Perkembangan Keamanan di Aceh1 Anton Aliabbas dan Al Araf2 Sebagai negara demokrasi terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki prestasi yang membanggakan dalam penyelesaian konflik internal. Konflik Aceh yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat. Meski demikian, isu keamanan tetap menjadi salah satu titik paling rawan dalam sebuah area post konflik. Tulisan ini mencoba memotret dan menilai perkembangan sektor keamanan (security progress) di Aceh pasca Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Dalam melakukan analisis, studi ini menggunakan lensa security-development nexus dan teori pembangunan perdamaian (peace building) dengan menempatkan keamanan personal3 sebagai fokus. Dengan sudut pandang dan scoup terbatas, artikel ini mencoba memberi pandangan parsial dan spesifik dalam rangka melengkapi banyak kajian yang sudah ada tentang Perdamaian Aceh. 1. Konflik dan Post Konflik, Security-Development Nexus dan Pembangunan Perdamaian a. Konflik & Post Konflik Secara teoritik, konflik diartikan sebagai hubungan dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran tidak sejalan.4 Dalam sudut pandang sosiologi, konflik dibagi menjadi dua yakni konflik terbuka dan konflik tertutup (latent).5 Konflik tertutup digambarkan dengan rasa gelisah ataupun resah yang masih tersimpan di dalam hati dan pikiran orang banyak yang tidak diikuti dengan tindakan terhadap pihak lain. Sedangkan, konflik terbuka diartikan sebagai rasa resah yang sudah diiringi langkah fisik kepada pihak lain dan kalau tidak cepat ditanganai akan membawa dampak yang parah dalam masyarakat.6 Khusus untuk penyebab konflik, keresahan terjadi ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian.7 Pemicunya antara lain disparitas politik dan ekonomi antar 2 kelompok dengan sumber utama pembangunan ekonomi yang tidak mampu memerangi kemiskinan.8 Sementara istilah post konflik memiliki arti yang berlawanan. Situasi post konflik lebih sering digambarkan sebagai sebuah kondisi dimana perang atau pertikaian sudah berakhir. Kurtenbach dan Herbert (2012: 6) menjelaskan asumsi umum dari post konflik adalah sebuah perubahan yang memungkinkan adanya pembangunan dalam sebuah daerah yang tertimpa 1
Tulisan ini dipersiapkan untuk publikasi Watch Indonesia dalam memperingati Peringatan Satu Dekade Perundingan Damai Helsinki. Mohon untuk tidak dikutip dan disebarluaskan terlebih dahulu. Komentar dan masukan sangat dihargai. 2 Anton Aliabbas adalah mahasiswa S3 bidang pertahanan dan keamanan pada Centre for International Security and Resilience, Cranfield University, Inggris. Al Araf adalah Direktur Program Imparsial, Jakarta. Keduanya aktif dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. 3 Keamanan personal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bebas dari ancaman fisik dan rasa takut atas ancaman tersebut (Valters et al. (2014) seperti dikutip Valters et al. (2015)). 4 Chris Mittchel (1981) seperti dikutip Simon Fisher dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak. (edisi terjemahan). The British Council. Indonesia. Halaman 4. 5 Selo Soemardjan. 2002. Konflik-konflik Sosial di Indonesia: Refleksi Keresahan Masyarakat. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002). CSIS: Jakarta. Halaman 308. 6 Ibid 7 Robert J Muscat. 2002. Investing in Peace, How Development Aid Can Prevent or Promote Conflict. ME Sharpe Inc. New York. Halaman 139. 8 Ibid., Halaman. 122-139.
1
konflik. Meskipun demikian, sering kali pembangunan pasca konflik sering kali menghadapi banyak kendala. Salah satu tantangan utama dari pembangunan di daerah tersebut adalah tingginya skala ketidakamanan yang jika gagal ditangani akan membalikkan keadaan menjadi ke arah konflik.9 Sekalipun istilah konflik dan post-konflik masih mengundang diskursus, artikel ini berposisi bahwa situasi post-konflik adalah situasi dimana eskalasi kekerasan terjadi tidak lagi lebih tinggi dari saat terjadinya perang atau pertikaian. b. Security-Development Nexus Harus diakui, keberhasilan dari sebuah perjanjian damai sangat bergantung pada isi dari perjanjian tersebut. Meski demikian, dalam konteks rekonstruksi post-konflik, pembangunan perdamaian akan pula bergantung pada kemampuan pemerintah mengelola otoritas politik, ekonomi dan militer (DeRouen et al., 2010). Pada fase inilah, ketegasan dan kemampuan pemerintah diuji, apakah akan serius mengimplementasikan isi dari perjanjian damai atau tidak. Dua topik yang umum disinggung dan juga saling terkait di area post konflik adalah keamanan dan pembangunan. Banyak pihak mempercayai keamanan dan pembangunan saling terhubung mutual dan mempengaruhi satu sama lain.10 Pendapat ini seakan menjadi konsensus bersama, sekalipun hingga kini tetap menjadi diskursus yang berkembang. Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan (2004: viii) sendiri bahkan pernah menyatakan “development and security are inextricably linked”. Mengelaborasi security-development nexus penting kiranya untuk menguraikan istilah‘security’ dan ‘development’ terlebih dahulu. Dalam perjalanan waktu, konsepsi teoritik tentang keamanan telah berevolusi sedemikian rupa yang membuka lebar peluang keterlibatan banyak pihak untuk mewarnai diskursus ini. Konsep keamanan dapat didekati dengan dua cara: tradisional dan non tradisional. Pendekatan tradisional mengartikan keamanan sebagai keamanan negara yang terancam oleh kekuatan militer pihak lain. Dalam pendekatan ini, negara (state) menjadi subyek dan obyek dalam konteks penyediaan keamanan..11 Sementara pada pendekatan non-tradisional, konsepsi keamanan lebih dititikberatkan pada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors).12 Konsepsi ini berkembang setelah menurunnya ancaman militer yang menggerogoti kedaulatan negara sementara ancaman terhadap keamanan manusia semisal kemiskinan, penyakit menular, bencana alam, dan kerusakan lingkungan hidup meningkat.13 Diskursus ini muncul setelah pemikir dari ‘the Copenhagen School’ memperluas refferent object 14. Pada awalnya, 9
Sabine Kurtenbach dan Herbert Wulf. 2012. Violence and Security Concerns in Post-Conflict Situations. Duisburg: Institute for Development and Peace (Research and Advisory Project „Instruments and Proce- dures of German Development Cooperation in Post-Conflict Situations“ - Project Working Paper No. 3). 10 Stern, M. and Ojendal, J., 2010, Mapping the Security Development Nexus: Conflict, Complexity, Cacophony, Convergence', Security Dialogue, vol. 41, no. 1, pp. 6 11 Edy Prasetyono.2006. Konsep-Konsep Keamanan dalam Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Indra J Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro (eds). Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia. Jakarta: CSIS. Halaman 267-269 12 Ibid 13 Lihat Bob Sugeng Hadiwinata. 2007. Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari Realisme hingga Konstruktivisme, dalam Yulius P Hermawan (ed). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 13 14 Istilah refferent object of security dipopulerkan oleh Barry Buzan. Lihat Barry Buzan, People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War. (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 1991).
2
keamanan hanya terfokus pada negara, kini bergeser dengan memasukkan keamanan manusia menjadi bagian fokus keamanan.15 Dalam beragam literatur, pembangunan dapat dilihat dari berbagai lensa. Dari sisi historis misalnya, pembangunan diartikan sebagai sebuah kebutuhan dari negara bekas jajahan atas pertumbuhan ekonomi dan konsolidasi politik (Simon (1999) seperti dikutip dari Stern dan Ojendal (2010))16. Sementara dari aliran post-development, istilah pembangunan dilihat sebagai upaya pelanggengan perbedaan, hirarki dan ketidakseimbangan hubungan kuasa yang merupakan reproduksi dari perilaku kolonial.17 Meski demikian, artikel ini mengidentifikasikan pembangunan sebagai sebuah upaya perubahan kondisi makro masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengedepankan penggunaan indikator ekonomi yakni angka kemiskinan sebagai alat ukur utama. Performa ekonomi ini tentu juga tidak lepas dari kapasitas pemerintah dalam menyiapkan strategi pembangunan. Sekalipun tidak dielaborasi detil, kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan pembangunan akan disoroti pada konteks pelanggaran atau penyimpangan keuangan (baca: korupsi). Meminjam pendapat Stern dan Ojendal (2010), penggunaan sudut pandang security development nexus dimaksudkan untuk menjelaskan dan menganalisis proses makro yang terjadi di arena post conflict. Baik keamanan maupun pembangunan, dalam daerah post konflik, diyakini akan saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa ada keamanan maka pembangunan tidak akan berlangsung sesuai target (Krause dan Oliver, (2005) seperti dikutip dari Coetzee (2013:130)). Sebaliknya, minimnya pembangunan hanya akan menimbulkan masalah ketidakamanan (McDougall (2010:172) seperti dikutip dari Coetzee (2013:129)). c. Pembangunan Perdamaian (Peace-building) Berbicara mengenai pembangunan perdamaian (peace-building) juga tidak mudah. Konsepsi ini adalah bagian dari 3 pendekatan yang dikenalkan oleh Johan Galtung dalam meneropong perdamaian: peace making, peace keeping dan peace-building18. Ada banyak pihak yang menawarkan definisi peace-building. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) beberapa kali menawarkan konsep ini. Mantan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali dalam laporan An Agenda for Peace (1992) mengartikan peace-building sebagai “action to identify and support structures which will tend to strengthen and solidify peace in order to avoid a relapse into conflict”. Sedangkan dalam Laporan PBB "Brahimi Report" (2000), definisi peace-building digambarkan sebagai “a term of more recent origin that, as used in the present report, defines activities undertaken on the far side of conflict to reassemble the foundations of peace and provide the tools for building on those foundations something that is more than just the absence of war.”
15
Tokoh-tokoh the Copenhagen School antara lain Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde. Lebih lanjut baca Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap Wilde. 1998. Security: a New Framework for Analysis. Boulder, Colorado: Lynne Rienner. 16 Stern dan Ojendal (2010) membagi penjelasan mengenai teori pembangunan dalam 6 pendekatan yakni (1) development as modern (teleological) narrartive; (2) broadening, deepening and humanizing development; (3) development as impasse; (4) post-development; (5) development as a techniques of governmentality; (6) development as globalized. Lihat Stern, M. and Ojendal, J., 2010, Mapping the Security… 17 Ibid. 18 Diskusi mengenai 3 pendekatan yang ditawarkan Galtung, baca Johan galtung (1976). Three approaches to peace: peace making, peace keeping and peace building. dalam Peace, War and Defense: Essay in Peace Research, Volume II. Halaman 282-304.
3
John Paul Lederach (1997) menggarisbawahi peace-building sebagai “a comprehensive concept that encompasses, generates, and sustains the full array of processes, approaches, and stages needed to transform conflict toward more sustainable, peaceful relationships.”19 Oleh karena itu, tidak heran jika banyak pihak menyepakati bahwa peace-building adalah sebuah proses dinamis yang berkelanjutan. Perdamaian yang dimaksudkan dalam terminologi ini merupakan hasil dari sebuah interaksi banyak aktor dan elemen. Tidak hanya dari para kombatan yang terlibat dalam perang, tetapi juga mencakup kultur dan sistem yang kelak terbangun pasca kesepakatan damai dihasilkan. 2. Manajemen Keamanan Aceh a. Sebelum Perjanjian Helsinki Berbagai literatur sudah memuat evolusi konflik Aceh. Jika dilihat dalam kacamata sejarah, perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memiliki keterkaitan dengan pergulatan pro kontra di masyarakat Aceh beberapa hari setelah Indonesia merdeka.20 Kirsten E. Schulze (2004) melansir, sejak berdirinya GAM, konflik Aceh setidaknya bisa dibagi dalam 3 fase periode.21 Pertama, fase 1976-1979 yang menggambarkan GAM sebuah kelompok separatis kecil yang dikelola sekitar 70 orang berpendidikan. Kedua, fase 19891998 yang ditandai dengan diberlakukannya Operasi Jaring Merah atau lebih dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada fase ini paling banyak korban sipil rakyat Aceh yang berjatuhan. Sedikitnya jumlah korban tewas akibat operasi ini berkisar 1.258-2.000 orang.22 Ketiga, fase 1998-2005 yang ditandai dengan adanya perubahan GAM yang awalnya sebuah gerakan 70 orang kini menjadi meluas dan sesuatu gerakan popular di masyarakat.23 Ketika reformasi bergulir tahun 1998 dan kepempimpinan nasional diambil alih oleh Presiden BJ Habibie, kekerasan di Aceh tetap terjadi. Meskipun Operasi Jaring Merah dan status daerah operasi militer (DOM) dicabut, operasi militer tetap digelar. Setidaknya ada beberapa operasi militer yang terjadi di Aceh antara lain ‘Operasi Sadar Rencong I’ (Mei 1999-Januari 2000), ‘Operasi Sadar Rencong II’ (Februari-Mei 2000), ‘Operasi Sadar Rencong II/Cinta Meunasah I’ (Juni-September 2000), ‘Operasi Cinta Meunasah II’ (September 2000- Februari 2001), ‘Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum I’ (Februari-Agustus 2001), ‘Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum II’ (September 2001-Februari 2002), ‘Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum III’ (Februari -November 2002). Kesemuanya tentu membawa ekses yang berujung pada kekerasan fisik, penghancuran bangunan dan korban jiwa (Tabel 1). Tabel 1. Kekerasan di Masa Pemerintahan BJ Habibie No 1
Pembunuhan
Operasi Wibawa 9 korban
2 3
Penganiayaan Penangkapan
82 korban 78 kasus
19
Jenis Pelanggaran
Operasi Sadar Rencong I 446 korban
Operasi Sadar Rencong II 200 korban
Operasi Cinta Meunasah 294 korban
608 korban 192 kasus
126 korban 48 kasus
653 korban 382 kasus
John Paul Lederach. 1997. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. United States Institute of Peace Press: Washington, DC 20 Neta S. Pane. 2001. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka Solusi, Harapan dan Impian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Halaman. 1. 21 Kirsten E. Schulze. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studies 2. Washington D.C: East-West Center. 22 Human Rights Watch (2001) dan Amnesty International (1993) dalam Kirsten, Ibid ., Halaman. 5. 23 Penelitian Schulze tidak mencapai periode 2005. Namun, penulis yakin tidak ada perubahan yang mendasar dari GAM hingga ditandatanganinya Perjanjian Helsinki pada 2005.
4
4 5
sewenang-wenang Perkosaan Pembakaran rumah/took
n/a
3 kasus
2 kasus
2 kasus
n/a
1.031 unit
408 unit
801 unit
Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh Beberapa kasus pelanggaran HAM juga terjadi di awal reformasi. Pendekatan keamanan, sekalipun lingkungan sudah berubah, ternyata masih masif digunakan. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada tahun 1999 antara lain insiden Idi Cut (3 Februari), insiden Simpang KKA (3 Mei) dan pembunuhan Teungku Bantaqiah (23 Juli).24 Penggunaan cara damai dalam menyelesaikan konflik Aceh diinisiasi Presiden Abdurrahman Wahid pada Januari 2000.25 Usaha tersebut berujung pada Jeda Kemanusiaan (12 Mei 200015 Januari 2001).26 Namun, perdamaian tersebut tidak berlangsung lama. Pemerintah menghentikan proses negosiasi dan melakukan penangkapan terhadap juru runding GAM sekitar bulan Juli 2001.27 Sekalipun perundingan dan upaya perdamaian ditempuh, kekerasan tetap tejadi di Aceh. Jika dibanding dari segi kuantitas, kasus dan korban pada Jeda Kemanusiaan I lebih kecil dibandingkan pada era pemerintahan BJ Habibie. Akan tetapi, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Kasus kekerasan lambat laun meningkat tajam (Tabel 2). Tabel 2. Kekerasan di Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid No
Jenis Pelanggaran
Jeda Kemanusiaan I
Jeda Kemanusiaan II
Fase Moratorium
1
Pembunuhan
47 korban
211 korban
36 kasus
2
Penganiayaan
56 korban
480 kasus
116 kasus
3
Penangkapan sewenang-wenang
25 kasus
340 kasus
27 kasus
4
Perkosaan
n/a
2 kasus
n/a
5
Pembakaran rumah/took
n/a
516 unit
184 kasus
Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh Pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak berlangsung satu periode. Pada tahun 2001, posisinya digantikan oleh Megawati Sukarnoputri. Sekalipun posisi kepemimpinan berganti, niat melanjutkan proses perdamaian tetap ada. Pada 9 Desember 2002 di Tokyo, pemerintah dan GAM menyepakati Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Perundingan ini dibantu oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Bank Dunia. Ada 3 kesepakatan yang disetujui dalam CoHA yakni GAM meletakkan dan mengumpulkan senjata di tempat yang ditentukan, relokasi dan reformulasi peranan keamanan Indonesia, serta adanya zona damai. 28 Sebelumnya, pada 5 Februari 2002, pemerintah kembali mendirikan Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda yang berbasis di Aceh. Sejak itulah, penambahan pasukan Tentara 24
Samsu Rizal Panggabean. 2014. Democratisation, Peace Process and Security Sector Governance in Indonesia: The Case of Aceh. Dalam Yuji Esugi (ed). Peace Building and Security Sector Governance in Asia. Germany: LIT Verlag. 25 Kirsten E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM )…. Halaman. 44. 26 Ibid 27 Ibid 28 Ibid. Halaman. 44-45.
5
Nasional Indonesia (TNI) terus berlangsung. Pendirian ini didasari atas penilaian adanya eskalasi konflik yang terjadi di provinsi tersebut.29 Kondisi perdamaian yang didasarkan pada CoHA tidak berlangsung lama. Dua pihak bertikai sama-sama tidak serius mengimplementasikan isi perjanjian CoHA. Dan pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati mengeluarkan keputusan menetapkan status darurat militer di Aceh. Pararel dengan keputusan itu, pemerintah menggelar operasi terpadu yang terdiri dari operasi pemulihan keamanan, operasi penegakan hukum, operasi kemanusiaan dan operasi pemberdayaan aparatur pemerintah.30 Pemerintah mengerahkan pasukan TNI dalam jumlah signifikan. Untuk operasi pemulihan keamanan, TNI mengerahkan 40.000 personel yang sudah dikirim ke Aceh sebelum darurat militer diterapkan. Jumlah ini belum ditambah dengan keberadaan Polri yang berjumlah 14.000 orang.31 Menurut Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu, besarnya jumlah personil yang diterjunkan ke Aceh merupakan wujud dari penerapan strategi perang anti gerilya dalam menghadapi GAM. Dalam strategi ini, TNI menggunakan rasio 1:10 yang artinya 1 anggota GAM akan dihadapi dengan 10 personel TNI. Pada awal penerapan darurat militer, jumlah anggota GAM diestimasi mencapai 5.200 orang yang dilengkapi dengan 3.500 pucuk senjata.32 Besarnya jumlah pasukan yang diterjunkan ke Aceh menyebabkan ekses. Angka korban tewas melonjak tajam. Mabes TNI melansir, korban tewas dari warga sipil mencapai 662 orang, sementara dari GAM sebanyak 2.439 orang dan TNI sekitar 147 personel (Tabel 3).33 Tabel 3. Rekapitulasi Pelaksanaan Darurat Militer (19 Mei 2003-18 Mei 2004) GAM
TNI
Sipil
Tewas
Ditangkap
Menyerah
Tewas
Luka
Senjata GAM
Tewas
Luka Berat
Luka Ringan
2.439
2.003
1.559
147
422
914 pucuk dan 270 senjata rakitan
662
140
227
(Sumber: Mabes TNI, 2005 dan Majalah Acehkita, 2005) Sementara data berbeda diberikan Koalisi NGO Aceh (2005). Angka korban jiwa tidak sefantastis yang dikeluarkan Mabes TNI. Meskipun demikian, korban dari warga sipil tidak dapat dihindarkan (Tabel 4).
29
Sri Yanuarti. 2008. Pergeseran Peran TNI Pasca MoU Helsinki. Dalam Ikrar Nusa Bhakti (ed.) Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar. 30 . Kompas, Edisi 19 Mei 2003, Halaman. 1. 31 Majalah Acehkita, Edisi 017/Tahun II/Juni 2005, Halaman. 5. Sementara peneliti Matthew Davis (2006) meyakini angka pasukan di Aceh sudah jauh di atas 40 ribu orang. Menurutnya, pada awal 2002, total pasukan di Aceh sudah mencapai 40.000 personel. Diskusi mengenai jumlah pasukan dapat baca Matthew N. Davies. 2006. Indonesia’s War over Aceh: last stand on Mecca’s porch. Routledge: Oxon 32 Belakangan Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen Endang Suwarya merevisi estimasi tersebut dengan menyebutkan total anggota GAM mencapai 8.500 orang dengan 5.000 pucuk senjata. Majalah Acehkita, Edisi 017/Tahun II/Juni 2005, Halaman. 6-7. 33 Sumber data ini diperoleh dari evaluasi pelaksanaan operasi pemulihan keamanan yang dilakukan Mabes TNI.
6
Tabel 4. Kekerasan di Masa Pemerintahan Megawati (Darurat Militer I & II) No
Keterangan
Darurat Militer I Sipil
TNI/Polri
Darurat Militer II GAM
Sipil
TNI/Polri
GAM
1
Tewas
75
31
120
44
11
103
2
Luka
103
36
-
73
12
4
3
Penculikan/ Hilang
64
-
1
20
-
3
4
Pelecehan Seksual
6
-
-
0
-
0
5
Penangkapan
59
-
92
12
-
99
6
Kerugian Harta Benda
0
-
-
0
-
0
213
149
23
209
Total
307
67
Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh Status darurat militer di Aceh hanya berlangsung setahun. Presiden Megawati kemudian mencabut status tersebut dan mengganti dengan darurat sipil. Akan tetapi, operasi militer di lapangan tetap berlangsung. Dan dalam pemilihan presiden secara langsung, Megawati gagal mempertahankan kekuasaan dan digantikan Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Oktober 2004. Tidak lama memimpin Indonesia, duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla diuji dengan tragedi tsunami yang menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004. Jumlah korban jiwa akibat bencana ini diprediksi mencapai ratusan ribu jiwa. Angka ini belum ditambah dengan hancurnya banyak infrastruktur di berbagai tempat di Aceh. Walaupun dilanda kehancuran akibat tsunami, kontrol militer atas wilayah Aceh tidak berkurang. Bahkan sejumlah organisasi internasional merasa dihalangi TNI dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan.34 Sejak awal diberlakukannya darurat militer, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 43/2003 melarang jurnalis dan warga negara asing memasuki wilayah Aceh. Pada 27 Desember 2004, pemerintah mencabut larangan tersebut. Meskipun demikian, pihak TNI masih keberatan dengan keberadaan alat angkut militer asing masuk ke wilayah udara Aceh pada 1 Januari 2005. Barulah saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi lampu hijau, pesawat militer asing dibolehkan mendarat di Banda Aceh. Itupun tetap dengan syarat mendapatkan izin dari TNI. Pembatasan terhadap keberadaan militer asing kemudian kembali diterapkan pada 111 Januari 2005. Diduga, pembatasan ini terkait keinginan pihak militer Indonesia untuk mengembalikan status keamanan Aceh seperti sebelum gelombang tsunami menghempas. Dan batas akhir keberadaan militer asing di Aceh hanya sampai 26 Maret 2005. Sementara, untuk para pekerja kemanusiaan tetap diizinkan.35 Kontak senjata antara GAM dan TNI di Aceh, sekalipun sudah hancur akibat tsunami, tetap terjadi. Pihak TNI melansir dalam kurun 2 pekan setelah terjadi tsunami setidaknya telah terjadi 34 kali insiden kontak tembak. Alasannya, GAM dinilai tidak mau melakukan gencatan senjata dan mengganggu pengiriman logistik bantuan. Dalam insiden ini, sedikitnya 1 prajurit TNI dan 101 orang diduga GAM tewas. TNI mengklaim menyita 38 pucuk senjata.
34
Rhoda Margesson. 2005. Indian Ocean Earthquake and Tsunami: Humanitarian Assistance and Relief Operations. CRS Report for Congress. Halaman 23-24 35 Ibid.
7
Akibat dari insiden ini, TNI menambah 60 pos yang diklaim sebagai bagian pengamanan logistik serta menyiapkan 1 batalyon untuk melakukan pengawalan penyaluran bantuan.36 Sejak awal Yudhoyono-Kalla erat kaitannya dengan proses perdamaian di Aceh. Walaupun demikian, kesangsian atas penggunaan cara non koersif yang akan ditempuh pemerintah tetap mencuat. Sepak terjang Yudhoyono yang merupakan pensiunan jenderal juga pernah tercatat menjadi arsitek dari konsep terpadu yang menggabungkan operasi militer dengan dialog damai saat Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati. 37 Dari beberapa kegagalan perundingan damai di Aceh, Aspinal (2005) mencatat, kondisi tersebut disebabkan karena ketiadaan dukungan yang serius dari kepala pemerintahan. Ketiadaan ini menyebabkan pembicaraan negosiasi yang menyinggung masalah krusial kerap mengalami kebuntuan. Hasilnya, lagi-lagi perundingan damai berakhir dengan kontak senjata.38 Meskipun dilanda bencana tsunami, operasi militer di Aceh tidak berhenti. Operasi militer bahkan gencar digelar di Aceh Timur.39 Akan tetapi, GAM tidak merespon dengan ikut menggelar strategi ofensif. Walaupun demikian, pasca tsunami hingga ditandatanganinya Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005, sejumlah kontak tembak yang berujung pada korban tewas baik dari TNI maupun GAM terjadi.40 Harus diakui, rasio pasukan keamanan dengan penduduk di Aceh saat darurat militer dan menjelang pembicaraan Perundingan Helsinki sudah jauh melampaui level normal. Laporan Bank Dunia (2006) mencatat, pada 1990-an, hanya ada sekitar 6.000 personil aparat keamanan yang diterjunkan ke Aceh atau setara dengan rasio 1:570. Artinya, ada 1 personel tentara untuk setiap 570 orang warga Aceh. Akan tetapi, angka tersebut berubah drastis. Menjelang awal perundingan Helsinki, rasio keberadaan pasukan berbanding dengan warga Aceh sudah mencapai 1:80. Artinya, ada 1 personel keamanan untuk setiap 80 warga Aceh. Angka ini juga jauh di atas rasio nasional yang hanya 1:1.000. Proporsi keberadaan pasukan di Aceh sudah setara dengan 12,5 untuk setiap 1.000 populasi warga.41 Wakil Presiden Jusuf Kalla, di awal periode pemerintahan, langsung mengambil inisiatif untuk memaksimalkan penggunaan cara damai.42 Dengan difasilitasi oleh Crisis Management 36
Detikcom. 2005. Setelah Tsunami, TNI-GAM 34 Kali Kontak Senjata http://news.detik.com/read/2005/01/11/180359/271297/10/setelah-tsunami-tni-gam-34-kali-kontak-senjata 37 Edward Aspinall. 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?. East-West Center: Washington. Halaman 14. 38 Penjelasan spesifik mengenai kegagalan perundingan di Aceh sebelum Helsinki dapat baca Edward Aspinall dan Harold Crouch. 2003. The Aceh Peace Process: Why it Failed. Policy Studies 1 East-West Center: Washington D.C 39 Dalam catatan penulis, saat awal penerapan darurat militer, Kabupaten Aceh Timur adalah salah satu titik yang disebut wilayah hitam atau basis GAM. Lihat ICG. 2005. Aceh: A new Chance for Peace. Asia Briefing No 40, 15 Agustus 2005. 40 Kontak tembak yang terjadi misalnya di kontak tembak di Desa Seblambok, Kecamatan Muntasik, Kabupaten Aceh Besar yang menewaskan 3 anggota GAM pada 3 Maret 2005. Lihat http://www.indosiar.com/fokus/3anggota-gam-tewas-dalam-kontak-senjata_30167.html diakses pada 24 Maret 2015. Sementara pada insiden lain, seorang prajurit TNI tewas akibat baku tembak di Desa Ulee Titi Matang Anoe, Kecamatan Senundon, Aceh Utara pada 6 Mei 2005. http://www.tempo.co/read/news/2005/05/06/05560654/Kontak-Tembak-di-AcehUtara diakses pada 24 Maret 2015. 41 World Bank. 2006. Aceh Public Expenditure Analysis Spending For Reconstruction and Poverty Reduction. World Bank: Washington DC. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1152870963030/APEA.pdf Diakses pada 24 Maret 2015 42 Saat awal memerintah, Wapres Jusuf Kalla mengumpulkan beberapa orang dekatnya yakni Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dan mantan Komandan
8
Initiative yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, perundingan damai antara GAM dan Indonesia berlangsung sebanyak 5 putaran di Helsinki sepanjang 2005. Hasilnya, MoU guna mengakhiri pertikaian selama lebih dari 30 tahun di Aceh ditandatangani.43 b. Setelah Perjanjian Helsinki Tidak ada yang pernah menyangka, konflik Aceh berakhir kurang dari 34 minggu setelah gelombang tsunami menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana tersebut seakan menjadi katalis dari upaya penyelesaian yang dilakukan para pihak yang bertikai. Tanpa faktor political will dari banyak pihak, perjanjian damai Helsinki mungkin belum tentu dapat ditandatangani.44 Salah satu kemajuan dari perundingan ini adalah keberadaan tim monitoring internasional yang independen dan adanya mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan. Dua hal ini menjadi penting untuk menjamin kelanggengan dari perjanjian damai yang sebelumnya pernah gagal di Aceh. 45 Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang perwakilan Uni Eropa, Norwegia, Swiss, Thailand, Malaysia, Brunei, Malaysia dan Singapura untuk duduk dalam tim Aceh Monitoring Mission (AMM). Tim pengawas yang juga didukung penuh GAM ini bertugas untuk membantu para pihak mengimplementasikan MoU, termasuk pula melakukan investigasi jika terjadi pelanggaran dan menjalin kerjasama dengan para pihak. Meski demikian, AMM tidak diberi kewenangan untuk berperan sebagai negosiator jika terjadi perbedaan pandangan antara pemerintah RI dan GAM. Sepanjang 15 Agustus 2005-15 Desember 2006, Perwakilan AMM bertugas di sejumlah wilayah antara lain Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen dan Meulaboh.46 Sekalipun MoU Helsinki sudah ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kontak tembak antara GAM dan TNI beberapa kali sempat terjadi. Khusus untuk bulan Agustus 2005 saja misalnya, setidaknya terjadi 3 kali kontak tembak antara GAM-TNI yang menewaskan 1 orang dan 2 orang terluka. Semua korban berasal dari GAM. Kontak senjata terjadi di 3 kabupaten yakni Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Besar.47 Salah satu titik kritis saat AMM bekerja adalah pada proses pelucutan senjata dan relokasi pasukan. Baik pihak TNI maupun GAM pada awalnya masih menaruh curiga satu sama lain. Pihak TNI menduga GAM tidak serius untuk memberikan senjata yang dimiliki. Sementara, pihak GAM mensinyalir TNI tidak akan sepenuhnya menarik pasukan, terutama pasukan Korem 012/Teuku Umar, Mayjen Syarifuddin Tippe untuk menyusun rencana perundingan damai dengan GAM. Baca ICG. 2005. Aceh: A new Chance for Peace. Asia Briefing No 40, 15 Agustus 2005. 43 Banyak studi dan publikasi yang sudah menulis tentang Perundingan Helsinki, antara lain Ahmad Farhan Hamid. 2006. Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat. Penerbit Suara Bebas: Jakarta; Otto Syamsuddin Ishak. 2008. Perdamaian: Yang Berikhtiar, Yang Menentang. Kronik Perundingan GAM-RI di Helsinki 2005. ACSTF: Jakarta; Barbara Kemper. 2007. Mediation in Intrastate Conflict: The Contribution of Track-Two Mediation Activities to Prevent Violence in the Aceh Conflict. With a Foreword by Prof Ian Macduff. INEF Report 88/2007. Institute for Development and Peace, University of Duisburg-Essen: Duisburg; Katri Merikallio. 2006. Ahtisaari and Aceh. WS Bookwell Oy: Juva; Edward Aspinall. 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?. East-West Center: Washington; Fachri Aly et.al. 2008. Kalla dan Perdamaian Aceh. LSPEU: Jakarta 44 Paul Zeccola. 2011. Dividing disaster in Aceh, Indonesia: separatist conflict and tsunami, human rights and humanitarianism. Disaster 35(2). Blackwell Publishing: Oxford & Malden. 45 ICG. 2005. Aceh: A new Chance for Peace. Asia Briefing No 40, 15 Agustus 2005. 46 Misi AMM dipimpin oleh perwakilan dari Uni Eropa Pieter Feith. Informasi mengenai AMM dapat dilihat di http://www.aceh-mm.org/english/amm_menu/about.htm diakses pada 25 Maret 2015. 47 Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1 Agustus-31 Agustus 2005. Lihat http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2007/08/03/000310607_20070803131528/R endered/INDEX/404330INDONESI1pdate0Aug0501PUBLIC1.txt diakses pada 25 Maret 2015.
9
Bawah Kendali Operasi (BKO/non organik) dan sewaktu-waktu akan kembali menyerang.48 Proses pelucutan senjata dan penarikan pasukan dilakukan selama 4 tahap. Ke semuanya langsung dibawah pengawasan AMM. Sepanjang keseluruhan tahapan tersebut, tidak ada perselisihan yang signifikan yang mengganggu proses perdamaian. GAM menyerahkan total sebanyak 840 senjata yang diterima untuk dilucuti selama empat tahap (Tabel 5). Tabel 5. Pelucutan Senjata GAM Tahap
Diserahkan GAM
Diskualifikasi
Diterima
Dipermasalahkan Pemerintah RI
Senjata tidak dipermasalahkan
I (September ’05) II (Oktober’05) III (November’05) IV (Desember’05)
279 291 286 162
36 58 64 20
243 233 222 142
17 35 15 4
226 198 207 138
TOTAL
1018
178
840
71
769
Sumber: Aceh Monitoring Mission Seiring dengan pelucutan senjata, jumlah pasukan keamanan di Aceh juga dikurangi. AMM mencata keseluruhan TNI non organik yang direlokasi dalam empat tahap adalah 25.890 personil dan polisi non organik berjumlah 5.791 personil. Penarikan ini, dinilai AMM, sudah sesuai dengan pasal 4.7 MoU yang memuat jumlah maksimum TNI dan Polri berada di Aceh yakni 14.700 personil TNI dan 9.100 personil Polri (Tabel 6). Tabel 6. Relokasi Pasukan Non-organik TNI/Polri dari Aceh Tahap I (September ’05)
TNI 6.671
Polri 1.300
Total 7.971
II (Oktober ’05) III (November ’05) IV (Desember ’05) TOTAL
6.097 5.596 7.628 25.890
1.050 1.350 2.150 5.791
7.147 6.964 9.778 31.681
Sumber: Aceh Monitoring Mission Meski demikian kekerasan dan ketidakamanan di Aceh terus berlanjut. Dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), dan Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh sepanjang 14 bulan awal perdamaian, setidaknya sudah terjadi 70 kasus kriminal dengan 15 kasus diduga dilakukan eks kobatan. Sebaran lokasi kejadian juga menarik. Kasus kekerasan ini marak terjadi di 5 wilayah ‘hitam’49 yakni Pidie (13), Aceh Timur (16), Aceh Utara (14), Bireuen (11) dan Aceh Selatan (6).50 48
Kecurigaan dua pihak ini sangat terasa dalam berbagai pernyataan di awal perjanjian damai. Sementara laporan ICG menyebutkan proses relokasi adalah salah satu poin sensitif karena terkait jumlah pasukan yang akan tinggal di Aceh. Lebih lanjut baca ICG. 2005. Aceh: A new Chance for Peace. Asia Briefing No 40, 15 Agustus 2005. 49 Istilah ‘hitam’ merujuk pada terminologi yang digunakan pemerintah untuk menggambarkan basis GAM 50 KontraS Aceh. 2007. Perdamaian belum berkeadilan: Laporan Situasi Politik dan HAM Aceh tahun 2006. Kontras Aceh: Banda Aceh. Halaman 75-76.
10
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh mencatat pada 2005-2007, setidaknya telah menangani 110 kasus kriminal dengan menggunakan senjata api. Dari 110 kasus tersebut, Polri juga menyita 71 pucuk senjata api lengkap dengan 2.127 butir amunisi berbagai kaliber. Senjata tersebut belum termasuk 45 buah bom rakitan, 8 butir amunisi peluncur roket serta 9 buah granat tangan.51 Pada masa awal perdamaian, kontak senjata antara eks GAM dengan aparat keamanan juga sempat terjadi.52 Insiden kekerasan baik yang dilakukan oleh prajurit TNI maupun eks GAM juga terjadi. Salah satu kasus kekerasan yang menonjol dilakukan aparat TNI adalah insiden Paya Bakong, Aceh Utara, pada 3 Juli 2006. Dalam insiden tersebut, 1 orang eks GAM tewas dan 2 orang lain terluka. AMM sendiri menilai kasus ini sebagai sebuah insiden serius.53 Kasus kekerasan yang dilaporkan dilakukan eks kombatan adalah pada 15 September 2006 di Aceh Selatan berupa perusakan properti pribadi yang akibat ketidakpuasan atas penyaluran bantuan korban konflik.54 Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Aceh, juga dilakukan dalam periode ini (Desember 2006). Sidney Jones mencatat tidak ada kasus keamanan yang serius terkait pesta politik yang digelar pada Desember 2006 ini. Dalam pilkada ini, wakil dari GAM memenangi pemilihan gubernur dan 7 kursi bupati.55 Khusus untuk pilkada, TNI menurunkan 2.000 personil untuk membantu Polri dalam melakukan pengamanan. Sejatinya, AMM menyarankan pelibatan eks kombatan untuk membantu pengamanan. Namun, Polri lebih memilih bekerja sama dengan TNI. 56 Di tahun yang sama, 2006, aktivitas TNI untuk menjaga obyek vital di Aceh tetap berlangsung. Salah satu obyek vital yang ikut dijaga TNI adalah Exxon Mobile. Setidaknya 400 prajurit TNI dilibatkan untuk menjaga kawasan ini. Dan angka ini menurun pada tahun berikutnya yakni 350 prajurit yang ditugasi untuk memproteksi kawasan ini (Yanuarti, 2008). Pada tahun 2007, Kodam Iskandar Muda memperluas kegiatan ‘operasi militer selain perang’. Setidaknya ada 8 kegiatan yang menjadi turunan dari kegiatan tersebut yakni: 1) mengatasi gerakan separatis; 2) mengatasi pemberontakan bersenjata; 3) mengatasi terorisme; 4) membantu pemerintah daerah; 5) membantu Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 6) membantu tugas pasca bencana; 7) menjaga perbatasan; 8) menjaga obyek vital strategis. Perluasan tugas operasi militer selain perang ini kian menguatkan persepsi bahwa TNI tetap menggunakan paradigm dan pendekatan lama untuk dapat mempunyai peran strategis dalam sejumlah permasalahan.57 51
Harian Umum Pelita. Polda NAD Tangani 110 Kasus Kriminal Bersenjata Api http://www.pelita.or.id/baca.php?id=33035 diakses pada 24 Maret 2015. 52 Pada 12 Oktober 2005 misalnya seorang anggota eks GAM tewas ditembak oleh anggota Brimob di Nagan Raya. Kasus lain, pada 14 Oktober 2005 misalnya prajurit TNI dilaporkan menembak 4 orang eks GAM di Kecamatan Peudawa, Aceh Timur. Kasus ini ditangani AMM. 53 Dalam pertemuan Komisi Pengaturan Keamanan ke 42 pada 16 September 2006 disebutkan hasil investigasi pemerintah dan AMM menunjukkan adanya pelanggaran serius atas MoU yang dilakukan pemerintah yakni penggunaan dan keterlibatan TNI dalam urusan penegakan ketertiban hukum yang seharusnya merupakan tugas Polri. Pemerintah berjanji beri kompensasi pada korban. http://www.aceh-mm.org/download/indo/IndoPress%20Statement%20COSA%2016%20September%202006.pdf diakses pada 24 Maret 2015. 54 Kasus lain disebutkan mantan kombatan melakukan perampokan di Pidie pada 13 September 2006. Kontras Aceh. 2007. Perdamaian belum berkeadilan... Halaman 26. 55 Sejumlah insiden intimidasi disebutkan juga terjadi dalam menjelang pemilihan kepala daerah. Sidney Jones. Keeping the peace: Security in Aceh. http://www.c-r.org/accord-article/keeping-peace-securityaceh.#sthash.5P99K6C2.dpuf diakses pada 24 Maret 2015. 56 Samsu Rizal Panggabean. 2014. Democratisation, Peace Process and Security… 57 Evaluasi keberadaan TNI dalam 3 tahun perdamaian Helsinki dapat baca Sri Yanuarti. 2008. Pergeseran Peran TNI…
11
Insiden kekerasan yang dilakukan TNI terjadi pada Maret 2007. Kasus ini bermula saat warga melakukan pemukulan terhadap 4 prajurit Batalyon Infanteri (Yonif) 113/Jaya Sakti di Desa Alue Dua, Nisam, Aceh Utara, pada 21 Maret. Mereka dituduh melakukan kegiatan intelijen di daerah tersebut. Pihak TNI menuduh Komite Peralihan Aceh (KPA/eks GAM) di balik insiden tersebut. Dan dua hari berselang dari kejadian tersebut, sejumlah prajurit TNI menyerang 14 warga setempat.58 Kasus kekerasan, meski dalam jumlah yang lebih rendah jika dibandingkan saat darurat militer, terus berlangsung. Pada tahun 2008, aksi kekerasan yang disertai pembunuhan menimpa sejumlah anggota KPA di Atu Lintang, Aceh Tengah. Pada 29 Februari 2008, setidaknya 5 anggota KPA tewas mengenaskan akibat penyerangan yang terjadi di Kantor KPA Sagoe Merah Mege. Aksi ini dilakukan oleh kelompok Ikatan Pekerja Terminal (IPT/milisi, red). Penyebabnya adalah, perebutan pengelolaan wilayah terminal Aceh Tengah.59 Tidak hanya itu, kasus intimidasi, penganiayaan, perampasan dan penculikan merupakan insiden yang paling mendominasi sepanjang kurun 2008.60 Tingginya angka kasus intimidasi (38 dari 154 kasus) tidak lepas dari perhelatan Pemilu 2009. Dalam pemilu kali ini, Partai Aceh dan sejumlah partai lokal lainnya ikut berkompetisi bersama partai nasional memperebutkan kursi legislatif Daerah Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Dalam catatan KontraS Aceh (2009), aksi kekerasan terkait politik yang terjadi berupa pembakaran, penurunan simbol partai, hingga teror via pesan singkat.61 Potret kekerasan serupa juga terjadi pada 2009. Sekalipun menurun, insiden kekerasan terkait Pemilu 2009 mencapai 25% (25 dari 100 kasus) dengan korban terbanyak berasal dari Partai Aceh. Selain itu, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal menduduki posisi teratas dengan 15 kasus. Latar pelaku yang disebut orang tidak dikenal juga tercatat terbanyak melakukan aksi kriminalitas (76 dari 100 kasus).62 Teror berupa penembakan juga menimpa sejumlah warga asing yang bekerja di Aceh.63 Meski demikian, banyak pihak meyakini, menurunnya intensitas kekerasan di Aceh pasca Helsinki cukup menjanjikan. Alasannya, insiden pertikaian antara pemerintah dengan GAM pasca Helsinki berkurang signifikan. Tercatat hanya 5 insiden sepanjang awal 2006 hingga akhir 2008. 64 Dari sebaran kasus kekerasan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut, korban 58
Bank Dunia/DSF. 2007. Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 – 31 Maret 2007. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2007/08/10/000310607_20070810132124/R endered/PDF/404740INDONESI1pdate0mar0701PUBLIC1.pdf diakses pada 24 Maret 2015. Akibat insiden ini, pihak TNI menghukum 4 prajurit. Kejadian ini adalah kali pertama perseteruan antara TNI dan KPA pasca Pilkada 2006. 59 KontraS Aceh. 2009. Laporan Situasi Politik dan HAM tahun 2008. KontraS Aceh: Banda Aceh. Halaman 13-14. 60 Ibid. Halaman 63. 61 Sejumlah insiden penurunan bendera atau symbol milik Partai Aceh juga melibatkan anggota Polri dan TNI. Ibid. Halaman 25-28. Khusus untuk intimidasi melalui pesan singkat dapat baca laporan Jesse Hession Grayman dan Bobby Anderson. Conjuring Zones of Insecurity: Post-Conflict Election Campaigning by Text Message in Aceh Indonesia. Dalam Llorente Raquel Vazquez, Imogen Wall (eds.) Communication Technology and Humanitarian Delivery: Challenges and Opportunities for Security Risk Management. European Interagency Security Forum (EISF): London. Halaman 22- 26 62 KontraS Aceh. 2010. Laporan Situasi HAM Aceh Tahun 2009. Kontras Aceh: Banda Aceh. Halam 109-111. 63 Empat WNA yang mengalami intimidasi teror dalam insiden yang berbeda adalah Erhard Bauer (Ketua Palang Merah Jerman), John Penny (Kepala Uni Eropa untuk Aceh), Michelle Ahmad (dosen Universitas Syiah Kuala asal Amerika Serikat) dan Sarah Willis (dosen Universitas Syiah Kuala asal Amerika Serikat). Polda Aceh menyebutkan para pelaku penembakan adalah orang yang terlatih. Ibid. Halaman 61-62 64 MSR. 2009. Multi-Stakeholder Review of Post-Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2010/07/09/000333037_20100709004753/R
12
tewas lebih disebabkan pada insiden vigilante, kasus individual atau kelompok ataupun motif yang tidak jelas. Tidak hanya itu, MSR (2009:99-100) mencatat, sekalipun sudah dua kali perhelatan politik di Aceh digelar (pilkada dan Pemilu 2009), perselisihan akibat politik yang berujung kekerasan juga terbilang kecil (12%). Itupun sebarannya kebanyakan terjadi di bekas daerah ‘hitam’ seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie. Dinamika intensitas kasus ketidakamanan dan kekerasan di Aceh terlihat pararel dengan momentum persaingan politik lokal yang akan terjadi. Imparsial dan AJMI Aceh mencatat sepanjang tahun 2011 hingga 2012 di Aceh telah terjadi kekerasan sebanyak 17 kali dengan korban meninggal 15 orang dan luka 17 orang.65 Dominasi pelaku yang diidentifikasi sebagai orang tidak dikenal juga terlihat dan sebagian besar dari kasus tersebut tidak terungkap. Situasi tersebut belum ditambah dengan peristiwa pelemparan granat sebanyak 3 kali yang juga belum terungkap. Untuk diketahui, 2012 adalah tahun dilaksanakannya Pilkada di Aceh. Beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di akhir 2011 dan awal 2012, meski tidak mempunyai korelasi langsung dengan aktor politik tertentu, dapat jelas menunjukkan adanya operasi khusus. Tujuannya, untuk membuat eskalasi ketidakamanan di Aceh menjelang Pilkada. Pilkada Aceh 2012 mempunyai problem yang lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Problem utama yang mengganjal adalah berasal dari Partai Aceh. Partai Aceh menolak keberadaan calon independen dalam Pilkada Aceh.66 Kesan tersebut diperkuat dengan adanya sikap DPR Aceh, yang didominasi Partai Aceh, yang menolak pengesahan qanun pilkada berisi dibolehkannya calon independen. Penolakan dari Partai Aceh yang diiringi dengan sikap menunda pendaftaran calon kepala daerah yang diusung membuat pilkada beberapa kali ditunda. Sedianya, pilkada dijadwalkan pada 10 Oktober 2011. Setelah melalui negosiasi yang panjang, pilkada digelar pada 9 April 2012.67 Dan Pilkada Gubernur Aceh dimenangi Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Walaupun demikian kekerasan tetap terjadi dalam Pilkada 2009. Temuan yang dilaporkan Tim pemantau Forum LSM dan The Aceh Institute melansir 77 kasus kekerasan yang terjadi dalam rentang 31 Maret hingga 15 April 2012.68 Masa kampanye adalah rentang intensitas kekerasan tertinggi yakni 44 kasus. Sementara bentuk kekerasan yang mendominasi adalah endered/PDF/556030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf diakses pada 24 Maret 2015 65 Beberapa kasus penembakan yang terjadi antara lain insiden di PT Satya Agung, di Krueng Jawa, Desa Uram Jalan, Geureudong Pase, Aceh Utara yang menewaskan 3 orang (4 Desember 2011), insiden di di Desa Blang Cot Tunong, Jeumpa, Bireuen, yang menewaskan 3 orang (31 Desember 2011), dan insiden di Blok B Seureukey Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, yang menewaskan 1 orang (1 Januari 2012). http://www.imparsial.org/id/2010/kekerasan-di-aceh-mengancam-perdamaian.html 66 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 256 Undang-undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 30 Desember 2010. Pasal 256 berbunyi, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan.” Pasal tersebut dianulir MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon uji materi ini adalah Tami Anshar, Faurizal, Zainuddin Salam, dan Hasbi Baday. Hukumonline.com. 2010. MK Hidupkan Asa Calon Perseorangan di Pemilukada Aceh. http://new.hukumonline.com/berita/baca/lt4d1ca51124da5/mk-hidupkan-asa-calon-perseorangan-dipemilukada-aceh diakses pada 24 Maret 2015 67 Pelaksanaan Pilkada 9 April tersebut dinilai sebagai kemenangan awal Partai Aceh. Sebab, dengan pelaksanaan pada 9 April 2012 akan menyebabkan Irwandi tidak lagi berstatus incumbent. Pasca berakhirnya masa jabatan Irwandi pada 8 Februari 2012, Kementerian Dalam Negeri menunjuk pelaksana tugas, Tarmizi Karim. Tarmizi yang berasal Aceh Utara dianggap memiliki relasi dekat dengan Partai Aceh. 68 Tribunnews. 2012. Forum LSM Rilis 77 Kasus Kekerasan. http://aceh.tribunnews.com/2012/04/17/forumlsm-rilis-77-kasus-kekerasan diakses pada 24 Maret 2015.
13
perusakan fasilitas dan alat peraga kampanye (35 kasus). Para pelaku, dalam temuan ini, disebutkan adalah pendukung kandidat dengan Pidie adalah daerah yang paling rawan terjadinya kekerasan. Kasus kekerasan yang berelasi dengan kontestasi politik juga terjadi pada menjelang Pemilu 2014. Kasus intimidasi berupa penembakan misterius terhadap kandidat maupun pendukung terjadi. Pada 26 April 2013 misalnya, calon anggota legislatif Partai Nasional Aceh untuk kabupaten Pidie, Muhammad Bin Zainal Abidin tewas ditembak di Desa Blang Beureueh Kecamatan Mutiara Pidie.69 Pada insiden lain, 3 orang simpatisan Partai Aceh tewas akibat kekerasan bersenjata di Bireuen pada 1 April 2014.70 Sepanjang 2010-2014, angka kriminalitas yang di Aceh mengalami naik turun. Pada tahun 2010 tercatat ada 9.244 kasus yang masuk ke Polda Aceh, dan naik signifikan pada tahun 2011 (11.117 kasus).71 Pada tahun 2012, angka kriminalitas turun menjadi 9.826 kasus. Namun angka tersebut kembali meningkat pada tahun 2013 (10.099 kasus) dan 2014 yang mencapai 10.504 kasus. Untuk Pemilu 2014, data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan setidaknya terjadi 32 kekerasan terkait pemilu di Aceh sepanjang April 2013Maret 2014, atau naik 12 kasus jika dibandingkan pada Pemilu 2009 yang hanya 20 kasus. Kasus kekerasan politik lagi-lagi didominasi penganiayaan (7), pembakaran mobil (6), intimidasi (4), pembunuhan, penculikan dan pembakaran kantor masing-masing sebanyak 3 kasus. Akan tetapi, fenomena kekerasan tidak mendominasi dalam Pemilihan Presiden 2014. Meskipun, terjadi insiden terkait politik sebanyak 191 kasus pada rentang Juni-Juli 2014, kasus kekerasan seperti penganiayaan dan pembunuhan minim terjadi.72 Kasus kekerasan yang menonjol pada 2015 adalah penculikan atas 2 anggota Intel Kodim 0103 Aceh Utara, Serda Hendrianto dan Sertu Indra Irawan di Dusun Alue Mbang, Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, pada 23 Maret 2015. Keduanya ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan.73 Dua prajurit TNI ini dilaporkan dihadang dan diculik oleh sekelompok bersenjata yang belum diketahui identitasnya.
69
Kompas.com. 2013. Anggota Satgas Partai Nasional Aceh Tewas Ditembak. http://properti.kompas.com/read/2013/04/26/12472487/Anggota.Satgas.Partai.Nasional.Aceh.Tewas.Ditembak diakses pada 24 Maret 2015. Dalam catatan KontraS pada periode 2011-2013, tercatat sedikitnya 22 peristiwa penembakan terjadi di Aceh; sebanyak 11 peristiwa dilakukan oleh orang tak dikenal, 8 peristiwa oleh anggota Polisi, dan 3 peristiwa oleh anggota TNI. Lihat Kontras. 2013. Laporan KontraS soal Penggunaan Senjata Api yang Digunakan dalam Kekerasan. http://kontras.org/data/Laporan%20KontraS%20ttg%20Senjata%20API.pdf diakses pada 24 Maret 2015 70 BBC Indonesia. 2014. Simpatisan Partai Aceh ditembak, tiga tewas http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/04/140401_aceh_tiga_tewas_kekerasan diakses pada 24 Maret 2015 71 Data yang dilaporkan Polda Aceh memiliki perbedaan dengan angka kriminalitas yang dilansir BPS (2013). Dalam data BPS disebutkan angka kriminalitas yang terekam di Polda Aceh mencapai 9.114 kasus (2011) dan 9.200 kasus (2012). Baca BPS. 2013. Statistik Kriminal 2013. http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik_Kriminal_2013.pdf diakses pada 23 Maret 2015. Bandingkan dengan The Globe Journal.2012. Kriminalitas di Aceh Turun 16 Persen Tahun 2012. http://theglobejournal.com/hukum/kriminalitas-di-aceh-turun-16-persen-tahun-2012/index.php diakses pada 23 Maret 2015. Baca pula Atjehpost.co. 2014. Angka Kriminal di Aceh Meningkat Tahun 2014. http://atjehpost.co/articles/read/18149/Angka-Kriminal-di-Aceh-Meningkat-Tahun-2014 diakses pada 23 Maret 2015. 72 Ulasan lengkap mengenai Pemilu 2014 di Aceh dapat baca Aryos Nivada. 2014. Rekam Jejak Pemilu 2014 (Pengalaman Dan Pembelajaran Dari Aceh). Jaringan Survey Inisiatif: Banda Aceh. 73 Kompas.com. 2015. Diculik Kelompok Bersenjata, Dua Intel Kodim Aceh Utara Ditemukan Tewas. http://regional.kompas.com/read/2015/03/24/11585751/Diculik.Kelompok.Bersenjata.Dua.Intel.Kodim.Aceh.Ut ara.Ditemukan.Tewas diakses pada 29 Maret 2015.
14
Spekulasi bermunculan. Ada pihak yang menuduh insiden ini dilakukan oleh kelompok pimpinan Din Minimi. Kelompok ini adalah salah satu yang eksplisit menentang Gubernur Aceh Zaini Abdullah karena dianggap tidak menjalankan MoU Helsinki.74 Namun, kelompok Din membantah terlibat dalam insiden ini.75 Pihak TNI menduga kasus pembunuhan ini dilakukan warga Aceh Utara dan terkait kasus narkotika. Alasannya, dalam beberapa bulan terakhir, TNI gencar melakukan pemusnahan ladang ganja di Aceh Utara. Danrem 011 Lilawangsa, Kolonel A Daniel Chardin menyebutkan ada 3 kelompok bersenjata yang berada di Aceh Utara. Baik Polri maupun TNI belum dapat memastikan kelompok mana yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab.76 Terkait insiden ini, sejumlah personel TNI sebanyak 2 Satuan Setingkat Kompi (SSK) dan 2 Satuan Setingkat Peleton (SST) bersenjata lengkap dan diperkuat kendaraan taktis Anoa diterjunkan. Juga diperkuat 40 personel Anoa dengan senjata lengkap. Selain melakukan pengepungan di kawasan Nisam Antara, aparat TNI beserta Polri juga berpatroli ke kawasan Nisam, Sawang, dan Kuta Makmur. 77 3. Hambatan menjaga keamanan di Aceh paska perdamaian Harus diakui, gelombang kekerasan yang terjadi di Indonesia langgeng karena adanya struktur negara yang lemah, selain dari faktor internal dimana elite politik sengaja memainkan isu identitas politik seperti etnis untuk melanggengkan kekuasaan sehingga yang sering muncul adalah praktik zero sum game dalam politik.78 Di samping itu, faktor lain yang juga harus digarisbawahi dalam menganalisis penyebab terjadinya konflik adalah ketimpangan ekonomi, ketidakpuasan territorial, jumlah, besaran dan lokasi komunitas etnis serta warisan kolonial.79 Merujuk pada dinamika perkembangan keamanan di Aceh pasca perundingan Helsinki. Setidaknya ada dua variabel utama yang diidentifikasi sebagai hambatan dalam memelihara perdamaian di Aceh yakni pembangunan dan keamanan. Dua variabel tersebut, sepanjang 10 tahun perdamaian Helsinki telah berkontribusi banyak dalam mempengaruhi perkembangan keamanan di Aceh. a. Pembangunan Sepanjang proses rekonstruksi pasca tsunami di Aceh hingga kini ternyata tidak memperbaiki kualitas hidup rakyat Aceh (baca: kemiskinan). Pembangunan yang tidak merata justru malah menjadikan gap sosial di Aceh menjadi tinggi. Tidak hanya itu, faktor 74
Din Minimi pertama kali muncul pada 10 Oktober 2014. Kelompok ini disebut-sebut terkait dalam sejumlah kasus kriminal seperti penculikan warga Skotlandia di Aceh Timur, perampokan di Aceh Timur, dan sejumlah aksi teror menggunakan senjata api. Harianaceh.co. 2014. Din Minimi: “Kamoe Lawan ZIKIR Sampoe Darah Habeh!”. http://www.harianaceh.co/read/2014/10/10/36320/din-minimi-kamoe-lawan-zikir-sampoe-darahhabeh diakses pada 29 Maret 2015. 75 Nurdin melalui kuasa hukumnya, Safaruddin, membantah terlibat dalam penculikan 2 prajurit TNI. CNN Indonesia. 2015. Din Minimi Bantah Terlibat Pembunuhan Dua Intel TNI. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150324123647-20-41411/din-minimi-bantah-terlibat-pembunuhandua-intel-tni/ diakses pada 29 Maret 2015. 76 Hingga 30 Maret 2015, belum ada satu pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam insiden tersebut. 77 Tribunnews. 2015. Operasi Nisam Berlanjut. http://aceh.tribunnews.com/2015/03/26/operasi-nisam-berlanjut diakses pada 29 Maret 2015. 78 Andi Widjajanto dan Laila Hasnah, 2002. Gelombang Kekerasan di Indonesia Sebagai Masalah Fenomenologis. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002) Jakarta: CSIS, Halaman 355 79 Aloysius Gunadi Brata, 2002. Konflik di Masa Krisis: Studi Empiris Determinasi Ketidakadilan SosialEkonomi. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002). Jakarta: CSIS. Halaman 326.
15
kualitas dari penyelenggara pemerintahan lokal juga terkesan tidak siap. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang 2000-2014, persentase penduduk miskin di Aceh. Tidak terlalu menggembirakan. Seiring penggunaan pendekatan kekerasan yang masif pasca reformasi ternyata menunjukkan adanya peningkatan persentasi jumlah penduduk miskin. Hal ini dapat dilihat dari tren yang meningkat cukup signifikan dari tahun 2001 yang hanya berjumlah 758 ribu warga miskin (19,2%) menjadi 1.199.900 juta warga miskin pada tahun 2002 (29,83%). Angka ini cenderung stabil hingga tahun pertama perundingan Helsinki atau 2006 yang berada pada angka 28,28% atau sekitar 1.149.700 warga Aceh berkategori miskin. Sekalipun terlihat ada tren yang menurun, persentase angka warga miskin di Aceh pada 2014 (18,05%) masih di atas level tahun 2000 yang hanya berada pada 15,2% (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Penduduk Miskin Provinsi Aceh, 2000-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik Pemandangan yang tidak menggembirakan juga ditunjukkan dalam sektor ekonomi lainnya. Hingga Agustus 2014, data BPS menunjukkan angka pengangguran di Aceh mencapai 191 ribu orang atau naik 44 ribu jika dibandingkan dengan Februari 2014. Tidak hanya itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh pada Agustus 2014 mencapai 9,02%. Angka ini lebih tinggi 2,27 % dari TPT bulan Februari 2014 sebesar 6,75 persen.80 Dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ini, tidak mengherankan apabila angka kriminalitas di Aceh juga terus meningkat. Apalagi, penyaluran bantuan dana reintegrasi Aceh untuk korban dan eks kombatan di Aceh juga masih banyak menyimpan problem. Laporan MRS (2009:102) menyebutkan bantuan pasca konflik sudah menjadi salah satu sumber utama terjadinya kekerasan. Dalam kurun waktu 2005-2008, setidaknya terjadi 33 insiden yang berujung pada kekerasan. Angka ini mencakup bantuan tsunami (17 kasus), bantuan langsung tunai (6 kasus), bantuan pemerintah (7 kasus) dan bantuan pasca konflik (6 kasus).81 80
http://aceh.bps.go.id/index.php/brs/50 diakses pada 29 Maret 2015. 81 MSR. 2009. Multi-Stakeholder Review of Post-Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh. http://www-
16
Pemerintah Aceh sendiri berdalih ketertinggalan pembangunan Aceh disebabkan kurangnya dana untuk pembangunan. Sekadar diketahui Anggaran Penerimaan Belanja Daerah (APBD) Aceh 2014 yang disetujui DPR Aceh adalah Rp 13,3 triliun, atau meningkat 6 persen jika dibandingkan dengan tahun 2013.82 Angka tersebut sudah mendekati kebutuhan yang diminta pemerintah untuk mempercepat pembangunan.83 Akan tetapi, besaran dana APBD tersebut belum menunjukkan impact yang berarti terhadap perubahan kualitas hidup warga Aceh. Di sisi lain, kapasitas pengelola keuangan (baca: aparatur pemerintah daerah) di Aceh juga meragukan. Terus meningkatnya penanganan kasus korupsi di Aceh menunjukkan adanya ketidaksiapan pengelola anggaran daerah yang justru berakibat melambatnya percepatan pembangunan di Aceh. Dengan kata lain, tanpa ada perbaikan transparansi dan akuntabilitas para pengelola keuangan Aceh maka akselerasi pembangunan di Aceh akan sulit direalisasikan. Survei Barometer Korupsi Aceh yang dilakukan Transparency International Indonesia (2010) menunjukkan problem korupsi adalah masalah besar di Aceh. Mayoritas responden beranggapan kinerja korup tergambar dalam 3 lembaga trias politika: eksekutif (79%), legislatif/DPR Aceh (77%) dan yudikatif yakni Kejaksaan Tinggi (68%), Pengadilan Tinggi (66%) serta Kepolisian (75%). Jika diurutkan maka persepsi korupsi tertinggi berada pada pada institusi eksekutif (38%) disusul kepolisian (26%) dan DPR Aceh (23%). Penandatanganan MoU Helsinki, berdasarkan survei tersebut, tidak membawa pengaruh signifikan dalam menekan kasus korupsi. Hal ini tercermin dari sikap masyarakat yang menilai kondisi korupsi sebelum dan sesudah MoU sama saja mencapai 46%, jauh unggul daripada penilaian kondisi korupsi lebih buruk sesudah MoU (39%) dan sebelum MoU (15%).84 Untuk tahun 2010 saja misalnya, Provinsi Aceh masuk kategori wilayah merah dan rawan praktik korupsi. Sementara pada 2011, LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, mencatat terdapat 178 kasus korupsi yang terjadi seluruh wilayah hukum Provinsi Aceh dengan kerugian negara mencapai Rp 1,518 triliun.85 Pihak Kejaksaan Tinggi Aceh, hingga Desember 2014, sudah menangani 216 perkara korupsi yang ditaksir telah merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.86
wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2010/07/09/000333037_20100709004753/R endered/PDF/556030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf diakses pada 24 Maret 2015 82 JPNN.com. 2013. Penduduk 5,2 Juta, Belanja Rp 13,3 Triliun http://www.jpnn.com/read/2013/12/21/206852/Penduduk-5,2-Juta,-Belanja-Rp-13,3-Triliun diakses pada 28 Maret 2015. 83 Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, Iskandar, pernah mengatakan, Aceh membutuhkan dana APBD sebesar Rp 14 triliun, untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Uni Eropa sendiri telah mengucurkan 300 juta Euro untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi, serta 45 juta Euro untuk perdamaian Aceh. Baca Kompas.com. 2012. Aceh Butuh Dana APBD Rp 14 Triliun untuk Kejar Ketinggalan http://regional.kompas.com/read/2012/05/24/20263745/Aceh.Butuh.Dana.APBD.Rp.14.Triliun.untuk.Kejar.Keti nggalan diakses pada 28 Maret 2015. 84 Lebih lanjut baca Transparansi Internasional Indonesia. 2010. Survei Barometer Korupsi Aceh. http://www.ti.or.id/index.php/publication/2010/06/22/survei-barometer-korupsi-aceh diakses pada 28 Maret 2015 85 M Shabri Abdul Majid. 2012. Menyelamatkan Aceh dari Korupsi. http://aceh.tribunnews.com/2012/10/23/menyelamatkan-aceh-dari-korupsi diakses tanggal 20 Maret 2015. 86 Antara Aceh. 2014. Kejati Aceh Tangani 216 Kasus Korupsi http://www.antaraaceh.com/berita/20810/kejati-aceh-tangani-216-kasus-korupsi diakses pada 20 Maret 2015.
17
Pengaduan kasus korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari periode 2005-2014 juga mengalami peningkatan yang signifikan (Gambar 2). Ini di luar dari penanganan laporan gratifikasi yag sudah ditindaklanjuti KPK sebanyak 4 kasus.87
Gambar 2. Jumlah Laporan Kasus Korupsi di Aceh ke KPK Sumber: http://acch.kpk.go.id/home diakses 20 Maret 2015. b. Keamanan Hambatan lain dalam memelihara perdamaian di Aceh adalah variabel keamanan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ketidakamanan dan cenderung maraknya kekerasan di Aceh pasca MoU Helsinki yakni peredaran senjata ilegal yang tidak terkontrol, kelompok spoiler bersenjata, permasalahan milisi yang belum tuntas, lemahnya penegakan hukum hingga perubahan perilaku aktor keamanan (TNI dan Polri) yang belum signifikan. Terkait dengan peredaran senjata ilegal, Polda Aceh mengakui maraknya penggunaan senjata ini tidak lepas dari masa konflik. Pasca pelucutan senjata hingga 2011, Polda Aceh sudah menyita 700 pucuk senjata api berbagai jenis.88 Maraknya kasus kekerasan menggunakan senjata api di Aceh mengindikasikan jumlah peredaran senjata pasca koflik yang tidak diserahkan pada aparat keamanan masih tinggi. Khusus sepanjang tahun 2011, jajaran Polda Aceh menangani 44 kasus penyalahgunaan senjata api dan menyita 17 pucuk senjata, 4 granat dan 250 butir peluru. 89 Tingginya peredaran senjata api ilegal ini kemudian menjadi salah satu penyebab sulitnya spoiler perdamaian bersenjata di Aceh. Terus meningkatnya intensitas kasus kekerasan yang 87
Hingga 27 Februari 2015, KPK telah menindaklanjuti 4 laporan gratifikasi dengan rincian tahun 2005 (1), 2008 (1), dan tahun 2013 (2). http://acch.kpk.go.id/home diakses 20 Maret 2015. 88 Kompas.com. 2011. Senjata Sisa Konflik Banyak Digunakan untuk Kriminal. http://nasional.kompas.com/read/2011/12/05/21454294/Senjata.Sisa.Konflik.Banyak.Digunakan.untuk.Kriminal . Diakses pada 20 Maret 2015 89 The Globe Journal .2011. Ini Kasus Senjata Api Illegal di Aceh 2011. http://www.theglobejournal.com/kategori/hukum/ini-kasus-senjata-api-illegal-di-aceh-2011.php Diakses pada 20 Maret 2015
18
pelakunya merupakan orang tidak dikenal merupakan salah satu indikator nyata bahwa spoiler perdamaian masih ada di Aceh dan memungkinkan untuk merusak perdamaian. Kurang sigapnya aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum di samping masih kerap terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh petugas menjadikan kondisi `ketidakamanan menjadi lebih rentan terjadi. Aparat kepolisian sering kali gagal mengungkap kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal. Alhasil, harapan untuk membongkar aktor di balik sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Aceh masih jauh untuk terealisasi. Di samping itu, kealpaan MoU Helsinki untuk mengatur keberadaan milisi di Aceh juga sedikit banyak menyisakan problem keamanan. Dalam beberapa insiden kekerasan di Aceh pasca konflik, justru melibatkan kelompok milisi. Tidak disertakannya kelompok milisi dalam bagian kegiatan pelucutan senjata dan pembubaran jelas meninggalkan bom waktu. Problem ini hendaknya harus diperhatikan dan direspon oleh pemerintah dalam rangka memelihara perdamaian dan mencegah konflik berulang akibat meningkatnya kekerasan dan ketidakamanan di Aceh. Sikap ‘pro aktif’ TNI di Aceh dalam merespon sejumlah permasalahan dan kejadian justru memberi peluang untuk terjadinya ekses yang berlebihan. Sejatinya, kondisi perdamaian di daerah pasca konflik harus dipahami sebagai kondisi yang rapuh dan rentan koyak. Pelibatan aparat militer dalam pengamanan hajat politik seperti pemilu hendaknya dilakukan dalam koridor, aturan main ketat dan pengawasan yang kuat. Pendirian pos militer di luar komando teritorial yang semestinya, pada kasus Pemilu 200990 misalnya, adalah upaya pengamanan yang berlebihan dan cenderung tidak efektif. Mengapa demikian? Keberadaan pos militer tersebut tidak menunjukkan adanya korelasi positif dalam menekan angka kekerasan politik di lapangan. Yang muncul justru pengaduan adanya intimidasi dan tindakan melanggar hukum.91 4. Penutup Harus diakui, dalam situasi pasca konflik, aktor keamanan memegang peranan penting dalam memelihara perdamaian. Aparat keamanan merupakan garda terdepan dalam menjaga perdamaian. Meski demikian, jika aktor keamanan tidak mempunyai komitmen kuat dalam menghormati dan mengimplementasikan isi perjanjian damai, maka kondisi perdamaian yang memang rentan akan mudah hancur. Berkaca pada perkembangan keamanan 10 tahun pasca perdamaian Helsinki, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Maraknya ketidakamanan dan kekerasan yang menimpa warga sipil dan dilakukan oleh orang tidak dikenal, jika tidak dikelola dan direspon memadai, maka hanya akan menggerogoti perdamaian yang kini berlangsung. Kondisi ini juga diperparah dengan lambatnya pembangunan serta maraknya kasus korupsi yang terjadi di Aceh. Jika dibiarkan, pembangunan kualitas hidup masyarakat Aceh yang masih timpang justru akan menjadi salah satu prekondisi dari situasi ketidakamanan. Meski demikian, perubahan watak dan perilaku aparat keamanan di Aceh menjadi penting untuk dilakukan. Percepatan reformasi sektor keamanan memegang peranan untuk mencegah meluasnya ketidakamanan dan kekerasan. Fokus dari reformasi sektor keamanan ini haruslah 90
KontraS Aceh melaporkan menjelang Pemilu 2009, TNI membangun 20 pos militer di luar komando teritorial sebanyak 20 titik (2008) dan 12 titik (2009). Baca KontraS Aceh. 2010. Laporan Situasi Ham Aceh tahun 2009. KontraS Aceh: Banda Aceh. Halaman 70. 91 Beberapa kasus yang mencuat antara lain pelarangan warga mengikuti kampanye terbuka di Desa Padang Panyang, Aceh Barat Daya dan penurunan bendera Partai Aceh di Aceh Utara pada 2 Maret 2009. Ibid. Halaman 72.
19
diletakkan dalam mengurangi ketidakamanan publik.92 Oleh karena itu, pengaturan kembali tugas dan kerja TNI di Aceh harus ditempatkan pada porsi dan proporsi yang tepat. Militer seyogyanya lebih dipekerjakan untuk menghadapi musuh yang datang dari luar. Sementara tugas keamanan dan ketertiban umum lebih mengedepankan peran Polri. Bagaimanapun juga, dalam konteks transisi demokrasi dan post konflik, adanya reformasi sektor keamanan menjadi penting dan merupakan sebuah keharusan. Tanpa adanya perubahan aktor keamanan, kekhawatiran Aspinall (2010) tentang adanya kemungkinan terjadi intervensi militer dalam kehidupan politik saat meningkatnya kualitas dan kuantitas problem yang dihadapi termasuk problem ekonomi di dalamnya, menjadi terbuka.93 Tidak hanya itu, problem yang tersisa yakni penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga hendaknya diprioritaskan. Langkah ini juga harus disertai dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Upaya ini harus ditempuh agar sebagai institusi, TNI tidak lagi terbebani dengan problem masa lalu yang kelam. Terkatung-katungnya masalah pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menyandera TNI lebih lama lagi. Tidak hanya itu, penyelesaian kasus ini juga sekaligus untuk mengobati luka publik Aceh akibat konflik sekaligus menunjukkan tanggung jawab negara akibat kesalahan yang pernah dibuat. Memang benar, memelihara perdamaian mensyaratkan sebuah pelibatan inklusif dari semua stakeholder termasuk juga warga Aceh. Karena itu, tanpa intervensi dan keikutsertaan serta komitmen semua pihak, perdamaian Aceh akan sulit dipelihara.
REFERENSI
Buku, Jurnal dan Laporan
Aspinall Edward dan Harold Crouch. 2003. The Aceh Peace Process: Why it Failed. Policy Studies 1. Washington DC: East-West Center Aspinall, Edward. 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?. Washington DC: East-West Center Aspinall, Edward. 2010. Irony of Success. Journal of Democracy (Vol 21 No 2 April 2010). Washington DC: National Endowment for Democracy and The Johns Hopkins University Press. Bhakti, Ikrar Nusa (ed.) 2008. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar.
92
Michael Brzoska and Andreas Heinemann-Grüder. Security Sector Reform and Post-Conflict Reconstruction under International Auspices http://www.dcaf.ch/content/download/36142/527501/file/bm_ssr_yearbook2004_6.pdf diakses pada 23 Maret 2015 93 Edward Aspinall. 2010. Irony of Success. Journal of Democracy (Vol 21 No 2 April 2010). Washington DC: NationalEndowmentforDemocracyandTheJohnsHopkinsUniversityPress. Halaman 24
20
Brata, Aloysius Gunadi. 2002. Konflik di Masa Krisis: Studi Empiris Determinasi Ketidakadilan Sosial-Ekonomi. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002). Jakarta: CSIS. Buzan, Barry, Ole Waever dan Jaap Wilde. 1998. Security: a New Framework for Analysis. Boulder: Lynne Rienner Publisher. Buzan, Barry. 19991. People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War. Boulder: Lynne Rienner Publisher. Coetzee, Wayne S. 2013. Rethinking the Theoretical Foundation of the Security-Development Nexus: Does a Hybrid Complexity-Postmodern Model Contribute?. Academic Journal of Interdisciplinary Studies Vol 2 No 9 October 2013. Roma: MCSER Publishing. Davies, Matthew N. 2006. Indonesia’s War over Aceh: last stand on Mecca’s porch. Oxon: Routledge. DeRouen Jr, Karl.et.al. 2010. Civil War and peace Agreement Implementation and State Capacity. Journal of Peace Research 47 (3) 2010. Oslo: PRIO. Esugi, Yuji (ed). 2014. Peace Building and Security Sector Governance in Asia. Germany: LIT Verlag. Fisher, Simon dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak. (edisi terjemahan). Indonesia: The British Council. Galtung, Johan. 1976. Three approaches to peace: peace making, peace keeping and peace building. dalam Peace, War and Defense: Essay in Peace Research, Volume II. Halaman 282-304. Hermawan, Yulius P (ed). 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu. . ICG. 2005. Aceh: A new Chance for Peace. Asia Briefing No 40, 15 Agustus 2005. KontraS Aceh. 2007. Perdamaian belum berkeadilan: Laporan Situasi Politik dan HAM Aceh tahun 2006. KontraS Aceh: Banda Aceh KontraS Aceh. 2009. Laporan Situasi Politik dan HAM tahun 2008. Banda Aceh: KontraS Aceh. KontraS Aceh. 2010. Laporan Situasi HAM Aceh Tahun 2009. Banda Aceh: KontraS Aceh. Kurtenbach, Sabine dan Herbert Wulf. 2012. Violence and Security Concerns in PostConflict Situations. Duisburg: Institute for Development and Peace (Research and Advisory Project “Instruments and Proce- dures of German Development Cooperation in Post-Conflict Situations” - Project Working Paper No. 3). Lederach, John Paul. 1997. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. Washington DC: United States Institute of Peace Press Margesson, Rhoda. 2005. Indian Ocean Earthquake and Tsunami: Humanitarian Assistance and Relief Operations. Washington DC: CRS Report for Congress. 21
Muscat, Robert J. 2002. Investing in Peace, How Development Aid Can Prevent or Promote Conflict. New York: ME Sharpe Inc. Nivada, Aryos. 2014. Rekam Jejak Pemilu 2014 (Pengalaman Dan Pembelajaran Dari Aceh). Banda Aceh: Jaringan Survey Inisiatif. Pane, Neta S. 2001. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka Solusi, Harapan dan Impian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Piliang, Indra J, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro (eds). 2006. Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia. Jakarta: CSIS. Schulze, Kirsten E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studies 2. Washington D.C: East-West Center. Soemardjan, Selo. 2002. Konflik-konflik Sosial di Indonesia: Refleksi Keresahan Masyarakat. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002). Jakarta: CSIS. Stern, M. and Ojendal, J., 2010, Mapping the Security Development Nexus: Conflict, Complexity, Cacophony, Convergence', Security Dialogue (Vol 41 No 1 2010) Valters, Craig, Erwin Van Veen and Lisa Denney. 2015. Security progress in post-conflict contexts: Between liberal peacebuilding and elite interests. Dimension Paper 02 March 2015. London: Overseas Development Institute. Vazquez, Llorente Raquel dan Imogen Wall (eds.) Communication Technology and Humanitarian Delivery: Challenges and Opportunities for Security Risk Management. London: European Interagency Security Forum EISF. Widjajanto, Andi dan Laila Hasnah. 2002. Gelombang Kekerasan di Indonesia Sebagai Masalah Fenomenologis. Jurnal Analisis CSIS (No 3 Tahun XXXI/2002). Jakarta: CSIS. Zeccola, Paul. 2011. Dividing disaster in Aceh, Indonesia: separatist conflict and tsunami, human rights and humanitarianism. Disaster (35 (2) 2011). Oxford & Malden: Blackwell Publishing. Media Massa dan Sumber Internet
Kompas, Edisi 19 Mei 2003 Majalah Acehkita, Edisi 017/Tahun II/Juni 2005 Majalah Acehkita, Edisi Agustus 2005
Aceh
Monitoring Mission. 2006. http://www.aceh-mm.org/download/indo/IndoPress%20Statement%20COSA%2016%20September%202006.pdf diakses pada 24 Maret 2015.
Aceh
Monitoring Mission. 2006 http://www.aceh-mm.org/download/indo/IndoPress%20Release%2022%20February.pdf diakses 24 Maret 2015
Aceh Monitoring Mission. http://www.aceh-mm.org/english/amm_menu/about.htm diakses pada 25 Maret 2015. 22
Antara Aceh. 2014. Kejati Aceh Tangani 216 Kasus Korupsi http://www.antaraaceh.com/berita/20810/kejati-aceh-tangani-216-kasus-korupsi diakses pada 20 Maret 2015. Anti Corruption Clearing House. http://acch.kpk.go.id/home diakses 20 Maret 2015. Atjehpost.co. 2014. Angka Kriminal di Aceh Meningkat Tahun 2014. http://atjehpost.co/articles/read/18149/Angka-Kriminal-di-Aceh-Meningkat-Tahun2014 diakses pada 23 Maret 2015. Bank Dunia/DSF. 2005. Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1 Agustus-31 Agustus 2005. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2007/08/03/000310 607_20070803131528/Rendered/INDEX/404330INDONESI1pdate0Aug0501PUBLIC 1.txt diakses pada 25 Maret 2015. Bank Dunia/DSF. 2007. Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 – 31 Maret 2007. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2007/08/10/000310 607_20070810132124/Rendered/PDF/404740INDONESI1pdate0mar0701PUBLIC1.pd f diakses pada 24 Maret 2015. BBC
Indonesia. 2014. Simpatisan Partai Aceh ditembak, tiga tewas. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/04/140401_aceh_tiga_tewas_ke kerasan diakses pada 24 Maret 2015
BPS Aceh. http://aceh.bps.go.id/index.php/brs/50 diakses pada 29 Maret 2015. BPS.
2013. Statistik Kriminal 2013. http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik_Kriminal_2013.p df diakses pada 23 Maret 2015.
Brzoska, Michael dan Andreas Heinemann-Grüder. Security Sector Reform and Post-Conflict Reconstruction under International Auspices http://www.dcaf.ch/content/download/36142/527501/file/bm_ssr_yearbook2004_6.pdf diakses pada 23 Maret 2015 CNN Indonesia. 2015. Din Minimi Bantah Terlibat Pembunuhan Dua Intel TNI. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150324123647-20-41411/din-minimi-bantahterlibat-pembunuhan-dua-intel-tni/ diakses pada 29 Maret 2015. Detikcom. 2005. Setelah Tsunami, TNI-GAM 34 Kali Kontak Senjata. http://news.detik.com/read/2005/01/11/180359/271297/10/setelah-tsunami-tni-gam-34kali-kontak-senjata diakses pada 25 Maret 2015 Harian Umum Pelita. 2015. Polda NAD Tangani 110 Kasus Kriminal Bersenjata Api. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=33035 diakses pada 24 Maret 2015. Harianaceh.co. 2014. Din Minimi: “Kamoe Lawan ZIKIR Sampoe Darah Habeh!”. http://www.harianaceh.co/read/2014/10/10/36320/din-minimi-kamoe-lawan-zikirsampoe-darah-habeh diakses pada 29 Maret 2015. Hukumonline.com. 2010. MK Hidupkan Asa Calon Perseorangan di Pemilukada Aceh. http://new.hukumonline.com/berita/baca/lt4d1ca51124da5/mk-hidupkan-asa-calonperseorangan-di-pemilukada-aceh diakses pada 24 Maret 2015 23
Imparsial. 2012. Kekerasan di Aceh Mengancam Perdamaian. http://www.imparsial.org/id/2010/kekerasan-di-aceh-mengancam-perdamaian.html Indosiar.com. 2005. 3 Anggota GAM Tewas Dalam Kontak http://www.indosiar.com/fokus/3-anggota-gam-tewas-dalam-kontaksenjata_30167.html diakses pada 24 Maret 2015.
Senjata
Jones, Sidney. Keeping the peace: Security in Aceh. http://www.c-r.org/accordarticle/keeping-peace-security-aceh.#sthash.5P99K6C2.dpuf diakses pada 24 Maret 2015. JPNN.com. 2013. Penduduk 5,2 Juta, Belanja Rp 13,3 Triliun. http://www.jpnn.com/read/2013/12/21/206852/Penduduk-5,2-Juta,-Belanja-Rp-13,3Triliun diakses pada 28 Maret 2015. Kompas.com. 2011. Senjata Sisa Konflik Banyak Digunakan untuk Kriminal. http://nasional.kompas.com/read/2011/12/05/21454294/Senjata.Sisa.Konflik.Banyak.Di gunakan.untuk.Kriminal. Diakses pada 20 Maret 2015 Kompas.com. 2012. Aceh Butuh Dana APBD Rp 14 Triliun untuk Kejar Ketinggalan http://regional.kompas.com/read/2012/05/24/20263745/Aceh.Butuh.Dana.APBD.Rp.14 .Triliun.untuk.Kejar.Ketinggalan diakses pada 28 Maret 2015. Kompas.com. 2013. Anggota Satgas Partai Nasional Aceh Tewas Ditembak. http://properti.kompas.com/read/2013/04/26/12472487/Anggota.Satgas.Partai.Nasional. Aceh.Tewas.Ditembak diakses pada 24 Maret 2015. Kompas.com. 2015. Diculik Kelompok Bersenjata, Dua Intel Kodim Aceh Utara Ditemukan Tewas. http://regional.kompas.com/read/2015/03/24/11585751/Diculik.Kelompok.Bersenjata. Dua.Intel.Kodim.Aceh.Utara.Ditemukan.Tewas diakses pada 29 Maret 2015. KontraS. 2013. Laporan KontraS soal Penggunaan Senjata Api yang Digunakan dalam Kekerasan. http://kontras.org/data/Laporan%20KontraS%20ttg%20Senjata%20API.pdf diakses pada 24 Maret 2015 Majid, M Shabri Abdul. 2012. Menyelamatkan Aceh dari http://aceh.tribunnews.com/2012/10/23/menyelamatkan-aceh-dari-korupsi tanggal 20 Maret 2015.
Korupsi. diakses
MSR. 2009. Multi-Stakeholder Review of Post-Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2010/07/09/000333 037_20100709004753/Rendered/PDF/556030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf diakses pada 24 Maret 2015 Tempo. 2005. Kontak Tembak di Aceh Utara. http://www.tempo.co/read/news/2005/05/06/05560654/Kontak-Tembak-di-Aceh-Utara diakses pada 24 Maret 2015. The
Globe Journal .2011. Ini Kasus Senjata Api Ilegal di Aceh 2011. http://www.theglobejournal.com/kategori/hukum/ini-kasus-senjata-api-illegal-di-aceh2011.php Diakses pada 20 Maret 2015
The Globe Journal.2012. Kriminalitas di Aceh Turun 16 Persen Tahun 2012. 24
http://theglobejournal.com/hukum/kriminalitas-di-aceh-turun-16-persen-tahun2012/index.php diakses pada 23 Maret 2015. Transparansi Internasional Indonesia. 2010. Survei Barometer Korupsi Aceh. http://www.ti.or.id/index.php/publication/2010/06/22/survei-barometer-korupsi-aceh diakses pada 28 Maret 2015 Tribunnews. 2012. Forum LSM Rilis 77 Kasus Kekerasan. http://aceh.tribunnews.com/2012/04/17/forum-lsm-rilis-77-kasus-kekerasan diakses pada 24 Maret 2015. Tribunnews. 2015. Operasi Nisam Berlanjut. http://aceh.tribunnews.com/2015/03/26/operasinisam-berlanjut diakses pada 29 Maret 2015. World Bank. 2006. Aceh Public Expenditure Analysis Spending For Reconstruction and Poverty Reduction. World Bank: Washington DC. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800161152870963030/APEA.pdf diakses pada 24 Maret 2015.
25