PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh : TIARA AGUSTAVIA NIM : 1112048000040
KONSENTRASI
HUKUM
BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H/2016M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK Tiara Agustavia. NIM 1112048000040. PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU PADA JUAL BELI PERUMAHAN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016M. Isi : ix+84 halaman + lampiran, 27 daftar pustaka (1980-2013) Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah
perjanjian yang mengandung
klausula merugikan yang terdapat pada transaksi jual beli perumahan yang berakibat pada hangusnya uang konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan bersifat yuridis normatif. Yuridis normatif artinya
penelitian yang digunakan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan normanorma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah klausul yang menyebabkan uang muka hangus pada jual beli perumahan adalah klausul baku yang dilarang pada pasal 18 ayat (1) karena klausula baku yang terdapat pada jual beli perumahan menjadikan konsumen tidak memiliki bargaining power/ daya tawar pada saat proses jual beli tersebut.
Kata Kunci
: Perlindungan Konsumen, Klausula Baku
Pembimbing I
: Dr. M. Ali Hanafiah, S.H, M.H
Pembimbing II
: Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H
Sumber Rujukan dari tahun 1980 sampai 2013.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb Alhamdulilahirrabil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, S.H, M.H, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan
Hukum
UIN
vi
Syarif
Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. M. Ali Hanafiah, S.H,M.H, dan Dr. H. Nahrowi, S.H,M.H, Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi yang telah dengan sabar telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum. 5. Iklaswan dan Neneng Mujaenah selaku Ayahanda dan Ibunda yang penulis sangat cintai, yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat dan do’a, semangat serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 6. Nenek dan Kakek penulis yang dari kejauhan selalu merindukan, tetap mendoakan dan memberikan semangatnya kepada penulis. 7. Rizki Ichlaswan, S.Kom, Winda Putria, S.S, Syifa Kamila, dan Septya Riani, S.Si selaku Kakak dan Adik dari Penulis yang selalu mencintai penulis dan memberikan semangat kepada penulis dalam keadaan apapun. 8. Sahar Afra Fauziyyah, Juwita Daningtyas, Tiffani Ratna Suri, selaku sahabat penulis yang memberikan keceriaan dan semangat di setiap perjalanan kuliah penulis. Bersama mereka penulis berproses bersama menjadi keluarga. Terimakasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah selama masa kuliah. 9. Mochammad Indriansyah, selaku teman dekat penulis yang memberikan banyak motivasi, bantuan dan semangat yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi penulis.
vii
viii
10. Teman-teman Ilmu Hukum Angkatan 2012 UIN Jakarta, baik konsentrasi Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. 11. Teman-teman Saman Ilmu Hukum, Tabloid Justitia, dan Angkatan Muda Peduli Hukum (AMPUH) yang telah memberikan banyak warna dan kenangan indah selama masa kuliah. 12. Teman-teman KKN Melodi 2015, yang telah memberikan pengalaman dan arti solidaritas dan kerjasama yang sesungguhnya. 13. Serta semua pihak yang membantu proses penulisan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih kepada kalian, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian semua. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pembacanya. Wassalamu’alaikum, Wr.Wb
viii
DAFTAR ISI Judul Skripsi…................................................................................................................. i Lembar Pengesahan Pembimbing .................................................................................... ii Lembar Pengesahan Panitia ............................................................................................. ii Lembar Pernyataan......................................................................................................... iii Abstrak…….. .................................................................................................................. v Kata Pengantar ............................................................................................................... vi Daftar Isi ……. .............................................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6 E. Kerangka Konseptual ......................................................................... 7 F. Kajian (Review) Terdahulu ................................................................. 8 G. Metode Penelitian ............................................................................... 9 H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12 BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ....................... 14 A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ..................................... 14 B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ........................................ 16 C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ............................ 18 D. Penyelesaian Sengketa ...................................................................... 22 a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ............................................ 23 b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ................................... 27 E. Sanksi-Sanksi ................................................................................... 30 BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU DAN UANG MUKA ...................... 34 A. Perjanjian pada Umumnya ................................................................ 34 B. Perjanjian Baku pada Umumnya ....................................................... 35 C. Definisi Perjanjian Baku ................................................................... 37 D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku .................................................................. 39 E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ............................................. 42 F. Perjanjian yang Dilarang .................................................................. 43 G. Uang Muka....................................................................................... 47 BAB IV ANALISIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU ............................................................ 49 A. Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Perjanjian Baku .................................................................................................. 49
ix
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha .............................. 51 C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku .................................................................................. 54 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 62 A. Kesimpulan ...................................................................................... 62 B. Saran ................................................................................................ 63 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 65 LAMPIRAN…………………………………………………...……………………...… 68
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat memiliki cita-cita luhur yakni melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Menjabarkan arti dan makna melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum tersebut dituangkanlah dalam
pasal-pasal melalui ketentuan
yang
berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen yang Ke4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J. Pada Pasal 28 huruf H mengamanatkan bahwa ; “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Indonesia, kesejahteraan umum biasanya dikaitkan dengan tiga hal yakni, pangan, sandang, papan. Sebagian besar masyarakat, selain sandang, pangan, dan papan atau rumah sudah menjadi kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda dalam menjalankan kehidupan sehari-hari1. Salah satu kebutuhan pokok atau primer adalah kebutuhan akan papan atau rumah. Perumahan merupakan
representasi untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, 1
Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.1
1
2
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Berbagai kota besar di Indonesia, pesatnya peningkatan populasi manusia mengharuskan pemerintah untuk berperan serta meningkatkan kualitas perumahan bagi warga yang layak untuk dihuni. Sisi lain permasalahan pemerintah yakni dalam pembangunan perumahan mengalami berbagai kendala salah satunya adalah keterbatasan lahan perumahan. Pesatnya pembangunan perumahan menimbulkan permasalahan
lain
yang sering muncul dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan yakni hakhak konsumen yang dirugikan. Meningkatnya pembangunan perumahan, seringkali tidak diselaraskan dengan pemenuhan kewajiban oleh pelaku usaha. Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan-ketentuan penandatanganan atas dokumen-dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pelaku usaha, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulklausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya
3
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan2. Perjanjian baku yang selanjutnya disebut sebagai klausula baku, diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Pada klausula baku, konsumen dalam hal ini, hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya. Praktik perjanjian baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang. Produsen (Pelaku Usaha) memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih menguntungkan salah satu pihak yaitu pelaku usaha3. Selain itu, pihak pengembang properti juga tidak jarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan. Klausula baku dalam bidang perumahan misalnya terdapat dalam perjanjian jual beli perumahan dalam klausula down payment (dp) atau booking fee yang menyebutkan bahwa “…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….” Rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip untuk mencari
2 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h.66 3
Abdul Hakim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media,2010), h.53
4
keuntungan
yang
sebesar-besarnya
dengan
memanfaatkan
minimnya
pengetahuan konsumen. Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan4. Disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar 5. Posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat6. Perlindungan kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum menjadi hak konsumen7. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang hasilnya akan dituangkan dalam judul : Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan
4
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h.242 5 6
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum.………, h.243 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta:
Grasindo,2004), h.112 7
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum………., h.316
5
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah: 1. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha perumahan yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian jual beli. 2. Apa kriteria suatu perjanjian disebut sebagai perjanjian baku 3. Apa sajakah jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku 4. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perlindungan konsumen. 5. Apakah perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian baku. C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka pembahasan
penelitian
ini
mengalami
pembatasan
masalah,
pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku jual beli perumahan. 2. Rumusan Masalah Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti, maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi :
6
a. Bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan yang mengandung klausula baku yang merugikan konsumen? b. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku usaha yang merugikan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen? D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku.
b.
Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap perjanjian dengan klausula baku.
2. Manfaat Penelitian a.
Manfaat Akademis 1)
Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan. 2)
Dengan dilakukan penelitian ini penulis berharap dapat menambah wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan khususnya hukum perlindungan konsumen.
b.
Manfaat Praktis 1)
Diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana perlindungan terhadap konsumen terhadap perjanjian baku jual beli perumahan yang mengandung klausula baku.
7
2)
Diharapkan
dapat
ikut
membantu
untuk
lebih
mengembangkan dan menginpirasi masyarakat dan mahasiswa lainnya. E.
Kerangka Konseptual Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti8. Istilahistilah yang penulis perlu jelaskan adalah: 1.
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Lihat Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
2.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
3.
Jual Beli adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain membayarkan harga yang telah dijanjikan. (Lihat Pasal 1457 KUH Perdata)
4.
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), h.133
8
sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. (Lihat Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman) F. Kajian (Review) Terdahulu No
1.
Nama Penulis/ Judul Substansi
Perbedaan
Skripsi/Tahun
dengan Penulis
Marwan/ Perlindungan Skripsi Konsumen Kontrak
tersebut Penulis
dalam membahas Jual
mengenai membahas
Beli perlindungan konsumen mengenai
Rumah di Perumahan terhadap
tidak perlindungan
Harapan Indah Bekasi/ dipenuhinya janji-janji konsumen Skripsi, UIN Jakarta, dalam kontrak jual beli terhadap 2015.
pada
Perumahan perjanjian
Harapan Indah Bekasi.
baku
yang menyebabkan hangusnya
uang
konsumen
pada
praktik jual beli perumahan. 2.
Diana Purnamasari/
Sarawati Tesis
tersebut Penulis
membahas
Perjanjian Baku dalam klausula kredit pemilikan rumah boleh
tentang memfokuskan yang
dimuat
tidak penulisan dalam terhadap
salah
9
(KPR) : Studi kasus perjanjian KPR serta satu klausula baku analisis
perjanjian bagaimanakah
antara PT. Bank Panin penyelesaian
proses yang sengketa menyebabkan
tbk dengan X/ Tesis, yang dilakukan salah hangusnya Universitas Indonesia, satu 2011.
pihak
uang
dalam konsumen ditinjau
perjanjian baku KPR dari bank Panin.
hukum
perlindungan konsumen.
G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Metode
penelitian
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (law in book). Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.9 2. Pendekatan Masalah Berkaitan dengan tipe penelitian penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h.18
10
perundang-undangan
(Statute Approach)10 khususnya pada Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. a. Sumber Data Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11 Dalam
penelitian
peraturan
perundang-undangan
yang
digunakan yaitu; 1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2)
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 . 3)
10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III,
(Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007), h.302. 11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h.141
11
2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan
hukum
primer dan dapat membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil karya dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, penelusuran internet dan sebagainya. 3.
Bahan
non-hukum
(tersier),
yaitu
bahan
hukum
yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain. b. Teknik Pengumpulan data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) dalam hal ini penulis menggunakan buku-buku berkaitan dengan perlindungan konsumen. c. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier di klasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan pengelolaan data dapat dilakukan dengan cara deduktif, yakni
12
menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab. H.
Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 yang telah direvisi pada tahun 2014 dengan sistematika yang terdiri dari lima bab”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I:
Bab ini merupakan bagian pendahuluan penulisan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II:
Bab ini memuat tentang hukum perlindungan konsumen yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas
tentang
Pengertian
Hukum
Perlindungan
Konsumen, dilanjutkan dengan Asas-Asas serta Tujuan hukum Perlindungan Konsumen, Hak serta Kewajiban bagi Pelaku Usaha dan Konsumen, Penyelesaian Sengketa, serta Sanksi-Sanksinya. BAB III:
Bab ini memuat tentang tinjauan perjanjian baku yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas tentang Perjanjian Pada Umumnya, Perjanjian Baku Pada
13
Umumnya, Definisi Perjanjian Baku, Ciri-ciri Perjanjian Baku, Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku, dan Perjanjian Yang Dilarang, Uang Muka. BAB IV:
Bab ini memuat tentang Analisis Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan uraian tentang Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan yang Mengandung Klausula Baku, Upaya Hukum yang dapat Dilakukan oleh Konsumen terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan Analisis Akibat Hukum terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku.
BAB V:
Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini. Untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis memberikan pendapat dan saran yang dianggap perlu.
BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A.
Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Hukum
Konsumen
dan
Hukum
Perlindungan
Konsumen
merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1.
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1)
tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa)
antara
penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.
1
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21 2
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen………., h.22
14
15
Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan, dengan dua alasan/pertimbangan yaitu 3: 1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha. 2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan. Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi
Negara).
Keterlibatan
berbagai
disiplin
hukum
ini
mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang 3
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005) , h.33
16
tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4. B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut6. Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
4
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h.2-3 5 Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5 6
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet.1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h.25
17
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas
keamanan
dan
keselamatan
konsumen
dimaksudkan
untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu; 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
7 Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta:Sinar Grafika,2013), h.14
18
2. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen: C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha 1.
Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut: a.
Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.
Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
19
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang dipergunakan;
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga
mempunyai diwajibkan untuk; a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
20
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu; a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
8
Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, cet.1, (Jakarta: Puspa Suara, 1996), h.11
21
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni; a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi
atas
barang
yang
dibuat
dan/atau
yang
diperdagangkan; f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
22
D.
Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut; 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. 3. Lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat
yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan aggaran dasarnya. 4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
23
swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9. Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2 “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan ataupun diluar jalur pengadilan10. a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.
9
Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75
h.40
10
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85
11
Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004),
24
Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi. Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan12. Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen harus dapat membuktikan bahwa13: 1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;
12
13
Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.68-69
25
2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak; 3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu; 4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut. Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut14. Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
yang memberikan
kemungkinan
konsumen untuk
mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu
14
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.69
26
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen15. Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan, yaitu karena16:
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat; 2. Biaya Perkara yang Mahal; 3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif; 4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah; 5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.
15
16
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.239-247
27
Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17. b.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang masingmasing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat konsumen yang bersangkutan18.
17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237
18
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen………., h.236
28
Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49 sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri Nomor
350/MPP/KEP/2001
tentang
pelaksanaan
tugas
dan
wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(BPSK).
Yang
dimaksud
penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya, yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah, murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata
19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.76
29
mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen21. Mekanisme
penyelesaian
sengketa
di
Badan
Penyelesaian
Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian sengketa sebagai berikut22: 1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan lengkap. 2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha, bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya. 3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima) setelah sidang ke I (pertama). 20
Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata) 21
22
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234
BPSK DKI Jakarta, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : BPSK DKI Jakarta, 2010), h.19
30
4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha. 5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak putusan dibacakan. 6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan Penyelesaian
Sengketa
Konsumen,
jika
menolak
wajib
mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. E. Sanksi-Sanksi Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata. Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
31
juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut23. Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63. Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari: 1) Sanksi administratif; Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan oleh
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
kepada
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan konsumen diluar pengadilan24. Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) UndangUndang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka;
23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82
24
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………,h.83
32
a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen; b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan; c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya;
baik
berlaku
terhadap
pelaku
usaha
yang
memperdagangkan barang dan/atau jasa. 2)
Sanksi Pidana Pokok Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan25. Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap: 25
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………, h.276
33
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam; a) Pasal 8, mengenai barang dan/jasa yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan; b) Pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar; c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan; d) Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik); e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e mengenai iklan yang memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan; f)
Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan
g)
Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku; Dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2000.000.000,00 (dua milyar rupiah) 2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam: a)
Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;
b)
Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;
c)
Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;
d)
Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui undian;
e)
Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan;
34
f)
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, mengenai produksi iklan yang bertentangan dengan etika, kesusilaan dan ketentuan hukum yang berlaku; Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3.
Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara umum.
3) Sanksi pidana tambahan Ketentuan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan diluar sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa: a)
Perampasan barang tertentu;
b)
Pengumuman keputusan hakim;
c)
Pembayaran ganti kerugian;
d)
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e) f)
Kewajiban penarikan barang dari peredaran; Pencabutan izin usaha.
BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU A. Perjanjian pada Umumnya Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
1
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2010), h.1
34
35
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani pengikatan, seperti telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata oleh pasal 1320 KUH Perdata dirumuskan dalam bentuk2: 1. Kesepakatan yang bebas; 2. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak; 3. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu; 4. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum, kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu klausa yang halal). Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka. B. Perjanjian Baku pada Umumnya Perjanjian baku telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423347SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak. Dalam perkembangannya, penentuan secara
2
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan………,h.52
36
sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar masalah harga tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih detail3. Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-19, kebutuhan perjanjian baku makin berkembang. Jumlah transaksi perdagangan makin meningkat, konsentrasi modal makin besar, sehingga penggunaan kontrak-kontrak baku makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan syaratsyarat perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar pada kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis4. Penggunaan perjanjian baku sudah dikenal secara umum oleh masyarakat dalam kehidupan sehari, hari baik untuk pemasangan instalasi listrik, telepon, air maupun pembukaan rekening di bank. Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian baku telah menjadi salah satu dari jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Perjanjian baku sebagai perjanjian sepihak di mana satu pihak hanya menuntut haknya saja dan membebaskan diri dari tanggungjawabnya dan pihak lain harus melaksanakan kewajibannya saja sementara hak-haknya dihilangkan. Pada perjanjian yang sepihak selalu timbul kewajiban-kewajiban hanya bagi satu dari para pihak.
3
Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008),h.46 4
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992),h.2
37
Meskipun sifatnya sepihak namun Perjanjian baku sudah diterima dalam hubungan hukum antar subyek hukum terutama sangat dibutuhkan dalam hubungan hukum antara produsen dalam menjual produksinya dan atau jasanya memerlukan transaksi yang cepat, efektif, dan efisien sehingga nampak jelas bahwa yang diutamakan adalah prinsip ekonomi. C. Definisi Perjanjian Baku Perjanjian Baku berasal dari dua kata yaitu kata “Perjanjian” dan kata “Baku” yang menurut KBBI masing-masing berarti; Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat dalam menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu5. Baku adalah tolak ukur yang berlakku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan;standar6;
Menurut Prof.Sutan Remi Sjahdeni, S.H mengemukakan Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan7. Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku artinya perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.458 6
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia………., h.94
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan………., h.66
38
pengusaha. Yang dibukukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan dan ukuran8. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab berdasarkan kalusula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen9. Menurut Boyke A Sidharta, S.H, Perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi standar bagi setiap transaksi yang dibuat oleh dan diantara pihak yang dominan dengan pihak lain yang seluruh atau sebagian besar substansinya telah ditentukan sebelumnya secara sepihak demi meletakkan kepastian hukum, keamanan dan kontrol dipihak yang dominan10. Menurut Munir Fuadi, Kontrak Baku adalah sutu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir
8
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta:Direktorat Perlindungan Konsumen,2001), h.183 9
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan………., h.118
10
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak ……….h.183
39
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausulaklausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah11. D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyaratkat. Ciri-ciri tersebut yakni12; 1. Bentuk Perjanjian Tertulis Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Contoh perjanjian baku ialah perjanjian jual beli, perjanjian polis asuransi, charter party, kredit dengan jaminan
11
Munir Fuadi, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h.76 12
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku………., h.6-9
40
sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian ialah konosemen, nota pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan. 2. Format Perjanjian Dibakukan Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Contoh format perjanjian baku ialah polis asuransi, akta pejabat pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit dan sertifikat obligasi. 3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tanganilah perjanjian tersebut.
41
4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. 5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. 6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha Kenyataan menunjukkan bahwa kencenderungan perkembangan perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha menguntungkan pengusaha berupa;
42
a. Efisiensi biaya,waktu dan tenaga; b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya; d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak. E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku Pada prakteknya perjanjian baku yang terdapat di masyarakat dibedakan dalam beberapa jenis, sebagai berikut13; a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak pelaku usaha, yang lazimnya memiliki posisi kuat dibandingkan pihak konsumen. b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 mengenai akta jual-beli model 1156727 dan akta hipotik model 1945055. c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan 13
Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), (Bandung: Bina Cipta, 1986), h.63
43
notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda disebut dengan “contract model”. F. Perjanjian yang Dilarang Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang Anti monopoli diatur dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. adapun perjanjian tersebut adalah; 1. Perjanjian yang bersifat oligopoli, dari rumusan Pasal 4 dari Undangundang Anti Monopoli terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut14: a.
Adanya suatu perjanjian
b.
Perjanjian tersebut dibuat antara pelaku usaha
c.
Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
d.
Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan curang.
e.
Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa.
14
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.53
44
Jadi dapat dikatakan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dikuasai oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis barang). Bagi pihak yang melakukan bisnis secara oligopolis berlaku rumusan bahwa aksi-aksi yang bersifat interdepedensi jauh lebih baik dari tindakan yang bersifat “indepedensi”. 2. Perjanjian penetapan Harga tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian: a. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. Perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku (pasal 5 ayat (2)) 3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama (pasal 6) 4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 7); 5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya tersebut, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat menimbulkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 8); 6. Penjelasan atas pasal 9 Undang-undang Anti Monopoli, maka yang dimaksud dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar disini adalah:
45
a. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan/jasa; atau b.Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa. Adapun yang menjadi tujuan dilarangnya perjanjian membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah karena perjanjian yang demikian, sebagaimana juga perjanjian yang dilarang lainnya, dapat meniadakan atau membatasi persaingan pasar, sehingga pihak konsumen maupun pihak persaing usaha akan sangat dirugikan karenanya15. 7. Perjanjian pemboikotan, terdapat dua macam perjanjian yang dilarang oleh Pasal 10 dari Undang-undang Anti Monopoli sehubungan perjanjian pemboikotan tersebut, yaitu sebagai berikut; a. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama; dan b. Perjanjian yang menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain (pihak ketiga) , jika: 1) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain tersebut; atau 2) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar yang bersangkutan.
15
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.53
46
8. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 11); 9. Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 12) 10. Persaingan yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan barang dan atau jasa tertentu agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa tertentu tersebut dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau pesaingan usaha tidak sehat (pasal 13 ayat (1)); 11. Perjanjian yang bertujuan menguasai sejumlah produk. Yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut dengan integrasi vertical adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu 16. 12. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan 16
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.26
47
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada suatu tempat tertentu (pasal 15 ayat (1)); 13.
Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia untuk membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat (2));
14.
Perjanjian mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;atau b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok (Pasal 15 ayat (3)).
15. Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16). G. Uang Muka Banyaknya istilah-istilah menyerupai uang muka seperti down payment, booking fee dan uang panjar seringkali membuat keliru konsumen utamanya dalam hal jual beli perumahan. Dalam beberapa bahan bacaan, di Indonesia lebih sering menggunakan istilah uang muka. Beberapa istilah uang muka tersebut dalam beberapa literatur memiliki perbedaan meskipun inti artinya adalah sama. Berikut beberapa pengertian mengenai uang muka;
48
1. Down payment, uang muka adalah Pembayaran sebagian sebagai pendahuluan atau tanda jadi atas suatu transaksi; panjar 17. 2. Uang muka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni uang yang dibayarkan terlebih dahulu sebagai tanda jadi pembelian dan sebagainya; panjar; persekot:18 3. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Perturan mengenai uang muka untuk kredit properti diatur dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Dengan PBI yang baru ini, nasabah bank dapat mendaptkan fasilitas kredit kepemilikan rumah hanya dengan uang muka atau Down Payment (DP) sebesar 20 persen19.
17
Elips, Kamus Hukum Ekonomi Elips, (Jakarta: Proyek Elips, 1997), h.53
18
http://kbbi.web.id/uang diakses pada tanggal 15 Mei 2016 jam 20:56 WIB
19
http://bisnis.liputan6.com/read/2258724/tak-semua-bank-bisa-berikan-fasilitas-uangmuka-kpr-20 diakses pada tanggal 15 Mei 2016 jam 22.12 WIB
BAB IV ANALISIS PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU A. Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausul Perjanjian Baku1 Kasus perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku marak terjadi, salah satu penyebabnya adalah kurangnya kewaspadaan konsumen ketika akan membeli rumah. Salah satu kasus klausula baku pada perjanjian jual beli perumahan terjadi di Kota Surabaya pada tahun 2007 yang dialami oleh Martinus Teddy Arus Bahterawan yang memesan rumah pada Perumahan Palm Residence, Jambangan Surabaya dari Pengembang Perumahan yakni PT. Solid Gold. Pada saat itu, Martinus menggunakan angsuran Kredit Perumahan Rakyat (KPR) seharga Rp. 180.000.000,- dan telah memberikan uang muka sebesar Rp.54.000.000,- dan telah menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Setelah
menandatangani
Perjanjian
Pengikatan
Jual
Beli,
Martinus
menginginkan perubahan desain rumahnya dan dikenakan biaya sebesar Rp. 24.625.000,- dan telah dibayar lunas oleh Martinus kepada PT. Solid Gold. Selanjutnya, realisasi akad KPR dengan Bank Mandiri setelah Bank Mandiri mengeluarkan Surat Penawaran Putusan Kredit (SPPK) pada tanggal 8 Agustus 2008. Tetapi Martinus tidak dapat hadir ketika akad kredit tersebut dikarenakan sedang bekerja di Kalimantan. Secara sepihak, PT. Solid Gold,
1
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 937/K/Pdt.Sus/2010
49
50
menyurati Martinus pada tanggal 29 Oktober 2009, jika Martinus membatalkan pembelian rumah maka Martinus harus membayar denda kepada PT. Solid Gold sebesar Rp. 84.700.936.000,- dan jika Martinus berniat meneruskan pembelian rumah maka harus membayar sebesar Rp. 48.888.000,dengan alasan bahwa ketentuan mengenai denda telah diatur pada Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah. Surat jual beli tenyata mengandung beberapa klausula baku yang tidak di sadari oleh Martinus akan merugikan haknya sebagai konsumen. Pada Surat Pemesanan Rumah contohnya, menyatakan bahwa “….maka seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT. Solid Gold dan tidak dapat dituntut kembali….” Selain itu pada surat perjanjian Pengikatan Jual Beli juga terdapat klausula baku yang menyatakan “….seluruh uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….” Total uang Martinus yang telah diserahkan kepada PT. Solid Gold adalah sejumlah Rp.87.167.900,- dan pihak pengembang perumahan menolak mengembalikan uang tersebut dengan alasan bahwa tidak dikembalikannya uang tersebut merupakan denda bagi konsumen dan telah dicantumkan pada surat pemesanan rumah dan surat perjanjian pengikatan jual beli. Penyelesaian atas kasus ini adalah PT.Solid Gold dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melakukan pencantuman klausula baku, dan menyatakan bahwa Surat Pemesanan Rumah tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008
51
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Pelaku Usaha Pada dasarnya penyelesaian ganti rugi dapat dilakukan secara damai antara konsumen dengan pelaku usaha. Namun, apabila upaya damai tersebut gagal ditempuh maka upaya yang dilakukan konsumen adalah penyelesaian sengketa sesuai yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui lingkungan peradilan umum. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana di maksud pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada umumnya dalam setiap tahap proses penyelesaian sengketa, selalu diupayakan untuk menyelesaikannya secara damai di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian
secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh
kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa
52
melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen2. Saat
menangani
dan
menyelesaikan
sengketa
konsumen
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari sedikitnya 3 orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu oleh seorang panitera. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan diterima Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Selain itu pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini, meskipun dikatakan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selain
itu,
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
juga
telah
memberikan jangka waktu yang pasti bagi peyelesaian perselisihan konsumen yang timbul, yakni 21 (dua puluh satu) hari untuk proses pada tingkat Pengadilan Negeri, dan 30 (tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan “jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk
2
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan ………., h.63
53
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung3. Mengenai
ketentuan
sanksi
dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen mencantumkan tiga sanksi yakni sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi tambahan. Sanksi pidana pokok bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang klausula baku, terdapat pada pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Selain itu sanksi tambahan bagi pelanggar ketentuan mengenai klausula baku yakni dapat berupa sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.
3
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.78-79
54
C.
Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku Hadirnya klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan dalam bentuk “…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….” Ditinjau dari hukum perlindungan konsumen klausula pada perjanjian baku tersebut melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk
diperdagangakan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausla tersebut akan mengakibatkan: a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
55
e.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa syarat sahnya
perjanjian diperlakukan empat syarat: a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya adalah asas esensial
dalam hukum perjanjian, asas ini dinamakan asas konsensualisme. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat
56
mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas4. Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri5. Pada klausula yang terdapat pada perjanjian jual beli perumahan terdapat perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku tersebut diadakan karena tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan real bargaining dengan pelaku usaha. Konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku. Hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk6: a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
c.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan
d.
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
4
Subekti, Hukum Perjanjian, ………., h.15
5
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen ………., h.66
6
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori&Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta:Sinar Grafika,
2013), h.9
57
Allah SWT menganjurkan bentuk perjanjian adalah tertulis sebagaimana firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah ayat 282 yakni;
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
58
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS. AlBaqarah:282) Selain itu, pada pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal tersebut merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Kebebasan berkontrak pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata harus memperhatikan pasal 1337 KUH Perdata yang berisi bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu, dari pasal 1320 KUH Perdata dapat ditarik kesimpulan bahwa klausula baku pada perjanjian seperti halnya suatu perjanjian pada umumnya harus memenuhi baik syarat-syarat obyektif maupun syaratsyarat subyektif dari sahnya suatu perjanjian serta memenuhi asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme serta kedudukan yang seimbang dari para pihak yang membuat perjanjian. Jika salah satu syarat obyektif dari sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, yang berarti bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak semula.
59
Sedangkan jika syarat subyektif yang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut terancam dengan kebatalan, dengan pengertian bahwa setiap salah satu pihak perjanjian tersebut dapat memohon agar perjanjian tersebut dibatalkan7. Artinya, menurut pasal 1320 KUH Perdata perjanjian antara para pihak dalam jual beli perumahan yang mengandung klausula baku tidak memenuhi syarat objektif karena di dalam perjanjian jual beli yang mengandung klausula baku tersebut tidak mengandung syarat sahnya perjanjian yakni suatu sebab yang halal. Suatu sebab halal yang dimaksud adalah melingkupi segala ketentuan pada pasal 1337 KUH Perdata. Ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau diperdagangakan dilarang membuat atau
jasa yang ditujukan untuk mencantumkan
klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausla tersebut akan mengakibatkan: a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
7
David M.L. Tobing, Parkir & Perlidungan Hukum Konsumen, (Jakarta: PT. Timpani Agung, 2007), h.41
60
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selanjutnya, dalam pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau
yang
pengungkapannya sulit dimengerti. Akibat atas pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan setiap perjanjian atau klausula baku yang memenuhi ketentuan pasal 18 ayat (1) dan pasal 18 ayat (2) dinyatakan batal demi hukum dan pelaku
61
usaha
harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Artinya, perjanjian jual beli perumahan dengan klausula baku yang memuat isi sebagaimana di larang dalam pasal 18 ayat (1) dan 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak. Para pihak tersebut yakni, pelaku usaha dan konsumen yang melaksanakan transaksi jual beli perumahan tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 ayat (3), pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
selanjutnya
mewajibkan
para
pelaku
usaha
untuk
menyesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini8.
8
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan………., h.57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa klausula pada perjanjian jual beli perumahan melanggar ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Adapun klausula baku yang melanggar kententuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah “…seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali…” klausula tersebut sangat merugikan konsumen, dan melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen huruf c. Akibat hukum atas pencantuman klausula baku pada perjanjian jual beli perumahan, sebagaimana pasal 18 ayat (3) maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) 2. Konsumen menderita kerugian akibat pencantuman klausula baku, sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen konsumen yang merasa dirugikan dapat menggugat ganti rugi baik melalui lembaga pengadilan maupun lembaga di luar pengadilan yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
62
63
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi upaya perlindungan konsumen, khususnya dalam hal perlindungan konsumen terhadap klausula baku yang merugikan. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahwa diperlukan adanya keseragaman kosa kata mengenai penyebutan dan pengertian “uang muka” sehingga kata tersebut tidak disalah artikan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak serta tidak merugikan konsumen. 2. Bahwa pelaku usaha dalam hal ini adalah pihak pengembang perumahan dalam menjalankan usahanya dengan cara-cara yang baik dan professional, serta memiliki pemahaman yang baik tentang hukum, utamanya
tentang
hukum
perlindungan
konsumen.
Pengetahuan
mengenai hukum perlindungan konsumen yang baik, menjadikan pelaku usaha paham akan kewajiban dan hak pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya diharapkan tidak hanya melindungi kepentingannya sendiri tetapi juga secara bersamaan menjamin kepentingan konsumen. 3. Bahwa seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, lembaga swadaya konsumen serta konsumen harus lebih aktif melakukan penelitian dan pengawasan terhadap klausula baku yang merugikan konsumen. 4. Bahwa advokasi dan edukasi perlindungan konsumen harus lebih disosialisaikan dan ditingkatkan. Hal ini bertujuan agar masyarakat paham akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen maupun sebagai
64
pelaku usaha. Selain itu, konsumen juga dapat mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang bisa dilakukan ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha.
65
DAFTAR PUSTAKA Buku: Badrulzaman, Mariam Darus. Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar). Jakarta:BPHN,1980 Barkatullah,Abdul
Hakim.
Hak-Hak
Konsumen.
Bandung:
Nusa
Media,2010 Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999 ---------------- Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003 Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997 H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori&Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:Sinar Grafika, 2013 Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III, Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007 K. Susilo, Zumrotin. Penyambung Lidah Konsumen, cet.1. Jakarta: Puspa Suara, 1996 Makarim.Edmon, Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Group, 2010 Muhammad, Abdulkadir. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992 M.L. Tobing, David. Parkir & Perlidungan Hukum Konsumen. Jakarta:PT. Timpani Agung,2007 Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media, 2007 Remy Sjahdeni, Sutan. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia,. (akarta: Institut Bankir Indonesia,1994
66
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo, 2004 Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet.1 Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005 Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta:Intermasa,2010 Sudaryatmo.
Kiat
Menghindari
Perumahan
Bermasalah.
Jakarta:
Piramedia, 2004 Sutendi, Adrian. Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008 Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986 Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Anti Monopoli. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 ----------------------------------------.Hukum
tentang
Perlindungan
Konsumen. Jakarta: Gramedia,2000 Yodo, Sutarman dan Ahmadi Miru. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000 Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013 Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
setelah
amandemen ke-4 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 . Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia tahun 1999 No. 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3817
67
Internet: http://kbbi.web.id/uang http://bisnis.liputan6.com/read/2258724/tak-semua-bank-bisa-berikanfasilitas-uang-muka-kpr-20
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
PUTUSAN
Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata khusus sengketa konsumen pada tingkat kasasi telah
gu
memutuskan sebagai berikut dalam perkara antara:
MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN, bertempat tinggal di Jalan
A
Tenggumung Karya Lor No. 73 Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Achmad Fauzan, SH.,LLM., Advokat, berkantor di Jalan Wonorejo
ub lik
ah
Asri XII/23 Rungkut Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 April 2010,
am
Pemohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan/Penggugat ; melawan
ep
PT. SOLID GOLD, berkedudukan di Jalan Kertajaya VF-331 Surabaya,
ah k
dalam hal ini memberi kuasa kepada Soetardjo, SH., Advokat, berkantor di Jalan Nginden Baru III No. 19 Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
In do ne si
R
tanggal 15 April 2010;
Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan/Tergugat ;
A gu ng
Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Pemohon Keberatan/Penggugat telah mengajukan keberatan
terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 35/BPSK/III/2010. tanggal 31 Maret 2010 yang amarnya sebagai berikut:
Tidak ada kesepakatan karena pihak PT. Solid Gold selaku pihak usaha
lik
(Tergugat) tidak dapat memenuhi pengaduan konsumen (Sdr. Martinus Teddy Arus B);
ub
Bahwa, terhadap amar putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut, Pemohon Keberatan/Penggugat telah mengajukan keberatan di muka persidangan
ep
Pengadilan Negeri Surabaya yang pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa Pemohon keberatan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa No. Bahwa atas putusan tersebut Pemohon Keberatan telah menyatakan gagal dengan
on
Hal. 1 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
Surat pernyataan tertanggal 6 April 2010 (vide bukti P-2);
es
35/BPSK/III/2010 pada tanggal 31 Maret 2010 (vide bukti P-1);
R
ka
m
ah
•
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 1
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
Bahwa Pemohon Keberatan mengajukan keberatan ini pada tanggal 7 April 2010, atau dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 8
ng
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Bahwa dengan demikian adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar keberatan Pemohon Keberatan dinyatakan diterima;
gu
Bahwa lebih lanjut alasan Pemohon Keberatan atas putusan badan Penyelesaian
A
sengketa tersebut adalah sebagaimana terurai berikut;
Bahwa pada tanggal 17 Juli 2007 di Surabaya Pemohon Keberatan membeli atau
memesan satu unit rumah dengan luas bangunan 39 m² dan luas tanah 84 m² yang
ub lik
ah
terletak di Kav. B No. 23 Perumahan Palm Residence, Jambangan Surabaya dari
Termohon Keberatan dengan melalui angsuran Kredit Perumahan Rakyat (KPR)
am
seharga Rp180.000.000,- dengan uang muka Rp54.000.000,- sebagaimana tercantum dalam Surat pemesanan Ruko/Rumah No. 01/VII/2007 (vide bukti P-3) dan selanjutnya pada tanggal 16 Mei 2008
Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan
ah k
ep
menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual beli (vide bukti P-4);
Bahwa Pemohon Keberatan telah membayar lunas uang muka sebesar
Rp
In do ne si
R
54.000.000,- kepada Termohon Keberatan (vide bukti P-5); Bahwa Pemohon Keberatan menghendaki perubahan desain rumah tersebut yang
A gu ng
disetujui Termohon dengan biaya Rp24.625.000,- dan Pemohon Keberatan telah membayar lunas biaya perubahan desain tersebut kepada Termohon Keberatan (vide bukti P-6 s/d P-11);
Bahwa dengan demikian Pemohon Keberatan telah melaksanakan kewajibannya
kepada Termohon Keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang V, Perlindungan Konsumen dan Termohon Keberatan telah
lik
undang tersebut;
Bahwa karena Pemohon Keberatan telah memenuhi semua kewajiban membayar
ub
uang muka dan biaya perubahan desain, maka tahap selanjutnya adalah realisasi akad KPR dengan Bank Mandiri setelah Bank Mandiri mengeluarkan Surat penawaran Putusan Kredit (SPPK);
ep
ka
m
ah
menerima haknya dari Pemohon Keberatan seperti ditentukan dalam Pasal 6 undang-
Bahwa Bank Mandiri telah mengeluarkan SPPK No. 8.CLBC/SPPK.GRM/ 2917/ VIII/2008 pada tanggal 8 Agustus 2008 dan No. 8.CLBC/SPPK.GRM/ 2550/IX/2009 Keberatan secara tertulis melalui surat tanggal 24 Agustus 2008 No. 42/SGP/EKS/
on
Hal. 2 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
VIII/2009 dan 20 Oktober 2009 No. 45/SGP/ EKS/X/2009, tapi oleh karena Pemohon
es
R
tanggal 9 September 2009, adapun Termohon Keberatan telah memberitahu Pemohon
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 2
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
Keberatan saat itu sedang bekerja di Kalimantan, maka Pemohon Keberatan tidak dapat melakukan akad kredit dimaksud;
ng
Bahwa Termohon Keberatan menyatakan kepada Pemohon Keberatan melalui suratnya tanggal 29 Oktober 2009 No. 46/SGP/EKS/2009 bahwa jika Pemohon Keberatan membatalkan pembelian rumah dimaksud maka Pemohon Keberatan harus
Rp 84.700.936.000,-
gu
membayar denda kepada Termohon Keberatan sebesar
dan jika Pemohon Keberatan berniat meneruskan pembelian rumah dimaksud maka
A
Pemohon Keberatan harus membayar denda kepada Termohon Keberatan sebesar Rp48.888.000,- (vide bukti P-12);
ub lik
ah
Bahwa Termohon keberatan dalam suratnya sebagaimana dimaksud bukti P-12 menyatakan bahwa Termohon Keberatan tidak pernah memaksakan adanya denda
am
dengan berdalih bahwa ketentuan denda sudah diatur dalam Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (sebagaimana dimaksud bukti P-3 dan P-4); Bahwa Pemohon Keberatan sangat tidak setuju dan karena itu menolak keras dalil
ah k
ep
Termohon Keberatan tersebut di atas karena Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (vide Bukti P-3 dan P-4) adalah sangat merugikan
In do ne si
R
Pemohon Keberatan karena posisi Pemohon keberatan selalu lemah berdasarkan hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) seperti dikutip N.H.T.
A gu ng
Siahaan (Happy Susanto (2008:30) dan Pemohon Keberatan sebagai konsumen tidak
memiliki posisi tawar yang setara dan sederajat dengan Termohon Keberatan sebagai pelaku usaha sehingga mau tidak mau Pemohon Keberatan menandatangani Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut yang format dan
sebagian besar isinya telah disiapkan dan ditentukan sendiri oleh Termohon Keberatan, atau yang lebih dikenal dengan perjanjian standar atau ketentuan klausula baku;
lik
“....maka seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT.Solid Gold dan tidak dapat dituntut kembali;
ub
Bahwa uang yang telah dibayarkan adalah uang Pemohon Keberatan sebesar Rp54.000.000,- (lima puluh empat juta rupiah);
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimaksud (vide bukti P-4) Pasal 2
ep
ka
m
ah
Bahwa Surat pemesanan Rumah dimaksud (vide bukti P-3) Pasal III menyatakan:
menyatakan: “....seluruh uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali....”; Termohon Keberatan dan Pihak Kedua adalah Pemohon Keberatan sedangkan seluruh
on
Hal. 3 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan berdasarkan
es
R
Bahwa Pihak Kesatu dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut adalah
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 3
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
bukti P-5 s/d P11 adalah Rp54.000.000,- + Rp24.625.000,- + biaya Notaris Rp3.000.000,- + BPHTB Rp5.542.900,- =
Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh
ng
juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah);
Bahwa Pasal V surat tersebut dan pasal 2 Perjanjian dimaksud juga mencantumkan adanya benda masing-masing sebesar 2 dan 3%;
gu
Bahwa ini berarti bahwa Termohon Keberatan dalam Surat Pemesanan Rumah
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-3 dan P-4) telah menyatakan menolak
A
menyerahkan kembali uang, yang telah dibayar pemohon keberatan serta penerapan sanksi Benda bagi Pemohon keberatan, atau dengan kata lain Termohon Keberatan telah
ub lik
ah
mencantumkan klausula baku dalam Surat pemesanan Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut;
am
Padahal pencantuman klausula baku merupakan suatu larangan bagi Termohon Keberatan yang harus ditaati oleh Termohon Keberatan karena sudah ditentukan oleh hukum yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal
ah k
ep
18 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan membuat atau mencantumkan klausula baku
In do ne si
R
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa
A gu ng
yang dibeli oleh konsumen;
Bahwa dengan demikian adalah jelas bahwa Termohon Keberatan telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999;
Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar
Termohon Keberatan dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan atau melanggar
lik
Konsumen dan adalah beralasan pula jika Pemohon Keberatan mohon agar Surat Pemesanan Rumah No. 01/VI/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan
ub
Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 dinyatakan batal demi hukum sepanjang mengenai klausula baku dan proses transaksi pembelian rumah dimaksud antara Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan tetap dilanjutkan tanpa ada sanksi denda dan/atau
ep
ka
m
ah
hukum yaitu terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
bunga apapun;
Bahwa oleh karena Termohon Keberatan telah melakukan pelanggaran terhadap Perlindungan Konsumen, maka berarti Termohon Keberatan melakukan perbuatan
on
Hal. 4 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
melanggar atau melawan hukum atas diri Pemohon Keberatan;
es
R
Undang-Undang atau hukum yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 4
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
R
Bahwa akibat perbuatan melanggar atau melawan hukum yang dilakukan Termohon Keberatan atas diri Pemohon Keberatan, maka Termohon Keberatan a
ng
mengalami kerugian baik material maupun immaterial;
Kerugian material berupa uang yang sudah diserahkan Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan tersebut di atas sebesar
Rp87.167.900,-
gu
(delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah);
b
Kerugian immateriel berupa Pemohon Keberatan harus pindah kerja dari
A
Kalimantan ke Surabaya dengan segala efek atau dampak psikis setara dengan Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
ub lik
ah
Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Keberatan mohon agar
Termohon Keberatan dihukum untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon Keberatan
am
untuk kerugian material sebesar Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) dan kerugian immateriel Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
ep
ah k
Bahwa, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon Keberatan/ Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Surabaya agar memberi putusan sebagai
In do ne si
1
R
berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh keberatan Pemohon Keberatan untuk
A gu ng
seluruhnya;
2
Menyatakan Termohon Keberatan telah melakukan perbuatan melawan atau melanggar hukum;
3
Menyatakan Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 sepanjang mengenai pencantuman klausul baku mengenai tidak dapatnya Pemohon Keberatan untuk
4
lik
kepada Termohon Keberatan dan penerapan denda adalah batal demi hukum; Menghukum Termohon Keberatan untuk terus memproses transaksi pembelian rumah sebagaimana dimaksud Surat Pemesanan Rumah No. 01/ VII/2007
ub
m
ah
menuntut atau meminta kembali uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan
tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 5
ep
ka
2008 tanpa denda dan/atau bunga apapun;
Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon
ah
Keberatan untuk kerugian materiel sebesar Rp 87.167.900,- (delapan puluh tujuh
M
immateriel Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam waktu 7 hari sejak
on
Hal. 5 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
putusan perkara ini dibacakan;
es
R
juta seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) dan kerugian
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 5
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
ATAU setidak-tidaknya Pemohon Keberatan mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex aequo et bono);
ng
Bahwa, terhadap keberatan tersebut di atas, Termohon Keberatan/ Penggugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa UU No. 8/th 1999 adalah UU Lex Spesialis yang menjadi kewenangan
gu
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memutus. Dan atas putusan
BPSK tersebut tidak ada banding, sehingga apabila sengketa antara Konsumen dengan
A
Pelaku Usaha yang telah diputus oleh BPSK, maka tidak benar apabila keberatankeberatan atas putusan BPSK diajukan pada Pengadilan Negeri sebagai Pemohon
ub lik
ah
Keberatan dan Termohon Keberatan, yang materi perkaranya dibawa ke Pengadilan
Negeri masih memakai “Baju” (menyandang) Pemohon Keberatan dan Termohon
am
Keberatan, yang sama dengan upaya banding, padahal Pengadilan Negeri bukan peradilan banding;
Bahwa seharusnya calon user atau konsumen, yang merasa dirugikan quod non
ah k
ep
oleh Pengembang, kalau perkaranya ini mau diajukan sebagai gugatan pada Pengadilan Negeri harus menyebut sebagai Penggugat dan Tergugat;
In do ne si
R
Bahwa tidak ada RIB (HIR) yang mengatur tata cara berperkara perdata di Pengadilan yang berwenang, menyebut dirinya sebagai Pemohon Keberatan melawan
A gu ng
Termohon Keberatan, sebab tata cara berperkara di Pengadilan yang berwenang, sudah diatur dalam RIB (HIR) yang sama sekali tidak diatur dalam UU Lex Spesialis yang khusus untuk Sengketa Konsumen dengan Pelaku Usaha saja, yang tempat pengaduan tersebut diajukan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana yang diatur dalam UU No. 8 Th 1999;
Bahwa karena salah dalam menyebut pihak Penggugat sebagai Pemohon
lik
dalam RIB (HIR) sebagai hukum acara pada Pengadilan Negeri, maka selanjutnya mohon gugatan Martinus Teddy Arus Bahterawan yang salah dalam format/tata cara,
ub
mohon untuk ditolak atau setidak-tidaknya gugatan tidak bisa diterima;
Bahwa gugatan/permohonan keberatan atas suatu putusan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) No. 5/BPSK/III/2010 ;
ep
ka
m
ah
Keberatan, dan Tergugat sebagai Termohon Keberatan yang tidak diatur sama sekali
Bahwa Pengadilan Negeri adalah bukan lembaga lain (BPSK) yang memutus berdasar UU Lex Spesialis;
ke PN yang awalnya berdasar dari putusan lembaga peradilan ad hoc, khusus seperti
on
Hal. 6 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
BPSK, pihak yang merasa dirugikan quod non atas putusan tersebut harus mengajukan
es
R
Bahwa karena itu apabila hendak mengajukan gugatan perkara sengketa perdata
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 6
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
R
gugatan biasa sebagaimana yang diatur dalam hukum acara dalam RIB/HIR, yaitu sebagai Penggugat dan Tergugat saja;
ng
Bahwa sedang atas putusan BPSK tersebut dapat dipakai sebagai bukti alasan
yang mendukung dalil-dalil gugatannya tersebut. Dan sama sekali pihak yang mengajukan gugatan tidak boleh menyebut sebagai Pemohon Keberatan melawan
gu
Termohon Keberatan, karena Pengadilan Negeri bukan lembaga peradilan banding;
Karena itu permohonan dari Pemohon Keberatan seharusnya ditolak atau mohon dapat
A
dinyatakan niet ontvankelijk verklaard;
Bahwa yang benar adalah pihak Pemohon Keberatan, haruslah mengikuti tata cara
ub lik
ah
sesuai RIB/HIR, yaitu sebagai Penggugat melawan Tergugat (Pelaku Usaha PT. Solid
Gold) dan pihak BPSK harus ditarik sebagai salah satu Tergugat yang telah memutus
am
tidak sesuai dengan keinginan Pengadu;
Bahwa hal tersebut itu baru betul karena Pengadilan Negeri bukan Pengadilan banding yang meneruskan memeriksa atas putusan peradilan yang lebih bawah yang
ah k
ep
diminta bandingnya, sebab BPSK bukan peradilan yang berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Negeri, BPSK adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan antara pihak
In do ne si
R
Konsumen dengan pihak Pelaku Usaha yang undang-undangnya diatur khusus sebagai peraturan perundangan lex spesialis;
A gu ng
Bahwa PT. Solid Gold merasa bingung atas model gugatan yang memaksa
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara atas putusan dari lembaga yang tunduk
pada perundangan Lex Spesialis, sehingga seolah-olah Pengadilan Negeri “dipaksa” untuk “memeriksa banding” dengan Undang-Undang No. 8 Th 1999 yang “miliknya”
BPSK, sehingga si Penggugat menyebut pihaknya sebagai Pemohon Keberatan “quod non” yang seolah-olah telah meminta bandingnya, dengan menyalahkan putusan BPSK;
lik
Bahwa oleh sebab itu Termohon Keberatan (yang semestinya Tergugat) mohon agar gugatan Martinus Teddy Bahterawan ditolak atau setidak-tidaknya gugatan a
ub
dinyatakan tidak bisa diterima;
Bahwa pengajuan permohonan keberatan terdaftar dalam No. 274. Ternyata
ep
Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya rupanya bingung juga dari
ka
kolom No. …./Pdt.G.P/…. mana yang harus dicoret G atau P, ternyata yang pengajuan
tentang
permohonan
dari
Pemohon,
semestinya
pengajuan
on
Hal. 7 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
M
permohonan dari Pemohon harus tanpa pihak, tetapi dalam pengajuan Pemohon
es
ah
dicoret P, sehingga lengkapnya menjadi 274/Pdt.G/2010/PN.Sby, padahal
R
m
ah
Hal itu salah besar;
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 7
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
oleh Pemohon ternyata ada pihak/lawan, jadi nomor perkara menjadi perkara gugatan atau G bukan P atau permohonan;
ng
Dan apabila pengajuan perkara gugatan, maka yang mengajukan perkara tersebut sebagai Penggugat, sedangkan pihak yang digugat sebagai Tergugat; b
Konstelasi permohonan oleh Pemohon harus diajukan tanpa pihak. Sedang
gu
gugatan perkara No. 274/Pdt.G/2010 yang diajukan sebagai Pemohon Keberatan yang terjadi “Kebingungan” dalam hukum acara; I
Satu sisi, Pemohon Keberatan sebagai Pemohon ada. Pihak;
II
Sisi lain, permohonan Pemohon sebagai Pemohon Keberatan atas
ub lik
ah
A
atau sebagai Pemohon terdapat pihak dalam permohonannya tersebut. Maka
putusan BPSK, diajukan acara “mentah-mentah” untuk “dimintakan
am
banding” pada Pengadilan Negeri Surabaya. Padahal Pengadilan Negeri bukan peradilan banding. Dengan demikian bubarlah sudah Hukum Acara Perdata (RIB/HIR) ini;
ah k
ep
Bahwa karena gugatan salah yang dicampur dalam permohonan oleh Pemohon atas suatu permohonan yang semestinya tanpa pihak, maka atas gugatan yang salah
In do ne si
R
dalam aturan/tatacara sebagaimana yang diatur dalam Hukum Acara, seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya gugatan tidak bisa diterima;
A gu ng
Bahwa dalam pengajuan berperkara pada Pengadilan, hanya ada 2 (dua) yaitu
perkara gugatan jadi ada pihak di dalamnya dan permohonan yang tidak ada pihak di dalamnya;
Bahwa jadi apabila dalam suatu permohonan ternyata ada pihak lawan di
dalamnya, maka permohonan itu salah, yang untuk itu seyogyanya ditolak atau pengajuan permohonan tidak bisa diterima;
lik
dalil gugatan tersebut dan sebaliknya mengajukan gugatan balik (rekonvensi) yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
ub
Bahwa apa yang tertuang dalam Eksepsi maupun dalam Konvensi merupakan bagian utuh dan diulang dalam rekonvensi ini;
Penggugat Rekonvensi atau Pemohon Keberatan Rekonvensi hanya mohon agar
ep
ka
m
ah
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat telah menyangkal dalil-
apabila Penggugat Konvensi atau Tergugat Rekonvensi atau Termohon Keberatan Rekonvensi, hendak melaksanakan Akad Nikah baru mulai lagi kepada Pengembang
es
on
Rp106.092.000,- (seratus enam juta sembilan
Hal. 8 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
2007 s/d April 2010) sebesar
R
Palm Residence, harus memenuhi denda keterlambatan selama 2½ tahun (mulai Juli
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 8
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
puluh dua ribu rupiah) yang harus dibayar kontan (tunai) sekaligus, bertepatan Akad Kredit BPR (Bank Graha Mandiri) merealisasinya;
ng
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat dalam Rekonvensi menuntut kepada Pengadilan Negeri Surabaya supaya memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak seluruh gugatan Pemohon Keberatan untuk seluruhnya;
gu
I
II
Menghukum Termohon Keberatan Rekonvensi untuk membayar denda
A
keterlambatan sebesar Rp106.092.000,- (seratus enam juta sembilan puluh dua ribu rupiah) yang harus sekaligus dengan pelaksanaan Akad Kredit BPR
ub lik
ah
direalisir bertepatan dengan pembayaran denda keterlambatan sebesar Rp106.092.000,-;
Menghukum Termohon Keberatan Rek. Untuk membatalkan Pemesanan
am
III
Rumah Blok B-3, Karah, Jambangan, Surabaya dengan menerima pengembalian 50% Uang muka (50% x Rp54.000.000,-) = Rp27.000.000,-
ah k
ep
(dua puluh tujuh juta rupiah);
Bahwa, terhadap keberatan tersebut, Pengadilan Negeri Surabaya telah memberi berikut:
A gu ng
Menyatakan putusan BPSK Kota Surabaya No. 35/BPSK/III/2010 tertanggal 31 Maret 2010 tidak berkekuatan hukum;
MENGADILI SENDIRI: DALAM EKSEPSI: •
Menolak Eksepsi dari Termohon Keberatan atau Tergugat ;
DALAM KONVENSI:
Menolak gugatan Pemohon Keberatan atau Penggugat/Tergugat Rekonvensi;
Mengabulkan gugatan dari Tergugat/Penggugat Rekonvensi sebagian;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI: •
ub
•
lik
DALAM REKONVENSI:
Menghukum Penggugat/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini;
ep
ka
m
ah
•
In do ne si
R
putusan Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby tanggal 25 Mei 2009 yang amarnya sebagai •
MENGADILI:
Maret 2010 tidak berkekuatan hukum;
ng
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut telah diucapkan
on
Hal. 9 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
dengan hadirnya Pemohon Keberatan/Penggugat pada tanggal 25 Mei 2009 terhadap
es
R
- Menyatakan putusan BPSK Kota Surabaya No. 35/BPSK/III/2010 pada tanggal 31
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 9
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
R
putusan tersebut, Pemohon Keberatan/Penggugat dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 April 2010 mengajukan permohonan kasasi
ng
pada tanggal 8 Juni 2010, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Surabaya, permohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
gu
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 22 Juni 2010;
Bahwa, setelah itu, oleh Termohon Keberatan/Tergugat yang pada tanggal 15 Juli
A
2010 telah disampaikan salinan memori kasasi dari Pemohon Kasasi (Pemohon
Keberatan/Penggugat), diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan 23 Juli 2010;
ub lik
ah
Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
am
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
ep
ah k
Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
1
In do ne si
DALAM KONVENSI.
R
(Pemohon Keberatan/Penggugat) pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan atau keliru dalam
A gu ng
menerapkan hukum dan memberikan pertimbangan hukum, terutama dalam mempertimbangkan ada tidaknya klausul baku sebagai berikut:
2
Bahwa Pemohon Kasasi mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri Surabaya dengan Nomor Register perkara No. 274/Pdt.G/2010/ PN.Sby atas putusan badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya
tersebut pada tanggal 7 April 2010 (Mohon Periksa Keberatan Pemohon
Kasasi) akan tetapi Judex Facti baru memberikan putusan atas keberatan
lik
ah
dimaksud pada tanggal 25 Mei 2010 (vide Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 274/ Pdt.G/2010/PN.Sby halaman 34);
Bahwa berarti Judex Facti memberikan putusan dimaksud dalam waktu
ub
m
3
46 (empat puluh enam) hari sejak diterimanya keberatan, padahal
ep
ka
undang-undang No. Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 58 ayat (1) menyatakan: “Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan
ah
putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2)
es on
Hal. 10 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
M
keberatan”;
R
dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 10
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Bahwa dengan demikian Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau
R
4
tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya;
Bahwa sidang pertama perkara a quo adalah tanggal 20 April 2010
ng
5
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
(mohon periksa relaas dalam perkara a quo) akan tetapi Judex Facti baru
memberikan putusan atas keberatan dimaksud pada tanggal 25 Mei 2010
gu
(vide Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 274/Pdt.G/2010/PN.Sby halaman 34);
A
6
Bahwa berarti Judex Facti memberikan putusan dimaksud dalam waktu
35 (tiga puluh lima) hari sejak sidang pertama. Hal ini bertentangan
ub lik
ah
dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
am
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 6 ayat 7 menyatakan: “Majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan;
Bahwa dengan demikian Judex Facti telah salah menerapkan dalam
ep
ah k
7
8
In do ne si
mestinya.
R
menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana Bahwa alasan lebih lanjut Pemohon Kasasi adalah sebagai berikut:
A gu ng
dalam perkara a quo Pemohon Kasasi mempersoalkan adanya klausul
baku yang tercantum dalam Surat Pemesanan Rumah – (vide bukti P-3) Pasal III – yang menyatakan: “….maka seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT. SOLID Gold dan tidak dapat dituntut kembali.” Dan berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli – (vide bukti P-4) Pasal 2 – yang menyatakan: “….seluruh uang yang telah dibayarkan
oleh pihak kedua kepada pihak kesatu menjadi hangus dan tidak dapat
9
lik
ah
dituntut kembali…”;
Bahwa pihak kesatu dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut
ub
m
adalah Termohon Keberatan/Termohon Kasasi dan Pihak Kedua adalah Pemohon Keberatan/Pemohon Keberatan sedangkan seluruh uang yang
ep
ka
telah dibayar Pemohon Keberatan/Pemohon Kasasi kepada Termohon Keberatan/ Termohon Kasasi berdasarkan bukti P-5 s/d P-11 adalah
ah
Rp54.000.000,- + Rp24.625.000,- + biaya Notaris Rp3.000.000,- +
M
seratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus rupiah) yang merupakan
on
Hal. 11 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
kerugian materiel yang diderita Pemohon Kasasi. Kerugian immateriel
es
R
BPHTB Rp5.542.900,- = Rp87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 11
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
R
juga diderita Pemohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
ng
10 Bahwa Pasal V Surat Pemesanan Rumah tersebut dan Pasal 2 perjanjian dimaksud juga mencantumkan adanya denda masing-masing sebesar 2 dan 3%;
gu
11 Bahwa ini berarti bahwa Termohon Kasasi dalam Surat Pemesanan
Rumah dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (vide bukti P-3 dan P-4)
A
telah menyatakan menolak menyerahkan kembali uang yang telah
dibayar Pemohon Kasasi, serta penerapan sanksi denda bagi Pemohon
ub lik
ah
Kasasi atau dengan kata lain Termohon Kasasi telah mencantumkan
klausula baku dengan Surat Pemesanan Rumah dan Perjanjian
am
Pengikatan Jual Beli tersebut;
12 Bahwa pencantuman klausula baku merupakan suatu larangan bagi Termohon Kasasi yang harus ditaati oleh Termohon Kasasi karena sudah
ah k
ep
ditentukan oleh hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan:
In do ne si
R
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
A gu ng
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
b
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
lik
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; d
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
ub
m
ah
c
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang bertugas aturan baru,
ep
ka
e
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh Bahwa dengan demikian adalah jelas bahwa Termohon Kasasi telah
on
Hal. 12 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
M
memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU dimaksud sehingga melakukan
es
1
R
ah
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”;
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
R
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999;
Bahwa pencantuman klausul baku yang dilarang tersebut berakibat
ng
2
bahwa klausul baku menjadi batal demi hukum berdasarkan UU No. 8/1999 Pasal 18 ayat 3 yang menyatakan: “Setiap klausula baku yang
gu
telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
A
dinyatakan batal demi hukum”;
3
Bahwa selain dari pada itu Judex Facti telah salah atau keliru dalam
ub lik
ah
menerapkan hukum karena Judex Facti di satu sisi telah mengakui dan menerapkan
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
am
Perlindungan Konsumen ketika memberikan pertimbangan hukum menyangkut hal yang bersifat formil mengenai hukum acara dalam perkara a quo (vide putusan Judex Facti halaman 26 dan 28), dengan
ah k
ep
merujuk pada UU tersebut Pasal 56 angka 2, Pasal 54 dan 50 (vide putusan Judex Facti halaman 27), Akan tetapi di sisi lain Judex Facti
In do ne si
R
tidak menerapkan UU yang sama ketika memberikan pertimbangan tentang substansi atau materi perkara (vide putusan Judex Facti halaman
A gu ng
28, 29 dan 30);
4
Bahwa begitu pula Judex Facti salah atau keliru dalam menerapkan
hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya karena Judex Facti dalam memberikan pertimbangan hukum tentang perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam bukti P-4 tidak memperhatikan atau
menerapkan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu unsur “adanya sebab atau klausul yang halal” dalam hal ini tidak bertentangan dengan hukum
lik
ah
atau peraturan perundangan yang ada yaitu UU No. 8 tahun 1999 yang melarang adanya klausul baku dalam semua dokumen dan/atau
ub
m
perjanjian. Sedangkan dalam Perjanjian dan Surat pemesanan Rumah sebagaimana dimaksud bukti P-3 dan P-4 terdapat klausul baku yang
ep
ka
dilarang dan memenuhi ketentuan dilarangnya klausul baku oleh UU tersebut, Apalagi Judex Facti sendiri menyatakan: “….kebebasan
ah
berkontrak adalah kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang
M
saja asal tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kepatutan dan
on
Hal. 13 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
ketertiban umum” (vide putusan Judex Facti halaman 29);
es
R
diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 13
Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon
R
5
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
agar Termohon Kasasi dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan
ng
atau melanggar hukum yaitu terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon agar Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007
gu
tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 dinyatakan batal demi hukum sepanjang mengenai klausul
A
baku, dan proses transaksi pembelian rumah dimaksud antara Pemohon
ah
dan/atau bunga apa pun; 6
ub lik
Kasasi dan Termohon Kasasi tetap dilanjutkan tanpa ada sanksi denda
Bahwa oleh karena Termohon Kasasi telah melakukan pelanggaran
am
terhadap undang-undang atau hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berarti Termohon Kasasi melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum atas diri
ah k
ep
Pemohon Kasasi. Oleh karena itu adalah beralasan pula jika Pemohon Kasasi mohon agar Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti
In do ne si
R
rugi kepada Pemohon Kasasi untuk kerugian materiel sebesar Rp 87.167.900,- (delapan puluh tujuh juta seratus enam puluh tujuh ribu
A gu ng
sembilan ratus rupiah) dan kerugian immateriel Rp500.000.00,- (lima ratus juta rupiah);
DALAM REKONVENSI. 7
Bahwa Pemohon Kasasi menolak keras dalil Termohon Kasasi kecuali apa yang secara tegas diakui Pemohon Kasasi;
8
Bahwa alasan Termohon Kasasi mengajukan gugatan rekonvensi adalah
mengada-ada dan tanpa dasar hukum yang kuat dan bahkan tanpa
lik
ah
disertai bukti sama sekali (mohon periksa putusan Judex Facti halaman 10 sampai dengan 22);
Bahwa dengan demikian adalah beralasan jika Pemohon Kasasi mohon
ub
9
m
agar gugatan rekonvensi Termohon Kasasi ditolak atau dikesampingkan
ep
atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima; berpendapat: mengenai alasan ke 1 s/d 21:
Bahwa, alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti
on
Hal. 14 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
A
gu
ng
secara saksama memori kasasi tanggal 22 Juni 2010 dan kontra memori kasasi tanggal
es
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung
R
ka
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 14
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
23 Juli 2010 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Negeri Surabaya telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pengadilan Negeri/Judex Facti salah menerapkan hukum karena
ng
•
telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) c UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang dibuat atau
gu
dicantumkan klausula baku, terutama tentang larangan pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
A
dan jasa, padahal klausula yang demikian sudah dicantumkan dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Pemesanan Rumah, sehingga
ub lik
ah
perjanjian tersebut seharusnya dinyatakan batal demi hukum dan Termohon Keberatan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum;
am
•
Bahwa Pemohon Keberatan masih tetap berkehendak melanjutkan transaksi pembelian rumah/perjanjian jual beli sehingga petitum ini dapat
ep
dikabulkan;
ah k
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
In do ne si
R
Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY ARUS BAHTERAWAN tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 274/Pdt.G/2010/PN.Sby
A gu ng
tanggal 25 Mei 2009 yang membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Nomor 35/BPSK/III/2010 tanggal 31 Maret 2010 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat
dikabulkan, maka Termohon Kasasi/Tergugat harus dihukum untuk membayar biaya
lik
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
ub
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
ep
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MARTINUS TEDDY
on
Hal. 15 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
ARUS BAHTERAWAN tersebut;
es
MENGADILI
R
ka
m
ah
perkara pada semua tingkat peradilan;
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 15
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
R
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor PN.Sby tanggal 25 Mei 2009;
ng
MENGADILI SENDIRI
274/Pdt.G/ 2010/
1 Mengabulkan keberatan Pemohon Keberatan untuk sebagian;
2 Menyatakan Termohon Keberatan telah melakukan perbuatan melawan
gu
hukum yaitu telah melakukan pencantuman klausula baku;
A
3 Menyatakan Surat Pemesanan dan Pengikatan Jual Beli batal demi
hukum;
4 Menyatakan Surat Pemesanan Rumah No. 01/VII/2007 tertanggal 17 Juli
ub lik
ah
2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 sepanjang mengenai pencantuman klausula baku mengenai tidak dapatnya Pemohon
am
Keberatan untuk menuntut atau meminta kembali uang yang telah dibayar Pemohon Keberatan kepada Termohon Keberatan dan penerapan denda adalah batal demi hukum;
ah k
ep
5 Menghukum Termohon Keberatan untuk terus memproses transaksi pembelian rumah sebagaimana dimaksud Surat Pemesanan Rumah No. 01/
In do ne si
R
VII/2007 tertanggal 17 Juli 2007 dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tertanggal 16 Mei 2008 tanpa denda dan/atau bunga apapun;
A gu ng
6 Menolak keberatan Pemohon Keberatan untuk selain dan selebihnya;
Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara pada
semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar (lima ratus ribu rupiah);
Rp500.000,00
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis tanggal 30 Mei 2013 oleh Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH. Hakim Agung
dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M.
lik
Soroinda Nasution, SH.,M.Hum.
Hakim Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan
ub
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-Anggota tersebut dan dibantu oleh Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak;
ep
A
gu
ng
Ttd./Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH.,LL.M.
Ttd./
es
Ttd./H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.,M.Hum.
Ketua
Dr.H. Abdurrahman, SH.,MH.
on
R
Anggota-anggota
Hal. 16 dari 17 hal Put. Nomor ..... K/Pdt.Sus/.....
In d
ka
m
ah
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Mahdi
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 16
ep u
b
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
In do ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
ng
R
Panitera Pengganti
Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH.
: Rp 6.000,00 : Rp 5.000,00 : Rp489.000,00 + : Rp500.000,00
A
gu
Biaya-biaya: 1. Meterai 2. Redaksi 3. Administrasi Kasasi Jumlah
Ttd./
Untuk Salinan
ub lik
ah
MAHKAMAH AGUNG R.I. An. Panitera
ah k
ep
am
Panitera Muda Perdata Khusus
( RAHMI MULYATI, SH.MH. )
es on
Hal. 17 dari 17 hal Put. Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A gu ng
In do ne si
R
NIP : 19591207 1985 12 2 002
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 17