Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
RISK-BASED AUDIT ATAS PENJUALAN PADA PT “X” Lusy
[email protected]
Bambang Suryono Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRACT Selling is the element which has an important role for a company, since the company earns income which will be used as source of funding from this activity, for the company’s sustainability. By holding an audit of sales, it is expected that audit can fulfill the needs of information which is free from deviations, in order to make the implementation of audit can be performed efficient and effectively and the achievement of company’s objectives. This research is meant to develop Risk-based Audit method on sales at PT “X”. By using Risk-based Audit, the risks which exist on the company can be predicted and their occurrence can be reduced before it comes to reality, and the potential risk, its source and recommendation which will occur can be analyzed. Qualitative research method and case study approach is used in this research. The result of the research shows that the source of risk lies in the lack of procedures and systems (either in terms of process, human resources, or internal control), and some company policies which are not strict in running company’s operational. Keywords: Internal Audit, Risk-based Audit, and Test of Control ABSTRAK Penjualan merupakan unsur yang memegang peranan penting bagi perusahaan, karena dari aktivitas inilah perusahaan memperoleh pendapatan yang akan digunakan sebagai sumber biaya, bagi kelangsungan hidup perusahaan. Dengan diadakannya audit atas penjualan, diharapkan dapat menjawab kebutuhan akan adanya informasi yang bebas dari kecurangan, agar pelaksanaan tersebut dilakukan secara efektif dan efisien serta tercapainya tujuan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode Audit Berbasis Risiko atas penjualan pada PT “X”. Dengan audit berbasis risiko, maka risiko-risiko yang ada pada perusahaan bisa diperkirakan dan ditekan tingkat terjadinya, sebelum risiko tersebut terjadi, serta dapat menganalisis potensi risiko yang terjadi, beserta sumber dan rekomendasinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber risiko terletak pada lemahnya sistem dan prosedur (baik dari sisi proses, sumber daya manusia, atau pengendalian internal), serta beberapa kebijakan perusahan yang terlalu longgar dalam menjalankan operasional perusahaan. Kata kunci: audit internal, audit berbasis risiko, test of control.
PENDAHULUAN Penjualan merupakan kekuatan utama yang perlu diperhatikan dalam dunia usaha. Dengan meningkatnya penjualan, berbanding lurus dengan profit yang diperoleh. Artinya semakin besar penjualan yang diperoleh, maka semakin besar juga keuntungan yang didapat. Jika perusahaan yang semakin besar dengan manajemen yang meningkat, biasanya akan menunjuk seorang manajer untuk menjalankan operasional usaha tersebut. Terkadang tidak jarang bagi seorang manajer untuk melakukan mark up data penjualan, agar kinerjanya tampak bagus di mata pemegang saham. Penjualan merupakan bagian yang sangat penting dalam menghitung laba atau rugi suatu perusahaan. Setiap organisasi pasti mempunyai tujuan, dan tujuan utamanya adalah membangun nilai (value) kepada semua pihak yang terkait (dalam hal ini adalah stakeholder), seperti: memastikan operasional perusahaan berjalan efektif dan efisien, memberikan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
2
kepuasan kepada pelanggan dan mempertahankan reputasi perusahaan. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui proses, mulai dari penetapan strategi dan rencana kerja, upaya merealisasikan rencana tersebut, pengendaliannya serta menikmati hasil dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, setiap organisasi tentunya menghadapi berbagai ketidakpastian. Ketidakpastian ini mengandung risiko potensial yang dapat menghilangkan peluang untuk menghasilkan nilai tambah, bahkan dapat mengurangi nilai yang telah ada bagi para stakeholders (Tunggal, 2012:211) Seiring dengan perkembangan, peran internal audit lebih difokuskan pada pemantauan terkait pelaksanaan pengelolaan risiko di tingkat operasional sehari-hari. Oleh karena itu, pendekatan audit telah diarahkan agar dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut, dengan menerapkan pendekatan audit yang berbasis risiko atau yang disebut RiskBased Auditing. Risk-Based Auditing adalah audit yang difokuskan dan diprioritaskan pada risiko bisnis dan prosesnya serta pengendalian terhadap risiko yang dapat terjadi. Dalam konsep audit berbasis risiko, semakin tinggi risiko suatu area, maka harus semakin tinggi pula perhatian dalam audit area tersebut (Tunggal, 2012: 215). PT “X” merupakan perusahaan dagang swasta yang bergerak di bidang penjualan spareparts. Mengingat kemajuan yang cukup pesat terkait penjualan, PT “X” sangat membutuhkan audit internal berbasis risiko, dengan tujuan untuk mengetahui, mencegah dan menanggulangi risiko, sehingga bisa membantu perusahaan mencapai tujuan yang efektif dan efisien. TINJAUAN TEORETIS Auditing Auditing memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan perusahaan, karena akuntan publik sebagai pihak yang ahli dan independen pada akhir pemeriksaannya akan memberikan pendapat mengenai kewajaran posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan laporan arus kas (Agoes, 2004:1) Menurut Agoes (2004:3) pengertian auditing adalah: “ Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”. Ada beberapa hal yang penting dari pengertian tersebut, yang perlu dibahas lebih lanjut. Pertama, yang diperiksa adalah laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya. Laporan keuangan yang harus diperiksa terdiri dari Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Laporan Arus Kas. Catatan-catatan pembukuan terdiri dari buku harian (Buku Kas/Bank, Buku Penjualan, Buku Pembelian, Buku Serba-Serbi), buku besar, sub buku besar (Piutang, Utang, Aktiva Tetap, Kartu Persediaan). Bukti-bukti pendukung antara lain bukti penerimaan dan pengeluaran kas/bank, faktur penjualan, journal voucher, dan lain-lain. Dokumen lain yang perlu diperiksa adalah notulen rapat direksi dan pemegang saham, akte pendirian, kontrak, perjanjian kredit, dan lain-lain. Kedua, pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis.Dalam melakukan pemeriksaannya, akuntan publik berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (di USA: generally accepted auditing standards), mentaati Kode Etik IAI dan Aturan Etika IAI Kompartemen Akuntan Publik serta mematuhi Standar Pengendalian Mutu.Agar
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
3
pemeriksaan dapat dilakukan secara sistematis, akuntan publik harus merencanakan pemeriksaannya sebelum proses pemeriksaan dimulai, dengan membuat apa yang disebut audit plan (rencana pemeriksaan). Dalam audit plan antara lain dicantumkan kapan pemeriksaan dimulai, berapa lama jangka waktu pemeriksaan diperkirakan, kapan laporan harus selesai, berapa orang audit staff yang ditugaskan, masalah-masalah yang diperkirakan akan dihadapi di bidang auditing, akuntansi (accounting), perpajakan, dan lain-lain. Selain itu dalam audit plan, akuntan publik harus menetapkan batas materialitas dan memperhitungkan risiko audit. Ketiga, pemeriksaan dilakukan oleh pihak yang independen, yaitu akuntan publik. Akuntan Publik harus independen, dalam arti, sebagai pihak di luar perusahaan yang diperiksa, tidak boleh mempunyai kepentingan tertentu di dalam perusahaan tersebut (misal, sebagai pemegang saham, direksi atau dewan komisaris), atau mempunyai hubungan khusus (misal keluarga dari pemegang saham, direksi atau dewan komisaris). Akuntan Publik harus independen, baik in-fact maupun in-appearance karena sebagai orang kepercayaan masyarakat, harus bekerja secara objective, tidak memihak ke pihak manapun dan melaporkan apa adanya. Keempat, tujuan dari pemeriksaan akuntan adalah untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Definisi Audit Internal Institute of Internal Auditor (IIA) dalam Sawyer et.al (2003:8) mendefinisikan audit internal sebagai suatu fungsi penilai independen yang ada dalam organisasi untuk memeriksa dan mengevaluasi aktivitas organisasi sebagai pemberian jasa kepada organisasi. Audit internal melakukan aktivitas pemberian keyakinan serta konsultasi yang independen dan obyektif, yang dirancang untuk menambah nilai dan memperbaiki operasi organisasi. Sedangkan Yayasan Pendidikan Internal Auditor / YPIA (2004:5) mendefinisikan audit internal sebagai kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif , yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses governance (Andayani, 2008: 2) Aktivitas Audit Internal Audit operasional merupakan telaah komprehensif atas fungsi yang bervariasi dalam perusahaan untuk menilai efisiensi dan keekonomisan operasi serta efektivitas fungsi-fungsi tersebut dalam mencapai tujuannya (Andayani, 2008:20). Menurut Akmal (2007:14) Lingkup pekerjaan pemeriksa intern antara lain: a. Keandalan informasi: pemeriksa intern harus memeriksa keandalan informasi keuangan dan operasi serta cara-cara yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengklasifikasikan, dan melaporkannya. b. Kesesuaian dengan kebijakan, rencana, prosedur, peraturan dan undang-undang: pemeriksa intern harus memeriksa sistem yang telah ditetapkan untuk meyakinkan apakah sistem tersebut telah sesuai dengan kebijaksanaan, rencana, prosedur, peraturan, dan undang undang, dan harus menentukan apakah organisasi telah mematuhi hal-hal tersebut di atas. c. Perlindungan terhadap aktiva: pemeriksa intern harus memeriksa alat atau cara yang dipergunakan untuk melindungi harta dan jika perlu lakukan pemeriksaan fisik mengenai keberadaan aktiva tersebut.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
4
d. Penggunaan sumber daya secara ekonomis dan efisien: pemeriksa intern harus menilai keekonomisan dan keefisienan pengguna sumber daya. e. Pencapaian tujuan: pemeriksa intern harus menilai pekerjaan, operasi, dan program untuk menentukan apakah hasil yang dicapai telah sesuai dengan tujuan dan sasaran semula serta apakah telah dilaksanakan secara tepat dan sesuai rencana. Bukti Audit Menurut Arens et al (2008:224), yang dimaksud dengan bukti audit adalah setiap informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.Keputusan penting yang dihadapi para auditor adalah menentukan jenis dan jumlah bukti audit yang tepat, yang diperlukan untuk memenuhi keyakinan bahwa komponen laporan keuangan klien dan keseluruhan laporan telah disajikan secara wajar, dan bahwa klien menyelenggarakan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan. (Arens et al. 2008:224) Menurut Arens et al (2008:228-229), reliabilitas bukti mengacu pada tingkat dimana bukti tersebut dianggap dapat dipercaya atau layak dipercaya. Ada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan berikut : a. Independensi penyedia bukti Bukti yang diperoleh dari sumber luar entitas lebih dapat diandalkan ketimbang yang diperoleh dari dalam entitas b. Efektivitas pengendalian internalklien Jika pengendalian internalklien berjalan efektif, bukti audit yang diperoleh lebih dapat diandalkan ketimbang jika pengendalian internalnya lemah. Sebagai contoh, jika pengendalian internal atas penjualan dan penagihan efektif, auditor dapat memperoleh lebih banyak bukti yang dapat diandalkan dari faktur penjualan dan dokumen pengiriman ketimbang jika pengendaliannya tidak memadai. c. Pengetahuan langsung auditor Bukti audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui pemeriksaan fisik, observasi, penghitungan ulang dan inspeksi akan lebih dapat diandalkan ketimbang informasi yang diperoleh secara tidak langsung. Sebagai contoh, jika auditor menghitung marjin kotor sebagai persentase dari penjualan dan membandingkannya dengan periode sebelumnya, bukti tersebut lebih dapat diandalkan ketimbang jika auditor mengandalkan pada perhitungan kontroler perusahaan. d. Kualifikasi individu yang menyediakan informasi Meskipun sumber informasi bersifat independen, bukti audit tidak akan dapat diandalkan, kecuali individu yang menyediakan informasi tersebut memenuhi kualifikasi untuk itu.Sebagai contoh, pemeriksaan atas persediaan permata oleh auditor yang tidak terlatih untuk membedakan antara permata dan kaca, bukan merupakan bukti audit yang dapat diandalkan bagi eksistensi permata itu. e. Tingkat objektivitas Bukti yang objektif akan lebih dapat diandalkan ketimbang bukti yang membutuhkan pertimbangan tertentu untuk menentukan apakah bukti tersebut benar. Contoh-contoh bukti yang objektif meliputi konfirmasi piutang usaha dan saldo bank, perhitungan fisik sekuritas dan kas, serta penjumlahan saldo utang usaha untuk menentukan apakah data tersebut sesuai dengan saldo pada buku besar. Contoh-contoh bukti yang subjektif termasuk surat yang ditulis oleh pengacara klien yang membahas hasil yang mungkin akan diperoleh dari gugatan hukum yang sedang dihadapi oleh klien, observasi atas persediaan yang usang selama pemeriksaan fisik, serta tanya jawab dengan manajer kredit tentang ketertagihan piutang usaha tidak lancar. Apabila reliabilitas bukti yang
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
5
subjektif sedang dievaluasi, penting bagi auditor untuk menilai kualifikasi orang yang menyediakan bukti tersebut. f. Ketepatan waktu Ketepatan waktu bukti audit dapat merujuk pada kapan bukti itu dikumpulkan maupun pada periode yang tercakup oleh audit itu. Bukti ini biasanya lebih dapat diandalkan untuk akun-akun neraca apabila diperoleh sedekat mungkin dengan tanggal neraca.. Sebagai contoh, perhitungan auditor atas sekuritas pada tanggal neraca akan lebih dapat diandalkan ketimbang jika perhitungan itu dilakukan 2 bulan sebelumnya. Untuk akunakun laporan laba-rugi, bukti yang diperoleh akan lebih dapat diandalkan jika ada sampel dari keseluruhan periode yang diaudit, seperti sampel acak transaksi penjualan dari setahun penuh, bukan hanya dari sebagian periode, seperti sampel yang terbatas pada 6 bulan pertama saja Jenis-jenis Bukti Audit Untuk memutuskan prosedur audit yang akan digunakan ,dapat memilih dari ke delapan jenis bukti 1. Pemeriksaan fisik (physical examination) Pemeriksaan fisik adalah inspeksi atau perhitungan yang dilakukan oleh auditor atas aktiva yang berwujud (tangible asset) Jika objek yang diperiksa, seperti faktur penjualan, tidak memiliki nilai inheren, bukti itu disebut sebagai dokumentasi. Sebagai contoh, sebelum cek ditandatangani, cek tersebut adalah sebuah dokumen; setelah cek itu ditandatangani, cek tersebut berubah menjadi aktiva; dan ketika cek tersebut dibatalkan, cek itu kembali berubah menjadi dokumen. Untuk terminologi auditing yang benar, pemeriksaan fisik atas cek hanya dapat terjadi jika cek tersebut merupakan aktiva. Pemeriksaan fisik adalah cara langsung untuk memverifikasi apakah suatu aktiva benarbenar ada (tujuan eksistensi), dan pada tingkat tertentu apakah aktiva yang ada itu telah dicatat (tujuan kelengkapan). Pemeriksaan fisik dianggap sebagai salah satu jenis bukti audit yang paling dapat diandalkan dan berguna. Dalam beberapa kasus, hal itu juga merupakan metode yang berguna untuk mengevaluasi kondisi atau kualitas aktiva. Akan tetapi, pemeriksaan fisik bukan merupakan bukti yang mencukupi untuk memverifikasi bahwa aktiva yang ada memang dimiliki oleh klien (tujuan hak dan kewajiban), dan dalam banyak kasus, auditor tidak memiliki kualifikasi untuk menilai faktor-faktor kualitatif seperti keusangan atau otentisitas aktiva (tujuan nilai yang dapat direalisasi). Selain itu, penilaian yang tepat untuk tujuan laporan keuangan biasanya juga tidak dapat ditentukan oleh pengujian fisik (tujuan keakuratan) 2. Konfirmasi (confirmation) Konfirmasi menggambarkan penerimaan respons tertulis atau lisan dari pihak ketiga yang independen yang memverifikasi keakuratan informasi yang diajukan oleh auditor. Permintaan ini ditujukan kepadaklien, dan klien meminta pihak ketiga yang independenuntuk meresponsnya secara langsung kepada auditor. Karena konfirmasi berasal dari sumber yang independen terhadap klien, jenis bukti audit ini sangat dipercaya dan merupakan jenis bukti yang sering digunakan. Standar auditing mengidentifikasi dua jenis permintaan konfirmasi yang umum : konfirmasi positif dan konfirmasi negatif. Konfirmasi positif meminta si penerima untuk memberikan respons dalam semua situasi. Apabila auditor tidak menerima respons atas konfirmasi positif, biasanya auditor akan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
6
mengirimkan permintaan kedua atau ketiga dan, dalam beberapa kasus, bahkan meminta klien untuk menghubungi pihak ketiga yang independen dan memintanya untuk memberikan respons kepada auditor. Jika semua upaya itu gagal atau dianggap terlalu mahal, auditor akan melaksanakan prosedur alternatif untuk menguji saldo piutang apabila tidak ada respons yang diterima. Sebaliknya, dengan konfirmasi negatif, penerima diminta untuk merespons hanya bila informasinya tidak benar dan tidak ada pengujian tambahan yang dilaksanakan bila respons tidak diterima. Akibatnya, konfirmasi negatif memberikan bukti yang kurang dapat diandalkan ketimbang konfirmasi positif. 3. Dokumentasi (documentation) Dokumentasi adalah inspeksi oleh auditor atas dokumen dan catatan klien untuk mendukung informasi yang tersaji, atau seharusnya tersaji dalam laporan keuangan. Dokumen dapat dengan mudah diklasifikasikan sebagai dokumen internal dan eksternal. Dokumen internal adalah dokumen yang disiapkan dan digunakan dalam organisasi klien, dan disimpan tanpa pernah disampaikan kepada pihak luar Dokumen internal mencakup salinan faktur penjualan, laporan jam kerja karyawan, dan laporan penerimaan persediaan. Dokumen eksternal adalah dokumen yang ditangani oleh seseorang di luar organisasi klien yang merupakan pihak yang melakukan transaksi, tetapi dokumen tersebut saat ini berada di tangan klien atau dengan segera dapat diakses oleh klien. Dalam beberapa kasus, dokumen eksternal berasal dari luar organisasi klien dan berakhir di tangan klien. Contoh-contoh dokumen eksternal adalah faktur dari pemasok, wesel bayar yang dibatalkan, dan polis asuransi. Beberapa dokumen, seperti cek yang dibatalkan, diterbitkan oleh klien, dikirimkan ke pihak luar, dan akhirnya kembali lagi ke tangan klien. Apabila auditor menggunakan dokumentasi untuk mendukung pencatatan transaksi atau jumlah, prosesnya sering kali disebut sebagai vouching. 4. Prosedur analitis (analytical procedures) Prosedur analitis menggunakan berbagai perbandingan dan hubungan untuk menilai apakah saldo akun atau data lainnya tampak wajar dibandingkan dengan harapan auditor. Sebagai contoh, auditor dapat membandingkan persentase marjin kotor tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Prosedur analitis telah digunakan secara luas dalam praktik, dan penggunaannya semakin meningkat dengan tersedianya komputer untuk melakukan perhitungan. 5. Wawancara dengan klien (inquiries of the client) Wawancara dengan klien adalah upaya untuk memperoleh informasi secara lisan maupun tertulis dari klien sebagai respons atas pertanyaan yang diajukan oleh auditor. Bukti ini biasanya tidak dapat dianggap sebagai bukti yang meyakinkan karena bukan dari sumber yang independen dan mungkin mendukung pihak klien. Karena itu, apabila auditor memperoleh bukti melalui tanya jawab, biasanya auditor juga perlu memperoleh bukti pendukung melalui prosedur lainnya (bukti pendukung adalah bukti tambahan untuk mendukung bukti awal atau asli). 6. Rekalkulasi (recalculation) Rekalkulasi melibatkan pengecekan ulang atas sampel kalkulasi yang dilakukan oleh klien. Pengecekan ulang kalkulasi klien ini terdiri dari pengujian atas keakuratan perhitungan klien dan mencakup prosedur seperti perkalian faktur penjualan dan persediaan, penjumlahan jurnal dan buku tambahan, serta pengecekan kalkulasi beban penyusutan dan beban dibayar di muka. Sebagian besar rekalkulasi auditor dilakukan oleh perangkat lunak audit dengan bantuan komputer.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
7
7. Pelaksanaan Ulang (reperformance) Pelaksanaan ulang adalah pengujian independen yang dilakukan auditor atas prosedur dan pengendalian akuntansi klien, yang semula dilakukan sebagai bagian dari sistem akuntansi dan pengendalian internal klien. Jika rekalkulasi melibatkan pengecekan ulang atas suatu perhitungan, pelaksanaan ulang melibatkan pengecekan atas prosedur lain. Sebagai contoh, auditor dapat membandingkan harga yang tertera pada suatu faktur dengan daftar harga yang resmi, atau dapat melaksanakan kembali penentuan umur piutang usaha. 8. Observasi (observation) Observasi adalah penggunaan indera untuk menilai aktivitas klien. Auditor dapat mengunjungi lokasi pabrik untuk memperoleh kesan umum atas fasilitas klien, atau mengamati para individu yang melaksanakan tugas-tugas akuntansi untuk menentukan apakah orang yang diserahi tanggung jawab telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Observasi kurang dapat diandalkan karena risiko personil klien akan mengubah perilakunya akibat kehadiran auditor. Mereka mungkin melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan kebijakan perusahaan di hadapan auditor, tetapi kembali melakukan hal yang biasa dilakukan setelah auditor tidak ada. Karena itu, perlu untuk menindaklanjuti kesan pertama yang diperoleh dengan jenis bukti pendukung lainnya. Namun demikian, observasi berguna dalam pelaksanaan sebagian besar audit. (Arens et al. 2008 : 231-238) Langkah-langkah Proses Penjualan Menurut Hall (2001:182-184) langkah-langkah dalam proses penjualan: a. Proses penjualan dimulai dari pelanggan menghubungi departemen penjualan. Bentuk hubungan itu dapat melalui telepon, surat, atau datang secara langsung. Departemen penjualan akan menangkap seluruh detail informasi dari kejadian tersebut dan mencatatnya pada pesanan penjualan. Informasi ini akan menyebabkan terjadinya beberapa kegiatan lainnya. b. Langkah pertama dari proses penjualan adalah melakukan pengesahan transaksi dengan melalui proses persetujuan kredit untuk pelanggan atau melalui penjualan tunai c. Saat kredit tersebut sudah disetujui, informasi penjualan akan diteruskan ke departemen penagihan, pergudangan, dan pengiriman. Sedang untuk penjualan tunai langsung diteruskan ke departemen pergudangan dan pengiriman. d. Langkah selanjutnya adalah mengirimkan barang dagangan, yang harus dilakukan segera. Jika proses kredit berjalan terlalu lama, pelanggan kemungkinan akan membatalkan pesanan dan mencari pemasok lainnya. Proses pengiriman akan merekonsiliasi barang yang diterima dari gudang dengan informasi penjualan yang sudah diterima terlebih dahulu. Langkah ini digunakan untuk memastikan bahwa perusahaan mengirimkan barang yang tepat ke pelanggan. Apabila ditemukan kesalahan, seperti salah dalam pengambilan barang atau salah dalam kuantitas barang dari gudang, hal tersebut sudah seharusnya dapat diidentifikasikan pada langkah ini. Diasumsikan bahwa semua kondisi sudah sesuai dengan pesanan, maka barang dagangan akan dikemas dan dikirimkan melalui perusahaan angkutan umum ke pelanggan. Kemudian informasi pengiriman akan diteruskan ke proses penagihan (untuk penjualan kredit). e. Proses penagihan akan mengumpulkan dokumen-dokumen yang relevan dengan transaksi tersebut (produk, harga, biaya pengurusan, angkutan, pajak, dan syarat-syarat potongan harga) dan menagihkannya ke palnggan. Informasi ini kemudian akan diteruskan ke proses piutang dan proses pengendalian persediaan.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
8
f. Bagian piutang menerima informasi penagihan dan mencatatnya ke dalam catatan/laporan pelanggan. g. Demikian juga, bagian pengendalian persediaan menggunakan informasi dari bagian penagihan untuk menyesuaikan data persediaan untuk menggambarkan penurunan persediaan. h. Secara berkala(setiap batch, harian, mingguan, bulanan, dan seterusnya) proses penagihan, piutang dan pengendalian persediaan melakukan perhitungan rekapitulasi dan meneruskan informasi ini ke proses buku besar umum. Rekapitulasi ini termasuk (1) total penjualan tunai dan penjualan dari penagihan, (2) total kenaikan jumlah piutang, dan (3) total penurunan persediaan. Berdasarkan informasi tersebut, buku besar umum melakukan proses ke setaip rekening yang dipengaruhi oleh transaksi penjualan selama periode berjalan. Sebagai tambahan, proses rekonsiliasi perhitungan-perhitungan rekapitulasi ini dilakukan secara independen untuk dapat mengidentifikasikan kesalahan pencatatan data. Sebagai contoh, apabila aktivitas penagihan gagal untuk menagih ke pelanggan atau bagian piutang mencatat jumlah yang salah, ketidaksesuaian perhitungan rekapitulasi yang mereka lakukan dapat ditemukan dalam proses buku besar umum. Namun, bila saldo rekapitulasi cocok, maka secara keseluruhan proses diasumsikan berjalan dengan lancar. Arens et al (2008: 4-5) menyebutkan bahwa tujuan keseluruhan dari audit siklus penjualan dan penagihan adalah untuk mengevaluasi apakah saldo akun yang dipengaruhi oleh siklus tersebut telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum. Risiko dan Pengendalian dalam Siklus Pendapatan Romney dan Steinbart (2004:30) menyatakan bahwa di dalam siklus pendapatan, sistim dan prosedur yang didesain dengan baik harus menyediakan pengendalian yang memadai untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan berikut ini tercapai: a. Semua transaksi telah diotorisasi dengan benar; b. Semua transaksi yang dicatat adalah valid (benar-benar terjadi); c. Semua transaksi yang valid, dan disahkan, telah dicatat; d. Semua transaksi dicatat dengan akurat; e. Aset (kas, sediaan, dan data) dijaga dari kehilangan, ataupun pencurian; f. Aktivitas bisnis dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
9
Tabel 1 Daftar Risiko dan Pengendalian Pada Siklus Pendapatan Proses atau Aktivitas
Risiko
Prosedur Pengendalian yang Dapat Diterapkan
Entri pesanan penjualan
1
Pesanan pelanggan yang tidak lengkap atau tidak akurat Penjualan secara kredit ke pelanggan yang memiliki catatan kredit buruk Legitimasi pesanan
1
Pemeriksaan edit entri data
2
Habisnya sediaan, biaya penggudangan, dan pengurangan harga Kesalahan pengiriman, Barang dagangan yang salah, Jumlah yang salah, Alamat yang salah
4
Persetujuan kredit oleh manajer bagian kredit; bukan oleh fungsi penjualan; catatan yang akurat atas saldo rekening pelanggan Tanda tangan di atas dokumen kertas; tanda tangan digital dan sertifikat digital untuk ebusiness Sistim pengendalian sediaan
2
3 4
3
Pengiriman
1
1
Penagihan dan piutang usaha
1
Kegagalan untuk menagih pelanggan
1
2
Kesalahan dalam penagihan
2
Pengendalian edit entri data daftar harga
3
3
Rekonsiliasi buku pembantu piutang usaha dengan buku besar, laporan bulanan ke pelanggan Pemisahan fungsi, minimalisasi penanganan kas, kesepakatan lockbox, konfirmasikan pengesahan dan penyimpanan semua penerimaan, rekonsiliasi periodik laporan bank dengan catatan seseorang yang tidak terlibat dalam pemrosesan penerimaan kas Prosedur cadangan dan pemulihan dari bencana, pengendalian akses (secara fisik dan logis) Tinjauan laporan kinerja
Penagihan kas
1
Kesalahan dalam memasukkan data ketika memperbarui piutang usaha Pencurian kas
Masalah-masalah pengendalian umum
1
Kehilangan data
1
2
Kinerja yang buruk
2
1
Rekonsiliasi pesanan penjualan dengan kartu pengambilan dan slip pengepakan, pemindai kode garis, pengendalian entri data Pemisahan fungsi pengiriman dan penagihan, pemberian nomor terlebih dahulu ke semua dokumen pengiriman dan rekonsiliasi faktur secara periodik, rekonsiliasi kartu pengambilan dan dokumen pengiriman dengan pesanan penjualan
Sumber : Marhall, B. Romney dan Paul J. Steinbart (2004)
Pengertian Pendekatan Audit Berbasis Risiko Menurut Tunggal (2012: 215), audit berbasis risiko adalah audit yang difokuskan dan dipioritaskan pada risiko bisnis dan prosesnya serta pengendalian terhadap risiko yang dapat terjadi. Dalam konsep audit berbasis risiko, semakin tinggi risiko suatu area, maka harus semakin tinggi pula perhatian dalam audit area tersebut. Untuk mengidentifikasi suatu risiko bisnis, auditor harus memahami aspek pengendalian dari bisnis yang bersangkutan. Pemahaman terhadap proses bisnis termasuk memahami risiko dan pengendalian dari sistem dalam mencapai sasaran atau tujuan organisasi.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
10
Tujuan Pelaksanaan Audit Berbasis Risiko Tujuan secara umum adalah dalam rangka ; a. Mengurangi risiko, Dari audit risiko yang dilakukan dapat diungkapkan transaksi, produk serta aktivitas perusahaan yang berisiko tinggi. Area yang berisiko tinggi tersebut dapat dilihat apa yang menjadi penyebabnya. Sebab risiko tinggi bisa terdapat pada proses, orang, sistem atau sebab dari luar. Dengan mengetahui penyebab suatu area berisiko tinggi, manajemen dapat mengurangi risiko dengan meniadakan/mengurangi risiko tersebut. b. Mengantisipasi risiko potensial yang dapat merugikan operasi perusahaan, Audit berbasis risiko juga mengungkapkan area mana yang berpotensi mempunyai risiko tinggi, yang mungkin belum disadari oleh auditee yang bersangkutan c. Melindungi perusahaan dari kejadian tak terduga yang diantisipasi sebelum kejadian tersebut benar-benar terjadi. Suatu kejadian yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan dapat terjadi secara mendadak dan perusahaan tidak siap menghadapinya. Akibat yang ditimbulkan mempunyai pengaruh yang besar pada perusahaan. Sebaliknya, apabila kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang merugikan perusahaan telah diperhitungkan sebelum terjadi, dampak yang ditimbulkan sudah diperkirakan dan pengaruh negatifnya dapat diminimalisasi. Penerapan audit berbasis risiko, lebih memungkinkan perusahaan bersiap menghadapi risiko sekaligus antisipasi melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang akan dialami.(Tunggal, 2012:215-216) Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2007:7-9) menyatakan bahwa pendekatan audit berpeduli risiko bukan berarti menggantikan pendekatan audit konvensional yang dijalankan oleh lembaga audit intern yang sudah berjalan selama ini. Pendekatan ini hanya membawa suatu metodologi audit yang dapat dijalankan oleh auditor internal dalam pelaksanaan penugasan auditnya melalui pendekatan dan pemahaman atas risiko yang harus diantisipasi, dihadapi, atau dialihkan oleh manajemen guna mencapai tujuan. Perbedaan pendekatan audit berpeduli risiko dengan pendekatan audit konvensional adalah pada metodologi yang digunakan dimana auditor mengurangi perhatian pada pengujian transaksi individual dan lebih berfokus pada pengujian atas sistim dan proses bagaimana manajemen mengatasi hambatan pencapaian tujuan, serta berusaha untuk membantu manajemen mengatasi (mengalihkan) hambatan yang dikarenakan faktor risiko dalam pengambilan keputusan. Aspek-aspek yang perlu dipahami auditor dalam melakukan pendekatan berbasis risiko adalah sebagai berikut: a. Dalam menerapkan audit berbasis risiko, auditor perlu mengidentifikasi wilayah atau area yang memiliki risiko yang menghambat pencapaian tujuan manajemen. Misalnya dalam audit keuangan, risiko salah saji yang besar atau tinggi pada penyajian laporan keuangan. Wilayah atau area yang memiliki tingkat risiko yang tinggi tersebut akan memerlukan pengujian yang lebih mendalam; b. Auditor dapat mengalokasikan sumber daya auditnya berdasarkan hasil identifikasi atas kemungkinan dan dampak terjadinya risiko. Wilayah berisiko rendah menjadi prioritas akhir alokasi sumber daya audit. Perubahan Paradigma dalam Pendekatan Audit Berbasis Risiko Tunggal (2012:465-466) menyebutkan, perubahan pendekatan ke audit internal berbasis risiko adalah perubahan yang fundamental sehingga memerlukan perubahan paradigma secara total dari para pelakunya. Secara umum perubahan tersebut yaitu :
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
11
a. Perencanaan audit berbasis risiko dirancang untuk menggunakan waktu audit lebih banyak pada area yang berisiko tinggi dan merupakan sasaran perusahaan yang paling penting. b. Adanya perubahan alokasi waktu dalam melakukan proses audit berbasis risiko dengan lebih banyak melakukan evaluasi terhadap kecukupan dan efektivitas internal control perusahaan, tata kelola yang baik (governance) dan sistem informasi yang meliputi : 1) Efektivitas dan efisiensi operasi perusahaan 2) Kehandalan dan integritas dari informasi keuangan dan operasi 3) Perlindungan terhadap aset perusahaan 4) Kepatuhan terhadap sistem dan prosedur, regulasi dan hukum. Tabel 2 Proses Audit Tradisional dan Proses Audit Berbasis Risiko Traditional Audit Process Risk Based audit Process Time Phase Phase Time Allocation Allocation Planning 10-15% Planning 10-15% Preeliminary 10-15% Evaluation of 40-50% Survey Adequacy Fieldwork 60-65% Evaluation Of 25-30% Effectiveness Reporting 10-15% Reporting 5-10% Sumber: Amin (2012)
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Audit Berbasis Risiko Tuanakotta (2013:198) menunjukkan bahwa dalam audit berbasis risiko, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pedoman dalam melakukan audit ini. Beberapa hal tersebut di antaranya adalah: a. Kecukupan pengendalian; b. Kepatuhan terhadap sistim dan prosedur; c. Tujuan daripada audit itu sendiri. Selain itu, auditor juga harus dituntut untuk memiliki karakter atau hal dasar selama pemeriksaan dengan berpegang pada beberapa hal, meliputi : a. Professional judgement, yaitu sikap dasar yang diperlukan oleh seorang auditor dalam menanggapi temuan dan potensi risiko yang ada selama pemeriksaan. Bentuk daripada pertimbangannya berupa modifikasi prosedur audit, penambahan atau pengurangan bukti audit, perluasan lingkup audit, penentuan materialitas temuan audit. Professional judgement muncul ketika seorang auditor, di antaranya sudah mempunyai jam terbang yang cukup tinggi dan telah memahami seluk beluk objek dan sasaran audit beserta permasalahannya; b. Skeptisisme profesional, yaitu ketidakmudahan untuk mempercayai apa yang telah ditemukan, meliputi bukti audit, informasi dari stakeholders, kepatuhan para personil terhadap sistim dan prosedur. Skeptisisme professional berbeda dengan kecurigaan. Perbedaan yang mendasar di antara dua sikap di atas adalah ada atau tidaknya landasan yang menyertai, di antaranya karakter, kejadian, motif dari sesuatu yang diamati dan terjadi sebelum atau bersamaan dengan objek audit yang sedang diperika; c. Principle based, yang merupakan pilihan lain selain penggunaan rules based. Konsep dasar daripada principle based ini adalah fleksibilitas dalam menanggapi temuan audit yang ada, di samping mempertimbangkankonsep rules based. Di samping itu, konsep dasar principle
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
12
based juga berguna dalam mengenmbangkan standar, prosedur baku yang telah ditetapkan dalam pedoman audit yang merupakan wujud dari konsep rules based. Manfaat Audit Berbasis Risiko Menurut Tuanakotta (2013:101-102), beberapa manfaat dari suatu audit berbasis risiko adalah sebagai berikut: a. Fleksibilitas waktu. Karena prosedur penilaian risiko tidak menguji transaksi dan saldo secara rinci, prosedur itu dapat dilaksanakan jauh sebelum akhir tahun (dengan asumsi, tidak ada perubahan operasional yang besar). Ini dapat menyeimbangkan beban kerja audit secara merata sepanjang tahun; b. Upaya tim audit terfokus pada area kunci. Dengan memahami di mana risiko salah saji material bisa terjadi dalam laporan keuangan, auditor dapat mengarahkan tin audit ke hal-hal berisiko tinggi dan mengurangi pekerjaan pada hal-hal yang berisiko rendah. Dengan demikian sumber daya atau staf audit dimanfaatkan sebaik-baiknya; c. Prosedur audit terfokus pada risiko. Prosedur audit selanjutnya dirancang untuk menanggapi risiko yang dinilai. Oleh karena itu, uji rincian yang hanya menanggapi risiko secara umum, akan dapat dikurangi secara signifikan atau bahkan sama sekali dihilangkan; d. Pemahaman atas pengendalian internal. Pemahaman terhadap pengendalian internal yang tepat, untuk menguji atau tidak menguji efektifnya pengendalian internal. Uji pengendalian sering mengurangi banyak pekerjaan, dibandingkan dengan pelaksanaan uji rincian secara ekstensif; e. Komunikasi tepat waktu. Pemahaman terhadap pengendalian internal yang meningkat memungkinkan auditor mengidentifikasi kelemahan dalam pengendalian internal, yang sebelumnya tidak diketahui. Mengkomunikasikan kelemahan dalam pengendalian internal kepada manajemen secara tepat waktu memungkinkan entitas mengambil tindakan yang tepat, dan yang menguntunkan entitas. Tahapan dalam Melakukan Audit Berbasis Risiko Menurut Tuanakotta (2013:12) menyatakan bahwa tahapan dalam melakukan audit berbasis risiko tidak jauh berbeda dengan tahapan audit internal. Letak perbedaannya hanya pada orientasi nya yang merujuk pada temuan-temuan yang sifatnya berpotensi risiko pada setiap tahap siklus aktivitas bisnis yang direpresentasikan oleh fungsi-fungsi yang ada dalam siklus aktivitas bisnis yang bersangkutan. Hanafi (2009:10) menyatakan bahwa adapun tahapan dalam audit berbasis risiko tersebut adalah: a. Pendahuluan Pada tahap ini, auditor menyusun rencana audit yang didasarkan pada penilaian risiko untuk mengidentifikasi risiko-risiko apa yang ada pada objek yang diaudit. Identifikasi dilakukan guna mempelajari kemungkinan-kemungkinan risiko yang dapat terjadi dengan melihat pengendalian internal dan faktor risiko.Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko adalah metode laporan keuangan, analisis flow chart dan operasional perusahaan, analisis kontrak, dan wawancara kepada pemangku kepentingan, terutama yang berkaitan dengan manajemen risiko. Setelah melakukan tahap identifikasi risiko, maka tahap selanjutnya adalah membuat program audit di mana pada tahap ini auditor mempersiapkan prosedur-prosedur audit yang spesifik untuk audit yang akan dilakukan dan dilanjutkan dengan tahap pekerjaan lapangan (field work). Hasil daripada tahap pekerjaan lapangan ini akan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
13
didokumentasikan ke dalam laporan hasil audit yang isinya berupa temuan audit, kriteria atau standar prosedur yang seharusnya, dampak yang ditimbulkan, serta rekomendasi atas temuan tersebut guna meminimalisasi risiko serta dampak yang akan ditimbulkannya. b. Pelaksanaan Setelah identifikasi risiko dilakukan, auditor mengadakan pengukuran risiko (sesuai dengan program audit yang telah dirancang sebelumnya) yang pada dasarnya menganalisis seberapa besar kemungkinan terjadinya (likelihood) risiko tersebut dan besarnya dampak yang ditimbulkan jika risiko tersebut terjadi.Kemungkinan terjadinya risiko dipengaruhi oleh kecukupan pengendalian internal dan ada atau tidaknya kepatuhan terhadap sistim dan prosedur, terutama yang berkaitan dengan management override (pelanggaran oleh pihak manajemen melalui penyalahgunaan wewenang). Teknik-teknik dalam mengukur risiko sebetulnya bervariasi tergantung jenis risikonya.Teknik yang sebagian besar digunakan dan paling lazim digunakan adalah matriks frekuensi dan signifikansi (Hanafi, 2009:57). Setelah tahap pengukuran risiko dilakukan, kemudian auditor internal melakukan mapping (pemetaan) berdasarkan hasil penilaian risiko ke dalam kategori yang dikehendaki oleh auditor internal yang bisa berupa kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pemasangan kategori tersebut dipengaruhi oleh professional judgement, corporate life cycle,skeptisisme, dan principle based. Beberapa risiko yang menempati posisi rawan, akan dijadikan Critical Problem Area. Dan risiko-risiko yang masuk ke dalam kategori Critical Problem Area tersebut menjadi prioritas dalam pengelolaan risiko nantinya. c. Pelaporan Setelah melakukan tahap field work dan mendokumentasikannya, maka temuan-temuan dan hasil pengujian-pengujian terhadap risiko-risiko yang telah dilakukan pada tahap pelaksanaan, dikomunikasikan kepada manajemen. Dari hasil komunikasi dengan manajemen tersebut, auditor berharap adanya evaluasi secara berkala berupa pengelolaan risiko sebagai syarat untuk melengkapi prinsip audit yang efektif, yaitu komprehensif dan berkesinambungan. Sebagai wujud dari hasil komunikasi dengan manajemen akan melahirkan pilihan dalam menanggapi risiko yang terjadi, yaitu menghindaririsiko,menahan atau menerima risiko,mendiversifikasikan risiko, melakukan transfer risiko, dan mengendalikan risiko (Hanafi,2009:12). METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Sugiyono (2011:8), metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah puzzle yang harus dipecahkan. Ada tiga langkah dasar dalam menggunakan studi kasus; pengumpulan data, analisis, dan menulis. Objek dari penelitian ini terbatas pada Risk Based Audit atas penjualan pada PT “X” yang merupakan perusahaan swasta dengan berorientasi pada penjualan spareparts.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
14
Teknik Pengumpulan Data Data Primer Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan melakukan: 1. Wawancara (interview). Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. (Sugiyono, 2010:194). 2. Observasi Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik lain, yaitu wawancara dan kuesioner(Sugiyono, 2010:203) Dalam observasi ini, peneliti melakukan pengamatan bersama sumber data, dengan maksud untuk memperoleh gambaran secara langsung atas data, meliputi keadaan lapangan, dan kegiatan manusia serta konteks kegiatan-kegiatan itu terjadi.
Data Sekunder. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data sekunder dengan dokumen yang terkait topik yang disajikan, kemudian diolah sesuai kebutuhan peneliti.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data-data, baik primer maupun sekunder serta dokumen perusahaan 2. Mengolah data dengan pendekatan Risk-Based Audit 3. Menyimpulkan hasil analisis sesuai temuan yang ada kepada PT “X” mengenai potensi risiko yang ada, area kritikal yang perlu diperhatikan serta memberikan rekomendasi yang harus dilakukan untuk meminimalisasi risiko atas penjualan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Seperti yang sudah dijelaskan pada tahap pelaporan, tentang hasil dari audit berbasis risiko, akan dituangkan dalam Laporan Hasil Audit (LHA). Laporan Hasil Audit tersebut berisi tentang rekomendasi hasil audit berdasarkan atas temuan audit selama dilakukannya pelaksanaan audit. Laporan Hasil Audit ini akan diserahkan kepada pemilik, untuk dilakukan pemantauan. Tahap pemantauan ini, dilakukan untuk memastikan bahwa apa yang sudah direkomendasikan oleh peneliti itu sudah betul-betul dijalankan. Berikut ringkasan mengenai hasil audit berbasis risiko, beserta rekomendasinya; 1. Kondisi : belum memiliki sistem dan prosedur operasional secara tertulis. Penyebab : pemilik memiliki asumsi bahwa semua sumber daya manusia yang ada memiliki kejujuran dan integritas yang tinggi terhadap perusahaan, serta menganggap bahwa karyawan bisa rutin menjalankan operasional baik tentang penjualan barang maupun penagihan piutang usaha. Akibat : banyak piutang yang tingkat ketertagihannya rendah / diragukan, informasi piutang diragukan keakuratannya. Kriteria : seluruh proses penjualan barang, baik tunai maupun kredit, harus memiliki prosedur yang tertulis.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
15
2. Kondisi : Sales Order dan Surat jalan yang tidak dicetak. Penyebab : pemilik lebih mengutamakan penghematan biaya, dengan tidak mencetak baik Sales Order maupun Surat Jalan. Akibat : terdapat kesalahan pesanan barang, yang tidak sesuai dengan permintaan pelanggan. Kriteria : pengeluaran barang harus memakai Surat Jalan. Untuk itu bisa ditarik dari Sales Order yang dibuat oleh bagian penjualan. 3. Kondisi : Laporan Kas Harian tidak dibuat, hanya memakai buku kas harian, yang dicatat dengan menggunakan pensil, serta tidak rutin dalam melakukan perhitungan fisik uang tunai. Penyebab : para pelaku (kasir dan Manager Finance) belum mengetahui risiko dari penulisan menggunakan pensil yang mudah dihapus, terutama untuk nominal uangnya, serta dianggap kejujuran yang paling utama. Akibat : Jika terjadi kekurangan maupun kelebihan uang, tidak bisa ditelusuri penyebabnya. Kriteria : Semua pencatatan uang tidak boleh menggunakan pensil, karena mudah dihapus dan tidak bisa ditelusuri jika terjadi perbedaan angka, serta perlu untuk melakukan perhitungan uang fisik setiap hari oleh pihak pemegang uang tunai dan pihak lain yang independen, untuk memastikan bahwa saldo uang secara fisik, sudah pasti sama dengan yang ada di sistem. 4. Kondisi : tidak ada pemeliharaan berkala atas program dan modul-modulnya yang terkait siklus penjualan. Penyebab : user belum pernah memantau kegunaan laporan serta fasilitas yang ada pada program komputer, serta belum adanya komitmen dari pihak programmer untuk melakukan maintenance secara berkala. Akibat : Laporan yang ada di sistem tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal kegunaannya, bahkan user masih banyak menggunakan program excell untuk membuat laporan keuangan. Kriteria : Sistem Komputer seharusnya membantu orang untuk mempercepat dalam mengeluarkan laporan yang dibutuhkan dan bisa membantu manusia dalam menganalisa laporan. 5. Kondisi : Tidak ada perbedaan antara Bukti Kas Masuk dan Bukti Bank Masuk di sistem komputer. Penyebab : belum adanya pemantauan terkait laporan-laporan yang perlu dipisahkan fungsinya, dalam hal ini antara penerimaan via tunai dan non tunai. Akibat : pihak Accounting sulit untuk memisahkan penerimaan via tunai dan non tunai. Kriteria : Seharusnya meskipun ada sistem Kas Kecil, tetap perlu memisahkan penerimaan non tunai, agar dapat ditelusuri ke Buku Tabungan. 6. Kondisi : data pelanggan terkait identitas dan eksistensi pelanggan, belum pernah dikonfirmasi kebenarannya. Penyebab : karena jarak yang berjauhan, dan Admin Piutang sangat bergantung kepada sales yang keliling cari order / kejar omset. Akibat : banyak piutang yang tingkat ketertagihannya rendah (diragukan), dan ada juga piutang yang overdue. Kriteria : semua data pelanggan harus up to date dan bisa dipastikan baik identitas pelanggan, maupun keberadaan pelanggan tersebut. 7. Kondisi : tidak ada prosedur tertulis tentang penjualan, kredibilitas pelanggan pada saat terima pesanan, baik lisan maupun tertulis.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
16
Penyebab : pemilik memiliki asumsi bahwa semua sumber daya manusia yang ada memiliki kejujuran dan integritas yang tinggi terhadap perusahaan, serta menganggap bahwa karyawan bisa rutin menjalankan operasional baik tentang penjualan barang maupun penagihan piutang usaha. Akibat : piutang ada yang tingkat ketertagihannya rendah (diragukan), adanya risiko gagal bayar piutang. Kriteria : seluruh proses baik penjualan tunai maupun kredit, serta penagihan piutang harus memiliki prosedur secara tertulis agar memudahkan semua orang untuk melakukannya. 8. Kondisi : sebagian besar Purchase Order dari pelanggan tidak ada. Penyebabnya : adanya persaingan yang sangat ketat dengan pesaing, serta sebagian besar pelanggan perusahaan adalah orang pribadi. Akibat : identitas dan eksistensi pelanggan diragukan kebenarannya, serta adanya risiko gagal bayar piutang. Kriteria : sebaiknya semua pelanggan yang memesan barang, menggunakan Purchase Order untuk memudahkan dalam pemesanan barang. 9. Kondisi : nota jual yang sudah lunas, belum diberi cap LUNAS oleh pihak Finance. Penyebab : pihak Finance belum memahami kegunaan stempel LUNAS pada dokumen yang sudah dibayar pelanggan. Akibat : penagihan bisa dilakukan berulang oleh pihak yang tidak berwenang, karena belum ada cap LUNAS-nya Kriteria : sebaiknya untuk semua nota jual yang sudah lunas, harus dicap LUNAS agar tidak bisa ditagih dua kali. 10. Kondisi : tidak ada dokumen berupa tanda terima uang / kwitansi dari penagihan kepada pelanggan atas serah terima uang untuk pembayaran tunai / kredit. Penyebab : belum ada prosedur tentang penagihan piutang usaha. Akibat : Penagihan berulang oleh pihak yang tidak berwenang. Kriteria : semua uang yang masuk ke perusahaan, seharusnya dibuatkan tanda terima uang / kwitansi dan diserahkan kepada pelanggan sebagai bukti pembayaran. 11. Kondisi : uang hasil penjualan tunai, diterima oleh admin gudang dan tidak langsung diterima oleh bagian keuangan. Penyebab : karena posisi kasir tidak ada di bawah. Akibat : uang bisa dipergunakan untuk keperluan pribadi. Kriteria : semua penerimaan uang harus diterima oleh kasir selaku penanggungjawab keuangan, bukan oleh admin gudang. 12. Kondisi : prosedur konfirmasi piutang dagang, belum dilakukan oleh pihak Accounting. Penyebab : faktor percaya kepada kinerja admin piutang dan sales. Akibat : bisa terjadi pelanggan “fiktif” dan adanya risiko gagal bayar piutang usaha. Kriteria : prosedur konfirmasi perlu dilakukan oleh pihak di luar admin piutang, untuk memastikan bahwa saldo piutang yang dicatat di sistem sudah sama dengan yang diakui oleh pelanggan. 13. Kondisi : penerimaan uang atas uang muka pelanggan, tidak dibukukan, hanya disimpan di brankas dan baru diinput setelah ada informasi dari pihak sales. Penyebab : belum ada ketentuan yang dibuat mengenai jurnal yang harus dicatat. Akibat : Penyajian uang muka penjualan di dalam neraca tidak akurat Kriteria : Semua uang yang diterima oleh perusahaan, harus dibukukan, tidak boleh hanya disimpan di brankas.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
17
14. Kondisi : serah terima tagihan yang diberikan kepada sales untuk menagih, tidak dicetak periodik, dan tidak dilengkapi tanda tangan pihak sales yang membawa nota jual, serta kurangnya informasi tanggal penerimaan uang pada laporan tersebut. Penyebab : belum ada ketentuan yang mengatur tentang tagihan yang dititipkan kepada sales Akibat : risiko adanya pelanggan “fiktif”, penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi. 15. Kondisi : potongan penjualan tidak dituliskan pada form serah terima tagihan dan tidak dibuatkan Bukti Kas Keluar atas potongan penjualan. Penyebabnya : masih berlaku prinsip “tahu sama tahu”, sehingga tidak perlu dibuatkan Bukti Kas Keluar Akibat : penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi. Kriteria : setiap potongan penjualan yang diberikan kepada pelanggan, harus dibuatkan memo dan Bukti Kas Keluar, untuk mengurangi saldo piutang yang ada di Neraca. 16. Kondisi : tidak langsung membukukan retur penjualan, dalam arti tidak membuat laporan retur penjualan Penyebab : belum ada ketentuan yang mengatur tentang retur penjualan. Akibat : penyalahgunaan barang atas retur, oleh pihak yang tidak berkepentingan. Kriteria : semua retur yang dilakukan oleh pelanggan, harus dibukukan langsung, dan jika barangnya belum diterima perlu dibuatkan catatan tersendiri yang menyebutkan tentang kapan barang tersebut diterima oleh pihak gudang. Tabel 3 Rekomendasi No. Temuan Potensi Risiko Rekomendasi 1 Perusahaan belum - Keamanan aset, serta - Susun sistim dan prosedur memiliki sistem dan keandalan Laporan secara tertulis serta prosedur Keuangan diragukan sosialisasikan kepada para operasional secara pengguna yang terkait tertulis - Akan terjadi lag - Lakukan pengawasan rutin (kesenjangan) antara terhadap sistem dan satu departemen prosedur yang sudah dengan departemen lain diimplementasikan, karena terjadi inefisiensi terutama mengenai dan inefektifitas pada kepatuhan semua SDM fungsi-fungsi yang ada yang ada dalam perusahaan - Rawan terjadi fraud oleh SDM yang melihat adanya celahdalam perusahaan - Penilaian kinerja tiaptiap SDM yang ada akan sulit untuk dinilai oleh pemilik - Setiap personil akan memiliki persepsi yang berbeda atas jalannya SOP sehingga
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
18
-
-
2 Sales Order dan Surat Jalan yang tidak dicetak
-
3 Tidak membuat Laporan Kas Harian,hanya memakai buku kas harian dan itupun ditulis dengan menggunakan pensil, serta tidak rutin dalam melakukan perhitungan fisik uang tunai (sewaktu-waktu, tetapi tidak setiap hari) 4 Tidak ada maintenance berkala atas program dan modul-modulnya yang terkait dengan siklus Penjualan 5 Tidak ada perbedaan antara Bukti Kas Masuk dan Bukti Bank Masuk di sistem komputer
-
-
mengakibatkan berisiko terjadinya inefisiensi dan inefektivitas Kelemahan atas pengendalian internal tidak bisa diketahui secara pasti Rawan terjadi transaksi "off-line" (transaksi di luar sistim dan prosedur) Memungkinkan terjadinya manajemen override Kesalahan pesanan barang
Kesalahan penyajian nilai pada buku kas harian (misal : saldo fisik uang yang berbeda dibanding saldo berdasarkan Laporan Kas Harian); Jika ternyata saldo fisik uang lebih kecil, terjadi kerugian, tidak dapat diketahui dengan cepat
-
Program lebih sering mengalami error dan hang;
-
Uang tunai hasil penagihan bisa dipakai untuk kepentingan pribadi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab;
- Susun SOP penjualan yang menyebutkan untuk cetak SO terlebih dahulu, kemudian SJ dan terakhir Invoice; - Lakukancash count secararutindan mendadak untuk menilai kinerja performance kasir
- Buat Kontrak perjanjian dengan programmer untuk melakukan maintenance berkala, dan jika perlu berikan pendekatan reward dan punishment; - Tulis semua penerimaan tunai pada Bukti Kas Masuk, dan semua penerimaan Cek / BG atau Kliring pada Bukti Bank Masuk untuk memantau semua uang yang masuk baik melalui kas maupun melalui bank
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
19
6 Data pelanggan terkait identitas dan eksistensi pelanggan, belum pernah dikonfirmasi kebenarannya
-
Gagal bayar piutang usaha
- Susun sistem dan prosedur mengenai konfirmasi kebenaran identitas pelanggan dan eksistensinya
-
Rawan dilakukan lapping
- Buatlah jadwal berkala, rutin, dan konsisten mengenai konfirmasi atas kebenaran identitas pelanggan dan eksistensinya
-
Penagihan menjadi tidak efektif dan efisien karena eksistensi pelanggan diragukan Adanya pelanggan “fiktif” Mengurangi efektifitas prosedur penyiapan barang dan penerimaan order
7 Tidak ada prosedur tertulis tentang penjualan, kredibilitas pelanggan pada saat terima order beli, baik secara tertulis maupun komunikasi langsung (telepon, instant messaging) oleh sales
8 Sebagian besar PO (purchase order) dari pelanggan tidak ada
-
-
Gagal bayar piutang
-
Identitas dan eksistensi pelanggan diragukan kebenarannya
- Pemberian akses data pelanggan beserta informasi kredibilitasnya (riwayat pelunasan piutang, limit kredit) dengan status "read only" kepada Supervisor
- Susunlah sistim dan prosedur baru mengenai penjualan, dan ketentuan terkait kredibilitas pelanggan - Penjualan tunai (bagi pelanggan yang tidak bisa memberikan PO) - Buat kebijakan mengenai tenggang waktujatuh tempo piutang usaha yang berbeda-beda antara satu pelanggan dengan pelanggan yang lain berdasarkan ada tidaknya PO (purchase order)
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
20
9 Nota jual yang terlunasi oleh pelanggan belum semuanya diberi cap LUNAS oleh departemen finance;
10 Tidak ada dokumen berupa tanda terima uang / kwitansi dari penagihan kepada pelanggan atas serah terima uang untuk pembayaran tunai/kredit 11 Uang hasil penjualan tunai diterima oleh admin gudang, tidak langsung diterima oleh bagian keuangan 12 Prosedur konfirmasi piutang dagang belum dilakukan oleh pihak Accounting; 13 Penerimaan uang atas uang muka pelanggan tidak dibukukan, hanya disimpan di brankas, pelunasannya menunggu sales ,
-
Penagihan berulang oleh pihak yang tidak berwenang
-
Uang hasil penagihan dipergunakan untuk keperluan pribadi
-
Penagihan berulang oleh pihak yang tidak berwenang
-
Uang dipergunakan untuk keperluan pribadi
- Susun SOP secara tertulis dan sosialisasikan kepada para pengguna yang terkait
-
Gagal bayar Piutang Usaha
- Buat ketentuan terkait konfirmasi piutang kepada pihak pelanggan
-
Adanya pelanggan “fiktif” Menyebabkan kesalahan - Secara rutin, dan mendadak pelunasan piutang dilakukan cash ketika melakukan countsecaraberkala oleh penjurnalan pelunasan; departemenaccounting dan Penggunaan uang untuk manajer finance untuk kepentingan pribadi menjamin bahwa oleh pihak yang tidak penyimpanan uang sudah berwenang dilakukan dan dibukukan sebagaimana mestinya dan segera diambil tindakan apabila menemukan suatu keganjikan seperti yang dipaparkan pada kolom temuan
-
-
- Beri cap LUNAS pada nota jual yang sudah dilunasi dengan melakukan konfirmasi terlebih dahulu ke bagian kasir perihal adanya pelunasan via kas/bank - Susunlah sistim dan prosedur baru mengenai kewajiban untuk melakukan verifikasi - Susun SOP secara tertulis dan sosialisasikan kepada para pengguna yang terkait
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
21
14 Serah terima tagihan yang diberikan kepada sales untuk menagih, tidak dicetak periodik dan tidak dilengkapi tanda tangan pihak sales yang membawa Invoice ataupun tanda terima dari pelanggan, serta kurangnya informasi tanggal penerimaan uang yang dibawa oleh sales 15 Potongan Penjualan tidak dituliskan pada Form Serah terima tagihan, dan tidak dibuatkan Bukti Kas Keluar atas potongan penjualan 16 Retur Penjualan tidak langsung dibukukan, tetapi menunggu barangnya datang, juga tidak dibuatkan laporan penerimaan barang atas retur
-
Gagal Bayar Piutang Usaha Rawan dilakukan lapping Adanya pelanggan “fiktif” Penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi Umur piutang menjadi lama, tidak efektif dan efisie
- Semua tagihan yang dilakukan oleh sales harus dicetakkan form serah terima tagihan secara periodik dan setiap kali sales datang harus melakukan serah terima terlebih dahulu dan baru dibuatkan form serah terima tagihan yang baru
-
Penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi
- Semua potongan penjualan harus dibukukan secara tertulis dan dibuatkan Bukti Kas Keluar atas potongan penjualan tersebut
-
Penyalahgunaan barang oleh pihak yang tidak berwenang
- Setiap transaksi yang dilakukan dengan pihak eksternal diusahakan memiliki bukti transaksinya
-
Barang yang masuk tidak dilaporkan, yang akhirnya mengurangi keandalan laporan keuangan
- Jika diperlukan, dilakukan perhitungan fisik barang secara rutin, terutama untuk barang yang diretur dari pelanggan
-
-
Sumber: Data diolah penulis
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti sebelumnya, adalah bahwa Penjualan PT “X” mempunyai beberapa celah. Adapun celah tersebut memiliki potensi fraud (kecurangan) di beberapa bidang kegiatan pada PT “X” serta inefisiensi dan inefektifitas fungsional. Beberapa temuan terkait penjualan yang menjadi fokus utama antara lain : tidak rutin dilakukan perhitungan fisik uang tunai serta penggunaan pensil pada buku kas harian, tidak mencetak Sales Order dan surat jalan, PO (purchase order) dari pelanggan yang tidak ada, belum pernah ada konfirmasi terkait identitas dan eksistensi pelanggan, belum adanya perbedaan antara Bukti Kas Masuk dan Bukti Bank Masuk dari sistem komputer, semua
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
22
nota jual yang belum diberi cap LUNAS, dan semua uang hasil penjualan tunai yang diterima oleh admin gudang di toko tidak langsung diserahkan kepada kasir, tidak adanya dokumen berupa tanda terima uang / kwitansi dari penagihan atas serah terima uang dari pelanggan, penerimaan uang muka pelanggan yang tidak langsung dibukukan – hanya disimpan saja di brankas dan menunggu sampai sales-nya datang, serah terima tagihan yang tidak dicetak periodik dan tidak ada tanda tangan pihak sales yang membawa Invoice ataupun tanda terima dari pelanggan, juga potongan penjualan yang tidak langsung dibuatkan Bukti Kas Keluar, dan juga retur penjualan yang tidak langsung dibukukan. Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan terjadinya risiko terhadap keamanan aset (piutang usaha, kas dan setara kas), serta efisiensi dan efektivitas fungsional (fungsi penjualan, fungsi gudang, fungsi keuangan). Saran Rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh peneliti sudah dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan dalam menanggapi risiko yang muncul, mulai dari menerima risiko, menolak risiko, dan mendiversifikasi risiko. Adapun risiko-risiko yang sudah ditimbulkan oleh sumber-sumber risiko terhadap siklus penjualan sebaiknya diberikan kategori sesuai tingkatan yang berbeda-beda, mulai dari risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah dan perlu adanya perlakuan yang berbeda dalam menanggapi tiap-tiap risiko yang muncul tersebut. Yang terpenting dari semuanya adalah adanya pengendalian internal yang memadai serta monitoring dan pengembangan proses yang ada. Hal ini merupakan tugas primer bagi perusahaan untuk selalu diutamakan pelaksanaannya, karena ikatan yang paling lemah dari sebuah sistem ada pada sumber daya manusia. Dengan memperkuat pengendalian internal dan prosedur yang ada, diharapkan dapat membendung kemungkinan terjadinya fraud (kecurangan) yang akan dilakukan oleh sumber daya manusia tersebut terhadap aset, keandalan laporan dan informasi yang terkait dengan keuangan, serta efisiensi dan efektifitas fungsioanal dalam hal pemakaian sumber daya perusahaan. DAFTAR PUSTAKA Agoes, S. 2004. Auditing ( Pemeriksaan Akuntan ) oleh Kantor Akuntan Publik, Jilid Satu. Edisi Ketiga. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Akmal. 2007. Pemeriksaan Intern ( Internal Audit ) Edisi Pertama. PT. Indeks. Jakarta Andayani, W. 2008. Audit Internal. Edisi 1. BPFE, Yogyakarta. Arens, A.A, R.J. Elder, dan M.S. Beasley. 2008. Auditing dan Jasa Assurance Pendekatan Terintegrasi. Jilid 1. Edisi Keduabelas. Erlangga. Jakarta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2007. Audit Berpeduli Risiko.Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan. Jakarta Hall, J.A. 2001. Sistem Informasi Akuntansi, Buku Satu. 3 rd ed. PT. Salemba Emban Patria. Jakarta Hanafi, M.M. 2009. Manajemen Risiko. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal. 2004. Standar Profesi Audit Internal. Yayasan Pendidikan Internal Audit. Romney, M.B. dan P.J Steinbart. 2004. Accounting Information Systems (Sistim Informasi Akuntansi), Buku Satu. Edisi Kesembilan. Salemba Empat. Jakarta.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 4 (2014)
23
Sawyer, L.B; M.A. Dittenhofer; J.H. Sheiner; with contributions by Anne Graham and Paul Makoxz. 2003. Sawyer’s Internal Auditing 5 th Edition. The Practise of Modern Internal Auditing. The Institute of Internal Auditors. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta. Bandung ________. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV. Alfabeta. Bandung Tuanakotta, T.M. 2013. Audit Berbasis ISA (International Standards on Auditing). Edisi Pertama. Salemba Empat. Jakarta. Tunggal, A.W. 2012. Pedoman Pokok Operational Auditing.. Harvarindo. Jakarta _________________. Pokok-pokok Audit Manajemen. Harvarindo. Jakarta ●●●