RELIGIOSITAS DAN MOTIVASI KERJA TENGKU IRMAYANI Fakutlas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat banyak dibicarakan akhirakhir ini, berbagai pertemuan, seminar, ceramah dan sebagainya telah dilakukan sebagai upaya untuk mengingkatkan kualitas SDM dalam segala aspeknya. "SDM mengandung pengertian usaha kerja atau jasa dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan kwalitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa”. (Payaman Simanjuntak, 1985:1) Dalam kontek dunia pekerjaan maka ilmu manajemen sangat memberikan perhatian kepada sumber daya manusia ini oleh karena sifatnya yang mutlak dalam suatu proses produksi. Manajer-manajer perusahaan mengharapkan adanya suatu kondisi yang di dalamnya target-target perusahaan dapat tercapai dengan maksimal. Oleh sebab itu mereka banyak membicarakan persoalan ini dalam berbagai pertemuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi sumber daya ini dalam pencapaian tujuan organisasi atau tujuan perusahaan. Mempelajari manusia sebagai mahluk yang berpribadi bukan pekerjaan mudah. Susunan “ratio”, “emosi”, dan yang pada akhirnya terlihat pada "kehendak", "kebutuhan", “dorongan”, “keinginan” umum dikenal dengan motivasi. Wahjosumidjo mengatakan: “Motivasi merupakan suatu proses phisikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi dalam diri seseorang. Dan motivasi sebagai faktor di dalam diri (intrinsik) atau di luar diri (ekstrinsik)”. (1978 : 1974) Dengan motivasi yang terpelihara baik diharapkan tujuan dan target yang ditetapkan perusahaan dapat dicapai. Dengan demikian faktor motivasional menjadi sesuatu yang sangat penting oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan dan target serta pencapaian tujuan organisasi selalu diawali dengan satu titik yaitu motivasi. Titik awal yang baik cenderung akan mempunyai tindak lanjut yang baik sampai akhirnya tujuan organisasi dapat tercapai dengan gemilang. Banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk memacu motivasi kerja karyawannya misalnya dengan insentif, mutasi, latihan, magang, dsb. Dalam banyak penelitian di perguruan tinggi hal ini secara umum mempunyai korelasi yang baik. Dalam penulisan ini, penulis tertarik dengan faktor intrinsik dan yang menjadi penekanannya adalah faktor religiositas dalam diri peqawai.
© digitized by USU digital library
1
“Pembangunan yang digerakkan oleh homo economicus dan diselenggarakan secara pragmatis memang dapat juga mencapai suatu target, namun hasil yang dicapainya belum menunjukkan suatu keterpaduan yanq tangguh. Dalam hal seperti ini maka segi mental, kultural, apalagi segi kerohaniannya sering diabaikan. Tetapi sebaliknya perlu dicamkan, bahwa proses pembangunan itu sesungguhnya malah dapat berjalan dengan lancar bila diperlengkapi dengan etika atau etos pembangunan". (DR. R. Dicknson Jr, 1987:7) Selanjutnya T.B. Simatupang mengatakan: “Sejarah membuktikan bahwa agama tidak saja merupakan sesuatu yang terdekat dan terpokok dalam memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan demi meningkatkan kwalitas manusia dan masyarakat”.(1.987) Hasil penelitian N. Bellah terhadap masyarakat Jepang yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul “Religi Tokugawa" pada tahun 1975. Dalam artikel KOMPAS tentang buku tersebut yang mengawali wawancara dengan Bellah menuliskan : “Agama berperan dalam rasionalisasi politik dan ekonomi dan terdapat interdependensi nilai-nilai agama dengan pertumbuhan ekonomi Jepang di masa Tokugawa. Sejarah pertumbuhan ekonomi Jepang di masa Tokugawa terkait denqan nilai-nilai religi”. (4 Desember 1992 : 16) Prof. Dr. Harun Nasution, seorang cendikiawan Muslim berpendapat : “Pandangan kepada teologia tertentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap produktif dan tidaknya seseorang. Teologi pernah terbukti mendukung produktifitas pada masa kejayaan Islam. Ulama Islam zaman klasik mengembangkan konsep alam ciptaan Tuhan, yang di dalam Al Quran disebut Sunnatullah dan juga hukum kausalitas". (1992 : 36) Oleh karena itu faktor religiositas yang ditemukan para cendikiawan tersebut perlu diperhitungkan dalam menambah motivasi kerja. Seseorang yang telah mendalami ajaran-ajaran yang terkandung di dalam setiap agama dapat memberikan motivasi atau dorongan bagi dirinya dalam melaksanakan pekerjaannya. Karena bagi orang yang benar-benar telah menjalankan perintah agamanya, biasanya dalam melakukan pekerjaan selalu bertanggung jawab baik kepada dirinya, organisasi dimana dia berada maupun kepada Tuhannya. Dengan demikian kemungkinan terjadinya penyimpangan atau penyelewengan dalam tugas pekerjaan dapat terhindari. 1.2. Batasan Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan batasan masalah dari tulisan ini adalah : “Adakah hubungan religiositas terhadap motivasi kerja ?” 1.3. Tujuan Penulisan 1. Untuk melihat adakah hubungan religiositas terhadap motivasi kerja. 2. Untuk mengetahui apakah nilai-nilai religiositas yang dianut oleh para pegawai/karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
© digitized by USU digital library
2
1.4. Manfaat Penulisan 1. Bagi pemerintah maupun swasta diharapkan sebagai masukan untuk menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang diarahkan niali-nilai religiositas yang anut oleh para pegawai/karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaan. 2. Bagi penulis untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan penulis. BAB II RELIGIOSITAS DAN MOTIVASI KERJA 2.1. Religiositas Sengaja di sini tidak begitu di tonjolkan istilah 'agama' atau 'religi' meskipun di beberapa tempat penulis menggunakannya, tetapi istilah yang banyak dipakai adalah 'religius' atau 'religiositas'. Hal ini perlu ditegaskan oleh karena agama itu lebih menyangkut lembaga, sedangkan religiositas lebih menyangkut persoalan manusianya sebagai insan religius (homo religius). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menemukan istilah religius yang diartikan sebagai taat kepada agama atau saleh. Jadi kita melihat adanya sifat yang lebih dalam dari pada pengertian agama atau religi. “Kamus Latin-Indonesia memberi istilah religio berasal dari bahasa Latin, relego, yang berarti: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani. Orang yang disebut religius bila rajin mempelajari dan seolah-olah serba prihatin tentang segala yang berkaitan dengan kebaktian kepada para Dewa”. (K. Prent C.M, 1969) Y.B. Mangunwijaya mengatakan : “Bagaimanapun manusia religius dengan aman dapat diartikan : manusia yang berhati serius, saleh, teliti dalam pertimbangan batin dan sebagainya. Jadi belum menyebutkan dia menganut agama mana”. (1988 : 11) Selanjutnya Y.B. Mangunwijaya juga mengatakan : “Agama lebih menunjuk kepada kelembangan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam segala aspeknya yang resmi, yuridis, peraturanperaturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitabnya dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan (Jerman: Gesellsschaft). Religiositas lebih melihat aspek yang didalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, “du couer” dalam arti Pascal, yakni citarasa yang mencakup totalitas (termasuk ratio dan rasa manusiawi) ke dalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim”. (1988 : 1) Drs. K. Permadi, SH dalam salah satu tulisannya menguraikan bagaimana hubungan antara religiositas suatu bangsa dengan produktifitas yang mereka capai sebagai berikut:
© digitized by USU digital library
3
"Hampir di semua pembahasan tentang manajemen Jepang menyinggung tentang soal nilai-nilai etis bangsa Jepang. Secara khusus disoroti etika kerja dari buruhnya, terutama bagaimana sikap dan pandangan buruh itu terhadap kerja. Bangsa Jepang memang adalah bangsa yang suka bekerja keras. Sikap arang Jepang pada dasarnya dibentuk oleh bermacam-macam faktor : Faktor sosial budaya, agama, pendidikan dan juga pengalaman sebagai bangsa. Ada yang mengatakan bahwa sikap itu dibentuk oleh agama Budha Zen atau konfusianisme”. (1987 : 125) Sehubungan dengan religiositas yang berkorelasi dengan motivasi kerja, maka berikut ini penulis mengemukakan etos kerja agama-agama besar di Indonesia yaitu etos kerja yang terangkum dari nilai-nilai yang didapat dari kitab suci dan ajaran masing-masing agama. 2.1.1. Etos Kerja Agama Islam Islam adalah ajaran yang bersifat dialogis, yang merupakan karakteristik dinamis pada tubuh ajarannya. Hal ini memberikan makna bahwa ajaran Islam tidak hanya terbuka untuk selalu berkarya guna memperbaiki nasib dirinya sendiri. Karena dalam Islam yang menjadi inti pembangunan adalah manusia maka dengan sendirinya itu menyangkut kedudukan manusia itu sendiri di alam semesta yang tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia harus merealisir dirinya sesuai dengan kehendak Allah yang tidak terlepas dari konteks kemanusiaan. Realisasi dari diri manusia ini adalah yang dalam Islam dinamakan dengan ibadah, yakni suatu pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan manusia itu sendiri. Pengabdian kepada Allah (ibadah) inilah yang kemudian menjadi karakteristik kemanusiaan karena dengan beribadah seseorang memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya. Untuk dapat melakukan ibadah dengan sempurna maka manusia memerlukan suatu kriteria tertentu, antara lain kesehatan akal, kesehatan jiwa, dan kesehatan raga. Kemampuan manusia untuk memenuhi kriteria diatas menyebabkan Allah menurunkan agama hanya kepada manusia bukan kepada makhluk lain. Pemberian agama sebagai petunjuk hidup kepada manusia merupakan kehormatan dari Allah kepada manusia dan manusia harus bertanggung jawab terhadap fungsinya sebagai ciptaannya. Manifestasi tanggung jawab tersebut adalah merupakan realisasi diri sesuai dimensi kemanusiaan. Realisasi dirinya inilah yang kemudian berkaitan erat dengan etos kerja Islam. Sebab realisasi tersebut merupakan suatu konsep kerja yang meliputi dimensi keduniawian (profan) maupun dimensi keakhiratan (sakral, eskatologis). Kedua dimensi tersebut merupakan suatu hubungan yang saling berjalin yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Jalinan kedua dimensi inilah yang disebut etika Islam, atau lebih populer disebut ‘akhlak’. Dengan demikian ibadah dalam Islam bukanlah suatu himne ritual (ritus) yakni dimensi keakhiratan saja tetapi ia juga merupakan atau menjadi suatu wahana dimana manusia dimungkinkan untuk merealisasikan dirinya secara kemanusiaan dan keakhiratan. Pengabdian secara keduniawian ini merupakan upaya manusia untuk mengembangkan dirinya untuk tidak Sekedar mempertahankan hidup, baik secara intelektual, ekonomi, politik, budaya dan sistem sosial lainnya, akan tetapi ia sekaligus juga merupakan realisasi fitrah manusia. 2.1.2. Etos Kerja Agama Kristen Sifat khas kerja manusia ini beroleh penyorotan yang istimewa dalam Alkitab, Alkitab menghubungkan kerja manusia dengan penciptaan manusia menurut gambar Tuhan. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Tuhan, yaitu Tuhan yang bekerja di sini. Itulah sebabnya kerja itu termasuk hakikat manusia. Alan Richardson dalam
© digitized by USU digital library
4
“The Biblical Doctrine of work” menyatakan bahwa: “Man is a worker by nature” “Manusia adalah pekerja pada dasarnya”. Pandangan Alkitab yang menyatakan, bahwa manusia adalah pekerja pada dasarnya. Oleh sebab Tuhan bekerja artinya sangat penting bagi etika kerja dan etos kerja. Oleh karena kerja adalah suatu unsur hakekat manusia yang diciptakan menurut gambar Tuhan itu, sudah sewajarnya pula bahwa kerja itu merupakan perintah Tuhan. Barang siapa percaya kepada Kristus dan melakukan pekerjaannya dari kepercayaannya itu, ia akan mengalaminya bukan lagi sebagai kutuk, tetapi sebagai berkat. Sebagaimana maut bukan lagi kutuk, melainkan adalah pintu ke hidup yang kekal. Demikian pula kerja bukan lagi hukuman melainkan berkat oleh karena susah payahnya diubah, disucikan oleh kasih karunia luhur Kristus. Di mana Roh Kudus mendorong, memimpin, memerintah kerja, di situ lahir kerja dari kasih kepada Tuhan. Motif kedua yang pada hakekatnya sama dengan motif yang pertama, orang tidak perlu menjadi beban bagi orang lain dan orang menambah kebahagiaan sesamanya”. (Matius 7:12) Dalam kisah Para Rasul 20; 33-35 Paulus menyatakan bahwa ia bekerja sebagai tukang kemah di korintus, “supaya jangan menjadi beban”. Sebab “adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima”. Dalam kisah Para Rasul kita baca juga tentang Tabita dan Dorkas dari Yopi. Tangannya selalu berusaha untuk memberikan pakaian kepada yang tidak berpakaian, memberikan makanan kepada yang lapar. Ketika ia meninggal kisah itu nyata pada banyak orang disekelilingnya yaitu para janda dari kota itu menunjukkan baju-baju dan pakaian yang dibuat oleh Dorkas ketika ia masih hidup (Kisah Para Rasul 9:39). Dalam motif kasih kepada sesama manusia itu nampaklah kasih Kristus, yang mengalahkan egoisme alamiah hati manusia. 2.1.3. Etos Kerja Agama Hindu Dasar adanya kesadaran berkorban itu adalah sumber dari cinta kasih. Dengan rasa cinta kasih itu mereka berkeyakinan, pada suatu saat manusia akan mampu merealisir tuntutan budi nalurinya, yaitu kebahagian secara lahir batin. Kesadaran terhadap kewajiban itu juga mendorong umat manusia mengabdi kepada sesamanya. Di dalam ajaran agama Hindu, melakukakn pengorbanan itu juga karena mempunyai hutang yaitu terdiri dari tiga yang disebut Tri RNA. Adapun ketiga hutang itu adalah : - Pertama Dewa RNA, yaitu hutang urip atau jiwa kepada Tuhan YME, karena Tuhanlah yang memberikan hidup kepada semua mahluk hidup yang juga umat manusia. - Kedua Pitra RNA, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur yang berupa budi dan hutang badan karena kehidupan lahir dan batin manusia telah menerima warisannya. - Ketiga Rsi RNA, yaitu hutang kepada guru-guru pengajar, pemerintah, dalam hal ini ada hubungannya dengan pendidikan yaitu yang berupa berbagaibagai ilmu pengetahuan yang telah dimiliki manusia. Kewajiban manusia dalam kehidupan ini adalah harus dapat membayar ketiga hutang tersebut yaitu dengan pengabdian yang dilakukan dengan suatu pengorbanan tulus ihklas atau yadnya-yadnya itu sangat perlu dilaksanakan oleh setiap orang karena terikat kepada hutang RNA itu. Bahwasanya umat Hindu menyadari tentang bermacam-macam pemberian dari Tuhan, dari orang berilmu. Berbagai-bagai pemberian ini dipandang sebagai
© digitized by USU digital library
5
hutang yang mesti dibayar. Dari sini timbul adanya berbagai bentuk pelaksanaan yadnya, seperti : yadnya atau korban suci dalam bentuk pelaksanaan memuja. Yang terpenting ialah yadnya atau korban suci dalam bentuk pelaksanaan pengabdian. Hal ini ditujukan kepada keluarga, masyarakat, negara, nusa dan bangsa, tanah air dan kepada perikemanusiaan. Mengabdi berarti rela memberikan kadar hidupnya, tentu saja dengan ikhlas dan tiada mengharapkan sesuatu dari padanya. Juga mengabdi itu merupakan suatu dharma, suatu kewajiban suci yang mendatangkan kewajiban hidup bersama. Yang mahaesa dan yang telah diyakini benar-benar karena akan membawa berkah, rahmat dan karunia. 2.1.4. Etos Kerja Agama Budha Sebagai perbuatan yang baik dalam ajaran Budha adalah : - Memperkembangkan akar-akar yang baik untuk mereka yang akan berbuat jasa. - Empat daya kemenangan Budhisatwa untuk bermaksud memimpin semua makhluk pada akhir tujuan. Selain itu perlu diperhatikan dharma di dalam ajaran Budha sehubungan dengan etos kerja, yaitu : - Kebijaksanaan kepada semua makhluk hidup tanpa mengharapkan timbal balik (sepi ing pamrih). - Daya tahan dari penderitaan bagi semua mahkluk hidup dan membaktikan semua jasa mereka. - Keadilan kepada mereka dengan semua kerendahan hati bebas dari kesombongan dan kecongkakan hati. - Menghormati semua Budhisatwa dengan kebaktian yang sama bagi menghormati Budha. - Menguji diri sendiri dengan tanpa mengadakan perbantahan dengan orang lain. Dengan demikian ia harus menyelesaikan pikiran sendiri berdasarkan atas pencapaian semua jasa-jasa (T.B. Simatupang, 1987 : 108-104). Dari uraian-uraian tersebut kita dapat mengerti bahwa religiositas tidak hanya bekerja dalam batas pengertian-pengertian ratio tetapi dalam penghayatan dan pengamalan secara totalitas yang mendahului analisis atau konseptualisasi otak manusia tadi. Bagi manusia religius sesuatu yang dihayatinya adalah bersifat keramat, suci, khudus dan adikodrati. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang bersifat religius akan selalau menghubungkan pekerjaan yang dilakukannya sebagai suatu kerangka pengabdian kepada Yang Maha Tinggi oleh karena bekerja adalah jauh merupakan perintah Allah. Sebagaimana tertera didalam Al-Qur'an surat Al-Qasshas ayat 77 yang artinya : "Tapi carilah, dengan (kekayaan) yang dianugrahkan Tuhan kepadamu, negeri akhirat, dan jangan lupa bagianmu di dunia ini. 2.2. Motivasi Kerja Berbicara mengenai motivasi kita akan menemukan beberapa istilah yang berbeda didalam literatur manajemen yang pada hakekatnya tidak mempunyai perbedaan arti (motive), kebutuhan (need), keinginan (wish), dorongan (drive) merupakan istilah-istilah yang lazim kita dengar dalam membicarakan motivasi kerja.
© digitized by USU digital library
6
"Secara singkat motif sering diartikan sebagai kebutuhan atau keinginan yang terdapat dalam diri individu yang mendorong atau mempengaruhi untuk melakukan sesuatu pekerjaan". (Subagio 1986: 6-7) Ada juga yang mengatakan : "Motivasi adalah konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri karyawan dan mengarahkan perilaku (Gibson, et al : 1993,94)". Perilaku seseorang selalu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam pelaksanaan tugas organisasi. Adakalanya perbedaan ini di sebabkan pada kemampuannya untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya. Motivasi yang berbeda ini mengakibatkan tindakan para pegawai berbeda satu sama lainnya. Untuk itu tindakan ini harus dapat dikoordinit sehinga tidak menyimpang dari arah dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Motivasi ini pula yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh orang tersebut. I. G. Wursanto mengatakan motivasi adalah sebagai berikut : Motivasi merupakan keinginan, hasrat dan tenaga pengerak yang berasal dari dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu (1989:131). Keinginan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri disebut juga dengan motivasi internal, tetapi ada juga motivasi yang berasal dari luar dirinya (eksternal). Menurut Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan ada tiga kelompok terori motivasi yaitu : a. Conten Teori Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang ada di dalam individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : kebutuhan apa yang dipuaskan oleh seseorang ? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu? Dalam pandangan ini setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada didalam (inner needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan, atau dimotivasikan untuk memenuhinya. b. Process Theory Proses Theory bukanya menekankan pada isi kebutuhan yang bersifat dorongan dari kebutuhan tersebut, tetapi pendekatan ini menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa setiap individu dimotivisir. Dalam pandangan ini, kebutuhan hanyalah salah satu elemen dalam suatu proses tentang bagaimana para individu bertingkah laku. c. Reinforcement Theory Theory ini tidak menggunakan konsep suatu motivasi atau proses motivasi. Sebaliknya teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku dimasa yang lalu mempengaruhi tindakan dimasa yang akan datang dalam suatu siklus proses belajar. Dalam pandangan ini individu bertingkah laku tertentu karena dimasa lalu mereka belajar bahwa perilaku tertentu akan berhubungan dengan hasil yang menyenangkan, dan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan”. (1990:198-200) Dari ketiga klasifikasi teori motivasi diatas, maka dapatlah kita mengatakan bahwa motivasi religius dapat digolongkan kepada content theory. Karena dalam hal ini yang dimaksud adalah nilai-nilai religius yang dianut seseorang mempengaruhi perilaku individu tersebut dalam memenuhi kebutuhannya maupun dalam pelaksanaan tugas pekerjaannya. BAB III HUBUNGAN RELIGIOSITAS DENGAN MOTIVASI KERJA
© digitized by USU digital library
7
Bagaimanakah peranan religiositas dalam kehidupan umat manusia ? Hal ini tidak perlu diragukan lagi bahwasannya religiositas sudah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita. Misalnya seorang ahli sastra pernah mengatakan : “Pada awal mula, segala sastra adalah religius. Semua sastra yang baik selalu religius". (Y.B. Mangunwijaya, 1988 : 11) Dalam penulisan ini penulis hendak menelaah hubungan religiositas dengan motivasi kerja yang dimunculkan oleh pegawai, dengan kata lain hendak melihat peranan religiositas dalam manajemen yang merupakan salah satu saranan dalam hidup manusia. Untuk memberikan suatu rumusan motivasi bukanlah suatu pekerjaan mudah. Hal ini dapat dimengerti oleh karena motivasi yang dimunculkan oleh seseorang individu merupakan fungsi dari berbagai macam variabel yang saling mempengaruhi. Motivasi sebenarnya tidak lain dari suatu proses psikologi yang didalamnya terdapat interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, proses belajar dan pemecahan persoalan. Secara gamblang proses motivasi ini dapat kita lihat pada gambar berikut: (Ibrahim Hasan, 1989:68)
Gambar tersebut menjelaskan kepada kita bahwa motivasi diawali oleh keinginan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Keinginan tersebut melalui proses persepsi diterima oleh seseorang dan proses persepsi itu sebenarnya ditentukan oleh kepribadian, sikap, pengalaman dan harapan seseorang. Selanjutnya apa yang diterima tersebut diberi arti oleh yang bersangkutan menurut minat dan keinginannya (faktor intrinsik). Minat ini mendorongnya untuk juga mencari informasi yang akan digunakan oleh yang bersangkutan untuk mengembangkan beberapa alternatif tindakan dan pemilihan tindakan yang pada akhirnya dievaluasi. Sehubungan dengan persepsi yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang maka Soedjatmoko mengatakan : “Agama merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut mempengaruhi perkembangan dunia itu sendiri, dengan cara demikian itu juga mempengaruhi jalannya sejarah". (1983:3) Persepsi itu pada hakekatnya adalah yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman melalui proses kognitif. Dari pendapat di atas kita melihat suatu penjelasan bahwa proses kognitif terhadap agama yang kemudian meresap kedalam diri seseorang akan mewujudkan pola persepsi dunia manusia. Secara khusus dalam konteks manusia Indonesia kita melihat bahwa kehidupan beragama dan sikap religius adalah satu kenyataan budaya yang terdapat di seluruh Indonesia. Adanya basis kehidupan beragaman di Indonesia yang sudah sedemikian tua dan cukup berkembang memberikan kemungkinan sangat baik untuk
© digitized by USU digital library
8
manusia Indonesia memperluas dan memperkokoh basis itu dalam perkembangan selanjutnya. Bahkan Sayidiman Suryohadiprojo yang pernah menjabat penasehat menristek kabinet pembangunan V jelas sekali mengatakan : “Landasan spritual itu merupakan potensi kekuatan mental yang amat penting, seperti yang dapat kita lihat pada bangsa-bangsa lain”. (1 (1987 : 189) Apakah yang terjadi dengan suatu bangsa sehubungan dengan sikap religiositas mereka ? Memang cukup disayangkan bahwa sekalipun kehidupan beragama di Indonesia meluas, namun kekautan mental dan spritual bangsa Indonesia masih belum memadai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini terjadi mungkin karena manusia Indonesia kebanyakan adalah manusia yang bereligi tetapi kurang bereligiositas. Dengan sikap religiositas maka sesuai dengan teori motivasi kita akan mempunyai pola persepsi yang sesuai dengan tuntutan religi dan dengan pola persepsi yang demikian itu akan menimbulkan motivasi yang kuat. Sehubungan dengan etos kerja tiap agama-agama besar di Indonesia dapat kita lihat semua agama sangat mendorong umat untuk bekerja keras. Dalam agama Islam diajarkan bahwa bekerja itu adalah ibadah. Dalam agama Kristen kita melihat hal yang sama dan adanya pandangan bahwa Tuhan adalah oknum yang bekerja sehingga manusia juga demikian. Bekerja adalah merupakan pengabdian suci atau dharma merupakan pandangan dalam agama Hindu. Sementara itu dalam agama Budha ditegaskan bahwa bekerja itu merupakan akar yang baik. Orang yang bekerja adalah orang yang berjasa. Semua yang dicantumkan adalah ajaran yang begitu baik. Dalam proses kognitif ajaran oleh manusia yang religius akan menjadi pola persepsi yang pada akhirnya persepsi ini dapat menjadi potensi dasyat untuk melahirkan motivasi yang kuat dan terarah. Franz Magnis Suseno mengatakan : "Agama memberikan bimbingan dan motivasi kuat kepada kita” (1989:100). Sehubungan dengan hal itu, W.A. Gerungan Setuju bahwa motivasi itu merupakan fungsi dari banyak variabel. Ahli psikologi ini menganjurkan suatu bentuk motivasi yang diberi istilah motivasi teogenitis antara lain mengatakan : “Motif-motif tersebut berasal dari interaksi manusia dengan Tuhan YME seperti yang nyata dalam ibadahnya dan dalam kehidupan sehari-hari ketika ia berusaha merealisasi norma-norma agamanya”. (1986 : 143). Hal ini sesuai dengan pandangan Sosiologi, Psikologi maupun Teologi yang menyimpulkan manusia di samping sebagai makhluk individu dan makhluk sosial maka manusia juga merupakan makhluk berketuhanan. Dalam hal inilah kita mengerti bahwa manusia memang secara hakekat sudah mempunayi keinginan untuk mengabdi kepada khalik di dalam dirinya. Ada semacam potensi dalam diri manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam penciptaan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berpikir dan berinteraksi dengan Tuhan YME. Jadi dalam pekerjaannya seseorang religius akan selalu mengupayakan keselarasan norma-norma agamanya terhadap tugasnya dalam suatu motivasi yang timbul dari persepsi yang telah dipolakan oleh ajaran agama. Hal ini dapat kita lihat. Sunah Hasullullah SAW "Bekerjalah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Sekarang jelas bagi kita bahwa religiositas mempunayi hubungan yang erat dengan motivasi kerja yang dimunculkan oleh pegawai. Jika kita mempunyai orientasi pembangunan yang berwawasan pembinaan sumber daya manusia maka kita melihat alternatif yaitu religiositas adalah sikap yang mesti ditumbuhkankembangkan di kalangan manusia Indonesia. Dari berbagai teori motivasi tersebut akhirnya menyadarkan kita bahwa manusia bekerja bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan Kebendaan saja, tetapi di luar yang produktif sebagian besar dihambat
© digitized by USU digital library
9
oleh pandangan kebendaan yang sempit dan berlebihan. seyogianyalah kita bijaksana dan tidak terlampau mengagungkan kebendaan, sebab jika demikian akan melemahkan kehidupan beragama kita dan dapat menumpulkan hati nurani yang reliqiusnya yang merupakan potensi besar dalam diri manusia. Dengan kondisi yang demikian kita akan menghidupi dan mewariskan peradaban yang merupakan harmoni antara kebendaan dan kerohanian yaitu suatu peradaban yang seimbang. Seperti yang dikemukakan oleh Soedjatmoko : "Didalam konsepsi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka manusia dan motivasi manusia dalam ia bertindak dalam masyarakat, dan dengan sendirinya juga agama merupakan motivasi sosial baik pada tingkat pribadi maupun tingkat kolektif dan sebagai sumber pola-pola persepsi realitas sosial, mengambil tempat yang sangat penting. Juga dalam suatu aspek lain lagi, kita dapat melihat suatu perubahan yang mendalam. Sekarang lebih disadari bahwa usaha untuk menentukan tujuan-tujuan pembangunan serta urutan prioritas bagi suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari ruang lingkup moral yang merupakan tempat berpijak bangsa itu dan yang untuk sebagaian penting diwujudkan oleh agama”. (1985 : 4). Jelas bagi kita sekarang bahwa sikap religiositas yang dimilki oleh setiap pegawai akan sangat menunjang terhadap motivasi kerjanya. BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan 1. Religiositas memberikan suatu dorongan kepada para pegawai untuk bekerja lebih baik, meningkatkan kualitas kerjanya, serta bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. 2. Religiositas sangat panting dalam menciptakan etika kerja yang baik yang bertanggung jawab secara horizontal kepada sesama manusia dan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kita memiliki sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi baik. 4.2. Saran 1. Upaya menumbuh-kembangkan sikap religiositas dalam diri pegawai sehubungan dengan norma kerjanya yang dipandang sebagai suatu manipulasi agar pegawai menjadi termotivasi. Akan tetapi dibutuhkan suatu tindakan nyata dan kejujuran bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Di dalam menumbuhkan sikap yang berlandaskan nilai-nilai religiositas dibutuhkan para pemimpin yang jujur dan berkeinginan memajukan organisasi. Religiositas merupakan alternatif yang dapat dipilih untuk maksud tersebut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
© digitized by USU digital library
10
Arifin, H.M., Menguak Misteri Agama-Agama Besar, Jakarta, 1987. Bellah, Robert N., Hidup Bermakna Jika Dijalankan Secara Tulus, Kompas, 4 Desember 1992. Dickson, R., Line and Plumment, World Council of Churhes, Geneva, 1986. Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, PT Eresco, Bandung, 1986. Gibson, James, et.al., Organisasi Prilaku Struktur Proses, Erlangga, 1993. Indrawijaya, Adam., Prilaku Administrasi, Sinar Baru Bandung, 1986. Maguis, Franz-Suseno., Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1985. Mangunwijaya, Y.B., Sastra dan Religiositas, Kanisius, Yogyakarta, 1988. Nasution, Harun., Agama dan Produktifitas, Panji Masyarakat, 21-30 Nopember 1992, no. 738. Prent, C.M., Kamus-Latihan-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1969. Ranupandojo, Heidirachman-Husnan, Yogyakarta, 1990.
Suad.,
Manajemen
Personalia
BPFE,
Sastrodiningrat, Subagio, Perilaku Administrasi, UT, Depdikbud, Jakarta, 1986. Simatupang, T.B., et.al., Peranan Agama dan Kepercayaan Dalam Negara Pancasila Yang Membangun, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987. Soedjatmoko, et.al., Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, 1985. Simanjuntak, Payaman., Pengentas Ekonomi SDM, F.E. UI, 1985. Suryohadiprojo, Sayidiman, Menghadapi Tantangan Masa Depan, PT. Gramedia, Jakarta, 1987. Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, Ghalia Indonesia, Yassin, H.B., Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia, Terjemahan, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982.
© digitized by USU digital library
11