Tatap muka ke 5 – 6 POKOK BAHASAN III III. MANAJEMEN SELEKSI, BREEDING, REPRODUKSI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui pentingnya manajemen seleksi maupun pemuliabiakan dan reproduksi pada ternak potong, untuk meningkatkan produksi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak potong. Tujuan Instruksional Khusus : Mengetahui tujuan seleksi dan pemuliabiakan pada ternak potong. Mengetahui cara seleksi dan pemuliabiakan pada ternak potong. Mengetahui manajemen reproduksi dan pola perkawinan pada ternak potong. Uraian Materi : Seleksi adalah suatu tindakan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangkan lebih lanjut serta memilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan dan tidak dikembangbiakkan lebih lanjut. Seleksi dilakukan untuk membentuk program peternakan dengan hasil produk yang berkualitas tinggi, biasanya dilakukan dengan program perkawinan yang terarah. Program ini akan menghasilkan keturunan dengan karakteristik yang mampu meningkatkan produktivitas dan nilai ternak. Manajemen dan pengelolaannya dilakukan sejak perkawinan sampai pasca lahir. Pemuliabiakan sapi potong bertujuan untuk menghasilkan sapi bibit yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu genetik populasi sapi potong. Policy seleksi / breeding yang dilakukan pada usaha ternak potong harus disesuaikan dengan tujuan usaha itu sendiri misalnya untuk tujuan breeding, fattening
56
maupun kombinasi breeding-fattening, karena masing-masing tujuan mempunyai kriteria yang belum tentu sama. Tujuan untuk breeding yang jelas akan menunjukkan arah seleksi terhadap perbaikan mutu genetik generasi berikutnya dan kemampuan reproduksi calon induk / pejantan, termasuk produktivitas anak pada usaha peternakan tersebut. Dengan kata lain, seleksi untuk tujuan breeding adalah memilih induk maupun pejantan yang unggul. Produktivitas induk dapat dilihat dari breeding load yang efisien dengan manajemen reproduksi yang benar / tepat, dalam hal ini perlu penerapan program Inseminasi Buatan. Seleksi dengan tujuan fattening akan menunjukkan arah seleksi untuk pemilihan calon bakalan post weaning yang potensial untuk menghasilkan edible meat / daging maksimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sedangkan seleksi dengan tujuan tenaga kerja akan menunjukkan arah seleksi pada ternak-ternak yang berpotensi sebagai tenaga kerja maksimal. Beberapa factor yang perlu dipahami dalam melakukan seleksi adalah karakteristik bangsa, karakteristik produksi, ternak pengganti, kelompok pejantan dan bakalan. Masing-masing karakteristik tersebut merupakan criteria yang sangat penting agar dapat memproduksi daging yang berkualitas tinggi. Misalnya dalam menentukan bangsa ternak, akan sangat ditentukan oleh permintaan pasar, tipe usaha, program perkawinan, biaya dan ketersediaan bibit yang baik, kualitas dan kuantitas pakan, kondisi iklim dan topografi lingkungan pemeliharaan serta selera konsumen. Pola seleksi & breeding pada usaha ternak potong Sasaran
:
Produksi yang mengarah pada mutu genetis yang baik, sesuai dengan tujuan pemeliharaan Tahap seleksi
:
Seleksi memilih calon breeding stock
57
Kriteria dasar dalam pemilihan ternak adalah berdasarkan bangsa dan sifat genetis, bentuk luar, kesehatan. Dalam memilih bangsa dan sifat genetisnya, sebaiknya memilih bangsa yang paling disukai/populer baik lokal maupun impor, sesuai dengan kondisi setempat dan tujuan usaha. Bentuk luar seekor ternak juga menjadi bahan pertimbangan dalam seleksi, karena bentuk luar berkorelasi positip terhadap faktor genetis (laju pertumbuhan, mutu dan hasil akhir/daging). Kriteria pemilihan ternak berdasarkan kesehatan antara lain keadaan tubuh, sikap dan tingkah laku, pernapasan, denyut jantung, pencernaan dan pandangan sapi. Banyak metode seleksi yang dapat digunakan dalam pemilikan ternak, seperti pedigree, farm test selection, independent culling level, tandem methode dan progeny test. Metode seleksi yang digunakan pada ternak potong biasanya adalah independent culling level dan tandem. Seleksi betina pengganti (replacement) Pada sapi Betina pengganti adalah dasar untuk mencapai keberhasilan pemeliharaan kelompok induk yang akan menghasilkan sejumlah pedhet sebagai produk yang diharapkan. Banyaknya jumlah induk yang akan diganti tergantung pada beberapa factor antara lain :
Tingkat reproduksi kelompok induk yang dipelihara.
Rencana mengurangi atau menambah jumlah kelompok.
Umur rata-rata induk dalam kelompok yang dipelihara.
Berkurangnya jumlah induk dalam kelompok.
Jumlah induk yang diafkir dalam kelompok.
58
Langkah manajemen yang perlu dilakukan adalah :
Melakukan evaluasi sapi betina yang sudah dipersiapkan sebagai calon pengganti pada periode saat sapih, saat akan kawin pertama dan setelah perkawinan.
Memilih betina yang berasal dari keturunan dengan produktivitas tinggi / baik.
Memilih betina yang cepat melahirkan dengan bobot badan tinggi.
Memilih betina dengan konformasi dan konstitusi tubuh proporsional.
Memilih betina yang sehat dan terbebas dari penyakit menular maupun herediter.
Pada domba Prinsip pemilihan betina pengganti pada domba hamper sama dengan sapi. Dasar utama yang digunakan adalah kondisinya baik, kesehatan, kemampuan menghasilkan susu yang dapat memenuhi kebutuhan cempenya. Adapun sebagai acuan adalah :
Tingkat kebuntingan induk lebih tinggi
Produksi susu induk tinggi
Memiliki sifat keibuan (mothering ability) tinggi
Daya hidup lama.
Pada babi Pada ternak babi, betina pengganti harus memiliki keuntungan dalam perubahan nilai genetisnya pada induk. Umumnya jumlah pengganti yang dipersiapkan antara 20 – 25% dari setiap kelahiran. Langkah-langkah operasional betina pengganti pada babi adalah : Evaluasi babi dara pengganti dilakukan pada empat periode : saat lahir, saat sapih, saat bobot badan sekitar 82 – 91 kg dan saat dikawinkan.
59
Memilih babi yang cepat pertumbuhannya, jumlah litter banyak, perdagingan baik. Dari segi reproduksi baik, ukuran vulva normal, pubertas satu bulan sebelum perkawinan, berasal dari induk yang mempunyai jumlah anak sapih 9 – 10 anak per kelahiran. Ambing kompak, sekurang-kurangnya mempunyai 6 pasang puting. Konformasi tubuh kompak, proporsional. Ketebalan lemak punggung pada saat bobot badan 91 kg lebih tipis dibandingkan babi lain pada bobot yang sama. Mempunyai BB lebih tinggi pada umur 170 hari dibandingkan dengan babi lain yang ada dalam kelompok. Bebas dari penyakit dan cacat bawaan. Seleksi pejantan Pejantan adalah sumber plasma nutfah yang akan menurunkan sifat-sifatnya pada keturunannya. Langkah-langkah operasionalnya adalah : Pada sapi : Pilih pejantan yang kuat Berasal dari tetua yang catatan pedigree nya baik Bobot lahir sedang, pertumbuhan cepat sampai umur 12 – 18 bulan, tetapi bobot dewasa tidak terlalu berat. Pilih pejantan yang mempunyai fertilitas tinggi, lingkar skrotum pada umur 1 tahun berkisar 32 – 34 cm dan tidak kurang dari 34 cm pada umur 2 tahun atau lebih. Pilih pejantan yang mempunyai tipe baik. Pada saat pejantan berdiri kedudukan kaki-kakinya harus kuat, terutama kaki belakang. Kaki belakang akan menjadi tumpuan pada waktu pejantan mengawini betina.
60
Dalam memilih domba pejantan, terutama untuk tujuan persilangan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain : Tingkat pertumbuhan cepat Kualitas dan kuantitas karkas cukup baik dan menguntungkan Kemampuan seksualnya tinggi dan agresif, seekor pejantan mampu melayani 50 – 60 ekor betina, tetapi pada pemeliharaan di padang yang kurang baik hanya mampu melayani 40 ekor betina. Fertilitas tinggi. Pada seleksi babi pejantan, yang perlu diperhatikan adalah keadaan sifat-sifat baik yang nantinya akan diturunkan pada anak-anaknya. Pejantan harus mampu melayani betina sampai enam kali dalam seminggu dengan seks rasio 1 : 15. Seleksi bakalan Beberapa factor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih bakalan yang dapat menentukan besar kecilnya keuntungan perusahaan adalah : Biaya pakan, termasuk bentuk, proporsi dan jumlah pakan yang harus disediakan. Biaya margin (selisih) antara pembelian bakalan dengan harga jual saat finish. Perhitungan nilai ekonomis gain yang diperoleh. Prediksi kebutuhan fasilitas dn peralatan yang harus diinvestasikan. Mengetahui pangsa pasar pada saat bakalan tersebut dipotong / dijual. Menentukan lama pemberian pakan selama penggemukan. Efisiensi kebutuhan tenaga kerja. Dalam menyeleksi bakalan untuk tujuan tersebut, harus diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : Mempunyai efisiensi pakan tinggi Bakalan berumur muda
61
Ternak jantan akan tumbuh lebih cepat tumbuh dan efisien daripada ternak betina, sebaiknya ternak jantan sudah dikastrasi. Ternak yang mengalami kekurangan pakan atau mendapat pakan berkualitas rendah sebelum digemukkan akan menghasilkan gain yang lebih tinggi pada saat digemukkan (mengalami pertumbuhan kompensasai / compensatory growth). Beberapa indikator untuk menentukan bangsa sapi : Jumlah populasi Semakin
tinggi
populasi
suatu
jenis
ternak,
semakin
mudah
mendapatkan jenis ternak tersebut. Pertambahan populasi setiap tahun Merupakan penjabaran dari kematian dan kelahiran ternak sapi setiap tahun. Semakin rendah tingkat kematian ternak sapi di suatu wilayah, semakin cepat pertambahan populasinya. Penyebaran Walaupun populasi suatu jenis ternak (sapi) termasuk tinggi, tetapi kalau penyebarannya tidak merata pada berbagai daerah, maka akan sulit untuk mendapatkan jenis ternak tersebut. Misalnya sapi PO tersebar di seluruh daerah di P. jawa, Sumatera dan pulau lainnya, sedangkan sapi Bali tersebar di P. Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Sumbawa, Timor, Lampung. Produksi karkas Produksi karkas ternak sapi ditentukan oleh bobot badan dan persentase karkasnya. Semakin tinggi produksi karkaas, semakin mahal pula harga sapi. Sapi Bali mempunyai persen karkas paling tinggi (56,9%) dibandingkan dengan sapi lokal yang lain. Efisiensi penggunaan pakan
62
Efisiensi
pakan
ditentukan
dari
konversi
pakannya,
biasanya
berdasarkan konsumsi bahan kering pakan. Semakin kecil angka konversi pakan, semakin efisien ternak tersebut mengubah pakan menjadi daging. Tahap pelaksanaan pemilihan sapi : Pemilihan
induk
maupun
pejantan
sangat
penting
dilakukan
karena
berpengaruh terhadap keberhasilan perkawinan dan kualitas pedet yang dihasilkan. Syarat indukan yang berkualitas adalah : 1. Indukan minimum berumur 1,5 – 2 tahun, maksimum 5 tahun, dengan bobot badan untuk sapi lokal sekitar 225 – 250 kg/ekor dan sapi impor sekitar 350 kg/ekor. 2. Mata cerah, bulu bagus dan mengkilap serta panggul yang besar. 3. Bentuk ambing relatif besar, letaknya simetris, puting 4 buah. 4. Ukuran rongga pinggul (pelvis) sekitar 20 – 25 cm (untuk memudahkan induk ketika akan melahirkan). 5. Tidak memiliki kelainan fisik dan penyakit menular. Secara umum yang menjadi dasar / pertimbangan dalam pemilihan ternak sapi yang akan dipelihara peternak adalah : Tipe ternak Pemilihan tipe ternak sapi didasarkan atas kemampuan memproduksi sesuatu dan bentuk luar sapi yang bersangkutan. Ada tiga tipe sapi potong yaitu tipe potong (sapi Shorthorn, Hereford, Simental, Brahman, Bali dll), tipa kerja (sapi Ongole), tipe dwi guna (sapi Bali, Madura, PO, Peranakan Brahman) Penilaian dan pengukuran sapi Setelah memilih tipe potong, kemudian menilai tipe tersebut dalam kelompok dengan cara melakukan pengamatan dari jarak jauh dan dari dekat (pengamatan dari samping, belakang dan depan). Pengamatan dari jarak jauh
63
(pengamatan keolmpok) dilakukan pada jarak kurang lebih 6 meter, kemudian mengambil beberapa ekor sapi dan melakukan pengamatan individu untuk mengetahui kondisi ternak. Sapi diusahakan bergerak untuk mengetahui kelincahan / kesehatannya. Kalau perlu dapat dilakukan pengukuran pada bagian tubuh sapi. Pengamatan dari jarak dekat bertujuan untuk memperoleh skor penilaian yang baik. Ternak sapi diamati dari berbagai arah baik arah samping, belakang maupun depan. Kemudian tahap selanjutnya adalah memegang dan mengukur bagian-bagian tubuh tertentu. Bagian-bagian tubuh yang terpenting pada ternak sapi yang diukur antara lain tinggi gumba, tinggi kemudi, dalam dada, lingkar dada/tubuh, lebar dada, lebar kemudi, panjang tubuh, lebar dahi, panjang kepala dan lebar pipi. Setelah 2 hal tersebut di atas terlaksana, tahap selanjutnya adalah melakukan seleksi terhadap ternak sapi. Tahap seleksi : Calon Induk Seleksi
Calon Pejantan Calon Bakalan
Breeding Calon Induk x calon pejantan Breeding load sesuai CR max
- S/C=1 - Deteksi birahi tepat - Saat perkawinan tepat Perkawinan Bunting Partus
Anak
Fattening
Replacement untuk breeding stock
Pejantan sbg bibit
Untuk tenaga kerja
64
Seleksi bakalan : Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih bakalan adalah : a. Bakalan memiliki efisiensi pakan yang tinggi b. Umur bakalan masih muda c. Sebaiknya memilih bakalan yang sudah dikastrasi d. Sapi yang pada saat periode pertumbuhan memperoleh pakan berkualitas rendah akan menghasilkan pertambahan bobot badan yanng lebih tinggi dari pada sapi yang diberi pakan berkualitas baik (hal ini peluang untuk memperoleh pertumbuhan kompensasi) e. Sapi jantan akan tumbuh lebih cepat dan efisien daripada steer, sedangkan steer tumbuh lebih baik daripada heifer, tetapi harga jual sapi jantan akan lebih rendah. Breeding Breeding adalah suatu cara manipulasi genetik individu untuk mendapatkan mutu genetik yang baik melalui perkawinan, baik secara inbreeding maupun out breeding (cross breeding, back cross, grading up dan pure breeding). PEMILIHAN BIBIT A. Pengertian Bibit dan Benih Dalam suatu usaha peternakan, pemilihan bibit unggul merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan karena bibit merupakan salah satu kunci keberhasilan dari usaha peternakan. Bibit yang baik didukung pakan yang baik dan tatalaksana yang baik akan mendapatkan produksi yang optimal. Ternak yang dipilih untuk digunakan sebagai bibit harus didasarkan pada sifat-sifat produksi tinggi guna memperoleh produksi yang maksimal. Untuk menjamin mutu produksi yang sesuai dengan permintaan konsumen diperlukan bibit ternak yng bermutu, oleh karena itu diperlukan pengaturan mengenai standar mutu atau kualitas bibit ternak dan produksinya.
65
Tujuan utama standarisasi adalah untuk meningkatkan daya saing hasil peternakan di pasaran dalam dan luar negeri yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan devisa negara dan pendapatan petani. Bagi ternak-ternak tertentu, standar mutu bibit diatur dalam Standar Pertanian Indonesia Bidang Peternakan (SPINAK) No. 01/43/1988 yang dituangkan
dalam
SK
Meteri
Pertanian
No.
3568/Kpts/TN.410/5/1988.
sedangkan bagi ternak yang belum diatur dalam Standarisasi Mutu diatur dalam Kesepakatan Teknis. Bibit Ternak : semua ternak hasil proses penelitian dan pengkajian dan atau ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangkan dan atau produksi Benih : calon bibit ternak yang mempunyai kemampuan persyaratan tertentu untuk dikembangbiakan seperti : mani (semen), sel telur (oocyt), telur tetas dan embrio Sumber : Pedoman Pembibitan Ternak Nasional, Hardjosubroto (1994): Bibit Sapi : pedet / sapi muda yang dipelihara untuk menjadi sapi potong baik jantan maupun betina Sapi Bibit : Sapi yang memenuhi persyaratan tertentu dan dibudidayakan untuk reproduksi dengan tujuan utama produksi daging dan atau tenaga kerja. Mani dan embrio termasuk didalam artian sapi bibit Di Indonesia, semen beku berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) : -
Ungaran
-
Lembang
-
Singosari (Jawa Timur) Prinsip IB : Ada pejantan unggul menghasilkan banyak semen ; bisa mengawini banyak betina
66
Jadi, IB adalah untuk memanfaatkan pejantan unggul semaksimal mungkin Misal : untuk kawin alam ; satu ekor sapi jantan bisa mengawini 75-100 betina Tetapi dengan IB, satu ekor sapi bisa untuk 7.500 – 10.000 betina (100x) Prinsip Embrio Transfer : Untuk memberdayakan betina unggul Misal : secara alami, betina bisa menghasilkan anak setiap tahun satu ekor, tetapi dengan embrio transfer bisa menghasilkan anak lebih banyak. Caranya betina disuntik dengan hormon agar terjadi super ovulasi, sehingga bisa mengahasilkan ovum lebih dari satu (bisa sampai 10) Ovum tersebut diambil, di IB, sehingga menghasilkan banyak embrio. Embrio diambil dititipkan pada betina lain (resipien) yang sudah siap bunting (caranya : disuntik dengan hormon penyerentakan berahi) Penentuan Umur sapi : Pedet
:
< 1 tahun : gigi belum ada yang berganti
Sapi Muda
: 1 – 3 tahun
Sapi Dewasa
:
: 1-2 pasang gigi berganti (poel)
> 3 tahun : 3-4 pasang gigi berganti
Dasar Pemilihan Bibit A. Berdasarkan Silsilah (pedigree) Silsilah : catatan prestasi produksi tetua (induk dan pejantan) Catatan dilakukan oleh perusahaan besar (di Indonesia
biasa dilakukan pada
ternak perah; ternak potong masih jarang) Catatan pada ternak potong : -
Berat lahir
- Berat dewasa
-
Berat sapih
- Bobot potong
- PBBH
(kalau tidak ada timbangan untuk mengukur BB penaksiran menggunakan LD
67
Rumus yang sangat terkenal untuk menaksir BB adalah Rumus Schrool, yaitu : BB = (LD + 22) 2 100 untuk sapi-sapi Bos Taurus (sapi-sapi di Eropa) Kalau digunakan untuk sapi-sapi di Indonesia (sapi tropis) Bos Indicus biasanya terlalu berat; Misal : LD = 100 cm BB = (100+22)2 100
= (122)2 100
= 148,86 kg Kalau ditimbang kurang dari 148,86 kg yang cocok : BB = (LD+5)2 100 BB = (100+5)2 100 = 110,25 kg Selisih : 38 kg
untuk sapi-sapi gemuk; untuk sapi-sapi kurus lebih kecil lagi;
lebih-lebih untuk pedet Hasil dari seleksi berdasarkan silsilah : a. Sapi potong : - Bobot pada umur tertentu (bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa) - Kecepatan pertumbuhan (pbbh) - Ukuran tubuh tertentu (tinggi gumba, lingkar dada, panjang badan) b. Kambing & Domba : - Bobot pada umur tertentu
68
- Kecepatan pertumbuhan - Produksi dan karakteristik wool - Indeks fertilitas induk c. Babi : - Seleksi Indeks Indeks Induk = 100 + 6,5 ( L – L ) + 1.0 (W – W) L : Jumlah anak hidup L : Rata-rata jumlah anak hidup W : Bobot anak (21 hari) W : Rata-rata bobot 21 hari Pemilihan bibit berdasarkan Pedigree masih jarang dilakukan; Yang banyak dilakukan adalah seleksi berdasarkan Eksterior. B. Berdasarkan Eksterior (bentuk luar) Berdasarkan pengamatan, yaitu dengan : - melihat - memegang / meraba Ciri-ciri umum bibit yang baik : 1. Sesuai dengan bangsanya - Sapi Ongole
: putih abu-abu
- Sapi Bali
: merah bata
- Sapi Bos Indicus : mempunyai punuk Misal : Sapi Bali - Warna pedet : merah bata - Menjelang dewasa : betina : merah bata; jantan : kehitaman
69
- Dilihat dari belakang, bokongnya ada lingkaran putih Bos Indicus (sapi-sapi Asia) : tinggi, ramping, berpunuk, bergelambir - tinggi agar jauh dari tanah, sehingga tidak panas - berpunuk & bergelambir untuk memperluas permukaan tubuh; agar tempat untuk membuang panas lebih luas Bos Taurus (sapi-sapi Eropa) : - pendek agar dekat dengan tanah, sehingga tidak kedinginan - permukaan tubuh sempit agar kontak dengan udara luar sesedikit mungkin 2. Sesuai dengan tujuan pemeliharaan , misalnya : - Penghasil daging : - Penghasil wool : Pejantan
: gagah, scrotum kenyal
Induk
: ambing simetris
3. Sehat; dengan ciri-ciri : - mata bersinar - bulu halus dan mengkilap - kulit elastis - sikap berdiri tegak - lincah, riang, kuat - nafsu makan baik 4. Sesuai dengan standar (bila ada) Contoh standar Standar Umum Bibit Sapi (SPINAK 01/43/1988) * Sapi Madura
70
1. Sifat Kualitatif a. Warna : merah bata / merah coklat bercampur putih dengan batas yang tidak jelas pada bagian paha b. Tanduk : kecil, pendek serta memngarah ke bagian luar c. Bentuk badan : tubuh kecil, kaki pendek ; betina tidak berpunuk, jantan punuk berkembang baik dan jelas 2. Sifat Kuantitatif a. Tinggi gumba : Betina : minimal 105 cm, maksimal 108 cm Jantan : minimal 115 cm, maksimal 125 cm b. Umur ternak : Betina : 18 – 24 bulan (maksimal punya 1 pasang gigi seri tetap) Jantan : 24 – 36 bulan (min. punya 1 ps. gigi tetap, max punya 2 ps.) Standar untuk Babi Parent Stock Standar Umum a. Babi bibit Parent Stock harus mempunyai surat keterangan atau jaminan dari perusahaan Babi Bibit Grand Parent Stocknya; mengenai : warna, bentuk badan dan kualitasnya sebagai babi bibit. b. Babi bibit Parent Stock harus sehat dan bebas dari cacat fisik seperti : cacat mata (kebutaan), pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya. c. Semua bibit Parent Stock betina harus bebas dari cacat alat reproduksi. abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan. d. Babi bibit Parent stock jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya, terutama testis harus satu pasang. Standar Khusus :
71
a. Umur Dewasa kelamin : - Betina : 5 bulan - Jantan : 5 bulan b. Babi bibit Parent Stock dapat mencapai BB dewasa kelamin : - Betina : 80 – 90 kg - Jantan : 80 – 90 kg c. Berasal dari tetua Induk dengan jumlah anak lahir hidup per kelahiran : - Dari jalur jantan : + 7 ekor - Dari jalur betina : 8 – 9 ekor d. Bobot Lahir Anak : - Dari jalur jantan : + 1,3 kg - Dari jalur betina : 1,2 – 1,4 kg e. Rataan pbbh : - Dari jalur jantan : + 685 gr - Dari jalur betina : 740 – 70 gr 5. Calon Pejantan - Dada dalam dan lebar - Testis normal - Nafsu berahi tinggi 6. Calon induk - Tidak terlalu gemuk - Letak vulva normal - Ambing normal - Puting normal (jumlah dana bentuk), missal : sapi 4, babi 12
72
- Sifat mengasuh anak (mothering ability) baik
Ciri khusus Ternak Bibit Sapi Potong Standar Mutu Bibit (SK Mentan 358/TN410/88) -
Sapi Madura
-
Sapi Bali
-
Sapi Ongole
-
Sapi Peranakan Ongole (PO)
-
Sapi Brahman Lokal
-
Kerbau
Sifat kualitatif : -
Warna
-
Tanduk
-
Bentuk Badan
Sifat Kuantitatif : -
tinggi Gumba
-
Umur
Warna sapi Brahman tidak Uniform , karena terbentuk dari empat (4) bangsa, yaitu : -
Sapi Gir
-
Sapi Krishna Valley
-
Sapi Nellore
-
Sapi Gujarat
73
Sapi PO -
Sekarang sudah tidak begitu disukai, karena penggunaan sebagai tenaga kerja sudah berkuarang (diganti dengan traktor)
-
Yang lebih disukai adalah Simmental, karena hasil daging baik; tetapi pakan harus lebih baik
Sapi Jantan: - Testis Simetris kanan dan kiri - Testis kenyal dan elastis Sapi Betina : - Puting : empat buah dan simetris - Ambing : besar dan simetris - Vulva
: tidak terlalu ke atas
Kambing dan Domba : - Sama dengan sapi, hanya ditambah : Jantan dan betina dari keturunan kembar ! Babi : Standar Mutu Bibit Impor 1. Standar Mutu Bibit babi Grand Parent Stock (GPS) 2. Standar Mutu Bibit babi Parent Stock (PS) 3. Standar Mutu Bibit babi Lokal (babi Jawa, babi Sumatra, babi Bali) Standar Umum : -
SK dari perusahaan di atasnya
-
Bebas dari cacat fisik dan reproduksi
Standar Khusus -
Bobot ternak
74
-
Dari induk dengan litter size tertentu
-
Ambing baik; putting 6 pasang dan simetris
Klasifikasi Bibit 1. Secara Umum a. Bibit Dasar (Foundation Stock) bibit hasil pemuliaan - Spesifikasi tertentu - Mempunyai silsilah - Untuk menghasilkan bibit induk b. Bibit Induk (Breeding Stock) - Spesifikasi tertentu - Mempunyai silsilah - Untuk menghasilkan bibit sebar c. Bibit Sebar (bibit niaga = Commercial Stock) - Spesifikasi ternentu - Untuk digunakan dalam proses produksi yang komplit pada ternak ayam dan babi ! 2. Secara Khusus (pada unggas dan babi) a. Bibit Galur Murni (pure line / PL) - Spesifikasi tertentu - Menghasilkan bibit nenek Grand Parent Stock = GPS) b. Grand Parent Stock (GPS) = Bibit Nenek - Spesifikasi tertentu - Menghasilkan bibit induk (Parent Stock = PS)
75
c. Parent Stock (PS) = Bibit Induk - Spesifikasi tertentu - Menghasilkan bibit sebar (bibit niaga) = Final Stock (FS) d. Final Stock (FS) = Bibit sebar (bibit Niaga) - Spesifikasi tertentu - Untuk dipelihara hingga menghasilkan daging / telur yang dipelihara langsung oleh peternak Perusahaan di Indonesia baru sampai dengan : GPS Untuk galur Murni biasanya masih impor Betina PO
><
Pejantan Simmental
F1 -
Jantan : untuk digemukkan; dipotong
-
Betina >< Simmental F2
-
Jantan : digemukkan; dipotong
-
Betina >< Simmental F3
Keturunan persilangan sapi Simmental jantan harus digemukkan untuk dipotong; jangan smpai untuk mengawini betina; karena akan mennurunkan mutu genetic; karena gen Simmental sudah turun ! Betina hasil persilangan sebaiknya dibeli oleh pemerintah; digunakan untuk bibit; jangan sampai keluar dari kawasan tesebut A. Pemilihan Bibit sapi dan Kerbau
76
Secara umum pada pemilihan bibit ternak, harus diperhatikan sehat tidaknya ternak calon bibit. Adapun tanda-tanda ternak sehat adalah : a. Mata bersinar, tidak terdapat kondisi patologik b. Bulu halus dan mengkilap c. Kulit tampak elastis d. Sikap berdiri tegak, kuat dan semua bagian tubuh didukung oleh keempat kaki dengan teracak yang rata e. Gerak lincah dan kuat f. Nafsu makan cukup baik, bila diberi ransum lain cepat menyesuaikan Standar Umum Mutu Bibit Sapi a. Sapi harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti : cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan bulu abnormal b. Sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan c. Sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya Contoh standar mutu bibit sapi berdasarkan SPINAK/01/43/1988 adalah : Standar Mutu Bibit Sapi Peranakan Ongole (PO) Sifat Kualitatif : a. Warna : putih kelabu atau kehitam-hitaman b. Tanduk : relatif pendek, pada yang betina lebih pendek dibanding jantan c. Bentuk badan : kepala relatif pendek dengan profil melengkung. Punuk besar mengarah ke leher, lipatan-lipatan kulit yang terdapat di bawah perut dan leher menuju ke arah leher, kaki panjang dan kokoh
77
Sifat Kuantitatif : a. Tinggi gumba : betina 112 - 118 cm. jantan 118 - 125 cm b. Umur : betina 18 - 24 bulan ( maksimal ganti gigi 1 pasang ) Jantan 24 – 36 bulan (ganti gigi 1 – 2 pasang ) Standar Umum Mutu Bibit Kerbau (berdasarkan Kesepakatan Teknis) a. Kerbau bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal serta tidak terdapat kelainan tulang b. Semua Kerbau bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan c. Kerbau bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya Contoh standar mutu bibit kerbau berdasar Kesepakatan Teknis Standar Mutu Bibit Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) Sifat Kualitatif : a. Warna : kulit berwarna abu-abu, hitam serta bulu berwarna abu-abu sampai hitam b. Tanduk : mengarah ke belakang horizontal, bentuk bulat panjang dengan bagian ujung yang meruncing serta membentuk setengah lingkaran c. Bentuk badan : kondisi badan baik, bagian belakang penuh dengan otot yang berkembang, leher kompak dan kuat serta mempunyai proporsi yang sebanding dengan badan dana kepala, ambing berkembang dan simetris Sifat Kuantitatif : a. Tinggi gumba : betina 120 – 125 cm, jantan 125 – 130 cm b. Umur : betina 24 – 36 bulan (maksimal ganti gigi 1 pasang),
78
jantan 30 – 40 bulan ( ganti gigi 1 – 2 pasang ) c.
Berat badan : betina 250 – 300 kg, jantan 300 – 350 kg
B. Pemilihan Bibit Domba dan Kambing Produktivitas induk domba dan kambing sangat ditentuka oleh kelahiran anaknya. Induk muda yang mampu melahirkan anak kembar pada kelahiran pertama ada kecenderungan melahirkan kembar pula pada waktu selanjutnya. Induk-induk inilah yang dikehendaki dalam memilih bibit karena dapat menurunkan kembar, walaupun kemungkinan peluang hanya 15%. Kriteria pemilihan bibit yang biasa digunakan sebagai pedoman dalam rangka melakukan seleksi terhadap ternak domba dan kambing adalah : a. Sehat; tanda-tanda domba dan kambing yang sehat antara lain : mata bersinar dan bersih, bulu mengkilat dan bersih, selaput lendir mata dan kulit tidak pucat, gerakannya aktif, hidung dan mulut tidak mengeluarkan cairan, dan anus tampak bersih b. Bangsa; menurut kesukaan peternak dan konsumen, dengan memilih bangsa domba/kambing yang biasa diternakkan di daerah sekitar. c. Kesuburan; induk yang subur adalah yang memliki banyak anak setiap melahrikan d. Temperamen; induk yang mempunyai temperamen yang baik yaitu induk yang mau merawat anaknya dengan rajin dan selalu menyusui anaknya e. Produksi susu tinggi; untuk memberikan jaminan hidup dan pertumbuhan anak yang baik sampai disapih, diharapkan induk mampu mensuplai susu yang cukup. 1. Pemilihan Bibit Berdasarkan Silsilah (Pedigree) Silsilah adalah suatu catatan tertulis dari keadaan yang lampau, serta suatu estimasi akan penampilan seekor ternak. Sebagai contoh seekor pejantan yang telah menurunkan anak-anak dengan bobot sapih tinggi serta mempunyai anak yang
79
kualitas wool atau karkas yang bagus, maka dapat diharapkan pejantan itu memang mampu meneruskan sifat-sifat baik tersebut kepada keturunannya. Pemilihan bibit dengan menggunakan silsilah merupakan cara yang terbaik, karena dari silsilah ini akan dapat diketahui prestasi produksi dari induk dan pejantannya. 2. Pemilihan Bibit dengan cara Melihat Bagian Tubuh Luar (Eksterior) Penilaian penampilan atau performance domba dan kambing diamati pada keadaan
tubuh
luar,
yaitu
dengan
memegang/meraba
ataupun
melakukan
pengamatan. Penilaian terhadap domba dengan pengamatan lebih sulit dibanding dengan kambing, karena pada umumnya domba memiliki bulu yang tebal. Agar diperoleh hasil yang baik pada penilaian dengan pengamatan, maka perlu dilakukan pengamatan dari samping, muka dan belakang. a. Pengamatan dari samping Secara umum tubuh tampak besar, bagian atas dan bawah tubuh rata, kaki pendek, lurus dan kuat b. Pengamatan dari depan Moncong besar berbentuk segi empat dengan lubang hidung cukup lebar, mata besar, dada dalam dan jarak kedua kaki depan relatif lebar c. Pengamatan dari belakang Mulai dari bahu sampai ke ujung pantat cukup lebar, padat dan berisi d. Menilai dengan memegang/meraba Perabaan dimulai dari leher, punggung, pinggang sampai pantat. 3. Pemilihan Domba dan Kambing Calon Bibit Tanda-tanda Pejantan Calon Bibit : a. Sehat, tubuh besar (sesuai umur), relatif panjang dan tidak cacat b. Dada dalam dan lebar
80
c. Kaki lurus dan kuat d. Tumit tinggi e. Penampilan gagah f. Aktif dan besar nafsu kawinnya g. Testis normal (2 buah, sama besar dan kenyal) h. Alat kelamin kenyal dan dapat ereksi i. Sebaiknya berasal dari keturunan kembar j. Bulu bersih dan mengkilat Tanda-tanda betina calon bibit : a. Sehat, tidak terlalu gemuk dan tidak cacat b. Kaki lurus dan kuat c. Alat kelamin normal d. Mempunyai sifat mengasuh anak yang baik e. Ambing normal (halus, kenyal, tidak ada infeksi/pembengkakan) f. Sebaiknya berasal dari keturunan kembar g. Bulu bersih dan mengkilap. C. Pemilihan Bibit Ternak babi Prinsip-prinsip dasar Pemilihan Ternak Pada umumnya para ahli dalam memilih ternak babi untuk dipelihara dapat menggunakan 4 (empat) dasar pemilihan, yaitu : a. Judging; yaitu pemilihan berdasar visual; biasanya digunakan pada arena lomba b. Pedigree; yaitu pemilihan didasarkan pada prestasi yang ditunjukkan oleh nenek moyangnya
81
c. Penampilan ternak d. Pengujian atau tes produksi seperti yang diatur dalam kesepakatan teknis Sifat-sifat ternak babi ditinjau dari kepentingan ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu produktif, reproduktif dan struktural. Karena setiap sifat yang diamati pada ternak sebagian ditentukan oleh faktor genetik dan sebagian oleh lingkungan, maka memilih ternak untuk bibit hendaknya memilih individu-individu yang berpotensi variasi genetik yang baik dipandang dari sudut ekonomi. Pemilihan bibit dalam usaha ternak potong babi, bila ditinjau dari sudut tujuan pemeliharaan dapat dibedakan menjadi 2(dua) golongan, yaitu : a. Pemilihan bibit babi bakalan (jantan dan betina) untuk tujuan produksi anak b. Pemilihan bibit babi bakalan untuk tujuan digemukkan, kemudian dijual. Pemilihan bibit babi ditekankan pada : - Sifat-sifat genetic dari tetuanya - Penampakan sifat-sifat kelamin sekunder - Laju pertumbuhan dan efisiensi dalam penggunaan pakan - Kesehatan ternak Pemilihan babi bakalan ditekankan pada : -
Laju pertumbuhan
-
Efisiensi pakan
-
Kesehatan ternak
Memilih Babi Dara dan Pejantan Muda Memilih babi dara atau pejantan muda paling sedikit harus sebaik keduanya (induk/pejantannya) atau lebih superior dalam hal produk, kualitas dan performance yang potensial yang dapat diteruskan keturunannya dikelak kemudian hari. Sifat-sifat yang baik dari calon babi dara :
82
a. Berasal dari tetua yang berkualitas genetik yang baik b. Berbadan sehat, mata bersih dan bersinar, gerakannya lincah, serta berat badannya sesuai dengan standar berat badan masing-masing bangsa/jenis ternak c. Mempunyai minimal 6 pasang puting susu yang simetris dan mampu menghasilkan air susu yang cukup untuk anak yang diasuh d. Memiliki kaki yang kokoh dan lurus sehingga mampu menopang beban dari berat pejantan waktu kawin maupun berat masa bunting e. Mempunyai sifat keibuan f. Mempunyai sifat performans seperti laju pertumbuhan dan koefisien pakan yang lebih baik dari ternak biasa atau rata-rata ternak Sifat-sifat yang baik dari pejantan muda : a. Berasal dari tetua atau nenek moyang yang berkualaita genetik baik b. Berbadan sehat, mata bersih dan bersinar, gerakannya lincah, berat badannya sesuai dengan standar berat badan masing-masing bangsa/jenis babi c. Memiliki kaki yang kuat dan tegak serta letaknya baik agar bebas bergerak d. Mempunyai sifat performance yang baik, misalnya laju pertumbuhan serta koefisien penggunaan pakan e. Sifat kejantanannya terlihat nyata dan agresif Manajemen reproduksi Untuk efisiensi reproduksi, manajemen reproduksi perlu diatur secara cermat dan tepat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen reproduksi adalah : Kemampuan reproduksi : Libido sexualis Kualitas sperma / ovum Kemampuan fisik Litter size Produksi susu induk
83
Mothering ability Efisiensi reproduksi : Service per conception Breeding load Deteksi berahi Animal crop Farrowing index Conception rate / pregnation rate Agar perkembangbiakan ternak cepat : Manajemen perkawinan yang benar / tepat, diusahakan S/C = 1 dengan farrowing index tinggi. Kawin pertama dilakukan pada saat dewasa tubuh, sesudah pubertas. Fertilitas induk yang baik, kalau mungkin sampai dengan 100 % induk yang bunting, hal ini dapat dilakukan dengan seleksi yang terarah. Pakan harus cukup dalam kuantitas dan kualitas. Seleksi awal untuk pemilihan induk dan pejantan (breeding stock) harus tepat. Pengendalian / penanggulangan penyakit. Perawatan kandang dan lainnya harus baik. Pola perkawinan
Post Partum Estrus
Birahi
Kawin
Gagal
Heat
Partus
Estrus
kawin
kawin
bunting
gagal laktasi
kawin
bunting
84
siklus estrus
bunting
Post Partum Mating
Pada ternak yang estrus sesudah sapih, interval kelahiran (CI = calving interval) dihitung sebagai berikut : CI
= lama bunting + post partum mating = lama bunting + post partum estrus + {(S/C – 1) x siklus estrus}
Peningkatan mutu ternak sapi melalui bibit : Mengganti seluruh bibit yang telah ada Lebih cepat, tetapi biaya lebih tinggi Bisa dilakukan secara bertahap Dengan kawin silang antara pejantan unggul terpilih dengan betina lokal. Karakteristik siklus berahi dan saat tepat perkawinannya Uraian Rata-rata siklus berahi (hari) Lama berahi (jam) Ovulasi
Saat perkawinan terbaik
Sapi
Domba
Babi
Kambing
21
17
20
12 – 18 10-12 jam setelah berahi 1. awal berahi 2. 12-20 jam setelah awal berahi
24 – 36 Akhir berahi
48 – 72 34 – 38 Pertengahan Akhir berahi berahi
Pertengahan Induk : akhir berahi pertengahan berahi Dara : hari kedua setelah berahi
20
Pertengahan akhir berahi
TATALAKSANA PERKAWINAN A. Pubertas Proses reproduksi pada ternak baru dapat berlangsung sesudah ternak tersebut mencapai dewasa kelamin, atau biasa disebut dengan pubertas. Pubertas adalah suatu indikator bahwa hewan sudah mempunyai kemampuan untuk kawin.
85
Pubertas terjadi sebelum seekor ternak mencapai dewasa tubuh atau body maturity yang dicapai apabila bobot badan sudah mencapai 50-70 persen dari bobot badan dewasa. Pada ternak jantan, pubertas dicapai apabila androgen dan sperma telah diproduksi, organ-organ reproduksi telah masak, penis telah terbebas dari selubung dan ternak tersebut mengawini betina dan betina tersebut dapat bunting. Pada ternak betina pubertas adalah umur dimana terjadi berahi pertama disertai dengan ovulasi secara spontan. Satu atau lebih ovulasi tenang dapat terjadi sebelum ternak betina menunjukkan tanda-tanda berahi yang berhubungan dengan ovulasi. Frekuensi ovulasi tenang ini sangat tergantung dari efisiensi estrus secara luas. Umur berahi pertama pada ternak betina bervariasi, pada umumnya disebabkan karena perkawinan dan perbedaan laju pertumbuhan. Diantara banyak faktor yang mempengaruhi umur tercapainya pubertas adalah bangsa ternak dan keadaan pakan atau nutrisi. Pada tingkat nutrisi yang rendah dan laju pertumbuhan yang lambat, pubertas dapat terhambat beberapa minggu, sedang tingkat konsumsi nutrisi yang tinggi akan mempercepat pubertas. Musim dapat pula mempengaruhi tercapainya umur pubertas. Pada sapi-sapi potong yang ada di Indonesia, pubertas terjadi pada umur antara 11 – 15 bulan. Untuk sapi-sapi Zebu biasanya terjadi pada umur 18 – 24 bulan, pada sapi-sapi Eropa dicapai pada umur 16 – 18 bulan. Pubertas babi jantan dicapai pada umur 5 – 8 bulan, babi jantan muda sebaiknya dibiarkan mencapai umur 8-9 bulan sebelum dipakai untuk mengawini betina. Seekor babi betina mencapai pubertas pada umur sekitar 5 -8 bulan, dan umur yang dianjurkan untuk perkawinan pertamanya adalah 8-10 bulan. Domba dan kambing mencapai pubertas tergantung pada bangsanya, pada umumnya umur 6 – 8 bulan. pemacek diatas satu tahun.
Ternak jantan sebaiknya mulai dipakai sebagai
86
B. Estrus atau berahi pada ternak Sejak tercapainya pubertas, terjadilah berahi pada ternak yang tidak bunting, menurut suatu siklus yang ritmis dan khas bagi jenis-jenis ternak tertentu. Interval antara satu periode estrus ke periode berikutnya disebut siklus estrus. Sapi, kerbau, domba, kambing dan babi termasuk hewan poli estrus, karena siklus estrusnya berkesinambungan; musim atau iklim tidak mempengaruhi terjadinya siklus estrus ini. Pada ternak jantan, siklus berahi tidak ada, pada umumnya pejantan selalu bersedia menerima ternak betina untuk aktivitas reproduksi. Perkawinan dapat berhasil apabila ternak betina yang dikawinkan dalam keadaan berahi (estrus). Estrus adalah suatu fase dalam siklus berahi dimana ternak betina bersedia atau mau menerima pejantan untuk aktifitas reproduksi. Adapun tanda-tanda munculnya estrus pada ternak adalah : a. Ternak tampak gelisah b. Nafsu makan turun c. Mencoba menunggangi dan diam bila dinaiki ternak lain d. Sering mengibas-ngibaskan ekor dan sering kencing e. Vulva kelihatan bengkak, merah dan hangat f. Keluar lendir transparan dari servik yang mengalir melalui vulva dan vagina. Dibandingkan dengan ternak sapi, tanda-tanda berahi pada kerbau hampir tidak diketahui dan sulit ditentukan. Cara yang paling tepat untuk menentukan apakah berbau betina tersebut berahi atau tidak dapat digunakan kerbau jantan untuk mendeteksinya.Tanda-tanda berahi yang tidak nyata tersebut tidak menyulitkan peternak, karena perkawinan kerbau pada umumnya berlangsung di padang penggembalaan dimana kerbau jantan leluasa memilih betina-betina yang sedang berahi.
87
Lama berahi dan siklus berahi pada berbagai jenis ternak berbeda-beda. Untuk ternak sapi siklus berahi datang sekali dalam 18-24 hari, dengan rata-rata 21 hari, sedang lama berahi berkisar 6-30 jam, dengan rata-rata 17 jam dan ovulasi terjadi 9-11 jam setelah selesainya estrus. Kerbau betina memperlihatkan siklus berahi yang normal selama kurang lebih tiga minggu. Di Indonesia, siklus berahi pada kerbau Lumpur berkisar antara 17-29 hari, dengan rata-rata 21,53 hari. Lama berahi ternak kerbau lebih lama daripada sapi, yaitu berkisar antara 24-36 jam, dengan rata-rata 17,65 jam. Lama siklus berahi normal pada domba berkisar antara 14-19 hari, dengan rata-rata 17 hari, lama berahi pada domba-domba lokal di Indonesia berkisar antara 24-48 jam, dengan rta-rata 35,5 jam. Lama berahi pada kambing 24-45 jam. Berahi akan terulang lagi sekitar 19 hari kemudian (apabila tidak dikawinkan atau gagal bunting). Siklus berahi pada babi mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21 hari, berahi berlangsung antara 1-4 hari, dengan rata-rata 2-3 hari. Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah deteksi berahi, oleh karena itu pengetahuan tentang tanda-tanda berahi, siklus berahi dan ovulasi menjadikan hal yang penting untuk dikuasai. Secara umum deteksi berahi pada ternak dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu : a. Tradisional; yaitu pengamatan berahi didasarkan pada timbulnya berahi secara alami, tanpa adanya campur tangan manusia b. Semi tradisional; telah ada campur tangan manusia, misalnya menggunakan pejantan pengusik. Umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki jumlah ternak diatas 10 ekor. c. Modern;
pengamatan
telah
menggunakan
mengikutsertakan manusia dalam pengamatannya.
peralatan
dan
telah
88
C. Perkawinan Perkawinan
merupakan
bagian
dari rentetan
kegiatan dalam
proses
reproduksi. Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukkan sperma ke dalam alat kelamin betina. Perkawinan yang lazim digunakan pada ternak ada dua, yaitu : a. Perkawinan Alam Perkawinan hanya mungkin terjadi antara ternak jantan dengan ternak betina yang berahi, dimana ternak betina mau menerima ternak jantan. Perkawinan alam ini tidak diragukan keberhasilannya, karena semen yang diejakulasikan tanpa pengenceran dan didesposisikan pada ―portiovaginalis services‖ atau mulut servic. b. Perkawinan buatan (kawin suntik /IB) Semen dimasukkan kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat buatan manusia. Perkawinan memungkinkan pertemuan spermatozoa dengan sel telur, sehingga perlu diperhatikan saat-saat ovulasi pada hewan betina agar perkawinan tepat pada waktunya. Ada tiga macam perkawinan yang dapat terjadi pada ternak, yaitu: a. In breeding, adalah perkawinan yang dilakukan antar saudara yang mempunyai hubungan keturunan dekat b. Grading up, adalah perkawinan antara pejantan unggul dengan sapi lokal yang diarahkan pada keturunan pejantan c. Cross breeding, adalah perkawinan antara dua bangsa yang telah diketahui dengan seksama masing-masing kemampuan produksinya. Cara
pengaturan
perkawinan
dapat
dilakukan
dengan
pengaturan
sepenuhnya oleh manusia yang disebut “hand matting‖, yaitu pemeliharaan sapi jantan dan betina dipisah, apabila ada betina yang berahi baru diambilkan pejantan untuk mengawininya, atau dilakukan Inseminasi Buatan (IB).
Cara lain adalah
“pastura matting‖, yaitu sapi-sapi jantan dan betina dewasa pada musim kawin
89
dilepas bersama-sama. Apabila terdapat sapi yang berahi, tanpa campur tangan manusia atau pemilik akan terjadi perkawinan. Untuk melaksanakan perkawinan perlu diperhatikan waktu yang setepattepatnya agar sapi betina dapat menjadi bunting atau terjadi konsepsi. Saat optimum untuk terjadinya konsepsi pada ternak sapi adalah pertengahan estrus sampai akhir estrus. Jika terlihat gejala berahi pagi hari, maka inseminasi/perkawinan harus dilakukan paling lambat sore hari itu juga. Apabila terlihat gejala berahi pada sore hari, maka perkawinan paling lambat dilakukan esok hari berikutnya.
Waktu
perkawinan/inseminasi pada sapi dianjurkan tidak melebihi 4 jam sebelum ovulasi berakhir. Sistem perkawinan pada ternak domba/kambing selama ini adalah perkawinan secara alam, sedangkan perkawinan secara IB belum lazim dilaksanakan. Secara ekonomis perbandingan jumlah ternak jantan sebaiknya setiap ekor pejantan untuk 20-25 ekor betina. Dengan manajeman perkawinan yang baik, ternak domba dan kambing dapat melahirkan setiap 8 atau 9 bulan sekali. Hal ini dapat dicapai dengan penyapihan anak pada umur 3-4 bulan, walaupun pada umur dua bulan induk sudah dapat dikawinkan kembali. Waktu yang baik untuk mengawinkan domba/kambing adalah 12-18 jam setelah terlihat tanda-tanda pertama berahi. Betina yang berahi disarankan dicampur dengan pejantaan dalam satu kandang, untuk menghindari kegagalan perkawinan. Pada babi betina, perkawinan dapat dilakukan antara 12-30 jam setelah tampak estrus, tetapi untuk babi induk yang durasi estrus sampai terjadinya ovulasi lebih panjang, maka saat perkawinan dapat dilakukan 18-36 jam setelah estrus tampak. Babi jantan dewasa (umur lebih dari 10 bulan) dapat dikawinkan 6 kali perminggu tanpa menunjukkan kejelekan fertilitas, sedangkan pada pejantan muda (umur 6-7 bulan) dimana testisnya masih kecil dikawinkan 2 kali perminggu.
90
Babi induk setelah anaknya disapih dapat dipercepat estrusnya bila kontak langsung dengan pejantan.
Pengandangan induk yang menyusui dekat pejantan
juga dapat mempercepat estrus. Setelah pejantan muda mencapai pubertas (umur 6-10 bulan) harus dikandangkan dekat dengan kandang babi dara atau induk.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa babi jantan yang terisolir dari babi dara atau induk menyebabkan service performannya tertekan dan akhirnya penggunaan pejantan untuk mengawini betina juga terlambat.
Oleh karena itu disarankan pemeliharaan
babi pejantan muda bersama-sama dengan babi dara atau induk yang dalam kategori aktif untuk tujuan dipotong. Latihan soal 1. Jelaskan tujuan dilakukan seleksi pada ternak potong ! 2. Jelaskan bagaimana pola perkawinan pada sapi potong! 3. Jelaskan macam2 perkawinan yang terjadi pada ternak ! 4. Jelaskan indikator untuk menentukan bangsa sapi yang akan dipelihara sebagai ternak potong ! 5. Jelaskan kriteria untuk memilih ternak domba pejantan !
RANGKUMAN SINGKAT Seleksi adalah suatu tindakan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangkan lebih lanjut serta memilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan dan tidak dikembangbiakkan lebih lanjut. Pemuliabiakan sapi potong bertujuan untuk menghasilkan sapi bibit yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu genetik populasi sapi potong. Policy seleksi / breeding yang dilakukan pada usaha ternak potong harus disesuaikan dengan tujuan usaha itu sendiri misalnya untuk tujuan breeding, fattening maupun kombinasi breeding-fattening, karena masing-masing tujuan mempunyai kriteria yang belum tentu sama.
91
Tujuan untuk breeding yang jelas akan menunjukkan arah seleksi terhadap perbaikan mutu genetik generasi berikutnya dan kemampuan reproduksi calon induk / pejantan, termasuk produktivitas anak pada usaha peternakan tersebut. Pola seleksi & breeding pada usaha ternak potong dilakukan dengan sasaran peningkatkan produksi yang mengarah pada mutu genetis yang baik, sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Agar perkembangbiakan ternak cepat dapat dilakukan dengan cara mengatur manajemen perkawinan yang benar / tepat, diusahakan S/C = 1 dengan farrowing index tinggi, kawin pertama dilakukan pada saat dewasa tubuh, fertilitas induk yang baik, pakan harus cukup dalam kuantitas dan kualitas, seleksi awal untuk pemilihan induk dan pejantan (breeding stock) harus tepat, pengendalian / penanggulangan penyakit, perawatan kandang dan lainnya harus baik.
92
Bahan tambahan Selecting Meat Goats
Melanie Barkley, Bedford County Extension Agent and Linda Spahr, York County Extension Agent
INTRODUCTION Evaluating livestock is a basic skill needed by anyone who raises livestock. Selecting animals is the same as judging them because you evaluate each individual based on the merits of the ideal animals. Livestock can be evaluated for their potential as either breeding animals or market animals. Different characteristics are selected for based on the purpose of the animal. BREEDS OF MEAT GOATS A breed is a group of genetically related animals that reliably passes on certain characteristics or traits to their offspring. Goat meat is produced from many goat breeds in the U.S. Some of these breeds have been genetically selected specifically for meat, while others were bred to produce milk. Some of the major meat breeds of goats and their characteristics are listed below: South African Boer Goat:
The Boer goat was developed in South Africa as a breed meant solely for meat production. Because of intense breeding over the past 50 years or more by South African goat breeders, the Boer goat is considered far superior to any other breed for
93
meat production. These compact, muscular goats have a high growth rate, muscular carcass, good fertility, and functional conformation. Boer goats are white with red heads. They have pigmented skin and roman noses. Under good nutritional conditions, Boer goat crossbreds (especially with Nubians) produce outstanding weight gains and carcasses. Nubians:
This breed is used for both milk and meat production. They are a large, proud, graceful breed with roman noses and long, pendulous ears. They can be any color. Kids have a high growth rate and are generally fleshier than other dairy breeds. They are used to crossbreed in many operations because they can improve milk production and muscling. Spanish Meat Goat:
These smaller-bodies goats are found mainly in Texas and were originally were used for clearing brush and maintaining pasture. Smaller, more agile goats are dominant in the wild. Body shape and size, ear shape, horns, hair, and color vary greatly due to climate, terrain, and available breeding stock. Because of the recent increased
94
demand for goat meat in the south, wild Spanish goats are being crossbred with larger dairy and angora goats to produce a meatier animal PARTS OF A GOAT In order to describe the merits of goats, one should first learn the parts of the animal. This will help in describing positive and negative merits possessed by each individual. It is also helpful to know these parts when evaluating breed characteristics. Parts of a Goat 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Poll Forehead Muzzle Ear Dewlap Point of Shoulder 7. Brisket 8. Point of Elbow 9. Knee 10. Hoof 11. Dewclaw 12. Sheath
Ideal Market Goat
13. Flank 14. Pastern 15. Hock 16. Stifle 17. Barrel 18. Pin Bone 19. Tail 20. Hip 21. Withers 22. Loin 23. Back
The ideal market goat can vary, depending on the market that you are selling the animal to. The Greek Market prefers a goat that weighs between 55 and 65 pounds while the Roman Easter market prefers goats that weigh 20 to 50 pounds. The Christmas market has a wide range at 25 to 100 pounds. The Muslim market prefers young animals that weigh 50 to 70 pounds and older animals that are lean and weigh between 110 and 115
95
pounds. In addition to weight, market goats should have a clean and smooth shoulder, a long wide and deep loin, and a fairly level and square rump. The leg should be well muscled and the animal should stand squarely on its feet and legs and have strong, strait pasterns.
Livestock judging Once you know what the major breeds of livestock are, what they look like, and the external parts, you can begin to appreciate why it takes considerable practice to become a good judge of livestock. Before you start judging livestock, try to make a mental image of the perfect animal. You can do this by recalling the most desirable features of the high-quality animals that you have seen and thinking of them as belonging to one animal. You can also study pictures of champions, show reports, current livestock magazines, or ―ideal-type‖ pictures from the breed associations. Each time you evaluate a individual animal or analyze a group of livestock, you should rely on a system of observing the animals. Listed below are a few pointers for evaluating an animal or group of livestock: 1. Stand back—Allow enough room between yourself and the animals so that you can see all animals at one time. Usually, 25 to 30 feet is a good distance from which to view the animals. You should become skilled in evaluating livestock from a distance and handle the animals only to confirm your observations. It is a mistake to evaluate an animal only with the hands. Market goats are often placed on visual appraisal and handling.
96
2. Three angles—Try to look at the animals from the side, front, and rear. Compare each animal to the others in the group and to the ―ideal‖ animal that you have pictured in your mind. 3. Big things first—Always look for and analyze the good and bad characteristics of each animal, in major areas such as: frame size, volume, condition, muscling, structural correctness, movement, and breed character. Learn to study the animals carefully. Concentrate on the parts where we get the highpriced cuts. A keen livestock judge is orderly and never haphazard. Make your evaluation decisions according to the big things, unless a pair of animals is very similar, in which case you must analyze the minor differences between the animals. 4. Close inspection— When you are near the animals for close inspection or handling, you should simply confirm the decisions you made at a distance. If an animal appears or handles differently than what it looked like from a distance, and if the difference merits consideration, then change your decision. During close inspection of goats, move quietly and cautiously so the animals don’t become nervous or excited. The following section deals with a suggested method of handling goats: Handling market goats One key to handling market goats is to develop a system to accurately determine differences in muscle and finish. Each goat should be handled in the same manner. If you handle one goat from rear to front for finish or fleshing on the back, handle all goats that way.
97
The way the goat stands will affect what you are able to feel. The goat should be standing squarely on all four feet while it is being handled
With your fingers extended and together, check the width and smoothness of the top of his shoulders.
Handle the topline of the goat for finish and muscle. Begin by evaluating the width, spread of muscle, and firmness of finish directly behind the shoulders .
98
Continue down the topline of the goat. End by evaluating width of the loin and rump. .
Next, check for finish over the rib of the goat by starting on his lower fore rib. Continue handling toward the last rib of the goat.
The final location used to determine finish of a goat is at the last rib. Goats should feel trimmer at the last rib compared with the fore rib. Trim, muscular goats are so firm and hard when handled. Fat goats are soft to the touch, and you will find it is difficult to distinguish the bones of the shoulder, spine, and ribs. In addition, fat goats will have a large middle as they tend to deposit more fat internally as compared to other species of livestock.
99
Evaluate muscle dimension of the high-priced regions of the goat by grasping the loin and checking for width and depth.
Handle for length of loin by placing your fingertips at the last rib and determining where the goat's hooks fall on your hand or forearm. The three dimensions - width, depth, and length - contribute to the total volume of muscle in the loin, which is one of the more valuable cuts.
Next, handle the goat for width and length of rump.
100
Determine the size of the leg and the amount of firmness of inside and outside muscling by grasping the leg firmly at the stifle region. Using one hands, or both hands, press firmly with fingers meeting on the inside. The leg should be firm and heavily muscled, and the muscle should extend toward the hock.
SUMMARY Evaluating livestock is a skill that takes many years and much practice to perfect. After purchasing your first livestock, it may take years to breed a group of animals that best fits your needs. Be sure to stay current with industry standards as you work toward your goal
101
REPRODUCTION IN LIVESTOCK Dr. Brian Louw Introduction A feature of successful livestock production systems is that animals reproduce regularly. The reproductive process is influenced mainly by the way in which animals are managed and fed. Genetic factors exert little influence on the way animals reproduce. The challenge facing livestock producers, and especially those involved in producing animals on mainly roughage diets, is to achieve good reproductive rates at the lowest possible cost. In order to achieve this goal, a knowledge of the reproductive process, and the factors which influence reproductive ability, is useful. The reproductive process The process which starts with conception and ends with the birth of offspring, is one of the real marvels of nature. After puberty, when animals become capable of reproduction, a host of hormones interplay to result in female animals showing symptoms of heat, or oestrus, on a regular basis. During oestrus, females are receptive to males. Oestrus is exhibited at fixed intervals, the length of which varies between species, and the so-called oestrus cycles are interrupted only by pregnancy, or severe stress, including poor nutrition. The signs of oestrus also vary from species to species. Cattle producers practicing artificial insemination in the absence of bulls rely on the homosexual behaviour of cows, which mount each other during oestrus, to identify animals on heat. Oestrus lasts longer in mature cows than in young heifers, and longer in European cattle breeds than in indigenous breeds. The duration of oestrus, the length of the oestrus cycle and other reproductive data for different species are provided in the table overleaf. At some time during, or after the end of each oestrus, one or more egg cells or ova are released from the female reproductive organs, the ovaries. Should fertilization of an ovum by a sperm occur, an example in nature of extreme ―wastage‖ takes place. It requires only one sperm to fertilize an ovum, but between 800 and 20 000 million sperm, depending on species, are released at one time by males.
102
A sufficient number of healthy males is required for normal reproductio This wastage is, however, necessary to ensure the survival of animals, since many millions of sperm die prior to reaching the released ovum or ova. Subsequent to fertilization, another marvel of nature occurs. The tiny fertilized ovum acts as a signal to indicate that the female is now pregnant, and the normal cycle of hormonal events, including oestrus and ovulation, is interrupted to ensure the maintenance of pregnancy. Shortly prior to birth, a host of hormonal events again takes place, to ensure the initiation of the birth process, and milk production.
Cows in good condition will reproduce regularly Reproductive management of males The number of males required to mate females depends on the farming system used. More males are required when a restricted breeding season is used, for example a breeding season of 6 weeks in sheep, or 3 months in beef cattle.
103
REPRODUCTIVE INFORMATION IN LIVESTOCK Criterion Cattle Age at puberty (months) Recommended mating age (months) Length of oestrus cycle (days) Length of oestrus Time of ovulation
Length of pregnancy
8 - 15
Species Sheep & Goats 5–6
Pigs
Horses
5-6
12 – 18
20 - 24
15
7-9
36
18 – 24 (average 21) 10 - 24 hours 6 - 14 hours after oestrus
16 – 18 (average 17) 24 - 48 hours Late oestrus
19 - 22
18 – 24 4 - 9 days 36 - 48 hours before end of oestrus
9 months
5 months
18 - 48 18 - 48 hours after start of oestrus 3 months 3 weeks 3 days
11 months
In these systems, 3 to 4 males per 100 females are required. In systems where males are run with females all year round, only 1 male per 100 females will be required for beef and sheep production. The production of normal sperm is dependant on males being adequately fed, that is, they must receive adequate amounts of quality feed. Thin, undernourished males and those in excessively fat condition, will not reproduce efficiently. Males also need to be exercised regularly, to prevent them from becoming lazy. Veterinarians should be consulted on inoculation, dosing and dipping programmes for males, since the production of sufficient numbers of normal sperm is dependant on their being healthy at all times. Reproductive management of females Assuming that female stock are healthy, their body condition or weight at mating is the factor which exerts the greatest influence on their ability to conceive. Farmers should thus aim to manage their animals so that target weights and conditions are met. For example, beef heifers should attain 75% of their mature weight when mated at 2 years of age. Mature cows have the best chance of
104
conceiving when reaching 100% of their mature weight at mating. Only about 50% of females will conceive when reaching 75% of their mature weight at mating. The chances of reaching acceptable target weights are maximized when feed resources are matched with the nutritional requirements of beef cows. Thus, calving should be arranged to occur in late winter or early spring, so that cows with suckling calves, which have a high feed demand, can utilize good quality, actively growing spring and summer veld. After weaning in autumn, dry cows will have a low feed requirement and can then utilize poorer quality winter veld grazing. Diseases, and poor control of internal and external parasites in females can suppress their ability to reproduce. Farmers are therefore advised to consult with veterinarians and other experts to plan effective vaccination, dosing and dipping programmes. It is possible to improve reproductive rates by manipulating the amount of milk produced by females, or the suckling activity of their offspring. Females which produce excessively large amounts of milk tend to reproduce poorly, especially when nutritional levels are inadequate. Farmers can select against cows which produce excessive amounts of milk, and can reduce the suckling frequency of offspring, by techniques such as temporary weaning (e.g. for 48 hours in beef cattle) or restricted suckling (e.g. suckling beef cows only once a day). The improvement in reproductive rates as result of these techniques varies considerably though, and these measures should be considered only when stock are undernourished.
Breeding and Selection in the Beef Herd The late Dr Geoff Harwin stated that a preoccupation with high absolute production levels coaxed breeders beyond the bounds of functionally efficient cattle, and that genetic resources must be matched to the production situation. The problem is exacerbated by the preoccupation of managers with setting goals, often without a prior, but essential, resource evaluation. All too often, goals are set well beyond the physiological bounds possible given the breed of cattle involved under the relevant
105
environmental conditions. Although it is acceptable for a farmer to maintain cattle for other reasons than marketing, where selling for a profit is the goal, goals must be market related and set within the bounds of available resources. When contemplating beef breeding, the farmer :
must have clear and realistic breeding goals,
have a thorough understanding of the principles underlying inheritance
and general herd management and nutrition in his herd must be of an acceptable standard.
Origin - environmental or genetic? Since the discovery that characteristics are transmitted by genes, there has been argument and speculation, as well as research, to determine the importance and contribution of environmental factors in relation to inherited factors as determinants of different characteristics, especially production related factors. The following considerations are used as a guide to find out whether a characteristic is genetic in origin or not :
Previous studies are useful to decide how heritable a characteristic is and how important environmental influences are in causing or modifying the relevant characteristic. The advice of experts can be obtained or the literature of previous studies consulted.
If the characteristic appears only in some breeding groups and not in others, further questions need to be asked. If different bulls were used and all the animals were subjected to the same environmental influences, the bulls must be investigated. On the other hand, if environments were different, the origin of the characteristic could be the result of environmental factors.
If there was inbreeding in a group of animals, recessive abnormalities are very likely to appear.
106
Problems that arise when there is a change in the environment, for example animals are moved into a new grazing paddock, must be investigated to try and isolate possible environmental causes such as the presence of a different plant in the new paddock.
Stress can cause problems and if a farmer is aware of the presence of stressful situations, these must be eliminated to exclude stress as a causative agent of the characteristic or problem.
When a phenomenon occurs after the environment was changed, then an environmental association is likely.
Unique aspects of beef breeding Beef breeding is a relatively simple undertaking, although, as Tom Lasater said, the difficult part is to keep it simple. Selecting suitable animals for meat production is assisted by the new carcass classification system which allows virtually any type of animal to achieve the most desired carcass classes. Selection for beef characteristics is usually effective because :
Characteristics of economic importance have medium to high heritability and can be measured in both males and females.
Many characteristics can be measured in young animals before sexual maturity.
Some characteristics of economic importance can be seen phenotypically. The measurement of certain traits is difficult. Thus, carcass merit can only be
fully evaluated once an animal is dead. The selection of breeding bulls on carcass merit is therefore only possible through progeny testing. A major difficulty faced by beef producers is the problem of keeping the consumer happy. Consumers vary in their preferences and beef producers cannot satisfy changes in demand rapidly because beef production is in essence a long-term undertaking where overnight changes are not possible.
107
Industry structure and beef breeding In many countries it has been shown that the beef industry has a tiered structure. At the top of the structure are the bull-producers, which can be stud herds, with increaser herds below that and the mass of commercial meat producers forming the basis of the structure. Ideally, genetic material should flow freely from the top of the structure to the bottom, and it should be possible to move superior genetic material from the base of the structure to the seedstock herds at the top. Unfortunately, there is a tendency to create a barrier between the stud herds and commercial herds, which allows genetic material to move down towards the commercial herds, but prevents or limits the upward movement of genes to the stud herds. This barrier is often based on perceived economic advantages, which are in no way related to genetic improvement. A common misconception is that the cattle in commercial herds are of an inferior quality, whereas it has been shown that there are very high performing cows and bulls in most commercial beef herds. In South Africa the beef industry does not have a clearly definable structure. In KwaZulu-Natal there are well established stud breeders and a number of farmers providing a very large variety of different bulls, including pure-bred bulls as well as socalled "types" and "composites". A recent change has been a movement towards using home-bred bulls. The number and variety of bulls available can be confusing to commercial producers. When commercial producers suddenly change their choice of breed, flooding of the bull market with certain bulls follows, with a concomitant shortage of bulls of other breeds. Purebred bulls and cows imported from other countries are the basis of most pure-bred herds in South Africa. Upgrading assisted most breeds to increase numbers rapidly, also leading to broadening of the genetic base of most breeds compared to their overseas counterparts. In the early 1950's to 1960's, there was a trend to close breeds i.e. only allow the use of pure-bred breeding stock into registered herds. This did not last very long and upgrading was re-introduced for most breeds. Based on research, many breed societies allowed a substantial shortening of the upgrading route prior to acceptance of cows as full stud. Recently a number of
108
breed societies have allowed the use of related breeds to be used for the improvement of certain traits in their own animals e.g. the use of Gelbvieh to improve certain conformational characteristics in the South Devon. Apart from certain exceptions like the Afrikaner, prior to 1950 indigenous cattle were not fully accepted as worthy of consideration for beef production. Lately, indigenous cattle are becoming part of the South African beef production scene and breed societies looking after the interests of local cattle breeds have arisen. Seedstock herds Although seedstock herds include producers of breeding material who operate independently of stud associations, most bull breeders are affiliated to a breed association. Certain advantages are available to members of breed societies, including the opportunity to spread costs of progeny testing, advertising or participate in group breeding schemes. Improved breeding in seedstock herds is aimed at the production of bulls for use in commercial herds. As such, traits important to beef production overall should be included in their breeding goals. Often there is a tendency to pamper both cows and bulls in stud herds. The practice to overfatten bulls for auctions could render the animal useless for breeding purposes for some time. The breeders cannot be solely blamed for this problem, because buyers persist in paying higher prices for fat bulls. Commercial herds Cross-breeding is practised in many commercial herds in South Africa. Although the objective is usually to exploit heterosis, heterotic effects are often absent because the additional inputs demanded for enhanced performance to take place are lacking. Additive gene action, the other advantage of cross-breeding, is rarely cited by beef producers as a reason why they cross-breed. However, mixing the desired characteristics of different breeds in progeny is a rapid method to adapt to change without having to go through a long process of breeding and selection. Some traits that commercial breeders consider for selection goals, include :
109
Low birth weight for ease of calving.
Weaning weight or pre-weaning rate of gain.
Post-weaning rate of gain.
Efficiency of feed conversion.
Mature mass.
Mothering ability.
Carcass traits.
Conformation.
Communal and small herds A relatively large number of cattle in KwaZulu-Natal are run as communal herds where the cattle in a herd are the property of two or more owners. Although these herds are not as yet production orientated but are kept largely for cultural reasons and as a method of banking, there is an emerging trend to sell surplus progeny from these herds. Especially in the northern parts of KwaZulu-Natal, a large proportion of the communal cattle are indigenous Nguni cattle which are well adapted to local conditions. A trend to use exotic bulls is eroding this genepool and in many other parts of the province only vestiges of indigenous cattle remain. The major breeding problem in these areas is that herds are run as groups and the bull present serves all the cows. The owner of a cow is therefore often not able to choose the breed of bull he wants as a sire of the progeny in his herd. In communal areas and on smaller farms and small-holdings there are individual owners who own a limited number of cattle. This is a group difficult to describe because of the diversity of practices found. Most of these small owners dream of owning large herds of cattle, and a limited number of them achieve this in
110
time. The experience gained running small cattle numbers where the animals are seen and worked with almost daily assists in providing valuable experience. Maximising profits from beef production Maximising profits and maximising production are not always one and the same thing in beef farming. Profit is the difference between input and return. Thus, breeding larger bulls (higher growth rate) or selecting for higher weaning mass, could be necessary for some production systems. In other production systems, bigger animals with higher weaning weights could be a liability because larger animals eat more and mature later, which could narrow the margin between input and return. Genetic merit will not make up for poor management or create a profit by the ability of superior breeding material to overcome deficiencies in feeding. Genetically superior animals only make it possible for a farmer to exploit good management maximally. One- and two-factor inheritance, Population genetics Mendelian genetics (one- and two-factor inheritance) is the basis of many concepts in breeding and must be fully grasped in order to understand population genetics and ultimately breeding and selection. Genetics is a study on its own and because many good handbooks on the subject are available, only aspects critical for beef breeding will be examined here. Although a study of genetics will provide the reader with a better understanding of the concepts touched on in this discussion, such a study is not essential to grasp the ideas put forward. Most traits of economic significance, like growth rate and milk production, are multigenic in character i.e. are subject to the principles of population genetics. The importance of one- and two-factor inheritance is mainly related to traits such as coat colour, horned versus polled cattle and the inheritance of unwanted recessive traits like bulldog calves and dwarf calf syndrome, amongst others. A trait is multigenic in character when :
111
its inheritance cannot be predicted in a simple manner based on Mendelian principles
it is quantitative in character. With Mendelian genetics, once a carrier of a recessive lethal gene has been
identified, the relevant animal can be used to diagnose the presence or absence of the relevant gene in a population. In practice, using marker bulls to detect the presence of specific genes in a cattle population is only used in the artificial insemination industry. Selection in the beef herd The most powerful tool available to the breeder to bring about changes in the genetic composition of a population, is selection. It is noteworthy that change is not always progress. Thus selection for high growth rates could produce beef animals exhibiting late carcass maturity. If steers are intended for feedlotting, this could be an advantage, whereas pasture-based production systems require early maturing types. For effective selection to take place, it is necessary for the breeder to set goals. The characteristic the breeder intends to select for will influence what selection procedures must be followed. The set goals will determine the management practices which will be most cost and time effective. In the setting of goals, the gene frequency of the gene directing the characteristic under consideration affects the effectiveness of the selection procedure (Formula 1 - if h2 (heritability) of a trait is high, genetic change ( G) is increased, and the converse is true). If the gene is not present in the population, no degree of selection will achieve an increase in gene frequency because h2 = 0. On the other hand, when gene frequency is very high or the desired gene is a recessive gene, breeding progress will be slow. The response to selection is best where the desired gene is present at intermediate frequency levels. Research has shown that genetic change ( G) is described by the following formula:
112
G = h2 X Selection differential
(Formula 1)
Through mathematical manipulation of Formula 1, it can be shown that: G=
Accuracy x Intensity x Genetic variation Generation interval
(Formula 2)
For the purposes of the following discussions, when examining Formula 2 one need not put actual values to the factors to the right of the equal sign, but it must be noted that increasing any factors above the division line, will increase increasing factors below the division line, will decrease
G, whereas
G. The converse of these
statements is true. Accuracy of selection For the beef breeder, accuracy has two meanings i.e. accuracy in itself and accuracy as it is affected by how applicable a measurement is to the trait it is intended to evaluate. Accurate measurement in itself is necessary for a number of reasons. Farm scales are built to be robust rather than accurate. The problem is compounded by the inaccuracies caused by gutfill. Weighing animals at the same time of day and at the same stage of the grazing cycle, will assist in reducing differences caused by gutfill. The removal of food and water overnight prior to weighing is a procedure often advised in research, but is not necessary under most practical farming conditions, unless cattle numbers are small in the groups to be compared. Accuracy of selection is tied directly to the heritability of the trait. If heritability is high, selection will achieve the desired genetic change reasonably rapidly. If a trait is not directly measurable, selection must be based on :
Making use of correlated traits.
Measurements on relatives. Thus carcass merit cannot be assessed with an acceptable degree of accuracy
in the live animal and reliance must be placed on visual appraisal, which is subjective
113
and subject to beliefs and ideas that are not always well supported by scientific evidence. Or selection for carcass merit can be based on the carcass characteristics of a sample of slaughtered progeny of the relevant bull. Intensity of selection The intensity of selection is measured by the magnitude of the selection differential (what percentage of a group of animals is included in the group retained). A high intensity of selection is when a small percentage of animals is selected or a high proportion culled. With heifers, intensity of selection is dependant on the reproductive rate in the relevant herd, which places an upper limit to the number of replacements selected. When selecting bulls, intensity of selection can be much higher at similar reproductive rates because only one bull is required for a number of females. It is generally accepted that where conception rates fall below 70%, selection intensity in heifers is too low. Assuming 70% conception and a 50% male:female ratio, only 35 heifers are available for selection in a herd of 100 breeding cows. If the replacement rate in the herd is 20%, and infertility in heifers as well as mortalities are taken into account, at best, 20 heifers must be selected out of 25 to 30 heifers. This represents poor selection pressure, especially if overmating is practiced. Genetic variation The larger the gene pool selected from, the greater the probability of finding animals carrying the desired trait. The size of a gene pool is influenced by :
The number of animals in a herd.
The genetic variation in the population in which selection is taking place. In large herds with relatively high genetic variation, genetic gain is greater than
in relatively small herds. Gene pools can be enlarged by bringing in genetic material from other herds, for example buying in a bull. Highly inbred cattle have relatively little genetic variation so that even large herds do not exhibit adequate genetic variation to allow genetic change.
114
Generation interval By definition, generation interval is the average age of parents when their offspring are born. In beef production where seasonal breeding is applied and the bulls are of average age, the mean age of the cows in a herd at a set date in the calving season, provides a good approximation of generation interval. Allowing heifers to calve at two years of age will reduce generation interval by one year compared to calving heifers for the first time at three years of age. However, age at first calving has a lesser role as a determinant of generation interval. The major effect on generation interval is replacement rate in the breeding herd. Replacing 20% of the cows in a herd annually, will imply that cows remain in the herd for 5 years from date of first calving. Replacing 25% of cows annually will mean that cows remain in the herd for 4 years from date of first calving, thus reducing generation interval by one year. Where cows remain highly productive to a relatively old age, replacement rate can be reduced to 10% and although generation interval is then low, selection pressure on heifers is high. Interactions between factors It is noteworthy that increasing generation interval affects selection differential. As replacement rate increases, selection intensity decreases. Progeny testing is a powerful tool for increasing accuracy of selection, but has an adverse effect on generation interval. A good example is found in the AI (artificial insemination) industry. The semen of bulls can be stored and records kept of the performance of its progeny. If the progeny performs well, the semen of this proven bull can be used again, often long after the bull has ceased to produce semen. It is then possible to predict the result of breeding accurately, but a generation or two could be lost in the process. Selection methods : 1. Individual selection is the selection of the individual based on its own performance. Selecting bulls on their corrected 205 day mass is an example.
115
2. Pedigree selection is when selection of the individual is based on the performance of its forebears. The relative importance of sires is illustrated in Figure 1. 3. Progeny selection is where the performance of progeny is used to determine the breeding merit of an individual. Family selection is often discussed as a separate way of merit selection, but is in reality the same as pedigree selection in importance and its effects. It has been said that: "Individuality tells us what an animal seems to be, his pedigree tells us what he ought to be, but the performance of his progeny tells us what he is". Of all the selection procedures, individual selection has had the greatest impact on genetic gain for a number of years, merely because it is the most commonly used method of selection. The other selection procedures have had their main impact in the stud industry and with AI (artificial insemination). With the availability of computerized data processing (including BLUP: Best Linear Unbiased Predictor), pedigree and progeny selection can be expected to become increasingly important in beef breeding. Selection for several traits It is accepted by most breeding experts that selecting for an inordinately large number of traits at one time is bad practice. Not only does it impair genetic change, but implementation is difficult. Ideally not more than 6 traits should be selected for at a time. When selecting for more than one trait at a time, there are three practices commonly used :
Minimum culling levels, where a value is attached to all the traits selected for and a minimum index level set. Any individual falling short in one or more traits is culled.
Tandem selection, in which one trait of an array of traits is selected for and once the trait is established within the herd to the breeder's satisfaction, the
116
next trait receives attention. The process is maintained until all the traits in the array have been accounted for.
Index selection, whereby all the chosen traits are measured concurrently and the relevant measurements included in a formula which is used to obtain a selection index (breeding value) for each individual on which selection is then based. In most beef herds minimum culling levels are used. The main disadvantage is
that where an individual is weak in one trait but strong in one or more other traits, the relevant individual and its strong points are culled. With tandem selection, the practical problem is that when selection for the second or higher level traits in the selection array are being selected for, the traits selected for previously tend to sag. To overcome these difficulties, index selection was developed and, although genetic gain on any one trait is slow, overall gain is maximised using this selection procedure. Farmers are advised to make use of an expert to design their selection indices because correct design is important to ensure good results. Selection and culling With reference to genetics, the question a breeder must ask is : Does a breeder select for a certain trait, or does he cull against a trait? In the case of bull selection, there is no doubt that a breeder goes out and selects a bull he believes will impart the desired trait or traits to his herd. He is therefore selecting for a desired trait. Because there is evidence that the emphasis in breeding has moved from bull selection to cow selection, the question arises whether this principle holds for the cow herd. Say a farmer wants to improve weaning weights in his herd. If he is selecting for high weaning weights, then he could find that only the top 10% of cows are producing suitable progeny. On the other hand, if he follows the approach of selecting against cows producing poor weaners, he would only cull the bottom 10% to 20%
117
It is clear that he is selecting against poor performers and not selecting for good performers. The difference is very subtle, but has very important repercussions. Not only does an approach of "culling against" reduce the number of good cows lost to a herd, the approach also enlarges the size of the gene pool the farmer is working with. From these considerations, it can be concluded that breeders will gain the most by deciding on a goal, selecting against animals lacking the desired trait and spending their valuable time on the most important aspect of beef breeding, namely management. The principle is: Cull poor doers and leave selection of the best cow to the hobbyist. Correlated traits The use of correlated traits in selection is often the only way in which genetic gain can be achieved for characteristics which cannot be readily measured. An example is to use hip-height as an indicator of carcass maturity type. After all, once an animal is slaughtered, it cannot be used for breeding, unless semen is drawn previously. There are hidden dangers in using correlated traits in selection. The most important is that a correlation only exists within the population in which it is measured. Once selection has taken place, we are no longer working with the same population and it is possible that the correlation no longer exists. In practice this difficulty does not often cause problems, but should be kept in mind because in cases where correlation between traits disappeared, genetic gain suffered severe setbacks when it was assumed that selection for the correlated trait continued to promote the desired trait. Breeders should therefore always continue to check that the correlation has not been lost before major decisions on breeding policy are taken. Environment and selection Jan Bonsma will be remembered for his many contributions to the breeding industry. One of his main contentions was that genotypes must be adapted to the environment within which they live. When deciding on a selection procedure, the
118
effect of environment must be considered and it is ideal for selection to take place within the environment where production will take place. Thus, should the intention be to increase daily mass gains for feedlot cattle, the best way to measure their genetic merit is to feed them to their full genetic potential in a feedlot. Results of selection The implementation of the correct selection procedures will result in genetic change i.e. the frequency of the desired gene within the breeder's herd will change. Once the breeding goal has been achieved, a process that could take a number of years, the breeder may decide to set new goals. The whole breeding process then starts all over again. The difficulty facing the breeder at this stage is to keep the level of the trait previously selected, at the desired frequency, while selecting for the new trait. With index selection, some traits could be deleted from the index formula and/or others added. Breeders are often faced with the fact that if selection for a trait is continued for a long time, that trait reaches a level beyond which further improvement is limited and slow. Geneticists say a selection plateau has been reached. The breeder need not despair, because genetic variation continues to exist and variation is the joy (and the despair!) of the breeder. New technology Since the development of the PCR (polimerase chain reaction) procedure in 1986, it has become a very simple laboratory technique to isolate DNA from whole blood and use the associated information in breeding. Thus many genetic markers correlated to traits have already been identified and the search for more markers is in full swing. Using DNA technology, the genetic distance between genepools can be determined and parent identification is a useful breeding tool. At the time of writing, DNA procedures are still relatively expensive. However, it is hoped that as technology improves, costs will become more realistic, assuming that patent rights do not keep costs at a relatively high level. A very useful application of DNA fingerprinting is its
119
use in theft cases, where meat found on the possession of a suspcet can be linked to skins or previously stored DNA samples. Setting goals for beef cattle breeding With reference to the differences of opinion and controversies surrounding the setting of beef breeding goals, a well-known breeder once said that differences are mostly about aims, less about methods and not at all about theory. A short list of traits for selection in beef breeding would include :
Fertility
Birth weight
Weaning weight
Yearling weight
Calf birth weight : cow weight
Calf weaning weight : cow weight at weaning
Mature live mass
Draught ability
Heat tolerance
Characteristics of fat deposition
Eye muscle area
Cold carcass mass
Weight of hind quarter : weight of front quarter
Muscling and Dressing %
Bone
Conformation
Structural soundness
Breed standards
Temperament
Disease tolerance
Tick tolerance
Mothering ability
120
Structural soundness
Growth rate
Sumber : http://agriculture.kzntl.gov.za/portal/AgricPublications/ProductionGuidelines/BeefProd uction/BreedingandSelectionintheBeefHerd/tabid/108/Default.aspx