PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG:
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2011 - 2031
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2011 NOMOR 7
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TENGAH, Menimbang :
Mengingat
a.
bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Lombok Tengah dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; c. bahwa dengan ditetapkannya Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011-2031; : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan DaerahDaerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
2
5. Undang-Undang
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317); Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 3478); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888 )sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Repubublik Indondesia tahun 2004 Nomor 86, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) ; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1469); Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327);
3
19. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
20.
21. 22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84); Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437). Sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723.); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5025);
4
35. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373); Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373); Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3510); Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3516); Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3550); Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3800); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934 ); Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153);
5
49. Peraturan
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453 ); Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan peraturan pemerintah nomor 3 tahun 2008 (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 16, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4814); Peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 82, tambahan Negara Republik Indonesia nomor 4737) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761); Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777); Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833). Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859).
6
62. Peraturan
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 59) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5217); Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 31); Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Perlindungan Hutan, Flora dan Fauna Kabupaten Nusa Tenggara Barat; Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH dan BUPATI LOMBOK TENGAH
Menetapkan :
MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2011-2031.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Lombok Tengah. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Bupati adalah Bupati Lombok Tengah
7
4. 5.
6.
7. 8. 9.
10.
11. 12.
13.
14. 15.
16.
17.
18.
19.
20.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD, adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Lombok Tengah dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi acuan bagi penataan wilayah yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan / atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Rencana Sistem Perkotaan di wilayah Kabupaten adalah rencana susunan kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah Kabupaten yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana yang membentuk hirarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam wilayah Kabupaten. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa kabupaten. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kabupaten/kota.
8
21. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang 22.
23. 24. 25.
26.
27.
28.
29.
30. 31. 32.
33. 34.
35.
36.
37.
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kabupaten/kota. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) adalah Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang dipromosikan untuk kemudian hari dapat ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. Rencana Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten adalah rencana jaringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala kabupaten. Kawasan Lindung Kabupaten adalah kawasan yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak pada wilayah kabupaten, kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten. Lingkungan Hidup adalah Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan Negara adalah hutan yang berada atas tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Lindung adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan penyangga sistem kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya; Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya
9
38. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun 39.
40.
41. 42.
43. 44.
45. 46.
47.
48.
49. 50.
51. 52. 53. 54.
55.
perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata; Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Kawasan Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai. Kawasan Sempadan Sungai adalah kawasan di sekitar daerah aliran sungai yang berfungsi untuk melindungi sungai dari kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak bantaran, tanggul sungai, kualitas air sungai, dasar sungai, mengamankan aliran sungai dan mencegah terjadinya bahaya banjir. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk kelestarian fungsi mata air. Ruang Terbuka Hijau Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTHK adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi, dan pendidikan. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas. Kawasan Pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistimnya. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Kawasan Budidaya Kabupaten adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
10
56.
57.
58.
59.
60. 61.
62. 63. 64.
65.
66. 67.
68. 69. 70.
fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Kawasan Minapolitan adalah kawasan yang membentuk kota perikanan, yang memudahkan masyarakat untuk bisa mengembangkan perikanan, dengan kemudahan memperoleh peralatan tangkap, benih melalui unit perbenihan rakyat, pengolahan ikan, pasar ikan dan mudah mendapatkan pakan ikan, yang dikelola oleh salah satu kelompok yang dipercaya oleh pemerintah. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dankedaulatan pangan nasional Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Kawasan Peruntukan Perikanan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perikanan, baik berupa pertambakan, atau kolam dan perairan darat lainnya serta perikanan laut. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai pokok perlindungnan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan Peruntukan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Kawasan Peruntukan Pertambangan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi pertambangan. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perudang-undangan. Kawasan Peruntukan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan penghidupan. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan Cekungan Air Tanah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan termasuk bangunan di dalamnya. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai. Daerah Irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
11
71. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah ketentuan-
72.
73.
74.
75. 76.
77.
ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW kabupaten. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.
BAB II
BATAS WILAYAH DAN RUANG LINGKUP KABUPATEN Pasal 2
Batas wilayah perencanaan Kabupaten adalah : a. sebelah utara : Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur; b. sebelah selatan : Samudera Hindia; c. sebelah barat : Kabupaten Lombok Barat; dan d. sebelah timur : Kabupaten Lombok Timur. Pasal 3
(1) Luas wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah daerah dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif meliputi wilayah daratan seluas kurang lebih 120.839 (seratus dua puluh ribu delapan ratus tiga puluh Sembilan) hektar , wilayah laut sejauh 4 (empat) mil laut dari garis pantai seluas kurang lebih 67.000 (enam puluh tuju ribu) hektar, serta wilayah udara. (2) Luas wilayah perencanaan daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam 12 Kecamatan meliputi:
12
a. Kecamatan Batukliang Utara seluas kurang lebih 18.196 (delapan belas ribu b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
seratus sembilan puluh enam ) hektar; Kecamatan Batukliang seluas kurang lebih 5.037 (lima ribu tiga puluh tujuh) hektar; Kecamatan Pringgarata seluas kurang lebih 5.278 (lima ribu dua ratus tujuh puluh delapan) hektar; Kecamatan Jonggat seluas kurang lebih 7.155 (tujuh ribu seratus lima puluh lima) hektar; Kecamatan Praya Tengah seluas kurang lebih 6.592 (enam ribu lima ratus sembilan puluh dua) hektar; Kecamatan Praya seluas kurang lebih 6.126 (enam ribu seratus dua puluh enam) hektar; Kecamatan Kopang seluas kurang lebih 6.166 (enam ribu seratus enam puluh enam) hektar; Kecamatan Janapria seluas kurang lebih 6.905 (enam ribu sembilan ratus lima) hektar; Kecamatan Praya Timur seluas kurang lebih 8.257 (delapan ribu dua ratus lima puluh tujuh) hektar; Kecamatan Pujut seluas kurang lebih 23.355 (dua puluh tiga ribu tiga ratus lima puluh lima) hektar; Kecamatan Praya Barat seluas kurang lebih 15.275 (lima belas ribu dua ratus tujuh puluh lima) hektar; dan Kecamatan Praya Barat Daya seluas kurang lebih 12.497 (dua belas ribu empat ratus Sembilan puluh tujuh) hektar.
BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang
Pasal 4
Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten yang aman, nyaman, produktif dalam rangka mewujudkan Kabupaten Lombok Tengah sebagai pusat dan pintu masuk pariwisata Pulau Lombok yang didukung oleh budaya lokal, pertanian, kelautan dan perikanan dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 5
Agar tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tercapai maka perlu disusun kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten.
13
Pasal 6
Kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi : a. pengembangan dan pemantapan wilayah-wilayah yang berbasis utama pariwisata; b. pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian dan perikanan disertai pengelolaan hasil dan peningkatan peran dalam mendukung agrowisata/ekowisata; c. Pengembangan dan pemantapan kawasan pantai dan laut untuk mendukung investasi, transportasi dan penyelamatan lingkungan; d. penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan menunjang sistem pemasaran pariwisata, produksi pertanian, dan perikanan; e. pengembangan kelengkapan prasarana wilayah dan prasarana lingkungan dalam mendukung pengembangan pariwisata, sentra produksi pertanian, kelautan dan perikanan, pusat permukiman secara terpadu dan efisien; f. pemeliharaan perwujudan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup serta menetapkan mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana; g. pengembangan kawasan budidaya untuk mendukung pengembangan dan pemantapan pariwisata, sistem agropolitan dan minapolitan; h. pengembangan pemanfaatan ruang pada kawasan strategis baik untuk fungsi pengembangan wilayah maupun guna perlindungan kawasan sesuai fungsi utama kawasan; dan i. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 7
Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ditetapkan strategi penataan ruang wilayah kabupaten. Pasal 8 (1) Strategi pengembangan dan pemantapan wilayah-wilayah yang berbasis utama
pariwisata, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. mengembangkan kawasan pariwisata di Kawasan Pariwisata Kuta, Teluk Awang, Bumbang dan sekitarnya, Dusun Sade dan sekitarnya, Selong Belanak dan sekitarnya serta obyek-obyek wisata unggulan yang tersebar di Kabupaten; b. mengelola, mengembangkan dan melestarikan peninggalan sejarah/budaya; c. merevitalisasi nilai-nilai budaya, situs/cagar budaya yang bernilai historis; d. mengembangkan sektor kepariwisataan yang berlandaskan kebudayaan lokal setempat, diarahkan pada kepariwisataan berbasis masyarakat melalui pengembangan wisata perdesaan (desa wisata), wisata agro, eko wisata, wisata bahari, wisata budaya, wisata spiritual dengan penyediaan kelengkapan sarana dan prasarana daya tarik pariwisata yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan daya dukung dan pengembangan ekonomi kerakyatan; dan e. mengembangkan kawasan pesisir dan laut secara terpadu sebagai aset utama kepariwisataan, kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. f. menyediakan, memelihara dan meningkatkan aksesibilitas menuju kawasan wisata, pertanian dan perikanan
14
(2) Strategi pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, kelautan dan
(3)
(4)
(5)
(6)
perikanan disertai pengelolaan hasil dan peningkatan peran dalam mendukung agrowisata/ekowisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi: a. mengembangkan wilayah-wilayah dengan potensi unggulan pertanian dan perikanan sebagai daerah produksi; b. mengembangkan kawasan sesuai potensinya yang dihubungkan dengan pusat kegiatan untuk mendukung agropolitan dan minapolitan; c. meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang produksi; d. menekan pengurangan luasan lahan sawah beririgasi teknis; e. menetapkan kawasan pertanian lahan pangan berkelanjutan; f. mengoptimalkan pemanfaatan kawasan pertanian lahan kering; dan g. meningkatkan sarana dan prasarana pengembangan perikanan tangkap, budidaya laut dan tawar, pengolahan hasil ikan dan pemasarannya. Strategi Pengembangan dan pemantapan kawasan pantai dan laut untuk mendukung investasi, transportasi dan penyelamatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi meliputi; a. mengembangkan kawasan potensial pantai dan laut dengan tetap memperhatikan kelestarian alam; b. mengembangkan jaringan sarana dan prasarana guna mendukung investasi; c. memantapkan fungsi-fungsi kawasan pantai dan laut. Strategi penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan serta menunjang sistem pemasaran pariwisata, produksi pertanian, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi: a. menetapkan hierarki simpul-simpul pertumbuhan ekonomi wilayah terutama yang berfungsi sebagai pusat pariwisata, agropolitan dan minapolitan; b. memantapkan fungsi simpul-simpul wilayah; c. memantapkan keterkaitan antar simpul-simpul wilayah dan interaksi antara simpul wilayah dengan kawasan perdesaan sebagai hinterlandnya; d. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; dan e. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya. Strategi pengembangan kelengkapan prasarana wilayah dan prasarana lingkungan dalam mendukung pengembangan pariwisata, sentra produksi pertanian, kelautan dan perikanan, pusat permukiman secara terpadu dan efisien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e meliputi: a. mengembangkan sistem transportasi secara intermoda sampai ke pusat pelayanan pariwisata, produksi pertanian, dan perikanan; b. mendayagunakan sumber daya air dan pemeliharaan jaringan untuk pemenuhan kebutuhan air baku dan sarana dan prasarana pengairan kawasan pertanian; c. meningkatkan jumlah, mutu dan jangkauan pelayanan komunikasi serta kemudahan mendapatkannya yang diprioritaskan untuk mendukung pengembangan pariwisata dan pertanian; d. meningkatkan jaringan energi dan kelistrikan dengan memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; dan e. mengoptimalkan tingkat penanganan persampahan dan limbah guna menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih. Strategi pemeliharaan perwujudan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup serta menetapkan mitigasi dan
15
adaptasi kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f meliputi: a. melestarikan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi; b. memadukan arahan kawasan lindung nasional dan provinsi dalam kawasan lindung Kabupaten; c. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dengan luas paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah; d. menetapkan kawasan hutan dan vegetasi tutupan lahan permanen paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas DAS yang berada di wilayah Lombok Tengah; e. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; f. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana; h. mengendalikan kegiatan budidaya yang terdapat di dalam kawasan lindung melalui konversi atau rehabilitasi lahan, pembatasan kegiatan, serta pemindahan kegiatan permukiman penduduk atau kegiatan budidaya terbangun yang mengganggu, secara bertahap ke luar kawasan lindung; i. mengembalikan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup yang telah menurun; j. mengendalikan pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana; k. mengembangkan kawasan budidaya yang sesuai pada kawasan rawan bencana untuk mengurangi dampak bencana dan mengendalikan kegiatan budidaya di sekitar kawasan rawan bencana; l. memantapkan dan mengembangkan jalur-jalur evakuasi untuk mengurangi risiko gangguan dan ancaman langsung maupun tidak langsung dari terjadinya bencana; m. menyelenggarakan tindakan preventif dalam penanganan bencana alam berdasarkan siklus bencana melalui upaya mitigasi dan adaptasi bencana, pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang, tanggap darurat, pemulihan, dan pembangunan kembali pasca bencana; dan n. menetapkan alokasi ruang kawasan rawan bencana dengan mengacu pada peta rawan bencana. (7) Strategi pengembangan kawasan budidaya untuk mendukung pengembangan dan pemantapan pariwisata, sistem agropolitan dan minapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g meliputi: a. meningkatkan pengembangan pariwisata berbasis ekowisata dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, pelestarian budaya dan melibatkan peran serta masyarakat; b. mengembangkan kawasan hutan produksi guna meningkatkan produktivitas lahan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan; c. mengamankan lahan pertanian berkelanjutan dan menjaga suplai pangan; d. meningkatkan produk dan nilai tambah perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya melalui sentra pengolah hasil ikan; e. meningkatkan kawasan permukiman perkotaan secara sinergis dengan permukiman perdesaan;
16
f.
mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan; dan g. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. (8) Strategi pengembangan pemanfaatan ruang pada kawasan strategis baik untuk fungsi pengembangan wilayah maupun guna perlindungan kawasan sesuai fungsi utama kawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf h meliputi: a. meningkatkan dan memantapkan fungsi dan peran kawasan strategis pertumbuhan ekonomi; b. meningkatkan dan memantapkan fungsi dan peran kawasan strategis sosial dan budaya; dan c. meningkatkan dan memantapkan fungsi dan peran kawasan strategis perlindungan ekosistem dan lingkungan hidup. (9) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i meliputi: a. mendukung penetapan kawasan strategi nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan dengan fungsi khusus pertahanan untuk menjaga fungsi peruntukannya; c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan dengan fungsi khusus pertahanan, sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya terbangun d. turut menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan / TNI
BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten meliputi : a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. (2) Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua Pusat-pusat Kegiatan Pasal 10
Pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a meliputi: a.
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di Praya
17
b. c. d. e.
f.
g.
h.
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) terletak di Kopang, Sengkol dan Mujur. Pusat Kegiatan Lokal promosi (PKLp) terletak di Puyung, Mantang, Janapria, dan Selong Belanak. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) terletak di Teratak, Ubung, dan Pringgarata. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) terletak di Desa Barabali, Selebung, Sukadana, Pengembur, Pengengat, Selebung Rembiga dan Langko, Saba, Bakan, Bonder, Mangkung, Mekarsari, Ganti, Sukaraja, Kidang, Aik Bukak, Lantan, Tanak Beak, Aik Berik, Dasan Baru, Bebuak, Muncan, Ungga, Batu Jangkih, Pelambik, Bonjeruk, Pengenjek, Jelantik, Labulia, Sepakek, Sintung dan Bagu, dan Montong Terep. Rincian PKW, PKL, PKLp dan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, b, c dan d tercantum sebagai lampiran II.1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; dan Rincian PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf e tercantum sebagai lampiran II.2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c diatur lebih lanjut melalui rencana detail dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 11
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara.
Paragraf 1 Sistem Transportasi Darat Pasal 12
(1) Sistem jaringan transportasi darat Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a terdiri atas: a. jaringan jalan; dan b. jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). (2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. jaringan jalan arteri primer meliputi: 1. Ruas Jalan Mantang – Kopang; dan 2. Ruas Jalan Kopang- Masbagik. b. jaringan jalan kolektor primer (K-1) meliputi: 1. Ruas Jalan Kopang-Batas Kota Praya; 2. Ruas Jalan Jl. TGH Lopan (Praya); dan 3. Ruas Jalan Jl. Sudirman (Praya). c. jaringan jalan kolektor primer (K-2) meliputi: 1. Ruas Jalan Praya-Sp. Penujak; 2. Ruas Jalan Jl. Mandalika (Praya); 3. Ruas Jalan Sp. Penujak-Tanah Awu; 4. Ruas Jalan Tanah Awu-Sengkol; 5. Ruas Jalan Sengkol-Kuta;
18
6. Ruas Jalan Sulin-Sp. Penujak; 7. Ruas Jalan Kediri-Praya; 8. Ruas Jalan Jl. Gajah Mada; 9. Ruas Jalan Praya – Keruak; 10.Ruas Jalan Jl. Pejanggik; 11.Ruas Jalan Sp. Pengantap – Mt. Ajan – Kuta;dan 12.Ruas Jalan Kuta – Keruak. d. jaringan jalan kolektor primer (K-3) meliputi: 1. Ruas Jalan Mantang-Praya; 2. Ruas Jalan Wakul-Ketejer; 3. Ruas Jalan Ketejer-Jontlak; 4. Ruas Jalan Jl. Basuki Rahmat (Praya); dan 5. Ruas Jalan Mt. Ajan-Penujak. e. jaringan jalan lokal primer; f. jaringan jalan lokal sekunder; g. rencana peningkatan jaringan jalan desa ke jalan Kabupaten, jalan Kabupaten ke jalan provinsi, dan jalan provinsi ke jalan nasional diarahkan di seluruh kecamatan secara proporsional. h. rincian jaringan jalan tercantum dalam lampiran II.3 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan daerah ini. (3) Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. jalur angkutan; dan b. terminal (4) Jalur angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati: (5) terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas: a. terminal penumpang tipe B yang terletak di Kota Praya; b. terminal penumpang tipe C yang terletak di Kopang, Sengkol, dan Mujur;
Paragraf 2 Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 13
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf b terdiri atas: a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. rencana pengembangan sistem jaringan transportasi laut meliputi pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Awang di Kecamatan Pujut menjadi Pelabuhan Nasional; dan b. rencana pembangunan dermaga pelabuhan penunjang pariwisata di Kecamatan Pujut dan Praya Barat. (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas rencana pengembangan alur pelayaran dari dan ke pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
19
(4) Rincian sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.4 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 3 Sistem Transportasi Udara Pasal 14
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c terdiri atas: a. tatanan kebandarudaraan; dan b. ruang udara untuk penerbangan. (2) Tatanan kebandarudaraan di kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder yang meliputi Bandara Internasional Lombok (BIL) di Kecamatan Praya Barat (3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dalam rencana induk bandar udara. (4) Rincian sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 15
Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf cterdiri atas: a. sistem jaringan energi; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
Paragraf 4 Sistem Jaringan Energi Pasal 16
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a terdiri atas: a. pembangkit listrik; dan b. jaringan prasarana energi. (2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), terdapat di Kecamatan Pringgarata, Batukliang, dan Batukliang Utara; b. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), terdapat di Kecamatan Praya Timur, Pujut, Praya Barat Daya, Praya Barat, Pringgarata; c. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bio Energi (PLTBE), terdapat di Kecamatan Praya Barat Daya, Pringgarata;
20
d. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), terdapat di Kecamatan Praya Barat Daya, Praya Barat, Pujut, Praya Timur; e. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut (PLTGL), terdapat di Kecamatan Praya Barat Daya, Praya Barat, Pujut, Praya Timur; dan f. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL), terdapat di Kecamatan Praya Barat Daya, Praya Barat, Pujut, Praya Timur. (3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. jaringan pipa minyak dan gas bumi terdiri atas: 1. Depo gas, terdapat di Praya, Puyung, Batujai, Jontlak, Mujur, Kopang, dan Aik Darek dan pengembangan depo gas di seluruh kecamatan; 2. Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Kecamatan Batukliang dan pengembangan Stasiun Bulk Elpiji di seluruh kecamatan 3. Pengembangan pengolahan migas (kilang) di Kecamatan Pujut. b. jaringan transmisi tenaga listrik terdiri atas: 1. gardu induk, terdapat di Sengkol, Kuta; dan 2. jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yaitu menghubungkan Jerangjang dengan Sengkol; Sengkol dengan Selong; dan Sengkol dengan Kuta. (4) Rincian sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.6 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 5 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 17
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b terdiri atas: a. sistem jaringan kabel; dan b. sistem jaringan satelit. (2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf ameliputi jaringan mikro digital di Batukliang-Tampaksiring sepanjang 3 kilometer; Batukliang Utara ke masing-masing: Aik Berik 3 kilometer, Aik Bukaq 2 kilometer, Karang Sidemen 3 kilometer, Lantan 2 kilometer, Mas-mas 3 kilometer dan Setiling 93,5 kilometer; Janapria-Selebung Rembiga sepanjang 6 kilometer, KopangLendangare sepanjang 4 kilometer, Praya ke masing-masing : Mertak Tombok 6 kilometer dan Semayan 3 kilometer; Praya Barat-Banyu Urip sepanjang 3 kilometer, Praya Barat Daya ke masing-masing : Kabul 3 kilometer dan Montong Sapah 3,5 kilometer; Praya Tengah ke masing-masing : Beraim 6 kilometer, Gerantung 7 kilometer, Lajut 3 kilometer, Pejanggik 2 kilometer, dan Sasake 2,5 kilometer, Pringgarata ke masing-masing : Murbaya 2 kilometer, dan Sepakek 2,5 kilometer, Pujut ke masing-masing : Ketara 3 kilometer, Pengembur 4 kilometer, dan Prabu 2 kilometer; (3) Sistem jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Menara telekomunikasi yang tersebar diseluruh kecamatan di Kabupaten. (4) Pengembangan menara telekomunikasi diarahkan menjadi menara bersama telekomunikasi. (5) Lokasi menara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selanjutnya akan diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
21
Paragraf 6 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 18
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c terdiri atas: a. sistem wilayah sungai (WS); b. sistem cekungan air tanah (CAT); c. sistem jaringan irigasi; d. sistem jaringan air baku untuk air minum; e. sistem jaringan air minum ke kelompok pengguna; f. sistem pengendalian banjir; dan g. sistem dan pengendali erosi dan longsor. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air dengan memperhatikan arahan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air WS Lombok yang ditetapkan oleh pemerintah. (3) Sistem wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas WS Lombok yang merupakan WS Strategis Nasional. (4) Sistem jaringan sumber daya air lintas Kabupaten terdiri atas: a. saluran high level diversion (HDL) Jangkok - Babak; dan b. saluran high level diversion (HLD) Babak – Renggung – Rutus. (5) Cekungan air tanah (CAT) yang berada di Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah CAT Mataram-Selong dan CAT Tanjung-Sambelie yang merupakan CAT lintas Kabupaten/kota. (6) Sistem jaringan Irigasi yang berada pada Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. daerah Irigasi (DI) kewenangan pemerintah pusat dengan luasan di atas 3.000 (tiga ribu) hektar yang meliputi Jurang Sate Hilir, Jurang Sate Hulu, Mujur II, Batujai, Surabaya, Jurang Batu dan Pengga; dan b. daerah irigasi (DI) kewenangan pemerintah provinsi dengan luasan antara 1.000 (seribu) hektar dan 3.000 (tiga ribu) hektar yang meliputi Bisok Bokah, Gede Bongoh, Katon, Kulem, Parung, Renggung, Rutus dan Tibu Nangka; c. daerah irigasi (DI) dengan luasan dibawah 1.000 (seribu) hektar yang meliputi: 1. daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten sejumlah 50 (lima puluh) daerah irigasi seluas kurang lebih 11.610 (sebelas ribu enam ratus sepuluh) hektar; 2. saluran Irigasi Primer sepanjang kurang lebih 149.004 (seratus empat puluh sembilan ribu empat) meter di beberapa kecamatan yang meliputi Kecamatan Jonggat, Pringgarata, Batukliang, Kopang, Janapria, Praya Timur, Praya Barat, Praya Barat Daya, dan Praya; 3. saluran irigasi sekunder Kabupaten sepanjang kurang lebih 428.037 (empat ratus dua puluh delapan ribu tiga puluh tujuh) meter di beberapa kecamatan yang meliputi Kecamatan Jonggat, Pringgarata, Batukliang, Kopang, Janapria, Praya Timur, Praya Barat, Praya Barat Daya, dan Praya; dan 4. embung di Kecamatan Janapria, Praya Barat, Praya Timur, Praya, dan Praya Barat Daya. d. rencana pembangunan Bendungan Mujur di Kecamatan Praya Timur; e. rehabilitasi, pemeliharaan, dan peningkatan jaringan irigasi yang ada;
22
f. pendayagunaan potensi jaringan sumber daya air antar DAS untuk mendukung ketersediaan air baku untuk irigasi; g. pengembangan jaringan irigasi yang ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan; h. rincian rencana pengembangan sistem jaringan sumberdaya air Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II.7 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (7) Sistem jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. pembangunan dan pengembangan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) untuk memenuhi kebutuhan air terutama untuk kawasan permukiman, fasilitas umum, perdagangan, industri dan jasa, dan b. tempat penampung air di Montong Dao di Kecamatan Batukliang Utara, Tampak Siring di Batukliang, Lendang Gocek, Gerunung, Dongak Langit, Penujak, Ketare, Sengkol, Kuta, Batunyala, Dusun Jangkih, Montong Gamang, Bilepenandak, Rembitan dan Kopang. (8) Sistem jaringan air minum ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi seluruh kecamatan di Kabupaten. (9) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dengan: a. pelestarian dan pengelolaan aliran sungai secara lintas wilayah; b. mengoptimalkan fungsi kawasan lindung dan kawasan resapan air; c. normalisasi prasarana drainase sebagai pengendali bajir; dan d. pembangunan sarana dan prasarana pengendali banjur. (10) Sistem pengendalian erosi dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan: a. penyelidikan geologi teknik, analisa kestabilan lereng dan daya dukung tanah; b. pengaturan sistem drainase; c. perkuatan lereng; d. mengosongkan lereng dari kegiatan manusia; dan e. penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepat.
Paragraf 7 Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 19
(1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d terdiri atas: a. sistem jaringan persampahan; b. sistem jaringan air minum; c. sistem jaringan drainase; d. sistem jaringan sanitasi dan pengelolaan limbah; dan e. jalur evakuasi bencana; (2) Sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. sistem pengangkutan sampah dari rumah tangga sampai ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); b. tempat penampungan sementara (TPS) tersebar di seluruh kecamatan; c. tempat pemrosesan akhir (TPA) terletak di Desa Lajut Kecamatan Praya Tengah;
23
d. pengembangan lokasi TPA diarahkan di Desa Kabul Kecamatan Praya Barat Daya dan atau di Desa Pengengat Kecamatan Pujut; e. pengembangan TPA dilakukan dengan sistem sanitary landfill; dan f. Pengembangan prasarana dan sarana persampahan dilakukan dengan peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha, penerapan tekonologi tepat guna yang ramah lingkungan, serta penerapan konsep 3R (Recycle, Reduce, dan Reuse).\ (3) sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Aik Bone, Benang Stokel, Tibu Nangklok I, Tibu Nangklok II di Kecamatan Batukliang Utara; b. Nyeredep di Kecamatan Kopang; c. Water Treament Plant (WTP) Penujak di Kecamatan Praya Barat; dan d. Rencnana pengembangan WTP Dam Pengga dan Dam Mujur. (4) sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi drainase perkotaan di Kota Praya, masing – masing Ibu Kota Kecamatan. (5) sistem jaringan sanitasi dan pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. penerapan teknologi tepat guna dalam pengolahan air limbah dengan peran aktif masyarakat dan swasta, sehingga air limbah yang dihasilkan dapat dikelola secara mandiri tanpa mencemari lingkungan; dan b. pengembangan instalasi pengolahan kecil/terbatas/tertentu pada sumbersumber limbah terutama yang berada di sekitar Bandar Udara, Kawasan Pariwisata dan Kawasan Perkotaan untuk mengurangi jumlah limbah yang harus dibuang. c. pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. (6) jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi : a. memanfaatkan daerah/kawasan yang berada disekitar lokasi rawan bencana dengan topografi yang lebih tinggi dari lokasi rawan bencana; b. memanfaatkan bangunan publik sebagai posko – posko evakuasi bencana meliputi : lapangan umum, Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan/Desa, maupun ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau; c. evakuasi diarahkan ke utara (menjauhi kawasan pesisir untuk kawasan rawan abrasi pantai dan gelombang pasang); dan d. Pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) bencana.
BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 20
(1) Rencana pola ruang wilayah Kabupaten meliputi: a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana
24
tercantum dalam Lampiran I.2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 21
(1) Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya meliputi kawasan resapan air. c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya; dan e. kawasan rawan bencana alam. (2) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas 9.596,85 (sembilan ribu lima ratus sembilan puluh enam koma delapan puluh lima) hektar yang terdiri dari: a. Kelompok Hutan Gunung Rinjani (RTK.1) seluas 8.082,41 (delapan ribu delapan puluh dua koma empat puluh satu) hektar di Kecamatan Batukliang Utara dan Pringgarata. b. Kelompok Hutan Mareje Bonga (RTK.13) seluas 727,44 (tujuh ratus dua puluh tujuh koma empat puluh empat) hektar di Kecamatan Pujut dan Praya Barat Daya c. Kelompok Hutan Gunung Pepe (RTK.13) seluas kurang lebih 404 (empat ratus empat) hektar di Kecamatan Pujut; dan d. Kelompok Hutan Pelangan (RTK.7) seluas 383 (tiga ratus delapan puluh tiga) hektar di Kecamatan Praya Barat Daya. (3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan resapan air yang secara khusus diarahkan pada kawasan Gunung Rinjani dan sekitarnya. (4) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Kawasan Sempadan Pantai membentang dari timur ke barat mulai dari Pantai Ujung Kelor di Teluk Awang yang berbatasan dengan Lombok Timur sampai Pantai Pengantap di Lombok Barat yang meliputi : Pantai Teluk Awang di Kecamatan Praya Timur, Pantai Teluk Bumbang, Pantai Gerupuk, Pantai Aan, Pantai Bunut, Pantai Seger, Pantai Mawun, di Kecamatan Pujut; Pantai Selong Belanak, Pantai Tomang-Omang, Pantai Tampah, Pantai Mawi, dan Pantai Rowok Pantai Serangan di Kecamatan Praya Barat; dan Pantai Torok Aik Belek di Kecamatan Praya Barat Daya sepanjang tepian pantai sejauh 35-250 (tiga puluh lima sampai dengan dua ratus lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi secara proporsional sesuai dengan bentuk, letak, kebutuhan ekonomi dan budaya dan kondisi fisik pantai. b. Penetapan batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud huruf a mengikuti ketentuan: a. perlindungan terhadap dampak perubahan iklim, gempa dan/atau tsunami; b. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi, dan dampak-dampak perubahan iklim;
25
c.
c. d.
e. f.
g.
h. i.
perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; e. pengaturan akses publik; dan f. pengaturan untuk saluran air dan limbah. Kawasan sempadan sungai diarahkan pada sungai yang terdapat di Kabupaten; Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud huruf c meliputi : 1. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan minimal 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul; 2. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan minimal 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul; 3. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan; a. pada sungai besar (sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 (lima ratus) km² atau lebih ) minimal 100 (seratus) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. b. pada sungai kecil (yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kurang dari 500 (lima ratus) km2) minimal 50 (lima puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. 4. sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan a. pada sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 2 (dua) meter, garis sempadan sungai minimal 10 (sepuluh) meter dihintung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. b. pada sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 2 (dua) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan sungai ditetapkan minimal 15 (lima belas) meter dihintung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. c. pada sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter, garis sempadan sungai ditetapkan minimal 30 (tiga puluh) meter dihintung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. 5. penetapan garis sempadan sungai pada sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan perkotaan dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan; 6. garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan kontruksi dan penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan sungai. 7. untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan minimal 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau. Pengaturan sempadan kawasan perlindungan setempat ditetapkan dengan Peraturan Bupati Kawasan sekitar waduk atau danau mencakup Waduk Batujai yang berlokasi di sebagian Kecamatan Praya, Praya Tengah dan Praya Barat serta Waduk Pengga yang terdapat di Kecamatan Praya Barat Daya; Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud huruf f meliputi daerah sekitar danau atau waduk dengan lebar 50-100 (lima puluh sampai dengan seratus) meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. Kawasan sekitar mata air di 121 (seratus dua puluh satu) buah mata air yang tersebar di wilayah Kabupaten. Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud huruf h meliputi kawasan minimal 200 (dua ratus) meter di sekitar mata air.
26
j. Kawasan perlindungan setempat lainnya diarahkan pada ruas jalan yang menghubungkan Sulin-Bandara Internasional Lombok (BIL) yaitu : 1. Ruas jalan no. 032 Sp. Penujak-Tanak Awu; dan 2. Ruas jalan no. 037 Sulin-Sp. Penujak, dengan ketentuan: a. Sempadan bangunan sejauh 30 (tiga puluh) meter dari meridian jalan atau 24 (dua puluh empat) meter dari as jalan; dan b. Sempadan pagar sejauh 12,5 (dua belas koma lima) meter dari as jalan atau 2,5 (dua koma lima) meter dari pinggir saluran drainase jalan. (5) Kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri dari beberapa kawasan yang terdiri atas: a. Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) yang terdapat di Kabupaten seluas 3080,69 (tiga ribu delapan puluh koma enam puluh sembilan) hektar yang terdiri dari: 1. Kelompok TWA Tanjung Tampa dengan luas 931,40 (sembilan ratus tiga puluh satu koma empat puluh) hektar yang meliputi hutan Gunung Meresek (RTK.18) seluas 62,70 (enam puluh dua koma tujuh puluh) hektar, Hutan Pantai Terawas (RTK.19) seluas 35,90 (tiga puluh lima koma sembilan puluh) hektar, Gunung Glepak Balen Kenculit (RTK.20) seluas 149,20 (seratus empat puluh sembilan koma dua puluh) hektar, Gunung Margejek (RTK.21) seluas 87 (delapan puluh tujuh) hektar di Kecamatan Praya Barat, Gunung Pengolon (RTK.22) seluas 132,60 (seratus tiga puluh dua koma enam puluh) hektar, dan Gunung Prabu Dundang (RTK.23) seluas 464 (empat ratus enam puluh empat) hektar di Kecamatan Pujut; dan 2. TWA Gunung Tunak meliputi kelompok hutan Gunung Tunak (RTK.24) seluas 1.217,89 (seribu dua ratus tujuh belas koma delapan puluh sembilan) hektar. b. Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) terdapat pada kelompok hutan gunung rinjani (RTK.1) seluas 329.29 (tiga ratus dua puluh sembilan koma dua puluh sembilan) hektar c. Kawasan Taman Nasional meliputi kawasan Gunung Rinjani (RTK.1) seluas 3.675 (tiga ribu enam ratus tujuh puluh lima) hektar yang terletak di Kecamatan Batukliang Utara dan Kecamatan Kopang; d. Cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang terdapat di Kabupaten meliputi: 1. Makam Serewe, Makam Rangga Tapon, dan Makam Pejanggik di Kecamatan Praya Tengah; Makam Nyatoq, Makam Baloq Tui, Makam Betare Guru, Makam Tirangge, Makam Kayangan, Makam Sile Dendeng, dan Makam Sempane di Kecamatan Pujut; Makam Bila Tawah, Makam Langko, dan Makam Patih Raja Langko di Kecamatan Janapria; Makam Ketaq (Datok Lopan), Makam Istana, dan Makam Subaikah/Sumbik di Kecamatan Kopang; Makam Datu Benue di Kecamatan Batukliang; Makam Embung Puntiq, Kemalik Lebe Sane, Kemalik Dusun Matek Maling dan Makam Raja Marong di Kecamatan Praya Timur; Makam Lamak Sura, Makam Tuan Guru Bangkol, Makam Tuan Guru Makmun dan Makam Tiwu Asem di Kecamatan Praya; Makam Peresak, Makam Sekunyit dan Makam Semelong di Kecamatan Praya Barat; Makam Raden Mustira, Makam Merebat, Makam datu kerekok, Makam Keliang, dan Makam Salam di Kecamatan Praya Barat Daya. 2. Situs Batu Rijang, dan Situs Gunung Sawung di Kecamatan Praya Barat; Situs Gua Saong, dan Situs Goang Gue di Kecamatan Praya Barat Daya; Situs Gua Saong Batu di Kecamatan Pujut, Situs Memelak di Kecamatan Praya; 3. Masjid Jami’ Praya di Kecamatan Praya; Masjid Kuno Gunung Pujut dan Masjid Kuno Rambitan di Kecamatan Pujut;
27
4. Dusun Tradisional Sade dan Dusun Tradisional Nde di Kecamatan Pujut, dan; 5. Kawasan perkantoran antara Masjid Jami’ Praya dan Rumah Jabatan Bupati. e. Kawasan Konservasi Perairan meliputi: 1. kawasan konservasi laut daerah (KLD) diarahkan di Teluk Bumbang Kecamatan Pujut; dan 2. kawasan mangrove terletak di Kecamatan Praya Timur meliputi Desa Bilelando dan Kidang, Kecamatan Pujut meliputi Desa mertak dan Sengkol, serta Kecamatan Praya Barat di Desa Selong Belanak . (6) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e di Kabupaten meliputi: a. Kawasan rawan bencana gunung berapi di Kecamatan Batukliang dan Kecamatan Kopang; b. Kawasan rawan banjir meliputi kawasan sekitar sungai besar melewati Kecamatan Batukliang Utara dan Kopang; c. Kawasan rawan gempa bumi mencakup seluruh wilayah kecamatan; d. Kawasan rawan gerakan tanah dan longsor mencakup Kecamatan Batukliang Utara, Kecamatan Jonggat, Kecamatan Praya Barat Daya, Kecamatan Praya Barat, Kecamatan Pujut, Kecamatan Pringgarata dan Kecamatan Kopang; dan e. Kawasan rawan gelombang pasang mencakup daerah sepanjang pesisir pantai selatan Pulau Lombok yang ada di wilayah Kabupaten yaitu Kecamatan Praya Barat Daya, Praya Barat, Pujut dan Praya Timur. (7) Rincian sebaran dan luasan Kawasan Lindung sebagaima dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) tercantum sebagai lampiran II.8 yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 22
Bahwa kawasan hutan di Kabupaten dikelola dalam bentuk KPH (kesatuan pengelolaan hutan) Lindung Seluas 17.781,01 (tujuh belas ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma nol satu) hektar, penyebarannya terletak di KPHL Mareje-Aik Bukak yang terdiri dari: a. Kel. Hutan pelangan (RTK.7) seluas 383 (tiga ratus delapan puluh tiga)hektar; b. Kel. Hutan Mareje Bonga (RTK.13) seluas 5.311,31 (lima ribu tiga ratus sebelas koma tiga puluh satu) hektar; dan c. Kel Hutan Rinjani (RTK.1) seluas 12.086,7 (dua belas ribu delapan puluh enam koma tujuh) hektar. Pasal 23
(1) Rencana pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan rehabilitasi dan pemulihan hutan yang termasuk di dalam kriteria kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat digunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya yang dapat diambil hasil hutan non-kayu; b. membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa mencintai alam, serta pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan pengembangan kecintaan terhadap alam; c. percepatan rehabilitasi dan pemulihan hutan pada fungsi hutan lindung dengan tanaman endemik dan atau tanaman unggulan lokal sesuai dengan fungsi lindung;
28
d. pelestarian ekosistem yang merupakan ciri khas kawasan melalui tindakan pencegahan perusakan dan upaya pengembalian pada rona awal sesuai ekosistem yang pernah ada; e. peningkatan kualitas lingkungan sekitar taman nasional dan taman wisata alam laut melalui upaya pencegahan kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran; f. pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa; atau budidaya hijauan makanan ternak; g. pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung melalui kegiatan usaha: pemanfaatan jasa aliran air; pemanfaatan air; wisata alam; perlindungan keanekaragaman hayati; penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; h. pengusahaan pariwisata alam taman nasional bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan, kekhasan, keindahan alam dan/atau keindahan jenis atau keanekaragaman jenis satwa liar dan/atau jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan taman nasionaldan taman wisata alam laut; i. pengawasan dan pemantauan untuk pelestarian kawasan konservasi dan hutan lindung; dan j. perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan. (2) Rencana pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara: a. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui pengembangan vegetasi yang mampu memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air ke dalam tanah; dan b. percepatan rehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan. (3) Rencana Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf c terdiri dari a. rencana pengelolaan kawasan sempadan pantai meliputi: 1. perlindungan kawasan sempadan pantai dengan tidak mengalih fungsi lindung yang dapat menyebabkan kerusakan kualitas pantai; 2. pada sempadan pantai dan sebagian kawasan pantai yang merupakan pesisir terdapat ekosistem bakau, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria harus dilindungi dari kerusakan; 3. penghijauan (reboisasi) terhadap hutan bakau yang telah rusak dan mempertahankan keberadaannya; 4. pengembangan pada kawasan sepanjang pantai perlu dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang kawasan pesisir; 5. menjaga kelestarian kawasan lindung setempat (pesisir) untuk menunjang kelestarian kawasan pantai; 6. bangunan yang memanfaatkan kawasan pantai diusahakan diusahakan diletakkan diluar di luar sempadan pantai, kecuali bangunan yang harus ada di sempadan pantai seperti: dermaga dan tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; dan 7. menjadikan kawasan sempadan pantai sebagai obyek penelitian. b. rencana pengelolaan sempadan pantai ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundangan di bidang kelautan dan perikanan c. rencana pengelolaan sempadan sungai meliputi:
29
1. pengaturan erositas dan pemeliharaan hutan; 2. pengaturan tanah pertanian, sehingga tidak merambah kawasan hutan lindung; 3. pengembangan dan peningkatan jaringan irigasi sebagai upaya menjamin terjaganya daya dukung pangan; 4. pengembangan drainase; dan 5. pengembangan sarana dan prasarana pengembangan sumber daya air (pengendalian banjir, pengendalian sedimen, pengembangan suplai air bersih perkotaan, pencegahan pencemaran, peningkatan kualitas air baku). d. rencana pengelolaan sekitar waduk atau danau meliputi: 1. perlindungan sekitar danau untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air; 2. pengembangan tanaman perdu dan penutup tanah atau ground cover untuk melindungi pencemaran dan erosi terhadap air; dan 3. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi. e. rencana pengelolaan kawasan sekitar mata air meliputi: 1. perlindungan sekitar mata air untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air; 2. pembuatan sistem saluran untuk dimanfaatkan sebagai sumber air minum atau irigasi; 3. pengembangan tanaman perdu, tanaman tegakan tinggi, dan penutup tanah atau ground cover untuk melindungi pencemaran dan erosi terhadap air; dan 4. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air. f. rencana pengelolaan kawasan perlindungan setempat lainnya dilakukan dengan memperhatikan fungsi utama kawasan tersebut. (4) rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf d dilakukan secara kolaborasi yang meliputi: a. penataan kawasan hutan dalam rangka pemeliharaan batas; b. penataan zonasi; c. penyusunan rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam; d. pembinaan daya dukung kawasan, antara lain inventarisasi/monitoring flora fauna dan ekosistem, pembinaan dan monitoring populasi dan habitatnya; e. rehabilitasi kawasan di luar areal kawasan cagar alam; f. pemanfaatan kawasan, meliputi: 1. pariwisata alam dan jasa lingkungan (studi potensi dan obyek wisata alam dan jasa lingkungan serta perencanaan aktivitas pariwisata alam); dan 2. pendidikan bina cinta alam dan interpretasi (menyusun program interpretasi). g. penelitian dan pengembangan, meliputi: 1. pengembangan program dan penelitian flora, fauna dan ekosistemnya; dan 2. identifikasi/inventarisasi sosial budaya masyarakat. h. perlindungan dan pengamanan potensi kawasan, meliputi: 1. penguatan pelaksanaan perlindungan dan pengamanan; dan 2. penguatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. i. pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung pengelolaan kawasan pelestarian alam, meliputi pendidikan dan pelatihan terhadap petugas dan masyarakat setempat;
30
j.
pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi, meliputi sarana pengelolaan dan saran pemanfaatan; dan k. pembinaan partisipasi masyarakat, meliputi program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat. (5) rencana pengelolaan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf d terdiri dari : a. perlindungan kekayaan budaya berupa peninggalan-peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, monumen nasional, dan keragaman bentuk geologi; dan b. pengembangan kegiatan konservasi dan rehabilitasi yang berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia. (6) Rencana pengelolaan kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e terdiri dari: a. rencana pengelolaan kawasan rawan bencana gunung berapi meliputi: 1. penetapan zona bahaya Penetapan zona bahaya dan zona aman sebagai dasar wilayah pemanfaatan baik untuk pariwisata maupun budidaya yang lain; 2. pada zona bahaya tidak diarahkan untuk dilakukan kegiatan budidaya seperti kegiatan permukiman dan kegiatan lainnya yang dapat mengancam keselamatan kecuali kegiatan yang mendukung langsung perencanaan/pengawasan/pengendalian kejadian bencana gempa bumi; 3. pengelolaan kawasan rawan bencana gunung berapi juga menyangkut pelatihan kepada masyarakat di sekitar kawasan rawan bencana untuk mengetahui tanda-tanda alam terjadinya letusan; dan 4. strategi mitigasi yang dilakukan adalah mencegah dan menghindari yang dekat dengan lereng-lereng gunung berapi digunakan untuk aktivitas penting, penghindaran terhadap kemungkinan kanal-kanal aliran lava, pengembangan bangunan yang tahan api dan rekayasa bangunan untuk menahan beban tambahan endapan abu. b. rencana pengelolaan kawasan rawan banjir meliputi: 1. pelestarian dan pengelolaan aliran sungai secara lintas wilayah; 2. pembuatan tanggul/embung/bendung/kawasan resapan/saluran pembuang khusus/bangunan air lain pada kawasan-kawasan aliran sungai ataupun yang terkena dampak dengan prioritas pada kawasan rawan banjir dan upaya pengurangan/pengendalian debit air pada kondisi tertentu yang mengkhawatirkan; 3. mengoptimalkan fungsi kawasan lindung dan kawasan resapan air; 4. mengoptimalkan sempadan-sempadan sungai, dan saluran yang ada sesuai fungsinya secara bertahap guna kesinambungan hasil penanganan banjir yang optimal; 5. penyiapan kawasan aman sebagai tempat pengungsian dan evakuasi warga; 6. normalisasi prasarana drainase sebagai pengendali banjir; 7. melakukan eliminasi terhadap faktor-faktor yang menghalangi pengaliran air permukaan; 8. melakukan koordinasi untuk pengelolaan dan pengembangan drainase dengan wilayah lain; dan 9. membuat saluran pembuangan yang terkoneksi dengan baik pada jaringan primer, sekunder maupun tersier, serta tidak menyatukan fungsi irigasi untuk drainase, dengan melakukan koordinasi dan sinkronisasi program dan hasil antara Pemerintah Provinsi dan Daerah dalam penanganan dan
31
pengendalian bencana banjir, serta menyusun review masterplan penanganan dan pengendalian banjir secara terpadu baik menyangkut sarana maupun prasarananya. c. rencana pengelolaan kawasan rawan gempa bumi meliputi: 1. memetakan arah patahan dengan lebih teliti, khususnya di suatu daerah yang ada indikasi patahan; 2. menghindari membangun bangunan tidak memotong atau dibangun di atas jalur patahan; dan 3. mewajibkan merekonstruksi bangunan gedung dengan bangunan yang tahan gempa, dan dibuat dari bahan yang ringan pada lokasi yang teridentifikasi rawan patahan melalui perijinan yang berlaku dan diawasi oleh instansi terkait di Pemerintah Daerah. d. rencana pengelolaan kawasan rawan gerakan tanah dan longsor meliputi: 1. melakukan rekayasa teknik bangunan untuk memperkecil resiko akibat getaran, dengan memperkuat struktur bangunan pada kawasan kawasan rawan dimaksud; 2. memindahkan penduduk pada areal rawan longsor, pada daerah di bawah tebing terjal (kemiringan >40%), jika terjadi tanda-tanda akan terjadi longsor; 3. membatasi perkembangan penduduk pada kawasan rawan terutama pada wilayah dengan kemiringan 40% yang diketahui dapat mengakibatkan bahaya longsor; dan 4. stabilitasi lereng melalui pola terasiring dan reboisasi dengan tanaman keras. e. rencana pengelolaan kawasan rawan gelombang pasang meliputi: 1. pemeliharaan dan penanaman mangrove di sekitar pantai secara berkala; 2. pengendalian pemanfaatan lahan di sempadan pantai; dan 3. pemeliharaan saluran drainase yang menuju ke laut. Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 24
(1) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; h. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; dan i. kawasan peruntukan lainnya. (2) Rencana pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf i diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 25
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a merupakan kawasan hutan produksi tetap yang terdapat di kelompok
32
Hutan Mareje Bonga (RTK 13) seluas 4.583,87 (empat ribu delapan ratus delapan puluh sembilan) hektar di Kecamatan Pujut, Praya Barat dan Praya Barat Daya. (2) Pengelolaan Hutan Produksi Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagai berikut : a. pengelolaan budidaya hutan, hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang ditujukan untuk kesinambungan produksi dengan memperhatikan kualitas lingkungan melalui pencegahan kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah, mempertahankan bentang alam serta menjaga ketersediaan air; b. pengembangan kegiatan budidaya hutan yang dapat mendorong terwujudnya kegiatan industri pengolahan hasil hutan, dengan pengembangan jenis tanaman hutan industri melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR), Hutan Adat, Restorasi Ekosistem (RE) dan program lainnya; c. Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu; d. Penggunaan kawasan hutan untuk budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa, budidaya sarang burung walet serta silvo pastura e. penggunaan kawasan hutan produksi untuk kegiatan di luar budidaya hutan dan hasil hutan yang penggunaannya untuk kepentingan umum dan bersifat strategis, dilakukan dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air serta mempertimbangkan luas dan jangka waktu; dan f. percepatan rehabilitasi kawasan hutan produksi yang mempunyai tingkat kerapatan tegakan rendah. Pasal 26
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b terdiri atas : a. kawasan pertanian tanaman pangan; b. tanaman hortikultura; c. Perkebunan; dan d. peternakan. (2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 53.453 (lima puluh tiga ribu empat ratus lima pulu tiga) hektar yang terdiri atas : a. irigasi teknis seluas kurang lebih 24.282 (dua puluh empat ribu dua ratus delapan puluh dua) hektar; b. irigasi setengah teknis seluas kurang lebih 14.666 (empat belas ribu enam ratus enam puluh enam) hektar; c. irigasi sederhana PU seluas kurang lebih 3.115 (tiga ribu seratus lima belas) hektar; d. irigasi non PU seluas kurang lebih 40 (empat puluh) hektar; dan e. tadah hujan seluas kurang lebih 11.350 (sebelas ribu tiga ratus lima puluh) hektar. (3) Kawasan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di seluruh kecamatan dengan tanaman unggulan mangga, manggis, durian, sawo, rambutan, semangka dan melon dengan luas kurang lebih 20.280 (dua puluh ribu dua ratus delapan puluh) hektar; (4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebar di seluruh kecamatan dengan tanaman unggulan kelapa, kopi, jambu mete, jarak
33
pagar serta tembakau dengan luas wilayah kurang lebih 40.970 (empat puluh ribu sembilan ratus tujuh puluh) hektar; (5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di seluruh kecamatan dengan komoditi unggulan sapi; (6) Penetapan kawasan peruntukan lahan pertanian sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati; (7) Rincian dan lokasi peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai lampiran II.9 yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 27
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c meliputi: a. perikanan tangkap; b. perikanan budidaya; dan c. pengolahan hasil perikanan. (2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. potensi perikanan tangkap di laut yang memanfaatkan potensi perairan di sepanjang pantai Kecamatan Praya Barat Daya, Kecamatan Praya Barat, Kecamatan Pujut dan Kecamatan Praya Timur sejauh 4 (empat) mil laut dari garis pantai dengan tetap memperhatikan zona kawasan lindung serta zona kawasan pariwisata; b. potensi perikanan tangkap di perairan umum yang memanfaatkan potensi waduk, sungai dan embung tersebar di seluruh kecamatan seluas kurang lebih 4.203 (empat ribu dua ratus tiga) hektar. (3) Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. potensi perikanan budidaya air tawar terletak di seluruh kecamatan seluas kurang lebih 8.819 (delapan ribu delapan ratus sembilan belas) hektar terdiri dari kolam, mina padi dan karamba; dan b. potensi perikanan budidaya air payau seluas kurang lebih 900 (sembilan ratus) hektar terletak di Kecamatan Praya Timur meliputi Desa Bilelando dan Desa Kidang, Kecamatan Praya Barat meliputi Desa Mekar Sari dan Desa Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat Daya meliputi Desa Montong Ajan dan Kecamatan Pujut meliputi Desa Teruai, Desa Bangkat, Desa Pengengat dan Desa Mertak dengan tetap memperhatikan zona kawasan lindung serta zona kawasan pariwisata. c. potensi perikanan budidaya laut seluas kurang lebih 2.620 (dua ribu enam ratus dua puluh) hektar terletak Kecamatan Praya Timur, Kecamatan Praya Barat, Kecamatan Praya Barat Daya dan Kecamatan Pujut terdiri dari budidaya rumput laut, budidaya mutiara, budidaya kerang darah, budidaya teripang dan budidaya ikan; d. balai benih ikan (BBI) teletak di kelurahan Gerunung Kecamatan Praya, Desa Pemepek Kecamatan Pringgarata, Desa Aik Bukak Kecamatan Batukliang Utara dan Desa Bonjeruk Kecamatan Jonggat; dan e. unit pembenihan rakyat (UPR) tersebar di Kecamatan Batukliang Utara, Kecamatan Batukliang, Kecamatan Kopang, Kecamatan Pringgarata, Kecamatan Jonggat dan Kecamatan Praya. (4) Kawasan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. kawasan pengolahan hasil perikanan skala mikro dan kecil tersebar di seluruh kecamatan;
34
b. kawasan pengolahan hasil perikanan skala menengah dan besar diarahkan di kawasan minapolitan Gerupuk dan Awang di Kecamatan Pujut; c. kawasan pemasaran hasil perikanan teridiri atas pasar ikan yang tersebar di pasar tradisional yang terdapat di seluruh kecamatan; d. tempat pelelangan ikan (TPI) terletak di Desa Mertak Kecamatan Pujut; e. pengembangan tempat pelelangan ikan (TPI) diarahkan di Kecamatan Praya Barat Daya, Praya Barat, Pujut dan Praya Timur. f. pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Awang terletak di Desa Mertak Kecamatan Pujut. (5) Rincian dan lokasi peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai lampiran II.10 yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 28
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf d terdiri atas mineral bukan logam dan batuan. (2) Potensi pertambangan mineral logam, mineral bukan logam dan batuan di Kabupaten tersebar di sebagian Kecamatan Praya Barat Daya, sebagian Kecamatan Praya Barat, sebagian Kecamatan Pujut dan sebagian Kecamatan Praya Timur; (3) Pertambangan mineral bukan logam dan batuan eksisting sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebar di sebagian Kecamatan Praya Barat, sebagian Kecamatan Pujut, sebagian Kecamatan Praya Timur, sebagian Kecamatan Praya Barat Daya, sebagian Kecamatan Batukliang Utara, sebagian Kecamatan Pringgarata dan sebagian Kecamatan Kopang; (4) Pertambangan mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah ditetapkannya Wilayah Pertambangan (WP) berdasarkan usulan penetapan WP; (5) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan Bupati kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan pertimbangan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) kabupaten; (6) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk mineral bukan logam dan batuan disusun melalui kajian dengan mematuhi ketentuan peraturan perundangan dan harus berada di luar kawasan lindung, kawasan permukiman, kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan kawasan pariwisata sampai batas tidak adanya dampak negatif secara teknis, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan; (7) Ijin pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang telah diterbitkan dan masih berlaku, tetap diakui sampai masa berlakunya habis dan perpanjangannya menyesuaikan dengan ketentuan peraturan daerah ini; dan (8) Tata cara dan mekanisme penyusunan usulan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 29
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf e terdiri atas kawasan industri mikro, kecil, menengah dan besar. (2) Kawasan industri mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi kawasan agroindustri dan kerajinan rumah tangga yang terdapat di seluruh kecamatan (3) Pengembangan Kawasan industri menengah dan besar diarahkan di Kecamatan Praya Tengah, Kecamatan Praya Timur, Kecamatan Pujut dan Kecamatan Janapria. Pasal 30
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf f meliputi :
35
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
a. kawasan objek wisata alam; b. kawasan objek wisata sejarah; c. kawasan objek wisata budaya; dan d. kawasan objek wisata buatan. Kawasan objek wisata alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi wisata alam hutan dan/perairan pedalaman di Kecamatan Batukliang Utara, Pujut, dan Praya Barat; wisata alam bahari di Kecamatan Pujut, Praya Barat dan dan Praya Barat Daya; dan wisata alam geologi dan/ vulkanologi di Kecamatan Batukliang Utara, Kopang, Pujut dan Praya Barat; Kawasan objek wisata sejarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi perkampungan tradisional di Kecamatan Pujut, masjid kuno di Kecamaan Pujut dan makam bersejarah di Kecamatan Kopang, Praya Tengah, Pujut; Janapria, Batukliang, Praya Timur, dan Praya. Kawasan objek wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi kerajinan gerabah di Kecamatan Praya Barat, kerajinan tenun di Kecamatan Jonggat dan kerajinan anyaman di Kecamatan Praya Timur dan Janapria; Kawasan objek wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d meliputi festival khusus yang tersebar di seluruh kecamatan dan wisata agro di Kecamatan Batukliang Utara. Rincian Kawasan objek wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II.11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf g meliputi permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan yang tersebar di seluruh kecamatan. (2) Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada daerah datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0% 25%, bukan kawasan lindung, bukan kawasan rawan bencana, aksesibilitas baik dan tersedia air bersih yang cukup. (3) Kawasan permukiman skala besar diarahkan di Kawasan Perkotaan Praya dan sekitarnya. Pasal 32
Kawasan peruntukan jasa dan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf h skala Kabupaten diarahkan di Kawasan Perkotaan Praya dan skala kecamatan diarahkan di masing-masing ibukota kecamatan. Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf i terdiri atas : a. kawasan pusat pemerintahan; b. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. kawasan pertahanan dan keamanan negara. (2) Kawasan pusat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diarahkan di Kawasan Perkotaan Praya. (3) Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdapat di Kecamatan Praya Barat, Kecamatan Praya Timur dan Kecamatan Pujut. (4) Rincian pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam lampiran II.12 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
36
(5) Kawasan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. kodim Lombok Tengah di Kecamatan Praya; b. koramil terletak di kecamatan praya, kopang, pringgarata, pujut, dan janapria; c. posramil terletak di kecamatan jonggat, praya tengah, praya timur, batukliang, batukliang utara, dan praya barat daya; d. pos angkatan laut terletak di Kecamatan Praya Timur, Pujut, Praya Barat dan Praya Barat Daya. e. rencana pengembangan kawasan pertahanan dan keamanan darat, laut dan udara dilakukan sesuai dengan kebijakan nasional dan peraturan perundangan.
BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Bagian Kesatu Umum Pasal 34
(1) Kawasan Strategis merupakan kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap : a. tata ruang di wilayah sekitarnya; b. kegiatan lain dibidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan/atau c. peningkatan kesejahteraan masyarakat. (2) Kawasan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : Kawasan Strategis dari Sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi, Sosial Budaya, Pendayagunaan Sumberdaya Alam dan/atau Teknologi Tinggi dan Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup. (3) Nilai strategis kawasan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi penanganan kawasan. (4) Kawasan strategis wilayah Kabupaten meliputi : a. kawasan strategis nasional (KSN) yang berlokasi di Kabupaten; b. kawasan strategis provinsi (KSP) yang berlokasi di Kabupaten; dan c. kawasan strategis Kabupaten (KSK). Pasal 35
(1) Kawasan strategis Nasional (KSN) yang berlokasi di Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf a meliputi : kawasan strategis dari kepentingan Daya Dukung Lingkungan Hidup yaitu Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani seluas 3.675 (tiga ribu enam ratus tujuh puluh lima) hektar yang terletak di Kecamatan Batukliang Utara dan Kecamatan Kopang. (2) Kawasan Strategis Provinsi (KSP) yang berlokasi di Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf b meliputi : kawasan strategis dari kepentingan pertumbuhan ekonomi yaitu Kawasan Kuta dan sekitarnya.
Bagian Kedua Kawasan Strategis Kabupaten
37
Pasal 36
(1) Rencana pengembangan kawasan strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf c meliputi : a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; b. kawasan strategis dari sudut kepentingan daya dukung lingkungan hidup; dan c. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya. (2) Kawasan strategis Kabupaten dari sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. kawasan Kuta dan sekitarnya di Kecamatan Pujut dengan sektor unggulan pariwisata dan industri; b. kawasan Selong Belanak dan sekitarnya di Kecamatan Praya Barat dan Kecamatan Praya Barat Daya dengan sektor unggulan pariwisata dan industri; c. kawasan Sade dan sekitarnya di Kecamatan Pujut dengan sektor unggulan pariwisata; d. kawasan Perkotaan Praya yang meliputi sebagian Kecamatan Praya, sebagian Kecamatan Praya Tengah, sebagaian Kecamatan Praya Barat, sebagian Kecamatan Praya Barat Daya, dan sebagian Kecamatan Pujut dengan sektor unggulan perdagangan-jasa, industri, pendidikan, dan pariwisata; e. kawasan Agropolitan Aik Meneng yang meliputi Kecamatan Batukliang Utara, Kecamatan Kopang dan Kecamatan Janapria dengan sektor unggulan agroindustri, pariwisata serta konservasi; dan f. kawasan Minapolitan di Kawasan Gerupuk dan Awang dengan sektor unggulan perikanan dan industri. (3) Kawasan strategis Kabupaten dari sudut Kepentingan Daya Dukung Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. kawasan Benang Stokel dan Benang Kelambu di Kecamatan Batukliang Utara; b. taman nasional Gunung Rinjani di Kecamatan Batukliang Utara, Kecamatan Kopang; dan c. kawasan bendungan Batujai dan kawasan preservasinya di Kecamatan Praya, Praya Tengah dan Praya Barat dan d. kawasan bendungan Pengga yang termasuk Kawasan Gunung Pupuh, Gunung Lengungsi, dan Gunung Ngabok di Kecamatan Praya Barat Daya. (4) Kawasan strategis dari sudut Kepentingan Sosial Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. situs Batu Rijang dan sekitarnya di Kecamatan Praya Barat; b. makam Srewe dan sekitarnya di Kecamatan Praya Tengah; dan c. makam Ketak dan sekitarnya di Kecamatan Kopang d. situs Langko dan sekitarnya di Kecamatan Kopang dan Janapria. (5) Rincian rencana pengembangan kawasan strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran II.12 yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (6) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan ukuran kertas A3 sebagai Lampiran I.3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (7) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut melalui Rencana Detail dengan Peraturan Daerah.
BAB VII ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
38
Pasal 37
(1) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten mengacu pada rencana struktur ruang, dan pola ruang wilayah Kabupaten. (2) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya. (3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38
(1) Program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan selama 20 (dua puluh) tahun dengan Indikasi Program Utama tahunan pada lima tahun pertama. (2) Pendanaan program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja kabupaten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, investasi swasta dan/atau kerjasama pendanaan. (3) Kerjasama pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Rincian Indikasi Program Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum sebagai Lampiran III yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB VIII PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 39
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi. Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 40
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a, digunakan sebagai acuan bagi penyusunan peraturan zonasi oleh Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem nasional;
39
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem provinsi; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem Kabupaten. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mengikuti ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mengikuti ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan Kabupaten; b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan Kabupaten; c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya.
Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Perkotaan Kabupaten Pasal 41 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan Kabupaten sebagaimana
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf (a) terdiri atas: a. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); b. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL); c. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp); d. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan e. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL). Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi dan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dapat dibangun dan dikembangkan di Kawasan Perkotaan Praya. Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala Kabupaten yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur perkotaan dilaksanakan di wilayah Kopang di Kecamatan Kopang, Sengkol di Kecamatan Pujut, dan Mujur di Kecamatan Praya Timur. Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur perkotaan dilaksanakan di wilayah Puyung di Kecamatan Jonggat, Mantang di Kecamatan Batukliang, Janapria di Kecamatan Janapria dan Selong Belanak di Kecamatan Praya Barat. Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala kecamatan atau beberapa desa yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur kecamatan yang di laksanakan di wilayah Teratak di Kecamatan Batukliang Utara, Ubung di Kecamatan Jonggat, dan Pringgarata di Kecamatan Pringgarata. Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala desa atau beberapa lingkungan yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur lingkungan yang dilaksanakan di wilayah Barabali, Selebung,
40
Sukadana, Pengembur, Pengengat, Selebung Rembiga dan Langko, Saba, Bakan, Bonder, Mangkung, Mekarsari, Ganti, Sukaraja, Kidang, Aik Bukak, Lantan, Tanak Beak, Aik Berik, Dasan Baru, Bebuak, Muncan, Ungga, Batu Jangkih, Pelambik, Bonjeruk, Pengenjek, Jelantik, Labulia, Sepakek, Sintung dan Bagu, dan Montong Terep.
Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Kabupaten Pasal 42
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf (b) : (1) sistem jaringan prasarana utama; dan (2) sistem jaringan prasarana lainnya. Pasal 43 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Utama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) meliputi : peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi darat, sistem jaringan transportasi laut, dan sistem jaringan transportasi udara. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ketentuan peraturan zonasi jaringan jalan; dan b. ketentuan peraturan zonasi terminal. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup : a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten ditentukan berdasarkan arahan rencana pola ruang; b. lebar minimal ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), ruang pengawasan jalan (ruwasja) dan garis sempadan bangunan (GSB) untuk tiap ruas jalan ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku berdasakan status, fungsi dan kondisi setiap ruas jaringan jalan di lapangan; c. pelarangan kegiatan dan pemanfaatan ruang pada rumaja, rumija dan ruwasja yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan; d. pengaturan persimpangan sebidang baik dengan bundaran, Alat Pengaturan Isyarat Lampu Lalulintas (APILL) maupun non APILL; e. pengaturan persimpangan tidak sebidang baik dengan jalan layang (overpass) dan jalan melintang dibawah jalan lain (underpass) pada kawasan padat lalu lintas yang sudah tidak dapat lagi diatasi dengan manajemen lalu lintas, setelah melalui kajian ekonomi, teknis dan budaya; f. kewajiban melakukan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) sebagai persyaratan izin mendirikan bangunan tertentu bagi pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan yang berpotensi mengganggu arus lalu lintas; dan g. bangunan tertentu sebagaimana dimaksud huruf f diatur dalam Peraturan Bupati. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. penyediaan fasilitas pendukung terminal seperti tempat parkir, tempat antri penumpang, tempat tunggu penumpang, fasilitas kesehatan, fasilitas makan minum, fasilitas peribadatan dan lainnya;
41
b. memenuhi ketentuan peraturan sektor yang berlaku; dan c. berada pada jaringan jalan provinsi atau kabupaten. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. ketentuan peraturan zonasi pelabuhan laut; dan b. ketentuan peraturan zonasi alur pelayaran. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a terdiri atas: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan; b. pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan c. pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan yang berlaku. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b terdiri atas: a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi udara dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ketentuan peraturan zonasi bandar udara umum; dan b. ketentuan peraturan zonasi ruang udara untuk penerbangan. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a diarahkan dalam rangka pengembangan Bandara Internasional Lombok (BIL) terdiri atas: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara; b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; dan c. batas-batas Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) dan batas-batas kawasan kebisingan. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b terdiri atas: a. disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara agar tidak menggangu sistem operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. arahan peraturan ketinggian penerbangan diatas permukaan tanah mencakup ketinggian serendah-rendahnya 1000 (seribu) feet; dan c. batasan ketinggian penerbangan terendah sebagaimana dimaksud pada huruf b, tidak berlaku untuk kegiatan penerbangan yang terkait dengan upaya-upaya penyelamatan, keadaan darurat, dan keamanan negara. Pasal 44
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) meliputi sistem jaringan transportasi Kabupaten, sistem jaringan energi Kabupaten, sistem jaringan telekomunikasi Kabupaten, sistem pengelolaan jaringan sumberdaya air Kabupaten, sistem jaringan
42
prasarana persampahan, dan sistem jaringan prasarana sanitasi dan pengelolaan limbah. Pasal 45 (1) Ketentuan
umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 adalah sistem jaringan energi yang tidak disambungkan ke sistem jaringan energi nasional maupun sistem jaringan energi dan kelistrikan provinsi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. keberadaan pembangkit listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik dengan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; b. ketentuan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelanggaran pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. pengelolaan prasarana terutama pembangunan saluran udara tegangan tinggi harus mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan melakukan penelitian sebelumnya; d. penggunaan sumber energi lainnya sebagai energi alternatif untuk listrik dengan memanfaatkan sumberdaya antara lain angin, arus laut, dan lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan alam dan sosial budaya setempat serta didahului dengan pengkajian yang mendalam. Pasal 46 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi
Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi kabupaten. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pemerataan dan penyediaan pelayanan bagi kawasan yang belum terlayani; b. penyediaan fasilitas telepon untuk seluruh kecamatan dan untuk desa-desa potensial; c. untuk menjamin kelancaran dan keamanan arus penerbangan dimasa mendatang diperlukan pengaturan penggunaan frekuensi bagi pemancar radio di Kabupaten sehingga tidak mengganggu komunikasi; d. peningkatan koordinasi sistem jaringan baik pemanfaatan ruang daratan maupun ruang udara untuk meningkatkan pelayanan telepon sehingga merata keseluruh wilayah; e. pengembangan sarana prasarana untuk daerah terisolir dengan sistem tanpa kabel atau dengan sistem tersendiri; f. pengembangan jaringan bawah tanah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ruang di perkotaan; dan g. meningkatkan pelayanan pusat jaringan terpadu sampai dengan tingkat desa/kelurahan serta memberikan akses bagi masyarakat umum dalam penggunaan sistem jaringan terpadu tersebut. Pasal 47 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Pengelolaan Jaringan Sumberdaya
Air kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi peraturan zonasi untuk sistem jaringan irigasi dan sistem jaringan air bersih kabupaten.
43
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan irigasi kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pengembangan Bendungan Batujai dan Bendungan Pengga didukung rencana detail tata ruang untuk menjamin keberlanjutan dan kelestarian lingkungan sekitar bendungan tersebut. b. penyempurnaan sistem irigasi yang ada. c. untuk pengembangan daerah irigasi baru pada daerah kritis air dilakukan dengan transfer air dari daerah yang surplus air disamping mengembangkan irigasi air tanah. d. peningkatan koordinasi baik antar sektor maupun antar kecamatan dalam pemanfaatan air baku untuk air irigasi. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Jaringan Sumber Air Bersih kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pengembangan jaringan air bersih di wilayah Kabupaten diprioritaskan pada wilayah yang belum terjangkau Perusahaan Daerah Air Minum; b. pengembangan sumber mata air baku berupa mata air, air bawah tanah, dan pengolaan air permukaan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan; c. peningkatan kualitas air bersih dengan standar kesehatan; dan d. koordinasi antara sektor dalam pemanfaatan air baku. Pasal 48
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Persampahan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi : a. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman; b. lokasi Tempat Pemrosesan Akhir sampah harus didukung oleh studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang telah disepakati oleh instansi yang berwenang; c. pengelolaan sampah dalam Tempat Pemrosesan Akhir sampah dilakukan dengan sistem pembuangan tertutup sesuai ketentuan peraturan yang berlaku; dan d. dalam lingkungan Tempat Pemrosesan Akhir sampah disediakan prasarana penunjang pengelolaan sampah. e. Pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan susuai dengan kaidah teknis dan dengan konsep 3R (Recycle, Reduce dan Reuse) Pasal 49
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Sanitasi dan pengelolaan limbah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi : a. pelayanan minimal sistem pembuangan air limbah berupa unit pengolahan kotoran manusia dilakukan dengan menggunakan sistem setempat atau sistem terpusat agar tidak mencemari daerah tangkapan air; b. pembuatan pengolahan Air Limbah Domestik dengan sistem komunal terutama di kawasan permukiman; c. sistem pengolahan limbah domestik dan non domestik pada kawasan dapat berupa Instalasi Pengolahan Air Limbah sistem konvensional atau ilmiah dan pada bangunan tinggi berupa Instalasi Pengolahan Air Limbah dengan teknologi modern; d. Pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 dan atau pemerintah sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup serta petunjuk peraturan perundang-undangan yang berlaku, Jika tidak mampu dapat menyerahkan kepada pihak lain yang memiliki teknologi untuk itu; dan
44
e. Pengelola limbah B3 wajib mendapatkan izin pengelolaan limbah B3 dari pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung Kabupaten Pasal 50
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf c meliputi : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana. Pasal 51
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. dalam hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan yang tidak bertentangan dengan fungsi hutan lindung; b. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan 2. mengikuti ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Pasal 52
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud Pasal 50 ayat b yaitu kawasan resapan air adalah : a. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya; b. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat : 1. tingkat kerapatan bangunan rendah Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum 20 (dua puluh) persen 2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi; dan 3. dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 53 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Perlindungan Setempat
sebagaimana dimaksud Pasal 50 huruf c meliputi peraturan zonasi untuk Sempadan Pantai, Sempadan Sungai, Sekitar mata air dan Sekitar danau atau waduk.
45
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian dan pendidikan; pengembangan struktur alami dan struktur kegiatan untuk mencegah bencana pesisir; pertahanan dan keamanan, kepentingan adat dan kearifan lokal yang mencakup upacara adat, hak dan kewajiban masyarakat adat, serta tradisi dan kebiasaan; perhubungan; dan komunikasi; b. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, rekreasi, wisata bahari dan perikanan tradisional, dengan syarat tidak termasuk untuk pendirian bangunan permanen dan/atau hotel; c. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. pantai-pantai terbuka bagi masyarakat untuk tujuan non komersil; e. jalan menuju pantai harus diizinkan untuk dilalui masyarakat. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut : 1. untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diijinkan; 2. untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan; 3. untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum; 4. untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan; 5. untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai; dan 6. untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. b. pada daerah sempadan dilarang : 1. membuang sampah, limbah padat dan atau cair; dan 2. mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha. c. pemanfaatan sempadan sungai dapat dilakukan kegiatan budidaya, namun tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan; d. pada masing-masing sempadan sungai diarahkan untuk menyediakan lahan yang dimanfaatkan sebagai taman minimal 10% dari lebar sempadan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan kawasan sekitar mata air yaitu hanya untuk kegiatan budidaya tertentu yang dapat dilakukan; b. setiap kegiatan pemanfaatan di kawasan sekitar mata air harus mempertimbangkan aspek lingkungan terutama pelestarian dari kawasan tersebut; c. pencegahan kegiatan budidaya yang dapat mengganggu fungsi mata air terutama sebagai sumber air baku dan air bersih; dan d. rehabilitasi vegetasi disekitar mata air. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
46
a. pencegahan kegiatan budidaya sekitar danau atau waduk yang dapat mengganggu fungsi danau atau waduk (terutama sebagai sumber air dan sumber energi listrik); dan b. pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar danau atau waduk. Pasal 54 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
Pasal 50 huruf d meliputi peraturan zonasi untuk Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan dan Kawasan Konservasi Perairan Lainnya. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. melarang aktivitas yang dapat merusak atau terganggunya kondisi dan karakteristik kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan (termasuk kawasan cagar budaya terbangun), dan mengatur pengelolaannya; b. pengamanan dan menjaga pelestarian dari berbagai bentuk ancaman baik oleh kegiatan manusia maupun alam; dan c. pemerintah daerah mengumumkan kepada seluruh pelaku pembangunan tentang lokasi dan luas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Konservasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bahwa dalam zona ini tidak diperkenankan kegiatan pembangunan kecuali penelitian dan pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang bersifat apresiatif seperti wisata alam dengan batasanbatasan antara lain tidak diperkenankan melakukan konstruksi, pemungutan biota dan aktivitas yang bersifat ekstraktif lainnya. Pasal 55
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat e meliputi : peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Bencana Banjir, Kawasan Rawan Gempa Bumi, Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor, Kawasan Rawan Bencana Gelombang Pasang, Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. penetapan batas luasan genangan banjir; b. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; c. kesesuaian struktur bangunan dengan kondisi fisik wilayah; d. pengaturan daerah sempadan sungai, danau dan waduk; e. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya; dan f. sistem jaringan drainase dan daerah resapan air. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Gempa Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. mengembangkan bangunan dengan menggunakan bahan-bahan serta disain tahan gempa; dan b. pengembangan manajemen informasi atau deteksi dini bencana sebagai upaya pencegahan bencana. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Tanah Longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan tingkat kerawanan; b. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;
47
c. kaedah-kaedah pendirian bangunan disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah; dan d. penetapan batas luasan kawasan yang rawan bencana longsor. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Gelombang Pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. pemantapan kawasan sempadan pantai; dan b. pengembangan manajemen informasi atau deteksi dini bencana sebagai upaya pencegahan bencana. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Rawan Gunung Berapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi di lereng Gunung Rinjani Kecamatan Batukliang Utara; b. pemantauan aktivitas gunung berapi; c. pemetaan kawasan rawan letusan gunung berapi; d. pembangunan dan pemeliharaan bangunan pengendali sedimen yang ramah lingkungan; dan e. pengendalian kegiatan budi daya di dalam kawasan rawan letusan gunung berapi.
Paragraf 4 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya Kabupaten Pasal 56
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 pada ayat (5) huruf d meliputi : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; h. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; dan i. kawasan peruntukan lainnya. Pasal 57
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a meliputi : a. dalam kawasan hutan produksi diperuntukan bagi kegiatan budidaya kehutanan dan kegiatan budidaya diluar kehutanan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; b. kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan dari hutan alam; c. sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim dari lembaga yang berwenang; d. kegiatan yang diizinkan, meliputi : 1. kegiatan pengembangan/pembangunan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan;
48
2. rehabilitasi hutan produksi; 3. pengembangan fungsi penyangga pada kawasan hutan produksi yang berbatasan dengan hutan lindung dan hutan konservasi; 4. kegiatan penataan sempadan sungai, danau dan mata air; 5. kegiatan pemanfaatan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas; 6. kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang dapat meningkatkan fungsi hutan produksi. e.
kegiatan yang diizinkan terbatas, meliputi :
1. kegiatan pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu; 2. kegiatan pengembangan jasa lingkungan. f.
kegiatan yang diizinkan bersyarat, meliputi :
g.
1. kegiatan budidaya peternakan; 2. kegiatan transmisi, relay dan distribusi listrik, telekomunikasi dan energi. kegiatan yang dilarang pada kawasan hutan produksi adalah semua pemanfaatan dan penggunaan ruang kecuali yang dikategorikan diizinkan, diizinkan terbatas dan diizinkan bersyarat. Pasal 58
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b meliputi : ketentuan peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan, tanaman hortikultura, perkebunan dan peternakan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan dan tanaman hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan dan tanaman hortikultura tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang tidak memperhatikan aspek konservasi; b. dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air; c. peruntukan budidaya pertanian tanaman pangan dan tanaman hortikultura tidak diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian; e. dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; f. kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air; b. bagi perkebunan besar harus mengajukan permohonan apabila ingin merubah jenis tanamannya;
49
c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah; d. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; f. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. pengembangan kegiatan peternakan, dengan arahan kegiatan sebagai berikut : 1. diusahakan secara individual di sekitar permukiman penduduk dengan sistem kandang, sedangkan untuk peternakan bebas dapat diusahakan pula pada ladang di luar kawasan permukiman; 2. penyediaan suplai bahan makanan ternak dengan pemanfaatan lahan kritis untuk pengembangan rumput, leguminosa, semak dan jenis pohon yang sesuai untuk makanan ternak. b. pengendalian limbah ternak agar tidak mencemari lingkungan dan aliran sungai, oleh sebab itu dalam pengembangannya perlu dilengkapi dengan sistem pengelolaan limbah ternak tersebut. Pasal 59
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c meliputi : a. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Perikanan Tangkap : 1. wilayah perairan laut untuk penangkapan sejauh 4 mil laut; 2. penggunaan alat tangkap pada wilayah sejauh 4 mil laut dibatasi untuk alat tangkap tradisional; 3. pelarangan alat tangkap yang teridiri atas bahan peledak dan bahan racun berbahaya, alat tangkap berarus listrik dan pukat harimau; 4. peraturan rinci mengenai zonasi kawasan perikanan tangkap diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. b. pengembangan kegiatan perikanan, dengan arahan kegiatan : 1. peningkatan produktifitas perikanan yang sudah berjalan; 2. meningkatkan sarana dan prasarana perikanan; 3. pengembangan budidaya perikanan laut dan darat melalui budidaya di sawah dan kolam air; 4. pengembangan kegiatan perikanan tradisonal penunjang pariwisata; 5. pengembangan kegiatan perikanan skala menengah/besar. c. pemanfaatan wilayah perairan laut, yaitu : perairan pantai, lepas pantai dalam batas kewenangan Kabupaten bagi peningkatan produktifitas perikanan laut; d. pengawasan dan pengendalian kerusakan ekosistem dan biota laut dalam wilayah pengelolaan perikanan dengan mengedepankan peran serta masyarakat dan kearifan lokal.
50
Pasal 60
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d meliputi : a. kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang pertambangan; b. kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain seperti pertanian, kehutanan, dan pariwisata; c. pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan; d. kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan; dan e. sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang. Pasal 61
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf e meliputi : a. mengarahkan setiap pengusaha dalam melaksanakan kegiatan agar sesuai dengan kawasan yang telah ditentukan; b. pembentukan sistem informasi dalam mengarahkan investasi menurut lokasi, jenis dan klasifikasi industri yang konsisten dengan rencana kawasan budidaya industri; dan c. pembuangan limbah kegiatan industri baik ke udara, darat maupun perairan harus memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai peraturan zonasi kawasan peruntukan industri akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Pasal 62
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf f meliputi : a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam; b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata; c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan; e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan f. pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
51
Pasal 63
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf g meliputi : a. tujuan pengelolaan kawasan permukiman adalah menyediakan tempat bermukim yang sehat dan aman dari bencana alam, dapat memberikan lingkungan yang sesuai dengan pengembangan yang mendorong keterpaduan sosial dan menjamin kualitas sosial dan umum, daya dukung lingkungan, yang mendorong keterpaduan sosial yang menjamin kualitas hidup yang berkelanjutan; b. pengembangan pada lahan yang sesuai dengan kriteria fisik meliputi: kemiringan lereng, ketersediaan dan mutu sumber air bersih, bebas dari potensi banjir/genangan; c. membentuk klaster-klaster permukiman untuk menghindari penumpukan dan penyatuan antar kawasan permukiman, dan diantara klaster permukiman disediakan ruang terbuka hijau (RTH); d. prioritas pengembangan pada permukiman orde rendah dengan peningkatan pelayanan fasilitas permukiman dan perdagangan; e. pengembangan permukiman ditunjang dengan pengembangan fasilitas pendukung unit permukiman seperti : fasilitas perdagangan, jasa dan hiburan, pemerintahan, pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan dan peribadatan); f. peningkatan peran pemerintah dalam mengoptimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur yang sementara tidak diusahakan; g. pengendalian pengembangan kegiatan terbangun dengan pembatasan perkembangan kawasan terbangun yang berada atau berbatasan dengan kawasan lindung; h. beberapa program pengembangan perumahan dilaksanakan melalui kegiatan : 1. penataan lingkungan permukiman di perkotaan dan di perdesaan; 2. pengembangan perumahan layak huni pada daerah kumuh; dan 3. pengembangan perumahan bersubsidi bagi masyarakat kurang mampu berupa Rumah Sederhana Sehat dan lain sebagainya. Pasal 64
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Jasa dan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf h meliputi : a. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; b. tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam; c. lokasi strategis dan kemudahan pencapaian dari seluruh penjuru kota, dapat dilengkapi dengan sarana penunjang kegiatan komersil dan kegiatan pengunjung; dan d. peletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung disesuaikan dengan sasaran konsumen yang akan dilayani. Pasal 65 (1) Ketentuan
umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf i meliputi : ketentuan peraturan zonasi kawasan pusat pemerintahan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dan kawasan pertahanan dan keamanan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pusat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
52
a. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan b. tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana; b. penetapan zona preservasi, konservasi, penyangga dan zona pemanfaatan; dan c. tinjauan terhadap daya dukung lingkungan mengingat rentannya kawasan ini terhadap kemungkinan perusakan lingkungan akibat kegiatan yang berlangsung diatasnya. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. penetapan zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan dan keamanan dengan kawasan budidaya terbangun; dan b. penetapan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan untuk menjaga fungsi pertahanan keamanan. Pasal 66
Peraturan zona peruntukan di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Paragraf 1 Umum Pasal 67
Ketentuan Perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b merupakan proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan, untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang, mencakup izin prinsip, izin alih fungsi lahan, izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT), izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya. Pasal 68 (1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh
ijin pemanfaatan ruang yang mengacu pada Peraturan Daerah Tentang RTRW kabupaten. (2) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman modal wajib memperoleh ijin pemanfaatan ruang dari Bupati. (3) Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi BKPRD.
Paragraf 2 Izin Prinsip
53
Pasal 69
(1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah Kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah. (2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya, yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Paragraf 3 Izin Alih Fungsi Lahan Pasal 70
(1) Izin alih fungsi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah ijin yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk mengubah peruntukan lahan dari budidaya non terbangun menjadi budidaya terbangun sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (2) alih fungsi lahan diperlukan pada lokasi yang belum memiliki rencana tata ruang rinci dan peraturan zonasi, dan dilakukan sebelum atau bersamaan dengan proses izin lokasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai alih fungsi lahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Paragraf 4 Izin Lokasi Pasal 71 (1) Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah ijin yang diberikan
kepada orang atau badan hukum untuk memperoleh tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Paragraf 5 Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah Pasal 72 (1) Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah lebih dari 5.000 (lima ribu) m2. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Paragraf 6 Izin Mendirikan Bangunan Pasal 73 (1) Izin Mendirikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah
54
izin yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan diatur lebih lanjut Peraturan Bupati. Paragraf 7 Izin Lainnya Pasal 74
(1) Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah ketentuan izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 75 (1) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif; (2) Ketentuan insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan Ketentuan disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan; (3) Ketentuan pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah kepada pengembang kawasan dan kepada masyarakat ; (4) ketentuan pemberian insentif dan pengenaan disinsentif di Kabupaten, dilakukan oleh bupati yang teknis pelaksanaannya melalui satuan kerja perangkat daerah Kabupaten yang membidangi penataan ruang. Pasal 76
(1) Ketentuan disinsentif Pemerintah Daerah kepada pengembang kawasan, diberikan dalam bentuk: a. pembatasan penyediaan infrastruktur; b. pengenaan kompensasi; c. penalti; dan d. pembatasan administrasi pertanahan. (2) Disinsentif dari Pemerintah Daerah kepada masyarakat, dikenakan dalam bentuk: a. pengenaan pajak; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. pengenaan kompensasi; d. penalti; dan e. pembatasan administrasi pertanahan.
55
Pasal 77
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf c dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pemberian insentif dan disinsentif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima Arahan Sanksi Pasal 78
Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d meliputi : sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Pasal 79 (1) Bentuk pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diberikan terhadap: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Struktur Ruang Dan Pola
Ruang wilayah Kabupaten; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung, kawasan budidaya, sistem nasional dan provinsi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; f. pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar dan/atau tidak sah. (2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, d, e, f dan huruf g dikenakan sanksi administrasi berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. (3) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administrasi berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. denda administratif.
56
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada pasal 78 yang dikenakan
terhadap bentuk pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati; (5) Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada dalam 78 yang dikenakan terhadap bentuk pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 80
Pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX PERAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Paragraf 1 Hak Masyarakat Pasal 81
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak : a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian Paragraf 2 Kewajiban Masyarakat Pasal 82
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum Pasal 83
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 82 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah,
57
baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.
Paragraf 3 Peran Masyarakat Pasal 84
Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 85
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a pada tahap perencanaan tata ruang dapat berupa : a. memberikan masukan mengenai : 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan; 4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5. penetapan rencana tata ruang. a. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 86
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 87
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa: a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi
58
c. pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan e. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang Pasal 88
(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada bupati. (3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati. Pasal 89
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pasal 90
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Bagian Kedua Kelembagaan (1) Dalam rangka mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama antarsektor atau antardaerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah; (2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati.
BAB X PENYIDIKAN Pasal 91
(1) Selain oleh Penyidik Umum, Penyidikan atas pelanggaran dalam Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah; (2) PPNS di lingkungan pemerintah daerah pengangkatannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan penyidikan diatur seseuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
59
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 92
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka : a. Izin pemanfaatan ruang yang telah diterbitkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. Izin pemanfaatan ruang yang telah diterbitkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan : 1. Untuk izin yang belum dilaksankan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Paraturan Daerah ini; 2. Untuk izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan perundang – undangan; dan 3. Untuk izin yang sudah dilaksankan pembangunannya dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesui dengan prosedur yang benar serta tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; c. Pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan ketentuan Peratiran Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; d. Pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketenuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan. Pasal 93 (1) Kawasan lindung yang difungsikan untuk kegiatan budidaya secara bertahap
dikembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung setelah ijin kegiatan budidaya habis masa berlakunya. (2) Perubahan status dan/atau fungsi kawasan hutan, kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan harus mematuhi ketentuan peraturan perundangan.
BAB XII KETENTUAN LAIN - LAIN Pasal 94
(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, dan /atau perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan undang – undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Lombok Tengah dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.