DATA DAN ANALISIS Kondisi Fisik Kelurahan Kuin Utara Topografi Sebagaimana
umumnya
Kota
Banjarmasin,
topografi
atau
relief
permukaan tanah di kawasan Kuin Utara atau yang biasa disebut Kampung Kuin relatif datar, dalam arti tidak terdapat perbedaan permukaan tanah di kawasan studi.
Hidrologi Di kawasan ini selain Sungai Kuin dan Sungai Barito yang bertemu sebagai muara terdapat 4 anak sungai seperti Sungai Pandai dan Sungai Jaya baya. Semua anak sungai ini mengalami pasang surut air laut sehingga mempengaruhi kondisi air tanah di kawasan Kuin. Morfologi yang datar membuat drainase tidak berfungsi dan kondisi tanah di daerah menjadi berawa dikenal dengan rawa gambut. Bahkan di sepanjang Jalan Kuin tidak ditemui drainage sehingga air hujan mengalir langsung ke daerah yang lebih rendah (kiri kanan jalan) atau langsung ke sungai.
Kondisi Fisik Bangunan Seperti umumnya di kota Banjarmasin, konstruksi rumah di kawasan Kuin Utara terbuat dari konstruksi kayu dengan tipe rumah panggung. Kepadatan bangunan yang mengarah ke badan Sungai Kuin hanya taerdiri dari satu lapis, sedangkan di muara Sungai Kuin, yakni Sungai Barito, kepadatan bangunan terdiri 4-5 lapis. Kondisi bangunan yang ada umumnya buruk terutama bangunan lama sedangkan kondisi yang relatif lebih baik sebagian besar terlihat dari umur bangunan yang relatif lebih baru dan terdapat di sepanjang kiri kanan jalan Kuin.
Tata Guna Lahan Kelurahan Kuin Utara memiliki luas sebesar 14,45 ha. Kawasan ini terdiri dari lahan terbagun dengan luas 4,30 ha atau 30% dari luas keseluruhan. Yang terdiri dari permukiman yang membentuk pola menyerupai huruf L dan pabrik.
33
Sisanya masih berupa lahan terbuka hijau yang terdiri dari sawah dan kebun yang berada
di
sekitar
anak
Sungai
Kuin
dan
hutan
(Sumber:
http://wapedia.mobi/id/Keraton_Banjar#2.). Gambaran tata guna lahan di Kelurahan Kuin Utara ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Lahan Terbuka Hijau Pabrik
Permukiman
Gambar. 16 Tata Guna Lahan Kelurahan Kuin Utara
Karakteristik Permukiman Kampung Kuin
Sejarah Perkembangan Kampung Kuin terbentuk dari sebuah kerajaan, yakni Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau Kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar daerah Kalimantan pada saat sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada September 1526. dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan pertama (Sumber: http://2.bp.blogspot.com). Pada tahun 1612 terjadi peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang menghancurkan dan membumihanguskan Keraton Banjar. Saat itu Kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Raja Mustaqimbillah (1595–1620). Setelah keraton hancur dan habis terbakar, maka pusat kerajaan dipindahkan ke Teluk Selong daerah Martapura (Muchamad dan Aufa, 2006). Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Tempat yang diyakini sebagai lokasi Keraton Banjar adalah lokasi yang saat ini terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah dan sekitarnya di Kelurahan Kuin Utara, Kota Banjarmasin. Kompleks ini dahulunya sangat tidak terawat
34
akibat kerusakan dan padatnya perumahan penduduk. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada tahun 1982 oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Proyek Pemugaran Sejarah dan Purbakala Kalimantan Selatan. Proyek pemugaran dimulai tahun 1982 hingga 1986 (Muchamad dan Aufa, 2006). Kerajaan Banjar pertama inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya pemukiman di sepanjang tepian Sungai Kuin. Rumah Patih Masih merupakan bangunan pertama yang kemudian dijadikan istana. merupakan bangunan tertua yang didirikan di tepian sungai yang diikuti dengan rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal para keturunan raja dan bangunan lainnya yang mendukung pemerintahan serta bangunan masjid yang dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah. Sebagai kediaman raja, istana atau keraton biasanya merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi batas-batas teritorial yang jelas. Batas-batas ini merupakan penanda yang secara visual sangat dikenal serta sangat fungsional, antara lain sebagai benteng pertahanan. Dari aspek keruangan, terdapat batasbatas imaginer yang memisahkan peruangan keraton, sehingga membentuk konsep hierarki yang berjenjang sesuai dengan strata sosial-kemasyarakatan ataupun maksud-maksud lainnya (Muchamad dan Aufa, 2006). Lapangan
Keraton dan rumah kerabat raja Menara pengawas
Gambar 17. Sketsa ilustrasi Keraton Banjar di Kuin sebelum tahun 1612 (Sumber: Muchamad dan Aufa, 2006).
Adanya kerajaan pada kawasan ini dengan semua pengikut dan pegawai yang bekerja pada kerajaan serta penduduk dapat diidentifikasi secara spasial. Istana yang menjadi pusat kerajaan berada di tengah yang selanjutnya diikuti
35
dengan rumah kerabat dekat raja dan para penggawa mentri serta prajurit yang kemudian disusul dengan adanya permukiman penduduk atau rakyat Banjar pada umumnya. Pada awal kemerdekaan daerah Kuin merupakan satu wilayah desa. Pada tahun 1964. Desa Kuin dimekarkan menjadi lima desa yang masing-masing dipimpin oleh pembakal (Kepala Desa), yaitu Kuin Utara, Kuin Selatan, Kuin Cerucuk, Pangeran dan Antasan Kecil. Pada tanggal 1 Oktober 1980, desa telah diubah statusnya menjadi kelurahan yang kini dikenal dengan nama Kelurahan Kuin Utara (Sumber: http://wapedia.mobi/id/KalimantanSelatan).
Pola Permukiman Pola permukiman terbentuk karena budaya yang menyangkut cara hidup, cara beradaptasi dengan alam dan lingkungan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan (Goenmiandari, 2010). Berdasarkan pengamatan lapang, rumah-rumah tua yang masih bernilai tradisional dibangun menghadap sungai dengan pola linear mengikuti sungai. Maka, dapat disimpulkan pola awal permukiman dibangun linear dan berorientasi menghadap sungai. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya arti sungai bagi masyarakat permukiman ini. Selain itu, arah orientasi ini juga menggambarkan masyarakat sangat menghargai keberadaan sungai sebagai sumber kehidupan karena pada saat itu sungai memegang peranan penting sebagai akses keluar masuk kawasan ini Perkembangan yang terjadi di kawasan Kuin ini cukup pesat. Seiring dengan pertambahan penduduk, rumah tidak hanya dibangun di sepanjang tepian sungai tetapi juga di atas badan sungai. Para pendatang umumnya mendirikan rumah ke arah daratan sehingga terbentuklah kompleks perumahan Dasa Maya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Syamsiar Seman peneliti sejarah dan budaya banjar (2009), perkembangan juga terjadi setelah dibangunnya jalan darat yang memasuki perkampungan. Perkembangan ini mengubah pola permukiman yang sudah ada, yang awalnya berpola linear. Pembangunan jalan darat ini juga mengubah arah orientasi rumah yang ada. Rumah-rumah yang baru dibangun kini berorientasi pada jalan. Pola perkembangan permukiman ini dapat dilihat pada Gambar 17.
36
Gambar 18. Ilustrasi Perkembangan Permukiman di Kuin Utara
Rumah-rumah yang berada di tepian sungai memiliki pola linear dan menghadap sungai seperti awalnya berdiri. Sedangkan rumah-rumah yang berada di atas badan sungai meskipun memiliki pola linear yang mengikuti sungai, tetapi arah orientasinya menghadap jalan yang artinya rumah-rumah ini membelakangi sungai. Rumah yang berada lebih ke tengah atau darat memiliki arah orientasi menghadap jalan yang menyebabkan pola yang terbentuk sesuai dengan perkembangan jalan yang ada sehingga terkesan berantakan. Hal ini dapat dilihat pada peta hasil analisis (Gambar 19 dan Gambar 20)
37
38
39
Dari keadaan tersebut, terlihat banyak perubahan yang terjadi di Kuin Utara jika dibandingkan dengan keadaan pada masa awalnya. Perubahanperubahan ini terlihat jelas pada pola pemukiman dan arah orientasi rumah-rumah yang ada. Pola permukiman yang dulunya linear kini menjadi tidak teratur. Hal ini dikarenakan pertambahan penduduk kian banyak ditambah tidak adanya peraturan yang tegas mengenai izin mendirikan bangunan. Masyarakat mendirikan rumahrumah baru untuk mereka tempati tanpa memperhatikan tata ruang dan kondisi sungai. Bahkan ketika mendirikan rumah di darat dirasa mahal, mereka mendirikan rumah-rumah di atas badan sungai. Adanya rumah yang dibangun di atas badan sungai memiliki dampak yang cukup besar, yakni berkurangnya badan sungai yang akan menyebabkan menurunnya kualitas dan fungsi ekologis sungai. Perubahan orientasi rumah yang terjadi menyebabkan perubah prilaku masyarakat terhadap sungai. Rumah-rumah yang membelakangi sungai berarti memiliki dapur yang tepat berada di pinggir sungai yang membuat sampah dengan mudah dibuang ke sungai. Hal inilah yang menjadikan masyarakat yang memiliki rumah di atas badan sungai kurang menghargai sungai dan menganggap sungai adalah tempat pembuangan. Selain itu rumah-rumah yang berada di atas badan sungai pun cenderung lebih rapat dan lebih buruk dibadingkan dengan rumah-rumah yang berada di tepian sungai. Hal inilah yang membuat daerah tepian sungai terkesan kumuh. Perubahan-perubahan yang ada akan mengancam keberadaan permukiman Kampung Kuin yang masih memiliki nilai tradisional. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pelestarian untuk melindungi kawasan yang masih memiliki nilainilai tradisional agar tidak lekang dengan adanya perkembangan yang terjadi di kawasan ini. Tindakan pelestarian yang penting di Kuin Utara ini adalah dengan mempertahankan pola linearnya dan arah orientasinya yang menghadap sungai seperti pada awalnya berdiri.
Bangunan dan Struktur Dalam suatu perkampungan suku Banjar, terdiri dari bermacam-macam jenis rumah tradisional Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Rumah tradisional tidak sekedar bangunan untuk
40
tempat berlindung tetapi memiliki makna lahir dan batin yang sangat luas dan tidak terbatas. Rumah tradisional juga dapat mencerminkan status sosial pemiliknya. Keaslian rumah dapat dilihat dari segi arsitektur yang khas yang berorientas pada sungai. Di Kampung Kuin, awalnya rumah dibangun dengan pola linear di sepanjang tepian sungai mengikuti arah aliran sungai. Rumah tersebut terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering (Seman dan Irhamna, 2001). Tipe rumah Bubungan Tinggi yang merupakan bangunan Istana Sultan Banjar merupakan tipe tertua. Menurut hasil wawancara, bangunan ini tidak terdapat lagi di Kampung Kuin. Bangunan istana dahulu terdapat di area yang menjadi makam Sultan Suriansyah. Makam Sultan Suriansyah sejak ditemukan sudah diyakini baik oleh para peneliti maupun masyarakat sebagai situs makam. Sedangkan dari hasil kajian historis-arkeologis dan arsitektural dapat disimpulkan bahwa situs tersebut telah mengalami alih fungsi, yaitu dari semula yang merupakan kompleks bangunan keraton, kemudian difungsikan sebagai bangunan sakral. (Muchamad dan Aufa, 2006) Rumah-rumah tradisional masih dapat dijumpai di sepanjang tepian Sungai Kuin dari muara Sungai Kuin sampai batas dengan Kelurahan Pangeran. Penduduk pada kawasan ini merupakan Suku Banjar. Rumah yang berada di atas badan sungai umumnya merupakan rumah panggung tetapi ada beberapa yang merupakan rumah lanting. Pada kawasan yang lebih ke darat tidak ada rumah yang berarsitektur tradisional, kalaupun ada merupakan percampuran dengan arsitektur modern. Penduduk yang ada pada kawasan ini memiliki suku yang beragam karena tidak hanya bersuku Banjar tetapi ada juga Suku Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Peta persebaran arsitektur ini dapat dilihat pada Gambar 21.
41
42
Sayangnya, ada beberapa rumah tradisional yang mengalami perubahan dalam hal arsitektur. Hal ini dikarenakan rumah-rumah tradisional yang ada terlampau tua dan tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya. Bangunan tradisional yang ada dirombak, kemudian dibangun rumah baru dengan gaya arsitektur yang lebih modern sesuai selera pemiliknya. Fungsi bagunan yang ada pun kini tidak hanya sebagai rumah atau tempat tinggal. Beberapa rumah yang ada juga difungsikan sebagai sarana perdagangan dan jasa, seperti warung, bengkel dan wartel.
Gambar 22. Perubahan Arsitektur Pada Rumah Tradisional
Gambar 23. Rumah yang Juga Difungsikan Sebagai Warung
Selain rumah-rumah tradisional Banjar yang memiliki nilai tradisional dalam hal arsitektur, terdapat pula sebuah masjid yng usianya lebih dari 400 tahun yang masih berdiri kokoh di Kampung Kuin. Masjid ini dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Masjid yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk Islam. Bentuk arsitektur dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang, merupakan masjid bergaya
43
tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di tepi Sungai Kuin dengan luas 22,1x22,6 m. Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Terdapat empat buah tiang guru yang melingkupi ruang cella (ruang keramat) (Sumber: http://wapedia.mobi.id). Selain Masjid Sultan Suriansyah terdapat pula bangunan kuno, yaitu komplek pemakaman yang menjadi bukti bahwa daerah ini merupakan bekas Kerajaan Banjar.
Gambar 24. Masjid dan Makam Sultan Suriansyah
44
Bahan bangunan utama yang digunakan dalam rumah adat Banjar adalah kayu. Hal ini dikarenakan Kalimantan kaya akan hutan. Berbagai macam kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, diantaranya adalah kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu galam (Melaleuca spec), dan kayu lainnya. Kayu ulin atau kayu besi merupakan bahan utama dalam bangunan rumah tradisional Banjar, karena memiliki daya tahan yang luar biasa, baik sebagai penahan beban maupun keawetannya terhadap tanah, air, maupun panas matahari. Umumnya kayu ulin digunakan untuk keperluan tiang, gelagar, slop, lantai, tangga dan bagian rumah lainnya. Dalam konstruksi bangunan, kayu ulin dalam bentuk balokan digunakan sebagai tihang (tiang) dan tongkat yang mendukung bangunan. Tihang dan tongkat merupakan istilah pondasi utama yang berbeda. Tihang merupakan balok yang pangkalnya bertumpu dalam tanah yang ujungnya sampai pada dasar atap. Sedangkan tongkat adalah balok yang pangkalnya bertumpu di dalam tanah dengan ujunganya sampai pada dasar lantai. Selain kayu ulin, kayu galam juga dipergunakan dalam konstruksi rumah adat Banjar. Kayu galam tumbuh di hutan-hutan rawa Kalimantan. Pada konstruksi rumah Banjar, kayu ini digunakan untuk keperluan pondasi yang dibenamkan ke dalam tanah sebelum di pancangkan tihang. Dengan kondisi yang sedemikian kokohnya, kayu galam mampu bertahan dalan tanah tanpa membusuk, meskipun daya tahannya dibawah kayu ulin. Kayu galam juga diperlukan untuk keperluan turab, pondasi jalan, jembatan dan titian yang sifatnya sementara serta bangunan-bangunan lainnya yang sifatnya tidak permanen. Jenis kayu ini biasanya digunakan untuk keperluan bahan yang bersifat balokan. Rumah tradisional Banjar yang banyak menggunakan tihang adalah tipe Bubungan Tinggi, Gajah Baliku, Balai Bini dan Joglo, sementara rumah tradisional tipe Gajah Manyusu, Cacak Burung, Palimasan dan Palimbangan lebih banyak mempergunakan tongkat. Untuk bagian atap ada dua macam bahan yang biasanya digunakan, yaitu atap sirap yang bahan dasarnya terbuat dari kayu ulin, dan atap sirap. Atap sirap memiliki daya tahan yang lama dibandingkan dengan atap daun rumbia yang bisa mencapai sepuluh tahun. Namun, seiring dengan semakin langka dan mahalnya
45
kayu ulin sebagai bahan baku untuk atap sirap kini rumah-rumah tradisional yang ada tidak menggunakan seng sebagai bahan untuk atap. Sedangkan untuk lantai, bahan dasar yang digunakan juga dari kayu. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu ulin, meranti, bungur, angsana, jingah, dan banyak kayu lainnya.
Gambar 25. Konstruksi Pondasi (Sumber:http//kerajaanbanjar.files.wordpress.com)
Kampung Kuin merupakan suatu kawasan pemukiman tradisonal yang memperlihatkan pola-pola tradisionalnya. Di kawasan ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional Banjar yang berumur ratusan tahun yang menjadi warisan budaya. Rumah-rumah tradisional ini berada di sepanjang tepian Sungai Kuin dengan kayu ulin sebagai material utamanya. Tetapi, bahan konstuksi atap pada rumah-rumah tradisional yang ada, kini umumnya menggunakan material seng. Hal ini dikarenakan atap sirap hanya mampu bertahan sampai sepuluh tahun. Semakin langka dan mahalnya kayu ulin sebagai bahan dasar pembuatan atap sirap, membuat atap pada rumah-rumah tradisional yang ada kini diganti dengan seng yang dapat bertahan lebih lama dan jauh lebih murah. Seiring dengan perkembangan yang ada di kawasan ini, rumah-rumah yang ada tidak hanya menggunakan material kayu sebagai bahan utamanya. Rumah-rumah yang didirikan ke arah daratan dibangun dengan konstruksi beton. Hal ini dikarenakan konstruksi dengan beton lebih murah dibandingkan kayu ulin yang langka dan mahal. Gambaran mengenai data spasial bahan kostruksi rumah dapat dilihat pada Gambar 26.
46
47
Perlu adanya upaya pelestarian untuk mempertahankan bangunanbangunan yang masih memiliki nilai tradisional. Jika perubahan gaya arsitektur terus terjadi pada rumah-rumah tradisional yang ada, maka rumah-rumah tradisional yang menjadi bukti sejarah ini lambat laun akan hilang. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dari berbagai pihak baik dari masyarakat maupun pemerintah untuk melestarikan rumah-rumah tradisional yang tersisa. Bentuk perhatian ini dapat berupa apresiasi atau subsidi pemerintah bagi warga untuk mempertahankan rumah tradisional, sehingga masyarakat tergerak untuk mlestarikan peninggalan rumah adat yang masih ada. Selain itu, perlu adanya perbaikan elemen-elemen rumah yang telah rusak atau hilang.
Fasilitas Fasilitas merupakan hal yang paling penting dalam suatu permukiman. Dalam suatu permukiman terdapat beberapa fasilitas yang harus dipenuhi, seperti jalan, MCK, dan lainnya yang dapat mempermudah warganya dalam beraktivitas. Adanya fasilitas dapat menunjang kenyamanan warga yang menghuni suatu pemukiman. Tidak hanya ketersediaan fasilitas yang sangat penting, namun kondisi dari fasilitas-fasilitas yang ada juga sangat penting. Fasilitas yang penting dalam sebuah permukiman adalah aksesibilitas untuk mencapai kawasan ini. Fasilitas jalan untuk jalur darat di Kampung Kuin tersedia dengan kondisi yang cukup baik. Jalan yang ada telah diberi perkerasan berupa aspal. Dahulu, jalan yang ada hanya berupa jalan setapak, tetapi setelah penguasaan kawasan ini oleh Belanda, jalan mulai diperbaiki dan diberi perkerasan. Jalan utama dibangun linear mengikuti sungai yang disebut dengan jalan inspeksi. Fasilitas yang tidak kalah pentingnya adalah sistem sanitasi dalam permukiman. Sanitasi ini penting agar masyarakat yang tinggal di dalamnya merasa nyaman. Salah satu sistem sanitasi adalah ketersediaan septic tank. Pada awal tebentuknya permukiman di Kampung Kuin ini jumlah rumah dan penduduknya masih sedikit sehingga pembuangan limbah rumah tangga secara langsung ke sungai masih dapat direduksi secara alami oleh sungai. Daya reduksi
48
secara alami yang disebut dengan daya asimilasi sungai ini masih tinggi sehingga sungai dapat mengurai zat-zat pencemar tersebut. Tetapi, dengan perkembangan permukiman yang ada dengan jumlah penduduk dan rumah yang meningkat membuat pembuangan limbah secara langsung ke suangai memberikan dampak yang buruk bagi sungai. Pembuangan limbah dengan intensitas yang melebihi daya asimilasi sungai menyebabkan sungai tidak mampu lagi mengurai zat pencemar. Hal ini menyebabkan tingkat pencemaran tinggi yang dapat dilihat dari keruhnya air sungai.
Gambar 27. Kondisi Jamban di Kampung Kuin
Sistem pembuangan pada seluruh rumah yang berada di atas badan sungai Kuin langsung ke bawah rumah (sungai), sedangkan rumah yang berada di darat pembuangan tinja langsung ke septic tank dan limbah rumah tangga langung ke bawah rumah. Umumnya rumah yang berada di darat sudah memiliki WC, sedangkan rumah yang berada di atas badan sungai sebagian besar masih menggunakan jamban yang berada tepat di atas sungai. Di Kelurahan Kuin Utara ini masih terdapat 25 jamban yang masih digunakan. Berdasarkan data kelurahan, tercatat 97 rumah belum memiliki WC sehat, 150 rumah memiliki WC dengan kondisi kurang baik dan 427 rumah telah memiliki WC sehat (Gambar 28).
49
50
Pembangunan jalan mengubah arah orientasi rumah yang ada. Rumahrumah yang awalnya berorientasi pada sungai kini dibangun dengan orientasi jalan darat. Pembangunan jalan meyebabkan munculnya rumah-rumah di atas badan sungai. Hal ini berarti rumah yang berada di atas badan sungai dibangun membelakangi sungai. Perubahan arah orientasi ini juga turut mengubah prilaku masyarakat terhadap sungai. Masyarakat kini kurang menghargai sungai dan cenderung menganggap sungai sebagai tempat pembuangan. Jika keadaan ini dibiarkan, maka keadaan sungai akan terganggu yang juga akan mengancam keberadaan permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan ulang seperti pembuatan septic tank komunal dan undang-undang yang mengatur tata ruang, orientasi rumah, densitas dan prilaku masyarakat
Zonasi Lanskap Permukiman Kampung Kuin Zona inti merupakan kawasan yang memiliki nilai tradisional tinggi sehingga perlu dilestarikan. Zona ini, terbentuk dari sosial budaya masyarakat setempat. Pada zona ini terdapat lanskap vernakular yang memiliki nilai budaya tinggi meskipun ada beberapa yang telah mengalami perubahan arsitektur. Lanskap vernakular tersebut adalah rumah-rumah tradisional Banjar, komplek masjid dan makam Sultan Suriansyah. Permukiman yang terdapat pada zona inti harus berorientasi pada sungai dan berpola linear mengikuti arah sungai seperti awalnya berdiri. Zona inti pada kawasan yang mengarah ke badan sungai memiliki intensitas yang cukup parah. Adanya rumah-rumah yang menjorok sampai ke badan sungai membuat kesan kumuh pada kawasan ini. Selain itu, adanya rumah yang semakin berkembang di kawasan ini menyebabkan kerusakan pada sungai. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pernataan pada kawasan ini. Salah satu upaya perbaikan pada kawasan ini adalah dengan relokasi rumah-rumah yang .berada di atas badan sungai yang berumur kurang dari 50 tahun. Sebagian rumah pada area ini masih dipertahankan karena ini menjadi bagian dari budaya masyarakat yang tidak bisa lepas dari sungai. Zona penyangga merupakan zona yang melindungi zona inti. Zona penyangga kawasan pemukiman tradisional merupakan zona yang membatasi
51
permukiman dengan kawasan permukiman yang tidak memiliki nilai tradisional. Zona ini melindungi zona permukiman tradisional dari pembangunan yang kurang mendukung. Zona ini masih dapat dikembangkan tetapi dengan batasan tertentu agar tidak menganggu zona inti. Batasannya adalah dalam hal perkembangan pembangunan pada zona ini, harus mengikuti zona inti, yakni berpola linear dan berorientasi pada sungai. Zona pengembangan merupakan zona terluar yang merupakan zona terluar yang dapat dikembangkan tanpa batasan. Zona ini dikhususkan bagi perkembangan permukiman karena pada kawasan ini masih banyak terdapat lahan terbuka. Zonasi eksisting di Kampung Kuin ini dapt dilihat pada Gambar 29.
52
Gambar 29. Peta Zonasi Eksisting Permukiman (Hasil Sintesis)
53
Karakteristik Sungai Kuin Karakter Sungai Karakter Sungai dipengaruhi oleh adanya bantaran sungai dan kondisi pasang surut. Menurut Maryono (dalam Aini, 2005) sempadan sungai sering disebut sebagai bantaran sungai. Namun sebenarnya ada perbedaan karena bantaran sungai merupakan daerah pinggir sungai yang tergenangi air pada saat banjir. Sedangkan sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis, dan lebar keamanan yang diperlukan terkait dengan letak sungai seperti areal pemukiman dan non pemukiman. Bantaran sungai hampir tidak ada di sepanjang Sungai Kuin karena di sepanjang sungai terdapat bangunan yang umumnya adalah permukiman. Rumah di atas badan sungai memiliki panjang yang melintang ke tengah sungai. Panjang rata-rata bangunan di atas badan Sungai Kuin adalah 9,33 m (Hayati, 2004). Apabila diasumsikan di kiri dan kanan sepanjang Sungai Kuin yang memiliki lebar 40 m terdapat rumah dengan panjang yang sama, maka ruang sungai hanya tersisa ± 20 m. Hal ini membuktikan bahwa hampir tidak adanya bantaran di sepanjang Sungai Kuin. Bahkan tidak hanya itu, ruang terbuka sungai pun semakin menyempit dengan adanya bangunan di atas badan sungai. Bantaran sungai hanya terdapat di depan Masjid Sultan Suriansyah (Gambar 30).
Gambar 30. Analisis Spasial Ketersediaan Bantaran Sungai Kuin
54
Dengan keadaan yang demikian ini, Pemerintah kota Banjarmasin tidak tinggal diam. Pemerintah mulai menerapkan sistem Surat Keterangan Keadaan Tanah (SKKT) untuk menekan laju pertumbuhan permukiman di atas badan sungai. Selain itu, dibuat pula kebijakan berupa Perda no. 2 tahun 2007 yang terkait dengan penataan sungai. Perda ini mulai disosialisasikan sejak tahun 2008 dan mulai diterapkan tahun ini. Selain bantaran sungai, karakter sungai juga dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut dibumi. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali pasang surut tetapi ada pula yang mengalami pasang surut dua kali dalam sehari. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran (Rahmat, 2009). Sungai Kuin sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Barito. Pasang surut di Sungai Kuin setiap harinya tidak sama. Menurut hasil wawancara dengan lurah setempat, pasang surutnya Sungai Kuin tidak menentu. Terkadang muka air sungai naik pada pagi hari dan baru surut pada sore hari begitu pula sebaliknya, jika sungai pasang pada sore hari maka baru surut pada pagi hari. Jika periode pasang surut Sungai Kuin seperti ini, maka dapat dikategorikan dalam pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Selama ini dikatakan bahwa terjadinya air pasang di Sungai Kuin tidak sampai menyebabkan banjir di daratan. Pasang surutnya sungai juga tidak terlalu berpengaruh pada rumah yang berada di atas badan sungai karena semua tipe rumah yang ada di daerah ini adalah rumah panggung. Dampak pasang surutnya Sungai Kuin tidak terlalu berpengaruh pada permukiman yang ada (Gambar 31), tetapi berpengaruh pada warna atau kekeruhan sungai. Jika air sedang surut, maka air sungai akan terlihat lebih keruh.
55
Gambar 31. Analisis Spasial Kondisi Pasang Surut Sungai Kuin
Kualitas Sungai Sungai di Kota Banjarmasin terdiri dari tiga kelas, yaitu sungai besar, sungai sedang dan sungai kecil yang penetapannya berdasarkan lebar sungai. Sungai Kuin digolongkan dalam sungai sedang karena memiliki lebar antara 25500 m. Panjang sungai mencapai ±3100 m yang melewati beberapa kelurahan, diantaranya Kelurahan Kuin Utara, Kelurahan Kuin Cerucuk, Kelurahan Kuin Selatan dan Kelurahan Pangeran. Kualitas sungai ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya debit air. Debit air sungai adalah kecepatan air yang mengalir dalam satu detik. Sungai Kuin merupakan sungai dengan kemiringan yang relatif kecil dengan kecepatan pengaliran (debit) 0,74-1,45 m/s. Debit air yang relatif kecil ini menyebabkan kondisi air di Sungai Kuin relatif tenang. Debit air di muara Sungai Kuin lebih besar karena bentukan sungai yang relatif lebih lurus (Gambar 32). Debit air ini sangat berpengaruh pada tingkat erosi sungai. Selain itu seringnya perahu motor (klotok) yang melewati sungai ini menyebabkan meningkatnya laju erosi.
56
Gambar 32. Analisis Spasial Kondisi Debit Air Sungai Kuin
Selain debit, kadar pencemaran juga mempengaruhi kualitas air. Pencemaran air sungai dapat disebabkan banyak hal, seperti buangan industri, ceceran minyak, pupuk ataupun limbah rumah tangga. Data Bapedalda Banjarmasin menunjukkan limbah padat dan cair yang paling berpengaruh terhadap pencemaran sungai berasal dari sampah perumahan, yaitu 14 m³/hari yang merupakan sumber sampah terbesar di Kota Banjarmasin (Bapedalda Kota Banjarmasin, 2002). Tabel 6 menunjukkan tingkat pencemaran diSungai Kuin.
Tabel 7. Tingkat Pencemaran Sungai Kuin Parameter
Kualitas Sungai
Baku Mutu
Suhu (ºC)
29,3
Suhu air normal
pH (mg/l)
6,3
5-9
Detergen (mg/l)
0,19
0,5
Eschericia coli (MPN/100)
>240
50
BOD
12,35
6
COD (mg/l)
30,8
10
(Sumber: Hayati, 2004)
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa kandungan yang melebihi baku mutu adalah Eschericia coli atau E. coli. E. coli adalah salah satu bakteri penghuni usus manusia yang dikeluarkan secara rutin bersamaan dengan tinja.
57
Kandungan E. coli yang melebihi ambang baku mutu ini menunjukkan air sungai yang tidak higienis. Hal ini disebabkan pembuangan dari jamban pada rumah yang berada di atas badan sungai. Adanya pencemaran ini menyebabkan pendangkalan pada Sungi Kuin. Selain karena pembuangan limbah padat dari sampah dan pembuangan kotoran secara langsung ke sungai adanya klotok juga mempengaruhi kualitas air sungai. Klotok yang merupakan perahu mesin juga menyumbangkan minyak hasil sisa pembakaran. Ceceran minyak sisa pembakaran ini dapat terlihat pada siang hari ketika permukaan air sungaai terkena sinar matahari. Jadi, secara keseluruhan dapat dikatakan Sungai Kuin sudah tercemar (Gambar 33).
Gambar 33. Analisis Spasial Tingkat Pencemaran Sungai Kuin
Selain digunakan sebagai sarana lalu lintas dan perdagangan, Sungai Kuin juga digunakan untuk aktivitas MCK. Warga yang menggunakan air sungai untuk MCK sebagian besar adalah warga yang tinggal di atas badan sungai. Kebiasaan inilah yang membuat air sungai semakin tercemar. Selain digunakan sebagai fasilitas MCK, sungai juga tercemar karena masyarakat sekitar sering membuang sampah di sungai.
58
Zonasi Kondisi dan Kualitas Sungai Kondisi Sungai Kuin yang juga digunakan sebagai permukiman membuat sungai ini tidak memiliki bantaran. Tidak hanya sekedar tidak memiliki bantaran, ruang terbuka sungai pun berkurang hampir 20 m dengan adanya permukiman ini. Padahal lebar sungai mempengaruhi daya asimilasi air sungai. Semakin lebar sungai, maka semakin baik daya asimilasi sungai itu untuk mengurai zat pencemar. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindak pelestarian sungai untuk memperbaiki kondisi sungai. Perbaikan kualitas sungai ini diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian. Kualitas sungai secara spasial diperoleh dari overlay peta ketersediaan bantaran dan debit air (Gambar. 34). Kondisi sungai ini terbagi menjadi kualitas buruk, cukup baik dan baik. Kondisi Sungai ini digunakan untuk menentukan program atau tindakan untuk memperbaiki kondisis sungai.
Gambar 34. Peta Hasil Sintesis Karakteristik Sungai
Tindakan yang perlu dilakukan dalam pelestarian Sungai Kuin adalah pengembalian fungsi bantaran sungai sebagai ruang terbuka. Pengembalian fungsi bantaran ini difokuskan pada daerah sungai yang rentan. Pengembalian fungsi bantaran sungai sebagai ruang terbuka hijau dengan penanaman vegetasi lokal untuk menguragi erosi. Pembuatan turab juga dapat menjadi alternatif lain untuk mengatasi erosi.
59
Pengerukan dasar sungai juga perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pendangkalan sungai yang diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai. Sedangkan untuk merngurangi pencemaran sungai oleh bakteri Eschericia coli akibat adanya permukiman di tepi sungai maka perlu adanya suatu sistem sanitasi berupa septick tank komunal. Septick tank komunal berfungasi untuk menyaring limbah agar tidak mencemari sungai. Selain itu, diperlukan undang-undang
yang
tegas
mengenai
izin
pendirian
bangunan
untuk
menghentikan pertumbuhan permukiman baru di tepi sungai dan undang-undang mengenai pemanfaatan sungai agar penggunaannya tidak melebihi daya dukungnya.
Aktivitas Sosial Budaya Kuin Utara merupakan kawasan permukiman tradisional yang tidak hanya dapat dilihat dari fisiknya, yakni dengan adanya bangunan rumah tradisional banjar tetapi juga dapat dilihat dari aktivitas sosialnya budayanya. Seperti umumnya masyarakat yang ada di Kota Banjarmasin, masyarakat di Kuin Utara juga tidak dapat dipisahkan dari sungai. Arah orientasi rumah tradisional yang mengarah pada sungai menjadi bukti bahwa sungai memiliki peran penting bagi masyarakat sekitar. Dahulu, sungai merupakan jalur transportasi utama sebelum adanya jalan darat. Namun, seiring dengan perkembangan yang ada transportasi sungai mulai luntur. Hal lain yang menjadi bukti yang sangat kuat bahwa masyarakat di kawasan ini sangat bergantung pada sungai adalah adanya pasar apung di muara Sungai Kuin. Pasar apung ini sudah ada lebih dari 400 tahun yang lalu. Pasar Terapung Muara Kuin merupakan salah satu bentuk pola interaksi jual-beli masyarakat yang hidup di atas air. Para pedagang dan pembeli malakukan aktivitas jual-beli di atas jukung, sebutan perahu dalam bahasa Banjar. Pasar ini dimulai setelah shalat Subuh dan akan berakhir ketika matahari telah beranjak naik atau sekitar jam 09:00 WITA. Apabila lewat dari jam tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa pasar bakal sepi karena para pedagang akan berpencar, menyusuri Sungai Kuin dan sungai-sungai kecil lainnya untuk menjual barang dagangnya ke penduduk yang rumahnya berada di bantaran sungai.
60
Gambar 35. Pasar Apung Muara Kuin
Selain itu, ada pula aktivitas pertanian yang juga menjadi bagian dari budaya di masyarakat sekitar. Daerah di sekitar anak Sungai Kuin digarap menjadi kebun dan sawah (Sumber: http://wapedia.mobi/id/Keraton_Banjar#2.). Tidak hanya sebagai sarana transportasi, adanya lahan pertanian yang berada tidak jauh dari sungai menegaskan pentinganya sungai sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar