RENCANA PENATAAN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL KAMPUNG KUIN, BANJARMASIN
Oleh:
DIAH ANGGUN DARA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RENCANA PENATAAN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL KAMPUNG KUIN, BANJARMASIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DIAH ANGGUN DARA A44051336
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN DIAH ANGGUN DARA. Rencana Penataan Lanskap Permukiman Tradisional Kampung Kuin, Banjarmasin. Dibimbing oleh SITI NURISJAH. Perkembangan kawasan yang cukup pesat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan karena bermunculannya kawasan kumuh terutama di tepian sungai seperti pada daerah komersial dengan konsentrasi penduduk yang tinggi. Adanya permukiman di tepi sungai yang kurang tertata telah berkembang menjadi pemukiman yang padat dan kumuh. Kampung Kuin di Banjarmasin merupakan salah satu kawasan permukiman yang masih memperlihatkan pola-pola tradisionalnya. Ciri khas yang membedakan Kampung Kuin dengan permukiman tradisional lainnya adalah letaknya yang berada di sepanjang tepian Sungai Kuin. Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan penataan lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin yang terletak di tepi Sungai Kuin guna pelestariannya. Rencana penataan permukiman Kampung Kuin ini merupakan upaya pelestarian agar perkembangan yang ada dapat terkontrol sehingga tidak mengubah pola tradisional yang ada serta dengan adanya permukiman di sepanjang sungai tidak merusak kualitas sungai Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kuin adalah wilayah sepanjang daerah aliran Sungai Kuin yang terletak di kota Banjarmasin. Lebar Sungai Kuin ±40 m yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut Sungai Barito. Kelurahan yang kini dikenal dengan nama Kelurahan Kuin Utara ini memiliki luas sebesar 14,45 ha. Permukiman yang menjadi objek penelitian ini memiliki luas sebesar 4,30 ha atau hampir 30% dari luas keseluruhan. Kelurahan Kuin Utara sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Alalak, sebelah timur dengan Kelurahan Pangeran, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Barito dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Kuin Cerucuk. Penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan, pengukuran data di lapang, studi pustaka dan wawancara. Identifikasi elemen serta karakter lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin dilakukan metode skoring berdasarkan Mac Kinnon (dalam Aini, 2005). Selanjutnya dilakukan overlay untuk mendapatkan zonasi kawasan yang harus dilindungi. Skoring juga dilakukan pada sungai dengan melihat karakter dan kualitas sungai yang kemudian juga dilakukan overlay. Overlay ini dilakukan untuk menentukan zonasi kualitas sungai yang menjadi dasar dalam program perbaikan sungai. Kampung Kuin berawal dari lokasi sebuah kerajaan, yakni Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau Kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar daerah Kalimantan saat ini. Pola awal permukiman dibangun sejajar dan berorientasi menghadap sungai yang menggambarkan betapa pentingnya arti sungai bagi masyarakat permukiman ini. Namun, dengan adanya perkembangan pada kawasan ini arah orientasi rumah dan pola permukiman yang awalnya mengikuti sungai kini berubah. Perubahan juga terjadi pada bangunan dan struktur serta fungsi rumah tradisional. Rumah tradisional yang ada saat ini telah mengalami perubahan
arsitektur. Hal ini dikarenakan rumah tradisional yang ada sudah terlampau tua dan tidak bisa dipertahankan lagi. Rumah tersebut tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal tetapi beberapa rumah juga dijadikan sebagai sarana perdagangan dan jasa. Selain rumah tradisional, terdapat pula Masjid Sultan Suriansyah yang telah berumur lebih dari 400 tahun dan Makam Sultan Suriansyah. Kondisi Sungai Kuin saat ini juga telah banyak berubah akibat adanya permukiman yang semakin mengarah ke badan sungai. Hal ini menyebabkan Sungai Kuin yang memiliki lebar 40 m kehilangan hampir 20 m lebarnya akibat adanya permukiman di sepanjang kanan dan kiri sungai. Adanya permukiman di atas badan sungai juga menyebabkan tingginya tingkat pencemaran terutama bakteri Eschericia coli akibat pembuangan limbah secara langsung ke sungai. Perubahan kondisi lingkungan pada kawasan permukiman dan kawasan sungai ini akan menggeser nilai-nilai tradisional yang ada di Kampung Kuin. Sehingga perlu direncanakan penataan lanskap permukiman Kampung Kuin agar permukiman ini dapat dilestarikan. Perencanaan ini bertujuan untuk melestarikan kawasan permukiman tradisional Kampung Kuin sebagai bentuk lanskap vernakular warisan budaya Suku Banjar. Pelestarian lanskap budaya ini dilakukan melalui tindakan konservasi dimana kegiatan ini adalah untuk mempertahankan kawasan tradisional ini agar tetap berkelanjutan ditengah pembangunan Kota Banjarmasin yang pesat. Selain itu, Sungai Kuin sebagai pendukung kehidupan kawasan juga menjadi bagian dari pelestarian. Rencana penataan dilakukan dengan mempertahankan karakter fisik dan budaya yang dilakukan dengan menjaga bentukan lanskap terbangun yang ada agar tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, rumah-rumah yang berada di atas badan sungai sebagian masih dipertahankan karena menjadi bagian dari budaya permukiman ini. Sirkulasi yang akan direncanakan bertujuan untuk menghubungkan ruang-ruang yang ada dalam tapak dan dapat mengakomodasi aktivitas penduduk setempat. Sirkulasi ini direncanakan dua arah yang diklasifikasikan dalam sirkulasi darat dan sirkulasi air. Salah satu pengikat antara sirkulasi darat dan air adalah adanya fasilitas dermaga. Fasilitas dermaga ini berada pada tiga titik, yakni di depan pasar apung serta di depan masjid dan makam Sultan Suriansyah. Rencana vegatasi direncanakan menggunakan vegetasi asli kawasan ini, yaitu pohon rambai (Baccaurea motlryana) dan pohon jingah (Gluta renghas) yang merupakan vegetasi asli pada kawasan ini. Penanaman vegetasi diutamakan pada daerah bantaran sungai yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekologis sungai. Vegetasi ini ditanam menyebar di sekitar daerah bantaran dengan dominansi vegetasi asli. Pemulihan kawasan bantaran sungai dengan pengadaan ruang terbuka hijau difokuskan pada daerah-daerah yang rentan yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi ekologis sungai. Selain pengadaan ruang terbuka hijau di bantaran sungai, dilakukan pula perbaikan sanitasi. Perbaikan sanitasi lingkungan ini menggunakan teknik baru dengan masih mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sungai. Rencana penataan sanitasi dilakukan dengan cara mempertahankan pola sanitasi lama menggunakan batang atau jamban tetapi dengan sistem pengolahan yang telah dikembangkan yaitu sistem perpipaan dengan septic tank komunal.
LEMBAR PENGESAHAN Judul
Rencana Penataan Lanskap Permukiman Tradisional Kampung Kuin, Banjarmasin
Nama
: Diah Anggun Dara
NIM
: A44051336
Departemen : Arsitektur Lanskap
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2001
Diketahui,
Dr. Ir Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2001
Tanggal disetujui:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 April 1987. Penulis merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Anirsyam dan Roswita. Penulis menghabiskan masa kecilnya di Jakarta dan mulai memasuki jenjang pendidikan formal tahun 1993 di SDN Pancoran 10 Pagi kemudian pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat SLTP di SLTPN 43, Jakarta. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di SMA 3 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitekturr Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Departemen Lanskap penulis tercatat sebagai anggota Himaskap.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis uacapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimphkan
rahmat
dan
karunia-Nya
kepada
penulis
sehingga
dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Rencana Penataan Lanskap Permukiman Kampung Kuin, Banjarmasin”. Skripsi ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak dalam proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA sebagai pembimbing skripsi yang banyak memberikan dorongan, arahan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2.
Ibu Dr. Ir. Nurhayati HSA dan bapak Dr. Ir. Qodarian Pramukanto sebagai penguji yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat kepada penulis.
3.
Mama, Papa dan kakak-kakakku tersayang Uni Indah, Uni Tiwi, Uni Indri dan Uni Putri atas segala doa, perhatian dan dukungannya baik moril maupun materil.
4.
Keluarga Bapak Supriyadi A. Dahlan di Banjarmasin atas bantuan dan tempat tinggal selama penulis di Banjarmasin.
5.
Teman-teman seperjuangan di Banjarmasin (Rindha, Icha, Dina, M, Chan2, dan Dika) terima kasih atas bantuan dan perhatiannya,
6.
Teman-teman seperjuangan Lanskap 42, lanskap 43 terima kasih atas bantuan dan dorongan semangat yang tiada henti.
7.
Panineungan sisters (Cikngah. Nene’, Nuwi, Pithong, Nenk, dan Lia) yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penulis dapat melakukan hal yang lebih baik lagi. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita bersama.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………..……………………...………...…….....
i
DAFTAR ISI..………………………………………………………...……...
iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………..…......
vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..…….
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang….………………………………………….………..…..…
1
Tujuan.………………………………………………………………..........
2
Manfaat..……………………………………………….……………....…..
3
Kerangka Pikir...……………….………………………………...….......…
3
TINJAUAN PUSTAKA Permukiman Tradisional …………………..................................................
6
Arsitektur Tradisional Banjar………………………………………...........
7
Lanskap Sungai…………………………………………………………….
11
Permukiman Tepi Sungai………….………………………..…….…....….
13
Perencanaan Lanskap………………………….………...….......................
14
Pelestarian……………………………..……………………………..….....
15
KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik……………………………………………………………..….……...
19
Geografis…………...…………………………………………..……….
20
Morfologi……………………….…………………………………..…..
20
Geologi dan Tanah……………………………………………………...
21
Iklim………………………...……………………………………..……
21
Kondisi Pasang Surut……...……………………………………..……..
21
Sosial dan Budaya………………………………………………..…..……
22
Ekonomi…………………………….………………………………..….....
24
METODOLOGI Lokasi Penelitian………………...…….………………….....………...…..
25
Bahan dan Alat…………………………..……………….……………..…
26
Batasan Penelitian…………………………………………..……………...
26
Tahapan Penelitian………………………………………….………..……
26
Metode dan Analisis Data……………………...……………..……….…..
28
Metode Penelitian……………………………..……...……...……........
29
Analisis Data…………………………………...……………...……..…
29
DATA DAN ANALISIS Kondisi Fisik Kelurahan Kuin Utara……………………………..………..
32
Topografi……………………………………………………………….
32
Hidrologi……………………………………………………………......
32
Kondisi Fisik Bangunan………………………………………………...
32
Tata Guna Lahan………………………………………………………..
32
Karakteristik Permukiman Kampung Kuin…………………….………….
33
Sejarah Perkembangan…………………………………….……....……
33
Pola Permukiman…………...…………...…………………...….…...…
35
Bangunan dan Struktur……………………………………….….……..
39
Fasilitas………………………………………..……………......……....
47
Zonasi Lanskap Permukiman Kampung Kuin………………………..…...
50
Karakteristik Sungai Kuin………………………..………………………..
53
Karakter Sungai…………………………………………………..…….
53
Kualitas Sungai…………………………………………………..……..
55
Zonasi Kondisi dan Kualitas Sungai………………………………………
58
Aktivitas Sosial Budaya……………………………………………………
59
KONSEP
PERENCANAAN
LANSKAP
PERMUKIMAN
TRADISIONAL Konsep Lanskap Total………………..…………………………..………..
61
Konsep Ruang…………..……………………………………………….…
61
Konsep Sirkulasi…………..…………………………………………….....
63
Konsep Vegetasi……...………………………………………………..…..
63
Konsep Sanitasi……………………………………………………………
64
PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL Rencana Lanskap………………………………………………………….
66
Program Perbaikan Sungai………………………………….……………..
79
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan………………………………………………………....………...
81
Saran…………………………………………………………...……….….
82
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..……
83
LAMPIRAN…………………………………………………………...……..
85
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tata Guna Lahan………………………………………………….…...….
21
2. Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan……………………………..….....
23
3. Bahan dan Alat yang Digunakan Dalam Pengambilan Data..........……....
26
4. Metode Penelitian………………………………………………..…..…...
29
5. Kriteria Penilaian Kondisi Permukiman……………………...………..…
30
6. Kriteria Penilaian Kondisi Sungai………………………………..………
30
7. Tingkat Pencemaran Sungai Kuin……………………...…………...……
56
8. Program Perbaikan Sungai Berdasarkan Zonasi Kualitas Sungai………..
80
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pikir…………………………………………………………...
5
2. Rumah Tipe Bubungan Tinggi…………………………………….....…..
8
3. Rumah Tipe Balai Bini……………………………………………....…..
9
4. Rumah Tipe Gajah Baliku………………………………………..…..….
9
5. Rumah Tipe Palimasan……………………………………..………..…..
9
6. Rumah Tipe Balai Laki…………………………………..…………...….
9
7. Rumah Tipe Gajah Manyusu………………………………..………..….
10
8. Rumah Tipe Palimbangan……………………………………….....…….
10
9. Rumah Tipe Tadah Alas…………………………………………….....…
10
10. Rumah Tipe Lanting………………………………………………....…..
10
11. Rumah Tipe Cacak Burung………………………………………..…......
11
12. Rumah Tipe Joglo…………………………………………………...…...
11
13. Tipe Umum Sempadan dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai..
13
14. Peta Lokasi Penelitian…………………………………………...…..…...
25
15. Tahapan Penelitian……………………………………………...…..……
28
16. Tata Guna Lahan Kelurahan Kuin Utara…………………………………
33
17. Sketsa Ilustrasi Keraton Banjar di Kuin Sebelum Tahun 1612…..…..…..
34
18. Ilustrasi Perkembangan Permukiman di Kuin Utara……………........…..
36
19. Peta Analisis Spasial Pola Permukiman Kampung Kuin………...………
37
20. Peta Analisis Spasial Arah Orientasi Permukiman Kampung Kuin…..…
38
21. Peta Persebaran Bangunan Berarsitektur Tradisional Banjar……………
41
22. .Perubahan Arsitektur Pada Rumah Tradisional …………….…….…….
42
23. Rumah yang Juga Difungsikan Sebagai Warung …..……...….…………
42
24. Masjid dan Makam Sultan Suriansyah………..………………………….
43
25. Konstruksi Pondasi………………...…………………………………….
45
26. Peta Analisis Spasial Bahan Konstruksi Rumah…………………………
46
27. Kondisi Jamban di Kampung Kuin………………………………………
48
28. Analisis Spasial Kondisi Fasilitas (WC)…………………………………
49
29. Peta Zonasi Eksisting Permukiman (Hasil Sintesis)..……………………
52
30. Analisis Spasial Ketersediaan Bantaran Sungai Kuin……………………
53
31. Analisis Spasial Kondisi Pasang Surut Sungai Kuin…………………….
55
32. Analisis Spasial Kondisi Debit Air Sungai Kuin………………………...
56
33. Analisis Spasial Tingkat Pencemaran Sungai Kuin……………………...
57
34. Peta Hasil Sintesis Karakteristik Sungai…………………………………
58
35. Pasar Apung Muara Kuin………………………………………………...
60
36. Diagram Konsep Ruang………….……………………...……………….
62
37. Diagram Konsep Sirkulasi……….……………...……………………….
63
38. Pohon Jingah (Gluta renghas)…………………………….……………..
64
39. Pohon Rambai (Baccaurea motlryana)……………………..……………
64
40. Gambar Ringkasan Sistem Komunal…………………………………….
65
41. Konstruksi Septick Tank Komunal………………………………………
67
42. Gambar Rencana Blok…………………………………………………...
71
43. Rencana Tapak……………………………………..…………………….
72
44. Segmen 1…………………………………………………………...…….
73
45. Segmen 2.………………………………………………………………...
74
46. Segmen 3..………………………………………………………………..
75
47. Segmen 4…………………………………………………………………
76
48. Tampak Potongan A-A’………………………………………………….
77
49. Tampak Potongan B-B’…………………………………………………..
77
50. Ilustrasi Rumah Tepi Sungai……………………………………………..
77
51. Ilustrasi Orientasi Rumah di Atas Badan Sungai………………………...
77
52. Ilustrasi Dermaga di Depan Masjid Sultan Suriansyah……………...…...
78
53. Ilustrasi Kegiatan Jual Beli di Sungai……………………………………
78
54. Ilustrasi Penanaman Vegetasi Pada Bantaran Sungai……………………
78
55. Ilustrasi Bak Penampungan Septick Tank Komunal……………………..
79
PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai merupakan salah satu bentuk badan air lotik yang bersifat dinamis yang berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai memiliki fungsi ekologis yang dapat menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh di atasnya dan mengalirkannya ke laut. Banjarmasin merupakan kota dengan keadaan alamnya yang dilalui oleh banyak sungai sehingga dikenal sebagai Kota Seribu Sungai. Ada sekitar 107 buah sungai yang mengalir di Kota Banjarmasin yang terdiri dari sungai besar dan kecil. Salah satu sungai besar yang melalui kota tersebut adalah Sungai Barito. Sedangkan sungai lain seperti Sungai Martapura, Alalak, dan Kuin, hanya dapat dilalui tongkang yang kebanyakan membawa sembako dan sayur-sayuran. Kondisi yang demikian mencirikan kekhasan Banjarmasin sebagai kota air, disamping letaknya yang strategis sehingga menjadikan Kota Banjarmasin sebagai kota Pelabuhan, Kota Perdagangan, Kota Pariwisata dan Ibu Kota Propinsi Kalimantan Selatan Perkembangan kawasan yang cukup pesat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan karena bermunculannya kawasan kumuh terutama di tepian sungai seperti pada daerah komersial (pasar terapung) dengan konsentrasi penduduk yang tinggi. Adanya permukiman di tepi sungai yang kurang tertata telah berkembang menjadi permukiman yang padat dan kumuh. Letak bangunan yang tidak teratur pada bantaran sungai, utilitas (drainase tempat sampah) yang tidak berfungsi baik, fasilitas pelayanan (MCK, tempat bermain, olahraga, pasar) yang kurang disertai kebiasaan yang kurang baik menyebabkan kualitas lingkungan permukiman tepi sungai tersebut semakin menurun kualitasnya. Apabila keadaan tersebut dibiarkan maka akan menimbulkan berbagai masalah dari segi tata ruang, kualitas kesehatan dan kualitas lingkungan. Oleh karena itu diperlukan rencana penataan permukiman di pinggir sungai, khususnya permukiman tradisional Kampung Kuin. Kampung Kuin merupakan kawasan permukiman tepi sungai yang masih memperlihatkan pola-pola tradisionalnya. Ciri khas yang membedakan Kampung Kuin dengan permukiman tradisional lainnya adalah letaknya yang berada di
2
sepanjang tepian Sungai Kuin. Kampung ini masih mempunyai karakter khas seperti elemen-elemen spesifik yang mempunyai pengaruh cukup kuat terhadap lingkungan sekitarnya seperti, adanya Mesjid dan Makam Sultan Suriansyah serta Pasar Terapung. Semua ini merupakan aset budaya dan sejarah kota Banjarmasin yang memiliki nilai tinggi sehingga perlu untuk ditata sesuai dengan nilai-nilai sosial budayanya dan selanjutnya dilestarikan. Sungai merupakan sarana transportasi yang penting di kawasan ini sehingga kelestarian sungai harus dipertahankan. Faktor alam dan kesalahan manusia sangat mempengaruhi keadaan sungai. Sebagai contoh adalah tumbuhtumbuhan eceng gondok yang tumbuh subur serta sisa-sisa kayu bekas tebangan di hulu terbawa hanyut sampai ke hilir yang selain mengganggu transportasi sungai juga merusak tiang-tiang pondasi perumahan tepi sungai. Keadaan ini mengganggu ekosistem sungai yang akan berdampak terhadap kepentingan manusia. Kampung Kuin di kawasan sepanjang Sungai Kuin merupakan kawasan tradisional yang akan dilestarikan dan kualitas sungai dengan kondisi kurang baik ini akan sangat mempengaruhi kondisi tersebut.
Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk merencanakan penataan lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin yang terletak di tepi Sungai Kuin guna pelestariannya, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai elemen pembentuk serta karakter lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin. 2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan karakter fisik Sungai Kuin. 3. Menganalisis kesesuaian pola permukiman tradisional. 4. Merencanakan tata lanskap permukiman tradisional di tepian sungai Kampung Kuin yang berorientasi pada pelestarian budaya Banjar yang berbasis sungai.
3
Manfaat Penelitian ini memiliki manfaat: 1. Menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Banjarmasin dalam penataan permukiman di sepanjang tepian sungai. 2. Sebagai referensi mengenai pola permukiman tepi sungai yang menjaga nilainilai tradisionalnya dan kelestarian sungai 3. Menjadi masukan bagi Pemda untuk merancang Kampung Kuin sebagai kawasan wisata budaya yang berbasis pada sungai.
Kerangka Pikir Permukiman di tepi sungai atau yang sekarang sering disebut Stren Kali atau bantaran sungai bukanlah hal yang baru. Bahkan dari bukti sejarah yang ada, cikal bakal Kota Banjarmasin merupakan sebuah kerajaan di tepi sungai. Tidak salah jika pemukiman di tepi sungai merupakan salah satu ciri khas Kota Banjarmasin. Sungai merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan sejak zaman negeri ini masih berupa kerajaan. Sungai tidak hanya merupakan sarana transportasi yang menghubungkan Banjarmasin dengan daerah-daerah di Kalimantan Selatan, tetapi juga merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, secara kultur masyarakat Kota Banjarmasin sangat dekat dengan sungai dan sulit dipisahkan dengan sungai. Tetapi, ketika lahan di Kota Banjarmasin menjadi sesuatu yang mahal, orang-orang pun melirik daerah bantaran sungai yang membentang di sepanjang kota. Daerah bantaran sungai pun dijadikan tempat tinggal dengan karakteristik bangunannya adalah tipe terapung, panggung, dan bukan panggung. Permukiman pinggir sungai saat ini menjadi salah satu titik perkampungan yang identik dengan kumuh. Hal ini dapat dilihat dari letak bangunan yang tidak teratur, rumah-rumah papan tidak ber-IMB, dan sampah yang senantiasa dibuang ke sungai. Belum lagi sungai itu dipakai kembali untuk mandi, cuci, dan kakus (Sumber:
http://hidupbersamabencana.wordpress.com).
Jika
keadaaan
ini
dibiarkan maka akan terjadi gangguan pada kualitas sungai seperti pencemaran, sedimentasi, penyempitan dan lain-lain.
4
Selain itu perkembangan yang cukup pesat ini lama kelamaan mengubah pola tradisional permukiman yang ada. Berubahnya pola tradisional ini, akan mengurangi keaslian dari permukiman yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Banjar yang merupakan cikal bakal Kota Banjarmasin. Jika keadaaan ini dibiarkan maka akan terjadi gangguan pada kualitas sungai seperti pencemaran, sedimentasi, penyempitan dan lain-lain. Penataan perlu dilakukan pada kawasan ini adanya permukiman dan sungai bias saling mendukungSelain itu, untuk menjadikan Kampung Kuin sebagai aset budaya kota, sebagai aset wisata kota dan juga sebagai aset edukasi masyarakat. Gambar 1 menunjukkan kerangka pikir penelitian untuk memperoleh suatu bentuk perencanaan permukiman tradisional di sepanjang Sungai Kuin.
5
Kota Seribu Sungai Banjarmasin
Pemukiman Tradisional Banjar di Tepi Sungai
Kondisi Pemukiman Saat ini
Pola Pemukiman
Arsitektur Bangunan & Struktur
Kondisi Sungai Saat Ini
Fasilitas, Utilitas
Karakter Fisik & Prilaku Sungai
Penilaian Kondisi Pemukiman Saat Ini
Kualitas Sungai
Penilaian Kondisi Sungai Saat Ini
Hasil Penilaian Kondisi Lanskap Saat Ini:
Konsep Pelestarian Lanskap Pemukiman Tradisional Kampung Kuin
Perencanaan Kawasan Untuk Perbaikan Lingkungan Rencana Lanskap Pemukiman Tradisional Kampung Kuin
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Permukimam Tradisional Menurut Aryaoka (2009) rumah-rumah membentuk suatu pola perumahan yang menempati suatu wilayah yang disebut permukiman. Masing-masing permukiman mempunyai konsep yang berbeda-beda mulai dari aturan tentang kehidupan, aturan tata ruang, sistem kepercayaan, dan lain-lain yang kesemuanya ini mereka yakini dan diwarisi secara turun-temurun sehingga menjadi suatu tradisi. Bertitik tolak dari tradisi tersebut muncullah sistem hunian yang disebut rumah atau pemukiman tradisional. Secara umum konsep kehidupan yang menjunjung tradisi atau bersifat tradisional adalah keterbukaan, kekerabatan dan kepercayaan yang bersifat religius. Mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, antar keluarga (tetangga), dan kumpulan keluarga (warga). Keterbukaan diwujudkan dalam sedikitnya bahkan tidak adanya batas-batas antar rumah. Bila ada, temboknya sangat rendah. Ini untuk memudahkan mereka berinteraksi dengan rumah di sebelahnya. Kekerabatan diwujudkan dengan adanya ruang-ruang bersama seperti dalam lingkup keluarga ada ruang keluarga, atau dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu adanya tempat pertemuan antar warga, pemandian umum, pasar, dan lain-lain. Kepercayaan yang bersifat religius diwujudkan dengan adanya aturan-aturan tata ruang dan tempat suci bersama (Aryaoka, 2009). Menurut Rowe dan Kotter (dalam Priyatmono, 2006) ketinggian bangunan di kawasan tradisional relatif rendah dan hampir mempunyai ketinggian sama antara satu dengan yang lainnya, perkecualian di beberapa bangunan umum dan peribadatan mempunyai massa yang lebih tinggi dan menonjol. Sebagai contoh, Pola perkampungan suku Banjar umumnya mengelompok padat. Desa-desa pada umumnya memanjang, yakni di sepanjang jalan raya dan sungai-sungai (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983). Menurut Budiarjo (dalam Adriana, 1992) lingkungan permukiman harus memenuhi persyaratan antara lain: tidak terganggu oleh polusi udara, tersedia air bersih, memberi kemungkinan untuk berkembang, mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak di bawah air. Lingkungan
7
fisik di kota yang sedang mengalami pertumbuhan adalah memaksimumkan struktur dan meminimumkan ruang terbuka. Selain teknis atau fisik, permukiman berkaitan pula dengan dimensi sosial budaya, sumber daya lokal dan selera masyarakat yang kesemuanya akan membentuk situasi apakah masyarakat akan berperan serta atau tidak.
Arsitektur Tradisional Banjar Menurut Idwar Saleh (dalam Wikipedia, 2009) rumah tradisional Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa tipe Rumah Banjar yang tidak beranjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Menurut Seman dan Irhamna (2001), Arsitektur Banjar, adalah arsitektur tradisional yang memiliki karakter; 1. Bangunan dalam konstruksi bahan kayu, karena alam Kalimantan kaya akan hutan, sementara pada saat itu belum dikenal adanya semen. 2. Rumah panggung, yaitu bangunan yang didukung oleh sejumlah tiang dan tongkat yang tinggi dari kayu ulin (Kayu besi = Eusyderoxylon zwageri). Menurut istilah orang Banjar, yang dimaksud dengan tiang adalah balok ulin yang bertumpu pada dasar tanah dengan pondasi, sepanjang sampai ke pangkal atap. Sedangkan tongkat yang bertumpu pada dasar tanah hanya sampai dasar lantai saja. 3. Bangunan bersifat simetris, yaitu dengan konstruksi dan elemen yang sama pada sayap kiri dan kanan, dengan demikian jumlah jendela sama banyaknya pada sisi kiri dan kanan bangunan rumah. 4. Sebagian bangunan memiliki anjungan pada samping kiri dan kanan dengan posisi agak ke belakang. Anjung Kiwa dan Anjung Kanan dikenal dengan
8
istilah konstruksi Pisang Sasikat. Masing-masing anjung memiliki sebuah jendela pada sisi dinding bagian depan. 5. Atap rumah yang dipergunakan dari atap sirap yang dibuat dari kayu ulin atau kayu besi. Ada pula bangunan rumah yang menggunakan atap daun rumbia yang bahannya terbuat dari daun pohon sagu. Konstruksi bubungan terdapat dalam bentuk Atap Pelana dan Atap Sengkuap 6. Hanya memiliki dua buah tangga yaitu Tangga Hadapan dan Tangga Balakang. Tangga yang dibuat dari kayu ulin tersebut memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil. Pada periode berikutnya terdapat tangga hadapan kembar dengan arah ke samping kiri dan kanan dalam posisi yang simetris. 7. Pintu (Banjar; Lawang) yang menghubungkan keluar atau masuk ke rumah hanya terdapat dua buah, yaitu Lawang Hadapan dan Lawang Belakang. Posisi kedua pintu tersebut terletak seimbang di tengah (depan dan belakamg) karena bangunan yang simetris. 8. Adanya Tawing Halat (dinding pembatas) yang terletak membatasi antara Penampik Besar dan Palidangan. Pada sisi kiri dan kanan Tawing Halat terdapat pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang. Selanjutnya menurut Seman dan Irhamna (2001) delapan ciri bangunan yang diutarakan di atas merupakan ciri tradisional dari bangunan adat Banjar di Kalimantan Selatan yang tercatat dalam 11 tipe. Kesebelas tipe tersebut adalah sebagai berikut.
Bubungan Tinggi, sebagai bangunan istana Sultan Banjar Tipe ini merupakan arsitektur tertua yang mengandung sejarah dalam kerajaan Banjar. Bentuk bubungan
tinggi
yang
melancip
ke
atas,
menyebabkan bangunan ini dinamakan Bubungan Gambar 2. Rumah Tipe Bubungan Tinggi
Tinggi
9
Balai Bini, merupakan bangunan bagi para putri atau keluarga raja pihak wanita. Rumah ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung.
Gambar 3. Rumah Tipe Balai Bini Gajah Baliku, merupakan bangunan hunian bagi para saudara Raja Banjar. Memiliki bubungan tinggi, tetapi atap Sindang Langit (atap sengkuap) berubah menjadi atap pelana dan memiliki anjungan
Gambar 4. Rumah Tipe Gajah Baliku Palimasan, suatu bangunan bagi bendaharawan kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah emas dan perak. Bentuk bubungan depan seperti limas menyebabkan rumah ini dinamakan Palimasan tetapi tidak memiliki anjungan Gambar 5. Rumah Tipe Palimasan
Balai Laki, Sebagai tempat hunian para punggawa mentri dan prajurit pengawal Sultan Banjar. Bangunan ini memiliki atap pelana dengan ujung depan yang tajam serta ujung yang agak kecil Gambar 6. Rumah Tipe Balai Laki
10
Gajah Manyusu, sebagai bangunan kediaman bagi para warit raja yaitu keturunan para gusti. Bangunan ini tidak memiliki bubungan yang tinggi, tetapi memiliki anjungan.
Gambar 7. Rumah Tipe Gajah Manyusu Palimbangan, merupakan bangunan pada periode berikutnya sebagai hunian para pemuka agama dan ulama serta saudagar. Bangunan ini sama besarnya dengan Palimasan dan tidak memiliki anjungan.
Gambar 8. Rumah Tipe Palimbangan
Tadah Alas, merupakan bangunan bagi rakyat banjar pada periode berikutnya. Bangunan ini memiliki atap tumpang yang membedakan dengan bangunan yang lain dan memiliki anjungan
Gambar 9. Rumah Tipe Tadah Alas
Lanting adalah bangunan rumah yang terapung di pinggiran Sungai Martapura, tempat tinggal khusus orang
Banjar
di
sepanjang
batang
banyu.
Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada batang-batang besar sebagai pelampung. Gambar 10. Rumah Tipe Lanting
11
Cacak Burung atau Anjung Surung adalah rumah bagi rakyat Banjar pada umumnya. Cacak Burung adalah istilah Bahasa Banjar untuk tanda tambah. Denah bangunan ini persis dengan tanda tambah, kedua ujung kiri kanannya seperti bertumpang di atas badan rumah. Gambar 11. Rumah Tipe Cacak Burung Joglo adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di Banjarmasin. Bangunan rumah yang besar ini berfungsi pula sebagai gudang barang dagangan, karena mereka pada umumnya adalah pedagang
Gambar 12. Rumah Tipe Joglo
Lanskap Sungai Menurut Simonds (dalam Nurisyah dan Pramukanto, 2004) lanskap merupakan bentangan alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indra yang dimiliki manusia. Nurisyah dan Azis (dalam Adriana, 1992) menyatakan bahwa berdasarkan campur tangan manusia, lanskap dapat berbentuk (1) Lanskap alami seperti lanskap pegunungan, rawa, sungai, riverscape; (2) Lanskap buatan seperti lanskap kota (urbanscape), lanskap permukiman penduduk kota, lingkungan pabrik dan (3) Perpaduan harmonis antara lanskap alami dan buatan seperti suatu lanskap pedesaan dengan permukiman manusia, terasering persawahan padi dengan pondok pelepas lelah dan sebagainya. Sungai merupakan salah satu bentukan lanskap yang menjadi tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama. Sungai mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia di dunia ini, yakni dengan menyediakan banyak daerah subur yang umumnya
12
terletak di bagian lembahnya, sumber air sebagai salah satu elemen kehidupan manusia yang paling utama, dan sebagai sarana transportasi guna meningkatkan mobilitas dan komunikasi antar manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2004). Dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih rendah atau dataran, aliran sungai secara lambat laun akan bersatu dengan beberapa sungai lain hingga pada akhirnya badan sungai menjadi besar. Sungai yang memiliki daerah aliran yang panjang dan volume air terbesar disebut sebagai sungai utama, dan cabang-cabangnya disebut anak sungai (Nurisyah dan Pramukanto, 2004). Menurut Malanson (dalam Aini, 2005) lanskap sungai adalah kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut. Menurut Syahril (dalam Aini, 2005) lanskap sungai tidak terlepas dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi induknya. Daerah Aliran Sungai diartikan sebagai suatu ruang wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh topografi pemisah (punggung bukit) yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau daerah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah melalui sistem jaringan sungai dan bermuara ke danau atau ke lautan. Menurut Bapedalda pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dan PP No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan lebar sempadan pada sungai besar diluar permukiman minimal 100 meter (m) dan pada anak sungai besar minimal 50 m di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10-15 meter. PP No 47 tahun 1997 juga menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul di luar daerah permukiman adalah lebih dari 5 meter sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul di luar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang. Gambar 2 merupakan gambar cara menentukan lebar sempadan sungai.
13
Gambar 13. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai (Sumber: http://bapedal-jatim.info)
Permukiman Tepi Sungai Tata ruang kota merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan kota sangat berpengaruh terhadap tata air. Akibat adanya pengurukan kawasan sungai menyebabkan kemampuan kawasan sungai sebagai kawasan penyangga yang mampu menyerap air di musim hujan dan mendistribusikannya kembali di musim kemarau menjadi rusak. (Walhi, 2004) Menurut Evert (dalam Aini, 2005) perumahan di pinggir sungai merupakan cerminan adanya keterbatasan lahan kota sehingga tidak semua masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memadai dan dapat tinggal di lahan yang sesuai. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tepian sungai merupakan masyarakat yang seeara struktural sudah tidak dapat lagi diwadahi sehingga walaupun lahan yang mereka tempati kondisinya tidak landai. Area tepi sungai tersebut dihuni (Guinness dalam Aini, 2005). Menurut Putri (2008) permasalahan di permukiman tepian sungai selain aturan yang menghendaki adanya penetapan lebar garis sempadannya, permasalahan infrastruktur permukimannya pun lebih kompleks. Antara lain ketersediaan lahan lebih terbatas, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat hunian yang tinggi, menurunnya kualitas struktur hunian, proses erosi yang semakin melebar, serta kondisi atau pelayanan infrastruktur dasar yang buruk, seperti halnya jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan, jaringan
14
saluran air hujan untuk pematusan (drainase) serta pencegahan pasang/banjir setempat dan pendangkalan sungai (erosi). Perumahan tepian sungai sebagai salah satu pemukiman spontan terbentuk dari kondisi awal fisik bangunan yang terlihat relatif sangat sederhana. Kondisi awal terbentuknya permukiman spontan cenderung merupakan suatu lingkungan hunian yang kumuh. Menurut Judohusodo dalam Aini (2005) ciri perkampungan kumuh sebagai bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola, minim atau tidak tersedianya fasilitas umum, sarana dan prasarana yang kurang baik serta bentuk fisik lingkungan yang tidak layak untuk dihuni (seperti secara berkala terkena banjir).
Perencanaan Lanskap Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan ssuatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung
berbagai
kebutuhan
dan
keinginan
manusia
dalam
upaya
meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya. Secara praktikal dinyatakan bahwa kegiatan merencana suatu lanskap adalh suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep ke arah suatu bentuk lanskap atau bentang alam yang nyata. Proses perencanaan tapak dimulai dengan pengumpulan data dasar yang berkaitan secara khusus dengan tapak tersebut dan daerah sekitarnya. Data ini harus meliputi hal-hal rencana induk dan penelaahannya, peraturan penzonaan, peta dasar dan udara, survei, data topografi, informasi geologi, hidrologi, tipe tanah, vegetasi dan ruang terbuka yang ada. Setelah semua informasi diperoleh, maka informasi tersebut harus diperiksa dan dianalisis. Salah satu sasarannya adalah untuk menetapkan keunggulan serta keterbatasan tapak. Apabila ternyata sesuai, maka data tersebut harus dianalisis lebih lanjut (Chiara dan Koppelman, 1990).
15
Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) dalam kegiatan perencanaan lanskap proses perencanaan yang baik dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung, satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik tapak, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut.
Pelestarian Menurut Poerwadarmita dalam Muchamad dan Mentayani (2004) pelestarian berasal dari kata “lestari” yang dalam bahasa Jawa berarti tetap, kekal, dan abadi. Sedangkan menurut Adishakti (dalam Wongso, 2008) pelestarian merupakan terjemahan dari conservation/konservasi. Pengertian pelestarian terhadap peninggalan lama pada awalnya dititikberatkan pada bangunan tunggal atau benda-benda seni, kini telah berkembang ke ruang yang lebih luas seperti kawasan hingga kota bersejarah serta komponen yang semakin beragam seperti skala ruang yang intim, pemandangan yang indah, suasana, dan sebagainya. Menurut Adhisakti dalam Muchammad dan Mentayani (2004) konsep pelestarian memiliki tujuan untuk tetap mempertahankan identitas suatu lingkungan (wilayah, daerah, kawasan, kelompok warisan budaya, dll). Dengan kata lain tekanan diletakkan pada kesinambungan dalam perubahan agar identitas lingkungan tetap terjaga. Konsep pelestarian, kini, adalah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Pelestarian bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik. Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Wongso, 2008). Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) secara garis besar komponen pelestarian dapat dibedakan atas : a. Komponen Non-Hayati (Kebendaan), yaitu air, udara, tanah, bangunan.
16
b. Komponen Hayati, yaitu makhluk hidup, tumbuhan. c. Komponen Kemasyarakatan, yaitu manusia dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan segala aktifitas kegiatannya. Namun tidak semua komponen tersebut selalu ada pada obyek yang akan dilestarikan. Yang terpenting adalah telaah dan mempertahankan komponen inti untuk dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap terdapat beberapa tindakan teknis yang umumnya dilakukan, yaitu: 1. Adaptive use (Penggunaan adaptif) Mempertahamnkan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Untuk kegiatan model ini perlu pengkajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan, pengelolaan dan faktor-faktor lain yang berperan tehadap pembentukan lanskap tersebut. 2. Rekonstruksi Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli. 3. Rehabilitasi Tindakan yang memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan dari suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan struktur atau susunannya secara fisik dan visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan. 4. Restorasi Suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif, yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi terhadap karya lanskap ini tetap ada. 5. Stabilisasi Suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau obyek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (seperti gangguan iklim dan suksesi alami) terhadap tapak.
17
6. Konservasi Konservasi merupakan tindakan yang bertujuan untuk melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan. Untuk memperkuat karakter spesifik yang menjiwai lingkungan/tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dan pembangunan baru mendekati perkembangan aspirasi masyarakat. 7. Interpretasi Tindakan ini merupakan suatu usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap asli secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa kini dan yang akan datang. 8. Period setting, replikasi, imitasi Penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang original site. Usaha ini memerlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dan lain-lain yang sama serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga pembangunan lanskap tersebut akan sesuai suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya. 9. Release Suatu strategi pengelolaan yang memperbolehkan adanya suksesi alam yang asli. Sebagai contoh adalah diperbolehkannya vegetasi menghasilkan suatu produk tertentu secara alami pada suatu lanskap sejauh tidak merusak keutuhan atau merusak nilai holistiknya. 10.
Replacement (penggantian)
Substitusi atas suatu komuniti biotic dengan lainnya. Contohnya adalah penggunaan jenis tanaman penutup tanah (ground cover) yang dapat tetap menampilkan bentukan lahan. Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) dalam kegiatan pelestarian dikenal ada 2 (dua) macam gerakan pelestarian, yaitu; pertama gerakan pelestarian kebendaan, gerakan ini umumnya dilaksanakan oleh para arsitek, pakar sejarah
18
arsitektur, perencana kota, pakar geologi, dan penulis. Kedua gerakan pelestarian kemasyarakatan, yaitu gerakan pelestarian yang melibatkan para pakar ilmu sosial, arsitek, pekerja sosial, kelompok swadaya masyarakat, bahkan tokoh politik. Menurut Sidharta (dalam Wongso, 2008) kegiatan pelestarian ini bisa berbentuk pembangunan atau pengembangan dalam bentuk upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu.
KONDISI UMUM BANJARMASIN
Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis terletak pada posisi 3° 16' 32” LS - 3° 22' 43” LS dan pada 114° 32' 02” BT - 114° 38' 24” BT. Secara administratif, Kota Banjarmasin memiliki batas wilayah sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala, di sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Banjar. Kota ini memiliki luas wilayah mencapai ± 72 km² atau 0,22% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dan terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan, yaitu Banjarmasin Utara, Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Barat, dan Banjarmasin Timur. Luas dari masing-masing kecamatan tersebut adalah sebagai berikut: Kecamatan Banjarmasin Utara
: 15,25 km²
Kecamatan Banjarmasin Selatan
: 20,18 km²
Kecamatan Banjarmasin Tengah
: 11,66 km²
Kecamatan Banjarmasin Barat
: 13,37 km²
Kecamatan Banjarmasin Timur
: 11,54 km²
Kota Banjarmasin banyak dialiri oleh sungai-sungai besar dan cabangcabangnya yang mengalir dari arah utara dan timur laut ke arah barat daya dan selatan, sehingga menyebabkan kota ini dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai. Hampir semua sungai bermuara di Sungai Barito dan Sungai Martapura yang kondisi alirannya dipengaruhi pasang surut Sungai Barito. Hal ini berpengaruh kepada drainase kota mapun memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat. Pola aliran sungainya dikategorikan sebagai pola aliran mendaun (dendritic drainage patern), jenis pola ini dapat dicirikan dari aliran sungai cabang menuju sungai utama.
20
Morfologi Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura, sehingga secara umum kondisi morfologi Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran rendah. Daerah ini terletak di bawah permukaan air laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan tingkat kemiringan lereng 0%-2%. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin, sedangkan jika dibandingkan dengan luas Propinsi Kalimantan Selatan, proporsi kondisi morfologi ini mencapai 14%. Kondisi ini sangat menunjang bagi pengembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air.
Geologi dan Tanah Sebagian besar formasi batuan dan tanah di wilayah Kota Banjarmasin adalah jenis Alluvium (Qa) yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lempung, dan lumpur. Tanah Alluvial yang didominasi struktur lempung adalah merupakan jenis tanah yang mendominasi wilayah Kota Banjarmasin. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat kesuburan yang baik, sehingga potensial untuk pengembangan budidaya tanaman pangan (khususnya padi sawah dan hortikultura) Masalahnya dominasi jenis tanah ini terdapat pada lahan datar, sehingga kendala yang sering terjadi adalah tanah ini akan tergenang air pada musim hujan. Sedangkan batuan dasar yang terbentuk pada cekungan wilayah berasal dari batuan metamorf yang bagian permukaannya ditutupi oleh krakal, kerikil, pasir dan lempung yang mengendap pada lingkungan sungai dan rawa. Adapun komposisi penggunaan lahan dijelaskan pada Tabel 1 sebagai berikut:
21
Tabel 1. Tata Guna Lahan Penggunaan lahan
Luas
Persentase
Pertanian
3059,9 ha
43,4 %
Lahan Industri
276,0 ha
3,3 %
Lahan perusahaan
307,9 ha
4,4 %
Lahan Jasa
427,3 ha
6,1 %
Lahan Perumahan
2.969,3 ha
42,2%
Total
7040,4 ha
100 %
(Sumber: http://www.banjarmasin.go.id)
Dibandingkan data-data tahun sebelumnya lahan pertanian cenderung mengalami penyusutan dan untuk kebutuhan jasa dan perumahan cenderung meningkat, sejalan dengan peningkatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk
Iklim Secara klimatologi, Kota Banjarmasin beriklim tropis dengan klasifikasi tipe iklim A dengan nilai Q=14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Temperatur udara bulanan di wilayah ini rata-rata 26°C-38°C dengan sedikit variasi musiman, dimana suhu udara maksimum 33°C dan suhu udara minimum 22°C. Curah hujan rata-rata mencapai 2.400 mm – 3.500 mm dengan fluktuasi tahunan berkisar antara 1.600 mm – 3.500 mm. Penyinaran matahari tahunan rata-rata pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari. Kelembaban udara relatif bulanan rata-rata tersebar jatuh pada bulan Januari yaitu ± 74 – 91% dan terkecil pada bulan September yaitu ± 52%. Evaporasi dari permukiman air bebas karena penyinaran matahari dan pengaruh angin, rata-rata harian sebesar 3,4 mm/hari di musim hujan dan 4,1 mm/hari di musim kemarau. Evaporasi maksimum yang pernah terjadi sebesar 11,4 mm/hari dan minimum 0,2 mm/hari.
Kondisi Pasang Surut Secara hidrologi (terutama air permukaan), Kota Banjarmasin dikelilingi oleh sungai-sungai besar beserta cabang-cabangnya, mengalir dari arah utara dan timur laut ke arah barat daya dan selatan. Sungai-sungai tersebut mengalir dan
22
membentuk pola aliran mendaun (dendritik drainage patern). Sungai utama yang besar adalah Sungai Barito dengan beberapa cabang utama seperti Sungai Martapura, Sungai Alalak, dan sebagainya. Muka air Sungai Barito dan Sungai Martapura dipengaruhi oleh pasang surut Laut Jawa, sehingga mempengaruhi drainase kota dan apabila air laut pasang, sebagian wilayah kota digenangi air. Rendahnya permukaan lahan (-0,16 dpl) menyebabkan air sungai menjadi payau dan asin di musim kemarau karena terjadi intrusi air laut. Secara umum, tipe pasang surut yang ada di Kalimantan Selatan adalah tipe diurnal, yaitu dalam 24 jam terjadi gelombang pasang 1 kali pasag dan 1 kali surut. Lama pasang rata-rata 5-6 jam dalam satu hari. Selama waktu pasang, air di Sungai Barito dan Martapura tidak dapat keluar akibat terbendung oleh naiknya muka air laut. Kondisi ini tetap aman selama tidak ada penambahan air oleh curah hujan tinggi. Air yang terakumulasi akan menyebar ke daerah-daerah resapan seperti rawa, dan akan keluar kembali ke sungai pada saat muka air sungai surut. Kondisi kritis terjadi pada saat muka air pasang tertinggi waktunya bersamaan dengan curah hujan maksimum. Aliran air yang terbendung di bagian hilir sungai yang menyebabkan debit air sungai naik dan menyebar ke daerah-daerah resapan, debitnya akan mendapat tambahan dari air hujan. Apabila kondisi daerah resapan tidak mampu lagi menampung air, maka air akan bertambah naik dan meluap ke daerah-daerah permukiman dan jalan. Untuk sungai di Banjarmasin, ketinggian permukaan air sungai umumnya mengacu pada pasang surut air di muara (ambang luar) Sungai Barito, karena semua sungai yang ada di Banjarmasin dipengaruhi oleh pasokan air dari muara Sungai Barito. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Dinas Ad-Pel Banjarmasin, muka air tertinggi pada ambang Sungai Barito setiap hari terjadi secara relatif. Hal ini pula yang mempengaruhi jadwal keluar dan masuknya kapal dari atau ke pelabuhan.
Sosial dan Budaya Banjarmasin merupakan kota dengan jumlah penduduk yang relatif padat. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2 yang menggambarkan kepadatan penduduk per km².
23
Tabel 2. Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan Kecamatan
Luas
Jum
lah
penduduk
Kepadatan
(km²)
(jiwa)
(jiwa/ km²)
Banjarmasin Timur
11,54
107.874
9.348
Banjarmasin Barat
13,37
97.262
8.342
Banjarmasin Tengah
11,66
140. 227
10.488
Banjarmasin Utara
15,25
94.008
6.164
Banjarmasin Selatan
20,18
132.929
6.587
Total
72.00
572. 300
7.949
(Sumber : BPS, Banjarmasin Dalam Angka 2004)
Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak hubungannya dengan sungai, rawa dan danau, disamping pegunungan. Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini sangat banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup mereka yang mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan hasil benda-benda budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan mereka serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya juga agraris, pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional. Ikatan kekerabatan mulai longgar dibanding dengan masa yang lalu, orientasi kehidupan kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas nampak pada kehidupan seluruh suku bangsa yang berada di Kalimantan Selatan. Orang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan assimilasi. Sehingga nampak terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya Banjar, hampir identik dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-hari masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha. Seni ukir dan arsitektur tradisional Banjar nampak sekali pembauran budaya, demikian pula alat rumah tangga, transport, Tari, Nyayian dsb.
24
Masyarakat Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian, baik Seni Klasik, Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang menjadi milik masyarakat Banjar.
Ekonomi Struktur perekonomian kota Banjarmasin sampai tahun 2005 masih didominasi sektor industri pengolahan (24,87%), kemudian menyusul sektor pengangkutan dan komunikasi (26,09%) yang ada pada tahun 2005 ini menggeser sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, restoran dan hotel (16,47%), sektor jasa (11,55%) dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kuin adalah wilayah sepanjang daerah aliran Sungai Kuin yang terletak di kota Banjarmasin. Lebar Sungai Kuin ±40 m yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut Sungai Barito. Kelurahan yang kini dikenal dengan nama Kelurahan Kuin Utara ini memiliki luas sebesar 14,45 ha. Batas permukiman Kampung Kuin memiliki luas sebesar 4,30 ha . Kelurahan Kuin Utara sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Alalak, sebelah timur dengan Kelurahan Pangeran, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Barito dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Kuin Cerucuk. Gambar 14 menunjukkan wilayah yang dijadikan lokasi penelitian.
Peta Kecamatan Banjarmasin Utara
U
Peta Kelurahan Kuin Utara
Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Data Kelurahan Kuin Utara)
Tanpa Skala
26
Bahan dan Alat Dalam pengambilan data survei lapang menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk memetakan lokasi penelitian dengan meregistrasi koordinat dan pemetaan data spasial. Kamera digital digunakan untuk merekam kondisi eksisting dari permukiman dan sungai saat ini dan lembar wawancara. Selanjutnya, untuk pekerjaan studio digunakan software AutoCAD 2006, Photoshop. Tabel 3. Bahan dan Alat yang Digunakan Dalam Pengambilan Data Bahan dan Alat
Manfaat
GPS
Peta spasial
Kamera digital
Foto kondisi eksisting
Lembar wawancara
Data deskriptif
Software (AutoCAD 2006,
Produk gambar
Photoshop)
Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya pada wilayah Kelurahan Kuin Utara. Hasil dari penelitian berupa perencanaan kawasan permukiman tradisional tepi sungai untuk pelestarian tatanan permukiman tradisional berbasis pada kelestarian sungai dengan pendekatan sosial-budaya masyarakat Banjar.
Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam 4 tahap (Gambar 15) dengan keterangan sebagai berikut:
27
28
1. Pengumpulan data mengenai karakteristik tapak baik berupa data sekunder dan data primer. Data yang dikumpulkan berupa data kondisi permukiman maupun kondisi sungai saat ini. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengukuran tapak secara langsung dengan GPS dan wawancara dengan penduduk sekitar. 2. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kuantitatif. Data yang didapat selanjutnya dispasialkan dalam bentuk peta mengenai karakteristik tapak. Dari data mengenai karakteristik permukiman dan sungai yang didapat, maka dibuat pembobotan untuk pengklasifikasian kondisi permukiman (baik, agak baik, dan buruk) untuk kondisi permukiman dan klasifikasi baik dan buruk dan kondisi sungai (baik, buruk). 3. Sintesis data dilakukan dengan mengoverlay peta-peta spasial untuk memperoleh zona inti dan zona penyangga yang akan melindungi zona inti dari kerusakan. 4. Perencanaan lanskap dibuat dengan mengintegrasikan konsep pelestarian lanskap permukiman dan perbaikan kualitas sungai. Hasil integrasi tersebut dikembangkan menjadi sebuah perencanaan pelestarian lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin yang berorientasi pada kelestarian sungai.
Metode dan Analisis Data
Metode Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan, pengukuran data di lapang, studi pustaka, dan wawancara. Untuk mengidentifikasi elemen serta karakter lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin maka dilakukan metode yang didasarkan pada tujuan yang akan dicapai seperti yang tercantum pada Tabel 4.
29
Tabel 4. Metode Penelitian Tujuan
Metode
Mengidentifikasi
dan
1.
Pencarian data sekunder berupa peta tapak.
mendeskripsikan elemen serta
2.
Pengumpulan
karakter lanskap permukiman tradisional Kampung Kuin.
data
sekunder
mengenai
arsitektur
tradisional
Banjarmasin, khususnya di kawasan Kampung Kuin. 3.
Survei untuk mendapatkan data primer mengenai kondisi eksisting.
4.
Melakukan wawancara dengan kepala adat mengenai sejarah terbentuknya permukiman pinggir sungai, keadaan permukiman yang ada dahulu dan sekarang serta perbedaannya, pola permukiman yang terbentuk, jenis arsitektur vernakular dari rumah adat yang ada dan peruntukannya.
5.
Melakukan wawancara dengan penduduk setempat mengenai utilitas, arsitektur rumah adat, sistem pembuangan limbah, fasilitas yang ada, dll.
Mendeskripsikan
karakter
1.
biofisik Sungai Kuin
Pengumpulan data baik primer maupun sekunder mengenai biota, daya asimilasi air, kualitas visual sungai Kuin.
2.
Survei dan wawancara dengan penduduk mengenai karakter dan hidrologi sungai seperti kondisi pasang surut serta lokasi yang terkena dampak kondisi tersebut (daerah potensi banjir).
3.
Wawancara dengan penduduk setempat mengenai tradisi yang terkait dengan penggunaan ruang (sungai).
Menganalisis
pola
1.
permukiman yang ada dan kesesuaiannya
Melakukan penilaian dengan menggunakan skoring terhadap kondisi permukiman yang ada sekarang.
2.
Melakukan penilaian dengan menggunakan skoring terhadap kondisi sungai yang ada sekarang.
3. Merencanakan pelestarian
model permukiman
1.
Melakukan integrasi hasil analisis permukiman dan sungai. Membuat zonasi dan model pelestarian yang sesuai sebagai rekomendasi upaya pelestarian Kampung Kuin
tradisional di tepian sungai Kampung Kuin.
Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan analisis data spasial dengan menggunakan skoring. Skoring dilakukan pada kondisi permukiman (Tabel 5) dan kondisi sungai (Tabel 6). Analisis dengan skoring ini dilakukan berdasarkan kriteria Mac Kinnon (dalam Aini, 2005) dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penelitian. Selanjutnya dilakukan overlay untuk mendapatkan kawasan lindung (inti), penyangga dan pengembangan .
30
Tabel 5. Kriteria Penilaian Kondisi Permukiman Data
Faktor
Nilai Baik (3)
Pola
Keaslian
pemukiman Orientasi Arsitektur bangunan
Arsitektur dan
Linear
Agak Baik (2)
mengikuti
Mengikuti
Buruk (1)
pola
Tidak baraturan
sungai
jalan
Menghadap sungai
Membelakangi
dan jalan
sungai
Tradisional
Terdapat pengaruh
Sama sekali tidak
luar
berasitektur
bangunan
Menghadap jalan
sruktur
tradisional (arsitektur modern) Bahan
Kayu ulin
Kayu lain
beton
bangunan Fasilitas
Kondisi
Tersedia
fasilitas
kondisi baik
dengan
yang
Tersedia
dengan
Tersedia
kondisi
kurang
kondisi buruk
dengan
baik
tersedia
(Sumber: Mac Kinnon (dalam Aini, 2005)) Tabel 6. Kriteria Penilaian Kondisi Sungai Data
Faktor
Nilai Baik (2)
Karakter Biofisik dan
Kondisi Pasang Surut
prilaku sungai Kualitas sungai
Areal
yang
terkena
Buruk (1) Areal yang terkena
tidak banjir
banjir
Bantaran
Ada
Tidak ada
Debit
Cepat
Lambat
Tingkat Pencemaran
Tidak berbau
Barbau
(Sumber: Mac Kinnon (dalam Aini, 2005)) Setelah didapat peta dari masing-masing peta karakteristik, dilakukan overlay peta untuk mendapatkan kawasan mana yang harus dilestarikan. Overlay ini dilakukan untuk menentukan kawasan yang harus dilestarikan. Penentuan kelas untuk pelestarian kawasan adalah sebagai berikut:
31
∑ skor maksimal - ∑ skor minimal Selang kelas = ∑ kriteria pelestarian - Zona Pelestarian Kawasan Permukiman Skor maksimal 15, skor minimal 5, jumlah kriteria kesesuaian 3. Dari hasil tersebut maka kawasan yang memiliki skor 5-8 dijadikan zona pengembangan. Kawasan yang memiliki skor 9-11 dijadikan zona penyangga dan zona inti memiliki skor 12-15. - Zona Kondisi dan Kualitas Sungai Skor maksimal 8, skor minimal 4, jumlah kriteria kesesuaian 3. Dari hasil tersebut maka kawasan sungai yang memiliki skor 4-5 merupakan kawasan dengan kualitas buruk dan kawasan dengan skor 6 merupakan kawasan sungai dengan kualitas cukup baik. Sedangkan kawasan dengan skor 7-8 memiliki kualitas yang baik
DATA DAN ANALISIS Kondisi Fisik Kelurahan Kuin Utara Topografi Sebagaimana
umumnya
Kota
Banjarmasin,
topografi
atau
relief
permukaan tanah di kawasan Kuin Utara atau yang biasa disebut Kampung Kuin relatif datar, dalam arti tidak terdapat perbedaan permukaan tanah di kawasan studi.
Hidrologi Di kawasan ini selain Sungai Kuin dan Sungai Barito yang bertemu sebagai muara terdapat 4 anak sungai seperti Sungai Pandai dan Sungai Jaya baya. Semua anak sungai ini mengalami pasang surut air laut sehingga mempengaruhi kondisi air tanah di kawasan Kuin. Morfologi yang datar membuat drainase tidak berfungsi dan kondisi tanah di daerah menjadi berawa dikenal dengan rawa gambut. Bahkan di sepanjang Jalan Kuin tidak ditemui drainage sehingga air hujan mengalir langsung ke daerah yang lebih rendah (kiri kanan jalan) atau langsung ke sungai.
Kondisi Fisik Bangunan Seperti umumnya di kota Banjarmasin, konstruksi rumah di kawasan Kuin Utara terbuat dari konstruksi kayu dengan tipe rumah panggung. Kepadatan bangunan yang mengarah ke badan Sungai Kuin hanya taerdiri dari satu lapis, sedangkan di muara Sungai Kuin, yakni Sungai Barito, kepadatan bangunan terdiri 4-5 lapis. Kondisi bangunan yang ada umumnya buruk terutama bangunan lama sedangkan kondisi yang relatif lebih baik sebagian besar terlihat dari umur bangunan yang relatif lebih baru dan terdapat di sepanjang kiri kanan jalan Kuin.
Tata Guna Lahan Kelurahan Kuin Utara memiliki luas sebesar 14,45 ha. Kawasan ini terdiri dari lahan terbagun dengan luas 4,30 ha atau 30% dari luas keseluruhan. Yang terdiri dari permukiman yang membentuk pola menyerupai huruf L dan pabrik.
33
Sisanya masih berupa lahan terbuka hijau yang terdiri dari sawah dan kebun yang berada
di
sekitar
anak
Sungai
Kuin
dan
hutan
(Sumber:
http://wapedia.mobi/id/Keraton_Banjar#2.). Gambaran tata guna lahan di Kelurahan Kuin Utara ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Lahan Terbuka Hijau Pabrik
Permukiman
Gambar. 16 Tata Guna Lahan Kelurahan Kuin Utara
Karakteristik Permukiman Kampung Kuin
Sejarah Perkembangan Kampung Kuin terbentuk dari sebuah kerajaan, yakni Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau Kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar daerah Kalimantan pada saat sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada September 1526. dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan pertama (Sumber: http://2.bp.blogspot.com). Pada tahun 1612 terjadi peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang menghancurkan dan membumihanguskan Keraton Banjar. Saat itu Kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Raja Mustaqimbillah (1595–1620). Setelah keraton hancur dan habis terbakar, maka pusat kerajaan dipindahkan ke Teluk Selong daerah Martapura (Muchamad dan Aufa, 2006). Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Tempat yang diyakini sebagai lokasi Keraton Banjar adalah lokasi yang saat ini terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah dan sekitarnya di Kelurahan Kuin Utara, Kota Banjarmasin. Kompleks ini dahulunya sangat tidak terawat
34
akibat kerusakan dan padatnya perumahan penduduk. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada tahun 1982 oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Proyek Pemugaran Sejarah dan Purbakala Kalimantan Selatan. Proyek pemugaran dimulai tahun 1982 hingga 1986 (Muchamad dan Aufa, 2006). Kerajaan Banjar pertama inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya pemukiman di sepanjang tepian Sungai Kuin. Rumah Patih Masih merupakan bangunan pertama yang kemudian dijadikan istana. merupakan bangunan tertua yang didirikan di tepian sungai yang diikuti dengan rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal para keturunan raja dan bangunan lainnya yang mendukung pemerintahan serta bangunan masjid yang dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah. Sebagai kediaman raja, istana atau keraton biasanya merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi batas-batas teritorial yang jelas. Batas-batas ini merupakan penanda yang secara visual sangat dikenal serta sangat fungsional, antara lain sebagai benteng pertahanan. Dari aspek keruangan, terdapat batasbatas imaginer yang memisahkan peruangan keraton, sehingga membentuk konsep hierarki yang berjenjang sesuai dengan strata sosial-kemasyarakatan ataupun maksud-maksud lainnya (Muchamad dan Aufa, 2006). Lapangan
Keraton dan rumah kerabat raja Menara pengawas
Gambar 17. Sketsa ilustrasi Keraton Banjar di Kuin sebelum tahun 1612 (Sumber: Muchamad dan Aufa, 2006).
Adanya kerajaan pada kawasan ini dengan semua pengikut dan pegawai yang bekerja pada kerajaan serta penduduk dapat diidentifikasi secara spasial. Istana yang menjadi pusat kerajaan berada di tengah yang selanjutnya diikuti
35
dengan rumah kerabat dekat raja dan para penggawa mentri serta prajurit yang kemudian disusul dengan adanya permukiman penduduk atau rakyat Banjar pada umumnya. Pada awal kemerdekaan daerah Kuin merupakan satu wilayah desa. Pada tahun 1964. Desa Kuin dimekarkan menjadi lima desa yang masing-masing dipimpin oleh pembakal (Kepala Desa), yaitu Kuin Utara, Kuin Selatan, Kuin Cerucuk, Pangeran dan Antasan Kecil. Pada tanggal 1 Oktober 1980, desa telah diubah statusnya menjadi kelurahan yang kini dikenal dengan nama Kelurahan Kuin Utara (Sumber: http://wapedia.mobi/id/KalimantanSelatan).
Pola Permukiman Pola permukiman terbentuk karena budaya yang menyangkut cara hidup, cara beradaptasi dengan alam dan lingkungan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan (Goenmiandari, 2010). Berdasarkan pengamatan lapang, rumah-rumah tua yang masih bernilai tradisional dibangun menghadap sungai dengan pola linear mengikuti sungai. Maka, dapat disimpulkan pola awal permukiman dibangun linear dan berorientasi menghadap sungai. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya arti sungai bagi masyarakat permukiman ini. Selain itu, arah orientasi ini juga menggambarkan masyarakat sangat menghargai keberadaan sungai sebagai sumber kehidupan karena pada saat itu sungai memegang peranan penting sebagai akses keluar masuk kawasan ini Perkembangan yang terjadi di kawasan Kuin ini cukup pesat. Seiring dengan pertambahan penduduk, rumah tidak hanya dibangun di sepanjang tepian sungai tetapi juga di atas badan sungai. Para pendatang umumnya mendirikan rumah ke arah daratan sehingga terbentuklah kompleks perumahan Dasa Maya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Syamsiar Seman peneliti sejarah dan budaya banjar (2009), perkembangan juga terjadi setelah dibangunnya jalan darat yang memasuki perkampungan. Perkembangan ini mengubah pola permukiman yang sudah ada, yang awalnya berpola linear. Pembangunan jalan darat ini juga mengubah arah orientasi rumah yang ada. Rumah-rumah yang baru dibangun kini berorientasi pada jalan. Pola perkembangan permukiman ini dapat dilihat pada Gambar 17.
36
Gambar 18. Ilustrasi Perkembangan Permukiman di Kuin Utara
Rumah-rumah yang berada di tepian sungai memiliki pola linear dan menghadap sungai seperti awalnya berdiri. Sedangkan rumah-rumah yang berada di atas badan sungai meskipun memiliki pola linear yang mengikuti sungai, tetapi arah orientasinya menghadap jalan yang artinya rumah-rumah ini membelakangi sungai. Rumah yang berada lebih ke tengah atau darat memiliki arah orientasi menghadap jalan yang menyebabkan pola yang terbentuk sesuai dengan perkembangan jalan yang ada sehingga terkesan berantakan. Hal ini dapat dilihat pada peta hasil analisis (Gambar 19 dan Gambar 20)
37
38
39
Dari keadaan tersebut, terlihat banyak perubahan yang terjadi di Kuin Utara jika dibandingkan dengan keadaan pada masa awalnya. Perubahanperubahan ini terlihat jelas pada pola pemukiman dan arah orientasi rumah-rumah yang ada. Pola permukiman yang dulunya linear kini menjadi tidak teratur. Hal ini dikarenakan pertambahan penduduk kian banyak ditambah tidak adanya peraturan yang tegas mengenai izin mendirikan bangunan. Masyarakat mendirikan rumahrumah baru untuk mereka tempati tanpa memperhatikan tata ruang dan kondisi sungai. Bahkan ketika mendirikan rumah di darat dirasa mahal, mereka mendirikan rumah-rumah di atas badan sungai. Adanya rumah yang dibangun di atas badan sungai memiliki dampak yang cukup besar, yakni berkurangnya badan sungai yang akan menyebabkan menurunnya kualitas dan fungsi ekologis sungai. Perubahan orientasi rumah yang terjadi menyebabkan perubah prilaku masyarakat terhadap sungai. Rumah-rumah yang membelakangi sungai berarti memiliki dapur yang tepat berada di pinggir sungai yang membuat sampah dengan mudah dibuang ke sungai. Hal inilah yang menjadikan masyarakat yang memiliki rumah di atas badan sungai kurang menghargai sungai dan menganggap sungai adalah tempat pembuangan. Selain itu rumah-rumah yang berada di atas badan sungai pun cenderung lebih rapat dan lebih buruk dibadingkan dengan rumah-rumah yang berada di tepian sungai. Hal inilah yang membuat daerah tepian sungai terkesan kumuh. Perubahan-perubahan yang ada akan mengancam keberadaan permukiman Kampung Kuin yang masih memiliki nilai tradisional. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pelestarian untuk melindungi kawasan yang masih memiliki nilainilai tradisional agar tidak lekang dengan adanya perkembangan yang terjadi di kawasan ini. Tindakan pelestarian yang penting di Kuin Utara ini adalah dengan mempertahankan pola linearnya dan arah orientasinya yang menghadap sungai seperti pada awalnya berdiri.
Bangunan dan Struktur Dalam suatu perkampungan suku Banjar, terdiri dari bermacam-macam jenis rumah tradisional Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Rumah tradisional tidak sekedar bangunan untuk
40
tempat berlindung tetapi memiliki makna lahir dan batin yang sangat luas dan tidak terbatas. Rumah tradisional juga dapat mencerminkan status sosial pemiliknya. Keaslian rumah dapat dilihat dari segi arsitektur yang khas yang berorientas pada sungai. Di Kampung Kuin, awalnya rumah dibangun dengan pola linear di sepanjang tepian sungai mengikuti arah aliran sungai. Rumah tersebut terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering (Seman dan Irhamna, 2001). Tipe rumah Bubungan Tinggi yang merupakan bangunan Istana Sultan Banjar merupakan tipe tertua. Menurut hasil wawancara, bangunan ini tidak terdapat lagi di Kampung Kuin. Bangunan istana dahulu terdapat di area yang menjadi makam Sultan Suriansyah. Makam Sultan Suriansyah sejak ditemukan sudah diyakini baik oleh para peneliti maupun masyarakat sebagai situs makam. Sedangkan dari hasil kajian historis-arkeologis dan arsitektural dapat disimpulkan bahwa situs tersebut telah mengalami alih fungsi, yaitu dari semula yang merupakan kompleks bangunan keraton, kemudian difungsikan sebagai bangunan sakral. (Muchamad dan Aufa, 2006) Rumah-rumah tradisional masih dapat dijumpai di sepanjang tepian Sungai Kuin dari muara Sungai Kuin sampai batas dengan Kelurahan Pangeran. Penduduk pada kawasan ini merupakan Suku Banjar. Rumah yang berada di atas badan sungai umumnya merupakan rumah panggung tetapi ada beberapa yang merupakan rumah lanting. Pada kawasan yang lebih ke darat tidak ada rumah yang berarsitektur tradisional, kalaupun ada merupakan percampuran dengan arsitektur modern. Penduduk yang ada pada kawasan ini memiliki suku yang beragam karena tidak hanya bersuku Banjar tetapi ada juga Suku Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Peta persebaran arsitektur ini dapat dilihat pada Gambar 21.
41
42
Sayangnya, ada beberapa rumah tradisional yang mengalami perubahan dalam hal arsitektur. Hal ini dikarenakan rumah-rumah tradisional yang ada terlampau tua dan tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya. Bangunan tradisional yang ada dirombak, kemudian dibangun rumah baru dengan gaya arsitektur yang lebih modern sesuai selera pemiliknya. Fungsi bagunan yang ada pun kini tidak hanya sebagai rumah atau tempat tinggal. Beberapa rumah yang ada juga difungsikan sebagai sarana perdagangan dan jasa, seperti warung, bengkel dan wartel.
Gambar 22. Perubahan Arsitektur Pada Rumah Tradisional
Gambar 23. Rumah yang Juga Difungsikan Sebagai Warung
Selain rumah-rumah tradisional Banjar yang memiliki nilai tradisional dalam hal arsitektur, terdapat pula sebuah masjid yng usianya lebih dari 400 tahun yang masih berdiri kokoh di Kampung Kuin. Masjid ini dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Masjid yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk Islam. Bentuk arsitektur dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang, merupakan masjid bergaya
43
tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di tepi Sungai Kuin dengan luas 22,1x22,6 m. Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Terdapat empat buah tiang guru yang melingkupi ruang cella (ruang keramat) (Sumber: http://wapedia.mobi.id). Selain Masjid Sultan Suriansyah terdapat pula bangunan kuno, yaitu komplek pemakaman yang menjadi bukti bahwa daerah ini merupakan bekas Kerajaan Banjar.
Gambar 24. Masjid dan Makam Sultan Suriansyah
44
Bahan bangunan utama yang digunakan dalam rumah adat Banjar adalah kayu. Hal ini dikarenakan Kalimantan kaya akan hutan. Berbagai macam kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, diantaranya adalah kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu galam (Melaleuca spec), dan kayu lainnya. Kayu ulin atau kayu besi merupakan bahan utama dalam bangunan rumah tradisional Banjar, karena memiliki daya tahan yang luar biasa, baik sebagai penahan beban maupun keawetannya terhadap tanah, air, maupun panas matahari. Umumnya kayu ulin digunakan untuk keperluan tiang, gelagar, slop, lantai, tangga dan bagian rumah lainnya. Dalam konstruksi bangunan, kayu ulin dalam bentuk balokan digunakan sebagai tihang (tiang) dan tongkat yang mendukung bangunan. Tihang dan tongkat merupakan istilah pondasi utama yang berbeda. Tihang merupakan balok yang pangkalnya bertumpu dalam tanah yang ujungnya sampai pada dasar atap. Sedangkan tongkat adalah balok yang pangkalnya bertumpu di dalam tanah dengan ujunganya sampai pada dasar lantai. Selain kayu ulin, kayu galam juga dipergunakan dalam konstruksi rumah adat Banjar. Kayu galam tumbuh di hutan-hutan rawa Kalimantan. Pada konstruksi rumah Banjar, kayu ini digunakan untuk keperluan pondasi yang dibenamkan ke dalam tanah sebelum di pancangkan tihang. Dengan kondisi yang sedemikian kokohnya, kayu galam mampu bertahan dalan tanah tanpa membusuk, meskipun daya tahannya dibawah kayu ulin. Kayu galam juga diperlukan untuk keperluan turab, pondasi jalan, jembatan dan titian yang sifatnya sementara serta bangunan-bangunan lainnya yang sifatnya tidak permanen. Jenis kayu ini biasanya digunakan untuk keperluan bahan yang bersifat balokan. Rumah tradisional Banjar yang banyak menggunakan tihang adalah tipe Bubungan Tinggi, Gajah Baliku, Balai Bini dan Joglo, sementara rumah tradisional tipe Gajah Manyusu, Cacak Burung, Palimasan dan Palimbangan lebih banyak mempergunakan tongkat. Untuk bagian atap ada dua macam bahan yang biasanya digunakan, yaitu atap sirap yang bahan dasarnya terbuat dari kayu ulin, dan atap sirap. Atap sirap memiliki daya tahan yang lama dibandingkan dengan atap daun rumbia yang bisa mencapai sepuluh tahun. Namun, seiring dengan semakin langka dan mahalnya
45
kayu ulin sebagai bahan baku untuk atap sirap kini rumah-rumah tradisional yang ada tidak menggunakan seng sebagai bahan untuk atap. Sedangkan untuk lantai, bahan dasar yang digunakan juga dari kayu. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu ulin, meranti, bungur, angsana, jingah, dan banyak kayu lainnya.
Gambar 25. Konstruksi Pondasi (Sumber:http//kerajaanbanjar.files.wordpress.com)
Kampung Kuin merupakan suatu kawasan pemukiman tradisonal yang memperlihatkan pola-pola tradisionalnya. Di kawasan ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional Banjar yang berumur ratusan tahun yang menjadi warisan budaya. Rumah-rumah tradisional ini berada di sepanjang tepian Sungai Kuin dengan kayu ulin sebagai material utamanya. Tetapi, bahan konstuksi atap pada rumah-rumah tradisional yang ada, kini umumnya menggunakan material seng. Hal ini dikarenakan atap sirap hanya mampu bertahan sampai sepuluh tahun. Semakin langka dan mahalnya kayu ulin sebagai bahan dasar pembuatan atap sirap, membuat atap pada rumah-rumah tradisional yang ada kini diganti dengan seng yang dapat bertahan lebih lama dan jauh lebih murah. Seiring dengan perkembangan yang ada di kawasan ini, rumah-rumah yang ada tidak hanya menggunakan material kayu sebagai bahan utamanya. Rumah-rumah yang didirikan ke arah daratan dibangun dengan konstruksi beton. Hal ini dikarenakan konstruksi dengan beton lebih murah dibandingkan kayu ulin yang langka dan mahal. Gambaran mengenai data spasial bahan kostruksi rumah dapat dilihat pada Gambar 26.
46
47
Perlu adanya upaya pelestarian untuk mempertahankan bangunanbangunan yang masih memiliki nilai tradisional. Jika perubahan gaya arsitektur terus terjadi pada rumah-rumah tradisional yang ada, maka rumah-rumah tradisional yang menjadi bukti sejarah ini lambat laun akan hilang. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dari berbagai pihak baik dari masyarakat maupun pemerintah untuk melestarikan rumah-rumah tradisional yang tersisa. Bentuk perhatian ini dapat berupa apresiasi atau subsidi pemerintah bagi warga untuk mempertahankan rumah tradisional, sehingga masyarakat tergerak untuk mlestarikan peninggalan rumah adat yang masih ada. Selain itu, perlu adanya perbaikan elemen-elemen rumah yang telah rusak atau hilang.
Fasilitas Fasilitas merupakan hal yang paling penting dalam suatu permukiman. Dalam suatu permukiman terdapat beberapa fasilitas yang harus dipenuhi, seperti jalan, MCK, dan lainnya yang dapat mempermudah warganya dalam beraktivitas. Adanya fasilitas dapat menunjang kenyamanan warga yang menghuni suatu pemukiman. Tidak hanya ketersediaan fasilitas yang sangat penting, namun kondisi dari fasilitas-fasilitas yang ada juga sangat penting. Fasilitas yang penting dalam sebuah permukiman adalah aksesibilitas untuk mencapai kawasan ini. Fasilitas jalan untuk jalur darat di Kampung Kuin tersedia dengan kondisi yang cukup baik. Jalan yang ada telah diberi perkerasan berupa aspal. Dahulu, jalan yang ada hanya berupa jalan setapak, tetapi setelah penguasaan kawasan ini oleh Belanda, jalan mulai diperbaiki dan diberi perkerasan. Jalan utama dibangun linear mengikuti sungai yang disebut dengan jalan inspeksi. Fasilitas yang tidak kalah pentingnya adalah sistem sanitasi dalam permukiman. Sanitasi ini penting agar masyarakat yang tinggal di dalamnya merasa nyaman. Salah satu sistem sanitasi adalah ketersediaan septic tank. Pada awal tebentuknya permukiman di Kampung Kuin ini jumlah rumah dan penduduknya masih sedikit sehingga pembuangan limbah rumah tangga secara langsung ke sungai masih dapat direduksi secara alami oleh sungai. Daya reduksi
48
secara alami yang disebut dengan daya asimilasi sungai ini masih tinggi sehingga sungai dapat mengurai zat-zat pencemar tersebut. Tetapi, dengan perkembangan permukiman yang ada dengan jumlah penduduk dan rumah yang meningkat membuat pembuangan limbah secara langsung ke suangai memberikan dampak yang buruk bagi sungai. Pembuangan limbah dengan intensitas yang melebihi daya asimilasi sungai menyebabkan sungai tidak mampu lagi mengurai zat pencemar. Hal ini menyebabkan tingkat pencemaran tinggi yang dapat dilihat dari keruhnya air sungai.
Gambar 27. Kondisi Jamban di Kampung Kuin
Sistem pembuangan pada seluruh rumah yang berada di atas badan sungai Kuin langsung ke bawah rumah (sungai), sedangkan rumah yang berada di darat pembuangan tinja langsung ke septic tank dan limbah rumah tangga langung ke bawah rumah. Umumnya rumah yang berada di darat sudah memiliki WC, sedangkan rumah yang berada di atas badan sungai sebagian besar masih menggunakan jamban yang berada tepat di atas sungai. Di Kelurahan Kuin Utara ini masih terdapat 25 jamban yang masih digunakan. Berdasarkan data kelurahan, tercatat 97 rumah belum memiliki WC sehat, 150 rumah memiliki WC dengan kondisi kurang baik dan 427 rumah telah memiliki WC sehat (Gambar 28).
49
50
Pembangunan jalan mengubah arah orientasi rumah yang ada. Rumahrumah yang awalnya berorientasi pada sungai kini dibangun dengan orientasi jalan darat. Pembangunan jalan meyebabkan munculnya rumah-rumah di atas badan sungai. Hal ini berarti rumah yang berada di atas badan sungai dibangun membelakangi sungai. Perubahan arah orientasi ini juga turut mengubah prilaku masyarakat terhadap sungai. Masyarakat kini kurang menghargai sungai dan cenderung menganggap sungai sebagai tempat pembuangan. Jika keadaan ini dibiarkan, maka keadaan sungai akan terganggu yang juga akan mengancam keberadaan permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan ulang seperti pembuatan septic tank komunal dan undang-undang yang mengatur tata ruang, orientasi rumah, densitas dan prilaku masyarakat
Zonasi Lanskap Permukiman Kampung Kuin Zona inti merupakan kawasan yang memiliki nilai tradisional tinggi sehingga perlu dilestarikan. Zona ini, terbentuk dari sosial budaya masyarakat setempat. Pada zona ini terdapat lanskap vernakular yang memiliki nilai budaya tinggi meskipun ada beberapa yang telah mengalami perubahan arsitektur. Lanskap vernakular tersebut adalah rumah-rumah tradisional Banjar, komplek masjid dan makam Sultan Suriansyah. Permukiman yang terdapat pada zona inti harus berorientasi pada sungai dan berpola linear mengikuti arah sungai seperti awalnya berdiri. Zona inti pada kawasan yang mengarah ke badan sungai memiliki intensitas yang cukup parah. Adanya rumah-rumah yang menjorok sampai ke badan sungai membuat kesan kumuh pada kawasan ini. Selain itu, adanya rumah yang semakin berkembang di kawasan ini menyebabkan kerusakan pada sungai. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pernataan pada kawasan ini. Salah satu upaya perbaikan pada kawasan ini adalah dengan relokasi rumah-rumah yang .berada di atas badan sungai yang berumur kurang dari 50 tahun. Sebagian rumah pada area ini masih dipertahankan karena ini menjadi bagian dari budaya masyarakat yang tidak bisa lepas dari sungai. Zona penyangga merupakan zona yang melindungi zona inti. Zona penyangga kawasan pemukiman tradisional merupakan zona yang membatasi
51
permukiman dengan kawasan permukiman yang tidak memiliki nilai tradisional. Zona ini melindungi zona permukiman tradisional dari pembangunan yang kurang mendukung. Zona ini masih dapat dikembangkan tetapi dengan batasan tertentu agar tidak menganggu zona inti. Batasannya adalah dalam hal perkembangan pembangunan pada zona ini, harus mengikuti zona inti, yakni berpola linear dan berorientasi pada sungai. Zona pengembangan merupakan zona terluar yang merupakan zona terluar yang dapat dikembangkan tanpa batasan. Zona ini dikhususkan bagi perkembangan permukiman karena pada kawasan ini masih banyak terdapat lahan terbuka. Zonasi eksisting di Kampung Kuin ini dapt dilihat pada Gambar 29.
52
Gambar 29. Peta Zonasi Eksisting Permukiman (Hasil Sintesis)
53
Karakteristik Sungai Kuin Karakter Sungai Karakter Sungai dipengaruhi oleh adanya bantaran sungai dan kondisi pasang surut. Menurut Maryono (dalam Aini, 2005) sempadan sungai sering disebut sebagai bantaran sungai. Namun sebenarnya ada perbedaan karena bantaran sungai merupakan daerah pinggir sungai yang tergenangi air pada saat banjir. Sedangkan sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis, dan lebar keamanan yang diperlukan terkait dengan letak sungai seperti areal pemukiman dan non pemukiman. Bantaran sungai hampir tidak ada di sepanjang Sungai Kuin karena di sepanjang sungai terdapat bangunan yang umumnya adalah permukiman. Rumah di atas badan sungai memiliki panjang yang melintang ke tengah sungai. Panjang rata-rata bangunan di atas badan Sungai Kuin adalah 9,33 m (Hayati, 2004). Apabila diasumsikan di kiri dan kanan sepanjang Sungai Kuin yang memiliki lebar 40 m terdapat rumah dengan panjang yang sama, maka ruang sungai hanya tersisa ± 20 m. Hal ini membuktikan bahwa hampir tidak adanya bantaran di sepanjang Sungai Kuin. Bahkan tidak hanya itu, ruang terbuka sungai pun semakin menyempit dengan adanya bangunan di atas badan sungai. Bantaran sungai hanya terdapat di depan Masjid Sultan Suriansyah (Gambar 30).
Gambar 30. Analisis Spasial Ketersediaan Bantaran Sungai Kuin
54
Dengan keadaan yang demikian ini, Pemerintah kota Banjarmasin tidak tinggal diam. Pemerintah mulai menerapkan sistem Surat Keterangan Keadaan Tanah (SKKT) untuk menekan laju pertumbuhan permukiman di atas badan sungai. Selain itu, dibuat pula kebijakan berupa Perda no. 2 tahun 2007 yang terkait dengan penataan sungai. Perda ini mulai disosialisasikan sejak tahun 2008 dan mulai diterapkan tahun ini. Selain bantaran sungai, karakter sungai juga dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut dibumi. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali pasang surut tetapi ada pula yang mengalami pasang surut dua kali dalam sehari. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran (Rahmat, 2009). Sungai Kuin sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Barito. Pasang surut di Sungai Kuin setiap harinya tidak sama. Menurut hasil wawancara dengan lurah setempat, pasang surutnya Sungai Kuin tidak menentu. Terkadang muka air sungai naik pada pagi hari dan baru surut pada sore hari begitu pula sebaliknya, jika sungai pasang pada sore hari maka baru surut pada pagi hari. Jika periode pasang surut Sungai Kuin seperti ini, maka dapat dikategorikan dalam pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Selama ini dikatakan bahwa terjadinya air pasang di Sungai Kuin tidak sampai menyebabkan banjir di daratan. Pasang surutnya sungai juga tidak terlalu berpengaruh pada rumah yang berada di atas badan sungai karena semua tipe rumah yang ada di daerah ini adalah rumah panggung. Dampak pasang surutnya Sungai Kuin tidak terlalu berpengaruh pada permukiman yang ada (Gambar 31), tetapi berpengaruh pada warna atau kekeruhan sungai. Jika air sedang surut, maka air sungai akan terlihat lebih keruh.
55
Gambar 31. Analisis Spasial Kondisi Pasang Surut Sungai Kuin
Kualitas Sungai Sungai di Kota Banjarmasin terdiri dari tiga kelas, yaitu sungai besar, sungai sedang dan sungai kecil yang penetapannya berdasarkan lebar sungai. Sungai Kuin digolongkan dalam sungai sedang karena memiliki lebar antara 25500 m. Panjang sungai mencapai ±3100 m yang melewati beberapa kelurahan, diantaranya Kelurahan Kuin Utara, Kelurahan Kuin Cerucuk, Kelurahan Kuin Selatan dan Kelurahan Pangeran. Kualitas sungai ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya debit air. Debit air sungai adalah kecepatan air yang mengalir dalam satu detik. Sungai Kuin merupakan sungai dengan kemiringan yang relatif kecil dengan kecepatan pengaliran (debit) 0,74-1,45 m/s. Debit air yang relatif kecil ini menyebabkan kondisi air di Sungai Kuin relatif tenang. Debit air di muara Sungai Kuin lebih besar karena bentukan sungai yang relatif lebih lurus (Gambar 32). Debit air ini sangat berpengaruh pada tingkat erosi sungai. Selain itu seringnya perahu motor (klotok) yang melewati sungai ini menyebabkan meningkatnya laju erosi.
56
Gambar 32. Analisis Spasial Kondisi Debit Air Sungai Kuin
Selain debit, kadar pencemaran juga mempengaruhi kualitas air. Pencemaran air sungai dapat disebabkan banyak hal, seperti buangan industri, ceceran minyak, pupuk ataupun limbah rumah tangga. Data Bapedalda Banjarmasin menunjukkan limbah padat dan cair yang paling berpengaruh terhadap pencemaran sungai berasal dari sampah perumahan, yaitu 14 m³/hari yang merupakan sumber sampah terbesar di Kota Banjarmasin (Bapedalda Kota Banjarmasin, 2002). Tabel 6 menunjukkan tingkat pencemaran diSungai Kuin.
Tabel 7. Tingkat Pencemaran Sungai Kuin Parameter
Kualitas Sungai
Baku Mutu
Suhu (ºC)
29,3
Suhu air normal
pH (mg/l)
6,3
5-9
Detergen (mg/l)
0,19
0,5
Eschericia coli (MPN/100)
>240
50
BOD
12,35
6
COD (mg/l)
30,8
10
(Sumber: Hayati, 2004)
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa kandungan yang melebihi baku mutu adalah Eschericia coli atau E. coli. E. coli adalah salah satu bakteri penghuni usus manusia yang dikeluarkan secara rutin bersamaan dengan tinja.
57
Kandungan E. coli yang melebihi ambang baku mutu ini menunjukkan air sungai yang tidak higienis. Hal ini disebabkan pembuangan dari jamban pada rumah yang berada di atas badan sungai. Adanya pencemaran ini menyebabkan pendangkalan pada Sungi Kuin. Selain karena pembuangan limbah padat dari sampah dan pembuangan kotoran secara langsung ke sungai adanya klotok juga mempengaruhi kualitas air sungai. Klotok yang merupakan perahu mesin juga menyumbangkan minyak hasil sisa pembakaran. Ceceran minyak sisa pembakaran ini dapat terlihat pada siang hari ketika permukaan air sungaai terkena sinar matahari. Jadi, secara keseluruhan dapat dikatakan Sungai Kuin sudah tercemar (Gambar 33).
Gambar 33. Analisis Spasial Tingkat Pencemaran Sungai Kuin
Selain digunakan sebagai sarana lalu lintas dan perdagangan, Sungai Kuin juga digunakan untuk aktivitas MCK. Warga yang menggunakan air sungai untuk MCK sebagian besar adalah warga yang tinggal di atas badan sungai. Kebiasaan inilah yang membuat air sungai semakin tercemar. Selain digunakan sebagai fasilitas MCK, sungai juga tercemar karena masyarakat sekitar sering membuang sampah di sungai.
58
Zonasi Kondisi dan Kualitas Sungai Kondisi Sungai Kuin yang juga digunakan sebagai permukiman membuat sungai ini tidak memiliki bantaran. Tidak hanya sekedar tidak memiliki bantaran, ruang terbuka sungai pun berkurang hampir 20 m dengan adanya permukiman ini. Padahal lebar sungai mempengaruhi daya asimilasi air sungai. Semakin lebar sungai, maka semakin baik daya asimilasi sungai itu untuk mengurai zat pencemar. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindak pelestarian sungai untuk memperbaiki kondisi sungai. Perbaikan kualitas sungai ini diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian. Kualitas sungai secara spasial diperoleh dari overlay peta ketersediaan bantaran dan debit air (Gambar. 34). Kondisi sungai ini terbagi menjadi kualitas buruk, cukup baik dan baik. Kondisi Sungai ini digunakan untuk menentukan program atau tindakan untuk memperbaiki kondisis sungai.
Gambar 34. Peta Hasil Sintesis Karakteristik Sungai
Tindakan yang perlu dilakukan dalam pelestarian Sungai Kuin adalah pengembalian fungsi bantaran sungai sebagai ruang terbuka. Pengembalian fungsi bantaran ini difokuskan pada daerah sungai yang rentan. Pengembalian fungsi bantaran sungai sebagai ruang terbuka hijau dengan penanaman vegetasi lokal untuk menguragi erosi. Pembuatan turab juga dapat menjadi alternatif lain untuk mengatasi erosi.
59
Pengerukan dasar sungai juga perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pendangkalan sungai yang diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai. Sedangkan untuk merngurangi pencemaran sungai oleh bakteri Eschericia coli akibat adanya permukiman di tepi sungai maka perlu adanya suatu sistem sanitasi berupa septick tank komunal. Septick tank komunal berfungasi untuk menyaring limbah agar tidak mencemari sungai. Selain itu, diperlukan undang-undang
yang
tegas
mengenai
izin
pendirian
bangunan
untuk
menghentikan pertumbuhan permukiman baru di tepi sungai dan undang-undang mengenai pemanfaatan sungai agar penggunaannya tidak melebihi daya dukungnya.
Aktivitas Sosial Budaya Kuin Utara merupakan kawasan permukiman tradisional yang tidak hanya dapat dilihat dari fisiknya, yakni dengan adanya bangunan rumah tradisional banjar tetapi juga dapat dilihat dari aktivitas sosialnya budayanya. Seperti umumnya masyarakat yang ada di Kota Banjarmasin, masyarakat di Kuin Utara juga tidak dapat dipisahkan dari sungai. Arah orientasi rumah tradisional yang mengarah pada sungai menjadi bukti bahwa sungai memiliki peran penting bagi masyarakat sekitar. Dahulu, sungai merupakan jalur transportasi utama sebelum adanya jalan darat. Namun, seiring dengan perkembangan yang ada transportasi sungai mulai luntur. Hal lain yang menjadi bukti yang sangat kuat bahwa masyarakat di kawasan ini sangat bergantung pada sungai adalah adanya pasar apung di muara Sungai Kuin. Pasar apung ini sudah ada lebih dari 400 tahun yang lalu. Pasar Terapung Muara Kuin merupakan salah satu bentuk pola interaksi jual-beli masyarakat yang hidup di atas air. Para pedagang dan pembeli malakukan aktivitas jual-beli di atas jukung, sebutan perahu dalam bahasa Banjar. Pasar ini dimulai setelah shalat Subuh dan akan berakhir ketika matahari telah beranjak naik atau sekitar jam 09:00 WITA. Apabila lewat dari jam tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa pasar bakal sepi karena para pedagang akan berpencar, menyusuri Sungai Kuin dan sungai-sungai kecil lainnya untuk menjual barang dagangnya ke penduduk yang rumahnya berada di bantaran sungai.
60
Gambar 35. Pasar Apung Muara Kuin
Selain itu, ada pula aktivitas pertanian yang juga menjadi bagian dari budaya di masyarakat sekitar. Daerah di sekitar anak Sungai Kuin digarap menjadi kebun dan sawah (Sumber: http://wapedia.mobi/id/Keraton_Banjar#2.). Tidak hanya sebagai sarana transportasi, adanya lahan pertanian yang berada tidak jauh dari sungai menegaskan pentinganya sungai sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar
KONSEP PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL Konsep Lanskap Total Konsep total dari perancanaan ini adalah menata apa yang ada saat ini dan mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan. Untuk memperkuat karakter spesifik yang menjiwai lingkungan/tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dan pembangunan baru mendekati perkembangan aspirasi masyarakat Penataan Kampung Kuin ini dianggap perlu
untuk diterapkan pada
kawasan permukiman tradisional ini. Hal ini dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi di kawasan ini. Salah satunya adalah perubahan pola dan arah orientasi. Kegiatan penataan ini dilakukan untuk mengendalikan perubahan yang ada dan mempertahankan lanskap budaya yang masih ada. Penataan dilakukan untuk mempertahankan kawasan tradisional ini agar tetap berkelanjutan ditengah pembangunan Kota Banjarmasin yang pesat. Selain itu, sungai sebagai pendukung kehidupan kawasan juga menjadi bagian dari pelestarian. Oleh karena itu, tindakan pelestarian permukiman harus berorientasi pada kelestarian sungai. Hal ini dapat diartikan bahwa meskipun dengan adanya permukiman sepanjang tepian sungai tetapi kebersihan dan kelestarian sungai juga dapat terjaga. Upaya pelestarian
permukiman
dilakukan
dengan
tindakan
konservasi
dengan
pendekatan sosial budaya, sedangkan upaya pelestarian sungai dilakukan dengan tindakan konservasi dengan pendekatan ekologi.
Konsep Ruang Pembagian ruang dilakukan untuk melindungi dan melestarikan kawasan tradisional Kampung Kuin dari kegiatan pembangunan kota yang terkadang kurang mendukung upaya pelestarian kawasan bernilai budaya. Pembagian ruang dilakukan berdasarkan pada zonasi eksisting yang kemudian dikembangkan Ruang tersebut dibagi menjadi zona inti, yaitu zona yang dilestrikan, zona
62
penyangga untuk menjaga kawasan yang dilestarikan dari ancaman pembangunan yang kurang mendukung dan zona pengembangan. Zona inti merupakan ruang yang bernilai tradisional tinggi sehingga perlu dilestarikan. Zona inti ini, terbentuk dari sosial budaya masyarakat setempat. Pada zona ini terdapat lanskap vernakular yang memiliki nilai budaya tinggi. Lanskap vernakular tersebut adalah rumah-rumah tradisional Banjar, komplek masjid dan makam Sultan Suriansyah. Semua bentukan lanskap vernakular tersebut merupakan bukti otentik bahwa kawasan ini merupakan kawasan bekas kerajaan sehingga diperlukan usaha pelestarian yang konservatif. Rumah-rumah tradisionl yang ada termasuk Masjid dan Makam Sultan Suriansyah harus menjadi identitas kawasan ini. Zona penyangga merupakan zona yang melindungi zona inti. Zona penyangga kawasan permukiman tradisional merupakan zona yang membatasi pemukiman dengan kawasan permukiman yang tidak memiliki nilai tradisional. Zona ini melindungi zona permukiman tradisional dari pembangunan yang kurang mendukung. Zona ini masih dapat dikembangkan tetapi dengan syarat tertentu agar tidak menggangu zona inti. Zona pengembangan merupakan zona terluar dan dapat dikembangkan untuk permukiman baru. Zona ini diperuntukkan bagi perkembangan permukiman karena pada zona ini masih terdapat lahan terbuka yang cukup luas. Penduduk yang berada pada zona ini adalah warga pendatang dari luar Kampung Kuin.
Gambar 34. Diagram Konsep Ruang
63
Konsep Sirkulasi Sirkulasi yang direncanakan akan menghubungkan ruang-ruang yang ada dalam tapak yang akan mengakomodasi aktivitas sosial masyarakat setempat. Sirkulasi dalam tapak terdiri dari dua jenis, yakni sirkulasi air dan sirkulasi darat. Pada sirkulasi air, akses utama keluar masuk kawasan adalah melalui sungai. Dermaga sebagai pintu masuk dari jalur sungai direncanakan berada pada tiga titik, yaitu tepat berada pada pasar apung dan di tepat di depan Masjid dan Makam Sultan Suriansyah. Pada pola sirkulasi darat diklasifikasikan lagi menjadi jalur sirkulasi kendaraan dan jalur sirkulasi pejalan kaki. Jalur sirkulasi kendaraan direncanakan dibangun di luar zona inti sehingga tidak membelah zona inti. Hal ini bertujuan agar dengan adanya akses kendaraan tidak merusak zona inti sehingga tidak mengganggu upaya pelestarian. Pintu masuk melalui jalan darat yang ada harus dapat berkolaborasi dengan jalur transportasi sungai. Hal ini sangat penting agar transportasi sungai tidak ditinggalkan.
Gambar 35. Diagram Konsep Sirkulasi
Konsep Vegetasi Penanaman vegetasi ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekologis dan kualitas visual sungai. Konsep vegetasi yang direncanakan adalah penggunaan vegetasi asli pada kawasan Kampung Kuin seperti pohon rambai dan pohon jingah. Selain itu, deretan perdu juga digunakan sebagai pebatas antara zona inti dengan zona penyangga.
64
Pohon rambai dengan nama latin Baccaurea motlryana ini biasanya dapat ditemui di daerah dengan ketinggian 0-750 m dpl, pada jenis tanah liat kuning berpasir. Pohon jingah memiliki nama latin Gluta renghas ini adalah kayu hutan yang bisa tumbuh dengan mudah di daerah tropis, dan kayu ini adalah jenis kayu yang yang cukup berkualitas bisa di jadikan bahan bangunan. Akan tetapi pohon kayu jingah juga bisa dijadikan pohon untuk penghijauan hutan dan bisa tumbuh di daerah berair baik permanen maupun tidak. walau pertumbuhan memang agak lama akan tetapi bisa tumbuh dalam jangka panjang sampai ratusan tahun.
Gambar 38. Pohon Jingah (Gluta renghas) (Sumber: http://restu-j1e108042.blogspot.com)
Gambar 37. Pohon Rambai (Baccaurea motlryana) (Sumber: http://ivyidaong4.blogspot.com)
Konsep Sanitasi Permukiman Kampung Kuin merupakan permukiman tradisional dengan ciri khasnya yang berada di sepanjang tepian sungai. Pembuangan limbah secara langsung ke sungai dari rumah-rumah yang berada di tepi sungai ini menyebabkan pencemaran air sungai. Oleh karena itu, perlu adanya suatu sistem sanitasi untuk
65
menyaringan limbah tersebut agar tidak mencemari sungai. Salah satu cara yang efektif adalah pembuatan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) dengan sistem septic tank komunal. Septick tank komunal adalah bak penampungan yang dibuat unruk menampung limbah domestik dari 10-100 rumah atau lebih dengan sistem perpipaan. Limbah ini ditampung ke dalam bak penampungan kotoran yang kedap air. Gambaran mengenai sistem sanitasi komunal ini dapat dilihat pada Gambar
Gambar 40. Gambar Ringkasan Sistem Komunal (Sumber: Rhomaidhi, 2008)
RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL Rencana Lanskap Berdasarkan hasil analisis data spasial mengenai karakteristik lanskap pemukiman Kampung Kuin, yang meliputi pola permukiman, arsitektur bangunan dan struktur, serta ketersediaan fasilitas, maka dapat diketahui kondisi eksisting tapak yang akan dilestarikan. Dari ruang eksisting yang ada, maka dikembangkan suatu konsep pelestarian dengan tindakan konservasi. Ruang pada tapak dibagi dalam tiga zona, yaitu zona lindung (inti) dengan luas 1,15 ha, zona penyangga dengan luas 1, 67 ha dan zona pengembangan dengan luas 1,48 ha. Rencana penataan pada zona inti diupayakan untuk mempertahankan karakter fisik dan budaya setempat. Mempertahankan karakter fisik dan budaya dilakukan dengan menjaga bentukan dari lanskap terbangun yang ada agar tidak mengalami perubahan, pengembalian pola permukiman serta dan orientasi, seperti pada masa awalnya dulu. Untuk menata suatu permukiman maka harus diperhatikan unsur-unsur di dalam permukiman tersebut. Menurut Doxiadis dalam Goenmiandari (2010) unsur-unsur pembentuk permukiman saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Unsur-unsur permukiman itu adalah alam, manusia, kehidupan bermasyarakat, tempat berlindung dan sarana prasarana permukiman. Rencana penataan pada zona inti mempertahankan karakter fisik dan budaya yang dilakukan dengan menjaga bentukan lanskap terbangun yang ada agar tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, rumah-rumah yang berada di atas badan sungai sebagian masih dipertahankan karena menjadi bagian dari budaya permukiman ini. Rumah di atas badan sungai diseleksi dengan pertimbangan khusus, yakni usia bangunan di atas 50 tahun. Rumah-rumah yang berumur kurang dari 50 tahun harus direlokasi. Pertumbuhan perrmukiman yang mengarah ke arah badan sungai harus dihentikan agar tidak terjadi kepadatan bangunan dan menjauhkan dari kesan kumuh. Tindakan lain yang dilakukan dalam penataan permukiman ini adalah pengembalian pola permukiman dan arah orientasi seperti pada awalnya berdiri.
67
Ini berarti rumah-rumah yang berada di atas badan sungai akan memiliki dua muka, yakni menghadap jalan dan sungai. Hal ini dikarenakan rumah yang berada di atas badan sungai umumnya berorientasi pada jalan sehingga membelakangi sungai. Pengembalian karakter fisik dan budaya juga dilakukan dengan perbaikan bentuk fisik bangunan tradisional dengan perbaikan elemen-elemen rumah yang rusak atau hilang, Selain itu, perlu adanya upaya pengendalian perubahan bentuk arsitektur bangunan dengan dengan kerjasama berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat sekitar, Zona penyangga merupakan batas antara zona inti dengan zona pengembangan. Zona ini melindungi zona inti dari pembangunan yang kurang mendukung tindakan pelestarian. Zona ini juga diperuntukkan bagi permukiman, dengan batasan tertentu selama tidak mengganggu zona inti. Batasannya adalah dalam hal perkembangan pembangunan pada zona ini, harus mengikuti zona inti, yakni berpola linear dan berorientasi pada sungai. Zona penyangga dijadikan tempat relokasi rumah yang berada di sekitar bantaran sungai. Hal ini dikarenakan penduduk di sekitar bantaran masih penduduk asli Kuin dan zona penyangga masih memiliki nilai budaya walaupun tidak sekuat zona inti. Zona pengembangan merupakan zona terluar. Zona pengembangan dapat dikembangkan dengan syarat yang lebih longgar tetapi masih mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Zona ini diperuntukkan bagi perkembangan permukiman karena pada zona ini masih terdapat lahan terbuka. Zona ini dipisahkan oleh jalan yang diperuntukkan bagi kendaraan dengan zona penyanngga. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan yang terjadi pada zona pengembangan tidak mengganggu zona penyangga yang nantinya akan mengganggu upaya pelestarian pada zona inti. Sirkulasi yang akan direncanakan bertujuan untuk menghubungkan ruangruang yang ada dalam tapak dan dapat mengakomodasi aktivitas penduduk setempat. Sirkulasi ini direncanakan dua arah yang diklasifikasikan dalam sirkulasi darat dan sirkulasi air. Antara kedua sirkulasi ini harus ada keterkaitan agar kedua jalur sirkulasi ini dapat berfungsi secara maksimal. Salah satu pengikat antara sirkulasi darat dan air adalah adanya fasilitas dermaga. Fasilitas dermaga
68
ini berada pada tiga titik, yakni di depan pasar apung serta di depan masjid dan makam Sultan Suriansyah. Sirkulasi darat diklasifikasikan lagi menjadi sirkulasi kendaraan dan sirkulasi yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Sirkulasi yang diperuntukkan bagi kendaraan tidak dibangun membelah zona inti. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan jalan darat tidak mengubah pola permukiman dan arah orientasi rumah pada sungai. Jalur kendaraan memisahkan zona penyangga dan zona pengembangan. Akses ini, merupakan pintu masuk utama melalui jalur darat. Sirkulasi pejalan kaki merupakan jalur sirkulasi yang diperuntukkan untuk mengakomodasi aktivitas penduduk. Selain untuk mengakomodasi penduduk setempat, sirkulasi yang ada juga diharapkan dapat membentuk suatu jalur interpretasi bagi pengunjung. Sedangkan sirkulasi pejalan kaki yang direncanakan berupa jalan setapak untuk memperkuat nuansa tradisionalnya. Sirkulasi air merupakan jalur sirkulasi yang menggunakan sungai sebagai sarana transportasinya. Sikulasi melalui sungai ini direncanakan menjadi akses utama memasuki kawasan ini. Fasilitas dermaga direncanakn pada tiga titik, yaitu dermaga yang berada di pasar apung dan tepat di depan masjid dan makam Sultan Suriansyah. Penempatan dermaga ini bertujuan untuk mengintegrasi kegiatan pasar apung yang menjadi aktivitas budaya di Kampung Kuin. Perencanaan dermaga yang tepat berada di depan masjid dan makam Sultan Suriansyah karena kedua bangunan ini merupakan landmark dari kawasan ini. Selain itu, pembuatan dermaga di sepanjang sungai juga untuk mencegah terbentuknya permukiman liar di atas badan sungai. Selain panambahan dermaga, fasilitas transportasi sungai pun harus diperbaiki. Perlu adanya sarana angkutan publik yang menarik minat pengguna agar transportasi air ini dapat berfungsi maksimal. Pengembangan sistem transportasi ini akan berpengaruh terhadap sistem ekonomi di sungai dan dapat mengurangi biaya untuk infrastruktur jalan. Rencana vegatasi direncanakan menggunakan vegetasi asli kawasan ini, yaitu pohon rambai (Baccaurea motlryana) dan pohon jingah (Gluta renghas) yang merupakan vegetasi asli pada kawasan ini. Penanaman vegetasi diutamakan
69
pada daerah bantaran sungai yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekologis sungai. Vegetasi ini ditanam menyebar di sekitar daerah bantaran dengan dominansi vegetasi asli. Pemulihan kawasan bantaran sungai dengan pengadaan ruang terbuka hijau yang difokuskan pada daerah-daerah yang rentan yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi ekologis sungai. Ruang terbuka hijau juga diletakkan diantara massa bangunan dan di depan bangunan tradisional asli untuk memberi tampilan yang baik dari arah sungai. Ruang terbuka juga difungsikan sebagai tempat berinteraksi warga dan sebagai dermaga publik. Selain untuk memperbaiki kondisi ekologis sungai dan memperbaiki penampilan visual, vegetasi juga digunakan sebagai pembatas antara zona inti dengan zona penyangga. Penanaman vegetasi sebagai pembatas antara zona inti dengan zona penyangga dimaksudkan menekan pengaruh luar agar tidak mempengaruhi zona inti. Selain pengadaan ruang terbuka hijau di bantaran sungai, dilakukan pula perbaikan sanitasi. Perbaikan sanitasi lingkungan ini menggunakan teknik baru dengan masih mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sungai. Rencana penataan sanitasi ini dilakukan dengan cara mempertahankan pola sanitasi lama menggunakan batang atau jamban tetapi dengan sistem pengolahan yang telah dikembangkan yaitu sistem perpipaan dengan septic tank komunal. Septick tank komunal merupakan suatu sistem sanitasi untuk menyaring limbah domestik agar tidak mencemari lingkungan Instalasi pengelolaan limbah ini dilakukan dengan sistem perpipaan yang menghubungkan septic tank dari lebih dari 200 rumah yang ada yang kemudian disalurkan ke bak penampungan yang terletak di dekat dermaga pasar apung. Tangki penampungan limbah ini terdiri dari dua jenis. Pertama adalah tangki penampungan limbah padat dengan volume 400 m³ dan yang kedua adalah tangki penampungan lumpur dengan volume 300 m³ yang yang diisi dengan batu kali untuk menyaring limbah yang kemudian hasil penyaringan dari limbah inilah yang dapat dibuang langsung ke sungai.
70
Keterangan: 1. WC 2. Tangki Penampungan 3. Tangki Penyaring Lumpur
Gambar 41. Konstruksi Septick Tank Komunal (Sumber: Putra, 2004)
Keseluruhan dari rencana penataan lanskap ini dapat dilihat dalam rencana blok (Gambar 42) dan rencana tapak (Gambar 43) dan gambar segmentasi yang terdiri dari segmen 1, 2, 3 dan 4 (Gambar 44, 45, 46 dan 47)
73
74
75
76
77
Gambar 48. Tampak Potongan A-A’
Gambar 49. Tampak Potongan B-B’
Gambar 50. Ilustrasi Rumah Tepi Sungai
Gambar 51. Ilustrasi Orientasi Rumah di Atas Badan Sungai
78
Gambar 52. Ilustrasi Dermaga di Depan Masjid Sultan Suriansyah
Gambar 53. Ilustrasi Kegiatan Jual Beli di Sungai
Gambar 54. Ilustrasi Penanaman Vegetasi Pada Bantaran Sungai
79
Gambar 55. Ilustrasi Bak Penampungan Septick Tank Komunal
Program Perbaikan Sungai Sungai memiliki peranan penting bagi masyarakat di Kampung Kuin. Sungai harus mendapatkan perhatian dalam tindakan pelestarian karena sungai juga memiliki nilai tradisional yang tinggi. Sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat karena sungai tidak hanya digunakan sebagai sarana transportasi tetapi sungai juga digunakan untuk aktivitas perdagangan. Aktivitas perdagangan di Sungi Kuin yang sudah berlangsung ratusan tahun ini juga menjadi ciri khas kawasan ini. Tindakan pelestarian sungai dilakukan dengan upaya konservasi dengan pendekatan ekologi. Pelestarian sungai dimaksudkan untuk mendukung upaya pelestarian kawasan pemukiman tradisional ini. Mengembalikan fungsi sungai, baik fungsi ekologis maupun fungsi budayanya merupakan program yang harus dilakukan dalam upaya pelestarian Sungai Kuin. Hal ini dikarenakan fungsifungsi yang ada mulai luntur seiring dengan perkembangan zaman. Pengembalian fungsi ekologis sungai dilakukan dengan pengembalian daerah bantaran sebagai ruang terbuka. Bantaran difungsikan sebagai ruang terbuka hijau selain dimaksudkan untuk menahan laju erosi juga menjadi sarana taman lingkungan bagi masyarakat sekitar. Hal ini berarti rumah yang berada di sekitar bantaran atau badan sungai harus direlokasi pada zona yang masih memungkinkan adanya penambahan pemukiman seperti pada zona penyangga. Tetapi, dalam hal ini rumah yang berusia di atas 50 tahun masih dipertahankan karena merupakan bagian dari budaya. Masjid dan musholla yang berada di atas
80
badan sungai juga tetap dipertahankan karena masjid dan dan musholla juga menjadi ciri khas Kota Banjarmasin yang juga dijuluki kota seribu masjid, hanya saja orientasinya harus tetap menghadap sungai. Tindakan lain yang dilakukan adalah pengerukan dasar sungai secara berkala untuk mengambil sampah dan endapan lain di dasar sungai agar tidak terjadi pendangkalan sungai. Pengembalian fungsi budaya dilakukan dengan melestariakan tradisi berperahu yang mulai terkikis dengan adanya jalan darat. Keberadaan sungai dioptimalkan sebagai sarana transportasi dan menjadikan pasar apung sebagai identitas kawasan. Tindakan untuk mengoptimalkan penggunaan sungai sebagai sarana transportasi adalah tidak adanya jalan darat yang diperuntukkan bagi kendaraan yang membelah zona inti dan menambah titik yang dijadikan dermaga, seperti di depan pasar apung dan Masjid Sultan Suriansyah. Hal lain yang perlu dilakukan adalah tidak boleh dibangunnya pasar darat agar budaya pasar apung tidak terkikis. Sedangkan program perbaikan sungai yang didasarkan pada kualitas sungai dijelaskan pada Tabel 8.
Tabel 8. Program Perbaikan Sungai Berdasarkan Zonasi Kualitas Sungai Zona kualitas sungai Baik
Program perbaikan sungai • Penambahan signage mengenai sampah di tepian sungai untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sungai. • Pengadaan fasilitas kebersihan seperti tempat sampah. • Pengadaan dermaga sebagai view point. • Pembuatan undang undang
Sedang
• Pengadaan fasilitas kebersihan untuk mengubah prilaku masyarakat. • Pengadaan sistem kebersihan sungai dengan sistem jaringan. • Penambahan signage mengenai sampah di tepian sungai.untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sungai • Pembuatan undang undang
Buruk
• Pengerukan sungai secara berkala untuk mengurangi sampah dan sedimentasi. • Pengembalian fungsi bantaran sebagai jalur hijau • Pembuatan undang undang • Pembangunan turab di sepanjang sungai untuk mencegah erosi
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kampung Kuin merupakan sebuah lanskap pemukiman tradisional yang terbentuk dari bentangan lanskap vernakular dan budaya dengan berbagai karakternya. Karakter pemukiman terbentuk dari pola permukiman yang linear mengikuti sungai dengan arah orientasi tertuju pada sungai dengan bentuk arsitektur tradisional yang kahas berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu. 2. Sungai Kuin terbentuk dari karakter dan kualitas sungainya. Bantaran sungai yang merupakan pembentuk karakter sungai hampir tidak ada di Sungai Kuin karena adanya permukiman yang semakin mengarah ke badan sungai. Adanya pemukiman menyebabkan menurunnya kualitas sungai baik secara visual maupun ekologinya. 3. Perkembangan yang terjadi pada kawasan ini cukup pesat sehingga megubah pola pemukiman yang ada saat ini. Pola pemukiman yang awalnya linear kini berubah setelah dibangunnya jalan yang juga mengubah arah orientasi rumah dari menghadap sungai menjadi menghadap jalan. Perubahan pola pemukiman ini membuat pola permukiman baru menjadi berantakan. 4. Perubahan yang terjadi ini akan mengancam kaeberadaan pemukiman yang masih memiliki nilai tradisional ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu rencana penataan untuk melindungi karakter fisik dan budaya yang ada pada kawasan ini. Penataan dilakukan dengan mempertahankan pola permukiman dan arah orientasi yang tertuju pada sungai di zona inti. Penataan juga dilakukan pada areal sungai untuk mengembalikan fungsi ekologis dan budayanya. Pengembalian fungsi ekologis ini berupa pengembalian ruang terbuka hijau di bantaran sungai pada area sungai yang rentan. Pengembalian fungsi budaya dilakukan dengan mempertahankan tradisi berperahu dan menambah fasilitas untuk transportasi air yang dapat menarik minat masyarakat dan dapat mengakomodasi masyarakat setempat.
82
Saran 1. Perlu
adanya tindakan aktif baik dari masyarakat setempat maupun
pemerintah Kota Banjarmasin dalam upaya pelestarian kawasan ini. 2. Pemerintah perlu mengeluarkan mengusulkan Kampung Kuin sebagai benda cagar budaya yang berupa rumah-rumah tradisional. 3. Merelokasi rumah-rumah yang berumur kurang dari 50 tahun yang berada di atas badan sungai 4. Mengendalikan pertumbuhan permukiman yang mengarah ke badan sungai dengan peraturan izin mendirikan bangunan. 5. Perlu adanya program pengembalian fungsi sungai baik secara ekologis maupun budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, N. 1992. Perencanaan Lansekap Daerah Pemukiman Sepanjang Jalur Sungai Ciliwung (Studi Kasus Kampung Melayu – Bukit Duri , Jakarta). (Skripsi). Program Studi Arsitektur Pertamanan. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Aini, L. N. 2005. Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta. (Tesis). Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Anonim. 2009. Kota Banjarmasin dan Rumah Tradisional Banjar Aryaoka. 2009. Metamoffosa Hunian Masyarakat http://aryaoka.wordpress.com. Diakses tanggal 2 Agustus 2009.
Bali.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta Chiara, D. J dan Koppelman. 1990. Standar Perncanaan Tapak. Erlangga. Jakarta Goenmiandari. 2010. Konsep Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Kota Banjarmasin berdasarkan Budaya Setempat. Guk-guk, N.A.R. 1999. Tatanan Lanskap Pemukiman Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. (Skripsi). Program Studi Arsitektur Pertamanan. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hayati, F. 2004. Identifikasi Karakteristik Pemukiman Pinggir Sungai dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Sungai di Kota Banjarmasin. (Tesis). Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Maryono, A. 2003. Sempadan Sungai. http://www.bapedalda-jatim.go.id. Diakses tanggal Muchamad, B. N dan Mentayani, I. 2004. Model Pelestarian Arsitektur Berbasis Teknologi Informasi. http://puslit.petra.ac.id. Diakses tanggal 2 Februari 2009. Muchamad, B. N dan Aufa, N. 2006 Melacak Arsitektur Keraton Banjar. http://www.petra.ac.id. Diakses tanggal 19 Juli 2009. Nurisyah, S dan Pramukanto, Q. 2001. Perencanaan Kawasan Untuk Pelestarin Lanskap dan Taman Sejarah. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
84
Nurisyah, S dan Pramukanto, Q. 2004. Aspek Hidrologis Dalam Analisis Tapak. Program Studi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nurisyah, S dan Pramukanto, Q. 2008. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Program Studi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Priyatmono, A. F. 2006. Peran Ruang Publik di Pemukiman Tradisional Kampung Laweyan Surakarta. http://peneliti.bl.ac.id. Diakses tanggal 8 Februari 2009. Purwito.. 2002. Pengukuran Kerugian Bangunan Rumah Akibat Kenaikan Muka Air Laut (Kasus: Kawasan Kuin Utara-Banjarmasin). Purwito. 2002. Perumahan Pinggir Sungai di Banjarmasin Akibat Prilaku Pasang Surut Sungai Barito. http://sim.nilim.go.jp. Diakses tanggal 3 Februari Putra, Y. 2004. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga (Upaya Pendekatan Dalam Arsitektur). Sumatra Utara Putri, I. D. 2008. Menata Infrastruktur Permukiman Bantaran Sungai. http://arsip.pontianakpost.com. Diakses tanggal 4Juli 2009. Rhomaidhi. 2008. Pengelolaan Sanitasi Secara Terpadu Sungai Widuri: Studi Kasus Kampung Nitiprayan Yogyakarta (Tugas Akhir). Jurusan Teknik Lingkunan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Seman, S dan Irhamna. 2001. Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan: Ikatan Arsitek Indonesia. Banjarmasin. Setiawan, B. 2008. Sungai dan Pengalirannya. http://budhisetiawan.net. Diakses tanggal 5 Maret 2009. Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta. Walhi.
2004. Banjarmasin: Kota Seribu Sungai, Seribu http://www.walhi.or.id. Diakses tanggal 31 Maret 2009.
Wongso, J. 2008. Pelestarian Kawaan Pusaka Kota Bukit http://www.wisatamelayu.com. Diakses tanggal 5 Maret 2009.
Masalah. Tinggi.
85
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN
Pertanyaan untuk Kepala Adat 1. Bagaimana sejarah terbentuknya Kampung Kuin? 2. Seperti apakah kondisi Kampung Kuin dahulu? 3. Jika dibandingkan dengan kondisi pemukiman sekarang, apakah perbedaannya? 4. Bagaimanakah susunan rumah dan pola pemukiman yang terbetuk sekarang? 5. Adakah adat istiadat setempat yang berhubungan atau menggunakan sungai? 6. Jika ya, apakah atraksi budaya ini sering dilakukan? 7. Apaka atraksi budaya ini memiliki kemiripan dengan tempat lain? 8. Apa saja jenis rumah tradisional yang ada dan peruntukkan? 9. Bagaimanakah susunan tata ruang di dalam rumah? Pertanyaan untuk masyarakat sekitar 1. Apakah jenis rumah tradisional yang anda tempati? 2. Berapa luas bangunan rumah yang anda tempati? 3. Berapakah kira-kira usia rumah yang anda tempati 4. Material kayu apakah yang digunakan untuk konstruksi? 5. Ke manakah biasanya anda membuang sampah setiap harinya? 6. Jika membuang sampah ke sungai, adakah sistem pengolahan limbah yang diterapkan sebelum dibuang ke sungai? 7. Apakah wilayah ini seing terjadi banjir? 8. Jika ya, daerah mana saja yang sering terkena banjir dan berapa kali siklusnya? 9. Sejauh mana kondisi pasang surut mempengaruhi tempat tinggal anda? 10. Fasilitas apasaja yang terdapat di area pemukiman ini? 11. Bagaimana kondisi fasilitas-fasilitas yang ada, apakah sudah memadai?\ 12. Bagaimana akses masuk-keluar Kampung Kuin?