Yayasan Spiritia
No. 12, November 2003
Sahabat Senandika Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan Bangkitnya kepemimpinan positif baru Konferensi Internasional ke-11 untuk Odha dan Ohidha 26-30 Oktober 2003, Munyonyo, Kampala, Uganda
Oleh Doni [Konferensi internasional ini dihadiri kurang lebih 800 peserta dari Afrika, Indonesia, Vietnam, Philipina, Nepal, Thailand, Laos, Spanyol, Australia, Belanda, Perancis dan Amerika. 3 orang dari Indonesia. 1 dari Surabaya yang mendapatkan bea siswa, 1 orang dari Denpasar dan 1 orang dari Pontianak yang didanai oleh ASA. Berikut ini adalah laporan dari teman kita] TUJUAN: • Meningkatkan kemampuan kepemimpinan Odha, terutama di negara-negara berkembang, sebagai policy partner didalam merespon permasalahan HIV/AIDS • Memperkuat kolaborasi diantara Odha dan komunitas Ohidha, dengan pemerintah, lingkungan bisnis dan masyarakat sipil dalam pendekatan multi sektoral terhadap epidemi • Belajar dari pengalaman dari komunitas afrika didalam melawan HIV/AIDS • Memperlengkapi Odha supaya mampu membuat hasil yang maksimum dalam usaha penyediaan treatment didalam keadaan yang serba kekurangan • Memberdayakan Odha yang remaja didalam proses mengamankan masa depan bagi generasi baru PROGRAM UTAMA: • Bangkitnya Kepemimpinan Positif yang Baru • Pengobatan, Perawatan dan Dukungan • Keluarga, Remaja dan Anak-anak • Stigma dan Diskriminasi Sesi-sesi yang kita jalani meliputi isu-isu yang telah terbukti berhasil bagi Odha dalam tingkat
pribadi dan bagaimana mereka bisa dianggap kompeten untuk menjadi seorang pemimpin. Sesi-sesi itu juga merefleksikan secara mendalam bagaimana kita sebagai ODHA, baik secara individu maupun kelompok, dapat memberikan kontribusi yang efektif didalam merespon permasalahan HIV/AIDS dalam semua tingkat. Dari semua sesi yang telah saya jalani, ada ungkapan yang sangat saya sukai, yaitu transformasi dari GIPA (Greater Involvement of People with HIV/AIDS) menjadi GIEPA (Greater Involvement and Empowerment of Peolple with HIV/AIDS), semoga hal ini dapat segera tercapai. Dari sesi-sesi yang saya pilih untuk saya ikuti selama 4 hari itu, saya akan membaginya menjadi 3 penjelasan: 1. Global Fund 2. Positive Youth 3. Stigma and Discrimination
GLOBAL FUND Sesi dalam konferensi ini membantu memberikan ilustrasi bagaimana dana akan
Daftar Isi Laporan Kegiatan Bangkitnya kepemimpinan positif baru Laporan Konferensi AIDS Eropa ke-9
Pengetahuan adalah Kekuatan Jadwal Nevirapine untuk Bayi yang Baru Lahir Nevirapine: Keraguan tentang Risiko pada Hati di Negara Berkembang
Pojok Info Lembaran Informasi Baru
Konsultasi
1 1 4
5 5 6
7 7
8
Tanya - jawab
Tips Tips untuk orang HIV
Positif Fund Laporan Keuangan Positif Fund
8
8 8
8 8
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
bekerja, dan lebih penting lagi, bagaimana masyarakat dapat mengakses dan mengambil keuntungan darinya. Global Fund, yang diusulkan dalam petemuan G* di Okinawa bulan Juli 2000, bertujuan untuk merespon 3 penyakit paling berbahaya di dunia, nama lengkapnya: The Global Fund to fight AIDS, Tuberculosis and Malaria. Menurut laporan tahunan terbarunya, dan yang pertama, Global Fund telah menyetujui dana 15 milyar US$ sejak pertama kali didirikan 18 bulan yang lalu.Global Fund beroperasi melalui Country Coordinating Mechanism (CCM) yang didirikan disetiap negara sasaran dana. ISU YANG BANYAK DIBAHAS: Sampai November 2002 hanya 5% dari CCM yang melibatkan Odha didalam proses pengambilan keputusan. Jerry Vanmourik, representasi dari Global Fund, mengatakan bahwa dia sering menerima telepon dari orang-orang yang mengkomplain tentang chair dari CCM dinegara mereka. Hanya sedikit dari partisipan, yang semestinya mendapatkan efek dari adanya Global Fund, tahu tentang keberadaan CCM dan proses aplikasinya. CCM kebanyakan didominasi oleh departemen kesehatan negara setempat, yang mana mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja membatasi akses dari pihak luar kepada dana dengan menguasai posisi yang dominan. Agniva Lahiri, bagian dari komunitas MSM ( Gay) di India, mengatakan bagaimana dia harus bepergian dengan jarak yang cukup jauh menuju ibukota, Delhi, untuk bertemu dengan Chair CCM India yang tidak mau berbicara dengan dia maupun mendiskusikan isu-isu MSM karena dia menganggap kegiatan MSM adalah ilegal. METODE SOLUSI: • Vinand Nantulya, dari Global Fund, meminta partisipan untuk mengirimkan proposal apapun kepada CCM yang telah ditunjuk dinegara mereka. Jika setelah melalui masa yang memungkinkan mereka tidak menerima respon, mereka sebaiknya mengirimkan kembali proposalnya. Jika mereka tetap tidak mendapatkan jawaban, mereka sebaiknya mengirimkannya langsung kepada Global Fund dengan bukti bahwa CcM mereka telah gagal menanggapi aplikasi mereka.
2
• Mendorong keterlibatan Odha yang lebih besar didalam CCM • Guidelines/ pedoman untuk putaran ke 4 dari proposal telah dipermudah, dan setiap pemohon harus mengikuti pedomanpedoman tersebut. Informasi-informasi lain tersedia di www.globalfund.org. • Untuk informasi lebih lanjut email kepada Jerry Vanmourik di
[email protected] atau Vinand Nantulya di
[email protected]
Remaja Positif Remaja adalah masa depan... Kenapa kita harus mengkhususkan remaja? • Meningkatkan program • Memberdayakan remaja • Agenda baru Bagaimana melibatkan remaja? Melibatkan tidak sama dengan menggunakan Cara untuk membatasinya? Diperlukan jaringan Kapan melibatkan remaja? Remaja tidak selamanya remaja = SEKARANG! Remaja adalah masa depan, tapi dimanakah mereka? Sekitar 50% orang yang terinfenksi HIV setiap harinya datang dari kalangan usia 15 s/d 24 tahun (remaja); dimanakah mereka, dan peran apakah yang mereka mainkan didalam strategi dan intervensi untuk mendukung ODHA remaja? Pembicara utama dari sesi-sesi Positive Youth adalah Raoul Fransen dari Young Positive Network, lsm yang berbasis di Netherlands, didirikan secara khusus untuk menyatukan ODHA remaja, dan yang lebih penting lagi adalah memperjuangkan agar suara ODHA remaja didengar. Young Posititve Network berdiri berdasarkan dua prinsip: pertama: terlepas dari banyaknya perbedaan mereka, remaja diseluruh dunia menghadapi isu-isu yang sama. Kedua: sangatlah penting untuk melibatkan ODHA remaja didalam perang melawan HIV, dan didalam menyediakan dukungan bagi ODHA yang lain. Young Positive Network bukan hanya tentang mengumpulkan remaja bersama-sama, tetapi memberdayakan remaja sehingga mereka menjadi aktif dengan sendirinya. Franson mengingatkan bahwa remaja sudah menghadapi permasa-perlmasalahan yang sulit, termasuk permasalahan dengan keluarga, pendidikan,
Sahabat Senandika No. 12
pekerjaan dan seksualitas. Ketika isu-isu ini telah dapat diatasi, implikasinya akan sangat luar biasa, dengan itu dibutuhkan adanya jaringan dukungan yang efektif dan khusus. Kita tidak dapat hanya mengharapkan kaum muda untuk muncul kedepan, mereka perlu untuk ditawarkan bantuan dukungan. Tapi keterlibatan mereka tidak hanya untuk sekedar dijadikan ‘’token”, kaum muda haruslah didorong untuk lebih banyak terlibat didalam perencanaan dan implementasi dari rencana untuk masa depan. Jika tidak, akan ada resiko kegagalan dimasa depan dari strategi yang “untuk” kaum muda, bukan “dari” kaum muda. BAGIMANA CARA ODHA REMAJA UNTUK HIDUP DENGAN HIV? Banyak pengalaman pribadi dibagikan tentang kesulitan menjadi remaja yang HIV+. Isu-isu seputar keterbukaan, stigma, takut mati, dan sebagainya. Kegigihan yang mereka tunjukan dan jaringan dukungan yang mereka miliki atau temukan dapat memberikan harapan kepada yang lain yang berada dalam situasi yang sama. Kekuatan ini juga meyakinkan bahwa kaum muda mempunyai mekanisme dukungan yang dapat mereka bagikan untuk menolong yang lainnya. Kegiatan-kegiatan olahraga, menggambar, bermusik, teater, dukungan teman dekat dan keluarga, pencerahan spiritual, meyakinkan mereka bahwa mereka masih dapat bersenang-senang. Kontribusi dari ODHA remaja memberikan bukti nyata bahwa masih ada kehidupan setelah menerima diagnosa tentang status HIV bagi kaum muda. Diharapkan kemampuan-kemampuan menghadapi permasalahan tersebut dapat digunakan secara spesifik untuk membangun kemampuan kelompok. Link:www.youngpositive.com www.jongpositief.nl Raoul Fransen:
[email protected] Ralf Jager:
[email protected]
Stigma dan Diskriminasi
berbahaya, “self-stigma” ( menstigma diri sendiri) dan menunjukkan bukti-bukti nyata apa yang dapat dilakukan oleh ODHA sehubungan dengan hal itu. ( saya jadi teringat tentang kasus ODHA yang gantung diri, yang baru-baru ini terjadi di jawa timur) Workshop-workshop tersebut banyak mengingatkan dan memberikan masukan bagi saya tentang tentang bagaimana menghadapi stigma yang saya arahkan kepada diri saya sendiri, dengan menjadi “hantu”.(bersembunyi karena status HIV) Saya dapat mengekplorasi perasaan bersalah, malu diri saya sendiri terutama disaat menghadapi situasi-situasi yang sulit seperti menjalin hubungan ataupun mengungkapkan status hiv saya kepada orang lain. Mengekplorasi perasaan secara mendalam sangatlah penting didalam mengurangi self stigma. Banyak presentasi dan kegiatan didalam konferensi yang membahas tentang stigma berisi tentang materi yang sama, tapi kontribusi dari para delegasi, tentang pengalamanpengalaman pribadi, lebih banyak memberikan masukan yang sangat berharga. ODHA harus terlibat dalam tingkat lokal dan nasional dalam aktivitas yang secara langsung melawan stigma. MENJADI SATU KESATUAN, DAN TIDAK MENJADI MALU!! Jika perubahan-perubahan positive ini terus berlanjut, hasilnya akan sangat luar biasa, dan siklus stigma dan diskriminasi sangat mungkin untuk dapat dipatahkan. STIGMA JAUH LEBIH BERBAHAYA DARIPADA VIRUS HIV ITU SENDIRI!! Untuk detil lebih lanjut tentang konferensi ini, anda dapat mengaksesnya melalui website gnp+ : www.gnpplus.net. Mereka akan segera mempublikasikan dokumen laporan akhir dari konferensi ini pada website mereka paling lambat pada akhir tahun ini. (pada saat saya membuat laporan ini, dokumen tersebut belum tersedia)
Sesi-sesi didalam konferensi ini banyak membahas tentang: Apakah yang menyebabkan stigma? Dapatkah stigma benar-benar dihapuskan? Apakah yang dapat dilakukan oleh ODHA? Bagaimana ODHA dapat diberdayakan? Mengubah seorang “korban” menjadi seorang aktivis... Bagaimana ODHA dapat diberdayakan? Workshop-workshop yang ada banyak membahas tentang bentuk stigma yang paling
November 2003
3
Laporan Konferensi AIDS Eropa ke-9 Oleh Babe Saya menghadiri 9th European AIDS Conference (EACS), di Warsawa, Polandia 25-29 Oktober 2003. Konferensi ini, yang sebagian besar terfokus pada masalah klinis, dihadiri oleh lebih dari 2.500 peserta dari 51 negara, tetapi sebagian besar berasal dari Eropa, dan saya rasa lebih dari 90 persen adalah profesional kesehatan. Sayangnya, hanya ada sedikit perhatian pada keadaan di negara berkembang, bahkan melintasi batas Polandia di bekas Uni Soviet. Ada satu-dua upaya untuk merangsang perhatian pada epidemi AIDS di negara tersebut, khususnya oleh Kasia Malinowska dari Open Society Institute waktu pembukaan, dan oleh Joop Lange, Presiden International AIDS Society dan direktur PharmAccess, pada pengkajian singkat yang dihadiri hanya sedikit peserta waktu penutupan. Namun keduanya tidak berhasil membangun banyak perhatian. Tambahan, sesi tentang Akses ke Pengobatan di Negara Sumber Daya Terbatas diganti dengan sesi berjudul Akses ke Perawatan/Masalah Sosial. Walaupun diketuai oleh Zunaga, Presiden International Association of Physicians in AIDS Care, sesi ini juga hanya menarik sedikit peserta, dan berlalu hanya untuk separo waktu yang disediakan. Zunaga sendiri memberi ceramah tentang tujuan WHO 3 x 5 (harapan agar tiga juta orang di negara berkembang—50 persen dari yang membutuhnya—dapat memperoleh terapi antiretroviral pada 2005), namun ini agak dangkal; tidak memberi perhatian pada fakta bahwa sebagian besar yang harus diobati belum dites HIV, bagaimana mereka akan dipilih, dan apa yang akan diberikan pada sisa 50 persen. Hanya ada sedikit keterlibatan oleh komunitas non-medis, termasuk Odha. Ada satu pengkajian dari Odha Polandia yang menggambarkan dukungan (yang baik sekali) yang diberikan pada Odha Polandia oleh pemerintahnya dan komunitas. Dan ada satu Odha di stan Roche membicarakan mengenai penggunaan T-20-nya (obat antiretroviral baru dan sangat mahal yang harus disuntikkan dua kali sehari). Ada enam simposia satelit, yang disokong oleh perusahaan obat multinasional. Perhatian utama sebagian besar pengkajian di simposia ini ada pada penyederhanaan terapi antiretroviral,
4
terutama dengan terapi sekali sehari. Sebagian besar sesi mencakup perkembangan mutakhir, yang kemungkinan tidak akan berdampak pada sebagian besar orang di Indonesia untuk bertahun-tahun. Namun, saya diingatkan bahwa kita harus terus-menerus mengadvokasikan agar ada lebih banyak jenis obat antiretroviral tersedia di Indonesia, untuk memberi pilihan baru pada mereka yang gagal dengan obat yang ada saat ini, atau yang tidak dapat menahan efek sampingnya. Saya juga diingatkan bahwa beberapa efek samping (khusus masalah metabolis yang mengakibatkan perpindahan lemak, dan dapat menyebabkan masalah jantung) hanya menjadi jelas setelah 4-5 tahun penggunaan obatnya. Kita harus siap menghadapi waktu masalah ini mulai terlihat. Semoga waktu itu, terapi yang lebih cocok sudah tersedia. Hampir semua pengkajian menyangkut resistansi. Ada bahasa khusus mengenai resistansi yang harus dipelajari, tetapi jelas sebagian besar dokter di Eropa sudah memahaminya. Pada suatu waktu, kita harus membahas bagaimana kita dapat mulai membentuk pengalaman ini di Indonesia, dan untuk ini, jelas kita harus menyediakan tes resistansi, sedikitnya di satu laboratorium. Walaupun tidak ada pengkajian yang mencakup tes CD4 atau viral load, ada beberapa stan perusahaan yang menawarkan alat yang lebih ‘cocok’ untuk tes tersebut. Walaupun limfosit total dapat dipakai untuk membantu keputusan ‘kapan mulai’, semakin jelas alat ini sangat tidak persis. Kita harus menghindari menjadi puas; kita harus terus-menerus berjuang agar tes CD4 dapat lebih terjangkau di Indonesia. Ada beberapa titik penting yang menarik saya: 1. Terapi untuk hepatitis C (HCV), walaupun dengan pegylated interferon, sangat tidak efektif di antara orang yang juga terinfeksi HIV, dengan kurang dari 25 persen orang dengan genotipe 1 atau 4 (yang paling umum) menjadi sembuh total setelah diobati— sebetulnya lebih banyak sembuh sendiri tanpa obat. Dengan dilihat efek samping dan harganya yang mahal, pengobatan ini tidak realistis untuk sebagian besar orang di Indonesia. Namun, peramal terbaik untuk masalah dengan HCV adalah penggunaan alkohol, dan mungkin jenis pencegahan ini lebih cocok, walaupun mungkin tidak sama penting di Indonesia. 2. Terapi untuk anak dengan AIDS semakin
Sahabat Senandika No. 12
3.
4.
5.
6.
jelas, tetapi masih ada masalah dengan menentukan dosis yang cocok dan memperoleh obat dalam bentuk yang sesuai. Ada laporan mengenai pencegahan infeksi dari ibu-ke-bayi pada ibu yang sendirinya terinfeksi waktu lahir. Ini menunjukkan bahwa daya tahan hidup anak dengan HIV semakin tinggi. Reproduksi terbantu untuk pasangan yang diskordan (lelaki terinfeksi, perempuan tidak) masih sangat rumit dan sering tidak berhasil. Namun, banyak perempuan yang meminta prosedur ini di Eropa relatif tua—dalam satu laporan usianya rata-rata akhir 30-an. Walaupun dasarnya cukup sederhana, proses cuci sperma harus dilakukan secara sangat berhati-hati, dan kendati begitu tes hasilnya dengan PCR sering menunjukkan masih ada virus. Tidak ada optimisme tentang perkembangan vaksin, sebetulnya sebaliknya. Ada duplikasi upaya yang akan berarti uji coba yang efektif akan semakin sulit. Ada kesepakatan bahwa tidak mungkin akan ada vaksin yang efektif sebelum 7-10 tahun lagi. Tambahannya, tidak jelas bagaimana vaksin dapat dibuat dengan jumlah yang dibutuhkan tanpa modal yang sangat besar untuk meningkatkan kapasitas pabrik. Infeksi TB bersama dengan HIV, terutama dengan TB yang resistan terhadap beberapa obat (MDR-TB), menjadi tantangan semakin besar, khususnya di negara berkembang. Ada perhatian karena sebagian penularan infeksi TB ini terjadi di rumah sakit—apakah ini benar-benar diperhatikan di Indonesia? Beberapa peserta dari Afrika melaporkan bahwa HIV mulai di-‘normalisasi’-kan di beberapa negara di benua tersebut. Misalnya, di Kenya, tes HIV untuk perempuan hamil adalah baku, tentu dengan pilihan untuk menolak, tetapi pilihan ini jarang diambil. Walaupun saya setuju kita belum sampai ke tahap ini di Indonesia, mungkin sudah waktu kita mulai membahas bagaimana kita dapat menuju keadaan seperti ini.
November 2003
Pengetahuan adalah Kekuatan Jadwal Nevirapine untuk Bayi yang Baru Lahir Tambahannya Bila Dosis Ibu Telat Oleh Julian Meldrum, 6 Juni 2003 Di banyak negara berkembang, regimen dua dosis nevirapine (NVP) sekitar waktu melahirkan diusulkan sebagai cara yang paling hemat-biaya untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Satu dosis diminum oleh ibu pada saat mulai merasa sakit akan melahirkan, dan satu dosis diberikan pada bayinya, antara 48 dan 72 jam setelah lahir. Di beberapa keadaan—bila dosis ibu hanya diberikan beberapa waktu sebelum melahirkan—dosis tambahan untuk bayi disarankan. Laporan baru pada Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi 1 Juni menganggap berdasarkan bukti uji klinis bahwa dosis tambahan ini hanya sebaiknya diberikan jika jangka waktu antara obat diberikan dan bayinya lahir adalah dua jam atau kurang. Tujuan adalah agar mencapai kepekatan 100 nanogram/millilitre (ng/ml) obat dalam darah si bayi, dari sebelum lahir hingga satu minggu kemudian. Namun tingkat obat yang butuhkan untuk mencegah penularan tidak diketahui secara persis. Tingkat yang dibutuhkan untuk mencapai 50 persen halangan (inhibition) virus jenis liar dalam biakan sel adalah 10ng/ml. Bila kelahiran terjadi sangat segera setelah si ibu meminum obatnya, mungkin waktunya tidak cukup untuk obat melewati plasenta dan mencapai tingkat efektif dalam bayi sebelum lahir. Bila ini terjadi, satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan adalah untuk memberi dosis tambahan pada bayi setelah lahir. Sebenarnya, berapa lama minimal dibutuhkan antara ibu meminum obat dan bayi terlahir, agar bayi terlindungi pada waktu lahir dan untuk 4872 jam pertama hidupnya? Jawaban pada pertanyaan sekarang sudah disediakan oleh sebuah uji klinis, PACTG 316. Dalam uji klinis tersebut,
5
1.506 ibu hamil dengan HIV dilibatkan di AS, Eropa, Brasil dan Bahama. Ibu tersebut meminum satu dosis nevirapine atau plasebo pada saat mulai merasa sakit akan melahirkan, sebagai tambahan pada terapi antiretroviral baku yang efektif (dengan regimen yang tidak mengandung nevirapine atau efavirenz). Dosis kedua diberikan pada bayi 48-72 jam setelah lahir. Di bagian uji klinis di AS, darah diambil dari bayi segera sebelum dosis nevirapine diberikan. Sampel darah ini dianalisis untuk mengetahui tingkat NVP dalam darah. Hasil dari 149 bayi dengan ibu yang diberikan NVP tersedia untuk analisis. Lamanya antara waktu obat diminum oleh ibu dan waktu bayi terlahir, yang diukur dalam jam (“interval dosis-kelahiran), berhubungan sangat erat dengan tingkat NVP di bayi pada 48-72 jam. Bila interval dosis-kelahiran adalah kurang dari satu jam, semua bayi (12/12) mempunyai tingkat NVP di bawah 100ng/ml. Sebagaimana interval dosis-kelahiran meningkat, proporsi ini menurun sebagai berikut: • 5/17 (29 persen) untuk 1-2 jam • 3/24 (13 persen) untuk 2-4 jam • 2/38 (5 persen) untuk 4-6 jam • 1/58 (2 persen) untuk lebih dari enam jam. Bila batas rendah dipakai (batas rendah untuk mendeteksikan obat, antara 25-50ng/ml), 12 dari 13 bayi dengan tingkat NVP yang tidak dapat terdeteksi terlahir dalam dua jam setelah dosis diminum oleh ibunya. Usulan dari penelitian ini adalah agar dosis tambahan yang diberikan pada bayi segera setelah lahir hanya dibutuhkan oleh bayi yang terlahir kurang dari dua jam setelah dosis diberikan pada ibunya. Ambang waktu yang lebih tinggi, hingga 6,7 jam, mungkin dibutuhkan untuk menjamin bahwa semua bayi mencapai tingkat tujuan yaitu 100ng/ml selama masa semaksimal mungkin. Namun bila kebijakan ini diikuti, ada kerugian karena dosis kedua diberikan pada banyak bayi yang tidak membutuhkannya. Walaupun ini kemungkinan tidak menimbulkan masalah pada bayi, hal ini akan meningkatkan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan strategi. Lagi pula, tidak ada bukti bahwa kelebihan semacam ini benar-benar dibutuhkan bahkan oleh bayi yang tidak mencapai tingkat 100ng/ml. Secara keseluruhan, penelitian ini tidak berhasil menunjukkan manfaat dalam pecegahan penularan dari ibu-ke-bayi dari penambahan nevirapine pada regimen ART yang efektif. Namun, angka
6
penularan—1,5 persen—sebenarnya begitu rendah sehingga penelitian tidak mampu menunjukkan manfaat ini jika ada. Mungkin pelajaran terbesar dari penelitian ini adalah bahwa jika ART, dengan regimen apa saja yang efektif, diberikan pada ibu hamil, ini jauh lebih efektif untuk mencegah penularan dari ibu-ke-bayi dibandingkan dengan regimen jangka pendek apa pun yang dipakai saat ini. Referensi: Mirochnick M et al. Predose infant nevirapine concentration with the two-dose intrapartum neonatal nevirapine regimen: association with timing of maternal intrapartum nevirapine dose. JAIDS 33:153-156, 2003. URL: http://www.aidsmap.com/news/ newsdisplay2.asp?newsId=2103
Nevirapine: Keraguan tentang Risiko pada Hati di Negara Berkembang Oleh Keith Alcorn, 9 Oktober 2003 Toksisitas (keracunan) parah pada hati tampaknya tidak terjadi lebih sering di antara pasien Thailand yang mulai terapi antiretroviral dibandingkan pasien di Barat. Ini menurut peninjauan terhadap 692 pasien yang terlibat dalam uji klinis di Thailand. Namun, penelitian ini juga mengungkapkan angka toksisitas hari yang tinggi di pasien yang diobati dengan nevirapine, dan para penulis menganggap bahwa obat yang menimbulkan toksisitas tinggi pada hati sebaiknya dihindari jika kemampuan pemantauan terbatas. Laporan penelitian tersebut diterbitkan di jurnal ADIS edisi 17 Oktober. Tiga ratus lima puluh dari 692 pasien tersebut menerima terapi kombinasi tiga (215 dengan analog non-nukleosida/NNRTI, dan 135 dengan protease inhibitor/PI). Sisanya menerima terapi rangkap dengan dua analog nukleosida. Lima penelitian dilaksanakan oleh HIV-Netherlands Australia Thailand Research Collaboration (HIV NAT). Sisanya adalah penelitian yang disokong oleh perusahaan obat yang menilai terapi dua NNRTI dengan nevirapine dan/atau efavirenz (200 pasien) atau dengan d4T/3TC/atazanavir (n=31) versus d4T/3TC/efavirenz (15). Tes fungsi hati dilakukan pada awal, dan pada minggu 4, 8, 12, 24, 36 dan 48. Toksisitas hati yang parah didefiniskan sebagai SGPT sedikitnya lima kali di atas batas normal dan peningkatan sedikitnya 100 U/l lebih tinggi daripada awal.
Sahabat Senandika No. 12
Kejadian toksisitas hati yang parah adalah 6,1 kasus per 100 orang tahun pengobatan, tetapi adalah lebih tinggi secara bermakna di antara pasien yang diobati dengan nevirapine (18,5) dan pasien yang menerima nevirapine dan efavirenz bersama (44,4). Sebagai pembanding, sebuah penelitian Itali yang melaporkan pada awal tahun ini menemukan angka keseluruhan 4,2 kasus per 100 orang tahun pada kelompok dengan orang yang memakai terapi dengan NNRTI lebih kecil dibandingkan dengan penelitian Thailand, dan definisi toksisitas hati lebih tinggi (ACTG grade 4, atau 10 kali ULN). Satu penelitian lain terhadap kelompok yang menggunakan ukuran kejadian yang sama, yang dilakukan di antara pasien diobati dengan nevirapine di Spanyol, menemukan kejadian 13,1 kasus per 100 orang tahun pengobatan (Matinez), sedangan sebuah penelitian kelompok di Belanda menemukan kejadian 6,3 kasus per 100 orang tahun, dengan memakai definisi lebih tinggi gade 4 (Wit). Penelitian kelompok HIV NAT menemukan bahwa infeksi bersama dengan hepatitis dan terapi yang mengandung NNRTI meramalkan toksisitas hati yang parah. Infeksi bersama dengan hepatitis B mengandung risiko relatif toksisitas hati yang parah sebesar 3,20, sedangkan risiko relatif HCV adalah 3,00 dan terapi dengan NNRTI mempunyai risiko relatif 9,75. Kombinasi infeksi bersama dengan hepatitis dan pengobatan dengan NNRTI mempunyai risiko relatif tertinggi (57,4 untuk hepatitis B dan 72,2 untuk hepatitis C). Walaupun sejumlah 40 pasien mengalami toksisistas hati yang parah, semuanya masih memakai regimen awal setelah 48 minggu pemantauan. Perubahan pengobatan sementara sesuai dengan pedoman penelitian tertentu dilakukan pada setiap kasus, dan tingka SGPT pada pasien ini menurun menjadi tingkat yang hampir normal pada minggu ke-48. Para penulis menganggap bahwa walaupun penemuan yang menyamankan tentang pembandingan antara pasien Thailand dan Barat, “pengembangan pedoman terapi antiretroviral yang baku harus mempertimbangkan toksisitas hati, dan obat dengan tingkat toksisitas ini yang lebih tinggi mungkin sebaiknya dihindari pada rangkaian dengan kemampuan pemantauan terbatas.” Nevirapine diberi secara luas di rangkaian dengan sumber daya terbatas, sebagian karena obat ini tersedia dalam kombinasi dalam satu pil. Obat
November 2003
ini menjadi dasar pada regimen yang disarankan untuk dipakai di negara berkembang oleh WHO. Di Eropa dan Amerika Utara, pemantauan toksisitas hati diusulkan setiap 14 hari pada dua bulan pertama pengobatan. Sampai saat ini, hanya ada sedikit informasi tentang kejadian toksisitas hati yang parah pada pasien yang diobati dengan nevirapine di rangkaian terbatas sumber daya di luar uji klinis. Referensi: Law WP et al. Risk of severe hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy in the HIV-NAT Cohort, Thailand, 19962001. AIDS 17: 2191-2199, 2003. Martinez E et al. Hepatotoxicity in HIV-1-infected patients receiving nevirapine-containing antiretroviral therapy. AIDS. 2001 Jul 6;15(10):1261-8. Wit FW et al. Incidence of and risk factors for severe hepatotoxicity associated with antiretroviral combination therapy. J Infect Dis 186: 23-31, 2003. URL: http://www.aidsmap.com/news/ newsdisplay2.asp?newsId=2345
Pojok Info Lembaran Informasi Baru Pada November 2003, Yayasan Spiritia telah memperbaharui lima lembaran informasi untuk Odha, sbb: • Informasi Dasar Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi • Terapi Antiretroviral Lembaran Informasi 400—Penggunaan Obat Antiretroviral Lembaran Informasi 401—Nama Obat Antiretroviral Lembaran Informasi 410—Terapi Antiretroviral Lembaran Informasi 444—Nelfinavir Untuk memperoleh lembaran baru/revisi ini atau seri Lembaran Informasi komplet, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang. Anggota milis WartaAIDS dapat akses file ini dengan browse ke:
7
Konsultasi
Positif Fund
Tanya – jawab
Laporan Keuangan Positif Fund
T: Saya sudah memakai ARV dengan kombinasi tiga obat- AZT, 3TC dan NVP. Pada tahun depan saya memutuskan untuk hamil. Pertanyaan saya adalah adakah efek samping dari ARV yang saya minum terhadap janin saya? Ataukah saya harus menghentikan ARV selama triwulan pertama kehamilan? J: Obat yang anda pakai adalah obat yang paling aman untuk orang hamil. Kenyataannya adalah dapat menurunkan rata-rata penularan hingga 5% hingga 2%. Anda juga tidak perlu untuk menghentikan ARV pada tiga minggu pertama kehamilan. Tapi penularan dari ibu ke bayi juga tergantung dari jumlah Viral loud, dibutuhkan lebih dari 6 bulan untuk menurunkan jumlah virus didalam darah. Jadi kami tidak merekomendasikan wanita untuk hamil secepatnya setelah memakai ARV. Tiga kombinasi adalah yang terbaik, jika anda memakai regimen ini dan memutuskan untuk hamil, tidak memerlukan lagi tambahan AZT selama minggu teakhir kehamilan atau keadaan sakit akan melahirkan. Menjaga proses kelahiran sesingkat mungkin karena semakin lama proses kelahiran semakin besar risiko penularan dan tidak menyusui. Untuk informasi: wanita yang menggunakan Efavirenz dan menginginkan untuk hamil dianjurkan untuk mengganti dengan Nevirapine lebih dahulu sebelum hamil.
Periode November 2003 Saldo awal 1 November 2003
11,544,425
Penerimaan di bulan Oktober 2003 Total penerimaan
650,000 12,194,425
Pengeluaran selama bulan November: Item
Jumlah
Pengobatan
0
Transportasi
25,000
Komunikasi
0
Peralatan / Pemeliharaan
0
Modal Usaha
0
Total pengeluaran
25,000
Saldo akhir Positive Fund per 30 No 12,169,425
Sahabat Senandika Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia dengan dukungan THE FORD ATION FOUNDA FOUND
Tips Tips untuk orang HIV Sering-sering memeriksa mulut. Tanda pertama bahwa infeksi HIV memperburuk, sering muncul dari dalam mulut. Cari yang tampaknya selaput putih pada lidah dan dinding mulut. Kalau ada tanda ini, sebaiknya periksa ke dokter.
8
Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521 E-mail:
[email protected] Editor: Hertin Setyowati Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Sahabat Senandika No. 12