Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
81
PROBLEMATIKA DAN TANTANGAN PESEK (Pembelajaran Sejarah Emotif dan Kontroversial) Aditya N. Widiadi Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang
Abstract: Controversy is always being part of history, and even the relationship between history and controversy always can’t be separated. Controversy in history actually can indicate as health climate of academic. Eventhough controversial history triggering emotive situation between historians and their supporters, history is more interesting when it has different versions. The problem is on how to manage the emotive and controversial history in learning situation at school. Teaching emotive and controversial history can be separated into dichotomy aspects, in one side it gives problems in learning situation, but in the other hand it give challenges for teacher to sustain interesting and enjoyble of history learning. Key Words: History Teaching, Emotive, Controversial.
Ilmu sejarah seringkali menghasilkan historiografi yang bersifat kontroversial. Munculnya kontroversi ini sebenarnya merupakan hal yang wajar, dikarenakan tahap interpretasi dalam penulisan sejarah mungkin akan menghasilkan tafsiran yang berbeda antara sejarawan yang satu dengan yang lain. Sumber sejarah yang sama mengenai sebuah peristiwa lampau bisa ditafsirkan secara berbeda oleh masingmasing sejarawan. Perbedaan tafsir yang menghasilkan versi yang beragam ini bisa berujung pada kontroversi sejarah, dimana masing-masing pendukung salah satu versi mempertahankan pendapatnya dan mengecam versi yang lain. Pada tataran ini, sejarah telah mampu memprovokasi sejarawan dan lapisan masyarakat tertentu untuk bersikap emotif dalam menanggapi semua versi yang berbeda dengan keyakinannya. Terlebih bagi pihak yang merasa dirugikan oleh salah satu versi, pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk
“meluruskan sejarah” sesuai dengan kepentingannya. Adapun mereka yang dirugikan namun tidak memiliki daya untuk memperbaikinya—terutama pihak minoritas—akan berusaha untuk bersembunyi, melepaskan keterkaitan dengan masa lalu yang bisa mengancam keselamatannya. Terdapat banyak kontroversi sejarah dalam sejarah Indonesia. Untuk tataran lokal Jawa Timur, salah satu contoh kontroversi sejarah yang menarik untuk disimak adalah mengenai sosok Soemarsono yang menjadi polemik pada kisaran bulan Agustus-September 2009. Kontroversi berpusar pada posisi Soemarsono apakah sebagai pahlawan dalam Pertempuran Surabaya pada masa perang kemerdekaan ataukah sebagai pengkhianat bangsa karena terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Kontroversi yang sekaligus membangkitkan sikap emosi warga Surabaya dan sekitarnya ini dipicu oleh pemberitaan yang dimuat dalam harian Jawa Pos pada halaman
82
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
Metropolis. Berawal dari tulisan Dahlan Iskan yang membahas sosok Soemarsono selama 3 hari berturut mulai 9 Agustus 2009 hingga 11 Agustus 2009, menghasilkan interpretasi bahwa Soemarsono adalah sosok pahlawan yang berperan penting dalam Pertempuran Surabaya. Pada tulisan pertama Dahlan Iskan (9 Agustus, 2009:33-35) menghasilkan kesan bahwa Soemarsono adalah pemimpin tertinggi dalam Pertempuran Surabaya, yang bahkan lebih tinggi dari Bung Tomo dan Roeslan Abdulgani. Meski Soemarsono secara pribadi menegaskan bahwa ia tidak ingin ada seorang pun—termasuk dirinya— yang dipahlawankan dalam Pertempuran Surabaya karena pahlawan sebenarnya adalah rakyat, namun narasi yang dibangun Dahlan Iskan tidak bisa tidak menghasilkan interpretasi bahwa Soemarsono adalah pahlawan utama dalam Pertempuran Surabaya dan masih hidup. Pada tulisan kedua Dahlan Iskan (10 Agustus, 2009:33-35) menggambarkan sosok Soemarsono sebagai pemuda pejuang yang pemberani dan memiliki keyakinan bahwa Pertempuran Surabaya saat itu pasti bisa dimenangkan arek-arek Surabaya seandainya tidak ada gencatan senjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Sekutu. Keberanian Soemarsono tercermin dari kenekatannya mencegat konvoi Bung Karno yang sedang mengumumkan gencatan senjata, dan di sisi lain mulai terkesan adanya hubungan khsusus antara Soemarsono dengan Amir Syarifuddin. Dalam tulisan ketiga, terkesan jelas bahwa Soemarsono berperan besar sebagai pemimpin dalam peristiwa
insiden bendera di Hotel Oranye. Mulai terlihat pula kedekatan Soemarsono dengan Partai Komunis Indonesia dan Peristiwa Madiun 1948, yang mengesankan Soemarsono sebagai tokoh kiri (Iskan, 11 Agustus, 2009:33-35). Pemberitaan berikutnya adalah laporan Ainur Rohman dan Gunawan Sutanto mengenai kunjungan sekaligus napak tilas Soemarsono ke situs-situs Sejarah Pertempuran Surabaya. Laporan pertama memberitakan mengenai kunjungan Soemarsono beserta rombongan ke Hotel Majapahit yang memiliki nama lama Hotel Yamato atau Hotel Oranye (Rohman & Sutanto, 22 Agustus, 2009: 33-35). Selain itu, laporan tersebut juga mengupas napak tilas Soemarsono menuju Stadion 10 November. Dari laporan napak tilas ini, dapat diperoleh kesan bahwa Soemarsono masih ingat persis detail berbagai peristiwa Perang Kemerdekaan di Surabaya, sekaligus peran pentingnya dalam peristiwa heroik itu. Demikian pula pada laporan keesokan-harinya yang membahas napak tilas Soemarsono di Jalan Peneleh Surabaya dan bekas markas Pemuda Republik Indonesia, juga menimbulkan kesan bahwa Soemarsono memiliki ikatan yang kuat dengan Surabaya pada masa perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Foto yang memuat Soemarsono dalam acara Kangen-Kangenan Pemoeda Pedjoeang semakin memperkuat kesan tersebut (Rohman & Sutanto, 23 Agustus, 2009: 33-35). Pemberitaan yang gencar mengenai sosok Soemarsono oleh harian Jawa Pos berdampak pada pencitraan pahlawan yang semakin melekat pada dirinya. Hal
Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
ini terlihat pada laporan ketiga yang memuat kunjungan Soemarsono ke Tugu Pahlawan, dimana ia telah dikenal baik oleh seorang warga Surabaya yang kebetulan seorang polisi sebagai pelaku sejarah Pertempuran Surabaya. Kecuali itu, digambarkan pula peran sentral Soemarsono sebagai Gubernur Militer Negara Madiun dalam peristiwa Madiun 1948 secara singkat (Rohman & Sutanto, 24 Agustus, 2009:33-35). Sepanjang hampir satu bulan pemberitaan yang dimuat oleh harian Jawa Pos hanya menghasilkan versi tunggal, yakni Soemarsono sebagai pahlawan. Namun pada awal bulan berikutnya, mulai muncul versi kontra yang justru menganggap Soemarsono adalah pengkhianat bangsa karena tersangkut Peristiwa Madiun 1948. Versi yang bertentangan ini sebenarnya dipicu oleh pemberitaan harian Jawa Pos itu sendiri yang dianggap berat sebelah. Pihak kontra ini menamakan dirinya Front Anti-Komunis (FAK), yang terdiri dari berbagai elemen seperti Paguyuban Keluarga Korban Pemberontakan PKI 1948 Madiun, Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur, Centre For Indonesian Communities Studies (CICS), Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, dan elemen lainnya. Mereka berdemontrasi di kantor Jawa Pos, gedung Graha Pena Surabaya, dan menilai bahwa tulisan Jawa Pos yang mengesankan bahwa Soemarsono sebagai pahlawan adalah salah (Jawa Pos Metropolis, 3 September, 2009:33-35). Kelompok ini didukung oleh Prof. Aminuddin Kasdi, Sejarawan Unesa yang berpendapat bahwa sejarah adalah milik pemenang dan yang kalah
83
tidak seharusnya “njaluk sejarah” (Jawa Pos Metropolis, 4 September, 2009:3335). Sementara Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), DPC Surabaya Hartoyik sebagai tokoh sejaman dengan Soemarsono mengakui bahwa Soemarsono adalah pemimpin PRI dan berperan dalam Pertempuran Surabaya, hanya saja nama baiknya “kesandung gunung” karena menjadi anggota PKI dan turut andil dalam Peristiwa Madiun 1948 (Jawa Pos Metropolis, 5 September, 2009:33-35). Secara historis sosok Soemarsono sebetulnya memang benar-benar ada dan berperan dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Hal ini setidaknya bisa diungkapkan berdasar tulisan Frederick (1988:266-268) dalam bukunya Pandangan dan Gejolak yang membahas revolusi Indonesia di Surabaya. Buku ini mengulas sosok Soemarsono dan perannya dalam perang kemerdekaan di Surabaya. Permasalahan yang timbul dari pemberitaan Jawa Pos adalah kontroversi mengenai sosok Soemarsono ditempatkan sebagai pahlawan ataukah pengkhianat dalam sejarah Indonesia dan berujung pada sikap emotif salah satu pihak. Contoh kasus di atas bisa menjadi contoh yang nyata mengenai sejarah emotif dan kontroversial di masyarakat. Dapat pula ditarik kesimpulan bahwa satu pelaku sejarah atau suatu peristiwa sejarah yang sama, ternyata bisa menghasilkan interpretasi yang berbeda. Perbedaan ini pada akhirnya memicu kontroversi dan akhirnya mampu membangkitkan emosi masing-masing pendukung salah satu versi.
84
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
Sejarah Kontroversial Sejarah dalam arti luas maupun terbatas tidak pernah lepas dari kontroversial, atau dengan kata lain kontroversial dalam sejarah merupakan sebuah keniscayaan (Purwanto, 2009:1). Kontroversi ini dilahirkan dari faktor subjektif yang terkandung dalam interpretasi terhadap fakta-fakta yang ditemukannya (Kochhar, 2008:451). Hal ini dikarenakan fakta, yang dijadikan bahan utama bagi sejarawan untuk menyusun historiografi, pada hakikatnya adalah suatu konstruk yang dibuat oleh sejarawan. Oleh karena dikonstruk oleh sejarawan, otomatis fakta itu mengandung faktor subjektif (Kartodirdjo, 1992:88). Kecuali itu, sumber-sumber sejarah itu sendiri juga dimungkinkan untuk memiliki unsur subjektif. Sebagai contoh adalah dokumen kolonial sejenis mailrapport atau memorie van overgave, dihasilkan dari interpretasi subjektif pelaku sejarah mengenai kondisi yang ada pada jamannya. Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan perbedaan versi diantara para sejarawan yang timbul dari masalah subjektivitas dan atau objektivitas, dan berujung pada kontroversi sejarah. W.H. Walsh (dalam Sjamsuddin,2007:181-183) memaparkan empat faktor yang menyebabkan perbedaan versi tersebut. Pertama, pemihakan pribadi (personal bias), yakni persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu atau golongan tertentu dari masa lalu. Kedua, prasangka kelompok (group prejudice) yang menyebabkan sejarawan lebih melihat masa lalu dari kacamata kelompoknya
sendiri. Ketiga, teori-teori yang bertentangan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation), sebagai contoh sejarawan marxis akan cenderung menulis berdasar teori historical materialism. Keempat, konflik filsafat yang mendasar (underlying philosophical conflicts) dimana sejarawan cenderung menulis berdasar pandangan filsafat yang dianutnya. Keempat hal ini juga kemungkinan besar mempengaruhi guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah menjadi emotif dan kontroversial. Kontroversi dalam sejarah, yang diwujudkan pada bermunculannya beragam versi mengenai peristiwa sejarah yang sama, pada hakekatnya menunjukkan adanya iklim akademis yang sehat. Perbedaan versi berarti menunjukkan adanya geliat penulisan sejarah yang produktif. Diterimanya berbagai versi mengindikasikan kehidupan demokratis yang menghargai perbedaan pendapat. Maka perbedaan versi dalam sejarah tidak perlu disimpulkan bahwa ilmu ini membingungkan dan menyesatkan, justru dengan adanya mono versi dalam sejarah dapat memunculkan dugaan adanya suasana otoriter dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang didominasi rezim otoriter cenderung tidak mampu membuat versi yang berbeda dengan versi sejarah resmi yang dikeluarkan oleh penguasa. Sejarah Emotif Masih belum banyak literatur yang membahas mengenai sejarah emotif. Istilah ini peneliti gunakan untuk menunjukkan adanya dampak dari
Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
penulisan sejarah yang kontroversial, jadi bukan mengenai sejarah perkembangan emosi. Setiap hasil penulisan sejarah, memungkinkan seseorang atau kelompok orang menjadi pihak yang disudutkan atau dirugikan. Akibat penulisan sejarah yang demikian mereka menjadi tersulut emosinya. Bagi pihak yang tidak memiliki daya, akan lebih memilih untuk tiarap untuk menyelematkan jiwanya jika memang terancam keselamatan dirinya dan berusaha untuk sebisa mungkin melepaskan diri dari keterikatannya dengan masa lalu yang justru merugikan itu. Pola semacam ini bisa kita jumpai pada masa Orde Baru berkuasa, dimana anggota keluarga pihak yang terkait atau dianggap terkait dengan PKI, memilih untuk sebisa mungkin memutus keterkaitannya dengan masa lalu daripada berusaha membuat versi sejarah tandingan yang justru dapat melenyapkan nyawanya. Bagi pihak yang memiliki daya dan tidak terancam keselamatannya, akan memberikan reaksi balik yang lebih proaktif. Reaksi balik ini bisa bewujud perang pendapat melalui polemik yang bertajuk “pelurusan sejarah.” Setiap pihak yang bersengketa akan mengeluarkan buku putih masing-masing dan mengklaim bahwa versinya adalah sejarah yang paling benar. Pelurusan sejarah ini juga bisa dilakukan dengan cara memberikan keterangan pers oleh pihak yang “kebakaran jenggot” akibat penulisan salah satu versi sejarah. Masih teringat dibenak kita mengenai polemik yang diakibatkan buku “Detik-Detik yang Menentukan” karya B.J.Habibie (2006) dan buku biografi Sintong Panjaitan “Perjalanan Seorang Prajurit
85
Para Komando” yang ditulis Subroto (2009), dimana kedua buku tersebut menyudutkan Prabowo Subianto. Polemik tersebut berkisah seputar peristiwa pertemuan panas antara Presiden Habibie dengan Letjen Prabowo Subianto pada hari 22 Mei 1998 di Istana Negara, sehingga mengharuskan namanya yang disebut belakangan memberikan bantahan dalam berbagai acara di media. Pola semacam ini juga terlihat sejak runtuhnya Orde Baru, dimana banyak pihak yang akhirnya berani membuat buku dengan versi yang berseberangan dengan grand narratives penguasa rezim yang telah digulingkan. Bahkan mereka yang sebelumnya tiarap demi alasan keamanan juga tidak mau ketinggalan untuk berlomba membuat “pelurusan sejarah.” Menurut Adam (2007:3) pelurusan sejarah hanya menyangkut aspek sejarah sebagaimana diceritakan (histoire-recit atau rerum gestarum), karena sejarah sebagai peristiwa (histoire-realite atau res gestae) hanya sekali terjadi (einmalig) dan tidak bisa diulangi apalagi diluruskan. Pelurusan sejarah ini bisa bermanfaat bagi pihak yang sebelumnya dirugikan oleh salah satu versi sejarah, atau setidaknya oleh sejarawan yang menemukan bukti baru yang bisa memperbaiki versi lama. Dengan demikian sejarah tidak dapat diperlakukan sebagai suatu produk yang sudah selesai. Setiap generasi perlu mempelajari sejarah dan memperbaruinya. Kontroversi sejarah memainkan peran penting dengan mengetahui masa lalu secara lebih baik karena—dalam prosesnya—banyak isu dan konsep akhirnya menjadi lebih jelas
86
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
dan gambaran yang lebih bisa diterima muncul, yang kemudian akan diperdebatkan atau dimodifikasi lagi oleh peneliti-peneliti selanjutnya (Kochhar, 2008:451). Pembelajaran Sejarah Emotif dan Kontroversial Kontroversi dalam ilmu sejarah pada dasarnya merupakan hal yang wajar, namun kontroversi ini akan menjadi kesulitan tersendiri ketika guru harus melaksanakan pembelajaran sejarah. Prinsip yang harus dipegang guru adalah bagaimana cara membawakan pembelajaran sejarah yang memiliki unsur kontroversi namun tidak membangkitkan sikap emotif antar pebelajar. Lebih dari sekedar untuk tidak menyebabkan konflik antar pebelajar, tetapi juga harus ditekankan agar tidak ada satu pebelajar pun yang merasa dideskriditkan dari pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh guru. Kontroversi dalam sejarah memang tidak untuk dihindari, melainkan diatur sedemikian rupa sehingga setiap pebelajar mampu berfikir kritis tanpa melukai hati pebelajar lain. Menurut Kochhar, sejarah kontroversial tidak untuk dihindari karena kontroversi senantiasa melekat pada pembelajaran sejarah (Kochhar, 2008:451). Negara maju dan multikultural seperti Inggris bertindak selangkah lebih maju dengan mengantisipasi pembelajaran sejarah emotif dan kontroversial melalui proyek penelitian khusus yang mengupas permasalahan ini. The Historical Association atau semacam “MSI”-nya Inggris dengan dukungan penuh dari Departemen Pendidikan dan
Keterampilan Inggris melaksanakan proyek penelitian yang bertajuk T.E.A.C.H. atau Teaching Emotive and Controversial History. Mereka melihat bahwa sejarah bisa menjadi bersifat emotif dan kontroversial ketika dirasa ada, atau benar-benar ada ketidakadilan bagi seseorang yang dilakukan oleh kelompok atau individu lain di masa lampau. Hal ini juga dipicu oleh kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah, di keluarga, dan di komunitas masing-masing pebelajar (The Historical Association, 2007:3). Menghadapi tema pembelajaran sejarah yang emotif dan kontroversial, idealnya guru memposisikan diri sebagai penyampai kebenaran dan tidak membohongi pebelajar (Adam, 2009:10). Opini ahli mengenai peran guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah dengan isu yang kontroversial sangat beragam. Satu kutub berpendapat bahwa guru harus lebih berperan sebagai moderator, ketua, atau wasit dalam pembelajaran. Sementara kutub yang lain berpendapat bahwa guru harus lebih berperan aktif, mendominasi kelas, dan lebih vokal dalam pembelajaran. Adapun Kochhar lebih memilih untuk mengkombinasikan kedua kutub tersebut dan bergantung pada situasinya (Kochhar, 2008:455). Guru sejarah harus mampu merubah pola pembelajaran sejarah yang terkesan hambar, kering dan membosankan menjadi sesuatu yang menyenangkan (Widodo, 2008:9). Sangat penting bahwa guru harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan mengenai isu-isu sejarah yang terbaru. Guru harus bisa menunjukkan temuan terbaru,
Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
memberikan kutipan dari sumber asli kepada pebelajar, serta mendorong pebelajar untuk mencari referensi sendiri mengenai isu sejarah yang masih kontroversial. Guru harus menciptakan atmosfer pembelajaran yang menitikberatkan pada kebebasan untuk bertanya dan arti penting untuk menyertakan bukti-bukti, dan menghindarkan kelas dari debat kusir. Hal ini akan membantu pebelajar untuk mengembangkan pemikiran yang kritis dan menumbuhkan kecakapan memecahkan masalah, serta menumbuhkan sikap menghargai perbedaan pendapat (Kochhar, 2008: 455). Purwanto menyarankan agar para guru tidak hanya memiliki bekal pengetahuan substansi faktual saja namun juga kemampuan berfikir historis dengan cara memahami historiografi dan metodologi yang menghasilkan sejarah sebagai narasi (Purwanto, 2009:3). Saat berhadapan dengan sejarah kontroversial, para guru yang tidak mempunyai bekal historiografi dan metodologi yang cukup cenderung tidak mampu membangun pikiran kritis, serta tidak mampu memahami secara utuh teks sejarah yang menjadi acuan. Ia tidak akan mampu keluar dari hegemoni politis sebuah rezim yang memperlakukan sejarah sebagai alat legitimasi. Hal ini berakibat pada pembelajaran sejarah yang menjadi pembenaran atas interpretasi rezim mengenai sebuah peristiwa, dan secara tidak langsung guru bertindak sebagai agen indoktrinasi politis atas kebenaran tunggal mengenai masa lalu. Kecuali itu, para guru idealnya juga harus memiliki kemampuan menulis sendiri teks sejarah sebagai bahan pembelajaran sesuai
87
dengan tingkat perkembangan pebelajar dalam setiap satuan pendidikan yang ia bina. Apabila guru sudah memiliki kemampuan untuk menghasilkan narasi sejarah melalui teks sejarah yang ia tulis sendiri, maka guru juga tidak boleh mengindoktrinasi pebelajar dengan opini atau keyakinannya sendiri tentang suatu isu sejarah kontroversial yang yang ia tulis (Kochhar, 2008:456). Terdapat beberapa standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran sejarah yang mengandung unsur kontroversi dan sebagian diantaranya juga sekaligus memiliki pelatuk yang mudah memicu emosi pebelajar. Sebagai contoh adalah untuk mata pelajaran IPS kelas VII semester 1 dengan kompetensi dasar “mendeskripsikan kehidupan pada masa pra-aksara” dan untuk mata pelajaran sejarah kelas X semester 2 dengan kompetensi dasar “menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia.” Dalam rangka mencapai kompetensi ini, pembelajaran sejarah biasanya dilakukan dengan membahas mengenai jenis-jenis manusia purba di Indonesia beserta proses evolusinya. Kontroversi akan muncul jika pebelajar memiliki keyakinan bahwa manusia pertama adalah Adam dan menolak teori evolusi mengenai manusia purba. Emosi pebelajar bisa tersulut jika pembelajaran mengupas teori evolusi bahwa manusia modern berasal dari manusia purba, yang konon mirip dengan makhluk sejenis primata. Terutama bagi pebelajar yang beragama Islam, Kristen dan Katholik memiliki potensi untuk menolak teori evolusi karena mereka telah memiliki keimanan bahwa manusia pertama, Adam, telah memiliki wujud
88
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
sebagaimana manusia modern dewasa ini. Materi lain yang menyimpan unsur kontroversi dalam pembelajaran sejarah—yang sebagian diantaranya juga bersifat emotif—antara lain mengenai mitos penjajahan 350 tahun (Adam, 2007:9-13), sosok Shudanco Supriyadi, Peristiwa Rengasdengklok, Peristiwa 17 Agustus 1952, Peristiwa G30S atau G30S/PKI, Supersemar, Perebutan Irian Jaya dan Timor Timur, dan peristiwa lainnya. Pada dasarnya setiap peristiwa sejarah mengandung unsur kontroversial, tinggal bagaimana guru mengelolanya menjadi bahan pembelajaran sejarah yang optimal tanpa memicu emosi pebelajar. Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Emotif dan Kontroversial Topik pembelajaran sejarah yang emotif dan kontroversial hendaknya tidak dianggap sebagai suatu masalah melainkan diposisikan sebagai tantangan dan kesempatan untuk menciptakan pembelajaran sejarah yang lebih menarik dan menyenangkan. Kesempatan baik ini akan muncul jika guru mengenali rasional kurikulum yang digunakan dan menempatkan kurikulum sejarah tidak hanya sebagai kerangka isi yang harus diajarkan. Lebih dari itu kurikulum yang dikembangkan oleh guru dalam melaksankan pembelajaran sejarah harus dengan menyeimbangkan antara pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang diperoleh pebelajar melalui keterlibatan aktif dalam proses kesejarahan daripada sekedar sebagai penerima pasif informasi sejarah (The Historical Association, 2007:7). Pebelajar diberi kesempatan untuk menjadi bagian
dari proses penulisan sejarah berdasarkan interpretasi atas sumber-sumber yang ia temukan dan ia gunakan. Pembelajaran sejarah emotif dan kontroversial menuntut sikap guru untuk sangat berhati-hati dan teliti, serta menyediakan sumber yang memadai dari pihak guru, sepanjang sumber tersebut memang tidak bisa diakses pebelajar secara mandiri. Pembelajaran sejarah mengenai topik-topik yang “panas” dan melibatkan perbedaan pendapat serta emosi pebelajar yang dapat meledak setiap saat, sehingga harus ditekankan prinsip tertentu dalam pembahasannya. Misalnya adalah diskusi tidak boleh didominasi oleh satu pebelajar atau kelompok pebelajar tertentu, tidak boleh ada sindiran-sindiran kasar terhadap pebelajar lainnya, tidak boleh memberikan kutipan tanpa fakta, harus berbicara dengan sopan, serta mendengarkan dengan sabar pebelajar lain yang sedang berbicara (Kochhar, 2008:456). Pelaksanaan pembelajaran sejarah emotif dan kontroversial akan berlangsung dengan baik jika direncanakan melalui kerangka kerja yang jelas dan perencanaan yang eksplisit, meski tetap harus memberi kesempatan pebelajar membahas isu kontroversi yang tiba-tiba muncul di kelas. Kesempatan pembelajaran sejarah yang demikian ini akan berlangsung dengan lebih baik lagi jika memenuhi tiga kondisi (The Historical Association, 2007:7). Pertama, jika pembelajaran sejarah emotif dan kontroversial diwujudkan dalam bentuk pendekatan inkuiri secara mandiri. Pebelajar harus diberi petunjuk investigasi yang spesifik
Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
untuk memahami proses kesejarahan. Aktifitas ini ditujukan agar pebelajar memperoleh kesadaran bahwa sejarah itu sendiri adalah problematis. Kedua, jika pebelajar diberi kesempatan untuk belajar dan bekerja memecahkan masalah inkuiri secara independen. Kegiatan ini mendorong pebelajar untuk mengakses sumber sejarah secara mandiri melalui tahapan heuristik. Ketiga, jika terdapat cukup waktu bagi pebelajar untuk melaksanakan analisis mendalam saat melaksanakan inkuiri sejarahnya. Dalam aktifitas ini pebelajar diberi kesempatan untuk melakukan kritik dan interpretasi atas sumber yang ia temukan hingga bermuara pada historiografi yang dibuat sendiri oleh pebelajar. Pembahasan isu emotif dan kontroversial dalam pembelajaran sejarah tidak mungkin berhasil jika tidak memberi perhatian lebih terhadap tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menghubungkan isu yang dibahas dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum yang digunakan dalam satuan pendidikan. Guru juga harus mampu mengarahkan para pebelajar untuk memahami lima hal utama dalam mempelajari sejarah emotif dan kontroversial (The Historical Association, 2007:7-8). Pertama, menekankan aspek persamaan dan perbedaan (similarity and difference), dimana pebelajar diharapkan untuk memahami bahwa setiap orang dan masyarakat tidak hanya memiliki perbedaan tetapi sekaligus persamaan. Setiap perbedaan harus dihargai dan bukan malah dipertentangkan. Kedua, menekankan aspek perubahan dan kontinyuitas (change and continuity) agar pebelajar memahami bahwa masyarakat
89
senantiasa berubah. Dengan ini pebelajar diharapkan menyadari pula bahwa mereka juga bagian dari perubahan tersebut. Ketiga, menghayati aspek sebab dan akibat (reasons and results) dengan cara menyediakan waktu yang mencukupi bagi pebelajar untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi dan bukan sekedar merekonstruksi apa yang telah terjadi. Keempat, memfokuskan pada interpretasi (interpretations) dimana pebelajar diharapkan memiliki kemampuan untuk menafsirkan secara mandiri kejadian masa lalu berdasarkan sumber yang ia dapatkan. Kelima, menekankan pada bukti (evidence) atau sumber sejarah yang ia gunakan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah yang kontroversial. Diharapkan pebelajar tidak hanya sekedar adu argumentasi tanpa disertai bukti yang mendukung pendapat atau interpretasinya. Prosedur yang dianjurkan oleh Kochhar (2008:456-458) dalam melaksanakan pembelajaran sejarah kontroversial adalah melalui empat langkah. Preskripsi yang ditawarkan oleh Kochhar ini bukanlah harga mati, sehingga setiap guru dipersilahkan untuk mengembangkan cara sendiri dalam melaksanakan pembelajaran yang mengandung isu sensitif. Adapun keempat prosedur yang dianjurkan Kochhar adalah sebagai berikut. Pertama, mengawali pembelajaran dengan “sesi perkenalan” permasalahan. Pada tahap ini para pebelajar diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas sebelum mereka ditantang untuk meninjau kembali sudut pandangnya. Dalam tahap ini, guru mempunyai kesempatan untuk mengenali
90
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
pemikiran pebelajar dan sekaligus berpikir mengenai bagaimana pembelajaran sebaiknya dilanjutkan. Guru diharapkan mencatat setiap bagian yang menjadi kontroversi dalam pembahasan topik. Langkah kedua adalah guru “menyampaikan permasalahan” kepada pebelajar. Pada tahap ini guru harus membantu pebelajar untuk menentukan permasalahan dan membatasinya. Guru juga diharapkan membantu pebelajar mengumpulkan data, baik yang mendukung maupun menolak suatu versi sejarah sehingga pebelajar mampu menentukan sendiri mana yang paling benar dari alternatif yang ada. Hal ini akan membantu pebelajar dalam mengembangkan sikap ilmiah dan memupuk sikap objektif dalam memandang sejarah. Langkah ketiga adalah, melalui “diskusi dan aktivitas kelompok.” Pada langkah ini, guru harus mendorong pebelajar untuk belajar secara kooperatif berdasarkan pendapat yang terkumpul mengenai tema yang kontroversial. Tahap ini akan membantu memperjelas pemikiran setiap pebelajar, karena setiap sisi permasalahan dibahas. Pebelajar dilatih untuk menyampaikan pendapatnya, mendengarkan dan menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan pebelajar lain. Melalui aktivitas kelompok ini sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan bisa tertanam dalam diri pebelajar. Langkah keempat dan merupakan tahap yang terakhir adalah “menarik kesimpulan.” Guru disarankan untuk membantu pebelajar menarik kesimpulan dengan menanyakan mengenai letak kontroversi, pemicu kontroversi, bukti
pendukung setiap versi, bukti yang paling tidak bias dan autentik, dan penyelesaian kontroversi. Pertanyaan guru ini akan membantu pebelajar untuk menganalisis data yang telah terkumpul, menyaringnya, hingga kemudian menarik kesimpulan mereka sendiri. Guru hanya membantu pebelajar untuk menarik kesimpulan yang ditarik oleh pebelajar sendiri, sehingga guru tidak diperkenankan untuk menyamakan semua pendapat yang disampaikan setiap pebelajar. Keempat langkah ini mendorong pebelajar untuk menjadi sejarawan dalam mempelajari suatu peristiwa sejarah sehingga lebih memaklumi dan menyadari mengapa terjadi perbedaan dalam historiografi. Kesimpulan Sejarah sebagai ilmu senantiasa memiliki kontroversi, karena perbedaan versi itu sendiri menunjukkan arah perkembangan historiografi dengan iklim akademik yang sehat. Pembelajaran sejarah kontroversial tidak perlu dihindari oleh guru, cukup dikelola sedemikian rupa agar pebelajar mampu menganalisis secara mandiri peristiwa sejarah secara kritis. Lebih penting lagi guru harus mampu mengelola pembelajaran sejarah kontroversial agar tidak menimbulkan sikap emotif pebelajar, baik sikap marah maupun sikap melukai perasaaan salah satu pihak pebelajar. Guru harus mampu membangkitkan sikap pebelajar untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat pebelajar lain. Keberadaan sejarah yang emotif dan kontroversial bukan merupakan masalah dan hambatan dalam pembelajaran,
Aditya N. Widiadi, Problematika dan Tantangan Pesek….
melainkan tantangan yang harus dikelola oleh guru untuk membuat sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan bagi para pebelajar.
DAFTAR RUJUKAN Adam, A. W. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak --------------------------. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak --------------------------. 2009. Kontroversi: Proses dan Implikasi bagi Pengajaran Sejarah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Problem dan Solusi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 28 Mei. Frederick, W.H. 1988. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Terjemahan oleh Hermawan Sulistyo. 1989. Jakarta: Gramedia Habibie, B. J. 2006. Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: The Habibie Center Mandiri. Iskan, D. 9 Agustus, 2009. Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35 -----------------. 10 Agustus, 2009. Rangkulan-Bisikan Amir Syarifuddin Bikin Lemas. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35. -----------------. 11 Agustus, 2009. Memangnya Dia Bisa Merobek
91
Bendera Itu Sendirian. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35. Jawa Pos Metropolis. 3 September, 2009. Aminuddin: Jangan Sampai Digigit Ular Dua Kali, hlm. 33, 35 Jawa Pos Metropolis. 4 September, 2009. Sejarah Adalah Versi Pemenang, hlm. 33, 35 Jawa Pos Metropolis. 5 September, 2009. Jangan Paksakan Rekonsiliasi, hlm. 33, 35 Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kochhar, S.K. Tanpa Tahun. Teaching of History. Terjemahan oleh Purwanta & Yovita Hardiwati. 2008. Jakarta: Grasindo Purwanto, B. 2009. Sejarah, Kurikulum dan Pembelajaran Kontroversial: Sebuah Catatan Diskusi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Problem dan Solusi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 28 Mei Rohman, A dan Gunawan Sutanto. 20 Agustus, 2009. Selamatkan 600 Tamu Wanita Hotel Yamato dari Pemerkosaan. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35 ----------------------------------------------. 21 Agustus, 2009. Memori Manten Anyar di Jalan Peneleh. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35. ----------------------------------------------. 22 Agustus, 2009. Tambah Bingung Lihat Diorama Tugu Pahlawan. Jawa Pos Metropolis, hlm. 33, 35.
92
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009
Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Subroto, H. 2009. Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas The Historical Association. 2007. Teaching Emotive and Controversial History, (Online), (http://www.history.org.uk/resourc es/resource_780.html, diakses 29 Mei 2009)
Widodo, T. 2009. Praksis Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kontroversial dan Peran MGMP dalam Mengatasi Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Problem dan Solusi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 28 Mei