Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 PERKEMBANGAN BIOSKOP DI KOTA BANDA ACEH (1930-2004) Rizal Saivana, Mawardi Umar, Zainal Abidin AW Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK Di Indonesia juga tidak lepas dari perkembangan bioskop, setiap daerah memiliki sejarah bagaimana perkembangan bioskop. Aceh sendiri pada tahun 1900-1936 tercatat ada beberapa bioskop yang cukup berkembang seperti Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen, kemudian ada Bioscoop di Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, dan Sabang Bioscoop di Sabang, Gemeente Bioscoop di SigliPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan bioskop, untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat perkembangan bioskop, dan untuk mengetahui faktor-faktor tutupnya gedung-gedung bioskop di kota Banda Aceh sejak tahun1930 hingga tahun 2004. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sedangkan jenis penelitian ialah penelitian sejarah (History). Sumber diperoleh dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kota Banda Aceh, dan Badan Pusat Statistik Aceh. Cara pengumpulan data dengan mengumpulkan dokumen tentang bioskop serta wawancara dengan pihak-pihak terkait dalam penelitian. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan bioskop di kota Banda Aceh mengalami kemajuan dari tahun ke tahun dengan berdirinya 9 bioskop dari tahun 1930 hingga tahun 2004, faktor pendukung perkembangan bioskop di kota Banda Aceh yaitu adanya antusiasme masyarakat dan dukungan dari pengusaha-pengusaha bioskop. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat perkembangan bioskop di kota Banda Aceh yaitu adanya desakan masyarakat yang kontra terhadap kehadiran bioskop di kota Banda Aceh dan diberlakukannya Qanun Syariat Islam di Aceh. Penyebab tutupnya bioskop di kota Banda Aceh yaitu faktor konflik Aceh serta faktor beredarnya televisi dan faktor beredarnya VCD bajakan. Kata Kunci: Perkembangan, Bioskop.
peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awalawal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi. Namun dunia internasional baru mengakui
PENDAHULUAN Pertunjukan film pertama di dunia berlangsung di Grand Cafe Boulevard des Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Pelopor berdirinya bioskop ini adalah Lumiere, Louis dan kakaknya Auguste (Departemen Penerangan RI, 1984:ix). Lumiere selanjutnya menyebar luaskan karyanya ke berbagai negara. Sehingga
120
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Thomas A. Edison sebenarnya juga pernah menyelenggarakan bioskop di New York pada tanggal 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905). Dan di Indonesia (Hindia Belanda) diperkenalkan gambar hidup ini pada tanggal 5 Desember 1900 (http:www.herusutadi.blogdetik.com). Dilihat dari perkembangannya, di Batavia pada bulan Desember 1900 baru pertama kalinya mengadakan pertunjukan gambar hidup. Pada tahun-tahun permulaan ini pertunjukan bioskop belum memiliki tempat tetap. Biasanya ditempat terbuka seperti Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Boes). Tidak lama setelah itu, pada tahun 1903 sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senendan Rialto di Tanah Abang untuk penonton kalangan menengah dan untuk golongan menengah kebawah (Luwes, 2010:1). Pada tahun 1920, bangunan bioskop masih berbentuk rumah biasa, baru antara tahun 1920-1936 gedung bioskop dibangun dengan memperhatikan struktur dan unsurunsur lain yang membedakan bangunan ini dengan bangunan lainnya. Usaha bioskop pada waktu itu belum menjanjikan
keuntungan yang memadai, tetapi banyak di kalangan orang Tionghoa (Cina) menganggap bahwa usaha ini merupakan investasi jangka panjang. Sekurangkurangnya investasi di bidang tanah dan bangunan yang tidak pernah mengalami penurunan harga. Setelah itu lahirlah organisasiorganisasi bioskop di Indonesia. Organisasi bioskop pertama di zaman Hindia Belanda yaitu Batavia Bioscoopen Bond (BBB) berganti menjadi Jakarta Bioscoopen Bond (JBB). Kemudian pada tanggal 10 April 1955 lahir Persatuan Pengusaha Bioskop Palembang (PPBP) yang diketuai oleh seorang WNI keturunan Tionghoa (Cina) yang beragama Islam, H. Roeslan Abdoelmanan. Di Solo lahir Persatuan Perusahaan Exploitasi Bioskop Indonesia. Para pengusaha bioskop berusaha mengadakan pertemuan untuk menyatukan persepsi, dan lahirlah GAPEBI (Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia) pada tahun 1955 sebagai induk organisasi tetapi di masing-masing daerah tetap berpegang pada organisasi yang sudah ada (Tjasmadi, 2008:35). Setelah berdirinya bioskop dibeberapa daerah seperti di Solo, ternyata pada perkembangan berikutnya bioskop mendapat tempat dan mampu masuk keberbagai daerah lainnya dalam artian meluas. Di Aceh sendiri pada tahun 19001936 tercatat ada beberapa bioskop yang cukup berkembang seperti Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen, kemudian ada Bioscoop di Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, dan Sabang Bioscoop di Sabang, Gemeente Bioscoop di Sigli (Tjasmadi, 2008:1). Jika berbicara
121
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 masalah bioskop khususnya di Kota Banda Aceh, maka akan berbicara sejarahnya yang sangat panjang, tercatat bahwa sebelum Perang Dunia II tahun 1930-an, Kota Banda Aceh sudah memiliki dua bioskop yaitu Deli Bioscope dan Rex Bioscope, yang pada saat itu disebut kumedi gambar. Catatan sejarah menyebutkan bahwa bioskop ini telah ada sebelum listrik masuk ke Banda Aceh. Film diputar menggunakan pijar yang ditembak ke layar. Pemutaran dilakukan secara manual dengan tangan. Film yang muncul pun masih tanpa warna dan suara. Karena filmnya bisu, maka dibarisan depan duduk sederetan pemain music sebagai pengisi kebisuan itu. Hingga awal tahun 2000-an, Banda Aceh masih memiliki beberapa bioskop yang beroperasi seperti Sinar Indah Bioskop (SIB) di Peunayong, Jelita Theatre di Beurawe, Garuda Theatre di Jalan Muhammad Jam, Bioskop Gajah Di Simpang lima, Bioskop Merpati di Peunayong dan PAS 21 di Pasar Aceh Shopping Centre. Salah satu bioskop yang paling bersejarah di Banda Aceh adalah Garuda theatre, karena pada tanggal 16 Juni 1948 Presiden pertama RI, Ir Soekarno pernah melakukan pidato politik di tempat itu. Di gedung itu Soekarno membakar semangat perjuangan pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Begitu juga dengan bioskop lain yang ada pada saat itu akan menjadi ingatan tersendiri bagi generasi yang ikut merasakan masa kejayaan bioskopbioskop tersebut. (bioskopuntukbandaaceh.tumblr.com) diakses 5 November 2015. Namun seiring dengan berjalannya waktu banyak faktor-faktor yang
menyebabkan tutupnya gedung-gedung bioskop di kota Banda Aceh. Banyak hal mengenai perkembangan bioskop di kota Banda Aceh yang ingin dikaji oleh peneliti karena bioskop sendiri sampai saat ini masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat Aceh. Segelintir orang menganggap bahwa kehadiran bioskop di Banda Aceh bias memperluas akses maksiat bagi muda – mudi yang belum menikah. Kajian tentang bioskop di kota Banda Aceh juga belum pernah di tulis, jadi peneliti ingin mengetahui sejarah perkembangan bioskop di kota Banda Aceh dan bagaimana proses jatuh bangunnya usaha bioskop sejak mulai berdiri sampai sebelum tsunami melanda. Disamping itu peneliti juga ingin mengetahui faktor-faktor tutupnya gedung-gedung bioskop serta bagaimana respon masyarakat Aceh terhadap hadirnya bioskop tempo dulu. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia,dari segi konsep perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Senada dengan itu Laxy Maleong sendiri mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, tindakan dan lain-lain (Maleong, 2007:6) Penelitian dan penulisan mengenai perkembangan bioskop di kota Banda Aceh menggunakan metode historis. Jenis penelitian menggunakan metode sejarah (historis). Metode Sejarah adalah proses
122
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 menguji dan menganalisis secara rekaman dan peninggalan masa lampau (Kuntowijoyo, 2001:91). Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan. Maka langkah kerja dalam penelitian ini mengacu pada prosedur yang di tentukan oleh Kuntowijoyo, yaitu sebagai berikut; Pertama, pemilihan tema. Dimana peneliti mengambil tema tentang sejarah bioskop di Kota Banda Aceh. Hal ini berdasarkan pada observasi awal bahwa dahulunya bioskop merupakan sarana hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat kota Banda Aceh. Kedua, Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumbersumbersejarah. Dalam proses ini mengumpulkan bahan atau sumber-sumberdi Dinas Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional dan Badan Pusat Statistik karena di tempat tersebut banyak terdapat sumbersumber primer yang sangat membantu dalam penulisan penelitian ini. Ketiga, Verifikasi atau kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern. Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber. Keempat, Interpretasi yaitu penafsiran terhadap datadata yang dimunculkan daridata yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yangmenyeluruh. Kelima Historiografi yaitu penulisan sejarah. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam kegiatan penilitian untuk menulis sejarah. Menulis kisah sejarah bukanlah sekedar menyusun dan merangkai fakta-fakta
hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian. Yaitu hasil dari rekontruksi dalam penelitian ini yang meliputi proses pengumpulan data dan analisis data yang memberikan gambaran tentang sejarah bioskop di Kota Banda Aceh. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kota Banda Aceh Banda Aceh merupakan pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya di Aceh. Banda Aceh telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan kerajaan Hindu/Budha dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Pada saat terjadi perang melawan ancaman kolonialisme, Banda Aceh menjadi pusat perlawanan Sultan dan rakyat Aceh selama 70 tahun sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Setelah rakyat Aceh kalah dalam peperangan ini maka diatas puing kota ini pemerintahan kolonial Belanda mendirikan Kutaraja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Van Swieten di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. (http://bappeda.bandaacehkota.go.id di akses 18 Januari 2016) Secara geografis kota Banda Aceh memiliki posisi sangat strategis yang berhadapan dengan negara-negara di Selatan Benua Asia dan merupakan pintu gerbang Republik Indonesia di bagian Barat.
123
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 Luas wilayah administratif kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha. Luas ini dibagi ke dalam 9 Kecamatan, yaitu Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Banda Jaya, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Lueng Bata, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Kuta Raja, Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Ulee Kareng (Banda Aceh Dalam Angka 2015).
Pada tahun 1990 hingga tahun 2000an bioskop di kota Banda Aceh mulai tenggelam. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan bioskop-bioskop di kota Banda Aceh tidak beroperasi lagi. Diantaranya masuknya teknologi yang canggih dan televisi juga munculnya pembajakan video tap mengakibatkan bioskop-bioskop yang ada di kota Banda Aceh menjadi sepi sehingga semua bioskop dikota Banda Aceh tutup.
Sejarah Bioskop di Kota Banda Aceh Sejarah dibangunnya bioskop di kota Banda Aceh tidak lepas dari sejarah perkembangan bioskop di Indonesia. Pada tanggal 30 November 1900 harian Bintang Betawi memuat pengumuman dari perusahaan mengenai Nederlandsche Bioskop Maatschappij, bahwa akan ada tontonan bagus yaitu gambar-gambar idoep dari banyak hal yang belum lama terjadi di Eropa dan bagian-bagian Afrika Utara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop,diakses 18 Januari 2016). Bioskop sudah hadir dikota Banda Aceh sejak tahun 1930-an, pada saat itu kota Banda Aceh sudah memiliki dua bioskop yang disebut kumedi gambar yaitu Deli bioskop dan Rex bioskop kedua bioskop ini berada di Peunayong dan Jalan Muhammad jam kota Banda Aceh. Bahkan bioskop ini telah ada sebelum listrik masuk ke Banda Aceh.Film diputar menggunakan pijar yang ditembak ke layar.Pemutaran dilakukan secara manual dengan tangan.Film yang muncul pun masih tanpa warna dan suara. Kedua bioskop ini di rintis oleh Pengusaha China dan Benggali/India yang menganggap bahwa usaha ini merupakan investasi yang menguntungkan.
Tabel Nama-Nama Bioskop di Kota Banda Aceh NAMA Deli Bioskop Rex Bioskop Garuda Theater Merpati Gajah Theater Bioskop Elang Sinar Indah Bioskop ( SIB ) Jelita Pas 21
TEMPAT Jl. Muhammad Jam Peunayong Jl. Muhammad Jam Peunayong Simpang Lima Setui
THN BERDIRI 1930 1930 1947 1960 1975 1978
Peunayong
1979
Beurawe Pasar Aceh
1979 1980
Sumber: Wawancara dengan Beberapa Narasumber.
Dari tabel diatas bisa kita lihat bahwa pertumbuhan bioskop di Banda Aceh mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 2004 berjumlah 9 gedung bioskop. Kepemilikan gedung bioskop sendiri didominasi oleh pengusaha China dan beberapa penduduk lokal Banda Aceh. Periode tahun 1970-an sampai tahun 1990-an merupakan periode paling banyak didirikannya bioskop di kota Banda Aceh karena pada saat itu terdapat 5 gedung bioskop yaitu Gajah Theater, bioskop Elang, Sinar Indah Bioskop, Bioskop Jelita, dan bioskop Pas 21.
124
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 Periode ketiga disebut dengan periode masa kemerdekaan. Di Banda Aceh pada saat itu perkembangan bioskop sudah memiliki warna dan mempunyai peminat yang sudah banyak, karena masyarakat pada saat itu kekurangan tempat hiburan. Adapun Jumlah bioskop yang terdapat di kota Banda Aceh sudah bertambah banyak diantaranya adalah Garuda Theater dan Bioskop Merpati. Periode keempat merupakan periode gejolak teknologi, walaupun pengaruh televisi mulai masuk akan tetapi usaha di bidang bioskop semakin meningkat. Pembangunan bioskop terus dilakukan seiring semakin besarnya antusiasme masyarakat untuk menonton film. Perkembangan film yang masuk masih tetap didominasi oleh film luar negeri. Masuknya film luar negeri yang jumlahnya ratusan mengalahkan film nasional yang pada saat itu sudah berkurang produksinya. Periode kelima merupakan akhir dari kehadiran usaha perbioskopan di kota Banda Aceh. Seiring berkembangnya teknologi, gempuran dari televisi dan video tidak dapat dibendung lagi. Masyarakat lebih memilih menonton film di rumah dibandingkan dengan membeli tiket di bioskop. Sehingga usaha bioskop di kota Banda Aceh mulai redup. Keadaan ini ditambah dengan situasi Aceh sendiri yang dilanda konflik daerah dan berlakunya Qanun syariat Islam.
Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh Sesuai dengan perkembangan bioskop di Indonesia, perkembangan bioskop di kota Banda Aceh juga terjadi dalam beberapa periode yaitu: Masa Kolonial Masa Pendudukan Jepang Masa Kemerdekaan Masa Masuknya Teknologi Informasi Merosotnya Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh
1930-1942 1942-1945 1945-1970 1970-1992 1992-2004
Perkembangan bioskop di kota Banda Aceh dari tahun 1930-2004 terbagi dalam beberapa periode. Periode awal hadirnya bioskop di kota Banda Aceh diawali dengan berdirinya dua bioskop yaitu Deli bioskop dan Rex bioskop. Dalam periode ini fasilitas gedung bioskop masih sangat sederhana dan jumlah kursi penonton masih terbatas, akan tetapi film dari luar negeri sudah mulai di impor. Akan tetatpi film yang diputar masih merupakan film bisu yang diiringi sejumlah pemain musik yang duduk didepan untuk mengisi kebisuan film-film tersebut. Film yang paling banyak diputar pada periode ini adalah film Barat dan Film Arab. Periode kedua perkembangan bioskop di kota Banda Aceh diawali dengan masuknya Jepang. Hal itu menyebabkan pengaruh Jepang mulai masuk kedalam industri perfilman sehingga film yang diputar kebanyakan film edukasi tentang Jepang. Namun dalam periode ini banyak gedunggedung bioskop yang didirikan di kota Banda Aceh. Hal itu menandai semakin berkembangnya usaha perbioskopan dari tahun ke tahun.
Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh Ada beberapa faktor pendukung maupun penghambat perkembangan bioskop di kota Banda Aceh, baik itu secara internal maupun informal. Faktor-faktor tersebut
125
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 tidak bisa dipisahkan juga dari perkembangan daerah Aceh yang kuat akan nilai-nilai Islamnya. Adapun secara implisit bahwa faktor pendukung perkembangan dan faktor penghambat dapat dilihat sebagai berikut:
bioskop yang didirikan semakin bertambah banyak. Hal itu didukung oleh minat masyarakat yang sangat tinggi sehingga bioskop tidak pernah sepi dan pengusaha bioskop memperoleh keuntungan besar. Hingga tahun 2004, kota Banda Aceh pernah memiliki 9 unit bioskop; (2) Faktor-faktor pendukung perkembangan bioskop di kota Banda Aceh antara lain adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi terhadap kehadiran bioskop sehingga bioskop selalu ramai dan dukungan dari pengusaha yang terus membangun bioskop di kota Banda Aceh sehingga dari tahun-ke tahun fasilitas yang tersedia di bioskop semakin baik dan memenuhi standar; (3) Perkembangan bioskop di kota Banda Aceh mengalami beberapa kendala yang menyebabkan tutupnya gedung-gedung bioskop. Diantaranya konflik yang terjadi di Aceh dan pemberlakuan Qanun syariat Islam; (4) Penyebab utama menurunnya antusiasme masyarakat terhadap bioskop adalah karena hadirnya televisi dan video sehingga masyarakat lebih memilih menonton film di rumah sendiri daripada membeli tiket di bioskop; (4) Munculnya Bioskop member pengaruh positif dan negative bagi masyarakat kota Banda Aceh. Dampak positif bioskop di Kota Banda Aceh yaitu masyarakat dapat mengenal tontonan baru berupa gambar hidup yang diperankan oleh manusia langsung dalam bentuk film di ruangan khusus. Selain itu pengusaha bioskop, pedangang kaki lima, pedagang asongan, dan tukang becak juga mendapat penghasilan tambahan dari adanya gedunggedung bioskop di kota Banda Aceh. Selain dampak positif, muncul dampak negative dari perbioskopan ini antara lain masyarakat
Faktor-Faktor Pendukung Penghambat Antusias Masyarakat Desakan Masyarakat yang Kontra Adanya Pengusaha Penetapan Qanun Syariat Islam
Dengan demikian, dikarenakan adanya bencana Gempa dan Tsunami Aceh pada tahun 2004 silam kemudian adanya Qanun Syariat Islam yang diberlakukan ditambah dengan adanya desakan dari masyarakat Aceh pada umumnya dan Kota Banda Aceh pada khususnya menyebabkan bioskop di Kota Banda Aceh ditutup. Sedangkan ada faktor lainnya yang menjadikan bioskop di kota Banda Aceh ditutup karena beberapa hal seperti adanya faktor konflik, faktor masuknya Televisi, dan masuknya atau beredarnya video. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada skripsi yang berjudul Sejarah Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh Tahun 1930-2004 maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Perkembangan bioskop di Kota Banda Aceh ditandai dengan masuknya bioskop tahun 1930-an. Yang diawali dengan berdirinya Deli Bioskop dan Rex Bioskop. Seiring berjalannya waktu, usaha di bidang perbioskopan di kota Banda Aceh terus berkembang. Dalam beberapa periode
126
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 Ismail, Usmar. 2005. Kamus Kecil Istilah Film. Jakarta: B.P.Sdm Citra.
khususnya remaja menjadikan film sebagai panutan, sehingga hal-hal tidak baik yang ditampil didalam film dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Benteng Budaya
DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, Novi dkk. 2004. Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Langit Aksara Yogyakarta.
Departemen Penerangan RI. 1984. “Laporan Data Perbioskopan Di Indonesia 1984”. Jakarta: Departemen Penerangan.
Maleong, J, Laxy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Luwes, Gandes, Ulwa Humaira. 2010. “Sejarah Perkembangan Bioskop Di Surakarta Tahun 1950-1979”. Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Muhammad, Rusdji Ali. 2003. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Taher, Alamsyah. 2009. Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh :SyiahKuala University press.
Tjasmadi, Hm. Johan. 2008. Seratus Tahun Bioskop Indonesia 1900-2000. Bandung: Megindo.
http://herusutadi.blogdetik.com/2009/10/12/s ejarah-perkembangan-filmindonesia/diakses pada tanggal 5 November 2015.
Anonimous. 2003. Pengembangan Kreativitas Perfilman. Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Bioskopdiakses pada tanggal 5 November 2015.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
bioskopuntukbandaaceh.tumblr.com diakses pada tanggal 5 November 2015.
Badan Pusat Statistik (BPS). 1993. Statistik Bioskop Daerah Istimewa Aceh. BPS Banda Aceh
http://www.antaranews.com/berita/100594/se abad-kehadiran-bioskop-di-indonesia diakses pada tanggal 5 November 2015
Banda Aceh Dalam Angka, 2015. Badan Pusat Statistik Aceh Bungin
http://bappeda.bandaacehkota.go.id diakses pada tanggal 18 Januari 2016
Burhan, M. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
http://budaya-indonesiasekarang.blogspot.co.id/2010/11/kota -banda-aceh-provinsi-aceh di akses 16 Februari 2016.
Dewi, Irini .W. 2011. Sejarah Industri Perfilman Indonesia. Banda Aceh: Badan Pelestarian Nilai Budaya
127
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 120-128 www.ishabri.com/2014/bioskop-di-kotaBanda-Aceh-perlukah). Di Akses tanggal13 Februari 2016 http://ragamilmusyariah.blogspot.co.id/2013/ 03/konflik-gam-aceh.html di akses 15Februari 2016. komunikasi.us/index.php/course/perkembang an-komunikasi-teknologi/3157pengaruh-televisi-dalam-komunikasi di akses 15 Februari 2016
128