Judul Artikel:
Problematika dan Tantangan P2KP pada Aras Desa
Oleh: Agus Supriyadi
Tim Fasilitator 2 Koordinator Kota 1 Klaten KONSULTAN MANAJEMEN WILAYAH XIV JAWA TENGAH 2006
Problematika dan Tantangan P2KP pada Aras Desa Pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai pada tahun 1999 hingga tahun 2006 saat ini, telah memasuki masa selama tujuh tahun, dengan lokasi sasaran semakin meluas yang seiring dengan periode implementasi P2KP. Setidaknya saat ini telah memasuki periode ke-4 atau secara keproyekan dikenal dengan P2KP II Tahap 2. Sebelumnya telah ada P2KP I Tahap 1, P2KP I Tahap 2, dan P2KP II Tahap 1. P2KP I Tahap 1 (mulai 1999) dan P2KP I Tahap 2 (mulai 2002) dengan lokasi sasaran di Kota/ Kabupaten di pantai utara Pulau Jawa (pantura). Pada periode ini lokasi sasarannya adalah kelurahan-kelurahan yang secara sosial-administratif termasuk dalam kategori kota (baca: perkotaan) dan desa-desa sasaran lainnya yang termasuk wilayah berkategori perkotaan dalam suatu kecamatan, sehingga bila dalam satu kecamatan hanya ada 1 desa yang berkategori perkotaan, maka hanya desa tersebut yang menjadi sasaran P2KP. Dengan demikian secara umum pelaksanaan P2KP periode ini terjadi pada wilayah yang bercorak dan berwajah perkotaan. Berbeda dengan periode sebelumnya, P2KP II Tahap 1 dan P2KP II Tahap 2 yang dimulai tahun 2004, lokasi sasaran adalah kelurahan/ desa yang secara umum di dominasi olah corak dan wajah pedesaan, sehingga kata perkotaan dalam P2KP telah mengalami pergeseran makna secara substantif. Namun dalam artikel ini bukan pergeseran makna perkotaan yang menjadi pokok bahasan, akan tetapi lebih pada strategi dan pendekatan yang dilakukan P2KP ketika wilayah sasarannya adalah pedesaan. P2KP II Tahap 1 dengan sasaran luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan NTB. Sedangkan P2KP II Tahap 2 adalah di wilayah pantai selatan Pulau Jawa yang meliputi Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Adanya pergeseran wilayah sasaran yang lebih didominasi corak dan wajah pedesaan, tentunya diperlukan suatu grand strategy dan pendekatan secara holistic dan komprehensif, mengingat basis sasaran yang di dampingi oleh KMW/ fasilitator adalah berbeda dengan corak dan wajah perkotaan. Perbedaan ini menyangkut masalah sosiokultur, politik, ekonomi
dan kelembagaan yang ada. Oleh karenanya, untuk menyusun
strategi dan pendekatan secara konseptual sudah seharusnya dimulai dengan mengkaji atau menganalisis struktur sosial-budaya, ekonomi, dan politik masyarakat pedesaan yang ada di Indonesia.
1 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
Dalam artekel ini sengaja penulis memberikan deskripsi kesejarahan secara singkat atas kondisi masyarakat pedesaan di Indonesia, yang secara geografis berbentuk agraris dengan mata pencaharian khususnya sebagai petani, sehingga bisa memberi manfaat terhadap pembaca artikel ini guna memahami proses kesejarahan tentang kebijakan pertanian yang terjadi pada masa lalu dan kita menjadi tidak a-historis untuk menentukan suatu konsep dan strategi kedepan. Selain itu juga dilengkapi dari perspektif teori sosialpolitik yang relevan dan bersifat praxis, serta tidak dimaksudkan dikaji secara mendalam secara teoritis dan akademis.
Sekilas tentang Potret Masyarakat Pedesaan Saat ini dari seluruh populasi penduduk Indonesia yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Papua dan di pulau-pulau kecil lainnya, sekitar 60% lebih tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian di dominasi dari sektor pertanian, selain bekerja sebagai nelayan, dan sektor-sektor informal di pedesaan. Dengan kondisi Indonesia yang agraris, maka sebagian besar penduduknya menyandang predikat sebagai petani, sehingga sudah seharusnya posisi dalam sektor pertanian mejadi fokus perhatian khusus bagi pemerintah, selain sektor-sektor lainnya. Mengingat sampai saat ini regulasi dan kebijakan yang relevan, masih belum menyentuh pada akar persoalan di sektor pertanian. Masyarakat pedesaan di Indonesia dengan kondisi agraris ini, tentunya memiliki struktur sosial yang dapat dipetakan setidaknya
dalam 3 struktur utama, sebagaimana
pandangan Hoult (1977), yakni: 1. Struktur masyarakat komunal, adalah kesatuan masyarakat yang relatif kecil dan homogen serta ditandai oleh pembagian kerja yang minimal, hubungan sosialnya masih primer, dan terikat kuat oleh tradisi. Struktur masyarakat komunal pola hubungan sosial lebih bercorakkan atas dasar ikatan ketetanggaan, kekerabatan dan keagamaan, ketimbang corak dalam struktur pasar. 2. Stuktur agraris, yang mempolakan hubungan sosial dalam sistem pertanian, teruatama berkenaan dengan produksi padi, sayuran, buah-buahan, dan tanaman perkebunan. Struktur ini lebih bercorakkan struktur pasar daripada stuktur organisasi. 3. Struktur otoritas desa, memiliki pola hubungan sosial dalam sistem pemerintahan desa, sehingga lebih bercorak struktur organisasi daripada struktur pasar. Struktur ini memiliki pengaruh yang kuat baik untuk struktur komunal seperti dalam kemampuan pengerahan
2 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
sumber daya manusia dan pembagian kerja, maupun terhadap struktur agraris seperti dalam pengalihan penguasaan atas tanah dan sistem produksi pertanian.
Pandangan diatas setidaknya dapat memberikan gambaran atas pola hubungan dalam struktur sosial masyarakat pedesaan dan apabila memahaminya secara mendalam maka dapat digunakan untuk menganalisis atas hubungan dari ketiga struktur dengan kondisi masyarakat pada aras desa. Tentunya dengan mensinergikan dengan perspektif teori yang relevan atas kondisi masyarakat pedesaan sebagai wilayah sasaran yang akan didampingi dalam proses penanggulangan kemiskinan dengan kendaraan P2KP, untuk selanjutnya menyusun sebuah konsep, strategi dan pendekatan yang holistic, integral, dan komprehensif dalam menanggulangi kemiskinan masyarakat pada aras desa. Persoalan utama yang terjadi dalam masyarakat petani pedesaan adalah penguasaan lahan pertanian yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil petani pemilik modal, sementara petani yang lain hanya sebatas sebagai buruh tani atau petani penggarap, yang sumber keuangannya lebih bergantung dari petani pemilik modal. Pola hubungan produksi yang demikan secara ekonomi Marxian sebagai hubungan buruh – majikan, dimana buruh tani tidak memiliki daya tawar dan posisi yang memadai berkenaan dengan upah yang harus diterimakan. Sementara sang majikan lebih menampakkan diri sebagai borjuasi lokal yang memiliki modal dan alat produksi pertanian, sehingga kebijakan terhadap pengupahan dapat ditentukan sendiri oleh majikan dan buruh tani hanya mengandalkan kebaikan hati dari majikan. Disini dalam hal hubungan kerja lebih didasari atas hubungan kekerabatan dan persahabatan instrumental, tanpa adanya proses tawar-menawar dalam pengupahan dan sistem kerja. Untuk kasus buruh tani tidak dikenal dengan pemogokan dalam hal menuntut perbaikan upah dan sistem kerja sebagaimana buruh industri di perkotaan yang memang memiliki payung hukum dengan adanya undang-undang tenaga kerja. Pola hubungan demikian ternyata berdampak pada hubungan patron-klien pada masyarakat desa, dimana klien (buruh tani) yang secara ekonomi dan pertahanan ruang hidup sangat bergantung terhadap patron (pemilik lahan). Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh James C. Scott (1993) bahwa kemampuan untuk mempertahankan ruang hidup serta bergantungnya sumber keuangan ini diperkuat oleh adanya suatu sistem integrasi dalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat yang kondusif. Dalam masyarakat petani di pedesaan, interaksi sosial yang telah terstruktur begitu lama, lebih erat hubungannya. Adanya jalinan patron-klien, merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi di pedesaan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Jalinan ini merupakan sebuah
3 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
pertukaran hubungan anatar kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk menyediakan perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan kepada seseorang yang berstatus lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron. Dalam hal kerentanan untuk mempertahankan hidup, masyarakat miskin pedesaan sebenarnya lebih mampu mengatasi bila dibandingkan dengan masyarakat miskin perkotaan. Kemampuan untuk pertahanan hidup bagi masyarakat pedesaan yaitu dengan melakukan subsistensi atas pemanfaatan alam sekitar, seperti hasil kebun, pekarangan, kayu bakar, dan sebagainya. Saat ini pun banyak ditemui warga yang melakukan subsistensi dalam mempartahankan hidup, terlebih dengan adanya kenaikan BBM sebanyak dua kali setahun, pada bulan Maret dan Oktober 2005. Namun kemampuan melakukan subsistensi dalam pertahanan hidup ini juga terbatas, mengingat semakin ketersediaan alam dan ekologi hayati juga semakin menyusut. Pola hubungan yang patron-klien ini semakin menampakkan bentuknya dalam masyarakat pedesaan tidak hanya dalam ekonomi dengan pola produksi yang berbasiskan pertanian, tetapi juga dalam hubungan sosial-budaya yang sejauh ini masih kental terjadi. Dalam kaitan hubungan sosial-budaya dari perspektif ilmu sosial biasa disebut dengan budaya paternalistik, di mana peran seorang tokoh/ elite dalam masyarakat desa adalah sangat dominan dalam hubungan-hubungan sosial maupun dalam ranah politik yang bertalian dengan pengambilan kebijakan pada aras desa. Sementara itu, apa yang disebut dengan elite desa setidaknya dapat dipilah menjadi beberapa jenis elite, diantaranya elite pemerintahan, elite agama, elite ekonomi, elite ormas, elite intelektual, dan elit adat. Elite pemerintahan ditunjukkan dengan adanya kepala desa, kepala dusun, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya. Elite agama adalah tokoh panutan dalam agama seperti kyai, ustadz, pendeta, romo, dan tokoh agama lainnya. Elite ekonomi adalah golongan yang kaya secara ekonomi di desa termasuk para pemilik lahan. Elite Ormas merupakan tokoh dalam organisasi kemasyarakatan atau politik yang ada di desa, elite intelektual adalah ditokohkan karena kecerdasan dan kepandaiannya atau karena pendidikannya, sedangkan mereka bisa berprofesi guru, pegawai/pejabat pemerintahan, sedangkan elite adat merupakan tokoh yang sangat dihormati dalam tradisi-tradisi atau adat setempat yang masih hidup dalam keseharian masyarakat pedesaan. Berkenaan dengan posisi mereka sebagai
4 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
elite desa, sangat mungkin mereka menyandang lebih dari 1 (satu) jenis elite, misalnya seorang kepala desa selain elite pemerintahan juga sebagai elite ekonomi dan elit agama, begitu pula untuk tokoh/ elite yang lain. Keberadaan para elite ini dalam sebuah kultur yang paternalistik adalah sangat berpengaruh dalam hubungan kemasyarakatan dan memiliki andil besar dalam kebijakan pembangunan aras desa. Apalagi dalam era rezim Orde Baru, mereka bisa menampakkan wujudnya sebagai perwakilan apparatus negara di aras desa. dimana rezim Orba telah memperkokoh aparat birokrasi sampai dengan satuan masyarakat terkecil dan bersifat seragam dalam struktur pemerintahan desa dengan keluarnya produk hukum UU No.5 tahun 1979, atas keberadaan RT, RW, LKMD, dan LMD. Dengan demikian kekuasaan negara semakin mencengkeram dan mengontrol, serta mengendalikan masyarakat desa baik secara ekonomi maupun politik. Pandangan ini, seperti dikemukakan oleh Hans Antlöv (2002) bahwa birokrasi pemerintah Orde Baru dirancang secara rigid, tersentral, dan terkendali untuk
memudahkan
kontrol
dan
pengawasan
terhadap
kemungkinan
munculnya
pembangkangan yang berasal dari arus bawah (petani). RT, RW tidak hanya bekerja sebagai administrator atas kelangsungan usaha borjuasi di daerah pedesaan, tetapi juga sebagai agen kekuasaan yang setiap saat melaporkan perkembangan tertib sosial dan stabilitas keamanan. RT, RW tidak hanya menjadi agen kekuasaan pusat di desa, tetapi juga menjadi agen borjuasi yang menjual pestisida, pupuk urea dan sebagainya kepada petani. Keterpurukan petani di Indonesia semakin bertambah dengan adanya kebijakan Revolusi Hijau yang dijalankan mulai tahun 1970-an sebagai dampak dari pertemuan FAO (Food and Agriculture Organization) atau Konferensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1974, yang menilai bahwa pokok persoalan kesengsaraan, keterbelakangan dan kemiskinan daerah pedesaan, terutama kerentanan terhadap kelaparan dan rawan pangan, disebabkan oleh sebgaian besar penduduk negara berkembang dan terbelakang yang masih menggunakan cara dan sistem pertanian tradisional. Kebijakan Revolusi Hijau yang berdimensi ekonomi poilitik itu telah mengalihkan cara dan sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern di Indonesia, melalui penggunaan pupuk kimia seperti pestisida, urea, dan bahan kimia lainnya menggantikan pupuk organik seperti kompos dan pupuk alam yang biasa dipakai oleh petani pedesaan secara tradisional. Kebijakan ini tidak saja berdampak terhadap monopoli harga pupuk oleh produsen dan seringkali terjadi kelangkaan, sehingga harga melambung tinggi dan sulit terjangkau oleh petani, namun ternyata juga hasil pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan akbibat munculnya hama wereng yang sebelumnya tidak terjadi ketika dengan
5 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
sistem pertanian tradisional. Selain itu juga terjadi proses pemiskinan terhadap perempuanperempuan buruh tani, akibat kehilangan pekerjaan dengan digantikan oleh mesin-mesin penumbuk padi dan mesin untuk penyiangan padi, yang sebelumnya dilakukan oleh jutaan tenaga perempuan di Indonesia. Proses pemiskinan terhadap perempuan semakin mengarah ketidaksetaraan hubungan gender antara laki-laki dan perempuan dengan adanya sistem sosial patriarkhi yang masih kental terjadi di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Istilah patriarkhi menempatkan perempuan sebagai subordinat, sehingga terjadi peran dominasi laki-laki atas perempuan dalam ranah keluarga maupun kemasyarakatan. Dari sini akan memunculkan ketidaksetaraan yang lebih menguntungkan laki-laki dan lebih jauh mengarah ketidakadilan gender, sehingga untuk melakukan perubahan sosial dalam mendekonstruksi ketidakadilan gender dalam pembangunan harus dilakukan melalui perspektif gender. Secara terminologi kata patriarkhi menurut Julia C. Mosse (1993) adalah konsep bahwa lakilaki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat - dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama – dan bahwa pada dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu. Ini tidak lantas berarti perempuan sama sekali tak punya kekuasaan atau sama sekali tak punya hak, pengaruh dan sumber daya, agaknya keseimbangan kekuasaan justru menguntungkan lakilaki. Persoalan lain dalam masyarakat pedesaan adalah adanya kebijakan pertanian yang selalu berorientasi pada skala luas, efisien dan komersial, maka tak dapat dipungkiri telah berdampak pada pemusatan penguasaan lahan oleh sebagian kecil orang. Sementara Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sebagai landasan hukum pertanahan tidak mudah diterapkan, seperti dalam catatan Patric McAuslan dalam Gunawan Wiradi pada buku Reforma Agraria (2000), disebutkan ada tiga hambatan mengapa UUPA sulit diterapkan; pertama hambatan psikologis politik dimana terjadi apa yang dinamai dengan land reform yang merupakan program PKI; kedua hambatan hukum dimana UUPA memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan UUPA tak membedakan pria, wanita, ras, agama dan menghindari eksploitasi manusia satu dengan yang lain. Di pihak lain kedudukan hukum adat yang tidak jelas dan konsep land reform yang kabur; ketiga hambatan ilmiah berupa sedikitnya ahli agraria. Proses
kesejarahan
dan
persoalan
yang
berhubungan
dengan
pertanian
sebagaimana diatas, sampai saat ini masihlah terjadi dan belum mendapatkan solusi yang memadai baik dari kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian maupun upaya riil guna
6 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
menumbuhkan keberdayaan masyarakat pedesaan yang berbasiskan pertanian. Tidak aneh bila di kalangan muda pedesaan menjadi lebih tertarik bekerja di kota meski hanya sebagai buruh pabrik atau di sektor informal perkotaan. Fenomena urbanisasi ini tentu saja berdampak pada masalah sosial perkotaan, selain juga terhadap desa yang ditinggalkan oleh para pemudanya. Penjelasan yang singkat tentang masyarakat pedesaan diatas kiranya bisa dipahami sebagai bahan referensi guna menelaah dan menyusun formulasi konsep, strategi serta pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan dengan sasaran masyarakat pedesaan. Melalui P2KP diupayakan proses pembelajaran dan penyadaran kritis warga desa yang dibingkai dengan siklus dan tahapan kegiatan. Wilayah sasaran P2KP dengan corak dan wajah pedesaan, tentunya memiliki problematika dan tantangan tersendiri, sebagaimana digambarkan diatas. Belum lagi adanya keberagaman budaya (multikultur) dan kearifan lokal (local wisdom), yang juga diperlukan pencermatan tersendiri, apabila melakukan proses empowerment masyarakat desa melalui apa yang disebut P2KP dengan intervensi dan transformasi sosial dari masyarakat yang tidak berdaya, menjadi masyarakat berdaya, untuk selanjutnya berproses menuju masyarakat mandiri hingga mencapai suatu masyarakat yang madani (civil society).
Tinjauan Kritis terhadap Konsep dan Intervensi P2KP Pedoman Umum P2KP I dan II, sebagai pijakan dan payung implementasi P2KP masihlah belum menjelaskan secara memadai tentang persoalan kemiskinan pada aras desa atau hampir bisa dikatakan sangat minimalis berkenaan dengan kondisi sosial-budaya dan ekonomi-politik masyarakat desa. Begitu pula dengan Pedoman Teknis yang lebih terfokus pada langkah-langkah teknis dalam siklus P2KP,
beserta format-format
administratifnya. Selain itu konsep-konsep toeritis selama pelatihan fasilitator masih dirasa sangat kurang akan pemahaman tersebut, kecuali hanya sedikit yang berhimpitan seperti metodologi pendidikan kritis dari analisis Paulo Freire (1970) dan pemikiran Antonio Gramsci yang menyinggung tentang hegemony dan secara impilisit dari teori motivasi milik David McClelland (1967), tentang ‘needs for achievement’ yang kesemuanya dicuplik dari buku Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi karya Mansour Fakih (2001). Termasuk konsep-konsep yang dikembangkan oleh TA Kredit Mikro, masihlah sangat kurang dalam menjembatani KSM untuk kondisi desa sasaran yang bercorak dan berwajah pedesaan. Sedangkan untuk konsep Pemetaan Swadaya telah cukup memadai dengan pendekatan PRA yang ditulis oleh Robert Chambers (1996), dengan kondisi desa (rural) yang meliputi
7 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
analisis, perencanaan dan tindakan. PRA ini memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi dan belajar bersama dalam memahami permasalahan kemiskinan dengan mengupayakan untuk menggali potensi lokal yang dimilikinya guna mencari mengatasi persolan yang dialami. Memahami kondisi yang demikian akan lebih bijak bila pelaku-pelaku yang berkepentingan dalam konsep dan strategi P2KP melakukan rethingking dan reformulasi dengan melakukan pengkajian ulang, baik dengan menggelar berbagai seminar, lokakarya, brainstorming dengan para pakar maupun pelaku P2KP sendiri yang memiliki concern dan bisa menjaga jarak dalam rutinitas (punya daya kritis) dan sejenisnya, serta evaluasi komprehensif terhadap implementasi P2KP khususnya sasaran-sasaran pedesaan. Bisa juga, dengan belajar dari pengalaman dan studi-studi tentang pemberdayaan masyarakat desa dari negara-negara lain, seperti India, Bangladesh, Amerika Latin, maupun Afrika. Hal ini tidak lain demi perbaikan dan penyempurnaan dalam penanggulangan kemiskinan karena menurut hemat penulis pada program apapun akan mengalami suatu proses dialektika termasuk P2KP. Sebagai contoh tentang konsep BKM yang ada dalam P2KP I Tahap 1, yang berbeda dari sisi paradigma dan teknis bila dibandingkan dengan P2KP I Tahap 2. Demikian pula dalam hal siklus dan tahapan yang juga mengalami proses dialektika, sehingga lebih berpotensi dalam menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia. Proses dialektika ini jangan dipahami secara kaku seperti dalam proses yang dimulai dari tesis, antitesis dan sintesis milik Hegel. Namun dapat dimaknai sebagai proses yang berevolusi menuju kearah yang lebih baik. Dasar pertimbangannya adalah dari apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang senyatanya ada/ terjadi (das sein), dimana diperlukan pengkajian yang mendalam dan diskusi intensif guna menjembatani gap yang terjadi diantara keduanya untuk selanjutnya memformulasikan suatu konsep, strategi dan pendekatan baru dalam penanggulangan kemiskinan pada aras desa dengan selalu menjaga kondisi yang bersifat dialogis. Dengan demikian terjadi suatu proses dialektis didalamnya, sehingga penanggulangan kemiskinan melalui sosok P2KP, akan semakin bisa menyentuh dan menjawab persoalan pada tataran realitas seiring dengan kebijakan sasaran desa/ kelurahan yang semakin meluas di seluruh pulau besar yang ada di Indonesia. Terlebih dengan rencana P2KP III dengan sasaran yang tidak hanya bercorak dan berwajah pedesaan dengan keberagaman adat dan budaya, namun sebagian adalah daerah-daerah yang sedang mengalami konflik, sehingga bisa saja intervensi dan transformasi sosial yang dilakukan melalui siklus dan tahapan dengan memasukkan conflict resolution atau conflict management.
8 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
Secara konseptual dan praxis sebenarnya P2KP telah banyak mengadopsi dari konsep pembangunan berparadigma people centered development, sebagai bentuk perlawanan dan penyempurnaan dari paradigma pembangunan sebelumnya yang lebih bertolak atas paradigma pertumbuhan. Pembangunan dengan paradigma people centered development yang dikembangkan P2KP, menjadikan manusia sebagai fokus utama pembangunan dan aktualisasi potensi dan dimensi nilai yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan. Hal ini telah banyak dikemukakan oleh para pemikir dan pakar yang setuju dengan paradigma dan pendekatan tersebut, seperti John Clark, Robert Chambers, Amartya Sein, David C. Korten, Fukuyama dan pemikir-pemikir lainnya, dimana lebih menekankan pada empowerment masyarakat dan penguatan civil society. Melalui proses empowerment ini diharapkan akan muncul keberdayaan masyarakat miskin pedesaan, baik terhadap dominasi elite desa dan elite lokal maupun terhadap kerentanan menghadapi persoalan ketahanan hidup dalam keseharian. Keberdayaan ini berproses menuju ke arah keadilan dan partisipasi warga dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan desa. Bila kondisi ini dicapai, maka warga akan memiliki daya tawar dan kontrol sosial terhadap pemerintahan desa dengan segenap elite desa yang lain, sehingga ini akan mampu mendekonstruksi budaya paternalistik yang selama ini mencengkeram masyarakat pedesaan. Upaya ini tentu saja akan mengalami tantangan berat dari elite desa yang ingin mempertahankan status quo dan dominasi mereka terhadap masyarakat di bawahnya. Namun dengan pengorganisasian masyarakat yang kokoh dan didukung dengan semangat untuk perubahan sosial – yang dimotori BKM – maka bukan tidak mungkin bisa diraih suatu kondisi yang egaliter dan berkeadilan. Demikian pula dalam hal keberdayaan warga dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan lokal yang saat ini dalam era desentralisasi, melalui UU No. 22 tahun 1999 dan diperbarui dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Makna desentralisasi selama ini cenderung di salah artikan oleh pemerintah lokal sebagai kesempatan untuk melakukan tindakan kebijakan sesuai selera mereka. Celakanya mereka menganggap dirinya sebagai perwakilan negara di daerah dan untuk itu bisa menentukan kebijakan pembangunan tanpa melibatkan partisipasi warga dan seringkali mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberatkan masyarakat. Dalam hal ini desentralisasi hanyalah dipahami sebagai sentralisasi dari pusat ke daerah dan masyarakat pedesaan kembali terkooptasi oleh sistem kebijakan yang memarginalkan mereka, kalau dulu pemerintah pusat (sentralisasi) dan sekarang pemerintah daerah (desentralisasi). Padahal semestinya semangat dan esensi
9 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
desentralisasi adalah ruang bagi masyarakat untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhannya, agar bisa mencapai kondisi yang lebih sejahtera atas kewenangan pemerintah lokal untuk mengatur daerahnya masing-masing dengan melibatkan partisipasi warga dan kontrol sosial masyarakat, termasuk didalamnya adalah dengan memilih kepala daerah (pilkada) secara langsung sebagai perwujudan demokratisasi pada aras lokal dan ruang artikulasi rakyat di daerah dalam memilih pemimpinnya yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Reformulasi Konsep dan Intervensi P2KP Kemiskinan corak pedesaan memang sangat kompleks penyebabnya dan seakan sangat sulit dijinakkan kalau hanya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat parsial, karena kemiskinan itu sendiri telah masuk dalam pusaran lingkaran kemiskinan (vicious circle) yang satu sama lain saling mengait dan mengunci. Pemecahannya tentu dengan membongkar semua sendi-sendi yang bertalian dengan penyebab kemiskinan itu sendiri secara holistic, integral dan komprehensif. Untuk ini diperlukan sebuah kerja keras dari semua pihak baik dari negara dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan (pemerintah pusat dan daerah), maupun dari masyarakat dengan memperkuat posisi sebagai civil society dan membangun suatu media aktualisasi bagi kelompok atau perorangan yang peduli terhadap persoalan kemiskinan (volunteer). Sementara pada sisi lain tantangan terberat muncul dari liberalisasi ekonomi dan semangat kapitalisme yang semakin menggejala di Indonesia, termasuk pada masyarakat pedesaan seperti pada komersialisasi pertanian, sebagai dampak dari modernisasi dan globalisasi. Dari perspektif ilmu politik dalam pembangunan masyarakat desa menurut pandangan Mochtar Mas’oed (1994)
bahwa salah satu pendekatan dalam ilmu politik
menempatkan masalah pembangunan masyarakat desa dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, yang bisa juga diartikan sebagai hubungan antara negara dan petani atau negara dan desa. Karena itu program pembangunan masyarakat desa bisa dipandang sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan
kedua unit politik itu.
Sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, pembangunan masyarakat desa juga dikonseptualisasikan
sebagai
proses
konsolidasi
berbagai
wilayah
teritorial
dan
pengintegrasian kehidupan masyarakat dalam berbagai dimensi (sosial, kultural, ekonomi, maupun politik) ke dalam satu unit yang utuh. Memahami persoalan kemiskinan pada aras desa yang demikian kompleks dan mutidimensi, maka sudah seharusnya dalam menangulanginya di perlukan keseriusan dan
10 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
komitmen yang tinggi dari stake hoders. Bagi negara yang diwakili oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, maka di era transisi demokrasi ini sudah harus menumbuhkan budaya good governance disemua jajaran dan instansi apapun, sedangkan pelaku ditingkat Konsultan yang terlibat dalam P2KP juga harus melakukan hal yang sama, yakni apa yang disebut dengan good corporate governance. Demikian pula masyarakat pun juga harus memgorganisasi diri guna mencapai kondisi civil society yang kuat. Bila semua hal ini dilakukan dengan paralel dan simultan, maka sangat mungkin akan terjadi perubahan besar menuju suatu kondisi masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan, seperti yang dicita-citakan oleh the founding fathers bangsa Indonesia. Menyikapi kondisi yang demikian, maka P2KP sebagai salah satu kendaraan dalam upaya penanggulangan kemiskinan dengan sasaran yang semakin meluas hingga di daerahdaerah
pedesaan
di
Indonesia,
perlu
menkonspetualisasikan secara
holistic
dan
komprehensif melalui serangkaian intervensi siklus dan tahapan dalam memberdayakan masyarakat desa. Dari paparan sebelumnya, maka ada beberapa saran dan rekomendasi yang perlu di kaji bersama oleh stake holders dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada aras desa, antara lain: 1. Memperluas dan mempertajam konsep, strategi dan pendekatan dalam intervensi dan transformasi sosial dalam P2KP untuk masyarakat desa dengan melihat kondisi kesejarahan kemiskinan dan akar penyebab persoalan kemiskinan pada aras desa, sehingga bisa digunakan oleh Tim Fasilitator sebagai guidence dalam pendampingan ke masyarakat
desa.
Beberapa
teori
kritis
yang
relevan
tentang
pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, civil society dan transformasi sosial-politik perlu diadopsi dari tokoh-tokoh pemikir diatas maupun lainnya dan tidak hanya teori yang beraliran stuktural-fungsional, namun akan lebih matching bila dengan teori-teori kritis beraliran konflik. Selain itu juga perlu ditambah dengan belajar dari studi-studi dan pengalaman negara lain dalam penanggulangan kemiskinan aras desa, seperti dari negara India, Bangladesh, Srilanka, Amerika Latin dan Afrika, yang juga berbasiskan agraris dan pertanian. 2. Pada tingkat KMW/Korkot dapat mensinergikan setiap siklus dengan pemerintahan daerah agar mendapatkan perhatian yang lebih intensif, khususnya siklus FGD RK, Pemetaan Swadaya, PJM Pronangkis dan Pengembangan KSM. Upaya ini sekaligus untuk memfasilitasi masyarakat dalam mendorong tumbuhnya good governance pada pemerintahan daerah dan pembangunan yang bersifat partisipatif dan demokratis. Sebagai contoh dalam konteks FGD Refleksi Kemiskinan sebagai intervensi P2KP perlu
11 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
ditingkatkan tidak hanya pada level warga saja, namun perlu ditindaklanjuti pada level pemerintah lokal untuk diajak duduk bersama dengan perwakilan warga peserta diskusi, sehingga hasil diskusi bisa menjadi bahan referensi bagi pemerintah lokal dalam mengambil kebijakan. Disini juga berarti melibatkan dinas terkait dan bila perlu juga dengan DPRD, sehingga produk-produk hukum yang dikeluarkan daerah lebih berpihak pada warga miskin pedesaan. Bagaimanapun FGD Refleksi Kemiskinan akan kurang bermakna bila hanya dilakukan pada tataran warga saja. Persoalan-persolan kemiskinan pedesaan sudah semestinya harus menjadi pusat perhatian pemerintah lokal dan DPRD. Banyak contoh hasil FGD RK yang berkaitan dengan kebijakan yang tidak pro poor yang di ambil oleh suatu lembaga dan tidak bisa hanya disederhanakan melalui BKM saja, padahal ada ranah-ranah tertentu yang merupakan kewenangan dari lembaga pemerintah dan lembaga lainnya. 3. Pada tingkat pusat (KMP/PMU) mengupayakan koordinasi lintas departemen (interdept) untuk
bersama-sama
menyamakan
persepsi
dan
komitmen
dalam
upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Upaya ini memang cukup sulit mengingat beragamnya kepentingan dalam suatu departemen yang terkadang memunculkan ego sektoral, selain seringkali terjadi adanya kebijakan-kebijakan sebagai akibat dari intervensi politik, khususnya oleh eksekutif (pemerintah pusat). Kecenderungan ini masih kental terjadi, sehingga perlu ditumbuhkan good governance dengan melakukan kontrol sosial terhadap negara dan memperkuat pilar-pilar demokrasi. Persoalannya mampukah KMP/PMU/ Executing Agency melakukan suatu kondisi yang kondusif dengan berbagai pihak atau departemen lain untuk meyakinkan perlunya segera menanggulangi persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, sehingga dalam konteks ini P2KP bukanlah single fighter yang sudah pasti tidak akan bisa berhasil sendirian dalam menanggulangi kemiskinan, perlu ada integrasi, sinergi, networking, dan komitmen tinggi dari para pemimpin-pemimpin di negara ini. 4. Mendorong dan memperkuat peran, tugas pokok dan fungsi BKM sebagai lembaga milik masyarakat yang berbasiskan nilai-nilai luhur kemanusiaan menuju suatu kondisi yang egaliter dan berkeadilan dalam masyarakat desa, sehingga adanya kebijakan yang tidak pro poor oleh elite desa maupun elit lokal (pemerintah daerah) perlu dikritisi dan dikontrol oleh BKM dan masyarakat. Tentu saja ini akan menimbulkan tantangan keras dari elite desa maupun elite lokal dalam budaya paternalistik yang merasa terusik atau terganggu kepentingannya, karena memang ingin mempertahankan status quo. Namun bukankan upaya ini sebenarnya merupakan buah dari pembelajaran dan kesadaran kritis warga
12 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
dalam transformasi sosial oleh P2KP, sehingga kesadaran kolektif (collective consciousness) masyarakat desa yang dimotori oleh BKM sudah semestinya mendapatkan ruang aktualisasi. Dengan demikian BKM memiliki peran dan fungsi yang lebih progresif dan dengan goal P2KP untuk sustainable development justru dapat dilakukan oleh relawan-relawan masyarakat, baik yang ada di BKM maupun diluar BKM, sehingga mereka tumbuh dan berfungsi sebagai intelektual organik yang peduli terhadap persoalan-persoalan kemiskinan. 5. Mempertegas fungsi dan peran Fasilitator sebagai agen pemberdayaan masyarakat untuk melakukan transfromasi sosial sejati, sehingga lebih mempertajam peran mediasi dan advokasi selain peran fasilitasi yang lebih banyak dilakukan. Mediasi dan advokasi ini perlu dilakukan manakala memang terjadi ketidakadilan dan ketimpangan sosial akibat dari konstruksi sosial dan budaya paternalistik yang mencengkeram masyarakat desa, sehingga keberpihakan terhadap masyarakat miskin adalah perlu diperjuangkan dengan melakukan dekonstruksi sosial dan perubahan sosial yang sebenarnya sebagian telah ada dalam siklus P2KP, namun perlu lebih mempertajam (progresif). Sama seperti yang dilakukan BKM, maka upaya ini tentu akan menghadapi rintangan dari pihak-pihak elite desa dan elile lokal yang menghendaki status quo, namun justru disinilah letak tantangannya bagi Fasilitator/ KMW untuk melakukannya tanpa harus takut dituding sebagai provokator, agitator, atau apapun namanya. Bila di telaah secara mendalam maka justru itulah esensi dan jati diri diri bagi fasilitator/ KMW sebagai pelaku yang menyebut dirinya sebagai agen perubahan (agent of change). 6. Stake holders P2KP secara bersama-sama berupaya membebaskan perempuan dari diskriminasi
dan
ketidakadilan
gender
dalam
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan. Untuk itu dalam prosesnya tidak hanya sekadar partisipasi perempuan dalam pembangunan (women in development) ataupun women and development, akan tetapi lebih dielaborasi menuju kearah apa yang disebut dengan pendekatan Gender and Development, dengan menggunakan analisis gender sebagai alat analisis sosial konflik dan perangkat teoritik dalam memahami dan memusatkan perhatian pada ketidakadilan gender. Hal ini seperti ditunjukkan dalam proses pemiskinan perempuan desa yang tersingkir akibat Revolusi Hijau yang hanya terfokus pada petani laki-laki, selain adanya proses diskriminasi akibat budaya patriarkhi, dimana adanya dominasi laki-laki atas perempuan baik dalam lingkup keluarga maupun kemasyarakatan. Oleh sebab itu perlu adanya intervensi dari P2KP dengan upaya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), yang bertujuan untuk mendekonstruksi ketidakadilan gender.
13 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah
7. Stake holders P2KP secara bersama-sama menciptakan ruang publik (public sphere) yang
dapat
dijadikan
masyarakat
untuk
menyalurkan
berbagai
aspirasi
dan
kepentingannya. Istilah kata ruang disini tidak dimaknai sebagai realita fisik, sebagaimana terkandung dalam terminologi tata ruang, namun dimaknai sebagai realita imaginer (sphere). Dalam skala lokal berbagai ruang publik yang perlu dibangun dan dikembangkan fungsinya adalah media massa, berbagai organisasi sosial, LSM, profesi atau kepentingan, rapat-rapat umum baik di tingkat desa atau diatasnya, dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan Juergen Habermas, ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Dengan demikian masyarakat memiliki ruang kebebasan untuk berekspresi dengan beragam discourse yang digelar dalam latar arena demokrasi, sehingga ruang publik ini harus bersifat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan, serta bercirikan pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme sesuai dengan konsep kepublikan itu sendiri, yang dapat dimasuki oleh siapapun.
Dari ketujuh saran dan rekomendasi diatas, kesemuanya mengandung problematika dan tantangan secara filosofis-ideologis, strategi, pendekatan dan teknis implementasi, baik untuk tataran menengah-pusat (KMW, KMP, PMU) maupun tataran bawah (Korkot/Tim Fasilitator). Persoalannya apakah kita mau dan mampu untuk membongkar segala hambatan dan penyebab kemiskinan secara holistic, imtegral dan komprehensif, yang tentu saja sangat mengandung resiko sebagai konswekensinya ataukah kita hanya sekadar menjalankan ritme dan ritual P2KP tanpa berusaha menjaga daya kritis untuk memperbaiki dan menyempurnakannya? Mungkin ini sumbang saran dan pemikiran dari saya dalam artikel yang singkat ini, sebagai wujud dari kecintaan dan komitmen dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia melalui sosok dan bingkai P2KP. Pada kesempatan lain saya ingin menulis dan mengupas tema lain yang relevan secara analisis-kritis, yang diharapkan bisa memberikan manfaat dan menumbuhkan kultur diskusi (otokritik) sebagai ruang untuk menyampaikan aspirasi dan discourse bagi sesama pelaku P2KP, demi perbaikan dan penyempurnaanpenyempurnaan. Salam sukses dan selamat berjuang untuk semuanya!
14 Artikel oleh Agus Supriyadi, Tim Fasilitator 2, Koorkot 1 Klaten, KMW XIV Jawa Tengah