perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: ARUM DWI JAYANTI
NIM
: E0008299
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan ( skripsi ) berjudul: “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
KORPORASI
OLEH
PERUSAHAAN PELAYARAN PT BANGUN PUTRA REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012 Yang membuat pernyataan
ARUM DWI JAYANTI NIM . E0008299
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK ARUM DWI JAYANTI. E0008299. 2012, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH PERUSAHAAN PELAYARAN PT BANGUN PUTRA REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam KUHP di Indonesia, tidak mengatur korporasi sebagai subyek hukum. Hanya manusia yang diakui sebagai subyek hukum dalam KUHP. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa Peraturan PerundangUndangan di luar KUHP yang menyebutkan korporasi sebagai subyek hukum. Di Indonesia, korporasi dianggap sebagi subyek hukum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7/Drt/ 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian di susul oleh beberapa Undang-Undang diantaranya Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya, hal ini mengakibatkan sering terjadi tindakan pelanggaran hukum, seperti yang perbuatan yang dilakukan oleh PT. Bangun Putra Remaja akibat terbakarnya Kapal Laut Teduh II yang menelan banyaknya korban jiwa. Korporasi dapat di mintai pertanggungjawabannya apabila dalam melaksanakan kegiatannya menimbulkan kerugian terhadap masyarakat, baik kerugian materiil dan immateril. Berdasarkan latar belakang di atas, maka muncul permasalahan yakni bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum pidana serta bagaimana pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II. Penulisan hukum ini menggunakan metode Empiris, Lokasi penelitian di PT. Bangun Putra Remaja dan Pengadilan Negeri Serang. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu wawancara dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
ARUM DWI JAYANTI. E0008299. 2012, CORPORATE CRIMINAL LIABILITY BY THE SHIPPING COMPANY PT BANGUN PUTRA REMAJA OF PORT MERAK – BAKAUHENI SERANG DISTRICT OF MOTOR PASSENGER SHIP LAUT TEDUH II. Faculty of Law of March Surakarta. In Indonesia's Criminal Code, was not regulated corporations as legal subjects. Only people who are recognized as legal subjects in the Criminal Code. However, in its development, there are some regulations Legislation outside the Penal Code which states the corporation as a legal subject. In Indonesia, the corporation was considered as a subject of law contained in Law No. 7/Drt / 1955 on Economic Crime which was then in one after another by some such Act No. 5 of 1997 Article 1, item 13, of Law Number 22 Year 1997 on Narcotics Section 1 paragraph 19 of Law Number 31 Year 1999 jo. Act No. 20 of 2001 Article 1 number 1 on the Eradication of Corruption, Law Number 15 Year 2002 jo. Law No. 25 of 2003 Article 1 paragraph 2 on Money Laundering. The corporate aimed was to increase profits gained continued, this resulted in frequent acts of law violation, as the acts committed by PT. Bangun Putra Remaja from the burning of Laut Teduh II ship which claimed many victims. Corporations can be held accountable in turn to if their activities cause harm to society, both material loss and immateril. Based on the above background, it appears the problem of how to setup corporate criminal liability under criminal law and how accountability PT Bangun Putra Remaja of accident Laut Teduh II ship. Legal writing was to used empirical methods, location of research at PT. Bangun Putra Remaja and Pengadilan Negeri Serang. Type of data used include the primary data and secondary data. Data collection techniques used are interviews and literature studies in the form of books, laws, documents. In this study qualitative analysis was used to analysis data. Keywords: Criminal Responsibility, Corporate
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun” ( Bung Karno) “Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda” (Dale Carnegie) “Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak” ( Aldus Huxley) “Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putus-nya dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak dan gelombang itu” (Marcus Aurelius)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima kasih kepada : 1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang telah diberikan- Nya; 2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri tauladan yang baik bagi umatnya; 3. Ayahanda dan Almh Ibunda Siti Rumiyati tercinta yang telah memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini; 4. Kakakku Hery Sutopo yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis; 5. Happy Pramana yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, cinta, kasih sayang yang senantiasa diberikan untukku; 6. Bpk. Hasyim selaku Manajer Umum PT. Bangun Putra Remaja, yang telah senantiasa membantu; 7. Sahabat- sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini; 8. Teman- teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2008; 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini; 10. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS yang telah member bekal ilmu pengetahuan
dan
pengalaman
untuk
mengahadapi
sesungguhnya.
commit to user
viii
kehidupan
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta di iringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ”PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH PERUSAHAAN PELAYARAN PT BANGUN PUTRA REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II” dapat penulis selesaikan dengan lancar. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan persyaratan untuk meraih gelar Sarjana (S1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya; 2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis mendapat rahmat dijalannya; 3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah meberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini; 4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini; 5. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai pembimbing skripsi yang telah bersedia menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis;
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S., selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis; 7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis; 8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS; 9. Semua keluargaku, terutama ibuku yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk segera lulus; 10. Semua teman-temanku yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini memberikan pemikiran dalam skripsi ini; 11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca penulis harapkan demi perbaikan penelitian ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan yang membutuhkan.
Surakarta, 18 Juni 2012
commit to user
x
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………….
i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………….
iii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………….
iv
ABSTRAK……………………………………………….
v
ABSTRACT……………………………………………..
vi
HALAMAN MOTTO……………………………………
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………..
viii
KATA PENGANTAR ………………………………….
ix
DAFTAR ISI ……………………………………………
xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………… ……
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………..
1
B. Rumusan Masalah………………...
4
C. Tujuan Penelitian………………....
4
D. Manfaat Penelitian……………….
5
E. Metode Penelitian ………………..
6
F. Sistematika Penulisan Hukum ……
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ………………………………………
11
1. Tinjauan tentang Hukum Pidana……………...
11
2. Tinjauan tentang Korporasi…………………...
16
3. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Pidana ……………………………………….....
22
4. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi…………………………… B. Kerangka Pemikiran ……………………………… commit to user BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
xi
28
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Hasil Penelitian 1. Diskripsi PT. Bangun Putra Remaja …………….
40
2. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana………………..
59
3. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja Terhadap Korban Kecelakaan Kapal Laut Teduh II …………………………...
73
B. Pembahasan 1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana ……………….
77
2. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja Terhadap Korban Kecelakaan Kapal Laut Teduh II ………………………….. BAB IV
85
PENUTUP
A.
Simpulan ………………………………………
89
B.
Saran ………………………………………….
90
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Siklus Analisis Data …………………………………….
9
Gambar 2. Kerangka Berpikir ………………………………………
38
Gambar 3. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan PT. Bangun Putra Remaja ………………………………
42
Gambar 4. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan Dalam Kapal ……………………………………………
commit to user
xiii
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
I
Surat Ijin Penelitian kepada Pimpinan PT. Bangun Putra Remaja Kantor Pusat di Merak.
Lampiran II
Surat Ijin Penelitian Kepada Ketua Pengadilan Negeri Serang.
Lampiran III
Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di PT Bangun Putra Remaja.
Lampiran IV
Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Pengadilan Negeri Serang.
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan kehidupan manusia transportasi memiliki peranan signifikan dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, politik dan pertahanan keamanan. Transportasi memegang peranan penting dalam usaha mencapai tujuan pengembangan
ekonomi
dalam suatu bangsa.
(http://waterforgeo.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-manfaat-transportasi.html) Sehubungan dengan adanya transportasi, yang perannya lebih besar dan sering digunakan yaitu transportasi melalui jalur laut, karena transportasi laut memberikan konstribusi yang sangat besar bagi perekonomian dunia dalam hal dapat mengangkut barang yang dapat diperkirakan sebanyak kurang lebih tujuh miliaran ton setiap tahunnya serta dapat mengangkut penumpang yang jumlahnya relatif banyak. Transportasi laut adalah sebagai mobilitas manusia, barang dan jasa baik lokal, regional, nasional maupun
international.
Kemajuan peradaban dan budaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi bahkan transportasi sudah mendunia dan seolah- olah tak terbatas sehingga kejadian di salah satu tempat secara cepat dapat langsung segera diketahui. Penggunaan transportasi laut tidak selamanya berjalan lancar yaitu mengenai masalah lalu lintas melalui transportasi laut, ini bukan merupakan suatu hal yang baru dari kehidupan manusia. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kehidupan sehari- hari manusia tidak dapat dipisahkan dengan alat transportasi oleh karena itu keselamatan benda maupun nyawa harus di utamakan. Sehubungan dengan itu pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai commit to user pelayaran yaitu Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Peraturan tersebut dimaksudkan karena transportasi mempunyai nilai penting sebagai penghubung seluruh wilayah. Kecelakaan lalu lintas laut saat ini sering terjadi, kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas. Sebagai contoh yang akan penulis kaji yaitu mengenai terbakarnya KMP Laut Teduh 2 milik Perusahaan Pelayaran PT. Bangun Putra Remaja tahun 2011 lalu yang mengakibatkan kurang lebih 266 korban luka-luka, 29 korban meninggal dunia serta 93 muatan baik itu berupa sepeda motor, kendaraan pribadi, colt diesel, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa persyaratan kelaiklautan kapal tidak terpenuhi, sebagaimana yang terdapat dalam undang- undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran menjelaskan bahwa kelaiklautan merupakan keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar diperairan tertentu. Pasal yang sering digunakan karena kelalaian tersangka yaitu pasal 359 KUHP yang menyatakan bahwa “ Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” serta Pasal 360 ayat (1) dan (2) KUHP, yang menyatakan bahwa : (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka- luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan dalam Undang- undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, pasal yang sering digunakan dalam kasus ini adalah Pasal 302 yang menyatakan bahwa : (1) Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah ). (2) jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 ( lima ratus juta rupiah). (3) jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000.000 ( satu miliar lima ratus juta rupiah). Melihat banyaknya korban jiwa dalam kasus diatas, maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya tersebut sehingga supremasi hukum benar- benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat. Berdasarkan kenyataan- kenyataan yang terjadi tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA commit PELAYARAN to user KORPORASI OLEH PERUSAHAAN PT. BANGUN PUTRA
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II B. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah- masalah apa yang hendak di teliti, sehingga memberikan kemudahan dalam mencapai sasaran yang akan di capai. Mengacu pada latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum pidana? 2. Bagaimana pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan target yang ingin di capai sebagai solusi atas masalah yang di hadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Dari permasalahan di atas maka penulis menetapkan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pertanggungjwaban pidana korporasi menurut Hukum Pidana. b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjwaban PT. Bangun Putra Remaja terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan penulis di bidang Hukum Pidana pada umumnya, serta memperdalam pengetahuan penulis mengenai commit to user pertanggungjawaban pidana korporasi atas terbakarnya Kapal Motor
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penumpang Lautan teduh 2 di pelabuhan Merak- Bakauheni Kabupaten Serang. b. Untuk
memenuhi
persyaratan
akademis
guna
memperoleh
gelar
kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di fakultas hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Penelitian berharap kegiatan penelitian yang di laksanakan dalam penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari penulisan hukum ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a.
Hasil
Penelitian
pengembangan
ini
di
harapkan
dapat
bermanfaat
dalam
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi atas terbakarnya Kapal Motor Penumpang. c. Hasil ini dapat di pakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat di pakai memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang di teliti. b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan commit to user ilmu yang telah di peroleh selama proses belajar.
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang sanganat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mempermudah dalam mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti. Dengan demikian metodologi penelitian merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto,2010 :7). 1. Jenis penelitian Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian dikategorikan menjadi penelitian empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang menggunakan data hukum primer sebagai data utama, dimana penulis terjun langsung melakukan penelitian pada data primer dilapangan. Dengan penelitian langsung kelapangan maka akan memperoleh data- data yang faktual dan nyata. 2. Sifat penelitian Dalam penelitian ini, penulis memilih penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran atau pemaparan atas subyek dan obyek penelitian sebagaimana hasil yang dilakukannya ( Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2010 : 183). Berdasarkan pengertian sifat penelitian tersebut, maka penelitian yang akan dilaksanakan merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan dan mengurkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan. commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan maksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexi J Moleong, 2007: 6). 4. Lokasi penelitian Untuk
menentukan
lokasi
pastinya
membutuhkan
pertimbangan tertentu. Hal ini guna untuk memfokuskan penelitian. Dalam penelitian hukum ini, penulis meneliti langsung kelokasi Perusahaan Pelayaran PT. Bangun Putra Remaja Pelabuhan Merak di Kabupaten Serang dan Pengadilan Negeri Serang. 5. Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data Primer Data primer merupakan data atau fakta – fakta yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui penelitian lapangan termasuk keterangan dari responden yang berhubungan dengan obyek penelitian, sehingga dapat memperoleh hasil
yang
sebenarnya dari obyek yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini dilakukan di Perusahaan Pelayaran PT. Bangun Putra Remaja di Pelabuhan Merak kabupaten Serang dan Pengadilan Negeri Serang. b. Data Sekunder
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer, data ini diperoleh melalui studi kepustakaan, bukubuku
literatur,
tulisan
ilmiah,
Koran,
majalah,
peraturan
perundang- undangan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 6. Teknik analisis bahan hukum Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Lexy J Moleong, 2007: 248). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data
kualitatif
yaitu
dengan
mengumpulkan
data-
data,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan dengan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Model analisis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah model interaktif, yaitu data dikumpulkan dalam berbagai macam cara misalnya wawancara dan dokumen kemudian diproses dalam tiga alur verifikasi. Model tersebut dilakukan suatu proses siklus antar tahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu dengan yang lain dan juga data benar- benar mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo,2002:35) Menurut HB Sutopo dasar analisa data untuk menemukan kesimpulan, commit to user meliputi :
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Reduksi Data, yaitu proses seleksi, penyederhanaan data, mempertegas, memfokuskan yang didapatkan penelitian dilapangan. b. Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah dipakai, sehingga diberi kemudahan untuk menyimpulkan. c. Menarik Kesimpulan, setelah data terkumpul, kemudian direduksi yang berupa seleksi dan penyederhanaan data yang berlangsung terus menerus selama pemilihan data dan kemudian diambilah kesimpulan.
Pengumpulan Data
Penyajian data
Reduksi data
Penarikan kesimpulan
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang masing- masing terdiri dari subbab sesuai pembahasan dan materi yang di teliti. commit to user Sistematika penulisan yang dimaksud sebagai berikut:
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
: PENDAHULUAN
Pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Menguraikan tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan tentang Hukum Pidana,
Tinjauan
tentang
Korporasi,
Tinjauan
tentang
Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum pidana dan pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II di Pelabuhan Merak- Bakauheni Kabupaten Serang. BAB IV
: PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Mengenai Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang
mengadakan dasar- dasar dan aturan- aturan untuk : 1)
Menentukan perbuatan- perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan di sertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Bagian lain- lain adalah hukum perdata, hukum tata negara, dan tata pemerintahan, hukum agraria, hukum perburuhan, hukum integral, dan sebagainya. Perbuatan yang oleh hukum pidana dailarang dan di ancam dengan pidana (kepada commit to user
11
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
barang siapa yang melanggar larangan tersebut) dinamakan delik atau perbuatan pidana. Menurut Utrecht dalam bukunya Leerboek Nederlands Strafecht 1937, hukum pidana adalah keseluruhan perintah- perintah dan larangan- larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya, keseluruhan aturan- aturan yang menentukan syaratsyarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan aturan- aturan untuk menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut. Van Hamel mengutarakan bahwa hukum pidana adalah dasar- dasar dan aturan- aturan yang dianut oleh susatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban
hukum (rechtsorde) yaitu
dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar laranganlarangan tersebut. Dari pengertian diatas yang dikemukakan oleh Moeljatno di tegaskan bahwa: Pertama, bahwa hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berdiri sendiri. Dengan ini di tolak pendapat bahwa hukum pidana adalah bergantung pada bagian- bagian hukum lainnya dan hanya memberi sanksi saja pada perbuatan – perbuatan yang telah dilarang dalam bagian- bagian hukum lainnya itu. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma- norma hukum yang telah ada. Akan tetapi tidak mengadakan norma baru. Anggapan di atas sesuai dengan Straf baar feit yaitu “dapat di pidananya orang yang melakukan perbuatan”. Kedua, sesuai dengan definisi tersebut maka yang commit to user terpenting dalam hukum pidana adalah bukan saja memidana si
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdakwa akan tetapi harus di tetapkan apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak, dan aspek hukum pidana yaitu
menentukan
apakah
perbuatan
seseorang
merupakan
perbuatan pidana atau bukan dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat di pertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut atau tidak, hal tersebut tidak boleh di campuradukkan karena masing- masing ini sifatnya berlainan. Adanya perbutan pidana di dasarkan atas asas” tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai sebagai demikian oleh suatu ketentuan undang- undang ( Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege)” sedangkan penanggung jawab dalam hukum pidana adalah asas “ Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hukum pidana yang telah di kodifikasi, yaitu sebagian besar aturannya sudah di susun dalam satu kitab undang- undang (weetboek) yang dinamakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Selain hukum pidana telah dikodifikasi, bagian hukum ini juga telah diunifikasi , yaitu berlaku untuk semua golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme seperti dalam hukum perdata.namun sehubungan dengan itu Moeljatno menegaskan dalam bukunya “ Asas- asas Hukum Pidana” pernyataan bahwa Hukum pidana
telah di
kodifikasi dan di unifikasi sesungguhnya tidaklah tepat, karena untuk beberapa daerah diluar daerah Jawa masih ada pengadilanpengadilan adat dan pengadilan swapraja untuk mereka yang yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga masih berlaku hukum adat. Namun pada saaat ini pengadilan adat dan pngadilan swapraja sudah di hapus telah di hapus berdasarkan Undang- Undang Darurat 1951 Nomor 1. commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pembagian Hukum pidana Hukum Pidana dapat di bagi sebagai berikut : 1) Hukum pidana objektif (Jus Punale ) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum pidana objektif dibagi dalam hukum pidana material dan hukum pidana formal. a) Hukum Pidana Material berisi tentang peraturan yang menjelaskan apa yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bagaimana orang dapat dihukum. Kemudian terbagi lagi menjadi: (1) Hukum pidana umum yaitu hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk
(belaku untuk
siapapun yang berada di wilayah Indonesia) kecuali anggota tentara. (2) Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang- orang tertentu. b)
Hukum Pidana Formal ialah hukum pidana yang mengatur cara- cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana formal merupakan pelaksanaan Hukum Pidana Material atau memelihara hukum pidana material, karena isi dari hukum pidana formal ini berisi tentang cara – cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana atau dapat juga disebut dengan Hukum Acara Pidana.
2) Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi) dalam arti luas ialah hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan. Sedangkan dalam arti sempit commit to user yaitu hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbutan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. c. Fungsi Hukum Pidana Hukum Pidana memiliki fungsi sebagai berikut : 1)
Melindungi kepentingan umum dari perbuatan – perbuatan yang menyerang kepentingan umum tersebut. Kepentingan hukum yang harus didalam fungsi pertama hukum pidana adalah: a) kepentingan hukum perseorangan yaitu kepentingan hukum seseorang sebagai subyek hukum seseorang sebagai subyek hukum secara pribadi misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas hak milik benda dan sebagainya. b) kepentingan hukum masyarakat misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya dan sebagainya. c) kepentingan hukum negara misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan negara, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya dan sebagainya.
2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, fungsi kedua dari hukum pidana sebagai hukum publik ini yaitu menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik- baiknya, fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana yang telah telah dikodifikasikan yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang mengatur tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum commit to user pidana.
perpustakaan.uns.ac.id
3)
16 digilib.uns.ac.id
Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi. Fungsi ketiga ini adalah fungsi dari hukum pidana yang membatasi negara dalam melaksanakan fungsi kedua dari hukum pidana tadi, yaitu membatasi kekuasaan negara agar negara sendiri tidak sewenang- wenang dalam menjalankan kekuasaan.
2. Tinjauan Mengenai Korporasi a. Pengertian Korporasi Secara harfiah korporasi (corporatie, Belanda), coporation (inggris), Coporation (Jerman) berasal dari kata “ corporation” dalam bahasa latin. Seperti halnya dengan kata- kata lain yang berakhiran dengan “tio”, “corporatio” sebagai kata benda (subtantivum) berasal dari kata kerja “corporate” . Coporate sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia= Badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian Corporatio itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam. Secara istilah korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama- sama sebagai subjek
hukum tersendiri atau suatu personifikasi (Mahrus Ali, 2008: 13-14). Satjipto Rahardjo mendefinisikan korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu sendiri dari “corpus” , yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan hukum itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum , kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga di tentukan oleh hukum. Sementara itu, dalam blacks law Dictionary antara lain diberi penjelasan sebagai berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
Corporation An artificial person or legal entity created by or under the authority of the laws of a state or nation, composed, in some rare instances, of a single person and his succesors, being the incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals. Lebih lanjut dalam blacks law Dictionary dikemukakan antara lain : According to the accepted definitions and rules, a corporation are classified as follows: Public and private. A public corporation is one created by the state for political purposes and to act as an agency as administration of civil government, generally within a particular territory or subdivision of the state, and usually invested for that purpose with subordinate and local powers of legislation ; such as a country city, town, or school district . There are also sometimes called ” political corporation” Private corporation are those founded by and composed of private individuals for privates purposes, as distinguished from governmental purposes , and having no politicalor governmental franchises or duties. Selain dapat dibedakan sebagai badan hukum publik dan badan hukum swasta korporasi dapat diberi arti sempit maupun yang luas. Menurut artinya yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam artinya yang luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hukum pidana korporasi mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan hukum perdata, di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subyek tindak pidana terjadi diluar KUHP, dalam perundang-undangan khusus. Adapun subyek tindak pidana korporasi dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika pasal 1 ayat 13, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undangundang Nomor 15 Tahun pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Yang pada intinya menyatakan: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik commit to user merupakan badan hukum maupun badan hukum”
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
Pengertian Korporasi dalam hukum pidana berarti sangat luas, tidak hanya berbentu badan hukum saja, melainkan juga yang bukan badan hukum. Jadi tidak hanya yang berbentuk badan huku saja seperti: 1) Perseroan Terbatas; 2) Yayasan; 3) Koperasi sebagai Korporasi Sedangkan pengertian korporasi dalam hukum pidana yang tidak termasuk badan hukum antara lain : 1) Firma; 2) Perseroan Komanditer ; 3) Persekutuan; 4) Dan bahkan sekumpulan orang (Supanto,2010:259). Sebagai badan hukum, perseroan memenuhi unsur- unsur badan hukum seperti yang di tentukan dalam UUPT. Unsur -unsur tersebut adalah: a) Organisasi yang teratur; b) Harta kekayaan sendiri; c) Melakukan hubungan hukum sendiri; d) Mempunyai tujuan sendiri. Pendirian Hukum Pidana Belanda juga mengartikan Korporasi bukan hanya badan hukum, tetapi juga bukan badan hukum. Merujuk kepada ayat 3 pasal 51 Sr. Belanda, yang dinamakan dengan korporasi adalah persekutuan bukan badan Hukum, de maatschap (persekutuan perdata), de rederij (perusahaan perkapalan) dan het doelvermogen (harta kerkayaan yang commit to usersocial fund atau yayasan ). Selain dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu;
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu mencakup persekutuan bukan badan hukum seperti vennootschap onder firma (perseroan firma), dan commanditaire vennootschap (CV; perseroan komanditer). Dalam Rancangan KUHP tahun 1987/1988, korporasi dalam Buku 1 pasal 120 adalah sebagai berikut : “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum ataupun bukan”. Dengan demikian sudah sejak 1987 korporasi didalam pemikiran para ahli hukum pidana, tidak hanya diartikan badan hukum seperti pengertian korporasi dalam hukum perdata tetapi juga yang bukan badan hukum. RUU KUHP 2004 memberikan pengertian korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 166 sebagai berikut : “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Pendirian bahwa korporasi dalam pengertian hukum pidana bukan hanya terbatas pada badan hukum seperti halnya pendirian hukum perdata, tetapi juga non badan hukum yang bukan orang perseorangan sebagaimana dianut dalam RUU KUHP 1987/1988, RUU KUHP 1999-2000, dan terakhir dalam RUU KUHP 2004 tampak pula dalam berbagai peraturan perundangundangan pidana Indonesia yang dibuat belakangan. Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang oleh hukum diakui sebagai subbyek hukum. Sekarang dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusia itu disebut badan hukum (legal person). jadi badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasrkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat subyek hukum lain di muka pengadilan. Ciri- ciri sebuah badan hukum adalah : commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang- orang yang menjalankan kegiatan dari badan- badan hukum tersebut; 2) Memiliki hak – hak dan kewajiban- kewajiban yang terpisah dari hakhak dan kewajiban- kewajiban orang- orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; 3) Memiliki tujuan tertentu; 4) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang- orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibankewajiban tetap ada meskipun orang- orang yang menjalankannya berganti. Menurut ketentuan Undang-undang, eksistensi badan hukum di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu : 1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa negara) Untuk kepentingan negara dalam menjalankan pemerintahan. 2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa negara) Umumnya bertujuan memperoleh keuntungan atau kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan usaha tertentu,seperti perseroan terbatas dan koperasi. 3) Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal. Badan hukum tersebut, seperti yayasan pendidikan, yayasan sosial, yayasan keagamaan, dan yayasan kemanusiaan. Ditinjau dari wewenang hukum yang diberikan kepda badan hukum, maka badan hukum dapat pula diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Badan hukum Publik; 2) Badan hukum Privat; Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam: 1) Berdasarkan terjadinya, yaitu badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh pemerintah atau negara; 2) Berdasarkan
lapangan
kerjanya,
yaitu
apakah
lapangan
pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat. Korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja , artinya bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya, tetapi harus ada yang mendirikan yaitu oleh pendiri atau pendiri- pendirinya yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi
(Sutan
Remy Syahdeni,2006:43). Dalam perkembangannya korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ruang lingkupnya sudah meluas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset , pemerintahan, sosial, budaya dan agama. Perkembangan itu sendiri tidak dapat lepas dari peranan perkembangan teknologi itu sendiri, karena perkembangan
dan
pertumbuhan
korporasi
dampaknya
dapat
menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari commit to hukum user pidana. subjek hukum biasa menjadi subjek
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
Sebagai contoh di Malaysia Kejahatan korporasi telah menyebabkan kebanyakan organisasi menderita berbagai bentuk kerusakan tersebut sebagai hilangnya aset dan reputasi, penurunan motivasi staf, dan hubungan bisnis yang rusak. Kasus kejahatan korporasi dilaporkan setiap tahun berada pada tren dan telah semakin menjadi masalah serius di Malaysia. Fenomena ini secara empiris didukung oleh sejumlah survei, misalnya KPMG Malaysia penipuan survei (KPMG, 2005) menemukan peningkatan dari 33% responden mengalami penipuan dalam organisasi mereka, dibandingkan dengan survei 2002. 3. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana a. Masalah pertanggungjawaban Pidana Mengenai pertanggungjawaban pidana, ada dua pandangan yaitu pandangan yang monistis antara lain di kemukakan oleh simon yang merumuskan “suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Sedangkan menurut pandangan aliran monisme unsur – unsur starfbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut dengan unsur obyektif, maupun unsur pembuat yang lazim disebut unsur subyektif ( Muladi dan Dwija Priyatna, 2009: 61). Asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen starf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens rea)”. Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tetapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Pertanggungjawaban pidana tanpa ada kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materiele). Begitu juga bagi delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tidak commit to user mungkin dipidana. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang yang jatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat (2) Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa : Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang- undanag mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang yaitu berupa penjatuhan pidana. Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, di jumpai beberapa pendapat sebagai berikut : 1) Mezger mengemukakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat pidana. 2) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “ social ethisch”
dan
juga
mengatakan
:
”sebagai
dasar
untuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan psikis itu perbuatannya dicelakakan kepada sipembuat.” 3) Van Hamel mengartikan bahwa, “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur- unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum. Mengenai bentuk kesalahan : a) Sengaja, Bahwa orang dapat diakatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktucommit melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut. b) Kelalaian, seseorang dapat dapat diakatakan melakukan perbuatan
pidana
apabila
dia,
meskipun
tidak
sengaja
dailakukan tetapi terjadinya perbuatan tersebut dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban- kewajiban yang dalam hal tersebut,oleh masyarakat dipandang seharusnya dijalankan olehnya. Disini celaan berupa kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya dalm hal itu, sehingga karenanya masyarakat dirugikan. Perbuatan ini terjadi karena kealpaan. c) Selain itu, seseorang dapat melakukan perbuatan pidana pada hal tidak mungkin dikatakan bahwa ada kesengajaan atau kealpaan, sehingga dia tidak dapat dicela apa- apa. Misalnya orang yang mengendarai mobil, dia sudah menjalankan kewajiban- kewajiban yang diharuskan padanya oleh peraturan lalu lintas, tetapi malang sekali, ada anak yang tiba- tiba memotong jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Disini tidak dapat dicelakan apa- apa kepada pengemudi mobil sebab perbuatan yang mngakibatkan matinya anak tersebut sama sekali tidak di sengaja ataupun karena kealpaan. Disini dia dianggap tidak mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana yaitu: a) Adanya keadaan psikis (bathin) yang tertentu; b) Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan dinamakan delik dolus, sedangkan yang dilakukan dengan kealpaan dinamakan delik culpa. Delik culpa ini sendiri menurut wujudnya dibagi menjadi dua macam yaitu : delik culpa yang sesungguhnya dan delik culpa yang tidak sesungguhnya. Delik material, dimana akibat yang dilarang tidak di insafinya lebih dulu bahwa akan terjadi atau dengan kata lain tidak sengaja oleh terdakwa, tetapi akibat tersebut mungkin akan bisa timbul mungkin karena dia alpa atau lalai. Selanjutnya delik formal dimana suatu unsur tidak dimengerti sebagai demikian, tetapi cukuplah kalau tidak di insafi unsur tersebut disebabkan karena kealpaan atau kelalaian. Untuk adanya kesalahan antara keadaan batin dan perbuatan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk dari kesalahan. Untuk adanya kesalahan terdakwa harus memenuhi : a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b) Mampu bertanggung jawab; c) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; d) Tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf ini maksudnya adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berati tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan terdakwa. Menurut Sudarto alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi, disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada commit to user pemidanaan.
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan atau kelalaian adalah kesalahan yang kecil. Karenanya di dalam KUHP sistemnya ialah bahwa delik – delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar dari pada ancaman pidana bagi yang culpa. Sehubungan
mengenai
pertanggungjawaban
pidana,
Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus
jelas
terlebih
dahulu
siapa
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk satu tindak pidana tertentu. b. Kemampuan bertanggung jawab Untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada : 1) Kemampuan untuk membeda- bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal). 2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan (faktor perasaan atau kehendak). Menurut Simons, kemampuan bertanggung jawab bisa diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila : a) ia mampu untuk mengetahui akan menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. b) ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Dalam suatu bentuk kesalahan terdapat kesengajaan maupun kealpaan. Sehubungan dengan kesengajaan terdapat dua pandangan, antara commit to user lain :
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
a) Teori kehendak, yang dikemukakan oleh Von Hippel : sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan kata lain “sengaja “ adalah apabila suatu akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar- benar dari tindakan yang dilakukan tersebut. b) Teori membayangkan, yang dikemukakan oleh Frank : menurutnya sengaja adalah apabila suatu akibat ( yang ditimbulkan karena suatu tindakan) dibayangkan sebagai maksud (tindakan itu) dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut.” Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan, KUHP sendiri tidak memberi definisi lain halnya dengan kesengajaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan akan tetapi bukan kesengajaan yang ringan. Syarat untuk adanya kealpaan menurut Van Hamel, antara lain : (1) Tidak mengadakan penduga- duga sebagaimana yang diharuskan oleh hukum. (2) Tidak mengadakan penghati- hati sebagaimana yang diharuskan oleh hukum. Sikap kurang hati- hati atau lalai yang menyebabkan orang mati dan luka- luka biasanya dikenakan pasal 359 KUHP dan 360 KUHP. Pasal 359 yang menyatakan bahwa barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang di hukum penjara selama- lamanya lima tahun atau kurungan selama- lamanya satu tahun. Apabila menyebabkan luka saja maka dikenakan pasal 360 KUHP yang menyatakan bahwa: (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka- luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Untuk “luka ringan” tidak termasuk dalam pasal ini. Pasal 361 mengancam hukuman yang lebih tinggi yaitu ancaman hukuman di tambah dengan sepertiga apabila perisstiwa dalam pasal 359 KUHP dan 360 KUHP ini dilakukan oleh orang yang
melakukan jabatan atau
pekerjaannya misalnya tabib, bidan, ahli, masinis dan lain- lain, artinya jika mereka itu dalam menjalankan tugas yang kurang berhati- hati, sehingga mengakibatkan mati atau luka- luka tersebut di atas. 4. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah diakui, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dapat dijatuhkan pidana. Di negara Belanda untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan pada Arrest “kleuterschool Babel”, yang menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/ orang pribadi yang dapat dibebankan pada badan hukum/ korporasi apabila perbuatan tersebut perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum. Sehubungan dengan berbagai kerusakan yang merugikan masyarakat, tidaklah apabila perusahaan- perusahaan tidak dapat dijatuhi pidana sekalipun perbuatan yang menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi masyrakat itu adalah perbuatan para pengurusnya. Kedudukan Korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan secara bertahap, antara lain dapat di bagi menjadi tiga tahap : 1) Tahap pertama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Tahap ini ditandai dengan usaha- usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” kepada pengurus. 2) Tahap Kedua Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul setelah Perang Dunia I dalam perumusan undang- undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Dalam tahap ini korporasi dapat juga sebagai pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal asaja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu. 3) Tahap Ketiga Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana sampai sekarang masih menjadi permasalahan, sehingga timbul sikap pro dan kontra terhadap subjek hukum pidana korporasi. Adapun yang kontra mengemukakan alasan sebagai berikut: a)
Menyangkut masalah kejahatan yang sebenarnya kesengajan dan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;
b) Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona commit to user alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, dan sebagainya).
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat d)
kepada korporasi ;
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa orang yang tidak bersalah; dan
e) Bahwa dalam praktiknya tidaklah mudah menentukan norma- norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua- duanya harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang pro menempatkan koprorasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan: a) Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik- delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya pula dimungkinkan untuk memidana koprorasi, koporasi dan pengurus, atau pengurus saja ; b) Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting. c) Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma- norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. e) Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri. b. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ada beberapa ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, ajaran- ajaran tersebut antara lain : 1) Doctrine of strict liability Salah satu
pemecahan praktis
bagi
masalah pembebanan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah dengan menerapkan Doctrine of strict liability. Menurut doktrin ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan pada pelakunya. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Misalnya para pengemudi kendaraan ber motor yang melanggar lampu lalu lintas. Hakim dalam memutuskan
hukuman
atas
pelanggaran
tersebut
tidak
akan
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. 2) Doctrine of Vicarious liability Ajaran kedua ini untuk memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah Doctrine of Vicarious liability atau disebut juga pertanggungjawaban vikarius, adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut ajaran ini, seseorang dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, atau commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Di Inggris, pertanggungjawaban vikarius pada umumnya berkaitan dengan tindak pidana yang ditentukan oleh undang- undang. Hal itu diterapkan dalam hubungan antara pemberi kerja dan bawahan, pemberi kuasa dan penerima kuasa. Selain itu pertanggungjawaban vikarius ini dapat dibebankan atas seseorang karena dengan tegas suatu undangundang menentukan demikian. 3) Doctrine of Delegation Doktin ini merupakan salah satu pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. Menurut doktrin ini alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana
kepada
korporasi
adalah
adanya
pendelegasian wewenang seseorang dari kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. 4) Doctrine of Identification Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana
kepada
suatu
korporasi,
siapa
yang
melakukan tindak pidana tersebut harus mampu di identifikasikan oleh penuntut umum. 5). Doctrine of Aggregation Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat di bebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan dan semua unsur mental ( sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan- akan dilakukan oleh satu orang saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
6). The Corporate Culture Model The Corporate Culture Model atau Model Budaya Kerja Perusahaan merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia. Pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat yang mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya. Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan korporasi apabila berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini anggota korporasi yang memiliki kewenangan telah meberikan kewenangan atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. Menurut The Corporate Culture Model, tidak perlu menemukan orang yang bertanggungjawabkan perbuatan itu kepada korporasi. Sebaliknya, pendekatan tersebut, menentukan bahwa korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab. Menurut ketentuan Pasal 12.3 (2) Australian Criminal Code Act 1995 di atas, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi apabila dapat di buktikan bahwa : a) Direksi korporasi dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut; atau b) Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana yang di maksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak commit to user pidana tersebut; atau
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Korporasi
memiliki
suatu
budaya
kerja
yang
mengarahkan,
mendorong, menolelir, atau mengakibatkan tiak di penuhinya ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait; atau d) Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan. 7) Reactive Corporate Fault Dalam tulisannya, Fisse dan Braithwaite mengemukakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada perusahaan untuk : a) Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggung jawab didalam organisasi perusahaan itu. b) Untuk mengambil tindakan- tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggung jawab. c) Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang diambil oleh perusahaan. Menurut Fisse dan Braithwaite, apabila perusahaan (yang menjadi terdakwa) memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah- langkah yang telah diambil oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggung jawab, maka pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila tanggapan dari
perusahaan
terhadap
perintah
pengadilan
dianggap
oleh
pengadilan tidak memadai, maka baik perusahaan maupun para commit to user pemimpin puncak dari perusahaan itu akan dibebani
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian atas kelalaian tidak memenuhi pengadilan itu. Reactive Liability Model dikomentari oleh para pakar sebagai suatu pendekatan alternative yang radikal. Sekali suatu actus reus dari suatu tindak pidana dilakukan atas nama suatu perusahaan, pengadilan dapat memerintah kepada perusahaan yang bersangkutan untuk menyelidiki kejadian tersebut agar dapat menjatuhkan sanksi kepada para pelaku yang bertanggung jawab dan untuk memastikan kejadian itu tidak akan terulang kembali. Menurut teori ini, kesalahan pidana dari suatu perusahaan akan muncul apabila, dan hanya apabila, korporasi tidak bereaksi sebagaimana mestinya sesuai dengan perintah pengadilan. Model Reactive Liability ini memusatkan perhatian pada reaksi korporasi dalam hal suatu actus reus terjadi. Pendekatan ini menempatkan kesalahan korporasi kepada kegagalan korporasi untuk menyesuaikan kebijakan- kebijakannya, untuk melakukan tindakan penertiban kedalam, dan untuk mengelola para pegawainya mengingat kesalahan- kesalahan yang terjadi di masa lalu. Keuntungan dari pendekatan reactive liability adalah menghukum korporasi yang tidak bereaksi dengan sengaja ketika korporasi ditarik untuk memberikan perhatian sebagaimana mestinya terhadap kegiatan- kegiatan korporasi yang merugikan atau beresiko tinggi. Di samping itu, pendekatan ini juga dapat memaksa korporasi untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap kebijakan- kebijakan yang ada (The Law Reform Commission, 2003: 33). Dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana harus jelas telebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat (subjek) dalam kenyataannya, memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah. Penetapan korporasi harus di ikuti pula dengan penentuan kapan suatu korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana (kejahatan). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Tahap selanjutnya adalah penetapan sistem pertanggungjawaban korporasi. Dalam hukum pidana terdapat asas fundamental, yaitu asas “ geen straf zonder schuld” atau “ noela poenasine culpa atau asas “ tiada pidana tanpa kesalahan. Masalah pertanggungjawaban korporasi dalam kaitannya dengan perbuatan para pengurus, dikenal dengan dua teori yaitu teori identifikasi dan teori imputasi. Teori identifikasi mendasarkan pandangannya, bahwa tindakan orang- orang yang menggambarkan atau mewakili korporasi adalah tanggung jawab korporasi, sebab merekalah yang menentukan kebijakan korporasi. Sementara itu, teori imputasi adalah pertanggungjawaban yang mewakili. Kesalahan para pegawai korporasi merupakan orang- orang yang ada hubungan korporasi, artinya perbuatan pegawai harus ada hubungan dengan dan demi kepentingan korporasi. 8)
Ajaran Gabungan Menurut Sutan Remy, Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur-unsur sebagai berikut (Sutan Remy Sjahdeini, 2007: 118). a) Tindak Pidana tersebut (baik dalam bentuk commision maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. b) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. c) Tindak Pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. d) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberikan commit to user manfaat bagi korporasi.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. f) Bagi tindak- tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat dalam satu orang saja.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Subyek Hukum
Manusia
Badan Hukum
Hukum Pidana
Perkembangan Korporasi
Korporasi sebagai Subyek Hukum Biasa
Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana
Melakukan Tindak Pidana di bidang Pelayaran (Pasal 302 ayat (1) dan (3) Undang- undang No. 17 tahun 2008).
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan: Subyek hukum tidak terlepas dari manusia dan badan hukum, dalam hukum pidana korporasi mengalami perluasan tidak terbatas hanya pada badan hukum saja tetapi juga yang bukan badan hukum. Karena perkembangan dan pertumbuhan korporasi dampaknya dapat menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana. Saat ini korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ruang lingkupnya sudah meluas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset , pemerintahan, sosial, budaya dan agama bahkan di bidang pelayaran pun korporasi dapat sebagai pelaku tindak pidana, korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila perbuatan yang dilakukan di anggap telah merugikan orang- orang di sekitar atau masyarakat luas. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ini masih menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan itu timbul menyangkut siapa yang dapat di bebani pertanggungjawaban pidana, apakah korporasi itu sendiri, atau yang memberikan perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan perbuatan atau kelalaian itu, atau bahkan kedua- duanya. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji mengenai hal tersebut dalam kasus yang akan di teliti, yaitu pertanggungjawaban korporasi atas terbakarnya kapal yang mengakibatkan banyak korban ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Diskripsi PT. Bangun Putra Remaja Pusat Merak a. Sejarah berdiri dan perkembangan PT. Bangun Putra Remaja Berdirinya PT. Bangun Putra Remaja di bidang Pelayaran ini di mulai pada tahun 1996 dengan mengoperasikan Kapal Cepat antara Pelabuhan Merak- Bakauheni, kapal tersebut diberi nama Samudra Jaya – 3. Kemudian, pada tahun 1997 PT. Bangun Putra Remaja menambah Kapal Cepat lagi sebanyak satu unit yang diberi nama Samudra Jaya – 2. Pada tahun 1999 PT. Bangun Putra Remaja menambah satu unit Kapal Cepat lagi yang bernama All Express. Seiring berjalannya waktu, Pelayanan menggunakan Kapal Cepat semakin lama semakin mengalami kerugian di sebabkan karena, penumpang lebih memilih menggunakan Kapal Roro ( milik Perusahaan lain). Penumpang menganggap Kapal roro ini lebih ekonomis, lain halnya dengan Kapal Cepat yang menguras biaya yang lebih banyak. Melihat seringnya mengalami kerugian, PT. Bangun Putra Remaja pada tahun 2000 mengadakan Kapal Roro yang bernama Tristar- 2 dengan rute pelayaran Ciwandan-Bangka. Melihat perusahaan pelayaran di Pelabuhan Merak mengalami perkembangan yang sangat besar, maka PT. Bnagun Putra Remaja pun ikut mengoperasikan Kapal Roro yang bernama Laut Teduh II dengan rute pelayaran Merak- Bakauheni. Ternyata setelah satu tahun mengoperasikan commit to user kapal Laut Teduh II, PT. Bangun Putra Remaja menambah satu unit kapal 40
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lagi jeis Roro yang bernama Rosmala dengan rute pelayaran MerakBakauheni. Namun pada tahun 2011 tepatnya pada bulan januari Kapal Laut Teduh II mengalami musibah kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih 266 korban luka-luka, 31 korban meninggal dunia serta 93 muatan baik itu berupa sepeda motor, kendaraan pribadi, colt diesel, dan sebagainya. Hingga saat ini, masih ada satu unit Kapal Roro yang beroperasi yaitu “Rosmala” setelah Kapal Laut Teduh II terbakar.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan PT. Bangun Putra Remaja
STRUKTUR ORGANISASI MANAJEMEN KESELAMATAN PT. BANGUN PUTRA REMAJA
Direktur Utama
Tim Kesiapan Keadaan Darurat
Kepala Personalia dan Umum
Kepala Cabang D.P.A
Tim Internal /Audit
Kepala Regu
Petugas:
Loket Penumpang Ruang Tunggu Manifest Ponton Clearence
commit to user
Nakhoda
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
STRUKTUR ORGANISASI MANAJEMEN KESELAMATAN DALAM KAPAL
Nahkhoda
Mualim - I
KKM
Mualim- II
Masinis - I
Kelasi
Masinis - II
Juru Minyak
c Tugas dan Tanggung Jawab: 1) Direktur Utama Direktur utama mempunyai tanggung jawab dan wewenang keseluruhan untuk mengimplementasikan system ini, yaitu : a) Mengadakan sumber- sumber daya (termasuk personil) yang diperlukan untuk mengimplementasikan system ini; b) Memilih
dan
mengatur
personil
yang
memadai
untuk
mengimplementasikan secara efisien dari system ini; c) Mengupayakan peningkatan kemampuan dan ketrampilan semua personil baik didarat maupun dikapal; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
d) Meninjau ulang Sistem Manajemen Keselamatan untuk mengevaluasi efektivitas, efisiensi dan perbaikan- perbaikan yang diperlukan dari sistem ini; e) Memobilisasi Tim kesiapan keadaan darurat ( BPR-100-08) sebagai kewenagan tertinggi dari Tim; f) Mengawasi pelaksanaan docking kapal. 2) Kepala Cabang a) Kepala Cabang memimpin semua kegiatan di Cabang memimpin semua kegiatan di Cabang termasuk pengoperasian kapal dan bertanggungjawab kepada Direktur Utama; b) Mewakili Perusahaan dalam mengambil keputusan terhadap pihak ketiga sesuai dengan wewenang yang diberikan Perusahaan; c) Mengawasi dan mengendalikan semua kegiatan di Cabang; d) Bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap terpeliharanya disiplin dan etos kerja di Cabang/ Kapal. e) Mengawasi dan mengendalikan pengoperasian kapal secara efisien, ekonomis, dan aman; f) Menjaga dan membina hubungan baik dengan instansi terkait/ sesame anggota GAPASDAP; g) Membuat rencana Anggaran Cabang untuk diusulkan ke Direktur Utama; h) Mengendalikan penggunaan Anggaran Cabang; i) Memberi persetujuan terhadap belanja/ pengeluaran Cabang; j) Menerima permintaan pembelian barang/ spare part dari kapal; commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
k) Melayani dan meneruskan permintaan kapal yang bersifat sangat urgen langsung kepada Direksi; l) Membuat rencana dan Strategi untuk peningkatan HOK; m) Secara berkala mengadakan monitoring terhadap perawatan kapal, sesuai rencana kerja tahunan; n) Mengetahui tentang cuti karyawan darat/ ABK; o) Menerapkan dan menegakan kebijakan/ peraturan perusahaan, Instruksi Direksi pada seluruh karyawan agar dilaksanakan dengan baik; p) Memberi saran, masukan dan usul kepada Direktur Utama dalam menentukan langkah- langkah dan kebijaksanaan guna peningkatan pendapatan
perusahaan,
peningkatan
kesejahteraan
karyawan,
keselamatan pengoperasian kapal/ perlindungan lingkungan dan peningkatan pelayanan kepada pemakai jasa. 3) Kepala Personalia dan Umum a) Melaksanakan administrasi umum, korespondensi, penanganan dokumen kapal, hub ungan dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab tentang pelaksanaan semua kegiatan tersebut kepada Kepala Cabang; b) Mengadakan penerimaan pegawai baru; c) Mengusulkan kepada Direktur Utama promosi jabatan, skorsing/ pemberhentian karyawan darat; d) Merekomendasikan kepada Direktur Utama usulan Nakhoda tentang promosi jabatan, skorsing/ pemberhentian ABK; e) Bila diperlukan dapat membuat tata tertib guna menjamin peningkatan commit to user pelaksanaan tugas dan terpeliharanya disiplin karyawan;
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f) Menerima dan meneliti semua surat masuk dan meneruskan kepada kepala cabang dan mendistribusikan sesuai peruntukannya; g) Menyiapkan konsep keluar; h) Mempersiapkan permohonan, berkas- berkas persyaratan untuk perpanjangan surat/ sertifikat kapal; i) Mengurus perpanjangan surat/ sertifikat kapal; j) Menangani
dan
mengurus
masalah
pengawakan
kapal
yang
berhubungandengan kesyahbandaran; k) Menangani kelancaran pemeriksaan kapal oleh instansi terkait; l) Menangani urusan yang berhubungan dengan instansi terkait: Depnaker, Jamsostek, PT ASDP, Adpel dan lain- lain; m) Menyimpan surat- surat kapal, laporan pemeriksaan kapal, laporan dock, laporan kerja harian kapal, dan daftar inventaris kapal dan Cabang; 4) Kepala Regu a) Bertanggung jawab secara umum atas semua kegiatan operasional lapangan Kepala Cabang; b) Mengendalikan dan Mengatur kegiatan operasional lapangan secara menyeluruh; c) Memonitor dan mengusahakan agar kapal dapat mengisi penuh jadwal penyebrangannya; d) Pada saat kapal istirahat/ angker, bila kapal siap agar mengupayakan kapal dapat mengisi jadwal yang kosong; e) Memonitor dan mengawasi kegiatan petugas operasional lapangan commit to user agar tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan yang ada;
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
f) Mengadakan koordinasi dan menjalin kerjasama yang baik dengan instansi terkait untuk menjamin kelancaran dan keamanan operasional lapangan; g) Diluar jam kerja kantor mewakili Kepala Cabang mengambil keputusan mengenai masalah- masalah operasional lapangan yang bersifat tidak prinsip, melayani permintaan kapal yang bersifat darurat misalnya: bahan bakar, air tawar, Tug- Boat, dan lain- lain; h) Menyelenggarakan jurnal Operasional lapangan; i) Menyelenggarakan Absensi personil Operasi; j) Melaksanakan instruksi/ peraturan Perusahaan yang berkaitan dengan operasional lapangan, menyampaikan kepada petugas operasional lapangan dan mengawasi pelaksanaannya; k) Menampung keluhan- keluhan dari pemakai jasa penyebarangan sebagai bahan penyempurnaan pelayanan yang lebih baik 5) Nakhoda a) Memenuhi semua ketentuan- ketentuan dan peraturan- peraturan dan nasional dan internasional, prosedur- prosedur dan instruksi- instruksi kerja; b) Menjamin kapal laik laut sebelum memulai setiap pelayaran/ penyebrangan dan selama frekuensi penyebrangan; c) Bertanggung jawab atas disiplin semua personil diatas kapal; d) Memiliki kewenangan menyimpan dari system (Ovveriding Authority) dan bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan keselamatan dan pencegahan pencemaran; e) Memiliki kewenangan untuk meminta bantuan Perusahaan jika commit to user diperlukan.
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Petugas Loket Penumpang a) Mencatat nomor seri awal dan akhir tiket untuk menegetahui jumlah tiket yang terjual; b) Mengawasi kegiatan penjualan tiket agar berjalan cepat dan lancar; c) Mengarahkan calon penumpang untuk segera menuju loket penjualan tiket; d) Mengarah penumpang yang telah bertiket untuk menuju keruang tunggu kapal. 7) Petugas Portir Ruang Tunggu a) Mengambil potongan tiket ( lembar pelayaran, asuransi) untuk menghitung jumlah lembar tiket dan dicatatkan; b) Memeriksa tiket penumpang yang akan naik ke kapal apakah sesuai dengan golongan usia pemegang tiket; c) Mengatur dan mengendalikan penumpang diruang tunggu yang akan naik ke kapal bila terjadi keterlambatan kapal. 8) Petugas Manifest a) Mencatat nama dan alamat penumpang yang akan masuk keruang tunggu; b) Pada saat terjadi penundaan jadwal atau pembatalan keberangkatan kapal, bersama- sama dengan perugas portir mengatur dan mengendalikan penumpang agar tetap tertib dan tenang. 9) Petugas Dermaga / Ponton a) Melayani penambatan dan pelepasan tross kapal pada saat kapal tiba dan berangkat;
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Mengawasi dan mengatur posisi tangga penumpang ke kapal agar tidak berbenturan dengan lambung kapal; c) Membantu mengamankan penumpang yang akan naik/ turun kapal agar tidak terjatuh atau terpleset terutama pada saat keadaan kolam dermaga berombak. 10) Petugas Clearence a) Mengurus Surat Izin Berlayar (SIB) agar lancar sehingga tidak menghambat jadwal pemberangkatan kapal; b) Melayani kapal yang akan angker bersama petugas lapangan lainnya; c) Mengumpulkan manifes penumpang bus/umum sebagai kelengkapan pengurusan SIB. Tugas dan Tanggung jawab manajemen keselamatan dalam kapal: 1) Nahkoda a) Memastikan kapal, perlengkapan dan pemesinan dalam kondisi baik untuk beroperasi; b) Memastikan jumlah personil yang memadai dengan kualifikasi yang diperlukan; c) Memastikan cukup stabilitas kapal selama penyebrangan; d) Mengetahui cukup informasi tentang rute penyebrangan, navigasi khusus dan kondisi- kondisi pelayaran; e) Menjamin akan keselamatan jiwa manusia diatas kapal; f) Menjamin Keselamatan Kapal di Pelabuhan dan laut; g) Menjamin akan mengumpulkan sampah serta limbah lainnya dilaksanakan dengan baik;
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h) Menjalin hubungan dan komunikasi yang efektif antara kapal dan darat; i) Bertanggung jawab untuk pengawasan serta penyimpanan dokumendokumen dan catatan- catatan manajemen keselamatan; j) Menerapkan kebijaksanaan keselamatan
pengoperasian kapal
dan
perlindungan lingkungan ; k) Meninjau ulang system Manajemen Keselamatan Perusahaan diatas kapal dan melaporkan setiap ketidak sesuaian kepada “ Designated Person Ashore” atau Kepala Cabang; l) Memberikan instruksi-instruksi yang jelas dan sederhana serta perintah pelaksanaan kepada semua personil dikapal; m) Bertanggung jawab untuk memotivasi personil- personil di atas kapal guna menerapkan secara efektif kebijaksanaan perusahaan tentang keselamatan dan perlindungan lingkungan; n) Melakukan secara reguler dan random pemeriksaan perlengkapan keselamatan diatas kapal; o) Melaksanakan latihan-latihan keselamatan bagi personil- personil diatas kapal; p) Bersama-sama dengan KKM membuat daftar kebutuhan spare-part kapal; q) Membantu mengadakan pengecekan atas perijinan dan sertifikat – sertifikat kapal dan melaporkan ke petugas darat untuk keperluan perpanjangan/ pembaharuan perijinan atau sertifikat keselamatan dank lass; r) Menjaga memelihara dan menguasai pengoperasian alat- alat komunikasi; s) Bertanggung jawab atas pengawasan dokumen- dokumen dan catatancatatan Manajemen Keselamatan. 2) Mualim I
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Sebagai kepala bagian deck melaksanakan instruksi- instruksi kerja manajemen keselamatan dan perintah- perintah Nakhoda lainnya yang berhubungan dengan dinas kapal, termasuk pengaturan tugas jaga laut dan jaga berlabuh; b) Sebagai Perwira Navigasi diatas kapal bertanggung jawab atas pemeliharaan, penyiapan alat-alat bantu navigasi
dan menguasai
pengoperasiannya; c) Mengolah gerak kapal waktu sandar dan bertolak atau berlabuh; d) Sebagai kepala kerja bagian deck, mengatur dan mengawasi pemeliharaan kapal serta perlengkapan-perlengkapan; e) Membuat laporan sepuluh hari bagian deck; f) Membuat permintaan Kebutuhan Deck atas petunjuk Nakhoda; g) Sebagai kepala bagian Deck, mengatur dan mengawasi pemeliharaan kapal serta perlengkapan-perlengkapannya; h) Membantu Nakhoda melaksanakan tugas-tugas administrasi kapal; i) Memelihara dan memperbaharui Sijil Sekoci, Sijil Kebakaran, dan Sijil meninggalkan kapal; j) Bertanggung jawab atas inventaris bagian Radio, dokumen-dokumen dinas stasiun radio dan pemeliharaan radar serta alat-alat navigasi lainnya sesuai instruksi Nakhoda. 3) Mualim III a) Bertanggung jawab atas pemeliharaan dan kesiapan alat- alat penolong/ keselamatan serta penguasaan terhadap pengoperasiannya; b) Bertanggung
jawab
atas
ketertiban,
commit to user embarkasi/debarkasi penumpang;
kelancaran,
dan
keamanan
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Bertugas sebagai perwira kesehatan dan bertanggung jawab atas penyimpanan dan pemakaian obat-obatan P3K dikapal; d) Melaksanakan tugas jaga laut sebagai Mualim jaga; e) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan Nakhoda atau Mualim I. 4) Kelasi a) Membantu Mualim jaga untuk ketertiban, kelancaran, dan keamanan kegiatan embarkasi/debarkasi penumpang; b) Menaikan dan menurunkan Bendera. 5) Kepala Kamar Mesin (KKM) a) Melaksanakan pengaturan jaga kamar mesin dan jaga berlabuh serta disiplin kerja dikamar mesin; b) Merencanakan pemeliharaan terpadu dan menyiapkan pekerjaan survey tahunan serta Special Survey; c) Memelihara catatan pemeliharaan dan laporan-laporan survey; d) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Manajemen Perusahaan melalui Nakhoda. 6) Masinis I a) Bertanggung jawab langsung kepada KKM
dan sebagai kepala kerja
dikamar mesin, masinis I mengatur pembagian tugas pemeliharaan kepada para Masinis; b) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan pompa pemadam kebakaran darurat maupun instalansi pompa pemadam tetap; commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan alat-alat pemadam kebakaran dikamar mesin, motor penggerak, generator darurat; d) Menyelenggarakan pemeriksaan secara rutin hubungan-hubungan listrik dan isolasi-isolasi jaringan listrikserta penerapan navigasi; e) Melaksanakan tugas jaga kamar mesin dan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Masinis I. 7) Masinis II a) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan memelihara Motor-motor Bantu, Oil Water Separator (OWS) dan pesawat-pesawat Bantu Lainnya; b) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan pompa pemadam kebakaran darurat maupun instalansi pompa pemadam tetap; c) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan alat-alat pemadam kebakaran di kamar mesin, motor penggerak, generator darurat; d) Bertanggung jawab atas pemeliharaan kran-kran Air Laut, Air Tawar, dan saringan-saringan Air Laut; e) Melaksanakan tugas jaga kamar mesin dan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Masinis –I. 8) Juru Minyak a) Bertanggung jawab langsung kepada Masinis I untuk kerja harian dikamar mesin, kebersihan serta kerapihan kamar mesin dan ruangan-ruangan permesinnya lainnya; b) Bertanggung jawab kepada Masinis jaga dan memelihara kebersihan kamar mesin; c) Melaksanakan kerja harian yang diatur oleh Masinis diluar jam jaga; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
d) Membantu para Masinis untuk pemeliharaan permesinandan perbaikanperbaikan selama tidak bertugas; e) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Masinis. d Aktivitas Perusahaan Kegiatan pelayanan pelayaran PT. Bangun Putra Remaja cenderung kepada bisnis dengan berbagai kapal Roro yang di miliki. Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah mengangkut penumpang yang jumlahnya relatif banyak dan barang yang diperkirakan sebanyak kurang lebih tujuh miliaran ton setiap tahunnya. PT. Bangun Putra Remaja yang berada di Pelabuhan Merak ini merupakan satu-satunya induk perusahaan di bidang pelayaran dan usaha yang dilakukannya cenderung menguntungkan. Dalam melakukan kegiatannya PT. Bangun Putra Remaja mengutamakan sistem keselamatan dalam pengoperasian kapal dan perlindungan lingkungan. Artinya dalam setiap pelayaran yang dilakukan ini lebih menitik beratkan pada keselamatan penumpang maupun barang ataupun seluruh personil/ pegawainya yang berada di dalam Kapal khususnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya kerja sama antara pemimpin di kapal beserta para personil atau pegawainya dan para penumpang yang ada dalam kapal tersebut untuk bertindak disiplin dengan mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. e Kronologi musibah Terbakarnya Kapal Laut Teduh II Diperairan Merak 1) Pada hari juamat tanggal 28 Januari 2011 pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh II dari pelabuhan/Dermaga I Bakauheni Lampung masuk Dermaga I Pelabuhan ASDP Merak untuk melaksanakan bongkar muatan yang dari pelabuhan Bakauheni, bongkar muatan dilaksanakan dengan aman; 2) Pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh II atas perintah petugas STC (Ship Traffick Control) dari ASDP selaku pengatur jadwal permuatan memerintahkan kepada commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
petugas
OperasionalKM.
Laut
Teduh
II
untuk
mengadakan
permuatan/Pelayanan di Infokan lewat pengeras suara di Pelabuhan; 3) Setelah
ada
perintah
untuk
permuatan/pelayanan,
petugas
operasional/Lapangan menempatkan diri di posisi masing-masing atas perintah Kepala Operasional dan Danru selaku penanggung jawab pelayaran/ Permuatan di KM. Laut Teduh II sebagai berikut : a) Petugas Gang Way 2 orang melayani penumpang pejalan kaki bertiket untuk naik kekapal. b) 1 (satu) petugas pencatat nomor polisi kendaraan pribadi atau kendaraan kecil dan petugas pengambil tiket kendaraan 2 ( dua) orang yang berada di bawah siaeramp / jalan untuk mobil menuju upperdeck / dek kapal khusus mobil kecil /deck 2). c) 1 (satu) petugas pencatat nomor polisi kendaraan di depan rampdoor kapal, dan 2 orang petugas pengambil tiket kendaraan, serta 2 petugas lagi sebagai pemilih kendaraan yang akan masuk ke kapal di cardeck atas permintaan Mualim jaga muat yang di sesuaikan dengan keseimbangan kapal ( di depan rampdoor total ada 5 petugas). d) 1 petugas lagi ditempatkan di jalan parkir Dermaga II untuk mengarahkan mobil yang lewat dan sudah memiliki tiket untuk ke Dermaga I yang sedang melaksanakan jadwal waktu pelayanan/ permuatan. e) 1 petugas lagi di tempatkan di jalan parkir Dermaga III untuk mengarahkan kendaraan yang lewat dan sudah memilki tiket untuk ke Dermaga
I
yang
sedang
melaksanakan
jadwal
waktu
pelayanan/permuatan. 4) Dalam batas satu jam dari pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh II melaksanakan kegiatan pelayanan/permuatan, baik penumpang pejalan kaki maupun commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kendaraan penumpang dan barang, dengan rincian waktu yang ditetapkan oleh pihak PT. ASDP sebagai berikut: a) 15 menit untuk olah gerak kapal hingga sandar terikat sempurna sekaligus jika rampdoor dan rampest serta tangga penumpang untuk persiapan bongkar penumpang dan kendaraan. b) 15 menit untuk bongkar muatan dari pelabuhan asal, baik penumpang pejalan kaki maupun kendaraan-kendaraan, baik yang ada di cardeck maupun upperdeck. c) 15 menit untuk pelaksanaan permuatan, baik penumpang kendaraan dan clearent kapal sampai dengan tutup rampdoor kapal siap berlayar. d) 15 menit untuk olah gerak kapal lepas tali untuk keluar dermaga dan selanjutnya berlayar menuju pelabuhan tujuan yaitu Dermaga I Pelabuhan Bakauheni. 5) Sekitar pukul 03.20 WIB KM. Laut Teduh II lepas dari Pelabuhan / Dermaga I Merak menuju Dermaga I Pelabuhan Bakauheni dengan aman. 6) Sekitar pukul 03.50 WIB, ada berita via radio kapal bahwa di cardeck ada mobil terbakar yang sedang berusaha dipadamkan. Pihak Operasional darat meneruskan berita tersebut kepada jajaran pimpinan dari Manager Umum sampai Ke Direktur. 7) Pihak Manager begitu mendengar berita tersebut langsung aksi menuju Pelabuhan PT indah Kiat Merak, tempat homebase kapal-kapal tugboat, serta memerintahkan kepada operasional dan kapal via radio agar berusaha semaksimal mungkin untuk memadamkan. 8) Sekitar pukul 04.05 dapat dua buah tugboat yang siap, yaitu tugboat Gunung Santri dan Gunung Batur, dan kapal milik Pemda Cilegon, selanjutnya telepon ke ADPEL Banten / GAMAT dan langsung kirim 2 personil KPLP, selanjutnya commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
minta bantuan Personil TNI-AL Merak dan dikrim satu orang serta satu orang lagi dari PT. Bangun Putra Remaja Merak. 9) Sekitar pukul 04.15 dua tugboat berangkat menuju lokasi KM. Laut Teduh 2 yang terbakar dengan Personil diluar ABK ada 2 orang dari KPLP Merak, 1 orang dari Lanal Banten dan 1 orang dari PT. Bangun Putra Remaja selaku pemilik KM. Laut Teduh II. 10) Selanjutnya menelepon kepada ketua GAPASDAP Merak untuk minta bantuan kapal-kapal ferry / Roro baik yang sedang anchor atau yang sedang berlayar untuk membantu evakuasi KM. Laut Teduh II yang terbakar. 11) Sekitar pukul 04.40 WIB, beberapa kapal bantuan sudah mengepung kapal Laut Teduh II yang terbakar, namun tidak berani mendekat karena api di cardeck semakin membesar. 12) Sekitar pukul 04.50 WIB, pihak KM. Laut Teduh II sudah tidak bisa komunikasi lagi dengan pihak darat, karena tidak menjawab ketika berulang kali dipanggil melalui radio. 13) Sekitar pukul 05.00 Manager Umum membagi tugas kepada seluruh karyawan PT. Bangun Putra Remaja Merak, sebagai berikut : a) Melapor dan menghubungi Puskesmas terdekat, Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, RSUD Cilegin, untuk minta bantuan mobil ambulance dan Tenaga Medis. b) Mencari mobil angkot carter untuk evakuasi korban. Ada 17 mobil dan siap standby di parkir Pelabuhan ASDP. c) Membuat posko korban diruang tunggu penumpang pelabuhan PT. ASDP Merak. d) Menyiapkan logistic berupa air mineral, roti, air bungkus dan sebagainya. commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
14) Sekitar pukul 07.00 WIB, semua mobil evakuasi korban berdatangan, baik dari Rumah Sakit maupun dari pihak TNI dan POLRI, serta mobil-mobil DALMAS Pemda Cilegon, dan lain sebagainya. 15) Pukul 07.45 WIB, kapal-kapal yang evakuasi korban mulai berdatangan di Dermaga I,II,III dan IV Pelabuhan PT.ASDP Merak, dan korban baik yang meninggal, luka, sehat, semua dibawa ke Puskesmas terdekat, Rumah Sakit Krakatau Medika, dan RSUD kota Cilegon. 16) Semua korban meninggal dan luka-luka berat dirawat di Rumah Sakit Krakatau Medika, dan yang sehat atau tidak terluka ditampung di Masjid Rumah Sakit Krakatau Medika dekat Ruang Gawat Darurat, sekaligus sebagai posko pendataan korban sementara. 17) Korban yang luka ringan di obati di Puskesmas Merak dan RSUD Kota Cilegon. 18) Korban-korban yang setelah diperiksa kesehatannya, baik di Puskesmas Merak, Rumah Sakit Krakatau Medika, dan RSUD Cilegon lalu dinyatakan sehat, dipulangkan ke Posko Pelabuhan PT. ASDP Merak untuk diadakan pendataan ulang sekaligus deiberikan makanan dan minuman secukupnya. 19) Sekitar pukul 12.15 WIB, korban-korban yang sehat mengusulkan agar dipulangkan ketempat asal atau tempat tujuan. 20) Sekitar pukul 13.10 WIB , pihak Perusahaan mengabulkan permohonan para korban setelah diadakan musyawarah yang disaksikan para petugas terkait yang berada di Posko Pelabuhan Merak. 21) Korban diberikan uang saku/ uang jalan sesuai tujuan masing-masing, yang jumlahnya bervariasi, hingga ke kampong halaman masing-masing. 22) Bagi Korban yang dirawat inap, baik di Rumah Sakit Krakatau Medika dan RSUD Cilegon serta Puskesmas Merak, Perusahaan hanya membantu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
memberikan makan 3 kali sehari bagi korban yang menunggu pasien sampai dengan pasien diijinkan pulang oleh Pihak Rumah Sakit dan Puskesmas. 23) Bagi pasien / korban rawat inap yang sudah di ijinkan pulang, Perusahaan memberikan uang jalan sampai tempat tujuan atau dengan mobil carter bagi korban yang keluarganya banyak. 24) Bagi korban meninggal dunia, dipusatkan di satu Rumah Skait Krakatau Medika guna memudahkan identifikasi dari pihak kepolisian. 25) Bagi korban meninggal dunia yang sudah diijinkan untuk diambil keluarganya oleh pihak kepolisian, pihak Perusahaan telah membayar biaya perawatan jenazah dan biaya mobil ambulance serta memberikan uang duka maksimal Lima juta Rupiah per Jenazah, bahkan ada jenazah yang dipulangkan menggunakan Pesawat Udara sebanyak dua jenazah dengan biaya Perusahaan PT. Bangun Putra Remaja Merak. 26) Terlampir sebagai pelengkap laporan kronologi kebakaran KM. Laut Teduh II disampaikan data lengkap korban selamat dan korban meninggal dunia. 2. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Di Indonesia Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru. Korporasi baru muncul sebagi subjek tindak pidana pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undanag Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Undang-Udang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang- Undang Nomor 5 tetang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Hukum Pidana khususnya dalam KUHP pertanggungjawaban commit to user pidana mengenai korporasi ini belum dikenal secara langsung. Indonesia dewasa
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat pada perundang-undangan khusus diluar KUHP, sebab dalam KUHP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara umum yaitu manusia ( Pasal 59 KUHP). Dalam prospek pengaturan pertanggung jawaban pidana korporasi menganut pula perkembangan yang terjadi di Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan KUHP Buku 2004-2005 ternyata korporasi diatur dalam secara umum dalam Buku I1 tentang Ketentuan Umum Pasal 47 sampai dengan Pasal 53 (sebagai prospek pengaturan korporasi di Indonesia). Berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, menurut Reksodipuro terdapat tiga sistem sebagai berikut: 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat maka penguruslah yang bertanggung jawab; 2) Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab; 3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Dalam Pasal 47 RUU KUHP 2004, menganut pendapat yang serupa dengan Reksodipuro diatas. Menurut penjelasan Pasal 47 Rancangan KUHP korporasi merupakan subjek tindak pidana. Pasal 48 Konsep Rancangan KUHP Tindak Pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja, hubungan lain, dan lingkup usaha korporasi tersebut baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 49 menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 50 menyatakan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakuakan untuk dan/ atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana ditentukan dalamcommit anggaran to user dasar atau ketentuan lain. Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 52 ayat (1), dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dari pada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. Pasal 52 ayat (2), pertimbanagn sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. Pasal 53 menyatakan bahwa alasan pemaaf atau alasan pembenar yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/ atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya saja. Tim Ahli Penyusunan KUHP Baru dalam laporannya Tahun 1985 menyatakan motivasi untuk mempertanggungjawabkan korporasi adalah: “Dengan memerhatikan perkembangan korporasi itu, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurs saja sebagi yang dapat dipidana rupanya tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan masyarakat, atau diderita saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu adalah lebih besar dari denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dila rang oleh Undang-Undang itu.” Pendapat tersebut mengandung tujuan pemidanaan yang bersifat preventif (khusus) dan tindakan represif. Ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 yaitu, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat (Pasal 54 ayat (1) huruf a) serta tujuan yang menyatakan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c). Jika dilihat secara global, tujuan pemidanaan korporasi yang bersifat integrative, yaitu mencakup: a) Tujuan pemidanaan adalah pencegahan ( umum dan khusus). Menurut
Dwidja
Priyatno,”
dikaatkan
ada
pencegahan
individual atau pencegahan khusus bilamana seorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila dia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan
itu
,membawa
penderitaan
baginya”
(Dwidja
Priyatno,2004:121). b)
Tujuan
pemidanaan
adalah
perlindungan
masyarakat.
Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan yang mempunyai dimensi luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindungi dari bahaya penanggulangan tindak pidana. c) Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat dan
mencegah
balas
dendam
perseorangan.
Pengertian
solidaritas sering kali dibicarakan pula dalam kaitannya dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. d) Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan yaitu
adanya
kesesuaian
antara
pidana
dengan
pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana commit to user dengan memeperhatikan beberapa faktor. Penderitaan yang
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikaitkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut ini merupakan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain sebagai berikut: 1 ) Doctrine of strict liability Salah satu
pemecahan praktis
bagi
masalah pembebanan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah dengan menerapkan Doctrine of strict liability. Menurut doktrin ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan pada pelakunya. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Misalnya para pengemudi kendaraan ber motor yang melanggar lampu lalu lintas. Hakim dalam memutuskan
hukuman
atas
pelanggaran
tersebut
tidak
akan
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Secara singkat strict liability di artikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Menurut L.B. Curson doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: a) Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial; b) Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk commit to user kesejahteraan sosial itu; pelanggaran yang berhubungan dengan
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Menurut Common Law, strict liability berlaku terhadap tiga macam delik yaitu sebagai berikut: a) Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, menegluarkan bau tidak enak); b) Criminal libel (fitnah, pencemaran nama); c) Contempt of Court (pelanggaran tata tertib pengadilan). Tetapi kebanayakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita)
yang
pada
umumnya
merupakan
delik-delik
terhadap
kesejahteraan umum. Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan
dan
minuman
atau
obat-obatan
yang
membahayakan,
penggunaaan gambar dagang yang menyesatkan, dan pelanggaran lalu lintas. Doktrin pertanggungjawaban Strict liability diatur dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi : “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang bisa menentukan bahwa seseorang bisa dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsurunsur tindak pidana tersebut tanpa memerhatikan adanya kesalahan” Pasal 38 ayat (1) ini merupakan pengecualian terhadap asas tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku bagi semua tindak pidana, melainkan hanay untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. 2) Doctrine of Vicarious liability Vicarius liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada
commit to user seseorang atas
perbuatan
orang
lain.
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Jadi hanya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu, atau bawahannya. Ajaran kedua ini untuk memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah Doctrine of Vicarious liability atau disebut juga pertanggungjawaban vikarius, adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut ajaran ini, seseorang dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Di Inggris, pertanggungjawaban vikarius pada umumnya berkaitan dengan tindak pidana yang ditentukan oleh undang- undang. Hal itu diterapkan dalam hubungan antara pemberi kerja dan bawahan, pemberi kuasa dan penerima kuasa. Selain itu pertanggungjawaban vikarius ini dapat dibebankan atas seseorang karena dengan tegas suatu undangundang menentukan demikian. Doktrin pertanggungjawaban vicarious liability diatur dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 Pasal 38 ayat (2), yang menyatakan bahwa: “Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.” Pasal 38 ayat (2) ini pun merupakan pengecualian dari asas tiada commit topengecualian user pidana tanpa kesalahan. Lahirnya ini merupakan perluasan
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan pendalaman asas regulatif dan yuridis moral, yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana, namun
dalam
rangka
pertanggungjawaban
pidana
ia
dipandang
mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Penggunaan ketentuan ini harus dibatasi untuk kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang- wenang. 3) Doctrine of Delegation Doktin ini merupakan salah satu pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. Menurut doktrin ini alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana
kepada
korporasi
adalah
adanya
pendelegasian wewenang seseorang dari kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dalam
perkara-perkara
dibawah
ini
merupkan
contoh
pendelegasian wewenang dari seorang pemberi kerja, yang wewenang itu diperolehnya karena ia memperolehsuatu izin usaha kepada bawahannya. Pendelegasian wewenang oleh seorang pemberi kerja kepada bawahannya merupakan
alasan
pembenar
bagi
dapat
dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu. Dalam perkara Allen v Whitehead (1930) 1 KB 211, terdakwa yaitu pemilik sebuah café telah mendelegasikan pengelolaan café miliknya kepada seorang pegawainya. Sekalipun terdakwa tidak mengetahui bahwa bangunan tempat café itu digunakan oleh para pelacur (utntuk tempat to user mejeng atau mangkal paracommit pelacur), namun hal itu diketahui oleh pegawai
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang bersangkutan. Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana berdasarkan s.44 dari Metropolitan Police Act 1839 karena “ Knowlingly permitting or suffering prostitute to remain in a place where refreshments are sold and consumed”. Perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya itu telah di atributkan sebagai perbuatan terdakwa sendiri. 4) Doctrine of Identification Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana
kepada
suatu
korporasi,
siapa
yang
melakukan tindak pidana tersebut harus mampu di identifikasikan oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan
“directing
mind”
dari
korporasi
tersebut,
maka
pertanggungjawaban tindak pidana itu baru dapat di bebankan kepada korporasi. Teori ini anatara lain dipakai dalam kasus H.L Bolton Engineering Co. Ltd . v T.J. Graham Sons Ltd. Di Inggris (1957) 1 QB 159 . Dalam perkara tersebut di tentukan bahwa perilaku dan mens rea dari seseorang terkait dengan suatu perusahaan dapat di atributkan kepada perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perilaku dan sikap kalbu dari orang tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari perusahaan tersebut. Dengan kata lain sikap perilaku (conduct) dan sikap kalbu (mens rea) dari orang tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari perusahaan tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, Denning L.J berpendapat bahwa suatu perusahaan dalam banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan memiliki sebuah otak dan pusat saraf yang mengendalikan apa yang dilakukan oleh perusahaan itu. Perusahaan juga memiliki tangan-tangan untuk memegang perlengkapan dan untuk bertindak sesuai dengan pengarahan yang diberikan oeleh pusat saraf itu. Sebagian orang-orang dari perusahaan itu semata-mata hanya sebagai commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pegawai dan berfungsi tidak lebih sebagai tangan-tangan
yang
melaksankan pekerjaan dan tidak dapat dikatakan bahwa mereka itu mewakili pikiran dan kehendak dari perusahaan itu. Sementara itu, orangorang yang lain adalah para direktur dan manajer yang mewakili pikiran dan kehendak yang mampu mengarahkan perusahaan itu dan berwenang mengendalikan apa yang dilakukan oleh perusahaan itu. Menurut Denning L.J, sikap kalbu dari para manajer ini sesungguhnya merupakan sikap kalbu dari perusahaan itu sendiri dan hukum memperlakukan seperti itu. 5). Doctrine of Aggregation Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat di bebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan dan semua unsur mental ( sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan- akan dilakukan oleh satu orang saja. Ajaran agregasi ini menurut Clarkson dan Keating memiliki keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu dari perusahaan tempat dimana dia bekerja.
Ajaran
ini
dapat
mencegah
perusahaan-perusahaan
menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur korporasi.
Namun
menurut
Clarkson
dan
Keating,
ajaran
ini
mengabadikan personifikasi dari mitos perusahaan ( perpetuates the personification of companies myth ). Apabila dalm jaran identifikasi cukuplah untuk mendapatkan hanya satu orang yang perbuatannya dapat di atributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran agregasi diharuskan untuk dapat menemukan beberapa orang yang agregasi dari perbuatanperbuatan mereka secara keseluruhan di atributkan sebagai perbuatan perusahaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
6). The Corporate Culture Model The Corporate Culture Model atau Model Budaya Kerja Perusahaan merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia. Pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat yang mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya. Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan korporasi apabila berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini anggota korporasi yang memiliki kewenangan telah memberikan kewenangan atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. Menurut The Corporate Culture Model, tidak perlu menemukan orang yang bertanggungjawabkan perbuatan itu kepada korporasi. Sebaliknya, pendekatan tersebut, menentukan bahwa korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab. Menurut ketentuan Pasal 12.3 (2) Australian Criminal Code Act 1995 di atas, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi apabila dapat di buktikan bahwa : a) Direksi korporasi dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut; atau b) Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana yang di maksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut; atau c) Korporasi memiliki suatu budaya kerja yang mengarahkan, mendorong, menolelir, atau mengakibatkan tiak di penuhinya ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait; atau commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan. 7) Reactive Corporate Fault Dalam tulisannya, Fisse dan Braithwaite mengemukakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada perusahaan untuk : a) Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggung jawab didalam organisasi perusahaan itu. b) Untuk mengambil tindakan- tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggung jawab. c) Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang diambil oleh perusahaan. Menurut Fisse dan Braithwaite, apabila perusahaan (yang menjadi terdakwa) memnuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah- langkah yang telah diambil oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggung jawab, maka pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila tanggapan dari
perusahaan
terhadap
perintah
pengadilan
dianggap
oleh
pengadilan tidak memadai, maka baik perusahaan maupun para pemimpin
puncak
dari
perusahaan
itu
akan
dibebani
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian atas kelalaian tidak memenuhi pengadilan itu. Reactive Liability Model dikomentari oleh para pakar commit to user sebagai suatu pendekatan alternative yang radikal. Sekali suatu actus
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
reus dari suatu tindak pidana dilakukan atas nama suatu perusahaan, pengadilan dapat memerintah kepada perusahaan yang bersangkutan untuk menyelidiki kejadian tersebut agar dapat menjatuhkan sanksi kepada para pelaku yang bertanggung jawab dan untuk memastikan kejadian itu tidak akan terulang kembali. Menurut teori ini, kesalahan pidana dari suatu perusahaan akan muncul apabila, dan hanya apabila, korporasi tidak bereaksi sebagaimana mestinya sesuai dengan perintah pengadilan. Model Reactive Liability ini memusatkan perhatian pada reaksi korporasi dalam hal suatu actus reus terjadi. Pendekatan ini menempatkan kesalahan korporasi kepada kegagalan korporasi untuk menyesuaikan kebijakan- kebijakannya, untuk melakukan tindakan penertiban kedalam, dan untuk mengelola para pegawainya mengingat kesalahan- kesalahan yang terjadi di masa lalu. Keuntungan dari pendekatan reactive liability adalah menghukum korporasi yang tidak bereaksi dengan sengaja ketika korporasi ditarik untuk memberikan perhatian sebagaimana mestinya terhadap kegiatan- kegiatan korporasi yang merugikan atau beresiko tinggi. Di samping itu, pendekatan ini juga dapat memaksa korporasi untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap kebijakan- kebijakan yang ada (The Law Reform Commission, 2003: 33). Dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana harus jelas telebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat (subjek) dalam kenyataannya, memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah. Penetapan korporasi harus di ikuti pula dengan penentuan kapan suatu korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana (kejahatan). Tahap
selanjutnya
adalah
penetapan
sistem
pertanggungjawaban korporasi. Dalam hukum pidana terdapat asas fundamental, yaitu asas “ geen straf zonder schuld” atau “ noela poenasine culpa atau asas “ tiada pidana tanpa kesalahan. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masalah pertanggungjawaban korporasi dalam kaitannya dengan perbuatan para pengurus, dikenal dengan dua teori yaitu teori identifikasi dan teori imputasi. Teori identifikasi mendasarkan pandangannya, bahwa tindakan orang- orang yang menggambarkan atau mewakili korporasi adalah tanggung jawab korporasi, sebab merekalah yang menentukan kebijakan korporasi. Sementara itu, teori imputasi adalah pertanggungjawaban yang mewakili. Kesalahan para pegawai korporasi merupakan orang- orang yang ada hubungan korporasi, artinya perbuatan pegawai harus ada hubungan dengan dan demi kepentingan korporasi. 8)
Ajaran Gabungan Menurut Sutan Remy, Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur-unsur sebagai berikut (Sutan Remy Sjahdeini, 2007: 118). a) Tindak Pidana tersebut ( baik dalam bentuk commision maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. b) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. c) Tindak Pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. e) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberikan manfaat bagi korporasi. f) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban commit to user pidana.
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g) Bagi tindak- tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat dalam satu orang saja.
3. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja Terhadap Korban Kecelakaan Kapal Laut Teduh II
Dalam sistem pertanggungjawaban pidana mengenai Korporasi ini Hakim menggunakan ajaran pertanggungjawaban Korporasi Vicarious Liability, karena terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yaitu sebagaimana telah didakwakan dengan Pasal 302 ayat (1), ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan unsur- unsur sebagai berikut: 1) Nahkoda; 2) Melayarkan Kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2); 3) Mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda. Unsur Nahkoda Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 angka 41 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan Nahkoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unsur
Melayarkan
Melayarkan
Kapalnya
sedangkan
yang
bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2); Bahwa dalam ketentuan Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib di penuhi setiap kapal sesuai dengan daerah Pelayarannya yang meliputi: a) Keselamatan Kapal; b) Pencegahan Pencemaran dari Kapal; c) Pengawakan Kapal; d) Garis muat Kapal dan permuatan; e) Kesejahteraan Awak Kapal dan Kesehatan Penumpang; f) Status hukum laut; g) Manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan h) Manajemen keamanan Kapal. Unsur Mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda Bahwa menurut Majelis Hakim, terdakwa telah terbukti terpenuhi perbuatan
terdakwa
karena
berdasarkan
keterangan
saksi-saksi
dihubungkan dengan Visum et Repertum ternyata akibat terbakarnya kapal KMP Laut Teduh II mengakibatkan 29 orang meninggal dunia dan korban luka-luka serta mengakibatkan kerugian harta benda berupa kendaraan roda empat dan roda dua. Dalam
pertanggungjawaban
Vicarius
Liability,
seseorang
dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila to user teori ini diterapkan kepadacommit korporasi, berati korporasi dimungkinkan harus
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, mandatarisnya atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Pertanggungjawaban Vicarius Liability dapat di bebankan atas seseorang karena dengan tegas Undang-Undang menentukan demikian. Dalam kasus ini, Undang- Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran telah menyatakan secara jelas yaitu terdapat dalam Pasal 249 yang menyatakan bahwa kecelakaan Kapal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 245 (berupa kapal tenggelam, terbakar, tubrukan, dan kandas ) merupakan tanggung jawab Nahkoda kecuali dapat dibuktikan lain. Selain tedapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang menyangkut tanggung jawab seorang Nahkoda, juga terdapat dalam struktur Organisasi dari PT. Bangun Putra Remaja yang menyatakan bahwa tanggung jawab seorang Nahkoda yaitu untuk menjamin keselamatan jiwa manusia di atas Kapal. Dengan dipidananya Nahkoda terebut sudah mewakili Perusahaan itu sendiri, selain dipidananya Nahkoda adapun sanksi administratif bagi Perusahaan Pelayaran ini dengan di berikannya sebuah peringatan oleh Mahkamah Pelayaran. Dimana
Mahkamah Pelayaran memiliki fungsi
untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi dan kompetensi Nahkoda dan/ atau Perwira setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar. Dalam putusan perkara ini hakim menjatuhkan pidana kepada Nahkoda sebagai terdakwa, yaitu dengan di jatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebanyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah). PT. Bangun Putra Remaja pun telah berupaya penuh terhadap korban kecelakaan tersebut, yaitu dengan memberikan santunan atau commitberikut to user: bantuan, dengan rincian sebagai
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Korban Selamat, dengan bantuan sebagai berikut: a) Cek Kesehatan di Rumah Sakit Krakatau Medika; b) Pulang dengan biaya Perusahaan sampai tempat tujuan ( melalui jalur Darat, Laut, maupun Udara); c) Diberikan makan/ minum selama dalam penanganan; 2) Korban Rawat Inap, dengan rincian sebagai berikut: a) Biaya perawatan di tanggung oleh pihak Asuransi; b) Perusahaan memberi makan bagi keluarga pasien yang menunggu; c) Perusahaan memberikan biaya transportasi untuk pulang ke tempat tujuan, apabila pasien di ijinkan pulang. 3) Korban Meninggal Dunia, dengan rincian sebagai berikut : a) Mendapat santunan dari Asuransi Jasa Raharja; b) Diberikan uang duka oleh pihak perusahaaan/ Uang Pemakaman; c) Diberikan biaya Transportasi Ambulance antar jenasah samapai tempat tujuan oleh Perusahaan; d) Memberikan makanan/minuman kepada keluarga yang mengurus jenasah oleh perusahaan. 4) Kendaraan dan muatan, dengan rincian sebagai berikut: a) Diberikan ganti rugi oleh pihak Asuransi Jasa Raharja; b) Perusahaan membantu kelengkapan persyaratan administrasinya.
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
Pembahasan
1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Badan hukum adalah subyek hukum. Subyek hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia diakui oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subyek hukum atau sebagai orang. Bahkan janin masih ada dalam kandungan seorang wanita dalam berbagai tatanan hukum modern, sudah dipandang sebagai subyek hukum
sepanjang
kepentingannya
memerlukan
pengakuan
dan
perlindungan hukum. Kedudukan sebagai badan hukum itu di tetapkan oleh PerundangUndangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Pada beberapa badan atau perkumpulan (dalam arti luas) tegas-tegas oleh undang-undang dinyatakan sebagai badan hukum. Hal ini kita lihat dari dalam perkumpulan koperasi, bahwa koperasi memperoleh status badan hukum setelah disahkan oleh pemerintah (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992). Lebih tegas lagi adalah Perseroan Terbatas di Negeri Belanda, dalam Pasal 37 W.v.k (Ned). Pada perseroan terbatas dalam KUHD
(Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang) Indonesia penegasan itu tidak terdapat, tetapi ini tidak berarti bahwa perseroan terbatas itu bukan badan hukum. Pada badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang tidak dengan tegas – tegas dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan kedudukan badan hukum itu ditentukan dengan jalan melihat hukumhukum
yang
mengatur
tentang
badan-badan
atau
perkumpulan-
perkumpulan itu. Dalam kenyataan masyarakat yang dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi commit to user kebutuhan manusia itu sendiri, sekarang dalam hukum juga diberikan
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
pengakuan sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusi itu disebut sebagai badan hukum. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di indonesia saat ini, tidak dikenal dalam Hukum Pidana atau tidak terdapat dalam KUHP. Hal ini di sebabakan karena KUHP masih mempergunakan subjek tindak pidananya adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami, sebab para penyusun KUHP menerima asas societas universitas delinquere non protest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Menurut Enschede, ketentuan universitas delinquere non protest adalah contoh yang khas dar pemikiran dogmatis dari Abad XIX, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia sehingga erat kaitannya dengan sifat individualisasi KUHP. Beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai subjek tindak pidana Koporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang pada intinya mengatakan: “Korporasi adalah kumpulan orang/ dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dalam ketentuan Pasal 51 Sr, memuat isi sebagai berikut : 1) Tindak Pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh korporasi; 2) Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan commit to user (maatregelen) yang disediakan dalam perundang-undangan
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap : a) Korporasi sendiri atau; b) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud; c) Korporasi atau mereka yang mereka di sebut dalam huruf (b) bersama-sama secara tanggung renteng. 3) Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdata), rederij (perusahaan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan). Korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami pekembangan beberapa tahap, antara lain : 1) Tahap Pertama Dalam tahap ini, usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi maka tindak pidana tersebut dianggap telah dilakukan oleh pengurus korporasi. Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang berisi: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.” Dalam Pasal 59 KUHP memuat alasan penghapusan pidana. Kesulitan yang timbul dengan pasal 59 KUHP ini adalah sehubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau seorang userpengusahanya adalah korporasi, pengusaha. Jika commit pemilikto atu
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maka bagaimana memutuskan tentang pertanggungjawabannya. Kesulitan ini dapat diatasi dengan Tahap kedua. 2) Tahap Kedua Dalam tahap ini korporasi dapat sebagai pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah apara anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu. Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung masih belum muncul. Contoh peraturan perundang-undangan dalam tahap ini: a) Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951, LN. 1951-78 tentang Senjata Api. Dalam Pasal 4 ayat (1) berbunyi, “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undangundang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat”. Serta pada ayat (2) berbunyi, “ ketentuan pada ayat (1) dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain”. b) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 6 ayat (2) berbbunyi: dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik commit toyang user memberi perintah melakukan terhadap mereka
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-keduanya. 3) Tahap Ketiga Dalam tahap ini dibuka kemungkinan adanya menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Ini didasarkan dengan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus saja belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat di paksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subyek tindak Pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusustan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Pasal 15 ayat (1) berbunyi; “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memeri perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya”. Dari pernyataan di atas dapat diambil suatu kesimpulan yang dapat melakukan mapun yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan/ atau perserikatan atau korporasi itu sendiri. Dalam tahap ketiga ini, peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP.
commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahap –tahap perkembangan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Negeri Belanda. Pada tahap pertama di dalam KUHP Belanda, pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut, ternyata rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KUHP Indonesia. Hal tersebut karena pengaruh yang kuat dari asas Universitas delinquere non potest, yang menekankan sifat delik yang dapat dilakukan korporasi terbatas pada perorangan. Pada tahap kedua baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subyek tindak pidana sudah dikenal. Akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum muncul, sehingga dalam tahap ini yangd dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi. Tahap ketiga, ternyata di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subyek tindak pidana sudah dikenal. Di Negeri Belanda perkembangan pertanggungjawaban pidana secara langsung pada awalnya terdapat dalam perundang-undangan khusus diluar W.v.S seprti yang terdapat dalam pasal 15 Wet op de Economsche Delicten tahun 1950, Pasal 2 Rijksbelasting Wet, tahun 1959. Perkembangan tersebut juga di ikuti di Indonesia Pasal 15 Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Namun di Belanda lebih maju yaitu menempatkan korporasi korporasi sebagai subyek tindak pidana secara umum dengan memuatnya dalam W.v.S- nya pada tahun 1976.
Sedangkan di Indonesia
pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum belum dikenal dan hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa peraturan perundangundangan khusus di luar KUHP. Berikut ini formulasi beberapa perundang-undangan tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana. commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 11 Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang penimbunan barang-barang berbunyi sebagai berikut: 1)
Bilamana suatu eprbuatan yang boleh dihukum berdasarkan undang-undang ini, dilakukan oleh suatu badan hukum, maka tuntutan itu dilakukan dan hukuman dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu atau terhadap orang-orang termaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau terhadap kedua-duanya.
2) Suatu perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan undangundang ini dilakukan oleh suatu badan hukum, jika dilakukan oleh seorang atau lebih yang dapat dianggap bertindak masing-masing atau bersama-sama melakukan atas nama badan hukum itu. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang berbunyi : “jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, orang yang lainnya, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib di jatuhkan, baik terhadap mereka yang meberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi (undang-undang ini telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999) berbunyi : “ jika duatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan, atau organisasi lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya itu, baik terhadap mereka yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, maupun terhadap kedua-duanya”. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Penyimpanan Narkotika berbunyi: “ Jika suatu tindakcommit pidana to mengenai user Narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
perserikatan, orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana Narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya. Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan memberikan formulasi sebagai berikut : “ jika suatu tindak pidana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiganya. Sementara Pasal 46 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan : “ jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain maka tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tata tertib sebagimana dimkasud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengadopsi pemikiran tersebut dalam Pasal 2001 mengadopsi pemikiran tersebut dalam Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi : “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan piadana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 khususnya Pasal 4 ayat (1) , yang berisi: commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan / atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan / atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi”. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya Pasal 333 ayat (2) dan Pasal 335, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 333 ayat (2) "Dalam hal tindak Pidana dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya". Pasal 335 "Dalam hal tindak pidana dibidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemeberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini".
2. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja terhadap Korban Kecelakaan Kapal Laut Teduh II
Dalam hukum pidana di kenal beberapa ajaran mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, diantaranya strict liability, Vicarius liability, Doctrine of Delegation, Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model, Reactive Corporate Fault, dan
Ajaran Gabungan. Korporasi dapat di mintai
pertanggungjawaban pidana apabila dalam menjalankan tugasnya korporasi memberikan dampak negative terhadap kepentingan umum/ masyarakat. Pasal 333 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan bahwa : (1) Tindak pidana di bidang Pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi user apabila tindak pidana commit tersebutto dilakukan oleh orang yang bertindak
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk dan/ atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersamasama. (2) Dalam hal tindak pidana di bidang Pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya. Menurut Suprapto korporasi dapat mempunyai kesalahan, badanbadan bisa di dapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Kasus Posisi terbakarnya KMP Laut Teduh II 1) Bahwa pada hari jumat tanggal 28 Januari 2011 sekitar pukul 04.10 Wib telah terjadi kebakaran di Kapal KMP Laut Teduh II disekitar pulau Tempurung Merak Kota Cilegon. 2) KMP Laut Teduh II berlayar dari Merak menuju Bakauheni dengan jumlah penumpang tiket 35 orang, mobil 97 unit yang terdiri dari sepeda motor, mobil penumpang, bus dan truk. 3) Kurang dari 30 menit kapal KMP Laut Teduh II berangkat dari Merak sekitar pulau Tempurung terjadi kebakaran, kebakaran tersebut berasal dari bus HD Transport yang berada di card deck kapal. 4) Bahwa pada saat terjadi kebakaran Nahkoda selaku Terdakwa tidak mengetahui adanya bus yag terbakar karena terdakwa tetap berada di anjungan pada saat kejadian. 5) Terdakwa mendengar peristiwa kebakaran di caard deck dari radio crew dan setelah mendengar dari radio crew tersebut terdakwa langsung meminta bantuan kepada seluruh kapalkapal yang berlayar sekitar KMP Laut Teduh II. commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Bahwa pada saat terjadi kebakaran terdakwa menyelamatkan penumpang terlebih dahulu baru menyelamatkan diri, 7) Nahkoda
yang
bertanggung
jawab
atas
keselamatan
penumpang dan sekaligus sebagai pemimpin tertinggi diatas kapal; 8) Terdakwa mengetahui alat standart keselamatan yang tidak berfungsi dan tidak pernah melaporkan adanya alat standart keselamatan yang tidak berfungsi 9) Penyelamatan penumpang dapat dilakukan secara manual dengan cara mengumpulkan penumpang di suatu area, namun terdakwa tidak melakukan pengumpulan penumpang ke suatu area untuk diselamatkan sesuai dengan surat plinker system; 10) Terdakwa mengetahui bahwa plinker system, smoke detector, life craft, dan alarm darurat kebakaran tidak berfungsi di dalam kapal; 11) Atas perbuatan terdakwa telah menyebabkan adanya korban baik yang luka-luka maupun yang meninggal dunia kurang lebih 29 orang serta mengakibatkan kerugian harta benda berupa kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Berdasarkan kasus posisi di atas, hakim dalam menjatuhkan putusan mengenai kasus terbakarnya Kapal Laut Teduh II yang mengakibatkan banyak korban ini menggunakan ajaran Vicarius Liability yaitu dengan menjatuhkan pidana terhadap Nahkoda. Vicarious Liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu, menurut hukum pidana Inggris, vicarious liability hanya berlaku terhadap : a) Delik-delik yang mensyaratkan kualitas b) Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pertanggungjawaban vicarious Liability dapat dibebankan atas seseorang karena dengan tegas suatu undang-undang menentukan demikian, dalam kasus ini terkait Pasal 249 yang menyatakan bahwa “ kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan tanggung jawab Nahkoda kecuali dapat dibuktikan lain”. Nahkoda disini melakukan perbuatan melawan hukum yang tertuang dalam Pasal 302 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kesalahan Nahkoda di sini berupa kealpaan atau kelalaian. Pasal 302 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
ayat 3 berisi "jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN 1. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah diatur. Koporasi di akui sebagai subyek hukum terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam perkembangannya Korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini sudah mulai meluas mencakup bidang pendidikan, kesehatan riset, pemerintahan, sosial, budaya dan agama. Hukum Pidana juga mengenal berbagai macam ajaran pertanggungjawaban Pidana Korporasi diantaranya yaitu strict liability, Vicarius liability, Doctrine of Delegation, Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model, Reactive Corporate Fault, dan Ajaran Gabungan.
2. Bentuk Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja terhadap korbannya yaitu dengan di pidananya seorang Nahkoda, dimana Nahkoda tersebut telah melakukan perbutan melawan hukum yaitu tercantum dalam pasal Pasal 302 ayat (1) dan (3). Dalam Pasal 333 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan bahwa: (1) Tindak pidana di bidang Pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/ atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. commit to user
89
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Dalam hal tindak pidana di bidang Pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya. Dalam hal ini Nahkoda dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Dengan dijatuhkannya pidana terhadap Nahkoda, dianggap telah mewakili perusahaan PT. Bangun Putra Remaja, karena Nahkoda disini bertindak untuk dan atas nama korporasi tersebut.
B. SARAN Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah penulis uraikan, maka penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan dan pertimbangan yang bermanfaat. Saran yang hendak penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Sebaiknya dalam menentukan pertanggungjawaban pidana mengenai korporasi ini harus teliti, karena sangat sulit untuk menentukan korporasi sebagai subyek hukum. 2. Tidak hanya manusia sebagai subyek hukum saja yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, tetapi juga badan hukum pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sanksi yang dapat dijatuhkan pada badan hukum diantaranya dapat berupa pidana denda, pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan, pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administrative berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaandi bawah pengampuan yang berwajib. Dengan demikian penjatuhan hukuman terhadap Nahkoda dengan Pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebanyak 100.000.000 ( seratus juta rupiah ) dalam kasus terbakarnya Kapal Laut Teduh II ini sudahlah tepat.
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Buku Moeljatno.2010. Asas- Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. HB. Sutopo 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian 11. Surakarta :UNS Press. Lexy J. Moelong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Winarno Budyatmojo. 2009. Hukum Pidana Kodifikasi. Solo: UNS Press. Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama. Mahrus Ali. 2008. Kejahatan Korporasi. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran. Muladi dan Dwija Priyatna. 2009. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung : Kencana. Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Pers. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 2003. Perseroan Terbatas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. AbdulKadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
Supanto.2010. Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Perundang- undangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran Rancangan Undang- undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 1999-2000. Rancangan Undang- undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2004.
Jurnal Winarno Budyatmojo. 2008. “ Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi Di Era Globalisasi”. Tahun XVIII No. 74. Voon, Mung-Ling, Sze-Ling Voon, and Chin-Hong Puah. 2008. An Empirical Analysis of Determinants of Corporate Crime in Malaysia. International Applied Economics and management Letters. Vol. 1 No. 1, pp 13-17. Angira Singhvi. 2006. Corporate Crime and Sentencing in India: Required Amendments in Law. International Journal of Criminal Justice Sciences. Vol 1.
Internet http://waterforgeo.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-manfaat-transportasi.html (diakses tanggal 19-03-2012 jam 12.50).
http://alyaspikal.blogspot.com/2010/03/transportasi-laut.html commit to user (diakses tgl 19-03-2012 jam 16.33)