GAMBARAN PELAKSANAAN PEMASANGAN INFUS YANG TIDAK SESUAI SOP TERHADAP KEJADIAN FLEBITIS DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KABUPATEN WONOGIRI
Nurma Irawati1), Wahyu Rima Agustin2), Ariyani3) 1) 2) 3)
Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Abstrak
Flebitis adalah suatu kejadian peradangan pada vena yang terpasang infus karena infeksi oleh mikroorganisme selama perawatan di rumah sakit. Pada studi pendahuluan didapatkan data pada tahun 2011 pasien yang terjadi flebitis sebanyak 23 (2,2%) diruang kenanga, kemudian pada data pada bulan Oktober-Desember 2013 bahwa pasien yang terpasang infus sebanyak 362 pasien yang terjadi flebitis sebanyak 20 (5,52%) dan peneliti mengikuti dinas selama 3 hari pada tanggal 24-26 Desember 2013 terdapat kejadian flebitis sebanyak 3 (15%). Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis. Penelitian gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis deskriptif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Analisa data menggunakan metode Colaizzi. Sampel dalam penelitian adalah 5 partisipan perawat pelaksana rawat inap dan pasien yang terpasang infus di RSUD dr. Soediran Mangan Sumarso Wonogiri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis. Kesimpulan penelitian ini adalah pemasangan infus yang tidak sesuai SOP dapat mempengaruhi kejadian flebitis dibangsal kenanga RSUD dr. Soediran Mangan Sumarso Wonogiri. Peneliti menyarankan perawat untuk menerapkan pemasangan infus harus sesuai SOP untuk mencegah terjadinya flebitis di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Kata kunci : Terapi intravena, kejadian flebitis, SOP pemasangan infus. Daftar Pustaka : 31 (2001-2014)
ABSTRACT Phlebitis is an inflammatory incidence of the vein installed with infusion. It happens due to the infection by microorganisms during the medical care in hospital. In the preliminary research, in 2011 the number of clients at Kenanga ward suffering from phlebitis was 23 (2.2%). In October – December 2013, of 362 clients installed with infusion, 20 (5.52%) suffered from phlebitis, and when the researcher attended field practice for three days from December 24 th to December 26th, 2013, there were three incidences (15%) of phlebitis.
1
The objective of this research is to investigate the description of infusion installation unsuitable with the standard operating procedure on the incidence of phlebitis. This research used the qualitative research method with phenomenological descriptive approach as to obtain specific information to recognize opinion, value, behavior, and social context according to the explanations of population. The samples of the research consisted of five nurses posted in the in-patient wards and clients installed with infusion at Kenanga ward of dr. Soediran Mangan Sumarso Local General Hospital of Wonogiri. The data of the research was analyzed by using the Colaizzi method. The result of the research shows that there is a description of the implementation of infusion installation which is unsuitable with the prevailing standard operating procedure on the incidence of phlebitis. Thus, it can be concluded that the infusion installation which is not suitable with the existing standard operating procedure can influence the incidence of phlebitis at Kenanga ward of dr. Soediran Mangan Sumarso General Local Hospital of Wonogiri. Therefore, the nurses are suggested to apply the infusion installation in accordance with the existing standard operating procedure to prevent the incidence of phlebitis at dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri. Keywords: Intravenous therapy, incidence of phlebitis, standard operating procedure, and infusion installation References: 31 (2001-2014)
PENDAHULUAN Pasien yang masuk rumah sakit dengan indikasi terapi pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien. Terapi ini harus dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien, tidak hanya itu saja pemasangan intravena juga dapat membantu pemulihan penyakit karena dengan dilakukannya pemasangan intravena memudahkan dalam pengobatan melalui injeksi. Dalam dunia kesehatan yang paling sering dilakukan bahkan menjadi terapi yang paling utama untuk pasien rawat inap adalah pemasangan intravena. Pemasangan intravena pada pasien mulai bayi hingga lansia. Pemasangan intravena menggunakan ukuran kateter yang
berbeda yang digunakan bayi dengan orang dewasa dan lansia. Begitu banyaknya fungsi pemasangan intravena namun banyak pula efek samping dalam pemasangan intravena yang tidak sesuai dengan prodesur sehingga mengakibatkan terjadinya peradangan (Flebitis). Faktor penyebab terjadinya flebitis menurut (Smeltzer 2001) adalah faktor kimia seperti jenis cairan dan obat yang digunakan, kecepatan aliran infus serta bahan kateter. Faktor mekanik yaitu terjadi ketika vena telah dibuat trauma oleh kontak fisik. Trauma fisik tersebut dapat disebabkan akibat ukuran kateter dan lokasi penusukan yang tidak sesuai. Faktor bakterial biasanya berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri.
2
Jumlah pasien yang mendapatkan terapi infus diperkirakan sekitar 25 juta pertahun di Inggris dan mereka telah terpasang berbagai bentuk alat akses intravena selama perawatannya (Hampton 2008). Terapi intravena (IV) adalah salah satu teknologi yang paling sering digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Lebih dari 60% pasien yang masuk ke rumah sakit mendapat terapi melalui IV (Hindley, 2004). Pemasangan infus berdasarkan rekomendasi dari The Infusion Nursing Standars of Practice dapat dipertahankan selama 72 jam setelah pemasangan sedangkan dari The Center Of Disease Control (CDC), mengajurkan bahwa infus harus dipindahkan setiap 72-96 jam (Alexander et al, 2010 dalam Nurjanah 2011). Mempertahankan suatu infus intravena yang sedang terpasang merupakan tugas perawat yang menuntut pengetahuan serta keterampilan tentang pemasangan dan perawatan infus, prinsip-prinsip aliran, selain itu pasien harus dikaji dengan teliti baik komplikasi lokal maupun sistemik (Brunner & Suddrths 2001). Pada Penelitian di Singapura oleh Zavareh dan Ghorbani (2007, hal 733734) menjelaskan dari hasil penelitian didapatkan kejadian flebitis yang terpasang pada ekstermitas atas yaitu 76,9 % dan di ekstermitas bawah yaitu 23,7 %. Data menunjukkan bahwa angka kejadian flebitis di RSUD Majalaya pada periode 2009-2011 tetap berada di atas rata-rata nasional, dimana angka standar yang menjadi acuan adalah >1,5. Dari hasil penelitian (Wayunah 2011) diketahui bahwa kejadian flebitis pada pasien yang terpasang infus oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap dewasa RSUD Indramayu sebanyak 40% dengan responden 65 pasien. Dari hasil Penelitian yang dilakukan oleh (Prastika, Daya.dkk 2011) dari 90 responden yang dilakukan
pemasangan infus di IGD RSUD Majalaya berdasarkan kejadian flebitis dapat diketahui 32,2% mengalami flebitis dan 67,8% tidak mengalami flebitis. Menurut data surveilans World Health Organisation (WHO) dinyatakan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 5% per tahun, 9 juta orang dari 190 juta pasien yang dirawat di rumah sakit. Kejadian flebitis menjadi indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit dengan standar kejadian ≤ 1,5% (Depkes RI 2008). Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi 2008). Dari hasil studi pendahuluan didapatkan data tahun 2011 pasien yang terpasang infus di ruangan sebanyak 1.077 pasien yang terjadi flebitis sebanyak 23 (2,2%) pasien, kemudian pada data pada bulan Oktober-Desember 2013 bahwa pasien yang terpasang infus sebanyak 362 pasien yang terjadi flebitis sebanyak 20 (5,52%) pasien dan peneliti mengikuti dinas selama 3 hari pada tanggal 24-26 Desember 2013 terdapat kejadian flebitis sebanyak 3 (15%) pasien. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti bahwa salah seorang perawat mengatakan di ruangan tersebut dalam 1 bulan terjadi angka kejadian flebitis antara 4-5 pasien. METODOLOGI PENELITIAN Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : Alat tulis, lembar transkrip wawancara dan pertanyaan, lembar observasi kejadian flebitis, lembar pengumpulan data mengenai nama, umur, alamat, pengalaman kerja dan pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Pendekatan
3
fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus (Sutopo 2006). Skala pengukuran flebitis menggunakan skala menurut (Intgravenous Nurses Society dalam Mustofa 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah 5 orang perawat yang melakukan pemasangan infus di ruang rawat inap Kenanga RSUD dr Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Dengan kriteria sebagai berikut: Perawat yang HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian SOP Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pengertian SOP ditemukan tema sebagai berikut : 1. Aturan, 2. Standar. Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Sedangkan dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dihasilkan tanggapan seperti diatas bahwa kebanyakan partisipan mengetahui SOP itu adalah sebuah aturan padahal dalam teori yang telah disebutkan (Perry dan Potter 2005) diatas menyatakan bahwa SOP itu tidak hanya sebuah aturan saja. Berikut percakapan partisipan:
“...SOP, Standar Operasional Prosedur,standar berarti aturan ya dek...”(P03) “Ya sebuah standar atau aturan yang dibuat untuk melaksanakan suatu tindakan...”(P05)
melakukan pemasangan infus, pemasangan infus yang tidak sesuai SOP, usia minimal 25 tahun, pengalaman kerja minimal 3 tahun, lulusan minimal D3 Keperawatan, menyetujui informed consent dan pasien yang terpasang infus. Validitas data pada penelitian ini menggunakan trianggulasi dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006).
Bagi partisipan aturan mewakili dari pengertian SOP. Ada juga partisipan yang mengatakan bahwa SOP adalah aturan baku. Aturan baku yang merupakan aturan yang harus sudah dibuat dan harus dilaksanakan tetapi pada kenyataan yang ada aturan baku itu hanyalah sebuah tulisan yang dibuat dan dibiarkan begitu saja tanpa harus melaksanakannya. Ada salah satu partisipan yang mengatakan standar berarti aturan. Dalam pelaksanaannya partisipan yang mengatakan demikian juga tidak melaksanakan SOP sesuai dengan standar atau aturan yang telah dibuat. Banyak kesenjangan yang ditemukan peneliti pada saat mengobservasi tentang pelaksanaan SOP. 2. Pemasangan infus belum sesuai SOP Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pelaksanaan SOP dibangsal ditemukan tema sebagai berikut : 1. Jarang dipraktikan, 2. Tidak hafal, 3. Melihat situasi dan kondisi. Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara
4
atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Partisipan menyatakan jarang mempraktikkan SOP yang ada. Partisipan juga menyebutkan dalam pernyataannya jika semua sesuai dengan teori semua tindakan tidak akan selesai dan kebutuhan pasien tidak terpenuhi seutuhnya. Jika dilihat dari kalimat tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa partisipan telah bertanggungjawab sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pasien. Tetapi dalam memenuhi kebutuhan pasien tentunya ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan SOP. Berikut pernyataan dari partisipan:
“...Kalau SOP itu jarang di praktikan dek disini, yang penting dilakukan tindakkannya...”(P01) “...sesuai atau tidak, nggak hafal juga sama SOP nya, ya intine standar ajalah...”(P02) “...ya menentukan kondisi dilapangan kalau segala sesuatu harus sesuai teori pekerjaan tidak akan selesai...”(P04) Partisipan belum berfikir tentang pelaksanaan yang harus sesuai SOP untuk memenuhi kebutuhan pasien karena disisi lain partisipan masih ketakutan akan semua tugas yang tidak akan terselesaikan. Partisipan juga menyatakan dalam pernyataannya bahwa tidak hafal dengan SOP dalam pemasangan infus. Partisipan lakukan setiap pemasangan infus hanyalah apa saja poin-poin yang mendukung cepat terselesaikannya tindakan tersebut. Tanpa melihat adanya hal-hal yang penting dalam proses pelaksanaan pemasangan infus. Melihat kondisi seperti apa yang dapat dipercaya untuk bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan
pasien. Kebutuhan pasien tidak hanya sekedar selesai begitu saja tetapi pasien akan tetap menuntut kebutuhan yang tidak meninggalkan dampak buruk hari. Dimana kondisi itu belum sepenuhnya sesuai dengan SOP yang menjadi telahacuhan dibangsal yaitu SOP yang telah dibuat oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 3. Pemasangan belum sesuai SOP Hasil dari wawancara pada partisipan menyatakan tentang petanyaan pemasangan belum sesuai SOP dalam tindakan keperawatan pemasangan infus. Dari pernyataan partisipan ini menimbulkan tema-tema, tema tersebut sebagai berikut:1. Memakan waktu lama. Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Berikut pernyataan partisipan:
“...Ya standar saja dek, kalau nuruti semua isi dari SOP ya lama, kerjaan banyak soalnya...”(P01) “...Ya nek aku pribadi piye ya dek, nek kudu ngepaske kui ribet tur suwe dek, ngerti dewe tho kui mau piye pas aku masang? nuruti isi dari SOP ya suwe, gawean okeh dek...”(P02) “...kalau saya karena kebutuhan pasien lebih banyak, lama kalau harus semua sesuai...”(P05) Namun kenyataan yang ada dilapangan saat melakukan penelitian peneliti mendapati bahwa hampir semua
5
partisipan belum melakukan pemasangan infus yang sesuai dengan SOP yang berada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Partisipan menyatakan belum melaksanakan tindakan sesuai SOP. Jika tindakan terbiasa dilakukan sesuai dengan SOP mungkin semua bisa terselesaikan tanpa ada keluhan lama dari partisipan. Disisi lain partisipan mengungkapkan bahwa jika dilakukan tindakan sesuai SOP itu membutuhkan waktu lama. Namun keadaan berbeda, partisipan memang sudah terbiasa tidak menggunakan SOP saat melakukan tidakan keperawatan. Partisipan sebenarnya juga mengetahui dampak dari tindakan yang belum sesuai SOP tersebut namun SOP memang belum bisa dilakukan secara lengkap. 4. Alasan belum sesuai SOP Hasil penenlitian yang dinyatakan partisipan dalam pertanyaan alasan kenapa partisipan belum sesuai SOP dalam melakukan tindakan keperawatan menghasilkan tema-tema sebagai berikut: 1. Tuntutan pekerjaan yang banyak. Teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Berikut pernyataan partisipan :
“...Selain tadi Ibu katakan kelamaan, tuntutan pekerjaan yang banyak dan dituntut untuk cepat selesai, nanti kalau kamu udah kerja akan tahu sendiri bagaimana rasanya kerja dek...”(P01) “...Ya tuntutan pekerjaan yang banyak dan dituntut ben
ndak rampung dek gaimana rasanya kerja dek...”(P02) “...Dalam bangsal banyak pasien nanti kebutuhan tidak terpenuhi dan juga tuntutan pekerjaan yang banyak...”(P03) “...kerjaan banyak ya dek jadi dituntut harus cepat selesai...”(P04) “...alasan... hmmmm, lebih ke pekerjaan banyak yang menjadi faktor untuk itu dek jadi dituntut harus cepat selesai...”(P05) Namun disisi lain partisipan mengeluhkan tuntutan pekerjaan yang banyak sehingga partisipan tak lagi memperdulikan tentang kebenaran tindakan yang dilakukan. Mengingat tuntutuan pekerjaan yang banyak pula partisipan tak lagi memperdulikan dampak dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP. Jika dilihat dari ekspresi wajah saat wawancara partisipan ini begitu banyak menyimpan lelah yang entah karena pekerjaan atau kah karena urusan pribadi. Namun menurut partisipan ya karena tuntutan pekerjaan yang banyak itu mempengatuhi kinerja dari partisipan. 5. Waktu penggantian infus Hasil penelitian ini di dapat dari hasil pernyataan dari partisipan 1,2,3, dan 4. Partisipan menyatakan biasanya infus diganti berapa hari sekali. Dari pernyataan partisipan tersebut memunculkan tema bahwa infus diganti 4-5 hari dari pemasangan infus. Dalam sebuah teori yang diuangkap oleh (Hidayat 2008) yaitu ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru. Pernyataan partisipan ini berbanding terbalik dengan teori yang diungkap oleh (Hidayat 2008). Kondisi seperti ini memang menjadi sebuah kebiasaan yang sudah turun temurun
6
yang kurang baik dalam melakukan pelayanan kesehatan bagi pasien. Berikut pernyataan partisipan:
“....Ya paling diganti 4-5 hari atau nunggu odema...”(P01) “...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih kalau kondisinya masih bagus...”(P02) “...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih kalau kondisinya masih bagus tapi dilapangan ya sampai infus macet atau plebitis...”(P03) “...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih kalau kondisinya masih bagus, kalau sudah jelek di hari keberapapun diganti dek...”(P04) “...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih, biasa dek dilahan seperti ini tetap jauh dari teori yang ada...”(P05) Pemberian asuhan keperawatan adalah tugas utama seorang perawat untuk menunjang kondisi kesehatan pasien. Pemberian asuhan keperawatan yang baik akan menumbuhkan kepercayaan yang baik pula pada profesi perawat. Kondisi yang dinyatakan partisipan bahwa infus diganti 4-5 hari setelah pemasangan belum mendukung pemberian asuhan keperawatan yang baik untuk semua pasien tanpa harus membedakan status sosial pasien. Karena seorang profesi perawat dituntut untuk profesional dalam melakukan suatu tindakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dari pihak RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sendiri sudah memberikan sebuah prosedur dalam melakukan segala tindakan yang keperawatan yaitu SOP.
SOP yang sesuai dengan judul penelitian ini adalah SOP pemasangan infus. 6. Alasan infus diganti kurang dari 3 hari Hasil penelitian ini didapat dari pernyataan dari semua partisipan yang terlibat dalam penelitian ini. Dari jawaban partisipan ini didapatkan tematema sebagai berikut: 1. Pernah, 2. Bengkak, 3. Plebitis. Teori pergantiaan infus menurut (Hidayat 2008) infus seharusnya diganti 48-72 jam sekali dengan infus set yang baru. Jika dilihat dari kenyataan yang ada dengan teori yang dinyatakan (Hidayat 2008), kondisi saat infus diganti kurang dari 3 hari diungkapkan oleh partisipan. Berikut pernyataan partisipan:
“...Ya pernah sich dek, biasa rusak, bocor, kadang-kadang ya bengkak dek, tapi yang sering itu bengkak dek.”(P01) “...nek kui koyone pernah dek, biasa rusak, bocor, pasien ne ngomong nyeri pengen dilepas karena bengkak..”(P02) “...pernah dek, Karena macet, rusak, bengkak atau bahkan plebitis...”(P04) “...hmmm...Pernah... ya paling karena macet, rusak, bengkak atau bahkan plebitis tapi paling buanyakkk bengkak dek”(P05) Hal tersebut dipicu oleh yang menyebabkan infus tersebut memang harus diganti agar tidak menimbulkan hal-hal yang lebih buruk dari kejadian yang sudah ada saat itu. Pergantian infus kurang dari 3 hari memang baik adanya jika dilakukan karena berdasarkan oleh teori yang ada. Tetapi jika infus diganti kurang dari 3 hari dengan alasan karena banyak faktor seperti bengkak, flebitis
7
merupakan hal yang kurang baik pula dalam segi hal keselamatan pasien. Karena kejadian pemasangan infus yang menimbulkan komplikasi saat ini bukan lagi hal yang dapat diabaikan begitu saja karena melihat dari dampak yang ada saat ini memang membuat kerugian bagi pasien. Untuk mencegah pasien dengan komplikasi pemasangan infus salah satu caranya adalah dengan melakukan pemasangan infus sesuai dengan SOP atau pedoman standar pemasangan infus yang telah disediakan oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 7. Angka kejadian flebitis dalam 1
bulan Hasil penelitian ini didapatkan dari 2 kategori yaitu kategori dari pernahkan ada pasien yang mengalami kejadian flebitis dan juga dalam 1 bulan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis. Dari hal tersebut dapat ditemukan tema-tema sebagia berikut: 1. Pernah ada, 2. Lupa. Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi 2008). Partisipan mengatakan pernah ada pasien yang mengalami flebitis. Dari semua partisipan mengungkapakan bahwa dibangsal tersebut pernah ada bahkan sering terjadi flebitis namun dalam tahapan yang berbeda-beda. Mengingat flebitis adalah infeksi nosokomial yang dialami pasien selama dirawat dirumah sakit. Maka dari itu setidaknya sebagai seorang perawat wajib mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Saat peneliti mengajukan pertanyaan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis lima dari satu partisipan menjawab kurang lebih ada dua puluh pasien yang terjadi flebitis. Namun keempat partisipan menjawab lupa. Tema yang didapatkan menunjukan bahwa memang tidak ada
pencatatan angka kejadian infeksi nosokomial terutama flebitis. Berikut pernyataan partisipan:
“...okeh dek, wah nek piro ne lali dek, masalah’e yow mikir’e ora kui thok lali aku dek tp okeh kok dek”(P02) “...sering dek, wahh berapanya lupa tapi seringnya belum sampai parah udah diganti dek kalau pas ketahuan kalau nggak ketahuan ya sampai parah”(P04) “...pernah juga dek, berapa ya? Hmmm saya hanya beberapa saja tetapi teman teman yang sering menjumpai, tapi kalau untuk sekedar perkiraan ya 1 bulan itu kirakira ada lah ya lebih dari 20 tapi tentu dengan derajat yang berbeda-beda dek...”(P05) Obervasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa saat melakukan penelitian yang belum genap satu bulan yaitu baru sekitar satu minggu lebih sudah ada angka kejadian flebitis di skala satu yang terjadi pada hari ke dua dan ke tiga setelah pemasangan infus dibangsal. Sedangkan pemasangan yang dilakukan oleh partisipan lain bahwa terjadi flebitis di skala dua yang terjadi pada hari ke tiga. Menurut teori dari (Hidayat 2008) infus seharusnya diganti 48-72 jam sekali dengan infus set yang baru. Kondisi lamanya pemasangan infus sudah sesuai dengan teori yang ada jika memang diganti pada hari ke tiga setelah pemasangan namun pergantian yang terjadi dengan alasan terjadinya flebitis di skala satu dan dua. Kondisi lain yang berbeda terjadi pada pasien yang dipasang infus oleh partisipan berikutnya dengan kondisi kejadian flebitis pada hari ke enam setelah pemasangan infus. Kenyataan yang ada ini menunjukkan bahwa tidak sesuainya
8
penggantian infus dengan teori yang ada. Meskipun pada hari ketiga kondisi infus masih bagus belum ditemukan gelaja flebitis. Namun sesuai dengan observasi memang belum diganti. 8. Intervensi pasien flebitis Hasil penelitian ini didapatkan dari pernyataan partisipan dari pertanyaan peneliti tentang tindakan jika pasien mengalami flebitis. Dari pernyataan partisipan tersebut muncul tema-tema sebagai berikut: 1. Ganti lokasi, 2. Melepas infus. Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi 2008). Berikut pernyataan partisipan:
“...Ya paling diganti lokasi penusukan infus gitu dek, nanti juga bengkaknya hilang sendiri...” (P01) “...Ya paling diganti lokasi penusukan infus gitu dek...”(P02) “...Infus lama dilepas ganti yang baru biar tidak nyeri...”(P03) “...paling dilepas terus diganti dengan yang baru lokasi baru juga...”(P04) “...dilepas terus diganti dengan yang baru lokasi baru juga...”(P05) Tindakan partisipan ini sudah sangat benar mendukung untuk mencegah terjadinya flebitis yang lebih parah. Terbukti sudah semua partisipan melakukan tindakan tersebut. Tindakan melepas infus dan ganti lokasi setelah terlihat adanya flebitis dalam skala ringan maupun berat. Pada hasil penelitian yang diungkapkan oleh (Handoyo&Endang 2007) bahwa penggantian lokasi pemasangan infus
merupakan tindakan alternatif dalam penanganan flebitis. Tindakan ini juga diungkapkan oleh (Krzywda dan Edmiston 2002) bahwa tindakan mengganti infus atau memasang dianggota badan lain merupakan terapi yang paling efektif untuk menyembuhkan flebitis. Jika dilihat dari observasi peneliti bahwa memang jika terjadi flebitis partisipan mengganti melepas dan lokasi pemasangan infus. Agar tidak terjadi hal-hal yang lebih dari yang tidak diinginkan. Tindakan ini memang sudah banyak dipraktikan dalm dunia kerja jika sudah terjadi flebitis. 9. Penyebab flebitis Hasil penelitian ini didapatkan dari partisipan yang menjawab pertanyaan dari peneliti tentang penyebab flebitis pada pasien partisipan. Dari pernyataan partisipan telah ditemukan tema-tema sebagai berikut: 1. Aktifitas fisik, 2. Transfusi darah, 3. Cairan infus, dan 4. Kebersihan. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002) dalam artikel intravaskuler catheter – related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negatif. Ada pula penyebab lain yang dalam pernyataan partisipan disebabkan oleh kebersihan. Misalnya pemakaian hanschoon yang tidak bersih bahkan steril, karena pada saat pemasangan infus hanschoon yang dipakai partisipan dalam keadaan kotor, bagaimana tidak dikatakan kotor jika hanschoon yang dipakai sudah dipakai pada perawatan pasien lain secara bergantian. Memang abocath yang akan dimasukan kedalam vena tidak tersentuh oleh hanschoon karena hanschoonnya hanya memegang gagang abocath tetapi hanschoon yang dipakai sudah jelas tentu dipakai untuk memegang kapas alkohol untuk mendisinfektan kulit yang akan dipasang infus. Secara langsung bakteri yang ada dihanschoon tersebut
9
menempel pada kapas alkohol dan dipakai untuk mendisinfektan lokasi yang akan dipasang. Berikut pernyataan partisipan:
“...Ya biasanya pergerakan fisik yang terpasang infus dek, bisa juga karena cairan infus, transfusi darah, kurang steril dan lain lain...”(P01) “...cairan infus, transfusi darah, aktifitas fisik pasien, ya namanya kelas 3 dek ngerti dewe tho?...”(P02) “...aktifitas fisik pasien, cairan infus, transfusi darah, dan masih banyak lagi...”(P03) “...banyak faktor ya tetapi yang sering disini itu cairan infus, transfusi darah, aktifitas fisik pasien, kebersihan juga kali ya...”(P04) Bakteri sudah ada dikulit kemudian kulit dipasang infus ada banyak kemungkinan bakteri tersebut ikut masuk kedalam abocath yang masuk kedalam vena sehingga menjadi penyebab terjadinya flebitis. Itu salah satu alasan mengapa keseterilan yang harus dijaga saat pemasangan infus. Hanschoon yang bersih juga bisa mempengaruhi kejadian flebitis. Jika dilihat dari observasi dapat disimpulkan bahwa kejadian flebitis pada pasien yang dipasang infus oleh partisipan ini disebabkan oleh kebersihan dari lokasi pemasangan infus. Aktifitas fisik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya flebitis jika pasien terlalu banyak bergerak. Didukung oleh pernyataan (Workman dalam Mustofa 2007) penyebab flebitis dari fisik: Terjadi karena faktor bahan kanul yang digunakan berdiameter besar, sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah flebitis dapat pula terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau pergelangan
tangan. Transfusi darah seperti yang diungkapkan oleh partisipan juga menjadi penyebab terjadinya flebitis, jika pasien melakukan trasnfusi darah secara langsung dapat menghambat darah masuk kedalam tubuh karena darah jika lama-lama berada diluar daerah panas akan mengental dan menyebabkan penyumbatan pada abocath hingga mengakibatkan flebitis. (Hadaway 2006) menerangkan bahwa beberapa cairan bisa dipergunakan dalam menjaga terjadinya cloting akibat bekuan darah pada slang dan jarum infuse. Penggunaan cairan yang tepat dapat menghilangkan clot/sumbatan tersebut diantaranya, sodium chloride, heparin flush solution, ethylenediaminetetraacetate dan ethanol. Menurut (Booker dan Ignaticus dalam Hening Pujasari 2002) bahwa pH cairan yang lebih rendah memiliki resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi perlu juga diingat tentang pemberian obat melalui intravena. Cairan infus juga menjadi salah satu penyebab kejadian flebitis sesuai dengan ungkapan partisipan. Karena ada cairan infus yang memiliki kandungan yang dapat membuat tersumbat pada selang infus. Terjadi sumbatan jika terjadi dalam waktu lama bisa menyebabkan peradangan pada daerah yang terpasang infus sehingga dapat menyebabkan kejadian flebitis. Seperti pernyataan (Workman dalam Mustofa 2007) penyebab flebitis dari kimia: biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik atau cairan yang mengandung kalium klorida.
10. Gambaran pemasangan yang tidak sesuai SOP
infus
Hasil dari gambaran pelaksanaan pemasangan infus ini didapatkan dari observasi peneliti yang
10
dilakukan menemukan tema-tema. Tema-tema tersebut sebagai berikut: 1. Mempertahankan vena pada posisi stabil, 2. Memakai hanschoon, 3. Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dalam ->keluar), 4. Melakukan desinfeksi tutup botol cairan, 5. Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk, 6. Memasang perlak pengalas. a. Mempertahankan vena pada posisi stabil Salah satu prosedur pemasangan infus yang disampaikan oleh (Smeltzer & Bare, 2002) bahwa dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses vena, pegang tangan pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan kulit di atas pembuluh darah. Fungsi dari prosedur yang dilakukan itu sama artinya dengan membantu vena untuk menstabil agar lebih mudah dalam pemasangan infus. Mempertahankan vena pada posisi yang stabil merupakan hal yang penting dalam pemasangan infus. Jika tidak dilakukan kemungkinan abocath tidak akan terpasang pada tempat yang benar pada vena. Mempertahankan posisi vena stabil mempengaruhi keberhasilan dalam pemasangan infus. Mengingat vena mudah saja hilang setelah diraba jika tidak dipertahankan dengan stabil. Hingga bisa mengakibatkan vena terluka dan terjadinya flebitis. Tahapan kerja pada SOP ini tidak dilakukan oleh partisipan setiap kali pemasangan infus. Peneliti dapat mengobservasi tindakan tersebut memang sudah menjadi kebiasaan partisipan. Seperti kebiasaan pada partisipan yang lain yang belum melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan SOP. Sebuah kedisiplinan adalah hal yang memang sulit bagi seorang perawat dengan tuntutan pekerjaan yang banyak. Namun mengenai hal tersebut bisa saja partisipan melatih diri dalam mendisiplinkan semua tindakan termasuk dalam pemasangan infus.
Disiplin ini yang berarti patuh akan pedoman atau aturan baku yang telah disediakan oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. b. Memakai hanschoon Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan hanschoon dapat mencegah terjadinya flebitis. Kebanyakan hanschoon yang dipakai oleh partisipan adalah hanschoon kotor. Kewaspadaan universal yang dilakukan oleh partisipan dalam melakukan tindakan keperawatan terutama pemasangan infus belum lah sesuai dengan apa yang telah diharapkan karena hanschoon yang dipakai partisipan adalah hanschoon dari pasien satu ke pasien lain. Jika diuraikan hanschoon yang telah dipakai dari pasien lain contohnya memagang kulit pasien dan terkontaminasi cairan pasien bahkan dipakai lagi untuk pasien berikutnya sampai pada saatnya hanschoon tersebut dipakai memasang infus pasien, hanschoon tersebut sudah tentu dipakai memegang kapas alkohol yang dipakai disinfektan padahal hanschoon tersebut sudah jelas terkontaminasi dari beberapa pasien. Bakteri dan virus yang telah menempel dihanschoon sudah pasti menempel pula pada kapas alkohol yang dipakai untuk disinfektan kulit pasien yang akan dipasang infus. Kapas alkohol yang dipakai untuk membersihkan kulit sebelum infus dipasang dalam keadaan kotor bagaimana kulit tersebut bisa dikatakan bersih bahkan steril dan siap untuk dilakukan pemasangan infus. Hanschoon ini harus selalu dipakai dalam keadaan bersih bahkan steril pada saat melakukan tindakan yang kontak
11
atau diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda terkontaminsi. Mengingat kejadian infeksi yang terjadi adalah hal yang tidak baik. Kejadian flebitis merupakan kejadian infeksi nosokomial. Seorang perawat memiliki tugas untuk menjaga kesehatan pasien dan menjaga agar tidak terjadi infeksi pada pasien. Kewaspadaan universal yang harus dilakukan oleh partisipan bukan hanya demi keamanan pasien tetapi juga partisipan itu sendiri. Kebersihan hanschoon merupakan hal yang penting bagi partisipan saat melakukan pemasangan infus. Perawat harus menggunakan sarung tangan sekali pakai tidak steril selama prosedur pungsi vena karena tingginya kemungkinan kontak dengan darah pasien (Asmadi 2008). c. Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dalam ->keluar) Disambungkan dengan pemakaian hanschoon yang dilakukan oleh partisipan bahwa pemakaian hanschoon tersebut dalam keadaan kotor dan digunakan untuk membersihkan kulit menggukan kapas alkohol dilakukan naik turun dan berulang kali. Sudah pasti bakteri dan virus yang ada dihanschoon pindah dikulit dan dapat mempenaruhi kejadian flebitis. Dalam jurnalnya (Elizabeth Ari, Lidwina Triastuti, dan Sisilia Heni tahun 2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna atau signifikan antara kejadian infeksi pada pemasangan infus dengan disinfektan cara spray dengan cara oles. Namun demikian cara disinfektan yang yang dilakukan dengan cara oles pun harus sesuai dengan SOP pemasangan infus dan kewaspadaan universal untuk mendapatkan hasil seperti penelitian tersebut. Namun jika dilakukan seperti dalam penelitian yang dilakukan partisipan ini bisa sangat mempengaruhi
kejadian infeksi seperti flebitis mudah saja terjadi. d. Melakukan desinfeksi tutup botol cairan Melakukan desinfektan tutup botol cairan merupakan salah cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi. Seperti yang diungkap oleh (Nursalam 2007) bahwa Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Dalam pelaksanaannya tahapan dari SOP pemasangan infus ini tidak dilakukan oleh partisipan saat melakukan pemasangan infus. Jika melakukan hal ini tentunya dilakukan dengan hanschoon dan kapas alkohol yang tidak terkontaminasi agar tidak terjadi infeksi. Karena tema ini didapatkan dari tahapan kerja SOP yang tidak dilakukan dalam pemasangan infus. Secara langsung sangat berhubungan dengan tema-tema yang yang lainnya. Berkesinambugannya tema ini memperkuat terjadinya flebitis pada pasien yang terpasang infus tidak sesuai dengan SOP. Disinfektan tutup botol cairan berarti membersihkan tutup botol cairan yang akan dipasang pada infus pasien. Tujuannya agar kumankuman yang ada pada tutup botol cairan infus yang terkontaminasi dari luar tidak masuk kedalam tutup botol yang ada didalam. Pencegahan ini merupakan langkah awal untuk mencegah kuman yang masuk. e. Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan dilakukan penusukan merupakan hal yang penting juga karena hal ini dapat mempengaruhi tema yang mempertahankan vena pada posisi stabil. Tourniquet adalah salah
12
satu alat yang digunakan untuk mendukung tema yang mempertahankan vena dalam posisi stabil. Setiap SOP yang berhubungan dengan vena ataupun arteri itu membutuhkan tourniquet yang berguna untuk membendung vena atau mempertahankan vena pada posisi stabil agar dalam pemasangan infus atau pengambilan darah dapat sesuai dengan yang diinginkan dalam keberhasilannya dan tidak menimbulkan komplikasi. Tourniquet diletakkan 5 cm dari lokasi pemasangan infus karena jika dilakukan kurang dari 5 cm akan mengganggu proses penusukan abocath kedalam vena. Namun tahapan ini tidak sepenuhnya dilakukan menggunakan tourniquet yang tersedia dilokasi melainkan partisipan menggunakan selang infus bekas yang dipotong sehingga bisa digunakan dalam pemasangan infus sebagai pengganti tourniquet. Fungsi dari selang infus yang dipotong itu memang hampir sama dengan tourniquet namun tourniquet yang memang sudah tersedia dan sudah menjadi standar nasional dalam penggunaan nya pada pemasangan infus. SIMPULAN 1. Gambaran pelaksanaaan pemasangan infus a) Pengertian SOP Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pengertian SOP ditemukan tema sebagai berikut : 1. Aturan, 2. Standar. Tema-tema yang telah didapatkan adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari partisipan. b) Pelaksanaan SOP dibangsal Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pelaksanaan SOP dibangsal ditemukan tema sebagai berikut : 1. Jarang dipraktikan, 2. Tidak hafal, 3. Melihat sikon. Tema-tema yang telah didapatkan itu adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti.
f.
Memasang perlak pengalas Perlak pengalas saat melakukan pemasangan infus adalah salah satu syarat untuk terlaksananya pemasangan infus yang sesuai dengan SOP dimanapun seorang perawat bekerja. Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam 2007). Fungsi dari perlak pengalas saat melakukan pemasangan infus adalah untuk melindungi daerah yang akan terpasang infus dalam keadaan bersih dari kuman yang ada di tempat tidur pasien. Menjaga agar tidak ada darah atau cairan tubuh yang terjatuh ditempat tidur yang akan membuat kuman berpindah dari tempat satu ke tempat lain yang menyebarkan bakteri dan virus yang bisa menimbulkan infeksi nosokomial.
c) Pemasangan belum sesuai
SOP Hasil dari wawancara pada partisipan menyatakan tentang petanyaan pemasangan belum sesuai SOP dalam tindakan keperawatan pemasangan infus. Dari pernyataan partisipan ini menimbulkan tema-tema, tema tersebut sebagai berikut:1. Memakan waktu lama. Tema ini didapatkan dari partisipan 1, 2 dan 5. d) Alasan belum sesuai SOP Hasil penenlitian yang dinyatakan partisipan dalam pertanyaan alasan kenapa partisipan belum sesuai SOP dalam melakukan tindakan keperawatan menghasilkan tema-tema sebagai berikut: 1. Tuntutan pekerjaan yang banyak. Tema ini didaapat dari partisipan saat menjawab pertanyaan dari peneliti.
13
e) Waktu penggantian infus Hasil penelitian ini di dapat dari hasil pernyataan dari partisipan 1,2,3, dan 4. Partisipan menyatakan biasanya infus diganti berapa hari sekali. Dari pernyataan partisipan tersebut memunculkan tema bahwa infus diganti 4-5 hari dari pemasangan infus. f) Alasan infus diganti kurang
dari 3 hari Hasil penelitian ini didapat dari pernyataan dari semua partisipan yang terlibat dalam penelitian ini. Dari jawaban partisipan ini didapatkan tematema sebagai berikut: 1. Pernah, 2. Bengkak, 3. Plebitis. Tema-tema yang telah didapatkan itu adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti. g) Angka kejadian flebitis
dalam 1 bulan Hasil penelitian ini didapatkan dari 2 kategori yaitu kategori dari pernahkan ada pasien yang mengalami kejadian flebitis dan juga dalam 1 bulan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis. Dari hal tersebut dapat ditemukan tema-tema sebagia berikut: 1. Pernah ada, 2. Lupa. Tema-tema ini didapatkand ari pernyataan dari partisipan dan juga hasil obeservasi. h) Intervensi pasien flebitis Hasil penelitian ini didapatkan dari pernyataan partisipan dari pertanyaan peneliti tentang tindakan jika pasien mengalami flebitis. Dari pernyataan partisipan tersebut muncul tema-tema sebagai berikut: 1. Ganti lokasi, 2. Melepas infus. i) Penyebab flebitis Hasil penelitian ini didapatkan dari partisipan yang menjawab pertanyaan dari peneliti tentang penyebab flebitis pada pasien partisipan. Dari pernyataan partisipan telah ditemukan tema-tema sebagai berikut: 1. Aktifitas fisik, 2. Transfusi darah, 3. Cairan infus, dan 4. Kebersihan. Tematema tersebut akan diuraikan sendirisendiri.
j)
Gambaran pemasangan infus yang tidak sesuai SOP
Hasil dari gambaran pelaksanaan pemasangan infus ini didapatkan dari observasi peneliti yang dilakukan menemukan tema-tema. Tema-tema tersebut sebagai berikut: 1. Mempertahankan vena pada posisi stabil, 2. Memakai hanschoon, 3. Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dalam ->keluar), 4. Melakukan desinfeksi tutup botol cairan, 5. Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk, 6. Memasang perlak pengalas. Tema ini didapatkan dari hasil observasi tentang bagaimana partisipan ini melakukan pemasangan infus. Tema ini didapat dari tahapan SOP dari RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Yang tidak lain sebagai pedoman observasi dalam penelitian. 2. Prosentase gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis. Didapatkan bahwa prosentase kejadian flebitis ada sekitar 20 pasien yang mengalami flebitis dalam 1 bulan. Saat melakukan penelitian yang belum sampai 1 bulan sekitar 1 minggu lebih sudah ada angka kejadian flebitis diskala satu, dua dan tiga namun terjadi pada hari yang berbeda-beda. 3. Dampak dari gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP. Dalam pemasangan infus yang tidak sesuai dengan SOP dalam penelitian ini didapatkan dampak bahwa memang pemasangan infus yang tidak sesuai SOP dapat mempengaruhi kejadian flebitis dibangsal kenanga RSUD dr. Soediran Mangan Sumarso Wonogiri. 4. Menganalisa gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP. Analisa gambaran dalam pemasangan infus yang tidak sesuai SOP di bangsal Kenanga memang disetiap
14
pelaksanaanya kebanyakan belum sesuai dengan SOP. Banyak alasan yang terungkap dari perawat namun yang DAFTAR PUSTAKA Asmadi ( 2008 ), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta : EGC Darmadi 2008. Infeksi Problematika Pengendalianya. Salemba.
Nosokomial dan Jakarta:
Depkes RI (2008) Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Elizabeth Ari, Lidwina Triastuti, Sisilia Heni (2009) “ perbedaan tehnik mendesinfeksi alkohol 70% antara cara Spray dengan oles saat pemasangan infus dalam Menurunkan jumlah bakteri pada site infuse di rumah sakit Santo yusup bandung” Jurnal Keperawatan Volume 10 No. XIX Oktober 2008 – Februari 2009 Hal 76. Etika
Emaliyawati (....). ”Tindakan kewaspadaan universal sebagai upaya untuk Mengurangi resiko penyebaran infeksi” fakultas ilmu keperawatan Universitas padjadjaran Bandung
Ghorbani M. & Zavareh, M.N.(2007) Pheriperal intravenous chateter related phlebitis and risk factors. di peroleh 29 Juli 2013 jam 8.00 wib, httpwww. 4808a4.pdf Hadaway (2006) Technology of Flushing Vascular Access Devices. Journal of Infusion Nursing 29 (3), 137 – 145
Hampton S. (2008). IV therapi. Journal of Community Nursing, 22(6), 20-22.
paling banyak dan sering dikeluhkan adalah tuntutan pekerjaan yang banyak.
Handoyo dan Endang Trianto (2007) “analisis tindakan perawatan yang dilakukan pada pasien dengan phlebitis di rsud prof dr. Margono soekardjo purwokerto”, Pengajar Program Sarjana Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 2, No.2 Juli 2007 Hening Pujasari (2002) Angka Kejadian Flebitis dan Tingkat Keparahannya, Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol.:6, No.1 , Penerbit FIK UI, Jakarta, Maret, 2002. Hidayat, A. Aziz Alimul (2008), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Hindley, G. (2006). Infection control in peripheral cannulae. Nursing Standard, 18(27). Ignatavicius, D.D., & Workman, ML. (2010). Medical-surgical nursing, Patient-centered collaborative care. 6th Edition. St. Louis: Saunders Elsevier Inc. Krzywda dan Edmiston (2002) Central Venous Catheter Infections, Journal of Infusion Nursing 25 (1), 29-35 Maria, Ince & Kurnia, Erlin. (2012). “Kepatuhan Perawat Dalam Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus Terhadap Phlebitis”. Jurnal STIKES Volume 5, No.1, Juli 2012.
15
Mustofa (2007). “Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Perawat Mengenai Kontrol Infeksi Terhadap Perilaku Pencegahan Kejadian Flebitis Di Ruang Rawat Inap RSD Sunan Kalijaga Demak”, Skripsi, Universitas Diponegoro Semarang. Polit, DF & Beck, CT (2006), Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal, and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia Polit, DF & Hungler, BP (2005), Nursing Research : Principles and Methods, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia Potter dan Perry (2005). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC Prastika Daya, Sri Susilaningsih dan Afif Amir A. (2012).” Kejadian Flebitis di RSUD Majalaya” Universitas Padjadjaran Bandung. Saryono & Anggraeni, MD (2010), Metodologi Penelitian Kualitatif
Dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta Smeltzer dkk. (2001). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 1 Edisi 8 Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta. Subagyo, Joko P. (2004). Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, PT Asdi Mahasatya, Jakarta. Sutopo, HB (2006), Metodologi Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta Wayunah (2011). “Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian flebitis dan kenyamanan pasien diruang rawat inap rumah sakit umum daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu”, Tesis, Universitas Indonesia Jakarta.
16