1
KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS BUDAYA TEGAL
YUDHA KARTANA PUTRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal” adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau mengutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dalam skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Penulis
3
RINGKASAN YUDHA KARTANA PUTRA. Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN. Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang unik di Indonesia. salah satu daerah yang memiliki budaya Jawa yaitu Tegal. Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai dan geografisnya, berpotensi untuk menerima pengaruh daerah lain di sekitarnya. Selain mempengaruhi kehidupan sosial, juga berpengaruh pada penataan rumah tinggal dan penempatan jenis tanaman di sekitarnya. Kebutuhan masyarakat dalam pemilihan elemen-elemen penting taman pada rumah tinggal untuk mendapatkan ciri khas, sehingga kekhasan tersebut dapat diketahui dan dapat dijadikan dasar perencanaan taman Tegal. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya dan membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman Tegal. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Informasi yang dikumpulkan bersumber dari studi literatur, observasi langsung, dan wawancara. Tahapan-tahapan penelitian ini, meliputi: (1) pengumpulan informasi, (2) pendeskripsian informasi, (3) analisis informasi, dan (4) sintesis dan konsep. Pada ketiga wilayah memilki bentuk dan tata ruang rumah tinggal yang sama yaitu persegi panjang dan simetris. Gaya arsitektur, tata ruang, dan elemen pembentuk rumah tinggal masyarakat Tegal terdapat persamaan antara gaya arsitektur Jawa dan gaya arsitektur kolonial. Hal ini terbukti dari kesamaan karakter pola tata ruang rumah tinggal. Kekhasan ini terlihat dari lingkungan pesisir hingga pegunungan. Pola tata ruangnya terbagi atas 4 ruang utama yaitu halaman depan, teras, rumah utama, dan halaman belakang. Berdasarkan fungsi, halaman depan dan halaman belakang berfungsi sebagai ruang publik, teras atau pendopo sebagai ruang semi privat, dan rumah sebagai ruang privat. Keseluruhan pola tata ruangnya didesain mengikuti sirkulasi yang dibuat lurus menuju ruang belakang. Orientasi tata ruangnya mengarah pada arah utara atau selatan. Rumah tinggal tokoh masyarakat (golongan bangsawan) mengikuti gaya arsitektur tradisional Jawa karena individu tersebut memahami prinsip tata ruang Jawa. Pagar tidak secara nyata ada pada seluruh rumah tinggal, hal ini didasari oleh perkembangan karakter masyarakat setempat. Pada lingkungan masyarakat Tegal di pedesaan baik di pesisir maupun pagunungan, fungsi pagar dapat tidak ada sama sekali atau terdapat pagar hidup dari penanaman tanaman secara missal,
4
tetapi pada perkembang masyarakat perkotaan memiliki pagar berupa dinding bata. Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, rumah direpresentasikan sebagai kosmos vertikal. Bagian depan rumah terdapat teras disertai dengan anak tangga yang memiliki tinggi lebih dari permukaan tanah. Bagian teras lebih tinggi daripada tanah yang menunjukan kesucian. Bagian atap berarsitektur limasan dengan tambahan emperan. Dinding rumah dibuat tinggi untuk memberikan kenyamanan yaitu menetralisir panas dari luar. Pada masyarakat pesisir dan perkotaan, sebagian material dinding terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan kapur, sedangkan di daerah pegunungan menggunakan material kayu. Terdapat mushola yang memiliki tinggi yang berbeda dengan lantai dasar, sehingga mencerminkan kesucian dan letaknya dekat dengan ruang makan pada tata ruang rumah di pesisir. Komponen dapur dan sumur di pesisir terpisah dari bangunan rumah utama, sedangkan di perkotaan dan pegunungan menyatu dengan rumah utama. Teras berfungsi sebagai ruang interaksi dan penerimaan tamu. Selain teras, pendopo memiliki fungsi yang sama, terdapat pada tempat tinggal bangsawan di Tegal. Interaksi yang intim dilakukan di pendopo atau teras oleh antar anggota keluarga atau dengan tamu. Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, pendopo atau teras merupakan ruang transisi memiliki simbol sebagai ruang pertemuan antara kosmos horizontal dan kosmos vertikal. Rumah tinggal pesisir memiliki halaman belakang yang luas, sedangkana rumah tinggal perkotaan dan pegunungan memiliki halaman belakang yang relatif sempit. Halaman belakang pada masyarakat pesisir difungsikan untuk aktivitas beternak dan berkebun. Halaman memiliki simbol sebagai kosmos horizontal karena tempat pertemuan antar manusia dan alam. Halaman depan berupa ruang terbuka baik hanya beralaskan tanah maupun ditanami rumput. Halaman depan rumah tinggal masyarakat peisisir cenderung luas. Tanaman yang khas bagi masyarakat Tegal yaitu mangga dan puring karena hampir ditanam di seluruh halaman depan rumah tinggalnya. Tanaman yang ditanam di halaman merepresentasikan tanaman yang dapat menghasilkan manfaat tertentu, menciptakan keteduhan, dan terkadang memiliki makna filosofi Jawa. Konsep penanaman tanaman lainnya yang seharusnya di halaman depan, diantaranya: (1) penanaman tanaman dilakukan di bagian tepi dekat dengan pagar dan menghindari penanaman yang berlebihan pada bagian tengah halaman. Sebaiknya hanya ditanam tanaman 1-2 tanaman pada bagian tengah halaman untuk menghasilkan keteduhan, (2) tanaman yang disarankan untuk menghasilkan keteduhan yaitu tanaman yang memiliki bentuk tajuk spread dan bulat, (3) tanaman yang ditanam di halaman dominan berwarna hijau, sehingga pada tanaman yang memiliki bagian yang memiliki warna dijadikan sebagai aksen, (4) penambahan jenis tanaman di halaman disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan dan tingkat adaptasi terhadap lingkungan sekitar, (5) tanaman aromatik berbunga dapat ditambahkan di halaman depan untuk memberi aromatheraphy dan bunganya yang berwarna sebagai aksen, (6) tanaman pembatas (pagar hidup) tidak harus ada, tergantung pada lingkungan masyarakatnya, (7) tanaman pengarah digunakan untuk memberikan simbolisasi penyambutan dan tidak diharuskan ada, dan (8) Tanaman di rumah tinggal bangsawan menghindari dari sirkulasi menuju ke pendopo, penanaman terdapat pada bagian tepi dan dekat pilar pendopo.
5
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
6
KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS BUDAYA TEGAL
YUDHA KARTANA PUTRA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
7
Judul Skripsi : Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal Nama : Yudha Kartana Putra NIM : A44061379
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr. Sc. NIP. 19620801 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Disetujui :
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 2 Januari 1989 dari Prof. Dr. H. Tri Jaka Kartana, M.Si dan dra. Sri Wardhani, M.Pd. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara, memiliki seorang kakak perempuan bernama Primadhany Kartana Putri. Riwayat pendidikan penulis diawali dari tingkat taman kanak-kanak (TK) di TK Tunas Muda Islamiyah pada tahun 1996 hingga 1997. Pada tahun 1997 hingg 2002, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar di SD Mangkukusuman I Kota Tegal. Pada tahun 2002 hingga 2004, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP 2 Tegal, kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMA 2 Tegal pada tahun 2004. Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 2 Tegal pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI-IPB). Penulis memiliki hobi menggambar dan menyanyi. Penulis pernah terpilih sebagai anggota Paskibraka Kota Tegal pada tahun 2004 dan Paskibraka IPB tahun 2006. Penulis telah banyak memperoleh penghargaan dalam bidang seni menggambar dan melukis dari SMA sampai saat ini. Setelah melalui tahap tingkat persiapan bersama (TPB) pada tingkat pertama, penulis memilih program studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB pada tahun kedua di IPB. Pada kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang diadakan di Kabupaten Tegal, Kecamatan Bumijawa, penulis menjabat sebagai koordinator Kecamatan Bumijawa dan Ketua Penyelenggara Acara EXPOSE-IPB di Tegal. Selama menempuh pendidikan S1 di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis menjadi asisten dosen mata kuliah Desain Lanskap dan mata kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas berkah dari Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Kajian Desain Taman Tegal Berbasis Karakter dan Budaya Masyarakat di Tegal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
semua
pihak
yang
telahmembantu dalam penyelesaian tugas akhir ini, yaitu kepada: 1. Dr. Ir. Adi Gunawan, MAgr. Sc. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak, Ibu, dan Kakak yang telah memberikan segala bantuan baik moril maupun materi, dorongan motivasi terus-menerus kapada saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Ekotunas, Bapak Atmo Tan Sidik, Bapak Daryono, Bapak Nurngudiono, Bapak Akur Sujarwo, Bapak Agus Wijanarko, Bapak Pujianto, dan Bapak Wijanarto selaku pihak yang memberikan informasi secara menyeluruh mengenai sejarah dan budaya Tegal, motivasi, kritik, dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Bahtiar A. Pratama yang telah membantu penelusuran informasi selama di Tegal, memberikan motivasi, kritik, dan saran yang berguna dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran pada penulisan skripsi ini. Penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Terimakasih.
Bogor, Februari 2011
Penulis
10
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………....
i
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
iv
PENDAHULUAN…………………………………………………………
1
Latar Belakang………………………………………………………
1
Tujuan…………………………………………………………….....
1
Manfaat……………………………………………………………...
2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………….……………………..
3
Lanskap………………………………………..…………………….
3
Kebudayaan ………………………………….………………….….
5
Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa….……………………….…..
7
Budaya Jawa……………………………………………………..
7
Tata Ruang Tradisional Jawa……………………………………
10
Elemen Taman…………………………………………………..
15
Gapura……………………………………………………….
16
Halaman……………………………………………………...
16
Sirkulasi……………………………………………………..
16
Pendopo……………………………………………………...
17
Tanaman……………………………………………………..
17
Kebudayaan Pantai Utara Jawa…………………...............................
19
Sejarah Tegal…………………………………………………………
21
Tegal pada Era Mataram……………….………………………...
22
Tegal pada Era Kolonial…….………….………………………..
25
Kebudayaan Tegal………………………….……………………….
27
Tata Ruang Tegal……………………………………………………
30
METODOLOGI………………………………….………………………...
31
Lokasi dan Waktu………………………….……………………….
31
Metode dan Tahapan Penelitian………….…..……………………..
32
Kerangka Berpikir Penelitian……………………………………….
35
11
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………
37
Hasil Observasi Lapang…………………………………………….
37
Hasil Wawancara……………………………………………………
45
Tata Ruang Rumah Tinggal dan Elemen Taman…………………...
46
Orientasi Arah Hadap……………………………………………
47
Pintu Gerbang dan Pagar …………………….…………………..
48
Teras dan Pendopo…………………………….………………....
48
Rumah (Omah)..………………………………..………………...
49
Sirkulasi……………………...…………………………………...
50
Sumur (Pakiwan)…………………………………………………
50
Mushola.………………………………………………………….
50
Halaman Belakang……………………………………………….
51
Tanaman………………………………………………………….
51
Konseptualisasi Taman Tegal……………………………………….
55
Konsep Tata Ruang………………………………………………
55
Konsep Elemen Taman Tegal…………………………………...
59
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………
61
Kesimpulan………………………………………………………….
61
Saran………………………………………………………………...
62
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
63
LAMPIRAN………………………………………………………………..
71
12
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon…………………………………………………
11
2.
Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat 12 Tegal………………………………………………………………………
3.
Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa……………
18
4.
Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian...........................
33
5.
Daftar Nama Narasumber..........................................................................
33
6.
Jenis, Bentuk, dan Sumber Data………………………………………….
34
7.
Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…
38
8.
Penanaman Tanaman di Lingkungan Rumah Tinggal……………………
44
9.
Komponen Rumah Tinggal Masyarakat Tegal Menurut Narasumber…… 45
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa...
8
2.
Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa..................................................................................
9
3.
Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat …………………..
10
4.
Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa…………………………..
13
5.
Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan………………………………… 13
6.
Bagian Ruang Dalem Ageng.....................................................................
7.
Perayaan Toa Pe Kong di Tegal................................................................. 28
8.
Sumber Peninggalan Budaya di Tegal…...…………………….………...
29
9.
Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal Serta Batas Administrasi Kecamatan………………………………………………...
31
10. Kerangka Berfikir Penelitian………………………………………..…...
35
11. Bentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………………………………
39
12. Tanaman Kedondong sebagai Pagar Hidup …………………………….
40
13. Anak tangga menuju Teras ……………………………………………..
41
14. Pembagian Fungsi Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…………..
46
15. Bagian Teras Rumah Tinggal Masyarakat Tegal disertai Anak Tangga..
49
15
16. Penanaman Tanaman di Rumah Tinggal Pedesaan Pesisir……………… 52 17. Pagar Hidup Rumah Tinggal Masyarakat Pedesaan di Pesisir…………..
53
18. Penanaman Tanaman di Halaman Depan Rumah Tinggal di Perkotaan...
54
19. Penanaman pada Rumah Tinggal Golongan Bangsawan di Tegal………
55
20. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Tegal pada Umumnya.. ……………………………………………………………… 58 58 21. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di Tegal……………………………………………………………………... 22. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat pada 60 Umumnya………………………………………………..………………. 23. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Bangsawan di Tegal……………………………………………………………………
60
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……………………..
72
2.
Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………………………….
73
3.
Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal…………………. 74
4.
Elemen Pembentuk Rumah……………………………………………… 75
5.
Jenis Penanaman Tanaman di Halaman Rumah Tinggal………………... 76
6.
Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat (Bangsawan) di Tegal……………………………………………………………………..
77
7.
Tradisi Masyarakat Tegal………………………………………………..
78
8.
Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal dengan tata Ruang Jawa dan Tata Ruang Bergaya Arsitektur Kolonial… 79
15
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan tiap suku pada tiap daerah memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi kedaerahan, aktivitas sosial masyarakatnya, serta memiliki kekhasan tata ruang arsitektur. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang memiliki kekhasan tersendiri. Budaya Jawa berkembang dan memberikan pengaruh di beberapa daerah di pulau Jawa, salah satunya adalah Tegal yang terletak di propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pembagian daerah sub wilayah kebudayaan Jawa, Tegal termasuk ke dalam sub wilayah kebudayaan pesisir yang masih terpengaruh oleh pusat perkembangan budaya Jawa di keraton (Sedyawati 2003). Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai, berpotensi untuk menerima pengaruh asing. Berdasarkan potensi di atas maka pengaruh tersebut diperkirakan secara nyata mempengaruhi karaker rumah tinggal masyarakat Tegal. Kebudayaan Jawa di Tegal berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat baik dari segi sosial dan arsitekturnya yang mempengaruhi karakter khas setempat. Masyarakat Tegal memiliki kekhasan dalam menginterpretasikan budaya dan kehidupannya, di antaranya keunikan dalam pelaksanaan tradisi dan penataan rumah tinggal. Sesuai dengan kebiasaan dan tradisi yang berkembang di lingkungan masyarakat Tegal yaitu mengutamakan interaksi, maka diperkirakan terdapat fungsi ruang yang berfungsi untuk menampung kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, didasarkan atas kebiasaan dan tradisi setempat juga perlu dikaji mengenai pemanfaatan ruang di lingkungan rumah tinggalnya yang dimanfaatkan sebagai ruang interaksi. Lingkungan hidup masyarakat Tegal membentang dari pantai hingga pegunungan. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi penataan tata ruang rumah tinggal, pemilihan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, dan penempatan jenis tanaman. Selain itu, perbedaan tersebut juga mewakili kebutuhan ruang.
2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya. 2. membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman Tegal.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Lanskap merupakan suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem. Ekosistem merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Sistem tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value terkait hubungan antara ruang dan waktu. Proses yang terjadi di dalam ekosistem tersebut saling mempengaruhi. Hasil dari proses tersebut melalui kombinasi interaksi yaitu memunculkan karakter khusus yang berbeda dengan tempat lain (Lyle 2001). Lanskap sebagai ekosistem memiliki faktor-faktor penting. Beberapa faktor penting tersebut yaitu manusia, lahan, dan design physical planning. Lanskap yang diharapkan dapat menampung ragam aktivitas manusia sesuai dengan latar belakang dan pola perilaku. Pola perilaku tersebut dapat diperoleh dari budaya setempat yang merujuk pada kebiasaan sehari-hari dan karakter manusianya. Lanskap ini diarahkan agar berdampak pada peningkatan kualitas manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998). Peningkatan kualitas tersebut disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan lingkungan sekitarnya. Kebutuhan manusia tersebut diperoleh melalui kebutuhan psikologis, emosional, dan dimensional. Kebutuhan manusia diarahkan untuk memenuhi ruang gerak, proses menghayati, merasakan, berfikir, dan menciptakan kawasannya (range) terhadap lingkungannya (Simonds dan Starke 2006). Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang berguna dalam membentuk karakter. Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter yaitu tanaman. Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2) peletakan tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5) prinsip tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan marfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975) Proporsi, pola, dan aturan penempatan elemen-elemen lanskap tersebut disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan elemen, pola pergerakan, serta fungsi yang akan ditetapkan di dalamnya. Kekhasan bentuk dan pola ini menghasilkan filosofi yang dapat memunculkan nilai dari lingkungan fisik, sosial, dan budaya
4
sekitar. Konsep penataan tersebut harus diarahkan mewakili kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan lingkungan. Hubungan ini diarahkan untuk membentuk struktur ide, kekuatan (quality), dan perasaan terhadap keindahan yang membentuk karakter melalui proses desain (Rogers 2001). Manusia di dalam lanskap memiliki peran dalam menentukan kekhasan desain lanskap yang diarahkan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan (sustainable) ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap dan perilaku manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap tertentu tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran simbol-simbol penting. Hubungan antara manusia dan lingkungan diharapkan dapat memberikan ciri khusus yang membedakan dengan kelompok lain (identity atau special character) (Benson & Roe 2000). Lingkungan (alam) sebagai lanskap yang memberikan arti hidup dan kosmos. Hubungan manusia dan lingkungan diartikan sebagai hubungan kedekatan yang sesuai dengan karakter, kualitas, dan perilaku. Hubungan kedekatan tersebut berimplikasi pada penentuan bentuk dan pola ruang. Oleh karena itu, lanskap dapat diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili karakter, dan mengekspresikan kehidupan (Thompson & Steiner 1997). Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan pemikiran yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai simbol. Pengalaman dapat menimbulkan beragam ekspresi yang diperoleh melalui pendalaman teori dan teknologi yang mendukungnya. Pola lanskap yang melalui simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktor-faktor setempat. Faktor tersebut mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap tersebut, sehingga dapat memberikan pandangan yang berbeda dalam mempresentasikannya (Hendraningsih 1982). Karakter lanskap memilki pola yang bernilai simbolik yang didukung oleh faktor interaksi sosial didalam suatu komunitas dengan lingkungannya. Pola ini dibangun oleh kebiasaan (tradisi) yang dikembangkan menjadi karakter yang berbeda dengan komunitas lainnya. Proses ini didukung dengan pengetahuan untuk menggambarkan interaksi. Proses ini mendefinisikan pencitraan suatu
5
identitas dari kebudayaan tertentu. Identitas lanskap yang ditunjukkan ini akan secara nyata mempengaruhi persepsi masing-masing (Bentley & Watson 2007). Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh tatanan sosial (tradisi), elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan menghindari konflik. Hal ini merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan sebuah karakter khusus dan secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan melihat pola-pola yang ada dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan. (Longstreth 2008)
Kebudayaan Kebudayaan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk memahami lingkungan berdasarkan pengalamannya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud yaitu ideal, aktifitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984). Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi dimana komunitas yang bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling melengkapi. Kebudayaan tumbuh beranekaragam, tetapi sangat membutuhkan satu sama lainnya karena kebudayaan diperoleh melalui proses komunikasi baik internal maupun eksternal. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari satu ke yang lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan tersebut dapat berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al. 2008). Kebudayaan dinilai nyata dan rasional dikelola secara berulang-ulang, sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan keyakinan menjadi faktor pendorong yang menciptakan ide dan nilai. Ide dan nilai pada budaya mendefinisikan suatu simbol yang merujuk pada suatu gaya dari kebudayaan tersebut dimana mempengaruhi bentuk arsitektural, adab dan adat, serta kesenian khas (Rogers 2001). Kebudayaan dapat dinilai sebagai pencerminan jiwa dari masyarakat sehingga membentuk karakter yang khas dan mencerminkan identitas yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat membangun
6
kebiasaan-kebiasaan tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma, peraturan, ketentuan, atau perundang-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki kesatuan identitas dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan kelompok lainnya (Hariyono 2007). Kebudayaan juga sebagai pencerminan keseluruhan ilmu pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan dan diwariskan kepada keturunannya (Linton 1940). Berdasarkan hubungan kedekatan dengan alam, Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa manusia sebagai pelaku budaya menggunakan pengalamannya untuk menginterpretasikan alam yang dijadikan sebagai simbol atau pedoman dalam memaknai kehidupan. Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui kegiatan, bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau identitas tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang mengutamakan pemaknaan kehidupan yaitu kebudayaan Jawa, sehingga Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai pokok kehidupan manusia, antara lain: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2) masalah hakekat karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan sesama dan Tuhannya.
Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa Budaya Jawa Budaya
Jawa
memiliki
falsafah
Jawa
yang
dilaksanakan
oleh
masyarakatnya sebagai penuntun untuk memperoleh ketentraman jiwa dan batiniah. Falsafah Jawa dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa. Falsafah Jawa menuntun seseorang pada keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kerohanian. Hasil dari falsafah Jawa tersebut menghasilkan kehidupan yang harmonis, selamat, dan tentram. Terdapat ungkapan Jawa yaitu “sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana” artinya bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang sebenarnya mampu menghiasi dunia dengan perbuatan-perbuatan yang memelihara kerukunan dan ketentraman (Mulyana 2006).
7
Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan budaya Keraton Yogyakarta
Hadiningrat
dan
Surakarta
Hadiningrat
sebagai
pusat
perkembangannya. Lanskap Keraton dianggap sebagai konsep Taman Tradisional Jawa. Keraton memiliki tata ruang dan penggunaan elemen-elemen tanaman yang mengandung makna simbolik. Makna tersebut mengarahkan pada penggambaran kehidupan manusia menuju kesempurnaan (Kasampurnaning Ngaurip) antara kehidupan duniawi dan rohani (Herusatoto 1983). Konsep kosmologi Jawa yang mempengaruhi lanskap khas Jawa mengajarkan tentang tata perilaku dalam kehidupan, yaitu hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhannya. Falsafah Jawa di dalamnya mengarah pada konsep keselarasan dan ketentraman jiwa. (Bratawijaya 1997). Keselarasan mengenai konsep kosmologi Jawa yang mengarahkan manusia pada kasampurnaning ngaurip, mengarahkan pada konsep kseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos didasarkan atas kosmologi Jawa terdiri atas kosmos vertikal dan kosmos horizontal. Kosmos vertikal dipercaya dibagi menjadi tiga bagian, antara lain: (1) dunia atas, (2) dunia tengah, dan (3) dunia bawah, disebut Tri Buwana. Kosmos vertikal mengarahkan manusia untuk dekat dengan Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti) menuju kesempurnaan. Kosmos horizontal menggambarkan kehidupan duniawi yaitu kekerabatan dan kerukunan antara sesama manusia. Hubungan keduanya dapat menghasilkan keberaturan dan keseimbangan yang hakiki. Kedua kosmos ini mempengaruhi ragam aktivitas dan kebutuhan ruang untuk memunculkan kehidupan yang harmonis dan sebagai penanda kekhasan tradisional Jawa. Kondisi ini dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, tetapi tidak mempengaruhi nilainya (Setiawan 2000). Keseimbangan kosmos memiliki kesamaan dengan konsep sadulur papat kalima pancer, dimana menyelaraskan keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungan. Konsep sadulur papat kalima pancer membentuk konsep yang mengutamakan empat arah mata angin. Pedoman ini bertujuan membentuk lambang pada setiap arah mata angin. Konsep ini dipengaruhi oleh keberadaan manusia sebagai penggeraknya yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar. Pada gambar 1 disebutkan bahwa pemahaman yang tersirat di dalam konsep
8
sadulur papat kalima pancer yaitu kehidupan memerlukan arah tuntutan. Arah Utara (Lor) sampai ke arah selatan (Kidul) mengisyaratkan jalan kehidupan sampai menuju kesucian menghadap Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti). Arah barat-timur (wetan-kulon) mengisyaratkan asal segala sesuatu (Yosodipuro 1994).
Gambar 1 Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa (Sumber: Setiawan 2000). Definisi lain konsep sadulur papat kalima pancer yaitu konsep macapat. Konsep macapat mendefinisikan fungsi ruang atas arah mata angin yang menunjuk pada hubungan kosmos dapat dilihat pada gambar 2. Pendefinisian ini bertujuan untuk memberikan perlambangan pada hubungan sosial dilambangkan secara horizontal dan hubungan adikodrati dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam yang dilambangkan dengan hubungan vertikal. Konsep ruang ini berkaitan dengan fungsi kedekatan atau hubungan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani, bukan mendefinisikan tentang suatu batasan teritorial. Hal ini ditujukan untuk menghadirkan suasana harmonis secara sosial, hubungan dengan alam, dan Tuhannya. Suasana harmonis dihasilkan melalui beragam interaksi yang terhimpun membentuk suatu kesatuan (Frick 1997).
9
Gambar 2 Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa (Sumber: Hariyono 2007) Kepercayaan mengenai mata angin secara kosmis pada konsep sadulur papat kalima pancer diterapkan melalui perlambangan. Perlambangan tersebut mengartikan arah utara, selatan, barat, dan timur. Arah mata angin utara dilambangkan oleh Dewa Wisnu, memiliki simbol matahari dengan warna kuning. Arah mata angin selatan dilambangkan oleh Dewa Anantaboga (Ratu Kidul), memiliki simbol hitam yang berarti kesabaran dan kasihan. Arah mata angin barat dlambangkan oleh dewa Yamadipati dengan simbol api berwarna merah, memiliki makna kebinasaan dan kematian. Arah mata angin timur dilambangkan oleh dewa Mahadewa dengan simbol air berwarna biru yang bermakna keseragaman dan rasa kebersamaan (Hariyono 2007). Pencitraan konsep sadulur papat kalima pancer diarahkan pada suatu imago mundi (pencitraan dunia). Filosofi tersebut menarahkan pada falsafah ”Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti” yang memiliki persamaan dengan ajaran Islam yaitu Hablun Minallah dan Hablun Minannas. Falsafah ini mengarahkan pada hubungan antara kehidupan duniawi dan pendekatan diri dengan Sang Khalik (aspek rohani) harus seimbang (Setiawan 2000). Adapun makna lain dari konsep sadulur papat kalima pancer dari struktur kosmos dalam budaya Jawa kuno dipengaruhi oleh Hindu dan Budha dimana terdapat Jambudvipa. Jambudvipa merupakan inti struktur yang dikelilingi oleh tujuh lapis samudra dan tujuh lapis daratan. Gunung Meru dianggap sebagai pusat kosmos, sehingga sebagai pusat dari perwujudan mata angin kosmis yang diaplikasikan sebagai konsep keruangan pada keraton (Setiawan 2000).
10
Penggambaran konsep sadulur papat kalima pancer pada lanskap keraton Surakarta Hadiningrat secara makro dapat dilihat pada gambar 3. Konsep ini dipercaya sebagai perwujudan kekuatan dewa-dewa penjaga. Kekuatan ini merupakan pencitraan dari kekuatan alam yang diciptakan oleh Sang Khalik. Tata ruang di lingkungan keraton merupakan landasan untuk pendesainan Tata ruang dan tata letak khas tradisonal Jawa pada umumnya (Setiawan 2000).
Gambar 3 Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber: Setiawan 2000). Tata Ruang Tradisional Jawa Tata ruang di lingkungan keraton dijadikan dasar perencanaan tata ruang dan pemilihan elemen-elemen penting di dalam taman Jawa (Setiawan 2000). Pada lingkungan sub kebudayaan Jawa pesisir, penetapan tata ruang dan pemilihan elemen-elemen taman selain dipengaruhi lingkungan Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat, juga dipengaruhi oleh lingkungan keraton Cirebon (Sedyawati 2003). Pada dasarnya, keseluruhan bentuk
arsitekturnya
pada
keraton
Yogyakarta
Hadiningrat,
Surakarta
Hadiningrat, dan Cirebon dipengaruhi gaya arsitektur colonial. Hal ini didasarkan atas pengaruh campur tangan pemerintahan Belanda pada jaman penjajahan kolonial di Indonesia (Santoso 1981). Perbandingan elemen lanskap pada tiap-tiap keraton dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon No. 1
Komponen Orientasi Keraton dan as. Imajiner
Keraton Yogyakarta Utara-Selatan
Keraton Surakarta Utara-Selatan
Keraton Cirebon Utara-Selatan
2
Peletakan Bangunan
mengikuti pola orientasi utara-selatan
mengikuti pola orientasi utaraselatan
mengikuti pola orientasi utara-selatan
3
Alun alun
Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.
Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.
Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.
4
Elemen Lanskap di sekitar keraton
• Terdapat pendopo sebagai tempat penerimaan tamu, tempat bertemunya raja dengan abdi dalem
• Terdapat pendopo dan dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter. • Terdapat tanaman beringin di alun-alun
• Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
• Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik
• Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik
Arsitektur bergaya tradisional Jawa dan berwarna putih dikombinasikan dengan arsitektur bergaya kolonial
Bangunan utama yang berwarna putih bergaya arsitektur Jawa, kolonial dan Tiongkok (ditandai dengan piringpiring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding)
5
Arsitektur Bangunan
• Terdapat tanaman beringin dan dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. • Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven) • Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik Bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.
(Sumber: Setiawan (2000) dan Dewi (2009))
• Terdapat tanaman beringin di alunalun
12
Bagi masyarakat Jawa, rumah (omah) merupakan kebutuhan hidup utama, selain pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Tata ruang rumah tinggal merupakan penjabaran miniatur kosmos dimana diarahkan untuk menciptakan keselarasan hidup berkeluarga dan menghindari perpecahan (Wardani 2007). Rumah tinggal masyarakat Jawa terdiri atas rumah dan halaman, sehingga antara keduanya harus sinergi. Rumah dianggap sebagai pohon yang teduh, dimana orang tanpa rumah diibaratkan pohon tanpa bunga (Widayati 1999). Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa (Tabel 2), semakin mendekati rumah (omah) semakin bernilai privat. Bagian halaman diperuntukan sebagai ruang publik. Pada bagian sekitar teras dan pendopo diperuntukan sebagai ruang semi publik. Penempatan elemen tanaman terdapat pada bagian halaman dan sekitar halaman (Hamzuri 1986).
Tabel 2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat Tegal No. Kedudukan Ruang 1 Ruang Publik
Fungsi Ruang Sebagai penyedia ruang terbuka hijau melalui penanaman tanaman di sekitar halaman
2
Ruang Semi-Privat
Membangun kepercayaan, kekerabatan (menjalin kerukunan), dan memperkuat silaturahmi.
3
Ruang Privat
Sebagai ruang pertemuan saudara dan keluarga.
(Sumber : Setiawan (2000))
Bentuk rumah masyarakat Jawa sangat sederhana, sebagai ungkapan kesederhanaan hidup masyarakaat jawa. Keutamaan rumah tinggal yaitu menciptakan kerukunan anggota keluarga di dalamnya (Suseno 1988). Biasanya bentuk denah yang diterapkan adalah berbentuk persegi yaitu bujur sangkar dan persegi panjang. Hal tersebut sesuai dengan estetika hidup orang jawa yang mempunyai ketegasan prinsip dalam menjalankan tanggung jawab terhadap hidupnya (Hamzuri 1986). Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa dibedakan menjadi 2 yaitu yang diperuntukan untuk masyarakat biasa dan bangsawan (Widayati 1999) (Gambar 4).
13
Tata ruang Rumah Tinggal Rakyat Biasa
Tata Ruang Rumah Tinggal Bangsawan
Gambar 4 Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa.
Adapun perbedaan antara tata ruang Jawa antara golongan rakyat biasa dan bangsawan. Tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan rakyat biasa tidak memiliki orientasi khusus, terdiri atas omah dan halaman. Orientasi arah pada rumah tinggal masyarakat Jawa sebagian besar mengarah ke arah selatan atau utara. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan bangsawan dibatasi oleh dinding dan gapura serta memiliki pendopo sebagai elemen pembentuk dari segi arsitekturalnya (Widayati 1999).
Gambar 5 Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan (Sumber: Widayati 1999).
14
Setiap tata ruang tradisional Jawa memiliki filosofi dan pandangan mengenai elemen-elemen pembentuknya. Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa golongan bangsawan terdiri atas: (1) rumah (omah), (2) pendopo, dan (3) gapura. Arah hadap rumah pada golongan masyarakat tidak boleh menghadap ke arah timur. Hal ini disebabkan arah hadap timur dianggap milik keraton (arah timur ditempati oleh Batara Sang Hyang Maha Dewa sebagai simbol asal kehidupan di dunia ini). Sementara itu, tata ruang masyarakat Jawa menggunakan arah hadap utara atau selatan. Arah utara dipercaya ditempati oleh Dewa Sang Hyang Batara Wisnu yang memiliki lambang pemeliharaan (Hamzuri 1986). Rumah tinggal oleh masyarakat Jawa didasarkan atas norma-norma Jawa yang diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hakekatnya, masyarakat Jawa mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga sasaran pokok, yaitu: kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan kasih sayang dari lingkungannya. Apabila pola kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe bangunan, bentuk bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka akan diperoleh hubungan sebagai berikut: tipe bangunan rumah sangat tergantung pada aspek sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, bentuk bangunan tergantung pada aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya, dan penentuan lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya sendiri adalah bagian dari alam (Indartoyo 2008). Konsep arsitektur rumah tinggal di daerah pesisir merupakan perpaduan arsitektur tradisional Jawa dan kolonial. Struktur penutup atap dari bangunan menjadi penciri yang khas konsep Jawa. Terdapat tiga tipe spesifik yaitu kampungan, limasan, dan joglo. (Nas & Vletter 2009). Rumah menurut masyarakat Jawa juga disebut dalem ageng (Gambar 6). Dalem ageng adalah bagian paling penting karena merupakan tempat tinggal keluarga. Dalem ageng memiliki beberapa ruang yang disebut dengan sentong. Sentong ini terdiri dari: 1) Sentong kiwo, merupakan tempat tidur anggota keluarga dan di daerah pedesaan digunakan untuk menyimpan hasil bumi.
15
2) Sentong tengah, merupakan tempat yang sakral karena digunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri. Ruang ini disebut juga pedaringan. 3) Sentong tengen, sama seperti sentong kiwo yaitu merupakan tempat tidur anggota keluarga.
Gambar 6 Bagian Ruang Dalem Ageng (Sumber: Kusyanto 2007).
Hamzuri (1986) menjelaskan bahwa alur sirkulasi pada rumah Jawa dari ruang depan menerus ke ruang belakang, bahkan juga dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Alur sirkulasi dari ruang depan ke ruang belakang, apabila melihat pada Gambar 6 maka sirkulasi tersebut berturut-turut meliputi: pendopo, pringgitan, dalem, dan senthong (senthong kanan, senthong tengah dan senthong kiri). Alur sirkulasi dari kanan ke kiri meliputi: ruang pendopo alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju ke halaman luar, ruang pringgitan dan ruang dalem alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju gandhok kanan dan gandhok kiri dengan melalui longkangan. Dan alur sirkulasi selanjutnya adalah menuju pawon (dapur), gadri dan pekiwan melalui pintu yang berada di gandhok kanan dan gandhok kiri.
Elemen Taman Konsep tata ruang Jawa memiliki kekhasan yang memiliki unsur-unsur nilai dan filosofi, terkadang mengarah kepada kekuatan ghaib. Salah satu kepercayaan masyarakat Jawa yaitu angka 7 sebagai angka yang sempurna melambangkan langit ke tujuh menuju kesempurnaan hidup dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa (Anonim 2007). Hal ini memperkuat bahwa taman Jawa lebih
bersifat
simbolik
yang
mengaitkan
kehidupan
manusia
dengan
16
lingkungannya yaitu melalui pemilihan tanaman yang berbentuk pohon (Setiawan 2000). Taman Jawa juga digambarkan sebagai penampung aktivitas manusia secara psikologis, emosional, dan dimensional. Elemen tanaman sangat penting di dalam desain Taman Tradisional Jawa. Hal ini dikarenakan tanaman memiliki fungsi sebagai pembentuk kosmos (Herusatoto 1983).
Gapura Elemen tata ruang luar rumah tinggal sebagai gerbang masuk yaitu gapura. Gapura digambarkan sebagai pintu semesta raya, digambarkan seseorang yang memasukinya berarti telah berada di dalam kosmos (Prijotomo 1988). Gapura merupakan bagian dari pagar yang mengelilingi taman, pada lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat juga memiliki pagar berbentuk tembok tebal sebagai pengaman keluarga keraton (Soeharso 1985).
Halaman Berdasarkan Filosofi Jawa, halaman dipercaya terbentuk dari pencerminan kepribadian manusia Jawa. Keseluruhannya mengarahkan pada penciptaan keselarasan,
ketenangan, suasana
interaksi
yang nyaman,
pencerminan moral, etika, dan dinamika gerak sosial. Adapun peruntukan kebutuhan ruang terbuka yang ditanami beberapa tanaman yang difungsikan sebagai tanaman berbuah atau pemenuh kebutuhan (Setiawan 2000). Di dalam konsep tata ruang Jawa, bagian halaman lebih luas dan ditanami
tanaman-tanaman
yang menghasilkan
keteduhan
dan
dapat
dimanfaatkan. Halaman yang luas ini dilatarbelakangi oleh prinsip masyarakat Jawa yang menyenangi keteduhan dan keindahan. Tanaman yang ditanam di halaman dapat menetralisir udara panas sebelum masuk ke pendopo (Widayati 1999).
Sirkulasi Dari gerbang menuju rumah ditunjukan melalui pola sirkulasi lurus. Berdasarkan filosofi Jawa, sirkulasi setelah melewati gerbang berupa jalan
17
yang lurus mengarah pada pusat kosmos dengan open space di sekitarnya (Prijotomo 1988).
Pendopo Pendopo menjadi salah satu bangunan penting di kompleks keraton yang berfungsi untuk bersemedi (meditasi), mengheningkan cipta, memohon kesejahteraan bagi warga Keraton. Pendopo ini juga digunakan untuk bertemu atau
bertatap
muka
dengan
keluarganya,
abdi
dalem,
bahkan
rakyatnya. Bangunan pendopo berbentuk arsitektur joglo pada atapnya yang disangga 4 tiang sebagai saka guru pada bagian tengahnya (Anonim 2007). Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat bangsawan juga terdapat pendopo sebagai tempat penerimaan tamu dan berinteraksi (sebagai ruang semi privat) (Widayati 1999). Pendopo dan teras difungsikan sebagai tempat penerima tamu oleh pemilik rumah. Apabila di lingkungan keraton, pendopo difungsikan sebagai tempat raja menerima pisowanan dari rakyat atau bawahannya. Pendopo pada masyarakat pesisir Jawa sebagai tempat untuk bersilaturahmi. Hal ini disebabkan sifat masyarakat pesisir yang dikenal egaliter atau tidak memandang status sosial seseorang. Selain itu, sirkulasi yang terbentuk merupakan konsep sumbu imajiner yang lurus. Sirkulasi ini merupakan perwujudan proses kelahiran manusia hingga mengalami kematian. Sirkulasi pada lingkungan keraton biasanya didesain bertahap-tahap mendasari tentang perjalanan hidup manusia menuju kesempurnaan hidup (Sardjono 1996).
Tanaman Taman Tradisional Jawa memiliki elemen tanaman dibentuk untuk membentuk karakter dan berperan sebagai touch of life serta keindahan lingkungan (Booth 1983). Tanaman di dalam tata ruang Jawa dipercaya memiliki pesan dan makna simbolik yang menggambarkan kehidupan manusia Jawa (Tabel 3). Geertz (1992) menyatakan bahwa smbol-simbol dari elemen tanaman tersebut memiliki nilai sakral yang menunjuk pada tanda, ciri, dan kualitas penghuni dan lingkungannya.
18
Tabel 3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa Nama Tanaman
Fungsi
Simbolik (Makna)
Beringin (Ficus benjamina) Peneduh
Pengayoman (mensejahterakan)
Kepel (Stelechocarpus burahol)
Kesatuan
Kantil/Cempaka champaca)
Peneduh
(Micelia Estetika
Kelapa hijau (Cocos nucifera)
Penghasil buah
Kemuliaan dan pembawa rezeki
Suasana hati ayem dan tenteram
Jambu dersono (Eugenia Penghasil buah javanica)
Kasih sayang antar sesama
Sawo kecik kauki)
Kebaikan (becik)
(Manilkara Simbolik, Peneduh
Belimbing (Averrhoa sp.)
Penghasil buah, Ketenteraman, murah penaung ketenangan jiwa
Gayam (Inocarpus edulis)
Penaung
rezeki,
Penyejuk jiwa
Mangga (Mangifera indica) Penghasil buah, Kesengsem (Jatuh hati) penaung Mawar (Hibiscus rosa sinensis)
Estetika
Sabar dan pengandalian diri
Kenanga (Cananga odorata)
Estetika, pewangi
Menolong antar sesama (temengo)
Bunga gading Estetika Tanjung (Mimusoph elengi) Pengarah
Ingat (eling) Mengarahkan diri
Soka (Parrinarium glaberrium)
Pengaman, penolak bala
Pengarah, pembatas
(Sumber: Setiawan (2000))
Tanaman-tanaman tersebut didasarkan atas kepercayaan pemilihan tanaman yang terdapat pada lingkungan keraton sebagai pencerminan fungsi estetik, fungsional, dan simbolik. Fungsi estetik pada tanaman, digunakan untuk menghasilkan keindahan berdasarkan karakter fisik dan bunganya.
19
Tanaman yang digunakan sebagai kebutuhan, antara lain digunakan untuk upacara tradisional, wewangian, obat-obatan, makanan, kosmetik, dan pewarna (Soeharso 1985). Adapun beberapa tanaman yang memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis pada tanaman, misalnya pohon gayam memiliki fungsi sebagai penyimpan air menuju ke permukaan tanah, sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Beberapa tanaman juga difungsikan agar dapat dimanfaatkan bagian dari tanaman tersebut (Setiawan 2000). Berdasarkan filosofi Jawa, tanaman yang memiliki arti simbolik dan memiliki ketentuan khusus dalam peletakannya yaitu sawo kecik (Manilkara kauki). Tanaman sawo kecik dipercaya apabila ditanamnya tanaman ini pada tanah tertantu maka menandakan bahwa tanah tersebut milik keraton. Sebaliknya, apabila ditanam di luar lingkungan keraton maka seseorang yang bertempat tinggal yang memiliki pohon tersebut masih dalam garis keturunan keraton (trahing kusomo). Penanaman tanaman di lingkungan keraton tidak memiliki aturan peletakan tertentu. Peletakan tanaman di lingkungan keraton didasarkan atas, antara lain: (1) perintah raja setelah mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, (2) meniru gaya penanaman keraton jaman dahulu, (3) mendapat kekuatan ghaib atau daya magis yang dipancarkan oleh tanaman tersebut. Tujuan penanaman yaitu untuk menambah atau menguatkan pengaruh baik dan menangkal pengaruh buruk (Setiawan 2000).
Kebudayaan Pantai Utara Jawa Berdasarkan sub daerah kebudaaan Jawa, Tegal sebagai salah satu daerah di dalam kebudayaan pantai utara Jawa. Kebudayaan pantai utara Jawa termasuk ke dalam sub kebudayaan Jawa Pesisir. Pada umumnya, orientasi kebudayaan Jawa di wilayah Pantai Utara Jawa mengalami degradasi. Hal ini dikarenakan pada wilayah Pantai Utara Jawa berpotensi dalam memperoleh pengaruh budaya asing. Wilayah Pantai Utara Jawa memilki pelabuhan besar sebagai pintu gerbang masuknya budaya asing. Gaya arsitektur dan taman di Wilayah Pantai Utara Jawa tidak ditemukan penggunaan konsep Jawa Tradisional (Hariyono 2007).
20
Kebudayaan Pantai Utara Jawa bersifat heterogen. Hal ini dapat dilihat bahwa kondisi sosial masyarakat Tegal yang terdiri bermacam-macam etnis dan lokasi yang strategis. Selin itu, sifat heterogen ini disebabkan oleh karakter keterbukaan masyarakatnya dalam menerima pengalaman baru, bersedia menerima perubahan sosial, dan menilai ketrampilan teknis sebagai hal yang penting. Kebudayaan Pantai Utara Jawa hanya sedikit dipengaruhi oleh kehidupan keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakatnya tetap berprinsip pada falsafah Jawa yang beberapa mengalami perubahan yang adaptif, baik dari segi sosial dan arsitektural (Sedyawati 2003). Pada bagian utara Tegal dekat dengan pelabuhan berdiri bangunan bergaya kolonial. Wilayah Pantai Utara Jawa pada masa kejayaan Belanda di tanah Jawa meninggalkan bangunan arsitektur dan taman bergaya kolonial dikenal dengan bangunan indis. Di tanah Jawa dikenal dengan rempah-rempahnya, sehingga mendorong bangsa lain seperti Arab, Cina, dan Eropa melakukan perdagangan. Selain bangunan Indis, juga ditemukan bangunan bergaya arsitektur Cina dan Arab. Kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia juga mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pengaruh kerajaan-kerajaan tersebut mempengaruhi kondisi mental, sosial, budaya, dan tata ruang (Kartodirdjo 1999). Alasan terdapatnya bangunan bergaya kolonial (indis/indisce) di Tegal yaitu pada abad XVII yaitu saat Zaman Modern Awal (1600-1800 M) yang ditandai dengan kedatangan pedagang Eropa dan Cina di Wilayah Pantai Utara Jawa. Tipologi arsitektur, tata ruang, dan taman ditransplantasikan pada arsitektur lokal. Sehingga, kombinasi ini mengahasilkan arsitektur bergaya campuran disertai dengan adaptasi proses akomodasi kultural. Pendopo sebagai ruang tradisional Jawa diadopsi dan dikombinasikan dengan arsitektur Eropa menjadi luasan beranda yang berfungsi sebagai ruang bersama dan ruang pertemuan (Nas & Vletter 2009). Daerah-daerah di wilayah kebudayaan Pantai Utara Jawa banyak dijadikan basis pertahanan kerajaan-kerajaan besar, seperti Mataram. Salah satunya Tegal, Tegal memiliki letak yang strategis dan memiliki pelabuhan besar. Tegal dijadikan sebagai wilayah penyangga pangan kerajaan Mataram. Daerah-daerah
21
pesisir Pantai Utara Jawa lebih dahulu dikuasai oleh Belanda (VOC) karena dianggap daerah ini dapat menjadi basis pertahanan yang kuat (Rochani 2005).
Sejarah Tegal Tegal secara administratif terbagi atas wilayah kota dan kabupaten. Tegal terletak di bagian utara Jawa berdekatan dengan Cirebon dan Banyumas, sehingga berpotensi untuk dipengaruhi oleh budaya yang dibawa dari kedua daerah tersebut. Pada dasarnya, kota dan kabupaten Tegal merupakan kesatuan yang mencerminkan tidak adanya perbedaan dari sudut pandang budaya, sehingga karakter baik hubungan dirinya maupun secara sosial dengan orang lain memiliki kesamaan yang erat. Begitu pula latar belakang sejarahnya memiliki kesamaan yang tak dapat dipisahkan dan saling melengkapi (Su’ud 2003). Berdasarkan sejarah perkembangan Tegal, dahulu Tegal hanya sebuah desa yang bernama “Tetegal”. Tokoh yang berperan penting bagi perkembangan Tegal yaitu Ki Gede Sebayu. Ki Gede Sebayu dianggap sebagai pendiri Tegal yang didasari oleh cerita rakyat Tegal. Ki Gede Sebayu sebagai tokoh panutan bagi masyarakat Tegal dalam tindakan dan perilakunya (Daryono et al. 2008). Desa Tetegal merupakan sebuah desa yang belum tertata dengan baik dan ditempati oleh sebagian kecil warga. Kondisi di sekitar desa masih berupa ilalang dan padang yang luas. Nama Tetegal diperoleh dari Ki Gede Sebayu atas jasanya yang memanfaatkan potensi alam setempat dijadikan suatu tegalan atau tetegal. Berdasarkan cerita rakyat Tegal, Ki Gede Sebayu bersama warga setempat memanfaatkan potensi alam tersebut untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Hal ini melatarbelakangi meningkatnya semangat warga Tetegal untuk terus bekerja keras. Ki Gede Sebayu mendapatkan penghargaan atas jasanya mengajar dan membimbing warga untuk memanfaatkan potensi setempat dengan teknologi sederhana. Jasa Ki Gede Sebayu juga meningkatkan dan menggairahkan mental warga Tetegal untuk berusaha berperilaku yang terbaik, optimal, dan bekerja keras (Rochani 2005). Nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Gede Sebayu meningkatkan tingkat spiritual dan membentuk karakter masyarakat Tegal. Nilai dan filosofi yang diajarkan, antara lain tidak banyak bicara, malakukan tugas atau pekerjaan dengan
22
sepenuh hati dan ikhlas, kerja keras dan pemimpin yang menjadi panutan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, Ki Gede Sebayu diangkat sebagai Jur Demang oleh Bupati Pemalang meliputi daerah Tegal atas jasanya. Pengangkatan Ki Gede Sebayu sebagai Jur Demang didasari atas peraturan daerah no. 5 tahun 1988 pada tanggal 28 juli 1988 (Anonim 2007).
Tegal pada Era Mataram Tradisi dan Kebudayaan masyarakat Tegal semakin berkembang pada saat masuknya Mataram di Tegal. Pada masa kejayaan Mataram di Tegal, Tegal dijadikan sebagai bandar penting bagi politik Mataram. Tegal dijadikan sebagai pelabuhan besar untuk berlabuhnya kapal Mataram dan kapal asing (Anonim 2007). Mataram dipimpin oleh Sultan Agung melakukan langkah menjadikan Tegal sebagai pintu barat Mataram dan pemasok suplai makanan saat penyerangan Mataram ke Batavia (De Graff 1990). Pengaruh Mataram di Tegal mempengaruhi tata ruang Tegal secara keseluruhan. Pada dasarnya, kerajaan Mataram bersifat agraris yang beribukota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan keikutsertaan oleh Belanda. Kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Hal ini mengakibatkan adanya perpaduan antara pengaruh arsitektur Jawa kuno dan kolonial di Tegal dan daerah pesisir lainnya (Alamsyah 2008). Berdasarkan sejarah perkembangan Mataram di Tegal, Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan gelar yang diperoleh oleh Mas Rangsang selama memerintah Kerajaan Mataram. Raja-raja Mataram sebelumnya, secara berturutturut disebutkan Sultan Hadiwijaya (1550-1582), Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati (1582-1601), Mas Jolang yang merupakan putra dari Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), dan barulah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa. Di bawah pemerintahan Sultan Agung atas Mataram (1613-1645),
23
Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered (Hoeve 2003). Berdasarkan sejarah perkembangan Mataram di Tegal, Sultan Agung selama berkuasa memiliki tujuan menyatukan daerah-daerah di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung agar tidak membahayakan kedudukan Mataram. Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda. Pada tahun 1625 Belanda mendirikan kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur (Anonim 2007). Sultan Agung mengangkat Tumenggung sebagai Adipati Tegal untuk mempertahankan wilayah pesisir barat. Wilayah kekuasaan Tumenggung meliputi Tegal, Brebes, dan Losari. Tegal sebagai pertahanan Mataram yaitu sebagai pintu gerbang Mataram di wilayah barat dan memiliki pelabuhan besar yang menguntungkan bagi Mataram (Rochani 2005). Kekuasaan Mataram telah meliputi sebagian besar wilayah Jawa, sehingga mempengaruhi kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Salah satu kerajaan yang dibawah kekuasaannya yaitu Kesultanan Cirebon. Hal ini juga melatarbelakangi pengaruh besar yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Tegal. Cirebon terletak di bagian pantai utara Jawa Barat. Pada saat itu, Kesultanan Cirebon memiliki wilayah yang meliputi beberapa kabupaten, seperti Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon. Berdasarkan Babad Negarakertabumi, kata Cirebon berkembang dari kata “caruban” yang berasal dari istilah “sarumban”. “Sarumban” memiliki arti pusat percampuran penduduk. Pada abad 16 Cirebon dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walasungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Walasungsang dianggap sebagai pendiri Cirebon, meningkatnya status Cirebon menjadi kesultanan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten (Hoeve 2003). Budaya Cirebon memiliki pengaruh pada budaya yang berkembang di Tegal pada saat Mataram memberikan pengaruh pada kerajaan Cirebon. Menurut
24
Hoeve (2003), pada saat Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Panembahan Ratu, masa pemerintahannya dibawah pengaruh Mataram. Pengaruh Mataram pada tahun 1590 yaitu pada saat Panembahan Senapati membantu dalam memperkuat tembok yang mengelilingi Cirebon. Menurut Dewi (2009), tahun 1678 kesultanan Cirebon di bawah perlindungan Banten terbagi menjadi 3, antara lain: Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman, dan Panembahan. Menurut Daryono et al. (2008), setelah masa Sultan Agung sebagai Raja Mataram, kemudian digantikan oleh Sunan Amangkurat 1. Amangkurat I merupakan raja keempat Kerjaaan Mataram Pada saat masa Amangkurat I terjadi pemberontakan Trunojoyo. Amangkurat I termasuk raja yang berkuasa di Tegal di bawah bendera Mataram. Amangkurat I meninggal pada saat mengasingkan diri atas pemberontakan yang terjadi, sehingga meninggalkan keratonnya di Plered. Amangkurat I meninggal di Ajibarang, kemudian dimakamkan di Desa Pasarean, Kabupaten Tegal. Amangkurat I berwasiat kepada Adipati Anom berbunyi: “Tunggalna lan guruningwang ing lemah memuncak”. Tegal merupakan daerah yang dipercaya Mataram pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I sebagai daerah pengamanan Mataram. Pada saat Mataram menyerang ke Batavia, Tegal dijadikan sebagai gudang makanan. Siasat yang dilakukan oleh Mataram ini diketahui oleh mata-mata VOC, sehingga gudang makanan tersebut dibakar. Setelah penyerangan VOC di Tegal, VOC mengarahkan perhatiannya pada Cirebon (Alamsyah 2008). Daryono et al. (2008) mengutarakan bahwa setelah Amangkurat I meninggal dunia, digantikan oleh Adipati Anom. Adipati Anom adalah anak dari Amangkurat I. Menurut cerita sejarah, Adipati Anom merasa tidak senang dengan perlakuan Amangkurat I. Adipati Anom berkerjasama dengan Pangeran Trunajaya dari Madura mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan pemberontakan “Trunajaya”.
Setelah
berhasil
menyingkirkan
Amangkurat
I,
Trunajaya
menginginkan kekuasaan Mataram. Adipati Anom diutus untuk merebut kembali Mataram dari tangan Trunajaya. Adipati Anom berusaha merebut kembali Mataram dari tangan Trunajaya dengan mengutus Martoloyo untuk melakukan penyerangan. Adipati Anom diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senapati-Ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Natagama
25
(Amangkurat II). Selama Kerajaan Mataram di Tegal, ternyata Tegal pernah menjadi “Ibu Kota Kerajaan Mataram”. Menurut Poesponegoro et al. (1993), pada masa perang trunajaya tahun 1677, Adipati Martoloyo menjabat sebagai Wedana Bupati Pesisiran Kilen yang bertempat di Tegal. Selain menggunakan gelar adipati atau tumenggung, penguasa daerah pesisiran juga memakai gelar Kyai Demang atau Kyai Ngabehi, terutama yang menjabat sebagai bupati. Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC untuk melakukan perlawanan kepada Trunajaya. VOC memperoleh imbalan yaitu sebagian wilayah kekuasaan Mataram, termasuk Tegal. Pada tahun 1680, VOC mengangkat dirinya sebagai penguasa daerah pesisir, termasuk Tegal menjadi daerah kekuasaanya.
Tegal pada Era Kolonial Tahun 1729-1900, pemerintahan Belanda di Kota Tegal dipegang oleh Residen Belanda dan pemerintahan tradisional Tegal dipegang oleh bupati (Suputro 1959). Kantor Residen Belanda berada di dekat benteng Belanda yaitu di sekitar pusat kota. Pusat kota ditandai dengan kediaman pejabat dan gedung pemerintahan. Segala infrastruktur Belanda diposisikan di wilayah bagian timur kota dekat dengan pelabuhan Tegal. Arsitektur bangunan belanda sangat khas dengan bangunan menyerupai benteng dan berjendela besar yang disebut dengan bangunan indis (Soekiman 2000) Wilayah kota dan kabupaten di Tegal memiliki latar belakang masyarakat dan pandangan yang sama. Sejak dicetuskannya sumpah bersama pada perayaan Hari Proklamasi RI tanggal 17 agustus 1949 yang berbunyi: “Kami rakyat Indonesia dari Kabupaten dan Kota Tegal bersumpah tetap berjuang hingga tercapai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka bulat berdasarkan Pancasila”. Hal ini merupakan suatu bentuk keformalitasan untuk diketahui bahwa Kota dan Kabupaten Tegal tidak memiliki perbedaan karena semuanya bermula dari Desa Tetegal (Daryono et al. 2008). Belanda melakukan sistem tanam paksa untuk komoditas tebu bagi masyarakat Tegal. Komoditas tebu ini dipergunakan untuk memenuhi pasokan
26
tebu ke pabrik gula Pangkah, Banjaratma, dan Jatibarang. Hal ini menyebabkan rakyat tidak menanami sawah-sawahnya dengan tanaman padi. Lokasi didirikannya pabrik pengelohan tebu bertempat di beberapa tempat, diantaranya Pagongan, Kemantran, Dukuhringin, Pangkah, Balapulang, dan Ujungrusi (Daryono et al. 2008). Menurut Alamsyah (2008), sektor pertanian di Tegal dikembangkan sebagai penopang perekonomian VOC, sehingga tanaman tebu diarahkan menjadi perkebunan yang menjadi devisa penting dalam bentuk pabrik gula. Alamsyah (2008) mengungkapkan bahwa pada masa Pakubuwono II berkuasa, Sunan meminta bantuan kepada VOC untuk menumpas pemberontak Cina yang berlangsung selama 3 tahun yaitu pada tahun 1740 hingga 1743. Di Tegal terjadi pemberontakan yang disebut “Geger Pecinan” sebagai bentuk pemberontakan atas kompetisi dagang antara VOC dan pedagang Cina. Di akhir abad XIX, Belanda memasuki periode liberal yang ditandai dengan memberikan peluang bisnis kepada pihak swasta yang dikelola oleh orang Belanda maupun Cina. Setelah pemerintahan liberal, pemerintahan Belanda melakukan politik etis dengan masyarakat pribumi. Terjadi desentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda atas Tegal. Pada tahun 1901, Tegal dijadikan 2 wilayah penting yaitu kota dan kabupaten (Soemarna 1984). Masuknya etnis Cina, Arab, dan Madura di Tegal dikarenakan hubungan dan kepentingan dagang. Hal ini dikarenakan oleh adanya pelabuhan di Tegal. Potensi pelabuhan di Tegal berkembang dengan cepat, terutama fasilitas jasa yang dikarenakan adanya hasil produksi dari pertanian dan perkebunan yang melimpah di Tegal. Hasil pertanian dan perkebunan yang dikembangkan di Tegal, antara lain padi, tebu (setelah tahun 1840, permintaan terus meningkat), kopi (di tanah-tanah kering), Faktor ini mendorong kerjasama antara masyarakat pribumi dan masyarakat etnis dalam mengembangkan sektor jasa di pelabuhan Tegal. Keberadaan kebudayaan maritim dikarenakan adanya pelabuhan di Tegal dan dinamika masyarakat pesisir dimulai sejak masa Mataram Islam (Alamsyah 2004).
27
Kebudayaan Tegal Kebudayaan di Tegal sangat beragam, tetapi masih berpegang teguh pada budaya Jawa. Masyarakat Tegal dikenal bersifat terbuka yaitu berkeinginan untuk mengenal pengetahuan baru. Perkembangan kebudayaan diawali dengan sebuah tradisi. Penyelenggaraan tradisi di Tegal, selain berasal dari nilai-nilai budaya Jawa juga berasal dari pengaruh-pengaruh budaya lainnya, seperti Cina dan Arab (Kustomo 2004). Masyarakat Tegal memiliki kebiasaan kegiatan berkumpul disertai dengan acara minum teh bersama yang dikenal dengan tradisi moci. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari oleh laki-laki. Menurut Su’ud (2003), tradisi minum teh yang dimulai pada tahun 1930-an, dilatarbelakangi dengan berdirinya pabrik teh di Tegal. Tradisi moci ini dilakukan dengan poci yang terbuat dari tanah liat. Menurut Kustomo (2004), teh poci menggunakan campuran antara gula batu dan teh pahit aroma melati diseduh dengan menggunakan poci dari tanah liat. Traidisi mengisyaratkan untuk selalu membina kerukunan antar sesama dan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa. Adapun tradisi masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh penghargaan dan rasa hormat kepada tokoh Mbah Panggung. Mbah Panggung merupakan tokoh yang berperan serta mendirikan Tegal. Menurut Hartatik (2009), kepercayaan yang berkembang di Tegal yaitu dahulu Tegal merupakan sebuah atol (pulau karang) yang dikelilingi oleh laut. Kemunculan Tegal berasal dari penggabungan sebuah atol dengan Pulau Jawa. Atol ini dipercaya merupakan tempat Mbah Panggung untuk bermunajad. Saat ini, Atol dipercaya terletak di Kelurahan Panggung, Tegal. Tradisi yang dilakukan setiap tanggal 6 bulan Syaban untuk mengenang jasa Mbah Panggung yaitu sowan (ziarah) ke makam Mbah Panggung, kemudian dilanjutkan dengan nglarung sesaji di laut. Tradisi lainnya yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh sejarah Tegal pada era Mataram saat mengadakan penyerangan ke Batavia. Bentuk strategi Mataram yaitu mendirikan bedeng darurat. Bedeng darurat ini diakomodasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan prajuri Mataram yang bersiap menggempur Batavia pada tahun 1628 dan 1629 di bawah perintah Sultan Agung. Bedeng darurat ini kemudian berkembang menjadi
28
sebuah rumah makan yang saat ini dikenal dengan warung Tegal atau “warteg”. Hingga saat ini, pendirian usaha warteg menjadi tradisi yang membudaya bagi masyarakat Tegal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di kota-kota besar (Rahayu 1999). Carey (2008) menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat keturunan Cina dan Jawa telah lama terjalin sejak abad XIX. Keberadaan kebudayaan Cina di Tegal telah mengakar pada masyarakat Tegal. Tradisi kebudayaan Cina di Tegal yang terkenal yaitu Toa Pe Kong dapat dilihat pada gambar 7. Perayaan Toa Pe Kong termasuk ke dalam rangkaian perayaan tahun baru Imlek, acara perayaan Capgome. Kegiatan diwarnai dengan sembahyang kepada dewa pujaan umat Tao, yakni Tek Hay Cin Jin. Sejumlah umat melakukan sembahyang untuk memohon berkah kepada dewa yang dianggap sebagai panglima para dewa tersebut. Bagi masyarakat Kota Tegal dan sekitarnya, khususnya kaum nelayan, Tek Hay Cin Jin merupakan dewa pelindung (nama asli Kwee Lak Kwa) dijadikan sebagai dewa pujaan utama di Kelenteng Tek Hay Kiong Kota Tegal. Beberapa sesaji berupa daging ayam serta makanan lain dan air yang telah dicampur dengan bunga yang telah disembahyangi diperebutkan bagi masyarakat Tegal karena dipercaya membawa berkah.
Gambar 7 Perayaan Toa Pe Kong di Tegal (Sumber: Daryono et al. 2008).
29
Arsitektur tradisional khas Tegal yaitu tipe limasan dikenal dengan potong inten (limasan kilen) (Daryono et al. 2008). Nas dan Vletter (2008) menyatakan bahwa unit dasar tipe limasan diperluas pada bagian sisi kanan dan kiri. Penambahan kolom dengan struktur atas yang menjurai. Bagian tengah rumah dibangun sedikit lebih tinggi. Tegal memiliki sumber peninggalaan kebudayaan yang mempengaruhi tata ruang Tegal. Perkembangan dan perubahan tata ruang di Tegal terjadi pada era Mataram hingga kolonial. Perubahan ini juga berdampak pada perubahan dan kedudukan sistem pemerintahan. Wujud bangunan arsitektur pada bagian utara Tegal banyak menampakan ciri bangunan Indis. Hal ini sebagai wujud peninggalan di era kolonial, bangunan Indis di Tegal ditandai dengan adanya kolom-kolom tipe dorik sebagai penciri arsitektur bergaya Eropa, sedangkan konsep arsitektur budaya Jawa, seperti pendopo terlihat pada tata ruang balai pemerintahan di Tegal dapat dilihat pada (Gambar 8). Adapun tata ruang yang umumnya terdapat pada sebagian besar daerah di Jawa yaitu alun-alun. Alun-alun difungsikan sebagai pusat aktivitas masyarakat (town center). Alun-alun dikenal sebagai penciri konsep tata ruang khas Jawa (Larasaty 2007).
Bangunan Balai Kota Lama (Gedung DPRD)
Pendopo di Balai Pemerintahan Tegal.
Gambar 8 Sumber Peninggalan Budaya di Tegal (Sumber: Daryono et al. 2008). Pada daerah-daerah di Jawa, salah satunya Tegal terdapat alun-alun sebagai pusat kota (town center). Alun-Alun Tegal bergaya Mataraman sebagai peninggalan kekuasaan Mataram yang mengadopsi konsep sadulur papat kalmia
30
pancer (Daryono et al. 2008). Menurut Santoso (1981), alun-alun pada zaman prakolonial berfungsi sebagai : 1) lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya, 2) tempat semua upacara keagamaan yang penting, 3) tepat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane. Konsep alun-alun di Tegal memiliki kesamaan dengan alun-alun di Yogyakarta dan Surakarta, hanya terdapat sedikit perbedaan. Kesamaan tersebut berdasarkan konsep tata ruang Jawa yang diwakilkan dengan keberadaan bangunan-bangunan penting di sekitar alun-alun. Sebelah barat alun-alun Tegal berdiri bangunan Masjid Agung Tegal. Sebelah timur berdiri kompleks bangunan pusat pemerintahan Tegal. Sebelah barat alun-alun Tegal berdiri bangunan pelayanan masyarakat. Sebelah selatan dihubungkan dengan akses menuju Taman Pancasila dan Stasiun Tegal (Anonim 2007).
Tata Ruang Tegal Tegal sebagai salah satu wilayah di bagian Utara Jawa dekat dengan Pantai Utara Jawa (pantura). Wilayah Tegal membentang dari pantai di bagian utara hingga daerah gunung di daerah selatan. Tegal sebagai salah satu kota yang dibangun pemerintah Hindia Belanda juga didirikan pada awal abad XX. Pada abad masuknya pemerintahan Hindia Belanda menyebabkan wilayah Tegal dibagi menjadi 2 yaitu kota dan kabupaten (Daryono et al. 2008). Pada bagian kota Tegal banyak terjadi akulturasi budaya yaitu terdapat perkampungan Arab, Cina, hingga perumahan orang-orang Eropa pada pemerintahan Hindia Belanda (Kartodirdjo, 1999). Sekitar pelabuhan pada bagian kota Tegal banyak berdiri bangunan bergaya arsitektur Belanda, seperti rumah tinggal, perkantoran, pabrik, dan hotel (Daryono et al. 2008). Slawi sebagai Ibu Kota Kabupaten Tegal yang terletak di sebelah selatan Kota Tegal. Slawi berbatasan dengan Kecamatan Adiwerna di utara, Kecamatan Pangkah di timur, Kecamatan Lebaksiu di selatan dan Kecamatan Dukuhwaru di sebelah barat. Secara administratif, Slawi memiliki 18 kecamatan dan 287 desa atau kelurahan. Kabupaten Tegal berdiri pada tanggal 18 Mei 1601 oleh Ki Gede Sebayu sebagai juru demung di Tegal oleh Sultan Mataram (Suputro 1959).
31
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di wilayah kota dan kabupaten Tegal (Gambar 9). Tegal merupakan salah satu daerah yang terletak di sebelah utara Jawa Tengah. Wilayah Tegal tersebut berbatasan dengan : 1) sebelah utara adalah Laut Jawa 2) sebelah timur adalah Kabupaten Pemalang 3) sebelah barat adalah Kabupaten Brebes 4) sebelah selatan adalah Kabupaten Brebes dan Banyumas Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.
Gambar 9 Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal serta Batas Administrasi Kecamatan.
32
Metode dan Tahapan Penelitian Pelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui survei lapang dan penelusuran informasi sejarah-kebudayaan. Sumber informasi tersebut diketahui melalui penelusuran sumber tertulis dan sumber tak tertulis (Gottschalk 1983). Beberapa langkah penting dalam penelitian ini yaitu: 1) pemilihan dan penetapan subjek yang diteliti: elemen-elemen penting taman rumah tinggal, tradisi, dan budaya masyarakat Tegal. 2) sumber informasi untuk mendukung dan mendefinisikan subjek yang diteliti: arsip penting, narasumber ahli seperti sejarawan dan budayawan Tegal, lanskap budaya, bangunan arsitektural, dan studi literatur. 3) melakukan analisis terhadap butir (2) dalam koridor butir (1), dan 4) menarik kesimpulan dari hasil analisis pada butir (2) yang dapat mewakili hasil kajian. Berdasarkan langkah-langkah tersebut, maka disusun tahapan penelitian sebagai berikut: 1. Tahapan Pengumpulan Informasi Tahap ini ditujukan untuk mendokumentasikan informasi yang diperoleh melalui observasi lapang, wawancara, dan studi literatur. Secara rinci adalah sebagai berikut: a. Observasi lapang: Cara ini ditempuh untuk mengetahui susunan elemenelemen arsitektural dan taman rumah tinggal di Tegal. Observasi lapang dilakukan pada tiga wilayah utama di Tegal, meliputi bagian dekat dengan pantai, perkotaan, dan pegunungan. Pada wilayah dekat pantai, observasi lapang dilakukan di desa mejasem timur, Desa Bojongsari (Kecamatan Suradadi) dan Desa Mejasem Kramat. Pada bagian perkotaan di Tegal, observasi lapang dilakukan di Desa Pasarean (Desa Lemah Dhuwur), Desa Mangkukusuman (Kecamatan Tegal Timur), dan Slawi, Kabupaten Tegal. Observasi lapang di daerah pegunungan dilakukan di Kecamatan Jatinegara, Bojong, dan Bumijawa. Berikut daftar tabel sumber rumah tinggal yang dijadikan sample untuk penelitian ini (Tabel 4).
33
Tabel 4. Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian No.
Lokasi Rumah
Jumlah Rumah
1
pesisir
5
2
perkotaan
6
3
pegunungan
4
Pemilik Rumah Bpk. Sunarto Bpk. Surya Bpk. Kadiman Bpk. Narto Ibu. Waljinah Bpk. Sargam Bpk. Agus Bpk. Narto Bpk. Mulyadi Bpk. Daryono Bpk. Mukmin Bpk. Dirman Bpk. Sukirman Bpk. Sutarno Ibu. Yati
b. Wawancara: suatu cara untuk menghimpun informasi berkaitan dengan pandangan mengenai informasi budaya tegal dan elemen taman rumah tinggal masyarakat Tegal. Informasi ini diperoleh melalui narasumber seperti sejarawan, budayawan, dan tokoh-tokoh praktisi yang mengetahui latar belakang kebudayaan masyarakat Tegal (Tabel 5).
Tabel 5. Daftar Nama Narasumber No. 1
Narasumber Yono Daryono
Bidang Pekerjaan Tokoh teater di Jawa Tengah dan budayawan Tegal
2
Eko Tunas
Seniman dan Budayawan Tegal
3
Nurngudiono
Kepala Dewan Kesenian Tegal
4
Akur Sujarwo
Kepala Dispora Tegal
5
Atmo Tan Sidik
Budayawan Tegal dan Kepala Sie. Media Cetak dan Elektronik di Kantor Informasi dan Humas Kab. Brebes
6
Wijanarto
Budayawan Tegal
7
Agus Wijanarko
Budayawan Tegal
8
Pujianto
ustad di Kelurahan Panggung, Tegal dan keturunan Amangkurat asli Tegal
34
Wawancara dilakukan dengan metode indepth interview yaitu secara langsung dan mendalam dengan narasumber terkait. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil topik-topik kepada narasumber mengenai karakter dan budaya masyarakat Tegal, tata ruang tempat tinggal, tanaman khas yang ditanam di sekitar tempat tinggal, pengaruh, dan aktivitas tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Tegal. c. Studi Literatur: cara ini ditempuh untuk menelusuri sumber-sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis tersebut dapat berupa arsip penting dan literatur pustaka. Arsip penting diperoleh dari dinas-dinas pemerintahan Tegal dan literatur diperoleh dari perpustakaan daerah Tegal, jejaring berkala, jurnal, buku-buku dari budayawan Tegal, dan perpustakaan LSI-IPB.
2. Deskripsi Informasi Pada tahapan ini, informasi dideskripsikan dengan melihat hubungan keterkaitan antara informasi satu dan yang lainnya secara tepat. Informasi yang diambil pada tahap pengumpulan informasi disajikan dalam bentuk (Tabel 6):
Tabel 6. Jenis, Bentuk, dan Sumber Data Jenis Data Pola Rumah Tinggal Masyarakat Tegal
Bentuk Data Foto dan Gambar
Sumber Data Dokumentasi Pribadi dan Wawancara
Pola dan Fungsi Ruang Rumah Tinggal Tradisi Masyarakat Tegal Filosofi dan Bentuk Elemen Pembentuk
Foto dan Gambar Deskripsi dan Foto Deskripsi
Dokumentasi Pribadi dan Wawancara Dokumentasi Pribadi dan Wawancara Wawancara
3. Analisis Informasi Tahap analisis informasi yaitu memeriksa dan mengevaluasi informasi dengan faktor-faktor lainnya. Adapun langkah-langkah di dalam tahap analisis ini, diantaranya:
35
a. Tahap klasifikasi dan pengumpulan yaitu untuk memudahkan penelusuran faktor-faktor budaya dan elemen-elemen penting taman rumah tinggal. b. Penentuan dan pembagian tingkat pentingnya informasi dan hubungan keterkaitan dengan informasi lainnya. Tahap ini dilakukan pembahasan secara mendalam.
4. Sistesis dan Konsep Tahap ini merupakan penjabaran hasil analisis untuk mengetahui kekhasan elemen-elemen penting taman rumah tinggal masyarakat Tegal. Elemenelemen penting tersebut dapat mencitrakan masyarakat Tegal. Dari elemen tersebut disusun suatu konsep yang dapat dijadikan dasar dalam mendesain taman rumah tinggal masyarakat Tegal.
Kerangka Berpikir Penelitian Kerangka berpikir ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya informasi mengenai taman rumah tinggal masyarakat Tegal, sehingga perlu dilaksanakan penelitian dengan langkah awal meliputi kegiatan observasi lapang, studi literatur, dan wawancara. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal pada tiga wilayah di Tegal yang dilakukan langsung melalui observasi lapang. Dari langkah penelitian melalui studi literatur akan diperoleh informasi terkait secara teori mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal di Tegal. Wawancara dengan narasumber dapat diperoleh suatu pengetahuan dan pendapat mengenai informasi terkait. Dari keseluruhan informasi tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk mendapatkan hubungan yang saling keterkaitan untuk memperkuat pemahaman mengenai kekhasan elemen-elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal yang disesuaikan dengan latar belakang budaya dan tradisi masyarakat Tegal. Berikut di bawah ini merupakan kerangka berpikir penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 10.
36
Gambar 10 Kerangka Berpikir Penelitian.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Observasi Lapang Pola tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal pada ketiga wilayah yaitu dekat pantai (pesisir), perkotaan, dan pegunungan memperlihatkan pola yang relatif sama. Pada umumnya tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal terdiri atas halaman depan, rumah, dan halaman belakang. Antara halaman depan dan rumah terdapat teras. Orientasi arah pembangunan rumah tinggal di Tegal umumnya mengikuti arah utara atau selatan. Orientasi arah pembangunan rumah tinggal masyarakat perkotaan dan pegunungan tidak seluruhnya mengarah ke utara atau selatan, tetapi juga mengikuti jalan di depannya. Batas rumah antara ketiga wilayah memiliki perbedaan, pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki pagar yang terbentuk dari penanaman tanaman, sedangkan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menggunakan dinding bata atau fence. Gerbang pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan umumnya tidak terlihat jelas, sedangkan pada rumah tinggal masyarakat perkotaan terlihat jelas ditandai dengan pintu masuk (Tabel 7). Sirkulasi pada ketiga wilayah umumnya sama yaitu terlihat lurus menuju pintu masuk rumah. Pada rumah tinggal masyarakat perkotaan di Tegal terdapat sirkulasi di samping rumah yang terlihat jelas dan ditandai dengan pintu masuk, dapat dilihat pada Tabel 7. Ruang teras terdapat pada rumah tinggal di ketiga wilayah Tegal. Pendopo sebagai ruang khusus yang menandakan salah satu prinsip tata ruang khas Jawa hanya terlihat pada tata ruang rumah tinggal masyarakat perkotaan golongan bangsawan di Tegal. Komponen sumur dan dapur diletakkan terpisah dari bangunan utama rumah masyarakat pesisir. Antara bangunan utama rumah dan dapur terdapat ruang terbuka dengan bagian penutup dari tanah liat atau tegel. Terdapat halaman belakang yang luas pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan, sedangkan relatif sempit pada masyarakat perkotaan. Halaman samping tidak memperlihatkan ciri khas dari tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal karena tidak konsisten ada pada ketiga wilayah tersebut (Tabel 7).
38
Tabel 7. Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal Komponen dan Elemen Tata Ruang
Wilayah Pesisir
Perkotaan
Pegunungan
Orientasi Ruang
utara-selatan
Utara-Selatan atau mengikuti jalan
Utara-Selatan atau mengikuti jalan
Batas Tapak
Ada, tidak konsisten, ada yang berpagar tanaman dan ada juga yang tidak berpagar
Ada, terbentuk dari pagar dinding atau fence
Ada, terbentuk dari tanaman pagar
Gerbang
Tidak ada atau terbuat dari potongan bambu Luas
Tidak ada atau ada
Tidak ada
Luas atau sempit
Luas atau sempit
Sirkulasi Utama
Lurus dengan pintu rumah
Lurus dengan pintu rumah dan sirkulasi samping rumah
Lurus dengan pintu rumah
Pendopo
Tidak ada
Ada atau Tidak ada
Tidak ada
Teras
Ada
Ada
Ada
Halaman Belakang
Luas
Sempit
Luas atau sempit
Halaman Samping
Ada atau tidak ada
Ada atau tidak ada
Ada atau tidak ada
Sumur
Terpisah dari rumah
Menyatu
Menyatu
Dapur
Terpisah dari rumah
Menyatu
Menyatu
Halaman Depan
Perbedaan rumah tinggal pada ketiga wilayah tersebut juga dapat dilihat dari bentuk arsitektur dan bahan (material) pembentuknya. Pada Gambar 11, pemakaian bahan (material) pada rumah tinggal masyarakat pedesaan di daerah pegunungan menggunakan kayu. Hal ini dilatarbelakangi kemudahan mencari kayu di sekitarnya. Pada lingkungan pesisir dan perkotaan dibangun dengan menggunakan batu-bata dan kapur sebagai perekatnya dengan ketebalan dinding sekitar 20 cm. Pada rumah tinggal di lingkungan pesisir dan perkotaan dicat dengan warna putih. Pada arsitektur atap memiliki kesamaan antara rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan yaitu limasan dengan tambahan di atas teras yang disebut emperan (Lampiran 3). Atap menggunakan material genting tanah liat berwarna merah. Pada bagian teras terdapat tiang penyangga yang terbuat dari bahan kayu pada wilayah pegunungan, sedangkan pada wilayah pesisir dan perkotaan telah menggunakan bahan dinding bata.
39
Rumah Tinggal di Wilayah Pesisir
Rumah Tinggal di Wilayah Pegunungan
Rumah Tinggal di Wilayah Perkotaan
Gambar 11 Bentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal.
Gaya arsitektur rumah tinggal masyarakat Tegal yaitu perpaduan antara gaya arsitektur Jawa kuno dan kolonial, tetapi pada arsitektur perkotaan lebih menunjukan gaya arsitektur kolonial (Lampiran 1). Bagian pintu dan jendela memiliki ukuran yang relatif besar. Pada rumah tinggal golongan bangsawan mengikuti pola tata ruang tradisional Jawa yang letaknya di perkotaan. Penataan tata ruang rumah ini dilatarbelakangi oleh individu yang memahami prinsip tata ruang tradisional Jawa dan mendalami falsafah Jawa di dalam kehidupannya.
Batas Tapak Rumah tinggal masyarakat pedesaan dibedakan ke dalam wilayah pesisir dan pegunungan. Bagian pagar dibuat dari penanaman tanaman (Lampiran 3). Tanaman yang difungsikan sebagai pagar sebagai batas rumah tinggal masyarakat pesisir yaitu tanaman kedondong dan waru, sedangkan pada masyarakat
40
pegunungan lebih dominan menggunakan tanaman teh-tehan (Acalypha macrophyla). Pada tanaman kedondong dan waru ditanam memanjang, rapat, dan antar tanaman diikat dengan potongan bambu membentuk pagar (Gambar 12).
Gambar 12 Tanaman Kedondong sebagai Pagar Hidup.
Sirkulasi Sirkulasi yang ditunjukan dari gerbang menuju ruang dalam rumah yaitu lurus. Apabila dilihat secara interior bangunan rumah utama, sirkulasi ini juga lurus dengan posisi pintu sejajar dengan pintu lainnya yang menghubungkan antar ruang menuju bagian belakang rumah. Antar ruang utama yaitu ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan dipisahkan oleh dinding. Sirkulasi samping pada rumah tinggal masyarakat pesisir hanya berfungsi sebagai sirkulasi alternatif yang terbentuk dari jarak antar rumah, sehingga membentuk seperti lorong.
Teras Teras terletak di bagian depan rumah yaitu antara rumah dan halaman depan. Teras digunakan sebagai ruang penerimaan tamu dan bersantai. Pada teras terdapat pilar yang berfungsi untuk menyangga atap (model atap emperan) Fasilitas yang terdapat di teras yaitu kursi dan meja, tetapi pada masyarakat pesisir pada teras terdapat bangku yang menyatu dengan dinding dan terletak di bagian ujung kanan dan kiri. Pada rumah tinggal masyarakat pesisir bagian teras tidak
41
disertai dengan pagar pembatas, sedangkan pada rumah tinggal masyarakat perkotaan memiliki pagar. Pada masyarakat pegunungan juga tidak memiliki pagar pembatas. Sebelum memasuki teras pada bagian depan terdapat anak tangga dengan tinggi berkisat antara 0.4-0.8 meter (Gambar 13).
Gambar 13 Anak tangga menuju Teras.
Teras sebagai ruang yang menampung aktivitas interaksi antara penghuni dan tamu atau antar anggota keluarga. Pada lingkungan masyarakat pesisir dan pegunungan, interaksi juga dapat dilakukan di halaman depan dan halaman belakang. Hal ini dikarenakan memiliki halaman yang luas, sehingga dapat menampung banyak orang. Pada masyarakat perkotaan, interaksi tidak terjadi di halaman karena relatif sempit, sehingga terjadi di teras atau di dalam rumah.
Rumah Rumah berbentuk persegi panjang yang simetris. Pada umumnya bagian dalam rumah (interior ruang) dibagi menjadi 4 bagian penting yaitu ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dan ruang makan. Bagian kamar mandi dan sumur pada rumah tinggal di lingkungan pedesaan pada wilayah pesisir terpisah dari bangunan utama. Bagian dinding di pedesaan pesisir dibatasi oleh dinding tembok, sedangkan dinding di pedesaan pegunungan dibatasi oleh dinding kayu. Tinggi dinding dapat mencapai 5 meter dan bagian tertinggi terdapat pada ruang keluarga. Terdapat 2-4 kamar tidur yang ditempatkan sejajar, bagian pintu dapat
42
saling berhadapan atau menghadap ke arah ruang keluarga. Rumah memiliki pintu yang sejajar antara pintu depan, tengah dan belakang. Pintu dan jendela memiliki ukuran yang besar.
Halaman Belakang Pada rumah tinggal masyarakat Tegal umumnya terdapat halaman belakang yang digunakan untuk menanam tanaman obat atau sayur-sayuran dan beternak (Lampiran 2). Bagian dapur dan sumur pada rumah tinggal pesisir terpisah dari rumah utama dan letaknya di belakang, sedangkan pada wilayah pegunungan dan perkotaan menjadi satu dengan rumah. Pada halaman belakang juga digunakan untuk aktivitas beternak. Hewan yang diternakan biasanya dibuatkan kandang atau dibiarkan terlepas. Hewan yang dikandangkan yaitu kambing dan sapi, sedangkan hewan yang dibiarkan terlepas yaitu ayam, itik, dan angsa.
Mushola Mushola terletak bersebelahan dengan ruang makan. Letak mushola menyesuaikan dapat di bagian kiri atau kanan dari ruang makan dan bagian ini ditinggikan 0.6-1 meter (Lampiran 2). Keadaan ini berbeda dengan tata ruang rumah golongan bangsawan di Tegal dimana mushola ditempatkan terpisah dari rumah yang berada di bagian barat dekat dengan pintu gerbang.
Tanaman Penanaman tanaman berada di sekitar halaman depan dan halaman belakang. Sebagian besar tanaman yang tumbuh di sekitar halaman depan dan belakang memiliki ciri fisik bentuk tajuk yaitu bulat, oval, dan spread. Tekstur batang tanaman dominan kasar. Tanaman dengan tekstur halus diantaranya teh-tehan yang difungsikan sebagai pagar hidup dengan tinggi sekitar 0.6-0.8 meter. Warna daun tanaman yang ditanam di halaman umumnya berwarna hijau dengan sedikit bunga. Pemilihan warna daun selain warna hijau ditujukan untuk memberikan aksen.
Dilatarbelakangi tajuk yang relatif membulat dan spread maka penanaman tanaman di halaman depan ditujukan untuk peneduh dan penghias rumah, tetapi
43
pemilihan tanaman peneduh yaitu tanaman yang juga menghasilkan buah. Penanaman tanaman di halaman belakang lebih ditujukan untuk tanaman obatobatan dan tanaman berbuah. Tanaman yang ditanam merupakan tanaman yang mudah hidup pada kondisi setempat. Pada rumah tinggal masyarakat pesisir terdapat 3 tanaman khas pesisir yaitu pepaya (kates), sawo, dan kelapa. Hal ini juga terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat, tanaman tersebut biasanya ditempatkan di halaman depan. Tanaman yang sering dijumpai di seluruh wilayah yaitu mangga dan puring (Tabel 8). Tanaman mangga dapat difungsi sebagai peneduh dan tanaman yang dapat menghasilkan buah, sedangkan puring biasanya difungsikan sebagai tanaman pengarah (direct planting) dan pagar hidup (border planting). Selain itu, tanaman puring ditanam dengan latar belakang kepercayaan masyarakat setempat. Keladi hias, sirih merah, dan cengkeh merupakan tanaman yang hanya ditanam pada wilayah tertentu saja di sekitar halaman rumah tinggal masyarakat Tegal. Oleh karena itu, tanaman tersebut tidak dapat mencirikan kekhasan tanaman yang ditanam di sekitar halaman rumah. Pada umumnya, masyarakat yang menanam tanaman sirih merah di halaman depan mempercayai kekuatan penolak bala dari tanaman ini, sehingga dinilai sakral oleh masyarakat setempat. Tanaman cengkeh ditanam di belakang rumah, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu pegunungan, sehingga banyak dijumpai di daerah pegunungan. Pada Tabel 8, penanaman tanaman yang ada di wilayah pedesaan pegunungan cenderung bervariasi. Pada rumah tinggal golongan bangsawan cenderung sedikit karena hanya mengikuti pemilihan tanaman dan prinsip penanaman khas Jawa. Tanaman yang tergolong obat-obatan dan dapat dimanfaatkan buahnya yaitu jeruk, melinjo, kelapa, sukun, pisang, pepaya, dan nangka. Tanaman ini biasanya ditanam di halaman belakang. Tanaman yang berfungsi sebagai penghasil oroma (aromatic plant) biasanya ditempatkan di halaman depan rumah tinggal masyarakat perkotaan yaitu kamboja dan cempaka (Tabel 8). Tanaman ini digunakan sebagai aksen.
44
Tabel 8. Penanaman Tanaman di Lingkungan Rumah Tinggal No.
Jenis Tanaman
Keberadaan Tanaman pedesaan perkotaan Pes. Peg. Pes. Dar.
Fungsi
Ban.
1
Hanjuang (Cordyline sp.)
v
v
v
v
pengarah, pagar hidup
2
Sri rejeki (Aglaonema sp.)
v
v
v
v
display
3
Puring (Codiaeum variegatum)
v
v
v
v
v
pengarah, pagar hidup
4
Mangga (Mangifera indica)
v
v
v
v
v
peneduh, berbuah
5
Keladi hias (Caladium sp.)
6
Pisang (Banana sp.)
7
Pepaya (Carica papaya)
8
Sirih merah (Priper crocatum)
9
Delima (Punica granatum L.)
display
v v
v
v
v
v
berbuah
v
v
v
penangkal, berbuah
v
penangkal, dedaunan
v
berbuah, penangkal
v
v
berbuah, aromatik
v
10
Cengkeh (Syzygium aromaticum)
11
Teh-tehan (Acalypha macrophylla)
v
v
12
Kedondong (Spandias pinnata)
v
v
13
Sawo (Manilkara sp.)
v
v
v
14
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
v
v
v
v
peneduh, berbuah
15
Sukun (Artocarpus communis)
v
v
v
v
peneduh, berbuah
16
Melinjo (Gnetum gnemon)
v
v
v
v
peneduh, berbuah
17
Kelapa (Cocos nucifera)
v
v
v
v
peneduh, berbuah
18
Jeruk (Citrus sp.)
v
v
v
v
peneduh, berbuah
19
Kamboja (Plumeria alba)
v
v
aromatik, display
20
Cempaka (Michelia champaca)
v
v
21
Mangkokan (Nothopanax sp.)
v
v
v
v
v
v
pagar hidup pagar hidup peneduh, berbuah
v
aromatik, display pagar hidup
Keterangan: Pes= Pesisir, Peg= Pegunungan, Dar= Daratan, Ban= Bangsawan (tokoh masyarakat).
45
Hasil Wawancara Bagian dan fungsi komponen rumah tinggal masyarakat Tegal memiliki simbol atau penjelasan khusus dari narasumber mengenai karakternya. Hasil wawancara dengan narasumber berkaitan dengan tata ruang dan elemen taman rumah tinggal masyarakat Tegal dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komponen Rumah Tinggal Masyarakat Tegal Menurut Narasumber Komponen Rumah Tinggal Batas Tapak
Arsitektur Bangunan Ruang Halaman Pendopo Tanaman
Sirkulasi Aktivitas
Uraian Pendapat Narasumber Pada masyarakat lingkungan pedesaan tidak memiliki batas yang nyata dengan rumah tinggal tetangga, terkadang dibatasi dengan menggunakan pagar hidup dari tanaman yang dilatarbelakangi kesadaran sosial yang tinggi1 Gaya arsitektur mengikuti tata ruang Jawa yang dipengaruhi arsitektur kolonial1 Tata ruang rumah tinggal berbentuk kotak, simetri, dan saling sejajar2 Rumah tinggal memiliki halaman yang luas dan ditanami yang memiliki fungsi peneduh dan penyejuk3 Terdapat di halaman depan sebagai tempat penerimaan tamu sebagai rasa hormat4 • Tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) khusus ditanam apabila peghuni merupakan keturunan keraton atau tanah bekas keraton. Dan tanaman belimbing memiliki arti rukun iman5 • Tanaman-tanaman yang ditanam khususnya menghasilkan keteduhan dan jenis tanaman buah5 Lurus4 Tradisi moci yang berarti acara mengakrabkan dan mempererat tali persaudaraan dengan minum teh bersama menggunakan poci dan gula batu 7 • Rumah tinggal sebagai lingkungan hidup individu yang menempati sehingga merupakan pencerminan diri pribadi dan sifat individu tersebut2
Simbol
• Halaman mencitrakan suatu kebesaran 3 • Tanaman yang ditanam menunjukan sifat individu dan dapat menghadirkan suasana khusus atau didasari oleh kepercayaan setempat5 • Sirkulasi yang lurus memiliki makna ketulusan hati (tidak berprasangka buruk) disertai dengan ucapan kulo nuwun4 Keterangan: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Akur Sujarwo, Kepala Dispora Tegal. Wawancara tanggal 22 maret 2010. Atmo Tan Sidik, budayawan Tegal dan Kepala Sie. Media Cetak dan Elektronik Kantor Informasi dan Humas Kab. Brebes. Wawancara tanggal 24 april 2010. Nurngudiono, Kepala Dewan Kesenian Tegal. Wawancara tanggal 11 april 2010. Agus Wijanarko, budayawan Tegal. Wawancara tanggal 23 maret 2010. Wijanarto, budayawan Tegal. Wawancara tanggal 15 maret 2010. Pujianto, Ustad Kelurahan Panggung, Tegal dan keturunan Amangkurat asli Tegal. Wawancara tanggal 16 april 2010. Yono Daryono, tokoh teater di Jawa Tengah dan budayawan Tegal. Wawancara tanggal 19 april 2010.
46
Tata Ruang Rumah Tinggal dan Elemen Taman Tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal terdiri atas rumah dan halaman (Gambar 14). Halaman difungsikan sebagai tempat menanam tanaman dan tempat berinteraksi, sedangkan rumah difungsikan untuk penghuni sebagai tempat
bersosialisasi
antar
anggota
keluarga.
Secara
fungsi,
halaman
dikategorikan sebagai ruang publik, dimana orang lain dapat mengakses masuk tanpa izin terlebih dahulu (Booth 1988) dan terjadi pertemuan antara pemilik rumah dengan orang lain dari lingkungan luar serta biasanya berbentuk ruang terbuka (Yosita 2007). Berdasarkan kepercayaan budaya Jawa, halaman digambarkan sebagai kosmos horizontal dimana terjadi interaksi antar sesama individu (hubungan antara manusia dengan manusia dan lingkungan sekitar) (Mangunwijaya 1988). Booth (1988) juga menyatakan bahwa ruang privat dimaksudkan sebagai ruang yang hanya dapat diakses dan tempat berinteraksi pemilik, sehingga rumah termasuk ke dalam ruang privat.
Halaman Belakang
Halaman Samping
Rumah
Teras Halaman Depan
Gambar 14 Pembagian Fungsi Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal.
Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal selalu terdapat jalan yang dibuat di samping rumah, sehingga membentuk halaman samping (Gambar 14).
47
Halaman samping ini juga terbentuk dari ruang di antara rumah satu dengan yang lainnya. Berdasarkan perkembangan pada lingkungan rumah tinggal masyarakat pesisir, halaman samping berfungsi penting untuk mengikat antar massa bangunan, sehingga membentuk lorong dan berfungsi sebagai ruang pelayanan (Sardjono 1996). Jalan samping pada rumah tinggal masyarakat Tegal berfungsi untuk mempermudah gerak penghuni apabila terdapat acara-acara khusus di rumah. Jalan pada halaman samping ini dapat dikatakan juga sebagai ruang servis bagi penghuni karena berfungsi melayani kebutuhan penghuni (Booth 1988). Teras berfungsi sebagai ruang penerimaan tamu dan bersantai oleh pemilik rumah (Gambar 14). Menurut Booth (1988), teras memiliki fungsi ruang semi publik atau semi privat karena terjadi pertemuan antara individu tertentu yang memiliki tujuan khusus dengan pemilik rumah (bertamu) dengan mendapatkan izin terlebih dahulu. Menurut Mangunwijaya (1988), teras sebagai ruang penghubung antara rumah sebagai kosmos vertikal dan halaman sebagai kosmos horizontal, sehingga terjadi keseimbangan kosmos.
Orientasi Arah Hadap Orientasi arah hadap rumah tinggal mengarah ke arah utara atau selatan. Orientasi arah hadap utara atau selatan sangat terlihat pada lingkungan rumah tinggal pesisir. Orientasi arah hadap utara atau selatan dimungkinkan adanya pengaruh besar Mataram dahulu yang mempengaruhi penataan tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal. Orientasi arah hadap ruang dan rumah Jawa menurut Indartoyo (2008) mempunyai hubungan dengan arah utara-selatan di satu sisi dan timur-barat pada situasi lain. Berdasarkan kepercayaan budaya Jawa, menurut Widayati (1999) bahwa arah hadap utara atau selatan yang melambangkan Dewa Sang Hyang Batara Wisnu sebagai simbol pemelihara. Perlambangan ini mengisyaratkan bahwa rumah yang menghadap utara atau selatan akan membawa kebahagiaan dan ketentraman hidup bagi penghuninya (Wahyudi 2006).
48
Pintu Gerbang dan Pagar Pintu gerbang di tempat tinggal masyarakat Tegal hanya terdapat satu sebagai pintu masuk dan keluar. Menurut Setiawan (2000), pintu gerbang digambarkan sebagai pintu masuk kosmos (alam semesta). Pagar pada rumah tinggal masyarakat di pesisir menggunakan tanaman kedondong dan waru (Lampiran 3). Tanaman tersebut dipilih karena kemudahan dalam tumbuh dan perbanyakan. Antar tanaman dililitkan potongan bambu sehingga membentuk pagar tertutup. Adapun bagian pagar dapat berupa potongan bambu atau teh-tehan, seperti yang terdapat pada rumah tinggal di wilayah pegunungan. Kebanyakan rumahrumah di desa tidak diberi pembatas pagar, hanya saja batas pekarangan milik antar
warga
biasanya
menggunakan
(telajak)
pagar
dari
tanaman
(Koentjaraningrat, 1986). Karakter masyarakat Tegal di perkotaan dekat dengan pesisir mulai menunjukan nilai privasi yang tinggi, sehingga pagar ada yang berupa dinding atau menggunakan tanaman yang ditanam rapat. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa yang hidup di lingkungan perkotaan nilai-nilai tradisi gotong royong dalam budaya Jawa meluntur, sehingga hubungan antar warganya memiliki kedekatan kekerabatan yang rendah dibandingkan dengan wilayah pedesaan (Roqib, 2010). Gerbang dan pagar pada rumah tinggal bangsawan berukuran besar, tinggi, dan terbuat dari material alam (lampiran 6).
Teras dan Pendopo Teras dan pendopo merupakan ruang transisi antara rumah dan halaman. Teras berada di bagian depan dan menyatu dengan rumah. Kedudukan teras lebih tinggi dari tanah dan dapat mencapai ketinggian 0.4-0.8 meter dari tanah. Teras yang dibuat lebih tinggi dari tanah mengisyaratkan persamaan dengan adopsi arsitektur keraton dimana bagian dalem lebih tinggi dari tanah, ditandai dengan adanya anak tangga (Setiawan, 2000). Perbedaan tinggi tersebut biasanya disertai dengan anak tangga (Gambar 15). Interaksi yang terjadi di teras dapat dilakukan dengan duduk di lantai beralas tikar atau kursi yang mencerminkan suasana guyub rukun (Wibowo, 1987). Selain itu, teras menggambarkan keseimbangan kosmos dengan tujuan mewujudkan kerukunan antar sesama (Suseno, 1988).
Teras
49
sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk atau konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999). Terdapat tradisi masyarakat Tegal yaitu tradisi moci dimana menciptakan suasana intim dan kebersamaan (Lampiran 7). Pada rumah tinggal bangsawan terdapat pendopo pada bagian depan rumah (Lampiran 6).
ars itekturnya
Gambar 15 Bagian Teras Rumah Tinggal Masyarakat Tegal disertai Anak Tangga.
Rumah (Omah) Secara keseluruhan, rumah tinggal masyarakat Tegal memiliki pola berbentuk persegi panjang. Menurut Frick (1997), orang Jawa menganggap rumah sebagai tempat tinggal sebagai pribadi yang memilikinya. Gaya arsitektur dari ketiga wilayah memiliki kesamaan, begitu pula dengan baik tata ruang maupun penempatan komponen rumah, seperti pintu dan jendela (Lampiran 4). Nas dan Vletter (2008) menyatakan bahwa gaya arsitektur beberapa daerah di Indonesia memiliki karakter khusus yang terkadang secara eksternal terdapat pengaruh arsitektur asing. Pada
masyarakat
golongan
bangsawan
yaitu
tokoh
masyarakat
(bangsawan) memahami falsafah Jawa pada kehidupan sehari-harinya dan prinsip tata ruang Jawa yang diterapkan pada tata ruang rumah tinggalnya. Hal yang khusus diterapkan ke dalam tata ruang ini yaitu orientasi arah hadap, sehingga bagian muka rumah tinggal menghadap ke arah selatan. Orientasi arah hadap selatan mengikuti kaidah tata ruang tradisional Jawa yang diperuntukkan pada tata ruang rumah tinggal golongan bangsawan (Wardani 2000).
50
Sirkulasi Sirkulasi rumah tinggal masyarakat Tegal menghubungkan fungsi masingmasing ruang. Sirkulasi yang ditunjukkan menerus dari pintu gerbang menuju rumah dengan pola utama lurus (direct). Pernyataan ini memiliki kesamaan yang dikemukakan oleh Wardani (2007) bahwa pada umumnya konsep tata ruang di tempat tinggal masyarakat Jawa memiliki pola dari depan ke belakang. Sirkulasi ini mengarahkan seseorang untuk langsung menyatakan maksud kedatangannya oleh penghuni. Tata ruang tempat tinggal masyarakat Jawa terdiri dari beberapa ruang yang letaknya saling berhubungan dari ruang depan menuju ke ruang belakang, sehingga alur sirkulasinya dari ruang depan menerus ke ruang belakang (Hamzuri 1986). Oleh karena itu, antar ruang di dalam rumah memiliki batas yang jelas dengan dinding yang lengkapi pintu yang diletakan saling sejajar, sehingga menunjukan sirkulasi utama yang lurus.
Sumur (Pakiwan) Bagian sumur (pakiwan) dapat diartikan sebagai tempat bersuci untuk menghilangkan najis dan terbebas dari niat buruk. Pada tata ruang rumah tinggal golongan bangsawan (tokoh masyarakat) di Tegal, bagian pakiwan terletak di dekat pintu gerbang (regol) dan bersebelahan dengan mushola. Menurut Widayati (2000), letak kamar mandi atau sumur (pakiwan) di dekat pintu gerbang (regol) secara konsepsual sebelum masuk ke halaman atau naik ke pendopo, seseorang harus membersihkan kaki dan bersuci. Selain itu, pada tata ruang masyarakat pedesaan dan perkotaan memposisikan sumur (pakiwan) di bagian paling belakang rumah, dapat terpisah atau menyatu dengan rumah. Adapun penempatan sumur berada di belakang pada rumah tinggal masyarakat pedesaan pesisir dan pegunungan digunakan untuk mencuci dan mandi, digunakan bersama-sama dengan tetangganya.
Mushola Mushola merupakan bagian terpenting dalam tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal karena sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam. Mushola ditempatkan dibagian belakang bersebelahan dengan ruang makan dan
51
kamar tidur. Mushola dibuat lebih tinggi dari tanah dimaksudkan menjaga kebersihan dan kesucian (Lampiran 2). Berdasarkan budaya Jawa, mushola merupakan bagian dari rumah dimana rumah menempati kosmos vertikal dimana terjadi hubungan manusia dengan Tuhannya secara khusyuk (Mangunwijaya 1988), sehingga lantai mushola juga dibuat tinggi yang menunjukan bidang vertical. Pada tata ruang rumah tinggal golongan bangsawan, mushola ditempatkan di bagian barat dekat dengan pintu gerbang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widayati (2000) bahwa pada tata ruang tradisional Jawa, mushola ditempatkan di bagian barat dekat regol, di bagian samping terdapat pakiwan sebagai tempat bersuci.
Halaman Belakang Halaman belakang yang luas terdapat pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan. Pada halaman belakang masyarakat pesisir terdapat kandang ternak, sedangkan pada masyarakat pegunungan tidak ada. Kandang ternak memiliki letak yang berjauhan dengan sumur untuk menghindari bau yang tidak sedap. Ternak yang dikandangkan yaitu kambing. Pakan ternak diperoleh dari potongan daun kedondong. Sumur tidak hanya dimanfaatkan oleh penghuni, tetapi terkadang dimanfaatkan oleh tetangga.
Tanaman Tanaman pada rumah tinggal masyarakat Tegal ditanam di bagian halaman baik halaman depan maupun belakang. Dari ketiga tata ruang di ketiga wilayah ini, penaman tidak rapat karena lebih mengutamakan ruang terbuka (lawn) dan tanaman peneduh. Bagian halaman berupa hamparan rumput atau tanah baik di lingkungan pesisir maupun pegunungan dimana sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan (Roqib 2010). Masyarakat Tegal menanam tanaman di lingkungan rumah tinggalnya untuk menghasilkan keteduhan dan merekayasa udara agar selalu sejuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widayati (1999) yaitu bahwa menanam tanaman di sekitar halaman rumah tinggal difungsikan untuk menetralisir udara panas. Selain
52
itu, tanaman difungsikan sebagai pagar hidup, pengarah, dan estetika (menghasilkan keindahan) sekitar rumah tinggal. Penataan tanaman di rumah tinggal masyarakat pedesaan pesisir dapat dilihat pada Gambar 16. Di halaman depan terdapat tanaman yang ditanam mengelilingi rumah sebagai pagar hidup yaitu kedondong (Spandias pinnata). Tanaman pepaya (kates atau Carica papaya), sawo (Manilkara sp.), dan kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman khas pesisir di Tegal. Tanaman melinjo (Gnetum gnemon) termasuk jenis tanaman obat-obatan atau yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir ditanam di bagian halaman belakang rumah. Tanaman lainnya yang memiliki fungsi sebagai tanaman obat-obatan yaitu jeruk nipis, jeruk purut, mangkokan, sukun, kumis kucing, nangka, mangga, dan belimbing.
Gambar 16 Penanaman Tanaman di Rumah Tinggal Pedesaan Pesisir.
53
Pagar pada rumah tinggal masyarakat di pesisir tidak terlihat jelas karena jarak antar rumah yang relatif rapat, tetapi beberapa diantaranya memiliki kekhasan yaitu menggunakan tanaman kedondong atau waru (Gambar 17). Tanaman tersebut dipilih karena kemudahan dalam tumbuh dan perbanyakan. Antar tanaman dililitkan potongan bambu sehingga membentuk pagar tertutup.
Antar Tanaman Kedondong dililitkan dengan Potongan Bambu
Penggunaan Potongan Bambu yang dijadikan Pagar
Gambar 17 Pagar Hidup Rumah Tinggal Masyarakat Pedesaan di Pesisir.
Tanaman yang ditanam di sekitar rumah tinggal pedesaan baik di pesisir maupun di pegunungan yaitu tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Tanaman bambu (Bambusa sp.) tumbuh secara liar di belakang rumah atau terkadang sengaja ditanam karena sebagian masyarakat menggunakan batang bambu untuk keperluan membuat kandang ternak, anyaman dinding ataupun untuk pagar dari potongan bambu. Pada rumah tinggal masyarakat perkotaan di Tegal tetap mengutamakan adanya ruang terbuka (lawn) dengan beberapa tanaman peneduh (Gambar 18). Bagian ruang terbuka tersebut yaitu halaman depan dan belakang. Halaman belakang yaitu bagian yang dibatasi oleh dinding yang tinggi, sehingga menyatu dengan rumah. Selain masih berupa tanah, bagian halaman ada juga yang ditanami rumput. Rumput berfungsi untuk menyerap panas dan memberikan kesejukan di pagi hari. Halaman depan dan belakang di perkotaan cenderung sempit. Tanaman kelapa (Cocos nucifera) sebagai tanaman karakter pesisir terkadang juga ditanam di halaman depan rumah. Pada tata penanaman di perkotaan tidak hanya
54
mementingkan manfaat dari tanaman tersebut tetapi lebih menonjolkan keindahan (estetika). Jenis tanaman fungsi estetika ditanam di sekitar rumah untuk mempercantik tampilan halaman dan rumah. Menurut Wardani (2007), tanaman dapat menghasilkan keindahan sebagai pemenuhan kebutuhan aktualisasi manusia yaitu untuk menampilkan jati diri dan pribadi yang menghuni rumah tersebut. Selain faktor estetika, pemilihan tanaman di lingkungan rumah tinggal perkotaan lebih memilih tanaman aromatik. Beberapa tanaman aromatik tersebut yaitu tanaman yang menghasilkan bunga, misalnya kenanga, mawar, melati, dan cempaka. Bunga dari tanaman aromatik tersebut digunakan untuk wewangian ruangan. Menurut Roqib (2010), masyarakat Jawa pada umumnya menyukai wewangian yang dihasilkan dari tanaman aromatik, sehingga perlu ditempatkan di sekitar rumah. Penanaman tanaman ditanam pada bagain tepi dekat pagar atau rumah, sehingga tetap memperlihatkan ruang terbuka (lawn) (Gambar 18). Penanaman tanaman di rumah tinggal perkotaan juga terdapat tanaman pengarah dan pola tanaman yang ditanam sejajar di bagian depan rumah (Lampiran 5). Tanaman pengarah ditanam mengikuti desain sirkulasi yaitu puring, hanjuang, mangkokan, teh-tehan, dan soka. Tanaman puring memiliki arti memberi selamat baik ketika “nyambut” pengantin baru dan anak yang baru dikhitan. Tanaman puring yang ditanam sebagai tanaman pengarah dapat dilihat pada Gambar 18. Arti lainnya yaitu bagi pasangan suami istri akan dijauhkan dari keretakan rumah tangga (Herusatoto, 1983). Tanaman puring dapat dikorelasikan untuk menyambut tamu yang datang dan mengarahkan seseorang untuk mencapai maksud dan tujuannya yang ditanam di kedua sisi atau di salah satu sisi.
Gambar 18 Penanaman Tanaman di Halaman Depan Rumah Tinggal di Perkotaan.
55
Pemilihan dan penataan tanaman pada tata ruang rumah tinggal golongan bangsawan di Tegal di dasarkan atas prinsip penataan di lingkungan keraton. Menurut Setiawan (2000), pemilihan tanaman didasarkan atas keinginan individu untuk menciptakan keselarasan baik secara fungsi maupun mewujudkan tujuan tertentu dan tidak memiliki ketentuan khusus dalam penempatan tanaman. Penataan tanaman pada tata ruang rumah tinggal golongan bangsawan di perkotaan menghindari penanaman di dekat pendopo karena dapat menghalangi akses masuk ke pendopo. Menurut Soeharso (1985), akses menuju pendopo dan pada keempat sisinya tidak ditanami tanaman dan di sekeliling pendopo hanya berupa ruang terbuka. Penanaman tanaman di rumah tinggal golongan bangsawan dilakukan pada bagian tepi dekat dengan dinding tembok pagar dan pada bagian sudut bangunan (Gambar 19).
RUMAH
Gerbang
Gambar 19 Penanaman pada Rumah Tinggal Golongan Bangsawan di Tegal.
Konseptualisasi Taman Tegal Konsep Tata Ruang Pola tata ruang berbentuk persegi panjang. Konsep ruang taman Tegal pada halaman rumah tinggal dibagi menjadi 3 ruang penting yaitu halaman depan sebagai
56
ruang publik, rumah sebagai ruang privat dan halaman belakang. Rumah tinggal masyarakat Tegal di wilayah pesisir dan pegunungan memiliki teras yang digunakan sebagai tempat bersantai dan menerima tamu. Teras sebagai ruang semi privat terletak di antara rumah dan halaman depan yang difungsikan sebagai tempat berinteraksi menjadi bagian terpenting dalam tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal. Teras memiliki ketinggian lebih dari tanah, hal ini melambangkan kesucian dan sebelum memasuki rumah yang disimbolkan sebagai tempat agung (dalem ageng). Teras juga memiliki simbol sebagai ruang pertemuan antara kosmos vertikal dan horizontal. Teras pada rumah tinggal masyarakat perkotaan terdapat pagar dari kayu atau pagar yang dapat difungsikan juga sebagai tempat duduk yang dibuat dari dinding bata, sehingga pada umumnya dalam membuat suatu taman rumah tinggal masyarakat Tegal terdiri atas 3 ruang penting yaitu halaman depan, teras, dan rumah (Gambar 20). Pada masyarakat golongan bangsawan memiliki pendopo pada bagian depan rumah. Pendopo mewakili penggunaan prinsip tata ruang Jawa oleh masyarakat golongan bangsawan di Tegal. Pendopo memiliki arsitektur joglo dan memiliki fungsi yang sama dengan teras sebagai tempat menerima tamu dan bersantai (Gambar 21). Adapun mushola dan sumur (pakiwan) ditempatkan saling berdekatan dan dekat dengan pintu gerbang (regol). Hal ini juga dimaksudkan sebagai langkah mensucikan diri sebelum memasuki rumah (dalem ageng). Orientasi arah pembangunan rumah tinggal mengarah ke arah utara atau selatan. Berdasarkan prinsip budaya Jawa, arah utara atau selatan memiliki simbol untuk menghantarkan penghuninya pada suatu kebahagiaan. Bangunan rumah utama berbentuk persegi panjang yang simetris memiliki 4 ruang utama yaitu ruang tamu, ruang keluarga, ruang kamar tidur, dan ruang makan. Dapur dan sumur dapat terpisah dari bangunan rumah utama atau dibuat menyatu. Dinding rumah memiliki ketinggian yang tinggi karena untuk menjaga agar udara di dalam rumah tetap sejuk, hal ini juga dikarenakan Tegal memiliki suhu yang relatif panas. Rumah memiliki arsitektur atap limasan dengan tambahan emperan yang disangga dengan tiang pada bagian teras. Ruang mushola merupakan ruang yang penting ada karena sebagian besar masyarakat Tegal beragama islam, dibuat tinggi dari tanah yang melambangkan kesucian karena ruang ini sebagai penggambaran terbentuknya kosmos vertikal atau kedekatan antara manusia dan Tuhannya.
57
Penempatan yang sejajar antara bagian pintu masuk depan dan pintu masuk rumah mempengaruhi dibentuknya sirkulasi utama yang lurus. Sirkulasi lurus ini melatarbelakangi adanya jalan menuju rumah (Gambar 20). Sirkulasi lurus ini memiliki simbol bahwa seseorang harus memiliki hati yang tulus dan tanpa niat jahat ketika memasuki rumah, sehingga tetap tercipta kerukunan. Sirkulasi samping tidak harus ada di dalam rumah tinggal masyarakat Tegal, hanya sebatas pada mempermudah kebutuhan atau sebagai sirkulasi pelayanan. Tidak ada perbedaan yang jelas mengenai bentuk dan penempatan elemen di halaman antara masyarakat pesisir dan pegunungan. Antara masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki halaman depan yang luas, tetapi memiliki karakter tanaman yang berbeda, misalnya pada penggunaan tanaman untuk pagar hidup. Rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki halaman yang luas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, kecuali pada masyarakat golongan bangsawan yang tinggal di perkotaan memiliki halaman yang luas, sehingga tata ruang taman masyarakat bangsawan mengikuti prinsip tata ruang Jawa dimana terdapat pendopo, mushola, dan sumur yang terdapat di halaman depan (Gambar 21). Halaman merupakan bagian penting dalam menciptakan aktualisasi penghuninya yaitu mencerminkan jati diri dan jiwa melalui keindahan dan keteduhan. Keindahan dan keteduhan
tersebut
diciptakan
melalui
penanaman
tanaman.
Halaman
direpresentasikan sebagai ruang kosmos horizontal karena terjadi hubungan antara individu dan lingkungannya baik alam maupun individu lainnya. Halaman memiliki bentuk lebih banyak ruang terbuka (lawn) dengan beberapa tanaman peneduh untuk menaungi bagian di bawahnya. Halaman dibagi menjadi halaman depan dan halaman belakang. Halaman tidak benar-benar dapat diakses oleh publik. Halaman depan merupakan bagian yang harus dilewati seseorang sebelum menuju rumah atau dapat dijadikan sebagai ruang interaksi, khususnya pada lingkungan masyarakat pesisir. Penggunaan pagar hidup sebagai batas pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan. Tidak semua rumah tinggal memiliki pagar hidup, adapun rumah yang tidak memiliki pagar yang mengelilingi halaman. Kebanyakan masyarakat pesisir dan pegunungan tidak memiliki gerbang, tetapi adapun yang memiliki gerbang yang terbuat dari potongan bambu. Pada masyarakat perkotaan dan golongan bangsawan menggunakan dinding bata untuk pagar atau fence dan memiliki gerbang masuk. Hal ini tergantung pada karakter dan sifat lingkungan masyarakatnya,
58
sehingga rumah tinggal masyarakat Tegal tidak harus memiliki pagar, selain masyarakat perkotaan yang ditunjukan dengan garis putus-putus (dash line) pada Gambar 20. Rumah yang memiliki pagar dan gerbang terdapat pada masyarakat perkotaan karena karakter masyarakatnya yang mulai lebih mementingkan privatisasi (Gambar 21). Pagar memiliki simbol sebagai penolak bala yaitu menolak dari segala bentuk yang dapat memecahkan persaudaraan (kebahagiaan).
Gambar 20 Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat pada Umumnya.
Gerbang
Gambar 21 Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di Tegal.
59
Konsep Elemen Taman Tegal Pembuatan taman rumah tinggal masyarakat Tegal didasari atas kebutuhan material tanaman (softscape) dan kebutuhan ruang yang ada. Berdasarkan tata ruang rumah tinggal, halaman depan merupakan ruang yang dapat ditanami tanaman (Gambar 22). Penentuan konsep penanaman tanaman di halaman depan hendaknya mengikuti konsep berikut: 1. Sebagian besar ruang (space) di halaman depan memiliki ruang terbuka baik hanya berupa hamparan tanah atau ditanami rumput. 2. Tanaman yang ditanam di halaman lebih ditujukan untuk menghasilkan keteduhan, dapat dimanfaatkan baik buah, daun, maupun batangnya. Terkadang tanaman yang ditanam juga memiliki makna filosofi Jawa yang mengaktualisasikan keinginan penghuni. 3. Penanaman tanaman dilakukan di bagian tepi dekat dengan pagar dan menghindari penanaman yang berlebihan pada bagian tengah halaman. Sebaiknya hanya ditanam tanaman 1-2 tanaman pada bagian tengah halaman untuk menghasilkan keteduhan. 4. Tanaman yang disarankan untuk menghasilkan keteduhan yaitu tanaman yang memiliki bentuk tajuk spread dan bulat. 5. Tanaman yang ditanam di halaman dominan berwarna hijau, sehingga pada tanaman yang memiliki bagian yang memiliki warna dijadikan sebagai aksen. 6. Tanaman utama yang direkomendasikan sebagai tata hijau di sekitar halaman rumah tinggal yaitu mangga dan puring. Penambahan jenis tanaman di halaman disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan dan tingkat adaptasi terhadap lingkungan sekitar. 7. Tanaman aromatik berbunga dapat ditambahkan di halaman depan untuk memberi aromatheraphy dan bunganya yang berwarna sebagai aksen. 8. Tanaman pembatas (pagar hidup) tidak harus ada, tergantung pada lingkungan masyarakatnya. 9. Tanaman pengarah digunakan untuk memberikan simbolisasi penyambutan dan tidak diharuskan ada, ditanam di bagian tepi dari jalan yang dibuat menuju rumah. 10. Penanaman tanaman di rumah tinggal golongan bangsawan menghindari sirkulasi ke arah pendopo, sehingga tetap dibiarkan berupa ruang terbuka (Gambar 23). 11. Tanaman yang ditanam di rumah Bangsawan yaitu tanaman yang memiliki makna filosofi Jawa dan ditanam di bagian tepi dekat pagar dan teras (Gambar 23).
60
12. Apabila dilakukan penanaman di dekat pendopo dapat juga menggunakan planter box yang ditempatkan di dekat pilar pendopo.
Gambar 22 Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat Tegal pada Umumnya.
Ruang Terbuka Ruang Terbuka
Gambar 23 Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di Tegal.
61
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal berbentuk persegi panjang dan simetris. Gaya arsitektur rumah tinggal masyarakat Tegal memiliki pengaruh dari arsitektur Jawa dan kolonial. Secara umum, tata ruang rumah tinggal terdiri atas halaman depan, teras, rumah utama, dan halaman belakang. Halaman disimbolkan sebagai kosmos horizontal dan rumah memiliki simbol keagungan (dalem ageng) yang dilambangkan sebagai kosmos vertikal. Bagian teras memiliki anak tangga yang mencerminkan kesucian dan disimbolkan sebagai ruang pertemuan antara kosmos horizontal dan vertikal. Pola tata ruang ini tersebar dari pesisir, perkotaan, hingga pagunungan. Pada masyarakat pesisir, komponen dapur dan sumur terpisah dari rumah utama, sedangkan pada rumah tinggal masyarakat perkotaan dan pegunungan menyatu dengan rumah. Karakter taman Tegal didasarkan atas kebutuhan ruang halaman, pemilihan tanaman, dan penempatan tanaman. Halaman pada rumah tinggal masyarakat pesisir lebih luas daripada rumah tinggal perkotaan dan pegunungan. Halaman lebih dominan sebagai ruang terbuka baik berupa hamparan tanah atau ditanami rumput. Penanaman tanaman di halaman dilakukan pada bagian tepi dekat pagar. Penanaman tanaman di halaman lebih ditujukan untuk dapat diambil manfaatnya, baik buah, daun, dan batangnya, Tanaman khas yang seharusnya ditanam di halaman depan rumah yaitu puring dan mangga karena hampir terdapat di ketiga wilayah. Tanaman kedondong dan waru merupakan tanaman penciri khas tanaman yang ditanam di lingkungan masyarakat pedesaan pesisir sebagai pagar hidup. Halaman pada masyarakat pesisir dan pegunungan cenderung luas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Halaman masyarakat bangsawan di Tegal memiliki halaman yang cukup luas yang tetap mengutamakan ruang terbuka. Halaman berupa perkerasan dengan penanaman yang ditempatkan pada bagian tepi dan dekat teras. Tanaman yang ditanam menyesuaikan dengan kondisi setempat, sehingga pemilihan tambahan tanaman dapat berbeda antar ketiga wilayah tersebut.
62
Tanaman yang disarankan untuk menghasilkan keteduhan yaitu tanaman yang memiliki bentuk tajuk spread dan bulat. Tanaman pembatas (pagar hidup) tidak harus ada, tergantung pada lingkungan masyarakatnya. Tanaman aromatik berbunga dapat ditambahkan di halaman depan untuk memberi aromatheraphy dan bunganya yang berwarna sebagai aksen. Penanaman tanaman juga diarahkan untuk mengaktualisasi jati diri dan pribadi penghuninya. Penempatan tanaman pada rumah tinggal golongan bangsawan menghindari penanaman di sekitar pendopo, sehingga juga disarankan untuk ditanam pada bagian tepi dekat pagar atau teras.
Halaman belakang digunakan untuk tempat berternak dan berkebun. Tanaman yang ditanam juga berfungsi sebagai tanaman obat-obatan, khususnya pada masyarakat pesisir. Di halaman belakang rumah tinggal masyarakat pesisir terdapat sumur yang terpisah dengan rumah utama. Halaman belakang memiliki tanaman yang bervariasi yang kurang mencirikan kekhasan taman Tegal. Sirkulasi utama dibuat lurus (direct) dari gerbang menuju rumah. Sirkulasi yang lurus memiliki filosofi Jawa yaitu ketulusan hati. Pada taman rumah tinggal masyarakat pada umumnya ada yang memiliki dan tidak memiliki pagar, begitu pula dengan gerbang. Pada masyarakat pesisir dan pegunungan biasanya tidak memiliki pagar ataupun gerbang, tetapi pagar dan gerbang terdapat pada masyarakat perkotaan. Pada masyarakat bangsawan memiliki pagar yang tinggi berupa dinding dan memiliki gerbang. Tata ruang rumah tinggal tokoh masyarakat sebagai golongan bangsawan di Tegal yang memahami prinsip tata ruang Jawa dan memiliki nilai privasi tinggi, sehingga bagian pagar dibuat tinggi dan kokoh. Pada rumah tinggal golongan bangsawan terdapat ruang pendopo berarsitektur joglo memiliki fungsi yang sama dengan teras. Terdapat mushola dan sumur (pakiwan) sebagai tempat bersuci dekat dengan pendopo.
Saran Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti yang akan meneliti lebih lanjut, khususnya berkaitan dengan pola desain taman khas Tegal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu para desainer taman dalam merancang perumahan atau pemukiman dengan karakter tradisional Tegal.
63
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. 2008. Hinterland Karesidenan Tegal Abad XIX [jejaring berkala]. http:// prints.undip.ac.id/3268/2/23_artikel_P_Alam.pdf [14 Mei 2010]. Anonim. 2007. Keraton Surakarta Hadiningrat Tata Ruang, Arsitektur dan Maknanya [jejaring berkala]. http://www.kamusilmiah.com/sejarah/keraton-surakarta-hadiningrat-tata-ruang-arsitektur-dan-maknanya/ [11 April 2010]. Benson J F, M H Roe. 2000. Landscape and Sustainability. New York: Spon Press. Bentley I, Watson G B. 2007. Identity by Design. New York: El Sevier Ltd. Booth N K. 1988. Basic Element of Landscape Architectural Design. Waveland. New York: Press, Inc. Illinois. Bratawijaya T M. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita. Carey P. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu. Daryono Y, N Yektiningsih, dan H Guritno . 2008. Tegal Stad: Evolusi Sebuah Kota. Tegal: Kantor Informasi dan Humas Kota Tegal. De Graff H J. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram : Bentuk ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Istana Grafiti. Dewi H I. 2009. Akulturasi Budaya Pada Perkembangan Kraton Kasepuhan Cirebon: Proceeding PESAT 3:55-66. Eckbo G, L Lawson, W Hood, dan C Sullivan. 1998. People in a Landcape. Ner Jersey: Prentice Hall, Inc. Frick H. 1997. Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Geertz C. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Gottschalk L. 1983. Mengerti Sejarah [terjemahan]. Jakarta: UI Press. Hidayatun M I. 1999. Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan. Dimensi TeknikArsitektur Volume 27 No. 1, Juli 37-46.
64
Hamzuri. 1986. Rumah Tradisional Jawa. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional. Hariyono P. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara. Hartatik S E. 2009. Upacara Tradisi Yang Masih Berkembang di Masyarakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah [jejaring berkala].. http://eprints.undip.ac.id/3264/2/18_Artikel_Endah_ok.pdf [26 juli 2011]. Hendraningsih. 1982. Peran, Kesan, dan Pesan Bentuk-Bentuk Arsitektur. Jakarta: Jambatan. Herusatoto B. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindata. Hoeve V. 2003. Ensiklopedia Islam Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru. Indartoyo. 2008. Berbagai Kemungkinan Perubahan Bentuk Bangunan Joglo di Daerah Istimewa Yogyakarta [jejaring berkala]. http://jurnal.bl.ac.id/wp/content/ upload.2008 [25 juli 2010]. Johana T. 2004. Warisan Kolonial dan Studi Kolonialisme [jejaring berkala]. http://www.arsitekturindis.com [6 April 2004]. Kartodirdjo S. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. _____________ . 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kustomo S A. 2004. Tegal: Kota Yang Tak Pernah Tidur. Tegal: Kantor Humas dan Informasi. Kusyanto M. 2007. Konsep Dasar Arsitektur Tata Ruang Rumah Tinggal Tradisional Jawa Tengah pada Perkembangan Tata Ruang Masjid Kadilangu Demak dari Awal Berdiri sampai Sekarang. Demak: Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan Volume 9 No.1, Juni 65-76. Laurie M. 1975. Arsitektur Pertamanan. Bandung: Intermatra. Linton R. 1940. Acculturation in Seven American Indian Tribes. Gloucester: Peter Smith Mass. Longstreth R. 2088. Cultural Landscape: Balancing Nature and Heritage In Preservation Practice.Minneapolis: University of Minessota Press.
65
Lyle J T. 2001. Design for Human Ecosystem. New York: Van Nostrand Reinhold. Mangunwijaya. 1988. Wastu Citra: Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-Sendi Filsafatnya, Beserta Contah-Contoh Praktisnya. Jakarta: PT. Gramedia. Mulyana. 2006. Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa. Kejawen Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Nas P J M dan de Vletter M. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Poesponegoro, D Marwati, dan N Notosusanto . 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Prijotomo J. 1988. Ideas and Form of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Rahayu M S. 1999. Remitan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Terhadap Pedagang Warteg Desa Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah) [Skripsi]. Denpasar: Jurusan Sejarah, Fakultas Pendidikan IPS, IKIP PGRI. Rochani. 2005. Ki Gede Sebayu: Babad Nagari Tegal. Tegal. Intermedia Paramadina. Rogers E B. 2001. Landcape Design: A Cultural and Architectural History. New York: Harry N Abrahams, Inc. Roqib M. 2010. Harmoni dalam Budaya Jawa: Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samovar L A, E P Richard, dan R M D Edwin. 2008. Communication Between Cultures. USA: Wadworth Cengage Learning Santoso. S. 1981. Dinamika Perkembangan arsitektur di Jaman Prakolonial di Pulau Jawa. Dalam majalah Dimensi Nolume 7 No.5, Desember 34-36. Sardjono A B. 1996, Tata Ruang Rumah Tradisional Kudus [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasardjana. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada. Sedyawati E. 2003. Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: BPPT Press.
66
Setiawan E O. 2000. Konsep Simbolisme Konsep Tata Ruang Luar Keraton Surakarta Hadinigrat [Tesis]. Semarang: Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro. Simonds J O and Starke B W. 2006. Landscape Architecture: A mannual of Environmental Planning and Design. New York: McGraw-Hill Publishing Company. Soeharso R. 1985. Diorama Kraton Surakarat Hadiningrat. Solo: Tiga Serangkai. Soekiman
D. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa: Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Bentang.
Soemarna. 1984. Tegal Sepanjang Sejarah. Tegal: Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tegal. Su’ud A. 2003. Semangat Orang-Orang Tegal. Tegal: Maskom Media. Suputro. 1959. Tegal dari Masa ke Masa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian PP dan K. Suseno. 1988. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafah Tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa. Jakarta: PT. Gramedia. Thompson G E and F R Steiner. 1997. Ecological Design and Planning. New York: John Wiley & Sons, Inc. Wahyudi M A. 2006. Korelasi Tata Ruang Rumah Kuno di Krajan Kulon Terhadap Tata Ruang Kota Kaliwungu [Tesis]. Semarang: Magister Program Studi Arsitektur, Universitas Diponegoro. Wardani L K. 2007. Perubahan Desain Rumah Tinggal Jawa Menjadi Ruang Publik Terbatas: dari Rumah Bangsawan ke Hunian Publik [Skripsi]. Surabaya: Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra. Wibowo H J. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Widayati. 1999. Tinjauan Konsep Bangunan Jawa. Dalam Jurnal Kajian Teknologi no 1, Desember 1-20. Yosita L. 2007. Public Space in Housing Environment:A Comparison Study Condition between Indonesia and Developed Countries [Tesis]. Bandung: Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan, Universitas Pendidikan Indonesia.
67
Yosodipuro K. 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat, Bangunan Budaya Jawa Sebagai Tuntutan Hidup. Solo: Macrodata.
68
LAMPIRAN
69
Lampiran 1 Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Tegal.
Rumah Tinggal bergaya Kolonial
Rumah Tinggal bergaya Jawa Kuno
70
Lampiran 2 Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal.
Teras Rumah
Ruang Keluarga
Ruang Tamu dan Dinding Pembatas disertai
Ruang Makan
Kamar Mandi (Pakiwan)
Kebun Halaman Belakang
Halaman Depan
Mushola
71
Lampiran 3 Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal.
Atap Rumah Limasan Emperan
Sumur Belakang
Pagar Hidup
Kandang Ternak
72
Lampiran 4 Elemen Pembentuk Rumah.
Jendela Rumah
Pintu Dalam Antara Ruang Tamu dan Ruang Keluarga
73
Lampiran 5 Jenis Penanaman Tanaman di Halaman Rumah Tinggal.
Penanaman Sejajar di Depan Rumah membentuk Kesan Gerbang
Penanaman Massal membentuk Pagar
74
Lampiran 6 Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat (Bangsawan) di Tegal.
Pintu Gerbang dan Pagar pada Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat di Tegal
Pendopo pada Salah Satu Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat di Tegal
75
Lampiran 7 Tradisi Masyarakat Tegal.
Tradisi Moci Masyarakat Tegal
76
Lampiran 8
Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal dengan tata Ruang Jawa dan Tata Ruang Bergaya Arsitektur Kolonial.
Komponen Tata Ruang
Tata Ruang Rumah Masyarakat Tegal
Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa
Pola Tata Ruang
Persegi dan simetri
Ruang Utama
Ruang Tamu, Ruang Keluarga, dan Ruang Makan
Ruang Tamu
Terletak di bagian depan memiliki panjang dan lebar mencapai (9 x 3) m2 Terdapat di bagian tengah, tempat berkumpul anggota keluarga
Terdapat pada bagian depan
terdapat di bagian depan
Terdapat di bagian tengah
terdapat di bagian tengah rumah disebut dengan central room
Kamar Tidur
Biasanya berjumlah genap yaitu 2 dan 4 ruang, saling sejajar, berhadapan atau tidak, terdapat di ruang keluarga mendekati perbatasan dengan ruang makan
terdapat 3 kamar tidur disebut dengan senthong kiri, tengen, dan kiwa
Kamar saling berhadapan membentuk lorong di antara kamar
Ruang Makan
Terletak di bagian belakang rumah
Terdapat di bagian belakang
Mushola
bersebelahan dengan ruang makan
Disebut gadri yang terletak di belakang senthong Pada bagian dalam dekat dengan senthong
Dapur
Terletak paling belakang, menyatu atau tidak dengan rumah
Terletak paling belakang disebut pawon, terpisah dari rumah
Terdapat di bagian belakang
Kamar mandi
Terdapat di bagian Belakang
Terdapat di bagian belakang
Dinding
Tinggi dinding dapat mencapai 6 meter dan terdapat sekat dinding pada setiap pembagian ruang utama, terkadang terdiri tiang penyangga utama di bagian dalam rumah
di belakang rumah disebut pakiwan, terpisah dari rumah terdapat tiang penyangga utama yang disebut soko guru
Pintu
Pintu dibuat besar dan sejajar dan menjadi pemisah antar ruang utama yang menjadi bagian dari dinding penyekat
Ruang Keluarga
denah persegi
Tata Ruang Rumah Bergaya Kolonial denah rumah simetri Ruang Tamu, Ruang Keluarga, dan Ruang Makan
pintu besar
dinding tebal dan tinggi dapat mencapai 6 meter
pintu besar
77
Lampiran 8 Lanjutan. Komponen Tata Ruang Jendela
Tata Ruang Rumah Masyarakat Tegal
Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa
jendela dibuat besar, jendela besar pada bagian depan terdapat 2 buah jendela, terdapat 2 buah pada dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga, pada tiap kamar terdapat 1 buah. Arsitektur Atap Limasan dengan Limasan atau Joglo emperan pada bagian atas teras (Sumber: Johana (2004) dan Wahyudi (2000))
Tata Ruang Rumah Bergaya Kolonial jendela besar
Tipe atap Jengki