ANALISIS TERHADAP DAMPAK PENGHAPUSBUKUAN DAN PENGHAPUSTAGIHAN BAGI BANK DAN DEBITUR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET (TINJAUAN PADA BANK X) Natasya dan Yunus Hesein dan Aad Rusyad Nurdin1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Tingkat kredit macet yang tinggi dapat menurunkan profitabilitas dan likuiditas keuangan bank serta menurunkan kepercayaan masyarakat. Bank tentunya akan melakukan berbagai upaya penyelesaian kredit macet. Apabila upaya tersebut tidak berhasil, maka dilakukan penghapusbukuan yang dapat diikuti dengan penghapustagihan. Pada kenyataannya masih terdapat ketidakjelasan dalam proses pelaksanaan serta dampak kepastian hukum atas dilakukannya tindakan ini. Penelitian ini meneliti lebih lanjut proses pelaksanaan penghapusbukuan dan penghapustagihan pada Bank BUMN terutama setelah diberlakukannya PP No. 33 Tahun 2006, dengan menggunakan metode penelitian normatis-yuridis. Kesimpulannya, proses penghapusbukuan dan penghapustagihan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan internal masing-masing Bank BUMN dan membawa dampak baik positif maupun negatif bagi bank dan debitur. Kata Kunci: Perbankan, debitur, kredit macet, penghapusbukuan, penghapustagihan
ANALYSIS TO THE IMPACT OF WRITE-OFF AND HAIR CUT FOR BANK AND DEBTOR AS ONE OF THE BAD CREDIT SETTLEMENT EFFORTS (OBSERVATION TO BANK X) Abstrack High level of non-performing loans may decrease the profitability and liquidity of the bank’s financial, also reducing public trust. Bank will make various efforts to settle. If these efforts not successful, it will be done with write-off which can be followed by doing hair cut. There is still lack of clarity in the implementation process and the impact of legal certainty for the commission of these acts. This research examine the implementation process of write-off and hair cut on 1
Natasya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidnag penguji. Yunus Husein dan Aad Rusyad Nurdin adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang memberikan bimbingan kepada Natasya salam menulis skripisnya yang berjudul “Analisis Terhadap Proses Serta Dampak Penghapusbukuan dan Penghapustagihan bagi Bank dan Debitur sebagai Salah Satu Upaya Penyelesaian Kredit Macet (Tinjauan Pada Bank X)”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
1
state-owned banks, especially after the enactment of Government Regulation 33/2006, using the method of normative-juridicial. In conclusion, write-off and hair cut process is conducted in accordance with the internal policies of each state-owned bank and bring both positive and negative effects for bank and debtor. Keywords: Banking, debtor, bad credit, write-off, hair cut A.
PENDAHULUAN Kegiatan menyalurkan kredit kepada masyarakat memegang peranan yang penting bagi
kehidupan bank umum baik di Indonesia maupun di dunia perbankan internasional, mengingat fungsi bank sebagai pihak yang mengumpulkan dana dari untuk disalurkan kepada pihak yang membutuhkan dana, antara lain dalam bentuk kredit di mana hal ini sangat membantu pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia sendiri, jumlah seluruh kredit perbankan di Indonesia pada tahun 1994 mencapai Rp 164 Triyun. Dua tahun kemudian jumlah kredit tersebut meningkat menjadi Rp 242 Trilyun. Apabila dibandingkan dengan dengan jumlah seluruh harta yang dimiliki bank-bank umum di Indonesia pada tahun 1996 sebesar Rp 328 Trilyun, jumlah saldo kredit yang disalurkan pada tahun itu mencapai 74% dari seluruh harta mereka. Pada tahun 2006 saja, jumlah kredit tersebut menurut laporan Bank Indonesia tahun 2006 meningkat lagi menjadi Rp 832 Trilyun2. Jumlah kredit tersebut tentunya akan semakin meningkat setiap tahunnya. Pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha bank untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya diperbolehkan untuk meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika bank telah betul-betul yakin bahwa debitur akan akan dapat mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui antara kedua belah pihak. Hal ini menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan sekaligus unsur keuntungan dari suatu kredit.3 Meskipun dalam pelaksanaan operasionalnya bank telah menerapkan prinsip kehatihatian, bank tetap tidak dapat menghindari terjadinya suatu kendala dalam pemberian kredit yang
2
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah; Konsep dan Kasus, (Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka, 2008), hlm. 1. 3
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet.6, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012),
hlm. 333.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
2
mengakibatkan kredit tersebut menjadi kredit yang bermasalah. Terhadap kredit macet yang terjadi, bank akan berupaya untuk menyelamatkan kredit macet tersebut, baik melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali atau restrukturisasi (restructuring). Apabila ketiga upaya penyelamatan kredit macet tersebut tetap tidak membuahkan hasil, maka manajemen bank dapat membuat program penghapusan terhadap kredit macet tersebut. Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (non performing loan atau biasa disingkat dengan NPL) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga dengan baik. Hal ini juga tentunya agar tidak menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan bank dan debitur. Penghapusan terhadap kredit macet adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen resiko penyaluran kredit perbankan. Penghapusan yan gdimaksud di sini adalah penghapusbukuan dan penghapustagihan terhadap kredit macet. Dengan dilakukannya penghapusan terhadap utang debitur tentunya melahirkan dampak atau pengaruh tersendiri baik bagi bank maupun kreditur dan tentunya berpengaruh terhadap hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan bank. Oleh karena itu, permasalahan ini cukup menarik dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kepastian hukum yang jelas dan terang mengenai pokok permasalahan dari penghapusbukuan dan penghapustagihan terhadap kredit yang sudah tergolong ke dalam kriteria macet, dan tentunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya di bidang perbankan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana proses penghapusbukuan dan penghapustagihan kredit macet dilakukan pada Bank X sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit macet? 2) Apa dampak dari dilakukannya penghapusbukuan dan penghapustagihan bagi Bank X dan debitur? Adapaun penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan upaya penyelamatan kredit bermasalah yang dilakukan oleh bank di Indonesia. Selain itu, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan kepada pembaca di bidang hukum perbankan, terutama yang terkait dengan masalah
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
3
perkreditan di dunia perbankan di Indonesia. Selain tujuan umum, tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini. B.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian normatif-yuridis
dengan penggunaan metode penelitian normatif yuridis ini maka kemudian terdapat instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan, yaitu berupa studi kepustakaan. Untuk mendukung pengumpulan data dalam penulisan ini, maka penulis juga melakukan wawancara. Penelitian normatif-yuridis ini dilakukan melalui studi dokumen dengan menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi dengan mengandalkan bahan hukum berupa bahan hukum primer seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, dan juga Putusan Mahkamah Agung; bahan hukum sekunder seperti buku-buku, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), skripsi, tesis, jurnal, dan artikel-artikel ilmiah; dan bahan hukum tersier seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Bank dan Perbankan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dilihat dari sudut sifat dan bentuknya, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, eksplanatoris, evaluatif, dan juga analitis, dengan bentuk hasil penelitian yang didapatkan berbentuk penelitian hukum deskriptif-analitis. Selain itu, tipe penelitian ini adalah penelitian penemuan fakta (fact finding) terkait dengan pokok permaslaahan yang ada. C.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Program
penghapusbukuan
dan
penghapsutagihan
terhadap kredit
macet harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan bank dan nasabah debitur. Pelaksanaan penghapusbukuan oleh Bank X, dilakukan dengan berdasarkan pada beberapa peraturan yang berlaku, seperti Undang-Undang Perbankan, Peraturan Menteri Keuangan, PBI, dan kebijakan internal yang ada pada Bank X itu sendiri, yaitu KUP dan PPK Bank X. Dalam UU Perbankan yang menjadi landasan Bank X adalah Pasal 37 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa dalam hal bank mengalami kesulitan yang dapat membahayakan
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
4
kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan
agar
bank
menghapusbukukan kreditnya dengan memperhitungkan kerugian dan modal banknya. Inilah yang menjadi landasan hukum utama Bank X dalam melakukan penghapusbukuan, dimana dalam pasal tersebut bank diperbolehkan melakukan penghapusbukuan untuk mengatasi bahaya dalam kelangsungan usaha bank itu sendiri. Landasan hukum dalam bentuk undang-undang untuk melaksanakan penghapusbukuan oleh Bank X juga terdapat dalam UU BUMN, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Keuangan Negara. Semua undang-undang ini menjadi dasar hukum Bank X dalam melakukan penghapusbukuan mengingat Bank X merupakan Bank BUMN. Pengaturan dalam PBI yang menjadi landasan dalam melakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan adalah PBI 14/15/PBI/2012 tentang pembentukan PPAP dan juga tentang pengaturan penghapusbukuan dan penghapustagihan secara umum. Dalam PBI ini dinyatakan bahwa bank wajib membuat PPAP untuk setiap aktiva produktifnya. Selain itu bank juga diwajibkan memiliki kebijakan tertulis, yang telah disetujui oleh Komisaris Bank. Prosedur dari penghapusbukuan dan penghapustagihan ini wajib disetujui setidaknya oleh Direksi pada bank. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara efektif terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Kebijakan dan juga prosedur dari penghapusbukuan dan penghapustagihan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari Manajemen risiko bank sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. 4 Mengingat Bank X adalah Bank BUMN, maka tentu saja Bank X tunduk pada peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan terkait dengan pengurusan piutang negara. Sebelum adanya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 dan PP No. 33 Tahun 2006, maka yang menjadi landasan dalam melaksanakan penghapusbukuan oleh Bank X adalah KMK No. 300 Tahun 2002, PMK No. 31 Tahun 2005, dan PP No. 14 Tahun 2005. Namun setelah dikeluarkannya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 dan PP No. 33 Tahun 2006, dan PMK No. 87 Tahun 2006, maka KMK No. 300 Tahun 2002, PMK No. 31 Tahun 2005, dan PP No. 14 Tahun 2005 tidak berlaku lagi. Hal ini menjadikan Bank X dalam melakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan hanya berdasarkan kebijakan internal saja, akan tetapi tentunya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undnagan yang berlaku.
4
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, Ps. 66.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
5
Sebagaimana program penghapusbukuan dan penghapustagihan ini dilaksanakan menurut kebijakan internal masing-masing Bank BUMN yang merupakan sebuah PT, maka tentunya harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam sebuah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU PT. Pelaksanaan penghapusbukuan dan penghapustagihan harus selalu didasari oleh hasil keputusan RUPS sesuai mekanisme korporasi. Direksi bank pada awalnya mengajukan usulan sejumlah portofolio kredit macet yang akan dihapusbukukan dan atau dihapustagihkan kepada RUPS untuk dimintakan persetujuan. Mekanisme RUPS diatur dalam UU PT, tepatnya pada Bab VI Pasal 75 hingga Pasal 91. Pemegang saham mayoritas sangat menentukan hasil keputusan RUPS. Khusus bagi Bank BUMN, hasil keputusan RUPS sangat dipenganihi oleh kebijakan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas di Bank BUMN. Pada Bank X terdapat Divisi Restrukturisasi dan Penyelesaian Kredit Bermasalah (RPKB). Semua kredit yang sudah tergolong ke dalam kredit bermasalah akan dibawa dan dibahas pada divisi ini. RPKB kemudian akan melakukan pengecekan. Kredit-kredit yang bermasalah akan dilakukan pemilahan terhadapnya untuk dilihat penyelesaian kredit bermaslah mana yang tepat untuk dilakukan. RPKB dapat memutuskan sendiri penyelesaian yang harus dilakukan terhadap kredit bermasalah, terkecuali untuk penghapusbukuan dan penghapustagihan, RPKB akan melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada Direktur Pengendalian Resiko Kredit pada Bank X.5 Setelah usulan penghapusbukuan tersebut disetujui oleh direktur, maka Bank X Pusat akan melakukan hal-hal antara lain: 1. Memberitahukan kepada kantor cabang pengelola rekening untuk melaksanakan administrasi pembukuan; 2. Mengelompokkan pinjaman yang telah dihapusbukukan kedalam dua kelompok yaitu pinjaman hapus-buku potensial6 dan non-potensial7;
5
Hasil wawancara dengan Bambang Tri Gunawan, Legal Staff pada Bank X, yang dilakukan pada Selasa, 10 Juni 2014. 6
Debitur hapus-buku potensial adalah debitur yang masih diahrapakan dapat ditagih membayar seluruh atau sebagian kewajibannya kepada bank, dimana proyeksi hasil tagihan yang akan diterima masih lebih besar dari pada proyeksi biaya penagihan yang akan dikeluarkan (recovery rate positif), antara lain karena: • Masih ada barang jaminan yang belum dijual/dilelang/dieksekusi; • Debitur masih mempunyai usaha atau kegiatan lainnya yang hasil usahanya/kegiatan tersebut dapat diharapkan untuk menyelesaikan kewajiban kapada bank; atau • Debitur masih mempunyai itikad baik untuk menyelasaikan kewajiban kepada bank.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
6
3. Membuat dan menetapkan rencana dan langkah-langkah penyelesaian pinjaman yang telah dihapusbukuakn dengan menggunakan formulir
setiap tahunnya sejak kredit
tersebut dihapusbukukan; dan 4. Membuat laporan realisasi dari rencana dan langkah-langkah tersebut setiap tiga bulan sejak ditetapkannya rencana dan langkah-langkah tersebut. Dalam pelaksanaan penghapusbukuan kredit Macet, Bank X menetapkan harus memenuhi persyaratan, yaitu meliputi:8 1. Kredit sudah termsauk dalam kolektibilitas kredit macet; 2. PPAP telah dibentuk effektif 100%; 3. Restrukturisasi dan upaya penyelesaian kredit macet lainnya sudah tidak mungkin dilakukan, yang dibuktikan oleh suatu Berita Acara; 4. Usaha debitur sudah tidak prospektif lagi; dan 5. Penghapusbukuan dilakukan terhadap seluruh fasiltas kredit/tidak diperkenankan secara partial. Sebagai tindak lanjut atas kredit yang telah dihapusbukukan, Bank X telah menetapkan persyaratan minimal debitur yang dapat dihapuskan penagihannya (penghapustagihan), maksud dari persyaratan minimal adalah salah satu syarat tersebut mutlak harus dipenuhi persyaratan minimal dimaksud adalah:9 1. Masuk ke dalam kolektabilitas macet; 2. Semua agunan dan asset lain debitur diluar agunan telah habis dijual untuk penyelesaian kewajibannya, yang mana atas hal ini wajib dilakukan kunjungan kelapangan oleh pejabat lini; 3. Debitur telah meninggal dan ahli warisnya tidak mampu menyelesaikan dengan bukti hasil kunjungan pejabat lini; 4. Debitur melarikan diri;
7
Debitur hapus-buku non-potensial adalah debitur yang sudah tidak ada lagi barang jaminan dan debitur tidak memiliki harta kekayaan lainnya sedangkan debitur debitur tidak mempunyai kemampuan lagi, semua usaha dan kegiatan telah terhenti, dan/atau debitur/penanggung jawab kredit telah meninggal tanpa meninggalkan harta kekayaan dan ahli waris (jika ada) dinilai tidak mampu menyelesaikan seluruh atau sebagian kewajiban debitur kepada bank. 8
Ibid.
9
Surat Edaran Bank X tentang Penghapusan Penagihan Kredit Extra Comptable.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
7
5. Debitur dinyatakan Pailit sesuai ketentuan perundangan yang berlaku; dan 6. Ditetapkan oleh pemerintah sebagai kejadian yang luar biasa. Meskipun telah ditetapkan persyaratan di atas, akan tetapi untuk menghindari sifat negatif maka kriteria dari penghapustagihan adalah bersifat rahasia dan kepada pihak debitur tidak diinformasikan tentang statusnya. Untuk penghapusbukuan, tidaklah jarang dilakukan oleh Bank X baik sebelum berlakunya PP No. 33 Tahun 2006 dan juga setelah berlakunya PP No. 33 Tahun 2006. Penghapusbukuan ini tentunya dilakukan oleh Bank X dalam rangka upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit macet dan penurunan tingkat NPL pada Bank X. Kewenangan untuk memutuskan penghapusbukuan di Bank X telah diserahkan kepada Direksi Bank X oleh RUPS. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam AD/ART Bank X yang menyatakan bahwa dalam hubungan dengan tugas pokok, Direksi Bank X mempunyai hak dan kewenangan untuk menghapusbukukan piutang macet yang selanjutnya dilaporkan dan dipertanggungjawabkan dalam laporan tahunan. Untuk penghapusbukuan kredit macet ini dlakukan secara kasus per kasus per nomatif debitur. Di sini dapat kita lihat, bahwa dalam penghapusbukuan kredit macet, Bank X sebagai
Bank BUMN,
yang signifikan bila dibandingkan antara sebelum berlakunya
tidaklah terdapat perbedaan
PP No. 33 Tahun 2006
dan
setelah berlakunya PP No. 33 Tahun 2006. Hal ini dikarenakan dalam penghapusbukuan kredit macet oleh Bank X adalah melalui Direksi dan RUPS, tidak ada campur tangan dari pihak pemerintah. Penghapustagihan yang dilakukan sebelum adanya PP No. 33 Tahun 2006, dilakukan oleh Bank
X
hanya
untuk
menghapustagihkan
bunga
yang
tertunggak
saja.
Bukanlah
penghapustagihan terhadap pokok kredit yang diberikan Bank X kepada nasabahnya. Penghapustagihan seperti ini sangatlah dimungkinkan, mengingat penghapustagihan seperti ini merupakan penghaputagihan secara partial. Dalam PBI No. 14/15/PBI/2012 penghapustagihan dapat dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian dari pemberian kredit. Hal ini berarti bahwa penghapustagihan juga dapat bisa dilakukan terhadap tunggakan bunga dari debitur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penghapustagihan terhadap
tunggakan bunga yang dilakukan Bank X sebelum berlakunya PP
No. 33 Tahun 2006 tidaklah bertentangan dan diperbolehkan oleh peraturan yang berkaitan di bidang Perbankan khususnya PBI No. 7/2/PBI/2005 dan perubahannya.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
8
Berdasarkan AD/ART Bank X, maka penghapustagihan atas tunggakan bunga ini merupakan kewenangan dari Direksi Bank X. Direksi Bank X berwenang untuk tidak menagih lagi (sama dengan penghapustagihan) sebagian atau seluruh piutang diluar pokok dalam rangka restrukturisasi dan/atau berkewajiban
penyelesaian kredit. Akan tetapi, dalam melakukan hal ini Direksi
melaporkan kepada Komisaris Bank X yang ketentuan tata cara pelaporannya
ditentukan oleh Komisaris Bank X. Kewenangan ini diberikan oleh RUPS kepada Direksi Bank X yang telah tertuang dalam AD/ART Bank X. Pada kenyataannya, Pelaksanaan PP No. 33 Tahun 2006 di lapangan ternyata masih menghadapi kendala karena adanya ketakutan para bankir untuk menerapkan aturan tersebut. Para bankir bank BUMN masih merasa takut akan dilakukannya penyusutan secara hukum dan bank tersebut dapat dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi karena belum adanya pemahaman yang sama antara bankir dengan aparat penegak hukum dan juga BPK, DPR, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi masalah ini dan juga adanya ketidaksamaan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Umum atas UU Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa yang tergolong ke dalam keuangan negara adalah termasuk seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun. yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/ BUMD. Ketentuan semacam ini tentu saja dapat membuat para bankir di Bank BUMN cenderung merasa takut untuk melaksanakan PP No. 33 Tahun 2006. Apabila Kekayaan BUMD ditafsirkan termasuk sebagai bagian kekayaan negara/ keuangan, maka prosedur penghapusbukuan harus dilaksanakan sesuai dengan UU PUPN, yaitu diserahkan ke Departemen Keuangan dan diperlakukan sebagai piutang Negara untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Hasil penagihan piutang oleh Departemen Keuangan tersebut untuk selanjutnya dikembalikan kepada BUMD pemilik piutang. Penyelesai seperti itu memakan waktu yang panjang dan komplek sehingga dipandang tidak efektif bagi bisnis perbankan. Terhadap ketidaksamaan peraturan perundang-undangan ini sudah pernah dimintakan pengujian, yaitu pengujian UU PUPN terhadap UUD 1945, untuk membatalkan beberapa pasal di dalamnya, yang kemudian telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011. Melalui putusan ini dapat kita lihat bahwa Pasal 4,8,10, dan 12 memberatkan debitur yang berharap dapat dilakukannya penghapustagihan terhadap sebagian
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
9
utangnya yang terjadi pembengkakak akibat adanya krisis moneter, akan tetapi hal ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah. UU PUPN sudah dianggap tidak sesuai keberadaannya dengan keadaan dan perekonomian nasional Indonesia sampai saat ini. Dengan masih berlakunya UU PUPN, debitur akan kehilangan haknya untuk mendapatkan bantuan penghapustagihan atas hutang pokok mereka dan adanya deskriminasi terhadap debitur yang berada pada Bank BUMN dengan Bank Swasta. Sikronisasi terhadap aturan piutang negara ini juga sebagaimana diutarakan oleh Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA). Sinkronisasi ini terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pembatalan sejumlah pasal yang terdapat di UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).10 Sinkronisasi diperlukan agar bank-bank BUMN dalam melaksanakan tugasnya dapat lebih baik lagi. Terlebih mengenai pengembangan bank-bank BUMN dalam membantu pertumbuhan perekonomian di Indonesia. HIMBARA juga merasa adanya diskriminasi yang ada antara Bank BUMN dengan Bank Swasta yang dapat lebih cepat bergerak dalam melaksanakan penyelesaian kredit macetnya. Dari putusan MK tersebut, dijelaskan bahwa piutang bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masingmasing bank. Lalu, bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara melakukan pengurusan piutang tidak dilimpahkan ke PUPN. Namun pada kenyataannya sampai saat ini masih belum adanya perubahan yang signifikan akan hal tersebut. Semua pihak yang terkait dengan implementasi PP No. 33 Tahun 2006 seharusnya memiliki pemahaman yang sama bahwa sejak tanggal 6 Oktober 2006, semua proses penyelesaian kredit bermasalah Bank BUMN akan diselesaikan sesuai prinsip korporasi, yaitu sesuai UU PT serta UU BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Piutang BUMN bukan lagi tergolong piutang negara, sehingga penyelewengan terhadap pengelolaan piutang BUMN tidak bisa lagi diproses dengan UU Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat diproses sebagai delik pidana perbankan dan pidana umum dengan sanksi pidana sesuai ketentuan UU Perbankan dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Dengan berlakunya PP No. 33 Tahun 2006, diharapkan Bank BUMN menjadi lebih leluasa dan cepat menyelesaikan permasalahan tingginya NPL dengan cepat. Tujuan lain dari 10
“Himbara Berharap ada Sinkroniasi Aturan Piutang”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5162a973d2ff1/himbara-berharap-ada-sinkronisasi-aturan-piutang. Diunduh Pada 12 Juni 2014, pukul 12.23 WIB.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
10
penghapustagihan oleh Bank X adalah juga untuk meningkatkan recovery credit dan memperbaiki portofolio kredit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penghapustagihan yang dilakukan oleh Bank X setelah PP No. 33 Tahun 2006 telah sesuai dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan juga PMK No. 87 Tahun 2006. Penghapustagihan lainnya yang pernah dilakukan oleh Bank X adalah penghapustagihan bagi kredit macet di daerah yang terkena bencana seperti di Aceh, Yogya, dan lain-lain. Dalam melaksanakan penghapustagihan ini sebelum PP No. 33 Tahun 2006, Bank X telah melaksanakan sesuai prosedur dan persyaratan yang diatur dalam PMK No. 112 Tahun 2005, yaitu bahwa kredit tersebut telah disalurkan sebelum tanggal terjadinya bencana di daerah yang bersangkutan. Prosedurnya pun dilakukan sesuai dengan apa yang diatur dalam PMK No. 112 Tahun 2005. Namun setelah PP No. 33 Tahun 2006 itu berlaku, maka penghapustagihan di daerah bencana itu dilakukan oleh Bank X berdasarkan kebijakan internal Bank X. Dari sisi bank itu sendiri, penghapusbukuan memberikan dampak positit dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah tingkat NPL bank yang melakukan penghapusbukuan menjadi menurun, sehingga tingkat kesehatan bank pun menjadi membaik. Mutu neraca bank tersebut juga akan membaik. Angka–angka kredit yang tidak menghasilkan, tunggakan kredit, dan bunga yang sudah tidak dapat ditagih lagi, telah dibersihkan dari neraca. Hal ini menyebabkan, mutu aktiva produktif bank menjadi Iebih baik, sehingga akan mengingkatkan tingkat kesehatan bank di mata Bank Indonesia dan juga tentunya masyarakat. Namun, dampak negatifnya adalah penghapusbukuan akan membawa dampak penurunan rasio kecukupan modal (CAR) bank.11 Dampak penurunan CAR akan terjadi apabila PPAP untuk penghapusbukuan yang sebesar 100% tersebut, tidak terbentuk secara sempurna (kurang dari 100%), atau dengan kata lain tidak cukup untuk menutup jumlah kredit yang dihapusbukukan. Bila hal ini terjadi maka modal bank tentu saja akan terkurangi untuk memenuhi kekurangan dari pembentukan PPAP tersebut. Hal ini mempengaruhi jumlah laba rugi dari sebuah bank. Bila pada akhir tahun buku bank dinyatakan laba, maka labanya akan berkurang, sedangkan bila terjadi kerugian maka bank itu akan semakin rugi karena PPA untuk melakukan penghapusbukuan kurang. Selain itu, tindakan penghapusbukuan yang dilakukan bank membuat semakin turunnya rasio LDR yang menunjukkan pinjaman terhadap pihak ketiga. Dengan penghapusbukuan kredit macet tersebut,
11
Siswanto Sutojo, Op., Cit., hlm. 217.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
11
maka jumlah kredit yang tercatat di pembukuan bank langsung menurun.12 Sedangkan LDR sendiri merupakan tolok ukur sukses tidaknya bank menjalankan fungsi sebagai lembaga intermediasi. Dampak bagi bank sebagai kreditur dalam kredit adalah bahwa penghapusbukuan tidak menghilangkan hak tagih yang bank miliki untuk menagih piutangnya kepada debitur. Bagi bank, penghapustagihan secara keseluruhan atas pemberian fasilitas kredit berakibat bank kehilangan hak tagih atas kreditnya yang telah ia hapustagihkan. Namun lain halnya bila bank melakukan penghapustagihan secara partial. Bila hal ini dilakukan, maka bank masih mempunyai hak tagih terhadap sebagian fasilitas kredit yang tidak dihapustagihkan. Tidak
demikian
halnya
bila
penghapustagihan
dilakukan
langsung
tanpa
penghapusbukuan terlebih dahulu seperti halnya yang terjadi dalam perlakuan khusus bagi kredit macet di daerah bencana. Bila hal ini terjadi, tentu saja akan mengurangi modal bank secara langsung, karena bank langsung menghilangkan sejumlah kredit dari neracanya dan dihapustagihkan secara keseluruhan. Dari sisi debitur, penghapustagihan memberi akibat bahwa debitur tersebut dibebaskan dari kewajiban untuk membayar kredit secara keseluruhan, baik itu pokok kredit maupun bunganya. Namun tidak demikian halnya bila yang dilakukan bank adalah penghapustagihan secara partial. Bila hal ini dilakukan, maka debitur tetap memiliki kewajibannya kepada bank sebesar sisa dari penghapustagihan partial tersebut. Penghapustagihan juga memberikan dampak bagi perpajakan bank dan juga kepada debiturnya.13 Apabila bank yang melakukan penghapustagihan secara keseluruhan maka hal itu dapat dibebankan sebagai biaya dan menjadi faktor pengurang dalam Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak. Sehingga kewajiban bank dalam membayar pajaknya kepada negara menjadi berkurang.14 Sedangkan bagi debitur, penghapustagihan secara keseluruhan merupakan suatu penghasilan atau keuntungan bagi dirinya dan itu berdasarkan UU PPh merupakan Objek Pajak.15
12
Yana, Soeprianan, “Hapusbuku dan Hapustagih Piutang Negara Bank BUMN(Studi Kasus: PT. BRI (Persero) Tbk.),” (Tesis pascasariana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2005), hlm. 43. 13 14
Terdapat dalam UU PPh, di mana penghapustagihan dikenal dengan pembebasan hutang.
Dengan kata lain, bank tidak penghapustagihan secara keseluruhan yang ia lakukan.
perlu
membayar
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Op., Cit., Pasal Penjelasannya.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
pajak
4
ayat
atas
(1)
dilakukannya
huruf
k dan
12
Sehingga dengan demikian kewajiban debitur dalam membayar pajaknya bertambah karena adanya penghapustagihan. D.
KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak ada ketentuan khsusu yang mengatur secara detail tentang penghapusbukuan dan penghapustagihan bagi bank umum, bagaimana prosedurnya, dan kriterianya untuk melakukan hal itu, akan tetapi pengaturan tersebut tersebar di berbagai peraturan yang berkaitan di bidang perbankan. Untuk pengaturan bagi bank pada umumnya, PBI No. 14/15/PBI/2012 dapat dijadikan acuan. Khusus bagi Bank dengan status BUMN, maka dalam melaksanakan hal tersebut setidaknya ada unsur campur tangan negara di dalamnya. Berbagai peraturan perundangan-undangan seperti UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU PUPN, dan berbagai Peraturan Menteri Keuangan menjadi ketentuan yang harus diperhatikan oleh Bank BUMN. Dalam PBI No. 14/15/PBI/2012 disebutkan beberapa hal yang penting dalam pelaksanaan penghapusbukuan dan penghapustagihan bagi bank pada umumnya. Namun, tetap saja Bank Indonesia tidak memberikan pengaturan secara mendetail tentang bagaimana proses itu berjalan. Sebelum berlakunya PP No. 33 Tahun 2006, maka untuk melakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan haruslah merujuk kepada PP No. 14 Tahun 2005, KMK No. 300 Tahun 2002, dan PMK No. 31 Tahun 2005, yang menegaskan bahwa terdapat campur tangan negara di dalamnya. Namun, ketika PP No. 33 Tahun 2006 ini berlaku, terjadilah penyederhanaan dalam proses penghapusbukuan dan penghapustagihan
bagi
Bank
BUMN,
yaitu
bahwa
penghapusbukuan
dan
penghapustagihan dilaksanakan berdasarkan mekanisme korporasi yaitu kebijakan intern Bank BUMN itu sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya pelaksanaan penghapustagihan merupakan suatu hal yang sangat dihindari untuk dilakukan oleh bank. Hal ini selain karena dapat berpotensi menimbulkan kerugian terhadap bank, juga ditakutkan akan dicurigai sebagai tindakan korupsi yang dilakukan oleh Direksi bank tersebut.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
13
Penghapustagihan juga bisa dilakukan dalam keadaan yang istimewa seperti bencana alam yang beberapa tahun terakhir menimpa Indonesia. Bagi bank pada umumnya, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No. 8/15/PBI/2006 yang mengatur perlakuan khusus dalam hal kualitas kredit bank bagi daerah bencana. Bagi Bank BUMN, pelaksanaan penghapustagihan ini, diatur lebih lanjut pada PMK No. 2 Tahun 2005, dan terdapat campur tangan aparat negara di dalamnya. Namun, seperti halnya dalam keadaan normal, dengan berlakunya PP No. 33 Tahun 2006, maka pelaksanaan penghapustagihan bagi daerah bencana diserahkan kepada kebijakan intern Bank BUMN itu sendiri. Dalam melakukan penghapusbukuan sebelum PP 33/2006 pada dasarnya Bank X telah melaksanakannya sesuai dengan tentuan dalam PP No. 14 Tahun 2005, KMK No. 300 Tahun 2002, dan PMK No. 31 Tahun 2005. Setelah berlakunya PP No. 33 Tahun 2006 penghapusbukuan dilakukan oleh Bank X berdasarkan PKB dan KUP yang dimiliki oleh Bank X sebagai kebijakan internal yang dimiliki oleh Bank X, dan tentunya merujuk pada peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. Hal ini sesuai dengan yang diamatkan pada PP No. 5 Tahun 2206. Penghapustagihan pernah dilakukan oleh Bank X sebelum dan sesudah berlakunya PP No. 33 Tahun 2006, dan juga untuk kredit macet di daerah bencana. Sebelum PP No. 33 Tahun 2006 Bank X hanya melakukan penghapustagihan atas bunga dari kedit tersebut. Berdasarkan PMK No. 31 Tahun 2005 hal itu diserahkan kepada kebijakan internal Bank X, dan dalam AD/ART Bank X. Dengan demikian, Pelaksanaan penghapustagihan yang dilakukan oleh Bank X telah sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan yang ada, dan telah memenuhi syarat umum yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Penghapustagihan terhadap kredit macet di daerah bencana juga dilakukan oleh Bank X sebelum dan sesudah berlakunya PP No. 33 Tahun 2006. Pelaksanaan sebelum PP No. 33 Tahun 2006 dilakukan oleh Bank X sesuai dengan yang diatur dalam PMK No. 112 Tahun 2005. Namun setelah PP No. 33 Tahun 2006 pelaksanaannya diserahkan kepada kebijakan intern Bank X.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
14
2. Dampak dari dilakukannya penghapusbukan dan penghapustagihan bagi debitur dan bank sebagai salah satu upaya penyelesaian kredit macet cukup memberi dampak yang signifikan. Tingkat kesehatan Bank X menjadi membaik, dan NPL menjadi turun. Namun penghapustagihan menyebabkan penurunan laba Bank X karena adanya penyempurnaan pencadangan yang memakan modal Bank X sendiri. Selain itu, Bank X tetap memberikan Bank X hak untuk menagih piutangnya kepada debitur, dan debitur wajib membayarnya. Dari sisi pajak, penghapusbukuan yang dilakukan oleh Bank X merupakan faktor pengurang Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak sehingga dapat dikatakan penghapusbukuan tidak menambah kewajiban Bank X dalam membayar pajak. Sedangkan pada dilakukannya penghapusbukuan tidak menimbulkan dampak pajak apapun kepada debitur Bank X yang dihapusbukukan kreditnya. Dampak penghapustagihan partial yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi Bank X. Neraca keuangan bersih dari kredit bermasalah, NPL menjadi membaik, dan membuat Bank X mendapatkan pendapatan baru yang mempengaruhi peningkatan laba Bank X. Namun bila terjadi penghapustagihan terhadap kredit di daerah bencana, dimana Bank X akan mengurangi modalnya sendiri untuk melakukan penghapustagihan. Penghapustagihan menyebabkan Bank X tidak lagi mempunyai hak tagih atas bunga atau bagi hasil yang telah dihapustagihkan 100%. Namun, masih ada haknya terhadap 50% lagi sisa dari pokok kredit yang dihapustagihkan. Dari pihak debitur, debitur hanya mempunyai kewajiban untuk membayar 50% sisa dari hutangnya yang telah dihapustagihkan oleh Bank X. Penghapustagihan juga memberi dampak pajak bagi Bank X dan debitur. Bagi Bank X penghapustagihan partial menjadi faktor pengurang hanya sebesar yang dihapustagihkan saja. Pembayaran atau pelunasan atas sisanya menjadi Objek Pajak Bank X di tahun pajak saat pembayaran itu diterima oleh Bank X. Dari sisi debitur penghapustagihan atau pembebasan hutang ini merupakan Objek Pajak yang harus dibayar. Hanya yang jadi Objek Pajak disini adalah sebesar kredit yang dihapustagihkan saja.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
15
E.
SARAN Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait dengan pokok permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini adalah, bahwa masih perlu adanya penyamaan persepsi antara aparat negara (Polisi, Kejaksaan, BPK, dan KPK) tentang piutang BUMN. Hal ini agar Bank BUMN dapat dengan leluasa melakukan usaha-usaha penyelamatan kreditnya. Hal ini sangatlah diperlukan agar Bank BUMN tidak merasa ketakutan dalam melaksanakan upaya restrukturisasi di kemudian hari dan menjadi hilangnya deskriminasi yang terjadi anatara Bank BUMN dengan Bank Swasta. Bank Swasta yang dalam pelaksanaan penghapusbukuan dan penghapustagihannya berdasarkan pada kebijkan internalnya sendiri, dapat lebih mudah menyelesaikan permasalahan NPL-nya dan membersihkan neracanya untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Hal ini tentunya juga menjadi hak Bank BUMN.
DAFTAR REFERENSI BUKU Abdullah, Frieda Husni dan Surini Ahlan Syarif.Hukum Kebendaan Perdata, Buku A. Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Budi Cahyono, Akhmad dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata, cet.1, ed.1. Jakarta: CV Gitama Jaya. 2008. Daeng Naja, H.R. Bank Hijau; kebijakan kredit yang Berwawasan Lingkungan, cet.1. Yogyakarta: Media Pressindo. 2007. Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia, cet.6. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2012. Faud, Ramly dan M.Rustam. Akuntansi Perbankan; Petunjuk Praktid Operasional Bank, cet.1. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2005. Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti. Manajemen Perkreditan Bank Umum; Teori, Masalah, kebijakan dan Aplikasinya Lengkap dengan Analisis Kredit, cet.5. Bandung: Alfabeta. 2011. Fuady, Munir. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Erlangga. 2013. Hariyani, Iswi. Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, cet.1. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. 2010.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
16
Harun, Hazniel. Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit Perbankan, cet.1. Jakarta: IND-HILL-CO. 1995. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang memberi Jaminan, Jilid III. Jakarta: Ind-Hill-Co. 2005. Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, ed.revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005. Ikatan Akuntansi Indonesia. Buku Kedua Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. 1994. Ikatan Bankir Bank Indonesia, Mengelola Bank Komersial, ed.1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2014. Mamudji, Sri dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty. 1986. Muhammad, Abdul Kadir. Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, cet.2. Bandung: Citra Aditya Baktik. 1993. Nadja, Daeng. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Putra, Edy. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, cet.2, ed.1. Yogyakarta: Liberty, 1989. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Indonesia Lengkap, cet.6. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983. Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, cet.1. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1995. Rivai, Veithzal et.al, Credit Management Handbook, cet.3, ed.revisi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2013. Rosenberg, Jerry M. Dictionary of Banking & Financial Services 2nd edition. USA: John Wiley & Sons inc. 1985.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
17
Simorangkir, O.P. Seluk Beluk Bank Komersial, cet.5. Jakarta:Aksara Persada Indonesia. 1988. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan, cet.4. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2009. Subekti. Hukum Perjanjian, cet.21. Jakarta: PT Intermasa. 2005. Suharno. Analisa Kredit. Jakarta: Djambatan. 2003. Sujana Ismaya, Kamus Perbankan. Bandung: CV Pustaka Grafika. 2006. Sutojo, Siswanto. Menangani Kredit Bermasalah; Konsep dan Kasus. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka. 2008. _____________. Strategi Manajemen Kredit Bank Umum; Konsep, Teknik, dan Kasus, cet.1. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka. 2000. Suyatno, Thomas et.al. Dasar-Dasar Perkreditan, ed.4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2007. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. 1984. Tjoekam, Mohammad. Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1999. Tim Penyusun Kamus Pusat Binaan dan Pengamban Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3. Jakarta: Balai Pustaka. 1988. Tim Pustaka Pheonix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.7, Pheonix, 2013), hlm.496.
(Jakarta: PT Media Pustaka
Untung, Budi. Kredit Perbankan di Indonesia, cet.1. Yogyakarta: Andi. 2000. Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbakan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001. Widjanarto, Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, cet.1. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi. 1998.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
18
Widjanarto. Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, cet.1. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi. 1998. Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi. Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan, cet.1. Bandung: PT Alumni. 2007. ARTIKEL Isnceni, M. ”Hak Tanggungan sebagai Lembagai Jaminan dalam Kerangka Tata Hukum di Indonesia”, Jurnal Ekonomi, Edisi V, (Agustus 1996). Z, Wangsawidjaya. ”Hapus buku dan Hapus Tagih Piutang Negara Bank-Bank BUMN”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23 No.2. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. (2004). MAKALAH Setyawan, Rene. “Penghimpunan Dana”. Makalah pada Acara Temu Ilmiah Perbankan dan Sistem Keuangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Universitas Sumatra Utara, Medan. 1994. SKRIPSI DAN TESIS Ednasari. ”Analisis Terhadap Penghapusbukuan dan Penghapustagihan Kredit Macet dalam Kaitannya dengan Ketentuan di Bidang Perbankan (Studi Kasus: PT BNI (Persero) Tbk.).” Skripsi Universitas Indonesia. Jakarta, 2008. Yana, Soeprianan. “Hapusbuku dan Hapustagih Piutang Negara Bank BUMN(Studi Kasus: PT. BRI (Persero) Tbk.).” Tesis pascasariana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2005. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
19
Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pengawas Keuangan. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Pitang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP No. 33 Tahun 2006. Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Keputusan Presiden No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah. Keputusan Menteri Keuangan No. 300 Tahun 2002. Peraturan Menteri Keuangan No. 31 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 112/PMK.07/2005 tentang Pengajuan Usul Penghapusan Piutang Negara. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011. Fatwa Hukum Mahkama Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006. Peraturan Bank Indonesia No. 4/7/PBI 2002 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Rangka Pemberian Kredit oleh Bank dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Peraturan Bank Indonesia No. 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Peraturan Bank Indonesia No. 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilian Kualitas Aset Bank Umum. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/162/Kep/Dir tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kewajiban Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/Kep/Dir tentang Pemberian Usaha Kecil. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/167/Kep/Dir tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan. INTERNET Kumpulanistilahcom, ”Pengertian Bank BUMN”, http://id.shvoong.com/businessmanagement/investing/2077013-pengertian-bank-bumn/, diunduh pada 24 Juni 2014 Aunul
Muizz Achady, “5 Kriteria Nasabah dan Penanggulangan Kredit Macet”, http://aunull.blogspot.com/2012/10/5-kriteria-nasabah-dan-penanggulangan.html, diunduh 11 May 2014.
“Himbara Berharap ada Sinkroniasi Aturan Piutang”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5162a973d2ff1/himbara-berharap-ada-sinkronisasiaturan-piutang. Diunduh Pada 1
Tinjauan yuridis…, Natasya, FH UI, 2014
20