No. 37 Th. 2004 192
putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat itu juga berakhirlah PKPU. 195 Terhadap putusan Pengadilan Niaga tentang PKPU dan perdamaian tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, misalnya upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum. 196 Dalam menentukan jumlah hak suara kreditor ( voting ) dalam mengambil keputusan dalam rapat kreditor, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2005 tanggal 18 -3-2005 tentang perhitungan jumlah Hak suara kreditor sebagai pengganti dari PP Nomor 20 Tahun 1998, yang menetapkan bahwa setiap kreditor berhak atas sedikitnya 1 (satu) suara dalam rapat kreditor. Jumlah hak suara berdasarkan jumlah piutang kreditor dengan perincian sebagai berikut : 1) Setiap kreditor yang mempunyai jumlah piutang sampai dengan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) berhak mengeluarkan 1 (satu) suara. 2) Dalam hal kreditor mempunyai piutang lebih dari Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) maka untuk setiap kelipatan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) berhak memperoleh 1 (satu) suara tambahan. 3) Dalam hal terdapat sisa dari kelipatan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), apabila sisa tersebt Rp 5.000.000,- atau lebih diperhitungkan mendapat 1 (satu) suara, dan apabila sisa tersebut kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) tidak diperhitungkan mendapat suara tambahan. 195 196
Pasal 288 UU No. 37 Th. 2004 Pasal 293 jo. 235 UU No. 37 Th. 2004
B. DI LUAR PENGADILAN (OUT-COURT) 1. Menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) Alternative Dispute Resolution dalam bahasa Indonesia dikenal dengan bebarapa istilah seperti : Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). ADR dapat diartikan dalam 2 (dua) hal : a. Alternative to Litigation : seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitase merupakan bagian ADR. b. Alternative to Adjudication : yang termasuk ADR hanyalah negosiasi, mediasi dan konsiliasi yakni mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif. Penggunaan istilah ADR tersebut adalah untuk mengelompokkan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Di Indonesia penggunaan ADR tersebut adalah termasuk dalam pengertian Alternative to Adjudication, hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu : Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jadi jelas yang dimaksud dengan ADR itu dalam Undang-Undang tersebut adalah penyelesaian di luar Adjudication (out of court), sedang Arbitase termasuk dalam kelompok adjudikasi bersama-sama dengan litigasi. Dalam penjelasan UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Dalam perkembangan selanjutnya istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme penyelesian sengketa secara konsensus hanya dapat dilakukan di luar pengadilan (out of court), sedang saat ini sudah diterapkan mediasi di pengadilan sebagai annexed court berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Hadimulyo memperkenalkan Strategi Penyelesaian Sengketa terdiri dari : konsiliasi, fasilitasi, negosiasi dan mediasi ditambah dengan pengalaman di bidang birokrasi yakni konsultasi dan koordinasi, sedang fasilitasi adalah bantuan pihak ketiga untuk menghasilkan suatu pertemuan atau perundingan yang produktif. 197 Beberapa bentuk PSA yang penting diuraikan sebagai berikut : a. Negosiasi Negosiasi merupakan salah satu bentuk PSA dimana para pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung (ada kalanya didampingi pengacaranya masing-masing) untuk mencari penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi ke arah kesepakatan bersama (konsensus) atas dasar win-win solution. Negosiasi dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 198 Secara umum
197
Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta : ELSAM, 1997), h. 31-32. 198 Suyud Margono, op.cit. h. 49
negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan tercapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. 199 Pengertian sehari-hari dari negosiasi adalah berunding atau bermusyawarah, asal katanya adalah negotiation yang berarti perundingan, sedang yang mengadakan perundingan disebut negotiator. Manusia selalu melakukan negosiasi dalam kehidupannya sehari-hari baik dalam kehidupan bisnis, pribadi, keluarga, pergaulan, mitra kerja, majikan, karyawan, teman bahkan dengan lawan sengketa. Bila seorang pelaku bisnis, pengacara hendak melakukan negosiasi akan diperhadapkan dengan kegiatan besar, sehingga perlu mempersiapkan diri tentang apa yang harus dilakukannya sewaktu melakukan negosiasi agar berjalan dengan baik. Melakukan negosiasi haruslah menggunakan strategi agar dapat dijalankan sebaik mungkin untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan. Gery Goodpaster mengemukakan strategi negosiasi sebagai berikut: 200 1) Bersaing (kompetitif) : strategi negosiasi dengan tawar menawar secara kompetitif juga disebut hard bargaining (tawar menawar bersikeras), distributive, positional, zero sum bargaining (menang dalam tawar menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau win lose bargaining (tawar menawar menang kalah). Maksud negosiasi bersaing ini adalah memperoleh keuntungan maksimal yang diperoleh pelaku tawar menawar kompetitif terhadap 199
siapa
dilakukan
negosiasi.
Secara
sederhana
strategi
Jony Emirson, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Dirjendikti DepPenNas, PT. Prehalindo, 2002), h. 494. 200 Gary Goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi, terjemahan Nogar Simanjuntak, (Jakarta : ELIPS, 1999), h. 22-25
ini
mengutamakan keuntungan langsung tanpa memikirkan hubungan antara pihak-pihak bernegosiasi. 2) Berkompromi : strategi dengan tawar menawar kompromi kooperatif atau juga disebut soft bargaining (tawar menawar lunak) atau win some lose some (tawar menawar memberi dan menerima). Pelaku negosiasi kompromi ini berpedoman pada pendapat bahwa mereka harus memberi ganti rugi atas beberapa yang mereka inginkan agar setidaknya mendapat sesuatu, dengan perkataan lain mereka tidak hanya peduli atas keuntungan yang mereka terima, tetapi juga keuntungan yang didapat pihak lawan dengan siapa mereka berurusan. Dalam jenis negosiasi ini, negosiator tidak mendapat semua yang diinginkan, tetapi hanya sebagian daripadanya. 3) Berkolaborasi atau menyelesaikan masalah : strategi negosiasi ini dilakukan dengan kolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan atau tujuan semua pihak. Tawar menawar ini disebut juga tawar menawar integratif atau tawar menawar penyelesaian masalah. Kadang-kadang juga dinamai tawar menawar kepentingan atau tawar menawar positive sum atau win-win. Dalam tawar menawar ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan mereka sendiri seperti juga kepentingan pihak pelaku mitra tanding negosiasinya. Para negosiator mengusahakan keuntungan maksimal mereka sendiri dan keuntungan bagi pihak mitra tandingnya. Untuk ini mereka sebagai para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan problem dari penentuan tindakan bersama apa yang dapat mereka lakukan guna memenuhi kepentingan masing-masing.
Tidak ada yang dapat memaksakan seorang negosiator harus memilih salah satu strategi negosiasi yang telah dikemukakan, kecuali mungkin budaya setempat, adat istiadat, kebiasaan pelaksanaan dalam bidang tertentu, atau tempat negosiasi yang mengharuskan para pihak negosiator untuk melakukan negosiasi dalam salah satu cara tertentu. Keadaan, harapan dan masalah serta kepribadian para pihak, kepentingan para pihak dan masalah yang timbul di antara mereka dan pengetahuan para pihak mengenai metode tawar menawar sangat memungkinkan membentuk pilihan mereka atas strategi negosiasi yang cocok bagi mereka yang sejalan dengan strategi bentuk dasar yang yang telah disebutkan atau gabungan (kombinasi dari keduanya). Ada 7 (tujuh) prinsip umum negosiasi yang harus dilaksanakan, yaitu : 201 1) Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih 2) Pihak-pihak itu harus membutuhkan ketertiban satu sama lain dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama. 3) Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan dengan metode-metode yang lain. 4) Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka. 5) Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang mereka terima dan suatu konsep tentang seperti apa hasil akhir itu. 6) Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa atas kemampuan pihak lain untuk bertindak. 201
Alan Fowler, dikutip oleh Runtung Sitepu dalam Modul Penyelesaian Sengketa Alternatif, (Medan : PPS USU, 2003), h. 5
7) Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu interaksi di antara orang-orang, terutama antara komunikasi lisan yang langsung, walaupun kadang-kadang dengan elemen tertulis. b. Mediasi Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Peranan pihak netral tersebut adalah untuk membantu para pihak untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan dengan membangun suatu proposal yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa yang ditanganinya, hanya dapat mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia bersama pihak-pihak yang bersengketa. Dengan demikian mediasi adalah bantuan dari pihak ketiga dalam suatu proses negosiasi, namun pihak ketiga (mediator) tersebut tidak ikut serta mengambil keputusan. 202 Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah dimana satu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. 203 Dari rumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan 2) Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan
202 203
Hadimulyo, op.cit. hal. 35 Gary Goodpaster, op.cit. h. 241
3) Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian 4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung 5) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. 204 Peran mediator ini sangat tergantung kepada kebutuhan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, peran itu bisa dari yang paling ringan hingga yang paling berat sesuai kebutuhan dari sengketa itu sesuai dengan kemauan para pihak. Peran dan kegiatan mediator dapat dilihat sebagai jenis terapis negosiasi. Terapis artinya menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa dan kemudian menyusun acara yang memungkinkan intervensi lain dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Peran penting mediator adalah : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Melakukan diagnosa konflik Identifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis Menyusun agenda Memperlancar dan mengendalikan komunikasi Mengajar para pihak dalam proses dan ketrampilan tawar menawar Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan Diagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem. 205 Bilamana menurut mediator diperlukan bertemu dengan salah satu pihak
untuk membicarakan sesuatu tanpa disertai pihak lainnya, maka mediator membuat pertemuan dalam bilik kecil (caucusing). Caucusing adalah melakukan pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak, dimana mediator memanggil para pihak satu per satu di dalam kamar tersendiri (dimungkinkan memanipulasi
204 205
Suyud Margono, op.cit. h. 253 Gary Goodpaster, op.cit. h. 253
situasi dalam pembicaraan) demi untuk tercapainya tujuan perdamaian. 206 Berbagai taktik dapat dilakukan oleh mediator untuk tercapainya tujuan perdamaian antara kedua belah pihak karena taktik itu merupakan salah satu komponen dari strategi yang harus dilaksanakan oleh seorang mediator, tactics should not be confused with strategy or your overall plan of approach to a negotiation. Rather, negotiation tactics are component of your strategy. 207 Bila dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi seorang negosiator dapat memanipulasi situasi itu dalam perundingan, if situational factors are working against you, it will be important before the negotiations begin to manipulate them. 208 Hal memanipulasi situasi ini juga perlu dimaklumi oleh mediator agar dalam melakukan caucusing bila menemukan situasi yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak dapat dieliminasi oleh mediator demi tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa. c. Konsiliasi Konsiliasi juga merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa bisnis. Konsiliasi dapat diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu. Menurut Oppenhaim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas 206
Runtung Sitepu, Bahan Kuliah ADR, PPS S3 USU, Tanggal 12 September 2003. Leo Hawkins et. al, The Legal Negotiator, A Handbook for Managing Legal Negotiations more effectively, (Melbourne : Longman Profesional, 1991), h. 131. 208 John L. Graham et.al, Smart Bargaining Doing Business With The Japanese, (Cambridge : Ballinger Publishing Company, 1984), h. 57 207
untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-fakta dan setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan, membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat. 209 Pada mulanya konsiliasi timbul dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam perjanjian antara Swedia dan Chili pada tahun 1920. Kemudian pada tahun 1922, konsiliasi dan arbitase ditetapkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss. Konsiliasi di Amerika Serikat merupakan tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan: apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi, dan tuntutan yang diajukan climant dapat diterimanya dalam kedudukannya sebagai respondent. Dalam tahap yang demikian telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan sengketa, karena pihak respondent dengan kemauan baik (goodwill) bersedia menerima apa yang dikemukakan oleh climant. Cara penyelesaian dengan goodwill demikian ini disebut konsiliasi winning over by goodwill. 210 Biasanya alasan respondent mau memenuhi tuntutan secara itikad baik (goodwill) adalah karena : 1. Dia sendiri mengerti dan menyadari sejauh mana seriusnya persoalan yang disengketakan, sehingga dianggapnya layak untuk memenuhi permintaan.
209
Oppenheim, dikutip oleh Huala Adolf et. al., Masalah-Masalah Hukum dan Perdagangan Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), h. 186. 210 Lihat, Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Dirjendikti, Depennas, 2002.
2. Tidak ingin permasalahan ini dicampuri pihak ketiga, dengan pengharapan penyelesaian akan lebih baik tercapai antara kedua belah pihak. 211 d.
Penyelesaian utang Perusahaan APP dengan Negosiasi Penyelesaian utang APP dengan negoisasi ini adalah salah satu
penyelesaian utang piutang diluar kepailitan. Utang ini disepakati akan diselesaikan oleh APP dengan para kreditornya dengan menandatangani MRA. MRA tersebut dimungkinkan untuk dimintakan pengesahannya ke Pengadilan Niaga agar pelaksanaannya dapat diawali oleh Pengadilan. Asia Pulp & Paper (APP) merupakan suatu kelompok usaha yang berpusat di Singapura sedangkan perusahaan operasionalnya (operating company) berada di Indonesia dan China. APP Indonesia terdiri dari beberapa perusahaan yaitu PT. Tjiwi Kimia Tbk, PT. Indah Kiat Tbk, PT. Lontar Papyrus dan PT. Pindo Deli dan sebagai induk perusahaan adalah Purinusa. Sinar Mas Group (SMG) adalah sebagai pemegang saham mayoritas dan pemiliknya adalah keluarga Eka Tjipta Widjaya. Pada tanggal 12 Maret 2001, APP secara unilateral (sepihak) telah menyatakan ketidakmampuannya membayar kembali utang-utangnya atau declaration of default yang bernilai total 13,9 milyard dollar AS, sedang utang APP Indonesia berjumlah 6,7 milyard dollar AS dan sisanya sebesar 7,2 milyard dollar AS merupakan utang APP China. 212 Dari penandatanganan “Term Sheet Agreement”, diperlihatkan posisi utang APP sebagai debitor kepada kreditornya sebagai berikut: 213
211
M. Yahya Harahap et.al., Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang ADR, BPHN, DepKeh. RI, 1995/1996, h. 52 212 Harian Kompas 14-3-2003, judul “IMF : Restrukturisasi APP Transaksi Komersil” 213 Harian Republika 11-6-2003, judul “Baru 40 Persen Kreditur Setujui Restrukturisasi APP”
1.
BPPN sebagai warisan dari piutang BII (Bank Internasional Indonesia) yang dialihkan pada tanggal 11 Nopember 2001 ke BPPN setelah Pemerintah menguasai BII akibat rekapitulasi, mempunyai piutang sebesar 1,1 milyard dollar AS (15,2%).
2.
Export Credit Agency (ECA), kreditor asing terdiri dari 9 (sembilan) negara yakni: Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol dan Swedia yang diwakili oleh Ferier Hudgson, mempunyai piutang sebesar 960 juta dollar AS (14,1%).
3.
Nippon Export & Investment Insurance (Nexi) Jepang yang diwakili oleh Eiichi Isozaki dan Trading Company Jepang lainnya yaitu Misho Iwai & Mitsubishi seluruhnya ditaksir sebesar 8,3%.
4.
Pemegang obligasi sebesar 230 juta dollar AS dan Perbankan seluruhnya ditaksir sebesar 62,4% Proses negosiasi antara BPPN, kreditor asing (ECA) serta management
APP terancam buntu dengan adanya surat dari para duta besar negara-negara asal kreditor asing (ECA) kepada Presiden RI agar Pemerintah (Menteri) mengawasi BPPN dalam proses negosiasi restrukturisasi utang APP, kemudian setelah diadakan pertemuan BPPN dengan 11 (sebelas) duta besar kreditor asing telah disepakati penyelesaian utang APP dilakukan secara komersil. Restrukturisasi utang merupakan suatu upaya penyelesaian kewajiban yang muncul akibat ketidakmampuan debitor membayar utang kepada kreditornya baik itu merupakan suatu lembaga keuangan bank maupun non bank. “Utang APP merupakan masalah penyelesaian utang swasta, oleh karena itu peranan peranan pemerintah asing melalui porsi kreditor tidak mayoritas, dengan demikian tidak dapat
menyelesaikan utang ini melalui pendekatan pemerintah dengan pemerintah (G to G). 214 Selanjutnya antara BPPN dengan ECA telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) pada tanggal 15 Juni 2002 yang pada dasarnya disepakati penyelesaian utang APP dilakukan secara bersama dan konsensus dan tidak lagi secara bilateral antara satu kreditor dengan debitor. Kesepakatan tersebut juga menghasilkan point-point penting lainnya yaitu : 1. Segera membentuk escrow account (rekening penampung) untuk mengontrol kas hasil produksi 4 (empat) perusahaan operasional di Indonesia. 2. Management Augmentation (peningkatan managemen) APP 3. Konsep dasar Restrukturisasi yang disepakati untuk dicapai sebelum tanggal 30 September 2002. 215 Sebelum rancangan skim Restrukturisasi APP disusun sudah diberi kesempatan dalam tahap-tahap seperti berikut ini : 1.
Remedy Period selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan, sebagai masa perbaikan kinerja managemen APP.
2.
Penggunaan hak suara (voting right) sebesar 75 persen dari para kreditor.
3.
Extension, perpanjangan waktu selama 180 (seratus delapan puluh) hari juga untuk masa perbaikan kinerja perusahaan.
Setelah APP menyatakan gagal bayar declaration of default dan untuk itu telah pula diberikan kesempatan perbaikan dan ternyata telah benar-benar default (cidera janji), maka dengan demikian kreditor berhak menggunakan haknya untuk melakukan : debt to equity swap (konversi utang menjadi ekuitas) atau eksekusi jaminan atau mengajukan pailit di pengadilan (Bankruptcy). Khusus untuk 214
Raymond Van Beekum, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Harian Kompas 31-3-2003, Judul Perkembangan Restrukturisasi APP. 215 Ibid
bangkrut (pailit) tidak ada voting right-nya, setiap saat BPPN dan kreditor lain bisa membangkrutkan APP karena dari tiga tahapan yang diberikan tidak dipenuhinya sehingga dinilai tidak ada itikad baik. 216 Pada tanggal 15 September 2002 BPPN telah menunjuk perwakilannya yang bertindak sebagai financial controller untuk mengamankan posisi seluruh kreditor serta langkah awal kesepakatan dengan ECA dalam rangka management augmentation. Dan selanjutnya pada tanggal 25 September 2002 BPPN berinisiatif
sendiri
menandatangani
escrow
account
agrrement
untuk
mempercepat proses pengamanan, sedang penggunaan dana tetap harus dengan persetujuan BPPN dan ECA. Pada tanggal 28 September 2002 di Denpasar Bali telah ditandatangani Bali Accord I, rapat dipimpin oleh Kepala BPPN yang dihadiri oleh Pemegang saham APP, Komite Pengarah (Steering Committee) dan telah diperoleh sebagai hasil negosiasi sebagai berikut : 1. Sustainable debt, APP minta sebesar 2,4 milyard dollar AS, sedang BPPN dan ECA mengajukan angka 5,28 milyard dollar As, hasil negosiasi disetujui sebesar 4,2 milyard dollar AS. 2. Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization (EBITDA) yakni pendapatan sebelum memperhitungkan biaya bunga, pajak, penyusutan dan pelunasan, APP mengajukan 500 juta dollar AS, sedang BPPN mengajukan 1,1 milyard dollar AS, disepakati sebesar 750 juta dollar AS.
216
Mohammad Syahrial, Deputi Kepala BPPN bidang AMC, Harian Kompas 1-5-2003, judul: “APP minta waktu sebelum pailit”.
3. Perlakuan terhadap bunga tertunggak, kreditor meminta bunga ditagih seluruhnya, tetapi APP bersikeras dihapuskan 100 persen, disepakati bunga tertunggak ditagih seluruhnya setelah dilakukan rekalkulasi. Pada tanggal 31 Oktober 2002 pada pertemuan Singapore Meeting disepakati mengenai mekanisme debt buy back (membeli kembali utang) yakni dengan ketentuan : 1. Mekanismenya tergantung dari tersedianya dana yang dimiliki APP Indonesia 2. Harus mendapatkan persetujuan kreditor lebih dahulu untuk menentukan pelaksanaannya. 3. Perundingan dipimpin oleh pihak yang independen 4. Harga maksimal ditentukan oleh pihak komite kreditor 5. Penentuan penggunaan dana selanjutnya jika debt buy back mengalami kegagalan. Pada tanggal 24 Nopember 2002 dalam pertemuan Bali Accord II disepakati beberapa item lain dari sebelumnya yaitu : Account payable, Publik Interest Debt (utang publik), Family debt (utang keluarga), Non care assets (aset non inti), Treatment of differed monthly cash (ketentuan pembayaran kas bulanan), Inter company debt (utang antar perusahaan), Asuransi, Biaya konsultan, Perundang-undangan dan Management fee (biaya pengelolaan). Pada tanggal 18 Desember 2002 di Bali telah ditandatangani Settlement Agrrement yang menentukan skema Global Restrukturisasi yang terdiri dari 2 (dua) item yaitu : 1. Financial Terms 2. Non Financial Terms
Skema global ini tidak mendapat persetujuan dari ECA, karena sebelumnya kreditor asing itu mengajukan usul agar dibentuk : 1. APP Trading, untuk mengendalikan arus kas (cash flow) yang akan dipimpin oleh eksekutif Indonesia dengan tugas melaksanakan/menjalankan perusahaan operasional APP untuk mengelola berbagai kontrak jual beli dan penentuan harga sehingga akan tercapai efisiensi yang menguntungkan para kreditor termasuk BPPN. 2. Share in Trust (equity in trust) sebagai perusahaan perwalian yang menerima pengalihan kepemilikan saham perusahaan APP untuk menghindari terjadinya wanprestasi untuk kedua kalinya. Kedua usul tersebut telah ditolak oleh BPPN dan oleh karena itu kreditor asing ECA tidak ikut menandatangani Settlement Agrrement tersebut. Mekanisme default merupakan salah satu hal yang sebelumnya disepakati sebagai alternatif pengganti dari konsep APP Trading dan Share in Trust. Mekanisme default disepakati bila hingga batas waktu perbaikan kinerja (Remedy Period) selama 3 (tiga) hingga 12 (dua belas) bulan APP belum juga bisa membayar utangnya, maka diperbolehkan dilakukan voting untuk mempailitkan APP dan berpegang pada Settlement Agrrement tanggal 18 Desember 2002 dimana presentase yang sudah diajukan adalah 75 persen sebagai kompromi, sedang ECA minta 25 persen vooting right (penggunaan hak suara) dari hak suara seluruh kreditor yang hadir. Setelah bebarapa kali pertemuan negosiasi antar para kreditor dan APP (debitor) telah dapat dirampungkan Master Restructuring Agrrement (MRA) yang legal 98 (sembilan puluh delapan) item (85%) redaksional telah selesai pada
tanggal 11 Juli 2003 tapi penandatanganannya selalu tertunda-tunda baik oleh karena belum sepakat tentang voting right 30 atau 40 persen atau mencapai 67 persen atau harus 75 persen sebagaimana disebut dalam Settlement Agrrement. Penundaan ini juga disebabkan alasan kreditor asing belum selesai minta persetujuan
kantor
pusatnya
masing-masing.
Walaupun
MRA
telah
ditandatangani, perjanjian tersebut tidak serta merta efektif karena harus menunggu penyesuaian aturan dari pengawas pasar modal di negara masingmasing kreditor, setelah itu barulah MRA ini efektif dan APP mulai membayar utang-utangnya. Akhirnya pada tanggal 30 Oktober 2003 MRA APP telah ditandatangani di Jakarta oleh APP sebagai debitor dan para kreditornya yakni BPPN, ECA, Perusahaan Dagang Jepang, dan hanya mewakili 35-40 persen utang APP senilai 6,7 milyard dollar AS dan tidak lagi memakai persyaratan 75 persen. Total utang APP tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) tranche sebagai berikut : 1) Tranche A (Sustainable Debt) sebagai utang yang dapat dibayar sebesar 1,2 milyard dollar AS, diselesaikan dalam jangka waktu 10 tahun, tingkat suku bunga Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) plus 1-3 persen. 2) Tranche B (Refinanceable Debt), utang yang dapat dibiayai kembali sebesar 3 milyard dollar AS, dibayar pada tahun kesepuluh (tenor 10 tahun) dengan suku bunga SIBOR plus 1-3 persen. 3) Tranche C (Unsustainable Debt), utang yang sulit dibayar sebesar 2 milyard dollar AS. 217
217
Harian Kompas 14-4-2003, judul “Kreditor APP bahas skema gagal bayar”
MRA ini efektif penuh berlaku pada tanggal 30 Januari 2005. MRA ini dimungkinkan dimintakan pengesahannya ke Pengadilan Niaga untuk menjamin pelaksanaannya. 2. Menggunakan Jasa Mediator “Prakarsa Jakarta” Prakarsa Jakarta adalah lembaga khusus (ad hoc) yang dibentuk pemerintah pada bulan Nopember 1998 sebagai mediator maupun fasilitator penyelesaian utang piutang swasta di luar pengadilan setelah terjadi krisis moneter di Indoneisa. Pendirian Prakarsa Jakarta didukung oleh IMF dan Bank Dunia (World Bank) dan merupakan salah satu syarat dari IMF untuk mempercepat restrukturisasi utang piutang pasca krisis. Di lain pihak mediasi ini merupakan perwujudan tuntutan masyarakat sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan efisien. Pada awal didirikannya Prakarsa Jakarta ini terkesan lambat dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara perusahaan-perusahaan swasta yang hendak merestrukturisasi utangnya, tetapi sejak awal tahun 2000 yang lalu Prakarsa Jakarta telah menerapkan sistem insentif dan sanksi agar debitur dan kreditur lebih kooperatif dalam menyelesaikan utang piutangnya dengan bantuan mediator ini. Insentif yang diberikan kepada perusahaan yang kooperatif antara lain adalah kemudahan di bidang perpajakan, pasar modal dan peraturanperaturan perbankan, sedang sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak kooperatif antara lain adalah rekomendasi kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dimana KKSK selanjutnya dapat memberikan tindakan lebih jauh hingga meminta kepada Kejaksaan Agung agar perusahaan tersebut dimohonkan dinyatakan pailit.
Salah satu bentuk kerjasama antara Prakarsa Jakarta dengan Bursa Efek Jakarta adalah mendukung perusahaan yang sedang merestrukturisasi utangnya melalui Prakarsa Jakarta untuk melakukan penawaran saham perdana “Initial Publik Offering” (IPO) di bursa tersebut. Upaya IPO ini merupakan salah satu alternatif skema untuk lebih mendorong perusahaan mempercepat restrukturisasi utangnya. “Hasil study independen menunjukkan bahwa ada peningkatan kebutuhan jasa mediasi dari para investor karena para investor telah mengindikasikan ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif akan berdampak negatif pada kegiatan investasi.” 218 Prakarsa Jakarta dalam kegiatannya melingkupi beberapa unsur sebagai berikut : a. Adoption of principles b. The Jakarta Initiative Task Force c. Regulatory Changes d. Corporate Restructuring Advisory Commitee and Public participation. 219 Adoption of principles atau pemakaian prinsip-prinsip dalam Prakasa Jakarta dimaksud untuk menyelesaikan utang piutang dengan berpedoman pada strategi-strategi negosiasi, sehingga tidak mengikat secara hukum dan mempunyai tahapan-tahapan kunci sebagai berikut : 1) Para kreditor mengangkat atau membentuk satu panitia kreditor untuk mewakili kepentingan para kreditor. Panitia ini dapat mengangkat seorang ketua dan dilengkapi dengan penasehat di bidang hukum dan bidang keuangan 218
Denaldy Mauna (Staf Manager Kasus STPJ), “Prakarsa Jakarta selesaikan 70 persen Restrukturisasi Utang,” Harian Kompas 28-11-2003. 219 Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, editor Gregory J. Churchill, (Jakarta : PT Tatanusa, 1999), h.202.
yang berpengalaman di bidang restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi utang. Para wakil debitor dan wakil kreditor harus terdiri dari managermanager senior yang profesional untuk berpartisipasi dalam restrukturisasi perusahaan dan utang. 2) Biaya-biaya melaksanakan perundingan-perundingan harus ditanggung oleh debitor,kecuali ditentukan lain. Bila perlu suatu rekening “escrow” dibuka khusus untuk tujuan pembiayaan tersebut. 3) Para kreditor harus menyetujui suatu masa standstill atau penangguhan selama waktu tertentu, dimana penangguhan itu harus dihubungkan dengan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh masing-masing debitor dan para kreditor selama waktu itu, dan ada akses untuk mendapatkan informasi selama masa penangguhan tersebut. Para kreditor dapat memberikan modal kerja baru yang diperlukan debitor selama penangguhan atau mensubordinasikan/mengalihkan tuntutan-tuntutan mereka kepada yang bersedia memberikan modal dan untuk itu diperlukan suatu perjanjian antar kreditor. Periode ini tentu adalah merupakan kunci utama dalam rangka stabilisasi karena pada masa penangguhan ini keadaan perusahaan diamati dengan seksama sehingga pilihan-pilihan yang tepat dapat dilakukan. 4) Setelah para anggota panitia kreditor dan para penasehat yang diangkatnya telah menanda tangani perjanjian-perjanjian rahasia, maka selanjutnya penelitian atau pemeriksaan menyeluruh (due diligence) dapat dilakukan. Debitor harus menyerahkan informasi terbaru mengenai keuangan kepada panitia dan penasehatnya. Keputusan tentang masa depan perusahaan debitor tergantung pada informasi yang lengkap.
5) Di samping pengungkapan keadaan perusahaan, diperlukan laporan akuntan untuk memberikan informasi kepada para kreditor tentang kinerja perusahaan pada saat itu. Para akuntan ini berperan merumuskan strategi penjadwalan kembali utang debitor. 6) Debitor mengusulkan kepada panitia suatu rencana restrukturisasi berdasarkan rencana usahanya dan prakiraan-prakiraan keuangannya. 7) Para penasehat panitia yang mempunyai akses penuh dan terus menerus, sehingga dapat mengetahui keadaan perusahaan menyiapkan laporan yang berisikan nasehat yang mengandung rekomendasi-rekomendasi tentang kelayakan usaha, kemampuan memenuhi kewajiban utangnya dan kebutuhankebutuhan modal kerja selanjutnya. 8) Panitia dan debitor akan mengadakan perundingan-perundingan untuk mencapai suatu rencana restrukturisasi utang dan perusahaan dimana perundingan akan didasarkan pada usul restrukturisasi yang diajukan debitor dan laporan Penasehat panitia. Perundingan-perundingan dapat mengarah kepada pemusatan kembali usaha dan pembiayaan kembali utang, penjualan bagian-bagian usaha di luar kepailitan untuk memperbesar nilai perusahaan atau pertukaran utang menjadi saham (modal). Debitor yang menderita krisis keuangan yang sifatnya sementara dan terdapat ketidaksesuaian antara pendapatan dan pengeluaran, dimungkinkan menyelesaikan kesulitan tersebut dengan menjadwalkan kembali utangnya. Penjadwalan kembali utang dapat berupa variasi tentang jatuhnya waktu pembayaran kepada kreditor yang juga dapat berupa penjadwalan dari bunga dan atau utang pokok dan lebih baik lagi dari sekedar penjadwalan kembali yakni utang harus direstrukturisasi
yang menyangkut perubahan atas persyaratan utang. Pada prinsipnya rencana restrukturisasi harus mendapat dukungan para kreditor secara aklamasi, dan merupakan suatu kesepakatan yang membutuhkan persetujuan dari semua pihak yang terkait, atau pembayaran sepenuhnya dari pihak yang menolak. Apabila
suara
bulat
sulit
diperoleh,
Undang-Undang
Kepailitan
memungkinkan akses ke pengadilan niaga untuk mendapatkan persetujuan atas rencana yang telah dirundingkan sebelumnya, dengan ketentuan bahwa rencana itu memenuhi persyaratan dalam Undang-Undang Kepailitan. Dengan cara ini rencana itu dapat dibuat mengikat bahkan pada mereka yang tidak setuju dengan rencana tersebut. 9) Dalam proses restrukturisasi utang, tidak boleh ada diskriminasi antara kreditor-kreditor asing dan dalam negeri agar tidak terjadi kesenjangan dalam pelaksanaanya. The Jakarta Inisiative Task Force atau Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ) melaksanakan tugas di bawah koordinasi Ketua Tim Penanggulangan masalah utang-utang Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesia Private Sector Debt). Tugas Prakarsa Jakarta akan dapat dilaksanakan apabila dijalankan oleh tenaga-tenaga profesional dan berdedikasi tinggi dan didukung oleh pendanaan yang cukup pula. Satuan tugas ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut : 1) Menjadi fasilitator dalam proses negosiasi atau perundingan-perundingan di luar pengadilan, misalnya menghilangkan penghalang-penghalang yang berbentuk peraturan pada restrukturisasi. 2) Bila diperlukan, demi kepentingan umum mengajukan permohonan ke pengadilan
niaga
untuk
memindahkan
perundingan-perundingan
restrukturisasi ke proses yang diawasi oleh pengadilan menurut Undangundang Kepailitan. Tugas ini mengacu pada wewenang jaksa untuk mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum. Tindakan-tindakan debitor yang dianggap merupakan hambatan terhadap tujuan-tujuan Prakarsa Jakarta mungkin merupakan dasar atau alasan permohonan kepailitan yang diajukan oleh jaksa. Prakarsa Jakarta tidak boleh membatasi kewenangan kreditor untuk mengajukan permohonan kepailitan apabila telah memenuhi syarat dalam undang-undang kepailitan. 3) Menyediakan suatu forum yang dapat mengakomodasikan pelaksanaan “one stop facilitation” yang tepat untuk segala pengajuan persyaratan yang diperlukan
menurut
peraturan
yang
berlaku
untuk
melaksanakan
restrukturisasi. 4) Melakukan konsultasi dengan Panitia Penasehat Restrukturisasi Perusahaan setiap kali diperlukan. Regulatory Changes atau Perubahan-perubahan Peraturan, dapat dilihat dari beberapa upaya-upaya yang dapat dilakukan yaitu : 1) Prakarsa Jakarta memberi nasehat atau saran kepada pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubaan peraturan hukum, administrasi dan lain-lain untuk memudahkan pelaksanaan restrukturisasi perusahaan. 2) Proses litigasi masih dianggap suatu lapangan ranjau, sehingga masyarakat menghadapi ketidak pastian tentang pemenuhan syarat-syarat dalam ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pinjaman. Restrukturisasi perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan cenderung akan menciptakan masalah baru yang belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pihak kreditor tetap diberikan perlindungan hukum terhadap debitor bandel yang secara sengaja mempersulit upaya penagihan.
Coorporate Restructuring Advisory Commitee and Public participation atau panitia penasehat restrukturisasi perusahaan dan partisipasi masyarakat, adalah panitia yang merupakan suatu kelompok yang terdiri dari : perwakilan bank-bank asing dan dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia, para pemegang obligasi dan wakil-wakil dari IBRA/BPPN dan INDRA. Panitia ini mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Meninjau keefektifan tindakan-tindakan yang dilaksanakan, untuk itu dapat dibuat rekomendasi-rekomendasi untuk memudahkan pelaksanaan tugas dari Prakarsa Jakarta. 2) Melaporkan penemuan-penemuannya kepada Satuan tugas secara konfidential dalam pertemuan yang diadakan secara rutin. 3) Mengumpulkan berbagai pengalaman dari para profesional di bidang hukum dan keuangan. 4) Melakukan konsultasi dengan wakil dari kelompok pekerja dan konsumen. 3. Menggunakan Skema INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) INDRA sebagai badan restrukturisasi utang Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1998 yang pembentukannya didukung oleh Asia Development Bank (ADB), Bank Dunia (World Bank) dan IMF setelah terdapat kesepakatan antara Pemerintah RI dengan perwakilan kreditor asing. Badan ini didirikan adalah untuk melaksanakan Perjanjian Frankfurt tanggal 4 Juni 1998 yang ruang lingkupnya adalah untuk menyelesaikan utang-utang yang terjadi dalam hal Pembiayaan Perdagangan, Utang antar Bank dan Utang Swasta Non Bank. INDRA dibentuk adalah untuk memberikan skema administrasi untuk pembayaran utang luar negeri dari perusahaan swasta Indonesia berdasarkan Kepres Nomor 95 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Restrukturisasi Utang
Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency). Ada 3 (tiga) alternatif penyelesaian utang luar negeri swasta non bank, yakni dengan jalan : a.
Mencapai kesepakatan bilateral antara debitor dan kreditor untuk menyelesaikan utang piutang di antara mereka baik oleh mereka sendiri maupun dengan memanfaatkan Prakarsa Jakarta.
b
Memanfaatkan Skema INDRA.
c. Menggunakan Undang-undang Kepailitan Dasar-dasar prinsip INDRA menurut Jerry Hoff, 220 adalah sebagai berikut : d. Debitor (Indonesia) dan kreditor (asing) harus sepakat untuk memasuki skema INDRA. e. Pemerintah Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas resiko komersil debitor. f. INDRA mensubsidi pembiayaan sendiri (membiayai diri sendiri) g. Semua utang lepas pantai yang sah termasuk dalam ruang lingkup Skema INDRA. h. INDRA menunda pembayaran utang jangka pendek, dan i. Skema INDRA dirancang untuk membantu debitor yang sedang menghadapi masalah likuiditas jangka pendek. Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang luar negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible), yakni : 1. Utang debitor non bank baik perusahaan swasta maupun BUMN/D
220
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, diterjemahkan Kartini Mulyadi, (Jakarta : PT Tatanusa, 2000), h. 233
2. Utang telah disepakti oleh debitor dan kreditor untuk direstrukturisasi sehingga mempunyai jangka waktu (memiliki tenor) minimal 8 (delapan) tahun dengan masa tenggang minimal 3 (tiga) tahun 3. Utang dalam mata uang asing (bukan rupiah) yang telah dilaporkan kepada Bank Indonesia dan yang tidak dijamin oleh pemerintah 4. Utang tersebut adalah kepada kreditor di luar negeri atau kepada bank campuran yang mayoritas sahamnya dimiliki atau dikendalikan oleh asing. Tujuan Skema INDRA adalah menghindari terjadinya pembayaran kembali utang luar negeri dalam jangka pendek sehingga akan meringankan beban neraca pembayaran, selanjutnya Skema INDRA ini disusun sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi debitor Indonesia yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Manfaat skema ini bagi debitor adalah memberikan kepastian nilai tukar dan memberi nilai tukar yang terbaik bagi debitor dan juga memberi keringanan bagi debitor dengan membagi rata beban pembayaran kembali utang luar negeri selama 8 (delapan) tahun. Sedangkan bagi kreditor skema INDRA bermanfaat karena pemerintah menjamin tersedianya dollar AS sepanjang debitor membayar kewajiban rupiah kepada INDRA dan dengan jaminan tersebut memperbesar kepastian bagi kreditor mengenai pengembalian piutang yang telah direstrukturisasi walaupun dengan jangka waktu lebih lama. 4. BPPN dan Kewenangannya. BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) telah diberi legitimasi juridis berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN yang sebelumnya telah diberikan berdasarkan Kepres Nomor 27 Tahun 1998. PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 37A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Menurut PP Nomor 17 Tahun 1999 tugas BPPN antara lain melakukan penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian aset dalam restrukturisasi dan juga menyelesaikan aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitor melalui Unit Pengelola Aset (Asset Management Unit). Kedudukan BPPN sangat kuat menghadapi debitor karena dalam pelaksanaan wewenang tersebut dapat berbuat apa saja terhadap debitor yang dinilai tidak kooperatif atau beritikad tidak baik. Hal ini dapat dilihat semula dalam Kepres Nomor 34 Tahun 1998 Tentang Tugas dan Kewenangan BPPN yang kemudian lebih diperjelas lagi dalam PP Nomor 17 Tahun 1999 jis. PP Nomor 95 Tahun 1999, PP Nomor 47 Tahun 2001 sebagai pelaksanaan dari Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 13 PP Nomor 17 Tahun 1999 BPPN berwenang : a. Melakukan tindakan hukum atas Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi. b. Membentuk divisi atau unit dalam BPPN dengan wewenang yang ada pada BPPN atau pembentukan dan atau Penyertaan Modal Sementara dalam suatu badan hukum untuk menguasai, mengelola dan atau melakukan tindakan kepemilikan atas Aset Dalam Retruksturisasi, dan atau kekayaan yang akan diserahkan atau dialihkan kepada BPPN, meskipun telah diatur secara lain dalam suatu kontrak, perjanjian, atau peraturan perundang-undangan terkait. Berpedoman kepada Pasal 37A ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan jis. Pasal 40 PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN, Pasal 2 ayat (1) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI Nomor 117/KMK 017/1999
dengan Gubernur BI Nomor 31/15/KEP/BI tanggal 26 Maret 1999 dapat disimpulkan bahwa BPPN diberi kewenangan publik yakni : mengambil alih segala hak dan wewenang Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham, termasuk Rapat Umum Pemegang Saham dari bank-bank dalam penyehatan yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN, termasuk Bank Take Over. “Ini adalah kewenangan publik yang diberikan oleh Undang-Undang Perbankan yang tidak dapat disangkal dan dibantah.” 221 Menyangkut luasnya tugas dan kewenangan BPPN ada beberapa kritik berupa tuduhan bahwa Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 telah memberikan kekuasaan kepada BPPN untuk menyimpang dari beberapa asas yang menopang sistem hukum dari suatu negara hukum, diantaranya adalah : a. Mengambil alih hak pemegang saham Menurut Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo Pasal 40 a PP Nomor 17 Tahun 1999 BPPN berwenang mengambil alih, menjalankan segala hak dan kewenangan pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kewenangan ini telah semena-mena mengabaikan hak pemegang saham dan mengakibatkan terjadinya perampokan hak pemegang saham debitor. Hal ini sangat mengecewakan bagi para pemegang saham publik dalam hal bank merupakan perusahaan publik (perseorangan terbuka). Apabila bank tidak sehat dan diambil alih oleh BPPN, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pemegang saham karena tidak sehatnya bank itu adalah karena pengelolaan managemen yang tidak benar. Selama pemegang saham tidak terlibat dalam pengelolaan bank, maka pemegang saham tidak harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan managemen, malah 221
Kartini Muljadi et.al, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.235-236
sebaliknya pemegang saham dapat menggugat direksi dan komisaris apabila pengelolaan bank oleh direksi dan pengawasan komisaris terhadap direksi tidak dilakukan dengan baik sehingga telah mengakibatkan bank mengalami kerugian atau dilikuidasi. Justru hukum harus melindungi para pemagang saham yang dirugikan akibat pengelolaan yang tidak baik dari direksi dan pengawasan yang tidak benar dari komisaris terhadap direksi. b. Membatalkan perjanjian secara sepihak Menurut Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 19 PP Nomor 17 Tahun 1999, BPPN berwenang meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga yang menurut pertimbangan BPPN merugikan bank. Ketentuan ini telah semenamena mengebiri kekuasaan pengadilan. Asas pacta sun servanda yang dianut oleh KUH Perdata, berlaku ketentuan bahwa Perjanjian tidak dapat dibatalkan, diubah atau diakhiri secara sepihak oleh pihak-pihak yang membuatnya, dan bila itupun mau dilakukan maka pengadilanlah yang berwenang untuk membatalkan, mengubah atau mengakiri perjanjian tersebut. Pengabaian terhadap lembaga pengadilan ini berupa ancaman terhadap sistem negara hukum di Indonesia. Kedudukan BPPN yang menggantikan kedudukan bank, adalah tetap sebagai pihak oleh karena itu tidak berwenang membatalkan, mengubah dan atau mengakhiri secara sepihak perjanjian itu. Seandainya pun dianggap BPPN memiliki kekuasaan itu selaku lembaga khusus yang diserahi tugas melakukan penyehatan, tetaplah merupakan bagian dari lembaga eksekutif (berada di bawah Depkeu) jadi tidak memiliki kekuasaan judikatif. Ketentuan ini merupakan pengingkaran bahwa Indonesia
adalah negara yang berdasar hukum, tetapi seolah-olah sebagai negara berdasarkan kekuasaan. Pengingkaran ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah (eksekutif), tetapi juga oleh DPR (legislatif), karena UU Nomor 10 Tahun 1998 adalah produk bersama eksekutif dan legislatif. c. Secara sepihak berwenang menentukan suatu kontrak bank dengan nasabah adalah merugikan. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 20 PP Nomor 17 1999, seharusnya adalah merupakan kewenangan pengadilan. BPPN tidak berwenang secara sepihak memutuskan bahwa kontrak antara bank dengan nasabah atau pihak ketiga adalah merugikan bank atau BPPN. d. Mengalihkan hak atau menjual aset dengan harga di bawah nilai buku : Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 33 PP Nomor 17 Tahun 1999, BPPN berkewenangan secara sepihak menentukan sendiri harga aset debitor yang akan dijual. Kewenangan ini akan sangat merugikan debitor karena BPPN juga mempunyai kekuasaan untuk mengambil alih atau membeli sendiri, baik secara langsung maupun dengan melelang aset debitor. Peluang ini kemungkinan besar itu menimbulkan moral hazard, oleh karena itu sebaiknya penilaian itu dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang independen. Ketentuan ini mengingkari berlakunya asas negara hukum yang diakui dan ditegaskan oleh UUD 1945, jadi Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 serta PP Nomor 17 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksanaannya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pelaksanaan program penyehatan ini, kewenangan BPPN terjelma menjadi suatu kekuatana yang luar biasa, sebab BPPN dapat melaksanakan apa
saja sekehendak hatinya karena memang Pasal 37A ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas menyatakan bahwa tindakan penyehatan perbankan oleh badan khusus adalah sah berdasarkan Undang-Undang ini, sehingga ada kekhawatiran berlakunya pemeo “kekuasaan yang besar cenderung bersalah guna.” 222 Sehubungan dengan adanya keberatan dan kritik terhadap kewenangan luas dari BPPN ini, telah diajukan Hak Uji Material terhadap PP Nomor 17 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 10 Tahun 1998 dengan kasus posisi sebagai berikut : 223 a. DPP Assosiasi Advokat Indonesia (AAI) dengan surat tanggal 5 Agustus 1999 telah mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materil terhadap PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN yang terdaftar di Kepaniteraan MA RI tanggal 31 Agustus 1999 dengan register Nomor 01/P/HUM/1999 yang isinya pada pokoknya adalah sebagai berikut : Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999 BPPN secara langsung telah mengambil alih kewenangan yang sebenarnya hanya dimiliki oleh Badan Peradilan, melalui BPPN pemerintah telah melakukan tugas peradilan sehingga PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut telah bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945, Pasal 11 ayat (1) TAP MPR Nomor VI/MPR/1973, Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 49 Prp 1960, Pasal 197 (1) HIR, UU Nomor 19 Tahun 1997, Pasal 24 HIR, Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 200 ayat (11) HIR. Berdasarkan alasan tersebut AAI memohon agar Mahkamah Agung RI menyatakan PP Nomor 17 Tahun 1999 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
222
Thomas Suyatno, Bank Indonesia, Bank tidak sehat, BPPN dan Masalah Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, YPHB (Vol. 7, 1999), h.35 223 Varia Peradilan No.173 Februari 2000, h.5-11
yang lebih tinggi, dan menyatakan PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN tidak berlaku umum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memerintahkan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mencabut PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN tersebut. b. Majelis MA RI setelah mempertimbangkan syarat-syarat formil telah dipenuhi dalam pengajuan hak uji materil ini, maka secara formil permohonan tersebut dapat diterima. Dan dalam menyelesaikan dan memberi putusan terhadap permohonan tersebut, MA telah memberikan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Hak uji materil yang diberikan oleh Undang-undang kepada MA diletakkan atas landasan to exercise control over goverment act, artinya secara konstitusional MA harus melakukan pengawasan atas produk perundang-undangan oleh penguasa agar masyarakat terhindar dari peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional. 2) Penerapan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan yang bercorak inkonstusional haruslah berpedoman pada asas “lex superior derogat legis inferiori”, sehingga menjadi pertanyaan apakah PP Nomor 17 Tahun 1999 mengandung hal-hal yang inkonstitusional. Makna inkonstitusional tidak boleh diartikan secara sempit, melainkan dalam arti luas yang diformulasikan dalam terminus fundamental law atau natural justice, apakah pelaksanaan peraturan yang lebih rendah itu : mematikan hak perdata seseorang, melanggar hak asasi perorangan atau anggota masyarakat,
melanggar
asas
legalistik,
melanggar
prinsip-prinsip
demokratis dan egalitarian atau mengandung praktek diskriminasi.
3) Pemberian hak uji materil kepada judicial power (MA RI) haruslah diterapkan dengan reasonableness, oleh karena itu tidak boleh digunakan sebagai tindakan sabotase peradilan (sabotaged by judiciary) terhadap kebijaksanaan kepentingan umum yang digariskan oleh legislatif atau eksekutif berdasarkan delegated legislation, yakni tindakan yang mendesak untuk menyehatkan perbankan nasional demi menghindari runtuhnya kehidupan perekonomian bangsa. Penerapan reasonable dalam kasus ini tidak terlepas dari pendekatan faktor emergency disebabkan adanya occasional demand (tuntutan keadaan) yakni krisis ekonomi sebagaimana disebut dalam konsiderans dan penjelasan PP Nomor 17 tahun 1999, sehingga penggunaan hak uji materil tidak boleh diterapkan secara sempit dan kaku, harus dengan prinsip proporsionalitas yang lentur. 4) Menurut Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 1999, dikaitkan dengan Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998, BPPN sebagai badan khusus menjalankan fungsi penyehatan perbankan, telah diberi wewenang legalistis untuk menerbitkan “surat paksa yang bertitel eksekutorial” (Pasal 54) dan penyitaan (Pasal 58) serta pengosongan (Pasal 21). Ketentuan tersebut bila diuji dengan Hukum Acara Perdata, masih dalam batas-batas kerangka tata tertib beracara (scope of due process). Ketentuan lain jika diuji dengan “lex superior derogat legis inferiori” terkesan bertentangan, namun jika didekati secara kontekstual dan occasional demand, dihubungkan dengan aspek fungsi “to exercise control over the goverment” yang diperankan oleh MA melalui hak uji meteriil, maka ketentuan PP Nomor 17 tahun 1999 secara keseluruhan tidak sampai
mengandung
substansi
yang
bercorak
inkonstitusional.
Meskipun
ketentuan PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut memberi kewenangan kepada BPPN yang agak menyimpang dari ketentuan undang-undang yang lebih tinggi namun bila dikaitkan dengan emergency and occasional demand, secara substansial tidak sampai mematikan hak perdata seseorang, tidak melanggar HAM, karena tidak mematikan hak seseorang untuk mengajukan perlawanan atau gugatan ke pengadilan terhadap tindakan hukum BPPN, karena kewenangan BPPN menerbitkan surat paksa, penyitaan, pelelangan masih mengacu pada kondisi yang digariskan Pasal 195 dan Pasal 200 HIR. Pemberian wewenang besar kepada BPPN, jika dihubungkan dengan urgensi dan emergency and occasional demand tidak merupakan pelanggaran yang dikategorikan bertentangan dengan fundamental law (natural justice) 5) Pembentukan extra judicial dalam PP Nomor 17 Tahun 1999 ini jika dibandingkan dengan extra judicial yang diatur melalui undang-undang seperti : Arbitrase (UU Nomor 31 Tahun 1999), P4P (UU Nomor 12 Tahun 1964), Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996), dan Parate Eksekusi Jaminan Fidusia (UU Nomor 42 Tahun 1999) memang agar bersifat reduktif, maka bentuk extra judicial dalam PP Nomor 17 Tahun 1999 dianggap masih dalam batas toleransi hukum dan keadilan moral (moral Justice). Extra judicial yang diberikan kepada BPPN oleh PP Nomor 17 Tahun 1999 masih dapat ditolerir namun dianjurkan agar secepatnya
ditingkatkan
menjadi
undang-undang
supaya
tidak
menimbulkan hujatan dan memperkokoh kedudukan legitimasi extra judicial dari BPPN sendiri. 6) Mengenai pembatalan perjanjian secara sepihak oleh BPPN, diakui menyimpang dari prinsip kebebasan berkontrak karena melanggar doktrin lex superior derogat legis inferior. Dalam keadaan normal memang demikian, namun masyarakat negara yang dalam keadaan emergency, maka perlu dikembangkan moralitas kompromi antara idealisme penegakan prinsip dengan tindakan pragmatisme demi untuk kepentingan prinsip yang lebih besar yakni penyehatan dan memulihkan krisis ekonomi yang melanda negara bangsa Indonesia. c. Dengan memperhatikan Pasal 24 UUD 1945 beserta penjelasannya jis. Pasal 11 ayat (4) Tap MPR Nomor III/MPR/1978, Pasal 28 UU Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 31 UU Nomor 14 Tahun 1985, Perma Nomor 1 Tahun 1999, Mahkamah Agung memberi putusan dengan amar “MENOLAK” Permohonan keberatan Hak Uji Materil yang diajukan oleh pemohon Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia terhadap PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut Penyelesaian utang piutang antara nasabah dengan bank-bank yang diserahkan kepada BPPN dalam rangka penyehatan dan restrukturisasi, BPPN dalam hal ini kedudukannya bukan sebagai mediator, tetapi adalah lembaga khusus yang memiliki kewenangan yang begitu luas yang diberikan oleh UU Nomor 10 Tahun 1998 dan PP Nomor 17 Tahun 1999, dan kedudukan ini telah dilegitimasi berdasarkan Putusan MA RI Nomor 01/P/HUM/1999, dan dipertegas pula SEMA Nomor 2 Tahun 2003 yang menginstruksikan kepada seluruh Ketua
Pengadilan Negeri di Indonesia untuk tidak meletakkan sita atas harta milik BPPN kecuali atas izin dari ketua MA karena semua kekayaan BPPN sebagai suatu badan khusus yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan yang didasarkan pada Pasal 65 dan Pasal 66 ICW (Interen Comptabiliteit Wet) adalah harta milik negara. Dalam praktek di lapangan, BPPN sering menjadi pihak mewakili Bank dalam menghadapi nasabah bank maupun pihak-pihak lain karena didalilkan bahwa BPPN melakukan perbuatan hukum yang merugikan pihak tertentu terutama nasabah. BPPN dianggap bukanlah sebagai lembaga penyelesaian utang piutang perusahaan, tetapi lembaga otonom yang lebih memiliki power dibandingkan para nasabah sehingga dalam perkara kepailitan BPPN lebih sering bertindak sebagai kreditor. BPPN sebagai kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap debitor bank yang berada dalam proses penyehatan menimbulkan masalah hukum keperdataan, yaitu apakah BPPN secara sah dapat menerima pengalihan piutang berdasarkan “cessie” yang dilakukan, sehingga BPPN berkewenangan sebagai kreditor. Ada 2 (dua) cara menurut hukum yang dapat membenarkan BPPN untuk bertindak sebagai kreditor yaitu : 224 a. Menggunakan instrumen cessie dengan membuat lebih dahulu “rechtstitel” yang dapat berupa suatu akta jual beli tagihan sehingga BPPN dapat bertindak sebagai kreditor atas nama sendiri (BPPN).
224
Aria Suyudi et.al, Analisis, Teori dan Praktek Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), h.72
b. BPPN bertindak untuk dan atas nama bank dalam penyehatan berdasarkan Pasal 40 (a) PP Nomor 17 Tahun 1999 tanpa perlu melakukan jual beli tagihan ataupun cessie. Kinerja BPPN dapat dilihat dari data laporan BPPN ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 30 September 2003. Debitor Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Akta Pengakuan Utang (PKPS APU) adalah para pemilik bank yang dinyatakan banknya berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Pada pemilik bank-bank ini harus menandatangani Akta Notaris Pengakuan Utang (APU). Dari 30 debitor atau pemegang saham penanda tangan PKPSAPU, 8 diantaranya sudah menyelesaikan kewajibannya dan 3 lainnya telah lunas dengan menggunakan koridor yang pernah ditetapkan BPPN dalam perjanjian penyelesaian utang. Dalam koridor yang ditetapkan BPPN berarti diantaranya 30% dari total utang PKPSAPU yang sudah diformulasi harus dibayar lunas atau dengan “near cash” (asset likuid), misalnya dengan saham yang tercatat di pasar modal atau dengan obligasi rekapitulasi. Sisanya 70% diselesaikan melalui pola co-debtor, di antaranya melalui kombinasi penjualan asset (asset settlement), penjualan barang jaminan diambil alih (BJDA), penjualan group loan (utang group) maupun restrukturisasi di Asset Management Kredit BPPN. Ada 11 debitor belum dapat menyelesaikan kewajibannya, sehingga harus ada penajaman kebijakan dalam mekanisme
pembayarannya atau ada
kemungkinan 11 debitor PKPSAPU akan dilaporkan ke Mabes Polri. Tapi BPPN sudah lebih dahulu memberikan jadwal pemenuhan pembayaran PKPS APU yakni : tahap pertama September sampai dengan Oktober 2002, tahap kedua
Desember 2002 sampai dengan Januari 2003, tahap ketiga Maret sampai dengan April 2003, namun sudah diperpanjang sampai September 2003. Dalam laporan tersebut secara rinci para debitor PKPSAPU yang belum dapat menyelesaikan kewajibannya adalah: 225 a. Bank Nusa Nusantara, owner : Nirwan Bakrie, kewajiban Rp. 3,006 triliun b. Bank Lautan Berlian, owner : Ulung Bursa, kewajiban Rp. 615,44 milyard c. Bank Indonesia Raya, owner : Atang Latief, kewajiban Rp. 325,45 milyard d. Bank Sewu Internasional, owner : Husodo Angko Subroto, kewajiban Rp. 209,20 milyard. e. Bank Tamara, owner : Lydia Muchtar, kewajiban Rp. 202,02 milyard f. Bank Tamara, owner : Omar Putiray, kewajiban Rp. 190,16 milyard g. Bank Tamara, owner : Iwan Suhardenian, kewajiban Rp. 35,61 milyard h. Bank Hastin, owner : The Tje Min, kewajiban Rp. 139,79 milyard i. Bank Namura Yasonta, owner : Adi Saputra Januardi dan James Januardi, kewajiban 123,04 milyard j. Bank Putera Multikarsa, owner : Marimutu Sinivasan, kewajiban Rp. 1,130 triliun k. Baja Internasional, owner : Thee Ning Khong, kewajiban Rp. 45,13 milyard Ada 3 (tiga) debitor yang dianggap tidak toleran atau membandel yakni : a. Bank Tata, Owner : Hengky Widjaya dan Tany Tandjung b. Bank Aken, Owner : I Gde Dermawan dan Made Sudiarta c. Bank Umum Servitia, Owner : Taruna Djojo Nusa dan David Nusa Widjaja.
225
Harian Kompas 15-10-2003
Pada pertengahan tahun 2002 proses penanganan restrukturisasi aset kredit di BPPN berjalan sangat lambat, jadi bila mengharapkan semua asset kredit yang ada di BPPN harus direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum dijual, bisa memakan waktu yang sangat lama dan berlarut-larut. Untuk itulah BPPN telah melakukan perubahan pola kebijakan dalam menjual asset restructured asset menjadi nonrestructured asset. 226 BPPN telah mengupayakan seluruh alternatif yang dimiliki agar hasilnya maksimal. Semua opsi yang ada telah dijalankan dalam menghadapi kasus-kasus terhadap penanganan debitor-debitor tersebut, walaupun BPPN mengakhiri masa tugasnya, tetapi hak tagih akan dilanjutkan oleh pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menanganinya. 227 Hasil akhir BPPN dalam melaksanakan tugasnya dari 27 Februari 1999 sampai dengan 27 Februari 2004 adalah telah menangani 221 transaksi dengan recovery sejumlah 15 triliun Rupiah.
Menurut Syafrudin Arsjad Tumenggung, Ketua BPPN, setelah 6 (enam) tahun bertugas di BPPN telah berhasil menjalankan tugasnya yang didasarkan kepada 4 (empat) indikator perbankan yang menunjukkan adanya pemulihan : 228 a. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio – CAR) rata-rata perbankan Indonesia sebelum krisis sebesar minus 16%, sampai Agustus 2003 telah
226
Raymond Van Beekum (Kepala Divisi Komunikasi BPPN), Harian Kompas 24-2-2003 Taufik M. Maroef (Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Management Investasi/AMI), Harian Perjuangan 25-3-2003 228 Ahmad Deni Daruri et. al., BPPN Garbage In-Garbage Out, (Jakarta : Center For Banking Crisis, 2004), h. 155-157 227
positif diatas 8% dan kemungkinan pada penutupan tanggal 27 Februari 2004 sudah mencapai 9%. b. Selisih bunga bersih (Net Interest Margin – NIM) rata-rata perbankan pada masa krisis minus 73%, tapi Agustus 2003 telah mencapai positif 4,7% dan sampai dengan 27 Februari 2004 di perkirakana NIM telah genap menjadi 5%. c. Tingkat keuntungan (Profitability) perbankan yang pada masa krisis sempat mengalami kerugian (net loss) pada tahun 1998 modal bank minus Rp. 98,54 triliun, setelah mengalami proses rekap margin laba mulai positif karena modal bank sudah positif Rp. 106,40 triliun. d. Kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) rata-rata perbankan Indonesia kini sudah dibawah 5%, sementara dimasa krisis sempat melonjak ke level 35%. Sebagian besar NPL membaik bukan karena proses restrukturisasi internal bank, tapi karena pelemparan NPL ke BPPN, dimana NPL tersebut sudah dibeli sejumlah perusahaan sekuritas untuk kemudian dijual kembali. Menurut para pengamat dan sebagian besar politisi, BPPN menyuguhkan sesuatu yang minimal bagi negara karena tingkat recovery rate penjualan aset dan collecting utang ribuan obligor hanya 28%, angka inipun masih debatable, karena target IMF, recovery rate BPPN semula 35%. Dengan melandasi keempat indikator tersebut ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya tepat karena ada indikator lain yang juga penting tapi diabaikan. Perbaikan angka ekonomi makro lebih menunjukkan adanya perbaikan ekonomi segelintir orang yakni pemilik modal. Jika demikian stigma bahwa BPPN adalah tempat sampah sulit dihindarkan, karena memang BPPN dengan
recovery rate 28% tak ubahnya seperti garbage in garbage out. 229 Namun dalam Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memuat Hasil Pemeriksaan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) BPPN yang telah dipublikasikan oleh BPK pada tanggal 22 Desember 2006 memuat bahwa : 230 Pengembalian aset ke Kas negara atau Recovery Rate yang diperoleh BPPN mencapai Pp. l88,88 triliun atau 30,39 persen dari total target pengembalian uang negara yang dibebankan senilai Rp. 621,55 triliun, dan tingkat pengembalian ini lebih baik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh badan serupa di Thailand dan Korea Selatan. Menurut audit tersebut terdapat ketidak hematan biaya penyehatan bank senilai Rp. 7,l triliun, Audit oleh BPK ini dilakukan atas permintaan Menkeu dengan surat No. S117/06/2004 tanggal 20 April 2004, yakni 2 (dua) bulan setelah keluarnya Kepres No. 15 Tahun 2004 pada tanggal 27 Februari 2004 tentang pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN.
229 230
Ibid h. 160 Harian Kompas 27-12-2006
BAB III IMPLEMENTASI KETENTUAN PKPU DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU OLEH PERADILAN NIAGA
A. Asas-asas Hukum dalam Kepailitan Ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU sebagian besar masih memerlukan penafsiran maupun penjelasan lebih jauh mengingat ketentuan dalam pasal-pasal tertentu belum jelas atau belum diatur sama sekali tentang hal tertentu, sehingga perlu menarik kepada asas hukum Perdata yang berlaku dalam kepailitan. Dari hasil penelitian kepustakaan terdapat beberapa asas-asas hukum dalam kepailitan yaitu : 1.
Asas Publisitas : dari segi hukum acara, yang terjadi pada saat pernyataan pailit adalah sitaan umum yang jatuh demi hukum atas semua harta debitor, sehingga sitaan individu yang diletakkan sebelumnya atas harta debitor dengan sendirinya terangkat demi hukum akibat adanya putusan pernyataan pailit tersebut. Semua proses pemeriksaan maupun putusan harus dalam sidang yang terbuka untuk umum dan putusan atau penetapan diumumkan dalam Berita Negara dan Surat Kabar.
2.
Asas Erga Omnes : bahwa putusan pernyataan pailit tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi berlaku juga bagi pihak lain di luar bersengketa.
3.
Asas Keseimbangan atau pari passu prorata parte : asas ini adalah asas fundamen dalam hukum kepailitan karena merupakan prinsip kesamaan diantara seluruh kreditor (concursus creditorium). Seluruh kreditor konkuren sama kedudukannya dalam menerima pembagian secara proporsional, jadi asas ini menjamin tidak ada upaya-upaya yang memberi prioritas kepada salah satu kreditor diantara para kreditor konkuren.
4.
Asas Keadilan : dapat ditinjau dari beberapa segi, dari segi kreditor pembagian harus seimbang, dan dari segi debitor adalah tidak semua harta debitor jatuh dalam sitaan ada pengecualian sebagai mana disebut dalam pasal 22 UU Nomor 37 Tahun 2004. Dari segi usaha, kurator dapat melanjutkan usaha debitor sesuai kesepakatan antara debitor dengan para kreditor, dan kepentingan debitor dan para kreditor harus diperhatikan secara seimbang dari 2 (dua) aspek keadilan yakni 1. Moral Justice dan 2. Legal Justice.
5.
Asas Jurisdictio Voluntaire : putusan pernyataan pailit sebenarnya tidak memutus perselisihan karena bukan peradilan yang sebenarnya, hanyalah merupakan contentious (sengketa) yang semu, tetapi bukan pula exparte murni oleh karena itulah tetap digunakan istilah “Putusan” bukan “Penetapan”, sedang diktum putusan adalah “mengabulkan” atau “menolak” tidak menggunakan “Niet Ontvankelijk” (NO), namun tidak berhadapan
dengan “nebis in idem” karena kalau syarat/chek list sudah dipenuhi maka permohonan pernyataan pailit dapat diajukan lagi. 6.
Asas audit et alteram partem : dalam proses pemeriksaan di persidangan, para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar juga penjelasannya sebelum hakim membuat putusan.
7.
Asas Peradilan Cepat : pembuktian secara sumier atau prima facie, artinya apabila syarat-syarat pailit telah terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan. Apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi, maka permohonan pailit harus dikabulkan. Tenggang waktu peradilan adalah terbatas, di tingkat pertama, kasasi maupun Peninjauan kembali (PK) adalah 60 (enam pulun) hari sejak permohonan didaftarkan.
8.
Asas Peradilan Efektif : upaya hukum adalah terbatas, langsung dengan upaya Kasasi tanpa Banding, dan kemudian dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Putusan bersifat uit voerbaar bijvoorraad, artinya putusan dapat dilaksanakan walaupun ada upaya kasasi diajukan. Ada penangguhan pelaksanaan hak kreditor separatis yang dikenal dengan “stay” selama 90 hari sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.
9.
Asas itikad baik (good faith) : hukum melindungi pihak beritikad baik, sebaliknya pihak beritikad buruk tidak dilindungi hukum. Lembaga kepailitan dapat disalahgunakan oleh debitor maupun kreditor. Perlakuan itikad buruk (bad faith) dapat dicegah atau dibatalkan dengan actio pauliana yakni
tindakan pembatalkan atas sega1a perbuatan atau tindakan hukum debitor yang tidak diwajibkan yang merugikan para kreditor. 10. Asas lex specialis derogate legi generali : hukum acara yang berlaku adalah HIR/RBG kecuali telah diatur secara khusus dalam Undang Undang Kepailitan dan PKPU. 11. Asas pacta sunt servanda : janji harus ditepati, siapa berhutang wajib membayarnya, demikian juga dalam perdamaian (akkoord) apa yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak harus dipenuhi, dan bila debitor ingkar janji maka secara hukum debitor dapat dinyatakan pailit. 12. Asas integrasi : suatu kesatuan yang utuh antara hukum formil dan hukum materil. 13. Asas Kelangsungan Usaha : memberi kesempata kepada perusahaan debitor yang prospektip untuk dapat melanjutkan perusahaannya. Suatu Undang Undang Kepailitan termasuk Undang-Undang Kepailitan Indonesia, seyogianya memuat asas-asas sebagai berikut : 231 a.
Dapat mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri, dengan memuat asas-asas dan ketentuan yang dapat diterima secara global (globally accepted principles).
b.
Memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.
c.
Putusan pernyataan pailit berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.
231
Sultan Reny Sjahdeini, op.cit. 42-60
d.
Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor mayoritas.
e.
Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit diberlakukan keadaan diam (standstill atau stay).
f.
Mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan
g.
Permohonan pernyataan pailit diputuskan dalam waktu yang tidak berlarutlarut.
h.
Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.
i.
Pengurus perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi.
j.
Memungkinkan utang debitor diupayakan direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit.
k.
Mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan debitor.
B. Penerapan asas itikad baik dalam praktek kepailitan. Itikad baik merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian dan asas ini diterima dalam berbagai sistem hukum, namun hingga kini asas ini masih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Apa yang dimaksud dengan itikad baik itu masih kontroversi karena dalam kenyataannya sangat sulit menemukan
definisi tentang itikad baik tersebut. “Tidak ada makna tunggal itikad baik dan berkembang banyak definisi itikad baik”. 232 Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa semua kontrak dilaksanakan dengan itikad baik, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan itikad baik. Untuk dapat memahami makna itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran itikad baik dalam praktik peradilan. “Perkembangan doktrin itikad baik lebih merupakan hasil kerja pengadilan daripada legislatif yang berkembang secara kasus demi kasus.” 233 Peranan hakim sangat diharapkan dalam membuat penafsiran itikad baik, sehingga penafsirannya lebih disandarkan pada sikap dan pandangan hakim yang berkembang dalam kasus demi kasus. Penafsiran makna itikad baik dalam kenyataannya sangat beragam tergantung pada sikap dan pemahaman hakim terhadap doktrin itu sendiri. 234 Misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 26 K/SIP/1955 tanggal 11 Mei 1955 menggunakan istilah ‘pantas’ dan sesuai dengan rasa ‘keadilan’. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 91/1970/Perd/PT.Bdg memuat pertimbangan: melaksanakan perjanjian dengan itikad baik berarti perjanjian harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan. Bila dipedomani arti keadilan yang dapat ditafsirkan sebagai itikad baik, belum ada juga kesepakatan dengan banyaknya teori keadilan yang berkembang. Teori keadilan yang kebenarannya diyakini hakim dapat mempengaruhi hakim 232
Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, (Jakarta: F.H, Pascasarjana UI, 2003), h.7 233 Werner F.Eble et.al. dalam Ridwan Khairandy, op.cit. h.8, lihat juga pendapat J. Satrio: Ketentuan pengaturan itikad baik merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pengadilan, dalam bukunya Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), h.166. 234 Ridwan Khairandy, op.cit. h.8
menafsirkan itikad baik, dalam praktiknya akan dapat menimbulkan penafsiran itikad baik yang berbeda-beda. Itikad baik juga diperlukan dalam proses negoisasi dalam penyusunan suatu kontrak, sehingga asas ini sejak negoisasi kontrak atau proses penyusunan kontrak harus dilandasi itikad baik, tidak dengan itikad buruk (bad faith). “Walaupun Jurisprudensi Belanda telah menerima asas itikad baik dalam proses negoisasi dan penyusunan kontrak, tetapi asas tersebut belum diadopsi BW Belanda (baru), pembentuk Undang-Undang lebih cenderung menyerahkannya kepada pengadilan untuk mengembangkan asas tersebut.” 235 Penafsiran lainnya terlihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 262/1951/Pdt. tanggal 31 Juli 1952 menafsirkan itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata sebagai kejujuran (toe goeder trouw). “Dengan itikad baik dapat juga dikatakan bahwa salah satu pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan merugikan pihak lainnya dalam kontrak itu, para pihak harus secara rasional dan patut melaksanakan apa yang telah disepakati bersama.” 236 Itikad baik harus sudah ada pada saat suatu perusahaan melakukan suatu tindakan hukum oleh para pengurusnya. Untuk mengetahui tindakan para pengurus itu beritikad baik atau beritikad buruk dalam menjalankan tugas pengurusannya adalah sangat sulit menafsirkannya. Tetapi ada beberapa pedoman untuk para pengurus perusahaan, bilamana benar-benar melaksanakan tugastugasnya sesuai dengan pedoman tersebut, maka pengadilan akan lebih objektif menilai tindakan kepengurusan tersebut bila menerima tuntutan pembatalan
235 236
Ewoud H.Hondius dalam Ridwan Khairandy, op.cit. h.14-15 Ridwan Khairandy, op.cit. h.301
perbuatan perusahaan (debitor) yang merugikan para kreditor yang diduga dilakukan dengan itikad buruk. 1.
Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan. Terjadinya
kesulitan
keuangan
suatu
perusahaan
tidaklah
selalu
disebabkan bisnis yang tidak baik dijalankan, tetapi karena para pengurus tidak memiliki kemampuan mengelola perusahaan, malah lebih jauh kemungkinan itu diakibatkan tindakan-tindakan para pengurus perusahaan yang mendahulukan kepentingan
pribadi
daripada
kepentingan
perusahaan.
Bilamana
suatu
perusahaan berada dalam keadaan keuangan yang sulit karena kelalaian atau ketidakmampuan pengurus, maka para pengurus harus bertanggung jawab secara pribadi. Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada diatur tentang tanggung jawab pengurus akibat perusahaan dinyatakan pailit akibat kelalaian atau karena kesalahan dari pengurus, tetapi secara khusus dalam pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) telah diatur tanggung jawab pengurus perusahaan. Sudah merupakan ketentuan umum bahwa bila dalam pengurusan perusahaan telah dilakukan tindakan-tindakan berlandaskan itikad baik, pengurus dari suatu perusahaan yang mengalami kerugian atau yang dinyatakan pailit tidak dapat dimintai atau dituntut pertanggung jawaban secara finansial. Berpegang pada asas pemisahan, dimana suatu perusahaan adalah suatu subjek hukum yang terpisah dari para pengurusnya, maka utang-utang perusahaan harus dilunasi dari hasil penjualan harta kekayaan perseroan itu sendiri, bukan dari harta kekayaan para pengurusnya. Dalam hal ini masih berlaku pengecualian, yakni bilamana
para pengurus melakukan kesalahan atau kelalaian dengan beritikad buruk (bad faith) sehingga perusahaan dinyatakan pailit, maka para pengurus perusahaan harus bertanggung jawab secara pribadi, bila kekayaan dari perusahaan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut. Untuk itu setiap anggota direksi (pengurus) perusahaan secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Namun Pasal 104 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian yang diderita oleh perusahaan tersebut. 2.
Tugas dan Kewajiban Pengurus Perusahaan Pengurus perusahaan atau anggota direksi tentu menduduki suatu jabatan,
oleh karena itu memikul tanggung jawab tertentu. Apabi1a tugas dan kewajibannya dilalaikan atau apabila wewenangnya disalahgunakan, maka dapat dimintakan pertanggung jawaban dari padanya. Tugas dan kewajiban serta wewenang itu harus dilaksanakan dengan baik dan apabila dilalaikan atau disalahgunakan akan membawa konsekuensi terhadap anggota direksi yang bersangkutan. Demikian juga bila perseroan yang dipimpin para anggota direksi mengalami kerugian atau dinyatakan pailit, maka direksi haruslah bertanggung jawab sepanjang itu dilakukan karena kelalaian atau kesalahannya. Tugas dan tanggung jawab serta wewenang seorang anggota direksi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Pasal 97 jo pasal 98 UUPT menegaskan direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari pasal 92 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa direksi dalam menjalankan tugas dan jabatannya haruslah berpegang pada prinsip demi kepentingan dan tujuan perseroan. Jadi fokus utama para direksi menjalankan perusahaan adalah untuk kepentingan perseroan dan tujuan perseroan, para direksi tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi atau pihak lain. Sebagai pedoman lainnya bagi para direksi adalah apa yang telah ditetapkan sebagai tujuan perseroan di dalam anggaran dasar perusahaan. Direksi tidak boleh melakukan kegiatan untuk kepentingan perusahaan tetapi tidak sejalan dengan tujuan perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya. Karena direksilah yang ditugasi dan diberi wewenang untuk mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan, maka apa yang disebut sebagai tugas atau kewajiban serta wewenang perusahaan itu pada hakekatnya merupakan tugas atau kewajiban direksi. Beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh direksi adalah sebagai berikut : 237 a. Secara optimal memupuk keuntungan bagi perseroan dan tidak mengambil keuntungan pribadi dari transaksi yang dibuat oleh perusahaan dengan pihak lain. Direksi tidak boleh membuat apa yang disebut secret profits and benefits from office, dan menghindari terjadinya conflict of interest.
237
Denis Keenan & Josephine Bisacre dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. Pustaka Utama, Grafiti, 2002), h. 426.
b. Menggunakan kewenangan untuk tujuan yang seharusnya (proper purpose), yaitu for the benefit of the company and not to further their own interests. c. Dalam rnelaksanakan fungsi-fungsinya termasuk pula memperhatikan kepentingan pegawai dan kepentingan para pemegang saham. d. Memperhatikan kepentingan para kreditor. 3.
Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pengurus Perusahaan. Pada dasarnya anggota direksi akan memperoleh keuntungan pribadi dari
jabatannya atau tugas-tugasnya dengan cara yang sah seperti gaji, tunjangan, bonus dan lain-lain yang merupakan imbalan dan jasa yang diberikannya kepada perseroan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun anggota direksi dapat juga memperoleh keuntungan pribadi dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berdasarkan itikad baik. Perbuatan-perbuatan direksi yang tidak berdasarkan pada itikad baik misalnya adalah : 238 a. Perseroan membeli barang atau properties dari pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau b. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya, sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi dari transaksi itu, atau c. Direksi suatu lembaga kredit seperti bank atau perusahaan pembiayaan (multi finance company), telah memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak melakukan analisis yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
238
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 423-424
yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak (feasible), tetapi direksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan ternyata kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank atau lembaga pembiayaan tersebut. d. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula rnemperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianya dilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan. Perbuatan-perbuatan anggota direksi yang bertentangan dengan itikad baik itu sudah barang tentu sangat merugikan perusahaan, yang mengakibatkan keuangan perusahaan berada dalam keadaan tidak mampu membayar kewajibankewajibannya kepada pihak lain karena tingkat pendapatan perusahaan yang menurun, hingga perusahaan dapat dinyatakan pailit. 4.
Prinsip-prinsip yang harus dipedomani Pengurus Perusahaan.
a.
Duty of care Dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT ditentukan bahwa setiap
anggota direksi wajib bertanggung jawab atas pengurusan perseroan dan dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Bila dikaitkan tugas dan kewajiban direksi yang ditentukan Pasal 92 ayat (1) UUPT tersebut yakni menjalankan kepengurusan perseroan dengan cara sebagaimana ditentukan Pasal 98 ayat (1) UUPT bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun diluar pengadilan, maka secara tegas dinyatakan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas diperoleh 2 (dua) unsur pokok yang harus dipedomani oleh direksi dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan tersebut yakni : 1) Apa yang menjadi kepentingan dan tujuan/usaha perseroan, dan 2) Dicapai dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Menurut teori tentang Perseroan Terbatas, kewajiban pengurus perseroan diperhadapkan kepada 2 (dua) macam kewajiban yaitu : 1. Statutory duties, yakni kewajiban yang secara tegas ditentukan oleh undang-undang, dan 2. Fiduciary duties, yakni kewajiban direksi terhadap perseroan untuk mengabdi sepenuhnya kepada perusahaan dengan sebaik-baiknya karena adanya hubungan fiduciary antara direksi dan perseroan. Menurut Hukum Perseroan Amerika Serikat, yang dimaksud dengan duty of care adalah kewajiban berhati-hati bagi anggota direksi dan pegawai suatu perseroan, yang harus bersikap dan berbuat “The must exercise that degree of skiil, diligence, and care that a reasonably prudent person would exercise in similar circumstances” 239 b.
Fiduciary duty
239
Robert Charles Clark, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 428
Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas yang diizinkan oleh perundang-undangan yang berlaku dan Anggaran Dasar Perseroan. Berarti semua tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan, sehingga sebenarnya direksi memiliki kewenangan terbatas dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Lebih lanjut dapat diuraikan pendapat yang menyatakan bahwa : 240 In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are : 1) that directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company. 2) that they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred. 3) that they must not fetter their discretion as to how they shall act. 4) that, without the informed consent of the company, they must not place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties. Fiduciary duty direksi terhadap perseroan tercermin dalam 2 (dua) macam kewajiban: 241 1) Duty of loyality and good faith, yang dapat dikategorikan ke dalam : a. duty to act bona fide in the interest of the company. b. duty to exercise power for their proper purpose. c. duty to retain their discrenatory powers. d. duty to avoid conflicts of interests. 2) Duty of care and diligence. Setiap tindakan yang dilakukan di luar maksud dan tujuan perseroan tidaklah mengikat perseroan. Atas perbuatan tersebut maka direksi akan bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap perbuatan atau perikatan yang dilakukan oleh anggota direksi tersebut. Untuk menjamin terlaksananya ketentuan 240
Paul L. Davies dalam Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 23 241 Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 143-144
dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 98 UUPT yang menyatakan direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan, maka direksi dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian tertentu. Seorang anggota direksi diharapkan dapat menjalankan perseroan sesuai dengan kegiatan usaha perseroan dan juga untuk rnemperoleh keuntungan bagi perseroan. Dalam konsepsi fiduciary duty terkandung duty of care and skill atau duty of care and diligence, yang pelanggarannya mengakibatkan breach of duty dari seorang anggota direksi” 242 Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat membawa anggota direksi yang bersangkutan kepada pertanggung jawaban pribadi atas kerugian yang diderita oleh perseroan, pemegang saham maupun pihak-pihak lain (stakeholders) yang berkepentingan terhadap perseroan. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana membedakan antara duty of loyality and good faith dengan duty of care and diligence. Sebenarnya kedua kewajiban direksi tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT adalah meliputi keduanya baik duty of loyality and good faith serta duty of care and diligence, karena pelaksanaan dari keduanya tidak dapat dipisahkan, namun “duty of care and diligence lebih menitik beratkan pada keahlian (duty of skill) para direksi dalam mengembangkan perseroan, tetapi pelaksanaan dari keahlian itu sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan duty of loyality and good faith” 243 c.
Standard of care 242 243
Ibid, h. 146 Ibid, h. 147
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan pengurusan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam penjelasan pasal tersebut tidak diuraikan apa yang dimaksud dengan itikad baik. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang prinsip itikad baik dan penuh tanggung jawab, tentu diperlukan kajian melalui kepustakaan maupun jurisprudensi, “Karena jurisprudensi Indonesia belum melahirkan doktrin mengenai apa yang dimaksud dengan itikad baik yang dimaksud dalam UUPT, sedangkan pustaka hukum Indonesia belum banyak pula yang megungkapkan doktrin mengenai asas tersebut, maka pengkajian harus dilakukan dengan menggali pustaka hukum dan jurisprudensi pengadilan luar negeri. 244 Di negara-negara anglo saxon sebagai pedoman dipakai standard of care atau standard kehati-hatian dengan prinsip bila anggota direksi perseroan telah melanggar standard of care, maka ianya telah dianggap melanggar duty of care. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, contoh-contoh standard of care antara lain adalah sebagai berikut : 245 1) Anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun demikian hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2) Anggota direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempaan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu. 244 245
Ibid, h. 426-427 Ibid, h. 428
3) Anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain. 4) Anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. 5) Anggota direksi dengan sengaja atau kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. d.
Business Judgement Rule Disamping prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas tersebut, para
pengurus perseroan (direksi) harus juga menyadari dan memahami betapa penting dan berpengaruhnya suatu tindakan yang dilakukannya dalam mengelola perusahaan sesuai dengan tujuan usaha perseroan (bisnis), dengan demikian sebelum
memutuskan
melakukan
suatu
tindakan
haruslah
berdasarkan
pertimbangan bisnis yang berpedoman kepada apa yang disebut Business Judgment Rule. Pertimbangan bisnis dari direksi tidak akan diganggu gugat oleh pihak lain dan mereka tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul dari suatu tindakan berdasarkan suatu pertimbangan bisnis yang benar. Dalam Black’s Law Distionary 246 diartikan Business Judgment Rule : Rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicated that transaction was made with due care and good faith. (Peraturan yang memberi perlindungan bagi managemen dari tanggung jawab atas 246
Hendry Campbell Black, op.cit. h. 200
transaksi perseroan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan kewenangan managemen (direksi) didasarkan pada alasan-alasan kuat dan dapat menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan penuh kehatihatian dan beritikad baik). Business Judgement Rule tidak akan melindungi anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan kemudian diketahui atau terbukti bahwa direksi tersebut telah berupaya untuk menonjolkan kepentingan pribadinya atau membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukan demi kepentingan pribadinya. Oleh karena itu judgement yang telah diambil itu tidak dapat dikatakan sebagai : discretionary exercise of power on behalf of the corporation, yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest) Menurut Robert Charles Clark 247, Business Judgement Rule: a presumption that in making a business decision, the directors of corporation acted on an informed basis in good faith and in the honest belief that the action was take in the best interest of the company. (Suatu tindakan atau kebijakan dalam mengambil keputusan bisnis yang dilakukan oleh para direksi perseroan yang didasarkan pada alasan-alasan yang jelas dan dipahami serta berdasarkan itikad baik dengan diyakini sepenuhnya bahwa tindakan yang dilakukan adalah yang terbaik bagi perseroan). Doktrin business judgement rule ini dapat bertentangan dengan doktrin duty of care, namun dalam kenyataannya kedua doktrin ini dapat saling mengisi. 247
Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 429
Business judgement rule memberi kelonggaran terhadap doktrin duty of care, karena walaupun pertimbangan bisnis yang diambil keliru, para direksi tidak akan dibebani tanggung jawab kecuali dalam hal tertentu. Doktrin duty of care (prinsip kehati-hatian) tidak lagi seluruhnya berlaku, apabila pertimbangan-pertimbangan bisnis telah dilakukan dengan itikad baik dan bila ada kerugian akibat tindakan berdasarkan pertimbangan bisnis, maka tidaklah dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya dari para direksi, hanya pada hal-hal tertentu saja. Untuk mengetahui perbuatan dan pertimbangan bisnis yang dapat dilindungi oleh Business Judgement Rule, dapat melihat beberapa putusan pengadilan di Amerika Serikat walaupun tidak seragam dalam menentukan pengecualian-pengecualian terhadap Business Judgement Rule tersebut. Beberapa rumusan yang diperoleh dari putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat sebagai berikut : 248 1) Pertimbangan (judgement) seorang direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgement) tersebut didasarkan pada suatu kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). 2) Seorang direktur dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan bisnis yang telah merugikan perseroan tidak dilindungi oleh business judgement rule apabila kerugian tersebut adalah akibat kelalaian berat (gross negligence) dari anggota direksi tersebut.
248
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 429-430
Menurut konsep tersebut diatas tidak semua kepailitan akan membawa direksi kearah pertimbangan yang ditentukan pasal 104 ayat (2) UUPT melainkan hanya yang karena kesalahan direksi sebagai akibat gross negligence, fraud, conflict of interest atau illegality. Sepintas tampak doktrin business judgement rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care. Direksi tidak harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgement) dilakukan dengan itikad baik. Jadi isi dari doktrin business judgement rule dan duty of care dapat dipakai untuk mengisi atau menjadi acuan dalam menerapkan asas itikad baik dan asas tanggung jawab yang dimaksudkan dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT. 249 Agar kedua doktrin duty of care dan business judgernent rule, satu sama lain tidak saling berbenturan tetapi dapat sejalan satu dengan lainnya, menjadi pegangan adalah formulasi ini : “The director’s business judgement cannot be attached unless their judgement was arrived at in negligent manner, or was tainted by fraud, conflict of interest, or illegally atau the business judgement rule presupposes that reasonable diligence lies behind the judgement in question”. Untuk membuat kedua konsep tersebut konsisten satu sama lain adalah tidak mudah, karena memisahkan antara apa yang disebut a honest mistake dan a negligent mistake sangat sulit dilakukan. 250 e.
Doktrin Ultra Vires
249
Ibid, h. 431 Robert Charles Clark dalam Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 41 250
Fiduciary duties mewajibkan para direksi melakukan kegiatan yang benarbenar menjadi kewenangannya dan tidak boleh melakukan kegiatan yang berada diluar kewenangannya ini disebut sebagai ultra vires. Doctrin of Ultra Vires dikenal dalam hukum perseroan dan doktrin ini menganut paham : apabila suatu kontrak dibuat oleh perseroan tidak dalam kerangka maksud dan tujuan dari perseroan, maka kontrak tersebut adalah “ultra vires the company” dan kontrak itu adalah batal demi hukum atau tidak sah. Apabila kontrak yang dilakukan masih dalam kerangka maksud dan tujuan perseroan atau masih dalam kapasitasnya disebut “intra vires” dan tindakan itu sah dan mengikat. Perbuatan ultra vires adalah perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan perseroan karena berada di luar cakupan maksud dan tujuan perseroan. Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan. 251 Menurut Haj Ford ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan yakni : 252 1) Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta Anggaran Dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan, dan 2) Tindakan dari direksi perseroan yang berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk Anggaran Dasar perseroan.
251 252
Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22 Haj Ford dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22
Namun sampai berapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktek dunia usaha. 253 Doktrin ultra vires dimaksudkan untuk melindungi para kreditor perseroan, dimana asset perseroan hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perseroan sebagaimana telah ditetapkan atau dimasukkan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Doktrin ini juga dimaksudkan untuk melindungi para pemegang saham perseroan yang telah menginvestasikan uangnya pada perseroan yang dikaitkan dengan maksud dan tujuan tertentu, karena para pemegang saham bersedia menginvestasikan dananya di perseroan karena yakin dengan apa yang menjadi maksud dan tujuan dari pada perseroan tersebut sesuai dengan bisnis yang dikehendakinya. Jadi harus ada persesuaian antara maksud dan tujuan bisnis perseroan dengan keyakinan dan kepercayaan para pemegang saham terhadap perseroan tersebut. Doktrin ultra vires ini berpedoman kepada 2 (dua) teori yang berbeda, yang pertama menganut pengertian bahwa suatu perseroan berwenang melakukan sesuatunya sepanjang anggaran dasar tidak melarangnya. Jadi perseroan dapat melakukan tindakan apapun yang tidak dilarang oleh anggaran dasarnya. Teori kedua berpendapat bahwa perseroan hanya berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang telah diberi kewenangan oleh anggaran dasar
253
Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h.22
perseroan, sehingga apabila anggaran dasar tidak menentukan bahwa perseroan dapat melakukan perbuatan tertentu maka perseroan tidak dapat melakukannya. Dalam Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) telah diatur bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi atas nama perseroan haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Dari ketentuan tersebut jelas perseroan tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perseroan. Jika perseroan melalui tindakan para direksi melakukan perbuatan yang berada di luar lingkup maksud dan tujuan perseroan (ultra virec), maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang illegal. Hal ini juga telah ditegaskan dalam KUHPerdata, bahwa perseroan tidak dapat melakukan perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Kegiatan atau transaksi yang dilakukan oleh perseroan dengan melanggar ketentuan Pasal 2 UUPT itu tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata, dimana sahnya perjanjian memerlukan causa yang tidak dilarang oleh Undang-Undang dan tidak merugikan atau melanggar kepentingan umum, maka putusan pengadilan atas gugatan pihak-pihak dengan dalil melanggar Pasal 2 UUPT ini, harus menyatakan transaksi itu batal demi hukum (tidak sah sejak semula). 254 f.
Actio Pauliana
254
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 435
Actio Pauliana adalah tuntutan melakukan tindakan pembatalan atas perbuatan debitor yang beritikad buruk (bad faith) yang merugikan kreditor. Undang-undang Kepailitan memberi hak kepada kurator untuk memintakan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan yang bersifat merugikan harta pailit secara keseluruhan maupun kerugian terhadap para kreditor. Perjanjian atau perbuatan hukum tersebut adalah bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. Prinsip dasar suatu perjanjian adalah memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu sebagaimana dirumuskan Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1341 KUHPerdata. Perjanjian atau perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan dan atau tidak adanya kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan kreditor. Undang-Undang
Kepailitan
memberi
hak
kepada
kurator
untuk
membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan tetapi belum sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyatan pailit dikeluarkan. Juga untuk meminta pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit dikeluarkan. Pemberian hak untuk pembatalan ini sangat berarti bagi perlindungan
kepentingan
kreditor
secara
keseluruhan,
terutama
untuk
menghindari perbuatan yang beritikad buruk (bad faith) dari debitor nakal dengan
pihak-pihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan kepentingan dari satu atau lebih kreditor yang beritikad baik (good faith) ataupun kepentingan harta pailit keseluruhan. Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum pernyataan pailit diucapkan yang merugikan harta pailit, undang-undang mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan tersebut dilakukan debitor dan dengan pihak siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, kecuali apabila perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau undang-undang (Pasal 41 ayat (2), (3) UU No. 37 Tahun 2004 (UUK dan PKPU). Dari ketentuan tersebut perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailitlah yang dapat dibatalkan. Untuk adanya kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (pihak ketiga) di luar kreditor seperti pihak penerima kebendaan yang diberikan oleh debitor, Pasal 42 UUK dan PKPU menegaskan bahwa selama perbuatan hukum yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Menurut Fred BG Tumbuan, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat dilakukan actio paulina (tindakan pembatalan) menurut Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 UU Kepailitan adalah : 255 1) 2) 3) 4)
Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitor. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditor. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditor dan 5) Pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, hanya debitor saja yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, sedang pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan ternyata beritikad baik, hal ini tidak diatur dalam ketentuan UUK dan PKPU pada hal seharusnya pihak yang beritikad baik dilindungi oleh undangundang. Perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik ini hanya dapat dilakukan dengan bercermin pada Pasal 42 tersebut yang menegaskan bila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu l (satu) tahun sebelum pernyataan pailit dikeluarkan, sedang perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dan debitor serta pihak ketiga dianggap mengetahui dan patut mengetahui perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor dalam hal perbuatan-perbuatan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 42 point a sampai dengan g UUK dan PKPU. Dari ketentuan tersebut di atas seo1ah-olah dalam
255
Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau PKPU, (Bandung : Alumni, 2001), h. 129
Pasal 42 ini pihak ketiga yang beritikad baik tidak diperlindungi lagi, atau dengan perkataan lain itikad baik pihak ketiga telah dihilangkan oleh syarat-syarat perbuatan butir a sampai dengan butir g dalam Pasal 42 UUK dan PKPU tersebut. Oleh karena itu yang menjadi tugas debitor dan pihak ketiga adalah untuk membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut adalah perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitor pailit dan perbuatan hukum tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi para kreditor. J.B. Huizink berpendapat: “Undang-undang Kepailitan melindungi pihak yang diuntungkan yang beritikad baik, dengan meniadakan daya laku pembatalan sepanjang pihak-pihak yang diuntungkan menunjukkan bahwa ia pada saat pernyataan kepailitan dikeluarkan tidak diuntungkan oleh perbuatan itu, untuk dipersyaratkan bahwa pihak yang diuntungkan itu tidak tahu atau tidak seharusnya mengetahui bahwa perbuatan itu akan merugikan para kreditor” 256 Segala tuntutan hukum yang meminta pembatalan maupun pengembalian atas segala sesuatu yang telah diserahkan oleh debitor pailit kepada pihak ketiga, harus dimajukan sendiri oleh kurator ke pengadilan (Pasal 47 ayat (1) UUK dan PKPU), yakni berdasarkan kapasitasnya sebagai pengurus harta pailit dan untuk kepentingan harta pailit. Dengan demikian para kreditor tidak dapat meminta pembatalan tersebut secara langsung, namun diberikan hak kepada kreditor untuk membantah tuntutan kurator (Pasal 47 ayat (2) UUK dan PKPU) Lembaga actio pauliana ini diciptakan untuk melindungi para kreditor agar tidak diperdaya oleh debitornya yakni orang atau badan hukum maupun persekutuan yang dinyatakan 256
J.B. Huizink, Insolventie, Alih Bahasa Linus Doludjawa, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi, FH UI, 2004), h. 120)
pailit. 257
Kurator mempunyai tugas untuk mencari informasi apakah orang,
pengurus badan hukum yang bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan semua harta pribadinya dalam hal perseroan (PT) yang dipimpinnya karena kesalahannya atau kelalaiannya telah dinyatakan pailit, telah berusaha menjual, menghibahkan, menjaminkan, menyewakan, menukarkan atau melakukan tindakan lain dengan maksud untuk memperdayai kreditor atau para kreditornya. Dalam hal permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor berbentuk PT, maka direksi hanya dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga agar perseroan dinyatakan pailit haruslah berdasarkan keputusan RUPS, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT. Demikian juga permohonan PKPU yang diajukan debitor berbentuk PT, karena dapat berakhir dengan kepailitan perseroan dimaksud, maka permohonan PKPU oleh direksi PT juga harus berdasarkan keputusan RUPS. 258 Dari hasil penelitian di lima Pengadilan Niaga, permohonan Actio Pauliana ada diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Semarang, sedang di Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, dan Pengadilan Niaga Makasar hingga penelitian ini dilakukan belum ada permohonan Actio Pauliana diajukan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 dan Penjelasannya, permohonan Actio Pauliana adalah menjadi wewenang Pengadilan Niaga untuk memeriksanya dengan hukum acara yang sama berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit. “Actio Pauliana tidak 257
Robintan Sulaiman et.al., Lebih jauh tentang Kepailitan UU No. 4 tahun 1998 (Karawaci : F.H Univ Pelita Harapan, 2000), h. 44 258 Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al., Penyelesaian utang piutang melalui pailit atau PKPU, (Bandung : Alumni, 2001), h. 245
terbuka untuk upaya hukum, karena kalau terbuka akan lama proses penyelesaiannya, oleh karena itu Actio Pauliana bersifat serta merta. Memang ada keraguan atau sedikit kerancuan dengan renvooi procedure apakah bersifat serta merta atau tidak”. 259 Dalam prakteknya permohonan Actio Pauliana diajukan dan diperiksa pada tingkat Kasasi hingga tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, sehingga permohonan ini terbuka untuk upaya hukum dan sama seperti permohonan pernyataan pailit. Untuk jelasnya dikemukakan dari data perkara Actio Pauliana pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat disimpulkan : Dari 8 (delapan) permohonan Actio Pauliana yang diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan 1 (satu) permohonan di Pengadilan Negeri Semarang, sebanyak 8 (delapan) permohonan tidak dikabulkan dan 1 (satu) permohonan dikabulkan sebahagian, sebagai putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap dari masing-masing alasan dan pertimbangan hukum baik di tingkat pertama di Pengadilan Niaga, tingkat Kasasi maupun di tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Di bawah ini dikemukakan 2 (dua) putusan atas permohonan Actio Pauliana yang hasil akhirnya tidak dikabulkan yakni sebagai berikut : Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/N/2000 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/Actio Pauliana/2000/PN.Niaga Jkt.Pst. 260 Kasus Posisi : 259
Eliyana, dalam Kewajiban dan Standard Pelaporan dalam Kepailitan dan Perlindungan Kurator, dan Harta Pailit, Editor : Emmy Yuhasrie et.al., Lokakarya, Jakarta 18-19 Nopember 2003, h. 94-95. 260 Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, jilid 6, (Jakarta : PT. Tatanusa, 2000), h. 75-95.
William E Daniel (Pemohon) selaku Kurator PT Ometraco Multi Artha telah mengajukan permohonan Pembatalan Perbuatan Debitor (Actio Pauliana) terhadap : a. PT. Ometraco Multi Artha (dalam kepailitan) sebagai Termohon I b. PT. Duta Trada Internusa sebagai Termohona II, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut : − Bahwa PT. Ometraco Multi Artha (PT. OMA) telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 13 Nopember 1998 dengan putusan nomor 03/PKPU/1998/PN Niaga Jkt.Pst., sehingga sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau pemberesan atas harta PT. OMA tersebut. − Bahwa PT. Duta Trada Internusa (PT. DTI) adalah salah satu perseroan yang telah mendapat pinjaman dari PT. OMA berupa fasilitas anjak piutang untuk keperluan modal kerja. − Bahwa PT. OMA dan PT. DTI telah terikat dalam beberapa perjanjian anjak piutang atau factoring sebagai berikut : 1) Perjanjian Factoring No. F197-K-026 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 31.627.144.468 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998. 2) Perjanjian Factoring No. F197-K-036 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 4.350.888.460 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998. 3) Perjanjian Factoring No. F197-K-045 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 6.423.240.197 yang jatuh tempo pada tanggal 26 Januari 1998.
4) Perjanjian Factoring No. F197-K-046 dengan jumlah sisa tunggakan fasilitas sebesar Rp. 1.575.393.849 yang jatuh tempo pada tanggal 10 Maret 1998. − Bahwa berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut di atas, kewajiban PT. DTI kepada PT. OMA adalah sejumlah Rp. 43.976.666.974 (empat puluh tiga milyar sembilan ratus tujuh puluh enam juta enam ratus enam puluh enam ribu sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah). − Bahwa pada tanggal 20 April 1998 PT. DTI telah menegaskan bahwaPT. DTI belum dapat melunasi kewajibannya kepada PT. OMA dan bermaksud memberikan obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai sebesar Rp. 31.000.000 dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai sebesar Rp. 12.006.000.000 sebagai jaminan atas pelunasan kewajibannya tersebut. − Bahwa pada tanggal 3 Mei 1998, PT. OMA telah setuju untuk menerima obligasi PT. Ciputra Surya I dan Obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan syarat dibuatkan gadai dan surat kuasa menjual atas obligasi tersebut dan segera menyerahkan surat-surat aslinya, maka pada tanggal 2 Juli 1998 PT. OMA telah menerima kupon obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai total sebesar Rp. 12.006.000.000 berikut dengan kupon bunga sejumlah Rp. 132.232.750 dan kupon obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai total Rp. 31.000.000,- berikut dengan kupon bungan sejumlah Rp. 775.000.000 atau secara keseluruhan bernilai Rp. 43.913.232.750. − Bahwa mengingat saat jatuh tempo pembayaran hutang PT. DTI kepada PT. OMA sudah terlewati tanpa ada penyelesaian, maka pada tanggal 7 Agustus
1998 Debitor telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh kewajibannya serta mengingatkan akan melakukan eksekusi atas jaminan berupa gadai obligasi. − Bahwa pada tanggal 18 Agustus 1998 PT. OMA memberitahukan kepada PT. DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I senilai Rp. 9.000.000.000 sebagai dimohonkan oleh PT. DTI dan peringatan untuk membayar sisa tunggakan sebesar Rp. 34.976.666.974,- walaupun pada kenyataannya pada tanggal 18 Agustus 1998 tersebut PT. OMA tidak pernah menjual atau mengalihkan obligasi tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 25 Agustus 1998 PT. OMA telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa kewajibannya sebesar Rp. 34.976.666.974,- sekaligus peringatan untuk mengeksekusi jaminan dari PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 3 September 1998 PT. OMA memberitahukan kepada PT. DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I berikut kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp. 20.775.000.000,- dan memberi
peringatan
agar
membayar
sisa
tunggakan
sebesar
Rp.
14.201.666.974,- walaupun pada kenyataannya pada tanggal 3 September 1998 tersebut PT. OMA tidak pernah menjual atau mengalihkan obligasi tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 9 September 1998 PT. OMA telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa
kewajibannya sebesar Rp. 14.201.666.974,- dan pada tanggal 14 September 1998 PT. DTI telah meminta PT. OMA atau Debitor untuk hanya mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I sebesar Rp. 2.000.000.000,- dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sebesar Rp. 12.006.000.000,- ditambah bunga yang belum diuangkan sebesar Rp. 132.231.750,- sebagai pelunasan sisa tagihan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 16 September 1998 Direksi PT. OMA telah membuat Berita Acara Pelunasan Hutang atas nama PT. DTI yang pada intinya mempertimbangkan dan menyetujui pelunasan hutang PT. DTI dengan mengeksekusi gadai obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri berikut kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp. 14.138.232.750,- sehingga masih tersisa tunggakan sebesar Rp. 63.434.224,sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pelunasan atas nama PT. DTI tertanggal 16 September 1998, dan pada tanggal yang sama PT. OMA diwakili oleh Direksinya telah menyetujui penghapusan (Write Off) atas sisa tunggakan hutang factoring PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,- tanpa ada alasan yang mendasarinya. − Bahwa walaupun pada tanggal 16 September 1998 telah dilakukan pelunasan (Writer Off) atas sisa tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,tetapi pada tanggal 17 September 1998 PT. OMA mengajukan surat No. 080/OMA-MKT-KPNO.IX/1998 kepada PT. DTI yang pada intinya merupakan surat penagihan atas sisa tunggakan hutang tersebut di atas di samping pemberitahuan tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra
Surya I dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri berikut dengan kupon bunganya dengan total Rp. 14.138.232.750,- yang pada kenyataannya eksekusi tersebut tidak pernah dilakukan PT. OMA. − Bahwa 2 (dua) bulan setelah disetujuinya pelunasan atas kewajiban PT. DTI kepada PT. OMA, PT. OMA dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada
tanggal
13
Nopember
1998
melalui
putusan
Nomor
03/PKPU/1998/PN Niaga Jkt.Pst. yang menunjuk Pemohon sebagai Kurator untuk melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan atas harta pailit. − Bahwa dalam rangka tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, pada tanggal 27 April 1999 dan 27 Mei 1999 pemohon atau Kurator atas persetujuan panitia kreditor dari PT. OMA telah melakukan penjualan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri melalui broker PT. Citramas Securindo dengan harga Rp. 2.887.182.750,- dan penjualan obligasi PT. Ciputra Surya I melalui broker PT. Sentra Investindo dengan harga Rp, 5.270.000.000,- sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 8.157.182.750,− Bahwa setelah mendapatkan hasil penjualan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I yang ternyata bernilai jauh dari nilai yang dijaminkan oleh PT. DTI, maka Pemohon atau Kurator berkewajiban untuk menyelidiki kembali tindakan PT. OMA sehubungan dengan pelunasan sisa tunggakan hutang PT. DTI mengingat hasil penjualan obligasi yang diterima PT. OMA sebagai pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp. 43.976.666.974,- pada kenyataannya hanya bernilai Rp. 8.157.182.750,sehingga jelas terbukti tindakan pelunasan tunggakan hutang yang dilakukan
secara sepihak oleh PT. OMA terhadap hutang PT. DTI pada kenyataannya telah menyebabkan kerugian, yang dalam hal ini telah merugikan kepentingan para kreditor PT. OMA. − Bahwa Pemohon berkeyakinan apabila PT. OMA tidak memberikan pernyataan pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebelum obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I benar-benar dieksekusi atau dijual dan diketahui hasil penjualannya, maka PT. OMA tidak akan kehilangan piutangnya yang berjumlah milyaran rupiah tersebut. − Bahwa dari dokumentasi yang dipelajari oleh Pemohon dengan jelas dapat diduga bahwa tindakan PT. OMA yang memberikan pelunasan hutang kepada PT. DTI dengan menyatakan bahwa PT. OMA telah mengeksekusi obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I untuk melunasi hutang PT. DTI adalah salah dan keliru bahkan terkesan terburu-buru. Hal ini dapat diyakini mengingat pada kenyataannya PT. OMA belum melakukan eksekusi atas obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I sebagaimana dimaksud dalam surat PT. OMA no. 080/OMA/MKT-KPNO/IX/1998 tertanggal 107 September 1998. − Bahwa seharusnya PT. OMA dan PT. DTI mengetahui dan sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum PT. OMA pada tanggal 14 Agustus 1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 yang memberikan pelunasan dan write off atas hutang PT. DTI akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor PT. OMA mengingat pada saat pemberian pelunasan itu dilakukan PT. OMA sedang menghadapi tuntutan pailit dan bahkan berencana untuk mengajukan
permohonan PKPU yang dibuktikan dengan diberikannya kuasa kepada kuasa hukumnya pada tanggal 17 September 1998 untuk mengajukan permohonan PKPU melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan kepailitan yang diajukan oleh sebagian kreditor PT. OMA. − Bahwa mengingat tindakan hukum PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI tersebut dilakukan kurang lebih 2 (dua) bulan sebelum debitor dinyatakan pailit atau pada saat PT.OMA seharusnya dan sepatutnya telah mengetahui dan menyadari keadaan keuangan PT. OMA yang dipertanyatakan oleh para kreditor PT. OMA bahkan pada saat itu PT. OMA sedang menghadapi permasalahan hukum akibat tuntutan dari para kreditornya untuk pelunasan hutang PT. OMA, maka sudah seharusnya dan sepatutnya PT. OMA dan PT. DTI mengetahui dan menyadari bahwa tindakan hukum PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi para kreditor PT. OMA. − Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 point a jo. Pasal 41 ayat (2), debitor telah dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakannya yang menghapuskan hutang PT. DTI adalah merugikan kepentingan para kreditor PT. OMA. Berdasarkan hal-hal yang dikuraikan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk memutuskan pada pokoknya sebagai berikut : − Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya
− Menyatakan sah Perjanjian-perjanjian anjak piutang Termohon yaitu : Factoring No. F197-K-026, Factoring No. F197-K-036 dan Factoring No. F197-K-045. − Menyatakan bahwa tindakan PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI secara bertahap seluruhnya Rp. 43.976.666.974,- pada tanggal 14 Agustus 1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 adalah batal. − Menyatakan bahwa surat-surat di bawah ini adalah batal dan tidak sah : Berita Acara Pelunasan a/n PT DTI tertanggal 14 Agustus 1998, tertanggal 2 September 1998, tertanggal 16 September 1998, Berita Acara Penghapusan (write off) a/n PT. DTI tertanggal 14 September 1998, Surat PT.OMA no. 062/OMA-MKT-KPNO/VIII/1998 tertanggal 18Agustus 1998, Surat PT. OMA No. 079/OMA-MKT-KPNO/IX/1998 tertanggal 3 September 1998, Surat PT. OMA No. 080/OMA-MKT-KPNO/IX/1998 tertanggal 17 September 1998, Surat PT. OMA kepada PT. DTI tanggal 25 Agustus 1998 dan tanggal 9 September 1998. − Menyatakan bahwa sah tindakan Kurator dalam rangka pemberesan harta pailit yang telah mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri pada tanggal 27 April 1999 dan tanggal 27 Mei 1999 dengan harga seluruhnya sebesar Rp. 8.157.182.750,− Menyatakan bahwa PT. DTI berhutang kepada Budel Pailit PT.OMA dan karenanya memberitahukan PT. DTI untuk segera melunasi seluruh kewajiban hutangnya sekurang-kurangnya Rp. 35.819.484.224,- atau merupakan selisih antara jumlah seluruh hutang PT. DTI sebesar Rp. 43.976.666.974,- dengan
harga jual obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri sejumlah Rp. 8.157.182.750,- ditambah dengan denda akibat keterlambatan sebesar 5% perbulan sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam Perjanjianperjanjian Anjak Piutang.
Pengadilan Niaga : Bahwa selanjutnya terhadap permohonan Actio Pauliana tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan tanggal 2 Maret 2000 No.01/Actio Pauliana/2000/PNNiaga Jkt.Pst yang amarnya sebagai berikut : − Menolak eksepsi Termohon − Menolak Permohonan Pemohon − Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Bahwa selanjutnya pihak Pemohon telah mengajukan Kasasi dengan mengajukan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut : − Bahwa yudex factie kurang teliti dalam melihat pokok permasalahan serta tidak mempertimbangkan hal-hal yang menjadi dasar permohonan Actio Pauliana Pemohon yang telah diuraikan dalam permohonan pemohon. − Bahwa yudex factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, sebab yang menjadi dasar permohonan Actio Pauliana dari pemohon Kasasi adalah Pasal 41 jo. Pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang menyebutkan bahwa atas perbuatan yang dilakukan sebelum lewat 1 (satu) tahun sebelum kepailitan, maka yang harus membuktikan bahwa perbuatan itu tidak atau bukan perbuatan melawan hukum dan tidak
merugikan bagi budel pailit/kreditor adalah pihak lawan, ternyata dalam putusan Nomor 01/Actio Pauliana/2000/PN Niaga.Jkt.Pst, bahwa hakim yudex factie telah memeriksa bukti-bukti Pemohon Kasasi tanpa sedikitpun membebankan pembuktian kepada Termohon. Tingkat Kasasi : Bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung pada pokoknya berpendapat sebagai berikut : − Bahwa ternyata pada tanggal 13 Nopember 1998 PT. OMA dinyatakan pailit. Pemohon sebagai Kurator ternyata telah menjual atau mengeksekusi obligasiobligasi tersebut di bawah harga melalui broker PT. Citramas Securindo dan broker PT. Sentra Investindo seharga Rp. 8.157.182.750,- pada tanggal 27 Mei 1999 untuk obligasi PT. Ciputra Surya I dan tanggal 27 April 1999 untuk obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sehingga harga tidak sesuai dengan harga yang disetujui baik oleh PT. OMA maupun PT. DTI yang mengakibatkan kerugian bagi para kreditor PT. OMA. Seharusnya Pemohon sebagai Kurator memberitahukan terlebih dahulu kepada PT. OMA maupun PT. DTI sebelum menjual obligasi-obligasi tersebut. Atau seharusnya Pemohon mengembalikan obligasi-obligasi tersebut kepada Termohon atau menunggu sampai obligasi tersebut jatuh tempo, sehingga akan terlihat apakah tindakan PT. OMA dan PT. DTI merugikan kreditor-kreditor PT. OMA atau tidak dan bukannya mengajukan Actio Pauliana setelah Kurator sendiri menjual obligasi-obligasi tersebut. Sehingga apa yang dilakukan Debitor, PT.OMA beserta PT. DTI tidak terbukti telah merugikan kepentingan kreditor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Hakim Kasasi dalam keputusan Mahkamah Agung nomor 15/K/N/2000 tanggal 16 Mei 2000 telah memberi keputusan sebagai berikut : − Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi William E. Daniel, selaku Kurator PT. Ometraco Multi Artha (Dalam Kepailitan) − Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ongkos perkara Terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung ini tidak diajukan Peninjauan Kembali, oleh karena itu putusan ini telah menjadi putusan akhir dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menegaskan bahwa permohonan pembatalan perbuatan debitor (Actio Pauliana) yang diajukan Kurator terhadap Debitor PT. Ometraco Multi Artha (Termohon I) dan pihak ketiga PT. Duta Trada Internusa (Termohon II), tidak dikabulkan. Selanjutnya di bawah ini adalah putusan terhadap permohonan Actio Pauliana yang hasil akhirnya menyatakan bahwa permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/N/2000 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 16 K/N/2000 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 03/Actio Paulina/2000/PN Niaga Jkt.Pst. 261 Kasus Posisi: Tuti Simarangkir (Pemohon), selaku Kurator dari PT Fiskaragung Perkasa Tbk. (dalam pailit) telah mengajukan permohonan Actio Pauliana terhadap: a. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. di Jakarta (dalam pailit), termohon I 261
Ibid, h. 377-398
b. PT Catnera International Ltd, Hongkong, Termohon II dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut: − Bahwa PT Fiskaragung Perkasa Tbk. (Fiskar) adalah suatu Perseroan Terbatas terbuka dan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 26 Nopember 1999 dengan putusan No. 38/Pailit/1999/PN.Niaga Jkt.Pst. jo. pustusan No, 6/PKPU/1999/PN Niaga Jkt.Pst., dan menurut Pasal 12 Undang-Undang Kepailitan sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit Fiskar. − Bahwa setelah Pemohon (Kurator) melakukan pemeriksaan seksama atas seluruh aset maupun dokumen perjanjian yang dibuat antara Fiskar dengan pihak ketiga, timbul kecurigaan yang sangat beralasan bahwa Fiskar telah melakukan tindakan atau perbuatan yang merugikan harta pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Kepailitan. − Bahwa Fiskar (debitor) dan PT Catnera International Ltd. (Catnera) sebagai kreditor telah menandatangani perjanjian utang untuk pokok sejumlah US $ 3.000.000,- pada tanggal 1 Maret 1999 dan telah didaftarkan di Kantor Notaris Abdul Majid di Jakarta di bawah nomor: 7980/Waar/III/1999 tertanggal 16 Maret 1999 dan Fiskar telah memberikan jaminan-jaminan kepada Catnera. − Bahwa sebelumnya Fiskar telah menerbitkan Medium Term Note (MTN) yang jatuh tempo dan wajib dibayar pada tanggal 15 Mei 1998 dengan pokok
seluruhnya berjumlah US $ 29.000.000,- dan telah dibeli oleh pihak-pihak yang dalam perkara No. 38/pailit/1999/PN Niaga Jkt. Pst. jo. Perkara No. 6/PKU/1999 PN Niaga Jkt.Pst yaitu para pemohon pailit: Hanil Leasing & Finance (HK) Ltd., Kokmin Bank, Hanmi Leasing & Finance (HK) Ltd., KEB Leasing & Finance Ltd, CBK Leasing & Finance (HK) Ltd., AMMB International, First Citicorp Leasing (HK) Ltd., KDLC Leasing, ORIX Asia Ltd., Kyongnam Bank. − Bahwa dalam persyaratan yang tercantum dalam setiap MTN yang diterbitkan oleh Fiskar tersebut terdapat ketentuan yang berbunyi: Selama masih ada MTN yang belum dibayar perseroan maupun anak-anak perusahaanya tidak akan memberikan ataupun menjadikan adanya suatu gadai, tanggungan, hipotek, kuasa memasang hipotek atau beban (sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996) atau memberikan sebagai jaminan untuk kepentingan pemegang efek atau kreditor lain atas seluruh atau sebagian properti atau asetnya yang ada sekarang atau kemudian hari. − Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Revolving Loan Agreement tanggal 27 Oktober 1997, dimana Fiskar telah menyanggupi untuk tidak akan memberikan asetnya sebagai jaminan dengan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari The Sanwa Bank Ltd. − Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Facility Agreement tanggal 27 Nopember 1997, dimana fiskar telah menyanggupi untuk tidak menjaminkan asetnya.
− Bahwa berdasarkan ketiga perjanjian tersebut di atas telah terbukti dengan sempurna dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Fiskar telah berjanji dan karenanya berkewajiban untuk tidak memberikan jaminan apapun kepada kreditor siapapun sebelum utang-utangnya berdasarkan ketiga perjanjian tersebut di atas telah dilunasi. − Bahwa ternyata Fiskar telah tidak mentaati dan melanggar janji yang dibuat sendiri dengan telah menandatangani perjanjian-perjanjian jaminan dengan Catnera. − Bahwa tindakan Fiskar sebagaimana diuraikan di atas adalah jelas merupakan suatu perbuatan curang yang amat merugikan harta pailit dan tentunya sangat merugikan para kreditor lainnya. − Bahwa tindakan Fiskar dan Catnera tersebut adalah merupakan suatu tindakan yang merugikan kepentingan harta pailit dan para kreditor lainnya dan sesuai dengan Pasal 41 dan Pasal 42 UU Kepailitan beralasan apabila terhadap tindakan Fiskar dan Catnera tersebut di atas dimintakan Pembatalan dengan alasan sebagai berikut. − Bahwa tindakan/perbuatan hukum antara Fiskar dan Catnera tersebut di atas dilakukan/ditandatangani pada tanggal 1 Maret 1999, berarti ditandatangani dalam kurun waktu sebelum 1 (satu) tahun sejak Fiskar dinyatakan pailit yaitu tanggal 26 Nopember 1999, dan karenanya Fiskar dan Catnera dianggap mengetahui bahwa tindakan/perbuatan hukum mereka tersebut akan merugikan kreditor lainnya.
− Bahwa dibuat/ditandangani perjanjian-perjanjian jaminan oleh Fiskar bukan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh Fiskar. − Bahwa perjanjian-perjanjian jaminan merupakan Pemberian Jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo, karena tanggal jatuh tempo perjanjian utang adalah 12 bulan sejak perjanjian utang ditandatangani yaitu tanggal 1 maret 2000. Berdasarkan hal-hal yang telah diuaraikan tersebut di atas Pemohon memohonkan antara lain agar: − Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. − Menyatakan tidak sah dan batal perjanjian-perjanjian antara Fiskar (debitor) dan Catnera (kreditor), beripa Loan Agreement, Hak Tangguangn, Jaminan fiducia. − Menyatakan bahwa seluruh aset yang dijaminkan adalah merupakan bagian dari harta kepailitan.
Pengadilan Niaga: Terhadap permohonan ini Pengadilan Niaga Jakarta pusat telah mengeluarkan putusan tertanggal 26 April 2000, Nomor 03/Actio Paulina/2000/P Niaga Jkt.Pst dengan amar sebagai berikut: − Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan (Actio Paulina) dari pemohon tersebut. − Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara.
Tingkat Kasasi: Terhadap putusan Nomor 03/Actio Paulina/2000/ P Niaga Jkt. Pst tersebut telah diajukan Kasasi oleh Pemohon dengan alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan dalam permohonan kasasi tersebut. Atas permohonan kasasi tersebut, Hakim kasasi telah mengeluarkan putusan tertanggal 8 Juni 2000, nomor 016 K/N/2000 dengan amar putusan antara lain sebagai berikut: − Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan (Actio Paulina) dari pemohon tersebut. − Menghukum pemohon kasasi untuk membayar ongkos perkara. Tingkat Peninjauan Kembali (PK): Terhadap putusan kasasi nomor 016 K/N/2000 tersebut, Pemohon telah mengajukan PK dengan alasan-alasan dan dalil-dalil antara lain sebagai berikut: − Bahwa Majelis Hakim Agung dalam tingkat kasasi telah melakukan kesalahan berat dalam menerapkan hukum, dimana Majelis dalam tingkat kasasi telah menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan (Actio Paulina) dari Pemohon tanpa mempertimbangan pokok perkara. − Bahwa Majelis Mahkamah Agung belum memeriksa pokok perkara akan tetapi baru memeriksa persyaratan formal atas permohonan kasasi dari Pemohon kasasi, berarti dalam hal belum diperiksanya pokok perkara maka Majelis Hakim Agung tidak dapat menolak suatu permohonan, melainkan hanya dapat menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima. Bahwa
selanjutkan Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan PK dari Pemohon dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Bahwa oleh karena permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah permohonan pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga (Actio paulina), maka dengan belum diperiksanya pokok perkara seharusnya Mahkamah Agung menyatakan permohonan Pemohon tersebut tidak dapat diterima. b. Bahwa selain itu, sesuai dengan pasal 280 ayat (2) PERPU No. 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1998, kewenangan Pengadilan Niaga hingga saat ini adalah memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, serta permohonan lain yang berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit. c. Bahwa pembatalan perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga (Actio Paulina), seperti halnya dengan pembatalan perbuatan hukum dilakukan melalui suatu gugatan sengketa yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata di Pengadilan Negeri, sedangkan suatu permohonan (seperti halnya permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaiatan) tidak merupakan sengketa. d. Bahwa oleh karena itu permohonan pembatalan perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41 PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998, tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Niaga, melainkan ke Pengadilan Negeri menurut ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan PK dari pemohon dan membatalkan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi Nomor 016 K/N/2000 tanggal 8 Juni 2000 tersebut serta mengadili kembali perkara ini dengan amar putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Terhadap putusan tersebut di atas akan dikemukakan hasil wawancara dengan seorang Kurator/Pengacara dalam pengalamannya menangani perkara gugatan/permohonan Actio Paulina yang mengatakan: “Bahwa semula ada kontroversi di kalangan hakim terhadap Actio Paulina, sebahagian hakim berpendapat memeriksa Actio Paulina bukanlah wewenang Pengadilan Niaga melainkan Pengadilan Negeri, tetapi sebahagian lagi berpendapat haruslah ditangani oleh Pengadilan Niaga.” 262 Kontroversi ini terjadi adalah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yakni Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dimana dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut dalam penjelasannya telah ditegaskan bahwa Actio Paulina adalah wewenang Pengadilan Niaga untuk memeriksanya.
262
Wawancara dengan Ricardo Simanjuntak, Ketua Umum Assosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) di Jakarta, 19 April 2007.
Selanjutnya akan dikemukakan perkara Actio Paulina dimana putusan telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Permohonan Pemohom Actio Paulina dikabulkan untuk sebagian. Putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PK/N/2003 tanggal 22 Desember 2003 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/N/2003 tanggal 10 Sepetember 2003 jo. Putusan Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat Nomor 02/ Actio Paulina/2003/PN Niaga Jkt. Pst tanggal 8 Juli 2003, 263 dimana MA berpendapat bahwa pengalihan hak atas tanah debitor pailit kepada pihak ketiga tidak sah karena dilakukan 3 (tiga) bulan sebelum debitor dinyatakan pailit dengan pertimbangan bahwa debitor pailit maupun pihak ketiga (kreditor) mengetahui atau patut mengetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah adalah satu-satunya harta pailit. Selengkapnya kasus tersebut diuraikan sebagai berikut dibawah ini : Kasus Posisi: R. Astuti Sitanggang, Kurator Debitor pailit Eddy Ondrawinata, sebagai Pemohon telah mengajukan permohonan Actio Paulina terhadap: Susanto Soetrisno, bertempat tinggal di Jakarta Selatan sebagai Termohon, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut: − Bahwa Sdr. Eddy Ondriwinata telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 27/Pailit/2002 PN Niaga Jkt. Pst tanggal
263
Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, Jilid 15, (Jakarta : PT. Tatanusa, 2003), h. 367-382
9 Oktober 2002, sehingga sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melakukan tugas pemberesan atas harta Debitor. − Bahwa antara Debitor pailit dengan Susanto Soetrisno telah terjadi hubungan pinjam uang dengan bunga 4,5% per bulan sehingga jumlah hutang pokok dan bunga sebesar Rp 1.400.000.000,- dengan jaminan 3 (tiga) lembar bilyet giro Bank Central Asia dan Debitor menjaminkan pula sebidang tanah dengan memberi kuasa kepada Susanto Soetrisno dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan Perumahan “Taman Permata Buana.” − Bahwa Susanto Soetrisno membuat surat pernyataan tidak akan melaksanakan kuasa tersebut sebelum tanggal 9 Januari 2003 yang dilegalisir oleh Notaris. − Bahwa Rudi Budi Satrio telah mengajukan permohonan pailit terhadap Eddy Ondrawinata yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 27/Pailit/2002/Pn Niaga Jkt.Pst. − Bahwa selaku Kurator yang ditunjuk dalam melaksanakan tugasnya Pemohon mendata kewajiban sebesar Rp 4.815.208,- dan harta Eddy Ondrawinata yang hanya berupa sebidang tanah “Taman Permata Buana” tersebut yang sudah diserahkan kepada Susanto Soetrisno sebagai jaminan pembayaran yang jatuh tempo tanggal 9 Januari 2003. − Bahwa tindakan debitor pailit menambah jaminan dan memberi kuasa kepada Susanto Soetrisno adalah tidak diwajibkan dan merugikan bagi para kreditor lainnya karena Susanto Soetrisno maupun debitor pailit mengetahui atau patut
megetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah di “Taman Permata Buana” satu-satunya harta pailit. − Bahwa sebenarnya tidak ada kewajiban atau keharusan bagi debitor pailit untuk melakukan kewajiban kepada Susanto Soetrisno sebelum tanggal 9 Januari 2003, dimana pada tanggal 26 Juli 20025 Susanto Soetrisno telah menggunakan Surat Kuasa, membuat dan menandatangi Surat Pemindahan Hak, Surat Persetujuan Pengalihan hak dan Surat Pernyataan Eddy Ondrawinata (debitor Pailit), yang seluruhnya ditandangani oleh Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Bahwa tindakan hukum debitor pailit yang menghapus hutang Susanto Soetrisno tersebut dilakukan kurang lebih 3 (tiga) bulan sebelum debitor dinyatakan pailit, sudah seharusnya dan sepatutnya debitor pailit dan Susanto Soetrisno mengetahui dan menyadari bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi para kreditor lainnya. Berdasarkan
alasan-salasan
tersebut
Pemohon
memohonkan
agar
pengadilan Niaga Jakarta Pusat memberi putusan yang pada pokonya sebagai berikut: − Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. − Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan yang dilegalisir Notaris, Surat Kuasa untuk mengurus dan untuk menjual sebidang tanah “Taman Permata Buana” yang dilegalisir oleh Notaris.
− Menyatakan batal dan tidak sah surat pemindahan hak atas bidang tanah di “Taman Permata Buana”, dan Surat Persetujuan Pengalihan dan Surat Pernyataan Debitor yang seluruhnya ditanda tangani Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Menyatakan sebidang tanah di “Taman Permata Buana” merupakan bagian dari harta pailit, dan menyatakan Pemohon selaku Kurator berhak mengalihkan harta pailit berupa sebidang tanah tersebut untuk pembayaran kewajiban debitor kepada para kreditornya. − Memerintahkan kepada Susanto Soetrisno untuk menyerahkan kepada Kurator asli Surat Perjanjian Pengikatan jual beli tanah dan bangunan “Taman Permata Buana” dan surat-surat yang berhubungan dengan tanah tersebut. Terhadap permohonan Pemohon tersebut Pengadilan Niaga Jakarta pusat telah mengambil putusan yakni Nomor 02/Actio Paulina/2003/PN Niaga Jkt.Pst yang amarnya antara lain sebagai berikut: − Menolak permohonan Actio Pauliana dari Pemohon. − Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut Pemohon telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan Nomor 022 K/N/2003 yang amarnya antara lain sebagai berikut: − Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 02/Actio Paulina/2003/PN Niaga Jkt.PSt. − Mengabulkan permohonan Pemohon sebahagian.
− Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan yang dilegalisir Notaris surat pemindahan hak atas bidang tanah di “Taman Permata Buana”, dan surat persetujuan pengalihan dan surat pernyataan debitor yang seluruhnya ditandatangani Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Menyatakan permohonan Pemohon selebihnya tidak dapat diterima. − Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara. Setelah putusan kasasi tersebut berkekuatan hukum tetap, kemudian Susanto Soetrisno telah mengajukan permohonan PK dengan alasan-alasan pada pokok-pokoknya sebagai berikut: − Bahwa Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum yang termuat dalam pertimbangan hukum putusan Yudex Yuris/Mahkamah Agung dengan alasan-alasan yang termuat dalam permohonan PK tersebut. Selanjutnya Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan dalam permohonan PK tersebut sebagai berikut: − Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena di dalam putusan Mahkamah Agung yang dimohonkan PK tersebut tidak terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 286 ayat (2) b Undang-Undang Kepailitan.
− Berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka permohonan PK yang diajukan oleh Susanto Soetrisno tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak. Untuk itu dalam tingkat PK Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan Nomor 013 PK/N/2003 tanggal 22 Desember 2003 yang amarnya pada pokoknya sebagai berikut: − Menolak permohonan PK yang diajukan oleh Susanton Soetrisno tersebut. − Menghukum permohon PK untuk membayar ongkos perkara. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PK/N/2003 jo. putusan Mahkamah Agung Nomor 022 K/N/2003 jo putusan Nomor 02/ Actio Pauliana/2003/PN Niaga Jkt.Pst., maka sebagai putusan yang berlaku dan berkekuatan hukum tetap adalah Putusan Kasasi tertanggal 10 September 2003 Nomor 022 K/N/2003, dimana sebagaimana tercantum dalam amar permohonan Actio Paulina dari Pemohon R. Astuti Sitanggang selaku Kurator debitor pailit Eddy Ondrawinata, telah dikabulkan untuk sebahagian.
C. Sifat Hukum Publik dari Hukum Kepailitan Ruang lingkup kepailitan sebenarnya adalah perdata, karena menyangkut tentang harta kekayaan seseorang atau suatu badan hukum dengan pihak lain (kreditor), namun bila dilihat dari karakternya yang harus rnelindungi kepentingan para kreditor dan pihak-pihak lainnya, maka disinilah terlihat sifat
hukum publik dari kepailitan. Jadi Hukum Kepailitan itu merupakan pertemuan antara Hukum Publik dan Hukum Perdata. Hukum publik itu sifatnya adalah erga omnes, berlaku untuk siapa saja, dimana saja dan kapan saja dan sifatnya memaksa dan tidak dapat dikesampingkan. Kepailitan mengandung sifat hukum publik karena setiap putusan pernyataan pailit harus diumumkan, tujuannya adalah agar setiap kreditor mengetahuinya, karena putusan pernyataan pailit berlaku terhadap semua kreditor walaupun bukan sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan atau PKPU yang bersangkutan. Banyak pihak yang berkepentingan dengan kepailitan si debitor, apa lagi bila si debitor merupakan perusahaan besar makin banyak kemungkinan kreditor yang mempunyai kepentingan dengan kepailitan si debitor tersebut. Selain kreditor juga pihak-pihak lain yang mungkin menjadi “stake holder” dari si debitor pailit. Karena begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan kepailitan si debitor, maka hal-hal yang menyangkut kepailitannya harus dapat diketahui secara terbuka oleh umum (publik). Dengan demikian harus ada caranya bagaimana agar publik dapat mengetahui setiap saat tentang proses yang menyangkut kepailitan si debitor sejak pendaftaran permohonan pernyataan pailit sampai kepada putusan yang mengabulkannya atau menolak permohonan tersebut baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun pada tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan PKPU dan proses negosiasinya, pengesahan perdamaian, pelaksanaan pengurusan dan atau pemberasan harta pailit oleh kurator rehabilitasi terhadap debitor pailit dan lain sebagainya adalah juga hal-hal harus yang diketahui oleh umum. UU Kepailitan
dan PKPU menekankan pentingnya sifat keterbukaan yakni memberikan sifat transparan terhadap hal-hal yang menyangkut kepailitan
dan PKPU kepada
publik (asas publisitas). Asas publisitas dalam Kepailitan dan PKPU dapat dilihat sebagai berikut : 1. Pemeriksaan dan Pengucapan Putusan Terbuka Untuk Umum Untuk menjamin transparansi publik, maka pemeriksaan dan pengucapan putusan pengadilan haruslah terbuka untuk umum. Menurut UU Kepailitan dan PKPU bahwa Hukum Acara yang berlaku dalam pelaksanaannya adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBG) kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang tersebut, 264
sehingga Pengadilan Niaga harus memberlakukan Hukum Acara
tersebut yang menentukan bahwa pemeriksaan dan pengucapan putusan pengadilan adalah dalam sidang yang terbuka untuk umum. Khusus dalam UU Kepailitan dan PKPU ditegaskan bahwa putusan pernyataan pailit baik di tingkat pertama, tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali haruslah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. 265 Sebagai akibat berlakunya asas publisitas dalam Kepailitan dan PKPU tersebut, maka berlaku adagium hukum : “Setiap orang dianggap mengetahui mengenai kepailitan seorang debitor”, adagium ini lebih luas dapat diberlakukan dengan pengertian: “Setiap orang dianggap rnengetahui tentang kepailitan seorang debitor, tentang perdamaian dalam rangka PKPU, tentang perdamaian setelah pernyataan pailit, tentang pencabutan kepailitan dan lain-lain lagi”. 266 2. Pengumuman dalam Berita Negara. 264
Pasal 299 UU Nomor 37 tahun 2004 Pasal 8 ayat (2) jo. Pasal 13 ayat (4) jo. Pasal 14 UU Nomor 37 Tahun 2004 266 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 189 265
Beberapa ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur mengenai pemuatan pengumuman mengenai hal-hal tertentu tentang kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan PKPU ada diatur bahwa setelah kurator dan hakim pengawas menerima salinan putusan pernyataan pailit, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kurator harus mengumumkan putusan tersebut dalam Berita Negera RI dan paling sedikit pada 2 (dua) Surat Kabar Harian yang ditetapkan olek hakim pengawas yakni ikhtisar putusan pernyataan pailit. 267 Dalam hal Kasasi dan Peninjauan Kembali, dimana putusan pernyataan pailit di batalkan, kurator wajib mengumumkan putusan itu dalam Berita Negara RI dan paling sedikit pada 2 (dua) Surat Kabar Harian. 268 Dalam hal pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka kepailitan berakhir dan kurator wajib mengumumkan perdamaian tersebut dalam Berita Negara RI dan paling sedikit pada 2 (dua) Surat Kabar Harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas. 269 Demikian juga dalam hal perdamaian dalam rangka PKPU apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian, maka debitor dinyatakan pailit atau bila pengesahan perdamaian tersebut oleh pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pengurus wajib mengumumkan pengakhiran PKPU ini. 270 Putusan PKPU sementara dan PKPU tetap juga harus diumumkan oleh Pengurus yang telah diangkat. 271 Tujuan dari pengumuman-pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama para kreditor
267
Ikhtisar putusan pernyataan pailit menurut pasal 15 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 memuat hal-hal : a. Nama, alamat dan pekerjaan debitor; b. Nama Hakim Pengawas ; c. Nama, alamat pekerjaan kurator; d. Nama, alamat dan pekerjaan anggota panitia kreditor sementara, apabila telah ditunjuk; e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor 268 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004. 269 Pasal 116 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004. 270 Pasal 288 UU Nomor 37 Tahun 2004. 271 Pasal 226 jo. Pasal 235 UU Nomor 37 Tahun 2004.
yang tidak turut sebagai pihak dalam permohonan pernyataan pailit atau PKPU tersebut sehingga konsekwensinya adagium “Setiap orang dianggap mengetahui” dapat diterapkan. 3. Pencatatan dalam Daftar Umum Untuk menjamin adanya transparansi publik dengan biaya ringan, UUK dan
PKPU
mewajibkan
Panitera
Pengadilan
Niaga
membuat
atau
menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat setiap perkara kepailitan secara tersendiri. 272 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi daftar umum tersebut akan ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. 273 Daftar umum tersebut harus memuat secara berurutan sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004. 274 Sebagaimana sifatnya daftar umum tersebut haruslah terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma. Menurut pengamatan peneliti dan hasil wawancara : sedang dirancang untuk tahun 2007 akan dioperasikan akses internet di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, sebagai hasil kerjasama antara US Aid dengan MARI, sehingga untuk pertengahan tahun 2007 di Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat sudah dapat memberi layanan informasi tentang perkara-perkara termasuk perkara Kepailitan
272
Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004. Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004. 274 Daftar umum/register perkara kepailitan dan PKPU harus memuat secara berurutan : a. Ikhrisar putusan pailit atau putusan pembatalan pernyataan pailit; b. Isi singkat perdamaian putusan pengesahannya; c. Pembatalan perdamaian; d. Jumlah pembagian dalam pemberesan; e. Pencabutan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18; f. Rehabilitasi; dengan menyebutkan tanggal masing-masing. 273
dan PKPU
275
, sedang di Mahkamah Agung telah tersedia Website :
www.mahkamah agung.go.id.
D. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kepailitan dan PKPU Menurut UU Kepailitan bahwa kepailitan itu me1iputi se1uruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. 276 Tapi terhadap ketentuan ini ada pembatasan atau pengecualian yaitu kekayaan debitor yang tidak diliputi oleh kepailitan yakni : benda-benda yang dibutuhkan oleh debitor dalam melaksanakan pekerjaannya, upah atas jabatan atau jasa, pensiun, uang tunjangan dan lain-lain. 277 Seluruh kekayaan debitor yang diliputi oleh kepailitan disebut dengan boedel pailit atau dalam UU Kepailitan dipakai istilah harta pailit. Harta pailit tersebut akan menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor, pendapatan penjualan benda-benda tersebut akan dibagi-bagi menurut keseimbangan, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 278 Dari pengertian tersebut berarti terhadap asas persamaan para kreditor bisa didapati penyimpangan-penyimpangan atas dasar adanya hak-hak yang didahulukan. Pasal 55 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan : dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
275
Wawancara dengan Agung Pramono, Kasubbag Umum PN Jakarta Pusat tanggal 24-
4-2007 276
Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 22 UU Nomor 37 Tahun 2004 278 Pasal 1132 KUPerdata 277
hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini berasal dari Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan Lama, yang hingga sekarang masih mengundang kontroversi karena banyak menimbulkan penafsiran, yang sebahagian menganggap bahwa benda yang dibebani hak jaminan adalah seakan-akan terpisah dari harta pailit. Hal ini tidaklah benar, karena peraturan per-undang-undangan berkenaan dengan hukum jaminan hanya memberikan hak kepada kreditor pemegang hak jaminan untuk mengambil pelunasan dari benda yang di atasnya diletakkan hak jaminan secara didahulukan dari pada kreditor lainnya, namun tidak berarti mengeluarkan benda tersebut dari harta pailit. UUK dan Kepailitan sendiri menganggap bahwa benda yang dibebani hak jaminan adalah bagian dari harta pailit, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 56 ayat (3) UUK dan Kepailitan dan Penjelasannya bahwa benda yang telah dibebani dengan hak jaminan atas kebendaan dalam harta pailit adalah merupakan bagian dari harta pailit, karena kurator dapat menggunakan bahkan menjual benda yang dibebani hak jaminan tersebut dalam rangka kelangsungan usaha debitor. Oleh karena itu kreditor pemegang hak jaminan hanya berhak untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan dari barang tersebut, sedang sisa dari pelaksanaan hak eksekusi tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit. Pada hakekatnya UU Kepailitan hanya mewajibkan kreditor untuk menangguhkan hak eksekusinya dan atau pihak ketiga untuk menangguhkan haknya untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit untuk paling lama 90 (sembilan puluh)
hari sejak putusan pernyataan pailit, 279 walaupun ada penangguhan eksekusi maupun hak menuntut tersebut tidak mengakibatkan mereka hehilangan hak untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan dari barang tersebut. Dari uraian Pasal 56 ayat (3)UU Kepailitan berkenaan dengan harta pailit harus diinterpretasikan meliputi segala benda milik debitor pailit termasuk di dalamnya segala sisa dari pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan, jadi harta pailit meliputi benda-benda yang diatasnya dibebankan hak jaminan, sehingga kepada kreditor pemegang hak jaminan tersebut hanya memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari pada kreditor lainnya. 280 Interpretasi ini menimbulkan kritik dari pihak lainnya yang memberi pendapat sebagai berikut : “Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta debitor yang telah dibebani dengan hak jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendisendi sistem hukum hak jaminan”. 281 Selama masa penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari, oleh Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan kurator diberikan kewenangan untuk menjual harta pailit terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current asset) yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitor. Kewenangan kurator ini pada prinsipnya bertentangan dengan keistimewaan yang diberikan kepada para kreditor separatis, karena “Apabila kurator menjual benda yang dibebani hak jaminan yang berada
279
Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004. Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, UU Kepailitan dan PKPU, Keberlakuan Pasal 56, Problem Hukum, Makalah, Varia Peradilan (No. 253 Desember 2006), h. 68. 281 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 288 280
dalam penguasaannya, maka kreditor pemegang hak jaminan tersebut tidak bisa lagi melaksanakan hak eksekusinya atas benda yang dijaminkan kepadanya. 282 Lembaga penangguhan hak eksekusi kreditor separatis ini diperlukan untuk mencegah agar pemberian PKPU tidak menjadi mubazir, hal mana mudah terjadi seandainya kreditor separatis dapat mengeksekusi hak-hak mereka sebagaimana hal itu dimungkinkan dalam UUK yang lama. 283 Tujuan penangguhan sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan adalah untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk mengoptimalkan harta pailit atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal ataupun untuk tidak sia-sianya pemberian PKPU, adalah masih bisa dianggap relevan, tetapi argumentasi tersebut tidak dapat membenarkan kewenangan kurator untuk menjual benda yang dibebani hak jaminan kebendaan karena bertentangan dengan tujuan mengoptimalkan harta pailit. 284 Kepailitan telah mengurangi hak-hak para kreditor separatis dalam mengeksekusi barang jaminan terhadap harta pailit dengan adanya penundaan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun dimungkinkan untuk mengajukan permohonan untuk mengangkat penangguhan kepada kurator bila mendapat penolakan dari kurator, permohonan dapat diajukan kepada Hakim Pengawas yang kemudian dalam memutuskan permohonan tersebut Hakim Pengawas harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan dalam Pasal 57 ayat (6) UU Nomor 37 Tahun 2004. 282
Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, op.cit, h. 69 Fred BG Tumbuan, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 288 284 Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, op.cit. h.72 283
Sebaliknya untuk melaksanakan hak eksekusinya tersebut kreditor separatis diberi limit yakni paling lama 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi, dan setelah lewat jangka waktu tersebut kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual tanpa mengurangi hak kreditor separatis tersebut atas hasil penjualan agunan dimaksud. Tidak konsistennya kedudukan kreditor separatis dalam Kepailitan akan mempengaruhi terhadap voting right para kreditor dalam mengambil suatu keputusan dalam rapat para kreditor baik dalam hal perdamaian setelah pernyataan pailit maupun perdamaian dalam rangka PKPU. Pasal 246 UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak kreditor separatis dan kreditor preferen dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya PKPU. Kedudukan kreditor separatis dalam perdamaian setelah pailit sangat berbeda dengan perdamaian dalam PKPU. Dalam perdamaian setelah pailit berarti sudah ada pernyataan pailit lebih dahulu, sehingga bila diajukan perdamaian oleh debitor, maka persetujuan atau penolakan (voting right) kreditor separatis tidak diperlukan kecuali kreditor separatis tersebut telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakan pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut, sehingga kreditor separatis berubah menjadi kreditor konkuren. 285 Dalam perdamaian dalam rangka PKPU, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, hak suara untuk
285
Pasal 149 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
menyetujui atau menolak rencana perdamaian tersebut tidak hanya berada pada kreditor konkuren, tapi juga ada pada kreditor separatis. 286 Ada 4 (empat) perbedaan penangguhan (stay) dalam Kepailitan dan PKPU: 1. Lamanya penundaan eksekusi dalam kepailitan adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak kepailitan ditetapkan, sedang dalam PKPU penundaan itu selama berlakunya PKPU yakni maximum 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. 2. Dalam kepailitan yang ditangguhkan eksekusinya adalah jaminan fidusia, pemegang gadai, hipotek atau hak anggunan atas kebendaan lainnya, kecuali tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan
utang,
sedang
dalam
PKPU
yang
ditangguhkan
eksekusinya adalah pemegang agunan sebagaimana tersebut dalam kepailitan di atas tetapi tidak dikecualikan tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak hak kreditor untuk memperjumpakan utang. 3. Da1am Kepailitan ditangguhkan eksekusi oleh pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, sedang dalam PKPU hak ini tidak ditangguhkan. 4. Dalam kepailitan hak eksekusi kreditor preferen tidak ditangguhkan, sedang dalam PKPU hak istimewa untuk didahulukan (preferen) turut ditangguhkan eksekusinya. Se1ama PKPU berlangsung hak-hak eksekusi para kreditor separatis dan kreditor preferen harus ditangguhkan. Tujuan dari penangguhan ini juga sebagaimana dalam keadaan pailit yakni untuk memperbesar kemungkinan 286
Pasal 281 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004.
tercapainya perdamaian dan mengoptimalkan harta debitor sehingga rencana perdamaian yang lebih dahulu ditujukan kepada seluruh kreditor konkuren dapat tercapai. Bila nantinya hasil eksekusi terhadap barang-barang jaminan itu tidak cukup membayar seluruhnya tagihan kreditor separatis, maka sisa utang itu oleh kreditor separatis tetap berhak rnemperoleh pelunasan atas sisa tagihannya dengan cara beralih kedudukan menjadi kreditor konkuren. Maka haknya sama dengan kreditor konkuren lainnya secara seimbang atau pari passu sesuai dengan perbandingan besarnya jaminan masing-masing utang dari para kreditor konkuren Pada dasarnya PKPU hanya berlaku pada para kreditor konkuren, tapi untuk seluruh hasil kesepakatan mengenai rencana perdamaian tetap mengikat seluruh para kreditor baik konkuren maupun separatis. Dalam pelaksanaan sidang juga harus dihadiri seluruh para kreditor karena kreditor separatis dan kreditor konkuren mempunyai hak suara (voting right) selama PKPU berlangsung. Kesepakatan mengenai rencana perdamaian hanya mempunyai arti apabila setiap kreditor terikat baik kreditor konkuren maupun kreditor separatis (pemegang hak jaminan). Apabila tidak setiap kreditor terikat dengan perdamaian yang tercapai maka kedudukan debitor dan kepentingan para kreditor yang terikat dengan perdamaian tersebut dapat dibahayakan oleh kreditor yang tidak terikat yaitu kreditor separatis. “Kreditor yang tidak terikat dengan perdamaian itu dapat mengajukan permohonan pailit dan apabila permohonan itu dikabulkan oleh pengadilan, maka perdamaian yang telah disepakati antara debitor dengan para
kreditor
konkuren
dan
sedang
berjalan,
implementasinya
akan
harus
dihentikan.” 287 E. Peranan Peradilan Niaga dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan dan PKPU Salah satu konsiderans Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh UU Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa Failliasements Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906 Nomor 348, sebagian besar tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu dilakukan perubahan. Bila ditinjau dari segi Hukum Acara maupun Hukum Materil, Faillissements Verordening tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian utang piutang. Sehingga telah dilakukan revisi atas kelemahan yang terdapat dalam Faillisements Verordening antara lain : 288 1. Tidak jelasnya time frame yang diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan, akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama. 2. Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui PKPU juga sangat lama yaitu memakan waktu 18 (delapan belas) bulan. 3. Apabila Pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitor dalam keadaan pailit. 4. Kedudukan kreditor masih lemah, umpamanya dalam hal pembatalan perbuatan debitor yang merugikan kreditor, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 (empat puluh) hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 jangka waktu tersebut diberikan sampai dengan 1 (satu) tahun. Pada waktu berlakunya Faillissements Verordening tersebut sengketa kepailitan dan PKPU termasuk kewenangan Pengadilan Negeri (bersifat umum)
287
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 328 Bismar Nasution et.al, Hukum Kepailitan (Diktat), Program Magister Kenotariatan PPS USU, 2003, h.8. 288
namun dengan adanya perubahan dan penambahan maupun revisi terhadap Faillissement Verordening maka kewenangan menangani sengketa kepailitan dan PKPU berubah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan umum. Pertama sekali telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998. Kedudukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipertegas pula dalam Pasal 306 UU Nomor 37 Tahun 2004 yakni tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. Selanjutnya berdasarkan Pasal 281 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 telah dikeluarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Semarang dan di Pengadilan Negeri Ujungpandang (Makasar) dan menetapkan wilayah hukum masing-masing Pengadilan Niaga tersebut sekaligus merubah wilayah hukum Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan perubahan di wilayah hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sebelumnya melingkupi seluruh wilayah R.I menjadi hanya wilayah : DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Lampung dan Propinsi Kalimantan Barat. Setelah berlakunya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, telah terjadi perubahan pandangan terhadap PKPU dalam hal pengajuannya tidak lagi berorientasi untuk mempailitkan si debitor, hal ini terlihat dari ketentuan :
1. Permohonan PKPU tidak hanya dapat diajukan oleh si debitor saja, tetapi juga dapat diajukan oleh pihak kreditor yang dalam hal ini akan lebih memungkinkan terjadinya perdamaian. 289 2. Proses beracara di Pengadilan Niaga sudah lebih cepat dalam memutus atau mengabulkan permohonan PKPU, dalam hal diajukan oleh si debitor hanya menentukan 3 (tiga) hari permohonan harus sudah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga sebagai PKPU sementara, 290 sedang dalam UU Nomor 4 Tanun 1998 tidak diberi batas waktu, hanya menyatakan pengadilan harus segera mengabulkan PKPU sementara. 291
F. Peranan Para Praktisi dalam Kepailitan dan PKPU Berhasil tidaknya suatu rencana perdamaian sangat tergantung pada peranan yang diberikan oleh para kreditor dalam menanggapi dan menyetujui rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor sehingga kesepakatan yang di peroleh antara kreditor dan debitor yang tertuang dalam draft perdamaian yang akan dijalankan menjadi kunci penting atas berhasilnya debitor dalam memenuhi kewajibannya kepada para kreditornya. Tetapi selain debitor dan para kreditor peranan pihak lain yaitu para praktisi sangat menentukan dalam upaya tercapainya suatu kesepakatan damai baik dalam kepailitan maupun dalam PKPU. Para praktisi tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Hakim Pengawas
289
Pasal 222 ayat (2), (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 225 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 291 Pasal 214 UU Nomor 4 Tahun 1998 290
Debitor pailit tidak dapat lagi menguasai dan mengurus kekayaannya, maka harus diangkat dan ditunjuk Kurator untuk mengurus dan menguasai kekayaan debitor yang dinyatakan pailit tersebut. Kurator juga perlu di awasi dalam melaksanakan tugasnya agar tidak menyalahgunakan kewenangannya atau untuk tidak melakukan hal-hal lain yang tidak diinginkan, untuk itu harus diangkat seorang Hakim Pengawas oleh Pengadilan Niaga. Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan Niaga. 292 Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis. 293 Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung, setelah memenuhi syarat-syarat : 294 a.
Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.
b.
Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
c.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, dan
d.
Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan Niaga. Seseorang yang ahli dapat diangkat sebagai hakim ad hoc baik pada
pengadilan niaga tingkat pertama, kasasi maupun pada tingkat peninjauan kembali berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Menjadi seorang hakim ad hoc syarat-syaratnya sama dengan persyaratan menjadi seorang hakim pengadilan niaga, kecuali syarat telah berpengalaman sebagai
292
Pasal 15 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 301 UU Nomor 37 Tahun 2004 294 Pasal 302 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 293
hakim dalam lingkungan peradilan umum tidak diperlukan. Seorang hakim pengadilan niaga dapat di angkat sebagai Hakim Pengawas yang ditunjuk berdasarkan putusan pernyataan pailit, yang tugasnya adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator. Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam Kepailitan dapat diuraikan sebagai berikut : 295 a. Mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. b. Memberikan pendapat kepada pengadilan (Hakim Majelis) sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. c. Mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan. d. Melimpahkan pemeriksaan saksi kepada pengadi1an yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi dalam hal saksi bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan yang memutus pailit. Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam rangka PKPU dapat diuraikan sebagai berikut : 296 a. Atas permintaan Pengurus, mendengar saksi atau memerintahkan pameriksaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU. b. Mengusulkan kepada pengadilan niaga tentang penggantian Pengurus atau penambahan pengurus. 297
295
Pasal 65 s/d 67 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 233 UU Nomor 37 Tahun 2004 297 Pasal 236 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 296
c. Mengangkat seorang ahli atau beberapa ahli untuk melakukan pemeriksaan tentang keadaan harta debitor dan menerima laporan dalam jangka waktu tertentu. 298 d. Memberi persetujuan terhadap pinjaman debitor terhadap pihak ketiga serta menganggunkan harta kekayaan debitor. 299 e. Memohonkan agar PKPU diakhiri dengan alasan debitor melakukan tindakan beritikad buruk dalam pengurusan hartanya, telah merugikan atau mencoba merugikan
kreditornya,
lalai
melaksanakan
tindakan-tindakan
yang
diwajibkan kepadanya oleh pengadilan niaga atau Pengurus demi kepentingan harta debitor, atau bila keadaan harta debitor tidak memungkinkan dilanjutkan PKPU atau debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya tarhadap kreditor pada waktunya. 300 Dalam hal Pengadilan Niaga menetapkan PKPU Sementara, wajib menunjuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta mengangkat satu atau lebih Pengurus yang bersama degan debitor mengurus harta debitor. 2.
Kurator Dalam putusan pernyataan pailit juga diangkat dan ditunjuk seorang
Kurator yang tugasnya adalah untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan terhadap harta pailit, karena degan adanya pernyataan pailit si debitor tidak dapat lagi menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Penunjukan Kurator ini adalah atas usul dari debitor maupun kreditor sedang kewenangan pengangkatannya
298
Pasal 238 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 240 ayat (4), (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 300 Pasal 255 UU Nomor 37 Tahun 2004 299
berada pada Pengadilan Niaga (Majelis Hakim). Kreditor maupun debitor masingmasing dapat mengusulkan lebih dari satu orang calon Kurator, namun Pengadilan Niaga akan memutuskan siapa dan berapa orang yang akan diangkat menjadi Kurator dalam suatu Kepailitan. Sebelum berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1998 yang menjadi Kurator hanya Balai Harta Peninggalan (BHP) saja, tetapi setelah berlaku UU Nomor 4 Tahun 1998 selain BHP dapat juga pihak lain bertindak sebagai Kurator yakni : 301 a.
Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan / atau membereskan harta pailit, dan
b.
Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Kurator dapat diganti sewaktu-waktu atas kehendak dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan penetapan pengadilan yakni : 302 a.
Atas permohonan Kurator sendiri.
b.
Atas permohonan Kurator lainnya, jika ada.
c.
Usul Hakim Pengawas, atau
d.
Permintaan Debitor Pailit.
Selain atas permohonan dan pihak-pihak tersebut, Pengadilan Niaga harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat kreditor dengan putusan yang
301 302
Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 67 A UU No. 4 Tahun 1998 Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (separuh) jumlah piutang kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. 303 Kurator yang diangkat haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor dan kreditor, yang dimaksud adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor atau kreditor dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang berbeda dari kepentingan ekonomis debitor atau kreditor. 304 Telah dianggap terjadi benturan kepentingan apabila terjadi antara lain hal-hal sebagai berikut : 305 a. Kurator menjadi salah satu kreditor. b. Kurator memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali atau dengan pengurus dari perseroan debitor. c. Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu perusahaan kreditor atau pada perseroan debitor. d. Kurator adalah pegawai, anggota direksi atau anggota komisaris dari salah satu perusahaan kreditor atau dari perusahaan debitor. Dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Kepailitan dapat dikemukakan beberapa tugas-tugas dan wewenang Kurator sebagai berikut : a. Melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.306 b. Mengumumkan putusan Hakim tentang pernyataan pailit dalam Berita Negara dan surat kabar yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 307
303
Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 15 ayat (3) dan Penjelasannya 305 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 213 306 Pasal 16 (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 307 Pasal 15 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 304
c. Melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya. 308 d. Meminta penyegelan harta pailit kepada Pengadilan Niaga dengan alasan untuk mengamankan harta pailit dengan melalui Hakim Pengawas. 309 e. Membuat pencatatan harta pailit termasuk surat, dokumen, uang dan perhiasan, efek dan surat berharga lainnya. Pencatatan (inventarisasi) ini dapat dilakukan di bawah tangan dengan persetujuan Hakim pengawas. 310 f. Menyusun daftar utang dan piutang harta pailit, jumlah piutang masingmasing kreditor. 311 g. Melanjutkan usaha debitor pailit atas persetujuan panitia Kreditor sementara, bila panitia kreditor tidak ada diangkat maka untuk melanjutkan usaha debitor tersebut Kurator harus memerlukan izin dari Hakim Pengawas. 312 h. Membuka surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitor pailit, sedang surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit harus diserahkan kepada debitor pailit. 313 i. Menerima pengaduan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit. 314 j. Memberikan sejumlah uang yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas untuk biaya hidup debitor pailit dan keluarganya. 315 k. Mengalihkan harta pailit sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atas persetujuan Hakim Pengawas. 316
308
Pasal 98 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 99 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 310 Pasal 100 ayat (1), (2), Pasal 101 ayat (1) UU Nomor 37/2004 311 Pasal 102 UU Nomor 37 Tahun 2004 312 Pasal 104 ayat (1), (2), Pasal 101 ayat (1) UU Nomor 37/2004 313 Pasal 105 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 314 Pasal 105 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 315 Pasal 07 UU Nomor 37 Tahun 2004 309
l. Menyimpan uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnya, kecuali bila oleh Hakim Pengawas ditentukan lain. 317 m. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara, yakni setelah meminta saran dari panitia kreditor sementara dan dengan izin dari Hakim Pengawas. 318 n. Memanggil debitor untuk memberikan keterangan yang diperlukan oleh Hakim Pengawas, panitia kreditor dan Kurator. 319 o. Memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. 320 p. Melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. 321 q. Menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan, laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum. 322 Kurator mempunyai dua kewajiban hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kewajiban tersebut adalah : a. statutory duties, yaitu kewajibankewajiban yang ditentukan oleh Undang-undang; b. fiduciary duties atau ficuciary obligations yang diemban oleh Kurator karena Kurator memiliki fiduciary relationships terhadap : 323
316
Pasal 108 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 109 UU Nomor 37 Tahun 2004 318 Pasal 110 UU Nomor 37 Tahun 2004 319 Pasal 110 UU Nomor 37 Tahun 2004 320 Pasal 146 UU Nomor 37 Tahun 2004 321 Pasal 69 b UU Nomor 37 Tahun 2004 322 Pasal 74 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 323 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 224-225 317
a. Pengadilan, yang dalam UU Kepailitan Indonesia diwakili oleh Hakim Pengawas. b. Debitor. c. Para Kreditor d. Para Pemegang Saham. Dengan adanya fiduciary relationships ini maka Kurator akan mengemban kepercayaan dari pengadilan, debitor, para kreditor dan para pemegang saham untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan pihakpihak tersebut karena dengan demikian kurtor bertanggung jawab kepada pihakpihak tersebut. “Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak” 324 3.
Pengurus Dalam hal permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor maupun
kreditor, Pengadilan Niaga harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus pula menunjuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor. 325 Dengan diangkatnya seorang, atau lebih Pengurus, maka dengan sendirinya kekayaan debitor berada di bawah pengawasan Pengurus. Debitor hanya dapat melakukan tindakan pengurusan dan pengalihan atas kekayaannya apabila mendapat persetujuan dari pengurus. Tindakan debitor yang dilakukannya tanpa persetujuan Pengurus tidak akan mengikat harta kekayaan tersebut.
324 325
Ibid h.225 Pasal 225 ayat (2), (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pengurus yang diangkat haruslah independen dan tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan debitor atau kreditor.326 Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah : 327 a.
Orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Pepublik Indonesia. yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitor, dan
b.
Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor. 328 Pertanggung jawaban Pengurus atas kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor akan didasarkan pada prinsip fiduciare duty. Kreditor ataupun pihak-pihak yang dirugikan dapat menggugat Pengurus bila dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan harta kekayaan debitor berkurang nilainya. Tanggung jawab Pengurus ini bukan hanya terhadap kerugian harta debitor akibat perbuatan yang disengaja saja tapi juga terhadap kerugian yang timbul karena kelalaian Pengurus. Namun tugas utama Pengurus adalah bersama-sama dengan debitor mengurus kepentingan si debitor mengenai harta bendanya, artinya bahwa debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya tanpa persetujuan dari Pengurus.
326
Pasal 234 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 234 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 328 Pasal 234 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 327
Imbalan jasa Pengurus besarnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri yang lingkup tugas dan tangung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yakni setelah PKPU berakhir dan harus dibayar lebih dahulu dari harta debitor.329 Untuk itu telah dikeluarkan Kep. Men. Keh. R.I Nomor MH 09 HT. 05 10 THN. 1998 Tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus. Ada kalanya Pengurus diangkat lebih dari satu, sehingga untuk melakukan tindakan yang sah dan mengikat diperlukan persetujuan lebih dari 1/2 (setengah) jumlah Pengurus, dan apabila suara setuju dan tidak setuju sama banyaknya, tindakan yang sah dan mengikat dari Pengurus harus memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. 330 Setiap waktu Pengadilan dapat mengabulkan usul penggantian Pengurus setelah memanggil dan mendengar Pengurus dan mengangkat pengurus lain dan atau mengangkat pengurus tambahan berdasarkan a.
Usul Hakim Pengawas
b.
Permohonan Kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan apabila didasarkan atas persetujuan lebih dari 1/2 (setengah) jumlah Kreditor yang hadir dalam rapat kreditor
c.
Permohonan Pengurus sendiri, atau
d.
Permohonan Pengurus lainnya, jika ada. 331 Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitor untuk setiap 3 (tiga)
bulan, dan laporan tersebut harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga
329
Pasal 234 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 236 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 331 Pasal 236 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 330
agar dapat dilihat setiap orang, bila ada masyarakat yang menginginkan untuk memperolehnya boleh dengan cuma-cuma. Jangka waktu pelaporan tersebut dapat diperpanjang oleh Hakim Pengawas. 332 Ketentuan jangka waktu 3 (tiga) bulan pelaporan tersebut tidak terlalu ketat, dalam hal ini bila Pengurus menganggap jangka waktu tersebut terlalu singkat dengan alasan keadaan keuangan debitor yang begitu rumit, maka Pengurus dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pengawas agar jangka waktu pelaporan tersebut diperpanjang. Pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal berdasarkan perintah Pengadilan Niaga setelah putusan PKPU Sementara diucapkan agar hadir dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari Ke-45 (empat puluh lima) sejak putusan PKPU Sementara di ucapakan. Dalam hal debitor tidak hadir dalam sidang tersebut maka PKPU Sementara berakhir dan Pengadilan Niaga harus menyatakan debitor pailit dalam sidang itu juga. 333 Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara RI dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang ditentukan tersebut juga nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat Pengurus. Apabila Rencana Pendamaian sudah diajukan sebelum putusan PKPU Sementara diucapkan, maka hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang ditentukan. 334
332
Pasal 239 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 225 ayat (4), (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 334 Pasal 226 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 333
4.
Peranan Ahli Apabila PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu
atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 335 Ahli yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah dalam rangka menerapkan asas due diligence, karena dengan melakukan pemerikasan secara menyeluruh dan tuntas dapat mengetahui keadaan sebenarnya dari harta debitor. Selanjutnya dapat diperoleh penilaian yang akurat apakah harta debitor memungkinkan untuk melakukan penawaran-penawaran dalam rencana perdamaian yang diajukan debitor. Ahli sangat berperan dalam mewujudkan asas due diligence ini karena keadaan debitor dapat diketahui secara rinci tentang utang piutang perusahaan sekaligus mengaudit keuangan perusahaan si debitor melalui tenaga akuntan. Konsultan hukum sangat diperlukan tenaganya untuk meneliti kedudukan perusahaan Debitor dari segi hukum baik yang berkaitan dengan hubungan perusahaan debitor dengan perusahaan induk, atau untuk kemungkinan melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi. Seberapa banyak ahli dan jenis keahlian yang diperlukan tergantung daripada permasalahan yang mungkin ditemukan dalam suatu perusahaan debitor yang sedang tidak sehat tersebut. Seorang ahli yang spesifik pengetahuannya dapat diangkat untuk mengetahui secara tehnis permasalahan demi untuk terwujudnya keterbukaan dalam mendapatkan keadaan sebenarnya dari perusahaan debitor. Semua laporan tentang keberadaan harta debitor dan
335
Pasal 238 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
perhitungan keuangan dan hal-hal lain yang perlu, dilakukan dan disusun oleh ahli dengan bekerja sama dengan debitor dan Pengurus. PKPU diajukan oleh debitor ataupun kreditor adalah pada saat posisi debitor sedang dalam keadaan genting karena ancaman kepailitan sudah mendesak. Sehingga bila debitor hendak mengajukan rencana perdamaian dan tahap-tahap pelaksanaannya perdamaian itu hingga diperoleh PKPU Tetap, ada hal yang perlu dilakukan debitor yakni melaksanakan “prinsip-prinsip keterbukaan” dari pihak debitor tentang keadaan perusahaannya. Keterbukaan informasi ini akan menentukan apakah kreditor akan menyetujui atau menolak proses perdamaian yang ditawarkan. Hal-hal yang ditawarkan dalam rencana perdamaian dengan adanya keterbukaan informasi, lebih memungkinkan tercapainya suatu kesepakatan yang mengarah kepada reorganisasi yang lebih luas cakupannya. Dalam prinsip keterbukaan ini ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi tujuan yakni : 336 a. Keterbukaan itu berguna untuk memungkinkan kreditor untuk melakukan atau tidak melakukan pembayaran yang telah dilakukan kepada kreditor lainnya, kepada insider atau kepada teman-teman debitor. b. Informasi itu memungkinkan kreditor mengambil sikap terhadap rencana atau usulan reorganisasi atau likuidasi. c. Yang paling penting adalah keterbukaan tersebut memungkinkan kreditor melakukan tawar-menawar terhadap rencana dan keputusan akhir, apakah menyetujui atau menolak rencana tersebut. Sebagian besar keputusan kreditor untuk menerima atau menolak rencana perdamaian bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut : 337 a. Apakah rencana feasible b. Seberapa besar nilai (kalau ada) yang diberikan rencana tersebut kepada kreditor. c. Apakah kreditor menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai yang tersedia 336
David G. Epstein et.al dalam Bismar Nasution et.al., Hukum Kepailitan, Program Magister Kenotariatan, PPS USU 2003, h. 139 337 Marks Scarberry et.al. dalam Bismar Nasution et.al. ibid. h. 139
d. Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima Kreditor sangat membutuhkan keterbukaan informasi yang relevan dan tepat untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga para kreditor setelah memperoleh jawabannya dapat memberikan penilaian terhadap rencana perdamaian yang ditawarkan itu. Debitor maupun para kreditor sangat membutuhkan ahli dalam melaksanakan dan mewujudkan asas due diligence maupun prinsip keterbukaan ini, karena peranan ahli di bidang tertentu dan spesifik dapat merubah keadaan yang tidak kondusif ke arah perdamaian menjadi diterimanya rencana itu dengan adanya persetujuan antara debitor dengan para kreditor setelah memperoleh masukan dari para ahli. Dalam melaksanakan Studi Kelayakan dan menyusun laporannya, pembagian tugas di antara Tim Konsultan Ahli dapat ditentukan sebagai berikut : 338 a. Kantor Akuntan Publik menangani aspek keuangan dari perusahaan debitor dan para penjamin utang debitor b. Kantor konsultan hukum menangani aspek hukum dari perusahaan debitor dan para penjamin utang debitor. c. Kantor konsultan manajemen keuangan dan bisnis menangani aspek menajemen dan aspek bisnis dari perusahaan debitor. d. Perusahaan penilai (appraisal company) melakukan penilaian terhadap aset perusahaan debitor dan aset dan para penjamin utang debitor.
5. Peranan Penasihat Hukum (Advocat) Advokat sangat besar peranannya dalam proses kepailitan maupun PKPU. Permohonan pernyataan pailit atau PKPU tidak dapat diajukan oleh kreditor ataupun debitor sendiri, permohonan tersebut harus diajukan oleh seorang 338
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 372-373
Advokat. 339 Tindakan-tindakan kreditor maupun debitor yang harus dilakukan olen advokatnya adalah dalam hal-hal sebagai berikut : a. Dalam Kepailitan 1) Mengajukan permohonan persyaratan pailit kepada Ketua Pengadilan, baik sebagai Kuasa Kreditor atau Kuasa debitor 340 2) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, sebagai kuasa kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk : a) meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh harta debitor atau b) menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor dan tugas-tugas lain yang merupakan wewenang kurator. 341 3) Mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pernyataan pailit dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. 342 4) Menyerahkan atau menyampaikan memori kasasi (Pemohon) kontra memori kasasi (Termohon) kepada Panitera Pengadilan. 343 5) Meminta pembatalan hibah yang dilakukan debitor kepada Pengadilan yang merupakan hak kreditor, apabila dapat membuktikan bahwa pada saat hibah dilakukan debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan itu akan mengakibatkan kerugian bagi kredior. 344
339
Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 mendefinisikan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Syarat untuk dapat diangkat sebagai advokat ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut 340 Pasal 6 UU Nomor 37 Tahun 2004 341 Pasal 10 UU Nomor 37 Tahun 2004 342 Pasal 11 UU Nomor 37 Tahun 2004 343 Pasal 12 UU Nomor 37 Tahun 2004 344 Pasal 43 UU Nomor 37 Tahun 2004
6) Mengajukan permohonan eksukusi dari kreditor dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang ada pada debitor pailit atau kurator terutama terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. 345 7) Mengajukan permohonan kepada kurator mewakili kreditor atau pihak ketiga untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan eksekusi. 346 8) Mengajukan perlawanan kepada Pengadilan terhadap Penetapan Hakim Pengawas yang menolak mengangkat penangguhan atau mengubah syarat dan penangguhan eksekusi. 347 9) Mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan (Hakim Pengadilan Niaga) terhadap semua Penetapan Hakim Pengawas kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 68 ayat (2). 348 10) Mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan yang menolak maupun yang mengabulkan pengesahan perdamaian. 349 11) Mengajukan tuntutan pembatalan perdamaian. 350 12) Mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap harta kekayaan orang meninggal dunia. 351 13) Mengambi1 pelunasan seluruh atau sebagian utangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang berada di luar wilayah negara RI. 352 345
Pasal 56 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 57 UU Nomor 37 Tahun 2004 347 Pasal 58 UU Nomor 37 Tahun 2004 348 Pasal 68 UU Nomor 37 Tahun 2004 349 Pasal 161 UU Nomor 37 Tahun 2004 350 Pasal 171 UU Nomor 37 Tahun 2004 351 Pasal 207 UU Nomor 37 Tahun 2004 346
b. Dalam PKPU 1) Permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitor maupun kreditor ditanda tangani oleh yang bersangkutan dan Advokatnya yang diajukan kepada Pengadilan Niaga. 353 2) Memperjumpakan utang piutang asalkan utang piutang tersebut atau perbuatan hukum yang menimbulkan utang piutang dimaksud telah terjadi sebe1um PKPU. 354 3) Mengakhiri PKPU atas permintaan dari Kreditor dengan alasan adanya perbuatan-perbuatan debitor yang merugikan pihak kreditor. 355 4) Mengajukan permohonan Kasasi, menyerahkan/menyampaikan memori kasasi, kontra memori kasasi dan mengajukan PK kepada Pengadilan melalui Panitera terhadap putusan pengakhiran PKPU. 356 5) Sebagai kuasa dari debitor mengajukan permohonan pencabutan PKPU dengan alasan bahwa harta debitor telah memungkinkan melakukan pembayaran kembali dengan terlebih dahulu mendengar Pengurus dan Kreditor. 357 6) Sebagai kuasa debitor maupun kuasa kreditor yang mendukung rencana perdamaian meminta kepada Pengadilan untuk memperbaiki Risalah Rapat
352
Pasal 212 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 224 UU Nomor 37 Tahun 2004 354 Pasal 247 UU Nomor 37 Tahun 2004 355 Pasal 255 UU Nomor 37 Tahun 2004 356 Pasal 256 UU Nomor 37 Tahun 2004 357 Pasal 259 UU Nomor 37 Tahun 2004 353
karena berdasarkan dokumen yang ada tersebut oleh Hakim Pengawas keliru telah dianggap sebagai ditolak. 358 7) Sebagai kuasa Kreditor ataupun kuasa debitor menyetujui atau menolak pengesahan perdamaian dengan mengemukakan alasan-alasannya dan menghadiri persidangan pengesahan perdamaian yang diselenggarakan oleh Pengadilan. 359 8) Sebagai
kuasa
kreditor
mengajukan
permohonan
Pembatalan
suatu
Perdamaian yang telah disahkan oleh pengadilan apabi1a debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut, dan terhadap putusan atas tuntutan pembatalan ini dapat diajukan upaya Kasasi maupun Peninjauan Kembali. 360 9) Bila rencana perdamaian telah ditolak dan oleh Hakim Pengawas te1ah melaporaan hasil rapat tentang penolakan itu kepada Pengadilan, maka Pengadilan harus menyatakan debitor pailit, dan terhadap Putusan pernyataan pailit tersebut kuasa dari masing-masing kreditor maupun debitor dapat mengajukan upaya Kasasi maupun Peninjauan Kembali terhadap putusan tersebut. 361
358
Pasal 283 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 284 UU Nomor 37 Tahun 2004 360 Pasal 291 jis. Pasal 170, pasal 171 UU Nomor 37 Tahun 2004 361 Pasal 289 jo. Pasal 290 UU Nomor 37 Tahun 2004 359
G. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan PKPU 1. Proses dan Manfaat PKPU Permohonan PKPU dapat terjadi karena pengajuan dari debitor sendiri dengan inisiatifnya untuk mohon penundaan pembayaran utang, tetapi dapat juga terjadi diajukan oleh debitor sebagai tangkisan terhadap permohonan pailit yang telah diajukan oleh kreditor terhadap si debitor. Sebagai ketentuan hukum acara yang baru dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 (UU Kepailitan), kreditor diberi hak untuk langsung mengajukan PKPU terhadap debitornya, jadi inisiatif ada pada kreditor dengan harapan masih dapat dilakukan negosiasi terhadap si debitor untuk menyelesaikan utang piutang tanpa perlu mengajukan pailit. Dari segi hukum acara, permohonan PKPU dapat dikategorikan sebagai berikut: a. PKPU murni (Voluntary Petition), diajukan oleh debitor sebagai permohonan tanpa menarik pihak lain (kreditor) sebagai Termohon. Inisiatif berperkara berada pada debitor. Permohonan PKPU ini bersifat imperatif artinya setiap ada permohonan PKPU murni, pengadilan niaga wajib mengabulkannya dalam 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU tersebut sebagai PKPU sementara untuk paling lama 45 (empat puluh lima) hari. 362 b. PKPU tidak murni (Involuntary Petition), diajukan oleh debitor sebagai tangkisan atau counter terhadap permohonan pailit yang diajukan olen kreditor terhadap si debitor. Inisiatif berperkara ada pada kreditor. Permohonan ini harus diputuskan lebih dahulu dari permohonan pailit yang
362
Pasal 222 ayat (1), (2) jo. Pasal 225 ayat (2), (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
diajukan oleh kreditor. 363 Setelah adanya permohonan pailit dari kreditor, debitor sendiri harus memanfaatkan moment atau kesempatan ini mengajukan PKPU sebagai upaya menghindar dari upaya pailit dari kreditor tresebut. Kesempatan ini sangat baik untuk menegosiasikan penyelesaian utang dengan para kreditor karena PKPU sementara (maksimum 45 hari) wajib dikabulkan oleh Pengadilan Niaga dan masih diberi kesempatan maksimum 270 (dua ratus tujuh puluh) hari untuk memperoleh PKPU tetap. c. PKPU diajukan kreditor, apabila kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat mengajukan PKPU untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian, 364 jadi inisiatif juga berada pada kreditor yang tujuannya cenderung untuk memberikan kesempatan pada debitor untuk menyelesaikan utangnya kepada para kreditornya melalui negosiasi yang diwujudkan dalam rencana perdamaian. Pengajuan PKPU dengan inisiatif murni dari kreditor ini baru diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 (UU Kepailitan), dan sebelumnya tidak dikenal dalam UU Nomor 4 Tahun 1998. Dalam pratek Pengadilan Niaga, permohonan PKPU baik karena diajukan sebagai PKPU murni maupun PKPU tidak murni, cenderung mengabulkan permohonan PKPU tersebut daripada menolaknya karena Undang-undang mengharuskan atau mewajibkan pengadilan niaga mengabulkan PKPU sementara dan bila memenuhi syarat akan diberikan PKPU tetap. Setelah diberlakukannya UU Nomor 37 Tahun 2004, berdasarkan Pasal 222 ayat (3) dimana kreditor telah diberi hak untuk mengajukan PKPU terhadap debitornya, di Pengadilan Niaga Semarang telah diajukan permohonan PKPU
363 364
Pasal 229 ayat (3), (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 222 UU ayat (3) Nomor 37 Tahun 2004
oleh kreditor yang terdaftar sebagai perkara Nomor 01/PKPU/2005/PN.Smg. Dalam perkara ini PT. Plasticom Trijaya dkk. sebagai para kreditor (Pemohon) te1ah mengajukan PKPU terhadap PT. Hadikusumo Bros Coy sebagai debitor (Termohon). Dalam Putusan perkara tersebut pada tanggal 1 September 2005 telah dinyatakan Permohonan PKPU dari Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Utang Termohon tidak jelas kapan jatuh tempo dan dapat ditagih, karena jatuh waktu cheque dan bilyet giro tidak dapat dijadikan sebasai dasar jatuhnya waktu utang Termohon. Dari pertimbangan tersebut Hakim Pengadilan Niaga Semarang akhirnya memutuskan bahwa Permohonan Pemohon belum memenuhi syarat utang telah jatuh waktu, sehingga Permohonan Pemohon haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Permasalahan yang timbul dalam PKPU ini adalah bilamana permohonan ini diajukan oleh debitor yang tidak mempunyai prospek lagi, sehingga maksud debitor hanya mengulur-ulur waktu saja dengan itikad tidak baik. Undang-undang tidak mengatur kriteria rinci bagi perusahaan sebagai debitor dalam mengajukan permohonan PKPU ini, sehingga celah hukum ini telah dimanfaatkan oleh debitor sebagai perusahaan yang tidak kooperatif dan ingin mengulur-ulur waktu untuk membayar utangnya dengan cara mengajukan permohonan PKPU. Dimungkinkan juga dari pihak kreditor yang mengajukan permohonan PKPU terhadap debitor bilamana kreditor itu sendiri beritikad tidak baik dengan bersekongkol dengan debitor untuk mengulur waktu pembayaran utang debitor kepada para kreditor lainnya.
Bila permohonan PKPU dikabulkan oleh pengadilan, maka pengadilan akan menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus, selanjutnya oleh Pengurus diadakan rapat kreditor dan rapat verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas. Dalam rapat tersebut juga dibahas tentang Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor. Pada umumnya dalam rencana perdamaian, debitor akan memohon kepada kreditor untuk merestrukturisasi utang-utangnya. Undang-undang kepailitan tidak mengatur secara jelas mengenai restrukturisasi utang dan juga tidak diisyaratkan adanya pendapat dari para ahli, sehingga kreditor buta tentang keberadaan dan kemampuan debitor yang menawarkan restrukturisasi utangnya dalam rencana perdamaian. Kreditor tidak mengetahui secara pasti keadaan debitor, akibatnya debitor yang tidak beritikad baik bisa saja mengajukan rencana perdamaian dan diterima oleh kreditor, dan sebaliknya debitor yang beritikad baik dan perusahaannya masih going concern yang mempunyai prospek, malah rencana perdamaian yang diajukannya ditolak oleh kreditor yang mengakibatkan perusahaan debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi. Ada 2 (dua) jenis utama restrukturisasi yaitu: a. Restrukturisasi Finansial, b. Restrukturisasi Operasional. Dalam praktek PKPU, restrukturisasi yang dimaksud adalah restrukturisasi finasial atau restrukturisasi utang. Jenis-jenis Restrukturisasi Utang yang dimohonkan oleh debitor dalam Rencana Perdamaian adalah sebagai berikut : 365 1) Penundaan (moratorium) pembayaran kepada kreditor 2) Syarat bunga pinjaman yang lunak
365
Syamsudin M. Sinaga, et.al. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang pada PKPU, (Jakarta: BPHN Depkeh.&HAM, 2000), h. 20
3) Penjadwalan kembali pembayaran pokok pinjaman 4) Konversi utang menjadi modal 5) Penempatan modal baru atau perolehan pinjaman 6) Penghapusan utang. Bilamana Rencana Perdamaian yang isinya berupa restrukturisasi utang diterima atau disetujui para kreditor, maka rencana perdamaian tersebut berubah menjadi Perdamaiaan atau Perjanjian Perdamaian maka perjanjian ini harus mendapat pengesahan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga. Pengesahan ini dapat ditolak oleh Pengadilan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut : 366 1) Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin 3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan salah satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain berkerja sama untuk mencapai hal ini, dan/atau 4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya. Apabila Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian tersebut, maka dalam putusan itu juga pengadilan harus menyatakan debitor pailit. 367
366 367
Pasal 285 (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 285 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
Terhadap putusan pernyataan pailit ini tidak berlaku upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan Kembali. 368 Ketentuan tentang tidak dapatnya diajukan upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan Kembali terhadap putusan pernyataan pailit tersebut ada pendapat yang menyatakan :“Ketentuan yang demikian dirasakan tidak adil, sebab dalam perkara pailit saja apabila debitor perusahaan dinyatakan pailit, maka terhadap putusan pailit tersebut masih dapat diajukan upaya hukum kasasi. Semestinya apabila pengesahan perdamaian ditolak oleh Pengadilan Niaga, maka debitor perusahaan tersebut jangan langsung dinyatakan pailit, tetapi ditunggu sampai penolakan pengesahan perdamaian itu berkekuatan hukum tetap, karena terhadap putusan yang demikian dapat diajukan upaya hukum” 369 Debitor memohonkan PKPU tujuannya adalah sebagai berikut : 370 a. Ingin agar utangnya direstrukturisasi, dalam hal ini manfaat dari restrukturisasi utang lewat PKPU ini yaitu : 1) Bermanfaat bagi kreditor karena pelaksanaannya diawasi oleh pengadilan. 2) Bermanfaat bagi debitor karena restrukturisasi utang ini tidak memerlukan persetujuan semua kreditor, tetapi cukup persetujuan dari sebagian besar kreditor yang hadir dalam rapat kreditor b. Sebagai upaya melawan kepailitan, yakni melawan permohonan pailit yang telak diajukan para kreditornya, jika diajukan PKPU padahal 368
Pasal 290 UU Nomor 37 Tahun 2004 Syamsudin M. Sinaga et.al. op.cit. h.21-22 370 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001), 369
h.83
permohonan pailit telah dilakukan maka hakim harus mengabulkan PKPU dalam hal ini untuk jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari dan sementara gugatan pailit gugur demi hukum. PKPU pada dasarnya hanya berlaku pada para kreditor konkuren walaupun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal 222 ayat (2) UU Nomor 37 tahun 2004 sebagaimana halnya pada Pasal 212 UU Nomor 4 tahun 1998 yang menegaskan debitor pemohon PKPU dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun Pasal 244 UU Nomor 37 tahun 2004 menegaskan, dengan tetap merperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap : 1) Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya 2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan, dan 3) Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada haruf b. Dengan demikian seluruh pemegang hak-hak jaminan yang memperoleh kedudukan didahulukan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik (kreditor separatis) adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang terhadapnya
tidak berlaku PKPU. Tidak berlakunya PKPU ini terhadap para kreditor separatis disebabkan oleh karena piutang para kreditor ini telah dijamin oleh hak-hak kebendaan, jadi pembayarannya sudah lebih pasti. Hanya saja dalam Pasal 229 UU Nomor 37 Tahun 2004 dinyatakan, dalam pemberian PKPU pengadilan menetapkannya bila telah memperoleh persetujuan lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kreditor separatis yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dan seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang. Jadi dalam UU Nomor 37 lahun 2004 disyaratkan adanya persetujuan dari kreditor separatis agar pengadilan menetapkan PKPU tersebut, sedang dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 persetujuan itu hanya diperlukan dari kreditor konkuren. PKPU pada hakekatnya bertujuan untuk mengadakan perdamaian diantara debitor dengan para kreditor. Untuk mewujudkan perdamaian ini debitor membuat satu konsep perdamaian yang akan ditawarkan kepada pihak kreditor. Bila rencana/konsep perdamaian ini disetujui oleh para kreditor, maka perusahaan debitor masih dapat berjalan terus sesuai dengan kesepakatan yang tercapai dalam Perdamaian tersebut. Perdamaian dalam PKPU sangat jauh berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan. Dalam PKPU, debitor masih diberi kewenangan mengurus kegiatan perusahaan bersama-sama dengan pengurus yang ditunjuk, sedang dalam kepailitan pemberesan harta pailit sepenuhnya dilakukan oleh kurator. Perdamaian dalam PKPU memungkinkan cakupan yang lebih luas hingga restrukturisasi, sehingga pembayaran utang debitor kepada para kreditornya bisa dibayarkan penuh tergantung pada isi kesepakatan dalam perdamaian yang telah
dihomologasi oleh Pengadilan Niaga, sedang dalam Akkord cakupannya hanyalah sebatas harta pailit tersebut. Utang Debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila:371 1). Perusahaan Debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila perusahaan Debitor diberi penundaan pelunasan utang atau utang-utang tersebut dalam jangka waktu tidak melebihi jangka waktu tertentu, baik dengan atau tanpa diberi keringanan-keringanan persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru. Prakarsa Jakarta atau The Jakarta Inisiative, menentukan jangka waktu itu tidak lebih dari 8 (delapan) tahun. 2) Selain hal tersebut di atas, utang Debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi daripada apabila perusahaan Debitor dinyatakan pailit, atau 3) Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturisasi menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditor daripada apabila tidak dilakukan restrukturisasi. Tercapainya kesepakatan perdamaian dalam PKPU sangat bermanfaat bagi debitor dan bagi para kreditor, beberapa manfaat tersebut antara lain : 1) Memberikan kesempatan pemulihan usaha debitor Permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor yang dilampiri dengan Rencana Perdamaian, jika rencana perdamaian tersebut telah disepakati oleh para kreditor, maka terbukalah kesempatan bagi debitor untuk memulihkan usahanya untuk terhindar dari pailit/insolvent. Debitor akan mendapat kesempatan untuk
371
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.367
menata kembali usahanya berdasarkan potensi baru karena ada penjadwalan kembali utang (rescheduling) atau tambahan modal baru (rekapitalisasi), sehingga modal tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan kembali roda perusahaan. Mekanisme kepengurusan adalah si debitor harus didampingi oleh pengurus yang ditunjuk oleh pengadilan untuk bersama-sama melakukan kegiatan pengurusan perusahaan dengan konsekuensi bertanggungjawab secara bersamasama selama masa PKPU atau hingga terlunasinya semua utang-utang debitor kepada seluruh kreditornya. Debitor tidak dapat melakukan tindakan pengurusan atau kepemilikan tanpa persetujuan pengurus. 372 Debitor dan pengurus dalam melakukan tindakan pengurusan perusahaan mendapat pengawasan dari Hakim Pengawas, dan si debitor harus menyadari bila ada kesalahan dan mismanajemen yang dilakukan sebelumnya tentu akan menghindarinya untuk tidak terulang lagi demi untuk tercapainya kepentingan bersama antara debitor dengan para kreditornya. 2) Penyelesaian utang piutang secara baik dan terjadwal Upaya untuk mengembalikan utang-utang si debitor adalah beban yang sangat berat, namun dengan langkah PKPU ini akan menjadi relatif lebih ringan dan lebih baik jika dilihat dari beberapa hal : a) Si debitor jelas akan lepas dari kepailitan yang mengharuskan hartanya dilikuidasi, hal ini sangat ditakuti oleh para pengusaha karena dampak yang sangat luas baik terhadap pengurus (direksi) perusahaan, harta benda
372
Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
perusahaan, nasib karyawan dan nama baik perusahaan di mata para relasinya yang sangat sulit untuk membangunnya kembali. b) Likuidasi harta pailit karena kepailitan menjadikan kepunahan terhadap harta benda perusahaan maupun nama baik debitor, tidak seimbang dengan rehabilitasi yang diberikan melalui undang-undang. 373 Selama batas waktu PKPU yang telah disepakati, pihak debitor dan pengurus tidak lagi direpoti oleh gangguan dari para kreditor, karena semua penyelesaian telah terjadwal berdasarkan kesepakatan bersama, dan keputusan perdamaian tersebut bersifat mengikat, sehingga keadaan sebelum PKPU dijalankan, para kreditor sewaktu-waktu dapat mengajukan tagihan-tagihan yang merepotkan dan juga sewaktu-waktu dapat memohonkan si debitor pailit. 3) Penyelesaian utang piutang selalu dalam pengawasan pengadilan Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitor setiap 3 (tiga) bulan sejak putusan PKPU diucapkan, dan laporan itu harus tersedia di Kepaniteraan Pengadilan Niaga yang bersangkutan untuk dapat dilihat oleh umum tanpa biaya. Pelaporan ini jangka waktunya masih dapat diperpanjang oleh Hakim Pengawas. 374 Hal ini menunjukkkan mekanisme Pengawasan oleh pihak pengadilan terhadap jalannya PKPU melalui Hakim Pengawas sangat diperlukan, mengingat kemungkinan adanya hal-hal baru atas harta debitor yang ditemukan selama pelaksanaan draft perdamaian PKPU tersebut yang memerlukan pengarahan atau petunjuk dari Hakim Pengawas untuk tidak terjadinya kegagalan dalam perwujudan perdamaian dimaksud. 373 374
Pasal 215 s/d 221 UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 239 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
4) Setelah menyelesaian utang piutang, hubungan bisnis debitor dangan para pihak tidak terputus. Hubungan baik dengan para relasi perusahaan adalah suatu hal yang tidak ternilai harganya seningga manajemen perusanaan akan selalu menjaganya melalui sistem tertentu. Suatu perusahaan yang baik akan menjaga bentuk-bentuk hubungan atau jalinan hubungan baik ini dengan para relasinya. Perusahaan selalu berusana agar dikenal oleh masyarakat terutama konsumennya dengan berbagai cara yang juga memerlukan dana yang tidak sedikit untuk Public relation, advertensi dan lain-lain. Perusanaan yang ingin memajukan usahanya atau perusahaan yang sudah maju berarti sudah menginvestasikan banyak dana untuk menjalin hubungan dengan relasi bisnisnya. Suatu perusahaan debitor yang diancam pailit, sudah merupakan hal yang baik jika perusahaan itu lepas dari kepailitan walaupun harus melaksanakan perdamaian dalam PKPU yang sedikit mengurangi kebebasannya. Apabila perdamaian terlaksana dengan baik dan utang-utang kepada kreditor terepenuhi pada waktu yang ditetapkan, maka manfaat dari perdamaian itu adalah sangat menolong bagi pihak perusahaan debitor karena tidak kehilangan pamor di masyarakat dan juga manfaat bagi para kreditor yang mengharapkan piutangnya dibayar kembali walaupun tidak secara utuh.
2. Kelemahan-kelemahan dari lembaga PKPU Menurut J.B.Huizink ada beberapa kelemahan dari lembaga PKPU dalam praktek yakni : a. Penundaan pembayaran tidak berlaku bagi tagihan-tagihan yang terkait dengan prioritas. Ini berarti bahwa penundaan pembayaran tidak memiliki daya laku terhadap kreditor preferen dan tagihan yang dijamin dengan gadai dan hipotik (kreditor separatis). Para kreditor ini dapat menolak penundaan pembayaran serta dapat melaksanakan hak-haknya seperti biasa. 375 PKPU tidak berlaku terhadap kreditor preferen maupun kreditor separatis, tetapi pelaksanaan
eksekusi
atas
hak-haknya
harus
ditangguhkan
selama
berlangsungnya PKPU namun tidak menutup kemungkinan para kreditor mengajukan permohonan pengangkatan penangguhan tersebut. 376 b. Jumlah tagihan para kreditor preferen sering merupakan porsi terbesar dari beban, sehingga makna penundaan yang terkandung di dalam penundaan pembayaran tidak begitu banyak artinya bagi debitor. 377 c. Dalam beberapa hal penyelesaian kepailitan dan PKPU berjalan tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pembuat undang-undang, hal ini disebabkan oleh relatif besarnya jumlah total tagihan-tagihan dengan hak didahulukan, serta kuatnya posisi para kreditor separatis serta dominannya posisi para kreditor bank, fiskus dan dewan asuransi perusahaan menyebabkan penjualan barang-barang para kreditor menjadi tidak adil. 378 375
J.B Huizink, op.cit. h.9 Pasal 244 jo. 246 UU Nomor 37 Tahun 2004 377 J.B Huizink, op.cit. h.10 378 Ibid h. 11 376
d. Pengumuman pemberian sementara penundaan pembayaran di dalam Berita Negara dan di dalam Surat Kabar yang ditentukan oleh Hakim pengawas, maka masyarakat umum segera mengetahui bahwa debitor sedang berada dalam kesulitan finansial. Hal ini akan menimbulkan dampak besar bagi pemasok dan pembeli, mereka akan menjadi lebih hati-hati terhadap perusahaan debitor. Para pemasok akan meminta pembayaran tunai atau garansi bank atas barang yang diserahkan, para pembeli tidak akan cepatcepat melakukan pembayaran sebelum yakin barang atau jasa yang diberikan itu sudah sesuai dengan keinginannya mereka. 379 e. Atas permintaan Hakim pengawas atau permohonan pengurus atau satu atau lebih Kreditor atau prakarsa Pengadilan, PKPU mempunyai alasan untuk diakhiri karena keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU. 380 Hal ini sessuai dengan salah satu syarat atau alasan pengakhiran PKPU, yakni selama waktu PKPU keadaan harta debitor tidak memungkinkan dilanjutkan PKPU. 381 Selain daripada aturan-aturan mengenai kepailitan dan PKPU yang sudah kuno dan ketinggalan jaman, ada keinginan untuk mengadakan perubahan dan penyesuaian terhadap keadaan ekonomi, sebagaimana Huizink menguraikan : Memburuknya keadaan ekonomi pada akhir tanun 70-an dan awal ’80-an memaksa perusahaan-perusahaan untuk menutup usaha. Termasuk di dalamnya beberapa perusahaan besar yang beroperasi secara internasional : deconfitur yang kadang-kadang mengakibatkan hilangnya banyak kesempatan kerja. Hal yang sama dapat dikatakan terjadi pada awal tahun 90-an. Likuidasi perusahaan semacam itu dari berbagai sudut dirasakan sebagai suatu bentuk 379
Ibid h. 10 Ibid h. 11 381 Lihat Pasal 255 ayat (1) e UU Nomor 37 Tahun 2004 380
pemusnahan modal. Harus ada suatu kemungkinan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan itu dari kesulitan tanpa harus menggunakan cara penyelesaian melalui penundaan pembayaran atau kepailitan. Banyak perusahaan yang terancam kelangsungan hidupnya mendorong adanya inisiatif dari perhimpunan hukum dagang (Belanda) untuk membentuk suatu komisi untuk menyusun suatu konsep RUU Reorganisasi dan Pemulihan Perusahaan. RUU ini memuat kemungkinan-kemungkinan mengenai suatu moratorium umum bagi perusahaan-perusahaan yang terjerat kesulitan. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) akan berlaku pula bagi para kreditor yang mempunyai hak didahulukan selama moratorium berlangsung, perusahaan-perusahaan mendapat kesempatan untuk menjalankan suatu rencana pemulihan. Rencana tersebut harus memuat pengaturan utang dalam bentuk suatu akkord dan harus dengan syarat-syarat tertentu yang mengikat semua kreditor. 382 Untuk merealisasi ide tersebut di tahun 1986 dibentuk suatu Komisi yang dinamakan “Komisi Mijnssen” yang bertugas memberi saran-saran perlu tidaknya menyiapkan suatu rancangan untuk mengubah UU Kepailitan khususnya menyangkut PKPU. Selanjutnya disusun suatu laporan yang disebut “Laporan Mijnssen” tahun 1989 yang dan dalamnya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi antara lain sebagai berikut : 383 1) Moratorium harus berlaku bagi semua kreditor, artinya juga bagi kreditor preferen. 2) Perjanjian kredit, seperti kredit yang diberikan oleh bank harus tetap dilanjutkan selama moratorium. 3) Moratorium berlangsung maksimum tiga bulan, dan hanya dapat diperpanjang untuk satu kali. Para kreditor berhak untuk didengar. Hakim harus menolak permohonan penundaan bayaran jika pemulihan diperkirakan tidak akan terjadi. Harus ada kepastian mengenai pembayaran tagihan-tagihan yang timbul selain moratorium. 4) Fungsi rencana pemulihan adalah untuk mengadakan tindakan-tindakan yang berkait satu sama lain di bidang finansial, ekonomis dan organisatoris untuk memulihkan posisi debitor dan atau penyelamatan perusahaan yang kegiatannya dihentikan olehnya.
382 383
J.B. Huizink, loc.cit. h.12 Ibid h. 13
5) Rencana pemulihan harus disetujui oleh mayoritas kreditor. Hakim dimungkinkan untuk menyatakan rencana pemulihan yang dibuat oleh para kreditor sebagai bersifat mengikat. 6) Penyelesaian penundaan pembayaran tetap, diatur menurut ketentuanketentuan di dalam rencana pemulihan. 3. Penyebab Gagalnya Perdamaian dalam PKPU a. Permohonan PKPU hanya sebagai tameng Permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitor hanyalah sebagai ajang penyelamatan pertama untuk mengulur waktu pailit dengan adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka si Debitor mengajukan permohonan PKPU untuk menangkis ancaman pailit tersebut. Hal ini dilakukan oleh Debitor yang menyadari kondisi dan perusahaannya yang memang tidak mempunyai prospek lagi menghadapi tagihan-tagihan dari Kreditornya, dan tidak menawarkan Rencana Perdamaian yang realistis untuk dipertimbangkan oleh para Kreditornya tersebut. Debitor mengajukan permohonan PKPU ini hanya untuk memperoleh PKPU Sementara, sedang PKPU Tetap tidak mungkin diberikan karena para Kreditor tidak akan menyetujui perdamaian yang ditawarkan atau Debitor tidak mampu untuk mengajukan penawaran berupa Rencana Perdamaian. Pada akhirnya si Debitor harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dari 508 jumlah perkara permohonan pailit yang masuk ke pengadilan Niaga Jakarta Pusat, ditanggapi (counter) oleh Debitor dengan mengajukan Permohonan PKPU sebanyak 73 perkara dan ternyata yang berhasil dengan Perdamaian hanyalah 39 perkara, untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 8 dalam lampiran. b. Para ahli tidak professional
Rencana Perdamaian yang disusun berdasarkan Studi Kelayakan yang dilakukan olen para ahli haruslah mempunyai kriteria kelayakan baik bagi Kreditor maupun bagi Debitor. Pada masa pelaksanaan isi perdamaian ternyata perusahaan si Debitor mengalami keadaaan insolven lagi, sehingga isi perdamaian seharusnya mengarah dari keadaan insolven dengan waktu tertentu lalu menjadi solven lagi. Para ahli dengan latar belakang pendidikan yang memadai akan menjunjung tinggi professionalisme yang sanggup memberikan masukan yang positif bagi Debitor maupun Kreditor untuk tercapainya Perdamaian sehingga bermanfaat bagi kedua belah pihak. Tim Konsultan Ahli yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas bila tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar maka rencana Perdamaian tidak akan memenuhi syarat-syarat kelayakan. Situasi ini dapat diakibatkan oleb Tim Ahli yang tidak professional dan tidak independen karena memiliki benturan kepentingan dengan pihak kreditor maupun Debitor. c. Syarat formal jumlah suara sesuai dengan ketentuan voting right sulit didapatkan Syarat-syarat perolehan suara dalam mendapatkan persetujuan dari para Kreditor terhadap Rencana Perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor menjadi suatu yang rumit dalam menentukan maupun pemungutan suara terhadap Rencana Perdamaian tersebut. Berdasarkan tagihan para kreditor kepada Pengurus yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan disertai bukti yang mendukung, maka pengurus harus mencocokannya dengan catatan dan laporan dari Debitor. Dari hasil pencocokan
itu pengurus harus membuat daftar piutang, jumlah piutang masing-masing dan apakah piutang tersebut diakui, sementara diakui atau dibantah oleh Pengurus. 384 Daftar piutang yang diakui atau diakui sementara dan apakah piutang tersebut berasal dari tagihan Kreditor Konkuren atau Kreditor Separatis adalah menjadi kesulitan tersendiri bagi Pengurus untuk membuat daftar piutang dimaksud. Khususnya bagi Kreditor yang tagihannya dibantah, maka menjadi kewenangan dari Hakim Pengawas untuk menentukan apakah Kreditor tersebut dapat atau tidak ikut serta dalam pemungutan suara dan bila dibolehkan oleh Hakim Pengawas sekaligus ditentukan batasan jumlah suara yang dapat dikeluarkan oleh Kreditor tersebut. 385 Untuk dapat diterimanya suatu Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor, harus diperoleh persetujuan dari : 386 1) Lebih dari ½ (setengah) jumlah Kreditor Konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dalam rapat kreditor yang mewakili sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari Kreditor Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat. 2) Lebih dari ½ (setengah) jumlah Kreditor Separatis yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditor Separatis atau kuasanya yang hadir dalam rapat. Perolehan persetujuan dari Kreditor Separatis ini adalah merupakan aturan baru sebagai syarat tambahan UU Nomor 37 Tahun 2004, karena pada undang-
384
Lihat Pasal 270 s/d Pasal 272 UU Nomor 37 Tahun 2004 Lihat Pasal 280 UU Nomor 37 Tahun 2004 386 Lihat Pasal 281 UU Nomor 37 Tahun 2004 385
undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 persetujuan dari Kreditor Separatis untuk Rencana Perdamaian tidak disyaratkan. Untuk tercapainya perdamaian ini sangat sulit dalam menentukan voting right maupun memperoleh suara sehubungan dengan rumitnya menentukan piutang yang diakui atau diakui sementara atau dibantah yang menjadi tugas dari Pengurus dan Hakim Pengawas, juga kesulitan untuk menentukan voting right Kreditor Separatis. Sulitnya memperoleh persetujuan dari Kreditor Separatis ini adalah dengan adanya ketentuan bahwa : Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua Kreditor, kecuali Kreditor Separatis yang tidak menyetujui Rencana Perdamaian dimana kreditor ini menerima kompensasi sebesar nilai terendah antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan agunan atas kebendaan. 387 Dengan adanya ketentuan ini kreditor separatis cenderung tidak peduli dengan Rencana Perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor. d. Perdamaian tidak disahkan oleh Pengadilan Niaga. Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor dan telah memperoleh persetujuan dari para Kreditor sehingga telah memenuhi syarat formal sesuai dengan pemungutan jumlah suara, tidak dengan sendirinya dapat berlaku. Perjanjian Perdamaian yang telan disepakati dan telah menjadi Perdamaian haruslah memperoleh pengesahan dari pengadilan (Hakim Majelis). Pengadilan tidak dapat mengesahkan Perdamaian itu bilamana: 388
387 388
Lihat Pasal 286 jo. Pasal 281 ayat 92) UU Nomor 37 Tahun 2004 Lihat Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
1) Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian. 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin. 3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal itu, dan/atau. 4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran. Apabila Pengadilan rnenolak mengesahkan Perdamaian tersebut maka dalam putusan yang sama Pengadilan harus menyatakan Debitor Pailit. 389 Pengadilan dalam hal ini Majelis Hakim Niaga harus membuat alasanalasan serta pertimbangan dalam putusan yang menolak pengesahan (homologasi) Perdamaian itu, sehingga dapat menjelaskan fakta dan keadaan dengan buktibukti yang cukup hingga Hakim tiba pada suatu keputusan harus menolak pengesahan perdamaian itu. Disinilah peranan Hakim dalam mengontrol segala tindakan pihak-pihak yang tidak jujur, bertitikad buruk dan Hakim harus mampu untuk memperhitungkan keadaan sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman yang memadai untuk menyusun pertimbangan dalam putusannya.
389
Lihat Pasal 285 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
BAB IV PENGATURAN KEPAILITAN DAN REORGANISASI PERUSAHAAN DI BEBERAPA NEGARA
Reorganisasi Perusahaan Menurut Chapter 11 United State Bankruptcy Code (US BC) Hukum kepailitan yang pertama sekali berlaku di Amerika Serikat adalah The Statute of Bankrupts tahun 1950 yang berasal dari Inggris akibat penjajahan Inggris di Amerika Serikat. Tetapi kemudian sebagai negara federal, pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan The Bankruptcy Act of 1800, yang kemudian telah diperbaharui dengan adanya ketentuan bahwa debitor sendiri dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri (voluntary bangkruptcy) yaitu setelah berlaku Bankruptcy Act of 1841. Kemudian yang berlaku adalah The Bankruptcy Act of 1898 setelah mengalami beberapa kali perubahan maka berlakulah Bankruptcy Code pada tahun 1979 yang pasalpasalnya masih banyak berasal dari The Bankruptcy Act of 1898. Bankruptcy Code dikenal juga dengan nama Bankruptcy Reform Act of 1978 yang berlaku sejak tahun 1979. Bankruptcy Code ini telah mengalami beberapa kali perubahan yakni pada tahun 1984, 1986 dan terakhir pada tahun 1994. Bankruptcy Code terdiri dari beberapa Chapter, dan sangat terkenal diantaranya adalah Chapter 11 tentang Reorganization. 390 390
Chapter 1 Chapter 3 Chapter 5
United State Bankruptcy Code (US BC) terdiri dari : : General Provision, Definition, and Rules of Construction : Case Administration : Creditor, Debtor, and Estate
Menurut US BC, bila debitor sudah tidak mampu membayar utangutangnya, maka ada beberapa pilihan, hal itu termuat dalam kalimat : “The Bankruptcy Act covers several types of bankruptcy proceedings, in this chapter our focus will be on: 1. straight bankruptcy (liquidation), 2. reorganization and 3. consumer debt adjustments.” 391. Salah satu tujuan Hukum Kepailitan di Amerika Serikat adalah untuk memberi kesempatan kepada debitor untuk dapat menata usahanya kembali agar terlepas dari utang-utangnya terhadap para kreditor. Tujuan utama Hukum Kepailitan Amerika Serikat adalah untuk memberi kesempatan kepada debitor untuk berusaha kembali agar terlepas dari utang yang lama, jadi lebih ditekankan pada konsep fresh start. 392 Hal ini dapat dilihat dari US BC yang memberi kesempatan kepada debitor untuk melakukan reorganisasi yang termasuk di dalamnya restrukturisasi perusahaan, restrukturisasi utang dan lain-lain yang disusun dalam suatu rencana reorganisasi, sehingga cenderung untuk menghalangi terjadi likuidasi terhadap perusahaan debitor. Chapter 11 US BC memberi jalan untuk memecahkan permasalahan finansial yang dihadapi debitor dengan cara menyusun suatu
Chapter 7 : Liquidation Chapter 9 : Adjustment of the Debts of a Municipality Chapter 11 : Reorganization Chapter 12 : Adjustment of the Debts of a family farmer with Regular Income Chapter 13 : Adjustment of the Debts of an Individual with Regular Income US BC mengatur kepailitan (Bankruptcy) debitor berbentuk : a. persekutuan (partnership) b. perusahaan (corporation) c. orang perorangan (individu) d. badan hukum kotapraja (municipality-chapter 9), namun dikecualikan debitor berupa : a. perusahaan kereta api (railroad), b. perusahaan asuransi (insurance company) dan c. lembaga perbankan (banking institution). Menurut Donnel, John D. et.al dalam Law for Business, ketentuan Chapter 11 (Reorganization) dapat digunakan oleh hampir semua bidang usaha kecuali : a. bank b. saving and loan associations c. insurance companies d. commodities brokers e. stockbrokers. 391 Donnel John D.et.al, Law for Business, (Illinois : Irwin Home Wood, 1983), h.710 392 Ridwan Khairandy, Beberapa kelemahan mendasar UU Kepailitan Indonesia, Jurnal Magister Hukum (Vol.2 No.1 Februari 2000), h.74
rencana reorganisasi (reorganization plan) yang di dalamnya memuat suatu rencana yang lengkap bagaimana agar dapat terus menjalankan usahanya dengan jalan melakukan negosiasi dengan para kreditornya mengenai rencana tersebut. Debitor yang melakukan reorganisasi usahanya berdasarkan Chapter 11 US BC akan mendapatkan keuntungan berupa : 393 1. Menghindari debitor dari kepailitan 2. Memungkinkan debitor untuk tetap menjalankan perusahaan 3. Para kreditor yang menolak rencana restrukturisasi telah mendapat persetujuan Pengadilan Federal, harus menyetujuinya 4. Bila rencana restrukturisasi berhasil, maka kreditor akan mendapat keuntungan yang lebih dibandingkan jika debitor dipailitkan. Perusahaan di Amerika Serikat menyadari betapa banyak manfaat yang diperoleh bila perusahaan terhindar dari likuidasi dan berhasil mengajukan reorganization plan yang disetujui oleh para kreditornya. Reorganisasi perusahaan dapat mengurangi social cost yang tinggi di masyarakat, karena kalau perusahaan harus dilikuidasi maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja yang meningkatkan pengangguran. Peningkatan pengangguran akan memungkinkan peningkatan kriminal. Akibat pengangguran dan penutupan perusahaan juga akan mengakibatkan penurunan jumlah penerimaan pajak oleh pemerintah. “Keeping the business in operation will therefore often be much more desirable than liquidating it. The fundamental premise of Chapter 11 of Bankruptcy Code is that reorganization is desirable.” 394 Mempertahankan agar perusahaan tetap berjalan akan lebih menjanjikan dari pada melikuidasinya. Tujuan utama dari Chapter 11 393 394
Ibid, h.75 Mark S. Scarberry, et.al. op.cit. h.4
US BC adalah memberikan kesempatan reorganisasi yang menjanjikan keuntungan bagi semua pihak. Rencana reorganisasi pada hakekatnya adalah suatu kesepakatan antara debitor dengan beberapa kreditor. Rencana tersebut bisa memuat perjanjian yang sifatnya variatif tergantung dari kesepakatan antara debitor dan para kreditor. Perjanjian itu dapat berupa restrukturisasi perusahaan yang dikombinasikan dengan moratorium, bahkan ada perjanjian berupa rekapitalisasi perusahaan debitor atau memberi beberapa saham perusahaan sebagai pengganti sebagian atau seluruh utang-utang debitor kepada para kreditornya. Permohonan Kepailitan terhadap debitor berdasarkan prosedur likuidasi (section 362) dimana debitor yang dikepung oleh para kreditornya dapat memperoleh jalan keluarnya dengan mengajukan reorganization plan yang kemungkinan besar akan disetujui oleh para kreditornya karena sifat kesepakatan yang ditawarkan oleh debitor adalah saling menguntungkan. Permohonan reorganisasi bisnis ini dapat diajukan oleh debitor (voluntary) atau oleh kreditor (involuntary), dan bila permohonan ini dikabulkan oleh pengadilan sekaligus pula ditetapkan : 395 1. a committee of creditors who hold unsecured claims 2. a committee of equity security holder (shareholder) 3. a trustee Menurut section 1126 (a) Chapter 11 US BC, bahwa bukan saja kreditor yang memberikan suara terhadap reorganization plan yang diajukan oleh debitor, tetapi juga pemegang saham (shareholders). Reorganization plan yang telah disetujui oleh para kreditor maupun pihak-pihak lainnya tidak mempunyai 395
Donnel, John D. et.al. loc.cit
kekuatan bila tidak memperoleh pengesahan atau konfirmasi dari pengadilan. Reorganization plan berlaku hanya setelah memperoleh pengesahan dari pengadilan, bahkan yang lebih menunjukkan kewenangan lebih besar dari pengadilan (Bankruptcy Judge) adalah ketentuan yang menyatakan bahwa Bankruptcy Judge berwenang untuk mengesahkan reorganization plan sekalipun tidak disetujui oleh mayoritas kreditor. Sebaliknya Bankruptcy Judge berwenang untuk tidak memberikan pengesahan (konfirmasi) terhadap reorganization plan sekalipun telah disetujui oleh seluruh kreditor. 396 Menurut US BC hakim bebas untuk menerima atau mengesahkan atau untuk menolak memberikan pengesahan terhadap reorganization plan tersebut tanpa harus memperhatikan apakah reorganization plan itu telah disetujui atau telah ditolak oleh para kreditor dalam negosiasi kesepakatan antara debitor dan para kreditornya. 397 Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa pada prinsipnya debitor diberi kesempatan pertama untuk mengajukan rencana reorganisasi (Reorganization Plan). Sebelum mengajukan rencana tersebut, debitor sebaiknya bernegosiasi lebih dahulu dengan para kreditor dan pihak-pihak lain yang berkepentingan agar rencana tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk disetujui. Untuk mengerti prosedur pengajuan rencana reorganisasi ini, harus lebih dahulu dipahami apa yang menjadi unsur-unsur dari suatu rencana reorganisasi. Menurut Section 1123 Chapter 11 USBC, ada 3 unsur penting dari rencana reorganisasi : 398 1.
Adanya pembagian kelas dari para kreditor dan tuntutannya. Dalam kelas yang sama ditempatkan kreditor dengan tuntutan yang sejenis. Piutang-
396
David G.Epstein dalam Sutan Remy Sjahdeini, op.cit h.383 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit h.383 398 Mark. S. Scarberry, et. al. op.cit. h. 685-689
397
piutang dengan jaminan akan ditempatkan dalam kelas yang berbeda karena memiliki jaminan (substansi) yang berbeda pula. 2.
Dalam rencana harus diperinci bagaimana menyelesaikan setiap tuntutan dalam kelas-kelas tersebut. Rencana harus mempersiapkan penyelesaian terhadap utang-utang yang tidak dapat dimasukkan dalam kelas, rencana juga harus mengindentifikasikan kelas-kelas yang tidak akan dirugikan dalam pelaksanaan rencana tersebut;
3.
Rencana harus menjabarkan dengan tepat dan seimbang pelaksanaan setiap isi rencana tersebut, dan dapat membuat rencana penjualan dari sebagian aset untuk memperoleh uang cash dalam rangka pelaksanaan dari rencana keseluruhan.
Walaupun mengenai jangka waktu tidak secara nyata ditegaskan dalam Section 1121 (1) Chapter 11 USBC, dalam rencana reorganisasi harus ditetapkan waktu berlakunya. Hal ini diperlukan agar nantinya pengadilan dapat menentukan hal yang terbaik bagi para kreditor yang didasarkan pada nilai sesuai dengan waktu masa berlakunya rencana reorganisasi. Sejak rencana reorganisasi diajukan debitor, para kreditor dan pihak yang berkepentingan akan diberi kesempatan untuk menentukan apakah menerimanya atau menolaknya. Untuk itu diperlukan informasi dan saran secukupnya dari pihak yang berkompeten tentang apa yang dikemukakan dalam suatu rencana hingga para kreditor dan pihak yang berkepentingan cukup argumentasi menentukan pendapatnya melalui pemungutan suara. Dalam hal ini diperlukan adanya keterbukaan informasi yakni sebelum dilakukan pemungutan suara oleh para kreditor untuk menerima atau menolak
rencana reorganisasi. Terhadap permasalahan ini Chapter 11 USBC memberi patokan sebagai berikut : 399 1. requiring the creation and distribution of a court-approved “disclosure statement” that must contain “adequate information,” see § 1125 (a) and (c); 2. permitting solicitation of a creditor’s or interest holder’s vote after (but only after) he has received the plan (or a summary of it) and the disclosure statement, see § 1125 (b); 3. providing “safe harbor” protection to good faith participants in the disclosure and solicitation process against liability under the federal and state securities laws and state common law see § 1125 (e); 4. permitting the court to “designate” creditors or interest holders whose votes should not be counted because they were cast in bad faith or were solicited improperly, see § 1126 (e); 5. requiring (before a class of claims will be considered to have accepted the plan) acceptance by both a simple majority vote in number of claims and by a super-majority (2/3) vote in amount of claims, out of those creditors who bother to vote, see § 1126 (c); and 6. requiring (before a class of interests will be considered to have accepted the plan) acceptance by a super-majority (2/3) vote of the interest holders who bother to vote, see § 1126 (d). Fungsi daripada pernyataan keterbukaan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah untuk menyediakan informasi yang memadai bagi para kreditor dan para pemegang saham, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang relevan tentang rencana tersebut. Menurut Section 1125 (a), (b), bila proposal rencana telah diajukan, sebaiknya pernyataan keterbukaan telah dilampirkan pada rencana tersebut tapi dapat juga dilampirkan pada waktu yang ditentukan oleh pengadilan. Pengadilan harus menyelenggarakan dengar pendapat tentang pernyataan keterbukaan itu, dan jika pengadilan mengesahkannya, maka pernyataan tersebut akan dikirimkan kepada seluruh kreditor dan pemegang saham disertai dengan rencana atau ringkasan rencana, surat suara dan waktu terakhir untuk memberikan
399
Ibid. h. 798
suara. Persetujuan dan penolakan para kreditor atau pemegang saham dinyatakan tidak sah apabila belum menerima pernyataan tersebut. Section 1125 (a), (1), USBC mendefinisikan “adequate information” sebagai berikut : 400 Information of a kind and in sufficient detail, as far as is reasonably practicable in light of the nature and history of the debtor and the condition of the debtor’s books and records, that would enable a hypothetical reasonable investor typical of holders of claims or interests of the relevant class to make an informed judgment about the plan, but adequate information need not include such information about any other possible or proposed plan. Beberapa pengadilan telah menetapkan suatu daftar keterbukaan yang seharusnya ada dalam suatu pernyataan keterbukaan. Berdasarkan In re Scioto Valley Mortgage Co, 88 BR. 168 (Bankr. S. D. Ohio 1988) pengadilan mengadopsi 19 butir jenis informasi yang dapat dipersyaratkan dalam suatu daftar keterbukaan tersebut yakni sebagai berikut : 401 1.
Keadaan atau situasi yang mendasari timbulnya permohonan kepailitan.
2.
Suatu uraian yang lengkap tentang asset yang tersedia beserta nilainya.
3.
Antisipasi ke depan dari debitor.
4.
Sumber dari informasi yang tersedia dalam pernyataan keterbukaan.
5.
Suatu disclaimer yang menunjukkan bahwa tidak ada pernyataan atau informasi tentang debitor atau assetnya atau jaminan yang diberikan selain daripada yang telah dinyatakan dalam pernyataan keterbukaan.
400
Ibid. h. 800-801. Bismar Nasution et.al. op.cit . h. 140-141, lihat juga Mark. S. Scarberry et.al. Business Reorganization in Bankruptcy (St. Paul Minnesota : West Publishing Co, 1996). h. 801-802. 401
6.
Kondisi dan kinerja debitor pada saat debitor berada dalam pemulihan menurut Chapter 11.
7.
Informasi tentang gugatan terhadap harta kekayaaan.
8.
Suatu analisis tentang likuidasi yang memberi perkiraan perolehan para kreditor berdasarkan Chapter 7.
9.
Metode akuntansi dan penilaian yang digunakan dalam menyusun informasi keuangan dalam pernyataan keterbukaan.
10.
Informasi
tentang
manajemen
debitor
kedepan,
termasuk
jumlah
kompensasi yang akan dibayarkan kepada setiap insider, direktur dan atau pejabat lainnya dari debitor. 11.
Suatu ringkasan dari rencana reorganisasi.
12.
Suatu perkiraan dari seluruh biaya administrasi, termasuk biaya penasehat hukum dan akuntan.
13.
Kollektivitas dari setiap rekening penerimaan.
14.
Setiap informasi keuangan, penilaian atau proyeksi permulaan yang relevan bagi para kreditor dalam menentukan apakah menerima atau menolak rencana.
15.
Informasi yang relevan tentang resiko yang akan dihadapi oleh para kreditor dan pemegang saham.
16.
Nilai aktual atau nilai perkiraan yang dapat diperoleh dari transfer yang dibatalkan.
17.
Keberadaan, kemungkinan dan keberhasilan litigasi diluar kepailitan.
18.
Konsekuensi perhitungan pajak dari rencana.
19.
Hubungan debitor dengan para relasi (bawahannya). Chapter 11 US BC ini sebenarnya berlaku bagi debitor perorangan,
perseroan maupun perusahaan berbadan hukum walaupun debitor tersebut tidak bergerak di bidang usaha. Debitor akan memperoleh kesempatan bernafas saat dimulainya reorganisasi. Menurut section 362 Chapter 11 US BC, automatic stay akan melindungi hak milik debitor dari tindakan para kreditornya. Si debitor tetap berhak menguasai hartanya dan terus menjalankan usahanya tetapi dalam hal ini debitor harus diawasi oleh Pengurus sesuai dengan hak-hak dan wewenang serta tugastugas yang ada pada Pengurus tersebut (section 1107, 1107a, 1108). Pengurus hanya dapat ditunjuk dan diangkat atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan setelah dilakukan dengar pendapat agar Pengurus terhindar dari kecurangan, ketidakjujuran, ketidakmampuan dan kesalahan mengelola atau bila penunjukan itu berdasarkan kepentingan para kreditor atau pihak-pihak lain yang berkepentingan (section 1104a). Tugas Pengurus adalah termasuk memeriksa obligasi (surat-surat berharga) dan melaporkan masalah-masalah yang dihadapi oleh debitor dan juga kemungkinan untuk dilakukan reorganisasi dan juga menerima rencana organisasi atau alasan-alasan penolakan atas rencana tersebut dan melakukan hal-hal lain sesuai dengan tugas-tugas Pengurus yang tercantum pada Chapter 7 US BC (section 1106a). Pengurus akan selalu ditunjuk setelah memulai tahap reorganisasi menurut Chapter 11. Menurut section 1121a US BC, debitor dapat mengajukan rencana reorganisasi setiap waktu setelah memasuki tahap pemulihan, sedang pihak-pihak
lain yang berkepentingan dapat mengajukan rencana apabila Pengurus telah ditunjuk. Suatu rencana merupakan hasil negosiasi yang ketat antara debitor, para kreditor dan pemegang saham, sehingga akan sering mengalami perbaikan atau revisi hingga ke arah yang lebih menguntungkan kepada semua pihak. Hal ini memerlukan informasi yang jelas tentang usaha yang akan dijalankan dan keuntungan apa yang diperoleh para pihak berkepentingan. Dengan adanya harapan dan target yang didukung dengan informasi yang lengkap akan mempermudah pelaksanaan negosiasi atas rencana tersebut untuk kesempurnaan dalam pelaksanaannya. Negosiasi adalah kunci keberhasilan dari suatu rencana reorganisasi. Tawar menawar antara debitor dan para pihak yang berkepentingan menjadi penentu tercapainya kesepakatan akhir yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Tercapainya persetujuan atas kesepakatan akhir ini sangat tergantung kepada berapa besar nilai atau keuntungan yang diperoleh dan lamanya waktu yang diperlukan melaksanakan reorganisasi keseluruhan. Fisher dan Ury menawarkan 4 (empat) dasar utama negosiasi : 402 1. Separate the people from the problem 2. Focus on interests not positions 3. Invent options for mutual gains 4. Insist on using objective criteria Dalam mencapai suatu keputusan yang sifatnya memperoleh nilai ekonomi seharusnya ego dan emosi harus dihilangkan, namun para pihak haruslah 402
Roger Fisher, William Ury dalam Grant W.Newton, Corporate Bankruptcy, tools, strategies, and alternatives, (New York John Wiley & Sons Inc, 2003), h.194.
berhadap-hadapan dalam mencapai suatu kesepakatan. Dalam upaya memuaskan semua pihak yang berkepentingan jangan melihat kepada posisi dalam negosiasi. Ciptakanlah suatu keadaan yang potensial untuk memperoleh jalan keluar dari adanya perbedaan kepentingan dan dijadikan sarana untuk mencapai mufakat yang menguntungkan bagi para pihak, dan tetaplah fokus pada penilaian objectif bila negosiasi mendapatkan jalan buntu. Ada beberapa faktor yang menentukan suksesnya suatu rencana reorganisasi yakni : 403 1. Extend to which early action was taken : Segera mengambil tindakan yang perlu untuk mengatasi beban atau kerugian yang timbul dari utang, seperti memelihara hubungan baik dengan para kreditor dan dengan para tenaga kerja dan juga memberdayakan aset yang masih ada untuk dapat melanjutkan usaha dalam reorganisasi. 2. Finding a viable part of the business : Memilih jenis usaha yang dapat dijalankan dan menguntungkan tidak terlepas dari menentukan areal yang tepat dari sekian luas areal usaha yang pesat berkembangnya tapi tidak menguntungkan. Pertanyaan yang harus dijawab : dapatkah usaha tersebut dipangkas atau dipersempit dan ditata ulang agar mendapatkan keuntungan? 3. Quality of management : Agar suatu rencana memperoleh persetujuan dari para kreditor, maka rencana tersebut haruslah meliputi hal-hal penyelesaian utang. Disamping itu kreditor harus mempunyai kepercayaan
403
Grant W.Newton, op.cit. h.194-198
terhadap tenaga pelaksana yang akan menjalankan perusahaan. Top manajemen
haruslah
yang
berpengalaman
dan
berkualitas
dan
menunjukkan adanya wacana perubahan yang meyakinkan bagi para pihak bahwa perusahaan akan diarahkan kepada tujuan menguntungkan bagi semua pihak. 4. Honesty of debtor : Para kreditor hanya mau bekerja sama dengan debitor yang benar-benar jujur dan bekerja secara profesional, dimana debitor mau memberi informasi yang lengkap tentang keuangan dan hal-hal lain yang dapat meyakinkan para kreditor bahwa dengan manajemen yang baru dapat menjalankan usaha sebagaimana diuraikan sebelumnya dalam rencana. 5. Attitude of the creditors’ committee : Sikap dari Panitia Kreditor sangat menentukan akan keberhasilan negosiasi atas rencana yang diajukan. Jika para anggota Panitia Kreditor ini lebih banyak mengerti keadaan debitor dan tahu persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh debitor, maka cenderung mendukung usaha debitor berjalan dan sukses kembali. 6. Experienced professionals : Penting sekali bagi kedua belah pihak baik debitor maupun para kreditor diwakili oleh Penasihat Hukum yang berpengalaman. Penasehat hukum ini sangat berperan dalam kasus kepailitan karena perkaranya sangat berbeda dari perkara umum, oleh karena itu dalam proses kepailitan maupun reorganisasi ini diperlukan juga tenaga akuntan, penasehat keuangan dan profesi lainnya yang
memiliki pengalaman dan pemahaman tentang bagaimana sistem kepailitan dijalankan. 7. Short range cash budgets : Penyediaan dana jangka pendek oleh debitor sangat menentukan untuk memperoleh kepercayaan dari para kreditor. Terutama sekali para kreditor harus memperoleh jaminan bahwa debitor tidak akan memboroskan aset-asetnya selama negosiasi rencana berlangsung yakni selama 120 (seratus dua puluh) hari atau lebih bila ada perpanjangan. Jaminan ini biasanya berupa dana cadangan untuk 3 (tiga) bulan atau 6 (enam) bulan menjalankan usaha. Dengan adanya dana jangka pendek ini, debitor dapat meyakinkan para kreditor akan ada aliran dana yang dapat menurunkan ongkos termasuk biaya administrasi. Para kreditor akan dapat memantau perkembangan dari usaha debitor bila setiap bulannya dibuat perbandingan antara kenyataan dengan rencana pemasukan. Pencapaian target-target tersebut dapat menjadi dasar terlaksananya pembayaran-pembayaran masa datang merealisasi seluruh isi rencana reorganisasi. 8. Development of a viable business plan : Sebelum rencana reorganisasi secara efektif dapat dijalankan, perlu bagi debitor untuk menyiapkan rencana yang matang tentang jenis usaha. Manajemen selalu sibuk menghadapi tugas sehari-hari tanpa sempat menganalisa problem utama di bidang keuangan yang dihadapi oleh perusahaan. Manajemen harus memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan : a. Produk mana yang paling menguntungkan perusahaan
b. Apa yang menjadi kekuatan maupun kelemahan perusahaan c. Lokasi atau bagian mana dari perusahaan yang harus dikembangkan atau ditutup d. Dimana seharusnya potensi bisnis diletakkan e. Kearah manakah bisnis harus dijalankan 9. Determination of reorganization value : Menentukan perolehan nilai dari suatu reorganisasi sangat sulit dilakukan dalam rangka merealisasi isi rencana reorganisasi tersebut. Target perolehan jangka panjang sangat membantu menentukan nilai reorganisasi secara keseluruhan. Bila pihakpihak berkepentingan dapat menyetujui target perolehan untuk 5 (lima) tahun atau lebih, akan memudahkan untuk menaksir perolehan reorganisasi
dari
perusahaan.
Jika
seluruh
pihak-pihak
yang
berkepentingan telah menyetujui perolehan nilai reorganisasi, maka perolehan itu harus dibagi diantara para kreditor dan pemegang saham. Para pihak pada umumnya tidak akan mau menyetujui isi proposal dalam rencana yang diajukan debitor tanpa ada indikasi bahwa akan memperoleh keuntungan bagi perusahaan yang berada dalam kepailitan. Informasi berbentuk daftar keseimbangan yang memperlihatkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya, sangat membantu para kreditor dan pemegang saham melakukan evaluasi terhadap rencana yang diusulkan. Bila pihak yang berkepentingan telah setuju dengan asumsi-asumsi yang termuat dalam rencana dan juga target-target penerimaan dalam jangka
panjang, maka negosiasi selanjutnya dari rencana tersebut akan mudah dilaksanakan. 10. Post chapter financing : Banyak perusahaan tidak sukses melaksanakan reorganisasi karena tidak mampu memperoleh dana pinjaman atau bantuan setelah
permohonan
reorganisasi
diajukan.
Kemampuan
untuk
melaksanakan reorganisasi tergantung pada dana yang akan diperoleh dari pinjaman atau saham-saham. Perusahaan-perusahaan yang produksinya sedang menurun atau industrinya terpuruk sangat sulit memperoleh kredit maupun saham jika dibandingkan dengan perusahaan yang sedang bangkit industrinya. Sehingga perusahaan yang relatif kecil, kemampuan untuk bangkit kembali tergantung pada kemauan investor baru dalam rangka penyediaan dana yang diperlukan sebagai dana persediaan dari perusahaan.
B.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundang-undangan di Beberapa Negara Common Law
1. Inggris Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Inggris sekarang ini adalah Insolvency Act of 1986 yang mulai berlaku sejak 29 Desember 1986. UndangUndang ini tidak mengatur tentang Reorganisasi Perusahaan tetapi dalam Insolvency Act ini dikenal istilah Winding Up yang pengertiannya sama dengan Likuidasi yakni pemberesan atau pengakhiran perusahaan. Menurut ketentuan Section 221 (5) Insolvency Act 1986, latar belakang perlunya pengaturan Winding Up adalah dalam hal : 404 If the company is dissolved, or has ceased to carry on bussieness only for purpose of widding up its affairs If the company is unable to pay its debts, or If the court is of the opinion that it is just and equitable for company to be “wound up” (Bila perusahaan telah bubar atau telah berhenti menjalankan usahanya perlu mengakhiri dengan melikuidasi perusahaan tersebut. Jika perusahaan tidak mampu untuk membayar utang-uangnya atau jika pengadilan berpendapat bahwa tepat dan adil jika perusahaan dilikuidasi). Akibat dari adanya penetapan widing up terhadap perusahaan, pada dasarnya adalah menghentikan keuntungan atas harta perusahaan dan menjadikan beberapa dari harta milik tersebut sebagai jaminan atas tuntutan para kreditornya.
404
Dennis Campbell et.al (editors), Corporate Insolvency and Rescue, the International Dimension, (Boston :Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993), h.2
Hal ini berlaku terhadap semua harta milik perusahaan yang berada di luar wilayah negara maupun di dalam negeri. Ada 4 (empat) cara penyelesaian ataupun prosedur yang dapat diterapkan terhadap perusahaan yang pailit (insolvent) yakni: 405 1. Liquidations (also known as windings up), encompassing compulsory liquidations and creditors voluntary liquidations; 2. Receiverships, including administrative receiverships (floating charges) and receiverships (fixed charges); 3. Administrations, and 4. Composition
schemes,
including
voluntary
arrangements
under
Insolvency Act and schemes of arrangement under Companies Act. Likuidasi (winding up) adalah prosedur tentang pengakhiran suatu perusahaan yang akibatnya adalah perusahaan tersebut harus dikeluarkan dari daftar atau register perusahaan yang disediakan untuk itu, sehingga perusahaan tersebut menjadi de-incorporation dibedakan dengan incorporation. 406 Likuidasi terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu: 407 a. Members voluntary liquidation (solvent): memperhitungkan pembayaran dengan jalan melikuidasi aset-aset untuk membayar utang kepada para kreditor dan membagi kelebihannya kepada para pemegang saham. b. Creditors voluntary liquidation (insolvent): prosedur ini dapat terjadi bila: 1) Direksi menyimpulkan bahwa posisi keuangan tidak memungkinkan melanjutkan usaha dan rapat pemegang saham memutuskan melalui suara 405
Dennis Campbell, International Corporation Insolvency Law, (Butterworths: CILS, 1992), h. 137 406 Ibid h. 142 407 Ibid h. 142-143
mayoritas (75%), melikuidasi (wind up) perusahaan secara sukarela (voluntary) karena tanggung jawab perusahaan berupa utang-utang telah mengganjal jalannya usaha dan untuk itu ditunjuk seorang likuidator, dan 2) Para pemegang saham mengajukan suatu usul atau resolusi, dan 3) Para kreditor konkuren menyetujui liquidator yang telah dipilih oleh para pemegang saham ataupun memilih likuidator lainnya, dan bila terjadi perbedaan pendapat maka suara kreditor yang harus didahulukan. Sehingga pemegang saham hanya berwenang memutuskan likuidasi dalam hal likuidasi atas keinginan para kreditor, tetapi kreditor konkuren akan menentukan dalam pemilihan likuidator. Dalam likuidasi atas keinginan kreditor ini winding up dianggap dimulai sejak hari dimana resolusi winding up diajukan (Section 86, Insolvency Act 1986). c. Compulsory liquidation: dalam konteks insolvensi, likuidasi ini dapat terjadi bila: 1) Perusahaan telah atau dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya, dan 2) Diikuti adanya permohonan dari satu kreditor yang piutangnya belum terbayar, sehingga pengadilan mengeluarkan suatu penetapan winding up. Berdasarkan Section 221 Insolvency Act 1986, pengadilan Inggris diberi wewenang mengeluarkan penetapan winding up (liquidasi) terhadap perusahaan yang tidak terdaftar dalam register Perusahaan dan juga persekutuan-persekutuan maupun perusahaan-perusahaan lainnya yang tidak terdaftar berdasarkan Companies Act.
Receiverships dapat dilakukan bilamana seluruh aset maupun kekayaan perusahaan diikat dengan jaminan, maka perusahaan harus melibatkan pemegang hak jaminan untuk menunjuk seorang administrative receiver, atau memilih dari antara pemegang hak tersebut sebagai Administrative Receiver. Administrations adalah menyerahkan atau mempercayakan pengelolaan perusahaan
kepada
seorang
Administrator
untuk
mewakili
perusahaan
menghadapi pihak lain dengan tugas mengupayakan agar bisnis (usaha) berjalan lebih baik yakni agar perusahaan kembali menguntungkan atau alternatif lain menjual seluruh aset di luar likuidasi dengan harapan memperoleh harga yang lebih baik daripada dilikuidasi segera, walaupun kemudian ditetapkan winding up. Prosedur Administrasi ini sangat sedikit jumlah yang dapat dilaksanakan dan tingkat keberhasilannya tidaklah sebagaimana diharapkan. Composition schemes and schemes of arrangement, mengupayakan agar perusahaan kembali menjadi usaha yang menguntungkan yaitu dengan cara membuat perjanjian dengan para kreditor atau dalam beberapa kasus melakukan tindakan
penyelesaian
yang
tepat
dan
efektif
untuk
menghilangkan
ketergantungan kepada perluasan kerjasama diantara mereka. Tapi bila perusahaan mengalami kesulitan finansial yang serius, maka diperlukan bentukbentuk kesepakatan dengan para kreditor seperti halnya reorganisasi perusahaan. Beberapa kesepakatan baik melalui CVA (Company Voluntary Arrangement) maupun berdasarkan schema pada Section 425 Companies Act 1985, akan dilahirkan suatu rencana reorganisasi yang menjadi kesepakatan bersama kemudian.
2. Singapura Singapura sebagai salah satu negara yang menganut sistem common law selalu mengikuti hukum tradisi dan kasus-kasus yang terjadi di Inggris sering menjadi acuan bagi pengadilan Singapura untuk memutuskan kasus serupa. Dalam kasus Ekonomi dan Perdagangan sudah merupakan suatu keharusan untuk tetap meresepsi Hukum Inggris dan penerapan itu kemudian akan dijadikan sebagai Hukum lokal di Singapura. Beberapa kasus akan diputus dengan ketentuan dan cara yang sama berlaku di Inggris, kecuali hukum lokal sudah ada yang mengatur secara tegas, dalam hal ini hukum lokal harus diberlakukan. Dalam bidang hukum Kepailitan dan Insolvensi sudah ada ditetapkan sebagai hukum lokal sehingga tidak lagi meresepsi Hukum Inggris, karena konsep dasar dan ruang lingkupnya hampir sama dengan Hukum yang berlaku di Inggris. Hukum yang mengatur tentang hak-hak kerditor dan penyelesaian masalah tentang hak tersebut telah termuat dalam Bankruptcy Act Cap. 20 khususnya tentang kepailitan dan insolvensi perseorangan atau persekutuan, sedang yang menyangkut tentang perusahaan (Badan Hukum) telah diatur dalam Companies Act Cap. 50. Bila perseorangan atau persekutuan dinyatakan insolven, debitor maupun para kreditor dapat menggunakan prosedur kepailitan (Bankruptcy Proceedings), sebaliknya bila perusahaan (Badan Hukum) dinyatakan insolven, perusahaan atau para kreditornya dapat menggunakan prosedur winding up (Winding Up Proceedings) terhadap perusahaan tersebut. Namun bagi suatu perusahaan yang tidak mampu membayar utangutangnya tetapi memiliki prospek untuk dapat bangkit kembali menjadi
perusahaan yang sehat, perusahaan selaku debitor maupun para kreditor boleh mengajukan suatu rencana kesepakatan sebagai alternatif untuk tidak dilikuidasi, hal ini diuraikan dalam kalimat berikut: “However, where a company is unable to pay its debts but has a reasonable prospect of being revived to a financially healthy position, the company or its creditors may instead apply for the appointment of judicial manager of proposed a scheme of arrangement as an alternative to liquidating the company.” 408 Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku secara umum bagi seluruh kasus Insolvensi baik terhadap perseorangan, persekutuan maupun perusahaan, prinsipprinsip tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Hukum Insolvensi mengakui semua hak-hak yang timbul berdasarkan hukum umum sebelum prosedur Bankruptcy atau winding up dilaksanakan. b. Hanya aset milik debitor yang dapat dialihkan atau dibagikan. c. Hak jaminan kreditor separatis tidak akan dipengaruhi oleh pelaksanaan insolvensi. d. Para kreditor konkuren mempunyai kedudukan seimbang (pari passu). e. Debitor akan dinyatakan insolvent jika tidak mampu membayar utangutangnya yang telah jatuh waktu, misalnya debitor tidak mampu membayar utang secara tunai sangat berbeda dengan pengertian bila dalam pembukuan terlihat kewajiban (utang) melebihi nilai aset. Bankruptcy adalah suatu istilah yang digunakan di Singapura dalam hal perseorangan atau persekutuan dinyatakan insolven. Bankruptcy adalah suatu
408
Ibid h. 498
proses penting karena negara akan mengambil alih hak kepemilikan atas aset-aset debitor yang insolven melalui seorang pejabat publik yang ditunjuk dan kemudian membagikan aset-aset tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berdasarkan prioritas bagi semua kelompok kreditor dari debitor yang insolven tersebut. Permohonan Bankruptcy dapat diajukan oleh debitor sendiri atau oleh para kreditornya. Permohonan Bankruptcy hanya dapat diajukan kepada debitor yang kepadanya berlaku Bankruptcy Act, dan ketentuan-ketentuan dalam Bankruptcy Act ini dapat menguji apakah debitor insolven atau tidak. Demikian juga permohonan Bankruptcy Act oleh debitor sendiri tentu kepadanya harus perlu berlaku Bankruptcy Act. Terhadap permohonan Bankruptcy ini pengadilan dapat menetapkan bahwa debitor dimaksud dinyatakan pailit (Bankrupt). Prosedur yang sama dengan Bankruptcy untuk perusahaan yang insolven adalah winding up, yakni suatu proses yang tujuannya untuk mengakhiri suatu perusahaan setelah assetnya dikumpulkan dan didistribusikan secara sah kepada kreditor dan pemegang saham sesuai ketentuan dan prioritas yang berlaku. Prosedur winding up tidak sama dengan Bankruptcy karena proses winding up dapat terjadi walaupun perusahaan dalam keadaan solven. Keadaan insolvensi hanyalah salah satu dari beberapa alasan timbulnya proses winding up. Winding up dapat dikategorikan dalam 2 (dua) keadaan: a. Compulsory Winding Up, dapat terjadi dengan adanya permohonan dari yang berkepentingan kepada pengadilan. Permohonan ini dapat diajukan oleh: a. perusahaan, b. para kreditor, c. contributory (pemegang saham), d. receiver
atau liquidator dari perusahaan, e. judicial manager, dan f. Menteri, (Section 253 (1) Companies Act). b. Voluntary Winding Up, dapat dibagi lagi menjadi: 1) Creditors’ Voluntary Winding Up, yakni bila perusahaan memperkirakan keadaan sudah insolven, maka perusahaan dengan inisiatifnya menangani masalah ini dengan melakukan winding up (likuidasi). 2) Members’ Voluntary Winding Up, hal ini dimungkinkan jika para direksi perusahaan memberi pernyataan bahwa perusahaan dalam keadaan solven. Tetapi jika perusahaan dalam keadaan insolven, winding up hanya dapat dilakukan atas permintaan dari kreditor, sehingga Members’ Voluntary Winding Up dapat berubah menjadi Creditors’ Voluntary Winding Up. Paba Bab VIII A Companies Act ada diatur tentang penunjukan seorang Judicial manager oleh pengadilan. Berbeda dengan likuidator yang tugasnya melikuidasi (winding up) kekayaan perusahaan karena tidak mampu lagi membayar utang-utangnya, tetapi tugas utama dari judicial manager adalah memberi kesempatan kepada perusahaan untuk membenahi usahanya sehingga dapat meningkatkan kemampuannya untuk membayar utang-utangnya. Dalam hal tertentu kepada debitor diberikan moratorium selama 180 hari untuk menyusun rencana dalam upaya menyehatkan perusahaan. Amandemen Companies Act memuat ketentuan yang memberi kekuasaan bagi judicial manager
untuk
mengupayakan secara optimal rencana kesepakatan sebagaimana diatur dalam Section 210 Companies Act, dalam rangka menyelematkan suatu perusahaan atau para kreditornya boleh mengajukan permohonan terhadap suatu penetapan agar
perusahaan ditetapkan di bawah pengawasan seorang judicial manager. Perusahaan dapat mengajukan permohonan ini jika disetujui oleh jumlah mayoritas pemegang saham atau jumlah mayoritas dari para direksi. Suatu permohonan menunjuk seorang judicial manager dapat diajukan apabila : a. Perusahaan tidak mampu atau tidak akan mampu membayar utang-utangnya. b. Adanya kemungkinan yang kuat untuk merehabilitasi perusahaan atau melancarkan seluruh bagian usaha menjadi perusahaan yang berjalan atau dalam hal kepentingan para kreditor akan lebih terjamin dari pada melaksanakan winding up terhadap perusahaan. (Section 227A) Composition or Scheme of Arrangement (Rencana Perdamaian) dapat ditawarkan oleh si debitor kepada para kreditornya sebagai rancangan yang akan disetujui agar tidak diteruskan kepada pernyataan pailit (bankrupt). Pada rapat para kreditor yang pertama atau pada rapat-rapat berikutnya berdasarkan suatu resolusi atau pernyataan, para kreditor dapat memutuskan untuk menawarkan usul berupa rancangan perdamaian yang sekaligus menguraikan isi dari rancangan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Section 18 (1) Companies Act. Suatu resolusi/pernyataan haruslah ditetapkan berdasarkan suara mayoritas yakni dihadiri dan disetujui
oleh ¾ jumlah para kreditor.
Rencana perdamaian tersebut harus diperoleh persetujuan pada rapat para kreditor berikutnya yang dihadiri dan dapat mewakili ¾ jumlah para kreditor yang piutangnya diakui.
Jika rencana perdamaian tersebut telah disetujui, selanjutnya harus dimintakan pengesahan (homologasi) kepada pengadilan. Bila pengadilan berpendapat bahwa isi dari perdamaian tersebut tidak rasional dan tidak bermanfaat bagi sejumlah besar para kreditor, atau jika dalam hal pengadilan harus menolak perkara itu sebagai perkara kepailitan (Bankruptcy), berdasarkan kewenangan dan pertimbangannya pengadilan harus menolak untuk mengesahkan rencana perdamaian tersebut (Section 18 (9) Companies Act). Pengadilan tidak akan mengesahkan suatu rencana jika tidak mengatur pembayaran utang yang harus didahulukan sebagaimana urutan prioritas dalam pembagian asset dalam kepailitan (Backruptcy). Jika pengadilan mengesahkan rencana perdamaian tersebut, maka perdamaian itu akan mengikat bagi semua kreditor termasuk yang tidak menyetujui, dan penetapan Receiver harus dicabut. 3. Malaysia Undang-undang Kepailitan yang berlaku di Malaysia adalah Bankruptcy Act (Act 360) yang biasa disebut Bankruptcy Act 1967 yang berlaku untuk seluruh wilayah Federasi Malaysia. Menurut Undang-Undang ini permohonan pailit (Bankruptcy Petition) dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor, dan berdasarkan permohonan itu Pengadilan Tinggi (High Court) yang berwenang menangani kasus kepailitan (Bankruptcy Case), 409 akan mengeluarkan suatu penetapan yang tujuannya untuk menyelematkan seluruh harta kekayaan debitor.
409
Bankruptcy case ditangani oleh Mahkamah Tinggi (High Court) yang terdiri dari: 1. Mahkamah Jenayah Tinggi (Pidana), 2. Mahkamah Civil Tinggi (Perdata) dan 3. Mahkamah Dagang Tinggi (Dagang + Bankruptcy), dan bila putusan ditolak, memerintahkan Pejabat Pemegang Harta untuk tidak melaksanakan putusan Mahkamah Tinggi dan perkaranya diteruskan ke Mahkamah Dagang Appeal. Hasil wawancara dengan: Puan Azwar Nida Bte. Affandi, Hakim Bankrap Mahkamah Dagang Tinggi, Kualalumpur, 25 Nopember 2004.
Penetapan ini disebut juga Receiving Order yang isinya juga menunjuk dan menetapkan Official Assignee sebagai Receiver yang mengurusi harta kekayaan debitor. 410 Kreditor atau para Kreditor dapat mengajukan pailit terhadap debitor apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 411 a. Apabila piutang kreditor atau para kreditor (bersama-sama) berjumlah + 10.000 ringgit. b. Utang tersebut sudah harus dibayar tunai dengan segera atau pada waktu tertentu dikemudian hari. c. Peristiwa atau keadaan yang mendasari adanya permohonan pailit telah terjadi dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum permohonan diajukan. d. Debitor berdomisili di dalam wilayah federasi atau di negara lain tapi kegiatan bisnisnya atau perwakilannya berada di wilayah federasi. Pada waktu rapat para kreditor pertama atau rapat berikutnya, berdasarkan adanya resolusi yang memenuhi syarat, para kreditor dapat memutuskan untuk menawarkan suatu rancangan tentang pelunasan utang-utang debitor atau rancangan kesepakatan mengenai kewajiban debitor yang tujuannya untuk memperoleh kesepakatan (perdamaian). Rencana perdamaian tidak akan mengikat bagi para kreditor kecuali pada rapat para kreditor berikutnya telah memperoleh persetujuan dari paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah kreditor yang diakui, dan renacna perdamaian yang telah disetujui ini harus memperoleh pengesahan dari pengadilan. Sehingga setelah memperoleh persetujuan dari para kreditor selanjutnya debitor ataupun 410 411
Section 4, Section 8 Bankruptcy Act 1967 Section 5 (1) Bankruptcy Act 1967
Official Assignee harus mengajukan permohonan pengesahan atas rencana perdamaian itu kepada pengadilan. Sebelum pengadilan mengesahkan rencana tersebut harus lebih dahulu mendengar laporan dari Official Assignee mengenai isi rencana, perilaku dari debitor dan juga harus mendengar tanggapan dari para kreditor atau kuasanya. Bila pengadilan berpendapat bahwa isi dari rencana tersebut tidak rasional dan tidak akan memberi manfaat bagi kreditor secara keseluruhan, atau jika menurut undang-undang, pengadilan harus menolak perkara itu sebagai perkara kepailitan (Bankruptcy) atau bila terbukti berdasarkan Undang-Undang pengadilan harus menolaknya usaha berdasarkan kewenangan dan pertimbangannya pengadilan harus menolak pengesahan rencana perdamaian tersebut. Jika pengadilan mengesahkan rencana perdamaian tersebut haruslah dibubuhi dengan meterai dan cap yang dilekatkan pada lembar-lembar isi rencana, atau dapat juga isi rencana perdamaian itu disatukan dengan penetapan pengesahannya. Suatu rencana yang telah disetujui dan disahkan akan mengikat seluruh kreditor sebesar piutangnya yang telah dibuktikan dalam proses kepailitan (Bankruptcy). Isi persetujuan dalam rencana perdamaian dapat dilaksanakan oleh pengadilan
berdasarkan
adanya
permohonan
dari
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan yang dilakukan oleh pengadilan dianggap sebagai suatu penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan (Contempt of Court).
Bila terbukti ada cacat dalam melakukan pembayaran (cicilan) dalam rangka pelaksanaan perdamaian atau jika terbukti bahwa perdamaian telah dibuat dengan cara tidak adil atau pengesahannya dicapai karena penipuan, maka berdasarkan permohonan dari para kreditor, pengadilan dapat menyatakan bahwa debitor dalam keadaan pailit sekaligus membatalkan rencana perdamaian itu. Tetapi pengadilan tidak berhak membatalkan penjualan atau tindakan lainnya yang telah dilakukan dalam upaya menjalankan isi perdamaian. Pengajuan rencana perdamaian dilakukan oleh para kreditor pada rapat para kreditor pertama atau pada rapat penundaan berikutnya, yakni pada saat belum ada pernyataan pailit terhadap debitor sehingga debitor tidak sempat atau belum dinyatakan pailit. Namun menurut ketentuan lainnya dari Bankruptcy Act 1967 pengajuan rencana perdamaian dapat juga diajukan oleh para kreditor setelah debitor dinyatakan pailit, hal itu diuraikan dalam ketentuan sebagai berikut: Where a debtor is adjudged bankrupt the creditors may, if they think fit, at any time after the adjudication, by special resolution, resolve to entertain a proposal for a composition in satisfaction of the debts due to them under the bankruptcy, or for a scheme of arrangement of the Bankrupt’s affairs, and there upon the same proceedings shall be taken and the same consequences shall ensue as in the case of a composition or scheme entertained at the first meeting of creditors. 412 (Bila debitor telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, berdasarkan resolusi yang telah memenuhi syarat, setiap waktu dan bila dianggap perlu para kreditor dapat menawarkan suatu rencana penyelesaian utang yang diinginkannya berdasarkan kepailitan atau suatu rencana kesepakatan mengenai kepailitan, dan untuk itu
412
Section 26 (1) Bankruptcy At 1967
hukum acara yang berlaku dan akibatnya adalah sama dengan rencana perdamaian yang diajukan pada rapat para kreditor pertama). Jika pengadilan menyetujui atau mengesahkan rencana perdamaian itu, pengadilan
dapat
membatalkan
kepailitan
debitor,
sedang
harta
pailit
dikembalikan kepada debitor atau kepada seorang tertentu yang ditunjuk oleh pengadilan sesuai dengan keadaan tertentu yang diumumkan oleh pengadilan. Bila terbukti ada cacat dalam melakukan pembayaran (cicilan) dalam rangka pelaksanaan isi perdamaian atau bila terbukti bagi pengadilan bahwa perdamaian telah dibuat dengan cara tidak adil atau dengan penundaan yang tidak perlu, atau bila pengesahan dari pengadilan dicapai karena penipuan, maka berdasarkan
permohonan
pihak
yang
berkepentingan,
pengadilan
dapat
menyatakan bahwa debitor dalam keadaan pailit dan sekaligus membatalkan rencana perdamaian. Namun pengadilan tidak berhak membatalkan penjualan atau tindakan lainnya yang telah dilakukan dalam upaya menjalankan isi perdamaian. Apabila debitor dinyatakan pailit dengan cara tersebut di atas semua utang-piutang yang diakui dan dibuat sebelum pernyataan pailit, harus diakui dalam kepailitan tersebut. Dalam ketentuan Undang-Undang Kepailitan Malaysia atau Bankruptcy Act 1967 ini, rencana perdamaian dapat diajukan sebelum debitor dinyatakan pailit yakni pada rapat kreditor pertama dan juga dapat diajukan rencana perdamaian pada waktu setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Tetapi dalam Undang-Undang tersebut tidak ada diatur secara tegas tentang Reorganisasi.
C.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundang-undangan di Beberapa Negara Civil Law.
1.
Belanda Kepailitan di Negeri Belanda mula-mula diatur dalam Code de Commerce
(KUH Dagang Belanda) yang mulai berlaku tahun 1811. Bahwa kemudian diadakan pembedaan antara Kepailitan Pedagang dan yang bukan Pedagang yaitu a. Kepailitan seorang Pedagang
diatur dalam Wetboek Van Koophandel
Nederland (KUH Dagang Belanda) dalam buku Ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan ketidakmampuan Pedagang), yang mengatur tentang Kepailitan dan PKPU dan kitab ini berlaku sampai tahun 1896 karena telah berlakunya Faillissements Wet 1893. b. Kepailitan terhadap debitor yang bukan Pedagang diatur dalam Wet-boek Van Burgerlijk Rechtsvardering, buku Ketiga Titel VII tentang Regeling Van Staat Van Kennelijk Onvermogen (Tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu) Kemudian ketentuan Kepailitan dan Penundaan Utang di negeri Belanda telah diatur dalam Faillissements Wet 1893 yang mulai berlaku pada tahun 1896, dan selama berlaku dalam jangka waktu 100 (seratus) tahun telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu : 413 a. Pada tahun 1925 telah dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai Van Surseance 413
van Betaling (Tentang Penundaan Kewajiban
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit. h. 23
Pembayaran Utang atau PKPU), yaitu dengan memberikan kemungkinan bagi suatu perusahaan (debitor) yang sudah mengalami insolvensi untuk melanjutkan kegiatan usahanya. b. Pada tahun 1935 dalam Titel II, yaitu Van Surseance Van Betaling (Tentang PKPU), disempurnakan lagi yakni dengan memungkinkan dwang akord (Perdamaian paksa) di luar ketentuan undang-undang kepailitan. c. Pada tahun 1992 telah dilakukan perubahan sebagai akibat diberlakukannya hak-hak kekayaan yang diperbaharui dalam Buku 3, 5, 6 dan 7 BW. Faillissements Wet 1893 adalah merupakan cikal bakal Undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia yakni Faillissements Verodening (Stb, 1905 – 257 jo. Stb. 1906 – 348) Faillissements Wet ini mengatur 2 (dua) bagian tentang insolvensi, yakni Kepailitan (faillissements) dan Moratorium adalah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (suspension of payment : surseance van betaling). Kepailitan adalah pembebanan terhadap semua aset milik debitor pailit yang ditetapkan oleh pengadilan untuk kepentingan seluruh para kreditornya. Tujuan dari kepailitan adalah menyelenggarakan pembagian secara berimbang kekayaan debitor diantara para kreditornya tersebut. Moratorium adalah penetapan pengadilan untuk penundaan pembayaran utang (kewajiban) debitor dengan maksud untuk menghindari kepailitan dari debitor demi kepentingan kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor. Di negeri Belanda semua debitor dapat dinyatakan pailit, bukan hanya pedagang tetapi juga perusahaan berbadan hukum maupun tidak.
Selain dari perseorangan, bentuk-bentuk perusahaan yang dapat dinyatakan pailit adalah : 414 1. Perusahaan berbadan hukum : Naamloze Vennootschap (NV), Besloten Vennootschap (BV), Vereniging Met Volledige Rechtshevoegdheid Stichting, Cooperatieve Vereniging dan Onderlinge Warrborgcooperatie. 2. Perusahaan yang tidak berbadan hukum : Vennootschap Onder Firma (VOF), Commanditaire Vennotschap (CV) dan Nalatenschap. Dalam Kepailitan haruslah dibuktikan fakta maupun keadaan bahwa si debitor mempunyai utang kepada kreditornya dan di debitor telah berhenti atau tidak mampu membayar utang-utangnya. Selanjutnya disyaratkan lagi bahwa debitor paling sedikit mempunyai 2 (dua) kreditor dan 1 (satu) dari utangnya tersebut telah jatuh tempo (waktu) untuk dibayar. Permohonan pernyataan pailit di negeri Belanda haruslah diajukan ke pengadilan distrik (Arrondissementsrechtbank) di wilayah mana perusahaan (debitor) telah didaftarkan. Asset di debitor akan dikumpulkan dan direalisasikan atau dibagikan kepada para kreditornya sesuai dengan hak-haknya. Dalam putusan pernyataan pailit, pengadilan akan menunjuk seorang kurator dari praktisi hukum dan sekaligus juga pengadilan mengangkat seorang hakim komisaris (Rechter Commissaris) yang akan mengawasi tugas-tugas kurator dalam pelaksanaan likuidasi harta kekayaan debitor. Perusahaan pailit (debitor) dapat mengajukan penawaran perdamaian kepada para kreditor. Penawaran tersebut harus diajukan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah rapat para kreditor yang pertama. Perdamaian itu biasanya adalah 414
Erik J.Bink dalam Dennis Campbel, International Corporate Insolvency Law, (Butterworths : CILS, 1992), h.374
berupa suatu rencana kesepakatan di mana para kreditor preferen akan memperoleh pembayaran penuh sedangkan kreditor konkuren akan menerima pembayaran dengan persentase tertentu dari piutangnya. Perdamaian akan ditolak oleh para kreditor bila pembayaran yang ditawarkan tidak memperlihatkan nilai lebih jika dibandingkan dengan pembayaran yang diharapkan melalui kurator setelah seluruh aset debitor dilikuidasi. Sejumlah dana tertentu diperlukan oleh debitor pailit untuk membuat penawaran yang realistis dan biasanya dana tersebut akan ditawarkan (diberikan) oleh pihak ketiga yang dengan alasan tertentu bersedia mendukung perusahaan debitor. Jika jumlah mayoritas dari para kreditor konkuren menyetujui penawaran perdamaian tersebut, kemudian harus diajukan ke pengadilan untuk memperoleh pengesahan (homologatie). Bila pengadilan mengesahkan perdamaian, maka proses kepailitan harus diakhiri. Hak-hak kreditor untuk minta pelunasan terhadap utang-utang yang belum terbayar harus diseimbangkan dengan tuntutan mereka yang berhenti walaupun mereka tidak menyetujui perdamaian pada rapat kreditor. Perdamaian tidak membebaskan debitor dari utang yang belum terbayar (sisa) jika : a. Aset setelah dikurangi kewajibannya diperhitungkan melebihi jumlah yang ditawarkan dalam perjanjian perdamaian b. Pelaksanaan dari perdamaian tidak cukup terjamin c. Perdamaian dicapai karena penipuan Selanjutnya perusahaan debitor akan dilikuidasi bila : a. Tidak ada ditawarkan perdamaian b. Perdamaian yang ditawarkan ditolak oleh rapat kreditor atau
c. Pengadilan telah menolak mengesahkan perdamaian dan perusahaan pailit menjadi insolven dan harus dilikuidasi segera kecuali para kreditor memutuskan untuk melanjutkan usaha debitor untuk waktu tertentu. Penundaan pembayaran utang atau moratorium dapat ditetapkan oleh pengadilan berdasarkan permintaan dari debitor sebagai upaya untuk keluar dari keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pada waktu yang bersamaan debitor pemohon dapat mengajukan rencana perdamaian. Secara otomatis pengadilan akan memberikan penundaan sementara dan akan menunjuk seorang pengurus (bewind voerder) yang biasanya terdiri praktisi hukum, dan pengadilan juga akan menunjuk seorang hakim (Hakim Pengawas) yang memberikan nasehat kepada pengurus bila diperlukan. Masa waktu moratorium diberikan dalam waktu 18 (delapan belas) bulan: “A judicial extension of time is given for up to eighteen months in which the debtor must settle its debts provided the creditors agree.” 415 Pengadilan akan menetapkan suatu penundaan pembayaran (moratorium) kecuali apabila : a. Ditolak atau tidak disetujui oleh lebih dari ¼ (seperempat) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat kreditor atau oleh lebih dari 1/3 (sepertiga) dari jumlah kreditor konkruen seluruhnya. b. Adanya dugaan berat (kecurigaan) bahwa si debitor akan merugikan hak-hak para kreditor selama penundaan (moratorium), atau
415
Dennis Campbel et. al (editors), op. cit. h. 15
c. Ada keraguan bahwa si debitor tidak akan sanggup menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada kreditor. Selama penundaan para direksi perusahaan debitor tidak dapat lagi mengatur dan menangani asset-asset perusahaan tanpa pengetahuan atau campur tangan dari pengurus. Maksud dan tujuan kepailitan adalah untuk melikuidasi harta kekayaan debitor, tetapi tujuan utama dari penundaan kewajiban pembayaran adalah memberi kesempatan kepada perusahaan debitor untuk memperbaiki keadaan keuangan perusahaan dan bila perlu melakukan reorganisasi terhadap kegiatan perusahaan. Dan jika memang sangat diperlukan debitor dapat menjual asset selama penundaan baik itu asset yang menggerakkan sebagian atau seluruh kegiatan usaha debitor. Penundaan dapat ditetapkan sebagai penundaan secara keseluruhan bagi kreditor konkuren. Terhadap kreditor separatis dan preferent diberi hak melaksanakan haknya tanpa pengaruh dari penundaan. Dalam kenyataannya para kreditor separatis dan preferent ini sering bersedia dan memberi kesempatan kepada debitor untuk melakukan reorganisasi terhadap posisi keuangan debitor. Pelaksanaan hak-hak kreditor atas asset debitor menjadi tertunda dengan adanya moratorium dan pembebanan atas asset-asset menjadi terangkat, bahkan dimungkinkan membuat ketentuan-ketentuan khusus terahadap perusahaan debitor selama penundaan dan aturan tersebut berlaku selama moratorium. Pelaku usaha (manajemen) tidak dapat membentuk atau memberlakukan aturan tersebut tanpa persetujuan dari pengurus. Penundaan (moratorium) dapat diakhiri oleh pengadilan dalam keadaan berikut ini :
a. Atas permintaan dari debitor dengan alasan telah tercapai keadaan yang memungkinkan untuk membayar utang-utangnya. b. Dalam hal pemungutan suara, para kreditor mayoritas tidak menyetujui rencana perdamaian c. Atas perminaan dari pengurus dengan alasan bahwa keadaan asset tidak memungkinkan memperoleh tujuan penundaan tersebut, atau bila secara mudah memperkirakan bahwa perusahaan debitor tidak memungkinkan untuk membayar seluruh utang-utangnya. Pada saat penundaan diakhiri maka pengadilan harus menyatakan perusahaan debitor pailit. 2
Austria Peraturan yang paling banyak memuat ketentuan tentang insolvensi di
Austria adalah Insolvency Act dan Debt Recomposition Act yang telah mengalami beberapa kali amandemen sejak diberlakukan tahun 1914. Peraturan lainnya juga ada mengatur tentang insolvensi ini antara lain dalam Criminal Code, Law on Companies with Limited Liability atau dalam Law on Stock Companies. Pengaturan antar negara tentang kasus insolvensi diperoleh terutama dalam perjanjian bilateral antara Austria dengan negara : Belgia, Prancis, Jerman dan Itali. Ketentuan Insolvensi akan dimulai bila diperoleh bahwa debitor tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya misalnya tidak lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Dalam hal ini diajukan tuntutan ke pengadilan tidak saja terhadap suatu perusahaan yang tidak sanggup memenuhi kewajibannya, tetapi juga terhadap perusahaan yang kewajibannya melebihi dari pada nilai assetnya.
Di dalam hukum Austria prosedur insolvensi dianggap sebagai bentuk khusus dari prosedur eksekusi. Pada prosedur eksekusi biasanya kreditor yang bersangkutan selalu menginginkan tuntutannya dipenuhi yakni melalui proses tersendiri masing-masing berisikan sejumlah permitaan dan cara pelaksanaannya. Baik pada waktu mengajukan permohonan maupun tahap pelaksanaannya petugas pengadilan akan selalu memprioritaskan kreditor yang bersangkutan. Pada prosedur Insolvensi juga tujuan utamanya adalah bagaimana memenuhi tuntutan para kreditor, tetapi digabungkan dalam satu proses acara, kecuali bila ada kreditor yang mempunyai hak khusus, maka semua kreditor mempunyai kedudukan yang sama. Para kreditor akan memperoleh pembagian dari asset debitor dengan dasar pro rata parte. Debt Recomposition (Ausgleich) pada dasarnya adalah suatu persetujuan antara debitor dan para kreditornya, yakni menentukan debitor akan membayar sebagian dari utang-utangnya dalam waktu yang ditentukan dan akan membebaskannya dari sisa utang yang masih ada dalam perhitungan. Prosedur ini berbeda dengan prosedur Bankruptcy (Konkurs) karena debitor masih diberi kesempatan menjalankan kegiatannya dan dibebaskan atas sebagian utangnya sedangkan dalam Bankruptcy mengarah kepada likuidasi dan pembagian atas aset-aset debitor, sedang sisa utang yang belum terbayar tetap menjadi tanggung jawabnya hingga dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang (tiga puluh tahun). Maksud dan tujuan prosedur Bankruptcy adalah untuk melikuidasi (winding up) dengan menjual seluruh aset-aset debitor dan membagikannya
diantara para kreditor dengan dasar pro rata parte. Biaya ringan dan perlindungan para debitor dari diskriminasi atau penipuan adalah prinsip yang diutamakan dalam prosedur ini. Proses akan dimulai bila ditemukan keadaan bahwa debitor tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya atau bila melalui pengadilan terbukti bahwa kewajiban-keajiban debitor melebihi nilai asset-assetnya. Proses Bankruptcy dapat dilakukan dengan syarat debitor memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor. Biaya-biaya yang timbul setelah proses Bankruptcy dimulai haruslah dibayar penuh seperti biaya kurator (Receiver’s fee), ongkos kepailitan, pajak, kontribusi sosial atau upah buruh yang dihitung sejak Bankruptcy dimulai. Para kreditor akan memperoleh pembagian yang seimbang setelah biaya proses Bankruptcy dibayar atau diselesaikan lebih dahulu. Kecuali biaya yang timbul setelah proses Bankruptcy, tidak ada pemberian prioritas bagi para kreditor atau preferensi tidak dikenal dalam Hukum Austria. Moratorium (Vorverfahren) masih merupakan prosedur yang relatif baru dalam Hukum Austria dengan adanya perubahan undang-undangan pada tahun 1982, dengan memberi kesempatan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dalam waktu 5 (lima) minggu melakukan reorganisasi dan meneruskan jalannya usaha sebagaimana sebelum proses Bankruptcy dimulai. Debitor
harus
mengajukan
permohonan
moratorium
ini
dengan
melampirkan reorganization plan (rencana reorganisasi) selengkapnya kepada seorang receiver (Pengurus) yang ditunjuk oleh pengadilan. Receiver akan menguji rencana untuk meneruskan usaha bisnis tersebut dan dihadiri pihak
lainnya yang berkepentingan dengan upaya debitor seperti: para pekerja, pemasok, bank dan juga membuat permintaan kepada pihak-pihak yang bersedia menyiapkan dana yang diperlukan dalam rangka reorganisasi. Dengan berakhirnya waktu 5 (lima) minggu, pengadilan akan menentukan apakah reorganisasi telah dapat mengatasi kesulitan keuangan debitor dan apakah debitor sekarang sudah dalam
keadaan
mampu melaksanakan tanggung
jawabnya. Jika demikian maka debitor akan meneruskan jalannya usaha, tetapi bila tidak maka pengadilan harus menetapkan apakah prosedur Bankruptcy atau Recomposition yang diterapkan. 3. Denmark Bankruptcy atau kepailitan berlaku dalam keadaan di mana debitor tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Aset akan dijual dan hasilnya dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan hak-hak mereka. Debitor tidak dibebaskan atas kekurangan pembayaran. Compulsory Composition adalah suatu rancangan perdamaian antara debitor dengan para kreditor yang tujuannya adalah untuk membantu debitor dengan menurunkan tuntutan dari kreditor konkruen hingga menjadi 25 (dua puluh lima) persen dari tuntutan asli (asal). Jika telah disetujui para kreditor mayoritas, maka akan mengikat bagi seluruh kreditor. Voluntary Composition adalah suatu rancangan perdamaian antara debitor dengan para kreditor yang tujuannya adalah untuk memperoleh kesepakatan di mana tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban debitor akan ditentukan besarnya menurut persetujuan antara debitor dengan para kreditor. Perdamaian
atau kesepakatan ini hanya mengikat bagi kreditor yang memberikan persetujuannya. Suspension of Payment atau Penundaan pembayaran ditentukan sebagai berikut : “A Moratium of not more than three months is imposed, in which time the debitor must purpose some form of composition or other settlement 416 (Suatu penundaan pembayaran diberikan untuk waktu selama 3 (tiga) bulan dan dalam waktu tersebut debitor harus mengajukan rancangan perdamaian atau bentuk lain cara penyelesaian utang-utangnya).
D.
Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Reorganisasi dengan Ketentuan PKPU Menurut ketentuan perundang-undangan di negara-negara yang menganut
sistem Common Law, Reorganisasi Perusahaan telah diatur dengan jelas. Di Amerika Serikat Reorganization telah diatur dalam Chapter 11 US BC, sedang di Inggris telah diatur dalam Section 425 Company Act 1985 maupun dalam Company Voluntary Agreement yang melahirkan suatu Rencana Reorganisasi. Di Singapura, berdasarkan amendemen Companies Act pada Section 210 dan Section 227A Companies Act, dapat menunjuk seorang judicial manager yang bertugas untuk merehabilitasi perusahaan menjadi perusahaan yang berjalan (going concern), perusahaan Debitor dapat mengajukan Composition of scheme of Arrangement (Rencana Perdamaian) dengan syarat bahwa kepentingan para kreditor lebih terjamin dari pada melaksanakan winding up terhadap perusahaan.
416
Dennis Campbell et.al (editors) op. cit. h. 10
Dalam Undang-Undang Kepailitan Malaysia (Bankruptcy Act 1967), Rencana Perdamaian dapat diajukan sebelum Debitor dinyatakan pailit ataupun setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tetapi di Singapura maupun di Malaysia undang-undangnya tidak ada mengatur secara tegas tentang Reorganisasi. Di negara-negara yang menganut sistem Civil Law pengaturan Penundaan Pembayaran Utang atau Moratorium (Suspensional of Payment) adalah memberikan kesempatan kepada Debitor untuk melakukan Reorganisasi secara terbatas karena moratorium yang diberikan dalam undang-undang hanyalah dalam batas waktu tertentu seperti di Belanda, moratorium diberikan untuk waktu 18 (delapan belas) bulan atau 540 (lima ratus empat puluh) hari, sedang Undangundang di negara Austria hanya memberi moratorium untuk 5 (lima) minggu atau 35 (tiga puluh lima) hari, sedang dalam Undang-undang Denmark hanya diberi waktu 3 (tiga) bulan atau 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan rencana perdamaian. Peraturan Reorganisasi Perusahaan maupun ketentuan PKPU adalah mempunyai tujuan yang sama yakni untuk memperoleh suatu kesepakatan damai antara Debitor dengan para Kreditor yang akhirnya memberi kesempatan kepada Debitor (perusahaan) untuk menjalankan usahanya (going concern). Pada waktunya Debitor akan menyelesaikan seluruh utang-utangnya kepada para kreditor dengan berpedoman kepada rancangan penyelesaian yang tertera dalam Rencana Perdamaian yang telah disepakati dan telah berubah menjadi Perdamaian tersebut.
Perbedaan antara Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dengan ketentuan PKPU adalah bahwa dalam Pengaturan Reorganisasi telah ditawarkan pilihanpilihan yang berpedoman pada panduan berupa ketentuan-ketentuan, sehingga para pihak hanya membahas dan menyepakati format yang telah diajukan oleh para pihak. Sedang dalam ketentuan PKPU yang diatur hanya tentang moratorium yang di dalamnya diberi kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan Rencana Perdamaian, tetapi apa yang harus diperjanjikan dan bagaimana formalitas Rencana Perdamaian tersebut diserahkan kepada deal (persetujuan) para pihak. Ketentuan PKPU aturannya belum begitu lengkap, mekanismenya belum jelas dan para pihak harus mencari-cari yang akhirnya diserahkan kepada persetujuan kedua belah pihak Debitor dan para Kreditor, sehingga bila tidak dipandu oleh para ahli dalam melakukan negoisasi membahas Rencana Perdamaian yang diajukan Debitor besar kemungkinan Perdamaian itu tidak akan tercapai.
E.
Undang-Undang Kepailitan Modern Pengertian kepailitan yang dianut oleh berbagai negara di dunia bermula
diambil dari pengertian dasar yang berasal dari abad pertengahan berlaku sebagai Hukum Kebiasaan di Itali yakni ’banca rupta (broken bench)’
417
yang dapat
ditafsirkan sebagai pernyataan bangkrut (bankrupt) seseorang oleh Pengadilan. Dalam melaksanakan pengertian itu terkesan ada sesuatu bentuk hukuman atau penghinaan bagi debitor dari pernyataan pailit tersebut yakni untuk menyerahkan
417
Joseph E Stiglitz dalam Stijn Claessens et.al, op.cit. h.1
seluruh harta kekayaannya untuk dibagi-bagi oleh para kreditornya, dan bila diberi kesempatan debitor hanya untuk penundaan pembayaran utangnya. Debitor ditempatkan pada suatu posisi yang tidak adil karena dianggap melakukan perbuatan ingkar janji kepada para kreditornya, sehingga harta debitor perlu dilikuidasi selanjutnya dengan mudah beralih pada pihak lain. Tetapi pengertian ini secara lambat laun mengalami perubahan yang terlihat dari cara pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan yang berlaku dimana telah ada pengaturan akan keseimbangan hak-hak debitor dengan para kreditornya dengan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian dengan syarat-syarat yang ditentukan. Perkembangan sejarah serta keadaan sosial, ekonomi dan budaya suatu negara sangat mempengaruhi pengaturan kepailitan di suatu negara mempunyai sifat-sifat khas sesuai dengan keadaan sosial politik, ekonomi, budaya dari masyarakat suatu negara itu, sehingga tidak ada Undang-Undang Kepailitan yang seragam dan dapat diberlakukan secara universal, sebagaimana diartikan ”there is no single universal bankruptcy code” Pada kenyataannya ada kecendrungan di berbagai negara bahwa di dalam Undang-Undang Kepailitan telah diseimbangkan kepentingan kreditor disatu sisi yakni melindungi hak-hak kreditor yang diperlukan untuk menggerakkan modal demi tujuan investasi, sedang disisi lain melindungi kepentingan debitor yakni mencegah terjadinya likuidasi prematur dan diberi kesempatan untuk pembenahan terhadap perusahaan debitor sehingga tetap sebagai going concern.
Pengaturan Kepailitan setiap negara memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun negara-negara tersebut sama-sama menganut sistem hukum ”common law” ataupun ”civil law” selalu ada perbedaan baik secara formil maupun secara materil dalam penyelesaian utang-utang debitor. Namun idealnya negara-negara harus sadar bahwa menyeragamkan pengaturan yang standard sangat diperlukan terutama dalam hal memberikan perlindungan yang seimbang antara debitor dan para kreditor maupun kepentingan stake holders. Pada era ekonomi modern sekarang ini peran utama kepailitan adalah untuk mendorong dilakukannya reorganisasi terhadap perusahaan debitor. (The central role of bankruptcy in modern capitalist economies is to encourage reorganization) 418. Perekonomian modern tidak akan dapat dibangun bilamana debitor ditempatkan pada posisi yang tidak adil dengan dikenakan hukuman (sandera), hartanya dilikuidasi untuk dibagi-bagikan kepada para kreditornya, hal ini adalah suatu pandangan yang salah arah dalam kepailitan modern. Sejak tahun 1978, kepailitan di Amerika Serikat tidak lagi disamakan dengan liukidasi yang memindahkan kepemilikan debitor kepada para kreditornya, sebaliknya debitor wajib diberikan kesempatan untuk membenahi diri yang diatur dalam Reorganization pada Chapter 11 US Bankruptcy Code. Pandangan modern terhadap kepailitan adalah mengubah arah dari likuidasi kepada arah pembenahan/reorganisasi karena sangat mendukung pada ekonomi pasar yang efisien, sehingga mempunyai dampak positif bagi perekonomian modern. 418
Ibid h.2
Tetapi suatu hal yang penting dalam Kepailitan adalah pengaturan tentang bagaimana menentukan dan menetapkan debitor yang dapat direorganisasi atau harus dilikuidasi. Sehubungan dengan itu Michelle J White mengatakan : “ After firms have filed for bankruptcy, an important aspect of an efficient bankruptcy policy entails determining which firms will be reorganized and which firm will be liquidated”
419
. Dalam menentukan dan menetapkan hal tersebut, perhatian harus
ditujukan kepada debitor apakah keadaannya memungkinkan untuk direorganisasi dan para kreditor memiliki harapan dan keuntungan sehingga menyetujui proposal reorganisasi yang diajukan debitor. Dipihak debitor peranan melaksanakan reorganisasi ini ada pada manajemen perusahaan debitor, yaitu kemampuannya menyusun proposal reorganisasi dan memperhitungkan kemampuan perusahaan menyanggupi isi proposal tersebut. Apabila suatu perusahaan kesulitan untuk membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adalah merupakan peluang untuk menyatakan perusahaan (debitor) pailit melalui suatu prosedur kepailitan. Kesulitan likuidasi merupakan objek dari suatu kepailitan. Pernyataan pailit oleh suatu Pengadilan belumlah merupakan kualifikasi bahwa debitor sudah tidak mampu membayar utang-utangnya, masih perlu diuji pada tahap selanjutnya apakah benar-benar insolven apa tidak. Kesulitan likuidasi mengandung 2 (dua) pengertian yaitu 420:
419
Michelle J. White dalam Stijn claessens et.al, op cit. h.25 Jhon Duns, Insolvency : Law and Policy, (Melbourne: Oxford University Press, 2002), h. 80-89, lihat juga Andrew R Keay dalam Kerrie Daley, Law 3095 Corporate Insolvency (Sydney: The University of New South Wales, 2004). h. 306-311 420
1. Keadaan Solven, (whether the company is experiencing a temporary lack of liquidity) masih ada kemampuan debitor untuk membayar utang-utangnya karena utang tersebut masih lebih kecil dari nilai aset yang dimiliki, hanya debitor kesulitan memperoleh uang cash untuk membayar utang-utangnya. Hal ini lebih disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang keuangan (Mis-match). 2. Keadaan Insolven, (whether the company is experiencing an endemic shortage of working capital) tidak ada lagi kemampuan debitor untuk membayar utang-utangnya karena utang tersebut melebihi dari pada nilai aset yang dimiliki, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang struktur sehingga diperlukan restrukturisasi perusahan atau Reorganisasi. Bila terjadi salah mengelola bidang keuangan (Mis-match) sehingga terjadi kesulitan likuidasi, masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan restrukturasi utang yang terdiri dari : rescheduling, reconditioning, refinancing, hair cut, converted debt dan lain-lain. Penyelesaian dengan restrukturisasi utang ini dapat dilakukan melalui prosedur PKPU yang tujuannya mencapai perdamaian antara debitor dengan para kreditornya. Perdamaian ini diserahkan kepada persetujuan kedua belah pihak dengan mendapat pengawasan dari pengadilan (Hakim Pengawas) agar memenuhi syarat hingga memperoleh pengesahan (homologasi). Perdamaian yang dihomologasi ini memperlihatkan sifat hukum perdata dari Hukum Kepailitan itu sendiri. Bila yang terjadi adalah kesalahan struktur perusahaan, maka jawabannya adalah restrukturisasi perusahaan (reorganisasi) yang tidak dapat diselesaikan lagi
dengan hanya kesepakatan pihak debitor dengan para kreditor. Pijakan Hukum dari Reorganisasi sudah meluas melebihi kesepakatan pihak-pihak tapi sudah menyangkut kepada kepentingan publik, sehingga diperlukan adanya kekuatan memaksa berupa perintah dari pengadilan untuk melakukan reorganisasi terhadap perusahaan debitor seperti : merger, akusisi dan konsolidasi. Sebagai Hukum Publik, Undang-Undang Kepailitan seyogianya mengatur dan memberi kewenangan kepada Pengadilan Niaga untuk memerintahkan perusahaan debitor yang insolven untuk direorganisasi dibawah pengawasan dari Hakim Pengawas. Latar
belakang
memberi
kewenangan
kepada
Pengadilan
Niaga
memerintahkan reorganisasi debitor adalah : 1. Sangat sulit memperoleh kesepakatan para pemegang saham debitor yang begitu banyak dan tersebar untuk memperoleh keputusan. 2. Kepentingan para kreditor yang bervariasi dan rumit sehingga tidak mudah mencapai kesepakatan, maka diperlukan power melalui Pengadilan Niaga. 3. Kondisi debitor yang sangat lemah (insolven), tetapi dilihat masih ada titik cerah oleh pengadilan sehingga memberi kesempatan kepada perusahaan debitor untuk melakukan reorganisasi adalah solusi yang terbaik. Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, untuk menyatakan pailitnya debitor sedemikian mudah karena syaratsyarat pailit begitu sumier. Dan selanjutnya bila debitor gagal mengajukan rencana perdamaian karena tidak disetujui oleh para kreditor, maka debitor haruslah dinyatakan pailit dan harus pula dilikuidasi. Dikhawatirkan yang terjadi
adalah likuidasi prematur, karena debitor tidak berhasil mencapai perdamaian dengan para kreditornya semata-mata karena kelemahan negosiasi dari pihak debitor sedang keadaan sebenarnya dari debitor masih mampu membayar utangutangnya (solven). Terhadap perusahaan-perusahan besar yang berbentuk badan hukum yang mempunyai dampak besar terhadap perekonomian negara, dalam hal perusahaan tersebut dinyatakan pailit dan kemudian berada dalam keadaan insolven perlu upaya penyelamatan dari tindakan likuidasi. Penyelamatan tidak cukup dengan restrukturisasi utang tetapi diperlukan tindakan yang lebih mendasar kepada restrukturisasi perusahaan dan bila mungkin sampai melakukan merger, akuisisi, konsolidasi dan lain-lain. Undang-undang Kepailitan yang perspektip adalah yang disusun dan diatur sedemikian rupa agar mampu melindungi kepentingan debitor dan kepentingan para kreditor maupun kepentingan stake holders. Undang-Undang Kepailitan modern tidak lagi berkiblat pada likuidasi, tetapi haruslah bertujuan menyelamatkan perusahaan agar tetap eksis dengan cara sebagai berikut : 1. Debitor pailit (solven), utang-utang debitor masih dapat diselesaikan dengan mengajukan PKPU dengan kesepakatan damai intinya restrukturisasi utang. 2. Debitor pailit (insolven), perusahaan debitor harus diselamatkan dengan jalan reorganisasi perusahaan.
Mekanisme Reorganisasi dapat terjadi berdasarkan latar belakang Restrukturisasi yang diperlukan dan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tingkat yakni 421 1. Restrukturasi perusahaan jika terjadi perubahan struktur kepemilikan dari perusahaan induk. 2. Restrukturasi bisnis jika terjadi perubahan Struktur kepemilikan pada tingkat strategi bisnis unit. 3. Restrukturasi aset merujuk pada perubahan kepemilikan aset. Restrukturasi perusahaan meliputi aktifitas pengambilalihan perusahan lain memperlihatkan adanya upaya perluasan (ekspansi) disatu pihak dan adanya penyusutan dipihak lain. Merger : Merupakan satu mekanisme reorganisasi dengan cara menggabungkan dua atau lebih perusahan menjadi satu perusahaan yang berarti sebagai transaksi yang merangkum beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi baru. Suatu merger memungkinkan perusahaan yang manajemennya kurang baik untuk menjadi lebih efektif dan efisien, manajer dapat memanfaatkan suatu merger untuk mengurangi resiko diversifikasi yang tidak sistematis. Berbagai macam pertimbangan kualitatif akan sangat mempengaruhi ketentuan dalam suatu merger, dan faktor kualitatif ini pulalah yang akan mempengaruhi kontribusi masing-masing perusahaan terhadap nilai perusahaan gabungan di masa yang akan datang. Merger atau penggabungan usaha adalah penggabungan dari 2 (dua)
421
Agnes Sawir, op. cit. h. 187
perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dan melikuidasi perusahaan-perusahaan lainnya. Akuisisi : Merupakan suatu mekanisme reorganisasi dengan cara melakukan pembelian perusahaan kecil oleh perusahaan yang lebih besar, berarti pembelian terhadap suatu unit perusahaan yang lebih kecil dan dilebur ke perusahaan pembeli. Akuisisi atau pengambilalihan usaha adalah pengambilalihan suatu perusahaan dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm voting stock), jadi secara juridis dengan membeli saham-saham dari perusahaan tersebut. Akuisisi internal dapat terjadi antara perusahaan satu kelompok (group) dilakukan dengan berbagai motif, salah satu diantaranya adalah penyelamatan perusahaan dalam satu group dari kepailitan. Take over : Penggabungan usaha yang inisiatifnya biasanya berasal dari perusahaan yang lebih kecil yakni perusahaan yang diambil alih karena kesulitan keuangan atau membutuhkan bantuan tambahan modal dari perusahaan yang lebih besar. Perusahaan yang mengambil alih disebut perusahaan pengambil alih (acquiring company) dan yang diambil alih disebut perusahaan sasaran (target company). Tender offer : Suatu perusahaan menyodorkan tender untuk mengelola perusahaan lain, dimana calon pembeli mendekati para pemegang saham dan membujuk agar bersedia menjual sahamnya. Pihak managemen perusahaan yang akan diakuisisi (penjual saham) berusaha membendung pengambilalihan tersebut sehingga biaya tender offer lebih meningkat.
Di Indonesia ada anggapan bahwa merger dan akuisisi terutama didorong oleh faktor likuiditas, keinginan melakukan ekspansi, keinginan pemilik untuk mengurangi beban kewajiban kepada pihak ketiga dan keinginan mengatasi masalah internal perusahaan 422. Keputusan merger dan akuisisi mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi perusahaan dan peningkatan kinerja perusahaan dikemudian hari. Konsolidasi : Menggabungkan 2 (dua) atau lebih perusahaan dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan sebelumnya. Konsolidasi atau peleburan usaha adalah penggabungan dari dua perusahaan atau lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaanperusahaan yang ada. Terbentuknya perusahaan baru menjadikan perusahaan yang mengambil alih maupun yang diambil alih (the acquired firm) berakhir eksistensi juridisnya dan menjadi bagian dari perusahaan yang baru. Penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan
maupun
pemisahaan
perseroan ada diatur dalam bab. VIII, pasal 122 s/d pasal 137. UU. Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apa definisi dari penggabungan, peleburan, pengambilalihan maupun pemisahan perseroan tersebut tidak ada dimuat dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, maupun dalam penjelasan UU Nomor
1
tahun
1995.
Khusus
mengenai
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan dapat dilihat pengertiannya dalam PP. Nomor 27 Tahun 1998 jo PP. Nomor 28 tahun 1998 sebagai berikut :
422
Ibid.h. 196
1. Merger atau penggabungan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh satu atau lebih perseroan untuk menggabungkan diri kedalam satu perseroan yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. 2. Konsolidasi atau peleburan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk melebur diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang melebur diri menjadi bubar. 3. Akuisisi atau pengambilalihan : Perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. Dalam hal memilih cara penggabungan perusahaan perlu diperhatikan kelebihan dan kekurangan dari pola Merger, Konsolidasi atau Akuisisi 423 Dalam kasus merger 5 (lima) bank adalah menjadi kewenangan BPPN untuk memilih pola penggabungan apa yang tepat dan efisien serta efektif untuk menggabungkan : 1. Bank Bali, 2. Bank Universal, 3. Bank Patriot, 4. Bank
423
Dalam Investor Edisi 58 tahun 2002, diuraikan sbb : Kelebihan merger : Memakai nomor perusahaan pengambilalih dan mengeluarkan biaya yang lebih kecil. Kekurangan merger : Menimbulkan polemik baru dan tidak memerlukan surat ijin usaha baru Kelebihan konsolidasi : Memakai nama perusahaan baru dan menghilangkan polemik dari masing-masing perusahaan Kekurangan Konsolidasi : Berbiaya lebih mahal dan diperlukan surat ijin usaha yang baru Kelebihan Akuisisi : Masih memakai nama lama dan tidak diperlukan surat ijin usaha baru Kekurangan akuisisi : Kurang efisien, mudah terjadi duplikasi/pemborosan, kepemilikan perusahaan berobah, dikutip oleh Abdul R Saliman et.al. op. cit. h. 87
Artameida, 5. Bank Prima Express sebagai peserta. Pertama sekali BPPN membentuk project director dari lima bank tersebut. Perwakilan dari semua bank peserta merger masuk kedalam project director tersebut, dan selanjutnya masingmasing Bank menunjuk wakil-wakilnya dalam Tim Integrasi yang membahas persoalan Merger seperti : tehnologi, kredit, pendanaan, sumber daya manusia, hukum dan komunikasi yang dibagi dalam divisi-divisi. BPPN dengan Tim Integrasi melakukan legal due diligence dan financial due diligence dan hasilnya dituangkan dalam blue print. Kemudian project director menunjuk salah satu konsultan yang menggodok peleburan lima bank tersebut yaitu Global Consultant yang bertugas mengkaji seluruh aspek dan dampak berlangsungnya merger. Pedomannya adalah : “ Bank hasil merger akan merefleksikan sinergi masing-masing bank peserta” 424 Akhirnya pola penggabungan yang diambil oleh BPPN dari tiga pola penggabungan adalah konsolidasi karena 5 (lima) bank yang digabungkan tidak satupun namanya yang dipakai karena hasilnya “Bank Mandiri” lah yang terbentuk. Hal ini berbeda dengan pola yang digunakan pada penggabungan Bank Danamon dengan 9 (sembilan) bank lainnya, ternyata Bank Danamon adalah sebagai surviving bank. Pengadilan Niaga harus diberi kewenangan yang lebih luas oleh UndangUndang Kepailitan dan PKPU, sebagai Undang-Undang yang bersifat Hukum Publik dapat memberikan kewenangan bukan hanya sebagai pengawas dalam
424
Ekoputro Adijayanto, Anggota Tim Intregrasi, dimuat dalam Investor. Edisi 58, lihat Abdul R. Saliman et.al op.cit h. 89
pelaksanakan perdamaian, lebih jauh dari itu diberi kewenangan untuk memerintahkan debitor untuk melakukan reorganisasi. Kewenangan BPPN yang diberikan Pemerintah melalui PP Nomor 17 Tahun 1999 jo. Kepres Nomor 27 Tahun 1998 yakni melakukan tindakan hukum atas aset dalam restrukturisasi, haruslah sebahagian diberikan kepada Pengadilan Niaga mengingat BPPN sudah dibubarkan. Pengadilan Niaga diberikan kewenangan publik untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu agar perusahaan debitor dapat diselamatkan seperti : mengambil alih segala hak dan wewenang direksi, komisaris dan pemegang saham termasuk RUPS dari perusahaan debitor, agar pengadilan dapat memerintahkan para direksi untuk melakukan reorganisasi perusahaannya. Dalam hal kewenangan itu tidak diambil alih oleh pengadilan, akan sulit mengambil suatu keputusan dari unsur-unsur pengambil keputusan dari suatu perusahaan yang dalam keadaan distress.
BAB V UPAYA PERDAMAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LEMBAGA PKPU
A. Kinerja Prakarsa Jakarta dan INDRA Peranan Prakarsa Jakarta dapat dilihat dari jumlah kasus utang piutang perusahaan yang ditangani oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ). Jumlah ini diperoleh dari data sejak dibentuknya Prakarsa Jakarta pada bulan Nopember 1998 sampai dengan berakhirnya tugas STPJ tahun 2003. Kinerja Satuan Tugas Prakarsa Jakarta dapat dilihat pada laporan resmi dari Ketua STPJ Bacelius Ruru dalam Pengumuman penutupan dan pengakhiran tugas STPJ pada tanggal 18 Desember 2003, dengan hasil pekerjaan sebagai berikut : 425 a. Menyelesaikan 96 kasus utang korporasi senilai 20,5 milyard dollar AS, dari 102 kasus utang yang terdaftar senilai 26,91 milyard dollar AS terdiri dari : 1) Tahap penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU), 20 kasus senilai 4,25 milyard dollar AS. 2) Tahap legally binding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah persetujuan berkekuatan hukum) terdiri dari 76 kasus dengan nilai 16,3 milyard dollar AS. b. Memfasilitasi 6 kasus utang dengan nilai 6,3 milyard dollar AS yaitu membantu memberikan beberapa kemudahan melalui permohonan kepada
425
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/12/18/brk,20031218-41,id.html
instansi tertentu misalnya Dirjen Pajak, Bank Indonesia, BPPN, tetapi tidak terlibat langsung secara aktif. c. Mencoret (dismissed) 53 kasus utang korporasi senilai 6,8 milyard dollar AS dengan alasan : 1) Tidak bisa diselesaikan lagi karena antara debitor dan kreditor tidak ada suatu titik temu. 2) Kreditor dan debitor tidak kooperatif dalam proses mediasi yang dilakukan, sehingga 53 kasus ini sudah di luar tanggung jawab STPJ. Data tersebut diatas menunjukkan prestasi dan kinerja STPJ pasca krisis yang
telah
mempercepat
terjadinya
kesepakatan
(perdamaian)
untuk
menyelesaikannya tanpa melalui proses kepailitan. Para mediator STPJ telah mendirikan lembaga mediasi yang disebut Pusat Mediasi Nasional (PMN) yang bertujuan memfasilitasi dan memediasi sengketa komersial maupun sengketa lain di luar pengadilan. Pendirian PMN difasilitasi pemerintah, tetapi PMN bukanlah lembaga pemerintah, bukan lembaga ad hoc (bersifat khusus) dan tidak ada kaitannya dengan Prakarsa Jakarta. Tetapi lembaga baru ini diharapkan akan meneruskan penyelesaian kasus-kasus yang belum diselesaikan oleh Prakarsa Jakarta apabila dikehendaki oleh para kreditor dan debitor, karena lembaga ini akan mewarisi kemampuan Prakarsa Jakarta yang sudah berpengalaman melakukan mediasi dan sudah dianggap berhasil dengan kemampuan melakukan mediasi senilai 20,5 milyard dollar AS hingga Juni 2003. Secara umum digambarkan bahwa, Prakarsa Jakarta merupakan : a. Wahana
yang
memungkinkan
perusahaan-perusahaan
yang
sedang
menghadapi masalah utang dapat bersepakat dengan para kreditornya untuk melakukan restrukturisasi, baik terhadap perusahaan maupun utang mereka,
sehingga perusahaan tersebut memperoleh kembali akses untuk mendapatkan modal kerja serta penyetoran modal baru. b. Wahana untuk melakukan negosiasi komersial di luar pengadilan antara debitor dengan para kreditornya secara cepat. c. Pelengkap terhadap penerapan Undang-Undang Kepailitan, dengan tujuannya adalah untuk : memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, mempertahankan dan meningkatkan kesempatan kerja, menciptakan sumber penerimaan
pajak
bagi
perekonomian
nasional,
membantu
proses
restrukturisasi perbankan dan mempercepat para debitor memanfaatkan fasilitas INDRA dalam rangka pelunasan utangnya. Pokok-pokok Skema INDRA dapat diuraikan secara operasional sebagai berikut : 426 a. Valuta utang luar negeri selain dollar AS harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam valuta dollar AS b. Selama masa pembayaran utang dilakukan restrukturisasi antara lain sebagai berikut : 1) Masa pelunasan utang (tenor) menjadi minimal 8 (delapan) tahun yang terdiri dari 3 (tiga) tahun grace period dan masa repayment 5 (lima) tahun. 2) Selama grace period 3 (tiga) tahun, INDRA membayar bunga dalam dollar AS kepada kreditor setiap 3 (tiga) bulan. 3) Selama masa repayment 5 (lima) tahun INDRA membayar bunga dan pokok dalam dollar AS kepada kreditor setiap 3 (tiga) bulan.
426
Sutan Remi Sjahdeini, Skema INDRA, op. cit. h. 15
4) Selama masa pembayaran utang (minimal delapan tahun) debitor membayar bunga dan pokok dalam rupiah kepada INDRA setiap bulan sejak 1 (satu) bulan setelah mendaftar. 5) Antara INDRA dan debitor tidak diberikan grace period 6) Dana yang terkumpul dari hasil pembayaran bunga dan pokok oleh debitor digunakan sebagai ‘cushion’ terhadap fluktuasi nilai dollar AS 7) Akumulasi dana tersebut diinvestasikan oleh INDRA pada instrumen investasi yang memenuhi prinsip-prinsip penempatan yang prudent 8) Mengenai jangka waktu pembayaran rupiah oleh debitor kepada INDRA dapat dipilih 8 (delapan) tahun atau 5 (lima) tahun 9) Apabila debitor memilih penyelesaian dalam jangka waktu 8 (delapan) tahun, maka akan membayar bunga 5,5%, sedang bila memilih 5 (lima) tahun bunganya adalah 5%. Biaya untuk mengikuti program INDRA ditetapkan sebagai berikut : a. Acceptance fee sebesar 3.000 dollar AS untuk setiap utang b. Montly fee sebesar 300 dollar AS setiap utang per bulan Bilamana debitor berkeinginan keluar dari program INDRA yang telah diikutinya, maka untuk itu debitor harus mendapatkan persetujuan dari kreditornya, dan debitor dapat dikeluarkan dari program INDRA apabila : a. INDRA tidak menerima pembayaran rupiah secara penuh dari debitor dalam masa 3 (tiga) bulan (sebelum tanggal pembayaran dollar AS kepada debitor), maka INDRA tidak akan meneruskan pembayaran angsuran kepada kreditor.
b. Untuk keterlambatan pembayaran kepada INDRA dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% di atas bunga pembayaran rupiah dan diperhitungkan dari sisa utang pokok. Dalam melaksanakan pekerjaannya, INDRA telah menunjuk The Chase Manhattan Bank sebagai Administrative and Paying Agent serta Treasury Advisor. Pemerintah telah melakukan perubahan terhadap program INDRA ini berdasarkan Kepres Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency). Menurut Peraturan Pemerintah ini susunan organisasi dan mekanisme pelaksanaan tugas INDRA, personalia, pimpinan dan staf INDRA diatur dan ditetapkan oleh Bank Indonesia. Prinsip Dasar INDRA dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah sebagai berikut : 427 a. Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang luar negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible) b. INDRA bertindak sebagai lembaga intermediary antara debitor dan kreditor c. Pemerintah tidak menanggung resiko komersial debitor, dan tidak mengambil alih (bail-out) utang debitor. d. INDRA harus mampu membiayai diri sendiri. e. Skema INDRA bersifat sukarela (voluntary), para kreditor dan debitor tidak dipaksa menyelesaikan utang piutangnya dengan menggunakan Skema INDRA.
427
Ibid. h. 6
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga pada Tabel 9 (Lampiran), diperoleh kesimpulan atau Konklusi sebagai berikut : Apakah lembaga penengah Prakarsa Jakarta dengan fasilitas skema INDRA perlu diaktifkan kembali, dan apa sebabnya lembaga tersebut tidak bertahan : 1. Lembaga tersebut tidak perlu lagi, karena lembaga serta fasilitasnya sudah tidak efektif lagi sebab perubahan signifikan nilai kurs dollar terhadap rupiah sudah berlalu. 2. Lembaga tersebut tidak eksis lagi dengan demikian terbukti bahwa fungsinya tidak diperlukan lagi oleh pihak-pihak dalam menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan.
B. Putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tentang Kepailitan dan PKPU Serta Penyebab Gagalnya Perdamaian 1. Perdamaian setelah pernyataan pailit a. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Makassar telah mengesahkan suatu Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh Debitor pailit dengan para Kreditornya. Kasus ini dimulai dengan adanya Permohonan Pernyataan Pailit dari para kreditor (Karel Saputan dan David Saputan) terhadap Debitor (PT Jati Dharma Indah), dimana dengan Putusan Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. tanggal 5 Juni 2003, Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Makassar telah menolak permohonan para Kreditor (Pemohon) tersebut. Selanjutnya para Kreditor telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, dan dengan Putusan Nomor 019 K/N/2003 tanggal 1 Agustus 2003 Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Karel Saputan dkk dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. dan sekaligus menyatakan Termohon PT Jati Dharma Indah (PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries) Pailit. Dalam rangka pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 019/K/N/2003 tersebut, Debitor telah mengajukan Rancangan Perdamaian dan ternyata Rancangan Perdamaian tersebut telah disetujui oleh para Kreditor dengan suara mayoritas. Atas permohonan Pengesahan yang diajukan, maka Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Makassar telah mengeluarkan Putusan Homologasi sebagai berikut : Putusan Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks tanggal 19 Februari 2004 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 019 K/N/2003 tanggal 1 Agustus 2003. 428
Kasus Posisi : a. Karel Saputan, pemilik Toko Sinar Mas Ambon, Pekerjaan Pengusaha, bertempat tinggal di Jln. Sam Ratulangi Nomor 39 Ambon. b. David Saputan, direktur PT Kubota King Jaya, berkantor di Jln. Sultan Badullah Nomor 9 Ambon. yang dalam perkara ini keduanya memberi kuasa substitusi kepada : M. Aliyas Ismail, SH, Pengacara/Penasehat Hukum, berkantor di Jln. Flores Nomor 17 Makassar, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I dan Pemohon II, telah mengajukan permohonan pernyataan pailit tertanggal 05 Mei 2003 terhadap :
428
Salinan Putusan No.01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. jo. No. 019 K/N/2003, diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Niaga di PN. Makassar.
PT Jati Dharma Indah (PT Jati Dharma Indah Plywood Industries), berkantor di Batugong, Passo, Ambon, sebagai Termohon, dengan alasan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah Pengusaha Toko Sinar Mas di Ambon, yang menjual berbagai macam barang-barang dagangan seperti banban dan sparepart kendaraan lainnya. 2) Bahwa Pemohon II (PT. Kubota King Jaya) adalah suatu perusahaan, yang bergerak di bidang perdagangan jual beli barang-barang mesin diesel dan sparepart lainnya. 3) Bahwa antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, termohon yang bergerak di bidang usaha plywood industries telah membeli sejumlah barang-barang dagangan dari Pemohon I, jenis barang dagangan yang dibeli oleh Termohon berupa ban-ban mobil dan sparepart lainnya. Pembelian mana dilakukan antara Pemohon I dan Termohon, dengan perjanjian/kesepakatan bahwa barang-barang dagangan a quo harus dilunasi paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pembelian barang-barang dagangan dimaksud. 4) Bahwa berdasarkan surat Pemohon I No. 021/SM.Abn/II/03 tertanggal 17 Februari 2003, perihal konfirmasi Hutang Dagang termohon (bukti P1-1), yang ditujukan kepada Termohon, oleh Termohon telah menjawab dan mengkonfirmasikan hutang dagang Termohon kepada Pemohon I melalui suratnya No.004/IPK-Ivd/AMQ/03/2003 tertanggal 05 Maret 2003 (bukti P2). Dan hasil konfirmasi hutang dagang termohon antara Pemohon I dan Termohon, telah disepakati bahwa besarnya hutang dagang Termohon pada Pemohon I yaitu sebesar Rp. 135.721.700,- (seratus tiga puluh lima juta tujuh
ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus rupiah). Adapun rinciannya sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nomor Invoice 01367 01396 01399 01400 01398 01397 01403 01405 01406 01228 01410
Tanggal 04/05/99 07/12/99 11/12/99 11/12/99 11/12/99 07/12/99 22/12/99 07/1/00 18/1/00 27/4/00 11/5/00
Nomor PO 3824 4280 4293 4295 4299 4286 4312 4321 4327 4500 4521 Total Rp.
Jumlah 25.600.000,8.700.000,11.137.500,63.196.200,1.035.000,8.700.000,5.340.000,933.000,4.900.000,980.000,5.200.000,135.721.00,-
Jadi total hutang dagang termohon kepada pemohon I yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebesar Rp. 135.721.000.5) Bahwa Termohon (PT. Jati Dharma Indah), selain mempunyai sisa hutang dagang pada Pemohon I juga mempunyai hutang dagang pada Pemohon II, adapun besarnya hutang dagang termohon kepada Pemohon II berdasarkan surat konfirmasi hutang dagang dari termohon dengan surat nomor : 003/IPKIvd/AMQ/03/2003 tertanggal 5 Maret 2003 yaitu sebesar Rp. 7.450.000,(tujuh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) (bukti P2-1). Surat konfirmasi termohon tersebut sesuai dengan surat konfirmasi hutang dagang Pemohon II nomor: 019/KKS-Abn/II/03, tertanggal 17 Februari 2003 (bukti P2-2). Hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 6) Bahwa termohon selain mempunyai sisa hutang dagang dengan Pemohon I dan II, Termohon juga mempunyai hutang dagang pada PT. Kanefusa
Indonesia Ambon sebesar Rp. 43.108.230,- (empat puluh tiga juta seratus delapan ribu dua ratus tiga puluh rupiah) (bukti P3). 7) Bahwa selain hutang Termohon seperti tersebut diatas, sejak termohon berhenti beroperasi di Ambon sekitar tahun 2002 hingga sekarang, sekitar 1.040 orang karyawan/pekerja perusahaan belum dibayar lunas gaji, tunjangan dan hak-hak normative lainnya dari karyawan/pekerja pada Termohon. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Termohon tidak mampu lagi membayar hutang termohon kepada pemohon I, II, PT. Kanefusa Indonesia serta karyawan/pekerja termohon, yang sudah jatuh tempo. 8) Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas, terbukti secara sah dan sempurna bahwa termohon pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit a quo mempunyai sedikitnya 3 (tiga) kreditur dan tidak membayar ketiga hutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan. 9) Bahwa selain hutang-hutang termohon kepada pemohon I dan II serta pada PT. Kanefusa Indonesia telah diakui oleh termohon sebagaimana terbukti dari bukti P1-1,P1-2,P2-1,P2-2 dan P3 diatas, demikian pula hutang termohon pada sekitar 1.200 orang karyawan/pekerjannya saat ini juga sudah menjadi fakta dan kenyataan hukum bahwa sejak tahun 2002 termohon telah berhenti beroperasi di Ambon. Dengan demikian terbukti bahwa pembuktian permohonan pernyataan pailit terhadap termohon telah terbukti pula secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 3 Undang-undang No 4 tahun 1998 tentang kepailitan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon I dan II memohon sebagai berikut : 1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II seluruhnya. 2) Menyatakan Pemohon I dan Pemohon II adalah pemegang hak tagih sah dari termohon. 3) Menyatakan termohon PT. Jati Dharma Indah (PT Jati Dharma Indah Plywood Industries) sebagai debitor pailit yang sah dengan segala akibat hukumnya. 4) Menunjuk dan mengangkat Hakim Pengawas. 5) Menunjuk Kurator TITI. SLAMET, SH dari Kantor Advokat dan Kurator NICO SIMEN dan TITI S. SLAMET, Jalan Rajawali No.45 Makassar. 6) Memerintahkan penyitaan segera atas seluruh harta kekayaan milik termohon untuk
selanjutnya
dijual
dan
hasilnya
dipakai
untuk
membayar
piutang/tagihan Pemohon I dan II sebesar : a) Pemohon I sebesar Rp. 135.721.700,- (seratus tiga puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus rupiah). b) Pemohon II sebesar Rp. 7.450.000,-(tujuh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). 7) Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara. dan/atau Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa terhadap permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah menjatuhkan putusannya pada tanggal 5 Juni 2003 dalam perkara No. 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. yang amar putusannya sebagai berikut : 1) Menolak permohonan Para pemohon ; 2) Menghukum para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ; Menimbang, bahwa atas Putusan Pengadilan Niaga Makassar tersebut, Pemohon pailit mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung telah mengambil putusannya pada tanggal 1 Agustus 2003 dengan nomor perkara : 019/K/N/2003 yang amarnya sebagai berikut :
Mengadili : -
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. KAREL SAPUTAN dan 2. PT. KUBOTA KING JAYA yang diwakili Direkturnya DAVID SAPUTAN tersebut ;
-
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar tanggal 5 Juni 2003 Nomor : 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks.
Mengadili Sendiri : -
Mengabulkan Permohonan para pemohon untuk sebagian ;
-
Menyatakan Termohon PT. Jati Dharma Indah (PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries) Pailit ;
-
Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga Makassar untuk mengangkat Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar.
-
Mengangkat Titi S. Slamet, SH dari Kantor Advokad dan Kurator Nico Simen dan Titi S. Slamet, SH Jalan Rajawali Nomor 45 Makassar sebagai kurator;
-
Menolak permohonan yang selebihnya ;
-
Menghukum Termohon Kasasi/Termohon untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) ; Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, telah pula
didengar keterangan dari Hakim Pengawas, Kurator dan Para Kreditor; Menimbang bahwa atas pelaksanaan tersebut Hakim Pengawas telah menyampaikan laporannya yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : -
Bahwa putusan Mahkamah Agung RI No.019/K/N/2003 tertanggal 1 Agustus 2003 telah diumumkan di surat kabar Pedoman Rakyat dan surat kabar Suara Maluku pada tanggal 24 September 2003 ;
-
Bahwa selanjutnya diadakan Rapat Kreditor I pada tanggal 7 Oktober 2003, Rapat Kreditor II pada tanggal 17 Oktober 2003, Rapat Kreditor III pada tanggal 29 Oktober 2003, Rapat Kreditor IV pada tanggal 10 Nopember 2003 dan Rapat Kreditor V pada tanggal 8 Desember 2003 ;
-
Bahwa pada tanggal 2 Januari 2004 telah ditentukan batas akhir mengajukan tagihan kepada debitor ;
-
Bahwa pada tanggal 5 Januari 2004 diadakan rapat pencocokan utang yang dari 30 Kreditor semua jumlah utangnya diakui secara bulat baik oleh Debitor dan Kreditor ;
-
Bahwa pada tanggal 26 Januari 2004 Debitor mengajukan Rancangan Perdamaian, penghitungan
selanjutnya suara
pada
dan
tanggal
voting
9
Februari
(pemungutan
2004
suara)
dilakukan
dalam rangka
perdamaian/accord ; -
Bahwa dari 29 Kreditor total jumlah piutang dalam rupiah Rp. 80.900.846.069,- dan dalam bentuk dollar Amerika (US $) 1.209.908,069 dengan jumlah seluruh suara 9118 ;
-
Bahwa total pemungutan
tagihan 16 Kreditor Konkuren yang mengikuti suara
dalam
rangka
perdamaian
adalah
sebesar
rapat Rp.
70.424.940.687,- (tujuh puluh miliar empat ratus dua puluh empat juta sembilan ratus empat puluh ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) ; -
Bahwa hasil dari voting, sebanyak 9 Kreditor setuju Accord/damai dan 7 Kreditor yang tidak setuju, dimana Kreditor yang setuju telah lebih ½ dari jumlah kreditor yang hadir (8 + 1 = 9) dan mempunyai total tagihan Rp. 67.709.160.869,- (enam puluh tujuh miliar tujuh ratus sembilan juta seratus enam puluh ribu delapan ratus enam puluh sembilan rupiah) ;
-
Bahwa dengan demikian berarti Kreditor Konkuren yang setuju damai melebihi 2/3 dari jumlah tagihan piutang yang diakui, oleh karena itu Rencana Perdamaian yang diajukan telah memenuhi persyaratan Pasal 141 dan Pasal 142 UU No. 4 Tahun 1998 dan selanjutnya mohon Pengesahan/Homologasi ;
Menimbang, bahwa kemudian kurator juga telah didengar laporannya di persidangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : -
Bahwa kurator menerima Putusan Mahkamah Agung No. 019 K/N/2003 tanggal 20 September 2003, selanjutnya atas izin Hakim Pengawas mengumumkan isi putusan tersebut di dua surat kabar Pedoman Rakyat dan Suara Maluku, serta mengumumkan rencana Rapat Kreditor I ;
-
Bahwa pada tanggal 24 sampai 26 September 2003 melakukan investigasi di debitor Pailit PT Jati Dharma Indah Plywood Industries di Batugong - Passo Ambon dan harta pailit terdata : Benda tak bergerak : •
Sebidang tanah area pabrik yang belum diketahui luas dan statusnya, perumahan karyawan PT Jati Indah, Bangunan Pabrik Plywood, Bengkel dan Dermaga
Benda bergerak berupa : •
1 unit mesin sanders, 2 unit double scicor, 3 unit tangki hotpress, 8 unit genset generator, 7 unit dam truk dan benda-benda bergerak lainnya.
-
Bahwa selanjutnya diadakan Rapat Kreditor I pada tanggal 7 Oktober 2003, Rapat Kreditor II pada tanggal 17 Oktober 2003, Rapat Kreditor III pada tanggal 29 Oktober 2003, Rapat Kreditor IV pada tanggal 10 Nopember 2003 dan Rapat Kreditor V pada tanggal 8 Desember 2003 ;
-
Bahwa pada tanggal 2 Januari 2004 telah ditentukan batas akhir mengajukan tagihan kepada debitor ;
-
Bahwa pada tanggal 5 Januari 2004 diadakan rapat pencocokan utang yang dari 30 Kreditor semua jumlah utangnya diakui secara bulat baik oleh Debitor dan Kreditor ;
-
Bahwa pada tanggal 26 Januari 2004 Debitor mengajukan Rancangan Perdamaian, penghitungan
selanjutnya suara
dan
pada
tanggal
voting
9
Februari
(pemungutan
2004
suara)
dilakukan
dalam rangka
perdamaian/accord ; -
Bahwa dari 29 Kreditor total jumlah piutang dalam rupiah Rp. 80.900.846.069,- dan dalam bentuk dollar Amerika (US $) 1.209.908,069 dengan jumlah seluruh suara 9118 ;
-
Bahwa total tagihan 16 Kreditor Konkuren yang mengikuti rapat pemungutan suara dalam rangka perdamaian adalah sebesar Rp. 70.424.940.687,- (tujuh puluh miliar empat ratus dua puluh empat juta sembilan ratus empat puluh ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) ;
-
Bahwa hasil dari voting, sebanyak 9 Kreditor setuju Accord/damai dan 7 Kreditor yang tidak setuju, dimana kreditor yang setuju telah lebih ½ dari jumlah kreditor yang hadir (8 + 1 = 9) dan mempunyai total tagihan Rp. 67.709.160.869,- (enam puluh tujuh miliar tujuh ratus sembilan juta seratus enam puluh ribu delapan ratus enam puluh sembilan rupiah) ;
-
Bahwa dengan demikian berarti Kreditor Konkuren yang setuju damai melebihi 2/3 dari jumlah tagihan piutang yang diakui, oleh karena itu Rencana Perdamaian yang diajukan telah memenuhi persyaratan Pasal 141 dan Pasal 142 UU No. 4 Tahun 1998 dan selanjutnya mohon Pengesahan/Homologasi ;
Menimbang, bahwa para Kreditor yang menyetujui Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor tersebut pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : -
Bahwa Kreditor PT. Anugra Cipta Investa menyatakan mendukung adanya Rencana Perdamaian yang diajukan oleh pihak Debitor ;
-
Bahwa PT. Kiani Lestari yang telah menyetujui adanya Rencana Perdamaian, yang mulanya dikuasai oleh BPPN sejak tanggal 12 Februari 2004 telah dibeli oleh PT. Bali Pasific Investama yang berkedudukan di Jakarta ;
-
Bahwa PT. Pan Ocean Shipping menyatakan pada prinsipnya menyetujui Rencana Perdamaian, hanya tidak setuju dengan Draf Perdamaiannya ; Menimbang, bahwa demikian juga Para Kreditor yang tidak menyetujui
Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitur tersebut, pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa Perwakilan Karyawan kendatipun tidak ikut voting dalam pembahasan Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor karena berada di luar proses kepailitan, menyatakan tidak menyetujui draf perdamaian tersebut, oleh karena itu memohon agar dalam putusan dipertimbangkan mengenai hak-hak karyawan yang tertunggak ;
Tentang Hukumnya : Menimbang, bahwa maksud dan tujuan para pihak adalah sebagaimana diuraikan tersebut di atas ; Menimbang, bahwa apakah Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor Pailit tersebut dapat dihomologasikan oleh pengadilan ;
Menimbang, bahwa pada prinsipnya Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor secara bersama-sama ; Menimbang, bahwa menurut ketentuan pasal 135 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK), Rencana perdamaian yang dibuat Debitor Pailit tersebut harus disampaikan selambat-lambatnya 8 (delapan) hari sebelum diadakan Rapat Pencocokan Piutang dan harus pula disampaikan kepada Kreditornya atau ditunda paling lambat 3 (tiga) minggu kemudian dalam rapat berikutnya (vide Pasal 137 UUK) ; Menimbang, bahwa berdasarkan laporan dari Hakim Pengawas dan Kurator serta berdasarkan Berita Acara Rapat, ternyata Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh Debitor Pailit tersebut telah diberitahukan kepada Para Keditornya sehingga telah memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut di atas, oleh karena itu Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh Debitor Pailit tersebut dapat dibicarakan dalam rapat kreditor ; Menimbang, bahwa sekarang apakah Rencana Perjanjian Perdamaian yang disampaikan oleh Debitor Pailit tersebut dapat diterima oleh Para Kreditor dalam rapat Kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas ; Menimbang, bahwa menurut laporan Hakim Pengawas dan Kurator dari hasil verifikasi yang telah dilakukan, Jumlah Para Kreditor dari debitor Pailit seluruhnya ada 29 (dua puluh sembilan) Kreditor dengan total tagihannya sebesar Rp. 80.900.846.069 dan US $ 1.209.908,069;
Menimbang, bahwa sedangkan kreditor yang hadir atau kuasanya dalam rapat untuk voting pembahasan rencana perdamaian ada 16 (enam belas) kreditor dengan total jumlah tagihan sebesar Rp. 70.428.780.687,Menimbang, bahwa dari 16 Kreditor/Kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, ada 9 (sembilan) Kreditor/Kuasanya dengan total tagihan sebesar Rp 67.709.160.869,- ; dapat menyetujui Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor Pailit tersebut, sedangkan 7 (tujuh) Kreditor/Kuasanya dengan total tagihan sebesar Rp. 2.719.619.818,- menolak persetujuan Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor Pailit ; Menimbang, bahwa melihat dari komposisi hasil voting tersebut, maka Kreditor yang menyetujui Rencana Perdamaian dalam rapat Kreditor tersebut telah lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, (yaitu 9 Kreditor dari 16 Kreditor yang hadir atau kuasanya) dan telah pula mewakili 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh piutang konkuren (yaitu sebesar Rp. 46.952.520.457,5) yang diakui atau sementara diakui yang hadir dalam rapat tersebut ; Menimbang, bahwa berdasarkan atas hal dan pertimbangan tersebut, maka Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh debitor tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 141 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, sehingga Rencana Perdamaian tersebut dapat diterima oleh Para Kreditornya ; Menimbang, bahwa oleh karena Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh Debitor telah memenuhi persyaratan Pasal 141 UUK dan telah dapat diterima oleh Para Kreditornya, sehingga Rencana Perdamaian tersebut berubah menjadi
Perjanjian Perdamaian tanggal 09 Februari 2004 oleh karena itu Pengadilan harus mengesahkan perdamaian tersebut ; Menimbang, bahwa sebelum Pengadilan mengesahkan perdamaian tersebut, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah perdamaian tersebut terdapat hal-hal sebagai berikut : 1) Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamnya segala barang yang terhadapnya berlaku hak menahan barang (hak retensi) melebihi jumlah yang diperjanjikan dalam perdamaian ; 2) Perdamaian tersebut tidak terjamin secara penuh ; 3) Perdamaian dicapai karena penipuan, yang menguntungkan secara tidak wajar atau menggunakan cara lain secara tidak jujur ; Menimbang, bahwa selama jalannya persidangan oleh Majelis Hakim tidak diketemukan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dan lagi pula setelah 8 (delapan) hari berakhirnya Rapat Kreditor, Berita Acara Rapat yang ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera Pengganti telah diletakkan di Kepaniteraan maupun di Kantor Kurator, tidak ada satupun para kreditor yang mengajukan pembatalan/keberatan terhadap berita acara sidang yang dibuat tersebut, Bahkan Kreditor Pan Ocean Shipping dalam persidangan menyatakan pada prinsipnya menyetujui perdamaian tersebut, hanya terhadap draf perdamaian yang tidak disetujuinya, demikian juga dari kreditor Dinas Kehutanan yang pada awalnya tidak menyetujui rencana perdamaian, ternyata melalui surat/fax telah menyatakan menyetujui perdamaian tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan atas hal dan pertimbangan tersebut, maka Perjanjian yang dibuat oleh Debitor dan telah disetujui oleh para kreditor tersebut harus disahkan, dimana Perjanjian Perdamaiannya memuat kesepakatan sebagai berikut : 1) Utang sebesar Rp. 100.000.000,00 ke bawah discount 75 % ; 2) Utang sebesar Rp. 100.000.000,00 ke atas s/d 1.000.000.000,00 discount 80%; 3) Utang sebesar Rp. 1.000.000.000,00 ke atas s/d 5.000.000.000,00 discount 85% ; 4) Utang sebesar Rp. 5.000.000.000,00 ke atas s/d 10.000.000.000,00 discount 87,5 % ; 5) Utang sebesar Rp. 10.00.000.000,00 ke atas discount 90% ; Dengan tata cara pembayaran sebagai berikut : 1) Pembayaran angsuran dilakukan setelah pabrik beroperasi secara penuh (dengan perkiraan waktu 6 bulan setelah kesepakatan dicapai), dengan mencicil selama 2 (dua) tahun. 2) Khusus untuk karyawan akan dibayar utang gaji 4 bulan ditambah dengan pesangon 2 bulan gaji yang akan dibayar secepatnya sebelum pabrik beroperasi (final) ; Menimbang, bahwa karena perjanjian perdamaian disahkan oleh Pengadilan, maka menurut ketentuan Pasal 152 UUK perjanjian perdamaian tersebut berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan tanpa kecuali, dengan tidak memperdulikan apakah mereka
mengajukan diri atau tidak dalam kepailitan tersebut, sedangkan mengenai kepastian nasib karyawan, karena penyelesaiannya diluar proses kepailitan (kreditor preferen) maka tidak dapat dipertimbangkan dalam putusan ini hanya sebagai ad inferandum ; Menimbang,
bahwa
dan
apabila
pengesahan
perdamaian
telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka berakhirlah kepailitan yang bersangkutan (Pasal 156 UUK) ; Memperhatikan ketentuan Pasal 141, 145, 146, 148, 149 dan pasal 152 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan peraturan lain yang berkaitan ; Memutuskan : -
Menyatakan sah Perjanjian Perdamaian tanggal 09 Februari 2004 yang dibuat oleh Debitor Pailit PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries dengan Para Kreditornya PT. Anugra Cipta Investa, PT. Wenang Sakti, PT. Wanagalang Utama, PT. Kreasi Mandiri, PT Jati Maluku Timber, PT. Jati Cahaya Cemerlang, PT. Kiani Lestari, PT. Prima Maluku Timber, Haindra Tirto tersebut ;
-
Menghukum Para Pihak tersebut di atas dan Para Kreditor lainnya untuk mentaati Perjanjian Perdamaian tersebut ;
-
Menetapkan biaya perkara kepailitan dan Fee Kurator akan ditetapkan kemudian ;
b. PT Karya Cemerlang Bhakti Persada, berkedudukan di Surabaya di jalankan oleh Direkturnya Purnama, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Anselmus Raga
Mila, Advokat, sebagai pemohon Pailit terhadap diri sendiri sebagai debitor, dengan para kreditor sbb : 1. PT Tanindo Citra Nuansa, Tarakan Kaltim sebagai Kreditor I 2. Yohanes Due, Swasta, Ngada (Flores) sebagai Kreditor II 3. Petrus Kodo, Swasta, Ngada (Flores) sebagai Kreditor III Berdasarkan putusan Nomor 05/Pailit/2001/PN. Niaga Sby, tanggal 15 Juli 2001, PT Karya Cemerlang Bhakti Persada dinyatakan pailit. Dalam proses pemberesan, Debitor pailit telah mengajukan perdamaian terhadap para kreditornya tersebut yang kemudian telah tercapai kesepakatan dan selanjutnya telah ditanda tangani Perjanjian Perdamaian antara debitor dengan kreditor tertanggal 17 Juli 2001. Atas perjanjian perdamaian itu telah pula dimohonkan pengesahannya kepada Pengadilan
Niaga
Surabaya,
sehingga
oleh
Pengadilan
tersebut
telah
mengeluarkan Penetapan Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby tanggal 14 Agustus 2001 yang mengesahkan perjanjian tersebut. Selengkapnya isi Perdamaian itu adalah sebagai berikut : 429 Bahwa pihak pertama sebagai pemohon pailit mengakui mempunyai tanggungan pembayaran utang kepada pihak kedua yang telah jatuh tempo, yaitu kepada para kreditot I, II, III sehubungan dengan perjanjian jual beli kayu bulat (log) jenis meranti, dengan jumlah tanggungan/kewajiban pembayaran utang sebagai berikut : 1. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor I yaitu sebesar Rp. 161.085.200,- (seratus enam puluh satu juta delapan puluh lima ribu dua ratus rupiah) 2. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor II yaitu sebesar Rp. 18.980.500,- (delapan belas juta sembilan ratus delapan puluh ribu lima ratus rupiah)
429
Salinan Putusan Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Niaga Surabaya.
3. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor III yaitu sebesar Rp. 18.980.500,- (delapan belas juta sembilan ratus delapan puluh ribu lima ratus rupiah) Bahwa pihak pertama sebagai pemohon pailit pada tanggal 15 Juni 2001, telah mengajukan penawaran perdamaian kepada pihak kedua yaitu para kreditor I, II dan III untuk melakukan pembayaran berupa uang secara tunai (kontan) sebagai berikut : 1. Pembayaran kepada kreditor I sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah) 2. Pembayaran kepada kreditor II dan III masing-masing sebesar Rp. 7.655.250,- (tujuh juta enam ratus lima puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah) Bahwa penawaran perdamaian yang diajukan oleh pihak pertama yaitu pemohon pailit terhadap pihak kedua yaitu kreditor I, II, III pada tanggal 15 Juni 2001, telah diterima sepenuhnya dengan baik oleh pihak kedua yaitu kreditor I, II, III melalui surat persetujuan perdamaian tertanggal 6 Juli 2001. Bahwa sehubungan dengan persetujuan perdamaian oleh pihak kedua yaitu kreditor I, II, III melalui surat persetujuan tertanggal 6 Juli 2001 yang diajukan kepada pihak pertama (pemohon Pailit), karena pada tanggal 18 Juni 2001 pihak kedua (para kreditor I, II, III) telah menerima dengan baik pembayaran utang yang dilakukan oleh pihak pertama (pemohon pailit) dari total asset (harta pailit) pemohon pailit, masingmasing para kreditor telah menerima : 1. Kreditor I menerima pembayaran dari npemohon pailit sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah) 2. Kreditor II dan kreditor III masing-masing menerima pembayaran dari pemohon pailit sebesar Rp. 7.655.250,- (tujuh juta enam ratus lima puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah) Bahwa pihak kedua (para kreditor I, II, III) sangat memahami keadaan pihak pertama (pemohon pailit) dan telah mengetahui pihak pertama (pemohon pailit) tidak memiliki lagi aset (harta pailit), sehingga pihak kedua (para kreditor) membebaskan pihak pertama (pemohon pailit) untuk tidak perlu lagi melakukan pembayaran sisa utang terhadap para kreditor yaitu sebesar : 1. Kreditor I sebesar Rp. 76.085.200,- (tujuh puluh enam juta delapan puluh lima ribu dua ratus rupiah) 2. Kreditor II sebesar Rp. 11.325.250,- (sebelas juta tiga ratus dua puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah) 3. Kreditor III sebesar Rp. 11.325.250,- (sebelas juta tiga ratus dua puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah) Bahwa sisa utang pihak pertama (pemohon pailit) tersebut diatas telah dihapus oleh pihak kedua (para kreditor), sehingga para kreditor I, II dan III tidak dapat melakukan penagihan-penagihan utang kepada pihak
pertama (pemohon pailit) sehubungan dengan perkara pailit nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, demikian pula pihak pertama karena persetujuan perdamaian ini tidak mempunyai kewajiban pembayaran kepada pihak kedua (para kreditor I, II, III) baik berupa apapun juga sehubungan dengan perkara pailit Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby. Bahwa pihak pertama (pemohon pailit) dengan pihak kedua (para kreditor I, II, III) sepakat mengakhiri perkara pailit nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, melalui persetujuan perdamaian ini yang akan ditanda tangani pada bagian akhir surat persetujuan perdamaian ini, maka perkara pailit nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby dianggap telah selesai. Bahwa kesepakatan perdamaian ini adalah sah dan bersifat mengikat kedua belah pihak yaitu pihak pertama (pemohon pailit) dengan pihak kedua (para kreditor I, II, III). Dalam diktum Penetapan Pengadilan Niaga Surabaya telah menyatakan : 1. Mengesahkan perdamaian yang dilakukan antara pemohon pailit (Debitor Pailit, PT Karya Cemerlang Bhakti Persada) dengan para Kreditornya, telah disepakati dan ditanda tangani bersama pada tanggal 17 Juli 2001. 2. Menyatakan kepailitan PT Karya Cemerlang Bahakti Persada berakhir. 3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Pailit (Debitor Pailit) 2. Perdamaian dalam PKPU sebagai Counter terhadap Pailit PT Bank CIC Internasional Tbk, selaku Kreditor telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Bernas Madu Sari (BMS) selaku Debitor, permohonan telah diajukan ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdaftar dengan Nomor 11/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 5 Juni 2002. Setelah Debitor menerima Surat Panggilan sidang untuk hadir pada tanggal 17 Juni 2002, maka pada sidang berikutnya sebagai upaya counter terhadap permohonan pernyataan pailit tersebut, Debitor telah mengajukan
permohonan
PKPU
yang
terdaftar
dengan
Nomor
03/PKPU/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 24 Juni 2002, dan selanjutnya Debitor telah mengajukan Rencana Perdamaian yang ternyata rencana tersebut kemudian telah disetujui oleh para kreditor dengan suara mayoritas. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan terhadap permohonan tersebut sebagai berikut : a. Putusan PKPU Sementara Putusan Nomor 03/PKPU/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor 11/Pailit/ 2002/ PN. Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juli 2002. 430 Kasus Posisi : PT Bernas Madu Sari (BMS), berkantor di Gedung Plaza Centris, Lt.12 Jln. HR Rasuna Said Kav. B5 Jakarta Selatan yang dalam perkara ini diwakili oleh Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing bertindak selaku Direktur Utama dan Komisaris Utama untuk dan atas nama PT BMS, dalam hal ini memberi kuasa kepada Amalia Santoso, SH dkk., Advokat/Konsultan Hukum, beralamat kantor di Jln. Proklamasi 77A Jakarta Pusat, sebagai Pemohon PKPU, telah mengajukan Permohonan PKPU terhadap : PT Bank CIC Internasional, beralamat di Sentral Senayan 1 Office Tower Jln. Asia Afrika Nomor 8 Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh Anthony C Kartawira dan Hamidi SE, masing-masing sebagai Direktur, dalam hal ini memberi kuasa kepada Suprapto, SH dkk., Advokat dan Konsultan Hukum dari Kantor Suprapto, Lukas Budiono & Partners, berkantor di Jln. Kebon Sirih Kav. 17–19 Jakarta 10340, sebagai Termohon PKPU, yang isinya pada pokoknya sebagai berikut : 430
Himpunan Putusan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung RI, Dirjen Badan Peradilan Umum, Juni 2006, h. 3–14
1) Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 PT. Bank CIC Internasional, Tbk., melalui Kuasa Hukumnya Soeprapto, Lukas Budiono & Partners telah mendaftarkan Permohonan
PAILIT
terhadap
BMS
dan
terdaftar
dengan
Nomor
11/PAILIT/2002/PN. NIAGA.JKT.PST.; 2) Bahwa Pemohon PKPU telah menerima surat pemberitahuan panggilan sidang perkara kepailitan No.11/Pailit/2002/PN.Niaga.JKT.PST tertanggal 7 Juni 2002 untuk sidang pada tanggal 17 Juni 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ; 3) Bahwa jumlah permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon adalah sebesar US$ 1.975.651.01 (belum diverifikasi) ; 4) Bahwa Pemohon PKPU adalah suatu perusahaan PMDN yang bergerak di bidang refinery gula yaitu pengumpulan bahan mentah berupa raw sugar (gula mentah) dan proses di pabrik refinery gula dan kemudian hasil produknya dijual di pasar dalam negeri ; 5) Bahwa dilihat dari NILAI Pemohon PKPU sebagaimana tercermin dalam Laporan Keuangan perusahaan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1999 dan 1998 (Bukti P–1) yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Prasetyo Utomo & Co. dan Laporan Keuangan Perusahaan (internal) yang berakhir pada tanggal-tanggal 31 Desember 2001 dan 2000 (Bukti P–2) sebagai berikut :
Total asset yang dimiliki BMS per 31 Desember 2001 adalah sebesar Rp. 210.854.766.765,- (dua ratus sepuluh milyar delapan ratus lima puluh
empat juta tujuh ratus enam puluh enam puluh ribu tujuh ratus enam puluh lima rupiah).
Total kewajiban BMS per 31 Desember 2000 adalah sebesar Rp. 525.772.369.966,- (lima ratus dua puluh lima milyar tujuh ratus tujuh puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh enam rupiah).
6) Bahwa walaupun berdasarkan Laporan Keuangan tersebut di atas, posisi keuangan Pemohon PKPU menunjukkan angka yang kurang meyakinkan namun apabila kita membandingkan dengan proses operasional pabrik sebagaimana diuraikan di bawah ini, maka sebetulnya Pemohon PKPU masih memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan utang-utangnya kepada para kreditur : a) Berdasarkan data operasional pabrik Pemohon PKPU pada umumnya : Kapasitas Normal dari pabrik Pemohon PKPU adalah 150.000 (seratus lima puluh ribu ton pertahun (Bukti P–3) berupa raw sugar dengan taksiran harga pasar Rp. 3.000.000/ton (Bukti P-4). Berdasarkan jumlah tonage tersebut di atas dalam prosesnya akan dapat diperoleh refined sugar sejumlah 95% = 142.500 ton, (Bukti P-5). Berdasarkan standar operasional pabrik hasil penjualan dari 142.500 refined sugar dengan harga Rp. 3.000.000,- (taksiran kasar harga pasar per ton) = Rp. 427.500.000.000,- (empat ratus dua puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan standar operasional pabrik biaya proses pertahun adalah jumlah total tonnage refined sugar X harga per ton = 142.500 ton X Rp. 458.790 (Bukti P–6) = Rp. 65.377.575.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, biaya pembelian raw sugar adalah Jumlah tonage dikalikan harga per ton Harga taksiran kasar raw sugar per ton =US$. 185,50 (Bukti P–7) Misalnya kurs 1 Dollar = Rp. 8.600,- maka Biaya
pembelian
142.500
ton
refined
sugar
adalah
=
Rp.
227.330.250.000,Biaya proses pertahun + pembelian raw sugar = Rp. 65.337.575.000,- + Rp. 227.330.350.000,- = Rp. 292.707.825.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, hasil penjualan refined sugar pertahun (NET) Rp.
427.500.000.000,
(minus)
Rp.
292.707.825,00,-
=
Rp.
134.792.175.000,Dan dalam 10 tahun penghasilan penjualan (NET) Pemohon PKPU adalah 10 x Rp. 134.792.175.000,- = Rp. 1.347.921.750.00,b) Hutang jangka pendek dan panjang menurut laporan keuangan Rp. 135.171.020.740,- + Rp. 390.005.349.226,- = Rp. 528.348.271.245,Dengan jumlah dana sebesar prediksi Rp. 1.347.921.750.000,- maka setiap tahun bisa dialokasikan sebesar Rp. 2.551.199.319,- dibulatkan Rp. 2.551.200.000,-
Diperkirakan Rp. 551.000.000,- dipakai untuk biaya-biaya lain dalam proses pembuatan refined sugar maka dengan suatu rencana restrukturisasi selama 10 tahun diharapkan Pemohon PKPU dapat membayar seluruh hutang-hutangnya. Maka dari itu Pemohon PKPU memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan hutang-hutangnya kepada para kreditur, jika dikabulkan untuk PKPU. 7) Bahwa pada saat ini Pemohon PKPU sedang tahap Negoisasi Proposal Restrukturisasi
Awal
dengan
Termohon
dimana
Termohon
telah
mengadakan pembicaraan informal pada tanggal 20 Juni 2002 di Restoran Miliana, Jakarta antara Sdr. Hudiyanto, Direktur Keuangan Termohon dan Sdr. Willy Edy Assistant Vice President Pemohon ; Begitu juga Termohon telah melakukan pembicaraan Informasi dengan Bank Negara Indonesia (Persero) sebagai Kreditur Utama yang diadakan tanggal 20 Juni 2002 di Kantor Pusat BNI ; 8) Bahwa disamping PT. Bank CIC Internasional Tbk., dan Bank Negara Indonesia (Persero) tbk., Pemohon PKPU masih mempunyai kreditur-kreditur lainnya, sebagaimana diperinci dalam Pertelaan yang merupakan Lampiran dari Permohonan ini sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 93 Peraturan Kepailitan (Bukti–9) ; 9) Bahwa Pemohon PKPU masih melihat adanya kemungkinan untuk melakukan pembayaran kepada para kreditur, karena perusahaan masih dalam keadaan beroperasi apabila diberikan tenggang waktu untuk menunda pembayaran utangnya, berdasarkan butir 6 di atas ;
10) Bahwa saat ini Pemohon PKPU memperkerjakan para karyawan sebanyak 385 (tiga ratus delapan puluh lima) orang (vide Bukti P–9) karyawan, bila perusahaan dinyatakan pailit tidak menutup kemungkinan terjadinya gejolak sosial yang tidak diinginkan. Karena itu solusi PKPU akan lebih baik bermanfaat bagi kreditur ; 11) Bahwa sehubungan dengan Rencana Proposal Restrukturisasi sebagaimana telah diuraikan dalam butir 7 (tujuh) di atas, maka Pemohon PKPU dan para kreditur memerlukan waktu untuk membahas lebih lanjut Restrukturisasi Awal yang telah diajukan BMS kepada para krediturnya pada tanggal 20 Juni 2002 tersebut dan butir 6 (enam) di atas, sedangkan Rencana Perdamaian sebagaimana disyaratkan Pasal 213 ayat (2) Peraturan Kepailitan akan segera diusulkan; 12) Bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan menunjuk pasal 217 (96) dan Pasal 214 (2) dari Undang-undang Kepailitan No. 4, 1998, mohon kepada Ketua pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat agar berkenan mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Pemohon ; Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon mohon agar ketua Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat berkenan memutuskan sebagai berikut : 1) Menerima dan mengabulkan Permohonan PKPU PT. Bernas Madu Sari (PT. BMS). 2) Menetapkan Pemohon dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);
3) Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus PKPU PT. Bernas Madu Sari (PT. BMS) Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH. Apabila Majelis berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan untuk Pemohon hadir Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan Komisaris Utama dari dan oleh karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Bernas Madu Sari (BMS) dan kuasanya Amalia Santoso, SH. dkk., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 Juni 2002, dan Termohon hadir Anthony C. Kartawiria Dan Hamidi, SE., dan kuasa hukumnya Soeprapto, SH. dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. 036/CIC/D/SJ/VI/2002 tanggal 25 Juni 2002, sedangkan untuk Kreditur lain tidak ada yang hadir; Menimbang, bahwa di persidangan telah dibacakan surat permohonan Pemohon yang mana isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon ; Menimbang, bahwa atas permohonan tersebut, Termohon mengajukan tanggapan secara lisan yang pada pokoknya sebagai berikut : − Menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon PKPU, karena tidak sesuai sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 93 Peraturan Kepailitan ; − Meragukan kemampuan PT. BMS, karena aset PT. BMS hanya senilai Rp. 210 Milyar, sedangkan kewajiban PT. BMS sebesar 500 Milyar lebih, adapun kewajiban untuk pembayaran LC sudah jatuh tempo 1 (satu) tahun yang lalu ;
− Sudah memberikan teguran baik lisan maupun tertulis, akan tetapi tidak ada tanggapan dari Pemohon PKPU ; − Meragukan kemampuan PT. BMS untuk membayar sebagaimana seharusnya baik kewajiban pokok ditambah bunganya ; Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya Pemohon telah mengajukan fotocopy surat-surat bukti dan setelah dicocokkan dengan aslinya, lalu diberi tanda sebagai berikut : Bukti P – 1 : Laporan Keuangan 1999/1998; Bukti P – 2 : Laporan Keuangan 2001/2002; Bukti P – 3 : Proposal Pendirian Pabrik; Bukti P – 4 : Faktur Penjualan # 01–010 0057 C BMS ; Bukti P – 5 : Proses Refinasi ; Bukti P – 6 : Biaya Proses Refinasi ; Bukti P – 7 : Commercial Invoice No. 016–A/2001 ; Bukti P – 8 : Pertelaan Kreditur ; Bukti P – 9 : Daftar Karyawan ; Menimbang, bahwa Termohon tidak mengajukan bukti-bukti apapun ; Menimbang, bahwa selanjutnya telah terjadi peristiwa-peristiwa di depan persidangan sebagaimana telah dicatat dalam Berita Acara Persidangan dan untuk mempersingkat uraian putusan, maka Berita Acara tersebut dianggap telah termasuk dalam putusan ini; Tentang Hukumnya : Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Pemohon adalah agar kepada Pemohon diberi waktu yang cukup mengupayakan pembayaran utang-utang kepada Para Kreditur Pemohon ;
Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan PKPU diajukan sebagai counter permohonan kepailitan, maka permohonan tersebut diperiksa pada saat yang bersamaan dengan permohonan kepailitan, oleh karena itu pula sesuai dengan ketentuan Pasal 217 ayat (6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo Stbl. 1905 Nomor 217, maka permohonan PKPU tersebut harus diputuskan lebih dahulu dan dengan demikian
permohonan
kepailitan
Nomor:
11/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST., tertanggal 3 Juni 2002 ditangguhkan ; Menimbang, bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon ternyata telah ditandatangani oleh Pemohon yang berwenang mewakili PT. Bernas Madu Sari, sesuai dengan surat permohonan dan kuasa hukumnya yang didaftarkan di Kepaniteran Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta telah melampirkan Neraca dari PT. Bernas Madu Sari (Bukti P–1,P–2, dan P–8) yang memuat daftar aktiva dan pasiva serta daftar Para Kreditur dari PT. Bernas Madu Sari, oleh karena itu pula permohonan Pemohon PKPU telah memenuhi ketentuan Pasal 213 ayat (1) U.U. Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo. Stbl 1905 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo. Stbl.1905 Nomor 217 ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan PKPU telah memenuhi persyaratan hukum maka berdasarkan pasal 214 ayat (2) U.U Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl.1906 Nomor 348 jo. Stbl1905 Nomor : 217, Pengadilan harus segera mengabulkan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) untuk waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan PKPUS diucapkan ; Menimbang, bahwa oleh karena PKPU harus dikabulkan maka perlu ditunjuk dan diangkat Hakim Pengawas dan Pengurus ; Menimbang, bahwa mengenai penunjukkan dan pengangkatan Hakim Pengawas, maka akan dipilih dari antara Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagaimana disebutkan dalam diktum putusan; Menimbang, bahwa Pemohon PKPU di dalam permohonannya telah memohon agar Sdr. Tutik Sri Suharti, SH., ditunjuk sebagai Pengurus yang akan mengurus harta Debitur secara bersama-sama dan sepanjang pemeriksaan perkara ini Majelis tidak menemukan adanya benturan kepentingan, maka permohonan Pemohon PKPU tersebut patut untuk dikabulkan ; Menimbang, bahwa segera setelah ditetapkan PKPUS, Pengadilan melalui Pengurus wajib memanggil Debitur dan Kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk datang menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat pada hari ke–45, terhitung sejak PKPUS ditetapkan sebagaimana dalam diktum putusan ; Menimbang, bahwa mengenai biaya pengurusan dan imbalan jasa Pengurus akan ditentukan kemudian setelah pengurus nyata-nyata melaksanakan tugas-tugasnya dan besarnya akan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.09.HT.05.10 Tahun 1998, tertanggal 22 September 1998 tentang Pedoman Imbalan Jasa Kurator dan Pengurus ;
Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara permohonan ini akan dibebankan kepada Pemohon PKPU ; Mengingat dan memperhatikan Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Staatsblad 1906 Nomor : 348 jo. Staatsblad 1905 nomor 217, khususnya Pasal 213 ayat (2) ; 214 ayat (2) ; 217 ayat (6), 217 E ayat (1) dan (2) dan peraturan lain yang berkenan dengan perkara ini. Memutuskan : − Mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPUS) dari PT Bernas Madu Sari (Pemohon) untuk sementara, yaitu selama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan ini diucapkan ; − Menunjuk Sdri. Putu Supadmi, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas ; − Mengangkat Sdri. Hj Tutik Sri Suharti, SH., beralamat Jalan Garuda No. 71B. Kemayoran Jakarta Pusat sebagai Pengurus ; − Menetapkan Sidang Majelis Hakim pada hari : Kamis, tanggal 15 Agustus 2002 jam 10.00 WIB di Gedung Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat ; − Memerintahkan Pengurus untuk memanggil Debitur dan Para Kreditur untuk datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan tersebut ; − Menetapkan biaya pengurusan dan imbalan jasa Pengurus akan ditentukan kemudian setelah Pengurus melaksanakan tugas-tugasnya ; − Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);
b. Putusan PKPU dan Pengesahan Perdamaian Putusan Nomor 03/PKPU/20002/PN.Niaga Jkt.Pst.Jo.Nomor 11/Pailit/ 2002/PN.Niaga Jkt.Pst tanggal 22 Agustus 2002. 431432 Kasus Posisi : PT Bernas Madu Sari (BMS), berkantor di Gedung Plaza Centris, Lt.12 Jln. HR Rasuna Said Kav. B5 Jakarta Selatan yang dalam perkara ini diwakili oleh Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing bertindak selaku Direktur Utama dan komisaris Utama untuk dan atas nam PT Bernas Madu Sari (BMS), dalam hal ini memberi kuasa kepada Amalia Santoso, SH dkk., Advokat dan Konsultan Hukum dari Kantor A. Santoso & Associates, Jln. Proklamasi 77A Jakarta Pusat, sebagai Pemohon PKPU, telah mengajukan Permohonan PKPU terhadap : PT Bank CIC Internasional,beralamat di Sentral Senayan 1 Office Tower Jln. Asia Afrika Nomor 8 Jakarta dalam hal ini diwakili oleh Anthony C Kartawira dan Hamidi SE, masing-masing sebagai Direktur, dalam hal ini memberi kuasa kepada Suprapto, SH dkk., Advokat dan konsultan Hukum dari Kantor Suprapto, Lukas Budiono & Partners, berkantor di Jln. Kebon Sirih Kav.17 – 19 Jakarta, sebagai Termohon PKPU, yang permohonannya mengemukakan sebagai berikut : 1) Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 PT Bank CIC Internasional, Tbk., melalui Kuasa Hukumnya Soeprapto, Lukas Budiono & Partners telah mendaftarkan permohonan PAILIT terhadap BMS dan terdaftar dengan Nomor : 11/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST; 431
Ibid. h. 15-26.
2) Bahwa Pemohon PKPU telah menerima surat pemberitahuan panggilan sidang perkara kepailitan No. 11/Pailit/2002/PN.Niaga/JKT.PST tertanggal 17 Juni 2002 untuk sidang pada tanggal 17 Juni 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ; 3) Bahwa dalam jumlah permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon adalah sebesar US$ 1.975.651.01. (belum divertifikasi) ; 4) Bahwa Pemohon PKPU adalah suatu perusahaan PMDN yang bergerak dibidang refinery gula yaitu pengumpulan bahan mentah berupa raw sugar (gula mentah) dan diproses di pabrik refinery gula dan kemudian hasil produknya dijual di pasar dalam negeri ; 5) Bahwa dilihat dari NILAI PERMOHONAN PKPU sebagaimana tercermin dalam Laporan Keuangan perusahaan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1999 dan 1998 (Bukti P–1) yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan publik Prasetyo Utomo & Co, dan Laporan Keuangan Perusahaan (internal) yang berakhir pada tanggal 31 Desember 201 dan 2000 (Bukti P–2) sebagai berikut : •
Total asset yang dimiliki BMS per 31 Desember 2001 adalah sebesar Rp. 210.854.766.765,- (dua ratus sepuluh milyar delapan ratus lima puluh empat juta tujuh ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh lima rupiah).
•
Total kewajiban BMS per 31 Desember 2000 adalah sebesar Rp. 525.772.369.966,- (lima ratus dua puluh lima milyar tujuh ratus tujuh
puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh enam rupiah). 6) Bahwa walaupun berdasarkan Laporan Keuangan tersebut di atas, posisi Keuangan Pemohon PKPU menunjukkan angka yang kurang meyakinkan, namun apabila kita membandingkan dengan proses operasional pabrik sebagaimana diuraikan di bawah ini, maka sebetulnya Pemohon PKPU masih memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan utang-utangnya kepada para kreditur ; A Berdasarkan data operasional, pabrik Pemohon PKPU pada umumnya : Kapasitas Normal dari pabrik Pemohon PKPU ADALAH 150.000 (seratus lima puluh ribu) ton pertahun (Bukti P–3) berupa raw sugar dengan taksiran harga pasar Rp. 3000.000/Ton (bukti P–4) Dari jumlah tonnage tersebut di atas dalam prosesnya akan dapat diperoleh refined sugar sejumlah Rp. 95%=142.500 ton (Bukti P–5) Berdasarkan standar operasional pabrik hasil dari 142.500 refined sugar dengan harga Rp. 3000.000,- (taksiran kasar harga pasar per ton) = Rp. 427.500.000.000,- (empat ratus dua puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah). Berdasarkan standar operasional pabrik biaya proses pertahun adalah jumlah tonnage rifened sugar X harga per ton = 142.500 ton X Rp. 428.790 (Bukti P– 6) = Rp. 65.377.575.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, biaya pembelian raw sugar adalah jumlah tonage dikalikan harga per ton. Harga taksiran kasar raw sugar per ton = US$. 185,50 (Bukti P–7)
Misalnya kurs 1 Dollar = Rp. 8.600,- maka Biaya pembelian 142… 500 ton refined sugar adalah = Rp. 227.330.250.000,Biaya proses pertahun + pembelian raw sugar = Rp. 65.377.575.00,- + Rp. 222.330.250.000,- = Rp. 292.707.825.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, hasil penjualan refined sugar pertahun (NET) Rp. 427.500.000.000,- (minus) Rp. 292.707.825.000,- = Rp. 134.792.175.000,Dan dalam 10 tahun penghasilan penjualan (NET) Pemohon PKPU adalah 10 x Rp. 134.792.175.000,- = Rp. 1.347.921.750.000,B Hutang jangka pendek dan panjang menurut laporan keuangan Rp.135.171.020.740,-+Rp.390.0556.349.226,-= Rp. 528.348.271.245,Dengan jumlah dana sebesar prediksi Rp. 1.347.921.750.000,- maka setiap tahun
bisa
dialokasikan
sebesar
Rp.
2.551.199.319,-
dibulatkan
Rp.2.551.200.000,Diperkirakan Rp. 551.000.000,- dipakai untuk biaya-biaya lain dalam proses pembuatan refined sugar, maka dengan suatu rencana restrukturisasi selama 10 tahun diharapkan Pemohon PKPU dapat membayar seluruh hutanghutangnya. Maka dari Pemohon PKPU memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan hutang-hutangnya kepada para kreditur, jika dikabulkan untuk PKPU. 7) Bahwa saat ini Pemohon PKPU sedang dalam tahap NEGOISASI Proposal Restrukturisasi Awal dengan Termohon, dimana Termohon telah mengadakan pembicaraan informal pada tanggal 20 Juni 2002 di Restoran Milinia, Jakarta
antara Sdr. Hudiyanto Direktur Keuangan Termohon dan Sdr. Willy Edy Assistant Vice President Pemohon ; Begitu juga Termohon telah melakukan pembicaraan informal dengan Bank Negara Indonesia (Persero) sebagai Kreditur Utama yang diadakan tanggal 20 Juni 2002 di Kantor Pusat BNI ; 8) Bahwa di samping PT Bank CIC Internasional,Tbk., dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., Pemohon KPU masih mempunyai kreditur-kreditur lainnya, sebagaimana diperinci dalam Pertelaan yang merupakan Lampiran dari Permohonan ini sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 93 Peraturan Kepailitan (Bukti P-9); 9) Bahwa Pemohon PKPU masih melihat adanya kemungkinan untuk melakukan pembayaran kepada para kreditur, karena perusahaan masih dalam keadaan beroperasi apabila diberikan tenggang waktu untuk menunda pembayaran utangnya, berdasarkan butir 6 di atas; 10) Bahwa pada saat ini Pemohon PKPU mempekerjakan karyawan sebanyak 385 (tiga ratus delapan puluh lima) orang (vide Bukti P-9) karyawan, bila perusahaan dinyatakan pailit tidak menutup kemungkinan terjadinya gejolak sosial yang tidak diinginkan, karena itu solusi PKPU akan lebih bermanfaat bagi para kreditur; 11) Bahwa sehubungan dengan rencana Proposal restruksisasi sebagaimana telah diuraikan dalam butir 7 (tujuh) di atas, maka Pemohon PKPU dan para kreditur memerlukan waktu untuk dapat membahas lebih lanjut Proposal Restrukturisasi Awal yang telah diajukan BMS kepada para krediturnya pada
tanggal 20 Juni 2002 tersebut dan 6 (enam) di atas, sedangkan Rencana Perdamaian sebagaimana diisyaratkan Pasal 213 ayat (2) Peraturan Kepailitan akan segera diusulkan; 12) bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan menunjuk Pasal 217 (6) dan Pasal 21 (2) dari Undang-Undang Kepailitan No. 4, 1998, mohon kepada Ketua Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat agar berkenan mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Pemohon; Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat berkenan memutuskan sebagai berikut : 1) Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon PKPU PT. Bernas Madu Sari (PT.BMS) 2) Menetapkan Pemohon dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU); 3) Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus PKPU PT. Bernas Madu Sari (PT.BMS) Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH. Apabila Majelis berpendapat lain kami mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et hono). Menimbang, bahwa pada hari sidang yang ditetapkan untuk Pemohon hadir Isnoewarso Rasjid dan Melvin korompis, masing-masing bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan komisaris Utama, dari dan oleh karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Bernas Madu Sari (BMS) dan kuasa hukumnya Amalia Santoso, SH., berdasarkan
Surat Kuasa Khusus No. 036/CIC/D/SK/VI/2002 tanggal 25 Juni 2002, serta dihadiri pula oleh Para Kreditur lain ; Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat dalam putusannya tanggal 05 Juli 2002, No. 03/PKPU/2002/PN. Niaga.Jkt.Pst. mengabulkan
jo.
No.
penundaan
11/Pailit/2002/PN. Kewajiban
Niaga.Jkt.Pst.,
Pembayaran
Utang
telah (PKPU)
Sementara, yang amar selengkapnya sebagai berikut : -
Mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari PT. Bernas Madu Sari (BMS) (Pemohon) untuk sementara, yaitu selama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan ini diucapkan ;
-
Menunjuk Sdri. Putu Supadmi, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas ;
-
Mengangkat Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH., beralamat di Jalan Garuda No. 718, Kemayoran Jakarta Pusat sebagai Pengurus ;
-
Menetapkan Sidang Majelis Hakim pada hari : Kamis, tanggal 15 Agustus 2002 Jam 10.00 WIB di Gedung Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat ;
-
Memerintahkan Pengurus untuk memanggil Debitur dan para Kreditur untuk datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan tersebut;
-
Menetapkan biaya pengurus dan imbalan jasa Pengurus akan ditentukan kemudian setelah Pengurus melaksanakan tugas-tugasnya ;
-
Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta) ;
Menimbang bahwa oleh Pemohon telah diserahkan Rencana Perdamaian tertanggal 6 Agustus 2002, dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1) Bahwa kondisi pabrik sampai saat ini masih sangat layak untuk melakukan aktifitasnya dengan kapasitas produksi 500 ton per hari dan melalui program peningkatan kapasitas produksi pada kuartal ke -1 (satu) tahun 2003 diharapkan telah mampu menghasilkan gula rafinasi sebanyak 700 ton per hari ; 2) Bahwa kebutuhan akan gula rafinasi oleh industri makanan dan minuman dalam negeri yang mencapai 900.000 ton per tahun sementara produksi dalam negeri hanya 150.000 ton per tahun (PT. BMS saat ini baru satu-satunya produsen gula rafinasi di Indonesia) merupakan peluang bisnis yang sangat cerah dan membuat gula rafinasi hasil produksi PT. BMS akan terserap habis oleh pasar. Dengan demikian sangat memungkinkan bagi PT. BMS untuk tetap mempertahankan kondisi pabrik terus beroperasi dan pada akhirnya akan mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para Kreditur ; 3) Bahwa
dengan
tetap
mempertahankan
operasional
pabrik
berarti
menghindarkan diri dari adanya pengangguran massal atas 400 orang karyawan
(atau lebih dari 1000 jiwa termasuk keluarganya) yang
menggantungkan hidup dari PT. BMS ; Menimbang, bahwa berdasarkan laporan Hakim Pengawas dan Pengurus pada sidang tanggal 15 Agustus 2002, Pemohon telah mengajukan Rencana perdamaian tertanggal 06 Agustus 2002, dan atas rencana tersebut, telah diadakan
lima kali rapat kreditur, terakhir tanggal 15 Agustus 2002 yaitu rapat kreditur tentang pemungutan suara (voting) ; Menimbang, bahwa pada persidangan tanggal 15 Agustus 2002, Majelis Hakim telah menerima surat/laporan dari : 1) Hakim Pengawas berikut lampirannya : Berita Acara Rapat Kreditur tanggal 15 Agustus 2002, pada pokoknya mengatakan bahwa Rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitur dapat diterima oleh 9 Kreditur dari 11 Kreditur, dimana ada 2 Kreditur yang tidak setuju ; 2) Pengurus berikut 8 (delapan) lampirannya, pada pokoknya mengatakan Rencana Perdamaian oleh mayoritas Kreditur dan mohon untuk disahkan ; 3) Debitur/Pemohon, pada pokoknya memohon agar perdamaian disahkan , juga telah didengar keterangan lisan ; 4) 9 (sembilan ) kreditur dari 11 (sebelas) Kreditur yaitu : PT. Bank Negara Indonesia (Persero), PT. Saubahtera Samudra, PT. Forindoprima Perkasa, PT. Multi Surindo, CV. Pundi Putrap Ratama, PT. Tjokroputra Pesada, PT. Upaya Mandiri Sejahtera, PT. Simongan Plastik Factory, Cargil Internasional SA pada pokoknya menerima Pengesahan Rencana Perdamaian ; 5) 2 (dua) Kreditur dari 11 (sebelas) Kreditur yaitu : PT. Bank CIC Internasional Tbk., PT. Alindojaya Sembada pada pokoknya menolak Pengesahan Rencana Perdamaian ; Menimbang, bahwa dipersidangkan PT. Bank CIC Internasional, Tbk., dan PT. Alindojaya Sembada mengajukan keberatan yang pada pokoknya : telah menjadi perselisihan tentang jumlah tagihan dari Kreditur yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangkan dan di catatan dalam Berita Acara Sidang, dianggap telah dimasukkan dan merupakan bagian dari keputusan ini ; Tentang Hukumnya Menimbang bahwa isi permohonan Pemohon pada hakekatnya adalah agar kepadanya dapat diberikan PKPU dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangutangnya kepada Para Kreditur : Menimbang, bahwa Pemohon/Debitur telah mengajukan Rencana Perdamaian dan atas Rencana Perdamaian tersebut, telah diadakan voting oleh pengurus yang dipimpin oleh Hakim Pengawas sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing ; Menimbang bahwa berdasarkan Laporan Pengurus , dan Hakim Pengawas tertanggal 15 Agustus 2002, dari hasil voting tersebut, yang dihitung berdasarkan Pasal 256 Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan (UUK), Pengurus dan Hakim Pengawasan sesuai dengan kewenangan yang ada padanya berpendapat bahwa mayoritas Kreditur menyetujui atau menerima Rencana Perdamaian ; Menimbang , bahwa hasil voting tersebut adalah sebagai berikut : –
Kreditur yang hadir 11 dengan jumlah tagihan Rp. 259.465.941.270,- (dua ratus lima puluh sembilan milyar empat ratus enam puluh lima juta sembilan ratus empat puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh rupiah (=100 %) ;
–
Kreditur yang menerima/setuju Rencana Perdamaian 9, dengan jumlah tagihan Rp. 236.383.118.857,- (dua ratus tiga puluh enam milyar tiga ratus delapan puluh tiga juta
seratus dua puluh dua ribu tujuh ratus rupiah)
(=91,10%) ; –
Kreditur yang tidak menerima/tidak setuju Rencana Perdamaian 2, dengan jumlah tagihan Rp. 23.082.822.700,- (dua puluh tiga milyar delapan puluh dua juta delapan ratus dua puluh dua ribu tujuh ratus rupiah) (=8,90%) ; Menimbang, bahwa karena mayoritas Kreditur menerima Rencana
Perdamaian, maka rencana Perdamaian berubah menjadi Perjanjian Perdamaian ; Menimbang, bahwa Perjanjian Perdamaian yang diterima oleh Mayoritas Kreditur tersebut dan telah ditandatangani oleh Kreditur yang menerima, Debitur dan diketahui/disaksikan oleh Hakim Pengawas dan Pengurus, adalah Perjanjian Perdamaian tenggal 15 Agustus 2002 ; Menimbang, bahwa karena Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Pemohon dapat diterima oleh mayoritas Kreditur, maka menurut Pasal 269 ayat (1) Undang-undang Kepailitan no. 4 tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998, Perjanjian Perdamaian tersebut dapat disahkan oleh Pengadilan; Menimbang, bahwa akan tetapi sebelum Majelis Hakim memberikan putusan Pengesahan Perjanjian Perdamaian, perlu dipertimbangkan apakah ada alasan-alasan untuk menolak pengesahan seperti yang dikemukakan oleh Kreditur yang menolak pengesahan, sebagaimana diatur secara limitative dalam Pasal 269 ayat (2) huruf a sampai dengan d Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 jo. Perpu No. 1 tahun 1998 ;
Menimbang, bahwa Pasal 269 ayat (2) Undang-undang Kepailitan No. 4 tahun 1998 jo. Perpu no. 1 tahun 1998, mengatakan : (2) Pengadilan hanya dapat menolak untuk melakukan pengesahan perdamaian, apabila : 1) Harta debitur, termasuk barang-barang untuk mana dilaksanakan hak retensi jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian ; 2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin ; 3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau sekongkol dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitur atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal ini ; 4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak dibayar. Menimbang, bahwa kreditur PT. Bank CIC Internasional Tbk., PT. Alindojaya Sembada dalam persidangan mengajukan keberatan tentang rencana perdamaian dengan alasan telah terjadi perselisihan tentang jumlah tagihan dari Kreditur yang bersangkutan oleh karena itu, alasan keberatan PT. Bank CIC Internasional Tbk., dan PT. Alindojaya Sembada tersebut dengan tidak memenuhi unsur pasal 269 (2) Undang-undang Kepailitan nomor 4 tahun 1998 tersebut oleh karena itu juga keberatan tersebut harus dinyatakan tidak beralasan dan harus pula ditolak ; Menimbang, bahwa oleh karena keberatan PT. Bank CIC Internasional Tbk., PT. Alindojaya Sembada harus ditolak, maka tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan pengesahan perjanjian perdamaian tertanggal 15 Agustus 2002 ;
Menimbang, bahwa mengenai imbalan jasa Pengurus, karena belum ada pengajuan hitungan dari Pengurus dan Hakim Pengawas, maka akan ditetapkan kemudian sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.: M.09– HT.05.10 Tahun 1998 ; Menimbang, bahwa mengenai ongkos perkara, sudah selayaknya dibebankan kepada Pemohon ; Memperhatikan : Pasal 265, 269 dan 273 UU no. 4 Tahun 1998 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan perkara ini : Memutuskan : –
Menyatakan Perjanjian Perdamaian tertanggal 15 Agustus 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT. BERNAS MADU SARI (BMS) dan para Krediturnya adalah sah dan mengikat ;
–
Menghukum Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan para krediturnya untuk mentaati Perjanjian Perdamaian yang telah disepakati tersebut ;
–
Menyatakan imbalan Jasa pengurus ditetapkan kemudian sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.09–HT.05.10 Tahun 1998 ;
–
Menghukum Pemohon membayar ongkos perkara yang hingga kini ditaksir sebesar Nihil;
3. Perdamaian dalam PKPU Murni a. Sebagai Debitor, Djumharbey Anwar yang kedudukannya sebagai Direktur Utama PT Perusahaan dagang dan industri Ometraco telah mengajukan
Permohonan PKPU (murni) kepada Pengadilan Niaga Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdaftar dengan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst. Berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Niaga tersebut telah memutuskan dengan menyatakan sah dan berlaku serta mengikat Perdamaian antara Debitor (Pemohon PKPU) dengan seluruh Kreditornya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Perdamaian tertanggal 25 September 2000. Dengan demikian Pengadilan Niaga tersebut telah menyatakan berakhir PKPU dan menghukum Debitor (Pemohon PKPU) dan seluruh Kreditor yang bersangkutan untuk tunduk dan mematuhi dan melaksanakan isi Perdamaian yang dimaksud, dan Putusan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Putusan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst. tertanggal 28 September 2000. 433 Kasus Posisi : Djumharbey Anwar, pekerjaan Direktur utama PT Perusahaan dagang dan industri Ometraco, beralamat di Wisma PEDE, Lt.3, jln. MT. Haryono kav. 17, Jakarta Selatan, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Suria Nataatmadja, SH dkk, Pengacara/Advokat, Kantor Hukum Suria Nataatmadja & Associates di Jln. Malaka Nomor 19D Jakarta, sebagai Pemohon PKPU, telah mengajukan permohonan dengan alasan-alasan sebagai berikut : a. Pemohon PKPU adalah Perusahaan induk (holding company) yang utama usahanya adalah melakukan investasi dan atau penyertaan pada perusahaan lain ; 433
Himpunan Putusan-putusan pengadilan Niaga, Depkeh dan HAM RI Dirjen Badan Peradilan Umum dan TUN, Jakarta, 2001, h. 49–62
b. Bahwa Pemohon PKPU memiliki utang kepada para kreditur sebagaimana diuraikan dalam daftar Kreditur Pemohon PKPU yang menyatakan nama, jumlah utang pokok, tanggal jatuh tempo dan alamat dari masing-masing kreditur Pemohon PKPU (Bukti P–1) ; c. Bahwa Pemohon PKPU memiliki harta kekayaan (aktiva) berupa uang tunai, deposito, surat berharga dan penyertaan, tagihan, bangunan dan mobil, satu dan lain sebagaimana tercantum dalam Bukti P-2 ; d. Bahwa posisi keuangan Perseroan Pemohon PKPU adalah sebagaimana diuraikan dalam Neraca Pembukuan pasiva dan Aktiva tertanggal 30 Juni 2000 dan nilai harta kekayaan Pemohon PKPU adalah sebesar Rp. 56.111.712.566,- (Bukti P-3) ; e. Bahwa mengingat keadaan ekonomi sebagai akibat dari masa krisis moneter yang berkepanjangan dan hasil dari kegiatan usaha Pemohon PKPU pada saat ini yang tidak dapat diharapkan, maka Pemohon PKPU merasa tidak akan melanjutkan
pembayaran
atas
utang-utangnya
dan
karenanya
pada
kesempatan ini mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; f. Bahwa Pemohon PKPU sedang mempersiapkan rencana perdamaian untuk diajukan kepada para kreditur dalam waktu dekat ; g. Bahwa pada kesempatan ini pula Pemohon PKPU mohon agar Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat mengangkat Majelis Hakim yang ada pada Pengadilan Niaga yang akan memeriksa dan memutus perkara Permohonan PKPU ini ;
h. Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 214 dari Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, kami mmohon agar Pengadilan dapat menunjuk seorang pengurus yaitu Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi & Rekan, jalan Cikini Raya No. 9. Jakarta Pusat, yang telah terdaftar di Direktorat Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia No. C– HT.05.1422 Tahun 1999 tanggal 30 Maret 1999, sebagai pengurus dari Pemohon PKPU; Berdasarkan alasan-alasan dan bukti tersebut, Pemohon PKPU mohon kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat, agar berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut : a. Mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pemohon PKPU; b. Menetapkan dan menunjuk Majelis Hakim Niaga yang ada pada Pengadilan Niaga; c. Menunjuk Hakim Pengawas. d. Mengangkat Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi & Rekan, sebagai Pengurus dari Pemohon PKPU ; atau : mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ; Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan putusan Nomor : 015/PKPU/2000/PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal 8 Agustus 2000 telah menjatuhkan putusan, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
ISI PUTUSAN : 1) Mengabulkan Penundaan sementara Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh Pemohon P.T. Perusahaan Dagang & Industri Ometraco, disingkat P.T. Ometraco, beralamat di Wisma Pede, lantai 3, jalan MT. Haryono Kav. 17 Jakarta Selatan. 2) Menunjuk Mahdi Soroinda Nasuition, S.H. Hakim Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. 3) Mengangkat Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi & Rekan, Jalan Cikini Raya No. 9 Jakarta pusat sebagai Pengurus yang bersama dengan debitur mengurus harta debitur. 4) Menetapkan hari persidangan berikutnya pada hari Kamis, tanggal 21 September 2000, pukul 10.00 WIB bertempat di ruangan sidang Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada No. 17 Jakarta pusat. 5) Memerintahkan Pengurus untuk memanggil debitur dan para kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam persidangan pada hari yang ditetapkan dalam dictum pada angka 4 di atas. 6) Menangguhkan penentuan besarnya biaya pengurusan harta debitur termasuk imbalan jasa bagi Pengurus sampai dengan berakhirnya tugas kepengurusan yang dilakukan oleh Pengurus. 7) Menangguhkan putusan mengenai ongkos perkara sampai dengan berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU). Menimbang, bahwa pada hari persidangan sebagaimana ditetapkan dalam amar putusan angka 4 tersebut diatas, hadir Hakim Pengawas dan juga Pengurus;
Menimbang, bahwa untuk debitur hadir Djumharbey Anwar dalam jabatannya selaku Direktur Utama P.T. Ometraco didampingi oleh kuasa hukumnya yang sah bernama P. Heru Tumbelaka, S.H ; Menimbang, bahwa kreditur yang hadir dalam persidangan adalah masingmasing kuasa hukum yang sah dari : 1. BADAN PENYEHATAN PERBANKKAN NASIONAL (BPPN). 2. BCA–SURABAYA 3. BANK DANAMON JAKARTA 4. BANK BUMI DAYA SURABAYA 5. BII–JAKARTA. 6. P.T. ABDI GUNA KARYA GEMILANG. 7. EASTUEST VENTURE LIMITED. 8. LEXOR CLUB LIMITED. 9. YORRICK HOLDING LIMITED. 10. SEEWILL INTERNATIONAL LIMITED. 11. WAN LIN ASSETS LIMITED. 12. P.T. ARSI BINA VENTURINDO. 13. TYPEDEEP ENTERPRISE LIMITED. Menimbang,
bahwa
dalam
Persidangan
Hakim
Pengawas
telah
menyampaikan laporan ; Menimbang, bahwa dalam laporannya tersebut pada pokoknya Hakim Pengawas melaporkan, hal-hal sebagai berikut : a. Jumlah seluruh kreditur : 13.
b. Kreditur yang hadir : 12, yang tidak hadir : BPN Singapura. c. Kreditur yang menerima : 10 dengan jumlah suara : 34.221 suara. d. Kreditur yang menolak : 2 dengan jumlah suara : 9.815 suara. e. Hasil voting menunjukkan bahwa mayoritas kreditur atau lebih dari 2/3 dari seluruh tagihan menerima rencana Perdamaian yang diusulkan Pemohon PKPU. Menimbang, bahwa selanjutnya Pengurus menyampaikan laporannya dalam persidangan ; Menimbang, bahwa isi pokok laporan Pengurus adalah bahwa voting atau pemungutan suara terhadap rencana Perdamaian yang diajukan debitur telah dilaksanakan dalam rapat kreditur dibawah pimpinan Hakim Pengawas yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 2000; Menimbang, bahwa dalam laporan tersebut, Pengurus mengemukakan bahwa hasil voting, adalah sebagai berikut : a. Yang menyetujui rencana perdamaian yang diajukan debitur sebanyak 8 (delapan) Kreditur. b. Yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebanyak 3 (tiga) Kreditur. Menimbang, bahwa laporan Hakim Pengawas dan laporan Pengurus beserta lampiran-lampirannya terlampir dalam Berita Acara Sidang yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan putusan ini. Menimbang, bahwa tidak ada bantahan atau pernyataan berkeberatan yang diajukan dalam persidangan baik oleh debitur maupun para kreditur yang hadir terhadap laporan Hakim Pengawas dan juga terhadap laporan Pengurus.
Menimbang, bahwa untuk mempertegas hal diatas khususnya yang berkaitan dengan hasil yang dilaporkan baik oleh Hakim Pengawas maupun Pengurus, Hakim Ketua Majelis meminta tanggapan dari Para Kreditur; Menimbang, bahwa dari tanggapan yang disampaikan oleh para kreditur dalam persidangan dihubungkan dengan laporan Pengurus dan Hakim Pengawas antara lain dapat diketahui bahwa Kreditur-Kreditur yang menyetujui usul perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah : 1. TYPEDEEP ENTERPRISES Limited, dengan jumlah tagihan
= Rp.
8.758.725.000,-
= Rp.
116.742.500.000,-
= Rp.
21.725.000.000,-
= Rp.
39.125.000.000,-
= Rp.
26.075.000.000,-
= Rp.
9.410.222.000,-
= Rp.
41.991.080.000,-
= Rp.
78.383.920.000,-
2. SEEWELL INTERNATIONAL Limited, dengan jumlah tagihan 3. P.T. ARSI BINA VENTURINDO, dengan jumlah tagihan 4. YORRICK HOLDING Limited, dengan jumlah tagihan 5. WAN LIN ASSETS Limited, dengan jumlah tagihan 6. LEXOR CLUB Limited, dengan jumlah tagihan 7. P.T. ABDI GUNA KARYA GEMILANG, jumlah tagihan 8. EASTVEST VENTURE Limited, dengan jumlah tagihan
Jumlah tagihan
= RP.
342.221.447.000,-
Menimbang, bahwa selain hal diatas dapat pula diketahui bahwa Kreditur yang tidak menyetujui usul perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah : 1. BPPN/BCA, dengan jumlah tagihan sebesar
= Rp.
50.557.087.096,-
= Rp.
26.384.663.531,-
= Rp.
21.306.328.978,-
= Rp.
98.248.079.605,-
2. BPPN/Bank Danamon, jumlah tagihan sebesar 3. BII, dengan jumlah tagihan sebesar Jumlah tagihan
Menimbang, bahwa usul perdamaian yang telah disetujui oleh 8 (delapan) kreditur dari 11 (sebelas) yang mengikuti voting dituangkan kedalam Perjanjian Perdamaian tertanggal 25 September 2000 dan ditandatangani oleh para Kreditur yang telah menyetujuinya; Menimbang, bahwa perjanjian perdamaian tersebut dengan beberapa lampiran diserahkan kepada Majelis Hakim dan terlampir dalam Berita Acara sidang; Menimbang, bahwa selanjutnya untuk segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan telah dicatat seluruhnya dalam Berita Acara Sidang yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari putusan ini; Tentang Hukumnya : Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah agar Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bagi Pemohon ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 212 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, pemberian PKPU tersebut dimaksudkan pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagaian utang kepada kreditur konkuren; Menimbang,
bahwa
permohonan
Pemohon
tersebut
diatas
telah
dikabulkan oleh pengadilan sesuai ketentuan Pasal 214 ayat 2 Undang-undang no. 4 Tahun 1998, dengan Putusan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst., tanggal 8 Agustus 2000, yang dalam amarnya, pada pokoknya pengadilan mengabulkan Penundaan sementara Kewajiban Pembayaran utang untuk Pemohon; Menimbang, bahwa berkaitan dengan permohonannya ini, Pemohon telah mengajukan rencana perdamaian (usulan penyelesaian utang P.T. Ometraco (Revised) tertanggal 8 September 2000, terlampir didalamnya daftar aktiva dan perincian utang P.T. OMETRACO; Menimbang, bahwa sesuai laporan Pengurus dan Hakim Pengawas pengajuan tagihan Para Kreditur (Konkuren) dari Debitur (Pemohon PKPU) telah diterima oleh Pengurus, untuk itu telah pula diadakan pencocokan (verifikasi) dalam rapat-rapat yang dipimpin oleh Hakim Pengawas; Menimbang, bahwa dalam laporan Pengurus tercantum besarnya tagihan para kreditur dengan hak suara yang dimiliki oleh masing-masing Kreditur itu; Menimbang, bahwa telah dilaporkan juga bahwa rencana perdamaian yang diusulkan oleh debitur seperti tersebut diatas sudah dibicarakan dan terhadap
rencana perdamaian itu telah dilakukan pemungutan suara (voting) dalam rapat Kreditur yang dipimpin Hakim Pengawas ; Menimbang, bahwa khusus yang menyangkut voting tersebut diatas, para Kreditur yang hadir dalam persidangan telah pula memberikan keterangan dan tanggapannya masing-masing ; Menimbang, bahwa rencana perdamaian yang telah dituangkan kedalam perjanjian perdamaian dan yang telah ditandatangani oleh Kreditur-Kreditur yang menyetujuinya diajukan dalam persidangan ; Menimbang, bahwa berdasar laporan Hakim Pengawas, laporan Pengurus, tanggapan Para Kreditur dan Debitur serta perjanjian perdamaian yang telah ditandatangani tersebut diatas yang satu dan yang lainnya saling bersesuaian, terbukti bahwa hasil voting yang telah dilaksanakan di bawah pimpinan Hakim Pengawas terhadap usul perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah sebagai berikut : 1. Kreditur Konkuren yang hadir dalam rapat kreditur dan ikut voting yang juga hadir dalam sidang Majelis Hakim pada tanggal 21 September 2000 adalah : 1. BCA/BPPN, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 50.557.087.096,- (hak suara :5.056); 2. Bank
Danamon/BPPN
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
26.384.663.531,- (hak suara : 2.638); 3. BII, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 21.306.328.978,- (hak suara : 2.131);
4. P.T. Abdi Guna Karya Gemilang, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 41.991.080.000,- (hak suara : 4.199); 5. Eastvest
Venture
Limited,
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
78.383.920.000,- (hak suara : 7.838); 6. Lexor Club Limited, dengan jumlah tagihan Rp. 9.410.222.000,- (hak suara : 941); 7. Yorrick
Holding
Limited,
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
39.125.000.000,- (hak suara : 3.913); 8. Seewell International Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 116.742.500.000,- (hak suara : 114.674); 9. Wan Lin Assets Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 26.075.000.000,- (hak suara : 2.608); 10. P.T. Arsi Bina Venturindo, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 21.725.000.000,- (hak suara : 2.173); 11. Typedeep Enterprises Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 8.758.725.000,- (hak suara: 876). 2. Dari 11 (sebelas) Kreditur tersebut diatas, yang menyetujui usul perdamaian dari debitur, sebanyak 8 (delapan) Kreditur dengan total jumlah tagihan yang diakui seluruhnya sebesar Rp. 342.211.447.000,- (tiga ratus empat puluh dua milyar dua ratus sebelas juta empat ratus empat puluh tujuh ribu rupiah), Kreditur-Kreditur yang menyetujui usulan perdamaian dimaksud disini adalah Kreditur-Kreditur yang menyetujui usulan perdamaian dimaksud disini adalah Kreditur-Kreditur pada angka 1.(4) sampai dengan (11) tersebut diatas.
3. Dari 11 (sebelas) Kreditur tersebut diatas, yang tidak menyetujui usul perdamaian dari Debitur adalah sebanyak 3 (tiga) kreditur dengan total jumlah tagihan seluruhnya sebesar Rp. 98.248.0796.605,- (sembilan puluh delapan milyar dua ratus empat puluh delapan juta tujuh puluh sembilan ribu enam ratus lima rupiah); Kreditur-Kreditur yang tidak menyetujui usulan perdamaian yang dimaksud disini adalah kreditur tersebut pada angka 1(1).(2) dan (3) tersebut diatas. Menimbang, bahwa harus dipertimbangkan berikut ini apakah berdasar hasil voting tersebut diatas, usul perdamaian yang diusulkan oleh debitur telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang sebagai rencana perdamaian yang dapat diterima; Menimbang, bahwa Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998 menentukan : bahwa segala putusan rapat Kreditur ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat 1, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; Menimbang, bahwa ternyata untuk pengambilan putusan dalam rapat kreditur yang berkaitan dengan rencana perdamaian, Undang-Undang No.4 Tahun 1998 telah menentukan lain, yaitu seperti ditentukan oleh Pasal 265 ayat 1; Menimbang, bahwa oleh karena tentang diatas, Undang-Undang No. 4 tahun 1998 telah menentukan lain dari yang ditentukan oleh Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998, maka untuk menetapkan apakah rencana perdamaian yang diusulkan oleh debitur tersebut diatas termasuk katagori dapat diterima atau tidak, harus didasarkan atas ketentuan Pasal 265 ayat 1 Undang-
Undang No. 4 tahun 1998, bukan pasal 78 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Jo. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998; Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 265 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, rencana perdamaian dapat di terima apabila disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) Kreditur Konkuren yang haknya di akui atau sementara di akui yang hadir pada rapat permusyawaratan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 termasuk Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan yang di akui dari Kreditur Konkuren diatas dihubungkan dengan ketentuan pasal 265 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Majelis berpendapat bahwa rencana perdamaian yang diusulkan oleh Debitur (Pemohon PKPU) telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 265 ayat 1 UndangUndang No. 4 tahun 1998 sebagai rencana perdamaian yang dapat diterima; Bahwa hasil voting menunjukkan bahwa rencana perdamaian telah disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) Kreditur Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat yang piutangnya diakui. (di setujui oleh delapan dari sebelas Kreditur); Bahwa, jumlah seluruh piutang dari Kreditur-Kreditur yang menyetujui rencana perdamaian tersebut secara bersama-sama telah mewakili lebih dari 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang di akui dari Kreditur Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; Bahwa, hal diatas terbukti dari hasil voting yang menunjukkan bahwa total tagihan yang di akui dari seluruh Kreditur Konkuren yang hadir dalam rapat
adalah sebesar Rp. 440.459.526.605,- (empat ratus empat puluh milyar empat ratus lima puluh sembilan juta lima ratus dua puluh enam ribu enam ratus lima rupiah), sedang total tagihan yang di akui dari para Kreditur konkuren yang hadir dalam rapat dan “yang menyetujui” rencana perdamaian adalah sebesar Rp. 342.221.447.000,- (tiga ratus empat puluh dua milyar dua ratus sebelas juta empat ratus empat puluh tujuh ribu rupiah); Menimbang, bahwa rencana perdamaian (usulan penyelesaian utang P.T. Ometraco) yang menurut hukum telah dapat di terima telah dituangkan kedalam bentuk Perjanjian Perdamaian tertanggal 25 September 2000 dan ditandatangani oleh Debitur (Pemohon PKPU) serta para Kreditur yang menyetujuinya; Menimbang, bahwa Pasal 269 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998, mewajibkan pengadilan memberikan putusan mengenai pengesahan terhadap perdamaian tersebut. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan mengenai pengesahan mengenai perdamaian akan diteliti lebih dahulu apakah dalam perdamaian ini terdapat hal-hal yang mengharuskan pengadilan untuk menolak pengesahan perdamaian sebagaimana diuraikan oleh Pasal 269 ayat 2 Undang-Undang no. 4 Tahun 1998; Menimbang, bahwa ternyata hal-hal yang diuraikan dalam Pasal 269 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1998 khususnya yang diuraikan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tidak terbukti adanya dalam Persidangan; Menimbang, bahwa tentang imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus seperti yang diuraikan dalam Pasal 269 ayat 2 huruf d,
tidak dipermasalahkan oleh Pengurus karena Debitur (Pemohon PKPU) berjanji akan memenuhinya sesuai yang akan ditetapkan oleh Majelis Hakim; Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan diatas tidak ada alasan yang sah menurut hukum untuk menolak mengesahkan perdamaian yang telah dicapai dalam permohonan PKPU ini, oleh karena itu dan dengan berlandaskan kepada ketentuan Pasal 269 ayat 1 Undang-Undang no. 4 Tahun 1998, pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahannya; Menimbang, bahwa dengan adanya putusan pengesahan perdamaian maka secara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi berakhir; Menimbang,
bahwa
dengan
berakhirnya
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) maka dalam putusan ini pengadilan harus menetapkan biaya permohonan PKPU ini yang besarnya akan disebutkan nanti dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa tentang imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh Pengurus sehubungan dengan tugas kepengurusan ini akan ditetapkan kemudian dengan sebuah penetapan tersendiri setelah ada permintaan dari Pengurus dan tanggapan Hakim Pengawas atas permintaan itu; Mengingat ketentuan Pasal 265, Pasal 268 dan ketentuan Pasal 269 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 4 tahun 1998 serta ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan; Memutuskan :
1. Menyatakan perdamaian yang tertuang dalam Perjanjian Perdamaian tanggal 25 September 2000 dan yang ditandatangani oleh Debitur Pemohon PKPU P.T. OMETRACO serat ditandatangani pula oleh 8 (delapan) Krediturnya sah dan mengikat. 2. Menyatakan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU) ini demi hukum berakhir. 3. Menghukum Debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (Pemohon PKPU) dan seluruh Kreditur-Krediturnya tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi perdamaian tersebut. 4. Menghukum Debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (Pemohon PKPU) untuk membayar biaya permohonan ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). 5. Menyatakan besarnya biaya pengurusan harta Debitur termasuk imbalan jasa bagi Pengurus akan ditetapkan kemudian dengan penetapan tersendiri. b. PT Sekar Laut. Tbk berkedudukan di Surabaya, dijalankan oleh Harry Sunogo, Direktur Utama PT Sekar Laut Tbk, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Iwan Kuswardi, Advokat, selanjutnya disebut sebagai Pemohon PKPU terhadap : 1. BNP Paribas, Singapore 2. Omnistar Investment Holding Limited, Singapore 3. Shadforth Agents Limited, Singapore 4. Malvina Investment Limited, Singapore 5. KP2LN Jakarta III, Jalan Prapatan no. 10 Jakarta
PT Sekar Laut Tbk, sebagai debitor telah mengajukan peramohonan PKPU dengan melampirkan Rencana Perdamaian terhadap para kreditornya nomor 1 s/d 5 tersebut diatas. Pengadilan Niaga Surabaya dalam Putusan Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby, telah mengabulkan permohonan PKPU dari Pemohon untuk sementara yakni selama 45 (empat puluh lima) hari sejak putusan diucapkan. Setelah mendengar debitor (pemohon PKPU), laporan Hakim Pengawas dan Pengurus, dan telah membaca Rencana Perdamaian tertanggal 21 September 2005, maka pada sidang berikutnya pada tanggal 22 september 2005 Pengadilan Niaga Surabaya telah menjatuhkan putusan yang isinya mengesahkan Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 September 2005 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon sebagai Pihak Pertama dan Para Kreditor 1 s/d 5 sebagai pihak kedua. Perjanjian Perdamaian Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby tanggal 21 September 2005 isinya adalah sebagai berikut : 434 Pihak pertama adalah Pemohon dalam permohonan PKPU yang diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan register Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby. Pihak kedua adalah advokat yang ditunjuk berdasarkan Surat Kuasa Khusus, kuasa mana memberikan wewenang kepadanya untuk memberikan hak suara, memberikan persetujuan Rencana Perdamaian maupun Perdamaian yang ditawarkan oleh pihak pertama kepada para kreditornya. Pihak pertama dan Pihak kedua telah saling sepakat untuk menandatangani Perdamaian ini yang merupakan peningkatan dari Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang telah diterima oleh Pihak kedua yang disampaikan secara lisan dalam Rapat Kreditor tanggal 13 September 2005. Bahwa pihak pertama dan PT Pangan Lestari sebagai Debitor baik sendiri maupun bersama-sama dalam Perdamaian ini mengaku dan mengikatkan 434
Salinan Putusan Nomor 08/PKPU/2005/PN Niaga Sby, diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Niaga Surabaya.
diri kepada prinsipal dari pihak kedua sebagai kreditor sindikasi jika masing-masing mempunyai utang kepada Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, pengakuan dan pengikatan diri dari Pihak Pertama dibenarkan oleh Pihak Kedua yang secara lisan telah diberikan dihadapan Hakim Pengawas maupun Pengurus PT Sekar Laut Tbk pada Rapat Kreditor tanggal 13 September 2005 dengan perincian jumlah utang pokok sebagai berikut : 1. Omnistar Invesment Holdings Lilmited sebesar USD 8.362.350,2. Shadforth Agents Limited sebesar USD 6.504.050,3. Malvina Investments Limited sebesar USD 8.362.350,Bahwa disamping kreditor sindikasi diatas, Pihak Pertama juga mengaku dan mengikatkan diri kepada anggota sindikasi yang lain sekaligus juga Agen dari kreditor sindikasi yakni BNP Paribas Singapore Branch, Tung centre 20 Collyer Quay, Singapore 049319 jika pihak pertama mempunyai utang pokok kepada BNP Paribas Singapore Branch sebesar USD 4.645.750,- pengakuan dan pengikatan diri ini telah dituangkan serta disampaikan dalam Rencana Perdamaian I Maupun Rencana Perdamaian II yang diajukan dihadapan Hakim Pengawas dan Pengurus PT Sekar Laut Tbk dalam rapat kreditor tanggal 05 September 2005 dan tanggal 13 September 2005. Bahwa pihak pertama juga mengaku mengikatkan diri kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III Jln. Prapatan 10 Jakarta jika mempunyai utang sebesar Rp. 54.308.354.325,pengakuan dan pengikatan diri ini telah dituangkan dan disampaikan dalam Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang diajukan dihadapan Hakim Pengawas dan Pengurus PT Sekar Laut Tbk dalam rapat kreditor tanggal 05 September 2005 dan tanggal 13 September 2005. Bahwa pada saat Pengurus PT Sekar Laut Tbk mengundang para kreditor yang dikenal maupun yang tidak dikenal dari Pihak pertama untuk hadir dalam rapat kreditor guna mengajukan dan memverifikasi piutangnya, BNP Paribas Singapore Branch, Tung centre 20 Collyer Quay, Singapore sebagai kreditor sindikasi yang dikenal Pengurus PT Sekar Laut Tbk sekalipun telah dipanggil secara patut, tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya guna hadir dalam rapat kreditor tanggal 05 September 2005 maupun rapat kreditor tanggal 13 September 2005. Bahwa PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III Jln. Prapatan 10 Jakarta pada saat rapat kreditor pertama tanggal 05 September 2005 hadir dan memberikan penjelasan melalui surat tertanggal 29 Agustus 2005 Nomor S-1465/WPL.03/KP.03/2005 dengan isi sebagaimana lampiran I dalam lembar lampiran yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perdamaian ini, sedang pada rapat kreditor yang kedua PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III Jln. Prapatan 10 Jakarta tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya.
Bahwa pihak pertama menyelesaikan seluruh kewajiban utangnya kepada Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, dan BNP Paribas Singapore Branch dengan cara melakukan Restrukturisasi melalui permohonan PKPU Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby, di Pengadilan Negeri Surabaya dan telah mengajukan Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang telah disetujui oleh Kuasa dari kreditor sindikasi yang hadir dalam rapat kreditor tanggal 13 September 2005 dengan cara sebagai berikut : A. Konversi menjadi kepemilikan Saham 1. Dari semua jumlah utang pihak pertama kepada Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, dan BNP Paribas Singapore Branch yang seluruhnya berjumlah USD. 27.874.500,- sebagian utang sebesar USD 25.087.050 akan dikonversi menjadi kepemilikan saham PT Sekar Laut Tbk dengan perhitungan tabel terlampir yang garis besarnya adalah : Total Saham sebelum pelaksanaan rencana perdamaian adalah Modal Saham disetor 75.600.000 lembar saham @ parbalue Rp. 500,- = Rp. 37.800.000.000, total saham setelah pelaksanaan rencana perdamaian 690.740.500 lembar saham @ parbalue Rp. 500,- = Rp. 344.370.250.000,2. Untuk utang pihak pertama kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III sebesar Rp. 54.308.354.325,seluruhnya akan dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan perhitungan pengurangan bunga sebesar 50% sebagaimana tercantum dalam label. B. Pembayaran bertahap : Terhadap jumlah sisa utang pihak pertama kepada Kreditor Sindikasi yakni Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, dan BNP Paribas Singapore Branch sebesar USD 2.787.450 atau 10% dari total utang pihak pertama kepada kreditor sindikasi akan dibayar secara bertahap dengan skema pembayaran : jangka waktu pinjaman 10 tahun (2005-2015), grace period 2 tahun, pembayaran pokok dimulai tahun 2005 hingga 2015, bunga pinjaman 2% pertahun, pembayaran dilakukan setiap 3 bulan sekali, yaitu pada akhir Januari, April, Juli, dan Oktober yang dimulai 31 Januari 2005 hingga 31 Oktober 2015. Apabila tanggal pembayaran jatuh pada hari libur perbankan Indonesia, maka pembayaran dilakukan pada satu hari kerja perbankan berikutnya. Total jumlah pembayaran adalah 8 tahun x 4 x USD 87.107.81 = USD 2.787.450,- pelunasan terkhir tanggal 31 Oktober 2015. Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, yang merupakan kreditor Sindikasi sebagai pihak kedua harus melepaskan seluruh jaminan berupa jaminan fiducia, hak tanggungan dan corporate guarantee dan lain-lain setelah dilakukan
konversi utang menjadi kepemilikan saham dan setelah pembayaran bertahap diselesaikan. BNP Paribas Singapore Branch sebagai agen Sindikasi sekaligus anggota sindikasi meskipun tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya untuk hadir dalam rapat kreditor, harus tunduk pada Perdamaian ini dengan mengingat ketentuan pasal 286 UU nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, demikian pula halnya dengan PT Bank Negara Indonesia, Tbk. qq KP2LN Jakarta III yang tidak hadir dalam rapat kreditor tanggal 13 September 2005 juga harus tunduk pada Perdamaian ini. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III harus melepaskan seluruh jaminan berupa hak tanggungan, personal guarantee dan corporate guarantee, setelah dilakukan konversi utang menjadi kepemilikan saham, demikian pula halnya dengan BNP Paribas Singapore Branch harus melepaskan seluruh jaminan berupa hak tanggungan, fidusia dan corporate guarentee, setelah dilakukan konversi utang menjadi kepemilikan saham dan setelah pembayaran bertahap diselesaikan. Surat keterangan lunas atas seluruh utang-utang dari PT Sekar Laut. Tbk dan PT Pangan Lestari harus diberikan kepada pihak pertama setelah konversi utang menjadi kepemilikan saham telah selesai dilakukan oleh pihak pertama kepada PT Bank Negara Indonesia, Tbk, sedangkan surat keterangan lunas baru dapat diberikan oleh kreditor sindikasi kepada pihak pertama apabila pihak pertama telah selesai membayar sisa utang pokok. Ketentuan mengenai pemberian opsi membeli kembali (buy back option) saham hanya diberlakukan kepada pihak kedua beserta anggota sindikasi yang lain yakni, BNP Paribas Singapore Branch dengan syarat dan kondisi sebagai berikut : Apabila pelaksanaan (implementasi) restrukturisasi utang yang berupa konversi utang menjadi kepemilikan saham telah dilaksanakan, maka para pemegang saham pendiri (founders) PT Sekar Laut, Tbk. akan mengalami dilusi yang cukup besar, karenanya guna memberikan apresiasi atas upaya para pemegang saham pendiri menjalankan dan mengembangkan perseroan selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun dan memberikan semangat bagi para pemegang saham untuk tetap menekuni usaha ini serta tetap mempertahankan kepemilikan saham para pemegang saham pendiri di perseroan, maka pihak kedua yang terdiri dari Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited, beserta anggota sindikasi yang lain yakni, BNP Paribas Singapore Branch setuju untuk memberikan opsi membeli kembali 25% dari seluruh saham biasa yang diterbitkan untuk kepentingan kreditor sindikasi kepada para pemegang saham pendiri dengan harga Rp. 1,- per lembar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Perseroan akan menyisihkan sejumlah 25% dari total jumlah baru yang dikeluarkan untuk kepentingan kreditor sindikasi untuk selanjutnya dijual kepada para pemegang saham pendiri. Karenanya pada saat pelaksanaan konversi saham yang akan diserahkan kepada masing-masing kreditor sindikasi akan berkurang secara proposional. Atas penjualan sejumlah 25% dari total saham yang dikeluarkan oleh PT Sekar Laut Tbk untuk kepentingan Kreditor sindikasi kepada para pemegang saham pendiri dan manajemen, maka jumlah saham yang akan diterima oleh kreditor sindikasi akan berkurang secara proposional. Perdamaian beserta Lampiran merupakan ringkasan dari rencana Perdamaian II PT Sekar Laut Tbk, tanggal 7 September 2005 yang telah disetujui oleh kreditor yang hadir pada tanggal 13 September 2005 dan mengikat bagi seluruh kreditor dan jika ada perbedaan maka seluruh ketentuan dalam Rencana Perdamaian II adalah sah dan mengikat. Pihak pertama akan membayar seluruh biaya-biaya yang timbul dari pelaksanaan Perdamaian dalam PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya yang besarnya akan ditetapkan oleh Pengadilan dan harus dibayar tunai dan sekaligus pada saat Pengurus menyerahkan Salinan Penetapan biaya Pengurus kepada pihak pertama. Pihak pertama dan pihak kedua telah saling sepakat untuk menyatakan perdamaian ini mulai efektif untuk dilaksanakan sejak hari dan tanggal penandatanganannya Perdamaian dengan tidak mengenyampingkan ketentuan jadwal dan pelaksanaan dalam ketentuan-ketentuan diatas. 4. Pembatalan Perdamaian Tim Likuidasi Bank Harapan Sentosa (dalam Likuidasi), selaku Kreditor telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Okasa Indah (Debitor) yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 018/Pailit/2000/PN.Niaga Jkt. Pusat. Kemudian Debitor
telah
mengajukan
PKPU
yang
terdaftar
dengan
Nomor
06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst sebagai Counter terhadap permohonan pailit tersebut. Untuk itu Pengadilan Niaga telah mengeluarkan putusan PKPU Sementara dengan Putusan Nomor 018/Pailit/2000/PN.Niaga Jkt.Pst jo. Nomor 06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst tertanggal 24 April 2000. dalam proses selanjutnya, kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan perdamaian yang
dituangkan dalam Perjanjian Perdamaian tanggal 30 Oktober 2000, dan perdamaian
tersebut
telah
disahkan
dengan
Putusan
Nomor
06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst tertanggal 2 Nopember 2000, yang isinya adalah : menghukum Debitor dan seluruh Kreditornya untuk tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi perdamaian tersebut. Bahwa kemudian Kreditor tersebut telah mengajukan permohonan Pembatalan Perdamaian ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana dengan Putusan Nomor 01/Pembatalan Perdamaian/2002/PN.Niaga Jkt.Pst. telah menolak permohonan pembatalan dimaksud. Selanjutnya Kreditor tersebut telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi dengan Putusan Nomor 027 K/N/2002 Mahkamah Agung telah pula menolak permohonan kasasi dari Kreditor dengan ketentuan : menghukum Debitor untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian sesuai Putusan Nomor 06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst kepada Kreditor tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan kasasi berkekuatan hukum tetap, dan bila Debitor tidak memenuhi ketentuan pembayaran tersebut, maka Debitor dinyatakan dalam keadaan pailit. Bahwa kemudian Kreditor tersebut telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, lalu dengan Putusan Nomor 01 PK/N/2003, Mahkamah Agung telah mengabulkan
Permohonan PK dari Kreditor tersebut sekaligus
membatalkan Perjanjian Perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya, selanjutnya dinyatakan bahwa Debitor (PT Okasa Indah) Pailit. Selengkapnya putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK) akan diuraikan di bawah ini :
Putusan Nomor 01 PK/N/2003 tanggal 4 Februari 2003. 435 Kasus Posisi : PT Okasa Indah, berkedudukan di Jln. Jembatan Tiga Nomor 36 AA Jkt Utara, dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Turman M Panggabean, SH dkk, para Advokat dan Pengacara, berkantor di Jln. Pangeran Jayakarta Bl. 24/50 Jakarta Pusat,
sebagai
Pemohon
Peninjauan
Kembali,
dahulu
Termohon
Kasasi/Termohon Pembatalan Perdamaian/Debitor, melawan : Tim Likuidasi Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi), berkedudukan di BHS Centre Lt.5 Jln. Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya M. Gamal Resnianto, SH dkk, para Advokat dan Pengacara, berkantor di BHS Centre Lt.5 Jln. Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat, sebagai Termohon Peninjauan
Kembali,
dahulu
Pemohon
Kasasi/Pemohon
Pembatalan
Perdamaian/Kreditur. Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Termohon Kasasi/Termohon Pembatalan Perdamaian/Debitur telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor 027 K/N/2002 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Kasasi/Pemohon Pembatalan Perdamaian/Kreditur dengan posita perkara sebagai berikut : Bahwa Pemohon Kasasi dalam kedudukannya sebagai Kreditur telah mengajukan permohonan pailit terhadap Termohon Kasasi sebagai Debiturnya 435
340
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2005, Mahkamah Agung RI, 2006, h.329-
yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 18/Pailit/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 21 Maret 2000 ; Bahwa atas permohonan pailit tersebut, telah diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas permohonan mana Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusan PKPU sementara tanggal 24 April 2000 Nomor : 18/PAILIT/2000/ PN.NIAGA.JKT.PST jo. Nomor 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST. (bukti PI); Bahwa dalam proses PKPU tersebut, kedua belah pihak telah sepakat untuk berdamai yang dituangkan dalam perjanjian perdamaian tanggal 30 Oktober 2000 (Bukti P-III) dan perdamaian tersebut juga telah disahkan dengan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 November 2000 Nomor : 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST. Bahwa amar Putusan Nomor : 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST tanggal 2 November 2000 (Vide Bukti P-II) menyatakan sebagai berikut : − Menyatakan perjanjian perdamaian tertanggal 30 Oktober 2000 yang ditandatangani oleh debitur (Pemohon PKPU) PT. Osaka Indah dan oleh 4 (empat) krediturnya sah dan mengikat secara hukum ; − Menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini demi hukum berakhir ; − Menghukum debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pemohon PKPU) dan seluruh kreditur-krediturnya tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi perdamaian tersebut ;
− Menghukum debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban Utang (Pemohon PKPU) PT. Osaka Indah untuk membayar biaya permohonan ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ; Bahwa menurut Pasal I ayat (4) Perjanjian Perdamaian a quo. Termohon Pembatalan Perdamaian menyatakan sebagai berikut : “Bahwa atas jumlah utang sebagaimana tersebut dalam Pasal I ayat (3) tersebut di atas dibayar dengan angsuran selama 36 bulan, terhitung sejak 1 (satu) bulan setelah tanggal perjanjian ini ditandatangani, dengan angsuran setiap bulannya sebesar Rp. 44.952.569,- (empat puluh empat juta sembilan ratus lima puluh dua ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah)” ; Jadi menurut pasal ini jelas bahwa Termohon telah sepakat berjanji untuk memenuhi kewajibannya secara angsuran setiap bulannya selama 36 bulan sampai dinyatakan lunas oleh Pemohon Pembatalan Perdamaian.
Termohon telah
melaksanakan angsuran pelunasan kewajibannya sampai dengan angsuran ke 13 (tiga belas) dengan jumlah total yang telah diterima Pemohon Pembatalan Perdamaian sebesar Rp. 584.383.397,- (lima ratus delapan puluh empat juta tiga ratus delapan puluh tiga ribu tiga ratus sembilan puluh tujuh rupiah) sebagaimana terbukti dan Daftar Suspense Creditor (IDC) atas nama Termohon yang dikeluarkan Pembatalan Perdamaian (Bukti P-IV) ; Bahwa sejak bulan Januari 2000 (untuk pembayaran bulan ke empat belas) sampai dengan diajukannya permohonan, Termohon telah lalai membayar angsuran kewajibannya kepada Pemohon Pembatalan Perdamaian sesuai perjanjian perdamaian a quo ;
Bahwa atas kelalaian membayar angsuran kewajibannya tersebut, maka Pemohon Pembatalan Perdamaian telah mengirimkan surat teguran (somasi) Nomor : 008/MGR-ZZ/IGP/III/2002 tertanggal 25 Maret 2002 yang tembusannya telah dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan para kreditur lainnya untuk segera membayar angsurannya yang sudah terlambat tersebut, namun surat somasi tersebut tidak ditanggapi dengan baik terbukti sampai diajukan permohonan pembatalan perdamaian diajukan. Termohon Pembatalan Perdamaian belum juga melakukan kewajibannya (Bukti P-V) ; Bahwa sesuai Pasal VI Perjanjian Perdamaian a quo tentang sanksi atas kelalaian Debitur dinyatakan bahwa : Bahwa walaupun perdamaian PKPU ini telah mendapatkan putusan pengesahan dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal VII ayat (I) dan (3) dan perjanjian ini, akan tetapi dapat dinyatakan batal apabila debitur telah lalai memenuhi ketentuan sebagai berikut : (1) Debitur tidak melaksanakan ketentuan dan pasal I dengan pasal V baik ayat per ayat maupun salah satu lampiran-lampiran yang telah disetujui oleh debitur dan para kreditur yang terlampir dalam perjanjian ini. (2) Bahwa apabila debitur lalai melakukan kewajibannya sebagaimana disebutkan pada Pasal VI butir 1 dan 2 di atas, maka perjanjian ini menjadi batal demi hukum dengan sendirinya, dan segala keringanan atau discount yang diberikan oleh kreditur kepada Debitur dianggap tidak pernah ada, dan demi
hukum pula Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negara Jakarta Pusat menyatakan Debitur dalam keadaan pailit, dan segala pembayaran yang telah dilakukan oleh Debitur (apabila ada), akan diperhitungkan dengan kewajiban kepada kreditur; Bahwa dalam rangka memenuhi Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, maka Pemohon mengusulkan agar Pengadilan mengangkat Kurator Hj. Tutik Sri Suharti, SH. dari Kantor Konsultan Hukum Tutik Sri Suharti & Rekan, Kurator dan Pengurus terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Nomor : C-HT.05.14-28, sebagai Kurator Termohon dalam kepailitan ini : Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan sebagai berikut : 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon ; 2. Menyatakan Termohon telah lalai dan melanggar Perjanjian Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor : 06/PKPU/ 2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 30 Oktober 2000 ; 3. Menyatakan batal putusan perdamaian (homologasi) Nomor : 06/PKPU/ 2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 2 November 2000 berikut Perjanjian Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor : 06/PKPU/ 2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 30 Oktober 2000 ; 4. Menyatakan demi hukum Termohon dalam keadaan pailit ;
5. Menetapkan Hakim Pengawas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta Termohon ; 6. Menerima usulan untuk mengangkat Kurator Hj. Tutik Sri Suharti, SH dan Kantor Hukum Tutik Sri Suharti & Rekan sebagai curator Termohon dalam kepailitan ini ; 7. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh utang/kewajibannya kepada Pemohon sebesar USD 326,164.42 sebelum dikurangi dana Termohon di Pemohon sebesar Rp. 285.348.208,- dan angsuran yang telah dibayarkan sebesar Rp. 584.383.397,- ; 8.
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara ; Menimbang bahwa amar putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Oktober 2002 Nomor : 01/Pembatalan Perdamaian/2002/PN.NIAGA.JKT.PST yang amarnya berbunyi sebagai berikut : − Menolak permohonan PEMOHON untuk seluruhnya ; − Menyatakan Pemohon untuk membayar biaya perkara seluruhnya sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ; Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor : 027 K/N/2002 yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut : − Menolak permohonan kasasi dan Pemohon Kasasi Tim Likuidasi Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi) tersebut, dengan ketentuan Termohon Kasasi dihukum untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian sesuai putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarat
Pusat tanggal 6 November 2000 No. 06/PKPU/2000/ PN.Niaga.JKT.PST kepada Pemohon Kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap ; − Menetapkan bila Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan pembayaran angsuran di atas, maka Termohon Kasasi dinyatakan dalam keadaan pailit dengan ketentuan, Kurator dan Hakim Pengawas akan ditetapkan kemudian oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ; − Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ongkos perkara pada semua dalam tingkat peradilan yang dalam pemeriksaan kasasi ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ; Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut i.c putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor : 027 K/N/2002 diberitahukan kepada Termohon Kasasi pada tanggal 13 November 2002, kemudian terhadapnya oleh Termohon Kasasi dahulu Termohon Pembatalan Perdamaian/Debitur dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 04 Desember 2002 diajukan permohonan Peninjauan Kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 04 Desember 2002, permohonan nama disertai oleh memori yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 04 Desember 2002 itu juga ; Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama pada tanggal 11
Desember 2002, kemudian terhadapnya oleh pihak lawan telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 19 Desember 2002 ; Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai dengan Pasal 286, 287, 288 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1998, permohonan Peninjauan Kembali a quo beserta alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan caracara yang ditentukan Undang-undang, maka oleh karena itu formil dapat diterima; Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut : 1. Bahwa Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan berat dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap Pasal 1238, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, sebagaimana yang dipertimbangkan pada halaman 13 baris 9, yang menyatakan bahwa dengan adanya surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 1613/KPTS/II/2001 tentang perubahan atas keputusan Menteri Kehutanan Nomor 168/KPTS/IV/2001 tanggal 30 Maret 2001 tentang pemanfaatan dan peredaran kayu ramin, yang melarang eksport kayu gortimen, kayu ramin dalam bentuk bulat dan kayu gergajian, maka suatu keadaan memaksa telah terbukti (overmatch/force majeure) dan peristiwa ini tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. Kemudian Mahkamah Agung menyatakan bahwa pada halaman 19, Mahkamah Agung menyebutkan bahwa keadaan memaksa itu bukanlah bersifat mutlak. Pertimbangan hukum ini bertentangan dengan Pasal 1245 KUH Perdata. Selain itu, bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 keadaan memaksa ini haruslah
ditafsirkan untuk penundaan pembayaran dimana Mahkamah Agung seharusnya memberikan waktu yang dianggap cukup berdasarkan kepatutan untuk
melaksanakan
Perjanjian
Perdamaian
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 30 Oktober 2000 ; 2. Bahwa Mahkamah Agung yang menyatakan Pasal 1339 dan Pasal 1338 ayat (1), ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 160 ayat (1), ayat (3) Undang-Undang Kepailitan tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo, padahal menurut Pasal 1339 dan Pasal 1338 ayat (1), ayat (3) KUH Perdata perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (kejujuran), ketentuan ini telah dipenuhi oleh Termohon Kasasi dengan melakukan pembayaran angsuran sebanyak 13 (tiga belas) kali yang telah diakui Temohon Peninjauan Kembali, kemudian pada angsuran ke 14 pembayaran terhenti karena adanya keadaan memaksa, keadaan inipun telah dibenarkan pula Mahkamah Agung ; 3. Bahwa Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya melakukan kesalahan berat yang tidak mempertimbangkan Pasal 276 ayat (1) ayat (2) Undang-Undang Kepailitan sehingga putusan bersifat alternatif, sebagaimana yang dipertimbangkan pada halaman 15 baris 15 yang merupakan putusan bersyarat yang tidak diatur baik dalam Undang-Undang Kepailitan dan maupun dalam Hukum Perdata, putusan ini hanya dikenal dalam Pasal 14 ayat (1) KUH Pidana. Disamping itu juga bertentangan dengan Pasal 276 UndangUndang Nomor : 4 Tahun 1998, yang menyatakan Termohon Kasasi dihukum untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian sesuai
putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 6 November 2000 Nomor : 06/PKPU/PN.Niaga Jkt.Pst kepada Pemohon Kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap ; Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan alasan-alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali sebagai berikut ; mengenai keberatan ad. 3 : Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena dalam putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Bahwa Pasal 276 Undang-Undang Kepailitan memberikan kemungkinan bagi kreditor untuk memohonkan pembatalan perdamaian yang telah disahkan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 dan 161 Undang-Undang Kepailitan ; b. Bahwa terhadap permohonan pembatalan perdamaian tersebut Hakim dapat menolak permohonan ataupun mengabulkannya dengan menyatakan batalnya perdamaian dan sekaligus menyatakan debitur pailit ; c. Bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya telah menolak permohonan Kasasi/Pemohon Pembatalan Perdamaian/Kreditur dengan ketentuan debitur dihukum untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian dan bila debitur tidak memenuhi ketentuan tersebut maka ia dinyatakan pailit ;
d. Bahwa putusan tersebut disatu segi menolak permohonan pembatalan perdamaian, namun di lain segi dengan dinyatakannya Debitur pailit bila tidak melakukan pembayaran angsuran, seharusnya Permohonan Pembatalan Perdamaian tersebut dikabulkan ; e. Bahwa selain itu, sesuai dengan Pasal 278 Undang-Undang Kepailitan, terhadap putusan atas permohonan perdamaian tidak dapat diajukan kasasi, karenanya dalam putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum sehingga putusan tersebut harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili lagi dengan pertimbangan berikut ini ; Menimbang,
bahwa
pertama-tama
Mahkamah
Agung
akan
mempertimbangkan mengenai apakah terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat yang tidak dapat dimohonkan kasasi tersebut dapat dimohonkan peninjauan kembali; Menimbang, bahwa Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan merumuskan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, karenanya Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut dapat diperiksa dan diputus oleh Mahkamah agung; Menimbang, bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan kembali dahulu Termohon Kasasi/Debitur adalah pembatalan perdamaian yang telah disahkan, dengan alasan Debitur telah lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;
Menimbang, bahwa menurut Pasal 160 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan kepada Debitur diletakkan beban untuk membuktikan bahwa perdamaian sudah dipenuhinya; Menimbang, bahwa oleh karena telah didalilkan oleh Kreditur dan tidak dibantah oleh Debitur, maka terbukti benar bahwa Debitur telah tidak memenuhi isi perdamaian tersebut terlepas dari apapun alasannya; Bahwa oleh karena itu, permohonan Pembatalan Perdamaian dapat dikabulkan dan dengan demikian Debitur dinyatakan pailit; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. Okasa Indah dan membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor : 027 K/N/2002 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan aman seperti yang akan disebutkan di bawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena Termohon peninjauan Kembali pihak yang dikalahkan, maka harus membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan; Memperhatikan pasal-pasal dan Undang-Undang Nomor : 14 tahun 1970, Undang-Undang Nomor : 14 tahun 1985 dan PERPU Nomor : 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 serta Undang-Undang lain yang bersangkutan;
MENGADILI :
Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. Osaka Indah tersebut; Membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 nomor 027/K/N/2002; MENGADILI KEMBALI : − Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian ; − Menyatakan Termohon telah lalai memenuhi isi perjanjian perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA. JKT. PST. tertanggal 30 Oktober 2000; − Menyatakan batal putusan perdamaian Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA. JKT. PST. tertanggal 2 November 2002 berikut perjanjian perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA. JKT. PST. tertanggal 30 Oktober 2002; − Menyatakan Termohon PT. Osaka Indah pailit: − Mengangkat Hj. Tutik Sri Suharti, SH dan Kantor Hukum Tutik Sri Suharti & Rekan sebagai Kurator Termohon ; − Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mengangkat Hakim Pengawas; − Menolak permohonan yang selebihnya ; − Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali/Termohon membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah); Data Perkara Kepailitan dan PKPU di 5 (lima) Pengadilan Niaga :
2.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun 1998 – 2006 (Tabel 3) : Dari 533 (lima ratus tiga puluh tiga) perkara permohonan yang masuk (100%) terdiri dari 508 (lima ratus delapan) permohonan pailit dan 25 (dua puluh lima) permohonan PKPU Murni, telah diputus dengan damai pailit 32 (tiga puluh dua) perkara (6%) dan dengan damai PKPU 57 (lima puluh tujuh) perkara (10,1%), sehingga total perdamaian yang diputus adalah 89 (delapan puluh sembilan) perkara (16,1%).
3.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Medan tahun 2003 – 2006 (Tabel 4): Dari 6 (enam) perkara permohonan pailit yang masuk (tidak ada permohonan PKPU yang masuk), telah diputus dengan pailit 5 (lima) perkara, dan ditolak 1 (satu) perkara, sehingga tidak ada perdamaian yang diputus.
4.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Semarang tahun 2002 – 2006 (Tabel 5) : Dari 10 (sepuluh) perkara permohonan yang masuk terdiri dari 9 (sembilan) permohonan pailit dan 1 (satu) permohonan PKPU, telah diputus dengan pailit 4 (empat) perkara, ditolak 3 (tiga) perkara, dicabut 1 (satu) perkara sedang 1 (satu) permohonan PKPU dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO), sehingga tidak ada perdamaian yang diputus.
5.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Makasar tahun 2002 – 2006 (Tabel 6) :
Dari 4 (empat) perkara permohonan pailit yang masuk (100%) dan tidak ada permohonan PKPU, telah diputus dengan pailit 1(satu) perkara, dicabut 2 (dua) perkara dan damai pailit 1 (satu) perkara (25%), sedang damai PKPU tidak ada diputus. 6.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya tahun 2001 – 2006 (Tabel 7) : Dari 47 (empat puluh tujuh) perkara permohonan (100%) terdiri dari 45 (empat puluh lima) permohonan pailit dan 2 (dua) permohonan PKPU, telah diputus dengan pailit 17 (tujuh belas) perkara, dicabut atau ditolak 28 (dua puluh delapan) perkara, damai pailit 1 (satu) perkara, damai PKPU 1 (satu) perkara, sehingga total perdamaian 2 (dua) perkara (4%). Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga pada Tabel 10
yang termuat dalam lampiran, dapat diperoleh kesimpulan atau konklusi sebagai berikut : Sebab gagalnya perdamaian dalam kepailitan dan PKPU adalah : 1. Tidak terpenuhinya syarat materil yakni tidak tercapainya kesepakatan damai akibat tidak dapat diterimanya jumlah pembayaran utang maupun tenggang waktu yang ditawarkan oleh debitor kepada para kreditornya. 2. Tidak terpenuhinya syarat formil yakni tidak tercapainya quorum dalam pemungutan suara para kreditor dalam memperoleh persetujuan rencana perdamaian dan atau rencana perdamaian yang telah memperoleh persetujuan tidak memperoleh pengesahan (homologasi) dari Pengadilan Niaga.
C. Putusan Pengadilan Dan Mekanisme Reorganisasi Perusahaan Di Amerika Serikat Serta Manfaatnya Terhadap Sistem PKPU 1.
Putusan
Pengadilan
Amerika
Serikat
Tentang
Bankruptcy
Dan
Reorganisasi Di bawah ini akan dikemukakan suatu putusan Pengadilan Banding Amerika Serikat terhadap kasus Bankruptcy sehubungan adanya masalah tentang prioritas dari hak-hak buruh (Pekerja) dari Perusahaan. Upaya penyelamatan telah dituangkan dalam suatu kesepakatan antara Debitor dengan para Kreditor, atau dalam
Collective
Bargaining
Agreement
(CBA)
untuk
menyelesaikan
permasalahan tentang hak-hal cuti dari para pekerja Perusahaan. Putusan tersebut secara singkat dimuat di bawah ini sebagai berikut : PENGADILAN TINGKAT BANDING AMERIKA SERIKAT PADA TAHAP KEDUA No. 597 Agustus 1993 436 Kasus Posisi : Ionosphere Club Inc, Eastern Air Lines Inc, BAR Harbor Airways Inc, melaksanakan usaha sebagai Eastern Express, sebagai para debitor. Air Line Pilots Association (ALPA), International Association of Machinists and Aerospace (IAM), Transport Workers Union of America (TWU), sebagai para Pembanding, dan Martin R. Shugrue. Jr, Pengurus dari Eastern Air Lines Inc, sebagai Terbanding. Banding diajukan terhadap putusan Southern District New York yang membenarkan putusan US Bankruptcy Court New York yang telah menerima permintaan debitor untuk menetapkan tuntutan pembayaran cuti para pekerja sebelum kepailitan sebagai bagian dari tuntutan tanpa jaminan (kreditor
436
Cir. 1993)
In. Re : Ionosphere Clubs V. Martin R. Shugrue. Jr., 597. Docket No. 93-5054 (2d.
konkuren), berhak sebagai prioritas ketiga dan merupakan bagian dari tuntutan tanpa jaminan secara keseluruhan; Miner (Hakim Wilayah) berpendapat : Pada tingkat banding ini setelah menghubungkan kembali dengan kepailitan dari Eastern Air Lines, yang tidak membenarkan ALPA, IAM, dan TWU (Unions) banding atas putusan (24-5-1993) US District Court (Southern District) New York, yang membenarkan putusan (10-9-1991) US Bankruptcy Court (Southern District) New York, yang menetapkan tuntutan pembayaran cuti sebelum kepailitan yang diajukan oleh para pekerja Eastern sebagai bagian dari tuntutan tanpa jaminan, berhak sebagai prioritas ketiga berdasarkan pasal 507 (a) (3) dari US Bankruptcy Code, sebagai bagian dari tuntutan tanpa jaminan keseluruhan. District Court juga menolak alasan permintaan ALPA bahwa Bankruptcy Court telah salah karena tidak meminta agar Eastern dan ALPA menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan menafsirkan ketentuan pembayaran cuti yang tertera pada Collective Bargaining Agreement (CBA) antara keduanya, yang akhirnya menetapkan tidak ada penyelesaian secara arbitrase dalam ketentuan CBA tersebut. Pada tahap banding Unions membantah dengan alasan bahwa pasal 1113 (f) BC telah meniadakan bagan prioritas berdasarkan pasal 507, yang memberikan prioritas utama (preferen) pada tuntutan pembayaran cuti. ALPA juga mengajukan alasannya bahwa Bankruptcy Court seharusnya melarang Eastern membawa sengketa ini melalui arbitrase dengan dasar menafsirkan ketentuan-ketentuan pembayaran cuti pada CBA.
Latar Belakang : Pada
tanggal
9-3-1989,
Eastern
telah
mengajukan
Reorganisasi
berdasarkan pasal 1101-1174 Chapter 11 USBC. Martin R. Shugrue, Jr. telah ditunjuk sebagai Pengurus (kuasa) Perusahaan Eastern dan diwajibkan menjalankan perusahaan airline dan mengelola aset perusahaan sesuai dengan peraturan Bankruptcy Code. Pada tanggal 18 Januari 1991 Eastern telah berhenti beroperasi dan seluruh pekerjanya telah diberhentikan sejak tanggal 1 Februari 1991. ALPA mewakili pilot yang masih bekerja di perusahaan Eastern, IAM mewakili pekerja pelayanan darat dan pekerja lainnya dari Eastern, dan TWU mewakili seluruh petugas penerbangan yang masih bekerja di Eastern. Perjanjian (CBA) yang dipermasalahkan dalam tahap banding ini merupakan hasil kesepakatan antara Eastern dan Unions (ALPA, IAM,TWU) sesuai dengan Railway Labor Act, pasal 151-188 Chapter 45 US Code. Ketentuan pembayaran cuti dalam CBA adalah menjadi permasalahan. Pekerja perusahaan memperoleh hak cuti berdasarkan hitungan hari dalam tahun dan timbulnya hak itu adalah pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Pekerja pada umumnya berhak atas pembayaran penuh atas hak cuti yang tidak digunakan sesuai peraturan dari Eastern. Sewaktu Eastern mengajukan permohonan reorganisasi Chapter 11, banyak pekerja yang belum mengambil semua hak cutinya, dan oleh karena itu telah menuntut pembayaran atas cuti yang tidak digunakan yang menjadi haknya
sebelum diajukan permohonan tersebut. Tuntutan tersebut berjumlah total di atas $60 juta US. Eastern tidak mempermasalahkan bahwa semua pekerja yang mewakili ALPA dan IAM, berhak atas semua pembayaran cuti berdasarkan CBA. Sehubungan dengan pembatasan atau penundaan yang dibuat oleh perusahaan dan ketentuan-ketentuan pembayaran cuti pada CBA tidak pernah ditolak dan dibantah oleh Eastern. Pada tanggal 26 Juli 1991 Eastern memohon kepada Bankruptcy Code untuk memutuskan penentuan prioritas dari tuntutan pembayaran cuti sebelum kepailitan. Yang menjadi sengketa antara Eastern dan Unions adalah pembayaran cuti yang telah digunakan sebelum permohonan kepailitan agar dapat diselesaikan berdasarkan pasal 507 (a) (3) BC, yang telah menentukan sebagai prioritas ketiga atas tuntutan tanpa jaminan seperti : gaji, penghasilan lain atau komisi termasuk pembayaran cuti, yang diperoleh dalam 90 hari sebelum pengajuan permohonan, yang hanya sampai $ 2.000 untuk setiap orang. Unions mengajukan agar semua tuntutan pembayaran cuti yang tidak digunakan pada tahun 1988 adalah merupakan hak dengan prioritas utama dan perolehan itu jatuh pada tanggal 1 Januari 1989 dan termasuk dalam 90 hari sebelum permohonan. Unions juga membantah bahwa pasal 1113 (f) melarang memberi kewenangan kepada sepihak untuk mengakhiri dan merubah CBA, menghilangkan bagan prioritas dari pasal 507 dan meminta agar pembayaran cuti dapat diterima menjadi prioritas yang sama dengan biaya-biaya administrasi sesuai dengan pasal 507 (a) (1). Putusan Bankruptcy Code tanggal 10-9-1991 membenarkan pendapat Eastern yang didasarkan pada alasan bahwa hanya tuntutan pembayaran cuti terhadap pekerjaan yang benar-benar ada selama periode 90 hari sebelum
permohonan adalah sah ditetapkan menjadi prioritas ketiga, tidak tergantung pada hari perolehan. Akhirnya Bankruptcy Code menolak alasan Unions bahwa pasal 1113 ditafsirkan menghilangkan skema prioritas yang ditetapkan dalam pasal 507. Unions banding atas putusan Bankruptcy Code tersebut. Putusan District Court tanggal 24-5-1993 membenarkan ketetapan Bankruptcy Code sepenuhnya dan berpendapat bahwa permasalahan utama ialah : Apakah tuntutan ke pengadilan tentang skema (bagan) prioritas dalam pasal 507 dengan dasar pemutusan atau perubahan sepihak atas CBA oleh kuasa sesuai pasal 1113, dan apakah pemberian prioritas utama terhadap tuntutan pembayaran cuti telah sesuai dalam menegakkan perlindungan menurut pasal 1113 ; District Court juga menolak alasan ALPA yang menyatakan bahwa Bankruptcy Court telah keliru menyatakan tidak ada permintaan Eastern dan ALPA menyelesaikan sengketa melalui permintaan arbitrase berdasarkan penafsiran pembayaran cuti dalam CBA antara Eastern dan ALPA, sehingga berpendapat tidak ada sengketa kedua belah pihak tentang isi perjanjian CBA. Analisis : Dalam putusan banding ini, permintaan dari para pekerja (unions) agar pembayaran cuti para pekerja yang ditetapkan sebagai hak para pekerja berada pada prioritas utama (preferent) tidak dibenarkan oleh Hakim banding, dan tetap berpedoman pada putusan Bankruptcy Court yang menetapkan bahwa untuk pembayaran hak cuti sebagai prioritas ketiga yakni merupakan bagian dari tuntutan tanpa jaminan (kreditor konkuren) ; Bahwa penerapan skema prioritas dalam pasal 507 tidak membolehkan Eastern secara sepihak merubah atau mengakhiri CBA, dan penerapan skema
prioritas tidak bertentangan dengan tujuan pasal 1113. Bahwa Bankruptcy Court yang menetapkan prioritas berdasarkan pasal 507 adalah persoalan interpretasi undang-undang dan tidak mempermasalahkan tentang arbitrase. Sehubungan dengan tidak adanya sengketa yang nyata tentang jumlah atau banyaknya pembayaran cuti yang diajukan ALPA dan tidak ada sengketa hukum dalam menentukan prioritas dari tuntutan pembayaran cuti, maka putusan District Court telah dibenarkan oleh putusan banding ini.
2. Langkah-langkah Reorganisasi Menurut Chapter 11 United State Bankruptcy Code Sebagaimana diketahui, si Debitor haruslah diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan rencana reorganisasi. Tetapi sebelum mengajukan rencana tersebut, Debitor haruslah lebih dahulu merundingkan isi pokok dari rencana itu dengan para Kreditor maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Melalui rencana dengan perundingan itu maka terbukalah kesempatan yang baik untuk saling mengerti dan akhirnya tercapai kesepakatan dari para pihak untuk berdamai, namun untuk memperoleh pengertian tentang apa yang akan dilakukan dalam proses mengajukan dan merundingkan rencana tersebut tentunya harus pula dipahami tentang bagian-bagian mendasar (elemenelemen) dari suatu Rencana Reorganisasi. Sebagai pedoman dapat dikemukakan suatu kasus yakni suatu perusahaan (Acme, Inc.), dalam hal ini hanya perusahaan fiktif (khayal) yang hendak mengajukan suatu Rencana Reorganisasi, 437 dikombinasikan dengan Rencana
437
Mark S Scarberry et.al. op.cit. h. 683-685
Reorganisasi menurut Robert E Nugent, 438 dalam tulisannya berjudul Drafting Bankruptcy Reorganization Plans, lengkap dengan cara-cara pembayaran utang Debitor kepada para Kreditor, selengkapnya diuraikan dibawah ini : a. Membuat Ringkasan Rencana : Membangun suatu manajemen untuk menjamin kelangsungan dari rencana. Biaya
operasi
akan
ditetapkan
dengan
perhitungan
tertentu,
biaya
administrasi, utang pajak dan tuntutan dengan jaminan akan dibayar penuh, sedang utang tanpa jaminan akan dibayarkan secara bertahap. Selengkapnya tentang rencana akan dimuat pada pernyataan keterbukaan debitor. b. Penentuan kelas dari kreditor dan hak-haknya
Kelas 1 : Kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan tingkat pertama. Kelas 2 : Kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan tingkat kedua Kelas 3 : Kreditor konkuren sebagai pemegang hak piutang tanpa jaminan, termasuk tuntutan kekurangan pembayaran terhadap kreditor separatis dan tidak termasuk kreditor kelas 4. Kelas 4
Kreditor konkuren yang piutangnya telah diakui hingga jumlah
:
tertentu.
Kelas 5 : Kreditor sebagai pemegang saham dari perusahaan debitor.
c. Penyelesaian tiap kelas Kelas 1 : Secara hukum, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tidak dirugikan hak kreditor separatis tidak berubah.
438
Robert E Nugent dalam Small Business Bankruptcy Reorganizations, editor : James A Pusateri et.al, (New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapura : John Wiley & Sons, Inc., 1994), h. 340-347
Kelas 2 : Pemegang piutang ini akan menerima pembayaran sesuai nilai haknya
berdasarkan
nilai
pemilikan
dikurangi
jumlah
pertanggungan. Kelas 3 : Pemegang piutang ini akan menerima pembayaran tunai sebesar 5% pada masa berlaku rencana, pemegang Promissary Note menerima pembayaran sebesar 25%. Kelas 4 : Hak dan kedudukan pemegang piutang ini tidak akan berubah oleh rencana. Debitor diwajibkan membayar kepada setiap pemegang hak ini secara tunai pada waktu berlakunya rencana dengan keseimbangan sesuai dengan jumlah piutang yang disetujui. Kelas 5 : Pemegang hak ini akan menerima satu bagian dari seluruh stok debitor dalam setiap 5 saham yang dipegangnya. d. Mengatur pembayaran yang harus didahulukan atau diutamakan : 1). Biaya administrasi termasuk ongkos-ongkos tertentu harus dibayarkan lebih dahulu. 2). Utang pajak berdasarkan perhitungan dari seluruh pendapatan debitor harus didahulukan pembayarannya. e. Realisasi Rencana : Debitor harus menjalankan bisnis perusahaan dan melakukan pembayaran kepada kreditor sesuai dengan ketentuan dalam rencana. Pemotongan pembayaran dengan perhitungan tertentu boleh dilakukan bila berpedoman kepada pernyataan keterbukaan debitor. f. Penyelesaian terhadap pemegang saham :
Semua pemilik saham akan tetap pada hak-haknya, tetapi tidak ada pembayaran keuntungan kepada pemegang saham selama pelaksanaan rencana.
g. Ketentuan lainnya : Setelah berlakunya rencana, Pengadilan tetap berwenang : 1) Menentukan piutang yang diakui dan mendengar keberatan atas hal tersebut 2) Menyimpulkan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tertunda hingga berlakunya rencana. 3) Menyetujui atau menolak pembayaran administratif yang belum dilakukan sebelumnya. 4) Menetapkan dan memberi jawaban atas permasalahan sehubungan dengan adanya kekurangan dan kelemahan dari rencana. 5) Menyesuaikan isi rencana dengan ketentuan Undang-undang. 6) Menyelesaikan, mengatasi konflik yang terjadi dalam pelaksanaan rencana sehingga ada konfirmasi dalam mencapai maksud dan tujuan dari rencana. 7) Mengumumkan dan menginformasikan hal-hal yang perlu untuk terlaksananya seluruh rencana. h. Pembebasan debitor : Kecuali ditentukan sebaliknya dalam rencana, pada masa berlakunya rencana, debitor dan seluruh harta pailit haruslah dibebaskan dan dilepaskan dari seluruh tuntutan, utang-utang atau masalah-masalah yang timbul sebelum pengesahan. Pembebasan dan pelepasan ini akan diperhitungkan kemudian dalam pelaksanaan Undang-undang Kepailitan.
c. Fungsi Ringkasan dan Langkah-langkah Reorganisasi Fungsi Ringkasan dan langkah-langkah Reorganisasi yang dikemukakan tersebut di atas dapat dipedomani oleh para pihak Debitor dan para Kreditor di Indonesia maupun pihak lain yang berkepentingan dalam menyusun suatu Rencana Perdamaian untuk menyelesaikan suatu sengketa utang piutang perusahaan baik dalam Perdamaian setelah pernyataan pailit maupun Perdamaian dalam rangka PKPU. Ringkasan
maupun
langkah-langkah
Reorganisasi
tersebut
dapat
diterapkan dan disesuaikan dengan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, secara formal dapat dimasukkan dalam suatu peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut agar dijadikan sebagai acuan bagi para praktisi Kepailitan dan PKPU di Indonesia. Pedoman ini dapat memandu para pihak untuk saling terbuka memberi informasi tentang keadaan debitor maupun kedudukan para kreditor dan kemudian dapat mengemukakan keinginan dan kehendak masing-masing sehingga akan diperoleh suatu kesepakatan yang menuju kepada Perdamaian yang memenuhi keinginan semua pihak.
BAB VI PENUTUP
A.
KESIMPULAN Dari uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) adalah sebagai wahana untuk bernegosiasi antara debitor dengan para kreditor baik kreditor dalam negeri maupun kreditor luar negeri untuk merestrukturisasi utang piutang mereka, sedang INDRA dalam prakteknya memberi fasilitas terhadap utang swasta luar negeri dengan valuta asing. Jadi pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta maupun INDRA hanya sebagai pendorong dan fasilitator agar proses restrukturisasi utang dapat berjalan dengan cepat dan memberi hasil yang saling
menguntungkan
(win-win).
Tujuan
skema
INDRA
adalah
menghindari terjadinya pembayaran kembali utang luar negeri dalam jangka pendek sehingga meringankan beban neraca pembayaran, selanjutnya disusun skema INDRA sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi debitor Indonesia yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Skema INDRA akan memberikan kepastian nilai tukar dan memberi nilai tukar yang terbaik bagi debitor dan juga memberi keringanan bagi debitor dengan membagi rata beban pembayaran kembali utang luar negeri selama 8 (delapan) tahun. Bagi kreditor skema INDRA bermanfaat karena pemerintah menjamin tersedianya dollar AS sepanjang debitor membayar kewajibannya dalam bentuk rupiah kepada INDRA dan dengan jaminan tersebut
memperbesar kepastian bagi kreditor untuk pengembalian piutangnya yang telah direstrukturisasi walaupun dalam jangka waktu yang lebih lama. 2.
Dalam perkara permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU, Undang-Undang tetap memberikan kesempatan perdamaian melalui negosiasi. Debitor diberikan hak untuk mengajukan Rencana Perdamaian (Composition Plan). Apabila dengan itikad baik perusahaan Debitor masih dapat berjalan sebagai perusahaan yang going concern, dan prospektip, atas persetujuan para Kreditor perusahaan dapat dijalankan berdasarkan Perjanjian Perdamaian yang disepakati. a. Mengajukan rencana perdamaian kepada para Kreditor oleh Debitor yang telah dinyatakan pailit adalah suatu kesempatan bernegosiasi dalam waktu dan cara-cara yang ditentukan dalam Undang-Undang. Faktorfaktor penyebab gagalnya upaya perdamaian dalam kepailitan (akkord) ini adalah sebagai berikut : 1) Rencana perdamaian yang diajukan Debitor tidak memperoleh persetujuan sebagaimana syarat – syarat formal yang ditentukan dalam undang-undang. 2) Penawaran yang diajukan oleh Debitor tidak realistis, sehingga para Kreditor tidak tertarik untuk menyetujuinya (syarat materil) sehingga insolvennya si Debitor tidak dapat dihindarkan, hal ini lebih disebabkan oleh keadaan Debitor yang sudah terpuruk dan telah dinyatakan pailit sebelumnya. b. Tercapainya kesepakatan damai dalam rangka PKPU antara Debitor dengan para Kreditor adalah suatu upaya yang sangat menjanjikan bagi semua pihak.
Faktor-faktor penyebab gagalnya perdamaian dalam rangka PKPU dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Dalam mengajukan rencana perdamaian, proses dan tata acaranya tidak memenuhi syarat-syarat formal yang ditentukan dalam Undang-Undang. 2) Penawaran yang diajukan oleh debitor tidak realistis, sehingga para kreditor tidak tertarik untuk menyetujui rencana perdamaian tersebut, (syarat materil) sehingga debitor harus dinyatakan pailit. 3.
Pengaturan Reorganisasi dalam Chapter 11 USBC sudah mempunyai panduan berupa format-format “Reorganization Plan” dan prosedur pelaksanaannya, sehingga mekanismenya sudah jelas. Dalam Reorganisasi Chapter 11 USBC juga diberikan pilihan bagi para pihak sebagaimana variabel-variabel yang ditawarkan oleh debitor kepada para kreditor dan pihak lain yang berkepentingan. Pengaturan PKPU dalam UU Kepailitan dan PKPU (UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004) belum begitu lengkap mengenai format maupun cara pelaksanaan dari pada perdamaian yang dicapai sehingga semuanya diserahkan kepada persetujuan para pihak. PKPU tetap merupakan lembaga yang flexible yakni mengatur ketentuan tentang syarat-syarat dasar untuk tercapainya perdamaian itu, sedangkan tentang isi perdamaian dan bagaimana pelaksanaannya oleh para pihak tergantung pada kesepakatan (deal) yang diperoleh. Solusi penerapan Reorganisasi dalam sistem PKPU adalah bahwa ketentuan jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari dalam UU Kepailitan dan PKPU tersebut hanyalah batas waktu untuk mencapai kesepakatan damai atau proses
persetujuan dan pengesahan Rencana Perdamaian itu, sedangkan realisasi dari
perjanjian
perdamaian
tersebut
dapat
dipedomani
ketentuan
Reorganisasi yang lebih luas dari penundaan (moratorium) dan dapat menjangkau kepada Restrukturisasi utang asalkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat perjanjian dalam KUH Perdata dan syarat-syarat formal dari UU Kepailitan dan PKPU. Restrukturisasi Perusahaan hanya dapat dilakukan sepanjang perubahan manajemen dan pola keuangan merujuk kepada Rehabilitasi tapi tidak boleh sampai kepada perombakan perusahaan seperti Merger, Konsolidasi maupun Akuisisi, karena dasar atau pijakan hukumnya tidak lagi hanya Hukum Perjanjian dalam KUH Perdata tapi sudah menyangkut Undang-Undang Perseroan Terbatas.
B.
SARAN
1.
Membangun dan memfasilitasi Lembaga PMN untuk dapat meneruskan tugas dan fungsi Prakarsa Jakarta dan INDRA sebagai mediator diluar Pengadilan untuk mencapai perdamaian antara Debitor dengan para Kreditor dalam
menyelesaikan
sengketa
utang-piutang
sebagai
penyelesaian
alternatif. Dalam hal tidak diperolehnya suara bulat dari para kreditor terhadap suatu rencana restrukturisasi, PMN dapat diberi akses ke Pengadilan Niaga untuk mendapatkan persetujuan atas rencana yang telah dirundingkan sebelumnya dengan memenuhi persyaratan dalam UU Kepailitan dan PKPU, sehingga Perjanjian tersebut dapat dihomologasi Pengadilan Niaga dan oleh karena itu mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh kreditor baik yang menyetujui maupun yang tidak menyetujuinya.
2.
Dalam ketiga peraturan per-undang-undangan tentang Kepailitan : Faillisements Verordening (Undang-Undang Kepailitan, Stb. 1905-217 jo. Stb. 1906-348), Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan/Faillisements Verordening) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU), uraian tentang Kepailitan selalu lebih dahulu daripada PKPU yang berarti masih memegang prinsip bahwa Kepailitan selalu diutamakan dari PKPU. Tetapi harus diakui adanya perkembangan yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu istilah PKPU
sudah
dimasukkan
dalam
judul
Undang-Undang
tersebut.
Penyebutan PKPU dalam judul menunjukan PKPU merupakan sarana penting dalam penyelesaian utang piutang debitor yang harus didahulukan dari Kepailitan. Perkembangan lainnya yaitu permohonan PKPU telah dapat diajukan oleh kreditor, dimana sebelumnya dalam kedua Undang-Undang terdahulu tidak diatur kreditor boleh mengajukan PKPU. Oleh karena itu harus disosialisasikan bahwa PKPU sebagai jalan keluar yang harus didahulukan menyelesaikan utang piutang debitor. Sehubungan dengan itu sistematika Undang-Undang Kepailitan perlu dirubah agar pengaturan PKPU diuraikan lebih dahulu daripada kepailitan. Demikian pula substansi aturan PKPU agar lebih mempermudah tercapainya kesepakatan damai antara debitor dengan para kreditor, memberi kewenangan lebih luas kepada Hakim Pengawas untuk bertindak sebagai Mediator dalam upaya perdamaian. 3.
Sebagai Hukum Kepailitan Modern yang perspektif di Indonesia, perlu dipikirkan mengganti ”UU Kepailitan dan PKPU” menjadi ”UU Kepailitan
dan Reorganisasi Perusahaan” yang substansinya lebih dahulu menguraikan pengaturan tentang Reorganisasi Perusahaan dan bila Pengadilan Niaga berpendapat
tidak
memungkinkan
dilakukan
Reorganisasi,
maka
diberlakukan aturan Kepailitan dan Likuidasi. Ketentuan-ketentuan tentang Reorganisasi Perusahaan, Undang-Undang kepailitan harus dipandang sebagai Hukum Publik yang memberikan power (wewenang) kepada Pengadilan Niaga untuk memerintahkan perusahaan debitor melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu sebagaimana dahulu kewenangan itu diberikan kepada BPPN (sudah dibubarkan). Tindakan mana dapat diterapkan kepada perusahaan debitor yang sedang mengalami kesulitan (distress). Pengadilan Niaga dapat memerintahkan tindakan-tindakan hukum tertentu dalam rangka Reorganisasi tanpa melalui keputusan RUPS dan mengambil alih kewenangan Direksi ataupun Komisaris.
LAMPIRAN : TABEL 1 DATA PERKARA ACTIO PAULIANA DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT TAHUN 1999 - 2006
TAHUN 1999
2000
NOMOR PERKARA
PUTUSAN PEMOHON
TERMOHON
02/Actio Pauliana/2000/ PN.Niaga Jkt Pst 03/Actio Pauliana/2000/ PN.Niaga Jkt Pst
Tuti Simorangkir Kurator PT. Fiskar Agung Perkasa
Catnera International
04/Actio Pauliana/2000/ PN.Niaga Jkt Pst
Hendra Reza Putra Kurator PT. Asmawi Agung Corporation
1. PT. Asmawi Agung Corporation 2. PT. Sejahtera Bank Umum
01/Actio Pauliana/2000/ PN.Niaga Jkt Pst
1. PT. Duta Trada Internusa 2. PT. Ometraco Multi Arta PT. Mitra Lestari Ekatama
2001
DI TOLAK
DITOLAK 11K/N/2000
-
TIDAK DIKABULKAN
DI TOLAK
DITOLAK 15K/N/2000
-
TIDAK DIKABULKAN
DI TOLAK
-
-
TIDAK DIKABULKAN
DI TOLAK
DITOLAK 16K/N/2000
NO. 12PK/N/ 2000
TIDAK DIKABULKAN
DI TOLAK
-
-
TIDAK DIKABULKAN
N.O
-
-
TIDAK DIKABULKAN
DITOLAK
DIKABULKAN SEBAHAGIAN 22K/N/2003
DITOLAK 13PK/N/ 2003
DIKABULKAN SEBAHAGIAN
DITOLAK
N.O 29K/N/2003
-
TIDAK DIKABULKAN
NIHIL 01/Actio Pauliana/2003/ PN.Niaga Jkt Pst
Denny A.B Latief Kuasa Tumbur Simbolon
02/Actio Pauliana/2003/ PN.Niaga Jkt Pst
Astuti Sitanggang Kurator Eddy Ondra Winata
03/Actio Pauliana/2003/ PN.Niaga Jkt Pst
Denny A.B Latief Kuasa Tumbur Simbolon
1. PT. Cipta Arta Mahesa 2. Tonny Jaya Laksana 3. Tubagus Iwan Suwandi 1. Eddy Ondra Winata (Debitor) 2. Susanto Sutrisno 1. PT. Cipta Arta Mahesa 2. Tonny Jaya Laksana 3. Tubagus Iwan Suwandi
2004
NIHIL
2005
NIHIL
2006
NIHIL
Sumber Ket
P.K
NIHIL
2002 2003
HASIL AKHIR KASASI
PT. Duta Prima Agung
William E. Daniel, kurator PT. Ometroco Multi Arta (Dalam Kepailitan debitor) Imran Santria Uriston, kuasa dari William E. Daniel Kurator PT Ometraco Multi Arta William E. Daniel, Kurator PT. Ometraco Multi Arta
01/Actio Pauliana/1999/ PN.Niaga Jkt Pst
P. NIAGA
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat : NO : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima) PK : Peninjauan Kembali
TABEL 2 DATA PERKARA ACTIO PAULIANA DI PENGADILAN NIAGA SEMARANG TAHUN 2002 - 2006
2002
PUTUSAN
NOMOR PERKARA
TAHUN
01/Actio Pauliana/1999/ PN.Niaga Smg
PEMOHON
TERMOHON
Gunawan Widyaatmadja
1. Cheng Basuki 2. Afen Siswoyo 3. PT. Tensindo
2003
NIHIL
2004
NIHIL
2005
NIHIL
2006
NIHIL
P. NIAGA
KASASI
P.K
DI TOLAK 13-1-2003
-
-
HASIL AKHIR
TIDAK DIKABULKAN
Sumber : Data diolah dari Pengadilan Niaga Semarang Keterangan PK : Peninjauan Kembali
TABEL 3 DATA PERKARA KAPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT TAHUN 1998 - 2006 TAHUN
1998
1999
2000
NO 1
2002
2003
2004
2005
2006
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2 2001
PERMOHONAN
MASUK 31
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
JUMLAH PERM.PAILIT
100
SUMBER KETERANGAN
PKPU
TOLAK
NO
GUGUR
DAMAI
COUNTER
CABUT
TOLAK
N.O
GUGUR
DAMAI
3
11
3
2
1
2
11
-
5
-
2
4
14
30
29
9
3
5
15
4
5
-
-
6
25
32
15
3
1
9
2i
-
11
-
-
10
9
2i
20
3
-
-
8
-
-
-
-
8
9
9
15
1
-
8
5
1
-
-
-
4
2
-
1
-
4
9
9
14
3
-
1
3
1
-
-
-
2
-
-
1
-
1
7
18
22
1
-
4
4
-
2
-
-
2
1
-
1
8
17
13
3
-
1
3
1
-
-
-
2
-
-
1
-
2
8
22
19
2
5
2
3
-
1
-
1
1
84 5 61
5
6 39
1
7 38 2 52 2 44 3 59
5
508 = 100%
JUMLAH PERM.PKPU MURNI TOTAL PERMOHONAN
PUTUS KABUL
-
PKPU MURNI
1
CABUT
DAMAI PAILIT 25
533 = 100 %
32 = 6 %
73 = 14% 25
TOTAL PKPU
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat : N.O : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat dit
98 = 18%
TOTAL DAMAI PKPU
57 = 10,1%
TABEL 4 DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA MEDAN TAHUN 2003-2006 TAH UN
PERMO HONAN
2003
PAILIT
NO. URUT
NOMOR PERKARA
PEMOHON
1
01/Pailit/2003/ P.Niaga. Mdn
Sawa Singapore Agency CS
PAILIT
PAILIT
KASASI
DITOLAK 3-4-2003
DIKABULKAN (10 K/N/2003) 28-5-2003
P.K
HASIL AKHIR PAILIT
NIHIL 1
01/Pailit/2004/ P.Niaga/Mdn
FA. Biro Konstruksi Tugas
01/Pailit/2005/ P.Niaga Mdn
PT. Bahtera Lestari Sejahtera
02/Pailit/2005/ P.Niaga Mdn
Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam
PT. Aneka Surya Agung
03/Pailit/2005/ P.Niaga.Mdn
Tumbur Parulian Silitonga, SH
1. Istara Sakti Nasution (Suami 2. Luci (Isteri)
PKPU 2005
P.NIAGA
DITO LAK
PT. Batamas Jalan Nusantara Batam
PKPU 2004
PUTUSAN
TERMOHON
1
2
3
DITOLAK (18K/N/2003)
-
TIDAK PAILIT
DIKABULKAN 23-11-2005
-
-
PAILIT
DIKABULKAN 22-12-2005
-
-
PAILIT
DIKABULKAN 18-1-2006
-
-
PAILIT
DIKABULKAN 16-8-2006
-
-
PAILIT
PT. Dwi Payana Sumatera
N.O 2-7-2004
NIHIL PT. Duta Sahabat Abadi
PKPU NIHIL 2006
PAILIT 1
01/Pailit/2006/ P.Niaga. Mdn
PT. Wijaya Mandiri (Debitor)
-
PKPU NIHIL
Sumber : Data diolah dari Penghasilan Niaga Medan Keterangan : N.O = : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima)
TABEL 5 DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA SEMARANG TAHUN 2002-2006
TAHUN PERMOHONAN
PAILIT
NO. URUT
1
2002
PUTUSAN
NOMOR PERKARA
PEMOHON
01/Pailit/2002/ P.Niaga Smg
Ahmad Farid Cs
TERMOHON P.NIAGA Bambang Maryono Cs
PKPU
NIHIL
PAILIT
NIHIL
DIKABULKAN 11-06-2002
KASASI
P.K
-
-
HASIL AKHIR
PAILIT
2003 PKPU
NIHIL 1
01/Pailit/2004/ P.Niaga Smg
PT. Sierad Product Tbk Jogjakarta
1. Sarwoko
DIKABULKAN (9-6-2004)
2. Nunik Sriatun (Banyumas)
2
3
02/Pailit/2004/ PNiaga Smg
Yapi Kredi Bank Jerman
03/Pailit/2004/P. Riska Suharko Cs Niaga Smg (Jepara)
PAILIT
PT. Dieng Yayu Wonosobo Chuk Norries Cs (selaku pribadi dan selaku Direktur Co Maniac) Jepara
DITOLAK (11K/N/04) 29-07-2004
DITOLAK (14 PK/N/04)
DITOLAK 16-8-2004
DICABUT (pemohon)
-
DIKABULKAN 17-9-2004
-
-
PAILIT
TIDAK PAILIT
PAILIT (Pemberesan)
2004 4
04/Pailit/2004/ P PT. Starindo Jaya Hari Mitra Jaya Niaga Smg Packing,Wangunrejo Ungaran
DITOLAK 1-10-2004
DITOLAK 10-11-2004
TIDAK PAILIT
5
05/Pailit/2004/ P Suharyanti, Niaga Smg Wonogiri
PT Prudential Life Insurance, Semarang
01/Pailit/2005/ P.Niaga Smg
Trisakti Putra Mandiri Semarang
PKPU
DITOLAK 9-11-2004
-
TIDAK PAILIT
NIHIL 1
Victor Budiraharjo,cs. Semarang
DIKABULKAN DITOLAK 12-1-2006 (01/K/N/2006) 27-3-2006
PAILIT (Pemberesan)
PAILIT 2005
PKPU
PAILIT
2
02/Pailit/2005/ P Victor Budi Raharjo, Niaga Smg cs. Semarang
Koperasi Sembilan Sejati
1
01/PKPU/2005/ P.Niaga Smg
PT. Pasticon Trijaya Cs.(para kreditor)
PT. Hadikusumo Bros Coy(Debitor)
1
01/Pailit/2006/ P. Niaga Smg
Timotius Tri Sabarno (Debitor Sendiri)
-
2006 PKPU
Sumber Keterangan
NIHIL
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Semarang : N.O = Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima)
-
N.O 1-9-2005
DIKABULKAN 16-2-2006
-
-
DITOLAK (03K/N/2006) 24-5-2006
-
DICABUT 6-2-2006
-
PAILIT (Pemberesan)
TABEL 6 DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA MAKASAR TAHUN 2002 - 2006
THN 2002
PERMO HONAN PAILIT
PUTUSAN
NO. URUT
NOMOR PERKARA
1
01/Pailit /2002/P.Niaga Mks
Mardani Siswiyanto, Cs
02/Pailit 2002 /P.Niaga Mks
KSU. Anugrah Bersama (Debitor)
2
PEMOHON
TERMOHON KSU Milik Bersama
-
HASIL AKHIR
P.NIAGA
KASASI
P.K
-
-
-
DICABUT
DIKABUL KAN 25-11-2002
-
-
PAILIT (PEMOHON DEBITOR)
DITOLAK 5-6-2003
DIKABULKAN (19K/N/03) 1-8-2003
PAILIT (DAMAI)
-
-
DICABUT
PKPU NIHIL 2003
PAILIT
1
2
01/Pailit /2003/P.Niaga Mks
Karel Saputan
02/Pailit /2003/P.Niaga Mks
PT. Sapta Pusaka Nusantara
PT. Jati Dharma Indah
PT. Pantai Indah Tetali
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
PKPU 2004 PAILIT
PKPU 2005 PAILIT
PKPU 2006 PAILIT
PKPU : 4 (100%) Jumlah
Sumber
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Makasar
Keterangan
: PK : Peninjauan Kembali
Tidak pailit : 2 (50%) Pailit : 1 (25%) Damai pailit : 1 (25%) Damai PKPU : -
TABEL 7
DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA SURABAYA TAHUN 2001 – 2006 PER TAHU MO HON N AN 2001
PAIL IT
N O . U R U T 1.
2002
2003
PKP U PAIL IT
NOMOR PERKARA
01/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
PEMOHON
TERMOHON
PT. Tifa Mutual Finance Corp. Jkt. PT. Sumber daya Sewatama. Jkt. Iwan Basari, Jkt.
PT. Pasarraya Kausa Jaya. Sby.
CABUT (Lisan)
PT. Alika Eka Putra. Sby.
TOLAK 03-04-01
N.O (42 K/N/01) 21-11-01
PT. Pakuwon Jati Tbk. Sby.
TOLAK 16-05-01
Iwan Basari, Jkt.
TOLAK 06-06-01 KABUL 13-06-01 PENGESAH AN PERDAMAI AN 14-08-01 CABUT 20-11-01
TOLAK (24 K/N/01) 02-06-01 –
P. NIAGA
KASASI
P.K.
HASIL AKHIR
TIDAK PAILIT
2.
02/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby 05/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
PT. Pakuwon Jati Tbk. Sby. Purnama Direktur PT. Karya Cemerlang Bhakti Persada, Sby.
6.
06/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
1. PT. Kusuma Internusa, Sby. 2. Emanuel Djabah, Sby.
7.
07/Pailit/2001/ PN. Niaga.Sby
PT. Bank Kosagraha Semesta (Dalam Likuidasi), Jkt. PT. Exim S.B. Leasing, Jkt.
PT. Tamaraya Gold Industri, Tbk.
Njoo Giok Sioe als. Stepanus, Sby. PT. Orix Indonesia Finance, Jkt. Amajin Co. Ltd., Jepang PT. Ox. Komunikasi Wisata, Denpasar
1. Nikko, Bali 2. Parilons, Nusadua
TOLAK 03-12-02
PT. Meskindo Alloy Whell Corp., Sby
TOLAK 20-02-03
PT. Saka Utama Dewata, Bali
KABUL 20-03-03
TOLAK (08 K/N/03) 12-05-03
KABUL (06 PK/N/03) 22-07-03
TIDAK PAILIT
PT. Bumi SIdoardjo Permai, Sidoardjo
TOLAK 28-03-03
TOLAK (09 K/N/03) 26-05-03
TOLAK (08 PK/N/03) 21-07-03
TIDAK PAILIT
1. Natuna Hotel Resort 2. Four Seasons Sayam 3. Four Seasons Jimbaran, Bali
KABUL 19-08-03
TOLAK (24 K/N/03) 27-10-03
–
DEBITUR PEMOH ON PAILIT
Tony Priyanto, Sby.
TOLAK 02-09-03
–
–
TIDAK PAILIT
5.
PKP U PAIL IT
PUTUSAN
TOLAK (10 PK/N/01) 06-09-01 –
TIDAK PAILIT
–
TIDAK PAILIT PERMO HONAN DEBITUR PAILIT DAMAI
TIDAK PAILIT
–
–
–
–
TIDAK PAILIT
TOLAK 27-12-01
TOLAK (01 K/N/02) 13-02-02
KABUL (09 PK/N/02) 29-04-02
PAILIT
CV. Chandra Arut Putra Gianto, Sby.
KABUL 03-04-02
–
–
PAILIT
PT. Gunung Meranti Raya Plywood, Banjarmasin PT. Usaha Tani maju, Sby.
CABUT 01-04-02
–
–
TIDAK PAILIT
KABUL 12-09-02
KABUL (26 K/N/02) 25-10-02 N.O (01 K/N/03) 29-01-03
–
TIDAK PAILIT
–
TIDAK PAILIT
1. Harmoko, Tarakan 2. Yohanes Due, Ngada 3. Petrus Kod, Ngada
NIHIL 1.
01/Pailit/2002/ PN. Niaga.Sby
2.
02/Pailit/2002/ PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2002/ PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2002/ PN. Niaga.Sby NIHIL
1.
01/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
2.
02/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
5.
05/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
Indover Bank (Asia) Ltd., Hongkong 1. PT. Salindo Perdana Finance 2. PT. Koexim Mandiri Finance, Jkt. PT. Bank Kasabra Semesta (Dalam likuidasi), Jkt. PT. Ox. Komunikasi Wisata, Denpasar PT. Eterindo Nusagraha, Jkt.
TIDAK PAILIT
2004
PKP U PAIL IT
6.
06/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
Tjiang Wenny Chandra, Sby.
7.
07/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
PT. Wijaya Indah Permai, Jkt.
8.
08/Pailit/2003/ PN. Niaga.Sby
PT. Njonya Meneer, Jkt.
PKP U
–
–
PAILIT
TOLAK 09-10-03
KABUL (03 K/N/03) 20-11-03
TIDAK PAILIT
TOLAK 11-11-03
KABUL 19-01-04
KABUL (01 PK/N/04) 23-03-04 TOLAK (03 PK/N/04) 07-04-04
PAILIT
1.
01/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
Dr. Mulyono Soerowidjaya
Prayitno Soeryo Widjaya
CABUT 06-04-04
–
–
TIDAK PAILIT
2.
02/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
PT. Alika Eka Putra, Sby.
CABUT (lisan)
–
–
TIDAK PAILIT
3.
03/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby 04/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
PT. Aspac Upnindo Sekuritas, Jkt. Lita Cahyono, Sby. Asia Pasific Pte. Ltd, Singapura
Go Tjing Tjing, Sby.
KABUL 24-05-04 CABUT 27-05-04
–
–
PAILIT
_
_
TIDAK PAILIT
PT.Batasan.Cs. Jkt. Sby.
5.
05/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
Edy Purnomi Cs. Jkt.
PT.Pohon Mas Mapan Sentosa,Sby.
KABUL 18-06-04
_
_
PAILIT
6.
06/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
Budi Susetyo Sby.
PT. Pakerin, Sby.
TOLAK 25-07-04
TOLAK (27K/N/05) 05-08-04
TIDAK PAILIT
7.
07/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby 08/Pailit/2004/ PN. Niaga.Sby
PT.BNI,TBK, Jkt. PT.Mandiri Finance, Jkt.
PT Cipta Karya Husada,Sby PT.Sukma Kutai Permai Bali
CABUT 06-09-04 TOLAK 08-10-04
_
TOLAK (03PK/N/04 ) 04-01-05 _
8.
2005
KABUL 12-09-03
NIHIL
4.
PKP U PAIL iT
1. Victoria Kasur Pegas, Sby. 2. Success Furniture, Sidoardjo 1. PT. Kawi Banjarmasin 2. Tobeng Mahatam, Jkt. PT. Citrasari, Sby.
TIDAK PAILIT TIDAK PAILIT
TOLAK (27K/N/05) 03-01-05
_
N.O (14PK/N/05 ) 14-02-06 _
PAILIT
NIHIL 1.
01/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
PT.BNI, Jkt.
PT.Bali Gumilang Sejahtera International,Denpasar.
KABUL 28-02-05
TOLAK (IIK/N/05) 06-06-05
2.
02/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
Sri Hanto, Jkt.
Soenangto,Banjarbaru
KABUL 09-05-05
TOLAK (15K/N/05)
3.
03/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
Hendri Widjaya, Malang
PT.Vistara Medika,Sby
KABUL 11-05-05
TOLAK (10PK/N/05)
_
PAILIT
4.
04/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
PT Indagro Cultura,Sby.
TOLAK 19-07-05
KABUL (21K/N/05) 20-10-05
_
PAILIT
5.
05/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
PT.Sewu Segar Nusantara, Tangerang Krishna Pudja H, Sby.
Alief Bagus, Prilimtono,Cs, Sby.
KABUL 09-08-05
_
_
6.
06/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
Chandra Hasan,Sby.
PT. Panca Sejati Makmur Cs Sby.
KABUL 18-08-05
_
_
7.
09/Pailit/2005/ PN. Niaga.Sby
H Gito Raharjo,Cs Malang
Bank International Indonesia, Cs,Jkt.
KABUL 16-01-06
TOLAK (02K/N/06) 02-05-06
_
8.
10/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
PT. BNI, Tbk, Jkt
PT. Katan Prima Permai, Cs. Banjarmasin
KABUL 24-02-06
-
-
DEBITO R PEMOH ON PAILIT DEBITO R PEMOH ON PAILIT DEBITO R PEMOH ON PAILIT PAILIT
9.
07/Pailit/PKPU/ 2005/ PN. Niaga, Sby
-
CABUT 16-08-06
-
-
–
10.
08/Pailit/PKPU/ 2005/ PN. Niaga, Sby
Harry Sunago, Dirut PT. Sekar Laut, Sby Harry Sunago, Dirut PT. Sekar Laut, Sby
-
KABUL PKPUS 1808-05 PENGESAH
–
–
PKPU DAMAI
PAILIT
2006
PAIL IT
1.
01/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
Bambang Tanoyo, Sby.
Yudi Hartono, Cs. Sby
2.
02/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
Bambang Tanoyo, Sby
Harianto Cs, Sby
3.
03/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
Go Sin Loen, Sby
4.
04/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
PT. Bank Cina Trust Ind. Jkt.
5.
05/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
Kopinkra, Samarinda
6.
06/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
Sugiono Prajogo, Sby
7.
07/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
8.
AN PERDAMAI AN 22-09-05 TOLAK 16-03-06
–
–
TOLAK 02-05-06
–
–
UD. Cahaya Utama Plastic Cs, Sby
TOLAK 13-09-06
–
–
PT. Busana Tirta Utama, Cs.
CABUT 04-10-06
–
–
Kopinkra Mulia, Sby
CABUT 18-09-06
–
–
–
TOLAK 09-11-06
TOLAK (3 K/N/06) 12-06-06
Kopinkra Bontang, Kaltim
–
N.O 22-11-06
–
–
08/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
PT. BNI, Jkt.
PT. Giat Ultra Chemical Industrial, Banjarmasin
KABUL 15-11-06
–
–
9.
09/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
PT. Ihaka Kharisma, Jkt.
PT. Delta Barito, Banjarmasin
CABUT 04-01-07
–
–
TIDAK PAILIT
10.
10/Pailit/2005/ PN. Niaga, Sby
UD. Sidodadi, Kediri
PT. Surya Buana Mas Cs, Malang
KABUL 28-02-07
–
–
DEBITUR PEMOH ON PAILIT
PKP NIHIL U JUMLAH : 47 (100 %)
Sumber Ket.
TIDAK PAILIT PAILIT DAMAI
DEBITUR PEMOH ON TIDAK PAILIT DEBITUR PEMOH ON TIDAK PAILIT DEBITUR PEMOH ON TIDAK PAILIT TIDAK PAILIT TIDAK PAILIT DEBITUR PEMOH ON TIDAK PAILIT DEBITUR PEMOH ON TIDAK PAILIT PAILIT
: 28 (58 %) : 17 (36 %) : 2 (4 %)
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Surabaya : N.O. (Niet ontvankelijk Verklaard) = Tidak dapat diterima
TABEL 8
Jumlah perkara Permohonan Pailit dan dicounter dengan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari Tahun 1999-2006 Permohonan Pailit
Counter dengan PKPU
Gagal Damai
Berhasil Damai
508 = 100% -----------------
73 = 14% 73 = 100%
39 = 7,6% 39 = 53%
34 = 6,6% 34 = 46 %
TABEL 9
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga Pertanyaan : Apakah lembaga penengah Prakarsa Jakarta dengan fasilitas skema INDRA perlu diaktifkan kembali, dan apa sebabnya lembaga tersebut tidak bertahan. Responden 1.
Sudrajad Dimyati (Hakim Pengadilan Jakarta Pusat)
: Jawaban Niaga
- Tidak perlu lagi karena keadaan ekonomi (krisis moneter) yang diakibatkan perubahan nilai kurs yang signifikan antara dollar dan rupiah sudah berlalu.
2.
Bagir Manan (Hakim Agung/Ketua MARI)
- Tidak perlu karena menggunakan lembaga penengah digantungkan kepada kemauan para pihak apakah memilih Prakarsa Jakarta atau bentuk ADR lainnya, sebab tidak ada paksaan dari pemerintah.
3.
Ricardo Simanjuntak (Advokat/Ketua IKAPI)
- Tidak perlu karena tidak banyak hasil yang diperoleh dari menggunakan lembaga tersebut, sehingga Pengadilan Niaga masih tetap berperan dalam penyelesaiaan utang piutang perusahaan.
4.
Nirwana (Hakim Pengadilan Semarang)
- Tidak perlu karena kurang efektif dan sifatnya Niaga sukarela.
5.
Kurniayani Darmono (Hakim Pengadilan Semarang)
- Tidak perlu karena sifatnya adalah mediasi Niaga evaluatif bukan alat pemaksa sehingga kurang menekan ke bingkai kerangka hukum yang sudah merupakan wilayah pengadilan.
6.
Abdul Kadir Mappong (Hakim Agung/Tuada Niaga MARI)
- Tidak perlu apalagi sudah tidak eksis lagi berarti Perdata tidak diperlukan oleh para pihak bersengketa.
7.
Elita Ras Ginting (Hakim Pengadilan Medan)
- Tidak perlu karena memang tidak eksis lagi Niaga disebabkan dasar hukumnya yang tidak kuat dan pemerintah tidak mendukung lembaga tersebut.
8.
Amir Maddi (Hakim Pengadilan Surabaya)
- Tidak perlu lagi karena sudah lewat masa krisis Niaga moneter yang disebabkan perubahan nilai kurs dollar terhadap rupiah yang demikian signifikan.
TABEL 10
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga Pertanyaan : Menurut pengalaman saudara sebagai praktisi, apakah yang menyebabkan gagalnya perdamaian dalam kepailitan dan PKPU? Responden 1.
: Jawaban
Amir Maddi (Hakim Pengadilan Surabaya)
Niaga
- Tidak memperoleh quorum dalam pemungutan suara kreditor, dan komposisi pelunasan utang yang ditawarkan oleh debitor terlalu rendah.
2.
H. Suripto - Penawaran debitor kurang menarik bagi para (Hakim Pengadilan Niaga kreditor. Surabaya/Ketua Pengadilan Niaga Surabaya)
3.
Kurniayani Darmono (Hakim Pengadilan Semarang)
- Tidak ada jaminan bagi kreditor akan Niaga mendapat pembayaran yang lebih menguntungkan dengan adanya perdamaian dari pada debitor dinyatakan pailit.
4.
Elita Ras Ginting (Hakim Pengadilan Medan)
- Penawaran debitor dalam rencana perdamaian Niaga tidak menyakinkan bagi para kreditor, dimana asetnya lebih sedikit dibandingkan dengan liabilitasnya.
5.
Ricardo Simanjuntak (Advokat/Ketua IKAPI)
6.
Sudrajad Dimyati (Hakim Pengadilan Jakarta Pusat)
Niaga
Agus Subroto (Hakim Pengadilan Jakarta Pusat)
Niaga
Binsar Siregar (Hakim Pengadilan Jakarta Pusat)
Niaga
7.
8.
9.
- Penawaran dari debitor tidak realistis.
- Penawaran yang diajukan oleh debitor kepada para kreditor tidak cukup realistis.
- Kepentingan kreditor dalam rencana perdamaian yang diajukan debitor tidak terakomodir sedemikian rupa. - Tidak dipenuhinya syarat-syarat formalitas (homologasi), dan juga kecilnya tawaran yang diajukan debitor kepada para kreditornya.
- Syarat-syarat pembayaran kembali utang Parwoto Wignyo Sumarto (Hakim / Panitera Muda Perdata debitor, baik jumlah maupun tenggang waktu tidak dapat disepakati antara debitor dengan Niaga MARI) para kreditornya.
10. Nirwana (Hakim
Pengadilan
- Penawaran yang diajukan oleh debitor tidak Niaga realistis baik dari jumlah yang harus dibayar
Semarang) 11. Abdul Kadir Mappong (Hakim Agung/Tuada Niaga MARI)
12
maupun tenggang waktu pembayaran. - Kreditor tidak yakin kepada debitor untuk Perdata dapat merealisasi penawaran yang diajukan debitor kepada para kreditor.
Bagir Manan (Hakim Agung/Ketua MARI)
- Pengajuan penawaran dari debitor kepada para kreditornya tidak realistis baik dari jumlah pembayaran maupun tenggang waktu yang ditawarkan debitor.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdul R. Salman. Essensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta : Kencana, 2004. Abdurrachman A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, Cetakan Keenam. Jakarta : Pradnya Paramita, 1991. Adolf, Huala. Masalah-masalah Hukum Dan Perdagangan Internasioal. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994. Ahmad Yani, Gunawa Widjaja. Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. Ahmad Deni Daruri. BPPN Garbage In- Garbage Out. Jakarta : Center for Banking Crisis, 2004. Amal, Ichlasul. Globalisasi, Demokrasi dan Wawasan Nusantara, Prespektif Pembangunan Jangka Panjang. Kumpulan Tulisan dalam Buku : Wawasan Nusantara, Pusat Kajian Kebudayaan, Universitas Bung Hatta, 1992. Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Apeldoorn, I, J, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, 1981. Aria Suyudi. Kepailitan di Negeri Pailit, Analisis Hukum Kepailitan Indonesia. Pusat studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2003. Analisis,Teori dan Praktek Kepailitan Indonesia. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002. Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang Mandar Maju, 2000.
Struktur Ilmu Hukum. Bandung :
Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. Atmasasmita, Romli. editor : Aman S. Meliala et.al., Reformasi Hukum, Hak Azasi Manusia dan Penegakkan Hukum. Bandung : Mandar Maju, 2001. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni, 1994. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001. Ruang Lingkup UU Kepailitan. Makalah dalam Seminar Hukum Kepailitan, AEKI–Sumut dan STIH Graha Kirana, Medan 19–10–1998.
Bambang Riyanto. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1991. Black, Hendry Campbell. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition, 1990. Budiarjo, Ali. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta : PT Siber Konsultan, 1999. Campbell, Dennis. International Corporation Insolvensy Law. Butterworths : CILS, 1992. Cambell, Dennis Anthony E. Collins (editors). Corporate Insolvensy and Rescue, The International Dimension. Boston : Kluwerlaw and Taxation Publisher, 1993. Charles R. O’Kelly Jr, Robert B Thomson. Corporations and Other Business Associations, Cases and Materials. Boston, Toronto. London : Little Brown Co., 1992. Daley, Kerrie. LAW 3095 Corporate Insolvency. Sidney : University of New Southwales, 2004. Darmodiharjo, Darji. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia, 1996. Djohansah,J. Pengadilan Niaga. Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung RI, 1998. Donnel John D. Law for Business. Illinois : Irwin HomeWood, 1983. Duns, Jhon. Insolvency : Law and Policy. Melbourne : Oxford University Press, 2002. Easterbrook, Frank H. The Economic Structure of Corporate Law. Cambridge, Massachusetts, England : Harvard University Press, 1996. Emirson, Jony. Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Dirjendikti, Deppennas,PT Prehalindo, 2002. Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi : Implikasinya bagi pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Hukum pada FH UI, Jakarta: 4 Januari 1997. Friedman, Lawrence M. American Law, an Introduction. New York : W.W. Norton and Co., 1984. Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kedua. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.
Hukum Kepailitan 1998 dalam Teori dan Praktek. Bandung : Citra AdityaBakti, 1998. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku ketiga. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. Hukum Tentang Merger. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001. Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masyarakat. Bantul : Pondok Edukasi, 2003. Goodpaster, Gary. Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi. terjemahan : Nogar Simanjuntak. Jakarta : ELIPS, 1999. Graham, John L. Smart Bargaining doing Business with the Japanese. Cambridge : Ballinger Publishing Company, 1984. Hadimulyo. Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. Jakarta : ELSAM, 1997. Harahap, M, Yahya. Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang ADR, BPHN, Depkeh RI. 1995/1996. Hartono, Sunaryati. Capita Selecta Perbandingan Hukum. Bandung : Alumni, 1970. Huizink, J.B. Insolvensi. Kluwer-Deventer. Cetakan Kedua, 1995. Insolventie. Alih Bahasa : Linus Doludjawa. Jakarta : Pusat Studi Hukum & Ekonomi FH UI, 2004. Husein, Yunus. Rahasia Bank, Privasi Versus Kepentingan Umum. Jakarta : FH UI, Pasca Sarjana, 2003. James E Mauch, Jack W Birch. Gudide to the successful Thesis and Dissertasion, Books in Library and Information Science. New York : Marcel Dekker Inc., 1993. James A Pusateri, Karen S. Kressin, James J.O Malley. (editors), Small Business Bankruptcy Reorganizations. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore : John Wiley & Sons Inc., 1994. Jerry Hoff. Indonesian Bankruptcy Law. editor : Gregory J Churcill. Jakarta : PT Tatanusa, 1999. Undang-undang Kepailitan di Indonesia. terjemahan : Kartini Mulyadi. Jakarta : PT Tatanusa, 2000.
John A Fosum. Labour Relation, Development Structure, Proccess Business Publication, 1992. Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta : FH UI Pasca Sarjana, 2003. Beberapa kelemahan mendasar UU Kepailitan Indonesia. Jurnal Megister Hukum,Vol. 2 No.1, Februari 2000. Konrad Zwigert. Introduction to Comparative Law. Vol. 1 Oxford : Clarendon Press, 1987. Lee A Weng, Henry. Hukum Kepailitan (Faillssement) dan Penundaan Pembayaran (Surseanse van Betalling). Bahan Ceramah, Pengadilan Tinggi Medan, April 1998. Leo Hawkins. The Legal Negotiator, A Handbook for managing Legal Negotiations more effectively. Melbourne : Longman Professional,1991. Leonard J Theberge. Law and Economic Development, dalam Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 2. editor : Eman Rajagukguk. Jakarta : UI, 1995. Lev, Daniel S. The Lady and the Bayan Tree, Civil Law Change in Indonesia. terjemahan : Satjipto Rahardjo : Sosok Wanita dan Pohon Beringin, dalam The American Journal of Comparative law. Vol. 20, 1972. Lewis D Solomon, Donald E. Schwartz, Jeffrey D. Bauman, Elliott J. Weiss. Corporations Law and Policy, Materials and Problems. Third Edition. St. Paul, Minn : West Publishing Co., 1994. Lubis, M Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung : Mandar Maju, 1994. _____ Sistem Nasional. Bandung : Mandar Maju, 2002. _____ Pembentukan Undang-udang secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Makalah dalam Sarasehan Bidang Hukum. Poldasu, Medan, Februari 1996. Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000 Mark S Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton, Steve H. Nickles. Business Reorganization in Bankkruptcy, Case and Materials. St. Paul Minnesota : West Publishing Co,. 1996. Martiman Prodjohamidjojo. Proses Kepailitan. Bandung : Mandar Maju, 1999. Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan Kesebelas, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.
Mulyadi, Kartini. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003. Nasution, Bismar. Hukum Kepailitan (Diktat). Medan : Program MKN, PPS USU 2003. Nasution, C. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta :Bumi Aksara, 2000. Newton, Grant W. Corporate Bankruptcy, Tolls, Strategies and Alternatives. New York : John Wiley & Sons Inc., 2003. Panggabean,H P. Penerapan Asas-asas Peradilan dalam kasus Kepailitan. Ulasan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999. _____ Upaya Perdamaian menurut Pasal 130 HIR, Makalah Rekernas Mahkamah Agung. Yogjakarta, September 2001. Reksohadiprojo, Sukanto. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogjakarta : BPFE, 1991. Richard C Breeden. The Globalization of Law and Business in the 1990’s. dalam Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi 2, editor : Erman Rajagukguk, Jakarta : UI, 1995. Rose QC, Dennis. Australian Bankruptcy Law. Tenth Edition, Canberra : The Law Book Company Ltd, 1994. Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Beny Ponto (editor). Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau PKPU. Bandung : Alumni, 2001. Sastrawijaya, H. Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni, 2006 Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya. Bandung : Alumni, 1993. _____ Perikatan yang lahir dari Perjanjian. Buku kedua, Bandung : Aditya Bakti, 1995. Sawir, Agnes. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004. Setiawan. Kepailitan, konsep-konsep dasar serta pengertiannya. Ulasan Hukum. Varia Peradilan No. 156, September 1998. Sinaga, Syamsudin Manan. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Restrukturisasi Utang pada PKPU. Jakarta : BPHN Depkeh & HAM, 2000. Sitepu, Runtung. Modul Penyelesaian Sengkete Alternatif. Medan : PPS USU,2003.
Sitompul, Zulkarnain. Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin di Indonesia. Jakarta : FH UI, Program Pasca Sarjana, 2003. Situmorang, Victor M, Hendri Soekarso. Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002. _____ Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta : Institut Bankir Indonesia,1993. _____
Prakarsa Jakarta (The Jakarta Inisiative). Makalah dalam Seminar Hukum Kepailitan. AEKI - Sumut dan STIH Graha Kirana, Medan, 1910-1998.
_____ Skema INDRA. Makalah dalam Semiar Hukum Kepailitan. AEKI-Sumut dan STIH Graha Kirana, Medan,19-10-1998. Stijn Claessens, Simeon Djankov, Ashoka Mody (editors). Resolution Of Financial Distress, an International Perspective on the Design of Bankruptcy Laws. Washington DC : The World Bank, 2001. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cetakan ketujuh belas. Jakarta : PT Internusa, 1983. Sukanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1996. _____ Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003. _____ Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : UI Press, 1986. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998. _____ Metodologi Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001. Sulaiman, Robintan. Lebih jauh tentang Kepailitan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Karawaci : FH Universitas Pelita Harapan, 2000 Suyatno,Thomas. Bank Indonesia, Bank tidak sehat, BPPN dan Masalah Kepailitan. Jurnal Hukum Bisnis. YPHB, Vol. 7, 1999. Vagts, Detlev F. Basic Corporation Law, Materials, Cases, Text. Westbury, New York : The Foundation Press Inc., 1989. Waluyo, Bernadette. Hukum Kepailitan dan PKPU. Bandung : Mandar Maju , 1999. Wasis. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Bandung : Alumni, 1992.
Widjaya, Gunawan. Tanggung jawab Direksi atas Kepailitan Pereroan. Jakarta : Grafindo Persada, 2003. Wignojosumarto, Parwoto. Titik Taut Arbitrase dan Kepailitan Indonesia. Makalah Seminar Bankruptcy & Arbitration, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta 8-3-2004. Yuhasrie, Emmy, Srimuryani, Tri Harnowo (editor). Kewajiban dan standard Pelaporan dalam Kepailitan dan Perlindungan Kurator dan Harta Pailit. Lokakarya, Jakarta 18-19 Nopember 2003. Majalah/Harian : Varia Peradilan : Nomor 173, Februari 2000. Varia Peradilan : Nomor 253, Desember 2006. Harian Kompas :
22 Juli 1998, 24 Februari 2003, 14 Maret 2003, 31 Maret 2003, 14 April 2003, 29 April 2003, 15 Oktober 2003, 28 Nopember 2003, 26 Februari 2004, 27 Desember 2006.
Harian Perjuangan : 25 Maret 2003. Harian Republika : 11 Juni 2003. Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) : 29 April 1999. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung RI dalam Perkara Kepailitan Jilid 3, Jilid 4, Jilid 6,(PT Tatanusa,1999,2000) Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung RI, Dirjen Badan Peradilan Umum, Juni 2006