KAJIAN YURIDIS TENTANG “PENGALIHAN HAK KEPEMILIKAN” PASAL 1 AYAT (1) UNDANG-UNDANG No. 42 TAHUN 1999 YANG BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 UNDANG-UNDANG No.42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
Su geng Fakultas Hukum Universitas Pawyatan Daha Kediri
ABSTRAK Penelitian hukum ini dilaksanakan karena dilatarbelakangi oleh penerapan arti Pengalihan Hak Milik yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui arti dan penerapan dari Pengalihan Hak Kepemilikan Barang Jaminan dalam Perjanjian Kredit Fidusia, jika debitur wan prestasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conceptual approach), yakni dengan menggunakan azas, teori dan norma untuk menjelaskan maksud dari pengalihan hak yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pendekatan ini dipergunakan untuk mengetahui dan menjelaskan tema sentral sesuai dengan masing-masing rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam Hasil Penelitian ini bahwa Pengalihan Hak Milik dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia terdapat penafsiran hukum yang saling melengkapi antara Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dengan Pasal 33 Undang-undang No. 42 Tahun 1999.Di dalam praktek juga terdapat pelaksanaan yang sama antara Pengertian Pengalihan Hak Kepemilikan yang diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dalam Pasal 1 ayat 1 dan dalam Pasal 33 undang-undang tersebut.
Kata Kunci : Pengalihan Hak Kepemilikan barang jaminan perjanjian kredit Fidusia
I. PENDAHULUAN Lembaga pembiayaan dalam pemberian
secara lengkap sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership.
kredit umumnya menggunakan jaminan fidusia
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 42
sebagai jaminan untuk perjanjian hutang
Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, fidusia adalah
piutangnya. Fidusia ini disebut juga dengan istilah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
penyerahan hak milik secara kepercayaan dalam
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
bahasa indonesianya. “Dalam terminologi
hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam
belandanya sering disebut dengan istilah
penguasaan pemilik benda.
lengkapnya berupa fiduciare eigendom
Sedangkan, Pasal 33 Undang-undang No.
overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya
42 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap janji 129
yang memberikan kewenangan kepada penerima
No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia serta
fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek
mengetahui apakah konsekuensi pengalihan hak
jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah
tersebut, maka berangkat dari hal tersebut, maka
batal demi hukum.
Permasalahan yang dapat disimpulkan adalah :
Fidusia sebagai jaminan merupakan suatu
1. Apa maksud pengalihan hak kepemilikan yang
bentuk perjanjian tersendiri, terkait erat dengan
terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang
perjanjian hutang piutang. Ketentuan kedua
No. 42 Tahun 1999 dengan pasal 33 Undang-
perjanjian terletak pada kedudukan masing-masing
Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
perjanjian tersebut. Perjanjian hutang piutang
Fidusia, dan 2. Apa konsekuensi hukum pengalihan
merupakan perjanjian pokok, sedangkan
hak kepemilikan tersebut.
perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir. Perjanjian accesoir konstruksi
II. METODE PENELITIAN
penyerahan hak milik pada si perpiutang dengan
1. Jenis Penelitian
syarat batal adalah tidak perlu, karena perjanjian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
ini bersifat accesoir maka dengan dibayarnya
hukum normatif yaitu penelitian hukum yang
hutang pada saat itu juga benda kembali pada
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau
debitur, seperti halnya hak-hak jaminan lainnya hak
disebut juga penelitian hukum studi
eigondom ini melekat / mengikuti pada kreditur.
kepustakaan. Penelitian ini menggunakan kapan
Sebaliknya, apabila debitur melakukan ingkar
yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dan
janji(wanprestasi) maka benda jaminan menjadi
menganalisa bahan hukum, berupa bahan
milik kreditur.
hukum primer, sekunder, maupun tersier yang
Jadi, kalau kita lihat ketentuan pasal
terkait dengan pasal 1 ayat 1 Undang-undang
33(setiap janji yang memberikan kewenangan
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang
Pendekatan yang digunakan dalam
menjadi obyek jaminan fidusia apabila debitur
penelitian ini adalah pendekatan konseptual
cidera janji adalah batal demi hukum) tampaknya
(conceptual approach), yakni dengan
tidak selaras dengan ketentuan pada pasal 1 ayat
menggunakan azas, teori dan norma untuk
(1) Undang-undang No.42 Tahun 1999, yang
menjelaskan maksud dari pengalihan hak yang
isinya bahwa fidusia merupakan pengalihan hak
terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang
kepemilikan.
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Berdasarkan latar belakang diatas maka
Pendekatan ini dipergunakan untuk mengetahui
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menjelaskan tema sentral sesuai dengan
bagaimana maksud dari pengalihan hak yang
masing-masing rumusan masalah dalam
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang
penelitian ini.
130
2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
1. Studi Dokumen
Bahan hukum utama dalam penelitian ini
Studi terhadap dokumen resmi dalam hal ini
adalah bahan hukum sekunder. Bahan hukum
adalah fidusia merupakan suatu proses
sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
pengalihan hak kepemilikan dan jaminan
peneliti dari penelitian kepustakaan (Library
fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam
Search). Bahan hukum utama melalui penelitian
bentuk fidusia, ini berarti pranata jaminan
kepustakaan ini memiliki kekuatan ke dalam
fidusia yang diatur dalam Undang-undang
yang terdiri dari :
No. 42 Tahun 1999 adalah pranata jaminan
a. Bahan-bahan hukum primer antara lain :
fidusia sebagaimana dimaksud dalam fidusia
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 2. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu : Bahan hukum yang memberikan penjelasan
cum creditore contracta sebagai bukti untuk menguji. Pengalihan hak yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia serta konsekuensi dari pengalihan hak tersebut. 2. Studi Kepustakaan
mengenai bahan-bahan hukum primer yang
Penelitian kepustakaan (Library Research)
meliputi literatur-literatur, makalah-makalah
ini dilakukan dengan mengumpulkan dan
/ hasil-hasil penelitian yang terkait dengan
mempelajari bahan yang terdapat dalam
permasalahan penelitian hukum ini.
buku, artikel, dokumen resmi dan
c. Bahan-bahan hukum tersier yaitu
menginventarisasikannya, menganalisa untuk
Bahan-bahamn hukum yang memberikan
kemudian dikorelasikan menjadi tulisan yang
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
integral.
hukum primer dan bahan hukum sekunder
3. Teknik Pengolahan Bahan
yang meliputi :
Setelah bahan terkumpul, selanjutnya bahan
- Kamus Hukum
dianalisis secara kualitatif. sebelum
- Kamus Bahasa Indonesia
dianalisis, data kualitatif yang telah terkumpul
- Kamus Bahasa Inggris – Indonesia
dipisah-pisahkan menurut kategori masing-
- Surat kabar
masing untuk kemudian ditafsirkan dalam
- Internet
usaha menjawab masalah penelitian sehingga
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
dapat diperoleh kesimpulan yang bersifat
Teknik pengumpulan bahan hukum yang
deskriptif analisis dan selanjutnya disusun
digunakan dalam penelitian ini adalah dilakukan
karya ilmiah. Untuk bahan hukum yang
dengan cara studi dokumen dan studi
diperoleh dari studi pustaka, akan diadakan
kepustakaan (Library Search).
komparasi antara bahan hukum primer dan 131
bahan hukum sekunder dan juga bahan
pasal tersebut.
hukum tersier, yang kemudian dianalisis
Larangan adanya janji untuk memiliki
terhadap isi dari bahan-bahan hukum
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
tersebut.
apabila debitur cidera janji adalah sudah selaras dengan asas hukum jaminan, bahwa kreditur
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dilarang untuk memiliki benda jaminan untuk
A. Pengalihan Hak K epemilikan yang
diri sendiri. Hal larangan barang jaminan untuk
Terdapat Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-
langsung menjadi milik kreditur juga diperkuat
undang No. 42 Tahun 1999 tentang
pada ketentuan eksekusi. Eksekusi atas barang
Jaminan Fidusia, yang Bertentangan
jaminan merupakan jalan penyelesaian
Dengan Pasal 33 Undang-Undang No. 42
penagihan atas hutang debitur. Prinsip larangan
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
eksekusi untuk diri sendiri merupakan suatu
1. Antinomi Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang
hukum yang memaksa (mandatory law) dengan
No. 42 Tahun 1999 Yang Bertentangan
ancaman batal. Demikian yang dilarang oleh
Dengan Pasal 33 Undang-undang No.
perundang-undangan, sedangkan yang
42 Tahun 1999
dimaksud dengan diri sendiri adalah jika pihak
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42
perpiutang (kreditur) (Sihabudin,2009:206).
tahun 1999, yakni pengalihan hak milik tersebut
1. Dikuasakan untuk memiliki jaminan
bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang
2. Memiliki langsung barang jaminan
No. 42 tahun 1999, yakni setiap janji yang
3. Menjual barang jaminan untuk pihak lain
memberikan kewenangan kepada penerima
tidak dengan cara-cara yang ditetapkan
fidusia untuk memiliki benda yang menjadi
dalam perundang-undangan, misalnya :
obyek jaminan fidusia apabila debitur cidera
harus lewat pelelangan umum.
janji adalah batal demi hukum. Pasal 33
4. Jika pihak perpiutang (kreditur) membelinya
Undang-Undang No. 42 tahun 1999
sendiri barang jaminan harus lewat penjualan
mengandung arti tentang larangan janji mengenai
umum (lelang) sebagaimana yang diharapkan.
obyek jaminan untuk menjadi milik kreditur apabila debitur cidera janji (wanprestasi).
Hal mana yang disebutkan seperti diatas, yaitu
Sedangkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.
jika pihak perpiutang (kreditur), dipertegas
42 tahun 1999 mengandung arti adanya janji
dengan ketentuan-ketentuan mengenai eksekusi
untuk langsung menjadikan obyek jaminan
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 42
untuk menjadi milik kreditur apabila debitur
tahun 1999. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang
cidera janji (wanprestasi) dengan adanya kata-
No. 42 tahun 1999 menentukan, bahwa jika
kata pengalihan hak milik yang terdapat dalam
debitur atau pemberi fidusia cidera janji,
132
eksekusi terhadap benda yang menjadi objek
lelang. Setelah itu hasil penjualannya diambil
jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
untuk pelunasan piutangnya.
a) Pelaksanaan titel ekskutorial sebagaimana
Ketentuan dalam pasal 29 ayat 1 Undang-
dimaksud dalam pasal 15 ayat 2 oleh
Undang No. 42 tahun 1999 dan pasal 15
penerima fidusia.
Undang-Undang No. 42 tahun 1999 di
b) Penjualan benda yang memiliki obyek
pertegas lagi dengan adanya ketentuan pasal
jaminan fidusia atas kekuasaan penerima
30 Undang-Undang No. 42 tahun 1999,
fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta
tentang pemberi fidusia wajib menyerahkan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
penjualan.
Ketiga pasal, yaitu pasal 29 ayat 1, pasal 15
c) Penjualan dibawah tangan yang dilakukan
dan pasal 30 Undang-Undang No. 42 tahun
berdasarkan kesepakatan pemberi dan
1999 tersebut semakin menambah kejelasan
penerima fidusia jika dengan cara yang
bahwa ketiga pasal tersebut melanggar prinsip
demikian dapat diperoleh harga tertinggi
larangan eksekusi untuk diri sendiri, dengan
yang menguntungkan para pihak.
ancaman batal. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh perpiutang (kreditur) yang
Pasal 15 Undang-Undang No. 42 tahun 1999
dilarang telah ditunjukkan dalam ketiga pasal
menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan
tersebut.
fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETU-
2. Pengalihan Hak Kepemilikan Pasal 1 Ayat
HANAN YANG MAHA ESA.” Adanya kata-
1 Undang-Undang No.42 Tahun 1999
kata tersebut berarti sertifikat jaminan fidusia
Berdasarkan Teori Pengalihan Hak Milik
mempunyai kekuatan eksekutrial yang sama
Pengertian gadai yang tercantum dalam Pasal
dengan putusan pengadilan yang telah mem-
1150 KUH Perdata sangat luas, tidak hanya
peroleh kekuatan hukum tetap. Eksekusi fidusia
mengatur tentang pembebanan jaminan atas
dapat juga dilakukan dengan menjual benda
barang bergerak, tetapi juga mengatur tentang
yang menjadi obyek jaminan fidusia melalui
kewenangan kreditur untuk mengambil
pelelangan umum. Penjualan ini dilakukan
pelunasannya dan mengatur eksekusi barang
dengan atas kekuasaan penerimaan fidusia
gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan
tanpa melibatkan pengadilan, tidak memerlukan
kewajibannya.
juru sita dan tidak memerlukan penyitaan. Jadi,
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian
setelah pemberi fidusia cidera janji maka
gadai adalah:
penerima fidusia dapat langsung menghubungi
1. adanya subjek gadai, yaitu kreditur (pene-
juru lelang dan meminta agar benda jaminan di
rima gadai) dan debitur (pemberi gadai); 133
2. adanya objek gadai, yaitu barang bergerak, baik yang berujud maupun tidak berujud; dan 3. adanya kewenangan kreditur.
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.” Keistimewaan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
Kewenangan kreditur adalah kewenangan
kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de
untuk melakukan pelelangan terhadap barang
preference, ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1)
debitur. Penyebab timbulnya pele-langan ini adalah
dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
karena debitur tidak melaksanakan prestasinya
Tahun 1996, yang berbunyi:
sesuai dengan isi kesepakatan yang dibuat antara
“Apabila debitur cedera janji, kreditur
kreditur dan debitur, walaupun debitur telah
pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual
diberikan somasi oleh kreditur.
objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan
Kewajiban penerima gadai diatur di dalam
umum menurut peraturan yang berlaku dan
Pasal 1154, Pasal 1156 dan Pasal 1157 KUH
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
Perdata.
penjualan tersebut, dengan hak mendahulu
Kewajiban penerima gadai:
daripada kreditur-kreditur lain yang.bukan
1. Menjaga barang yang digadaikan sebaik-
pemegang hak tanggungan atau kre-ditur pemegang
baiknya; 2. Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberi
hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah”. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.
gadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH Perdata);
Janji yang tidak diperkenankan dicantumkan
3. Memberitahukan kepada pemberi gadai
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah
(debitur) tentang pemindahan barang-barang
janji yang memberikan kewenangan kepada
gadai (Pasal 1156 KLJH Perdata);
pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek
4. Bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya
hak tanggungan apabila debitur cedera janji. Janji
barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat
semacam ini batal demi hukum, artinya bahwa dari
kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perdata).
semula perjanjian itu dianggap tidak ada (Pasal
Demikian juga dengan hak tangunggan, hak
12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999).
tanggungan adalah: “Hak jaminan yang dibebankan
Mengenai Pasal 1 angka 1 Undang-undang
pada hak atas tanah seba-gaimana yang dimaksud
No 42 Tahun 1999 menyebutkan: “Fidusia adalah
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
penguasaan pemilik benda”.
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan 134
Pengalihan hak kepemilikan tersebut dengan
cara constitutum possesorium secara kepercayaan,
yang bersangkutan ialah menciptakan suatu hak
yang mana di pakai dalam memberikan jaminan.
jaminan dengan menyerahkan hak kepemilikan,
constitutum possesorium, merupakan suatu
tidak ada sama sekali maksud untuk melakukan
bentuk penyerahan jaminan kebendaan atas
suatu penyerahan dari suatu hak milik secara
barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi
penuh. Itulah sebabnya mereka, berdasarkan
jaminan/debitor kepada kreditor di mana
perjanjian yang mereka buat, membatasi hak dari
penguasaan fisik atas barang itu tetap pada debitor/
pemilik fiduciair itu, bila menyangkut suatu barang
pemberi jaminan, dengan ketentuan bahwa jika
bergerak, tetap berada dalam kekuasaan yang
debitor melunasi ut angnya sesuai yang
berutang dengan alas hukum atau titel “pinjam
diperjanjian, maka kreditor berkewajiban untuk
pakai”, maka “pemilik fiduciair” tidak dapat
hak milik atas barang agunan kepada debitor/
mengakhiri hak pinjam pakai dari yang berutang,
pemberi jaminan.
selama yang berutang tetap memenuhi
Pengalihan hak kepemilikan secara
kewajibannya. Apabila satu dan lain hal tidak diatur
constitutum possesorium tersebut sebagai jaminan,
secara tegas di antara kedua belah pihak, maka
membawa konsekuensi bukan menjadikan hak
ditentukan dalam hal ini Pasal 1338 ayat (3) B.W
milik sempurna, tetapi hak milik sempurna yang
bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan
terbatas. Hak milik yang sempurna dari benda
iktikad baik.”
bergerak sebagai jaminan baru muncul untuk
Perlu diperhatikan bahwa sekalipun oleh
pemilik fidusia, hak milik digantungkan pada syarat
debitur telah diserahkan barang-barang yang
putus. Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika
bersangkutan dalam pemilikan kreditor, hal ini tidak
pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya
berarti bahwa kreditor dapat melakukan perbuatan
(wanprestasi). Bagi pemberi fidusia, hak miliknya
hukum secara bebas dan tidak terbatas terhadap
yang sempurna digantungkan pada syarat tangguh.
barang-barang itu, oleh karena tidak boleh
Jika debitur memenuhi kewajibannya melunasi
dilupakan bahwa maksud dari pengalihan milik ini
hutang, demi hukum benda fidusia kembali menjadi
tidak lain untuk menjamin ketertiban pemenuhan
hak miliknya.
kewajiban dari debitur terhadap kredi-tor,
Hal ini merupakan suatu kekhususan dalam
sehingga apabila debitur telah memenuhi semua
bentuk kepemilikan ini, di mana derajatnya turun
kewa-jibannya terhadap kreditor, maka barang-
menjadi suatu hak accessoir. Sama halnya dengan
barang itu harus di-serahkan kembali kepada
setiap hak jaminan lainnya, kepemilikan ini melekat
debitur. Kewajiban untuk mengem balikan oleh
pada suatu kedudukan sebagai kreditor atau
kreditor didasarkan atas “fides”. Antara kreditor
crediteurschap.
dan debitur terdapat hubungan hukum fiduciair,
Dalam hal tersebut harus tetap diperhatikan
yaitu suatu hubungan hukum, seseorang atau
bahwa apa yang dimaksudkan oleh para pihak
kreditor dalam arti hukum berhak atas suatu 135
barang, sedangkan barang itu dalam arti sosial-
memperoleh pelunasan, pelak-sanaannya harus
ekonomis merupakan milik orang lain sehingga
seperti yang dilakukan oleh pemegang gadai dan
kepemilikan kredit or didasarkan at as
hipotek berdasarkan ketentuan dalam Pasal-Pasal
kepercayaan.
1153 B.W.
Pemberi fiduciar lalai akan kewajibannya,
Hak gadai atas barang bergerak yang tidak
maka kreditor ,dianggap benar-benar menjadi
berwujud, kecuali surat-tunjuk dan surat-bawa,
pemilik yang sebenarnya, tentunya ia akan
lahir dengan pemberi-t ahuan mengenai
menguasai seperti miliknya, dan harus diadakan
penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak
suatu perhitungan dengan jumlah tagihannya
gadai itu harus dilaksanakan. Orang ini dapat me-
terhadap yang berutang. Penguasaan ini
nuntut bukti tertulis mengenai pemberitahuan itu
bertentangan dengan Pasal 1154 B.W yang
dan menge-nai izin dari pemberi gadainya”.
berbunyi “Dalam hal debitur atau pemberi gadai
Dalam Pasal 1156 B.W diatur sebagai
tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditor
berikut: “Dalam segala hal, bila debitur atau
tidak diperkenankan mengalihkan barang yang
pemberi gadai lalai untuk melakukan
digadaikan itu menjadi miliknya”, untuk kewajiban
kewajibannya, maka debitur dapat menuntut lewat
debitur biasanya dituangkan dalam bentuk
pengadilan agar barang gadai itu dijual untuk
perjanjian, seperti yang dimaksud dalam Pasal
melunasi utangnya beserta bunga dan biayanya,
1178 ayat (1) B.W “Segala perjanjian yang
menurut cara yang akan ditentukan oleh hakim,
menentukan, bahwa kreditor diberi kuasa untuk
atau agar hakim mengizinkan barang gadai itu tetap
menjadikan barang-barang yang dihipotekkan itu
berada pada kreditor untuk menutup suatu jumlah
sebagai miliknya, adalah batal”.” Kedua Pasal ini
yang akan ditentukan oleh hakim dalam suatu
dapat ditetapkan sebagai prinsip, bahwa pemegang
kepu-tusan, sampai sebesar utang beserta bunga
hak jaminan tidak diperkenankan menuntut sebagai
dan biayanyai’. Pasal 1156 B/W jelas mengatur
syarat unt uk menahan benda itu dalam
bahwa debitur dapat menjual sendiri barangnya
penguasaannya dengan mengadakan perhitungan,
itu di muka umum, mengambil pelunasan dari hasil
maka hak tersebut juga tidak dapaf diberikan
penjualan itu, dan apabila ada sisanya, menyerah-
kepada pemilik fiduciair (Andi prajitno,2011: 14).
kannya kepada yang berutang. Dalam hal ini jelas,
Apa yang tidak diperkenankan pada gadai
bahwa tidak ada “milik” yang sebenarnya.
maupun hak tanggungan juga tidak diperkenankan
Para pihak tidak dapat memperjanjikan atau
pada lembaga jaminan fidusia. Jadi, pendapat
menuntut atau mengadakan persyaratan, bahwa
demikian juga tidak diberikan kepada pemilik
“pemilik” dapat menjualnya dengan cara lain
fiduciair, artinya bahwa yang berpiutang dalam
daripada penjualan di muka umum ataupun
hal ia tidak memperoleh pelunasan pada waktu
mensyaratkan, bahwa sisa hasil penjualannya tidak
yang ditentukan untuk itu, apabila ia hendak
akan diserahkan kepada yang berutang. Lembaga
136
ini dapat digunakan untuk barang bergerak maupun
memiliki arti penting dalam kaitannya dengan
barang tidak bergerak (Andi prajitno,2011: 15).
norma-norma hukum lam dari hukum jaminan dan
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pengalihan hak kepemilikan secara constitutum
merupakan bagian dari hukum jaminan kebendaan secara keseluruhan.
possesorium sebagai jaminan yang terdapat dalam
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.42 Tahun
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
1999, mengandung arti bahwa benda obyek fidusia
merupakan sebuah subsistem dari hukum jaminan
tersebut sudah berpindah kepemilikannya kepada
kebendaan yang harus sinkron dan tidak
pihak kreditur, sementara pihak kreditur
bertentangan antarsesama aturan dalam sistem
menyerahkan penguasaan benda tersebut kepada
hukum jamin-an kebendaan tersebut. Dengan kata
pihak debitur. Hal ini sesuai dengan system
lain, norma hukum yang terdapat dalam Undang-
penyerahan hak milik secara constitutum
Undang Nomor 42 Tahun 1999 ten-tang Jaminan
possesorium.
Fidusia harus merupakan suatu kesatuan yang
Pengalihan hak kepemilikan tersebut
terdiri atas unsur-unsur dalam subsistem yang
merupakan suatu janji untuk menjadikan barang
berinteraksi satu sama lain secara harmonis guna
jaminan tersebut langsung menjadi milik kreditur
mencapai apa yang men-jadi tujuan dibuatnya
apabila debitur cidera janji (wanprestasi),
undang-undang tersebut. Bahwa kesa-tuan jaminan
mengingat benda obyek fidusia tersebut telah
fidusia sebagai subsistem hukum jaminan
beralih kepemilikanya menjadi milik kreditur. Hal
ke-bendaan harus diterapkan terhadap perangkat
ini dipertegas dengan pasal-pasal yang mengatur
unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum
eksekusi benda obyek fidusia, yaitu pasal 29 ayat
jaminan fidusia, asas hukum dan pengertian
1, Pasal 15 dan pasal 30 UU No. 42 Tahun 1999.
hukumnya (Tan Kamelo,2006 :21).
Maka pengalihan hak milik yang diatur dalam pasal
Dalam Pasal 570 B.W. juga telah dijabarkan
1 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999 tersebut
pengertian tentang hak milik sebagai berikut:
bertentangan dengan pasal 33 UU No. 42 Tahun
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan
1999.
sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
3. Pengalihan Hak Kepemilikan Pasal 1 Ayat
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan
1 Undang-Undang No.42 Tahun 1999
dengan undang-undang atau peraturan umum yang
Berdasarkan Teori Sistem
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak
Hukum jaminan fidusia pada dasarnya
menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak
bukanlah sekadar kumpulan atau sejumlah norma-
orang lain; kesemuanya itu dengan tidak
norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu
melainkan peraturan hukum jaminan fidusia
demi kepentingan umum berdasarkan atas 137
ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran
hukum terhadap harta benda yang meliputi antara
ganti rugi.
lain kepemilikan tanah, rumah, gedung, dan lain-
Berdasarkan penguasaan terhadap suatu
lain dilindungi oleh undang-undang dan proses
benda dengan status hak milik, maka seorang
peralihan hak tersebut diatur dalam undang-
pemegang hak milik memiliki wewenang dan hak
undang. Mengamankan hak kepemilikan tersebut
untuk menguasainya dengan tenteram dan
untuk kepentingan pengembangan usaha dan atau
mempertahankannya terhadap siapa pun yang
keperluan lain yang berkaitan dengan kegiatan
bermaksud untuk mengganggu ketenteramannya
pinjam meminjam merupakan hak keperdataan
dalam menguasai, memanfaatkan serta
yang tunduk dan diatur dalam hukum jaminan.
mempergunakan benda tersebut. Berkait-an
Pada dasarnya, sistem hukum jaminan di
dengan itu, maka Pasal 574 B.W mengatur sebagai
Indonesia terdiri atas jaminan kebendaan
beri-kut; “Tiap-tiap pemilik sesuatu kebendaan,
zakelijkezekerheid dan jaminan perorangan
berhak menuntut kepada siapa pun juga yang
persoonlijkzekerheid. Jaminan kebendaan
menguasainya, akan pengembalian kebendaan itu
termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri
dalam keadaan beradanya”.
kebendaan tertentu dan mempunyai sifat melekat
Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 584 B/
serta mengikuti benda-benda ber-sangkutan.
W juga mengatur sebagai berikut:
Karakter kebendaan pada jaminan fidusia dapat
Hak milik atas sesuatu kebendaan tidak dapat
ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 20, dan
diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
pemilikan, karena perlekatan, karena kedalu-
Dengan karakter kebendaan tersebut, maka
warsa, karena pewarisan, baik menurut undang-
penerima fidusia merupakan kreditor preferen dan
undang maupun menurut surat wasiat, dan karena
memiliki sifat zaaksgevolg. Dengan alasan
penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jaminan
peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,
fidusia adalah memiliki identitas sebagai sebuah
dilakukan oleh seorang yang berhak untuk berbuat
lembaga jaminan yang kuat (Tan Kamelo,
bebas terhadap kebendaan itu.
2006:21-22).
Rumusan Pasal 584 B.W tersebut,
Pengalihan hak kepemilikan yang terdapat
menunjukkan bahwa pemilik suatu benda berhak
dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.42
untuk mengalihkan hak milik yang ada padanya
Tahun 1999, seharusnya tidak boleh bertentangan
kepada pihak lain. Dapat ditarik pengertian
dengan asas hokum jaminan, yang mana kreditur
bah-wa baik dalam dokumen intemasional maupun
dilarang untuk memiliki benda jaminan untuk diri
aturan dalam hukum positif nasional Indonesia,
sendiri. Larangan untuk menjadikan obyek jaminan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak
sebagai milik kreditur berakibat batal demi hukum,
kepemilikan yang diperoleh secara sah menurut
atau dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.
138
Di dalam peraturan gadai, pasal 1154 BW
kreditor dapat menjual sendiri objek jaminan
tidak diperkenankan mengalihkan barang yang
fidusia tanpa perantaraan, persetujuan dari
digadaikar menjadi miliknya, walaupun pemberi
pengadilan. Menurut Subekti parate executie
gadai wanprestasi. Sedangkan dalam peraturan
adalah “menjalankan sendiri atau mengambil
hak tanggungan juga diatur mengenai janji yang
sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa
memberikan ke-wenangan kepada pemegang hak
perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu
tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan
barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri
apabila debitur cedera janji. Janji semacam ini batal
barang tersebut” (Subekti, 1990:69). Sedangkan,
demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian
Tartib berpendapat,” eksekusi yang dilaksanakan
itu dianggap tidak ada (Pasal 12 Undang-Undang
sendiri oleh pemegang hak jaminan (gadai dan
Nomor 4 Tahun 1999). Dan dalam jaminan fidusia
hipotek) tanpa melalui bantuan atau campur tangan
pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999,
pengadilan negeri, melainkan hanya berdasarkan
sebenarnya juga telah di atur bahwa setiap janji
bantuan kantor lelang negara saja (Artikel tartib,
yang memberikan kewenangan kepada penerima
januari-1996:149).
fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek
Parate eksekusi, sebagaimana tercantum
jaminan fidusia apabila debitur cidera janji adalah
pada Pasal 15 ayat (3) Undang- Undang Nomor
batal demi hukum.
42 Tahun 1999 berbunyi: “Apabila debitur cidera
Tetapi dalam kenyataanya, dalam pasal 1
janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual
ayat 1 Undang-Undang No.42 Tahun 1999, justru
Benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
menyebutkan adanya pengalihan hak kepemilikan,
kekuasaannya sendiri”. Pasal ini di dalam
yang mana mengandung arti berlawanan dengan
penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
ketentuan pasal 33 Undang-Undang No.42 Tahun
1999 diuraikan sebagai berikut: “Salah satu ciri
1999. Jadi di sini, selain ketentuan pasal 1 ayat 1
jaminan fidusia adalah kemudahan dalam pelak-
Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tidak selaras
sanaan eksekusinya yaitu apabila pihak pemberi
dengan asas hokum jaminan, tapi juga
fidu-sia cidera janji. Oleh karena itu, dalam
bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang
undang-undang ini dipandang perlu diatur secara
No.42 Tahun 1999.
khusus tentang eksekusi Jaminan Fidusia melalui
Pengalihan hak kepemilikan yang
lembaga parate eksekusi”.
menjadikan benda obyek jaminan menjadi milik
Terjemahan bebas dari parate eksekusi
kreditor semakin diperkuat dengan adanya parate
adalah kreditor melaksanakan hak at as
eksekusi yang dipakai oleh UU No. 42 tahun 1999.
kekuasaannya sendiri menjual benda jaminan
Parate eksekusi bertujuan untuk memberikan
secara bebas seperti milik sendiri apabila debitur
kemudahan kepada kreditor penerima fidusia
tidak menepati janji atau wanprestasi.
manakala debitur pemberi fidusia wanprestasi,
Adanya parate eksekusi yang di pakai oleh 139
Undang-Undang No.42 Tahun 1999, semakin
disebut fiduciary transfer of ownership, yang
memperjelas adanya pengalihan hak kepemilikan
artinya kepercayaan. Di dalam berbagai literatur,
dari pemberi fidusia/debitor kepada penerima
fidusia lazim disebut dengan istilah fiduciaire
fidusia/kreditor. Layaknya pemilik hak milik yang
eigendoms overdracht FEO, yaitu penyerahan
sifatnya terbatas, maka hak milik yang sempurna
hak milik berdasarkan atas kepercayaan.
baru muncul apabila debitor melakukan
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
wanprestasi. Melalui ketentuan parate eksekusi
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
tersebut, kreditor berhak mengambil barang
kita jumpai pengertian fidusia. Fidusia adalah
jaminan layaknya milik sendiri manakala debitur
“pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
wanprestasi.
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
Sehubungan dengan sistem hukum jaminan
benda yang hak kepemilikannya yang dialihkan
di Indonesia, Tan Kamelo menegaskan bahwa
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda
hukum jaminan yang baik mengatur asas-asas dan
itu”. Bahwa yang dimaksudkan dengan pengalihan
norma-norma yang tidak tumpang tindih
hale kepemilikan adalah pemindahan hak
(overlapping) satu sama lain. Menurut beliau asas
kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima
hukum dalam jaminan fidusia harus berjalan secara
fidusia atas dasar kepercayaan dengan syarat
harmonis dengan asas hukum di bidang hokum
bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada
jaminan kebendaan lainnya. Ketidaksinkronan
di tangan pemberi fidusia. A. Hamzah dan Senjun
pengaturan asas hukum dalam jaminan fidusia
Manulang mengartikan fidusia adalah (Salim HS,
dengan jaminan kebendaan lainnya akan
2004 : 55).
menyulitkan penegakan hukum jaminan fidusia tersebut (Tan Kamelo, 2006:12-13).
Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitor), berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian u-ang piutang)
4. Pengalihan Hak Kepemilikan Pasal 1 Ayat
kepada kreditor, akan tetapi yang diserahkan hanya
1 Undang-Undang No.42 Tahun 1999
haknya saja secara yuridische-levering dan hanya
B e r d a s a r k a n Te o r i I n t e r p re t a s i
dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja
Gramatikal Hukum
(sebagai jaminan utang debitur), sedangkan
Pengalihan hak kepemilikan yang terdapat
barangnya tetap dikuasai oleh debitor, tetapi bukan
dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999,
lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan
dapat ditafsirkan atau dapat dijelaskan dengan
hanya sebagai detentor atau bonder dan atas nama
menguraikannya menurut bahasa umum sehari-
iaeditor-eigenaar..
hari.
Definisi tersebut didasarkan pada konstruksi Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda,
hukum adat, karena istilah yang digunakan ialah
yaitu fiducie, sedangkan dalam Bahasa Inggris
pengoperan. Peng-operan diartikan sebagai suatu
140
proses atau cara mengalihkan hak milik kepada
debitor percaya bahwa kreditor tidak akan
orang lain. Unsur-unsur yang tercantum dalam
menyalahgunakan atas penyerahan hak milik benda
definisi yang dikemukakan oleh A. Hamzah, adalah:
agunan tadi.
1. adanya pengoperan;
Pada zaman Romawi kreditor penerima
2. dari pemiliknya kepada kreditor;
fidusia. berkedudukan sebagai pemilik atas barang
3. adanya perjanjian pokok;
yang difidusiakan. Tetapi sekarang penerima fidusia
4. penyerahan berdasarkan kepercayaan; dan
hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan
5. bertindak sebagai detentor atau houde.
saja. Ini berarti pada Zaman Romawi penyerahan
Pasal 1 angka 2 Undaug-undang No.42
hak milik fiducia cum creditore terjadi secara
Tahun 1999 menyebutkan: “Jaminan Fidusia adalah
sempurna sehingga kedudukan penerima fidusia
hak jaminan atas benda bergerak baik yang
seba-gai pemilik yang sempurna juga.
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
Konsekwensinya, sebagai pemilik ia bebas berbuat
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
sekehendak hatinya atas barang tersebut. Namun
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
berdasarkan fides penerima fidusia berkewajiban
dimaksod dalam Undang-undang Nomor 4 Tabun
mengembalikan hak milik itu jika pemberi fidusia
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
melunasi utangnya.
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai
Mengenai hal ini, A. Veenhoven menyatakan
agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
bahwa hak milik itu sifatnya sempurna yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
terbatas karena tergantung syarat tertentu. Untuk
Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.
fidusia, hak miliknya tergantung pada syarat putus
Definisi yang diberikan di atas jelas bagi kita bahwa
(ontbindende voorwaarde). Hak miliknya yang
fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana
sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak
Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
memenuhi kewajibannya (A. Veenhoven dalam
kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan
Gunawan Wijaya, 2000:131).
yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti
Pendapat tersebut sebenarnya belum jelas
pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-
terutama yang menyangkut kejelasan kedudukan
undang No 42 Tahun 1999 ini adalah pranata
penerima fidusia selama syarat putus tersebut belum
jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam
terjadi.
fiducia cum creditore contracta ( Gunawan Wijaya,2005:30).
Dalam perkembangannya kedudukan penerima fidusia seperti yang diatur dalam Hukum
Pada bentuk fidusia fiducia cum creditore
Romawi tersebut menimbulkan silang pendapat di
contracta kewenangan yang dimiliki oleh kreditor
antara para ahli hukum, khususnya jika dikaitkan
akan lebih besar karena dianggap sebagai pemilik
dengan hukum jaminan yang melarang penerima
atas benda agunan yang diserahkan. Sebaliknya
jaminan menjadi pemilik dari barang yang 141
dijaminkan tersebut. Pengertian pengalihan hak kepemilikan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
melanggar atau mengingkari. Maka, kedudukan para pihak tidak lah seimbang. Kedudukan kreditur jauh lebih kuat dibandingkan debitur.
No.42 Tahun 1999, sebenarnya sudah sesuai
Lemahnya kedudukan debitur di karenakan
dengan bentuk fidusia cum creditore contracta,
tidak adanya perlindungan hukum yang melindungi
yang mana kewenangan yang dimiliki kreditor lebih
debitur, baik melalui Undang-Undang No. 42
besar karena dianggap sebagai pemilik atas benda
Tahun 1999 maupun dalam perjanjian yang di buat
agunan yang diserahkan. Kemudian, jika dikaitkan
para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan
dengan hokum jaminan yang melarang penerima
debitur/konsumen). Sedangkan, kuatnya posisi
jaminan menjadi pemilik dari barang yang di
kreditur dikarena kan dalam Undang-Undang No.
jaminkan, maka sudah selayaknya lah bentuk
42 Tahun 1999 maupun perjanjian yang di buat
fidusia cum creditore contracta bertentangan
para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan
dengan hal tersebut, karena hanya pasal 33
debitur/konsumen) diberikan perlindungan yang
Undang-Undang No.42 Tahun 1999 yang
benar-benar dapat melindungi kreditur, akan tetapi
menyebutkan larangan tersebut. Sedangkan
perlindungan hokum tersebut bahkan memberikan
beberapa pasal, khususnya yang mengatur tentang
tindakan kesewenang-wenangan terhadap debitur.
eksekusi menunjukkan atau mengarahkan kepada
Pengalihan hak kepemilikan yang terdapat
pengertian bentuk fidusia cum creditore
dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42
contracta.
Tahun 1999 memberikan peluang kepada kreditur untuk melakukan tindakan kesewenang-wenangan
B. Konsekuensi Hukum Pengalihan Hak Kepemlikan
terhadap hak debitur. Padahal benda obyeknya adalah jaminan, yang mana seharusnya
Kedudukan para pihak, yaitu debitur dan
kepemilikanya tetap ada pada debitor selama
kreditur dari analisis perlindungan hukum secara
obyek benda jaminan tersebut berstatus jaminan.
preventif. Perlindungan hukum preventif adalah
Akan tetapi, pengalihan hak kepemilikan tersebut
perlindungan yang bertujuan untuk mencegah
mengandung arti beralihnya hak kepemilikan dari
terjadinya sengketa. Bentuk perlindungannya
debitor kepada kreditor selama perjanjian fidusia
pencegahan ini bisa berupa suatu norma peraturan
tersebut berlangsung, hingga syarat putus dari
perundang-undangan, perjanjian yang dibuat dan
pemberi fidusia muncul.
disepakati oleh para pihak. Esensinya
Pasal 32 Undang-Undang No. 42 Tahun
per-lindungan ini memberikan gambaran hak dan
1999 dan pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun
kewajiban, termasuk sangsi yang diancamkan
1999, sebenarnya harapan yang dapat di jadikan
sehingga dengan ketentuan-ketentuan yang
perlindungan hokum bagi debitur. Jaminan fidusia
ditetapkan tersebut agar para pihak tidak
seperti yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) UU
142
No.42 Tahun 1999, jaminan fidusia adalah hak
hukum, pihak debitor adalah pihak yang paling
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
dirugikan, karena barang yang dijadikan jaminan
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak
umumnya nilainya lebih tinggi/besar daripada
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
hutang yang diterima debitur. Kenyataan seperti
dibebani hak tanggungn sebagaimana dimaksud
ini dalam masyarakat sudah lazim sering terjadi,
dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak
karena di samping dalam perjanjiannya pihak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
debitor sudah lemah kekuataannya, ditambah
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
pengetahuan masyarakat yang rendah memahami
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
arti sebuah perjanjian, di tambah lagibudaya
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
masyarakat yang konsumtif. Sehingga dalam
kreditur lainnya. Yang artinya bahwa jaminan
praktek banyak penyitaan yang dilakukan oleh
fidusia tersebut adalah jaminan yang berdasarkan
lembaga pembiayaan di jalan-jalan ataupun di
fidusia. Sedangkan fidusia sendiri mempunyai arti
parkiran sekolahan tempat benda jaminan fidusia
seperti yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1)
tersebut berada tanpa keberatan atau perlawanan
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, adalah
dari pemiliknya.
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
Perlindungan hukum preventif yang
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi
hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
para pihak, tet api kenyataannya malah
penguasaan pemilik benda. Maka, Pengalihan hak
memberikan tindakan kesewenang-wenangan dari
kepemilikan yang terdapat dalam pengertian fidusia
salah satu pihak (kreditur) dan memberikan tidak
adalah menjadi dasar berlakunya Undang-Undang
adanya perlindungan hokum bagi pihak lain
No. 42 Tahun 1999, sehingga ketentuan dalam
(debitur). Baik perlindungan hukum dari Undang-
pasal 32 dan pasal 33 Undang-Undang No. 42
Undang No. 42 Tahun 1999 maupun perjanjian-
Tahun 1999 menjadi tidak berfungsi/
perjanjian yang di buat oleh para pihak(keditur/
dikesampingkan berlakunya, karena bertentangan
lembaga pembiayaan dan debitur/konsumen). Hal
dengan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42
ini disebabkan adanya Kerancuan dalam
Tahun 1999 seperti dalam kenyataan sekarang ini.
pengaturan norma-norma dalam UU No. 42 Tahun
Padahal, kalau kita konsisten terhadap ketentuan
1999 tentang jaminan fidusia yang tidak didudukan
pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999,
pada azas hukum yang menjadi dasar
maka perjanjian yang di buat berdasarkan
pembentukan UU guna mendukung eksistensi
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah batal
norma-norma tesebut dalam aturan perundangan.
demi hokum, atau dianggap perjanjian fidusia ini
Salah satu alasan mengapa banyak aturan yang
tidak pernah ada.
dibuat belakangan ini termasuk UU No. 42 Tahun
Selain tidak mendapatkan perlindungan
1999 tentang jaminan fidusia memiliki cacat dalam 143
pembentukan norma-norma karena peraturan-
jaminan tidak menimbulkan hak milik yang
peraturan tersebut dibuat secara tergesa-gesa dan
sempurna, tapi hanya sebagai jaminan. Hak
tidak melewati kajian akademis yang memadai.
milik yang sempurna dari benda bergerak
Alih-alih bertujuan ingin menciptakan
sebagai jaminan baru muncul untuk pemilik
keteraturan dan memberikan kepastian hukum
fidusia, hak milik digantungkan pada syarat
bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan
putus. Hak miliknya yang sempurna baru lahir
fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna
jika pemberi fidusia tidak memenuhi
menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang
kewajibannya (wanprestasi). Bagi pemberi
terjadi sebaliknya yaitu ketidakteraturan dan
fidusia, hak miliknya yang sempurna
ketidakpastian hukum. Jika terjadi wanprestasi
digantungkan pada syarat tangguh. Jika debitur
yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan
memenuhi kewajibannya melunasi hutang, demi
hukum tidak dapat berjalan secara efektif bagi
hukum benda fidusia kembali menjadi hak
pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang
miliknya.
diragukan (Andi Prajitno,2011:220).
3. Pengalihan hak kepemilikan tersebut sudah sesuai dengan sistem pengalihan hak milik yang
IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
ada dalam hukum perdata, yaitu pengalihan hak milik secara constitutum possesorium. 4. Pengalihan hak milik pasal 1 ayat 1 Undang-
berikut:
Undang No.42 Tahun 1999 yang merupakan
1. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.42 Tahun
sebuah janji yang akan menjadikan kreditur
1999, mengenai “pengalihan hak kepemilikan”
sebagai pemilik benda yang menjadi obyek
merupakan sebuah janji yang akan menjadikan
jaminan secara langsung apabila kreditur cidera
kreditur sebagai pemilik benda yang menjadi
janji(wanprestasi), diperkuat dengan adanya
obyek jaminan apabila kreditur cidera janji
pasal 29 ayat 1, Pasal 15 dan pasal 30 Undang-
(wanprestasi), sedangkan pasal 33 Undang-
Undang No.42 Tahun 1999 .
Undang No.42 Tahun 1999 melarang adanya
5. Pengalihan hak kepemilikan dalam pasal 1 ayat
janji untuk menjadikan barang jaminan sebagai
(1) Undang-Undang No.42 Tahun 1999
milik kreditur apabila kreditur cidera janji,
kaitannya dengan pasal 33 Undang-Undang
dengan ancaman batal demi hukum. Larangan
No.42 Tahun 1999 mengandung konsekuensi
adanya janji untuk memiliki benda yang menjadi
batal demi hukum / perjanjian fidusia dianggap
obyek jaminan fidusia apabila debitur cidera
tidak pernah terjadi. Konsekuensi ini dapat
janji adalah sudah selaras dengan asas hukum
terjadi apabila kita konsisten terhadap
jaminan.
pengertian pengalihan hak kepemilikan yang
2. Pengalihan hak milik benda bergerak sebagai 144
terdapat pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
No.42 Tahun 1999 . Tetapi ketentuan dalam
pengaturan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-
pasal 33 Undang-Undang No.42 Tahun 1999
Undang No.42 Tahun 1999 dengan pasal 33
menjadi dikesampingkan baik dalam Undang-
Undang-Undang No.42 Tahun 1999 agar
Undang No.42 Tahun 1999 maupun dalam
secepatnya dilakukan perubahan perbaikan.
perjanjian-perjanjian antara kreditur dan debitur
Maksud perubahan perbaikan tersebut tersebut
dalam masyarakat, karena adanya pasal 1 ayat
agar peraturan perundang-undangan itu jelas
1 Undang-Undang No.42 Tahun 1999, yang
dan pasti yang tujuanya untuk mendukung
dimana menjadi dasar dari berlakunya Undang-
kelancaran dunia usaha dalam bidang pinjam-
Undang No.42 Tahun 1999 tersebut. Sehingga
meminjam dengan jaminan fidusia supaya tidak
debitur dalam hal ini tidak mendapatkan
menjadi penghalang bagi kelancaran dunia
perlindungan hukum sama sekali mengenai hak-
usaha.
haknya baik melalui Undang-Undang No.42 Tahun 1999 maupun dalam perjanjian-
DAFTAR PUSTAKA
perjanjian antara kreditur dan debitur dalam
Bahsan, M. 2005. Giro dan Bilyet Giro
masyarakat. Disamping itu debitur adalah pihak
Perbankan Indonesia, Jakarta, Raja
yang paling dirugikan, karena barang yang
Grafindo Persada
dijadikan jaminan yang umumnya nilainya lebih
Badrulzaman, Mariam Darus. 1987. Kompilasi
tinggi/besar daripada hutang yang diterima
Hukum Perikatan. Bandung, Citra
debitur, menjadi milik kreditur.
Aditya Bakti. Badrulzaman, Mariam Darus. 1997. Mencari
SARAN-SARAN
System Hukum Benda Nasional,
1. Dalam rangka untuk memberikan kepastian
Bandung, alumni.
hukum dalam hukum jaminan, dirasa sangat
Badrulzaman, Mariam Darus. 2000. KUH
perlu dibuat peraturan yang tidak menyebabkan
Perdata Buku III Hukum Perikatan
konflik antar peraturan dalam satu undang-
Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni.
undang terhadap obyek jaminan agar tidak
Bellfroid disitir oleh Mariam Darus Badrulzaman.
tumpang tindih dan tidak menciptakan celah-
1981. Suatu Penelitian Mengenai
celah ketidakpastian hukum khususnya dalam
Beberapa Azas Hukum yang Perlu
sistem hukum jaminan.
Dperhatikan dalam Sistem Hukum
2. Beberapa pasal yang mengandung norma yang
Perdata Nasional, Kertas Kerja dalam
kabur seperti dalam pasal 1 ayat (1) Undang-
Simposium Pembaharuan Hukum Perdata,
Undang No.42 Tahun 1999 , serta adanya
Jakarta, BPHN.
pasal-pasal yang pengaturannya kontradiktif
Djumhana, Muhammad, Drs SH. 1993. Hukum
dan berkonflik antar sesamanya seperti
Perbankan Di Indonesia, Bandung, PT. 145
Citra Aditya Bakti.
Yogyakarta, Program Studi Magister
Fuady, Munir, SH. MH, LLM. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Kenotariatan Universitas Gajah Mada. Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,
Fuady, Munir, SH. MH, LLM. 1996. Jaminan Fidusia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir, SH, MH, LL.M. 2005. Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Liberty. Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya. Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawa. 2004.
H, Abdul Hay Marhainis. 1984. Hukum Perdata
Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik
Material Jilid II, Jakarta, PT. Pradnya
Dalam Sudut Pandang KUH Perdata,
Paramita.
Jakarta, Prenada Media.
Hadisoeprapto, Hartono. 2004. Pokok-Pokok
Prajit no, Andi. 2011. Hukum Fidusia
Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Problematika Yuridis Pemberlakuan
Yogyakarta, Liberty.
Undang-Undang No.42 Tahun 1999,
Hadjon, Philips M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu.
Malang, Bayu Media. Salman, HR. Otje dan Susanto, Anthon F. 2007. Mengingat, Mengumpulkan, Dan
HS, H. Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Cetakan I, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Membuka Kembali, Bandung, Refika Aditama. Sidharta, B. Arief. 1999. Peranan Praktisi
Kamelo, Tan. 2006. Hukum Jaminan Fidusia
Hukum dalam Perkembangan Hukum
Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,
di Indonesia, Jurnal Hukum Nomor
Bandung, Alumni.
Perdana: 1, Bandung, Pusat Penelitian
Lukman, Markus. 1986. Eksekusi Peraturan
Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian
Kebijakan dalam Bidang Perencanaan
Universitas Padjajaran Departemen
dan
Pendidikan dan Kebudayan.
Pelaksanaan
Rencana
Pembangunan di Daerah serta
Sihabudin. 2009. Beberapa Permasalahan
Dampaknya terhadap Pendengaran
Pembelian Kendaraan Bermontor
Materi Hukum Tertulis Nasional,
Secara Angsuran Dan Perlindungan
Desertasi, Bandung, Universitas Pajajaran.
Hukum Bagi Para Pihak, Jurnal Arena
Malaba, A. Irsyadul. 2004. Upaya Dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris Terhadap Sanksi-Sanksi Jabatan, Tesis, 146
Hukum, Nomor 4, Tahun 2, Malang. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1981. Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty.
Tartib. 1996. Catatan Tentang Parate
Subekti ditulis kembali oleh Johannes Gunawan SH, LUM. 1986. Jaminan-jaminan untuk
Eksekusi, Artikel Dalam Majalah Varia Peradilan, Th.XI, No.124.
pemberian kredit (termasuk hak tanggungan) menurut hukum Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Subekti. 1990. Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil Dan Uang Paksa, Dalam: Penemuan Hukum Dan Pemecahan Masalah
Hukum,
Proyek
Pengembangan Teknis Yustisial, Jakarta, MARI. Subekti. 1996. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Sumardjono, Marie SW. 1997. Pedoman Permbuatan Usulan Penelitian (Sebuah Panduan Dasar), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Sunaryo. 2008. Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta, Sinar Grafika. Wantu, Fence M. 2007. Antinomi dalam Penegakan Hukum oleh Hakim, Mimbar Hukum Volume 19, nomor 3. Warabya, CH. Gatot. 1992. Sekitar Klausalklausal Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen. Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 2003. Jaminan Fidusia, Cetakan ke-3, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Widjaja,Gunawan. 2005. Efek Sebagai Benda, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 147