KONSEP DESAIN TAMAN RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI BASE CAMP HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW)
RINI AVRYANI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat” adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2012 Penulis
RINGKASAN RINI AVRYANI, Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN. Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan area hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi, wisata pendidikan, dan konservasi. Di tengahtengah kawasan HPGW terdapat base camp. Sebagai pusat aktivitas dan istirahat pengunjung, base camp harus dapat mendukung salah satu fungsi hutan ini, diantaranya adalah pendidikan. Fungsi pendidikan pada base camp dapat berupa pendidikan budaya yang berpotensi dikembangkan melalui salah satu wisma yang merupakan model rumah tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan. Namun, rumah tradisional tersebut belum didukung oleh taman yang dapat memperkuat karakter rumah tradisional Minahasa. Untuk itu diperlukan konsep desain taman rumah tradisional Minahasa dengan penerapan unsur budaya agar karakter rumah tradisional ini dapat dimunculkan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat konsep desain taman area Wisma Woloan pada base camp HPGW yang didasarkan pertimbangan budaya sehingga memberikan gambaran dan pengetahuan bagi pengguna mengenai taman rumah tinggal masyarakat Minahasa. Tempat kegiatan penelitian berlokasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam desain ini adalah metode deskriptif melalui survei, wawancara, dan studi pustaka. Wawancara dan studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kebudayaan Minahasa. Terdapat empat tahapan dalam penelitian ini, yaitu kajian budaya, inventarisasi, analisis dan sintesis, serta pembuatan konsep desain. Setelah tahapan ini selesai, dibuat gambar siteplan, tampak potongan, serta perspektif sebagai ilustrasi. Dalam penelitian ini, aspek yang akan dibahas mencakup aspek fisik, biofisik, sosial, dan aspek yang berkaitan dengan kebudayaan Minahasa. Wisma Woloan 1 dan 2 yang menjadi objek dalam penelitian ini terletak di sebelah barat base camp. Wisma Woloan 1 terletak di atas air, sedangkan Wisma Woloan 2 terletak di atas tanah yang datar. Jenis tanah yang ada di area ini merupakan tanah latosol merah kekuningan. Tanah jenis ini cukup subur untuk ditanami tanaman. Suhu udara rata-rata tapak adalah 24° C, kelembaban rata-rata 81,8%, dan nilai THI sebesar 23,13. Dari hasil analisis, iklim pada tapak dikategorikan nyaman. Vegetasi yang ada di sekitar Wisma Wolan 1 adalah cempaka (Michelia champaca), puspa (Schima wallichii), dan teratai (Nymphaea lotus), sedangkan di Wisma Woloan 2 terdapat vegetasi matoa (Pometia pinnata), hanjuang (Cordyline sp), sambang dara (Iresine herbstii), dan pisang (Musa sp). Bangunan Wisma Woloan 1 dan 2 berupa rumah panggung dengan ketinggian ± 1,5 m dari tanah. Konstruksi rumah panggung ini terbuat dari kayu yang dapat dibongkar-pasang. Jenis kayu yang digunakan umumnya adalah kayu Cempaka. Di bagian dalam wisma terdapat 2 kamar, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang makan. Bagian luar rumah berupa teras sebagai tempat dudukduduk untuk menikmati pemandangan. Saat ini kondisi bangunan terawat namun dibutuhkan penataan lanskap di bagian luar rumah tradisional ini. Dari informasi budaya Minahasa yang didapat diketahui bahwa pembagian ruang, baik di dalam maupun di luar rumah dipengaruhi oleh beberapa unsur
kebudayaan yaitu adat istiadat, kegiatan keseharian masyarakat, kepercayaan, dan ilmu pengetahuan. Pembagian ruang dalam rumah terdiri dari teras depan, ruang tengah, kamar tidur, ruang makan, serta teras belakang, sedangkan bagian luarnya berupa halaman (kintal). Bagian teras rumah digunakan untuk menyelenggarakan berbagai upacara adat sehingga mempengaruhi pembentukan halaman depan rumah sebagai area yang bersifat publik. Halaman yang ada di sekitar rumah ditanami beberapa jenis vegetasi, yaitu vegetasi buah, sayur, bunga, obat, serta vegetasi untuk upacara tertentu. Vegetasi sayur dan bunga ini umumnya ditanam masyarakat dalam bentuk bedeng-bedeng. Antar rumah yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh kebun yang ditanami vegetasi perkebunan seperti kopi (Coffea arabica), kapas (Gossypium hirsutum), dan coklat (Theobroma cacao). Jenis tanaman yang dipercaya masyarakat Minahasa untuk menandakan batas tanah adalah hanjuang hijau (Cordyline fruticosa), sedangkan hanjuang merah (Cordyline terminalis) digunakan untuk upacara adat. Berdasarkan informasi mengenai kebudayaan Minahasa dihasilkan konsep umum desain taman tradisional Minahasa. Konsep desain ini menjadi acuan dalam mendesain Wisma Woloan 1 dan 2. Dalam pengaplikasiannya, konsep dibagi menjadi konsep dasar, ruang, vegetasi, sirkulasi, dan fasilitas. Konsep dasar taman yaitu taman yang memunculkan karakter taman tradisional Minahasa melalui penerapan informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruangnya. Menurut Booth (1983) ruang berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi ruang publik, ruang privat, dan ruang servis. Melalui pendekatan pembagian ruang ini, konsep ruang untuk taman rumah tradisional Minahasa mengikuti pembagian ruang tersebut dan ditambahkan ruang semi publik untuk mengakomodasi kegiatan yang bersifat non privasi. Ruang publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh penghuni rumah maupun orang lain, sedangkan ruang privat lebih tertutup sehingga hanya dapat diakses oleh penghuni rumah saja. Ruang servis merupakan ruang penunjang yang umumnya terletak di belakang rumah. Konsep vegetasi yang dikembangkan dalam tapak berdasarkan fungsi vegetasi dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Fungsi vegetasi tersebut adalah sebagai vegetasi produksi, vegetasi buah, vegetasi pembentuk bedeng bunga dan sayur, vegetasi rempah-rempah, vegetasi yang dipakai dalam upacara adat, dan vegetasi obat. Konsep sirkulasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu sirkulasi utama dan sirkulasi pendukung. Sirkulasi utama menghubungkan tapak dengan area luarnya, sedangkan sirkulasi pendukung menghubungkan elemen-elemen di dalam tapak. Konsep fasilitas yang akan diterapkan adalah fasilitas yang ada di sekitar rumah tradisional Minahasa berdasarkan informasi budaya. Fasilitas yang akan dikembangkan adalah dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pembagian ruang dalam taman tradisional Minahasa berupa halaman depan sebagai area publik, halaman samping sebagai area semi publik, halaman belakang sebagai area servis, dan bangunan rumah tradisional sebagai area privat. Taman Wisma Woloan 1 yang terletak di atas air, pembagian ruang dan penempatan elemen taman pada wisma ini berbeda dengan Wisma Woloan 2, yaitu kolam air sebagai area publik dan letak jalur sirkulasi di sekitar rumah yang dipisahkan oleh kolam tersebut. Tata letak elemen-elemen tanaman dalam Wisma Woloan 1 berdasarkan peletakkan tanaman dalam salah satu lagu tradisional Minahasa, “Zazanian Ni Karema”.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KONSEP DESAIN TAMAN RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI BASE CAMP HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT
RINI AVRYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul
: Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat
Nama
: Rini Avryani
NRP
: A44070064
Menyetujui, Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc NIP. 19620801 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 April 1989 di Jakarta, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Djejen Achmad dan Ibu Dewi Sukaesih. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pisangan Baru 11 Pagi pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMP Negeri 232 Jakarta Timur. Jenjang pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 68 Jakarta Pusat dan tamat pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis memasuki bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih untuk masuk dalam Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama masa studi, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap). Tahun 2008, penulis sempat menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian, dengan jabatan sebagai staf Divisi Sosial Lingkungan serta menjadi panitia Simposium Green City. Pada tahun 2009, penulis menjadi pengurus Himaskap di bawah Divisi Sosial Lingkungan. Pada tahun yang sama penulis menjadi panitia dalam kegiatan Masa Perkenalan Fakultas (MPF), Masa Perkenalan Departemen (MPD), serta Gebyar Pertanian. Tahun 2010, penulis menjadi panitia dalam IPB Art Contest (IAC) serta Workshop Nasional Arsitektur Lanskap. Penulis sempat memegang jabatan sebagai sekretaris ketika pelaksanaan KKP di Desa Candali.
KATA PENGANTAR Assalamualaikum, wr. wb Syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas segala nikmat dan karunia Allah Swt sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhirnya dengan penuh syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada 1. Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian berlangsung hingga penyusunan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Nandi Koesmaryandi, MScF sebagai pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di HPGW dan informasi mengenai pengembangan base camp Gunung Walat serta Pak Rizal dan Pak Agung sebagai staf pengelola HPGW atas bantuan, bimbingan dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian. 3. kedua orang tua, Ibu Dewi Sukaesih dan Bapak Djedjen Achmad, yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Meskipun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2012 Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................ i DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan ........................................................................................................... 2 Manfaat ......................................................................................................... 2 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 Hutan ............................................................................................................. 4 Vernakular ..................................................................................................... 4 Taman............................................................................................................ 5 Elemen Dasar dalam Desain Lanskap ........................................................... 6 Bentukan Lahan .................................................................................. 6 Material Tanaman ............................................................................... 7 Paving ................................................................................................. 8 Site Structures ..................................................................................... 8 Air ....................................................................................................... 9 Prinsip Desain ............................................................................................... 9 Focalization of Interest ..................................................................... 10 Kesederhanaan (Simplicity) ............................................................... 10 Ritme dan Garis................................................................................. 11 Proporsi ............................................................................................. 11 Kesatuan (unity) ................................................................................ 12 Konsep Ruang Luar..................................................................................... 12 Kebudayaan ................................................................................................. 12 Minahasa ..................................................................................................... 13 Lanskap Minahasa............................................................................. 14 Kependudukan dan Mata Pencaharian .............................................. 14
ii
Karakteristik Masyarakat Minahasa .................................................. 16 Pola Perkampungan ........................................................................... 16 Sistem Organisasi Kemasyarakatan .................................................. 17 Sistem Religi dan Upacara Keagamaan ............................................ 17 Bahasa ............................................................................................... 27 Sistem Ilmu Pengetahuan .................................................................. 27 Kesenian ............................................................................................ 28 Seni Bangunan .................................................................................. 30 Pengaruh Luar terhadap Kebudayaan Minahasa ......................................... 39 METODOLOGI .................................................................................................... 41 Waktu dan Tempat ...................................................................................... 41 Metode Penelitian........................................................................................ 42 Kajian Budaya ............................................................................................. 42 Inventarisasi ................................................................................................ 43 Analisis dan Sintesis ................................................................................... 43 Konsep Desain ............................................................................................ 45 Batasan Studi............................................................................................... 45 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 46 Kondisi Umum Base camp HPGW ............................................................. 46 Aksesibilitas dan Sirkulasi ................................................................ 46 Topografi dan Jenis Tanah ................................................................ 48 Iklim dan Hidrologi ........................................................................... 48 Vegetasi ............................................................................................. 50 Fasilitas ............................................................................................. 50 Utilitas ............................................................................................... 50 Potensi Visual.................................................................................... 52 Penduduk Sekitar .............................................................................. 52 Pengguna (User) ............................................................................... 52 Aktivitas HPGW ............................................................................... 53 Taman Wisma Woloan 1 dan 2 ................................................................... 54 Analisis dan Sintesis Tapak ........................................................................ 57 Aspek Fisik ....................................................................................... 57
iii
Aspek Budaya ................................................................................... 59 Konsep ........................................................................................................ 65 Konsep Umum .................................................................................. 65 Desain Wisma Woloan di Basecamp HPGW. ............................................ 71 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 79 Simpulan ..................................................................................................... 79 Saran............................................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81 LAMPIRAN .......................................................................................................... 83
iv
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Jenis data yang dikumpulkan pada tahap studi pustaka ................................... 43 2. Daftar narasumber penelitian ........................................................................... 43 3. Jenis, sumber, dan kegunaan data inventarisasi ............................................... 44 4. Data kunjungan HPGW pada tahun 2010 dan 2011 ........................................ 53 5. Perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke-19 .......................... 59 6. Informasi budaya dan ruang yang diperlukannya ............................................ 61 7. Jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional Minahasa .................... 63 8. Pembagian ruang, aktivitas, dan fasilitas pada Wisma Woloan....................... 68 9. Pembagian fungsi vegetasi berdasarkan ruang yang ada ................................. 70
v
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Kerangka pikir penelitian ................................................................................... 3 2. Fungsi tanaman dalam lanskap .......................................................................... 7 3. Keseimbangan simetris dan keseimbangan asimetris ...................................... 10 4. Penanaman pada area sudut, perhatian diarahkan pada area incurve............... 11 5. Pembagian komposisi ruang luar ..................................................................... 13 6. Sketsa desa di Minahasa pada tahun 1977/1978 .............................................. 18 7. Relief peletakkan waruga di sekitar rumah tinggal .......................................... 23 8. Ukiran peti kayu balasong dan sketsa rumah Sonder (1824) .......................... 29 9. Seni ragam hias Minahasa................................................................................ 30 10. Relief waruga Sawangan ................................................................................ 31 11. Relief proses pembuatan waruga dan posisi jenazah di dalamnya ................ 32 12. Sketsa rumah dan bagian-bagian rumah adat Minahasa ................................ 33 13. Layout rumah tradisional Minahasa ............................................................... 38 14. Denah rumah dan halamannya 1845-1945 ..................................................... 38 15. Lokasi penelitian ............................................................................................ 41 16. Tahapan penelitian ......................................................................................... 42 17. Aksessibilitas menuju HPGW melalui Bogor dan Jakarta............................. 46 18. Peta alur sirkulasi pada base camp................................................................. 47 19. Kontur base camp saat ini .............................................................................. 49 20. Peta base camp saat ini ................................................................................. 51 21. Peta Inventarisasi Tapak ................................................................................ 55 22. Kondisi Wisma Woloan saat ini ..................................................................... 56 23. Peta analisis dan sintesis tapak ...................................................................... 58 24. Block plan Taman Tradisional Minahasa ....................................................... 66 25. Konsep ruang pada Wisma Woloan ............................................................... 69 26. Konsep sirkulasi Wisma Woloan ................................................................... 71 27. Site plan.......................................................................................................... 73 28. Blow up Wisma Woloan 1.............................................................................. 74 29. Blow up Wisma Woloan 2.............................................................................. 75
vi
30. Tampak potongan Wisma Woloan ................................................................. 77 31. Perspektif Wisma Woloan.............................................................................. 78
vii
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Halaman
1. Lirik lagu “Zazanian Ni Karema” .................................................................... 84
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan area hutan yang terletak di Kabupaten Sukabumi dengan luas sekitar 359 ha. Hutan ini berfungsi sebagai hutan pendidikan dan konservasi. Sebagian besar wilayah HPGW ditanami oleh pohon damar (Agathis loranthifolia) dan pinus (Pinus mercusii). Kedua jenis pohon ini menghasilkan getah yang menjadi sumber ekonomi bagi pengelolaan HPGW. Selain kegiatan produksi, aktivitas mahasiswa seperti praktikum dan penelitian dapat difasilitasi oleh hutan ini. Sebagai pusat aktivitas dan istirahat bagi para pengunjungnya, HPGW menyediakan base camp seluas ± 2 ha yang terletak di tengah-tengah area hutan. Fasilitas yang terdapat di dalam base camp berupa guest house, ruang diskusi, ruang makan dan dapur, aula, masjid, penginapan dosen, serta gedung workshop sebagai tempat penyimpanan getah damar (Agathis loranthifolia). Guest house atau wisma untuk pengunjung HPGW berjumlah sembilan bangunan yang letaknya menyebar di seluruh area base camp. Guest house tersebut meliputi Wisma Woloan 1 dan 2, Wisma Pinus, Wisma Jati, Wisma Agathis, Wisma Puspa, Wisma Bungur, Wisma Banteng, dan Wisma Rasamala. Dari kesembilan bangunan tersebut, terdapat dua buah bangunan yang merupakan salah satu bangunan tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan. Wisma Woloan ini merupakan pemberian dari kerabat pengelola HPGW. Wisma ini berbentuk rumah panggung yang dimiliki oleh suku Minahasa. Kelebihan dari rumah ini adalah penerapan teknologi knock down yang menjadikan rumah dapat dibongkar pasang. Rumah adat ini telah banyak mengalami perkembangan. Pada saat ini rumah panggung woloan sudah banyak diekspor ke luar negeri karena kelebihan yang dimilikinya. Untuk mendukung fungsi HPGW sebagai hutan konservasi dan pendidikan, base camp dapat dijadikan sarana bagi pengunjung HPGW untuk memperluas ilmu pengetahuan. Salah satu aplikasinya adalah pada rumah tradisional woloan ini yang dapat menjadi sarana pendidikan budaya. Namun, rumah tersebut belum didukung oleh taman yang dapat memperkuat karakter rumah tradisional Minahasa. Diperlukan konsep desain taman rumah tradisional Minahasa dengan
2
penerapan unsur budaya agar karakter rumah tradisional tersebut dapat dimunculkan. Tujuan Tujuan umum kegiatan penelitian ini adalah menyusun konsep desain taman area Wisma Woloan pada base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat yang didasarkan pada pertimbangan budaya Suku Minahasa sehingga memberikan gambaran dan pengetahuan bagi pengguna mengenai taman rumah tinggal masyarakat Minahasa. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari desain taman area base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat ini adalah sebagai berikut. 1.
Acuan dalam mendesain dan membangun taman rumah tradisional woloan pada base camp bagi pengelola Hutan pendidikan Gunung Walat untuk membangun taman;
2.
Referensi bagi perencana dan desainer lanskap dalam mendesain taman rumah tinggal Minahasa. Kerangka Pikir Penelitian Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan hutan produksi,
terdiri dari hutan dan base camp yang terletak di tengah-tengah area hutan tersebut. Fungsi HPGW sebagai hutan pendidikan dan rekreasi diterapkan di area base camp, sedangkan fungsi konservasi diterapkan pada hutan produksinya. Fungsi pendidikan pada base camp dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pendidikan alam, pendidikan budaya, dan pendidikan teknologi (Gambar 1). Pendidikan alam dapat memanfaatkan keberadaan pohon buah yang tersebar di area base camp, sedangkan pendidikan teknologi dapat diterapkan pada pembuatan biola dari pohon damar yang tumbang. Pendidikan budaya dapat memanfaatkan keberadaan Wisma Woloan yang merupakan salah satu rumah tradisional Sulawesi Utara. Untuk lebih memunculkan karakter rumah tradisional tersebut, diperlukan penataan taman di sekitar bangunan yang mencirikan taman rumah tinggal masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara.
3
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)
Base camp
Pendidikan
Hutan Produksi
Rekreasi
Teknologi
Alam
Budaya
Vegetasi
Rumah
Biola dari
Buah
Tradisional
Kayu
Woloan
Damar
Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa sebagai Sarana Pendidikan Budaya bagi Pengunjung
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Konservasi
4
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan merupakan suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan luas sedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi areal sehingga dapat membentuk iklim mikro tertentu. Kerapatan ini disebabkan oleh adanya semak belukar, tanaman penutup tanah, dan adanya pohon-pohon pemanjat (Arief, 2001). Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Bab II Pasal 8 dinyatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.188/Menhut-II/2005, HPGW merupakan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) sebagai hutan pendidikan dan pelatihan (Hutan Diklat). Vernakular Vernakular adalah penerjemahan secara langsung dan tanpa sadar pada bentuk fisik budaya, kebutuhan dan nilainya, sesuai keinginan, impian, dan kegemaran manusia. Lingkungan ideal manusia diwujudkan pada bangunan dan pemukiman dengan tanpa desainer, seniman, atau arsitek (Rapoport, 1969, dalam Motloch, 1991). Bentuk, model, material, dan konstruksi dari bangunan vernakular merupakan aturan sehingga tidak dapat dirubah. Selain itu, model bangunan merupakan bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan keluarga, tapak, iklim mikro, dan sebagainya. Karakteristik dari vernakular adalah kurangnya aspek teoritis dan keindahan sehingga vernakular berfokus pada keadaan tapak dan iklimnya dengan memperhatikan lingkungan keseluruhan, bersifat sealami mungkin dan mempunyai corak khas sesuai aturan yang diberikan. Menurut Wiranto (1999), arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur rakyat. Arsitektur rakyat dipengaruhi oleh norma, adat, iklim, budaya, dan potensi bahan yang ada di sekitarnya. Arsitektur Rakyat tersebut secara langsung telah mendapatkan pengakuan masyarakatnya karena tumbuh dan melewati perjalanan pengalaman trial and error yang panjang. Arsitektur Rakyat
5
yang dirancang oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan mengandung muatan “local genius” dan nilai jati diri yang mampu menampilkan keaslian, perbedaan, dan variasi. Arsitektur ini sangat dekat dengan budaya lokal yang umumnya tumbuh dari masyarakat kecil. Warisan arsitektur vernakular Indonesia memiliki nilai karakteristik kuat sesuai dengan pemikiran kosmologis dan pandangan hidup masyarakat asli. Hal penting yang dimiliki oleh arsitektur vernakular adalah nilai ekologis yang tanggap terhadap lingkungannya dan senantiasa mengacu pada potensi, kemampuan dan keterampilan setempat, pengetahuan praktis, dan teknik tradisional yang biasanya dilaksanakan sendiri atau dibantu oleh kerabat atau masyarakatnya.
Taman Menurut Turner (2005), taman adalah sebidang lahan yang dipagari dan digunakan untuk kesenangan manusia. Taman menghubungkan antara manusia dengan dunia dimana mereka hidup. Semua manusia dari berbagai jenis umur merasakan kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya dan telah membuat taman untuk memuaskan cita-cita dan aspirasinya (Crowe, 1981). Salah satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah adalah taman rumah. Dalam cakupan pertamanan, peran taman rumah tidak kecil. Taman rumah merupakan komponen penting di lingkungan rumah tinggal sebagai pelengkap dan penyempurna kehidupan rumah tangga. Taman dapat menjadi wahana bagi keluarga sebagai tempat bercanda, berekreasi, bermain, atau sekedar duduk santai. Taman rumah juga menjadi unsur penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat baik bagi penghuni maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rangkaian taman rumah yang satu dengan yang lainnya akan membentuk kesatuan rumah tinggal. Apabila ditata dengan asri, rangkaian taman dapat menampilkan keindahan lingkungan perumahan (Sulistyantara, 2006). Ada beberapa faktor/fungsi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan taman, yaitu keindahan, privasi, kenikmatan, keamanan dan kenyamanan, fleksibel, rekreasi, sumber makanan (sayur dan buah), hiburan, dan mudah dalam perawatan (Supriati et al., 2008). Fungsi taman sebagai sumber makanan dapat diaplikasikan dengan menanam jenis tanaman sayur dan buah. Di negara maju, kesadaran akan manfaat tanaman sayur dan buah segar untuk kesehatan
6
mendorong mereka untuk menjadikan tanaman buah dan sayur sebagai elemen terpenting dari lanskap halaman rumah. Berdasarkan bagian yang dapat dikonsumsi, tanaman sayur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sayur buah, sayur daun, dan sayur umbi. Tanaman sayur buah contohnya adalah tomat, terung, cabai merah, cabai rawit, paprika, labu siam, kacang panjang, dan pare, sedangkan contoh tanaman sayur daun seperti kemanggi, katuk, bayam, kangkung, sawi hijau, selada, bawang daun, dan seledri. Tanaman sayur umbi dapat berupa wortel dan lobak. Elemen Dasar dalam Desain Lanskap Dalam mendesain suatu tapak, terdapat elemen dasar yang perlu diperhatikan. Elemen dasar lanskap ini terdiri dari bentukan lahan, material tanaman, paving, bangunan pada tapak, serta air (Booth, 1983). Bentukan Lahan Bentukan lahan sinonim dengan topografi. Contoh bentukan lahan ini adalah bukit, gunung, lembah, padang rumput, dan dataran. Topografi mempengaruhi banyak aspek, diantaranya karakter dari suatu area, definisi dan persepsi dari ruang, pemandangan, drainase, iklim mikro, penggunaan lahan, dan pengaturan fungsi dari tapak tertentu. Untuk dapat bekerja secara efektif dengan bentukan lahan, dibutuhkan pengetahuan dalam teknik mengekspresikannya, diantaranya pengetahuan memanipulasi topografi melalui kontur, warna, arsiran, perhitungan matematika, model 3 dimensi, serta komputer grafis. Tipe bentukan lahan dilihat dari bentuknya terdiri dari datar, cembung, bukit, cekung, dan lembah. Masing-masing tipe bentukan lahan ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Bentukan lahan yang datar bersifat paling stabil dibandingkan dengan bentuk lahan yang lain. Oleh karena itu orang merasa nyaman dan tenang ketika berjalan di atasnya. Kelemahan dari bentukan ini adalah tidak ada pembatas ruang sehingga kesan privasi tidak ada, sedangkan bentukan lahan yang cekung menghasilkan privasi, namun seseorang yang berada di lahan ini cenderung merasa terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
7
Material Tanaman Tanaman merupakan komponen mayor yang digunakan arsitek lanskap dalam mengatur ruang dan mengatasi permasalahan yang ada. Selain menyediakan peran penting dalam elemen struktur desain, tanaman juga menyediakan kehidupan dan keindahan lingkungan. Material tanaman dalam penggunaan arsitektur diantaranya menciptakan ruang, sebagai screen, dan privacy control (Gambar 2).
Sumber: Booth (1983)
Gambar 2. Fungsi tanaman dalam lanskap Material tanaman yang digunakan dalam desain lanskap memiliki karakteristik yang dapat dibedakan baik melalui ukuran, bentuk, warna, maupun tekstur. Terdapat beragam ukuran tanaman, diantaranya pohon besar dan sedang, pohon kecil dan ornamental, semak tinggi, semak sedang, semak rendah, serta groundcover, sedangkan dalam hal bentuk, tajuk tanaman dibedakan menjadi bentuk kolumnar, menyebar, bulat, piramidal, menjuntai, dan bentuk tidak beraturan. Warna pada tanaman memberikan karakteristik emosi karena pengaruh langsungnya pada ruang luar. Warna yang cerah menyampaikan kesan terang dan cerah pada atmosfir, sedangkan warna yang gelap menggambarkan kesan yang suram. Warna direpresentasikan dalam material tanaman melalui daun, bunga, buah, ranting dan cabang, serta batang kulit kayu, sedangkan tekstur memberikan pengaruh dalam komposisi penanaman, termasuk kesatuan dan variasi komposisi,
8
persepsi jarak, sifat warna, daya tarik visual, dan suasana desain. Tekstur pada tanaman ini dibagi menjadi tekstur kasar, sedang, dan halus. Fungsi estetis material tanaman adalah sebagai komplementor, pemersatu, penegas, pemberi identitas, penghalus dalam desain, dan membingkai view. Paving Paving merupakan salah satu material keras yang terdapat pada ruang luar untuk membuat permukaan yang tahan lama dan memperkuat objek desain. Contoh dari paving seperti gravel, kerikil, bata, ubin, batu, beton, aspal, dan kayu. Paving memiliki beberapa karakteristik yang membuatnya berbeda dengan material permukaan lainnya. Terdapat beberapa fungsi penggunaan paving, diantaranya paving dapat mengakomodasi penggunaan yang intensif. Hal ini dikarenakan struktur paving yang keras sehingga lebih tahan lama dibandingkan dengan penggunaan vegetasi penutup tanah. Selain itu, paving dapat menjadi pengarah dengan desain paving yang menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya. Paving juga dapat memberikan kecepatan dan irama dari pergerakan, tergantung dari lebar dan bentuk paving. Desain yang berbeda baik melalui ukuran, material, bentuk, maupun kemiringan paving dapat mengindikasikan penggunaan yang berbeda pada tapak. Misalnya penggunaan paving yang berbeda antara pintu masuk dengan ruangan santai ataupun cafetaria. Ukuran paving yang berbeda dapat mempengaruhi kesan skala sehingga paving dengan ukuran besar memberikan kesan ruang yang luas, sedangkan paving yang kecil memberikan kesan sempit. Selain itu, paving menyediakan kesatuan. Dengan penggunaan paving pada bangunan yang terpisah, maka bangunan tersebut akan terkesan menyatu. Site Structures Site structures dapat diartikan sebagai elemen konstruksi tiga dimensi di dalam lanskap yang memenuhi fungsi spesifik pada konteks ruang luas. Site Structures merupakan bentuk yang keras, tetap, dan relatif permanen pada lingkungan luar. Contoh site structures adalah anak tangga, ramp, dinding, pagar, dan tempat duduk. Anak tangga dan ramp memfasilitasi pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Dinding dan pagar membatasi ruang dan menciptakan
9
detail pada struktur. Tempat duduk membuat ruang luar terlihat lebih manusiawi dengan menyediakan tempat untuk beristirahat dan mengamati. Penggunaan yang sensitif dari site structures membuat lanskap lebih nyaman dan responsif untuk kebutuhan manusia. Air Air merupakan elemen yang memiliki banyak variasi desain dan beragam bentuk, seperti berbentuk rata, kolam, air terjun, dan air mancur. Air digunakan dalam lanskap sebagai elemen estetik dan digunakan untuk mendinginkan udara, penghalang suara, mengirigasi tanah, atau menyediakan area rekreasi. Karakteristik umum air yang mempengaruhi tujuan dan metode dalam mendesain suatu lanskap diantaranya adalah plastis, dapat bergerak, dapat menghasilkan suara, serta dapat menciptakan refleksi dari suatu objek. Dalam mendesain air, hal yang harus diperhatikan adalah bentuk, ukuran, tinggi, dan kemiringan dasar dari suatu elemen. Namun demikian, faktor lain seperti angin, cahaya matahari, dan suhu dapat mempengaruhi kualitas visual air. Dengan berbagai kemampuannya, air merupakan elemen spesial yang menambahkan arti dan kesan pada ruang terbuka.
Prinsip Desain Prinsip mengacu pada standar dimana desain dapat dibuat, diukur, didiskusikan, dan dievaluasi (Ingels, 2004). Menurut Ingels, terdapat enam prinsip dalam desain, diantaranya: Keseimbangan Terdapat 2 tipe keseimbangan, yaitu keseimbangan simetris dan asimetris (Gambar 3). Keseimbangan simetris adalah keseimbangan yang terdapat pada taman formal dimana salah satu sisi merefleksikan sisi yang berlawanan dengannya. Komposisi lanskap tidak selalu harus terlihat kaku untuk menunjukan keseimbangan simetris. Kombinasi material yang digunakan dapat bebas dan sederhana selama bentuk, warna, dan material spesifiknya sama pada kedua sisi komposisi, sedangkan keseimbangan asimetris merupakan keseimbangan yang tidak formal. Secara visual, berat komposisi dari satu sisi dan sisi yang lainnya sama, tetapi material yang digunakan dan penempatannya boleh berbeda.
10
Keseimbangan ini berpotensi untuk lebih menarik dilihat karena terdapat dua sisi yang dapat diamati dan dikaji.
Sumber: Ingels (2004)
Gambar 3. Keseimbangan simetris dan keseimbangan asimetris
Focalization of Interest Focal point merupakan salah satu bagian dari komposisi lanskap yang menarik mata pengunjung. Bagian lain dari komposisi berperan untuk melengkapi fitur tersebut. Focal point dapat dibuat dengan penggunaan tanaman, hardscape, elemen arsitektural, warna, pergerakan, tekstur, atau kombinasi dari satu elemen dengan elemen lainnya (Gambar 4). Pada area publik di lanskap perumahan, pintu masuk ke rumah merupakan fokus perhatian paling penting, Semua keputusan desain yang dibuat pada area ini mendukung focal point tersebut. Kesederhanaan (Simplicity) Seperti prinsip keseimbangan, kesederhanaan juga membuat pengunjung merasa nyaman pada lanskap. Di dalam lanskap mungkin saja terdapat bangunan dengan arsitektur kompleks, pencahayaan yang luas, elemen air, sound system, pola sirkulasi, dan sistem keamanan. Apabila elemen-elemen tersebut harus
11
Sumber: Ingels (2004)
Gambar 4. Penanaman pada area sudut, perhatian diarahkan pada area incurve dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan klien, lanskap sebagai tempat meletakkan elemen tersebut harus tetap sederhana dan nyaman bagi pengguna. Kesederhanaan tidak
berarti
sederhana,
membosankan,
atau
miskin
akan
imajinasi.
Kesederhanaan hanya mencengah penggunaan yang berlebihan terhadap jenis tanaman, warna, tekstur, dan bentuk. Ritme dan Garis Ketika suatu elemen diulang dengan jarak yang sama maka ritme akan terlihat. Elemen yang akan diulang dapat berupa elemen struktural (lampu atau bangku taman) dan berupa pola, seperti pola jalan. Garis pada desain terbentuk ketika elemen yang berbeda bertemu, misalnya ketika area rumput bertemu dengan pavement. Alam juga dapat membentuk garis, seperti pada puncak beberapa bukit. Ketika cukup banyak garis yang pararel satu sama lain dan semuanya dapat terlihat oleh pengunjung pada saat yang sama, ritme garis akan terlihat membawa dua konsep yang menyatu. Proporsi Proporsi menekankan pada hubungan ukuran antara semua elemen lanskap, termasuk hubungan vertikal dan horizontal. Kebanyakan persepsi manusia mengenai proporsi vertikal dipengaruhi oleh ketinggian pengamat dan terutama oleh ketinggian mata pengamat yang berbeda antara berdiri, duduk, dan berbaring. Menurut Crowe (1981), skala dan proporsi merupakan pelengkap unity, tanpa kedua hal ini tidak akan tercipta harmoni dari suatu desain.
12
Kesatuan (unity) Sebagai prinsip desain, kesatuan dapat mudah diukur jika kelima prinsip yang lainnya sudah diterapkan secara baik dan benar pada desain. Desain yang mempunyai kesatuan adalah dimana semua bagian yang terpisah berkontribusi menciptakan desain keseluruhan, seperti warna dan tekstur mendukung satu sama lain dibandingkan menonjolkan sisi menarik antar individu. Pada setiap kasus, ketika komponen individu berharga dan diapresiasi, secara kolektif menciptakan satu desain keseluruhan. Prinsip yang sama digunakan untuk mendesain lanskap. Setiap komponen desain, baik material tanaman, bentuk penanaman, pemilihan dan penggunaan material paving, pemilihan warna, rencana pencahayaan, atau komponen lain dari ruang luar harus menjadi bagian dari keseluruhan. Konsep Ruang Luar Komposisi ruang di dalam setiap rumah sama, terdiri dari dinding, langitlangit, dan lantai (Ingels, 2004). Komposisi ini juga terdapat pada ruang luar. Material yang digunakan berbeda dari ruang dalam tetapi memenuhi fungsi yang sama. Dinding pada ruang luar menegaskan batas dan ukuran dari ruang tersebut. Material alam yang digunakan untuk membentuk dinding ruang luar dapat berupa semak, pohon rendah, ground covers, dan bunga, sedangkan material buatan manusia dapat berupa pagar atau bangunan (Gambar 5). Lantai menyediakan permukaan untuk ruang luar. Material yang digunakan untuk lantai dapat berupa material alami seperti rumput, ground covers, pasir, gravel, atau air. Selain itu juga dapat berupa buatan manusia, seperti bata, beton, patio, atau ubin. Langit-langit pada ruang luar memberikan batas atas pada ruang tersebut. Langit-langit ini menyediakan perlindungan fisik, seperti penutup alumunium atau pohon. Kebudayaan Kebudayaan berasal dari kata budaya yang bermakna pikiran, akal budi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kebudayaan memiliki beberapa arti berikut:
13
Sumber: Ingels (2004)
Gambar 5. Pembagian komposisi ruang luar 1. Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya; 3. Hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidupnya. Selain itu, terdapat pengertian lain dari kebudayaan menurut Wenas (2007) yang menjelaskan bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta India yang terdiri dari gabungan kata Budhi dan Daya yang artinya kekuatan akal dan karya. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan total dari gagasan dan karya manusia yang menguasai bumi dan planet ini. Unsur kebudayaan meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, bahasa untuk saling berkomunikasi, sistem ilmu pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem teknologi peralatan, dan kesenian. Minahasa Minahasa berasal dari kata Minaesa yang berarti persatuan. Daerah ini dulunya dikenal dengan nama malesung (Rogi dan Siswanto, 2009).
14
Lanskap Minahasa Suku Bangsa Minahasa mendiami daerah yang terletak di ujung utara Pulau Sulawesi, diantara 0055’-1055’ Lintang Utara dan 124020’- 125022’ Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 5.273 km2. Batas administrasi wilayah suku ini sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sangir Talaud, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Kabupaten Bolaang Mangondow, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Temperatur udara rata-rata 200C dan maksimum 280C dengan curah hujan rata-rata setiap tahun 2.279 mm. Sebagian daerah Minahasa termasuk wilayah vulkanis, terdapat sejumlah besar gunung berapi. Terdapat hewan yang tidak dijumpai di daerah lain, seperti babi rusa, sapi hutan atau anoa, burung maleo, dan burung manguni yang merupakan lambang daerah Minahasa. Daerah Sulawesi Utara sejak dahulu merupakan penghasil kelapa terbesar karena daerah sepanjang pantai banyak ditumbuhi pohon kelapa. Flora lainnya diantaranya adalah jenis pohon kayu seperti kayu besi, kayu jati, kayu putih, meranti, kayu hutan, rotan, dan bambu. Cengkeh mengambil peranan besar dalam perekonomian Sulawesi Utara, kemudian coklat, kopi, buah-buahan, sayursayuran, dan sebagainya. Tahun 2001 Kabupaten Minahasa mulai dimekarkan yang terbagi menjadi Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa Tenggara (Wenas, 2007). Kependudukan dan Mata Pencaharian Masyarakat Minahasa mendiami pulau Sulawesi bagian utara. Suku bangsa Minahasa terbagi ke dalam 8 sub suku bangsa dan 8 dialek, yaitu Tonsea, Tombulu, Toulour, Totemboan, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, dan Bantik (Wenas, 2007). Dari informasi budaya menurut Wenas (2007) serta Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara pada Tahun 1977/1978, didapatkan beberapa jenis mata pencaharian masyarakat Minahasa yaitu dalam bidang pertanian, jasa, perdagangan, kerajinan, dan peternakan.
15
Pertanian Pertanian merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa. Hampir setiap rumah tangga memiliki tanah baik berupa sawah maupun ladang. Sistem kepemilikan tanah di Minahasa dikenal dengan tanah pasini (milik sendiri) dan tanah kalakeran (milik bersama). Menyadap air tuak dari pohon enau (aren) dan membuat sagu dari batang pohon tewasen (rumbia) sudah dikenal sejak zaman dulu. Minuman tuak ini dalam bahasa Melayu Manado disebut saguer dari asal kata ‘air sagu’ karena berwarna putih susu. Masuknya Bangsa Eropa di Minahasa telah mengenalkan masyarakat akan komoditas pertanian lain, seperti jagung, kopi, kelapa, tembakau, coklat, dan pala. Tanaman jagung merupakan tanaman dengan nilai ekonomi tinggi setelah padi, sedangkan tanaman kopi pernah menjadi mata pencaharian utama di Minahasa dari tahun 1818 sampai 1942. Jasa Mata pencaharian menjual jasa dilakukan orang Minahasa seperti menjadi pendeta upacara kematian (Walian Mawasal) dan membuat batu kubur waruga. Anak-anak para pemimpin Minahasa menjadi guru setelah tamat dari sekolah kristen. Perdagangan Penduduk Minahasa menjual minuman yang berasal dari air tuak yang disuling, dikenal dengan nama Minuman Cap Tikus. Minuman ini dahulunya merupakan pengganti minuman keras bagi orang Eropa. Kerajinan Kerajinan membuat kain tenun sekitar tahun 1770-an pernah sangat menguntungkan orang Minahasa, ketika produksi beras berkurang dan serangan bajak laut di pantai Minahasa meningkat. Pohon kapas yang menjadi bahan utama pembuatan kain tenun ini ditanam orang Minahasa sendiri di ladangnya. Kain tenun ini terbuat dari berbagai daerah, yaitu buatan Tondano, Tomohon, Langouwan, Tonsea, dan Bentenan. Semua kain tenun ini disebut ‘bentenan’ oleh orang Minahasa. Pembuatan kain tenun di Minahasa mulai turun sejak 1880
16
karena masuknya pakaian jadi dan mesin jahit di Minahasa sehingga muncullah pedagang keliling yang menjual kain dan toko-toko penjual pakaian. Kerajinan tangan lainnya yang terdapat di Minahasa adalah tikar yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan tertentu, aneka ragam wadah yang terbuat dari rotan, silar, pandan, sejenis bambu kecil yang disebut bulutui, sedangkan kerajinan dari tanah liat berupa jambangan, pot-pot bunga, piring, mangkok, dan sebagainya. Peternakan Binatang ternak yang dikenal di Minahasa adalah sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, dan angsa. Hewan ternak tersebut digunakan untuk menarik gerobak dan bendi (sapi, kuda), sebagai penjaga dan pemburu (anjing), dan untuk dikonsumsi (babi, ayam, bebek, sapi, angsa). Ternak seperti kuda dan sapi di beberapa tempat di Minahasa banyak sekali dipakai sebagai salah satu bagian dari maskawin di dalam perkawinan Minahasa yang disebut antar harta. Karakteristik Masyarakat Minahasa Orang Minahasa dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu “orang Menadao” atau “tou wenang”. Suku bangsa Minahasa berasal dari utara dan mempunyai pertalian serta banyak kesamaan dengan bangsa Filipina dan Jepang dalam bentuk tubuh (fisik) maupun genetikal (Rogi dan Siswanto, 2009). Masyarakat Minahasa mengenal suatu bentuk keluarga batih (kesatuan kerabat) berdasarkan monogami. Batas-batas hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, jadi hubungan kekerabatan dihitung melalui pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Selain itu, masyarakat Minahasa mengenal sistem gotong-royong yang disebut mapalus. Mapalus diartikan sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan warga se-desa yang berhubungan dengan aktivitas membangun rumah, pertanian, kematian, dan sebagainya (Syamsidar, 1991). Pola Perkampungan Pola perkampungan desa di Minahasa adalah memanjang mengikuti jalan raya di desa sehingga sepanjang jalan raya terletak pusat-pusat aktivitas desa seperti gereja, masjid, kantor Kepala Desa, sekolah, pasar, toko, warung, rumahrumah tempat tinggal penduduk, dan sebagainya. Dari Gambar 6 terlihat bahwa
17
letak gereja dan warung menyebar di dalam suatu desa. Akses yang menghubungkan rumah satu kelompok keluarga dengan kelompok keluarga lainnya berupa jalan desa , sedangkan jalan yang menghubungkan antar rumah di dalam perumahan satu keluarga dihubungkan dengan jalan yang lebih kecil yang disebut lorong. Sistem Organisasi Kemasyarakatan Menurut Wenas (2007), masyarakat Minahasa mengenal dua golongan kepemimpinan, yaitu walian dan tona’as. Walian berasal dari kata wali yang artinya mengantar, seperti induk ayam mengantar dan melindungi anak-anaknya, sedangkan tona’as berasal dari kata ta’as yang artinya keras, misalnya kata tima’as artinya mengeras, bersifat keras. Jabatan tertinggi golongan walian adalah Walian Tu’ah yang memimpin semua acara agama dan adat. Jabatan tertinggi tona’as adalah Tona’as Wangko sebagai kepala pemerintahan. Tona’as Wangko mengendalikan soal pemerintahan, pembangunan, peperangan, dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1870, fungsi walian dan tona’as berubah. Fungsi walian sebagai pemimpin agama suku digantikan pendeta, pastor, atau imam, sedangkan fungsi tona’as sebagai kepala adat digantikan oleh pejabat negeri seperti hukum tua dan petugas catatan sipil. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian mulai menghilang digantikan oleh upacara gereja atau di masjid. Unsur adat pada upacara kematian sudah tidak terlihat lagi karena jenazah disemayamkan di gereja sebelum ke pemakaman. Tetapi penggunaan busana khusus untuk perkawinan dan acara kedukaan masih diaplikasikan. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan Sebelum Agama Katolik masuk pada tahun 1563, masyarakat Minahasa mengenal Tuhan yang mereka sebut sebagai Empung atau Opo-opo. Menurut N.Graafland dalam Wenas (2007), Tuhan orang Minahasa disebut Empung Wa’ilan Wangko atau Empung Rengan-Rengan yang berarti Tuhan Maha Mulia, Maha Besar, Tuhan yang selalu mendampingi manusia dimanapun berada. Untuk mengatasi pengaruh dari roh jahat, orang Minahasa menggunakan roh leluhur sehingga roh leluhur mempengaruhi seluruh kehidupan dari lahir sampai
Gambar 6. Sketsa desa di Minahasa pada tahun 1977/1978
Sumber: Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara (1977/1978)
18
19
meninggal. Ketika agama Kristen masuk ke Minahasa, batas-batas pemisah antara upacara agama dan upacara adat mulai hilang karena saat upacara agama asli berubah menjadi agama kristen, upacara adat ikut menghilang di Minahasa. Cerita mengenai manusia pertama yang ada di Minahasa diperkirakan berasal dari Jaman Spanyol. Cerita tersebut sebagai berikut: Empung Wa’ilan Wangko menemukan kelapa yang kemudian dibelah dua dan keluarlah manusia dari dalam kelapa disebut Wengi. Kemudian Empung Wa’ilan Wangko menyuruh Wengi membuat 2 patung manusia dari tanah liat. Kemudian Wengi menyemburnya dengan kunyahan jahe (goraka) sehingga patung tanah liat berubah menjadi Adam dan Hawa. Wengi merupakan ibu dari Dewi Lumimu’ut, sedangkan ayahnya bernama Kawengian. Terdapat mitos mengenai Toar dan Lumimu’ut sebagai manusia pertama lalu mendapat pengaruh kristen sehingga mitos asli Minahasa mengalami perubahan konsep. Agama yang pertama kali masuk di daerah Minahasa adalah agama katolik. Agama ini dibawa oleh seorang paderi katolik bernama Diego de Magelhaes, yang merupakan Bangsa Spanyol dalam tahun 1563. Kemudian pada tahun 1674 pemerintah Belanda menggantikan agama katolik dengan agama kristen Protestan. Agama Islam masuk daerah Sulawesi Utara sekitar abad ke-16 (Syamsidar, 1991). Agama Minahasa disebut Maka Tana’ yang berarti pengetahuan dari si pemilik tanah/bumi, Empung Wailan Wangko. Dalam setiap upacara yang menyangkut roh manusia seperti pada upacara kematian terdapat unsur upacara adat dan upacara agama. Unsur upacara agama dipimpin oleh pendeta agama asli, Walian Me’eres yang mengucapkan doa kepada Empung Wa’ilan Wangko untuk menerima roh yang meninggal. Dalam pemakaman diikutsertakan kepala orang yang terpancung dengan tujuan dapat menemani roh orang meninggal tersebut dalam perjalanan ke surga. Semakin tinggi jabatan orang di masyarakat, semakin banyak jumlah kepala orang yang dimasukkan. Upacara adat dalam prosesi pemakaman ini terletak pada upacara memakamkan jenazah ke dalam waruga. Upacara lainnya yang menggunakan kepala orang dalam pelaksanaannya adalah upacara mendirikan rumah baru, upacara kesuburan, dan bersih desa.
20
Pada tahun 1874 pendeta Belanda, Louwerier dalam Wenas (2007) menyatakan bahwa upacara agama asli Minahasa yang memuja roh leluhur sudah hilang sama sekali di Minahasa. Berdasarkan pernyataan tersebut, informasi upacara-upacara tradisional masyarakat Minahasa dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu masa sebelum abad ke-19 dan masa setelah abad ke-19. Masa Sebelum Abad ke-19 Dalam catatan perjalanan Graafland pada tahun 1869 di Minahasa, terdapat beberapa upacara adat yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran hingga kematian. Upacara tersebut diantaranya: 1. Upacara kelahiran Setelah dua atau tiga hari bayi dilahirkan, keluarga harus mengadakan upacara yang disebut Iroyor Si Oki (menurunkan anak). Dalam upacara ini dipanggil dua, tiga, atau empat orang walian yang merupakan pemimpin upacara adat. Di depan tangga bawah rumah anak ini dimandikan. Apabila pada saat upacara ada orang yang lewat dan bersin, anak tersebut diramalkan tidak ada harapan untuk bahagia. Namun, hal ini dapat disiasati dengan ibu dan walian yang memakan sepotong pinang lalu berkata “ini sudah hari lain”, kemudian upacara ini dilanjutkan. Selanjutnya bayi tersebut dibawa ke bawah dan digendong untuk menyentuh babi yang ada di dekatnya dengan kakinya agar para dewa mengetahui bahwa babi itu dipersembahkan atas nama bayi tersebut. Kemudian bayi dibawa ke sungai dengan diiringi seorang walian yang membawa api, sebuah batok kelapa, dan kemiri. Api digunakan sebagai alat untuk mengusir setan dan kemiri digunakan untuk mengolesi kepala bayi. Di sungai ini walian memandikan bayi dengan mengucapkan mantera agar penyakit dapat hanyut bersama air. Dalam perjalanan pulang, walian berjalan di depan diikuti oleh ibu dan bayinya. Bunyi gong dan kolintang mengiringi perjalanan pulang mereka. Setelah sampai di rumah, babi dibelah dan diambil hatinya. Hati babi ini digunakan untuk meramal masa depan bayi. Selanjutnya adalah acara makan dan minum. Walian membagikan daging babi, ayah bayi biasanya hanya mendapat sebagian kecil saja. Ketika seorang anak laki-laki sudah berumur ± 1 tahun, anak ini harus belajar menyadap air tuak (makehet). Dalam upacara ini, seorang ayah
21
mengendong anaknya dan bersama rombongan dan walian pergi mencari pohon aren. Setelah sampai pada pohon yang ditentukan, walian menempatkan tangga dan menggantungkan bambu yang telah diisi penuh dengan saguer. Kemudian walian mengangkat anak tersebut tiga kali dan menyentuhkan kakinya ke tangga. Dalam perjalanan pulang setiap orang ditawari dengan seteguk saguer. Setelah sampai di rumah, dimulailah acara makan dan minum. Acara ini diiringi oleh gong dan kolintang. Anak perempuan tidak belajar makehet melainkan harus dibekali kepandaian memasak dan memelihara babi. Oleh karena itu, ia diberi beberapa potong kayu dan beberapa helai daun pada bahunya lalu dibawa ke ujung jalan setapak yang menuju kebun. Dari sana mereka menuju ke sungai, anak tersebut dimandikan, dan selanjutnya dibawa pulang. 2. Upacara pernikahan Dalam adat istiadat Minahasa, calon mempelai wanita yang akan menikah harus terlebih dahulu dibeli oleh pria yang akan menikahinya. Hal ini dikenal dengan istilah bowang (kasih harta). Jika telah mendapat keputusan bahwa seorang gadis akan dipinang, keluarga pria pergi mengunjungi rumah wanita tersebut. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua wanita, selanjutnya ditentukan hari untuk membicarakan roko (mahar). Mahar sementara biasanya adalah 9 buah pinang, 9 lembar daun sirih, dan sepasang perhiasan dari emas atau perak. Semua mahar ini dibungkus oleh kain katun merah yang disebut katun benggali. Pada saat hari penentuan mahar, kedua belah pihak bertemu, kemudian sambil memakan pinang, membicarakan mahar untuk wanita tersebut. Mahar ini beragam, tergantung dari kesepakan keluarga. Mahar paling tinggi adalah 100 potong salempuri, seekor kuda, sebuah gong, satu paket alat musik tradisional, seorang budak, dan sebidang tanah. Mahar untuk wanita yang pernah menikah dihargai rendah. Setelah mahar disepakati, maka upacara pernikahan dapat dilaksanakan. Pada saat upacara ini walian mengambil sebuah pinang dan mengunyahnya dengan sirih dan kapur kemudian memberikannya kepada calon pengantin. Setelah acara makan di rumah pengantin wanita selesai atau keesokan harinya, rombongan pengantin wanita mengunjungi rumah pengantin pria. Pengantin wanita ini harus
22
menyebrangi sungai atau melewati jembatan dan tidak boleh meneruskan perjalanan sebelum diberi sepotong kain linen. Setelah sampai di depan rumah pengantin pria, pengantin wanita tidak diperbolehkan menaiki tangga rumah tersebut
sebelum
diberi
kain
linen
lagi.
Setelah
menerimanya
ia
memperlihatkan kepada keluarga dan orang yang di sekitarnya dan menaiki tangga. Di dalam rumah telah tersedia hidangan dan setelah acara makan ini, kedua mempelai dianggap telah resmi menikah. 3. Upacara kematian Pada saat tokoh masyarakat meninggal, jenazahnya diikat dalam posisi duduk di sebuah kursi selama satu malam dan dijaga oleh Walian Mawasal. Peran walian ini untuk membujuk roh jenazah yang tidak ingin berpisah dari jasadnya. Pada hari berikutnya, jenazah diturunkan dari lantai rumah yang papan lantainya terbuka kemudian diletakkan di kursi jenazah yang disebut lulukeran. Jenazah ini digotong mengelilingi rumah tiga kali, berkeliling kampung, dan akhirnya dibawa ke waruga yang terletak di sebelah kanan halaman belakang rumah alamarhum (Gambar 7). Tata cara ini bertujuan agar roh orang yang meninggal tersebut tidak dapat kembali lagi ke rumah. Menurut Graafland, agar kesedihan keluarga yang berduka hilang, sebuah pesta persembahan keagamaan harus dilakukan demi kehormatan orang yang meninggal tersebut. Tidak ada seorang pun yang berani melakukan pekerjaan di rumah, di kebun, atau bekerja pada seseorang sebelum pesta tersebut selesai karena roh mendiang akan terus meresahkannya siang malam apabila hanya sedikit kemurahan yang dilakukan orang. Bagian dari pesta itu adalah ngolongan yaitu ketika semua wanita menari-nari di halaman dan memohon kepada Empung untuk memberikan yang terbaik sebagai ganti orang yang meninggal itu bagi pria maupun wanita yang ditinggalkan. Keesokan harinya pria atau wanita yang ditinggalkan itu diantar oleh seluruh keluarga pergi ke luar kampung agar lambat laun dapat melupakan kesedihannya. Hal ini disebut numaram. Selanjutnya, orang yang berduka cita itu boleh pergi lebih jauh termasuk ke kebun. Di kebun pria atau wanita tersebut mengambil beberapa sayuran atau buah-buahan lalu menebang satu atau lebih pohon buah-
23
buahan agar roh yang meninggal dapat menikmati makanan dan tanaman di tempatnya yang baru. Upacara ini disebut rumou-tanah. Di rumah duka, tempat ada kematian, pesta pernikahan, pesta pertama penghunian rumah, atau dalam kesempatan lain saat banyak orang berkumpul, masyarakat biasanya melakukan permainan teka-teki. Apabila banyak tamu yang diharapkan datang dalam upacara tersebut, atap depan rumah disambung dengan atap sementara yang miring ke bawah hingga empat sampai lima kaki di atas tanah. Dengan demikian, terdapat tempat untuk meletakkan bangku dan kursi di bawahnya. Biasanya tempat ini untuk pria, sedangkan wanita duduk di atas, di dalam rumah. Selama permainan mereka mengunyah pinang, sirih, dan kapur, serta meminum saguer.
Rumah tinggal waruga waruga
Sumber:http://thearoengbinangproject.com/2010/10/mural-waruga-sawangan-Minahasa
Gambar 7. Relief peletakkan waruga di sekitar rumah tinggal Masa Setelah Abad ke-19 Dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Sulawesi Utara pada periode tahun 1977/1978, terdapat beberapa upacara adat yang berkaitan dengan daur hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran hingga kematian. Upacara tersebut diantaranya: 1. Upacara kelahiran Di
Minahasa
masih
terdapat
wanita-wanita
yang
pada
masa
kehamilannya percaya kepada hal yang tabu (foso). Foso yang juga dikenal
24
dengan istilah posan dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan ibu yang mengandung terhindar dari bermacam-macam pengaruh buruk. Foso ini berupa seorang ibu tidak boleh melihat sesuatu yang menakutkan, seperti melihat binatang yang disembelih dan suami tidak boleh menyembelih binatang, tidak boleh melihat mayat, berdiri di depan pintu, dan sebagainya. Maksud larangan ini adalah agar bayi lahir dengan selamat atau ibu tersebut tidak melahirkan bayinya dengan susah payah. Menjelang bersalin, semua pintu, jendela, koper, peti, dan sebagainya harus dalam keadaan terbuka agar bayi dapat lahir dengan lancar. Setelah anak lahir, beberapa hari kemudian diadakan pesta kelahiran yang hanya dihadiri oleh famili terdekat. Pesta ini disebut Iroyor Si Oki. Pengambilan nama bayi biasanya dari nama ayah/ibu/nenek/ paman/ bibi dan dapat juga disesuaikan dengan bulan kelahiran bayi, masa peristiwa penting, dan nama-nama dari Alkitab. 2. Upacara pernikahan Pada acara-acara seperti upacara pernikahan, malam hiburan di bidang kematian, dan pada pekerjaan gotong royong biasanya seorang pria atau wanita menemukan jodohnya. Apabila keinginan pria tersebut telah disetujui oleh kedua orang tuanya, orang tua pria mengambil perantara yang disebut rereoan dimana orang tersebut masih satu keluarga (wanita/pria yang sudah tua). Perantara tersebut menyampaikan maksud orang tua pria kepada orang tua wanita. Apabila disetujui, selanjutannya adalah penentuan hari upacara mas kawin yang disebut antar harta. Pada upacara tersebut dirundingkan tanggal pernikahan,
tempat
pelaksanaan,
jumlah
undangan,
surat-surat
yang
diperlukan, siapa saksi-saksi, dan sebagainya. Seringkali terdapat pernikahan yang tidak melalui upacara antar harta lagi, melainkan mengikuti adat barat seperti upacara tukar cincin. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh walian dan kemudian dilakukan upacara tawa’ang, kedua mempelai memegang setangkai pohon tawa’ang sambil mengucapkan ikrar dan janji.
25
3. Upacara kematian Apabila terdapat warga suatu desa yang meninggal, secara cepat dapat diketahui oleh seluruh warganya melalui beduk kampung, lonceng gereja, atau berita dari mulut ke mulut. Menurut kebiasaan yang berlaku sampai pada penelitian tersebut dilakukan, tidak ada seorangpun yang dapat keluar desa untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang ada hubungannya dengan kematian. Kaum wanita bertugas memasak, menyapu dalam rumah, menjahit pakaian jenazah, menyediakan bunga, melayani tamu, dan sebagainya, sedangkan tamu pria menyediakan peti jenazah, menyapu halaman, membuat sabua (bangunan tambahan), menggali lubang pekuburan, memikul jenazah, dan menyediakan tempat duduk. Sebagian besar orang Minahasa beragama kristen sehingga upacara kematian dilakukan berdasarkan tata cara kristen yang dipimpin pendeta. Upacara dimulai dari dalam rumah, kemudian di luar rumah, dan upacara di pekuburan. Selain upacara, terdapat acara lain yang berhubungan dengan kematian, yaitu setelah jenazah telah dimakamkan minimum 3 hari. Acara tersebut sebenarnya merupakan acara hiburan yang dikenal dengan 3 malam, kumawus (Keduri tujuh hari), empat puluh hari, dan satu tahun. Pada acara ini diadakan kebaktian secara agama dan langsung disambung dengan menyanyi, bermain kartu, pantun, dan sebagainya. Terdapat
upacara-upacara
lain
yang
berhubungan
dengan
rumah,
diantaranya (Kalangie et al., 1985): 1.
Upacara pungutan Upacara pungutan merupakan salah satu upacara tradisional di Minahasa setelah panen. Upacara ini berupa pengucapan syukur kepada pemberi rezeki berupa wujud dari hasil panen. Upacara dulunya dilaksanakan di suatu lapangan terbuka yang luas, di sawah, dan di ladang. Namun, setelah agama kristen masuk upacara ini dilaksanakan di gereja. Upacara pungutan dibagi dalam dua bagian, yaitu upacara pengucapan syukur yang dilaksanakan pada pagi hari di ruangan gereja dan pada sore hari yang bertempat di halaman gereja. Masyarakat setempat berkumpul kembali dengan membawa berbagai kue, makanan matang, dan berbagai hasil pertanian. Upacara pungutan yang
26
dilaksanakan pagi dan sore hanya ditemukan di daerah pedesaan, sedangkan di kota dilaksanakan di pagi hari (pukul 10.00 s/d 12.00) karena acara selanjutnya dilakukan khusus di rumah masing-masing berupa makan bersama dengan keluarga dan undangan. Pada umumnya di saat pengucapan syukur setelah acara gereja pagi, orang sibuk keluar-masuk rumah baik penghuni maupun tamu yang datang dari luar. Sudah menjadi kebiasaan keluarga pada saat itu seakan-akan berebut memanggil tamu untuk datang mencicipi makanan dan minuman yang telah disediakan mereka. Selama upacara ini rumah sedapat mungkin dalam keadaan terbuka (pintu dan jendela), melambangkan agar rezeki yang akan datang tidak lewat begitu saja. Selain itu, bila ada keluarga yang rumahnya ditutup akan dinilai sebagai orang yang kikir. 2.
Upacara kaipian Upacara ini diadakan di area rumah berupa acara mencicipi makanan dari seorang petani yang akan panen. Masyarakat percaya bahwa memberi berupa mencicipi hasil pertanian pada orang lain (kaipian) maka rezeki tetap terbuka dalam arti panen berikutnya akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Sebelum diadakan selamatan di rumah, diadakan kegiatan persiapan berupa menjemur, menumbuk, dan memasak beras yang akan disajikan dalam upacara ini. Acara dilaksanakan di ruang tengah atau ruang makan. Pada saat ini upacara kaipian sudah jarang dilaksanakan lagi karena beberapa alasan, diantaranya tidak semua warga memiliki lahan garapan yang luas sehingga tidak mampu untuk membagikan hasil kepada orang lain. Berdasarkan Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Sulawesi Utara pada Tahun 1977/1978, terdapat salah satu upacara adat yang disebut naik rumah baru yang sering dilakukan dengan memperdengarkan nyanyian bersama. Upacara ini diadakan pada malam hari dengan memasang lampu (minyak, lilin, atau obor). Setiap orang yang datang naik ke atas rumah panggung dan ikut menari-nari sambil bernyanyi dengan ungkapan. Salah satu ungkapannya adalah: “wasian rimondori wan kentur rumbu-rumbuan eh royor”. Ungkapan ini bermakna bahwa pemilik rumah yang akan hidup menetap dalam
27
rumah baru tersebut sudah tidak perlu khawatir lagi karena rumah itu sudah kokoh, kuat bagaikan gunung. Upacara adat naik rumah baru ini sudah menghilang apalagi upacara-upacara adat lainnya di Minahasa yang berupa adat asli sudah tidak ada lagi. Bahasa Minahasa terdiri dari 8 wilayah sub-etnik tetapi hanya mempunyai 7 bahasa sub etnik atau dialek, karena subetnik Bantik di pantai Barat dan Ponosakan di pantai timur memiliki bahasa yang dapat dikatakan sama (Wenas, 2007). Bahasa sub-etnik Tombulu, Tonsea, Tondano, dan Tontemboan digunakan oleh sebagian besar penduduk Minahasa. Sistem Ilmu Pengetahuan Gejala alam seperti adanya laut, gunung, sungai, langit, matahari, awan, hujan, kilat, dan guntur dijelaskan dalam pengetahuan mengenai cerita To’ar dan Lumi’muut yang dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat Minahasa. Peneliti J. Alb. T. Schwarz dalam Wenas (2007) meneliti To’ar yang berasal dari kata tou ari’i (tiang utama), juga tu’ur artinya keringat, maksudnya bumi yang berkeringat sehingga menghasilkan embun pagi yang kemudian menjadi Dewi Bumi. Dewi Karema yang ada di mitos asal-usul orang Minahasa berasal dari kata karerema’, rerema’ yang artinya bintang. Bagaikan karerema (bintang) yang menyaksikan To’ar lahir sebagai anak dan ketika berubah menjadi suami. Wujud Dewi Karema di dalam Batu Pinawetengan digambarkan sebagai bintang berekor yang sekarang dikenal dengan Komet Halley. Ilmu perbintangan ini dikuasai oleh Tona’as Pengumaan/Tona’as Pertanian untuk menentukan musim tanam tanaman, menangkap ikan di laut, penyakit, dan sebagainya. Dari Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara pada Tahun 1977/1978, terdapat pengetahuan yang berhubungan dengan kebutuhan pengobatan di Minahasa sebagai berikut. 1. Kolano (jarak pagar), daunnya digunakan untuk kompres kepala bagi orang yang sakit panas dan sakit kepala, sedangkan buahnya dipakai untuk obat cuci perut, getahnya sebagai obat sariawan dan mata, kulit kayunya dibuat jamu untuk penguat badan dan sebagainya;
28
2. Lemong suangi (buah jeruk) digunakan untuk obat mata, batuk, penolak jin jahat yang dinamakan pok-pok atau suangi. Tanaman ini juga digunakan pada saat tradisi khusus peletakan batu bangunan rumah; 3. Goraka (jahe) digunakan untuk obat batuk, obat sakit perut, dan pengusir roh-roh jahat; 4. Kucai (sejenis bumbu dapur) dipakai untuk mengobati anak-anak yang panas; 5. Tawaang (hanjuang) digunakan untuk menentukan batas tanah. Tawaang paling dipercaya untuk menentukan sampai dimana batas tanah seseorang. Tanaman ini mengandung makna sumpah, barang siapa yang dengan sengaja mencabut atau memotong tanaman tersebut akan mendapat kesulitan di kemudian hari disebabkan orang yang menanam selamanya diiringi oleh sumpah (sumpah tawaang) yang menurut kepercayaan disaksikan oleh opo-opo. Itulah sebabnya dalam bahasa Minahasa tawaang disebut juga poepopo yang artinya mengikutsertakan opo. Tawaang berasal dari kata tawa, menjadi tumawa, yang artinya ‘memanggil’ sehingga daun tanaman ini sering dipakai para pemuka agama pada berbagai upacara. Pengetahuan masyarakat pada jaman dahulu berupa kepercayaan terhadap binatang-binatang yang dianggap penjelmaan dari tuhan mereka (Opoopo/empung). Binatang tersebut adalah Burung Manguni dan ular hitam. Binatang ini membawa tanda yang memberikan kabar baik atau buruk bagi setiap orang yang mendengar maupun melihatnya. Kesenian Seni Tari Seni tari Minahasa umumnya dilakukan sambil menyanyi walaupun ada tarian yang hanya berisi tarian saja. Dewi penari Minahasa bernama Rumintuwu’ yang berasal dari kata Tuwu’ yang artinya daun woka muda (Livistonia rotundifolia). Dewi ini menari sambil memegang dan menggoyang-goyangkan daun woka. Tarian yang paling utama disebut Maengket dimana tarian diisi juga dengan nyanyian mengenai dewa-dewi kesuburan yang berhubungan dengan tanaman padi, naik rumah baru, dan nyanyian cinta kasih. Selain tarian Maengket, terdapat tarian Mangorai yang terdapat pada upacara Rumages yang merupakan
29
upacara agama asli Minahasa. Tarian ini diiringi nyanyian Zazanian ni Karema (Nyanyian Dewi Karema) yang menceritakan kisah Lumimu’ut dan To’ar. Seni Ukir Seni ukir Minahasa terdapat pada batu kubur waruga, peti kubur dari kayu balasong, balok melintang di atas tiang rumah, papan petunjuk upacara, periuk tanah liat bakar, dan ukiran jaman purba di batu Pinawetengan. Penulis MR. C. T. Bertling berpendapat bahwa ukiran gambar motif ular adalah gaya asli Minahasa tanpa dipengaruhi motif naga dari India. Hal ini sesuai dengan kepercayaan orang Minahasa bahwa kematian hanya bagaikan ular yang berganti kulit, perubahan dari dunia nyata ke dunia roh. Ukiran pada tiang dan balok rumah Minahasa dari Sonder digambar sketsa oleh seorang pengelana bangsa barat bernama Antonie Payen tahun 1824 (Gambar 8). Pada tiang dalam gambar tersebut, terukir relief pria dan wanita pemilik rumah (ukiran pria berpakaian Eropa dengan topi seperti topi Napoleon). Di sisi atasnya terlihat balok yang berukiran ular dengan kepala agak menonjol keluar. Rumah ini milik Totolio Herman Wilem Dotulong.
Sumber: Wenas (2007)
Gambar 8. Ukiran peti kayu balasong dan sketsa rumah Sonder (1824) Motif binatang yang banyak menghiasi benda-benda atau barang-barang dalam rumah tangga karena dianggap keramat adalah ular hitam dan burung manguni. Ular hitam melambangkan kewaspadaan karena ular hitam tidak pernah lengah terhadap alam sekitarnya, sedangkan burung manguni dianggap binatang
30
yang dapat memberi isyarat atau tanda-tanda melalui bunyinya pada malam hari (Suradi et al., 1989). Seni Ragam Hias Motif hias Minahasa mempunyai ciri khas tersendiri dalam menggambar tanaman, bunga, sapi hutan, ular, ayam, burung, dan manusia (Gambar 9). Ragam hias Minahasa ini menurut Wenas (2007) banyak dipengaruhi gambar dari keramik Cina kuno yakni bentuk pilin dan melengkung, seperti tanaman merambat. Motif hias ini umumnya terdapat pada batu kubur waruga, bangunan, atau benda lainnya. Namun karena orang Minahasa menganggap hiasan pada batu waruga merupakan hiasan orang meninggal, orang Minahasa memilih menghilangkannya sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa Suku Minahasa tidak mengenal motif hias.
Sumber: Wenas ( 2007)
Gambar 9. Seni ragam hias Minahasa Seni Bangunan Waruga Waruga merupakan salah satu warisan nenek moyang Suku Minahasa yang berupa batu untuk menguburkan orang yang meninggal. Waruga berasal dari gabungan dua kata, yaitu wale dan maruga. Wale berati rumah dan maruga berarti badan yang akan menjadi hancur. Bentuk waruga menyerupai bentuk rumah, yang terdiri dari bagian bangunan (bawah) dan atap (atas). Waruga ini berukuran lebar 0,5-1 meter dan tinggi 1-3 meter. Ukuran ini tergantung dari usia jenazah yang ada di dalamnya. Jenazah orang yang meninggal dimasukkan ke dalam ruang di
31
dalam bangunan waruga dalam posisi jongkok dengan tumit kaki menempel pada pantat, dan kepala mencium lutut, seperti janin di dalam kandungan. Filosofi yang mendasari posisi peletakkan ini adalah bahwa manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan seharusnya mengakhiri hidup dengan posisi jongkok pula. Dalam bahasa setempat, filosofi ini disebut whom. Jenazah diletakkan di atas benda-benda untuk bekal kubur, yang terdiri dari parang, gelang, manikmanik, piring, padi, uang benggol, mangkuk, sendok, dan kolintang. Jenazah yang ada di dalam waruga dihadapkan ke arah utara karena nenek moyang mereka berasal dari utara (Mongolia). Relief yang ada pada bagian atas (atap) waruga terdiri atas motif manusia (Gambar 10), motif sulur tumbuhan, motif geometri, dan motif binatang. Motif-motif ini melambangkan strata sosial dan profesi dari jenazah yang ada di dalamnya. Contohnya, ukiran manusia berjubah menandakan bangsawan dan gambar hewan menandakan profesi orang tersebut sebagai pemburu. Selain itu, terdapat juga ukiran bergambar beberapa orang yang menandakan di dalam waruga itu adalah jenazah satu keluarga.
Sumber: Wenas ( 2007)
Gambar 10. Relief waruga Sawangan Masyarakat percaya bahwa nenek moyang mereka dapat mengetahui kapan mereka akan meninggal sehingga mereka membuat batu kubur mereka sendiri (Gambar 11). Caranya dengan tangan kanan memegang batu yang ada di sungai di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri mereka menangkap ikan di sungai. Setelah sampai di tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya.
32
Menurut Syamsidar (1991) ketika penyakit sampar menyebar sehingga banyak penduduk yang menjadi korban sekitar abad ke 18, cara penggunaan waruga sebagai tempat penyimpanan jenazah dilarang pemerintah Belanda dan setiap orang yang meninggal diperintahkan harus dikubur di dalam tanah.
Memahat Batu untuk Waruga
Membawa Batu ke Tempat yang Dituju
Meletakkan Batu di Tempat yang Sesuai
Meletakkan Mangkuk sebagai Alas Duduk Memasukkan Jenazah ke Dalam Waruga
Posisi Jenazah Pria
Posisi Jenazah Wanita
Sumber: http://gried.multiply.com/photos/album/104/Taman-Purbakala-WARUGA-MinahasaFeb-2008?&show_interstitial=1&u=%2Fphotos%2Falbum
Gambar 11. Relief proses pembuatan waruga dan posisi jenazah di dalamnya
33
Rumah Tradisional Minahasa Menurut Wenas (2007), terdapat dua jenis rumah adat Minahasa, yaitu rumah yang tiang-tiangnya diletakkan di atas batu disebut wale meiwangin dan rumah yang tiang-tiangnya diletakkan di atas balok datar dinamakan wale meito’tol (Gambar 12). Balok dasar yang memanjang disebut entangan dan yang melintang disebut sahizan. Seluruh bangunan rumah menyatu dengan tiang rumah dan tahan terhadap gempa bumi. Ruangan dibawah atap rumah disebut loteng soldor (pa’a dalam bahasa Tombulu). Kayu memanjang pada atap rumah dari depan sampai ke belakang disebut kewu. Di depan rumah terdapat dua tangga kiri dan kanan. Proses naik ke rumah disebut menek, sedangkan proses turun tangga disebut miahu. Lantai rumah disebut wela. Semua konstruksi tidak menggunakan paku. Atap bagian depan rumah disebut sarem dan di atas atap ini terdapat jendela loteng yang disebut tetemboan. Disekitar jendela kecil ini biasanya terdapat gambar dekoratif berupa tanaman merambat.
Sumber: Wenas ( 2007)
Gambar 12. Sketsa rumah dan bagian-bagian rumah adat Minahasa Menurut Rogi dan Siswanto (2009) Masyarakat Minahasa dahulu menyebut Tuhan mereka sebagai Opo Walian atau Opo Empung. Dalam perkembangannya, kepercayaan orang Minahasa ini diterapkan dalam rumah tinggal mereka yang memiliki kolong dengan skema sebagai berikut. 1. Atap diidentikan dengan dunia Tuhan. Dunia ini dianggap sebagai dunia yang paling suci;
34
2. Badan rumah diidentikan dengan dunia manusia. Pada bagian ini manusia melakukan segala aktivitas dan kehidupannya; 3. Kolong/pondasi dianggap sebagai tempat terburuk karena merupakan tempat roh orang mati (arwah). Dinilai kotor karena dekat dengan tanah. Syamsidar (1991) dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Utara menjelaskan sejarah, konstruksi, serta fungsi bagian-bagian pada rumah tradisional Minahasa. 1 Sejarah Rumah adat Minahasa pada awalnya berbentuk rumah panggung yang didiami oleh satu keluarga besar. Rumah ini disebut wale wangko. Tujuan dari bentuk rumah panggung ini adalah untuk menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh yang datang dari luar daerah. Di dalam rumah panggung terdapat 6 sampai 9 keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga sendiri yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah ini berdiri di atas tanah dengan ketinggian tiang 2,5 sampai 3 meter. Di bagian dalam rumah terdapat kamar yang jumlahnya sama dengan jumlah keluarga kecil yang ada di dalamnya. Pada bagian tengah rumah terdapat ruangan besar yang berukuran 5x8 meter yang berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi. Tiap ruangan dipisahkan dengan gantungan anyaman tikar sehingga membentuk 7-9 ruangan. Pada bulan Mei 1832 terjadi gempa bumi besar di Minahasa sehingga mengakibatkan ribuan rumah rubuh dan hancur, termasuk tipe rumah besar ini. Oleh karena itu, masyarakat Minahasa mulai membuat rumah yang lebih kecil yang disebut wale. Rumah ini didiami oleh satu keluarga dengan kerangka rumah yang lebih kuat agar tidak mudah hancur. Bentuk rumah baru ini tidak berubah, yaitu berupa rumah panggung persegi panjang dengan ukuran luas lebih kecil dan tiang penyangga setinggi 2 meter. 2 Konstruksi Rumah Secara keseluruhan, konstruksi bangunan rumah adat Minahasa ini dapat dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama berupa tiang-tiang penyangga berjumlah 16-18 buah tiang yang berukuran 12x12 m. Tiang ini umumnya
35
terbuat dari kayu besi. Untuk mencegahnya dari pelapukan, di bawah masingmasing tiang ini dipasang batu yang disebut watulanei. Batu ini diibaratkan sebagai penolak kejahatan sehingga apabila seseorang berniat jahat pada penghuni rumah, akan terhalang oleh batu yang licin ini. Peletakkan tiang raja (tiang utama struktur atap) tidak diperkenankan untuk berposisi tepat di atas ambang pintu, baik pintu depan maupun belakang (Rogi dan Siswanto, 2009). Bagian kedua rumah adalah kerangka bangunan rumah berupa dinding yang terbuat dari papan atau bambu. Pada umumnya, lantai pada rumah golongan menengah ke atas terbuat dari papan, sedangkan bambu atau batang nibung yang dicincang digunakan pada lantai rumah menengah ke bawah. Pemasangan kayu berupa papan atau bambu dipasang dengan memperhatikan arah tumbuh serat kayu. Apabila dipasang vertikal, bagian pangkal papan/bambu berada di bawah dan bagian ujung di atas, sedangkan apabila dipasang horizontal, bagian ujung sebilah kayu harus bertemu dengan bagian pangkal bilah yang lainnya sehingga alur tumbuh kayu tetap terjaga dan tidak terbalik. Jenis kayu yang digunakan untuk tiang, lantai, dan dinding rumah adalah kayu cempaka, sedangkan jenis bambunya adalah buluh jawa karena jenis ini adalah yang paling kuat. Bagian ketiga berupa atap rumah. Jenis kayu untuk atap rumah adalah kayu nantu dan penutup atapnya dibuat dari daun rumbia atau daun pohon sagu (Metroxylon rumphiana) kemudian agar lebih tahan lama, banyak penduduk yang menggantinya dengan seng. Atap ini berfungsi untuk menyimpan hasil panen. Tradisi khusus yang biasanya menyertai perletakan batu umpak pertama pada bangunan adalah penyiraman batu tersebut dengan tuak/saguer atau cap tikus, juga perasan air jeruk (lemong suangi) dan sirih, disertai pembacaan doa sebagai upaya “tolak bala”. Langkah ini biasanya juga disertai dengan ritual perkerasan tanah dengan cara menari sambil melompat-lompat di atas tanah (Rogi dan Siswanto, 2009). 3 Bagian-bagian Rumah Adat Bagian Depan Pada bagian depan rumah terdapat satu atau dua buah tangga. Apabila terdapat satu tangga, letak tangga ini berada di tengah-tengah bagian depan
36
rumah, sedangkan apabila terdapat dua buah tangga, tangga terletak berhadapan di sisi sebelah kiri dan kanan sehingga terlihat dari depan berbentuk silang. Tangga yang berjumlah dua memiliki makna, yaitu pada jaman dahulu, tangga dimaksudkan jika ada roh jahat yang berniat masuk ke dalam rumah melalui salah satu tangga maka akan keluar pada tangga satunya lagi. Pada saat ini dua buah tangga yang terdapat pada rumah suku Minahasa ini bermanfaat pada saat pinangan. Pria yang melamar seorang gadis akan masuk melalui tangga sebelah kiri. Apabila pinangannya diterima, pria tersebut akan keluar dari sebelah kanan, sebaliknya, apabila pinangan tersebut ditolak, pria tersebut akan keluar pada tangga yang ada di sebelah kiri. Tinggi rendahnya tangga tergantung dari tingginya bangunan. Jumlah anak tangga bervariasi, antara 7, 9, dan 12 anak tangga. Jumlah anak tangga berfungsi untuk menentukan banyaknya hadiah (seserahan) yang akan diberikan pria yang ingin menikahi seorang wanita. Ruangan di depan rumah yang berukuran selebar rumah adalah ruangan tamu (Loloang). Bagian ini tidak berdinding tetapi dikelilingi oleh regel setinggi kurang lebih satu meter dengan terali-terali yang terbuat dari kayu. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang dilengkapi dengan beberapa kursi sederhana dan dua buah bangku panjang. Bagian ini termasuk pula salah satu bagian rumah, yaitu sebagai ruangan depan rumah yang disebut setup (emperan). Pintu depan rumah berukuran tinggi 2 meter dan lebar 1 meter, sedangkan jendela yang terpasang di depan rumah berjumlah 4 sampai 6 buah dengan ukuran 60x90 cm. Jendela terletak di samping kiri dan kanan pintu rumah, sedangkan empat buah jendela lainnya terdapat pada samping kiri dan kanan rumah yang ada di masing-masing kamar. Peletakan bukaan pintu jendela dan ventilasi berada dalam satu poros secara berpasangan (berhadaphadapan) dan langsung terhubungkan dengan bagian luar rumah. Hal ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa makhluk halus pola berjalannya adalah lurus ke depan.
37
Bagian Dalam Bagian dalam rumah terdiri dari kamar-kamar dan ruang tengah (pores). Sebagai penghubung kamar dengan ruang tengah terdapat sebuah gang selebar satu meter yang memanjang dari depan ke belakang yang membagi ruangan atas dua bagian yang sama besar. Pada samping kiri dan kanan gang terdapat 1-2 kamar tidur. Ruangan tengah (pores) berfungsi sebagai tempat menerima tamu terutama apabila diadakan upacara-upacara keluarga dan tempat makan para tamu. Bagian Belakang Pada bagian belakang rumah terdapat bangunan dapur yang disebut raramporan (Wenas, 2007) sebagai tempat memasak dan
tempat makan
keluarga. Bangunan untuk dapur ini merupakan bangunan tambahan yang biasanya lebih rendah 25-30 cm dari lantai rumah induk. Terdapat sebuah ruangan kecil lainnya yang tidak berdinding, tetapi pada bagian samping dan belakangnya terdapat sederetan regel yang di atasnya dibuatkan para-para atau dego-dego (balai-balai) yang terbuat dari bambu atau papan. Balai-balai berfungsi untuk meletakkan alat-alat dapur dan alat-alat untuk makan, mencuci sayur, ikan, dan alat-alat yang kotor. Bagi rumah yang memungkinkan dibuat sumur akan terdapat sebuah sumur di belakang dapur dan di sampingnya terdapat ruangan kecil sebagai kamar mandi, sedangkan untuk buang air besar dibangun sebuah bangunan kecil agak jauh ke belakang rumah (Gambar 13). Bagian Atas dan Bawah Rumah Bagian atas rumah disebut loteng (soldor) berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya, serta peralatan rumah tangga, sedangkan bagian bawah rumah berfungsi sebagai gudang (godong) tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat-alat pertanian, gerobak, dan tempat memelihara hewan peliharaan. Pada jaman rumah besar/panjang, kolong ini juga digunakan untuk rapat dan pertemuan. Bagian Luar Peletakkan bangunan berada pada bagian tengah halaman (kintal) sehingga bangunan cenderung dikelilingi oleh RTH (Ruang Terbuka Hijau) di
38
Sumber: http://vinnynazalita.blogspot.com/2010/01/perkembangan-arsitektur-rumah_05.html
Gambar 13. Layout rumah tradisional Minahasa bagian depan, belakang, kiri, dan kanan (Gambar 14). Di halaman ini masyarakat Minahasa menanam berbagai jenis tanaman yang berfungsi untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Dari informasi budaya yang didapat, jenis tanaman di dalam pekarangan Minahasa dapat dibagi menjadi tanaman sayur, tanaman bunga, tanaman buah, tanaman produksi, tanaman yang digunakan dalam upacara adat, dan tanaman rempah. Penyucian bagian luar rumah adalah dengan menanam sejumlah vegetasi tertentu yang dipercaya memiliki
manfaat
metafisis,
baik
untuk
tolak
bala
maupun
mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah.
Sumber: Arsip Perpustakaan Nasional RI
Gambar 14. Denah rumah dan halamannya 1845-1945
untuk
39
Pengaruh Luar terhadap Kebudayaan Minahasa Menurut Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara, masuknya kebudayaan asing di Minahasa sekitar abad ke-16. Pada abad tersebut Bangsa Spanyol menduduki Minahasa. Kekuasaan Spanyol di Minahasa hampir seratus tahun sehingga banyak unsur-unsur kebudayaan mereka yang hingga kini masih terdapat pada penduduk Minahasa, antara lain pada Bahasa Manado banyak terdapat Bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Bersamaan dengan masuknya Bangsa Spanyol di Minahasa, unsur agama katolik yang mula-mula dibawa oleh Peter Diego de Magelhaes ikut menyebar di Minahasa. Kemudian tahun 1675, seorang pendeta Belanda bernama Montanus dari protestan mengadakan penginjilan. Pengaruh kedua agama tersebut terhadap penduduk Minahasa sangat kuat sehingga tampak pada masa sekarang. Hal ini disebabkan kedua agama tersebut bukan saja mengadakan penginjilan di Minahasa, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah dan klinik-klinik, serta rumah sakit bagi penduduk. Dengan masuknya kekuasaan Belanda yang juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, peralatan, dan pengangkutan tampak berpengaruh pada pergaulan hidup orang Minahasa sekarang. Pada pertengahan abad ke-19, agama islam masuk ke Minahasa dan membawa unsur-unsur kebudayaan islam di Minahasa. Menurut Palm dalam Wenas (2007) di dalam karangannya Ancient Art of the Minahasa mengatakan bahwa Minahasa dalam waktu yang relatif singkat dapat mudah menerima kebudayaan luar, terutama dari orang barat. Penduduk Minahasa baik yang berada di kota maupun di desa, pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur kebudayaan asli sebagaimana terlihat pada suku-suku bangsa yang lain di berbagai aktivitas mereka. Adam dalam Syamsidar (1991) menambahkan bahwa perubahan nilai budaya tradisional orang Minahasa sebagai suatu yang luar biasa karena dalam waktu yang relatif singkat (kurang Lebih 150 tahun) orang Minahasa dapat dengan mudah menerima kebudayaan barat. Selain itu, berbagai peristiwa yang terjadi di daerah Minahasa dianggap sebagai suatu sebab berkurangnya nilai tradisional orang Minahasa pada masa kini. Diawali
40
dengan terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1832 yang telah menyebabkan banyak bangunan yang hancur, termasuk bangunan rumah adat. Selanjutnya, pada tahun 1958-1961 terjadi peristiwa bersejarah dimana Minahasa dan daerah sekitarnya mengalami pergolakan yang disebut Permesta. Dalam peristiwa ini banyak rumah tradisional Minahasa yang rusak dan habis terbakar. Saat ini banyak bangunan tradisional yang dibongkar akibat perencanaan kota, seperti pelebaran jalan, pembangunan gedung perkantoran, pertokoan, dan lain sebagainya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya jumlah rumah tradisional yang ada di Minahasa.
41
METODOLOGI Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan di base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 15). Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Mei 2011 sampai dengan Desember 2012.
Peta Jawa Barat*
Peta HPGW
Base camp HPGW
Letak Wisma Woloan 1 dan 2 pada Base camp Sumber: * http://maps.google.co.id/maps
Gambar 15. Lokasi penelitian
42
Metode Penelitian Metode kerja yang digunakan dalam penelitian di rumah tradisional Woloan pada base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah metode deskriptif dengan teknik survei, interview, serta penelusuran studi pustaka mengenai kebudayaan Minahasa. Proses desain yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu kajian budaya, inventarisasi, analisis dan sintesis, serta pembuatan konsep desain (Gambar 16). Tahap I Kajian Budaya
Studi Pustaka
Interview dengan
Inventarisasi pada
Tokoh Budaya
Tapak
Tahap II
Analisis dan
Analisis Spasial Budaya
Sintesis
Tahap III
Konsep Desain Taman Tradisional
Tahap IV
Minahasa
Gambar 16. Tahapan penelitian Kajian Budaya Tahapan ini meliputi kegiatan studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai Minahasa, terutama yang berkaitan dengan kebudayaannya (Tabel 1), sedangkan wawancara dilakukan untuk mendukung dan melengkapi informasi tersebut dengan menemui narasumber yang merupakan orang asli Minahasa dan mengetahui dengan jelas mengenai kebudayaannya (Tabel 2). Informasi pustaka dan wawancara yang berkaitan dengan ruang ditabulasikan dalam bentuk tabel.
43
Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan pada tahap studi pustaka No Jenis Data 1. Lanskap Minahasa
Bentuk Data Deskripsi
Sumber Data Pustaka, jurnal
2.
Arsitektur rumah tradisional Minahasa
Deskripsi, spasial
Pustaka, jurnal
3.
Sejarah rumah tradisional Minahasa
Deskripsi
Pustaka, jurnal
4.
Vegetasi dalam lanskap Minahasa
Deskripsi
Pustaka, jurnal
5.
Kebudayaan Minahasa
Deskripsi
Pustaka, jurnal
6.
Kondisi Minahasa saat ini
Deskripsi
Pustaka
Tabel 2. Daftar narasumber penelitian No 1.
Nama Detty Kawengian
Profesi Staf anjungan Sulawesi Utara
Lokasi Interview TMII
2.
Ritha Sumolang
Kasie promosi dan informasi Sulawesi Utara
Kantor perwakilan Manado di Jakarta
Inventarisasi Inventarisasi merupakan tahapan pengambilan data berupa data primer dan data sekunder, yaitu informasi tapak di lapangan (Tabel 3) serta informasi dari pustaka yang mendukung penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan melalui survei tapak berupa pengamatan dan pengambilan foto atau sketsa. Analisis dan Sintesis Pada tahap analisis, kajian budaya yang menghasilkan ruang yang digunakan untuk kegiatan budaya di-overlay dengan peta analisis tapak. Hasil overlay ini berupa block plan yang terdiri dari ruang-ruang fungsional dan estetik pada taman tradisional masyarakat Minahasa, sedangkan sintesis dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ruang secara budaya terhadap tapak yang ada atau ketidaksesuaian penempatan. Beberapa jenis data seperti data iklim, jenis tanah, sosial, sirkulasi, topografi, vegetasi, serta utilitas akan dianalisis dan dibuat sintesisnya dalam bentuk deskriptif dan spasial, sedangkan data kebudayaan yang akan diaplikasikan pada tapak dianalisis dan disintesis secara tabular.
44
Tabel 3. Jenis, sumber, dan kegunaan data inventarisasi Jenis/ Aspek data Fisik:
Unit Data
Cara Pengambilan
-
Wawancara, pengambilan data
Pengelola HPGW
m2
Pengambilan data
Data HPGW
mdpl %
Survei lapang
Teodolit
C mm/ tahun
Pengambilan data
Kebun Percobaan Sukamulya, Sukabumi
-
Pengambilan data
Data HPGW
Mengembangan struktur dan menentukan kemampuan tumbuh tanaman
Survei lapang dan pengambilan data
Data HPGW
Menentukan desain sirkulasi, fasilitas, dan utilitas
Survei lapang dan pengambilan data
Data HPGW
Menentukan desain sirkulasi
1. Lokasi dan batas a. Lokasi
b.
Luas tapak
2. Topografi Kemiringan lahan 3. Iklim a. Suhu b. Curah hujan
4. Jenis tanah Kesuburan
5. Aksesibilitas
6. Sirkulasi
0
Jalur pencapaian -
Sumber Data
Kegunaan Data Mengetahui kondisi umum lokasi Mengetahui batas tapak Analisis drainase, struktur, dan fasilitas
Menentukan kenyamanan
7. Utilitas
Satuan unit
Survei lapang
-
Menentukan penempatan utilitas dan fasilitas
8. Fasilitas
Satuan unit
Survei lapang
-
Menentukan penempatan dan desain fasilitas
Satuan unit
Survei lapang
-
Menentukan desain penanaman
Jumlah
Wawancara pengelola, pengambilan data Survei Lapang dan wawancara
Biofisik: Vegetasi Sosial: 1. Pengguna Profil HPGW
2. Aktivitas
-
Aspek Legal: Ketentuan dan undang-undang
-
Studi literatur
Data HPGW
Mengetahui daya dukung tapak
-
Mengetahui kebutuhan ruang bagi user
-
Dasar pengembangan kawasan
45
Konsep Desain Pada tahap ini ditentukan konsep yang sesuai untuk diterapkan pada tapak berdasarkan hasil analisis dan sintesis. Penentuan konsep ini juga disesuaikan dengan
pertimbangan
budaya.
Konsep
terdiri
dari
konsep
dasar
dan
pengembangan konsep. Pengembangan konsep terdiri dari konsep ruang, sirkulasi, vegetasi, fasilitas, dan desain. Dari konsep dasar dan pengembangan konsep tersebut dibuat gambar site plan dan perspektif. Site plan digunakan sebagai dasar dalam perancangan dan pengembangan tapak selanjutnya, sedangkan gambar perspektif dibuat sebagai pelengkap ilustrasi desain. Batasan Studi Batasan penelitian ini adalah konsep desain taman area Wisma Woloan 1 dan 2 yang ada di base camp HPGW dengan hasil penelitian berupa site plan dan gambar perspektif.
46
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Base camp HPGW Aksesibilitas dan Sirkulasi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor, sedangkan dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km (Gambar 17). Akses utama menuju HPGW adalah melalui jalan aspal yang terletak di kampung Segog. Jalan ini cukup sempit jika dilalui dengan dua kendaraan yang berjalan berlawanan arah dan memiliki tikungan yang cukup tajam sehingga bus berukuran besar tidak dapat melalui jalan ini. Pengunjung yang datang ke HPGW biasanya membawa kendaraan pribadi atau menggunakan jasa ojek untuk sampai di base camp yang berjarak 2,5 km dari jalan raya Cibadak, Sukabumi. Jalur sirkulasi di dalam base camp HPGW terdiri dari dua jalur, yaitu jalur sirkulasi untuk pejalan kaki dan jalur sirkulasi kendaraan (Gambar 18). Jalur sirkulasi untuk kendaraan merupakan jalan utama yang memiliki lebar 4 m, sedangkan jalur sirkulasi pejalan kaki merupakan jalan pendukung yang memiliki lebar 1,5 m dan digunakan sebagai penghubung antarbangunan pada base camp. Wisma Woloan yang dapat terlihat dari area entrance base camp dapat diakses dengan menggunakan kendaraan dan berjalan kaki karena letak wisma ini berada di sekitar jalan utama base camp.
Gambar 17. Aksessibilitas menuju HPGW melalui Bogor dan Jakarta
Gambar 18. Peta alur sirkulasi pada base camp
47
48
Topografi dan Jenis Tanah Base camp HPGW terletak pada ketinggian 500 mdpl. Topografi bervariasi dari datar hingga curam. Bangunan pada base camp diletakkan dengan memanfaatkan kontur yang ada sehingga pada jalur sirkulasi pejalan kaki dibuat tangga bertrap-trap yang mengikuti kontur. Dengan adanya kontur yang bervariasi ini, area base camp terhindar dari kesan monoton (Gambar 19). Wisma Woloan 1 terletak pada topografi yang lebih rendah dari area entrance sehingga bangunannya dapat terlihat dari area ini, sedangkan Wisma Woloan 2 terletak agak ke dalam dan topografinya lebih tinggi dari Wisma Woloan 1 sehingga untuk mencapainya dibutuhkan sedikit tenaga untuk mendaki. Terdapat tiga jenis tanah pada area HPGW, yaitu jenis tanah podsolik, latosol, dan litosol. Base camp termasuk area yang memiliki jenis tanah latosol, yaitu latosol merah kekuningan. Iklim dan Hidrologi Berdasarkan data yang diperoleh dari Kebun Percobaan Sukamulya (Data tahun 1996-2010), curah hujan rata-rata tahunan wilayah HPGW adalah 2780 mm/th. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 396,4 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 77,73 mm. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan nilai Q = 14,3%-33%. Suhu udara rata-rata adalah 24° C dengan maksimum rata-rata di siang hari 29° C dan minimum rata-rata 19° C di malam hari. Kelembaban ratarata kawasan adalah 81,8%. Berdasarkan klasifikasi ini, HPGW merupakan daerah beriklim tropik basah dengan jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis. HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam kawasan DAS Cimandiri. Sumber air di daerah base camp berasal dari air hujan dan mata air. Air bersih yang berasal dari mata air disalurkan melalui jaringan air bersih pada masing-masing bangunan dan disimpan dalam tangki air. Air hujan yang jatuh dibiarkan meresap ke dalam tanah melalui vegetasi penutup tanah. Sisa air hujan yang tidak terserap oleh tanah dibiarkan mengalir ke dalam saluran drainase.
Gambar 19. Kontur base camp saat ini
49
50
Vegetasi Tegakan
hutan
di
HPGW
didominasi
tanaman
damar
(Agathis
loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla), dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu (Anonim, 2009). Selain itu, terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis dan berbagai macam tanaman buah yang tersebar di dalam base camp (Gambar 20). Fasilitas Bangunan yang terdapat pada area base camp terdiri dari 22 bangunan, yaitu sembilan wisma yang dijadikan penginapan pengunjung dan satu wisma untuk karyawan, mushala, aula dengan kapasitas sampai dengan 600 orang, dapur dan ruang makan, kantor informasi, ruang diesel, ruang diskusi, gudang, pos jaga, galeri, dua ruang kelas, serta bangunan penyimpan getah damar dan pinus. Wisma yang dijadikan penginapan bagi pengunjung HPGW terletak menyebar di dalam base camp. Wisma Jati, Agathis, Puspa, dan Bungur terletak di area bawah. Wisma Pinus, Woloan 1, dan Woloan 2 terletak di area depan, dekat dengan pintu masuk, sedangkan Wisma Rasamala dan Banteng terletak di area menuju hutan. Pada welcome area, bangunan yang pertama dilihat adalah pos jaga dan gudang peralatan. Kantor informasi terletak di tengah-tengah area base camp bersebrangan dengan mushola. Bagi pengunjung yang membawa kendaraan pribadi dapat memarkir kendaraannya di halam parkir yang berada di samping pos jaga. Utilitas Jaringan utilitas yang terdapat pada base camp meliputi jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Jaringan listrik berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan genset. Untuk mengalirkan listrik ke tiap bangunan, terdapat tiang listrik pada sisi kiri dan kanan jalan utama kendaraan di base camp.
Gambar 20. Peta base camp saat ini
51
51
52
Pendistribusian listrik di dalam bangunan dilakukan melalui kabel yang disembunyikan di dalam plafond. Hampir di setiap bangunan pada base camp memiliki tangki air yang menyimpan air bersih. Untuk sistem drainase, hampir seluruh jalan utama dan jalan pendukung tapak memiliki saluran drainase di sampingnya. Lebar drainase ini 20 cm. Air dari sistem drainase dialirkan ke sungai kecil yang berada di area hutan alami pada base camp. Potensi Visual Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki beberapa potensi visual yang dapat mendukung wilayah ini menjadi hutan rekreasi dan edukasi, di antaranya, terdapat panorama bentang alam berhutan lebat dengan udara segar dan iklim mikro yang sejuk, terdapat Gua Cipeureu yang terletak di bagian barat wilayah HPGW, serta terdapat hutan tanaman. Panorama hutan alami ini dapat dinikmati secara langsung pada base camp. Penduduk Sekitar Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian, dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap (Anonim, 2009). Hasil pertanian dari lahan agroforestry adalah singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi gogo, kopi, sereh, dan sebagainya. Pengguna (User) HPGW digunakan sebagai tempat praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan fakultas lain di lingkup IPB, mahasiswa perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti dari Jepang, Korea, Perancis, Jerman, dan Belanda (Tabel 4). Selain itu, HPGW juga menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa program sarjana, pascasarjana, dosen, dan peneliti. Penelitian mencakup aspek silvikultur, perencanaan hutan, hidrologi hutan, sosial kehutanan, ekonomi sumber daya hutan, ekowisata, konservasi sumber daya hutan, dan lainnya.
53
Tabel 4. Data kunjungan HPGW pada tahun 2010 dan 2011 (sampai dengan 18 Juni 2011) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Asal Institusi Pengunjung
Institut Pertanian Bogor Perguruan tinggi lain dalam negeri Perguruan tinggi luar negeri Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Instansi pemerintah Organisasi masyarakat/politik Perusahaan/swasta Perorangan Jumlah
2010 Jumlah (orang)
2011
Hari Kunjungan (hari)
Jumlah (orang)
Hari Kunjungan (hari)
1.646
112
520
125
548
18
230
5
118
18
31
26
855
10
88
68
373
7
97
5
416
39
205
11
1.704
16
8
3
224 32 5.916
7 12 239
56 20 1.255
8 8 259
Sumber: Data HPGW
Aktivitas HPGW Pendidikan Hutan Pendidikan Gunung Walat digunakan sebagai tempat praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan fakultas lain, baik di dalam maupun di luar IPB. Praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB meliputi praktik mata kuliah dan Praktik Umum Pengelolaan Hutan (PUPH). Praktik lapang mencakup praktik mata kuliah yang diselenggarakan 1-2 hari yang diikuti oleh ± 90 mahasiswa dan PUPH yang dilaksanakan pada alih semester 6-7 selama 20 hari yang diikuti oleh ± 200 mahasiswa. Selain itu HPGW juga memfasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan bidang kehutanan, cinta alam, dan lingkungan hidup bagi masyarakat umum. Penelitian Kegiatan
penelitian
dilakukan
oleh
mahasiswa
program
sarjana,
pascasarjana, dosen, dan peneliti. Penelitian mencakup aspek silvikultur, perencanaan hutan, hidrologi hutan, sosial kehutanan, ekonomi sumber daya
54
hutan, ekowisata, konservasi sumber daya hutan, dan lainnya. Kerja sama pengembangan demplot agroforestry dilakukan antara Fakultas Kehutanan IPB dan ACECOF Korea dengan melibatkan masyarakat sekitar HPGW. Wisata Alam Wisata alam dilakukan oleh masyarakat sekitar HPGW, khususnya pada hari libur. Beberapa orang penduduk sekitar memanfaatkan kegiatan ini untuk berjualan makanan dan minuman. Wisata alam ini bernuansa pendidikan lingkungan dengan belajar mengekplorasi kekayan sumber daya hutan tropis dan mengetahui manfaat serta cara pemanfaatannya.
Taman Wisma Woloan 1 dan 2 Tapak yang akan didesain dalam penelitian ini adalah salah satu taman wisma yang ada di base camp HPGW, yaitu Wisma Woloan. Wisma ini berupa rumah tradisional suku Minahasa, Sulawesi Utara. Seperti rumah tradisional pada umumnya, arsitektur bangunan wisma ini berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu yang bersifat tahan lama, anti rayap, dan tahan gempa. Terdapat dua Wisma Woloan pada area base camp, Wisma Woloan 1 dan 2. Wisma Woloan 1 dapat terlihat ketika pengunjung memasuki area entrance base camp. Sebelah utara Wisma Woloan 1 adalah hutan alami, sebelah selatan dan timur adalah jalan aspal, dan sebelah barat adalah Pintu II base camp (Gambar 21). Wisma Woloan 1 berdiri di atas kolam air sehingga untuk mengaksesnya terdapat jembatan kayu di depan wisma. Luas keseluruhan area wisma ini ± 971 m2. Vegetasi yang terdapat di sekitar Wisma Woloan 1 adalah cempaka (Michelia champaca), puspa (Schima wallichii), dan teratai (Nymphaea lotus). Wisma Woloan 2 berbatasan dengan pondok kerja karyawan. Sebelah utara berbatasan dengan hutan alami, sebelah selatan berbatasan dengan jalan aspal,
Gambar 21. Peta Inventarisasi Tapak
55
56
sebelah timur berbatasan dengan pintu II base camp, dan sebelah barat berbatasan dengan pondok kerja karyawan. Berbeda dengan Wisma Woloan 1, Woloan 2 berdiri di atas lahan datar. Untuk sampai ke lantai rumah, pengunjung harus menaiki tangga yang ada di samping kiri rumah. Luas keseluruhan area wisma ini ±765 m2. Vegetasi yang terdapat di sekitar Wisma Woloan 2 adalah matoa (Pometia pinnata), hanjuang (Cordyline sp), sambang dara (Iresine herbstii), dan pisang (Musa sp). Ukuran bangunan Wisma Woloan adalah 112 m2. Bentuk rumah berupa rumah panggung yang berdiri di atas tiang-tiang beton yang berjumlah 15 tiang dengan ketinggian ±1,5 m. Fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah 2 kamar yang masing-masingnya untuk 2 orang, sebuah kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Jendela sebagai ventilasi udara terletak di setiap ruangan rumah. Di bagian depan wisma terdapat teras untuk duduk-duduk dan menikmati pemandangan (Gambar 22).
Gambar 22. Kondisi Wisma Woloan saat ini
57
Analisis dan Sintesis Tapak Aspek Fisik Wisma Woloan 1 dan 2 yang menjadi objek dalam penelitian ini terletak di base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) sehingga aspek fisik yang akan dianalisis berhubungan dengan data fisik base camp (Gambar 23). Jenis tanah yang terdapat pada area base camp HPGW adalah latosol merah kekuningan. Menurut Sistem Pusat Penelitian Tanah (1982) dalam Hardjowigeno (2003), jenis tanah latosol memiliki karakteristik, di antaranya kadar liat lebih dari 60%, remah sampai gumpal, bersifat gembur, memiliki warna tanah seragam dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 1,5 m), dan kejenuhan basa kurang dari 50%. Dilihat dari sifat tanahnya, daerah base camp termasuk daerah yang subur sehingga memudahkan dalam memilih jenis tanamannya. Untuk mengetahui nilai kenyamanan pada area base camp, maka dilakukan perhitungan THI (Temperature Humidity Index), yang rumusnya THI = 0,8 T + (rH x T/500). Dengan suhu udara rata-rata 24° C dan kelembaban rata-rata 81,8%, didapat nilai THI sebesar 23,13. Menurut Laurie (1984), iklim yang nyaman di daerah tropis memiliki nilai THI < 27. Dengan nilai THI 23,13, base camp HPGW termasuk nyaman. Curah hujan rata-rata bulanan pada area HPGW adalah 231,70 mm dengan 9 bulan basah (CH>100 mm/bln) dan 3 bulan lembab (60≤ CH ≥100). Banyaknya bulan basah dan bulan lembab pada tapak memberikan pengaruh pada tapak. Curah hujan yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi tanaman dan air tanah, tetapi dapat juga menyebabkan ketidaknyamanan pada tapak, seperti tapak menjadi lembab. Wisma Woloan 1 yang teletak di daerah cekungan mudah terlihat dari area masuk base camp. Hal ini dapat mengurangi privasi bagi tamu yang menginap di dalam wisma. Oleh karena itu, dibutuhkan vegetasi screen untuk membatasi pandangan. Demikian pula pada Wisma Woloan 2, diperlukan vegetasi screen untuk membatasi pandangan dari dan ke arah pondok karyawan. Terdapat ruang genset di belakang Wisma Woloan 1 yang menimbulkan noise sehingga perlu penanaman vegetasi peredam suara di area belakang wisma agar noise ini tidak
Gambar 23. Peta analisis dan sintesis tapak
58
59
mengganggu kenyamanan penghuni. Lahan kosong yang ada di sekitar Wisma Woloan 2 berpotensi digunakan sebagai lahan untuk ditanami tanaman yang berkaitan dengan budaya Minahasa. Aspek Budaya Suku Minahasa sebagai salah satu suku di Indonesia memiliki kebudayaan yang unik dan berbeda dengan suku lainnya. Keunikan ini berupa delapan jenis bahasa yang tersebar di wilayah Minahasa serta batu kubur waruga yang merupakan peninggalan sejarah. Dari informasi budaya yang didapatkan, diketahui bahwa pembagian ruang di dalam maupun di luar rumah dipengaruhi oleh adat istiadat, kegiatan keseharian masyarakat, serta kepercayaan dan ilmu pengetahuan. 1. Upacara Adat Terdapat berbagai jenis upacara yang mengisi setiap tahapan di dalam lingkaran hidup masyarakat Minahasa, mulai dari masyarakat tersebut lahir sampai meninggal. Upacara pada umumnya diselenggarakan di salah satu bagian rumah, yaitu teras dan halaman depan rumah. Dari informasi budaya yang didapatkan diketahui bahwa jenis upacara yang dilaksanakan masyarakat Minahasa sebelum dan setelah abad ke-19 umumnya berubah walaupun terdapat satu jenis upacara yang masih dilakukan, seperti Upacara Iroyor Si Oki (Tabel 5). Tabel 5. Perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke-19 No.
1
2
Jenis Upacara
Kegiatan Sebelum Abad Setelah Abad ke-19 ke-19 Upacara Iroyor Si Upacara Iroyor Oki Si Oki
Di halaman depan dan teras rumah
Upacara Makehet
-
Di kebun terdapat pohon aren dan di rumah
Upacara untuk anak perempuan
-
Terdapat jalan setapak menuju kebun
Mengantarkan mahar (9 buah pinang dan 9 daun sirih)
-
Terdapat pohon pinang dan sirih dalam lanskap Minahasa
Upacara Kelahiran
Upacara Pernikahan
Informasi Terkait Ruang
60
Tabel 5. Lanjutan perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke19 No.
3
4
5.
Jenis Upacara
Kegiatan Sebelum Abad Sebelum Abad ke-19 ke-19 Mempelai pria dan wanita memegang daun tawaang (hanjuang) -
Terdapat sirkulasi di sekitar rumah
Pemakaman dengan waruga
-
Ditempatkan di sebelah kanan halaman belakang rumah
Upacara ngolongan
-
Di halaman rumah
Membuat sabua (bangunan tambahan)
Terdapat ruang di sekitar rumah untuk bangunan tambahan ini
-
Upacara Pungutan
Di rumah
-
Upacara Kaipian
Di rumah
-
Upacara Naik Rumah Baru
Di rumah
Upacara Lainnya
Kegiatan Lainnya
Terdapat pohon hanjuang dalam lanskap Minahasa
Berkeliling rumah 3x
Upacara Kematian
Informasi Terkait Ruang
Permainan tekateki
-
Di teras dan halaman depan rumah
2. Kegiatan Keseharian Masyarakat Halaman
rumah
masyarakat
Minahasa
sangat
berperan
dalam
mendukung berbagai kegiatan keseharian masyarakatnya. Halaman depan berfungsi sebagai area entrance. Dalam ruang ini terdapat vegetasi estetik berupa vegetasi bunga yang dapat memberikan fungsi keindahan dan sebagai daya tarik bagi tamu yang akan berkunjung ke rumah. Halaman belakang yang letaknya tersembunyi dan tidak terlihat dari depan digunakan sebagai tempat bangunan tambahan berupa dapur, kamar mandi, WC, dan sumur. Halaman samping rumah berfungsi sebagai area untuk ditanami berbagai jenis tanaman konsumsi, seperti buah dan sayur. Pada umumnya, tanaman sayur ini ditanam
61
dalam bedeng-bedeng tanaman. Rumput kusu-kusu yang sering terlihat dalam lanskap Minahasa merupakan alang-alang (Graminae arundinaceae) yang berfungsi sebagai tanaman obat (Tabel 6). Tabel 6. Informasi budaya dan ruang yang diperlukannya No
Informasi budaya
Ruang yang diperlukan
Sumber Informasi 1
1.
Rapat dan pertemuan
Di bawah pohon besar, di tempat terbuka, dan di kolong rumah pangung
2.
Pagar tanaman yang lebar dengan lonceng-lonceng biru di tengahnya, petak-petak kebun bunga di belakang pagar tanaman, dan di tepi jalan ada pagar hidup yang terdiri dari mawar, bunga lonceng, bunga burong, dan beluntas/ ballacai.
Di halaman depan rumah
2
3.
Setiap rumah dipisahkan oleh halaman dan dikelilingi bermacam-macam pohon buah
Di sekitar halaman rumah
2
4.
Tanah dibagi menjadi halamanhalaman dan di tengahnya berdiri sebuah rumah
Bagian luar rumah
2
5.
Tanaman di halaman terdiri dari pohon buah-buahan seperti pisang, berbagai macam jeruk, pinang, serta kopi dan kapas
Di sekitar halaman rumah
2
6.
Di halaman terdapat kebun kecil yang ditanam buncis, seledri, bawang, kayu manis, dan berbagai macam pohon
Halaman belakang rumah
2
7.
Bedeng-bedeng bunga diselingi bermacam-macam rumput khusus
Halaman depan rumah
2
8.
Terdapat rumah panggung kecil setinggi rumah utama yang berfungsi sebagai dapur (bangunan ini kadang kala tidak di atas panggung)
Di belakang rumah
2
9.
Waruga pada asalnya ditempatkan di belakang rumah
Di sebelah kanan halaman belakang rumah
2
62
Tabel 6. Lanjutan informasi budaya dan ruang yang diperlukannya No
Informasi budaya
Ruang yang diperlukan
10.
Halaman ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan terutama jeruk, jambu, manggis, berbagai jenis mangga, dan langsat.
Di sekitar halaman rumah
Sumber Informasi 2
11.
Rumput kusu-kusu tumbuh di sekitar daerah Minahasa
Di sekitar halaman rumah
2
12.
Terdapat sebuah sumur di belakang dapur dan di sampingnya terdapat kamar mandi, sedangkan WC dibangun pada sebuah bangunan kecil agak jauh ke belakang rumah
Di belakang rumah
3
13.
Jarak rumah yang satu dengan lainnya rata-rata 15 meter karena itu penduduk masih dapat menanam buah-buahan, rempahrempah, dan sayur-sayuran, bunga-bungaan di dalam halamannya
Bagian luar rumah
4
*Sumber: 1. Wenas (2007) 2. Graafland (1869) 3. Syamsidar (1991) 4. Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara (1977/1978)
5. Kepercayaan dan Ilmu Pengetahuan Kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistis berupa roh jahat mempengaruhi peletakan elemen rumah tinggalnya, seperti penempatan jendela dan pintu yang harus terletak dalam satu poros, serta penempatan dua buah tangga di depan rumah. Untuk mencegah roh jahat masuk ke dalam rumah, ditanam berbagai jenis tanaman yang dianggap memiliki nilai metafisis tertentu. Salah satu jenis tanaman ini berupa tanaman tawa’ang (Hanjuang) yang dapat menandakan batas tanah seseorang. Selain dari kepercayaan, pengetahuan masyarakat mengenai jenis tanaman yang berkhasiat untuk pengobatan juga mempengaruhi peletakan tanaman di sekitar halaman rumah, seperti tanaman kolano (Jarak pagar) dan goraka (Jahe). Untuk memenuhi
63
kebutuhan sehari-hari, masyarakat menanam tanaman sayur dan buah di halaman rumahnya (Tabel 7). Tabel 7. Jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional Minahasa No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Tinggi Tanaman
Jenis Vegetasi
<0,4 m
GC
Fungsi dalam Lanskap Pemukiman Minahasa Bedeng sayur
1.
Allium cepa
Bawang merah
2.
Allium tuberosum
Kucai
0,3-0,5 m
GC
3. 4.
Apium graveolens Areca catechu
Seledri Pinang
0,25-1 m 10-30 m
GC PT
5. 6.
Arenga pinnata Bromelia annanas Canna sp.
Aren Nanas
25 m <0,5 m
PT GC
Bunga tasbih, kana Pepaya Kayu manis
0,5-1 m
SR
<10 m 5-15 m
PS PS
Jeruk Limau
<2 m
PR
Jeruk Kembang telang Kopi Tawa’ang (hanjuang) daun hijau Tawa’ang (hanjuang) daun merah Temulawak
3,5-4 m 0,4-0,5 m
PR GC
4-6 m 2-4 m
PR PT
Tanaman buah Tanaman untuk bedeng bunga Tanaman produksi Tanaman pagar
2-4 m
PT
Tanaman upacara
1-2 m
SS
Tanaman obat
Dadap
15-22 m
PT
Manggis
15-20 m
PT
2-3 m
ST
Alang-alang
0,3-1,8 m
SR
Tanaman produksi Tanaman obat
Pisang hias
<2m
PR
Tanaman hias
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Carica papaya Cinnamomum burmani Citrus aurantifolia Citrus sp. Citoria ternatea
13. 14.
Coffea arabica Cordyline fruticosa
15.
Cordyline terminalis
16.
Curcuma xanthorrhiza Erythrina lithosperma
17.
18. 19. 20. 21.
Garcinia mangostana Gossypium hirsutum Graminae arundinaceae Heliconia sp.
Kapas
Bedeng sayur,tanaman obat Bedeng sayur Tanaman dalam upacara adat, tanaman buah Tanaman produksi Tanaman buah Tanaman untuk bedeng bunga Tanaman buah Tanaman rempah, tanaman produksi Tanaman obat
Tanaman pelindung tanaman kopi Tanaman buah
64
Tabel 7. Lanjutan jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional Minahasa No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Tinggi Tanaman
Jenis Vegetasi
22.
Jatropha curcas
1,5-5 m
PR
23. 24.
Lactuca sativa Lansium domesticum Livistonia rotundifolia Mangifera indica Metroxylon sagu
Ballacai, jarak pagar Selada Langsat
<0,5 m < 30 m
GC PT
Fungsi dalam Lanskap Pemukiman Minahasa Tanaman pagar, tanaman obat Tanaman sayur Tanaman buah
Woka, Palem Sadeng Mangga Sagu
>15 m
PT
Tanaman upacara
<10 m 10-15 m
PS PS
2-3 m 20 m
PR PT
2,5-4 m
ST
< 2m
TA SS
Tanaman buah Tanaman produksi Tanaman buah Tanaman rempahrempah Tanaman produksi, tanaman upacara adat Tanaman hias Tanaman sayur
-
M
3,5 m 15 m 2-3 m
ST PT ST
10-20 m
PT
25. 26. 27. 28. 29.
Musa sp. Myristica fragrans Nicotiana tabacum
Pisang Pala
Teratai Buncis
33.
Nymphaea lotus Phaseolus vulgaris Piper betle
34. 35. 36.
Pisum sativum Psidium guajava Rosa sp
Kacang kapri Jambu Bunga Mawar
37.
Syzygium aromaticum
Cengkih
38.
Theobroma cacao
Coklat
3-4 m
PR
39.
Uncaria gambir
Gambir
1-3 m
ST
40.
Zingiber officinale
Jahe
< 1m
GC
30.
31. 32.
Keterangan: BS: Bedeng Sayur TR: Tanaman Rempah-rempah TP: Tanaman Produksi TB: Tanaman Buah
Tembakau
Sirih
TU: Tanaman Upacara Tpe:Tanman Pelindung TPg:Tanaman Pagar
Tanaman obat, tanaman upacara Tanaman sayur Tanaman buah Tanaman untuk bedeng bunga Tanaman rempahrempah, tanaman produksi Tanaman produksi Tanaman obat, tanaman dalam upacara adat Tanaman obat
BB: Bedeng Bunga TO: Tanaman Obat
Berdasarkan ketinggiannya, tanaman dapat dibagi menjadi tanaman penutup tanah, semak, perdu, dan pohon. Tanaman yang memiliki ketinggian
65
kurang dari 0,5 m dikategorikan sebagai tanaman penutup tanah (ground cover), sedangkan tanaman dengan ketinggian 0,5-1 m dikategorikan sebagai semak rendah. Semak sedang mempunyai ketinggian 1-2 m, semak tinggi 2-3 m, perdu rendah ≤ 2 m, dan perdu tinggi ≥ 2 m. Pohon yang memiliki ukuran ketinggian paling besar dibagi menjadi pohon rendah dengan tinggi ≤ 6 m, pohon sedang 6-15 m, dan pohon tinggi ≥ 15 m (Lestari dan Kencana, 2008). Dari Tabel 7 diketahui bahwa tanaman yang ditanam oleh masyarakat Minahasa di dalam taman rumahnya mempunyai nilai estetik dan fungsional. Tanaman estetik ini berupa tanaman bunga yang ditempatkan di taman depan rumah, sedangkan tanaman yang bernilai fungsional berupa tanaman konsumsi, seperti tanaman buah dan sayur, serta tanaman sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat, seperti tanaman produksi dan tanaman rempahrempah.
Konsep Konsep dalam penelitian ini dibagi menjadi konsep umum dan aplikasi konsep. Konsep umum merupakan konsep yang didapatkan dari informasi budaya Minahasa, sedangkan aplikasi konsep merupakan konsep yang akan diterapkan dalam mendesain Wisma Woloan. Dalam pengembangannya, aplikasi konsep ini dibagi menjadi konsep ruang, vegetasi, sirkulasi, dan fasilitas. Konsep Umum Dari informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruang, jenis vegetasi yang terdapat dalam taman tradisional Minahasa, dan penempatan elemen-elemen pada taman tersebut, dalam mendesain taman rumah tinggal masyarakat Minahasa sebaiknya mengacu pada konsep berikut: 1. Penanaman vegetasi sayur, bunga, dan tanaman obat ditanam dalam bentuk bedeng-bedeng tanaman. 2. Peletakkan dapur, kamar mandi, dan WC tidak menyatu dengan rumah melainkan berada di halaman belakang rumah (Gambar 24). 3. Waruga yang berfungsi sebagai batu kubur masyarakat Minahasa terletak di halaman samping kanan belakang rumah.
66
4. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya berupa kebun yang ditanami tanaman produksi. 5. Sirkulasi penghubung antara halaman rumah dan kebun berupa jalan setapak. 6. Vegetasi bunga terletak di halaman depan rumah sehingga terlihat dari sisi jalan. 7. Pagar bambu digunakan untuk membatasi rumah dan halaman depannya dengan area luar. 8. Tanaman hanjuang hijau (Cordyline fruticosa) digunakan sebagai pembatas tanah.
Gambar 24. Block plan Taman Tradisional Minahasa Konsep Dasar Konsep dasar yang akan diterapkan dalam mendesain Wisma Woloan adalah taman yang memunculkan karakter taman tradisional Minahasa melalui penerapan informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruangnya. Dengan pembagian ruang ini diharapkan taman yang didesain pada Wisma Woloan 1
67
dan 2 dapat memberikan gambaran bagi pengunjung mengenai taman rumah tradisional Minahasa. Konsep Ruang Berdasarkan fungsinya, pembagian ruang di dalam rumah dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu living quarter dan work/storage area (Booth, 1983). Living quarter yang merupakan area tempat tinggal dapat dibagi lagi menjadi ruang publik dan privat. Ruang publik di dalam rumah berupa ruang makan, ruang tamu, dan ruang keluarga. Dilihat dari peruntukannya, ruang publik ini bersifat umum yang dapat diakses baik oleh penghuni rumah maupun tamu yang datang, sedangkan ruang privat berupa kamar tidur dan kamar mandi lebih bersifat pribadi sehingga tidak dapat dengan mudah diakses oleh orang luar. Work/storage area sebagai ruang pendukung terdiri dari dapur dan gudang. Ruang ini sifatnya tambahan yang mengakomodasi kegiatan pelayanan (servis). Dengan menggunakan pendekatan pembagian ruang tersebut, ruang di dalam lanskap halaman Minahasa dibagi menjadi ruang publik, semi publik, privat, dan servis (Tabel 8). 1. Ruang Publik Ruang publik yang bersifat umum terletak di bagian depan wisma agar mudah terlihat dan dapat dengan mudah diakses. Menurut Ingels (2004), ruang publik pada lanskap taman rumah memiliki tiga fungsi, yaitu 1) meletakkan rumah pada latar yang menarik dengan meningkatkan nilai arsitektur rumah, 2) sebagai penanda pintu masuk dengan desain yang mengarahkan tamu menuju pintu masuk tersebut, serta 3) sebagai akses tamu menuju rumah. Ruang publik dalam desain ini berupa halaman depan rumah yang dapat diakses oleh semua orang yang mengunjungi base camp. Ruang publik ini berfungsi sebagai area entrance wisma (Gambar 25). Selain itu, terdapat pagar bambu pada area ini sebagai batas antara area wisma dengan area luarnya. 2. Ruang Privat Dibandingkan dengan ruang lainnya, ruang ini paling bersifat tertutup sehingga sulit diakses. Pada desain ini, seluruh ruangan yang ada di dalam
68
rumah termasuk ruang privat yang hanya dapat diakses oleh penghuni yang menginap di wisma tersebut. 3. Ruang Servis Ruang servis mengakomodasi kegiatan pelayanan, seperti memasak, mengambil air, dan mandi. Ruang ini terletak di belakang rumah dengan fasilitas yang ada di dalamnya berupa dapur, kamar mandi, WC, dan sumur. 4. Ruang Semi Publik Ruang semi publik pada tapak berfungsi untuk mengakomodasi kegiatan yang sifatnya setengah umum. Ruang ini tidak dengan mudah diakses oleh semua orang sehingga orang luar dapat mengakses ruang ini apabila mendapatkan ijin dari penghuni rumah. Jika dibandingkan dengan ruang publik, ruang ini bersifat setengah terbuka sehingga masih ada privasi bagi penggunanya. Replika waruga yang digunakan sebagai batu kubur masyarakat Minahasa dihadirkan dalam ruang ini sebagai gambaran budaya nenek moyang masyarakat Minahasa yang meletakkan waruga di samping kanan halaman belakang rumah. Tabel 8. Pembagian ruang, aktivitas, dan fasilitas pada Wisma Woloan No. Ruang 1. Ruang Publik 2.
Ruang Semi Publik
Aktivitas Melihat wisma
Fasilitas Vegetasi estetik
a. Memanen tanaman sayur, buah, dan obat
a. Bedeng tanaman sayur dan obat, pohon buah b. Teras rumah
b. Menyambut tamu dan berdiskusi c. Melihat waruga
c. Waruga
3.
Ruang Privat
a. Istirahat b. Menikmati pemandangan c. Duduk-duduk d. Bercengkrama
Wisma
4.
Ruang Servis
a. Memasak b. Mandi c. Mengambil air
a. Dapur b. Kamar mandi,WC c. Sumur
69
Gambar 25. Konsep ruang pada Wisma Woloan
Konsep Vegetasi Berdasarkan informasi mengenai jenis vegetasi di halaman rumah masyarakat Minahasa yang bersifat fungsional dan estetik, konsep vegetasi yang akan diterapkan pada Wisma Woloan 1 dan 2 adalah mengikuti kedua fungsi tersebut, yaitu vegetasi yang memberikan daya tarik bagi pengunjung dengan penanaman vegetasi estetik di depan wisma serta vegetasi yang memberikan manfaat baik bagi pengunjung maupun pengelola HPGW dengan penanaman vegetasi buah, sayur, obat, rempah-rempah, dan vegetasi perkebunan. Untuk mengenalkan pengunjung base camp HPGW terhadap taman rumah tradisional masyarakat Minahasa, jenis vegetasi yang diterapkan adalah vegetasi yang ada di sekitar halaman rumah masyarakat Minahasa yang telah diuraikan sebelumnya sehingga pada konsep vegetasi ini ditambahkan vegetasi upacara adat (Tabel 9). Selain jenis vegetasi tersebut, terdapat vegetasi pembatas tanah, yaitu hanjuang merah (Cordyline terminalis) dan vegetasi produksi. Vegetasi produksi ditanam di area kebun. Kebun ini umumnya terletak di lahan kosong yang memisahkan antara rumah yang satu dengan rumah lainnya. Dalam area ini vegetasi yang ditanam berupa kopi (Coffea arabica), kapas (Gossypium hirsutum), sagu (Metroxylon sagu), aren (Arenga pinnata), dadap (Erythrina lithosperma), kakao (Theobroma cacao), serta vegetasi rempah-rempah seperti
70
kayu manis (Cinnamomum burmani), pala (Myristica fragrans), dan cengkih (Syzygium aromaticum). Tabel 9. Pembagian fungsi vegetasi berdasarkan ruang yang ada No
Ruang
Fungsi Vegetasi
Jenis vegetasi yang diaplikasikan
1.
Publik
Vegetasi estetik
Bunga mawar (Rosa sp), lonceng (Clitoria ternatea), bunga tasbih (Canna sp), pisangpisangan (Heliconia sp), dan teratai (Nymphaea lotus).
2.
Semi Publik
a. Vegetasi sayur
Bawang merah (Allium cepa), seledri (Apium graveolens), selada (Lactuca sativa), buncis (Phaseolus vulgaris), dan kacang kapri (Pisum sativum).
b. Vegetasi obat
Kucai (Allium tuberosum), ballacai (Jatropha curcas), gambir (Uncaria gambir), alangalang (Graminae arundinaceae), dan jahe (Zingiber officinale).
c. Vegetasi buah
Pepaya (Carica papaya), jeruk (Citrus sp), manggis (Garcinia mangostana), langsat (Lansium Domesticum), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa sp), nanas (Bromelia annanas), dan jambu (Psidium guajava).
d. Vegetasi upacara adat
Pinang (Areca catechu), jeruk limau (Citrus aurantifolia), tawa’ang daun merah (Cordyline terminalis), woka (Livistonia rotundifolia), tembakau (Nicotiana tabacum), dan sirih (Piper betle).
3. 4.
Privat Servis
-
Konsep Sirkulasi Berdasarkan karakter pergerakannya, pola sirkulasi di dalam rumah tradisional Minahasa bersifat direct movement (Motloch, 1991). Sirkulasi ini berupa gang yang menghubungkan pintu depan dengan pintu belakang rumah. Berdasarkan informasi budaya ini, konsep sirkulasi pada taman mengikuti pola sirkulasi tersebut dengan pergerakan pengunjung diarahkan pada objek tertentu. Pada pengembangannya, sirkulasi ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu sirkulasi utama dan sirkulasi pendukung. Sirkulasi utama terletak di depan Wisma Woloan dan menghubungkan wisma dengan area luarnya, sedangkan sirkulasi pendukung
71
terletak di sekitar area wisma yang menghubungkan fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya (Gambar 26).
Keterangan Sirkulasi Utama Sirkulasi Pendukung
Gambar 26. Konsep sirkulasi Wisma Woloan
Konsep Fasilitas Konsep fasilitas yang akan diterapkan dalam mendesain taman Wisma Woloan selain diperuntukkan sebagai fasilitas penunjang wisma juga sebagai sarana pendidikan budaya bagi pengunjung. Oleh karena itu, desain fasilitas ini semaksimal mungkin mempertahankan bentuk aslinya yang ada pada rumah tradisional Minahasa. Fasilitas yang terdapat di sekitar rumah adalah dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga yang ada di samping kanan halaman belakang rumah.
Desain Wisma Woloan di Basecamp HPGW Untuk mendukung fungsi pendidikan budaya pada base camp, selain kondisi fisik tapak yang dipertimbangkan dalam desain juga informasi budaya yang membentuk karakter dari arsitektur tradisional rumah Minahasa ini. Pada bagian depan kedua Wisma Woloan terdapat pagar bambu yang di belakangnya ditanami berbagai jenis bunga yang berfungsi sebagai penyemarak welcome area dan menjadi unsur estetik dalam taman. Vegetasi sayuran dan tanaman obat yang ada di samping rumah ditanam dalam bedeng-bedeng agar terlihat rapi dan
72
memunculkan cerita perjalanan Graafland pada tahun 1869, yang pada saat itu di sekitar rumah masyarakat terdapat bedeng-bedeng tanaman (Gambar 27). Selain fungsi tersebut, penempatan tanaman dalam bedeng juga dapat mengontrol pertumbuhan tanaman, seperti tanaman Alang-alang (Graminae arundinaceae) yang sebaiknya dibatasi pertumbuhannya. Pada bagian belakang rumah terdapat dapur, kamar mandi, WC, dan sumur. Bangunan dapur berupa bangunan semi permanen yang terbuat dari bambu, sedangkan untuk kamar mandi dan WC berupa bangunan permanen yang ditembok. Ketiga bangunan tersebut beratapkan rumbia. Selain itu, terdapat replika waruga di samping kanan belakang rumah sebagai penambah unsur budaya di dalam tapak. Wisma Woloan 1 terletak di atas kolam air (Gambar 28). Hal ini tidak sesuai dengan konsep rumah tradisional Minahasa yang terletak di atas tanah sehingga pengaplikasian konsep desain pada Wisma Woloan 1 berbeda dengan Wisma Woloan 2 (Gambar 29). Tata letak elemen tanaman pada Wisma Woloan 1 terinspirasi dari salah satu lagu tradisional Minahasa (Zazanian ni Karema) yang sering dinyanyikan dalam upacara adat. Lagu tersebut menceritakan mengenai asal usul masyarakat Minahasa (Lampiran 1). Dalam lagu disebutkan bahwa Dewi Karema melihat beberapa tanaman yang ada di Minahasa berdasarkan letaknya, yaitu a. Tenggara: pohon aren (Arenga pinnata), b. Timur Laut: pohon assa/ alang-alang (Graminae arundinaceae), pohon tu’is (Bromelia ananas), dan la’ikit (Heliconiopsis amboinensis), c. Barat Laut: temulawak (Curcuma xanthorrhiza), sirih (Piper betle) dan tewasen/ pohon sagu (Metroxylon sagu), serta d. Barat Daya: pohon woka (Livistonia rotundifolia) dan tambelang (Bambusa celebensis). Dilihat dari jenis vegetasi yang ada pada lagu tersebut, penempatan vegetasi berdasarkan lagu ini dapat diterapkan karena sudah sesuai dengan konsep vegetasi yaitu vegetasi yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat Minahasa, seperti pohon tu’is yang merupakan tanaman buah, pohon aren dan sagu yang merupakan tanaman produksi, alang-alang dan temulawak yang merupakan vegetasi obat,
Gambar 27. Site plan
73
Gambar 28. Blow up Wisma Woloan 1
74
Gambar 29. Blow up Wisma Woloan 2
75
76
serta pohon la’ikit, sirih, dan woka yang merupakan vegetasi upacara. Untuk menjaga privasi dari pengunjung yang menginap di wisma ini, ditempatkan pohon pisang (Musa sp) pada Wisma Woloan 2 dan hanjuang hijau (Cordyline fruticosa) pada Wisma Woloan 1 sebagai screen. Dari sisi budaya, hanjuang hijau juga digunakan sebagai pembatas halaman kedua wisma ini. Noise yang berasal dari ruang genset di belakang Wisma Woloan 1 diredam dengan penanaman vegetasi yang mempunyai tajuk yang cukup rapat (Gambar 30), seperti jarak pagar (Jatropha curcas). Untuk menambah nilai estetik pada Wisma Woloan 1, terdapat teratai (Nymphaea lotus) yang berada di atas air. Jalur sirkulasi berupa pola yang mengelilingi rumah menggambarkan prosesi yang ada pada upacara adat kematian, yaitu ketika salah seorang penghuni rumah meninggal dilakukan putaran tiga kali keliling rumah (Gambar 31). Jalur ini berupa gravel untuk mengurangi penutup lahan. Selain itu, terdapat jalan setapak menuju kebun yang berasal dari informasi mengenai upacara anak perempuan yang sudah berumur 1 tahun. Pada upacara tersebut anak ini membawa beberapa potong kayu dan daun pada bahunya lalu dibawa ke ujung jalan setapak yang menuju kebun.
77
Keyplan A
A’
B
B’
A-A’
B-B’
Gambar 30. Tampak potongan Wisma Woloan
78
Gambar 31. Perspektif Wisma Woloan
79
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sarana pendidikan budaya melalui keberadaan rumah tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan 1 dan 2. Sebagai sarana pendidikan budaya, wisma harus didukung dengan taman yang dapat memperkuat karakter arsitektur Minahasa. Pembagian ruang baik di dalam maupun di luar rumah tradisional Minahasa dipengaruhi oleh adat istiadat, kegiatan keseharian masyarakat, kepercayaan, dan ilmu pengetahuan. Informasi pembagian ruang ini menghasilkan konsep umum sebagai dasar dalam mendesain kedua wisma tersebut. Konsep umum yang dihasilkan berupa pembagian halaman rumah, yaitu halaman depan sebagai area publik, halaman samping sebagai area semi publik, halaman belakang sebagai area servis, dan bangunan rumah tradisional sebagai area privat. Elemen-elemen yang terdapat di taman rumah tradisional Minahasa terdiri dari bedeng tanaman, pagar bambu, dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga, sedangkan jenis vegetasinya adalah vegetasi upacara, produksi, obat, dan estetik. Desain taman Wisma Woloan 1 dan 2 mengaplikasikan konsep umum dan elemen-elemen taman tersebut. Bagian depan taman Wisma Woloan 2 merupakan area publik yang terdiri dari pagar bambu dan bedeng tanaman bunga, halaman samping merupakan area semi publik yang ditanami pohon buah, bedeng sayur, dan tanaman obat, serta halaman belakang rumah yang merupakan area servis terdiri dari bangunan dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga. Taman Wisma Woloan 1 yang terletak di atas air, pembagian ruang dan penempatan elemen taman pada wisma ini berbeda, yaitu kolam air sebagai area publik dan letak jalur sirkulasi di sekitar rumah yang dipisahkan oleh kolam tersebut. Tata letak elemen tanaman pada taman ini berdasarkan peletakan tanaman dalam salah satu lagu tradisional Minahasa, “Zazanian Ni Karema”. Dalam lagu tersebut vegetasi ditempatkan berdasarkan arah mata angin, yaitu pohon aren (Arenga pinnata) di tenggara; pohon alang-alang (Graminae arundinaceae), pohon tu’is (Bromelia ananas), dan la’ikit (Heliconiopsis amboinensis) di timur laut;
80
temulawak (Curcuma xanthorrhiza), sirih (Piper betle), dan pohon sagu (Metroxylon sagu) di barat laut; serta pohon woka (Livistonia rotundifolia) dan tambelang (Bambusa celebensis) di barat daya. Pengaplikasian konsep desain dan elemen-elemen yang terdapat di dalam taman tradisional Minahasa pada Wisma Woloan 1 dan 2 dapat menjadi sarana pendidikan budaya bagi pengunjung HPGW.
Saran Beberapa saran yang diusulkan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat umum dan pengelola HPGW sebagai berikut. 1. Konsep desain taman rumah tradisional Minahasa ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendesain taman yang memiliki arsitektur bangunan Minahasa dengan memperhatikan pembagian ruang dan penempatan elemen-elemen berdasarkan fungsi ruang tersebut; 2. Peletakkan Wisma Woloan 1 di atas air pada base camp HPGW tidak sesuai dengan konsep rumah tradisional Minahasa yang terletak di atas tanah. Untuk memperkuat karakter tradisional taman Minahasa, disarankan agar kolam tersebut diurug tanah sebagaimana yang terlihat pada halaman Wisma Woloan 2. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan bahwa kolam tersebut tidak mempunyai fungsi ekologis yang penting seperti daerah resapan air, embung, dan sebagainya. 3. Pada pembangunan base camp ke depannya disarankan terdapat bangunan berarsitektur sunda yang didukung dengan taman tradisionalnya. Hal ini selain dapat menambah sarana pendidikan budaya pada base camp, juga dapat mencirikan daerah sekitar HPGW yang berbudaya sunda.
81
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Rencana Pengembangan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009 – 2013. Bogor: IPB, Fakultas Kehutanan. Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Booth. 1983. Basic Element of Landscape Architectural Design. Illinois: Waveland Press Inc. Crowe S. 1981. Garden Design. Chichester: Packard Publishing Limited. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Graafland N. 1991. Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya. Lucy R Montolalu, penerjemah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Ingels JE. 2004. Landscaping: Principles and Practice. Ed ke-6. New York: Delmar Learning. Kalangie EI, LL Ticoalu, R Tandi, J Inkiriwang. 1985. Upacara Tradisional Yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Laurie M. 1984. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan. Bandung: Intermatra. Lestari G, Kencana IP. Galeri Tanaman Hias Lanskap. Depok: Penebar Swadaya Motloch JL. 1991. Introduction to Landscape Design. New York: Van Nostrand Reinhold. Rogi OH, Wahyudi S. 2009. Identifikasi Aspek Simbol dan Norma Kultural pada Arsitektur Rumah Tradisional di Minahasa. Ecoton 9: 43-48. Sulistyantara S. 2006. Taman Rumah Tinggal. Depok: Penebar Swadaya. Supriati Y, Yuyu Y, Ida N. 2008. Taman Sayur. Depok: Penebar Swadaya. Syamsidar. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta:
Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Balai Pustaka.
82
Turner T. 2005. Garden History: Philosophy and Design. London: Taylor & Francis Routledge Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 – Kehutanan.1999. Jakarta: Kopkar Hutan. Wenas J. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Manado: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara Wiranto. 1999. Arsitektur Vernakular Indonesia: Perannya Pengembangan Jati Diri. Dimensi Teknik Arsitektur 27: 15-20
Dalam
83
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lirik lagu “Zazanian Ni Karema”
84
Lampiran 1. Lanjutan lirik lagu “Zazanian Ni Karema”
85
Sumber: Wenas (2007)
Lampiran 1. Lanjutan lirik lagu “Zazanian Ni Karema”
86