Anton Aliabbas. 2012. DPR dan Upaya Mendorong Papua Damai. in Otto Samsuddin Ishak et al. Oase Gagasan untuk Papua Damai. Jakarta: Imparsial/Forum Akademisi untuk Papua Damai. Pp 180-194
DPR dan Upaya Mendorong Papua Damai Anton Aliabbas1
Tulisan ini mencoba mengulas peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mendorong agenda mewujudkan perdamaian di Papua. Sebagai lembaga yang menjadi ‘superbody’ pascaamandemen UUD 19452, tidak berlebihan kiranya jika posisi DPR dalam konteks upaya mengakhiri konflik Papua dianalisis lebih lanjut. Pengalaman menunjukkan, sebagian kalangan anggota DPR justru pernah bersikap kontraproduktif terkait mewujudkan perdamaian di Aceh tahun 2005 silam.3 DPR, Reformasi Sektor Keamanan dan Konflik Papua Pascareformasi 1998, angin perubahan tidak hanya menjelajah pada isu politik. Tekanan besar terhadap perubahan dan perbaikan dalam sektor keamanan di Indonesia juga membesar. Dalam catatan sejarah perpolitikan nasional, militer mendominasi di berbagai sektor termasuk wilayah sipil. Secara teoritik, konsep reformasi sektor keamanan (RSK) ditujukan untuk menutup celah adanya penyalahgunaan anggaran dan sektor keamanan tunduk dalam mekanisme kontrol pengawasan seperti sektor lain.4 Lebih lanjut, RSK didefinisikan sebagai berikut: “the principle that military force is not an end itself but a means that the civil authority can use to bring about certain political objectives. Civilian control means that the tactical
1
Staf pengajar pada Universitas Pertahanan Indonesia. Meskipun menganut sistem presidensil, posisi DPR pascaamandemen UUD 1945 jauh lebih kuat. Dengan 3 fungsi yang dimiliki yakni legislasi, anggaran dan pengawasan; DPR dapat menerapkan prinsip check and balances terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan, dalam beberapa proses legislasi terkait sektor keamanan, DPR menolak pembahasan rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah. Kasus pada tahun 2012 yang cukup mencolok adalah dikembalikannya draf RUU Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah oleh Pansus RUU Kamnas DPR pada 20 Maret 2012. 3 Selama dan pasca penandatanganan MoU Helsinki, sejumlah anggota DPR yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Kebangkitan Bangsa memprotes upaya damai tersebut. Bahkan, Ketua umum PDI Perjuangan Megawati dan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid bersama sejumlah politisi berhimpun dalam Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu. Kelompok ini sepakar menolak MoU Helsinki. Cerita lebih lanjut baca Majalah Acehkita edisi Oktober 2005. 4 Bob Sugeng Hadiwinata. Legislasi dan Akuntabilitas Sektor Kemanan dan Intelijen dalam Negara Demokratis: Sebuah Pengantar. dalam Hans Born dan Ian Leigh. Mendorong Akuntabilitas Intelijen: Dasar Hukum dan Praktik Terbaik dari Pengawasan Intelijen. Edisi terjemahan. Bob S Hadiwinata (ed). DCAF, FES dan Kemlu Republik Federal Jerman: Jakarta. Halaman 16. 2
decisions regarding military operations in the field must serve the political and strategic goals established by the civil authority”5
Dalam bahasa politik, RSK merujuk pada pendirian dan perbaikan tata pemerintahan demokratik pada sektor keamanan dan memiliki kaitan erat antara keamanan dengan pembangunan.6 Pada masyarakat modern (modern society), RSK memiliki kompleksitas dalam proses dan terkait dengan ragam bidang serta aspek.7 Ini artinya, secara sederhana, RSK dapat mudah diterjemahkan berbeda oleh masing-masing aktor termasuk oleh negara donor maupun negara penerima.8 Lebih jauh, setidaknya ada 3 diskursus yang mewarnai konsep RSK terkait konteks pembangunan, transisional dan negara pascakonflik yaitu (1) RSK memfasilitasi pembangunan; (2) RSK ‘kondusif’ bagi demokrasi, mengurangi otoritarian politik dan memperluas transparansi serta akuntanbilitas publik pada isu pertahanan dan keamanan; (3) RSK adalah unsur kunci dalam mengobati luka masyarakat ketika adanya reintegrasi kelompok bertikai dan dalam membangun kembali institusi yang legitimate dan dipercayai warga.9 Di Indonesia, istilah RSK mulai dipopulerkan saat adanya upaya pembuatan RUU Pertahanan Negara.10 RSK kemudian didefinisikan sebagai reformasi pada seluruh organisasi yang mempunyai otoritas menggunakan atau mengerahkan penggunaan kekerasan fisik atau ancaman pengunaan kekerasan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara maupun segenap institusi sipil yang bertanggung jawab tentang pengelolaan dan pengawasannya.11 Dengan demikian, RSK bertujuan mentransformasi institusi keamanan sehingga peran badan tersebut dapat dilaksanakan efektif, legitimate dan bertanggung jawab dalam memberikan jaminan kepada warga negara (Kusnanto Anggoro, 2004).12 Berbicara mengenai RSK dan pemerintah demokratis, setidaknya ada 5 komponen yang harus diperhatikan, yaitu (1) adanya kejelasan konstitusional dan kerangka hukum mengenai pemisahan kekuasaan serta kompetensi institusi; (2) kontrol sipil dan tanggung jawab profesional; (3) kontrol dan pengawasan parlemen; (4) kontrol dan akuntabilitas yudisial; (5) kontrol publik melalui media dan beragam pemangku kepentingan independen.13 Tidak hanya itu, Laurie Nathan (2000) menyebut ada 6 sifat yang harus dipenuhi sektor keamanan dalam rangka mencapai standar demokratis yakni supremasi sipil di sektor keamanan, pembagian tanggung jawab, legalitas, kepatuhan terhadap HAM, ketidakberpihakan politik dan transparansi.14 Bagaimana dengan kontrol dan pengawasan yang dilakukan DPR terhadap aktor keamanan? Hasil riset Poltak Partogi Nainggolan (2011) menunjukkan 3 fungsi yang dimiliki DPR tidak 5
Hasnan Habib (2001) seperti dikutip S Yunanto dkk. 2005. Evaluasi Kolektif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polri. FES dan The RIDeP Institute: Jakarta. Halaman 11. 6 Magnus Ekengren dan Greg Simons. Introduction. dalam Magnus Ekengren dan Greg Simons (ed). 2011. The Politics of Security Sector Reform: Challenges and Opportunities for the European Union’s Global Role. Ashgate: Farnham-Burlington. Halaman 1. 7 Ibid. Halaman 5. 8 Ibid. Halaman 1. 9 Carl-Einar Stalvant. Three traditions and the Concept of Security Sector Reform. dalam Magnus Ekengren dan Greg Simons (ed). 2011. The Politics of Security Sector Reform: Challenges and Opportunities for the European Union’s Global Role. Ashgate: Farnham-Burlington. Halaman 15-16. 10 Istilah RSK digunakan oleh para ahli yang tergabung dalam Kelompok Kerja Security Sector Reform. Cerita lebih lanjut mengenai Pokja ini baca S Yunanto dkk. 2005. Op.Cit. Halaman 10-11. 11 Ibid. Halaman 11. 12 Ibid. Halaman 12. 13 Carl-Einar Stalvant.Op. Cit. Halaman 16. 14 Lebih lanjut uraian Nathan baca Bob Sugeng Hadiwinata. Op.Cit. Halaman 16-18
berjalan secara optimal.15 Dalam fungsi pengawasan misalnya, Komisi I DPR tidak mampu menekan pemerintah untuk membatalkan penunjukan Mayjen Tanribali Lamo sebagai Pejabat Sementara Gubernur Sulawesi Selatan pada 19 Januari 2008. Padahal, UU No 34/2004 tentang TNI jelas mengatur posisi apa saja yang dapat diduduki oleh militer aktif (pasal 47 ayat 2). Apabila ada prajurit aktif yang akan menduduki jabatan sipil maka harus mengundurkan diri atau pension dari dinas aktif keprajuritan (Pasal 47 ayat 1). Kasus lain dalam konteks fungsi pengawasan adalah DPR juga tidak mampu memaksa Mabes TNI untuk kooperatif dalam pemeriksaan kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani Komnas HAM. DPR malah justru menunjukkan ketidaksamaan sikap dalam pemanggilan Pansus Orang Hilang terhadap sejumlah purnawirawan TNI terkait kasus orang hilang di era Orde Baru. Selanjutnya, dalam menjalankan fungsi legislasi dalam sektor keamanan, produktivitas DPR terbilang rendah. Masih ada sejumlah tunggakan RUU terkait RSK yang pembahasannya masih berlarut-larut. Sebut saja misal RUU Peradilan Militer yang hingga April 2012 masih belum masuk dalam skala prioritas pembahasan dalam pembahasan Komisi I DPR. Hanya RUU Industri Pertahanan yang masih dalam pembahasan di Komisi I.16 Pada tahun 2011, Komisi I hanya mampu mengesahkan RUU Intelijen Negara yang selanjutnya menjadi UU No 17 tahun 2011. Itupun diajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat sipil. Tidak hanya dari sisi produktivitas, pada subtansi produk legislasi juga menyimpan problematika. Dari 4 produk legislasi yakni UU No 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 34 tahun 2004 tentang TNI dan UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara memiliki kecenderungan kelemahan serupa. Kelemahan tersebut yaitu ketidakjelasan makna dan pengaturan; adanya ketidakrincian dan sulit diterapkan; terdapat kekaburan; terdapat kevakuman; dan ketidakjelasan hubungan dengan regulasi sebelumnya. Fenomena tidak optimalnya fungsi DPR juga terjadi dalam implementasi fungsi anggaran. Komisi I DPR terkesan tidak mampu untuk menekan pemerintah untuk membuat rencana yang lebih detil dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) yang terkait dengan sektor pertahanan. Padahal, sesuai dengan Pasal 152 UU 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pemerintah diwajibkan untuk menyampaikan rancangan APBN hingga unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan. Anggota Komisi I DPR, Helmy Fauzi mencatat ada beberapa kelemahan dalam pembahasan mengenai anggaran dan pengadaan alutsista seperti lemahnya kemampuan teknis anggota DPR terkait alutsista sehingga tidak dapat maksimal dalam pembahasan rencana pembelian alutsista.17 Sementara itu, berbicara mengenai isu Papua, banyak pihak yang sudah melakukan kajian mengenai konflik tersebut, Salah satu lembaga riset yang menaruh perhatian besar dalam konflik ini yaitu LIPI misalnya membagi sumber konflik dalam 4 isu persoalan utama.18 15
Penjelasan mengenai praktik 3 fungsi DPR dalam sektor keamanan disarikan dari tulisan Poltak Partogi Nainggolan. 2011. Peran DPR dalam Menjalankan Kontrol Demokratis atas Pembaruan Sektor Keamanan. Jurnal Politicana Vol 2 No 1 Mei 2011. P3DI Setjen DPR:Jakarta. Halaman 1-44. Beberapa informasi terbaru yang tidak tercantum dalam riset Nainggolan juga ikut disisipkan. 16 Hingga April 2012, pembahasan RUU Industri Pertahanan masih masuk dalam tahapan Panitia Kerja. 17 Kelemahan-kelemahan DPR ini dipaparkan Helmy Fauzi dalam diskusi di Jakarta, 29 Maret 2012. 18 Untuk penjelasan tentang hasil riset LIPI ini mengacu pada uraian Muridan S Widjojo (ed). 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. LIPI, Yayasan Tifa dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Halaman 7-41
Pertama, sejarah intergrasi, status dan identitas politik. Perbedaan cara pandang yang tajam antara nasionalis19 Indonesia dengan nasionalis Papua atas sejarah peralihan kekuasaan Papua dari Belanda ke Indonesia telah menyebabkan persoalan yang berlarut hingga kini. Bagi nasionalis Papua, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) telah terjadi kecurangan sehingga hasilnya tidak dapat diterima.20 Sementara bagi nasionalis Indonesia, polemik status politik Papua telah selesai dengan diterimanya hasil Pepera 1969 oleh Sidang Majelis Umum PBB. Kedua, masalah kekerasan politik dan pelanggaran HAM. LIPI mencatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan NKRI harga mati dan gagasan memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum sehingga harus direspon dengan kekuatan koersif.21 Selanjutnya, adalah isu kegagalan pembangunan. Isu ketidakmerataan pembangunan dijadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan, diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi sumber daya alam adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Terakhir, persoalan marjinalisasi orang Papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Tim LIPI menjelaskan marjinalisasi dapat dilihat ada aspek demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Praktik ini sudah berlangsung sejak Orde Baru dan barulah sejak reformasi desakan penghapusan praktik marjinalisasi dilakukan kolektif.22 Dalam konteks insurgensi yang terjadi di Papua, peluang menyelesaikan konflik terbuka lebar. Secara literatur, insurgensi memiliki motivasi politik dan kekerasan adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan politik.23 Mengapa demikian? Alasannya, tidak semua konflik menggunakan cara-cara kekerasan. Adalah Simon Fisher dkk (2001:4) yang mengusulkan adanya diferensiasi definisi konflik dengan kekerasan. Konflik, merujuk pada pernyataan Chris Mitchell (1981), didefinisikan sebagai hubungan dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran yang tidak sejalan.24 Sedangkan kekerasan diartikan sebagai tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang meraih potensi penuh.25 Oleh karena itu, kebijakan kontra-insurgensi akan sukses jika tidak hanya berpegang pada pendekatan keamanan. David Galula (1964) menjelaskan strategi sukses kontra-insurgensi terletak pada penggabungan antara kegiatan militer dan non militer. Galula berpendapat: “It is not enough for the government to set political goals, to determine how much military force is applicable, to enter into alliances or to break them; politics becomes an active instrument of operation. And so intricate is the interplay between the political and the 19
LIPI menggunakan terminologi ‘nasionalis’ dalam membagi dua kelompok pandangan antara IndonesiaPapua. 20 Nasionalis Papua berpegang pada proklamasi kemerdekaan 1 Desember 1961.Kemerdekaan ini muncul karena adanya janji dari pemerintah Belanda kepada nasionalis Papua saat status politik Papua Barat masih menjadi pembahasan di meja perundingan. Uraian mengenai janji Belanda bisa dibaca dari PJ Drooglever. 2010. Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Penerbit Kanisius, Yogyakarta; Socratez Sofyan Yoman. 2007. Pemusnahan Etnis Melanisia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Penerbit Galangpress:Yogyakarta. 21 Dalam catatan LIPI, kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua terjadi dalam bentuk: (1) kekerasan terhadap individu, kekerasan terhadap masyarakat di suatu daerah, kekerasan psikologis, kekerasan struktural dan kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar HAM. Muridan S Widjojo dkk. (ed). 2009. Op. Cit. Halaman 13. 22 Ibid. Halaman 18 23 Heather S Gregg. 2011. Setting a Place at the table: Ending Insurgencies through the Political Process. Jurnal Small Wars & Insurgencies Vol 22 No 4 October 2011. Halaman 644-668 24 Simon Fisher dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak. Edisi terjemahan. The British Council: Jakarta. Halaman 4. 25 Ibid
military actions that they cannot be tidily separated; on the contrary, every military move has to be weighed with regard to political effects and vice versa.”26
Merujuk pada pendapat Galula, penyelesaikan insurgensi di Papua dengan menggunakan pendekatan keamanan seperti yang dilakukan saat ini jelas tidak akan mengakhiri perlawanan. Membuka peluang penyelesaian konflik Papua melalui proses politik berupa negosiasi adalah hal yang sudah sepatutnya dipertimbangkan. Ada beberapa keuntungan yang dapat diraih jika penyelesaian konflik dilakukan melalui meja perundingan.27 Pertama, dengan dibawanya insurgen ke negosiasi maka akan menjadi salah satu alternatif jalan mengubah status quo politik. Kedua, dengan mekanisme negosiasi maka public akan merekam retorika dan janji politik insurgen. Ini artinya, jika kelak insurgen melanggar janji maka akan sangat mungkin kehilangan konstituen dan kursi kekuasaan. Dalam wilayah konflik, Galula menggambarkan masyarakat sebagai ‘center of gravity’ dan memainkan peran pivotal. Galula berpendapat jika insurgen dapat mengontrol, meraih dukungan aktif dan menjauhkan masyarakat dari pemerintah maka mereka akan memenangkan peperangan.28 Ketiga, dengan adanya proses politik maka operasi clandestine insurgen akan menjadi lebih ‘terbuka’ dan masuk dalam kerangka aturan pemerintah dan hukum negara. Terakhir, ketergantungan akan kehadiran pihak ketiga dalam jangka panjang akan berkurang. Meski demikian, jalur negosiasi tidak akan berhasil menciptakan perdamaian jika ketiga pihak yakni pemerintah, insurgen dan masyarakat masih melihat kekuatan bersenjata adalah jalan untuk mengalahkan lawan dan mengubah status quo.29 Jalan menuju negosiasi mengakhiri konflik Papua sebenarnya sudah ada. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat awal dilantik mengatakan pemerintahnya akan memberi perhatian khusus terhadap penanganan situasi konflik di Aceh dan Papua.30 Bahkan kata ‘dialog’ sebagai upaya penyelesaian secara damai disebutkan saat menyampaikan Pidato Kenegaraan di depan Sidang Paripurna MPR tahun 2005. Presiden Yudhoyono menggarisbawahi dialog dilakukan tanpa ada campur tangan pihak asing. Presiden mengatakan: “Masalah di Papua adalah masalah dalam negeri kita sendiri. Kita menolak campur tangan asing dalam menyelesaikannya. Sejarah Papua sebagai bagian integral wilayah negara kita adalah jelas.”31
Akan tetapi, ambiguitas terjadi. Di satu sisi, pemerintah menginginkan adanya dialog dalam menyelesaikan masalah Papua. Namun, di sisi lain, penggunaan kekuatan koersif di Papua terus ditingkatkan. Operasi militer, walaupun tanpa ada nama sandi tertentu yang diumumkan terbuka, tetap digelar.32 Optimasi Peran Strategis DPR
26
David Galula dalam Heather S Gregg. Loc.Cit. Halaman 646-647 Ibid. Halaman 645 28 Galula seperti dikutip Heather S Gregg. Ibid. Halaman 646. 29 Ibid. Halaman 645. 30 Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, 20 Oktober 2004 31 SBY menjelaskan tidak ada manipulasi sejarah mengenai integrasi Papua yang perlu diluruskan. Menurutnya, PBB telah mengakui hasil Pepera, dan sampai hari ini tidak pernah mempersoalkannya. Dengan demikian, dilihat dari sudut hukum internasional, tidak ada yang perlu diragukan mengenai keabsahan Papua, sebagai bagian integral wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pidato Kenegaraan Presiden RI Dalam Rangka HUT Ke-60 Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta, 16 Agustus 2005 32 Mengenai operasi militer di Papua bisa dibaca lebih lanjut Al Araf dkk. 2011. Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua. Imparsial:Jakarta. 27
Khusus untuk masalah Papua, DPR sudah membentuk tim khusus yang diketuai oleh Wakil Ketua Priyo Budi Santoso.33 Fokus kerja dari tim ini adalah memantau pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Hasilnya disampaikan kepada pimpinan DPR. Apakah sudah berjalan efektif? Setidaknya ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam berstrategi proaktif melakukan pengawasan atas sektor keamanan, diajukan DCAF-IPU (2003), yang dapat digunakan untuk menganalisis pengawasan DPR terkait isu Papua.34 Strategi proaktif yang pertama adalah agenda setting yang digambarkan dengan upaya terus menerus Parlemen untuk menerjemahkan intensi dan kebutuhan rakyat menjadi masalah pada agenda politik. Pada bagian ini, DPR tidak terlihat memiliki agenda setting yang jelas dan lebih terfokus hanya pada implementasi otonomi khusus. Pemahaman tersebut tergambar dalam kerja Tim DPR yang menyoroti 6 hal yakni35: 1) Penyelesaian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi 2) Penggunaan dana Otsus Papua dan Papua Barat yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan 3) Tidak berjalannya komunikasi di antara institusi baik di Pusat maupun di daerah mengakibatkan semakin buruk kondisi politik di Papua 4) Permintaan agar kantor Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) dibangun di Papua agar lebih dekat dengan masyarakat Papua. 5) Perkembangan sosial politik dan keamanan di Papua dan Papua Barat. 6) Masih ada jurang pemahaman antara Pemerintah Pusat dengan masyarakat mengenai pemahaman implementasi UU Otsus. Hal ini bertolak belakang dengan sejumlah riset yang menunjukkan otonomi khusus tidak lagi dapat menjadi solusi efektif bagi penyelesaian Papua.36 Ada beberapa problematika yang semestinya juga mendapat perhatian DPR semisal kasus pelanggaran HAM dan operasi militer. Akan tetapi, sejauh ini, intensi yang diberikan DPR terhadap dua permasalah tersebut tidak maksimal. Komisi I DPR pernah melakukan serangkaian rapat dengar pendapat umum terkait kasus Papua.37 Akan tetapi, tidak ada pemikiran dan desakan signifikan yang dihasilkan Komisi I DPR terkait isu Papua. Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin menyatakan pihaknya
33
Tim DPR ini dinamakan Tim Pemantau DPR terhadap Pelaksanaan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Pelaksanaan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Tim yang terdiri dari 31 orang ini dibentuk berdasarkan Kep DPR No 09/DPR RI/III/2009-2010. Dan, jika tidak diperpanjang maka masa kerja tim ini akan berakhir pada Desember 2012. 34 DCAF-IPU. 2003. Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan: Asas, Mekanisme dan Pelaksanaan. Edisi terjemahan. DCAF-IPU: Jenewa. Halaman 94-95. 35 http://news.detik.com/read/2011/12/15/130259/1791890/10/dpr-setuju-perpanjang-waktu-tim-pemantauotsus-aceh-papua-dan-papua-barat?nd992203605 diakses pada 18 April 2012 pukul 22.30 WIB 36 Perihal kegagalan otonomi khusus dapat baca Jacques Bertrand. Papuan and Indonesian nationalisms: Can they be reconciled? dalam Eva-Lotta E. Hedman (ed). Dynamics of Conflict and Displacement in Papua, Indonesia. RSC Working Paper No. 42 September 2007. University of Oxford. Inggris. Baca juga Amiruddin al Rahab. 2010. Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme. Komunitas Bambu: Jakarta. Halaman 147-150. Bahkan BPK menemukan adanya indikasi penyimpangan anggaran otonomi khusus Papua Rp 4,2 triliun. Selain itu, diduga kuat kerugian negara mencapai Rp 319,7 miliar. Baca http://www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-politik/45-Politika/10329-bpk-laporan-ke-pimpinan-dpr.html diakses pada 18 April 2012 pukul 22.30 WIB 37 Rapat dengar pendapat umum tersebut dilakukan Komisi I DPR pada bulan November 2011. Sejumlah pihak yang dipanggil antara lain aktivis LSM, akademisi, peneliti dan Komnas HAM.
tidak pernah memberikan persetujuan terkait operasi militer yang digelar di Papua.38 Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 7 ayat 3 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mensyaratkan adanya keputusan politik negara dalam pelaksanaan tugas TNI. Namun, sejauh ini, DPR tidak pernah menggunakan hak (interpelasi, angket atau menyatakan pendapat)39 ataupun melakukan penyelidikan terkait kasus Papua. Strategi proaktif yang kedua adalah perkembangan terakhir yang diuraikan sebagai upaya parlemen mendapatkan informasi terbaru mengenai perkembangan nasional dan internasional dalam masalah keamanan dan militer.40 Untuk isu Papua, DPR sudah menjalankan strategi proaktif ini seperti memanggil sejumlah kalangan termasuk civil society. Namun, hal ini tidak berjalan optimal ketika akan meminta keterangan dari sisi pemerintah.41 Selanjutnya adalah pelajaran yang diperoleh yang dijelaskan bahwa parlemen perlu belajar dari operasi di masa lalu dengan sering melakukan peninjauan struktural.42 Pada bagian ini, DPR, baik melalui Tim Pemantau maupun Komisi I, kerap melakukan kunjungan kerja ke Papua di saat masa reses. Hasil kunjungan kerja tersebut kemudian dijadikan bahan pertanyaan dalam rapat dengan pemerintah. Ini artinya, strategi tersebut sudah dilakukan DPR walaupun untuk melihat implikasi dari peninjauan tersebut masih harus dikaji lebih lanjut. Terakhir, adalah peninjauan terus menerus yang diartikan dengan upaya Parlemen yang harus menuntut pemerintah memperhitungkan semua intensi, perkembangan dan pelajaran terbaru yang dihasilkan dari merevisi kebijakan keamanan.43 Sejauh ini, tidak ada indikasi konkrit dari pelaksanaan strategi keempat ini oleh DPR. Harus diakui, koalisi partai pendukung pemerintahan menguasai lebih dari separuh jumlah anggota DPR.44 Ini artinya, desakan terhadap pemerintah untuk menaruh perhatian besar terhadap penyelesaian konflik Papua tidak akan besar dan masif. Hal ini sejalan dengan asumsi yang dijelaskan DCAF-IPU (2003) bahwa anggota parlemen yang berasal dari partai penguasa akan cenderung menghindari kritik publik atas eksekutif. Dan isu keamanan merupakan salah satu topik yang tidak berpengaruh dalam dalam persaingan calon legislatif di Pemilu.45 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa DPR belum melaksanakan fungsi yang melekat dalam institusinya secara optimal. DPR hanya terfokus pada satu isu yakni implementasi otonomi khusus. Padahal, masih ada beragam aspek lain mengingat kompleksnya isu dalam konflik Papua. Selain itu, DPR cenderung hanya menjalankan rutinitas formal dan tidak memiliki pandangan yang komprehensif mengenai ide penyelesaian konflik Papua. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan DPR adalah menerapkan 3 fungsi yang melekat dengan memperluas cakupan isu, tidak hanya perihal otonomi khusus Papua. Hal ini 38
http://skalanews.com/baca/news/2/6/100456/daerah/penggunaan-aparat-tni-di-papua-langgar-aturan--.html diakses pada 18 April 2012 pukul 22.30 WIB 39 Mengenai ketentuan pelaksanaan 3 hak tersebut merujuk pada Pasal 161-176 Tatib DPR RI 40 DCAF-IPU. Op. Cit. Halaman 94 41 Dalam sebuah kesempatan, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin kepada penulis pernah mengatakan pihaknya pernah berencana memanggil Menko Polhukam beserta jajarannya untuk memberi penjelasan terkait kondisi terkini Papua. Namun, undangan tersebut diabaikan oleh Menko Polhukam. 42 DCAF-IPU. Op cit. Halaman 95. 43 Ibid. 44 Setidaknya ada 6 Parpol yang bergabung dalam koalisi politik di pemerintahan. Mereka adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKS, PKB, dan PPP. Total anggota DPR dari koalisi ini mencapai 423 dari total 560 orang. 45 DCAF-IPU. Op cit. Halaman 97
menjadi penting untuk membangun pemikiran komprehensif dalam upaya turut serta mendorong perdamaian di Papua. Informasi yang diperoleh dari sejumlah kalangan dalam rapat dengar pendapat tentang konflik Papua hendaknya diformulasikan dengan baik sehingga menjadi tawaran konsep yang konkrit kepada pemerintah. Bahkan, DPR dapat menyiapkan waktu khusus untuk menyiapkan konsep ini dengan melibatkan berbagai elemen kelompok masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada perdamaian Papua. Tim Pemantau DPR dengan dibantu Komisi terkait sangat mungkin untuk dapat merealisasikan ide ini. Dengan terus meningkatnya jumlah korban tewas dan kondisi keamanan lokal yang fluktuatif, transformasi konflik Papua sudah tidak dapat dihindarkan dan ditunda. Langkah ini menjadi penting untuk mewujudkan penyelesaian konflik Papua yang secara damai dan bermartabat. Dan salah satu pintu masuknya adalah dengan adanya usulan nyata DPR yang mendorong percepatan negosiasi disertai desakan politik kuat untuk mendorong pemerintah serius mewujudkan perdamaian di Papua.