PERWUJUDAN KEKHASAN NON FISIK PERMUKIMAN SEBAGAI DASAR REVITALISASI DI KELURAHAN KUIN UTARA, BANJARMASIN Dahliani 1
Abstrak Kuin merupakan kawasan bersejarah yang menjadi cikal bakal kota Banjarmasin, tetapi saat ini hanya merupakan kawasan kota lama yang berada di wilayah pinggiran kota. Perkembangan permukimannya tidak mencerminkan kekhasannya sebagai kawasan bersejarah. Potensi non fisik yang dimiliki kawasan belum dikembangkan untuk perwujudan identitas. Oleh karena itu perlu ada upaya revitalisasi yang mampu mengakomodasi perubahan yang dibutuhkan dalam mewujudkan non fisik dengan mengembangkan potensi lokal yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah metode historis dan deskriptif. Data yang didapat dianalisa secara kualitatif. Perwujudan kekhasan non fisik permukiman berdasarkan produk spesifik permukiman dan kebudayaan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekhasan non fisik permukiman diwujudkan dengan melestarikan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan mengembangkan potensi ekonomi berupa produk spesifik permukiman seperti kerajinan khas Kuin berupa tajau, tanggui, ukiran kayu, makanan dan kue khas Banjar, dan krupuk ikan. Dengan demikian, maka identitas permukiman sebagai kawasan bersejarah dapat terwujud. Kata Kunci: revitalisasi, kekhasan non fisik permukiman Kawasan Kuin merupakan cikal bakal kota Banjarmasin, yang menjadi pusat pemerintahan dan bandar perdagangan di wilayah Kalimantan pada masa kerajaan Banjar. Dengan munculnya pusat kota baru yaitu kota Banjarmasin yang sekarang, mengakibatkan Kuin sebagai kawasan kota lama ditinggalkan dan menjadi wilayah pinggiran kota yang mengalami penurunan vitalitas. Kondisi permukiman dan lingkungan tidak mencerminkan kekhasannya sebagai kawasan bersejarah. Potensipotensi lokal yang dimiliki kawasan tidak dikembangkan untuk meningkatkan kualitas permukimannya.
1
Staf Pengajar Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
1
Di kawasan ini terdapat mesjid Sultan Suriansyah sebagai land mark kawasan dan makam raja serta beberapa rumah adat yang terpelihara dengan baik dan ada juga yang tidak terpelihara, tetapi sebagian besar bangunan bertipe rumah masa kini. Proses pertumbuhan kawasan yang bernilai sejarah dan budaya perlu diwaspadai. Apabila tidak ada perencanaan dan pengelolaan yang matang, serta pengendalian terhadap pertumbuhan pemukiman, maka akan mengakibatkan hilangnya daya tarik kawasan bersejarah. Salah satu kawasan yang seringkali mengalami penurunan vitalitas dalam perkembangan sebuah kota adalah kawasan kota lama yang merupakan awal tumbuhnya sebuah kota (Tardiyana, 2001) kota adalah sebuah entitas yang selalu tumbuh dan berkembang. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, penurunan vitalitas pada salah satu kawasan kota merupakan hal yang wajar. Salah satu upaya untuk memperbaiki kawasan kota lama adalah melalui revitalisasi. Wieland (1997) menyatakan bahwa “The Word “revitalization” derived from the word “vita” (alive). Revitalization has many meanings, one could be “putting more strength or power into” and the other might be “bring back alive” what once suppose to be alive and now dilapidated”. Revitalisasi merupakan upaya menghidupkan kembali suatu kawasan meliputi bangunan, masyarakat dan lingkungan, yang dulunya pernah hidup dan sekarang mengalami kemunduran, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki baik dari segi sosio-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan. Upaya pendekatan revitalisasi dapat dilakukan melalui (Hanan, 2001): a. Mewujudkan sense of place, meliputi: menegaskan struktur kawasan, menata kembali aktivitas lokal, mengolah ruang publik dan memasukkan elemen estetis. b. Mewujudkan identitas kawasan, meliputi: menonjolkan objek monumental, kekhasan lingkungan dan tipologi perumahan. c. Menonjolkan local features, meliputi: langgam arsitektur, nilai historis dan budaya, unsur geografis. d. Membangun keterkaitan antar obyek, antar kawasan dan jalur transportasi. Revitalisasi
lebih
menekankan
pada
upaya
menghidupkan
kembali
suasana/aktivitas kawasan yang pernah ada dengan penyesuaian terhadap masa kini.
2
Salah satu upaya untuk menghidupkan suatu kawasan adalah dengan menonjolkan keunggulan dan keunikan kawasan. Untuk dapat dikembangkan, kawasan harus memiliki keunikan, memiliki sejarah kejayaan dan terdapat peninggalan bernilai tinggi. Untuk menghidupkan kembali kawasan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan kawasan sebagai tujuan wisata dengan memperhatikan sumber daya yang ada di kawasan tersebut, yaitu: a. Kondisi spesifik kawasan, dapat berupa kondisi lingkungan alam seperti sungai, bukit, danau dan lain-lain. Penanganan kawasan tepi sungai lebih diarahkan pada penataan untuk meningkatkan kualitas kawasan seperti peningkatan kualitas air dan aktivitas sungai. b. Arsitektural bangunan. c. Produk spesifik kawasan seperti hasil kerajinan. Agenda 21 Indonesia (1997) menjelaskan bahwa dalam pengembangan permukiman perlu diciptakan iklim kehidupan yang sehat secara lingkungan, ekonomi, sosial budaya dan politik, untuk meningkatkan kualitas kehidupan bagi semua orang. Konsep pengembangan permukiman menekankan pada keterpaduan aspek sosial, fungsional dan ekologis untuk menjamin peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan. Proses bermukim menjadi faktor pengikat antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan peningkatan kualitas hidup. Suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik, dengan memenuhi aspek fisik dan aspek non fisik (Silas,1985 dalam Sumartinah, 2000), yaitu: a. Aspek fisik, meliputi letak geografis, lingkungan alam dan binaan, serta prasarana dan sarana dan lingkungan. b. Aspek non fisik, meliputi aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek budaya. Aspek fisik dan non fisik dalam permukiman tidak dapat dipisahkan untuk mewujudkan suatu permukiman yang berkualitas. Dengan demikian permukiman tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu wujud fisik, tetapi merupakan hasil dari interaksi aspek sosial, fisik bangunan dan lingkungan, serta budaya yang ada di dalam masyarakat penghuni permukiman tersebut.
3
Revitalisasi berarti menemukan kembali potensi yang pernah dimiliki atau yang seharusnya dimiliki. Kekhasan non fisik permukiman merupakan bagian dari potensi yang perlu ditemukan dan dikembangkan kembali agar kawasan memiliki ciri khas yang menjadi daya tarik dibandingkan dengan kawasan yang lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi terhadap kawasan yang paling bersejarah di kota Banjarmasin, yaitu Kuin Utara terutama pada aspek non fisik permukimannya untuk dapat dilakukan upaya peningkatan vitalitas mewujudkan permukiman yang lebih beridentitas. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian historis
yang
menekankan pada penafsiran gejala pada masa lampau guna memahami kondisi sekarang dan penelitian deskriptif yang menekankan pada gejala-gejala yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan. Dengan metode penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan penelitian yang berkaitan dengan upaya revitalisasi berdasarkan kekhasan non fisik permukiman. Komponen yang dijadikan variabel untuk mengkaji kekhasan non fisik digali melalui potensi-potensi lokal yang ada berupa produk spesifik permukiman dan kebudayaan masyarakat. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan survei langsung ke lokasi pengamatan. Data yang didapat dianalisa kualitatif yang diarahkan pada analisa isi yang sesuai dengan metode penelitian deskriptif. Analisa ini dilakukan berdasarkan data-data pengamatan lapangan, data sekunder dan data hasil wawancara kepada responden dan tokoh masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelurahan Kuin Utara ini mempunyai potensi yang dapat dijadikan sebagai daya tarik kawasan, yaitu: a. Mesjid Sultan Suriansyah Mesjid Sultan Suriansyah merupakan bangunan tua sebagai bukti sejarah perkembangan syi’ar Islam di Kota Banjarmasin yang mempunyai pengaruh luas sampai Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Mesjid ini juga sebagai tanda awal berdirinya kota Banjarmasin (Kerajaan Banjarmasih). Oleh karena itu
4
keberadaan mesjid sebagai potensi kawasan menjadi sangat penting dalam rangka melestarikan sejarah.
b. Situs Makam Sultan Suriansyah Situs ini sebagai tempat dimakamkannya Raja Banjar yang pertama yaitu Sultan Suriansyah beserta keluarganya. Jaraknya + 500 m ke arah barat dari mesjid Sultan Suriansyah. Banyak pengunjung yang datang ke makam ini dengan tujuan berziarah, yang berasal dari berbagai daerah di propinsi Kalimantan Selatan, bahkan adapula yang datang dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Untuk melestarikan nilai sejarah, di makam ini terdapat museum yang menyimpan bendabenda bersejarah.
Makam Sultan Suriansyah
Mesjid Sultan Suriansyah
Gambar 1. Letak Mesjid dan Makam Sultan Suriansyah
Di kawasan studi ini terdapat beberapa produk spesifik setempat yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yaitu pembuatan tajau khas Kuin, tanggui (penutup kepala dari pucuk daun nipah), ukiran kayu ulin khas Banjar, makanan dan kue khas Banjar, dan krupuk ikan haruan dan udang. Keberadan produk spesifik permukiman tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Produk Spesifik Permukiman Kelurahan Kuin Utara Kerajinan Tajau
Tanggui
Ukiran kayu ulin
Makanan & Kue khas Banjar
Penjelasan
Gambar
Tajau adalah tempat penampungan air yang terbuat dari bahan semen. Di kawasan studi ini terdapat 3 lokasi pembuatan tajau. Sebenarnya kondisi ini menurun dibandingkan pada awal tahun 1960-an. Pada waktu itu industri tajau di Kuin ada 7 buah dan sekarang berkurang karena keberadaannya kalah bersaing dengan produk dari bahan plastik yang lebih ringan, serta berkembangnya air bersih yang langsung mengalir dari PAM (dulu menggunakan air sungai sehingga ditampung di tajau). Ketrampilan membuat tajau diperoleh secara turun temurun dengan menggunakan motif yang sama dengan yang dikembangkan oleh leluhurnya. Motif baru cenderung dikembangkan apabila ada pemesanan. Dalam sehari dapat menghasilkan 40-50 tajau. Pekerjanya sekitar 6 – 7 orang. Produksi tajau ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang berada di RT 6 dan RT 18. Produk tajau laku dijual pada musim katam (panen), dan biasanya pembeliannya dengan sistem barter dengan padi. Pembeli tajau pada umumnya adalah orang dari luar Kuin, yaitu dari Aluh-aluh, Anjir, Kapuas, Lupak dan Musang, yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Tanggui adalah penutup kepala dari pucuk daun nipah. Produk yang dihasilkan dalam sehari antara 15-25 tanggui. Sedangkan yang terjual sekitar 15 buah per hari atau tergantung musim. Produk ini paling banyak terjual pada saat musim panen dan musim tanam benih. Pembeli umumnya orang dari luar Kuin, yaitu Anjir, Marabahan, Nagara, Amuntai dan Barabai, biasanya dipasarkan di tempat atau menunggu pembeli datang. Tanggui ini biasanya dibuat oleh ibu rumah tangga untuk mengisi waktu luang. Produksi tanggui ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang berada di RT 6, RT 7 dan RT 18. Ketrampilan membuat ukiran khas Banjar diperoleh secara turun temurun. Motif yang digunakan umumnya tidak berubah, yaitu menggunakan kaligrafi, tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan, serta benda mati seperti tali dan lain-lain. Sesekali ada motif baru tergantung pada pesanan. Pembeli atau pemesan berasal dari berbagai daerah, umumnya dari luar kawasan Kuin. Sebagaimana halnya dengan tanggui, produk ini dipasarkan tergantung pada pemesan, tidak ada upaya untuk promosi. Produksi ukiran ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang berada di RT 13 dan RT 14. Ketrampilan membuat makanan dan kue khas Banjar ini juga didapat secara turun temurun. Bentuk dan jenis kue yang dikembangkan sama dengan leluhurnya, tapi ada juga yang membuat jenis tambahan. Untuk kue, produk yang dihasilkan beragam jenis dan jumlahnya, seperti kue laksa, putu mayang, wadai tumpi, untuk-untuk, pais pisang, bingka dan lain-lain. Sedangkan makanan, biasanya setiap tempat memiliki jenis tersendiri, seperti soto Banjar, ikan bakar, nasi kuning, lontong dan lain-lain. Pembeli makanan dan kue ini adalah orang Kuin sendiri dan orang dari luar Kuin. Kue biasanya dijual di tempat atau menunggu pembeli datang dan banyak pula yang
6
menjualnya ke pasar terapung. Produksi kue khas ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang berada di RT 5, RT 7, RT 8 dan RT 9. Krupuk Ikan Haruan Dan Udang
Keterampilan membuat krupuk ikan haruan dan udang bukan berasal dari turun temurun. Keterampilan ini diusahakan oleh seorang responden yang melihat adanya pangsa pasar untuk usaha krupuk dari ikan haruan dan udang karena kedua jenis ikan ini banyak terdapat di Banjarmasin dan mudah memperolehnya di pasar terapung dengan harga murah. Hal ini juga didukung oleh kondisi lingkungan yang tidak terlalu ramai lalu lintasnya dan terdapat lahan kosong sehingga memudahkan untuk menjemur krupuk. Kegiatan ini dimulai tahun 1980-an, dari satu orang kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain untuk mengusahakannya. Seperti juga tanggui, kegiatan membuat krupuk ini merupakan kegiatan sambilan ibu rumah tangga untuk menambah penghasilan. Di kawasan studi terdapat 6 orang yang mengusahakan pembuatan krupuk. Produksi krupuk ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang berada di RT 6, RT 7 dan RT 18.
Ada beberapa produk spesifik permukiman ini menunjukkan bahwa rumah tidak hanya sekedar tempat hunian, tapi juga berfungsi produktif untuk mendukung kehidupan para penghuninya. Seperti yang dinyatakan Silas (1993) bahwa rumah yang hanya dipakai sebagai hunian saja akan sulit dipertahankan eksistensinya. Keproduktifan rumah di kawasan studi sudah ada sejak jaman sejarah dulu, daerah ini dikenal sebagai bandar perdagangan dan masyarakatnya memiliki usaha yang dijual ke daerah lain. Akan tetapi sekarang ini perkembangan usaha semakin menurun. Bahkan usaha yang memproduksi benda khas Kuin hampir tenggelam. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu: a. Banjarmasin sekarang, sehingga Kuin menjdai kota lama yang ditinggalkan. b. Produksi masyarakat kalah bersaing dengan produksi baru, karena produk Kuin biasanya menghasilkan bentuk yang monoton dan tidak berubah dari bentuk leluhurnya. c. Bahan yang digunakan mulai sulit dicari dan harganya tambah mahal, seperti ukiran kayu yang menggunakan kayu ulin dan tanggui dari pucuk daun nipah. d. Tidak adanya promosi atas usaha produk spesifik Kuin. e. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga belum ada pemikiran untuk mengembangkan usaha.
7
Produk spesifik kawasan ini dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Tidak ada yang mendapatkan bantuan keuangan dan bantuan pelatihan dari lembaga manapun. Di kawasan ini juga tidak terdapat koperasi atau perkumpulan pengrajin khusus per kegiatan khas ataupun pengrajin secara umum yang mampu mengelola meningkatkan keberadaan pengrajin khas potensi lokal. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi di kawasan studi yang memiliki potensi lokal berupa beberapa produk spesifik, maka perlu beberapa upaya untuk tetap mempertahan dan mengembangkannya, sehingga perekonomian masyarakat juga dapat meningkat. Upaya yang dapat dilakukan adalah: a. Peningkatan dan pengembangan produk melalui bantuan dari pihak luar (pemerintah, LSM dan lainnya). b. Pelatihan peningkatan kualitas produk dan strategi pemasaran. c. Bantuan pendanaan dan pemasaran melalui pencarian mitra kerja maupun berupa pembuatan pusat promosi kerajinan khas Kuin. d. Membentuk kelompok-kelompok usaha dan koperasi yang mampu memberikan bantuan dalam upaya pengembangan usaha kerajinan khas Kuin e. Pembuatan produk khusus untuk keperluan cendera mata. f. Memasukkan kegiatan khas ke dalam perencanaan yang terintegrasi dengan objek wisata di Kuin. g. Promosi secara intensif dan terpadu. Rencana jalur arteri primer (dari Trisakti–pelabuhan menuju jembatan Barito) yang akan melalui kawasan studi merupakan suatu keuntungan bagi perkembangan perekonomian kawasan studi. Begitu pula dengan adanya Banjarmasin International Trading and Exhibition Centre (BITEC) yang berbatasan dengan kawasan studi merupakan faktor yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan lokal di kawasan studi. Penyebaran kegiatan usaha khas permukiman berada diantara dua situs bersejarah, yaitu mesjid dan makam Sultan Suriansyah dapat dikembangkan menjadi suatu area perdagangan dan industri rumah tangga khas Kuin. Hanya pembuatan ukiran khas Banjar yang berada dekat dengan perbatasan kelurahan Alalak Selatan, karena lokasi ini berdekatan dengan daerah penghasil kayu ulin.
8
Area penyebaran produk spesifik permukiman yang dapat dikembangkan sebagai area perdagangan dan industri rumah tangga khas Kuin sebagai sarana wisata penghubung antar dua objek bersejarah
Gambar 2.Penyebaran dan pengembangan area perdagangan produk spesifik
Kawasan Kuin berada di sepanjang sungai Kuin. Sebagian besar kehidupan penduduknya bergantung pada sungai Kuin ini. Kegiatan ekonomi, kegiatan seharihari (mandi, cuci dan kakus) berbelanja, bermain bagi anak-anak, media transportasi dan sebagainya dilaksanakan di sungai. Hal ini menunjukkan adanya kebudayaan sungai di Kuin yang tidak bisa ditinggalkan. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Kuin sangat kuat, antara tetangga adalah keluarga. Dominasi penduduk adalah penduduk asli yang sejak lahir tinggal di Kuin. Mayoritas penduduk beragama Islam, yang didukung banyaknya sarana peribadatan mesjid dan mushalla yang tersebar di tiap RT. Kebesaran mesjid Sultan Suriansayah sebagai mesjid peninggalan budaya dan sejarah menjadi simbol kehidupan penduduk yang religius. Interaksi sosial antara masyarakat secara resmi umumnya berlangsung di mesjid, dalam arti tidak terdapat sarana pelayanan umum khusus yang sering digunakan oleh masyarakat untuk berkumpul dan berinteraksi. Danisworo menyatakan bahwa proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Selain itu pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Adhisakti juga menyatakan bahwa revitalisasi bukan sesuatu yang berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja,
9
tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Terdapat prinsip-prinsip yang bercirikan budaya sebagai tolak ukur perwujudan kekhasan non fisik dalam permukiman seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Prinsip-prinsip perwujudan kekhasan non fisik permukiman No.
Prinsip Perwujudan Kekhasan Non Fisik
Penjelasan
1.
Variasi lansekap budaya dengan alasan keindahan
Kawasan Kuin memiliki potensi geografis yang sangat baik dan memberikan ke”strategis”an pada kawasan ini, yaitu posisinya yang terletak di sepanjang sungai Kuin yang bermuara ke sungai Barito (sungai terbesar di Banjarmasin yang langsung bermuara ke laut). Dengan potensi geografisnya ini, melahirkan kebudayaan sungai yang dimiliki oleh masyarakat secara turun temurun, seperti kegiatan sehari-hari (mandi, cuci, kakus/MCK, anak-anak bermain dan sebagainya) dilakukan di sungai, kegiatan perekonomian (berjual beli) dan juga sarana transportasi. Tetapi potensi-potensi yang ada ini belum digunakan dengan baik dan dibiarkan seadanya. Sungai sebagai elemen estetis tertutupi oleh tumbuhnya permukiman di bantaran sungai dan menjadi area belakang.
2.
Memelihara identitas kelompok
Identitas kelompok yang menunjukkan unsur budaya di kawasan Mesjid Sultan Suriansyah ini sudah mulai memudar. Hal ini disebabkan karena tidak adanya regenerasi pemeliharaan kebudayaan masyarakat dan kuatnya pengaruh budaya asing. Kelompok masyarakat yang masih menunjukkan identitas budaya hanya sebagian kecil. Tetapi upaya untuk memelihara keberadaan kelompok ini masih belum ada, sehingga apabila hal ini dibiarkan begitu saja, maka lama kelamaan budaya Banjar yang dianut oleh masyarakat akan pudar. Kebudayaan Banjar masih dilaksanakan oleh masyarakat Kuin walaupun tidak sebanyak seperti waktu dulu lagi. Kegiatan yang masih sering dilaksanakan adalah Baayun Maulud yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal yang diiringi dengan Maulud Habsy (Beterbangan), acara mandi-mandi bagi keturunan Raja dan masyarakat yang mampu. Sedangkan budaya
10
Banjar yang sudah tidak ada lagi adalah Senoman Haderah yang merupakan kegiatan arak-arakan pada saat acara pernikahan, madihin dan mamanda. Kebudayaan Banjar sudah mulai berkurang dilaksanakan dengan alasan terpengaruh budaya asing, tidak adanya regenerasi dan biaya pelaksanaannya mahal. Untuk tetap menjaga keberadaan kebudayaan Banjar, maka perlu digalakkan lagi supaya kawasan memiliki identitas lewat kebudayaannya. 3.
Melindungi makna berupa Simbol-simbol penting yang mengandung makna simbol-simbol penting sejarah sudah diupayakan untuk dilindungi, yaitu dan image mulai di rehabilitasinya Mesjid Sultan Suriansyah pada tahun 1999 sebagai mesjid yang pertama kali dibangun pada masa kerajaan Banjar, dan rehabilitasi makam raja beserta keluarganya. Kedua simbol budaya ini sudah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya yang akan selalu dilindungi keberadaannya
4.
Melindungi budaya dan gaya hidup sebagai identitas budaya
Perlindungan terhadap simbol budaya hanya berupa aspek fisik, sedangkan aspek non fisiknya seperti budaya masyarakatnya yang ada di kawasan ini sebagai ciri khas/identitas budaya Banjar sebaiknya dijaga pula. Diantaranya yaitu kebudayaan sungai, dimana masyarakat sangat tergantung dengan sungai sebagai sarana hidup mereka. Kegiatan-kegiatan masyarakat dalam hal ekonomi yang bercirikan budaya Banjar juga perlu di lindungi seperti usaha pembuatan tempat penampungan air (tajau), usaha pembuatan topi tradisional (tanggui), usaha pembuatan ukiran kayu tradisional dan usaha pembuatan kue-kue tradisional. Dalam upaya revitalisasi permukiman, usaha-usaha ini tidak hanya dilindungi tapi juga diupayakan untuk dikembangkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Kondisi yang berkembang sekarang ini membiarkan semua potensi budaya dan ekonomi yang ada di masyarakat berkembang apa adanya, sehingga apabila ada pengaruh dari luar maka ada kemungkinan potensi yang ada ini akan tenggelam dan kalah bersaing.
11
Berdasarkan pembahasan Cultural Landsape Features khususnya berkaitan dengan prinsip-prinsip konservasi dipermukiman yang bercirikan budaya maka dapat diketahui bahwa: a. Penyebab tidak terwujudnya potensi non fisik permukiman di kawasan kota lama adalah: 1. Rehabilitasi yang dilakukan hanya menyentuh aspek fisik bangunan dan prasarnanya saja (berupa mesjid dan makam) sedangkan aspek non fisiknya berupa budaya masyarakat belum diolah dengan baik. 2. Potensi-potensi geografis dan budaya yang ada belum diolah dengan baik. 3. Kelompok masyarakat yang berbudaya Banjar hanya tinggal sebagian kecil dan keberadaannya belum terpelihara dengan baik.
b. Perwujudan kekhasan non fisik permukiman dapat dilakukan dengan cara: 1. Memanfaatkan lansekap budaya berupa kondisi geografisnya yang berada di tepi sungai dengan upaya memajukan kebudayaan sungai yang dimiliki masyarakat. 2. Memelihara kelompok masyarakat yang masih bercirikan budaya di sekitar mesjid dan makam Sultan Suriansyah agar tidak pudar. Simbol-simbol budaya berupa bangunan agar tetap dilindungi. Rumah adat yang masih ada diupayakan untuk dilindungi dan terpelihara dengan baik, dan permukiman di tepian sungai Barito dan sungai Kuin dapat diolah untuk mewujudkan budaya sungai.
SIMPULAN DAN SARAN Revitalisasi permukiman merupakan suatu kegiatan pembangunan yang memerlukan adanya keterlibatan masyarakat. Agenda 21 Indonesia menyatakan bahwa ada perubahan pandangan yang mendasar, dari konsep pembangunan oleh pemerintah (top-down approach) ke pemampuan masyarakat (bottom-up approach), yang menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan Pembangunan bersama masyarakat diharapkan masyarakat akan merasa memiliki apa yang telah mereka lakukan dan berupaya untuk menjaga hasil pembangunan
dan
meningkatkan
kinerja
mereka
sebagai
subyek
dalam
12
pembangunan. Hakekat pemampuan/pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan adalah mewujudkan masyarakat sebagai pelaku penentu serta pusat dari kegiatan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dengan memobilisasi masyarakat melalui keikutsertaannya sejak dari perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dari hasil-hasil pembangunannya. Pendekatan lain yang dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat adalah meningkatkan potensi produk spesifik permukiman melalui pelatihan keterampilan yang mampu mengembangkan hasil produksi agar lebih menarik lagi.
DAFTAR RUJUKAN Hanan, Himasari. 2001. Revitalisasi Kawasan Kota Lama, dalam Desiminasi dan Seminar : Penataan dan Revitalisasi Kawasan Strategis Menuju Kota Masa Depan, 7 Nopember 2001. Banjarmasin. Silas, Johan. 1993. Pidato Pengukuhan : Perumahan Hunian dan Fungsi Lebihnya. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Silas, Johan.1996. Kampung Surabaya Menuju Metropolitan. Surabaya: . Yayasan Keluarga Bhakti dan Surabaya Post. Sumartinah, Happy Ratna. 2000. Permukiman dan Lingkungan dalam Pengembangan Wilayah. Surabaya: Pidato Pengukuhan Guru Besar Arsitektur. FTSP-ITS. Tardiyana, Achmad. 2001. Revitalisasi Kawasan Bersejarah: sebuah Catatan Mengenai Prinsip dan Permasalahan Penerapannya di Indonesia, dalam Desiminasi dan Seminar : Penataan dan Revitalisasi Kawasan Strategis Menuju Kota Masa Depan, 7 Nopember 2001. Banjarmasin. Wieland, Hendrik F. 1997. Braga, Revitalization in an Urban Development. Bandung: GRK – UNPAR Architecture Department.
13
14
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENETAPKAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL ( KKM) MELALUI WORKSHOP PADA SMP NEGERI 8 BANJARBARU Haili 1 Abstrak Penelitian ini dilaksanakan karena penulisan melihat kenyataan yang ada di lapangan ada beberapa guru yang belum dan bahkan tidak mampu menetapkan kriteria ketuntasan minimal yang dituntut dalam pelaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas. Ketidak mampuan ini dapat dilihat pada waktu pelaksanaan tugas kepengawasan di sekolah binaan. Tujuan penelitian tindakan sekolah ini mengupayakan agar guru di SMP Negeri 8 Banjarbaru dapat menetapkan kriteria ketuntasan minimal dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung dan intake siswa, dan pengawas menemukan cara yang dalam melaksanakan tugas kepengawasan serta untuk mengetahui sejauh mana Workshop dapat meningkatkan kemampuan guru sebagai pendekatan yang digunakan pengawas. Proses penelitian tindakan ini dilaksanakan pada kegiatan tugas pengawas di SMP Negeri 8 Banjarbaru dan pelayanan terhadap guru-guru pada waktu menganalisis penetapan kriteria ketuntasan minimal pada awal semester tahun pelajaran. Populasi penelitian adalah guru SMP Negeri 8 Banjarbaru berjumlah 22 orang. Data dikumpulkan dengan cara observasi dan pengamatan, dianalisa dengan teknik diskritif kualitatif dalam pelaksanakan penelitian tindakan sekolah diamati dan dinilai mulai dari . Siklus I dan Siklus 2 yang cukup menunjukan peningkatan. Hasil penelitian menunjukan adanya keberhasilan dan manfaat dalarn meningkatkan kemampuan guru menganalisis penetapan kriteria ketuntasan minimal dan menggunakan model workshop untuk mata pelajaran diajarkan di SMP Negeri Banjarbaru. Kata kunci: Menetapkan, Kriteria Ketuntasan Minimal, Workshop. Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sudah ditetapkan dalam Pemerintah (PP Nomor 19 Tahun 2005) lingkup standar nasional pendidikan yang 1
Pengawas di Lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banjarbaru.
memuat standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga pendidikan merupakan upaya meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Dalam hal ini banyak yang perlu mendapat perhatian dan pemerintah di antaranya meningkatkan kemampuan guru sebagai pelaksana pendidikan dan pembelajaran dituntut kompetensi atau kemampuan dalam melaksanakan tugas. Kurikulum standar isi mensyaratkan bahwa kompetensi guru disatuan pendidikan bukan saja kemampuan penguasaan terhadap materi, metode, strategi, teknik pembelajaran, namun dituntut juga kemampuan dalam satu pendekatan yaitu pendekatan pembelajaran tuntas (Mastery Learning).
Dalam melaksanakan
pendekatan meuggunakan pembelajaran tuntas ini guru dituntut kemampuannya menetepkan kriteria ketuntasan minimal. Pada kegiatan supervisi di SMP Negeri 8 Banjarbaru satu temuan permasalahan, masalah yang menjadi temuan ini sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan pembelajaran tuntas yakni ada di antara guru belum dan bahkan ada yang tidak mampu menetapkan kriteria ketuntasan minimal untuk mata pelajaran yang seharusnya ditetapkan sebelum pelaksanaan pembelajaran di awal semester tahun ajaran. Permasalahan tersebut di atas menjadi bahan pemikiran bagi pengawas pembina untuk menindak lanjuti dengan mencari penyebab kemudian berupaya memperbaiki permasalahan tersebut. Dari hasil pengamatan yang dilaksanakan kemudian diidentifikasi, maka faktor penyebab ketidak mampuan guru menetapkan kriteria ketuntasan minimal ini adalah sebagai berikut:
Belum mendapat informasi yang jelas bagairnana menganalisis penetapan kriteria ketuntasan minimal yang benar.
Menetapkan kriteria ketuntasan minimal hanya dengan cara memperkirakan saja, tanpa melalui analisis penetapan kriteria ketuntasan minimal yang scbenarnya.
Hanya melihat kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan sekolah lain yang kemudian ditetapkan disekolah tempat tugasnya. Menyadari
adanya
permasalahan
tersebut,
maka
pengawas
ingin
memperbaiki cara ketuntasan minimal (KKM) dengan workshop, sebagai tindakan kepengawasan, dengan harapan agar permasalahan dapat diatasi yaitu guru - guru di SMP Ncgeri 8 Banjarbaru yang menjadi binaan dapat rnenerapkan kriteria ketuntasan
minimal dedngan menggunakan analisis penetapan yang
benar. Secara umum
tindakan sekolah ini bertujuan untuk mengetahui berapa jauh pelaksanaan workshop dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menganalisis untuk menetapkan kriteria ketuntasan minimal disatuan pendidikan. Secara khusus penelitian tindakan ini bertujuan untuk:
Menemukan cara yang tepat dalam melakukan tugas kepengawasan yang dapat meningkatkan kemampuan guru menetapkan kriteria ketuntasan minimal pada satuan pendidikan.
Meningkatkan kemampuan guru dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal dengan menggunakan analisis penetapan kriteria ketuntasan minimal. Workshop pendidikan adalah suatu kegiatan belajar kelompok yang terdiri
dan petugas-petugas pendidikan yang memecahkan problema yang dihadapi melalui percakapan dan bekerja secara kelompok maupun bersifat perorangan ( Sahertian, 2000:105). Workshop berati pula suatu tempat kerja dengan menggunakan bermacam - macam alat untuk menghasilkan sesuatu. Definisi lain menggambarkan workshop sebagai suatu usaha untuk menggembangkan kesanggupan berfikir dan bekerja bersama - sama baik mengenai masalah - masalah teoritis mapun praktis dengan maksud untuk meningkatkan kualitas hidup pada umumnya serta kualitas professional pada khususnya. Workshop dapat pula didefinisilcan sebagai suatu situasi yang didalamnya orang bekerja dan belajar secara bersama : suatu situasi orang belajar dengan orang lain atas tanggungjawab bersama. Dalam dunia pendidikan workshop adalah suatu device dalam In Service education, cara belajar sesuatu (a way learning) dengan menggunakan “Sharing of ideas, procedure give and take” suatu system kerja yang selaras dengan jiwa gotong royong ( Sahertian, 2000:105). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa workshop adalah tempat yang didalamnya orang dapat belajar sesuatu dengan jalan menemukan problema yang merintangi kelancaran sesuatu pekerjaan dan mencari jalan untuk rnenyelesaikan problema tersebut. Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriterla paling rendah untuk menyatakan peserta didik
mencapai ketuntasan dinarnakan kriteria ketuntasan dinamakan kriteria ketuntasan mininasi atau KKM. Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh pimpinan sekolah berdasarkan masukkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di sekolah atau beberapa sekolah yang rnemiliki karakteristik hampir sama. Pertimbangan guru atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Namun demikian pertimbangan non akademis adalah untuk mengikuti seleksi pendidikan lanjutan peserta didik. Kriteria ketuntasan menunjukkan prosentasi tingkat pencapaian kompetisi sehinggga dinyatakan dengan angka maksimum 100 ( seratus). Angka maksimum 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan nasional diharapkan mencapai 75 sekolah secara bertahap dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal dibawah target nasional kemudian ditingkatkan secara berkelanjutan. Penggunaan kriteria ketuntasan minimal manjadi acuan bersama oleh guru, peserta didik, dan Orang tua. Oleh karena itu pihak - pihak yang berkepentingan terhadap penilaian sekolah berhak untuk mengetahui. Sekolah perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik maupun orang tua. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan
dalam laporan hasil
belajar ( LHB ) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik. Kriteria ketuntasan minimal penentuannya perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan sebagai berikut:
Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan/atau kuantitatif.
Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung dan intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi. Penetapan kriteria ketuntasan minimal dengan metode kualitatif dapat dilakukan terhadap kompetensi dasar dilihat dan tiga aspek, yaitu Kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik.
Tingkat kompleksitas ( tingkat kesulitan/kerumitan) setiap indikator/kompetensi dasar /Standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik.
Suatu indikator dikatakan mempunyai kompleksitas yang tinggi, apabila alam pencapaiannya harus didukung oleh sekurang-kurangnya satu dan kondisi antara lain sebagai berikut:
SDM guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dilajarkan pada peserta didik.
SDM guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi.
SDM guru yang baik dalam pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan.
SDM siswa dengan kemampuan penalaran yang tinggi.
Dibutuhkan kecermatan siswa untuk mempraktekkan
Waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan pengulangan / latihan.
Tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar.
Kemampuan Sumber Daya Pendukung. Dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah:
Sarana dan prasarana pendidikan yang sesusai dengan tuntutan kompetensi yang harus dicapai peserta didik ( Perpustakaan, laboratorium, alat / bahan untuk proses pembelajaran).
Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah, kepedulian stakeholders sekolah.
Tingkat Kemampuan (Intake) Rata-rata peserta didik. Di sekolah yang bersangkutan, penetapan KKM dikelas VII didasarkan pada hasil seleksi pada saat penerimaan siswa baru, Nilai UASBN, Rapor SD, Tes Seleksi masuk atau psikotest; sedangkan penetapan KKM dikelas VIII dan IX berdasarkan kemampuan peserta didik dikelas sebelumnya. Penetapan KKM dilakukan oleh pimpinan sekolah berdasarkan pertimbangan dari guru atau kelompok guru mata pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut :
KKM Indikator
KKM KD
KKM SK
KKM MP
Dalam menentukan KKM perlu diperhatikan rambu-rambu yang diperlukan dalam Penetapan kriteria ketuntasan minimal ( KKM), di antaranya: a. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah tingkat pericapaian kompetensi dasar (KD) mata pelajaran oleh peserta didik per mata pelajaran. b. Nilai kriteria ketuntasan minimal (kognitif dan psikomotor) dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0-100. c. Nilai kriteria ketuntasan maksimal adalah 100. d. Sekolah dapat menuntaskan kriteria ketuntasan minimal dibawah nilai ketuntasan belajar maksimal (100), namun sekolah secara bertahap mentargetkan pencapaian nilai ketuntasan belajar secara maksimal.
Penetapan KKM ada 2 macam:
Dengan teknik memberi poin pada setiap kriteria yang ditetapkan Kriteria kompleksitas Tinggi ditetapkan = 1, sedang = 2, rendah = 3 Kriteria daya sedang Tinggi = 3, sedang = 2, rendah = 1 Kriteria intake siswa Tinggi = 3, sedang = 2, rendah = 1
Aspek yang dianalisis Kompleksitas
Daya Dukung
Intake Siswa
Tinggi < 65 (1) Tinggi 80-100 (3) Tinggi 80-100 (3)
Kriteria dan skala Penilaian Sedang 65-79 (2) Sedang 65-79 (2) Sedang 65-79 (2)
Rendah 80–100 (3) Rendah < 65 (1) Rendah < 65 (1)
Jika indikator memiliki kriteria kompleksitas tinggi, daya dukung tinggi, dan intake siswa sedang, maka nilai KKM nya adalah : 1 + 3 + 2 X 100 = 66,7 9 Nilai KKM merupakan angka bulat, maka nilai KKM nya adalah 67 Dengan Teknik Rentang Kompleksitas Tinggi = 50 - 64, sedang = 65 - 79, rendah = 80 - 100 Daya dukung Tinggi = 80 - 100, sedang = 65 - 79, rendah = 50 - 64 Intake Tinggi = 80 - 100, sedang = 65 - 79, rendah = 50 – 64 Jika kompleksitas = 67, daya dukung = 82 dan intake 75 maka KKM nya = 67 + 82 + 75 = 74,6 , Dibulatkan menjadi 75 3 METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Tindakan Sekolah. Subjek penelitian adalah SMP Negeri 8 Banjarbaru, Jl. Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin Kota banjarbaru, terdiri dari guru sebanyak 22 orang. Desain penelitian ini sesuai dengan pola penelitian tindakan sekolah dengan mempergunakan siklus, yaitu terdiri dari 2 siklus dengan 4 tahapan, Perencanaan, Pelaksanaan, Observasi dan Refleksi serta setiap siklus dilakukan tugas individu membuat KKM. Siklus 1 disusun rencana tindakan dengan menggunakan tindakan workshop, pelaksanaan tindakan sesuai dengan skenario workshop, kemudian diadakan pengamatan dan tugas individu, data, dan hasil pengamatan, serta tugas individu, kemudian direfleksi. Hasil refleksi siklus 1 dijadikan acuan untuk menyusun perencanaan siklus 2, hasil siklus 2 dari data pengamatan dan tugas individu diolah dan ditarik kesimpulan. Indikator keberhasilan penelitian tindakan ini adalah 80% guru SMP Negeri 8 Banjarbaru mampu menetapkan Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) dengan mendapat nilai 75.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian masing-masing siklus dapat dimaknai lebih lanjut dengan cara membandingkan kedua hasil yang diperoleh pada siklus 1 dan siklus 2. Tabel 1. Hasil Kemampuan menyusun KKM Indikator pada Siklus 1 dan Siklus 2
No 1 2 3 4 5
Skor Sangat Tidak Baik Tidak Baik Kurang Baik Baik Sangat Baik Jumlah
Siklus 1 Frekuensi 5 7 10 22
Siklus 2 Frekuensi 3 17 2 22
% 22,7 31,8 45,5 100
Pada Tabel 1 memperlihatkan adanya
% 13,7 77,2 9,1 100
kenaikan presentasi kemampuan
menyusun KKM. Indikator dari siklus 1 dan siklus 2, yaitu pada siklus 1 nilai baik 10 orang (45,5%), nilai kurang baik 7 orang (31,8%) dan tidak baik 5 orang (22,7%) dan siklus 2 nilai baik 17 orang (77,2%), nilai sangat baik 2 orang (9,1%) dan yang kurang baik hanya 3 orang (13,7%).
80 60 Siklus 1
40 20
Siklus 2
0 Sangat Tidak Baik
Gambar 1.
Tidak Baik
Kurang Baik
Baik
Sangat Baik
Hasil Kemampuan menyusun KKM Indikator pada siklus 1 dan siklus 2
Tabel 2. Kemampuan menyusun KKM KD pada siklus 1 dan siklus 2
No 1 2 3 4
Skor Sangat Tidak Baik Tidak Baik Kurang Baik Baik
Siklus 1 Frekuensi 2 5 4 11
% 9,1 22,7 18,2 50
Siklus 2 Frekuensi % 2 9,1 2 9,1 15 68,1
5
Sangat Baik Jumlah
100
100
3 22
13,7 100
Pada Tabel 2 ada kenaikan presentasi kemampuan menyusun KKM KD dari siklus 1 dan siklus 2, yaitu pada siklus 1 nilai baik 11 orang (50%), nilai kurang baik 4 orang (18,2%) dan tidak baik 5 orang (22,7%) dan sangat tidak baik 2 orang (9,1), sedang siklus 2 nilai sangat baik 3 orang (13,7%), nilai baik 15 orang (68,1%) dan yang kurang baik 2 orang (9,1%), tidak baik 2 orang (9,1%).
80
68,1
60
50
Siklus 1
40 22,7
9,1
20
18,2
9,1
13,7
9,1
Siklus 2
0 Sangat Tidak Baik
Gambar 2.
Tidak Baik
Kurang Baik
Baik
Sangat Baik
Hasil Kemampuan menyusun KKM KD pada siklus 1 dan siklus 2
Tabel 3. Kemampuan menyusun KKM SK pada siklus 1 dan siklus 2 No 1 2 3 4 5
Skor Sangat Tidak Baik Tidak Baik Kurang Baik Baik Sangat Baik Jumlah
Siklus 1 Frekuensi % 6 22,3 3 13,7 13 59 22 100
Siklus 2 Frekuensi % 1 4,5 15 68,2 6 27,3 22 100
Tabel 3 memperlihatkan ada kenaikan presentasi kemampuan menyusun KKM SK dari siklus 1 dan siklus 2, yaitu pada siklus 1 nilai baik 13 orang (58%), nilai kurang baik 3 orang (13,7 %) dan tidak baik 6 orang (22,3%), sedang siklus 2 nilai sangat baik 6 orang
(22,3%), nilai baik 15 orang (68,1%) baik 15 orang
(68,2%), kurang baik 1 orang (4,5%).
80 60 Siklus 1 Siklus 2
40 20 0 Sangat Tidak Baik
Gambar 3.
Tidak Baik
Kurang Baik
Baik
Sangat Baik
Hasil Kemampuan menyusun KKM SK pada siklus 1 dan siklus 2
Tabel 4. Kemampuan menyusun KKM Mata Pelajaran pada siklus 1 dan siklus 2
No 1 2 3 4 5
Skor Sangat Tidak Baik Tidak Baik Kurang Baik Baik Sangat Baik Jumlah
Siklus 1 Frekuensi 6 6 10 22
% 27,3 27,3 45,4 100
Siklus 2 Frekuensi 2 17 3 22
% 9,1 73,3 13,6 100
Tabel 4 memperlihatkan adanya kenaikan presentasi kemampuan menyusun KKM Mata Pelajaran dari siklus 1 dan siklus 2, yaitu pada siklus 1 nilai baik 10 orang (45,4%), nilai kurang baik 6 orang (27,3 %) dan tidak baik 6 orang (27,3%), sedang siklus 2 nilai sangat baik 3 orang (13,6%), nilai baik 17 orang (73,3%) dan kurang baik 2 orang (9,1%), jadi yang perlu pembinaan 2 orang.
80 60 Siklus 1
40 20
Siklus 2
0 Sangat Tidak Baik
Gambar 4.
Tidak Baik
Kurang Baik
Baik
Sangat Baik
Hasil Kemampuan menyusun KKM Mata Pelajaran pada siklus 1 dan siklus 2
Tabel 5. Hasil Penilaian Tugas pada siklus 1 dan siklus 2 Siklus 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nilai 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 Jumlah
F
%
5 3 5 7 2 22
22,7 13,7 22,7 31,8 9,1 100
Siklus 2 F 3 10 5 2 2 22
% 13,6 45,5 22,7 9,1 9,1 100
Pada Tabel 5 yang belum memenuhi indikator pada siklus 1 sebanyak 9 orang (40,9%), sedang pada siklus 2 yang belum memenuhi indokator sebanyak 2 orang (9,1%).
20 18 16 12 8 4 0 Belum Memenuhi Keterangan
Siklus 1,
Memenuhi Siklus 2
Tabel 6. Hasil keaktifan peserta workshop pada siklus dan siklus 2
No 1 2 3 4
Interpretasi Kurang aktif Cukup aktif Aktif Sangat aktif Jumlah
Nilai 0 - 37 38 - 58 59 - 79 80 - 100
Siklus 1 Jumlah % 3 13,7 7 31,8 12 54,5 22 100
Siklus 2 Jumlah % 14 63,6 8 36,4 22 100
Pada Tabel 6 memperlihatkan hasil keaktifan peserta workshop pada siklus 1 dan 2, yaitu aktif 12 orang (54,5%), cukup aktif 7 orang (31,8%) kurang aktif 3 orang (13,7%), sedang siklus 2 sangat aktif 8 orang (36,4%), aktif 14 orang (63,6%) jadi pada siklus 2 peserta 22 orang yang aktif dan sangat aktif Pembahasan hasil penelitian tentang kemampuan guru dalam menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) melalui Workshop di SMP Negeri 8 Banjarbaru berdasarkan data yang didapat ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian seperti yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan guru menyusun KKM Indikator dari Siklus 1 ke Siklus 2 peserta yang memenuhi indokator keberhasilan mengalami peningkatan, jadi kemampuan guru menyusun KKM indikator melalui workshop dianggap berhasil. Selanjutnya kemampuan menyusun KKM KD dan KKM SK dari Siklus 1 ke siklus 2 peserta yang memenuhi indikator keberhasilan mengalami peningkatan, jadi melalui workshop dianggap berhasil. Kemampuan guru menyusun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Mata Pelajaran, dari siklus 1 ke siklus 2 peserta yang memenuhi indikator keberhasilan mengalami peningkatan, berarti workshop dapat digunakan untuk membina guru dalam menyusun kriteria ketuntasan minimal (KKM) Mata Pelajaran. Nilai yang memenuhi indikator kinerja 75 adalah nilai 85 (22,7 %) sebanyak 5 orang, nilai 80 (13,7%) sebanyak 3 orang, nilai 75 (22,7%) sebanyak 5 orang, kita deskripsikan yang memenuhi nilai minimal 75 adalah 13 orang (69,1%). Nilai yang belum memenuhi indikator kinerja adalah nilai 70 ( 31,8% ) sebanyak 7 orang, nilai 65 (9,1%) sebanyak 2 orang, jadi yang belum memenuhi adalah 9 orang ( 30,9%).
Pada siklus 1 nilai tugas belum terpenuhi apa yang diharapkan indikator kinerja 80 % guru SMP Negeri 8 Banjarbaru mendapat nilai minimal 75. Pada siklus 2 nilai yang memenuhi indikator kinerja 75 adalah nilai 90 (13,6 %) sebanyak 3 orang, nilai 85 (45,5% ) sebanyak 10 orang, nilai 80 (22,7%) sebanyak 5 orang dan nilai 75 (9,1%) sebanyak 2 orang, jadi yang memenuhi nilai indikator kinerja adalah 20 orang ( 81,9%), sedang yang di bawah indikator kinerja adalah nilai 70 (9,1%) sebanyak 2 orang. Dibandingkan siklus 1 yang berhasil memenuhi indikator kinerja 13 orang (69,1%), sedangkan siklus 2 yang memenuhi indikator kinerja 20 orang (81,9%). Presentasi kenaikan nilai dan siklus 1 ke siklus 2 adalah sangat signifikan, berarti ada peningkatan nilai tugas yaitu 12,8%, dari data diatas dapat kita deskripsikan siklus 2 memenuhi indikator kinerja sebanyak 20 orang (81,9%). Pada siklus 1 dari 22 perserta, peserta yang akif 12 orang (54,4%), peserta yang cukup aktif 7 orang (31,8%), yang kurang aktif 3 orang (13,7%). Indikator kinerja 75% peserta minimal aktif belum terpenuhi, sebab yang aktif hanya 12 orang ( 54,5%) dan yang belum aktif 10 orang (45,5%). Pada siklus 2 dari 22 orang peserta, yang aktif 14 orang ( 63,6%) dan yang sangat aktif 8 orang ( 36,4% ), jadi dapat kita deskripsikan bahwa pada sikius 2 peserta memenuhi indicator kinerja sebanyak 22 orang (100%). Dapat dijelaskan bahwa pada siklus 1 yang aktif 12 orang (54,5%), pada siklus 2 yang aktif dan sangat aktif 22 orang (100%). Peningkatan keaktifan dan siklus 1 dengan siklus 2 adalah 36,4%.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian tentang kemampuan guru menetapkankriteria ketuntasan minimal (KKM) di SMP Negeri 8 Banjarbaru melalui workshop dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Model workshop dapat meningkatkan kemampuan guru menetapkan/menghitung Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 2) Dari pengamatan, model workshop juga dapat meningkatkan keaktifan, kerjasama, serta tanggungjawab sesuai dengan pendidikan karakter dan juga dapat menumbuhkan kerjasama pada saat pelaksanaan tindakan, guna memecahkan masalah yang muncul selama workshop.
Adapun beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Tingkatkan kemampuan guru dengan kerjasama antar bidang studi untuk menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 2) Hasil yang diperoleh selama workshop hendaknya dapat diimbaskan kepada guru lainnya dan juga pada siklus lain. 3) Hasil Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) merupakan rujukan kepada Kepala Sekolah SMP Negeri 8 Banjarbaru
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. Suhardono dan Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara Ardana. W. 1987. Bacaan Pilihan dalam Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti. P2LPTK. Aries Eko, 2004. Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Banjarbaru, SMA Negeri 2. Karyadi, Benny. 2005. Konsep Dasar dan Karateristik Penelilian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran (PPKP), Makalah Pelatihan PPKP. Batam 8 - 11 Agustus 2005. Kasbolah, Kasihani E.S. dan Sukaiyana, I Wayan. 2001. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Nursyanisudin, 2007. Panduan Penetapan KKM Sekolah Menengah Atas. Direktorat Pembinaan Sckolah Menengah Atas, Ditjen Dikdasmen. Jakarta: Departemen Pendidikan nasional. Purwadarminta, W.J.S.1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sahertian. Supervisi Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka. Suriansyah, Ahmad. 2002. Inovasi Pendidikan di Sekolah. Proyek Peningkatan Mutu SLTP Kalimantan Selatan. Banjarmasin
PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE PENYELIDIKAN KELOMPOK BERBASIS LINGKUNGAN DALAM PEMBELAJARAN EKOSISTEM UNTUK MENINGKATKAN PROSES DAN HASIL BELAJAR DI SEKOLAH DASAR (Penelitian Tindakan Kelas di SDN 2 Tamban Baru Tengah Kecamatan Kapuas Kuala) H. Mukhyar Amani 1 Siti Kasanah 2 Abstrak
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa yang meliputi hasil belajar siswa dan hasil selama proses pmbelajaran, mengetahui aktivitas guru, aktivitas siswa dan mengetahui respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran konsep ekosistem melalui pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN 2 Tamban Baru pada tahun pelajaran 2010/2011 yang berjumlah 6 orang. Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus dan masingmasing siklus terdiri dari 1 kali pertemuan yang mana siklus 1 membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem dan pada siklus 2 membahas tentang tumbuhan dan hewan yang sering dimanfaatkan manusia. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan dapat meningkatkan pemahaman siswa kelas IV SDN 2 Tamban Baru pada konsep ekosistem. Hasil ini ditunjukkan oleh hasil belajar siswa pada siklus 1 sebesar 66,66% dan pada siklus 2 sebesar 100%. Terjadi peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2 dan mencapai ketuntasan klasikal pada siklus 2. Hasil selama proses pembelajaran juga meningkat dari kategori sedang pada siklus 1 meningkat menjadi kategori baik pada siklus 2. Proses pembelajaran belum sepenuhnya terpusat pada siswa, namun pembelajaran ini mendapatkan respon yang positif dari siswa. Kata kunci :Konsep Ekosistem, pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok, lingkungan, hasil belajar siswa.
1 2
Dosen FKIP pada UPBJJ UT Banjarmasin Guru SDN 2 Tamban Baru Tengah Kecamatan Kapuas Kuala
Berdasarkan pengamatan terhadap proses pembelajaran IPA di kelas VI SDN 2 Tamban Baru Tengah, diperoleh data ketuntasan klasikal belum tercapai, dari 6 orang siswa kelas VI pada mata pelajaran IPA hanya 4 orang siswa (66,67%) yang mencapai nilai ketuntasan individual sesuai dengan yang telah ditetapkan pihak sekolah. Di dalam pembelajaran, khususnya mata pelajaran IPA guru masih mendominasi proses pembelajaran. Jika hal ini dibiarkan maka berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran di sekolah. Berdasarkan temuan ini maka dilakukan perbaikan pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran IPA. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk memperbaiki pembelajaran baik proses dan hasil belajar. Penggunaan media pembelajaran/alat peraga, memberikan tugas rumah, menggunakan berbagai macam metode sudah dilaksanakan, akan tetapi belum memperoleh hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah guru masih berpegang pada konsep belajar bukan membelajarkan siswa. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas siswa atau mengurangi dominasi guru dalam pembelajaran adalah dengan menggunakan pendekatan kooperatif. Pendekatan kooperatif dapat digunakan dalam pembelajaran diberbagai bidang studi. Di dalam pembelajaran IPA banyak tipe-tipe pendekatan kooperatif yang bisa dimanfaatkan. Begitu juga dengan konsep Ekosistem. Salah satu pendekatan kooperatif yang sesuai untuk membelajarkan konsep tentang Ekositem pada siswa kelas VI SDN 2 Tamban Baru Tengah adalah pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan. Belajar merupakan proses aktif dari subjek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu baik itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengertiannya menjadi berkembang (Sardiman, 2007). Luzt (1996) dalam Zaini (2008) mendefinisikan pembelajaran sebagai “proses yang muncul dengan sendirinya melalui adanya perubahan-perubahan adaptif pada perilaku individu sebagai akibat pengalaman”. Ada 2 hal yang berkaitan definisi di atas yakni: 1) pembelajaran sebagai suatu proses yang menyiratkan bahwa pembelajaran itu aktif, sehingga pebelajar harus aktif secara mental. 2) pembelajaran
itu akibat dari pengalaman. Hal ini menyiratkan bahwa pebelajar harus memiliki pengalaman agar bisa belajar. Jadi peristiwa pembelajaran apapun harus memberikan peluang kepada pelajar untuk aktif secara mental dan memiliki pengalamanpengalaman kongkrit. Menurut Rahman dan Tek (1998) konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan dibina dalam otak manusia. Menurut pandangan konstruktivisme, ilmu pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kepada siswa dalam bentuk yang serba sempurna, karena otak manusia bukan suatu botol kosong atau pita video kosong yang dapat menerima atau merekam apa saja. Namun, siswa perlu membina pengetahuan menurut pengetahuan yang telah ada dan pengalaman awal masing-masing yang menurut ahli-ahli psikologi tersimpan dalam struktur kognitif siswa. Prinsip utama dalam pandangan konstruktivisme ada 3 yaitu, menurut teori Glaserfeld yang mengatakan bahwa seseorang membina representasi pengetahuannya sendiri, oleh karena itu tidak ada satu representasi pengetahuan yang betul. Teori dari Piaget yang menyatakan bahwa manusia belajar melalui tinjauan aktif dan pembelajaran berlaku apabila tinjauan pelajar menemui sesuatu yang tidak konsisten diantara representasi pengetahuan yang ada dengan pengalaman yang dilaluinya. Terakhir teori dari Vygostky bahwa pembelajaran berlaku dalam konteks sosial dan interaksi di antara pembelajar dengan rekan sebaya mereka merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Menurut Dahar (1989:126) belajar melalui penemuan memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: 1) pengetahuan tersebut akan bertahan lama atau dapat diingat, lebih mudah diingat, jika dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan metode yang lainnya, 2) hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik dari pada hasil belajar lainnya, 3) secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Jadi belajar melalui penemuan dapat melatih siswa menjadi lebih mandiri dan mampu memecahkan siswa untuk ingin tahu, memberi motivasi untuk selalu berusaha secara terus-menerus sampai menemukan jawaban-jawaban yang inginkan (Slavin, 1997). Teori belajar melalui penemuan yang dikemukakan di atas dapat dilakukan pada pembelajaran permasalahan tanpa bantuan orang lain. Melalui penemuan dapat
membangkitkan dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok. METODE Penelitian ini dilaksanakan 2 siklus, setiap siklus terdiri atas 1 kali pertemuan. Siklus 1 dan siklus 2 dilaksanakan di SDN 2 Tamban Baru Tengah. Dalam pelaksanaan pembelajaran peneliti berkolaborasi dengan 1 orang dosen tutorial, 1 orang dosen pembimbing, 1 orang supervisor dan 2 orang mahasiswa S1 PGSD Universitas Terbuka. Tahap-tahap penelitian dilakukan sebagai berikut: Tahap perencanaan meliputi 1) Peneliti mengkaji kurikulum dan menyiapkan bahan pelajaran yang diperlukan. 2) Merancang model pembelajaran mengunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan, termasuk di dalamnya menyusun tes hasil belajar menjadi satu kesatuan dengan RP. 3) Menyusun instrumen kinerja siswa selama proses pembelajaran. Tahap Pelaksanaan Tindakan meliputi: 1) Siswa diberi tugas membaca bahan ajar (buku paket) di rumah sebelum materi tersebut dibahas di kelas. 2) Dalam kegiatan belajar mengajar, guru mengidentifikasi topik umum dan membantu siswa melalui diskusi untuk mengidentifikasi topik. 3) Guru membimbing siswa bekerja merencanakan penyelidikan tentang subtopik mereka atau berbekal sejumlah pertanyaan. 4) Membimbing siswa melakukan penyelidikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi yang telah mereka peroleh. 5) Guru membimbing siswa untuk menyajikan ringkasan dari hasil penyelidikannya, sehingga semua siswa memperoleh pandangan yang luas tentang topik umum. 6) Guru melaksanakan evaluasi terhadap isi laporan dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat skor tertinggi. Observasi dan Evaluasi Tindakan meliputi 1) Melaksanakan observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang diadaptasi dari (Borich, 1994 dalam Supramono, 2005). 2) Mengukur penguasaan materi pelajaran yang diperoleh dari tes hasil belajar. Seluruh data hasil penelitian dicatat atau direkam untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan pembelajaran siklus kedua.
Refleksi Akhir meliputi evaluasi terhadap proses pembelajaran pada siklus I dan menjadi pertimbangan untuk memasuki siklus II. Pertimbangan yang digunakan bilamana salah satu dari komponen di bawah ini belum terpenuhi, yakni 1) Siswa menjadi lebih aktif. 2) Siswa mencapai ketuntasan
individual (skor ≥ 60) dan
ketuntasan klasikal jika ≥ 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual (skor ≥ 60). Pelaksanaan Penelitian Tindakan pada Siklus II dilaksanakan sama dengan siklus 1 hanya materi yang berbeda. Subjek penelitian adalah semua siswa kelas IV SDN 2 Tamban Baru Tengah pada tahun pelajaran 2010/2011 yang berjumlah 6 orang. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yakni bulan September–Desember 2010. Lokasi pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 dilaksanakan di SDN 2 Tamban Baru Tengah. Hasil penelitian berupa data kuantitatif diperoleh dari dari tes hasil belajar dan tes selama proses belajar. Tes hasil belajar adalah skor siswa yang diperoleh ketika menjawab soal-soal tes. Sedangkan data kualitatif berupa hasil observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran diambil dengan menggunakan lembar observasi yang mengacu pada lembar observasi Borich (1994) dalam Supramono (2005) yang terdiri dari lembar observasi pengelolaan proses pembelajaran, observasi aktivitas siswa dan guru dalam kegiatan belajar mengajar, observasi keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran, respon guru dan siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Analisis data terhadap hasil penelitian dibedakan sebagai berikut: 1. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kuantitatif dilakukan secara deskriptif (Arikunto, dkk, 2006). Analisis tersebut dilakukan dengan menghitung ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal dengan rumus sebagai berikut: Ketuntasan individual =
Jumlah skor
x 100
Jumlah skor maksimal
Ketuntasan klasikal = Jumlah siswa yang tuntas belajar
x 100%
Jumlah seluruh siswa
Keterangan: Ketuntasan indiviual : Jika siswa mencapai ketuntasan > 65 Ketuntasan klasikal : Jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan > 65
2. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kualitatif dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data, dan penyimpulan hasil analisis (Suyanto, dkk. 2006). Penelitian ini dikatakan berhasil optimal dengan ketentuan 1) Indikator kuantitatif terdiri atas: Siswa mencapai ketuntasan individual (skor ≥ 60) dan ketuntasan klasikal jika ≥ 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual (skor ≥ 60). 2) Indikator kualitatif adalah bilamana siswa menjadi lebih aktif atau guru dapat mengurangi dominasi aktivitasnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Ringkasan aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran seperti Tabel 1. Tabel 1. Aktivitas Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran Siklus 1 Nama Guru Siti Kasanah
Parameter f %
1 2 10
2 3 15
3 2 10
4 2 10
5 4 20
6 2 10
7 2 10
8 2 10
0
∑
1 5
20 100
Keterangan: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. Membimbing siswa melakukan pengamatan 3. Membimbing siswa menulis hal – hal yang relevan dengan kegiatan pembelajaran 4. Membimbing siswa berdiskusi antar siswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. Mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru 7. Membimbing siswa menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran 0. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Pada Tabel 1 ada 2 parameter yang menonjol, yaitu membimbing siswa melakukan pengamatan (2) dan membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan (5). Aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran yang cenderung dominan ada dua parameter yakni parameter 2 dan 5. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas guru pada siklus 1 sudah tidak terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran.
Ringkasan aktivitas siswa selama proses pembelajaran siklus 1 seperti Tabel 2. Tabel 2. Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran pada Siklus 1 Siklus 1
Parameter f % Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0.
1 16 26,67
2 4 6,67
3 8 13,33
4 3 5
5 11 18,33
6 5 8,33
7 2 3,33
8 3 5
9 5 8,33
0 3 5
∑ 60
Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. Melakukan pengamatan/percobaan. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. Melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Membuat/menulis rangkuman pelajaran. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Pada Tabel 2 aktivitas siswa selama proses pembelajaran hampir semua parameter muncul, hanya ada 5% yang tidak melakukan aktivitas apapun. Hal ini menunjukkan sudah sebagian kecil siswa yang aktif dalam pembelajaran, dengan kata lain aktivitas siswa masih rendah. Ringkasan data hasil belajar meliputi pre tes dan post tes seperti Tabel 3. Tabel 3. Ringkasan Data Hasil Pre tes dan Post tes Siklus 1 Skor Hasil Belajar Jumlah % Tuntas Tes Maksimum (Klasikal) Tuntas (org) Tidak tuntas (org) Pre tes 100 3 3 6 50 Post tes 100 4 2 6 66,6 Keterangan: Ketuntasan individual: Jika siswa mencapai nilai ≥ 60 Ketuntasan klasikal: Jika ≥ 85 % dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual ≥ 60
Pada Tabel 3 menunjukkan hasil pre test yang tuntas hanya 3 orang (50%), sedangkan pada saat post tes siswa yang tuntas 4 orang ( 66,6%). Dikatakan bahwa ketuntasan klasikal pada siklus 1 belum tercapai. Hasil selama proses pembelajaran kelompok I diperoleh 75% (kategori sedang, dan pada kelompok II sebesar 70% (kategori sedang). Pada siklus 1 aktivitas guru masih tinggi. Aktivitas siswa masih rendah dan ketuntasan klasikal belum tercapai, dan hasil selama proses pembelajaran tergolong pada kategori sedang. Berdasarkan pertimbangan ini dilakukan pembelajaran pada siklus 2.
Ringkasan aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran seperti Tabel 4. Tabel 4. Aktivitas Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran Siklus 2 Nama Guru Siti Kasanah
Parameter F %
1 3 15
2 4 20
3 2 10
4 2 10
5 2 10
6 3 15
7 2 10
8 2 10
0
∑
0 0
20 100
Keterangan: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. Membimbing siswa melakukan pengamatan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. Membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. Mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau guru 7. Membimbing siswa menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran 0. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Berdasarkan Tabel 4 masih ada aktivitas guru yang dominan yakni parameter 1, 2, dan 6 yakni membimbing siswa memahami LKS (1), membimbing siswa melakukan pengamatan (2), mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau guru (6). Ringkasan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran seperti Tabel 5. Tabel 5. Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran pada Siklus 2 Siklus 1
Parameter f % Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0.
1 9 15
2 7 11,66
3 0 0
4 9 15
5 13 21,69
6 0 0
7 10 16,66
8 0 0
9 8 13,33
0 4 6,66
∑ 60
Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. Melakukan pengamatan/percobaan. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. Melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Membuat/menulis rangkuman pelajaran. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Pada Tabel 5 sudah menunjukkan tanda-tanda peningkatan aktivitas siswa. Jadi, berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran mulai menampakkan keaktifannya. Ringkasan data kuantitatif pada siklus 2 meliputi tes hasil belajar dan tes selama proses pembelajaran seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Ringkasan Data Hasil Pre tes dan Post tes Siklus 2 Skor Hasil Belajar Jumlah % Tuntas Tes Maksimum (Klasikal) Tuntas (org) Tidak tuntas (org) Pre tes 100 4 2 6 66,6 Post tes 100 6 0 6 100 Keterangan: Ketuntasan individual: Jika siswa mencapai nilai ≥ 60 Ketuntasan klasikal: Jika ≥ 85 % dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual ≥ 60
Berdasarkan Tabel 6 hasil pre test yang tuntas ada 4 orang (66,6%), sedangkan pada saat post tes siswa yang tuntas ada 6 orang (100%) siswa. Jadi dapat dikatakan bahwa ketuntasan klasikal sudah tercapai dan sudah ada peningkatan hasil belajar dibandingkan pada siklus 1. Hasil selama proses pembelajaran diperoleh dari kemampuan siswa mengerjakan LKS kelompok I sebesar 90% (kategori baik), dan kelompok II 85% (kategori baik) Hasil penelitian data kualitatatif pada siklus 1 dan siklus 2 dari aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Aktivitas Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2 Siklus 1 10 15
2 15 20
3 10 10
4 10 10
Parameter (%) 5 6 20 10 10 15
7 8 1 10 10 2 10 10 Keterangan: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. Membimbing siswa melakukan pengamatan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. Membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. Mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau guru 7. Membimbing siswa menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran 0. Tidak melakukan aktivitas apapun.
0 5 0
Pada Tabel 7 terlihat persentase aktivitas guru ada yang mengalami penurunan tetapi ada juga yang mengalami peningkatan, parameter yang mengalami
peningkatan
aktivitas guru ada 3 yaitu pada parameter 1, 2 dan 6. Hasil deskripsi aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 seperti pada Tabel 8. Parameter-parameter aktivitas siswa yang menunjukkan keaktifan siswa yakni pada parameter (2), (4), (5), (7) dan (9)
Tabel 8. Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran pada Siklus 1 dan Siklus 2 NO 1. 2.
Siklus 1 2
1 26,67 15
2 6,67 11,66
3 13,33 0
4 5 15
Parameter (%) 5 6 7 18,33 8,33 3,33 21,69 0 16,66
8 5 0
9 8,33 13,33
0 5 6,66
Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0.
Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. Melakukan pengamatan/percobaan. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. Melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Membuat/menulis rangkuman pelajaran. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Berdasarkan data di atas keaktifan siswa masih belum menonjol, akan tetapi pada parameter tertentu persentasenya sudah ada mengalami peningkatan. Jadi dapat disimpulkan pembelajaran belum berpusat pada siswa, akan tetapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda keaktifan siswa dalam pembelajaran. Deskripsi hasil belajar yang diperoleh terlihat pada Tabel 9. Pada Tabel 9 ada Tabel 9. Hasil Pre tes dan Post tes pada Siklus 1 dan Siklus 2 Siklus
Hasil Belajar (%) Pre tes
Post tes
1
50
66,66
2
66,66
100
peningkatan pada siklus 1 ke siklus 2.Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar. Ringkasan hasil selama proses pembelajaran merupakan penilaian terhadap kemampuan siswa mengerjakan LKS pada siklus 1 dan siklus 2 seperti Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, hasil selama proses pembelajaran terlihat semua kelompok mengalami peningkatan persentase hasil selama proses pembelajaran. Secara umum persentase hasil selama proses pembelajaran pada siklus 2 tergolong baik.
Tabel 10. Hasil Tes Selama Proses Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2 Kelompok I II
Siklus 1 2 1 2
Persentase Hasil 75 90 70 85
Kategori Sedang Baik Sedang Baik
Keterangan: Baik (76 – 100%); Sedang ( 56 – 75%); Kurang (40 – 55%); Buruk (< 40%)
Berdasarkan
hasil
penelitian pembelajaran
menggunakan pendekatan
pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis
lingkungan dapat
disimpulkan bahwa guru masih terlihat aktif dalam pembelajaran namun telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam pengelolaan pembelajaran dan membimbing siswa, pembelajaran belum berpusat pada siswa, akan tetapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda keaktifan siswa dalam pembelajaran, hasil selama proses pembelajaran tergolong pada kategori baik, hasil belajar siswa sudah meningkat dan mencapai ketuntasan klasikal. Hasil penelitian ini sudah menunjukkan adanya kecenderungan keberhasilan. Untuk memaknai penelitian ini perlu pula dilihat respon siswa di dalam pembelajaran. Respon siswa di dalam pembelajaran seperti Tabel 11. Tabel 11. Respon siswa di dalam pembelajaran No. 1.
2.
3.
4.
5.
Soal Respon Pendapat siswa mengenai LKS, cara guru mengajar, cara belajar, dan proses pembelajaran a. Menyenangkan b. Tidak menyenangkan bahkan membosankan Pendapat siswa mengenai LKS, cara guru mengajar, cara belajar, dan proses pembelajaran a. Merupakan hal baru dan sangat membantu siswa dalam belajar b. Merupakan hal yang tidak baru tetapi membantu siswa dalam belajar c. Merupakan hal yang tidak baru dan tidak membantu siswa dalam belajar Kegiatan yang lakukan selama berlangsungnya proses belajar a. Dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan b. Dapat melakukan penyelidikan/pengamatan untuk menjawab pertanyaan c. Berminat untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti ini Siswa dapat memahami dengan baik LKS atau buku-buku sumber yang digunakan a. Susah memahaminya b. Kurang memahami c. Dapat memahaminya Menurut siswa susunan kalimat, gambar atau tabel dalam LKS atau buku-buku sumber yang digunakan sangat baik
F
%
5 1
83,33 16,67
6 0 0
100 0 0
6 6 6
100 100 100
6 0 0
100 0 0
a. b. c. d.
Tidak baik Cukup baik Baik Sangat baik
0 0 6 0
0 0 100 0
Pembahasan Hasil penelitian dan pembahasan dimaksudkan untuk menjawab tujuan-tujuan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian secara kuantitatif, ketuntasan klasikal sudah tercapai dan hasil selama proses pembelajaran tergolong kategori baik. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian terdahulu Aida (2007). Penelitian-penelitian ini pada dasarnya membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam kegiatan pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 yang mempelajari tentang ekosistem terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus 1 ke siklus 2. Berdasarkan hasil post test pada siklus 1 belum mencapai ketuntasan klasikal (66,66 %), sedangkan pada siklus 2 sudah mencapai ketuntasan klasikal (100 %). Apabila dilihat dari proses pembelajaran yaitu pengetahuan berupa LKS umumnya tergolong pada kategori sedang menjadi kategori baik. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan
siswa
dilatih
menggunakan
kemampuannya
untuk
melakukan
penyelidikan yang antara lain sebagai berikut: mengajukan pertanyaan-pertanyaaan, merumuskan
masalah,
merumuskan
hipotesis,
melakukan
eksperimen
dan
mensintesiskan penelitian, serta harus memiliki sikap ilmiah, antara lain objektif, ingin tahu, keterbukaan, teoritis serta bertanggung jawab (Hamalik, 2001). Sedangkan hasil penelitian secara kualitatif, aktivitas guru masih terlihat aktif dalam pembelajaran namun telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam pengelolaan pembelajaran dan membimbing siswa. Dari 8 parameter yang diamati 1 parameter aktivitas guru mengalami penurunan dan 3 parameter aktivitas guru yang mengalami peningkatan, parameter aktivitas guru yang mengalami penurunan adalah membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Pembelajaran belum berpusat pada siswa, akan tetapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda keaktifan siswa dalam pembelajaran. Dari 9 parameter yang diamati ada 5 parameter yang menunjukan peningkatan aktivitas siswa sedangkan 4 parameter yang lain cenderung mengalami penurunan. Kelima parameter tersebut adalah 2)
membaca LKS atau buku-buku yang relevan, 4) menulis hal-hal yang relevan dengan KBM, 5) berdiskusi antar siswa/kelompok/guru 7) bertanya kepada siswa lain atau kepada guru, dan 9) membuat/menulis rangkuman pelajaran. Sedangkan 4 parameter lain yang mengalami penurunan adalah 1) memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain, 3) melakukan pengamatan/percobaan dan, 6) melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan, 8) menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Hal ini disebabkan oleh siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang menggunakan kooperatif tipe penyelidikan kelompok brbasis lingkungan, sehingga perlu adanya bimbingan dari guru. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan mendapat respon positif dari siswa SDN 2 Tamban Baru Tengah, siswa menyatakan senang dengan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru. Dapat dilihat dari ringkasan respon siswa setelah pembelajaran melalui pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok brbasis lingkungan adalah sebagai berikut : Ada 5 orang siswa (83,33%) menyatakan senang dengan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru. Pembelajaran semacam ini merupakan hal yang baru dan sangat membantu dalam belajar bagi 6 orang siswa (100%), karena dalam pembelajaran ini siswa dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan bagi 6 orang siswa (100%), dapat melakukan pengamatan untuk menjawab pertanyaan bagi 6 orang siswa (100%), dan berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya yang dinyatakan oleh 6 orang siswa (100%). LKS dan buku-buku yang digunakan dapat dipahami oleh 6 orang siswa (100%), karena susunan kalimat, gambar atau tabel yang digunakan dianggap baik bagi 6 orang siswa (100%). Hal ini disebabkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok merupakan hal yang masih baru bagi siswa. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendekatan koopertif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan pada dasarnya dapat meningkatkan hasil belajar dan hasil belajar selama proses pembelajaran dari kategori sedang pada siklus 1 menjadi baik pada siklus 2, dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran, aktivitas guru masih terlihat aktif dalam pembelajaran namun telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam pengelolaan pembelajaran dan membimbing siswa serta mendapatkan respon positif dari siswa.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembelajaran belum berpusat pada siswa, akan tetapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda keaktifan siswa dalam pembelajaran, aktivitas guru masih terlihat aktif dalam pembelajaran namun telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam pengelolaan pembelajaran dan membimbing siswa. 2. Pembelajaran menggunakan pendekatan kooperatif tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar dan hasil belajar selama proses pembelajaran 3. Pembelajaran melalui pendekatan koopertif tipe tipe penyelidikan kelompok berbasis lingkungan mendapat respon positif dari siswa kelas SDN 2 Tamban Baru Tengah. Beberapa saran dapat dikemukakan sehubungan dengan simpulan di atas. 1. Pembelajaran-pembelajaran seperti ini perlu dilanjutkan agar proses pembelajaran lebih baik. 2. Guru perlu melakukan penelitian tindakan kelas yang diintegrasikan dengan pendekatan kooperatif.
DAFTAR RUJUKAN Aida. 2007. Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Konsep Perubahan Lingkungan Fisik dan Pengaruhnya Terhadap Daratan Pada Siswa Kelas Iv Sdn Loktabat 4 Tahun Ajaran 2006/2007. Laporan Penelitian Tindakan Kelas. UPBJJ-Universitas Terbuka Banjarmasin (tidak dipublikasikan). Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta. Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta. Budiningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Erlangga. Jakarta. Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Open Univ. Press. Buckingham.
Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press. Ibrahim, Muslimin. 2005. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching & Learning) Hakikat, Filosofi , & Contoh Implementasinya. FKIP UNLAM. Banjarmasin. Mulyani, Sri. 2007. Upaya Mengoptimalkan Pemahaman Siswa Kelas VI SD Negeri Landasan Ulin Timur 3 Tentang Sub Konsep Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Ekosistem Melalui Pendekatan SETS. Skripsi S1 Pendidikan Biologi Jurusan FMIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (tidak dipublikasikan). Naparin, A., M. Zaini, Nurjiwan., & Arbayah. 2004. Upaya Memaksimalkan Pemahaman Konsep Makhluk Hidup Murid Kelas VI SD Negeri Sungai Miai 7 Banjarmasin dengan Menggunakan Pendekatan Lingkungan. Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. (tidak dipublikasikan). Nur, Mohamad dan Prima Retno Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah. Universitas Negeri Surabaya.
Nurhilaliah. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep Sifat-Sifat Cahaya Pada Siswa Kelas V SDN Landasan Ulin Barat 3 dengan Menggunakan Pendekatan Kooperatif Tipe Penyelidikan Kelompok. Laporan Penelitian Tindakan Kelas. UPBJJ-Universitas Terbuka Banjarmasin (tidak dipublikasikan). Rahman, H dan O.E. Tek. 1998. Hala Tuju Pendidikan Sains di Malaysia dan Implikasinya terhadap Pengajaran dan Pembelajaran. Classroom Teacher March 1998. Pusat Penyelidikan Pendidikan Sains dan Matematika (PPSM) Malaysia SEAMEO RECSAM. Sardiman, A. M. 2007. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Saudah, (2007). Hasil Belajar Siswa Kelas VI A SD Negeri Landasan Ulin Timur 2 Tentang Sub Konsep Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Ekosistem Dengan Pendekatan Problem Posing. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak diterbitkan. Supramono. 2005. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dan Penerapannya dalam KBM dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Siswa SD.
Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Negeri Malang. Malang. (tidak dipublikasikan). Slavin, Robert R. 1997. Educational Psichology Theory and Practice. 5th. Ed. Boston. Allyn and Bacon. Widodo. 2007. Mengoptimalkan Proses dan Hasil Belajar Konsep Gaya dengan Menggunakan Pendekatan Kooperatif Tipe Penyelidikan Kelompok Siswa Kelas V Sdn Landasan Ulin Barat 3 Banjarabaru Tahun Ajaran 2006/2007. Laporan Penelitian Tindakan Kelas. UPBJJ-Universitas Terbuka Banjarmasin (tidak dipublikasikan). Zaini Muhammad. 2008. Laporan Hasil Penelitian Studi Pendahuluan Pendekatan Lingkungan di SD, Pembelajaan IPA SD Melalui Model Perangkat Pembelajaran dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Masalah dan Pendekatan Lingkungan di Provinsi Kalsel. Kerja sama badan penelitian dan pengembangan daerah provinsi kalsel dengan lembaga penelitian UNLAM Banjarmasin.
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI JARINGAN TUMBUHAN MELALUI INKUIRI TERBIMBING DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 9 Banjarbaru Tahun Pelajaran 2010/2011) H. Muhammad Zaini 1 Widiati Hairina Otari 2 Abstrak Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa yang meliputi proses dan hasil belajar siswa, mengetahui aktivitas siswa dan guru, serta mengetahui respon siswa dan guru terhadap kegiatan pembelajaran konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII D SMP Negeri 9 Banjarbaru tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 35 orang. Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus dan masing-masing siklus terdiri dari 2 kali pertemuan yang mana siklus 1 membahas tentang akar dan batang dan pada siklus 2 membahas tentang daun dan bunga. Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman siswa kelas VIII D SMP Negeri 9 Banjarbaru pada konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan. Hasil ini ditunjukkan oleh hasil belajar siswa pada siklus 1 sebesar 91,43% dan pada siklus 2 sebesar 88,57%. Hasil test pengetahuan yang diperoleh selama proses pembelajaran baik pada siklus 1 maupun siklus 2 tergolong kategori baik. Pada test keterampilan proses selama pembelajaran pada siklus 1 tergolong cukup baik sedangkan pada siklus 2 tergolong kategori baik. Proses pembelajaran belum sepenuhnya terpusat pada siswa, namun pembelajaran ini mendapatkan respon yang positif dari siswa dan guru. Kata kunci: Konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan, pendekatan inkuiri terbimbing, proses dan hasil belajar siswa.
1
2
Alumni S1 Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Norwahidah, S.Pd, pengajar biologi di SMP Negeri 9 Banjarbaru, diketahui bahwa pembelajaran biologi sebagian besar menekankan pada nilai ketuntasan belajar bukan pada proses pembelajaran, khususnya pada materi ”Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan.” Sekalipun hasil belajar telah mencapai ketuntasan dengan nilai standar ketuntasan yang ditetapkan sekolah yaitu sebesar 65, namun proses pembelajaran belum banyak memperoleh pertimbangan sebagai keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran materi tersebut di sekolah pada tahun sebelumnya yaitu tahun pelajaran 2009/2010, masih dilakukan secara konseptual, dengan diskusi kelompok, padahal keadaan lingkungan sekitar sekolah masih berkaitan erat dengan alam. Jika hal ini dibiarkan maka pembelajaran hanya ditekankan pada nilai yang diperoleh, tanpa menghiraukan bagaimana pemahaman siswa dan proses pembelajarannya. Konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan merupakan konsep yang berhubungan dengan alam karena tumbuhan itu sendiri erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan. Dalam konsep ini siswa diharapkan dapat memahami bagian-bagian tumbuhan seperti akar, batang, daun dan bunga, tidak hanya morfologi tetapi juga anatomi dan fungsi organ-organ tumbuhan tersebut. Namun, dalam pembelajaran di sekolah penyampaian konsep ini biasanya hanya melalui diskusi kelompok, dengan demikian siswa menjadi kurang paham. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dalam penyampaian konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan dalam bentuk pembelajaran yang lebih konkrit, sehingga konsep lebih mudah dipahami siswa. Pembelajaran sains yang dikembangkan dari lingkungan diharapkan dapat mendorong dan membantu siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, sehingga dapat mengatasi kesulitan belajar siswa, menjadikan siswa lebih kreatif, teliti, terampil, dan mampu membekali siswa dalam memecahkan persoalan kehidupan sehari-hari, serta sebagai bekal untuk pendidikan yang lebih tinggi, dan melestarikan sumber daya alam daerah. Salah satu pembelajaran yang menyajikan materi lingkungan adalah pembelajaran berbasis inkuiri.
Inkuiri sebagai salah satu pembelajaran yang mengutamakan proses penemuan dalam kegiatan pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu di dalam pembelajaran inkuiri, guru harus selalu merancang kegiatan yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan penemuan di dalam mengajarkan materi pelajaran yang diajarkan (Ahmadi dan Amri, 2010). Pembelajaran inkuiri akan efektif manakala guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian dalam pembelajaran dengan inkuiri, penguasaan materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih utama adalah proses belajar. (Sanjaya, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa yang meliputi proses dan hasil belajar siswa, mengetahui aktivitas siswa dan guru, serta mengetahui respon siswa dan guru terhadap kegiatan pembelajaran konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing. Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas (Hamalik, 2004). Di dalam pembelajaran berbasis inkuiri mengikuti metode sains, sehingga peserta didik belajar menjadi ilmuwan, tidak hanya belajar tentang konsep atau fakta, tapi juga proses dan sikap. Peserta didik dilatih bagaimana memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Inkuiri menekankan pada proses penemuan yang dilakukan peserta didik dalam pembelajaran untuk memperoleh informasi. Atas dasar uraian di atas maka dosen/ guru yang merancang pembelajaran inkuiri, haruslah selalu
memfasilitasi belajar dengan rancangan kegiatan yang
memungkinkan peserta didik menemukan. (Ibrahim, 2005) Menurut Roestiyah (2008) inkuiri adalah suatu perluasan proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses discovery, inkuiri mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan sikap objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Dalam penelitian ini tipe inkuiri yang digunakan adalah tipe inkuiri terbimbing, karena dalam proses pembelajarannya siswa diberikan kesempatan untuk bekerja sendiri dalam menemukan konsep yang ingin ditanamkan pada diri siswa namun masih dalam bimbingan guru sebagai fasilitator dan motivator. Siswa menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri, sedangkan dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang ditemukan siswa dalam buku petunjuk. Inkuiri terbimbing biasanya digunakan bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan menggunakan pendekatan inkuiri. Menurut Ibrahim (2007) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing merupakan kegiatan inkuiri di mana masalah dikemukakan oleh guru atau bersumber dari buku teks kemudian siswa bekerja untuk menemukan jawaban terhadap masalah tersebut di bawah bimbingan yang intensif dari guru. Siswa dibimbing secara hati-hati untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapkan kepadanya.
METODE Penelitian ini terdiri dari 2 siklus. Siklus 1 pertemuan 1 mempelajari tentang struktur dan fungsi jaringan di akar; pertemuan 2 mempelajari tentang struktur dan fungsi jaringan di batang; sedangkan siklus 2 pertemuan 1 mempelajari tentang struktur dan fungsi jaringan di daun; sedangkan pada siklus 2 pertemuan 2 mempelajari tentang struktur dan fungsi jaringan pada bunga. Dalam pelaksanaan pembelajaran, peneliti berkolaborasi dengan 2 orang dosen, 1 orang guru Biologi kelas VIII SMP Negeri 9 Banjarbaru dan 3 orang mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam. Refleksi awal meliputi 1) konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan di SMP Negeri 9 Banjarbaru hanya diberikan secara konseptual, padahal konsep ini menuntut model yang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran, 2) guru Biologi belum pernah menggunakan model pembelajaran inkuiri, khususnya pada konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan pada kelas VIII, 3) para siswa SMP Negeri 9 Banjarbaru telah memiliki pengetahuan awal tentang konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan dari pengalaman yang diterimanya dari jenjang pendidikan sebelumnya.
Pelaksanaan tindakan meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi, evaluasi dan refleksi. (Arikunto dkk, 2010). Perencanaan meliputi 1) peneliti menyiapkan instrumen yang diperlukan, 2) merancang rencana pembelajaran (RPP) menggunakan pendekatan inkuiri dan kooperatif tipe pembelajaran bersama, 3) RPP yang telah dibuat beserta perangkat pembelajarannya selanjutnya disampaikan kepada guru bidang studi untuk dipelajari, didiskusikan, dan diperbaiki seperlunya dengan mempertimbangkan alokasi waktu yang tersedia. 4) menyusun instrumen kinerja siswa selama proses pembelajaran dan cara pemberian skornya, 5) membuat angket respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran, 6) membuat angket respon guru terhadap kegiatan pembelajaran. Tahap observasi dan evaluasi tindakan meliputi 1) observasi terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi (Borich, 1994 dalam Supramono, 2005), 2) penguasaan materi pelajaran diperoleh dari tes hasil belajar dan tes selama proses pembelajaran. Seluruh data hasil penelitian dicatat atau direkam untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk memasuki siklus 2. Subjek pada penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII D SMP Negeri 9 Banjarbaru tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 35 orang. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dimulai pada bulan Agustus 2010 sampai pada bulan November 2010. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 9 Banjarbaru yang beralamat di Jl. Karang Anyar No 1 Loktabat Utara Banjarbaru. Instrumen penelitian yang digunakan meliputi LKS, alat evaluasi hasil belajar yang berpedoman pada indikator masing-masing rencana pembelajaran. Hasil penelitian data kuantitatif adalah data hasil belajar yang diambil dari pre test dan post test dan hasil selama proses pembelajaran diambil dari penilaian LKS. Sedangkan data kualitatif berupa data hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran serta respon siswa dan guru terhadap proses pembelajaran. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kuantitatif dilakukan secara deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh dari LKS menggunakan kategori yakni baik (76-100%), cukup baik (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kualitatif
berupa data hasil observasi terhadap aktivitas siswa dan guru serta respon siswa dan guru, dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data, dan analisis data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian tentang penggunaan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan pemahaman konsep struktur dan fungsi jaringan tumbuhan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Banjarbaru tahun pelajaran 2010/2011 telah memperoleh sejumlah data kuantitatif berupa data hasil belajar yang diambil dari pre test dan post test dan hasil selama proses pembelajaran diambil dari penilaian LKS. Sedangkan data kualitatif berupa data hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran serta respon siswa dan guru terhadap proses pembelajaran. Hasil pre tes dan post tes pada siklus 1 dan siklus 2 seperti Tabel 1. Tabel 1. Ketuntasan Belajar pada Siklus 1 dan Siklus 2 Siklus 1 2
Test Pre tes Post tes Pre tes Post tes
Hasil belajar Tuntas (Org) Tidak Tuntas (Org) 4 31 32 3 6 29 31 4
Tabel 1 menunjukkan hasil ketuntasan klasikal hasil
Jumlah
% Tuntas
35 35 35 35
11,43 91,43 17,14 88,57
pre test pada siklus 1
maupun siklus 2 belum mencapai ketuntasan klasikal yang ditetapkan karena nilai ketuntasan klasikalnya hanya sebesar 11,43% dan 17,14%. Sedangkan ketuntasan klasikal hasil post test pada siklus 1 dan siklus 2 sudah mencapai ketuntasan. Hasil selama proses pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 seperti Tabel 2. Tabel 2. Hasil Selama Proses Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2 Siklus 1 2
Variabel Pengetahuan Proses Pengetahuan Proses
Jumlah Kelompok 9 9
Skor ratarata 13,9 57,8 17,5 66,9
Skor maksimum 15 85 17,5 82,5
%
Kategori
92,7 68 100 81
Baik Cukup Baik Baik Baik
Keterangan: 76-100% = Baik; 56-75% = Cukup baik; 40-55% = Kurang; < 40% = Buruk (Arikunto, 1998)
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada siklus 1 menunjukkan hasil selama proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS berupa test pengetahuan dengan skor ratarata 13,9 dengan persentase sebesar 92,7% tergolong pada kategori baik, sedangkan keterampilan proses skor rata-rata 57,8 dengan persentase sebesar 68% yang tergolong dalam kategori cukup baik. Pada siklus 2 menunjukkan hasil selama proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS berupa test pengetahuan dengan skor rata-rata 17,5 dengan persentase sebesar 100% tergolong pada kategori baik, sedangkan keterampilan proses skor rata-rata 66,9 dengan persentase sebesar 81% juga tergolong dalam kategori baik. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi peningkatan hasil selama proses pembelajaran siswa dari siklus 1 ke siklus 2. Aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 diperlihatkan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2 Siswa yang diamati M. Erlangga R M. Akipul Safrin Desi Rosalina Wahyu Kausar Uma
Parameter yang diamati (%) Siklus 1 2 1 2 1 2 1 2
1 29,03 28 28,13 25 18,18 23,33 16,13 23,33
2 9,68 8 12,5 10,71 15,15 10 16,13 10
3 12,90 24 18,75 17,86 15,15 20 12,90 20
4 12,90 8 12,5 3,57 18,18 6,67 16,13 10
5 22,58 12 15,63 21,43 18,18 16,67 22,58 13,33
6 6,45 4 6,25 7,14 9,09 3,33 6,45 3,33
7 0 4 0 3,57 0 0 3,23 0
8 0 4 0 3,57 0 13,33 0 13,33
Kategori Aktivitas Siswa < 10% rendah (buruk), ≥ 10% tinggi (baik) Keterangan parameter: 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. 3. Melakukan pengamatan/percobaan 4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. 5. Berdiskusi antar siswa/ kelompok/ guru 6. Melakukan analisis dan mengevaluasi informasi dari hasil penyelidikan. 7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran.
Pada siklus 1 dan 2, aktivitas siswa dapat dikatakan baik karena 5 dari 9 parameter menunjukkan kategori aktivitas siswa ≥ 10%. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pada siklus 2 aktivitas siswa lebih baik dari siklus 1 karena aktivitas siswa
9 6,45 8 6,25 7,14 6,06 6,67 6,45 6,67
lebih merata pada semua parameter pengamatan yang berarti ada kerjasama yang baik dalam kelompok dan parameter 7 dan 8 yang direduksi pada siklus 1 dapat dimasukkan pengamatannya pada siklus 2. Aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran seperti pada Tabel 4. Pada Tabel 4, semua parameter pengamatan menunjukkan mengalami peningkatan, sebagian kecil mengalami penurunan. Tabel 4. Aktivitas Guru dalam pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2 Siklus 1 2
1 8,11 8,82
2 18,92 23,53
3 13,51 5,88
Parameter 4 5 13,51 13,51 23,53 14,71
6 10,81 8,82
7 16,22 8,82
8 5,4 5,88
Kategori Aktivitas Guru: ≤ 10% rendah (baik), > 10% tinggi (buruk) Keterangan parameter: 1. Membimbing siswa memahami LKS. 2. Membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan. 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. 4. Membimbing siswa berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. 5. Membimbing siswa melakukan analisis dan mengevalusi proses penyelidikan. 6. Mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 7. Membimbing siswa menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 8. Membimbing siswa membuat/menulis kesimpulan pelajaran.
Aktivitas guru pada siklus 1 mendominasi, hal ini dapat dilihat dari persentase aktivitas guru yang dilakukan pada 6 parameter dari 8 parameter yang diamati masih di atas 10% yaitu pada parameter 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Pada siklus 2 aktivitas guru sudah kurang mendominasi dalam proses pembelajaran. Respon siswa di dalam pembelajaran seperti Tabel 5.
Tabel 5. Respon siswa di dalam pembelajaran No. 1.
2.
3.
Soal Respon Pendapat siswa mengenai LKS, cara guru mengajar, cara belajar, dan proses pembelajaran a. menyenangkan b. tidak menyenangkan bahkan membosankan Pendapat siswa mengenai LKS, cara guru mengajar, cara belajar, dan proses pembelajaran a. Merupakan hal baru dan sangat membantu siswa dalam belajar b. Merupakan hal yang tidak baru tetapi membantu siswa dalam belajar c. Merupakan hal yang tidak baru dan tidak membantu siswa dalam belajar Kegiatan yang dilakukan selama berlangsungnya proses belajar a. Dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan b. Dapat melakukan penyelidikan/pengamatan untuk menjawab pertanyaan c. Berminat untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti ini
F
%
34 1
97,14 2,86
25 10 0
71,43 28,57 0
30 34 33
85,71 97,14 94,29
4. 5.
Siswa dapat memahami dengan baik LKS atau buku-buku sumber yang digunakan Menurut siswa susunan kalimat, gambar atau tabel dalam LKS atau bukubuku sumber yang digunakan a. Tidak baik b. Cukup baik c. Baik d. Sangat baik
29
82,86
0 4 24 7
0 11,42 68,57 20
Pembahasan Berdasarkan
data
kuantitatif
pembelajaran
dengan
menggunakan
pendekatan inkuiri terbimbing telah mencapai batas ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu sebesar ≥ 85%. Hal ini ditandai dengan hasil pembelajaran pada siklus 1 sebesar 91,43%. dan siklus 2 sebesar 88,57%. Pada siklus 1 ke siklus 2 terlihat terjadi penurunan hasil belajar, dilihat dari perolehan nilai ketuntasan klasikal. Hal ini mungkin disebabkan karena instrumen soal pada siklus 2 lebih banyak aspek pengetahuannya dibandingkan prosesnya dan soal pada siklus 2 memang cukup sulit, khususnya pada pilihan jawabannya. Namun, penurunan hasil ini tidak mengurangi ketuntasan klasikalnya menjadi tidak tuntas. Ketuntasan klasikal ini diperoleh tidak lepas dari kemampuan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang baru, disamping itu kemampuan guru juga berperan penting yaitu dari cara mengelola kelas. Hasil belajar siswa dalam banyak hal tercermin pada aspek pengetahuan maupun proses (Afriyani, 2005). Kadangkala lebih menekankan pada aspek produk, proses, dan keterampilan (Naparin, 2004), dan bahkan lebih mengutamakan pada aspek proses. (Ishthifaiyah, 2010) Aspek proses pada kegiatan pembelajaran ini ditekankan pada hasil LKS yang dikerjakan oleh siswa. Pada siklus 1, hasil selama proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS berupa test pengetahuan dengan skor rata-rata 13,9 dengan persentase sebesar 92,7% tergolong pada kategori baik, sedangkan keterampilan proses skor rata-rata 57,8 dengan persentase sebesar 68% tergolong dalam kategori cukup baik. Sedangkan pada siklus 2, hasil selama proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS berupa test pengetahuan dengan skor rata-rata 17,5 dengan persentase sebesar 100% tergolong pada kategori baik, sedangkan keterampilan proses skor rata-rata 66,9 dengan persentase sebesar 81% juga tergolong dalam kategori baik.
Hasil penelitian di atas sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, misalnya pada penelitian yang telah dilakukan oleh Murtiani (2008) menunjukkan bahwa penggunaan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman konsep Difusi dan Osmosis pada siswa SMP Negeri 1 Batu Ampar. Selain itu, Erdawati (2008) melaporkan penggunaan pendekatan Guide Inquiry dapat meningkatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru. Indikator keberhasilan proses belajar siswa ditunjukkan dari berkurangnya dominasi guru pada proses pembelajaran, pembelajaran lebih berpusat pada siswa, dan siswa memberikan respon positif terhadap proses pembelajaran. Dan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Belawati (2009), melaporkan bahwa penggunaan pendekatan inkuiri terhadap konsep kelangsungan hidup organisme melalui aktivitas outbond di kawasan
hutan mangrove
mengakibatkan peningkatan pemahaman siswa yang signifikan. Aktivitas siswa pada pembelajaran konsep Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan melalui pendekatan inkuiri terbimbing dari siklus 1 ke siklus 2 sudah baik dan menunjukkan peningkatan, karena pada siklus 1 dan 2 terdapat 5 parameter dari 9 parameter yang diamati menunjukkan kategori aktivitas siswa ≥ 10%. Pada siklus 2 aktivitas siswa sudah merata pada semua siswa yang berarti kerjasama dalam kelompok sudah baik serta parameter yang direduksi pada siklus 1 sudah dapat dimasukkan pengamatannya pada siklus 2. Pada siklus 1 aktivitas siswa yang termasuk kategori baik adalah aktivitas pada parameter, 1, 2, 3, 4, dan 5 sedangkan pada siklus 2 aktivitas siswa yang menunjukkan kategori baik terdapat pada parameter 1, 2, 3, 5, dan 8. Perbedaan parameter yang termasuk kategori baik tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas siswa hubungannya dengan pendekatan inkuiri yang digunakan dalam proses pembelajaran. Parameter 4 yaitu menulis hal-hal yang relevan dengan KBM sudah menurun dan parameter 8 yaitu menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan pada siklus 2 meningkat. Hal ini berarti siswa sudah terbiasa dengan pendekatan inkuiri yang digunakan sehingga dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Dalam hal ini berarti guru dapat mengurangi dominasinya dalam proses belajar mengajar. Tujuan utama dari strategi inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian strategi pembelajaran ini selain berorientasi kepada
hasil belajar juga beriorientasi pada proses belajar. Karena itu, kriteria keberhasilan dari proses pembelajaran dengan menggunakan strategi inkuiri bukan ditentukan oleh sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran, akan tetapi sejauh mana siswa beraktivitas mencari dan menemukan sesuatu. Makna dari ”sesuatu” yang harus ditemukan oleh siswa melalui proses berpikir adalah sesuatu yang dapat ditemukan, bukan sesuatu yang tidak pasti, oleh sebab itu setiap gagasan yang harus dikembangkan adalah gagasan yang dapat ditemukan. (Sanjaya, 2007) Peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dirancang dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing juga sejalan dengan pemilihan konsep Struktur dan fungsi Jaringan Tumbuhan. Pada konsep ini di dalamnya terdapat kemampuan melakukan keterampilan proses melalui pengamatan secara langsung terhadap bagian-bagian tubuh tumbuhan seperti akar, batang, daun dan bunga. Peneliti menemukan adanya keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran untuk menemukan konsep dari Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan yang sedang mereka pelajari. Dengan demikian pemilihan konsep ini sudah sesuai dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Aktivitas guru pada pembelajaran konsep Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan melalui pendekatan inkuiri terbimbing ada yang mengalami penurunan dan ada juga yang malah mengalami peningkatan. Aktivitas guru pada siklus 1 dapat dikatakan masih mendominasi, hal ini dapat dilihat dari persentase aktivitas guru yang dilakukan pada 6 parameter dari 8 parameter yang diamati masih di atas 10 % yaitu pada parameter 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 yakni membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan, membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM, membimbing siswa berdiskusi antar siswa/kelompok/guru, membimbing siswa melakukan analisis dan mengevaluasi proses penyelidikan, mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru dan membimbing siswa menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Sedangkan pada siklus 2 aktivitas guru sudah baik karena aktivitas guru kurang mendominasi dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Hal ini terlihat pada grafik, hanya 3
parameter dari 8 parameter yang diamati yang menunjukkan kategori aktivitas guru di atas 10%, yaitu pada parameter 2, 4, dan 5. Hal ini sejalan dengan teori yang ada dalam pandangan konstruktivisme yakni peran guru dalam proses pembelajaran dan aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran sangat penting dan keduanya mempunyai hubungan terbalik. Keaktifan siswa meningkat jika guru mengurangi dominasinya dalam proses pembelajaran. Sebaliknya keaktifan siswa menurun jika guru cenderung mendominasi dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, keaktifan siswa harus meningkat dan guru mengurangi dominasinya di dalam proses pembelajaran (Bruner, 1990 dalam Ishthifaiyah, 2010). Hal ini terbukti dengan menurunnya aktivitas guru dari siklus 1 ke siklus 2 dan meningkatnya aktivitas siswa dari siklus 1 ke siklus 2. Pada siklus 2 distribusi aktivitas siswa lebih merata pada semua parameter pengamatan dibandingkan dengan aktivitas siswa pada siklus 1 sehingga aktivitas siswa pada siklus 2 dapat dikatakan lebih baik daripada aktivitas siswa pada siklus 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon guru dan siswa positif terhadap proses pembelajaran. Respon positif juga diungkapkan siswa yang dapat diihat pada angket yang diberikan. Ringkasan respon siswa setelah pembelajaran melalui pendekatan inkuiri terbimbing adalah sebagai berikut : 1. Ada 34 orang siswa (97,14%) menyatakan senang dengan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru. Hal ini disebabkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing merupakan hal yang masih baru bagi siswa. Namun, masih ada 1 orang siswa (2,86%) yang menyatakan tidak senang terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. 2. Pembelajaran semacam ini merupakan hal yang baru dan sangat membantu dalam belajar bagi 25 orang siswa (71,43%), karena dalam pembelajaran ini siswa dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan bagi 30 orang siswa (85,71%), dapat melakukan pengamatan untuk menjawab pertanyaan bagi 34 orang siswa (97,14%), dan berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran selanjutnya yang dinyatakan oleh 33 orang siswa (94,29%). Sedangkan bagi 10 orang siswa (28,57%) pembelajaran yang dilaksanakan merupakan hal yang tidak baru tetapi membantu siswa dalam belajar.
3. LKS dan buku-buku yang digunakan dapat dipahami oleh 29 orang siswa (82,86%), karena susunan kalimat, gambar atau tabel yang digunakan dianggap cukup baik bagi 4 orang siswa (11,42%), baik bagi 24 orang siswa (68,57%) dan sangat baik bagi 7 orang siswa (20%).
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: 1) berdasarkan data kuantitatif, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing telah mencapai batas ketuntasan klasikal yang ditetapkan, baik pada siklus 1 maupun pada siklus 2. Hasil selama proses pembelajaran yang meliputi pengetahuan dan keterampilan proses pada siklus 2 tergolong baik. Hal ini berarti sudah terjadi peningkatan dibandingkan dengan proses pembelajaran pada siklus 1 yang pada keterampilan proses masih tergolong cukup baik. Jadi berdasarkan data kuantitatif, hasil belajar telah mencapai batas ketuntasan, 2) berdasarkan data kualitatif, pembelajaran telah berpusat kepada siswa meskipun belum optimal. Aktivitas siswa sudah menunjukkan peningkatan dan tergolong kategori baik dari siklus 1 maupun siklus 2. Dari 9 parameter aktivitas siswa yang teramati ada 5 parameter menunjukkan adanya peningkatan dan 4 parameter yang menunjukkan adanya penurunan aktivitas siswa. 3) berdasarkan data kualitatif, guru sudah bisa mengurangi dominasinya dalam proses pembelajaran dari siklus 1 ke siklus 2, 4) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing mendapatkan respon yang positif dari guru dan siswa SMP Negeri 9 Banjarbaru. Berdasarkan simpulan di atas disarankan 1) aktivitas siswa yang mengalami penurunan dari siklus 1 ke siklus 2 masih perlu diperhatikan dan diperbaiki lagi agar nantinya tidak terjadi penurunan aktivitas siswa meskipun hasilnya tetap dalam kategori baik. 2) perlu adanya perbaikan dalam soal-soal test agar perubahan peningkatan hasil lebih baik lagi meskipun hasil belajar siswa telah melampaui batas ketuntasan klasikal pada siklus 1 maupun pada siklus 2. 3) masih perlu adanya perbaikan pada LKS yang diberikan agar lebih membantu dalam kegiatan pembelajaran serta memberikan respon yang positif baik pada siswa maupun guru. DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta. Ahmadi dan Amri. 2010. Proses pembelajaran Inovatif dan Kreatif dalam Kelas. Prestasi Pustakaraya. Jakarta. Belawati, Octa. 2009. Penggunaan Pendekatan Inkuiri Terhadap Pemahaman Konsep Kelangsungan Hidup Organisme Di Smp Negeri 1 Anjir Muara Batola. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM. Banjarmasin. Erdawati, Gusti Marlina. 2008. Peningkatan Pemahaman Siswa Kelas VIIIb SMP Negeri 16 Banjarmasin pada Sub Konsep kepadatan Penduduk Dan Permasalahannya dengan Menggunakan Pendekatan guide inquiry. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM. Banjarmasin. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Ibrahim, Muslimin. 2005. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching & Learning) Hakikat, Filosofi, & Contoh Implementasinya. FKIP UNLAM. Banjarmasin. Ibrahim, Muslimin. 2007. Pembelajaran inkuiri. http://herfis.blogspot.com/2009/ 07/pembelajaran-inkuiri.html. Diakses tanggal 18 November 2010. Ishthifaiyah, Nurul. 2010. Meningkatkan Pemahaman Siswa Sdn Lawahan Pada Konsep Adaptasi Hewan Melalui Pendekatan Lingkungan. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM. Banjarmasin. Murtiani. 2008. Penggunaan Pendekatan Inkuiri Dengan Pendekatan Kooperatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Difusi dan Osmosis Pada Siswa SMP Negeri Batu Ampar. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNLAM. Banjarmasin. Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Supramono. 2005. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dan Penerapannya dalam KBM dengan Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Siswa SD. Universitas Negeri Malang (disertasi tidak dipublikasikan).
1
PENGARUH PENERAPAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DENGAN MODEL PBI TERHADAP KETERAMPILAN PERFORMANS SISWA (Effects of The Implementation of Tools Learning Using PBI Model Toward the Students’ Performance Skills). Rita Rahmaniati1 Abstract Problem-Based Instruction) is a model which train students to solve authentic problems related to everyday life, so that, it could improve students' scientific thinking processes, activity and their creativity. PBI model has 5 stages in its implementation; they are (1) students’ problem orientation, (2) organized the students to learn, (3) guided a group or independent investigation, (4) developed and presented the results of the work, (5) analyzed and evaluated the problem solving process. The purpose of this study was (1) to know the students’ learning performance outcomes after the implementation of PBI Model, (2) to know the implementation of the PBI model of learning toward the skills to formulate questions, (3) to know the implementation of learning devices with the PBI model toward the skills to formulate hypotheses, (4) to know the implementation of learning devices with PBI model against the experimental skills design, (5) to know the implementation of learning devices with PBI model toward the skill to interpret data, (6) to know the implementation of learning devices with PBI model toward the skills to create a table of observation, (7) to know the implementation of learning devices with PBI model toward the skills to create a chart, (8) to know the implementation of learning devices with PBI model toward the process of performance skills. This study was a quasi-experimental design. The experimental design used in this study was pretest - posttest non equivalent control group design. The subject of this study was the VIII-2 class of MTsN Palangka Raya. The data consisted of quantitative data from the results of the pretest and posttest data using the 12 questions in multiple choice form (cognitive performances) and qualitative data in the form of data Rubric of Students’ performance skills. The results of quantitative data analysis using SAS program showed that there were influence of implementation of the PBI model of performance skills consisted of formulating hypotheses showed by the p value that was 0,0413, designing experiments with the p value 0,0001, interpreting the data with p value 0,0001, and creating the chart with p value 0,0001, that was smaller than the value specified significance level of 0.05, while for the indicators of creating table and formulating questions showed that there was no significant difference between 1
Alumni Mahasiswa Program Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat
2
experimental classes and control classes indicated by p value 0.1695 and 0.710, that was higher than the value of specified significance level of 0.05. There was an influence of the implementation of PBI model toward the result of students’ learning performance showed by the p value of 0,0001, that was smaller than the value specified significance level of 0.05. For the experimental class, the result of process performance showed the average of 3.37 as good category and for the control class showed the average of 2,32 as fairy category. Keywords: PBI Models, Tools of Learning, Skills performance Tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 pada mata pelajaran biologi untuk SMP adalah mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar. Ini merupakan tantangan bagi guru-guru biologi untuk dapat memilih dan menggunakan model yang dapat membawa siswa dalam suatu proses ilmiah guna membentuk sikap ilmiah, mendekatkan siswa kepada lingkungan sekitarnya. Berdasarkan wawancara langsung dengan guru mata pelajaran biologi, diperoleh informasi selama ini pembelajaran dikelas hanya berpusat pada guru, artinya guru hanya menggunakan metode ceramah saja. Bahan ajar yang digunakan di kelas berupa buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit, namun isi maupun urutan materi yang ada di dalamnya terasa belum dapat memenuhi kebutuhan siswa. Buku-buku tersebut tidak dilengkapi dengan perangkat pembelajaran lainnya seperti Buku Guru, Buku Siswa, LKPD, Panduan LKPD, Evaluasi, Panduan Evaluasi, dan Rencana Pembelajaran (RP). Penilaian kelas yang selama ini dilakukan hanya berkisar pada penilaian tertulis dan lisan, yang lebih menekankan pada aspek kognitif saja artinya penilaian dilakukan diakhir pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang mengarah pada tuntutan KTSP 2006 adalah model pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI) atau Problem Based Learning (PBL). Pembelajaran berdasarkan masalah akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan sendiri dan efektif bagi siswa yang beragam, karena siswa akan memilih sendiri permasalahan dan metode pemecahannya berdasarkan tingkatan masalah yang diminatinya, dan memiliki tujuan pendidikan yang sangat luas (Ibrahim dan Nur, 2000).
3
Salah satu penilaian kelas adalah penilaian unjuk kerja (performans test). performans test dapat digunakan membantu peserta didik membiasakan diri menunjukkan kinerjanya dalam memahami dan memecahkan masalah. Berdasarkan latar belakang di atas penelitian,masalah penelitian adalah “Bagaimana pengaruh penerapan perangkat
pembelajaran dengan model PBI terhadap
keterampilan performans siswa”? Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh penerapan perangkat pembelajaran dengan model PBI terhadap keterampilan performans (kognitif) siswa (2) mengetahui pengaruh penerapan perangkat pembelajaran dengan model PBI terhadap keterampilan performans (proses) siswa Lingkup penelitian dibatasi pada (1) kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan model PBI, sedangkan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran yang dilakukan guru sehari-hari (2) perangkat yang digunakan pada kelas eksperimen adalah perangkat yang dikembangkan oleh peneliti sendiri berupa buku guru, buku siswa, RPP, panduan LKPD dan LKPD, lembar penilaian dan panduannya. Perangkat pembelajaran diadopsi dari buku Life Science yang dikarang oleh Bernstein et al. (2009) (3) perangkat yang digunakan pada kelas kontrol adalah berupa buku digunakan guru dalam mengajarkan mata pelajaran biologi sehari-hari (4) penilaian yang digunakan ada dua jenis yaitu penilaian keterampilan performans kognitif dan keterampilan performans proses (5) penilaian keterampilan performans kognitif diukur melalui tes hasil belajar,sedangkan penilaian keterampilan proses performans yang
meliputi merumuskan pertanyaan,
merumuskan hipotesis,
merancang eksperimen, menafsirkan data, membuat tabel, dan membuat grafik, diukur melalui kemampuan unjuk kerja (6) konsep biologi yang diajarkan dalam penelitian ini konsep Difusi dan Fotosintesis pada semester 2. Penelitian ini bermanfaat (1) sebagai alternatif model pembelajaran di kelas (2) salah satu bentuk pengembangan perangkat dan model pembelajaran IPA (biologi) (3) sebagai alternatif teknik penilaian di kelas (4) diperolehnya perangkat pembelajaran model PBI dengan keterampilan performans yang meliputi: buku guru, buku siswa, LKPD, panduan LKPD, RPP, evaluasi,dan panduan evaluasi.
4
PBI Pembelajaran berdasarkan masalah dikenal melalui berbagai nama seperti pembelajaran projek (Project Based Learning), pendidikan berdasarkan pengalaman (Experienced Based Education), belajar autentik (Autentic Learning), Pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (Anchored Instruction), (Problem Based Learning), dan sebagainya (Ibrahim 2005:4). Sebagai model pembelajaran, PBI memiliki beberapa ciri utama yang membedakannya
dengan
model
pembelajaran
yang
lain
sebagai
berikut
Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik (1) tahap awal dari model pembelajaran PBI ditandai dengan suatu kegiatan mengorientasikan siswa kepada masalah autentik (2) berfokus pada keterkaitan antar disiplin (3) meskipun PBI berpusat pada pelajaran tertentu, misalnya IPA, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagai mata pelajaran yang
lain (4)
penyelidikan autentik
(5)
menghasilkan produk/karya dan
memamerkannya (6) PBI menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artifak dan memamerkannya. Sintaks pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari lima tahap utama seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Sintaks pembelajaran berdasarkan masalah Tahap Tahap-1 Orientasi siswa kepada masalah Tahap-2 Mengorganisasi siswa untuk belajar. Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Ibrahim 2005 : 17)
Tingkah laku guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru menjelaskan siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapat penjelasan dan memecahkan masalah Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video,dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
5
Performans adalah penilaian tindakan atau tes praktik yang secara efektif dapat digunakan untuk kepentingan pengumpulan berbagai informasi tentang bentukbentuk perilaku yang diharapkan muncul dalam diri siswa (keterampilan). Performans tes merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu (Kunandar 2007). Menurut Nur (2001) Penilaian Performans meliputi (1) melakukan Pengamatan (2) merumuskan inferensi (3) merumuskan hipotesis (4) merancang eksperimen (5) menafsirkan data (6) membuat peta konsep (7) membuat dan menggunakan grafik (8) membuat dan menggunakan tabel (9) menginterpretasi ilustrasi ilmiah (10) membandingkan dan membedakan (11) mengukur dalam SI (12) Klasifikasi. Syahril (2006) menyimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan tingkat penguasaan siswa pada Difusi dan Osmosis di SMA Negeri 2 Jekan Raya Palangkaraya. Fadlilah (2007) melaporkan ada perbedaan keterampilan proses sains siswa antara kelas yang menggunakan pembelajaran PBL dengan kelas yang tidak menggunakan pembelajaran PBL. Diperoleh data F hitung > F tabel yang artinya berpengaruh secara signifikan yaitu 17,771 > 3,15. Ismanto (2006) menyimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan proses berfikir ilmiah pada Konsep Kerja Ilmiah di SMA Negeri 2 Pahandut Palangkaraya. Supramono (2005) menyimpulkan bahwa pengembangan model perangkat pembelajaran dan penerapannya dalam kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah meningkatkan hasil belajar dan keterampilan berpikir
siswa
SD.
Supramono
(2005)
melalui
pengembangan
perangkat
pembelajaran dengan model pembelajaran berdasarkan masalah menghasilkan sebuah perangkat pembelajaran pada materi penyesuaian makhluk hidup dan hubungan antar makhluk hidup untuk siswa kelas IV SD di Kota Palangkaraya. Saputra (2010) telah menerapkan problem posing untuk peningkatan keterampilan kinerja (Performans) siswa kelas X 1 SMAN 4 Palangkaraya pada materi ekosistem dengan hasil kinerja siswa semakin meningkat.
6
METODE Penelitian kuasi ekperimen ini menggunakan seluruh subyek dalam kelompok belajar (intract group) untuk diberi perlakuan (treatment). Rancangan eksperimen yang dipakai adalah pretes-postes non equivalent control group. Variabel bebas adalah perangkat pembelajaran model PBI meliputi buku guru, RPP, panduan LKPD dan LKPD, sedangkan variabel terikat adalah keterampilan Performans. Variabel yang dikontrol dalam penelitian ini adalah kurikulum, waktu belajar, guru,dan kelas. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII MTsN-2 Palangkaraya. Adapun yang menjadi sampel adalah kelompok siswa kelas VIII-2, VIII-3, VIII-4, VIII-5 MTsN-2 Palangkaraya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 1) buku guru, 2) RPP, 3) LKPD, 4) panduan LKPD, 5) Instrumen tes Performans, 6) Rubriks penilaian LKS keterampilan proses (kinerja. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui serangkai tes, baik sebelum (pretest) ataupun sesudah perlakuan (postest). Selain itu data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah hasil proses Performans (dibatasi hanya 10 orang terpilih). Tes Performans dilakukan setelah berakhirnya pembelajaran, baik dikelas kontrol maupun kelas eksperimen. Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan tahapan 1) data hasil tes diperoleh dari kelas eksperimen maupun kelas control, dan 2) data hasil tes Performans proses diambil dengan cara melakukan tes Performans setelah kegiatan pembelajaran berlangsung terhadap 5 orang siswa terpilih dari kelas kontrol dan 5 orang dari kelas eksperimen. Analisis data kuantitatif dengan anacova menggunakan program SAS release 6.03. Taraf signifikansi yang digunakan ≤ 5%, sedangkan data hasil tes performans proses setelah kegiatan pembelajaran dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Data kuantitatif keterampilan Performans kognitif, digunakan soal pilihan ganda berjumlah 12 soal dengan 4 option. Hasilnya dianalisis per indikator dengan Anacova. Berdasarkan analisis butir soal untuk indikator performans yang meliputi merumuskan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, menafsirkan data, membuat tabel dan membuat grafik, secara singkat tersaji dalam Tabel 2.
7
Tabel 2. Proporsi Butir Soal Indikator Performans Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Indikator
Proporsi butir Soal
Keterangan
Kelas ekperimen
Proporsi butir Soal
Keterangan
Kelas kontrol
Merumuskan Masalah/Petanyaan Merumuskan jawaban sementara (hipotesis) Merancang Percobaan
0.75
T
0.72
T
0.52
TT
0.59
TT
0.77
T
0.71
T
Menafsirkan data
0.74
T
0.61
TT
0.6
TT
0.46
TT
0.8
T
0.43
TT
Membuat pengamatan
tabel
Membuat grafik
Selanjutnya data ini di analisis kovarian. Ringkasan analisis data dengan menggunakan program SAS Release 6.03 seperti Tabel 3. Pada Tabel 3
Tabel 3. Signifikansi indictor Performans Siswa dengan model PBI Indikator
Pr > F
Keterangan
Merumuskan Masalah/Petanyaan Merumuskan jawaban sementara (hipotesis) Merancang Percobaan
0.710
Tidak Signifikan
0.0413
Signifikan
0.0001
Signifikan
Menafsirkan data
0.0001
Signifikan
Membuat tabel pengamatan
0.0169
Tidak Signifikan
Membuat grafik
0.0001
Signifikan
dari 6 indikator, 4 di antaranya menunjukkan data signifikan yaitu indikator merumuskan hipotesis, merancang percobaan, menafsirkan data, membuat grafik, yang berturut-turut ditunjukkan dengan nilai p 0,413, 0,0001, 0,0001, 0,0001 yaitu lebih kecil dibandingkan nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05, sedangkan
indikator
merumuskan masalah dan membuat tabel pengamatan
dinyatakan tidak signifikan yang ditunjukkan dengan nilai p 0,710 dan 0.0169 yaitu lebih besar dibandingkan nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05.
8
Hasil belajar performans siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol secara ringkas pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Hasil Belajar Performans Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Nilai Rata-Rata Kelas
Prestes
Postes
Eksperimen
39.8
70.61
Kontrol
40.18
55.3
Terjadi peningkatan hasil belajar siswa secara keseluruhan pada kelas eksperimen dari 39.8 menjadi 70.61 atau sebesar 30.81 setelah penerapan pembelajaran menggunakan perangkat dengan model PBI, sedangkan pada kelas kontrol dari 40.18 menjadi 55.3 atau sebesar 15.12 setelah penerapan pembelajaran sebagaimana yang dilakukan guru sehari-hari. Adanya kenyataan ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan perankat dengan model PBI secara kuantitatif dapat meningkatkan hasil belajar performans kognitif siswa. Ringkasan analisis data dengan menggunakan program SAS Release 6.03 seperti Tabel 4.14. Pada Tabel 4.14 ada perbedaan secara signifikan antara kelas Tabel 5. Signifikansi Hasil Belajar dengan Menggunakan Model PBI Sumber
DB/DF
Regresi
2
Residual Total
JK/SS
RK/MS
F-rasio
Pr > F
Keterangan
5,83
2,92
107,50
0,0001
Signifikan
138
3,74
0,02
140
9,57
2,94
Keterangan: R-kuadrat = 0,60, c.v. = 9,35
eksperimen dan kelas kontrol, yang ditunjukkan dengan nilai p 0,0001 yaitu lebih kecil dibandingkan nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05. Penggunaan model PBI dapat meningkatkan ketuntasan belajar klasikal (Syahril, 2006). Peningkatan hasil belajar juga dilaporkan melalui penerapan pembelajaran di sekolah dasar (Supramono, 2005). Terjadi peningkatan hasil belajar siswa secara keseluruhan pada kelas eksperimen dari 39.8 menjadi 70.61 atau sebesar 30.81 setelah penerapan pembelajaran menggunakan perangkat dengan model PBI, sedangkan pada kelas kontrol dari 40.18 menjadi 55.3 atau sebesar 15.12 setelah penerapan pembelajaran sebagaimana yang dilakukan guru sehari-hari. Kenyataan ini
9
menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan perangkat dengan model PBI secara kuantitatif dapat meningkatkan hasil belajar performans kognitif siswa. Melalui pembelajaran dengan model PBI, memungkinkan siswa untuk belajar lebih aktif sesuai dengan pendapat Dewey (dalam Arends:2008) yang menyatakan sekolah seharusnya menggambarkan sebuah tempat untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata serta manfaat yang dapat diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa siswa harus merasa mendapat tantangan untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan. Dengan demikian siswa akan terangsang untuk berpikir guna mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya Dewey menambahkan pentingnya menekankan berpikir reflektif, yaitu siswa harus selalu memikirkan mengenai apa dan mengapa dampak pengajaran terjadi di kelas, sehingga melalui pemikiran demikian mereka akan lebih tertantang untuk memecahkan masalah yang ditemukannya serta proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa menerapkan keterampilan berpikir produktif dan keterampilan proses (Arend:2008) Hasil rubrik Performans (proses) siswa kelas eksperimen setelah kegiatan pembelajaran seperti Tabel 6. Tabel 6. Ringkasan Hasil rubrik Penilaian Performans siswa kelas eksperimen Kategori
Nomor Siswa 1
2
3
4
5
Rata-Rata
Merumuskan masalah
2,5
4
4
4
3,3
3,56
Merumuskan hipotesis
3
4
3,7
3,7
4
3,68
Merancang percobaan
3,3
3,7
3,7
3,3
3,7
3,54
3
3,7
2,7
3
3,0
3,08
2,7
3,7
3
3
3,3
3,14
3
3,3
3
3,7
3,3
3,26
Menafsirkan data Membuat tabel pengamatan Membuat grafik
rerata 1 = kurang
2 = Cukup Baik
3 = Baik
3.37 4 = Sangat Baik
Berdasarkan Tabel 6 terlihat kemampuan siswa kelas eksperimen dalam merumuskan masalah memiliki skor rata-rata 3,56 dengan kategori baik, kemampuan siswa merumuskan jawaban sementara memiliki skor rata-rata 3,68 dengan kategori baik, kemampuan siswa dalam merancang percobaan memiliki skor rata-rata 3,54
10
dengan kategori baik, kemampuan siswa dalam membuat tabel memiliki skor ratarata 3,14 dengan kategori baik, kemampuan siswa dalam menafsirkan data memiliki skor rata-rata 3,08 dengan kategori baik dan menyusun grafik berdasarkan data memiliki skor rata-rata 3,26 dengan kategori baik. Sedangkan hasil keseluruhan rubrik Penilaian Performans siswa kelas eksperimen setelah kegiatan pembelajaran dengan rerata 3.37 kategori baik. Penilaian Performans siswa kelas kontrol setelah kegiatan pembelajaran seperti Tabel 7. Tabel 7. Ringkasan Hasil rubrik Penilaian Performans Siswa Kelas Kontrol Kategori
Nomor Siswa 1
2
3
4
5
Rata-rata
Merumuskan masalah
4
3
2
2,3
3
2,86
Merumuskan hipotesis
3
3,7
3
2,7
2
2,88
Merancang percobaan
2,7
1,3
2
2
1,7
1,94
Menafsirkan data
2
1,3
2,3
2
2,3
1,98
Membuat tabel pengamatan
2
1,7
2,3
2
2
2
1,3
2
2
1,3
2,7
2,26
Membuat grafik
rerata 1 = kurang 2 = Cukup Baik
3 = Baik
2.32 4 = Sangat Baik
Berdasarkan Tabel 7, terlihat kemampuan siswa kelas kontrol dalam merumuskan masalah memiliki skor rata-rata 2,86 dengan kategori cukup baik, kemampuan siswa merumuskan jawaban sementara memiliki skor rata-rata 2,88 dengan kategori cukup
baik, kemampuan siswa dalam merancang percobaan
memiliki skor rata-rata 1,94 dengan kurang baik, kemampuan siswa dalam membuat tabel memiliki skor rata-rata 2,00 dengan cukupbaik, kemampuan siswa dalam menafsirkan data memiliki skor rata-rata 1,98 dengan kategori kurang baik dan menyusun grafik berdasarkan data memiliki skor rata-rata 2,26 dengan kategori baik. Sedangkan hasil keseluruhan rubrik Penilaian Performans siswa kelas kontrol setelah kegiatan pembelajaran dengan rerata 2.32 kategori cukup baik. Berdasarkan hasil temuan performans proses merancang
eksperimen,
keterampilan
melakukan
meliputi keterampilan
percobaan,
keterampilan
menafsirkan data, keterampilan membuat tabel, dan keterampilan membuat grafik. Hasil keseluruhan rubrik penilaian performans siswa kelas eksperimen setelah
11
kegiatan pembelajaran rata-rata baik, sedangkan kelas kontrol dengan rata-rata cukup baik. Artinya terdapat perbedaan pembelajaran dengan menggunakan model PBI dengan pembelajaran yang biasa diterapkan guru sehari-hari. Perbedaan ini terdapat pada semua indikator keterampilan performans proses. Penerapan performans proses menuntut adanya keterlibatan fisik dan mentalintelektual siswa. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan berfikir siswa. Selain itu juga mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan fakta, konsep, dan prinsip ilmu atau pengetahuan. Keterampilan proses dalam pengajaran sains merupakan suatu model atau alternatif pembelajaran sains yang dapat melibatkan siswa dalam tingkah laku dan proses mental, seperti ilmuwan.
SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) ada pengaruh penerapan model PBI terhadap keterampilan merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, menafsirkan data dan membuat grafik (2) Tidak ada pengaruh penerapan model PBI terhadap keterampilan ada pengaruh penerapan model PBI terhadap keterampilan Merumuskan pertanyaan dan membuat tabel (3) ada pengaruh penerapan model PBI terhadap keterampilan Performans kognitif siswa (4) ada pengaruh penerapan model PBI terhadap hasil belajar Performans proses siswa pada kelas eksperimen menunjukkan rerata 3.37 kategori baik dan kelas kontrol dengan rerata 2,32 kategori cukup. Hasil penelitian tersebut dapat disarankan : (1) diperlukan persiapan dari guru dalam memfasilitasi penyelidikan siswa dalam memecahkan,yaitu masalah benarbenar mengarah pada penyelidikan berikutnya dan agar penyelidikan dapat berjalan lancar sebaiknya siswa mempelajari dengan seksama LKPD masing-masing sebelum dilaksanakan eksperimen. (2) keterampilan Performans sebaiknya terus dilatihkan guru kepada siswa dalam proses pembelajaran, agar siswa dapat terbiasa dan terlatih dengan
baik (3) bagi peneliti berikutnya, sebaiknya indikator Performans
ditambahkan lagi, tidak hanya 6 indikator saja, dipilih sesuai dengan model dan metode yang akan diterapkan (4) bagi peneliti berikutnya, sebaiknya soal setiap
12
indikator Performans ditambahkan lagi, tidak hanya 2 soal per indikator, untuk menghindari indeks keragaman yang tinggi.
DAFTAR RUJUKAN Ahmad, Arifin, M.2004.Kinerja Guru Pembimbing Sekolah Menengah Umum. Disertasi doctor. Universitas Negeri Jakarta. Arends. 1997. Classroom Instructional and Management. USA: The McGraw Hiil. Arends, Richard I.2008. Learning To Teach. USA: McGraw Hill Companies ( terjemahan) Bernstein L.,et al.2009.Life Science.Minnesota:Pearson Education,Inc. Dahar.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Ibrahim, M. & Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA- UNIVERSITY PRESS. Ibrahim. 2005. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Latar Belakang, Konsep Dasar dan Contoh Implementasinya). Surabaya: UNESA- UNIVERSITY PRESS. Ismanto,Hadi. 2007. Implementasi Model PBI (Problem Based Instruction) Untuk Meningkatkan Proses Berpikir Ilmiah Pada Konsep Kerja Ilmiah Siswa Kelas X-7 SMAN 2 Pahandut Palangka Raya Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi tidak di terbitkan. UNPAR. Kunandar. 2007. Guru Profesional:Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Nur, M. 2001. Tes Terampilan Proses Untuk Guru. Surabaya: UNESAUNIVERSITY PRESS. Nur, M. 2004. Teori-Teori Perkembangan Kognitif (Edisi 2). Surabaya: UNESAUNIVERSITY PRESS. Rasyid, Harun.,Mansyur. 2008. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Wacana Prima. Saputra,Wahyu. 2010. Upaya Peningkatan Keterampilan Kinerja (Performance) Siswa Kelas X1 SMAN 4 Palangkaraya pada Materi Ekosistem dengan Menggunakan Pendekatan Problem Posing. Skripsi tidak di terbitkan. UNPAR.
13
Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rhineka Cipta. Supramono. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dan Penerapannya Dalam KBM dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah dalam Materi Penyesuaian Makhluk Hidup Dan Hubungan Antar Makhluk Hidup untuk Meningkatkan Hasil Belajar (Produk) dan Ketrampilan Berpikir Siswa SD. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang. Syahri,A. 2006. Upaya Peningkatan Ketrampilan Proses Berpikir Ilmiah Melalui Model PBI (Problem Based Instruction) konsep Difusi dan Osmosis pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Jekan Raya Palangka Raya Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi tidak di terbitkan. UNPAR.
PEMAHAMAN KONSEP KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN ETIKA LINGKUNGAN SISWA SMAN 3 BANJARBARU MELALUI PENDEKATAN LINGKUNGAN Wahyuli Dwindiasih 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui pengaruh pendekatan lingkungan terhadap hasil belajar; 2) mengetahui proses belajar siswa; 3) mengetahui pemahaman etika lingkungan; 4) mengetahui aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati. Penelitian ini laksanakan dengan menggunakan rancangan kuasi eksperimen yang melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan rancangan The Counterbalanced Design dengan rancangan tiga kali pembelajaran. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan lingkungan dan variabel terikat adalah hasil belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah 179 orang siswa kelas X SMAN 3 Banjarbaru tahun pelajaran 2010/2011. Sampel pada penelitian ini adalah 91 orang siswa kelas XA, XC dan XE yang menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol secara bergantian. Hasil penelitian menunjukkan pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Hasil análisis kovarian pada pembelajaran 1,2 dan 3 menunjukkan nilai Ho sebesar 0,0001 lebih kecil daripada 0,05 maka Ho ditolak. Hasil proses belajar selama pembelajaran yang dilihat dari kemampuan siswa mengerjakan LKS pada pembelajaran 1, 2, dan 3 terkategori baik, yaitu pembelajaran 1 skor rata-rata 31,5 (79,00%), pembelajaran 2 skor rata-rata 30,33 (76,83%) dan pembelajaran 3 skor rata-rata 31,16 (78,33%). Hasil pemahaman etika lingkungan pemahaman etika lingkungan tergolong tinggi (rata-rata 89,98%) setelah proses pembelajaran menunjukkan pengaruh positif. Aktivitas siswa dalam pembelajaran konsep keanekaragaman hayati pada pembelajaran 1, 2 dan 3 sudah menunjukkan keaktifan atau dominasi dalam pembelajaran. Proses pembelajaran konsep keanekaragaman hayati dengan menggunakan pendekatan lingkungan mendapatkan respon positif dari siswa SMAN 3 Banjarbaru Kata Kunci: pendekatan lingkungan, etika, keanekaragaman hayati.
1
Alumni Program Studi Magister Pendidikan Biologi PPs Unlam 2010, Sehari-hari Bekerja sebagai Guru Biologi SMAN 3 Banjarbaru
1
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi namun kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam masih kurang mempertimbangkan etika lingkungan. Kurangnya kesadaran lingkungan masyarakat, salah satu penyebabnya karena dalam pembelajaran biologi guru mengenalkan konsep keanekaragaman hayati pada siswa hanya melalui buku teks dan media elektronik. Demikian juga pembelajaran biologi pada konsep keanekaragaman hayati di SMAN 3 Banjarbaru. Pengenalan konsep keanekaragaman hayati hanya melalui buku teks dan media elektronik. Kurangnya interaksi siswa dengan lingkungan dalam pembelajaran konsep keanekaragaman hayati menyebabkan pengalaman belajar lebih bersifat konseptual sehingga siswa kurang kritis dan sensitif terhadap isu-isu yang berhubungan dengan lingkungan. Pembelajaran yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan lingkungan dapat dilakukan melalui pendekatan lingkungan. Salah satu pendekatan lingkungan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengenalkan kepada
siswa salah satu
ekosistem yang khas di daerahnya. Kalimantan Selatan memiliki ekosistem khas dan hewan endemik bekantan (Nasalis larvatus) yang dapat dijumpai di salah satu ekosistem mangrove, diantaranya ekosistem mangrove Pulau Bakut. Diharapkan dengan membawa siswa langsung ke ekosistem tersebut,
pemahaman tentang
keanekaragaman hayati dan etika lingkungan serta kesadaran siswa terhadap pelestarian keanekaragaman hayati dapat tumbuh dan berkembang. Pasang (2002) menyatakan bahwa krisis lingkungan saat ini sudah sedemikian besar sehingga untuk menyelamatkan lingkungan hidup diperlukan manusia yang bermoral tinggi dan mencintai lingkungan. Menurut Neolaka (2007) orang Indonesia belum memiliki pengetahuan yang benar tentang lingkungan, dan faktor ketidaktahuan terhadap lingkungan menjadi faktor yang mempengaruhi kesadaran lingkungan. O’Neal (1995) mengemukakan kunjungan ke salah satu tipe ekosistem seperti pembelajaran melalui hutan mangrove merupakan salah satu cara pendekatan lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan lebih dekat salah satu ekosistem dengan keanekaragaman flora dan fauna. Perjalanan lapangan ke ekosistem mangrove digunakan untuk memotivasi siswa terhadap kesadaran lingkungan serta untuk mengajar konsep-konsep ekologi.
2
Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akan menarik siswa, jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan (Khusnin, 2008). Selanjutnya menurut Yulianto (2002) pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar dimana lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Dapat dikatakan lingkungan yang ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dalam kegiatan belajar. Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan, dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan. Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan akan lebih bermakna bila dikombinasikan dengan pembelajaran kooperatif. Pendekatan
kooperatif
adalah
suatu cara yang digunakan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran yang bertujuan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan dalam pendekatan lingkungan adalah penyelidikan kelompok, sebab penyelidikan kelompok ini memberikan siswa mengontrol selama pembelajaran mereka, mengajak mereka dalam kerjasama secara kolaboratif (Ibrahim dkk. 2000). Teori belajar yang sesuai dengan pengembangan pendekatan lingkungan adalah teori belajar kognitif dan konstruktivis. Pengembangan pendekatan lingkungan berdasar pada teori belajar kognitif yang memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan (Dalyono, 1997). Beberapa penelitian pembelajaran menggunakan pendekatan lingkungan sudah pernah dilaporkan. O,Neal dalam The American Biology Teacher (1995) tentang Using Wetlands To Teach Ecology & Environmental Awareness in General Biology, menyimpulkan bahwa dengan belajar ekologi dilingkungan lahan basah
3
berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan kesadaran lingkungan pada siswa serta dapat mengembangkan sikap dan pengetahuan yang kondusif untuk menyelamatkan lingkungan global. Zaini, dkk. (2008a) menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatatan PBM dan pendekatan lingkungan dalam pembelajarn berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Zaini dkk. (2008b) menyimpulkan bahwa ada peningkatan hasil belajar yang signifikan dari pembelajaran dengan model pembelajaran sekolah hijau. Belawati (2009) menyimpulkan pendekatan inkuiri melalui aktivitas out bond berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, proses pembelajaran dan etika lingkungan terhadap hutan mangrove. Ishthifaiyah (2009) menyimpulkan melalui pendekatan linkungan ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan, begitu juga dengan aktivitas siswa.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan menggunakan rancangan The Counterbalanced Design (Campbell & Stanley, 1966), rancangan penelitian seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Model Rancangan Penelitian The Counterbalanced Design Materi Pembelajaran Kelas
1
2
3
A
X1O
X0O
X0O
C
X0O
X2O
X0O
E
X0O
X0O
X3O
Keterangan: X1 : Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan pada kelas eksperimen 1 X2 : Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan pada kelas eksperimen 2 X3 : Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan pada kelas eksperimen 3 X0 : Pembelajaran tanpa pendekatan lingkungan pada kelas kontrol O : Post test Materi 1: kekayaan flora dan fauna pada ekosistem mangrove Materi 2: manfaat keanekaragaman hayati
Teknik pengumpulan data dibedakan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar dan penilaian selama proses
4
belajar. Data kualitatif diperoleh dari hasil tes etika lingkungan dan hasil observasi aktivitas siswa selama pembelajaran. Analisis data kuantitatif berupa tes hasil belajar yaitu dari nilai tes awal dan tes akhir di kelas kontrol dan eksperimen kemudian dianalisis secara berkombinasi. dengan teknik anacova dan data kuantitatif berupa penilaian selama proses belajar yang diperoleh dari kemampuan mengerjakan LKS dianalisis secara deskriptif, yakni dengan menghitung skor rata-rata kemudian ditafsirkan ke dalam kalimat kualitatif yakni baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). Analisis data kualitatif hasil tes etika lingkungan dan hasil observasi aktivitas siswa dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian tentang pemahaman konsep keanekaragaman hayati dan etika lingkungan siswa SMAN 3 Banjarbaru melalui pendekatan lingkungan telah memperoleh sejumlah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
berupa hasil
belajar dan proses belajar, data kualitatif berupa hasil tes etika lingkungan dan observasi aktivitas siswa. Data hasil belajar siswa pada pembelajaran 1, 2 dan 3 seperti pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan pada pembelajaran 1 menunjukkan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol sebesar 3,02. Pada pembelajaran 2 menunjukkan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol sebesar 12,22. Pada pembelajaran 3 menunjukkan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol sebesar 14,76. Tabel 2. Ringkasan Hasil Belajar pada Pembelajaran 1, 2 dan 3 Rata-rata Nilai Hasil Belajar Pembelajaran
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
Tes Awal
Tes Akhir
Tes Awal
Tes Akhir
1
54,00
72,93
43,91
59,86
2
36,36
73,00
38,19
62,62
3
38,77
73,50
45,68
65,65
5
Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1, 2 dan 3 seperti pada Tabel 3. Tabel 3
menunjukkan pada pembelajaran 1, 2 dan3 nilai
F
lebih besar dari
probabilitas (F = 33,63; F = 30,29; F = 10,87; P = 0,001) artinya peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pembelajaran 1, 2 dan 3 berbeda secara signifikan. Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Kovarian pada Pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelas Eksperimen Pembelajaran
Kelas Kontrol
Nilai F
Probabilitas (α = 0,05)
Keterangan
1
Tes Awal 54,00
Tes Akhir 72,93
Tes Awal 43,95
Tes Akhir 59,86
33,63
0,0001
signifikan
2
36,36
73,00
38,19
62,62
30,29
0,0001
signifikan
3
38,77
73,50
45,68
65,65
10,87
0,0001
signifikan
Hasil proses pembelajaran pada pembelajaran 1,
2, dan 3 pada kelas
eksperimen yang diperoleh dari hasil mengerjakan LKS dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Proses Belajar pada Pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelompok I II III IV V VI skor ratarata Skor Maksimum Nilai Ratarata
Skor nilai 31 34 32 29 30 33 31,5
Pembelajaran 1 % Kategori 78,00 85,0 80,00 72,50 75,00 82,50
Baik Baik Baik Sedang Baik Baik
40
Pembelajaran 2 Kategori Skor % nilai 32 80,00 Baik 29 72,50 Sedang 28 70,00 Sedang 34 85,00 Baik 30 75,00 Baik 29 72,5 Sedang 30,33 40
79,75
Baik
Skor nilai 34 30 33 28 32 30 31,16
Pembelajaran 3 % Kategori 85,00 75,00 82,50 70,00 80,00 75,00
Baik Baik Baik Sedang Baik Baik
40 76,83
Baik
77,92
Baik
Keterangan: Baik (76-100%); Sedang (56-75%); Kurang (40-55%); Buruk (< 40%) (Arikunto, 1998)
Tabel 4. menunjukkan hasil proses belajar pada pembelajaran 1 mencapai 79,75%, pembelajaran 2 mencapai 76,83%; dan pembelajaran 3 mencapai 78,33%. Secara kategorikal proses belajar yang dicapai pada pembelajaran 1, 2, dan 3 termasuk kategori baik.
6
Hasil kuisioner atau tes etika lingkungan yang meliputi pengetahuan dasar, pentingnya topik dan nilai-nilai tentang etika lingkungan pada pembelajaran 1, 2, dan 3 seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Ringkasan Hasil Tes Etika Lingkungan Hasil Rata-Rata Pada Pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelas Eksperimen 1
Uraian
Pengetahuan Dasar Pentingnya Topik Nilai-nilai
2
Tahu
Tdk Tahu
Ragu -ragu
Tahu
90,14
3,26
6,60
91,22
94,55
3,26
3,26
95,56
0
4,52
3
4
Tdk Tahu
Ragu -ragu
Tahu
Tdk Tahu
Raguragu
Tahu
Tdk Tahu
Raguragu
3,33
5,48
79,17
12,08
8,71
38,53
9,75
42,87
93,4 1
4,37
1,22
80,2 2
8,75
12,22
79,1 0
6,63
11,0 4
96,7 7
0
3,23
Keterangan: Pengetahuan Dasar: 1. Kegiatan manusia mempengaruhi kelangsungan hidup flora dan fauna di kawasan mangrove sehingga mempengaruhi keanekaragaman hayati hutan mangrove. 2. Kegiatan manusia yang mengganggu tumbuhan di kawasan hutan mangrove dapat mengakibatkan rusaknya kawasan hutan mangrove. 3. Kegiatan manusia yang kurang memperdulikan lingkungan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang manfaat keanekaragaman hayati. 4. Beragam opini yang berkenaan dengan isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan mangrove mempengaruhi kelestarian kawasan hutan mangrove Pentingnya Topik: 1. Untuk mencegah kegiatan manusia mengganggu flora dan fauna di hutan mangrove kita harus memahami fungsi hutan mangrove. 2. Keterlibatan masyarakat sekitar di kawasan mangrove sangat dominan dan mempengaruhi ekosistem hutan mangrove sehingga penting dan perlu diberikan pengetahuan untuk memperbaiki sikap mereka terhadap lingkungan. 3. Kegiatan manusia yang mengganggu flora dan fauna di hutan mangrove sehingga mengakibatkan rusaknya kawasan hutan mangrove merupakan topik menarik dan penting demi menjaga kelangsungan hidup organisme. Nilai-nilai Etika Lingkungan 1. Saya senang dapat mengenal salah satu ekosistem yang khas didaerah saya, sehingga saya mengetahui pentingnya menjaga dan melindungi tumbuhan dan hewan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia 2. Saya meyakini mengangkat topik usaha-usaha mencegah kegiatan manusia yang mengganggu ekosistem hutan mangrove akan mengurangi kerusakan sumber daya hayati. 3. Saya merasakan, pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi kelangsungan makhluk hidup, menyadarkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati harus dijaga kelestariannya.
Aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada kelas eksperimen dalam pembelajaran 1 seperti pada Tabel 6, dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.
7
Tabel 6. Ringkasan Aktivitas Siswa pada pembelajaran 1, 2 dan 3 Parameter yang Teramati (%) Pembelajaran 1
2
3
4
5
6
7
8
1
10,50
13,80
17,47
6,03
33,45
6,23
11,90
9,22
2
15,30
10,70
13,00
19,70
17,90
12,10
15,50
7,74
3
17,93
5,62
22,63
14,42
14,07
2,15
13,00
5,53
Keterangan : 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS /bahan ajar 3. Melakukan pengamatan atau penyelidikan dan mengumpulkan data-data pengamatan 4. Menulis hal-hal yang releven dengan kegiatan pembelajaran. 5. Berdiskusi antar siswa atau antar kelompok atau guru 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses pengamatan 7. Bertanya kepada siswa atau guru 8. Melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan
Tabel 6 menunjukkan aktivitas siswa yang sangat dominan pada pembelajaran 1 adalah parameter 5 yaitu berdiskusi antar siswa atau antar kelompok atau guru (33,45%) dan siswa kurang dominan pada parameter 6 dan 8 yaitu melakukan refleksi, dan evaluasi proses pengamatan (6,23%) dan menyajikan hasil penyelidikan (9,22%). Pada pembelajaran 2 hampir semua parameter didominasi siswa, kecuali pada parameter 8 yaitu menyajikan hasil penyelidikan (7,74%). Pada pembelajaran 3 aktivitas siswa yang paling dominan adalah parameter 3 yaitu melakukan melakukan pengamatan dan penyelidikan (22,63%), dan aktivitas yang kurang mendominasi siswa adalah parameter 2, 6 dan 8 yaitu membaca LKS/bahan ajar (5,62%), melakukan refleksi, dan evaluasi proses pengamatan (2,15%), dan melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan (5,53%).
Pembahasan Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1, 2, dan 3 secara umum menunjukkan ada perbedaan signifikan antara hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol. . Ini menunjukkan bahwa pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMAN 3 Banjarbaru. Sehingga dapat dikatakan pemahaman siswa terhadap konsep keanekaragaman hayati juga meningkat. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan melibatkan interaksi sosial antara siswa dengan lingkungan alami. Ini sejalan dengan Vygotsky yang mengatakan perkembangan
8
kognitif sebagai suatu hasil pertumbuhan dan perkembangan sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Siswa yang tadinya hanya disuguhi dengan uraian konsep yang bersifat verbal, dengan melihat dan mengamati secara langsung akan terbentuk pengalaman belajar. Sehingga pencapaian tujuan pembelajaran akan lebih tuntas. Kegiatan semacam ini juga menjadi salah satu faktor yang membangkitkan minat siswa terhadap gejala-gejala yang terjadi di alam (Alfiannor, 2009). Hal ini juga didukung penelitian-penelitian sebelumnya. Zaini (2008b), menyatakan bahwa penggunaan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Belawati (2009),
yang menerapkan
pembelajaran di kawasan mangrove menyimpulkan bahwa melalui aktivitas outbond di kawasan hutan mangrove berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman siswa pada konsep kelangsungan hidup organisme. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan yang menekankan pada proses belajar juga telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Afriyani, 2005; Hidayah, 2006). Penelitian ini menyimpulkan penggunaan pendekatan lingkungan dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan alami seperti konsep ekosistem (Afriyani, 2005). Proses pembelajaran dari kemampuan siswa mengerjakan LKS pada pembelajaran termasuk kategori baik seperti pada Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui pendekatan lingkungan
berpengaruh baik terhadap
proses pembelajaran dilihat dari besarnya persentase kemampuan siswa mengerjakan LKS. Hal ini disebabkan karena pendekatan lingkungan juga dapat mengoptimalkan respon siswa yang meliputi kinerja siswa selama proses pembelajaran. Proses belajar yang baik diharapkan akan dapat membawa hasil belajar yang baik pula. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa setelah proses pembelajaran melalui pendekatan lingkungan. Pembelajaran melalui pendekatan
lingkungan selain membantu siswa
memahami konsep keanekaragaman hayati, juga dapat menumbuhkan etika lingkungan. Pengetahuan dasar siswa tentang pemahaman etika lingkungan tergolong baik seperti pada Tabel 5, kecuali pada pengetahuan dasar 4 tentang beragam opini dan isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan manusia di kawasan hutan mangrove. Faktor-faktor keraguan tersebut disebabkan karena kurangnya informasi siswa
9
terhadap isu-isu lingkungan yang diperoleh siswa dari narasumber, media cetak maupun media elektronik lainnya. Pembelajaran melalui pendekatan lingkungan selain membantu siswa untuk meningkatkan pemahaman terhadap konsep keanekaragaman hayati yang dilihat dari proses belajar juga melibatkan siswa melakukan kegiatan pengamatan/penyelidikan sehingga siswa mampu berpikir kritis terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan kerusakan sumber daya alam. Oleh karena itu kurangnya pengetahuan tentang lingkungan hidup maka jelas akan mempengaruhi kesadaran lingkungan. Seperti yang diungkapkan Neolaka (2008), faktor ketidaktahuan terhadap lingkungan menjadi faktor yang mempengaruhi kesadaran lingkungan Aktivitas siswa pada proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan menunjukkan dominansi siswa siswa dalam pembelajaran sudah cukup tinggi. Berdasarkan Tabel 6 dapat dikatakan bahwa pendekatan lingkungan pada dasarnya mempengaruhi aktivitas siswa lebih dominan dalam pembelajaran. Walaupun masih ada aktivitas siswa yang kurang mendominasi (masih rendah) pada ketiga kegiatan pembelajaran yaitu pada parameter melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Zaini, 2008a). Temuan ini dapat dipahami karena parameter ini menunjukkan kemampuan melakukan analisis dan sintesis merupakan keterampilan proses tingkat tinggi. Namun dominasi aktivitas siswa sangat nampak positif dilihat dari parameter aktivitas siswa yang lebih dominan dibandingkan dengan aktivitas guru dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan pengalaman baru dalam mengikuti pembelajaran di ekosistem mangrove secara langsung membuat siswa antusias dan menggugah mereka untuk mengetahui lebih banyak hal-hal yang baru yang dijumpai selama pengamatan. Selain itu aktivitas siswa dalam pembelajaran pendekatan lingkungan yang dikolaborasikan dengan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kerjasama siswa dalam kelompoknya. Pembelajaran kooperatif yang menonjol adalah keterampilan kerjasama dan keterampilan sosial siswa dalam membantu siswa memahami konsep-konsep (Depdiknas, 2003). Hal ini senada dengan penelitian Supramono (2005) yang menyebutkan aktivitas siswa yang dominan adalah
10
melakukan penyelidikan dan memperhatikan penjelasan guru/siswa lain waktu diskusi. Peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran melalui pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan juga telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Silaban, 1999; Sutini, 2000; Supramono, 2005; Zaini, 2008a).
SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan 1) Penggunaan pendekatan lingkungan berpengaruh positif terhadap hasil belajar dan kemampuan siswa mengerjakan LKS pada konsep keanekaragaman hayati siswa SMAN 3 Banjarbaru. 2) Pemahaman etika lingkungan, pentingnya topik dan nilai-nilai etika lingkungan tergolong baik, kecuali pada pengetahuan dasar siswa tentang beragam opini dan isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan mangrove. 3) Aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati menunjukkan keaktifan atau dominasi siswa dalam pembelajaran. Pendekatan lingkungan merupakan salah satu alternatif dalam pembelajaran keanekaragaman hayati. Namun, dalam pelaksanaan pembelajaran diperlukan waktu khusus karena pembelajaran dilakukan di luar kelas. Selain itu, juga diperlukan guru pendamping untuk mengawasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran di luar kelas karena siswa kurang memperhatikan bahaya ketika belajar di di lingkungan yang baru dikenalnya.
DAFTAR RUJUKAN Champbell, Donald T & Julian, Stanley, 1996. Experimental and Quasi Experimental Design for Research On Teaching. Dalam N.L. Gage (penyunting). Handbook of Research On Teaching. A Project of the American Educational Research Association. Chicago: Departemen of The National Education Association. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Biologi SMA. Jakarta: Pusat Kurikulum balitbang Depdiknas. Ishthifaiyah, H. 2010. Meningkatkan Pemahaman Siswa SDN Lawahan Pada Kosep Adaptasi hewan Melalui Pendekatan Lingkungan. Skripsi. Program sarjana S-1 Pendidikan Biologi. FKIP UNLAM. Banjarmasin. (tidak dipublikasikan)
11
Ibrahim, M; Rachmadiarti, F; Nur, M; Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa – University Press. Karli H dan Margaretha. (2002). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Bina Media Informasi. Neolaka, Amos. 2007. Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. O’Neal, Lyman. 1995. Using Wetlands To Teach Ecology & Environmental Awareness in General Biology. The American Biology Teacher. 57( 3):45 Pasang, Haskarlianus. 2002. Menyelamatkan Lingkungan di Bumi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Mitra. Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Supramono. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dan Penerapannya Dalam KBM Dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Dalam Materi Penyesuaian Makhluk Hidup Dan Hubungan Antar Makhluk Hidup Untuk Meningkatkan Hasil Belajar (Produk) Dan Ketrampilan Berpikir Siswa SD. Universitas Negeri Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Yulianto, E. 2002. Pendekatan Lingkungan pada Pembelajaran Fisika. Pelangi Pendidikan. Zaini, Muhammad; Naparin, Akhmad; Sumartono, H; Amintarti, Sri; Ajizah, Aulia; Karim, H; 2008a. Studi Pendahuluan Pendidikan Lingkungan di Sekolah Dasar. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Zaini, Muhammad, Arsyad, Wahidah Siti; Fajriah, Noor . 2008b. Pengembangan Model Perangkat Pembelajaran Sains dan Matematika dan Penerapannya dalam Kegiatan Belajar Mengajar dengan Model Pembelajaran Sekolah Hijau (For Greening School) untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
12
1
EVALUASI PELAKSANAAN UJIAN AKHIR SEMESTER PROGRAM PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN TANAH BUMBU UPBJJ-UT BANJARMASIN H. Abdul Hafiz (
[email protected]) dan H. Abdul Hadi 1
Abstract This evaluation research aimed at examining the effectiveness of the implementation of the End Semester Examination (UAS) in the program in the District Land Pendas Seasonings 2011.1 exam period, which include: test preparation, test execution, and posttest. Each process will be viewed UAS effectiveness. Based on the analysis will be presented recommendations for improving impelementation of the UAS Program Pendas. So that the future implementation of the UAS Program Pendas be better in pratice. Keywords: Evaluation, UAS, Pendidikan Dasar
Ujian Akhir Semester (UAS) Universitas Terbuka (UT) diselenggarakan di seluruh Indonesia kabupaten/kota bahkan sampai ke daerah terpencil dengan kondisi wilayah dan sumber daya manusia yang sangat bervariasi. UAS UT juga diikuti dengan jumlah peserta yang besar dimana dapat menjadi kendala apabila tidak ditangani dengan baik dan terencana. Semua kegiatan dalam pelaksanaan UAS harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan agar tercapai pelaksanaan ujian yang tertib dan berkualitas, sehingga dapat memberikan hasil ujian yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik maupun administratif. Evaluasi pelaksanaan UAS meliputi input, proses dan output. Evaluasi input bertujuan untuk mengetahui masukan awal dalam pelaksanaan UAS, yaitu persiapan pelaksanaan ujian. Permasalahan yang dapat timbul dalam upaya mempersiapkan kegiatan ujian adalah kurang siapnya pelaksana kegiatan baik secara administrasi maupun secara sarana prasarana yang mendukung. Ketidaksiapan bidang administrasi akan tampak terutama setelah kegiatan berlangsung, yaitu kurang naskah atau soal ujian, ada peserta yang tidak tercantum dalam presensi, kurang lembar jawab ujian (LJU), dan kurang teradministrasinya kegiatan lain. Permasalahan pada kesiapan
1
H. Abdul Hafiz dan H. Abdul Hadi dosen FKIP pada UPBJJ UT Banjarmasin
2 sarana dan prasarana pelaksanaan UAS diantaranya adalah tidak siapnya fasilitas untuk tempat ujian yang tetap, ruangan tidak cukup, kurang siapnya tenaga pengawas yang sesuai dengan aturan atau ketentuan yang seharusnya, kurangnya keamanan dan kerahasiaan naskah yang semua ini dapat berakibat menghambat pelaksanaan kegiatan ujian. Disamping itu kesiapan panitia juga memegang peranan penting guna keberhasilan pelaksanaan ujian. Fasilitator misalnya PJTU kurang tegas atau kurang berwibawa, kurang cekatan dalam menangani permasalahan yang timbul di lapangan, PJLU kurang berpengalaman atau kurang memahami tugasnya. PJLU kurang berfungsi karena beranggapan hanya
sebagai pembantu pelaksana dalam hal
menyediakan tempat ujian saja, sehingga pada akhirnya hasil dari pelaksanaan ujian tidak optimal, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius dari pihak penyelenggara dalam hal ini UPBJJ. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diperhatikan kondisi dari petugas pelaksana ujian, kemampuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman petugas dalam menyelenggarakan ujian. Evaluasi proses ditujukan untuk menilai proses berlangsungnya kegiatan ujian akhir semester. Dalam proses kegiatan ini permasalahan yang sering timbul adalah kurang terkoordinasinya kegiatan di dalam ruang ujian. Evaluasi produk digunakan untuk menilai hasil dari pelaksanaan suatu program dalam hal ini adalah hasil pelaksanaan ujian akhir semester. Ini dapat berupa temuan atau kasus-kasus di lapangan serta nilai hasil ujian yang dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan ujian di masa yang akan datang. Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Input;
(a)
Bagaimana persiapan pelaksanaan dalam administrasi antara lain: naskah ujian, lembar jawaban ujian, buku jawaban ujian dan daftar hadir peserta, tatatertib peserta ujian,
pengawas ruangan, pengawas keliling PJLU dan PJTU? (b) Bagaimana
kesiapan sarana dan prasarana, antara lain lokasi ujian, jumlah ruangan, keadaan ruangan, penerangan, toilet, transportasi dan ketenangan tempat ujian?. Proses ; (a) Bagaimana kerja sama UPBJJ dengan petugas lapangan? (b) Bagaimana kemampuan pengawas dalam mengelola peserta ujian?, antara lain: ketertiban, menegakkan aturan sesuai dengan juklak, perbandingan antara jumlah pengawas dengan peserta ujian. (c) Bagaimana tanggapan peserta ujian, dan pelaksanaan
dalam proses ujian? (d)
3 Bagaimana kinerja PJTU, PJLU, Wasling dalam melaksanakan tugas di lapangan?. Produk; Bagaimana seluruh proses ujian berlangsung, serta hasil ujian atau nilai yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti ujian akhir semester? Mengevaluasi merupakan salah satu aspek dari fungsi pengawasan. Menurut Malcolm Provus dalam Djudju (2006) menjelaskan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengetahui perbedaan antara apa yang ada dengan standar yang telah ditetapkan serta bagaimana menyatakan perbedaan antar keduanya. Menurut Scriven dan Glass (1969), fungsi dari evaluasi dibedakan menurut urutan waktu penggunaannya, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif
adalah
evaluasi
yang
digunakan
untuk
menyempurnakan
dan
mengembangkan program yang sedang berjalan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang berfugsi untuk pertanggung jawaban, seleksi, dan kecakapan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi kebutuhan suatu program, perbaikan, program pertanggung jawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat. Sudarsono (1994), mengemukakan bahwa evaluasi dapat disimpulkan: 1. Menyediakan informasi yang terandalkan dan sahih tentang unjuk kerja atau hasil kebijakan. Informasi ini akan menjawab pertanyaan sejauhmana kebutuhan nilai dan kesempatan telah direalisasi melalui tindakan-tindakan nyata sebagai pelaksanaan program kebijaksanaan 2. Evaluasi membantu untuk memperjelas dan melakukan kritik terhadap pemilih dan penetapan tujuan 3. Membantu menstruktur dan mendefinisikan kembali alternatif kebijakan program Melalui fungsi-fungsi tersebut maka dimungkinkan bahwa suatu program atau keputusan/kebijaksanaan dapat (1) disediakan dengan kondisi yang ditentukan, (2) diteruskan tanpa diadakan perubahan, (3) dihentikan karena lebih banyak menimbulkan masalah dari pada pemecahan masalah, (4) dirumuskan kembali masalahnya sehingga mungkin ditemukan tujuan, sasaran dan alternatif baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Tujuan evaluasi pada umumnya mengacu pada upaya pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data sebagai masukan pemgambilan keputusan.
4 Anderson (1975), merumuskan tujuan evaluasi sebagai berikut: 1. Memberikan masukan untuk perencanaan program 2. Memberikan
masukan
untuk
keputusan
selanjutnya,
memperluas
dan
menghentikan program 3. Memberikan masukan untuk keputusan memodifikasi program 4. Memperoleh masukan tentang pendukung dan penghambat program 5. Memberikan masukan untuk memahami landasan keilmuan dalam evaluasi Dalam penelitian ini tujuan diadakannya evaluasi adalah untuk memberikan masukan pada UT Pusat dan UPBJJ-UT Banjarmasin dalam merencanakan program ujian akhir semester pada waktu-waktu yang akan datang., dan memberi masukan tentang hal-hal yang mendukung serta yang menghambat proses pelaksanaan ujian akhir semester di UPBJJ Banjarmasin. UAS yang dilaksanakan UT bertujuan untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam menguasai materi suatu mata kuliah, yang pelaksanaannya diberikan pada setiap akhir semester. Universitas Terbuka dalam hal ini UPBJJ Banjarmasin bekerja sama dengan
kantor dinas Pendidikan kabupaten Tanah Bumbu membentuk
kepanitiaan yang terdiri dari : 1. Ka. Dinas kabupaten /kotamadya sebagai pembina setempat 2. Petugas UPBJJ sebagai Penanggung Jawab Tempat Ujian (PJTU) 3. Kasi Dikdas sebagai wakil PJTU 4. Sekretariat terdiri dari : sekretaris dan bendahara adalah staf UPBJJ 5. PJLU adalah kepala sekolah yang bangunannya digunakan 6. Pengawas yang terdiri dari guru dari sekolah yang bersangkutan, atau tenaga lain yang ditetapkan oleh Kepala UPBJJ.
METODE Penelitian ini dilakukan di kabupaten Tanah Bumbu yang terdiri dari program S1 PGPAUD, dan S1 PGSD. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan pertama, pra survei menganalisis pelaksanaan ujian mulai dari persiapan administrasi sampai dengan persiapan lokasi ujian, hal ini dapat dilakukan pada saat sebelum ujian diadakan
bekerja sama dengan penyelenggara daerah, dan persiapan pembuatan
5 instrumennya. Tahap kedua, pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada pelaksana kegiatan, yaitu panitya tingkat kabupaten, PJTU, dan PJLU, pengawas ruang ujian, dan mahasiswa peserta ujian. Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh data guna mengetahui kesiapan sarana prasarana dan administrasi penyelenggaraan ujian yang akan dijadikan pedoman dalam penelitian. Tahap ketiga, yaitu pengumpulan data saat pelaksanaan kegiatan berlangsung, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan ujian itu sendiri. Adapun instrumen yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, dan lembar wawancara. Pendekatan yang digunakan dalam pelaksaan evaluasi adalah pendekatan yang berorientasi pada tujuan atau Goal Oriented approach. Pendekatan ini menggunakan tujuan program sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilannya. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian evaluasi formatif-sumatif. Dalam penelitian ini tidak untuk menguji hipotesis atau melakukan generalisasi, oleh karena itu sumber data dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan ujian (UAS) tersebut yaitu: PJTU, PJLU, pengawas ruang ujian,
dan mahasiswa peserta ujian yang terlibat dalam
pelaksanaan UAS di kabupaten Tanah Bumbu. Pengumpulan data digunakan berbagai instrumen, antara lain adalah: (1) kuesioner sebagai metode pokok, (2) wawancara, (3) observasi, (4) cek list, sebagai metode
pelengkap.
Teknik
pengumpulan
data
dengan
memberi
daftar
pertanyaan/kuesioner pada PJTU, PJLU, pengawas ruangan, dan mahasiswa peserta ujian, di samping itu peneliti datang untuk mengadakan observasi langsung dan mengadakan wawancara pada subyek penelitian yang hasilnya sebagai cross chek dan melengkapi data yang lain Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu dengan memaknai data yang dikumpulkan dari hasil kuesioner, wawancara ataupun observasi, kemudian dianalisis dengan metode persentase dan penyajian data dalam bentuk persentase. Selanjutnya dideskripsikan dan diambil kesimpulan tentang
6 masing-masing komponen dan indikator berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memberikan penilaian setiap hasil evalusi yang dilakukan, maka perlu ditentukan kriteria penilaian, adapun kriteria ini berdasarkan pada kriteria empiris yaitu berdasarkan kriteria yang dikembangkan di lapangan dan kriteria yang berdasarkan acuan atau pertimbangan dari buku Pedoman Pelaksanaan Ujian. Lokasi
ujian
adalah
perguruan
tinggi/sekolah/gedung
dimana
ujian
dilaksanakan. Satu tempat ujian dapat terdiri dari beberapa lokasi ujian. Ketentuanketentuan untuk lokasi ujian adalah sebagai berikut. a. Lokasi ujian hendaknya mudah dijangkau oleh semua peserta ujin. b. Lokasi ujian hendaknya mempunyai fasilitas umum (seperti WC, tempat parkir, musholla, dsb) dan penerangan yang cukup Mahasiswa dinyatakan sah sebagai peserta ujian apabila memenuhi persyaratan berikut. a. Namanya tercantum dalam Daftar Peserta Ujian (Daftar 20-an) b. Dapat menunjukkan kartu mahasiswa atau kartu identitas lain yang sah dan membawa Kartu Tanda PesertaUjian (KTPU) c. Mahasiswa
yang
namanya
belum
tercantum
dalam
daftar
20-an/DPU
diperkenankan mengikuti ujian apabila telah melapor ke UPBJJ setempat paling lambat 4 (empat) hari sebelum hari ujian dengan membawa bukti registrasi yang sah. Peserta ujian diwajibkan : a. Membawa pensil 2B, penghapus, rautan/serutan pensil, pulpen, kartu mahasiswa atau idenitas sah lain, dan KTPU. b. Menggunakan kalkulator sendiri (bukan kalkulator yang ada pada handphone) untuk ujian mata kuliah yang boleh menggunakan kalkulator. c. Meletakkan semua barang bawaan di bagian depan ruang ujian, kecuali perlengkapan yang disebut pada butir 1. d. Berpakaian sopan.
Peserta ujian tidak diperbolehkan
7 a. Mengikuti ujian dua mata kuliah atau lebih pada jam ujian yang sama. b. Mengikuti ujian apabila terlambat lebih dari 30 menit setelah ujian berlangsung. c. Keluar ruang ujian selama ujian berlangsung. Mahasiswa yang keluar ruang ujian sebelum 45 menit ujian berlangsung hasil ujiannya akan dikenai sanksi. Mahasiswa yang keluar ruang ujian setelah ujian berlangsung 45 menit maka peserta ujian dinyatakan telah menyelesaikan ujiannya dan tidak diperkenankan masuk kembali ke ruang ujian. d. Membuka naskah ujian sebelum diberikan tanda ujian dimulai. e. Menggunakan alat komunikasi dalam bentuk apapun (handphone, pager, dan sejenisnya). f. Bekerjasama menyelesaikan ujian dengan siapa pun juga. g. Membawa naskah ujian dan LJU/BJU ke luar ruang ujian. h. Menyalin naskah ujian. i. Merokok, makan, minum dalam ruang ujian. j. Berbuat gaduh dalam ruang ujian. k. Menyuruh orang lain untuk mengerjakan ujian (menggunakan joki) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penilaian pelaksanaan UAS ditinjau dari pendapat PJTU Kuesioner untuk PJTU terdiri dari 13 butir pertanyaan/pernyataan dengan skor maksimum tiap butir 3, sehingga skor maksimum yang mungkin dicapai adalah 39 sedangkan skor minimum tiap butir 1, sehingga skor minimum yang mungkin dicapai adalah 13, dengan demikian skor rerata ideal 19,5. Angka 19,5 diperoleh dari nilai rerata nilai maksimum yang mungkin dicapai dari kuesioner. Kualitas penilaian pelaksanaan UAS diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu: a. X > M + 1 SD
= Baik
b. X = M - 1 SD s/d M + 1 SD
= Sedang
c. X < M - 1 SD
= Kurang
(Sutrisno Hadi, 1994)
Keterangan: M
= Median
SD
= Standar Deviasi Gambaran penilaian pelaksanaan UAS diperoleh dengan membandingkan
antara skor rerata perolehan dengan kriteria pengklasifikasian kualitas pelaksanaan.
8 Adapun secara terperinci tiap-tiap butir instrumen dapat diuraikan sebagai berikut: (1) PJTU yang bertugas di kabupaten Tanah Bumbu hanya 1 orang yang berasal dari tenaga edukatif UPBJJ UT Banjarmasin. (2) Pendidikan terakhir yang dimiliki S2. (3) Dalam hal persiapan naskah/soal tidak mengalami kekurangan naskah, karena telah diantisipasi sebelumnya, daftar hadir/presensi kurang karena ada mahasiswa yang tidak terdaftar dalam daftar 20 an tetapi telah mempersiapkan presensi kosong sebagai gantinya, kekurangan LJU tidak terjadi. (4) Cara menangani masalah selalu berkoordinasi dengan pengawas keliling atau dengan PJLU. (5) Adapun pendapat tentang peran PJLU yang bertugas, mengatakan bahwa PJLU telah melaksanakan sesuai dengan tugasnya, pengawas ruangan masih perlu ditingkatkan kinerjanya khususnya dalam mendisiplinkan peserta ujian. (6) Penilaiannya tentang sarana dan lokasi ujian baik karena tempat yang strategis dan sarana memadai baik ruangan, penerangan, maupun tempat ibadahnya. (7) Secara umum penilaian PJTU terhadap pelaksanaan UAS cukup baik, hanya saran yang diberikan supaya dalam pelaksanaan selanjutnya penyelenggara daerah mengumpulkan pengawas dan semua panitia kabupaten untuk koordinasi supaya UAS berjalan lebih baik lagi. 2. Penilaian pelaksanaan UAS ditinjau dari pendapat PJLU Kuesioner yang diberikan pada PJLU terdiri dari 6 butir dengan skor maksimum tiap butir 3, sehingga skor maksimum yang dapat dicapai 18, skor minimum yang mungkin dicapai 6. dengan demikian skor rerata idealnya 9. Angka 9 diperoleh dari nilai rerata nilai maksimum yang mungkin dicapai
dari kuesioner.
Kualitas penilaian pelaksanaan UAS diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu: a. X > M + 1 SD
= Baik
b. X = M - 1 SD s/d M + 1 SD
= Sedang
c. X < M - 1 SD
= Kurang
Keterangan: M
= Median
(Sutrisno Hadi, 1994)
9 SD
= Standar Deviasi Adapun
gambaran
penilaian
pelaksanaan
UAS
diperoleh
dengan
membandingkan antara skor rerata perolehan dengan kriteria pengklasifikasian kualitas pelaksanaan adalah sebagai berikut: (1) Petugas PJLU UAS di kabupaten Tanah Bumbu masa ujian 2011.1 adalah kepala sekolah yang di tempati sebagai lokasi UAS. Dengan tingkat pendidikan SI dan bergolongan IV. (2) Pendapatnya tentang persiapan panitia cukup baik, pengaturan ruang ujian, daftar peserta dan pemberian nomor kursi peserta ujian baik, dan dapat bekerja sama dengan staf atau panitia lain. (3) Mengenai jumlah soal dan kelengkapan ujian lainnya PJLU mengatakan paham akan tugasnya, karena memang kerjasama dengan UT dalam hal melaksanakan UAS ini sudah beberapa tahun lamanya. Penilaian PJLU terhadap kinerja PJTU baik karena PJTU selalu meminta pertimbangan dalam hal memecahkan setiap masalah yang timbul di lapangan. (4) Penilaian PJLU terhadap pelaksanaan UAS secara umum sudah baik. (5) Adapun saran dan masukan yang diberikan PJLU tentang pelaksanaan UAS supaya pihak UT mempertimbangkan masalah pelaksanaannya tidak pada hari efektif sekolah hal ini dikarenakan sedikit banyak mengganggu proses belajar mengajar di sekolah yang di tempati. 3. Penilaian pelaksanaan UAS ditinjau dari pendapat pengawas ruang ujian Kuesioner terhadap pengawas ruang ujian terdiri dari 11 butir dengan skor maksimum tiap butir 3 sehingga skor maksimum yang dapat dicapai 33. Skor minimum tiap butir 1 sehingga skor minimum yang dapat dicapai ada 11. Dengan demikian skor rerata idealnya 16,5. Angka 16,5 diperoleh dari nilai rerata nilai maksimum yang mungkin dicapai dari kuesioner. Kualitas penilaian pelaksanaan UAS diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu: a. X > M + 1 SD
= Baik
b. X = M - 1 SD s/d M + 1 SD
= Sedang
c. X < M - 1 SD
= Kurang
Keterangan:
(Sutrisno Hadi, 1994)
10 M
= Median
SD
= Standar Deviasi Kualitas penilaian pelaksanaan UAS dari pendapat pengawas ruang ujian
tergolong baik 3 orang (20%), sedang 11 orang (73%), dan kurang 1 orang (7%). Hasil penilaian terhadap pelaksanaan UAS dari pendapat pengawas ruang ujian bahwa 3 orang menyatakan baik sekali atau 20%, 11 orang menyatakan cukup baik atau 73 % dan 1 orang menyatakan kurang baik atau 7%. Secara terinci tiap-tiap indikator instrumen dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Identitas: dari 15 orang pengawas ruang ujian yang jadi sampel penelitian adalah semuanya guru. (2) Tingkat pendidikan : dari tingkat pendidikan 15 orang pengawas ruang ujian, yang berpendidikan S1 sebanyak 15 orang atau 100%. (3) Penilaian tentang pelaksanaan UAS dari 15 orang pengawas yang dijadikan sampel penelitian 3 orang atau 20% mengemukakan baik sekali, 11 orang atau 73% cukup baik dan sebanyak 1 orang atau 7% yang menyatakan kurang baik. (4) Lokasi ujian dari segi ruangan ujian semua pengawas yang dijadikan sampel penelitian sebanyak 15 orang mengemukakan memenuhi syarat atau 100%, dan lokasi mudah dijangkau. (5) Pengaturan meja kursi/penomoran yang menyatakan baik ada 7 orang atau 46%, sebanyak 7 orang menyatakan cukup atau 46% dan selebihnya 1 orang atau 7% menilai kurang. (6) Kerjasama panitia dengan pengawas ruang ujian: dari 15 orang pengawas yang menyatakan baik ada 14 orang atau 93% yang selebihnya 1 orang atau 7% mengemukakan biasa-biasa saja. (7) Suasana ruang ujian dinilai oleh 10 orang pengawas atau 67 % menyatakan tertib, selebihnya 5 orang pengawas atau 33% menilai kurang tertib, sedangkan pengawas yang menilai tidak tertib tidak ada. (8) Kepatuhan mahasiswa, dari 15 pengawas ruang ujian ada 10 orang atau 67% yang mengatakan mahasiswa patuh terhadap tata tertib, 2 orang pengawas atau 13% menyatakan kurang patuh terhadap tata tertib dan 3 orang pengawas atau 20% mengatakan tidak patuh terhadap tata tertib ujian.
11 (9) Tempat untuk meletakkan modul/buku selama ujian: dari 15 orang pengawas yang mengatakan tersedia tempat menaruh tas atau modul sebanyak 12 orang atau 80%, sebanyak 2 orang atau 13% menyatakan kurang tempatnya dan hanya 1 orang atau 7% yang menyatakan tidak disediakan tempat, (10) Rapat persiapan ujian : dari jawaban yang diberikan oleh pengawas ada 12 orang atau 80% yang mengatakan diundang dalam rapat persiapan, tetapi ada 3 orang atau 20% yang mengatakan tidak diundang. (11) Kerja sama mahasiswa dalam mengerjakan soal UAS: dari 15 pengawas yang mengatakan tidak ada sebanyak 4 orang atau 27% dan yang mengatakan ada sebanyak 11 orang atau 73%. (12) Masalah honorarium: dari 15 orang pengawas semua mengatakan bahwa honorarium yang diberikan UT sudah cukup, artinya sudah memadai dengan kerja mereka. (13) Penilaian mengenai pelaksanaan UAS secara umum dapat dikatakan baik karena sebagian besar pengawas mengemukakan demikian, atau 14 orang 93% selebihnya yang mengatakan kurang 1 orang atau 7%. (14) Saran dan masukan yang perlu diperhatikan dari pengawas adalah: a. Perlu
adanya
koordinasi
dari
semua
yang
terkait
sebelum
ujian
diadakanPersiapan ujian tidak terlalu mendadak, hendaknya dipersiapkan jauh-jauh hari agar semua pihak lebih siap lagi. b. Perlu ada denah ruang ujian lebih dari satu c. Panitia perlu mengarahkan pada mahasiswa untuk menitipkan tas, buku, modul, HP dan ada petugasnya. d. Ruang ujian pada KTPU dan ruangan di lapangan berbeda sehingga sering membingungkan mahasiswa, untuk itu panitia lebih mempersiapkan lagi bagaimana caranya sehingga mahasiswa tidak kebingungan ketika mencari ruang ujiannya. 4. Penilaian pelaksanaan UAS ditinjau dari mahasiswa peserta ujian Kuesioner yang diberikan pada mahasiswa terdiri dari 14 butir dengan skor maksimum 3, sehingga skor maksimum yang mungkin dicapai 42. Adapun skor minimum tiap butir 3 sehingga skor minimum yang mungkin dicapai 14, dengan
12 demikian skor rerata idealnya adalah 21. Angka 21 diperoleh dari nilai rerata nilai maksimum yang mungkin dicapai dari kuesioner. Kualitas penilaian pelaksanaan UAS diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu: a. X > M + 1 SD = Baik b. X = M - 1 SD sd M + 1 SD
= Sedang
c. X < M - 1 SD = Kurang Adapun distribusi frekuensi dari pendapat mahasiswa tergolong baik 36 orang (90%), sedang 3 orang (7,5%), dan kurang 1 orang (2,5%). Hasil penelitian terhadap pelaksanaan UAS ditinjau dari pendapat mahasiswa ditemukan, yang berpendapat baik sebanyak 36 orang atau 90%, yang berpendapat sedang ada 3 orang atau 7,5%, sedangkan 1 orang atau 2,5% mengatakan kurang. Adapun secara terinci tiap-tiap indikator instrumen dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Penilaian pelaksanaan UAS secara umum: dari 40 mahasiswa yang diambil sebagai sampel penelitian ada sekitar 36 orang atau 90% yang mengatakan baik, sedangkan yang mengatakan kurang baik hanya 3 orang atau 7,5%, selebihnya 1 orang atau 2,5% mengatakan cukup/sedang dalam arti baik tetapi perlu ditingkatkan lagi. (2) Keadaan ruang ujian: dari 40 orang yang mengatakan kondisi ruang ujian baik dan memenuhi syarat ada 32 orang atau 80% yang mengatakan kurang baik dan kurang memenuhi syarat ada 8 orang atau 20%, adapun yang mengatakan tidak memenuhi syarat tidak ada. (3) Ketenangan lokasi ujian : dari 40 orang mahasiswa yang mengatakan tenang dan memenuhi syarat ada 33 atau 82,5% yang mengatakan kurang tenang ada 7 orang atau 17,5%. (4) Pengawas ujian : mahasiswa yang mengatakan bahwa pengawas selalu di dalam ruangan ada 37 orang atau 92,5%, dan yang mengatakan bahwa pengawas terkadang di luar bersama pengawas lain ada 3 orang atau 7,5%, sedangkan yang mengatakan sering keluar dan meninggalkan ruangan tidak ada. (5) Perhatian pengawas terhadap ketertiban: mahasiswa yang mengatakan pengawas ketat ada 38 orang atau 95%, yang mengatakan kadang-kadang saja ada 2 orang atau 5% dan yang mengatakan dibiarkan saja tidak ada . (6) Peluang kerja sama antar peserta ujian: mahasiswa yang mengatakan tidak bisa
13 bekerja sama ada 34 orang atau 85%, yang mengatakan dapat sedikit bekerja sama ada 6 orang atau 15%, dan yang mengatakan tidak dapat bekerja sama tidak ada. (7) Sanksi dari pengawas : mahasiswa yang mengatakan pengawas memberi sangsi berat misalnya dikeluarkan dari ruangan tidak ada, yang mengatakan menegur saja bila ada mahasiswa yang berkerja sama ada 39 orang atau 97,5% dan yang selebihnya 1 orang atau 2,5% mengatakan tidak diberi sanksi apa-apa dari pengawas. (8) Pergantian pengawas ruangan: mahasiswa yang mengatakan bahwa setiap jam berganti ruangan tidak ada, semua mengatakan pengawas ruangan satu dari awal sampai selesai ujian dalam satu hari. (9) Kelengkapan
administrasi
ujian
mahasiswa
yang
mengatakan
bahwa
administrasi lengkap ada 38 orang atau 95 % dan mengatakan administrasi ada yang kurang 2 orang atau 5% (10) Perangkapan pengawas ujian: dari 40 orang mahasiswa yang dijadikan sampel penelitian mengatakan bahwa dalam ujian tidak ada seorang pengawas pun yang merangkap dua ruangan. (11) Keterjangkauan lokasi ujian: dari 40 orang mahasiswa yang mengatakan bahwa lokasi ujian mudah terjangkau ada 32 orang atau 80%, yang mengatakan agak sulit dijangkau ada 5 orang atau 12,5%, dan selebihnya 3 orang atau 7,5% mengemukakan sulit dijangkau. (12) Kesulitan mencari ruang ujian: ada 27 orang atau 67,5% yang mengatakan tidak sulit mencari, 12 orang atau 30,5% mengatakan sulit mencari ruangannya dan 1 orang atau 2,5% mengatakan mengalami kesulitan mencari ruangan ujian. (13) Sarana menempatkan tas dan modul: dari 40 orang mahasiswa yang mengatakan semua modul dan tas ditempatkan di tempat yang disediakan ada 37 atau 92,5% dan selebihnya mengatakan bebas dibawa ke meja ujian. (14) Penggunaan HP atau kalkulator dalam ujian yang mengatakan tidak ada yang menggunakan HP atau kalkulator 33 orang atau 82,5%, dan yang mengatakan ada tetapi tidak banyak 7 orang atau 17,5%. Adapun yang mengatakan ada dan banyak tidak ada. (15) Kesan dan saran mahasiswa secara umum: dari 40 orang mahasiswa yang
14 dijadikan sampel penelitian ini terdapat berbagai kesan dan saran, antara lain: a. UAS berjalan lancar dan tepat waktu. b. Mohon pengawas lebih tegas dalam menindak peserta ujian yang berbuat curang, sehingga tidak merugikan mahasiswa yang benar-benar telah siap belajar sebelumnya. c. Jadwal ujian dibuat 2 hari supaya mahasiswa lebih mudah belajarnya. d. Waktu istirahat terlalu sedikit, sehingga perlu ditambah e. Ujian sebaiknya diadakan pada hari libur sekolah, supaya tidak menggangu waktu mengajar, karena peserta ujian adalah guru PEMBAHASAN Dari uraian hasil analisis data yang telah dikumpulkan, maka berturut-turut akan dibahas dari pendapat : (1) PJTU, (2) PJLU, (3) Pengawas ruang ujian, dan (4) mahasiswa peserta ujian. Adapun gambaran pelaksanaan UAS di Kabupaten Tanah Bumbu untuk UAS masa ujian 2011.1 sebagai berikut: Berdasarkan perolehan data di lapangan dapat disimpulkan bahwa UT telah memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang pelaksanaan Ujian Akhir Semester dan kesiapan yang matang mengenai tugas dan tanggung jawab petugas baik dari tenaga administrasi maupun edukasi sebagai PJTU. Persiapan-persiapan itu antara lain tentang persiapan naskah ujian, LJU/BJU, tata tertib ujian, jadwal ujian, daftar hadir 20-an, daftar hadir cadangan, berita acara, berita acara pemusnahan naskah, formulir penyerahan naskah dan LJU/BJU dan lain-lain yang termasuk sarana prasarana ujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan ujian secara umum sudah baik, tidak terjadi kekurangan yang berarti dalam pelaksanaannya. Dalam hal kekurangan daftar hadir ada mahasiswa yang tidak tercantum dalam daftar 20-an, namun masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan daftar hadir cadangan. Dalam kegiatan pelaksanaan UAS di kabupaten Tanah Bumbu petugas sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menangani masalah yang timbul.hal ini ditunjukkan dari adanya koordinasi yang baik antara semua petugas di lapangan. Memang kalau terjadi kekurangpahaman tugas dan tanggung jawab dari salah satu petugas akan berdampak kekurang berhasilan.
15 Dari hasil penelitian ini dapat diketahui masih ada peran petugas yang belum maksimal, diantaranya PJLU dalam membantu menyelesaikan administrasi ujian, pengawas ruang ujian ada beberapa yang kurang berani menertibkan mahasiswa bila ada yang kerja sama. Memang sebaiknya pengawas ruang ujian bergantian untuk setiap jam ujian, hal ini supaya tidak terjadi kebosanan, di samping itu juga ada pihak yang merasa diperlakukan kurang adil karena ada pengawas yang sangat disiplin sementara ruang lain pengawas membiarkan peserta ujian dan terkesan bebas. Pengertian pengawasan yang bebas akan menyebabkan mahasiswa dapat bekerja sama, sehingga menyebabkan mahasiswa tidak sadar kalau terjebak hasil yang sama yang akan berakibat mendapat hukuman dengan nilai E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Mengacu pada kriteria ideal, pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS) program PENDAS di kabupaten Tanah Bumbu sudah memenuhi standar yang dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dapat dilihat pada pendapat atau penilaian PJTU PJLU, sebagian besar pengawas ruang ujian juga menilai cukup baik (73 %) dan mahasiswa peserta ujian menilai baik 36 %. 2. Dari hasil wawancara dan observasi sebagai data pendukung dapat dikemukakan secara umum ujian yang diselenggarakan di kabupaten Tanah Bumbu sudah cukup baik dan memenuhi syarat sebagai ujian yang dapat dipertanggung jawabkan mutunya, sesuai dengan rambu-rambu ujian yang ditetapkan UT dalam buku panduan, walaupun demikian pelaksanaan UAS di Kabupaten Tanah Bumbu masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil temuan yang telah dibahas di muka, maka saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Persiapan pelaksanaan ujian di lokasi ujian perlu dilakukan lebih awal dan lebih matang, sehingga memungkinkan terlaksananya ujian yang baik. Koordinasi dengan semua petugas lapangan lebih ditingkatkan khususnya dengan pengawas ujian. 2. PJTU seharusnya tidak hanya menyiapkan administrasi saja, tetapi melihat persiapan langsung di lapangan bersama dengan pengurus daerah, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
16 3. PJLU dapat terus meningkatkan kinerjanya dalam membantu terlaksananya ujian. Hal ini termasuk menyiapkan tempat dan ruangan, serta berkoordinasi dengan petugas yang lain. 4. Pengawas ruang hendaknya lebih meningkatkan disiplin kerjanya, khususnya dalam membantu mahasiswa mengisi LJU sehingga tidak terjadi kekeliruan yang berakibat nilai tidak keluar. Juga mendisiplinkan mahasiswa supaya tidak bekerja sama, yang dapat menyebabkan mahasiswa mendapat hukuman nilai E. 5. Mahasiswa peserta ujian supaya mematuhi tata tertib yang ada, supaya tidak mendapat sangsi yang berakibat merugikan diri sendiri. 6. Universitas Terbuka sebagai penyelenggara ujian hendaknya menindak lanjuti saran-saran yang diberikan dari setiap unsur pelaksana ujian demi meningkatkan mutu Ujian Akhir Semester yang berkualitas. DAFTAR RUJUKAN
Alkin. DC. (1969). Evaluation Theory Development. Evaluation Comment. New Bury Park. L.A: Sage Anderson, Scarvia (1975). Evaluation Theory Development. Evaluation Comment. New Bury Park, L.A : Sage Cronbach, L.J. (1973). Course Improvement Through. M.B.R. Worthen & J.R. Sanders. Educational Evaluation : Theory and Practice Belmont, C.A. Wadsorth Departemen Pendidikan Nasional, (2005). Pedoman Pelaksanaan Ujian. Jakarta: Universitas Terbuka Djudju Sudjana. (2006). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung Pt Remaja Rosdakarya Hasan. S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Depdikbud RI Isaac, S. & Michael, William B. (1984) Hand Book in Research and Evaluation. San Diego: Edits Publisher. Joint Committee. (1991). Ukuran Baku Untuk Evaluasi Program. Proyek dan Materi Pendidikan. Terjemahan Rusdi. E. Semarang. IKIP Semarang Press. Kaufman, & Thomas (1980). Evaluation Without Fear. New York : New View Point.
17 Lavine, Robert A. et.al (1981). Evaluation Research and Practice. Beverly Hill: sage Production Scriven, M. (1967). The Methodology of Evaluation. Perspective opf Curriculum Evaluation. Chichago: Rand-Mc Nally Stuffbeam, Daniel L. (1971) Educational Evaluation and Decision Making. .Itaca Illionois: FE. Peacock Suchman, Edward A. (1979) Evaluation Research: Principles and Practice Srvice and Social Action Program. New York: Russel Sage Fundation Sudarsono, F.X. (1994). Penelitian Evaluasi Implementasi dan Kebijakan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta Suharsimi, A. (1998). Penelitian Program Pendidikan. Jakarta: PT Bina Aksara Worthen, B. and Sanders, JR. (1987). Educational Evaluation: Theory and Practice. Worthington Ohio: Charles A Jones Publishing Company
1
STRATEGI PEMETAAN KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DI SEKOLAH DASAR Noorlatifah 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan penggunaan strategi pemetaan kognitif dalam pembelajaran IPS terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir siswa di SDN Banjarbaru Utara 4 Kota Banjarbaru. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen kuasi dan dilaksanakan di SDN Banjarbaru Utara 4 Kota Banjarbaru dengan menerapkan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script dalam pembelajaran IPS terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI tahun ajaran 2011/2012 dengan jumlah siswa 60 orang yang terdiri atas VI.a 30 orang sebagai kelas kontrol dan VI.b 30 orang sebagai kelas perlakuan. Teknik pengumpulan data digunakan adalah observasi kegiatan pembelajaran guru, observasi kegiatan siswa, tes tertulis dan uji statistik. Analisis data yang digunakan interpretasi berdasarkan perhitungan distribusi frekuensi dengan pembahasan berdasarkan skala persentase. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa (1) Hasil analisis menunjukkan bahwa sig. besarnya 0,005 lebih kecil daripada a = 0,05. Signifikansi yang diperoleh (sig) a < sig, dengan demikian H1 diterima. Jadi, ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kelas VI b yang mengunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe sript dengan hasil belajar kelas VI a selaku kelas kontrol tanpa menggunakan model. (2) Pembelajaran IPS dengan menggunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script dapat mengembangkan keterampilan berpikir melalui kegiatan belajar tahapan individu, berpasangan maupun kelompok kemudian diskusi dapat mempertinggi kemampuan mengembangkan metakognitif siswa yang berkarakter terhadap materi pelajaran kenampakan alam dan sosial negara tetangga Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan kepada guru agar dapat menggunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script sebagai suatu alternatif dalam metode pembelajaran IPS sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta kemampuan mengembangkan strategi kognitif siswa yang berkarakter dengan analisis keterampilan berpikir secara objektif. Kata Kunci: Strategi pemetaan kognitif, Model kooperatif tipe Script, Hasil belajar, Keterampilan berpikir
Penyelenggaraan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (Belen, 2010) secara realitas dapat dikategorikan ke dalam 2 kelompok kelas, yaitu kelas-kelas awal dan kelas-kelas lanjutan/tinggi. Secara hukum Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004
1
Jurnal
2
disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan selanjutnya disingkat KTSP, ini dilaksanakan pada tahun 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan (Depdiknas, 2008). Di dalam KTSP hanya memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Kompetensi dasar mata pelajaran IPS di dalam KTSP mengisyaratkan pengayaan, lebih komprehensif, dan tidak tampak homogen. Jadi kompetensi yang diharapkan berkisar pada kompetensi mendeskripsi dan mengidentifikasi, menggambar denah, peta, dan membuat daftar. Isi kurikulum termasuk KTSP terdiri atas knowledge, skills, values and attitudes. Pengetahuan biasanya dipelajari melalui key concepts, generalization, dan specific facts. Keterampilan dipelajari melalui psikomotorik, kognitif (thinking and inquiry skills) dan keterampilan berkomunikasi (communication skills). Nilai-nilai dan sikap dipelajari melalui moral (ethical value), work habits and learning habits (Belen, 2010). Tujuan belajar di Sekolah Dasar dirumuskan sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, dan keterampilan anak-anak yang menyangkut semua aspek perkembangan jasmani dan sosial, emosional dan intelektual, serta secara khusus ditujukan untuk membantu anak-anak belajar cara belajar dan untuk meletakkan dasar-dasar bagi proses belajar sepanjang hayat. Satori (1995) dalam Bellen (2010) menjelaskan bahwa proses belajar dalam periode ini diciptakan untuk: (1) membuat anak-anak mencintai, merasa senang, dan bergiliran dalam melakukan kegiatan belajar, (2) menumbuhsuburkan dalam diri anak-anak sikap dan sifat-sifat berpikir kreatif, dorongan ingin tahu, kerjasama, harga diri, dan kepercayaan diri, (3) mengembangkan
sikap
positif
terhadap
nilai
kegiatan
belajar,
dan
(4)
mengembangkan afeksi dan sensitivitas anak-anak terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitarnya (sosial, fisik, teknologi, dan sebagainya). Pemetaan kognitif adalah alat grafis untuk mengatur dan mewakili pengetahuan. Mereka termasuk konsep, biasanya tertutup dalam lingkaran atau kotak dari beberapa tipe, dan hubungan antara konsep-konsep ditunjukkan dengan garis yang menghubungkan dua konsep. Konsep didefinisikan sebagai kegiatan, benda, atau catatan peristiwa atau objek, yang ditunjuk oleh label (Novak dan Canas, 2006). Label untuk konsep yang paling umum adalah kata, kadang-kadang kita
3
menggunakan simbol seperti + atau %, dan kadang-kadang lebih dari satu kata yang digunakan. Proposisi adalah pernyataan tentang beberapa obyek atau peristiwa di alam semesta, baik secara alami terjadi atau dibangun. Proposisi mengandung dua atau
lebih
konsep
yang
dihubungkan
dengan
menggunakan
kata-kata
menghubungkan atau frase untuk membentuk suatu pernyataan bermakna. Kadangkadang disebut unit semantik, atau unit makna. Strategi pemetaan kognitif dilandasi oleh teori kontruktivis. Teori kontruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut teori kontruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajari siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Triyanto, 2010). Pemetaan konsep sering dikaitkan dengan gagasan informasi yang digunakan untuk mata pelajaran kreatif seperti menulis kreatif atau seni. Peta konsep dapat mengklaim untuk menghasilkan ide-ide yang relevan dengan subjek, tapi siswa masih harus menjelaskan hubungan ini ketika melihat kembali pada peta konsep. Mereka mungkin sering menemukan bahwa mereka menuliskan kata-kata, bahkan jika mereka terorganisir dan terstruktur, yang tidak relevan dengan materi pelajaran sama sekali dan akan menghabiskan lebih banyak waktu mencoba untuk secara kritis menilai topik yang tidak relevan. Otak akan menghubungkan kata-kata atau ide-ide itu membiasakan berpikir kritis, tetapi kata-kata atau frasa mungkin tidak relevan dengan materi pembelajaran di kelas, mereka adalah interpretasi otak dari sebuah konsep yang mana mereka berusaha untuk menghubungkan bersama untuk membentuk sesuatu yang konkret dari akal, pikiran, gagasan dan gambar. Menurut
Rahmaningsih
(2009)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
meningkatkan hasil belajar siswa melalui pembelajaran peta konsep pada pokok bahasan ekosistem di kelas VIIC SMPN 1 Cawas Klaten tahun ajaran 2008/2009, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa kelas VIIC
4
pada siklus I (Aspek kognitif = 7,10 atau meningkat sebesar 0,80 dari rata-rata nilai awal yaitu sebesar 6,30; aspek afektif = 28,03 (termasuk kategori kurang berminat)). Rata-rata hasil belajar pada siklus II (Aspek kognitif = 7,38 atau meningkat sebesar 0,28 dari rata-rata siklus I; Aspek afektif = 35,03 (termasuk kategori cukup berminat) atau meningkat sebesar 7,00 dari siklus I). Rata-rata hasil belajar siswa siklus III (Aspek kognitif = 7,86 atau meningkat sebesar 0,48 dari rata-rata siklus II; aspek afektif = 40,89 (termasuk kategori berminat) atau meningkat sebesar 5,86 dari siklus II). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan peta konsep dapat meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas VIIC SMP Negeri 1 Cawas Klaten tahun ajaran 2008/2009. Realita yang tampak berkaitan dengan kondisi pembelajaran IPS di sekolah dasar adalah bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar tampaknya belum mengacu pada format ”keterpaduan dan kesejajaran” dengan isu-isu sosial aktual yang ada berkembang di masyarakat, seperti krisis kepercayaan, merosotnya nilai moral kebangsaan, masalah hak asasi, masalah keadilan dan pencemaran lingkungan. Implikasinya bagi peserta didik adalah bahwa belajar IPS hanyalah untuk keperluan mempersiapkan diri dalam mengikuti ulangan atau ujian, dan terlepas dari permasalahan (isu-isu sosial) dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran IPS dirasakan sebagai beban yang harus dihafal dan diingat oleh peserta didik sehingga mereka bisa menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru pada saat ulangan. Pembelajaran yang demikian tidak melatih dan membudayakan peserta didik untuk terampil berpikir, namun lebih mengkondisikan mereka untuk pintar menghafal fakta dan konsep sehingga kebermaknaan dari materi yang dipelajarinya rendah. Pembelajaran dengan model strategi pemetaan kognitif merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membuat hubungan antara pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki oleh siswa serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, maka siswa akan mudah memahami konsep. Dengan strategi pemetaan kognitif maka siswa akan bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa semata. Sehingga pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh datang dari proses penemuan sendiri dan bukan dari “apa kata guru”.
5
Pembelajaran IPS hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep IPS. Dengan peserta didik dapat menguasai materi maka peserta didik diharapkan dapat menggunakan daya nalarnya umtuk memecahkan suatu masalah yang ada. Berdasarkan analisis konseptual dan empiris bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar saat ini pembelajaran IPS masih menekankan pada penyajian konsep belaka, belum mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut disebabkan diantaranya adalah guru masih menggunakan metode ceramah dalam mengajar sehingga pembelajaran hanya terpusat pada guru bukan pada siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di SDN Banjarbaru Utara 4 dapat disimpulkan bahwa dalam mengajar guru juga jarang menggunakan alat peraga, guru jarang menggunakan model dan strategi yang sesuai dalam pembelajaran IPS sehingga penyampaian materi IPS tidak menarik, monoton dan membosankan. Agar pembelajaran IPS menarik, seharusnya guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih dan menggunakan berbagai strategi, model, dan metode pembelajaran yang mampu mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik sehingga mereka dapat belajar secara optimal. Di samping itu untuk mengaktifkan siswa dalam belajar diperlukan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dapat menghantarkan anak berpikir kritis adalah strategi pemetaan kognitif. Penggunaan pemetaan kognitif di dalam pembelajaran IPS masih jarang dilakukan khususnya di SDN Banjarbaru Utara 4, atas dasar inilah peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui pengaruh perlakuan penggunaan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script dalam pembelajaran IPS terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir siswa di Sekolah Dasar Negeri Banjarbaru Utara 4.
METODE Penelitian ini tergolong kuasi eksperimen. Desain ini digunakan dalam kelompok yang terkumpul secara alami, seperti siswa di kelas. Dua kelompok
6
tersebut diasumsikan beda, pengaruh variabel-variabel yang tidak berhubungan diasumsikan beda. Kelas-kelas yang dipilih sebagaimana adanya kemungkinan pengaruh-pengaruh pada susunan reaktif dapat dikurangi. Pada penelitian ini penggunaan strategi pemetaan kognitif (X) adalah variabel eksperimen dan yang diuji efektifitasnya, variabel kontrol adalah model konvensional. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Nonequivalen Control Group Design. Desain penelitian ini hampir sama dengan Pretest – posttest Control Group Design, hanya pada desain kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2009). Penelitian dirancang melalui nonekuivalen control group design (Sugiyono, 2009) seperti Tabel 1. O1 O3 Keterangan: O1 = O2 = X =
X
O2 O4
pretest posttest pembelajaran menggunakan strategi pemetaan kognitif
Populasi penelitian adaah seluruh siswa kelas VI di SDN Banjarbaru Utara 4, yang terdiri dari kelas VIa dan VIb, selanjutnya siswa kelas VIa tidak diberi perlakuan dan Kelas VIb diberi perlakuan. O1 dan O3 merupakan derajat hasil belajar sebelum ada perlakuan menggunakan strategi pemetaan kognitif. O2 adalah derajat hasil belajar setelah menggunakan strategi pemetaan kognitif. O4 adalah derajat hasil belajar yang tidak diberikan perlakuan menggunakan strategi kognitif. Pengaruh penggunaan strategi pemetaan kognitif terhadap derajat hasil belajar siswa sekolah dasar adalah (O2 – O1) – (O4 – O3). Penelitian ini dilaksanakan di SDN Banjarbaru Utara 4, Jalan Melati Kelurahan Komet Raya Kecamatan Banjarbaru Utara, Kota Banjarbaru Provinsi Kalimatan Selatan. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VI tahun ajaran 2011/2012 dengan jumlah siswa 60 orang yang terdiri atas VI.a 30 orang sebagai kelas kontrol dan VI.b 30 orang sebagai kelas perlakuan. Dipilih siswa kelas VI SD karena secara psikologis mampu mengembangkan keterampilan berpikir. Teknik analisis data untuk menguji signifikansi antara kelas perlakuan dan kelas kontrol Analisis kuantitatif dilakukan menggunakan analisis statistik uji anakova. Teknik analisis data anakova ini digunakan untuk mengetahui signifikansi
7
hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS yang menggunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script.dalam pembelajaran IPS, dan untuk mengukur keterampilan berpikir siswa data dianalisis secara deskriptif dengan teknik kategorikal.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Nilai rata-rata dari pre test dan post test disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Hasil Belajar Variabel Terikat Hasil Belajar
Kelas Kontrol (N = 30) Pretest Post tes 41,3 78,0
Kelas Perlakuan (N = 20) Pretest Post tes 39,3 84,7
Sumber : Hasil Data Primer, 2011 Berdasarkan Tabel 2 nilai rata-rata pre test antara kelas perlakuan yang diajar menggunakan strategi pemetaaan kognitif melalui model pembelajaran tipe Script adalah 39,3 dan kelas kontrol yang diajar tanpa menggunakan model memiliki nilai rata-rata 41,3. Kelas diajari dengan perlakuan berbeda setiap kelas dimana kelas VI.a (kelas kontrol) dan kelas VI.b (kelas perlakuan) yang memiliki rata-rata post test yang berbeda yaitu kelas VI.a sebesar 78,0 dan kelas VI.b sebesar 84,7. Sekalipun dijumpai kenaikan pada kelas kontrol maupun kelas perlakuan, namun kenaikan ini perlu diuji signifikansinya. Ringkasan uji signifikansi hasil belajar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Signifikansi Hasil Belajar Sumber Regresi Residual Total
DB/DF 2 57 60
JK/SS 717,659 4775,675 402400,000
RK/MS 358,829 83,784
F 8,437
Sig 0,005
Keterangan Signifikan
Keterangan: R-kuadrat = 0,131, c.v. = 0,100, n = 57, F =8,437; sig = 0,005.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2011 Hasil analisis menunjukkan bahwa harga F untuk x besarnya 8,437 dengan signifikansi 0,005. Perbandingan a dengan signifikansi yang diperoleh (sig). Apabila a < sig, maka H1 diterima, sebaliknya bila a ≥ sig, maka H0 diterima. Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa sig. besarnya 0,005 lebih kecil daripada a = 0,05.
8
Signifikansi yang diperoleh (sig) a < sig, dengan demikian H1 diterima. Jadi kesimpulannya, setelah dikendalikan oleh kovariabel strategi pemetaan kognitif dalam pembelajaran terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan (F = 8,437; Sig = 0,005) antara siswa yang diajar dengan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script dengan kelas kontrol. Respon siswa mengenai pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Script seperti Tabel 4. Tabel 4. Hasil Respon Siswa Terhadap Penerapan Model Script Pembagian kelompok
Pemberian pertanyaan
A 30
B
Berpasangan Pemberian pertanyaan Jawaban teman kelompok Jawaban kelompok lain Jumlah
Jawaban teman kelompok C1 C2
Jawaban kelompok lain D1 D2
30 30
5 20
30
30
30
10 30
Sumber : Hasil Data Primer, 2011 Keterangan : A = Dibagi dalam kelompok B = Diberikan pertanyaan oleh guru C1 = Setuju terhadap jawaban teman kelompok C2 = Tidak setuju terhadap jawaban teman kelompok D1 = Setuju terhadap jawaban kelompok lain D2 = Tidak setuju terhadap jawaban kelompok lain
Pada pelaksanaan diskusi ini seluruh siswa harus mengikuti diskusi tersebut. Setelah ditetapkannya kelompok diskusi guru memberikan materi untuk didiskusikan. Pelaksanaan kegiatan diskusi. 25 orang siswa atau 83,33% menyatakan setuju akan jawaban yang disampaikan teman kelompoknya dan 5 siswa atau 16,67% menyatakan tidak setuju tentang jawaban yang disampaikan oleh teman kelompoknya. Karena siswa tersebut tidak sepakat mengenai jawaban teman kelompoknya. Setelah berdiskusi, setiap kelompok mengemukakan pendapatnya tentang hasil diskusi ke depan kelas. 20 siswa atau 66.67% menyetujui jawaban hasil diskusi kelompok lain. Sedangkan 10 siswa atau 33,33% tidak menyetujui jawaban kelompok lain karena didalam kelompok mereka tidak menerima dan menyepakati jawaban yang disampaikan oleh kelompok lain.
9
Data hasil pengamatan perilaku berkarakter dalam pembelajaran ini disajikan pada ringkasan hasil pengamatan seperti Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengamatan Perilaku Berkarakter Perilaku Berkarakter Ketelitian
Kejujuran
Peduli
Komuni kasi
Kerja Sama
Sangat Baik Memuaskan Menunjukkan Kemajuan Memerlukan Perbaikan
8 11
9 12
10 9
6 8
7 14
Terbuka & Menghargai Teman 11 8
8
6
8
14
6
3
3
3
2
Jumlah
30
30
30
30
NIS
Jlh
Persen (%)
51 62
28 34
7
49
27
3
4
18
10
30
30
180
100
Sumber : Hasil Data Primer, 2011 (Diolah) Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap perilaku berkarakter dari aspek ketelitian, kejujuran, peduli, komunikasi, kerjasama, terbuka & menghargai teman. Diketahui untuk semua aspek tersebut yang memperoleh nilai paling tinggi adalah nilai (B) = memuaskan sebanyak 24%, yang kedua nilai (A) = sangat baik sebanyak 28%, ketiga nilai (C) = 27%, dan keempat nilai (D) = memerlukan perbaikan sebanyak 10%. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku berkarakter untuk aspek dikategorikan memuaskan dengan persentasi yang tertinggi 34%. Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan: 1. Setiap kriteria pengamatan terdapat tingkat aktivitas belajar siswa sebagai akibat dari pelaksanaan tindakan/perlakuan menggunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe Script secara individu maupun kelompok 2. Aktivitas belajar bersama melalui kerja kelompok mampu meningkatkan karakter yang diharapkan sebagai metakognitip bahan belajar IPS sehingga terlihat interaksi aktif sesama anggota sebagai pengalaman langsung. 3. Masih terdapat siswa yang memerlukan perbaikan dalam pengembangan karakter yang disebabkan oleh rendahnya interaksi dan aktivitas belajar siswa dalam kegiatan kelompok.
10
Keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa terdiri atas 1) model mental dan strategi untuk belajar, dan 2) kesempatan melakukan praktik mandiri. Ringkasan hasil pengamatan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Pengamatan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi No. 1). 1 2 3 2).
Jenis Perilaku Model mental dan strategi untuk belajar Bertanya Menyumbangkan ide/pendapat Membuat kesimpulan Kesempatan kerja mandiri Melaporkan hasil kerja mandiri
Skor Rata-rata 3,1 2,9 3,0 3,4
Sumber : Hasil Data Primer, 2011 Berdasarkan Tabel di atas ketiga parameter keterampilan model mental dan strategi belajar diperoleh skor rata-rata yaitu: 1) bertanya = 3,1. 2) menyumbangkan ide/pendapat = 2,9. Dan 3) Membuat kesimpulan = 3,0. Satu-satunya parameter kesempatan kerja mandiri yaitu Melaporkan hasil kerja mandiri = 3,4. Dapat disimpulkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa rata-rata 3,1 dengan kategori Baik.
PEMBAHASAN Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Hal ini berarti bahwa anak-anak mengkonstruksi pengetahuan secara terus-menerus dengan mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru (Trianto, 2008: 42). Menurut Slavin, implikasi penting dari teori Piaget adalah sebagai berikut: 1.
Memperhatikan peranan dan inisiatif siswa serta keterlibatannya secara aktif dalam kegitana pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu,
11
guru
dituntut
untuk
mempersiapkan
beraneka
ragam
kegiatan
yang
memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. 2.
Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan intelektual. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan intelektual yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individuindividu dan kelompok kecil siswa daripada dalam bentuk kelas utuh (klasikal) (Sudibyo, 2003: 10). Dalam pembelajaran kooperatif tipe Script sangat memperhatikan pentingnya
tujuan kelompok dan tanggung jawab individu karena dapat memberikan insentif kepada siswa untuk saling membantu satu sama lain, saling mendorong untuk untuk melakukan usaha yang maksimal. Jika nilai siswa sebagai kelompok cukup baik, dan kelompok hanya akan berhasil dengan memastikan bahwa semua anggotannya telah mempelajari materinya, maka anggota kelompok akan termotivasi untuk saling mengajar. Kondisi inilah yang terjadi pada siswa kelas VI.b selaku kelas perlakuan yang menggunakan strategi pemetaan kognitif melalui model kooperatif tipe script ketika seluruh anggota kelompok merasa bertanggung jawab terhadap hasil kerja pada Lembar Kerja. Karena itu ketika ada siswa yang saling menyalahkan antar sesama anggota kelompok harus segera diluruskan dan diberi pemahaman bahwa hasil belajar secara individu adalah dampak dari saling membelajarkan dalam kelompok. Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam penerapan model Script terhadap hasil belajar siswa kelas VI.b selaku kelas perlakuan adalah adanya penghargaan positif terhadap pencapaian kelompok maupun individu. Penghargaan pada kelompok atau individu yang berhasil adalah dengan mengundang kelompok atau individu tersebut berdiri kemudian disalami oleh guru. Hasil capaian dipampang di depan kelas sehingga siswa menjadi bangga dengan hasil belajarnya. Slavin (2008: 257) mengatakan bahwa pendekatan yang paling efektif bagi menejemen kelas bagi pembelajaran kooperatif adalah menciptakan sistem penghargaan positif yang didasarkan pada kelompok. Guru memberikan penghargaan pada prilaku kelompok
12
yang dikehendakinya di dalam kelas sehingga kelompok lain akan menjadikan kelompok yang mendapat penghargaan tersebut sebagai model.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran dilaksanakan di kelas VIa sebagai kelas kontrol dan kelas VIb sebagai kelas perlakuan dengan materi kenampakan alam dan keadaan sosial negara-negara tetangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa sig. besarnya 0,005 lebih kecil daripada a = 0,05. Signifikansi yang diperoleh (sig) a < sig, dengan demikian H1 diterima. Jadi kesimpulannya, setelah dikendalikan oleh kovariabel strategi pemetaan kognitif dalam pembelajaran IPS terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar dengan strategi pemetaan kognitif dengan kelas kontrol yaitu F = 8,437; Sig = 0,005. 2. Keterampilan berpikir siswa pada pembelajaran IPS dengan menggunakan strategi pemetaan kognitif berdasarkan hasil pengamatan ketiga parameter keterampilan model mental dan strategi belajar diperoleh skor rata-rata yaitu: bertanya = 3,1 menyumbangkan ide/pendapat = 2,9 dan membuat kesimpulan = 3,0. Satu-satunya parameter kesempatan kerja mandiri yaitu melaporkan hasil kerja mandiri = 3,4. Dapat disimpulkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa rata-rata 3.1 dengan kategori Baik. Ini diketahui bahwa keterampilan berpikir melalui kegiatan belajar tahapan individu, berpasangan maupun kelompok kemudian diskusi dapat mempertinggi kemampuan mengembangkan metakognitif siswa yang berkarakter terhadap materi pelajaran kenampakan alam dan sosial negara tetangga. Strategi pemetaan kognitif dalam pembelajaran IPS ini dapat memelihara dan membangkitkan motivasi siswa dalam bentuk keterampilan sosial dalam hal mengembangkan keterampilan berpikir. Saran-saran yang dapat peneliti berikan sebagai hasil dari pengalaman yang didapatkan dalam penelitian adalah guru diharapkan menerapkan strategi pemetaan kognitif dengan model pembelajaran kooperatif tipe Script sebagai suatu alternatif dalam metode pembelajaran IPS sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa khususnya kemampuan mengembangkan strategi kognitif siswa yang
13
berkarakter dengan analisis keterampilan berpikir secara objektif. Bagi peneliti lain yang berminat perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan populasi dan pokok bahasan yang berbeda agar hasil penelitian ini lebih meyakinkan.
DAFTAR RUJUKAN Belen, Silius. 2010. Draf Naskah Akademik Sekolah Dasar. Jakarta. Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru. Novak , Joseph D. & Canas, Alberto J. 2006. The Theory Underlying Concept Maps and How to Construct and Use Them. http://www.ihmc.us/groups/jnovak/. Diakses tanggal 10 April 2011. Rahmaningsih, Alfiyah. 2009. Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Peta Konsep pada Pokok Bahasan Ekosistem di Kelas VIIC SMPN 1 Cawas Klaten Tahun Ajaran 2008/2009 (Online). (http://etd.eprints.ums.ac.id/4260/. Diakses tanggal 5 April 2011). Santoso, Singgih. 2006. SPSS Statistik Multivariate. Jakarta : Elex Media Slavin, R. E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Nurulita. Bandung : Nusa Media. Sudibyo, Elok. 2003. Beberapa Teori Yang Melandasi Pengembangan Model-Model Pembelajaran. Depdiknas, Jakarta Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung. Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
1
KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN MELALUI COOPERATIVE LEARNING DENGAN TEKNIK MAKE-A MATCH DI SEKOLAH DASAR (Penelitian Tindakan Kelas di SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin) Yulidar Chairina 1 Abstrak Penelitian ini memfokuskan tentang bagaimana cara mengupayakan kemampuan membaca permulaan. Hal ini penting dilakukan karena Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut agar siswa memiliki 4 (empat) keterampilan berbahasa yakni mendengarkan,berbicara, membaca, dan menulis . Dari ke 4 keterampilan berbahasa ini, kemampuan siswa membaca masih rendah tidak sebagai mana mestinya. Penelitian dilaksanakan 2 siklus, masalah ini diupayakan untuk diatasi dengan menggunakan pendekatan kooperatif melalui teknik Make-A Match. Subjek penelitian ini adalah siswa Kelas I SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin yang berjumlah 26 orang, terdiri dari 13 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tes lisan dan tertulis, observasi dan dokumentasi. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif Hasil penelitian disimpulkan penerapan pendekatan kooperatif dengan teknik Make-A match dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa. Hal ini terlihat pada hasil observasi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran yang sudah seluruhnya aktif (100%) selain itu tingkat kemampuan siswa dalam membaca permulaan mencapai indikator keberhasilan yakni pada siklus II pertemuan ke 2 ada 19 orang (73%) dari 26 oarang siswa yang mampu membaca dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar sehingga dapat melampaui batas KKM (62) yang telah ditetapkan. Kata Kunci: Cooperative Learning, Teknik Make-A Match, Kemampuan Membaca permulaan. Selama depan minggu pertama siswa kelas I SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin, masih belum mampu membaca dengan lafal dan intonasi yang tepat. Bilamana hal fini dibiarkan maka akan berdampak negatif pada pembelajaran di kelas yang lebih tinggi. Berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) SD/MI 2004, bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional 1
Guru SD Negeri Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin
2
peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi . Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain. Selain itu pembelajaran bahasa juga membantu peserta didik mampu mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, bahkan menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan imaginatif dalam dirinya. Membaca pada hakekatnya adalah sesuatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berfikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Membaca juga dilakukan untuk berbagai tujuan dan keperluan. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan membaca yang fleksibel. Pembaca fleksibel adalah pembaca yang pandai memilih dan menerapkan strategi baca yang tepat dalam menghadapi bahan bacaannya. Definisi membaca yang dikemukakan para ahli dapat dikatagorikan ke dalam 2 katagori yang menunjukkan tingkatannya, yakni 1) Definisi yang bertumpu pada kemampuan melek huruf, yakni kemampuan mengenali lambang-lambang bunyi bahasa dan dapat melafalkannya dengan benar. 2) Definisi yang bertumpu pada melek
wacana,
yakni
kemampuan
mengenali,
memahami,
dan
memetik
makna/maksud dari lambang-lambang yang tersaji dalam bahasa tulis itu dalam arti yang sesungguhnya. Dilihat dari cakupan bahan dan keperluannya, terdapat dua jenis membaca yang sering digunakan, yakni membaca intensif dan membaca ekstensif. Membaca intensif sering diidentikkan sebagai membaca untuk studi (belajar) dengan cakupan bacaan yang lebih spesifik dan tertentu untuk mencapai pemahaman. Membaca ekstensif dipergunakan untuk kepentingan perolehan informasi yang komprehensif, meluas, tidak mendalam, atau untuk kepentingan kesenangan dan hiburan. Oleh karena itu, cakupan bahan bacaanya lebih banyak dan tidak terfokus pada satu buku atau bacaan tertentu. Terdapat 3 teknik yang tergolong ke dalam teknik membaca ekstensif, yakni: 1) Teknik survei, 2) Teknik Skimming atau membaca sekilas, dan 3) Teknik membaca dangkal atau superficial reading
Membaca merupakan gabungan proses perceptual dan kognitif, seperti dikemukakan oleh Crawley dan Mountain (Farida, 2007:3). Sedangkan Klein, dkk.
3
(Farida 2007:3) mengemukakan bahwa, membaca mencakup 1) Membaca merupakan suatu proses, 2) Membaca adalah strategi, dan 3) Membaca merupakan interaktif. Membaca adalah proses untuk mengenal kata struktur bacaan, sehingga hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan menurut (Sandjaja, 2005). Menurut (Ginting, 2005) membaca merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol, oleh karena itu mata memainkan peranan penting. Sedangkan proses tanggapan adalah membaca menunjukkan interpretasi segala sesuatu yang kita persepsi. Broughton (Ginting, 2005) mengemukakan membaca merupakan keterampilan yang bersifat pemahaman yang dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap membaca lanjutan, karena itu kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru. Jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai. Padahal kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang ingin memperluas pengetahuan, pengalaman, mempertinggi daya fikir, mempertajam penalaran, untuk mencapai kemajuan dan peningkatan diri. Menanamkan kebiasaan membaca yang sesungguhnya bukan hanya sekedar kemampuan menyuarakan lambang tertulis dengan sebaik-baiknya, namun lebih jauh lagi adalah kemampuan memahami dari apa yang tertulis dengan cepat dan tepat. Pengajaran membaca yang diberikan di kelas 1 (satu) sepenuhnya ditekankan pada segi mekanik, artinya jenis kemampuan membaca yang dihasilkan adalah jenis membaca teknis dengan tujuan utama untuk membelajarkan siswa dari tidak bisa membaca menjadi bisa membaca. Kemampuan mengubah lambang tertulis menjadi bunyi atau suara-suara yang bermakna. Pembelajaran diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa belajar aktif, baik secara fisik, psikis, maupun sosial dalam memahami konsep. Oleh karena itu
di dalam proses pembelajaran membaca permulaan hendaknya guru
menggunakan pendekatan dan teknik yang membuat siswa beraktifitas. Dengan banyaknya aktifitas yang dilakukan, diharapkan dapat menimbulkan rasa senang dan antusias siswa dalam belajar, sehingga tercipta pembelajaran yang Aktif, Inovatif,
4
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Dengan ini kemampuan membaca permulaan pada siswa kelas 1 SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin semakin baik dan hasil belajarpun makin meningkat. Pendekatan kooperatif dipandang sebagai salah satu strategi belajar mengajar, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan guru untuk mengapresiasikan materi pembelajaran untuk kegiatan belajar mengajar, dengan sasaran dimana siswa di dalam kelas diarahkan untuk belajar dalam suatu kelompok atau dibagi dalam beberapa kelompok. Mereka bekerjasama dalam memecahkan masalah atau melaksanakan tugas tertentu dan berusaha mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan oleh guru (Akhmad, 2006:7). Cilstrap dan Martur dalam Akhmad (2006:7), memberikan pengertian kerja kelompok sebagai kegiatan sekelompok siswa yang biasanya berjumlah kecil, yang diorganisir untuk kepentingan belajar. Keberhasilan kerja kelompok ini menuntut kegiatan belajar yang kooperatif dari beberapa individu tersebut. Pendekatan ini digunakan dengan tujuan agar siswa mampu dan menjadi terbiasa belajar bersama dengan teman yang lain. Berdasarkan hasil pengamatan yang dialami selama 3 bulan pertama pada siswa kelas I SDN Kuin Cerucuk 2 dengan jumlah siswa 34 orang pada tahun pelajaran 2008/2009 ternyata 15 orang mendapat nilai 5 atau 44%, 8 orang mendapat nilai 6 atau 23%, 8 orang mendapat nilai 7 atau 23% dan 3 orang mendapat nilai 8 atau 1%, sedangkan standar KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimum untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin adalah (65). Padahal masa 8 minggu pertama siswa diharapkan mampu melampaui standar KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah, namun pada kenyataannya siswa belum mampu melampaui batas tersebut. Sehubungan dengan kesulitan belajar siswa, ada 2 beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, yaitu 1) siswa tidak mampu merangkai suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat, serta membacanya dengan benar, dan 2) guru kurang bervariasi dalam menyajikan bahan bacaan yang disajikan. Berdasarkan masalah di atas timbul pertanyaan penelitian apakah dengan menerapkan pendekatan kooperatif melalui teknik Make - A Match dapat meningkatkan hasil belajar membaca permulaan siswa kelas 1 SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin?
5
METODE Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin pada bulan Januari 2010. Subyek penelitian adalah siswa kelas I SDN kuin Cerucuk 2 Banjarmasin. Penelitian tindakan kelas ini dirancang 2 siklus, setiap siklus dilakukan 2 kali pertemuan. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dengan langkah-langkah yang disusun sebagai berikut: 1. Perencanaan 1) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tentang membaca permulaan dengan menggunakan teknik Make – A Match 2) Membuat lembar observasi pembelajaran guru dan observasi kegiatan siswa serta mendesain alat evaluasi untuk mengukur peningkatan prestasi belajar siswa. 3) Menyiapkan dan membuat alat peraga / media yang menunjang proses belajar di kelas berupa kartu-kartu suku kata dan kartu- kartu kata dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan teknik Make –A Match 4) Membuat alat evaluasi. 5) Menetapkan jadwal pelaksanaan tindakan
2. Pelaksanaan Tindakan Pada tahap ini dilaksanakan proses belajar mengajar dalam 2 siklus, masingmasing siklus 2 kali pertemuan. Siklus I pertemuan 1 dilaksanakan tanggal 6 Januari 2010 dan tanggal 9 Januari 2010. 3. Tahap Obsevasi Pada tahap ini guru melakukan obsevasi terhadap kegiatan siswa pada saat melakukan pengenalan huruf-huruf, suku-suku kata dan kata secara individu maupun kelompok. Juga dilakukan observasi kegiatan pembelajaran guru sesuai tahapan-tahapan mengajar yang direncanakan serta melakukan evaluasi selama 2x35 menit. 4. Tahap Refleksi
6
Hasil observasi dan evaluasi dikumpulkan serta dianalisis dalam tahap ini. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya menjadi bahan untuk merefleksi diri bagi pelaksanaan kegiatan tindakan kelas pada siklus berikutnya. Apabila nilai hasil belajar belum memenuhi persyaratan ketuntasan belajar, maka langkahlangkah kegiatan diulang.
Sumber data penelitian ini adalah siswa kelas I (satu) SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin, mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang membaca permulaan pada semester II tahun pelajaran 2009/2010. Data dikumpulkan melalui tes lisan dan tertulis serta observasi (aktivitas serta kinerja siswa dan guru) Indikator keberhasilan penelitian apabila dalam pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning melalui teknik Make - A Match minimal 85 % siswa terlibat aktif dalam unsur keaktifan dan kesesuaian pasangan. Hasil tes tertulis dengan ratarata 62 (sesuai standar KKM) dan hasil tes perbuatan minimal 70 % dari 26 siswa mampu membaca dengan lafal dan intonasi yang tepat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada siklus I pertemuan 1 diperoleh siswa aktif 19 orang dari 26 siswa (73%), sedangkan kesesuaian pasangan ada 14 siswa (54%). Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selama mengikuti KBM masih kurang, terutama pada unsur kesesuaian pasangan hal ini karena siswa masih belum mampu membaca dengan baik. Hasil pengamatan terhadap aktivitas guru dalam KBM siklus I pertemuan 1 diperoleh keterlaksanaan kegiatan awal dengan skor 3 (15%), kegiatan ini dengan skor 12 (60%), dan kegiatan akhir engan skor 2 (10%). Jumlah skor total adalah 20. Hasil pengamatan observasi terhadap
langkah-langkah kegiatan yang
dilaksanakan oleh guru dalam KBM pada siklus I pertemuan 1 sudah berlangsung cukup baik, karena masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan lagi, seperti pada kegiatan appersepsi yang terlewatkan dan belum mengarahkan siswa untuk merangkum materi pelajaran serta pesan moral yang belum tersampaikan karena pengelolaan waktu yang belum maksimal.
7
Hasil penilaian terhadap aktivitas kemampuan siswa dalam membaca dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat adalah amat baik 1 orang (4%), baik 4 orang (15%), cukup 7orang (27%), dan kurang 14 orang (54%). Jadi kemampuan siswa dalam membaca permulaan masih sangat rendah. Kemampuan siswa dalam membaca secara keseluruhan maka pada akhir setiap pertemuan dilaksanakan tes tertulis diperoleh 11 orang yang tuntas (42%) atau 11 orang. Kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make-A Match untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca permulaan dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat di kelas I (satu) SDN Kuin cerucuk 2 Banjarmasin pada siklus I pertemuan 1 masih terdapat banyak kelemahan. Pada saat siswa melakukan kegiatan mencari pasangan dengan menggunakan kartu sampai kegiatan membaca masih terlihat rendah terutama pada lafal dan intonasinya. Pada unsur kesesuaian pasangan juga masih ada siswa yang salah mencari pasangannya, hal ini disebabkan karena siswa masih belum mampu membaca dengan baik dan benar. Kegiatan guru sendiri sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kekurangannya, pada kegiatan awal ,guru hanya mengajak siswa menyanyi bersama tetapi tidak melakukan appersepsi, demikian pula pada kegiatan akhir guru lupa mengarahkan siswa untuk merangkum materi, juga tidak sempat memberikan pesan moral, hal ini terjadi karena pengelolaan waktu yang tidak maksimal. Kegiatan pada siklus I pertemuan ke 2 dijumpai siswa aktif 21 orang (81%) dan kesesuaian pasangan 18 orang (9%). Jumlah siswa ada 26 orang. Aktivitas siswa dengan nilai persentasi setiap unsur sudah mengalami peningkatan. Hal ini bisa terjadi karena siswa sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran yang menggunakan teknik Make - A Match. Hasil pengamatan terhadap aktivitas guru dalam KBM siklus I pertemuan ke 2 diperoleh kegiatan awal dengan skor 4 (20%), kegiatan inti skor 12 (60%), dan kegiatan akhirskor 4 (20%). Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa keaktivan guru dalam KBM sudah berlangsung efektif . Karena setiap unsur penilaian sudah terlaksana dengan baik (100%). Hasil penilaian terhadap aktivitas kemampuan siswa dalam membaca dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat diperoleh kategori amat baik 1 orang
8
(4%), baik 7 orang (27%), cukup 8 orang (31%), dan kurang 10 orang (38%). Berdasarkan temuan ini aktivitas siswa membaca permulaan dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar untuk siklus I pertemuan ke 2 ini sudah mengalami peningkatan, namun masih belum maksimal, karena masih ada 10 orang siswa (38%) yang termasuk dalam katagori kurang . Tingkat kemampuan siswa dalam membaca secara keseluruhan maka pada setiap akhir pertemuan dilaksanakan tes tertulis. Ada 20 orang (77%) tuntas. Nilai tes tertulis siswa pada siklus I pertemuan ke 2, sudah mengalami peningkatan, tetapi masih ada 6 orang ( 23% ) siswa yang mendapat nilai di bawah nilai KKM (62), dengan ini guru harus memberikan bimbingan dan arahan yang lebih intensif lagi kepada siswa dalam KBM . Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh peneliti melalui observasi kegiatan siswa dan guru, serta hasil evaluasi siklus I pertemuan 2, kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make-A Match untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca permulaan dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat di kelas I (satu) SDN Kuin cerucuk 2 Banjarmasin pada siklus I pertemuan 2 sudah mengalami banyak perubahan. Pada saat siswa melakukan kegiatan mencari pasangan dengan menggunakan kartu sampai kegiatan membaca terlihat adanya peningkatan terutama pada lafal dan intonasinya. Pada saat melakukan kegiatan mencari pasangan baik pada unsur keaktifan,dan kesesuaian pasangan juga terjadi peningkatan . Perbandingan hasil observasi aktivitas siswa dalam KBM pada siklus I pertemuan ke 1 dan 2 ada peningkatan keaktifan siswa dari 73% menjadi 81%, dan peningkatan kesesauaian pasangan dari 54% menjadi 69%.. Peningkatan kegiatan awal dari pertemuan ke 1 pada siklus I. Untuk melihat hasil observasi keaktifan guru dalam KBM dari 15% menjadi 20%, kegiatan inti tetap (60%), dan kegiatan akhir dan kegiatan akhir 10% menjadi 20%.
9
Perbandingan hasil observasi hasil belajar siswa dalam KBM kategori amat baik tetap (4%), baik (15-27%, cukup (27-31%), dan kurang menurun (54 menjadi 38%). Perbandingan ketuntasan mengalami peningkatan (42-77%). Pada akhir siklus I dilaksanakan tes kemampuan siswa dalam membaca. Data diperoleh dengan kategori amat baik (4%), baik (31%), cukup (34%), dan kurang (43%). Dari data di atas dapat diketahui adanya peningkatan hasil belajar, terutama pada segi penglafalan. Kendati demikian masih ada 17 orang (68%) siswa yang belum mencapai standar ketuntasan yaitu (62) ini berarti siswa tersebut perlu mendapat bimbingan dan arahan yang lebih intensif dari guru, sehingga pada pertemuan berikutnya kemampuan siswa dalam membaca lebih meningkat. Dari hasil analisis kegiatan belajar mengajar siswa dan guru,serta hasil analisis terhadap evaluasi siklus I ini dapat direfleksikan sebagai berikut: 1.
Pada siklus I pertemuan ke 1 kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa masih terdapat kekurangan ,misalnya pada unsur kesesuaian pasangan, masih ada 14 orang siswa (54 % ) yang tidak tepat dalam mencari pasangan dari kartu yang dipegangnya, hal ini bisa terjadi karena siswa tersebut masih belum mampu membaca dengan baik dan benar serta teknik pembelajaran yang digunakan masih baru bagi mereka sehingga mereka perlu beradaptasi dengan teknik pembelajaran yang digunakan. Disini peranan guru sebagai fasilitator sangat diperlukan untuk memberika arahan dan bimbingan yang tepat kepada mereka, sehingga pada pertemuan ke 2 sudah terjadi peningkatan pada setiap asfek walaupun perubahannya tidak siknifikan.Tetapi pada siklus ke II nanti diupayakan untuk memberikan bimbingan dan arahan yang lebih intensif lagi sehingga dapat lebih meningkatkan hasil belajar membaca siswa.
2.
Aktivitas guru dalam KBM pada pertemuan ke 1 sudah terlihat cukup baik, meskipun masih terdapat kekurangannya yaitu pada saat kegiatan awal guru hanya mengajak siswa menyanyi bersama tetapi tidak melakukan appersepsi, pada kegiatan inti sudah dilaksanakan sesuai dengan skenario, tetapi pada kegiatan akhir guru tidak mengarahkan siswa untuk merangkum materi pelajaran dan tidak memberikan pesan moral, hal ini terjadi karena pengelolaan waktu yang tidak maksimal.Sedangakan pada pertemuan ke 2 aktifitas guru dalam KBM sudah maksimal karena pada pertemuan ke 2 ini guru sudah benar-benar
10
mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, sehingga materi dan teknik pembelajaran yang digunakan ( teknik Make-A Match ) dapat dikuasai dengan benar. 3.
Hasil belajar siswa pada siklus I ini masih memerlukan perbaikan. Misalkan dari hasil kegiatan siswa yang belum tuntas dalam membaca dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar masih ada siswa yang tidak tuntas baik secara individu maupun klasikal . Penyebabnya adalah kemampuan pelafalan dan intonasi yang belum baik dan benar, tetapi pada akhir siklus I dilaksanakan tes kemampuan membaca, di sini menunjukkan adanya sedikit peningkatan hasil belajar, untuk memperbaikinya pada akhir pembelajaran siswa yang belum tuntas di remidial ,sehingga akan terjadi peningkatan hasil belajar baik secara individual maupun klasikal pada siklus ke II nantinya . Juga untuk hasil evaluasi tes tertulis masih ada 15 orang siswa yang belum tuntas untuk pertemuan ke 1 dan 6 orang siswa yang belum tuntas pada pertemuan ke 2 . Untuk memperbaikinya pada siklus II guru harus lebih aktif memberikan arahan sekaligus bimbingan dalam kegiatan pembelajaran sehingga terjadi penigkatan nilai hasil belajar siswa . Tindakan penelitian pada siklus II dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan
yaitu hari Senin ,tanggal 11 Januari 2010 (pukul 08.00-09.20) untuk pertemuan ke 1 dan tanggal 14 Januari 2010 (pukul 08.00-09.20) untuk pertemuan ke 2, tes akhir siklus II dilaksanakan tanggal 15 Januari 2010. Tujuan dari pelaksanaan siklus II ini adalah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi selama proses kegiatan pembelajaran maupun hasil belajar baik dari segi guru maupun dari segi siswa. Berdasarkan pengamatan oleh observer pada kegiatan pembelajaran di kelas, dengan jumlah siswa 26 orang, hasil kegiatan pada siklus II diperoleh keaktifan siswa 23 orang (88%), kesesuaian pasangan 22 orang (85%). Dari data hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selama mengikuti KBM sudah mengalami peningkatan dari semua unsur. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah memahami metode pembelajaran. Dari penilaian secara umum menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam mengikuti KBM pada siklus II pertemuan 1 ini sudah berlangsung efektif. Hasil pengamatan terhadap aktivitas guru dalam KBM siklus II pertemuan ke 1 diperoleh kegiatan awal dengan skor 4 (20%), kegiatan inti 12 (60%), dan kegiatan
11
akhir 4 (20%). Dapat dikatakan bahwa kegiatan guru dalam pelaksanaan KBM pada siklus II pertemuan ke 1 sudah efektif. Hasil penilaian terhadap aktivitas kemampuan siswa dalam membaca dengan menggunakan lafal dan intonasi yang yang tepat diperoleh kategori amat baik 3 orang (12%), baik (12 orang (46%), cukup 6 orang (23%), dan kurang 5 orang (19%). Nilai aktivitas siswa membaca permulaan dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar untuk siklus II pertemuan ke 1 ini sudah mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari data yang ada yaitu siswa yang termasuk dalam katagori kurang hanya tinggal 5 orang (19 %).Dengan demikian penggunaan teknik Make- A Match pada pembelajaran membaca permulaan bisa dikatakan efektif, tetapi perlu penyempurnaan pada pertemuan berikutnya. Tingkat kemampuan siswa dalam membaca secara keseluruhan maka pada akhir setiap pertemuan dilaksanakan tes tertulis.Ada 22 orang tuntas (84%) dari 26 siswa. Perolehan nilai tes tertulis siswa pada siklus II pertemuan 1, siswa yang belum tuntas ada 4 orang (14% ) dari 26 oarang siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan teknik Make- A Match sudah berlangsung efektif. Kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make-A Match untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca permulaan dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat di kelas I (satu) SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin pada siklus II pertemuan ke 1 sudah mengalami banyak perubahan. Pada saat siswa melakukan kegiatan mencari pasangan dengan menggunakan kartu sampai kegiatan membaca terlihat adanya peningkatan terutama pada lafal dan intonasinya. Pada saat melakukan kegiatan mencari pasangan baik pada unsur keaktifan dan kesesuaian pasangan juga terjadi peningkatan. Aktivitas guru dalam KBM terus mengalami peningkatan ,hal ini dapat terlihat dari peningkatan nilai perolehan dari siklus I ke siklus II . Karena pada pertemuan ke 1 Sikus II ini guru sudah benar-benar mempersiapkan diri baik dari segi penguasaan materi maupun teknik pembelajarannya, sehingga aktivitas guru dalam KBM sudah berlangsung dengan efektif. Hasil belajar siswa pada siklus II pertemuan ke 1 ini menunjukkan peningkatan nilai, baik secara individu maupun klasikal. Hal ini menunjukkan bahwa
12
pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make- A Match yang digunakan dalam pembelajaran ini efektif. Berdasarkan pengamatan oleh observer pada kegiatan pembelajaran di kelas, hasil kegiatan pada siklus II pertemuan ke 2 diperoleh keaktifan siswa sempurna (100%), dan kesesuaian pasangan 22 orang (85%). Dari data hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selama mengikuti KBM sudah mengalami peningkatan dari semua unsur . Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah memahami metode pembelajaran. Dari penilaian secara umum menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam mengikuti KBM pada siklus II pertemuan ke 2 ini sudah berlangsung efektif dan sesuai dengan yang diharapkan. Hasil pengamatan terhadap aktivitas guru dalam KBM
siklus II pertemuan
ke 2 ini diperoleh kegiatan awal dengan skor 4 (20%), kegiatan inti 12 (60%), dan kegiatan akhir 4 (20%). Berdasarkan data hasil pengamatan observer pada tabel 19 terhadap langkah-langkah kegiatn yang dilaksanakan oleh guru ,mulai tahap persiapan sampai pada tahap penutup sudah maksimal . Hal ini dapat dilihat dari skor perolehan yang tertera pada tabel di atas .Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan guru dalam pelaksanaan KBM pada siklus II pertemuan ke 2 ini sudah efektif. Hasil penilaian terhadap aktivitas kemampuan siswa dalam membaca dengan menggunakan lafal dan intonasi yang tepat diperoleh kategori amat baik 4 orang (15%), baik 15 orang (58%), cukup 5 orang (19%), dan kurang 2 orang (8%). Berdasarkan temuan ini nilai kemampuan siswa dalam membaca dengan menggunakan lafal dan intonasi yang baik dan benar pada siklus II pertemuan ke 2 ini semakin mengalami kemajuan untuk mencapai standar indikator keberhasilan, siswa yang sudah termasuk dalam katagori tuntas ada 73%, walaupun masih ada siswa yang termasuk dalam katagori kurang dan cukup sebanyak 23% , hal ini bukan berarti penggunaan pendekatan ini tidak berhasil namun ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi antara lain siswa tersebut tidak melalui Pendidikan Anak Usia Dini / TK. Tingkat kemampuan siswa dalam membaca secara keseluruhan maka pada setiap akhir pertemuan dilaksanakan tes tertulis. Ketuntasan diperoleh 24 orang (92%).
13
Pada akhir siklus ke 2 ini kembali dilaksanakan tes kemampuan membaca siswa dengan menggunakan lafal dan intonasi yang baik dan benar. Untuk lebih jelasnya hasil tes tesebut diperoleh kategori amat baik 4 orang (15%), baik 15 orang (58%), cukup 5 orang (19%), dan kurang 2 orang (8%). Pada siklus II KBM yang dilakukan oleh siswa sudah mengalami banyak sekali kemajuan terutama pada unsur keaktifan sudah dilaksanakan dengan maksimal , tetapi pada unsur kesesuaian pasangan masih ada 4 orang siswa (15%) yang gagal mencari pasangan yang sesuai, pada awal penelitian terdapat 14 orang siswa (54% ) yang tidak mampu mencari pasangan yang tepat dari kartu yang dipegangnya .Dengan demikian teknik
pembelajaran Make- A Match dapat meningkatkan
aktivitas KBM siswa Pada siklus II ini aktivitas guru dalam KBM amat baik, karena guru sudah menguasai materi dan teknik pembelajaran yang digunakan dengan baik .Dengan demikian siklus II ini sudah berhasil meningkatkan aktivitas KBM baik dari segi guru maupun siswa.Ini berarti dengan 2 siklus sudah cukup berhasil untuk meningkatkan KBM. Pada siklus II ini umumnya terjadi peningkatan hasil belajar, baik tes kemampuan membaca siwa secara lisan maupun tertulis.Dengan demikian pada siklus ke II ini sudah berhasil meningkatkan hasil belajar siswa dalam KBM. Jadi hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make – A Match yang dilakukan 2 siklus dengan 4 kali pertemuan dianggap berhasil untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan dengan menggunakan lafal dan intonasi yang baik dan benar pada siswa kelas I SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin.
SIMPULAN DAN SARAN Dengan mengacu pada hasil Penelitian Tindakan Kelas tentang upaya meningkatkan kemampuan membaca permulaan dengan pendekatan Coopeative Learning melalui teknik Make – A match siswa kelas I SDN Kuin Cerucuk 2 Banjarmasin dapat ditrik kesimpulan sebagai berikut : Penerapan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik Make- A Match dpat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa. Hal ini ditandai dengan
14
tercapainya indikator keberhasilan (62) yakni pada siklus II pertemuan ke 2 terlihat 19 orang (73%) siswa mampu membaca dengan lafal dan intonasi yang tepat sehingga dapat melampaui batas KKM (62) yang ditetapkan. Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang patut disampaikan 1) Biasakanlah aktif dalam setiap proses pembelajaran, jangan takut salah dlam setiap bertindak, karena kesalahan adalah guru yang paling baik. 2) Masalah pembelajaran membaca yang sama dapat menerapkan pembelajaran dengan pendekatan Cooperative Learning melalui teknik
Make- A Match untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca permulaan.
DAFTAR RUJUKAN Abbas, Saleh. 2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Efektif di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Akhmad,
Anshory, 2006, Penyajian, LPMP.
Pendekatan
Coorperative Learning
dan Teknik
Arends, Ricard L, 2008, Learning to Teach, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ari Kunto, Suharsimi, 2008. Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Jakarta : Sinar Grafika Atika, dkk,2007.Pandai Bahasa Indonesia Untuk SD/MI kelas I,Bandung: Imperial Bakti Utama Alya Qonita, 2008.Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pendidikan Dasar, Bandung: PT. Indah Jaya Adipratama Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Fachruddin, 2006. Meningkatkan Hasil Prestsi Belajar Siswa dengan Menerapkan Pembelajaran PPKn Kelas V SDN Sungai Lumbah 3 Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala Tahun Pelajaran 2006/2007. Banjarmasin,Laporan Hasil PTK UNLAM Ginting, 2005 ( www.unika.ac.id.02/05/05 ) diakses ( 26-11-2009 ) Hardjomarsono, Boediman.2004. Mengajar atau Membelajarkan.Jakarta: Depdiknas Hartati, Ana. 2006.Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Menulis Teks Deskriptif Bahasa Inggris Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok. Banjarmasin, Laporan Hasil PTK UNLAM Juel/Sandjaja, 2005 (www.unika.ac.id.02/05/05) diakses (26-11-2009)
15
Kasri, 2009. Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Melalui Metode Analisis Glass Pada Anak Tunagrahita Ringan Kelas I SDLB Sungai Paring Martapura Kabupaten Banjar .Banjarmasin : Laporan Hasil PTK UNLAM. Radaina, Jainatu 2008. Implementasi Pendekatan Cooperative Learning melalui Teknik JIGSAW unutuk meningkatkan keterampilan berbicara Bahasa Inggris pada siswa kelas V SDN Barabai Timur, Banjarmasin : Laporan Hasil PTK UNLAM Rahim, Farida,2008. Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta: Sinar Grafika Ramdiah,Siti, 2007. Penggunaan Pembelajaran Inkuiri dengan Latar Kooperatif Tipe Pembelajaran Melingkar untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Sub Konsep Osmosis pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 32 Kota Banjarmasin. Laporan Hasil PTK UNLAM Septi, A. 2006. Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunagrahita Ringan Melalui Metode Kata Lembaga, Disdik Kabupaten Banjar. Silberman, Melvin L.1996. 101 Strategi Pembelajaran Aktif.Terjemahan oleh Sarjuli, dkk.2007: Pustaka Insan Madani. Sudjana, 2001. Kegiatan Belajar Mengajar . Bandung: Remaja Rosdakarya Suharjono,2008. Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ). Jakarta: Sinar Grafika Supraptiningsih, 2010. Keterampilan Membaca, Jakarta: Depdiknas Suriansyah, Ahmad,dkk,2008.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (SKRIPSI) Khusus Untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Banjarmasin: PGSD UNLAM Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta Tim Instuktur, 2009. Model Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Banjarmasin : Depdiknas LPTK R-17. Wardani, I.GAK, dkk, 2002. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Universitas Terbuka. Zaini Hisyam, dkk, 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
16
THE FACTORS RELATED WITH SOCIETY ATTITUDES TOWARD THE FUNCTION OF IRRIGATION IN PANGGALAMAN VILLAGE SUBDISTRICT WEST MARTAPURA DISTRICT BANJAR SOUTH KALIMANTAN. Abdul Hadi Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Keywords : Attitude, Irrigation, education level, income level, length of stay level Abstract The aims of this research was to know 1) How the society attitude toward the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan : 2) The relationship betwen some factors that is education level, income level and length of stay level with the society attitude toward the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan. The methode for collecting data was use interview. The methode to know society attitude was use Skor-T Formula. The methode to know the relationship betwen some factors that is education level, income level and length of stay level with the society attitude toward the function of irrigation use statistical analysis Korelasi Pancaserial. The results show that the value r hitung> r table. Where the value of r hitung = -0.421, while the value of r table = 0.266, at the significance level of 5%. Conclusion The research indicates there is a negative correlation between education level, income level and length of stay with the attitude of society towards the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan.
THE FACTORS RELATED WITH SOCIETY ATTITUDES TOWARD THE FUNCTION OF IRRIGATION IN PANGGALAMAN VILLAGE SUBDISTRICT WEST MARTAPURA DISTRICT BANJAR SOUTH KALIMANTAN. Abdul Hadi Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Keywords : Attitude, Irrigation, education level, income level, length of stay level
Abstract The aims of this research was to know 1) How the society attitude toward the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan : 2) The relationship betwen some factors that is education level, income level and length of stay level with the society attitude toward the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan. The methode for collecting data was use interview. The methode to know society attitude was use Skor-T Formula. The methode to know the relationship betwen some factors that is education level, income level and length of stay level with the society attitude toward the function of irrigation use statistical analysis Korelasi Pancaserial. The results show that the value r hitung> r table. Where the value of r hitung = -0.421, while the value of r table = 0.266, at the significance level of 5%. Conclusion The research indicates there is a negative correlation between education level, income level and length of stay with the attitude of society towards the function of irrigation in Panggalaman Village Subdistrict West Martapura Distrik Banjar South Kalimantan. Salah satu jaringan irigasi yang ada di Kalimantan Selatan adalah jaringan Pendahuluan irigasi Riam Kanan. Air jaringan irigasi Indonesia merupakan negara tersebut berasal dari Waduk Riam Kanan agraris. Sebagai negara agraris, Indonesia yang dialirkan ke sawah-sawah khususnya sangat berkepentingan terhadap di Kabupaten Banjar. Salah satu desa di keberadaan dan ketersediaan air dalam Kabupaten Banjar yang menjadi pilot pertanian, khususnya pertanian padi. proyek penggunaan jaringan irigasi Untuk terjaminnya ketersediaan air tersebut adalah Desa Panggalaman tersebut diperlukan sarana pengelolaan air Kecamatan Martapura Barat. yaitu jaringan irigasi. Keberadaan jaringan Sebagai pilot proyek, 3 hal yang irigasi berhubungan erat dengan upaya diharapkan pemerintah dari keberadaan peningkatan produktivitas tanaman pangan irigasi tersebut yaitu : agar Desa khususnya padi sawah. Peran vital dari Panggalaman selain menjadi lumbung jaringan irigasi di indonesia ditunjukkan padi, juga ditambah pemberdayaan lahan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah untuk tanaman jeruk, dan untuk (PP) No. 77/2001 yang diperbaharui menunjang kesuburan tanah tanaman jeruk dengan PP No. 20/2006 tentang irigasi. ditunjang dengan peternakan sapi yang kotorannya untuk pupuk tanaman jeruk.
Sejak tahun 1990, digalakkan penanaman jeruk dengan menggunakan lahan tidur dan lahan yang letaknya lebih tinggi dari rata-rata. Tercatat lahan penanaman jeruk mencapai 500 Ha dengan bibit jeruk yang disediakan oleh pemerintah. Demikian juga dengan pengadaan sapi potong, Pemerintah menyerahkan uang Rp. 900.000.000,- yang digunakan untuk pengadaan sapi potong, pembuatan kandang, dan pembangunan tempat pengolahan pupuk kandang dari kotoran sapi tersebut. Jumlah sapi pada saat itu 90 ekor. Pada tahun 1994, mulai dioperasikan jaringan irigasi di desa tersebut, sehingga hasil panen mengalami peningkatan, baik dalam hasil maupun waktu panen, semula hanya satu kali panen dalam satu tahun, tetapi sejak dioperasikan jaringan irigasi menjadi dua kali panen dalam setahun. Keberhasilan ini berselang sekitar 10 tahun, dimana pada tanun 2005 petani mulai mengalami gagal panen seperti yang diberitakan pada Harian Banjarmasin Post “ selama lima tahun terakhir hasil pertanian yang diharapkan mengalami gagal panen (3 juni 2009, halaman 17). Hal ini terjadi karena pada saat petani membutuhkan air untuk mengairi lahan pertaniannya, air tersebut tidak tersedia. Ketidaktersediaan air diantaranya karena tersedot oleh tambak yang sudah mulai menjamur. Pada tahun 2005, awal terjadinya gagal panen. Saat itulah petani mulai tidak lagi menggantungkan pertanian padi pada air irigasi. Petani kembali berlalih ke pola lama, dalam bertani yaitu dengan tergantung pada alam (musim) dan frekuensinya satu kali dalam setahun. Berdasarkan uraian di atas tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Bagaimana sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi dan 2) Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan lama tinggal terhadap sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman Kecamatan
Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Istilah sikap yang dalam bahasa Inggeris attitude merupakan gejala psikologis. Sikap merupakan hasil dari pengalaman yang terkondisi dan terkontrol dan sikap merupakan keadaan mental yang terorganisasi melalui pengalamanpengalaman (Allport, 1935) Sikap adalah evaluasi umum tentang diri seseorang, orang lain, obyek, atau persoalan (Petty & Cacioppo, 1986 dalam Baron & Byme, 1991). Sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif maupun negatif (Thursione dalam Abu Ahmadi, 2007). Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa sikap merupakan kesiapan merespon seseorang berdasarkan pengalaman terhadap suatu objek. Respon tersebut mengarah pada sifat positif dan negatif. Sikap dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern ( Ahmadi, 2007). Sikap dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan,media massa, lembaga pendidikan dan keagamaan serta pengaruh sosial emosional (Azwar, 1997). Penelitian ini membahas hubungan sikap dengan faktor pendidikan, dan hubungan sikap dengan faktor sosial ekonomi (pendapatan dan lama tinggal) Fungsi irigasi secara umum adalah untuk pemenuhan kebutuhan air bagi kegiatan pertanian dengan optimatisasi pengelolaan jaringan irigasi. Sedang fungsi irigasi secara spesifik adalah 1) untuk memasok kebutuhan air untuk tanaman 2) untuk menjamin ketersediaan air apabila betatan 3) untuk menurunkan suhu tanah 4) mengurangi kerusakan akibat frost, serta 5) melunakkan lapis keras pada saat pengolahan tanah. Dengan berfungsinya irigasi diharapkan hasil pertanian, khususnya padi menjadi optimal.
Metode Penelitian Penelitian ini berlokasi di Desa Panggalaman, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar. Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di RT 2 dan RT 3. Tempat tinggal responden berada pada daerah aliran irigasi. Sampel dalam penelitian ini diambil 20% dari jumlah 275 KK yang berada di lokasi tersebut, sehingga sampel dalam penelitian ini 55 KK. Teknik pengambilan sampel KK dilakukan secara sistematis, dengan pertimbangan rumah mereka berada di daerah aliran irigasi tersebut memiliki pola beraturan dan dapat diberi nomor. Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer yang didapat melalui wawancara dan data sekunder yang diperoleh melalui dokumen dari instansi terkait. Analisis data dilakukan dua tahap : 1) untuk menjawab tujuan bagaimana sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi dianalisis secara deskrtiptif dengan menggunakan skala sikap yaitu Skala Likert. Interpretasi skor dilakukan dengan mengubah skor yang diperoleh menjadi skor standar yaitu Skor-T, dengan rumus
50 10
S
Keterangan : : X = Skor total individu yang diperoleh dari skor totalnya pada skala sikap = Skor rata-rata kelompok S = Standar deviasi skor kelompok. 2) untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis hubungan faktor-faktor ( tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan lama tinggal) dengan sikap digunakan statistik Korelasi Pancaseria dengan rumus :
rpas
Or Ot M (Or Ot ) 2 SDtot p
keterangan : rpas = Koefisien korelasi pancaserial Or = Ordinat yang lebih rendah Ot = Ordinat yang lebih tinggi M = Mean SDtot = Standar deviasi total P = Proporsi individu dalam golongan Hasil dan Pembahasan Berdasarkan analisis data deskriptif untuk mengetahui tujuan yang pertama bagaimana sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi digambarkan dalam suatu garis kontinum sebagai berikut:
Dari gambar di atas menunjukkan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar menunjukkan ke arah sikap positif dengan skor terendah 31,22, skor tertinggi 79,45 dengan skor rata-rata 49,99. Dari gambar tersebut rata-rata 49,99 adalah berada di daerah bersikap tidak berpendapat atau daerah netral. Keadaan ini diduga karena : 1. Sebagian masyarakat menganggap pembangunan irigasi hanyalah program atau proyek dari pemerintah yang harus pemerintah laksanakan untuk menghabiskan alokasi anggaran, sedang dampaknya terhadap masyarakat tidak dipikirkan. Namun demikian, sebagian masyarakat sudah merasakan dampak yang menguntungkan dengan dibangunnya jaringan irigasi,. walaupun keuntungan tersebut bukan dalam bidang pertanian. Misalnya tersedianya jalan irigasi, jaringan listrik PLN dan lain-lain. 2. Sebagian masyarakat belum mengetahui fungsi irigasi yang utama,
untuk apa dan untuk siapa. Apakah untuk pertanian, apakah untuk penyediaan air minum PDAM ataukah untuk kebutuhan air pada tambak ikan. Dan sebagian masyarakat sebenarnya sudah mengetahui fungsi irigasi tapi fungsi irigasi yang mereka rasakan pada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan fungsi irigasi yang sebenarnya yang mereka alami sebelum tahun 2005. Walaupun demikian mereka masih berharap supaya pemerintah dapat mengembalikan fungsi irigasi sebagaimana yang mereka alami sebelum tahun 2005, dimana pada saat itu panen padi mereka berhasil dengan memuaskan. 3. Sebagian masyarakat menganggap kalau irigasi merupakan beban biaya dan pekerjaan tambahan. Beban biaya sebab ada iuran yang dipungut dari mereka untuk penjaga jaringan kuarter yang dikumpulkan oleh kelompok tani, sedang pekerjaan tambahan dimana pada waktu-waktu tertentu mereka harus bergotong royong untuk membersihkan saluran irigasi yaitu saluran pembuang yang cepat sekali ditumbuhi gulma. Pertumbuhan gulma tersebut sangat cepat, karena airnya sebagian berasal dari limbah air tambak. Namun, sebagian masyarakat merasa untung dengan adanya jaringan irigasi karena mereka tidak lagi kekurangan air seperti dahulu jika musim kemarau tiba. Disamping itu, perkampungan juga menjadi ramai karena terbukanya akses jalan baru dan adanya aliran listrik sehingga penduduk dari daerah lain termotivasi untuk tinggal di sana. 4. Sebagian masyarakat menganggap kalau jaringan irigasi sekarang bukan lagi merupakan prioritas yang diperuntukkan bagi pertanian, tapi merupakan urutan ke tiga setelah penyediaan air untuk PDAM dan penyediaan air untuk tambak. Namun, sebagian masyarakat berpendapat
bahwa jaringan irigasi walaupun peruntukannya sudah tidak diprioritaskan untuk pengairan sawah, namun mereka juga menikmati hasil dari usaha lain seperti usaha tambak dan tersedianya air yang selalu mengalir dalam pemenuhan kebutuhan MCK bagi mereka. 5. Masyarakat masih mengharap janji Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar untuk mengeluarkan Peraturan Daerah ( PERDA ) mengenai aturan penggunaan air irigasi oleh petambak, namun sampai akhir 2010 janji itu belum terealisasi. Karena tidak terealisa tersebut sebagian masyarakat merasa pesimis. Mereka beranggapan pemilik kolam ikan adalah orang-orang bermodal besar dan sebagian pejabat. Sehingga peraturan tersebut selalu diulur-ulur penetapannya. Namun, sebagian masih bersifat optimis dan sudah bersyukur dengan situasi yang dialami saat ini. Unutuk mengetahui tujuan kedua yaitu faktor-faktor yang Berhubungan dengan Sikap Masyarakat terhadap Fungsi Irigasi Di Desa Panggalaman Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar adalah sebagai berikut : 1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Sikap Masyarakat terhadap Fungsi Irigasi Di Desa Panggalaman, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar. Hasil perhitungan statistik Panca Serial menunjukkan nilai Γpas = -0,421 Sedang nilai rtabel untuk N = 55 taraf signifikan 5% = 0,266. Karena hasilnya bertanda negatif, berarti arah hubungan (korelasi)
antara tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi diartikan, makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka makin tidak setuju masyarakat terhadap fungsi irigasi. Demikian juga sebaliknya makin rendah pendidikan makin setuju mereka terhadap fungsi irigasi. Hal ini diduga karena :sebagian besar masyarakat yang berada di Desa Panggalama berpendidikan ≤ SLTP atau pada kategori dalam penelitian ini berpendidikan rendah. Kehidupan mereka bersahaja dan sederhana. Hal ini tercermin dari rumah tempat tinggal meraka, parabotan rumah, cara bicara dan bergaul dengan orang lain. Sebelum adanya jaringan irigasi mereka menggantungkan usaha sebagai petani maupun buruh tani, penebang kayu galam, pencari ikan dan burung liar. Namun, mata pencaharian utama mereka adalah sebagai petani, baik menggarap sawah milik sendiri maupun menggarap sawah orang lain. Pekerjaan mereka inii tidak membutuhkan pendidikan tinggi atau keahlian khusus. Selain itu Desa Panggalaman memang hanya berupa areal persawahan, sehingga mereka yang tinggal di lokasi penelitian ini dulunya adalah mereka yang ingin bertani dan menggantungkan hidup dari pertanian. Setelah dioperasikanya jaringan irigasi untuk pengairan persawahan, maka hasil panen mereka menjadi meningkat. Peningkatan hasil panen padi berlangsung ± 10 tahun. Sehingga dalam rentang waktu ± 10 tahun tersebut (1995 hingga 2005) banyak pendatang baru yang tinggal di lokasi tersebut. Setelah tahun 2005 hasil panen padi mengalami kegagalan disebabkan air irigasi untuk pengairan sawah tidak berfungsi seperti sebelum tahun 2005, Airnya tidak sampai ke persawahan yang mengakibatkan gagal panen. Gagal panen merupakan pukulan berat bagi mereka. Namun pukulan berat itu hanya dialami oleh sebagian kecil masyarakat, sedang sebagian besar masyarakat apalagi yang berpendidikan rendah, hal ini tidak berpengaruh bagi
mereka. Sebab dengan gagalnya panen pada saat yang bersamaan di lokasi tersebut marak pembuatan tambak dan pemeliharaan ikan. Bagi mereka yang berpendidikan rendah keadaan ini merupakan peluang usaha baru disamping itu pekerjaan ini juga tidak mengharuskan berpendidikan tinggi dan punya keterampilan khusus, sehingga banyak anggota masyarakat yang beralih pekerjaan menjadi pekerja di tambak, baik sebagai pemelihara ikan, pemelihara kolam, maupun sebagai pembuat pakan ikan. Sedangkan bagi masyarakat yang berpendidikan tinggi, mereka kecewa dengan fungsi irigasi setelah tahun 2005. Mereka dapat mengetahui kalau irigasi sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Apabila irigasi difungsikan sebagaimana mestinya dan diperuntukkan sesuai tujuan semula untuk pertanian. irigasi akan meningkatkan hasil pertanian mereka. Melihat kenyataan di lapangan fungsi irigasi tersebut tidak berjalan sesuai dengan tujuan semula, maka mereka yang berpendidikan tinggi tidak setuju dengan fungsi irigasi sekarang. 2. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Sikap masyarakat terhadap Fungsi Irigasi Di Desa Panggalaman Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan analisis statistik Korelasi (Panca Serial) maka didapat nilai rpas = -0,421, sedangkan daftar nilai rtabel untuk N = 55 taraf signifikan 5% = 0,266. Dari data yang diperoleh tersebut nilai rhitung > nila rtabel. Dengan demikian, terdapat korelasi negatif antara tingginya tingkat pendapatan dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi, artinya makin tinggi pendapatan masyarakat, maka makin tidak setuju masyarakat terhadap fungsi irigasi. Begitu juga sebaliknya, makin rendah pendapatan
masyarakat makin setuju terhadap fungsi irigasi.
masyarakat
Keadaan ini diduga karena berdasarkan data, sebagian besar masyarakat yang tinggal di RT 02 dan RT 03 Desa Panggalaman yang menjadi lokasi penelitian berpendapatan > UMR. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat juga rendah. Sebagaimana telah di kemukakan pada bagian terdahulu bahwa sebelum adanya jaringan irigasi, masyarakat yang tinggal di tempat ini pekerjaan utama masyarakat adalah sebagai petani, disamping pekerjaan lain seperti penebang kayu galam, pencari ikan dan burung. Namun setelah adanya jaringan irigasi kesempatan atau peluang berusaha masyarakat lebih terbuka, mereka bukan saja sebagai petani, tapi bisa sebagai petambak ikan, pegawai tambak atau lainnya yang berhubungan dengan tambak ikan. Disamping itu mereka bisa berkebun dan berdagang serta kegiatan lain yang sebelum ada jaringan irigasi kegiatan tersebut tidak dapat mereka lakukan. Sebagaimana diketahui bahwa sarana penggiring yang mengikuti dibangunnya jaringan irigasi dapat menciptakan lapangan kerja baru. Misalnya dengan dibangunnya sarana jalan irigasi memudahkan masyarakat dalam mengangkut dan memasarkan hasil pertanian, perikananan dan peternakan sehingga kegiatan ekonomi makin mudah dan cepat. Selain itu, dengan dibangunnya jaringan listrik dari PLN memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi serta keuntungan lain seperti bisa berjualan sampai malam har. Tersedianya penerangan dari PLN juga dapat menjadikan makanan, sayuran dan ikan menjadi tahan lama. Keuntungan lain yang mereka peroleh selain sebagai petani adalah terletak pada rentang waktu mendapatkan hasil (uang/upah). Pekerjaan sebagai petani mempunyai rentang waktu yang lama untuk mendapatkan hasil, bisa mencapai 6 bulan baru memperoleh hasil panen, itupun kalau panennya berhasil. Namun sekarang mereka bisa
mendapatkan hasil dalam bulanan maupun mingguan.
hitungan
Namun bagi sebagian kecil masyakat yang berpenghasilan > UMR, mereka tidak setuju terhadap fungsi irigasi karena umumnya mereka berperan sebagai pemodal dan pemilik lahan dan pemilik alat transportasi air pada waktu sebelum adanya irigasi. Setelah adanya jalan irigasi alat transportasi berupa perahu bermotor yang mereka miliki tidak digunakan lagi, alat transportasi ini merupakam kebutuhan transportasi yang menguntungkan bagi pemiliknya, karena pada waktu sebelum ada jalan irigasi perahu bermotor digunakan untuk mengangkut hasil panen untuk dijual ke pasar maupun mengangkut barang yang dibeli masyarakat di pasar baik kebutuhan premer maupun sekunder. jAlat transportasi ini juga dipakai pada acara-acara tertentu (seperti acara perkawinan, selamatan dll. ). Pada musim kemarau, kadang-kadang air sungai asin karena tempat itu masih terpengaruh pasang surut air laut. Keberadaan perahu bermotor digunakan untuk mengangkut air tawar dari Sungai Martapura untuk dijual kepada masyarakat. Setelah adanya jalan irigasi alat-alat transportasi tersebut tidak digunakan lagi, sehingga hilanglah pendapatan mereka dari sektor ini. Mereka yang berpenghasilan > UMR umumnya juga mempunyai areal sawah dan perkebunan lebih luas dari ratarata, dari kegagalan hasil panen dan tanaman jeruk, maka yang banyak mengalami kerugian adalah mereka. Setelah itu mereka yang berpendapatan > UMR mencoba berusaha sebagai pembuat bata, Namun karena mereka berada di RT 02 dan RT 03 dimana tempat mereka jauh dengan jalan raya, maka biaya operasional yang harus dikeluarkan lebih banyak dari pembuat bata yang berada di sekitar jalan raya Martapura Lama, misalnya ongkos angkut kayu bakar untuk pembakaran bata,
pengangkutan hasil pembakaran bata dan lain-lain. Disamping itu karena mereka kurang berpengalaman dalam pembuatan bata, akibatnya bata yang dihasilkan kualitasnya jelek dan rapuh (pecah-pecah). Akhirnya usaha inipun mereka tinggalkan. Selain itu di tempat tersebut rencananya dibangun pabrik untuk memproses hasil panen jeruk yang ditanam masyarakat, yang merupakan pilot proyek diadakannya irigasi di desa tersebut. Dana untuk pembangunannya disamping dari pengusaha juga berasal dari dana masyarakat yang dikelola oleh kelompok tani melalui koperasi dengan pembagian keuntungan yang ditetapkan bersama. Namun tanaman jeruk yang berjumlah 500 Ha mengalami kegagalan, akibatnya rencana tersebut juga mengalami kegagalan. Situasi-situasi di atas kemungkinan besar menjadi pukulan berat bagi mereka yang berpendapatan tinggi, sehingga membuat sikap mereka tidak setuju terhadap fungsi irigasi yang ada sekarang. 3. Hubungan Antara Lama Tinggal dengan Sikap masyarakat terhadap Fungsi Irigasi Di Desa Panggalaman Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar. Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis statistik Panca Serial maka didapat nilai rpas = -0,421, sedangkan daftar nilai rtabel untuk N = 55 pada taraf signifikan 5% = 0,266 . Berdasarkan hasil tersebut nilai rhitung > nila rtabel. Dengan demikian terdapat korelasi antara lama tinggal dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi dan korelasinya ke arah negatif. Artinya makin lama masyarakat tersebut tinggal makin tidak setuju masyarakat tersebut terhadap fungsi irigasi. Keadaan ini bertolak belakang dengan kejadian terdahulu, yaitu berhubungan sikap
dengan tingkat pendidikan dan hubungan sikap dengan tingkat pendapatan. Hal ini diduga terjadi karena sikap merupakan gejala psikologis dimana sikap dipengaruhi oleh pengalaman serta rasa senang dan tidak senang. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa sebelum adanya jaringan irigasi masyarakat di tempat ini sangat tergantung dengan alam, segala aktivitas yang berskala besar biasanya disesuaikan dengan musim, misalnya untuk melaksanakan upacara perkawinan, mereka menunggu musim kemarau, sebab pada musim kemarau biasanya sudah selesai panen padi sehingga kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar dan hidmat, Pada saat tersebut masyarakat sekitar bisa membantu biaya dan tenaga. Mereka dapat membantu biaya karena mereka sama-sama sudah menuai hasil panen dan dapat membantu tenaga karena mereka berada pada waktu tenggang dalam menunggu musim bertani selanjutnya. Pada masa itu juga hubungan kekerabatan mereka sangat erat, saling tolongmenolong, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup primer maupun sekunder. Namun, setelah adanya masyarakat pendatang (antara tahun 1995- 2005) dan setelah masuknya arus informasi ke tempat itu pola kehidupan masyarakat mulai berubah. Kegotong-royongan sudah memudar, sifat tolong-menolong sudah mulai menipis, rasa kekerabatan sudah mulai hilang. Mereka rindu kehidupan yang tenang, tanpa suara bising oleh mesin motor, mereka rindu akan suasana kekerabatan dan tolong menolong, yang sekarang sudah berubah ke kehidupan yang individual dan materialis. Mereka masih rindu dengan keadaan-keadaan tersebut yang sekarang sudah mulai hilang. Memang diakui dengan adanya irigasi banyak hal positif yang diperoleh, namun faktor perasaan sangat mempengaruhi sikap seseorang.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi berada di daerah Tidak Tahu (TT) atau Netral. Kalau melihat hal seperti ini bisa diperkirakan bahwa seolah-olah masyarakat tidak perduli terhadap fungsi irigasi yang seharusnya dapat meningkatkan hasil pertanian masyarakat. 2. Terdapat hubungan negatif antara : a).Tingkat pendidikan dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. b).Tingkat pendapatan dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. c). Lama tinggal dengan sikap masyarakat terhadap fungsi irigasi masyarakat terhadap fungsi irigasi di Desa Panggalaman, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dari hasil penelitian ini dapat penulis kemukakan saran-saran sebagai berikut : 1.Pihak yang terkait dalam pengelolaan irigasi ( Pemerintah dan jajarannya ) diharapkan dapat mengembalikan fungsi irigasi sesuai tujuan semula, yaitu untuk mengairi persawahan petani, sehingga irigasi berfungsi secara optimal. 2.Wacana untuk membuat peraturan tentang penggunaan air irigasi supaya secepatnya terialisas oleh Pemerintah Kabupaten Banjar. Supaya penggunaan pembagian dan memanfaatan air irigasi dapat dinikmati bersama oleh masyarakat. Baik petani, petambak, maupun untuk air baku PDAM. 3.Diperlukan penelitian lanjutan, untuk memperluas pengetahuan dan pembenahan
serta peningkatan terhadap terselenggaranya fungsi irigasi di Desa Panggalaman khususnya dan desa-desa lain umumnya. Daftar Pustaka Ahmadi, A (2007), Psikologi Sosial. PT Rineka Cipta, Jakarta. Allport, GW, (1954). Hand Book of Social Psychology vol.1. Cambridge: Addison-Wesley Publishing Company. Allport, GW, (1935). Attitudes, (Online), (http://www.unix.oit.umass.edu/”P sy 661/ allport 1935.pdf, diakses 8 Februari 2003). Banjarmasin Post, Edisi 3 Juni 2009, Grafikan Wangi, Banjarmasin Baron, Robert A. and Byrne, Donn. (1991). Social Psychology: Understanding Human Interaction. Sixth Editions. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapure: Allyn and Bacon. Effendi, P dkk. (1984). Irigasi, Perencanaan dan pengelolaan, PT. Gramedia, Jakarta Http://www.cultsock.ndirect.co.uk/MUHo me/cshtml/psy/consist.html, diakses 3 Februari 2009. Cognitive Consistency, (Online). Suharsini, A (2002). Prosedur Penelitian, Renika Cipta, Jakarta. Syarifuddin, A (1997), Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Zanden, JWV. (1984). Social Psychology. USA: Random House Inc.