in menyuruhnya berhenti. Kemudian, ia berpaling kepadaku dan berkata menggoda, “Ia memang tergila-gila pada ide bahwa kehidupan cerdas di planet lain tentunya sedikit menyerupai kita.” “Kalau begitu, menurut saya dia salah,” kataku. Tetapi, lelaki itu tidak menyerah begitu saja. “Mereka pasti memiliki sebuah sistem saraf, dan juga sebuah organ untuk berpikir, tentunya. Kedua hal itu hampir tidak mungkin berkembang jika mereka tidak memiliki juga dua pasang anggota tubuh untuk digunakan.” “Mengapa dua?” balasku. Saat itu, kupikir aku berhasil mengalahkannya, tetapi ia masih balik melawan. “Karena itu sudah cukup!” ujarnya. Untuk pertama kalinya, akulah yang merasa terdesak. Idenya sungguh bagus sehingga, untuk saat itu, membuatku sedikit bingung. Dua lengan dan dua kaki memang sudah cukup. Walaupun bukan demikian cara ilmu empiris mempertimbangkannya. Bukankah setengah milenium telah berlalu sejak dunia filsafat mencampakkan doktrin Aristoteles mengenai “causa final” (penyebab terakhir)? “Dan dalam jangka panjang,” ujarnya, “tidak ada gunanya mempertahankan lebih banyak anggota badan daripada yang diperlukan, tidak setelah berjuta-juta tahun.” Tepat pada saat itu, seekor kodok melompat ke atas lantai tempat kami dudukduduk; mungkin ia adalah salah satu dari perenang tadi. Aku menunjuk ke arah kodok itu dan berkata dengan nada bangga, “Sebenarnya, kita memiliki dua lengan dan dua kaki karena kita diturunkan dari seekor tetrapoda seperti itu. Kita juga dapat berterima kasih kepada mereka untuk desain dasar sistem saraf kita. Spesimen ini adalah seekor Bufo, atau tepatnya Bufo marinus.” Aku pun memungut kodok tersebut dan menunjuk mata, lubang hidung, mulut, lidah, kerongkongan, dan selaput anak telinganya. Aku menjelaskan secara singkat mengenai jantung, paru-paru, pembuluh-pembuluh arteri, lambung, kandung kemih, pankreas, hati, ginjal, testis, dan ureter hewan tersebut. Aku mengakhirinya dengan beberapa komentar mengenai bentuk tulang, saraf tulang belakang, tulangtulang iga, dan kakinya. Sambil melepaskan hewan tersebut dari genggamanku, aku menambahkan beberapa potong informasi mengenai evolusi dari amfibi menjadi reptil, dan diteruskan dari reptil menjadi burung dan mamalia. Tetapi, aku telah menilai Jose terlalu rendah. “Jadi amfibi memiliki tangan yang hebat,” ujarnya. “Mereka dapat memenangi setiap putaran permainan bridge. Dan itu bukanlah karena keberuntungan semata. Dibandingkan dengan jenis-jenis hewan yang lain, mereka adalah garda depan. Mereka memiliki semua yang diperlukan untuk menciptakan sesosok manusia.” “Mudah untuk menjadi pandai setelah itu terjadi,” ujarku. “Lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali,” ia bersikeras. “Ada dua alasan mengapa kita memiliki dua lengan dan dua kaki. Satu karena kita diturunkan dari tetrapoda seperti itu. Yang lain karena hal itu praktis.” “Dan jika amfibi memiliki enam kaki?” “Entah kita tidak akan duduk di sini dan melakukan perdebatan rasional ini, atau dua dari anggota-anggota tubuh itu tentunya telah mengerut dan hilang. Dulu kita memiliki ekor, yang bisa berguna bagi sejumlah aktivitas hewan, tetapi ekor akan
menghalangi kita untuk duduk di hadapan komputer atau di dalam pesawat ruang angkasa.” Kurasa, aku menyandarkan diri di kursiku selama beberapa saat. Yang Jose lakukan tidak lebih dari sekadar menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang telah kuajukan kepada diriku sendiri selama beberapa hari terakhir. Setelah apa yang terjadi pada kita, Vera, aku telah banyak berpikir. Mengapa kita harus kehilangan Sonja? Aku tidak dapat menghitung berapa kali aku menanyakan hal itu kepada diriku. Mengapa kita tidak dapat mempertahankan dia? Jika salah satu muridku mengajukan pertanyaan itu dalam sebuah ujian, aku harus mempertimbangkan untuk tidak meluluskannya. Tetapi, kita adalah manusia, dan manusia memiliki kecenderungan untuk mencari makna, bahkan seandainya pun tidak ada makna. “Pernyataan Anda tepat sekali bahwa bukan artropoda yang akhirnya menaklukkan ruang angkasa dan, dalam hal itu, bukan pula moluska.” “Dan,” ujarnya, “makhluk-makhluk dari tata surya nun jauh yang pada suatu hari akan mengirimkan kepada kita surat permohonan izin berkunjung yang terbungkus dalam kode-kode rahasia melalui eter hampir tidak mungkin memiliki anatomi seperti seekor cumi-cumi maupun kaki seribu.” Ana mulai tertawa. “Apa kubilang?” teriaknya. Ana dan Jose dan tidak lama kemudian juga Mario mulai mengajukan kepadaku berbagai macam pertanyaan mengenai ilmu alam, dan mungkin karena reaksi tropis yang kualami membuatku menikmati perhatian tersebut, aku pun mengocehkan beberapa kuliah singkat mengenai bidang-bidang bermasalah dalam palaeontologi kontemporer dan biologi evolusioner. Tetapi, semakin lama aku semakin bertambah waspada terhadap lawanku. Beberapa kali, dengan humor yang menyenangkan, Jose berhasil memunculkan pertanyaan yang menimbulkan rasa malu pada diriku sebagai seorang profesional. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa selama percakapan itu, aku mempelajari sesuatu yang baru. Tetapi, kupikir, aku mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai banyaknya ketidakpas-tian dalam “ilmu pasti” yang tidak pernah kuakui sebelumnya. Jose berkeyakinan bahwa evolusi kehidupan di Bumi bukanlah hanya merupakan suatu proses fisik, melainkan merupakan proses yang selalu penuh makna. Ia menunjukkan bahwa sebuah karakteristik yang begitu penting seperti kesadaran manusia tidaklah mungkin hanya merupakan salah satu dari sekian banyak karakteristik yang berubah-ubah dalam perjuangan untuk bertahan hidup, tetapi merupakan objek utama dalam evolusi. Hampir merupakan hukum alam bahwa sebuah planet akan membentuk sebuah sistem pendeteksi yang semakin terspesialisasi, dan ia menyebutkan beberapa contoh yang bagus akan proses ini: bagaimana kehidupan di Bumi telah berevolusi menghasilkan mata dan penglihatan tanpa adanya hubungan genetik dari dalam dan bagaimana lebih dari sekali kehidupan menghasilkan makhluk-makhluk yang mampu terbang ke udara atau berjalan tegak. Maka, tentulah di alam semesta ini ada pula sebuah tujuan tersembunyi untuk memunculkan makhluk yang mampu membentuk tinjauan intelektual. Hal yang sedikit menyakitkan adalah, ketika masih muda, ada masa ketika aku memiliki pemikiran-pemikiran yang serupa, ketika aku masih dipengaruhi oleh Pierre Teilhard de Chardin. Kemudian, aku mulai mempelajari biologi dan otomatis menyingkirkan segala pemikiran mengenai evolusi yang memiliki tujuan. Demi kepentingan ilmu pengetahuan, aku merasa harus melakukan sedikit perlawanan terhadap Jose. Aku membela sebuah institusi yang sangat penting, mungkin terlalu penting. Aku setuju dengannya bahwa kemampuan untuk melihat, terbang, berenang, atau berjalan tegak telah berevolusi berkali-kali dalam sejarah kehidupan. Contohnya, mata telah dibentuk sekitar empat puluh atau lima puluh kali, dan serangga telah mengevolusikan sayap untuk terbang lebih dari seratus juta tahun sebelum reptil. Vertebrata pertama yang dapat terbang adalah pterosaurus. Mereka berevolusi
sekitar dua ratus juta tahun yang lalu dan punah bersama-sama dengan para dinosaurus. Cara pterosaurus terbang agak mirip kelelawar raksasa, jelasku. Mereka tidak memiliki bulu dan tidak mungkin merupakan nenek moyang dari burung modern. Burung tertua Archaeopteryx-h\diup 150 juta tahun yang lalu, dan sesungguhnya adalah seekor dinosaurus kecil. Evolusi sayap dan bulu pada burung terjadi secara terpisah dari pterosaurus …. “Sayap dan bulu,” potongnya. “Apakah hal-hal seperti itu terjadi dalam semalam? Atau, apakah alam ‘tahu’ ke arah mana dirinya berkembang?” Aku tertawa. Sekali lagi, ia telah menyentuh inti renik dari perbedaan pendapat, titik pusatnya, walaupun sekali ini kurasa pertanyaannya bersifat retoris. “Nyaris mustahil,” ujarku. “Yang terjadi adalah serangkaian mutasi selama beribu-ribu generasi. Dan hanya ada satu hukum yang berlaku: individu yang memiliki keunggulan sedikit saja dalam perjuangan bertahan hidup memiliki kemungkinan lebih besar untuk mewariskan gen mereka.” “Keuntungan apakah yang didapatkan suatu individu dengan menumbuhkan bakal sayap yang kikuk beberapa generasi sebelum sayap dapat digunakan?” tanyanya. “Bukankah bakal sayap yang baru mulai akan terbentuk seperti itu malah akan merepotkan dan mengurangi kemampuan individu itu untuk menyerang dan membela dirinya?” Aku berusaha menggambarkan seekor reptil yang memanjat pohon untuk berburu serangga. Bahkan, sedikit saja ciri-ciri yang menyerupai bulu yang pada awalnya adalah sisik yang berubah bentuk secara langsung akan memberikan keuntungan ketika hewan tersebut melompat atau berlari menuruni dahan pohon. Semakin besar perubahan bentuk sisik makhluk tersebut, semakin baik ia dapat melompat, berganti arah, atau mengepak, dan semakin besarlah kemungkinan keturunannya dapat tumbuh. Bahkan, sedikit saja kecenderungan memiliki kaki yang berselaput juga memberi seekor hewan sebuah keuntungan penting jika ia hidup baik sebagian maupun sepenuhnya di air. Aku kembali kepada evolusi bulu dan menunjukkan bahwa perlahan-lahan bulu juga penting untuk menjaga tubuh burung pada temperatur yang tetap walaupun bukan itu “tujuan” awal dari adanya bulu. Keuntungan utama dari menumbuhkan bulu kemungkinan besar berhubungan dengan gerak sang hewan. Tetapi, mungkin saja proses itu terjadi dalam urutan sebaliknya. Pada awalnya, mungkin bulu telah memberi para nenek moyang burung keuntungan insulasi sebelum akhirnya menjadi penting bagi gerakan. Penemuan akan dinosaurus berbulu baru-baru ini jelas mendukung argumen ke arah itu. “Kemudian ada kelelawar,” ujar lelaki itu. “Setelah itu, bahkan beberapa mamalia belajar untuk terbang.” Seingatku, kemudian aku sedikit membahas tentang betapa burung-burung begitu mendominasi udara sehingga akhirnya kelelawar terpaksa menjadi pemburu di malam hari. Tidak hanya kelelawar menumbuhkan sayap, mereka juga berevolusi sehingga dapat mengindra benda-benda melalui pantulan suara. “Itu kan situasi ayam dan telur,” Jose berpendapat. “Sebab, apakah yang terlebih dulu muncul, pengindraan dengan pantulan suara atau kemampuan terbang yang sesungguhnya?” Aku tidak sempat menjawabnya karena pada saat itu Laura datang ke meja kami untuk bergabung. Saat kali terakhir aku menjadi dummy, ia masih belum berhasil melepaskan diri dari Bill, tetapi ia melirikku dengan pandangan yang hanya dapat diartikan sebagai tatapan memelas dan di dalamnya tersirat permohonan maaf karena tidak menghiraukan diriku di bandara. Ia berdiri di bar selama beberapa menit sambil membawa segelas minuman berwarna merah, dan aku merasa senang ketika akhirnya ia berjalan melintasi restoran itu lagi, dan aku mengangkat kepala dan menawarkan kepadanya tempat di meja kami. Mario mengambilkan sebuah kursi dari meja sebelah. “Beri saya sebuah planet yang hidup …,” Jose memulai lagi.
“Ini dia!” potong Laura. Dengan penuh semangat, ia menunjuk ke luar ke arah pepohonan palem, walaupun di luar begitu gelap sehingga kami tidak dapat melihat apa pun. Aku teringat akan lencana World Wildlife Fund di ranselnya. Jose tertawa. “Beri saya sebuah planet hidup yang lain. Saya sangat yakin bahwa cepat atau lambat, planet itu akan memunculkan apa yang kita sebut sebagai kesadaran.” Laura mengangkat bahu, dan Jose pun melanjutkan. “Untuk menyangkal ide tersebut, kita harus menemukan sebuah planet lain yang dipenuhi berbagai jenis kehidupan, tetapi tidak pernah menghasilkan suatu sistem saraf yang cukup kompleks untuk membuat suatu individu bangun suatu pagi dan berpikir ‘to be or not to be’ atau ‘cogito, ergo sum’.” “Tidakkah itu sedikit antroposentris?” tanya Laura. “Alam tidak tercipta hanya untuk kita.” Tetapi kini Jose sudah menggebu-gebu. “Beri saya satu planet hidup, dan dengan senang hati akan segera saya tunjukkan segerombolan penuh lensa hidup. Dan tunggu saja, dalam sekejap, kita akan menatap jiwa-jiwa sadar yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dirinya sendiri.” Sekali lagi Ana membantunya: “Yang ia maksud adalah bahwa setiap planet yang mampu memunculkan kehidupan, cepat atau lambat akan tiba pada suatu bentuk kesadaran. Perjalanan dari sel hidup yang pertama hingga organisme kompleks seperti kita mungkin memiliki banyak cabang, tetapi tujuannya selalu sama. Alam semesta ini berusaha untuk memahami dirinya sendiri, dan mata yang meneliti alam semesta adalah mata milik alam semesta itu sendiri.” “Itu benar,” ujar Laura, dan ia pun mengulang apa yang dikatakan oleh Ana: “Mata yang meneliti alam semesta adalah mata milik alam semesta itu sendiri.” Sepanjang malam itu, aku telah berpikir keras untuk mengingat di mana aku telah bertemu Ana sebelumnya, dan aku masih belum ingat sama sekali. Satu-satunya jalan adalah dengan mengenalnya lebih baik. “Apa pendapat pribadi Anda?” tanyaku. “Anda tentunya memiliki keyakinan sendiri.” Ia berpikir keras, dan aku ingat kata-katanya dengan pasti: “Kita tidak mampu untuk memahami diri kita sendiri. Kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun.” “Teka-teki yang tak teterka siapa pun?” Ia merenungkannya sejenak. “Saya hanya dapat menjawab mengenai diri saya sendiri,” ujarnya. Ia menatap mataku sekejap. Kemudian, ia berkata, “Saya adalah suatu keberadaan ilahiah.” Selain Jose, mungkin aku adalah satu-satunya yang menyadari bahwa jawaban ini diiringi oleh seulas senyum penuh misteri. Mario jelas tidak terlalu memerhatikan karena dengan mata cokelatnya terbelalak,
ia berkata, “Jadi, Anda adalah Tuhan?” Wanita itu mengangguk yakin. “Ya,” ujarnya. “Itulah saya.” Ia menjawabnya dengan sambil lalu seolah-olah menjawab sebuah pertanyaan mengenai apakah ia dilahirkan di Spanyol. Dan mengapa harus ragu? Ana adalah seorang wanita berwibawa yang tidak perlu lagi membeberkan garis kebangsawanan-nya. “Baguslah kalau begitu,” Mario memberikan persetujuannya. “Selamat!” Sambil mengatakan hal itu, ia berdiri dan berjalan menuju bar. Kurasa ia masih merajuk karena permainan kartu sebelumnya. Setidaknya kini ia tahu mengapa ia tidak pernah menang. Ana tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mengerti apa yang harus ia tertawakan, tetapi suaranya begitu menular sehingga dengan segera kami semua ikut tertawa. Kini John datang mendekat dengan membawa segelas bir di tangannya. Sebelumnya ia bercakap-cakap sebentar dengan pemuda-pemudi Amerika itu, tetapi ia selalu berdiri di dekat kami dan tentunya mendengar cukup banyak apa yang telah kami bicarakan. Kami meletakkan beberapa kursi tambahan di sekeliling meja, dan duduklah kami berenam setelah Mario kembali sambil membawa segelas brendi dan menyenandungkan sebuah karya Puccini, kalau tidak salah berjudul Madam Butterfly. Mario memperkenalkan dirinya kepada Laura, dan si wanita juga memperkenalkan diri kepada Ana dan Jose. Sang orang Inggris berkata, “Tanpa sengaja saya mendengar sedikit percakapan Anda mengenai ‘makna’ dan ‘tujuan’ dari segala sesuatu. Bagus, bagus! Namun, saya yakin, penting untuk menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti itu harus dinilai secara retrospektif sebagai sebuah peraturan.” Tidak ada seorang pun yang mengerti apa yang ia maksud, namun itu tampaknya tidak membuatnya gentar sedikit pun. “Lebih sering, makna sebuah kejadian baru tampak jelas jauh setelah kejadian itu berlangsung. Maka, penyebab dari sesuatu tidaklah pasti hingga kemudian hari. Ini karena setiap proses memiliki poros waktu masing-masing.” Ia masih tidak mendapatkan lebih dari sebuah anggukan tanda setuju. Bahkan tidak ada yang memintanya untuk mencoba menjelaskan agar perkataannya lebih dapat dimengerti. “Coba bayangkan,” ujarnya, “jika kita menjadi saksi kejadian-kejadian yang berlangsung di atas Bumi ini, katakan saja tiga ratus juta tahun yang lalu. Saya yakin, ahli biologi kita ini dapat memberi kita gambaran akan zaman tersebut.” Aku langsung menyambut tantangan tersebut. Pada saat itu, kita berada di akhir periode Karbon, ujarku. Kemudian aku pun memberikan rangkuman singkat tentang kehidupan tumbuh-tumbuhannya, serangga terbang yang pertama, dan yang paling penting, reptil-reptil paling awal, yang telah berevolusi secara perlahan karena keadaan di Bumi telah menjadi lebih kering dibandingkan pada periode Devon dan periode Karbon Awal. Tetapi, di antara vertebrata darat, para amfibi masih mendominasi. John memotong: “Di antara paku-pakuan dan tanaman merambat, merangkaklah amfibiamfibi besar mirip salamander, dan juga beberapa jenis reptil, termasuk mereka yang menjadi ayah dari spesies kita. Jika saat itu kita dapat hadir dalam lingkungan tersebut, hampir pasti kita akan menganggap apa yang kita saksikan itu tidak masuk akal. Baru pada saat inilah, saat kita melihat ke belakang,
maknanya baru terlihat.” “Karena tanpa kejadian-kejadian pada saat itu, kita tidak akan berada di sini sekarang?” tanya Mario. Si orang Inggris mengangguk singkat, dan aku menambahkan: “Tetapi, Anda kan tidak mengatakan bahwa kita adalah penyebab dari apa yang terjadi tiga ratus juta tahun yang lalu?” Jose tidak dapat menyembunyikan rasa terima kasihnya atas keikutsertaan John. Kini ia memberinya isyarat untuk melanjutkan. “Saya hanya berkata bahwa pada tiga ratus juta tahun yang lalu, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kehidupan di planet ini tidak berarti, dan lebih tidak berarti lagi tanpa adanya objek. Hanya saja objek itu belum punya waktu untuk berbuah.” “Dan apakah yang menjadi objek itu?” tanyaku. “Periode Devon adalah masa embrio dari akal sehat. Dan saya yakin sah-sah saja mengatakan bahwa sebuah embrio memiliki tujuan, karena saya tidak serta-merta percaya pada pemikiran bahwa minggu-minggu pertama dari sebuah kehamilan memiliki tujuan, tidak bagi sang embrio. Maka, masih terlalu dini pula untuk percaya bahwa kini kita dapat menjawab dengan benar pertanyaan tentang makna keberadaan kita.” “Maksud Anda, kita masih setengah jalan?” tanya Laura. Lelaki itu mengangguk lagi. “Kini, kita adalah kaum garda depan, tetapi kita belum melampaui garis akhir. Hanya seratus atau seribu atau satu miliar tahun lagi, kita akan melihat apa tujuan kita. Maka, dapat dikatakan, apa yang terjadi pada suatu saat jauh pada masa mendatang akan menjadi penyebab dari apa yang terjadi di sini sekarang.” Ia melanjutkan lebih jauh, menjelaskan apa yang ia maksud dengan “masa embrio dari akal sehat”, dan kurasa mayoritas dari Ia menatapku dengan pandangan tidak setuju. “Mungkin di situlah kita salah. Tetapi, marilah kita putar balikkan perspektif ini. Hanya jika kehidupan di planet ini tidak berevolusi dari amfibi pertama, kita dapat mengatakan bahwa kehidupan di Bumi ini tidak masuk akal dan tidak berarti. Tetapi, apa jawaban sang katak terhadap pertanyaan eksistensialis Jean Paul Sartre?” Laura tidak sabar menghadapi pemikiran-pemikiran seperti itu. Ia menatap John berapi-api dan berkata, “Katak akan tetap menjadi katak. Saya tidak dapat melihat mengapa itu harus lebih tidak berarti dibandingkan manusia menjadi manusia.” Si orang Inggris mengangguk penuh simpati. “Memang, katak akan tetap menjadi katak. Dan mereka akan melakukan apa yang dilakukan oleh katak. Tetapi kita adalah manusia, dan kita melakukan apa yang dilakukan oleh manusia. Kita menanyakan apakah ada arti atau tujuan dari segalanya. Menurut saya, kehidupan pada zaman Devon terasa penuh makna bagi kita, bukan katak.” Laura tidak terkesan. “Pandangan saya benar-benar berbeda. Semua kehidupan di atas Bumi ini sama berharganya.”
Aku tidak dapat menebak seberapa banyak John benar-benar memercayai apa yang ia utarakan. Tetapi, ia belum selesai. “Bisa saja di atas planet ini sama sekali tidak ada kehidupan. Dengan begitu, kita dapat mengatakan bahwa dunia ini tidak memiliki tujuan lebih daripada menjalankan kehidupannya sebagaimana adanya. Tetapi, siapakah yang akan mengatakan hal itu?” Ketika ia tidak menerima satu jawaban pun, ia pun menyimpulkan: “Jika Big Bang tidak pernah terjadi, segalanya akan menjadi hampa dan tak berarti. Tentunya kehampaan ini hanya untuk kehampaan itu sendiri, dan kehampaan itu akan lebih tidak menyadari ketiadaan arti ini dibandingkan dengan katak dan salamander.” Kuperhatikan Ana dan Jose berkali-kali saling melirik dan diam-diam mengomentari percakapan ini dengan ungkapan-ungkapan aneh berbahasa Spanyol yang selama ini saling mereka lontarkan sambil berjalan-jalan berkeliling pulau. Apakah hal ini berkaitan? Apakah ini sebuah permainan yang telah diatur sebelumnya? Apakah mungkin sang orang Inggrislah yang mengarang ungkapan-ungkapan ini? Tidakkah sedikit aneh jika hampir semua tamu di Maravu berkeliling sambil membicarakan hal yang sama? Untuk melanjutkan perkenalan mereka, Ana bertanya dari mana Laura berasal. Ia menjawab berasal dari San Francisco dan pernah belajar sejarah seni, tetapi akhir-akhir ini ia bekerja sebagai seorang jurnalis di Adelaide. Belum lama ini ia mendapatkan semacam bantuan dana kerja dari sebuah yayasan lingkungan hidup di Amerika, dan pada dasarnya tugasnya adalah memetakan seluruh kekuatan yang menentang perjuangan masyarakat melawan penghancuran lingkungan. Secara lebih spesifik, tugas Laura adalah menyusun dokumen tahunan mengenai individu, institusi, dan perusahaan besar yang, demi alasan laba, secara terbuka menganggap remeh ancaman-ancaman terhadap lingkungan hidup di Bumi. Mario ingin tahu mengapa keterbukaan informasi seperti itu diperlukan, dan Laura mengambil kesempatan ini untuk mengungkapkan secara garis besar gambaran mengenai kondisi Bumi versi dirinya. Ia percaya bahwa kehidupan tengah terancam, bahwa sumber-sumber daya yang dapat diolah di planet ini akan menghilang secara perlahan dalam jangka panjang, dan bahwa hutan-hutan hujan akan habis dibakar dan keanekaragaman hayati terusmenerus dicemari. Ini adalah sebuah proses yang benar-benar tidak dapat dibalikkan, ia menekankan. “Baik,” Mario menyetujui. “Tapi, apa pentingnya menerbitkan sebuah daftar nama para pelaku dalam satu publikasi?” “Mereka harus bertanggung jawab,” ujar si wanita. “Hingga kini, beban untuk mencari bukti selalu terletak pada gerakan pencinta lingkungan hidup. Itulah yang sedang kami usahakan diubah. Kami menginginkan keterbukaan.” “Dan kemudian?” Laura menggerak-gerakkan tangannya. “Mungkin suatu hari akan ada suatu proses hukum. Seseorang harus mewakili katakkatak itu.” “Tetapi, Anda benar-benar memercayai bahwa laporan Anda ini cukup untuk menghentikan para perusak lingkungan itu?” Si wanita mengangguk. “Banyak dari orang-orang besar mulut itu terdiam ketika mendengar mengapa saya mewawancarai mereka, dan kemudian berbalik seratus delapan puluh derajat begitu menyadari tujuan wawancara saya. Itu dapat ditunjukkan kepada cucu-cucu mereka: lihatlah saat kakekmu berdiri di barikade
dan melecehkan masalah-masalah polusi lingkungan.” Akhirnya Mario mengerti. “Anda ingin membuat mereka bertanggung jawab secara pribadi,” ujarnya. Rasanya aku terduduk di sana sambil tersenyum kecil kepada diriku sendiri. Ada sesuatu yang kunikmati dari keberanian Laura. “Menurut saya, itu adalah sebuah ide yang menarik,” ujarku. Wanita itu menoleh dan menatapku sambil mencari-cari. Aku pun bertatapan dengan satu mata hijau dan satu cokelat. Seperti kebanyakan idealis lain, ia selalu berjaga-jaga. “Mungkin kita memang memerlukan tiang gantungan di hadapan publik,” ujarku. John duduk di sana sambil mengangguk tanda setuju. Ia mengangguk dengan begitu yakin sehingga sekali lagi menarik perhatian semua orang. “Manusia,” ia menyatakan, “mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh alam semesta yang memiliki kesadaran akan alam semesta. Maka, melindungi lingkungan hidup di planet ini bukanlah hanya sebuah tanggung jawab global, tetapi merupakan tanggung jawab kosmos. Suatu hari, gelap gulita mungkin akan menutupi lagi samudra raya. Dan Roh Tuhan tidak melayang-layang di atas permukaan air.“3 Tidak ada yang menentang kesimpulan ini. Seolah-olah kata-katanya itu telah menyatukan perkumpulan ini dalam renungan tanpa kata. Bill mendatangi meja itu dengan membawa tiga botol anggur merah dan segelas wiski. Di belakangnya, si lelaki yang mengenakan bunga di belakang telinganya berjalan dengan tergesa-gesa sambil membawa enam buah gelas. Orang Amerika itu meletakkan botol-botolnya di atas meja dan mengambil sebuah kursi dari meja sebelah untuk dirinya sendiri. Ia duduk di samping Laura. Bill memberi setiap orang satu buah gelas dan menunjuk ketiga botolnya. “Saya yang traktir!” ujarnya. Sekali lagi aku dapat melihat bagaimana Laura tidak menghiraukan lelaki itu dan kurasa sekilas aku melihat kebencian terhadap manusia dalam komitmennya kepada lingkungan. Ia mungkin cantik dan aneh, tetapi ia tidak mudah melepaskan kacamata kudanya, maupun mengangkat kepala dari buku Lonely Planet-nya saat disapa dengan ramah di sebuah lapangan udara di suatu daerah terpencil. Sementara percakapan di sekitar meja itu terus berlanjut di seputar lingkungan hidup, aku pun menceritakan secara singkat tugasku, kurasa karena didesak oleh Ana dan Jose. Sekali ini Laura tidak mencoba menyembunyikan bahwa ia terkesan, dan akhirnya aku merasa diriku sedikit dihargai. Kurasa, sepertinya ia menganggap bahwa dirinya adalah satu-satunya orang di dunia yang jelas di sini, di pulau ini yang memiliki hubungan dengan masalah-masalah lingkungan di planet ini. Dan seperti dugaanku sebelumnya, Bill termasuk dalam sekelompok besar pensiunan Amerika 3 Kutipan, dengan sedikit perubahan, dari Kejadian 1: 2 peny. yang sehat dan bersemangat. Ia pernah bekerja pada sebuah perusahaan minyak besar dan merupakan salah satu dari para ahli berkemampuan tinggi yang memadamkan ledakan-ledakan tak terkendali di ladang-ladang minyak. Tanpa sedikit pun rasa sombong, ia menyebutkan kepada kami bahwa salah satu rekan sekerjanya adalah Red Adair yang melegenda itu. Ia juga pernah diberi tugas oleh NASA, dan
dengan rendah hati dapat mengklaim ikut memiliki andil dalam fakta bahwa Apollo 13 tidak masih mengorbit Bulan. Aku menyebutkan hal ini karena adanya kejadian berikut: Kami terus berdiskusi mengenai masalah-masalah lingkungan selama beberapa saat sebelum percakapan itu lalu melantur dan pembicaraan pun berubah ke arah hal-hal yang lebih menyenangkan. Setelah didesak oleh kami, Bill mulai menjelaskan beberapa keahliannya. Ceritanya menyenangkan untuk didengar, dan juga dialah yang membawa anggur yang kami minum. Tetapi, di saat ia tengah menjelaskan sebuah ledakan yang dramatis, sebuah luapan kemarahan menyerang Laura yang meledak dengan melontarkan dirinya ke arah Bill sambil memukul-mukul dengan kedua tinjunya. “Terima ini untuk ledakan tak terkendali, dasar anjing minyak kotor!” teriak wanita itu. Kurasa, komentarnya ini agak tidak tepat waktu karena si lelaki baru saja menceritakan bagaimana ia telah mencegah sebuah bencana minyak besar-besaran dengan mempertaruhkan nyawa dan anggota badannya. Tidak terlalu mengejutkan bahwa wanita muda itu mudah naik pitam, juga bahwa tampak jelas ia sulit untuk membedakan antara komitmen dan fanatisme. Tetapi, ia memukul-mukul Bill dengan kemarahan yang begitu besar sehingga beberapa kali lelaki itu harus mengerutkan bahu untuk menangkis serangan itu. Dalam keributan itu, satu botol anggur terguling, dan seperempat liter anggur yang masih tersisa di dalamnya tumpah memerah di atas taplak meja yang putih. Kini Bill melakukan sesuatu yang cukup ganjil. Ia meletakkan tangannya di tengah-tengah leher Laura dan berkata dengan ramah, “Hei, tenanglah.” Perbuatannya ini menghasilkan perubahan sikap yang paling mengejutkan malam itu, karena Laura yang saat itu terbakar amarah dengan segera berubah menjadi tenang secepat ia meledak. Aku ingat saat itu aku berpikir mengenai seekor harimau dan penjinaknya, dan bagaimana mereka saling bergantung: sang penjinak membutuhkan harimau itu agar memiliki sesuatu untuk ditenangkan, dan tanpa sang penjinak, si harimau tidak memiliki apa pun untuk meluapkan kemarahannya. Perkelahian itu akhirnya berfungsi sebagai monumen keahlian Bill memadamkan ledakan-ledakan tak terkendali. Yang paling tidak dapat kumengerti adalah dorongan yang ada di baliknya. Dapat dikatakan kejadian tersebut mengakhiri malam itu secara alami. Lauralah yang pertama bangkit berdiri, dan ia mengucapkan terima kasih kepada Bill atas anggurnya, juga meminta maaf, sebelum beranjak menuju pondoknya. Sepertinya aku ingat bahwa sekali ia berbalik dan melakukan kontak mata denganku, seolah-olah aku memiliki semacam salep untuk mengobati penderitaan jiwanya. “La donna e mobile,” Mario bergumam sambil menggerak-gerakkan tangannya ialah yang telah meminum sebagian besar anggur kami kemudian ia bangkit berdiri dan juga bersiap untuk tidur. Si orang Inggris yang besar menatap sekelilingnya dan mengangguk puas. “Sebuah awal yang sangat menjanjikan,” ujarnya. “Tetapi, berapa lamakah Anda semua akan tinggal di sini?” Aku menjawab bahwa aku akan tinggal selama tiga malam di pulau itu, begitu pula dengan Bill, sebelum ia akan bergegas menuju Tonga dan Tahiti. Kedua orang Spanyol itu akan pergi sehari setelah diriku. Kedua pengantin muda dari Seattle telah lama kembali ke kamar bulan madu mereka, dan para karyawan tengah sibuk mematikan lampu dan membersihkan meja-meja. John menghabiskan gelas birnya sebelum dengan khidmat beranjak pergi. Setelah Bill
juga mengucapkan terima kasihnya atas malam yang menyenangkan, tinggallah kedua orang Spanyol dan diriku yang masih duduk sebentar sebelum beranjak berjalan ke antara pohon-pohon palem. Sambil berjalan, kami memerhatikan kodok-kodok yang berenang ke sana kemari dalam kolam renang. Aku mengomentari bahwa mereka berenang dengan gaya dada sama seperti kita. “Atau sebaliknya,” ujar Jose. “Kita mempelajarinya dari mereka.” Di atas kami, bintang-bintang berkelap-kelip bagaikan kode Morse dari masa lalu yang telah hilang. Jose menunjuk ke arah malam di alam semesta dan berkata, “Dahulu kala, galaksi ini dipenuhi oleh mereka.” Aku tidak langsung mengerti apa yang ia maksud, mungkin karena pikiranku masih dipenuhi oleh Laura dan Bill. “Apa?” tanyaku. Sekali lagi ia menunjuk ke dalam kolam. “Kodok. Tetapi aku tidak yakin mereka bahkan menyadarinya. Kuduga mereka masih memandang dunia secara geosentris.” Kami berdiri di sana sambil mengagumi kilauan berwarna merah dan putih serta biru di langit. “Seberapa besarkah kemungkinan sesuatu tercipta dari ketiadaan?” tanya Jose. “Atau tentu saja sebaliknya: berapa besarkah kemungkinan sesuatu ada untuk selamanya? Dan apakah bahkan mungkin untuk menghitung kemungkinan suatu materi kosmos menyeka tidur berabad-abad dari matanya suatu pagi dan tiba-tiba terjaga, menyadari dirinya sendiri?” Aku tidak dapat menentukan apakah pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan kepadaku atau kepada Ana, kepada malam di alam semesta, atau kepada dirinya sendiri. Aku dapat mendengar jawabanku yang konyol: “Kita semua menanyakan hal itu. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan itu tidak memiliki jawaban.” “Anda tidak seharusnya mengatakan hal itu,” tangkisnya. “Hanya karena sebuah jawaban tidak dapat dijangkau, bukan berarti jawaban itu tidak ada.” Sekarang giliran Ana berbicara. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia berbicara kepadaku dalam bahasa Spanyol. Wanita itu menatap lurus ke dalam mataku dan berkata: “Pada awalnya terjadilah Big Bang, dan hal itu telah lama sekali terjadi. Ini hanyalah sebuah pengingat akan adanya pertunjukan tambahan malam ini. Anda masih dapat membeli karcis. Singkatnya, pertunjukan tambahan itu berfokus pada menciptakan pemirsanya sendiri. Walau bagaimanapun, tanpa adanya pemirsa yang memberi tepuk tangan, tidaklah masuk akal untuk menyebut acara tersebut sebagai sebuah pertunjukan. Masih ada tempat duduk yang tersisa.” Aku bertepuk tangan, dan terlambat menyadari kesalahan yang kulakukan. Untuk menutupi kesalahanku, aku berkata, “Tapi, apa arti semua itu?” Sebagai jawabannya, ia memberiku sebuah senyuman yang hanya secara samar-samar dapat kulihat dalam cahaya dari kolam renang. Jose melingkarkan lengannya memeluk si wanita, seakan melindunginya dari ruang kosong. Kami pun saling mengucapkan selamat malam dan mulai melangkah ke arah masing-masing yang berlawanan. Sebelum mereka ditelan malam, aku mendengar Jose berkata: “Jika tuhan memang ada, tidak hanya ia uiung meninggalkan jejak. Lebih dari segalanya, ia ahli menyembunyikan diri. Dan dunia bukanlah sesuatu yang pandai bercerita. Langit masih menjaga rahasia mereka. Tidak banyak desas-desus yang
beredar di antara bintang-bintang ….” Ana ikut serta, dan bersama-sama mereka pun mengucapkan sisa pesan Jose keraskeras seolah-olah kalimat itu adalah sebuah jampi-jampi tua: “Tetapi, belum ada seorang pun yang melupakan Big Bang. Sejak saat itu, keheningan meraja, dan semua yang ada di sana pun bergerak menghindar. Kita masih bisa bertemu dengan sebuah bulan. Atau sbuah komet. Tetapi, jangan mengharapkan sambutan hangat. Undangan berkunjung tidak ditulis di angkasa /uar.”[] Seorang M anusia-Nyamuk dan Seekor Tokek PERASAANKU TIDAK ENAK SAAT MEMBUKA PINTU BURE 3, DAN HAL PERtama yang kulihat saat menyalakan lampu adalah gerakan seekor tokek di atas botol gin. Jadi benar perkiraanku. Mungkin dialah yang berlari melintasi palang atap ketika aku berangkat untuk makan malam. Tokek itu hampir tiga puluh sentimeter panjangnya, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia pernah kekurangan persediaan nyamuk. Kami sama-sama terlompat, kemudian tokek itu diam tak bergerak, dan baru saat aku maju selangkah ke arahnya, ia mulai melingkarkan tubuhnya menutupi setengah botol dan aku mulai khawatir ginku akan tumbang dan terjatuh dari meja. Sudah cukup banyak yang tertumpah malam ini. Aku cukup mengenal tokek, dan walaupun kutahu membayangkan mereka tidak hidup di dalam kamar-kamar tidur di belahan dunia ini hanyalah angan-angan belaka, aku tetap tidak suka melihat terlalu banyak makhluk hiperaktif ini berlari-lari di sekeliling ruangan saat aku tengah bersiap untuk tidur. Dan yang pasti, aku tidak ingin mereka berlari melintasi kain penutup tempat tidur maupun berdiri diam di tiang tempat tidur. Aku maju selangkah lagi mendekati mejadi samping tempat tidur itu. Sang tokek duduk nyaris tak bergerak dengan sebagian besar berat tubuhnya berada di balik botol itu sehingga aku dapat mempelajari perut dan anusnya, yang tampak semakin besar akibat pembiasan. Ia tidak menggerakkan satu otot pun, tetapi kepala dan ekornya menonjol dari balik botol, dan kadal kecil itu menatapku dengan penuh perhatian, secara naluriah ia tahu bahwa sekarang hanya ada dua kemungkinan: terus tidak bergerak sama sekali dan berharap ia menyatu dengan sekelilingnya, atau cepatcepat berlari mendaki dinding dan berlindung di langit-langit, atau lebih baik lagi di balik sebuah palang atap. Hal yang paradoks adalah pertemuanku dengan seekor spesimen Hemidactylus frenatus yang cukup bergizi ini bahkan membuatku semakin berketetapan untuk secepat mungkin memasukkan seteguk besar gin ke dalam tubuhku, dan kini aku mulai khawatir makhluk ceroboh ini mungkin benar-benar akan mengacaukan rencana itu, tidak hanya untuk malam ini, tetapi selama sisa masa liburanku di pulau ini. Botol itu masih hampir penuh dan aku telah menghitung-hitung, dengan penuh pertimbangan demi kebaikan diriku sendiri, bahwa isi botol itu akan cukup untuk tiga malam sebelum penerbangan pulangku. Aku telah memeriksa minibar saat baru tiba, di dalamnya hanya ada bir dan air mineral. Dengan tangan kiri siap untuk menyelamatkan botol itu jika terjatuh, aku mengambil satu langkah maju lagi ke arah sang tokek. Tetapi, tamu tak diundangku itu masih merasa bahwa kombinasi keras kepala antara pertahanan pasif dan posesif yang ia lakukan itu adalah taktik yang lebih baik daripada melarikan diri. Namun, sebenarnya untuk memadamkan kekhawatiranku yang memuncak tentang nasib isi botol itu, dapat saja aku masuk kamar mandi dan memberi tokek itu kesempatan pergi dengan harga diri yang utuh. Walaupun begitu, masih segar dalam ingatanku saatsaat ketika tokek menjatuhkan botol-botol sampo dan gelas kumur. Dan kini, seperti melengkapi kekhawatiranku, kulihat tutup botol tersebut tidak terpasang dengan benar.
Satu langkah lagi dan aku akan dapat meraih botol itu, tetapi dengan begitu aku juga akan memegang sang tokek, dan harus kuakui bahwa entah bagaimana hubunganku dengan reptil selalu terbelah dua. Aku mengagumi mereka, sebagian besar karena hubungan mereka dalam palaeontologi, tetapi aku tidak suka menghadapi mereka, dan aku benci jika mereka merangkak di rambutku terutama bila aku baru akan bersiap tidur. Bagi sebagian besar orang, kadal adalah sebuah mysterium tremendum e t fascinosum,4 dan walaupun aku menganggap diriku seorang ahli bidang reptilia, aku bukan sebuah pengecualian bagi peraturan itu. Bagaimanapun, sangat mungkin seseorang memiliki ketertarikan profesional terhadap bakteri atau virus, meskipun orang itu tidak menginginkan pertemuan jarak dekat tanpa pengaman dengan bakteri dan virus itu. Setiap penggemar sinar-X setelah Madame Curie pun harus mengambil langkah-langkah pencegahan tertentu dalam permainan menarik mereka dengan isotop-isotop radio-aktif. Tidak ada kontradiksi antara memiliki rasa takut yang sangat terhadap laba-laba dan mampu menulis sebuah disertasi yang antusias mengenai morfologi para artropoda pemakan daging itu. Berbicara mengenai vertebrata seperti tokek dan iguana, mereka juga harus dianggap sebagai makhluk-makhluk yang jauh lebih berkesadaran dibandingkan, misalnya, bakteri atau laba-laba. Sejak menemukan anak rusa yang mati di tanah airku di Norwegia sana, aku menjadi sadar bahwa hewan-hewan pun dapat menjadi karakter kecil, dan aku tidak sanggup jika harus memiliki kenalan baru sekarang. Aku tidak ingin terus-menerus ditatap seekor kadal, tidak pada tengah malam seperti ini dan tidak di tempat yang kuanggap sebagai daerah privatku, yang telah kubeli dan kubayar, setelah aku dengan tegas menyatakan tidak bersedia berbagi fasilitas dengan tamu-tamu lain. Kalau serangga agak berbeda. Aku tidak pernah merasa gelisah dengan mereka, aku tidak pernah bisa memandang seekor lalat rumah sebagai suatu kepribadian. Seekor lalat tidak memiliki wajah, ia tidak memiliki ekspresi khas, tetapi tidak demikian halnya dengan kadal, dan begitu pula sang tokek yang keras kepala di atas botol gin itu. Aku hampir yakin bahwa aku dapat mengatasi rasa jijik karena berdekatan dengan reptil yang berkesadaran ini seandainya sebelumnya aku telah meminum beberapa tegukan besar gin. Tetapi, ke-4 Misteri yang menggentarkan sekaligus memesona -peny. rumitan di sini terletak pada susunan kejadian-kejadian yang berlangsung. Aku harus menelan sebagian isi botol itu sebelum aku berani menempelkannya ke bibirku. Situasinya benar-benar terkunci, dan drama horor kecil ini berlangsung jauh lebih lama daripada yang dapat kubayangkan. Aku lelah, sangat lelah, dan aku tidak memiliki keberanian untuk berbaring dan tidur di samping seekor tokek sebelum mendapatkan sedikit obat tidurku. Tetapi, aku juga tidak dapat berdiri di sana terus, kakiku sakit sekali setelah perjalanan panjang menuju dateline. Lagi pula, sungguh memalukan bertingkah demikian di hadapan seekor reptil terbelalak yang tidak pernah melepaskan pandangannya dariku sedetik pun, dan tentunya tengah menyusun kesimpulannya sendiri. Maka, hal pertama yang kulakukan adalah duduk perlahan di atas tempat tidur, cukup dekat untuk menangkap botol itu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesuatu yang sangat mungkin, karena spesimen tokek “berjari setengah” yang sangat besar ini adalah tokek tercepat yang pernah kulihat. Aku tidak ragu lagi kini bahwa kekuatan dan berat tubuh makhluk ini cukup untuk mendorong botolku hingga berkeping-keping di lantai, setidaknya itulah kemungkinan yang terburuk, dan aku tidak punya waktu untuk merenungkan kemungkinan lain. Kami pun terduduk di sana untuk waktu yang lama sambil saling menatap, aku dari tepi tempat tidurku dan sang tokek menduduki singgasananya bagaikan sphinx di atas jalan masuk menuju toko obatku. Satu tepukan tangan tentunya cukup untuk membuat tokek itu meninggalkan perlawanan pasifnya. Tetapi, entah karena terlalu terburu-buru ingin melarikan diri, atau hanya karena ingin mengacau saja, tindakan ini juga akan memastikan
botolku terjun ke tanah hanya beberapa milidetik setelah kedua tanganku bertemu untuk menangkap botol itu, dan jauh sebelum seorang primata yang lamban dapat menyelamatkan isi botol itu dari kehancuran. Tidak ada yang lebih kukagumi dari makhluk-makhluk ini daripada kekuatan reaksi mereka yang hampir seperti peramal. Dan individu yang satu ini adalah salah satu anggota yang waspada dari spesiesnya. Aku memberinya nama Gordon sesuai dengan label yang ada pada botol itu. Aku sudah mengetahui jenis kelaminnya sebelum duduk di atas tempat tidur. Tuan Gordon jelas telah melewati masa jaya dalam hidupnya; dalam usia manusia mungkin ia beberapa puluh tahun lebih tua daripada diriku, dan walaupun ia adalah anggota sebuah spesies yang betinanya tidak pernah menghasilkan lebih dari dua telur setiap kali bertelur, sepertinya ia memiliki banyak keturunan. Gordon sudah lama menjadi seorang kakek dan seorang kakek buyut, aku yakin akan hal itu, dan karena spesiesnya baru didatangkan ke Fiji pada era 1970-an, bisa jadi kakeknya sendirilah yang datang ke Taveuni sebagai imigran generasi pertama. Aku memutuskan bahwa tentunya pengalaman hidupnya sendirilah yang telah mengajarinya untuk tetap diam di atas botol itu, karena kini ia tahu pasti bahwa kami sama-sama saling menahan diri. Tentunya ia telah mengetahui bahwa primata yang berpakaian dan memiliki rambut di kepala mereka tidak menimbulkan ancaman yang berarti, walaupun ia tentunya juga telah menyadari bahwa mundur juga tidak menimbulkan risiko yang lebih besar. Tetapi juga ada satu kemungkinan yang lain: Gordon mungkin memiliki sifat ingin tahu, atau mungkin kecenderungan untuk bersosialisasi. Hasratku untuk mengambil sebuah tegukan besar kini begitu akut sehingga aku menatap ke dalam pupil vertikal milik hewan tersebut dan berbisik keras, “Ayo, sekarang pergi kau!” Kurasa tarikan napasnya sedikit semakin cepat, dan mungkin tekanan darahnya juga meningkat sedikit, tetapi selain itu ia tetap sangat tenang. Ia berlaku seperti para demonstran pasif yang harus digotong pergi para polisi, entah apakah mereka berdemo tentang pembangunan jalan atau dalam kasus ini menentang undang-undang perizinan minuman keras yang terlalu liberal. Tidak seperti diriku, demonstran spontan ini bahkan tidak perlu berkedip, dan kenyataan bahwa tokek tidak memiliki kelopak mata yang dapat digerakkan benar-benar membuatku kesal. Bukan hanya karena aku tidak akan mungkin dapat memanfaatkan sedetik pun kelengahannya, tetapi juga karena untuk beberapa periode pendek, ia dapat memerhatikan aku tanpa aku dapat membalas tatapannya. Sekejap adalah masa yang jauh lebih pendek bagi manusia daripada bagi tokek, jadi ia dapat menatapku untuk waktu yang lebih lama sambil melihatku yang dengan malas tertidur dan lagi-lagi tertidur. “Oke,” ujarku keras-keras. “Sudah cukup sekarang!” Gordon tidak bergerak. Ia tidak hanya semakin menjadi-jadi, tetapi jelas sudah bahwa aku berhadapan dengan seekor tua bangka yang sinis dan sudah bosan hidup, yang mungkin tidak punya kesenangan lain selain mengecoh primata yang lebih maju sehingga ia tidak bisa mendapatkan obat penenang yang begitu dibutuhkannya. Pengecohan ya, di situlah letak petunjuknya karena bukankah ada orang lain yang harus mengaku bersalah atas penggelapan uang hari itu, orang yang percaya akan kehidupan abadi, yang baru saja ditinggalkan oleh seorang wanita? Itulah saat aku mengenali sang pilot pesawat kotak korek api. Gordon si Tokek memiliki ekspresi wajah yang persis sama dengan sang penerbang tua, tatapan tajam yang sama, leher berkeriput yang sama dengan kulit yang menggantung di bawah dagu, tidak lupa tangan sang tokek yang berbentuk sekop dengan lima jari yang pendek-pendek. Hemidactylus berarti “berjari setengah”, dan sang pilot pun memiliki dua buah jari yang hanya setengah. Semuanya mulai dapat dimengerti. Ini bukan untuk pertama kalinya hari itu aku disandera dalam sebuah film horor, dan sekali lagi situasi yang tegang ini menimbulkan rasa haus yang menggila, dan situasinya mencegahku untuk dapat meredakannya.
Aku begitu marah sehingga sekali lagi kuanali— sis kemungkinan untuk melakukan gerakan secepat kilat. Akhirnya, aku memutuskan untuk menolak ide itu semata-mata atas dasar walaupun jelas bahwa mungkin aku dapat menyelamatkan botol itu dalam operasi komando blitzkrieg, tetapi masih ada kemungkinan bahaya sebagian besar isinya tidak akan terselamatkan, terutama jika dan aku tidak dapat menyingkirkan kemungkinan ini reaksi Gordon tidaklah sesuai. Aku tidak memiliki persediaan gin yang cukup sehingga aku tidak bisa kehilangan setitik pun cairan itu. “Dengar,” ujarku, sambil menatap ke dalam tatapan gigih seorang saudara jauh. “Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah mencekikmu; dan kupikir, kalau kita sama-sama jujur, kau pun tahu itu. Aku bahkan tidak akan memintamu pergi. Yang kuinginkan hanyalah botol yang kau duduki itu.” Aku tidak ragu bahwa ia mengerti apa yang kukatakan karena seolah-olah ia menjawabku. Dan ia sudah paham hal itu sejak lebih dari seperempat jam yang lalu. Tapi, ia telah duduk di atas botol itu untuk menangkap nyamuk lama sebelum aku muncul. Oleh karena itu, aku tidak punya hak menuntutnya pergi; sebaliknya, akulah yang telah memasuki wilayah kekuasaannya. Ia belum pernah melihatku di sini sebelumnya, jadi jika aku tidak pergi secepatnya, atau setidaknya membiarkan dirinya tanpa diganggu, terpaksa ia harus memastikan bahwa tidak akan ada lagi botol yang perlu diperselisihkan. Dan aku juga mencatat dalam hati bahwa ia memegang sabuk cokelat dalam ilmu mengibaskan ekor. “Aku tidak bermaksud seperti itu,” ujarku. “Jika aku bisa minum beberapa teguk saja dari cairan itu, tidak akan lebih dari beberapa detik, kemudian engkau bebas untuk menaiki botol itu lagi. Aku sendiri pemegang sabuk hitam dalam ilmu melumatkan reptil. Dan karena tidak ada kepercayaan seratus persen dari kedua belah pihak, aku sarankan engkau turun dan berdiri di meja sebentar sementara aku minum. Aku juga harus mengencangkan tutup botolnya, kalau tidak, kesalahpahaman mungkin akan mengakibatkan kita berdua berbau buah beri juniper dari gin itu.” Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi kemudian ia berkata, “Aku pernah mendengar yang seperti itu sebelumnya.” “Apa?” “Kau hanya akan melarikan diri dengan botol ini.” “Sepertinya engkau tidak menyadari betapa hausnya aku.” “Sedangkan aku kelaparan,” jawabnya. “Dan aku hanya makan pada malam hari seperti ini. Dan tahukah kau, nyamuk suka botol. Mereka sering mendarat di sini, dan aku tinggal menjulurkan lidahku, dan slurp tamat, deh.” Ia benar juga, walaupun pemikiran bahwa ia dapat mengAjariku segalanya tentang kebiasaan tokek sedikit membuatku kesal. Kecuali gara-gara isi botol dengan tutup yang longgar itu, kami dapat saja berbagi kamar dalam simbiosis yang sempurna. Gordon bisa duduk di atas botol dan mengatasi nyamuk-nyamuk serta membiarkanku tidur tanpa terganggu dan bangun tanpa ruam-ruam yang gatal pada pagi hari. Pada masa lalu, para kepala suku Fiji memiliki seorang “manusia nyamuk” yang duduk telanjang di samping mereka sementara mereka tidur nyenyak. Ia membiarkan diri digigiti nyamuk, dan sang kepala suku pun terbebas dari ketidaknyamanan itu. Permintaan akan manusia-manusia nyamuk tentunya menurun setelah tokek rumah yang efisien tersebar di seluruh kepulauan. Kini tokek-tokek itu sudah hampir merupakan penghuni tetap. Aku mendapat akal.
“Aku akan mengambil sebuah botol lain,” ujarku. “Engkau boleh menggunakan botol bir dingin dari kulkas. Itu pasti akan menarik banyak sekali nyamuk.” Ia duduk di sana mempertimbangkan saran tersebut. Kemudian setelah beberapa saat, ia berkata, “Terus terang, aku juga mulai lelah dengan perselisihan ini. Aku bersedia menerima pertukaran itu.” “Engkau sungguh hebat!” teriakku. Selama beberapa saat aku senang, dan teringat untuk memuji gagasanku sendiri. “Kalau begitu, turunlah dari botol itu. Engkau akan mendapatkan yang baru sebentar lagi.” Tetapi, monster cilik itu berkedut sedikit. Ia berkata dengan keras kepala, “Ambil birnya dulu, lalu aku akan turun dari botol ini.” Aku menggelengkan kepala. “Sementara itu, mungkin saja engkau menggulingkan botol yang kuinginkan sebagai pengganti botol bir itu. Bukankah amat mudah untuk menjadi ceroboh, terutama jika kau sedang tidak diamati.” “Botol ini hanya akan jatuh jika engkau tidak memenuhi janjimu. Tapi sekarang lupakan saja segala pertukaran ini.” “Kenapa?” “Aku baik-baik saja di sini.” Aku belum kehilangan harapan untuk membujuknya pindah, sehingga aku berkata, “Jika di sini masih ada nyamuk, aku yakin mereka lebih suka bir dingin. Semua nyamuk suka embun yang keluar dari botol bir dingin.” Ia hanya memandangku dengan tatapan mengejek. “Oh, tentu, dan apa yang kau pikir akan terjadi padaku jika aku duduk di atas benda sedingin es? Itu sama saja bunuh diri bagi makhluk sensitif se-pertiku. Tapi, mungkin alasan itulah sebenarnya yang menimbulkan ide itu dalam benakmu?” Bukan itu alasannya. Sebenarnya, aku tidak mempertimbangkan fakta mencolok bahwa Gordon adalah seekor makhluk berdarah dingin yang akan kehilangan kesadaran jika menghabiskan waktu lima menit saja di atas permukaan yang bersuhu dua derajat Celsius. “Akan kuhangatkan birnya untukmu. Dengan senang hati akan kulakukan.” “Bodoh!” “Ha?” “Kalau begitu, bir itu tidak akan dingin lagi, dong. Jadi lebih baik aku tetap di sini saja.” Kini aku benar-benar marah. “Kau sadar bahwa aku dapat saja menyerang dan meremasmu dengan tangan kosong?” Aku hampir-hampir dapat mendengarnya tertawa. “Kurasa kau takkan berani. Juga kau tak akan mampu. Baru saja engkau memuji kecepatan reaksiku, bukan? Hampir seperti peramal, katamu.” “Itu adalah sesuatu yang kupikirkan, bukan sesuatu yang kukatakan, jangan campur adukkan keduanya.”
Sekarang ia benar-benar tertawa. “Kalau kami peramal, berarti kami memang peramal, jadi tidak ada bedanya apa yang kudengar kau katakan dan apa yang hanya kutebak kau pikirkan. Aku membayangkan dapat melihat kedua tanganmu dalam gerak lambat menggapai-gapai diriku jauh, jauh sebelum kau mampu mencapaiku. Dan pada saat yang sama, aku punya banyak waktu untuk mengucapkan selamat tinggal dengan kibasan ekorku yang kuat dan kemudian mencapai langit-langit dalam keadaan sehat walafiat.” Aku tahu ia benar. “Ini tidak lucu lagi,” aku hampir berteriak. “Tidak biasanya aku berdebat dengan reptil, tetapi sebentar lagi aku dapat kehilangan kesabaran.” “Berdebat dengan reptil,” ulangnya. “Tinggalkan saja sarkasme.” Aku merebahkan diri di tempat tidur sejauh ini untuk pertama kalinya selama beberapa detik, aku tidak punya peluang untuk menyelamatkan botolku jika ia benar-benar melaksanakan ancamannya. “Aku tidak bermaksud seperti itu,” ujarku dengan nada membujuk. “Sesungguhnya, aku sangat menghargai makhluk-makhluk seperti dirimu, lebih dari yang kau kira.” “Makhluk-makhluk seperti dirimu,” ia mengolok-olok. “Pra-sangka yang paling berbahaya terkadang tertanam begitu dalam sehingga engkau tidak dapat melihatnya.” “Aku benar-benar tidak ingin bertengkar,” aku berusaha meyakinkan dirinya. “Tetapi, kurasa engkau mengidap rasa minder yang berat.” “Tentu tidak. Ketika spesiesmu baru berupa hewan-hewan tak berarti sebesar tikus, paman-paman dan bibiku merajai seluruh kehidupan di Bumi, dan banyak dari mereka yang menjulang tinggi di atas daratan bagaikan kapal-kapal yang gagah.” “Oke, oke,” ujarku. “Aku tahu segalanya mengenai dinosaurus dan aku dapat membedakan antara sinapsid dan diapsid. Tetapi ketahuilah: aku juga dapat membedakan antara Lepidosauria dan Ar-chosauria, jadi jangan membanggakan hubungan yang terlalu dekat dengan dinosaurus. Itu hak para merpati dan burung nuri di bagian tengah pulau ini.” Kurasa, aku telah membuatnya terdiam gara-gara namanama taksonomi yang kugunakan; ia terduduk di sana dalam waktu lama tanpa mengatakan apa pun. Mungkin ia bahkan tidak dapat berbicara Latin maupun Yunani. Setelah lama terdiam, ia berkata, “Jika kita menelusuri lebih ke belakang lagi, garis nenek moyang kita bertemu. Jadi kita masih saudara. Pernahkah kau memikirkan hal itu?” Pernahkah aku memikirkan hal itu! Sungguh sebuah pertanyaan yang konyol sehingga aku tidak ingin menjawab. Tetapi, ia tidak mau melupakannya begitu saja. “Jika kita kembali ke akhir zaman Karbon, engkau dan aku berdua memiliki orangtua yang sama. Intinya adalah engkau saudara laki-lakiku. Dapatkah kau melihatnya?” Semua ini terasa terlalu intim bagiku, tetapi tujuan utamaku masih agar tidak kehilangan ginku. “Tentu saja aku melihat,” ujarku. “Dan engkau melihatnya hanya karena aku melihatnya. Atau apakah di pulau ini ada sebuah universitas khusus bagi tokek?” Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu karena itu membuatnya marah. Pada awalnya ia hanya menatapku dan wajahnya mengeras; seolah-olah ia mengencangkan
seluruh ototnya. Kemudian, apa yang dari awal kutakutkan pun terjadi. Tiba-tiba, ia melontarkan tubuhnya dua setengah kali di sekeliling botol gin itu, dan aku menyaksikan sendiri bagaimana botol tersebut berguncang beberapa inci, tetapi yang terburuk adalah bagaimana guncangan itu melepaskan tutupnya yang jatuh ke atas meja lalu bergulir ke lantai. Aku merasakan air mata mulai merebak di mataku karena sekarang naga murka itu telah menunjukkan kekuasaannya atas diriku, dan ia tidak perlu berbuat banyak untuk membuat seluruh duniaku runtuh berkeping-keping dan mengutukku untuk duduk semalaman meminum bir Fiji. Ia telah memutuskan untuk menentangku, pikirku, sejak aku memberinya lirikan-lirikan tak setuju karena membuka peta besar itu di atas pangkuan Laura saat keadaan memburuk di atas sana di udara tipis di atas Tomaniivi. Aku memungut tutup botol itu dari lantai, darahku mendidih di dalam dadaku, tetapi aku menunjukkan air muka berani dan berkata dengan nada menenangkan. “Kuakui, komentar mengenai universitas tokek tadi memang sedikit sembrono. Dapatkah engkau memaafkanku?” Kini ia berada di depan botol gin, memung-gungiku, sehingga ia hanya dapat melihatku dengan satu mata. “Dan engkau benar tentang era reptil-reptil yang gagah di zaman Jura dan zaman Kapur,” lanjutku. “Engkau memang lebih tinggi dibandingkan mamalia-mamalia pertama yang primitif, dan di ambang akhir zaman Kapur bahkan lebih tinggi dibandingkan hewan-hewan marsupial dan mamalia ber-plasenta. Aku sungguh-sungguh mengerti akan hal itu. Itulah mengapa meteorit maut yang menandai dimulainya periode Tersier benar-benar tidak adil.” “Mengapa begitu?” “Saat itu, kalian memiliki masa depan yang begitu gemilang. Banyak dari kalian yang telah mulai berjalan dengan dua kaki, beberapa di antara kalian berdarah panas seperti kami, dan aku benar-benar yakin bahwa kalian sudah berada di jalan menuju pengembangan kebudayaan yang maju dengan universitas-universitas dan fasilitasfasilitas riset. Beberapa spesies bahkan hanya membutuhkan beberapa juta tahun untuk mencapai hal itu, dan itu tidaklah lama jika engkau mengingat bahwa dinosaurus mendominasi kehidupan di atas daratan kering selama hampir dua ratus juta tahun. Sebagai perbandingan, pertimbangkan saja kemajuan begitu besar yang dilakukan oleh jenisku selama tidak sampai dua juta tahun belakangan ini, dan dengan mengatakan hal itu, yang kumaksud adalah kemajuan genetika. Prestasi kebudayaan diukur dalam hitungan abad dan dekade sehingga hal-hal itu hampir tidak layak disebutkan.” Aku dapat mendengar kata-kataku dan sekali lagi takut bahwa mungkin aku telah bersikap sedikit tidak hati-hati dalam memilih sudut pandangku. Tidakkah sekali lagi aku telah menikmati lepas kendali dalam memamerkan spesiesku dengan menunjukkan kekurangan para reptil? Aku berusaha menjernihkan suasana. “Seperti halnya dirimu, aku percaya bahwa pada zaman Jura dan zaman Kapur, nenek moyang-mulah yang paling maju. Kemudian segalanya hancur akibat benturan tak disangka-sangka dengan sebuah benda langit lain. Hal itu tidaklah adil, benarbenar tidak adil. Itu adalah usaha paling awal, dan mungkin hingga saat ini adalah yang paling besar, yang pernah dilakukan planet kita untuk memunculkan perspektif intelektual, sebuah ide mengenai sejarah evolusinya dan suatu wawasan mengenai alam semesta. Dan itu semua gagal total hanya karena sebuah meteor menyimpang keluar dari jalurnya dan tanpa ampun ditarik oleh gravitasi planet kita. Hal ini membuat kalian kehilangan berjuta-juta tahun.” Tatapan Gordon seakan menembus diriku, dan aku tidak berani mengalihkan pandanganku sedetik pun. Aku mencoba menggunakan suaraku yang paling manis, dan kurasa aku telah membuatnya sedikit melembut. “Apa maksudmu kami kehilangan berjuta-juta tahun?” ujarnya.
Ia lebih mau berdamai sekarang, sedikit banyak seperti seorang anak tengah merajuk yang ingin ayahnya melanjutkan dongengnya, walaupun ia tidak mendapatkan cokelat seperti yang diinginkannya. “Kalian kalah dalam pertandingan mencapai Bulan untuk pertama kalinya. Keturunan sang tikuslah yang memenangi kompetisi itu.” Aku menggigit bibirku. Sekali lagi aku kelewatan. “Terima kasih, dan lupakan saja hinaan-hinaan yang lain,” ujarnya, dan aku sadar itu adalah sebuah ultimatum terakhir sebelum sebuah bencana yang sebanding dengan meteorit yang telah kami bicarakan mungkin akan terjadi lagi, dan pada malam ini juga. “Sepertinya engkau salah paham lagi,” ujarku. “Dan itu seluruhnya salahku karena aku tidak selalu dapat berpikir dengan jelas pada tengah malam, apalagi jika aku dihalangi untuk mendapatkan … yah, ehm, yah. Tetapi seperti yang telah begitu tepat engkau tunjukkan, kita adalah saudara sedarah. Malahan, dengan adanya serangkaian gen yang identik dalam tubuh kita, kita sama-sama makhluk tetrapoda berjari lima, dan aku yakin kita akan mencapai saling pengertian yang lebih baik jika saja kita dapat belajar memandang planet yang kita huni ini sebagai sebuah arena bersama atau lingkaran kepentingan. Planet ini sendirilah, dan bukan dirimu maupun diriku atau lebih tepat lagi, kita berdualah yang kehilangan berjuta-juta tahun karena benturan tak direncanakan dengan meteor yang menyimpang itu. Kita harus mengerti bahwa bahkan sebuah planet tidak memiliki kehidupan abadi, dan suatu hari, waktu akan berakhir bagi planet Bumi. Jika bukan karena gumpalan batu tak terduga itu, engkau pasti kini duduk di tepi tempat tidur ini dan aku berlari-lari di sekeliling ruangan untuk berburu serangga. Dan hal itu dapat terjadi lagi. Mungkin itulah yang sebenarnya kumaksud. Hal itu dapat terjadi lagi! Keseimbangan kekuatan antara kesadaran universal dan ketidaksadaran universal yang serupa adalah sesuatu yang labil, suatu keseimbangan terorisme kosmos yang menyebabkan perdebatan kecil kita ini akan memudar menjadi tak berarti. Dan mungkin aku harus menambahkan bahwa dalam keseimbangan ini, akal sehat adalah Daud yang membawa katapel mungil melawan Goliat perlambang ketidakrasionalan yang membawa persenjataan lengkap komet dan meteor yang ganas. Intelektualitas adalah sebuah adaptasi yang jarang terjadi, sementara es dan api dan batu begitu banyak terdapat, dalam jumlah yang sangat banyak, karena masih ada beribu-ribu asteroid impulsif berkerumun dalam orbit-orbit mereka yang tidak stabil antara Mars dan Yupiter. Dan hanya dibutuhkan satu saja kebetulan celaka dan satu asteroid lagi akan keluar dari lintasannya dan melesat menuju Bumi. Jadi tunggu saja, berikutnya primata mungkin akan meninggalkan hidup ini dan famili Gekkoni-dae dari subordo Saurialah yang mungkin akan memimpin usaha alam berikutnya untuk mengumpulkan secuil remah-remah pengetahuan mengenai alam semesta. Tetapi, apakah saat itu sudah terlambat bagi dunia, itulah pertanyaannya. Karena siapakah yang dapat mengetahui berapa lama lagi sebelum matahari menjadi sebuah raksasa merah? Tetapi, aku tidak seharusnya menghakimi; aku hanya akan memberimu ucapan semoga sukses. Suatu hari, mungkin, engkau akan mengambil satu langkah kecil bagi seekor kadal, satu lompatan besar bagi Alam, dan kemudian engkau harus ingat bahwa kita pun adalah bagian dari perjalanan ini.” “Engkau bicara terlalu banyak,” ujarnya. “Benar-benar terlalu banyak,” aku mengakui. “Itu disebut sebagai kegelisahan kosmik.” “Apakah engkau memiliki pujian bagi keluargaku sebagaimana adanya sekarang?” Aku bersimpati atas keberatan yang ia ajukan.
“Oh, tentu, pujian yang sangat tinggi. Contohnya, aku benar-benar terkesan dengan bagaimana kalian berhasil menghindari minuman beralkohol selama berjuta-juta tahun. Mungkin itulah mengapa hidup kalian begitu panjang. Aku yakin, menjadi seekor reptil tidak selalu mudah-aku dapat berkata bahwa kehidupan seorang hominid pun kadang bisa menjadi beban. Mungkin kami menderita suatu anomali kecil dengan memiliki kelebihan satu atau dua lipatan otak; dan aku tidak melihatnya dari sisi rasa kasihan terhadap diri sendiri, karena siapa yang tahu apabila ada satu reptil entah di mana yang menjalani hidup dengan menderita suatu kelainan yang diturunkan? Tapi seperti yang tadi kukatakan, alkohol bisa didapat dengan begitu bebas, contohnya dari berbagai macam buah yang telah jatuh, tetapi tidak ada dari kalian yang memiliki ketergantungan pada zat itu, dan itu mencakup setiap ordo, Rhynchocephaliae, reptil dan buaya bersisik, jika membicarakan reptilreptil diapsid. Walaupun malu mengakui bahwa aku tidak tahu banyak mengenai kebiasaan makan kura-kura, aku berasumsi bahwa seluruh spesies kura-kura dapat bertahan tanpa alkohol, setidaknya untuk jangka waktu yang panjang, dan mereka pun hidup hingga usia sangat tua, beberapa jenis bahkan hidup hingga dua ratus tahun. Seperti kura-kura darat Yunani, misalnya. Konon uskup Katedral St. Petersburg pernah memiliki seekor kura-kura yang hidup hingga usia 220 tahun, dan walaupun mungkin ada yang sedikit dilebih-lebihkan, tulisan itu menyebutkan adanya seekor kura-kura raksasa yang ditangkap sebagai seekor spesimen dewasa di Seychelles pada 1766 dan yang terus hidup dalam penangkaran dan mati di Mauritius karena suatu kecelakaan pada 1918, walaupun pada saat itu ia telah buta selama 110 tahun. Tetapi, umur panjang tidak hanya dimiliki kura-kura. Aku tahu bahwa tentu saja secara umum reptil hidup hingga usia sangat tua. Tetapi, ini tidak membuatmu rentan terhadap berbagai macam kecanduan alkohol yang berhubungan dengan usia. Yang menyedihkan, spesiesku memiliki kecenderungan akan hal itu, setidaknya dalam masyarakat yang mengagungkan lipatan-lipatan tambahan dalam otak itu, yang memang berlebihan, atau lebih tepatnya terlalu banyak memberikan hal yang baik, yang sekaligus membawa serta begitu banyak ketakutan akan kosmos, akan hidup kami yang terlalu singkat di Bumi, dan akan jangkauan waktu dan ruang yang begitu besar.” “Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, engkau terlalu banyak bicara.” Pidatoterakhirku yang berapi-api itu bertujuan membuatnya lebih terbuka, dan jika yang terjadi adalah yang sebaliknya, aku tidak ragu bahwa sebentar lagi aku akan kehilangan satu botol gin. Untuk amannya, aku pun memutuskan untuk menyerah. “Tuan Gordon. Mengenai botol itu, aku memutuskan untuk mengibarkan bendera putih.” “Sebuah tindakan bijaksana.” “Maka, kita tidak perlu membicarakannya lebih lanjut. “Sudah sejam penuh aku ingin melakukan hal itu.” “Tetapi, tentunya engkau tidak akan keberatan jika aku sekadar mengembalikan tutupnya lagi. Itu adalah hal yang harus selalu diingat untuk dilakukan.” Ia tidak menjawab. “Aku yakin hal ini tidak akan memengaruhi perburuanmu. Sebaliknya, aku yakin pernah mendengar bahwa nyamuk tidak tahan bau gin, orang-orang bilang gin adalah pengusir nyamuk sejati. Bukankah itu alasan para penjajah Inggris minum begitu banyak gin, untuk melindungi diri dari malaria?”
Mendengar hal ini, ia menggeser posisinya sedikit, mungkin untuk memasukkan diriku ke dalam pandangan teropongnya, yang bagi tokek terbatas hanya sekitar 25 derajat. “Coba saja,” ujarnya. Jawaban pendek ini memiliki dua arti, maka aku bertanya, “Apakah itu berarti ya?” “Tidak. Itu juga berarti bahwa engkau harus lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata. Karena tentu saja engkau benar, sebuah botol tanpa tutup harus ditangani dengan jauh lebih hati-hati dibanding yang disumbat dengan erat.” “Tidakkah engkau merasa lelah?” “Aku adalah seekor tokek malam. Engkau tahu benar hal itu.” Aku sudah tidak lagi mengkhawatirkan malam-malam berikutnya di Maravu. Mungkin aku dapat membeli sebotol gin di hotel atau di toko di Somosomo, walaupun aku tidak tahu sedikit pun mengenai peraturan dan undang-undang Fiji mengenai jual beli alkohol. Satu-satunya yang kutahu adalah bahwa aku memerlukan beberapa tegukan besar dari botol milik Gordon untuk membuatku tidur malam ini. Kini aku bersedia untuk mempertaruhkan setengah liter isi botol itu hanya untuk mendapatkan sejumlah yang kuperlukan, dan mulai mempertimbangkan sebuah serangan mendadak dengan pendekatan yang benar-benar berbeda, pendekatan yang mungkin akan berujung pada sebuah tumpahan besar, tetapi pastinya dapat menyelamatkan jumlah yang diperlukan untuk malam ini. Tetapi kemungkinan terburuk, operasi itu dapat berakhir dengan botol pecah di lantai, dan bayangan akan rasa maluku jika Gordon melihatku merangkak di lantai menjilati sisa-sisa cairan penenangku yang telah kotor sebelum semuanya meresap di antara papan-papan lantai kayu membuatku berpikir dua kali. Di tengah ruangan, sekitar satu setengah langkah dari tempatku duduk, tergeletak tas kabinku yang berwarna hitam, dan tiba-tiba aku teringat bahwa di dalamnya terdapat sekotak jus dari salah satu penerbanganku, dengan sebatang sedotan menempel padanya ya, setidaknya saat sang pramugari memberikannya kepadaku, ada sedotan yang menempel pada kotak itu. Mungkin itu dapat menjadi senjata terakhirku, dan sekali ini aku memutuskan untuk tidak memberi tahu sang teroris congkak itu apa yang ada dalam pikiranku, baik ia peramal atau bukan. Dengan tangan kiri menjulur ke arah meja di samping tempat tidur dan kedua mataku tertuju pada botol dan Gordon, aku berhasil meraih tas kabinku, dan beberapa detik kemudian, aku sudah kembali duduk di atas tempat tidur. “Apa yang kau lakukan?” ia bertanya. “Aku hanya bersiap akan tidur,” ujarku berbohong. “Aku makhluk siang hari, kau tahu itu.” “Tikus-tikus yang menjadi nenek moyangmu tidak begitu,” ujarnya. “Mereka merangkak keluar untuk berburu di malam hari saat udara sejuk karena para predator berdarah dingin harus berdiam diri pada saat itu.” Sambil membuka tas kabinku, aku berkata, “Aku tahu itu. Aku tahu semua itu. Aku juga sudah berkata bahwa jika saja bukan gara-gara meteorit enam puluh lima juta tahun yang lalu itu mungkin engkaulah yang akan berangkat tidur, sementara aku berlari-lari di lantai mencari serangga. Engkau tidak akan bisa mengetahui lebih banyak, ataupun hal selain apa yang telah kuketahui.” Tindakanku yang terakhir itu adalah untuk menguji kesabarannya, tetapi juga untuk menyembunyikan kenyataan bahwa aku tengah mengutak-atik sebuah kotak jus.
Dengan segera sedotan itu berada di dalam genggamanku. Aku tidak cukup bodoh untuk meminta restu Gordon untuk mengambil sebagian cairan terkutuk itu dari tempatnya bertengger. Aku hanya mencondongkan tubuh ke arah botol dan berkata, “Tahu tidak, aku adalah seorang ahli dalam bidang reptil ii “Betul, aku menyadari hal itu. Engkau adalah seorang monomaniak.” “Tetapi, mungkin aku belum cukup jelas mengatakan bahwa aku selalu suka tokek. Dan terutama ketiga puluh lima spesies tokek ‘berjari setengah1 ….” Kemudian, aku meletakkan sedotan tersebut di mulutku dan menurunkannya ke dalam botol tanpa menyentuhnya dengan tanganku, dan satu hal yang luar biasa adalah bahwa Gordon tetap diam. Mungkin ia tidak berani melakukan apa pun, pikirku, mungkin ia bingung. Aku yakin aku mengisap kira-kira sebanyak dua kali takaran ganda sebelum akhirnya harus berhenti untuk menarik napas. Tetapi aku berhasil, aku berhasil melakukan tipuan langka minum dari botol tanpa mengangkat botol itu ke bibirku. Kini telur Columbus tidaklah lagi terkesan begitu luar biasa. “Aaah, lezat,” ujarku, lalu bersendawa dengan keras. Aku tidak bermaksud berlaku tidak sopan, maupun mempertontonkan tingkah laku kurang ajar karena alkohol itu keluar begitu saja. Walaupun begitu, harus kuakui bahwa aku merasakan suasana hatiku membaik dan keberanianku seketika kembali. Jika mempertimbangkan hal ini, Gordon memang memiliki alasan yang bagus untuk sedari awal berlaku begitu keras kepala mencegahku mendapatkan botolku. Detik berikutnya, Hemidactylus frenatus itu mulai bergerak cepat mengelilingi botol itu, dan walaupun aku berusaha menahannya dengan satu jari, aku tidak dapat mencegah beberapa tetes yang berharga tepercik keluar dan mengalir turun membasahi meja. Tetapi aku telah memperhitungkan hal ini, dan aku melepaskan botol itu hanya karena aku tahu ia akan berlari ke arahku begitu mendapat kesempatan, dan perasaanku yang bercampur aduk mengenai tokek tidak berubah walaupun telah berkenalan dengan Gordon. “Aku akan berterus terang,” ujarnya. “Jika kau mencoba melakukan hal itu sekali lagi, kuyakinkan engkau akan menyesalinya.” Aku merasa simpati dengan nasihatnya ini karena jauh di dalam hati, kutahu bahwa jika aku sekali lagi berhasil memasukkan dua takaran ganda ke dalam tubuhku, keberanianku karena pengaruh alkohol akan meningkat mencapai tahapan yang membuatku mampu mengkhianatinya. Bahkan kini dosis pertama itu telah membuat jemariku gatal. “Aku mengerti,” ujarku. “Aku tidak tahu bahwa engkau keberatan aku menguji sedotan cerdik ini sedotan ini benar-benar kedap air dan tidak pernah sedetik pun aku mempertimbangkan ingin membunuhmu.” “Mungkin sebaiknya engkau hentikan juga banyak omongmu itu.” Memang, tidak ada yang perlu kukatakan kepada Gordon si Tokek saat itu, sama seperti seorang psikolog kepolisian tidak perlu mengatakan apa pun kepada seorang penyandera, walaupun ia berpura-pura ada sesuatu yang harus dibicarakan.
Memang itulah intinya, ia perlu mengulur-ulur waktu, itulah mengapa ia terus bercakap-cakap. Di sinilah sering timbul kesamaan di antara keduanya, karena ketika situasi menemui jalan buntu dan sang penyandera tahu bahwa untuk sementara ia terkepung oleh sebuah kekuatan yang lebih besar, ia pun perlu mengulur-ulur waktu. Ia berkata, “Atau, engkau harus membicarakan sesuatu yang lebih masuk akal.” “Kau menginginkan itu? Kau ingin membicarakan sesuatu yang masuk akal?” “Malam baru dimulai, lebih besar kemungkinan nyamuk-nyamuk akan berdatangan jika kau ada di sekitar sini, dan mungkin mereka pun akan lebih gemuk dan lebih bernutrisi pada saat aku menelan mereka.” Aku tidak menyukai gagasan menjadi seorang manusia nyamuk untuk seekor tokek, dan aku nyaris merasa ia menjadi terlalu berani ketika menambahkan,