MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK RETARDASI MENTAL RINGAN DI SLBN 1 BANTUL YOGYAKARTA 2015
1
Redi Iriawan, 2Nurhidayat, 3Aris Budi Pratama Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Wira Husada 2 Prodi Keperawatan STIKES Wira Husada
1,3
ABSTRACT Introduction: Mental retardation is a condition that requires special attention, because in children with mental retardation experience limitations in the functioning of him so that it would interfere with the normal adaptation to the environment. Usually there is a child’s mental development is less overall, but the main symptoms are prominent intelligence is underdeveloped. With this, at least the family into the media in helping children with mental retardation in conformity with the environment in line with vulnerable life. Family involvement is important in the process of socialization. Families provide support in order to receive all the advantages and disadvantages of the child, so that children can socialize and communicate with others and can develop the full potential of these limitations are optima objectives: To determine the relationship of Family support wit social skill of child retardation mental in SLBN 1 Bantul Yogyakarta Methods: Usingan instrument with a questionaire given to the families and childs with middle retardation mentals. Results: Family support is provided in the high category 18(36%) and in the middle category 24 (48%), while Socials skill of Childs low retardation mentals in the category of 36 (72%) and 14 (28%) child’s have social skill is Less, besides, the results of this study showed ther is significant correlation between family support with socials skill of child retardation in SLBN 1 Bantul Yogyakarta Conclusion: There Is A Significance Relationship Between Two Variables Is Family Support With Socials Skill Of Retardation Mental Of Child At SLBN Bantul Keyword: Family Support, Social Skill, Retardation Mental of childs
PENDAHULUAN Retardasi mental merupakan keadaan yang memerlukan perhatian khusus, dikarenakan pada anak retardasi mental mengalami keterbatasan dalam memfungsikan dirinya sehingga akan menggangu adaptasi normal terhadap lingkungan. Biasanya anak terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama yang menonjol ialah intelegensi yang terbelakang (Maramis, 2005). Anak RM mengalami keterbatasan sosialisasi dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah, sehingga cukup sulit untuk mempelajari informasi dan keterampilan – keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Soetjiningsih 1998). Kemampuan sosialisasi sangat penting bagi anak RM, karena mereka harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Diharapkan anak RM dapat menemukan tempat tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan
226
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
kemampuannya dan dapat mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima oleh masyarakat (Astuti 2009). Menurut penelitian World Health Organization (WHO) tahun 2009, jumlah anak RM seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006 -2007 terdapat 80.000 lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pesat pada tahun 2009, dimana terdapat 100.000 penderita. Pada tahun 2009 ini terjadi peningkatan sekitar 25% (Depkes RI 2009). Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. RM mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Marasmis 2004). Di Yogyakarta jumlah anak berkebutuhan khusus cukup banyak yaitu sebanyak 40.050 orang. Data Dikpora Yogyakarta tahun 2012 didapatkan data anak yang bersekolah di SLB sebanyak 4274 anak. Hal ini dikarenakan keluarga dan masyarakat yang mempunyai anggota keluarga dengan kebutuhan khusus sering kali menyembunyikannya sehingga mereka tidak dapat tersentuh pelayanan, serta kebanyakan orang tua yang merasa malu dan tertekan oleh stigma dari lingkungan. Sikap ini justru akan membuat anak tidak mampu mengembangkan diri (Dikpora, 2012). World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak RM di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah anak. Pada tahun 2003 jumlah anak RM 679.048 atau 21,42%, dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40%. Dengan kategori RM sangat berat (Ideot) 25%, kategori berat 2,8%, RM cukup berat (Imbisil debil profound) 2,6%, dan RM ringan 3,5% (Kemenkes RI , 2010). Dari data di atas dapat kita tarik kesimpulan anak dengan retardasi mental ringan menjadi ancaman kedua setelah anak RM dengan kategori berat. Sedangkan berdasarkan Pusdatin Kesejahteraan Sosial Tahun 2008 Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sebanyak 1.544.184 orang (meliputi cacat fisik, mental, cacat ganda). Serta terdapat 14,6% yang mengalami retardasi mental dari total tersebut. Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang didapatkan pada tanggal 11 februari 2015 di Sekolah Luar Biasa (SLB) bahwa sistem pembagian kelas bedasarkan sedang dan ringan dari tingkat Taman Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Peneliti mengambil sampel dari tingkat SD kelas 3 sampai SMP kelas 2 dengan kriteria ringan yang berjumlah 50 anak. Menurut informasi yang didapatkan peneliti dari kepala ruang bagian C atau ruang Tuna Grahita bahwa keluarga yang berpartisipasi aktif dalam menjemput dan mengantar sebanyak 18, sedangkan 32 keluarga tidak aktif berpartisipasi dari 50 anak. Dari studi pendahuluan, peneliti juga mendapatkan beberapa anak yang didampingi oleh keluarganya saat jam istirahat, dan sebagian besar anak tidak didampingi keluarganya dan memilih menyendiri. Peneliti juga melakukan interaksi dan mengamati perilaku sebagian besar anak dengan retardasi mental ringan di sekolah didapatkan respon anak dalam berinteraksi kurang baik, acuh pada orang di sekitar, dan komunikasi kurang lancar dan sedikit berbicara. Anak cenderung menyendiri dan waktu luangnya lebih. Melihat fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan Sosialisasi anak Retardasi Mental Ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta”.
227
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk mencari nilai variable mandiri atau lebih independen tanpa membuat perbandingan atau dengan menghubungkan dengan variable lain (Sugiyono ,2012). mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan Sosialisasi anak Retardassi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Cross Sectional yaitu hanya meneliti pada waktu tertentu. Penelitian ini dilaksanakan pada minggu ke dua bulan Agustus 2015 di SLBN 1 Bantul Yogyakarta. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik purposive sampling.
HASIL 1. Dukungan Keluarga Berdasarkan table 1 didapatkan bahwa Dukungan keluarga yang tinggi yakni 18 keluarga (36%) dan keluarga yang memiliki dukungan sedang sebanyak 24 keluarga (48%) sedangkan untuk responden yang memiliki dukungan keluarga rendah di SLBN 1 Bantul yogyakarta sebanyak 8 keluarga (16%). Table 1 Distribusi Dukungan keluarga pada siswa retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta 2015 Dukungan sosial Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Jumlah 18 24 8 50
Presentase % 36% 48% 8% 100 %
Sumber : Data Primer 2015
2. Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental Ringan Berdasarkan table 2 Menunjukkan bahwa siswa retardasi mental ringan yang memiliki kemampuan sosialisasi kurang sebanyak 14 anak (28%) dan anak yang memiliki kemampuan sosialisasi cukup sebanyak 36 anak (72%). Table 2 Distribusi frekuensi kemampuan sosialisasi anak Retardasi Mental Ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta Kemampuan sosialisasi Cukup Kurang Jumlah Sumber : data Primer 2015
228
Jumlah siswa 36 14 50
presentasi 72% 28% 100%
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
3. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental Ringan Table 2 Distribusi silang antara dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta Kemampuan sosial Dukungan keluarga Tinggi Sedang Rendah Jumlah
cukup frekuensi 18 10 8 36
% 36% 20% 16% 72%
kurang frekuensi % 0 14 28% 0 14 28%
jumlah 18 24 8 50
Sumber : Data Primer 2015
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian selanjutnya dilakukan pembahassan terhadap masing – masing variabel dan hubungan antar variabel untuk memberikan gambaran yang lebih jelas lagi. 1. Dukungan keluarga di SLBN Bantul Yogyakarta Hasil penelitian didapatkan dukungan keluarga pada anak dengan retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul dalam kategori sedang sebesar 24 (48%), dukungan keluarga kategori tinggi 18 (36%). Hal ini menunjukkan dukungan keluarga pada anak mereka yang mengalamai retardasi mental tergolong tdak tinggi seiring dengan tanggapan negative masyarakat tentang anak retardasi mental menimbulkan berbagai macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, seperti : orang tua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak retardasi mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat karena orang tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Di sisi lain, ada pula orang tua yang memberikan perhatian lebih pada anak retardassi mental (Suryani, 2005). Menurut Hurlock (2005) keluarga merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kemampuan sosialisasi anak, karena hubungan anak dengan keluarga lebih erat dan lebih emosional. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembang seorang individu, maka keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas dari individu yang terbentuk dari noram yang dianut dalam keluarga sebagai patokan perilaku setiap hari. Lingkungan kelaurga secara tidak langsung berpengaruh dalam mendidik seseorang anak karena pada saat lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup panjang anak memerlukan bantuan dari keluarga dan orang lain untuk melangsungkan hidupnya. Keluarga mempunyai anak cacat akan memberikan perlindungan yang berlebihan pada anaknya sehingga anak mendapatkan kesempatan terbatas untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya (muttaqin, 2008).
229
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
2. Kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan di SLBN Bantul Yogyakarta Dari hasil penelitian sebanyak 36 siswa (72%) memiliki kemampuan sosialisasi yang cukup dan 14 (28%) siswa kemampuan sosialisasinya kurang. Hal ini didukung oleh data usia para anak retardsi mental ringan yang berkisar dari usia 8 tahun sampai 18 tahun dengan rata – rata paling banyak anak berusia 10-14 tahun yang artinya anak – anak ini sedang pada tahap remaja. Judarwanto (2009) menjelaskan insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 – 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada lelaki dibandingkan dengan perempuan. Menurut American Psychiatric Association Washington, 1994) yang dikutip lumbantobing (2001) menyatakan anak retardasi mental yang berada pada massa remaja mereka telah memiliki kecakapan akademik dampai setara kira – kira dengan tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional cukup sekedar untuk berdikari, namun mungkin membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama bila mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Anak RM mengalami keterbatasan sosialisasi dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah. Kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh kecerdasan. Karena tingkat kecerdasan anak RM berada dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami hambatan (Amin 1995). Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal (Hurlock 2005). Anak RM memerlukan stimulasi yang lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama / berkelompok masih jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar juga kurang. Untuk itu diperlukan stimulasi berupa kegiatan / permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kemampuan sosialisasi anak RM. Karena sebagian besar pendidikan orang tua responden SMA / Sederajat ke bawah, hal ini berdampak pada minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan pemenuhan kebutuhan / stimulasi untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Kemampuan sosialisasi anak dipengaruhi oleh pendidikan anak, peran aktif anak, pendidikan orang tua, peran aktif orang tua, dan lingkungan (Gupte 2004). Setiap anak mampu mempunyai kemampuan sosialisasi yang optimal bila mendapat stimulasi yang tepat. Di setiap fase pertumbuhan, anak membutuhkan rangsangan untuk mengembangkan kemampuan mental dan sosialisasinya. Anak setelah diberi stimulasi mampu melakukan tahapan perkembangan yang optimal (Fabiola 2006). Pendidikan untuk anak RM dapat berupa sekolah khusus maupun tempat terapi. Pendidikan anak juga dapat mempengaruhi kemampuan sosialisasinya, karena ditempat ini mengharuskan mereka untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik
230
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
(Survina 2005). Anak yang mampu belajar dengan baik akan memiliki pengetahuan dan informasi sehingga mampu beradaptasi dengan baik. 3. Hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan retardasi mental ringan di SLBN Bantul Yogyakarta Berdasarkan Hasil analisa data spearman rank dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi anak reatrdasi mental ringan didapatkan nilai signifikansi 0,822. Hasil statistic menunjukkan nilai p = 0,822 dengan taraf kemaknaan 0,001 kurang dari 0,05 (p <0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak yang artinya dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta .
KESIMPULAN Berdasarkan analisis data penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dukungan keluarga pada anak Retardasi Mental Ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta Yaitu Sedang. 2. Kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta 2015 Yaitu Cukup. 3. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan di SLBN 1 Yogyakarta 2015
SARAN 4. Bagi SLBN 1 Bantul Yogyakarta Bagi SLBN 1 Bantul diharapkan dapat menciptakan kebijakan – kebijakan untuk merencanakan program yang bisa meningkatkan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental ringan terkait pentingnya dukungan keluarga. 5. Bagi peneliti Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang serupa dengan melakukan eksperimen bagaimana pengaruh pemberian pengetahuan tentang dukungan keluarga pada keluarga siswa dengan retardasi mental di SLBN 1 Bantul Yogyakarta, dengan metode pengumpulan data dan penyebaran kuesioner secara serentak pada saat itu juga. 6. Bagi keluarga Responden Hendaknya meningkatkan dukungan keluarga pada siswa yang mengalami retardasi mental Ringan sehingga dapat mengingkatkan kemampuan sosialisasi pada anak Retardasi mental ringan di SLBN 1 Bantul Yogyakarta.
231
MIKKI Vol 04/No.01/Februari/2016
RUJUKAN 1. Arikunto, S. 2006 Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta. 2. Astuti, N. K 2010. Asas Pengajaran untuk Anak Tunagrahita (online), diakses pada hari Senin tanggal 15 Juni 2015http://www.balipost.co.id 3. Azwar. 2006. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta Pustaka Pelajar 4. Dinda. 2008. Retardasi Mental (online). Diakses pada tanggal 10 juli 2015. http:// medicafarma.blogspot.com/2008/09/retardasi-mental.html 5. Effendi, N. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2. EGC: Jakarta 6. Friedman. M. 1998. Keperawatan Keluarga, alih bahasa Ina Debora R. L. EGC: Jakarta 7. Hidayat. A.A., 2009. Metode Penelitian Keperawatan Dan Tehnik Analisis Data. Salemba medika:jakarta 8. Hurlock, E. B, 2005, Perkembangan Anak Jilid 1 Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta 9. Mahfoedz, I. 2007. Statistika Deskriptif Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Yogyakarta : fitramaya. 10. Maramis, 2004, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya. 11. Notoatmojo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. 12. Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Profesional. Edisi ke II. Jakarta: Salemba Medika 13. Rizka, 2009, Observasi Anak Tunagrahita, media release, 16 November, diakses hari Sabtu 13 Maret 2012 pukul 19.45 WIB. rizkanury.blogspot.com/.../observasi- anak-tuna-grahita-sedang.html 14. Soetjiningsih, 1998, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta. Hal. 105, 191. 15. Somantri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT Refika Aditama 16. Sugiono. 2005. Statistik Untuk Penelitian. Cetakan VIII. Bandung: Alfa Beta. 17. Sugiono. 2006. Metodologi Penelitian Administratif. Bandung: Alfa Beta 18. Sugiono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Alfa Beta: Bandung 19. Syani, A 2002, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta: PT Bumi Aksara 20. Wong, D. L, 2004,Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, EGC,Jakarta..
232