PUTUSAN Nomor 11/Pdt.G/2017/PTA Plg.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara cerai talak dalam tingkat banding telah memutuskan perkara antara : PEMBANDING, umur 33 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Kota Palembang. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Sulaimansyah Kadir, S.H., Advokat, beralamat di Jalan PDAM Tita Musi Komp. Griya Tiga Putri, Blok B.A No. 10, Bukit Lama, Kota Palembang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 19 Desember 2016, dahulu sebagai Termohon
Konvensi
/
Penggugat
Rekonvensi,
sekarang Pembanding; melawan TERBANDING, umur 37 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Kota Palembang. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Harry Hendra, S.H., Advokat, beralamat di Jalan Angkatan 45 No. 2250, Kota Palembang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2016, dahulu sebagai Pemohon Konvensi
/
Tergugat
Rekonvensi,
sekarang
Terbanding; Pengadilan Tinggi Agama tersebut; Telah membaca
dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang
berhubungan dengan perkara ini;
DUDUK PERKARA Mengutip segala uraian sebagaimana termuat dalam Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal
13
Desember 2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 13 Rabiulawal 1438 Hijriah yang amarnya sebagai berikut : MENGADILI I. DALAM KONPENSI : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon Konpensi; 2. Memberi izin kepada Pemohon Konpensi (TERBANDING) untuk menjatuhkan
talak
I
(satu)
raj’i
terhadap
Termohon
Konpensi
(PEMBANDING) di depan sidang Pengadilan Agama Palembang; II. DALAM REKONPENSI : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi untuk sebagian; 2. Menetapkan Muth’ah sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah); 3. Menetapkan Nafkah Iddah, Kiswah, Maskan Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) x 3 bulan = Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah); 4. Menghukum kepada Tergugat Rekonpensi untuk menyerahkan kepada Penggugat Rekonpensi seperti angka II.2 dan II.3 diatas; 5. Menolak dan tidak menerima gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya; III. DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI : -
Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 301.000.000,- (tiga ratus satu ribu rupiah); Bahwa terhadap putusan tersebut, Termohon Konvensi/Penggugat
Rekonvensi, untuk selanjutnya disebut Pembanding, telah mengajukan permohonan banding melalui kuasa hukumnya, Sulaimansyah Kadir, S.H., pada tanggal 20 Desember 2016 sebagaimana tercantum dalam Akta Permohonan Banding Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Palembang, tanggal 20 Desember 2016.
Permohonan banding tersebut telah diberitahukan dan diserahkan kepada Pemohon
Konvensi/Tergugat
Rekonvensi
untuk
selanjutnya
disebut
Terbanding, pada tanggal 28 Desember 2016; Bahwa Pembanding telah mengajukan Memori Banding yang dibuat dan ditandatangani oleh kuasa hukumnya, tanggal 7 Januari 2017, dan diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Palembang sesuai Tanda Terima Memori Banding Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal 9 Januari 2017; Bahwa Pembanding dalam Memori Banding tersebut, pada pokoknya menyatakan putusan Pengadilan Agama dalam rekonvensi adalah keliru, terdapat
kesalahan
mempertimbangkan
dalam gugatan
menilai
peristiwa
rekonvensi
hukum,
Pembanding
karena
agar
tidak
Terbanding
diwajibkan untuk memberikan kepada Pembanding berupa uang mut’ah sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah (100 hari) sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan nafkah lampau selama 43 bulan sebesar Rp 86.000.000,00 (delapan puluh enam juta rupiah), yang seluruhnya harus diberikan pada saat sidang pembacaan ikrar talak; Bahwa selanjutnya Pembanding memohon kepada Pengadilan Tinggi Agama agar membatalkan
putusan Pengadilan Agama tersebut,
dan
menjatuhkan putusan dengan menolak permohonan Pemohon Konvensi untuk seluruhnya
dan
mengabulkan
gugatan
Penggugat
Rekonvensi
untuk
seluruhnya, serta membebankan biaya perkara kepada Terbanding. Dan jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya; Bahwa Memori Banding tersebut telah diberitahukan dan diserahkan kepada Terbanding pada tanggal 9 Januari 2017, dan terhadap Memori Banding tersebut Terbanding tidak mengajukan Kontra Memori Banding, namun tidak ada surat keterangan yang dibuat Panitera Pengadilan Agama Palembang mengenai Terbanding yang tidak megajukan Kontra Memori Banding dalam perkara tersebut;
Bahwa terhadap para pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas perkara banding (inzage), masing-masing kepada kuasa hukum Pembanding dan kepada Terbanding sesuai relaas pemberitahuan tanggal Januari
2017.
Dan
berdasarkan
Surat
Keterangan
Panitera
9
Nomor
1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal 9 Januari 2017, Pembanding maupun Terbanding atau kuasa hukumnya tidak datang memeriksa berkas perkara; Bahwa permohonan banding tersebut telah didaftar dalam register perkara banding Pengadilan Tinggi Agama Palembang pada tanggal 20 Februari 2017 dengan Nomor 11/Pdt.G/2017/PTA Plg., dan telah diberitahukan kepada Pembanding dan Terbanding dengan surat Nomor W6-A/408/HK.05/II/ 2017, tanggal 20 Februari 2017; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa Pembanding mengajukan banding pada tanggal 20 Desember 2016, dan Pembanding hadir pada sidang pengucapan putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal 13 Desember 2016. Dengan demikian permohonan banding tersebut diajukan masih dalam tenggat masa banding sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan, yakni masih dalam masa tenggat 14 (empat belas) hari. Atas dasar itu, permohonan banding Pembanding secara formal dapat diterima; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah mempelajari dan meneliti dengan saksama salinan resmi Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal 13 Desember 2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 13 Rabiulawal 1438 Hijriah serta berkas perkara yang terdiri dari berita acara sidang dan surat-surat lainnya yang berhubungan
dengan
pertimbangan
hukum
perkara
ini
Pengadilan
dan Agama
setelah
pula
memperhatikan
yang
memutus
perkara
ini,
selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan sebagai berikut; DALAM KONVENSI : Menimbang, bahwa Pemohon Konvensi/Terbanding mengajukan permohonan cerai talak terhadap Termohon Konvensi/Pembanding dengan
alasan perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus menerus dalam rumah tangga sehingga tidak mungkin lagi hidup rukun sebagai suami istri, sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Sidang tanggal 6 dan 20 September 2016 yang dihadiri oleh Pemohon Konvensi/Terbanding dan Termohon Konvensi/Pembanding dengan didampingi oleh kuasa hukum masing-masing pihak, Pengadilan Agama telah melakukan upaya perdamaian di depan sidang maupun upaya perdamaian melalui proses mediasi yang dihadiri para pihak materiil melalui mediator, Dra. Hj. Ristina, HM Nun, Hakim Pengadilan Agama Palembang, namun tidak berhasil sesuai laporan mediator tanggal 13 September 2016; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan Tinggi Agama Palembang berpendapat bahwa upaya perdamaian di depan sidang maupun upaya perdamaian melalui proses mediasi telah dilaksanakan terhadap para pihak materiil dalam perkara a quo sesuai Pasal 154 ayat (1) jo. Pasal 65 dan 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009, serta telah memenuhi pula ketentuan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama sependapat dengan pertimbangan dan putusan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan izin ikrar talak yang diajukan oleh Pembanding, dengan pertimbangan sebagaimana yang akan diuraikan dibawah ini; Menimbang,
bahwa
pertimbangan
Pengadilan
Agama
dalam
putusannya (hlm. 14 alinea kedua s.d. hlm. 17 alinea keempat) terkait dengan dasar hukum dan alasan perceraian maupun dalil-dalil permohonan Pemohon Konvensi/Terbanding serta dalil-dalil jawaban dan/atau bantahan Termohon
Konvensi/Pembanding, penilaian terhadap alat-alat bukti surat P.1 dan P.2, bukti surat T.1 dan T.2 serta keterangan saksi-saksi para pihak di persidangan, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama menilai pertimbangan hukum tersebut sudah tepat dan benar dan pula telah didengar keterangan saksi keluarga dan/atau orang-orang dekat dengan para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka pertimbangan hukum tersebut diambil alih sebagai pendapat dan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama sendiri; Menimbang, bahwa dari konstatering Hakim pemeriksa perkara terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon Konvensi/Terbanding serta dalil-dalil jawaban dan/atau bantahan Termohon Konvensi/Pembanding, dihubungkan dengan alat bukti surat dan saksi-saksi para pihak yang telah didengar keterangannya di depan sidang, maka terbukti bahwa dalam rumah tangga keduanya mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran sejak Agustus 2012 atau sekitar 3 (tiga) bulan setelah menikah tanggal 27 Mei 2012, pada saat itu keduanya masih tinggal bersama di rumah orang tua Pemohon Konvensi/ Terbanding di Palembang, kemudian Termohon Konvensi/ Pembanding sering pergi ke rumah pamannya di Sukawinatan dan keduanya tinggal bersama lagi di rumah susun setelah dijemput oleh Pemohon Konvensi/ Terbanding; Menimbang, bahwa perselisihan dan pertengkaran itu terus berlanjut yang mengakibatkan keduanya telah pisah tempat tinggal selama 4 (empat) tahun lebih, yaitu ketika Termohon Konvensi/Pembanding pergi dari kediaman bersama pada bulan Oktober 2012 lalu Termohon Konvensi/ Pembanding tinggal di rumah SAUDARA KANDUNG PEMBANDING (saudara kandung Termohon Konvensi/Pembanding) di Palembang hingga perkara ini diputus di tingkat pertama, tanggal 13 Desember 2016, atau selama 4 (empat) tahun 7 (tujuh) bulan hingga perkara ini diputus di tingkat banding dan pula selama Pemohon Konvensi/Terbanding pisah tempat tinggal dengan Termohon Konvensi/Pembanding, tidak ada lagi komunikasi atau hubungan yang baik antara keduanya;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut di atas maka terbukti rumah tangga Pemohon Konvensi/Terbanding dan Termohon Konvensi/ Pembanding telah retak dan pecah, keduanya telah pisah tempat tinggal selama 4 (empat) tahun 7 (tujuh) bulan hingga perkara ini diputus di tingkat banding serta tidak ada lagi komunikasi atau hubungan yang baik antara keduanya, sejalan dengan kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 379 K/AG/1995, tanggal 26 Maret 1997 yang menyatakan bahwa “suami istri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali, maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak dan pecah dan telah memenuhi Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”; Menimbang, bahwa dari pembuktian tersebut di atas ditemukan fakta bahwa
Pemohon
Konvensi/Terbanding
dengan
Termohon
Konvensi/
Pembanding telah berpisah tempat tinggal dan tidak hidup bersama lagi dalam satu rumah tangga selama 4 (empat) tahun lebih sebagaimana layaknya suami istri yang masih rukun dan keduanya telah sulit didamaikan untuk hidup rukun kembali sebagaimana layaknya suami istri dalam rumah tangga. Selama pemeriksaan perkara ini Pemohon Konvensi/Terbanding di depan sidang menyatakan tetap pada pendiriannya untuk bercerai dengan Termohon Konvensi/Pembanding dan sementara itu Termohon Konvensi/Pembanding dalam jawabannya yang semula menyatakan tetap ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya, kemudian di dalam Duplik dan Memori Bandingnya menyatakan keutuhan rumah tangganya sudah sulit dipertahankan untuk rukun kembali sebagai suami istri; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta‐fakta hukum di atas, maka terlepas dari apapun yang melatarbelakangi perpisahan rumah tersebut, Pengadilan Tinggi Agama menilai rumah tangga keduanya telah retak dan pecah sudah sehingga telah sulit dipertahankan untuk rukun kembali sebagai suami istri, hal mana sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 273 K/AG/1998 tanggal 17 Maret 1999, yang mengandung abstraksi hukum bahwa “cekcok, hidup berpisah tidak dalam satu tempat kediaman bersama, salah satu
pihak tidak berniat untuk meneruskan kehidupan bersama dengan pihak lain, merupakan fakta yang cukup sesuai alasan perceraian Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah
Nomor
9
Tahun
1975
tentang
Pelaksanaan
Undang‐undang Nomor 1 Tahun 1974” ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa Pemohon Konvensi/ Terbanding telah dapat membuktikan dalil-dalil permohonan a quo, maka terhadap petitum permohonan Pemohon Konvensi/Terbanding pada angka 1 dan 2 dapat dikabulkan, karena alasan perceraian a quo telah memenuhi Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan selanjutnya kepada Pemohon Konvensi/Terbanding diberi izin untuk mengikrarkan talak satu raj’i terhadap Termohon Konvensi/ Pembanding di depan sidang Pengadilan Agama Palembang, sesuai Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian maka pertimbangan Pengadilan Agama dalam putusannya (hlm. 14 alinea kedua s.d. hlm. 17 alinea keempat) dan amar putusan pada angka 1 dan 2 sudah tepat dan benar sehingga dapat dipertahankan; Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengenai kewajiban Panitera untuk mengirimkan salinan penetapan ikrar kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman para pihak dan wilayah Pegawai Pencatat
Nikah
tempat
perkawinan
dilangsungkan,
hal
mana
tidak
dipertimbangkan dan diputus oleh Pengadilan Agama maka Pengadilan Tinggi Agama perlu menambahkan amar putusan yang memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Palembang untuk mengirimkan salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kalidoni, Kota Palembang dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Kecil, Kota Palembang, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
DALAM REKONVENSI Menimbang, bahwa gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Pembanding pada saat menyampaikan jawaban secara tertulis di depan sidang pada tanggal 20 September 2016, hal mana telah sesuai ketentuan Pasal 158 ayat (1) RBg.; Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding dalam surat jawabannya mengajukan gugatan rekonvensi hak hadhanah dan nafkah anak sejumlah Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) setiap bulan hingga anak berusia 21 tahun, menuntut mut’ah berupa uang sejumlah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dan nafkah lampau yang dilalaikan (nafkah madhiyah) selama 43 bulan sejumlah Rp 86.000.000,00 (delapan puluh enam juta rupiah). Selanjutnya Penggugat Rekonvensi/Pembanding menuntut pula agar kewajiban Tergugat Rekonvensi/ Terbanding memberikan nafkah anak dan mut’ah serta nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah dan nafkah madhiyah tersebut, seluruhnya harus diberikan kepada Penggugat Rekonvensi/ Pembanding pada saat sidang pembacaan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama Palembang; Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi Agama mempelajari pertimbangan hukum dan amar putusan Pengadilan Agama dalam rekonvensi, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama tidak seluruhnya sependapat dengan pertimbangan dan amar putusan Pengadilan Agama tersebut dengan uraian pertimbangan sebagai berikut; Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengajukan gugatan rekonvensi sebagaimana terurai dalam surat jawaban tersebut, dibuat dan ditandatangani oleh kuasa hukumnya, Sulaimansyah Kadir, S.H., tanggal 20 September 2016, berdasarkan surat kuasa khusus, tanggal 18 Agustus 2016, telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Palembang dengan register Nomor 0521/SK/VIII/2016/PA Plg., tanggal 18 Agustus 2016, dan di dalam surat kuasa dimaksud tidak disebutkan secara khusus mengenai
pemberian hak dan wewenang kepada kuasa hukum untuk mengajukan gugatan rekonvensi dalam perkara cerai talak tersebut; Menimbang, bahwa berkaitan dengan surat kuasa khusus tersebut telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya (hlm. 21 alinea kesatu dan kedua) yang menyatakan bahwa dalam Surat Kuasa Khusus Penggugat Rekonvensi/Pembanding, tanggal 18 Agustus 2016 ternyata tidak mencantumkan bahwa kuasa hukum Penggugat Rekonvensi/Pembanding juga diberi wewenang untuk menggugat hak hadhanah dan nafkah anak, yang seharusnya wewenang tersebut dicantumkan dalam surat kuasa khusus tersebut secara tegas dan jelas sesuai Pasal 123 HIR/147 RBg. dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, sehingga menurut Pengadilan Agama, gugatan tersebut tidak dipertimbangkan lagi dan harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa menurut Pengadilan Tinggi Agama, syarat formil surat kuasa khusus tidak disebutkan secara rinci dalam Pasal 142 ayat (1) dan 147 RBg., namun dalam praktek peradilan dan sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, bahwa di dalam surat kuasa khusus harus disebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa untuk berperan di Pengadilan, menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak, menyebutkan secara ringkas dan konkrit pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara, dan menyebutkan kompetensi relatif, yakni di Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri mana kuasa tersebut akan dipergunakan untuk mewakili pemberi kuasa; Menimbang, bahwa surat kuasa khusus Penggugat Rekonvensi/ Pembanding tersebut kepada Sulaimansyah Kadir, S.H., selaku kuasa hukumnya dalam perkara ini telah memenuhi syarat formil dimaksud, termasuk yang menyangkut isi atau materi surat kuasa itu sendiri yang secara jelas diuraikan batas-batas kewenangan penerima kuasa untuk menjalankan kuasanya, kecuali yang berkaitan dengan gugat rekonvensi a quo yang ternyata di dalam surat kuasa itu tidak disebutkan secara tegas dan jelas mengenai pemberian hak dan kewenangan kepada penerima kuasa untuk mengajukan gugat rekonvensi dalam perkara ini, sehingga gugatan rekonvensi yang
diajukan oleh seorang kuasa yang tidak diberi kuasa untuk mengajukan gugatan rekonvensi, harus dinyatakan tidak dapat diterima” (vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 475 K/Sip/1981, tanggal 30 September 1981); Menimbang, bahwa akan tetapi di dalam beberapa kali sidang pemeriksaan perkara tersebut, Penggugat Rekonvensi/Pembanding materiil hadir sendiri di depan sidang dengan didampingi kuasa hukumnya, termasuk pada saat surat jawaban yang disertai gugatan rekonvensi diajukan dan dibacakan di depan sidang tanggal 20 September 2016, sejalan dengan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 425.K/Pdt/1984, tanggal 30 September 1985, bahwa : “ … sebenarnya Surat Kuasa tersebut tidak bersifat khusus, akan tetapi karena Penggugat hadir sendiri didampingi kuasanya maka menjadi jelas/pasti bagi Tergugat bahwa Penggugat benar telah memberi kuasa kepada kuasanya yang dimaksud. Oleh karena itu pula Tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap Surat Kuasa tersebut”, oleh karenanya kuasa hukum Penggugat Rekonvensi/Pembanding diberi hak pula untuk mengajukan gugatan rekonvensi a quo dalam perkara ini; Menimbang,
bahwa
ternyata
Pengadilan
Agama
tidak
mempertimbangkan kehadiran Penggugat Rekonvensi/Pembanding materiil yang hadir sendiri di depan sidang dengan didampingi kuasa hukumnya, termasuk pada saat surat jawaban dan gugatan rekonvensi diajukan dan dibacakan di depan sidang tanggal 20 September 2016, maka pertimbangan dan putusan Pengadilan Agama sebagaimana terurai dalam putusannya (hlm. 21 alinea kesatu dan kedua) yang menyatakan gugatan tersebut tidak dipertimbangkan lagi dan harus dinyatakan tidak dapat diterima, adalah tidak tepat dan tidak benar sehingga tidak dapat dipertahankan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Pengadilan Tinggi Agama, gugatan rekonvensi hak hadhanah dan nafkah anak maupun gugatan rekonvensi mengenai mut’ah, nafkah, maskan dan kiswah selama dalam sebagaimana
diuraikan
dalam
iddah serta nafkah madhiyah
jawaban/gugatan
rekonvensi
Penggugat
Rekonvensi/Pembanding, telah memenuhi syarat dan sesuai ketentuan yang
berlaku sehingga gugatan rekonvensi a quo dapat diterima dan akan dipertimbangkan lebih lanjut dalam putusan ini; Menimbang,
bahwa
petitum
gugatan
Penggugat
Rekonvensi/
Pembanding pada angka 2 mengenai gugatan hadhanah dalam perkara a quo menuntut
anak
Penggugat
Rekonvensi/Terbanding,
yang
Rekonvensi/Pembanding bernama
ANAK
dengan
Tergugat
PEMBANDING
dan
TERBANDING, lahir di Palembang tanggal 11 Maret 2013, agar ditetapkan berada di bawah hadhanah Penggugat Rekonvensi/Pembanding, dengan alasan bahwa anak tersebut masih kecil sehingga masih sangat membutuhkan kasih sayang dari Penggugat Rekonvensi/Pembanding selaku ibu kandungnya yang saat ini anak tersebut berada dalam pemeliharaan Penggugat Rekonvensi/ Pembanding, sedangkan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab Tergugat Rekonvensi/Terbanding. Hal tersebut tidak dibantah secara tegas oleh Tergugat Rekonvensi/Terbanding di depan sidang, maka Pengadilan Tinggi Agama menilai dalil gugatan rekonvensi tersebut diakui dan dibenarkan oleh Tergugat Rekonvesi/Terbanding; Menimbang, bahwa dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan
mendidik
anak-anaknya
semata-mata
berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anakanak, Pengadilan memberi keputusannya. Dan di dalam Pasal 156 huruf a Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
ketentuan
tersebut,
maka
permasalahan hak hadhanah paska terjadinya perceraian sangat berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan anak, sehingga gugatan pemeliharaan anak (hadhanah) dalam gugatan a quo harus didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child) berdasarkan Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 3 Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Menimbang, bahwa selanjutnya di dalam Pasal 2 Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi : a) non diskriminasi; b) kepentingan yang terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d) penghargaan terhadap pendapat anak; Menimbang, bahwa gugatan hadhanah yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Pembanding berikut alasan-alasannya sebagaimana yang telah diuraikan di atas adalah didasarkan kepada kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 2 dan Pasal 3 Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pula tidak ada bantahan dan/atau kekhawatiran Tergugat Rekonvensi/Terbanding bilamana anak tersebut tetap berada pada Penggugat Rekonvensi/ Pembanding, maka mendahulukan kepentingan dan keselamatan anak adalah yang paling utama (vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 03 PK/AG/2010, tanggal 11 Juni 2010 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 199 K/Ag/2014, tanggal 17 Juni 2014); Menimbang, bahwa anak Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan Tergugat Rekonvensi/Terbanding, yang bernama ANAK PEMBANDING dan
TERBANDING, lahir di Palembang tanggal 11 Maret 2013, yang saat ini telah beruumur 4 tahun 2 bulan (belum mumayyiz), sejak lahirnya telah ikut dan tinggal bersama Penggugat Rekonvensi/Pembanding hingga perkara ini diputus di Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga fakta ini menunjukkan keadaan yang perlu dipertahankan karena berkaitan dengan kepentingan anak itu sendiri, sesuai kaidah hukum Islam (Dr. Abdul Karim Zaedan : Al-Wajiz Syarh Kitab al Qawaid al Fiqhiyah fie Asy Asyari’ah al Islamiyah, Tahun 2001, Beirut, Libanon, hlm. 39) yang menegaskan bahwa :
َﺻ ُﻞ ﺑَـ َﻘﺎءُ َﻣﺎ َﻛﺎ َن َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ َﻛﺎ َن ْ اﻷ Artinya : “Hukum asal segala sesuatu adalah tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.” Menimbang, bahwa pertimbangan hukum tersebut sejalan pula dengan pendapat ahli Fiqh Islam, Wahbah al Zuhaily, yang selanjutnya diambil alih sebagai pertimbangan dan pendapat majelis, bahwa “hadhanah adalah merupakan hak bersama antara kedua orang tua anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah maka yang diutamakan adalah hak anak” (Wahbah Zuhaili : al Fiqh al Islam wa Adillatuhu Juz VII, Damaskus, Daar al Fikr, 1984, hlm. 679); Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka petitum angka 2 mengenai gugatan rekonvensi hak hadhanah atas anak Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan Tergugat Rekonvensi/ Terbanding, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING, umur 4 tahun 2 bulan, dapat dikabulkan dan ditetapkan berada di bawah hadhanah Penggugat Rekonvensi/Pembanding hingga anak tersebut berumur 21 tahun atau dewasa, tanpa menghalangi dan atau mengurangi hak-hak Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk membina hubungan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak selaku ayah kandungnya; Menimbang, bahwa pada saat perkara ini diputus di Pengadilan, anak Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan Tergugat Rekonvensi/Terbanding, bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING, umur 4 tahun 2 bulan,
berada dalam pemeliharaan Penggugat Rekonvensi/ Pembanding, kemudian dalam petitum angka 2 tersebut Penggugat Rekonvensi/Pembanding menuntut pula agar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab Tergugat Rekonvensi/Terbanding. Dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama Palembang berpendapat bahwa gugatan rekonvensi a quo beralasan menurut hukum sesuai ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan
bahwa
nafkah
anak
menjadi
tanggungan
ayah
sesuai
kemampuannya; Menimbang, bahwa untuk menentukan jumlah nominal nafkah anak yang dinilai patut dan adil harus dipertimbangkan mengenai kebutuhan riil anak, kemampuan finansial ayah, dan angka kelayakan hidup minimum, hal mana sejalan pula dengan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 280 K/AG/2004 tanggal 10 November 2004 yang menegaskan : “Bahwa apabila telah terjadi perceraian, maka akibat perceraian harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan kapatutan dan keadilan, dan untuk menjamin kepastian dan masa depan anak perlu ditetapkan kewajiban suami untuk membiayai nafkah anak/anak-anaknya”. Menimbang,
bahwa
Penggugat
Rekonvensi/Pembanding
dalam
gugatan a quo tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai jumlah nafkah anak yang dituntut setiap bulannya, dan pula dalam pemeriksaan perkara a quo tidak ditemukan data dan/atau fakta mengenai penghasilan Tergugat Rekonvensi/Terbanding setiap bulan, karena Tergugat Rekonvensi/ Terbanding belum mempunyai pekerjaan tetap kecuali
membantu ibunya
berjualan kue dan/atau usaha percetakan sablon di rumahnya sehingga tidak diperoleh keterangan yang pasti tentang jumlah penghasilan faktual dari Tergugat Rekonvensi/Terbanding; Menimbang,
bahwa
namun
demikian,
hal
tersebut
tidak
menggugurkan kewajiban Tergugat Rekonvensi/Terbanding sebagai ayah untuk menafkahi anaknya, sehingga untuk menjamin kepastian dan masa depan anak perlu ditetapkan kewajiban Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk
memberikan nafkah anak yang berada dibawah hadhanah Penggugat Rekonvensi/Pembanding sesuai nilai-nilai kepatutan dan keadilan serta kemampuannya berdasarkan kriteria atau standar hidup layak minimum dan proporsional mengenai kebutuhan seorang anak secara umum, yaitu minimal sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap bulan, sejak ikrar talak dijatuhkan sampai dengan anak tersebut berumur 21 tahun atau dewasa di luar biaya pendidikan dan kesehatan; Menimbang, bahwa oleh karena fluktuasi nilai rupiah dan untuk memenuhi kebutuhan minimum anak yang berada dibawah hadhanah Penggugat Rekonvensi/Pembanding tersebut, maka perlu penambahan 10% per-tahun dari jumlah yang ditetapkan di luar biaya pendidikan dan kesehatan (vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 K/Ag/2016, tanggal 11 Februari 2016). Dengan demikian, petitum gugatan rekonvensi angka 6 dapat dikabulkan dengan penambahan persentase pembebanan nafkah anak tersebut setiap tahunnya di luar biaya pendidikan dan kesehatan; Menimbang, bahwa dalam petitum gugatan angka 3.a Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengajukan tuntutan mut’ah berupa uang sejumlah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan harus diberikan kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding pada saat sidang pembacaan ikrar talak, dengan alasan bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding masih berstatus istri sah Tergugat Rekonvensi/Terbanding. Dan jika Tergugat Rekonvensi/ Terbanding tetap hendak menceraikan Penggugat Rekonvensi/ Pembanding maka hak-hak Penggugat Rekonvensi/Pembanding harus diberikan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa tuntutan Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengenai mut’ah tersebut dibantah dengan tegas oleh Tergugat Rekonvesi/ Terbanding dengan alasan bahwa Tergugat Rekonvesi/Terbanding sedang tidak bekerja dan biaya hidup sehari-harinya ditanggung oleh orang tua Tergugat Rekonvesi/Terbanding, sehingga Tergugat Rekonvesi/Terbanding
hanya
mampu
memberikan
mut’ah
kepada
Penggugat
Rekonvensi/
Pembanding, sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan maupun dalil jawaban dan/atau
bantahan
para
pihak
mengenai
mut’ah
tersebut,
telah
dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya (hlm. 19 alinea ketiga s.d. hlm. 20 alinea kesatu), yang menyatakan bahwa mut’ah adalah pemberian dari suami kepada istri yang akan dicerai baik berupa benda atau uang sesuai dengan Pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena tidak ada kesepakatan mengenai hal itu dan tuntutan mut’ah sejumlah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tersebut terlalu besar dan tidak sesuai kemampuan Tergugat Rekonvesi/Terbanding, sesuai Pasal 158
huruf b
Kompilasi Hukum Islam, Tergugat Rekonvesi/Terbanding dihukum untuk memberikan mut’ah sesuai kesanggupannya kepada Penggugat Rekonvensi/ Pembanding sejumlah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah); Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama menilai pertimbangan hukum tersebut sudah tepat dan benar, namun tidak sependapat mengenai jumlah uang mut’ah yang ditetapkan tersebut. Selanjutnya perlu dikemukakan pendapat Abu Zahrah (seorang ahli hukum Islam) dalam kitabnya Al Ahwal al Syakhsyiyah hlm. 334, yang selanjutnya diambil alih sebagai pertimbangan majelis yang menyatakan :
Artinya : ”Apabila terjadi talaq sesudah hubungan suami isteri (ba’da al dukhul) tanpa ridha isterinya hendaknya bagi isteri diberi mut’ah setara dengan nafkah 1 (satu) tahun sesudah masa iddahnya”; Menimbang,
bahwa
Penggugat
Rekonvensi/Pembanding
tidak
keberatan dengan permohonan cerai talak ini (vide Berita Acara Sidang tanggal 14 Juni 2016), dan pula ikatan perkawinan keduanya yang telah berlangsung selama hampir 5 (lima) tahun ternyata hanya hidup rukun dan tinggal bersama sebagai suami istri selama 3 (tiga) bulan di rumah orang tua Tergugat Rekonvensi/ Terbanding, maka tuntutan Penggugat Rekonvensi/Terbanding
mengenai mut’ah tersebut terlalu besar, demikian pula dengan jumlah nominal mut’ah yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama, masih terasa berat bagi Tergugat Rekonvensi/Terbanding yang pekerjaannya membantu orang tuanya berjualan kue dan usaha sablon di rumah; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka yang dinilai layak dan patut menurut Pengadilan Tinggi Agama adalah sesuai dengan pernyataan kesanggupan dan kemampuan Tergugat Rekonvensi/Terbanding di depan sidang, sehingga Tergugat Rekonvensi/Terbanding harus dihukum untuk memberikan mut’ah berupa uang kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding sejumlah Rp 500.000.00 (lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian maka petitum gugatan rekonvensi pada angka 3.a. mengenai gugatan mut’ah dapat dikabulkan sebagian dan oleh karena itu pula maka amar putusan Pengadilan Agama pada angka 3 dan 4 tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan; Menimbang, bahwa dalam petitum gugatan angka 3.b, Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengajukan tuntutan nafkah, maskan dan kiswah selama
dalam
iddah,
dengan
alasan
bahwa
Penggugat
Rekonvensi/
Pembanding masih berstatus istri sah Tergugat Rekonvensi/Terbanding dan sejak Oktober 2012 Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak lagi memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding, maka sudah sepatutnya Tergugat
Rekonvensi/Terbanding diwajibkan untuk memberikan kepada
Penggugat Rekonvensi/Pembanding, nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah (100 hari), sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan harus diberikan pada saat sidang pembacaan ikrar talak; Menimbang, bahwa dalil gugatan rekonvensi tersebut di atas dibantah dengan tegas oleh Tergugat Rekonvensi/Terbanding, dengan alasan bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding telah berbuat nusyuz karena tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai istri. Penggugat Rekonvensi/ Pembanding telah meninggalkan kediaman bersama sejak Oktober 2012 dan lebih memilih untuk tinggal bersama dengan pamannya hingga saat ini. Meskipun telah berulang kali diajak oleh Penggugat Rekonvensi/ Pembanding untuk hidup rukun kembali sebagai suami istri, namun selalu ditolaknya dengan kasar,
bahkan paman dan bibi Penggugat Rekonvensi/ Pembanding melarangnya untuk ke rumah Tergugat Rekonvesi/Terbanding. Dan pula selama pernikahan, Tergugat Rekonvesi/Terbanding tidak mendapatkan hak-haknya sebagai suami, sehingga Penggugat Rekonvensi/ Pembanding tidak berhak atas nafkah iddah sesuai ketentuan Pasal 80 ayat (7) dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa sehubungan dengan dalil Tergugat Rekonvesi/ Terbanding tersebut, Penggugat Rekonvensi/Pembanding membantah telah berbuat nusyuz dengan alasan bahwa kepergiannya dari kediaman bersama pada bulan Oktober 2012 lalu tinggal di rumah saudara kandungnya, SAUDARA KANDUNG PEMBANDING, di Palembang, karena pada saat itu Penggugat Rekonvensi/Pembanding sedang hamil dan telah meminta izin kepada Tergugat Rekonvensi/ Terbanding dan orang tua Tergugat Rekonvensi/ Terbanding; Menimbang, bahwa selanjutnya Penggugat Rekonvensi/Pembanding mendalilkan bahwa setelah kepergiannya dari kediaman bersama pada bulan Oktober 2012 hingga diajukannya perkara ini ke Pengadilan, Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak pernah datang menjemput dan mengajak Penggugat Rekonvensi/Pembanding untuk tinggal bersama lagi sebagai suami istri,
sehingga
Tergugat
Rekonvensi/Terbanding
tetap
berkewajiban
memberikan nafkah iddah kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding; Menimbang, bahwa terhadap dalil Tergugat Rekonvensi/Terbanding maupun dalil bantahan Penggugat Rekonvensi/Pembanding berkaitan dengan permasalahan nusyuz tersebut, telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya (hlm. 18 alinea kelima dan keenam), namun dari uraian pertimbangan tersebut ternyata tidak disimpulkan ada dan/atau tidak adanya nusyuz istri dalam perkara a quo, sebagaimana yang didalilkan oleh Tergugat Rekonvensi/Terbanding maupun dalil bantahan Penggugat Pembanding;
Rekonvensi/
Menimbang,
bahwa
oleh
karena
dalil
Tergugat
Rekonvensi/
Terbanding tersebut dibantah oleh Penggugat Rekonvensi/Pembanding, maka para pihak dibebani pembuktian. Tergugat Rekonvensi/Terbanding dibebani untuk membuktikan adanya
nusyuz istri dan
Penggugat
Rekonvensi/
Pembanding dibebani untuk membuktikan apakah benar kepergiannya dari kediaman bersama pada bulan Oktober 2012 tersebut beralasan menurut hukum. Pembebanan pembuktian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 283 RBg. jo. Pasal 84 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam dan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 549 K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972, yang menegaskan bahwa : “berdasarkan yurisprudensi Hakim bebas untuk memberikan beban pembuktian, lebih tepat jika pembuktian dibebankan kepada yang lebih mampu untuk membuktikannya”; Menimbang, bahwa dua orang saksi Tergugat Rekonvensi/Terbanding telah didengar keterangannya di depan sidang, masing-masing bernama SAKSI
TERBANDING
I
(umur
38
tahun,
kakak
kandung
Pemohon
Konvensi/Terbanding) dan SAKSI TERBANDING II (umur 45 tahun, tetangga Pemohon Konvensi/Terbanding). Sedangkan
dua orang saksi Penggugat
Rekonvensi/Pembanding yang telah didengar keterangannya di depan sidang, masing-masing bernama SAKSI PEMBANDING I (umur 38 tahun, saudara kandung Termohon Konvensi/Pembanding) dan SAKSI PEMBANDING II (umur 51 tahun, tetangga Termohon Konvensi/ Pembanding); Menimbang, bahwa menurut Pasal 309 RBg. jo pasal 1908 KUH Perdata, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuaian (mutual conformity)
antara yang satu
dengan yang lain. Dengan kata lain keterangan saksi-saksi saling berhubungan maupun saling kaitan (link and match), atau keterangan yang mengandung koneksitas yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian menurut Pasal 308 ayat (1) dan (2) RBg. jo Pasal 1907 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, keterangan saksi-saksi harus disertai alasan dan sumber pengetahuan saksi, sehingga pendapat-pendapat atau perkiraan yang diperoleh dengan jalan
fikiran saksi, dugaan, perasaan, atau kesan pribadi saksi, bukan merupakan kesaksian dan harus dikesampingkan; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka pembuktian saksi dapat diterima sebagai alat bukti yang sah bila terpenuhi syarat formil dan syarat materiil secara kumulatif sehingga mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk mendukung kebenaran yang didalilkan. Atau paling sedikit satu orang saksi yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, dianggap sah dan dapat diterima sebagai alat bukti permulaan (begin van bewijs) dan untuk mencapai batas minimal pembuktian maka harus ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya di depan sidang (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 3405 K/Pdt/1983, tanggal 12 Februari 1983); Menimbang, bahwa saksi-saksi para pihak telah dewasa dan masingmasing telah memberikan keterangan di depan sidang setelah bersumpah menurut agamanya, telah memenuhi syarat formil saksi sebagaimana ditentukan Pasal 171, 172 dan 175 RBg. sehingga keterangan para saksi tersebut dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun mengenai syarat materiil kesaksian, Pengadilan Tinggi Agama akan menilai keterangan saksi-saksi tersebut berdasar kesamaan dan atau saling berhubungan antara saksi yang satu dengan saksi yang lainnya serta hubungannya dengan alat bukti lain, sebagaimana dipertimbangkan berikut ini; Menimbang, bahwa pada pokoknya saksi pertama maupun saksi kedua dari pihak Tergugat Rekonvensi/Terbanding menerangkan di depan sidang bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding pergi dari kediaman bersama dan bertempat tinggal di rumah pamannya di Sukawinatan disebabkan permasalahan Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dan setelah kejadian tersebut, Tergugat Rekonvensi/Terbanding dan keluarga lainnya telah berusaha menjemputnya untuk rukun kembali sebagai suami istri namun Penggugat Rekonvensi/ Pembanding menolaknya; Menimbang, bahwa meskipun keterangan dua orang saksi Tergugat Rekonvensi/Terbanding tersebut saling bersesuaian dan berhubungan dengan
perkara ini, namun Pengadilan Tinggi Agama menilai keterangan kedua orang saksi tersebut tidak berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan tetapi merupakan kesan dan/atau kesimpulan saksi sebagaimana dimaksud Pasal 308 ayat (1) dan (2) RBg. dan Pasal 1907 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri fakta peristiwa itu sehingga kesaksian tersebut bersifat testimonium de auditu; Menimbang, bahwa selain itu, tidak satupun dari keterangan dua orang saksi tersebut yang menerangkan tentang kapan dan siapa saja dari keluarga Tergugat Rekonvensi/Terbanding yang telah berusaha menjemput Penggugat Rekonvensi/Pembanding di rumah pamannya untuk rukun kembali sebagai suami istri namun Penggugat Rekonvensi/Pembanding menolaknya, sehingga nilai kesaksian tersebut hanya dapat diterima sebagai alat bukti permulaan (begin van bewijs). Dan untuk mencapai batas minimal pembuktian, maka harus ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya di depan sidang (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 3405 K/Pdt/1983, tanggal 12 Februari 1983); Menimbang, bahwa ternyata dalil Tergugat Rekonvensi/Terbanding berkaitan dengan nusyuznya istri hanya dikuatkan oleh keterangan dua orang saksi yang bersifat testimonium de auditu dan bernilai sebagai alat bukti permulaan (begin van bewijs), serta tidak ada lagi bukti lainnya yang diajukan dalam pemeriksaan a quo, maka Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak dapat membuktikan dalilnya bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding telah berbuat nusyuz; Menimbang, bahwa sementara itu, saksi pertama maupun saksi kedua dari pihak Penggugat Rekonvensi/Pembanding, pada pokoknya menerangkan di depan sidang bahwa setelah menikah Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan Tergugat Rekonvensi/Terbanding, keduanya tinggal bersama di rumah orang tua Tergugat Rekonvensi/Terbanding. Kemudian pada bulan Oktober 2012 Penggugat Rekonvensi/Pembanding pergi dari kediaman bersama dan
tinggal di rumah keluarganya karena sedang hamil 3 (tiga) bulan dan sering menderita sakit. Meskipun keterangan saksi kedua Penggugat Rekonvensi/ Pembanding mengenai kepergian Penggugat Rekonvensi/Pembanding dari kediaman bersama beserta alasan-alasannya tersebut bersifat testimonium de auditu, namun kesaksiannya berkaitan dengan perkara ini dan saling berhubungan dengan keterangan saksi pertama Penggugat Rekonvensi/ Pembanding; Menimbang, bahwa selain itu, saksi pertama Penggugat Rekonvensi/ Pembanding
telah melihat dan mengalami sendiri fakta peristiwa tersebut,
yang mana dalam kesaksiannya menerangkan bahwa pada bulan Oktober 2012, Penggugat Rekonvensi/Pembanding yang sedang hamil 3 (tiga) bulan meminta kepada saksi dijemput untuk ke rumah saksi karena Penggugat Rekonvensi/Pembanding sering menderita sakit. Ketika saksi menjemput Penggugat Rekonvensi/Pembanding, saksi terlebih dahulu meminta izin kepada Tergugat Rekonvensi/Terbanding dan Tergugat Rekonvensi/ Terbanding mengizinkannya; Menimbang, bahwa dalam kesaksiannya diterangkan pula bahwa saksi pertama Penggugat Rekonvensi/Pembanding pernah menghubungi Tergugat Rekonvensi/Terbanding via telepon agar menjemput Penggugat Rekonvensi/Pembanding di rumah saksi tapi tidak ditanggapinya. Dan selama Penggugat Rekonvensi/Pembanding tinggal di rumah saksi, tidak pernah dijemput oleh Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk tinggal bersama lagi sebagai suami isteri. Tergugat Rekonvensi/Terbanding hanya sekali saja menemui Penggugat Rekonvensi/Pembanding di rumah sakit, ketika Penggugat Rekonvensi/Pembanding melahirkan, lalu memberinya baju dan popok bayi serta uang tunai sejumlah Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah); Menimbang, bahwa dari pembuktian tersebut di atas, ternyata keterangan saksi-saksi Penggugat Rekonvensi/Pembanding a quo telah memenuhi batas minimal pembuktian, maka terbukti kepergian Penggugat Rekonvensi/Pembanding dari kediaman bersama pada bulan Oktober 2012 yang hingga saat ini tinggal bersama anaknya di rumah SAUDARA KANDUNG
PEMBANDING adalah beralasan menurut hukum, sehingga ditemukan fakta bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding tidak berbuat nusyuz. Menimbang, bahwa oleh karena dalam pemeriksaan judex facti di tingkat banding, terbukti Penggugat Rekonvensi/Pembanding sebagai istri tidak berbuat nusyuz, maka berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 149 huruf b dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam, maka Tergugat Rekonvensi/Terbanding diwajibkan untuk memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan untuk itu selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama memberikan pertimbangan sebagai berikut; Menimbang, bahwa dalam petitum gugatan angka 3.b Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengajukan gugatan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah, sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan harus diberikan kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding pada saat sidang pembacaan ikrar talak, dengan alasan bahwa Penggugat Rekonvensi/ Pembanding masih berstatus istri sah Tergugat Rekonvensi/ Terbanding. Hal mana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama Palembang dalam putusannya (hlm. 19 alinea kesatu dan kedua) yang menyatakan bahwa terlepas jawaban Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan replik Tergugat Rekonvensi/Terbanding, Pengadilan Agama mengambil ketentuan Pasal 41 huruf d Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga Tergugat Rekonvensi/ Terbanding diwajibkan membayar nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah; Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Pengadilan
Agama
dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa oleh karena selama itu antara Penggugat Rekonvensi/Pembanding dengan Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak ada kesepakatan masalah itu, lagi pula Penggugat Rekonvensi/Pembanding tidak dapat membuktikan berapa penghasilan Tergugat Rekonvensi/Terbanding, maka ditetapkan sendiri oleh Pengadilan Agama berdasarkan kepatutan dan kewajaran, sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) perbulan, selama 3 bulan berjumlah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah);
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama tidak sependapat dengan pertimbangan hukum dan amar putusan Pengadilan Agama tersebut karena kurang tepat, selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Palembang memberikan pertimbangan sebagai berikut; Menimbang, bahwa oleh karena terbukti Penggugat Rekonvensi/ Pembanding sebagai istri tidak berbuat nusyuz, maka berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (bukan Pasal 41 huruf d sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Pengadilan Agama Palembang) jo. Pasal 149 huruf b dan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam, maka Tergugat Rekonvensi/Terbanding diwajibkan untuk memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding dan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 608 K/AG/2003 tanggal 23 Maret 2005, serta sejalan pula dengan pendapat ahli hukum Islam dalam kitabnya Al Fiqh ‘ala Madzaahibil Arba’ah juz IV hlm. 576 yang menyatakan bahwa : “Sesungguhnya nafkah iddah itu wajib atas seorang suami untuk isterinya yang ditalak raj’i, baik merdeka atau budak”; Menimbang, bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi/Terbanding mengenai nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah tersebut terasa memberatkan dan tidak sesuai dengan kemampuan Tergugat Rekonvensi/ Terbanding yang hingga saat ini belum mempunyai pekerjaan tetap kecuali membantu orang tuanya berjualan kue dan/atau usaha sablon di rumahnya. Begitupun jumlah nominal nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama masih cukup berat bagi Tergugat Rekonvensi/Terbanding.
Oleh
karena
itu,
Pengadilan
Tinggi
Agama
memutuskan mengenai kewajiban Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah tersebut, yang dinilai patut dan adil sesuai kemampuan Tergugat Rekonvensi/Terbanding, adalah sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dengan demikian gugatan Penggugat Rekonvensi/Pembanding angka 3.b. tersebut dapat dikabulkan sebagian dan oleh karena itu pula, maka amar putusan Pengadilan Agama
Palembang pada angka 3 dan 4 mengenai gugatan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan; Menimbang, bahwa dalam petitum gugatan angka 3.c Penggugat Rekonvensi/Pembanding mengajukan gugatan nafkah lampau yang dilalaikan (nafkah madhiyah) selama 43 bulan, sejumlah Rp 86.000.000,00 (delapan puluh enam juta rupiah), yang seluruhnya harus diberikan kepada Penggugat Rekonvensi/Pembanding pada saat pembacaan ikrar talak, dengan alasan bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding tidak pernah lagi diberikan nafkah sejak Oktober 2012. Hal mana telah dibantah oleh Tergugat Rekonvensi/ Terbanding karena tidak menyanggupinya dan pula Penggugat Rekonvensi/ Pembanding pergi sendiri ke rumah pamannya dengan dijemput oleh saudaranya, SAUDARA KANDUNG PEMBANDING; Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan maupun dalil bantahan para pihak mengenai nafkah madhiyah tersebut telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya (hlm. 20 alinea ketiga) yang menyatakan bahwa oleh karena Penggugat Rekonvensi/Pembanding pergi dan pulang sendiri ke rumah oramg tuanya dengan dijemput saudaranya dan lebih memilih tinggal bersama pamannya sampai sekarang tidak pulang-pulang ke rumah Tergugat
Rekonvensi/Terbanding,
lagi
pula
Penggugat
Rekonvensi/
Pembanding tidak membuktikan apa pekerjaan dan berapa penghasilannya, sehingga menurut Pengadilan Agama Palembang, gugatan Penggugat Rekonvensi/Pembanding haruslah ditolak; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama tidak sependapat dengan pertimbangan hukum dan amar putusan Pengadilan Agama yang menolak gugatan nafkah madhiyah yang diajukan Penggugat Rekonvensi/ Pembanding karena tidak tepat dan tidak benar, dengan pertimbangan sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini; Menimbang, bahwa mengenai nafkah madhiyah yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Pembanding tersebut, maka Pengadilan Tinggi Agama perlu mengemukakan pendapat Jumhur Fuqaha sebagaimana dikutip oleh Asy
Sya’roni dalam kitabnya Al Mizan al Kubro, juz II, hlm. 139, selanjutnya diambil alih sebagai pertimbangan majelis dalam perkara ini, yang menyatakan :
Artinya : “Sesungguhnya kewajiban suami memberi nafkah kepada istri tidak gugur disebabkan lampaunya waktu, bahkan menjadi hutang yang harus dibayarkan oleh suami”; Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa Penggugat Rekonvensi/Terbanding terbukti tidak berbuat nusyuz dan nafkah lampau yang dilalaikan itu tidak dibantah oleh Tergugat Rekonvensi/ Pembanding, sehingga terbukti pula bahwa Tergugat Rekonvensi/ Terbanding telah melalaikan kewajibannya untuk memberikan nafkah istri selama 43 bulan, yaitu sejak Oktober 2012 sampai dengan diajukannya perkara ini ke Pengadilan pada bulan April 2016. Selain itu, tidak ada bantahan dari Tergugat Rekonvensi/Terbanding mengenai pekerjaan dengan membantu orang tuanya berjualan kue dan/atau usaha sablon di rumah sehingga mempunyai penghasilan dari pekerjaannya tersebut; Menimbang, bahwa meskipun
Penggugat Rekonvensi/Terbanding
tidak dapat menunjukkan mengenai penghasilan Tergugat Rekonvensi/ Terbanding, namun pada sisi yang lain Tergugat Rekonvensi/Terbanding tidak membantah mengenai pekerjaannya dengan membantu orang tuanya berjualan kue dan atau usaha
sablon di rumahnya, sehingga terbukti Tergugat
Rekonvensi/Terbanding mempunyai penghasilan dari pekerjaannya tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, maka kewajiban Tergugat Rekonvensi/Terbanding tersebut tidak gugur sehinga harus ditetapkan dan diwajibkan kepada Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk memberi nafkah madhiyah sesuai dengan kepatutan dan kemampuannya; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka gugatan madhiyah yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Terbanding tersebut sangat berat bagi Tergugat Rekonvensi/Terbanding, sehingga harus disesuaikan dengan kemampuan Tergugat Rekonvensi/Terbanding dari jumlah
penghasilan
yang didapatkan dengan pekerjaannya berjualan kue dan/atau
usaha sablon. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Pengadilan Tinggi Agama menghukum Tergugat Rekonvensi/ Terbanding untuk memberikan nafkah
madhiyah
tersebut
kepada
Penggugat
Rekonvensi/Terbanding,
sejumlah Rp 8.600.000,00 (delapan juta enam ratus ribu rupiah), sehingga gugatan Penggugat Rekonvensi/Terbanding a quo dapat dikabulkan sebagian; Menimbang,
bahwa
Penggugat
Rekonvensi/Pembanding
dalam
gugatan rekonvensi tersebut menuntut pula agar Tergugat Rekonvensi/ Terbanding diperintahkan melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nafkah anak dan mut’ah, nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah serta nafkah madhiyah, sebagaimana yang telah diwajibkan kepada Tergugat Rekonvensi/Terbanding,
sebelum
Tergugat
Rekonvensi/Pembanding
mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama Palembang, dan tuntutan tersebut tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama Palembang dalam putusannya; Menimbang, bahwa
berkaitan tuntutan Penggugat Rekonvensi/
Pembanding tersebut, Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa dalam amar putusan cerai talak tidak perlu ditambahkan kalimat yang memerintahkan Tergugat Rekonvensi/Terbanding untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai
sesaat
sebelum
atau
sesudah
pengucapan
ikrar
talak
karena
menimbulkan eksekusi premature, maka petitum gugatan rekonvensi a quo harus ditolak. Begitupun dengan tuntutan nominal dalam gugatan nafkah anak, nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah serta nafkah madhiyah harus pula ditolak. Dengan demikian, maka amar putusan Pengadilan Agama Palembang pada angka 5 yang menolak gugatan nafkah madhiyah tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama memutuskan dengan menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/ Pembanding untuk selain dan selebihnya; Menimbang,
bahwa
hal-hal
yang
telah
dipertimbangkan
oleh
Pengadilan Agama dalam putusannya dan tidak dipertimbangkan lagi atau tidak bertentangan
dengan
pertimbangan
Pengadilan
Tinggi
Agama
dalam
putusannya, maka dapat disetujui dan diambil alih sebagai pendapat dan pertimbangan sendiri dalam putusan ini. Adapun keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pembanding/Termohon Konvensi/Penggugat Rekonvensi beserta alasan-alasan di dalam Memori Bandingnya, tanggal 7 Januari 2017, merupakan pengulangan dari pemeriksaan perkara a quo di tingkat pertama, sehingga harus dikesampingkan dan tidak perlu dipertimbangkan; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, maka Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal
13 Desember
2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 13 Rabiulawal 1438 Hijriah, dalam rekonvensi, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan, selanjutnya Hakim Tingkat Banding akan mengadili sendiri perkara ini yang amar selengkapnya sebagaimana tersebut di bawah ini; Dalam Konvensi dan Rekonvensi : Menimbang, bahwa oleh perkara ini mengenai sengketa di bidang perkawinan, sesuai Pasal 89 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara dalam tingkat pertama dibebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Terbanding, sedangkan biaya perkara dalam tingkat
banding
dibebankan
kepada
Termohon
Konvensi/Penggugat
Rekonvensi/Pembanding; Memperhatikan pasal-pasal dari peraturan perUndang-undangan dan ketentuan lain serta hukum Syara’ yang berkaitan dengan perkara ini; MENGADILI I. Menyatakan permohonan banding Pembanding secara formal dapat diterima; II. Dalam Konvensi : Memperbaiki
Putusan
Pengadilan
Agama
Palembang
Nomor
1383/Pdt.G/2016/PA Plg., tanggal 13 Desember 2016 Masehi, bertepatan
dengan tanggal 13 Rabiulawal 1438 Hijriah sehingga amar selengkapnya sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon Konvensi seluruhnya; 2. Memberi izin kepada Pemohon Konvensi (TERBANDING) untuk menjatuhkan
talak
satu
raj’i
terhadap
Termohon
Konvensi
(PEMBANDING) di depan sidang Pengadilan Agama Palembang; 3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadian Agama Palembang untuk mengirimkan salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kalidoni, Kota Palembang dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Kecil, Kota Palembang untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu; Dalam Rekonvensi : Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1383/Pdt.G/ 2016/PA Plg., tanggal 13 Desember 2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 13 Rabiulawal 1438 Hijriah; MENGADILI SENDIRI 1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian; 2. Menetapkan anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, yang bernama ANAK PEMBANDING dan TERBANDING, umur 4 tahun 2 bulan, berada dalam pemeliharaan (hadhanah) Penggugat Rekonvensi hingga anak tersebut berusia 21 tahun atau dewasa; 3. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah anak yang tersebut pada diktum angka 2 di atas kepada Penggugat Rekonvensi, minimal sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap bulan, sejak ikrar talak dijatuhkan sampai dengan anak tersebut berumur 21 tahun (dewasa), dengan penambahan 10% setiap tahun dari jumlah yang telah ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan; 4. Menghukum
Tergugat
Rekonvensi
untuk
memberikan
kepada
Penggugat Rekonvensi : 4.1. Mut’ah berupa uang, sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
4.2. Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah, sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah); 4.3. Nafkah madhiyah selama 43 bulan, sejumlah Rp 8.600.000,00 (delapan juta enam ratus ribu rupiah); 5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya; Dalam Konvensi dan Rekonvensi : Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama, sejumlah Rp 301.000,00 (tiga ratus satu ribu rupiah); III. Membebankan kepada Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding, sejumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah); Demikian diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Palembang pada hari Jum’at, tanggal 19 Mei 2017 Masehi, bertepatan dengan tanggal 22 Syakban 1438 Hijriah oleh kami Drs. H. Kamil Umar Esa, S.H. sebagai Ketua Majelis serta Drs. Masrur, S.H., M.H. dan Drs. H. Muchtarom, S.H., M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut didampingi oleh Hakim Anggota dan dibantu oleh Dra. Rodiyati, sebagai Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Pembanding dan Terbanding; Hakim Anggota
Ketua Majelis
Drs. Masrur, S.H., M.H.
Drs. H. Kamil Umar Esa, S.H.
Hakim Anggota
Drs. H. Muchtarom, S.H., M.H. Panitera Pengganti
Dra. Rodiyati
Rincian biaya : 1. Administrasi
: Rp 139.000,00
2. Meterai
: Rp
6.000,00
3. Redaksi
: Rp
5.000,00
Jumlah
: Rp 150.000,00