KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL LAMPUNG
RIAN ADETIYA PRATIWI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Rian Adetiya Pratiwi A44100094
ABSTRAK RIAN ADETIYA PRATIWI. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN. Taman rumah tinggal tradisional dapat menjadi identitas dari suatu budaya. Guna memperoleh gambaran yang nyata perlu dilakukan kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Penelitian ini mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman rumah, tata letak, dan maknanya serta menyusunnya kedalam konsep desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui penelusuran informasi sejarah-kebudayaan dan diverifikasi melalui survei lapang. Observasi lapang dilakukan di beberapa wilayah Provinsi Lampung sebagai referensi, yakni Permukiman Tradisional Kampung Wana dan Sukadana Darat, Pekon Kenali, dan Negara Tulang Bawang. Halaman pada rumah tinggal tradisional Lampung dibagi menjadi tiga bagian, yang terdiri dari halaman depan atau tengahbah/terambah/beruan, halaman samping atau kebik/kakebik, serta halaman belakang atau kudan/juyu/kebon. Elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional adalah gakhang hadap, walai, lokasi dapur terbuka, tempat kayu bakar, dapur luar, kandang ternak, serta tanaman. Kata kunci: taman tradisional, budaya Lampung, taman rumah, konsep taman, tata ruang
ABSTRACT RIAN ADETIYA PRATIWI. Study on Design of Lampungnese Traditional Home Garden. Supervised by ANDI GUNAWAN Traditional home garden is one of cultural identities. In order to obtain a real picture the study of traditional Lampungnese home garden have to be conducted. Objectives of this study are to identify elements, layout, and interpretation and composed them into a traditional Lampungnese home garden design concept. This study was conducted by using descriptive analysis through historical-cultural information retrieval and verified through field surveys. Study location consists of Lampung Province as a reference, namenly Wana Village and Sukadana Darat, Kenali Village, and Negara Tulang Bawang. The yard of Lampungnese house is divided into three parts, a front yard or tengahbah/terambah/beruan, side yard or kebik/kakebik/gelikhan, and backyard or kudan/juyu. The dominant open space is an expanse of land or grass. The prominent elements of traditional Lampungnese garden were walai, outdoor kitchen, livestock barns, gakhang and gakhang hadap, and plants. Key words: traditional garden, Lampungnese culture, home garden, garden concept, spatial planning
© Hak cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL LAMPUNG
RIAN ADETIYA PRATIWI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arstitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung“ disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, kepercayaan serta dukungan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. 2. Dr Ir Andi Gunawan, MAgr.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikannya. 3. Ir Qodarian Pramukanto, MSi. dan Fitriyah Nurul H Utami, ST.MT selaku penguji pada ujian sidang yang telah memberikan masukan-masukan guna memperbaiki sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Pada akhirnya, harapan penulis semoga studi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dan berguna sebagai referensi bagi penelitian di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Bogor, Agustus 2014 Rian Adetiya Pratiwi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Taman
3
Budaya dan Kebudayaan Lampung
4
Jenis-Jenis Arsitektur Tradisional Lampung
6
Syarat-Syarat Mendirikan Rumah Tinggal
10
Ragam Hias Arsitektur Bangunan Tradisional
12
Syarat-Syarat Dapur yang Baik
13
Kegiatan dalam Dapur Tradisional
14
METODE
15
Lokasi dan Waktu Penelitian
15
Metode Penelitian
16
Kerangka Kerja
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Hasil Studi Literatur
19
Hasil Wawancara
24
Hasil Observasi Lapang
29
Elemen Penyusun Taman Rumah Tinggal
36
Konseptualisasi Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung
38
SIMPULAN DAN SARAN
42
Simpulan
42
Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
45
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelitian Daftar narasumber Rincian jenis, bentuk dan sumber data penelitian Komponen tata ruang rumah tradisional Lampung berdasarkan hasil studi literatur 5 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung berdasarkan hasil wawancara 6 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung 7 Perbandingan elemen penyusun taman rumah tinggal
17 18 18 20 25 29 37
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kerangka Pikir Penelitian Rumah tinggal mewah dan sederhana beserta denah Walai Sketsa ragam hias bangunan Gambaran rumah tinggal dengan lingkungan Lokasi penelitian Tahapan penelitian Pembagian halaman rumah tinggal tradisional Lampung Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung Pola permukiman memanjang Rumah tanpa gerbang di Kampung Wana Batas antar rumah tidak terlihat Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung Hiasan di tepas Rumah tradisional tipe gajah mekhem di Sukadana darat Bah lamban sebagai tempat penyimpanan Dapur dan gakhang Halaman rumah tinggal tradisional Lampung Tanaman pada halaman rumah tinggal Antar rumah yang berjarak dekat Pembagian ruang menurut Booth (1988) Rencana konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung
3 8 10 12 15 15 16 26 27 30 30 31 31 32 32 33 34 35 35 36 39 41
DAFTAR LAMPIRAN 23 24 25 26 27
Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Lampung Tata Ruang Rumah Tinggal Tradisional Lampung Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tradisional Lampung Glosarium Riwayat Hidup
45 46 47 48 51
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh tanah air. Kondisi geografis Indonesia dengan bentang alam yang terbentuk secara alami membentuk ragam pola dan perilaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau suku. Keberadaan setiap suku ini memiliki karakter budaya yang khas yang tergambar dalam tradisi kedaerahan, aktivitas sosial, serta tata letak hunian yang digunakan untuk mendukung kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu suku di Indonesia yang memiliki budaya yang khas adalah Suku Lampung yang tersebar di Provinsi Lampung dan sebagian Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat suku Lampung masih memegang teguh ajaran dari leluhurnya dengan masih mengikuti falsafah hidup ulun Lampung, yaitu Piil Pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan pedoman hidup masyarakat yang berupa perilaku pantang menyerah dan perbuatan menjaga atau menegakkan nama baik serta martabat baik secara perorangan maupun dalam kelompok kerabat (Kemenbudpar 2011). Berdasarkan sejarah, kata Lampung berasal dari kata anjak lambung, yang berarti berasal dari atas. Hal ini dimaksudkan bahwa Suku Lampung berasal dari daerah yang tinggi atau dari daerah pegunungan. Daerah tinggi yang dimaksud adalah daerah sekitar Sekala Bekhak yang terletak di sekitar kaki Gunung Pesagi yang sekarang menjadi Kecamatan Belalau. Namun dalam perkembangannya, masyarakat adat Lampung terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun . Dalam dua kelompok tersebut, masih terdapat pembagian kelompok berdasarkan wilayah adat yang didiami oleh masing-masing kelompok. Kebudayaan daerah yang terbentuk dalam wilayah atau daerah tertentu akan diwariskan secara turun temurun ke generasi selanjutnya (Sulasman dan Gumilar 2013). Keragaman wilayah adat inilah yang memberikan ciri tersendiri bagi hunian tradisional pada masing-masing wilayah. Arsitektur vernakular dibangun untuk memenuhi kebutuhan spesifik penghuninya dalam mengakomodasi nilai-nilai dan cara hidup berdasarkan kebudayaan (Suharjanto 2011). Pada kehidupan masyarakat Lampung, rumah tradisional dipandang sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap alam jika ditinjau kondisi geografis dimana Provinsi Lampung merupakan salah satu kawasan yang rawan bencana gempa bumi (Rostiyati 2013b). Sedikitnya kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional mengakibatkan tidak adanya ciri khas dari taman Indonesia (Maningtyas 2011). Kurangnya informasi mengenai taman rumah tinggal tradisional khususnya yang berbasis budaya Lampung mengakibatkan rendahnya pemahaman dan apresiasi masyarakat. Ketidaktahuan mengenai nilai budaya dalam arsitektur dan taman rumah tradisional ini mengakibatkan rendahnya upaya masyarakat dalam melestarikan tradisi warisan leluhur budayanya (Ibrahim dan Nandang 2011). Oleh sebab itu kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional Lampung perlu dilakukan. Hal ini ditujukan untuk memperoleh gambaran yang nyata
2 mengenai taman rumah tinggal tradisional Lampung, agar tetap dapat dilestarikan dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat Lampung.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung melalui: 1) identifikasi elemen-elemen pembentuk taman, tata letak, filosofi dalam pengaturan tata letak elemen lanskap pada taman rumah tinggal tradisional Lampung, dan 2) penyusunan konsep desain taman rumah tinggal tradisional Lampung.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. memberi gambaran tentang desain taman pada rumah tinggal tradisional Lampung bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk mengangkat dan memperkuat nilai-nilai budaya Lampung, dan 2. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap taman rumah tinggal tradisional Lampung.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada area taman rumah tinggal tradisional Lampung. Rumah yang dipilih sebagai objek penelitian adalah yang terletak di kampungkampung tua di beberapa kabupaten di Provinsi Lampung. Pemilihan rumah didasari kepada potensi karakter kampung adat, sejarah Lampung, serta masyarakat yang masih menjalankan aktivitas sesuai dengan kebudayaan Lampung. Hasil akhir dari penelitian ini adalah laporan deskriptif serta usulan konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Kajian difokuskan pada taman yang seharusnya ada berdasarkan budaya Lampung.
Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dari melihat adanya keterkaitan antara taman atau lingkungan rumah tinggal, arsitektur rumah tinggal, dan pengaruh budaya masyarakat tradisional Lampung. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga akan membentuk pola dan karakter yang khas dari taman rumah tinggal. Pembentuk karakter yang khas pada taman rumah tinggal tradisional Lampung antara lain adalah elemen-elemen pembentuk taman, tata letak elemen, serta filosofi dari keberadaan dan tata letak tersebut. Rumah tradisional Lampung dipandang sebagai suatu bentuk adaptasinya terhadap alam dan lingkungan sekitar. Objek kajian antara lain adalah hubungan antara rumah dengan taman dan lingkungan di sekitarnya, serta pengaruh dari budaya
3 masyarakat setempat. Dari semua informasi yang terkumpul, akan diformulasikan menjadi konsep desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Berikut adalah kerangka pikir penelitian (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Taman Menurut Crowe (1981), taman adalah penghubung antara manusia dengan dunia tempat mereka hidup dan tinggal. Semua manusia dengan beragam jenis umur merasa memiliki kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya, dan telah menciptakan taman untuk memuaskan keinginan dan aspirasinya. Salah satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah yang mengakomodasi kegiatan penghuni rumah adalah taman rumah atau halaman. Menurut Depdikbud (1989) halaman rumah merupakan tanah di sekitar rumah yang juga biasa disebut sebagai pekarangan. Taman rumah merupakan bagian penting yang menjadi pelengkap dalam kehidupan rumah tangga pemilik rumah. Dalam taman rumah atau halaman terdapat hubungan timbal balik antara pemilik rumah dengan lingkungannya. Suatu taman rumah dapat memberikan dua kesenangan kepada pemiliknya. Pertama adalah kesenangan dalam memelihara tanaman sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan, dan yang kedua adalah kesenangan terhadap taman itu sendiri secara keseluruhan sebagai bagian dari tempat tinggal dan juga memiliki keindahan untuk dipandang (Crowe 1981). Taman rumah tinggal harus sesuai dengan kebutuhan dan cara hidup pemilik rumah. Taman rumah tinggal harus mampu mendukung, mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan dari pemilik rumah (Erler dan Fell 1991). Taman rumah memiliki bentuk dan fungsi yang
4 spesifik yang sangat erat hubungannya dengan keinginan serta pemanfaatan oleh pemiliknya. Nilai keindahan dari sebuah taman rumah ditentukan oleh pemiliknya (Ingels 1997) Untuk dapat menciptakan taman dengan tanaman yang baik, diperlukan pemahaman terhadap tanaman dan juga harus memiliki sensitivitas terhadap warna dan bentuk dari tanaman tersebut. Sementara untuk menciptakan taman yang indah secara keseluruhan, diperlukan adanya pemahaman mengenai hukum keselarasan dan komposisi antara elemen lunak dan elemen keras untuk menciptakan keseimbangan dalam taman. Selain kedua hal tersebut, yang perlu diperhatikan dalam merencanakan taman adalah faktor keindahan, privasi, kenikmatan, kemanan, serta kenyamanan. Taman rumah tinggal atau juga disebut sebagai pekarangan merupakan sebidang lahan dengan batas tertentu, ada bangunan tempat tinggal di atasnya dan umumnya ditanami dengan berbagai jenis tumbuhan. Pekarangan memiliki fungsi ganda yang merupakan integrasi antara fungsi alami dengan fungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial-budaya-ekonomi manusia. Fungsi tersebut antara lain adalah fungsi hidroorologi, pemeliharaan sumberdaya genetik tanaman, memberi kenyamanan bagi rumah, produksi, dan estetika. Fungsi sosial dari pekarangan terutama dapat diliat di perdesaan. Biasanya pekarangan merupakan simbol status. (Soemarwoto 1987). Budaya dan Kebudayaan Lampung Secara etimologis, kata kebudayaan berasal dari bahasan Sanskerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Menurut Koentjaraningrat (1984), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya sendiri dengan cara belajar. Menurut Depdikbud (1989), kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya; serta hasil penciptaan akal budi dari lingkungan sekitarnya dan dipergunakan untuk kesejahteraan hidupnya. Manusia dibekali dengan kemampuan beradaptasi secara kultural, yang memungkinkan manusia memperoleh penghidupan dari memanfaatkan lingkungannya. Kemampuan adaptasi secara kultural juga terdiri dari ideologi. Budaya merupakan satu set ide yang dipelajari dari pengalaman, terpola, dan diteruskan dari generasi ke generasi (Selby dalam Kottak 1975). Kebudayaan memiliki tiga aspek atau wujud. Wujud kebudayaan antara lain adalah kebudayaan sebagai tata keakuan manusia, kebudayaan sebagai kelakuan manusia, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia. Tata kelakuan merupakan suatu jaringan dari cita-cita, norma-norma, aturan serta pandangan yang dapat disebut adat istiadat (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan daerah adalah sistem nilai budaya yang berfungsi untuk menata perilaku dari suatu masyarakat dan juga menghasilkan benda untuk kehidupan sehari-hari. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dan konsep abstrak yang hidup dari pikiran masyarakat tentang segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga (Rostiyati, 2013a). Budaya nilai merupakan nilai paling tinggi dari adat istiadat
5 yang mengatur kehidupan masyarakat. Hidup manusia mengejar nilai, dan nilai yang dikejar dipengaruhi oleh pandangan hidup atau cita-cita hidup (Hadikusuma 1989). Menurut Vansina (2014) masyarakat dalam suatu komunitas tertentu akan memiliki ciri yang berbeda dari komunitas lain. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Lampung yang mempunyai seperangkat nilai budaya yang terbentuk dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Sikap serta tingkah laku masyarakat Lampung tercermin dari falsafah piil pesenggiri. Secara harfiah piil pesenggiri merupakan landasan dan pedoman tata hidup atau perilaku manusia yang agung dan luhur yang memiliki nilai dan makna serta harus dipelajari dan pantang untuk dilanggar (Irianto dan Margaretha 2011). Falsafah piil pesenggiri mengandung empat unsur, yaitu sakai sambaian, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejuluk beadek. Sakai sambaian berarti bersedia untuk saling tolong menolong dengan sesama. Unsur kedua adalah nemui nyimah yang berarti mau membuka diri terhadap orang lain (tamu) dengan sikap yang ramah, bermurah hati, dan penuh sopan santun. Unsur ketiga adalah nengah nyappur yakni memiliki sikap terbuka, berpengetahuan luas, dan memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam semua hal yang baik. Serta unsur yang terakhir yakni bejuluk beadek berarti menjaga nama baik (gelar) dan menghormati orang lain atas jasa dan peranannya dalam masyarakat yang diatur secara adat dan dilaksanakan turun-temurun. Ada beberapa teori mengenai asal muasal dari masyarakat suku Lampung. Menurut Broesma dalam Dekdikbud (1998) residen Lampung pertama pernah membaca buku yang berjudul Sejarah Majapahit yang menceritakan bahwa kata Lampung berarti op het water drijven yang artinya terapung di atas air. Buku tersebut menceritakan bahwa Tuhan menurunkan empat orang ke bumi yang salah satunya adalah Si Lampung atau ratu Balau. Teori asal mula suku Lampung berasal dari legenda yang menyatakan bahwa masyarakat Lampung berasal dari daerah Tapanuli. Ketika Danau Toba terbentuk, terjadi ledakan gunung besar yang mengakibatkan masyarakat Tapanuli pergi menyelamatkan diri. Salah satu keturunan dari Tapanuli tersebut tiba dan hidup di daerah Lampung bagian barat (Depdikbud 1998). Teori terakhir adalah teori Hadikusuma (1976), yang mengemukakan bahwa asal-usul masyarakat Lampung erat hubungannya dengan kata to-lang-po-hwang yang jika dieja atas kata to yang berarti dalam bahasa Toraja, dan lang-po-hwang yang merupakan kepanjangan dari kata Lampung. Sehingga menurutnya kata tolang-po-hwang berarti orang Lampung. Selain itu, Hadikusuma (1976) menyatakan bahwa masyarakat Lampung berasal dari pendatang dari Pagaruyung ke daerah Sekala Bekhak yang sudah ada dari abad 14 M. Pelapisan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan didasarkan pada prinsip perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, serta perbedaan sifat keaslian. Apabila ditinjau dari segi adat, masyarakat Lampung dibedakan menjadi dua kelompok adat, yakni masyarakat yang beradat pepadun dan masyarakat yang beradat saibatin. Masyarakat Lampung yang beradat pepadun terutama merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pedalaman. Pada masyarakat pepadun, kepenyimbangan yang tertinggi kedudukannya adalah pepadun marga, kemudian pepadun tiyuh, dan pepadun suku. Sementara masyarakat saibatin merupakan masyarakat peminggir yang kebanyakan berdiam di daerah pesisir selatan. Pada masyarakat saibatin hanya dibedakan menjadi dua
6 golongan, yakni golongan buay asal dan golongan pendatang. Masyarakat adat saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sementara masyarakat adat pepadun memiliki nilai-nilai demokrasinya. Adanya dua golongan adat ini pula yang menjadi semboyan dari Provinsi Lampung, yaitu “Lampung sai bumi ruwa jurai” yang artinya adalah Lampung satu bumi dua keturunan. Bila ditinjau dari segi bahasanya, masyarakat Lampung terbagi menjadi dua golongan pula, yaitu masyarakat Lampung Belalau atau masyarakat yang berdialek api atau A, dan masyarakat Lampung Abung atau masyarakat yang berdialek nyow atau O (Depdikbud, 1998). Bahasa dialek A dipakai oleh sebagian besar masyarakat Lampung saibatin dan sebagian kecil masyarakat pepadun, sementara bahasa dialek O dipakai hanya oleh masyarakat pepadun. Lampung juga memiliki aksara tersendiri yang dikenal dengan aksara Lampung atau had Lampung. Had Lampung terdiri dari huruf induk yang berjumlah 20, anak huruf, dan anak huruf ganda serta gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka, dan tanda baca (Depdikbud 1998).
Jenis-Jenis Arsitektur Tradisional Lampung Arsitektur dalam bahasa Latin architektura berarti gaya bangunan dan seni bangunan. Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya serta cara pembuatannya diwariskan secara turun-temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan oleh masyarakat (Depdikbud 1978). Bagi masyarakat Lampung, jenis-jenis bangunan tersebut dibedakan menurut sifat pemakaiannya. Menurut sifatnya, ada lima jenis bangunan yaitu arsitektur tradisional tempat tinggal, arsitektur tradisional untuk upacara keagamaan, arsitektur tradisional untuk kegiatan komunal, arsitektur tradisional tempat penyimpanan, dan arsitektur tradisional untuk keamanan. Dalam konteks bahasan taman rumah tinggal tradisional Lampung, yang akan dibahas hanyalah arsitektur tradisional tempat tinggal dan arsitektur tradisional tempat penyimpanan. Jenis bangunan tempat tinggal yang digunakan secara permanen ada dua macam, yaitu rumah tempat tinggal untuk orang biasa/rakyat dan rumah tempat tinggal kepala adat/penyimbang. Rumah tempat tinggal untuk rakyat biasa dinamakan nuwou/lamban/lambahan sementara tempat tinggal untuk penyimbang adat dinamakan lamban/nuwou balak. Bangunan untuk beribadah biasanya digunakan secara tetap sesuai dengan fungsinya yaitu masjid atau mesigit. Sementara untuk jenis bangunan tempat bermusyawarah adat selalu merupakan bangunan yang permanen (Depdikbud 1978). Bangunan tempat tinggal sementara ada tiga yaitu kubu/kubuw/petaruan, kepalas/sapeu, dan anjung/sapu/sapeu. Kubu/kubuw/petaruan adalah bangunan yang didirikan secara tergesa-gesa untuk tempat berteduh di ladang. Kepalas atau sapeu adalah bangunan yang dibangun dengan empat tiang dan sebagian dinding untuk tempat menjaga ladang. Anjung/sapu/sapeu adalah bangunan yang serupa rumah namun dibangun di ladang hanya untuk pemakaian sementara selama menjaga ladang (Depdikbud 1978).
7 Arsitektur Tradisional Tempat Tinggal Tempat tinggal atau rumah biasa disebut lamban,nuwou, atau lambahan oleh masyarakat Lampung. Pada umumnya bangunan rumah tradisional Lampung berbentuk segi empat dan persegi panjang yang oleh masyarakat Lampung disebut sebagai pesagi atau mahanyuk’an untuk yang berbentuk persegi panjang. Bagian rumah yang pendek atau lebar biasanya menghadap ke jalan raya. Sedangkan bagian panjangnya membujur ke belakang (ijung kudan/juyu/buri) (Depdikbud 1978). Rumah tradisional Lampung umumnya dibangun dari kayu-kayu yang dihubungkan dengan tali rotan. Rumah tradisional dibangun dengan kayu yang saling diikat merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang rawan gempa. Tangga masuk dan keluar umumnya dapat dinaik-turunkan. Atap rumah dibuat dengan memanfaatkan bahan alami seperti ijuk atau rumbia. Bentuk atap biasanya disebut limas giccing. Perbedaan bentuk dari rumah tinggal sederhana dan mewah dapat dilihat pada Gambar 2. Pembagian ruang di dalam rumah tradisional Lampung dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku antar anggota keluarga atau kerabat. Di dalam rumah terdapat ruang-ruang tertentu yang hanya boleh dimasuki oleh penghuni tertentu saja. Namun setiap rumah umumnya memiliki tempat yang dapat dimanfaatkan secara bersama untuk para tamu, kerabat, serta anggota keluarga. Ruang yang dapat dimanfaatkan bersama ini biasanya terletak di bagian depan atau tengah rumah. Pada suatu rumah tradisional biasanya hanya terdapat dua kamar tidur utama. Pada rumah tradisional Lampung pepadun ruang-ruang yang dapat dijumpai di dalam rumah antara lain adalah ruang tepas, agung, kebik temen, kebik tengah, kebik changkebik temen, kebik changek, gakhang, dapur dan ganyang besi. Penamaan ruang dapat berbeda di daerah yang berbeda, namun secara garis besar kegunaan dan fungsi ruang relatif sama. a) Tepas Tepas merupakan ruang serambi atau beranda terbuka pada bagian depan rumah yang berhubungan langsung dengan ijan/jan (tangga) naik ke rumah tradisional Lampung. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau tempat anggota keluarga bersantai melepas lelah. Serambi ini juga memiliki fungsi sebagai tempat pemuda untuk melakukan mufakat (merwatin). Lantai pada ruang ini biasanya pada rumah mewah menggunakan lantai papan kayu, sedangkan pada rumah yang sederhana biasanya menggunakan bilah bambu. Tepas dibuat seolah-olah mengundang tamu untuk mampir. Keberadaan tepas merupakan cerminan dari sikap nemui nyimah yang dianut oleh masyarakat Lampung yaitu terbuka terhadap tamu dan suka memberi. b) Ruang Agung Ruang agung berada di tengah rumah dan berfungsi sebagai ruang untuk kegiatan merwatin. Lantai ruang ini lebih tinggi dari tepas, artinya ruang ini hierarkinya lebih tinggi. Keberadaan ruang ini merupakan cerminan dari sikap sakai sambaian. Setelah melewati pengidangan ragah, ada ruang yang sama besarnya, yakni ruang pengidangan sebai. Ruang ini berfungsi sebagai ruang dimana wanita berbincang-bincang. Ruang ini juga bisa dipakai untuk tempat tidur anak-anak yang telah lepas menyusui atau untuk tamu wanita serta dapat dipakai sebagai ruang tempat menjamu kerabat dekat.
8
Gambar 2 Rumah tinggal mewah dan sederhana beserta denah (Sumber : Depdikbud 1996) c) Kebik Pates, Kebik Temen, Kebik Tengah, dan Kebik Changek Pada rumah masyarakat Lampung Melinting, tepat di sebelah ruang agung terdapat kamar tidur (pates). Ruang lapang lom dengan pates dipisahkan oleh dinding atau penyekat. Ruang tidur ini biasa digunakan sebagai tempat tidur istri atau ibu rumah tangga beserta anak balita. Pates bersebelahan dengan lambe pates. Ruang ini berfungsi untuk penghuni yang sakit atau sudah manula atau untuk tempat memandikan jenazah. Sementara pada masyarakat adat di desa Blambangan Pagar Lampung Utara selain ruang untuk ibu, ruang atau kamar lainnya dibagi untuk anak lelaki tertua, wanita, serta untuk anak laki-laki kedua. d) Gakhang Gakhang merupakan tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga. Biasanya gakhang berada di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan dapur.
9 e) Dapur Posisi dapur di dalam rumah adalah tepat setelah melewati lapang lom. Lantai dapur dan gakhang biasanya lebih rendah dibanding lantai pada ruang sebelumnya. Pada tipe rumah mewah dan tipe rumah sederhana, antara lapang lom dan dapur serta gakhang dihubungkan oleh semacam koridor penghubung yang disebut geragal/jembat/jerambah. Bagian geragal diberi atap yang sama tingginya dengan atap dapur. Selain sebagai tempat memasak dan tempat tungku, ruang dapur juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan, baik peralatan memasak maupun peralatan makan, dan pertanian. f) Ganyang Besi Ruang ini biasa dipergunakan oleh anggota keluarga yang belum berkeluarga sebagai tempat untuk beristirahat. Ruang ini biasanya dibatasi dengan lidung suluh merah ati. Ruang yang berhubungan langsung terhadap ruang luar rumah adalah tepas. Selain karena terletak di bagian depan rumah, tepas juga merupakan tempat pemilik rumah menerima tamu dan bersosialisasi. Pandangan dari atas tepas ke depan rumah tidak terhalang apapun sehingga pemilik rumah bisa melihat jauh ke depan rumah. Selain tepas, ruang lain yang memiliki hubungan terhadap ruang luar adalah dapur dan gakhang. Rumah tradisional biasanya memiliki pintu keluar lain di bagian belakang rumah yakni di dapur. Serupa dengan tepas, dapur juga merupakan tempat bersosialisasi pemilik rumah. Selain itu, karena hierarki ruang dapur yang lebih rendah, dapur dapat dilalui siapa saja baik keluar ataupun masuk ke rumah. Dapur biasanya langsung terhubung dengan halaman samping atau halaman belakang (Depdikbud 1996). Arsitektur Tradisional Tempat Penyimpanan Arsitektur tradisional Lampung yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan dinamakan walai atau balai (Gambar 3). Walai atau balai merupakan lumbung padi yang berbentuk segi empat, bertiang panggung, dan berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen. Walai atau balai biasanya dibangun berkumpul pada tanah ulayat desa yang letaknya jauh di luar kampung berdekatan dengan areal persawahan. Hal ini dimaksudkan agar kotoran dari proses pengolahan padi tidak mengotori permukiman (Kemenbudpar 2011). Walai atau balai hanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan (lepau) dan bagian dalam (lom walai). Walai memiliki dua jenis tiang yaitu thiang kelindang dan thiang panggung (Kemenbudpar 2011). Tangga pada walai tidak dipasang permanen, namun bisa dilepas dan digantung di lepau atau diletakkan dibawah walai. Untuk naik ke walai dapat digunakan dua cara, bagi walai yang tiangnya rendah dapat langsung dinaiki tanpa menggunakan jan, sementara untuk walai yang bertiang tinggi dinaiki dengan menggunakan jan. Jan yang digunakan untuk naik ke walai terbuat dari kayu yang ditakik pada salah satu sisinya sebagai tempat panjatan (Kemenbudpar 2011). Teras pada walai disebut lepau, yaitu ruang kecil yang berada di bagian luar. Lepau pada walai ada yang berdinding setengah ada juga yang tidak berdinding. Bagian lepau terlihat seperti menggantung keluar karena tidak ada tiang yang menyangga secara langsung. Lepau biasa digunakan untuk tempat mengilik atau mengipik padi, yaitu kegiatan menginjak-injak padi melepaskan
10 bulir padi dari tangkainya. Kegiatan ini bisa dilakukan baik oleh lelaki maupun oleh perempuan. Kegiatan mengilik ini sekarang hanya digunakan untuk daerah yang menanam padi sejeghuk. Selain itu, lepau juga digunakan untuk meletakkan padi yang baru dipanen dan masih disengol atau diikat pada daun padi.
Gambar 3 Walai Ruang utama yang merupakan bagian dalam dari walai disebut sebagai lom walai. Ruang ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Lom walai juga disebut sebagai hamejong yang berarti duduk. Apabila dalam satu keluarga adik dari anak laki-laki pertama belum memiliki walai sendiri, hasil panennya bisa dititipkan pada walai kakak tertuanya. Lantai dan dinding walai terbuat dari bambu dan ijuk. Bilah bambu tua dibelah dan kemudian dipukul-pukul hingga mejadi lentur. Bilah yang telah lentur ini kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditutup lagi dengan lapisan bilah lentur lain. Lapisan-lapisan ini disusun sehingga membentuk dinding dan lantai walai. Lapisan yang tebal ini aman dari serangan hama tikus. Atap walai dahulu biasa menggunakan ijuk, namun sekarang karena keterbatasan bahan sudah banyak yang beralih menggunakan seng. Umumnya walai hanya dimanfaatkan untuk menyimpan padi, namun terkadang juga bisa dijadikan tempat untuk menyimpan kopi atau lada. Biasanya jika dipakai untuk menyimpan kopi atau lada, walai tidak dibangun berkumpul tetapi diletakkan dibelakang rumah atau di tengah kebun yang selalu ditunggu oleh pemiliknya (Kemenbudpar 2011).
Syarat-Syarat Mendirikan Rumah Tinggal Mendirikan rumah tinggal atau betegi nuwou dalam budaya Lampung memerlukan syarat-syarat tertentu. Persiapan pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan penyimbang-penyimbang adat atau warei menyanak untuk bermusyawarah menentukan hari baik. Dahulu, orang yang akan melaksanakan
11 betegi nuwou harus menyediakan kerbau, kambing, atau ayam. Penyediaan hewan potong ini disesuaikan dengan kemampuan pemilik hajat (Depdikbud 1992). Sebelum hari pembangunan rumah, malam harinya pemilik hajat harus melaksanakan upacara nyebut. Upacara ini dilakukan untuk memohon pada yang ghaib di tanah tempat rumah akan dibangun. Ghaib maksudnya adalah para penghuni bumi dan tanah tempat rumah akan didirikan. Inti dari upacara ini adalah penghuni rumah berdoa dan memohon agar saat rumah telah dibangun tidak ada makhluk jahat yang mengganggu. Pelengkap yang diperlukan dalam upacara ini adalah bubur merah, bubur putih, rokok, sirih, dan kemenyan yang dibakar. Bersamaan dengan proses ini, orang-orang tua yang dipercaya memiliki kekuatan melakukan upacara nyebut dengan mengikrarkan mantra-mantra tertentu. Setelah upacara nyebut dilaksanakan, peserta upacara tidak boleh tidur sampai tiba hari upacara betegi nuwou dilaksanakan. Hal ini dipercaya oleh masyarakat perlu dilakukan untuk mengawasi supaya tanah yang akan dipergunakan untuk pembangunan tidak diganggu oleh makhluk jahat. Dini hari keesokan harinya, diistilahkan saat masyarakat belum melihat ada lalat yang terbang, ari tengah atau tiang tengah dari rumah harus sudah didirikan (Depdikbud 1992). Sesajian yang telah disiapkan sebelumnya akan ditanam bersamaan dengan pemasangan tiang pertama rumah. Sesajian itu antara lain berupa baning atau kura-kura air tawar, anak burung puyuh, lipan, ayam hitam, air dari tujuh sungai, serta tujuh buat batu (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung 2002). Sesajian ditanam bersamaan dengan tiang rumah memiliki maksud tertentu. Baning atau kura-kura air tawar melambangkan harapan agar atap rumah dapat berdiri kokoh atau sekuat punggung baning. Anak burung puyuh menggambarkan harapan agar penghuni rumah dapat hidup mandiri seperti anak puyuh yang baru menetas dari telur. Lipan atau kelabang melambangkan harapan agar penghuni rumah selalu sehat. Ayam sering mengorek tanah sehingga meninggalkan bekas, sehingga sesaji ayam dimaksudkan agar rumah meninggalkan kesan yang membekas bagi mereka yang melihatnya. Air dari tujuh sungai merupakan harapan agar suasana rumah selalu sejuk dan nyaman. Sementara batu tujuh buah melambangkan harapan agar kehidupan rumah tangga dapat menjadi sekuat batu (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung 2002). Ketika rangka rumah sudah terbentuk, sesaji atau uba rampe berupa kelapa bulat, kendi berisi air, tebu hitam, beras kuning, uang logam, pisang emas, kue tapai, lepat, dan bendera digantung atau dililit di atas kuda-kuda atap rumah. Adzan dikumandangkan bersamaan dengan kendi yang dipecahkan, sementara pisang dan uang dihamburkan bersamaan. Hal ini dilakukan dengan harapan agar seisi rumah dijauhkan dari musibah, dimudahkan rezekinya dan mendapatkan kenyamanan dalam rumah barunya. Sesaji merupakan pesan tentang hakekat pembuatan rumah yang disampaikan dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat pada awal tradisi pembuatan rumah tinggal tradisional Lampung (Depdikbud 1992).
12 Ragam Hias Arsitektur Bangunan Tradisional Bangunan rumah tinggal tradisional merupakan bentuk kebanggaan dari pemiliknya sehingga kerap kali diperindah dengan ukiran-ukiran dan ragam hias tertentu. Beragam motif hias dapat dijumpai di bagian luar rumah tradisional Lampung. Ragam hias yang umum dipakai antara lain motif flora, fauna, alam, dan ukiran-ukiran kaligrafi. Umumnya ragam hias yang terletak di bagian luar rumah tidak diberi warna khusus namun menyesuaikan dengan warna dinding rumah, yakni warna kayu alami. Ragam hias tidak dipolakan, melainkan langsung diukir pada bagian rumah yang ingin diberi ragam hias tertentu. Ragam hias yang sering dipakai antara lain motif malai pinang, kembang melur, daun buluh, dan kembang kacang. Ragam hias motif bunga biasanya diletakkan pada bagian atas pintu, jendela, dan diatas jendela (Gambar 4 (1)) (Depdikbud 1987).
Gambar 4 Sketsa ragam hias bangunan Sumber: Depdikbud 1987 Ragam hias fauna yang umum digunakan antara lain berupa gambar burung dan ulai laga atau ular berkelahi (Gambar 4 (2) dan 4 (3)). Jenis burung yang sering digambarkan adalah burung merak (kuau) pada rumah tinggal dan burung garuda pada bangunan komunal. Sementara jenis ular yang sering digambarkan adalah ulai sinduk (ular sendok) dan ular piton. Selain hiasan ukiran, tanduk kerbau, tanduk kambing, tanduk menjangan (uncal), dan tanduk sapi juga seringkali dipasang di depan rumah sebagai hiasan (Gambar 4 (6)). Pemakaian ragam hias burung merak melambangkan keindahan dan kejujuran, ukiran bulu burung merak dipercaya dapat menangkal masuknya makhluk halus ke rumah. Ular melambangkan sifat manusia, yaitu akan membela dirinya jika sedang dalam masalah dan tidak akan mengganggu jika tidak diusik. Sementara itu tanduk hewan yang diawetkan melambangkan kebanggaan dari pemilik rumah. Berbeda dengan ukiran yang biasanya dipasang di atas pintu atau jendela, tanduk hewan biasanya dipasang di tiang rumah. Selain flora dan fauna, ragam hias pada bangunan juga terkadang meniru bentuk alam seperti bentuk matahari, bulan, dan bukit. Bentuk matahari terkadang
13 dibuat sekaligus berupa lubang angin atau lubang penghawaan bagi rumah (Gambar 4 (2)). Pada lamban pesagi di Kenali dijumpai pula ragam hias berbentuk ujung perahu (paguk) yang dipasang pada ujung-ujung rumah (Gambar 4 (5)). Rumah dengan hiasan paguk ini menandakan bahwa rumah adalah milik penyimbang. Masuknya agama Islam yang mempengaruhi pola ragam hias pada arsitektur tradisional Lampung terlihat dari pemakaian kaligrafi sebagai ragam hias bangunan. Ukiran kaligrafi biasanya dipasang di atas pintu masuk rumah. Ukiran yang sering dipakai adalah lafaz basmallah serta ukiran nama Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Tujuan dari dihiasnya rumah dengan ukiran kaligrafi adalah agar penghuni ingat pada agamanya serta agar dilindungi dari musibah (Depdikbud 1987).
Syarat-Syarat Dapur yang Baik Pembangunan rumah dilakukan bersamaan dengan pembangunan dapur (Depdikbud 1992). Beberapa prinsip dalam pembangunan dapur antara lain adalah sebagai berikut: a. Dapur harus berada di sisi kiri bagian belakang rumah. Pandangan ini didasari kepercayaan masyarakat bahwa sisi kanan rumah hierarkinya lebih tinggi dibandingkan sisi kiri rumah. Posisi dapur di belakang karena ruangan depan rumah diperuntukkan untuk kaum lelaki sementara bagian belakang diperuntukkan bagi perempuan. Peletakkan dapur di bagian belakang rumah dirasa sudah tepat karena jarak dapur dan tempat perempuan berkumpul dekat dan tidak perlu melalui banyak ruangan untuk mencapainya. b. Air untuk memasak tidak boleh dibawa ke dapur melalui ruangan lain dalam rumah, sehingga ada ungkapan “way mak ngasi kukhuk lamban”. Artinya harus diusahakan bahwa dapur memiliki pintu sendiri untuk langsung terhubung dengan pekarangan di luar rumah. c. Asap dapur dari tungku harus diupayakan tidak memasuki ruangan dalam rumah. Atas dasar inilah pada dapur masyarakat Lampung selalu ditemui jendela, sedangkan dinding diatas tungku selalu dibuatkan kisi-kisi atau ventilasi. d. Tungku dapur tidak diperkenankan berada dalam posisi lurus dengan pintu depan rumah atau dikenal dengan istilah “nyani tukku mak ngasi lukhus khangok depan / ngeguai tekkou mak ngasi lukhus jamo belangan.” Hal ini didasari oleh kesadaran jika posisi tungku lurus dengan pintu utama rumah, maka saat pemilik rumah sedang membelakangi pintu akan langsung terlihat oleh tamu. e. Letak tungku harus menghadap sisi samping kiri rumah, sehingga pemilik rumah ketika memasak tidak akan membelakangi lapang agung. Hal ini didasari pandangan masyarakat bahwa posisi membelakangi ruangan tempat berkumpul keluarga merupakan hal yang tidak sopan. Terlebih ketika sedang ada orangtua di ruangan tersebut. Oleh sebab itu tungku selalu menghadap ke samping kiri rumah.
14 Kegiatan dalam Dapur Tradisional Bagi masyarakat Lampung membangun rumah berarti membangun dapur, karena dapur keluarga khususnya merupakan bagian langsung dari organisasi rumah tinggal. Pengetahuan tentang syarat mendirikan rumah ternyata sekaligus merupakan syarat untuk mendirikan dapur. Hal ini dikarenakan ruang dapur menyatu dengan organisasi ruang rumah tinggal secara keseluruhan. Kegiatan dalam dapur tidak terlepas dari kegiatan sehari-hari serta kegiatan pada upacara tertentu yang dilaksanakan oleh pemilik rumah (Depdikbud 1992). Pola makan masyarakat Lampung banyak mempengaruhi dan mendasari kegiatan di dapur. Selain itu, konsep masyarakat Lampung mengenai bertandang gadis atau manjau juga mempengaruhi kegiatan di dapur. Anak gadis dalam suatu rumah bertugas untuk memasak dan bekerja di dapur. Kegiatan di dapur rumah akan terhenti sejak pukul 18.00 hingga pukul 20.00. Kegiatan di dapur akan dimulai kembali selepas sholat isya sampai pukul 24.00 malam. Sambil melakukan kewajibannya di dapur ini akan gadis akan didatangi oleh bujang yang menyapa dari luar rumah (Depdikbud 1992). Oleh sebab itu dapur merupakan tempat terjadinya interaksi antara pemilik rumah dengan orang lain. Selain kegiatan memasak utama dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh gadis di dapur rumah, ada pula kegiatan tertentu yang sewaktu-waktu biasa dilakukan di dapur. Berdasarkan hal ini, maka ada jenis dapur lain selain dapur utama di dalam rumah yang dimanfaatkan dalam kegiatan masyarakat Lampung. Kegiatan ini umumnya berkaitan dengan industri rumah tangga baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun untuk menambah penghasilan keluarga. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah membuat minyak kelapa (nanok), membuat kecap, membuat kopra, membuat garam, membuat gula merah, mengasapkan ikan (napa iwa), membuat kerupuk ikan, membuat wadah anyaman, membuat gerabah, dan membuat arang serta kapur. Dapur untuk kegiatan seperti ini biasanya dibangun di belakang rumah utama. Meskipun tidak selalu dipakai, namun bangunan untuk dapur ini sudah dibangun semi permanen. Pada kegiatan menyangkut upacara tertentu, dapur permanen dalam rumah terkadang tidak lagi mampu mendukung. Seperti pada upacara-upacara kebudayaan seperti pernikahan, kelahiran anak, sebambangan, betegi nuwou,bucukogh, busunat dan sebagainya, keberadaan dapur di luar rumah sangat diperlukan. Ketika kegiatan memasak tidak lagi dapat dilakukan di dalam rumah, maka keberadaan dapur sementara di luar rumah sangat diperlukan. Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan mendirikan dapur di luar rumah, dekat dengan dapur permanen yang biasa disebut dengan kubu/tatarup/sudung. Gambaran lingkungan rumah dengan dapur yang berada di luar rumah dapat dilihat pada gambar 5.
15
Gambar 5 Gambaran rumah tinggal dengan lingkungan Sumber: Depdikbud 1987
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi di wilayah Provinsi Lampung sebagai referensi, seperti Permukiman Tradisional Desa Wana dan Sukadana Darat di Kabupaten Lampung Timur, Pekon Kenali di Kabupaten Lampung Barat, dan Negara Tulang Bawang di Kabupaten Lampung Utara (Gambar 6). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yaitu dimulai dari minggu keempat bulan Januari 2014 hingga minggu keempat bulan Maret 2014.
Gambar 6 Lokasi Penelitian (Sumber: http://1.bp.blogspot.com/)
16 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui penelusuran informasi sejarah-kebudayaan dan observasi lapang. Informasi diperoleh melalui penelusuran sejarah dan budaya dengan pendekatan komparatif untuk membandingkan fenomena pada periode lampau dengan yang ada saat ini (Sulasman 2014). Informasi mengenai sejarah dan budaya diperoleh melalui sumber tertulis serta wawancara. Perbandingan dilakukan dengan mengidentifikasi elemen dan tata letak yang seharusnya ada sesuai informasi budaya dan memverifikasinya dengan kondisi saat ini di lapangan.
Kerangka Kerja Kerangka kerja sebagai rincian dari tahapan penelitian dilatarbelakangi oleh terbatasnya informasi mengenai taman rumah tinggal tradisional Lampung dapat dilihat pada Gambar 7. Penelitian dilakukan dengan langkah awal yang meliputi kegiatan studi pendahuluan dimana dilakukan pencarian data sekunder terlebih dahulu untuk mendapatkan bayangan data seperti apa yang ingin didapat dari penelusuran secara langsung di lapang. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini antara lain adalah proses studi literatur, wawancara kepada narasumber ahli, serta observasi lapang.
Gambar 7 Tahapan Penelitian Dari langkah penelitian melalui studi literatur akan diperoleh informasi terkait secara teori mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung berdasarkan penelusuran dokumen dan literatur. Melalui tahapan wawancara dapat diperoleh suatu pengetahuan dan
17 pendapat dari narasumber mengenai informasi terkait. Baik dari studi literatur dan wawancara dilakukan penelusuran sejarah dan budaya yang terkait dengan taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Dari keseluruhan data tersebut kemudian dilakukan proses verifikasi dengan kondisi aktual di lapang melalui observasi secara langsung untuk mendapatkan elemen-elemen, tata letak, pola/batas taman rumah tinggal yang sesuai dengan latar belakang budaya dan tradisi masyarakat Lampung. Hasil akhir dari penelitian berupa hasil sintesis yang berbentuk rekomendasi konsep desain taman rumah tinggal tradisional Lampung. Tahapan Persiapan Persiapan awal meliputi perumusan masalah dan penetapan tujuan kajian desain taman rumah tinggal tradisional Lampung, dilanjutkan dengan dilakukannya studi pendahuluan untuk mengumpulkan data-data sekunder mengenai sejarah dan kebudayaan budaya yang berkaitan dengan taman rumah tinggal tradisional Lampung. Tahapan Pengumpulan Data Tahap ini dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai taman rumah tinggal tradisional Lampung yang diperoleh melalui studi literatur, wawancara tokoh, dan observasi lapang. Informasi yang diambil pada tahap pengumpulan data ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Rincian Jenis, Bentuk dan Sumber Data Penelitian Jenis Data
Bentuk Data
Sumber Data
Elemen pembentuk taman rumah tinggal
Deskriptif
Studi literatur dan wawancara
Tata letak elemen dalam taman rumah tinggal
Deskriptif dan spasial
Observasi lapang, studi literatur dan wawancara
Filosofi
Deskriptif
Studi literatur dan wawancara
Pola/batas taman rumah tinggal
Deskriptif dan spasial
Observasi lapang, studi literatur dan wawancara
a) Studi literatur. Cara ini dilakukan untuk menelusuri sumber-sumber tertulis yang dapat berupa arsip penting dan literatur pustaka. Pustaka diperoleh dari buku-buku yang direkomendasikan oleh narasumber, jurnal, serta Perpustakaan Daerah Lampung. b) Wawancara. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung mengenai informasi budaya dan sejarah Lampung. Informasi ini diperoleh dari tokoh-tokoh di kampung adat serta sejarawan yang paham mengenai budaya dan sejarah Lampung (tabel 2). Wawancara dilakukan dengan metode indepth interview secara langsung dan mendalam kepada narasumber terkait mengenai karakter dan budaya masyarakat Lampung, tata ruang tempat tinggal, elemenelemen pembentuk, tanaman khas yang ditanam di sekitar tempat tinggal, pengaruh, dan aktivitas kebudayaan yang masih dilakukan oleh masyarakat Lampung.
18 Tabel 2 Daftar narasumber No. 1 2 3 4
Nama Budi Supriyanto, S.SOS, M.Hum Mad Sa'ari Glr. Batin Setia Habiburrakhman Iskandar Zulkarnain
Bidang Pekerjaan Kabid Pelayanan Museum Lampung Pemangku Adat, pemilik Rumah Kenali Pensiunan Pesirah LPM, Seksi Pengembangan Nilai Seni dan Tradisi Ketua Rumah Informasi dan Sanggar Seni Budaya Lampung Kencana Lepus
5
Hj.Uzunuhir, S.Pd Glr. Suttan Lepus
6
Fasykinar Bahari Glr. Dalom Putra Wiranegara
Pemangku Adat Negeri Olok Gading
7 8
Arsyad Glr. Suntan Ratu Putra Amasin Glr. Suntan Alif
Pemangku Adat Negara Tulang Bawang Pemangku Adat Negara Tulang Bawang
c) Observasi lapang. Cara ini dilakukan untuk mengetahui susunan elemen-elemen arsitektural dan elemen taman rumah tinggal tradisional Lampung. Pada tahap ini dilakukan checklist terhadap elemen-elemen yang seharusnya ada berdasarkan budaya dari hasil studi literatur dan wawancara. Observasi lapang dilakukan di lima daerah yaitu di Pekon Kenali; Permukiman Tradisional Kampung Wana; Sukadana Darat; dan Negara Tulang Bawang. Berikut daftar tabel sumber rumah tinggal yang dijadikan sample penelitian (Tabel 3). Tabel 3 Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelitian No 1 2
3 4
Lokasi Rumah Pekon Kenali Kampung Wana
Sukadana Darat Negara Tulang Bawang
Jumlah Rumah 1 2
1 1
Pemilik Rumah Mad Sa'ari Glr. Batin Setia Zakaria Iskandar Zulkarnain Hj.Uzunuhir, S.Pd Glr. Suttan Lepus Amasin Glr. Suntan Alif
Pemilihan kampung didasarkan kepada potensi karakter kampung yang masyarakatnya masih menjalani aktivitas budaya Lampung. Rumah yang dijadikan sample penelitian dalam kampung dipilih berdasarkan keaslian rumah tradisional. Analisis Data Pada tahap ini, informasi yang telah didapat dari hasil studi literatur, wawancara, dan observasi lapang diperiksa dan dievaluasi. Pada tahap ini akan dilakukan verifikasi terhadap keberadaan elemen-elemen penyusun taman rumah tinggal dari observasi lapang dengan hasil studi literatur dan wawancara.
19 Sintesis dan Konsep Pada tahap ini akan diuraikan hasil analisis untuk mengetahui kekhasan pola tata ruang, serta makna dari tata letak dan posisi elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal tradisional Lampung. Aspek-aspek tersebut disusun menjadi suatu konsep yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendesain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Studi Literatur Berdasarkan studi literatur, diketahui bahwa tata ruang baik dalam maupun luar rumah tinggal tradisional Lampung dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku antar anggota keluarga dan kerabat. Hasil studi literatur dari bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan tata ruang, elemen, serta simbol-simbol yang terdapat pada taman serta rumah tinggal tradisional Lampung dapat dilihat pada tabel 4. Halaman merupakan tempat bagi penghuni rumah untuk melakukan aktivitas luar ruangan. Pada halaman dapat dijumpai elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional Lampung. Elemen-elemen tersebut ada untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan sehari-hari maupun untuk kepentingan tertentu seperti pada saat dilaksanakannya upacara adat. Peletakan dan posisi elemen penyusun taman rumah tinggal tradisional Lampung ini memiliki makna dan filosofi kebudayaan yang terkait dengan fungsi dan kepercayaan serta kebiasaan masyarakat setempat. Orientasi Arah Hadap Sungai merupakan sumber air utama dalam kehidupan masyarakat tradisional Lampung (Depdikbud 1992). Rumah-rumah dibangun mengikuti sungai karena adanya sistem pangkalan ragah dan pangkalan sebai sebagai tempat pemandian umum. Antar rumah dibangun saling berhadapan dan rapat, nyaris tanpa pembatas antara satu rumah dengan rumah lainnya (Depdikbud 1987). Batas Tapak Antar rumah dalam satu lingkungan tinggal umumnya tidak mementingkan adanya penanda batas. Jika suatu rumah memiliki pagar, biasanya hanya berupa pagar sederhana atau semak pembatas (Depdikbud 1997). Menurut Depdikbud (1996), kondisi rumah yang saling berdekatan dan saling terbuka ini menggambarkan sikat masyarakat Lampung yang terbuka atau sikap nemui nyimah dalam falsafah piil pesenggiri. Sikap ini artinya pemilik rumah terbuka dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Sikap ini tergambar pada keakraban masyarakat tradisional Lampung yang tinggal dalam suatu lingkungan hidup yang sama.
20 Tabel 4 Komponen tata ruang rumah tradisional Lampung berdasarkan hasil studi literatur Komponen
Rumah tinggal tradisional
Batas tapak
lahan di sekitar rumah dibiarkan terbuka, tanpa pagar karena masyarakat memiliki hubungan yang erat. Jika ada hanya pagar sederhana2,3,9
Tata ruang bangunan
masing-masing rumah memiliki beranda atau teras (tepas) dan (tadah embun)3 di ujung tangga naik ada gakhang hadap3,4,5 di bagian samping atau di belakang dapur terdapat pula gakhang dapur/kudan 3 tanduk kerbau dan hiasan ukiran merupakan lambang kebanggaan pemilik rumah 5 rumah tradisional Lampung selalu berupa rumah panggung, karena air sungai dapat meluap sewaktu-waktu5 rumah terdiri dari bagian bawah, bagian tengah tempat kegiatan manusia, dan bagian atas tempat para dewa6 tata ruang dalam rumah tradisional Lampung dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan3 bah lamban awalnya tidak bermanfaat banyak, merupakan bentuk adaptasi 2 dapur yang terpisah dari rumah dihubungkan oleh geragal/jembat, dan untuk kepentingan tertentu dapur dibangun di luar rumah6,7 halaman depan rumah (tengahbah/terambah) biasa dimanfaatkan untuk menjemur hasil bumi dan tempat membuat teratak3,4 halaman di belakang dapur disebut kudan/juyu5 halaman kiri dan kanan rumah disebut kebik/kakebik5 arah bangunan selalu menghadap atau membelakangi sungai 5 upacara daur hidup8 lamban melambangkan keharmonisan sebagai tempat tinggal keluarga, harmonis dengan alam, harmonis dengan lingkungan hidup manusia 6 rumah merupakan perlambangan status dan nilai sosial pemiliknya5 tangga terletak di sisi kiri rumah, ketika memasuki rumah akan berbelok kearah kanan, masyarakat menyebutnya dengan menganankan rumah6
Bah lamban Dapur dan gakhang Halaman
Orientasi Aktivitas Simbol
Komponen Batas tapak Tata ruang bangunan
Perkampungan Tradisional di dalam kampung tidak ada batas-batas pekarangan rumah1 rumah berbentuk segi empat memanjang , berpanggung tinggi yang ditopang oleh kayu bulat setinggi dua meter1 rumah di pegunungan memakai atap yang berbahan ringan 1 rumah merupakan lambang status dan ukuran nilai budaya5
Halaman
Walai
Orientasi
Aktivitas Simbol
semua kegiatan dilakukan di ladang, tidak di halaman 1,2 kediaman di dalam kampung mengelompok rapat dan hampir tidak memiliki halaman2,5 di dalam kampung tidak terdapat bangunan khusus untuk lumbung padi, karena padi dan hasil bumi lainnya biasanya disimpan di gudang atau di bawah rumah 2,7 walai ramik terletak di luar kampung5,6,7 permukiman tradisional Lampung terletak di tepi sungai atau di dekat sungai 1,2,7 perkampungan penduduk Lampung pada umumnya memanjang, dengan deretan rumah yang berhadapan3,5 kampung lama akan memanjang tanpa lapisan di belakangnya akibat adanya pangkalan mandi4 kampung adalah tempat beristirahat dan tempat berkumpul anggota kerabat untuk upacara adat1 konsep rumah tradisional Lampung merefleksikan semangat keterbukaan, kekuatan, kenyamanan, keindahan, dan hierarki ruang dengan baik2
Sumber : 1 Depdikbud (1978), 2Depdikbud (1997), 3Dinas Pendidikan Provinsi Lampung (2002), 4 Depdikbud(1996), 5Depdikbud (1987), 6Kemenbudpar (2011), 7Depdikbud (1992), 8Depdikbud (1982), 9Depdikbud (1998b)
21 Rumah (Lamban/Nuwou) dan Bah Lamban Bangunan tempat tinggal oleh masyarakat Lampung biasa disebut sebagai lamban atau nuwou. Pada umumnya bangunan rumah tinggal tradisional Lampung berupa rumah panggung yang berbentuk persegi atau persegi panjang. Rumah panggung biasanya memiliki tiang yang berbentuk kayu bulat dengan tinggi sekitar dua meter dari tanah. Bangunan rumah memiliki nilai tersendiri dan merupakan perlambang dari ukuran status dan nilai budaya. Pada lamban pesagi, rumah dibedakan menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah rumah (bah lamban), bagian tengah (khesi), dan bagian atas (hemugungan). Bagian bawah rumah dipercaya merupakan bagian kotor atau perlambang alam bawah yang dihuni oleh ular raksasa. Sehingga ketika pembangunan rumah dilaksanakan, sesajian akan diletakkan di bagian bawah rumah untuk meminta keselamatan. Bagian tengah rumah atau khesi merupakan pusat dari aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu segala kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan tradisi akan dilakukan di dalam rumah. Sedangkan bagian atas rumah (hemugungan) dipercaya sebagai tempat suci atau puncak kekuatan dari keseluruhan rumah. Oleh sebab itu di bagian ini terdapat panggakh sebagai tempat menyimpan pamanohan (Kemenbudpar 2011). Pembagian ruang dalam rumah tradisional Lampung dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku antar anggota keluarga dan kerabat. Sehingga di dalam rumah, ada ruang-ruang tertentu yang hanya boleh dimasuki oleh penghuni rumah atau kerabat tertentu saja. Setiap rumah tradisional Lampung pasti menyediakan tempat yang dapat dimanfaatkan oleh tamu, anggota keluarga, serta para kerabat. Ruang tersebut dapat diakses dengan mudah dan terbuka, sehingga letaknya berada di bagian depan rumah. Serambi atau tepas dan ruang tamu merupakan tempat yang bisa dipakai bersama oleh tamu, anggota keluarga, serta para kerabat (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung 2002). Keberadaan ruang bersama ini merupakan bentuk dari sikap nemui nyimah yang dianut oleh masyarakat tradisional Lampung (Depdikbud 1998b). Rumah tradisional Lampung merupakan bentuk hasil dari kebutuhan ruang dan fungsi yang terbentuk dari teknologi dan kondisi lingkungan sekitarnya. Sejak dahulu masyarakat tradisional Lampung telah memahami keunggulan material kayu dan menjadikannya sebagai bahan utama dalam membangun rumah. Memahami lingkungan yang rawan gempa bumi, rumah tradisional merupakan bentuk adaptasi yang sangat sesuai. Rumah tradisional Lampung menggunakan sistem sambungan untuk masing-masing balok yang menopang rumah. Sehingga ketika terjadi gempa, rumah akan bertahan (Dinas Pendidikan Provinsi Lampung 2002). Dahulu bah lamban tidak memiliki kegunaan tertentu atau tidak terlalu banyak dimanfaatkan. Bah lamban merupakan hasil dari bentuk adaptasi rumah terhadap lingkungannya. Dahulu, terutama perkampungan masyarakat Lampung Pepadun berada di pedalaman hutan. Lingkungan tinggal yang rawan ini membahayakan penghuni rumah karena dahulu masih banyak terdapat binatang buas yang berkeliaran. Rumah yang tinggi akan melindungi penghuni dari masuknya binatang ke dalam rumah. Selain itu dahulu karena keperluan akan sumber air untuk hidup, rumah tradisional Lampung umumnya dibangun dekat atau mengikuti aliran sungai. Bangunan berbentuk panggung juga merupakan
22 adaptasi terhadap lingkungan sungai yang sewaktu-waktu bisa meluap (Depdikbud 1997). Bagi rumah yang memiliki lesung umumnya lesung diletakkan di bah lamban di bagian bawah dapur. Demikian pula kayu bakar juga diletakkan di bah lamban di bagian bawah dapur (Depdikbud 1992). Dapur dan Gakhang Meskipun umumnya dapur dan gakhang menjadi satu dengan rumah, terkadang untuk keperluan tertentu tetap diperlukan dapur yang terpisah dari rumah. Dapur yang menjadi satu dengan rumah dibedakan menjadi dua jenis yaitu dapur panggung dan dapur tanah. Dapur panggung tingginya hampir sama dengan rumah keseluruhan sementara dapur tanah posisinya sejajar dengan tanah. Bagi masyarakat Lampung, dapur selalu diusahakan berada di belakang rumah. Hal ini merupakan konsepsi dasar dalam membangun rumah dan dapur. Jika ditinjau dari segi tata ruang, dapur memiliki hierarki yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ruangan lain dalam rumah. Oleh karena itu dapur selalu dibangun di bagian belakang rumah sebelah kiri. Dahulu halaman dimanfaatkan untuk kegiatan dapur untuk upacara tertentu. Ketika sedang ada kegiatan tertentu, pada halaman samping rumah yang dekat dengan dapur permanen biasanya dibangun sudung. Sudung merupakan bangunan beratap dengan dinding setengah untuk tempat meletakkan tungku memasak (Depdikbud 1992). Selain memasak untuk kepentingan sehari-hari, terkadang masyarakat Lampung juga memasak untuk kepentingan lain. Hal ini yang mengakibatkan perlunya ada dapur yang terpisah dari rumah. Dapur juga difungsikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan minyak, kecap, dan gula kelapa. Sehingga tidak jarang halaman rumah, terutama halaman belakang dimanfaatkan menjadi dapur luar untuk usaha keluarga. Dapur yang umumnya ada di belakang rumah adalah dapur kopra dan dapur gula aren, dan juga dapur lain sesuai dengan kebutuhan pemilik rumah (Depdikbud 1992). Selain gakhang yang berada dekat dengan dapur, pada rumah tradisional Lampung juga terdapat gakhang hadap di bagian depan rumah sebelah kanan rumah bagian depan tempat mula-mula sampai setelah menaiki tangga. Kegunaan gakhang hadap ini adalah untuk tempat membersihkan diri sebelum memasuki rumah (Depdikbud 1987). Halaman Masyarakat tradisional Lampung dahulu tidak terlalu banyak memanfaatkan halaman di sekitar rumahnya. Hal ini dikarenakan dahulu semua kebutuhan masyarakat telah terpenuhi dari usaha yang dilakukan di ladang. Selain itu, jarak rumah yang saling berdekatan juga mengakibatkan penggunaan lahan kosong di sekitar rumah lebih untuk fungsi sosial (Depdikbud 1987). Halaman samping kiri dan kanan rumah atau kebik/kakebik biasanya tidak memiliki batas dengan halaman rumah tetangga, sehingga seolah merupakan milik bersama. Pada bagian belakang sebelah kiri dekat dengan posisi dapur, biasanya disediakan lahan kosong untuk membangun sudung dalam kegiatan atau acara tertentu. Berbeda dengan halaman depan dan samping yang biasanya tidak terlalu banyak dipergunakan untuk menanam, halaman belakang atau kebon/kudan/juyu lebih banyak digunakan. Halaman belakang rumah tradisional Lampung
23 umumnya lebih luas karena langsung menyatu dengan kebun di belakangnya. Halaman belakang bisa dikategorikan sebagai ruang semi privat karena biasanya kegiatan yang dilakukan di belakang hanya oleh pemilik rumah. Halaman belakang biasanya dimanfaatkan untuk memelihara ternak dan tempat didirikannya dapur luar (Depdikbud 1992). Walai Walai merupakan bangunan tradisional yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Walai atau balai adalah lumbung padi yang berbentuk persegi dengan tiang panggung. Walai atau balai biasanya dibangun berkumpul di tanah ulayat yang berlokasi jauh di luar kampung dekat dengan areal persawahan dan disebut walai ramik. Tujuannya adalah agar kotoran sewaktu mengolah padi tidak mengotori permukiman. Ada dua jenis walai yaitu walai dengan thiang kelindang, dan walai dengan thiang panggung. Walai dengan thiang kelindang lebih rendah dibanding dengan walai yang memiliki thiang panggung. Oleh karena itu untuk menaiki walai dengan thiang panggung diperlukan jan atau tangga. Jan dibuat dari batang kayu yang telah ditakik salah satu sisinya untuk dijadikan sebagai tempat pijakan. Biasanya jan tidak dipasang permanen, namun bisa dilepas lalu disimpan di lepau. Ruang pertama setelah menaiki jan adalah lepau atau teras walai. Lepau seperti menggantung keluar karena tidak ditopang oleh tiang tertentu. Lepau hanya memiliki dinding setengah. Fungsi lepau adalah sebagai tempat mengilik padi yang telah dipanen sebelum disimpan ke walai. Ruang selanjutnya adalah lom walai atau bagian dalam walai yang juga biasa disebut sebagai hamejong. Lom walai merupakan satu-satunya ruang yang ada dalam walai dan berfungsi sebagai tempat menyimpan padi. Jika dalam satu keluarga besar adikadik belum memiliki walai sendiri, mereka bisa menyimpan padi pada walai milik kakak tertua. Dinding dan lantai walai dibuat dari bambu yang telah dibelah dan dipukul-pukul dan dilapis dengan ijuk. Lapisan ini dipercaya oleh masyarakat aman dari serangan hama tikus. Sedangkan atap walai dahulu biasanya dibuat dari ijuk (Kemenbudpar 2011). Aktivitas Upacara yang biasa dilakukan di lingkungan rumah biasanya berupa upacara daur hidup. Upacara daur hidup merupakan upacara-upacara adat yang memiliki nilai budaya karena menyangkut perubahan dalam fase hidup seseorang. Upacara ini meliputi upacara kelahiran, upacara sebelum dewasa, upacara mudamudi, upacara perkawinan, hingga upacara kematian. Upacara kelahiran meliputi upacara syukuran kehamilan, kelahiran bayi, syukuran bayi, hingga upacara turun tanah ketika bayi sudah menginjak usia beberapa bulan. Upacara sebelum dewasa meliputi upacara busepi hingga akhirnya anak mulai memasuki usia remaja. Rumah merupakan tempat bertemunya muli dan mekhanai. Acara pertemuan antara muli dan mekhanai disebut manjau muli. Manjau muli ada yang dilakukan secara diam-diam atau manjau salep yakni mekhanai mendatangi rumah pada malam hari ketika muli sedang bekerja di dapur. Ada pula manjau muli yang dilakukan secara terangterangan atau biasa disebut dengan manjau terang.
24 Ketika melakukan manjau terang, mekhanai akan datang dengan diketahui oleh orangtua dari muli. Mekhanai datang membawa sirih dan masuk melalui pintu belakang dan dipersilahkan masuk ke serambi dapur. Hal ini menjelaskan bahwa posisi dapur dalam rumah tradisional Lampung sebagai tempat terjadinya sosialisasi. Selain dengan kedua cara tersebut, ada juga yang disebut sebagai manjau damau namun aktivitas ini tidak dilakukan di rumah. Aktivitas budaya lain yang juga dilakukan di rumah adalah upacara perkawinan atau biasa disebut begawi bagi masyarakat adat Pepadun. Pada upacara begawi ini halaman depan rumah biasanya dimanfaatkan sebagai tempat didirikannya teratak (Depdikbud 1996). Aktivitas budaya lain yang dilakukan di lingkup rumah tinggal adalah upacara menyangkut kematian. Jika dalam suatu rumah ada bayi yang meninggal, acara yang biasa dilakukan adalah menguburkan tembuni. Biasanya tembuni akan dikuburkan di bawah pohon yang ada di halaman rumah. Jika dalam suatu rumah yang meninggal adalah anak yang telah berumur lebih dari lima tahun, maka akan dilakukan upacara pemecahan kelapa muda di bawah tangga rumah. Hal ini dilakukan karena untuk mencegah orangtua merasa rindu kepada anaknya yang telah meninggal (Depdikbud 1978). Simbol Rumah merupakan gambaran kebanggaan dari pemiliknya. Oleh sebab itu tak jarang pada rumah tradisional Lampung ditemui berbagai jenis ragam hias. Ragam hias yang biasa diterapkan pada bagian rumah umumnya bermotif flora, fauna, alam, atau kaligrafi. Ragam hias umumnya diukir pada bagian atas pintu atau jendela rumah. Keberadaan ragam hias juga memiliki filosofi dan nilai tertentu bagi pemilik rumahnya. Tak jarang ragam hias merupakan bentuk dari pengharapan dan keinginan dari pemilik rumah. Selain berupa pola ukir-ukiran, ragam hias juga dapat berupa pajangan tanduk hewan seperti kerbau, kambing, dan rusa. Keberadaan ragam hias pada bagian depan rumah melambangkan tingkat dan status sosial dari pemilik rumah (Depdikbud 1987).
Hasil Wawancara Keseluruhan komponen rumah tinggal tradisional Lampung memiliki karakter yang menjadi simbol yang mengandung arti khusus. Hasil wawancara dengan narasumber ahli berkaitan dengan tata ruang dan elemen taman rumah tinggal tradisional Lampung dapat dilihat pada tabel 5. Tata Ruang dan Elemen Rumah Tinggal Tradisional Lampung Tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung terdiri atas rumah dan halaman (Gambar 8) dengan proporsi halaman belakang yang lebih besar dibandingkan halaman samping dan depan. Halaman terutama halaman depan dan samping rumah difungsikan sebagai tempat berinteraksi dengan tetangga, tempat menjemur hasil bumi, dan tempat aktivitas pemilik rumah. Sedangkan rumah berfungsi sebagai tempat berlindung dan tempat bermusyawarah untuk upacara adat.
25 Tabel 5 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung berdasarkan hasil wawancara Komponen Rumah Tinggal Batas tapak
Arsitektur bangunan Ruang
Bah lamban Dapur dan gakhang Halaman
Orientasi
Tanaman
Sirkulasi Aktivitas Simbol
Uraian Pendapat Narasumber rumah tradisional Lampung tidak memiliki batas yang nyata dengan rumah tinggal tetangga, terkadang dibatasi oleh pagar hidup 3 batas rumah tradisional (langen) biasanya berupa tanaman jarak kuto (jarak pagar)5 penanda batas ujung rumah bisa menggunakan kayu labeu (pohon maja)4 merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan1,2,7 pembagian ruang di dalam rumah tradisional Lampung dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku antar anggota keluarga atau kerabat4 difungsikan sebagai tempat penyimpanan2,4,6,7 dapur berada di bagian belakang rumah sebelah kiri, berdekatan dengan gakhang6 rumah tradisional memiliki halaman depan (beruan) yang dibiarkan kosong untuk menjemur hasil panen, serta halaman samping dan belakang (kebon)4 halaman tidak terlalu penting karena semua kegiatan penanaman dilakukan di ladang5 halaman depan rumah dibiarkan kosong sehingga menunjukkan kemegahan rumah8 pada Pekon Kenali rumah tradisional dahulu menghadap ke Gunung Pesagi (arah selatan)2 rumah tradisional dahulu menghadap atau membelakangi sungai karena adanya pangkalan mandi5, 7 tanaman yang ditanam di halaman rumah memiliki manfaat bagi penghuninya3,4 tanaman tidak ditanam di sekitar rumah, melainkan di kebon5,6 lurus4, menuju sisi kanan rumah 2, menghadap rumah kepala adat6 upacara pernikahan adat5,8 rumah tradisional Lampung dibagi atas bagian bawah rumah, bagian tengah untuk tempat tinggal manusia, dan bagian atas sebagai dunia para dewa 1 perbedaan level lantai rumah tinggal tradisional menggambarkan tingkat kesucian yang berbeda 4 bagian atas rumah tempat suci untuk menyimpan benda pusaka 3
Keterangan: 1. Budi Supriyanto 2. Mad Sa'ari Glr. Batin Setia 3. Habiburrakhman 4. Iskandar Zulkarnain 5. Hj.Uzunuhir, S.Pd Glr. Suttan Lepus 6. Fasykinar Bahari Glr. Dalom Putra Wiranegara 7. Arsyad Glr. Suntan Ratu Putra 8. Amasin Glr. Suntan Alif
26
Gambar 8 Pembagian halaman rumah tinggal tradisional Lampung Orientasi Arah Hadap Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rumah tinggal tradisional Lampung dahulu umumnya menghadap atau membelakangi sungai. Meskipun berorientasi kepada sungai tergolong umum, beberapa perkampungan tradisional Lampung menganut orientasi yang berbeda. Pada Pekon Kenali, orientasi arah hadap rumah mengarah ke Gunung Pesagi. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat asli bahwa Gunung Pesagi merupakan asal mula kehidupan mereka. Sementara itu pada Negeri Olok Gading orientasi rumah menghadap ke rumah pemimpin adat. Namun pada saat ini sebagian rumah masyarakat tidak lagi berorientasi kepada sungai, gunung, maupun rumah pemimpin kampung, melainkan menghadap jalan di depannya. Kondisi ini terjadi karena masuknya akses ke desa yang mempermudah mobilitas masyarakat. Batas Tapak Penanda kepemilikan berupa pagar pembatas tidak dianggap penting karena biasanya masyarakat dalam satu lingkungan tinggal saling berkerabat. Rumah tinggal umumnya tidak memiliki batas yang nyata dengan rumah tetangga, atau jika ada hanya dibatasi oleh pagar hidup berupa tanaman seperti jarak pagar (jarak kuto). Tanaman lain yang biasa digunakan sebagai penanda batas tanah rumah adalah kayu labeu atau pohon maja. Pohon ini biasa ditanam di ujungujung petak tanah halaman sebagai penanda batas. Tanaman ini sering digunakan karena buahnya bisa digunakan dalam pelaksanaan upacara adat. Sirkulasi Sirkulasi di sekitar rumah tinggal yang ditemui di beberapa kampung menunjukkan beberapa pola. Pola yang umum adalah sirkulasi lurus mengarah ke tangga menuju tepas. Selain itu, biasanya juga terdapat sirkulasi lain yang menuju pintu belakang atau samping rumah (Gambar 9 B dan C). Meskipun memiliki dua pintu, namun tamu umumnya memasuki rumah melalui pintu utama yang terletak
27 di depan rumah. Sementara pintu belakang hanya untuk keluarga dan kerabat dekat. Pada gambar sirkulasi dibedakan menjadi dua, yaitu jalur sirkulasi utama menuju rumah (garis merah) dan sirkulasi sekunder (garis biru). Hanya pada Pekon Kenali saja ditemui perbedaan yaitu sirkulasi langsung mengarah ke samping karena pintu utama berada di bagian sisi belakang rumah (Gambar 9 A).
A
B
C
Gambar 9 Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung Rumah (Lamban/Nuwou) dan Bah Lamban Bah lamban selain merupakan ruang dibawah rumah, biasanya juga dimanfaatkan oleh pemilik untuk tempat penyimpanan. Bah lamban yang terletak di bawah dapur biasanya dijadikan tempat menumpuk kayu bakar serta tempat menyimpan lesung dan alat pertanian lainnya. Selain itu, saat diadakan acaraacara tertentu bah lamban bisa dijadikan tempat berkumpul kaum wanita. Ruang dalam rumah menggambarkan tingkat kesucian tertentu. Dimulai dari depan rumah level lantai akan meningkat ketika menaiki tangga. Ketika memasuki rumah, level tepas akan berbeda dengan ruang pertama, kedua, dan seterusnya. Ketika memasuki dapur, level lantai akan berkurang lagi hingga menuju pintu keluar dari belakang rumah. Perbedaan level ini menunjukkan tingkat kesucian berbeda yang artinya hierarki ruang tersebut lebih tinggi. Sehingga ketika memasuki rumah baik tamu maupun pemilik rumah harus bersih. Dengan adanya keharusan ini, maka terkadang di depan rumah terdapat tempat air untuk mencuci kaki, karena dahulu masyarakat belum menggunakan alas kaki. Rumah merupakan pusat aktivitas penghuninya. Sebagian besar kegiatan dilakukan di dalam rumah, terutama untuk kaum lelaki. Biasanya musyawarah (merwatin) untuk mengambil keputusan suatu masalah dilakukan di ruang agung atau di pengidangan ragah. Rumah juga biasa dipakai sebagai tempat melakukan upacara daur hidup. Dimulai dari upacara pertemuan kedua keluarga untuk menyepakati pernikahan, upacara pernikahan secara adat, upacara kehamilan, upacara kelahiran, hingga upacara kematian biasa diselenggarakan dirumah. Meskipun penyebutan nama ruang bisa berbeda antar daerah, namun tetap memiliki makna yang sama.
28 Dapur dan Gakhang Dapur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari penghuni rumah. Umumnya dapur terletak di bagian kiri belakang rumah dengan posisi yang berdekatan dengan gakhang. Karena posisinya yang berada di belakang dan memiliki akses langsung menuju luar rumah melalui pintu samping, maka dapur dapat dimasuki oleh siapa saja. Hingga saat ini masyarakat tradisional Lampung masih ada yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Oleh sebab itu seringkali pada rumah tinggal tradisional Lampung ditemui rak penyimpanan kayu bakar. Dahulu, gakhang biasa digunakan sebagai tempat mencuci peralatan rumah tangga dan membersihkan diri. Gakhang biasanya tidak berdinding penuh dan letaknya agak di luar rumah. Lantai gakhang biasanya terbuat dari bambu sehingga air yang dipakau untuk mencuci atau membersihkan diri akan langsung terbuang ke bawah rumah. Dahulu saat masyarakat belum memiliki sumur permanen sebagai sumber air, air yang dipakai untuk mencuci dan membersihkan diri dibawa dari luar rumah. Posisi dapur dan gakhang pada rumah biasanya lebih rendah dari posisi ruangan lain. Hal ini dikarenakan hierarki dari dapur dan gakhang lebih rendah dari ruang lain. Terkadang posisi dapur dan gakhang agak terpisah dari rumah atau bahkan terpisah sama sekali. Keberadaan jembat sebagai penghubung antara rumah utama dengan dapur dan gakhang di belakang rumah menunjukkan bahwa nilai dari ruangan-ruangan utama rumah dan bagian belakang yaitu dapur dan gakhang berbeda. Halaman dan Tanaman Halaman rumah tinggal tradisional Lampung terbagi menjadi tiga bagian, yaitu halaman depan yang disebut sebagai beruan atau tengahbah/terambah, halaman samping, dan halaman belakang atau kebon. Halaman depan biasanya dibiarkan terbuka dengan hamparan tanah atau semen permanen tanpa terlalu banyak tanaman agar bisa digunakan untuk menjemur hasil kebun. Selain itu, halaman terbuka juga dimaksudkan agar pemilik rumah dapat dengan leluasa melihat kearah luar demikian juga sebaliknya. Dahulu ketika rumah masih berada di daerah pedalaman, keberadaan halaman tidak terlalu penting bagi masyarakat karena semua kegiatan bercocok tanam dilakukan di ladang. Meskipun letaknya jauh dari rumah, ladang sudah dirasa cukup menyediakan kebutuhan sehingga tidak diperlukan lagi menanam di sekitar rumah. Jika ada tanaman selain tanaman keperluan dapur di sekitar rumah, biasanya tidak dengan sengaja ditanam. Tetapi memang sudah ada sejak membangun rumah. Walai Walai atau lumbung merupakan tempat menyimpan padi dalam jangka waktu panjang. Dalam suatu kampung, biasanya walai diletakkan jauh dari rumah dan berkumpul di satu tempat yang dekat dengan sawah. Namun ada juga walai yang diletakkan di dekat rumah, biasanya milik pemimpin kampung atau keluarga yang berada. Tidak semua kampung memiliki walai karena kebanyakan kampung berada di pedalaman dan tidak menanam padi di sawah melainkan di ladang.
29 Bentuk walai serupa dengan rumah panggung dengan satu pintu di bagian depan namun berukuran lebih kecil.
Hasil Observasi Lapang Hasil observasi lapang memperlihatkan pola tata ruang beserta komponen dan elemen penyusun ruang yang relatif sama pada kampung yang dijadikan sebagai referensi (Tabel 6). Pada umumnya tata ruang rumah tinggal tradisional terdiri atas halaman dan rumah. Halaman umumnya dibiarkan terbuka tanpa terlalu banyak tanaman. Orientasi arah hadap rumah umumnya mengikuti jalan di depannya dengan posisi rumah yang saling berhadapan berjejer sepanjang kampung (Gambar 10). Tabel 6 Perbandingan komponen tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung
No
Komponen dan Elemen Tata Ruang
Wilayah Pekon Kenali
Kampung Wana
Sukadana Darat
mengikuti jalan di depannya ada, pagar dinding, besi, atau kayu
mengikuti jalan di depannya ada, pagar dinding, besi, atau kayu
1
Orientasi
2
Batas tapak
3
Pagar dan gerbang
4
Sirkulasi utama
ada terbuat dari besi atau kayu, atau tidak ada sirkulasi ke samping rumah
5
Bah lamban
ada, dimanfaatkan
mengikuti jalan di depannya ada, tidak konsisten, ada yang berpagar tanaman, pagar permanen, ada yang tidak ada pagar, tidak semua ada gerbang lurus menuju tangga depan rumah ada, dimanfaatkan
6
Dapur dan gakhang
ada, di belakang rumah, menyatu dengan rumah
ada, di belakang rumah, menyatu dengan rumah
7
Halaman depan
ada, luas
ada, sempit
8
Halaman samping
ada, luas
9
Halaman belakang
ada, sempit
ada, terbuat dari semen datau besi lurus dengan pintu rumah ada, tidak dimanfaatkan
Negara Tulang Bawang mengikuti jalan di depannya ada, tidak konsisten, ada yang berpagar tanaman, pagar permanen, ada yang tidak ada atau tidak ada pagar dan gerbang lurus menuju tangga depan rumah ada, dimanfaatkan
ada, di belakang rumah, menyatu dengan rumah tidak ada
ada, di belakang rumah, menyatu dengan rumah
ada atau tidak ada
ada, luas
ada, luas
ada atau tidak ada
ada atau tidak ada
ada atau tidak ada
ada, luas
30
Gambar 10 Pola permukiman memanjang Batas Tapak Sebagian besar rumah tradisional di perkampungan yang dapat dijumpai saat ini telah memiliki batas yang jelas. Batas antar rumah yang umum berupa pagar kayu, bambu, tanaman, dan pagar besi atau tembok permanen.. Meskipun sebagian besar rumah memiliki batas, namun pagar tersebut umumnya tidak terlalu tinggi dan tidak semua memiliki gerbang. Seperti pada permukiman di Kampung Wana dan Negara Tulang Bawang, sebagian besar rumah tinggal dibatasi oleh pagar namun terbuka tanpa gerbang (Gambar 11).
Gambar 11 Rumah tanpa gerbang di Kampung Wana Namun ada pula rumah-rumah yang tidak memiliki batas dengan rumah di sekitarnya seperti yang dapat dijumapi di Pekon Kenali. Permukiman dibangun memanjang mengikuti jalan dengan rumah yang saling berhadapan, namun antar rumah tidak memiliki batas yang jelas (Gambar 12). Antar rumah berdekatan dan sangat rapat sehingga seakan-akan halaman samping adalah milik bersama.
31
Gambar 12 Batas antar rumah tidak terlihat
Sirkulasi Sirkulasi di sekitar lingkungan rumah tradisonal Lampung umumnya tidak memiliki pola tertentu. Meskipun terkadang rumah tradisonal memiliki dua tangga dan dua pintu masuk, sirkulasi tetap membentuk garis lurus langsung menuju ke pintu utama (Gambar 13).
Sirkulasi menuju depan rumah
Sirkulasi menuju samping rumah
Gambar 13 Sirkulasi di sekitar rumah tinggal tradisional Lampung Berbeda dengan kampung lain, di Pekon Kenali pintu utama berada di sisi kanan belakang rumah. Sehingga untuk menuju ke dalam, harus melalui sirkulasi samping yang menghubungkan halaman depan dan halaman samping (Gambar 14). Pada rumah tinggal Kampung Wana dan Negara Tulang Bawang, terdapat pintu masuk dari samping rumah. Pintu masuk ini melalui teras belakang atau tadah embun dan langsung menuju ke dapur. Bedanya dengan pintu pada rumah di Pekon Kenali adalah, pintu menuju gakhang ini bukanlah pintu utama rumah.
32 Rumah (Lamban/Nuwou) Berdasarkan hasil observasi lapang, rumah tradisional memiliki tangga naik tunggal atau kembar pada sisi kiri dan kanan serambi depan, dan terkadang tangga di serambi belakang. Selepas naik dari tangga, bagian rumah yang pertama adalah tepas atau teras. Pemilik rumah terkadang menghias tepas miliknya dengan tengkorak kerbau yang bertuliskan tanggal upacara adat yang telah mereka lakukan dalam aksara Lampung. Terkadang kayu di bagian atas pintu diukir tanggal pembangunan rumah. Kayu di tepas juga biasanya dihias dengan ukiranukiran (Gambar 14).
Hiasan tengkorak kerbau
Ragam hias ukiran
Gambar 14 Hiasan di tepas Selain rumah yang berbentuk panggung dengan tiang yang tinggi, ada juga tipe rumah yang disebut gajah meghem atau gajah sedang duduk (Gambar 15). Rumah tradisional tipe ini sebenarnya juga berupa rumah panggung yang tinggi tiangnya mencapai dua meter, namun tampak depan dari rumah terlihat seperti menempel dengan tanah. Karena dari depan terlihat seperti rumah biasa yang menempel dengan tanah sementara bagian belakangnya ditopang tiang yang tinggi inilah rumah tipe ini disebut gajah meghem. Rumah tipe ini ditemukan di kawasan Sukadana Darat.
Gambar 15 Rumah tradisional tipe gajah meghem di Sukadana Darat
33 Rumah secara umum terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu bagian depan, tengah dah bagian belakang. Bagian depan rumah dimulai dari tepas hingga ruang pertama setelah pintu masuk. Bagian tengah adalah ruang kedua setelah pintu masuk. Serta ruang bagian belakang yaitu dapur dan gakhang. Gakhang merupakan tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga yang lantainya terbuat dari bambu sehingga air langsung terbuang kebawah rumah. Gakhang sudah banyak yang dirubah menjadi kamar mandi permanen tidak lagi berlantai bambu dan sudah memiliki saluran air otomatis sehingga tidak perlu mengangkat air dari sumur diluar rumah. Bah Lamban Bagian bawah rumah atau bah lamban biasanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan atau dibiarkan kosong dan terbuka. Penggunaan bah lamban tergantung dari keperluan dan keinginan dari pemilik rumah. Bah lamban biasa dijadikan sebagai tempat menyimpan alat-alat bertani, kayu bakar, lesung, bahkan kendaraan pemilik rumah (Gambar 16).
Gambar 16 Bah lamban sebagai tempat penyimpanan Selain untuk menyimpan peralatan keperluan hidup, terkadang pemilik juga membangun kandang ternak di bah lamban terutama di bagian bawah dapur. Jika tidak dipergunakan sebagai tempat penyimpanan ataupun kandang, bah lamban terkadang dibangun dengan semen permanen menjadi ruang tambahan bagi anggota keluarga baru. Saat ini hampir di setiap kampung ditemukan rumah tradisional yang bagian bawahnya telah dibangun menjadi ruang permanen baru. Dapur dan gakhang Pada keempat lokasi penelitian, dapur dan gakhang selalu berada di dalam rumah dan saling berdekatan dengan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan ruangan lain. Saat ini gakhang sudah banyak yang dirubah menjadi kamar mandi permanen dengan lantai semen, tidak lagi berlantai bambu. Kondisi saat ini dari dapur dan gakhang dapat dilihat pada gambar 17. Dapur memiliki akses langsung ke luar rumah, baik ke halaman samping ataupun halaman belakang. Kondisi seperti ini dijumpai pada rumah tradisional di
34 Kampung Wana, Sukadana Darat, dan Negara Tulang Bawang. Sementara pada rumah tradisional di Pekon Kenali, rumah hanya memiliki satu pintu dan pintu tersebut terletak di belakang rumah. Sehingga ketika masuk ruang pertama yang dilalui adalah dapur dan gakhang.
Dapur
Gakhang Gambar 17 Dapur dan gakhang
Halaman Pada rumah tinggal tradisional Lampung umumnya terdapat halaman depan, halaman samping, dan halaman belakang (Gambar 18). Halaman depan biasanya dibiarkan terbuka dengan hamparan tanah atau semen permanen tanpa terlalu banyak tanaman agar bisa digunakan untuk menjemur hasil kebun. Pada rumah yang tidak memiliki batas dengan rumah lainnya, tanaman biasa digunakan sebagai penanda kepemilikan halaman. Masyarakat biasa menggunakan halaman samping rumahnya untuk menanam tanaman obat, bumbu dapur, sayur-sayuran, serta tanaman buah. Apabila ada halaman belakang biasanya fungsinya tidak jauh berbeda dengan halaman samping. Masyarakat Kampung Wana menyebut halaman depan sebagai beruan dan halaman belakang sebagai kebon. Kebon biasa difungsikan untuk menanam tanaman keperluan hidup, atau bahkan langsung menyatu dengan kebun pemilik rumah. Di halaman samping atau belakang dekat dapur biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar untuk memasak. Ada pula warga yang menggunakan halamannya untuk memelihara ternak. Tanaman Penanaman di sekitar rumah lebih banyak dilakukan di halaman samping dan belakang sementara halaman depan dibiarkan terbuka dengan sedikit tanaman. Tanaman yang umum dijumpai di halaman antara lain adalah tanaman peneduh, semak pembatas, tanaman hias, serta tanaman produksi, rempah-rempah dan obat. Kondisi halaman pada saat ini yang dimanfaatkan untuk penanaman dapat dilihat pada gambar 19. Halaman depan dibiarkan terbuka dengan hamparan tanah atau rumput, dan jika ada tanaman hanya di bagian sisi saja berupa semak berbunga atau tanaman hias lainnya sebagai pembatas dan pemberi aksen pada rumah.
35 Penanaman yang minim di bagian depan rumah tujuannya agar pandangan pemilik tidak terhalang. Tanaman pemenuh kebutuhan pemilik rumah biasanya ditanam di bagian samping atau belakang rumah. Tanaman peneduh biasanya ditanam di samping rumah dan berupa pohon penghasil buah. Karena dapur seringkali berada di salah satu sisi rumah dan memiliki akses langsung ke halaman samping, umumnya tanaman sayur, rempah-rempah, dan obat ditanam di samping rumah.
Halaman depan rumah
Halaman samping rumah
Halaman belakang rumah
Gambar 18 Halaman rumah tinggal tradisional Lampung
Gambar 19 Tanaman pada halaman rumah tinggal
36 Penanaman di sekitar rumah tersebut hanya merupakan kondisi saat ini yang umum dijumpai di perkampungan tradisional. Namun penanaman tersebut tidak memiliki makna khusus jika dikaitkan dengan segi budaya.
Elemen Penyusun Taman Rumah Tinggal Setelah membandingkan hasil studi literatur dan wawancara dengan hasil observasi lapang ternyata ditemukan ketidaksesuaian kondisi yang seharusnya ada berdasarkan budaya. Berdasarkan budaya, rumah tradisional Lampung berbentuk persegi panjang dengan bagian yang pendek merupakan muka rumah, dan bagian yang panjang membujur ke belakang. Rumah tradisional Lampung merupakan rumah panggung yang ditopang oleh tiang bulat setinggi kurang lebih dua meter. Jika dibandingkan dengan hasil wawancara, tidak semua kondisi yang ada pada saat ini sesuai dengan cerita yang disampaikan oleh narasumber maupun literatur. Sudah banyak terjadi perubahan pada rumah dan lingkungan sekitarnya. Bangunan rumah asIi sudah banyak yang berubah dan ditambah dengan material modern. Hal ini diduga karena masuknya teknologi dan kemudahan akses kedalam kampung. Tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung terdiri dari rumah dan halaman. Halaman rumah tradisional Lampung umumnya terbuka tanpa pembatas sehingga tetangga di sekitarnya bebas melaluinya. Halaman dapat dikategorikan sebagai ruang bersama, selain itu biasanya antar rumah jaraknya saling berdekatan. Akibat kedekatan jarak ini, batas kepemilikan seakan tidak nyata (Gambar 20). Antar tetangga dapat saling berinteraksi dengan mudah di halamannya atau halaman tetangganya. Tata ruang semacam ini dijumpai hampir di semua permukiman tradisional. Hal ini terjadi akibat mayoritas masyarakat dalam satu lingkungan tinggal merupakan kerabat dekat.
Gambar 20 Antar rumah yang berjarak dekat Berdasarkan perbandingan dari hasil observasi lapang, wawancara dan studi literatur, elemen-elemen pembentuk pada taman rumah tinggal tradisional
37 Lampung meliputi lumbung padi (walai), gakhang hadap, sudung, dapur luar tanaman, dan kandang ternak (Tabel 7). Komponen-komponen tersebut ada untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan upacara adat. Peletakan komponen tidak selalu memiliki arti tertentu, namun bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan sekitar. Tabel 7 Perbandingan elemen penyusun taman rumah tinggal
Elemen
Studi Literatur
Wawancara
Gakhang hadap Walai Lokasi dapur terbuka Tempat kayu bakar Dapur luar Kandang ternak Tanaman
✓ ✓
✓ ✓
Observasi Lapang
✓ ✓ ✓
✓
✓
✓ ✓
✓
Berbeda dengan kondisi yang seharusnya berdasarkan literatur baik dari hasil observasi lapang maupun hasil wawancara, tidak ditemukan adanya gakhang hadap. Keberadaannya mencirikan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat tradisional Lampung yakni rumah merupakan ruang dengan hierarki yang lebih tinggi dari lingkungan di sekitarnya sehingga ketika memasuki rumah seseorang harus dalam keadaan yang bersih. Oleh sebab itu keberadaan gakhang hadap sebagai elemen penyusun pada tamah rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung harus ada. Pada kondisi saat ini, keberadaan walai pada taman rumah tinggal tradisional Lampung sudah tidak lagi ditemukan. Hal ini terjadi karena masyarakat saat ini lebih memilih menyimpan beras di dalam rumah tidak di bangunan yang terpisah. Selain itu tidak semua masyarakat di kampung memiliki sawah sendiri. Seharusnya keberadaan walai harus tetap dipertahankan karena merupakan ciri khas dari budaya Lampung. Oleh sebab itu untuk memperkuat karakter pada tamah rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung keberadaan walai sebagai elemen penyusun harus ada. Meskipun di dalam rumah telah terdapat dapur di dalam rumah, namun dalam untuk keperluan tertentu masyarakat tradisional Lampung masih memerlukan adanya dapur yang terpisah dari rumah. Dari hasil studi literatur diketahui bahwa pada taman rumah tinggal tradisional Lampung seharusnya terdapat lokasi untuk dapur terbuka (Depdikbud 1992). Untuk kepentingan ini maka harus disediakan ruang terbuka di halaman samping yang dekat dengan dapur dalam rumah. Selain itu masyarakat tradisonal Lampung juga biasanya memiliki dapur di luar rumah yang biasa digunakan untuk membuat gula merah dan kopra. Dapur ini biasanya dibangun permanen dan terletak di belakang rumah berdekatan dengan walai (Depdikbud 1992).
38 Untuk mendukung kegiatan memasak baik di dapur dalam rumah maupun dapur luar rumah, masyarakat tradisional Lampung masih menggunakan kayu bakar. Tempat menyimpan kayu bakar dapat digolongkan sebagai salah satu elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional Lampung karena sampai saat ini masih dapat ditemukan. dari hasil observasi lapang, tempat menyimpan kayu bakar biasanya diletakkan di bah lamban tepat di bawah dapur atau di halaman samping rumah yang dekat dengan dapur. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa sampai saat ini masih ada masyarakat yang menggunakan tungku untuk memasak sehingga kayu bakar masih digunakan. Kayu bakar dalam jumlah banyak tidak dapat disimpan di dalam rumah, oleh sebab itu masyarakat terkadang membuat rak untuk penyimpanan kayu bakar di halaman samping rumah.
Konseptualisasi Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung Konsep Taman Rumah Tinggal Tradisional Lampung Taman tersusun dari elemen-elemen yang mempengaruhi penampilan dan kualitas taman. Menurut Simond (2006), taman merupakan lanskap berskala mikro sehingga elemen pembentuk taman dapat disamakan dengan elemen pembentuk lanskap. Elemen pembentuk taman antara lain adalah bentukan lahan, material tanaman, bangunan, elemen keras, struktur tapak, dan elemen air (Simonds 2006). Taman memiliki bentuk serta fungsi yang spesifik. Taman rumah merupakan bentuk ruang luar yang berada di sekitar bangunan rumah sehingga pemanfaatan dan keindahan taman rumah sangat ditentukan oleh pemiliknya (Ingels 1997). Dalam setiap desain taman yang berbeda-beda pasti terdapat karakter yang umum. Menurut Crowe (1981), dalam mendesain taman terdapat beberapa prinsip yang secara konstan harus diterapkan. Prinsip tersebut antara lain adalah kerangka desain (order), pengulangan (repetition), irama (rhythm), kesatuan desain (unity), keseimbangan (balance), proporsi dan skala (proportion and scale), serta penekanan (emphasize). Aplikasi dari prinsip-prinsip tersebut apabila diterapkan dalam konsep taman rumah dapat menciptakan kesatuan yang harmonis. Penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam taman rumah bertujuan untuk menghubungkan bangunan rumah dengan lingkungan sekitarnya sehingga berkesan harmonis, membentuk ruang dengan menyusun elemen-elemen dalam suatu area, membentuk penggunaan tapak, serta membangun ruang luar yang bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan dari pemilik rumah. Selain bersifat estetis, desain juga harus mampu memenuhi kebutuhan manusia serta harus fungsional (Rutledge 1985). Jika mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut, taman rumah tinggal tradisional Lampung terbentuk dari elemen-elemen yang tersusun secara estetis dan juga fungsional. Meskipun demikian, taman rumah tinggal tradisional Lampung memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan taman rumah tinggal pada umumnya. Pemanfaatan taman rumah tinggal tradisional Lampung mengkombinasikan bentuk dan fungsi yakni mendahulukan pertimbangan fungsional fungsi dari elemen-elemen penyusunnya. Selain itu taman rumah tinggal tradisional Lampung menampilkan elemen-elemen lokal yaitu dengan adanya walai, lokasi dapur terbuka, dapur luar, serta gakhang hadap yang
39 mengandung unsur budaya dalam lingkungan alami sehingga memperkuat karakter lokal pada taman rumah tinggal. Penciri utama dalam taman rumah tinggal tradisional Lampung adalah pemanfaatan elemen tanaman yang minimal. Masyarakat tradisional Lampung yang dalam kesehariannya masih menjalanjan aktivitas budaya pasti memiliki halaman rumah yang terbuka baik berupa hamparan tanah maupun ditanami rumput. Hal ini dikarenakan halaman rumah seringkali digunakan dalam upacaraupacara adat seperti untuk mendirikan teratak untuk begawi (Depdikbud 1996). Meskipun demikian, ada tanaman yang biasa ditanam di sekeliling taman rumah tinggal tradisional Lampung yakni jarak kuto dan kayu labeu sebagai penanda batas halaman. Konsep Tata Ruang dan Elemen Keras Menurut Booth (1988), ruang pada rumah tinggal secara umum dapat dibagi menjadi empat ruang yaitu ruang publik, ruang privat, ruang semi publik, dan ruang servis (Gambar 21). Ruang publik merupakan area yang dapat diakses oleh semua orang dan biasanya terletak di bagian depan rumah. Ruang privat merupakan ruang yang hanya bisa diakses oleh pemilik rumah. Ruang semi publik merupakan area aktivitas bagi pemilik rumah, biasanya juga mengakomodasi kegiatan kegiatan yang bersifat sosial. Sementara ruang servis merupakan area yang mendukung kegiatan pemilik rumah.
Gambar 21 Pembagian ruang menurut Booth (1988) Seperti yang telah dibahas pada hasil observasi lapang dan wawancara, masyarakat Lampung memiliki halaman samping yang saling berdekatan. Karena antar rumah tidak memilki batas yang nyata, terkadang halaman samping seolah menjadi milik bersama (Depdikbud 1992). Halaman samping umumnya digunakan sebagai tempat berosisalisasi antar masyarakat terutama antar tetangga.
40 Halaman samping dan bah lamban biasa digunakan untuk berkumpul bersama jika dilaksanakan upacara adat. Dalam situasi tertentu, kelompok sebai biasa melakukan kegiatan memasak bersama di sekitar halaman samping pada lokasi dapur terbuka atau di bawah sudung dan bah lamban. Pada halaman samping yang dekat dengan dapur ini pula untuk kemudahan aktivitas biasanya dibangun tempat untuk menyimpan kayu bakar. Oleh sebab itu halaman samping rumah serta seluruh bagian bah lamban dapat digolongkan sebagai ruang semi publik. Berbeda dengan halaman samping, halaman depan dapat digolongkan sebagai ruang publik karena sifatnya yang terbuka dan bebas diakses oleh siapa saja. Sementara itu, elemen-elemen seperti walai, dapur luar, dan kandang ternak biasanya terletak di bagian belakang rumah. Jika ditinjau dari fungsinya, elemenelemen tersebut merupakan elemen yang dibangun dan digunakan untuk mendukung kehidupan penghuni rumah sehingga dapat digolongkan sebagai elemen yang berada pada ruang servis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembagian ruang pada rumah dan taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung sesuai dengan teori Booth (1988). Apabila dibandingkan dengan konsep ruang oleh Booth (1988) terlihat bahwa ruang pada rumah tinggal tradisional Lampung mengakomodasi penggunaan area publik dan semi publik yang lebih luas. Antar ruang saling berhubungan dan dapat diakses secara langsung dengan pola sirkulasi yang linear. Keseluruhan elemen penyusun yang harusnya ada berdasarkan budaya baik elemen lunak maupun elemen keras membentuk karakter dari taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung. Peletakan elemen-elemen taman rumah tinggal tradisional Lampung disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan masyarakat setempat. Walai atau lumbung padi biasa diletakkan di bagian belakang rumah dekat dengan posisi dapur untuk alasan efisiensi. Tidak jauh dari posisi walai, biasa dibangun dapur gula merah dan dapur kopra. Di dekat dapur biasa dijadikan tempat meletakkan kayu bakar. Lebih jauh lagi ke belakang rumah, biasanya digunakan untuk meletakkan kandang ternak. Konsep Elemen Tanaman Konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung didasarkan kepada nilai tanaman dalam konteks budaya. Berdasarkan tata ruang rumah tinggal yang ditinjau dari segi budaya, halaman depan dan samping dibiarkan terbuka dengan hamparan tanah atau ditanami rumput tanpa adanya tanaman. Tanaman yang memiliki arti dalam budaya Lampung adalah jarak kuto (Jatropha curcas) yang ditanam sebagai pembatas antar rumah dan kayu labeu atau pohon maja (Aegle marmelos) yang ditanam di ujung-ujung batas halaman. Berdasarkan hasil formulasi konsep taman rumah tinggal tradisional yang meliputi elemen keras, tanaman, dan tata ruang serta tata letak dan maknanya, maka dihasilkan suatu rekomendasi konsep desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya yang dapat mendukung karakter arsitektur bangunan bergaya tradisional Lampung (Gambar 22).
41
Gambar 22 Rencana konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung
42
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tata ruang rumah tinggal tradisional Lampung berbentuk persegi panjang dengan pembagian ruang yang dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan atau nilai-nilai yang berlaku antar anggota keluarga atau kerabat. Secara umum rumah dibedakan menajadi tiga bagian yaitu bagian bah lamban, bagian tengah rumah atau khesi, dan bagian atas rumah atau panggakh. Halaman pada rumah tinggal tradisional Lampung dibagi menjadi tiga bagian, yang terdiri dari halaman depan, halaman samping, serta halaman belakang. Keseluruhan ruang di sekitar rumah tersebut disusun oleh elemen-elemen penting yang memiliki fungsi dan posisi tertentu dalam tata ruang rumah tinggal. Elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung adalah gakhang hadap, walai, lokasi dapur terbuka, tempat kayu bakar, dapur luar, kandang ternak, serta tanaman. Peletakan elemen-elemen dalam taman rumah tinggal tradisional Lampung lebih mengutamakan efisiensi fungsi untuk mendukung aktivitas keseharian masyarakat. Berdasarkan keberadaan dan posisi elemen-elemen dalam taman dihasilkan suatu konsep taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung yang seharusnya ada berdasarkan budaya. Konsep penataan dicapai dengan membagi ruang menjadi empat berdasarkan fungsi, tata letak elemen serta penggunaan yakni ruang publik, ruang privat, ruang semi publik, dan ruang servis. Antar ruang baik ruang dalam maupun luar rumah saling terhubung dan dapat diakses dengan sirkulasi yang linear. Tata hijau yang sesuai dengan budaya Lampung direkomendasikan menggunakan jarak pagar dan pohon maja.
Saran Beberapa saran yang diusulkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut dan mendalam pada penelitian berikutnya, khususnya yang berkaitan dengan pola permukiman tradisional Lampung, 2) rekomendasi konsep desain taman rumah tinggal tradisional berbasis budaya Lampung ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendesain taman yang memiliki karakter khas Lampung dengan memperhatikan pembagian ruang dan penempatan elemen-elemen berdasarkan fungsi ruang tersebut.
43
DAFTAR PUSTAKA Agustine Y. 2013. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Sunda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Avryani R. 2012. Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Booth NK. 1988. Basic Elements of Landscape Architechtural Design. New York: Waveland Press Inc. Crowe S. 1981. Garden Design. Chichester (UK): Packard Publishing Limited. Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. 2002. Rumah Tradisional Lampung. Bandar Lampung (ID): Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. [Depdikbud] Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Lampung. 1982. Upacara Tradisional Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Kantor Wilayah Provinsi Lampung Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi dan Pembinaan. 1992. Dapur dan Alat-Alat Memasak Tradisional Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Pusat Penelitian Arkeologi Bandung, Balai Arkeologi Bandung. 1996. Laporan Penelitian Arkeologi Masa Islam (Kajian Etnoarkeologi Pemukiman) Situs Wana-Melinting Lampung Tengah. [Depdikbud] Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung. 1997. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Kantor Wilayah Provinsi Lampung, Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Lampung. 1998a. Sejarah Daerah Lampung. Bandar Lampung (ID): Balai Pustaka. [Depdikbud] Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung. 1998b. Peranan Nilai-Nilai Tradisional Daerah Lampung Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup. Bandar Lampung (ID): Balai Pustaka. Erler CT, Fell D. 1991. 550 Home Landscaping Ideas. New York (AS): Roundtable Press, Inc. Hadikusuma H, Arifin R, Barusman RM. 1976. Adat Istiadat Daerah Lampung. Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung, Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung .
44 Hadikusuma H. 1989. Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung. Bandung(ID). Mandar Maju. Ibrahim W, Nandang. 2011. Arsitektur Tradisional Kenali Salah Satu Kearifan Lokal Daerah Lampung. Jurnal Rekayasa. 15(1). 59-66 Ingels JE. 2004. Landscaping Principles and Practices, 6th Edition. New York : Thomson Delmar Learning Irianto S, Margareta R. 2011. Piil Pesenggiri: Moral Budaya dan Strategi Identitas Ulun Lampung. Makara, Sosial Humaniora. 15 (2). 140-150. [Kemenbudpar] Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film. 2011. Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1972. Pengantar Antropologi. Jakarta (ID): Aksara Baru. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta (ID): Gramedia. Kottak C. 2002. Anthropology The Exploration of Human Diversity. New York (US). McGraw-Hill. Maningtyas RT dan Gunawan A. 2011. Kajian Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Madura [prosiding]. Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Kearifan Lokal. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup LPPM Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto. Maningtyas RT, Gunawan A, dan Munandar A. 2013. Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura. Jurnal Lanskap Indonesia. 5(2). Rostiyati A. 2013. Potensi Wisata di Lampung dan Pengembangannya. Bandung (ID): Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung. Rostiyati A. 2013. Tipologi Rumah Tradisional Kampung Wana di Lampung Timur. Bandung (ID): Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung. Rutledge A. 1985. A Visual Approach to Park Design. New York : John Wiley & Sons Simond JO. 2006. Landscape Architechture. New York : Mc Graw Hillbook Company, Inc. Soemarwoto O. 1987. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta (ID). Djambatan. Suharjanto G. 2011. Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali. Jurnal ComTech. 2(2): 592-602. Sulasman, Gumilar S. 2013. Teori-Teori Kebudayaan Dari Teori Hingga Aplikasi. Bandung (ID): Pustaka Setia Sulasman. 2014. Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung (ID): Pustaka Setia Vansina J. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah [terjemahan]. Yogyakarta (ID): Penerbit Ombak
45
LAMPIRAN Lampiran 1 Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Lamban Pesagi di Pekon Kenali
Rumah di Sukadana Darat
Rumah di Kampung Wana
Rumah di Negara Tulang Bawang
Bangunan untuk kepentingan komunal
46 Lampiran 2 Tata Ruang Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Tepas
Lapang lom
Dapur
Kebik
Jan
47 Lampiran 3 Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tradisional Lampung
Dapur
Bah lamban
Rak Kayu Bakar
Gakhang kudan
Kakebik
Thiang
48
GLOSARIUM A Adi-adi Anjak lambung Anjung /Sapeu umbul Ari tengah
: : : :
Syair tradisional Lampung Berasal dari atas Bangunan sementara untuk keamanan Tiang tengah rumah yang telah didirikan
B Bah lamban Begawi Bejuluk beadek Betegi nuwou Buay asal Bucukogh Busepi ngasah gigi Busunat
: : : : : : : :
Bagian bawah rumah Upacara pernikahan adat Pepadun Menjaga nama baik Upacara mendirikan rumah Asal keturunan Upacara bercukur bagi bayi Upacara mengasah gigi menujukedewasaan Sunat
C Cangget bakha Cangget Gajah mekhem
: : :
Upacara pembersihan sesat agung Pertemuan muda dan mudi Tempat istirahat penyimbang dalam sesat
G Gakhang Gakhang hadap Ganyang besi Geragal
: : : :
Tempat mencuci peralatan rumah tangga Tempat membersihkan diri di depan rumah Ruang untuk yang belum berkeluarga Penghubung ruang tengah dengan dapur
H Hamejong
:
Duduk
I Ijan/jan Ijung kudan/juyu/buri
: :
Tangga Bagian rumah yang membujur ke belakang
J Jembat/Jeramabah Jurai
: :
Penghubung ruang tengah dengan dapur Keturunan
K Kebik changek Kebuayan Kegithiang panggung Kepalas/Sapeu
: : : :
Kuau merak Kubu/kubuw/petaruan
: :
Kamar Keturunan Tiang panggung rumah Bangunan untuk menjaga keamanan di ladang Sarang burung merak Bangunan sementara
49
L Lamban/Lambahan Lamban balak Lapang agung Lepau Limas giccing Lom walai Lubang penghawaan
: : : : : : :
Rumah Tempat tinggal penyimbang Ruang utama rumah Teras lumbung padi Bentuk atap rumah tradisional Bagian dalam lumbung padi Ventilasi udara
M Manjau Manjau salep Manjau terang Manjau damau Mekhanai Mengilik
: : : : : :
Mesigit Muayak Muli
: : :
Tradisi bertemu antara muda dan mudi Pertemuan diam-diam Pertemuan terang-terangan Pertemuan dalam forum terbuka Bujangan Melepaskan padi dari malainya dengan cara diinjak Masjid Syair tradisional Lampung Gadis
N Nanok Napa iwa Nemui nyimah Nengah nyappur Ngakuk berkatni Ngantau Nuwuo Nuwou balak Nyebut
: : : : : : : : :
Menanak Mengasapi ikan Sikap ramah-tamah Sikap terbua Mengambil hikmah dari setiap kejadian Syair tradisional Lampung Rumah Rumah pemangku adat Upacara sebelum membangun rumah
P Pada/bantaian Paguk Pangkalan bakas Pangkalan bebai Pedom Pekon Penaber Pengidangan ragah Pengidangan sebai Penyegok’an Penyembahyangan Penyimbang Pepadun Pepadun marga
: : : : : : : : : : : : : :
Ruang lapang di tengah sesat Hiasan tanduk Pangkalan mandi lelaki Pangkalan mandi wanita Tidur Kampung Tirai untuk menghalangi air hujan Ruang pertama dalam rumah Ruang tempat wanita berbincang-bincang Gudang Bangunan ibadah Pemangku adat Masyarakat Lampung pedalaman Urutan kepenyimbangan tertinggi
50 Pepadun suku Pepadun tiyuh Pesagi/mahanyuk’an Petaruan/Kubuw Piil Pesenggiri Pok ngajei Punyimbang tiyuh Pusiban
: : : : : : : :
Urutan kepenyimbangan ketiga Urutan kepenyimbangan kedua Bangunan berbentuk persegi Bangunan untuk menjaga keamanan Falsafah hidup masyarakat Lampung Tempat mengaji Penyimbang adat dalam kampung Ruang di dalam sesat tempat diadakannya pertemuan
R Ruang agung Rumah sekula
: :
Ruang utama dalam rumah Bangunan sekolah
S Saibatin Sakai sambaian Sebambangan Sejeghuk Sekala Bekhak
: : : : :
Sesat Sesatni kuau Sudung
: : :
Masyarakat Lampung pesisir Sikap saling tolong menolong Penikahan dengan larian Jenis padi ladang Daerah yang diduga sebagai asal mula Lampung Bangunan komunal Tempat berkumpulnya merak Tenda untuk tempat memasak di luar rumah
T Tambak Tembuni Tepas Teratak Thiang kelindang Titian kuya Tiyuh To-lang-po-hwang
: : : : : : : :
Kuburan Kuburan bayi Teras rumah Tenda untuk upacara adat Tiang rumah Jembatan kura Kampung Asal kata yang diduga sebagai asal kata Lampung
U Uba rampe Ulai laga Ulai sinduk Ulun Lampung Uncal
: : : : :
Sesajian Ular berkelahi Ular sendok Masyarakat Lampung Hiasan kepala menjangan
W Walai Walai ramik Warei menyanak
: : :
Lumbung padi Kumpulan lumbung padi di luar kampung Pemangku adat
51
RIWAYAT HIDUP Rian Adetiya Pratiwi dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 2 September 1992 dari pasangan Agustian, S.Sos dan Sri Nuraini, S.Pd MKes dan merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Yayasan Kesejahteraan Anak Banda Aceh pada tahun 1996, lalu melanjutkan pendidikan dasar di SDN 21 Pocut Baren Banda Aceh pada tahun 1998 dan SDN 1 Tanjung Agung Bandar Lampung pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMPN 1 Bandar Lampung dan SMAN 9 Bandar Lampung hingga menyelesaikan pendidikan pada tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan yang mendukung dalam peningkatan softskill baik dalam kegiatan akademis maupun non akademis. Penulis pernah mengikuti organisasi KOPMA IPB pada periode 2010-2011 dan pernah menjadi volunteer pada kegiatan IPB Green Living Movement tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis aktif dalam AIESEC IPB dan menjadi Organizing Committee in Speak Up! Project pada bulan Juni hingga Juli 2012.