Yayasan Spiritia
No. 39, Februari 2006
Sahabat Senandika Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan Pertemuan Odha Wilayah se-Kalimantan 12-15 Februari 2006 Oleh: Siradj Okta Pada pertengahan bulan Februari 2006, Yayasan Spiritia mengadakan Pertemuan Odha SeKalimantan. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Pertemuan Odha Wilayah sebagai pertemuan yang menyediakan ruang dan kesempatan bagi temanteman odha dan ohidha yang belum terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS untuk saling berbagi perasaan, saling memberi dukungan satu sama lain, dan peningkatan pengetahuan seputar HIV/AIDS, dengan demikian dapat meningkatkan rasa percaya diri peserta. Pertemuan yang dilakukan di Pontianak tersebut melibatkan 18 peserta dari 4 provinsi yang ada di Pulau Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim), sebagian besarnya adalah odha. Selain dari ibukota provinsi, peserta juga ada yang berasal dari kabupaten/kota. Dalam penyelenggaraan pertemuan 3 hari ini, Spiritia membentuk panitia penyelenggara (steering comittee) bersama kelompokkelompok dukungan sebaya yang ada di Kalimantan, yaitu Yayasan Pontianak Plus, Singkawang Plus, dan Kesuma Family Support. Pembentukan panitia bersama ini bermaksud meningkatkan keterlibatan komunitas lokal sebagai ajang peningkatan pengalaman, dan menjalankan kegiatan berjejaring. Panitia bersama ini merancang kegiatan sejak awal, termasuk pilihan topik yang akan dibawakan dan komposisi peserta. Selama pertemuan, panitia mengadakan berbagai sesi seperti HIV/AIDS Dasar, Pengobatan, Infeksi oportunistik (oleh dr. Niken Tri Utami dari Banjarmasin), Terapi Tertawa (oleh dr. Bumbunan Sitorus dari Pontianak), Berbagi Pengalaman, Kunjungan ke Yayasan Pontianak Plus dan Kesuma Family Support, Pemutaran Film, dan sebagainya.
Dari evaluasi, peserta menyatakan mendapatkan manfaat dari pertemuan, karena bertemu dengan teman sebaya untuk berbagi, meningkatnya rasa percaya diri, meningkatnya pengetahuan, dan memiliki teman baru sebagai jaringan dukungan. Pada akhir kegiatan ini juga diadakan Malam Keakraban yang menampilkan persembahanpersembahan kesenian dari peserta pertemuan, maupun dari tamu lainnya. Pada malam keakraban itu diundang teman-teman yang ada di Pontianak dan para pihak terkait seperti pejabat pemerintahan untuk bersilaturahmi dan melestarikan hubungan yang harmonis. Dari pertemuan ini, semakin nyata bahwa dukungan sebaya merupakan salah satu kebutuhan odha dan juga ohidha dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Daftar Isi Laporan Kegiatan
1
Pertemuan Odha Wilayah se-Kalimantan 1 Laporan Singkat: Simposium Bangkok Pengobatan HIV ke-9 (2) 2
Pengetahuan adalah kekuatan
4
Teh Hijau Hambat Progresifitas HIV 4 Kandidiasis Oral Waktu Pakai ART Tandai Kegagalan Kekebalan 4
Pojok Info Lembaran Informasi Baru
Tips Tips untuk Odha
5 5
5 5
Tanya-Jawab
6
Tanya Jawab
6
Positive Fund
6
Laporan keuangan Positive Fund
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Laporan Singkat: Simposium Bangkok Pengobatan HIV ke-9 (2) Oleh Babe, 22 Januari 2005 6. Penularan Ibu-ke-Bayi (MTCT). Kebanyakan diskusi tentang hal ini membahas risiko timbulnya resistansi terhadap nevirapine setelah dosis tunggal untuk mencegah penularan. Sekarang semakin jelas bahwa resistansi ini terjadi dalam mayoritas kasus. Oleh karena ini, pedoman terkini mengusulkan penggunaan AZT + 3TC selama beberapa hari untuk men-cover ‘buntut’ nevirapine ini. Ada kekawatiran bahwa tindakan ini dapat menimbulkan resistansi terhadap 3TC, tetapi uji coba klinis lain memberi kesan bahwa resistansi ini kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat ini. Satu pembicara juga mencatat bahwa penggunaan ART sudah mengurangi angka penularan di bawah 2 persen, dan menanyakan apakah bedah Sesar menimbulkan risiko yang lebih besar dibandingkan manfaat bila ART dapat dipakai. Catatan: ART selama kehamilan pasti lebih murah daripada bedah Sesar! 7. Strategi Terapi Pediatrik. Sayangnya hanya sedikit dari sesi ini sebenarnya membahas masalah pengobatan untuk anak, dan memberikan hanya sedikit informasi baru. Ada diskusi mengenai terapi imun, dengan teh hijau sebagai satu calon yang mungkin. 8. Hepatotoksisitas. Efek samping ini sering dibahas, terutama dalam studi kasus. Kebanyakan pakar mengusulkan pemantauan enzim hati yang tinggi saja, walaupun di atas lima kali batas atas, asal tidak ada gejala. Umumnya, enzim tinggi akan turun sendiri setelah beberapa waktu. Saat saya mencatat bahwa dokter di Indonesia biasanya meresepkan ‘hepatoprotektor’ buatan jamu, tampaknya ini dianggap lucu! Tetapi tidak ditawarkan pilihan lain. Mungkin kita harus lebih tegas melakukan uji coba klinis terhadap jamu ini. 9. Micobakterium. Beberapa presentasi mengenai koinfeksi HIV/TB. Ada kesepakatan secara umum bahwa tes kulit (PPD) memberi hanya sedikit manfaat. Tes TB Sport yang baru mungkin lebih berguna, tetapi tes ini belum disetujui untuk orang HIV-positif, dan juga tidak dapat dipakai untuk MAC. Pembicara ragu mengenai manfaat dari profilaksis isoniazid (IPT) secara massal, terutama di daerah TB adalah endemis, karena ada risiko tinggi terhadap reinfeksi/infeksi ulang; dalam keadaan ini, IPT seharusnya diberi seumur hidup,
2
dan ini tidak praktis. ART lebih efektif. Namun satu pembicara menyetujui IPT harus diberikan pada Odha yang terpajan pada TB aktif selama lebih dari delapan jam, mis. bila hidup berumah tangga dengan kasus yang dikonfirmasi. Rejimen dua kali seminggu untuk TB terbukti kurang efektif untuk Odha dengan CD4 di bawah 100. Ada asumsi bahwa tiga kali seminggu sama efektif dengen sekali sehari pada kelompok ini, tetapi hal ini belum dibuktikan. Dua studi kasus mencatat bahwa kita sebaiknya tidak melupakan kemungkinan adanya MAC bila CD4 rendah, terutama pada kasus dengan demam – infeksi ini lebih sering menyebabkan demam dibandingkan TB dalam satu penelitian di Thailand. Kelenjar yang bengkak sebaiknya sering disedot (aspirated) untuk menghindari letusan. 10. Manifestasi Neurologis. Walaupun studi kasus terkait masalah ini menarik, hampir semuanya melibatkan pengamatan CT dan MRI, yang kemungkinan tidak terjangkau di Indonesia. Dicatat bahwa meningitis kriptokokkus terjadi relatif sering. Infeksi ini dapat diidentifikasi relatif mudah dan murah dengan antigen dalam contoh darah dan dari sakit kepala pada bagian depan yang tidak pulih dengan penggunaan parasetamol. 11. IRIS (Sindrom Pemulihan Kekebalan). Dicatat bahwa belum ada definisi kasus IRIS, bahwa sindrom ini dapat mengambil dua bentuk (reaktivasi atau ‘unmasking’ - membuka topeng), dan tidak ada dasar bukti (evidence base) untuk penggunaan kortikosteroid; justru obat ini kadang kala dapat memperburuk masalah. IRIS umumnya terjadi dalam tiga bulan pertama setelah mulai ART, tetapi dapat membutuhkan sampai dua tahun. 12. Sunatan. Beberapa referensi pada bukti baru mengenai sifat pencegahan dari sunatan. Satu komentar yang menarik adalah bahwa ada beberapa bukti dari data retrospektif di Uganda yang memberi kesan bahwa daya menular laki-laki tersunat mungkin lebih rendah. 13. Obat Baru. Sekarang ada banyak keraguan apakah CCR5 inhibitor yang saat ini dalam perkembangan akan sampai ke pasar – hampir semuanya tampaknya gagal dalam uji coba klinis. Namun dua NNRTI (TMC-125 and TMC-278) yang efektif terhadap mutan resistan menunjukkan harapan, walaupun sementara TMC-125 berhasil di AS, obat ini gagal dalam uji coba di Thailand. 14. Hepatitis Virus. Dicatat bahwa kejadian kematian akibat penyakit hati relatif rendah, dan tampaknya ART membantu untuk menstabilkan penyakit hati. Namun, ada bukti bahwa d4T kemungkinan mengakibatkan fibrosis. Hanya ada sedikit bukti bahwa 3TC dalam rejimen ART
Sahabat Senandika No. 39
mempunyai pengaruh besar pada kelanjutan hepatitis B, tetpai belum ada penelitian mengenai dampak TDF pada Odha dengan koinfeksi HBV. Dicatat bahwa “mulai muncul bukti bahwa TDF dapat memberi perubahan besar pada HBV”, dengan tidak ditemukan munculnya kembali oleh virus akibat resistansi setelah tiga tahun. 15. ART untuk IDU. Diskusi mengenai topik ini terbatas. Namun dicatat bahwa “Kepatuhan di antara IDU lebih baik daripada dianggap oleh beberapa dokter.” 16. Peranan Protease Inhibitor. Menjadi jelas hampir tidak ada peranan untuk PI yang tidak diboosted sekarang – nelfinavir jarang dibahas. Obat kita paling mungkin akan bertemu adalah lopinavir/ r (Kaletra) dan saquinavir/r, walaupun mungkin yang lain akan muncul nanti. Obat ini memberikan hasil yang lebih baik, toksisitas kurang dan resistansi sangat jarang pada pasien yang belum memakai ART. Namun mereka masih menimbulkan komplikasi metabolisme, dan harus dipantau secara hati-hati. Satu keprihatinan adalah kombinasi ddI, TDF dan lopinavir/r sebagai rejimen lini kedua. Kombinasi ini sudah tidak disarankan lagi, walaupun masih sering dipakai, terutama karena masalah efek samping lebih berat akibat ddI. Dengan pemantauan secara hati-hati, masalah ini dapat diantisipasikan dan dihindari. Masalah lain adalah bahwa lopinavir/r harus dipakai dengan makan, sementara ddI harus dipakai dengan perut kosong. Namun bila hal ini menimbulkan masalah kepatuhan, lebih baik memakai semuanya dengan makan daripada dosis salah satu dilupakan; dampak dari perubahan ini kemungkinan sangat kecil. 17. Efek Samping. Selain yang dibahas di atas, tekanan khusus diberikan pada asidosis laktik dan resistansi insulin. Asidosis laktik, walaupun jarang terjadi, dapat berkembang sangat cepat dan segera menjadi fatal, dan dokter harus selalu mempertimbangkan hal ini bila efek buruk dialami beberapa waktu setelah ART dimulai, terutama dengan d4T. Saya curiga beberapa kasus ‘kematian mendadak’ yang kita alami mungkin diakibatkan asidosis laktik yang tidak didiagnosis. Resistansi insulin lebih umum dengan PI, dan dapat menimbulkan masalah jantung. Satu topik lain yang sering dibahas adalah lipodistrofi, sebuah masalah yang pasti akan meningkat di Indonesia. Sementara lipohipertofi (pertumbuhan lemak viskeral, mis. ‘punuk kerbau’) sering dibahas, ada bukti bahwa hal ini tidak lebih umum pada Odha (yang pakai ART atau tidak) dibandingkan orang HIV-negatif. Yang lebih memprihatinkan adalah lipoatrofi (kehilangan
Februari 2006
lemak, biasanya dari pipi dan lengan/kaki), dengan bukti bahwa ini diperburuk oleh d4T, kurang tekanan pada virus, dan usia lebih lanjut (PI tidak menimbulkan dampak dibandingkan dengan lipohipertofi). Walaupun hal ini dapat menghasilkan peningkatan pada trigliserida dan resistansi insulin, masalah yang jauh lebih besar adalah dampak psikologis, dengan pengaruh pada kepatuhan. Mengalihkan dari d4T ke AZT, atau (lebih baik) ABC atau TDF, atau pun ddI dapat membantu. Pengobatan dengan uridin ditunjukkan efektif dalam menumbuh kembali lemak. 18. Demensia. Masalah ini masih tetap ditemukan, dan justru menjadi lebih umum, dalam era ART, karena Odha cenderung tahan hidup lebih lama. Sampai saat ini belum ada terapi yang baik, tetapi menggantikan ARV dengan yang lebih efektif menembus sawar darah-otak dapat membantu. 19. Profilaksi Prapajanan (Pre-exposure Prophylaxis/PREP). Kami mendengar mengenai masalah yang dihadapi oleh uji coba klinis yang direncanakan dengan memakai tenofovir dalam kelompok rentan (pekerja seks dan IDU), yang dipakai sekali sehari untuk mencegah infeksi HIV. Profilaksis macam ini sangat umum (malaria, TB, IO), jadi tidak jelas mengapa para ‘aktivis’ menolaknya. Ada kesepakatan bahwa kita harus berupaya lebih baik dalam hal menjelaskan logikanya. Tetapi kita juga sebaiknya tidak membatasi uji coba pada satu macam obat saja; hampir semua obat yang menghambat riwayat hidup HIV awal dapat efektif, dengan 3TC sebagai calon yang sangat baik karena toksisitasnya rendah. Namun PREP harus dibatasi pada orang yang diyakinkan HIV-negatif (bagaimana?), atau kita akan mendorong penularan dengan virus yang reistan terhadap obat yang diapaki untuk PREP. Secara ideal, kita sebaiknya mencadangkan satu golongan obat khusus untuk maksud ini. 20. Penghentian Pengobatan Sementara (Structured Treatment Interruptions/STI). Presentasi ini didominasi oleh berita yang sangat baru bahwa uji coba klinis SMART dihentikan. Uji coba ini yang sangat besar melihat STI yang dikendalikan oleh jumlah CD4. Oleh karena kemiripan uji coba in dengan uji coba lain yang berhasil (walaupun lebih kecil), tidak jelas mengapa uji coba SMART gagal, dan hal ini harus dievaluasi lagi. Hasil ini harus mengingatkan kita bahwa STI harus dibatasi pada sarana penelitian, dengan pemantauan yang ketat. STI jelas belum siap untuk dipakai ‘sehari-hari’ dalam praktek klinis biasa, dan orang yang memakai ART harus sangat hati-hati menghentikan terapinya secara sementara tanpa persetujuan penuh dan dukungan oleh dokter.
3
Pengetahuan adalah kekuatan Teh Hijau Hambat Progresifitas HIV Teh hijau telah dikenal oleh masyarakat sebagai minuman yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Minuman ini juga dikenal sebagai salah satu bahan minuman pelangsing tubuh. Selain digunakan sebagai bahan minuman untuk melangsingkan tubuh, teh hijau diyakini memiliki manfaat untuk menghambat progresivitas virus HIV. Dr Nasronudin Sp PD, Kepala Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi (UPIPI) RSU Dr Soetomo Surabaya menyatakan teh hijau memiliki kandungan cathechin. Di dalam tubuh, cathechin dari teh hijau ini akan bekerja memblokade reseptor CD 4 sehingga virus HIV akan sulit masuk kedalam tubuh. “CD 4 merupakan protein yang diperlukan oleh virus HIV untuk bisa masuk ke dalam tubuh manusia, kalau CD 4 pada permukaan sel target ini dirubah maka virus HIV tidak akan bisa berkembang,” ujarnya. Berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh teh hijau inilah maka konsumsi teh hijau dianggap dapat membantu orang-orang yang telah terinfeksi virus HIV AIDS. Dengan mengkonsumsi teh hijau diharapkan dapat menghambat perkembangan virus mematikan ini didalam tubuh. Meski demikian Nasronudin mengingatkan teh hijau bukanlah obat anti HIV AIDS. Teh hijau hanya berfungsi sebagai bahan untuk pencegahan sekunder bagi virus HIV. “Kondisi penderita kan biasanya dibedakan dalam empat stadium, nah dengan mengkonsumsi teh hijau ini diharapkan kondisi penderita tidak meningkat pada stadium berikutnya. Misalnya penderita sudah dalam kondisi stadium dua, nah dengan mengkonsumsi teh hijau diharapkan peningkatan ke stadium tiga dapat dihambat,” terang Nasronudin. Selain memiliki kandungan cathechin yang bisa menghambat perkembangan virus HIV, teh hijau juga berfungsi untuk mengurangi kemungkinan resistensi virus HIV pada obat anti virus. “Biasanya penderita sulit menerapkan disiplin untuk minum obat setiap hari padahal ketidakdisiplinan itu bisa membuat virus menjadi resisten atau kebal pada obat. Nah teh hijau ini juga berfungsi mengurangi
4
resistensi virus,” ujar Nasronudin. Saat ini Nasronudin tengah mengupayakan untuk memberikan komposisi teh hijau ke dalam ‘ice cream’. ‘Ice cream’ menjadi makanan favorit bagi penderita HIV/AIDS yang mendapat perawatan di UPIPI RSU Dr Soetomo. “Kebanyakan penderita pada stadium lanjut sulit untuk mengkonsumsi makanan lain, kalau bisa dimasukkan dalam ‘ice cream’ mungkin lebih mudah dikonsumsi oleh mereka,” harapnya. (rey) Sumber: Surya (Surabaya), 8 Februari 2006
Kandidiasis Oral Waktu Pakai ART Tandai Kegagalan Kekebalan NEW YORK (Reuters Health) 18 Mar Keberadaan kandidiasis oral waktu pasien diobati dengan terapi antiretroviral (ART) dapat menandai kegagalan imunologis. Ini menurut laporan peneliti. Walaupun jumlah CD4 dan viral load biasanya dipakai sebagai tanda pengganti kelanjutan penyakit HIV, di beberapa daerah tes laboratorium ini tidak terjangkau, seperti dicatat oleh peneliti utama Dr. Luis Alberto Gaitan-Cepeda, dari National Autonomous University of Mexico di Mexico City dan rekan. Menurut laporannya di jurnal AIDS Patient Care and STDs edisi Februari 2005, para peneliti menilai apakah kandidiasis oral adalah prediktor yang bermakna terhadap kegagalan imunologis pada pasien dewasa yang memakai ART. Penyelidikan pada kelompok penelitiannya antara Januari dan Juli 2002 menunjukkan bahwa 70 berhasil imunologis (jumlah CD4 di atas 500) sedangkan 106 tidak berhasil (jumlah CD4 di bawah 500). Pemeriksaan mulut menunjukkan adanya kandidiasis pada tiga (7,5 persen) pada kelompok berhasil dan 31 (29,2 persen) pada kelompok tidak berhasil dengan rasio kemungkinan (odds ratio) 3,899 (p=0,006). “Keberadaan penyakit oportunistik akibat jamur ini pada mulut dapat dianggap sebagai tanda kelanjutan infeksi HIV, dan kemungkinan kegagalan ART,” menyimpulkan kelompok Dr. GaitanCepeda. Sumber: AIDS Patient Care and STDs 2005;19:70-77. URL: http://www.medscape.com/viewarticle/501691
Sahabat Senandika No. 39
Pojok Info Lembaran Informasi Baru Pada Februari 2006, Yayasan Spiritia telah menerbitkan tiga lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb: • Obat untuk Infeksi Oportunistik Lembaran Informasi 533—Dapson • Referensi Lembaran Informasi 910—Daftar Interaksi Obat Lembaran Informasi 950—Profilaksis untuk Anak Dengan ini, sudah diterbitkan 119 lembaran informasi dalam seri ini. Juga ada sembilan lembaran informasi yang direvisi: • Informasi Dasar Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi • Infeksi Oportunistik Lembaran Informasi 505—Hepatitis Lembaran Informasi 508—Sarkoma Kaposi (KS) Lembaran Informasi 515—Tuberkulosis (TB) • Obat untuk Infeksi Oportunistik Lembaran Informasi 531—Siprofloksasin Lembaran Informasi 534—Flukonazol • Topik Khusus Lembaran Informasi 603—Merokok & HIV Lembaran Informasi 610—Perempuan dan HIV Lembaran Informasi 618—Orang Lansia dan HIV Untuk memperoleh lembaran baru/revisi ini atau seri Lembaran Informasi komplet, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang. Anggota milis WartaAIDS dapat akses file ini dengan browse ke:
Februari 2006
Tips Tips untuk Odha Vaksinasi, atau imunisasi, adalah suntikan yang merangsang ketahanan tubuh kita terhadap infeksi tertentu. Misalnya, sebagian besar orang diimunisasi terhadap beberapa infeksi waktu bayi. Dibutuhkan beberapa minggu setelah disuntik sehingga sistem kekebalan tubuh bereaksi pada vaksin yang disuntikkan. Sebagian besar vaksin dipakai untuk mencegah infeksi. Tetapi, beberapa yang lain membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang sudah ada. Vaksin ini disebut ‘vaksin terapeutik.’ Ada beberapa vaksin terapeutik sedang ditelitikan dan diuji coba terhadap HIV. Vaksin ‘hidup’ memakai bentuk kuman yang dilemahkan. Vaksin jenis ini dapat menimbulkan penyakit yang ringan, kemudian sistem kekebalan mengambil alih untuk mencegah terhadap penyakit yang parah. Vaksin lain yang dinonaktifkan tidak memakai kuman yang hidup. Dengan vaksin jenis ini, kita tidak mengalami penyakit, tetapi tubuh kita masih dapat membentuk keamanannya. Hanya sedikit penelitian dilakukan terhadap penggunaan vaksin oleh Odha, apalagi sejak terapi antiretroviral sudah terpakai. Namun ada beberapa pedoman penting untuk Odha: y Vaksinasi dapat meningkatkan viral load untuk sementara. Namun jatuh sakit dengan penyakit yang dicegah oleh vaksin dapat menjadi lebih buruk. Jadi, jangan tes viral load dalam empat minggu setelah vaksinasi apa pun. y Vaksinasi terhadap flu lebih ditelitikan dengan Odha dibandingkan vaksinasi yang lain. Vaksin flu dianggap aman dan efektif. Namun Odha tidak boleh memakai vaksin flu semprot hidung “Flu-Mist”. y Bila jumlah CD-4nya sangat rendah, vaksin mungkin tidak berhasil. Bila mungkin, kuatkan sistem kekebalan tubuh kita dengan memakai terapi antiretroviral (ART) sebelum divaksinasi. y Odha tidak boleh menerima sebagian besar vaksin hidup termasuk vaksin cacar air. Namun vaksin campak, gondong, rubella (campak Jerman) dianggap aman asal jumlah CD4 diatas 200. Disarankan bagi Odha untuk selalu menjelaskan kepada dokter tentang keadaan kita sebelum menerima vaksin, obat atau terapi tertentu.
5
Tanya-Jawab Tanya Jawab T: Apakah masalah tulang yang biasa dialami oleh Odha? J; Orang dengan HIV, umumnya mengalami dua penyakit tulang yaitu osteoporosis (tulang keropos) dan osteonekrosis (kematian tulang atau kehilangan aliran darah pada tulang yang disebabkan oleh cedera, kelebihan penggunaan alkohol dan penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang) dengan angka yang luar biasa tinggi. Kita belum tahu apakah HIV sendiri atau obat-obatan antirevtroviral yang bertanggungjawab. Kita dapat membantu mencegah osteoporosis dengan memakai zat kalsium atau suplemen vitamin D, berhenti merokok, dan mengurangi penggunaan alkohol dan kafein. Jika tidak ada rasa sakit pada sendi, olahraga angkat beban juga dapat membantu. Diperlukan tes khusus untuk mengetahui apakah kita osteoporosis. Namun, rasa sakit pada sendi, terutama di daerah punggung, mungkin merupakan tanda osteonekrosis. Jika kita mengalami rasa sakit pada sendi, kita sebaiknya bicara dengan dokter sebelum meningkatkan program olahraga kita.
Positive Fund Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia Periode Febuari 2006 Saldo awal 1 Febuari 2006
12,017,375
Penerimaan di bulan Febuari 2006
600,000 __________+ 12,617,375
Total penerimaan
Pengeluaran selama bulan Febuari : Item
Jumlah
Pengobatan Transportasi
248,000 0
Komunikasi Peralatan / Pemeliharaan Modal Usaha
0 0 0 _________+
Total pengeluaran
248,000-
Saldo akhir Positive Fund per 28 Febuari 2006
12,369,375
Sahabat Senandika Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia dengan dukungan THE FORD ATION FOUNDA FOUND
Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521 E-mail:
[email protected] Editor: Caroline Thomas Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
6
Sahabat Senandika No. 39