1
ANALISIS STATUS HUKUM PEMEGANG SAHAM YANG MELAKUKAN PENYETORAN MODAL SECARA MENGANGSUR DALAM PERSEROAN TERBATAS. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 312/PDT.G/2010/PN.JKT.PST) Revi Laracaka dan Yetty Komalasari Dewi Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas status hukum pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur serta menganalisis pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penggugat yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur dapat dikatakan sebagai pemegang saham yang sah dari PT Putri Mea. Hasil dari penelitian yuridis normatif ini menunjukkan bahwa menurut UUPT setelah Perseroan Terbatas disahkan menjadi badan hukum maka penyetoran modal harus dilakukan secara penuh dan tidak dimungkinkan untuk diangsur sehingga pemegang saham yang melakukan penyetoran saham secara mengangsur tidak dapat dikatakan sebagai pemegang saham yang sah dan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Penggugat sebagai pemegang saham yang sah PT. Putri Mea adalah pertimbangan yang kurang tepat. Agar permasalahan demikian tidak terjadi di kemudian hari, hendaknya pemerintah menyempurnakan ketentuan dalam UUPT dengan cara menyatakan bahwa direksi yang bertanggungjawab secara pribadi apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penyetoran modal. Kata kunci: Penyetoran Modal, Penyetoran Modal Secara Mengangsur, Modal Perseroan Terbatas.
Analysis of the Legal Status of Shareholders to Deposit Shares in Installments in The Company Limited (Case Studies of Court Decisions Number 312/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst). ABSTRACT This thesis focuses on the legal status of shareholders pays unpaidfull capital and analyzing the consideration of the Judge who declared the plaintiff as the legitimate shareholders of PT Putri Mea whereas pays unpaidfull capital. The results of this case study indicate that the capital deposit is made in full and shall not be paid in installments/unpaidfull, the shareholders to deposit shares in installments can not be regarded as legitimate shareholders, and consideration judge stating that the plaintiff as the legitimate shareholders of PT. Putri Mea is improper consideration. At the end of the thesis, authors also suggested that States needs to rearrange the regulation about company limited with regulated that the board of Director will be responsible of shares deposit regulation fallacy. Keywords: Capital Deposit, Unpaidfull Capital Deposit, Capital of Company Limited.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
2 Pendahuluan Keberadaan Perseroan Terbatas dalam sistem hukum Indonesia pertama kalinya diatur dalam Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847-23 (yang kemudian hari dikodifikasi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).1 Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan mengenai Perseroan Terbatas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) sendiri mengartikan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UndangUndang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya,3 sedangkan menurut pendapat ahli Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum yang mandiri berstatus badan hukum,4 yang 1
Rudy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas: Disertasi Dengan Ulasan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 10. 2
Nindyo Pramono, Perkembangan Perseroan Terbatas dalam Dimensi RUU PT, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1994), hlm. 24. Proses pembentukan UUPT tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi. Sebelum UUPT diundangkan, Indonesia sudah meratifikasi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dan pembentukan World Trade Organization (WTO) dengan Undang –Undang Nomor 7 Tahun 1994. Adanya ratifikasi tersebut menyebabkan sistem hukum Indonesia tidak lagi konsisten pada akarnya, yaitu sistem Eropa-Kontinental, akan tetapi bergeser atau mendapat pengaruh sistem Anglo Amerika yang tampak pada berbagai ketentuan Hukum Perusahaan, seperti misalnya jenis saham tanpa nominal (share without per value), “piercing of the corporate veil”, scripless trading dan sebagainya, termasuk mengganti sistem Perseroan Terbatas yang dulu bersumber dari KUHD dan Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen stb. 1939 : 569). 3
Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, L.N. Tahun 2007 Nomor 106, TLN 4756, Pasal 1 ayat (1). Bandingkan dengan pengertian Perseroan Terbatas yang diberikan oleh E.W. Chance, yakni: Company Limited by shares is a partnership, the liablity of its members is restricted to the amount remaining unpaid on his shares …The limitation of liability in a limited company is in respect only of the liability of the members, which is to the company. The liability of the company to its creditors is in no way restricted: the creditors may look only to the company for payment of their debts and they have no rights against the members as such. Unlike a partnership, a company is at law a corporate body, a legal persona with an existence quite independent of its members.(Lihat: E.W. Chance, Principle of Mercantile Law London The Gregg Publishing Co. Ltd., 1948) hlm. 171-172. Dan bandingkan pula dengan pendapat dari M.H. Tirta Amidjaja yang mengemukakan bahwa Perseroan Terbatas adalah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal tertentu, yang terbagi atas saham dan tiap-tiap pesero pemegang saham turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu. (Lihat: M.H. Tirta Amidjaja, , Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, (Jakarta: Djambatan, 1956) hlm. 108. 4
Fred B.G. Tumbuan, Keberadaan dan Kemandirian Perseroan Terbatas Sebagai Badan Usaha Tunggal dan Sebagai Anggota Grup, Makalah pada Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrasi, disampaikan di kantor Menko Ekuin dan Wasbang Jakarta, bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 22-23 Januari 1991, Hlm. 104.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
3 mempunyai hak dan kewajiban, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban subyek hukum manusia.5 Sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas dianggap dapat bertindak dan mendapat perlindungan dalam hukum sebagai subyek yang mandiri dalam melaksanakan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.6 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum juga melahirkan perlindungan terhadap harta kekayaan pribadi dari Perseroan Terbatas yang berupa modal.7 Berdasarkan pengertian Perseroan Terbatas yang diberikan oleh UUPT diatas, dinyatakan bahwa Perseroan Terbatas adalah Persekutuan Modal. Pengertian dari “modal Perseroan Terbatas” menurut UUPT adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor,8 sedangkan wujud nyata dari modal Perseroan Terbatas tersebut adalah saham.9 Modal Perseroan Terbatas ini harus disetorkan secara penuh agar dapat digunakan dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas.10 Salah satu hal yang menjadi persyaratan untuk mendapatkan kepemilikan atas saham adalah melakukan penyetoran modal atas bagian saham yang telah diperjanjikan akan diambil.11 Menurut ketentuan undang-undang Perseroan Terbatas yang berlaku sekarang, penyetoran modal dalam sebuah Perseroan Terbatas harus dapat dibuktikan dengan tanda bukti penyetoran yang
5
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing of The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 25. 6
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, 1996), hlm. 84.
7
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat. 2008), hlm. 18. 8
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit, Penjelasan Pasal 41 ayat (1).
9
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Ibid, Pasal 31 ayat 1.
10
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Bandung: Rineka Citra, 2009), hlm. 55. 11 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1964), hlm. 164. Bandingkan dengan pendapat Sri Redjeki Hartono yang menyatakan bahwa “kepada pemegang saham diwajibkan membayarkan penuh jumlah nominal sahamnya” (lihat : Sri Redjeki Hartono, Bentuk Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 1985), hlm. 67) dan pendapat dari Rochmat Soemitro yang menyatakan bahwa “kewajiban utama pemegang saham ialah menyetor jumlah nominal saham yang harus dibayar” (lihat : Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung: PT Erasco, 1993), hlm. 40).
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
4 sah,12 UUPT mewajibkan semua penyetoran modal dilakukan secara penuh baik terhadap saham yang diambil bagian sebelum Perseroan Terbatas mendapatkan pengesahan, maupun saham yang dikeluarkan setelahnya,13 sehingga apabila seseorang berkomitmen untuk mengambil bagian saham sebesar 50% maka jumlah modal yang disetor tersebut harus disetor penuh dan tidak dimungkinkan penyetoran atas modal dengan cara mengangsur.14 Secara filosofis, Kewajiban untuk menyetorkan penuh jumlah modal yang sudah diperjanjikan untuk diambil dari modal ditempatkan atau yang dikeluarkan Perseroan Terbatas timbul karena sebagai suatu badan hukum yang independen, dengan hak-hak dan kewajiban yang mandiri, lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemegang saham dan pengurusnya, sudah seharusnya suatu Perseroan Terbatas harus memiliki kekayaan tersendiri dalam menjalankan kegiatan usahanya serta untuk melaksanakan hak-hak dan kewajibankewajibannya.15 Ternyata dalam praktek, proses pelaksanaan
penyetoran modal tidak mendapat
pengontrolan dari segi yuridis, sehingga bisa saja suatu Perseroan Terbatas didirikan sebenarnya tanpa adanya penyetoran modal, penyetoran modal dilakukan secara mengangsur atau menyetor dengan tidak benar sehingga pelaksanaan penyetoran modal tersebut menjadi tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.16 Di samping lepas kendalinya pelaksanaan penyetoran modal dalam praktek, secara teoritis pun ternyata konsep-konsep yuridis tentang tata cara penyetoran saham belum cukup berkembang, sehingga konsep yuridis maupun teoritis mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan penyetoran modal masih merupakan pokok permasalahan 12
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit, Pasal 33 ayat (2).
13
Advendi S & Elsi Kartika S, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 59. Penjelasan ini didasarkan pada ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit, Pasal 33 ayat (1). 14
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Ibid, Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran saham dengan diangsur.
dan
Penjelasannya yang
15
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada), 2006, hlm. 13. 16
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002.hlm. 50. Bandingkan dengan pendapat Nindyo Pramono yang menyatakan bahwa dalam praktek ketentuan tentang penempatan dan penyetoran modal sering dilanggar oleh para usahawan, dan pemerintah yang seharusnya mengawasi tidak pernah mengontrol langsung apakah jumlah uang yang tercantum di dalam akta notaris itu sama dengan saldo rekening dari Perseroan Terbatas. Bahkan karena longgarnya pengawasan, tidak jarang Perseroan Terbatas yang bersifat tertutup tidak memiliki nilai saham yang ditempatkan secara riil. (lihat : Nindyo Pramono, Op. Cit,. Hlm. 58).
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
5 yang “remang-remang”,17 terutama mengenai status hukum dari pemegang saham yang melakukan penyetoran secara mengangsur. Salah satu contoh kasus yang mengangkat permasalahan kepemilikan saham akibat proses penyetoran modal yang tidak dilakukan secara penuh adalah kasus sengketa kepemilikan saham antara Budi Dinata melawan Metrolope Djanguk.18 Berdasarkan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham PT Putri Mea Nomor 11 bulan Agustus Tahun 2006, diketahui bahwa Budi Dinata bersedia mengambil bagian 70% saham (atau senilai Rp 350.000.000,00) dengan kedudukan sebagai komisaris utama dari PT tersebut, sedangkan Metrolope Djanguk memiliki 20% saham berkedudukan sebagai direktur. Penyetoran atas 70% saham tersebut dilakukan oleh Budi Dinata dengan cara mengangsur sejak November 2006 sampai bulan Juli 2008 ke rekening pribadi Metrolope Djanguk. Metrolope Djanguk selaku direksi akhirnya menyelenggarakan RUPS dengan agenda rapat mengalihkan hak atas saham sebesar 70% ke beberapa pihak dengan alasan bahwa kepemilikan 70% saham milik Budi Dinata tidak sah karena tidak disetorkan penuh dalam akta Risalah RUPS Nomor 11 tahun 2006. Budi Dinata yang merasa haknya sebagai pemilik saham dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2010. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara akhirnya menetapkan bahwa Budi Dinata adalah pemilik sah 70 % saham dari PT Putri Mea. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi inti dari pembahasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan mengenai penyetoran modal menurut UUPT? 2. Bagaimana status hukum pemegang saham apabila penyetoran modalnya dilakukan dengan cara mengangsur menurut UUPT? 3. Apakah Putusan hakim yang menyatakan bahwa penggugat yang melakukan penyetoran modal dengan cara mengangsur sebagai pemegang saham yang sah dari PT Putri Mea sudah tepat menurut UUPT?
17
18
Munir Fuady, Ibid. Hlm. 51. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor Register Perkara: 312/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang lazim digunakan dalam kegiatan pengembanan ilmu hukum, yakni penelitian yuridis normatif.19 Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan,20 yang meliputi norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, traktat, keputusan pengadilan dan norma yang hidup dalam masyarakat.21 Penelitian yuridis normatif ini didukung oleh data data sekunder yang yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.22 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah norma-norma hukum tertulis yakni UUPT yang mengatur mengenai modal dan saham serta ketentuan penyetorannya terutama dalam pasal 33 UUPT. Selain ketentuan dalam UUPT, bahan primer lainnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 312/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst. yang dijadikan penulis sebagai obyek analisis mengenai penerapan ketentuan penyetoran modal yang diatur oleh UUPT. Selain data primer diatas, penelitian ini didukung oleh data sekunder berupa buku karangan Yahya Harahap yang berjudul ”Hukum Perseroan Terbatas”.23 Buku ini digunakan sebagai bahan sekunder dalam penelitian karena membahas secara mendalam mengenai modal dan saham dalam sebuah Perseroan Terbatas, lengkap dengan ketentuan penyetorannya. Selain buku tersebut, penelitian ini juga didukung bahan sekunder lain yaitu buku karangan Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya yang berjudul “Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas”24 yang membahas mengenai ketentuan penyetoran modal yang berlaku di Indonesia secara mendalam dan mudah dipahami. Buku lain 19
Sulistyowati dan Sidharta, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 142. 20
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 2. 21
William J. Filstead, Qualitative Methode: A Needed Perspective in Evaluation Research,” dalam Thomas D. Cook dan Charles S. Reichard, eds., Qualitative and Quantitative Research in Evaluation Research, (London: Sage Publication, 1978), hlm. 38. 22
Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 10.
23
Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009).
24
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2006).
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
7 yang digunakan sebagai bahan sekunder untuk mendukung penelitian ini adalah buku karya Rahmadi Usman yang berjudul “Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas”25 yang dalam salah satu babnya membahas secara lengkap mengenai hak atas saham lengkap dengan ketentuan terkait ditinjau dari tiga undang-undang, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas terdahulu, dan UUPT yang berlaku sekarang. Penelitian
ini
bersifat
penelitian
deskriptif,
yaitu
penelitian
yang
bertujuan
menggambarkan sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala26 yang dilakukan dengan cara meneliti bagaimana pelaksanaan penyetoran modal yang berlaku di Indonesia sekarang dan membandingkannya dengan ketentuan hukum yang mengatur mengenai penyetoran modal dan akibat hukum bagi pemegang saham yang tidak melakukan penyetoran sesuai dengan ketentuan yang dimaksud. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi dokumen yakni berupaya untuk menganalisa dokumen dengan cara mengidentifikasi secara sistematik cirri atau karakter atau maksud yang terkandung dalam tulisan suatu dokumen.27 Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan analisa dengan melalui pengkajian terhadap beberapa dokemen yang berkaitan dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini yakni ketentuan penyetoran modal, terutama dalam kaitannya dengan status hukum pemegang saham yang tidak melakukan penyetoran penuh modal atas saham yang telah diambilnya. Penelitian yang disusun ini bersifat kualitatif karena proses pengumpulan data-data dari norma hukum tertulis sebelum mencari solusi guna mencari solusi atas permasalahan terkait dengan rumusan permasalahan dalam penelitian terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang dilakukan dengan pengolahan data yang sistematis.28 Pengumpulan data ini ditujukan agar penulis dapat menemukan solusi mengenai permasalahan kepemilikan saham akibat penyetoran modal yang dilakukan tidak secara penuh oleh pemegang saham dalam kasus yang menjadi obyek penelitian penulis. 25
Rahmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, 2004, Bandung: Alumni.
26
Sri Mamudji, Op. Cit, hlm. 4.
27
Sri Mamudji, Ibid.
28
Sri Mamudji, Ibid. Hlm. 68.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
8 Pembahasan Agar hasil pembahasan terhadap rumusan masalah pada skripsi ini dapat dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka pembahasan terhadap terhadap rumusan masalah ini akan didasarkan pada ketentuan perundang-undangan dan pendapat ahli perseroan terbatas serta bahan-bahan lain yang berkaitan. Terhadap rumusan masalah pertama, pembahasan yang penulisan yang lakukan menunjukkan bahwa UUPT mewajibkan penyetoran modal dilakukan secara penuh baik terhadap saham yang diambil bagian sebelum Perseroan Terbatas mendapatkan pengesahan, maupun saham yang dikeluarkan setelahnya dalam rangka penambahan modal29 dan harus dapat dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah,30 sehingga apabila seseorang berkomitmen untuk mengambil bagian sejumlah nilai saham maka jumlah saham yang disetor tersebut harus disetor penuh dan tidak dimungkinkan penyetoran modal dengan cara mengangsur.31 Demikian dapat disimpulkan bahwa setiap penyetoran modal, baik itu pada saat sebelum Perseroan Terbatas didirikan, dalam rangka penambahan modal maupun terhadap saham portofel atau yang belum dikeluarkan, harus dibayar penuh dan tidak diperbolehkan untuk diangsur.32 Pembahasan kedua adalah mengenai status hukum pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur. Pembahasan yang penulis lakukan terhadap rumusan masalah ini menunjukkan bahwa hanya pemegang saham yang telah menyetor modal secara penuh yang dapat memiliki hak sebagai pemegang saham dan diakui sebagai pemegang saham yang sah33. Selain itu, pemegang saham yang melakukan penyetoran modal dengan cara 29
Handri Raharjo, Hukum Perseroan Terbatas, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 83-84. Pendapat beliau selaras dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Pasal 33 ayat (1) juncto Pasal 33 ayat (3). Ketentuan ini juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UUPT yang menyatakan sebagai berikut: Dalam undang-undang ini ketentuan mengenai struktur modal Perseroan tetap sama, yaitu terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Namun, modal dasar Perseroan diubah menjadi paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), sedangkan kewajiban penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. 30
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit., Pasal 33 ayat 2.
31
Ibid, Pasal 33 ayat (3) dan Penjelasannya.
32
Gatot Supramono, Op. Cit., hlm. 35.
33
Henry Campbell Black dan Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, (St. Paul: West Publishing Company, 2004), hlm. 365. Pendapat diatas merupakan pandangan Ahmad yani dan Gunawan Widjaja
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
9 mengangsur tidak dapat menggunakan bukti-bukti kepemilikan saham untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pemegang saham yang sah karena: 1. Perjanjian kepemilikan saham yang penyetoran modalnya dilakukan secara mengangsur dinyatakan batal demi hukum Penyimpangan-penyimpangan mengenai ketentuan penyetoran saham sebagaimana disebutkan di atas dapat dipahami karena pada dasarnya kesepakatan untuk mengambil bagian saham pada prakteknya didasarkan pada perjanjian34 dan pelaksanaan dari perjanjian tersebut mutlak harus didasarkan pada asas kebebasan berkontrak35. Sehingga berkembang pendapat yang menyatakan bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum merupakan lembaga otonom yang diatur oleh peraturan sendiri yang tidak dicampuri oleh batasan yang diberikan oleh pemerintah
yang didasarkan pada pengertian Subscriber atau modal ditempatkan dalam Black’s Law Dictionary yang diartikan sebagai berikut ”one becomes bound by a subscription to the capital stock of a corporation. One who has agreed to purchase stock, whether before or after the incorporation, sedangkan Subscription adalah “written contract by which one engages to take and pay for capital stock of a corporation…” Menurut Achmad Yani dan Gunawan Widjaja pengertian ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan menjadi seorang pemegang saham apabila tidak pernah melakukan penyetoran modal (lihat Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit. Hlm. 49.). Bandingkan dengan pendapat Soekardono yang menyatakan bahwa pemegang saham adalah orang yang memiliki hak yang baru timbul setelah dilaksanakannya kewajiban para pemegang saham untuk membayar jumlah saham (Lihat Soekardono, Op. Cit, Hlm. 164). 34
Stefano Lombardo dan Oiero Pasotti, Disintegrating The Regulation of The Business Corporation As a Set of Coordinated Contracts Among Different Parties, http://journals.cambridge.org, diunduh pada tanggal 2 Juni 2014, hal. 35. Pada intinya kedua ahli menyatakan pendapat yang dikenal dengan istilah The Nexus Contract Theory yang artinya bahwa Perseroan Terbatas merupakan suatu akumulasi atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Pendapat ini juga selaras dengan pengertian The Nexus Contract Theory menurut Wikipedia Encyclopedia yakni: ...which asserts that corporations are nothing more than a collection of contracts between different parties primarily shareholders, directors, employees, suppliers, and customers. (Lihat : Wikipedia Encyclopedia, Nexus of Contract, http://en.wikipedia.0rg.) Bandingkan pula dengan pendapat Jensen and Meckling sebagaimana dikutip oleh Margaret M. Blair yang menyatakan yang dimaksud dengan Nexus of Contract Theory adalah sebagai berikut: …The theory highlights the nature of relationship underlying the firm—that is among managers, employees, suppliers, costumers, creditors, and shareholders… The organizations are simply legal fictions which serve as a nexus for a set of contracting relationship among individuals. (lihat: Margaret M. Blair dalam Shareholder Value, Corporate Governance, and Corporate Performance A Post-Enron Reassessment of the Conventional Wisdom, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=334240&download=yes diunduh pada tanggal 2 Juni 2014, hlm. 57). 35
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit Bank di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm 17-20. Beliau mengutip pendapat dari Hugo Grotius.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
10 sebagai pembentuk undang-undang.36 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendapat tersebut ingin menyatakan hendaknya ketentuan pelaksanaan dalam suatu Perseroan Terbatas, termasuk salah satunya mengenai penyetoran saham, tidak dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan, dan sudah seharusnya didasarkan pada kesepakatan para pihak.37 Meskipun demikian, pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan mengingat perjanjian yang dibuat harus tunduk kepada syarat-syarat umum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 yang menegaskan bahwa suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat berupa kesepakatan, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal. Dari syarat sah perjanjian sebagaimana diuraikan tersebut, salah satu hal menjadi persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian adalah “sebab yang halal”. Pengertian dari sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah tujuan para pihak atau menurut Hoge Raad lebih dikenal dengan istilah Orzaak38 sedangkan batasan tujuan para pihak tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.39 Akibat hukum apabila syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi adalah perjanjian menjadi batal demi 36
P. Sanders, Dutch Company Law, (London: Oyez Publishing Ltd, 1997), hlm. 9. Pendapat tersebut adalah sebagai berikut: “The Formation of NV or a BV shall by a multilateral legal act in the form of a notarial instrument by which the founders of the company at the same time subscribe for its capital; a declaration of the minister of justice that no objection exist to the proposal company is required for its formation … Today the institusional theory prevail in judicial decicions and authores generally. The newly formulated therefore, does not speak of the formation of the company of the contract, but requires a “multipartie legal act”. The legislature would have shown amore progressive attitude in permitting the formation of a NV bya a single person instead of continuing to require at least two founders. The NV may be regarded today as an autonomous institution governed by it rules”. Pendapat ini juga selaras dengan pendapat yang diberikan oleh Hugo Gratius sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy yang menyatakan bahwa kebebasan berkontrak itu mutlak dimiliki oleh oleh setiap orang dalam membuat perikatan oleh karenanya tidak boleh ada intervensi atau campur tangan dari raja atau negara. (lihat: Sutan Remy Syahdeni, Ibid.) 37
Herlien, Op. Cit., Hlm. 66. Pendapat mengenai hal ini tidak sepenuhnya selaras dengan pendapat yang diberikan Herlien yang mengutip dari pendapat P. Sanders di atas karena pendapat tersebut menjabarkan mengenai penyimpangan dengan menggunakan perjanjian terhadap persyaratan jumlah pendiri sebagaimana diatur ketentuan perundang-undangan. Namun menurut penulis, pendapat ini masih relevan digunakan karena penyimpangan yang dimaksud oleh P. Sanders tersebut adalah penyimpangan terhadap syarat pendirian Perseroan Terbatas, dan salah satu syarat pendirian Perseroan adalah memasukkan sejumlah modal ke dalam Perseroan Terbatas yang terwujud dari pelaksanaan penyetoran modal,. 38
Salim H.S., Op. Cit., hlm. 165 .
39
R. Subekti, Op.Cit., Pasal 1337. Sebenarnya pasal 1320 tidak pernah menyebutkan secara jelas mengenai batasan perbuatan yang halal, namun dalam pasal 1337 disebutkan bahwa causa terlarang untuk dicantumkan dalam perjanjian adalah hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum,dan kesusilaan.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
11 hukum, artinya perjanjian yang dibuat para pihak sejak awal dianggap tidak pernah ada dan para pihak tidak terikat dengan perjanjian tersebut.40 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian kepemilikan saham yang penyetoran modalnya dilakukan secara mengangsur dapat dikatakan batal demi hukum dan berakibat status pemegang saham tidak dapat dikatakan sah sebagai pemegang saham karena perjanjian kepemilikan saham sejak awal dinyatakan tidak pernah ada.41 2. Pemegang saham yang melakukan penyetoran secara mengangsur tidak dapat dicantumkan dalam Daftar Pemegang Saham. Meskipun secara normatif kewajiban untuk menyetor modal secara penuh sebagai syarat kepemilikan saham tidak pernah disebutkan secara jelas, namun jumlah nominal penyetoran modal menjadi salah satu syarat bagi pemegang saham agar namanya dapat dicantumkan dalam Daftar Pemegang Saham42 dan UUPT mewajibkan agar jumlah nominal penyetoran modal tersebut harus disetorkan penuh dan tidak dimungkinkan untuk diangsur, sehingga dengan demikian jumlah nominal penyetoran modal yang tertera pada Daftar Pemegang Saham adalah jumlah penyetoran modal secara penuh yang dilakukan oleh pemegang saham.43 Pemegang saham yang melakukan penyetoran dengan cara mengangsur tidak dapat dicantumkan ke Dalam Daftar Pemegang Saham karena Direksi yang bertugas membuat dan memelihara Daftar Pemegang Saham44 harus membuat Daftar Pemegang Saham yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.45 Dengan tidak adanya pencantuman nama pemegang saham tersebut dalam Daftar Pemegang Saham maka pemegang saham tersebut tidak dapat menggunakan hak 40
Jaap Hipma, Rosa Agustina, et. al, Building blocks for for the Rule of Law, (Bali: Penerbit Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), Hlm. 145. 41
Kesimpulan demikian penulis sampaikan berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya.
42
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit, Pasal 50 ayat (1) huruf c.
43
Ibid, Pasal 50 ayat (1) huruf c Juncto Pasal 33 ayat (1) Juncto Pasal 33 ayat (3).
44
Ibid, Pasal 50 ayat 1.
45
Ibid, Pasal 92 ayat 2.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
12 hak pokoknya dalam Perseroan Terbatas.46 Dengan demikian pemegang saham tersebut tidak dapat disebut sebagai pemegang saham karena yang memiliki hak kebendaan atas saham hanyalah pemegang saham.47 3. Pemegang saham yang melakukan penyetoran modal dengan cara mengangsur tidak dapat dicantumkan dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas. Pemerintah hanya melakukan pengawasan preventif dengan cara menolak permohonan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas atau perubahan anggaran dasar yang tidak melampirkan bukti setoran modal,48 dengan alasan UUPT menegaskan bahwa pemberitahuan perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
49
Dengan demikian, pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur tidak dapat menggunakan anggaran dasar sebagai bukti untuk menyatakan bahwa dirinya adalah seorang pemegang saham yang sah. 4. Pemegang saham yang melakukan penyetoran modal dengan cara mengangsur tidak berhak mendapat sertifikat saham. UUPT menegaskan bahwa apabila pemegang saham telah memenuhi persyaratan kepemilikan saham, maka perseroan Terbatas berkewajiban untuk memberikan bukti kepemilikan atas saham kepada pemegang saham sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.50 Mengenai pengaturan bentuk bukti kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar sesuai dengan kebutuhan.51 Dengan demikian, saham juga mengandung arti kepemilikan yang bersifat tidak dapat diraba yang 46
Jordan L. Paust, Business Law, (Minnesota: West Publishing Co., 1984), hlm. 551. Pendapat ini secara positif terimplementasi dalam ketentuan Pasal 50 ayat 1 huruf (e) Juncto Pasal 52 ayat 2 UUPT. 47
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Op. Cit., Penjelasan Pasal 60 ayat (1).
48
Kementerian Hukum dan HAM, Op. Cit, Pasal 13 ayat 3 huruf c. Juncto Pasal 27 huruf b UUPT. Ketentuan ini pada intinya menegaskan bahwa permohonan perubahan anggaran dasar harus mencantumkan bukti setoran modal (yang berdasarkan pasal 33 harus disetor penuh) dan Menteri akan menolak permohonan tersebut apabila tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam hal ini UUPT. 49
Ibid., Pasal 27 huruf b.
50
Ibid, Pasal 51.
51
Ibid, Penjelasan Pasal 51.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
13 harus dibuktikan kepemilikannya, untuk itu undang-undang menentukan agar Perseroan Terbatas memberikan bukti pemilikan saham untuk saham yang dimiliki oleh pemegang saham. Pada umumnya, bukti saham yang diberikan kepada pemegang saham berbentuk surat sertifikat saham (certificate vaan aandelen, depositary receipt for share.)52. Ahli Perseroan Terbatas berpendapat bahwa seorang pemegang saham yang belum menyetorkan modal secara utuh atau menyetorkan modal secara mengangsur tidak berhak mendapatkan hak suara dan serifikat saham.53 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur tidak berhak mendapatkan sertifikat saham dan tidak dapat menggunakan sertifikat saham untuk membuktikan dirinya adalah pemegang saham yang sah. Pembahasan terhadap rumusan masalah ketiga adalah mengenai putusan hakim yang menyatakan bahwa pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur dapat dinyatakan sebagai pemegang saham yang sah. Perlu dijelaskan sebelumnya, kajian yang dilakukan dalam analisis ini difokuskan terhadap amar putusan majelis hakim pada tingkat pertama khususnya pada pernyataan majelis hakim yang menyatakan bahwa Penggugat atau Budy Dinata adalah pemilik yang sah 70% saham PT Putri Mea padahal penyetoran modal dilakukan dengan cara mengangsur selama kurang lebih 2 tahun dan pengangsuran tersebut mulai dilakukan sejak 3 bulan setelah kesepakatan penyetoran modal dilaksanakan. Pembahasan yang dilakukan terhadap rumusan masalah ketiga ini menunjukkan bahwa putusan hakim dala perkara tersebut adalah putusan yang tidak tepat. Hal ini dikarenakan penyetoran modal dengan cara mengangsur sebagaimana dilakukan Penggugat dalam perkara aquo merupakan cara penyetoran modal yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku di Indonesia yang mewajibkan agar semua penyetoran dilakukan secara penuh. Ketentuan penyetoran modal yang bertentangan dengan ketentuan penyetoran modal yang diatur dalam UUPT tersebut mengakibatkan Penggugat atau Budy Dinata tidak dapat dikatakan sebagai pemegang saham sebagaimana yang disepakati dalam risalah RUPS nomor 11 52
MC Oliver and EA Marshal. Company law, , (The M & Handbook Series, 1991), hlm. 175.
53
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Ibid, Hlm. 61.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
14 tanggal 16 Agustus Tahun 2006 dengan alasan bahwa hanya pemegang saham yang telah menyetor penuh yang dapat dikatakan sebagai pemegang saham yang sah. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan pada bab-bab yang sudah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 1. menurut UUPT, ketentuan penyetoran modal setelah Perseroan Terbatas mendapat pengesahan sebagai badan hukum wajib dilakukan secara penuh dan tidak dimungkinkan dilakukan secara mengangsur, karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 1 dan ayat 3 UUPT, diketahui bahwa penyetoran modal baik itu dalam rangka penambahan modal maupun terhadap saham portofel atau yang belum dikeluarkan, harus dibayar penuh dan tidak diperbolehkan untuk diangsur. 2. status hukum dari pemegang saham yang melakukan penyetoran secara mengangsur adalah tidak dapat sebagai pemegang saham yang sah. Hal ini disebabkan karena hanya pemegang saham yang telah menyetor modal secara penuh yang dapat memiliki hak yang timbul akibat kepemilikan saham dan diakui sebagai pemilik saham yang sah. Selain itu, seorang pemegang saham yang melakukan penyetoran modal dengan cara mengangsur tidak dapat menggunakan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, Perjanjian Kepemilikan Saham, Daftar Pemegang Saham, dan Sertifikat Saham sebagai bukti untuk menyatakan bahwa dirinya adalah pemegang saham yang sah. 3. Putusan hakim yang menyatakan bahwa penggugat yang melakukan penyetoran modal dengan cara mengangsur sebagai pemegang saham yang sah dari PT Putri Mea adalah pertimbangan yang kurang tepat karena apabila mengacu pada ketentuan UUPT dan pendapat ahli sebagaimana diuraikan pada pokok kesimpulan pertama dan kedua diatas maka dapat disimpulkan bahwa penyetoran modal harus dilakukan secara penuh dan tidak dimungkinkan untuk diangsur serta pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur tidak dapat dikatakan memiliki status hukum yang sah sebagai pemegang saham. 4.2 Saran
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
15 Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat disampaikan terhadap pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah Pemerintah seharusnya menyempurnakan ketentuan UUPT dengan cara menyatakan secara jelas bagaimana akibat hukum terhadap pemegang saham yang melakukan penyetoran modal secara mengangsur. Sebagai contoh, ketentuan hukum di Belanda menyatakan secara tegas bahwa apabila ketentuan penyetoran modal dilanggar maka direksi yang akan bertanggungjawab secara pribadi terhadap potensi kerugian yang terjadi akibat penyetoran modal yang dilakukan secara mengangsur tersebut.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
16 Daftar Referensi
Buku dan Jurnal: Advendi S dan Elsi Kartika S. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo. 2007. Amidjaja, M.H. Tirta. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Jakarta: Djambatan. 1956. Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing of The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. Chance, E.W. Principle of Mercantile Law. London: The Gregg Publishing Co. Ltd. 1948. Fuady, Munir. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. H.S., Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Hartono, Sri Redjeki. Bentuk Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga. Semarang: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. 1985. Henn, Harry C. dan John R. Alexander. Law of Corporations. Saint Paul Minnesota: West Publishing Company. 1983. Hipma, Jaap and Rosa Agustina, et. al, Building blocks for for the Rule of Law. Bali: Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen. 2012. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Bandung: Rineka Citra. 2009. Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005. Oliver, MC and EA Marshal. Company law. The M & Handbook Series. 1991. Paust, Jordan L. Business Law. Minnesota: West Publishing Co. 1984. Pramono, Nindyo. Perkembangan Perseroan Terbatas dalam Dimensi RUU PT. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 1994. Prasetya, Rudy. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas: Disertasi Dengan Ulasan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung: Sumur Bandung. 1996. Raharjo, Handri. Hukum Perseroan Terbatas. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2009. Sanders, P. Dutch Company Law. London: Oyez Publishing Ltd. 1997. Soekardono. Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1964. Soemitro, Rochmat. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. Bandung: PT Erasco. 1993.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014
17 Sulistyowati dan Sidharta. Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009. Supramono, Gatot. Hukum Perseroan Terbatas yang Baru. Jakarta: Djambatan. 1996. Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Usman, Rahmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni. 2004. Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Jakarta: Forum Sahabat. 2008 Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada. 2006.
Jurnal: Budiono, Herlien. “Regulation for the Direction in Which the Law Number 40 of 2007 with Respect to the Limited Liability Company to be Dealt With in the Era of Globalization”. dalam Jurnal Hukum RechtVinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1. 2012. Stefano Lombardo dan Oiero Pasotti, Disintegrating The Regulation of The Business Corporation As a Set of Coordinated Contracts Among Different Parties, http://journals.cambridge.org, diunduh pada tanggal 2 Juni 2014. Tumbuan, Fred B.G. Keberadaan dan Kemandirian Perseroan Terbatas Sebagai Badan Usaha Tunggal dan Sebagai Anggota Grup. Makalah pada Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrasi. Disampaikan di kantor Menko Ekuin dan Wasbang Jakarta bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Yayasan Pusat Pengkajian Hukum. 22-23 Januari 1991 Margaret M. Blair dalam Shareholder Value, Corporate Governance, and Corporate Performance A Post Enron Reassessment of the Conventional Wisdom, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=334240&download=yes diunduh pada tanggal 2 Juni 2014.
Peraturan Perundang-undangan dan Putusan: Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, L.N. Tahun 2007 Nomor 106, TLN 4756, Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, L.N. Tahun 1995 Nomor 13, TLN 4756. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Cet. 34, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001) Kementerian Hukum dan HAM, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 4 tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor Register Perkara: 312/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Analisis status hukum..., Revi Laracaka, FH UI, 2014