INVESTASI DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM1 Nazamuddin Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
I.
PENDAHULUAN Sejak dikeluarkannya UU No. 18/2001 yang menetapkan bahwa 30% pendapatan
daerah dari migas dan beberapa sumber penting lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) harus dialokasikan untuk pendanaan pendidikan, telah timbul berbagai kontroversi mengenai alokasi anggaran pendidikan tersebut. Berbagai kepentingan yang saling berbenturan telah menimbulkan perdebatan yang belum ada titik temunya. Yang berkembang selama ini adalah kepentingan-kepentingan sektoral, kedaerahan dan institusi. Jarang sekali argumentasi mengarah pada perspektif yang lebih luas, yakni pendidikan sebagai alat (means) untuk memacu pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan masyarakat), penyediaan kesempatan kerja, dan kesejahteraan sosial yang lebih luas. Peningkatan mutu pendidikan kurang dijadikan sasaran utama semua kebijakan pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada alokasi dana pendidikan Provinsi NAD yang “mengalir ke mana-mana” tanpa ada jaminan bahwa investasi dalam bidang pendidikan tersebut akan memberikan hasil sebagaimana diharapkan. Pendidikan adalah juga sebuah proses untuk mengembangkan pribadi seseorang secara keseluruhan dan karenanya tidak semata-mata merupakan proses pengkayaan akademik. Pendidikan juga tidak semata-mata demi kepentingan masyarakat dan karenanya dibiayai hanya oleh pemerintah semata. Pendidikan mengandung manfaat pribadi dan manfaat sosial sekaligus. Pendidikan juga dapat menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan dan karenanya keterlibatan swasta dapat terjadi. Dengan demikian pendidikan di Provinsi NAD tidak dapat dan tidak boleh dibiayai oleh pemerintah seluruhnya. Semua stakeholders dan beneficiaries dari penyelenggaraan pendidikan harus terlibat dan tidak terdapat hegemoni pemerintah di dalam menentukan isi dan proses
1
Makalah disampaikan pada Dialog Pendidikan yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Hotel Cakra Donya, Banda Aceh, 23 Desember 2002.
1
sebuah sistem pendidikan. Terlebih lagi di dalam era otonomi dan desentralisasi, tanggungjawab dan pembiayaan pendidikan dibagi-bagi kepada semua stakeholders. Karena belum adanya format yang baku tentang pelimpahan wewenang penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan selama ini, dana pendidikan NAD tahun anggaran 2002 sebesar Rp. 700 milyar pada akhirnya dialokasikan kepada 19 komponen (lihat Lampiran 1) yang sebagian tidak terkait langsung dengan peningkatan mutu pendidikan yang nyata, melainkan merupakan hasil dari sebuah “tarikan berbagai kepentingan politis dan kepentingan lain dari berbagai pihak”. Alokasi dana pendidikan tersebut juga tidak mengacu pada suatu kajian ilmiah dan pengalaman di bagian dunia lain, melainkan hanya merupakan kebijakan “trial and error” sehingga sebagian investasi tersebut dikhawatirkan sia-sia dan tidak mengarah pada pencapaian visi pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam. Jika keadaan demikian terus berlangsung tanpa perbaikan, maka alokasi dana pendidikan pada tahun-tahun mendatang yang mungkin berkurang jumlahnya justru akan semakin sia-sia. Pendidikan terkait erat dengan pengurangan kemiskinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan pada akhirnya percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pendidikan sebagai sebuah proses harus dikelola secara efisien dan mencapai sasaran yang tepat. Perencanaan pendidikan yang baik akan memberi kontribusi besar dalam pencapaian sasaran makro secara efektif dan efisien. Pendidikan yang dikelola dengan baik akan menjadikannya “sustainable”, yakni pendidikan adalah “sebab” dan sekaligus “akibat” dari kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberikan satu perspektif dari sudut ekonomi tentang penyelenggaraan pendidikan dan khususnya pendanaan pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. II.
INVESTASI DALAM BIDANG PENDIDIKAN BELUM MENJADI PRIORITAS Anggaran pendidikan Indonesia hanya sebesar 3,4 persen dari APBN pada tahun
2001 dan menurun menjadi hanya 2,69 persen pada tahun 2002 (Diknas, 2002). Bandingkan dengan Jepang (16,2 %), Korea (22,4%), Hongkong (17,4), Singapura (19.6%), dan Taiwan (19,8%) pada tahun 1990. Di kawasan ASEAN saja, Indonesia 2
masih lebih rendah dari Filipina (10,1%), Malaysia (18,8%), dan Thailand (20%) (Tan, 1999). Untuk Provinsi NAD, pengeluaran APBD untuk pendidikan masih sangat rendah, kecuali meningkat drastis sejak tahun anggaran 2002 (lihat Tabel 1). Table 1 Persentase alokasi APBD Provinsi NAD untuk pendidikan 1995-2002 Tahun anggaran
APBD (Rp)
Anggaran Untuk Pendidikan (Rp)
(%)
1995/1996
64,178,835,996
4,391,660,000
6.84
1996/1997
71,417,719,000
10,414,740,000
14.58
1997/1998
102,745,942,989
6,268,000,000
6.10
1998/1999
66,008,540,000
3,861,500,000
5.85
1999/2000
176,764,548,167
15,537,361,000
8.79
2000
173,186,860,862
19,586,754,000
11.31
2001
250,270,148,697
44,074,442,000
17.61
2002 1,572,094,258,442 Sumber: Bappeda Provinsi NAD
704,221,690,041
44.79*
Keterangan : * Rp. 4.221.690.041 diantaranya adalah proyek-proyek pendidikan 2001 yang ditunda.
Ditinjau dari sudut rasio pengeluaran pendidikan dari PDRB, angkanya masih rendah dibandingkan dengan angka nasional. Di Provinsi NAD, pengeluaran untuk sektor pendidikan pada tahun 2000 hanya 0,32 % dari PDRB nonmigas. Bandingkan dengan pengeluaran pendidikan di negara-negara lain pada Gambar 1. Malaysia, misalnya mengeluarkan 4,9 persen dari GNP. Minimnya anggaran negara untuk pendidikan adalah hasil dari rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, kurangnya kemampuan pemerintah dalam masa resesi, dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan. Terdapat
3
kekuatan tawar yang lebih besar di pihak lain, sehingga anggaran pendidikan kurang terperhatikan. Gambar 1: Pengeluaran Publik untuk Pendidikan % dari PNB 5 4,9
4,8
4 3,7 3,4
3
2,3
2
1
1,4 Indonesia
Korea
Malaysia
Filipina
Thailand
Cina
Sumber: UNDP (2000) Keterangan : Data tahun terakhir yang tersedia (1996-98)
Di Indonesia perubahan UUD 1945 pasal 31 ayat (3) mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya sekitar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Selama ini alokasi untuk pendidikan “dikalahkan” oleh kepentingankepentingan jangka pendek lain yang mendesak, termasuk untuk membayar hutang luar negeri. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui UU No. 18 Tahun 2001 telah menetapkan sekurang-kurangnya 30 persen dari penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialokasikan untuk pendidikan. Tetapi perencanaan sektor pendidikan yang belum baik menimbulkan kekhawatiran tentang inefisiensi dan inefektivitas pengeluaran pendidikan tersebut. Demikian pula rendahnya persentase alokasi anggaran kebupaten dan lemahnya kapasitas manajemen keuangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan seluruh kabupaten di NAD dapat menyebabkan rendahnya capaian kinerja di sektor pendidikan di masa yang akan datang.
4
Biaya pendidikan yang seharusnya di-share antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swasta dan masyarakat belum menunjukkan upaya yang optimal. Ketergantungan kepada pemerintah masih terlalu tinggi sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor pendidikan sangat mendominasi kinerja sektor pendidikan. Investasi masyarakat sendiri dan sektor swasta dalam bidang pendidikan masih rendah. Pengeluaran rata-rata per kapita untuk pendidikan di Provinsi NAD pada tahun 1999, misalnya, hanya sebesar 8,39 persen dari total pengeluaran untuk kelompok bukan makanan (Rp. 758.588 per tahun), atau hanya 0,03 persen dari total pengeluaran per kapita. Peran swasta di sektor pendidikan masih terbatas umumnya pada pendidikan tinggi dengan output dan kualitas hasil pendidikan yang rendah. Keadaan demikian membawa konsekuensi pendidikan yang bermutu rendah dan dampak ekonomi dan kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. “Ada yang berpendapat bahwa karena Indonesia tidak akan mungkin menjadi pemimpin dunia dalam merancang chip atau keahlian teknik membuat perangkat lunak, misalnya, maka tidak cukup beralasan untuk berinvestasi dalam pendidikan yang mendukung industri tersebut. Tetapi permasalahannya adalah bahwa tanpa tenaga kerja yang lebih berkualitas, Indonesia tidak akan dapat menarik keuntungan, bahkan dari efek berantai (spin-off effect) yang paling rendah dari produksi yang menggunakan teknologi tinggi“(UNDP, 2000). Pendidikan di Indonesia, termasuk di Provinsi NAD, dengan pembiayaan yang rendah lebih cenderung kepada menciptakan lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Bahkan ilmu-ilmu eksakta, pendidikan teknis dan vakasional agak terabaikan. Pada tingkat pendidikan tinggi, tidak saja jumlah lulusan yang tidak tertampung dalam pasar kerja yang semakin membengkak, tetapi kualitas dan link-and-match menjadi masalah besar, sehingga tenaga kerja Indonesia akan kalah bersaing dan pada akhirnya ekonomi Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara lain dalam era globalisasi. Dalam era desentralisasi, fenomena yang lebih menarik lagi adalah semakin kurangnya perhatian pada pembangunan pendidikan oleh kabupaten-kabupaten dan kotakota di Indonesia, tercermin pada rendahnya alokasi anggaran APBD untuk sektor pendidikan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu umumnya mendapatkan kesempatan
5
bersekolah di sekolah-sekolah publik yang tidak mempunyai fasilitas dan guru yang lebih baik, seperti halnya pada sekolah-sekolah swasta. Akibatnya terjadi segregasi yang pada akhirnya semakin memperparah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat antara golongan mampu dengan golongan kurang mampu. Anak-anak dari keluarga mampu akan mengenyam pendidikan yang relatif baik, dan karenanya mempunyai peluang lebih besar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan bahkan akses kepada kekuasaan karena status sosial ekonominya itu (Suryadi, 2002). III.
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Konklusi utama dari model pertumbuhan Solow adalah bahwa akumulasi modal fisik tidak dapat merupakan penyebab pertumbuhan antar waktu dalam output per pekerja atau perbedaan geografis dalam output per pekerja (David Romer, 1996). Hanya pertumbuhan dalam effectiveness of labor lah yang dapat membawa pertumbuhan yang permanen dalam output per pekerja. Yang menjadi faktor utama dalam efektivitas tenaga kerja adalah pendidikan dan pelatihan. Denison (1985 dalam McDonald, 1997) memberikan estimasi bahwa 20 persen dari pertumbuhan output per pekerja selama periode 1929-1982 di Amerika Serikat disebabkan oleh meningkatnya tingkat pendidikan dan pelatihan dari angkatan kerja. Menurut North (1990) sepanjang sebagian besar sejarah, insentif kelembagaan untuk melakukan investasi dalam ilmu pengetahuan produktif umumnya tidak ada, dan bahkan dalam perekonomian
Dunia ketiga dewasa ini insentif tersebut sering salah arah.
Kalaupun terdapat investasi pendidikan, sering pula investasi tersebut salah arah kepada pendidikan tinggi, bukan pendidikan dasar (yang sebenarnya mempunyai social rate of return yang lebih tinggi daripada pendidikan tinggi di negara-negara Dunia Ketiga). Selanjutnya kendatipun pasar swasta efisien, investasi terjadi melalui organisasiorganisasi sukarela. Jika pasar tidak sempurna, private rates of returns demikian rendahnya sehingga tidak menguntungkan bagi swasta menjalankannya, sehingga seharusnya pembiayaan pendidikan dasar harus diambil alih oleh pemerintah, sepanjang masyarakat menilai bahwa social rate of returns untuk pendidikan dasar adalah cukup tinggi.
6
Rendahnya investasi di sektor pendidikan, baik di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya, terkait erat dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan lambannya perubahan struktur ekonomi dan kesempatan kerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang rendah hanya sesuai untuk mengakomodasi pertumbuhan pertanian tradisional dan tidak untuk mempersiapkan diri menuju masyarakat industrial. Tetapi perubahan struktur yang lamban, dan karenanya pertumbuhan ekonomi yang lamban, juga adalah penyebab kurangnya kemampuan individu masyarakat dan pemerintah di dalam melakukan investasi di bidang pendidikan. Untuk Aceh, dilihat dari komposisi Produk Domestik Regional Bruto, sektor pertanian masih merupakan sektor dominan dengan kontribusi sebesar 41,38 persen dari PDRB Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 atas dasar harga konstan 1993, dengan kontribusi sektor industri pengolahan hanya sebesar 12,24 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 10,61 persen. Keadaan ini tidak banyak berubah selama beberapa tahun terakhir. Ini merupakan indikasi lambannya perubahan struktur ekonomi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan oleh karena itu, perubahan orientasi pendidikan juga tidak dilakukan untuk mengikuti perubahan tuntutan pasar kerja, yang pada umumnya mengarah pada tenaga kerja teknis yang terlatih. Kondisi masyarakat yang masih sangat agraris, dikombinasikan dengan perhatian atau prioritas pemerintah (nasional dan daerah) yang masih bertumpu pada komoditas atau sektor pertanian pada umumnya adalah penyebab lambannya perubahan struktur ekonomi tersebut. Selama puluhan tahun prioritas pembangunan diletakkan pada sektor pertanian (yang masih tradisional), dengan perhatian pada agroindustri dan industri pengolahan (manufaktur) yang rendah. Akibatnya pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak mampu ditampung di dalam sektor modern, sebagian tenaga kerja hanya terserap di kegiatan-kegiatan pertanian yang marjinal dan kegiatan ekonomi marjinal informal di perkotaan. Masalah pengangguran, khususnya setengah pengangguran, menjadi masalah besar dan memberi beban kepada pemerintah. Karena sektor swasta tidak berkembang dengan baik, tumpuan lapangan kerja yang segera adalah bekerja di sektor pemerintahan. Dan ini ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan membuka kesempatan kerja sebagai pegawai negeri sipil daerah, dengan konsekuensi membebani anggaran belanja tahunan
7
pemerintah daerah dan menyisakan semakin sedikit dana untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur yang sifatnya lebih jangka panjang. Jika dilihat perkembangan dunia dalam era globalisasi, maka persaingan bisnis dunia tidak lagi terletak pada komoditas. Komoditas pertanian tidak menjanjikan karena harganya yang tidak stabil di pasaran dunia, sensitif terhadap perubahan kurs, dan kenaikan harga yang lamban. Daya saing antara satu negara dengan negara lain atau antara satu daerah dengan daerah lain lebih terletak pada social assets, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan adalah human capital investment yang manfaatnya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, sehingga tidak mengherankan jika terabaikan dalam keputusan politik pengambil keputusan di daerah dan nasional. Return investasi pendidikan tidak segera dapat ditunjukkan oleh para politisi sebagai hasil karya mereka, karena memang tidak dapat dilihat dalam 1 hingga 5 tahun. Perubahan struktur ekonomi menuju masyarakat industrial yang modern tidak terlepas dari upaya mempersiapkan sumberdaya manusia. Nanggroe Aceh Darussalam dengan otonomi khusus melalui UU No. 18/2001 mendapat kesempatan untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar pada investasi infrastruktur lunak (soft infrastructure) di bidang sumberdaya manusia ini. IV.
MANFAAT INVESTASI DALAM BIDANG PENDIDIKAN Paling tidak terdapat dua pertanyaan mendasar tentang investasi di bidang
pendidikan. Pertama, apakah investasi pendidikan menguntungkan dan siapakah yang melakukan investasi di bidang pendidikan? Kedua, kalau pendidikan dibiayai oleh pemerintah, bagaimana mendesentralisasikannya ke pemerintahan lebih rendah?. Pertanyaan pertama terkait erat dengan tingkat pengembalian investasi di bidang pendidikan (returns to education). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan melahirkan manfaat pribadi bagi individu yang melakukan investasi (private returns) dan manfaat sosial bagi masyarakat sebagai akibat dari membaiknya tingkat pendidikan ratarata penduduk (social returns). Manfaat pribadi dari investasi pendidikan sebagaimana dibahas dalam teori human capital adalah penghasilan netto (net earnings) bagi orang yang melakukan investasi pendidikan pribadinya. Misalnya seseorang yang ingin melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi, investasinya adalah layak (feasible)
8
jika nilai sekarang dari penghasilannya yang diharapkannya (present value of expected earnings) dalam jangka panjang lebih besar daripada nilai sekarang dari biayanya (biaya kuliah ditambah harapan penghasilan yang hilang karena menempuh pendidikan). Becker (1964) memberikan suatu kerangka teoritik yang komprehensif tentang investasi pendidikan pada berbagai jenjang. Sementara manfaat sosial (social returns) dari investasi pendidikan dapat diukur misalnya sejauh mana pendidikan mempunyai dampak terhadap produktivitas dan karenanya pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, Nonwage benefits yang dinikmati oleh penerima pendidikan mencakup antara lain pekerjaan yang lebih menyenangkan dan bergengsi, tunjangan yang lebih besar, kesadaran kesehatan yang lebih baik, dll. Tetapi dalam kenyataan pendidikan mempunyai eksternalitas positif yang besar sebagai dampak dari meningkatnya pendidikan rata-rata penduduk, yakni Social Rate of Returns (SRR), dapat jauh lebih besar dari Private Rate of Returns (PRR). Pendidikan masyarakat yang lebih baik berkorelasi positif dengan turunnya angka kejahatan, kesadaran politik, ketertiban/disiplin masyarakat, dll. Jika dijumlah, manfaat total dari meningkatnya pendidikan dapat mencapai dua kali lipat dari penghasilan dalam bentuk uang (monetary earnings) semata (Hines, Tweeten, and Martin Fedfern, 1970 dan Carnoy and Marenbach, 1975, dalam Kaufman, 1994). Apakah investasi pendidikan menguntungkan ? Jawaban terhadap pertanyaan di atas akan memberikan suatu arah investasi pendidikan, apakah pendidikan seluruhnya merupakan tanggung jawab pemerintah atau sebagian (dan bagian mana) dikelola oleh swasta dan ditanggung oleh penerima manfaat (beneficiary) sendiri. Kriteria yang sederhana untuk ini adalah apakah SRR lebih besar daripada PRR. Jika yang pertama lebih besar, maka sepatutnyalah porsi yang terbesar dari investasi pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah (dan pemerintah daerah). Pendidikan yang mempunyai SRR yang tinggi akan memberi dampak yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat Bank Dunia (1990) membuat estimasi bahwa SRR untuk pendidikan dasar dan menengah berkisar antara 10% hingga 20%, sementara SRR untuk pendidikan tinggi lebih rendah. Sebuah studi yang mencakup beberapa negara menemukan bahwa petani dengan pendidikan dasar 4 tahun atau lebih secara rata-rata sekurang-kurangnya 7% lebih produktif dari petani tanpa pendidikan dasar. Implikasi dari dari temuan ini adalah bahwa
9
atas dasar efisiensi dan equity, maka pendidikan dasar sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah. Tetapi karena tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang positif dengan tingkat pendapatan (private returns), seringkali alokasi pengeluaran publik condong kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karenanya alokasi anggaran publik yang besar untuk pendidikan tinggi cenderung memberi manfaat yang lebih besar kepada kelompok orang kaya (yang relatif mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke pendidikan tinggi). Rosenzweig (1995) mengajukan pertanyaan apakah terdapat manfaat (returns) terhadap pendidikan (schooling). Returns terhadap schooling adalah tinggi bila returns terhadap pembelajaran (learning) juga tinggi. Hanya ketrampilan yang didapat melalui pembelajaran lah yang dapat meningkat produktivitas. Investasi di bidang pendidikan adalah respons terhadap kesempatan memperoleh imbalan (payoff) yang tinggi. Imbalan yang tinggi ini diperoleh dalam suatu iklim yang memungkinkan payoff tersebut didapat. Returns dari investasi di bidang pendidikan harus memenuhi syarat bahwa pembelajaran yang produktif harus dikembangkan baik melalui inovasi teknik atau perubahan di dalam sistem pasar dan politik, hal mana dapat tercermin pada bagaimana penyelenggaraan pendidikan, khususnya investasi dalam bidang pendidikan berlangsung. Pertanyaan kedua berkaitan dengan efisiensi alokasi dana pendidikan pada berbagai jenjang pemerintahan, apabila sebagian penyelenggaraan pendidikan dibiayai oleh pemerintah. Desentralisasi di bidang pendidikan selain memberi wewenang mengelola pendidikan kepada pemerintahan lebih rendah, juga perlu diobservasi sejauh mana pemerintahan lebih rendah mampu membiayai pendidikan. Prinsip-prinsip pembiayaan bagaimana yang semestinya dianut sehingga efisiensi dapat dicapai. Jawaban terhadap pertanyaan ini diuraikan pada bagian VI. V.
INVESTASI PENDIDIKAN : TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Dari uraian pada bagian sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan adalah menguntungkan ditinjau dari individu (PRR) dan masyarakat (SRR). Tetapi bagian mana yang ditanggung oleh pemerintah. Yang optimal adalah pemerintah menanggung sebagian besar biaya pendidikan yang SRR-nya besar (sebagian lagi adalah biaya yang harus ditanggung sendiri) dan penerima manfaat pendidikan langsung
10
(individu) menanggung sebagian besar biaya pendidikannya sendiri (tentu sebagian adalah subsidi oleh pemerintah). Di Amerika Serikat tiga-perempat dari operating-costs sekolah-sekolah yang didanai oleh pemerintah negara bagian berasal dari penghasilan pajak pemerintah (sebagian lagi tentu ditutupi oleh SPP siswa). Para siswa mendapat bantuan finansial dari orangtua mereka atau dari pihak lain (Kaufman, 1994). Bank Dunia (IFC) membuat estimasi bahwa jumlah pengeluaran untuk mengembangkan proses pembelajaran (teaching-learning), pendidikan guru ikatan dinas dan dukungan profesi mencapai US $36 per siswa, tidak termasuk penyediaan buku text dan alat-alat bantu pendidikan. Dalam hal pendidikan dibiayai oleh swasta, argumentasinya adalah bahwa pendidikan mengandung unsur private returns di mana terdapat pasar pendidikan dengan kesediaan membayar dari “pembeli” dan dapat ditetapkannya “harga” oleh penyedia swasta (ingat bahwa pendidikan dalam batas tertentu adalah excludable). Karena pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi terdapat private returns yang lebih tinggi , maka sebagian besar biaya pendidikan seharusnya menjadi private costs. Implikasinya adalah pendidikan pada jenjang lebih tinggi (PT) sebenarnya dapat diselenggarakan oleh swasta sebagai sebuah bisnis atau yayasan dengan prinsip cost-recovery atau dengan margin keuntungan yang tidak terlalu besar. Dalam pasar pendidikan yang kompetitif, prinsip marginal-cost pricing dapat diterapkan sehingga biaya pendidikan dapat berada pada titik yang optimal. Internal rate of return investasi di sektor pendidikan di negara-negara maju mencapai 11 hingga 28 persen (IFC). Dengan demikian investasi swasta di bidang pendidikan harus menjadi perhatian yang semakin besar dan didorong oleh pemerintah dengan kemudahan-kemudahan dan insentif-insentif tertentu. Dalam hal pendidikan dibiayai sebagian oleh rumahtangga, mesti terdapat suatu mekanisme yang mengenakan SPP yang berbeda-beda kepada orangtua murid. Suatu mekanisme cross-subsidy diberlakukan di mana orangtua murid yang kurang mampu memperoleh tuition discount, yang selisihnya ditanggulangi oleh pendapatan dari SPP dari para orangtua yang mampu. Pada sekolah publik (pemerintah), hal ini dapat dilakukan dengan subsidi langsung ke sekolah atau lewat beasiswa kepada murid yang tidak mampu. Selain subsidi, kekurang biaya tersebut dapat pula dibantu oleh lembagalembaga nonpemerintah (yayasan amal). Pengeluaran lain di luar SPP sebagian atau
11
seluruhnya menjadi tanggungjawab orangtua, sementara murid dari keluarga yang tidak mampu memperoleh tunjangan beasiswa penuh (tidak saja SPP). Pemerintah daerah dapat juga membuat suatu program education savings atau annuity dengan memberi pinjaman kepada orangtua atau wali murid yang kurang mampu. VI.
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN OLEH PEMERINTAH Pembiayaan pendidikan (education finance) sebagaimana digambarkan oleh
Schwartz, Stiefel, dan Rubenstein (dalam Thompson and Green, 1998) mesti diintervensi oleh pemerintah karena antara lain adanya externalitas di dalam konsumsinya, externalitas spatial (interjurisdictional spillovers), dan informasi yang tidak sempurna (bermakna bahwa pembuat keputusan tentang pendidikan anak adalah orang tua dan pemerintah kurang informasi tentang pilihan anak didik sehingga kuantitas pendidikan yang disediakan dapat tidak optimal). Selain itu intervensi pemerintah dapat juga dijustifikasi atas dasar pemerataan, yakni pemerataan horizontal (horizontal equity), pemerataan vertikal (vertical horizontal), pemerataan kesempatan (equal opportunity). Pemerataan horizontal bermakna bahwa orang yang sama mendapat perlakuan yang sama, misalnya pendidikan dasar mempunyai mutu yang sama di semua tempat. Pemerataan vetikal bermakna bahwa anak dari keluarga miskin mendapat perhatian yang lebih besar atau anak cacat mendapat pendidikan khusus. Pemerataan kesempatan bermakna bahwa semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan terlepas dari latar belakang ras, agama, suku, jender, dll. Secara umum intervensi pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mesti didasarkan pada tiga prinsip; efficiency, equity, dan adequacy. Pendidikan mesti disediakan oleh penyedia yang dapat menyelenggarakannnya secara efisien. Efisien dalam konteks ini adalah marginal social benefit (MSB) sama dengan marginal social cost (MSB), dengan memperhitungkan eksternalitas (spillovers). Jika pemerintah yang lebih tinggi dapat menyelenggarakannya secara lebih efisien, semestinya pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pemerintah yang lebih tinggi. Jika swasta lebih efisien, maka semestinya swastalah yang mesti menyelenggarakannnya. Sejauh distorsi pasar adalah minimal, patut dipertanyakan apa urgensi intervensi pemerintah.
12
Pendidikan pada hakekatnya adalah semi public good, kendati nonrival di dalam konsumsi, tetapi dalam batas tertentu pendidikan adalah excludable (tidak sepenuhnya nonexcludable. Pasar sebenarnya dapat menyediakan pendidikan secara efisien jika pasar tidak gagal. Intervensi hanya dilakukan jika terdapat kegagalan pasar di dalam mengalokasikan sumberdaya untuk pendidikan. Intervensi hanya diperlukan jika terjadi underestimasi terhadap jumlah MSB (underestimasi manfaat pendidikan kepada wilayah jurisdiksi yang lebih luas) dan “harga” tidak dapat ditetapkan. MSB adalah social returns yang dapat berbentuk produktivitas tenaga kerja, kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan membayar pajak, dan pemahaman tentang nilai-nilai baik. MSB dapat underestimate karena interjurisdictional spillover tidak diperhitungkan secara cermat. Jurisdiksi lain juga dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan di suatu jurisdiksi. Dalam keadaan demikian, tidak lah tepat jika suatu universitas di daerah kabupaten atau kota, misalnya, menanggung seluruh pembiayaan universitas tersebut. Demikian juga misalnya pendidikan vokasional di suatu daerah yang dapat memberi manfaat pada kemajuan teknologi, yang pemanfaatannya terjadi di mana saja, maka pembiayaan pendidikan demikian harus pula lintas daerah, yakni pemerintah yang lebih tinggi. Terdapat tiga prinsip utama di dalam pembiayaan pendidikan. Pertama adalah Subsidiarity Principle, bermakna bahwa wewenang penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada jenjang pemerintahan yang paling efisien melakukannya. Kriteria yang digunakan adalah Marginal Social Benefit (MSB) = Marginal Social Cost (MSC). Jika misalnya MSB=MSC penyelenggaran sebuah universitas terjadi pada tingkat provinsi, maka pembiayaan universitas tersebut haruslah pada tingkat provinsi. Sebuah universitas yang lulusannya tersebar di mana-mana, sehingga manfaat sosialnya juga di mana-mana, maka penyelenggaraan universitas oleh sebuah kabupaten akan menaksir terlalu rendah MSB-nya dan karenanya kuantitas barang publik ini yang disediakan tidak optimal. Kedua, membagi wewenang penyelenggaraan pendidikan adalah dengan melihat Benefit area, yakni cakupan wilayah social returns/externalities dan tingkat mobilitas penerima manfaat. Lulusan sebuah universitas biasanya mempunyai mobilitas yang tinggi, mereka bekerja di mana-mana yang mungkin jauh dari tempat mereka menuntut ilmu, sehingga wilayah manfaat sebuah universitas sebenarnya adalah nasional. Kendati
13
manfaat sosial yang lebih besar dinikmati oleh provinsi di mana universitas tersebut berada. Oleh karena itu, maka sepantasnyalah universitas tersebut dibiayai juga oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, selain daerah yang secara langsung menerima manfaat
sosial.
Ketiga,
ketidakmerataan
antar
provinsi
semestinya
menjadi
tanggungjawab pemerintah nasional, ketidakmerataan antar kabupaten menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi. Oleh karena itu ketidakmerataan (inequity) harus mendasari kebijakan pembiayaan pendidikan. Jika prinsip-prinsip ekonomi di atas dalam penyediaan pendidikan sebagai barang publik sudah dipahami, langkah selanjutnya adalah membuat pengaturan tentang pembagian wewenang antar jenjang pemerintahan. Pembiayaan pendidikan secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip sbb; §
Penyediaan pendidikan oleh pemerintah dilakukan sejauh terjadi kegagalan pasar (market failure) di mana lembaga swasta dan masyarakat tidak bersedia menyediakannya atau penyediaannya tidak optimal karena externalitas yang besar.
§
Pihak swasta dan masyarakat berpartisipasi di dalam pembiayaan pendidikan dengan menanggung sebagian atau seluruh biaya pendidikan yang diselenggarakannya, sehingga private marginal returns sama dengan private marginal cost.
§
Bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan oleh swasta atau masyarakat bukanlah suatu kewajiban. Sehingga pendidikan tetap terus berlangsung dan berkembang kendatipun dengan kemampuan pemerintah yang rendah. Masyarakat madani (civil society) harus ditumbuhkembangkan.
§
Pembiayaan pendidikan oleh berbagai jenjang pemerintahan didasarkan pada pembagian wewenang (fungsi) yang diikuti dengan expenditure assignments sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi, equity dan adequacy. Baru kemudian transfer antar jenjang pemerintahan didasarkan pada pembagian wewenang tersebut dengan memperhatikan kemampuan suatu tingkat pemerintahan di dalam membiayai pelaksanaan fungsinya. Dalam hal tertentu pemerintahan yang lebih rendah diberi wewenang menggali
14
sumber pendapatannya sendiri (revenue assignments) untuk pembiayaan fungsi pendidikan dimaksud. §
Transfer dana pendidikan antar jenjang pemerintahan (intergovernmental transfer) didasarkan pada suatu formula yang baku dengan memperhatikan kesenjangan kebutuhan pembiayaan (fiscal need) di bidang pendidikan dengan kemampuan sendiri (fiscal capacity) dan menjamin suatu jenjang pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan minimum pembiayaan.
§
Manajemen keuangan dana pendidikan oleh pemerintah pada berbagai jenjang pemerintahan dilakukan dengan berlandaskan akuntabilitas dan transparansi.
§
Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota perlu membuat peraturan (qanun) yang menyatakan bahwa daerah wajib menyediakan pendidikan secara cukup (adequate) dan merata (equitable). Hal ini penting untuk menjamin bahwa wajib belajar dapat dibiayai secara memadai dan tidak ada anak usia sekolah yang seharusnya bersekolah tidak bersekolah hanya karena orangtuanya tidak mampu. Wajib belajar dapat ditetapkan setinggi mungkin sesuai dengan kapasitas sistem pendidikan (kelas, guru, laboratorium, dll) dan kemampuan pembiayaan operasional sekolah. Kemudian pemerataan vertikal dan horizontal harus dilakukan semaksimal mungkin.
§
Pemerintah Provinsi NAD perlu membentuk Dana Abadi Pendidikan (sejenis Educational Heritage Fund) untuk investasi dalam bidang pendidikan jangka panjang. Dana ini diakumulasikan dari alokasi dana pendidikan setiap tahun sehingga pokok (prinsipal) terus menerus bertambah dan yang diambil hanya bagian keuntungan dari penyimpanan uang tersebut (bunga, bagi hasil atau bentuk lain). Penggunaan utama dari dana ini adalah untuk beasiswa sesuai dengan visi dan misi pendidikan NAD (dalam negeri dan luar negeri). Adanya DAP ini akan dapat menjamin tuntasnya suatu proses studi seseorang penerima beasiswa hingga selesai program gelar atau diplomanya (Diploma, S1, S2 atau S3), tidak seperti yang berlangsung selama ini di mana apabila seseorang
15
mendapat beasiswa dari Pemprov NAD, tidak ada jaminan beasiswa tersebut dapat diterimanya hingga studinya selesai. Di bawah ini ditampilkan beberapa contoh pembagian wewenang pembiayaan pendidikan antar jenjang pemerintahan yang mungkin dapat dijadikan pedoman dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas. No.
Komponen Pembiayaan pendidikan
1. 2. 3.
Pembangunan gedung baru sekolah dan penyediaan meubeler Biaya operasional SD/MI Biaya operasional SLTP/MTs
4.
Biaya operasional SMU/MA/SMK
5.
Biaya operasional Pendidikan Tinggi Negeri
6.
Pendidikan dan pelatihan guru
Tanggung jawab pembiayaan Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pusat Provinsi Kab/Kota √
√
√ √ √ √
7. 8. 9. 10.
Pendidikan khusus (sekolah unggul, sekolah anak cacat, pendidikan luar sekolah, dll.) Alat-alat bantu pendidikan Buku teks Rehabilitasi dan perawatan gedung sekolah
11. 12. 13. 14.
Insentif guru Litbang Beasiswa Bantuan kepada institusi pendidikan swasta
15.
Dana Abadi Pendidikan (Educational Heritage Fund)
VII.
√
√
√
√
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √ √
√
√ √
√
√ √ √
√
PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA
Desentralisasi pendidikan di Hungaria dimulai pada tahun 1985 dengan dikeluarkannya Public Education Act tahun 1985. Daerah menyusun kurikulum sendiri yang berbeda dari kurikulum pusat. Pada tahun 1993 kurikulum rinci dari pusat dihentikan. Akta tersebut juga memperkuat hak lembaga-lembaga pendidikan relatif terhadap dewan lokal, guru diberikan hak veto yang dilaksanakan dalam pemilihan suara
16
tertutup tentang pemilihan kepala sekolah, dan orangtua diberikan kebebasan memilih sekolah (Bokros, Lajos, and Dethier ,1998). Menyediakan pendidikan merupakan kewajiban kota. Di atas tingkat pendidikan tertentu (sekolah menengah, kejuruan, dst) adalah hanya kewajiban county atau city municipality. Sekolah swasta, khususnya pendidikan umum menengah tumbuh pesat. Dari 3.765 sekolah dasar pada tahun 1996-97, hanya 30 sekolah yang dikelola oleh pemerintah pusat, sebagian besar dikelola oleh pemerintah kota (3.470) Pendidikan adalah pengeluaran terbesar oleh pemerintah lokal. Rata-rata pemerintah kota mengeluarkan hanya sedikit di bawah 30 persen dari penerimaannya untuk pendidikan. Pemerintah kota mengeluarkan lebih banyak untuk pendidikan daripada yang mereka terima dari pemerintah pusat. Subsidi dari pusat berbentuk Normative grant, yang dialokasikan melalui anggaran negara bagian bila kriteria tertentu dipenuhi, dan Specific grant, subsidi untuk tujuan-tujuan khusus. Kategori normative grant meliputi jumlah murid, jumlah murid yang terdaftar pada program-program etnis dan minoritas, dan murid pindahan dari kota lain. Pemerintah kota secara otomatis menerima jumlah yang sudah ditentukan dari pemerintah pusat bila kriteria normatif dipenuhi. Tahun 1996, normative grant mencapai 56.4 persen dari pengeluaran pendidikan lokal. Di Taiwan, semua pendidikan dasar dan menengah pertama dikelola oleh sekolahsekolah publik. Pada tingkat lebih tinggi, pendidikan oleh sektor publik menjadi kurang penting. Pengeluaran pendidikan telah meningkat secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 1963, pendidikan publik menerima 13,5 persen dari total anggaran pemerintah, tetapi pada tahun 1993 angkanya menjadi 17,9 persen. 80 persen pengeluaran operasional sekolah publik berasal dari pemerintah lokal. Pada tingkat pendidikan tinggi, hampir 90 persen pembiayaan pendidikan dilakukan oleh pemerintah pusat (Thant, dalam Tan, 1999). Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan di Korea telah meningkat lebih dari dua puluh satu kali (dalam nilai riil) selama periode 1963-1993. Pengeluaran sebagai persentase anggaran pemerintah pusat telah meningkat dari 10 persen tahun 1963 menjadi lebih 18 persen tahun 1993. Pembiayaan pendidikan di Korea umumnya berasal dari pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan individu. Namun demikian pengeluaran
17
pemerintah lokal sangat minim, sementara proporsi yang dibiayai oleh individu semakin meningkat. VIII. BAGAIMANA DANA PENDIDIKAN NAD SEBAIKNYA DIALOKASIKAN Ada beberapa langkah yang harus ditempuh sebelum dana pendidikan dialokasikan antar jenjang pemerintahan di Provinsi NAD. Langkah pertama adalah menentukan visi pendidikan Provinsi NAD yang diikuti oleh penetapan misi masingmasing penyelenggara pendidikan. Dari sana dapat ditetapkan strategi dalam mencapai sasaran-sasaran. Langkah berikutnya adalah membagi wewenang atau fungsi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah
provinsi
kepada
pemerintah
kabupaten/kota
(yang
lazim
disebut
intergovernmental transfer) mengikuti fungsi yang dilaksanakan oleh masing-masing. Pembiayaan harus mengikuti fungsi (finance follows function) adalah prinsip dasar di dalam pengelolaan belanja publik. Jangan sekali-kali membagi uang terlebih dahulu, baru kemudian berencana untuk melakukan apa dengan uang akan dimiliki, sebagaimana yang berlangsung selama ini. Prinsip yang dibalik seperti ini di satu sisi menampakkan bahwa perencanaan tidak ada (atau tidak baik), tapi di sisi lain juga penggunaan anggaran dapat mengalir ke mana-mana dan tidak mencapai sasaran yang ditetapkan. Dalam era desentralisasi Indonesia akhir-akhir ini, investasi pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah adalah seperti digambarkan oleh North pada bagian III. Pembiayaan pendidikan masih tergantung sebagian besar pada pemerintah pusat. Transfer antar jenjang pemerintahan (intergovernmental transfer) belum diatur dengan baik. Pembagian wewenang pengelolaan pendidikan yang jelas dan tegas antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Alokasi dana pendidikan tidak boleh berubah-ubah karena kebijakan yang berubah-ubah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Desentralisasi pembiayaan pendidikan harus didasarkan pada tiga prinsip pokok, yakni efisiensi, pemerataan (equity),dan kecukupan (adequacy). Alokasi oleh daerah tidak boleh berkurang karena daerah mendapat transfer dari pemerintah lebih tinggi. Selain itu, harus terdapat aspek pemerataan di dalam transfer, dimana daerah yang 18
kemampuannya rendah mendapat lebih banyak transfer, dengan tidak mengurangi alokasi APBDnya sendiri untuk pendidikan. Transfer atau sering disebut grants-in-aid dapat dibuat dalam tiga bentuk; 1. Foundation grants (Bantuan dasar) Bantuan ini dirancang untuk menjamin bahwa daerah kabupaten/kota memperoleh dana yang cukup, minimal untuk membiayai pendidikan wajib (yakni tingkat pendidikan minimum yang diperlukan atau program wajib belajar). Berapa pun kemampuan sendiri, daerah harus menyediakan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan minimum tersebut. Bantuan dasar ini dimaksudkan untuk menjamin cukupnya dana tersedia untuk membiayai kebutuhan dasar operasional sekolah-sekolah. Formula yang dapat diterapkan adalah sbb;
BDi = Di mana
{
[ [
Di − 0 , 5 ( Ai − A* ) ]M i ,........untukAi > A* Di ]M i ,........untukAi ≤ A*
BDi = Total Bantuan Dasar untuk daerah i Di = Bantuan (grant) dasar per murid suatu jenjang pendidikan di kabupaten/kota i (mungkin rata-rata selisih antara Ai dan A* ) A* = Alokasi minimum yang diperlukan per murid (ditetapkan oleh provinsi) sebagai biaya operasional yang layak. Ai
= Alokasi anggaran operasional sekolah per murid di kabupaten/kota i
Mi = Jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu di kabupaten/kota i 2. Matching grants (Bantuan penyeimbang) Dalam mekanisme transfer bantuan penyeimbang ini, bantuan provinsi kepada kabupaten/kota tidak berupa lump-sum, melainkan dikaitkan dengan pengeluaran kabupaten/kota sendiri untuk pendidikan. Daerah penerima disyaratkan membelanjakan sejumlah (atau persentase tertentu) dari APBD-nya untuk dapat
19
memperoleh dana pendidikan provinsi. Dana dari provinsi dianggap hanya sebagai penyeimbang (matching). Bantuan penyeimbang ini seringkali dapat memotivasi dan meningkatkan pemerataan penyelenggaraan pendidikan antar daerah. Penggunaan dana bantuan penyeimbang ini diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, di luar untuk gaji dan upah. Formula yang dapat diterapkan adalah sbb;
BPi = [ ri Ai ]M i di mana
BPi = Bantuan Penyeimbang untuk kabupaten/kota i ri = koefisien penyeimbang yang berbeda untuk golongan kab/kota ( r=0,7 untuk kab/kota yang relatif terbelakang/terpencil, r=0,5 untuk kab/kota yang sedang, dan r=0,3 untuk kab/kota yang relatif maju) Ai dan Mi adalah seperti pada formula sebelumnya.
3. Categorical grants (Bantuan kategorikal) Bantuan menurut kategori penggunaan ini dirancang oleh pemerintah provinsi untuk membiayai program-program pendidikan pada tingkat provinsi, sesuai visi dan misi pendidikan di Provinsi NAD. Program-program tersebut adalah program-program yang berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas. Contoh program adalah pelatihan guru yang dirancang oleh provinsi tapi pelaksanaannya di kabupaten/kota, pendidikan untuk anak-anak unggul, pendidikan anak dari keluarga tidak mampu, pendidikan anak cacat, dan pendidikan khusus. Untuk alokasi dalam kategori ini tidak perlu formula, jumlah yang dialokasikan untuk masing-masing kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan kegiatan. Formula alokasi untuk masing-masing jenis dan untuk masing-masing jenjang pendidikan di atas dibuat dengan mempertimbangkan kemampuan daerah sendiri
20
membiayai dan kesenjangannya dengan kebutuhan suatu daerah. Daerah yang tidak mampu membiayai pendidikannya sendiri minimal mendapatkan bantuan dasar (foundation aid) berdasarkan keperluan per murid pada jenjang pendidikan tertentu di suatu daerah. Demikian pula daerah yang relatif terbelakang mendapat bantuan yang lebih besar untuk tujuan pemerataan. Langkah yang dapat ditempuh dalam mengalokasikan dana pendidikan Provinsi NAD adalah sbb; 1. Menyisihkan anggaran dari alokasi 30 % dari APBD untuk pembiayaan programprogram pendidikan provinsi (termasuk menyisihkan persentase tertentu untuk Dana Warisan Pendidikan (Educational Heritage Fund), dalam bentuk dana abadi. 2. Menghitung jumlah transfer (bantuan kepada pemerintah kabupaten/kota) untuk dialokasikan kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi NAD. Jumlah transfer kepada kebupaten/kota merupakan total bantuan dalam tiga kategori; bantuan dasar, bantuan penyeimbang , dan bantuan kategorikal seperti dikemukakan di atas. Jumlah alokasi masing-masing kabupaten/kota dapat dihitung melalui matriks sbb;
21