JURNAL NANGGROE ISSN 2302-6219 Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
ARTIKEL LEPAS
Perkembangan Mukim di Aceh Mukhlis1
Abstract Correspondence:
[email protected] 1.
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan Lhokseumawe
Keberadaan Mukim di Aceh mengalami pasang surut dari masa ke masa di mulai pada masa kesultanaan Aceh, pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang, awal kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi hingga saat ini. Terkait dengan perkembangannya tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan politik dan pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menyebabkan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan. Keywords: Mukim dan Perkembangannya, Aceh
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 1
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
LATAR BELAKANG
kabupaten/kota, kecamatan, mukim dan gampong.2
Keberadaan Mukim di Aceh mengalami pasang surut dan sejarah
Sejak diberlakukan Undang-
panjang dari masa ke masa, dimulai
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
pada
Aceh,
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
pemerintahan Belanda, pemerintah-
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
an Jepang, awal kemerdekaan, orde
1979 tentang Pemerintahan Desa,
lama, orde baru, orde
mukim
masa
kesultanaan
reformasi
tidak
lagi
hingga saat ini. Saat ini mukim
pengakuan
merupakan salah satu keistimewaan
tidak lagi berkedudukan sebagai unit
dan
pemerintahan
kekhususan
yang
dimiliki
dari
mendapat
pemerintah dalam
dan
struktur
Provinsi Aceh yang diatur dalam
pemerintahan di Aceh. Namun di
berbagai
daerah pedalaman atau pedesaan
peraturan
perundang-
undangan.
keberadaan
mukim
masih
tetap
dipertahankan oleh masyarakatnya, Pasal
2
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006, menyebutkan
meskipun
kedudukannya
dalam
hukum nasional menjadi melemah.3
bahwa Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota,
Kabupaten/kota
Mukim
secara
konseptual
dibagi atas kecamatan, kecamatan
juga merupakan sebagai salah satu
dibagi atas mukim, mukim dibagi
pelaksana pemerintahan dan adat di
gampong.1
Aceh. Pembaharuan Mukim masih
tersebut,
terbatas pada susunan organisasi
atas
kelurahan
Berdasarkan
dan
ketentuan
susunan lembaga pemerintahan di
pemerintahan.
Aceh
balikan mukim sebagai lembaga
meliputi
propinsi,
pemerintahan
1
2
Adapun kelurahan di Aceh sudak tidak dikenal yang dihapus berdasarkan Pasal 267 UU No. 11 Tahun 2006 yaitu dihapus dengan qanun kabupaten/kota. Sebelumnya juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001tentang Otonomi khusus bagi
Untuk khas
mengemdi
Aceh,
provinsi DI Aceh sebagai Provinsi NAD. 3
Teuku Djuned (et.al.), Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Banda Aceh: Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, 2006, hlm. 38.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 2
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
diperlukan sebuah upaya yang perlu
مقيمartinya (tinggal) di. Lebih lanjut
dilakukan dalam memperjuangkan
dijelaskan مقيمون
dan sekaligus revitalisasi keberadaan
yang mukim.5
mukim.
dalam
di
Arab-Indonesia
مقيمون
adalah
di
hadapan orang banyak atau orang
Berdasarkan belakang
Muhammad Yunus
kamus
mengartikan PERMASALAHAN
artinya (orang)
uraian
atas,
diidentifikasikan
latar
yang tinggal tetap.6
dapatlah
masalah
yaitu
Kamus Indonesia
Besar
Bahasa
menjelaskan
mukim
bagaimanakah perkembangan Mukim
adalah 1) orang yang tetap tinggal di
di Aceh?
Mekkah (lebih dari satu masa haji); penduduk tetap; 2) tempat tinggal;
ISTILAH MUKIM
kediaman; 3) daerah (di lingkungan
Istilah Mukim berasal dari
suatu mesjid); 4) kawasan.7 Kamus
bahasa Arab yaitu muqim yang
Aceh Indonesia mengartikan mukim
berarti penduduk suatu tempat atau
adalah daerah lingkungan mesjid
tempat
berarti
tempat
“berkedudukan pada suatu tempat”.
Jum’at,
Oleh
pemerintahan di bawah seorang
tinggal.
orang
sebagai
Mukim
Aceh
suatu
diterjemahkan
wilayah
tempat
menetap yang terdiri dari beberapa perkampungan.4
Kamus
4
imeum,
Snock Hugrange, The Achehnese, diterjemahkan Singarimbun (et.al.), Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, hlm. 90.
5
A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa Arab, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 956.
6
Muhammad Yunus, Kamus ArabIndonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989, hlm. 363.
bersembahyang
daerah
Istilah
hukum
daerah
berpemerintahan sendiri.
Akbar
Bahasa Arab menyebutkan - يقيم- اقام
orang
ini
yang 8
berkaitan
erat
dengan keyakinan orang Aceh yaitu 7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1995, hlm 670.
8
Aboe Bakar (et.al.), Kamus Aceh Indonesia 2, Seri M-Y, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hlm. 617.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 3
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Agama Islam. Mazhab Syafi’i yang
dianut oleh orang Aceh. Senada
dianut
dengan hal tersebut Anthony Reid
oleh
masyarakat
hampir
Aceh,
seluruh
bahwa
shalat
juga
mengatakan
mukim
pada
Jumat baru dianggap sah apabila
awalnya adalah himpunan beberapa
jumlah
desa
makmumnya
sekurang-
untuk
mendukung
sebuah
kurangnya 40 orang pria dewasa dan
mesjid yang dipimpin oleh seorang
berpikiran sehat. Sementara jumlah
imam (bahasa Aceh Imuem).9
penduduk pria dewasa di setiap Pendapat
gampong hampir tidak mencukupi
agak
berbeda
jumlah tersebut. Apabila jumlahnya
dikemukakan oleh Van Langen, yaitu
tidak cukup 40 orang, berarti Shalat
dasar jumlah penduduk untuk setiap
Jum’at tidak dapat dilaksanakan.
mukim pada mulanya ditetapkan
Oleh karenanya, dibentuk kumpulan
1.000 orang laki-laki
gampong (federasi gampong) yang
tempur, tetapi karena alasan-alasan
disebut
serupa
mukim
sehingga
dapat
sehingga
yang siap dilakukan
tercapai jumlah yang diisyaratkan
pembagian-pembagian
kampong,
itu.
maka hal itu dengan sendirinya berpengaruh pula bagi mukim.10 Pendapat yang sama juga Sekelompok gampong yang
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje bahwa
perwilayahan
mempunyai keperluan
asal
jumlah
menyelenggarakan sebagaimana
muasal shalat
ketentuan
mukim
penduduknya bersembahyang jum’at
pada
dalam mesjid dan pada mulanya
jamaah
memiliki seribu orang siap tempur,
Jumat Mazhab
Syafi’i yang merupakan mazhab yang
dinamakan
Anthony Reid, The Contest for North Sumatra, the Nedherlands and Britian 1858-1898, Oxford University Press, 1969 kemudian diterjemahkan oleh Masri Maris, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Ke-19, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, edisi kedua, 2007, hlm 3.
yang
diperintahkan oleh seorang kepala bergelar dianggap
9
mukim
10
imeum,
Mukim
sebagai
dapat
kesatuan
K.F.H. Van Langen, De Inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat, 'S-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1888, dialih bahasa (diterjemahkan) oleh Aboe Bakar, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Pusat Dokumentasi Informasi Aceh, Banda Aceh, 2001, hlm. 13.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 4
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
ketatanegaraan
organisasi
terlaksananya
kewajiban
ibadah.
pemerintahan Aceh.11 Lebih lanjut
Gelar imeum berkaitan erat dengan
Van Langen menyebutkan:
meusigit (Mesjid) serta ibadah yang berlangsung di dalamnya.13 Rusdi
“Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan Aceh dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Iskandarmuda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik selaku kepala urusanurusan keduniawian maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari, bahwa kerajaan Aceh sebagai sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Jika pada masa itu kampong merupakan satu kesatuan masyarakat dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah oleh seorang ketua dinamakan keuchik, maka Iskandarmuda menetapkan, bahwa tempat-tempat atau kampung-kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim”.12 Aceh
awalnya
secara
geopolitik, terbagai dari kerajaankerajaan kecil yang terpisah. Pada mulanya
pemimpin
mukim
adalah
(Imam)
yang
dari
sebuah
seorang
imeum
mengemban
tugas
sepenuhnya atau sebagian bersifat
Sufi menjelaskan bahwa: “Bentuk teritorial yang lebih besar dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari jumat di sebuah mesjid. Pimpinan Mukim disebut Imuem Mukim. Imuem Mukim inilah bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari jumat di mesjid. Pada mula dibentuk setiap Mukim diharuskan sekurangkurangnya mempunyai 1.000 (seribu) orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya untuk tujuan politis, yaitu apabila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkemba-nganya fungsi Imuem Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepalakepala kampong atau keuchiekkeuchiek. Dengan berubahnya fungsi Imuem Mukim berubah pula nama panggilanya, yakni Kepala Mukim. Untuk Pengganti imam sembahyang yang pada hari jumat di sebuah mesjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid”.14
keagamaan dengan mengusahakan agar tegaknya hukom (syariat) dan 11
Ibid., hlm 24.
14
12
Ibid., hlm. 11.
13
Singarimbun (et.al.), Op. Cit., hlm. 91‐93.
Rusdi Sufi (et.al.), Sejarah Kebudayaan Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2004, hlm. 14-15.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 5
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Hilman
Hadikusuma
mana mestinya ketika berkuasanya
mukim
ini
Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim
merupakan kesatuan dari beberapa
Mughayat Syah atau sekitar Tahun
gampong
yang
913 Hijriah atau 1507 Masehi. Dalam
merupakan persekutuan bercorak
Pasal bab kedua, ayat dua, nomor
mengatakan
bahwa
(kampung) Islam.15
keagamaan
Hasjmy
sepuluh dari Qanun Syara’ Tahun
menambahkan mukim merupakan
1270 Hijriah tersebut dinyatakan
federasi
jumlah gampong atau meunasah dari
dari
Ali
gampong-gampong,
yang mana satu mukim paling kurang terdiri
dari
Federasi
delapan
mukim
gampong.
dipimpin
oleh
seorang Imeum dan seorang Kadli. Pada
tiap-tiap
mukim
didirikan
paling kurang sebuah mesjid.16 Berpedoman
pada
naskah
Qanun Syara’ Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek17 pada 1270
Hijriah,
berkuasanya
atau
pada
Sultan
masa
Alauddin
Mansyur Syah (mulai memerintah pada
Tahun
disimpulkan mukim
1257 bahwa
sebagai
sebuah mukim sebagai berikut:
H),
dapat
“Bahwa diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan, atas sekalian Geuchik-Geuchik masing-masing Gampong beserta Tuha Peut dan Imam Rawatib, dengan wakil Geuchik, jumlah tujuh orang pada tiap-tiap gampong, berhak memilih Imam (Imeum) Mukim. Sebab karena tiap-tiap satu Mukim itu satu Mesjid Jum’at didirikan, dengan ijmak mufakat ulama Ahli Sunnah wal Jamaah. Maka tiap-tiap satu Mukim, ada lima Meunasah, dan ada yang tujuh Meunasah, dan ada yang delapan Meunasah, dan sekurangkurangnya tiga Meunasah menurut ‘uruf tempatnya masing-masing”.18
keberadaan persekutuan
Memperhatikan Qanun
Syara’
kandungan
Kesultanan
Aceh
gampong-gampong di Aceh mulai
tersebut di atas, sebuah mukim
mendapatkan
paling
penataan
sebagai-
15
Hilman Hadikusuma, Ketatanegaraan Adat, Alumni, 1981, hlm. 70.
Hukum Bandung:
16
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 133- 134.
17
Teungku di Mulek adalah gelar dari Sayed Abdullah bin Ahmad Jamalullail, pada masa itu beliau
tidak
terdiri
dari
tiga
menetap di Garut Keutapang Dua, Aceh Rayeuk. Lihat juga Abdullah Sani, Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang dalam Qanun Syara’ Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin, Penerbit UKM, Bangi-Malaysia, 2005, hlm. 95. 18
Ibid., hlm. 92.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 6
ISSN 2302-6219
gampong,
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
lima
gampong,
tujuh
memerintah pada Tahun 1675-1677
dan
M. Namun lembaga mukim ini sudah
perkembangannya
eksis sejak Kesultanan Aceh hingga
sekarang banyak mukim yang terdiri
saat ini masih ada dan diakui oleh
dari lebih dari delapan gampong.
masyarakat Aceh dan hanya fungsi
Mukim sudah sangat membudaya
dan kewenangannya saja yang mulai
dalam
berbeda.
hingga
delapan
bahkan
dalam
gampong,
masyarakat
pemerintahan
dan
struktur
dan hukum adat di Berkaitan
19
Aceh.
tersebut Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan
bahwa
pada
ditetapkan
dengan
hal
awalnya
mukim
berdasarkan
keber-
kesatuan
adaanya berkaitan dengan shalat
masyarakat dalam sebuah mukim
jum’at yang merupakan aktivitas
terbentuk dengan meusigit (mesjid)
masyarakat
sebagai pusat kehidupan sosial dan
sebagai
agama. Keberadaan mukim diantara
Kemudian mukim merupakan suatu
para ahli sejarah belum ada kata
kebutuhan
sepakat kapan sebenarnya lembaga
kerajaan Aceh. Oleh karena para
mukim ini lahir. Ada yang menduga
pemuka agama merupakan tokoh
bahwa gampong dan mukim lahir
yang cukup dihormati dan disegani
dikala pemerintahan Iskandar Muda
oleh masyarakat pada masa itu,
dalam Tahun 1607-1636 M. Adapula
sehingga mukim ditetapkan sebagai
yang
salah satu level pemerintahan dalam
mengatakan
lembaga
ini
terkait
penganut
kepercayaan agama
untuk
memperkuat
dibentuk pada saat pemerintahan
kerajaan
sultanah
perkembangan-nya tidak lagi hanya
Ratu
Tadjul
Alam
Aceh.
Islam.
Mukim
Syafituddin Syah pada Tahun 1641-
sebatas
intitusi
1676 M, selain itu ada lagi yang
masalah
keagamaan
mengatakan gampong dan mukim
terlibat dalam urusan administrasi
ada
pemerintahan.
pada
Sultanah 19
saat
pemerintahan
Nafiatuddin
yang
dalam
mengurusi
tetapi
juga
yang
T. Djuned (et.al.), Implementasi Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Mukim Terhadap Eksistensi Pemerintahan Mukim, Laporan Penelitian, Banda Aceh: Kerjasama
Lembaga Penelitian Unsyiah dengan Satuan Kerja Penguatan Kelembagaan BRR NAD-NIAS, 2006, hlm. 6.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 7
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Terjadinya perubahan sebut-
dibentuk lembaga baru yang disebut
an Imeum menjadi Imeum Mukim
dengan Imeum Meusigit atau Imeum
dan lahirnya lembaga Imeum Chik
Chik. Pada masa Kesultanan Aceh,
atau Imeum Mesjid menunjukkan
jabatan Imeum Chik disebut juga
adanya proses evolusi dalam sistem
sebagai Kadhi Mukim.20
kelembagaan pada tingkat mukim. Mulanya Imeum menjalankan fungsi
Penggunaan istilah mukim,
dan wewenangnya dalam bidang
bukan merujuk kepada gelar atau
keagamaan, diantaranya mengatur
nama
dan mengurus kemakmuran mesjid
merupakan sebutan untuk sebuah
serta masalah-masalah keagamaan
wilayah, sekaligus sebagai lembaga.
lainnya.
Sedangkan pemimpin dari sebuah
jabatan.
wilayah Perkembangan
kemudian
mukim
Akan
tetapi
disebut
dengan
imuem mukim.
ketika jumlah masyarakat dalam sebuah mukim semakin banyak dan
EKSISTENSI
hubungan antar gampong menjadi
KESULTANAN ACEH
lebih
kompleks,
tentu
saja
diperlukan adanya lembaga atau pemimpin yang dapat mengkoordinir gampong-gampong sebuah
Mesjid
perkembangan tersebut,
dalam tersebut.
dinamika
Imeum
mendapatkan
lingkup Dari sosial
yang
sudah
legalitas
dari
masyarakat sebagai pemimpin umat yang bersifat spiritual dan ukhrawi, kemudian pemimpin
diangkat adat
yang
menjadi bersifat
duniawi. Untuk mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan (Hukom) yang sebelumnya diurus oleh Imeum, 20
MUKIM
PADA
MASA
Puncak kemajuan kebudayaan
Islam
dalam
arti
yang
sesungguhnya berlangsung selama abad ke-I7. Terutama pada waktu Kerajaan
Aceh
Darussalam
diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Iskandar Thani (1636-1641)
dan
Sultanah
Syafiatuddin (1641-1675). Sebagaimana disebutkan di atas, pada masa itu
pusat-pusat
kebudayaan
Islam
pengembangan tersebar
di
seluruh kerajaan, seperti Meunasah pada
tingkat
Gampong
(wilayah
A. Hasjmy, Op. Cit., hlm. 134.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 8
ISSN 2302-6219
terkecil
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
yang
diperintah
oleh
seorang Keuchiek), Mesjid dan Dayah pada
tingkat
Mukim
kerajaan
Islam
yang
mulai
bermunculan di sana.22
(gabungan
beberapa gampong diperintah oleh
Susunan pemerintahan pada
Imum Mukim), Nanggroe (gabungan
masa Kesultanan Aceh dalam dikenal
beberapa mukim diperintah oleh
ada lima tingkatan pemerintahan
seorang Ulèebalang), Sagi (gabungan
yaitu Kerajaan Aceh Darussalam,
beberapa nanggro diperintah oleh
selain dari Pemerintah Pusat, juga
Panglima Sagi) dan terutama sekali
terdiri dari wilayah-wilayah sampai
di ibu-kota kerajaan Bandar Aceh
pada tingkat paling rendah,23 yang
Darussalam.21
susunannya sebagai berikut:
Kesatuan
gampong
yang
Pemerintahan Gampong
berada dalam lingkungan sebuah mesjid,
merupakan
awal
dari
pembentukan lembaga pemerintahan mukim di Aceh (istilah mukim yang berarti, tempat tinggal, berasal dari bahasa Arab sebagaimana telah disebutkan
di
atas).
Kepala
pemerintah mukim disebut Imum Mukim; dan kemudian setelah Islam menggantikan agama Hindu-Budha sebagai kedudukan politik di daerah Aceh, mukim itu menjadi bagian dari struktur
pemerintah
kerajaan-
21
Zakaria Akmad (et.al.), Sejarah Pendidikan Daerah istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1984, hlm. 3.
22
Ibid., hlm. 14
23
Ali Hasjmy, Op.Cit., hlm 133-134.
24
Ibid.
Tingkat
pemerintahan
terendah,
yaitu
gampong
kampung
(Pemerintahan
Pimpinan
gampong
atau Desa).
terdiri
dari
Keuchik dan Teungku Meunasah, yang
dibantu
oleh
Tuha
Peut.
Teungku Meunasah disebut juga Imam Rawatib.24 Bentuk teritorial yang
terkecil
dari
susunan
pemerintahan kerajaan Aceh adalah gampong (kampung) yang dikepalai oleh seorang Keucik.25
25
Istilah yang digunakan menggunakan berbagai macam ejaan misalnya Geusyiek, keuchiek, keucik, keutjiek, keusyik, sebutan tersebut sesuai dengan logat (gaya bahasa) daerah masing-masing yang satu dengan yang lain berbeda. Istilah tersebut untuk daerah lain disamakan dengan kepala desa namun UU No. 11 Tahun 2006 menyebutkan dengan istilah
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 9
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Sebuah gampong terdiri atas beberapa kelompok rumah yang
village,27 (gampong itu merupakan satuan territorial terkecil).
mempunyai tempat ibadah sendiri yang disebut Meunasah. Keuchiek
Hubungan antara unsur adat
dalam memerintah gampong dibantu
dan agama dalam mengolola unit
pula oleh pejabat keagamaan yang
territorial di Aceh yang disebut
disebut Teungku Meunasah dan para
gampong dapat dilihat dengan jelas.
orang tua kampung yang disebut
Teungku meunasah merupakan unsur
Ureung Tuha. Senada dengan hal
agama
tersebut T. Alibasyah Talsya juga
mengurus
mengemukakan:
berkaitan
“Pemerintahan Gampông merupakan tingkat pemerintahan jang terendah, jang dipimpin oleh seorang Keutjhik dan dibantu oleh sebuah badan penasehat jang terdiri dari 4 orang dan dinamakan TUHA PEUET. Untuk urusan keagamaan dipimpin oleh seorang Teungku Meunasah. Dalam segala urusan masjarakat, keagamaan, pemerintahan di gampông selalu didjalankan atas dasar saling pengertian antara Keutjhik dan Teungku Meunasah. Oleh rakjat kedua mereka dianggap sebagai bapak dan ibu dari keluarga gampông.”26
keagamaan (hukum) dalam suatu
Snouck
Hurgrunje
menya-
adalah
gampong,
segala
yang
sesuatu
dengan sedangkan
yang
masalah geuchiek
adalah pejabat yang mewakili adat (pemerintahan). Pemerintahan Mukim Mukim merupakan federasi dari
gampong-gampong
yang
letaknya berdekatan, yang mana satu mukim terdiri dari beberapa gampong. Federasi mukim dipimpin oleh seorang Imeum dan seorang Kadli.
takan the smallest territorial unit is
didirikan
the gampong (Malay kampung) or
mesjid.28
Keuchik. Demikian juga dengan istilah gampong (desa). Imuem meunasah sering juga disebut dengan istilah teungku Imuem, sedangkan ureung tuha kemudian deterjemahkan menjadi Tuha Peuet Gampong (saat ini sejenis Dewan Perwakilan Desa untuk daerah lain di Indonesia).
pejabat
Pada paling
tiap-tiap
mukim
kurang
sebuah
26
T. Alibasjah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh, Pustaka Putroë Tjandèn, 1969, hlm. 23.
27
Snouck Hurgrunje, The Achehnese Vol I, Leyden, 1906, hlm. 56.
28
Ali Hasjmy, Loc.cit.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 10
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Gampong-gampong letaknya
berdekatan
penduduk-nya
yang
dan
melakukan
yang ibadah
bersama pada setiap hari Jum'at di sebuah Mesjid, merupakan suatu kekuasaan wilayah pula yang diberi nama
mukim.
yang
Sulthan Iskandarmuda dinamakan Imeuem sadja, disebut Mukim. Dalam mendjalankan urusan keagamaan Imeuem dibantu oleh seorang Ulama atau Imeuem Mesdjid. Pada tingkat Mukim djuga terdapat badan penasehat jang disebut Tuha Peuet”.29
memegang
Aceh Besar dan di Pidie
pimpinan mukim disebut Imeum
wilayah para uleebalang terdiri dari
Mukim.
beberapa mukim. Mereka dibantu
Dialah
yang
bertindak
sebagai Imeum (imam) sembahyang
oleh
pada setiap hari Jum'at yang diikuti
mengkoordinasi
sekurang-kurangnya oleh 40 orang
kampung (gampong) di dalam suatu
laki-laki dewasa.
mukim
imum
dan
merupakan Berubahnya Mukim,
berubah
fungsi
Imeum
pula
nama
mukim
yang
beberapa
buah
imum
mukim
penghubung
gampong-gampong uleebalang.
ini
antara dengan
30
panggilannya yakni kepala mukim. Untuk
pengganti
sebagai
imam
sembahyang pada setiap hari Jum'at
Pemerintahan
Ulee
Balang
(Nanggroe)
di sebuah mesjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imeum Mesjid dengan
(imam
mesjid).
pendapat
Senada
tersebut
T.
Alibasyah Talsya mengatakan:
Bentuk wilayah kekuasaan yang lebih besar daripada mukim yang disebut Nanggroe (Negeri). Di Aceh Inti (Aceh Proper), Nanggroe adalah gabungan dari beberapa buah
“Mukim meliputi beberapa Gampông dan dipimpin oleh Imeuem Rakjat, jang dalam masa pemerintahan 29
T. Alibasjah Talsya, Loc.cit.
30
Ibid., hlm. 40.
31
Uleebalang berarti selain sebagai pimpinan ketenteraan, juga sebagai pemimpin dalam suatu daerah yang ditunjuk oleh Sultan Aceh. Menurut C. Snouck Hurgronje, asal mula Uleebalang di Aceh adalah ketika salah seorang Sultan Aceh
mukim yang dikepalai oleh seorang uleebalang.31 Pemerintahan uleememberikan gelar tersebut kepada seorang penguasa di suatu tempat, karena ingin membalas jasa atas pengabdiannya kepada Sultan Aceh. Kepada penguasa itu diberi kepercayaan sebagai pimpinan ketenteraan di daerahnya. Tapi kemudian penguasa itu berusaha memonopoli kekuasaan di daerahnya itu. Lihat C. Snoeck
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 11
ISSN 2302-6219
balang
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
merupakan
pemerintahan
tingkat ketiga yang dipimpin oleh seorang Uleebalang.
perkara yang diadili terutama pada tingkat banding.
Kepala dari Ali
mukim-mukim (federasi/gabungan)
Hasjmy
menyebutkan
mukim ini yang mendapat gelar
dengan istilah Nanggrou, Daerah
Uleebalang. Di luar daerah Aceh Inti,
Nanggrou (Negeri) kira-kira sama
yaitu
dengan
di
daerah-daerah
yang
kecamatan
sekarang.
termasuk dalam kekuasaan kerajaan
Nanggrou dipimpin oleh seorang
Aceh, statusnya juga disamakan
Uleebalang
dengan Nanggroe seperti di Aceh
seorang Kadli Nanggrou.33
Inti.32
(Hulubalang)
dan
Para uleebalang menerima kekuasaan
langsung
dijalankan yang dibantu oleh suatu
Aceh.
daerah
Majelis Penasehat yang terdiri dari
mereka memerintah secara turun
cerdik-pandai,
temurun.
Pemerintahan kerajaan Aceh
alim-ulama
dan
Di
Namun
dari
Sultan
kekuasaannya sewaktu
ureung-ureung patot (orang-orang
memangku
patut). Kecuali dalam soal yang
pimpinan
kecil, ia selalu harus mendengarkan
mereka
pendapat
Majelis
pengangkatannya oleh Sultan Aceh.
sesuatu
Di dalam surat pengangkatan itu
keputusan diambil dan dijalankan.
harus dibubuhi cap stempel kerajaan
Selain menjadi Kepala Kepolisian
Aceh, yang disebut Cap Sikureung
dalam wilayahnya, Uleebalang juga
(Cap Sembilan) atau disebut juga cap
menjadi
Ketua
halilintar.
(Pengadilan
Uleebalang),
Penasehat
dan
nasehat
sebelum
Pengadilan dengan
seorang Kadli sebagai wakilnya dan beberapa orang Ulama dan cerdikpandai sebagai anggota. PerkaraHurgronje. De Atjehers…Op.Cit., hlm. 4. A.Hasjmy menerjemahkan Ulebalang (Ule=kepala, balangbatalyon; jadi Ulebalang= Komandan Batalyon. A. Hasjmy, Semangat….. Op.Cit., hlm.19.
jabatan
akan
di
daerahnya, harus
Tugas memimpin
sebagai disyahkan
uleebalang Nanggroe-nya
mengkoordinasi
maka
adalah dan
tenaga-tenaga
32
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1550-1675, Medan-Monora, 1972), hlm. 89.
33
Ali Hasjmy, Loc.cit.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 12
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
tempur dari daerah kekuasaannya
(1675-1678),
bila ada peperangan. Selain itu juga
menjadi lhee sagou (tiga-sagi). Tiap
menjalankan instruksi-instruksi dari
sagi terdiri dari sejumlah mukim.
Sultan, menyediakan tentara dan
Berdasarkan jumlah Mukim-mukim
perbekalan perang bila dibutuhkan
yang disatukan, maka ketiga sagi ini
oleh
dan
adalah sagi XXII Mukim, Sagi XXV
Sultan
Mukim dan sagi XXVI Mukim. Jabatan
Aceh. Meskipun demikian uleebalang
panglima sagou atau panglima sagi
masih
hanya terdapat di Aceh Besar saja
pemerintah
membayar
upeti
pusat kepada
merupakan
pemimpin-
Aceh
pemimpin yang sangat berkuasa di
dan
daerah
pemerintahan
mereka
masih
tetap
pemimpin
sendiri.
sebagai yang
Mereka
pemimpin-
merdeka
Inti
diadakan Ratu
dibagi
semenjak Nurul
Alam
(1675-1678), yaitu: Panglima Sagou
di
XXIV Mukim, Panglima Sagou XXV
daerahnya dan bebas melakukan apa
Mukim, Panglima Sagou XXII Mukim.
saja terhadap kawula di daerahnya. Berbeda dengan di tempat-
Misalnya dalam hal pengadilan dan
tempat lain, di Aceh Besar negeri-
menjatuhkan hukuman.
negeri ini membentuk federasi yang Pemerintahan Panglima Sagou
dinamakan sagi. Yang mempunyai pengaruh
terbesar
di
antara
Wilayah Aceh Besar dibentuk
uleebalang itulah yang diangkat
tiga buah federasi yang bernama
sebagai ketua federasi dengan gelar
sagou, yang di bawah masing-masing
panglima sagi dengan kekuasaan
sagou
buah
menjalankan segala sesuatu yang
nanggrou (negeri). Tiap-tiap sagou
menyangkut kepentingan bersama
(sagi)
saja,
terdapat
beberapa
dipimpin
oleh
seorang
sedangkan
panglima sagou dan seorang kadli
uleebalang
sagou.34
memerintah
Berdasarkan
tradisi,
pada
saat Kerajaan Aceh berada di bawah
yang
uleebalanglain
negerinya
tetap masing-
masing sebagaimana biasa tanpa intervensi dari mana pun juga.35
Sultan Nurul Alam Nakiatuddin Syah
34
Ibid.
35
Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta:
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 13
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Pemerintah
Pusat
(Kerajaan
Darussalam) Tingkat struktur
tertinggi
pemerintahan
dalam kerajaan
kekuasaan dalam negara, lembagalembaga negara dan lain-lainnya. Dalam masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Kanun Meukuta Alam disempurnakan lagi, sehingga menjadi sebuah undang-undang dasar negara yang lebih lengkap”.36
Aceh adalah pemerintahan pusat, yang
berkedudukan
Kerajaan.
Kepala
di
pemerintahan
pusat adalah Sultan. Sultan dalam mengendalikan
Para
Ibukota
pemerintahannya
dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-
ahli
sejarah
bahkan
mengatakan bahwa qanun Kerajaan Aceh tersebut juga dipakai oleh Sultah
Hasan,
yang
memimpin
Kerajaan Brunai pada waktu itu, Sultan Hasan mengatakan sebagai berikut: “Kerajaan ini mengambil
masing.
teladan dan isi undang-undang dasar Masa Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu
dalam menjalankan pemerintahan
Qanun al-Arsyi untuk kerajaan kita,
telah disusun suatu Undang-Undang
karena
Dasar. A Hasjmy menyebutkan:
kepada
benar-benar al-quran,
ulama dan qiyas. “Masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam, telah disusun sebuah undang-undang dasar kerajaan, sebagai penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang telah dibuat sebelumnya, yang dinamakan Kanun Meukuta Alam, atau disebutkan juga Adat Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut juga Adat Aceh. Dalam Kanun Meukuta Alam ini, diatur segala hal ihwal yang berhubungan dengan negara secara dasarnya saja, baik yang mengenai dengan dasar negara, sistem pemerintahan, pembahagian Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 150. 36
A. Hasjmy, 59 Tahun….Op.Cit., hlm. 130. Ada yang menyebutkan Qanun Meukuta Alam sering disebutkan dengan istilah Qanun al-Asyi.
bersumber
al-hadis,
ijma
37
Adapun
lembaga-lembaga
adat seperti panglima laot, kejruen blang,
pawang
glee,
peutua
seuneubok, haria peukan, syahbanda merupakan lembaga-lembaga yang bersifat otonom, yang menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing
37
Muslim Ibrahim, Langkah-langkah Penerapan Syariat di Aceh dalam Lahmuddin Nasution (et.al), Penerapan Syari’at Islam di Indonesia: antara Peluang dan Tantangan, Jakarta: Globalmedia Cipta Publising, 2004, hlm 178.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 14
ISSN 2302-6219
sesuai
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
dengan
tingkatan
pemerintahan.
perjanjian pendek dengan Belanda. Isi perjanjian ini secara singkat adalah sebagai berikut:
MUKIM
MASA
PEMERINTAHAN
BELANDA (1905-1942) Sekitar abad XV ketika kaum imperialis-kolonialis barat memulai petualangnya di Nusantara, Aceh tetap bebas sebagai sebuah negara yang berdaulat. Sungguhpun Belanda konflik dengan Aceh, tetapi tetap berjanji
pada
Inggris
untuk
menghormati kemerdekaan kerajaan Aceh Darussalam. Janji tersebut dituangkan dalam Traktat London 17 Maret 1824. Namun dengan berbagai kelicikannya berhasil menyakinkan Inggris untuk memberi peluang bagi Belanda
menguasai
Aceh,
yang
dituangkan dalam Traktat Sumatera 1
November
1871.
Dua
Tahun
kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh dengan korban kedua belah pihak.
38
pemerintahan padanya 38
Aceh uleebalang
Besar itu
di
daerah
terbagi
dalam
sejumlah mukim yang dikepalai oleh seorang imuem mukim. Di dalam setiap mukim terdapat sejumlah gampong
atau
meunasah
dikepalai
oleh
seorang
yang
keuchik
(kepala kampung). Sejak dahulu, daerah-daerah
uleebalang
itu
tergabung dalam tiga buah federasi yang dinamakan sagi, yang dikepalai oleh seorang panglima sagi secara turun temurun. Di luar federasi ini
Bagaimanakah seratus
“Pertama, bahwa negeri yang dikepalai oleh uleebalang itu merupakan bagian dari Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan Nederland; kedua, uleebalang tetap setia pada Ratu Belanda dan pada wakilnya Gubernur Jendral Hindia Belanda, tidak mengadakan hubungan dengan negara-negara asing, tunduk pada perintah Gubernur Aceh”. 39
keadaan
bumiputera?
Dari
uleebalang,
dari
lebih telah
menandatangai
Ambisi Belanda ingin menguasai Aceh sejak 26 Maret 1873 dengan ultimatum perang kepada Sulthan Aceh.
terdapat pula mukim-mukim yang berpemerintahan
sendiri,
yang
imuem-imuemnya tidak tunduk di bawah
39
uleebalang
tetapi
sama
Keputusan Majelis Rendah Belanda Tahun sidang 1900-1, 169 No, 26, 27 dan No. 47, dalam Tractaten Van Sumatra, Algemene Rijks-archif, Den Haag. Dalam Ibid.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 15
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
derajatnya
dengan
seorang
uleebalang.40
mereka
tunjangan
pemerintah kolonial Belanda.41
Daerah Aceh Utara dan Aceh Timur
memerlukan
terdapat
daerah-daerah
Setelah Belanda menguasai daerah
Aceh,
maka
Kesultanan
uleebalang semacam susunan yang
dihapuskan. Sebelum Tahun 1918 di
disebut uleebang cut, uleebalang
Kutaradja
peuet,
ditempatkan
uleebalang
sebagainya,
yang
lapan,
dan
(Banda seorang
Atjeh) Gouverneur
masing-masing
van Atjeh en Onderhoorigheden, dan
terbagai pula dalam kesatuan yang
dalam Tahun 1918 diganti dengan
lebih kecil lagi, gampong, yang
seorang Gouverneur biasa (Civiel
dikepalai oleh keuchik atau peutua.
Gouverneur).42 Dengan terbentuknya
Pembagian atas mukim tidak dikenal
Gouvernement
di wilayah-wilayah ini.
dijadikan Keresidenan yang dipimpin
Sumatera,
Aceh
oleh seorang Resident. Keresidenan Daerah Aceh, seperti halnya
Aceh dibagi atas beberapa Afdeling
di daerah-daerah lain di kepulauan
yang
Nusantara,
Assistent-Resident,
kebijaksanaan
dikepalai
oleh
seorang
dan
afdeling-
pemerintahan kolonial dijalankan
afdeling di bagi lagi atas beberapa
dengan
Onder-Afdeling yang dikepalai oleh
perantaraan
aparatur
pemerintahan adat dalam bentuk
seorang
swapraja
kesemuanya
yang
dikepalai
uleebalang.
Posisi
uleebalang
ini
dukungan
pemerintah
oleh
politik
para
diperkuat
oleh
Controleur, itu
terdiri
pamongpradja bangsa Belanda.
yang dari 43
Hindia
Keresidenan Aceh pada saat
Belanda. Mereka tidak lagi khawatir
pemerintahan Belanda dibagi dibagi
akan peperangan yang selalu terjadi
atas
di antara sesama mereka seperti di
dikepalai oleh seorang Assistent-
masa-masa
Resident,
yang
lalu.
Untuk
4
(empat) dan
Afdeling
yang
Afdeling-afdeling
memperkuat kedudukan ekonominya
dibagi lagi atas beberapa Onder-
40
Ibid.
42
41
Ibid., hlm. 134
T. Alibasjah Talsya, 10 Tahun ...Op Cit, hlm. 25.
43
Ibid.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 16
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Afdeling yang dikepalai oleh seorang
Wewenang mukim pada masa
Controleur, yang kesemuanya terdiri
kolonialisme
dari
sebagai koordinator para keuchik
pamongpradja
bangsa
Belanda44.
Belanda,
pertama,
(kepala desa) dalam wilayah mukim. Kedua,
Sebagaimana telah diuraikan
menerima
institusi
di
perintah
atasnya
dari
uleebalang.
di atas bahwa struktur pemerintahan
Ketiga,
di Aceh pada masa penjajahan
kepada keuchik dan sekaligus dan
Belanda terdiri gubernuran yang
sekaligus sanksi sanksi terhadap
kemudian diganti dengan daerah
setiap bentuk pelanggaran hukum
keresidenan
masyarakat
yang
di
bawahnya
memberikan
terdapat afdeeling, yang di bawah
membuat
afdeeling
pembangunan
terdapat
onderafdeeling.
Di
lagi
adat.
perintah
Keempat, perencanaan
yang
disetujui
bawah
uleebalang dan didukung oleh para
onderafdeeling ini dibagi-bagi lagi
keuchiek. Kelima, dalam perkara
atas
telah
sipil termasuk sengketa atau konflik
disebutkan yaitu uleebalangschap,
antar masyarakat dan konflik antar
yang di bawah uleebalangschap ini
gampong
masih terdapat pembagian lagi yang
menerima
disebut dengan nama mukim dan
memanggil
selanjutnya di bagi atas wilayah
bersengketa untuk melakukan sidang
kekuasaan terkecil yang disebut
secara
dengan
menetapkan sanksi sesuai dengan
distrik-distrik
nama
yang
gampong
(dalam
bahasa Indonesia disebut kampung).
(desa),
mukim
berhak
pengaduan
dan
para
adat
pihak dan
yang
sekalligus
kesepakatan dalam sidang.
45
Gampong adalah merupakan wilayah pemerintahan yang terkecil yang
Pada masa kolonial Belanda
terdapat di Aceh sampai pada saat
pemerintahan mukim yang dipimpin
berakhirnya kekuasaan Belanda di
oleh Imum Mukim tetap diakui
Aceh.
bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur van
44
Ibid., hlm 26-27.
45
Harley (ed), Mukim Masa ke Masa, Banda Aceh, JKMA, hlm. 136.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 17
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Nederland Indie Nomor 8 Tahun
Son. Kesepuluh Syu yang dibentuk itu
1937.
adalah
Aceh,
Sumatera
Timur,
Sumatera Utara Sumatera Barat, MUKIM PADA MASA PENDUDUKAN
Riau, Bengkulu, Jambi, Palembang,
JEPANG
Lampung dan Bangka Belitung dan
Sebelum membahas keadaan Mukim
di
Aceh,
pada
Tapanuli.46
zaman
Susunan
pemerintahan
di
pendudukan Jepang sejak Tahun
Aceh seperti yang telah diatur pada
1942-1945, terlebih dahulu akan
waktu pemerintahan Belanda adalah
digambarkan
merupakan
situasi
menjelang
sebuah
Keresidenan,
masuknya Jepang ke Aceh guna
yang
mendapat
Residen. Keresidenan Aceh dibagi
suatu
gambaran
yang
umum sifatnya.
sistem pemerintahan di Aceh, tidak melakukan
perubahan
terhadap sistem pemerintahan yang telah diciptakan oleh pemerintah Belanda.
Struktur
pemerintahan
Belanda masih diteruskan, hanya saja sebutan nama-nama diganti dengan nama Jepang. Demikian pula penguasa-penguasa atau pejabatpejabat
oleh
seorang
atas 4 Afdeling yang dikepalai oleh
Jepang dalam penyusunan banyak
diperintah
pemerintahan
dipegang
langsung oleh pembesar-pembesar militer Jepang.
seorang Asisten residen, yaitu: 1. Afdeling
Groot
Atjeh
dengan
ibukotanya Kutaraja, 2. Afdeling Weskust
van
Atjeh,
dengan
ibukotanya Meulaboh. 3. Afdeling Noordkust
van
Aceh
dengan
ibukotanya Sigli, dan 4. Afdeling Ooskust
van
ibukotanya
Atjeh
Langsa.
dengan Afdeling-
Afdeling ini dibagi lagi atas beberapa Onder
Afdeling
dikepalai
oleh
seorang Controleur, yang jumlah seluruhnya 22 Onder Afdeling. Dari tingkat Residen sampai Controleur di
Pemerintah militer Jepang di
pegang
oleh
bangsa
Belanda.
Sumatera membentuk 10 (sepuluh)
Selanjutnya Onder Afdeling dibagi
Keresidenan (Syu), yang terdiri atas
lagi atas distrik-distrik yang dikenal
Bunsyu (sub Keresidenan), Gun dan 46
Ibid., hlm. 8.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 18
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Uleebalangschap.47
Membicarakan masalah sikap
Distrik ini dibagi atas mukim-mukim
dari rakyat terhadap pemerintah
dan
Jepang,
dengan
nama
selanjutnya
Gampong
dibagi
(Bahasa
atas
Indonesia
Kampung).
seperti
yang
telah
disebutkan di muka bahwa pada mulanya
memang
kedatangan
Jepang itu sangat ditunggu-tunggu oleh
Sistem inilah yang diteruskan
dengan
Jepang
pembebaskan negara dari tangan
namanya.
dengan
mengubah
Keresidenan
di
ganti
penuh
harap
guna
penjajahan Belanda.
dengan nama Syu dan kepalanya disebut Syu Cokan, Afdeling menjadi
Setelah
Jepang
Bunsyu yang dipimpin oleh Busyuco
rakyat
Onder Afdeling menjadi Gun yang
tergabung dalam barisan Fujiwara
diperintah oleh Gunco. Distrik atau
Kikam
Uleebalangchap dinamakan dengan
memberikan bantuannya. Lebih jauh
Sen yang dikepalai oleh Sonco dan
A.J. Piekaar menyebutkan dengan
Gampong dinamakan dengan Kumi
tugas bahwa pemerintah Jepang
yang diperintah oleh Komico Syu
telah didirikan dengan dukungan
Cokan dan Busyoco langsung dijabat
yang militant dari para ulama yang
oleh pembesar-pembesar Jepang,
telah
Gunco
Pemerintah
dijabat
oleh
orang-orang
Aceh
mendarat
dan
terutama orang-orang
bersatu
dalam
Jepang
yang PUSA
PUSA.
menyadari
Aceh. Di beberapa tempat yaitu di
bahwa dalam masyarakat Aceh di
Sabang,
dan
samping
Kutacane karena daerah-daerah ini
terdapat
dianggap
mempunyai
Sinabang,
Singkil
daerah
terpencil,
golongan
ulama,
juga
lain
yang
yang
sama
golongan peranan
diperintah langsung oleh Jepang
penting di dalam masyarakat yaitu
dengan
golongan Uleebalang.49
menempatkan
seorang
Cuzaikan.48
47
Muhammad Ibrahim Op.Cit., hlm 150.
48
Ibid.
49
AJ. Piekaar, Atjeh en Oorlog met Japan, diterjemahkan oleh Aboe
(et..al.),
Bakar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang, Seri Informasi Aceh No. 5, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977, hlm. 35.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 19
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Pemerintah Jepang melaku-
kekuasaan yang dahulu ada pada
kan pendekatan terhadap ke dua
tangan
golongan politik
tersebut
Gubernur
Jenderal”.
dalam
suatu
Berdasarkan hal tersebut bahwa
yang
dapat
peralihan
perimbangan
pemerintahan
dari
memperoleh jaminan dukungan dari
Gubernur Hindia Belanda kepada
kedua kelompok, yang merupakan
bala tentara Jepang.
kelompok “hukum” dan kelompok Berdasarkan
“adat”. Politik pendekatan yang dilakukan
Jepang
ini
berusaha
Osamo
Seirei
Nomor 27 Tahun 1942, ditetapkan
dari
puncuk
pimpinan
Uleebalang yang berasal dari hukum,
militer
Jepang
agar dapat memperkuat kekuasaan
penglima tentara ke 16 khusus untuk
ulama yang berasal dari hukum, agar
pulau Jawa yaitu Gusyireikan atau
dapat
panglima tentara kemudian disebut
menggunakan
kekuasaan
memperkuat
pengaruhnya
Susunan pemerintahan pada masa Jepang zaman
penjajahan
Jepang, secara formal tidak banyak berubah,
masih
ketentuan-ketentuan pemerintahan Jepang
pada
pada
Belanda,
sistem
Belanda
berlaku masa Zaman
pemerintahan umumnya
masih
diteruskan, hanya saja nama-nama daerah diganti dengan nama Jepang dan kedudukan pejabat-pejabatnya diganti
oleh
pembesar-pembesar
militer Jepang. Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1942 dalam pasal
2
disebutkan
“Pembesar
balatentara Dai Nippon memengang kekuasaan yang
ada
ditangan
Saikosikikan.
atas rakyat.
yang
pemerintahan
pemerintahan
tertinggi
dan
juga
Militer
Berhubungan
dengan
hal
tersebut di Aceh T. Alibasjah Talsya menyebutkan sebagai berikut: 1. Keresidenan diganti dengan nama Syuu dan kepalanja Syuu Tyokan jang didjabat oleh seorang pembesar Djepang. 2. Afdeling mendjadi Bunsyu, dikepalai oleh Bunsyutyo, djuga pembesar Djepang sendiri. 3. Onderafdeling mendjadi Gun dengan kepalanja Guntyo, didjabat oleh orang Indonesia, ketjuali di-tempat2 jang terpentjil letaknja seperti Sabang, Sinabang, Singkil dan Kutatjane dimana ditempatkan seorang Tyuzai Kikan, jaitu bangsa Djepang sendiri. 4. Wilajah Zelfbestuurder, Uleebalang dan Zelfstandige Imeuemschap dinamakan Son dan kepalanja Sontyo.
segala
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 20
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
5. Mukim mendjadi Ku dikepalai oleh Kutyo. 6. Gampông diganti dengan nama Kumi dan kepalanja Kumityo”.50 Jabatan Guntyo, Sontyo, dan Kumityo dijabat oleh orang-orang Aceh. Di beberapa daerah yang dianggap penting terutama daerahdaerah terpencil seperti Sabang, Sinabang,
Singkil
dan
Kutacane,
jabatan Guantyo dipegang langsung oleh orang Jepang dengan sebutan Tyuzaikan. Jadi jelas, bahwa mulai dari Guntyo ke bawah adalah dijabat
pemimpin imuem mukim tersebut diharapkan adanya suatu perubahan sehingga
mereka
loyal
terhadap
Pemerintahan
Jepang.
Namun
pemerintahan
sagoe
yang
pengaruhnya
semakin
berkurang,
bahkan hampir tidak disebut-sebut lagi
pada
akhir
pendudukan
pemerintahan
Jepang.
Masa
Penjajahan Jepang, Pemerintahan oleh Imuem Mukim tetap diakui berdasarkan Osamu Sairei Nomor 7 Tahun 1944.52
oleh orang-orang Aceh. Seandainya
Berakhirnya Perang Cumbok
untuk jabatan Guntyo tidak dijabat
di
oleh orang Aceh untuk jabatan itu
lumpuhnya kekuatan dan kekuasaan
tidak lagi disebut Guntyo, tetapi
golongan uleebalang sebagai kepala-
dirobah menjadi Tyuzaikan.51
kepala pemerintahan daerah Aceh
Mengenai mukim di Aceh tetap dipertahankan, namun hanya nama
yang
disesuaikan
dengan
bahasa Jepang yaitu diubah namanya menjadi “KU” yang dikepalai oleh Kutyo. tersebut 50
51
Perubahan bertujuan
nama agar
mukim para
Ibid. Lihat juga, T.Ibrahim Alfian (et.al.), Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982, hlm. 12. Muhammad Ibrahim (et.al.), Op.Cit., hlm. 22. Lihat S. M. Amin, Op.Cit., hlm.17. lihat juga A.J.
Aceh
memberi
arti
semakin
yang telah berabad-abad lamanya mereka pegang. Otomatis kekuasaan itu kini beralih kepada golongan ulama yang menang perang. Karena itu
tidak
kemudian
mengherankan kita
dapati
bila bahwa
kebanyakan dari anggota-anggota
Piekaar, Atjeh en De Oorlog Met Japan, Bandung: W. Van Hoeve, 1949, hlm. 339-343. 52
Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis, PPS Unpad, Bandung, 1995, hlm. 85.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 21
ISSN 2302-6219
ulama
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
kelak
jabatan
yang
pada
menduduki aparat-aparat
pemerintahan daerah Aceh.53 MUKIM
SETELAH
ditetapkanlah UUD 1945 oleh PPKI untuk
seluruh
wilayah
negara
Indonesia.
INDONESIA
MERDEKA
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan Pasal II Aturan
Mukim pada Awal Kemerdekaan (1945-1966)
Peralihan
UUD
1945,
maka
pengaturan mengenai pemerintahan desa yang berlaku pada
Sebagai negara yang lahir
masa
Hindia
Belanda
tetap
pada akhir Perang dunia Kedua,
dinyatakan
Republik Indonesia yang masih muda
kemerdekaan Indonesia sistem
ini
pemerintahan
mengalami
bermacam-macam
peristiwa ketatanegaraan.54 Negara Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata mendapat sambutan yang amat baik daripada Indonesia.55
seluruh
rakyat/Bangsa
Setelah
Bangsa
1945 Pada tanggal 18 Agustus 1945 53
Sebanyak 20 bupati yang diangkat untuk seluruh kabupaten di Aceh terdapat sebanyak 10 orang ulama dengan gelar kehormatan mereka Teungku (Tgk). Lihat H.T.M. Amin. Susunan Pemerintah Republik Indonesia di Aceh, Banda Aceh: Kantor Wilayah Departemen P & K Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1976, hlm. 5. Perang Cumbok Perang itu pecah pada tanggal 4 Desember 1945 di Sigli ibukota Kabupaten Pidie antara kelompok ulama kontra kelompok uleebalang Titik persoalan sekitar perebutan senjata milik bangsa Jepang yang berkedudukan di Sigli. Lihat Ratna
yang
pemerintahan
Awal
dijalankan
yang
terendah
dalam masyarakat dan seluruh urusan yang menyangkut adat istiadat tetap masih berjalan sebagaimana mestinya.
Indonesia menyatakan Kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus
berlaku.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut sebagaimana dijelaskan
R, Perang Cumbok di Aceh Tahun 1945 dalam buku Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, 1989, hlm 14. 54
Sri Soemanteri M, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Bandung: Remadja Karya, 1985, hlm. 5.
55
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm. 59.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 22
ISSN 2302-6219
dalam
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Penjelasan
UUD
mewaan pun tidak diberikan, sebab bertentangan dengan paraturan perundangundangan”.57
1945,
yaitu dengan adanya pengakuan terhadap volksgemenschaappen, seperti:
1)Desa
di
Jawa,
Peraturan-peraturan
yang
2)Gampong dan Mukim di Aceh,
mengatur mengenai pemerintahan
3)Nagari di Minagkabau, 4)Kuria
desa, secara langsung juga terkait
di
dengan peraturan-peraturan yang
Batak,
dan
5)Marga
di
mengatur
Palembang.56
pemerintahan
daerah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Berdasarkan UUD
1945
istimewa
penjelasan
kedudukan dalam
ketatanegaraan
pada
Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah,
sistem
memang
Indonesia,
zelfbesturende
schappen
Peraturan
daerah di
Aceh mukim merupakan salah satu
Tentang
kolonial.
tidak
secara
tegas
menyebutkan tentang pemerintahan desa.
land-
Berkaitan dengan ketentuan-
Hal
ketentuan tersebut tidak diaturnya
tersebut sebagaimana diuraikan
mengenai
oleh T.M. Djuned keistimewaan
keresidenan Aceh mengangap perlu
itu adalah:
mengatur
mukim tentang
dan hal
desa, tersebut
secara formal, maka Keresidenan “a. Dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan hak-hak asal usul. b. Hukum negara memperhatikan kewenangan hak-hak asal usul. c. Berdasarkan kewenangan hakhak asal usul, Mukim mempertahankan hukum adat dalam wilayahnya. d. Keistimewaan adalah hak asal usul. Apabila kewenangan hak asal usul tersebut berubah dalam arti tidak sama lagi dengan semula, maka keisti56
Aceh
mengeluarkan
Peraturan
Keresidenan Aceh Nomor 2 tanggal 27 Nopember 1946 dan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 3 tanggal 10 Desember Tahun 1946. Peraturan tersebut mengatur tentang batas wilayah mukim dan gampong serta Imuem
Mukim
dan
keuchik.
Kemudian kedua peraturan tersebut
T.M. Djuned (et.al.), Bunga Rampai Menuju Revitasi Hukum Adat Aceh,
Banda Aceh, Yayasan Bambu, 2003, hlm. 2. 57
Rumpun
Ibid.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 23
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1946.
Setelah
tiga
Tahun
proklamasi kemerdekaan tepatnya tanggal 10 Juli 1948 dikeluarkanlah
Peraturan mukim
tersebut
sebagai
bahwa
pemerintahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-
diberlakukan di seluruh Aceh, juga
Aturan
menyeragamkan
seluruh
Pemerintahan Sendiri Di Daerah-
seluruh
Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Aceh. Akan tetapi kedudukannya
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri,
tidak
yang kemudian ditetapkan sebagai
pemerintahan lagi
mukim berada
di di
bawah
Pokok
Mengenai
Ulheebalang, melainkan berada di
Undang-Undang
bawah camat dan di atas gampong
Pemerintahan Daerah.
sebagai
unit
terendah.
Pemerintahan
balang
telah
Pokok
Tentang
pemerintahan dihapus
Ulhee-
Sebelumnya, pada Tanggal 29
dengan
Nopember 1956 untuk Aceh telah
peraturan tersebut.
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Sebelum adanya peraturan tersebut
di
daerah
Perubahan Peraturan Pembentukan
untuk
Propinsi Sumatera Utara. Undang-
pemerintahan mukim, yaitu di Aceh
undang tersebut membentuk daerah
Besar
Aceh sebagai daerah yang berhak
berlainan
Aceh
antar
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan
sebutannya dan
Pidie
disebut
pemerintahan mukim, Aceh Timur,
mengatur
Aceh Tengah dan Blang Keujeren
tangganya
disebut Chik Schap, Aceh Tenggara
lingkungan daerah otonom Propinsi
dan
mengurus
sendiri
rumah
lepas
dari
disebut
Marga.58
Penyeragaman
Sumatera
Utara.
Undang-undang
tersebut
telah
mengakibatkan
tersebut
tidak
menyebutkan
jumlah mukim meningkat dari 303
berkaitan
mukim menjadi 540 buah pada
pemerintahan di Aceh.
Tahun 1954.
58
dengan
susunan
59
Mahdi Syahbandir, Op. Cit., hlm. 100.
59
Ibid.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 24
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 1
f. Pemerintahan Mukim g. Pemerintahan Gampong”.60
Tahun 1957 menyebutkan: “(1) Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya, b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan c. Daerah tingkat ke III. (2) Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Masa
awal
kemerdekaan
dan
Pemerintahan
keresidenan
pemerintahan
kewedanaan
dihapus-kan
dengan
Peraturan
Presiden Nomor 22 Tahun 1963. Mukim pada Masa Orde Baru (19661998) Sistem sosial kemayarakatan yang bersifat tradisional masyarakat Indonesia yang berada di luar jawa dan Madura dihancurkan dengan upaya penyeragaman melalui sistem pemerintahan desa melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan Undang yang sangat Jawa sentries ini
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
ketika
mukim masih juga diakui sebagai
daerah di luar jawa, mengakibatkan
lembaga
hancurnya
pemerintahan.
Jenjang
diberlakukan
di
semua
berbagai struktur
pemerintahan di Aceh pada masa
masyarakat
adat setempat yang
itu:
menyebabkan hilangnya beberapa pranata adat yang dahulunya sangat
“a. Pemerintahan Pusat b. Pemerintahan Provinsi c. Pemerintahan Keresidenan (dihapus dengan Peraturan Presiden No. 22/1963) d. Pemerintahan Kabupaten e. Pemerintah Kewedanaan (dihapus dengan Peraturan Presiden No. 22/1963) 60
Taqwadin, Op.Cit., hlm. 247.
efektif
dipergunakan
menwujudkan
tatanan
dalam kehidupan
yang baik dari masyarakat yang bersangkutan.61
61
Anshar Hidayat, Op. Cit, hlm. 108.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 25
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Undang-Undang
5
Pengakuan terhadap adanya
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
kesatuan masyarakat hukum, adat
Pemerintahan
merupakan
istiadat merupakan prinsip utama
pengganti Undang-Undang Nomor 18
dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
1979
Pemerintahan
Undang-
Pemerintahan Daerah karena hanya
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
mengatur khusus tentang desa dari
Pemerintahan
segi
Daerah
Nomor
Daerah. Desa
sebagai
tentang
Pokok-Pokok
pemerintahannya,
hal
pengganti Undang-undang Nomor 19
sebagaimana
Tahun 1965 tentang Desa Praja.
penjelasan umum angka 6 Unadang-
Undang- Undang Nomor 5 Tahun
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
1979 tersebut merupakan tindak
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
lanjut dari Pasal 88 Undang-Undang
sebagai berikut: “Undang-undang ini
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
hanya mengatur desa dari segi
Pokok Pemerintahan Daerah yang
pemerintahannya.
menentukan
ini tetap mengakui adanya kesatuan
tentang
bahwa
Peraturan
Pemerintahan
Desa
ditetapkan dengan Undang-undang. konsideran
dalam
Undang-undang
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat, hukum, adat istiadat
Berdasarkan
ditegaskan
ini
yang
dan
kebiasaan-kebiasaan
masih
hidup
sepanjang
menimbang huruf b Undang-Undang
menunjang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-
bangunan dan ketahanan nasional”.
Pokok
Pemerintahan
kelangsungan
pem-
Daerah
disebutkan:
Berlakunya
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok“Bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif”.
Pokok Pemerintahan Daerah ini, Aceh terjadi peralihan kedudukan terendah yang langsung di bawah Camat yaitu desa, dan ini berarti mukim
tidak
lagi
merupakan
organisasi pemerintahan di atas desa (gampong) dalam susunan ketatanegaraan Indonesia.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 26
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Mukim semata-mata hanya mengatur
kehidupan
masyarakat
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor
5
Tahun
1979,
secara
adat. Meskipun demikian Undang-
otomatis mengeser berbagai intitusi
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan dan adat yang ada
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
bahkan pada zaman kolonial Hindia
tersebut tetap mengakui adanya
Belanda dibiarkan hidup. Pada saat
kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut
dan kebiasaan yang masih hidup
seolah-olah
sepanjang menunjang kelangsungan
perhatian
pembangunan
masyarakatnya. Sebelumnya mukim
dan
ketahanan
nasional.
tidak di
merupakan sangat
Keberadaan waktu
lembaga-lembaga
tersebut
dihormati Propinsi
oleh
dalam
menjembatani
masih
tetap
masyarakat
masyarakat
Daerah
berperan
pada
Istimewa
praktek
di Aceh
agama,
intitusi penting
yang dalam
kepentingan
baik
dalam
sosial,
pemerintahan
mendapat tengah-tengah
sebuah
mukim
adat
urusan
politik
maupun
dan
ekonomi.
kehidupan
Selama kekuasaan orde baru, mukim
masyarakat. Untuk mengakomodir
dibuat tidak memiliki wewenang dan
keinginan Masyarakat Aceh ketika itu
tugas apapun.
Pemerintah Daerah bersama DPRD Aceh memposisikan mukim sebagai lembaga
adat
diatur
dalam
Selain itu pada masa orde baru Aceh ditetapkan sebagai daerah
Peraturan Propinsi Daerah Istimewa
operasi
Aceh Nomor 2 Tahun 1990 tentang
menempatkan pasukan militer baik
Pembinaan
dan
organik maupun non organik di Aceh
Kehidupan
Adat
Pengembangan dalam
Propinsi
Daerah Istimewa Aceh.
turut
militer
menyebabkan
Nomor
5
Tahun 1979 tersebut dan sejumlah peraturan
yang
keberadaan
lembaga-adat di Aceh tidak berjalan sebagaimana
Undang-Undang
(DOM)
pelaksanaannya,
mestinya,
gampong
dan mukim hanya dijadikan sebagai simbolis semata.
telah
mengubah struktur masyarakat adat menjadi sistem perpanjangan tangan dari sistem birokrasi pemerintah.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 27
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Mukim Setelah Orde Baru/Masa
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Reformasi (1998-Sekarang)
Pokok-pokok
Pemerintahan
di
Daerah dan undang-Undang Nomor 5 Reformasi ditandai dengan
Tahun 1979 tentang Pemerintahan
runtuhnya pemerintahan orde baru
Desa.
dan mundurnya presiden Soeharto
tersebut
pada tanggal 21 Mei 1998. Pasal 18B
penyeragaman bentuk dan susunan
Undang-Undang Dasar 1945 setelah
pemerintahan
amandemen, menegaskan bahwa;
secana nasional, sehingga mukim di
(1)
Aceh tidak diakui lagi sebagai salah
negara
mengakui
menghormati
dan
satuan-satuan
satu
Kedua
undang-undang
menganut daerah
tingkatan
sistem dan
desa
pemerintahan
di
pemerintahan daerah yang bersifat
Propinsi
Daerah
istimewa
Aceh.
khusus atau bersifat istimewa yang
Menurut
Hukum
Adat
Aceh,
diatur dengan undang-undang, dan
pemerintahannya bersifat federasi.
(2)
mukim
negara
mengakui
menghormati
dan
kesatuan-kesatuan
merupakan
beberapa
gampong
di
federasi dan
dari
berke-
masyarakat hukum adat beserta hak-
dudukan sebagai koordinator dari
hak tradisionalnya sepanjang masih
gampong-gampong bersangkutan.
hidup
dan
sesuai
perkembangan
dengan
masyarakat
dan
Sistem
pemerintahan
dari
prinsip Negara Kesatuan Republik
masa ke masa selalu mengalami
Indonesia,
perubahan, termasuk pemerintahan
yang
diatur
dalam
undang-undang.
di
Aceh,
tersebut Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut,
mengakui
di Indonesia pada umumnya, dan di Aceh khususnya. Pemerintah daerah mukim
kembali
mengembalikan
menjadi
sistem
pemerintahan, dimana sebelumnya mukim dengan
menjadi
tidak
diberlakukan
dengan
hal
Muhammad Isa Sulaiman
mengatakan:
sistem
pemerintahan menurut Hukum Adat
Aceh
berkaitan
berdaya Undang-
”Dalam perkembangan negara republik memang terjadi berbagai dinamika yang menimbulkan berbagai kepincangan atau ketidakadilan di Aceh, sebenarnya juga di daerah lain, terutama di luar jawa. Hal demikian sebagian bersumber pada haus kekuasaan sebagian elite pusat yang menciptakan dominasi pusat versus daerah melalui berbagai produk perundang-undangan dan peraturan.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 28
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Sebagian lain juga terletak pada elite lokal yang tidak homogen secara sosial politik dan budaya, sehingga memberi keuntungan kepada kelompok pertama”.62
kebijakan daerah. Dalam rangka
Seiring dengan berjalannya
Daerah Istimewa Aceh tersebut,
proses
reformasi
pemerintahan
dan
sistem
pemerintahan
pelaksana Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999
garaan
tentang
Penyeleng-
Keistimewaan
khususnya
Provinsi
dalam
penyelenggaan
rangka
keistimewaan
di
daerah di Indonesia, Pemerintah
bidang adat yaitu, Pasal 1 angka 6
bersama DPR mengesahkan Undang-
Perda Aceh No. 7 Tahun 2000,
Undang
1999
memberikan definisi mukim adalah
Daerah.
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
memberikan
dalam Propinsi Daerah Istimewa
semangat baru untuk menghidupkan
Aceh yang terdiri dari beberapa
kembali
dan
gampong yang mempunyai batas-
kelembagaan pada tingkat gampong
batas wilayah tertentu dan harta
di Aceh. Khusus bagi Aceh, dalam
kekayaan sendiri.
tentang
Nomor
Tahun
Pemerintahan
Undang-Undang
rangka
22 ini
sistem
adat
penyelesaian
Pemerintah
konflik,
memberlakukan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang
Keistimewaan
Penyelenggaraan Provinsi
Berdasarkan
pula
Daerah
ketentuan
di
atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk mukim. Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat (3)
Istimewa Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun Penyelenggaraan
keistime-
2001 tentang Otonomi Khusus bagi
waan tersebut menurut Pasal 3 ayat
Provinsi
Daerah
Istimewa
Aceh
(2)
Sebagai
Provinsi
Nanggroe
Aceh
meliputi:
(1)penyelenggaraan
kehidupan beragama, (2)penyeleng-
Darussalam
(NAD),
mukim
garaan
dimasukkan
kembali
dalam
kehidupan
adat,
(3)penyelenggaraan pendidikan, dan
struktur/susunan pemerintahan di
(4)peran ulama dalam penetapan
Aceh, yang kemudian diatur lebih lanjut
62
dengan
Qanun
Provinsi
Muhammad Isa Sulaiman, Monsaik Konflik di Aceh, Jakarta, ACSTF dan Acehkita, 2006, hlm. 33.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 29
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4
kesatuan
masyarakat
hukum
di
Tahun 2003 tentang Pemerintahan
bawah kecamatan yang terdiri atas
Mukim.
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu
Pasal 1 angka 12 UndangUndang
Nomor
18
yang dipimpin oleh imeum mukim
Tahun
2001
atau nama lain dan berkedudukan
Khusus
bagi
langsung di bawah camat. Kemudian
tentang
Otonomi
Provinsi
Daerah
Istimewa
Aceh
mukim juga dikuatkan dalam Pasal
Sebagai
Provinsi
Nanggroe
Aceh
2 dan Pasal 114 Undang-Undang
Darussalam
menjelaskan
mukim
Nomor 11 Tahun 2006.
adalah kesatuan masyarakat hukum dalam
Provinsi
Darussalam
Nanggroe
Aceh
terdiri
atas
yang
Berdasarkan Undang-undang Nomor
11
Tahun
mukim
gabungan beberapa gampong yang
kembali
mempunyai batas wilayah tertentu
pemerintahan.
dan
pemerintahan berdasarkan Undang-
harta
kekayaan
sendiri,
berkedudukan langsung di bawah
diakui
2006,
sebagai
lembaga
Adapun
jenjang
undang tersebut adalah:
Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain,
yang dipimpin
oleh Imum
a. Pemerintahan Pusat
Mukim atau nama lain. Undang-
b. Pemerintahan Provinsi
Undang
c. Pemerintahan Kabupaten/kota
Nomor
18
tersebut
kemudian
diganti
dengan
Nomor
11
Tahun
2001
dicabut
dan
Undang-Undang
Tahun
2006
tentang
Pemerintahan Aceh. Penguatan
d. Pemerintah Kecamatan e. Pemerintahan Mukim f. Pemerintahan Gampong Tugas
dan
pengakuan
menurut
dan
sistem
fungsi
mukim
pemerintahan
mukim ini di atur dalam Undang-
daerah di Aceh dalam Undang-
Undang
Undang
Nomor
11
Tahun
2006
tentang pemerintahan Aceh, saat ini
Nomor
ditindaklanjuti
11
Tahun
2006
pengaturannya
mukim telah dibentuk kembali di seluruh Aceh. Berdasarkan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yaitu mukim adalah
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 30
ISSN 2302-6219
dengan
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Aceh,63
Qanun
demikian, mukim
walaupun diatur
namun
pengaturan
dengan
Qanun
c. Menyelenggarakan
Syari’at Islam, pendidikan, adat istiadat,
provinsi, tetapi tugas dan fungsi
ketentraman
mukim, dilakukan secara berjenjang
masyarakat;
yaitu
ke
meneruskan Walikota.
camat
kepada
di
camat Bupati/
Dengan
terselenggaranya mukim,
dan
demikian pemerintahan
samping
pelaksanaan
sosial
budaya,
dan
ketertiban
d. Menyelenggarakan
pelayanan
kepada masyarakat; dan e. Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.
melakukan
urusan rumah tangganya sendiri,
Berdasarkan hal tersebut di
juga sangat tergantung pada ada-
atas mukim sebagai penyelenggara
tidaknya tugas dan fungsi yang
pemerintahan secara eksplisit dalam
diberikan oleh Bupati atau Walikota.
peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), keberadaannya telah
Mengenai tugas dan fungsi
mendapat pengakuan dan penguatan
mukim diatur dalam Qanun Nanggroe
(legalitas)
Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun
positif
2003 tentang Pemerintahan Mukim,
terselenggaranya pemerintahan di
dalam Pasal 3 dan 4 yaitu meliputi:
tingkat mukim, menurut Pasal 114
dalam
Indonesia.
sistem
hukum
Untuk
dapat
ayat (4) Undang-Undang tentang a. Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi,
dekonsentrasi,
Pemerintahan
diperlukan
ketentuan lebih lanjut mengenai
pembantuan, dan segala urusan
organisasi,
pemerintahan lainnya.
kelengkapan mukim yang diatur
b. Menyelenggarakan pembangunan ekonomi,
fisik,
dan
mental
spiritual.
tugas,
dengan
Qanun
Hingga
saat
fungsi,
dan
kabupaten/kota. ini,
beberapa
kabupaten/kota telah mengeluarkan Qanun
63
Aceh,
Qanun Aceh menurut Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintah-an dan kehidupan
Kabupaten/kota
tentang
masyarakat Aceh. Qanun berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan dengan nama Qanun Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 31
ISSN 2302-6219
Organisasi,
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Tugas,
sebagaimana
diperintahkan oleh Pasal 114 ayat (4)
mukim
berada
dalam
wilayah
kabupaten/kota.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun Pemerintah Aceh mengeluar-
2006. Keberadaan mukim sebagai unit
pemerintahan
kembali
kan
Keputusan
Gebernur
mendapat pengakuan, pengaturan,
Nomor
dan pengukuhannya dalam satu bab
Penetapan Nama dan Nomor Kode
tersendiri, yaitu Bab XV tentang
Wilayah Administrasi Pemerintahan
mukim dan gampong. Pasal 114
Kecamatan, Mukim dan Gampong di
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
Aceh.
2006,
Dalam
tersebut susunan gampong dalam
wilayah kabupaten/kota dibentuk
sebuah mukim sangat bervariasi,
mukim yang terdiri atas beberapa
setiap satu mukim terdiri dari paling
gampong. (2) Mukim dipimpin oleh
sedikit 2 (dua) gampong dan paling
imeum
banyak
menyebutkan:
(1)
mukim
sebagai
140/600/2011
Aceh
Berdasarkan
75
(tujuh
tentang
keputusan
puluh
lima)
fungsi
gampong. Saat ini Provinsi Aceh
mukim yang dibantu oleh tuha peuet
terdiri dari 5 kota, 18 kabupaten,
mukim atau nama lain.
284 kecamatan, 755 mukim dan
penyelenggara
tugas
dan
6.450 gampong.64 Berdasarkan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
Berkaitan
dengan
kebera-
2006, menyebutkan dalam wilayah
daan jumlah mukim di kecamatan
kabupaten/kota
mukim
perlu ditata (diavaluasi) kembali,
yang terdiri atas beberapa gampong.
bahwa ada kecamatan yang hanya
Berdasarkan
ketentuan
memiliki satu mukim dalam satu
keberadaan
mukim
dibentuk
tersebut
kembali
di
kecamatan, sehingga apa bedanya
hidupkan di seluruh Provinsi Aceh,
kecamatan
dengan
meskipun
Berdasarkan
Keputusan
Pasal
tersebut
menggunakan kalimat dibentuk dan
mukim. Gebernur
Aceh Nomor 140/600/2011 tersebut bahwa dari 284 kecamatan di Aceh, terdapat 61 kecamatan yang hanya
64
Keputusan Gebernur Aceh Nomor 140/600/2011 tentang Penetapan Nama dan Nomor Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan
Kecamatan, Mukim dan Gampong di Aceh.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 32
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
mempunyai
1
(satu)
mukim.
perundang-undangan
mengalami
Demikian juga terkait dengan mukim
berbagai
yang hanya 2 (dua) gampong,65
dipengaruhi perkembangan politik
diperlukan penataan kembali, hal ini
dan pemerintahan yang ada pada
sebagaimana
bahwa
masa tersebut. Hingga saat ini,
mukim itu paling sedikit terdiri dari
mukim di Aceh masih perlu ditata
3 (tiga) gampong atau sesuai dengan
(diavaluasi)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
keberadaan (komposisi) mukim itu
2006,
paling sedikit terdiri dari 3 (tiga)
yaitu
diketahui
mukim
terdiri
beberapa gampong.
dari
Berdasarkan
gampong
persoalan.
Hal
kembali,
atau
ini
terutama
sesuai
dengan
penelitian, dari 23 kabupaten/kota
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
di Aceh sejumlah 2 (dua) kota dan 12
2006,
(dua
beberapa
belas)
mengatur
kabupaten tentang
telah Mukim
yaitu
mukim
gampong
terdiri serta
dari dalam
menjalankan fungsinya.
sebagaimana perintah Pasal 114 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2006. Keberadaan
mukim
pada
masa orde baru bukanlah sebagai lembaga
pemerintahan,
tetapi
hanya sebagai lembaga adat yang tidak
mempunyai
kekuasaan
memerintah. Fakta seperti ini tentu berbeda dengan keberadaan mukim pada masa kesultanan Aceh masa lalu, hingga awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. PENUTUP Perkembangan
Mukim
di
Aceh didasarkan kepada peraturan 65
DAFTAR PUSTAKA Buku/Jurnal/Makalah A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa Arab, Jakarta: Gema Insani, 2013. Aboe Bakar (et.al.), Kamus Aceh Indonesia 2, Seri M-Y, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Ibid, lihat untuk mukim di wilayah kota Sabang.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 33
ISSN 2302-6219
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Kebudayaan, 1985. AJ. Piekaar, Atjeh en Oorlog met Japan, diterjemahkan oleh Aboe Bakar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang, Seri Informasi Aceh No. 5, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977. Anthony Reid, The Contest for North Sumatra, the Nedherlands and Britian 1858-1898, Oxford University Press, 1969 kemudian diterjemahkan oleh Masri Maris, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Ke-19, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, edisi kedua, 2007. Harley (ed), Mukim Masa ke Masa, Banda Aceh, JKMA. Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Bandung: Alumni, 1981. Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1986. K.F.H. Van Langen, De Inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat, 'SGravenhage, Martinus Nijhoff, 1888, dialih bahasa (diterjemahkan) oleh Aboe Bakar, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Pusat Dokumentasi Informasi Aceh, Banda Aceh, 2001. Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1995. Keputusan Gebernur Aceh Nomor 140/600/2011 tentang Penetapan Nama dan Nomor Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan Kecamatan, Mukim dan Gampong di Aceh. Keputusan Majelis Rendah Belanda Tahun sidang 1900-1, 169 No, 26, 27 dan No. 47, dalam Tractaten Van Sumatra, Algemene Rijksarchif, Den Haag. Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis, PPS Unpad, Bandung, 1995. Muhammad Isa Sulaiman, Monsaik Konflik di Aceh, Jakarta, ACSTF dan Acehkita, 2006. Muhammad Yunus, Kamus ArabIndonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989. Muslim Ibrahim, Langkah-langkah Penerapan Syariat di Aceh dalam Lahmuddin Nasution (et.al), Penerapan Syari’at Islam di Indonesia: antara Peluang dan Tantangan, Jakarta: Globalmedia Cipta Publising, 2004. Rusdi Sufi (et.al.), Sejarah Kebudayaan Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2004. Snock Hugrange, The Achehnese, diterjemahkan Singarimbun (et.al.), Aceh Dimata Kolonialis,
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 34
ISSN 2302-6219
Yayasan 1985.
Perkembangan Mukim di Aceh - Mukhlis (1-35)
Soko Guru, Jakarta,
Snouck Hurgrunje, The Achehnese Vol I, Leyden, 1906. Sri Soemanteri M, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Bandung: Remadja Karya, 1985. T. Alibasjah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh, Pustaka Putroë Tjandèn, 1969. T. Djuned (et.al.), Implementasi Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Mukim Terhadap Eksistensi Pemerintahan Mukim, Laporan Penelitian, Banda Aceh: Kerjasama Lembaga Penelitian Unsyiah dengan Satuan Kerja Penguatan Kelembagaan BRR NAD-NIAS, 2006. ----------, Bunga Rampai Menuju Revitasi Hukum Adat Aceh, Banda Aceh, Yayasan Rumpun Bambu, 2003. ----------, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Banda Aceh: Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, 2006. Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1550-1675, Medan-Monora, 1972). Zakaria Akmad (et.al.), Sejarah Pendidikan Daerah istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1984.
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE: Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) | 35