PELAKSANAAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA TANJUNGPINANG (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: HERNI KURNIATI NIM : 110565201018
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DANILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
PELAKSANAAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA TANJUNGPINANG (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak)
HERNI KURNIATI Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan lmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Pengembangan Kota Layak Anak bertujuan untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di kabupaten/kota. Fenomena yang masih terjadi adalah beberapa indikator untuk menuju Tanjungpinang sebagai Kota Layak Anak belum sepenuhnya maksimal. Beberapa indikator yang belum maksimal itu di antaranya adalah belum tersedianya Zona Selamat Sekolah di setiap sekolah yang ada di Kota Tanjungpinang. Selain itu, belum dilengkapinya sarana bermain anak di setiap kelurahan. Minimal, setiap kelurahan harus punya taman bermain anak. Di tempattempat umum juga belum tersedia ruang laktasi atau ruang untuk menyusui. Masih minimnya tempat pejalan kaki untuk anak pergi maupun pulang sekolah, juga menjadi indikator lainnya. Tempat pejalan kaki sulit diadakan di Kota Tanjungpinang. Sebab, masih terbatasnya ruang. Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk Pelaksanaan Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak). Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Dalam hal ini peneliti mengambil informan sebanyak 7 orang. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif. Berdasarkan rumusan masalah maka dapat disimpulkan bahwa Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang belum dilaksanakan dengan baik Tanjungpinang salah satunya karena belum memiliki aturan yang benar-benar fokus pada perlindungan anak khususnya dalam pengembangan Kota Layak Anak tersebut. Standar dan sasaran kebijakan implementasi Kota Layak Anak belum dirumuskan pemerintah Kota Tanjungpinang, pemerintah kota Tanjungpinang masih mengacu kepada Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau serta minimnya fasilitas pendukung.
Kata Kunci : Implementasi, Kota Layak Anak, Perlindungan Anak
1
ABSTRACT
Eligible Children Urban Development initiative aims to build the country/ city directed to the transformation of the concept of child rights into policies, program, and activities to ensure the fulfillment of the rights of children in the district/city. The phenomenon that still occur are several indicators to get to Tanjungpinang as the City Proper Child has not fully maximized. Some indicators are not maximized the availability of which is not yet good-zone schools in every school in the city of Tanjungpinang. Moreover, the children’s play facilities in each village are not complete yet. At a minimum, each village should have a children's playground. In public places is also not yet available space or space for breastfeeding lactation. Still the lack of places for child pedestrians go and come home from school, also be other indicators. According to him, a pedestrian difficult held in Tanjungpinang. Therefore, the limited space. The purpose of this study is basically for the Implementation of the City for Children In Tanjungpinang (According to the Regulation of the Minister of Women Empowerment and Child Protection No. 12 of 2011 on indicators Regency/City Proper Child). In the discussion of this thesis uses descriptive qualitative research. In this case the researchers took the informant as much as 7 people. Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative data analysis techniques. Based on the formulation of the problem, it can be concluded that the City for Children In Tanjungpinang have not been implemented properly Tanjungpniang either because they do not yet have rules that really focus on the protection of children, especially in the development of the Children's City Proper. Standard and policy targets the implementation of City Proper Child government yet formulated Tanjungpinang, Tanjungpinang city government still refers to the Regulation and Regulation Riau Islands, and the lack of supporting facilities.
Keywords: Implementation, Feasible City Child, Child Protection
2
dari 3 urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua daerah. Sedangkan urusan pemerintahan Pilihan adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Fungsi primer dalam pemerintahan adalah fungsi yang terus menerus berjalan dan berhubungan positif dengan kondisi yang diperintah (masyarakat). Artinya, fungsi ini tidak akan berkurang dengan situasi dan kondisi dari masyarakat, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Salah satunya adalah fungsi pengaturan. Fungsi pengaturan dikatakan sebagai fungsi primer, karena pemerintah diberikan kekuasaan yang lebih (powerful) oleh yang diperintah (powerless). Ini merupakan modal pemerintah untuk bisa mengatur masyarakat yang memiliki kuantitas jauh lebih besar. Pengaturan ini bisa
I A.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintah memiliki empat fungsi yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development) dan pengaturan (regulation) dalam menjalankan perannya. Perbedaan pelaksanaan fungsi pelayanan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terletak pada kewenangan masing-masing. Kewenangan pemerintah pusat mencakup urusan Pertahanan Keamanan, Agama, Hubungan Luar Negeri, Moneter dan Peradilan. Secara umum pelayanan pemerintah mencakup pelayanan publik (public service) dan pelayanan sipil (civil service) yang menghargai kesetaraan (Labola, 2010:32). Begitu luas dan kompleksnya tugas dan fungsi pemerintahan, menyebabkan pemerintah harus memikul tanggung jawab yang sangat besar. Untuk mengemban tugas yang berat itu, selain diperlukan sumber daya, dukungan lingkungan, dibutuhkan institusi yang kuat yang didukung oleh aparat yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan pemerintahan. Langkah ini perlu dilakukan oleh pemerintah, mengingat dimasa mendatang perubahanperubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan semakin menambah pengetahuan masyarakat untuk mencermati segala aktivitas pemerintahan dalam hubungannya dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah klasifikasi urusan pemerintahan terdiri
3
berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Perda, atau pun sejenisnya. Pemerintah mengatur dengan tujuan untuk bisa menjaga keamanan masyarakat yang kondusif. Perlindungan anak masuk dalam urusan pemerintah wajib, hal ini berdasarkan Pembagian Urusan Pemerintahan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayananan dasar mencakup bidang tenaga kerja, pemberdayaan perempuan, pemberdayaan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, lingkungan hidup, pehubungangan, administrasi kependudukan, koperasi, umkm, kebudayaan, statistik dan perpustakaan. Dalam perundang-undangan di Indonesia, perlindungan anak sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut memiliki tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan matabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak dan sejahtera. Anak sendiri memiliki arti seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak harus terlindungi sejak berada dalam kandungan ibunya, adanya kehidupan yang layak/pekerjaan yang layak, akses kesehatan yang baik, menjadi dasar perlindungan sedini mungkin, sebagai upaya preventif pelaksanaan Perlindungan Anak. Maka
dari itu pemerintah harus berperan dalam menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan keterlantaran demi terwujudnya anak Kepulauan Riau yang beriman dan bertaqwa, cerdas, berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Implementasi perlindungan anak dengan asas Non Diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta penghargaan terhadap pendapat anak, semaksimal mungkin dapat diterapkan di Kota Tanjungpinang, dengan jangkauan wilayah kepulauan tentunya membutuhkan perhatian, prioritas dan kebijakan anggaran yang pro perlindungan anak. Mengikutsertakan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk berfungsi maksimal di tiap kegiatan mengikutsertakan peran anak baik secara fisik, pendapat dan partisipasi, sarana yang memadai dan target pencapaian pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dan perlindungan anak. Sebagai upaya preventif pelaksanaan perlindungan anak, pemberian identitas diri sebagai hak anak untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara. Perlibatan stakeholder seperti pemerintah, pihak swasta, LSM dan masyarakat di tingkat Kota Tanjungpinang menjadi hal yang penting, penanganan perlindungan anak tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa mengikutsertakan jajaran pemerintah daerah di tingkat Provinsi maupun Kota, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan terutama dalam penuntasan
4
kasus dan perlindungan anak di wilayah hukum. Persamaan pandangan demi kepentingan terbaik bagi Anak bukan hal yang mudah. Perlu kesungguhan semua pihak. Terwujudnya Peraturan Daerah tentang Perlindungan Anak dan implementasi lapangan yang maksimal guna menunjang tersosialisasi dan penerapan tentang perlindungan anak di masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara RI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dalam menciptakan Kota Layak Anak, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2011 ini menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, bahwa Negara Indonesia telah mengesahkan Konvensi tentang Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam upaya pelaksanaan pemenuhan hak anak secara efektif, bahwa urusan pemerintahan di bidang perlindungan anak berupa kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, merupakan urusan wajib pemerintahan daerah kabupaten/kota, bahwa untuk menjamin terpenuhinya hak anak diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha melalui
pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak. Pengembangan Kota Layak Anak bertujuan untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di kabupaten/kota. Program-program pembangunan di berbagai daerah, yang dirancang sering kali masih belum sensitif terhadap hak anak. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan pengarustamaan hak anak masih menghadapi berbagai kendala, antara lain Sumber Daya Manusia (SDM) di pemerintahan maupun isu pembangunan yang lainnya. Kabupaten/Kota Layak Anak adalah suatu sistem pembangunan suatu wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak-hak anak. Dalam mewujudkan Kota Layak Anak pada intinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berperan penting dalam merealisasikan Konvensi Hak Anak dan konsep Kota Layak Anak. Hal ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang
5
saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Ketika anak masih terjerembab dalam diskriminasi maka masa depan akan semakin terancam. Karena tidak adanya generasi yang diberi ruang untuk berekspresi dan didengarkan keluh kesahnya. Pada akhirnya, kebijakan publik yang ramah terhadap anak dengan menciptakan Kota Layak Anak merupakan kesempatan pemimpin daerah untuk berbakti dan berbuat banyak kepada masyarakatnya. Kepedulian pemimpin daerah dalam merumuskan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan di era otonomi daerah yang menuntut pemimpin daerah berkreasi demi kemajuan daerah yang dipimpinnya. Perlindungan terhadap hak anak merupakan sebuah keniscayaan oleh pemerintah, jika pemerintah sengaja mengabaikan terhadap pemenuhan serta perlindungan hak anak dalam hal ini pemenuhan Kota Layak Anak, maka pemerintah disini bisa dikatakan telah melanggar HAM anak. Kejahatan pada anak di Kota Tanjungpinang mengalami peningkatan tajam. Anak Berhadapan Hukum (ABH) menjadi kejahatan paling utama yang meningkat pada tiga bulan terakhir hingga hari ini. kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebanyak 15 kasus dengan 33 anak merupakan kasus yang paling tinggi yang terjadi kemudian disusl dengan, hak asuh terdapat 11 kasus dengan 29 anak, dan pencabulan pada anak sebanyak 15 kasus dengan korban 16 anak. Namun pencabulan yang termasuk pelecehan seksual pada anak yang memiliki dampak kejiwaan yang berlarut dan lama. bahwa anak yang mengalami kekerasan seksual, dampak jangka
pendek akan mengalami mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Untuk jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan mengalami ketakutan yang berkepanjangan. Bahkan bisa terjadi dampak yang lebih parah, dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya. Mengingat banyaknya permasalahan tersebut maka diperlukan kota yang layak anak, agar anak-anak tersebut dapat merasa aman. Indikator tentang Kota Layak Anak (KLA) seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak antara lain : 1. Pasal 8 dijelaskan Indikator KLA untuk Klaster Hak Sipil dan Kebebasan meliputi: persentase anak yang teregistrasi dan mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran; tersedia fasilitas informasi layak anak; dan jumlah kelompok anak, termasuk Forum Anak, yang ada di kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. 2. Pasal 9 dijelskan Indikator KLA untuk Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif meliputi: persentase usia perkawinan pertama di bawah 18 (delapan belas) tahun; tersedia lembaga konsultasi bagi orang tua/keluarga tentang pengasuhan dan perawatan anak; dan tersedia lembaga kesejahteraan sosial anak.
6
3. Pasal 10 PP dijelaskan Indikator KLA untuk Klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan yang meliputi: angka kematian bayi; prevalensi kekurangan gizi pada balita; persentase air susu ibu (ASI) eksklusif; jumlah pojok ASI; persentase imunisasi dasar lengkap; jumlah lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan mental; jumlah anak dari keluarga miskin yang memperoleh akses peningkatan kesejahteraan; persentase rumah tangga dengan akses air bersih; dan (i) tersedia kawasan tanpa rokok.
adanya mekanisme penanggulangan bencana yang memperhatikan kepentingan anak; dan persentase anak yang dibebaskan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. 6. Selanjutnya pada Pasal 13 ayat (1) setiap indikator KLA diberi ukuran dan nilai dan (2)besaran ukuran dan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri. Fenomena yang masih terjadi adalah beberapa indikator untuk menuju Tanjungpinang sebagai Kota Layak Anak belum sepenuhnya maksimal. Beberapa indikator yang belum maksimal itu di antaranya adalah belum tersedianya zona selamat sekolah di setiap sekolah yang ada di Kota Tanjungpinang. Selain itu, belum dilengkapinya sarana bermain anak di setiap kelurahan. Minimal, setiap kelurahan harus punya taman bermain anak. Di tempat-tempat umum juga belum tersedia ruang laktasi atau ruang untuk menyusui. Masih minimnya tempat pejalan kaki untuk anak pergi maupun pulang sekolah, juga menjadi indikator lainnya. Menurutnya, tempat pejalan kaki sulit diadakan di Kota Tanjungpinang. Sebab, masih terbatasnya ruang. (Sumber : Wawancara, Ahmad Yani, 9 September 2014, Batampos.com). Berdasarkan hasil observasi hanya Bandara Raja Haji Fisabilillah (RHF) di Jalan Ganet Batu 11 yang memiliki fasilitas lengkap seperti ruang khusus menyusui dan area bebas merokok, sedangkan pelabuhanpelabuhan di Tanjungpinang belum tersedia. Di lokasi berbeda seperti pusat perbelanjaan seperti Bestari Mal, Bintan Mal dan Ramayana Mal
4. Pasal 11 mengatur Indikator KLA untuk Klaster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya meliputi: angka partisipasi pendidikan anak usia dini; persentase wajib belajar pendidikan 12 (dua belas) tahun; persentase sekolah ramah anak; jumlah sekolah yang memiliki program, sarana dan prasarana perjalanan anak ke dan dari sekolah; dan tersedia fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak, di luar sekolah, yang dapat diakses semua anak. 5. Pasal 12 diejelaskan Indikator KLA untuk Klaster Perlindungan Khusus meliputi: persentase anak yang memerlukan perlindungan khusus dan memperoleh pelayanan; persentase kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice);
7
Tanjungpinang, fasilitas tersebut tidak disediakan. Bahkan lokasi area bebas merokok pun tidak ada. Hanya lokasi untuk bermain anak-anak saja terus dikembangkan. Saat dipertanyakan kepada pihak manajemen, mereka beralasan belum mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah. Menurut para pengusaha dan manajer tersebut bahwa sebenarnya akan sangat mendukung anjuran tersebut apabila surat dari pemerintah telah disampaikan ke pengusaha. Apalagi dari hasil pemantauan sarana menyusui seperti yang diharapkan tersebut masih belum disediakan oleh pemerintah. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa sebenarnya pihak pemerintah khususnya Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Kota Tanjungpinang belum benar-benar mensosialisasikan tentang pentingnya fasilitas untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Berdasarkan dari latar belakang diatas serta gejala-gajala yang ditemukan berkenaan dengan kesejahteraan sosial anak, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pelaksanaan Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak).
kabupaten/kota. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pelaksanaan Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak)? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pelaksanaan Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang (Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak). 2. Kegunaan Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak. b. Sebagai bahan acuan bagi peneliti berikutnya apabila memiliki permasalahan yang sama, untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya jurusan Ilmu Pemerintahan. D. Konsep Operasional Konsep operasional adalah upaya mendefinisikan atau membatasi ruang lingkup masalah penelitian sesuai dengan variabel dan indikator yang telah ditetapkan berdasarkan teori yang nantinya akan diterapkan dalam melaksanakan pengukuran di lapangan, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam menganalisa penelitian ini. Konsep-konsep tersebut
B. Perumusan Masalah Pengembangan Kota Layak Anak bertujuan untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di
8
dioperasionalkan agar hasil dari penelitian yang akan dilakukan dapat lebih mencapai tujuan, maka penulis membuat batasan pembahasan atau konsep operasional dengan konsep Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2011:99) : a. Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur. b. Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. c. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam banyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. d. Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. e. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, serta apakah elit politik mendukung
implementasi kebijakan. Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, sebagian pendapat mengatakan bahwa menurut Sugiono (2005:11) Penelitian Deskriptif adalah “Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain”. Dalam hal ini diuraikanlah hal-hal yang memerlukan suatu penjelasan ataupun gambaran yang mencari informasi yang bersifat deskriptif, selanjutnya Sugiono (2005:14) menjelaskan “Data Kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar”. F. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian Pelaksanaan Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang (Peraturan Menteri Pembremberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kota Layak Anak) adalah analisa Data Kualitatif yaitu dengan melakukan terlebih dahulu mendeskripsikan, memverifikasi, menginterpretasikan untuk kemudian
9
dianalisis sehingga memperoleh suatu kesimpulan.
2. Kebijakan Kebijakan itu merupakan rumusan suatu tindakan yang dikembangkan dan diputuskan oleh instansi atau pejabat pemerintah guna mengatasi atau mempertahankan suatu kondisi dengan memberikan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Klein dan Murphy (Syafarudin 2008:76) “Kebijakan berarti seperangkat tujuantujuan, prinsip-prinsip serta peraturanperaturan yang membimbing sesuatu organisasi, kebijakan dengan demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukan bahwa kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturanperaturan yang membimbing sesuatu organisasi. Kebijakan dengan demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi. Menurut Dwiyanto (2009:140) : “Proses politik kebijakan adalah proses melegitimasi kebijakan publik dengan menyandarkan pada proses pembahasan kebijakan di lembaga politik yang diakui sebagai representatif publik. Jika lembaga politik yang representatif dari kebijakan benar-benar menampung aspirasi publik, maka kebijakan yang direkomendasikan tidak mengalami hambatan untuk dilegitimasikan menjadi sebuah kebijakan “ Edwards III dan Sharkansky dalam Hariyoso (2002:62) mengartikan bahwa kebijakan publik adalah pernyataan pilihan tindakan pemerintah yang berupa tujuan dan program pemerintah. Sedangkan Thomas R. Dye (dalam Sumaryadi, 2005:19). berpendapat bahwa kebijaksanaan negara ialah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut
II. LANDASAN TEORI 1. Pemerintahan Ndraha (2003:7) menyatakan bahwa “Ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan setiap orang akan jasa-jasa publik dan layanan sipil dalam hubungan pemerintahan (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan”. Ilmu pemerintahan menurut Ndraha (2003:7) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Rasyid (2000:59) membagi fungsi-fungsi pemerintahan menjadi empat, yaitu: pelayanan (public service), pembangunan (development), pemberdayaan (empowering), dan pengaturan (regulation). Dari pendapat tersebut diketahui bahwa ruang lingkup dari ilmu pemerintahan itu meliputi yaitu yang diperintah, yang memerintah, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah, hubungan pemerintah, pemerintahan yang bagaimana yang dapat memenuhi kewenangan dan tanggung jawabnya, bagaimana cara membentuk pemerintah yang demikian itu, bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya. Pemerintah dalam menjalankan salah satu fungsinya adalah pengaturan, membuat sebuah aturan atau kebijakan untuk kepentingan publik.
10
Abidin (2002:75) menjelaskan Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Pada dasarnya kebijakan publik dapat berupa aturan atau ketentuan yang mengatur kehidupan masyarakat yang mana aturan-aturan tersebut disusun dalam beberapa bentuk kebijakan. “Kebijakan publik mempunyai sifat paksaan yang secara potensial sah dilakukan, sehingga kebijakan publik menuntut ketaatan atau kepatuhan yang luas dari masyarakat” (Winarno, 2007:21). Robert Eyestone (dalam Agustino, 2006:6) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Setiap tahap dalam pengambilan kebijakan harus dilaksanakan dan dengan memperhatikan sisi ketergantungan masalah satu dengan yang lainnya. Proses penetapan kebijakan atau yang sering dikenal dengan policy making process, menurut Shafrits dan Russel dalam Keban (2004:63) adalah sebagai berikut : 1. Agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, 2. Keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, 3. Tahap implementasi kebijakan,
4.
Evaluasi program dan analisa dampak, 5. Feedback yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan. Proses kebijakan diatas bila diterapkan akan menyerupai sebuah siklus tahapan penetapan kebijakan. Dengan demikian kebijakan publik adalah produk dari pemerintah maupun aparatur pemerintah yang hakekatnya berupa pilihan-pilihan yang dianggap paling baik, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi publik dengan tujuan untuk dicarikan solusi pemecahannya secara tepat, cepat dan akurat, sehingga benar adanya apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah dapat saja dipandang sebagai sebuah pilihan kebijakan. Menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003:2) menyebutkan bahwa kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Thomas R. Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009:19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai apapaun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Menurut Ramesh (2000:74), proses kebijakan terdiri atas 6 (enam) tahap: 1. Permulaan /penanaman (invensi), 2. Estimasi (perkiraan), 3. Seleksi (pemilihan), 4. Implementasi (penerapan), 5. Evaluasi (penilaian), 6. Terminasi (penyelesaian).
11
Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu). Terdapat beberapa ahli yang mendefiniskan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik. Sedangkan Ekowati (2005:78) menyebutkan bahwa kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu : 1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai, 2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
dikutip Agustino (2006:19) memberikan definisi kebijakan publik sebagai “ The autorative allocation of values for the whole society”. Definisi ini menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Secara khusus Wahab (2002:510) mengemukakan tentang ciri-ciri yang melekat pada kebijakan yaitu: a. “Kebijakan itu dirumuskan oleh orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik seperti ketua adat, ketua suku, eksekutif, legislator, hakim, administrator, monarkhi, dan sebagainya. b. Kebijakan merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan melalui tindakan-tindakan yang direncanakan secara matang. c. Kebijakan itu hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Kebijakan tidak hanya mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu tapi juga diikuti dengan keputusankeputusan yang bersangkut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya. d. Kebijakan bersangkutan dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu baik berbentuk positif atau negatif”.
Begitupun dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:1) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdayasumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. David Easton sebagaimana
12
Suatu kebijakan publik yang telah diterima dan disahkan tidaklah akan ada artinya apabila tidak dilaksanakan. Untuk itu implementasi kebijakan publik haruslah berhasil, malahan tidak hanya implementasinya saja yang berhasil, akan tetapi tujuan yang terkandung dalam kebijakan publik itu haruslah tercapai yaitu terpenuhinya kepentingan masyarakat (public inters). Dalam pembahasan pelaksanaan kebijakan banyak pembagian dalam suatu kebijakan yang akan diambil atau diterapkan, seperti Dunn (2003:22) yaitu membagi proses pembuatan Kebijakan dalam 5 (lima) tahapan yakni penyusunan agenda kegiatan kebijakan, formulasi kebijakan, aadopsi kebijakan, implemantasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
mengungkapkan implementasi sering dilihat sebagai suatu proses yang penuh dengan muatan politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha sedapat mungkin mempengaruhinya. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry (dalam Putra Fadillah, 2003:81) menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut : 1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedure/SOP), 3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan. Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (piolicymaking) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Purwanto dan Sulistyastuti (2012:64) Realitasnya, didalam implementasi itu sendiri terkandung suatu proses yang kompleks dan panjang Proses implementasi sendiri bermula sejak kebijakan ditetapkan atau memiliki payung hukum yang sah. Seorang ahli mengambarkan kompleksitas dalam upaya mewujudkan kebijakan dalam proses impementasi yaitu „‟ It refres to the process of converting financial, material, technical, and human inputs into output-goods and services „‟ Hanya setelah melalui proses yang kompleks tersebut maka akan dihasilkan apa yang disebut sebagai
3. Implementasi Kebijakan Menurut Nugroho (2012:294) menjelaskan Implementasi Kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, untuk itu ada dua langkah yang ada yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program dan melalui turunan dari kebijakan publik tersebut. Adapun kebijakan publik yang langsung operasional yaitu Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan sebagainya. Dan menurut salah satu ahli mendefinisikan kaitannya implementasi kebijakan dengan muatan politik seperti yang diungkapkan oleh Hinggis dalam Pasolong (2010:57) mendifinisikan implementasi sebagai rangkuman dari berbagai kegiatan yang didalamnya sumber daya manusia mengunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran strategi. Dan Grindle
13
policy outcomes: suatu kondisi dimana implementasi tersebut menghasilkan realisasi kegiatan yang berdampak pada tercapainya tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan sebelumnya. Dampak kebijakan yang paling nyata adalah adanya perubahan kondisi yang dirasakan oleh kelompok sasaran, yaitu dari kondisi yang satu ke kondisi yang lebih baik. Menurut Nugroho (2012:711) implementasi kebijakan dalam konteks manajemen berada dalam kerangka organizing-leadingcontrolling. Jadi, ketika kebijakan sudah dibuat, tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan untuk memimpin pelaksanaan, dan melakukan pengendalian pelaksanaan. Menurut Subarsono (2011:89) keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, menurut Rondinelli dalam Subarsono (2011:60) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Implementasi kebijakan programprogram pemerintah yang bersifat desentralisasi. Faktor-faktor tersebut diantaranya : 1. Kondisi lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup sosio cultural serta keterlibatan penerima program. 2. Hubungan Antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk ini diperlukan koordinasi dan
3.
4.
kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. Sumber daya organisasi untuk implementasi program. Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources). Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya ini akan mempengaruhi implementasi suatu program.
Untuk mengidentifikasi unsurunsur kapasitas organisasi dalam Implementasi sebelum kegiatan penyampaian berbagai keluaran kebijakan dilakukan kepada kelompok sasaran dimulai, perlu didahului dengan penyampaian informasi kepada kelompok sasaran, tujuan pemberian informasi ini adalah agar kelompok sasaran atau masyarakat memahami kebijakan yang akan diimplementasikan sehinga mereka tidak hanya akan dapat menerima berbagai program yang diinisialisasi oleh pemerintah akan tetapi berpartisipasi aktif dalam upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan. Proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, seperti dikemukakan oleh Tarwiyah (2005:11), yaitu: 1. Adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan, 2. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan dapat menerima
14
manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan, 3. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan, yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut. Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2011:99) mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni: 1. Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. 2. Sumber daya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. 3. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam banyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. 4. Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. 5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,
6.
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, serta apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Menurut Sabartier dalam Purwanto dan Sulistiatuti (2012:19) menyebutkan, setelah mereview berbagai penelitian implementasi, ada 6 (enam) variabel utama yang dianggap memberi kontribusi keberhasilan atau kegagalan implementasi. Dari 6 (enam) variabel tersebut adalah : a. Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten, b. Dukungan teori yang kuat dalam merumuskan kebijakan, c. Proses implementasi memiliki dasar hukum yang jelas sehingga menjamin terjadi kepatuhan para petugas di lapangan dan kelompok sasaran, d. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan, e. Dukungan para stakeholder, f. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu pendapat yang sangat singkat dan tegas tentang keberhasilan implementasi atau kegagalan dari implementasi kebijakan disampaikan oleh Weimer dan Vining dalam Pasolong (2010:59), setelah
15
mempelajari berbagai literatur tentang implementasi, menurut mereka ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan yaitu : a. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai berapa benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatankegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan, b. Hakekat kerjasama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerjasama telah merupakan suatu assembling produktif dan, c. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaanya.
4.
Struktur birokrasi, yaitu kebijakan yang komplek yang menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
Model Ripley dan Franklin. Menurut Ripley dan Franklin tiga cara yang dominan untuk mengetahui keberhasilan suatu implementasi seperti diungkapkan Ripley dan Franklin, dalam Amri Yousa (2007:82), yaitu : 1. Keberhasilan suatu implementasi, yang seharusnya diukur dari tingkat kepatuhan pada bagian birokrasi terhadap birokrasi superior atau dengan kata lain, dengan tingkat birokrasi pada umumnya dalam suatu mandat khusus yang diatur dalam undangundang. Persepktif kepatuhan ini semata-mata hanya membicarakan masalah-masalah perilaku birokrasi, 2. Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalahmasalah yang dihadapi, 3. Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada implementasi dan dampaknya yang dikehendaki dari semua program-program yang dikehendaki. Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud.
Sejalan dengan pendapat Edwards III (Winarno, 2007:174) menuliskan bahwa implementasi kebijakan di pengaruhi empat faktor yaitu : 1. Komunikasi, yaitu implementasi kebijakan yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan tahu apa yang dikerjakan. Pengetahuan atas yang akan dijalankan itu akan dapat terlaksana bila komunikasi berjalan dengan baik. 2. Sumber daya, yaitu sebagus apapun kebijakan, tetapi jika tidak didukung oleh sumber daya yang memadai, maka kebijakan itu tidak akan berhasil di lapangan. 3. Sikap pelaksana kebijakan, yaitu jika pelaksana kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
16
Kota Layak Anak belum sepenuhnya maksimal. Beberapa indikator yang belum maksimal itu di antaranya adalah belum tersedianya zona selamat sekolah di setiap sekolah yang ada di Kota Tanjungpinang. Selain itu, belum dilengkapinya sarana bermain anak di setiap kelurahan.
4. Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelitian Ida Ayu Tri Kusuma Ningsih (2015) tentang Implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak Pada Bidang Pendidikan Di Kota Surakarta ditemukan bahwa komitmen pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak diwujudkan dengan adanya kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak. Kota Surakarta mrupakan salah satu pilot project pengembangan Kota Layak Anak sejak tahun 2006. Namun masih banyak ditemukan permasalahan pendidikan di Kota Surakarta. Hambatan yang muncul dalam melaksanakan kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak pada bidang pendidikan di Kota Surakarta adalah sumber daya manusia yang belum memadai pada beberapa program, fasilitas yang masih terbatas pada beberapa program serta komunikasi antar pelaksana yang belum dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. Kemudian penelitian terdahulu yang dapat menjadi perbandingan adalah penelitian dari Maisyaroh (2015) tentang Implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak di Kelurahan Bantulayang Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak ditemukan bahwa pengembangan Kota Layak Anak di Kelurahan ini juga belum berjalan dengan baik karena kurangnya infrastruktur dalam pengembangan Kota Layak Anak, serta anggaran juga belum tersedia secara khusus. Jika dilihat dari penelitian terdahulu sama halnya dengan kota Tanjungpinang bahwa Fenomena yang masih terjadi adalah beberapa indikator untuk menuju Tanjungpinang sebagai
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Kondisi Anak Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang mengenai perlindungan anak ini sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan pembangunan nasional khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlindungan terhadap anak akan menjadi potensi manakala dilakukan dengan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat, kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal sebaliknya akan terjadi apabila perlindungan terhadap anak tidak dilakukan secara maksimal. Namun fokus perhatian pemerintah sebaiknya tidak hanya mengarah pada pengendalian perlindungan anak saja, melainkan juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas dan daya saing anak dimasa yang akan datang, karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus
17
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungpinang melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3AKB) Kota Tanjungpinang, menggelar Rapat Kerja (Raker) Sinkronisasi Kota Layak Anak Kota Tanjungpinang, dalam mendukung pencapaian hak-hak anak, telah dicanangkan dan dirintis sejak tahun 2011 yang lalu, oleh karena itu, melalui rapat ini diharapkan, dapat membuat program-program dalam mengembangkan kecerdasan dan potensi bagi anak-anak. Dijelaskan bahwa setiap SKPD maupun Lembaga Masyarakat saling bahu-membahu dalam membangun sarana dan prasarana yang responsif terhadap anak di Kota Tanjungpinang. Akan hal itu, kegiatan seperti ini akan dilaksanakan sebanyak 2 kali pada triwulan I dan III, dan juga diikuti sebanyak 65 orang yang terdiri dari Tim Pengembangan KLA Kota Tanjungpinang, dengan Narasumber berasal dari Deputi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
2. Jumlah Anak Jumlah anak (penduduk umur 017 tahun) di Kota Tanjungpinang tahun 2013 adalah 67.665 jiwa atau sekitar 34,35 persen dari total jumlah penduduk Kota Tanjungpinang yang sebanyak 196.980 jiwa. Dilihat dari komposisi berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak perempuan. Dari total anak keseluruhan 51,23 persennya adalah laki-laki atau terdapat sekitar 34.668 jiwa, dan 48,76 persennya adalah perempuan atau sebanyak 32.997 jiwa 3. Kondisi Anak Dunia anak-anak adalah dunia kegembiraan, kepolosan, dan kebahagiaan serta dipenuhi dengan harapan dan impian yang manis. Bila kita lihat dengan seksama, meskipun berbagai bentuk perlindungan berkaitan hak-hak anak telah disusun, yang bertujuan untuk menyamakan hak-hak anak, namun masih sangat banyak anak-anak yang tidak menerima hak asasi mereka sebagaimana yang tertera dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Bagaimanakah kondisi anak-anak Kota Tanjungpinang di tahun 2013 ini. Berdasarkan data-data yang ada, menggambarkan kondisi anak di Kota Tanjungpinang cukup menggembirakan, karena hak-hak anak yang tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 telah terpenuhi dengan baik. Beberapa hak diantaranya adalah hak atas nama sebagai identitas diri, sudah sekitar 98 persen anak di kota ini telah memiliki akte kelahiran.
IV. ANALISA DATA PEMBAHASAN
DAN
1. Standar dan sasaran kebijakan Berdasarkan hasil wawancara dengan informan maka sebenarnya kebijakan mengenai perlindungan anak sudah dirumuskan namun belum diundangkan, Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak sudah ada namun hingga saat ini belum disosialisasikan. Namun untuk mendukung pengembangan Kota Layak Anak sendiri Walikota membuat keputusan walikota nomor 14 tahun 2015 tentang tim gugus tugas
18
pembangunan Kota Layak Anak kota Tanjungpinang. Untuk memudahkan pelaksanaan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak dan memberikan acuan bagi desa/kelurahan dalam mewujudkan Desa/Kelurahan Layak Anak, diperlukan petunjuk teknis Kabupaten/Kota Layak Anak di desa/kelurahan. Petunjuk Teknis Kabupaten/Kota Layak Anak di Desa/Kelurahan adalah panduan bagi desa/kelurahan dalam mewujudkan desa/kelurahan layak anak secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan sebagai bagian dari Kabupaten/Kota Layak Anak. Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa dalam menjalankan Kota Layak Anak ini, kota Tanjungpinang tidak memiliki aturan khusus, hanya berpedoman pada peraturan menteri saja, namun untuk mendukung hal tersebut, pemerintah kota Tanjungpinang melalui keputusan walikota Tanjungpinang Nomor 14 Tahun 2015 membentuk tim gugus pengembangan Kota Layak Anak kota Tanjungpinang. Tim gugus dimaksud dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab dan membuat laporan hasil kegiatan.
pemerintahanya selama ini sebenarnya sudah sangat berperan terlihat dari perkembangan pembuatan akta kelahiran, gemar membaca untuk anak, dan pembentukan forum anak hingga sampai kecamatan. Namun hasil belum optimal karena saat ini pemerintah berjalan sendiri belum didukung penuh oleh swasta. 4. Karakteristik Agen Pelaksana Berdasarkan penelitiaan yang dilakukan berkaitan dengan dukungan yang diberikan terhadap program pemerintah yaitu pengembangan Kota Layak Anak seluruh implementor dan stakeholder umumnya sudah mengetahui tentang kebijakan ini dan sudah terdapat masalah yang ditampung dan sedang dalam pengerjaan untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai sudah memberikan dukungan dan memberikan komitmen yang tinggi terhadap kebijakan ini. 5. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisa bahwa lingkungan masyarakat sudah mendukung adanya program ini. Kota Layak Anak menjadi dambaan setiap elemen, pemerintah daerah maupun masyarakat. Oleh karena itu pemerintah mengharapkan meningkatnya dukungan dan partisipasi yang maksimal dari berbagai stakeholder agar Tanjungpinang mampu menjadi Kota Layak Anak seutuhnya seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menuju model kota madani
2. Sumber daya Sumber daya yang ada di Kota Tanjungpinang belum mendukung khususnya dalam fasilitas-fasilitas yang ada. Tersedia fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak, di luar sekolah, yang dapat diakses semua anak. 3. Hubungan Antar Organisasi Berdasarkan hasil wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa kerjasama sudah dilakukan namun hasilnya belum optimal, untuk
6. Disposisi Implementor Berdasarkan hasil wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa respon pemerintah selama ini
19
masih di nilai lamban karena pengembangan Kota Layak Anak di Kota Tanjungpinang belum berjalan sepenuhnya. Walaupun Pemerintah Kota Tanjungpinang sudah pernah memberikan bantuan sosial ke sejumlah posyandu dan taman bermain di Kota Tanjungpinang. Bantuan ini adalah sebagai wujud nyata kepedulian Pemko Tanjungpinang dalam usaha menjadikan Kota Tanjungpinang sebagai Kota Layak Anak yang bertujuan agar anak-anak merasa dilindungi dan terhindar dari segala tindak kekerasan dan pelecehan. Pemerintah Kota Tanjungpinang sudah memiliki 8 taman bermain yang ada di 8 kelurahan. Ada 18 kelurahan yang tersebar di 4 kecamatan, sehingga masih kurang 10 taman bermain lagi. Saat ini Pemko sedang berusaha untuk membangun sisanya, yaitu 10 taman bermain lagi. Dengan adanya fasilitas umum berupa taman bermain, bisa menjadi tempat untuk anak-anak bermain dan berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada tekanan
pemerintah kota Tanjungpinang masih mengacu kepada Peraturan Menteri dan Perda Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa sumber daya manusia sudah dipersiapkan oleh BP3AKB dalam membangun Kota Layak Anak. 2. Sumber daya pendukung dalam kebijakan pengembangan Kota Layak Anak ini sangat minim, dan kurang mendukung terwujudnya Kota Layak Anak. Perencanaan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) adalah salah satu upaya pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam memenuhi hak-hak anak yang juga merupakan bagian dari komunitas. 3. Hubungan antar organisasi ditemukan bahwa kerjasama sudah dilakukan namun hasilnya belum optimal, untuk pemerintahannya selama ini sebenarnya sudah sangat berperan terlihat dari perkembangan pembuatan akta kelahiran, gemar membaca untuk anak, dan pembentukan forum anak hingga sampai kecamatan. Namun hasil belum optimal karena saat ini pemerintah berjalan sendiri belum didukung penuh oleh swasta. 4. Karekteristik agen pelaksana ditemukan bahwa dukungan dan komitmen dari pegawai baik dapat disimpulkan dari jawaban informan di atas bahwa pegawai hanya memahami dan mengetahui isi dari kebijakan tersebut, tanpa adanya dukungan yang penuh dari pegawai maka
V. PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah maka dapat disimpulkan bahwa Kota Layak Anak Di Kota Tanjungpinang belum dilaksanakan dengan baik Tanjungpiang salah satunya karena belum memiliki aturan yang benarbenar fokus pada perlindungan anak khususnya dalam pengembangan Kota Layak Anak tersebut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa dimensi sebagai berikut : 1. Standar dan sasaran kebijakan implementasi Kota Layak Anak belum dirumuskan pemerintah Kota Tanjungpinang,
20
nantinya kebijakan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Masalah pengembangan Kota Layak Anak ini, bukan hanya tanggung jawab BP3AKB saja yang ikut berperan, melainkan cukup banyak aktifis dan yayasan merasa ikut andil bertanggung jawab dalam pembinaannya. 5. Lingkungan masyarakat sudah mendukung. Forum anak ini diharapkan menjadi media bagi instansi terkait, lembaga maupun individu agar memperoleh informasi yang benar dalam mewujudkan pembagunan berdasarkan perspektif anak. 6. Disposisi implementor diketahui bahwa respon pemerintah selama ini masih di nilai lamban karena pengembangan Kota Layak Anak di Kota Tanjungpinang belum berjalan sepenuhnya. Ada 18 kelurahan yang tersebar di 4 kecamatan, sehingga masih kurang 10 taman bermain lagi. Saat ini Pemerintah Kota sedang berusaha untuk membangun sisanya, yaitu 10 taman bermain lagi. Dengan adanya fasilitas umum berupa taman bermain, bisa menjadi tempat untuk anakanak bermain dan berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada tekanan.
Layak Anak sebagai turunan dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. b. Jika memang sudah ada Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak maka harus segera di sosialisasikan secara menyeluruh c. Bisa merespon lebih cepat dalam menghadapi pengembangan Kota Layak Anak agar tujuan tersebut dapat dirasakan anak-anak yang berada di Kota Tanjungpinang. 2. Untuk pihak swasta diharapkan : a. Lebih mendukung pelaksanaan pengembangan Kota Layak Anak ini dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung yang ada dalam indikator Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. b. Menyediakan fasilitas Kota Layak Anak setiap pembangunan yang akan di lakukan seperti di pusat perbelanjaan khususnya. c. Ada kerjasama yang dibangun antara pemerintah dan swasta dalam membantu mewujudkan Kota Layak Anak. 3. Untuk masyarakat diharapkan : a. Mampu menjaga fasilitas yang sudah ada guna mendukung pengembangan kota layak anak di Kota Tanjungpinang. b. Harus berperan aktif dalam memberikan saran dalam
B. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Untuk Pemerintah Kota Tanjungpinang diharapkan : a. Membuat peraturan khusus tentang pengembangan Kota
21
pengembangan Anak.
Kota
Layak
Keban, Yeremias. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta. Gava Media.
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Jakarta. Yayasan Pancur Siwah.
Labolo, Muhadam. 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep, dan Pengembangannya. Jakarta. Rajawali Pers.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung. CV Alfabetha.
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Amri. Yousa. 2007. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Laboratorium Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Administrasi Negara. Bandung. FISIP Universitas Padjajaran.
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta.
Nugroho, Riant D. 2012. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi Ujian Akhir Semesteri. Jakarta. PT.Elex Media Komputindo.
Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Analiysis. Yogyakarta. Gava Media.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung, Alfabeta.
Dunn, W William. 2000. Analisa Kebijakan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ekowati, Mas Roro Lilik. 2005. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Edisi Revisi. Bandung. PT Rosdakarya.
Purwanto, Irwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta.Gava Media.
Hariyoso, S. 2002. Pembangunan. Birokrasi dan Kebijakan Publik. Bandung. Peradaban.
Ramesh. 2000 . Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem. Oxford. Oxford University Press.
Islamy, Irfan. 2009. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Bumi Aksara.
22
Rasyid, Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta. PT. Mutiara Sumber Widya.
Dokumen : Undang-Undang Dasar Indonesia 1945
Subarsono. 2011. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Republik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Sugiono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. Alfa Beta. Pengantar Pemerintahan.
Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No 15A/HUK/2010 Tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak
Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijkan Otonomi Daerah. Jakarta. Citra Utama
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak
Soemardi. 1992. Administrasi Bandung. STKS.
Syafarudin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Internet : http://linabatamvoice.wordpress.com/20 12/02/25/perlindungan-anak-diprovinsi-kepulauan-riau-dansolusinya/ (diakses pada hari Senin, 6 April 2014, jam 21.20)
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta. Lukman. Tarwiyah Tuti. 2005. Kebijakan pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Penelitian Terdahulu : Ida Ayu Tri Kusuma Ningsih. 2014. Implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak Pada Bidang Pendidikan Di Kota Surakarta. Skripsi. UNS-F.ISIP Jur.Ilmu Administrasi-D01100612014
Thoha, Miftah. 1995. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Wahab, Solichin. 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi kedua. Jakarta. Bumi Aksara.
Maisyaroh. 2015. Implementasi kebijakan pengembangan kota layak anak di Kelurahan Bantulayang Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak. Jurnal Publika. Volume 4 Nomor 4.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Jakarta. PT. Buku Kita.
23