Prospek Pertumbuhan Ekonomi Aceh dan Iklim Investasi Pasca BRR NAD-Nias1 Nazamuddin
[email protected] Abstrak
I.
PENDAHULUAN
Menjelang akhir tahun 2007 yang lalu, saya menulis sebuah refleksi The Aceh Institute berjudul “Dari ekonomi belas kasihan menuju ekonomi mandiri”. Saya menyebutkan bahwa tahun 2008 adalah titik balik yang penting dalam perjalanan pertumbuhan ekonomi Aceh. Mengapa? Karena mulai tahun ini, pemerintah Aceh akan menerima tidak kurang dari Rp. 18 triliun,yang terdiri dari antara lain Rp. 9,583 triliun DIPA sektoral (termasuk BRR), Rp. 604,4 milyar dana dekonsentrasi, Rp. 630 milyar tugas pembantuan, Rp. 6,3 triliun DAU dan Rp. 1 triliun DAK. Ditambah dengan sumber-sumber dana lain seperti PAD (diperkirakan sebesar Rp. 695 milyar), SILPA, dan pencairan dana cadangan, maka jumlahnya bisa mencapai lebih Rp. 12 triliun. Jumlah ini dapat mengimbangi menurunnya pendanaan BRR NAD-Nias yang sekarang dalam tahap berkemas untuk mengakhiri tugasnya. Tongkat estafet mulai beralih kepada pemerintahan Aceh sebagai penghela pertumbuhan ekonomi Aceh ke depan. II.
PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2008
Pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sangat bergantung pada bagaimana pemerintah Aceh mengelola ekonomi Aceh. Tentu saja, ekonomi Aceh tidak boleh lagi bergantung pada “belas kasihan” para donor dari luar. Kegiatan pembangunan tidak semata-mata dalam kerangka rehabilitasidan rekonstruksi, melainkan meletakkan landasan perekonomian yang mampu tumbuh secara mandiri dalam jangka panjang. Pikiran harus dicurahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan meningkatkan nilai tambah dalam rantaian kegiatan produksi barang dan jasa. Suatu perekonomian akan tumbuh secara mandiri (sustained growth) karena ditopang oleh kapital dan tenaga kerja (atau sumberdaya manusia berkualitas secara umum), ditambah dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daya saing
1
Makalah disampaikan pada Diskusi Awal Tahun 2008 DPD-I Partai Golkar Provinsi NAD, Sultan Hotel Banda Aceh, 12 Januari 2008.
ekonomi oleh karena itu mesti ditingkatkan dengan memperbesar skala produksi sehingga mampu menekan biaya satuan dan meraih keunggulan pemasaran.2 Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Aceh selama tiga tahun terakhir telah ditopang oleh derasnya aliran uang masuk ke Aceh dalam berbagai bentuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascabencana besar tsunami pada penghujung 2004. Menjelang penutupan tahun 2007, kini pikiran dan gagasan mesti ditujukan pada upaya meletakkan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi Aceh yang dapat bertahan dalam jangka panjang. Pertanyaannya adalah bagaimana proses transisi dari ekonomi belas kasihan (ekonomi bantuan) ke ekonomi mandiri yang memiliki fondasi kuat untuk pertumbuhan berkelanjutan di masa depan. Tantangan ke depan Ada beberapa tantangan utama dalam hal ini. Pertama, bagaimana bergerak dari pertumbuhan negatif (pertumbuhan ekonomi 2005 minus 13,4 persen) ke pertumbuhan positif. Dalam hal ini, perlu upaya-upaya dorongan besar (big push) agar pertumbuhan ekonomi tidak cukup 5 persen per tahun, apalagi lebih rendah, tapi pertumbuhan yang cukup tinggi untuk memperbaiki aset-aset kapital yang rusak dan hilang karena konflik yang panjang di masa lalu dan bencana tsunami. Investasi infrastruktur besar perlu dilakukan oleh pemerintah (jangan lagi program cilet-cilet yang tidak jelas ujung tujuannya). Investasi swasta diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja di luar pertanian. Ini bermakna juga bagaimana menjadikan struktur ekonomi Aceh seimbang dan modern, tidak sangat tergantung pada sektor pertanian tradisional yang berskala kecil dan penerapan teknologi yang rendah, melainkan kegiatan ekonomi yang meningkatkan nilai tambah pada setiap tahap dalam mata rantai produksi dan pemasaran. Kedua, bagaimana meningkatkan daya saing (competitiveness) ekonomi Aceh. Tidak mungkin menarik investor dari luar datang dan pengusaha lokal melakukan ekspansi usaha jika berbisnis mahal. Biaya berbisnis (the cost of doing business) di Aceh masih mahal karena beberapa alasan; infrastruktur belum memadai, birokrasi belum efisien, prosedur masih belum sederhana (program pelayanan satu atap hanya reklame kosong), dan pungutan illegal masih berlangsung. Ini hanya beberapa contoh tentang mahalnya berbisinis di Aceh, belum lagi orientasi ekonomi yang masih ke dalam (Medan dan Jawa), bukan ke luar. Daya saing juga dipengaruhi oleh inflasi yang tinggi (mencapai 41 persen pada 2005 dan masih lebih tinggi dari rata-rata nasional dua tahun belakangan ini). Secara umum, ekonomi Aceh perlu segera beralih dari bubble economy karena aliran dana bantuan kemanusian menuju sustainable economy yang berbasis kegiatan produktif masyarakat. Ketiga, bagaimana memberdayakan masyarakat miskin. Sekitar seperempat penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semestinya dapat memberi kontribusi dalam output daerah (PDRB) yang lebih besar jika mereka produktif dan tidak menganggur. 2
Semakin besar skala produksi, semakin menurun biaya per satuan barang yang dijual. Dengan demikian, harga jual dapat bersaing dengan produk dari negara atau daerah lain. Demikian pula, skala produksi yang lebih besar dapat membantu kontinuitas produksi, penerapan teknologi yang efisien, peningkatan mutu prouduk, dan karenanya dapat merebut pangsa pasar.
Karena mereka selama ini tersisihkan dari kemeriahan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi karena kurang pendidikan dan kurang keterampilan, maka upaya keras mesti dilakukan secara sistematik agar mereka menjadi penduduk produktif, tidak dengan membagi-bagi bantuan tunai atau kredit murah (seperti Program Peumakmue Nanggroe), melainkan dengan memberi peluang usaha yang muncul dari kegiatan ekonomi yang muncul sebagai dampak ikutan (spread effects) dari kegiatan investasi. Keempat, bagaimana menarik investasi dengan mengurangi risiko bisnis. Risiko selalu menjadi pertimbangan di samping keuntungan (return) dalam kalkulasi bisnis. Potensi Aceh dalam bidang ekonomi tidak perlu diragukan dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk promosi ke luar negeri. Peluang bisnis di Aceh tak diragukan lagi dapat memberi manfaat ekonomi besar tidak saja bagi investor tapi juga bagi pemerintah daerah. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana investor merasa aman dan tidak terganggu usahanya karena perhitungan bisnisnya meleset (akibat gangguan keamanan dan kriminalitas yang meningkat). Hal yang perlu dilakukan meliputi melahirkan praktek pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota yang tidak membebankan usaha bisnis, mengurangi risiko kerugian akibat tindakan kriminalitas atau kondisi keamanan lain, mengurangi potensi konflik horizontal antar kelompok masyarakat (antara orang kaya baru – OKB - dengan masyarakat yang termajinalkan), dan yang terakhir adalah membuat program reintegrasi tidak sebatas memberi bantuan hidup dan bantuan ekonomi, melainkan pemberdayaan mantan kombatan GAM agar mandiri secara ekonomi secara berkelanjutan. Dari rehabilitasi dan rekonstruksi kepada Ekonomi yang berkelanjutan Mulai tahun 2008, secara gradual terjadi peralihan dari BRR kepada pemerintah daerah sebagai penghela pertumbuhan ekonomi. Dana rehabilitasi dan rekonstruksi akan berkurang dari lebih Rp. 10 triliun pada tahun 2007 menjadi hanya sekitar Rp. 7 triliun pada 2008 dan akan turun terus pada tahun-tahun berikutnya. Tugas BRR adalah mengembalikan kondisi hingga perekonomian bergulir kembali secara normal melalui pemulihan aset-aset produktif pemerintah dan masyarakat. Dalam masa rekonstruksi BRR juga diharapkan berhasilkan meletakkan fondasi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak saja dalam arti tersedianya infrastruktur fisik (jalan, pelabuhan, bandara, dll.), melainkan juga infrastruktur lunak (regulasi, kelembagaan, pendidikan, kesehatan, kehidupan agama dan sosial, dll.). Dengan anggaran yang besar setiap tahun mulai tahun 2005 hingga April 2009 (masa tugas BRR berakhir), semestinya hal-hal ini terwujud nyata dalam tahun-tahun akhir masa tugas rehabilitasi dan rekonstruksi ini. Selanjutnya mulai tahun 2008, ibarat tongkat estafet, pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melanjutkan upaya rekonstruksi yang masih tersisa dan memperkuatnya lagi, tanpa BRR. Dana yang tersedia sangat besar, hanya saja kapasitas pemerintah daerah mengelola dana secara efektif masih diragukan. Diperkirakan pada tahun 2008, Aceh akan memperoleh tambahan dana bagi hasil migas yang diperkirakan mencapai Rp. 2,2 triliun dan bagian dana otonomi khusus yang diperkirakan mencapai jumlah Rp. 3.53 triliun. Total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) akan mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, beberapa pertanyaan atau bahkan keraguan masih tetap ada tentang apakah anggaran yang besar itu dapat menyejahterakan masyarakat Aceh. Apakah kewenangan khusus yang diberikan UUPA dapat optimal dengan kapasitas pemerintahan baru yang ada sekarang? Harapan yang tinggi digayutkan pada pemerintahan baru di Aceh yang dipilih langsung oleh rakyat. Meletakkan fondasi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan upaya besar dengan komitmen besar pula. Dana bagi hasil migas hanya diperoleh selama produksi minyak dan gas masih berlangsung dan nilainya signifikan. Dana otonomi khusus lebih merupakan kompensasi pemerintah pusat kepada Aceh atas ketidakadilan selama puluhan tahun, tapi itu pun untuk jangka waktu yang terbatas.3 Pemanfaatan tambahan dana bagi hasil migas dan dana otsus ini jika tidak hati-hati justru menyebabkan kemubaziran, di mana sekelompok elit menikmati, sementara masyarakat luas tidak terperbaiki nasibnya. Di masa depan Aceh tidak dapat mengharap banyak lagi dari sumberdaya alam Gas alam akan habis dalam waktu yang tidak lama lagi. Cadangan sumberdaya alam lainnya tidak seberapa dan masih diperlukan kajian ekonomi dan lingkungan secara cermat lebih dulu. Sebenarnya potensi pembangunan ekonomi dan sosial yang dapat diharapkan di masa mendatang dan pengelolaannya lebih berkelanjutan adalah sbb: a. Pengembangan lebih lanjut subsektor pertanian pangan dan holtikultura serta subsektor pertanian lainnya (perkebunan, peternakan, dan perikanan), dalam batas-batas tidak merusak lingkungan hidup (kawasan hutan lindung). b. Pengembangan perikanan laut, dengan memperhatikan terpeliharanya ekologi perairan di Aceh. c. Pengembangan di bidang agroindustri yang sangat strategis. Bidang ini dipercaya akan memperluas lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Di samping itu upaya peningkatan akses pasar dan perbaikan di sektor pemasaran produk yang terkait dengan sektor pertanian adalah hal yang perlu perhatian seksama di masa depan. Pengembangan agroindustri di tambah ”indusri kecil dan kerajinan rakyat” juga akan memperkuat ekonomi rakyat di pedesaan. d. Pengembangan pariwisata terutama ekowisata berpotensi untuk memperluas peluang kerja dan pendapatan masyarakat di pedesaan. Perlu diketahui peningkatan kesibukan usaha ekonomi rakyat di pedesaan dan perbaikan pendapatan mereka akan menunjang kepada upaya pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh. e. Pengembangan kembali potensi hutan non kayu dan pengembangan export dari produk hutan dan juga pengembangan ekowisata, merupakan sumberdaya ekonomi penting juga di masa depan Aceh. Hal ini tentunya sangat tergantung kepada kesungguhan pemulihan dan pemeliharaan lingkungan alam hutan, tidak dirusakkan oleh upaya pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. f. Pemulihan di bidang keamanan akan mendorong bergairahnya investor luar menanam modalnya di Aceh. Bergeraknya sektor swasta ini di segala strata
3
Dana otonomi khusus untuk periode 2008 hingga 2022 sebesar setara 2% dari total DAU nasional, dan untuk periode 2023 hingga 2028 setara 1% dari DAU nasional.
ditunjang oleh kemudahan finansial dari dunia perbankan sangat diperlukan bagi upaya rekonstruksi Aceh. g. Pengembangan SDM tidak bisa diabaikan. Bidang pendidikan dan kesehatan Aceh masih sangat tertinggal. Perbaikan di bidang ini akan sangat menunjang upaya di segala bidang lain. SDM yang lebih baik di masa akan datang membuka kesempatan pula bagi warga setempat merebut peluang kerja di luar daerah, mengingat perkembangan peluang kerja di daerah yang belum cukup berkembang ekonominya ini masih memerlukan waktu yang relatif panjang. h. Pemberdayaan PEMDA dan pengembangan budaya good governance dari apa yang telah ada sekarang ini akan mengundang rasa peduli dan kerjasama masyarakat secara lebih baik dalam upaya pembangunan daerah. III.
IKLIM INVESTASI PASCA BRR NAD-NIAS
IV.
PENUTUP
Perekonomian Aceh pada dasarnya harus beralih dari commodity-based economy kepada perekonomian yang berimbang antar sektor. Tidak perlu dikembangkan banyak komoditas dalam skala yang kecil-kecil, melainkan fokus pada komoditas tertentu yang kompetitif, mempunyai skala produksi yang besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Agroindustri dan agrobisnis dapat manjadi kandidat sektor pemimpin (leading sector) karena memiliki unsur-unsur yang disebutkan di atas. Sektor pariwisata dan perikanan juga dapat menjadi kandidat sebagai sektor yang menggiring ekonomi Aceh ke arah struktur yang seimbang dan tumbuh secara persisten dalam jangka panjang. Aceh tidak perlu berpikir swasembada (self-reliant) dalam semua barang, tetapi mencari peluang untuk spesialisasi dan partnership. Ubah orientasi dari “Pembangunan Wilayah” kepada “Pembangunan Manusia” dan menyediakan basic needs dan sosial assets. Penyediaan infrastruktur and fasilitas sosial/umum yang berkualitas tidak saja kondusif bagi investasi swasta, tetapi sekaligus mensejahterakan penduduk lokal. Ini juga bagian strategi “trust building”, membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas dalam anggaran pemerintah daerah. Berikan kesempatan yang luas bagi orang Aceh untuk belajar, mulai dari pendidikan dini usia dan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dan pendidikan usia lanjut (continuing education). Dengan demikian terbukalah peluang-peluang baru yang muncul dari kreativitas masyarakat sendiri. Jiwa kewirausahaan (enterepreneurship) yang sudah
ada dalam masyarakat Aceh sejak dulu kala harus dibangkitkan kembali dan dibina. Yang dibutuhkan oleh rakyat bukan modal, melainkan “kesempatan untuk berdaya atas kekuatan sendiri”. Dalam hal ini yang terpenting adalah “functionings” dan “entitlements”, dalam pengertian bahwa masyarakat menjadi aset produktif yang mampu mengembangkan dirinya dan mempunyai otoritas atau hak-hak dasar yang menjamin keberlangsungan kehidupannya. ***** Lampiran Total Dana Mengalir dalam Perekonomian Aceh Dana Pemerintah; 1. APBN 2. PAD 3. Dana Perimbangan 4. TDBH MIGAS 5. Dana Otsus
Rp. 9.583 milyar (terdiri dari BRR Rp. 7 tr, Dekon Rp. 604,4 m, Tugas Pembantuan Rp. 630 m) Rp. 695 milyar Rp. 7,7 terdiri dari ; a) Dana Bagi Hasil Pajak, b) Dana bagi hasil hidrokarbon dan SDA, c) DAU Rp. 6,3 tr, dan d) DAK Rp. 1 tr. Rp. 2,20 triliun Rp. 3,53 triliun
Sumber tambahan yang memungkinkan; 1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun 2007 2. Pencairan dana cadangan, diperkirakan sebesar Rp. 2,1 triliun (Rp. 1,5 triliun di antaranya Dana Pendidikan) Kredit perbankan
Rp. 5 tr
PMA dan PMDN
Rp..................................?
Investasi masyarakat
Rp..................................?