Policy Paper Menuju Sustainable Development (Solusi Sustainable Growth)
1.
Pendahuluan Pembangunan dan pertumbuhan yang berkelanjutan merupakan tren penting saat ini.
Hal ini nampak pada perhatian yang besar dari lembaga dunia seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) serta komisi dari PBB (Perserikatan BangsaBangsa) yaitu ESCAP (Economic and Social Comission for Asia and the pacific). Perhatian yang umum adalah berupa perundingan, penyusunan program serta kerjasama kajian dan riset dalam berbagai aspek. Semuanya ditujukan untuk mengalihkan arah pembangunan dunia agar mempertimbangkan secara seimbang kondisi sosial, lingkungan dan pasar sebagai satu kesatuan pandang. Hasil yang diharapkan adalah memperbaiki efek lingkungan dan sosial pembangunan konvensional. Secara nyata ini menegaskan bahwa tren kelanjutan pembangunan menuju pendekatan yang terintegrasi agar tercipta keseimbangan. Pola Pembangunan yang diterapkan berbagai negara saat ini−berfokus pada pertumbuhan output−terbukti tidak mampu menjaga keberlangsungan lingkungan dan sosial. Maknanya adalah pembangunan konvensional atau optimalisasi penggunaan faktor-faktor produksi (sumber daya alam, tenaga kerja, modal, keterampilan dan teknologi) terputus dari tujuan pertumbuhan ekonomi yaitu penyediaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Bahkan problem lingkungan menjadi hal yang terus dirasakan oleh penduduk dunia.
Pada tahun 2008 Gross Domestik Product (GDP) dunia mengalami peningkatan sebesar 89.02% dari jumlah di tahun 2000. Namun demikian, konsep pembangunan tersebut tidak secara nyata mampu meningkatkan kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Hal ini terbukti dengan masih besarnya persentase masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka ini adalah golongan yang tidak mampu atau masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak serta daya beli yang stabil. Masalah ini juga merupakan konsentrasi umum dari dunia dalam Perserikatan BangsaBangsa dengan program MDGs (Millennium Development Goals) atau The Eight AntiPoverty Goal (delapan tujuan anti kemiskinan). Ini memberi arti bahwa kemiskinan masih merupakan problem dunia yang membutuhkan penanganan segera, bersama dan terintegrasi secara global.
Ekploitasi berlebihan juga terjadi sebagai akibat dari konsep Pembangunan Konvensional. Transformasi hutan untuk kepentingan pertanian, pertambangan, jalan dan pembangunan perkotaan memberikan tekanan yang berlebihan terhadap perubahan lingkungan. Sumber daya publik seperti sungai, danau dan laut, mengalami over eksploitasi karena sumber daya tersebut diperlakukan sebagai free resources, di mana semua pihak berhak untuk mengelolanya. Sehingga, kenyataan menunjukkan telah terjadi pemanasan global yang disebabkan emisi karbon dari industri pemacu ekonomi. Pemanasan global inilah yang menyebabkan perubahan mekanisme iklim dan daerah yang penting untuk keseimbangan ekosistem seperti daerah es kutub serta hutan. Fungsi penting untuk keberlangsungan kehidupan yaitu mengantisipasi radiasi panas matahari dan penyeimbang pasokan oksigen menjadi hilang. Dengan kata lain, Pembangunan konvensional menurunkan kemampuan dunia untuk bertahan. “Sustainable Development and Growth” merupakan konsep yang secara umum menjadi pondasi dasar tren perbaikan ini. Sustainable development (SD) adalah penggunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan namun dengan tetap menjaga agar nasib generasi ke depan tidak terkorbankan (Strange and Bayley, 2008). Sustainable Growth bermakna secara singkat menjadi lebih besar (Daly and Townsend, 1993). Terlepas dari kontradiksi dua konsep tersebut (Korten, 1996, p1; Ulhoi & Madsen, 1999), semangat untuk tetap tumbuh dan tetap membangun dengan memperhatikan generasi ke depan baik lingkungan maupun sosial adalah esensinya (Strange & Bayley, 2008; Ravago, Raumasset & Balisacan, 2009). Sehingga, model dan kebijakan yang mengarah pada pencapaian sustainable development menjadi keperluan medesak.
Model dan kebijakan tersebut haruslah memperhatikan tren dunia serta keterkaitannya dengan keunikan dalam negeri. Perhatian terhadap lingkungan internasional dapat membuat kita sensitif terhadap aspek modern dari pembangunan.
Namun penyesuaian perlu
dilakukan berkaitan dengan perbedaan kondisi dan situasi nasional dengan berbagai tren terkait. Untuk memperkuat menuju arah perubahan, kelemahan model pembangunan konvensional perlu dipertegas dan diuraikan. Sehingga dimensi yang perlu di sajikan adalah pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan, model sustainable development, trend terbaru berkaitan sustainable development pada beberapa aspek penting ekonomi serta berbagai rekomendasi praktis dan kebijakan implementasi yang diperlukan. Harapannya, model yang relevan dengan kepentingan nasional dapat dihasilkan dengan tetap menyadari berbagai tren penting dunia yang perlu diperhatikan.
2. Pertumbuhan Ekonomi dan Keseimbangan
Mengacu pada latar belakang dapat terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menyisakan masalah sosial dan lingkungan yang akan menurunkan pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi akan tersedot pada perbaikan lingkungan serta perbaikan akibat penyakit sosial. Hal ini terjadi karena pertumbuhan terjadi dengan dasar pengerukan sumberdaya yang berlebihan. Dari sisi sosial kecemburuan sosial serta daerah kumuh akan menyebabkan kekerasan dan kriminalitas (BBCIndoneisa, 2005; Denker et al, 2007). Sehingga,
nilai
pertumbuhan
yang
tidak
mempertimbangkan keseimbangan
akan
menghancurkan diri sendiri.
Secara empiris Dasgupta (2007) menemukan -setelah mengkaji negara-negara di Benua India serta Cina, Inggris dan Amerika- bahwa produk domestik bruto sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi berbagai negara akan menurun ketika memperhitungkan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim terutama drastis terjadi pada negara miskin. Polusi meningkat menjadi global karena pergerakan polusi
dari negara maju ke negara
berkembang serta ketiadaan peran langsung dari lingkungan lokal dan juga teknologi yang memperbaiki. Artinya menurut Cole (1999) Pertumbuhan ekonomi akan aman bagi lingkungan apabila didukung oleh kerjasama internasional-insentif internasional, inisiatif kebijakan dan investasi.
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat berfungsi untuk penciptaan kesejahteraan bila diikuti dengan berbagai faktor pendukung. Human development report menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi (aspek keuangan) akan terputus dengan aspek non keuangan (kesehatan dan pendidikan) masyarakat secara nasional-sebagai penentu kesejahteraan dan pemerataan-bila tidak didukung dengan intervensi pemerintah atau kebijakan nasional, keterlibatan internasional, serta akses terhadap inovasi dan teknologi murah (Klugman, Rodriguez & Kovacevic, 2010) Fenomena kurva lingkungan kuznet –berbentuk “U”- (Environmental Kuznet Curve (EKC)) menegaskan tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kondisi lingkungan. Secara umum negara yang tinggi tingkat pertumbuhan ekonominya akan menaikkan derajat lingkungannya. Hasil riset menunjukkan (Stern, 2003) bahwa hal ini tidak terjadi otomatis. Beberapa fakta menunjukkan adanya kebijakan dan peraturan yang mengarahkan perbaikan lingkungan yaitu regulasi lingkungan, kesadaran, pendidikan, perubahan teknologi dan inovasi.
Dari
uraian
sebelumnya
jelas
bahwa
pertumbuhan
ekonomi
dapat
menciptakan
keseimbangan dengan berbagai syarat. Keseimbangan terjadi tidak selalu otomatis terjadi. Syarat penting itu adalah intervensi kebijakan, inovasi baik pada teknologi maupun proses produksi, keterlibatan internasional serta aksesibilitas masyarakat pada berbagai faktor penting lain yang mendukung keberlanjutan pembangunan (sustainable development). Syarat tersebut memiliki dimensi luas yang akan diterjemahkan sesuai keunikan nasional. Keunikan Indonesia tentu saja membutuhkan investigasi lebih lanjut tentang model dan kebijakan yang penting bagi sustainable development. 3. Kondisi Indonesia dan Isu Sustainable Development
Pentingnya keberlanjutan pembangunan yang tercermin pada konsep Sustainable Development (SD) perlu diturunkan kedalam model yang sesuai. Kesesuaian model ini membutuhkan pertimbangan akan situasi umum yang ada di Indonesia. Kondisi tersebut akan menjadi pijakan dalam pemilihan dan penyesuaian model. Langkah ini dipilih karena karakteristik model sustainable yang memiliki kesamaan umum yaitu fleksibel, keseimbangan (ekonomi, sosial dan lingkungan), keterlibatan internasional
serta
memiliki pola adaptasi yang sama yaitu berbasis data dan riset yang mendalam serta berkelanjutan lintas bidang (multi field) (Benecke, 2008; Strange and Bayley, 2008; Unescap, 2010).
Pada sisi lain distorsi arah pembangunan yang hanya sekedar modernisasi ekologi (Ecological Modernization/EM) juga harus dihindari. Hal ini dapat terjadi karena kemiripan EM dan SD pada beberapa nilai normatifnya. Namun, EM lebih kearah teknokratik (sebatas cost-benefit yang sempit) dan pandangan sebatas perbaikan lingkungan. Menurut Wright dan Kurian (2009)- berdasar riset di New Zealand- titik tekan pada EM menghasilkan jebakan economic growth, komitmen rendah stakeholder bahkan potensi konflik sosial. Koneksitas ekonomi dan sosial menjadi terputus. Sehingga tujuan sustainable development menjadi tidak tercapai kecuali hanya sebatas perhatian tanpa komitmen nyata. 3.1.
Kondisi Umum Indonesia
Sesuai dengan inti umum dari konsep ini model membutuhkan telaah kondisi sosial, lingkungan, dan market Indonesia. Kondisi ini akan memberikan gambaran tentang faktor penting yang memerlukan pertimbangan dan prioritas
dalam model sustaible development. Sifat pembahasan juga diarahkan secara umum dan tidak terlalu mendetil. 3.1.1. Kondisi Lingkungan Indonesia
Pembahasan tentang lingkungan dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan Indonesia. Hal ini berkaitan dengan titik awal pemasalahan yang menjadi perhatian sustainable development. Beberapa sebab yang ada disajikan agar memperjelas masalah. Secara umum efek kerusakan lingkungan akan berdampak pada timbulnya penurunan kesehatan masyarakat bencana alam seperti banjir, tanah longsor, punahnya sumber makanan dan air bahkan ekosistem secara umum. Anggran pembangunan kemudian tersedot untuk penanggulangan bencana serta menurunnya kualitas generasi modal pembangunan.
Hal ini penting disajikan dalam memformulasikan dan
menekankan pentingnya model sustainable development.
Posisi geografis Indonesia menyimpan potensi selain sumber daya alam juga bencana alam. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang merupakan pertemuan pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik yang cenderung bergerak dan bertumbukan. Pegunungan-pegunungan yang berada di pulau-pulau Indonesia terdiri lebih dari 400 gunung berapi, dimana 100 diantaranya masih aktif. Indonesia mengalami tiga kali getaran dalam sehari, gempa bumi sedikitnya satu kali dalam sehari dan sedikitnya satu kali letusan gunung berapi dalam setahun. panas bumi, Batu bara, minyak dan yang sejenis merupakan potensi kekayaan alam yang ada. Sehingga perlu memperhatikan potensi bencana selain potensi kekayaan alam
Sampah juga merupakan masalah yang besar bagi Indonesia. Menurut Tri Sony Laksono-Asdep Pengendalian Limbah Domestik Kementrian Negara LHProduksi sampah harian Indonesia sebanyak 167 ribu ton- perhari 800 gram/hari/orang dengan penduduk 220 juta jiwa- yang berubah menjadi gas metan sebanyak 8.800 ton/hari. Gas metan mampu menimbulkan pemanasan global (endonesia.com, 2009). Secara umum, sampah merupakan akumulasi perilaku individu dan juga industri.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dikutip kompas kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun sementara kemampuan rehabilitasi hanya 500 ribu hektar pertahun. Hal ini terjadi karena perubahan fungsi hutan menjadi areal pertambangan, perkebunan dan penebangan liar, pembakaran hutan (Wu, 2009; Oszaer, 2007; Bappenas, 2010). Fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem menjadi terganggu.
Asdep Pengendalian Kerusakan Sungai dan Danau Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Antung Deddy R menegaskan bahwa 80% sungai di Indonesia sudah tercemar terutama di pulau Jawa. Selain itu, Danau juga banyak yang tercemar dan bahkan terjadi pendangkalan. Tanpa penanganan tidak sampai 20 tahun akan musnah (Aisyiyah, 2010). Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Henry Bastaman menyampaikan hasil riset departemennya bahwa 66,7% Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia dalam kondisi rusak. Berbagai pemerhati menyatakan bahwa penyebab hal tersebut adalah penebangan hutan dan perambahan hutan, perkebunan dan pertambangan serta kesadaran masyarakat.
Pencemaran udara juga menjadi masalah yang serius terutama di kota besar wilayah Indonesia. Prof. Haryoto Kusnoputranto-Asisten Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Lingkungan Buatan/Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan- juga mengemukakan bahwa hal ini diakibatkan oleh penggunaan
bahan
bakar
fosil
untuk
sarana
tranportasi
dan
industri
(Radiansyah, 2006). Ahmad Haryadi, Deputi Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Jakarta menjadi kota terburuk ketiga dunia setelah Meksiko dan Thailand (RRI Pro2, 2009). Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Timur, melalui Antara, menyampaikan Surabaya menduduki peringkat ketiga polusi udara kota di Asia sementara 66% Kabupaten/Kotanya telah mendapat Adipura (Kemen-LH, 2010). Terlihat bahwa program penghargaan lingkungan tidak mepertimbangkan aspek lingkungan udara.
Kondisi tanah di Indonesia secara umum mengalami masalah serius. Tanah rusak disebabkan berbagai hal yaitu penyedotan air tanah, pestisida, kebocoran limbah, kerusakan hutan, hujan yang mengandung polusi dan penegakan hukum. Nirwono Yoga pengamat tata kota dari Universitas Trisakti dan Direktur Pengelolaan Air Tanah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Sugiharto Harsoprayitno menyampaikan bahwa tanah di Jakarta mengalami penurunan 10
cm per tahun karena penyedotan air tanah secara berlebihan yang dilakukan industri. Selain itu abrasi pantai pun terjadi karena kawasan hutan lindung di pantai rusak hasilnya terjadi penurunan tanah (Wardah, 2010). Lahan kritis juga terjadi di berbagai provinsi. Salah satu kesulitan adalah masalah anggaran yang tidak seimbang dengan luas kerusakannya.
Sebagaimana gambaran tentang lingkungan sebelumnya, Indonesia mengalami degradasi lingkungan hampir di semua aspek. Perbaikan sudah mulai dilakukan dengan
keterbatasan.
Hal
ini
juga
membuktikan
bahwa
pertumbuhan
konvensional telah menyebabkan efek yang negatif yaitu kerusakan lingkungan dan ketidakmampuan dalam menanganinya. Secara umum penyebabnya adalah pola perilaku masyarakat, Industri dan kebijakan serta anggaran yang belum memenuhi. Selain itu, Indonesia memiliki potensi bencana berdasarkan posisi geologisnya.
3.1.2. Kodisi Sosial Indonesia
Kondisi sosial Indonesia yang disoroti adalah berkaitan dengan problem besar yang dihadapi dunia yaitu Kemiskinan. Kemiskinan merupakan akibat utama dari berbagai masalah dalam pembangunan konvensional. Millenium Development Goals
(MDGs)
pengentasan
merangkum
kemiskinan
berbagai
dalam
pesoalan
bentuk
tujuan
yang
berkaitan
bersama
dengan
internasional.
Diharapkan pencapaian MDGs mampu mensinergikan langkah baik secara sektoral maupun dunia untuk mengentaskan kemiskinan. Berdasar data Badan Perancanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas,
2010)
maka
akan
digambarkan beberapa hal penting yang masih memerlukan perhatian dan penanganan lebih jauh.
Faktor kemiskinan dan Kelaparan ekstrim Indonesia telah mengalami penurunan dan sejalan dengan tujuan dunia. Namun kesenjangan kemiskinan masih terjadi baik antara desa dan kota maupun antar provinsi. Kesenjangan ini terjadi terutama di luar Jawa dan Bali. Oleh karena itu, Bappenas menetapkan perlunya perbaikan pada beberapa hal yaitu iklim bisnis lokal, partisipasi masyarakat, efektifitas program perlindungan dan asistensi sosial, akses kebutuhan dasar bahkan perhatian pada rumah tangga yang hampir miskin.
Berkaitan dengan angkatan kerja dan pekerjaan Indonesia masih memerlukan perhatian serius pada peningkatan sektor formal, produktifitas pekerja, serta mengurangi kesenjangan tingkat upah. Sektor formal sangat bergantung pada investasi dan ekspansi bisnis. Produktifitas kerja berkaitan kualitas pekerja dan kompetensi
terutama
sektor
pertanian.
Tingkat
upah
diarahkan
untuk
memasukkan faktor produktifitas dan kinerja tugas selain inflasi.
Pemenuhan nutrisi bagi anak sebagai generasi penerus juga telah mengalami perbaikan dari ukuran berat badan anak. Namun, kesenjangan masih terjadi karena kisaran rentangnya cukup tinggi yaitu 10,9% (Yogyakarta) hingga 33,6%(Nusa Tenggara Timur) dengan rata rata nasional 17,9%. Kesenjangan juga terjadi antara kota (15,9%) dan desa (20,4%).
Persamaan gender dan pemberdayaan wanita telah mengalami kenaikan signifikan baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan politik. Namun kesenjangan masih terjadi di beberapa provinsi. Bahkan peran wanita di sektor pendidikan pada beberapa provinsi kedudukannya melebihi pria walau masih banyak daerah yang sebaliknya.
Penanganan berbagai penyakit khususnya HIV/AIDS, Malaria, serta TBC telah mengalami perbaikan baik dari sisi pembangunan kesadaran maupun pemberian fasilitas kesehatan. Namun infeksi HIV/AIDS meningkat karena perilaku individu seperti heteroseksual (50,3%), homoseksual (3.3%), penularan ibu ke anak (2.6%), transfusi darah (0,1%). Bahkan sebanyak 91% terjadi pada usia produktif 15-49 tahun. Hal ini berkaitan dengan anggaran, koordinasi , perilaku individu dan akses rendah terhadap layanan kesehatan publik.
Terjadi perbaikan dari akses universal kesehatan reproduksi.
Namun
kesenjangan masih menjadi masalah utama baik antara kota dan desa maupun antar provinsi. Kesenjangan ini berkaitan dengan keterbatasan akses fasilitas perawatan kesehatan, ketersediaan tenaga medis terutama bidan, kesadaran dan pengetahuan, serta nutrisi dan kesehatan kehamilan.
Akses masyarakat terhadap air bersih secara umum mengalami kenaikan. Tetapi Kesenjangan juga masih membutuhkan penanganan serius. Banten, Aceh dan Bengkulu merupakan provinsi yang memiliki proporsi terendah akses terhadap air
minum. Kesenjangan antara desa (45,7%) dan kota (49,8%) juga terjadi. Secara umum target MDGs akses air minum masih jauh dalam pencapaian disamping adanya peningkatan akses.
Kesenjangan juga terjadi pada Akses sanitasi. Kesenjangan terjadi baik antar provinsi maupun antara kota dan desa. Dua puluh satu (21) provinsi masih jauh dari rata-rata nasional. Sedangkan kesenjangan akses kota dan desa sangat mencolok secara berurutan mencapai 69% dan 33,96%.
Daerah kumuh juga sudah mengalami penurunan tetapi masih jauh dari target dunia.
Hal
ini
disebabkan
oleh
ketidakmampuan
individu
masyarakat,
Pemerintah, swasta serta koordinas stakeholder. Ketidakmampuan masyarakat berpendapatan rendah untuk akses tanah perumahan serta akses sumber kredit dan pembiayaan. Kemampuan membangun rumah baik sektor swasta dan pemerintah juga rendah. Koordinasi dan sinergi antar sektor juga menjadi masalah serius.
Sisi kerjasama global juga mengalami peningkatan dalam berbagai sektor. Masalah hutang asing negara mulai mengalami perbaikan ditinjau dari perbandingannya dengan GDP dan DSR (Debt Service Ratio; hutang asing dibanding pendapatan ekspor).
Kerjasama dengan sektor swasta cenderung
meningkatkan sektor teknologi informasi dan komunikasi.
Situasi sosial menunjukkan bahwa ada berbagai perkembangan positif. Namun, perkembangan ini masih terjadi secara tidak merata. Sehingga problemnya adalah kesenjangan antar provinsi bahkan desa dan kota. Selain itu juga masalah sosial berkaitan dengan perilaku dan kesadaran individu, keterbatasan anggaran serta koordinasi dan sinergi stakeholder.
3.1.3. Kondisi Market Indonesia
Pemetaan kondisi pasar berarti pemetaan terhadap struktur ekonomi dan persaingan. Terkait dengan hal tersebut pembahasan market akan diarahkan untuk melihat kegiatan ekonomi secara umum. Hal ini akan memberikan fokus berkaitan peluang untuk peningkatan pertumbuhan serta penataan kedepan.
Batu bara merupakan salah satu potensi alam penyumbang pendapatan negara. Hal ini terkait efisiensi batu bara guna menghasilkan energi. Bahkan batu bara dipakai oleh 70% produsen baja internasional dan juga listrik dunia (40%). Sektor produksi batu bara Indonesia menduduki posisi ke 8 dunia dari sisi produksi sejak tahun 2007. Sisi ekspor batu bara Indonesia menduduki posisi ke 2 dunia sejak tahun 2003 (World Coal, 2010; EIA, 2010; World Coal, 2010). Pasokan dalam negeri hanya 12,5% dari produksi. Ini menunjukkan bahwa potensi batu bara banyak mengalir ke luar negeri. Efeknya fenomena Indonesia kekurangan energi yang fital untuk industry merupakan hal yang umum.
Pendapatan negara dari batu bara sebaliknya dinilai jauh dari total potensi yang ada oleh beberapa kalangan. Bahkan adanya tunggakan royalty juga mendapat perhatian. Hal ini terjadi juga pada saat harga dan produksi batu bara Indonesia naik (BPK, Marwan batu bara & ICW cited in Dirjen pajak, 2008).
Selain batu bara, CPO (hasil kelapa sawit) merupakan pendapatan yang cukup besar. Forbes merilis 40 daftar orang terkaya di Indonesia dan sebagian besar (16 dari 40) mengalami kenaikan kekayaan karena kenaikan harga batu bara dan sawit (Kompas, 2010; Suhendra, 2010). Bahkan Indonesia merupakan produsen terbesar CPO (47%) melampaui Malaysia (ICN, 2009; Rosalina, 2010) walaupun produktifitas Indonesia masih rendah (Rosalina, 2010). Kerusakan hutan dan lingkungan menjadi hal sering menjadi masalah di daerah yang berpotensi untuk perkebunan sawit seperti banjir, kelangkaan air bersih, pemanasan global, penurunan tingkat kesuburan tanah (Walhi cited in Antara, 2010, Gindo cited in KPS, 2009)
Peran industri Pengolahan non migas sebagai industri yang penting karena memberikan nilai tambah dari tahun ke tahun juga rendah. Hal ini sesuai data dari Kementerian Perindustrian (2010). Terlepas dari berbagai insentif dan kebijakan yang ada peran industri pengolahan belum dapat terangkat (ICN, 2009, BPS cited in gresnews.com, 2010).
Ekonomi Indonesia secara umum di dominasi oleh sektor ekspor berbasis sumber daya alam, nilai tambah rendah, kurang perhatian lingkungan meta ekonomi. Hal ini telah disampaikan oleh beberapa pihak terutama oleh kalangan pemerintah (Kuncoro, 2008; Sri Mulyani cited in susanto & Darmawan, 2009; Maria Elkah Pangestu cited in Kemenkominfo, 2007)
Kondisi Indonesia menunjukkan bahwa adanya permasalahan dalam keberlanjutan pembangunan (Sustainable Development). Hal ini terlihat dari kondisi lingkungan, sosial dan marketnya. Program sedang berjalan namun kendala-kendala masih terjadi. Kendala tersebut adalah anggaran, penataan industri, perilaku masyarakat, serta koordinasi. Anggaran tentu saja berkaitan masih kurangnya aspek pendapatan negara. Penataan industri berkaitan perhatian terhadap alam serta arah struktur industri yang masih rendah nilainya. Perilaku masyarakat berkaitan dengan kesadaran terhadap konsumsi dan pembuangan limbah. Koordinasi berhubungan dengan sinergi antar kementerian serta stakeholder.
3.2.
Issue-issue Aktual Sustainable Development
Issue-issue atau topik permasalahan yang relevan dengan implementasi prinsip sustainable development di Indonesia saat ini, diantara yang lainnya, adalah kebijakan dalam hal pengelolaan energi fossil dan clean development mechanism (CDM). Terkait pengelolaan energi fossil, pemerintah berperan menentukan kebijakan dalam hal penganggaran atau government budget dan dalam mekanisme perdagangan. Sementara itu, dalam hal penerapan CDM, pemerintah harus menjamin berjalannya mekanisme pasar yang memungkinkan masyarakat ikut berperan secara adil didalam, misalnya, perdagangan karbon internasional.
Terjadinya pemanasan global yang menjadi kekhawatiran mendorong semua pihak untuk mengambil langkah responsif, termasuk dalam hal kebijakan fiskal. Patunru (2010) mengemukakan Green-Budgeting, sebagai bentuk
kebijakan
penganggaran pemerintah yang didesain dengan mempertimbangkan masalah sustainable development. Kesadaran ini membuat semua tindakan bahkan sampai yang terkecil sekalipun menjadi penting. Oleh karena itu, dalam kebijakan fiskal disisi pengeluaran, pemotongan subsidi bagi energi berbasis fossil (seperti BBM dan Listrik) seolah menjadi keharusan. Memberikan subsidi berarti mendorong pemborosan pemakaian energi yang tidak terbaharui ini sekaligus meningkatkan polutan pembentuk efek rumah kaca yang memperparah pemanasan global.
Pertemuan internasional terkait masalah lingkungan telah menghasilkan berbagai koordinasi
kebijakan
pada
level
internasional
seperti
dengan
adanya
kesepakatan Kyoto Protocol, CDM, REDD, REDD+, dan sebagainya. Emisi karbon yang tidak bisa dihindari perlu dimbangi dengan adanya mekanisme penangkapan dan penyimpanan karbon dalam kerangka global. Hal ini lebih menempatkan
Indonesia
sebagai
pihak
yang
harus
mempertahankan
lingkungannya, seperti hutan dan rawa sebagai ekosistem penyerap karbon.
Untuk mendorong berjalannya transfer kompensasi nilai ekonomis dilakukan melalui mekanisme pasar. Melalui mekanisme CDM, misalnya, Indonesia dapat memperoleh kompensasi atas luasan hutan yang terpelihara. Perusahaan besar di negara maju yang sudah meratifikasi komitmen pengurangan emisi karbon harus membayar untuk sejumlah karbon yang dibuang jika melampaui batas optimum (allowance). Jalan ini memang tidak secara tuntas akan menyelesaikan masalah namun diakui sebagai langkah maju kesadaran akan pentingnya sustainable development.
Adanya sudut pandang tentang perbedaan tahap pembangunan eksisting antara negara maju dan negara berkembang menjadi sumber potensial resistensi atas koordinasi global. Negara maju yang sudah menikmati tingkat konsumsi tinggi memang sudah saatnya mengerem pembangunan (retreat) dan peduli akan lingkungan. Berbeda jauh, negara berkembang yang masih bergulat pada persoalan kemiskinan dan pertumbuhan dengan sendirinya akan terdorong untuk terus
mengeksploitasi
sumberdaya
alamnya.
Terlebih,
tidak
tertutup
kemungkinan, dalam setiap eksploitasi itu justru negara maju yang berperan dan mengambil manfaat terbesar. 3.2.1. Perspektif Konsideran Untuk mengarah kepada green-budgeting terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan baik secara internal (kondisi fiskal pemerintah) maupun eksternal (pengelolaan energi dan berbagai aspeknya). APBN Indonesia memiliki kecendrungan defisit yang cukup terkendali akan tetapi beban pembayaran hutang kususnya terhadap luar negeri semakin besar. Dari segi pengeluaran, nampak desain pengurangan subsidi terus berjalan. Subsidi di TA 2009 sebesar Rp.160,- trilyun diturunkan pada 2010 menjadi Rp.144,4 trilyun. Dari sisi penerimaan, perpajakan meningkat dari Rp.652,1 T pada 2009 menjadi Rp.729,2 T pada 2010. Akan tetapi, penerimaan dari sumber non pajak pada periode yang sama justru menurun dari Rp.219,5 trilyun menjadi Rp.180,9 trilyun.
Sudut pandang untuk terus mengurangi subsidi diantaranya adalah demi alasan penciptaan APBN yang sehat. Subsidi dianggap beban yang mesti dikurangi sejalan
dengan
langkah-langkah
pendewasaan
masyarakat
untuk
siap
berhadapan dengan mekanisme pasar yang efisien dan efektif.
Peningkatan kapasitas anggaran, secara mendasar, memerlukan keterpaduan antara peningkatan sumber penerimaan dan penghematan dalam belanja. Hal yang pertama selama ini terfokus pada optimalisasi penerimaan dari pajak baik dalam bentuk intensifikasi maupun ekstensifikasi. Sumber penerimaan non pajak semestinya terbuka pula untuk lebih dioptimalkan melalui, salah satunya,, pengelolaan sumber kekayaan alam yang melimpah dan strategis. Cara ini cenderung dilupakan terlebih karena adanya prinsip yang diperkembangkan saat ini yakni “the best government is the least government”. Akibat sikap seperti ini, pemerintah cenderung menghindar untuk mengelola sumber daya sesuai amanat UUD 1945. Itu sebabnya, kalau diperbandingkan antara uang yang beredar dalam bisnis, sebagai contoh: batu bara, kehutanan, minyak bumi, dan lain-lain, bagian yang diterima pemerintah sangat jauh lebih kecil dari kekayaan yang dikeruk swasta pelaku bisnis tersebut.
Sesuai RAPBN-P 2010 subsidi terhadap energi secara keseluruhan adalah sebesar Rp.143,8 trilyun dan non energi sebesar Rp.55,5 trilyun. Besaran subsidi BBM sendiri adalah sebesar Rp.89,3 T dan subsidi listrik sebesar Rp.54.5 T. BBM Indonesia dan sebagian besar pembangkit listrik menggunakan energi primer berupa minyak bumi (petroleum). Subsidi seperti inilah yang dalam arus utama perspektif global sustainable development dianggap salah arah.
Dalam perspektif global pula perlu dilihat seberapa besar konsumsi BBM Indonesia dibanding negara-negara dunia. Posisi Indonesia dalam tingkat konsumsi dunia akan menunjukkan tingkat urgensi pelurusan permasalahan sesuai issue-issue global SD. Menurut CIA World Factbook, 2008, dari tingkat konsumsi dunia sebesar 85.085.665 billion barel/hari, 24,30% nya dilakukan oleh Amerika Serikat. Sembilan negara konsumen minyak terbesar selanjutnya secara berurutan adalah China (8,90%), Jepang (5,90%), Rusia (3,40%), India (3,20%), Jerman (2,90%), Mexico (2,50%), Canada (2,80%), Saudi Arabia (2,70%), dan Korea Selatan (2,70%). Indonesia jauh dibawah itu dengan daya serap 1,40%.
Secara global, US Department of energy (2010) juga menunjukkan terjadinya ketimpangan dalam tingkat pemanfaatan energi dunia. Negara-negara maju cenderung sangat besar tingkat konsumsi energinya dibanding negara berkembang. Hal ini lebih jelas terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel Konsumsi Energi Total Dunia Berdasarkan Wilayah, Kasus Harga Minyak Rendah, 2005 – 2035 (Quadrillion Btu)
Sumber : US Department of Energy, 2010
Data diatas menunjukkan pentingnya mempertimbangkan aspek keseimbangan dan keadilan peran dari semua pihak untuk dapat mengatasi pemanasan global dan menjaga sustainable development. Indonesia dengan julmlah penduduk terbesar kelima di dunia ternyata tidak masuk dalam jajaran 10 besar pengguna BBM. Hal ini menunjukkan tingkat konsumsi minyak kita relatif rendah dan dengan sendirinya menunjukkan kemajuan pembangunan masih jauh tertinggal.
Rakyat kebanyakan belum menikmati arti kemajuan sebenarnya terlebih jika dibandingkan dengan taraf kemajuan yang dinikmati masyarakat-masyarakat di negara maju. Fokus kebijakan terhadap adanya subsidi BBM tidak semestinya hanya memandang pada satu sisi, yakni arus utama penghapusan subsidi saja dengan meninggalkan pertimbangan keadilan global yang lebih luas.
Subsidi BBM yang dilakukan di Indonesia adalah terhadap premium, solar, dan minyak tanah yang cenderung terkait dengan kepentingan masyarakat seperti transportasi dan aktifitas memasak dirumah tangga. Terkait issue penciptaan gas rumah kaca, dapat dilihat bahwa aktifitas kebanyakan msyarakat Indonesia tersebut bukan satu-satunya faktor pelepas karbon ke udara yang memperparah proses pemanasan global.
Sumber: timeforchange.org, 2010 Greenhouse_Gas_by_Sector.png
Grafik diatas menunjukkan emisi gas rumah kaca rata-rata tahunan menurut sektor. Empat emitten terbesar ternyata berasal dari pembangkit listrik (21,3%), disusul proses industri (16,8%), bahan bakar kendaraan (14,0%), dan pengolahan hasil pertanian (khususnya produk daging) sebesar 12,5%. Dari keempat sumber emisi terbesar ini sebagian besarnya berada di negara maju.
Amerika Serikat penghasil emisi CO2 terbesar di dunia sepanjang 1900 – 2002 dengan jumlah 303.034 mio ton (timeforchange.org), diikuti oleh negara-negara eropa yang merupakan negara maju dan negara industri lainnya.
Departemen Energi AS (2010) menampilkan data historis sekaligus skenario dari keadaan 2005 sampai dengan 2035 jika harga meinyak tetap rendah. Berdasarkan data historis, hingga 2007 nampak bahwa kelompok negara-negara OECD merupakan penghasil emisi CO2 terbesar didunia. Amerika Serikat menjadi negara individual penghasil emisi terbesar didunia. Oleh karena itu kebijakan global sangat patut untuk memulai prioritas pengurangan emisi karbon dari letak sumber masalah utamanya di dunia yang salah satu indikatornya adalah besaran emisi tersebut.
Tabel Emisi CO2 Dunia berdasarkan wilayah, Kasus Harga Minyak Rendah, 2005 – 2035 (dalam Juta Metrik Ton)
Sumber : US Department of Energy, 2010
Sumber energi fossil lainnya yang menonjol di Indonesia adalah Baru Bara. Jika dilihat kinerja saat ini maka terkesan manajemen batu bara bersifat eksploitatif untuk kepentingan perdagangan internasional. Hal ini terbukti jika dilihat dari posisi Indonesia dalam bisnis batu bara dunia dibandingkan tingkat kemanfaatan yang dirasakan oleh negara dan masyarakatnya sendiri.
Jumlah terbukti dari cadangan batu bara Indonesia hanya 0,5% dari seluruh cadangan terbukti dunia pada 2006 sebesar 909.064 juta ton (terragrams). Posisi ini jauh dibawah negara-negara dengan cadangan terbesar, seperti AS (27,1%), Russia (17,3%), China (12,6%), India (10,2%), ataupun Australia (8,6%). Meskipun demikian, peranan Indonesia dalam perdagangan global batu bara begitu penting.
Indonesia menjadi negara pengekspor batu bara terbesar di dunia per 2007 meskipun bukan penghasil dan pemilik cadangan terbesar. Sebanyak 75% produksi batu bara indonesia adalah untuk melayani bangsa asing (ekspor) (Ewart, 2009). Ekspor Indonesia dalam bentuk steam coal sebesar 165 juta ton atau 29,8% dari ekspor dunia. Indonesia bahkan mengekspor ke negara-negara yang memiliki cadangan batu bara lebih besar, seperti China.
Tabel Summary of seaborne thermal coal export 2007
Exporting Country
2007 steam coal export
Percentage of 2007 steam
(million tons)
coal export
1
Indonesia
165,0
29,8
2
Australia
114,5
20,6
3
Russia
72,0
13,0
4
South Africa
66,2
11,9
5
Colombia
64,6
11,6
6
China
45,3
8,2
7
US
10,3
1,9
8
Venezuela
8,3
1,5
9
Poland
4,0
0,7
10
Canada
3,7
0,7
11
Other
0,6
0,1
Total
554,5
100
Sumber : Ewart, 2009, www.worldcoal.com
Posisi Indonesia seperti diatas sejalan dengan data World Coal Institute (2005) yang menunjukkan bahwa dari 10 besar produsen batu bara dunia, Indonesia hanya berada pada peringkat ketujuh. Akan tetapi, Indonesaia menjadi pengekspor kedua terbesar dunia batu bara dalam bentuk steam dan coking. Lebih ironis lagi, dari daftar dua belas besar negara yang memanfaatkan batu bara sebagai energi pembangkit listrik, Indonesia tidak termasuk. Pengguna terbesar batu bara indonesia ternyata adalah negara lain. Hal ini sejalan dengan tabel berikut ini.
Tabel Konsumsi Batu Bara Dunia Berdasarkan Wilayah, Kasus Harga Minyak Rendah, 2005 – 2035 (Quadrillion Btu)
Sumber : US Department of Energy, 2010 Pertimbangan rasional bagi keselamatan masa depan ekonomi memungkinkan diambilnya langkah kebijakan dari yang soft sampai pada tingkat ekstrem. Kecendrungan di dalam negeri, terdapat banyak suara atau keinginan untuk dilakukannya moratorium atas penambangan batu bara. Jika suatu saat
pemerintah berkehendak untuk menghentikan ekspor batu bara sebagai pilihan kebijakan yang diambilnya maka hal ini akan berdampak besar secara global, mengingat peran Indonesia yang sangat besar dalam perdagangan dunia.
Sejalan dengan ini, model game theory dari Patunru (2010) analogis untuk menjelaskan kerugian yang dapat terjadi bagi dunia. Patunru, lebih jauh berpendapat
bahwa
bukti-bukti
menunjukkan
akhir-kahir
ini
terdapat
kecendrungan negara-negara penghasil melarang ekspor untuk melindungi kepentingan dalam negeri. Jika terjadi hal itu, maka dunia akan jatuh ke opsi D dalam kuadran model game teori, yakni kondisi terburuk berupa hilangnya manfaat optimal dari adanya perdagangan. Oleh karena itu, dunia perlu meningkatkan koordinasi untuk menciptakan keuntungan bersama sekaligus dapat memikul tanggung jawab bagi world sustainability secara adil.
Mengekspor Atau Tidak Mengekspor : Dampaknya pada Dunia Secara Luas
Export
Not export
Export
Not export
[A] Pw ↓ ↓
[B] Pw ↓
Benefit High
Benefit medium
[C] Pw ↓
[D] Pw ↑ ↑
Benefit medium
Benefit low
Sumber : Adaptasi dari model Patunru, 2010 Pw : Tingkat Harga Dunia
Sistem perdagangan karbon memungkinkan Indonesia untuk memperoleh kompensasi dari menjaga luasan hutannya. Akan tetapi, jika melihat kedalam kasus pola ekploitasi batu bara Indonesia maka penghargaan ekonomis akan hutan tidak cukup sampai disitu. Dunia perlu pula memperhitungkan luasan yang sudah hilang namun kemanfaatannya dinikmati oleh negara-negara maju, yakni fenomena gamblang pertambangan batu bara sebagai salah satu bentuk energi fossil yang diperlukan dunia. Untuk kegiatan itu tidak terhitung sudah luasan hutan
yang
musnah
dan
kerusakan
alam
sekitarnya
karena
sifat
pertambangannya yang open pit. Oleh karena itu, hal yang relevan untuk dipertimbangkan adalah seberapa kompensasi bagi luasan hutan Indonesia yang sudah habis dalam rangka mengeruk batu bara. Demi mengejar penghasilan
devisa dan penerimaan negara yang tidak seberapa batu bara telah diobral tanpa memperhatikan ongkos lingkungan dan kelangsungan pembangunan bagi masa depan. 4. Model Sustainable Development Arah kebijakan Makro •
Penerapan Green-GDP sebagai ganti Brown-GDP Sebagai ukuran kinerja pembangunan di Indonesia pada semua level, baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota diarahkan untuk mulai menerapkan konsep GreenGDP sebagai ganti Brown-GDP yang menjadi indikator selama ini. Hal ini paling tidak dapat menjadi pengendali bagi penyelenggara pemerintahan sekaligus pemegang otoritas untuk mempertimbangkan dengan cermat segala bentuk ekplotiasi sumber daya alam karena kinerja pembangunan telah diukur bersama tingkat degradasinya sebagai angka pengurang keberhasilan.
•
Penerapan Green Budgetting secara adil dan cermat Kebijakan fiskal yang diambil dengan perspektif sustainable development hendaknya tidak sekedar mengikuti trend global, yakni pencabutan subsidi. Lewat kebijakan fiskal Indonesia justru dapat mendorong adanya pertimbangan yang lebih adil bagi kondisi
perekonomian
model
negara
berkembang
yang
masil
mengejar
ketertinggalannya. Sebagian masyarakat jelas masih memerlukan energi bersubsidi bagi aktifitas hidupnya sehingga penerapan skema targetted subsidy lebih tepat dari pada pencabutan subsidi energi secara total.
Terkait dengan minimnya masukan penerimaan negara dalam setiap eksploitasi sumberdaya, seperti halnya batu bara, pemerintah dapat menerapkan pajak pengelolaan lingkungan yang tinggi sebagai alat kontrol terhadap eksploitasi yang berlebihan dan daya tawar bagi investor dan pebisnis multinasional yang cenderung menarik keuntungan besar dari perdagangan batu bara Indonesia
Arah kebijakan sektoral •
Mendorong kepedulian akan sustainable development misalnya dengan semboyan Go Green. Pada semua sektor maupun ranah spasial didorong untuk mengembangkan parameter lingkungan untuk dijadikan patokan. Sektor pendidikan, misalnya, menerapkan standar sekolah yang peduli lingkungan, sektor kesehatan harus
memiliki dan mendorong penerapan penanganan limbah yang ramah lingkungan, sektor tata ruang menetapkan luasan ruang terbuka hijau, sektor perdagangan menetapkan standar kemasan yang hemat, dan sebagainya. •
Mendorong percepatan pengembangan energi alternatif Kebutuhan akan tersedianya energi alternatif sudah menjadi kepastian saat ini. Sayangnya, proses menuju kearah sana terlalu lambat sehingga belum dapat menjadi solusi akan kebutuhan aktual saat ini. Oleh karenanya diperlukan bentuk program dan alokasi dana yang lebih fokus berorientasi hasil kearah pengembangan energi laternatif ramah lingkungan yang sebenarnya banyak muncul dikalangan masyarakat.
•
Pembenahan Sistem Transportasi Ketidakefisienan sistem transportasi di Jakarta terjadi akibat tidak berhasilnya antisipasi atas pola perkembangan kota besar secara dini. Disamping tata ruang yang cenderung membiarkan bertumbuhnya gedung-gedung secara berlebihan, hal ini juga disebabkan tidak memadainya sarana dan prasarana transportasi. Pelajaran yang patut dipetik dari kasus Jakarta adalah pentingya penyedaiaan transportasi umum (mass transportation) secara sangat layak dan memadai.
•
Penerapan standard emisi gas buang kendaraan dan industrri Berdasarkan struktur pencemar udara berupa pelepasan CO2 maka berbagai sektor kegiatan manusia perlu untuk dipantau emisinya. Hal ini dapat dimulai dengan mengadakan pengukuran kadar emisi yang terjadi. Langkah selanjutnya membangun desain pengendalian emisi yang pada gilirannya, jika masyarakat siap, menrapkan denda (allowance fee) untuk setiap jumlah pelanggaran batas emisi yang dilakukan.
Arah kebijakan Global •
Mendorong
dipertimbangkannya
kompensasi
dari
eksploitasi
komoditas
perdagangan bahan mentah. Oleh karena perubahan lingkungan merupakan issue global dan tiap sumber daya merupakan asset mobile dalam transaksi antar negara maka konsekuensi kerusakan lingkungan harus menjadi tanggung jawab bersama secara adil. Batu bara yang dijual murah untuk melayani kemajuan negara maju dikeruk dengan menyisakan ongkos lingkungan yang sedemikian besar. Oleh karenanya, pengembalian hutan tersebut dalam mekanisme CDM tidak cukup hanya diakomodasi melalui perdagangan karbon. Melalui koordinasi dan negosiasi bersama negara-negara
internasional diharapkan terdapat sejumlah kompensasi atas kerusakan yang sudah terjadi diatas. •
Mendorong penerapan kesepakantan yang telah dicapai melalui Kyoto Protocol, CDM, REDD, REDD+, G20, dan lain-lain secara adil dan seimbang. Hal ini tentunya hanya bisa diujudkan melalui adanya komunikasi yang intensif guna mewujudkan saling pengertian antar negara didunia.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Fokus Energi Fossil : Batu Bara
Sebagai landasan bagi pengusahaan batubara, pemerintah telah mengeluarkan peraturan-peraturan seperti: 1) Kepmen ESDM No.1128 Tahun 2004, tentang Kebijakan Batubara Nasional. 2) Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. 3) Inpres No.2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain.
Sesuai kebijakan nasional (Keppres No.5/2006), proyeksi bauran energi pada 2025 menempatkan pemakaian batubara meliputi 33% dari seluruh sumber energi, berada diatas Gas (30%), Minyak Bumi (20%), dan lainnya (17%) yang meliputi Bio-fuel, Panas Bumi, Biomasa, Nuklir, Air, Surya, Air, dan Coal Liquefaction.
Pada arah keberlangsungan energi hal ini sudah tepat mengingat deposit batu bara cukup memadai, yakni 61,3 milliar ton (Pusat Sumber Daya Geologi, 2005). Hingga saat ini eksploitasinya lebih difokuskan untuk kepentingan ekspor. Teknologi pemanfaatan batubara juga berkembang pesat kearah ramah lingkungan yang dikenal dengan clean coal technology.
Merkipun demikian, kebijakan yang telah ada tersebut belum sepenuhnya menyentuh prinsip clean development mechanism, khususnya dalam hubungan antara ekploitasi batubara dan kehancuran ekosistem yang terjadi. Pengusahaan batubara secara open pit telah menimbulkan tingkat eksploitasi terhadap alam secara besar-besaran mulai dari pembabatan hutan sampai dengan kerusakan dan berbagai bencana alam.
Kehutanan dinilai sebagai sektor terbesar penyumbang pencemaran gas rumah kaca di Indonesia. Menurut pihak Kementerian Kehutanan, hal tersebut sebenarnya hanya terjadi ketika peristiwa kebakaran hutan seperti pada tahun 1997-1998. Pusat Penelitian Energi ITB, dipihak lain, menyatakan justru minyak sebagai sumber energi yang memberikan kontribusi sebesar 82% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia (2001). Kendati demikian, pentingnya eksistensi hutan tidak mungkin terbantahkan dan telah diakomodasi pada strategi nasional dalam kerangka pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD Plus). Pemerintah pusat telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca secara nasional sebesar 26 persen secara sukarela dan 41 persen dengan dukungan mitra internasional hingga tahun 2020. Separuh dari target 26 persen tersebut diharapkan disumbang dari sektor kehutanan. Hambatan yang sangat menonjol untuk pelaksanaan kegiatan ini adalah terbatasnya pendanaan.
Kegiatan pertambangan batubara yang menghasilkan output sangat besar telah menimbulkan ongkos lingkungan (eksternalitas) yang belum terinternalisasikan kedalam harga pasar. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya produksi yang berlebihan dan konsumsi berlebihan secara internasional (over production and internationally over consumption).
Kebijakan harga (pricing policy) yang dapat dilakukan adalah dengan membebankan biaya lingkungan kepada para pengusaha tambang. Kerusakan lingkungan yang patut diperhitungkan adalah nilai degradasi lingkungan seperti rusaknya hutan, rusaknya sumber mata air, rusaknya infrastuktur publik, dan bencana alam. Besaran ongkos lingkungan tersebut dapat diperhitungkan secara cermat melalui proses assessment nilai ekonomis atas asset-asset lingkungan yang ada.
Harga batubara akan meningkat menuju tingkat harga keseimbangan sosial dimana kuantitas produksi dan volume perdagangan dipaksa turun. Disisi lain, social cost telah terkompensasi dengan lebih baik. Hal tersebut diperkirakan akan menurunkan tingkat eksploitasi batubara dan hanya menyisakan segelintir pengusaha yang siap dan mapan. Kondisi ini memungkinkan pemerintah untuk dapat mengontrol lebih ketat pola pengusahaan dan arah pemanfaatan sumberdaya strategis ini diantaranya dalam menunjang neraca keuangan negara dan menegakkan DMO.
Dalam konteks internasional, Indonesia harus berusaha untuk memasukkan ongkos rehabilitasi hutan dan lahan eks-tambang batubara dalam skema CDM. Ini
merupakan kompensasi atas dedikasi Indonesia dalam membesarkan perdagangan global batubara. Lingkaran ketergantungan akan kebutuhan devisa dan investasi membuat Indonesia selama ini rela berkorban besar secara ekologis untuk memenuhi permintaan pasar.
Mengingat dalam CDM ketersediaan hutan dan lahan alamiah menjadi satu kebutuhan dunia secara bulat, maka merupakan hal yang sangat adil jika kini saatnya bagi Indonesia untuk mendapatkan kompensasi dari pengguna terbesar batubara didunia khususnya para pengimpor batubara dari Indonesia. Indonesia mesti mendapat kompensasi untuk rehabilitasi sampai dengan terpulihkannya kembali hutan dan lahan yang telah tergerus akibat aktifitas pertambangan ini.
Untuk mendorong kemanfaatan komoditas batubara lebih besar bagi kepentingan bangsa dan negara dibutuhkan kebijakan Command and Control. Pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO) menjadi salah satu bentuknya untuk mencegah terjadinya kelangkaan dan menjamin keberlanjutan pasokan batubara domestik. Kebijakan ini diperlukan dalam jangka menengah sebagai transisi terbentuknya struktur badan usaha batubara yang baru nantinya. Secara simultan kebijakan ini harus dibarengi dengan kebijkan subsidi. Subsidi perlu diberikan terhadap badan usaha yang berkomitmen memasok pasar domestik. Subsidi juga diperlukan bagi pengembangan dan penyebaran produk olahan clean coal technology.
Kebijakan DMO berdasarkan Permen Nomor 34 tahun 2009, Pasal 2 menyebutkan bahwa Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara harus mengutamakan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Sebagai konsekuensinya maka setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk menjual batubara
yang
diproduksinya
berdasarkan
Persentase
Minimal
Penjualan
Mineral/Batubara yang ditetapkan oleh Menteri dan dituangkan dalam perjanjian jual beli mineral/batubara antara Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dengan pemakai mineral/batubara.
Kebijakan ini masih belum dapat mengontrol arah pasokan batubara secara komprehensif jika tidak dibarengi kejelasan implementasi roadmap industrialisasi terutama dalam hal pembangunan pembangkit listrik. Oleh karena itu hal terakhir ini harus berjalan secara konsisten.
Selain itu, permen ini juga belum dapat mengontrol tingkat eksploitasi yang akan dilakukan badan usaha karena justru mendorong terjadinya eksploitasi lebih besar. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya volume produksi dan volume ekspor tanpa memerdulikan tingkat keseimbangan sosial dan ekologis yang sangat bertentangan dengan prinsip sustainable development.
Tinjauan Pustaka Alisjahbana, A. S, Tuwo, L. D & Sardjunani, N 2010, Report On The Achievement Of The Millenium Development Goals In Indonesia 2010, Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (BAPPENAS), Jakarta, Viewed 28 November 2010, < BBCIndonesia 2005, Kerusuhan Perancis Masuki Pusat Kota Besar, BBCIndonesia, Viewed 21 November 2010 http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/11/051112_frenchriot.shtml Benecke, D. W (ed.) 2008, The Social and Ecological Market Economy – A Model for Asia?, Dieter W. Benecke, GTZ, Eschborn BP
2007, BP Statistical Review of World Energy June 2007, BP Global,
Cole, AM 1999,‟Limits to growth, sustainable development and environmental kuznets curves: an examination of the environmental impact of economic development‟ Sustainable Development, Vol 7, 87–97 Daly, Herman E, & Townsend, Kenneth N, 1993, Valuing The Earth: Economy, Ecology, Ethics, MIT Press Dasgupta, P 2007, „Measuring Sustainable Development:Theory and Application‟, Asian Development Review, vol. 24, no. 1, pp.1-10 Denker, H, Bonschab, T, Wagner, T & Haupt, U 2007, Social Ecological Market Economy Prociple In German Development Policy, The Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, Bonn Dirjen Pajak 2008, Setoran Royalti Batubara Tak Optimal, BPK Incar Royalty Batubara ESDM, Kementerian Keuangan RI, 12 September, EIA 2010, International Energy Statistics, US Energy Information Administration, Endonesia 2009, Sampah Indonesia Hasil 8 Ribu Ton Gas Metan, viewed 19 November 2010, http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=37&artid=28 56 Gindo, N 2009, Harga Yang Mesti Dibayar Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar, 12 September, Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) ICN 2009, Outlook Agrobisnis 2010, Indonesia Commercial Newsletter,
Kemenkominfo 2007, Struktur Ekonomi Indonesia Padat Karya Menurun Padat SDA Meningkat, Kemen-Lh 2010, Surabaya Peringkat Ketiga Kota Berpolusi Asia, http://www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=3999: Antara:-SURABAYA-PERINGKAT-KETIGA-KOTA-BERPOLUSI-DIASIA&catid=43:berita&Itemid=73&lang=id Klugman, J, Rodriguez, F & Kovacevic, M 2010, The real Wealth of Nations: Pathways to Human, Human development Report 2010: 20th anniversary Edition, Development Palgrave Macmillan, New York. Kompas 2010, Masih Banyak Orang Kaya Di Luar “Forbes” 5 Desember, Korten, David, 1996, Sustainable Development: Conventional versus Emergent Alternative Wisdom, The People Centered Development Forum, 14 E, New York Kuncoro, M 2008, Indonesia Bangkit 2008, PW Aisyiyah Sumut 2010, 90 Persen Sungai di Indonesia Tercemar, PW Aisyiyah Sumut, Viewed 16 November 2010, < http://mklh-aisyiyah-sumut.blogspot.com/2010/07/90persen-sungai-di-indonesia-tercemar.html> Rosalina 2010, Indonesia Masih Penghasil Sawit Terbesar di Dunia, Tempo interaktif 12 November RRI Pro2 2009, Jakarta Peringkat Ketiga Tingkat Polusi Udara Terburuk, http://www.rripro2jogja.com/index.php?option=com_content&view=article&id=345:jaka rta-peringkat-ketiga-tingkat-polusi-udara-terburuk&catid=38:news-update&Itemid=80 Ster, D.I 2003, „The Environmental Kuznets Curve‟, International Society for Ecological Economics, Viewed 20 november 2010, www.ecoeco.org/pdf/stern.pdf Strange, Tracey & Bayley, Anne, 2008, Sustainable Development: Linking Economy, Society, Environment, OECD
Suhendra 2010, Margin Gede, Industri Sawit Banyak Lahirkan Orang Kaya, Detikfinance.com,3 Desember Susanto, H & Darmawan, D 2009, Sektor Migas Jadi Penyumbang APBN Terbesar, http://bisnis.vivanews.com/news/read/23602-sektor_migas_jadi_penyum. Ulhoi, J.P & Madsen, H 1999, „Sustainable Development and Sustainable Growth: Conceptual Plain or Points on a Conceptual Plain?‟ proceeding of The 17th International Conference of The System Dynamics Society and the 5th Australian & New Zealand Systems Conference, Wellington, New Zealand, 22–23 July Unescap, The Paths to Green Growth, viewed 18 November 2010, http://www.greengrowth.org/ggtracks.asp Wardah, V 2010, Kondisi Tanah Jakarta Labil, Jalan Ambles, media release, 18 September, VOANews.com, Viewed 18 november 2010 Word Coal Organization 2010, http://www.worldcoal.org/resources/coal-statistics/ World Coal 2010, Coal Market & Transportation, Wright, J. & Kurian, P. (2009). „Ecological modernization versus sustainable development: the case of genetic modification regulation in New Zealand‟. Development,
published
online:
30
Sep
Sustainable 2009
<www3.interscience.wiley.com/journal/122612504/articletext?DOI=10> Wu, J 2009, Laju Kerusakan Hutan Indonesia mencapai 1,1 juta Hektar per tahun, Viewed 17 November 2010, http://vgcorner.wordpress.com/2009/11/28/laju-kerusakan-hutanindonesia-mencapai-11-juta-hektar-per-tahun/
http://www.bp.com/liveassets/bp_internet/globalbp/globalbp_uk_english/reports_and_publica tions/statistical_energy_review_2008/STAGING/local_assets/2010_downloads/statisti cal_review_of_world_energy_full_report_2010.pdf
http://www.bp.com/liveassets/bp_internet/globalbp/globalbp_uk_english/reports_and_publica tions/statistical_energy_review_2008/STAGING/local_assets/2010_downloads/coal_s ection_2010.pdf http://www.opec.org/opec_web/static_files_project/media/downloads/publications/ASB2009. pdf http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/pages/sec11.pdf
Lampiran