perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
DISUSUN OLEH : Niken Irmawati D0105016
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Niken Irmawati. D0105016. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi Program Studi Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2009. Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA). Penelitian ini dilaksanakan pada institusi pemerintah di Surakarta yaitu DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER&TRANS. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data didapat dengan cara wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak cukup responsif, namun demikian responsivitas tersebut belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari: a) kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak secara lengkap dan up to date. Tetapi, pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain untuk mengenali kebutuhan anak. b) Kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. Kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral, pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Rekomendasi yang diberikan untuk pemerintah adalah meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak, pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak, pemerintah harus membuat program pendidikan yang bisa menyentuh anak jalanan/terlantar, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perlindungan anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia maka perlu dikembangkan penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan karakteristik yang selama ini melekat dalam good governance. Karakteristik tersebut seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Agus Dwiyanto, 2005:147). Responsivitas sebagai salah satu karakteristik good governance sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio dalam Agus Dwiyanto, 2002:62). Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah, warga sipil, dan para stakeholder melakukan interaksi secara intensif sehingga apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para stakeholder. Tujuan pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. Oleh karena itu, penyedia layanan harus bersikap responsif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah modal pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia. Oleh sebab itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Indikator Kota Layak Anak menurut Nirwono Joga (2007) adalah tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kebutuhan anak. Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun 2015 adalah 15 Kota, termasuk Kota Solo. Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Dari berbagai informasi yang disarikan dari berbagai sumber, permasalahan anak di Kota Solo meliputi anak putus sekolah, Anak yang dilacurkan/trafficking dan ESKA, Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian), anak terlantar, anak terkena gizi buruk, pekerja terburuk anak, anak jalanan, pekerja anak. Secara lebih terperinci ragam permasalahan anak tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1 Ragam Permasalahan Anak di Kota Solo Kasus 1 Anak putus sekolah
Jumlah 2 547 anak
Anak yang dilacurkan/traficking dan ESKA Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian) Anak Terlantar
164 anak
Anak yang terkena gizi buruk
98 anak
49 anak
682 anak
Keterangan 3 Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007 Radar Solo (Data PPK LPPM UNS Tahun 2008) Profil Anak Kota Surakarta (Data PTPAS Tahun 2007) Profil Anak Kota Surakarta (Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Tahun 2006) Dinas Kesehatan Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pekerja terburuk anak
109 anak
Anak jalanan
1.168 anak
Tahun 2008 Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta Tahun 2005, 2006, dan 2007 Sumber : Surakarta belum butuh peraturan anak jalanan, www.korantempo.com 2007
Sumber : Disarikan dari berbagai data
Pemerintah dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas (daya tanggap) yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya; mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya; ia dapat menangkap masalah yang dihadapi publik dan berusaha untuk mencari solusinya; mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan subtansi (Widodo, 2001 : 152). Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). KLA merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan KLA. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima kabupaten/kota, yaitu Jambi, Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, dan Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2007
ditunjuk
sepuluh
kabupaten/kota
lagi.
Menurut
Hamid
Patilima
(dalam
www.ykai.net) untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu prasyarat untuk mencapainya. Prasyarat yang dimaksud adalah: (1) adanya kemauan dan komitmen pimpinan daerah, (2)tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi, (3) sosialisasi hak anak, (4)produk hukum yang ramah anak, (5) partisipasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak, (6) pemberdayaan keluarga, (7) adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, (8) instititusi perlindungan anak. KLA menjamin setiap hak anak sebagai warga kota. Menurut Nirmono Joga dalam Membangun Kota Layak Anak (www.kompas.com), indikator KLA adalah tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemeberdayaan Perempun dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) banyak melakukan sosialisasi menyangkut ditunjukkannya Kota Solo sebagai proyek percontohan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pertimbangan Kota Solo sebagai KLA oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut didasarkan pada: (1) Pertimbangan adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Solo, seperti kebijakan pembebasan biaya untuk pencatatan akta kelahiran. (2) Peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial (Perda No. 3 tahun 2006). (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah tentang pembentukan organisasi tata kerja komite aksi Provinsi Jawa Tengah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 94 tahun 2006). Mengingat anak sebagai aset bangsa, maka Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pelaksanaan Konvensi PBB Hak Anak. Untuk mewujudkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).
B.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)? 2. Kendala dan upaya apa yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: 1. Mengetahui bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA). 2. Mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta terhadap upaya perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA). 2. Peningkatan wawasan dan pengetahuan terhadap permasalahan dan upaya perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA). 3. Sebagai referensi bagi peneliti lain. E. Tinjauan Pustaka 1. Responsivitas UNDP (1997) dalam Sedarmayanti (2004:247) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang bertanggung jawab serta efisien dan efektif. Menurut Joni Rahman (n.d) yang mengutip karakteristik good governance dari jurnal internasional (Pubic Administration Journal): Good governance has 8 major characteristics. It is parcipatory, consensus oriented, accountable, transparent, responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law. Karakteristik good governance tersebut digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1 Karakteristik good governance
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan demikian, responsivitas merupakan salah satu karakteristik good governance. Lenvine dalam Agus Dwiyanto (2005:147), produk dari pelayanan publik di dalam Negara demokratis paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountability. Responsivitas yang merupakan salah satu karakteristik good governance adalah kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. (Agus Dwiyanto, 2005:152) Pengertian responsivitas dapat dipahami dari beberapa pendapat para ahli berikut ini: Dilulio dalam Agus Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Agus Dwiyanto (2002:62) menjelaskan bahwa responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Wyer PC (2007)menyatakan bahwa: “Responsiveness can be defined as the ability of research, education, quality improvement, and electronic system to adapt to and incorporate the changes in knowledge that produce changes in practice” Smith
dalam
Joko
Widodo
(2001:152)
mengartikan
responsivitas
(responsiveness) adalah “ability to provide what people demand. In this sense it is an efficient way of managing local affairs and providing local services”. Dapat dipahami bahwa responsivitas merupakan kemampuan untuk menyediakan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Indikator responsivitas pelayanan publik adalah keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2002:60-61). Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini pengukuran responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) ditentukan dari indikator 1) kemampuan mengenali kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Di Indonesia, responsivitas pemerintah terhadap permasalahan anak sebagai dasar atas upaya pemenuhan hak anak telah dilakukan melalui :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM 4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Implementasi program melalui penanganan permasalahan anak merupakan upaya pemerintah untuk melindungi hak anak. Konvensi Hak-Hak Anak menjadi dasar membangun Kota Layak Anak. Keberhasilan program pengembangan Kota Layak Anak akan sangat ditentukan oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota. Atas kerjasama lintas sektor dan pemangku kepentingan telah berhasil menyusun sebuah kerangka kebijakan yang bersifat umum sebagai acuan pemerintah kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, masyarakat, dan anak-anak sebagai subjek dari hak-haknya untuk bersamasama mengembangkan Kota Layak Anak. Khususnya di Kota Surakarta, Pemerintah berusaha responsif terhadap permasalahan anak, yaitu dengan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Program Kota Layak Anak dibagi dalam 4 bidang yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak. Akan tetapi, masih banyak permasalahan yang masih belum terselesaikan seperti anak putus sekolah, eksploitasi anak, anak jalanan, dan sebagainya. Melalui DKRPP&KB Kota Surakarta yang menangani masalah perlindungan anak di Surakarta harus mempunyai strategi dan perencanaan yang baik dalam rangka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya persoalan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk segera diselesaikan, menyangkut permasalahan anak-anak. Seperti kasus anak-anak yang dipekerjakan pada sektor industri, anak jalanan, pemulung anak, anak yang dilacurkan, anak putus sekolah, anak berkonflik dengan hukum, dan anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, serta permasalahan anak-anak lainnya. Dalam menghadapi dan menanggulangi masalah anak secara kompleksitas, berbagai perbuatan perlu ditangani secara lebih serius, sebagai proses untuk mengantisipasi perkembangan fisik, jiwa dan mental maupun kehidupan sosiologis yang lebih baik. UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mengatur mengenai hak-hak anak yang dijumpai pada pasal 2 sebagai berikut: 1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan kembang dengan wajar. 2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna. 3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas dalam pasal tersebut mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil dalam rangka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap mereka. Hal ini penting
demi
kelangsungan
kegiatan
perlindungan
anak
dan
mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diharapkan dalam upaya perlindungan anak. Dengan demikian, dituntut adanya suatu rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan perlindungan anak dan juga rasa keadilan yang dapat mempengaruhi kelangsungan kegiatan dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak tersebut. 2. Perlindungan Anak Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggungjawab bersama. Untuk mengetahui terjadinya perlindungan yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita (1985:3) mengatakan bahwa perlindungan anak/remaja adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak/remaja itu dilindungi dan yang bertanggung jawab terhadap adanya dan pelaksanaan perlindungan tersebut. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perlindungan anak adalah serangkaian kegiatan untuk melindungi anak sejak dalam kandungan, agar anak dapat terjamin kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang serta terbebas dari perlakuan delinkuensi dan tindak kekerasan fisik, mental, rohani maupun sosial secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2 ayat (2) dan (3) menyatakan : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindunganperlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Undang-undang di atas dengan jelas menyatakan perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai berikut (Sumber: www.kotalayakanak.org): a. Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat. b. Harus dilakukan secara bersama, kerjasama dan koordinasi. c. Perlu diteliti terlebih dahulu masalah yang merupakan faktor kriminogen atau faktor viktimogen. d. Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi. e. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri. g. Tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi. h. Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya. Perlindungan anak merupakan tanggungjawab secara individu, kolektif, dan pemerintah demi tercapainya kepentingan bersama dan nasional. Dalam rangka membuat kebijakan mengenai perlindungan anak, perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum sangat dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan
situasi
dan
kondisi
yang
memungkinkan
dikembangkannya
perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15 menyatakan : Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Ayat (3)
:
Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Ayat (4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk umum. Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab III Undang-Undang Perlindungan pasal 4 sampai 19 menjelaskan hak-hak anak sebagai berikut: hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berhak atas suatu nama sebagai identitas diri, berhak untuk beribadah, berhak mengetahui orang tuanya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak memperoleh pendidikan, berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak beristirahat, berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada empat kategori hak anak, yaitu bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.
3. Kota Layak Anak Menurut Nirwono Joga (2007) Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta diskriminasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga kota berarti : a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan pelayanan kota. b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti sosial lainnya. c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas (sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan. e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan. Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota Layak Anak adalah: (Kebijakan Pengembangan KLA, 2007) a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan inklusif untuk semua anak. Kabupaten/Kota yang memenuhi kebutuhan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda. b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua tindakan yang terkait dengan urusan anak. c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak. d. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang mempengaruhi mereka. Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah dan pihak terkait dalam upaya mewujudkan KLA meliputi: (www.ykai.net)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA. 2) Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota. 3) Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA. 4) Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA. 5) Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA. 6) Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi. 8) Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. 9) Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan : Ayat (1)
: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Ayat (3)
: Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Ayat(4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk umum. F.
Kerangka Pemikiran Salah satu karakteristik good governance adalah responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan (Agus Dwiyanto, 2005:152). Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu: bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Surakarta dalam pelaksanaan perlindungan anak harus responsif apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk: 1) Mengenali kebutuhan anak 2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak 3) Mengembangkan program perlindungan anak Namun, upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai kendala. Kendala tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Kendala internal pemerintah yaitu sumber daya manusia, sumber dana, dan ego sektoral. Kendala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
eksternal pemerintah yaitu culture of silence, pengaruh lingkungan, dan rendahnya kesadaran orang tua dan anak. Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.2 Bagan Kerangka Pemikiran Good Governance
UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Responsivitas terhadap perlindungan anak. a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak b.Kemampuan menyusun agenda & proritas pelayanan terhadap perlindungan anak c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak
Kota Layak Anak a. Jaminan hak-hak bidang perlindungan anak b.Jaminan hak-hak bidang kesehatan c. Jaminan hak-hak commit to user bidang pendidikan d.Jaminan hak-hak bidang partisipasi anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kendala –kendala : a. Internal: · Kapasitas sumber daya manusia · Kapasitas sumber dana · Ego sektoral b.Eksternal: · Culture of silence · Pengaruh lingkungan · Rendahnya kesadaran orang tua dan anak
G.
Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif dengan tujuan mengetahui responsivitas pemerintah Surakarta dalam memberikan perlindungan terhadap anak di Surakarta. Data yang dikumpulkan pada penelitian kualitatif yaitu data berupa kata, kalimat, gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002 : 35). Selain data kualitatif, juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikumpulkan data kuantitatif, khususnya dalam upaya mempertegas temuan penelitian kualitatif. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta khususnya pada beberapa Dinas yang terkait yaitu: a. Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) Kota Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis mengurusi tentang perlindungan anak di Kota Surakarta. b. Dinas Kesehatan (DINKES) Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis mengurusi perlindungan anak di bidang kesehatan. c. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DISDIKPORA) Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah pendidikan anak. d. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat (DINSONAKER & TRANS) Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak. 3. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling di mana peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan dianggap mengetahui permasalahan perlindungan anak secara mendetail. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling di mana pemilihan informasi pada waktu di lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya, dan seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. Pada tahap penelitian awal, peneliti melakukan penelitian di DKRPP&KB. Selanjutnya DKRPP&KB merekomendasikan penelitian ke instansi/dinas yang terkait antara lain
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DINKES, DISDIKPORA, DINSONAKER&TRANS. Setelah mendapat informasi dari masing-masing instansi/dinas yang terkait, maka didapat titik jenuh dari informasi ini dan bisa ditarik kesimpulan dari penelitian. 4. Jenis Data Data adalah suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung dari informan
yang
dianggap
tepat
dan
mengetahui
tentang
permasalahan
perlindungan anak. Informan penelitian berasal dari unsur Pemerintah Kota Surakarta dan unsur di luar Pemerintah Kota Surakarta. Informan dari unsur Pemerintah Kota Surakarta berasal dari: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER & TRANS. Informan dari luar Pemerintah Kota Surakarta adalah dari Perguruan Tinggi yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS, LSM di Surakarta yaitu PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, dan LSM Sari. Data yang dikumpulkan adalah data-data terkait dengan kemampuan mengenali kebutuhan anak, kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak, dan kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Selain itu ditanyakan pula kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan perlindungan anak. Data sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan hasil pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Sekunder yang dimaksud adalah data dan analisis permasalahan anak Di Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/1/2008 Tentang Tim Pelaksana Pengembangan KLA Kota Surakarta, Profil Anak Kota Surakarta Tahun 2007 (DKRPP&KB Surakarta), dan informasi dari internet tentang permasalahan anak di Surakarta. 5.
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi dengan bertanya langsung kepada informan. Menurut Moleong (1998:135), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil wawancara disajikan dan dianalisis sesuai dengan fokus kajian dan digunakan sebagai acuan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin kerahasiaan informan, pada laporan penelitian ini tidak disebutkan nama informan, tetapi diberi kode N1, N2, N3, dan seterusnya. Pada penulisan laporan ini, ada kemungkinan penyebutan N dari halaman ke halaman tidak berurutan. Hal ini terjadi karena di bab sebelumnya sudah disebutkan. b. Dokumentasi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui proses mengadakan atau melihat kembali dokumen yang telah ada dengan mempelajari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kembali informasi yang telah tersimpan, misalnya buku-buku, arsip, tabel-tabel, dan bahan-bahan dokumentasi lainnya yang bermanfaat sebagai sumber data. Menurut W. Gulo (2004:123) dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip yang ada pada lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak antara lain: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, DAN DINSONAKER&TRANS, Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,LSM Sari, dan P3G UNS. Di samping dokumen tertulis yang berupa data-data, juga dilakukan pencarian informasi melalui internet. 6.
Validitas Data Validitas data merupakan pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Untuk menguji validitas data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber yaitu mendapatkan data tidak hanya dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber untuk mengumpulkan data yang sama dan kemudian melakukan kroscek dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data mengenai responsivitas diperoleh dari berbagai sumber yaitu informasi dan data dari pemerintah Surakarta melalui DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER & TRANS dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu : Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari, dan Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7.
digilib.uns.ac.id
Teknik Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam H. B. Sutopo (2002 : 94-96), dalam model ini terdapat tiga komponen pokok, yaitu: a. Reduksi Data (Data Reduction). Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir Penelitian selesai disusun. b. Sajian Data (Data Display). Merupakan suatu rakitan informasi yang memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data, Penulis akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan Penulis untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. c. Penarikan Simpulan (Conclusion Drawing). Dalam awal pengumpulan data Penulis sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi sehingga memudahkan dalam pengambilan data kesimpulan. Proses analisis data dengan menggunakan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1.3 Bagan Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Sumber: H.B Sutopo (2002:96) Secara keseluruhan, aspek yang akan dianalisis, fokus kajian, sumber data, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data disajikan pada tabel 1.3 berikut ini:
Tabel 1.2 Matriks Aspek Analisis, Fokus Kajian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data No
Aspek yang dianalisis 2 Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
Kendala Pemerintah Kota Surakarta terhadap
Fokus Kajian
a.
3 Kemampuan mengenali kebutuhan anak
b.
Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak
c.
Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak
a.
Kendala internal · Kapasitas sumber daya manusia · Kapasitas sumber dana · Ego sektoral
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 4 1. Sumber Data: a. Data Primer berasal dari dalam Pemerintah Surakarta seperti : DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Dan dari luar Pemerintah Surakarta seperti: Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas, LSM Sari, P3G UNS. b. Data Sekunder, antara lain:
commit to user
Teknik Analisis Data 5 1. Analisa interaktif, yang terdiri dari tiga komponen: a. Reduksi Data b. Penyajian Data (gambar atau skema, tabel, dan matriks) c. Penarikan kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
Upaya Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
digilib.uns.ac.id
b.
Kendala eksternal · Culture of silence · Pengaruh lingkungan · Rendahnya kesadaran orang tua dan anak
a.
Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah
b.
Meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak lain
c.
Optimalisasi sosialisasi kegiatan
peraturan perundangundangan, dokumen, literatur, bacaan yang terkait dengan penelitian ini, serta sumber dari internet. 2. Teknik Pengumpulan Data: a. Wawancara kepada informan: DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Serta wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu : Ketua LSM PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS. b. Dokumentasi: Dokumen-dokumen, laporan, dan data-data tentang perlindungan anak.
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA DAN PERMASALAHAN ANAK
A.
Gambaran Umum Masyarakat seringkali menyebut Kota Surakarta dengan sebutan Kota Solo, Kota Surakarta disebut Solo karena ditemukan oleh Kiai Sala. Solo adalah rumah bagi dua keluarga kerajaan yang telah berpengaruh selama beberapa abad dan keberadaannya masih mewarnai kota ini. Sedangkan Surakarta merupakan keraton Kasunanan Surakarta, pecahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari Kerajaan Mataram. Jadi tidak mengherankan jika masyarakat menyebut Kota Surakarta sama dengan Kota Solo. Berdasarkan data dari Kota Surakarta dalam Angka tahun 2005, Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di provinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta dikenal dengan nama ‘KOTA SOLO’ merupakan dataran rendah dan berada antara pertemuan sungai Pepe, Jenes dengan bengawan Solo, dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan air laut dan terletak antara 110˚ 45'35" bujur timur dan antara 7˚36' dan 7˚56' lintang selatan. Kota Surakarta merupakan kota yang terletak di tengah, antara kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan Surakarta, yang berbatasan: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangannyar dan Kabupaten Sukoharjo, 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Keadaan iklim Kota Surakarta ditandai dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 25,9˚ C sampai dengan 27,9˚ C. Kelembapan udara berkisar antara 69% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember dengan jumlah 27 hari. Curah hujan terbanyak sebesar 1025,8 mm jatuh pada bulan Desember. Rata-rata curah hukan saat hari hujan terbesar juga jatuh pada bulan Desember sebesar 37,59 mm per hari hujan. Arah angin rata-rata 5,08 knot. Tekanan udara rata-rata 1010,2 Mbs. Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan yang terbagi menjadi 51 Kelurahan, dengan luas wilayah 4.404,06 Ha. (BPS Surakarta Tahun 2006)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pada tahun 2006 10,8 % penduduk Kota Surakarta termasuk kedalam kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah laki-laki sebanyak 30.441 orang dan perempuan sebanyak 25.185 orang. Adapun penggolangan penduduk Kota Surakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Penduduk Kota Surakarta Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 No
Tahun
1
2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 3 4
Jumlah 5
Persentase (%) 6
0-4 18.177 9.053 27.230 5,3 1 5-9 21.243 16.425 37.668 7,3 2 0-14 20.367 21.024 41.391 8,1 3 15-19 20.805 21.681 42.486 8,3 4 20-24 26.061 24.747 50.808 9,9 5 25-29 30.441 25.185 55.626 10,8 6 30-34 23.433 22.557 45.990 9 7 35-39 15.330 17.520 32.850 6,4 8 40-44 18.834 22.338 41.172 8 9 45-49 14.454 18.177 32.631 6,4 10 50-54 16.863 15.111 31.974 6,2 11 55-59 9.855 10.512 20.367 4 12 60-64 6.570 8.541 15.111 2,9 13 65+ 11.826 15.768 27.594 5,4 14 Jumlah 254.259 258.639 512.898 100 Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta Tahun 2006
Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, jumlah anak di Surakarta umur 019 tahun dari tahun 2004 sampai ke tahun 2006 mengalami jumlah yang terus menurun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu dari tahun 2004 sejumlah 173.103 jiwa dan tahun 2005 sebanyak 170.628 jiwa serta tahun 2006 sebanyak 158.775 jiwa. Hal ini berarti bahwa populasi anak Kota Surakarta masih harus diperhatikan dan juga harus diperjuangkan peningkatan kesejahteraannya. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.
Tabel 2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada usia Anak 0-19 tahun Kota Surakarta Tahun 2004/2005/2006 No
Tahun
Usia 0-4 tahun
Usia 5-9 tahun
Usia 10-14 tahun
Usia 15-19 tahun
1 1.
2 2004
L 3 14.839
P 4 15.884
Jml 5 30.723
L 6 19.228
P 7 17.974
Jml 8 37.303
L 9 19.437
P 10 18.810
Jml 11 38.247
L 12 24.871
P 13 25.498
Jml 14 50.369
2.
2005
18.880
16.284
35.164
17.936
23.128
41.054
23.476
24.780
46.256
24.072
24.072
48.144
3.
2006
18.177
19.053
37.230
21.243
16.425
37.658
20.367
21.024
41.391
20.805
21.681
42.486
Sumber: Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2004/2005/2006
Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun keatas adalah tamat SD (22, 1%), tamat SLTP (21, 7%), dan tamat SLTA (20, 8 %). Sedangkan yang merupakan tamatan akademi (PT) hanya 7,2 % dan selebihnya tidak tamat SD (9,2%), belum tamat SD (5,2%) dan tidak sekolah (5,2%). Tabel 2.3 berikut ini memperlihatkan penggolongan penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan pada tahun 2006. Tabel 2.3 Penduduk Kota Surakarta Usia 5 Tahun Ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006 No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
1
2
3
4
1
Tamat Akademi/PT
33.823
7,2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2 3 4 5 6 7
digilib.uns.ac.id
Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Sekolah Jumlah
98.186 102.494 104.270 43.302 66.223 24.389 472.687
20,8 21,7 22,1 9,2 14 5,2 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduknya, rata-rata penduduk Kota Surakarta tergolong dalam kelompok Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera I (KS I) ekonomi dan non ekonomi. Tabel 2.4 berikut ini memperlihatkan banyaknya keluarga sejahtera menurut tahapan di Kota Surakarta pada tahun 2006. Tabel 2.4 Banyaknya Keluarga Sejahtera Menurut Tahapan di Kota Surakarta Tahun 2006 No 1 1 2 3 4 5
Tahapan Keluarga Sejahtera 2 Pra KS (ekonomi dan non ekonomi) KS I (ekonomi dan non ekonomi) KS II KS III KS II Plus Jumlah
Jumlah 3 12.622 29.038 30.268 30.072 15.745 117.745
Persentase (%) 4 10,7 24,7 25,7 25,5 13,4 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
1. Visi dan Misi Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Kota Surakarta, menyebutkan bahwa: a.
Visi Kota Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terwujudnya Kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga. b.
Misi Kota Surakarta 1)
Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota Budaya”.
2)
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3)
Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah lingkungan.
4)
Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para penyelenggara pemerintahan. Misi
Kota
Surakarta
tersebut
juga
memuat
tentang
pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termasuk di dalamya adalah perlindungan terhadap anak di Surakarta. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) melalui Tim Pelaksana Pengembangan KLA yang melibatkan beberapa institusi internal, LSM, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perguruan Tinggi. Adapun institusi internal pemerintah yang menangani bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak yang dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5 Institusi Internal Pemerintah dalam Program Kota Layak Anak VISI-MISI
TUJUAN
1
2 DKRPP&KB a) Untuk lebih VISI: Terwujudnya sumber daya manusia memberdayakan peranan dalam keluarga dan masyarakat yang organisasi kemasyarakatan, mampu mandiri dan sejahtera. organisasi sosial, organisasi keagamaan, LSM dan organisasi lainnya di dalam MISI: a) Tersusunnya data yang akurat di melaksanakan bidang kemasyarakatan guna pembangunan dalam memberikan informasi yang rangka meningkatkan lengkap dalam upaya kesejahteraan masyarakat mewujudkan pelayanan yang bersama-sama dengan prima kepada masyarakat. pemerintah. b) Mendorong peningkatan peran b) Untuk lebih meningkatkan masyarakat untuk ikut serta pendapatan dan bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan khususnya bagi masyarakat kemasyarakatan. marginal yang mengalami c) Menjalin kemitraan secara berbagai permasalah sosial. sinergis dengan pemerintah dan c) Untuk lebih seluruh elemen masyarakat yang memberdayakan keluarga bergerak di bidang dalam rangka kemasyarakatan. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. 2. DINKES a) Menumbuhkan pola hidup VISI: Terwujudnya budaya hidup bersih dan sehat dengan menciptakan sehat serta mutu pelayanan menuju lingkungan hidup yang Solo Sehat 2010 kondusif bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. MISI: a) Memberdayakan kemandirian b) Meningkatnya perilaku masyarakat untuk hidup bersih hidup sehat dengan dan sehat. memberdayakan individu, b) Melaksanakan penanggulangan keluarga dan masyarakat. masalah kesehatan individu, c) Tersedianya layanan keluarga, masyarakat dan informasi yang terjangkau, lingkungan. rasional dan c) Meningkatkan kinerja dan upaya berkesinambungan. kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. d) Memantapkan manajemen
PERANAN DALAM KLA 3
1.
commit to user
Melaksanakan pelayanan di bidang sosial Melaksanakan Monitoring dan evaluasi
Melaksanakan pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit Monitoring dan evaluasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesehatan yang dinamis dan akuntabel. 3. VISI: Terwujudnya tenaga kerja yang profesional. Berdaya saing tinggi dan hubungan industrial yang harmonis serta perlindungan tenaga kerja.
DINSONAKER & TRANS Untuk lebih memberdayakan keluarga dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Melaksanakan pelayanan di bidang pelayanan umum Monitoring dan evaluasi
MISI: a) Menciptakan kualitas profesinalisme aparatur. b) Perluasan kesempatan kerja dan penempatan tenaga kerja. c) Menciptakan tenaga kerja yang terampil, mandiri serta profesinal. d) Menciptakan hubungan industrial yang harmonis guna mewujudkan ketenangan kerja dan usaha agar tercipta kesejahteraan pekerja dan keluarga. e) Meningkatkan pengawasan norma kerja serta keselamatan kesehatan kerja untuk perlindungan pekerja. VISI: Terwujudnya masyarakat Surakarta yang beriman dan bertaqwa, cerdas, sehat, berprestasi dan berbudaya. MISI: a) Mewujudkan masyarakat Surakarta yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. b) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. c) Mewujudkan masyarakat yang gemar olahraga, memiliki kesegaran jasmani dan menghasilkan bibit olahragawan yang berprestasi. d) Mewujudkan generasi muda yang tangguh, terampil dan produktif. e) Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, berdaya tahan dan mampu memfilter budaya asing.
4. DISDIKPORA Meningkatkan sumber daya manusia agar mempunyai kecerdasan yang tinggi, mampu berkreasi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lewat proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga mampu menjuarai lomba– lomba kreatifitas, memiliki nilai akademis tinggi, serta mampu menciptakan teknologi tepat guna.
Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah Monitoring dan evaluasi
Dari tabel 2.5 dapat diketahui peranan masing-masing institusi internal pemerintah. DKRPP&KB berperan Melaksanakan pelayanan di bidang sosial dan melaksanakan monitoring dan evaluasi, DINKES berperan melaksanakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit dan monitoring & evaluasi, DINSONAKER&TRANS berperan melaksanakan pelayanan di bidang pelayanan umum dan monitoring & evaluasi, dan DISDIKPORA berperan Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah dan monitoring & evaluasi. Bagan organisasi pada masing-masing institusi internal (lihat lampiran 1-4). B.
Gambaran Permasalahan Anak di Surakarta Permasalahan anak di Surakarta mencakup masalah anak putus sekolah, masalah kekerasan anak, masalah anak terlantar, dan masalah pekerja anak. Tabel 2.6 berikut ini menggambarkan berbagai persoalan tentang pendidikan anak di Kota Surakarta. Tabel 2.6 Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang, dan Putus Sekolah di Kota Surakarta Tahun 2006/2007 Tingkat Pendidikan 1 SD MI SMP MTs SMA MA SMK JUMLAH
Lulusan 2006/2007 2 9.940 76 9.347 700 6.583 667 6.590 33.903
Siswa 2005/2006 3 64.340 259 34.445 2.587 20.442 2.243 20.897 145.213
Mengulang 2006/2007 4 1.650 14 327 21 157 9 142 2.320
Putus Sekolah 5 23 0 169 13 100 0 242 547
Siswa Tk VI 2005/2006 6 10.773 45 10.825 790 6.876 741 7.095 37.145
Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007
Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat kondisi pendidikan dasar dan menengah di Kota Surakarta di mana masih banyak jumlah anak putus sekolah di Kota Surakarta termasuk dalam usia wajar 9 tahun. Angka putus sekolah di jenjang SMK sebesar 242 anak, SMP sebesar 169 anak, dam SD sebesar 23 anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah kekerasan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Ada beberapa faktor penyebab anak terjebak dalam ESKA, yaitu (1) pengalaman seksual dini terutama pengalaman menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya, anak merasa tidak berharga lagi dan tidak memiliki masa depan. Situasi ini sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk membujuk anak masuk dunia prostitusi. (2) Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Di banyak kasus dijumpai anak dilacurkan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ini menyebabkan anak mencari sosok tempat perlindungan alternatif dari teman maupun lingkungan yang mau menerima mereka. Dua faktor tersebut merupakan faktor utama yang menyebabkan anak terjebak dalam ESKA. Anak korban ESKA sangat rentan memperoleh kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dan ditampar. Tabel 2.7 berikut ini menggambarkan kekerasan anak yang dibagi ke dalam beberapa kategori. Tabel 2.7 Kategori Kekerasan yang Dialami Anak No 1 1 2 3 4
Kategori Persentase Kekerasan Jumlah (%) 2 3 4 Kekerasan Seksual 26 53,06 Penganiayaan 4 8,16 Pelarian 2 4,08 ESKA 17 34,69 Jumlah 49 100 Sumber Data : PTPAS Tahun 2007
Berdasarkan tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kategori kekerasan yang paling banyak dialami anak yaitu kekerasan seksual dengan persentase 53,06%. Sedangkan persentase kekerasan anak yang terendah yaitu pelarian pada anak dengan persentase 4,08%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain masalah anak putus sekolah dan masalah kekerasan anak, masalah anak terlantar juga terjadi di Surakarta. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan data Kota Surakarta pada tahun 2006 tercatat jumlah anak terlantar sebanyak 1.048 anak. Adapun gambaran banyaknya anak terlantar di Surakarta dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini: Tabel 2.8 Jumlah Anak Terlantar di Kota Surakarta Tahun 2006 Jenis Kelamin Kategori L P Jumlah 1 2 3 4 Usia <5 tahun 199 167 366 Usia - 18 tahun 378 304 682 Jumlah 577 471 1.048 Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta tahun 2006
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah anak terlantar. Faktor utama yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak yakni persoalan ekonomi, sehingga anak-anak dengan sukarela atau terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Permasalahannya adalah semakin banyak anak yang bekerja di sektor pekerjaan terburuk anak. Sebetulnya anak tidak boleh bekerja. Kalaupun anak menjadi pekerja anak, maka mereka harus mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan haknya. Tabel 2.9 menunjukkan jenis pekerjaan dan jumlah anak yang bekerja menurut jenis kelamin tahun 2005, 2006, dan 2007. Tabel 2.9 Pekerja Terburuk Anak Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005, 2006, dan 2007 No Jenis Pekerjaan 1 2 1 Pedagang asongan 2 Pemulung 3 Pedagang di tempat
L 3 5 -
commit to user
P 4 3 -
Jumlah 5 8 -
perpustakaan.uns.ac.id
4 5 6 7 8 9 10
digilib.uns.ac.id
Tetap Sektor industri kecil/RT Besar/sedang Sektor Pertanian Sektor Angkutan Sektor Jasa Pengamen
1 25 16 47
1 20 38 62
2 45 54 109
Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta
Tabel 2.9 diketahui dari tahun 2005-2007 jumlah anak yang bekerja sebesar 109 anak. Anak yang bekerja di sektor jasa menunjukkan angka tertinggi sebesar 54 anak sedangkan anak yang bekerja tetap menunjukkan angka terendah sebesar 2 anak. Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama karena hak-hak anak kurang terpenuhi karena dia dituntut untuk bekerja.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak mencakup 1) kemampuan mengenali kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak. 1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117 korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode 20052008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan, permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Yayasan Kakak (N9): “...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2009) Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan diberlakukan sama. Selain itu, mereka juga sering mengalami kesehatan reproduksinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIV/AIDS, mereka hanya tahu kalau dia harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja (N10): “...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIV/AIDS, taunya cuma suntik KB...” (Wawancata tanggal 17 Maret 2009) Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja, anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain : ·
Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA.
·
Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
·
Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIV/AIDS. Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat
perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak (N8) : “Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” (Wawancara tanggal 6 April 2009) Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya status gizi masyarakat dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Status gizi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga bisa menjadi penyebab gizi buruk. Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya programprogram yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk. Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang wajib gratis bagi semua anak (Pasal 28). Dengan demikian asumsinya adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia. Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak dan perempuan 6030 anak. Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia kerja guna membantu orang tua. (www.kr.com). Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja, sebagai berikut (N10) :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” (Wawancara tanggal 6 Mei 2009) Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa anakanak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan anak, antara lain : ·
Adanya sekolah gratis/terjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua mereka tidak merasa terbebani.
·
Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan masyarakat menyadari pentingnya pendidikan. Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses
pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan. Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS (N11) : “…fasilitas anak untuk anak yang marginal/anak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anakanak marginal dan difabel. (Wawancara tanggal 7 April 2009) Berdasarkan kasus di atas, kebutuhan anak terkait partisipasi anak antara lain :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
·
Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak.
·
Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta
baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa upaya mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dilakukan Pemerintah Kota Surakarta melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak Dalam menangani permasalahan anak di Surakarta, pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan yang dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu: perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi anak. Tabel 3.1 Agenda dan Prioritas Pelayanan Bidang Perlindungan Anak 1 Perlindungan anak
Permasalahan 2 ESKA
Agenda dan Prioritas Pelayanan 3 · Penyelenggaraan rehabilitasi sosial, dengan adanya Rumah Rehabilitasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesehatan
Gizi buruk
Pendidikan
Anak putus sekolah Rendahnya partisipasi anak
Partisipasi anak
· · · · · ·
Graha Yoga Pertiwi Adanya PTPAS Program Makanan Tambahan (PMT) Pondok Kasih Ibu (POKASI) Pendidikan wajib belajar 9 tahun Kejar paket untuk anak putus sekolah Dibentuknya FAS (Forum Anak Surakarta)
Sumber: DKRPP&KB Di bidang perlindungan anak, khususnya kasus ESKA pemerintah melakukan prioritas pelayanan melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial dengan adanya Rumah Rehabilitasi Graha Yoga Pertiwi. Graha Yoga pertiwi adalah tempat yang berfungsi memberikan perlindungan dan pelatihan ketrampilan bagi perempuan dan anak korban ESKA dan perdagangan anak. Diharapkan korban tersebut dapat pulih secara psikologis atau mental maupun kesehatan dan mampu bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat. Melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial ini, diharapkan anak korban ESKA mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Selain itu, pemerintah membentuk
PTPAS.
institusi/lembaga/organisasi
PTPAS yang
merupakan mempunyai
gabungan kepedulian
dari terhadap
beberapa persoalan
perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak (N9) : “…sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS…” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Di bidang kesehatan, masalah anak gizi buruk juga perlu mendapat perhatian. Untuk mengatasi anak gizi buruk, pemerintah membuat Program Makanan Tambahan (PMT). Fungsi PMT adalah sebagai makanan tamabahan menjadi makanan utama yaitu sarapan pagi. Selain itu, pemerintah membentuk Pondok Kasih Ibu (POKASI) yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, POKASI juga berfungsi sebagai Posyandu anak balita setiap bulan. Di samping itu, POKASI juga berfungsi sebagai Posyandu Lansia. Di bidang pendidikan, masalah anak putus sekolah menjadi permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Untuk mengatasi anak putus sekolah, pemerintah membuat program wajib belajar 9 tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun pemerintah membuat kebijakan yang responsif terhadap persoalan tersebut yakni berupa pemberian beasiswa pendidikan. Wajib belajar 9 tahun merupakan dasar operasional bagi Pemerintah Surakarta untuk menyelenggarakan berbagai pelayanan pendidikan bagi anak dalam hal ini pelayanan beasiswa. Asumsinya semua warga Surakarta harus mengenyam pendidikan paling tidak 9 tahun. Selain itu, pemerintah membuat program Kejar paket untuk anak putus sekolah. Program ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk menjamin terpenuhinya hak anak akan pendidikan terutama bagi mereka yang tidak lulus dalam sekolah. Kesempatan pendidikan juga diberikan kepada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal misalnya bagi anak putus sekolah, anak jalanan, anak kasus ESKA, dan anak yang bekerja. Kejar paket A adalah untuk kategori SD, kejar paket B untuk kategori SMP dan kejar paket C untuk kategori SMA. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6): “Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan kesetaraan yaitu Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, Paket C setara dengan SMA.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Di bidang partisipasi anak, khususnya dalam pemenuhan hak partisipasi anak, Pemerintah Kota Surakarta dalam Program Pengembangan Kota Layak Anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(KLA) membentuk Forum Anak Surakarta (FAS). FAS merupakan aspirasi anakanak. Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11) : “…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan ya mbak, anak sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah, kami juga terlibat dalam FAS...” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan program pemerintah, apakah berjalan sesuai harapan anak dan pihak-pihak terkait, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya mengenai kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. 3. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak Kemampuan pemerintah dalam mengembangkan program perlindungan anak akan dijelaskan sesuai dengan bidang-bidang perlindungan anak yang meliputi: bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak. a. Bidang Perlindungan Anak Kasus ESKA pada anak di Kota Surakarta harus mendapat perhatian yang serius oleh semua pihak. Melihat keadaan ini, maka lahirlah gagasan untuk membangun jaringan kerjasama antar institusi lintas sektor untuk mengembangkan Pelayanan Terpadu bagi korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Surakarta. Kebutuhan ini juga didukung oleh berbagai kebijakan, salah satunya Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan dan KAPOLRI (SKB 3 Menteri dan KAPOLRI yang ditandatangani sebagai langkah awal untuk menjadi dasar adanya pelayanan terpadu untuk korban Kekerasan). Setelah melalui serangkaian aktivitas, maka disepakati adanya dokumen Kesepakatan Dasar Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta yang bernama Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS). PTPAS berbentuk konsorsium1, yaitu gabungan dari beberapa institusi/lembaga/organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. DKRPP&KB selaku koordinator umum PTPAS bertugas mengkoordinasikan seluruh divisi yang ada di PTPAS. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) : ”Untuk mengatasi kekerasan perempuan dan anak atau pelanggaran hak anak, di kota Surakarta ada PTPAS. PTPAS ini berupa konsorsium yang terdiri atas 16 unsur diantaranya pemerintah kota Surakarta dalam hal ini DKRPP&KB, rumah sakit, LSM, organisasi pemerintah, poltabes dan lain-lain. PTPAS ini terbentuk pada tahun 2004 dan bertugas menangani korban kekerasan perempuan dan anak-anak” (wawancara 16 Februari 2009) PTPAS juga melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai tugas masing-masing, selaku dinas yang mewakili Pemeritah Kota Surakarta dalam penanganan masalah tersebut ditunjuklah DKRPP&KB sebagai koordinator umum
1
Konsorsium adalah gabungan berbagai organisasi (sosial, kepemudaan, dsb) untuk mengadakan aktivitas/gerakan bersama (biasanya secara tetap), namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri. (Kamus Besar Bahasa Indonesia - Edisi Baru, disusun oleh Team Pustaka Phoenix. http://id.wikipedia.org/wiki/Konsorsium)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang bertugas mengkoordinir setiap institusi/lembaga/organisasi yag tergabung dalam PTPAS tersebut. Tugas lembaga/organisasi yang tergabung dalam PTPAS dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Data Tugas Lembaga/Organisasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yang tergabung dalam PTPAS No 1 1 2
Nama Lembaga/Organisasi 2 DKRPP&KB Kota Surakarta Poliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta
3
Yayasan Kakak
4
GOWS
5
SPEK-HAM
6
RPK Poltabes Surakarta Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surakarta ATMA (Advokasi Transformasi Masyrakat) SARI (Social Analysis Research Institute) Yayasan Talenta
7
8
9 10 11
12
LEHAMAS Aisyiah Jawa Tengah Yayasan Krida Paramitha
14
Kaukus Perempuan Surakarta Bappeda Surakarta
15
PKK Kota
16
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
13
Tugas
Divisi 3 Koordiator Umum Co. Divisi Pelayanan
Co. Divisi Dokumentasi dan Informasi Co. Divisi Pendidikan Publik Co. Divisi Advokasi
4 Koordiator Umum Tugas: Mengkoordinasikan seluruh divisi yang ada di PTPAS, memastikan kerja seluruh divisi sesuai dengan job description-nya masing-masing, mengkoordinasikan monitoring dan evaluasi PTPAS, pelaksanaan koordinasi, penyelenggaraan pusat informasi dan dokumentasi, koordinasi sarana-prasarana, koordinasi pengembangan jaringan.
Divisi Pelayanan Divisi Pelayanan
Divisi Pelayanan dan Divisi Advokasi Divisi Pelayanan dan Divisi Advokasi Divisi Pelayanan Divisi Pelayanan dan Divisi Pendidikan Publik Divisi Pelayanan dan Divisi Dokumentasi dan Informasi Divisi Dokumentasi dan Informasi Divisi Advokasi Divisi Pendidikan Publik Divisi Pelayanan
Co. Divisi Pendidikan Publik Tugas: Melakukan sosialisasi program dan layanan PTPAS, melakukan pengorganisasian masyarakat agar mampu melakukan pencegahan terhadap KtPA, menyediakan dan menyebarluaskan informasi tentang KtPA bagi masyarakat, melaksanakan fungsi kehumasan, mengupayakan perubahan kurikulum pendidikan formal dengan jalan memberikan masukan tentang materi KtPA. Co. Divisi Advokasi Tugas: Mengakses, mengumpulkan dan menganalisa data dari Pusat Data PTPAS atau sumber data lain, melakukan study kebijakan dan isu KtPA, melakukan lobby dan negosiasi kepada pengambil kebijakan. Co. Divisi Pelayanan Tugas: Menjadi pos layanan PTPAS, memberikan layanan medis-non medis, menyediakan fasilitas yang mendukung pelayanan korban, mengupayakan shelter.
Sumber: PTPAS PTPAS terdiri dari 16 lembaga/organisasi pemerintah maupun NGO (Non Government Organisation) yang memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam penanganan persoalan perempuan dan anak yang tergabung didalam jaringan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PTPAS. Misalnya pihak Rumah sakit melakukan visum dan perawatan kesehatan, Poltabes melakukan penyidikan dan penyelidikan, dan LSM melakukan tugasnya sebagai pendamping korban. Pertanggungjawaban dari masing-masing divisi bukan kepada DKRPP&KB melainkan bersama-sama. Disini peran DKRPP&KB yaitu sebagai koordinator dari masing-masing divisi saja. Penanganan ESKA2 di Surakarta sendiri telah diusahakan beberapa pihak, salah satunya Pemerintah Kota Surakarta. Berdasarkan SK Walikota Nomor 462/78/1/2006, Pemkot menyusun kegiatan bertajuk Rencana Aksi Kota Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAK PESKA) Kota Surakarta. Program lima tahunan ini dilaksanakan sebuah tim yang bernama Gugus Tugas. Sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Seksi
Pemberdayaan
Masyarakat
DKRPP&KB (N1) : “Ada lima bidang konsentrasi program dalam Gugus Tugas, yakni Koordinasi dan Kerjasama, Pencegahan, Perlindungan, Pemulihan dan Rehabilitasi, serta Perlindungan Anak. Sedangkan ketua umumnya dipegang oleh Sekretaris Daerah Kota Surakarta. Anggota Gugus Tugas ini adalah kumpulan dari berbagai elemen masyarakat yang konsen terhadap perlindungan anak” (Wawancara 16 Februari 2009) Dalam menangani masalah kekerasan anak, DKRPP&KB melakukan tindakan-tindakan. Yang pertama adalah tindakan preventif atau pencegahan agar masyarakat bisa menyikapi permasalahan tersebut sebagai persoalan serius yang perlu dicegah sebelum tindakan kekerasan pada anak terjadi di lingkungan sekitarnya. Selain itu pendampingan pada anak sekolah dan anak yang rentan menjadi korban kekerasan seksual diharapkan dapat membekali anak-anak dengan 2
ESKA adalah Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. (www.gugustugastrafficking.org)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengetahuan untuk mengantisipasi lingkungan di sekitarnya serta melindungi dirinya sendiri dari bahaya kekerasan seksual pada anak. Kedua, yaitu penanganan. Tindakan penanganan dilakukan apabila telah terjadi kekerasan seksual pada anak. Biasanya dilihat dari korban yang melapor. Tindakan penanganan ini dilakukan oleh beberapa lembaga terkait seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Poltabes Surakarta selaku penyidik dari kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi, LSM terkait, dalam hal ini Yayasan Kakak yang memberikan pendampingan pada korban kekerasan seksual pada anak serta DKRPP&KB sendiri yang membuat kebijakan dalam penanganan tersebut. Korban yang mengalami kekerasan seksual diarahkan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya ke RPK Poltabes Surakarta untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan proses penyidikan sampai dengan proses pelimpahan berkas kasus ke kejaksaan untuk selanjutnya dijalankan proses hukum bagi tersangka. Sedangkan Yayasan Kakak bertugas untuk mendampingi korban, memberikan dukungan secara moral untuk terus menjalankan proses hukum hingga vonis dijatuhkan pada tersangka. Mekanisme penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta yang dilakukan oleh DKRPP&KB adalah memberikan pelayanan langsung pada korban melalui Divisi Pelayanan PTPAS dalam hal ini adalah RPK Poltabes Surakarta. RPK bertugas untuk menerima semua bentuk laporan pertama dari korban kekerasan seksual pada anak di Surakarta serta menyidik kasus yang dilaporkan korban tersebut untuk ditindaklanjuti prosesnya secara hukum. Sedangkan untuk pelayanan visum dan kesehatan korban diserahkan kepada poliklinik Polwil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Surakarta selaku koordinator dari divisi pelayanan PTPAS dan RSUD Dr Moewardi Surakarta. Kemudian untuk pendampingannya korban diserahkan pada lembaga terkait dalam hal ini kepada Yayasan Kakak. Tindakan nyata yang telah dilakukan PTPAS sebagai berikut: Box 1 Pencegahan dan penanganan ESKA di Karesidenan Surakarta 3 Juni 2008 News Catatan Kegiatan Yayasan Kakak, periode Maret s/d Mei 2008. Untuk kegiatan pencegahan ESKA di tingkat masyarakat, hal-hal yang dilakukan oleh Yayasan Kakak adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi tentang persoalan yang terkait dengan ESKA di tingkat SMP kerjasama dengan Terres des Homes. Dalam waktu 3 bulan ini (Maret-Mei 2008) Yayasan Kakak masuk ke dua sekolah yang anak-anaknya rentan menjadi korban ESKA. 2. Pendampingan anak dan orang tua di wilayah yang rentan. Dalam waktu 3 bulan ini, Yayasan Kakak melakukan pendampingan. Wilayah rentan yang didampingi adalah salah satu wilayah di mana tempat tersebut menjadi pusat prostitusi. 3. Sosialisasi lewat media elektronik (Radio) kerjasama dengan Terres des Homes. Saat ini media elektronik yang rutin melakukan talkshow adalah Radio GSM FM dan PTPN FM. 4. Kegiatan penanganan korban kekerasan. Ada beberapa pendampingan yang dilakukan yaitu pendampingan hukum atas kasusnya, pendampingan psikologis untuk anak dan keluarga, dan pendampingan medis. Selain itu, untuk perbaikan ke depan, Yayasan Kakak memberikan masukan-masukan dan rekomendasi kepada pihak pemerintah selaku koordinator pelayanan terpadu. (http://kakak.org/home.php?page=news&id=97) Dari catatan kegiatan Yayasan Kakak, dapat diketahui upaya-upaya PTPAS untuk mencegah dan menangani ESKA di Surakarta. Penekanan bahwa anak sebagai korban sangat dibutuhkan sehingga bisa mendukung untuk melakukan tindakan penanganan kasus ESKA yang berbasis di masyarakat. Artinya, bagaimana ketika ada kasus di sekitar masyarakat, mereka bisa melakukan tindakan penanganan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Lewat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
media ini juga bisa memberikan gambaran kepada masyarakat tentang beberapa hal yang terkait dengan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kasus ESKA. Dengan dipaparkannya penyebab di tingkat masyarakat, mereka akan lebih mengetahui bagaimana melakukan tindakan pencegahan, karena tindakan pencegahan dapat dimulai dari tingkat masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga. Mekanisme penanganan korban kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh Divisi Pelayanan PTPAS dapat digambarkan secara visual dengan skema berikut ini: Gambar 3.1 Skema penanganan korban pada Divisi Pelayanan PTPAS
RP K korban Rumah sakit
LSM
Sumber: DKRPP&KB Dari gambar 3.1 dapat dilihat bahwa penanganan korban kekerasan seksual pada anak dilakukan secara bersama-sama antar lembaga yang terkait dengan permasalahan tersebut. Kemanapun korban datang untuk mengadukan persoalan kekerasan seksual yang menimpanya, lembaga tersebut akan memberikan penanganan sesuai dengan tugasnya. Sedangkan untuk penanganan lebih lanjut, lembaga yang menerima korban pertama kali akan merujuk korban sesuai dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebutuhan penanganan korban secara langsung melalui telepon kepada lembaga lainnya yang terkait dengan penanganan tersebut. Dari uraian mengenai penanganan kekerasan seksual ada anak yang dilakukan DKRPP&KB Kota Surakarta di atas, dapat dilihat bahwa peran dari DKRPP&KB tersebut adalah memfasilitasi dalam mengkoordinir lembaga-lembaga terkait dengan penangana kekerasan seksual pada anak di Surakarta sesuai dengan bidang penganan masing-masing. Karena masalah penanganan kekerasan seksual pada anak adalah masalah penanganan yang kompleks dan melibatkan banyak instansi/lembaga/organisasi yang telibat sesuai dengan bidang penanganannya masing-masing. Ketiga yaitu tindakan pasca penanganan (pemulihan). Dampak dari kekerasan seksual pada korban biasanya adalah dampak kesehatan, fisik, psikologis, dampak sosial. Selain itu biasanya korban mengalami trauma dan beban psikologis yang cukup berat. Adanya rasa takut dan malu pada lingkungan atau masyarakat di sekitarnya akan menjadi beban sosial yang berat bagi korban kekerasan seksual khususnya pada anak. Tindakan pasca penanganan dilakukan untuk memulihkan kondisi psikologis dari korban. Tindakan pasca penanganan ini dilakukan oleh LSM terkait dan DKRPP&KB sendiri. Tindakan pemulihan yang dilakukan oleh DKRPP&KB diselenggarakan oleh Sub Dinas Pelayanan Rehabilitasi dan Bantuan Sosial dengan membuat pantipanti anak yang mendorong kelompok atau forum-forum anak untuk menghadapi permasalahn tersebut dengan suatu sikap yang positif agar hal tersebut tidak terulang menimpa anak yang lain di kemudian hari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan LSM yang terkait dengan permasalahan tersebut memberikan pendampingan hingga kondisi psikologis korban benar-benar telah pulih dan bebas dari trauma dengan cara memberikan konsultasi Psikologi pada korban. Selain itu, tindakan pasca penanganan ini juga berbentuk pemberian motivasi pada korban kekerasan seksual pada anak agar korban ini dapat kembali dalam kehidupan sosialnya tanpa ada perasaan malu, takut, ataupun minder. Box 2 Catatan Kegiatan Yayasan Kakak, Periode Maret s/d 2008 3 Juni News Untuk pencegahan terjadinya ESKA, Yayasan Kakak melakukan beberapa aktifitas, yaitu: 1. pendampingan keluarga. Pendampingan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada keluarga korban tentang faktor resiko yang dapat dialami korban ESKA. Keluarga diharapkan akan dapat melakukan pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan anak. 2. Pendampingan psikologis anak. Korban ESKA sangat rentan mengalami trauma akibat kekerasan yang dialaminya. 3. Pendampingan kelompok. Pendampingan ini bertujuan untuk mencegah agar anak tidak menjadi korban ESKA.( http://kakak.org/home.php?page=news&id=97)
Dari catatan Yayasan kakak periode Maret s/d Mei 2008 dapat diketahui bentuk-bentuk pendampingan yang dilakukan Yayasan Kakak sebagai salah satu LSM yang memperhatikan masalah anak di Surakarta. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kakak bahwa pengalaman seksual dini dapat mendorong anak masuk dalam dunia ESKA. Penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta selain melibatkan beberapa institusi/ lembaga/ organisasi yang terkait dengan permasalahan tersebut, juga diperlukan dana guna menunjang operasional penanganan kekerasan pada anak tersebut. Sumber dana dalam penanganan kekerasan seksual pada anak di Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperoleh dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Staf Divisi Anak Yayasan Kakak (N8) mengatakan: “Responsivitas pemerintah terhadap kasus kekerasan terhadap anak cukup bagus. Sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembagalembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS. Jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pihak PTPAS sudah bisa menangani kasus ini baik secara medis, hukum dan psikologisnya, asal kasus ini dilaporkan sesuai dengan prosedur yang ada, mulai dari kepolisian.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Ia juga menambahkan: “Kalo perlindungan anak di Surakarta, jika kita bicara dari sisi kebijakan, sudah ada kemajuan, karena memang kota Surakarta ditunjuk oleh pemerintah sebagai salah satu pilot project untuk pengembangan Kota Layak Anak diantara beberapa kota yang lain. Kalo kita bicara lebih riil lagi, memang perlu ada upaya-upaya atau peningkatan dalam berbagai hal mengenai sistem atau perlindungan terhadap anak. Karena kecenderungannya kita melihat kasus-kasus kekerasan terhadap anak justru menunjukkan gejala dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Kalo kita melihat, sudah ada daya tanggap dari pemerintah, sudah ada peraturan-peraturan daerah yang mulai disusun untuk melindungi anak. Diharapkan peran pemerintah lebih optimal, karena kekerasan pada anak dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan secara kuantitas.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Hal senada juga dikatakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10): “…responsivitas pemerintah Surakarta dalam menangani permasalahan anak jika dibandingkan kota-kota lain, sudah bisa dikatakan renponsif. Sudah ada kebijakan-kebijakan yang menyangkut perlindungan terhadap anak.” (wawancara 14 November 2008) Menurut Yayasan Kakak dan LSM PPAP Seroja, responsivitas pemerintah terhadap kasus kekerasan terhadap anak cukup bagus. Sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS. Jika dilihat dari sisi kebijakan, sudah ada kemajuan, sudah ada peraturan-peraturan daerah yang mulai disusun untuk melindungi anak. Kebijakan tersebut diantaranya: Kebijakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengembangan Kota Layak Anak (KLA), adanya Rencana Aksi untuk menangani kekerasan pada anak dan pekerja anak. Diharapkan peran pemerintah lebih optimal, karena kekerasan pada anak dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan secara kuantitas. Mekanisme penanganan anak jalanan dan anak terlantar hampir sama dengan mekanisme
penanganan
kasus
ESKA.
Pemerintah
melakukan
pendataan
bekerjasama dengan LSM dan tokoh masyarakat termasuk di dalamnya PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) dan Karangtaruna. Setelah mengetahui data, lalu dilakukan identifikasi permasalahan yang ada. Setelah diketahui permasalahannya, lalu dilakukan pembinaan terhadap mereka. Dalam pembinaan, ada kegiatankegiatan yaitu pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Setelah mereka diberi ketrampilan, selanjutnya pemerintah memberikan paket bantuan untuk sarana penunjang ketrampilan. Pada tahun 2008, DKRPP&KB mempunyai alokasi anggaran sebesar Rp. 2.206.724.930,00 yang digunakan untuk anak di Surakarta. Pada tahun 2009 juga mempunyai alokasi dana sebesar Rp. 967.394.955,00. Anggaran pada tahun 2009 lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2008 karena sebagian anggaran untuk membayar hutang. Pada tahun 2010 pemerintah berencana membangun Taman Cerdas. Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting bagi PTPAS untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan. PTPAS memulai proses advokasi dengan cara melakukan audiensi bersama dengan masingmasing Kepala Dinas terkait dan Bapeda, setelah terlebih dahulu melakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
workshop untuk menyusun program dan kebutuhan anggaran. Upaya lobby juga dilakukan melalui audiensi dengan Walikota Surakarta. Dalam proses tersebut, PTPAS juga mengusulkan adanya kebijakan (peraturan daerah) yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, sekaligus menjadi landasan yang kuat bagi bekerjanya PTPAS. Proses lobby3 ini juga diperkuat melalui kunjungan serta audiensi kepada partai politik dan calon anggota legislatif pada tahun 2004. Alokasi anggaran pertama diperoleh tahun 2005 yaitu empat puluh lima juta yang dialokasikan untuk anggaran pertemuan/koodinasi masing-masing divisi dan membiayai visum yang dapat diakses dengan mekanisme re-emburstmen (penggantian setelah dana digunakan). Anggaran tersebut dialokasikan melalui dinas yang terkait dengan PTPAS, yakni DKRPP&KB yang juga merupakan koordinator jaringan PTPAS. Kekuatan MOU atau Kesepakatan Bersama antar institusi dan SK Walikota adalah hal terpenting dalam proses advokasi anggaran. Pasca legalitas formal diperoleh, penguatan dan koordinasi lebih intensif dilakukan untuk terus-menerus memperbaiki mekanisme pelayanan karena PTPAS merupakan pelayanan terpadu yang bukan satu atap. PTPAS dibangun untuk menguatakan masing-masing organisasi pemberi layanan dan mengarahkan kepada pelayanan terpadu berbasis komunitas.
3
Lobby adalah suatu kegiatan dari orang-orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu, baik itu sebuah lembaga pemerintahan maupun sebuah organisasi tertentu. Fungsi lobby : lobby ialah langkah awal dalam proses menuju negosiasi. Tujuan lobby adalah mempengaruhi orang lain untuk tujuan tertentu, baik dengan cara baik maupun kurang baik. Fungsi lobby sendiri adalah sebagai pembuka jalan negosiasi. Sedangkan, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik dan lobbying ada didalamnya untuk mengurangi konflik. (http://galaxy-semesta.blogspot.com/2009/06/tentang-lobby-dan-diplomasi.html)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saat ini PTPAS telah mendapatkan alokasi anggaran tetap, bahkan selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada rekapitulasi anggaran tahun 2008, terdapat Rp.223.118.100,- yang dialokasikan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pencegahan terhadap korban kekerasan. Masih ada bentuk alokasi lainnya yang bisa diakses di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya. Bahkan pemerintah membangun sarana untuk rehabilitasi dan perlindungan bagi korban kekerasan yang disebut Graha Yoga Pertiwi4. Selain alokasi anggaran dan rumah rehabilitasi, pemerintah juga secara intensif mengkoordinasikan penyusunan Peraturan Daerah untuk Perlindungan Perempuan dan Anak. Dana dari pemerintah diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi maupun APBD kota Surakarta sendiri. hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1): “...dana diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah kita sepakati bersama, dana APBD juga terbatas. Jika tidak bisa dilaksanakan tahun ini, ya dilaksanakan tahun depan. Walaupun ada dana tetap, tetapi kasus kekerasan anak ini selalu meningkat, makanya sering ada kendala masalah dana...” (Wawancara 16 Februari 2009) b. Bidang Kesehatan Responsivitas pemerintah di bidang kesehatan dapat dilihat melalui penanganan anak gizi buruk di Surakarta. Posyandu biasanya memberikan informasi kepada pemerintah mengenai adanya anak gizi buruk. Lalu diadakan pemeriksaan di Puskemas. Pemerintah juga melihat kondisi ekonomi keluarga tersebut. Apabila membutuhkan pemeriksaan klinis, maka dilakukan rujukan ke 4
Graha Yoga Pertiwi adalah tempat yang berfungsi memberikan perlindungan dan pelatihan ketrampilan bagi perempuan dan anak korban eska, perdagangan anak sehingga diharapkan korban tersebut dapat pulih secara psikologis atau mental maupun kesehatan dan mampu bersosialisasi dengan keluarga, masyarakat serta mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. (http://www.kotalayakanak.org)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rumah sakit dan akan ditindaklanjuti di rumah sakit. Minggu ke 1 dan 2 anak melakukan perawatan di rumah sakit. Apabila sudah membaik, minggu ke 3 anak dikembalikan ke Puskesmas dan Posyandu. Mekanisme penanganan anak terkena gizi buruk yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dapat digambarkan dengan skema berikut ini : Gambar 3.2 Skema penanganan anak gizi buruk Anak Dirujuk
Yankes Rujukan Dilakukan periksa klinis
Anak Gizi Buruk
Rawat Inap
Pulang dan dikembalikan ke Puskesmas dan Posyandu
Sumber: Dinas Kesehatan Dari gambar 3.2 menggambarkan bahwa anak terkena gizi buruk dibiayai pemerintah melalui Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). PKMS adalah pemberian pemeliharaan pelayanan kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan oleh pemerintah bagi masyarakat Surakarta pemegang kartu berobat berlangganan. Tujuannya adalah memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat Kota Surakarta terutama bagi masyarakat miskin. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat, DINKES (N2): “Anak gizi buruk ini dibiayai pemerintah menggunakan PKMS. Jadi, masyarakat bisa terlindungi dari masalah kesehatan dan diharapkan masalah gizi buruk ini bisa teratasi dengan baik.” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun fasilitas-fasilitas dari pemerintah di bidang kesehatan (Lihat lampiran). Sumber dana untuk menangani anak gizi buruk berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Tabel 3.3 adalah alokasi dana di Dinas Kesehatan Surakarta: Tabel 3.3 Alokasi Dana APBD Kota Surakarta Untuk Program Perbaikan Gizi Masyarakat Uraian 2005 2 165.497.000
1 Jumlah dana program gizi PMT-AS Sasaran (SD) Dana PMT-AS Sasaran (TK) Dana Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
2006 3 998.000.000
Tahun 2007 4 1.495.693.500
4281 616.464.000
4010 649.620.000
2008 5 1.515.658.000
2009 6 912.695.000
4000 480.000.000 3026 363.120.000
3500 315.000.000 2148 193.320.000
Dari tabel 3.3 dapat diketahui dana yang dialokasikan untuk perbaikan gizi masyarakat. Dari tahun ke tahun sasaran untuk program perbaikan gizi menurun dari 4281 anak gizi buruk pada tahun 2006 menurun menjadi 3500 pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah anak gizi buruk. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat, DINKES (N2): “Dana dari pemerintah untuk anak terkena gizi buruk berasal dari SKPDSKPD, dana ini tidak hanya untuk masalah anak di bidang kesehatan, tetapi juga untuk masalah anak di bidang lain.” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009) Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11): “...dana KLA ini berasal dari SKPD-SKPD, dana ini untuk semua masalah anak di semua bidang.” ( Wawancara tanggal 7 April 2009) Perkembangan kasus gizi buruk di Kota Surakarta dapat diihat pada tabel 3.4:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3.4 Perkembangan Kasus Gizi Buruk Di Kota Surakarta Periode Tahun 2005 s/d 2008 Tahun
Sisa Kasus Tahun Lalu
Jumlah Kasus Tahun Ini
Baru 1 2 3 2005 336 496 2006 185 659 2007 216 417 2008 161 349 Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Jumlah 4 832 841 633 510
Mati 5 0 0 0 0
Sisa Kasus Tahun Ini Sembuh 6 647 625 470 404
7 185 216 161 106
Dari tabel 3.4 kasus gizi buruk dari tahun 2005-2008 menurun pada tiap tahunnya. Dari 336 anak gizi buruk di tahun 2005, menurun 106 di tahun 2008. Penurunan angka penderita dikarenakan adanya Program Makanan Tambahan (PMT) serta gencarnya penyuluhan yang dilakukan kepada masyarakat. Pemberian makanan tambahan bagi balita terkena gizi buruk meliputi pemberian susu, biskuit, serta makanan pengganti air susu ibu (MP Asi). Pencapaian Dinas Kesehatan Surakarta dalam Program Perbaikan Gizi Kota Surakarta tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 3.5:
Tabel 3.5 Pencapaian Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Program Perbaikan Gizi Kota Surakarta Tahun 2008
No
Kewenangan Wajib
1 1
2 Penyelenggaraan Perbaikan Gizi
1.
Jenis Pelayanan
Standar Pelayanan Minimal Indikator Kinerja
3 Pemantauan Pertumbuhan
4 % balita yang naik berat badannya (N/D)
commit to user
Capaian 2008 (%)
Target (IS 2010)
5 72,2
6 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Balita 2.
3.
4.
% balita BGM % cakupan balita mendapat Vit.A 2X per tahun % cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe % cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin % balita gizi buruk mendapat perawatan Penyulihan % bayi mendapat ASI perilaku sehat Eksklusif % Desa dengan garam beryodium baik Penyelenggaraan % desa/kel. Dengan penyelidikan gizi buruk yang epidemiologi ditangani dan % kecamatan bebas penanggulangan rawan gizi KLB dan gizi buruk Pelayanan Gizi
1,2 96,7
<15 90
93,8
90
100
100
100
100
27,6
80
84
90
100
100
100
80
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta Capaian balita yang naik berat badannya sebesar 72,2%. Hal ini merupakan hasil yang baik karena target di tahun 2010 sebesar 80%. Cakupan balita mendapat Vit.A 2X per tahun justru melebihi target. Target tahun 2010 sebesar 90% sedangkan capaian di tahun 2008 sebesar 96,7%. Hal yang sama pada cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe yang melebihi target di tahun 2010. Target 2010 cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe sebesar 90% sedangkan capaian di taun 2008 sebesar 93,8%. Selain itu, kecamatan bebas rawan gizi juga melebihi target, karena target di tahun 2010 hanya 80%, sedangkan capaian di tahun 2008 sebesar 100%. Pencapaian Dinas Kesehatan tersebut diakui oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS (N11) sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Kalo bidang kesehatan, sudah lumayan mbak, pendataannya juga sudah baik. Penanganan masalah anak bidang kesehatan juga sudah baik.” (Wawancara tanggal 7 April 2009) Hal senada juga dikatakan oleh salah satu staf Yayasan Kakak (N8): “Pelayanan di bidang kesehatan sudah lumayan ya mbak, kasus anak gizi buruk juga sudah menurun.” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Berdasarkan penjelasan tersebut, pemerintah sudah lebih responsif dalam menangani masalah anak di bidang kesehatan. Pendataan akan adanya masalah kesehatan terutama pada anak juga sudah baik. c. Bidang Pendidikan Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan non-formal yaitu Kejar Paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C. Anak-anak tersebut harus terdaftar di kelompok belajar Paket B dan Paket C (Paket A masih akan dilaksanakan tahun 2009). Untuk bisa terdaftar pada kelompok belajar, mereka harus melengkapi administrasi yang dibutuhkan seperti ijazah yang lebih rendah. Di masing-masing kelompok belajar ada peraturan mengikuti pelajaran sampai selesai dan melaksanakan 75 persen kehadiran. Setelah itu, dilakukan evaluasi hasil belajar dan berhak mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6): “Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan kesetaraan yaitu Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, Paket C setara dengan SMA.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Salah satu staf Bidang Pendidikan Non Formal juga mengatakan (N7): ”Pada tahun 2007 ada kebijakan pemerintah mengenai Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) bagi anak-anak sekolah formal yang tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lulus. Kebijakan ini ada karena tidak ada ujian susulan. Pada tahun 2009 disusun juga kurikulum KTSP” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Program Kejar Paket B dan C untuk anak putus sekolah hanya mencapai hasil 50 persen. Hal ini dikarenakan banyak anak-anak yang tidak meneruskan sekolah non formal ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6): ”Hasil yang kita capai dalam program Kejar Paket ini cuma 50 persen. Banyak anak-anak yang tidak lagi datang ke sekolah non formal. Mereka kembali ke jalan dengan alasan mencari uang membantu orang tua. Orang tua juga tidak memberi dorongan supaya anak-anaknya sekolah” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Sumber dana untuk anak putus sekolah berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Selain itu, ada pula sumber dana dari pihak luar seperti dari Jarum untuk beasiswa anak. Dana tersebut dialokasikan untuk: 1) Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), bantuan pendidikan dari pihak swasta, dan sebagainya. 2) Adanya Sekolah Plus untuk anak tingkat SD. 3) Adanya Sekolah Kesetaraan yang tidak dipungut biaya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13): “Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana ini dari pusat. Selain itu ada juga Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), dana ini berasal dari Walikota yang berasal dari APBD2. Selain itu, banyak bantuan pendidikan yang dari pengusaha swasta seperti Jarum (rokok).” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009) Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6):
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Anak-anak dalam mengikuti sekolah kesetaraan tidak dipungut biaya. Jadi seharusnya mereka bisa rajin bersekolah. Tapi semua itu kembali lagi pada anaknya.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Adapun fasilitas-fasilitas dari pemerintah di bidang pendidikan (Lihat lampiran). Untuk mewujudkan keadaan yang diinginkan lima tahun ke depan dilakukan strategi sebagai berikut : a. Bidang peningkatan iman dan takwa dengan mengoptimalkan peran serta seluruh warga sekolah dengan membiasakan pengamalan agama, seperti berdoa sebelum dan sesudah proses pembelajaran, optimalisasi pemanfaatan sarana ibadah yang dimiliki, pemanfaatan moment peringatan hari besar agama untuk lebih memahami makna dan penerapan kehidupan beragama serta menjalin kerjasama dengan lingkungan seperti ulama dan lembaga – lembaga keagamaan dalam rangka pembinaan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan seluruh warga sekolah. Dalam proses pembelajaran lebih ditekankan praktik dibandingkan dengan penyampaian materi pembelajaran yang bersifat pengetahuan. b. Bidang kecerdasan ditanamkan proses pembelajaran yang mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar untuk mengetahui, belajar untuk berbuat, belajar agar menjadi milik dirinya sendiri, dan belajar dapat menerapkan dalam kehidupan sehari – hari. Akibat dari penekanan pola pembelajaran tersebut perlu peningkatan profesionalitas guru lewat Kelompok Kegiatan Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Musyawarah Guru Program Diklat, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah, dan Kelompok Kerja Pengawas Sekolah. Kegiatan lain yang perlu dipacu adalah penelitian tindakan kelas, guna mencari alternatif model
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembelajaran agar menghasilkan hasil belajar yang optimal. Peda kegiatan siswa, diposisikan sebagai subjek belajar pada proses pembelajaran, disediakan wadah kompetitif berupa lomba akademik, lomba karya ilmiah pupuler, lomba siswa berprestasi, dan lomba – lomba kreativitas lainnya yang memacu berfikir kritis dan kreatif. c. Bidang olahraga dititikberatkan pada proses pembelajaran praktik dibandingkan pelajaran teori. Guna menciptakan situasi belajar tersebut diperlukan ketrampilan guru dalam meproses pembelajaran, sehingga peningkatan kualifikasi, sertifikasi, dan pembinaan rutin lewat Kelompok Kegiatan Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran , mutlak diperlukan. Pemenuhan peralatan praktik olahraga dan tempat untuk berolahraga perlu ditingkatkan dan diupayakan. Guna mendukung peningkatan pendidikan olahraga disediakan wadah untuk kompetisi berupa pekan olahraga, pertandingan, dan festifal untuk melihat sejauh mana hasil pendidikan dan pembinaan olahraga disekolah, sekaligus memberikan umpan balik kepada guru untuk membenahi kekurangan – kekurangan yang mungkin terjadi. d. Pada bidang pembinaan ketrampilan ditingkatkan kegiatan extra kurikuler baik pembinaan kepramukaan/kepanduan, pengembangan olahraga, seni, serta ketrampilan lewat kegiatan life skill untuk seluruh sekolah. Khususnya Sekolah Menengah Kejuruan ditingkatkan pengelolaannya dengan sertifikat ISO, yang diharapkan siswa keluarannya memiliki kompetensi keahlian yang dibutuhkan masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Bidang sosial budaya dikembangkan pelajaran muatan lokal dan pengembangan seni, baik seni tari, karawitan, musik, teater, maupun olah vokal lewat kegiatan intra maupun extra kurikuler. Dalam rangka mengevaluasi hasil binaan seni, diadakan pentas seni, lomba seni, maupun festival seni. Guna mepercepat dan meningkatkan proses pembinaan seni dan budaya amat diperlukan pemenuhan peralatan yang meliputi berbagai cabang seni. f. Untuk menjabarkan strategi tersebut di dalam program kegiatan diperlukan kebijakan – kebijakan sebagai berikut : a. perluasan dan pemerataan pendidikan. Kebijakan ini berkaitan erat dengan pemberian beasiswa pembangunan ruang kelas yang rusak, perluasan tempat penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pemenuhan alat peraga proses pembelajaran, alat praktik, penyediaan laboratorium, alat praktik olah raga, dan pembinaan ke semua pemberian beasiswa dan pemenuhan dari sarana ini diharapakan mendorong untuk memasuki jenjang sekolah, sehingga warga masyarakat dapat memilih sekolah sesuai dengan keinginannya dan yang belum sempat bersekolah dapat segera memasuki sekolah, dengan demikian semakin dapat ditekan angka tidak melanjutkan.Dengan tersediannya beasiswa diharapkan keluarga yang kurang berkemampuan dapat menikmati sekolah sesuai dengan keinginannya, karena terbantu segi pembayarannya. b. peningkatan mutu dan relevansi. Kegiatan Kelompok Kerja Guru dan sejenisnya, perbaikan proses pembelajaran lewat hasil penelitian tindakan kelas, peningkatan hasil kualifikasidan sertifikasi bagi guru adalah upaya untuk peningkatan mutu. Penekanan empat pilar pendidikan adalah upaya perbaikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mutu keluaran sekolah. Demikian pula berbagai lomba yang disediakan untuk siswa, semuanya difokuskan untuk peningkatan mutu siswa. Sedangkan penyediaan alat – alat praktik dan pemberian life skill adalah untuk mengupayakan relevansi keluaran dengan kebutuhan di masyarakat. c. governance dan akuntabilitas. Perumusan kembali untuk mengelola sekolah amat diperlukan seiring dengan era otonomi daerah. Tiga pilar yang perlu mendapatkan perhatian dalam hal ini, yakni kepemimpinan yang demokrasi dengan ciri pemanfaatan keputusan partisipasif, perbaikan mutu proses pembelajaran dengan ciri pembelajaran dengan metode variatif sehingga mengaktifkan,
memancing
inovatif,
mengembangkan
kreatifitas
dan
menyenangkan siswa, serta peningkatan peranserta masyarakat sebagai salah satu
pihak
yang
ikut
bertanggungjawab
tehadap
pendidikan.
(Sumber:DISDIKPORA Surakarta) d. Bidang Partisipasi Anak Ada banyak bentuk partisipasi anak, di antaranya adalah hak untuk mengutarakan pendapat, hak bertanya untuk memperoleh informasi yang benar, hak mengajukan ide, hak berekspresi melalui kegiatan seni, dan banyak lainnya. Partisipasi anak selayaknya tidak dibatasi oleh orang dewasa dan kemampuan anak. Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan, sedangkan orang dewasa berkewajiban menyediakan ruang bagi anak untuk berpartisipasi, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat. Box 3 Artikel Yayasan Kakak, 25-04-2007 Berkaitan dengan partisipasi anak menjadi menarik bila dapat diimplementasikan di dalam semua ruang yang ada tanpa kecuali
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam tingkatan pengambian kebijakan atau forum-forum yang ada di pemerintah. Selanjutnya terkait dengan permasalahan tersebut, masuk di Kota Surakarta sendiri sebenarnya masih banyak kendala terkait dengan penanganan permasalahan anak, mulai dari rancangan program yang belum sepenuhnya mendukung dan berspektif pada anak sampai pada tingkatan implementasi dari pembangunan yang diakukan pemerintah. Di sisi lain sebenarnya informasi dan kampanye mengenai hak-hak anak sudah banyak dilakukan oleh banyak pihak diantaranya Ormas, LSM, RS, Akademisi, dll, tetapi memang dalam pelaksanaannya belum maksimal karena banyak kendala dalam pelaksanaannya di lapangan.( http://kakak.org/home.php?page=news&id=97)
Dari artikel Yayasan Kakak Tahun 2007, dapat diketahui partisipasi anak di Tahun 2007 belum terlihat. Masih banyak kendala terkait dengan penanganan permasalahan anak, mulai dari rancangan program yang belum sepenuhnya mendukung dan berspektif pada anak, sampai pada tingkatan implementasi dari pembangunan yang diakukan pemerintah. Tetapi, untuk Tahun 2009 khususnya, partisipasi anak dalam pengambilan program oleh pemerintah. Di Kota Surakarta, saat ini ada Forum Anak Surakarta (FAS) yang dibentuk dengan tujuan menjadi ruang dan sarana bagi anak-anak di Kota Surakarta untuk berpartisipasi. Dalam beberapa forum yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surakarta, FAS sudah terlibat dan dimintai masukan, terutama untuk permasalahan yang berkaitan dengan anak. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) : “...di Surakarta sudah ada Forum Anak Surakarta (FAS) mbak, di sini ada anak sekolah, ada anak jalanan juga...” (Wawancara 16 Februari 2009) Ia juga menambahkan :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“...program KLA yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan partisipasi anak, ini sudah dilaksanakan semua mbak, yang ditulis ini sudah dilaksanakan semuanya. Taman Anak Cerdas juga sudah ada di lima Kelurahan mbak, yaitu Kelurahan Sumber, Kadipiro, Gandekan, Joyotakan, Pajang, dan Mojosongo...” (Wawancara 16 Februari 2009) Staf Yayasan Kakak mengatakan (N8): “…beberapa sahabat Yayasan Kakak sudah terlibat dalam Forum Anak Surakarta. Keterlibatan sejumlah sahabat Yayasan Kakak ini merupakan langkah strategis bagi Yayasan Kakak untuk lebih memperjuangkan hak-hak anak, terutama anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual...” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Hal senada juga dikatakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) dan Sekretaris Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS (N11): N10: “…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan ya mbak, anak sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah, kami juga terlibat dalam FAS...” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009). N11: “…partisipasi anak di Surakarta sudah lumayan, dari yang tidak ada menjadi ada. Anak juga dilibatkan dalam pengambilan program oleh pemerintah. Di Surakarta ada Forum Anak Surakarta juga untuk menampung aspirasi mereka…” (Wawancara tanggal 7 April 2009) Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa informan, dapat diketahui bahwa partisipasi anak di Surakarta sudah mengalami peningkatan. Di Surakarta, anak sudah dilibatkan dalam pengambilan program-program oleh pemerintah. Untuk menampung aspirasi anak, Pemerintah Surakarta juga membentuk Forum Anak Surakarta (FAS). Mekanisme penanganan partisipasi anak yaitu pertama, anak-anak diajak bergabung di Forum Anak Surakarta (FAS). Kedua, melalui Forum Anak Surakarta anak-anak sudah dilibatkan dalam setiap kegiatan, salah satunya pengambilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
program pemerintah. Sumber dana dalam bidang partisipasi anak berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) B.
Kendala Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) Dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak, kendala yang dihadapi pemerintah berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. a.
Kendala internal Sumber daya manusia Pemerintah Kota Surakarta kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak. Mereka tidak mengerti sepenuhnya hal-hal yang berkaitan
dengan
aspek
psikologis
anak.
Padahal,
dalam
melaksanakan
perlindungan anak, pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) : “...Satpol PP dalam menggaruk anak jalanan kurang memperhatikan aspek psikologis anak. Mereka asal menggaruk saja. Padahal, kadang anak trauma akan hal itu. Kami juga yang bertugas mendampingi mereka...” (Wawancara tanggal 6 Februari 2009) Dana merupakan hal vital penentu untuk keberhasilan pencapaian tujuan. Bagi pemerintah Kota Surakarta dalam program perlindungan anak, ketersediaan dana merupakan suatu kendala. Untuk menangani masalah anak jalanan dan terlantar APBD yang tersedia sangat terbatas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) : “…kendala yang kami hadapi adalah dana mbak, dana APBD juga terbatas. Anak jalanan dan anak terlantar sudah kami bekali ketrampilan, dan diharapkan mereka tidak kembali ke jalan…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penanganan permasalahan anak, walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi jumlah kasus/sasaran lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi dalam alokasi anggaran bagi anak putus sekolah. Selain kendala di atas, ego sektoral juga menjadi kendala dalam melaksanakan perlindungan anak. Koordinasi antar institusi belum berjalan dengan baik. Hal ini tergamabar pada belum adanya sinergitas dalam pelaksanaan Rencana Aksi Kota. Masing-masing stakeholder selaku anggota gugus tugas masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sekretaris P3G UNS (N11) : “…para stakeholder terkesan berjalan sendiri-sendiri mbak, mereka bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan terkesan bekerja sendiri tanpa berkoordinasi dengan yang lain…” (Wawancara tanggal 17 Maret 2009) Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan kendala internal yang dihadapi pemerintah, antara lain: sumber daya manusia Pemerintah Kota Surakarta yang kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak, keterbatasan dana, dan ego sektoral.
b. Kendala Eksternal Kendala lain yang dialami pemerintah adalah pengaruh lingkungan. Lingkungan anak jalanan, anak terlantar dan pekerja anak menjadi faktor yang sangat mempengaruhi mereka. Mengapa tidak, anak-anak masih sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar karena mereka masih labil. Jika lingkungan mereka memberi efek negatif bagi anak-anak, sangat besar kemungkinannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak-anak terpengaruh. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) : “…mereka masih saja kembali ke jalan karena pengaruh lingkungan yang tidak baik dan kurangnya perhatian dari orang tua mereka. Hasil monitoring kami, masih banyak anak jalan yang mencari uang entah itu dari ngamen atau ngemis, uang itu selain buat makan, ya buat beli minuman keras…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009) Hal senada juga disampaikan oleh Ketua PPAP Seroja dan Staf Yayasan Kakak: Ketua PPAP Seroja (N10): “…lingkungan anak jalanan sangat memprihatinkan, minuman keras dan sex bebas ada di sana. Tingkat pendidikannya juga sangat rendah. Kami yang mendampingi mereka berusaha memberikan pengarahan agar anak-anak yang belum terjerumus, mau bersekolah...” (Wawancara 14 Maret 2009) Staf Yayasan Kakak (N8): “...faktor ekonomi juga menjadi masalah untuk anak. Anak itu masih labil dan mudah sekali termakan omongan orang yang tidak bertanggung jawab...” (Wawancara tanggal 14 Maret 2009) Bisa tidaknya anak bersekolah dipengaruhi oleh karakteristik anak dan situasi yang mempengaruhi mereka. Tingginya bujukan untuk mendapatkan uang, dapat menyebabkan anak meninggalkan rumah dan pindah ke kota besar daripada harus bersekolah. Anak-anak ini beresiko dieksploitasi karena terpisah oleh keluarga, masyarakat, dan sekolah. Terdapat anak jalanan yang mencari uang seharian dan pulang di malam hari. Anak ini tidak melihat pentingnya nilai pendidikan dan tidak tertarik dengan sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bagian Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6) : ”...anak-anak tidak ada hasrat untuk sekolah maka tidak maksimal untuk bersekolah. Mereka lebih suka kembali ke jalan, karena di jalan bisa dapat uang...” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keluarga dan masyarakat sebaiknya menjadi pelindung dan memiliki kepedulian kepada anak. Akan tetapi, kemiskinan sering mempengaruhi anak untuk bersekolah. Karena masalah ekonomi, orang tua sering terpaksa memenuhi kebutuhan primer hidup keluarga saja. Dengan demikian, anak harus menolong keluarganya untuk mencari nafkah dengan mengorbankan pendidikan dan masa depannya. Oleh karenanya, orang tua menganggap memanfaatkan anak untuk bekerja lebih bernilai daripada belajar di sekolah. Hal ini sebagaimana disampaikan Staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13) : ”...anak-anak seringkali turun ke jalan, alasannya membantu orang tua. Hal ini bikin program pemerintah tidak berhasil. Orang tua juga kurang mendukung anaknya. Anak putus sekolah ini sering bertambah karena banyak anak pendatang, jadi mereka dari luar Solo. Nah ini juga menjadi permasalahan bagi pemerintah...” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009) Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak. Biasanya, orang tua tidak mempedulikan pendidikan anaknya karena dalam pemikiran mereka, untuk mencukupi hidupnya saja sulit, apalagi untuk membiayai anak sekolah. Biasanya mereka membiarkan anak-anaknya mencari uang di jalan. Kalau orang tua sudah mempunyai pemikiran seperti ini, biasanya anak-anak juga ikutikutan tidak memikirkan masa depannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) : “…kurangnya perhatian dari orang tua mereka kadang membuat anak tidak punya kesadaran untuk memikirkan masa depan...” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal senada juga disampaikan oleh Staf Yayasan Kakak (N8) : “…kesadaran dari anak dan orang tua yang minim ini menjadi kendala bagi pemrintah untuk mengatasinya. Hal yang kami temui di lapangan, keadaan ini bias menjadi faktor anak terjerumus pada ESKA. Jadi semua sangat berkaitan.,,” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)
Anak belum memiliki filter yang cukup kuat untuk memilih dan memilah apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan. Anak cenderung masih labil sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif
dari
lingkungannya.
Kondisi
ini
diperparah
dengan
semakin
bermunculannya mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat kota Surakarta. Menjamurnya mall di kota Surakarta secara tidak langsung mendukung berkembangnya budaya konsumerisme masyarakat. Budaya konsumerisme mendorong munculnya persaingan untuk mendapatkan penghargaan/pujian terhadap kepemilikan suatu barang. Keinginan yang sangat besar dalam memiliki suatu barang tidak ditunjang oleh kondisi ekonomi keluarga, sehingga hal tersebut semakin mendorong seseorang untuk mendapatkan uang dengan jalan pintas, walaupun cara tersebut tidak sesuai dengan nilai–nilai yang berlaku di masyarakat. Kondisi anak yang labil dan tingginya budaya konsumerisme menyebabkan banyak anak dengan latar belakang ekonomi lemah lebih mudah terjerumus ke dunia prostitusi. Staf Yayasan Kakak mengatakan bahwa masalah ESKA ini sudah menjadi suatu mata rantai yang susah untuk diputus (N9) : “…kondisi ini sangat dilematis. Di lain sisi masyarakat juga butuh uang untuk memenuhi hidupnya. Padahal peran masyarakat sekitar sangat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibutuhkan untuk menghentikan (http://j4rionline.wordpress.com)
maraknya
ESKA…”
Pernyataan ini dipertegas pula oleh Ketua Peneliti ESKA UNS (N12) : “...sebenarnya seksualitas adalah budaya yang paling lama ada, kalau di Solo, ESKA sudah mulai tampak ketika para orang tua dari Wonogiri memberikan anak gadis mereka kepada raja-raja di Solo. Apalagi saat ini prostitusi anak justru menjadi bisnis yang sangat menggiurkan...” Faktor pemikiran orang tua yang tidak mementingkan pendidikan anak terutama anak perempuan secara tidak langsung menempatkan anak perempuan dalam kondisi yang tersubordinasi. Bentuk konkritnya adalah masih banyak keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Asumsinya adalah setinggi apapun tingkat pendidikan anak perempuan pada akhirnya hanya akan berkutat pada masalah domestik. Kondisi seperti ini mengakibatkan sebagian besar anak perempuan berpendidikan rendah, cenderung memiliki keterbatasan keterampilan. Keterbatasan keterampilan tersebut menyebabkan akses pekerjaan mereka rendah. Implikasinya mereka rentan terhadap dunia prostitusi. Faktor yang juga bisa meningkatkan jumlah ESKA adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis. Secara psikologis anak belum cukup matang untuk menghadapi beban yang berat, ketidaksiapan mental mereka mendorong mereka mencari pelarian. Pada awalnya mereka hanya sekedar keluar malam, dan nongkrong di suatu tempat untuk melepaskan diri dari kesuntukan. Di tempat itu mereka bertemu dengan teman yang menghadapi masalah yang sama sehingga menimbulkan kedekatan di antara mereka. Karakter rmereka yang masih labil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk terjun ke dunia pelacuran. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja (N10) : ”...kondisi keluarga anak yang tidak harmonis bisa menjadi faktor anak-anak terjerumus pada prostitusi. Itu merupakan faktor intern yang kadang menjadi bomerang...” (wawancara tanggal 14 Maret 2009) Culture of silence (budaya menyembunyikan) pada masyarakat. Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA adalah hal yang tabu dan merupakan aib keluarga. Hal ini sangat merugikan masa depan anak sendiri karena kasus mereka tidak diketahui oleh pemerintah dan pihak-pihak yang peduli akan kasus ESKA. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Staf Yayasan Kakak (N8) : “…kalo dari korban kekerasan terhadap anak untuk yang di ESKA dari pertengahan 2005 sampai pertengahan 2008 kita berhasil menjangkau ada sekitar 111 anak korban ESKA, ini sekupnya X Karisidenan Surakarta, tapi kebanyakan mereka datang dari luar Kota Surakarta lalu datang ke Surakarta. Kalo dulu, kasus kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual pada anak ini tidak diungkap karena merupakan hal yang tabu merupakan aib bagi keluarga. Jadi banyak kasus yang disembunyikan. Nah ini perlu kita ubah pemikiran masyarakat semacam ini. Karena ini bukan aib tapi ini tindak kejahatan agar pelaku ada efek jera...” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009) Oleh karena itu, culture of silence ini menjadi kendala bagi pemerintah dan pihak terkait untuk penanganan secara dini mewujudkan perlindungan anak. C.
Upaya Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) a. Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah Kurangnya
pemahaman
dari
aparat
pemerintah
tentang
hak
dan
perlindungan anak menyebabkan sulitnya mengintegrasikan perspektif anak dalam setiap pengambilan kebijakan. Untuk mengatasi hal ini, dalam setiap pertemuan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah membekali pengetahuan tentang hak-hak anak dan hal-hal yang menyangkut perlindungan anak. Diharapkan agar aparat pemerintah paham akan makna perlindungan anak. Hal ini sebagaimana dikemuakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1): “…dalam setiap rapat mengenai permasalahan anak, pemerintah berusaha menekankan pemahaman akan perlindungan anak kepada aparatur-aparatur pemerintah…” (Wawancara tanggal 12 Februari 2009) Dari penjelasan di atas, dapat diketahui upaya pemerintah untuk meningkatkan pemahaman kepada aparatur pemerintah. b. Meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait Ego sektoral memberikan kesan bahwa para stakeholder dalam perlindungan anak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai upaya peningkatan pelayanan, Pemerintah Kota Surakarta berusaha meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Contoh upaya pemerintah tersebut yaitu dalam hal dana. Sumber dana diperoleh dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Dana dari pemerintah diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi maupun APBD kota Surakarta sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh staf Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) : “Dana diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah kita sepakati bersama, dana APBD juga terbatas. Jika tidak bisa dilaksanakan tahun ini, ya dilaksanakan tahun depan” Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting bagi PTPAS untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan. PTPAS memulai proses advokasi dengan cara melakukan audiensi bersama dengan masingmasing Kepala Dinas terkait dan Bapeda, setelah terlebih dahulu melakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
workshop untuk menyusun program dan kebutuhan anggaran. Upaya lobby juga dilakukan melalui audiensi dengan Walikota Surakarta. Dalam proses tersebut, PTPAS juga mengusulkan adanya kebijakan (peraturan daerah) yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, sekaligus menjadi landasan yang kuat bagi bekerjanya PTPAS. Proses lobby ini juga diperkuat melalui kunjungan serta audiensi kepada partai politik dan calon anggota legislatif pada tahun 2004. Selain itu, pemerintah bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Seperti yang diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) : “…permasalahan sosial itu tidak ada habisnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, kita juga bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Jangan semua masalah dibebankan pada pemerintah semua, karena masalah ini juga tanggungjawab masyarakat juga…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009) Pernyataan tersebut diperkuat oleh salah satu staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13): “Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana ini dari pusat. Selain itu ada juga Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), dana ini berasal dari Walikota yang berasal dari APBD2. Selain itu, banyak bantuan pendidikan yang dari pengusaha swasta seperti Jarum (rokok).” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009) Dari penjelasan di atas, terlihat peningkatan kerjasama antara pemerintah dengan pihak-pihak yang peduli terhadap perlindungan anak. c. Optimalisasi kegiatan sosialisasi Guna menangani kasus kekerasan pada anak, pemerintah melalui PTPAS sudah melakukan kegiatan sosialisasi menyangkut kekerasan perempuan dan anak. Salah satu kegiatan sosialisasi tersebut adalah sosialisasi penghapusan kekerasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap perempuan dan anak di sekolah-sekolah. Sosialisasi tersebut meliputi beberapa kegiatan, antara lain: 1) Pelatihan pendampingan korban kekerasan bagi guru-guru BP sekolah se Kota Surakarta. 2) Mengajak anak sekolah untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan dapat mensosialisasikan tentang UU. 3) Perlindungan anak dan hak anak dan mengajak guru-guru BP supaya tidak terjadi kekerasan terhadap anak sekolah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) : “Untuk mengatasi hambatan, kami melakukan sosialisasi penghapusan kekerasan anak, melakukan pendampingan terhadap korban, dan memberikan pelatihan kepada guru-guru BP tentang pendampingan anak korban kekerasan.” (Wawanara tanggal 16 Februari 2009) Dalam kasus anak gizi buruk, pemerintah melakukan sosialisasi sosialisasi melalui PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi buruk terhadap anak dan akibatnya. Dalam sosialisasi tersebut juga dijelaskan mengenai program pemerintah untuk mengatasi kasus anak gizi buruk yaitu program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat, DINKES (N2): “...kita sosialisasi lewat PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi buruk terhadap anak dan akibatnya. Anggaran peningkatan gizi sebesar Rp 10.000 per hari minimal selama tiga bulan. Apabila belum sembuh bisa diperpanjang lagi. Kami juga memberdayakan kader di wilayah balita yang terkena gizi buruk untuk program PMT ini dengan pola ibu asuh…” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sosialisasi juga dilakukan pada kasus anak putus sekolah dan partisipasi anak. Sosialisasi dilakukan di setiap kecamatan dan kelurahan, agar masyarakat kooperatif dan tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan anak. Khususnya dalam program Solo Kota Layak Anak pemerintah melakukan sosialisasi di setiap kelurahan. Sosialisasi juga dilakukan ke Sekolah TK kota Surakarta untuk melihat pengembangan sekolah yang ramah anak. Dalam hal ini orang tua harus bekerja sama dengan guru, antara lain dengan diterapkan surat menyurat antar guru dan orang tua. Rasa aman pada anak diciptakan antara lain dengan penyambutan guru-guru di depan sekolah ketika anak-anak tiba. Demikian pula pada waktu jam pulang sekolah; guru-guru mengantar ke gerbang sekolah dan selanjutnya diterima orang tua. Manajemen sekolah juga menerapkan peraturan tanpa kekerasan bagi para guru dan diterapkannya sanksi bagi yang melanggar. Dalam acara sosialisasi KLA di Kelurahan, beberapa hal yang didiskusikan dengan masyarakat langsung adalah sebagai berikut (DKRPP&KB): 1) Pelajaran budi pekerti di sekolah yang hilang 2) Sistem evaluasi dan pendataan masalah pekerja anak, pemerintah kota Solo sedang menyusun mekanisme penanganan pekerja anak 3) Dalam masalah pekerja anak, permasalahan utamanya adalah bukan anak, tetapi orang dewasa yang mengeksploitasi anak-anak tersebut. Sehingga perlu dilakukan pendekatan terhadap orang tua. 4) Seringnya dibangun prasarana, seperti taman, namun tanpa dilengkapi toilet, sehingga anak kesulitan untuk buang air.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5) Untuk pembuatan akte kelahiran, diusulkan kerjasama dengan RS/tempat bersalin untuk langsung memberikan akte kelahiran bagi anak yang lahir di tempat-tempat tersebut. 6) Tindak lanjut dari sosialisasi KLA diharapkan agar dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan. 7) Untuk keberlanjutan forum anak, pendampingan bagi anak-anak di forum anak dianggap perlu. Dalam rangka mewujudkan Kota Surakarta yang layak anak tersebut, Pemerintah Kota juga telah mulai melakukan upaya terciptanya Lapas yang ramah anak sehingga permasalahan anak yang bersinggungan dengan hukum mendapat tempat penanganan yang layak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A.
Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Pemerintah Kota Surakarta sudah cukup responsif terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak, namun responsivitas tersebut belum optimal . Hal ini bisa dilihat dari: a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak. Begitu kompleksnya kebutuhan anak terkait dengan perlindungan anak. Pemerintah Kota Surakarta tidak mempunyai kapasitas yang memadai dalam mengumpulkan data dasar mengenai permasalahan anak di Surakarta. Pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembagalembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak. b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Pemerintah melibatkan Lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, LSM, Organisasi masyarakat, Perguruan Tinggi, dan pihak-pihak yang peduli dengan masalah anak untuk bersama-sama mengatasi permasalahan anak. Namun, dalam mengembangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
program perlindungan anak, Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembagalembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. 2. Kendala dalam melaksanakan perlindungan anak menuji Solo Kota Layak Anak. Beberapa kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral, pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence. Dalam penanganan permasalahan anak di Surakarta, aparat pemerintah tidak mengerti sepenuhnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis anak sehingga hal ini menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan anak. Walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi jumlah kasus lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Lingkungan anak menjadi kendala pemerintah dalam menangani permasalahan anak, karena lingkungan yang memberi efek negatif mudah mempengaruhi anak. Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak. Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA adalah hal yang tabu dan merupakan aib keluarga sehingga berkembang culture of silence (budaya menyembunyikan). 3. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Sebagai upaya peningkatan pelayanan dengan kendala keterbatasan dana, pemerintah Kota Surakarta melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Sosialisasi juga dilakukan untuk mengatasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permasalahan anak, baik di bidang perlindungan anak, kesehatan, pendidikan, serta partisipasi anak.
B.
Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti ajukan agar dapat dijadikan sabagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah. Beberapa saran tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak. 2. Pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak dengan cara mengoptimalkan kemitraan/kerjasama dengan pihak-pihak yang peduli dengan perlindungan anak. 3. Belum tersentuhnya pendidikan untuk anak jalanan/terlantar, maka pemerintah harus membuat program yang bisa mengatasi hal tersebut. Pemerintah juga harus memfasilitasi lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perlindungan anak, sehingga terwujud pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. 4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perlindungan anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user