Yayasan Spiritia
No. 56, Juli 2007
Sahabat Senandika Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan Pelatihan Advokasi Oleh: Siradj Okta Pada bulan Mei 2007, Yayasan Spiritia menyelenggarakan Pelatihan Advokasi. Pelatihan tersebut dilakukan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Pelatihan dilakukan selama 3,5 hari mulai tanggal 21 sampai 24 Mei 2007. Pelatihan tersebut bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Advokasi kepada Odha yang sudah terlibat dalam penanggulangan AIDS di daerahnya masing-masing. Pelatihan diikuti oleh 20 orang peserta dari 20 kabupaten/kota dari 19 provinsi (NAD, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung, Irian Jaya Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta). Komposisi peserta adalah 20 Odha dengan sebaran jenis kelamin 3 perempuan, 17 laki-laki. Seluruh peserta adalah orang-orang yang sudah aktif dalam kelompok dukungan sebaya dan terlibat cukup banyak dalam penanggulangan AIDS di daerahnya. Pelatihan Advokasi ini merupakan pelatihan advokasi pertama kali yang diadakan oleh Spiritia. Modulnya dikembangkan dengan mengolah materi dan modul dari International AIDS Alliance dan Buku 10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik oleh INSIST dan FHI-ASA. Sesi yang digunakan dalam pelatihan ini adalah kombinasi antara praktek dan pemaparan materi. Agenda yang dikembangkan oleh Spiritia banyak mengalami penyesuaian ketika realisasi pada pelatihan. Seluruh peserta mempunyai rencana ke depan untuk paling tidak membagi pengetahuan yang didapat di pelatihan kepada teman sebayanya di daerahnya. Peserta juga berhasil mengembangkan
isu strategis di daerahnya. Peserta juga merasa rencana advokasinya akan percuma jika temanteman di daerahnya tidak memahami juga tentang advokasi, oleh karena itu mereka berencana akan membagi pengetahuan yang didapat di pelatihan ini kepada teman-teman di KDSnya masing-masing. Mayoritas peserta berasal dari kabupaten, bukan dari ibukota provinsi. Hal ini dapat berdampak baik yaitu memulai tanggapan terhadap AIDS mulai dari tingkat kabupaten sehingga tidak bergantung pada ibukota provinsi saja yang pada umumnya sudah ada KDS-nya.Pelatihan serupa bermanfaat dalam membangun motivasi keterlibatan peserta dalam pembentukan dan penguatan kelompok dukungan sebaya Odha/Ohidha di daerahnya. Selain itu akan sangat memiliki dampak yang kuat dan luas jika pelatihan seperti ini dilakukan oleh kelompok dukungan sebaya sendiri untuk tingkat provinsi sehingga lebih banyak Odha/Ohidha, terutama dari tingkat kabupaten/kota yang akan mendapatkan manfaat.
Daftar Isi Laporan Kegiatan
1
Pelatihan Advokasi
1
Pengetahuan adalah kekuatan
2
Melibatkan komunitas dalam tanggapan AIDS nasional 2 Tes dan pengobatan TB harus dikaitkan dengan program pencegahan HIV 3 Hubungan antara diabetes dan ARV lebih berdampak di rangkaian terbatas sumber daya 3
Pojok Info Lembaran Informasi Baru
Tips Tips untuk Odha
4 4
5 5
Tanya Jawab
5
Tanya-Jawab
5
Positive Fund
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Pengetahuan adalah kekuatan Melibatkan komunitas dalam tanggapan AIDS nasional Oleh: UNAIDS (11 Juni 2007) Di banyak negara, komunitas adalah yang pertama bergerak untuk menanggapi AIDS, dan prakarsa mereka sering menjadi landasan pengembangan tanggapan nasional. Sebagai tambahan, pengalaman menunjukkan bahwa tindakan terhadap AIDS membutuhkan kerja sama yang lebih besar di antara mitra untuk memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih dan sumber daya dipakai secara sangat efektif dan efisien. Sebagai hasil, UNAIDS berkerja sama dengan International Council of AIDS Service Organizations (ICASO), African Council of AIDS Service Organizations (AfriCASO) dan International HIV/AIDS Alliance meluncurkan pedoman kerja sama dengan komunitas ‘Coordinating with Communities’ – tentang keterlibatan masyarakan dalam kerja sama tanggapan AIDS nasional. Tujuan pedoman ini adalah untuk memperkuat keterlibatan pihak komunitas secara aktif dan berarti dalam pengembangan, penerapan dan pemantauan kerja sama nasional untuk menanggapi AIDS. “Sementara ada pengakuan secara luas bahwa melibatkan sektor komunitas dalam kerja sama nasional untuk menanggapi AIDS akan meningkatkan efektifitas, sering tidak diterapkan dalam keterlibatan secara nyata dan berarti,” dikatakan Kieran Daly, Direktur ICASO bidang kebijakan dan komunikasi. “Sektor komunitas membawa pengetahuan teknis dan pengalaman yang penting pada meja kerja sama yang dapat membantu memastikan tanggapan kerja sama nasional terhadap AIDS sungguh dapat memenuhi kebutuhan mereka yang paling terdampak. Agar ini berhasil, semua stakeholder harus terbuka terhadap kerja sama yang jujur, dengan menggunakan pedoman ini untuk membangun pemahaman yang lebih besar terhadap
2
bagaimana mendukung keterlibatan komunitas secara aktif dan berarti,” dia menambahkan. Pedoman ini bertujuan untuk menyediakan pilihan praktis yang dapat dipakai oleh komunitas dan stakeholder untuk menentukan tindakan yang paling sesuai dan berguna sesuai dengan keadaan mereka. Pedoman ini juga bertujuan untuk mendorong serangkaian asas universal, seperti hak asasi manusia dan persamaan jender yang sesuai dan berhubungan untuk semua negara. Secara khusus, pedoman ini didukung oleh pengakuan bahwa keterlibatan Odha secar lebih besar akan menyediakan dukungan kerja sama nasional terhadap AIDS yang lebih efektif. Penggunaan pedoman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kapasitas organisasi dan jaringan komunitas, serta hubungan antara kelompok komunitas dan stakeholder lain. Tetapi, di negara mana pun, pedoman ini dapat digunakan sebagai: • Alat untuk menilai kekuatan dan kelemahan keterlibatan sektor komunitas saat ini dalam seluruh proses dan kerja sama lembaga AIDS nasional. • Alat untuk mengembangkan rencana kerja berbagai bidang untuk meningkatkan keterlibatan komunitas dalam seluruh proses dan kerja sama lembaga AIDS nasional. • Alat untuk advokasi agar meningkatkan dan mendanai keterlibatan komunitas dalam seluruh proses dan kerja sama lembaga AIDS nasional dan juga untuk kerja sama jaringan komunitas. • Landasan untuk mengembangkan pedoman tingkat lokal atau wilayah tentang keterlibatan dalam proses dan kerja sama lembaga AIDS. Pedoman ini dikembangkan sebagai tanggapan terhadap permintaan kelompok Odha, organisasi komunitas dan kelompok serta individu dari sektor lain yang mengakui bahwa usaha untuk meningkatkan tanggapan yang lebih harmonis terhadap AIDS – sejalan dengan asas ‘Satu-satusatu (Three Ones)’ – hanya dapat berhasil dicapai dengan keterlibatan sektor komunitas secara aktif dan berarti. “Keterlibatan sektor komunitas adalah penting dalam usaha kami menuju akses universal terhadap pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan HIV”, dikatakan Michel Sidibe, wakil direktur eksekutif UNAIDS. “ Sektor komunitas adalah ujung tombak dalam penentuan kebutuhan dan
Sahabat Senandika No. 56
penyediaan layanan untuk komunitas yang terdampak. Oleh karena ini mereka layak mendapatkan dukungan suara yang lebih kuat dalam perencanaan dan kerja sama nasional untuk menanggapi AIDS. Dengan pedoman ini, kita menaruh harapan pada kapasitas sektor komunitas untuk menuntut hak mereka untuk berperan di antara mitra untuk menanggapi AIDS.” Artikel asli: Involving communities in national AIDS responses
Tes dan pengobatan TB harus dikaitkan dengan program pencegahan HIV Oleh: The Kaiser Daily HIV/AIDS Report (7 Juni 2007) Negara di Afrika, terutama di Afrika bagian selatan, harus menghubungkan tes dan pengobatan tuberkulosis (TB) dengan program pencegahan HIV untuk melawan HIV/AIDS secara lebih efektif, Kevin de Cock, pemimpin bagian HIV/ AIDS WHO, mengatakan baru-baru ini dalam South African AIDS Conference ke-3 di Durban, Afrika Selatan, Reuters melaporkan. De Cock mengatakan bahwa penggunaan pengobatan TB tradisional secara terus menerus dapat memicu penyebaran penyakit ini dan memperburuk epidemi HIV/AIDS. “Program TB sendiri tidak dapat mengendalikannya” untuk HIV/AIDS, dia mengatakan, menambahkan bahwa adalah penting untuk menawarkan pengobatan kedua penyakit secara efektif pada mereka yang hidup dengan koinfeksi HIV/TB. Munculnya TB yang sangat resistan terhadap obat, (extensively drug-resistant TB/XDR-TB) yaitu resistan terhadap dua jenis pengobatan lini pertama yang paling manjur dan beberapa pengobatan lini kedua yang tersedia, di provinsi KwaZulu-Natal, Afrika Selatan, Lesotho (negara berbatasan dengan KwaZulu-Natal) dan bagian dunia lain telah menjadi ancaman yang lebih besar, terutama di bagian selatan Afrika, di mana HIV/AIDS dan TB adalah prevalen dan saling terkait. Di Afrika Selatan, kira-kira 61% di antara kurang lebih 250.000 orang yang didiagnosis dengan TB setiap tahunnya mempunyai HIV, Reuters melaporkan. XDR-TB juga mengarah pada tingkat kematian yang lebih tinggi dan kematian yang lebih cepat pada orang HIV-positif. Sebagai tambahan, walau orang yang hidup dengan koinfeksi HIV/TB mungkin mempunyai akses terhadap obat
Juli 2007
antiretroviral (ARV), sering kali mereka tidak menerima pengobatan untuk kedua penyakit tersebut secara bersamaan. Robin Wood, direktur Desmond Tutu HIV Center di Universitas Cape Town, Afrika Selatan mengatakan, “HIV telah menyebabkan kegagalan besar terhadap kemampuan kami untuk mengobati TB.” Dia menambahkan bahwa jalan keluarnya adalah untuk menggabungkan pengobatan HIV dan TB, yang membutuhkan dana besar untuk laboratorium TB, serta infrastruktur medis dan sumber daya yang terkait, di kebanyakan negara di Afrika. Para peneliti sedang mengembangkan tes dipstick berbasis urin yang hampir dapat langsung memberi hasil tes TB. Wood mengatakan bahwa ini “akan menjadi aset yang besar bila kita dapat mendapatkannya.” Artikel asli: TB Testing, Treatment Should Be Linked With HIV Prevention Programs, WHO Official Says
Hubungan antara diabetes dan ARV lebih berdampak di rangkaian terbatas sumber daya Oleh: Kelly Morris, aidsmap.com Pemahaman tentang hubungan antara obat antiretroviral (ARV) dan diabetes semakin berkembang, dengan data sebelumnya terutama menyangkut protease inhibitor (PI). Sekarang, penelitian Swiss yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases edisi 1 Juli 2007 menemukan bahwa obat HIV lain, yang sering dipakai di rangkaian terbatas sumber daya, juga mungkin meningkatkan risiko di populasi yang mungkin sudah berisiko tinggi terhadap diabetes. Bruno Ledergerber (University Hospital, Zurich, Swiss) dan rekan menyelidiki data dari HIV Cohort Study di Swiss untuk menjelaskan hubungannya dengan pengobatan dan juga koinfeksi hepatitis B (HBV) atau C (HCV). Semua peserta dalam Swiss Cohort dilibatkan apabila mereka belum mempunyai diabetes serta apabila sedikitnya mereka sudah dua kali berkunjung dan setahun masa tindak lanjut sejak 1 Maret 2000. Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria dari Tim Ahli Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus (Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus) dan dikonfirmasi dengan glukosa dalam contoh darah.
3
Pada Juli 2006, 123 di antara 6.513 peserta mengalami diabetes melitus selama 27.798 orang tahun masa tindak lanjut (person-years of follow-up/ PYFU), yang merupakan 4,4 kasus per 1.000 PYFU. Dalam model multivariabel, laki-laki, usia lebih tua, etnis Afrika atau Asia, didiagnosis AIDS, dan obesitas sentral merupakan prediktor kuat terhadap diabetes. Obesitas sebaiknya menjadi sasaran utama dalam pencegahan diabetes, karena obesitas merupakan faktor risiko yang dapat dipengaruhi, penulis mengatakan. Yang menarik, tanda-tanda infeksi HBV atau HCV tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes, walaupun tim peneliti mengaku bahwa ukuran penelitian ini mungkin terlalu rendah untuk menunjukkan peningkatan risiko yang kecil. Yang penting, pengobatan pada saat penelitian dengan rejimen ARV yang mengandung NRTI dan PI, atau NRTI plus PI dan NNRTI secara kuat dikaitkan dengan diabetes, dengan rasio tingkat kejadian serupa dengan prediktor lain. Pengobatan dengan NRTI plus NNRTI tidak dikaitkan dengan diabetes, begitu juga dengan pajanan kumulatif terhadap ARV tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko. Dalam analisis yang terpisah, risiko terbesar terhadap diabetes dikaitkan dengan indinavir, 3TC, ddI-d4T dan ddI-tenofovir. Kejadian diabetes dalam penelitian ini sebanding dengan yang ditemukan dalam populasi secara umum di Eropa. Tetapi, penghitungan yang jauh lebih tinggi ditemukan pada populasi HIV-positif di AS. Contoh, kelompok penelitian AIDS di berbagai tempat (Multicenter AIDS Cohort Study/ MACS) menemukan 47 kasus diabetes per 1.000 PYFU pada pengguna terapi ARV (ART), dibandingkan dengan 17 kasus orang HIV-positif yang tidak diobati dan 14 kasus pada populasi HIVnegatif. Para penulis mengajukan tiga faktor untuk menjelaskan perbedaan ini: diagnosis diabetes, usia lebih tua dan indeks massa tubuh yang lebih besar ditemukan dalam penelitian MACS. Temuan yang terkait dengan ARV ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan selama ini, dan mengukuhkan hanya sedikit penelitian yang menghubungkan NRTI dengan ketidaknormalan metabolisme glukosa. Mekanisme mungkin berbeda-beda, dengan protease inhibitor mempengaruhi transportasi glukosa dan NRTI mempengaruhi fungsi mitokondrial. “Karena keterkaitannya dengan kelainan metabolik lainnya, di negara maju rejimen yang mengandung d4T dan ddI dihindari apabila dimungkinkan, tetapi obat ini termasuk pada rejimen lini pertama di wilayah terbatas sumber daya,” penulis mencatat. Bersamaan dengan peningkatan risiko diabetes yang
4
dikaitkan dengan etnis Asia dan Afrika, “hal ini mungkin mempunyai dampak penting pada ketahanan terhadap pengobatan anti-HIV dalam jangka panjang di wilayah yang paling terdampak,” mereka menyimpulkan. Ringkasan: Link between diabetes and antiretrovirals may particularly affect resource-poor settings Sumber: Ledergerber B et al. Factors Associated with the Incidence of Type 2 Diabetes Mellitus in HIV-Infected Participants in the Swiss HIV Cohort Study. Clin Infect Dis 45: 111 – 119, 2007.
Pojok Info Lembaran Informasi Baru Pada Juli 2007, Yayasan Spiritia telah menerbitkan satu lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb: • Pencegahan Penularan HIV Lembaran Informasi 152—Berapa Tingkat Risiko? (ganti judul) Dengan ini, sudah diterbitkan 132 lembaran informasi dalam seri ini. Juga ada delapan lembaran informasi yang direvisi: • Informasi Dasar Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi • Pencegahan Penularan HIV Lembaran Informasi 154—Profilaksis Pascapajanan Lembaran Informasi 161—Daya Menular (urutan baru) • Terapi Antiretroviral Lembaran Informasi 412—Tes CD4 Lembaran Informasi 413—Tes Viral Load Lembaran Informasi 470—Pemulihan Kekebalan • Obat untuk Infeksi Oportunistik Lembaran Informasi 534—Flukonazol Lembaran Informasi 535—Kotrimoksazol Salinan lembaran baru/revisi ini dilampirkan pada Sahabat Senandika edisi ini. Untuk memperoleh seri Lembaran Informasi lengkap, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang. Yang sudah mempunyai buku lembaran informasi dapat memastikan semuanya terbaru dengan lihat tanggal penerbitan pada Daftar Lembaran Informasi. Semua lembaran informasi ini juga dapat dibaca dan didownload dari situs web Spiritia:
Sahabat Senandika No. 56
Tips
Tanya Jawab
Tips untuk Odha
Tanya-Jawab
Berusaha sehat meski merokok
T: Apakah ada UU yang mengatur kerahasian pasien HIV yang sedang ditangani di RS atau dokter di Indonesia? Karena sebenarnya yang menjadi beban yang amat berat ditanggung seorang penderita HIV adalah penerimaan masyarakat terhadap kondisi yang dialaminya. Dari beberapa berita di koran yang kebetulan memuat berita berkaitan dengan seorang penderita HIV, selalu saja saya temukan penyebutan identitas penderita secara terbuka (nama atau lainnya). Sedangkan pernah juga saya membaca (dari koran juga) tentang tes darah yang dilakukan pada beberapa PSK yang diambil secara random (setelah mereka terjaring penertiban), meski terdeteksi beberapa sampel darah tersebut terinfeksi oleh HIV, tetapi saat seorang wartawan menanyakan identitas sumber sampel darah tersebut, petugas tidak menyebutkannya karena rahasia, dan tambahnya lagi, PSK yang diambil darahnya tersebut juga tidak diberitahu tentang kondisi tersebut. Pertanyaan saya, apakah memang diperbolehkan seorang dokter atau pihak RS mengungkapkan identitas penderita kepada pihak lain tanpa seijin pasien tersebut?
Memang tidak mudah untuk menghilangkan atau menghentikan kebiasaan merokok. Namun, yang lebih susah adalah bagaimana tetap sehat dalam kondisi terpaksa harus merokok. Berikut saran DR. Dr. Budhi setianto, Sp.JP(K), konselor Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, agar Anda tetap sehat: 1. Biasakan berolahraga atau memulai program/ hobi dengan keluarga/teman-teman yang bukan perokok. Buatlah acara ini secara teratur. Olah raga tidak hanya penting bagi yang ingin hidup sehat, tetapi juga bagi perokok. Luangkan waktu kurang lebih 30 menit sehari untuk memberikan tubuh mendapat oksigen secukupnya. Jangan merokok selama berolahragakarena hal ini akan memupuskan segala manfaatnya. 2. Jangan merokok sambil minum kopi. Meski dipercaya dapat menambah kenikmatan, kandungan kafein dalam kopi dapat meningkatkan kadar CO2 dalam paru-paru. Sebagai ganti, pilih minuman yang dapat menetralisir racun yang dibawa oleh rokok seperti jus buah segar atau susu. 3. Ganti rokok dengan makanan ringan sebagai pencuci mulut. 4. Ganti kebiasaan merokok saat buang air besar dengan membaca buku, komik, koran yang jauh lebih bermanfaat untuk menambah ilmu maupun sekedar sebagai rileksasi. 5. Cobalah berpikir sesaat sebelum menyalakan rokok, tentang bagaimana hidup ini terasa lebih inidah tanapa rokok. 6. Kalau hingga kini Anda terpaksa harus merokok, cobalah untuk memikirkan kehidupan yang sebenarnya jauh lebih baik tanpa merokok. Alasan yang selalu dikemukakan adalah rokok dapat mengurangi kecemasan, meningkatkan konsentrasi, memberi rasa lebih tenang dan lebih rileks. Kenyataannya, efek positif itu hanya terasa sesaat adn selanjutnya timbuk ketergantungan yang akan berdampak luas. Cobalah mencari alternatif seperti mendengarkan musik lewat earphone atau mengunyah permen karet. Sumber: Klinikpria.com.
Juli 2007
J: Saya setuju bahwa ketakutan kerahasiaan akan bocor menjadi satu hambatan yang besar terhadap orang yang pernah berperilaku berisiko untuk melakukan tes HIV, atau mencari pengobatan. Kita harus berupaya terus agar asas kerhasiaan tetap terjamin. Kerahasiaan dibahas (di antara yang lain) oleh UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran, pasal 48 Rahasia Kedokteran, yang bunyi: (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. Selain itu, pada pasal 47 mengenai Rekam Medis, disebut bahwa rekam medis...harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
5
Jelas, bila undang-undang ini dilanggar, ybs dapat menuntut pembocor kerahasiaan. Hanya sampai saat ini, belum ada yang berani mengambil tindakan ini. Tetapi sedikitnya bila ada media massa yang mengungkapkan nama, kita harus mengambil tindakan, sedikitnya dengan mengirim (banyak) surat pembaca pada media tersebut. Surveilans HIV yang dilakukan pada kelompok tertentu (mis. pekerja seks) adalah untuk mengetahui prevalensi infeksi di antara kelompok tersebut. Surveilans ini seharusnya dilakukan secara ‘unlinked anonymous’, berarti hasil tidak dapat dikaitkan dengan individu. Oleh karena itu, seharusnya petugas kesehatan yang melakukan surveilans tidak mengetahui siapa yang terinfeksi, jadi tidak mungkin mengungkapkan nama ybs, dan ybs tidak dapat diberi tahu bahwa dia terinfeksi. PS: Buku kecil dengan UU29/2004 serta UU23/ 1992 tentang Kesehatan, lengkap dengan penjelasan, dapat dibeli dari toko buku dengan harga sangat murah (di bawah Rp 10.000). Saya rasa tidak salah kalau kita semua mempunyai buku ini, dan mendesak agar peraturan tidak terlanggar. Sumber: Pertanyaan diajukan melalui website Yayasan Spiritia pada tanggal 27 Feb’ 07 dan dijawab oleh Babe.
Positive Fund Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia Periode Juli 2007 Saldo awal 1 Juli 2007
17,870,669
Penerimaan di bulan Juli 2007
936,000+ _____________
Total penerimaan
18,806,669
Pengeluaran selama bulan Juli : Item
Jumlah 1,000,000
Pengobatan Transportasi Komunikasi
0 0
Peralatan / Pemeliharaan Modal Usaha
0 0+
Total pengeluaran
____________ 1,000,000-
Saldo akhir Positive Fund per 30 Juli 2007
17,806,669
Sahabat Senandika Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia dengan dukungan THE FORD ATION FOUNDA FOUND
Kantor Redaksi: Jl. Johar Baru Utara V No 17 Jakarta Pusat 10560 Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168 Fax: (021) 4287 1866 E-mail: [email protected] Editor: Caroline Thomas Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
6
Sahabat Senandika No. 56