TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP PERLINDUNGAN NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM KASUS ANTARA PT. BANK A CABANG BIAK DENGAN TN. X (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 05/PDT.G/2003/PN.BIK) Larasati Allegra Farniasari Pembimbing : Aad Rusyad Nurdin Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai pengaturan perlindungan nasabah penyimpan dana yang berlaku di perbankan Indonesia dan penerapan prinsip perlindungan nasabah penyimpan dana terkait kasus antara PT. Bank A Cabang Biak dengan Tn. X. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia perlindungan nasabah penyimpan dana dilakukan melalui 2 cara yaitu secara implisit dan secara eksplisit. Peraturan –peraturan yang memberikan perlindungan secara implisit antara lain terdapat dalam UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 khususnya pasal 29-37; Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang OJK; KUHPerdata pasal 1365, 1367, 1236, dan 1239; dan Peraturan-peraturan Bank Indonesia terkait. Sedangkan perlindungan secara eksplisit adalah perlindungan melalui pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, yang akan menjamin simpanan nasabah jika bank mengalami kegagalan. Terkait dengan kasus yang dibahas dalam skripsi ini, disimpulkan bahwa PT. Bank A Cabang Biak melanggar/tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan transaksi yang diperintahkan nasabahnya (Tn. X), sehingga tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 dan 29 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. PT. Bank A Cabang Biak juga melanggar beberapa hak konsumen yang diatur dalam dalam pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, terjadinya kasus tersebut juga menunjukkan bahwa kontrol internal di PT. Bank A Cabang Biak pada waktu itu masih kurang efektif.
Abstract This research is about the arrangements of depositors protection that apply in the Indonesian banking and the implementation of the depositors protection principle related to the case between PT. Bank A Biak Branch and Mr.X. This study uses a normative legal research method, which is by researching library materials or secondary data related to law and any form of written legal norms. This research concludes that protection of depositors in the Indonesian banking system is done by two ways: implicitly, and explicitly. Some regulations
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
that provide implicit protection are Law Number 7 of 1992 on Banking as amanded by Law Number 10 of 1998 article 29-37 in particular; Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection; Law Number 21 of 2011 on Financial Services Authority; Indonesian Civil Code article 1365, 1367, 1236, and 1239; and other related Bank Indonesia Regulations. Meanwhile explicit protection is protection by the establishment of Indonesia Deposit Insurance Corporation, which will guarantee customer deposits if a bank fails. Regarding to the case discussed in this research, it can be concluded that PT. Bank A Biak branch violated/did not apply precautionary principles while executing transaction demanded by its customer (Mr.X), which means that the bank did not comply to article 2 and 29 of Law Number 7 of 1992 on Banking as amanded by Law Number 10 of 1998. PT. Bank A Biak branch also violated several consumer rights which is regulated in Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection in particular article 4. The case also shows that the internal control of PT. Bank A Biak Branch at that time was less effective. Keywords: bank; fund depositor; fund depositor protection
Pendahuluan Dengan semakin berkembangnya perekonomian, keberadaan perbankan semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya bank juga memerlukan dana dari masyarakat untuk dikelolanya dan digunakan untuk membiayai kegiatan utama usahanya yaitu menyalurkan kredit. Adanya simbosis diantara bank dengan masyarakat menimbulkan suatu hubungan yang sinergis diantaranya keduanya. Adanya hubungan antara bank dengan nasabah akan menimbulkan suatu konsekuensi yaitu adanya hak dan kewajiban pada kedua belah pihak. Agar hubungan tersebut tidak merugikan satu sama lain, maka setiap pihak tentunya harus sadar, paham, dan mematuhi hak dan kewajiban masing-masing. Sebagai pihak yang menggunakan produk dan jasa bank, nasabah harus memiliki itikad yang baik, dan sebaliknya bank sebagai penyedia produk dan jasa juga harus menjaga kepercayaan yang diberikan nasabah dengan menjalankan kegiatan usahanya dengan semestinya. Dalam berhubungan dengan bank, nasabah seringkali berada dalam posisi yang lebih lemah dari bank, sehingga nasabah perlu mendapatkan perlindungan hukum yang memadai agar nasabah merasa aman dan tetap mau menyimpan dananya di bank. Menurut Sutan Remy Sjahdeini hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam-meminjam uang antara debitur (bank) dan kreditur (nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. Dengan kata lain bahwa menurut undang-undang hukum perbankan, hubungan antara bank dan nasabah bukan hanya sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditur yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
perjanjian, tetapi juga hubungan yang diliputi asas kepercayaan.1 Masyarakat sebagai nasabah yang menitipkan dananya kepada bank memberikan kepercayaan yang tinggi kepada bank untuk mengelola dananya agar tujuan dari nasabah juga tercapai. Sehingga bank harus memegang dan mengelola kepercayaan nasabah dengan bijaksana dan rasa penuh tanggung jawab. Perbankan Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian.2 Agar tidak menyalahgunakan kepercayaan dari nasabah tentunya bank dalam menjalankan aktivitas usahanya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank agar selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti selalu harus konsisten dalam melaksanakan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perbankan
berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik.3 Sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat tentunya dana yang dikelola oleh bank tidaklah sedikit sehingga apabila dalam usahanya bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dengan baik maka dapat terjadi suatu permasalahan yang dapat menimbulkan kerugian baik dari pihak bank maupun pihak nasabah. Dapat dikatakan bahwa pelaksanaan prinsip kehati-hatian tidak hanya memberikan perlindungan kepada kepentingan bank saja, melainkan juga memberikan perlindungan kepada kepentingan nasabah penyimpan dana. Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian, semakin banyak dan kompleks pula permasalahan-permasalahan yang timbul dari hubungan antara bank dengan nasabah akibat tidak dijalankan hubungan hak dan kewajiban dengan baik dari kedua belah pihak. Tidak sedikit permasalahan-permasalahan yang timbul adalah akibat bank yang tidak memenuhi hak nasabah dan kewajiban bank sebagai pelaku usaha perbankan, sehingga merugikan nasabah sebagai konsumen atau pengguna jasa perbankan, khususnya nasabah penyimpan dana yang telah mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank. Ini berarti bahwa bank tidak/kurang dapat memberikan perlindungan kepada nasabahnya sehingga merugikan kepentingan nasabah. Kondisi ini dapat terjadi antara lain disebabkan karena bank tidak dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan perlindungan nasabah dengan baik. Misalnya saja bank kurang berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya dan tidak konsisten dalam 1
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 16-17. 2 Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 31 tahun 1992, TLN No. 3472, Ps. 2. 3 Hermansyah, Op. Cit., hal. 135.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Sengketa antara PT. Bank A Cabang Biak dengan Tn. X (Studi Kasus Putusan Nomor 5/Pdt.G/2003/PN.Bik) sebagai salah satu contoh kasus tidak dijalankannya kewajiban bank dengan baik dan tidak terpenuhinya hak nasabah sebagai konsumen. Dengan kata lain kasus ini merupakan salah satu contoh kasus kurang diterapkannya ketentuan mengenai perlindungan nasabah penyimpan dana dengan baik, sehingga cukup menarik untuk ditinjau secara yuridis implementasi/penerapan ketentuan mengenai perlindungan hukum kepada nasabah yang telah dilakukan oleh PT. Bank A Cabang Biak dalam kaitannya dengan Tn. X sebagai nasabahnya. Dalam kasus ini Tn. X (nasabah PT. Bank A Cabang Biak) terlibat perjanjian jual beli beras dengan Tn. Y yang juga merupakan nasabah dari PT. Bank A Cabang Biak, dimana Tn. X bertindak sebagai pihak pembeli sedangkan Tn. Y bertindak sebagai pihak penjual beras dan beras yang akan dijual Tn. Y kepada Tn. X akan diperoleh Tn. Y melalui impor dari Thailand. Untuk pembelian beras tersebut Tn. X harus menyetor uang senilai harga beras yang dibeli melalui PT. Bank A Cabang Biak, dan uang tersebut akan ditahan sementara oleh pihak bank. Tn. Y baru bisa mencairkan uang tersebut setelah beras berada di gudang Tn. X atau atas permintaan Tn. X. Ketentuan tersebut tertuang dalam akta perjanjian jual beli beras No. 19 dan No. 28 tanggal 28 Desember 2001 yang dibuat oleh seorang notaris di kota Biak. Didalam akta perjanjian jual beli tersebut terdapat pasal yang menyebutkan bahwa Tn. JM, yang pada waktu itu posisinya adalah sebagai Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak, telah mengetahui dengan betul tentang isi perjanjian jual beli beras tersebut dan bersedia untuk menahan uang sebagaimana dimaksud dalam akta perjanjian tersebut. Untuk melaksanakan perjanjian jual beli tersebut, telah dibuat surat kuasa yang isinya Tn. X memberi kuasa kepada Tn. JM (pemimpin PT. Bank A Cabang Biak) untuk memblokir/memindahbukukan uang di rekening Tn. X yang nantinya akan dipindahkan ke rekening Tn. Y untuk keperluan impor beras sesuai dengan akta perjanjian tersebut diatas. Sebelum beras diterima oleh pihak Tn. X dan juga belum ada perintah dari Tn. X, PT. Bank A Cabang Biak mendebet rekening Tn. X untuk keperluan impor beras Tn. Y. Pendebetan tersebut dilakukan PT. Bank A Cabang Biak tanpa konfirmasi dan pemberitahuan kepada Tn. X (hanya dengan mendasarkan pada surat kuasa tersebut diatas).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Atas pendebetan tersebut Tn. X merasa dirugikan karena tindakan yang dilakukan oleh PT. Bank A Cabang Biak yang telah mencairkan rekening miliknya tanpa persetujuan dari dirinya dan juga tidak sesuai dengan akta perjanjian jual beli. PT. Bank A Cabang Biak dipersalahkan karena telah mendebet/memindahbukukan uang Tn. X sebelum beras diterima oleh Tn. X, padahal PT. Bank A dianggap telah mengetahui isi akta perjanjian jual beli, sehingga dianggap menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya, tidak dapat melindungi kepentingan nasabahnya, melanggar asas ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dijalankan Bank terhadap dana milik nasabahnya. Karena itu Tn. X telah menggugat PT. Bank A Cabang Biak dengan dasar gugatan PT. Bank A Cabang Biak dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah mencairkan rekening milik Tn. X yang ada di PT. Bank A Cabang Biak tidak sesuai dengan akta jual beli. Dari uraian diatas nampak jelas bahwa kasus tersebut terkait dengan masalah perlindungan nasabah. Dalam kasus ini, bank memiliki peranan sebagai pihak yang diharapkan dapat mengamankan rekening nasabah dan memperlancar/memfasilitasi transaksi pembayaran. Tetapi yang terjadi ternyata dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang diperintahkan dan nasabah merasa dirugikan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah pokok yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana yang berlaku di perbankan Indonesia? 2. Bagaimana Bagaimana penerapan prinsip perlindungan nasabah penyimpan dana dalam kaitannya dengan kasus antara PT. Bank A Cabang Biak dengan Tn. X? Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana yang berlaku di perbankan Indonesia. 2. Mengetahui bagaimana penerapan prinsip perlindungan nasabah penyimpan dana dalam kaitannya dengan kasus antara PT. Bank A cabang Biak dengan Tn. X.
Pembahasan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menjamin perlindungan hukum bagi nasabah melalui
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
pengawasan dan pembinaan perbankan, yang diatur antara lain dalam pasal 29 sampai dengan pasal 37. Secara umum ketentuan dalam pasal 29 menyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia serta mengharuskan agar bank dalam menjalankan usahanya dilakukan sesuai dengan prinsip kehati-hatian, tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah penyimpan dana, dan harus selalu menjaga tingkat kesehatan bank. Dalam pasal tersebut bank juga diwajibkan untuk menyediakan informasi untuk nasabah mengenai potensi risiko yang melekat pada produk/jasa yang ditawarkan oleh bank. Dengan menjalankan dan mematuhi aturan-aturan tersebut bank diharapkan dapat terjaga kesehatan dan kelangsungan usahanya, sehingga kepentingan dan dana nasabah menjadi aman dan terlindungi. Selanjutnya mengenai pelaksanaan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, termasuk upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyehatkan bank diatur dalam pasal 30 sampai 37. Ketentuan lainnya mengenai perlindungan bagi nasabah penyimpan dana tercantum dalam pasal 37B yang menyebutkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam UndangUndang No. 24 Tahun 2004 dan mulai beroperasi pada 22 September 2005. Lembaga tersebut berperan untuk menjamin dan mengganti dana nasabah apabila bank mengalami kegagalan atau dilikuidasi. Pembentukan lembaga ini diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana dan sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Selain dalam Undang-undang Perbankan, upaya untuk melakukan pengawasan terhadap bankbank dan mendorong bank-bank untuk beroperasi lebih sehat juga dilakukan oleh Bank Indonesia melalui berbagai peraturan Bank Indonesia yang dikeluarkan. Berbagai peraturan ini dikeluarkan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan dan sekaligus juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah, termasuk nasabah penyimpan dana. Beberapa peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan perlindungan nasabah penyimpan dana antara lain adalah : 1. Penugasan Direktur Kepatuhan Dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum Diatur dalam PBI No.1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Dalam peraturan ini bank diwajibkan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
untuk memiliki direktur kepatuhan yang bertugas untuk memastikan bank telah memenuhi standar Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian, menjaga kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Selain itu bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) sebagai bagian dari penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank yang bertugas untuk membantu tugas direktur utama dan dewan komisaris dalam melakukan pengawasan internal. Melalui peraturan ini, pengawasan internal bank diharapkan dapat menjadi lebih kuat serta bank dapat beroperasi lebih baik dan sehat, sehingga kepentingan nasabah penyimpan dana juga dapat terlindungi. 2. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) / Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum Diatur dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 yang kemudian diubah dengan PBI No. 3/23/PBI/2001 dan
terakhir
PBI
No.
5/21/PBI/2003.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum yang diatur dalam PBI No. 11/28/PBI/2009 yang kemudian dicabut dan diubah dengan PBI No. 14/27/PBI/2012. Dalam PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum, bank diwajibkan untuk melakukan CDD dan EDD. CDD (Customer Due Diligence) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil calon nasabah, WIC, atau nasabah.4 EDD (Enhanced Due Diligence) adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan bank pada saat berhubungan dengan calon nasabah, WIC, atau nasabah yang tergolong berisiko tinggi, termasuk politically exposed person, terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.5 Dengan menerapan prinsip mengenal nasabah diharapkan dapat meminimalisir risiko kemungkinanan terjadinya pemanfaatan bank sebagai sarana kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan nasabah yang dapat merugikan pihak bank dan nasabah lain. 4
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum, PBI No. 14/27/PBI/2012, LN No. 290 Tahun 2012, TLN No. 5385, Ps. 1 butir ke-7. 5 Ibid., Ps. 1 butir ke-8.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
3. Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan PBI No. 11/25/PBI/2009. Dalam peraturan ini, bank diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif sekurang-kurangnya mencakup6: Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko; Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan Sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Dengan menerapkan manajemen risiko diharapkan bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dilakukan dengan menerapkan prinsip kehatihatian, serta menjalankan sistem pengawasan internal bank yang baik sehingga dapat menekan potensi risiko yang dapat merugikan kelangsungan usaha bank. Secara tidak langsung hal tersebut juga ikut berkontribusi dalam upaya perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana agar nasabah juga terhindar dari kerugian yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu. 4. Transfer Dana Diatur dalam PBI No. 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana. Dalam peraturan ini secara keseluruhan mengatur mengenai hak dan kewajiban dari semua pihak yang terlibat dalam transfer dana, termasuk nasabah penyimpan dana yang mentransfer dananya ke pihak lain. Perlindungan terhadap pihak yang mentransfer dananya terlihat dari adanya ketentuan bahwa bank (penyelenggara pengirim transfer dana) yang telah mengaksep perintah transfer dana pengirim bertanggungjawab atas terlaksananya transfer dana sampai dengan pengaksepan oleh penyelenggara penerima akhir.7 Tanggung jawab tersebut juga berlaku apabila ketika bank telah melakukan pengaksepan perintah transfer dana terjadi keadaan darurat, kerusakan pada sistem elektronik maupun non elektronik yang berpengaruh terhadap pelaksanaan transfer dana yang tidak dapat di kontrol oleh bank, kegagalan sistem kliring atau sistem transfer dana, dan hal lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.8 Dalam hal ini bank diwajibkan untuk memberikan pemberitahuan kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu dan jika terjadi keterlambatan pemberitahuan maka bank diwajibkan untuk memberikan jasa, 6
Bank Indonesia, Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI No. 11/25/PBI/2009 , LN No. 103 Tahun 2009, TLN No. 5029, Ps. 2 ayat (2). 7 lihat Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Transfer Dana, PBI No. 14/23/PBI/2012, LN No. 283 Tahun 2012, TLN No. 5381, Ps. 9 ayat (2). 8 Ibid., Ps. 10.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
bunga, atau kompensasi kepada nasabah. Dalam hal terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan transfer oleh bank, baik itu berupa kekeliruan mengenai jumlah dana yang ditransfer maupun kekeliruan mengenai pihak penerima transfer (beneficiary), maka bank wajib melakukan perbaikan paling lambat satu hari kerja setelah diketahui terjadinya kekeliruan tersebut.9 5. Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah Diatur dalam PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Dalam peraturan ini, bank diwajibkan untuk memberikan informasi mengenai produk yang ditawarkan oleh bank. Informasi yang harus diberikan oleh bank kepada nasabah antara lain adalah mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang melekat pada suatu produk. Dalam peraturan ini diatur pula mengenai pembatasan penggunaan data pribadi nasabah hanya untuk kepentingan internal bank. Bank tidak dapat secara leluasa memberikan data pribadi nasabah kepada pihak lain untuk tujuan komersial bank kecuali atas izin dari pihak nasabah yang bersangkutan. Dengan adanya PBI ini maka, diharapkan akan meningkatkan pemahaman nasabah atas manfaat terhadap produk bank sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah. Selain itu dengan adanya PBI ini juga diharapkan nasabah akan merasa aman dan nyaman dalam berhubungan dengan bank karena adanya aturan mengenai pembatasan terhadap pemberian data pribadi nasabah. 6. Penyelesaian Pengaduan Nasabah Diatur dalam PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, yang kemudian diubah dalam PBI No. 10/10/2008. Dalam peraturan ini, bank diwajibkan untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang mengalami kerugian secara finansial, dimana didalamnya diatur mengenai tatacara penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan. Dengan adanya PBI ini, diharapkan dapat membawa manfaat terutama bagi nasabah. Karena apabila ada permasalahan, melalui penyelesaian pengaduan nasabah yang difasilitasi bank diharapkan upaya penyelesaian masalah menjadi lebih cepat, efekif, dan efisien 7. Mediasi Perbankan Diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, yang kemudian diubah dalam PBI No. 10/1/PBI/2008. Mediasi perbankan merupakan upaya lain yang dapat ditempuh oleh nasabah apabila nasabah merasa tidak puas dengan hasil penyelesaian masalah 9
Ibid., Ps. 11.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
melalui pengaduan nasabah yang berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Mediasi perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator (lembaga mediasi independen) untuk membantu para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian. Upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan merupakan upaya penyelesaian sengketa terbaik yang dapat dilakukan nasabah karena prosesnya yang sederhana, murah, dan cepat. Hal ini diharapkan sangat membantu nasabah khususnya bagi nasabah kecil dan usaha mikro kecil (UKM) untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak mereka sebagai nasabah, mengingat upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase maupun jalur peradilan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain peraturan-peraturan Bank Indonesia yang telah disebutkan diatas tersebut, perlindungan bagi nasabah penyimpan dana lainnya juga diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Terkait dengan masalah perlindungan konsumen dan masyarakat, dalam peraturan ini diatur mengenai kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan konsumen, dan melakukan pembelaan hukum terhadap konsumen dan masyarakat yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tidak langsung juga memberikan perlindungan bagi nasabah sebagai konsumen dari layanan produk/jasa bank, dengan diaturnya mengenai hak-hak konsumen dan juga kewajiban-kewajiban pelaku usaha serta ketentuan mengenai pencantuman klausula baku. Perlindungan lainnya juga terlihat dari ketentuan yang terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha dimana disebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”10 Upaya penyelesaian berupa tuntutan ganti rugi tersebut adalah hak nasabah untuk mendapatkan penyelesaian hukum tanpa harus menempuh upaya hukum legal. Tetapi apabila bank sebagai pelaku usaha menolak untuk memberi ganti rugi atau tidak menanggapi tuntutan nasabah maka nasabah sebagai konsumen dapat menggunakan upaya hukum legal dengan mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.11
10 lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 tahun 1999, TLN No. 3821, Ps. 19 ayat (1). 11 Ibid., Ps. 23.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Dalam melakukan hubungan usahanya, tak jarang timbul permasalahan antara bank dengan nasabah akibat bank lalai atau tidak memenuhi ketentuan/kewajiban seperti yang telah disepakati atau diperjanjikan sebelumnya. Apabila bank tidak memenuhi kewajibannya dalam konteks perjanjian antara bank dengan nasabah, maka nasabah dapat menuntut bank atas dasar gugatan wanprestasi sebagaimana diatur dalam pasal 1239 dan 1236 KUHPerdata. Begitu juga dalam hal bank melakukan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat merugikan nasabah, maka nasabah dapat menuntut bank atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata. Dalam hal ini, bank harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh bank tersebut atau pegawainya. Pengertian tanggung jawab disini adalah kewajiban untuk mengganti terhadap apa yang telah dilakukannnya yang menimbulkan kerugian. Terkait dalam kasus yang dibahas ini, terdapat beberapa pelanggaran terhadap ketentuan terkait perlindungan nasabah. Dalam hal ini Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak (Tn. JM) turut terlibat dalam perjanjian jual beli (sales contract) yang dilakukan oleh kedua nasabahnya, dimana Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak tidak hanya sebagai pihak yang mengetahui isi perjanjian, tetapi juga sebagai pihak yang akan bertindak sesuai dengan isi perjanjian. Dalam proses di pengadilan terbukti bahwa selain Tn. X dan Tn.Y, Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak (Tn. JM) juga ikut serta menandatangani minuta akta perjanjian jual beli yang dibuat oleh notaris berdasarkan kesepakatan perjanjian jual beli antara Tn. X dengan Tn. Y. Seharusnya bank tidak perlu terlibat dalam suatu perjanjian jual beli antara kedua nasabahnya, yang pada dasarnya mengenai suatu transaksi barang yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis bank dan juga tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan bank. Dengan kata lain, Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak, seharusnya tidak perlu ikut terlibat dalam isi perjanjian tetapi cukup melakukan pemindahbukuan rekening tabungan sesuai perintah nasabah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dengan tidak melibatkan diri dalam perjanjian, bank akan dapat mengurangi segala bentuk risiko yang mungkin terjadi dibandingkan bila bank ikut terlibat dalam perjanjian tersebut. Hal ini merupakan bentuk upaya bank dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketenuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Selain masalah keterlibatannya secara langsung dalam transaksi jual beli antara kedua nasabahnya, proses atau prosedur pendebetan/pemindahbukuan dana dari rekening tabungan Tn. X yang dilakukan oleh Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak juga bermasalah. Dalam kasus ini, pemindahbukuan rekening tabungan dilakukan dengan hanya berdasarkan surat perintah berbentuk surat kuasa bawah tangan. Jika mengikuti prosedur internal pemindahbukuan rekening pada PT. Bank A yang benar seharusnya nasabah (Tn. X) datang ke kantor Bank A dengan membawa buku tabungan dan kartu identitas diri, kemudian mengisi slip/formulir pemindahbukuan (yang telah disediakan oleh bank) sebagai pengantar atas pemindahan dana dari rekening nasabah bersangkutan (Tn. X) ke rekening nasabah lainnya (Tn. Y) yang dibubuhi tandatangan dari nasabah yang bersangkutan (Tn. X). Apabila Tn. X berhalangan hadir ke bank, maka Tn. X dapat memberikan surat kuasa kepada pihak lain yang ditunjuknya. Meskipun demikian buku tabungan Tn. X tetap harus dibawa oleh penerima kuasa disertai slip/formulir pemindahbukuan yang telah diisi dan ditandatangani Tn. X. Bank kemudian akan mencocokkan tandatangan yang ada pada slip/formulir pemindahbukuan dengan tandatangan yang tertera dalam buku tabungan. Apabila bank telah yakin bahwa tandatangan yang tertera dalam dua dokumen tersebut sama, maka transaksi dapat dilaksanakan. Dalam kenyataannya pemindahbukuan dana dari rekening Tn. X hanya didasarkan pada surat kuasa yang memberikan kuasa kepada Tn. JM, Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak, untuk memblokir/ memindah bukukan uang milik Tn. X yang ada pada rekeningnya di PT. Bank A Cabang Biak untuk nantinya dipindah bukukan ke rekening Tn. Y pada bank yang sama untuk cover pembukaan L/C impor (Pembelian Beras), dengan tetap mengacu pada akta perjanjian jual beli tersebut diatas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemindahbukuan rekening yang dilakukan oleh pejabat PT. Bank A jelas tidak sesuai dengan aturan internal mengenai pencairan atau pemindahbukuan dana dari rekening tabungan, sehingga bisa dikatakan telah melanggar prinsip kehati-hatian yang seharusnya dijalankan oleh tiap pegawai bank dalam melaksanakan transaksi perbankan yang diperintahkan oleh nasabahnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa proses pemindahbukuan rekening Tn. X yang dilakukan oleh Tn. JM ini tidak lazim seperti yang berlaku di perbankan pada umumnya, yaitu dengan menunjukkan buku tabungan dan mengisi serta menandatangani slip/formulir pemindahbukuan yang disediakan oleh bank.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Terkait dengan surat kuasa Tn. X kepada Tn. JM (Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak) yang menjadi dasar pemindahbukuan dana Tn. X, dalam pengadilan Tn. X menyangkal (tidak mengakui) telah membuat dan menandatangani surat kuasa tersebut. Terlepas dari apakah surat kuasa tersebut sebenarnya dibuat oleh Tn. X atau bukan, jika prinsip kehati-hatian diterapkan, seharusnya pemimpin PT. Bank A cabang Biak memeriksa dan meneliti terlebih dahulu surat kuasa tersebut secara lebih cermat. Dalam surat kuasa tersebut tidak dicantumkan tanggal, bulan, dan tahun serta nilai nominal yang akan dipindahbukukan, sehingga pemberian kuasanya menjadi sangat kabur dan tidak jelas. Dalam hal ini Tn. JM selaku Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak berdalih bahwa surat kuasa tersebut tidak mencantumkan nilai nominal karena surat kuasa tersebut didasarkan/merujuk pada akta perjanjian jual beli No. 19 dan 28 tanggal 28 Desember 2001 tersebut diatas. Meskipun demikian jika diperhatikan lebih dalam ternyata isi surat kuasa tersebut jelas-jelas bertentangan dengan isi perjanjian yang tertera dalam akta perjanjian jual beli. Dengan surat kuasa yang tidak jelas tersebut (tanpa jumlah nominal dan tanggal kapan surat kuasa tersebut boleh dilaksanakan), apalagi isinya tidak sesuai dengan ketentuan dalam akta
perjanjian jual beli, Tn. JM
seharusnya bertindak lebih hati-hati. Sebagai pejabat bank, untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian, seharusnya Tn. JM selaku Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak melakukan konfirmasi terlebih dahulu mengenai isi dan maksud surat kuasa kepada pemberi kuasa sebelum melakukan pemindahbukuan rekening. Lebih parah lagi, berdasarkan pengakuan Tn. JM di pengadilan, ternyata pemindahbukuan rekening tersebut dilakukan bukan ke rekening Tn. Y pada PT. Bank A, melainkan ditransfer langsung ke bank di Thailand (yang akan membayarkannya ke eksportir beras), dengan alasan bahwa pemindahbukuan rekening tersebut adalah untuk pembayaran L/C eksportir. Dengan demikian jika dasar dari pelaksanaan transfer/pemindahbukuan rekening oleh Tn. JM adalah surat kuasa tersebut diatas, dalam kenyataannya pelaksanaan transfer/pemindahbukuan dana ternyata juga tidak sesuai dengan perintah surat kuasa, yaitu dana tidak ditransfer kepada pihak yang ditunjuk dalam surat kuasa melainkan kepada pihak lain yang tidak ditunjuk. Dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tn. JM selaku Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak, dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak melaksanakan/menerapkan prinsip kehati-hatian dengan baik ketika mengeksekusi transaksi yang diperintahkan nasabahnya. Bahkan dalam beberapa hal apa yang telah dilakukan Tn. JM tersebut termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan pasal 2 dan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dimana disebutkan bahwa bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Selain itu tindakan yang dilakukan Tn. JM juga tidak sesuai dengan pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang mewajibkan bank dalam melakukan kegiatan usahanya menempuh caracara yang tidak merugikan kepentingan nasabah. Hal tersebut jelas sangat merugikan pihak nasabah yang telah menaruh kepercayaan untuk menitipkan dananya ke bank dengan harapan bahwa dananya dikelola dengan baik oleh pihak bank dengan bijaksana dan dengan rasa penuh tanggung jawab. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam memindahbukukan rekening Tn. X menurut penulis dapat terjadi karena kurang efektifnya pengawasan atau kontrol internal di PT. Bank A Cabang Biak pada waktu itu. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu upaya Bank Indonesia untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana dan menjaga tingkat kepercayaan nasabah kepada bank adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan Bank Indonesia untuk memperkuat pengawasan internal bank. Salah satunya adalah Peraturan Bank Indonesia No.1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Meskipun pada waktu itu PT. Bank A telah memiliki direktur kepatuhan dan juga Satuan Kerja Audit Intern, namun hal tersebut tampaknya belum mampu untuk mencegah terjadinya kasus tersebut. Lebih khususnya, fungsi kontrol intern di PT. Bank A Cabang Biak pada waktu itu tidak mampu untuk mendeteksi atau mencegah terjadinya kasus tersebut. Selain itu, ketika terjadi pendebetan/pemindahbukuan dana dari rekening Tn. X menurut informasi dari Tn. X, yang bersangkutan telah mengajukan komplain kepada PT. Bank A Cabang Biak namun yang bersangkutan tidak mendapatkan jawaban ataupun penyelesaian yang memuaskan. Karena itu Tn. X memilih menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum dan menuntut pengembalian atas dananya yang telah dipindahbukukan oleh bank beserta denda atau kerugian-kerugian lain yang dideritannya. Sehingga dalam hal ini terjadi pelanggaran hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya huruf (d) dan huruf (h), yaitu : “Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”, dan “Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Dalam kasus juga terlihat bahwa kesalahan atau kekurang hati-hatian yang telah dilakukan oleh Tn. JM dalam mengeksekusi transaksi yang diperintahkan nasabahnya merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum diperlukan 4 syarat, yaitu: bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.12 Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh Tn. JM memenuhi keempat syarat tersebut. Dalam pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Karena Tn. JM dalam hal ini adalah Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak, sehingga tindakannya adalah mewakili kepentingan PT. Bank A, maka yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita nasabah adalah PT. Bank A dimana seperti yang telah disebutkan dalam pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.
Penutup Berdasarkan uraian sebelumnya, terdapat simpulan sebagai berikut: 1 Secara umum Perlindungan bagi nasabah penyimpan dana di bank dapat dilakukan melalui perlindungan secara implisit maupun perlindungan secara eksplisit. Perlindungan secara implisit adalah perlindungan yang dihasilkan dari adanya pengawasan dan pembinaan bank secara efektif, yang diperoleh melalui UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 khususnya pasal 29-37; PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum, PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum, PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 11/25/PBI/2009, PBI No. 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana, PBI No. 12
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), hal.
117.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/10/2008, PBI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan; Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1365, 1367, 1236 dan 1239. Sedangkan perlindungan secara eksplisit adalah perlindungan melalui pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank gagal tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 37B Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Fungsi dari Lembaga Penjamin Simpanan tersebut tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 2.
Dalam kasus yang dibahas dalam skripsi ini, penulis berpendapat bahwa terjadinya permasalahan atau kasus yang terjadi pada tahun 2002 antara PT. Bank A dengan nasabahnya (Tn. X) adalah karena adanya beberapa pelanggaran terhadap penerapan ketentuan perlindungan nasabah oleh Tn. JM (Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak), antara lain tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian oleh Tn. JM ketika melaksanakan transaksi yang diperintahkan oleh nasabahnya. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Pemimpin PT. Bank A Cabang Biak ini antara lain terlihat dari tindakan-tindakan yang telah dilakukannya, yaitu: Melibatkan dirinya (dan PT. Bank A) dalam perjanjian jual beli antara nasabahnya (Tn. X dan Tn. Y) yang tidak berhubungan dengan bisnis bank dan tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan bank; Melakukan pemindahbukuan rekening Tn. X yang tidak sesuai dengan isi akta perjanjian jual beli dimana Tn. JM terlibat dan menyanggupi untuk melaksanakannya; Tidak melakukan konfirmasi surat kuasa kepada pemberi kuasa (Tn. X), padahal isi surat kuasa tersebut berbeda dengan isi/ketentuan dalam akta perjanjian jual beli yang melibatkan dirinya dan surat kuasa juga tidak mencantumkan tanggal/bulan/tahun pelaksanaan dan nilai nominal yang harus dipindahbukukan; Meskipun surat kuasa
tersebut digunakan sebagai dasar
dalam melakukan pemindahbukuan rekening Tn. X ternyata
pemindahbukuan
dilakukan tidak sesuai dengan perintah dari surat kuasa tersebut tetapi sesuai dengan kebijakannya sendiri; Dalam memindahbukukan rekening nasabahnya (Tn. X), tidak
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
mengikuti ketentuan internal atau SOP (standard operating procedure) yang berlaku di PT. Bank A dimana pemindahbukuan rekening dilakukan dengan wajib menyertakan buku tabungan dan kartu identitas diri serta formulir bilyet pemindahan sebagai pengantar atas pemindahan dana dari rekening nasabah bersangkutan ke rekening nasabah lainnya yang juga ditandatangani oleh pemilik rekening. Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh Pemimpin Cabang PT. Bank A tidak sesuai dengan pasal 2 dan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang mengharuskan bank untuk menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip kehati-hatian. Bahkan ada tindakan yang dilakukan oleh Pemimpin Cabang PT. Bank A Cabang Biak tersebut termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum. Menurut Penulis, pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian tersebut dapat terjadi karena kurang efektifnya pengawasan atau kontrol internal di PT. Bank A Cabang Biak pada waktu itu. Meskipun pada waktu itu PT. Bank A telah memiliki direktur kepatuhan dan juga Satuan Kerja Audit Intern untuk memperkuat pengendalian intern seperti yang diamanatkan dalam PBI No.1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum, namun hal tersebut tampaknya belum mampu untuk mencegah terjadinya kasus tersebut. Lebih khususnya, fungsi Kontrol Intern di PT. Bank A Cabang Biak pada waktu itu tidak mampu untuk mendeteksi atau mencegah terjadinya kasus tersebut. Selain itu, menurut penulis keluhan dari Tn. X yang kurang mendapatkan tanggapan dari PT. Bank A juga melanggar hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya huruf (d) dan huruf (h), yaitu: “Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”, dan “Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Sebagai konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan oleh Pemimpin Cabangnya, maka PT. Bank A harus bertanggung jawab atas tuntutan dan kerugian yang diderita nasabah akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pegawainya sebagaimana diatur dalam pasal 1365 dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Berdasarkan simpulan tersebut saran yang dapat diberikan adalah: Mengingat kasus yang berpotensi merugikan nasabah penyimpan dana yang disebabkan karena tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian oleh pegawai bank sampai saat ini masih sering terjadi, maka otoritas pengawas bank khususnya Otoritas Jasa Keuangan yang nantinya akan mengambil alih pembinaan dan pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, sebaiknya mempertimbangkan sanksi yang lebih berat kepada bank yang mengalaminya. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mewajibkan setiap bank untuk melaporkan setiap terjadinya tuntutan atau kasus yang menyebabkan kerugian pada nasabah penyimpan dana yang jumlahnya melewati nilai/batas tertentu yang telah ditetapkan. Kemudian untuk setiap kasus yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan disebabkan terutama karena tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian, maka bank yang mengalami kasus tersebut akan dikenakan denda sejumlah tertentu untuk setiap kasusnya, diluar sanksi yang selama ini telah ada dan juga diluar ganti rugi kepada nasabah dana yang mungkin ada sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan harus menetapkan secara jelas mengenai hal-hal yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian (sehingga akan dapat dilihat secara jelas apakah bank tersebut melanggar atau tidak), dan juga harus menetapkan klasifikasi bank menurut ukurannya (misalnya bank kecil, bank menengah, dan bank besar, yang diukur berdasarkan asetnya) untuk menentukan batas nilai kasus/kejadian yang harus dilaporkan untuk setiap kategori bank.
Daftar Pustaka Buku Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003. AZ, Lukman Santoso. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah bank, cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011. Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet. 4. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Makalah Hadad, Muliaman D. “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank dalam Arsitektur Perbankan Indonesia.” Hermansyah, “Tinjauan Yuridis Nasabah Penyimpan Dana terhadap Bank yang Dilikuidasi.” (USU Digital Library, 2003).
Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum, PBI No. 14/27/PBI/2012. LN No. 290 Tahun 2012, TLN No. 5385. ____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. PBI No. 1/6/PBI/1999. LN No. 158 Tahun 1999, TLN No. 3883. ____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI No.
11/25/PBI/2009 , LN No. 103 Tahun 2009, TLN No. 5029. ____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), PBI No. 5/21/PBI/2003. LN No. 111 Tahun 2003, TLN No. 4325. ____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Transfer Dana, PBI No. 14/23/PBI/2012, LN No. 283 Tahun 2012, TLN No. 5381 Indonesia. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011. LN No. 111 tahun 2011, TLN No. 5253. ________. Undang-Undang tentang Perbankan. UU No. 7 Tahun 1992. LN No. 31 Tahun 1992, TLN No. 3472.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013
________. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN. No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821. ________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis…, Larasati Allegra Farniasari, FH UI, 2013