KAJIAN KONSEP DESAIN TAMAN DAN RUMAH TINGGAL HEMAT ENERGI
PRIMA KURNIAWATY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Prima Kurniawaty A451080071
ii
ABSTRACT
PRIMA KURNIAWATY. Study on Energy-Save Home and Garden Design Conception. Under direction of ANDI GUNAWAN and SURJONO SURJOKUSUMO The primary factor of high consuming of energy in housing sector is caused by inappropriateness compatibility between architectural and landscape design. Housing design which has been developed and adopted by people now is more oriented towards building aspect and in current trends of design, so that leaving the environment and landscape aspect behind. The environment and landscape aspects have profound influence as the results of this study. Using of Analytical Hierarchy Process (AHP) method, result of study shows that the influence of landscape (site design) on energy saving in housing landscape unit is very significant (67%) compared to building design (33%). In this case, the plant is a major component that contribute to energy-save design (48.3%). The criteria for each component are discussed specifically in this paper, both physically and visually. Keywords: garden, home, energy-save design criteria, AHP
iii
RINGKASAN PRIMA KURNIAWATY. Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN dan SURJONO SURJOKUSUMO Pemanasan global dan peningkatan emisi karbon ke atmosfer bukanlah hanya sekedar isu, melainkan sudah benar-benar terjadi dan harus ditanggulangi dengan strategi desain arsitektur dan lanskap yang tanggap terhadap iklim dan hemat energi. Pemborosan energi disebabkan oleh desain arsitektur dan tata lanskap yang tidak terintegrasi bahkan salah dan tidak tanggap terhadap aspek fungsi, iklim tropis setempat, dan lanskap ditambah kecenderungan para perancang yang lebih mementingkan aspek estetis (tren desain yang berlaku). Tindakan untuk menciptakan kenyamanan secara instan seperti penggunaan mesin AC dan pemanfaatan lampu pada waktu dan lokasi yang kurang tepat. Mesin AC untuk rumah tinggal menghabiskan ± 38% energi listrik, sisanya adalah perangkat rumah tangga lainnya (Prianto, 2007). Isu-isu desain hemat energi dari sektor perumahan sebagai respon untuk menanggulangi pemanasan global sudah tidak asing di Indonesia, walaupun penerapannya masih belum dapat ditemukan secara signifikan. Bahkan, konsep hijau atau green living yang ditawarkan oleh pengembang perumahan seringkali hanya sebagai trik pemasaran belaka. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengkaji komponen taman dan rumah tinggal berikut gubahannya yang dapat mendukung konsep hemat energi. Selanjutnya, disusunlah konsepsi kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi yang dilengkapi dengan visualisasinya. Penelitian ini merupakan penelitian mendasar dan menggunakan pendekatan teoritis. Lokasi penelitian tidak ditentukan secara pasti, secara umum digunakan asumsi lokasi yang beriklim tropis basah Indonesia. Kondisi iklim yang diacu adalah kondisi iklim kota Bogor, Jawa Barat. Tahapan penelitian ini terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu 1) tahap penetapan komponen hemat energi, 2) pengujian komponen hemat energi, dan 3) tahap konseptualisasi desain hemat energi. Pada tahap penetapan komponen hemat energi, dilakukan studi pustaka yang relevan sebagai bahan analisis desain taman dan rumah tinggal hemat energi (data sekunder). Analisis dilakukan dengan teknik analisis deskriptif untuk menghasilkan komponen yang mendukung hemat energi. Penetapan komponen tersebut didasari atas pertimbangan desain yang berkaitan dengan isu desain berkelanjutan dengan strategi passive design (Kibert 2008). Tahapan pengujian komponen hemat energi menggunakan metode sistem pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot komponen prioritas desain hemat energi (Saaty 1993). Komponen-komponen tersebut disusun dalam hierarki yang terdiri dari empat level. Level pertama, merupakan tujuan utama dari kajian ini, yaitu desain taman dan rumah tinggal hemat energi. Level kedua, merupakan level komponen utama pembentuk lanskap hemat energi. Komponen utama tersebut terdiri dari: 1) tapak, 2) tanaman, 3) air, 4) perkerasan (nonbangunan), dan 5) bangunan. Level ketiga, merupakan variabel komponen pembentuk lanskap hemat energi. Variabel komponen tersebut terdiri dari: 1) variabel komponen tapak: a) orientasi, b) intensitas tutupan lahan, c) topografi, d) jenis tanah, e) bebas dari gangguan geo-biologis, dan f) sistem utilitas; 2) variabel komponen tanaman: a) jenis tanaman, b) tata letak tanaman, c) jumlah tanaman, d) jarak tanaman, dan e) kerapatan tajuk; 3) variabel komponen air (water features): a) air mancur (jets), b)
iv
air statis (static water), c) air terjun (falling water), dan d) air mengalir (flowing water; 4) variabel perkerasan (nonbangunan): a) perkerasan (pavement), dan b) pagar dan tembok pembatas; 5) variabel bangunan: a) bentuk dan konfigurasi ruang, b) bukaan, c) tritisan (overhang), d) atap, f) dinding, g) lantai, dan h) mekanikal dan elektrikal. Level keempat, merupakan alternatif keputusan berupa aspek yang paling berperan dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi, yaitu site design atau building design. Hierarki yang telah disusun kemudian dinilai oleh tujuh orang pakar terpilih. Penilaian dilakukan dengan cara komparasi berpasangan (pairwise comparison) menggunakan skala penilaian Saaty (Saaty 1993). Hasil analisis AHP dikembangkan ke dalam konsep desain yang lebih detil. Konsep desain tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kelompok kriteria klasifikasi yang dinilai dengan skor 1, 2, dan 3. Skor 1 (rendah) mengindikasikan pencapaian minimum dalam pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi. Skor 2 (sedang) mengindikasikan pencapaian rata-rata (average) dalam pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi. Skor 3 (tinggi) mengindikasikan pencapaian optimum dalam pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi. Langkah selanjutnya adalah memvisualisasikan konsep desain tersebut dengan menggunakan pemodelan tiga dimensi dibantu dengan software desain grafis Google sketch-up V.8.1 Dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi faktor yang sangat berperan adalah aspek site design (0,67) yang berarti bahwa 67% dari tujuan utama dapat dicapai berkat aspek ini, kemudian aspek building design (0,33) sehingga tujuan utama tersebut di atas dapat tercapai 100%. Komponen utama yang berperan adalah tanaman (48,3%), elemen air (water features) (24,2%), bangunan (10,9%), tapak (10,7%), dan perkerasan (nonbangunan) (5,8%). Konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi adalah memaksimalkan fungsi RTH Pekarangan utamanya dengan menggunakan tanaman. Kombinasi tanaman dengan komponen pendukung lain yang sesuai dengan kriteria hemat energi diduga kuat akan mengoptimumkan kinerjanya.
Kata kunci: taman, rumah tinggal, desain hemat energi
1
http://sketchup.google.com
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
KAJIAN KONSEP DESAIN TAMAN DAN RUMAH TINGGAL HEMAT ENERGI
PRIMA KURNIAWATY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vii
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Prima Kurniawaty A451080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Andi Gunawan, M.Agr.Sc. Ketua
Prof. (Em). Ir. Surjono Surjokusumo, MSF.PhD. Anggota
Diketahui Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir.Siti Nurisjah, MSLA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 27 Juli 2011
Tanggal Lulus:
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, M.Agr.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan hingga tesis yang berjudul “Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi” dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini berisikan sedikit upaya dari penulis dalam berpartisipasi menanggulangi isu pemanasan global dengan membuat kajian faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam suatu desain taman dan rumah tinggal hemat energi, dan temuan atau telitian ini dapat digunakan oleh para pihak baik peneliti selanjutnya atau civitas akademika maupun masyarakat pada umumnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr.Sc. dan Prof. (Em). Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD selaku komisi pembimbing atas kesabaran dan perhatiannya dalam memberikan bimbingan, serta semangat dan saran yang diberikan agar tesis dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada para responden pakar atas bantuan dan masukannya: 1. Dr. Ir. Aris Munandar, M.S., Wakil Dekan Faperta IPB & Dosen Arsitektur Lanskap Faperta IPB Bogor; 2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr., Dosen Arsitektur Lanskap Faperta IPB Bogor; 3. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si., Sekretaris Program Magister IPB & Dosen Teknologi Hasil Hutan Fahutan IPB Bogor; 4. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S., Guru Besar Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB Bogor; 5. Prof. Dr. Ir. Abimanyu Takdir Alamsyah, M.S., Ketua Jurusan Departemen Arsitektur FTUI Depok & Guru Besar Departemen Arsitektur FTUI Depok; 6. Prof. Dr. Ir. Emirhadi Suganda, M.Sc., Guru Besar Departemen Arsitektur FTUI Depok; 7. Prof. Dr-Ing.Ir. H Didik Notosudjono, M.Sc., Kabiro Perencanaan Ristek, Kemenristek RI dan Guru Besar Teknik Elektro FT Universitas Pakuan Bogor. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut. M.Si., staf Mayor Teknologi Hasil Hutan Fahutan IPB, atas bantuan dan masukannya dalam mengolah data.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
x
Bapak Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, M.Agr., selaku penguji luar komisi, atas koreksi dan masukannya untuk perbaikan tesis ini; dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr., selaku penguji perwakilan dari Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB Bogor, atas saran dan kritiknya guna penyempurnaan tesis ini . Hal terpenting adalah, terima kasih kepada orang tua penulis, Ayahanda Wuryanto dan Ibunda Inti Wahyuningsih, suamiku M.Imam Sulistianto, adikku Dimas Kurniawan, Bude Slamet Surati dan seluruh keluarga, atas segala doa, pengertian, dan kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Kakak, sahabat, dan rekan SPs ARL 2008, Yuni Prihayati, M.Isrok Nugroho, Ni Wayan Febriana, Wasissa Titi Ilhami, dan Eka Kurniawati. Juga kepada saudari Perwiraku, Asi Pebrina Cicilia, Roeskani Sinaga, dan Bude Endah Wiasih atas segala dukungannya. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi perkembangan bidang keilmuan Arsitektur dan Arsitektur Lanskap.
Bogor, Juli 2011
Penulis
xi
RIWAYAT HIDUP
Prima Kurniawaty, putri pertama dari pasangan Wuryanto dan Inti Wahyuningsih. Di lahirkan di kota Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 28 Mei 1983. Pada kurun waktu tahun 1989-1994 penulis menempuh pendidikan SD di tiga kota antara lain Makassar, Bandung dan Malang. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis pada SMP Negeri 3 Malang, lulus ditahun 1998 dilanjutkan SMA Negeri 5 Malang lulus di tahun 2001. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang melalui jalur UMPTN dan berhasil menamatkan studi S-1 pada tahun 2007 dengan Skripsi yang berjudul Balai Budaya Laweyan Surakarta. Tahun 2008, atas permintaan sendiri penulis memutuskan untuk meneruskan studi Pascasarjana pada Mayor Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Semasa kuliah penulis diperbantukan
sebagai Asisten disalah satu mata kuliah Pascasarjana ARL, yaitu mata kuliah Estetika Lingkungan.
xii
DAFT AR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xix
DAFTAR ISTILAH.........................................................................................
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang..................................................................................... Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian............................................... Tujuan Penelitian.................................................................................. Manfaat Penelitian................................................................................ Kerangka Pikir Penelitian.....................................................................
1 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Identifikasi Pendekataan Konsep hijau................................................. Arsitektur Bioklimatik..................................................................... Arsitektur Hemat Energi................................................................ Arsitektur Surya............................................................................. Arsitektur Ekologis......................................................................... Arsitektur Hijau.............................................................................. Strategi Konsep Desain Hijau........................................................ Strategi Desain Pasif (Passive Design Strategy) .................. Strategi Desain Aktif (Active Design Strategy) ...................... Konteks Lingkungan Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi................................................................................................... Komponen Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi......................... Komponen Tapak.......................................................................... Komponen Taman......................................................................... Material Lunak (Soft material)....................................................... Tanaman................................................................................ Elemen air.............................................................................. Material Keras (Hard material)...................................................... Perkerasan............................................................................. Pagar dan Tembok Pembatas................................................ Komponen Rumah Tinggal............................................................ Analytical Hierarchy Process (AHP)..................................................... METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ Alat dan Data Penelitian....................................................................... Alat Penelitian................................................................................ Data Penelitian.............................................................................. Tahapan dan Metode Penelitian........................................................... Tahap Penetapan Komponen Hemat Energi................................. Tahap Pengujian Komponen Hemat Energi.................................. Tahapan dalam Analysis Hierarchy Process (AHP)............... Latar Belakang Responden Pakar.......................................... Analisis Data AHP..................................................................
xiii
5 6 6 7 7 8 9 9 11 12 14 15 19 19 19 22 22 22 23 23 26 30 30 30 31 31 31 35 35 36 36
Produk yang Dihasilkan.......................................................... Tahap Konseptualisasi Kriteria Desain Hemat Energi................... Matriks Assessment............................................................... Klasifikasi Skenario Model...................................................... Visualisasi Model Tiga Dimensi.....................................................
36 37 37 37 40
HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Desain Taman Dan Rumah Tinggal Hemat Energi............ Tanaman....................................................................................... Air (Water Features)...................................................................... Bangunan...................................................................................... Tapak............................................................................................. Perkerasan (Nonbangunan).......................................................... Konseptualisasi Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi..... Tanaman ...................................................................................... Kerapatan Tajuk..................................................................... Jumlah Tanaman.................................................................... Jarak dari Bangunan.............................................................. Tata Letak Tanaman.............................................................. Jenis Tanaman....................................................................... Air (Water Features)...................................................................... Bangunan...................................................................................... Bukaan................................................................................... Atap........................................................................................ Tritisan.................................................................................... Bentuk dan Konfigurasi Ruang............................................... Mekanikal dan Elektrikal......................................................... Dinding................................................................................... Lantai...................................................................................... Tapak............................................................................................. Intensitas Tutupan Lahan....................................................... Sistem Utilitas......................................................................... Bebas dari Gangguan Geo-Biologis....................................... Orientasi................................................................................. Topografi................................................................................ Jenis Tanah............................................................................ Perkerasan (Nonbangunan).......................................................... Perkerasan (pavement).......................................................... Pagar dan Tembok Pembatas (wall and fences).................... Visualisasi Konsep Hemat Energi........................................................ Konsep Hemat Energi pada Tingkat Terendah............................. Konsep Hemat Energi pada Tingkat Sedang................................ Konsep Hemat Energi pada Tingkat Tertinggi...............................
41 41 45 47 50 52 54 54 54 55 57 58 61 63 66 66 69 72 74 74 77 78 78 78 81 84 85 86 87 88 88 90 92 92 94 96
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan............................................................................................... Saran ...................................................................................................
103 103
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
105
LAMPIRAN....................................................................................................
109
xiv
DAFTAR TABEL
1
Halaman Prinsip pendekatan desain berkelanjutan.............................................. 8
2
Kelerengan lahan...................................................................................
18
3
Klasifikasi bahan bangunan ekologis.....................................................
25
4
Skala angka Saaty.................................................................................
29
5
Alat penelitian........................................................................................
30
6
Penetapan komponen-komponen hemat energi......................................... 32
7
Rincian jumlah responden...................................................................
8
Ilustrasi matriks konsepsi kriteria desain taman dan rumah tinggal
37
hemat energi................... ............................................................................. .................................. 39 9
Ilustrasi kombinasi skenario model taman dan rumah tinggal hemat energi......................................................................................................
39
10
Variabel hemat energi untuk komponen tanaman (bobot 0,483)........
54
11
Variabel hemat energi untuk komponen air (bobot 0,242)...................
63
12
Variabel hemat energi untuk komponen bangunan (bobot 0,109).......
67
13
Golongan tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga.............................
75
14
Standar intensitas konsumsi energi (IKE) indonesia bangunan gedung tidak ber-AC..............................................................................
76
15
Variabel hemat energi untuk komponen tapak (bobot 0,107).............
79
16
Pertukaran udara minimal pada ruang rumah tinggal............................
80
17
Variabel hemat energi untuk komponen perkerasan (bobot 0,058)...
88
xv
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Kerangka pikir penelitian....................................................................... 4
2
Desain atap rumah................................................................................
24
3
Struktur hierarki yang complete..............................................................
27
4
Struktur hierarki yang incomplete...........................................................
28
5
Skema tahapan penelitian......................................................................
31
6
Skema hierarki AHP untuk kajian desain taman dan rumah tinggal hemat energi..........................................................................................
7
38
Skema hierarki Analytical Hierarchy Process (AHP) disertai dengan hasil pembobotannya.............................................................................
42
8
Ilustrasi desain pagar hijau.....................................................................
92
9
Visualisasi desain konsep taman dan rumah hemat energi (2D)...........
99
10
Konsep eksterior taman dan rumah tinggal hemat energi......................
100
11
Model isometri taman dan rumah tinggal hemat energi.........................
101
12
Model aksonometri taman dan rumah tinggal hemat energi..................
102
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman Kuesioner AHP...................................................................................... 110
2
Responden Pakar AHP .........................................................................
123
3
Tree View Analytical Hierarchy Process Gabungan..............................
124
4
Daftar Tanaman yang Memiliki Daya Serap CO2 Tinggi.......................
126
5
Tips Hemat Energi Menggunakan Peralatan Listrik Rumah Tangga.....
128
6
Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Terendah......
133
7
Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Sedang.........
134
8
Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Tertinggi.......
135
xvii
DAFTAR ISTILAH Ach
: Air change per hour, jumlah udara per m 3 yang dapat dialirkan ke dalam bangunan atau ruangan setiap jamnya sebagai indikator keefektifan tingkat penghawaan dalam suatu bangunan ditentukan (rate ventilasi). Rate air change per hour tidak memiliki satuan namun sangat tergantung pada volume ruangan/bangunan yang akan dialiri udara.
AHP
: Analitycal Hierarchy Process, metode sistem pengambilan keputusan dari kerangka pikir informasi yang terorganisir dan judgement.
Ameliorasi
: Perbaikan nilai.
Ecodesign
: Desain dengan dampak lingkungan yang rendah melalui integrasi desain dengan proses kehidupan.
Emisi
: Zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Energi
: Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.
Evaporasi
: Proses fisis perubahan cairan menjadi uap pada permukaan-permukaan yang basah.
Fasad/Façade
: (Bahasa Perancis: façade, dibaca [fəˈsɑːd]) adalah suatu sisi luar (eksterior) sebuah bangunan, umumnya terutama yang dimaksud adalah bagian depan, tetapi kadang-kadang juga bagian samping dan belakang bangunan. Kata ini berasal dari bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti "depan" atau "muka".
Green design
: Desain yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan (sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach).
Global warming
: Pemanasan global, gejala peningkatan suhu rerata permukaan bumi.
Hemat energi
: Cermat; tidak boros; berhati-hati; menggunakan (energi) dengan cermat dan hati-hati (supaya jangan lekas habis, dsb).
xviii
Iklim mikro
: Iklim yang dipengaruhi oleh keadaan permukaan bumi, antara lain, macam tanah, topografi, perairan, tanaman yang tumbuh, dan aktivitas manusia.
KDB
: Koefisien Dasar Bangunan, angka persentase perbandingan antara luas lantai dasar bangunan terhadap luas persil.
KDH
: Koefisien Daerah Hijau, angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan.
KLB
: Koefisien Lantai Bangunan, angka yang menunjukkan perbandingan antara luas lantai bangunan dengan luas tanah.
Komponen
: Bagian penting.
Prioritas
: Hak atas sesuatu yang didahulukan diutamakan daripada yang lain.
RTH
: Ruang Terbuka Hijau, area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
RTHP
: RTH Pekarangan; pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas.
Strategi desain pasif (Passive design strategy)
: Desain bangunan dengan sistem pendinginan, pemanasan (kasus sub tropis), pencahayaan dan ventilasi yang mengandalkan sinar matahari, angin, vegetasi, dan sumber daya alami lain pada tapak.
Strategi Desain Aktif (Active design strategy)
: Desain bangunan dengan menggunakan peralatan (teknologi) yang bersumber dari energi yang tidak dapat diperbarui dan atau sistem produktif yang dapat mengadakan/membangkitkan energinya sendiri (on-site energy) dari sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources).
Sumber Energi
: Sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi.
Sumber Daya Energi
: Sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.
dan
Sumber Energi : Sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya Terbarukan (Renewable energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan resources) baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. 7.
xix
Energi . Sumber Energi Terbarukan (Nonrenewable resources)
Tak
: Sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain, minyak bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen.
Sustainable design
: Desain yang memperhitungkan semua kebutuhan dari generasi yang akan datang dan juga semua pendukung kehidupan.
Tajuk tanaman
: Kanopi; bagian tumbuhan berkayu yang tersusun dari batang, cabang, ranting, dan daun dalam satu kesatuan.
Transpirasi
: Proses fisis perubahan cairan menjadi uap dari permukaan tanaman.
Variabel
: (sesuatu yang) dapat berubah; (faktor, unsur yang) ikut menentukan perubahan.
Vegetasi :
: Tetumbuhan, tanaman (hasil budi daya manusia).
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global dan peningkatan emisi karbon ke atmosfer bukanlah hanya sekedar isu, melainkan sudah benar-benar terjadi. Perubahan iklim secara ekstrem dan degradasi kualitas lingkungan disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, salah satunya berupa ruang hunian atau rumah tinggal. Sebagai negara yang seluruh wilayahnya berada di kawasan ekuator, secara umum beriklim tropis basah menjadikan Indonesia berada di posisi yang menguntungkan namun dapat pula merugikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban serta karakteristik angin yang berbeda dengan kawasan lain seperti arah angin yang sering berubahubah, sering terjadi turbulensi dan kecepatan rata-ratanya relatif rendah. Apabila kondisi tersebut tidak disikapi dengan baik maka akan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas khususnya di dalam unit lanskap rumah tinggalnya sehingga dibutuhkan strategi desain yang tanggap terhadap iklim. Desain bangunan dan tata lanskap khususnya pada rumah tinggal bertujuan menciptakan amenities bagi penghuninya. Amenities dicapai melalui kenyamanan fisik, baik itu kenyamanan ruang (spatial comfort), kenyamanan termis (thermal comfort), kenyamanan suara (auditory comfort), maupun pencahayaan (visual comfort). Namun, akibat dari proses konstruksi bangunan maupun saat bangunan dimanfaatkan, dapat menyebabkan berbagai dampak negatif pada lingkungan hidup di tempat dan sekitar bangunan tersebut. Hal tersebut dikarenakan secara fitrah manusia pun merupakan sumber polutan akibat aktivitas pernafasan yang menghasilkan CO2 ditambah tindakan-tindakan yang tidak berorientasi pada aspek lingkungan yang sehat, ramah lingkungan dan hemat energi. Produk bangunan memberi kontribusi pada pemanasan global karena menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas karbon, metana maupun jenis gas tertentu lainnya.
Besaran emisi CO 2 yang ditimbulkan dari energi
akibat aktivitas rumah tangga yang akan tergantung dari budaya masing-masing individu dan kelompok masyarakat tertentu.
Aktivitas rumah dalam rumah
tangga secara kumulatif berakibat pada besaran emisi CO 2.
Terlebih lagi,
fenomena yang ada sekarang dalam menciptakan amenities sikap dan perilaku
2
penghuni yang cenderung tidak hemat terhadap pemakaian energi. Salah satu contohnya dalam mencapai kenyamanan termis digunakan mesin pengkondisian udara mekanis (AC) yang menurut Prianto (2007) mengkonsumsi 38% energi listrik dalam rumah tinggal sekaligus penghasil emisi karbon yang terbuang ke atmosfer.
Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat Conran (2009) jika
dikatakan bahwa salah satu sumber polutan terbesar berasal dari rumah tinggal. Data dari KEMENLH (2009) menunjukkan, dibandingkan dengan sumber lainnya, sektor energi merupakan penyumbang terbesar gas rumah kaca (GRK) khususnya CO2. Konsumsi energi dapat dibagi atas 4 sektor pengguna yaitu transportasi, industri, komersial, dan rumah tangga. Menurut jenis bahan bakar yang digunakan, pada tahun 2007 biomassa paling banyak digunakan oleh rumah tangga yaitu sekitar 79%, dan pada urutan berikutnya adalah minyak tanah dan LPG masing-masing sebesar 17% dan 3%. Dibandingkan dengan tahun 2006, konsumsi minyak tanah cenderung menurun dan konsumsi gas atau LPG cenderung meningkat.
Emisi CO2 yang dihasilkan dari konsumsi energi
sektor rumah tangga ini diperkirakan rata-rata mencapai 178 juta ton per tahun dan kontribusi terbesar berasal dari penggunaan biomassa.
Berdasarkan
wilayah kepulauan, maka rumah tangga di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar emisi CO2 yang bersumber dari penggunaan energi yaitu lebih dari 100 juta ton per tahun. Pemborosan energi juga disebabkan oleh desain bangunan dan tata lanskap yang tidak terintegrasi dengan baik bahkan salah dan tidak tanggap terhadap aspek fungsi, iklim tropis basah Indonesia, dan lanskapnya.
Hal
tersebut diperparah kecenderungan para perancang yang lebih mementingkan aspek estetis (tren yang berlaku).
Isu-isu konsep hijau dari sektor perumahan
sebagai respon untuk menanggulangi pemanasan global sudah tidak asing di Indonesia, walaupun penerapannya masih belum dapat ditemukan secara signifikan.
Konsep hijau yang ditawarkan oleh pengembang perumahan
seringkali hanya sebagai trik pemasaran belaka dan tidak diwujudkan serta ditumbuhkan tanggung jawab para penghuni untuk menjaganya.
Akibat
minimnya pemahaman mengenai konsep hijau tersebut, para pengembang perumahan cenderung lebih banyak menawarkan lingkungan perumahan yang asri dan hijau, bukan konsep hijau yang sebenarnya. Ditambah lagi, pangsa pasar konsep hunian hijau yang dituju dan umum berlaku saat ini di Indonesia adalah kelas rumah tinggal dan atau perumahan menengah atas.
3
Indonesia Property Watch (IPW) pernah melakukan riset dan menemukan bahwa konsep properti hijau belum diterapkan secara penuh oleh pengembang. Dari penelitian tersebut, hanya enam proyek perumahan di Jabodetabek yang sudah memenuhi sekitar 50 % dari delapan kriteria hunian hijau versi lembaga tersebut. Tiga proyek lain mencapai 38 %, dan sisanya hanya memenuhi sekitar 25 % dari seluruh kriteria yang ditetapkan. Rendahya penerapan hunian hijau tersebut, menurut pengamat lingkungan Nirwono Joga, karena tidak adanya dukungan regulasi yang mewajibkan pengembang dalam penerapan hunian hijau tersebut. Delapan kriteria hunian hijau menurut IPW, yaitu: resapan air, ruang terbuka hijau, lanskap, energi, sanitasi, alam, material, dan proses daur ulang limbah. Menurut IPW, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi pengembang dalam pengembangan properti hijau, salah satunya mengenai biaya yang tinggi (Anonim 2010c). Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Karyono (2010), yang menyatakan lemahnya pengetahuan aspek ‘kenyamanan’ baik termal maupun visual dalam rancangan bangunan umumnya didasari oleh anggapan bahwa membuat bangunan ‘nyaman’ diperlukan biaya ekstra.
Demikian pula untuk
merancang bangunan berkelanjutan (sustainable) dianggap menaikkan biaya investasi awal.
Pada kenyataannya hal tersebut tidaklah demikian.
Dengan
biaya awal yang sama dapat dirancang bangunan, khususnya rumah tinggal yang nyaman, hemat energi, serta berkelanjutan, jika arsitek menguasai strategi perancangan tersebut. Di tambah lagi, rumah tinggal tidak hanya sebagai penaung secara fisik unit masyarakat terkecil yakni sebuah keluarga yang potensial sebagai sarana penerapan pendidikan berkehidupan, dalam hal ini berperilaku ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kajian lebih lanjut terkait dengan kajian konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi sebagai bagian dari konsep sustainable development.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian mengenai Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi ini bersifat penelitian mendasar (riset fundamental) untuk merumuskan kembali secara umum konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi tropis basah Indonesia.
Objek penelitian difokuskan pada objek
unit rumah tinggal sederhana tipe rumah deret (row house) yang umum ditemukan di perumahan Indonesia dengan tipe bangunan 45 m2 yang ditunjang
4
dengan luasan lahan seluas ± 120 m 2 dengan asumsi profil pengguna merupakan keluarga menengah dari tingkat usia serta pendapatan dan jumlah penghuni empat orang. Kajian ini menggunakan strategi desain pasif (passive design strategy) (Kibert 2008) dan bersifat konsepsi desain secara hipotetik. Asumsi tema hemat energi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep desain hijau dalam naungan desain berkelanjutan dengan menerapkan sikap dan perilaku bijak dalam memanfaatkan dan mengelola potensi sumberdaya dalam unit lanskap rumah tinggal seperti sumberdaya listrik, material, iklim, vegetasi, air, dan tanah guna meminimalisir penggunaan sumberdaya eksternal (sumberdaya berbahan bakar fosil).
Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Mengkaji komponen taman dan rumah tinggal serta gubahannya yang dapat mendukung konsep hemat energi. 2. Mengkonsepsikan desain taman dan rumah tinggal hemat energi.
Manfaat Penelitian Hasil dari Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya: 1. Membantu menyediakan konsep rumah tinggal yang nyaman dengan konsumsi energi yang rendah. 2. Membantu program pemerintah dalam upaya-upaya penghematan energi baik secara nasional, regional maupun global melalui penyediaan rumah tinggal hemat energi.
Kerangka Pikir Penelitian Secara umum kerangka pemikiran dalam penelitian ini diawali oleh pemikiran bagaimana pengaruh lanskap terhadap penghematan energi pada unit lanskap rumah tinggal.
Dasar pemikiran tersebut menjadi titik tolak dalam
melakukan upaya identifikasi komponen lanskap taman dan rumah tinggal yang berpengaruh terhadap penghematan energi menggunakan pendekatan strategi desain pasif seperti yang tertuang dalam penjelasan pada subbab Ruang
5
Lingkup dan Batasan Penelitian sebelumnya. Melalui langkah tersebut dapat dimunculkan kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi sebagai bahan penyusunan atau formulasi konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi.
Main frame sederhana sebagai gagasan kerangka pikir guna
mencapai tujuan penelitian diatas tersaji pada Gambar 1 dibawah ini tentang skema kerangka pikir penelitian.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Identifikasi Pendekataan Konsep Desain Berkelanjutan Embargo minyak 1973 merupakan suatu momen kebangkitan kesadaran energi dimana eskalasi harga minyak bumi yang membubung menimbulkan dampak krisis energi pada negara negara maju yang energy dependent. Seluruh potensi riset dan pengembangan dikerahkan untuk mengatasi krisis tersebut yang tentunya juga termasuk sektor bangunan gedung maupun perumahan. Dekade 1980-1990, terjadi pengungkapan ilmiah tentang fenomena kerusakan pada planet bumi dan atmosfer yang secara umum kita kenal dengan istilah pemanasan global (Priatman 2002). Krisis lingkungan dan energi ini memicu gerakan positif pada pembangunan yang lebih ramah atau berwawasan terhadap lingkungan meliputi sektor desain arsitektur dan lanskap. Konsep
tersebut
(sustainable development).
dikenal
sebagai
pembangunan
berkelanjutan
Menurut World Commision and Environment and
Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), sustainable development adalah ―…..the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs‖. Pernyataan tersebut bertujuan, agar sebuah desain berkelanjutan dapat menimimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi dan ekologi.
Karena setiap langkah kita akan berdampak pada generasi masa
depan. Prinsip konstruksi atau pembangunan berkelanjutan menurut Kibert (2008), yaitu: 1. Mengurangi konsumsi sumberdaya (reduce) 2. Menggunakan kembali sumberdaya (reuse) 3. Menggunakan sumberdaya yang dapat didaurulang/diperbaharui (recycle) 4. Melindungi alam (nature) 5. Menghilangkan racun (toxics) 6. Mengaplikasikan biaya daur hidup (economics) 7. Fokus terhadap kualitas (quality) Desain berkelanjutan sangat menekankan terhadap meminimalisir dampak lingkungan yang sangat erat terkait dengan kondisi ekologis, sedangkan kondisi ekologis dalam hal ini erat kaitannya dengan lanskap. Pernyataan diatas
6
menjelaskan bahwa lanskap merupakan suatu strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep desain berkelanjutan (Pranoto 2008). Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiranpemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable design) dan desain hijau (green design), dll adalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap (Kibert 2008).
Desain Sadar Sumber Daya (Resource-Concious Design) Isu mengenai desain yang sadar akan sumber daya menjadi pondasi dasar dari pembangunan berkelanjutan.
Tujuan utama dari pembangunan
berkelanjutan adalah minimalisasi konsumsi sumber daya dan dampak terhadap sistem ekologi serta sinergi antar peran dan potensi ekosistem. contohnya
pada
pemilihan
material
untuk
pembangunan
Seperti
berkelanjutan,
diupayakan menggunakan lingkaran material tertutup (closed loop) yang bertujuan untuk menghilangkan emisi padat, cair, dan gas. Lingkaran material tertutup menggambarkan sebuah proses penggunaan material agar tetap produktif melalui jalan pemakaian ulang (reuse) maupun di daur ulang (recycle) daripada hanya langsung membuang material tersebut menjadi limbah. Daur hidup material berkelanjutan mudah dirakit kembali, dan bahan penyusunnya mampu dan layak didaur ulang dengan tidak menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Sebagai bagian dari sistem yang dianut oleh sistem bangunan hijau, produk yang diproduksi dievaluasi dampak dari daur hidupnya, termasuk konsumsi energi dan emisi selama ekstraksi sumberdaya, transportasi, produksi, instalasi selama konstruksi, dampak operasional, dan efek jika material tersebut menjadi sampah buangan (disposal effect) (Kibert 2008).
Gambar 2. Kerangka kerja pembangunan berkelanjutan (Kibert 2008)
7
Sumber Daya Lahan Penggunaan lahan yang berkelanjutan didasarkan pada prinsip bahwa lahan, khususnya lahan yang belum dikembangkan, alami, atau lahan pertanian, adalah sumber daya terbatas yang berharga, dan perkembangannya harus diminimalkan.
Perencanaan yang efektif, secara esensi adalah untuk
menciptakan bentuk-bentuk perkotaan yang efisien dan meminimalkan kota yang semrawut (urban sprawl), menurunkan ketergantungan pada penggunaan mobil pribadi sebagai alat transportasi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan menurunkan tingkat polusi. Seperti sumber daya lain, lahan tetap mengalami proses daur ulang agar tetap terjaga produktivitasnya, sehingga diperlukan upaya konservasi lahan produktif, revitalisasi secara ekonomi dan sosial pada area yang terbengkalai (Kibert 2008).
Energi dan Atmosfir Konservasi energi terbaik adalah melalui desain bangunan yang efektif serta terintegrasi dengan tiga pendekatan umum: 1) merancang selubung bangunan yang dapat meredam perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi; 2) menggunakan sumber daya energi terbarukan; 3) menerapkan desain pasif.
Desain pasif memanfaatkan geometri, orientasi, dan massa
bangunan serta kondisi struktur berorientasi pada potensi sumber daya alamiah dan kondisi klimatologi, seperti matahari, angin, topografi, iklim mikro, dan lanskaping (Kibert 2008).
Isu Air Ketersediaan air bersih layak minum adalah faktor pembatas untuk pengembangan dan pembangunan di banyak daerah di dunia. Perubahan iklim dan pola cuaca yang tak menentu dipicu oleh pemanasan global mengancam ketersediaan sumber daya air bersih. Karena hanya sebagian kecil dari siklus hidrologi
bumi
menghasilkan
air
bersih
layak
minum,
sehingga
perlu
perlindungan tanah dan air permukaan. Sekali air terkontaminasi, sangat sulit, untuk memperbaiki kerusakan. Teknik konservasi air meliputi penggunaan aliran rendah perlengkapan pipa, daur ulang air, pemanenan air hujan, dan xeriscaping, metode lanskap yang memanfaatkan tanaman yang tahan kekeringan. Pendekatan inovatif untuk pengolahan air limbah dan manajemen banjir dalam siklus hidrologi bangunan (Kibert 2008).
8
Ekosistem: Sumber Daya yang Terlupakan Pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan peran dan potensi ekosistem secara sinergi. Integrasi ekosistem dengan lingkungan yang dibangun dapat memainkan peran penting dalam desain yang sadar sumber daya. Integrasi tersebut dapat bermanfaat dalam mengendalikan beban bangunan eksternal, pengolahan limbah, menyerap air hujan, menanam tanaman (pangan), menciptakan keindahan alam, dan kenyamanan lingkungan (Kibert 2008).
Implementasi Desain Berkelanjutan Kesadaran akan kerusakan lingkungan akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan yang tidak dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan faktor lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam, menyebabkan muncul langkah-langkah maju yaitu gerakan-gerakan arsitektur berkelajutan
yang
mengarah
kepada
upaya
meminimalkan
perusakan
lingkungan.
Arsitektur Bioklimatik (Bioclimatic Architecture/Low Energy Architecture) Arsitektur yang berlandaskan pada pendekatan desain pasif dan minimum energi dengan memanfaatkan energi alam iklim setempat untuk menciptakan kondisi kenyamanan bagi penghuninya. Dicapai dengan organisasi morfologi bangunan dengan metode pasif antara lain konfigurasi bentuk massa bangunan dan perencanaan tapak, orientasi bangunan, desain façade, peralatan pembayangan, instrumen penerangan alam, warna selubung bangunan, lansekap horisontal dan vertikal, ventilasi alamiah. Tercatat para arsitek pelopor desain bioklimatik antara lain Ken Yeang, Norman Foster, Renzo Piano, Thomas Herzog, Donald Watson, Jeffry Cook (Priatman 2002). Arsitektur Hemat Energi (Energy-Efficient Architecture) Arsitektur penggunaan
yang
berlandaskan
energi tanpa
pada
membatasi atau
pemikiran merubah
―meminimalkan
fungsi bangunan,
kenyamanan maupun produktivitas penghuninya― dengan memanfaatkan sains dan teknologi mutakhir secara aktif.
Mengoptimasikan sistem tata udara-tata
cahaya, integrasi antara sistem tata udara buatan-alamiah, sistem tata cahaya buatan-alamiah serta sinergi antara metode pasif dan aktif dengan material dan instrumen hemat energi. Credo form follows function bergeser menjadi form
9
follows energy yang berdasarkan pada prinsip konservasi energi (non-renewable resources). Para pelopor arsitektur ini tercatat Norman Foster, Jean Nouvel, Ingenhoven Overdiek & partners (Priatman 2002).
Arsitektur Surya (Solar Architecture) Arsitektur yang memanfaatkan energi surya baik secara langsung (radiasi cahaya dan termal), maupun secara tidak langsung (energi angin) kedalam bangunan. Dengan demikian, elemen-elemen ruang arsitektur (lantai, dinding, atap) secara integratif berfungsi sebagai sistem surya aktif ataupun sistem surya pasif.
Diawali dengan arsitektur surya pasif yang memanfaatkan atap dan
dinding sebagai kolektor panas dan dikembangkan dengan sistem surya aktif yang meng implementasikan keseluruhan sistem surya termosiphoning dan berintegrasi penuh dengan keseluruhan elemen arsitektur. Inovasi teknologi lanjutan dalam sel photovoltaik menghasilkan prototipe arsitektur baru yang spesifik. Perkembangan arsitektur surya di USA dipresentasikan dengan Skytherm System of Harold Hay, Steve Baer’s Zome House dan dilanjutkan di Eropa dengan Hysolar Institute Stutgart di Jerman, Achen power utilities dan Flachglas AG headquarter merupakan demonstrasi panel photovoltaik sebagai fasad bangunan tinggi. Arsitektur surya ini bertitik tolak dari prinsip diversifikasi energi yang mengeksplorasi sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable energy) (Priatman 2002).
Arsitektur Ekologis (Eco-Architecture) Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara lain: Yeang (2006), mendefinisikannya sebagai: Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design. ―Desain ekologis, adalah desain bioklimatik, merancang bersama lokalitas iklim dan desain rendah energi.‖ Yeang, menekankan pada: integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan;
10
yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistem-sistem dengan proses alam, meliputi: cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistem pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Ketiga adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Desain ekologis menurut Van Der Ryn dan Cowan (1996) dalam Kibert (2008) desain yang terintegrasi dengan proses kehidupan, mengubah materi dan energi menggunakan proses yang kompatibel dan sinergis dengan alam dan yang dimodelkan pada sistem alam.
Pendekatan ini dilakukan melalui
menimalisir energi dan material (local aspect), meminimalisir polutan, preservasi habitat dan kesejahteraan masyarakat, kesehatan dan keindahan. Arsitektur Hijau (Green Architecture) Arsitektur hijau merupakan Arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan
pada
efisiensi
energi
(energy-efficient),
pola
(sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach).
berkelanjutan
Bertitik tolak dari
pemikiran desain ekologi yang menekankan pada saling ketergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (inter connectedness) antara semua sistem (artifisial maupun natural) dengan lingkungan lokalnya dan biosfer. Credo form follows energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure (Priatman 2002).
Arsitektur hijau
merupakan konsekuensi dari konsep arsitektur berkelanjutan. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, dimana manusia hidup. Prinsip-prinsip dasar perancangan berkelanjutan dapat di formulasikan dalam matriks berikut.
11
Tabel 1. Prinsip pendekatan desain berkelanjutan Parameter Desain Arsitektur Konfigurasi bangunan
Prinsip Dasar Perancangan Arsitektur Bio Hemat Surya* Hijau* Ekologis** Lain-lain* klimatik* energi* Dipengaru Dipengaru Dipengaru Dipengaruhi Dipengaru Pengaruh hi iklim hi iklim hi lingkungan hi lingku lainnya matahari ngan & ekosistem
Orientasi bangunan
Krusial
Krusial
Sangat Krusial
Krusial
Krusial
Relatif tidak penting
Façade bangunan
Responsif iklim
Responsif iklim
Responsif matahari
Responsif lingkungan
Responsif lingku ngan & ekosistem
Pengaruh lainnya
Sumber energi
Natural Natural Pembang Natural+ Natural NonNonkit Pembangkit, renewable renewable renewable Renewable & Nonrenewable Krusial Krusial Krusial Krusial Krusial
Pembang kit, Nonrenew able
Sistem operasional
Pasif-mix
Aktif-mix
Produktif
Pasif+ Aktif+ mix+Produk tif
Pasif
Pasif-Aktif
Tingkat kenyama nan
Variabel
Konsisten
Konsisten
Variabel Konsisten
Variabel konsisten
Konsisten
Konsumsi energi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi medium
Sumber material
Tidak penting
Tidak penting
Tidak penting
Minimum dampak lingkungan
OrganikNatural
Tidak penting
Material output
Tidak penting
Tidak penting
Tidak penting
ReuseSimbiosis Recyclelingku Reconfigure ngan
Tidak penting
Ekologi tapak
Penting
Penting
Penting
Krusial
Tidak penting
Energy cost
Krusial
Tidak penting
Sumber : *Yeang (1999) dalam Priatman (2002) **Yeang (2006) dan Yeang (1995) dalam Kibert (2008)
Strategi Konsep Desain Hijau Dalam menindaklanjuti sebuah rancangan arsitektur akan diperlukan strategi-strategi dalam implementasinya.
Di dunia arsitektur sadar energi,
strategi desain yang umum digunakan adalah strategi desain pasif yang akan
12
diadopsi untuk desain taman dan rumah tinggal hemat energi dalam penelitian ini dan atau strategi desain aktif. Strategi Desain Pasif (Passive Design Strategy). Karena kompleksitas sistem energi dalam merancang sebuah bangunan dengan konsep hijau, titik awal harus menjadi pertimbangan adalah strategi desain pasif.
Desain pasif
adalah desain bangunan dengan sistem pendinginan, pencahayaan dan ventilasi, mengandalkan sinar matahari, angin, vegetasi, dan sumber daya alami lain
pada
tapak
(Kibert
2008).
Desain
pasif
merupakan
tindakan
mengoptimumkan penggunaan energi alam (matahari dan angin) sebagai antisipasi terhadap permasalahan iklim tanpa adanya konversi energi dalam bentuk lain, misalnya energi matahari menjadi energi listrik.
Pada sistem
operasional bangunan dengan strategi desain pasif ini, tingkat konsumsi energi nya paling rendah, tanpa ataupun minimal penggunaan peralatan ME (mekanikal elektrikal) dari sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources). Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya. Desain pasif memiliki dua aspek utama: (1) penggunaan lokasi bangunan dan tapak untuk mengurangi profil energi bangunan dan (2) desain bangunan itu sendiri meliputi orientasi, aspek rasio, massa, lainnya.
jalur ventilasi, dan tindakan
Aplikasi strategi desain pasif memang cukup kompleks, karena
tergantung pada banyak faktor sebagai pertimbangan dalam merancang, yaitu: letak lintang, ketinggian (topografi), penyinaran matahari, pola kelembaban, arah dan kekuatan angin tahunan, vegetasi, dan adanya bangunan lainnya. Desain pasif yang optimal akan dapat mengurangi biaya energi pendinginan, ventilasi dan pencahayaan (Kibert 2008). Beberapa faktor yang harus dimasukkan dalam pengembangan strategi desain pasif adalah: 1
Iklim lokal
:
Sudut matahari dan insulasi matahari, kecepatan dan arah angin, temperatur udara, dan kelembaban sepanjang tahun.
13
2
Kondisi tapak
:
Medan, vegetasi, kondisi tanah, muka air, iklim mikro, hubungan antara bangunan lain
3
Aspek rasio
:
Rasio panjang lebar bangunan
:
Sumbu orientasi timur-barat, tata ruang, kaca
bangunan 4
Orientasi bangunan
5
Massa bangunan
:
Skema bukaan, warna
6
Masa pakai
:
Jadwal hunian dan profil pengguna
:
Jendela, perangkat pencahayaan (skylight, jalusi)
:
Geometri, isolasi, jendela, pintu, aliran udara,
bangunan 7
Strategi pencahayaan
8
Selubung bangunan
ventilasi, tritisan, massa termal, warna
9
Beban Internal
:
Pencahayaan, peralatan rumah tangga, penghuni
10
Strategi ventilasi
:
Ventilasi silang, potensi efek cerobong
Secara umum, strategi desain pasif dapat diterapkan untuk berbagai tipe bangunan. Kesuksesan strategi desain pasif sangat tergantung pada berbagai faktor yang tersebut diatas serta proses aplikasinya yang disesuaikan dengan karakteristik iklim masing-masing tapak atau daerah. Misalnya, menggunakan massa termal sebagai strategi desain pasif, pilihan yang sangat baik di padang pasir di meksiko, dengan sinar matahari berlimpah dan interval suhu harian yang lebar.
Strategi desain pasif akan berbeda penerapannya untuk iklim lembab
dengan interval suhu harian yang sempit, seperti yang akan ditemukan di tampa, florida (Kibert 2008).
Strategi Desain Aktif (Active Strategy Design). Dalam rancangan aktif, pada umumnya sistem operasional dalam bangunan menggunakan peralatan Mekanikal dan Elektikal yang bersumber dari energi yang tidak dapat diperbarui (energy dependent). Disisi lain terdapat juga rancangan yang mengarah pada sistem
yang
lebih
produktif
yaitu
sistem
yang
dapat
mengadakan/
membangkitkan energi nya sendiri (on-site energy) dari sumber daya yang dapat
14
diperbarui (renewable resources) seperti energi matahari, angin maupun biomassa dikonversi menjadi energi baru yang dapat digunakan oleh manusia. Dalam konversi energi ini dibutuhkan teknologi yang saat ini masih sangat mahal nilai investasinya dan tentunya masyarakat golongan menengah belum mungkin menjangkaunya. Teknologi aktif yang sering digunakan dalam desain aktif ini antara lain yang dipaparkan oleh Kibert (2008), yaitu: 1. Sel surya (photovoltaics), yang mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. 2. Turbin angin (wind turbine), yang mengkonversi energi angin menjadi energi listrik. 3. Biomassa (biomass). Konversi bahan atau material biologis dari pengolahan vegetasi tertentu menjadi bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. Dalam perancangan secara aktif, secara simultan arsitek juga harus menerapkan strategi perancangan secara pasif. Tanpa penerapan strategi perancangan pasif, penggunaan energi dalam bangunan akan tetap tinggi apabila tingkat kenyamanan termal dan visual harus dicapai.
Strategi
perancangan aktif dalam bangunan dengan sel solar masih sangat jarang dijumpai di Indonesia saat ini. Penggunaan sel solar masih terbatas pada kebutuhan terbatas bagi bangunan tinggi atau bagi penerangan di desa-desa terpencil Indonesia.
Konteks Lingkungan Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Konsep desain hijau sangat terkait dengan konteks lingkungan. Dalam perspektif yang lebih luas, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan global alami yang meliputi unsur bumi, udara, air, dan energi yang perlu dilestarikan (Priatman 2002).
Lingkungan global tersebut berasal dari Istilah sains
lingkungan ―Gaia‖ yang pertama kali dikemukakan oleh James Lovelock pada tahun 1979 (Mintorogo 1999), dengan mengambil nama Dewi Bumi pada masa Yunani Kuno untuk mengungkapkan sebuah pengertian bahwa semua kehidupan di bumi memiliki hubungan simbiotik dengan sistem planet. Keseimbangan antara kehidupan organisme dan sistem planet adalah sangat erat dan teratur. Lima elemen Gaia adalah : api (fire), bumi (earth), udara (air), air (water), dan ether (aether).
Konteks lingkungan Gaia ini diharapkan dapat
dikembangkan kedalam rancangan lanskaping dan bangunan sebagai berikut:
15
Api ( fire ), adalah simbol efektif kultur bagi seluruh pelosok dunia. Tetapi bagi kaum Kristiani sebagai “Holy Spirit”; sedangkan untuk filosofi Hindu sebagai ―Kundalini‖—pelayan api yang membangkitkan energi seksual dari pusat tubuh manusia menjadi energi spiritual. Secara umum mengandung arti: hangat dan nyaman untuk kehidupan; sedangkan pandangan hidup fundamental api oleh manusia yaitu : Matahari dan energi surya (Mintorogo 1999). Matahari dalam kajian ini, diterjemahkan sebagai energi bagian dari iklim berupa cahaya dan sinar matahari.
Cahaya matahari adalah terang yang dihasilkan dari terang
langit. Sinar matahari adalah terang yang dihasilkan dari radiasi matahari secara langsung.
Dalam upaya efisiensi dan konservasi energi, cahaya dan sinar
matahari tersebut dijadikan sebagai potensi untuk mendapatkan penerangan alami dalam bangunan. Kasus tropis basah Indonesia, dalam perencanaan dan perancangan bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, namun sinar matahari perlu diminimalisir agar suhu ruang tidak bertambah tinggi sehingga mempengaruhi kenyamanan. Bumi (earth/rock), adalah lapisan-lapisan tanah yang berasal dari pecahan batu-batuan yang secara bergantian terkena perbedaan ekstrim temperatur panas dan dingin dan masuknya air dalam celah-celah batu sehingga akhirnya terfragmentasi menjadi batuan kecil. Manusia memanfaatkan tanah /batu ―rock‖ untuk ―sheltering‖, dan menghancurkan/membahayakan bumi/batuan untuk menyimpan bahan-bahan “toxic” (Mintorogo 1999). Secara umum pada masa kini terutama di perkotaan modern, rumah tinggal di Indonesia adalah berbasis lahan (menapak tanah). Tanah merupakan bagian yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia dan sebagai media pertumbuhan vegetasi yang akan dapat mendukung konsep hijau dalam rancangan arsitektur dalam kajian ini. Udara (air), sebenarnya dahulu bumi tidak dilapisi atmosfer melainkan oleh gas Sulfur dan Metan. Oksigen awal terbentuk dikarenakan oleh sinar ultraviolet mengubah molekul air (H2O) menjadi H dan O2, kemudian tambahan oksigen lain dihasilkan sebagai akibat proses pernafasan dari fauna dan flora dari proses total fotosintesis.
Tingkat saling ketergantungan terjadi dimana
makluk hidup menghirup O2 dan mengeluarkan CO2, sedangkan tumbuhtumbuhan mengeluarkan O2 dan menghirup CO2. Destruktif udara adalah: Polusi Udara; yaitu: polusi udara alamiah (asap kebakaran hutan, dll), polusi udara
16
buatan manusia (industrialisasi, transportasi dll), polusi udara dalam (macammacam sumber polusi dari material bangunan interior) (Mintorogo 1999). Kondisi angin di tropis basah Indonesia terpengaruh oleh angin muson. Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar
bulan
April hingga
bulan
Oktober
yang
sifatnya
kering
yang
mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau (Frick dan Mulyani 2006). Dominasi arah angin berasal dari Timur Laut - Tenggara. Kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 2 km/jam (BMKG 2011). Kecepatan angin tersebut masuk dalam kategori berangin dan berpengaruh terhadap ketidaknyamanan, namun pada suhu ± 30 ºC kecepatan angin tersebut berpengaruh positif terhadap efek penyegaran (cooling) dan mengencerkan konsentrasi polutan. Air (water), butir-butir air jatuh ke bumi akan diteruskan ke lapisan yang terdalam sampai pada lapisan air bawah tanah yang akan sejajar dengan ketinggian permukaan air laut. Air diseluruh dunia menempati 97% dan sebagian adalah air laut yang menutupi 1/3 luasan permukaan bumi, dan sisanya 3% yang terdiri dari 2.96% berupa ―ice caps dan glacier‖; dan hanya 0.06 % dari seluruh air di seluruh dunia berfungsi sebagai air bersih yang berguna. (Myers 1985 dalam Mintorogo 1999). Secara umum elemen air dalam kajian ini terkait dengan sanitasi air, baik air bersih maupun air kotor. Penyediaan air bersih untuk pemukiman menjadi masalah karena sumbernya semakin terbatas. Potensi air bersih di Indonesia lain adalah air hujan terkait dengan curah hujan yang relatif tinggi. Jenis air lainnya adalah air buangan berupa greywater dan blackwater.
Potensi air
buangan ini dalam konsep hijau dapat digunakan dan dikelola dengan bijak minimal menggunakan konsep reduce, reuse dan kemudian recycle. Ether (aether), adalah radiasi dan energi dari laut dimana dihasilkan untuk mendukung kebutuhan kehidupan, kesehatan, atau kematian bagi seluruh organik
di
dunia;
menahan
gaya-gaya
(geoenergetic,
electromagnetic,
eletrostatic dan gravitasil) yang ditujukan pada kita dari bumi, matahari dan planet lain. Bidang medan magnet bumi ―geomagnetic‖ (GMF) di ujung Utara dan Selatan, dan berubah secara teratur akibat dipengaruhi oleh efek Solar Radiasi. Matahari melepaskan “cosmic rays” yang membentuk Solar Wind—
17
gelombang-gelombang radiasi yang menghantam bumi, yang terdiri dari partikelpartikel yang bermuatan (+) & (-), yang akan terpencar ke ujung-ujung bumi begitu bertemu dengan bidang magnet bumi. Bagi bangunan-bangunan gedung yang berdekatan atau terlintasi ―geomagnetic field (GMF) anomalies‖ dapat mempengaruhi keseimbangan kesehatan manusia (energi tubuh), karena bumi melepaskan ―ELF‖—Extremely Low Frequency komponen (GMF) secara konstan. Sedangkan ―underground water‖ dan batuan (rock) akan melepaskan racun ― Radon ‖ dalam jumlah banyak dimana dapat menyebabkan kesehatan manusia terganggu secara serius (gangguan geo-biologis) (Mintorogo 1999).
Komponen Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Secara fenomenologis sebuah unit rumah tinggal pada umumnya terbentuk oleh beberapa komponen utama, yaitu: tapak sebagai lahan dengan luasan tertentu untuk area mendirikan bangunan, bangunan rumah tinggal itu sendiri dan sisanya adalah lahan terbuka yang sering diistilahkan sebagai taman atau pekarangan rumah tinggal. Pekarangan rumah tinggal sendiri merupakan bagian dari RTH kota privat. Komponen Tapak Tapak, sebagai lahan atau area untuk membangun ruang binaan atau rumah terkait dengan peruntukan lahan (land use), kesesuaian lahan (land suitability) dan kemampuan lahan (land capability). Hal tersebut terkait dengan peraturan pemerintah mengenai tata guna lahan dan wujud upaya desain ramah lingkungan. Peraturan tata guna lahan mengatur keharmonisan pemanfaatan lahan untuk menciptakan rasio lahan terbangun dan tidak terbangun (intensitas tutupan lahan) yang ideal. Dalam penentuan batasan objek penelitian, peneliti melakukannya didasari atas referensi yang ada dalam hal ini aturan perundangan.
Menurut Peraturan Menteri Negara
Perumahan
Rakyat
(PERMENPERA) Nomor: 11/ PERMEN/ M/ 2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman pada Pasal 10 huruf b, memberikan klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan intensitas lahan tutupan, khususnya disesuaikan dengan kajian ini, dibedakan atas: a. rumah taman, dengan KDB lebih kecil dari 30%; b. rumah renggang, dengan KDB 30% sampai dengan 50%; c. rumah deret, dengan KDB 50% sampai dengan 70%;
18
Dari sisi penentuan luas lahan berikut luas ruang terbangun, diatur dalam SNI 03-1733-2004: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan pada subbab Hunian Tidak Bertingkat (BSN 2004).
Untuk
menentukan luas minimum rata-rata perpetakan tanah didasarkan pada faktorfaktor kehidupan manusia (kegiatan), faktor alam dan peraturan bangunan. Luas lantai minimum perorang dapat diperhitungkan dengan rumusan berikut:
Luas per orang =
U Tp ....................................................................................(1)
Keterangan: Luas per orang
= Luas lantai hunian per orang
U
= Kebutuhan udara segar/ orang/ jam dalam satuan m 3
Tp
= Tinggi plafon minimal dalam satuan m
Berdasarkan fungsi ruang dan aktivitas yang terjadi di dalam rumah hunian, yaitu: tidur (ruang tidur), masak (dapur), mandi (KM/WC), duduk (ruang duduk atau ruang tamu), kebutuhan udara segar per orang dewasa per jam 1624 m3 dan anak-anak per jam 8-12 m3, dengan pergantian udara dalam ruang sebanyak-banyaknya 2 kali per jam dan tinggi plafon rata-rata 2,5 m, maka luas lantai perorang dapat dihitung melalui perhitungan dibawah ini:
Luas perorang dewasa =
U dws
Luas perorang anak-anak =
Tp
=
U ank Tp
24 m3 2,5 m
=
= 9,6 m2
12 m3 2,5 m
= 4,8 m2
Keterangan: Udws = Kebutuhan udara segar/orang dewasa/jam dalam satuan m 3 Uank = Kebutuhan udara segar/orang anak-anak/jam dalam satuan m 3 Tp
= Tinggi plafon minimal dalam satuan m
Jadi bila 1 kk terkecil rata-rata terdiri dari 4 orang (ayah + ibu + 2 anak) maka kebutuhan luas lantai minimum dihitung sebagai berikut:
19
= (2 x 9,6) + (2x4,8) m2 = 28,8 m2
Luas lantai utama
Luas lantai pelayanan (servis) = 50 % x 28,8 m2
= 14,4 m2
Total Luas Lantai
+
2
= 43,2 m
Jika koefisien dasar bangunan 40% (kategori rumah renggang), maka luas kapling minimum untuk keluarga dengan anggota 4 orang adalah:
L Kav Min
=
100 KDB
L Kav Min (1 kel= 4 orang)
=
x L Lantai Min
100 40
............................................................(2)
x 43,2 m2 = 108 m2
Keterangan: L Kav Min
= Luas Kavling Minimum
KDB
= Koefisien Dasar Bangunan
L Lantai Min
= Luas Lantai Minimum
Dari perhitungan diatas yang menghasilkan luas bangunan berikut luas lahan minimum adalah 43,2 m 2/108 m2.
Luasan bangunan tersebut kurang
umum digunakan oleh pasaran perumahan modern pada umumnya, sehingga diputuskan membulatkan dan meningkatkan besaran angka tersebut menjadi rumah tinggal dengan luasan bangunan berikut lahannya 45 m 2/120 m2 Letak atau posisi tapak berpengaruh terhadap penghematan energi. Hal ini diwakili oleh orientasi tapak. Orientasi adalah suatu posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin, atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya. Orientasi terkait dengan garis edar matahari yang merupakan suatu bagian yang elemen penerangan alami.
Pada daerah beriklim tropis
penyinaran dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan suatu masalah, sehingga diusahakan adanya elemen-elemen yang dapat mengurangi efek terik matahari yaitu pergerakan angin.
Orientasi juga terkait pada potensi-potensi
terdekat, merupakan suatu orientasi yang lebih bernilai pada sesuatu, bangunan dapat mengarah pada suatu tempat atau bangunan tertentu atau cukup dengan suatu nilai orientasi positif yang cukup membuat hubungan filosofisnya saja.
20
Orientasi terkait juga pada arah pandang tertentu, yang biasanya mengarah pada potensi-potensi yang relatif jauh, misalnya arah laut, atau pemandangan alam. Akibat dari adanya pengaruh orientasi terhadap sesuatu, menyebabkan bangunan harus dapat mengantisipasi hal-hal negatif yang berkaitan dengan masalah fisika bangunan antara lain masalah termal, tampias air hujan, silau dan lain sebagainya (Yuuwono 2007). Tanah saat ini masih merupakan landasan kita membangun yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia. Jenis tanah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, diantaranya daya resapnya terhadap air, kepekaan erosi dan daya dukung. Struktur tanah berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur tanah terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar ped atau agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antar partikel primer. Oleh karena itu tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan mengabsorbsi (menyerap) hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat kesuburan tanah yang sesuai untuk penerapan desain hijau (Hanafiah 2010). Tapak memiliki masing-masing karakter yang tampak pada topografinya. Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan, yaitu antara bidang datar tanah dengan bidang horisontal dan pada umumnya dihitung dalam persen (%) atau derajat (º). Klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Mentan No. 837/KPTS /Um/11/1980, seperti tertera pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Kelerengan lahan No.
Kemiringan lahan
Deskripsi
1
0–8%
Datar
2
8-15 %
Landai
3
15-25 %
Agak curam
4
25-45 %
Curam
5
>45 %
Sangat curam
Sumber : SK Mentan No. 837/KPTS /Um/11/1980
21
Kemiringan lahan yang melebihi 15%, terbuka terhadap iklim yang keras, bahaya gempa bumi, bahaya tanah longsor, tanah yang tidak stabil, daerah berlumpur/rawa serta berbatasan dengan jalan yang hiruk pikuk, yang diantaranya dapat diatasi dengan perlakuan khusus dan diluar itu harus dihindari. Pembangunan perumahan ataupun sarana lainnya pada lahan yang miring relatif lebih sulit daripada perumahan yang terletak pada lahan yang datar. Pembangunan perumahan atau bangunan lainnya
pada lahan dengan
kemiringan lebih dari 10%, memerlukan desain bangunan yang lebih khusus dengan bentuk teras (sengkedan/bersusun) ataupun berbentuk split-level, yang berimplikasi pada bertambahnya energi dan biaya konstruksi. Manusia dimanapun berada akan menghasilkan sampah atau limbah. Tapak dapat dilibatkan dalam sistem pengolahan sampah maupun limbah dengan batas toleransi tertentu. Untuk pembuangan sampah dapat diterapkan konsep reduce, reuse, recycle, antara lain: 1) Efisiensi buangan dan pemisahan sampah organik dan anorganik; 2) Sampah anorganik dapat digunakan kembali (reuse);
3) Sampah organik diolah menjadi pupuk (recycling), dan 4)
Menggunakan teknologi lubang resapan biopori.
Limbah air sabun dapat
disalurkan lewat selokan terbuka, limbah air tinja dapat menggunakan teknologi septicktank vietnam (Frick dan Mulyani 2006). Terdapat sumberdaya air hujan yang dapat dikelola untuk kebutuhan manusia dan lingkungan yaitu dengan cara menampung (rainwater harvesting) dan dikembalikan lagi ke tanah sebagai cadangan air tanah (groundwater recharge) melalui teknologi sumur resapan. Negara kita merupakan wilayah dengan potensi bencana alam yang cukup tinggi. Bencana alam dapat didefinisikan sebagai perubahan kondisi alam yang mengakibatkan bahaya bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Untuk dapat mengantisipasinya, melalui tindakan pencegahan yang berawal dari pemilihan tapak dan pengolahan tapak yang bijak, agar terhindar dari bencana alam seperti angin puyuh, gempa bumi, erosi dan banjir.
Bencana atau
gangguan tidak hanya datang dari faktor alam, dapat juga berasal dari flora dan fauna disekitar kita (gangguan biologis).
Gangguan dari hewan, hama yang
membahayakan konstruksi gedung dapat diantisipasi menggunakan bahan bangunan yang tahan terhadap rayap atau dilakukan pengawetan khusus. Jamur (dry rot) dapat diakibatkan oleh kesalahan konstruksi, bahan bangunan yang terkena spora jamur harus dimusnahkan.
Faktor vegetasi, tanaman
maupun tumbuhan disekitar bangunan yang tidak tertata dan terkelola dengan
22
baik akan dapat membahayakan kesehatan, keamanan dan pemborosan energi (Frick dan Mulyani 2006).
Komponen Taman Komponen penyusun taman dikelompokkan menjadi dua, yaitu material lunak (soft material) dan material keras (hard material). Material lunak umumnya bersifat lunak atau merupakan benda hidup, contohnya tanaman dan elemen air. Material keras yaitu elemen penyusun taman yang bersifat keras, pada umumnya merupakan benda mati, seperti contohnya perkerasan, pagar dan tembok pembatas (wall and fences).
Material Lunak (Soft Material) Tanaman.
Tanaman merupakan elemen utama lanskap, tidak ada
lanskap tanpa elemen tanaman, bahkan di rock garden sekalipun. Tanaman merupakan sumber keindahan, kenyamanan dan memberi daya dukung terhadap kehidupan, namun demikian penataan tanaman dalam lanskap diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat tanaman dalam menciptakan lanskap hemat energi. Tanaman lanskap sendiri, didefinisikan sebagai tanaman yang dibudidayakan untuk penataan lanskap. Tanaman ini mencakup tumbuhan alami yang sudah terdapat di dalam tapak (site). Kaitan antara tanaman dan penghematan energi, dimulai dari proses metabolisme atau fisiologis tanaman memiliki efek terhadap penurunan suhu udara lingkungan sekitarnya. Menurut Fandeli (2004) dalam Tauhid (2008), proses ekofisiologi yang menyebabkan terbentuknya iklim mikro yang nyaman adalah proses transpirasi dan evaporasi. Zoer’aini (2005) dalam Tauhid (2008) menyatakan bahwa evaporasi merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel).
Udara sekitar akan kehilangan panas karena
terjadinya evaporasi yang menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Proses evaporasi (proses fisis perubahan cairan menjadi uap) dari permukaan tanaman disebut transpirasi. Lakitan (1997) dalam Tauhid (2008) menjelaskan, bahwa penyerapan energi radiasi matahari oleh sistem tajuk tanaman akan memacu tumbuhan untuk meningkatkan laju transpirasinya (terutama
untuk
menjaga
stabilitas
suhu
tumbuhan).
Transpirasi
akan
menggunakan sebagian besar air yang berhasil diserap tumbuhan dari tanah.
23
Setiap gram air yang diuapkan akan menggunakan energi sebesar 580 kalori. Karena besarnya energi yang digunakan untuk menguapkan air pada proses transpirasi ini, maka hanya sedikit panas yang tersisa yang akan dipancarkan ke udara sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan suhu udara di sekitar tanaman tidak meningkat secara drastis pada siang hari. Pada kondisi kecukupan air, kehadiran pohon diperkirakan dapat menurunkan suhu udara di bawahnya kirakira 3,5 oC pada siang hari yang terik. Aliran air dari akar ke daun, dan selanjutnya dilepaskan ke atmosfer melalui proses transpirasi. Aliran air ke daun secara terus menerus merupakan respon vegetasi terhadap pancaran panas radiasi matahari. Mekanisme ini memungkinkan tumbuhan bertahan hidup di bawah terik matahari.
Proses
transpirasi adalah rangkaian metabolisme fisiologis, sehingga daun tumbuhan dapat tetap segar dan berfotosintesis. Apabila air tanah tersedia dalam jumlah cukup, transpirasi akan terus berlangsung. Laju transpirasi akan terus meningkat seiring peningkatan intensitas cahaya matahari. Uap air yang dilepaskan vegetasi melalui transpirasi berperan dalam mendinginkan udara sekitanya.
Proses transpirasi berjalan secara
simultan dengan proses fotosintesis sebagai mekanisme lain pendinginan suhu udara. Proses
fisiologis
yang
ikut
berperan
menciptakan
iklim
mikro
(menurunkan suhu udara) dan berjalan secara silmultan dengan transpirasi adalah proses fotosintesis.
Reaksi fotosintesis dituliskan oleh Salisbury dan
Ross (1995) dalam Tauhid (2008) sebagai berikut: nCO2 + nH2O + cahaya ⎯> (CH2O)n + nO2
.................................................(3)
Pada penelitian selanjutnya, ditemukan bahwa O 2 yang dilepaskan oleh tumbuhan berasal dari air, bukan dari CO 2. Menurut Stemler dan Richard (1975) dalam Tauhid (2008), oleh karena itu persamaan di atas lebih lengkapnya dituliskan sebagai berikut: nCO2 + 2nH2O + cahaya ⎯>(CH2O)n + nO2 + nH2O
...................................(4)
Reaksi fotosintesis sebenarnya terdiri dari dua tahapan reaksi, yaitu reaksi terang (Reaksi Hill) dan reaksi gelap (Calvin Cycle).
Kedua reaksi
24
tersebut terjadi di dalam kloroplas (butir klorofil). Reaksi terang merupakan langkah-langkah fotosintesis yang mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Reaksi terang terjadi di dalam granum. Granum dalam kloroplas (butir klorofil) berperan sebagai absorban radiasi matahari. Granum menyerap radiasi matahari pada spektrum tertentu. Proses ini disebut reaksi terang karena terjadi di bawah pengaruh cahaya matahari. Reaksi ini menggunakan radiasi matahari sebagai energi untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH dengan cara menambahkan sepasang elektron bersama dengan nukleus hidrogen (H+). Air (H2O) terurai dalam proses ini, dan terjadi pelepasan O 2 ke atmosfer sebagai produk samping.
Di samping itu, reaksi ini juga menghasilkan ATP yang
diperoleh dengan cara penambahan gugus fosfat pada ADP. Proses ini disebut fotoposporilasi (Campbell et al (2002) dalam Tauhid (2008)). Absorbsi CO2 terjadi pada reaksi berikutnya yang disebut reaksi gelap (Calvin Cycle) yang terjadi di dalam stroma. Siklus Calvin (Campbell et al (2002) dalam Tauhid (2008)) berawal dengan absorbsi/pemasukan CO 2 dari udara ke dalam molekul organik (fiksasi Carbon) yang telah disiapkan dalam kloroplas. Kemudian terjadi reduksi karbon menjadi karbohidrat melalui penambahan elektron. Tenaga pereduksi diperoleh dari NADPH dan ATP. Elemen Air.
Air merupakan salah satu elemen lanskap alami yang
sangat penting keberadaannya bagi kehidupan makhluk di bumi.
Badan air
awalnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seiring waktu air berkembang peranannya, khususnya dalam sebuah taman dan irigasi. merupakan potensi lanskap yang besar.
Water features
Air merupakan daya tarik utama bagi
masyarakat. Tepian air juga salah satu objek yang menarik, kolam, air mancur dan air terjun kecil merupakan elemen alami yang sering digunakan dalam perencanaan maupun perancangan tapak.
Air adalah simbol, kehadirannya
bagaikan oase di padang pasir, suara, pergerakan dan efek yang mendinginkan, menyegarkan dan menstimulasi pertumbuhan hijau, dan membuat kesan taman menjadi lebih alami. Pengertian RTH Kota menurut Laurie (1986) tidak hanya didominasi oleh unsur-unsur alam yang terdiri dari kumpulan vegetasi tapi juga permukaan air (danau dan sungai). Pengaruh keberadaan badan air sebagai bagian dari RTH kota memiliki potensi dan peran dalam menurunkan suhu diperkotaan. Snyder dan Catanese (1989) dalam Fatimah (2004) menyatakan bahwa permukaan air mempunyai sifat menyerap panas, menyimpan lalu memancarkannya kembali ke
25
atmosfer setelah berselang satu periode waktu tertentu.
Proses ini telah
membawa dampak positif dalam mengatasi perbedaan suhu harian dan musiman pada tapak-tapak yang bersebelahan. Adanya potensi badan air telah banyak dirasakan sebagaimana dinyatakan oleh Robinette (1983) bahwa badan air dapat mempengaruhi pembentukan iklim mikro tapak dan sekitarnya, karena badan air menyerap sebagian besar panas yang diterimanya, kemudian menyimpannya untuk periode waktu tertentu dan memantulkan kembali sebagian kecil dari radiasi yang sama melalui permukaan airnya. Badan air sangat lambat menjadi panas dan sangat lambat menjadi dingin kembali, sehingga dapat mereduksi perbedaan suhu yang ekstrim dengan lingkungannya.
Material Keras (Hard Material) Perkerasan. Dalam kehidupan sehari-hari, perkerasan identik dengan pembuatan lapisan permukaan baru yang menutupi lapisan tanah asli dengan menggunakan material penutup seperti paving block untuk mendukung fungsi lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki di atasnya.
Downing (1979)
menyatakan bahwa perkerasan dibuat untuk menciptakan suatu permukaan baru yang stabil dan mampu memberikan kekuatan pada permukaan tanah dibawahnya. Perkerasan biasanya dibuat pada tempat-tempat yang mempunyai intensitas kegiatan tinggi dan berlangsung secara terus-menerus.
Hill (1995)
menyebutkan bahwa salah satu manfaat dibuatnya perkerasan adalah untuk menghadirkan suatu permukaan yang aman untuk dilewati serta relatif mudah pemeliharaannya dibandingkan permukaan tanah terbuka yang lebih rentan terpengaruh oleh faktor alam seperti hujan dan angin. Grassblock merupakan salah satu perkerasan yang memiliki porositas terbaik (Prasodyo dan Nurisjah 1998).
Grassblock memiliki ruang untuk
pertumbuhan akar rumput dan memiliki kapasitas yang cukup untuk menyerap aliran air permukaan. Meskipun demikian permukaan yang tercipta tetap mampu menanggung beban lalu lintas berat.
Pemakaian grasspave atau grassblock
banyak dijumpai di tempat-tempat sekitar kita seperti taman di depan rumah maupun taman lingkungan karena merupakan material alternatif yang cocok untuk digunakan pada daerah beriklim dingin, sedang, maupun panas-lembab (tropis) (Mariana 2008). Pagar dan Tembok Pembatas (Wall and Fences). Pagar dan tembok pembatas merupakan bagian dari struktur tapak (site structure) pada ruang
26
taman.
Menurut Frick dan Mulyani (2006), desain pagar dan dinding pembatas
untuk mengoptimalkan fungsi keamanan, estetis dan hemat energi dapat diupayakan melalui upaya-upaya berikut ini: 1.
Memundurkan pagar, membuat lekukan, ketinggian pagar bertingkat
2.
Membuat tekstur, warna, atau bahan (termasuk material lanskap)
3.
Menyediakan teralis horisontal atau fitur lainnya yang berorientasi pada pejalan kaki sebagai aksen menambah daya tarik visual.
4.
Membatasi ketinggian dinding hingga 1.70 m atau pagar hingga 1.20 m.
5.
Menggunakan pagar non-padat yang memungkinkan padangan ke halaman.
6.
Aplikasi pagar hijau (Werdiningsih 2007)
Komponen Rumah Tinggal Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992).
Unsur fisik pembentuk ruang bangunan rumah
secara umum dibentuk oleh tiga pembentuk elemen ruangan yaitu : 1.
Bidang Alas/Lantai (base plane). Oleh karena lantai merupakan pendukung segala aktifitas kita di dalam ruangan.
2.
Bidang
Dinding/pembatas
(vertical
space
divider).
Sebagai
unsur
perancangan bidang dinding dapat menyatu dengan bidang lantai atau sebagai bidang yang terpisah. Dinding juga merupakan pelindung terhadap pengaruh iklim.
Aspek yang perlu diperhatikan adalah bahan bangunan
yang digunakan sebagai material dinding. Material higroskopis (misalnya batu merah) terkadang dapat mengikat banyak air. Satu m2 dinding batu merah yang diplester kedua sisinya mengikat rata-rata 66 liter air. Jumlah air yang digunakan untuk membangun sebuah rumah misal tipe 36 m 2 ialah ± 28.000 liter yang harus menguap dan kering sehingga sehat untuk dihuni. Waktu penguapan air tersebut tergantung pada cara membangun, iklim, ventilasi, dan kelembapan udara setempat. Diperkirakan dibutuhkan waktu selama 4 bulan. Kelebihan kelembaban apapun dalam iklim tropis basah, akan menumbuhkan cendawan kelabu (aspergillus) yang mempengaruhi kesehatan penghuni karena dapat berdampak pada terjadinya Sick Building Syndrome (SBS). 3.
Bidang atap/langit-langi (overhead plane). Bidang atap adalah unsur pelindung utama dari suatu bangunan dan pelindung terhadap pengaruh
27
iklim.
Atap sebaiknya berbentuk pelana sederhana (tanpa jurai luar dan
dalam) sehingga mudah dibuat rapat air hujan dengan atap sengkuap yang luas. Atap yang paling bagus menahan panas adalah atap dengan ruang atap yang penghawaannya berfungsi baik, atau atap bertanaman yang dapat meresapkan air hujan maupun mengatur iklim ruang dalam (Gambar 2). Atap rumah tinggal di Indonesia pada umumnya di lengkapi oleh tritisan sebagai pelengkap fungsi perisai sinar dan cahaya matahari juga hujan (Mangunwijaya 2000).
Gambar 3. Desain atap rumah
Susunan ruang-ruang tersebut akan membentuk sebuah bentukan dan konfigurasi ruang yang berujung pada terciptanya sebuah proporsi ruang yang terdiri dari rasio antara panjang dan lebar maupun tinggi bangunan. Membangun sebuah bangunan tentu memerlukan material atau bahan bangunan.
Perkembangan pembangunan dewasa ini ditandai dengan
peningkatan macam-macam bahan bangunan dan munculnya bahan bangunan baru. Maraknya penemuan bahan bangunan baru juga ditandai dengan kesadaran terhadap ekologi lingkungan dan fisika bangunan. Bahan bangunan alam yang tradisional (biomaterial) seperti batu alam, kayu, bambu, tanah liat, dan sebagainya tidak mengandung zat kimia yang mengganggu kesehatan. Lain halnya dengan bahan bangunan modern seperti tegel keramik, pipa plastik, catcat yang beraneka macam warnanya, perekat, dan sebagainya.
Karena
klasifikasi bahan bangunan tradisional kurang memperhatikan tingkat teknologi dan keadaan entropinya, serta pengaruhnya atas ekologi dan kesehatan manusia, maka lebih baik bahan bangunan digolongkan menurut penggunaan bahan mentah dan tingkat transformasinya pada Tabel 3 dibawah ini.
28
Tabel 3. Klasifikasi bahan bangunan ekologis Klasifikasi bahan secara ekologis
Contoh bahan
Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali
Kayu, bambu, rotan, rumbia, serabut kelapa, ijuk, kulit kayu, kapas, kapok, wol
Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali
Tanah, tanah liat, lempung, tras, kapur, batu kali, batu alam
Bahan bangunan buatan yang dapat didaur ulang
Limbah, potongan, sampah, ampas, bahan bungkusan (kaleng, botol), mobil bekas
Bahan bangunan yang mengalami perubahan transformasi sederhana
Batu merah, conblock, batako, genting, bis beton, semen, beton tanpa tulangan
Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan transformasi
Plastik, damar epoksi, produk petrokimia yang lain
Bahan bangunan komposit
Beton bertulang, pelat serat semen, cat kimia, perekat
Sumber: Frick dan Mulyani (2006)
Dalam strategi desain pasif, elemen yang cukup sering disebutkan adalah faktor ventilasi, khususnya ventilasi alami (bukaan) yang di wujudkan melalui jendela (jendela hidup) dan lubang angin agar gerak udara terjamin. Bangunan sebaiknya berbentuk persegi panjang daerah tropis basah Indonesia proporsi yang optimum antara lebar dan panjang adalah 1 :1,7 dan proporsi yang dinilai paling baik adalah 1:3 sehingga menguntungkan bagi penerapan ventilasi silang (Yuuwono 2007). Dijaman modern saat ini, tentu kita sudah tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan listrik untuk mengoperasikan peralatan mekanis. Dalam desain pasif pada kasus penelitian ini tidak menggunakan alat mekanis pendingin udara karena konsumsi energinya yang besar.
Perangkat pencahayaan dan tata
letaknya didesain dengan tepat agar efisien dalam penggunaan energi. Perangkat mekanis maupun listrik diupayakan digunakan dengan bijak dan seefisien mungkin. Hal tersebut disebabkan karena peralatan mekanis maupun listrik tersebut mengeluarkan radiasi kemudian membentuk medan listrik atau medan magnetik yang mengganggu komunikasi antar sel, bioritme, dan sistem kekebalan dan terutama menimbulkan emisi (polutan) (Frick dan Mulyani 2006). Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharton Business School di awal tahun 1970, yang
29
digunakan untuk mencari rangking atau urutan prioritas dari berbagai alternatif dalam
pemecahan
suatu
permasalahan.
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
seseorang senantiasa dihadapkan untuk melakukan pilihan dari berbagai alternatif.
Disini diperlukan penentuan prioritas dan uji konsistensi terhadap
pilihan-pilihan yang telah dilakukan. Dalam situasi yang kompleks, pengambilan keputusan tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja melainkan multifaktor dan mencakup berbagai jenjang maupun kepentingan (Marimin 2004). Menurut Saaty (1993), pada dasarnya AHP adalah suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio, baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu. Perbandinganperbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif.
Metode ini adalah
sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Analytical Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan.Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/k kali lebih penting dari A. 2. Homogenity,
yaitu
mengandung
arti
kesamaan
dalam
melakukan
perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat. 3. Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). 4. Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.
30
Secara umum pengambilan keputusan dengan metode AHP didasarkan pada langkah-langkah berikut: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria–kriteria dan alternatif–alternatif pilihan yang ingin di rangking (Gambar 3 dan 4).
Gambar 4. Struktur hierarki yang complete
Gambar 5. Struktur hierarki yang incomplete
3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing–masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.
31
5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual. 6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki. 7. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen–elemen pada tingkat hierarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Menguji konsistensi hierarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0, 100; maka penilaian harus diulang kembali. Rasio
konsistensi
(CR)
merupakan
batas
ketidakkonsistenan
(inconsistency) yang ditetapkan Saaty. Rasio Konsistensi (CR) dirumuskan sebagai perbandingan indeks konsistensi (RI). Angka pembanding pada perbandingan berpasangan adalah skala 1 sampai 9 (Tabel 4). Tabel 4. Skala angka Saaty Tingkat Kepentingan 1
Definisi
Keterangan
Sama penting (Equal importance)
Kedua elemen yang sama
3
Sedikit lebih penting (Weak importance of one over another)
Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
5
Lebih penting (Essential or importance)
Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya
strong
mempunyai
pengaruh
7
Sangat penting (Demonstrated importance)
Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat, dibandingkan dengan elemen pasangannya
9
Mutlak lebih penting (Extreme importance)
Satu elemen mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada tingkat keyakinan tertinggi
Nilai tengah diantara dua penilaian (Intermediate values between the two adjacent judgments)
Nilai diantara dua pilihan yang berdekatan
2, 4, 6, 8
Sumber: Saaty (1993)
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mengenai Kajian Desain taman dan rumah tinggal hemat energi ini tidak ditentukan secara pasti, namun menggunakan asumsi. Asumsi lokasi untuk penelitian ini dibatasi pada lokasi beriklim tropis basah Indonesia, dengan kondisi iklim yang digunakan sebagai acuan adalah kota Bogor. Kota Bogor sendiri secara letak geografis berada pada letak lintang 6° 34' 48" LS dan letak bujur 106° 47' 24" BT. Kota Bogor ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m dari permukaan laut (Anonim 2009a). Kondisi tanah relatif subur.
Kondisi iklim di Kota Bogor, meliputi suhu tertinggi rata-rata tiap
bulannya sekitar 30,2 ºC. Kelembaban udara rata-rata sekitar 80 %, curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.000 – 4000 mm/tahun, kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 2 km/jam (skala Beaufort masuk dalam kategori skala 1, tingkatan teduh, tanda-tanda di darat asap mengepul miring, tetapi alat anemo meter tidak berputar) dengan dominasi arah angin dari Timur Laut (BMKG 2011). Waktu penelitian yang meliputi tahapan pengumpulan data sekunder, penyusunan kriteria, survei pakar, analisis dan sintesis serta konsepsi desain dan visualisasi desain dilakukan selama lima bulan dimulai bulan Desember 2010 sampai dengan bulan April 2011.
Alat dan Data penelitian Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Alat Penelitian Hardware dan Software Hardware Notebook Software Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint) Expert Choice v.11 AutoCad 2010 Sketchup v.8
Fungsi Pengolahan data Analisis data tabular, pelaporan, presentasi Pengolahan Analythical Hierarchy Process (AHP) Visualisasi 2 D Visualisasi 3 D
33
Data Penelitian Jenis dan Sumber Data. Dalam penelitian kajian konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi ini, dibutuhkan data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data-data dari instansi terkait dan data yang terkait mengenai komponen lanskap rumah tinggal dan arsitektur rumah tinggal yang terkait dan mendukung tema konsep hijau (green design). Data primer diperoleh survei pakar, melalui wawancara dan dengan instrumen kuesioner AHP oleh pakar terpilih.
Tahapan dan Metode Penelitian Proses atau tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu: 1.
Tahap penetapan komponen hemat energi.
2.
Tahap pengujian komponen hemat energi.
3.
Tahap konseptualisasi desain hemat energi. Tahapan penelitian tersebut terangkum dalam Gambar 5.
KAJIAN KONSEP DESAIN TAMAN & RUMAH TINGGAL HEMAT ENERGI
Gambar 5. Skema tahapan penelitian Tahap Penetapan Komponen Hemat Energi Pada tahap ini dilakukan studi pustaka (desk study) yang relevan sebagai bahan analisis komponen-komponen pembentuk unit lanskap rumah tinggal yang berpengaruh terhadap penghematan energi dalam mencapai tujuan penelitian desain taman dan rumah tinggal hemat energi. Analisis dilakukan dengan teknik
34
analisis deskriptif. Penetapan komponen tersebut didasari atas pertimbangan desain yang berkaitan dengan isu desain berkelanjutan dengan pendekatan green design dan strategi desain pasif (passive design strategy) (Kibert 2008). Hasil dari analisis tersebut, ditetapkanlah komponen-komponen desain hemat energi yang terangkum pada Tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Penetapan komponen- komponen desain hemat energi No. 1
Komponen Tapak
Variabel
Pengaruh terhadap penghematan energi Perbedaan orientasi terhadap arah mata angin mempengaruhi kondisi termal bangunan. Orientasi yang menghadap ke sisi barat-timur akan mendapatkan panas yang lebih tinggi di banding sisi utara-selatan.
Sumber referensi Karyono (2010)
Intensitas tutupan lahan
Intensitas tutupan lahan digunakan sebagai instrument untuk mengendalikan kepadatan bangunan (KDB) dan ruang terbuka hijau (KDH). Tujuan hal ini adalah untuk menciptakan keserasian kawasan Perumahan dan Permukiman yang harmonis, sepadan, dan ekologis, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial budaya untuk pencapaian pembangunan perumahan dan permukiman yang manusiawi dan berkelanjutan.
KEMENPERA (2008)
Topografi
Klasifikasi kemiringan lahan yang berpengaruh terhadap proses dan biaya pembangunan.
KEMENTAN (1980)
Jenis tanah
Terkait dengan tingkat kesuburan dan kondisi ekologis tanah agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Hanafiah (2010)
Bebas dari gangguan geobiologis
Variabel ini berimplikasi pada kenyamanan karena situasi tapak yang relatif aman & sehat.
Frick dan Mulyani (2006)
Sistem utilitas
Konsep 3R
Frick dan Mulyani (2006)
Orientasi
35
Tabel 6. Lanjutan No. 2
Komponen Tanaman
Variabel
Pengaruh terhadap penghematan energi Terkait strata ekologis tanaman yang dapat membantu ameliorasi iklim khususnya pada RTH Pekarangan dan penggunaan tanaman budidaya lokal sehingga dapat dengan mudah tumbuh pada lokasi yang diinginkan.
Sumber referensi KEMENPU (2008) dan Reed (2010)
Tata letak tanaman
Tata letak tanaman terhadap arah penyinaran matahari guna membantu menyerap panas dan juga fungsinya sebagai penaung tanpa memblokir aliran udara kedalam bangunan untuk penghawaan alami.
Sitawati (1994) dan Reed (2010)
Jumlah tanaman
Jumlah tanaman peneduh optimum dalam RTH Pekarangan rumah kecil terkait dengan luasan kanopi untuk mengendalikan fluktuasi suhu.
KEMENPU (2008)
Jarak tanaman
Tanaman memiliki jarak jangkau dalam mengendalikan fluktuasi suhu yang diaplikasikan dengan jarak tanam terhadap bangunan agar tetap dapat meneduhkan tanpa membloking aliran udara dan terkait pula dengan keamanan bangunan dan tanaman itu sendiri.
KEMENPU (2008) dan Reed (2010)
Kerapatan tajuk
Persentase sinar matahari yang tertahan oleh tajuk pohon. Manfaat lain kerapatan tajuk yang tinggi adalah intersepsi air hujan untuk mencegah longsor.
Suryatmojo dan Soedjoko (2008)
Jenis tanaman
36
Tabel 6. Lanjutan No. 3
4
5
Komponen Air (water features)
Perkerasan (non bangunan)
Bangunan
Variabel Air statis (static water)
Pengaruh terhadap penghematan energi Keberadaan badan air berpengaruh positif terhadap pembentukan suhu udara ruang luar di sekitarnya akibat proses evaporasi.
Sumber referensi Booth (1983); Laurie (1986); Laurens dan Hendrayani (2002); Fatimah (2004) dan Silalahi (2008)
Air mancur (jets) Air terjun (falling water) Air mengalir (flowing water)
Air yang dinamis memiliki luas bidang permukaan yang lebih luas, sehingga energi panas yang diserap serta kadar evaporasinya akan lebih tinggi sehingga lebih dapat memperbaiki kondisi termal disekitarnya serta dapat juga dijadikan penjerap polutan.
Perkerasan (pavement)
Pengaruh jenis penutupan permukaan lahan. terhadap pembentukan iklim mikro setempat dan infiltrasi air dan limpasan permukaan.
Prasodyo dan Nurisjah (1998); Fatimah, Arifin dan Widjaya (1999); Mariana (2008) dan Karyono (2010)
Pagar & tembok pembatas
Rancangan pagar yang masih berperan terhadap ameliorasi iklim (tidak menghalangi aliran udara)
Frick dan Mulyani (2006) dan Werdiningsih (2007)
Bentuk & konfigurasi ruang
Proporsi panjang dan lebar bangunan terkait dengan perolehan paparan sinar matahari.
Yuuwono (2007) dan Karyono (2010)
Bukaan
Rasio luas bidang jendela (kaca) yang tepat untuk mencapai konservasi energi melalui selubung bangunan dan luas bukaan untuk mencapai “cooling ventilation” .
Mediastika (2002) dan Loekita (2006)
Tritisan (overhang)
Memperoleh desain tritisan beton yang merespon iklim dan hemat energi
Anonim (2009b)
Atap
Pengaruh berbagai faktor rancangan atap terhadap suhu udara ruangan.
Hidayat (2005) dan Karyono (2010)
37
Tabel 6. Lanjutan No.
Komponen
Variabel
Pengaruh terhadap penghematan energi Rancangan dinding beserta material penyusunnya yang mempunyai efisiensi energi untuk mendapatkan temperatur yang rendah dalam ruangan.
Sumber referensi Noerwarsito dan Santosa (2006); Frick dan Mulyani (2006) dan Karyono (2010)
Lantai
Rancangan lantai yang mempunyai efisiensi energi untuk mendapatkan temperatur yang rendah dalam ruangan.
Lippsmeier (1994); Frick dan Mulyani (2006)
Mekanikal & elektrikal
Penghematan pemakaian energi listrik
BSN (2000), Elyza et al.. (2005); Savitri (2010)
Dinding
Tahap Pengujian Komponen Hemat Energi Tahapan berikutnya adalah pengujian komponen-komponen hemat energi dengan menggunakan metode sistem pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot komponen prioritas desain hemat energi (Saaty 1993). Tahapan dalam Analysis Hierarchy Process (AHP). Berdasar Saaty (1993) tahapan penerapan model dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah: 1. Penetapan sasaran studi yaitu kriteria atau faktor apa yang paling berpengaruh dalam suatu desain taman dan rumah tinggal hemat energi 2. Membuat struktur hierarki yang terdiri dari empat level.
Level pertama,
merupakan tujuan utama dari kajian ini yaitu taman dan rumah tinggal hemat energi. Level kedua, merupakan level komponen utama pembentuk lanskap hemat energi. Komponen utama tersebut terdiri dari: 1) tapak, 2) tanaman, 3) air, 4) perkerasan (non bangunan), dan 5) bangunan.
Level ketiga,
merupakan variabel komponen pembentuk lanskap hemat energi. Variabel komponen tersebut terdiri dari: 1) variabel komponen tapak: a) orientasi, b) intensitas tutupan lahan, c) topografi, d) jenis tanah, e) bebas dari gangguan geo-biologis, dan f) sistem utilitas; 2) variabel komponen tanaman: a) jenis tanaman, b) tata letak tanaman, c) jumlah tanaman, d) jarak tanaman, dan
38
e) kerapatan tajuk; 3) variabel komponen air (water features): a) air statis (static water), b) air mancur (jets), c) air terjun (falling water), dan d) air mengalir (flowing water);
4) variabel perkerasan (non bangunan): a)
perkerasan (pavement), dan b) pagar dan tembok pembatas; 5) variabel bangunan: a) bentuk dan konfigurasi ruang, b) bukaan, c) tritisan (overhang), d) atap, f) dinding, g) lantai, dan h) mekanikal dan elektrikal. Level keempat, merupakan alternatif keputusan berupa aspek yang paling berperan dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi yaitu site design atau building design. 3. Hierarki yang telah disusun kemudian dinilai oleh 7 orang responden pakar terpilih. Penilaian dilakukan dengan cara komparasi berpasangan (pairwise comparison) yaitu dengan membandingkan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap kriteria sehingga di dapat nilai kepentingan elemen dalam bentuk pendapat yang bersifat kualitatif menjadi kuantitatif dengan menggunakan skala penilaian Saaty berdasarkan skema hierarki AHP yang dirancang (Saaty 1993). Penilaian komparasi berpasangan terdapat dalam kuesioner AHP yang berada dalam Lampiran 1. Skema hierarki AHP yang dirancang terangkum pada Gambar 6. Latar Belakang Responden Pakar.
Responden yang dipilih adalah
para pakar yang dipilh secara sengaja (purposive sampling). Penentuan pakar sebagai responden dilakukan berdasarkan kriteria: 1. Memiliki keahlian atau menguasai secara akademik bidang yang diteliti 2. Memiliki reputasi kedudukan atau jabatan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti. 3. Memiliki pengalaman dalam bidang kajian yang dimiliki. Jumlah responden dalam AHP tidak ditentukan (bebas).
Responden
tersebut berjumlah tujuh orang yang ditentukan berdasarkan kepakaran. Rincian responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Secara lebih detail, latar belakang
responden pakar dijabarkan pada Lampiran 2. Analisis Data AHP. Data
yang
ada
kemudian
dianalisis
dengan
bantuan software Expert Choice V.11 dalam implementasi model-model Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Produk yang dihasilkan. komponen-komponen
prioritas
dari
Dari proses ini akan didapatkan bobot elemen-elemen
desain
yang
paling
berpengaruh dalam desain taman dan rumah tinggal hemat energi. Hasil
39
pembobotan AHP tersebut berguna dalam tahapan penelitian konseptualisasi kriteria desain hemat energi selanjutnya.
Tabel 7. Rincian Jumlah Responden Kriteria Pakar
1.
Pakar di bidang Arsitektur Lanskap Pakar di bidang Arsitektur
Departemen Arsitektur Lanskap FAPERTA IPB Bogor Departemen Arsitektur FTUI Depok
3.
Pakar dibidang Biomaterial
Departemen Teknologi Hasil Hutan FAHUTAN IPB Bogor
1
4.
Pakar di bidang Energi terbarukan
KEMENRISTEK RI
1
2.
Asal Insitusi/Lembaga
Jumlah Responden 3
No
Jumlah
2
7
Tahap Konseptualisasi Kriteria Desain Hemat Energi Hasil analisis AHP dikembangkan kedalam konsep kriteria desain yang lebih detil yang dirumuskan ke dalam matriks kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi berupa indikator-indikator penting yang sangat berperan dalam konsep penghematan energi. Matriks Assessment. Konsep desain tersebut dikelompokkan kedalam tiga kelompok kriteria klasifikasi yang dinilai dengan skor 1, 2 dan 3. Skor 1 (rendah) mengindikasikan sebagai pencapaian minimum dalam pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi. Skor 2 (sedang) mengindikasikan sebagai pencapaian rata-rata (average) dalam pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi.
Skor 3 (tinggi) mengindikasikan sebagai pencapaian optimum dalam
pemenuhan persyaratan kriteria hemat energi. Ilustrasi matriks konsep kriteria desain tersebut dijelaskan melalui Tabel 8. Klasifikasi Skenario Model. Dalam menterjemahkan konsep tertulis ke dalam sebuah media gambar, diperlukan skenario berupa pengelompokan kombinasi komponen dan variabel pembentuk lanskap hemat energi. Kombinasi yang direncanakan tertuang pada Tabel 9.
40
Gambar 6. Skema hierarki AHP untuk Kajian Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi
41
Tabel 8. Ilustrasi matriks konsepsi kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi No.
Komponen Prioritas
Bobot komponen
Variabel
Bobot variabel
1.
a
x1
a1
Skor
y1
1 (rendah) ...
2 (sedang) ...
3 (tinggi) ...
a2
y2
...
...
...
a3
y3
...
...
...
a4
y4
...
...
...
a5
y5
...
...
...
Tabel 9. Ilustrasi kombinasi skenario model taman dan rumah tinggal hemat energi No.
Kombinasi
Nilai
Klasifikasi
1
Kombinasi komponen bernilai skor rendah dengan komponen pembentuk taman dan rumah hemat energi lain bernilai skor rendah
x1
y1
Kombinasi komponen bernilai skor sedang dengan komponen pembentuk taman dan rumah hemat energi lain bernilai skor sedang
x2
y2
Kombinasi komponen bernilai skor tinggi dengan komponen pembentuk taman dan rumah hemat energi lain bernilai skor tinggi
x3
y3
2
3
Selanjutnya, perolehan nilai kombinasi komponen dan variabel pembentuk lanskap hemat energi tersebut dihitung melalui perkalian bobot-bobot dan skornya.
Perhitungan penilaian kelas kombinasi komponen hemat energi
tersebut, adalah sebagai berikut:
Σ Ki • Vij
• S ..................................................................................................(5)
Keterangan: Ki
=
Komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi ke-i
Vij
=
Variabel komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi ke-i dan jumlah variabel masing masing komponen ke-j
S
=
Skor kriteria taman dan rumah tinggal hemat energi
42
Melalui perhitungan nilai kombinasi komponen hemat energi diatas, akan didapatkan nilai-nilai, diantaranya nilai maksimum dan nilai minimun dari kombinasi tertentu.
Untuk menentukan klasifikasi tingkat hemat energi
diperlukan nilai interval kelas yang diperoleh melalui perhitungan nilai skor maksimum dikurangi nilai skor minimum dibagi tiga tingkat skor kriteria klasifikasi, seperti yang tertera di bawah ini:
Nilai Interval Kelas = Nilai Maksimal – Nilai Minimal ........................................(6) N Tingkat Klasifikasi Keterangan: Nilai maksimal
Jumlah nilai maksimum yang dihasilkan dari kombinasi= kombinasi skenario model
Nilai minimal
Jumlah nilai minimum yang dihasilkan dari kombinasi= kombinasi skenario model
N tingkat klasifikasi
= Jumlah tingkat klasifikasi
Dari
penghitungan
skor
masing-masing
komponen,
maka
dapat
ditentukan klasifikasi kelas hemat energi apakah tergolong dalam tingkat yang rendah (0,999-1,665) atau sedang (1,665-2,331) atau tinggi (2,331-2,997).
Visualisasi Model 3 Dimensi Langkah selanjutnya adalah memvisualisasikan konsep desain tersebut dengan menggunakan pemodelan 3 dimensi dibantu dengan software desain grafis Google sketch-up V.8.1 Visualisasi dalam tahapan ini berupa upaya untuk mentransformasikan gagasan kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi kedalam bentuk media gambar yang bersifat mudah di pahami.
1
http://sketchup.google.com
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi faktor yang sangat berperan adalah aspek site design (0,67) yang berarti bahwa 67 % dari tujuan utama dapat dicapai berkat aspek ini, sisanya berupa aspek building design (0,33) yang berarti 33%, jika digabung maka tujuan utama tersebut diatas dapat tercapai 100%. Pencapaian tersebut diperkuat dengan temuan Prianto (2007) yang menyebutkan bahwa aspek site design seperti aspek iklim eksterior, tanaman dan air berkonstribusi terhadap penghematan energi berupa penekanan konsumsi listrik dalam rumah tinggal. Lebih jauh lagi, site design yang diinterpretasikan sebagai lanskap dinilai merupakan strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep desain berkelanjutan (Pranoto 2008). Beberapa komponen-komponen yang mendukung alternatif keputusan tersebut berdasarkan urutan prioritasnya yaitu komponen tanaman (48,3%), komponen air (water features) (24,2%), komponen bangunan (10,9%), komponen tapak (10,7%), dan yang terakhir adalah komponen perkerasan (5,8%).
Hal
tersebut dapat di interpretasikan, bahwa menurut para pakar komponen tanaman menjadi komponen prioritas utama dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi dan mutlak keberadaanya karena bobotnya yang sangat signifikan dibandingkan komponen-komponen yang lain, namun harus tetap dikombinasikan dengan komponen-komponen lanskap lainnya. Bobotbobot komponen maupun variabel tersaji pada skema Analytical Hierarchy Process (AHP) beserta pembobotannya yang dapat dilihat pada Gambar 7. Selebihnya hasil pembobotan AHP ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Selanjutnya komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi dijabarkan pada subbab berikut dibawah ini. Komponen Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Tanaman Pada gambar 7 terlihat bahwa komponen pembentuk desain hemat energi terdiri dari lima komponen utama yaitu, tanaman, air, bangunan, tapak dan perkerasan. Melalui perhitungan AHP diperoleh komponen prioritas utama untuk desain hemat energi adalah komponen tanaman (0,483). Elemen utama dari taman (lanskap) masuk dalam kategori soft material. Tanaman dalam hal ini
44
Overall Inconsistency 0,03 44
Gambar 7. Skema hirarki Analytical Hierarchy Process disertai dengan hasil pembobotannya
45
adalah
tanaman
lanskap
yang
didefinisikan
sebagai
tanaman
yang
dibudidayakan untuk penataan lanskap dan mencakup tumbuhan alami jika terdapat pada suatu tapak (site). Para pakar menilai kehadiran tanaman menjadi sangat penting disebabkan kemampuannya secara aktif (alamiah) dalam memperbaiki kondisi lingkungan dari segi ekologis, estetis, sosial-ekonomi dan kesehatan.
Pohon dianalogikan sebagai AC alami.
Melalui mekanisme
evapotranspirasi, sebatang pohon soliter dapat menguapkan 400 liter air per hari. Hal ini setara dengan 5 unit AC ruangan yang berkapasitas 2500 kcal/hr, dan beroperasi selama 20 jam per hari (Federer 1976). Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara berdasarkan mekanisme pembayangan (canopy effect), di mana pohon memayungi area atau ruang di bawahnya dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi derajat panas
dan
berpengaruh
pada
pendinginan
udara
sekitar
berdasarkan
mekanisme evapotranspiration, di mana pelepasan air dari permukaan daun mendinginkan permukaan daun dan mempengaruhi temperatur udara di sekitarnya. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan (naiknya temperatur udara pagi hari) berdasarkan mekanisme ‘selimut’ di mana kanopi pohon menghalangi pertukaran panas dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya tidak cepat menjadi panas.
Sebegitu pentingnya
tanaman dalam penghematan energi karena potensi yang dimilikinya. Menurut Heisler (1986) kita akan dapat merasakan dan menerima secara rutin efek penghematan energi maksimum hingga 25% pada rumah tinggal konvensional yang ternaungi oleh tanaman. Komponen tanaman tersebut didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini.
Variabel tersebut berdasarkan urutan
prioritasnya adalah kerapatan tajuk, jumlah tanaman, jarak dari bangunan, tata letak tanaman dan jenis tanaman. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Kerapatan tajuk (32,6%) Bentuk tajuk tanaman berbagai macam, namun tajuk yang diklasifikasikan berfungsi sebagai penaung adalah tajuk berbentuk bulat (round), kubah (dome), menyebar (spreading) karena dari pohon dengan tajuk tersebut memiliki lebar atau diameter yang cukup lebar disertai dengan percabangan yang menyebar sehingga terbentuk kanopi pohon yang berfungsi sebagai penaung. Kerapatan tajuk yang dimaksud adalah kerimbunan, rapat, tebal
46
suatu tajuk pohon yang disebabkan oleh daunnya sehingga tajuk tersebut dapat berfungsi sebagai filter atau penangkal sinar dan radiasi matahari. Kerapatan tajuk pohon dikelompokkan berdasarkan persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk tanaman dalam hal ini pohon. b. Jumlah tanaman (19,5%) Peran tanaman yang begitu penting, hingga PERMENPU No.5/PRT/M/2008 mewajibkan menghadirkan tanaman ke dalam ruang terbuka pada rumah tinggal, disesuaikan dengan luasan lahan yang rumah yang ada. Menurut peraturan tersebut, pada rumah tinggal dengan luasan kecil yaitu dengan klasifikasi luasan lahan kurang dari 200 m2 diwajibkan ditanam minimal 1 pohon pelindung dan dilengkapi oleh strata tanaman lain yang lebih rendah. Lahan terbuka yang sempit dapat diatasi dengan penggunaan tanaman perdu atau semak, tanaman pemanjat (climbers), tanaman pencekik (stranglers) dan tanaman yang masuk dalam kategori Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Tanaman-tanaman tersebut dapat diaplikasikan untuk menghijaukan dinding rumah tinggal (greenwall/vertical greenery). Jumlah tanaman berpotensi menambah luasan tajuk tanaman dalam memfilter radiasi matahari disesuaikan dengan potensi lahan yang ada. c. Jarak dari bangunan (17,9%) Penanaman tanaman harus berjarak dalam hal ini dengan bangunan. Jarak tanaman dari bangunan terkait erat dengan kelembaban dan sirkulasi udara yang dapat membantu ameliorasi iklim.
Jarak yang terlalu dekat relatif
membloking aliran udara menuju bangunan, namun jarak yang terlalu jauh efek peneduhan tanaman akan kurang optimum. Jarak tanaman ini juga disesuaikan dengan peraturan bangunan yaitu garis sempadan bangunan. Besar jarak atau lebar sempadan bangunan di Indonesia adalah setengah dari lebar jalan di depannya. Hal ini berdampak pada rumah dengan luasan area yang terbatas, biasanya berada di lingkungan dengan lebar jalan yang tidak terlalu lebar maksimum antara 6-8 meter yang berarti garis sempadan bangunan yang diijinkan adalah selebar 3 – 4 meter. Jika lebar jalan lebih sempit lagi, maka kondisi tersebut membuat garis sempadan bangunannya akan semakin lebih pendek. d. Tata letak tanaman (16,5%) Tata letak tanaman, terkait dengan orientasi bangunan dan ketersediaan RTH Pekarangan. Ruang terbuka yang tersedia dan memungkinkan pada
47
rumah tinggal dihijaukan menjadi RTH Pekarangan dengan tanaman seperti pada halaman depan rumah dan atau halaman samping, utamanya jika berorientasi Timur-Barat, sebagai penangkal sinar matahari (ameliorasi iklim) sekaligus buffer dan barier polutan serta elemen estetis.
Pada halaman
belakang yang biasanya menjadi area servis, hijauan tanaman dapat sebagai barier pandangan ke arah area servis, area therapeutic, sekaligus menjalankan fungsi utamanya sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim). e. Jenis tanaman (13,5%) Jenis tanaman yang memiliki kemampuan dalam ameliorasi iklim pada RTH Pekarangan.
Tanaman pada dasarnya terbagi atas beberapa kelompok
besar, yaitu pohon, semak dan perdu serta herba yang biasanya diaplikasikan sebagai tanaman penutup tanah (ground cover plant) dan rumput. Secara fungsi vegetasi, strata tanaman paling bawah yang akan banyak berfungsi sebagai vegetasi untuk perbaikan kondisi lahan (perintis) dan dapat mengantisipasi erosi, selain fungsi teknis dan estestis dimana vegetasi berupa pohon akan lebih banyak berfungsi sebagai pembentuk dan penaung ruang lanskap. Pohon yang terpilih untuk penghijauan pekarangan rumah dalam kajian ini dibatasi dengan menggunakan pohon sedang berukuran 6 -15 meter. Pohon sedang tersebut di duga tepat untuk lahan yang terbatas dengan asumsi luasan area terbuka pekarangan sekitar 40 %70% dari luas lahan,
Air (water features) Air menjadi komponen prioritas kedua dalam desain taman dan rumah tinggal hemat energi (0,242).
Elemen air sering dihadirkan sebagai elemen
estetis dan dinilai dapat menciptakan kesan sejuk.
Kesan sejuk tersebut
diperoleh karena air bertindak sebagai elemen stabilitator suhu (climate control). Air menyerap sinar matahari dan kemudian melalui proses
evaporasi
kelembaban yang ditimbulkan ditambah tiupan angin membuat suhu menjadi lebih rendah. Salah satu karakteristik fisik air adalah gerakan (motion) (Booth 1983). Gerakan air tersebut diklasifikasikan menjadi yaitu air diam (statis) atau air dinamis.
Air yang beriak (dinamis), menimbulkan gelombang pada
permukaan air sehingga luas permukaan air tersebut menjadi lebih luas. Luas permukaan elemen air tersebut menurut Fatimah (2004) berpengaruh nyata terhadap penurunan suhu udara disekitarnya, sehingga dalam menghadirkan
48
elemen air dalam rumah tinggal sebagai kontrol suhu alternatif yang dapat dipilih adalah water features dengan tipe gerakan air yang dinamis. Fungsi elemen air terhadap lingkungan yang lain yaitu elemen air mengabsorbsi polusi bunyi dan udara disekitarnya. Efek suara yang dihasilkan dari percikan-percikan water feature seperti air mancur, air mengalir atau air terjun menjadi penetralisir polusi bising dari luar ruangan, sehingga menurunkan tingkat kebisingan. Air yang beriak, menghasilkan percikan-percikan air yang didalamnya terkandung partikel ion-ion hidrogen yang merupakan ion negatif. Setiap partikel ion negatif tersebut dapat mengikat debu serta zat kimia yang ada di udara sehingga air mancur tersebut dapat dikatakan memfilter udara. Zat-zat beracun dapat terserap melalui pancaran air yang keluar dari lubang nozel air pada air mancur, air mengalir atau air terjun.
Zat-zat tersebut juga dapat
berdifusi langsung dalam pergerakan air. Komponen Air tersebut didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini.
Penentuan variabel komponen air didefinisikan
berdasarkan pemanfaatan visualnya (Visual uses of water) (Booth 1983) dan tidak dimaksudkan untuk menambahkan semua tipe dari wujud waterfeatures tersebut ke dalam RTH Pekarangan.
Variabel komponen air tersebut
berdasarkan urutan prioritasnya adalah air terjun (falling water), air mancur (jets), air mengalir (flowing water) dan air statis (static water). Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Air terjun (33,2%) Air terjun (Falling water) yang dimaksud adalah struktur buatan yang dirancang secara arsitektural untuk memanipulasi fluiditas air.
Dalam
menciptakan air terjun dapat digunakan gaya gravitasi alam sehingga air dapat mengalir terjun dari ketinggian tertentu, sehingga relatif dapat menghemat penggunaan mekanis pompa dan listrik. Alat mekanis seperti pompa dapat digunakan saat diperlukan. Riak, percikan air dan suara yang ditimbulkan sering dijadikan focal point dalam desain taman. Sebagai fungsi terhadap kontrol suhu, riak atau gelombang yang dihasilkan diduga lebih membuat dan memiliki luas permukaan air yang paling luas sehingga sangat berpotensi dalam menurunkan temperatur. b. Air mancur (28,3%) Air mancur (Jets) ini juga merupakan salah satu struktur buatan yang dirancang secara arsitektural untuk memanipulasi dan membentuk fluiditas
49
air ke dalam sebuah alat mekanis seperti pompa untuk menyemprotkan air tersebut dan kemudian jatuh kedalam suatu wadah dengan bentukan tertentu, pada umumnya disebut kolam air mancur (fountains).
Diduga,
penggunaan alat mekanis pompa untuk air mancur ini relatif membutuhkan energi listrik, sehingga kedudukan variabel komponen air ini tidak berada di urutan teratas. Gerakan air mancur juga menimbulkan riak, percikan air dan suara, sehingga sering juga menjadi focal point dalam desain taman. Sebagai fungsi terhadap kontrol suhu, riak atau gelombang yang dihasilkan diduga membuat dan memiliki luas permukaan air yang lebih luas sehingga berpotensi dalam menurunkan temperatur. c. Air mengalir (26,0%) Air mengalir (Flowing water) yang dimaksud adalah sebuah kolam dengan desain
atau
struktur
buatan
menggunakan
undakan-undakan
atau
perbedaan ketinggian menggunakan energi gravitasi alam sehingga dicapai sebuah desain air yang mengalir sebagai representasi sungai-sungai kecil. Riak dan percikan air yang ditimbulkan oleh tipe gerakan air ini kurang begitu signifikan, namun tetap dapat digunakan sebagai kontrol suhu. Riak atau gelombang yang dihasilkan diduga membuat dan menambah luas permukaan air sehingga cukup berpotensi dalam menurunkan temperatur. d. Air statis (12,6%) Air statis (Static water) merupakan salah satu elemen lanskap, tipe visual air statis biasa diwujudkan dengan kolam. Kolam pada umumnya dapat berupa kolam dengan dasar lahan (ponds) sehingga bersifat lebih alamiah atau struktur buatan yang dirancang secara arsitektural yang digunakan untuk menampung atau mewadahi air tanpa dilengkapi oleh alat mekanis sehingga menimbulkan kesan statis (pool). Evaporasi dan bantuan dari tiupan angin dari tipe water features air statis tetap dapat menurunkan suhu lingkungan.
Bangunan Bangunan, yang selama ini kita lebih berorientasi kepadanya, ternyata tidak memperoleh hasil yang signifikan (0,109).
Bangunan diartikan sebagai
ruang binaan manusia, salah satunya berupa bangunan rumah tinggal. Bangunan dalam hal ini rumah tinggal tetap penting keberadaannya sebagai kulit ketiga manusia yang melindungi seseorang dari pengaruh lingkungan fisik (iklim) seperti hujan, radiasi matahari, angin, dan lain-lain. Komponen bangunan dalam
50
konteks kajian ini bangunan merupakan benda mati, tidak dapat atau tidak memiliki kemampuan (alamiah) dalam memperbaiki kondisi lingkungan seperti menurunkan suhu.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bangunan
bersifat sebagai kulit atau proteksi yang berfungsi mencegah atau menghambat atau memperlemah pengaruh kondisi lingkungan yang ekstrim menimpa tubuh atau diri manusia. Bangunan merupakan benda introduksi yang dimunculkan kedalam sebuah lingkungan, sehingga komponen bangunanlah yang harus lebih beradaptasi terhadap lingkungan eksteriornya melalui reka bentuk bangunannya tersebut baik dari segi klimatik, lingkungan dan tapak serta terintegrasi dengan elemen lanskap lainnya. Komponen Bangunan juga didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Penentuan variabel komponen bangunan didefinisikan secara fenomenologis dan berdasarkan pola pembentukan ruang.
Variabel
komponen bangunan tersebut berdasarkan urutan prioritasnya adalah bukaan, atap, tritisan, bentuk dan konfigurasi ruang, mekanikal dan elektrikal, dinding dan lantai. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Bukaan (36,5%) Suhu panas memang merupakan ciri khas daerah tropis basah, tetapi permasalahan utama yang dihadapi oleh bangunan adalah problem kelembaban yang tinggi (Mangunwijaya 2000), begitu pula untuk kasus kota Bogor. luasan
Pergantian udara yang mengalir lancar namun dengan batasan yang
tepat
membantu
menyeimbangkan
antara
suhu
dan
kelembaban. Bukaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah lubang dalam area dinding yang berfungsi sebagai jalan masuknya angin (penghawaan atau ventilasi alami) dan untuk mendapatkan penerangan alami dari cahaya matahari. Bukaan pada umumnya diinterpretasikan dan diwujudkan sebagai jendela dan lubang angin (rooster atau bouvenlicht). Desain jendela dipengaruhi faktor-faktor meliputi penempatan, dimensi dan tipe atau model jendela yang dipilih. Ventilasi silang juga akan lebih maksimal apabila penempatan secara vertikal
ikut
diperhitungkan.
Dalam
perencanaan
dan
perancangan
bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, sedangkan radiasi panas matahari ini diusahakan agar tidak masuk ke dalam ruangan. b. Atap (18,2%)
51
Atap yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang (selubung bangunan bagian atas atau kepala bangunan). Atap atau langit-langit (overhead plane)
Bidang
utamanya berfungsi sebagai
pelindung sinar matahari dengan prinsip payung atau perisai (prinsip pembayangan). Desain atap terkait dengan bentuk, material pembentuk, sudut kemiringan, warna, bahan insulasi, penggunaan plafon. Atap yang cukup tinggi (volume ruang antara penutup atap dan langit-langit besar) membantu mengurangi pemanasan ruang-ruang yang berada di bawahnya. c. Tritisan (16,7%) Tritisan atau overhang adalah bagian dari bangunan berupa atap tambahan yang berdiri sendiri atau berupa perpanjangan dari atap utama. Sinonim lain, atap sengkuap, sosoran, kanopi atap.
Tritisan dapat menggunakan
prinsip pembayangan atau prinsip penyaringan (filter).
Tritisan berperan
menangkal sinar matahari yang membawa panas tidak masuk kedalam ruang rumah. Tritisan memiliki arti penting sebagai pelengkap atap pada rumah tinggal di Indonesia, karena terdapat data yang menunjukkan perbedaan suhu antara dinding rumah yang tidak ternaungi dan ternaungi tritisan pada siang hari dapat mencapai 6 ºC (pengukuran pada pukul 11.00 WIB) (Anonim 2009).
Desain tritisan yang tepat dapat menghalangi
pancaran radiasi matahari hingga 100%. d. Bentuk dan konfigurasi ruang (8,7%) Bentuk
merupakan
perwujudan
dari
hasil
konfigurasi
tertentu
dari
permukaan-permukaan dan sisi-sisi bidang vertikal maupun horisontal. Dalam sebuah bentuk tercipta sebuah ruang. dengan dimensi.
Bentuk dan ruang terkait
Dimensi suatu bentuk adalah panjang, lebar, tinggi.
Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya. Bentuk dan konfigurasi ruang yang berkaitan dengan rasio lebar dan panjang bangunan, bangunan yang terlalu tipis tidak baik, begitu pula sebaliknya karena terkait dengan penerimaan bangunan terhadap paparan sinar matahari. Sudah terdapat rasio ideal yang dapat dijadikan acuan dalam membuat bentuk dan konfigurasi ruang rumah tinggal. e. Mekanikal dan elektrikal (7,7%) Pada bangunan modern aspek mekanikal dan elektrikal sudah salah satu menjadi kebutuhan utama. Dalam hal prinsip penghematan energi, dapat diterapkan penggunaan daya listrik dengan bijak disesuaikan untuk
52
kebutuhan yang benar-benar diperlukan melalui menerapkan perlengkapan listrik sesuai aktivitas dalam bangunan. f.
Dinding (7,6%) Dinding yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang atau selubung bangunan bagian tengah atau sering dianalogikan sebagai badan bangunan (vertical space divider).
Jenis material dinding
berpengaruh terhadap penyerapan panas, sehingga pemilihan material harus
dilakukan
dengan
seksama
penyerapan panas dan konsep hijau.
dikaitkan
pertimbangan
terhadap
Alternatif lain untuk menghambat
penyerapan panas adalah dengan menggunakan ketebalan dinding agar memperlambat rambatan panas. g. Lantai (4,6%) Lantai yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang atau selubung bangunan bagian bawah atau sering dianalogikan sebagai kaki bangunan (base plane).
Lantai berperan sebagai alas kita
berpijak dalam melakukan aktivitas.
Pada daerah iklim tropis basah
konstruksi lantai dapat menjaga kesejukan ruang jika lantai tersebut tidak mengandung kelembaban dari tanah dan warnanya memantukan radiasi panas.
Tapak Tapak (0,107) merupakan komponen prioritas keempat.
Tapak
didefinisikan sebagai suatu lahan dalam hal ini tanah sebagai alas untuk mendirikan bangunan. Menurut pakar, komponen tapak tetap memiliki potensi untuk berkontribusi dalam penghematan energi.
Tapak menggambarkan
lingkungan sekitar, sehingga dalam merancang tapak atau menempatkan bangunan pada tapak (perubahan kondisi yang ada) kita harus menentukan apa yang dipertahankan, diperkuat, ditekankankan, dikurangi, digubah maupun dihilangkan untuk membuat keadaannya menjadi lebih baik.
Tapak secara
umum terkait dengan keamanan dalam mendirikan bangunan, sehingga faktor daya dukung menjadi penting dan diharapkan tidak banyak memodifikasi kondisi alamiah tapak atau permukaan tanah, kecuali memang sangat diperlukan (Karyono 2010). Komponen tapak juga didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Variabel komponen tapak tersebut berdasarkan urutan
53
prioritasnya adalah intensitas tutupan lahan, sistem utilitas, bebas dari gangguan geo-biologis, orientasi, topografi, dan jenis tanah. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Intensitas tutupan lahan (32,3%) Intensitas tutupan lahan adalah ukuran kepadatan bangunan dalam tiga dimensional, dikaitkan dengan luas kapling. Intensitas digunakan sebagai instrumen untuk mengendalikan kepadatan bangunan. Untuk ukuran horisontal, digunakan BCR (Building Coverage Ratio)/KDB (Koefisien Dasar Bangunan).
Koefisien Dasar Bangunan ini bertujuan untuk mengatur
besaran luasan bangunan yang menutupi permukaan tanah dan agar memungkinkan RTH Pekarangan sebagai ruang penghijauan. b. Sistem utilitas (21,3%) Sistem utilitas, terkait perilaku bijak dalam mengelola sumberdaya air, yaitu air bersih maupun air buangan dan membatasi sampah dapat membantu mengurangi kerusakan lingkungan. c. Bebas dari gangguan geo-biologis (13,9%) Secara umum, variabel komponen tapak terebas dari gangguan geo-biologis yang terkait dengan keamanan bangunan beserta manusianya dan kenyamanan serta kesehatan penghuni.
Terkait dengan keamanan
bangunan tapak seharusnya berada di area yang stabil, maksudnya relatif kecil kemungkinan terkena bencana yang dahsyat. Area tapak dipastikan tidak terletak pada kawasan banjir, atau daerah rawan tsunami, tanah longsor.
Selain Longsor perlu pula diwaspadai adanya bangunan yang
dibangun didaerah patahan. Secara umum kota-kota di Indonesia terletak didaerah yang rawan gempa, sehingga untuk jaminan keamanan, struktur bangunan diperkuat disertai dengan bentukan bangunan yang sederhana sebagai antisipasi agar dapat bertahan menghadapi gempa sampai lebih dari 9 skala richter. Faktor bahaya biologis datang dari hewan maupun vegetasi. Dari hewan yang terkait dengan keamanan bangunan adalah rayap dari jenis Coptotermes formosanus. Perlu kewaspadaan dan ketelatenan. Waspada untuk mencegah dan terhadap tanda-tanda kehadiran rayap serta telaten dalam upaya untuk membasminya. Vegetasi sangat berperan dalam upaya penghematan energi. Keberadaan vegetasi dapat menjadi ancaman karena faktor kelalaian manusia.
54
Perakaran jika tidak disediakan lahan yang cukup akan mengganggu vegetasi tersebut karena mengurangi kekokohannya dan membahayakan manusia karena akan mudah tumbang. pondasi bangunan.
Perakaran dapat mengganggu
Peletakan vegetasi yang kurang tepat menghalangi
sinar dan angin, berpotensi meningkatkan kelembaban ruang karena sirkulasi udara terhalang. hama-hama tanaman. pemangkasan,
Keberadaan vegetasi berpotensi mengundang
Pemeliharaan secara rutin seperti penyiangan,
pemupukan
teratur,
penyemprotan
jika
terserang
(diusahakan dengan bahan non-kimiawi). d. Orientasi (13%) Orientasi bangunan yang menentukan posisi minimal dalam menerima paparan radiasi matahari secara langsung. Perbedaan orientasi bangunan rumah dapat mempengaruhi kondisi termal dalam ruangan. e. Topografi (10,8%) Topografi yang juga terkait dengan keamanan bangunan.
Derajat
kemiringan lereng yang ideal untuk bangunan rumah tinggal tidak melebihi 15%. Kemiringan lahan >15% terbuka terhadap iklim yang keras, bahaya gempa bumi, bahaya tanah longsor, tanah yang tidak stabil.
Peletakan
bangunan pada topografi yang relatif tidak landai memperbesar resiko akan bahaya, sehingga perlu tindakan dan biaya ekstra dalam melakukan perbaikan kondisi tersebut. f.
Jenis tanah (8,7%) Tanah merupakan bagian yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia dan sebagai media pertumbuhan vegetasi. Tanah menyediakan unsur hara bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembangnya. Karena tema penelitian ini ke arah hemat energi melalui konsep hijau, tanah tidak hanya diperuntukkan untuk menopang bangunan di atasnya, tetapi juga sebagai media untuk menumbuhkan tanaman yang baik.
Jenis tanah
mempunyai karakteristik dan kandungan yang berbeda-beda, diantaranya daya resapnya terhadap air, kepekaan erosi dan daya dukung.
Perkerasan Perkerasan (non bangunan) (0,058) merupakan elemen penunjang taman dan rumah tinggal.
Perkerasan yang bersifat keras berpengaruh terhadap
55
penyerapan panas dan penyerapan air.
Komponen perkerasan yang tepat
diyakini dapat membantu dalam usaha penghematan energi. Komponen Perkerasan (non bangunan) juga didukung oleh variabelvariabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Penentuan variabel komponen perkerasan (non bangunan) didefinisikan secara fenomenologis berdasarkan elemen yang pada umumnya berada pada eksterior unit lanskap rumah tinggal yang bersifat material keras. Variabel komponen perkerasan (non bangunan) tersebut berdasarkan urutan prioritasnya yaitu: perkerasan (pavement) itu sendiri serta pagar dan tembok pembatas (wall dan fence) sebagai bagian dari site structure. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Perkerasan (51,5%) Perkerasan merupakan permukaan material yang solid dan diharapkan dapat bertahan lama yang dipasang di atas permukaan tanah pada suatu area untuk mendukung fungsi lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki di atasnya. Jenis perkerasan permeable seperti grassblock sangat disarankan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Prasodyo dan Nurisjah (1998) bahwa Infiltrasi terbesar dijumpai pada bahan penutup tanah grassblock. Dalam kategori beton berperforasi didapatkan interblok 4-6 m kemampuan infiltrasi terbesar, selanjutnya diikuti dengan interblok 16-6, behaton 13-6 dan zurich 12-6.
Dari sisi penyerapan panas conblock merupakan jenis
perkerasan yang cukup menyerap panas terlebih lagi keramik. Penyerapan panas oleh material perkerasan tersebut dapat mempengaruhi terhadap suhu bangunan, terlebih jika peletakannya relatif berdekatan.
Panas
tersebut dapat merambat melalui konduksi dan konveksi ke dalam bangunan. Untuk menanggulangi hal tersebut, sebaiknya tidak membiarkan perkerasan tanpa diberikan naungan seperti naungan pohon atau didekatkan dengan elemen air (Fatimah, Arifin, dan Widjaya 1998). b. Pagar dan tembok pembatas (48,5%) Tinggi pagar yang baik adalah tidak lebih dari 1.20 meter dan untuk dinding pembatas tidak lebih dari 1.70 meter. Pagar rumah tinggal sebaiknya dibuat renggang atau berongga (kesan transparan) agar sirkulasi udara ke dalam rumah tinggal tetap baik.
Pagar dengan konsep hijau sekaligus estetis
seharusnya dinilai dapat membantu sebagai penahan atau penghalang terhadap debu, polusi dan radiasi sinar matahari serta mengalirkan bahkan membloking arus angin yang kencang (green fence).
56
Konsepstualisasi Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi
Tanaman Tanaman atau secara umum vegetasi merupakan satu aspek penting dalam Arsitektur Lanskap.
Tanaman secara fungsional dapat menjaga
kestabilan lahan, ekologi lingkungan, penampilan visual dan sebagai komponen dalam upaya penghematan energi. Menilik dari hasil perolehan bobot AHP pada subbab sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi adalah mengoptimumkan fungsi Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTH Pekarangan) utamanya dengan menggunakan tanaman terutama pohon pelindung dengan kriteria yang tepat.
Kriteria variabel taman
dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen tanaman selengkapnya tertuang pada Tabel 10.
Tabel 10. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Tanaman (Bobot 0,483) No
Variabel
Bobot
Kriteria desain untuk skor 1 2 3 Kerapatan tajuk Kerapatan tajuk Kerapatan tajuk rendah <25% sedang 25%-75% tinggi 75%
1
Kerapatan tajuk
0,326
2
Jumlah tanaman
0,195
1 pohon pelindung
2 pohon pelindung
3 pohon pelindung
3
Jarak dari bangunan
0,179
<2 m
3m
4m
4
Tata letak tanaman
0,165
Hanya halaman depan atau belakang
Hanya halaman depan atau belakang atau Di halaman depan dan belakang
Di halaman depan dan halaman belakang dan atau halaman samping
5
Jenis tanaman
0,135
Perdu 1,5-3 m
Pohon kecil 3-6 m
Pohon sedang 615 m
Kerapatan Tajuk. Pohon sebagai salah satu unsur vegetasi yang paling berperan dalam pengendalian lingkungan termalnya atau ameliorasi iklim terutama karena tanaman pohon mempunyai mekanisme payung (canopy effect) terkait dengan bentuk dan kerapatan tajuk. Bentuk tajuk bulat (round), kubah (dome), menyebar (spreading) berfungsi sebagai penaung karena dari pohon
57
dengan tajuk tersebut memiliki lebar atau diameter yang cukup lebar seperti pada pohon Filicium decipiens dan Ficus benjamina disertai dengan percabangan yang menyebar seperti pada pohon Delonix regia sehingga terbentuk kanopi pohon yang berfungsi sebagai penaung. Kerapatan tajuk yang dimaksud adalah kerimbunan, rapat, tebal suatu tajuk pohon yang disebabkan oleh daunnya sehingga tajuk tersebut dapat berfungsi sebagai filter atau penangkal sinar dan radiasi matahari. Kerapatan tajuk pohon dikelompokkan berdasarkan persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk tanaman atau pohon. Pembagian kerapatan tajuk, adalah sebagai berikut: 1. Kerapatan tajuk < 25%
= kerapatan tajuk rendah/ringan
2. Kerapatan tajuk 25% - 75% = kerapatan tajuk sedang 3. Kerapatan tajuk > 75%
= kerapatan tajuk tinggi/rapat /berat
Daun-daun menghalangi, memantulkan, menyerap dan meneruskan radiasi
matahari.
Dengan
demikian
maka
mekanisme
pohon
dalam
pengendalian lingkungan termal dapat diintepretasikan sebagai berikut: 1. Pohon
berpengaruh
positif
terhadap
temperatur
udara
berdasarkan
mekanisme pembayangan (canopy effect), di mana pohon memayungi area atau ruang di bawahnya dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi derajat panas dan berpengaruh pada pendinginan udara sekitar. 2. Pohon dan strata tanaman lain berpengaruh positif terhadap proses pendinginan
berdasarkan
mekanisme
evapotranspiration,
di
mana
pelepasan air dari permukaan daun mendinginkan permukaan daun dan mempengaruhi temperatur udara di sekitarnya. 3. Pohon
berpengaruh
negatif
terhadap
proses
pemanasan
(naiknya
temperatur udara pagi hari) berdasarkan mekanisme ‘selimut’ di mana kanopi pohon menghalangi pertukaran panas dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya cepat menjadi panas. Efek dari laju naik temperatur udara tidak terlalu berpengaruh pada temperatur udara rata-rata. Jumlah Tanaman. Sebatang pohon selama hidupnya diprediksi mampu menyerap 7.500 gram karbon. Karena alasan inilah tumbuhan dikenal sebagai pelaku carbon sinks. Diduga, dalam satu hari sebatang pohon menyerap CO 2 antara 20-36 gram per hari. Ilustrasinya, bila di pekarangan rumah kita terdapat 10 buah pohon, maka dalam sebulan pekarangan anda memberikan kontribusi menyerap CO2 sebanyak 5,6 – 10,08 kg atau menyimpan 750 kg karbon selama
58
tanaman itu tumbuh di sana. Jika diakumulasikan pada lingkungan yang lebih luas, semisal dalam lingkungan rumah tinggal kita terdapat ada 99 Kepala Keluarga yang memiliki jumlah pohon sama dengan di rumah kita, maka jumlah CO2 yang diserap dalam lingkungan tersebut menjadi 0,5 – 1,008 ton atau karbon yang disimpan sebanyak 75 ton selama pohon tersebut tumbuh (Rohman, 2009). Kasus lain, 1 acre (0,405 ha) luas pertanaman di Amerika dalam setahun menyerap CO2 yang setara dengan CO2 yang diemisikan oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 26.000 mile (41.842,944 km) dan 0,405 ha luas lahan berpepohonan di Brooklyn cukup untuk mengkompensasi penggunaan bahan bakar oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 7.200 – 8700 mile (11.587,27 – 14.001,29 km) (Rohman, 2009). Pohon, dalam satu jam, satu lembar daun memproduksi oksigen (O 2) sebanyak 5 ml. Dengan mengambil contoh ilustrasi di atas, jika pekarangan rumah kita dan sekitarnya yang ditanami pepohonan tadi dan bila rata-rata jumlah daun per pohon 200 lembar, maka pohon-pohon di tempat tinggal Anda dan sekitarnya akan menyumbang oksigen sebanyak 10 pohon x 100 rumah tinggal x 200 lembar daun x 5 ml O 2 yang dihasilkan= 1.000 liter per jam jumlah O2 yang dihasilkan. Angka ini setara dengan jumlah kebutuhan Oksigen untuk pernapasan sebanyak sekitar 18 orang, sementara kebutuhan Oksigen untuk satu orang bernapas adalah 53 liter per jam (Rohman 2009). Dari penjelasan diatas, maka jelas keberadaan tanaman sangat penting menyangkut banyak aspek terutama penghematan energi. Ruang terbuka yang tersedia dan memungkinkan pada rumah tinggal dihijaukan menjadi RTH Pekarangan. Rumah dengan area terbatas berkonsekuensi membatasi kuantitas hijauan yang ada.
Peraturan yang ada yaitu PERMENPU No.5/PRT/M/2008
mewajibkan untuk tetap menghadirkan tanaman ke dalam ruang terbuka pada rumah tinggal, walaupun tetap disesuaikan dengan luasan lahan yang rumah yang ada.
Pada peraturan tersebut menyebutkan arahan kuantitas tanaman
yang harus ada pada rumah tinggal dengan luasan kecil yaitu kategori pekarangan kecil dengan kriteria luasan lahan kurang dari 200 m 2 mewajibkan penghuninya untuk menanam minimal 1 pohon pelindung dan dilengkapi oleh strata tanaman lain yang lebih rendah untuk mendapatkan manfaat yang paling optimal. Masih pada arahan peraturan tersebut, lahan terbuka yang sempit atau terbatas tidak menutup kemungkinan untuk tetap menghijaukan area terbuka
59
pada rumah tinggal. Cara yang dapat ditempuh seperti menggunakan tanaman dengan strata yang lebih rendah seperti tanaman perdu atau semak.
Jenis
tanaman lain yang dapat digunakan adalah tanaman pemanjat (climbers), tanaman pencekik (stranglers) dan tanaman yang masuk dalam kategori Crassulacean Acid Metabolism (CAM) dengan ciri-ciri, sebagai berikut: 1. Kutikula yang tebal 2. Sekulen 3. Luas permukaan daun sempit atau kecil 4. Dapat mengurangi ukuran stomata atau frekuensi membuka stomata untuk mengurangi hilangnya kandungan air.
Jarak dari Bangunan. Keberadaan tanaman di ruang terbuka rumah tinggal memang wajib adanya. Namun belum ada regulasi maupun peraturan resmi bagaimana tata lanskap tersebut secara detail. Jarak tanaman terutama pohon harus dipertimbangkan. Pohon dengan kategori pohon sedang di duga tepat untuk lahan yang terbatas dengan asumsi luasan area terbuka pekarangan sekitar 40 %- 70% dari luas lahan, hal ini terkait dengan perakaran pohon. Pohon sedang pada umumnya memiliki tajuk berdiameter maksimum sekitar 5-6 meter.
Tajuk pohon merupakan cerminan perakarannya (analogi jam pasir).
Berdasar informasi diatas, maka pohon sedang dapat diaplikasikan pada ruang terbuka atau pekarangan rumah tinggal yang sesuai dengan rasio persentasi luas lahan tersebut diatas.
Dengan luasan tersebut, diperkirakan tanaman
pohon tersebut dapat tumbuh dengan baik karena media tanamnya yang proporsional.
Dengan luas area tanam yang masih menyisakan jarak bebas
antara tanaman dan bangunan, maka bangunan rumah akan lebih aman dari bahaya perusakan struktur bangunan terutama pondasi bangunan rumah. Media tanam yang cukup dan baik membuat tanaman pohon tersebut kokoh berdiri, sehingga meminimalisir kemungkinan pohon tumbang ke area rumah tinggal yang berakibat fatal pada manusia terlebih penghuni rumah tinggal yang tertimpa tersebut. Selain masalah keamanan, jarak bebas tanaman pohon dengan bangunan, di peruntukkan dalam proses ameliorasi iklim. Jarak tanaman yang terlalu dekat dengan bangunan dapat menghalangi aliran udara masuk kedalam bangunan, terlebih jika cabang terendahnya sangat rendah sehingga menutupi bidang jendela (bukaan bangunan). Jarak tanaman terlalu jauh juga tidak baik
60
karena efek penaung atau perlindungan dari panas matahari tidak akan dapat dirasakan manfaatnya.
Jarak tanaman ini juga harus disesuaikan dengan
peraturan bangunan yaitu garis sempadan bangunan.
Garis sempadan
bangunan terkait dengan lebar jalan di depan rumah tinggal. Besar jarak atau lebar sempadan bangunan di Indonesia adalah setengah dari lebar jalan di depannya. Hal ini berdampak pada rumah dengan luasan area yang terbatas, biasanya berada di lingkungan dengan lebar jalan yang tidak terlalu lebar maksimum antara 6-8 meter yang berarti garis sempadan bangunan yang diijinkan adalah selebar 3 – 4 meter. Jika lebar jalan lebih sempit lagi, maka kondisi tersebut membuat garis sempadan bangunannya akan semakin lebih pendek. Strata tanaman lain, misalnya tanaman-tanaman untuk diaplikasikan sebagai vertical greenery pada dinding rumah, harus dipersiapkan konstruksi penopangnya terlebih dahulu seperti modul-modul rangka kawat sebagai jalur rambatan tanaman atau rangka seperti rak-rak sebagai media penempatan potpot
tanaman.
Diusahakan
berjarak,
agar
tanaman
tersebut
terlebih
perakarannya tidak menempel langsung pada dinding rumah karena beresiko melemahkan bahkan merusak konstruksi dinding dan menghindari kelembaban yang berlebihan. Lahan yang terbatas yang berarti terbatasnya tanah sebagai media tumbuh tanaman dapat di atasi dengan menggunakan media tanam pot seperti yang sudah dikenal masyarakat umum. Tanaman yang dapat digunakan memang terbatas, seperti tanaman perdu maupun semak yang perakarannya tidak terlalu dalam dan toleran pada kondisi yang relatif kering.
Tata Letak Tanaman. RTH Pekarangan rumah tinggal dalam kajian ini, memungkinkan RTH Pekarangan depan dan belakang. Kasus khusus jika rumah tinggal tersebut berada di bagian pojok (hoek), sehingga menyisakan RTH Pekarangan samping. Pada umumnya tanaman seperti pada halaman depan rumah digunakan sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim) sekaligus buffer dan barier polutan serta elemen estetis, pada halaman belakang yang biasanya menjadi area servis, hijauan tanaman dapat sebagai barier pandangan ke arah area servis, area therapeutic, sekaligus menjalankan fungsi utamanya sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim). Peletakan tanaman pohon khususnya pada kasus daerah tropis terkait dengan orientasi tapak dan bangunannya agar fungsi perlindungannya dapat
61
berjalan optimal.
Menurut Reed (2010) penanaman tanaman di lokasi barat
daya untuk daerah tropis di duga akan memberikan manfaat yang optimal. Analisis sederhana dan menurut referensi pada umumnya, orientasi tapak atau bangunan yang menghadap barat adalah orientasi yang paling menimbulkan panas, dari segi iklim karena posisi tapak atau bangunan pada orientasi tersebut terkena sinar dan panas matahari di siang hari karena panas radiasi matahari sudah tercampur dengan suhu yang relatif sudah lebih tinggi. Kondisi tersebut menurunkan
tingkat
kenyamanan
termal
penghuni
rumah
tinggal
dan
memerlukan energi tambahan untuk menurunkan suhu dalam mencapai temperatur yang nyaman jika tidak ada perlindungan khusus, khususnya perlindungan dari tanaman.
Berdasarkan kondisi tersebut analisis mengenai
peletakan tanaman jika disesuaikan dengan orientasi terhadap mata angin adalah sebagai berikut: 1. Orientasi Barat a. Bentuk tajuk pohon berbentuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading). b. Pohon dengan fungsi penaung. c. Kerapatan tajuk tinggi (daun lebat, rapat, dan rimbun) sehingga kemampuan dalam memblok atau menghalangi sinar dan panas matahari yang berlebih menjadi optimal. Pohon dengan kerapatan tajuk yang tinggi diperkirakan dapat memfilter sinar dan panas matahari yang berlebih. Sinar dan panas matahari dirasa tidak nyaman dan puncaknya sekitar pukul 14.00 WIB, karena sinar matahari sudah bercampur dengan suhu udara yang sudah tinggi. d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat cukup rendah untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 13.00 WIB -15.00 WIB ± sudut 70º - 40º, agar sinar dan panas matahari yang terik dan tidak diinginkan dapat tersaring, namun aliran udara masih tetap dapat bersirkulasi dengan baik. e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah barat daya (angin muson barat). 2. Orientasi Timur a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading).
62
b. Pohon dengan fungsi penaung c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi. Orientasi timur yang berarti sinar dari timur atau sinar matahari terbit menurut beberapa orang adalah sinar yang menyehatkan dan masih disukai karena pada saat tersebut suhu masih cukup rendah sehingga masih dirasakan nyaman. Pohon dengan kerapatan tajuk yang sedang-tinggi diperkirakan dapat memfilter sinar dan panas matahari yang berlebih. Sinar dan panas matahari mulai dirasa tidak nyaman sekitar pukul 10.00 WIB, karena sinar matahari sudah bercampur dengan suhu udara yang mulai meninggi. d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat cukup tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 10.00 WIB ± sudut 60º, agar sinar dan panas matahari yang tidak diinginkan dapat tersaring, namun aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik. e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah timur laut (angin muson timur). 3. Utara a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading). b. Pohon dengan fungsi penaung c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi.
Orientasi Utara tidak mendapatkan
paparan matahari secara langsung, sehingga sinar yang ada merupakan sinar pantulan matahari dan panas yang disebabkan radiasi matahari tidak terlalu tinggi dibandingkan orientasi Timur dan Barat. Tepat pada siang hari panas matahari tetap dirasakan oleh orientasi Utara, sehingga perlindungan tetap diperlukan untuk mengurangi pemanasan matahari tersebut. d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 11.00 WIB -13.00 WIB ± sudut 70º - 90º, agar sinar dan panas matahari yang tidak berlebih dapat tersaring, aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik. e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah timur laut (angin muson timur).
63
4. Selatan a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading). b. Pohon dengan fungsi penaung c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi.
Orientasi Selatan tidak mendapatkan
paparan matahari secara langsung, sehingga sinar yang ada merupakan sinar pantulan matahari dan panas yang disebabkan radiasi matahari tidak terlalu tinggi dibandingkan orientasi Timur dan Barat. Tepat pada siang hari panas matahari tetap dirasakan oleh orientasi Selatan, sehingga perlindungan tetap diperlukan untuk mengurangi pemanasan matahari tersebut. d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 11.00 WIB -13.00 WIB ± sudut 70º - 90º, agar sinar dan panas matahari yang tidak berlebih dapat tersaring, aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik. e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah barat daya (angin muson barat).
Jenis Tanaman.
Tanaman pada dasarnya terbagi atas beberapa
kelompok besar, yaitu pohon, semak dan perdu serta herba yang biasanya diaplikasikan sebagai tanaman penutup tanah (ground cover plant) dan rumput. Secara fungsi vegetasi, strata tanaman paling bawah yang akan banyak berfungsi sebagai dasar perbaikan vegetasi dan dapat mengantisipasi erosi, selain fungsi teknis dan estestis; dimana vegetasi berupa pohon akan banyak berfungsi sebagai pembentuk dan penaung ruang lanskap. Pohon yang terpilih untuk penghijauan pekarangan rumah juga dibatasi dengan menggunakan pohon maksimum berkategori pohon sedang dengan kriteria tinggi fisik pohon sekitar 6 15 meter. Perdu dan Semak, merupakan strata tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon.
Tanaman perdu dan semak kurang dapat
berfungsi sebagai penaung karena tinjau dari fisik tanamannya. Tapi, tanaman semak masih dapat berperan dalam ameliorasi iklim sekitar karena fungsinya sebagai buffer atau barier.
Tanaman perdu dapat mencapai tinggi 5 meter,
64
sehingga sering di sebut atau dikategorikan menjadi pohon kecil.
Tanaman
semak dapat mencapai ketinggian 3 meter. Perbedaan utama antara perdu dan semak terlihat dari batang utamanya. Tanaman perdu memiliki batang utama sedangkan tanaman semak tidak memiliki batang utama, pada umumnya percabangan banyak atau berumpun dengan banyak anakan. Sebagaimana
diketahui,
tumbuhan
melakukan
fotosintesis
untuk
membentuk zat makanan atau energi yang dibutuhkan tanaman tersebut. Dalam fotosintesis tersebut tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dan air yang kemudian di ubah menjadi glukosa dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Kesemua proses ini berlangsung di klorofil. penyerap
karbondioksida
akan
Kemampuan tanaman sebagai
berbeda-beda.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi daya serap karbondioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil.
Mutu klorofil ditentukan berdasarkan banyak sedikitnya Magnesium
yang menjadi inti klorofil. Semakin besar tingkat Magnesium, daun akan berwarna hijau gelap (Alamendah 2010). Ilustrasi diatas dimaksudkan bahwa pengaruh jenis tanaman terhadap penghematan energi melalui ameliorasi iklim mikro sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan terkait dengan kemampuan tanaman, khususnya pohon dalam terhadap penyerapan CO2 melalui proses fotosintesis.
Daya serap
Karbondioksida sebuah pohon juga ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase pertumbuhan tanaman. Selain itu, pohon-pohon yang berbunga dan berbuah memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu dimanfaatkan sebagai penyerap karbondioksida yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan daya serap karbondioksida adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air (Alamendah 2010). Terdapat 31 daftar tanaman yang mempunyai daya serap karbondioksida (CO2) yang tinggi hasil dari penelitian Dahlan 2008 dalam Alamendah (2010) yang terlampir dalam lampiran 4, yang diharapkan dapat menjadi alternatif pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan kriteria variabel tanaman dalam kajian ini. Penjelasan singkat, berdasarkan hasil penelitan tersebut pohon yang memiliki kemampuan tertinggi dalam menyerap CO 2 adalah Pohon Trembesi atau Ki Hujan (Samanea saman). Pohon tersebut dapat menyerap CO2 sebesar 28.488,39 kg/tahun. Dari bentuk fisiknya, Trembesi memiliki tajuk menyebar dan tinggi tanaman antara 15-25 m, sehingga masuk dalam kategori pohon besar. Melihat bentuk fisiknya Trembesi diduga tidak dapat digunakan
65
untuk pekarangan rumah tinggal khususnya dalam Kajian ini. Pada umumnya Trembesi di tanam pada area yang lebih luas seperti pada Hutan Kota. Untuk jenis Pohon sedang, yang memiliki kemampuan menyerap CO2 yang cukup tinggi adalah Pohon Tanjung (Mimusops elengi) yaitu sebesar 34,29 kg/tahun. Pohon Tanjung memiliki bentuk tajuk bulat dengan tinggi pohon antara 10-12 m. Dari bentuk fisiknya Pohon Tanjung dapat digunakan sebagai pohon penaung dalam RTH Pekarangan. Untuk jenis Pohon kecil, yang memiliki kemampuan menyerap CO 2 yang cukup tinggi adalah Pohon Sirsak (Annona muricata) yaitu sebesar 75,29 kg/tahun. Pohon Sirsak memiliki bentuk tajuk menyebar dengan tinggi pohon >4 m. Menurut kriteria jenis tanaman dari tabel 10, Pohon Sirsak dapat menjadi perwakilan tanaman dari strata pohon kecil yang dapat diaplikasikan di RTH Pekarangan dalam Kajian ini. Untuk jenis perdu, yang memiliki kemampuan menyerap CO 2 yang cukup tinggi adalah Bunga merak (Caesalpinia pulcherrima) yaitu sebesar 30,95 kg/tahun. Bunga merak memiliki bentuk tajuk Irregullar dengan tinggi pohon ± 3 meter. Menurut kriteria jenis tanaman dari Tabel 10, Bunga merak dapat menjadi perwakilan tanaman dari strata perdu yang dapat diaplikasikan di RTH Pekarangan dalam Kajian ini.
Air (water features) Komponen prioritas kedua adalah komponen air (water features) yang didefinisikan berdasarkan penampakan visualnya. Water features yang ada tidak dimaksudkan untuk menambahkan semua water features tersebut ke RTH Pekarangan.
Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk
komponen Air selengkapnya tertuang pada Tabel 11.
Tabel 11. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Air (Bobot 0,242)*) No 1
1 Tidak ada
Kriteria desain untuk skor 2 3 Air statis(Static water) atau Air terjun (Falling water) atau
elemen air
Air mengalir (Flowing water)
Air mancur (Jets)
Keterangan: = Variabel komponen air langsung digunakan sebagai kriteria berdasarkan hasil bobot AHP yang diperolehnya.
66
Air merupakan salah satu elemen lunak (soft material) dalam lanskap taman. Elemen air sering dihadirkan untuk mempermanis taman, baik berupa kolam maupun sekadar tanaman air. Kehadiran gemericik air, bayangan riak-riak kolam, dan ditambah lincah gerak ikan dapat menciptakan kesan sejuk dan tenang ketika kita bersantai di taman.
Selain untuk alasan estetis dan efek
psikis, kehadiran elemen air dapat membantu menciptakan kenyamanan termal di dalam ruang. Didalam alam bawah sadar, manusia senantiasa ingin dekat dengan air, karena sekitar 70% tubuh kita mengandung air selain sebagai bentuk ekspresi kedekatan dengan alam semesta. Banyak orang memimpikan mempunyai rumah tinggal yang dekat atau memiiliki pandangan (view) kearah sungai, tepi danau, hingga tepi laut. Ketika hunian ideal itu tak mungkin didapat dikota yang padat atau harganya sudah sangat mahal, orang pun berupaya memindahkan atau membawa unsur air kedalam rumah. Banyak potensi air yang dapat di eksplorasi, mulai dari bunyi, gerak, plastisitas, dan reflektifitas. Potensi-potensi air itu dapat dioptimalkan dalam rancangan water feature dengan memanfaatkan gaya gravitasi dan unsur tekanan.
Reka bentuk water feature bisa dikembangkan sesuai kreatifitas.
Beberapa dasar elemen komposisi air, diantaranya sebagai bingkai (frame) dari sebuah bentukan komposisi desain, sebagai aliran kanal atau sungai buatan, bentuk alami kolam, danau atau air terjun, air mancur. Fungsi atau efek penambahan elemen air pada rumah tinggal, khususnya pada pekarangan, adalah uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi sehingga tercapai pendinginan secara alami. Air bertindak sebagai elemen stabilitator suhu dalam ruangan.
Selain itu elemen air juga dapat berfungsi
sebagai filter dengan mengabsorsi polusi bunyi dan polusi udara yang ada disekitarnya. Efek suara yang dihasilkan dari percikan-percikan water feature air mancur, air mengalir atau air terjun menjadi penetralisir polusi bising dari luar ruangan, sehingga menurunkan tingkat kebisingan. Air yang beriak, menghasilkan percikan-percikan air yang didalamnya terkandung partikel ion-ion hidrogen yang merupakan ion negatif. Setiap partikel ion negatif tersebut dapat mengikat debu serta zat kimia yang ada di udara sehingga air mancur tersebut dapat dikatakan memfilter udara. Zat-zat beracun dapat terserap melalui pancaran air yang keluar dari lubang nozel air pada air mancur, air mengalir atau air terjun. Zat-zat tersebut juga dapat berdifusi langsung dalam pergerakan air. Agar terlihat unik dan cantik, air mancur bisa
67
digabungkan dengan kolam atau taman air. Berbagai gas beracun dan polutan yang telah tercampur dalam air bisa dimanfaatkan dan diserap oleh tanaman air. Dalam proses fotosintesis, tumbuhan mengolahnya sebagai bahan nutrisi yang penuh manfaat.
Hasil dari proses fotosintesis adalah Oksigen.
Berbagai
tanaman air berbunga cantik yang bisa dipilih diantaranya yaitu eceng gondok, melati air, water poppy, teratai, lotus dan iris (Silalahi, 2008).
Tanaman air
tersebut dapat menjadi alternatif usaha dalam ameliorasi iklim, walaupun tidak dapat berperan optimal seperti halnya pohon. Pada rumah tinggal dengan lahan terbatas begitu pula dengan luas pekarangannya yang juga terbatas, tidak memungkinkan untuk menghadirkan elemen air dengan kuantitas yang besar atau luas. Hal tersebut dapat diatasi dengan membuat water features yang memungkinkan terjadinya riak atau gelombang pada elemen air tersebut.
Air yang beriak, menimbulkan luas
permukaan air yang lebih luas. Luas permukaan elemen air tersebut menurut Fatimah (2004) berpengaruh nyata terhadap penurunan suhu udara disekitarnya. Secara umum, posisi peletakan water features dalam RTH Pekarangan rumah tinggal harus sesuai dan dapat dinikmati oleh seluruh penghuni rumah. Untuk tujuan pendinginan ruang peletakan water features juga harus disesuaikan dengan orientasi bangunan (arah mata angin), terkait masalah penyinaran dan arah dan kekuatan angin.
Berdasarkan kondisi tersebut analisis konsep
mengenai peletakan water features jika disesuaikan dengan orientasi terhadap mata angin guna mendapatkan manfaat yang optimum adalah sebagai berikut: 1. Jika posisi rumah menghadap utara, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi selatan (halaman belakang rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu. 2. Jika posisi rumah menghadap ke selatan, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi utara (halaman belakang rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu.
68
3. Jika posisi rumah menghadap ke timur, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi timur (halaman depan rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu. 4. Jika posisi rumah menghadap ke barat, elemen air (water features) dapat di letakkan di posisi timur (halaman belakang rumah) agar dapat membantu penyejukan disiang hari dan dibantu juga oleh angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober)
dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk
membantu menurunkan suhu.
Bangunan Komponen prioritas ketiga adalah Bangunan. Konsep Bangunan dalam kajian ini menggunakan konsep hijau dengan strategi desain pasif.
strategi
desain pasif membuat integrasi antara bangunan (interior) dan aspek lanskapnya (eksterior) dalam menciptakan sebuah kenyamanan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Strategi desain pasif digunakan untuk tujuan
mengoptimumkan potensi alam seperti cahaya matahari untuk penerangan alami. Menangkap pergerakan udara untuk penghawaan alami dan menangkal dan memperlambat radiasi panas matahari memasuki bangunan rumah tinggal. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen Bangunan selengkapnya tertuang pada Tabel 12.
Bukaan. Sistem pengkondisian udara sangat tergantung pada jendelajendela dengan luas bukaan yang tepat dan diasumsikan jendela terbuka (bukan desain jendela mati) yang akan menjadi media pergantian udara pengap (kelembaban) di dalam bangunan dengan udara yang lebih segar dari luar bangunan sebagai konsep bukaan untuk iklim tropis basah (termasuk kasus kota Bogor) yaitu memaksimalkan aliran udara untuk cooling ventilation tiap jamnya (Reed 2010). Proses pergantian atau pertukaran udara ini sangat tergantung pada beberapa aspek, yang masing-masing dapat dibedakan menjadi: aspek pada bangunan itu sendiri dan aspek di luar bangunan.
69
Tabel 12. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Bangunan (Bobot 0,109) No
Variabel
Bobot
1
Bukaan
0.365
2
Atap
0.182
Kriteria desain untuk skor 1 2 3 Pergantian udara Pergantian udara Pergantian udara 1ach 5 ach 30 ach (40% dari (5% dari luas luas lantai) (10% dari luas lantai) lantai) Tidak menggunakan insulasi, tanpa plafon, Warna atap gelap, bukaan atap standar
Menggunakan insulasi, tanpa plafon, warna atap terang atau
Menggunakan insulasi, menggunakan Plafon , Warna atap terang
Menggunakan insulasi, menggunakan plafon, warna atap gelap
3
Tritisan (overhang)
0.167
Dimensi tritisan jendela < 60 cm atau <15 cm untuk bouvenlicht
Dimensi tritisan jendela 60-90 cm atau 15-30 cm untuk bouvenlicht
Dimensi tritisan jendela 90-120 cm atau 30-45 cm untuk bouvenlicht
4
Bentuk dan konfigurasi ruang
0.087
Rasio lebar dan panjang bangunan < 1:1,7
Rasio lebar dan panjang bangunan > 1:3
Rasio lebar dan panjang bangunan 1:1,7 s/d 1:3
5
Mekanikal & Elektrikal
0.077
Daya pencahayaan maksimum untuk rumah melebihi 10 watt/m2
Daya pencahayaan maksimum untuk rumah 5-10 watt/m2
Daya pencahayaan maksimum untuk rumah tidak melebihi 0-5 watt/m2
6
Dinding
0.076
Batako Tidak menggunakan ketebalan dinding, Warna gelap atau terang
Bata merah Menggunakan ketebalan dinding, Warna gelap atau Bata merah, Tidak menggunakan ketebalan dinding, Warna terang/gelap
Bata merah, Menggunakan ketebalan dinding dan atau greenwall, Warna terang
7
Lantai
0.046
Warna gelap
Warna agak gelap
Warna terang
70
Aspek pada bangunan meliputi, penempatan jendela (baik secara vertikal maupun horisontal), dimensi jendela dan tipe (model) jendela yang dipilih. Sedangkan aspek luar bangunan meliputi: arah dan kecepatan angin serta kerapatan dan ketinggian bangunan sekitar.
Keefektifan tingkat penghawaan
dalam suatu bangunan ditentukan oleh ventilation flow rates (rate ventilasi) yang dihitung sebagai jumlah udara per m 3 yang dapat dialirkan ke dalam bangunan atau ruangan setiap jamnya. Hal ini lebih dikenal dengan istilah rate air change per hour (ach). Rate air change per hour tidak memiliki satuan namun sangat tergantung pada volume ruangan/bangunan yang akan dialiri udara. Sebagai contoh bila suatu ruang dengan volume 120 m 3 idealnya mendapat ventilasi 20 ach (20 udara setiap jam) maka jumlah udara yang harus dialirkan setiap jamnya adalah 120 m 3 x 20 = 2400 m3. Adapun rate ach ideal bagi suatu ruang tergantung pada tujuan yang hendak dicapai memiliki persyaratan berbeda-beda, yaitu: 1. Untuk tujuan kesehatan rate ventilasinya sebesar 0,5-1 ach 2. Untuk mencapai kenyamanan rate ventilasinya sebesar 1-5 ach 3. Untuk tujuan pendinginan (cooling ventilation) rate ventilasinya sebesar 5-30 ach. Khusus untuk bangunan di negara tropis lembab disarankan pemakaian 30 ach sebagai standar (Moore 1993 dalam Mediastika 2002). Studi yang sama menunjukkan bahwa luas jendela yang diperlukan untuk mengalirkan 30 ach tersebut dengan asumsi kecepatan angin 0 m/det mencapai minimal 40% dari luas lantai ruangan. Cooling ventilation sangat penting artinya bagi bangunan yang berada di negara tropis lembab dengan rata-rata suhu harian tinggi. Selain untuk kesehatan dan kenyamanan penghuni, cooling ventilation akan menjaga keawetan peralatan yang disimpan di dalam bangunan. Bagi bangunanbangunan yang didirikan pada lokasi dengan kecepatan angin sangat rendah (mencapai 0 m/s), maka idealnya desain jendela mampu mengalirkan rate ventilasi yang dibutuhkan pada kondisi kecepatan angin minimal ini. Desain jendela dipengaruhi faktor-faktor meliputi penempatan, dimensi dan tipe atau model jendela yang dipilih. Pada layout bangunan satu lapis sangat dimungkinkan terjadinya ventilasi silang sempurna (sudut 180°) secara horisontal. Ventilasi silang juga akan lebih maksimal apabila penempatan secara vertikal ikut diperhitungkan. Jendela yang berfungsi sebagai inlet (memasukkan
71
udara) sebaiknya diletakkan pada ketinggian manusia yaitu 60 cm-150 cm (aktivitas duduk maupun berdiri), agar udara dapat mengalir di sekitar manusia tersebut untuk memperoleh rasa nyaman yang diharapkan. Untuk jendela yang berfungsi sebagai outlet (mengeluarkan udara) diletakkan lebih tinggi, agar udara panas dalam ruang dapat dengan mudah dikeluarkan.
Ventilasi akan lebih
lancar bila didukung dengan kecepatan udara yang memadai. Pada kondisi udara hampir tidak bergerak (kecepatan sangat kecil atau 0 m/det), desain jendela harus mampu mendorong terjadinya pergerakan yang lebih cepat atau memperbesar kecepatan udara. Hal ini dapat ditempuh dengan memilih dimensi satu lapis jendela yang berbeda antara inlet dan outlet dengan memilih tipe jendela yang berbeda kemampuan mengalirkan udara Kecepatan dan arah angin adalah faktor di luar bangunan yang berperan sangat penting dalam menentukan tingkat ventilasi di dalam bangunan. Kecepatan angin yang cukup dan arah yang langsung menuju pada inlet memungkinkan terjadinya pertukaran udara yang lancar. Keberadaan bangunan atau objek-objek besar lain di sekitar bangunan akan mengurangi laju udara dan membelokkan arah angin.
Oleh karenanya pada kondisi dimana bangunan
berada di area yang rapat bangunan, perlu diusahakan desain jendela dan detail desain bangunan lainnya yang akan mampu mengembalikan arah dan kecepatan angin.
Pada suatu area yang rapat bangunan, angin tidak dapat
datang pada arah 90° (frontal tegak lurus jendela), sebab diperlukan jarak tempuh setidaknya 6 kali tinggi penghalang yang dilewatinya bagi angin untuk kembali pada arahnya semula. Kondisi bangunan yang rapat mengakibatkan angin datang membentuk sudut lancip (kurang dari 90°) terhadap jendela.
Atap. Atap merupakan bagian terpenting dari sebuah bangunan. Jika ditinjau dari segi biaya, atap menghabiskan biaya yang cukup besar (pada bangunan kecil biasanya diatas 20% dari keseluruhan biaya bangunan) (Lippsmeier 1994). Berdasarkan bidang dan orientasinya, atap adalah bagian bangunan yang paling banyak terkena radiasi matahari, sehingga atap selayaknya memiliki desain yang spesifik sebagai adaptasi terhadap iklim, khususnya
iklim
tropis
penghematan energi.
basah
dan sebagai elemen
pendukung
dalam
Spesifikasi tersebut antara lain bentuk atap, sudut
kemiringan atap, material penutup atap, keberadaan ventilasi atap, plafon dan adanya insulasi atap.
72
Pada umumnya bentuk-bentuk atap yang umum di Indonesia adalah atap limasan (atap perisai) dan atap pelana.
Sudut atap tersebut memungkinkan
gerakan udara disekitarnya. Pada atap limasan, memungkinkan melindungi semua dinding bangunan namun konstruksinya lebih sulit. Pada atap pelana, memungkinkan terjadinya area dinding yang tidak terlindung konstruksi atap sehingga dinding yang tidak terlindungi tersebut dapat terpapar langsung oleh radiasi matahari. Material atap yang sekarang umum digunakan untuk penutup atap adalah genteng beton , genteng tanah liat dan genteng keramik. Pada penelitian hidayat (2005) mengenai pengaruh perbedaan suhu terkait dengan komponenkomponen pembentuk atap.
Terkait dengan material atap, pada penelitian
tersebut dihasilkan suhu udara tertinggi sebesar 31.0 °C yang dihasilkan oleh ruang dengan material atap besi, seng dan asbes. Suhu udara terendah sebesar 30.9 °C pada ruang dengan material atap genteng tanah liat dan genteng beton. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.1 °C. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan bahan atap kurang berpengaruh terhadap suhu udara pada ruangan. Warna atap diduga berpengaruh terhadap penurunan suhu ruang. Warna atap yang digunakan dalam percobaan adalah warna terang, warna menengah (agak gelap) dan gelap. Suhu udara tertinggi yang terjadi dalam ruang sebesar 31.3 °C yang dihasilkan oleh permukaan atap warna gelap. Suhu udara yang dihasilkan oleh permukaan atap sedang, sebesar 30.9 °C. Suhu udara terendah dihasilkan oleh permukaan atap warna terang, yaitu 30.5 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.8 °C. Perbedaan suhu udara tersebut menunjukkan bahwa warna atap mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan suhu ruang, diduga karena warna terang lebih memantulkan panas, sehingga panas lebih tidak terserap oleh penutup atap. Komponen plafon biasanya tidak terlepas dari komponen atap. Material plafon yang digunakan dalam penelitian ini adalah papan plaster, triplek, semen fiber dan asbes. Selain itu, juga diteliti pengaruh penggunaan plafon atau tidak sebagai pelengkap pada konstruksi atap rumah tinggal. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa suhu tertinggi sebesar 31.1 °C. yang dihasilkan oleh bahan asbes dan semen fiber. Suhu terendah dihasilkan oleh papan lapis, yaitu 30.9 °C.
Perbedaan suhu tertinggi dan terendah antara material plafon kurang
signifikan yaitu sebesar 0.2 °C. Namun, pengaruh yang signifikan terjadi jika atap
73
rumah dilengkapi dengan plafon atau tidak. Suhu ruang tanpa plafon lebih tinggi 0.8 °C. dibandingkan dengan suhu ruang yang menggunakan plafon. Dapat simpulkan bahwa keberadaan dan penggunaan plafon berperan dalam menahan panas ke dalam ruang. Tingkat ventilasi ruang atap yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0, 10, 15, 20 dan 25 ach. Dari hasil eksperimen ini dapat dilihat bahwa terdapat sedikit penurunan suhu udara ruang jika tingkat pergantian udara atap bertambah. Suhu udara tertinggi dihasilkan oleh atap tanpa ventilasi, sebesar 31.3 °C. Suhu udara terendah dihasilkan oleh ventilasi atap 25 ach sebesar 30.8 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.5 °C, sehingga disimpulkan bahwa pengaruh pengudaraan atap terhadap suhu ruang tidak terlalu signifikan. Bahan insulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah papan damar, kaca fiber dan papan gabus yang diletakkan di atas plafon. Untuk melihat pengaruh insulasi, juga dianalisis atap yang tidak menggunakan insulasi. Eksperimen menunjukkan bahwa suhu udara tertinggi sebesar 29.4 °C yang dihasilkan oleh bahan kaca fiber. Suhu udara terendah dihasilkan oleh bahan papan damar sebesar 29.3 °C, sehingga hanya memberikan perbedaan yang sangat tidak signifikan yaitu sebesar 0.1 °C. Apabila dibandingkan antara suhu ruang tanpa insulasi atap dengan suhu ruang yang menggunakan insulasi atap maka terjadi perbedaan yang cukup besar, yaitu 1,6 °C. Dengan demikian maka insulasi memegang peranan penting dalam menahan masuknya panas ke dalam ruangan. Sudut atap yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20°, 30°, 40°, 50° dan 60°. Sudut kemiringan atap berperan untuk mempercepat aliran air hujan dari atap agar tidak menggenang bahkan merembes kedalam ruangan. Pada daerah yang berangin kuat tidak disarankan menggunakan sudut kemiringan atap yang terlalu landai (< 30º) untuk menghindari bahaya hisap dari angin. Terdapat sedikit penurunan suhu udara apabila sudut atap bertambah dari 20° sehingga 60°. Suhu udara ruang tertinggi sebesar 31 °C yang dihasilkan oleh sudut atap 20°.
Suhu udara ruang terendah dihasilkan oleh sudut atap 60°
dengan suhu sebesar 30.8 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah hanya 0.2 °C. Dapat disimpulkan bahwa perubahan sudut atap kurang berpengaruh dalam menurunkan suhu udara ruangan.
74
Dari penjelasan diatas, maka ditetapkan kriteria desain atap yang berperan signifikan dalam mengeleminir panas ke dalam ruangan adalah faktor insulasi, warna atap dan plafon. Dari segi bentuk atap ditetapkan menggunakan tipe atap pelana. Dari segi sudut kemiringan atap, tidak dibatasi secara khusus namun menggunakan fenomena penggunaan sudut atap yang umum di daerah Indonesia yaitu berkisar 30-35°. Hal ini disebabkan karena adaptasi terhadap faktor iklim maupun dari segi ekonomis. Atap dengan sudut yang lebih curam tentunya membutuhkan perlakuan yang lebih khusus yang berdampak pada lebih tingginya biaya pembangunan.
Dari segi material penutup atap, bahan
bangunan yang umum digunakan seperti genteng tanah liat, genteng beton masih dapat diadopsi.
Temuan terbaru yaitu genteng keramik diduga lebih
menghambat panas namun dari segi harga relatif lebih mahal daripada material genteng sebelumnya. Tritisan (Overhang). Tritisan adalah bagian dari bangunan yang berupa atap tambahan yang berdiri sendiri atau bisa juga berupa perpanjangan dari atap utama. Konsep topi atau caping mendasari cara kerja tritisan, yaitu membentuk bayangan yang menutupi lubang dinding (Mangunwijaya 2000). Tritisan dapat berkedudukan mendatar atau vertikal. Tergantung sinar mana dan yang bagaimana yang boleh masuk ruangan atau tidak (Lippsmeier 1994). Dalam perencanaan dan perancangan bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, sedangkan sinar matahari ini diusahakan agar tidak masuk ke dalam ruangan. Untuk itulah kehadiran tritisan sangat perlu terhadap lubang dinding pada bangunan. Tritisan yang baik harus dapat memenuhi tuntutan tersebut, yaitu memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin dan mencegah sinar matahari yang masuk pada melalui lubang dinding pada bangunan. Berbagai cara dalam merancang tritisan yang merespon iklim dan hemat energi harus merespon kondisi lingkungan, diantaranya : 1.
Matahari dan Cahaya Indonesia terletak pada daerah tropis basah, dengan kata lain di dekat equator, maka sudut jatuh sinar matahari ke bumi dapat dikatakan tegak lurus. Maka jumlah sinar per kesatuan luas mencapai angka yang besar. Sudut jatuh ditentukan oleh posisi relatif matahari dan tempat pengamatan di bumi serta tergantung pada sudut lintang geografis, musim, lama
75
penyinaran harian, yang ditentukan oleh garis bujur geografis. Untuk orientasi bangunan dan perlindungan terhadap cahaya matahari, berlaku aturan-aturan dasar sebagai berikut : a. Dalam hubungannya dengan orientasi bangunan, yang perlu mendapat perhatian adalah sifat-sifat dari peredaran matahari sepanjang tahun, dimana untuk wilayah iklim tropis lembab lintasan matahari hampir selalu berada di atas kepala dengan arah terbit dan terbenam dari timur ke barat. Berdasar teknik perencanaan, tata letak bangunan akan mengumpulkan sedikit panas jika bayangan bangunan adalah yang terkecil. Dalam hal ini juga perlu diperhatikan sudut jatuh matahari, semakin besar sudut akan memberi dampak semakin besar penerimaan energi panas. b. Diperlukan perlindungan pada semua lubang bangunan terhadap cahaya langsung dan tidak langsung , bahkan bila perlu untuk seluruh bidang bangunan, karena bila langit tertutup awan, seluruh bidang langit merupakan sumber cahaya. Studi yang tepat menggunakan sudut jatuh sinar matahari sangat diperlukan, karena hanya dengan ini pelindung cahaya dan orientasi bangunan dapat ditentukan dengan benar dan menguntungkan. Untuk mendapatkan pelindung cahaya matahari yang efektif, setiap fasade bangunan harus ditinjau secara terpisah. Penggunaan pelindung matahari yang sama pada keempat façade bangunan tidaklah rasional. Dengan perhitungan yang tepat, maka akan didapat desain tritisan beton yang tanggap terhadap cahaya dan sinar matahari. Hal ini dapat memberi keuntungan : a. Penerangan
alami
dimaksimalkan,
yang
sehingga
berupa mampu
cahaya mengurangi
matahari
dapat
ketergantungan
terhadap penerangan buatan. Hal ini dapat mengurangi konsumsi energi listrik untuk pemakaian lampu. b. Sinar matahari tidak masuk ke dalam bangunan, sehingga suhu dan temperatur dalam ruangan tetap terjaga. Keadaan ini membuat ruangan tidak memerlukan penghawaan buatan, sehingga dapat mengurangi energi listrik untuk pemakaian AC (Air conditioner).
76
2. Curah Hujan Di daerah tropis, curah hujan cukup tinggi yang terjadi dua kali setahun. Semakin mendekati garis balik, musim ini semakin pendek dan waktunya semakin dekat sampai menjadi satu musim hujan di sekitar garis balik. Besarnya intensitas curah hujan di Indonesia, dan sering disertai angin memerlukan perhatian khusus. Hal ini diperlukan agar bangunan terhindar dari tampias hujan. Salah satunya dengan penempatan tritisan beton yang mampu melindungi bangunan (lubang dinding) dari tampias air hujan. Untuk model desain tritisan di daerah tropis basah Indonesia tidak terdapat batasan terhadap model tertentu. Model tritisan yang diterapkan tetap harus menjadi solusi terhadap masalah iklim lingkungan. Dari segi dimensi lebar tritisan untuk iklim tropis basah Indonesia berkisar antara 60-90 cm untuk bukaan jendela dan 15-30cm untuk bouvenlicht (Anonim 2009). Bentuk dan konfigurasi ruang. Guna mendapatkan rate ventilasi yang baik, suatu bangunan idealnya dibuat satu lapis (single zone layer), artinya ruang-ruang di dalam bangunan memiliki jendela inlet dan outlet pada arah yang berlawanan (tidak ada sekat-sekat sehingga memungkinkan terjadinya ventilasi silang) sempurna.
Dapat pula diterapkan desain tiap-tiap ruangan langsung
berhubungan dengan udara luar dan dilengkapi ventilasi alami yang memadai. Kemudian, menghindari adanya ruang dalam ruang dalam bangunan. Menghindari penempatan ruang-ruang utama, seperti ruang tidur, ruang keluarga dan lainnya pada sisi Barat, kecuali jika ada pembayangan dari bangunan lain atau pohon besar pada sisi tersebut (Karyono 2010). Dinding ruang di bagian Barat akan mendapatkan radiasi matahari siang (afternoon), sekitar waktu 13.00-15.00 WIB yang sangat tinggi, dan berdampak membuat ruang di dalamnya panas. Sebaiknya sisi barat rumah digunakan untuk ruangruang servis seperti KM/WC, gudang, tangga (jika bangunan bertingkat). Untuk daerah tropis lembab proporsi yang optimum antara lebar dan panjang adalah 1 :1,7 dan proporsi yang bagus adalah 1:3 (Yuuwono 2007).
Mekanikal dan Elektrikal. Pengertian energi listrik adalah kemampuan untuk melakukan atau menghasilkan usaha listrik (kemampuan yang diperlukan untuk memindahkan muatan dari satu titik ke titik yang lain).
Berdasarkan
KEPPRES No.48 tahun 2000 tentang harga jual listrik yang disediakan PLN, tarif
77
listrik untuk pelanggan rumah tangga dibedakan menjadi tiga golongan seperti pada Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13. Golongan Tarif Listrik untuk Pelanggan Rumah Tangga Golongan R1
Daya listrik 250- 2.200
Keterangan Rumah tangga kecil
R2
2.201- 6.600
Rumah tangga menengah
R3
>6.601
Rumah tangga besar
Sumber: www.pln.go.id dalam Widjayanti (2007)
Konsep mekanikal dan elektrikal dalam kajian ini yang disesuaikan dengan strategi desain pasif yang diadopsi adalah perilaku bijak mengelola energi listrik yang memerlukan sumberdaya fosil yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources).
Secara umum konsep perilaku yang dapat
diterapkan adalah sebagai berikut (EECCHI 2011): 1. Menyambung daya listrik dari PLN sesuai dengan kebutuhan. Rumah tangga kecil, cukup dengan daya 450 VA atau 900 VA. 2. Memilih peralatan rumah tangga yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan, termasuk memilih alat yang memenuhi standar efisiensi energi. 3. Menyalakan alat-alat listrik hanya pada saat diperlukan. 4. Menggunakan alat-alat listrik secara bergantian. 5. Menjaga dan merawat alat-alat rumah tangga, dan menggantinya jika usang atau rusak. 6. Membatasi daya pencahayaan maksimum untuk rumah tidak melebihi 10 watt/m2 (Savitri 2010). Secara lebih detil, akan dijabarkan saran atau tips penggunaan peralatan listrik rumah tangga yang di sarankan oleh suatu lembaga yang bergerak pada bidang konservasi energi yaitu Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia (EECCHI) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (KESDM) mengenai tips hemat energi menggunakan peralatan listrik rumah tangga yang dilampirkan pada lampiran 5. Menurut hasil wawancara oleh pakar dibidang Renewable energy, energy saving marketing dari KEMENRISTEK RI, terdapat perhitungan guna mengetahui intensitas pemakaian energi listrik pada bangunan, baik itu bangunan ber-AC
78
maupun tidak ber-AC termasuk di dalamnya bangunan rumah tinggal tidak berAC sesuai dengan kajian ini. Melalui perhitungan tersebut kita dapat mengetahui intensitas pemakaian energi listrik kita masuk dalam kategori hemat energi atau tidak.
Perhitungan tersebut dikenal dengan perhitungan Intensitas Konsumsi
Energi (IKE) (Notosudjono D 26 Maret 2011, komunikasi pribadi).
Standar
Intensitas IKE Bangunan Gedung tidak ber-AC yang terdapat pada SNI 03 - 6196 - 2000: Prosedur Audit Energi pada Bangunan Gedung (BSN 2000). Rumus menghitung IKE: 2
I (kWh/m ) = Total Konsumsi Listrik (kWh)
......................................................(7)
Luas Area m2
Contoh kasus: Jika terdapat luas bangunan adalah 45 m2, dan total penggunaan energi adalah 100 kWh, maka IKEnya adalah 2,23 kW/m2. Hasil IKE tersebut dapat digunakan untuk dicocokkan dengan kriteria atau standar IKE Indonesia untuk bangunan gedung pada TAbel 14.
Tabel 14. Standar Intensitas Konsumsi Energi (IKE) Gedung Tidak ber-AC
Indonesia Bangunan
KRITERIA
KETERANGAN
Efisien 0,84 -1,67 kWh/m2/bulan
a. Pengelolaan gedung dan peralatan energi dilakukan dengan prinsip konservasi energi listrik. b. Pemeliharaan peralatan energi dilakukan sesuai dengan prosedur. c. Efisiensi penggunaan energi masih mungkin ditingkatkan melalui penerapan sistem manajemen energi terpadu. a. Penggunaan energi cukup efisien namun masih memiliki peluang konservasi energi. b. Perbaikan efisiensi melalui pemeliharaan bangunan dan peralatan energi masih dimungkinkan. a. Audit energi perlu dilakukan untuk menentukan langkah-langkah perbaikan sehingga pemborosan energi dapat dihindari. b. Desain bangunan maupun pemeliharaan dan pengoperasian gedung belum mempertimbangkan konservasi energi. a. Instalasi peralatan, desain pengoperasian dan pemeliharaan tidak mengacu pada penghematan energi. b. Agar dilakukan peninjauan ulang atas semua instalasi atau peralatan energi serta penerapan manajemen energi dalam pengelolaan bangunan. b. Audit energi adalah langkah awal yang perlu dilakukan.
Cukup Efisien (1,67 – 2,5) kWh/m2/bulan Boros (2,5 – 3,34) kWh/m2/bulan Sangat Boros (3,34 – 4,17) kWh/m2/bulan
79
Sumber: BSN (2000) Dinding. Dinding bangunan memiliki dua fungsi utama, yaitu menyokong atap dan langit-langit, membagi ruangan, serta melindungi terhadap intrusi dan cuaca. Dinding sangat dipengaruhi oleh pemilihan materialnya, warna dan tekstur. Dinding dibentuk oleh material yang pada umumnya digunakan pada bangunan rumah tinggal di Indonesia adalah material bata merah dan batako. Perbedaan penggunaan material tersebut ternyata menghasilkan tingkat penyerapan terhadap radiasi panas matahari yang berbeda.
Menurut
Noerwarsito dan Santosa (2006), pada material dinding berbahan bata merah lebih berpengaruh terhadap rendahnya temperatur dibandingkan dengan dinding bermaterial batako. Temperatur puncak batako lebih tinggi (33,6 °C) dari temperatur puncak bata merah (31,8 °C), sehingga perbedaan suhu yang dihasilkan sebesar 1.8 °C. Aspek lain yang mempengaruhi penyerapan panas radiasi matahari pada variabel dinding adalah warna dan ketebalan dinding. Warna terang cenderung memantulkan panas, sementara warna gelap menyerap lebih banyak panas. Pada dinding warna putih terlihat suhu udara ruang berfluktuasi terhadap suhu udara luar.
Pada siang hari umumnya suhu udara di dalam bangunan lebih
rendah dibanding suhu luar, sementara malam hari suhu udara di dalam bangunan lebih tinggi dibanding suhu luar. Pada umumnya, konstruksi dinding menggunakan aturan ½ bata atau 1 bata, dimana dimensi (panjang x lebar x tebal) batu bata umumnya adalah 30 x 15 x 5 cm. Aturan ½ bata menggunakan lebar bata yaitu ± 15 cm untuk ketebalan dindingnya.
Aturan 1 bata
menggunakan panjang bata yaitu ± 30 cm untuk ketebalan dindingnya. Semakin tebal dinding, fluktuasi semakin kecil, karena kondisi suhu udara di dalam bangunan semakin stabil.
Efek orientasi bangunan terhadap suhu udara di
dalam bangunan juga tampak jelas.
Suhu ruang rata-rata pada sisi dinding
timur-barat lebih tinggi dibanding suhu dinding pada sisi selatan. Perbedaan suhu ruang rata- rata timur-barat dengan ruang sisi selatan mencapai hampir 1ºC untuk dinding tipis (10 cm) dan lebih 1,5 ºC untuk dinding tebal (20 cm) (Frick dan Mulyani 2006; Karyono 2010). Pada penelitian yang sama, dinding warna abu-abu, pengaruh orientasi dan ketebalan dinding terhadap perbedaan suhu lebih jelas terlihat.
Untuk
ketebalan dinding 10 cm suhu ruang dalam terendah hampir selalu dibawah suhu luar. Sementara itu, perbedaan terbesar rata-rata antara ruang pada sisi yang
80
berbeda dapat mencapai 4,5 ºC, sedangkan perbedaan pada waktu tertentu maksimum dapat mencapai 7,5 ºC. Semakin tebal dinding, variasi suhu udara di berbagai waktu dan orientasi semakin rendah. Dinding tebal membuat fluktuasi suhu semakin kecil (Frick dan Mulyani 2006; Karyono 2010). Seberti disebutkan sebelumnya, dinding dan plafon secara struktur dan fungsi masih saling terkait. Tinggi plafon rumah ditentukan oleh beberapa hal, antara lain tinggi langit-langit rumah, iklim, proporsi ruang atau estetika, sirkulasi udara, dan pencahayaan.
Dahulu, plafon di rumah-rumah standar yang
dibangun 20–30 tahun lalu tingginya berkisar antara 250–260 cm. Sedangkan, hunian modern dewasa ini menawarkan tinggi plafon pada kisaran 280–300 cm. Bahkan beberapa bagian ruangan mempunyai tinggi plafon 4 m sampai 7 m. Rumah modern dibangun dengan plafon tinggi, biasanya untuk memenuhi fungsi kenyamanan dan estetika. Namun demikian, aspek lain terkait orientasi terhadap iklim tetap harus menjadi perhatian utama. Sebagai perbandingan, plafon rumah-rumah di daerah beriklim dingin. cenderung mempunyai plafon yang rendah. Jepang umumnya 240-250 cm.
Misalnya, tinggi plafon rumah
Alasannya adalah penghematan energi.
Semakin tinggi plafon semakin tinggi pula pemanasan diperlukan. Sementara itu, di daerah beriklim panas seperti halnya iklim tropis basah Indonesia, plafon yang tinggi memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik. Udara panas akan bergerak ke atas, dengan demikian plafon yang tinggi berkisar 280–320 cm memungkinkan udara di ruangan menjadi tetap sejuk. Selain itu, dengan plafon yang tinggi, cahaya matahari akan dapat masuk lebih dalam ke semua bagian rumah. Sehingga, ruangan tidak terasa lembab. Desain arsitektur berhubungan dengan proporsi ruang.
Desain yang
indah adalah desain yang proporsional. Para mahasiswa arsitektur umumnya tahu bahwa untuk menentukan tinggi plafon standar sebuah ruangan berlaku rumus (panjang + lebar)/2. Artinya, sebuah ruangan berukuran 3 m x 4 m akan tampak proporsional bila plafonnya berukuran sekitar (3 + 4)/2 = 3,5 m. Tentu saja ini bukan rumus matematis baku, karena proporsi ideal dapat diolah melalui penataan interior yang baik. Intinya, semakin besar ruangan maka plafonnya semakin tinggi, atau tinggi plafon harus lebih panjang dari lebar ruangan. Karena bila ruangan tidak diimbangi dengan plafon yang tinggi, ruangan itu akan tampak seperti lorong yang pengap.
81
Lantai. Di daerah tropis, dengan bangunan yang tidak berdiri atas tiang harus memiliki jarak yang cukup dari tanah untuk mencegah masuknya air, kotoran dan binatang.
Pemakaian lantai keras(lantai batu) dianjurkan untuk
bangunan dengan pengudaraan alamiah yang karena konstruksinya terbuka. Sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dangguan binatang dan kotoran. Lantai batu buatan yang licin (teraso) sangat mudah dirawat dan dibersihkan. Material yang lebih murah dan lebih sering dipakai adalah ubin keramik atau ubin teraso. Pemilihan warna untuk permukaan lantai yang terkena cahaya matahari ditentukan oleh kompromi antara pencegahan kesilauan di satu pihak dan penghindaran penyerapan panas di pihak lain.
Tapak Komponen prioritas keempat adalah tapak. Konsep tapak secara umum adalah tidak banyak melakukan memodifikasi kondisi alamiah tapak atau permukaan tanah terkait dengan keamanan dalam mendirikan bangunan, dan kondisi ekologis lahan agar optimasi RTH Pekarangan dengan menggunakan tanaman dapat dilakukan karena kondisi lahan yang stabil dan subur mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen tapak selengkapnya tertuang pada Tabel 15.
Intensitas tutupan lahan. Sebagai objek studi, unit rumah tinggal yang dijadikan model yang diasumsikan mempunyai luasan lahan atau tanah sebesar 120 m2. Dengan luasan tapak tersebut diperkirakan sesuai untuk menaungi sebuah rumah tinggal ber-tipe 45 m2 untuk kasus perumahan swadaya maupun industri (pengembang).
Luasan lahan sebesar 120 m 2 dipilih atas dasar
pertimbangan agar rasio luasan tapak dengan bangunan rumah tinggal sesuai dengan peraturan mengenai intensitas tutupan lahan yaitu KDB 30%-70%. Di Indonesia pada umumnya berlaku aturan intensitas tutupan lahan KDB:KDH untuk rumah tinggal sebesar 60:40. Sayangnya, di Indonesia aturan mengenai KDB belum ditegakkan dengan benar dan cenderung fleksibel (Suganda E 21 Maret 2011, komunikasi pribadi).
Luasan lahan tersebut di asumsikan tidak
terlalu sempit untuk merencanakan sebuah taman kaitannya dengan RTH Pekarangan. Lahan terbuka yang cukup dapat dimungkinkan untuk menanam
82
vegetasi dan menambah elemen lain seperti elemen air untuk memperbaiki iklim mikro. Lahan Tabel 15. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Tapak (Bobot 0,107) No
Variabel
Bobot
1
Intensitas tutupan lahan (KDB:KDH)
0.323
2
Sistem utilitas
0.213
Minimalisasi penggunaan, minimalisasi buangan
Minimalisasi penggunaan, minimalisasi buangan, konservasi air dan waste management (parsial)
Minimalisasi penggunaan, minimalisasi buangan, konservasi air dan waste management
3
Bebas dari gangguan geo-biologis
0.139
Tanpa pemeliharaan
Pemeliharaan dengan bahan kimia
Pemeliharaan dengan bahan biologis
Tidak stabil
Kestabilan sedang
Stabil
1 60%:40%
Kriteria desain untuk skor 2 3 50%:50% 40%:60%
4
Orientasi
0.130
Barat
Timur
Utara-Selatan
5
Topografi
0.108
>15%
8%-15%
0-8%
6
Jenis tanah
0.087
Struktur fisik dan tingkat kesuburan rendah
Struktur fisik dan tingkat kesuburan sedang
Struktur fisik dan tingkat kesuburan baik
terbuka yang cukup juga memungkinkan gerakan udara sehingga mengeliminir panas yang terperangkap (heat trap) dalam area taman. Dari segi tipe bangunan yang terpilih yaitu tipe 45 m 2, merupakan rumah tinggal kelas menengah di indonesia dengan asumsi penghuni tersebut adalah sebuah keluarga menengah dari tingkat umur dan penghasilan, terdiri dari empat orang anggota keluarga suami-istri dan dua orang anak. Rumah tinggal bertipe 45 m2 menurut penulis telah memenuhi dari aspek kebutuhan ruang secara ergonomis pada umumnya seperti tersedianya kamar tidur dengan jumlah dua buah dengan ukuran pada umumnya saat ini masing-masing 9 m2. Penetapan luasan bangunan ini juga didasari atas pertimbangan referensi lain yaitu Frick dan Mulyani (2006) yang menyebutkan bahwa pertukaran udara pada masingmasing ruangan memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Hal ini mungkin dapat menjadi referensi untuk peninjauan kembali atas standar pertukaran udara yang
83
digunakan oleh SNI 03-1733-2004: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan sebesar 2 kali m3/jam yang telah di jabarkan sebelumnya pada Bab 2 dalam Subbab Komponen Tapak. Menurut Frick dan Mulyani (2006), penyegaran udara di dalam ruangan, disamping ditentukan oleh pergerakan udara, juga tergantung pada pertukaran udara (ach=air change per hour) yang cukup tinggi di daerah tropis yang akan mempengaruhi kesehatan penghuni. Hal tersebut dijabarkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Pertukaran udara minimal pada ruang rumah tinggal Ruang
Pertukaran udara minimal
Kamar keluarga dan kamar tidur
20 kali isi ruang/jam
Ruang bergerak
10 kali isi ruang/jam
Dapur
100 kali isi ruang/jam
KM/WC
40 kali isi ruang/jam
Sumber: Frick dan Mulyani (2006)
Arahan KEPMENKES No. 829 tahun 1999 yang menyatakan luas kamar tidur minimal 8 m 2 dan dianjurkan tidak untuk dihuni lebih dari dua orang. Ruang lainnya adalah ruang tamu, ruang bersama yang biasanya di aplikasikan sebagai ruang makan dan ruang keluarga, ruang dapur dan ruang KM/WC yang ternaungi.
Padahal standar kebutuhan ruang, menurut World Health
Organization (WHO) 10 m2/orang, Standar Nasional Indonesia (SNI) 9 m 2/orang dengan ambang batas 7,2 m 2/orang.
Standar hunian yang digunakan
pemerintah untuk tipe 21 masih menggunakan standar 7,41 m 2/orang. Rumah tinggal tipe 45 m 2 dimungkinkan penghuninya tidak berada diruangan yang terlalu sempit atau dengan kata lain berkepadatan hunian tinggi, sehingga kebutuhan ruang geraknya dalam beraktivitas tidak terganggu serta yang utama adalah sirkulasi udara segar masih dapat berjalan dengan baik. Hal ini
diperkuat
dengan
pernyataan
MENPERA
Suharso
Monoarfa
yang
mengungkapkan bahwa kebutuhan ideal ruang perumahan yang layak huni perlu dievaluasi. Berdasarkan ilmu planologi, menurut beliau, kebutuhan ruang rumah di indonesia saat ini sangat tidak ergonomik atau belum memenuhi kebutuhan ruang yang cukup bagi setiap penghuninya.
Karena itu, beliau menilai RSH
dengan ukuran bangunan 6x6 meter atau tipe 36 m 2 tidak sesuai lagi diterapkan.
84
Menurut Beliau, di luar negeri, setiap orang membutuhkan ruang sekitar 30 m 2, sedangkan di indonesia setiap orang di rumahnya hanya memiliki ruang gerak sekitar 12 m2, sehingga perlu dilakukan kajian yang serius agar setiap rumah yang dibangun di indonesia memiliki kebutuhan ruang gerak yang cukup dan lebih manusiawi. Beliau mengungkapkan rumah yang layak huni adalah tipe 45 m2. Beliau berharap ukuran rumah itu bisa memberikan keleluasaan ruang bagi penghuninya. Dengan ukuran rumah tipe 45 m 2, setidaknya dapat dibangun dua kamar tidur, ruang makan, ruang tamu, dan ruang keluarga untuk interaksi antar anggota keluarga.
Selain itu, ada sedikit lahan penghijauan di rumah yang
membuat masyarakat berpartisipasi dalam mengantisipasi perubahan iklim yang terjadi saat ini (Anonim 2010b). Intensitas tutupan lahan dapat dihubungkan dengan tata aturan mengenai garis sempadan bangunan.
Intensitas tutupan lahan yang terlalu tinggi atau
dengan kata lain terlalu padat, kemungkinan besar melanggar peraturan mengenai garis sempadan bangunan. Garis sepadan bangunan yang ditentukan berbagai aspek seperti lebar jalan, fungsi jalan, jenis aktivitas bangunan. Adanya jarak tertentu dari bagian bangunan terhadap jalan dapat digunakan sebagai buffer kebisingan lalu lintas, bahaya yang datang dari kendaraan yang selip keluar jalan tidak akan langsung merusak bangunan, menghindarkan polusi debu dan gas buangan dari knalpot kendaraan di jalan, tersedianya ruang terbuka sebagai area mitigasi bahaya, misalnya kebakaran, dan tersedianya area servis.
Sistem utilitas.
Sistem utilitas merupakan sebuah unit penunjang
terhadap kebutuhan sumberdaya dan pengolahan serta hasil buangannya. Sistem utilitas pada Kajian ini dibatasi pada sistem utilitas yang umum terdapat pada suatu tapak rumah tinggal berupa utilitas air bersih, pengelolaan air limbah dan sampah. 1. Utilitas air bersih. Ketersediaan air bersih tentu saja merupakan hal mutlak untuk menunjang kenyamanan bangunan. Hingga harus jelas sumber pengadaannya dan diasumsikan rumah tinggal pada kajian ini mendapat pasokan air bersih dari PDAM, sehingga penggunaannya harus terkontrol dengan baik agak biaya air tidak membengkak. Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi aliran permukaan,
85
yang sebagian besar masuk ke sungai dan akhirnya bermuara di laut. Air hujan yang jatuh ke bumi tersebut menjadi sumber air bagi makhluk Curah hujan di wilayah Indonesia cukup tinggi, yaitu 2.000 –
hidup.
4.000 mm/tahun dapat menjadi sumber air bersih dengan menampung atau meresapkan ke dalam pori-pori/rongga tanah atau batuan (konservasi air). Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak dibiarkan mengalir ke
laut tetapi
ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge) melalui pemanfaatan air hujan dengan cara membuat kolam pengumpul air hujan (Rain barrel), sumur resapan dangkal, dan lubang resapan biopori. 2. Utilitas sampah dan limbah. Pengertian sampah menurut SNI 19-2454-1991 adalah limbah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya dalam bentuk sisa makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting pohon, kertas/karton, plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan, dsb. a. Pemanfaatan Sampah Organik Di tingkat rumah tangga diperlukan kesadaran untuk memisahkan sampah antara sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik antara lain dapat berupa sampah persiapan masakan, kulit telur, kulit buah-buahan, rumput, daun, ranting, rambut, bulu, dan sebangsanya. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang terdiri dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui seperti mineral, minyak bumi, atau proses industri. Sampah anorganik antara lain plastik, kaleng, kertas, kaca dan Styrofoam. Sampah anorganik seperti botol plastik, kaleng minuman, kertas, dapat diolah dalam industri menjadi beraneka bahan baku.
Di iklim tropis panas lembap seperti di Indonesia, penguraian
sampah organik lebih cepat dibandingkan di daerah lainnya. Hal ini sebenarnya sangat menguntungkan karena pembentukan sampah menjadi kompos yang bermanfaat akan lebih mudah. Pengomposan juga dapat memanfaatkan teknologi lubang resapan biopori.
86
b. Pemanfaatan Grey Water Grey water biasanya berupa air sabun bekas kegiatan rumah tangga seperti mencuci dan mengepel, mandi, dan lain sebagainya. Air ini dapat disalurkan lewat selokan terbuka. Untuk memanfaatkan grey water sebagai sumber air bersih, dibutuhkan instalasi khusus yang tidak mudah dibuat sendiri.
Grey water masih dapat digunakan untuk
menyiram kebun, namun perlu dipastikan bahwa air tidak mengandung detergen yang keras, pemutih, ataupun zat kimia berbahaya lainnya, grey water bekas mencuci sayuran dan buah dapat langsung ditampung untuk menyiram kebun. Bahkan bekas cucian bahan makanan tertentu dikenal dapat menyuburkan tanah.
Untuk memaksimalkan grey water
sebagai air penyiram tanaman, dapat dipilih sabun deterjen atau sabun cuci piring yang bebas dari zat kimia. Saat ini beberapa produsen sabun telah membuat produk yang hanya mengandung sedikit zat kimia bahkan marnpu menyuburkan tanah saat larut di dalam air. Pastikan grey water yang masih mengandung bahan kimia dialirkan melalui saluran yang baik, memiliki penampang yang memadai sesuai volumenya agar limbah dapat mengalir dengan baik menuju saluran pembuangan sehingga tidak menimbulkan penyakit ataupun bau yang tidak sedap. c. Pemanfaatan Air Tinja/Black Water Air tinja adalah kotoran manusia baik padat maupun cair, ditambah dengan air siram. Air tinja mengandung kolibakteri (E. coli) dan kuman yang dapat mengganggu kesehatan manusia, serta berbau tidak sedap. Maka pembuangan air tinja harus disalurkan dalam pipa tertutup. Air
tinja
dapat
dimanfaatkan
sebagai
pupuk
organik
dengan
menggunakan instalasi septictank yang tepat. Untuk daerah dengan iklim tropis, dapat digunakan "septictank vietnam". Dibandingkan dengan septictank biasa, septictank vietnam tidak perlu dikuras/dibersihkan, karena isi septictank dapat digunakan sebagai pupuk.
Septictank ini
terdiri dari dua buah bak dengan ukuran yang sama, serta alat untuk memindahkan saluran pengisian. Satu bak digunakan terlebih dahulu, setelah penuh, saluran pengisian dipindahkan ke bak kedua. Sesudah enam bulan sampai satu tahun, isi bak pertama telah menjadi pupuk, tidak berbau, dan dapat dimanfaatkan untuk tanaman/ kebun sayur.
87
Untuk menghindari pencemaran tanah yang mungkin terjadi akibat kebocoran, atau bakteri mencemari air lewat pipa atau sumur resapan, septictank harus dibuat kedap. Septictank sebaiknya berjarak minimal 11 m dari sumur air.
Bebas dari Gangguan Geo-Biologis.
Terkait dengan keamanan
bangunan tapak seharusnya berada di area yang stabil, maksudnya relatif kecil kemungkinan terkena bencana yang dahsyat atau istilah dari Heinz Frick adalah tapak terbebas dari gangguan geo-biologis. Area tapak dipastikan tidak terletak pada kawasan banjir, karena beresiko banjir musim penghujan atau daerah rawan tsunami. Untuk Kota yang kondisi topografinya berbukit seperti Kota Bogor, bahaya tanah longsor sangat perlu diwaspadai. Sehingga untuk membangunan
di
tepi
jurang
yang
terjal
harus
menggunakan
studi
kelayakan/perhitungan geostruktur dan penelitian kondisi geologi tanah secara mendalam. Selain Longsor perlu pula diwaspadai adanya bangunan yang dibangun didaerah patahan.
Secara umum kota-kota di Indonesia terletak
didaerah yang rawan gempa, sehingga untuk jaminan keamanan, struktur bangunan diperkuat disertai dengan bentukan bangunan yang sederhana sebagai antisipasi agar dapat bertahan menghadapi gempa sampai lebih dari 9 skala richter. Faktor bahaya biologis datang dari hewan maupun vegetasi. Dari hewan yang terkait dengan keamanan bangunan adalah rayap dari jenis Coptotermes curvignathus yang dapat dikategorikan sebagai hama bangunan (Surjokusumo 2006).
Mencegah serangan rayap perlu kewaspadaan dan ketelatenan.
Waspada untuk mencegah dan terhadap tanda-tanda kehadiran rayap serta telaten dalam upaya untuk membasminya. Upaya pencegahan dilakukan pada tanah dan kayu bangunan. Tanah fondasi dan kayu harus diinjeksi dengan termitisida. Injeksi termitisida dilakukan pada setiap lubang pengeboran dengan tekanan tinggi, sehingga dapat tersebar merata di permukaan tanah dan bersambungan dengan termitisida yang diinjeksikan pada lubang lainnya. Untuk perawatan kayu bisa hanya dengan cara disemprot, dicelup, atau direndam dengan termitisida. Jika bangunan telah terserang rayap, khusus untuk superrayap, teknologi umpan racun (bait toxicant) dapat diaplikasikan. Secara sederhana, teknik ini menggunakan sekotak kertas tisu yang telah dilumuri heksaflumuron. Bahan ini telah diteliti di IPB dan dinyatakan aman, tidak berbau,
88
ramah lingkungan, dan tidak berbahaya bagi manusia maupun hewan mamalia. Umpan itu ditempelkan pada titik-titik pusat koloni rayap. Karena bahan tisu merupakan turunan dari bahan dasar kayu, rayap pekerja akan tertarik mengerubunginya. Mereka bakal membawanya ke pusat makanan. "ketika tiba saatnya makan, racun itu akan dibagi-bagikan kepada teman-temannya dan mati semua. Racun tersebut berfungsi menghambat pembentukan kulit rayap. Jika pembentukan kulit gagal, rayap pasti mati.
Obat tersebut memang bekerja
lambat, tapi tetap efektif. Keandalan umpan rayap ini juga telah dievaluasi di Florida, Amerika Serikat, pada jenis Coptotermes formosanus dan R. flavipes kollar. Dengan dosis 4-1,5 mg, populasi rayap tanah dapat dikurangi sebesar 90% -100% dari satu koloni rayap yang berjumlah 0,17-2.8 juta ekor (Hidayat dan Wibisono 2006). Vegetasi
sangat
berperan
dalam
upaya
penghematan
energi.
Keberadaan vegetasi dapat menjadi ancaman karena faktor kelalaian manusia juga.
Vegetasi memiliki perakaran yang merupakan cerminan dari bentuk
tajuknya. Perakaran jika tidak disediakan lahan yang cukup akan mengganggu vegetasi tersebut karena mengurangi kekokohannya dan membahayakan manusia karena akan mudah tumbang.
Karena kurangnya lahan, perakaran
dapat mengganggu pondasi bangunan, sehingga berpotensi merusak struktur bangunan. Peletakan vegetasi yang kurang tepat menghalangi sinar dan angin, berakibat
terhalangnya
pencahayaan
alam
atau
gelap
dan
berpotensi
meningkatkan kelembaban ruang karena sirkulasi udara terhalang. keberadaan vegetasi berpotensi pula mengundang hama-hama tanaman.
sebagai upaya
pencegahan harus dilakukan tindakan pemeliharaan secara rutin seperti penyiangan, pemangkasan, pemupukan teratur, penyemprotan jika terserang (diusahakan dengan bahan non-kimiawi).
Orientasi. Dari analisis mengenai faktor klimatik dan lingkungan pada tapak maka penulis menghubungkannya dengan faktor orientasi tapak yang terkait pula dengan orientasi bangunan rumah tinggal di dalamnya melalui analisis diagram matahari dan angin. Faktor orientasi berpengaruh pada letak posisi bangunan secara keseluruhan dan posisi façade atau tampak muka bangunan yang akan menerima secara langsung paparan dari segi klimatik seperti sinar dan panas matahari, angin, hujan.
Orientasi terbaik menurut
literatur adalah orientasi mata-angin utara dan atau selatan. Orientasi utara-
89
selatan secara klimatik membuat façade rumah (depan-belakang)
tidak
menerima paparan sinar matahari secara langsung karena sisi bangunan yang menghadap timur-barat berdempetan dengan rumah lain, sehingga yang diterima hanya cahaya pantulan dari sinar matahari, sehingga suhu bangunan relatif lebih rendah. Posisi matahari pada bulan Maret dan September berada tepat di garis equator (titik equinox). Saat matahari berada di titik ini, maka lamanya siang dan malam akan sama yaitu masing-masing 12 jam. Titik yang dilewati matahari dalam perjalanannya dari selatan ke utara langit, terjadi pada 21-23 Maret, dinamakan
Titik
Vernal
Equinox.
Titik
yang
dilewati
matahari
dalam
perjalanannya dari utara ke selatan langit, terjadi pada 23 September, dinamakan Titik Autumnal Equinox. Posisi matahari di titik ini karakteristik yang terlihat adalah matahari akan berada persis diatas kepala (jika berada di kota yang berada di garis ekuator seperti pontianak) yaitu mendekati sudut 90º pada pukul 12.00 siang, sehingga bayangan yang dihasilkan akan kecil sekali. Pada bulan Juni posisi matahari berada di utara sekitar tanggal 22 Juni. Saat matahari berada di titik ini siang hari akan sedikit lebih pendek daripada malam harinya dan karena posisi matahari tersebut bayangan yang ditimbulkan menjadi lebih panjang cenderung condong ke selatan. Pada bulan Desember posisi matahari berada di selatan sekitar tanggal 22 Desember. Saat matahari di posisi ini siang hari akan sedikit lebih panjang di bandingkan malam harinya dan karena posisi matahari tersebut bayangan yang ditimbulkan juga menjadi lebih panjang dan arah bayangannya miring ke selatan. Perbedaan posisi matahari ini berdampak pada aspek penyinaran terhadap bangunan, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan orientasi bangunan yang terbaik karena tidak menerima penyinaran matahari secara langsung yaitu orientasi utara-selatan. Aspek lainnya adalah peletakan posisi pemblokir sinar utamanya menggunakan tanaman. Topografi.
Kasus
kota
Bogor,
merupakan
daerah
perbukitan
bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 m hingga 350 m diatas
permukaan
laut dengan
kemiringan
lereng
berkisar 0
- 2
%
(datar) seluas 1.763,94 Ha, 2 - 15 % (landai) seluas 8.091,27 Ha, 15 - 25 % (agak curam) seluas 1.109,89 Ha, 25 - 40 % (curam) seluas 764,96 Ha, dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,94 Ha (tabel 11). Menurut data diatas area
90
kota bogor yang sesuai untuk kawasan tempat tinggal (perumahan maupun permukiman) seluas 9855,21 Ha atau presentasinya sekitar 83,1 % area di kota Bogor sesuai untuk area tempat tinggal menurut peraturan SK Mentan No. 837/KPTS/Um/11/1980 dimana lahan yang ideal untuk tempat tinggal adalah lahan dengan topografi relatif datar hingga landai. Kemiringan lahan yang melebihi 15%, terbuka terhadap iklim yang keras, bahaya gempa bumi, bahaya tanah longsor, tanah yang tidak stabil, daerah berlumpur/rawa serta berbatasan dengan jalan yang hiruk pikuk, yang diantaranya dapat diatasi dengan perlakuan khusus dan diluar itu harus dihindari. Pembangunan perumahan ataupun sarana lainnya pada lahan yang miring relatif lebih sulit daripada perumahan yang terletak pada lahan yang datar. Pembangunan perumahan atau bangunan lainnya
pada lahan dengan
kemiringan lebih dari 10%, memerlukan desain bangunan yang lebih khusus dengan bentuk teras (sengkedan/bersusun) ataupun berbentuk split-level, yang dapat dikombinasikan dengan pembuatan taman, namun upaya ini akan berdampak pada bertambahnya biaya konstruksi.
Jenis tanah.
Jenis tanah yang terkait dengan media tanaman untuk
tumbuh. Hal tersebut didukung oleh struktur tanah yang berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur tanah terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar ped atau agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antar partikel primer.
Oleh karena itu tanah yang
berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan mengabsorbsi (menyerap) hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik. (berkorelasi positif dengan tingkat kesuburan) Penanaman melindungi agregat tanah dari hantaman air hujan, sehingga makin rapat tajuk tanaman akan makin baik pengaruhnya terhadap agregat tanah. Lal (1979) dalam Hanafiah (2010), mengemukakan bahwa struktur tanah mempunyai peran sebagai regulator yang: 1. Menyinambungkan arah pipa yang terbentuk dari berbagai ukuran poripori yang berinterkoneksi, stabilitas dan durabilitasnya. 2. Mengatur retensi dan pergerakan air tanah 3. Difusi gas dari dan ke atmosfer 4. Mengontrol proliferasi (pertumbuhan) akar dan perkembangannya.
91
Kemudian secara langsung atau tak langsung terkait dengan: 5. Erosi air atau angin 6. Penggenangan dan aerasi tanah 7. Stres tanaman akibat kekeringan 8. Perlindian atau kehilangan hara-hara tanaman 9. Temperatur tanah. Perkerasan (Non Bangunan) Komponen kelima adalah perkerasan (non bangunan) yang terdiri dari perkerasan (pavement) itu sendiri dan pagar dan tembok pembatas (walls and fences) sebagai bagian dari site structure. Perkerasan (non bangunan) secara harafiah sudah dapat diketahui komponen pembentuknya berupa material keras. Komponen ini memiliki potensi terhadap penyerapan panas yang berlebih jika tidak didesain dengan tepat. Konsep pemilihan komponen perkerasan dipilih agar aspek fungsionalnya tetap dapat berfungsi dengan baik dan juga konsep ramah lingkungannya juga terpenuhi. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen perkerasan selengkapnya tertuang pada tabel 17.
Tabel 17. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Perkerasan (Bobot 0,058) No
Variabel
Bobot
1
Perkerasan (pavement)
0.515
Kriteria desain untuk skor 1 2 3 Jenis perkerasan Jenis perkerasan Jenis porositas rendah porositas sedang perkerasan porositas tinggi
2
Pagar & dinding pembatas
0.485
Masif dan solid
agak rapat berongga
renggang Berongga
Perkerasan. Perkerasan telah menjadi kebutuhan manusia sebagai alas taman maupun alas jalur-jalur sirkulasi.
Banyak orang lupa saat membuat
tempat parkir mobil atau carport, teras, dan jalan setapak (stepping stone) pada pekarangan rumah tinggalnya dimana tanah tertutup rapat dengan beton bahkan aspal. jenis perkerasan tersebut merupakan jenis perkerasan yang kedap air, sehingga terjadi limpasan air yang banyak saat musim hujan karena tidak terjadi infiltrasi air ke dalam air tanah. saat ini telah banyak perkerasan yang berbentuk monolitik maupun berbentuk unit yang dapat digunakan sebagai perkerasan.
92
saat ini pada umumnya masyarakat indonesia menggunakan perkerasan berbentuk unit yang berasal dari pabrikasi dengan wujud paving block, atau grass block. Berdasarkan SNI 03-0691-1996 paving block atau Grass Block adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran portland cement atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan lainnya yang tidak mengurangi mutu paving block (BSN 1996). Sistem drainase pada konstruksi jalan paving block dibedakan menjadi dua yaitu sistem drainase permukaan (terbuka) dan sistem drainase tertutup (sub soil drainage). Pada konstruksi paving block yang sambungan di antara blocknya bersifat kedap air (sedikit mengalirkan air) maka saluran permukaan dengan sistem drainase terbuka sangat diperlukan, sedangkan sistem drainase tertutup digunakan pada konstruksi grass block yang sambungan di antara block bersifat permeable (tidak kedap air) maka air hujan akan masuk (infiltrasi) ke dalam konstruksi jalan sebanyak 30 % sampai 50 %, syarat kemiringan minimal pada penampang melintang badan jalan = 2 %, hal ini untuk memudahkan aliran air hujan di permukaan perkerasan. Tanah yang tertutup dengan interblok 4-6 dan interblok 16-6, masih mempunyai kemampuan infiltrasi cukup besar dan tidak berbeda nyata pada tanah terbuka.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian
Prasodyo dan Nurisjah (1998) bahwa Infiltrasi terbesar dijumpai pada bahan penutup tanah grassblock.
Dalam kategori perkerasan beton berperforasi
didapatkan jenis interblok 4-6 m memiliki kemampuan infiltrasi terbesar kedua, selanjutnya diikuti dengan interblok 16-6, behaton 13-6 dan zurich 12-6. Dari sisi penyerapan panas conblock merupakan jenis perkerasan yang cukup menyerap panas terlebih lagi keramik. Untuk menanggulangi hal tersebut, sebaiknya tidak membiarkan perkerasan tanpa diberikan naungan seperti naungan pohon atau didekatkan dengan elemen air (Fatimah, Arifin dan Widjaya 1998).
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan saat pemasangan
paving, yaitu pengisi celah dan fondasi di sekeliling paving. Hubungan antar paving tidak membutuhkan bahan ikat, melainkan menggunakan abu batu atau pasir. Lebar celah antar paving sebaiknya sekitar 2-4 milimeter. Ukuran celah yang terlalu lebar akan menyebabkan pasir pengisi mudah keluar (shucking) dan paving bergeser.
Idealnya pasir yang digunakan untuk mengisi celah antar
paving memiliki butiran yang tajam (lolos ayakan 2,4 mm). Kadar air maksimal
93
sekitar 5% dan kadar lumpur maksimal 10%. Hal ini bertujuan agar air mengalir di atasnya bisa meresap kedalam tanah. Disamping aspek sambungan antar paving, kekuatan paving juga dipengaruhi kondisi tanah sebagai alas peletakkannya.
Perubahan dan
pergerakan struktur tanah bisa menyebabkan paving bergeser sehingga permukaan paving tidak rata satu dengan yang lain. Diantara berbagai macam alternatif bahan penutup tanah, paving block lebih banyak memiliki variasi, baik dari segi bentuk, ukuran dan warna, corak dan tekstur permukaan, serta kekuatan.
Penggunaan paving block juga dapat divariasikan dengan jenis
paving dan bahan lainnya. Pagar dan Tembok Pembatas. Perkembangan yang semakin dinamis menempatkan pagar bukan hanya sekadar pembatas properti atau kepemilikan dan pelindung penghuni rumah untuk memberikan rasa aman dan keleluasan aktivitas penghuni karena terjaganya privasi. Lebih dari itu pagar merupakan salah satu pendukung dan pelengkap pada rumah tinggal karena turut menambah nilai artistik dan menjadi salah satu bagian dari dekorasi rumah. Penggunaan bahan, tekstur, dan warna yang tepat akan menghasilkan pagar yang sesuai dengan karakter rumah secara keseluruhan. Terdapat banyak alternatif bentuk dan jenis pagar yang dapat diaplikasikan terhadap hunian. Bahan pembuatnya juga beraneka ragam, mulai dari berbahan kayu, beton, besi, baja, batu alam hingga vegetasi dapat dijadikan pagar yang estetis dan ekologis. Syarat utama dalam pembuatan pagar, yaitu aman, kokoh dan indah. Pemilihan bentuk, model, tinggi, panjang dan lebar pagar harus disesuaikan dengan luas lahan, fungsi, proporsi dan komposisi bangunan serta lokasinya. Tinggi pagar yang baik adalah tidak lebih dari 1.20 meter dan untuk dinding pembatas tidak lebih dari 1.70 meter. Jika pagar terlalu tinggi, maka akan membuat bentuk rumah tidak terlihat atau tertutupi dan akan membuat rumah terkesan terpenjara.
Pagar rumah tinggal sebaiknya dibuat
renggang atau berongga (kesan transparan) agar sirkulasi udara ke dalam rumah tinggal tetap baik. Pagar merupakan elemen penting bagi sebuah rumah baik secara fungsional maupun estetika.
Tanaman merupakan salah satu elemen
pembentuk pagar, sehingga dapat menjadi alternatif pagar sebuah bangunan. Disamping itu tanaman memiliki fungsi yang beragam seperti menambah
94
keindahan sebuah bangunan, juga sebagai penahan atau penghalang terhadap debu, polusi dan radiasi sinar matahari. Saat ini, aspek green terhadap pagar dan tembok pembatas sudah umum diterapkan (gambar 8).
Penggunaan komponen tanaman untuk pagar dapat
menjadi salah satu langkah untuk menekan penggunaan material keras untuk fungsi pagar sekaligus berfungsi membantu ameliorasi iklim.
Menurut
Werdiningsih (2007), tanaman-tanaman yang memenuhi kriteria untuk dapat digunakan atau dikombinasikan dengan variabel pagar dan tembok pembatas (green fence), adalah sebagai berikut: 1. Tahan terhadap perubahan cuaca 2. Bersifat tahunan 3. Tidak mudah menggugurkan daun 4. Tidak disukai hewan herbivora 5. Mudah dirawat dan bukan tanaman produktif 6. Bentuk dan ukurannya proposional dengan luas pekarangan serta kondisi lingkungan Alternatif Tanaman-tanaman yang dapat digunakan sebagai green fence adalah sebagai berikut: 1. Semak dan Perdu Perdu tinggi di antaranya Teh-tehan (Duranta repens), Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis), Soka (Ixora hybrida), Kaca piring (Gardenia jasminoides), Kemuning (Muraya paniculata). Sementara tanaman perdu rendah misalnya Pacar air (Impatiens sp.), Mawar (Rosa sp.), Bayambayaman (Coleus sp.), Asparagus, Anggrek tanah (Sphatoglottis plicata). Tanaman pagar berumpun misalnya Lidah mertua (Sanseviera trifasciata), Bawang-bawang, Lili paris (Clorophytum comosum), dan Brojo lintang (Belamcanda chinensis). 2. Tanaman Rambat Jenis tanaman yang bersifat merambat sendiri, misalnya Stefanot, Passiflora, Mucuna (flama of Irian), Pseudocayma, Costus maroon, dan Thunbergia. Sementara tanaman perdu yang perlu dirambatkan, misalnya Bugenvil, Pyrostegia, dan Alamanda. 3. Bambu – Bambuan Jenis bambu hias yang dapat dijadikan pagar tanaman, di antaranya Bambu jepang (Arandinaria japonica) dan Bambu kuning.
95
4. Kaktus Beberapa jenis kaktus yang cocok ditanam sebagai tanaman pagar di antaranya Astrophytum asterias, Ferocactus herrerae, dan Acanthocalycium violaceum.
Gambar 8. Ilustrasi desain pagar hijau
Visualisasi Konsep Hemat Energi Konsep kriteria yang telah tersusun kemudian dikombinasikan menjadi skenario-skenario model konsep hemat energi.
Skenario tersebut kemudian
digunakan dalam proses visualisasi dari konsep tertulis menjadi sebuah media gambar 3 Dimensi berbantu komputer.
Dari kriteria yang disusun sehingga
muncul skenario tersebut sebenarnya memiliki ribuan peluang terjadinya skenario kombinasi model. Untuk mempermudah memahami konsep yang telah disusun ditetapkan 3 skenario model untuk divisualisasikan, yaitu: konsep skenario model hemat energi tingkat terendah, sedang dan tertinggi.
Konsep Hemat Energi Pada Tingkat Terrendah Kombinasi komponen dan variabel tanaman bernilai skor rendah masuk dalam klasifikasi klas hemat energi rendah. Hal ini disebabkan oleh tanaman sebagai komponen prioritas dalam konsep pertama ini, dengan bobot yang mendominasi tidak dapat optimum dalam penghematan energi. Secara umum, hal tersebut di duga karena kriteria tanaman yang rendah tidak dapat membantu dalam memodifikasi iklim dengan optimum.
Proteksi terhadap iklim oleh
tanaman perdu, tidak dapat menjangkau keseluruh bagian rumah tinggal, ditambah persyaratan kriteria komponen dan variabel lain pun rendah rendah.
96
Dari intensitas tutupan lahan, dapat terlihat dari layout model rumah tinggal yang dipersempit luasan lahannya dari 120 m 2 menjadi ± 80 m 2 guna mendapatkan model dengan intensitas tutupan lahan KDB:KDH, 60:40. Dengan perbandingan atau aturan mengenai intensitas tutupan lahan yang umum di Indonesia dari Gambar 9, pada layout rumah tinggal hanya tersisa sedikit ruang terbuka.
Keterbatasan lahan tersebut menyebabkan kemungkinan peletakan
tanaman utamanya pohon pelindung yang sesuai kriteria ideal tidak dapat tertampung. Dengan luasan tersebut tanaman yang dapat tertampung adalah tanaman perdu beserta strata tanaman lebih rendah. Pada model ini, tidak terdapat komponen air (water features) yang dapat digunakan sebagai stabilitator suhu. Dari segi orientasi bangunan, model rumah tinggal ini façade utamanya menghadap barat. Dari penjelasan sebelumnya dan hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa ruang yang menghadap kearah Barat mendapatkan suhu ruang yang tertinggi. Hal tersebut dikarenakan rumah dengan orientasi Barat mendapat paparan langsung selama ± tiga jam setelah tengah hari dan mengalami panas sinar matahari puncak ± pukul 14.00 WIB.
Jadi radiasi panas matahari dan suhu berakumulasi melalui proses
konduksi dan konveksi ke dalam bangunan.
Untuk menanggulangi masalah
tersebut seharusnya ada elemen penahan (barier) dalam hal ini tanaman dengan kriteria yang memadai. Pada model pertama, tanaman yang digunakan adalah tanaman perdu yang diilustrasikan dengan Kembang merak (Caesalpinia pulcherrima) yang dapat dilihat pada Gambar 10. Tanaman perdu dinilai masih belum dapat menangkal radiasi matahari dengan optimum untuk tujuan ameliorasi iklim. Dari segi pembayangan matahari, tanaman perdu tidak dapat membayangi façade rumah secara keseluruhan, sehingga sinar matahari masih dapat mengenai bangunan. Hal tersebut diperkuat oleh Sitawati (1994) yang menyatakan bahwa tanaman dengan strata yang lebih rendah dari pada pohon, dalam hal ini tanaman semak yang diletakkan didekat dinding sebelah barat kurang optimal menurunkan suhu bila tanpa penanaman pohon yang dapat menurunkan suhu hingga 3,14 ºC. Sistem utilitas terbatas pada pemodelan grafis ini terkait dengan perilaku bijak terhadap pengelolaan sumberdaya pada tapak seperti air bersih, limbah rumah tangga dan sampah dimodelkan secara minimum. Ilustrasinya terdapat pada Gambar 10, dimana perilaku ramah lingkungan dilustrasikan dengan menggunakan pemilahan sampah dan menggunakan septicktank vietnam.
97
Komponen desain taman dan rumah tinggal lain yang kurang mendukung adalah komponen bangunan. Variabel utama dari komponen bangunan, yaitu bukaan dari model ini relatif kecil, dinding serta penutup atap dengan kriteria desain yang rendah salah satunya dari segi warna yang gelap menjadi potensi penyerapan panas kedalam bangunan (Gambar 11). Terdapat kriteria yang tidak tampak dari model isometri yang tersaji pada Gambar 11, yaitu aspek insulasi atap bangunan, karena aspek tersebut signifikan terhadap meredam panas ke dalam ruang. Pada model rumah tinggal ini, di ilustrasikan tidak menggunakan insulasi atap dan tanpa plafon, yang dapat dilihat pada Gambar 12 berupa gambar aksonometri 3D. Komponen perkerasan (non bangunan), dalam ilustrasi gambar 11 dapat terlihat variabel perkerasan (pavement) yang menggunakan material perkerasan interblok 16-6. Pada bagian site structure, dilustrasikan menggunakan desain pagar yang masif.
Konsep Hemat Energi Pada Tingkat Sedang Kombinasi komponen dan variabel tanaman bernilai skor sedang masuk dalam klasifikasi klas hemat energi sedang.
Secara umum, diduga kriteria
tanaman berskor 2 (sedang) dan kriteria komponen dan variabel lain, dinilai cukup dapat membantu dalam memodifikasi iklim. Dari intensitas tutupan lahan, dapat terlihat dari layout model rumah tinggal yang dipersempit luasan lahannya dari 120 m 2 menjadi ± 96 m2 guna mendapatkan model dengan intensitas tutupan lahan KDB:KDH, 50:50. Gambar 9, pada layout rumah terdapat sedikit ruang terbuka.
Dari
Keterbatasan
lahan tersebut menyebabkan kemungkinan peletakan tanaman utamanya pohon pelindung yang sesuai kriteria ideal masih belum dapat tertampung. Dengan luasan tersebut tanaman yang dapat tertampung adalah tanaman pohon kecil beserta strata tanaman lain yang lebih rendah. Pada model ini, sudah terdapat komponen air (water features) yang dapat digunakan sebagai stabilitator suhu yang diilustrasikan dengan variabel air statis (kolam). Dari segi orientasi bangunan, model rumah tinggal ini façade utamanya menghadap Timur.
Dari penjelasan sebelumnya dan hasil-hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa ruang yang menghadap kearah Timur masih mendapatkan suhu ruang yang cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan rumah dengan orientasi Timur mendapat paparan langsung
radiasi matahari pada
98
waktu menjelang terik hingga sebelum tengah hari dan mengalami panas sinar matahari puncak ± pukul 11.00 WIB. Jadi radiasi panas matahari dan suhu berakumulasi melalui proses konduksi dan konveksi ke dalam bangunan. Untuk menanggulangi masalah tersebut seharusnya ada elemen penahan (barier) dalam hal ini tanaman dengan kriteria yang memadai. Pada model kedua ini, tanaman yang digunakan adalah tanaman pohon kecil yang diilustrasikan dengan Pohon Sirsak (Annona muricata) yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Tanaman pohon kecil dinilai sudah mulai dapat
menangkal radiasi matahari dengan optimum untuk tujuan ameliorasi iklim. Tanaman yang digunakan merupakan jenis kategori tanaman pohon kecil dengan jumlah tanaman dua buah dengan peletakan pada halaman depan dan belakang sesuai dengan orientasi bangunan rumah tinggal model, yaitu orientasi timur-barat. Maka, dengan dimensi fisik dan kondisi kerapatan tajuk yang dimilikinya tanaman kategori pohon kecil tersebut sudah dapat melindungi bagian façade (tampak) rumah tinggal yang terpapar langsung oleh sinar matahari. Reed (2010) menyatakan, sebuah pohon setinggi 6 m akan membuat bayangan dengan panjang sekitar 9 m. Jika pohon tersebut tumbuh ± 6 m dari rumah, bayangannya sepanjang
9 m akan menyentuh dinding luar sebuah rumah
berlantai satu. Sistem utilitas terbatas pada pemodelan grafis ini terkait dengan perilaku bijak terhadap pengelolaan sumberdaya pada tapak seperti air bersih, limbah rumah tangga dan sampah dimodelkan secara parsial.
Ilustrasinya terdapat
pada Gambar 10, dimana perilaku ramah lingkungan dilustrasikan dengan menggunakan pemilahan sampah, pengolahan sampah secara sederhana sekaligus konservasi air tanah menggunakan lubang resapan biopori, upaya konservasi air hujan menggunakan rain barrel , bijak mengelola greywater dan menggunakan teknologi pengolahan air tinja ramah lingkungan, salah satunya septicktank vietnam. Komponen desain taman dan rumah tinggal lain yang sudah relatif mendukung terhadap tujuan penghematan energi adalah komponen bangunan. Variabel utama dari komponen bangunan, yaitu bukaan dari model ini sudah lebih lebar menggunakan prasyarat kenyamanan, dinding serta penutup atap dengan kriteria desain yang sedang salah satunya dari segi warna yang agak gelap masih menjadi potensi penyerapan panas ke dalam bangunan (Gambar 11). Terdapat kriteria yang tidak tampak dari model isometri yang tersaji pada
99
Gambar 11, yaitu aspek insulasi atap bangunan dan plafon, karena aspek tersebut signifikan terhadap meredam panas ke dalam ruang.
Pada model
rumah tinggal ini, di ilustrasikan sudah menggunakan insulasi atap dan plafon, yang dapat dilihat pada Gambar 12 berupa gambar aksonometri 3D. Komponen perkerasan (non bangunan), dalam ilustrasi Gambar 11 dapat terlihat variabel perkerasan (pavement) yang menggunakan material perkerasan interblok 4-6.
Pada bagian site structure, dilustrasikan menggunakan desain
pagar yang relatif renggang berongga.
Konsep Hemat Energi Pada Tingkat Tertinggi Kombinasi komponen dan variabel tanaman bernilai skor tinggi masuk dalam klasifikasi klas hemat energi tinggi. Secara umum, diduga komponen tanaman sebagai komponen prioritas dengan bobot yang mendominasi dan nilai kriteria komponen lain yang bernilai optimum, menyebabkan pencapaian penghematan energi yang maksimum. Komponen tapak, dari intensitas tutupan lahan, dapat terlihat dari layout model rumah tinggal dengan luasan lahannya dari 120 m 2 guna mendapatkan model dengan intensitas tutupan lahan KDB:KDH, 40:60. Dari Gambar 9, pada layout rumah terdapat ruang terbuka yang cukup luas.
Dari kategori
perbandingan intensitas tutupan lahan, proporsi tersebut masuk dalam kategori rumah renggang.
Ruang terbuka yang cukup luas untuk penghijauan
memungkinkan peletakan tanaman utamanya pohon pelindung yang sesuai kriteria ideal. Dengan luasan tersebut tanaman yang dapat tertampung adalah tanaman pohon sedang dan dapat dilengkapi dengan strata tanaman lain yang lebih rendah. Pada model ini, sudah terdapat komponen air (water features) yang dapat digunakan sebagai stabilitator suhu yang dilustrasikan dengan variabel air mancur (jets).
Dari segi orientasi bangunan, model rumah tinggal ini façade
utamanya menghadap Selatan.
Dari penjelasan sebelumnya dan hasil-hasil
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa ruang yang menghadap kearah Selatan mendapatkan suhu ruang yang paling rendah. Hal tersebut dikarenakan rumah dengan orientasi Selatan tidak mendapat paparan langsung matahari, namun hanya mendapat cahaya atau terang langitnya.
radiasi
Bangunan
rumah tinggal akan terpapar radiasi matahari langsung pada tengah hari, walaupun semua orientasi juga merasakannya.
Walaupun tidak terpapar
100
langsung oleh sinar matahari, keberadaan komponen tanaman untuk membentuk ameliorasi iklim tetap diperlukan.
Hal tersebut dikarenakan suhu yang relatif
tinggi tetap dapat merambat melalui konduksi dan konveksi ke dalam bangunan. Mekanisme evapotranspirasi oleh pohon membuat suhu menjadi lebih rendah dan nyaman. Reed (2010) menyatakan, pohon setinggi 12 m yang tumbuh 6 m dari rumah akan meneduhkan seluruh permukaan tinggi dinding rumah. Dua atau tiga pohon yang tumbuh bersama-sama dapat menaungi sebagian besar lebar dinding rumah tinggal. Pada model kedua ini, tanaman yang digunakan adalah tanaman pohon sedang yang diilustrasikan dengan pohon Tanjung (Mimusops elengi) yang dapat dilihat pada Gambar 10. Sistem utilitas terbatas pada pemodelan grafis ini terkait dengan perilaku bijak terhadap pengelolaan sumberdaya pada tapak seperti air bersih, limbah rumah tangga dan sampah dimodelkan secara lebih lengkap.
Ilustrasinya
terdapat pada Gambar 10, dimana perilaku ramah lingkungan dilustrasikan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Menerapkan konsep reduce, reuse, recycle : a. Pemilahan sampah organik dan anorganik b. Sampah anorganik dapat digunakan kembali (reuse). c. Sampah organik diolah menjadi pupuk (recycling), Menggunakan teknologi lubang resapan biopori. 4. Menampung air hujan---rain barrel 5. Air hujan dikembalikan ke tanah --- sumur resapan 6. Grey water disalurkan lewat selokan terbuka 7. Blackwater menggunakan septicktank vietnam Komponen desain taman dan rumah tinggal lain yang dinilai sudah mendukung terhadap penghematan energi adalah komponen bangunan. Variabel utama dari komponen bangunan, yaitu bukaan dari model ini sudah lebar, yaitu dengan menggunakan prasyarat dimensi untuk pendinginan (cooling ventilation), dinding serta penutup atap dengan kriteria desain tinggi salah satunya dari segi warna terang relatif memantulkan panas (Gambar 11). Terdapat kriteria yang tidak tampak dari model isometri yang tersaji pada Gambar 11, yaitu aspek insulasi atap bangunan dan plafon, karena aspek tersebut signifikan terhadap meredam panas ke dalam ruang.
Pada model
rumah tinggal ini, di ilustrasikan sudah menggunakan insulasi atap dan plafon, yang dapat dilihat pada Gambar 12 berupa gambar aksonometri 3D.
101
Komponen perkerasan (non bangunan), dalam ilustrasi Gambar 11 dapat terlihat variabel perkerasan (pavement) yang menggunakan material perkerasan grassblock yang masih memungkinkan rumput hidup untuk mengelimir panas yang ditimbulkan oleh perkerasan dan memungkinkan infiltrasi air tanah tetap berlangsung baik. Pada bagian site structure, dilustrasikan menggunakan desain pagar yang renggang berongga. Konsep hemat energi pada pemodelan grafis yang ketiga ini serupa dengan hasil temuan Parker (1983), yang menyatakan penghematan konsumsi energi akan lebih optimum hingga 50% untuk pendinginan pada tipe rumah tinggal yang lebih dilengkapi dengan insulasi pada plafon, lantai dan temboknya dan dinaungi oleh konsep desain lanskap yang presisi (precision landscaping).
102
Gambar 9. Visualisasi desain konsep taman dan rumah hemat energi (2D)
103
Gambar 10. Konsep eksterior taman dan rumah tinggal hemat energi
104
Gambar 11. Model isometri taman dan rumah tinggal hemat energi
105
Gambar 12. Model aksonometri taman dan rumah tinggal hemat energi
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Aspek penting pada desain taman dan rumah tinggal hemat energi adalah aspek site design (67%) dan aspek building design (33%). Aspek site design dan building design yang terintegratif dalam konsep hijau dapat menciptakan arsitektur hemat energi pada rumah tinggal berbasis lahan. 2. Komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi dengan strategi desain pasif meliputi lima komponen utama, yaitu tanaman, air (water features), bangunan, tapak, dan perkerasan (nonbangunan). 3. Konsep desain hemat energi pada taman dan rumah tinggal dapat dicapai utamanya melalui adanya pohon pelindung yang berorientasi untuk ameliorasi iklim mikro, bangunan rumah tinggal dan tapak yang mampu mendukung prinsip desain hijau (reduce, reuse, recycle, dan optimalisasi sumber daya alami dan nonalami), minimalisasi penggunaan material keras yang berpotensi menyerap panas, dan adanya elemen air dinamis. 4. Daur hidup (life cycle) komponen-komponen taman dan rumah tinggal hemat energi harus memenuhi prinsip keberkelanjutan.
Saran Berdasarkan simpulan diatas dan terkait dari beberapa aspek terkait penelitian ini masih memerlukan kajian lebih lanjut. Beberapa catatan penting menjadi saran atau rekomendasi adalah sebagai berikut: 1. mengubah kembali pola pikir kita dari building oriented ke arah site oriented (eksterior-lanskap); 2. perlunya uji efektifitas berkaitan dengan kriteria yang disusun secara kuantitatif pada objek penelitian yang sesungguhnya; 3. taman dan rumah tinggal tidak dapat dipisahkan dengan estetikanya sehingga diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengkaji aspek estetika dari taman dan rumah tinggal hemat energi agar dapat lebih diterima oleh konsumen; 4. perlunya penelitian lanjutan pada skala yang lebih besar, yaitu mencakup tingkat town house, kluster, perumahan hingga tingkat pemukiman;
107
5. perlunya penelitian lanjutan mengenai topik serupa sebagai pelengkap prototipe desain taman dan rumah tinggal hemat energi untuk wilayah tropis basah “tanah-air” Indonesia secara lengkap yang mewakili wilayah pesisir dan pedalaman, wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur yang lebih visioner (non landed house) dan aplikatif; 6. perlunya penelitian lanjutan mengenai topik serupa pada arsitektur lanskap vernakular indonesia; 7. perlunya standarisasi disertai regulasi mengenai penerapan taman dan rumah tinggal sederhana hemat energi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009a. Letak geografis kota Bogor. [terhubung berkala]. http://kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=111 8&Itemid=148 [22 Apr 2009]. _______. 2009b. 100 Desain tritisan beton hemat energi. [terhubung berkala]. http://www.docstoc.com/docs/20720477/100-ALTERNATIF-DESAINTRITISAN-BETON-HEMAT-ENERGI. [25 Apr 2010]. Alamendah. 2010. Tanaman penyerap karbondioksida. [terhubung berkala]. http://alamendah.wordpress.com/2010/09/01/tanaman-penyerapkarbondioksida/ [7 Mei 2011]. [Anonim]. 2010a. Menentukan Tinggi Plafon. [terhubung berkala]. http://www.ciputraentrepreneurship.com/bisnis/properti/152-tips-desain/5366-menentukan-tinggi-plafon.html [13 Des 2010]. ________. 2010b. Sederhana tapi manusiawi. bataviase.co.id/node/95666 [18 Mei 2010].
[terhubung
berkala].
________. 2010c. Rencana mudah, penerapan susah. [terhubung berkala]. www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=52139 [17 Mar 2011]. Booth NK. 1983. Basic Elements of Landscape Architectural Design. Illinois: Waveland Press, Inc. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Prakiraan cuaca dan angin indonesia. [terhubung berkala]. http://meteo.bmkg.go.id/ [11 Apr 2011]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. SNI 03-0691-1996: Bata beton (paving block). Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 03 - 6196 - 2000: Prosedur Audit Energi pada Bangunan Gedung. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 03-1733-2004: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Jakarta: BSN. Conran T. 2009. Eco House Book. London: Conran Octopus Ltd. Downing MF. 1979. Landscape Construction. London: E. & F.N. Spon. [EECCHI] Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia. 2011. Energy Calculator. [terhubung berkala]. http://apps.csc.ui.ac.id /danida/energycalculator/calculator. [27 Mar 2011]. Elyza R, Hulaiyah Y, Salim N, Iswarayoga N. 2005. Buku Panduan Efisiensi Energi di Hotel. [terhubung berkala]. www.pelangi.or.id [12 Mei 2011].
109
Fatimah IS, Arifin HS, Widjaya E. 1999. Kajian tiga jenis material plaza (rumput, konblok dan keramik) terhadap kenyamanan pengunjung. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia. 2(2):40-44. Fatimah IS. 2004. Studi Potensi dan Manfaat Badan Air dalam Mengatasi Problema Panas Lingkungan di Wilayah Perkotaan [thesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Federer CA. 1976. Trees modify the urban microclimate. Journal of Arboriculture. 2(7): 121-127. Frick H, Mulyani TH. 2006, Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hanafiah KA. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Cet ke-4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Heisler GM. 1986. Energy savings with trees. Journal of Arboriculture. 12(5): 113125. Hidayat S. 2005. Kajian tentang atap dan implikasinya terhadap keadaan termal rumah sederhana pada iklim panas lembab malaysia. BULLETIN Penelitian (8): 1-7. [terhubung berkala]. research.mercubuana.ac.id/.../KAJIAN-TENTANG-ATAP-DANIMPLIKASINYA-TERHADAP-KEADAAN-TERMAL-RUMAH.pdf. [13 Des 2010]. Hidayat N, Wibisono A. 2006. Super-Rayap Gerogoti Istana Negara. [terhubung berkala]. wap.gatra.com/2006-04-21/artikel.php?id=93859. [26 Jan 2011]. Hill WF. 1995. Landscape Handbook for The Tropics. Suffolk: Garden Art Press. Karyono TH. 2010. Green architecture: Pengantar pemahaman arsitektur hijau di Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers. [KEMENLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Emisi gas rumah kaca dalam angka. [terhubung berkala]. http://www.menlh.go.id/Publikasi/Buku/ Lain-lain/Emisi GRK.pdf [29 Jul 2011]. [KEMENPERA] Kementrian Perumahan Rakyat. 2008. PERMENPERA No.11/ PERMEN/ M/ 2008: Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman. Jakarta: KEMENPERA. [KEMENPU] Kementrian Pekerjaan Umum. 2006. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman. Jakarta: KEMENPU. [KEMENPU] Kementrian Pekerjaan Umum. 2008. PERMEN PU No.5/PRT/M/2008: Bab II. Penyediaan RTH Di Kawasan Perkotaan. Jakarta: KEMENPU. [KEMENTAN] Kementrian Pertanian. 1980. Klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Mentan No. 837/KPTS /Um/11/1980. Jakarta: KEMENTAN.
110
Kibert CJ. 2008. Sustainable Construction: Green Building Design and Delivery. Ed ke-2. Canada: John Wiley and Sons. Laurens JM, Hendrayani ED. 2002. Air sebagai subyek dalam desain arsitektur kasus telaah: Istana Alhambra, Granada. Dimensi Teknik Arsitektur. 30 (2): 102 – 109. Laurie M. 1986. An Introduction to Landscape Architecture. Depart. Of Landscape Architecture, University of California, Barkeley. Lippsmeier G. 1994. Bangunan Tropis. Ed ke-2. Nasution S, penerjemah; Indarto PW, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Tropenbau Building in the tropics. Loekita S. 2006. Analisis konservasi energi melalui selubung bangunan. Civil Engineering Dimension. 8(2): 93–98. Mangunwijaya YB. 2000. Pengantar Fisika Bangunan. Cet ke-6. Jakarta: Penerbit Djambatan. Mariana S. 2008. Penggunaan Perkerasan yang Berfungsi Ekologis pada Taman Kota Studi Kasus: Taman Menteng dan Taman Honda-Galunggung [skripsi]. Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Marimin 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Mediastika CE. 2002. Desain jendela bangunan domestik untuk mencapai “cooling ventilation” kasus uji: rumah sederhana luas 45 m2 di Yogyakarta. Dimensi Teknik Arsitektur. 30(1): 77 – 84. Mintorogo DS. 1999. Peran sains bangunan dan sains lingkungan terhadap bentuk arsitektur. Dimensi Teknik Arsitektur. 27(2): 57 – 64. Noerwasito VT, Santosa M. 2006. Pengaruh “thermal properties” material bata merah dan batako sebagai dinding, terhadap efisien enerji dalam ruang di Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur. 34(2): 147 – 153. Parker JH. 1983. Landscaping to reduce the energy used in cooling buildings. Journal of Forestry. 82-84,105. Pranoto M. 2008. Multilevel urban green area : solusi terhadap global warming dan high energy building. Jurnal Rekayasa Perencanaan. 4(3):1-15. Prasodyo I, Nurisjah S. 1998. Pengaruh penggunaan tiga jenis penutup tanah terhadap infiltrasi dan limpasan permukaan. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia. 1(3) :780-81. Prianto E. 2007. Rumah tropis hemat energi bentuk kepedulian global warming. Riptek 1(1): 1-10. [terhubung berkala]. bappeda.semarang.go.id/... /Rumah_Tropis_Hemat_Energi-PRIANTO.pdf [28 Feb 2011].
111
Priatman J. 2002. ”Energy-efficient architecture” paradigma dan manifestasi Arsitektur Hijau. Dimensi Teknik Arsitektur. 30(2): 167 – 175. Reed S. 2010. Energy-Wise Landscape Design. Canada: New Society Publishers. Robinette GO. 1983. Landscape Planning for Energy Conservation. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Rohman AS. 2009. Pohon: penyerap CO2 pencemar, penghasil oksigen dan penyimpan karbon [terhubung berkala]. http://unpak.ac.id/72/detil/content/ /POHON-:-PENYERA....NCEMAR,-PENGHASIL-OKSIGEN-DANPENYIMPAN-KARBON.html [22 Mar 2011]. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Savitri. 2010. Jumlah, posisi lampu & daya listrik yang dibutuhkan. Rek. PLN [terhubung berkala]. http://anisavitri.wordpress.com. [26 Mar 2011]. Silalahi MI. 2008. Analisis Pemanfaatan Air Mancur Taman Kota di Daerah Padat Lalu-Lintas terhadap Konsentrasi Polutan Udara akibat Kendaraan Bermotor di Medan Tahun 2008 [thesis]. Medan: Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Sitawati. 1994. Kajian Tanaman Semak sebagai Elemen Lansekap dalam Pengaturan Suhu Ruang [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Surjokusumo S. 2006. Bunga Rampai Jejak Langkah Pengabdian. Perkembangan Faktor Perusak Bangunan, Pengendalian dan Keterandalan Bangunan: State Of The Art Hama Rayap pada Bangunan Gedung di Indonesia. Ed. ke-1. Bogor: Departemen Hasil Hutan IPB Bogor. Dicetak di CV Inti Deraya Bogor. Suryatmojo H, Soedjoko SA. 2008. Pemilihan vegetasi untuk pengendalian longsor lahan. Jurnal Kebencanaan Indonesia 1 (5): 374-382. Tauhid. 2008. Kajian Jarak Jangkau Efek Vegetasi Pohon terhadap Suhu Udara pada Siang Hari di Perkotaan (Studi Kasus: Kawasan Simpang Lima Kota Semarang) [thesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Werdiningsih H. 2007. Kajian penggunaan tanaman sebagai alternatif pagar rumah. Enclosure. 6(1): 32-39. Widjayanti. 2007. Profil konsumsi energi listrik pada hunian rumah tinggal: studi kasus rumah desain minimalis ditinjau dari aspek pencahayaan buatan. Enclosure. 6(2): 97-106.
112
Yeang K. 2006. Ecodesign: A Manual for Ecological Design. London: Wiley Academy. Yuuwono AB. 2007. Pengaruh Orientasi Bangunan terhadap Kemampuan Menahan Panas pada Rumah Tinggal di Perumahan Wonorejo Surakarta [thesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
LAMPIRAN
114
Lampiran 1. Format Kuesioner Analytical Hierarchy Process
KUESIONER AHP
KAJIAN KONSEP DESAIN TAMAN DAN RUMAH TINGGAL HEMAT ENERGI IDENTITAS PAKAR Nama
:
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
:
Tingkat Pendidikan
: S1
Bidang Keahlian
:
Instansi/Perusahaan
:
Pekerjaan/Jabatan
:
Alamat
:
Tanggal Wawancara
:
Paraf
:
Perempuan
S2
Oleh : PRIMA KURNIAWATY
Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr.Sc Prof.(Em) Surjono Surjokusumo, MSF.PhD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
S3
115
Lembar kuesioner 2/13
Lampiran 1. Lanjutan
PERTANYAAN KUESIONER PERBANDINGAN BERPASANGAN (PAIRWISE COMPARISON) Berikut
merupakan
pertanyaan
prioritas
dengan
menggunakan
metode
perbandingan berpasangan. Penilaian sesuai dengan tingkat kepentingan (skor) antara masing-masing kriteria maupun sub-kriteria. Kriteria yang berada di kolom sebelah kiri dibandingkan dengan kriteria yang berada di kolom sebelah kanan. Penilaian kriteria tersebut menggunakan skala penilaian kriteria Saaty berkaitan dengan “goal” atau tujuan yang ingin dicapai, yakni Kajian Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi.
PETUNJUK PENGISIAN Berilah tanda contreng atau checklist (√) pada kolom skala kriteria (A) atau pada kolom skala kriteria (B) yang sesuai dengan pendapat anda menggunakan angka pembanding pada perbandingan berpasangan dari skala 1 sampai 9. Definisi Skala kriteria menurut Thomas L Saaty: 1 :
Kedua kriteria sama penting (equal importance)
3 :
Kriteria (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding dengan kriteria (B)
5 :
Kriteria (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan kriteria (B)
7 :
Kriteria (A) sangat lebih penting (very strong importance) dibanding dengan kriteria (B)
9 :
Kriteria (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding dengan kriteria (B)
Dan jika ragu-ragu antara 2 skala maka ambil nilai tengahnya, misalkan anda ragu-ragu antara 3 dan 5 maka pilih skala 4 dan seterusnya.
116
Lembar kuesioner 3/13
Lampiran 1. Lanjutan CONTOH PERTANYAAN: Dalam desain hemat energi, seberapa pentingkah:
No .
Kriteria (A)
1.
Soft Materi al
Skala (Diisi jika kriteria kolom di sebelah kiri lebih penting dibanding kriteria kolom di sebelah kanan) 9
8
7
6
5
4
3
2
Diisi bila skor kriteria sama pentin g 1
Skala (Diisi jika kriteria kolom di sebelah kanan lebih penting dibanding kriteria kolom di sebelah kiri) 2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9 Hard Materi al
Jika anda memberi tanda (√) pada skala 7 dikolom A, maka artinya adalah kriteria A dalam contoh ini elemen soft material sangat lebih penting dibanding dengan kriteria B dalam contoh ini elemen hard material. Akan tetapi jika anda merasa kriteria B hard material sangat lebih penting dibanding dengan kriteria A soft material maka pengisian kolomnya adalah sebagi berikut:
No .
Kriteria (A)
1.
Soft Materi al
Skala (Diisi jika kriteria kolom di sebelah kiri lebih penting dibanding kriteria kolom di sebelah kanan) 9
8
7
6
5
4
3
2
Diisi bila skor kriteria sama pentin g 1
Skala (Diisi jika kriteria kolom di sebelah kanan lebih penting dibanding kriteria kolom di sebelah kiri) 2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9 Hard Materi al
117
Lembar kuesioner 4/13
Lampiran 1. Lanjutan DAFTAR PERTANYAAN
1. Dalam komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi, seberapa pentingkah: Skala
Skala
No.
Kriteria (A)
1.
Tapak
Tanaman
2.
Tapak
Air
3.
Tapak
4.
Tapak
No.
Kriteria (A)
1.
Tanaman
2.
Tanaman
3.
Tanaman
No.
Kriteria (A)
1.
Air
2.
Air
No.
Kriteria (A)
1.
(Non bangunan)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B)
(Non bangunan) Perkerasan Bangunan
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Air (Non bangunan) Perkerasan Bangunan
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) (Non bangunan) Perkerasan Bangunan
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
Kriteria
6
7
8
9
(B) Bangunan
Perkerasan
2. Dalam hal kriteria komponen tapak, seberapa pentingkah variabel-variabel lanskap hemat energi di bawah ini: No.
Skala
Kriteria (A)
9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Intensitas Tutupan
1.
Orientasi
2.
Orientasi
Topografi
3.
Orientasi
Jenis tanah
4.
Orientasi
5.
Orientasi
Lahan
Bebas
gangguan
geo-biologis Sistem utilitas
118
Lembar kuesioner 5/13
Lampiran 1. Lanjutan
No.
Kriteria (A)
1.
Intensitas Tutupan Lahan Intensitas Tutupan Lahan Intensitas Tutupan Lahan Intensitas Tutupan Lahan
2.
3.
4
No.
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
3.
Topografi
8
7
7
8
9
Kriteria (B)
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Jenis tanah Bebas gangguan geo-biologis Sistem utilitas
Skala
Kriteria (A)
6
Bebas gangguan geobiologis Sistem utilitas
Skala
Topografi
5
Jenis tanah
9
2.
2.
7
Topografi
(A) Topografi
1.
8
Kriteria
1.
No.
Skala 9
9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9
Jenis tanah Jenis tanah
Bebas gangguan geo-biologis Sistem utilitas
No.
Kriteria (A)
1.
Bebas
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
Kriteria 7
8
gangguan
9
(B) Sistem
geo-biologis
utilitas
3. Dalam hal kriteria komponen tanaman, seberapa pentingkah variabelvariabel lanskap hemat energi di bawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Jenis tanaman Jenis tanaman Jenis tanaman Jenis tanaman
2. 3. 4.
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Tata letak tanaman Jumlah Jarak dari bangunan Kerapatan tajuk
119
Lembar kuesioner 6/13
Lampiran 1. Lanjutan
No.
Kriteria (A)
1.
Tata letak tanaman Tata letak tanaman Tata letak tanaman
2. 3.
No.
Kriteria (A)
1.
Jumlah
2.
Jumlah
No.
Kriteria (A)
1.
Jarak bangunan
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9
Jumlah Jarak dari bangunan Kerapatan tajuk
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9
Jarak dari bangunan Kerapatan tajuk Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
dari
Kriteria (B) Kerapatan tajuk
4. Dalam hal kriteria komponen air, seberapa pentingkah variabel-variabel lanskap hemat energi di bawah ini: No.
Kriteria (A)
1. 2. 3.
Air Statis Air statis Air statis
No.
Kriteria (A)
1. 2.
Air mancur Air mancur
No.
Kriteria (A)
1.
Air terjun
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Air mancur Air terjun Air mengalir
Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
Kriteria (B)
9
Air terjun Air mengalir Skala 9
8
7
6
Skala
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Air mengalir
5. Dalam hal kriteria komponen non bangunan atau perkerasan, seberapa pentingkah variabel-variabel lanskap hemat energi di bawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Perkerasan
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Pagar & Dinding pembatas
120
Lembar kuesioner 7/13
Lampiran 1. Lanjutan
6. Dalam hal kriteria komponen bangunan, seberapa pentingkah variabelvariabel lanskap hemat energi di bawah ini: No . 1.
2.
3.
4.
5.
6.
No.
Skala
Kriteria (A)
9
8
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bentuk & konfigurasi ruang Bentuk & konfigurasi ruang Bentuk &konfigura si ruang Bentuk & konfigurasi ruang Bentuk & konfigurasi ruang Bentuk & konfigurasi ruang
Tritisan/Overhang
Atap
Dinding
Lantai Mekanikal&Elektrik al
Skala
Kriteria (A)
9
8
Bukaan Bukaan Bukaan Bukaan Bukaan
No.
Kriteria (A)
1. 2. 3. 4.
Tritisan/Overhang Tritisan/Overhang Tritisan/Overhang Tritisan/Overhang
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Tritisan/Overhang Atap Dinding Lantai Mekanikal&Elektrikal
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
Skala 9
8
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Atap Dinding Lantai Mekanikal &Elektrikall
Kriteria (A)
Kriteria (B)
Bukaan
1. 2. 3. 4. 5.
No.
7
Skala
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B)
1.
Atap
Dinding
2.
Atap
Lantai
3.
Atap
Mekanikal&Elektrikal
No.
Skala
Kriteria (A)
9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B)
1.
Dinding
Lantai
2.
Dinding
Mekanikal&Elektrikal
121
Lembar kuesioner 8/13
Lampiran 1. Lanjutan
No. 1.
Skala
Kriteria (A)
9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lantai
Kriteria (B) Mekanikal&Elektrikal
7. Dalam hal kriteria variabel orientasi, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi di bawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
8. Dalam hal kriteria variabel intensitas tutupan lahan, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
9. Dalam hal kriteria variabel topografi, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
10. Dalam hal kriteria variabel jenis tanah, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
11. Dalam hal kriteria variabel terbebas dari gangguan geo-biologis, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
122
Lembar kuesioner 9/13
Lampiran 1. Lanjutan
12. Dalam hal kriteria variabel sistem utilitas, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
13. Dalam hal kriteria variabel jenis tanaman, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
14. Dalam
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
hal kriteria
variabel
tata
letak
tanaman, seberapa
besar
pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
15. Dalam hal kriteria variabel jumlah tanaman, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
16. Dalam hal kriteria variabel jarak tanaman terhadap bangunan, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
123
Lembar kuesioner 10/13
Lampiran 1. Lanjutan
17. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan air statis (static water), seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
18. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan air air mancur (jets), seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
19. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan air terjun (falling water), seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
20. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan air mengalir (flowing water) , seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
21. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan perkerasan di halaman atau taman rumah, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
124
Lembar kuesioner 11/13
Lampiran 1. Lanjutan
22. Dalam hal kriteria variabel desain atau keberadaan pagar dan dinding pembatas rumah, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
23. Dalam hal kriteria variabel bentuk dan konfigurasi ruang bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
24. Dalam hal kriteria variabel bukaan bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
25. Dalam hal kriteria variabel tritisan atau overhang bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
26. Dalam hal kriteria variabel atap bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
125
Lembar kuesioner 12/13
Lampiran 1. Lanjutan
27. Dalam hal kriteria variabel dinding bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
28. Dalam hal kriteria variabel lantai bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
29. Dalam hal kriteria variabel mekanikal dan elektrikal dalam bangunan rumah tinggal, seberapa besar pengaruhnya terhadap alternatif desain hemat energi dibawah ini: No.
Kriteria (A)
1.
Site design
Skala 9
8
7
6
5
Skala 4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kriteria (B) Building design
126
Lembar kuesioner 13/13
Lampiran 1. Lanjutan PERTANYAAN TERBUKA
1. Menurut pakar, apakah masih adakah kriteria atau komponen penting yang belum tercakup dalam hirarki diatas? (Ya / Tidak ). Jika Ya, kriteria atau komponen penting apa saja? ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................ ................................................................................................................................. .................................................................................................................................
~ Terima Kasih ~
127
Lampiran 2. Responden pakar AHP
No.
Nama
1.
Dr. Ir. Aris Munandar, MS
2
Nama institusi
Jabatan
Bidang Keahlian
IPB Bogor
Wakil Dekan FAPERTA IPB & Dosen Arsitektur Lanskap FAPERTA IPB Bogor
Landscape Management, Ecotourism/Agrotourism and System Dynamic
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara,M.Agr
IPB Bogor
Dosen Arsitektur Lanskap FAPERTA IPB Bogor
Urban Greenery Planning & Design
3.
Prof.Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin,MS
IPB Bogor
Guru Besar & Dosen Arsitektur Lanskap FAPERTA IPB Bogor
Landscape Ecology and Environmental Management
4.
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MSi
IPB Bogor
Sekretaris Program Magister IPB & Dosen Teknologi Hasil Hutan FAHUTAN IPB Bogor
Biomaterial
5.
Prof.Dr.Ir. Didik Notosudjono.MSc
Unpak Bogor
Dosen Elektro FT Unpak Bogor dan Kabiro Perencanaan Ristek, Kemenristek RI
Renewable energy, energy saving marketing
6.
Prof. Dr. Ir. Abimanyu Takdir Alamsyah. Dip. D.P., MS.
UI Depok
Dosen Arsitektur FTUI Depok
Arsitektur dan Lingkungan pesisir
7.
Prof. Dr. Ir. Emirhadi Suganda, MSc
UI Depok
Dosen Arsitektur FTUI Depok
Arsitektur
128
Lampiran 3. Tree View Analytical Hierarchy Process Gabungan 27/03/2011 15:50:09 Model Name: hirarki gabungan Treeview Goal: TAMAN ENERGI
&
RUMAH
TINGGAL
HEMAT
TAPAK (L:0.107) Orientasi (L:0.130) Site design (L:0.522) Building design (L:0.478) Intensitas Bangunan (L:0.323) Site design (L:0.592) Building design (L:0.408) Topografi (L:0.108) Site design (L:0.598) Building design (L:0.402) Jenis Tanah (L:0.087) Site design (L:0.611) Building design (L:0.389) Bebas dari gangguan geo-biologis (L:0.139) Site design (L:0.500) Building design (L:0.500) Sistem Utilitas (L:213) Site design (L:0.443) Building design (L:0.557) TANAMAN (L:0.483) Jenis Tanaman (L:0.135) Site design (L:0.848) Building design (L:0.152) Keberadaan Tanaman (L:0.165) Site Design (L:0.816) Building design (L:0.184) Jumlah Tanaman (L:0.195) Site design (L:0.813) Building design (L:0.187) Jarak dari Bangunan (L:0.179) Site design (L:0.803) Building design (L:0.197) Arsitektur Tajuk (L:0.326) Site design (L:0.799) Building design (L:0.201) AIR(WATER (L:0.242)
FEATURES)
Air Mancur (L:0.283) Site design (L:0.649) Building design (L:0.351)
primakurniawaty
Page 1 of 2
129
Lembar Treeview AHP 2/2
Lampiran 3. Lanjutan 27/03/2011 15:50:09
Page 2 of 2
Air Statis (kolam) (L:0.126) Site design (L:0.653) Building design (L:0.347) Air Terjun (L:0.332) Site design (L:0.629) Building design (L:0.371) Air Mengalir (L:0.260) Site design (L:0.741) Building design (L:0.259) PERKERASAN(Non (L:0.058)
BANGUNAN)
Perkerasan (L:0.515) Site design (L:0.718) Building design (L:0.282) Pagar & Dinding Pembatas (L:0.485) Site design (L:0.629) Building design (L:0.371) BANGUNAN (L:0.109) Bentuk&Konfigurasi Ruang (L:0.087) Site design (L:0.229) Building design (L:0.771) Bukaan (L:0.365) Site design (L:0.272) Building design (L:0.728) Tritisan (Overhang) (L:0.167) Site design (L:0.221) Building design (L:0.779) Atap (L:0.182) Site design (L:0.212) Building design (L:0.788) Dinding (L:0.076) Site design (L:0.246) Building design (L:0.754) Lantai (L:0.046) Site design (L:0.279) Building design (L:0.721) Mekanikal&Elektrikal 27/03/2011(L:0.077) 15:31:09 Site design (L:0.245)
Page 2 of 2
Building design(L:0.755)
Alternatives
SITE DESIGN BUILDING DESIGN
,670 ,330
primakurniawaty
130
Lampiran 4. Daftar Tanaman Yang Memiliki Daya Serap CO2 Tinggi Tabel dibawah ini merupakan daftar tanaman yang mempunyai daya serap karbondioksida (CO2) yang tinggi, sehingga dapat menjadi alternatif pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan kriteria variabel tanaman dalam kajian ini. Urutannya dari tanaman yang memiliki kemampuan menyerap CO2 tertinggi (No, nama pohon, nama latin, daya serap)
Tinggi pohon
Bentuk tajuk
Kesesuaian untuk Pekarangan
No.
Nama lokal
1
Trembesi/ Ki Hujan
Samanea saman
28.488,39 kg/tahun
15-25 m
Kubah
Hujan mas/ trengguli
Cassia sp
5.295,47 kg/tahun
3,6 m
Bulat
Kenanga
Cananga odorata
756,59 kg/tahun
5m
Menyebar
Dysoxylum excelsum
720,49 kg/tahun
40 m
Irregular
Ficus benyamina
535,90 kg/tahun
2025m
Menyebar
Krey payung
Fillicium decipiens
404,83 kg/tahun
5m
Bulat
Matoa
Pometia pinnata
329,76 kg/tahun
20 – 40 m
Bulat
Swettiana mahagoni
295,73 kg/tahun
10-30 m
Bulat
Adenanthera pavonina
221,18 kg/tahun
6-15 m
Menyebar
Lagerstroemia speciosa
160,14 kg/tahun
7-12 m
Bulat
Tectona grandis
135,27 kg/tahun
4045m
Oval
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pingku Beringin
Mahoni Saga Bungur Jati
Nama latin
Daya serap CO2
12
Nangka
Artocarpus heterophyllus
126,51 kg/tahun
8–25 m
Kerucut/ piramidal
13
Johar
Cassia grandis
116,25 kg/tahun
20 m
Kubah (umbrella)
4m
Menyebar
47 m
Kolumnar
14
Sirsak
15
Puspa
Annona muricata Schima wallichii
75,29 kg/tahun 63,31 kg/tahun
131
Lembar Daftar tanaman 2/2
Lampiran 4. Lanjutan
Tinggi pohon
Bentuk tajuk
Acacia auriculiformis
48,68 kg/tahun
8-20 m
Oval
Delonix regia
42,20 kg/tahun
18 m
Menyebar
36,19 kg/tahun
15 - 20 m
Bulat
Mimusops elengi
34,29 kg/tahun
10-12 m
Bulat
Bunga merak
Caesalpinia pulcherrima
30,95 kg/tahun
3-3,6m
Irregullar
Sempur
Dilenia retusa
24,24 kg/tahun
17 m
Bulat
Khaya anthotheca
21,90 kg/tahun
30 m
Bulat
Merbau pantai
Intsia bijuga
19,25 kg/tahun
45 m
Bulat
Akasia
Acacia mangium
15,19 kg/tahun
>15m
Irregullar
Pterocarpus indicus
11,12 kg/tahun
40m
Bulat
Pithecellobium dulce
8,48 kg/tahun
5-8m
Menyebar
Maniltoa grandiflora
8,26 kg/tahun
12 m
Bulat
Dadap merah
Erythrina cristagalli
4,55 kg/tahun
5-8 m
Menyebar
Rambutan
Nephelium lappaceum
2,19 kg/tahun
18-20 m
Menyebar
Tamarindus indica
1,49 kg/tahun
1218m
Oval
Coompasia excelsa
0,20 kg/tahun
30 m
Menyebar
Nama lokal
16
Akasia
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kesesuaian untuk Pekarangan
Daya serap CO2
No.
Flamboyan Sawo kecik Tanjung
Khaya
Angsana Asam kranji Saputangan
Asam Kempas
Nama latin
Maniilkara kauki
Sumber: Dahlan (2008) dalam Alamendah (2010), Modifikasi
132
Lampiran 5. Tips Hemat Energi Menggunakan Peralatan Listrik Rumah Tangga No. 1
Peralatan
Tips (Sebelum Membeli) Pilihlah setrika yang sesuai kebutuhan dan berdaya listrik rendah
2
Pilihlah dispenser yang sesuai kebutuhan dan berdaya listrik rendah
3
Belilah televisi dengan kebutuhan listrik yang lebih kecil (ukuran dan layar perlu dipertimbangkan, televisi dengan ukuran lebih besar membutuhkan listrik lebih besar pula, pemilihan layar LCD lebih hemat energi daripada televisi tabung) terutama bila televisi akan sering dinyalakan Hindari televisi plasma dengan ukuran layar lebih dari 1 meter, karena televisi ini membutuhkan listrik paling besar Perhatikanlah listrik stand-by yang dibutuhkan sebuah VCD/DVD player, pilih yang lebih hemat listrik
Tips (Saat Penggunaan) Atur tingkat panas yang diperlukan sesuai dengan bahan pakaian yang akan disetrika Matikan setrika segera sesudah selesai menyetrika atau bila akan ditinggalkan untuk mengerjakan yang lain Atur pemakaian air pemanas atau pendingin air sesuai kebutuhan. Dapat memilih dispenser dengan tipe air panas dan normal, karena fungsi pendingin air dapat menggunakan kulkas. Matikan dispenser jika tidak digunakan Segera matikan TV, radio, DVD Player, serta peralatan hiburan lainnya bila tidak lagi digunakan Cabut kabel dari stop kontak karena energi masih terkonsumsi walau dalam kondisi stand by atau sleep Gunakan smart power strip atau terminal stop kontak dengan tombol on dan off agar menghentikan arus listrik saat alat-alat berada dalam kondisi stand by atau sleep Atur penggunaan listrik pada komputer dan laptop dengan mengaktifkan sleep mode setelah lama waktu penggunaan yang ditentukan Untuk jangka panjang, gunakan laptop karena jauh lebih hemat energi dibandingkan desktop dan monitor
133
Lembar tips hemat energi 2/5
Lampiran 5. Lanjutan
No. 4
Peralatan
Tips (Sebelum Membeli) Pilihlah pompa air yang sesuai kebutuhan dan berdaya listrik rendah
5
Bila ada label hemat energinya, pilihlah mesin cuci dengan label hemat energi Atau pilihlah mesin cuci dengan kebutuhan listrik yang paling rendah dengan volume yang sama
6
Pilihlah rice cooker yang sesuai kebutuhan dan berdaya listrik rendah
Tips (Saat Penggunaan) Pilih jenis pompa air yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat efiesiensi energi yang tinggi Gunakan tangki penampung air dan menyalakan pompa air hanya bila air di dalam tangki hampir habis, atau menggunakan sistem kontrol otomatis Lebih baik bila menggunakan pelampung pemutus arus otomatik, yang akan memutus arus listrik ke pompa air bila air sudah penuh Pastikan tidak ada kebocoran, dan segera perbaiki jika ada Pilih dan gunakan mesin cuci dengan kapasitas sesuai dengan jumlah cucian. Bila melebihi kapasitas, maka beban pemakaian tenaga listrik bertambah Sekali mencuci pakaian dalam jumlah banyak lebih hemat energi dibandingkan berkalikali mencuci pakaian dengan jumlah yang lebih sedikit Batasi penggunaan alat pengering hanya digunakan pada saat mendung atau hujan, bila hari cerah dapat dijemur saja. Pilih kapasitas rice cooker sesuai dengan kebutuhan Letakkan rice cooker dengan posisi tegak sehingga alat pemutus aliran listrik akan bekerja baik Periksa selalu alat pemutus aliran listrik otomatis. Bila alat ini rusak, listrik akan terus mengalir ke elemen pemanas meskipun nasi telah matang
134
Lembar tips hemat energi 3/5
Lampiran 5. Lanjutan
No. 7
Peralatan
Tips (Sebelum Membeli) Pilihlah lampu hemat energi dengan usia pasang lama, karena dibandingkan dengan lampu pijar biasa lampu hemat energi mengkonsumsi kurang lebih 80% lebih sedikit listrik.
8
Belilah PC yang berkemampuaan sesuai kebutuhan dengan konsumsi listrik tidak terlalu tinggi. Pilihlah yang memiliki energi stand by paling rendah Lebih baik lagi bila memilih PC yang mudah ditukar komponennya karena produksi baru sebuah PC dengan monitor itu membutuhkan kurang lebih 2.790 Kilowatt jam Energi dan mengeluarkan 850 kg gas rumah kaca, selain itu dibutuhkan juga 1.500 Liter air dan 23 Kilogramm bahan kimia. Di setiap suku elektroniknya terkandung logam seperti emas, perak, tantal atau Platina, yang penambangannya merusak lingkungan dan sumber alam.
Tips (Saat Penggunaan) Gunakan lampu hemat energi (compact fluorescent light atau CFL) Gunakan ballast elektronik dan pasang kondensator pada jenis lampu TL/Neon Matikan lampu bila tidak diperlukan lagi atau jika keluar ruangan Matikan utama lampu saat tidur, atau bila perlu, cukup menyalakan lampu kecil Untuk jangka panjang, gunakan laptop karena jauh lebih hemat energi dibandingkan desktop dan monitor Atur penggunaan listrik pada komputer dan laptop dengan mengaktifkan sleep mode setelah lama waktu penggunaan yang ditentukan
135
Lembar tips hemat energi 4/5
Lampiran 5. Lanjutan
No. 9
Peralatan
Tips (Sebelum Membeli) Perhatikanlah selalu sebelum membeli peralatan listrik, kebutuhan daya listriknya Belilah lemari pendingin sesuai kebutuhan, tidak terlalu besar, untuk perkiraan per orang kurang lebih dihitung 50 liter, jadi keluarga yang terdiri dari 4 orang bisa membeli lemari es dengan volume 200 liter Bila lemari pendingin akan sering dibuka maka lebih baik memilih lemari pendingin yang memiliki fungsi "DeFrost" yang walaupun memiliki kebutuhan daya listrik lebih besar tapi dengan sering dibukanya lemari pendingin maka kelembaban akan masuk dan membentuk batu es maka bila kemudian gunungan es terbentuk lemari pendingin akan bekerja lebih keras artinya konsumsi listrik meningkat. Untuk keluarga besar, pilihlah lemari pendingin yang memisahkan antara lemari pendingin dan freezer karena dapat mengurangi kebutuhan daya.
Tips (Saat Penggunaan) Letakkan lemari pendingin di tempat yang dingin dan tidak langsung kena sinar matahari atau tempat yang menghasilkan panas seperti kompor atau sejenisnya (sebagai perkiraan suhu ruangan 1°C lebih kecil dapat mengurangi kurang lebih 3% listrik pada freezer dan 6% pada lemari pendingin. Lemari pendingin dan freezer tidak diset terlalu dingin Lemari es yang berumur tua (lebih dari 10 tahun) akan menurun efisiensi kerjanya sehingga boros listrik Hanya makanan dingin saja yang dimasukkan lemari es, hindarkan makanan atau minuman yang masih panas dimasukkan kedalam lemari pendingin Seal atau karet isolasi di pintu lemari es harus berfungsi baik dan ditutup dengan benar agar suhu dalam lemari es dapat terjaga baik. Bila rusak segeralah menggantinya Jangan biarkan terjadi gunungan es, karena gunungan es mengakibatkan kenaikan konsumsi listrik jadi lakukanlah dari waktu ke waktu defrost Gunakan dengan baik volume ruangan lemari pendingin karena lemari pendingin yang kosong mengakibatkan kebutuhan listrik meningkat bila perlu isilah dengan buku yang tidak dipakai.
136
Lembar tips hemat energi 5/5
Lampiran 5. Lanjutan
No.
Peralatan
Tips (Sebelum Membeli) Bila memiliki lemari pendingin tua, lebih baik belilah yang baru karena lemari pendingin baru bisa sampai 40% lebih hemat listrik. Bila ada, pilih lemari pendingan yang berlabel hemat energi. Pilih defrost otomatis yang modern karena biasanya lebih hemat energi Lihat tingkat kebisingan dB yang ditimbulkan
Sumber: EECCHI, 2011
Tips (Saat Penggunaan) Susunlah barang di dalam lemari pendingin dengan jelas tertata agar waktu yang dibutuhkan saat membuka lembari pendingin tidak terlalu lama, agar panas dan kelembaban tidak banyak yang masuk. Matikanlah lemari pendingin bila akan bepergian lama dan biarkan terbuka agar tidak terbentuk jamur di dalamnya.
Lampiran 6. Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Terendah
137
143
Lampiran 7. Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Sedang
138
144
Lampiran 8. Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Tertinggi
139