KAJIAN DESAIN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL MADURA
ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum saya ajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013 Rosyidamayanti T. Maningtyas NIM A451110041
ABSTRAK ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS. Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN dan ARIS MUNANDAR. Permukiman tradisional dapat menjadi salah satu pembentuk identitas suatu masyarakat. Penelitian mengenai taman rumah tinggal tradisional Madura telah menghasilkan suatu konsep desain taman rumah tinggal yang sarat dengan nilai budaya masyarakat Madura dan menjadi dasar bagi penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan konsep desain permukiman tradisional Madura melalui identifikasi karakteristik permukiman tradisional dan faktor-faktor pembentuk permukiman, kajian terhadap elemen permukiman, tata letak, dan simbolisme, serta kajian terhadap aspek tata ruang permukiman tradisional. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan mengambil lokasi di Kabupaten Sumenep, Madura. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara, penelusuran pustaka, dan survei lapang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permukiman tradisional madura memiliki pola cluster/berkelompok-kelompok. Pembentukan permukiman dipengaruhi oleh aspek pelapisan sosial, religi, dan ikatan kekerabatan. Elemen pembentuk permukiman terdiri dari rumah tinggal, lahan pertanian, masjid, dan tanah pemakaman. Kata kunci: desain, permukiman tradisional, cluster, tanean
ABSTRACT ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS. Study of Traditional Settlement Landscape Design. Supervised by ANDI GUNAWAN and ARIS MUNANDAR. Traditional settlements can be one of community identities. Research on Madura traditional home garden has concluded a concept design of home gardens with deep values of the Madurese culture. The next study, which is the traditional settlement. The purpose of this study is to analyze and formulate the concept of traditional neighborhood design Madura through the identification of the characteristics of traditional neighborhoods and settlements forming factors, the study of settlement elements, layout, and symbolism, as well as the study of the spatial aspects of a traditional settlement. Research using qualitative methods and took place in Sumenep, Madura. The data was collected through interview techniques, literature search, and field surveys. The results showed that the traditional settlement pattern of Madura have cluster / in groups. The formation of settlement influenced by aspects of social stratification, religious, and kinship ties. Elements forming settlements consisting of houses, agricultural land, a mosque, and a burial ground. Keywords: design, traditional settlements, clusters, tanean
SUMMARY ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS. Study of Traditional Settlement Landscape Design. Supervised by ANDI GUNAWAN and ARIS MUNANDAR. Traditional settlements can be one of community identities. The existence of identity in a society shows teritoriality function that allows people to control their environment. Settlement is one teritirial unit that can provide security, identity, and stimulation for the residents as a home base. Madura settlement is interesting because of its sizeable population and spread in various regions in Indonesia. Research on Madura traditional home garden has concluded a concept design of home gardens with deep values of the Madurese culture. This study aims to analyze and formulate design concepts of traditional settlements Madura. The specific objectives of this study were: (1) Identify the characteristics and factors that influence the formation of the Madurese traditional settlements, (2) Assess the elements forming the settlement and its underlying philosophy, (3) Assessing spatial Madurese traditional settlements. Research using qualitative methods and took place in Sumenep, Madura. The data was collected through interview techniques, literature search, and field surveys. Research results showed traditional settlement Madura formed by groups of homes that have ties of kinship. Each group is separated by a house or a farm road. Madura traditional settlement pattern is strongly influenced by the culture and philosophy of life that thrive in the community. In life there are people Madura concept buppa-Babbu-teacher-rato. The concept of a hierarchy of respect that should be done Madura, namely to parents (bappa-babbu), teachers (kyai), and government (rato). Madura traditional settlement formed by the combination of three factors, social grouping, religious factors, and factors of kinship. Element consists of a traditional settlement Madura traditional homes, farms, mosques, and a burial ground. In traditional residential patterns of the two known Madura tanean lanjhang patterns and pattern mejhi. Madura traditional settlements spatial layout is divided into macro and micro settlements. Macro spatial settlement distinguish settlements according to the function space, nature, and the aspect of trust. Settlements in micro spatial divide the space according to kinship and function space usage. Madura concept design is a residential neighborhood with a traditional design with a cluster of settlements in the form of space division of private space, public space and private open space. The concept was based on the aspects of vegetation vegetation functions as a buffer and production. Circulation in the settlement is divided into circulation on the main roads and circulation on neighborhood streets. Circulation on the environment tend not to have a clear and unequivocal pattern.
RINGKASAN ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS. Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN dan ARIS MUNANDAR. Permukiman tradisional dapat menjadi salah satu pembentuk identitas suatu masyarakat.Adanya identitas dalam suatu masyarakat menunjukkan adanya fungsi keteritorialan yang memungkinkan masyarakat mengontrol lingkungannya. Permukiman merupakan salah satu unit keteritorialan yang dapat memberikan keamanan, identitas, dan stimulasi bagi penghuninya dalam bentuk home basePermukiman madura menarik untuk dikaji mengingat populasinya yang cukup besar dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Penelitian mengenai taman rumah tinggal tradisional Madura telah menghasilkan suatu konsep desain taman rumah tinggal yang sarat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura dan menjadi pembuka bagi penelitian berikutnya, yaitu mengenai permukiman tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan konsep desain permukiman tradisional Madura. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan permukiman tradisional masyarakat Madura; (2) Mengkaji elemen pembentuk permukiman dan filosofi yang mendasarinya; (3) Mengkaji tata ruang permukiman tradisional masyarakat Madura. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan mengambil lokasi di Kabupaten Sumenep, Madura. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara, penelusuran pustaka, dan survei lapang. Hasil Penelitian menunjukkan Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah yang memiliki ikatan kekerabatan. Setiap kelompok rumah ini dipisahkan oleh lahan pertanian atau jalan. Pola permukiman tradisional Madura sangat dipengaruhi oleh budaya dan falsafah hidup yang berkembang di masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat madura terdapat konsep buppa-babbu-guru-rato. Konsep ini merupakan hierarki penghormatan yang harus dilakukan orang madura, yaitu kepada orang tua (bappa-babbu), guru (kyai), dan pemerintah (rato). Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kombinasi tiga faktor, yaitu faktor strata sosial, faktor religi, dan faktor kekerabatan. Elemen permukiman tradisional Madura terdiri dari rumah tinggal tradisional, lahan pertanian, masjid, dan tanah pemakaman. Dalam rumah tinggal tradisional madura dikenal dua pola yaitu pola tanean lanjhang dan pola mejhi. Tata ruang permukiman tradisional Madura dibedakan menjadi tata ruang permukiman secara makro dan mikro. Tata ruang permukiman secara makro membedakan ruang permukiman menurut fungsi, sifat, dan aspek kepercayaan. Tata ruang permukiman secara mikro membagi ruang menurut hubungan kekerabatan dan fungsi penggunaan ruang. Konsep desain permukiman tradisional madura adalah permukiman dengan desain cluster dengan pembagian ruang permukiman berupa ruang privat, ruang publik, dan ruang terbuka privat. Konsep vegetasi didasarkan pada aspek fungsi vegetasi sebagai buffer dan produksi. Sirkulasi dalam permukiman dibagi menjadi sirkulasi pada jalan utama dan sirkulasi pada jalan lingkungan. Sirkulasi pada jalan lingkungan cenderung tidak memiliki pola yang jelas dan tegas.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN DESAIN LANSKAP PERMUKIMAN TRADISIONAL MADURA
ROSYIDAMAYANTI T. MANINGTYAS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Dosen Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr.
Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura : Rosyidamayanti T. Maningtyas : A451110041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc Ketua
Dr Ir Aris Munandar, MS Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia ilmu-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan mulai bulan November 2012 hingga bulan Mei 2013 ini adalah desain lanskap permukiman, dengan judul Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih disertai penghargaan kepada Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Aris Munandar, MS. selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingannya selama penyusunan usulan penelitian. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dosen moderator dan dosen pembahas Seminar atas masukan yang disampaikan dalam seminar hasil penelitian. Ucapan terima kasih penulis haturkan juga kepada Suami, Bapak, Ibu, Adik-adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Demikian, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2013
Rosyidamayanti T. Maningtyas
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3 1.5 Kerangka Pikir Penelitian .............................................................. 3 1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desain Lanskap .............................................................................. 5 2.2 Lanskap Permukiman .................................................................... 9 2.3 Permukiman Tradisional ................................................................ 13 2.4 Madura ........................................................................................... 14 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 22 3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 23 3.3 Penentuan Sampel Penelitian......................................................... 23 3.4 Metode Penelitian .......................................................................... 23 BAB IV KONDISI UMUM MADURA 4.1 Kondisi Administratif dan Geografis Madura ............................... 27 4.2 Kondisi Sosial Masyarakat Madura............................................. 28 4.3 Falsafah Hidup Masyarakat Madura .............................................. 30 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Permukiman Tradisional Madura ............................ 32 5.2 Faktor-Faktor Pembentuk Permukiman Tradisional ..................... 33 5.3 Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional Madura .................. 36 5.4 Pola Permukiman Tradisional Madura .......................................... 42 5.5 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura ............................... 43 5.6 Desain Permukiman Tradisional Madura ...................................... 45 5.7 Implikasi Penelitian ....................................................................... 47 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ........................................................................................ 49 6.2 Saran .............................................................................................. 49 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 50
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat penelitian kualitatif ........................................................................... 2. Jenis, bentuk, dan sumber data .................................................................. 3. Narasumber penelitian ............................................................................... 4. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian ................................ 5. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan .............................. 6. Tanaman pagar hidup dan fungsinya .........................................................
24 25 25 28 29 40
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pikir penelitian .......................................................................... 2. Peranan landform dalam desain lanskap ................................................... 3. Jenis ruang yang dapat dibentuk tanaman ................................................. 4. Ruang terbuka diantara kelompok bangunan ............................................ 5. Fungsi air sebagai pengontrol iklim .......................................................... 6. Kelompok dan komplek dari rumah-rumah dan pekarangan .................... 7. Pola permukiman di wilayah perdesaan .................................................... 8. Taneyan lanjhang....................................................................................... 9. Permukiman tradisional madura ................................................................ 10. Tata letak roma ........................................................................................ 11. Tata letak langghar .................................................................................. 12. Tata letak dapor dan kandang ................................................................. 13. Peta lokasi penelitian ............................................................................... 14. Tahapan penelitian ................................................................................... 15. Lokasi desa lenteng timur ........................................................................ 16. Manifestasi falsafah hidup masyarakat madura pada permukiman ......... 17. Karakter permukiman tradisional madura ............................................... 18. Pagar hidup pada rumah tinggal madura ................................................. 19. Komplek rumah kyai ............................................................................... 20. Masjid dan komplek rumah kyai sebagai pusat orientasi kegiatan ......... 21. Komplek rumah tanean lanjhang ............................................................ 22. Rumah mejhi ............................................................................................ 23. Rumah tongghu ....................................................................................... 24. Letak langghar dalam tanean .................................................................. 25. Dapur dan kandang dalam tanean ............................................................ 26. Rumah mejhi yang berkembang menjadi tanean lanjhang ..................... 27. Pertanian lahan kering ............................................................................. 28. Tata ruang menurut fungsi ....................................................................... 29. Tata ruang menurut sifat .......................................................................... 30. Tata ruang menurut kepercayaan ............................................................ 31. Konsep ruang permukiman tradisional madura ....................................... 32. Konsep desain permukiman tradisional madura ......................................
4 7 8 8 9 11 13 18 19 20 20 20 22 25 27 31 32 33 34 35 35 36 37 38 39 39 41 43 44 44 46 47
1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh indra (Simonds dan Starke 2006). Suatu lanskap yang dirancang sebagai lingkungan binaan dengan melibatkan unsur-unsur budaya dan lingkungan masyarakat setempat dapat disebut sebagai lanskap budaya. Budaya merupakan ciri atau identitas atau keunikan dari suatu bangsa. Kebudayaan ini tercermin dalam adat istiadat, kesenian, arsitektur bangunan, pola lanskap, dan pola pemukiman. Keunikan dari budaya merupakan suatu yang bernilai positif dan selayaknya dilestarikan agar dapat dipelajari dan dikembangkan untuk melestarikan keanekaragaman suatu bangsa. Warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu. Warisan budaya masyarakat pada suatu daerah terbentuk melalui sejarah yang panjang yang terjadi secara turun temurun dari beberapa generasi. Salah satu warisan budaya yang menarik untuk dipelajari adalah lanskap permukiman tradisional. Hal ini disebabkan masyarakat tradisional Indonesia umumnya hidup di alam tropis dan lembab sehingga lebih suka beraktivitas di ruang luar dibandingkan dengan di dalam ruangan. Oleh karena itu arsitektur lanskap permukiman menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia (Raharja 2010). Permukiman terbentuk karena adanya proses pembentukan hunian yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan setting lanskap (Rapoport 1993). Permukiman secara fisik tidak terbatas pada tempat tinggal saja, tetapi merupakan satu kesatuan sarana dan prasarana lingkungan terstruktur. Sedangkan permukiman tradisional didefinisikan sebagai tempat yang masih memegang nilainilai adat dan budaya tertentu (Sasongko 2005). Menurut Habraken dalam Fauzia (2006), permukiman tradisional adalah suatu produk komunitas yang merupakan hasil dari kesepakatan sosial sehingga setiap komunitas akan memiliki bentuk permukiman yang berbeda-beda satu sama lain. Oleh sebab itu permukiman tradisional dapat menjadi salah satu pembentuk identitas suatu masyarakat. Adanya identitas dalam suatu masyarakat menunjukkan adanya fungsi keteritorialan yang memungkinkan masyarakat mengontrol lingkungannya. Permukiman merupakan salah satu unit keteritorialan yang dapat memberikan keamanan, identitas, dan stimulasi bagi penghuninya dalam bentuk home base behaviour (Porteous 1977). Pada umumnya, kajian mengenai permukiman tradisional masih terbatas pada aspek arsitektur, sosiologi, sastra budaya, dan antropologi. Sedangkan yang berkaitan dengan desain lanskap permukiman tradisional masih sangat terbatas dan membahas lanskap tradisional pada skala mikro, yaitu taman rumah tinggal tradisional (Raharja 2010, Wesnawa 2010, Maningtyas dan Gunawan 2011). Hal ini menunjukkan bahwa kajian terkait lanskap permukiman tradisional yang berbasis pada desain lanskap masih sangat kurang untuk lebih menjelaskan tentang lanskap tradisional sebagai salah satu identitas budaya Indonesia. Salah satu bentuk permukiman tradisional yang menarik untuk dikaji adalah permukiman masyarakat Madura. Masyarakat Madura memiliki karakter khas yang tampak dalam pembawaan sehari–hari melalui interaksi dengan orang lain, sikap hidup, hingga pengaturan teritorialnya. Dalam keseharian seringkali ditemui
2
orang Madura dengan segala ke khasannya tersebut. Menurut sejarah, suku bangsa Madura termasuk suku bangsa yang kuat. Hal ini terlihat dari kemampuan adaptasi yang tinggi dan toleransi terhadap perubahan. Selain itu suku Madura juga dikenal memiliki keuletan kerja yang tinggi dan keteguhan dalam memegang falsafah hidup (Rifai 2007). Tingkat persebaran masyarakat Madura cukup tinggi, terutama di sekitar pantai utara Jawa, Kalimantan, dan Sumatra, namun hal ini tidak membuat masyarakat Madura kehilangan identitas tapi justru memunculkan karakter khasnya melalui pola permukiman dan pembawaan diri. Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan, terutama sejak jembatan suramadu diresmikan, nilai-nilai budaya Madura mulai mengalami kemunduran. Hal ini tampak dari semakin berkurangnya artifak budaya yang menjadi elemen utama dalam permukiman tradisionalnya. Permukiman masyarakat Madura yang masih mempertahankan pola awal dan adat istiadatnya semakin sedikit seiring dengan berkurangnya wilayah perdesaan. Fakta menunjukkan bahwa Madura dikenal dengan budaya keagamaan yang kuat. Fakta lapangan menunjukkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di Madura masih rendah. Apabila masyarakat Madura tidak dipersiapkan, maka dikhawatirkan budaya lokal akan semakin luntur. Hal ini dikarenakan belum siapnya SDM di Madura melakukan integrasi budaya lokal dengan budaya modern (Bintoro 2010). Pengaruh kebudayaan pada suatu lingkungan permukiman sangat dominan, walaupun telah banyak mengalami perubahan dan pembaharuan. Perubahan itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang mengalami perubahan, tetapi dapat diamati oleh orang luar. Proses kebudayaan beralih sifatnya dari suatu produk sejarah menjadi hal yang normatif. Pengaruh itu dimulai dari berkembangnya kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa yang merupakan corak kebudayaan, sebagai bagian dari sejarah kebudayaan yang pernah berkembang di Madura. Bagi masyarakat Madura, perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan pengejawantahan diri manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai satu kesatuan dengan sesama lingkungannya. Beberapa penelitian terkait dengan kebudayaan Madura telah beberapa kali dilakukan. Meskipun demikian, penelitian-penelitian tersebut umumnya berkaitan dengan aspek tata ruang arsitektur (Jordaan 1979, Tulistyantoro 2005, Citrayati 2008), sosiologi (Wiyata 2002, Hastijanti 2005, Saputro 2009), sastra budaya (Sadik 1996, Rifai 2007), dan antropologi ( de Jonge 1989). Penelitian mengenai taman rumah tinggal tradisional Madura menghasilkan suatu konsep desain taman rumah tinggal yang sarat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura (Maningtyas 2011). Apabila dikaji lebih jauh, rumah-rumah tradisional ini merupakan bagian kecil dari lanskap permukiman tradisional Madura yang menggambarkan salah satu identitas lanskap budaya Indonesia. Penelitian yang hasilnya disajikan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menggali karakteristik lanskap permukiman tradisional madura sehingga dapat disusun suatu konsep desain lanskap permukiman tradisional Madura. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mencakup hal-hal berikut. 1. Bagaimana karakteristik permukiman tradisional masyarakat Madura?
3
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pembentukan permukiman tradisional masyarakat Madura? 3. Elemen dan Filosofi apakah yang membentuk permukiman tradisional Madura? 4. Bagaimana tata ruang permukiman tradisional masyarakat Madura? 5. Bagaimana konsep desain lanskap permukiman berbasis budaya Madura? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan konsep desain permukiman tradisional Madura. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan permukiman tradisional masyarakat Madura 2. Mengkaji elemen pembentuk permukiman dan filosofi yang mendasarinya 3. Mengkaji tata ruang permukiman tradisional masyarakat Madura 4. Memformulasikan konsep desain permukiman tradisional Madura 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut. 1. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian merupakan upaya dalam memperkaya konsep desain lanskap, terutama yang berkaitan dengan desain lanskap berbasis budaya tradisional. 2. Penelitian ini merupakan salah satu upaya dalam memperkenalkan lanskap tradisional Madura sebagai salah satu identitas lanskap tropis Indonesia 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi desain lanskap permukiman yang berbasis pada lanskap permukiman tradisional 1.5 Kerangka Pikir Penelitian Madura merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki beragam nilai budaya. Salah satu nilai budaya Madura dapat dilihat pada desain taman rumah tinggal tradisional Madura. Penataan taman rumah tinggal tradisional yang kaya akan nilai-nilai budaya ini menjadi dasar pemikiran dalam menggali karakteristik lanskap permukiman tradisional Madura. Kajian terhadap lanskap permukiman tradisional dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik permukiman tradisional Madura, mengidentifikasi dan mengkaji elemen-elemen pembentuk lanskap permukiman beserta nilai-nilai yang mendasarinya, serta menyusun suatu konsep desain lanskap permukiman berbasis budaya Madura. Diagram kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada analisis terhadap desain lanskap permukiman tradisional Madura sehingga dapat dihasilkan suatu konsep desain lanskap permukiman berbasis budaya Madura. Permukiman yang menjadi objek penelitian merupakan perkampungan dengan rumah-rumah tradisionalnya yang berada pada wilayah perdesaan di dataran rendah dan perbukitan dengan pertimbangan bahwa wilayah perdesaan relatif mengalami perubahan fisik yang statis jika
4
dibandingkan dengan wilayah perkotaan sehingga elemen-elemen lanskap tradisional masih dapat ditemukan.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Elemen pembentuk permukiman tradisional dianggap memiliki eksistensi jika ditemukan sekurang-kurangnya satu buah elemen dalam satu sampel lokasi. Selain itu elemen pembentuk permukiman dapat berupa elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik adalah elemen yang dapat diketahui dengan jelas secara fisik, baik bentuk maupun ukuran (tangible) sedangkan elemen non fisik merupakan elemen pembentuk ruang permukiman yang bersifat intangible seperti kegiatan budaya dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat dan mempengaruhi tata ruang permukiman.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desain Lanskap Desain lanskap merupakan perpaduan antara ilmu dan seni dalam menata ruang luar (outdoor) melalui penataan elemen-elemen lanskap sehingga serasi dengan lingkungan (VanDer Zanden dan Rodie 2008, Booth 1983). Menurut Hannebaum (2002), desain lankap adalah suatu proses yang lengkap dalam mengkombinasikan teknik seni dan komposisi yang fungsional. Penataan elemen lanskap bertujuan untuk memuaskan keinginan manusia dan menyatukan fiturfitur yang terpisah sehingga bernilai estetik dan berkelanjutan (Loidl dan Bernard 2003, Fireza 2008). Desain lanskap dinilai baik apabila mampu mengintegrasikan ekologi dan manusia (Fireza 2008). Integrasi manusia berpengaruh pada desain lanskap sehingga penting untuk memahami sifat dan hubungan timbal balik antara ekologi, teknologi, dan budaya manusia (Vander Zanden dan Rodie 2008; Fireza 2008). Menurut VanDer Zanden dan Rodie (2008) dasar teori desain lanskap adalah mengkombinasikan proses penyelesaian masalah yang universal dengan human landscape dan menguatkan kualitas alam. Desain akan menghasilkan ruang tiga dimensi sebagai wadah bagi kegiatan manusia. Tatanan ruang merupakan perhatian utama dalam desain. Setiap ruang memiliki bentuk, ukuran, warna, tekstur, dan kualitas laiinya. Pengorganisasian ruang yang berbeda akan memberikan dampak yang berbeda bagi psikologis manusia (Simonds dan Starke 2006). Konsepsi mengenai ruang dikembangkan melalui beberapa pendekatan yaitu: (1) pendekatan ekologis; (2) pendekatan ekonomi dan fungsional; dan (3) pendekatan sosial politik. Pendekatan ekologis meninjau ruang sebagai kesatuan ekosistem dengan komponen-komponen yang saling tekait dan berpengaruh secara mekanis. Ruang dipandang sebagai sistem yang tertutup sehingga model hubungan antar komponen dalam ruang dibuat tanpa mempertimbangkan faktor eksternal. Pendekatan ekonomi dan fungsional meninjau ruang sebagai wadah fungsional bagi berbagai kegiatan. Proses perkembangan pemanfaatan ruang oleh manusia didasarkan pada pertimbangan jarak pusat kegiatan ke ruang kegiatan penunjangnya. Pendekatan sosial-politik memandang ruang sebagai sarana produksi dan akumulasi kekuasaan. Konflik yang terjadi pada ruang didefinisikan sebagai konflik antar kelompok sosial sehingga pengendalian terhadap ruang oleh suatu kelompok dianggap sangat penting (Harvey 1973 dalam Haryadi dan Setiawan 2010). Desain lanskap ideal diperoleh dengan mengkombinasikan bentuk melalui prinsip pengorganisasian ruang atau prinsip desain. Prinsip desain adalah dasar terwujudnya suatu rancangan atau ciptaan suatu bentuk agar komponen dan unsur yang membentuknya dapat saling menyatu. Komponen dan unsur-unsur bentuk mempunyai sifat masing-masing yang mempunyai karakteristik tersendiri. Hal ini dikarenakan prinsip desain merupakan suatu hukum dalam hubungan atau rencana dari penataan yang menentukan cara bagaimana elemen-elemen harus dikombinasikan untuk menyempurnakan efek khusus. Prinsip dasar dalam desain adalah keteraturan dan kesatuan yang dapat memberikan keindahan. Keteraturan ini diperoleh melalui pendekatan tema rancangan, antara lain keteraturan ruang formal, informal, simetris, atau
6
pendekatan dari segi keteraturan bentuk, misalnya alami, tradisional dan modern. Kesatuan yang dimaksud adalah hubungan yang harmonis dari berbagai elemen atau komponen unsur yang ada dalam suatu rancangan (Van Der Zanden, 2008). Prinsip desain diaplikasikan pada tahap awal perencanaan konsep dan dilanjutkan hingga tahap akhir pembuatan desain (Reid 1993). Adapun prinsipprinsip desain lanskap adalah : 1. Unity Unity merupakan prinsip desain yang paling utama. Kualitas yang ditemukan pada seluruh lanskap yang baik, berdasarkan ritme landform alami, dominasi dari satu tipe vegetasi, human use dan bangunan yang telah menyatu dengan lingkungan sekelilingnya. Unity merupakan keserasian pengaturan seluruh unsur sehingga tidak berdiri sendiri-sendiri dan mempunyai hubungan satu sama lain sehingga membentuk rancangan atau desain lanskap dalam satu kesatuan yang menyeluruh. 2. Balance Keseimbangan dalam desain berarti penyamaan tekanan visual suatu komposisi antara unsur-unsur yang ada pada suatu desain lanskap. Dalam seluruh proses kehidupan pada dasarnya memerlukan keseimbangan. Bentuk-bentuk keseimbangan antara lain: a. Keseimbangan Simetris : mempunyai sifat kaku namun agung, impresif dan formal. Susunan elemen-elemen kiri dan kanan akan tampak sama besar. Bobot visual yang sama antara kiri dan kanan didukung oleh susunan elemen taman yang sama, b. Keseimbangan asimetris : keseimbangan ini memberikan kesan gerak, penempatan yang bersifat kebetulan dan santai. Elemen taman sebelah kiri sumbu tidak sama persis dengan sebelah kanan setiap bobot visualnya sama. 3. Harmony Komposisi suatu desain yang harmonis dapat dicapai dengan keselarasan antar unsur-unsur pembentuknya. Harmoni berada diantara keserupaan yang absolut dengan kontras yang tajam (perbedaan). Keserupaan yang terlalu besar membosankan, kontras yang mencolok menimbulkan pemberontakan sehingga keselarasan tidak tercapai. Desain akan harmonis bila menampilkan kesatuan ide yang menyeluruh. 4. Rythm Dalam menyusun komposisi desain dikenal istilah rhythm atau irama dalam pengertian semu. Mata manusia dapat bergerak menikmati karya taman secara visual sesuai dengan irama tertentu secara teratur dari satu benda ke benda berikutnya. Perancangan lanskap yang berhasil akan menciptakan suatu alur atau irama pemandangan. Irama dalam desain dapat memecah kemonotonan yang membosankan. 5. Emphasis Suatu komposisi desain akan hambar tanpa adanya dominansi atau aksen sebagai titik pusat perhatian. Aksen atau titik perhatian dapat menggugah semangat, menghidupkan suasana, memecah kemonotonan dan memberi variasi maksimal. Kesan ini dapat diperoleh dengan cara membuat kontras, kejutan, pembeda, penekanan dan fokalisasi (focal point). Booth (1983) menjelaskan bahwa proses desain adalah mengkombinasikan elemen desain lanskap. Elemen desain tersebut dikoordinasikan untuk
7
mengembangkan desain. Elemen lanskap merupakan unsur–unsur pembentuk lanskap yang berpengaruh terhadap penampilan dan kualitas lanskap secara keseluruhan (Sulistyantara 2002). Elemen desain lanskap terdiri atas bentukan lahan (landform), material tanaman, bangunan, penutup permukaan tanah, site structure, dan elemen air. 1. Bentukan lahan (landform) Lahan sebagai bidang dasar merupakan elemen penting dalam desain lanskap. Bentukan lahan atau topografi dapat menciptakan kesatuan dalam lanskap dan dapat pula menjadi pemisah antar lanskap yang berbeda (Gambar 2). Selain itu keberadaan landform juga berfungsi dalam menciptakan sensasi ruang, pegaturan iklim mikro, serta pemanfaatan secara fungsional.
Gambar 2. Peranan landform dalam desain lanskap (sumber: Booth 1988) 2. Material Tanaman (Plant material) Tanaman berperan dalam memberikan unsur kehidupan dalam lanskap dalam satuan waktu yang terus berubah. Selain itu tanaman juga memiliki fungsi secara arsitektural dan karakter visual yang memperindah lanskap. Secara arsitektural, penggunaan material tanaman berpengaruh terhadap bidang tanah, bidang vertikal, maupun bidang atap. Sehingga penataan terhadap ketiga komponen tersebut dapat membentuk berbagai macam ruang luar. Ruang luar yang dapat dibentuk oleh tanaman yaitu ruang terbuka, ruang semi-terbuka, ruang berkanopi, penutupan ruang oleh kanopi pohon, dan ruang vertical (Gambar 3). 3. Bangunan (Building) Bangunan dalam lanskap berperan sebagai salah satu elemen keras. Bangunan seringkali menjadi objek tunggal dalam taman atau dapat pula disusun berkelompok sehingga terbentuk ruang antar bangunan (Gambar 4). Dalam lanskap bangunan berfungsi dalam membentuk ruang, kontrol visual, rekayasa iklim mikro, dan kontrol organisasi ruang. 4. Pavemen (Pavement) Pavemen merupakan perkerasan yang diterapkan pada bidang tanah sehingga dapat mengakomodasi penggunaan bidang lantai secara lebih intensif. Pavemen berfungsi dalam mengarahkan sirkulasi, mempengaruhi skala tapak, menyatukan tapak, dan menciptakan karakter khusus.
8
Gambar 3. Jenis ruang yang dapat dibentuk tanaman (sumber: Booth 1988)
Gambar 4. Ruang terbuka diantara kelompok bangunan (sumber: Booth 1988) 5. Struktur Tapak (Site structure) Struktur dalam lanskap tersusun atas elemen yang berhubungan dalam memudahkan pengguna untuk menikmati lanskap secara optimal. Dalam jumlah massal, struktur ini termasuk elemen keras dengan kualitas arsitektural yang menguatkan susunan spasial dan fungsi lanskap. Contoh struktur dalam lanskap antara lain : tangga, ram, dinding, pagar, dan bangku taman. 6. Elemen Air (Water) Air memiliki karakter khas dalam lanskap yang memberikan daya hidup bagi lingkungan di sekitarnya. Air dapat menjadi elemen statis yang memberikan keteduhan dan kenyamanan, atau menjadi elemen dinamis yang menarik perhatian. Air memiliki sifat plastis dan berubah-ubah bentuk sehingga bentuk air ditentukan oleh bentuk penampungnya.
9
Secara umum air dapat juga digunakan sebagai pengontrol iklim (Gambar 5) dan suara bising. Sebagai pengontrol iklim, air dimanfaatkan untuk mendinginkan udara yang bertiup kearah lahan darat disekitarnya.
Gambar 5. Fungsi air sebagai pengontrol iklim 2.2 Lanskap Permukiman Permukiman merupakan kelompok-kelompok rumah yang memiliki ruang terbuka secara bersama dan merupakan kelompok yang cukup kecil untuk melibatkan semua anggota keluarga untuk suatu aktivitas, tetapi cukup besar untuk menampung fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan bermain, dan daerah penyangga (Simonds 1983). Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Pada dasarnya, permukiman (Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Vander Zee 1986). Fungsi dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi. Permukiman merupakan proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta adanya pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Hubungan antar aspek budaya (culture) dan lingkungan binaan (environment) dalam kaitannya dengan perubahan berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial budaya masyarakat. Faktor pembentuk lingkungan dapat dibedakan menjadi dua golongan (Rapoport, 1993) yakni faktor primer (sosio culture factors) dan faktor sekunder (modifying factors). Lingkungan binaan seperti permukiman dapat terbentuk secara organic atau dapat juga terbentuk melalui perencanaan. Pertumbuhan organik pada lingkungan permukiman terjadi dalam proses yang panjang dan berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan permukiman
10
merupakan refleksi dari kekuatan sosial budaya seperti kepercayaan, hubungan keluarga, organisasi sosial, serta interaksi sosial antara individu. Untuk membangun suatu permukiman perlu memperhatikan lanskap. Rumah menjadi permukiman bila dipikirkan dalam kelipatannya baik sekumpulan kesatuan yang terpisah di atas petak-petak lahan individual maupun sebagai kelompok rumah gandeng, rumah susun, atau apartemen. lanskap permukiman adalah perubahan bentuk historis dari situasi, dimana taman dipertahankan dalam wujud rumahnya sendiri sampai wujud lainnya (taman lingkungan) serta permukiman–permukiman ditata dalam suatu kawasan yang lebih luas seperti pembangunan kota-kota baru. (Laurie, 1986). Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 6). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek (Vander Zee 1986). Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur berdasarkan jarak antar rumah-rumah sepanjang jalan sehingga dapat dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan (Vander Zee 1986). Karakteristik permukiman menurut Kuswartojo (2005) dibedakan menjadi permukiman informal dan permukiman formal. Permukiman informal adalah permukiman yang tidak tertata dan identik dengan wilayah perdesaan. Koestoer (1995) mengemukakan bahwa karakteristik permukiman di wilayah perdesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air.Permukiman formal adalah permukiman yang tertata dan identik dengan wilayah perkotaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.
11
Gambar 6. Kelompok dan komplek dari rumah-rumah dan pekarangan (sumber: Vander Zee 1986) 2.2.1 Konsep Teritorialitas dalam Ruang Permukiman Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya (Rapoport 1969). Secara umum adanya ruang fungsional ini mendorong seseorang untuk membentuk teritori sebagai ruang yang dikuasai. Porteous, (1977) menyatakan, teritorialitas adalah batas di mana organisme hidup menentukan teritori dan mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi atau agresi pihak lain. Proses terbentuknya teritorialitas dicirikan dengan adanya rasa memiliki dan upaya kontrol terhadap suatu lingkungan dalam bentuk penandaan tempat baik secara fisik maupun simbolik (Altman, 1975 dan Brower, 1976) Teritorialitas merupakan salah satu atribut arsitektur lingkungan dan perilaku, sehingga didalamnya terjadi interaksi antara Individu dengan tujuan kegiatan dan institusi dengan tujuan kebijaksanaan terhadap ruang. Keterkaitan hubungan yang terjadi antar unsur teritorialitas ini menyebabkan teritorialitas dapat dilihat sebagai atribut perilaku yang dapat diukur kualitasnya. Dengan adanya interaksi antar unsur teritorialitas, maka kualitas teritori juga bisa diukur dimana yang terjadi antara pelaku dan seting fisiknya (Burhanuddin, 2010). Menurut Altman dalam Porteous (1977), teritorialitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teritorialitas primer, teritorialitas sekunder, dan teritorialias umum. 1. Teritorialitas primer Teritorialitas primer merupakan ruang yang dimiliki secara permanen oleh seseorang atau kelompok tertentu. Gangguan terhadap ruang ini dianggap sebagai penghinaan bagi penghuninya (contoh: rumah tinggal, ruang kantor). 2. Teritorialitas sekunder Teritorialitas sekunder merupakan ruang yang dikuasai dan dikontrol oleh seseorang atau kelompok tertentu namun masih mengijinkan orang/kelompok lain untuk mengakses ruang tersebut.
12
3. Teritorialitas umum Teritorialitas umum merupakan ruang yang hanya dapat dikuasai dalam waktu singkat dan dapat diakses oleh semua orang 2.2.2 Pola Permukiman Pola permukiman adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk. Pola permukiman di setiap wilayah berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pola permukiman antara lain adalah relief, kesuburan tanah, keadaan iklim, kondisi ekonomi, dan kultur masyarakat. Bentukan lahan (landform) dapat berupa pegunungan, lembah, dataran tinggi, dataran rendah, kawasan berlereng, atau daerah pantai. Perbedaan bentukan lahan menyebabkan perbedaan pola adaptasi termasuk dalam penataan permukiman. Kesuburan tanah juga dapat mempengaruhi pola permukiman. Tingkat kesuburan tanah di setiap tempat berbeda-beda. Di daerah pedesaan, lahan yang subur merupakan sumber penghidupan bagi penduduk sehingga tempat tinggal didirikan dengan pola berkumpul dan memusat dekat dengan sumber penghidupannya. Faktor-faktor iklim seperti curah hujan, intensitas radiasi Matahari dan suhu di setiap tempat berbeda-beda. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada pola pemukiman penduduk. Pada daerah dingin seperti pegunungan, dataran tinggi serta di Kutub utara orang akan cenderung mendirikan tempat tinggal saling berdekatan dan mengelompok. Sedangkan di daerah panas pemukiman penduduk cenderung lebih terbuka dan agak terpencar. Kegiatan ekonomi seperti pusat-pusat perbelanjaan, perindustrian, pertambangan, pertanian, perkebunan dan perikanan akan berpengaruh pada pola pemukiman yang mereka pilih, terutama tempat tinggal yang dekat dengan berbagai fasilitas yang menunjang kehidupannya, karena hal itu akan memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Budaya penduduk yang dipegang teguh oleh suatu kelompok masyarakat akan berpengaruh pada pola pemukiman kelompok tersebut. Pola permukiman menurut pemusatan masyarakat di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi pola permukiman memanjang (linear) mengikuti jalur lalu lintas atau sungai, pola permukiman mengelompok (clustered), dan pola permukiman tersebar (Yudohusodo 1991). Leibo (1986) membedakan pola permukiman di wilayah perdesaan menjadi tiga (Gambar 7), yaitu : 1. the scattered formstead community merupakan pola permukiman dimana sebagian orang berdiam di pusat layanan yang ada sementara lainnya tersebar bersama sawah ladangnya masing-masing; 2. the cluster village merupakan pola permukiman dimana penduduk tinggal mengelompok dengan dikelilingi sawah ladangnya; 3. the line village merupakan pola permukiman dimana rumah-rumah dibangun mengikuti garis tertentu, menyilang, atau menyusur pinggiran sungai, kanal, atau pantai. Sawah dan ladang penduduk diletakkan di belakang lokasi permukiman.
13
Gambar 7. Pola permukiman di wilayah perdesaan (sumber: Leibo 1986) 2.3 Permukiman Tradisional Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah. Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi. Menurut Habraken dalam Fauzia (2006), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional. Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas
14
sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi. Wikantiyoso dalam Krisna, Antariksa, dan Dwi Ari (2005) menambahkan, bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen penyusunnya (bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna komposisi pattern atau model dari suatu komposisi. Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005) menyatakan bahwa permukiman tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai; Pola permukiman bentuk melingkar; Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan Pola permukiman bentuk kubus. 2.4 Madura 2.4.1 Karakteristik Lanskap Pulau Madura terletak di sebelah timur Pulau Jawa dan dibatasi oleh Selat Madura hingga ke sebelah selatan, sedangkan bagian utara hingga ke timur Pulau Madura berbatasan dengan Laut Jawa. Secara administratif Pulau Madura dibagi menjadi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Luas keseluruhan Pulau Madura adalah 5.304 km2 dengan posisi wilayah berada pada ketinggian 2-350 m diatas permukaan laut. Wilayah terendah berada di kawasan pantai, sedangkan wilayah tertinggi menyebar dibagian tengah pulau yang sebagian besar berupa gundukan bukit kapur (Subaharianto dkk 2004). Pulau Madura dikelilingi 67 pulau-pulau kecil. Kondisi perairan yang memisahkan pulau-pulau kecil tergolong jernih dan tidak terlalu dalam. Perairan ini menyimpan potensi taman laut yang menarik jika dapat dikembangkan secara optimal (Subaharianto dkk 2004). Secara geologis, Madura merupakan kelanjutan sistem Pegunungan Kapur Utara di dataran Jawa. Hal ini menyebabkan tulang punggung Pulau Madura adalah perbukitan berkapur dengan puncak tertingginya Gunung Tembuku pada ketinggian 471 meter di atas permukaan laut. Bagian terbesar dari pulau ini adalah bukit–bukit cadas yang tinggi dan punggung–punggung kapur yang lebar diselingi bukit–bukit bergelombang. Hamparan dataran rendah banyak dijumpai di bagian selatan, sedangkan di sebelah timur laut dapat ditemukan formasi gundukan pasir laut membukit dengan tinggi mencapai 15 meter yang membentang sejauh 50 kilometer. Bukit pasir ini merupakan objek alam yang unik dan langka karena bentangannya termasuk yang terpanjang di dunia (de Jonge 1989; Rifai 2007).
15
Kondisi tanah Madura sebagian termasuk jenis tanah liat, mediteran, litosol, dan grumosol dengan kandungan phospat cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pupuk. Sebagian lain berupa jenis batu-batuan seperti batu putih, batu kapur, batu gunung, dan batu bintang. Permukaan tanah di Madura relatif lebih rata dibandingkan dengan Pulau Jawa. Dataran pantai terpenting adalah dataran Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Perbukitan di sebelah timur dan tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk pulau-pulau dan karang-karang di laut. Sejumlah sungai melintasi Pulau Madura dengan ukuran yang lebih kecil dari Pulau Jawa. Pada musim kemarau sebagian besar dari sungai-sungai tersebut mengering. Keberadaan sungai-sungai di Madura memberikan kontribusi besar bagi kehidupan masyarakat Madura. Aliran sungai dimanfaatkan dalam kegiatan pertanian dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga yaitu mandi dan cuci. Iklim Pulau Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan (nembara) dan musim timur atau musim kemarau (nemor). Musim hujan selama 6 bulan biasanya hanya terjadi di daerah pedalaman yang tinggi. Di lereng–lereng gunung yang lebih rendah, musim hujan hanya berlaku selama 3–4 bulan saja. Sementara di sepanjang pantai utara dan daerah paling selatan, hujan hanya turun saat masa awal tahun. Suhu udara pulau ini tergolong tinggi. Suhu saat musim barat rata– rata mencapai 27°C, sedangkan pada musim timur mencapai 35°C. Komposisi tanah dan dan curah hujan yang tidak merata menyebabkan tanah Madura relatif kurang subur. Sebagian besar tanah yang diolah merupakan tanah tegalan, sedangkan lahan–lahan yang sama sekali tidak subur di bagian selatan umumnya dimanfaatkan untuk pembuatan garam (de Jonge 1989). Ketandusan tanah dan iklim yang gersang menyebabkan jenis vegetasi yang ada di pulau ini hanya terdiri dari tumbuhan daerah beriklim kering saja sehingga keanekaragamannya tidak terlampau tinggi (Rifai 2007). Sebagian besar aktivitas pertanian dilakukan di lahan tegalan dengan tanaman pokok jagung dan ubi. Areal sawah sangat terbatas dan umumnya berupa sawah tadah hujan sehingga petani Madura hanya menanam padi setahun sekali. Kuntowijoyo (1980) menyatakan bahwa lingkungan Madura yang semacam ini merupakan representasi dari ekotipe tegalan (tegalan ecotype). 2.4.2 Karakter dan Budaya Masyarakat Madura Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki gaya bicara yang khas dengan karakter dominan keras dan mudah tersinggung. Walaupun demikian, masyarakat Madura juga merupakan pribadi yang hangat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura tampak selalu ceria, lugu, suka berterus terang, dan apa adanya. Namun, citra sifat kaku dan kasar masih melekat karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya berasal dari daerah pedesaan. Orang Madura juga dikenal mempunyai kesetiaan pada sistem dan pranata sosialnya. Ketekunan dan etos kerja yang tinggi menyebabkan mereka tidak takut melakukan pekerjaan apa saja (Rifai 2007). Secara umum, Rifai (2007) menyebutkan bahwa karakter orang Madura adalah ego tinggi, kaku dan kasar, pemberani, teguh pendirian, apa adanya, tulus setia, tertib, pamer, keras kepala, responsif, ulet, berjiwa wirausaha, suka berpetualang, hemat dan cermat, dan agamis. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius. Dapat dikatakan ajaran islam secara kental telah mewarnai budaya dan peradaban
16
Madura (Rifai 2007; Hidayah 1996). Islam telah menjadi identitas etnis, sehingga tidak aneh jika orang Madura juga memiliki hubungan yang khas dengan ulama. Ulama Madura dikenal dengan sebutan kiai. Gelar kiai merupakan gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada ahli agama islam yang memimpin pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Kiai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat Madura bahkan hingga melampaui batas-batas geografi desa dan masyarakat tempat pesantrennya berada (Dhofier 1994). Penghormatan yang tinggi terhadap ulama didasarkan pada falsafah dan prinsip hidup orang madura yang terdapat pada ungkapan buppa’-bhabbhu’, guru, rato; yang dalam bahasa Indonesia berarti bapak-ibu, guru, pemerintah. Ungkapan tersebut mencerminkan hierarki penghormatan dikalangan masyarakat Madura. Bagi orang Madura penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan kepada kedua orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mengasuh hingga dewasa. Penghormatan pada orang tua merupakan kewajiban dan hal etik dari agama islam yang harus dilaksanakan. Penghormatan selanjutnya diberikan pada guru. Pengertian guru yang dimaksud adalah kiai. Kiai telah mengajarkan ilmu agama kepada santri-santri. Kiai juga dianggap dekat pada kesucian agama islam sehingga harus dihormati dan diteladani. Penghormatan kepada kedua orang tua dan kiai menjadi dasar untuk memberikan bakti pada ratu. Ratu dalam hal ini bermakna raja atau pemerintah. Seorang Madura dianggap baik apabila mampu menjalankan prinsip ini (Subaharianto dkk 2004, Taufiurrahman 2007). Menurut Woodward (1989) dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak dapat dikatakan sebagai islam murni, tetapi termasuk “islam lokal” yaitu islam yang bercampur dengan adat seperti Abangan atau Agama Adam di Jawa (Geertz 1989). Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang Madura juga mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan. Gejala ini tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacara selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sesaji yang telah didoakan kiai, dan kebiasaan mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya. Tanah mempunyai ikatan dengan roh leluhur dalam hal penguasaan. Menurut kepercayaan orang Madura, secara gaib tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh leluhur yang dulu memiliki tanah tersebut. Roh leluhur yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah sehingga orang yang memiliki tanah harus tahu asal usul pemilik tanah sebab akan berkaitan dengan pengiriman doa dan pemohonan berkah. Secara fisik tanah dimiliki seseorang tetapi secara gaib roh leluhur menyatu dengan tanah dan mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut (Subaharianto dkk 2004). Hubungan tanah dan leluhur juga tampak pada tata cara penguburan jenazah. Setiap keluarga besar (extended family) pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Pekuburan keluarga tersebut diletakkan di sebelah timur pekarangan atau di tanah tegalnya. Masyarakat Madura pada dasarnya tidak mengenal pemakaman umum, kecuali masyarakat perkotaan yang lahannya terbatas. Setiap keluarga sudah memiliki lokasi tertentu sebagai tempat mengubur jenazah bagi anggota keluarga yang meninggal sehingga tidak jarang dijumpai pemakaman yang kecil dan berdempetan dengan tanah pekarangan oarang lain.
17
Keberadaan makam-makam kecil ini dapat ditemui di wilayah perdesaan (Subaharianto dkk 2004). Hubungan tanah dan leluhur yang sangat erat menyebabkan penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu pantang bagi orang Madura untuk menjual tanah pekarangan atau tanah tegalan kepada orang luar yang bukan saudara. Penjualan tanah kepada orang luar akan merupakan aib bagi pemilik tanah dan dapat berakibat ecapok tola atau kenneng tola (tidak selamat atau sial). Sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis menunjukkan berbagai variasi yang menggambarkan bentuk jalinan sosial yang lebih luas. Kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer (Subaharianto dkk 2004). Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang menganut hubungan kekerabatan bilateral patrilineal (Hidayah 1996). Hubungan kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki–laki dan perempuan secara sama dan setara sehingga sebutan kekerabatan bagi keluarga pihak laki–laki tidak berbeda dengan sebutan untuk keluarga pihak perempuan. Landasan ikatan kekerabatan yang penting bagi orang Madura adalah hubungan pertalian darah seketurunan dalam keluarga. Rasa keeratan tersebut diperlihatkan dan dipelihara dengan menggunakan sistem pengelompokan bhala (kerabat) atau taretan (persaudaraan) secara bertingkat. Konsep dasar kriteria kerabat tersebut ditumpukan pada asas seperindukan sebagai landasan utamanya (Rifai 2007). Pada sistem pewarisan hubungan kekerabatan patrilineal ini tidak berlaku secara konsisiten, terutama pada pewarisan tanah pekarangan dan rumah. Berdasarkan adat, anak perempuan berhak mewarisi rumah dan tanah pekarangan. Hal ini disebabkan sistem matrilokal yang berlaku di Madura. Seorang laki-laki yang sudah menikah akan tinggal menetap di rumah istri dan keluar dari keluarga batihnya sendiri sementara seorang istri harus menyiapkan rumah di pekarangannya. Pola bermukim ini menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan di Madura lebih kuat pada kaum perempuan. Pewarisan tanah tegalan berbeda dengan tanah pekarangan. Anak laki-laki dan perempuan memiliki bagian yang sama dalam pembagian waris tanah tegalan. Tanah tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam kegiatan budidaya pertanian berupa kebersamaan dalam mengolah tanah secara gotong royong. Bentuk ikatan gotong royong biasanya berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan biasanya masih satu keluarga karena tanah tegal yang diolah merupakan hasil pembagian warisan (tanah sangkolan). Kegiatan sosial di perdesaan Madura diselenggarakan oleh organisasi massa yang dibentuk oleh masyarakat sendiri. Organisasi massa yang banyak dijumpai umumnya berlandaskan keagamaan. Ada kelompok yang secara teratur bertemu dan melakukan pembacaan diba’i dan barzanji dengan diiringi bunyi-bunyian hadrah atau samrah. Kamrat adalah organisasi massa lain yang lebih umum kegiatannya. Kadangkala kegiatan pertemuan teratur organisasi massa diikat pula dengan kegiatan arisan (Rifai 2007) Dalam hal seni seni sastra, masyarakat Madura mengenal peribahasa, pepatah, dan kata-kata bijak seperti saloka. Baik pepatah, peribahasa, maupun saloka merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Madura (Sadik 2012). Didalamnya terdapat simbol atau kiasan yang berisi falsafah hidup dan norma dalam bermasyarakat dan memelihara alam. Selain itu masyarakat Madura
18
juga mengenal seni tembang dan lagu. Tembang dan lagu ini umumnya memiliki makna yang menggambarkan adat kebiasaan masyarakat sehari-hari atau dapat pula berisi nasihat tentang nilai-nilai kehidupan (Junianto 2008, Syafiuddin 2011). 2.4.3 Permukiman Madura Masyarakat Madura memiliki tipologi pola pemukiman sendiri dan tipologi bentuk rumahnya sendiri yang masih tetap dipegang di daerah perantauannya. Tipologi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tipe. Tipologi arsitektur berkaitan dengan elemen – elemen pembentuk bangunan (Anonimous, 2009). Menurut Tulistiyantoro (2005), tipologi pola pemukiman di Madura adalah pemukiman yang berdasarkan keterikatan terhadap keluarga batih (keluarga luas), yakni Tanean Lanjang (Gambar 8). Sedangkan tipologi huniannya menurut Wiryoprawiro (1986) adalah Pegun, Trompesan, Pacenan, Kampung, Limasan, Surabayanan. Permukiman tradisional Madura umumnya merupakan kumpulan rumah yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Biasanya letaknya berdekatan dengan lahan garapan, mata air, atau sungai. Lahan garapan dan kompleks rumah dibatasi oleh tanaman hidup atau guludan tanah yang disebut galengan. Susunan rumah disusun menurut hierarki keluarga. Keluarga paling tua berada berada di sebelah barat dan keluarga paling muda di sebelah timur. Di ujung paling barat terdapat langgar yang menjadi orientasi permukiman secara keseluruhan (Tulistyantoro 2005).
Gambar 8. Taneyan lanjhang (sumber: Maningtyas 2011) Sebuah tempat permukiman keluarga tidak terbentuk dari sebuah rumah, melainkan terdiri dari beberapa rumah yang mengelompok dan biasanya merupakan satu keluarga (Sadik 1996; dan Rifai 2007). Pada umumnya, di sekeliling komplek permukiman tersebut diberi pagar dengan tanaman pepohonan (pagar hidup) baik berupa bambu atau tanaman keras lainnya yang ditanam sangat rapat. Bahkan terkadang tanaman pohon tersebut masih diikat dengan bilah–bilah bambu. Bagi masyarakat Madura permukiman adalah sebuah benteng bagi penghuninya. Sehingga pagar yang mengelilinginya haruslah dapat menahan ancaman dari luar seperti musuh atau binatang buas (Sadik 1996). Kondisi ini merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap kondisi alam Madura yang panas serta pemanfaatan lahan yang efisien dimana satu halaman dipakai bersama-sama dan menjadi pusat aktivitas kemasyarakatan dalam suatu permukiman (Maulidi 2011).
19
Pola pemukiman pada Pulau Madura menurut Wiryoprawiro (1986) pada dasarnya merupakan pola pemukiman yang tersebar, karena mengikuti tempat dimana ada wilayah yang subur (Gambar 9). Maulidi (2011) menyebutkan bahwa Sistem pertanian tegal dan pertanian tadah hujan membentuk unit lingkungan permukiman pedesaan yang terpencar. Berbeda halnya dengan pola pemukiman Madura di pesisir, menurut Citrayati (2008), adalah mengikuti adanya jalan dan beroriantasi pada adanya laut.
Gambar 9. Permukiman tradisional madura (sumber: Maulidi 2011) Pola permukiman tradisional Madura yang ideal disebut tanean lanjhang. Tanean lanjhang bermakna halaman panjang yang tersusun dari deretan rumah yang berjajar dari barat hingga ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuan. Pola permukiman tanean lanjhang menunjukkan hubungan yang erat antara tanah/lahan dengan kekerabatan. Penghuni tanean lanjhang adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya. 2.4.4 Taman Rumah Tinggal Tradisional Madura Rumah tinggal tradisional madura terdiri dari beberapa rumah tinggal yang memiliki ikatan kekerabatan. Komplek rumah tinggal tradisional ini disebut taneyan lanjhang. Taneyan lanjhang terdiri dari beberapa elemen yang disusun dari barat ke timur (Maningtyas 2011), yaitu : 1. roma roma merupakan istilah untuk rumah tinggal dalam taneyan. Rumah tinggal ini dibedakan menjadi dua, yaitu rumah induk dan rumah anak perempuan. Rumah induk dinamakan dengan roma tongghu. Biasanya rumah induk dibangun di sebelah barat pada sisi utara taneyan dengan menghadap ke selatan. Sementara rumah-rumah anak perempuan dibangun di sebelah timur rumah induk dengan pola berjajar membentuk barisan bangunan yang linear (Gambar 10) 2. Langghar Langghar merupakan penanda bagi suatu taneyan yang mandiri. Selain itu langghar juga berperan sebagai pusat aktivitas dalam taneyan dan tempat untuk menerima tamu. Pada umumnya langghar dibangun di ujung barat taneyan berhadapan langsung dengan pintu masuk (Gambar 11). 3. dapor dan kandang dapor merupakan istilah untuk dapur pemilik taneyan. Dapur tersebut dibangun berhadapan dengan rumah tinggal masing-masing pada sisi selatan taneyan. Sedangkan kandang dibangun di sisi selatan taneyan menghadap ke utara. Seringkali kandang juga dibangun bersisian dengan dapur (Gambar 12).
20
roma
Gambar 10. Tata Letak Roma (Sumber: Maningtyas 2011)
Gambar 11. Tata Letak Langghar (sumber: Maningtyas 2011)
Gambar 12. Tata letak Dapor dan Kandang 4. Taneyan Taneyan merupakan halaman yang dikelilingi bangunan, berupa hamparan tanah kosong. Fungsi taneyan adalah untuk menjemur hasil pertanian, melaksanakan ritual adat atau hajatan keluarga. Vegetasi dalam taneyan tidak boleh terlalu tinggi sehingga menutupi pandangan dari langghar.
21
5. Pagar hidup pagar hidup merupakan barisan pohon atau semak yang tumbuh rapat disekeliling taneyan lanjhang. Pagar hidup ini sekaligus menjadi batas area sekaligus menjadi pelindung taneyan dari bahaya binatang atau musuh dari luar. 6. Pamengkang Pamengkang merupakan kebun tempat menanan tanaman kebutuhan seharihari. Biasanya pamengkang diletakkan di belakang bangunan rumah tinggal atau disekeliling taneyan diluar komplek bangunan. Secara umum, elemen yang nilai budaya paling tinggi dan dianggap paling suci diletakkan di sisi paling barat dari taneyan. Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang publik (taneyan) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang semi publik (langghar) dengan desain berupa ruang terbuka sehingga pandangan meluas dan tidak terhalang. Sedangkan ruang privat dan servis saling berhadapan dan dipisahkan oleh ruang publik untuk mengakomodasi pelayanan umum tanpa mengganggu aktivitas pribadi penghuni (Maningtyas dan Gunawan 2011).
22
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lenteng Timur Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep (Gambar 13). Pemilihan lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan rekomendasi ahli kebudayaan Madura dengan merujuk pada tingkat perubahan fisik perkampungan tradisional di wilayah studi. Secara umum Kabupaten Sumenep mengembangkan wilayah dengan memelihara budaya lokal, sehingga wilayah ini dikenal sebagai kota budaya di Madura. Desa Lenteng Timur di Kecamatan Lenteng merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan karakter permukiman tradisional.
Peta lokasi Desa Lenteng Timur Gambar 13. Peta lokasi penelitian Wilayah penelitian adalah kawasan pedusunan di Desa lenteng Timur Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Ellak Laok, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Poreh, sebelah barat berbatasan dengan Desa Lenteng Barat, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Lembung Timur. Luas wilayah penelitian di Desa Lenteng Timur adalah 4,05 Km2. Permukiman Desa Lenteng Timur berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut dan termasuk pada dataran rendah. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2012-Juli 2013. Pelaksanaan penelitian terdiri dari tahap penelusuran sejarah berupa pengumpulan data, kunjungan lapang, dan wawancara, dilanjutkan dengan tahap analisis dan sintesis data berupa perumusan konsep desain permukiman tradisional Madura hingga penulisan laporan.
23
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perangkat keras (hardware) dan lunak (software). Perangkat keras yang digunakan antara lain berupa netbook, kamera, recorder, dan mesin cetak (printer). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian terdiri dari program komputer seperti MS word, MS excel, dan Adobe Photoshop. Bahan penelitian yang digunakan dalam analisis berupa peta wilayah, peta citra satelit, sketsa, data deskriptif baik dari pustaka maupun hasil wawancara, serta foto dan gambar. 3.3 Penentuan Sampel Penelitian Penentuan sampel penelitian didasarkan pada aplikasi teoritis sehingga penghayatan mendalam terhadap obyek studi lebih diutamakan. Obyek yang dipilih secara umum dapat menggambarkan permukiman Madura yang tradisional dan nilai-nilai budaya Madura yang original. Penelitian ini menitikberatkan pada kualitas obyek daripada kuntitasnya. Menurut Sarantakos (1993) jumlah sampel yang besar tidak selalu menjamin akurasi, validitas, dan keberhasilan penelitian kualitatif. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsep desain permukiman Madura yang original dan telah lampau sehingga wilayah penelitian mungkin saja telah mengalami perubahan atau modernisasi. Oleh sebab itu penelitian ini hanya mengambil sebagian dari populasi responden dengan teknik pengambilan sample menggunakan metode purposive sampling. Penentuan sample penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu menganalisis dan merumuskan konsep desain permukiman tradisional Madura sehingga lokasi sample penelitian didasarkan pada kriteria berikut : 1. Lingkungan yang masih menunjukkan suasana tradisional 2. Lingkungan yang menunjukkan bentukan rumah tradisional pada kawasan 3. Lingkungan yang masih menunjukkan kekhasan aktivitas Pengambilan sample pada lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive random sampling dimana sample yang dipilih adalah sample dengan jumlah rumah tradisional lebih dari satu. 3.4 Metode Penelitian Kerangka pendekatan studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historic (kesejarahan) untuk kajian desain lanskap permukiman dan teknik analisis kualitatif. Menurut Noeng Muhajir (1996), metode analisis kualitatif adalah metode analisis penelitian yang menuntut adanya sifat holistik dimana obyek diteliti pada suatu aksentuasi tertentu tapi tidak melupakan konteks dari obyek tersebut. Desain penelitian kualitatif bertolak pada kerangka teoritik penelitian terdahulu dan pemikiran dan teori para pakar untuk kemudian dikonstruksikan menjadi sesuatu yang problematik dan perlu diteliti lebih lanjut. Konstruksi teori dibangun dari konseptualisasi teoritik sebagai hasil pemaknaan empirik, logis, dan etik. Pada tataran empirik, sampel dipilih secara purposive untuk mengungkapkan makna dan esensinya (Muhajir 1996). Sifat penelitian kualitatif dapat dilihat pada tabel 1. Secara umum tahapan penelitian meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan konsep (Gambar 14).
24
Tabel 1. Sifat Penelitian Kualitatif No. Materi 1. Tujuan Penelitian 2. Desain Penelitian
3.
Proses Penelitian
4.
Hipotesis
5. 6.
Hasil Penelitian Analisa data
Operasional Membangun teori baru Desain penelitian meliputi tujuan, obyek, sample, dan sumber data tidak terinci, fleksibel, muncul dan berkembang saat penelitian berlangsung Desain penelitian dapat diketahui dengan jelas setelah penelitian selesai Sebelumnya tidak mengemukakan hipotesis. Hipotesis muncul ketika penelitian berjalan dan bersifat hipotesis kerja Hasil Penelitian bersifat terbuka Analisa data dilakukan sejak awal bersamaan dengan pengumpulan data Tidak berstruktur, data berbentuk narasi Ideographic (sebuah kenyataan)
7. Teknik Pengumpulan data 8. Lingkup temuan Sumber : Moleong 1997 3.4.1. Tahap Persiapan Studi pendahuluan dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai keadaan lanskap dan karakteristik budaya masyarakat Madura. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data umum terkait lanskap permukiman tradisional dalam bentuk uraian dan artikel dalam jejaring berkala dan wawancara singkat dengan beberapa orang suku Madura. Wawancara ini masih sangat sederhana untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan lanskap, karakter budaya, dan informasi tentang pola lanskap permukiman. Selain itu peneliti juga mencari informasi terkait narasumber yang sesuai untuk penelitian ini. 3.4.2. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei atau pengamatan langsung di lapang. Kegiatan survei dilakukan dengan menyusuri jalan utama dan batas tapak, serta mengunjungi rumah-rumah tradisional yang berada pada wilayah studi. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi literatur dan pengambilan data dari instansi-instansi terkait. Literatur yang dikumpulkan terdiri dari berbagai bentuk baik berupa buku, jurnal, laporan penelitian, maupun artikel bebas dari media cetak atau media elektronik. Data yang dikumpulkan terdiri dari dokumen-dokumen berisi bukti sejarah yang terkait dan mendukung penelitian, Foto, sketsa, dan hasil survey dan wawancara terstruktur dan purposive di lapangan (Tabel 2). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang pola permukiman Madura, elemen yang ada, fungsi dan filosofi bagi permukiman, serta nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat. Narasumber dalam interview ini dipilih secara purposive yaitu dengan mempertimbangkan latar belakang dan tingkat interaksi yang dimiliki calon narasumber dengan budaya Madura.
25
Gambar 14. Tahapan penelitian Tabel 2. Jenis, Bentuk, dan Sumber Data Jenis Data Pola Permukiman Tradisional Tata ruang Permukiman Tradisional Orientasi elemen permukiman Sejarah Budaya Sastra Tulisan
Bentuk Data Peta, deskripsi, sketsa, foto Peta, sketsa Deskripsi, sketsa, foto Deskripsi Deskripsi
Sumber Data Literatur, studi lapang Literatur, studi lapang, wawancara Literatur, studi lapang, wawancara Literature, wawancara Dongeng, Legenda, cerita rakyat
Tabel 3. Narasumber Penelitian No.
Nama Narasumber
Profesi
Latar belakang Studi
1.
Prof. Dr. Ahmad Mien Rifai Sulaiman Sadik Dr. Latief Wiyata Dr. Lintu Tulistyantara
Peneliti LIPI
Peneliti LIPI
Sejarawan Dosen Dosen
Sastra Madura Antropologi Arsitektur
2. 3. 4.
26
3.4.3. Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Data dieksplorasi menurut teori-teori yang berkaitan dengan desain permukiman kontemporer dari studi literatur untuk kemudian diterjemahkan dan disesuaikan dengan desain permukiman tradisional. Menurut Hubermen (1992) analisis data kualitatif dilakukan dalam tiga alur, yaitu : 1. Reduksi data Data yang diperoleh dipilih, dikelompokkan, dan disederhanakan melalui pembuatan ringkasan, tabel, dan diagram agar lebih mudah dipahami. 2. Penyajian data Data yang telah direduksi disajikan dalam bentuk teks naratif yang dilengkapi dengan tabel, diagram, bagan, dan atau gambar sehingga dapat diperoleh informasi yang terpadu. 3. Verifikasi Verifikasi merupakan proses penarikan kesimpulan dari analisa terhadap data. Berdasarkan uraian tersebut, pembahasan hasil analisis penelitian dapat dibagi menjadi analisis aspek fisik permukiman tradisional Madura dan analisis aspek non fisik. 1. Analisis aspek fisik dilakukan melalui pendekatan aktivitas sehingga diperoleh tata ruang permukiman tradisional madura baik pada skala makro maupun mikro 2. Analisis aspek non fisik dilakukan melalui pendekatan historis sehingga diperoleh karakteristik permukiman tradisional madura, faktor-faktor pembentuknya, serta makna dan simbolisme yang terdapat pada permukiman tradisional madura. 3.4.4. Penyusunan Konsep Konsep desain permukiman tradisional Madura disusun pada level ketetanggan.. Konsep ruang ditentukan berdasarkan fungsi dan sifat penggunaan ruang dalam lanskap permukiman. Konsep vegetasi ditentukan berdasarkan tata letak dan fungsi vegetasi bagi lanskap permukiman. Pola sirkulasi dalam permukiman ditentukan melalui pola pergerakan penghuni dalam permukiman, sedangkan konsep fasilitas dan utilitas ditentukan melalui tata letak sarana sosial dan sarana umum dalam permukiman. Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan sebuah gambar konsep desain lanskap permukiman tradisional Madura.
27
IV KONDISI UMUM MADURA 4.1 Kondisi Administratif dan Geografis Madura Pulau Madura terletak di sebelah timur laut Pulau Jawa, tepatnya pada 7° Lintang Selatan dan 113°- 14° Bujur Timur. Pulau Madura dan Pulau Jawa dipisahkan oleh Selat Madura dengan lebar ± 4 Km. Secara umum, Pulau Madura tergolong kecil. Panjangnya sekitar 160 km dan jarak terlebarnya 55 Km sehingga luas totalnya 5.304 km2. Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten yang terletak dibagian timur Pulau Madura dan termasuk kabupaten yang masih memiliki nilai–nilai tradisional yang murni. Hal ini disebabkan Sumenep merupakan bekas wilayah keraton Madura dan pembedaan status masyarakat di wilayah ini relatif cukup kuat. Kabupaten Sumenep terletak diantara 113o32’54’’ BT – 116o16’48’’ BT dan diantara 4o55’ LS – 7o24’ LS dengan batas-batas sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur Laut Jawa/ Laut Flores, sebelah selatan Selat Madura, dan sebelah barat Kabupaten Pamekasan. Secara geografis wilayah Kabupaten Sumenep terbagi atas bagian Daratan dengan luas : 1.146,93 Km2 (54,79 %). Bagian Kepulauan dengan luas : 946,53 Km2 (45,21 %) yang meliputi 126 buah pulau, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Temperatur Sumenep pada tahun 2009 tertinggi di bulan Nopember o (36,2 C) dan terendah di bulan Februari (25,4 oC) dengan kelembaban 65,0 s/d 95,5%. Tekanan udara tertinggi di bulan September sebesar 1.014,5 milibar dan terendah di bulan Januari 1.005,9 milibar. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan Januari. Rata-rata penyinaran matahari terlama di bulan Agustus dan terendah di bulan Februari. Sedangkan Kecepatan angin di bulan Juli merupakan yang tertinggi dan terendah di bulan Maret (BPS Sumenep 2010). Desa Lenteng Timur merupakan salah satu desa di kabupaten Sumenep yang terletak di Kecamatan Lenteng (Gambar 15). Desa Lenteng Timur memiliki luas wilayah 4,05 Km2 dan terbagi dalam enam dusun yaitu Dusun Jepun Timur, Jepun Barat, Sarpereng Utara, Sarpereng Selatan, Samondung Utara, dan Samondung Selatan. Secara geografis wilayah desa Lenteng Timur terletak di dataran rendah yaitu kurang dari 500 m diatas permukaan laut sedangkan menurut topografinya Desa Lenteng Timur termasuk daerah landai dan berbukit dengan kemiringan tanah 30%.
Gambar 15. Lokasi desa lenteng timur (sumber: www.google.maps.com)
28
4.2 Kondisi Sosial Masyarakat Madura Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang menganut hubungan kekerabatan bilateral patrilineal (Hidayah 1996). Hubungan kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki–laki dan perempuan secara sama dan setara sehingga sebutan kekerabatan bagi keluarga pihak laki–laki tidak berbeda dengan sebutan untuk keluarga pihak perempuan (Rifai 2007). Hubungan kekerabatan ini sangat dekat sehingga menjadi pengikat utama dalam hidup bermasyarakat. Rifai (2007) menyebutkan bahwa orang madura memiliki sifat ejhin (sendiri-sendiri) namun keterikatan dalam keluarga sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat pada penataan permukiman masyarakat madura. Mayoritas masyarakat Madura beragama islam sehingga nilai-nilai agama islam menjadi landasan dalam sistem kemasyarakatannya. Penduduk Desa Lenteng Timur seluruhnya beragama islam. Pada hari-hari tertentu diadakan pengajian secara berkala di masjid Desa Lenteng Timur. Acara pengajian ini juga di sesuaikan dengan jenis kelamin dan usia. Pengajian bagi kalangan bapak-bapak disebut kamrad yang dilaksanakan satu minggu sekali. Pengajian bagi ibu-ibu disebut muslimat dan dilaksanakan satu bulan sekali. Kamrad dan muslimatan dipimpin seorang kyai dan nyai (istri kyai). Mata pencaharian masyarakat madura relatif beragam. Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat Madura adalah bercocok tanam tanaman pangan, berdagang, nelayan dan berternak (Hidayah 1996; Rifai 2007). Penduduk desa Lenteng Timur bermatapencaharian sebagai petani, buruh tani, PNS, dan pensiunan PNS. Menurut data monografi yang dihimpun dinas kependudukan Kabupaten Sumenep Jumlah penduduk desa Lenteng Timur tahun 2011 adalah 6.643 jiwa yang terdiri dari 3.266 penduduk laki-laki dan 3.377 penduduk perempuan. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Komposisi penduduk desa Lenteng Timur berdasarkan mata pencaharian No. Mata Pencaharian Prosentase 1. Petani 18,68 2. Buruh tani 4,88 3. PNS 1,57 4. Swasta 28,6 5. Tukang kayu/Batu 1,42 6. Peternak 0,87 7. Sopir 2,51 8. Jasa Angkut 2,45 9. Pandai Besi 2,48 10. Pengrajin Tikar 1,90 11. Lain-lain 34,64 Sumber: data demografi Desa Lenteng Timur, Sumenep 2012 Berdasarkan tabel diketahui bahwa sektor swasta berperan dominan dalam menggerakkan ekonomi di Desa Lenteng Timur. Sektor swasta yang mulai tumbuh dan berkembang ini mayoritas adalah sekolah swasta sehingga masyarakat desa lenteng Timur sebagian besar bekerja sebagai guru di sekolah swasta tersebut. Mata pencaharian dibidang pertanian juga masih menjadi potensi
29
utama di Desa Lenteng Timur. Lahan pertanian umumnya berupa sawah tadah hujan dan tegalan. Hasil pertanian masyarakat antara lain padi, jagung, tembakau, dan kedelai. Padi ditanam pada musim penghujan sedangkan pada musim kemarau para petani menanam tembakau. Jagung dan kedelai ditanam pada masa jeda dari padi ke tembakau atau sebaliknya. Ilmu pengetahuan yang menonjol di Kabupaten Sumenep adalah ilmu pengobatan tradisional, kesenian, dan keagamaan. Jenis kesenian yang banyak diminati adalah hadrah dan pencak silat. Kesenian yang masih berkembang di Sumenep adalah orkes, ketoprak, karawitan, dan samroh topeng, namun populasinya sangat kecil. Kesenian seperti terbang, samman, sandur, gambus telah ditinggalkan peminatnya dan hampir punah. Tingkat pendidikan penduduk Desa Lenteng Timur cukup menyebar dengan sebagian besar penduduk dapat menyelesaikan pendidikannya hingga tamat SLTP. Komposisi penduduk desa Lenteng Timur menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 5. Pola sikap dan perilaku masyarakat Madura didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan, sistem stratifikasi sosial, harga diri yang melekat pada masyarakat Madura, dan sistem kekerabatan (Wiyata 2002). Dasar-dasar inilah yang menjadi landasan dalam setiap tindakan masyarakat Madura. Dasar keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa menunjukkan budaya Madura mengenal etika terhadap Tuhan. Secara garis besar pelapisan sosial meliputi tiga lapisan yaitu oreng kene sebagai lapisan terbawah, ponggaba sebagai lapisan menengah, dan parjaji sebagai lapisan paling atas (wiyata 2002). Oreng kene atau orang kecil adalah kelompok masyarakat biasa atau kebanyakan. Mereka biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, atau pengrajin. Lapisan sosial menengah atau ponggaba meliputi para pegawai yang bekerja sebagai birokrat mulai dari tingkat bawah hingga tinggi. Lapisan paling atas atau parjaji adalah para bangsawan baik yang merupakan keturunan raja maupun keturunan orang-orang yang diberi penghargaan oleh pemerintah kolonial. Tabel 5 Komposisi Penduduk Desa Lenteng Timur menurut Tingkat Pendidikan No. Pendidikan Prosentase 1. Tidak Sekolah 4,28 2. Tidak Lulus SD 14,23 3. Lulus SD/sederajat 28,02 4. Lulus SLTP/sederajat 30,23 5. Lulus SLTA/sederajat 17,68 6. Sarjana 1,48 7. D1, D2, D3 0,72 8. Madrasah Diniyyah 3,12 9. Pernah Kursus 0,48 Sumber: data demografi Desa Lenteng Timur (diolah) Pelapisan sosial menurut dimensi agama membagi masyarakat Madura menjadi dua lapisan yaitu santre dan benne santre. Kelompok santri dibedakan menjadi tiga tingkatan. Kyai merupakan kelompok masyarakat yang berada di lapisan atas, bindara dianggap sebagai kelompok menengah, dan santri sebagai kelompok di lapisan terbawah. Di wilayah perdesaan sistem pelapisan sosial
30
menurut dimensi agama lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga seorang kyai yang berfungsi sebagai guru akan lebih ditaati perintahnya dan didengarkan nasihatnya daripada penguasa daerah. Secara arsitektural kondisi permukiman Desa Lenteng Timur masih memegang nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini tampak pada bentuk arsitektur bangunan, pola rumah tinggal, dan pola elemen pembentuk permukiman. Bentuk arsitektur bangunan yang terdapat di Desa lenteng Timur umumnya berupa bangunan dengan bentuk atap bangsal atau trompesan (Gambar 17). Bahan bangunan yang digunakan antara lain berupa tembok bata, kayu, bambu atau anyaman bambu (tabing). Pola rumah tinggal masyarakat Desa Lenteng Timur sebagian besar berbentuk taneyan lanjhang dengan komposisi rumah berjumlah 615 bangunan. 4.3 Falsafah Hidup Masyarakat Madura Dalam kehidupan masyarakat madura dikenal falsafah bappa, babbu, guru, rato. Konsep ini merupakan bentuk penghormatan masyarakat madura kepada orang tua, guru (kyai) dan penguasa (pemerintah). Penghormatan dan Kepatuhan terbesar dipersembahkan pada kedua orang tua, terutama bapak sebagai pengayom dan penentu kebijakan dalam keluarga. Selanjutnya adat budaya madura menempatkan penghormatan kepada ibu dan perempuan diurutan kedua. Penghormatan kepada guru/kyai menempati urutan ketiga sebagai orang yang memberikan ilmu terutama ilmu keagamaan. Kepatuhan masyarakat Madura terhadap kyai menempatkan kyai pada strata tertinggi dan dapat mempengaruhi kebijakan publik. Konsep hidup bappa, babbhu, guru, rato tidak hanya terlihat pada pola aktivitas sehari-hari tetapi juga termanifestasi pada tatanan permukiman, baik permukiman pada skala ketetanggaan maupun permukiman pada skala rumah tinggal (Gambar 16). Manifestasi konsep bappa-babbhu, guru, rato pada permukiman skala ketetanggaan ditunjukkan oleh keberadaan elemen rumah tinggal, masjid, dan kantor pemerintahan. Rumah tinggal merupakan perwujudan konsep bappa-babbhu, masjid dan komplek rumah kyai merupakan perwujudan konsep ghuru, dan kantor desa/pemerintahan merupakan manifestasi dari konsep rato’. Permukiman masyarakat madura pada skala rumah tinggal ditata menurut filosofi perlindungan terhadap anak perempuan. Prinsip ini mengharuskan setiap orang tua membangunkan rumah bagi anak perempuannya di halaman yang sama dengan orang tuanya. Anak perempuan yang sudah menikah akan tetap tinggal di pekarangan orang tuanya sehingga suaminya akan ikut tinggal di rumah istri. Apabila orang tua tidak mampu membuatkan rumah bagi anak perempuannya maka rumah yang ada akan diberikan pada anak perempuannya dan orang tua pindah ke kamar belakang atau ruangan yang lebih kecil. Posisi perempuan yang demikian menjadikan masyarakat Madura sangat menjaga martabat dan kehormatan perempuan. Dalam pandangan orang Madura, perempuan, terutama istri, merupakan simbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Penerapan konsep bappa-babbhu, ghuru, rato pada skala rumah tinggal tampak pada penataan elemen rumah tinggal yang terdiri dari roma tongghu dan langghar. Roma tongghu adalah rumah orang tua atau rumah induk. Adanya
31
elemen roma tongghu merupakan bentuk manifestasi konsep bappa-babbhu. Langghar adalah elemen dalam rumah tinggal yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah dan memberikan pendidikan agama bagi anak-anak. Selain itu langghar juga berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya musyawarah keluarga. Berdasarkan fungsi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan langghar dalam rumah tinggal merupakan manifestasi konsep guru-rato.
Gambar 16. Manifestasi konsep hidup masyarakat Madura pada spot permukiman
32
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Permukiman Tradisional Madura Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah dipisahkan oleh lahan garapan atau jalan. Kelompok-kelompok rumah dibangun di sepanjang sisi jalan raya atau jalan setapak atau ditengah-tengah lahan pertanian. Pola permukiman tradisional madura terbentuk dari kombinasi tatanan rumah-rumah tradisional, jalan, dan lahan pertanian (Gambar 17). Fasilitas seperti lapangan dan masjid merupakan tempat berkumpul bagi masyarakat dan umumnya terletak di pusat desa. Masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat umumnya diselesaikan dengan musyawarah yang dipimpin oleh kiai atau kalebun (kepala desa) atau sesepuh kampung.
Gambar 17. Karakter permukiman tradisional Madura Lanskap permukiman Desa Lenteng Timur didominasi oleh permukiman rumah tinggal dan lahan pertanian. Struktur permukiman dibentuk oleh kelompokkelompok rumah tinggal, lahan pertanian, dan jalan lingkungan sebagai akses utama. Pola permukiman berbentuk cluster yang dipisahkan oleh jalan dan lahan pertanian. Setiap kluster terdiri dari satu atau lebih kelompok rumah yang setiap kelompok rumah tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kelompok-kelompok rumah tersebut umumnya dipisahkan oleh pagar yang mengelilingi komplek perumahan. Pagar tersebut dapat berupa pagar hidup atau pagar tembok (Gambar 18). Pola permukiman tradisional Madura yang berbentuk kelompok-kelompok permukiman ini sesuai dengan pendapat Leibo (1986) bahwa salah satu bentuk pola permukiman di perdesaan adalah cluster village yaitu rumah-rumah mengelompok dengan dikelilingi lahan pertaniannya. Selain itu pola permukiman tradisional Madura juga merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi alam, sebagai bentuk pertahanan (defense), dan jenis mata pencaharian. Kondisi alam yang kering dan kurang subur menyebabkan masyarakat Madura berkumpul dan mendirikan rumah tinggal di lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Pola
33
cluster atau berkelompok merupakan bentuk pertahanan dari gangguan musuh dan hewan liar. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Hastijanti (2005) bahwa elemen permukiman Madura yang berbentuk tanean lanjhang dan kampung mejhi merupakan elemen yang mengakomodir ritual carok. Mata pencaharian penduduk madura sebagai petani mempengaruhi karakter permukiman sehingga tampak selalu dekat dengan lahan pertanian. Tanah sebagai lahan pertanian tidak dapat dipisahkan dari permukiman tradisional Madura karena rumah tinggal hampir selalu dibangun didekat lahan garapan. Penelitian de Jonge (1989) bahkan menyebutkan bahwa komplek rumah tinggal tradisional madura yang disebut tanean lanjhang tidak dapat dipisahkan dari lahan garapan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rapoport (1969) bahwa pola permukiman tradisional dipengaruhi oleh bentuk tapak, upaya petahanan, dan aspek ekonomi.
Gambar 18. Pagar hidup pada rumah tinggal madura 6.2 Faktor-Faktor Pembentuk Permukiman Tradisional Madura Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kombinasi tiga faktor dominan, yaitu faktor strata sosial, faktor religi, dan faktor kekerabatan. Ketiga faktor tersebut membentuk ruang permukiman pada skala meso (ketetanggaan) berdasarkan aktivitas masyarakat Madura. 6.2.1 Faktor Strata Sosial Permukiman tradisional Madura sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Madura. Kebudayaan yang berhubungan dengan strata sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk permukiman. Strata sosial di Madura dibagi menurut beberapa sudut pandang sehingga lapisan antar golongan saling bertumpang tindih. Pelapisan sosial masyarakat Madura dalam hal keagamaan membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kiai, santre dan benne santre. Penggolongan ini merupakan bentuk strata yang masih kuat di masyarakat. Kyai sebagai golongan tertinggi memegang peranan penting dalam masyarakat yaitu sebagai guru yang memberikan teladan dan sumber ilmu keagamaan sehingga seorang kyai sangat dihormati. Ada kepercayaan yang menyebutkan bahwa orang
34
yang menentang kyai akan mendapatkan sial (kenneng tola) sehingga penghormatan kepada kyai seringkali melebihi penghormatan kepada penguasa wilayah. Permukiman golongan kyai merupakan pusat aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar keagamaan dan kegiatan kemasyarakatan (Gambar 19). Hal ini menyebabkan di beberapa tempat rumah tinggal kyai dilengkapi dengan masjid dan pondok pesantren sebagai ruang aktivitas publik. Permukiman golongan santre dan benne santre umumnya memiliki pola ruang yang sama dengan masyarakat madura pada umumnya.
Gambar 19. Komplek rumah kyai Pelapisan sosial menurut dimensi ekonomi mempengaruhi penggunaan material dalam permukiman. Masyarakat dengan strata sosial tinggi umumnya membangun rumah tinggal dengan tipe atap berbentuk bangsal dan pacenan dengan material bangunan berupa batu bata putih. Sedangkan bagi masyarakat dengan starata sosial menengah dan rendah (rakyat jelata) umumnya membangun rumah dengan menggunakan tipe atap trompesan atau pegun. Namun, tidak terdapat ketentuan khusus dalam penggunaan tipe atap tersebut. Pemilihan bentuk atap hanya didasarkan pada kemampuan dan selera pemilik rumah. 6.2.2 Faktor Religi Kehidupan masyarakat Madura tidak lepas dari suasana religi yang kuat. Kegiatan-kegiatan bernuansa islam berkembang di masyarakat dan seringkali dilaksanakan secara berkala. Hal ini menyebabkan fasilitas keagamaan manjadi pusat orientasi kegiatan masyarakat. Permukiman tradisional secara makro menunjukkan bahwa kegiatan masyarakat madura berorientasi pada Masjid dan komplek rumah kyai (Gambar 20). Masjid menjadi tempat melaksanakan ibadah sholat lima waktu, belajar agama, belajar mengaji, dan ritual khataman Qur’an. 6.2.3 Faktor Kekerabatan Faktor Kekerabatan merupakan faktor yang paling dominan membentuk permukiman tradisional Madura. Penataan permukiman masyarakat Madura
35
didasarkan pada hubungan kekerabatan antar anggota permukiman. Semakin dekat jarak rumah tinggal atau komplek permukiman maka hampir dapat dipastikan anggota masyarakata tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.
Gambar 20. Masjid dan komplek rumah kyai sebagai pusat orientasi kegiatan Elemen utama permukiman yang berupa rumah tinggal dibangun secara berkelompok sesuai dengan jumlah anak perempuan sehingga membentuk tanean lanjhang (Gambar 21). Tanean lanjhang ini selain sebagai tempat tinggal juga menjadi pamolean bagi saudara laki-laki yang telah bercerai atau pulang dari merantau. Oleh sebab itu anak perempuan selalu mewarisi rumah beserta pekarangannya sedangkan anak laki-laki berbagi dengan saudara perempuannya mewarisi lahan pertanian/garapan. Fungsi pewarisan rumah dan pekarangan pada anak perempuan adalah untuk tetap menjaga keutuhan hubungan kekerabatan. Kelompok permukiman baru dapat terbentuk apabila pihak laki-laki yang akan menikahi wanita dapat menyediakan lahan dan rumah di tempat yang baru sehingga menjadi cikal bakal tanean lanjhang yang baru.
Gambar 21. Komplek rumah tanean lanjhang
36
5.3 Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional Madura Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh elemen-elemen permukiman yang memiliki orientasi tertentu sehingga membentuk karakter permukiman tradisional Madura yang khas. Adapun elemen lanskap permukiman tradisional Madura adalah sebagai berikut. 5.3.1 Rumah tinggal tradisional Rumah tinggal tradisional Madura merupakan suatu komplek rumah tinggal yang disatukan dalam satu pagar. Didalamnya terdapat satu atau lebih rumah tinggal dan beberapa bangunan yang dibangun berjajar dari barat ke timur menurut orientasi tertentu sehingga membentuk tanean lanjhang (halaman panjang). Setiap rumah tinggal yang ada dalam tanean lanjhang memiliki ikatan kekerabatan satu sama lain. Elemen dan pola tata ruang dalam tanean lanjhang merupakan manifestasi dari konsep buppa-babbu-guru-rato secara mikro. Elemen utama penyusun tanean lanjhang adalah rumah tinggal, langghar, dapur, kandang, tanean, dan pagar hidup. Rumah-rumah yang terdapat dalam tanean lanjhang bervariasi menurut jumlah anak perempuan yang dimiliki. Apabila dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan maka hampir dapat dipastikan tanean tidak akan berkembang memanjang. Desain rumah tinggal seperti ini disebut dengan rumah mejhi (Gambar 22). Rumah tinggal tradisional Madura umumnya menggunakan ukuran 6x9 m2 atau 7x9 m2 atau 5x15 m2 sehingga apabila ada 6 rumah dalam satu tanean, panjang tanean dapat mencapai 36 m.
Gambar 22. Rumah Mejhi 1. Rumah tinggal tradisional Rumah tinggal terdiri dari rumah induk dan rumah anak perempuan. Rumah induk disebut rumah tongghu (Gambar 23). Rumah ini merupakan rumah yang ditempati oleh orang tua/pemilik taneyan dan selalu dibangun di sisi barat taneyan menghadap selatan. Tata letak rumah tongghu di ujung barat tanean merupakan
37
manifestasi dari konsep buppa-babbu yang bermakna bahwa orang tua adalah panutan yang harus dipatuhi dan memberikan teladan dalam tanean. Apabila orang tua meninggal dunia rumah tongghu akan diwariskan pada anak perempuan pertama agar dapat dipelihara. Apabila orang tua tidak memiliki anak perempuan, biasanya ada salah satu anak laki-laki yang akan diminta untuk mendiami rumah tongghu dan penentuannya dilakukan melalui musyawarah keluarga. Menurut Subaharianto dkk (2005) hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa lahan pekarangan dan rumah tongghu didiami oleh roh leluhur sehingga tidak boleh dibiarkan kosong agar ada yang dapat menghormati roh-roh leluhur tersebut. Rumah anak perempuan biasanya dibangun berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlahnya. Apabila lahan tidak mencukupi, rumah-rumah baru dibangun dengan pola sebaliknya, yaitu dari barat ke timur sehingga bangunan rumah saling berhadap-hadapan. Namun menurut Wiyata (2002) Hal ini telah menyalahi aturan tanean lanjhang. Pola permukiman tanean lanjhang ini mengikat sebuah keluarga, terutama keluarga perempuan, dengan kuat sehingga sampai saat ini dapat ditemui tanean lanjhang yang telah dihuni selama 3-5 generasi.
Gambar 23. Rumah tongghu Material bangunan yang digunakan pada rumah tradisional saat ini telah mengalami penyesuaian. Jika pada masa dahulu material bangunan yang digunakan adalah bambu atau kayu sebagai dinding dan rangka bangunan, genteng dan ijuk sebagai atap, serta lantai berupa tanah padat, maka saat ini material yang digunakan berupa tembok semen, genteng dan lantai semen atau keramik. Namun, bentuk arsitektur rumah relatif tidak berubah. Hal ini tampak dari bentuk atap, tiang sasaka agung, dan ukir-ukiran sebagai ragam hias rumah tradisional. Rumah-rumah tradisional Madura umumnya dibedakan menurut bentuk atapnya. Tipe atap bangsal dan pacenan biasa digunakan sebagai atap rumah tongghu atau rumah tinggal anak. Selain itu tipe atap bangsal dan pacenan umumnya digunakan oleh kalangan bangsawan prijaji dan kalangan menengah.
38
Tipe atap trompesan dan pegun biasanya digunakan sebagai bentuk atap bangunan-bangunan penunjang lain seperti langghar, dapur, dan kandang. 2. Langghar Langghar merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat manjalankan ibadah (Gambar 24). Bangunan ini merupakan bangunan yang sangat penting karena berfungsi sebagai tempat orang tua memberikan nasihat kepada putra-putrinya. Selain itu langghar juga digunakan sebagai tempat tidur anak laki-laki yang telah akil baligh, melakukan musyawarah keluarga, dan menerima tamu laki-laki. Dalam konsep budaya madura, langghar menempati posisi guru dalam tanean. Hal ini didasarkan pada fungsi langghar sebagai penjaga dan penerus nilai-nilai budaya dalam keluarga. Langghar dibangun di ujung barat tanean berhadapan langsung dengan pintu masuk tanean agar pemilik tanean dapat mengawasi keseluruhan tanean. Keberadaan langghar menandai eksistensi sebuah tanean. Tanean diakui sebagai kelompok rumah yang mandiri apabila telah dibangun langghar baru di halamannya. Sehingga dengan kata lain langghar merupakan orientasi utama dalam tanean. Bangunan langghar umumnya berupa rumah panggung setingi lebih kurang 1 m dengan ukuran 3x4 m2. Bagian yang menghadap ke timur dibiarkan terbuka dan dilengkapi dengan teras. Material bangunan langghar umumnya dari kayu atau bambu atau tembok semen.
Gambar 24. Letak langghar dalam tanean 3. Dapur dan kandang Dapur dan kandang (Gambar 25) merupakan lambang kemandirian setiap keluarga yang ada dalam tanean. Setiap rumah dalam tanean memiliki dapur sendiri, sedangkan keberadaan kandang disesuaikan dengan mata pencaharian masing-masing kepala keluarga. Selain itu dapur juga menjadi simbol area perempuan dalam tanean. Dapur dan kandang dibangun berhadapan dengan rumah tinggal. Hewan yang diternakkan umumnya adalah sapi. Jumlah sapi yang dimiliki biasanya menjadi tolak ukur kekayaan seseorang.
39
Gambar 25. Dapur dan kandang 4. Tanean Tanean merupakan ruang terbuka yang berada di tengah-tengah komplek bangunan. Tanean berfungsi sebagai pusat interaksi sosial antar anggota keluarga yang tinggal dalam tanean. Selain itu tanean juga berfungsi sebagai tempat menjemur hasil pertanian dan menyelenggarakan hajatan. Apabila pemilik tanean memiliki banyak anak perempuan, maka tanean akan berkembang memanjang sehingga disebut dengan tanean lanjhang (Gambar 26).
Gambar 26. Rumah mejhi yang berkembang menjadi tanean lanjhang Bentukan lahan tanean umumnya datar dan menjadi bidang dasar bagi bangunan-bangunan diatasnya. Keberadaan taneyan menyatukan elemen bangunan sehingga menimbulkan harmonisasi antar elemen. Ruang dengan bentukan datar pada taneyan memberikan kesan terbuka, netral, dan stabil. 5. Pagar Hidup Pagar hidup merupakan barisan pohon dan semak yang ditanam mengelilingi tanean. Desain penanaman pagar hidup sengaja dibuat agar tumbuh rapat sehingga dapat menjadi penanda batas area tanean dan melindungi penghuni tanean dari serangan musuh. Adanya pagar hidup ini merupakan bentuk defense penghuni tanean dari musuh-musuh yang mungkin ada serta menjadi batas teritorial kekuasaan pemilik tanean.
40
Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup adalah tanaman produktif dan dapat dimanfaatkan oleh pemilik rumah. Daftar tanaman yang digunkan sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya No. Nama Tanaman Nama Latin Fungsi turunan 1 Pohon waru Pakan ternak Dolichandrone 2 Pohon Jaran Pakan ternak spathacea 3 Bintaos Pakan ternak 4 Cabe Jawa Jamu, dijual Moringa oleifera 5 Kelor Bahan pangan 6 Pepaya Dijual Mangifera indica 7 Mangga Dijual 8 Bambu Bambusa sp. Dijual 9 Rambutan Dijual 10 Pisang Dijual Artocarpus integra 11 Nangka Dijual Annona squamosa 12 Sarikaya Dijual Cananga odorata 13 Kenanga Dijual Aeschynomene 14 Turi Bahan pangan grandiflora Michelia champaca 15 Cempaka Estetika 16 Mawar Rosa sp. Estetika 17 Melati Jasminum sambac Estetika Pluchea indica 18 Beluntas Bahan pangan, jamu Sumber : survei lapang 2013 5.3.2 Lahan Garapan Lahan garapan di Pulau Madura sebagian besar merupakan lahan kering sehingga sistem pertanian yang diterapkan oleh petani Madura adalah sistem pertanian lahan kering atau perladangan (Gambar 27). Pada musim hujan (nambara’) petani menanam padi dengan sistem tadah hujan sedangkan pada musim kemarau (nemor) petani menanam jagung dan tembakau. Pada tanah tegalan ditanam kacang hijau dan ubi-ubian. Pada sisi-sisi ladang ditanami dengan kelapa. Pohon kelapa berfungsi sebagai peneduh dan hasilnya dijual ke pasar. Lahan garapan biasanya terletak di sekeliling permukiman. Hal ini menyebabkan antara permukiman yang satu dengan permukiman yang lain cenderung terpencar. Lahan garapan umumnya terletak disisi luar tanean atau berada disekeliling tanean. Hal ini dimaksudkan agar petani bekerja tidak jauh dari rumahnya sehingga seringkali rumah dibangun diatas tanah garapan. Tidak ada orientasi khusus dimana harus membangun rumah. Biasanya hal ini diserahkan pada dhukon atau kyai untuk menentukan dimana tempat yang baik untuk membangun rumah.
41
Gambar 27. Pertanian lahan kering Lahan garapan yang dimiliki petani madura pada masa lalu sangatlah luas. Hal ini dapat dilihat dari pola permukiman tanean lanjhang yang dapat dibangun oleh pemilik pertama tanean. Namun saat ini, sesuai dengan hukum waris menurut syariat islam, tanah pertanian telah dibagi-bagi sehingga terpetak-petak menurut jumlah keluarga. Letaknya pun terpencar-pencar karena sebagian pewarisnya lebih memilih untuk menjual tanah pertanian. Tanah pertanian umumnya dijual untuk menambah biaya naik haji. Fenomena ini tidak sejalan dengan pendapat Subaharianto (2009) bahwa masyarakat madura memiliki ikatan tanah dengan roh leluhur sehingga menjual tanah sama dengan menjual roh leluhur. Penjualan tanah hanya dapat dilakukan kepada keluarga dekat sehingga seharusnya cukup sulit untuk menjual tanah di madura. 5.3.3 Masjid Masjid bagi masyarakat madura merupakan simbol ketaatan masyarakat madura terhadap Allah SWT. Masjid digunakan sebagai tempat ibadah shalat, Pengajian, dan tempat berkumpul. Penggerak utama kegiatan masjid adalah kyai. Pada umumnya rumah seorang kyai dilengkapi langghar yang digunakan anakanak belajar mengaji. Kemudian langghar ini dapat berkembang menjadi masjid dan dapat pula menjadi cikal bakal pesantren. Selain di rumah kyai, masjid juga dapat didirikan diatas tanah wakaf menurut kesepakatan masyarakat. Tidak ada ketentuan berapa masjid yang harus dibangun dalam satu desa. Kebutuhan masjid disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan keberadaan tanah wakaf. Tapi hampir dapat dipastikan dalam satu desa terdapat minimal satu buah masjid. Masjid merupakan pusat orientasi aktivitas keagamaan permukiman tradisional. 5.3.4 Tanah Pemakaman Masyarakat Madura tradisional tidak mengenal pemakaman umum. Biasanya keluarga yang meninggal dunia akan dimakamkan di dalam tanean atau di tanah tegalnya. Tidak ada aturan khusus dimana harus memakamkan, yang
42
terpenting adalah arwah jenazah yang dimakamkan dapat kembali menyatu dengan tanah dan lebih tenang keberadaannya. Pemakaman umum yang dikenal saat ini merupakan hasil dari wakaf anggota masyarakat. Tata letak pemakaman umum tidak ditentukan secara pasti. Umumnya tanah pemakaman ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi dari sekitarnya agar terhindar dari banjir saat hujan. 5.4 Pola Permukiman Tradisional Madura Karakter permukiman tradisional Madura dipengaruhi oleh sistem pertanian lahan kering dan kekerabatan sehingga membentuk pola permukiman yang mengelompok namun terpencar. Setiap keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan cenderung membentuk permukiman yang mengelompok, namun antar kelompok umumnya terpisah oleh lahan pertanian sehingga membentuk permukiman yang terpencar. Pola permukiman ini dapat dikategorikan sebagai kombinasi antara the scattered formstead community dan the cluster village (Leibo 1986). The scattered formstead community adalah pola permukiman yang sebagian penduduknya berdiam di pusat layanan, sementara yang lainnya tersebar bersama sawah ladangnya masing-masing, sedangkan the cluster village adalah pola permukiman yang penduduknya tinggal mengelompok dengan dikelilingi sawah ladangnya. Pusat layanan dalam ruang permukiman tradisional madura juga berperan sebagai pusat aktivitas sosial masyarakat. Pusat layanan dan aktivitas sosial ini dapat berupa masjid, pondok pesantren, atau lapangan kampung. Tata letak masjid pada permukiman tradisional Madura umumnya berada pada jalur sirkulasi primer dan menjadi penanda (landmark) sekaligus simpul aktivitas (nodes)bagi kawasan permukiman. Jalur sirkulasi (path) pada permukiman tradisional Madura dapat dibedakan menjadi jalur sirkulasi primer dan sekunder. Jalur sirkulasi primer adalah jalur sirkulasi utama yang menghubungkan antar wilayah. Letak jalur sirkulasi primer dalam permukiman tradisional tidak mengikuti pola permukiman, namun dapat membelah kawasan permukiman tradisional sehingga jalan utama dapat digunakan sebagai pembatas antar ruang permukiman (edges) dalam satu desa atau dusun. Jalur sirkulasi sekunder adalah jalur sirkulasi yang menghubungkan kelompok rumah dengan kelompok rumah atau dengan lahan pertanian berupa jalan lingkungan. Pada umumnya jalur sirkulasi sekunder hanya menghubungkan antar titik dalam ruang permukiman. Tepian (edges) permukiman tradisional madura umumnya dibatasi oleh batas fisik dan batas alam. Di wilayah Desa Lenteng Timur, daerah tepian dibatasi oleh jalan, lahan pertanian, dan sungai. Lahan pertanian yang luas dan banyaknya jumlah jalan sekunder menyebabkan batas tepi permukiman menjadi kurang tegas sehingga tidak menjadi batas wilayah yang jelas. Orientasi permukiman pada skala ketetanggaan cenderung tidak ada. Permukiman padat umumnya terkonsentrasi menurut letak fasilitas dan pelayanan umum, ketersediaan akses (jalur sirkulasi), atau jumlah kerabat. Hal ini berbeda dengan permukiman tradisional pada skala mikro yang menggunakan konsep taneyan lanjhang. Permukiman tradisional taneyan lanjhang berorientasi pada arah kiblat. Kiblat menjadi pedoman dalam menentukan arah pembangunan
43
rumah tinggal dalam taneyan lanjhang. Hal ini menyebabkan posisi rumah tidak sejajar dengan jalan utama. 5.5 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura Ruang permukiman tradisional madura dibentuk oleh budaya masyarakat madura yang sangat erat dengan faktor religi dan kekerabatan. Faktor religi dan kekerabatan membentuk pelapisan sosial sehingga berpengaruh terhadap pola ruang aktivitas masyarakat. Tata ruang permukiman tradisional masyarakat madura dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu tata ruang menurut fungsi, tata ruang menurut sifat, dan tata ruang menurut aktivitas. 5.5.1 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura menurut Fungsi Berdasarkan fungsi ruang, tata ruang permukiman tradisional madura dibedakan menjadi ruang tinggal, ruang sosial, dan ruang produksi (Gambar 28). Ruang tinggal merupakan area permukiman yang terikat oleh faktor kekerabatan dan menjadi tempat tinggal masyarakat. Ruang tinggal terdiri atas kelompokkelompok rumah yang berpola mejhi dan tanean lanjhang. Ruang sosial merupakan ruang tempat masyarakat melakukan aktivitas secara bersama dan dapat digunakan oleh siapa pun. Ruang sosial dapat berupa lapangan, masjid, dan pemakaman umum. Ruang produksi merupakan ruang yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ruang produksi dapat berupa lahan pertanian dan pasar.
Gambar 28 Tata ruang menurut fungsi 5.5.2 Tata ruang permukiman Tradisional menurut Sifat Berdasarkan sifatnya, ruang permukiman dibagi menjadi ruang publik dan ruang privat (Gambar 29). Ruang publik merupakan ruang yang dapat diakses oleh semua orang. Ruang publik mengakomodasi kegiatan sosial dan keagamaan seperti kamrat, muslimatan, musyawarah warga, lomba karapan sapi, ziarah kubur, dan sebagainya. Elemen permukiman dalam ruang publik adalah masjid, lapangan, dan pemakaman umum. Ruang privat merupakan ruang yang hanya dapat diakses oleh individu masyarakat yang memiliki ruang tersebut. Ruang privat mengakomodasi kebutuhan produksi dan tinggal menetap. Elemen permukiman yang termasuk dalam ruang privat adalah elemen rumah tinggal dan lahan pertanian.
44
Gambar 29. Tata ruang menurut sifat 5.5.3 Tata ruang Permukiman Tradisional menurut Kepercayaan Berdasarkan aspek kepercayaan, ruang permukiman tradisional madura dapat dibagi menjadi ruang profan dan ruang suci (Gambar 30). Ruang profan merupakan ruang yang bersifat keduniawian sehingga aktivitas yang diakomodir dalam ruang ini adalah aktivitas-aktivitas sosial yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Elemen permukiman yang termasuk dalam ruang profan adalah lahan pertanian. Ruang suci merupakan ruang yang bersifat spritual sehingga aktivitas yang diakomodir adalah kegiatan yang bersifat keagamaan dan pelaksanaan kepercayaan. Elemen permukiman yang termasuk dalam ruang suci adalah masjid, rumah tinggal, dan tanah pemakaman.
Gambar 30. Tata ruang menurut kepercayaan
45
5.6 Desain Permukiman Tradisional Madura Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar desain permukiman tradisional Madura adalah berbentuk cluster. Desain cluster merupakan desain permukiman yang mengakomodir beberapa unit rumah pada suatu lokasi yang sempit untuk mendapatkan ruang terbuka yang lebih luas (Russ 2009). Menurut Untermann dan Robert (1993) Perumahan dengan desain cluster adalah perumahan yang saling dihubungkan sedemikian rupa sehingga unit-unit individualnya membagi bersama, baik dinding, lantai, ataupun langit-langitnya. Hal yang terpenting adalah unit-unit individual tersebut membagi bersama pemakaian ruang terbuka dan fasilitas yang ada. Skala dan organisasi permukiman cluster menggambarkan suatu wadah fisik dan sosial yang terstruktur namun tetap fleksibel menurut nilai-nilai dan kebudayaan setempat. Pengembangan desain cluster dapat mereduksi dampak visual dari pengembangan yang dilakukan komunitas serta dapat mereduksi dampak lingkungan. Bentuk cluster memungkinkan pengembang untuk memanfaatkan lahan untuk memelihara nilai-nilai kawasan alami, lahan pertanian, zona riparian, dan sebagainya (Russ 2009). Daftar atribut bagi permukiman dengan desain cluster adalah sebagai berikut. 1. Mengakomodir sejumlah unit pada ruang sempit bagi ruang terbuka yang lebih luas 2. Mereduksi dampak visual bagi komunitas penghuni permukiman 3. Mengakomodasi ruang penyangga diantara penggunaan yang berbeda 4. Memelihara fungsi lanskap alami penting 5. Mangangkat karakter perdesaan pada tapak 6. Sensitif terhadap karakter tapak 7. Membangun benchmark bagi pengembangan di masa datang 5.6.1 Konsep Ruang Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat dan fungsi penggunaan ruang serta atribut desain cluster, area permukiman tradisional madura dapat dibagi dalam 3 ruang sebagai berikut : 1. Ruang privat Ruang privat merupakan ruang yang hanya dapat diakses oleh penghuni komunitas. Ruang privat berupa rumah tinggal yang ditata berkelompokkelompok menurut hubungan kekerabatan. Ruang privat mengakomodasi aktivitas pribadi dan anggota komunitas dalam kelompok. 2. Ruang publik Ruang publik adalah ruang yang dapat diakses oleh semua orang. Ruang publik dapat berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti Masjid sebagai sarana ibadah. Ruang publik merupakan pusat orientasi kegiatan masyarakat dalam permukiman. 3. Ruang terbuka privat Ruang terbuka privat adalah ruang terbuka yang dimiliki oleh anggota komunitas. Ruang terbuka ini juga merupakan buffer antara kelompok rumah yang satu dengan kelompok rumah yang lain. Ruang terbuka privat mengakomodasi kegiatan produksi dan sosial. Elemen ruang terbuka privat adalah lahan pertanian dan halaman bersama dalam komunitas.
46
Konsep tata ruang yang permukiman tradisional madura adalah ruang privat diapit oleh ruang terbuka privat sehingga ruang terbuka privat berfungsi sebagai buffer antar komunitas. Ruang publik berada ditengah permukiman sehingga dapat diakses oleh seluruh penghuni permukiman (Gambar 31). Keterkaitan antar ruang yang demikian memungkinkan dibuatnya fasilitas-fasilitias penunjang permukiman pada area publik, sedangkan pada area privat dan ruang terbuka privat ketersedian fasilitas komunal harus melalui musyawarah anggota komunitas.
Gambar 31. Konsep Ruang Permukiman Tradisional Madura 5.6.2 Konsep Vegetasi Konsep vegetasi berkaitan dengan konsep tata hijau dalam ruang permukiman tradisional Madura. Penataan vegetasi pada permukiman tradisional madura didasarkan pada fungsi dan manfaat vegetasi bagi penghuni permukiman. Konsep tata hijau dalam ruang permukiman dibagi menjadi 2, yaitu sebagai vegetasi penyangga dan vegetasi produksi. Vegetasi penyangga adalah vegetasi yang berperan sebagai pembatas antar ruang dalam permukiman. Secara umum vegetasi penyangga berfungsi sebagai batas teritori bagi penghuni komunitas. Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi penyangga adalah jenis pohon seperti kelapa, mahoni, jati, sengon, jaran, dan waru. Vegetasi produksi merupakan vegetasi yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan penghuni permukiman. Vegetasi produksi umumnya ditanam pada ruang terbuka privat. Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi produksi adalah jenis tanaman pangan dan buah-buahan. Desain penanaman dalam permukiman tradisional tidak mengenal aturan khusus. Tata hijau lanskap didasarkan pada fungsi vegetasi dan ketersedian lahan penanaman. Vegetasi yang berfungsi sebagai buffer umumnya ditanam mengelilingi tapak, baik ruang terbuka privat maupun ruang privat. 5.6.3 Konsep sirkulasi Sirkulasi pada permukiman tradisional madura tidak memiliki pola yang khusus. Hierarki jalan permukiman dapat dibagi menjadi jalan utama dan jalan
47
lingkungan. Jalan utama merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan permukiman dengan lanskap lain dan menghubungkan antar fasilitas dalam permukiman. Sedangkan jalan lingkungan adalah jalur sirkulasi yang menghubungkan antar cluster dalam permukiman. Jalan lingkungan umumnya tidak memiliki pola yang jelas dan tegas. 5.6.4 Konsep Desain Permukiman tradisional Madura Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai pola permukiman madura, konsep ruang, konsep vegetasi, dan konsep sirkulasi maka konsep desain permukiman tradisional Madura adalah sebagai berikut. 1. Permukiman tradisional madura merupakan permukiman dengan desain cluster. 2. Setiap cluster terdiri dari beberapa rumah yang berjajar menurut arah barattimur dan memiliki ikatan kekerabatan. 3. Permukiman tradisional Madura menyediakan ruang terbuka yang bersifat privat bagi anggota komunitas/penghuni cluster. 4. Ruang publik terbatas pada penggunaan secara bersama dan sekaligus sebagai fasilitas sosial dalam permukiman. 5. Ruang permukiman ditata dengan konsep ruang terbuka privat menjadi ruang buffer dan pembatas antar cluster dalam permukiman. Gambaran spasial dari konsep desain tersebut dapat dilihat pada gambar 32.
Sirkulasi primer
Sirkulasi sekunder
U Gambar 32. Konsep desain permukiman tradisional Madura 5.7 Implikasi Penelitian Pembangunan jembatan suramadu menumbuhkan industrialisasi di Madura. Sebagai bagian dari kawasan GERBANGKERTOSUSILA (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) yang merupakan pusat pemerintahan,
48
industri,perdagangan, maritim dan pendidikan, Madura berpotensi untuk berkembang lebih maju. Oleh karena itu, keberadaan jembatan Suramadu, memberi harapan baru bagi masyarakat Madura. Namun demikian, dampak negatif dari pembangunan suramadu harus tetap diwaspadai. Aktivasi jembatan Suramadu akan menimbulkan perubahan sosial masyarakat Madura yang selama ini dikenal masyarakat agraris. Sebagian kalangan berpandangan, pola kehidupan warga Madura akan diwarnai industrialisasi. Dalam persoalan ini, kondisi Madura yang diasosiasikan sebagai masyarakat yang religius agamis (Islam) seharusnya sangat relevan sebagai modal dasar dalam rangka membentengi nilai-nilai luhur kearifan lokal dari ekses negatif globalisasi dan modernisasi. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah hendaknya dapat merekontruksi kebijakan yang pro budaya lokal, dengan cerdas dan kritis dalam menyikapi perkembangan industrialisasi nantinya. Salah satu bentuk kemajuan dan perkembangan di Madura pasca pembangunan jembatan suramadu adalah mulai berkembangnya bisnis perumahan sebagai dampak dari pengembangan industri dan perdagangan di Pulau Madura. Para pengembang perumahan yang saat ini mulai membuka lahan permukiman baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk perumahan yang telah berkembang di Pulau Jawa. Disisi lain, Madura juga memiliki nilai-nilai kearifan dalam menata permukimannya. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini diharapkan perkembangan perumahan di Madura tidak melupakan nilai-nilai budaya lokal sehingga budaya baru tetap dapat diterima oleh masyarakat. Integrasi budaya lokal pada era modernisasi bukan dimaksudkan untuk menghambat proses kemajuan pembangunan, melainkan dimaksudkan agar nilainilai budaya lokal yang menjadi karakter masyarakat tetap menjadi acuan dalam merencanakan pembangunan di Madura.
49
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah yang memiliki ikatan kekerabatan. Setiap kelompok rumah ini dipisahkan oleh lahan pertanian atau jalan. Masjid menjadi pusat orientasi kegiatan sosial dan keagamaan. Pola permukiman tradisional Madura sangat dipengaruhi oleh budaya dan falsafah hidup yang berkembang di masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat madura terdapat konsep buppa-babbu-guru-rato. Konsep ini merupakan hierarki penghormatan yang harus dilakukan orang madura, yaitu kepada orang tua (bappa-babbu), guru (kyai), dan pemerintah (rato). Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kombinasi tiga faktor, yaitu faktor strata sosial, faktor religi, dan faktor kekerabatan. Faktor strata sosial yang masih kuat keberadaannya di masyarakat dan mempengaruhi pola permukiman adalah strata sosial berdasarkan aspek keagamaan. Faktor religi membentuk ruang permukiman dengan masjid dan komplek rumah kyai sebagai pusat orientasi kegiatan masyarakat. Faktor kekerabatan berperan dalam tata ruang permukiman secara mikro. Elemen permukiman tradisional Madura terdiri dari rumah tinggal tradisional, lahan pertanian, masjid, dan tanah pemakaman. Dalam rumah tinggal tradisional madura dikenal dua pola yaitu pola tanean lanjhang dan pola mejhi. Elemen penyusun rumah tinggal, baik dengan pola tanean lanjhang maupun mejhi, adalah rumah induk dan rumah anak (jika ada), langghar, dapur, kandang, pagar hidup. Lahan pertanian berada disekitar rumah tinggal dan memisahkan antara kelompok rumah yang satu dengan kelompok rumah yang lain. Tata ruang permukiman tradisional Madura dibedakan menjadi tata ruang permukiman secara makro dan mikro. Tata ruang permukiman secara makro membedakan ruang permukiman menurut fungsi, sifat, dan aspek kepercayaan. Tata ruang permukiman secara mikro membagi ruang menurut hubungan kekerabatan dan fungsi penggunaan ruang. Konsep desain permukiman tradisional madura adalah permukiman dengan desain cluster dengan pembagian ruang permukiman berupa ruang privat, ruang publik, dan ruang terbuka privat. Konsep vegetasi didasarkan pada aspek fungsi vegetasi sebagai buffer dan produksi. Sirkulasi dalam permukiman dibagi menjadi sirkulasi pada jalan utama dan sirkulasi pada jalan lingkungan. Sirkulasi pada jalan lingkungan cenderung tidak memiliki pola yang jelas dan tegas. 6.2 Saran Beberapa saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Konsep desain permukiman tradisional madura hendaknya dapat diterapkan pada perumahan-perumahan di madura yang saat ini tengah berkembang agar nilai-nilai budaya madura tetap terjaga. 2. Pengembangan desain permukiman dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai lokal dan pandangan hidup masyarakat madura
DAFTAR PUSTAKA Altman I. 1975. The Environment and Social Behviour. Monterey CA: Wadsworth Anonim. 1992. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Permukiman. Bintoro D. 2010. Evaluasi Dampak Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu. [jejaring berkala] http://visitsuramadu.wordpress.com/2010/06/03 Booth NK. 1988. Basic Elements of Landscape Architechtural Design. New York: Waveland Press Inc. Badan Pusat Statistik.2010. Sumenep dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep : Sumenep Brower SN. 1976. Territory in Urban Setting dalam Altman (1980), Human Behaviour and Environment. Plenary Press: NY and London Burhanuddin. 2010. Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukimna Padat di Perkotaan. Jurnal Ruang Vol.2 (1), Maret. Citrayati N. 2008. Permukiman Masyarakat Petani Garam Di Desa Pinggir Papas, Kabupaten Sumenep. Arsitektur e-Journal, Vol.1/1. De Jonge H. 1989. Madura Dalam Empat Zaman : Perdagangan, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, Suatu Studi Antropoogi Ekonomi. Jakarta: PT Gramedia Dhofier Z. 1994. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES : Jakarta Dwi A. & Antariksa. 2005. Studi Karakteristik Pola Permukiman Di Kecamatan Labang Madura. Jurnal ASPI. 4 (2): 78-93. Fauzia L. 2006. Karakteristik Permukiman Taneyan Lanjhang di Kecamatan Labang Madura. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya. Fireza. 2008. Landscape by Beliefes. [jejaring berkala] http://ruanghijau.wordpress.com./2008/12/10/perencanaan-dan-desainlanskap Geertz C. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Haryadi dan Setaiwan B. 2010. Arsitektur, Lingkungan, dan Perilaku. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hasan R. 2008. Surau dalam Rumah Keluarga Madura [jejaring berkala].http.//nutaffside.gunadarma.ac.id/blog/raziq_hasan [24 Juni 2010] Hastijanti R. 2005. Pengaruh Ritual Carok terhadap Pemukiman TradisionalMadura. Surabaya: Dimensi Teknik Arsitektur Volume 33/1 Hidayah H. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Hubermen A. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjejep Rohendi Rosidi. UI Press: Depok Jordaan RE. 1979. Tentang Rumah Tradisional Madura [makalah seminar]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: Jakarta Junianto E. 2008. Analisis Makna Dalam Kumpulan Lagu-Lagu Madura 2 [skripsi]. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura: Pamekasan Krisna R. 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya. Krisna R., Antariksa & Dwi Ari, I.R. 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):124-133. Koentjaraningrat. 1987. Bunga Rampai Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Kebudayaan,
Mentalitas
dan
Kuswartojo, T. 2005. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia, Upaya Membuat Perkembangan Kehidupan yang Berkelanjutan. Bandung: Penerbit ITB Koestoer RH. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota Teori dan Kasus. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Laurens J M., 2005. Arsitektur dan Prilaku Manusia. Jakarta: Grasindo Laurie, M.1986. Pengantar Aritektur Pertamanan (Terjemahan). Intermedia. Bandung. Loidl H, Bernard H. 2003. Open Spaces Design as Landscape Architechture. Switzerland: Birkhauser Leibo J. 1986. Sosiologi Pedesaan. Andi Offset: Yogyakarta Maningtyas RT. 2011. Kajian Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Madura [skripsi]. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor: Bogor Maningtyas RT dan Gunawan A. 2011. Kajian Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Madura [prosiding]. Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Kearifan Lokal. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup LPPM Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto. Maulidi C. 2011. Harmonisasi Ruang, Alam, dan Budaya Tradisional Madura : Sebuah Konsep Adaptasi Lingkungan Perkotaan Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Program Studi Rancang Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung: Bandung Moleong LJ. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surjaman T, editor. Bandung: Remaja Risdakarya Muhajir N. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin: Yogyakarta.
Porteous JG. 1977. Environment and Behaviour. London: Rutledge. Putra BA. 2006. Pola Permukiman Melayu Jambi : Studi Kasus Kawasan Tanjung Pasir Koja. Program Pascasarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro: Semarang Raharja IGM. 2010. Studi Bentuk Dan Ruang Desain Pertamanan Tradisional Peninggalan Kerajaan-Kerajaan Di Bali. Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Rapoport A. 1969. House Form and Culture. London: Prentice-Hall, Inc Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA: University of Wisconsin-Milwaukee. Reid, G. W. 1993. From Concept to Form in Landscape Design. Van NostrandReinhold Co. New York.
Rifai MA. 2007. Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, Dan Pandangan Hidupnya Seperti Yang Dicitrakan Peribahasanya. Pilar Media: Yogyakarta Russ TH. 2009. Site Planning and Design Handbook. USA: Mc Graw Hill Company, Inc. Sadik Sulaiman A. 1996. Madura dalam Sebuah Potret. Surabaya: CV Karunia Saputro ME. 2009. Kiai Langghar dan Kalebun : A Contestation betweenCultural Brokers in a Non-Pesantren Village in Madura Indonesia.Yogyakarta : Graduate School Gajah Mada University Sasongko, I. 2005. Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa Puyung - Lombok Tengah). Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 (1):1-8. Sasongko, I. 2005. Struktur Ruang Permukiman Karangsalah dan Segenter di Desa Bayan. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 20 (1):16-25. Simond JO and Starke. 2006. Landscape Architechture. New York : Mc Graw Hillbook Company, Inc.
Simond JO. 1983. Landscape Architecture. New York: McGraw Hill Book Co. Soemarwoto O. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. (ed. Ke5). Jakarta: Jambatan. Subaharianto A, Wiyata L, Kusnadi, Nawiyanto, Samsu B, Mulyadi D, Parwata, Sunarlan. 2009. Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur). Malang: Bayumedia Publishing. Sulistyantara B. 2002. Taman Rumah Tinggal. Depok : Penebar Swadaya Syafiuddin. 2011. Nilai-Nilai Religius dalam Antologi Tembang Macapat Madura Karya Oemar Sastrodiwirjo [skripsi]. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura Taufiqurrahman. 2007. Identitas Budaya Madura. Jurnal Karsa Volume XI/1 April.
Tulistiyantoro L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior, Vol.3/2: 137 – 152 Untermann R dan Small R. 1993. Perencanaan Tapak untuk Perumahan (Bagian Kesatu: Tapak Berukuran Kecil) [Site Planning for Cluster Housing]. Bandung: Intermatra Van Der Zanden AM and Rodie SN. 2008. Landscape Design, Theory and Application. New York : Thomson Delimar Learning
Van der Zee, D. 1986. Human Settlement Analysis. International Institute For Aerospace Survey And Earth Sciences. Netherlands. Wesnawa IGA. 2010. Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Lingkungan Permukiman Perdesaan (Kasus Kabupaten Badung Provinsi Bali). Jurnal Bumi Lestari Volume 10/2 Agustus: (295-301) Wiriatmadja, S. 1981. Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Yasaguna. Wiryoprawiro, Z. M, 1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif, Surabaya: Laboratorium Arsitektur Tradisional, FTSP-ITS. Wiyata L. 2002. Carok : Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta : LKIS Woodward, M. R. (1989). Islam in Java Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arozona Press. Yudohusodo S. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 9 Januari 1988 sebagai anak sulung dari pasangan Marga Mandala dan Idaningsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Magister Program Studi Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan Dalam Negeri DIKTI. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif sebagai tim manajemen program asrama TPB IPB. Karya ilmiah yang berjudul Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Madura telah disajikan pada Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup di Purwokerto pada November 2011. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.