BAB III KONFLIK DAN PERDAMAIAN; KONDISI HAM DI ACEH, POSO, DAN PAPUA A. Aceh Merajut Damai dan Keadilan A.1. UUPA sebagai Konstitusionalitas Aceh Masa Depan Perjanjian damai Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, memutuskan sejumlah agenda Aceh masa depan. RI dan GAM menyetujui untuk mengakhiri konflik bersenjata dan merancang fondasi dasar ekonomi, politik, dan keamanan untuk menuju negeri Aceh yang lebih baik. Bahkan menegaskan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai landasan utama. Bagaimanakah kemajuan Aceh di tahun 2006? Tentu saja harapan-harapan itu tak langsung mewujud menjadi kenyataan. Laporan ini memberikan gambaran atas kondisi-kondisi hak asasi manusia sepanjang tahun 2006. Pemerintah RI dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bangunan negara Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya penyelesaian damai yang bisa memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca bencana Tsunami (26 Desember 2004) dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.432 Salah satu isi kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM adalah akan adanya undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh yang diberlakukan paling lambat tanggal 31 Maret 2006. Dalam perjalanannya, pembahasan tentang draf RUU-PA mengalami banyak kendala, baik pembahasan di tingkat Pemerintah Pusat maupun saat pembahasan di DPR-RI. Dari perdebatan mengenai batas waktu pembahasan sampai dengan perdebatan penafsiran pasal demi pasal RUUnya. Bahkan ada fraksi yang masih mempermasalahkan bahkan menolak hasil perundingan di Helsinki, seperti yang disampaikan oleh F-PDIP. Proses politik di tingkat legislatif tidak semudah tahapan sebelumnya. Ada sejumlah persoalan sensitif yang ketika itu bisa memicu konflik berlanjut.433 Namun sejumlah pakar dari tiga perguruan tinggi di Aceh, yaitu IAIN Ar-Raniry, Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikulsaleh Lhokseumawe, terus melakukan pembahasan draf Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA). Pembahasan di tingkat NAD, ada dua draf RUU432 433
Nota Kesepahaman Pemerintah RI-GAM di Helsinki/MoU Helsinki. “UU Pemerintahan Aceh Rentan Mandek”, Kompas, 3 Oktober 2005.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
125
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
PA. Pertama, draf yang digodok oleh tim dan pakar dari Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, dan Universitas Malikulsaleh. Kedua, draf yang digodok DPRD NAD. Namun menurut pelaksana tugas Gubernur NAD Azwar Abubakar, Pemda NAD hanya akan mengirim satu draf RUU-PA ke Pemerintahan Pusat. Dan ditargetkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2005, draf tersebut sudah disampaikan ke Pusat.434 Setelah disosialisasikan pada tingkat rakyat, akhirnya DPRD Aceh pada bulan Januari 2006 menyerahkan draf RUU-PA ke Depdagri dan Presiden, untuk dibahas dan disahkan oleh DPR sesuai dengan target yang telah dicantumkan dalam MoU Helsinki. Pembahasan RUUPA di Depdagri berjalan alot. Di tengah pembahasan RUU-PA, Depdagri memangkas beberapa pasal dalam draf RUU PA versi DPRD NAD. Pemangkasan terhadap beberapa pasal ini menimbulkan kekecewaan rakyat Aceh, karena pasal yang dipangkas oleh Depdagri adalah pasal-pasal yang justru merupakan aspirasi rakyat Aceh. Sebagai salah contoh pasal menurut seorang pengamat politik Unsyiah Mawardi Ismail adalah pasal tentang pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Dalam MoU disebutkan hanya ada enam kewenangan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, selebihnya menjadi kewenangan Pemerintah Aceh.435 Tindakan Depdagri ini menimbulkan gelombang aksi protes yang dilakukan oleh rakyat Aceh, baik dari kalangan mahasiswa sampai dengan para tokoh Aceh. Pada 27 Januari 2006, Pemerintah menyerahkan draf RUU-PA ke DPR. RUU-PA yang diserahkan Pemerintah kepada DPR ini terdiri dari 206 pasal dan 40 bab. Dan pada tanggal 14 Februari 2006, melalui sidang paripurna, DPR akhirnya mengesahkan dibentuknya panitia khusus (Pansus) untuk membahas RUU-PA. Proses pengesahan pansus yang beranggotakan 50 orang ini berlangsung cepat.436 Dari total 13 kursi anggota DPR daerah pemilihyan Aceh, 11 di antaranya ditugaskan masuk dalam pansus ini.437 Rencananya pada Jum’at, 17 Februari ini rapat pansus akan dimulai dengan agenda memilih pimpinan Pansus. Menurut Muhammad Fauzi salah seorang anggota pansus, pemilihan ini akan berlangsung ketat karena semua partai berkepentingan.438 Namun ternyata rapat pertama degan agenda pemilihan pemimpinan pansus baru berlangsung pada 22 Februari. Terpilih sebagai ketua Ferry Mursyidan Baldan (F Golkar) sedangkan yang menjadi wakil ketua adalah para wakil dari fraksi antara lain R.K Sembiring Meliala (FPDIP), Djoko Soesilo (FPAN), dan Teungku Muhammad Iyus (FPPP).439 Di DPR terjadi perdebatan mengenai mekanisme pembahasannya maupun beberapa pasal yang dianggap krusial, yaitu menyangkut partai politik lokal, calon independen, dan pembagian kewenangan dan pendapatan antara pusat dan daerah. Di tingkat pembahasannya terjadi perdebatan, apakah langsung dibahas oleh panitia kerja (Panja) di komisi II yang menangani soal pemerintahan atau dibahas melalui Pansus. Dari segi waktu pembahasannya, banyak dari anggota DPR yang meragukan, apakah RUU-PA dapat disahkan di akhir bulan Maret 2006, sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki. Serambi Indonesia, 7 Oktober 2005 Waspada.or.id, 7 Februari 2006 436 ‘Kalau RUU PA tidak Aspiratif Otsus Aceh Dikembalikan’, Republika, 15 Februari 2006. 437 Prioritaskan RUU DPRD, Kompas, 15 Februari 2006. 438 GAM Siap Diundang Untuk Bahas RUU PA, Republika, 16 Februari 2006. 439 Panitia Khusus Aceh Mulai Bekerja, Koran Tempo, 1 Maret 2006. 434 435
126
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
KontraS sendiri mengkhawatirkan, keberhasilan awal MoU menjadi nihil kembali jika agenda pembuatan UU pemerintahan Aceh gagal memahami aspirasi rakyat Aceh atau malah menimbulkan persoalan baru. Indikasi awal ke arah ini terlihat jelas bagaimana Depdagri merombak rancangan yang disusun oleh seluruh komponen Aceh; Pemda dan DPRD NAD, rakyat sipil, dan GAM yang menghasilkan RUU PA. Oleh karenanya, secara khusus KontraS meminta Pansus DPR memakai versi DPRD Aceh khususnya tentang Pengadilan HAM dan KKR sebagai bentuk penghormatan terhadap keikutsertaan rakyat Aceh dalam proses pemerintahan. pansus DPR perlu secara intensif mendengarkan/meminta masukan dari rakyat korban pelanggaran HAM pada masa DOM dan paska DOM di Aceh KontraS meminta Pansus DPR RI untuk menerima seluruh substansi RUU Pemerintah Aceh versi DPRD Aceh, khususnya pasal-pasal HAM. Dari sudut legitimasi dan partisipasi publik, RUU PA versi DPRD Aceh lebih kuat ketimbang versi Depdagri.440 Juru bicara AMM Faye Belnis di Banda Aceh juga mengingatkan persyaratan agar RUU PA konsisten dan sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki. Keberatan sejumlah pihak atas proses pembahasan dan subtansi yang tengah dibahas juga disadari oleh M Nasir Djamil anggota Pansus RUU PA FPKS dengan mengatakan, RUU ini belum dapat dikatakan sukses karena masih ada keberatan dari publik soal sejumlah pasal yang membunuh kewenangan Aceh. Nasir mengingatkan perlunya komunikasi intensif pemerintah dengan wakil GAM. Menurutnya, niat GAM mengajukan keberatan kepada AMM merupakan mekanisme yang dimungkinkan oleh nota kesepahaman Helsinki.441 Berbeda dengan sikap Nasir, FPDIP dalam jumpa persnya yang diikuti oleh anggota Pansus, FK Sembiring Meliala, Sutradara Ginting, Irmadi Lubis, Sidarto Danusubroto, Moh Hasib Wahab, Soewarnao dan Permadi meminta GAM untuk menghormati pembahasan RUU PA karena mengacu pada UUD 1945. Sutradara Ginting mengatakan, konstitusi memberikan kewenangan pembuatan undang undang kepada DPR dan pemerintah. Pihak manapun harus menghormati aturan itu karena itu sudah menyangkut kedaulatan negara. Menurutnya, nota kesepahaman Helsinki merupakan referensi saja dalam pembahasan RUU. 442 Sementara itu menurut Sofyan A Djalil, semua pihak telah berupaya maksimal agar RUU ini bisa menciptakan perdamaian abadi di Aceh. RUU ini merupakan undang-undang yang paling banyak memiliki peraturan pelaksana. Ada 96 peraturan pelaksana, dari 96 itu hanya ada 2 peraturan pemerintah, 1 keppres, 93 peraturan daerah atau kanun. Tambahnya, tidak pernah ada UU yang begitu banyak memerlukan peraturan daerah. Sofyan mengakui masih ada 10 materi yang belum mencapai titik temu, seperti judul, pengaturan migas, dana tambahan, dan pendidikan agama.443 RUU PA versi pemerintah yang telah mengeliminasi bebarapa pasal-pasal usulan dari dari draf RUU PA telah melahirkan kekecewaan rakyat Aceh. Hal ini disampaikan oleh Nasir Djamil, bahwa rakyat Aceh mulai membuat wacana untuk mengembalikan otonomi khusus (otsus) Aceh jika aspirasinya tak tertampung. Menurutnya wacana ini mencuat ketika dirinya menghadiri pertemuan dengan tokohtokoh rakyat Aceh di Banda Aceh pada Jum’at (10/2). Proses pengembaliannya bisa dilakukan Siaran Pers KontraS, Mendesak Pansus DPR Hindari Pasal-pasal Karet HAM di RUU PA, 27 Februari 2006. Jangan Usik Kedaulatan, Kompas, 20 Juni 2006. 442 Ibid. 443 Ibid. 440 441
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
127
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
dengan mengumpulkan tokoh rakyat lalu secara simbolik mengembalikan UU tersebut pada pemerintah pusat.444 Kekecewaan tokoh rakyat ini menurut Nasir, karena bagi mereka aspirasi yang telah mereka sampaikan (RUU PA) tidak bertentangan dengan UUD 1945. mereka tidak menerima kalau dianggap melanggar UU dan dituduh mempelopori negara federal.445 Untuk ‘mengawal’ pembahasan RUU PA ini di DPR, pemda NAD telah membentuk tim khusus. Tim ini beranggotakan unsur alim ulama, tokoh rakyat, pemerintah, DPRD, serta GAM, anggota tim ini berjumlah 31 orang. Hal ini disampaikan oleh Pj Gubernur NAD, Mustafa Abubakar, ia berharap tim khusus ni dapat memberikan pemahaman kepada pemerintah pusat dan DPR tentang rancangan UU tersebut. 446 Pihak GAM sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk bekerjasama mengenai RUU PA ini jika DPR mengundangnya. Hal ini dinyatakan oleh tokoh GAM, Kamaruzzaman. GAM ingin memastikan bahwa proses pembahasan RUU PA ini senantiasa memperhatikan aspirasi rakyat Aceh. Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno, menyambut baik kesiapan GAM untuk sharing dengan DPR. Namun ia menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada Pansus.447 Anggota Forbes Aceh DPR/DPD RI, Muhammad Fauzi (FBPD/asal PBB), mengatakan rakyat Aceh sangat antusias memperhatikan masalah pembahasan RUU PA. Sikap rakyat ini berbeda dibanding saat pemerintah menyusun UU Otsus Aceh. Karena RUU ini tidak dapat dilepaskan dari perdamaian antara RI dan GAM yang telah berlangsung disambut rasa disyukuri oleh rakyat.448 Diantara sikap apriori yang tengah terbentuk di Aceh akibat RUU PA versi pemerintah yang dianggap kurang aspiratif. Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar meminta agar fraksi-fraksi di DPR memprioritaskan draft RUU PA versi DPRA. Menurutnya draft dari Depdagri semacam usulan dari pemerintah saja tetapi DPR harus tetap memprioritaskan draft versi DPRA. Namun ia berharap subtansi draf DPRA harus diadu dengan kualitas versi Depdagri.449 Persoalan lain yang muncul dari proses pembahasan RUU ini adalah ketentuan dalam MoU point 1.1.1 yang menyatakan paling lambat 31 Maret 2006 pemerintah telah mengesahkan UU baru tentang pemerintahan Aceh. Batas waktu ini seperti sulit untuk dipenuhi mengingat DPR baru menetapkan pansus pada 14 Februari 2006 sehingga waktu yang tersedia bila merujuk batas itu tinggal 28 hari lagi. Mengenai keterbatasan waktu bila merujuk MoU Helsinki tersebut diatas, Ferry Mursyidan Baldan, ketua Pansus, hanya mengatakan bahwa Pansus akan bekerja maksimal dalam membahas RUU ini . Anggota Pansus lain Agus Budi Santoso (FPG) memperkirakan batas itu akan terlewati. Sementara ‘Kalau RUU PA tidak Aspiratif Otsus Aceh Dikembalikan’, Republika, 15 Februari 2006. Pengembalian Otsus ini pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat Papua pada Agustus 2005, sebagai reaksi kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang tidak konsisten dalam memberikan Otsus kepada Papua. 445 Ibid. 446 Ibid. 447 GAM Siap Diundang untuk Bahasa RUU PA, Republika, 16 Februari 2006. 448 Ibid. 449 Prioritaskan RUU DPRD, Kompas, 15 Februari 2006. 444
128
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Soetardjo Soerjogoeritno (FPDIP) memandang sinis soal batas waktu itu sebagai agenda negaranegara Eropa.”(pendiktean) itukan zaman penjajahan dulu,”katanya.450 Bila merujuk jadwal pembahasan RUU PA dari hasil rapat pansus 1 Maret 2006,451 pada 6 April 2006 diagendakan Raker dengan pemerintah atau Pembicaraan Tingkat I. Sehingga dapat dipastikan Pembicaraan Tingkat II kemungkinan akan berlangsung pada bulan itu juga diikuti dengan pengesahan oleh pemerintah. Berkaitan dengan persoalan batas waktu ini menurut Ahmad Farhan Hamid anggota DPR dari FPAN mengatakan belum ada lampu hijau hingga saat ini dari GAM untuk memperpanjang waktu pembahasan. Hal ini disampaikan oleh Farhan setelah melakukan pertemuan dengan 15 mantan anggota GAM. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Nasir Djamil (FPKS), bahwa soal batas waktu ini pernah mengemukan dalam pertemuan di Pendopo Gubernuran NAD dengan tokoh rakyat Aceh. Malah muncul gagasan agar dibuat peraturan pemerintah pengganti UU/perppu. Gagasan Perppu ini menurut Nasir pernah disampaikan oleh Mendagri, M Ma’ruf, ketika bertemu DPRA.452 Apa yang dikemukan oleh Farhan dan Nasir diatas dirunut kebelakang tidak sepenuhnya benar. Karena Malik Mahmud perdana menteri GAM seusai pertemuan dengan Wakil Presiden Yusuf Kalla di Helsinki Filandia pada Januari 2006 lalu secara implisit mengatakan telah ada konsensus antara GAM dan pemerintah berkaitan dengan kemungkinan tidak selesainya pembahasan UU pemerintahan Aceh ini pada 31 Maret 2006.453 Ia mengatakan bahwa kalau melihat pasal dalam MoU, agenda berikutnya adalah pilkada yang seharusnya dijadwalkan pada April tahun ini. Tapi, dalam MoU juga ditentukan bahwa pilkada baru bisa dilaksanakan jika UU pemerintahan Aceh sudah ditetapkan. Buktinya, sampai sekarang, UU baru belum ada. Karena itu, kami membuat konsensus dengan pemerintah bahwa pilkada tidak mungkin dilakukan pada April, kecuali persiapannya saja. Kami sepakat pilkada dan pemilihan baru dilakukan pada Juni-Juli. Sehingga, jika pilkada mundur, kedua belah pihak tidak melanggar MoU. Sekalipun pernyataan diatas lebih ditekankan pada kemungkinan mundur jadwal pilkada, namun mundurnya jadwal pilkada itu tentunya juga berangkat dari hitung-hitungan kemungkinan tidak tercapainya batas waktu pengesahan UU PA pada 31 Maret tersebut. Pernyataan ini serupa pernah disampaikan oleh Mustafa Abubakar Pelaksana Tugas Gubernur Aceh terkait dengan penundaan pelaksanan pilkada yang dalam MoU ditetapkan pada bulan April dan disepakati oleh pihak GAM.454
A.2. Isu Negatif tentang GAM Diantara perdebatan tentang proses dan subtansi materi dari RUU PA ini, muncul isue baru yang dihembuskan oleh BIN dalam rapat kerjanya dengan Komisi I DPR. Isue tersebut ialah bahwa Pimpinan Panitia Khusus RUU PA Terbentuk, Kompas, 23 Februari 2006. Direncanakan akan berlangsung setidaknya 28 kali rapat baik Rapat Dengar Pendapat Umum, Rapat Kerja dengan Pemerintah, rapat dengar pendapat dengan Pemdan dan DPRA, rapat internal pansus, rapat panitia kerja, dan rapat panitia perumus. Juga direncanakan akan dilakukan 2 kali kunjungan ke NAD pada minggu I dan minggu II di bulan Maret 2006. 452 GAM Belum Beri Lampu Hijau, Republika, 14 Februari 2006. 453 Hasan Tiro Mungkin Kembali ke Aceh. Indopost, 23 Januari 2006. 454 Presiden Minta RUU Aceh Segera Dibahas, Kompas, 19 Januari 2006. 450 451
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
129
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
GAM tetap memperjuangkan Aceh Merdeka. Hal ini diungkap oleh anggota DPR Effendi MS Simbolon, menurut BIN, MoU itu merupakan batu loncatan menuju negara Aceh Merdeka. Dasarnya karena GAM tidak menyerahkan semua senjata kepada AMM. GAM hanya menyerahkan 769 pucuk dari 840 yang harus diserahkan berdasarkan MoU.455 Tambah Simbolon, terkait dengan RUU PA, GAM berkeinginan memasukan calon independen dan partai lokal sehingga harus diwaspadai. Alasannya, GAM ingin menguasai posisi strategis di Aceh, sehingga akan memudahkan terwujudnya aspirasi merdeka.456 Selain itu analisis BIN juga mengungkapkan GAM telah mempersiapkan propaganda, untuk memperburuk citra Indonesia, kalau RUU PA tidak memenuhi keinginan mereka. Adapun hal yang disiapkan oleh GAM diantaranya adalah kembali mengangkap persoalan pelanggaran HAM maupun pelanggaran kesepahaman damai Helsinki.457 Ketika pernyataan ini ini juga diperkuat oleh Abdurrahman Wahid. Gus Dur membenarkan laporan BIN itu yang menyatakan GAM tetap ingin mencapai kemerdekaan.458 Yuddy Chrisnandi anggota Komisi I DPR menilai bahwa laporan BIN itu hanya bersifat analisis. Menurut Yuddy yang harus dilakukan oleh BIN adalah memberikan bukti-bukti kuat.459 Mengomentari isue ini pihak yang diwakili Irwandi Yusuf, Senior Representatif GAM, mengatakan laporan itu dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah agar merubah kebijakannya. Irwandi menilai laporan itu tidak terlepas dari bisnis yang dilakukan oleh orang-orang tertentu merasa terancam dengan kondisi aman Aceh. Irwandi malah menuding balik, bahwa pihaknya mendeteksi ada operasi intelejen yang luar biasa sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini menurutnya dilakukan dengan dana besar untuk memuluskan bisnis-bisnis pihak tertentu.460
A.3. MoU Masih Dimasalahkan Dalam acara rapat dengar pendapat umum antara Pansus RUU PA dengan pakar hukum dan politik yang diundang ke DPR, masih muncul pertanyaan tentang keberadaan Mou Helsinki. Prof Ismail Sunny mengkritik soal masuknya nota kesepahaman dalam bab konsideran (menimbang). Menurutnya, nota kesepahaman hanya dilakukan antara pemerintah dan GAM, bukan dengan rakyat Aceh. Tidak semua orang Aceh adalah anggota GAM.461 Sejumlah Anggota DPR dan partai politik serta beberapa pengamat masih mempertanyakan status hukum dari MoU Helsinki. Setidaknya hal itu terungkap pada rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Menkumham Hamid Awaludin serta Menkoinfo Sofyan Djalil. Atas pertanyaan itu Hamid
Aceh Merdeka Tetap Diperjuangkan Koran Tempo, 14 Februari 2006. Ibid. 457 GAM Siap Diundang untuk Bahas RUU PA, Republik, 16 Februari 2006. 458 Gus Dur Benarkan Laporan BIN, Koran Tempo, 16 Februari 2006. 459 Op.cit , Republika, 16 Februari 2006. 460 AM Yakin buat Pengaruhi Pemerintah, Koran Tempo, 15 Februari 2006. 461 RUU Aceh Jangan Atur Soal HAM, Koran Tempo, 1 Maret 2006. 455 456
130
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
menjelaskan bahan MoU itu bukan merupakan kesepahaman internasional sekaligus menegaskan dengan MoU tersebut Aceh tetap berada dalam NKRI dan sesuai dengan konstitusi RI.462 Sebelumya dalam diskusi publik tentang UU Pemerintahan Aceh yang dilaksanakan oleh PDIP, Megawati menyatakan bahwa MoU Helsinki tersebut bukan produk hukum yang bisa mendasari pembuatan UU PA. Proses MoU Helsinki menurutnya nilai salah, baik pihak yang berunding maupun MoU nya sendiri. MoU itu dibisa ditolak dan diprotes, tambah Mega. Yang belum final bisa ditarik untuk dirundingkan kembali.463 Menurut Megawati, MoU bisa diabaikan karena konsepnya salah kaprah: Ia mengatakan sejauh pengetahuan saya, sejak zaman sekolah, yang namanya MoU itu singkatan dari memorandum of understanding. Artinya nota kesepahaman. Bukan perjanjian atau agreement. Jadi, sifatnya tidak wajib ditindak lanjuti, apalagi sampai membuat undang undang segala. Kita sudah salah kaprah.”464 Mantan Gubernur Lemhanas Ermaya Suradinata yang menjadi salah seorang narasumber diskusi tersebut mengatakan bahwa RUU PA sangat bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, RUU itu tidak bisa dipaksakan untuk disahkan. Mantan Wakasad Kiki Syahnakri menambahkan RUU PA menggiring Indonesia menjadi negara Federasi.465 Pada awalmya berkembang sikap penolakan pembahasan RUU PA ini sebelum pemerintah memberikan penjelasan tertulis tentang isi MoU Helsinki. Sikap resisten ini terutama muncul dari partai PDIP, Tjahjo Kumolo menyatakan partainya akan menolak pembahasan RUU PA ini sebelum pemerintah menjelaskan secara tuntas isi MoU Helsinki dengan parlemen.466
A.4. Pasal-Pasal Dipermasalahkan/ Problematika Pasal-pasal HAM Dalam pembahasan RUU PA yang terlah masuk dalam proses Panja,. komponen masyarakat sipil yang tergabung di JDA meminta kepada DPR untuk tidak mengganggu gugat beberapa subtansi yang tengah dibahas. Menurut JDA ketentuan yang tidak boleh digangu gugat itu antara lain: 1. Pelaksanaan UU ditetapkan dengan Qanun Aceh; 2. Persetujuan DPRD Aceh bagi pengambilan kebijakan mengenai Aceh; 3. Kandidat independen untuk pilkada tidak hanya untuk sekali; 4. keberadaan partai politik loka tanpa batasan waktu; 5. kuota perempuan 30 persen dalam lembaga politik; 6. penyelesaian pelanggaran ham bukan hanya kasus yang terjadi pasca pengesahan UU Aceh. 7. Pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam, termasuk minyak dan gas, dilimpahkan kepada pemerintah Aceh. 8. Adanya dana pelaksanaan otsus dan dana tambahan. MoU Bukan Kesepahaman Internasional, Kompas, 21 Februari 2006. MoU Helsinki Bukan Produk Hukum, Kompas, 17 Februari 2006. 464 MoU Helsinki Bisa Diabaikan, Indopost, 17 Februari 2006. 465 Ibid. 466 PDIP Tuntut Penjelasan Soal MOU Aceh, Koran Tempo, 30 Januari 2006. Pemerintah melalui menkoninfo dan Menkumham pernah menjelaskan tentang materi MoU di sidang-sidang Komisi. Namun pemerintah belum pernah memberikan penjelsasan tertulis terhadap MoU ini. Hal ini dibenarkan oleh Ketua DPR Agung Laksono. Malah Agung pernah berkomentar tak akan membahas RUU PA selama penjelasan tertulis soal MoU Helsinki belum disampaikan ke DPR, Kompas, 10 Desember 2005. 462 463
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
131
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Sebelumnya, draft RUU PA dari pemerintah yang terdiri dari 206 pasal dan 40 bab ini seharusnya merupakan penjabaran lanjutan dari MoU Perdamaian RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki. Namun pada kenyataannya draft RUU pemerintah ini dinilai oleh kalangan di Aceh telah menyimpang dari MoU tersebut. Sehingga kemudian menimbulkan sejumlah reaksi yang menyatakan keberatan atas Draf RUU PA ini. Dibawah ini sejumlah bahasan dari pasal-pasal yang dianggap bermasalah:
A.4.1. Pasal-Pasal HAM; Pengadilan HAM dan KKR Dalam UU PA, ketentuan yang mengatur tentang pengadilan HAM tertuang dalam Pasal 215 menyatakan : (1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Sekalipun pasal ini telah memastikan dibentuknya pengadilan HAM di Aceh, namun pasal ini juga membuka peluang terjadinya impunitas. Hal ini dapat dilihat tidak disebutkannya mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UUPA ini disahkan (antara tahun 2000 - 10 Juli 2006). Pasal ini dapat ditafsirkan secara negatif bahwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU ini disahkan tidak dapat diajukan ke pengadilan HAM di Aceh. Namun, dapat juga ditafsirkan lain, bahwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU disahkan tetap mengacu pada UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Multi-tafsir yang dimunculkan oleh pasal tentang pengadilan HAM ini dikuatirkan akan menjadi batu sandungan bagi penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh pra UU ini disahkan. Sementara pengaturan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dalam UU ini tetap mengacu pada UU No.27 tahun 2004 tentang KKR. Artinya KKR di Aceh sama seperti KKR Nasional hanya menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum UU 26/2000 diundangkan. Sebelumnya, Anggota Fraksi PDIP Sidharto Danusubroto, mengatakan RUU PA mensyaratkan pembentukan peradilan HAM satu tahun setelah UU ini disahkan. FPDIP mengusulkan penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh sebaiknya diselesaikan lewat jalur KKR dan menolak peradilan HAM dengan asas retroaktif. Tetapi pembentukan KKR di Aceh hanya dapat dilakukan setelah KKR Nasional terbentuk. Oleh karena itu FPDIP mendesak pemerintah segera merealisasikan KKR nasional agar UUPA kelak bisa terimplementasi dengan sempurna.467 Sesi rapat Pansus yang berlangsung pada 17 Mei 2006 membahas mengenai point-point HAM dalam RUU PA. Rapat ini dipimpin oleh Ferry Mursyidan Baldan. Turut diundang dari wakil pemerintah yaitu Menkominfo Sofyan Djalil dan wakil dari Departemen Dalam Negeri.
467
PDI Perjuangan Desak Pembentukan KKR Nasional Untuk Aceh, Republika, 20 Juni 2006.
132
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Dalam sikapnya FPDIP menyatakan supaya TNI/Polri juga tidak adili terkait dengan pelanggaran HAM sebagaimana GAM telah mendapat pengampunan. Partai pimpinan Megawati ini meminta agar pemerintah tidak hanya memberi amnesti terhadap GAM tetapi termasuk kepada TNI/Polri yang melakukan pelanggaran HAM. Tetapi mereka menyatakan persetujuannya terhadap pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh, kalau perlu menurutnya 6 bulan setelah UU ini berlaku. Namun disisi lain partai berlambang banteng ini menyatakan bahwa selama soal keadilan dan kesejahteraan tidak selesai, perdamaian tidak akan bertahan lama. Berbeda dengan FPDIP, Partai Golkar meminta pelaksanaan HAM tidak berlebihan yang menurutnya dapat mengganggu tatanan. Dengan mengutip Prof. Soemantri, FPG menolak beberapa pasal soal HAM yang sudah diatur dalam UUD. Namun secara normatif FPG mengatakan, pasal-pasal yang yang sudah dirumuskan perlu dikembangkan agar mencapai keadilan dan kesejahteraan. Tidak sejelas FPG yang cenderung tidak memberi dukungan maksimal terhadap soal HAM terutama terkait dengan Pengadilan HAM dan KKR. PBR malah tidak menunjukkan sikap yang tidak bertanggungjawab dan siap mengikuti arus. Sementara sikap yang terang disampaikan oleh PAN yang mengatakan UU ini harus menggarisbawahi terbentuknya Pengadilan HAM (sesuai UU 26/ 2000), bukan membentuk Pengadilan HAM sendiri. Lebih lanjut menurut PAN, soal retroaktif atau tidak, itu bukan kewenangan UU ini. Sementara itu dalam penjelasannya Menkominfo Sofyan Djalil mengatakan retroaktif atau tidak ini yang menyebabkan Helsinki nyaris gagal. Menurut Sofyan pengadilan HAM sudah ada di Medan, mereka minta di Aceh. Tambahnya pemerintah tidak keberatan untuk dibuat extension. Senada dengan FPG, Sofyan menjelaskan pemerintah berharap akan penyelesaian melalui kearifan lokal (islah). Kearifan lokal dimaksud dengan tambahkan oleh Sofyan yaitu tidak membawa ini dalam proses formal (hukum). Pembahasan mengenai isue HAM ini tidak menemui kata sepakat, sehingga Ferry selaku pimpinan sidang mengatakan akan dilakukan pendalaman tingkat Panja dengan catatan 3 isue: penyelarasan tentang norma atau nilai-nilai HAM yang diatur, memajukan hak-hak perempuan dan anak, dan soal pembentukan Pengadilan HAM dan KKR. Pada point 2 MoU Helsinki yang terdiri dari tiga butir disebutkan bahwa pemeritah akan mematuhi Konvenan Sipil dan Ekosob, pembentukan pengadilan HAM di Aceh, dan pembentukan KKR di Aceh. Dalam draft RUU versi DPRA yang tertuang dalam Bab XXXIII tentang HAM pada pasal 181-185. Khusus pasal 183 tentang pembentukan pengadilan HAM dan KKR di aceh. Terdapat perbedaan antara versi DPRA ini dengan versi pemerintah yang dapat menimbulkan masalah dikemudian hari bila di akomodir terkait dengan Pengadilan HAM: Versi DPRD Aceh pasal 183 ayat 3: Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini. Versi Depdagri Pasal 178 ayat 3 : Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi untuk Aceh. Pertama, teks pasal pengadilan HAM versi Depdagri bisa diartikan pemerintah membentuk pengadilan
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
133
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
HAM untuk Aceh dengan kedudukan di Medan atau di Jakarta dengan alasan teknis.468 Disini terasa bahwa pemerintah menjauhkan akses korban terhadap keadilan (access to justice).469 Pasal ini bisa jadi cermin keinginan Jakarta untuk tetap mendominasi atau mengontrol pengadilan HAM. Kedua, rumusan pasal pengadilan HAM versi Depdagri membuat pengadilan HAM bisa terus tertunda pembentukkan tanpa limit waktu yang jelas. Berbeda dengan rumusan versi DPRA yang memuat limit waktu maksimal 1 tahun. RUU versi DPRA ini bisa mencegah terulangnya preseden buruk Papua dimana pengadilan HAM versi UU Otsus Papua tak juga terbentuk salah satunya karena tanpa limit waktu. Contoh untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Depdagri juga tidak memuat limit waktu pembentukannya. Pembentukan KKR Aceh ditentukan oleh KKR nasional dapat dipahami meski Presiden prosesnya lambat. Ketiadaan limit waktu ini pembentukan pengadilan HAM dan KKR di Aceh ini sebenarnya merupakan refleksi dari kebijakan Pusat selama ini yang selalu menghindar dari tuntutan penegakan hukum bagi kasus-kasus pelanggaran berat HAM.470 Sementara RUU PA versi Depdagri mencoba menganulir dua klausul penting, yaitu tentang reparasi dan pelaporan khusus PBB. Reparasi diatur pada Pasal 176 ayat 4 : “Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat membantu merehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur akibat konflik”. Sedangkan pelaporan khusus PBB diatur pada Pasal 185: “Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat HAM Tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB untuk masuk ke wilayah Aceh”. Penghapusan ayat (4) pada pasal 176 adalah wujud lepas tanggungjawabnya pemerintah terhadap ekses dari konflik yang telah lama berlangsung yang tentunya telah menimbulkan kerugian pada warga sipil akibat hancurnya atau tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomi harta bendanya tersebut. Sedangkan penghapusan pasal 185 dapat dibilang sangat berlebihan karena mekanisme kunjungan pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB merupakan hal yang normal, apalagi Indonesia telah meratifikasi kovenan induk dan kovensi internasional. Indonesia sendiri pernah mengundang beberapa pelapor khusus ke Indonesia, antara lain pelapor khusus untuk kekerasan terhadap perempuan, pelapor khusus untuk independensi peradilan, pelopor khusus untuk pendidikan, dan pelopor khusus untuk kebebasan pers. Oleh karena itu Pansus DPR seharusnya memakai versi DPRD Aceh khususnya tentang Pengadilan HAM dan KKR sebagai bentuk penghormatan terhadap keikutsertaan rakyat Aceh dalam proses Bandingkan redaksi ayat (4) pasal 178 RUU PA tentang pembentukan KKR yang secara jelas menyebut wilayah : Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Bila merujuk pada UU Pengadilan HAM No.26/2000 pasal 45 pada ayat (1) disebutkan untuk pertama kali pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar. Pada ayat 2 disebutkan bahwa daerah pengadilan HAM ini berada pada pengadilan negeri: (d) Medan yang meliputi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Sekalipun dalam UU 26/2000 pasal 45 ayat (2) butir c disebutkan Papua masuk daerah hukum Pengadilan HAM Makassar namun berdasarkan UU Otonomi Khusu Papua No.21/2001 pasal 45 di Papua pemerintah akan membentuk Pengadilan HAM serta KKR juga. 469 Ketika digelar Pengadilan HAM di Makassar atas peristiwa Abepura, pengadilan mengalami kesulitan untuk menghadirkan saksi. 470 Misal, hingga saat ini pemerintah tidak juga menetapkan komisioner dari KKR yang nama-nama calonnya telah diserahkan oleh DPR kepada Presiden dan Presiden telah melampaui batas pembentukan KKR tersebut karena UU No.27/2004 mengamanatkan pembentukan KKR ini paling lama 6 bulan sejak diundangkan dan itu berarti 6 April 2005. Pada kasus lain, pemerintah menentang keras dibentuknya pengadilan internasional pada kasus Timtim, dan Kejaksaan Agung menolak menindak lanjuti hasil penyelidikan terhadap kasus Trisakti, Semanggi I dan II serta kasus Tragedi Mei 1998. 468
134
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
pemerintahan. Pansus DPR perlu secara intensif mendengarkan/meminta masukan dari rakyat korban pelanggaran HAM pada masa DOM dan paska DOM di Aceh. Pansus DPR RI seharusnya menerima seluruh substansi RUU Pemerintah Aceh versi DPRD Aceh, khususnya pasal-pasal HAM. Dari sudut legitimasi dan partisipasi publik, RUU PA versi DPRD Aceh lebih kuat ketimbang versi Depdagri.471 Pendapat lain menyangkut pasal-pasal HAM dalam RUU PA ini disampaikan oleh Prof. Soemantri ketika bersama dengan akademisi yang lain memenuhi undangan Pansus RUU PA di DPR. Sri mengatakan tak perlu ada pengaturan soal HAM dalam RUU PA. Sebab masalah itu sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 A-J dan UU tentang HAM yang berlaku universal untuk semua kawasan di Indonesia. Pendapat Sri ini didukung oleh Prof. Ichlasul Amal.472 Lebih jauh, anggota Pansus dari Fraksi PDIP, Sidharto Danusubroto (mantan Kapolda Jawa Barat dan mantan ajudan Soekarno) juga menganggap tidak perlu ada pengadilan HAM ad hoc di Aceh. Menurutnya, pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tidak hanya dilakukan oleh TNI tapi juga oleh GAM.473 Sebagai UU yang mengatur tentang kekhususan Pemerintahan Aceh, sesungguhnya bukanlah hal yang berlebihan bila dalamnya juga diatur mengenai HAM. Namun bila yang dimaksud agar UU ini tidak melakukan duplikasi/pengulangan terhadap apa yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan yang sederajat atau yang lebih tinggi maka hal itu patut dipertimbangkan. Tetapi beberapa pengatuan tentang HAM yang bersifat khusus dalam UU ini memang merupakan sesuatu penegasan terhadap keistimewaan pemerintahan Aceh, seperti, pembentukan pengadilan HAM dan KKR di Aceh, mengundang Special Rappourteur atau pejabat PBB lainnya terkait dengan pelanggaran berat HAM. Jadi dalam pengaturan ketiga hal tersebut sama sekali tidak terjadi duplikasi dan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Hingga 28 Maret 2006, DPR belum melakukan pembahasan berkaitan dengan pasal-pasal terkait dengan isue HAM pada khususnya seluruh pasal-pasal lainnya dari draft RUU PA dari pemerintah. Menurut Farhan Ahmad Abas pembahasan mengenai RUU PA secara mendalam baru akan dilakukan pada 7 April 2006.
A.4.2. Pasal tentang TNI Sekalipun dalam MoU Helsinki point 1.45. dinyatakan bahwa semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil Aceh. Namun, pengaturan terhadap hal itu nyata-nyata tidak ada dalam UU PA. Dalam UU ini hanya disebutkan secara umum bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di Aceh diadili menurut peraturan perundanganundangan. Begitu pula RUU versi DPRA pasal 162 ayat (3) disebutkan bahwa penempatan TNI di Aceh dilakukan dengan terlebih dahulu dikonsultasi dengan pemerintahan Aceh dan mendapat persetujuan dari DPRA. Benar-benar telah dihapus dalam UU ini. Sayangnya, tidak sebagaimana pengangkatan Sikap ini KontraS sampaikan dalam Siaran Pers No.13/KontraS/II/2006, 27 Februari 2006, tentang Mendesak Pansus DPR Hindari Pasal-Pasal Karet HAM di RUU PA. 472 RUU Aceh Jangan Atur Soal HAM, Koran Tempo, 1 Maret 2006. 473 Ibid. 471
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
135
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Kapolda dan Kepala Kejaksaan Tinggi di Aceh yang mensyaratkan persetujuan Gubernur, dalam pengangkatan Pangdam atau pimpinan tertinggi di lingkungan TNI, Gubernur tidak diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan. Sebelumnya, sebenarnya semangat yang terkandung dalam MoU ini telah menjadi ketetapan MPR yang tertuang dalam Pasal 3 TAP MPR RI No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri dan Pasal 65 UU No.34/2004 tentang TNI. Draf RUU PA dari DPRA kejahatan sipil yang dilakukan aparat TNI/Polri (muslim atau bersama-sama non muslim) yang dilingkup Mahkamah Syar’ah (Pasal 107). Sementara pengadilan umum hanya berlaku bagi kejahatan sipil yang dilakukan oleh TNI/Polri yang non muslim (Pasal 108). Dalam draft pemerintah memang hal ini tidak di akomodasi. Pemerintah meniadakan pengadilan sipil Aceh bagi TNI/Polri yang melakukan kejahatan sipil (lihat, Bab XXV TNI Pasal 153 yang terdiri dari 3 ayat dan pasal 154 terdiri dari 2 ayat pada RUU draf pemerintah.). Dalam draf RUU pemerintah hanya disebutkan bahwa ‘tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI di Aceh diadili sesuai pertaturan perundang-undangan. Pada ayat selanjutnya disebutkan “peradilan itu dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum.” Ini merupakan salah satu gambaran ketidakkonsistenan pemerintah pusat terhadap MoU. Pemerintah tetap mempertahankan pola ‘pengkaburan’nya untuk menghindarkan tuntutan pada TNI/Polri dari pengadilan sipil. Sekalipun saat ini tengah berlangsung perkembangan di DPR yang tengah mengajukan hak inisiatif RUU Peradilan Militer, namun hal itu tidak menjamin militer/polri akan diadili pada pengadilan sipil. Seperti apapun perkembangan ditingkat pusat, seharusnya semua pihak tetap mempertahankan kesepahaman/MoU yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini penting untuk meniadakan lubanglubang lain dari perdamaian ini dikemudian hari. Pada Bab IV Kewenangan Aceh pasal 6 (2) dan Bab XXVI Pertahanan pasal 162 ayat (1). dalam RUU usulan DPRD Aceh disebutkan bahwa TNI di Aceh hanya untuk menjaga pertahanan eksternal. Penggunaan kata pertahanan ekternal ini mendapat tentangan dari beberapa pihak. Marsma Victor Sudarisman, Direktur Analisa Lingkungan Strategis Dephan mengatakan penggunaan istilah pertahanan luar perlu diluruskan karena bisa berdampak luas. Ia menegaskan bahwa ancaman pertahanan tidak hanya berasal dari luar tetapi juga dari dalam negeri, seperti disintegrasi.474 Kekuatiran senada disampaikan oleh mantan Wakasad Kiki Syahnakri bila istilah pertahanan luar disetujui dapat berkonsekuensi pada penghapusan komando teritorial. Akibatnya, partai lokal GAM akan mencengkeram desa.475 Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa kekuatiran ketiadaan koter dihubungkan dengan partai lokal GAM menguasai desa. Apakah ini sebagai statement bahwa TNI selama ini turut berpolitik di desa-desa mempengaruhi penggunaan hak pilih mereka? Penggunaan istilah Pertahanan luar ini mengacu MoU poin 1.1.2 huruf a. dimana dikatakan bahwa Aceh akan melaksanakan semua kewenangan di sektor publik, kecuali berkaitan dengan hubungan 474 475
“Pertahanan Luar” Perlu Diluruskan, Kompas, 10 Februari 2006. MOU Helsinki Bukan Produk Hukum, Kompas, 17 Februari 2006.
136
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
luar negeri, pertahanan eksternal, keamanan nasional, masalah moneter dan fiskal. Tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pertahanan luar ini baik dalam RUU versi DPRA maupun MoU Helsinki. Yang dimaksud dengan Pertahanan selama ini telah termaktub dalam UUD 1945 Amandemen II, pasal 30 (2): “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.” Kedua, Ketatapan MPR nomor 6 tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 2 dikatakan Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Ketiga, Ketetapan MPR nomor 7 tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 2 dikatakan peran Tentara Nasional Indonesia disebutkan (1) Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-udangn nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menjelaskan bahwa TNI merupakan komponen utama dalam tugas Pertahanan Negara di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas bisa dikatakan tidak ada ukuran normatif yang dimaksud dengan Pertahanan eksternal atau Pertahanan luar. Akan tetapi sejauh ini memang bisa dilihat bahwa yang dimaksud dengan Pertahanan atau Pertahanan Negara adalah upaya atau tindakan untuk menanggulangi ancaman. Sejumlah kalangan menafsirkannya sebagai ancaman dari luar. Dan kepolisian mengurusi soal keamanan dan penegakan hukum. Hal ini ditafsirkan sebagai urusan kedalam. Akan tetapi bagi TNI masih dimungkinkan untuk turut serta dalam melakukan kerja di dalam negeri. Hal ini terlihat dalam Buku Putih Pertahanan, UU Nomor 3/2000 dan UU Nomor 34/2004. Kondisi yang memungkinkan TNI terlibat dalam soal-soal internal adalah meliputi terorisme, gerakan separatisme, kejahatan lintas Negara (penyelundupan, penangkapan ikan ilegal), pencemaran dan kerusakan ekosistem, imigrasi gelap, pembajakan/perampokan, aksi radikalisme, konflik komunal, dan dampak bencana alam. Operasi TNI untuk melakukan tindakan ditingkat internal dikenal sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Selain dalam versi DPRA pasal 162 ayat (3) disebutkan bahwa penempatan TNI di Aceh dilakukan dengan terlebih dahulu dikonsultasi dengan pemerintahan Aceh dan mendapat persetujuan dari DPRA. Sedangkan dalam usulan pemerintah ayat ini dihapus. Selama ini yang telah diatur adalah TNI dalam tugas utamanya; Perang, maupun dalam tugas perbantuannya/OMSP harus ada kebijakan dari Presiden dan persetujuan DPR, termasuk pengiriman pasukan ke Aceh misalnya. Para pembuat UU harus dapat memahami situasi sosiologis yang melatari redaksi pasal ini. Aceh telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat penerapan Darurat Militer disana. Trauma masa lalu akibat kehadiran militer yang selalu diikuti dengan meningkatnya korban pelanggaran HAM. Artinya keputusan ‘Jakarta’ terkait dengan operasi militer yang akan berimbas pada masyarakat sebaiknya tidak dilakukan secara sepihak. Karena pada prakteknya keputusan ‘pusat’ itu acapkali menambah penderitaan masyarakat. Oleh karena itu tidak ada salahnya bila penempatan TNI di Aceh dikonsultasikan kepada pemerintahan Aceh.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
137
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
A.4.3. Pasal tentang Calon independen Mengenai calon independen atau perseorangan akhirnya dalam UU PA ini diakomodir, sekalipun keberadaan calon indepeden ini hanya diakui sekali untuk pemilihan yang pertama setelah UU ini disahkan. Calon perseorangan ini dapat mencalonkan diri dalam pemilihan Gubernur/Wagub, Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wabup. Sebelumnya, calon independen dalam pasal 59 RUU versi DPRA ini berhak mengikuti pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wk. Bupati dan Walikota/Wk. Walikota. Draft RUU PA pemerintah tidak menyantumkan tentang calon independen ini. Tidak dimasukkannya pasal tentang calon independen ini sama artinya mengingkari Mou Helsinki dimana pada point 1.2.2 telah disebutkan ‘...rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.’ Partai Golkar menurut Andi Mattalata menyetujui calon perorangan sebagai kandidat dalam pemilihan kepala daerah di Aceh.476 Menurut Andi, ada beberap opsi buat calon perorangan agar bsa masuk sebagai calon kepla daerah. Di antaranya soal electoral threshold yang harus dicapai calon tersebut, misalnya didukung oleh tiga atau lima persen dari jumlah penduduk atau pemilih.477 Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, setuju calon independen diakomodasi dalam RUU PA. Menurutnya tidak dicantumkannya calon independen dapat menjadi masalah dikemudian hari. Menurutnya, yang penting dalam pelaksanaannya calon independen itu tetap dalam kerangka NKRI dan otonomi khusus Aceh, serta tidak dalam rangka memerdekan Aceh dari Indonesia.478 Keberadaan calon independen ini dalam draft Depdagri sebelumnya telah diakomodasi pada pasal 62 ayat (1), tetapi keberadaannya hanya dibatasi satu kali saja yaitu pada pelaksanaan pilkada tahun 2006. Pemerintah sepertinya kuatir keberadaan calon independen ini akan menjadi preseden bagi daerah lain. Protes keras atas ini telah dinyatakan oleh wakil GAM yaitu Nurjuli mantan juru runding GAM479 dan Teuku Kamaruzzaman, salah seorang perumus RUU ini.480 Keduanya menilai pemerintah telah melanggar kesepahaman Helsinki. Nurjuli menolak alternatif pencalonan melalui partai politik yang ada. Lebih lanjut menurutnya pemerintah telah menetapkan syarat-syarat yagn tidak memungkinkan anggota GAM mengikuti pencalonan. Hal senada disampaikan oleh Kamaruzzam. Menurutnya penghapusan calon independen telah menjauhkan aspirasi rakyat Aceh karena rancangan tersebut dibicarakan oleh semua komponen rakyat Aceh. Kamaruzzam mempertanyakan pemangkasan pasal tersebut. Protes terhadap hal ini akan Ia sampaikan pada rapat COSA bersama AMM pada awal Februari ini. GAM sendiri memang telah menyiapkan jago-jagonya bertarung di pilkada 2006 ini melalui calon independen seperti yang pernah disampaikan oleh Irwandi Yusuf seusai pertemuan dengan Wapres Yusuf Kalla di Helsinki Filandia pada 20 Januari 2005.481 RUU Aceh Jangan Atur Soal HAM, Koran Tempo, 1 Maret 2006. Ibid. 478 Ketua MPR Sepakat Calon Independen Diakomodasi, Republika, 10 Februari 2006. 479 Tempo Interaktif, 29 Januari 2005. 480 Tempo Interaktif, 31 Januari 2005. 481 Kompas, 22 Januari 2006. 476 477
138
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Keberatan GAM terhadap hilangnya pasal tentang calon independen ini adalah sangat wajar. Mengingat saluran politik jangka pendek yang tersedia bagi GAM terlibat dalam pilkada tahun ini hanya dapat terakomodasi bila calon independen ini disahkan. Sebab pendirian partai lokal di Aceh memang dirasa tidak mungkin dalam waktu dekat. MoU sendiri memberikan batas waktu hingga 18 bulan setelah MoU partai lokal dapat terbentuk. Sementara usulan untuk bergabung melalui partai politik yang ada sepertinya bukanlah alternatif yang baik. Sebab bukan persoalan mudah untuk mengakomodasi kepentingan politik dari GAM berhadapan dengan kepentingan parpol sendiri. Problem psikologis dan politis dari gagasan mencalonkan melalui parpol yang ada itu merupakan sesuatu yang riil bagi komunitas Aceh saat ini. Karena kepercayaan pada masing-masing pihak tentu tidak dapat ditumbuhkan dalam waktu pendek. Gagasan tentang calon independen ini salah satunya juga berangkat dari argumen bahwa parpol yang ada tidak merepresentasikan aspirasi masyarakat Aceh seluruhnya. Sikap pemerintah yang tidak memasukkan calon independen adalah tindakan ‘cuci tangan’, dengan alasan telah diakomodasi lewat UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi kesempatan kepada calon perseorang untuk dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol dalam Pilkada.482 Sementara dalam RUU PA pemerintah hanya menambahkan rumusan agar parpol dan gabungan parpol wajib menerima perseorangan untuk dicalonkan dalam pilkada. Rumusan ini sendiri didapat dari UU No.32/2004.483 Namun, pemerintah tetap berdalih bahwa calon independen tetap terbuka untuk dimasukkan dalam RUU PA yang sekarang sudah berada di tangan DPR.484 Angin surga serupa juga disampaikan oleh Ferry Mursidan Baldan yang menyatakan bahwa soal calon independen masih terbuka jika memang ada aspirasi yang kuat dari rakyat Aceh.485 Anggota Komisi I DPR Effendy Choirie, menilai calon independen harus dibiarkan ikut pilkada Aceh. Malah sebaiknya ketentuan serupa diterapkan disemua daerah. Ia mengatakan bahwa meski ada instrumen parpol, tapi hak-hak individu harus tetap diberikan. Perlunya calon independen karena mekanisme parpol terkadang tidak objektif dalam menampilkan calon kepala daerah.486 Syarif dan Anis menilai tidak realistis jika kesempatan calon independen dibatasi masanya. Tidak ada parameter yang jelas untuk pembatasan tersebut.487 Soal pembatasan calon Independen ini sebelumnya telah berkembang bahwa pemerintah hanya akan membolehkan calon independen pada pilkada tahun 2006 ini saja.
A.4.4. Pasal tentang Partai Lokal Salah satu kebaikan dari UU ini adalah diakuinya Partai Politik Lokal. Partai politik lokal merupakan media baru dari demokrasi di Indonesia yang pernah ada di era 50an kini kembali tumbuh embrionya. Kalimat dalam pasal 59 ayat (4) UU No.32/2004 tentang Pemda yaitu “ Partai Politik atau gabungan partai politk wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan ….” Otoritas untuk menentukan calon perseorangan itu tentu sepenuhnya berada di tangan Partai Politik atau Gabungan partai politik tersebut. Ketentuan sepertinya hanya sekedar kompromis verbal tanpa efek subtansi yang memadai. Sementara gagasan mengenai calon independen adalah berkaitan dengan hak warga negara untuk dipilih dan merupakan bentuk antitesa dari keberadaan parpol yang tidak sepenuhnya mewakili kepentingan masyarakat. 483 ‘Mendagri Terkesan Cuci Tangan’, Republika, 7 February 2006. 484 Ibid. 485 Draft RUU Pemerintahan Aceh di Setneg, Kompas, 24 Januari 2006. 486 Op.cit.Republika, 7 Februari 2006. 487 Calon Independen NAD, Kompas, 16 Januari 2006. 482
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
139
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Keberadaan partai lokal di Aceh diharap dapat mengilhami perubahan Undang Undang Kepartaian kita untuk dapat mengadopsi model ini secara nasional. Sebelumnya, berkaitan dengan partai lokal sebagaimana tercantum dalam MoU pasal 1.2.1. Dalam MoU tersebut pemerintah diberi waktu selama satu tahun atau paling lamban 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman itu. Dalam perkembangan baik pihak GAM maupun pemerintah sepertinya telah terjadi kesepahaman tentang hal ini sehingga hampir tidak ditemukan pertentangan sikap menyangkut parpol lokal ini. Ketua Tim Perumus RUU PA dari Depdagri Tursandi Alwi mengatakan, mengenai parpol lokal diatur dalam RUU PA dan akan dijabarkan lagi dalam sebuah peraturan pemerintah. Rencananya parpol lokal direalisasikan paling lambat pada Februari 2007.488 Hanya saja dari kalangan lain seperti di DPR dan partai politik berkembang pandangan lain. Seperti yang diutarakan oleh Zainal Ma’arif dari Partai Bintang Reformasi dan Moedrick M. Sangidoe dari PPP. Menurut mereka aturan parpol lokal semestinya masuk UU partai politik dan UU pemilihan umum, sehingga partai politik tidak hanya di Aceh tapi ada di daerah lain. Pandangan yang bertolak belakang disampaikan oleh Sekjen PKB Lukman Edy. Menurut Lukman sesuai arahan dari Ketua Umum Dewan Syuro Gus Dur, PKB menolak partai lokal karena bisa menjadi pintu menuju kemerdekaan Aceh.489 Beberapa pemerhati politik menyambut baik adanya parpol lokal dan calon independen di Aceh. Menurut Anies Rasyid Baswedan alasan pendirian parpol lokal karena parpol nasional speti sekarang dinlai tidak mewakili aspirasi loka. Sekalipun parpol lokal juga tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan aspirasi rakyat. Untuk itu harus diberi kesempatan calon yang muncul diluar parpol (calon independen). Tidak jauh berbeda, Syarif Hidayat dari LIPI juga menyampaikan pendapat yang serupa untuk diberikan kesempatan kepada calon independen maju dalam kompetisi pilkada sepanjang yang bersangkutan memenuhi kualifikasi dan kompetensi yagn dibutuhkan. Sementara parpol lokal digagas sebagai upaya mengurangi sentralisasi parpol. Semangat membuka kesempatan bagi calon independen mestinya bisa diikuti di daerah lain, kalau perlu sampai tingkat pemilihan presiden.490
A.4.5. Istilah Pemerintahan Aceh Nama UU Pemerintahan Aceh pada proses pembahasan yang mengalami pertentangan dari sebagian fraksi di DPR. Namun, ternyata hal ini bisa dicairkan, terbukti dengan tetap digunakan nama tersebut sampai dengan UU ini disahkan oleh DPR 11 Juli 2006 lalu. Sebelumnya, Sutradara Ginting dari FPDIP mengatakan bahwa judul RUU PA diubah menjadi UU Pemerintahan Daerah Aceh. Menurutnya, berdasarkan pasal 18 UUD 1945 hanya mengenal pemerintah provinsi dan daerah.491 Pada siaran pers Panja, 29 Mei 2006, disebut pembahasan tentang Kompas, 28 Januari 2006 Prioritaskan RUU DPRD, Kompas, 15 Februari 2006. 490 Calon Independen NAD, Kompas, 16 Januari 2006. 491 PDI Perjuangan Desak Pembentukan KKR Nasional untuk Aceh, Republika, 20 Juni 2006. 488 489
140
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Judul RUU ini masih di pending. Sementara itu tentang pencatuman MoU Helsinki pada konsideran menimbang dalam UU ini disetujui. Dalam draf RUU dari DPRA pasal 1 butir 2 dan 3 tentang Aceh dan pemerintahan Aceh terdapat kata pemerintahan sendiri. Kata pemerintahan sendiri ini hilang dalam draft versi pemerintah. Pemerintah hanya menyatakan Aceh bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD NRI tahun 1945 (Pasal 1 butir 2). Sedangkan dalam pengertian Pemerintahan Aceh versi pemerintah menyebutkan secara normatif ‘penyelenggaraan urusan pemerintahan yagn diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA di daerah provinsi...’ Dengan redaksi seperti ini, pertama, istilah otonomi (khusus) yang biasanya digunakan oleh negara sama sekali tiada. Tetapi sepertinya pemerintah sangat mengkuatirkan penggunaan kata ‘pemerintahan sendiri’ yang dapat dimaknai sebagai negara dalam negara (federal). Hilangnya kata pemerintahan sendiri dalam versi pemerintah itu mendapat protes dari Faisal Putra wakil GAM. Faisal meminta kepada pemerintah agar memiliki kemauan politik untuk tidak mendistorsi upaya perdamaian Aceh. Menurut Ikrar Nusa Bakti, tuntutan pemerintahan sendiri harus dipahami melalui psikologi rakyat Aceh, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit di MoU Helsinki.492 Beberapa pasal yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah Aceh dalam RUU versi DPRA dikaburkan bahkan dipangkas dalam draft versi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 3 versi DPRA komparasi pasal 4 versi pemerintah tentang pembentukan kawasan strategis. Dalam versi pemerintah hanya dibatasi untuk perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Dalam pasal 7 ayat (3) tentang kewenangan Aceh dan Kewenangan Kabupaten/Kota, pemerintah tidak hanya memiliki kewenangan meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan tertentu dalam bidang agama. Pemerintah juga memiliki kewenangan lain yang sangat fleksibel yang oleh aturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah. Ketentuan ini sangat bertentangan dengan ketentuan dalam MoU Point 1.1.2. huruf a dan juga tidak sesuai dengan batasan serupa yang telah diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 10 ayat (3). Dalam UU Pemerintahan Aceh, Qanun hanya ditempatkan sebagai peraturan daerah tidak menjadi aturan pelaksana langsung dari UU ini sebagaimana sebelumnya diminta oleh DPRA. Sebelumnya, draf versi DPRA sendiri sebenarnya telah mengusulkan agar Qanun menjadi peraturan pelaksanaan dari RUU PA ini (pasal 1 butir 17). Sebenarnya relevan menjadikan Qanun sebagai peraturan pelaksaan dari UU PA ini nantinya. Karena ini adalah salah satu dari konsekuensi kewenangan khusus yang diberikan kepada pemerintahan Aceh, sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Hal ini juga bukan preseden baru, karena bila melihat pada UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua pada pasal 1 butir i dan j tentang Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah peraturan daerah dalam rangka pelaksanaan dari UU tersebut. 492
“Pertahanan Luar” Perlu diluruskan, Kompas,10 Februari 2006.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
141
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Maka menjadi aneh bila pemerintah tidak memberikan kewenangan tersebut pada pemerintahan Aceh. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya mau melepaskan Aceh dari kontrol Pusat. Kekuatiran yang berlebihan dari pemerintah pusat mengakibatkan lahirnya pasal-pasal karet yang pada akhirnya dapat digunakannya untuk membatasi kewenangan pemerintahan Aceh. Rancangan versi DPRA yang dipangkas oleh pemerintah dengan permainan kalimat yang selalu diulang dengan peraturan perundangan yang berlaku membuat kesal Mawardi Ismail Dekan Fak. Hukum Univ. Syah Kuala, karena dianggap tidak memiliki kekhususan.493
A.4. 6. Batas Wilayah Hingga UU PA disahkan tidak ada perbedaan tentang batas wilayah sebagaimana yang terdapat dalam draft RUU PA versi pemerintah. Sementara dalam MoU point 1.1.4 dinyatakan ‘Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Ketentuan dalam MoU ini telah di di adopsi dalam RUU versi DPRA yang dapat dilihat di Pasal 1 point 2, pasal 2 ayat (1) dan pasal 4. Dalam RUU versi pemerintah tentang perbatasan Aceh yang mengacu pada 1 Juli 1956 ini sendiri tidak ada disebutkan sama sekali. Versi Pemerintah pada pasal 3 hanya menyebutkan batas-batas itu dengan selat malaka di sebelah utara; sebelah selatan dengan provinsi Sumut; disebelah timur dengan selat Malaka; dan di sebelah barat dengan Samudera Indonesia. Dalam penyebutan batas-batas dengan wilayah apa saja itu, tidak ada perbedaan antara versi pemerintah dan versi DPRA. Sebenar bila merujuk pada batas-batas Aceh persinggungan dengan wilayah tersebut sejauh ini tidak ada masalah. Karena keterangan tentang batas-batas itu juga memang telah termuat dalam Penjelasan UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Namun apabila benar merujuk pada 1 Juli 1956 tentu ini akan menimbulkan masalah baru. Setidaknya hal ini diungkap oleh Armen Desky Bupati Aceh Tengggara yang mengatakan bila merujuk pada 1 Juli 1956 maka perbatasan yang dimaksud meliputi wilayah Kabupaten Karo, Langkat, dan Dairi di Sumatera Utara.494 Jadi sejauh pemerintah dan GAM sepakat bahwa penyebutan 1 Juli 1956 itu hanya bermakna historis tidak faktual maka hal itu tidaklah menjadi masalah.
A.4.7. Pengangkatan Kapolda dan Kepala Kejaksaan Aceh Dalam UU PA diatur dalam hal pengangkatan Kapolda dan Kajati harus mendapat persetujuan Gubenur. Namun, persetujuan Gubernur ini dibatasi dengan menyatakan apabila gubenur tidak setuju dengan calon yang pertama, maka calon kedua yang diajukan oleh Kapolri atau Jaksa Agung adalah usulan yang terakhir. Sebelumnya, RUU PA dari Aceh mengenai pengangkatan Kapolda dilakukan oleh Kapolri dengan terlebih dahulu mengajukan tiga orang calon untuk memperoleh persetujuan Gubenur Aceh setelah mendapat pertimbangan DPRD Aceh. Prosedur yang sama berlaku untuk pengangkatan Kepala Kejaksaan Aceh. 493 494
Koran Tempo, 10 Februari 2006. Perbatasan Aceh Bisa Rumit, Kompas, 23 September 2005.
142
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
A.4.8. Tenaga Kerja Dalam UU PA ketentuan tentang tenaga kerja berlaku ketentuan yang umum, tidak lagi diskriminatif sebagaimana draft sebelumnya. Dalam draft sebelumnya disebutkan tenaga kerja luar Aceh yang berasal dari provinsi-provinsi di Indonesia harus terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Aceh untuk dapat bekerja di wilayah Aceh. Tenaga kerja asing yang akan bekerja di Aceh harus mendapat izin dari pemerintahan Aceh dan hanya diperbolehkan untuk posisi pekerjaan tertentu sesuai kebutuhan.
A.4.9. Isu Perempuan Dalam UU PA yang telah disahkan, isue tentang perempuan terdapat dalam soal partai politik terkait dengan pembentukan maupun kepengurusannya. Kemudian ada juga dalam soal keterwakilan perempuan dalam Majelis Pertimbangan Ulama. Soal lain isue perempuan masuk dalam soal perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan HAM serta tugas pemberdayaan perempuan oleh Gub/ wk. Gub dan Walikota/Bupati serta wakilnya. Tapi ketentuan ini belum memuaskan buat aktivis perempuan. Terutama menyangkut ketentuan soal parpol lokal karena hanya disebutkan ‘dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%’. Kelompok aktifis perempuan menginginkan ketentuan yang lebih tegas bukan dengan kata ‘memperhatikan’ tetapi dengan kata ‘harus’.
A.4.10. Pasal-Pasal Lainnya -
-
-
Kewenangan Mahkamah Syar’iah sebagai pelaksana peradilan syariat Islam di Aceh diberlakukan bagi pemeluk agama Islam dan non Islam yang melakukan tindak pidana atau sengketa perdata bersama-sama dengan pemeluk agama Islam. Kewenangan Syar’iah meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Pemerintah Aceh dan Komisi Komunikasi dan Informasi (KKI) melarang dan membatasi media massa, lembaga komunikasi dan informasi lainnya yang menyiarkan, menyebarkan dan menyajikan informasi yang bertentangan dengan syariat Islam. Pelaksanaan dan pengelolaan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak di Aceh dikuasakan kepada pemerintah daerah. Pemerintah Aceh berwenang mengatur penyediaan, pengaturan, dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam serta sumber daya alam lainnya di wilayah Aceh.
A.5. Pengesahan UU Pemerintahan Aceh Setelah melalui perdebatan panjang, pada 11 Juli 2006, Sidang Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU PA menjadi UU. Sidang digedung DPR ini diikuti oleh tidak lebih dari 80 anggota, sebuah jumlah yang sesungguhnya jauh dari batas kuorum.495 Pengesahan UU ini mendapat respon penolakan di Jakarta maupun di Aceh. Sejumlah aktifis HAM yang mengikuti proses pengesahan di gedung DPR sempat menggelar orasi berkaitan dengan 495
www.detik.com, 11 Juli 2006.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
143
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
pengatuan peran perempuan yang kurang terjamin dalam UU itu dan tentang pasal pengadilan HAM yang tidak mengatur proses hukum terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum 11 Juli 2006 hingga tahun 2000. Di Aceh pada sebagian wilayahnya pada 11 Juli itu berlangsung mogok massal. Seruan mogok massal ini disampaikan melalui selebaran oleh aktifis SIRA, Keluarga Mahasiswa Aceh, Aliansi Pemuda Aceh, CeSAR, ARC, Linkpeace, Forum Kuta Radja, dan Gerak. Mereka menilai RUU PA telah memangkas kewenangan Aceh, terutama terkait dengan pembagian hasil sumber daya alam dan migas. Mereka menyerukan masyarakat agar melakukan mogok massal selama setengah hari dari pukul 6.00 hingga 12.00. Seruan mogok massal ini ikuti oleh tidak berjalan aktifitas kendaraan umum, tutupnya toko-toko, rumah makan, dan sepinya aktifitas dikantor swasta dan pemerintahan di Banda Aceh, Kabupaten Aceh utara, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Langsa serta Pidie. Ajakan mogok ini tidak mendapat tanggapan di Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada peringatan setahun perjanjian damai ribuan masssa berkumpul di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Mereka menyatakan penolakan terhadap sejumlah pasal dalam UU PA. Massa berdatangan dari 16 kabupaten/kota di Aceh. Puncak dari aksi damai itu adalah pembacaan petisi rakyat Aceh. Isinya, antara lain, menolak UUPA yang telah disahkan DPR dan meminta pemerintah mengesahkan UUPA versi rakyat Aceh. Jika UU PA versi rakyat Aceh tidak disahkan, jangan salahkan jika rakyat kembali menuntut merdeka, kata wakil ketua Panitia Aksi Damai Dawam Gayao dihadapan massa. Mereka menyatakan kekecawaannya karena pemerintah dan DPR memotong dan mengurangi kewenangan pemerintahan Aceh dalam UUPA. Mereka juga menuntut dibebaskannya tapol/napol yang masih ditahan. Menurut Jubir GAM Bachtiar Abdullah, GAM tidak memberi batas waktu kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan pasal yang masih dipersoalkan. Hanya saja mereka berharap meresponnya secara cepat.496
A.6. Kilas Balik Implementasi MoU Helsinki Sebagaimana yang tertuang dalam nota kesepahaman RI-GAM bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik yang memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca tsunami tanggal 26 Desember 2004. Dari sisi ini, tsunami dipandang menjadi salah satu pemicu perjanjian Helsinki digelar.497 Secara umum perjanjian Helsinki telah menciptakan kondisi baru yang damai di Aceh. Ini bisa dilihat dari menurunnya angka tingkat kekerasan jika dibandingkan dengan pada masa sebelumnya baik pada fase Darurat Militer tahap 1 dan 2 (Mei 2003- Mei 2004), maupun fase Darurat Sipil tahap 1 dan 2 (Mei 2004- Mei 2005). Dari sekian banyak agenda yang diatur dalam MoU Helsinki, laporan ini hanya membahas beberapa di antaranya; decommissioning dan demobilisasi, penegakan hukum, dan HAM.
496 497
Tuntutan yang Berpotensi Picu Konflik., Indopost, 16 Agustus 2006. Lihat Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006.
144
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
A.6.1. Decommissioning dan Demobilisasi Setelah nota kesepahaman antara RI-GAM ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, para pihak yang bertikai melaksanakan tugas pertama yaitu decommissioning dan demobilisasi. Proses ini difasilitasi oleh Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terdiri dari 5 negara ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Philipina, dan Thailand) dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Pada fase ini, GAM telah menyerahkan senjata sebanyak 1.018 pucuk, 178 diantaranya didisqualifikasi dan 840 pucuk diterima oleh AMM. Sedangkan Pemerintah RI melakukan agenda demobilisasi dengan menarik pasukan non-organik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pasukan Kepolisian (Polri) dari Aceh. Jumlah pasukan yang ditarik dari Aceh adalah 25.890 personil TNI dan 5.791 personil Polri.498 Kedua agenda tersebut dilaksanakan sejak tanggal 15 September 2005 dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.499 Jumlah ini menurut AMM telah sesuai dengan kesepakatan Helsinki dimana pasukan yang tersisa di Aceh hanya pasukan organik dengan TNI berjumlah 14.700 personil dan Polri 9.100 personil. Hal ini sesuai dengan yang dimandatkan dalam MoU Helsinki poin 4.7. bahwa jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.500 Nampak secara normatif agenda ini yang diatur dalam MoU bisa dikatakan berhasil. Namun agenda pemulihan keamanan di Aceh tidak hanya ditentukan oleh hal di atas. Ada agenda penting yang luput dari ketentuan normatif tersebut. Dalam perang Aceh antara GAM dengan pemerintah RI, tidak bisa dinafikan adanya kelompok sipil bersenjata yang pro-RI (militia) bermunculan untuk membantu serdadu Indonesia dalam melawan GAM. Berdasarkan investigasi KontraS Aceh, kelompok milisi ini terdiri dari 21 organisasi (lihat Tabel IV.1), dan sebagian kelompok ini dipersenjatai.
Tabel III.1 Kelompok Milisi di Aceh No
Organisasi
1
Gerakan Pemuda Merah Putih (GPMP)
Daerah Banda Aceh Aceh Besar Aceh Timur
Ketua - Abdullah Puteh (Gubernur NAD) - Helfizar Ibrahim - Rusli Muhammad - Muhibbudin Ibr - Azman Usmanuddin - Khairuddin M. Dan
Perkiraan Jml Anggota
Waktu berdiri
10.000
19 Ags 2003
5.000
Tim Sosialisasi Aceh Damai. Baca Poin 4, tentang pengaturan Keamanan, Naskah Nota Kesepahaman RI-GAM. 500 Point 4.7. nota kesepahaman RI-GAM 498 499
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
145
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
2
Fron Perlawanan Separatis GAM (FPSG)
Aceh Besar Bireun
Aceh Tengah Aceh Tenggara Gayo Lues Langkat (didaerah SUMUT
- Suhaimi alias Tomy (PNS) - Bahrun Jamil - Sofyan Ali alias Yan PT (mantan anggota DPRD) - Fakri - Syukur Khobat (anggota DPRD, dan AMPI) - M. Salim Fahri (anggota DPRD Aceh Tengah) - Abu Bakar Karim (Ketua Bappeda) - Syaiful Bahri
3
Front Perlawanan Rakyat Aceh Republik Indonesia (FPARI)/ Gerakan Penyelamat Aceh Republik Indonesia (GPA-RI)
Banda Aceh
- Agus Salim - T. Zulkifli - Muzakkir
4
Front Penyelamat Aceh Republik Indonesia (FPARI)
Banda Aceh
-
Aceh Timur
Rubian Harja Muri Syarifuddin Latif Irawan Ilyas
15.000
24 Des 2003
10.000
1 Okt 2003
5.000
27 Feb 2004
10.000
12 Des 2003
1.500
10 Des 2003
1.500
18 Jan 2004
10.000
4 Jan 2004
5.000 10.000
5
Laskar Pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia (LAPANKRI)
Banda Aceh
- Helmi Mahera Al Muhajid (anggota DPR-RI) - Mukhtaruddin
10.000
6
Gerakan Rakyat Anti Separatis Aceh (GEURASA)
Pidie
- Zulkifli Gade (DPRD Pidie) - Zuhri MS - AbdullahYahya (Bupati Pidie)
15.000
7
Benteng Rakyat Anti Separatis (BERANTAS)
Lhokseumawe dan Bireun
- M. Satria Insan Kamil 10.000 - TM Zuhri - Mustafa Glanggang (mantan Bupati Bireun)
12 Nov 2003 -23 Des 2005 (saat kongres) berubah menjadi Benteng Rakyat Atjeh (Beurata)
8
Front Perlawanan dan Pembela Rakyat Teuku Umar (Front TUM)
Aceh Barat
- T. Hasyim Ubit (PNS) - Iskandar
26 Des 2003
146
15.000
18 Des 2003
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
9
Persatuan Perlawanan Rakyat Merah Putih (PPRMP)
Bener Meriah
- Misriadi
2.000
4 Mar 2004
10 Gerakan Perlawanan Separatis GAM-Teuku Peukan (GPSG TP)
Aceh Barat Daya
- Nasruddin (Bupati Aceh Barat)
2500
6 Jan 2004
11 Ormas Pembela NKRI (Ormas NKRI)
Sabang
Adnan Hasyim (PNS)
500
7 Feb 2004
12 Front Penyelamat Merah Putih (FPMP)
Aceh Timur, Aceh Tamiang
- Marzuki AR (PNS) - Fakri
10.000
Jan 2004
13 Laskar Merah Putih Anti Gerakan Aceh Merdeka
Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang
- Said Samsul (Pengusaha)
10.000
Mar 2004
14 Front Anti Gerakan Separatis Aceh Merdeka (FAGSAM)
Aceh Jaya
- Hasbi Yunus (Anggota DPRD Aceh Jaya) - Zulfian Ahmad (Bupati Aceh Jaya)
10.000
17 Des 2003
15 Front Perlawanan Garuda Merah Putih (FPGMP)
Nagan Raya
Tjut Ali (Pengusaha)
10.000
24 Des 2003
16 Gerakan Perlawanan Separatis GAM Teuku Cut Ali (GPSG TCA)
Aceh Selatan
Hafidh (PNS)
15.000
15 Des 2003
17 Gerakan Perlawanan Separatis GAM (GPSG)
Aceh Singkil
Ali Hazmi Tomy
3.500
21 Jan 2004
18 Pujakesuma
Aceh Tengah
- H. Marsito Mertorejo, (pegawai KONI Cab. A.Tengah)
?
?
19 Komando Jihad
Aceh Tengah
- Masriadi - Suyatiman (PNS)
?
?
20 Brigader Lauser Antara/’Milisi Gayo 15"
- Tagore - Ikmal Hakim - Abdullah - Abdul Razak
15 orang
?
?
21 Sapu Jagad
Aceh Tengah
H. Marsito Mertorejo (juga pimpinan Pujakesuma)
?
?
Sumber: Investigasi KontraS Aceh Dalam fase decomissioning dan demobilisasi, senjata yang dimiliki oleh kelompok milisi tidak pernah diserahkan. Bahkan pihak TNI/Polri yang disorot oleh berbagai pihak telah membentuk organisasi ini tidak mengakui bahwa mereka telah membentuk organisasi milisi. Sedangkan tentang keberadaan
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
147
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
senjata milisi ini dibantah oleh Mayjen Bambang Dharmono. Dia mengatakan bahwa senjata milisi telah dilucuti sebelum perjanjian damai RI-GAM .501 Sejak tahun 2001, ketika saya datang ke Aceh, kelompok itu sudah ada. Tapi saya concern bahwa rakyat sipil tidak boleh pegang senjata. Apapun bentuk senjata itu apakah senjata organik atau senjata rakitan, makanya itu kita bakar”.502 Terlepas dari berbagai praduga banyak kalangan, bahwa senjata milisi masih beredar di Aceh, juga praduga tentang masih adanya senjata GAM yang tidak diserahkan. Fakta di lapangan menunjukkan pasca pemusnahan senjata GAM, Aceh kembali dimarakkan dengan penggunaan senjata api ilegal. Berbagai aksi kriminal seperti perampokan dengan menggunakan senjata api terjadi di beberapa wilayah Aceh. Dalam perjanjian Helsinki, dijelaskan bahwa pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata ilegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak ilegal manapun.503 Pangdam Iskandar Muda, Supiadin AS mengakui tentang adanya senjata api ilegal yang beredar di tengah masyarakat, tepatnya di tangan kelompok yang diklaim sebagai kriminal. Kondisi itu paling tidak bisa menjadi salah faktor yang bisa membuat terganggunya kedamaian yang sedang berlangsung di Aceh.504 Salah satu bukti masih ditemukannya senjata ilegal yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu bisa dilihat dari aksi para Anggota KPA (Komite Peralihan Aceh) di Aceh Utara. Mereka berhasil menangkap dua orang pemuda yang memiliki senjata api rakitan laras pendek jenis FN dan satu butir peluru yang seterusnya diserahkan ke pihak Kepolisian. Menurut hasil pemeriksaan sementara pihak Kepolisian, kedua orang tersebut mengaku sebagai pemilik senjata api. Namun mereka mengaku tidak pernah mengunakan senjata untuk merampok, baik selama di Medan maupun di Aceh. Di tahun 2006, terjadi 2 peristiwa kekerasan oleh milisi, yaitu perusakan kantor konsulat/perwakilan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Wilayah Blang Pidie, dan penganiayaan terhadap anggota SIRA yang terjadi pada tanggal 17 Februari 2006. Tindakan kekerasan yang dilakukan lebih dari 100 orang tak dikenal itu bertujuan untuk meminta SIRA dibubarkan. Melihat kedua kejadian kekerasan oleh milisi di atas, maka Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk membubarkan kelompok-kelompok sipil terorganisir tersebut. Tidak adanya keseriusan Pemerintah untuk menanggulangi keberadaan milisi di Aceh, berpotensi merusak proses perdamaian yang sedang berlangsung505. Melihat 2 kejadian kekerasan oleh milisi di atas, maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas untuk membubarkan kelompok-kelompok sipil terorganisir tersebut.
A.6.2. Penegakan Hukum Dan Keamanan Ada jargon yang sering disebut oleh rakyat Aceh untuk saat ini yaitu: “Acehnyo Ka damee, tapi tan aman (Aceh ini sudah damai, tetapi belum aman)”. KontraS Aceh dalam pemantauannya baik melalui media (cetak dan elektronik) maupun pantauan di lapangan, menilai bahwa Aceh masih dalam fase Acehkita, Juli 2006. Acehkita, Juli 2006. 503 Nota kesepahaman RI-GAM poin 4.9. 504 Serambi Indonesia 5 Agustus 2006. 505 Siaran Pers Kontras, tentang Penyerangan Kelompok Sipil Terorganisir Terhadap SIRA, 17 Februari 2006. 501 502
148
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
transisi menuju damai. Pasca MoU, masih sering didapati kasus-kasus tindak kekerasan dan kejahatan lainnya. Ada pihak-pihak yang merasa terganggu kepentingannya dengan proses perdamaian yang sukses ini. Berbagai provokasi dilakukan para provokator. Contohnya, warga Biruen, Kabupaten Aceh Jeumpa, sempat dikejutkan dengan beredarnya selebaran gelap yang berisikan hasutan terhadap petinggi GAM. Selebaran tersebut diedarkan melalui jasa pengiriman kantor Pos ke alamat kepala desa (Keuchik). Hafni, Keuchik Desa Leubu Kuta Barat menerangkan bahwa keuchik-keuchik lainnya setelah menerima edaran tersebut langsung membakarnya, takut terjadi apa-apa karena tidak jelas sumbernya.506 Adanya temuan selebaran yang menyudutkan GAM ini juga diakui Saiful, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Kuta Pahlawan.507 April 2006, kembali ditemukan beberapa selebaran yang berisi maklumat rekayasa. Berdasarkan surat pengaduan resmi GAM ke AMM menyatakan bahwa pelaku rekayasa tersebut dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Kecamatan (Camat).508 Selebaran pada bulan April ini yang pertama berisi pernyataan yang menghujat petinggi GAM yang baru pulang dari Swedia, isi selebaran sebagaimana disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Aceh Cinta Damai, menyatakan : Hallo MR. Sweden Malik Mahmud, saat Aceh hujan peluru drouneuh lari ke Swedia, sekarang hujan emas drouneuh datang keAceh, apa mau drouneuh? Berkuasa? Kami tidak mau pemimpin yang munafik. Selebaran palsu lainnya yang disebarkan dengan mengatasnamakan GAM, berupa maklumat bernomor 0042/KPA/-01/Banda Aceh/2006, pada 8 April 2006, ditandatangani oleh Irwandi Yusuf, senior representatif GAM. Pihak GAM sendiri, Hasnawi Bin Hasan perwakilan GAM Wilayah Pidie menyatakan: “Bila tidak ada penindakan atau proses hukum, maka GAM akan menindak sesuai dengan hukum GAM, menangkap orang sekaligus membakar mobilnya”.509 Hal yang sama juga terjadi di Sabang, selebaran palsu tersebut menyatakan bahwa GAM tetap akan memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Selain itu juga menyerukan agar menjaga anggota AMM yang berasal dari negara Swedia dan negara-negara Skandinavia, karena mereka mendukung kemerdekaan Aceh. Munawarliza, Anggota KPA, mengatakan bahwa selebaran itu disebarkan oleh provokator yang tidak menginginkan keamanan yang kondusif dan perdamaian abadi di Aceh.510 Potensi lain yang dapat mengancam proses damai di Aceh pasca MoU Helsinki bisa bersumber dari gerakan elit–elit milisi untuk melakukan pemekaran provinsi Aceh. Ini dapat memicu konflik baru dalam rakyat Aceh. Selain itu juga belum jelasnya blue print reintregrasi anggota GAM ke dalam rakyat sipil, implementasi MoU dalam UU PA Pemerintahan Aceh, belum dibubarkannya milisi, dan penyelesaian pelanggaran HAM. Begitu pula hambatan dari para politisi parlemen di Jakarta. Sementara kepolisian yang memiliki tugas menjaga keamanan mengaku tidak bisa bekerja maksimal www.acehkita.com, 29 maret 2006. Ibid. 508 Rakyat Aceh, 25 April 2006. 509 Hasil investigasi KontraS Aceh. 510 www.acehkita.com. Jumat, 16 Juni 2006 506 507
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
149
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
karena jumlah polisi masih kurang. Menurut Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Bahrumsyah Kasman jumlah polisi di Aceh sebagaimana disepakati dalam MoU sebanyak 9.100 personel tidak sebanding dengan tugas yang cukup banyak. Namun polda Aceh memiliki 3000 siswa polisi yang belum bisa diangkat dan dalam status magang. Menurut Kapolda 10 bulan setelah penandatangan kesepakatan dami di Helsinki, angka kejahatan seperti pemerkosaan, pembunuhan, penculikan dan penembakan menurun dratis. Angka penurunan itu bahkan mencapai 91 %.511
A.6.3. Proses Reintegrasi dan Penanganan Korban Konflik Adanya kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan bagi para korban konflik Aceh. Sepanjang 2006, penanganan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap Aceh lebih banyak difokuskan pada proses rekonstruksi dan rehabilitasi paska tsunami, pembahasan RUU PA dan pelaksanaan Pilkada Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang dibentuk untuk melakukan proses reintegrasi512 belum mampu menjawab persoalan korban konflik Aceh, sebagaimana yang dimandatkan dalam Nota MoU Helsinki. Hingga akhir tahun 2006, BRA hanya mampu menyelesaikan proses reintegrasi para mantan anggota TNA berupa pemberian dana dan pemberian amnesti kepada mantan anggota GAM, sedangkan untuk para korban konflik belum mendapatkan penanganan sebagaimana semestinya. Jumlah bantuan dan perhatian kepada korban konflik sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan mantan GAM.513
A.6.4. Tugas Badan Rehabilitasi Aceh/BRA BRA memiliki tugas untuk menyalurkan bantuan reintegrasi sesuai dengan amanat nota kesepahaman (perjanjian Helsinki) antara Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 dan sesuai dengan instruksi Presiden Nomor 15 tahun 2005. Untuk mememuhi tugasnya, BRA memiliki program kerja yang meliputi bidang: 514 1. Ekonomi, bertujuan untuk memberikan bantuan pemberdayaan ekonomi kepada kelompok sasaran yang telah ditetapkan; 2. Polhukam dan HAM, bertujuan untuk mendorong berbagai pihak untuk mengembalikan hakhak korban konflik sebagai warga negara Indonesia dan mengimplementasikan semua kewajiban pemerintah dan warga negara Indonesia dalam bidang politik, hukum, keamanan, dan HAM; Bidang politik, hukum, dan HAM memiliki beberapa program yang sudah dibuat disertai dengan jumlah dana yang dibutuhkan. Program kerja yang telah disusun bidang Polhukam dan HAM adalah:515 a. Rehabilitasi mantan GAM menjadi PNS dan/atau TNI/Polri; b. Bantuan Kompensasi kerugian harta masyarakat korban konflik; c. Sosialisasi Wasbang, pembauran bangsa dan ketahanan masyarakat pasca MoU; d. Memfasilitasi partai-politik lokal; e. Percepatan proses penerbitan KTP baru; Provinsi Aceh Kekurangan Polisi, Koran Tempo, 2 Juni 2006. Nota Kesepahaman MoU, Pasal 3.2.3. 513 Tabulasi data KontraS Aceh. 514 Buku Pedoman Program Pemberdayaan Masyarakat oleh BRA sebelum revisi. 515 Program kegiatan dan anggaran BRA bidang POLHUKAM dan HAM, 1 Maret 2006. 511 512
150
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
f. Memfasilitasi pengadilan HAM dan KKR; g. Pengamanan/pengawalan Pilkada oleh Polda NAD; h. Sertifikasi hak atas tanah korban konflik; i. Upacara akbar/kenduri akbar/peusijuek dalam rangka “islah”; j. Memfasilitasi untuk mendapatkan kembali hak kewarganegaraannya; Anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan program ini berjumlah Rp 321.430.500.516 3.
Sosial dan Kesejahteraan Rakyat, bertujuan untuk memberikan bantuan sosial kepada kelompok sasaran dalam bentuk diyat, bantuan pendidikan dan kesehatan, serta merehabilitasi harta perorangan atau publik yang rusak selama konflik berlangsung;
4.
Data, Monitoring dan Evaluasi, bekerja untuk mendata dan melakukan need assesment terhadap kelompok sasaran, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap semua bantuan reintegrasi yang akan dan yang telah disalurkan.
Dari program dan tugas yang telah tersusun, terlihat jelas bahwa BRA sebagai lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan nota kesepahaman RI-GAM oleh Pemerintah tidak hanya berkonsentrasi dalam pelaksanaan reintegrasi mantan kombatan semata. Tetapi BRA juga akan terlibat dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat korban konflik (kompensasi). Pada point lain disebutkan BRA juga bertugas dalam bidang hukum, HAM, politik dan keamanan serta kesejahteraan rakyat sebagai bentuk dari reintegrasi secara komprehensif. Pejabat gubernur sementara, Plt. Gubernur NAD, Mustafa Abu Bakar, pada salah satu media lokal di Aceh,517 mengatakan bahwa sejak Maret 2006 ada tiga agenda utama program reintegrasi mantan GAM dan korban konflik di Aceh. Agenda pertama adalah sosialisasi tentang MoU sesuai dengan hasil kesepakatan. Selanjutnya tugas kedua adalah mengadakan berbagai pelatihan keterampilan dan pengembangan untuk mantan GAM dan korban konflik. Mustafa Abu Bakar mengatakan. Terakhir tugas ketiga adalah pengembangan usaha.
A.6.5. Sasaran Re-integrasi: (GAM, Korban Konflik, dan Milisi).518 BRA melakukan reintegrasi dengan program-program yang telah dirumuskan di atas dengan kelompok sasarannya adalah: 1. Mantan Pasukan GAM, 2. GAM non-kombatan, 3. Mantan tahanan politik yang telah mendapat amnesti/abolisi, termasuk anggota GAM yang telah habis masa tahanan/menyerah sebelum penandatangan MoU Helsinki, dan 4. Rakyat korban konflik yang terdiri dari sebelas kategori, - orang yang meninggal dunia karena konflik - orang yang hilang karena konflik - ahli waris dari yang meninggal dunia karena konflik Program kegiatan dan anggaran BRA bidang POLHUKAM dan HAM, 1 Maret 2006. Rakyat Aceh, 13 Maret 2006. 518 Buku Pedoman Program Pemberdayaan Masyarakat oleh BRA sebelum revisi. 516 517
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
151
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
-
ahli waris dari yang hilang karena konflik pemilik rumah yang dibakar/hancur karena konflik pemilik harta lainnya (selain rumah) yang rusak/dibakar/ hancur/ hilang karena konflik keluarga yang mengungsi karena konflik orang yang cacat atau kehilangan anggota tubuh karena konflik orang yang sakit mental karena konflik orang yang sakit fisik karena konflik orang yang hilang mata pencaharian pokok karena konflik
Sementara itu, bantuan/kompensasi yang diberikan oleh BRA terdiri dari: - Bantuan pemberdayaan ekonomi. - Bantuan sosial, bantuan ini diberikan kepada kelompok sasaran dalam bentuk program Diyat, bantan rumah, bantuan mengungsi, dan ganti rugi. - Pengobatan.519 Namun dalam proses pengimplementasian program sepanjang tahun 2006, sekilas kinerja BRA terkesan terjebak pada pekerjaan pemberian kompensasi semata. Padahal berdasarkan program yang disusun, lembaga BRA memiliki beberapa tugas lainnya, seperti di bidang Polhukam dan HAM, bidang Sosial dan Kesra, dimana sasaran yang seharusnya dilakukan juga meliputi penuntasan reintegrasi sosial mantan kombatan GAM dan korban konflik. Salah satu contoh pengelolaan lain yang buruk adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi/BRR yang mengalokasikan dana sekitar 809 milyar rupiah untuk anggaran keamanan, pertahanan termasuk operasi intelejen. Kebijakan BRR ini tak sejalan dengan mekanisme anggaran pertahanan yang telah diatur UU 34/2004 tentang TNI dan UU 3/2003 tentang Pertahanan. Penganggaran bagi kepentingan operasi intelejen ini menunjukkan rendahnya sensitifitas lembaga ini di tengah proses damai.520
A.6.6. Respon Publik Terhadap BRA BRA memang dinilai lamban oleh banyak pihak dalam mengurus bantuan untuk para korban konflik. Berbagai kasus ketidakberesan penyaluran ditemukan, mulai sistem pengurusan birokrasi yang berbelit sampai pada penyelewengan dana bantuan. Di beberapa tempat di Aceh, penyaluran dana reintegrasi diidentifikasi tidak tepat sasaran. Tim Pengawas Pelaksanaan Nota Kesepahaman (TPPNK) pusat menemukan adanya indikasi jika dana reintegrasi tidak diterima penuh oleh yang berhak. Belakangan diakui oleh para pihak penyalur lapangan. Bahwa sebahagian dana juga disalurkan untuk fakir miskin.
519 520
Buku Pedoman Program Pemberdayaan Masyarakat oleh BRA sebelum revisi. Siaran Pers Aceh Working Group, 11 Agustus 2006.
152
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Di Kabupaten Pidie, kekecewaaan dialami oleh + 3.089 ahli waris penerima diyat. Pasalnya, uang bantuan diyat untuk anggaran tahun 2005 yang sudah lama dijanjikan hingga Januari 2006 tak kunjung disalurkan tanpa ada suatu kejelasan pasti kapan akan dibayar kepada mereka.521 Di Kabupaten Aceh Jeumpa, Bireun, dana diyat disinyalir dikorupsi oleh aparat desa. Jamaluddin (59), warga Desa Sagou sudah mengadukan Kepala Desa (Kades) Sagou berinisial AK yang diduga menyalahgunakan wewenang menerima dana diyat senilai Rp. 6,5 juta atas nama ahli waris korban konflik Jamaluddin. Disebutkan, bantuan Dinas Sosial (Dinsos) Bireun yang disalurkan sejak tahap pertama, kedua, ketiga dan keempat senilai Rp. 6,5 juta. Tahap I diterima oknum Kades tanggal 29 november 2002 senilai Rp. 2 juta, tahap kedua 13 januari 2003 Rp. 1 juta, tahap ketiga 26 April 2005 Rp. 2,5 juta dan tahap keempat pada 17 januari 2006 senilai Rp. 1 juta.522 Kabupaten Aceh Timur, Sebanyak 557 KK (keluarga) pengungsi korban konflik dari Dusun Jambo Balee II, SP dan Dusun Perjuangan, Kecamatan Indra Makmur, belum mendapat perhatian pemerintah daerah. Warga merasa ditelantarkan, hingga bulan pebruari 2006 tidak ada bantuan meski sebahagiannya sudah kembali ke dusun mereka masing-masing. Beberapa waktu lalu korban bertemu dengan Camat setempat dan dijanjikan akan diberikan bantuan yang disebutkan belum pernah diterima oleh masyarakat.523 Di Bener Meriah, warga malah menolak rumah bantuan BRA. Alasan penolakan rumah itu karena tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Mereka kuatir, kontruksi rumah yang terkesan dibangun asal jadi tersebut akan roboh dan mengancam keselamatan jiwa para penghuninya, Di Idi, Kecamatan Aceh Rayeuk, Aceh Timur, puluhan rumah toko (Ruko) yang terbakar akibat konflik, sampai tahun 2006 belum tersentuh bantuan. Jalaludin, salah seorang warga yang mengalami kerugian mengatakan belum ada bantuan apapun kepada pedagang korban konflik di Kota Idi. Banyak diantara pemilik toko itu saat ini terlilit hutang karena terpaksa meminjam ketika meniti kembali usaha dagangannya. Jalaluddin yang mewakili korban lainnya berharap agar pemerintah daerah memperhatikan nasib pedagang dengan cara memberi modal usaha.524 Hampir meratanya kekecewaan rakyat Aceh di setiap daerah terhadap pengelolaan dana bantuan tersebut melahirkan reaksi ketidakpuasan terhadap BRA yang diekspresikan dengan cara yang berbedabeda. Ratusan warga dari Desa Manee, Kecamatan Geumpang, Kabupaten Aceh Pidie mendatangi kantor pusat AMM di Darussalam Banda Aceh. Kehadiran mereka untuk meminta bantuan AMM agar memfasilitasi penyampaian aspirasi warga Manee sebagai korban konflik yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.525 Mereka bahkan menduduki komplek Pendopo Gubernur Aceh selama enam hari sampai akhirnya mereka dievakuasi paksa oleh pihak Kepolisian. Saat proses evakuasi berlangsung sejumlah warga sempat roboh karena lapar dan dahaga, anak-anak terlihat dalam kondisi lemas. Selain itu aparat Serambi Indonesia, 2 Januari 2006. Waspada, Rabu 19 April 2006. 523 Serambi Indonesia, 16 Januari 2006. 524 Harian Serambi Indonesia, 26 April 2006. 525 Serambi Indonesia, 8 Agustus 2006. 521 522
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
153
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
juga menangkap Agus selaku koordinator rombongan. Lelaki ini dinilai aparat tidak bertanggungjawab atas pengerahan masa ke Pendopo Gubernur.526 Pada September 2006, Forum Antar Barak dengan sekitar 1000 pengungsi melakukan demonstrasi di kantor BRR. Mereka mengkritis kerja BRR yang lamban dan sebanding dengan gaji besar yang didapat. Demonstran yang dikoordinir oleh ketua Forak, Panji Utomo mengajukan tuntutan diantaranya modal usaha dalam bentuk dana hibah, santunan biaya pendidikan, perbaikan kualitas dan kuantitas rumah bantuan, restrukrisasi BRR, mempercepat pembangunan kembalik sekolah permanen dan fasilitas ekonomi, serta potong gaji karyawan BRR separuhnya.527 Aksi ini dibubarkan secara paksa oleh polisi, sementara Panji Utomo ditetapkan sebagai tersangka. Terlepas dari berbagai persoalan tentang BRA, lembaga ini merencanakan dana reintegrasi tahap II untuk mantan GAM, dituntaskan pada akhir November 2006. Penyaluran dana pada tahun 2006 dengan sasaran: a. Mantan anggota TNA GAM, b. Tapol/napol GAM yang mendapat amnesti, c. GAM non TNA, d. GAM yang menyerah pra MoU, e. Relawan PETA, f. Korban konflik. 528 Tabel III.2 Penyaluran Dana Bantuan BRA Tahap II tahun 2006 No
Penerima
Jumlah
Bantuan
I
Untuk GAM
1
TNA GAM
2000 jiwa
25 juta/jiwa
2
Mantan tapol/napol GAM yang mendapat amnesti
1.500 jiwa
10 juta/jiwa
3
GAM Non TNA
6.500 jiwa
10 juta/jiwa
3
GAM yang menyerah pra MoU
3.200 jiwa
10 juta/jiwa
5
Relawan Peta
4.000 jiwa
10 juta/jiwa
II
Untuk Korban Konflik
1
Geuchik
332 jiwa
3 juta/jiwa
2
PNS
426 jiwa
3 juta/jiwa
3
Bantuan pengganti rumah yang rusak
1.736 unit
35 juta/jiwa
4
Bantuan diyat
Tidak jelas
3 juta
Sumber : Serambi Indonesia, 24 November 2006 Rakyat Aceh, 13 Agustus 2006. Seribuan Pengungsi Berunjuk Rasa ke BRR, Kompas, 12 September 2006. 528 Serambi Indonesia, 24 November 2006 526 527
154
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
A.6.7. Tindak Kekerasan Masih Terjadi, Tindak Kriminalitas Meningkat Sepanjang tahun 2006, angka tindak kekerasan di Aceh jauh menurun dibandingkan pada tahun 2005. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM telah berjalan dengan baik. Dimulai dengan berjalannya proses demobilisasi dan decommissioning, lalu dilanjutkan dengan penyerahan senjata dan penarikan sejumlah pasukan TNI non organik dari Aceh, serta pemberian amnesti kepada mantan anggota TNA/GAM. Namun begitu, Pemerintah dan AMM belum mampu menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2006. Meski tindak kekerasan menurun, namun tercatat TNI dan Polri masih melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat sipil (TNI 3 kali dan Polri 13 kali). Salah satu kasus kekerasan yang menonjol di tahun 2006 adalah kasus penembakan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI. Kejadian peristiwa tanggal 3 Juli 2006, pukul 19.30 wib di depan markas Kompi E Batalyon Infanteri 111, Kec. Paya Bakong, Aceh Utara. Dalam kejadian tersebut, 1 orang meninggal terkena tembakan, korban adalah seorang laki-laki bernama Muslem, 35 thn, mantan anggota GAM. Dan 2 orang lainnya mengalami luka tembak, masing-masing seorang polisi dan seorang staf AMM, serta satu orang luka-luka akibat pukulan. Kasus tersebut sampai akhir tahun 2006 belum ada proses hukumnya. Selain itu terdapat pula kasus penyanderaan oleh masyarakat terhadap anggota AMM. Penyanderaan yang di lakukan oleh warga masyarakat di Desa Alue Rhop, Cet Girek, Aceh Utara terhadap anggota AMM yang bernama Erik Nurender, berawal dari isu penculikan terhadap Bejo Sugiarto, bendahara Koperasi Unit Desa (KUD) pada tanggal 22 Februari 2006. Warga menyakini penculikan Bejo ini di lakukan oleh kelompok GAM. Kasus penculikan ini kemudian di tindak lanjuti oleh AMM district untuk melakukan investigasi pada tanggal 24 Februari 2006, namun ketika AMM kelapangan masyarakat melakukan penyanderaaan selama lima jam terhadap salah satu anggota AMM yang bernama Erik Nurunder. Anggota AMM yang di sandera kemudian di bebaskan setelah Ketua Distrik AMM untuk Lhokseumawe, Jorma Garde Meister, membuat surat pernyataan akan menuntaskan kasus penculikan bendahara KUD bernama Bejo Sugianto.529 Terdapat pula tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh mantan GAM dialami Gibran Syahbuddin, 32 tahun, warga Desa Desa Bantaian, Kecamatan Pandra, Kabupaten Bireun, yang menjadi korban penculikan. Setelah di sekap beberapa hari korban berhasil melarikan diri.530 Kekerasan yang diduga dilakukan oleh mantan GAM juga dialami oleh seorang polisi, Bripda Arifin, tindakan ini dilatarbelakangi aksi balas dendam. Arifin babak belur dikeroyok puluhan mantan GAM di Simpang Empat, Desa Krung Batee, Kec Kuala Batee, Aceh Barat Daya, Jumat malam (13/10). Selain Arifin seorang Banpol (Bantuan Polisi) Polsek Kuala Batee, Nasir, mengalami nasib yang sama. Pemukulan itu diduga merupakan aksi balas dendam karena dua rekan mereka mantan GAM terlibat baku hantam dengan anggota Polsek Susoh sekitar pukul 18.00. Sebelumnya lima polisi berpakaian preman terlibat perkelahian dengan dua mantan GAM serta dua warga sipil. Kedua mantan GAM yang terlibat perkelahian di Pualu Kayu tersebut, Khairuman, 30, dan Ibrahim, 30. Warga yang ikut bersama mantan GAM adalah Ikwan, 24, dan Mayyuri, 26. Ikwan yang 529 530
Warga Lhoksemawe Sandera Anggota AMM, www.metrotvnews.com, 24 Februari 2006. Korban Penyekapan oleh Mantan Anggota GAM Berhasil Lolos, www.metrotvnews.com, 24 Maret 2006.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
155
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
menyelamatkan diri ke Mapolsek Susoh untuk meminta perlindungan malah dipukul anggota polsek dan disita KTPnya. Berita tersebut, memicu datang puluhan mantan anggota GAM ke Mapolsek Susoh. Aksi itu berhasil diredam dua pimpinan KPA, yakni Kamaludin alias Tgk Young dan Musfiari. Perselihan itu berakhir setelah diadakan rapat mendadak pada malam itu yang diikuti oleh Kabag Ops Polres Persiapan Abdya AKP Alfian dan belasan anggota polisi dari Mapolres Persiapan Abdya, petinggi KPA Kamaluddin, serta Dandim 0110 Abdya Letkol Inf Mudya Widyanto.531 Diantara korban kekerasan itu terdapat juga 2 jurnalis Aceh. Kekerasan yang dialami wartawan Acehkita Dino F Umahuk dan Mujahid Arrazi pada tanggal 30 Maret 2006, terjadi seusai Dino menolong seorang perempuan yang terjebak di tengah jalan diantara dua arus kendaraan yang melaju kencang ketika ia hendak menyeberang. Tindakan Dino ini memicu kemarahan 2 pengendara sepeda motor yang merasa laju jalannya terganggu. Pelaku langsung melakukan kekerasan terhadap Dino secara bertubi-tubi. Upaya Mujahid untuk melerai tidak membuahkan hasil. Muhajid malah mengalami kekerasan serupa. Upaya Dino untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan kedua orang itu dengan cara memeluknya, ketika itu Dino melihat dibalik punggung mereka berupa pistol. Kekerasan ini diduga dilakukan oleh aparat polisi didaerah setempat.532 Kasus kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi. Komisi Nasional Perempuan melaporkan telah terjadi tindak pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan Aceh pasca tsunami sebanyak 191 buah.533 Yang terdiri dari tindakan diskriminasi (38), penggusuran paksa (7), kekerasan (146). Pengumpulan data dilakukan Komnas Perempuan pada 19 Okt 05-Jan 06. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Univ Syiah Kuala dan Univ Sebelas Maret Solo mencatat 19 kasus pemerkosaan terhadap anak.534 Tabel III.3 Kekerasan Di Aceh (2006) Pelaku Kasus
TNI
Polri
Milisi
Eks GAM
Masyarakat Sipil
Tidak Dikenal
Pembunuhan
1
2
0
1
0
1
Penganiayaan
2
12
0
3
0
2
Perusakan
0
0
0
1
0
0
Pemerasan/Penjarahan
0
1
0
1
0
0
Intimidasi/Teror
0
0
0
0
0
1
Penyanderaan
0
0
0
0
1
0
Penculikan
0
0
0
1
0
0
Jumlah
3
15
0
6
1
4
Sumber KontraS Aceh : Hasil Investigasi dan Monitoring Media. Puluhan Mantan GAM Keroyok Polisi, Indopost, 15 Oktober 2006. Wartawan Koran Acehkita Jadi Korban Penganiayaan, www.acehkita.net, 31 Maret 2006. 533 Serambi Indonesia, 24 April 2006 534 Pengungsian Jadi Ajang Kekerasan, Koran Tempo, 3 Mei 2006. 531 532
156
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Tabel III.4 Tindak Kriminalitas Menggunakan Senjata Api (2006) No
Jenis Senjata
Kasus
Lokasi kejadian
Keterangan
Kabupaten Aceh Temiang 1
?
perampokan
Aceh Temiang
Tidak disebutkan jenis senjata.
Tidak disebutkan jenis senjata.
Kabupaten Aceh Timur 1
?
Perampokan
Aceh Timur
2
Pistol
Perampokan
Aceh Timur
3
AK 56
4
Pistol
Perampokan
Aceh Timur
5
AK 47
Perampokan
Aceh Timur
6
?
Penculikan
Aceh Timur
Penculikan yang dilakukan didalam BUS Pelangi. Tidak diketahui perkembangan terakhir.
7
?
Perampokan
Aceh Timur
Tidak di sebutkan jenis senjata.
8
AK, 2 Pistol jenis FN
Perampokan
Aceh Timur
Aceh timur
Perampokan Dinkes.
Kabupaten Aceh Utara 1
Pistol
2
Pistol Jenis FN
Perampokan
Aceh Utara Aceh Utara
Ditangkap oleh anggota KPA.
Kabupaten Bireuen 1
?
Perampokan
Bireuen
Perampokan toko grosir di Kuta Blang.
2
Senjata laras panjang dan laras pendek
Perampokan
Bireuen
Perampokan toko mas di Jeunib. 3 pelaku perampokan dilumpuhkan.
Kabupaten Pidie 1
Pistol
Perampokan
Pidie
2
Pistol
Perampokan
Pidie
3
?
Perampokan
Pidie
4
Pistol
Perampokan
Pidie
5
Senjata laras panjang
Perampokan
Pidie
Tidak disebutkan jenis senjata. Karna gagal merampok uang SPBU, pelaku menembak mati petugas SPBU Mambi, Pidie
Kabupaten Aceh Besar/Banda Aceh 1
Pistol
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Perampokan
Aceh Besar
157
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Kabupaten Aceh Selatan 1
?
Perampokan
Aceh Selatan
Tidak disebutkan jenis senjata.
Perampokan
Gayo Lues 2 kasus
Tidak disebutkan jenis senjata.
Perampokan
Nagan Raya
Korban mengalami luka tembak.
Kabupaten Gayo Lues 1
?
Nagan Raya 1
Pistol
Sumber: KontraS Aceh, Hasil Investigasi dan Monitoring Media.
A.6.8. Perampasan terhadap Hak Berserikat, Berekspresi, dan Hak untuk Tidak Diintimidasi Penyerangan kantor SIRA oleh warga di Abdya ternyata melibatkan seorang personil polisi. Pada tingkatan pemerintahan SIRA juga dinilai masuk kategori organisasi ilegal. TNI ikut bicara, Pangdam menyatakan tugas pemerintah daerah bersama unsur terkait mengambil tindak tegas dalam rangka penertiban hukum. Ia menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan, siapapun dia tidak ada pengecualian. Menurutnya dengan telah dilakukan perjanjian antar RI dan GAM justru situasi sudah sangat kondusif dan roda pemerintah daerah kembali normal. Pemerintah Aceh tidak perlu takut terhadap ormas/OKP ilegal. (itu) harus dibubarkan serta menghentikan kegiatan mereka yang seakan membela kepentingan rakyat Aceh.535 Seluruh organisasi ilegal yang ada di Aceh segera dibubarkan, termasuk keberadaan SIRA. Mayjen Bambang Darmono, perwakilan TNI di AMM menegaskan bahwa semua organisasi yang tidak mempunyai izin atau organisasi yang bergerak tanpa izin, itu yang dimaksud dengan ilegal. Berdasarkan surat dari Menko Polkam, 18 maret 2006, intinya menegaskan agar tidak ada lagi organisasi ilegal, artinya semua organisasi harus legal adanya, dibuat lalu di daftarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.536 Agustus 2006, Di Aceh Barat, terjadi intimidasi terhadap Nurdin (20) Desa Karak Kec. Woyla Barat Kab. Aceh Barat yang dilakukan oleh Budi, Anggota Polsek Pasi Mali. Pada September 2006, terjadi intimidasi terhadap Asmawati (40) Desa Kupula, Kec. Kembang Tanjong Pidie yang dilakukan oleh Nurdin Anggota Koramil Kembang Tanjong yang terjadi pada 03 september 2006.537
A.6.9. Perampasan Hak Hidup Tercatat sejak januari-Desember 2006, perampasan hak hidup (extrajudicial execution) terjadi sebanyak 5 kasus.
Rakyat Aceh, 10 Juni 2006 Serambi indonesia, 22 Juni 2006 537 Database KontraS Aceh. 535 536
158
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Maret 2006, terjadi pembunuhan terhadap Agussalim (35), warga Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur. Kasus tersebut terjadi pada pukul 12.25 WIB dimana Agussalim yang bekerja sebagai penjual ikan dipukul oleh Bribda R hingga tewas. Menurut Kapolda pemukulan terjadi karena korban tidak mau berhenti ketika distop oleh aparat yang sedang menggelar penyisiran, bahkan korban ketika dihentikan menambah kecepatan kendaraannya dan mengarahkannya kepada petugas yang berusaha menghentikannya, petugas tersebut mengelak sambil memukul dengan senjatanya ke arah korban sehingga kendaraan tidak terkendali dan akhirnya terjatuh ke aspal. Sedangkan menurut warga korban tewas karena terkena popor senjata aparat yang marah pada Agussalim karena terlambat berdiri.538 Menanggapi kasus tersebut AMM mengecam penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh polisi yang menyebabkan tewasnya seorang warga sipil saat razia, pemerintah Indonesia diminta mengambil tindakan terhadap polisi yang terlibat dalam insiden itu.539 Kasus lain adalah Muslem, yang tewas ditembak dalam insiden Paya Bakong. Kematian Muslem meninggalkan tanda-tanya bagi semua pihak, siapa gerangan pelaku penembakan terhadap Muslem. Dengan mengatasnamakan keadilan dan kebenaran kasus Muslem diselidiki sampai pada proses otopsi (pembongkaran kembali kuburan setelah sebelum dilakukan visum terhadap jenazah Muslem). Menurut Bambang Dharmono, hasil otopsi menunjukkan bahwa Muslem bukan meninggal karena peluru. Selain itu Bambang Dharmono juga menginformasikan bahwa investigasi Paya Bakong sudah selesai. Proses selanjutnya adalah untuk mengetahui bagaimana proses kematian Muslem terjadi. Ia menegaskan akan melakukan penyelidikan lebih dalam. Sebab dari hasil otopsi itu memberikan satu kesimpulan bahwa polisi harus melakukan penyelidikan terhadap proses kematian Muslem.540 Pangdam Kodam Iskandar Muda, Mayor Jenderal Supiadin AS menyatakan bahwa proses penyelidikan masih terhambat karena pihak keluarga korban belum memberikan ijin otopsi terhadap mayat korban. Padahal menurutnya otopsi adalah kunci penyelesaian masalah.541 Sementara di Jakarta, Panglima TNI Djoko Suyanto mengatakan, insiden penembakan di Aceh yang disebut-sebut terkait dengan AMM bukan ditujukan pada lembaga yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari MoU Helsinki tersebut. Menurutnya, kejadian ini diselesaikan Tim AMM dan perwakilan GAM, terutama untuk diredam.542 Pada Rabu, 25 oktober 2006, Mukhtar Razali (23) warga Desa Punie, Kecamatan Darul ImarahAceh Besar yang bekerja sebagai Satpam Dinsos NAD, meninggal dunia di RSU Fakinah Banda Aceh. Dia meninggal dunia setelah dua hari dirawat di RSU Fakinah akibat dipukul oleh Seorang oknum polisi berinisial Brigadir F. Pemukulan itu terjadi gara-gara Mukhtar terbalik menaikkan Bendera Indonesia.543 Mei 2006 di Bireuen, juga terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal terhadap keluarga Drs Ridwan M. Taher (44) bersama keluarganya, warga Desa Pulo Naleung, Bireuen. Di tempat berbeda, juga terjadi penyiksaan terhadap Abdullah Arahman (31), Desa Seunebok Punti Kec. Plimbang Kab. Aceh Jeumpa (Bireun) yang dilakukan oleh Serda Agus, Danton TNI Yonif 301, Posko Desa Lamcok Bungong Kec. Plimbang, Bireuen.544 Serambi Indonesia, 8 Maret 2006 dan investigasi KontraS Aceh. Rakyat Aceh, 13 Maret 2006. 540 Serambi Indonesia, 17 September 2006. 541 Peluang Penguatan Otonomi Daerah, Kompas, 21 Juli 2006. 542 Penembakan di Aceh Tidak Ditujukan pada AMM, Suara Pembaruan, 5 Juli 2006. 543 Data KontraS Aceh. 544 Database KontraS Aceh. 538 539
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
159
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
A.6.10. Penyiksaan Pada 15 April 2006, Safrizal salah seorang anggota Polisi Sektor (Polsek) Indra Makmur, Aceh Timur, melakukan penembakan terhadap Subagio yang bekerja sebagai penjual karet. Awalnya, Safrizal meminta uang kepada Subagio. Penembakan itu membuat warga marah dan membakar markas Polsek Indra Makmur. Ekses pembakaran itu, polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang, pemukulan dan penganiayaan yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban.545 Menyikapi persoalan tersebut, Kapolda Aceh malah mengeluarkan perintah kepada personil polisi dalam melakukan penembakan terhadap para pelaku jika melawan.546 Penganiayaan terhadap enam pemuda di rumah seorang warga dimana tempat mereka berkumpul dan menginap. Para pemuda tersebut adalah Husaini (25), Suprizal (20), Abdurrahman (32), Mahmuddin (27), Zubir (24), dan Adi Putra (21). Semua korban warga Desa Munjee Lhee, Aceh Utara. Ceritanya, Saat itu sudah larut malam, tiba-tiba terdengar gedoran pintu. “Saat kami membuka pintu tendangan langsung diberikan oleh anggota Brimob yang memakai pakaian preman dan senjata laras panjang. Seisi rumah diobrak-abrik dan kami semua dapat tendangan dan dipukul” kata salah satu korban. Kapolres Aceh Utara juga membenarkan terjadi pemukulan, namun menurutnya tidak separah seperti yang dikabarkan. Menurut keterangan warga insiden bermula dari kedatangan personil Brimob pada Minggu malam 30 April 2006, saat bertamu kerumah Sakdah, janda di desa itu. Karena sudah larut malam dan sesuai dengan adat Aceh tidak boleh bertamu sampai larut malam. Maka dua warga yang sudah minta persetujuan dari warga lain mendatangi rumah itu, untuk menegur anggota Brimob yang bertugas pengamanan PT. Exxon Mobil.547 April 2006, di Aceh Barat, terjadi pemukulan terhadap Putra Andriansyah (19), warga Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Pemukulan itu terjadi pada 16 April 2006, di Jl. Nasional Simpang Swadaya Kelurahan Drien Rampak, Kec. Johan Pahlawan Kab. Aceh Barat. Pelakunya adalah Serda Pinem, Anggota Kapolres Aceh Barat.548 Di Aceh Barat Daya (Abdya), tepatnya di kawasan Desa Pulo Kayee, terjadi penyiksaan terhadap 4 warga yang dilakukan oleh Anggota Polres dan Polsek Susoh Abdya. Kejadian itu berlangsung pada 13 Okt 2006. Nama-nama korban yang dipukul adalah : Khairuman (30), Ibrahim (30), Ichwan (24), dan Mayuri (26).549
A.6.11. Penangkapan Sewenang-Wenang Penangkapan juga terjadi dalam beberapa kasus sepanjang tahun 2006, penangkapan ini seringkali muncul pasca insiden. Insiden pembakaran kantor Polisi Sektor Indra Makmur, Aceh Timur, Sabtu (15/4), dua warga ditetapkan sebagai tersangka. Kedua tersangka itu bernama Nurdin dan Saiful Bahri. Sementara Database KontraS Aceh. Waspada, 18 April 2006. 547 Rakyat Aceh/ Tgl 5 Mei 2006. 548 Database KontraS Aceh. 549 Database KontraS Aceh. 545 546
160
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Irfan bekas anggota TNA dituding mengotaki pembakaran550 Di Aceh Timur, terjadi penangkapan terhadap 2 pelajar oleh pasukan Polres Aceh Timur. Korban yang ditangkap adalah : M Azis bin Abdullah (15), Ilham Bin Rusli Taib (15), dan Sapriadi bin Jamaluddin (20), ketiganya warga Desa Alue Beurawe Kecamatan Langsa Kota korban ditangkap terkait dengan kasus perampokan di Depkes Langsa. 551
A.7. Maraknya Aksi Penggalian Kuburan Korban Konflik Salah satu peristiwa yang menonjol di tahun 2006 adalah maraknya penggalian kuburan korban konflik di sejumlah tempat di Aceh, yang dilakukan oleh warga dan para keluarga korban konflik. Penggalian sejumlah kuburan korban konflik di Aceh mulai terjadi paska penarikan pasukan TNI non-organik dari Aceh. Rakyat, terutama keluarga korban konflik gencar melakukan pencarian dan penggalian di beberapa bekas pos aparat TNI/Polri. Mereka menyakini bahwa sanak saudara atau keluarga mereka yang hilang atau yang pernah ditangkap pada masa penerapan darurat militer di Aceh dikuburkan tidak jauh dari pos TNI/Polri. Hal ini terbukti dengan kasus penemuan kuburan massal yang pertama oleh warga di Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh Utara. Warga menemukan tengkorak di bekas pos yang dulunya ditempati pasukan TNI dari Yonif 121 di Cot Teubee, Desa Mane Kareueng. Kebanyakan mayat yang di temukan adalah warga yang ditangkap pada masa darurat militer. Penggalian tersebut dilakukan tanpa melibatkan pihak-pihak berwenang berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Penggalian kuburan korban konflik di Aceh dilakukan oleh keluarga korban sendiri dengan bantuan rakyat setempat. Namun, dalam beberapa kasus penggalian kuburan di Aceh juga dihadiri atau disaksikan oleh KPA, Koramil, AMM, dan Polisi. Pembongkaran kuburan pasak MoU merupakan fase ketiga pembongkaran kuburan yang pernah dilakukan di Aceh, fase satu, terjadi pada tahun 1999 yang secara resmi dilakukan oleh tim pencari fakta yang diprakarsai oleh Komnas HAM Indonesia, Fase kedua, terjadi pada masa Daurat Militer yang dilakukan oleh TNI dibawah nauangan penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Pembongkaran pada fase ketiga ini, meskipun dilakukan oleh rakyat tapi ikut melibatkan unsur aparat Negara. Dalam beberapa kasus pembongkaran kuburan terjadi dibekas pos aparat TNI. Berdasarkan monitoring KontraS Aceh sepanjang tahun 2006 terjadi sebanyak 40 kasus pembongkaran kuburan, dari angka tersebut sebanyak 5 (lima) kasus berlokasi disekitar pos serdadu Indonesia. Dalam catatan KontraS Aceh pada awal tahun 2006, penemuan dan pembongkaran sejumlah kuburan korban konflik terjadi di beberapa tempat. Pembongkaran dan penemuan sejumlah kuburan massal terjadi pasca penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) non-organik dari Aceh. Rakyat terutama keluarga korban gencar melakukan pencarian dan penggalian di beberapa pos aparat TNI/Polri. Warga menyakini bahwa sanak saudaranya atau keluarga yang hilang atau ditangkap pada masa penerapan darurat militer di Aceh dikuburkan tidak jauh dari pos TNI/Polri. 550 551
Database KontraS Aceh. Dokumentasi KontraS Aceh.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
161
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Hal ini terbukti dengan kasus penemuan kuburan korban konflik yang pertama oleh warga di Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh Utara. Warga menemukan tengkorak di bekas pos yang dulunya ditempati pasukan TNI dari Yonif 121 di Cot Teubee, Desa Mane Kareueng. Mayat yang ditemukan adalah warga yang ditangkap pada masa darurat militer. Selama proses perjanjian damai sebanyak sebelas kerangka mayat ditemukan di dekat pos TNI/Polri.552 Kasus pembongkaran kuburan massal yang pertama ini, kemudian mendorong sejumlah warga atau keluarga korban yang merasa anggota keluarganya hilang pada masa darurat militer, melakukan pencarian di sejumlah tempat yang diyakini pernah ditahan oleh aparat TNI/Polri pada masa itu. Secara umum kondisi mayat yang dijumpai dalam berbagai temuan penggalian kuburan dalam keadaan terbungkus dengan karung dan plastik, selain itu ada juga kuburan yang ditemukan badan tanpa kepala, dilain tempat ditemukan juga kerangka dengan kondisi tengkorak yang pecah dan tulang dalam keadaan patah-patah. Kasus 1. Penggalian Kuburan di bekas Pos Aparat Keamanan Kec. Kuta Makmur Aceh Utara, oleh Warga desa setempat, pada tanggal 8 Januari 2006. Penggalian kuburan dihadiri oleh Koramil Kuta Makmur dan utusan GAM di AMM. Dalam penggalian tersebut ditemukan dua kerangka. 553 Kasus 2. Tanggal 25 Januari 2006, digali sebuah kuburan dengan isi satu kerangka dibekas Pos Marinir Desa Lamcok, Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Pihak yang terlibat dalam penggalian tersebut adalah Warga desa Lancok, anggota AMM, personil TNI dan Polri dari Polsek dan Koramil Syamtalira Bayu.554 Kasus 3. Di Aceh Barat Daya (Abdya) tepatnya Desa Alue Jejak Babahrot dengan letak kuburan + 15 km dari pusat Kecamatan Babah Rot pada tanggal 10 April 2006 kembali ditemukan kuburan korban dengan isi satu kerangka. Kuburan itu digali oleh PMI Abdya yang melibatkan Polsek Babahrot, Anggota Polisi persiapan Abdya, dan tenaga medis Babahrot.555
A.7.1. Menjalankan Agama, Menghilangkan Barang Bukti Sederhana saja, penggalian ini dilakukan oleh keluarga korban karena beberapa alasan. Pertama, motif utama terjadinya pengalian kuburan oleh keuarga adalah untuk mencari keluarga mereka yang hilang semasa Darurat Militer. Kedua, faktor agama (religius) juga menjadi alasan keluarga dan rakyat Aceh untuk membongkar dan memperlakukan mayat sesuai dengan hukum agama (Islam).556. Ketiga, kurangnya pengetahuan rakyat tentang mekanisme dan prosedur hukum terhadap tindak kejahatan dibalik temuan kuburan tidak wajar. Negara dalam hal ini aparat Polisi, Pemda dan Komnas HAM terkesan berdiam diri terhadap berbagai Acehkita.com, 22 Januari 2006 Rakyat aceh, 9 Januari 2006 554 Acehkita.com, 26 Januari 2006. 555 Serambi indonesia, 15 April 2006. 556 Wawancara dengan keluarga korban dan Tgk Imum Monkeulayu, 4 Sept 2006. 552 553
162
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
penggalian yang dilakukan oleh rakyat. Penggalian kuburan korban pelanggaran HAM di bekas pos TNI oleh keluarga korban diluar prosedur hukum yang melibatkan kepolisian dan Komnas HAM, merupakan tindakan yang keliru. Alasannya, tindakan itu bisa menghilangkan barang bukti dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh. KontraS Aceh juga menyesalkan sikap Komnas HAM dan kepolisian yang membiarkan proses pengalian kuburan oleh keluarga korban557.
A.7.2. Respon terhadap Pembongkaran Kuburan Menyusul banyaknya penggalian kuburan korban konflik pasca perjanjian damai Helsinki antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, KontraS Aceh pada tanggal 30 Januari 2006 melayangkan surat terbuka untuk Komnas HAM di Jakarta dengan tujuan mendesak Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti temuan kasus-kasus penggalian kuburan korban konflik di Aceh, dengan melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian agar kuburan-kuburan yang ditemukan dikemudian hari tidak digali terlebih dahulu tanpa melibatkan Komnas HAM berdasarkan UU No 39 tahun 1999 dan UU No. 26 tahun 2000. Pada tanggal 1 Februari 2006, KontraS membuat siaran Pers tentang temuan kuburan korban konflik di Aceh. KontraS Aceh juga mendesak agar segera dibentuk tim penyelidik sementara (ad hoc) dengan melibatkan unsur organisasi HAM, ahli forensik dan aparat kepolisian guna menyelidiki dan memantau temuan kuburan korban konflik. Atas desakan tersebut tanggal 9 Februari 2006 Komnas HAM mengirimkan surat kepada pihak kepolisian Aceh (Kapolda NAD) perihal penggalian kuburan yang diduga merupakan korban konflik di Aceh, dengan nomor 57/TUA/II/2006. Surat tersebut meminta Polda NAD untuk melakukan langkah-langkah verifikasi terhadap 37 buah jenazah yang ditemukan dalam penggalian, serta menyelidiki dan menyidik apakah ada unsur-unsur tindak pidana berkenaan dengan meninggalnya para korban yang dikubur tersebut. Merasa tidak cukup dengan apa yang dilakukan Komnas HAM dan kepolisian Aceh terkait dengan pembongkaran kuburan korban konflik Aceh, KontraS melakukan audiensi langsung dengan Komnas HAM kantor perwakilan Aceh, audiensi terjadi sebanyak tiga kali, dari tiga kali audiensi Komnas HAM Kantor Perwakilan Aceh memberi respon akan melayangkan surat ke Komnas HAM Pusat Jakarta perihal pengaduan yang disampaikan KontraS Aceh dalam beberapa kali audiensi. Pada tanggal 15 september 2006 KontraS melakukan audiensi Komnas HAM di Jakarta yang diterima oleh Enny Suprapto, yang menyatakan akan membawa kasus ini ke sidang paripurna pada tanggal 26-27 September 2006. Pada 29 September 2006 KontraS Aceh kembali melakukan menjumpai Komnas HAM pusat yang diterima oleh Zumrotin K Soesilo (wakil Ketua Komnas HAM). Informasi yang diperoleh ternyata pihak Komnas HAM belum mengagendakan pembahasan laporan tentang penggalian kuburan di Aceh dalam sidang paripurna yang telah berlangsung pada tanggal 26-27 September 2006 sebagaimana yang dijanjikan oleh Enny Suprapto kepada koordinator KontraS Aceh, dalam pertemuan kedua ini Zumrotin berjanji akan mempertanyakan kembali laporan tersebut 557
www.acehkita.com, 22 Januari 2006.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
163
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
kepada bapak Enny Suprapto (komisioner yang menerima kehadiran Koordinator KontraS Aceh pada pertemuan/audiensi pertama). Tabel III.5 Penggalian Kuburan Korban Konflik Aceh (2006) No. 1 Tgl Penggalian
02/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga desa Alue Bungkoh dan anggota AMM.
Tempat
Desa Alue Bungkoh, Kec. Paya Bakong.
Identitas Korban
Abdullah Usman (45), warga desa Alue Bungkoh, Kec. Paya Bakong.
Keadaan Korban
?
Keterangan
Lokasi 100 m dari bekas pos TNI ditangkap 10 Juli 2001.
No. 2 Tgl Penggalian
02/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga Desa Blang Seupeng, Kec. Paya Bakong.
Tempat
Desa Blang Seupeng, Kec. Paya Bakong.
Identitas Korban
Tidak teridentifikasi.
Keadaan Korban
Ditemukan kerangka tanpa kepala di satu kuburan dan rambut di kuburan lainnya.
Keterangan No. 3 Tgl Penggalian
04/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga desa Lueng Jalo, Kec. Matangkuli, personil Polres Persiapan Aceh Utara dan AMM.
Tempat
Desa Lueng Jalo, kec. Matangkuli.
Identitas Korban
Zulkilfi Sarong (18), warga Desa Lueng Jalo, Kec. Matangkuli.
Keadaan Korban
?
Keterangan
Ditangkap oleh Yonif-123/Rajawali 10 Juli 2002.
No. 4 Tgl Penggalian
05/01/2006
Jml Kerangka
2
Pihak yg Menggali
Warga Desa Paya Raja, Kec. Mayak Payed.
Tempat
Desa Paya Raja, Kec. Mayak Payed.
Identitas Korban
Tidak terindetifikasi.
Keadaan Korban Keterangan
?
164
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
No. 5 Tgl Penggalian
08/01/2006
Jml Kerangka
2
Pihak yg Menggali
Warga desa Bevak, kec. Kuta Makmur, Koramil Kuta Makmur dan utusan GAM di AMM.
Tempat
Desa Bevak, Kec. Kuta Makmur.
Identitas Korban
Muhamad bin Cut Meunco (50), warga desa Bevak, Kec. Kuta Makmur, dan Saiful bin Ismail (27), warga desa Panti Rayeuk I, Kec. Kuta Makmur
Keadaan Korban
?
Keterangan
Korban ditangkap tanggal 14 Juli 2003, Ditemukan di bekas pos aparat keamanan. Setelah digali dibawa ke RSU Cut Meutia Lhokseumawe
No. 6 Tgl Penggalian
17/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga Cot Tubee desa Manee Kareung, Kec. Blang Mangat, anggota AMM, perwakilan GAM, aparat Polres Lhokseumawe serta sejumlah personil TNI dan Polri dari Polsek dan Koramil Blang Mangat.
Tempat
Desa Manee Kareung, Kec. Blang Mangat.
Identitas Korban
Tidak teridentifikasi.
Keadaan Korban
?
Keterangan
Lokasi penggalian di bekas Pos TNI Yonif 121 Cot Teubee. Kerangka mayat diserahkan ke PMI cab. kota Lhokseumawe Rakyat Aceh & acehkita.com, 20 & 22 Januari 2006
No. 7 Tgl Penggalian
24/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Muspika, Pengawai Pukesmas, Personil Polisi dan Koramil.
Tempat
Kebun kopi warga desa Pasar, Kec. Timang Gajah.
Identitas Korban
Tidak terindetifikasi.
Keadaan Korban
Ditemukan terbungkus jeket tanpa kepala dan tangan terikat.
Keterangan No. 8 Tgl Penggalian
24/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Muspika, Pengawai Pukesmas, Personil Polisi dan Koramil.
Tempat
Desa Kuala Relo, Kec. Timang Gajah.
Identitas Korban
Tidak terindetifikasi.
Keadaan Korban
Ditemukan terbungkus dalam karung 2 lapis.
Keterangan
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
165
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
No. 9 Tgl Penggalian
25/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga desa Lancok, anggota AMM, personil TNI dan Polri dari Polsek dan Koramil Syamtalira Bayu.
Tempat
Desa Lancok, Kec. Syamtalira Bayu.
Identitas Korban
Murdani, warga desa Baro, Blang Rimeung
Keadaan Korban
?
Keterangan
Korban ditangkap tanggal 05 January 2004, Lokasi penggalian di bekas pos Marinir.
No. 10 Tgl Penggalian
26/01/2006
Jml Kerangka
3
Pihak yg Menggali
Warga Desa Alue Sentang, Kec. Manyak Payed.
Tempat
Desa Alue Sentang, Kec. Manyak Payed.
Identitas Korban
Semuanya tidak terindetifikasi.
Keadaan Korban
?
Keterangan No. 11 Tgl Penggalian
30/01/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
Warga Desa Bayeun, Kec Rantau Keramat, Aceh Utara, dan beberapa mantan anggota GAM, empat orang wakil dari PB HAM Aceh Timur, dan seorang perwakilan AMM dari GAM juga hadir.
Tempat
Perkebunan sawit Desa Samar Siput Bayeun, Kecamatan Rantau Keramat, Aceh Utara.
Identitas Korban
Ridwan bin M Yunus (25) Warga Desa Seunebok Pase, Kec. Sungai Raya.
Keadaan Korban
Kondisi tengkorak pecah menjadi tiga bagian dan tulang kaki patah bersama tengkorak juga ditemukan seragam loreng tampa simbul kesatuan.
Keterangan No. 12 Tgl Penggalian
29/03/2006
Jml Kerangka
6
Pihak yg Menggali
Warga Sirong Blang dan Siron Krueng dan PMI Aceh Besar dan anggota Polsek Indrapuri.
Tempat
Pegunungan di kawasan Siron, Kec. Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar.
Identitas Korban
Aiyub, Balia, dan M Nasir ketiganya warga Desa Siron Krueng, Ansari dan Anisolah, keduanya warga desa Siron Blang, Kec. Kuta Cot Glie dan Muhadi warga Desa Lamtamot, Kec. Lembah Seulawah. -
Keadaan Korban
?
Keterangan
166
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
No. 13 Tgl Penggalian
10/04/2006
Jml Kerangka
1
Pihak yg Menggali
PMI Abdiya, Polsek Babahrot, anggota polisi persiapan Abdiya dan tenaga medis Babahrot.
Tempat
Warga masyarakat yang menggali parit pembibitan kelapa sawit di Desa Alue Jerjak Babahrot, Abdiya.
Identitas Korban
Rusdi (45) warga desa Pante Rakyat Kecamatan Babahrot Kab Abdiya.
Keadaan Korban
?
Keterangan
Lokasi Dalam hutan Alue Jerjak 15 Km dari pusat Kecamatan Babahrot.
No. 14 Tgl Penggalian
29/04/2006
Jml Kerangka
3
Pihak yg Menggali
Warga Alue Tunang, dan warga Desa Telaga Muku, Kecamaan Bendahara, Aceh Tamiang.
Tempat
Warga Alue Tunang, di Desa Telaga Muku, Kecamatan Bendahara, AcehTamiang.
Identitas Korban
Abdul Manaf warga Desa Kampung Mesjid, Kec Mayak Payet, Pereulak Aceh Timur. Dua lainnya yang tidak dikenal
Keadaan Korban
?
Keterangan No. 15 Tgl Penggalian
03/05/2006
Jml Kerangka
3
Pihak yg Menggali
Tim Medis dari puskesmas Sungai Yu (Sulaiman dan Muhklis), dari KPA Tgk Rani, Sertu Iskandar Danramil Sungai Yu, dan Bribda Nursyahdi Kapolsek Sungai Yu
Tempat
Di perkebunan sawit Desa Teuku Tinggi dan Desa Sungai Yu, Kecamatan Bendahar, Aceh Tamiang
Identitas Korban
Husain bin Geuchik, warga desa Kampung Balai, Aceh Tamiang dan Dua kerangka yang tidak diketahui.
Keadaan Korban
?
Keterangan No. 16 Tgl Penggalian
17/07/2006
Jml Kerangka
2
Pihak yg Menggali
Keluarga korban dan tokoh masyarakat Bluka Teubai, AMM Polres dan KPA.
Tempat
Di dalam liang di perkebunan sawit Desa Cot Dah, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara.
Identitas Korban
M. Diah Warga Buluka Teubai, kecamatan Dewan Tara, Aceh Utara.
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
167
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Keadaan Korban Keterangan
? Di dalam liang di perkebunan sawit Desa Cot Dah, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara.
No. 17 Tgl Penggalian
19/08/2006
Jml Kerangka
2
Pihak yg Menggali
Dibongkar oleh keluarga dan disaksikan warga setempat turut disaksikan oleh GAM wilayah Pase perwakilan di AMM Aceh Utara.
Tempat
Ditemukan dalam satu liang di bawah pohon siren (waru) di pesisir pantai dusun Monjambe, Desa Monklayu,Kec. Gandapura.
Identitas Korban
Sopyan bin Ismail (23) warga Desa Lhok Bayu, Kec. Sawang, Aceh Utara dan Iskandar Muda (25) warga Desa Krumbok, Kec. Kuta Blang Bireuen.
Keadaan Korban
Korban dibawa pulang oleh keluarga dan tinggal kerangka.
Keterangan No. 18 Tgl Penggalian
07/09/2006
Jml Kerangka
2
Pihak yg Menggali
PMI Aceh Besar dan Polsek Lhoknga
Tempat
Ditemukan oleh warga Lhokga setelah itu diambil PMI Aceh Besar dibawa ke rumah sakit Bayangkara Lamtemen Banda Aceh.
Identitas Korban
Tidak teridentifikasi.
Keadaan Korban
Keduanya tinggal kerangka yang dibungkus dengan kantong plastik dan ditemukan terpisah dua kuburan yang berjarak 20 meter.
Keterangan
Korban ditemukan terbungkus didalam plastik dan ditemukan terpisah berjauhan sekitar 20 meter. Menurut PMI Aceh Besar korban adalah perempuan satu anak-anak dan yang satu lagi dewasa.
Sumber KontraS Aceh : Hasil Investigasi dan Monitoring Media.
A.8. Kontroversi Seputar Penerapan Syariat Islam Aceh Penerapan syariat Islam di Aceh, telah mengundang kontroversi dalam beberapa persoalan diantaranya menyangkut diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kalangan aktifis perempuan berpendapat bahwa penerapan syariat Islam di Aceh lebih memojokkan kaum perempuan. Kepala Dinas (Kadis) Syariat Islam NAD membantah adanya diskriminasi dalam pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh antara laki-laki dan perempuan. Prof Alyasa Abubakar, Kadis Syariat Islam NAD menyatakan bahwa ada anggapan sebahagian orang, bahwa qanun khalwat memojokkan perempuan. Apa dan siapa yang terpojok, kalau orang bersalah merasa terpojok, ia sangat setuju. Mestinya orang yang punya pemikiran seperti itu, harus melihat dan mempelajari lebih jauh soal hukum Islam. 558 Sementara banyak diantara orang kita Aceh mengaku beragama Islam membuat 558
Rakyat Aceh, 23 Mei 2006.
168
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
statement yang jelas sangat bertentangan dengan Al-Quran. Ibu Khairani yang mengatakan, dengan berlakunya syariat Islam di privinsi NAD sesuai dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, kaum perempuan dipojokkan. Dan perempuan telah dipaksa mengunakan busana muslim (jilbab), kata Drs.Syuibun Anwar, Kepala kantor Syariat Islam Aceh Tamiang.559 Di sisi lain, terkait dengan urusan hak asasi manusia, penerapan hukum Islam di Aceh dipandang oleh sebagian kalangan di Aceh tidak melanggar HAM. penerapan hukum Syariat Islam bukan untuk menghukum orang, akan tetapi pada prinsipnya justru melindungi, menjaga keamanan dan ketertiban semua orang. Salah satu sikap tersebut dinyatakan oleh Drs. Syahrial yang menyatakan bahwa berarti hukum Islam mengayomi dan melindungi, melindungi orang yang hendak mencuri sehingga tidak jadi berbuat dosa. Kemudian si empunya barang juga terlindung karena barangnya tidak jadi dicuri, pada akhirnya tidak ada yang terhukum, lantas dimana melanggar HAM.560 Pada prakteknya korban pelaksanaan hukuman yang diberikan akibat melanggar syariat juga kebanyakan dari kalangan rakyat bawah seperti yang terjadi di Aceh Tamiang. Drs. Syuhibun Anwar mengatakan selain tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, tersangka hukum cambuk juga minim pengetahuan tentang agama, sehingga sangat mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang agama. Drs Syuhibun Anwar, Kepala Kantor Syariat Islam Aceh Tamiang menyatakan bahwa banyak yang terhukum cambuk yang melanggar qanun Syariat Islam di Aceh Tamiang tergolong miskin, ekonomi menengah ke bawah, karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap.561 Ironisnya, di sisi lain, koruptor-koruptor di Aceh sama sekali belum tersentuh sedikitpun oleh hukum syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Karenanya Pemerintah NAD diharapkan serius untuk membuat qanun hukuman cambuk bagi pelaku koruptor di Aceh. Dalam pantauan KontraS Aceh Penerapan Syariat Islam sepanjang tahun 2006, sejak April-September 2006 saja pemerintah telah menggelar sebanyak 9 (sembilan) kali hukum cambuk bagi 37 orang pelaku pelanggar “syariah”, 9 orang pelaku khalwat (mesum), 10 orang pelaku khamar (pengkonsumsi minuman keras), dan 19 orang pelaku maisir (perjudian).
A.8.1. Polemik rancangan Qanun Pencurian Potong Tangan Qanun (Perda) potong tangan untuk kasus pencurian termasuk koruptor bagi umat Islam di Aceh diharapkan rampung tahun 2006. Prof Al Yasa’ Abubakar, Al Yasa’, Kepala Dinas Syariat Islam mengharapkan tahun depan (tahun 2007-red) sudah ada bahan awal dari qanun potong tangan yang bisa dipublikasikan kepada rakyat untuk mendapat masukan.562 Alyasa mengatakan, wacana hukuman potong tangan bagi pencuri masih akan dibahas MPU. Berdasarkan Al Quran, potong tangan dapat dilakukan pada seseorang yang memang berprofesi sebagai pencuri dan memiliki kesempatan luas memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara lain. Bagi mereka yang mencuri karena kelaparan, hukumannya lebih ringan.563 Rakyat Aceh, 25 Juni 2006. Rakyat Aceh, 3 Mei 2006. 561 Serambi Indonesia, 15 Agustus 2006. 562 www.sinarharapan.co.id. 563 www.kompas.com. 559 560
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
169
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Draft qanun provinsi NAD tentang pencurian yang disosialisasikan kepada rakyat melalui media massa, 564 menyebutkan tujuan pelaksanaan qanun pencurian ini untuk mencegah pencurian atau larangan pencurian oleh anggota masyarakat, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 rancangan qanun pendurian: memelihara dan melindungi harta/kekayaan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah pada pencurian. Pasal ini hanya memiliki subtansi pencegahan pencurian hanya untuk anggota masyarakat, artinya tidak disebutkan secara konkrit sebagai salah satu tujuan mencegah kejahatan pencurian struktural (korupsi). Kepala dinas Syariat Islam Alyasa dalam hal ini tidak memberikan pernyataan yang tegas sebagaimana yang dilansir oleh sebuah pemberitaan dimedia massa yang mengatakan Alyasa tidak menjawab saat ditanya apakah pencuri bisa disamakan dengan koruptor. Sebab, menurutnya, hal ini harus disepakati dengan para ulama ahli fiqih. Walaupun demikian, ada persamaan antara pencuri dan koruptor yakni kejahatan terhadap harta kekayaan milik pribadi, negara atau publik, tambah Al Yasa’.565 Qanun ini tidaklah dilihat sebagai satu-satunya cara penting untuk meng-eleminir tindak kejahatan pencurian oleh warga sipil di tengah meluasnya kemiskinan struktural akibat konflik dan Korupsi, jika tidak dibarengi dengan kuatnya upaya penentasan kemiskinan secara berkelanjutan, akan pembuatan dan pelaksanaan Qanun potong tangan hanya sebagai upaya negara untuk bersembunyi dari kejahatan pelanggaran HAM (hak-hak ekosoc berkaitan dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak). hal lain, Qanun ini hanya menyasar kejahatan yang dilakukan oleh rakyat bawah. Sementara kejahatan struktural (korupsi dan sejenisnya), tidak diatur secara tegas dalam Qanun ini. Sosialisasi draft Qanun pencurian oleh Dinas Syariah melalui media tentu tidak mampu menjawab jaminan atas partisipasi publik dalam proses pembuatan Qanun. Untuk itu, harus digagas konsultasi dan penjaringan aspirasi secara luas melalui seminar, debat dan diskusi-diskusi di setiap tingkatan, sebelum Qanun tersebut disahkan menjadi hukum positif di Aceh. Hal yang cukup disayangkan, selama ini Dinas Syariah masih mengabaikan hak atas partisipasi publik dalam pembuatan aturanaturan tentang Syariah Islam yang telah disahkan. Tabel III.6 Penangkapan yang Dilakukan Warga atas Nama Syariat (April - Desember 2006) Jenis
Aceh Aceh Selatan Barat Daya
Aceh Barat
Aceh Banda Pidie Aceh Bie Besar Aceh Utara reun
Aceh Tami ang
Gayo Total Lues
Khalwat
1
1
-
1
6
-
2
3
-
-
14
Khamar
-
-
2
-
4
-
1
-
-
-
7
Maisir
-
-
-
-
-
2
-
-
2
1
5
Total
1
1
2
1
10
2
3
3
2
1
26
Sumber: Monitoring Media KontraS Aceh 564 565
Serambi Indonesia, 13 Desember 2006. www.sinarharapan.co.id.
170
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
B. Papua Menanti Elit Berubah: Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji Memasuki tahun 2006, kondisi Papua belum banyak menggembirakan. Proses penegakan hukum dan keadilan belum mampu memutus rantai impunitas. Kekerasan lama terulang. Polemik perusahaan tambang emas Freeport telah memicu tuntutan penutupan, kekerasan yang mengorbankan warga sipil, polisi dan tentara. Meskipun banyak upaya merespon berbagai masalah yang muncul, tetap saja akar persoalan tak tersentuh. Bahkan di akhir tahun, Pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan sepihak, rencana merevisi undang-undang otonomi khusus. Jika pendekatan ini tak berubah pada tahun 2007, sulit berharap akan terjadi perbaikan kondisi kehidupan sosial, ekonomi, politik serta hak asasi manusia di Papua. Pola pikir dan pendekatan kebijakan terhadap persoalan Papua masih dalam kacamata lama, menutup mata kepada rendahnya konsistensi negara memperbaiki keadaan Papua. Misalnya saat pemerintah pusat berencana merevisi Undang-Undang No.21/2001 tentang Otonomi Khusus tanpa partisipasi rakyat Papua. Bahkan dapat dikatakan bahwa wacana revisi Undang-undang Otsus sama sekali tak menjadi aspirasi dari rakyat Papua. Menurut KontraS, ada unsur tertentu di jajaran elit kekuasaan yang ingin menggunakan agenda revisi ini guna menghilangkan sejumlah pasal penting yang telah ada, khususnya menyangkut pengelolaan sumber daya ekonomi, bidang keamanan, serta pembentukan institusi penegak HAM di Papua. Selama amanat undang-undang otonomi khusus belum dilaksanakan secara penuh maka agenda revisi hanya akan menimbulkan masalah baru di Papua. Oleh karena itu, rakyat Papua berharap bahwa para elit kekuasaan yang ada di Jakarta maupun di Papua, untuk bersama-sama memperbaiki komitmen dan kinerja seluruh jajarannya, demi keadaan Papua yang jauh lebih baik dalam hal kesejahteraan dan keadilan.
B.1. Kekerasan dan Impunitas B.1.1. Obet Kossy Tewas Dikeroyok 3 Orang Anggota Polisi Sore itu sekitar pukul 17.30 WIT, Obed Kossy seorang laki-laki berusia 32 tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai seorang petani, mabuk setelah mengkonsumsi minuman beralkohol. Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di desa Wesaput Distrik Wamena Kota yang berjarak kurang lebih 3 km dari pusat Kota, dia bertemu dengan ibu Niko Bonay yang tidak lain adalah seorang istri anggota polisi dari Nico Bonay yang bertugas di Polres Jayawijaya. Dalam pertemuan yang tidak direncanakan itu Obet kossy lalu menegur ibu Bonay, “Selamat Sore! Saya boleh ikut ke rumah kah ?” Kemudian dengan nada marah ibu Bonay menjawab, “Saya bukan gadis!”. Seketika itu terjadi perdebatan di antara mereka. Setelah itu ibu Bonay pergi berlalu, dan langsung melapor apa yang terjadi kepada suaminya Nico Bonay. Selepas kejadian itu, 3 orang anggota Polisi masing-masing Niko Bunay, Naftali Kelmbiak, Yakob Sarogi mendatangi rumah korban. Tanpa banyak berkomentar, mereka meminta korban untuk keluar rumah. Tapi korban menolak karena takut. Lalu ketiga anggota polisi tersebut masuk ke dalam
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
171
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
rumah dan terus ke dalam kamar korban. Di dalam kamar itulah ketiga anggota polisi ini menganiaya korban dangan dipukul pakai popor senjata di dagu dan korban sampai tewas seketika itu juga. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, maka pukul 19.00 WIT korban dibawa dengan mobil patroli Polres Jayawijaya ke RSUD Wamena. Tepat pukul 21.00 WIT korban diantar pulang dari rumah sakit ke rumah korban di desa Wesaput setelah sebelumnya dilakukan otopsi terhadap jenasah korban. Keesokan harinya tanggal 9 Januari 2006, setelah keluarga korban mengetahui bahwa Obet Kossy meninggal karena dianiaya oleh anggota Polisi, maka massa lalu berkumpul di rumah Kepala Suku Wenehule Huby di mana di situlah jenasah Obet Kossy disemayamkan. Pukul 12.00 WIT, diadakan dialog terbuka dengan Kapolres Jayawijaya, dari dialog itu disepakati mayat akan diusung ke Mapolres Jayawijaya, seteleh diarak terlebih dahulu keliling kota Wamena. Tanggal 10 Januari 2006, keluarga korban dan massa yang bersimpati bersepakat, bahwa mayat diusung ke Mapolres, dan mengajukan 3 tuntutannya antara lain: 1. Tiga orang pelaku harus pecat dari kepolisian, 2. Kasus ini harus dituntaskan/diproses hukum sampai tuntas, 3. Tuntutan hukum adat harus diberikan kepada pelaku. Pukul 15.30 WIT massa mengusung jenasah Obet Kossy menuju Mapolres Jayawijaya dengan berjalan kaki, ada yang menggunakan sepeda motor, mobil dan beberapa truck, melewati jalan Karu Jaya menuju Pompa Bensin, dan melalui Jalan Patimura dan masuk di jalan Trikora sampai tiba di pintu gerbang keluar Mapolres dan berhenti tepat di depan penjagaan Mapolres Jayawijaya. Massa disambut oleh AKBP Robert Djoenso yang adalah Kapolres Jayawijaya. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 10 menit itu, massa meminta 3 orang pelaku dikeluarkan dari tahanan di hadapkan ke muka massa untuk diadili. Namun hal itu tidak sampai terjadi. Mereka adalah anggota Polres Jayawijaya: Niko Bunay (30 tahun), Naftali Kelmbiak (27), dan Yakob Sarogi (28). Pada kesempatan itu, Vinsencius Kossy mewakili pihak korban menyampaikan bahwa: “Jangan lagi memakai senjata Indonesia membunuh orang Indonesia sendiri, dan pelaku harus dihukum seberat-beratnya serta mengatakan kejadian seperti ini cukup pertama dan terakhir kali terjadi di tempat ini (Wamena) jangan lagi terjadi di waktu-waktu yang akan datang.” Kapolres Jayawijaya yang menemui massa menyatakan sikap memohon maaf dan menyesali atas kejadian ini, dan berjanji akan mengambil tindakan hukum terhadap para pelaku yang melakukan pelanggaran pidana, masyarakat silakan kontrol prosesnya dan mengatakan bahwa tidak akan melindungi siapapun anggota yang melakukan pelanggaran. Tepat tanggal 11 Januari 2006 korban dimakamkan di desa Wesaput, dihadiri oleh kaum kerabat korban dan simpatisan. Juga hadir dalam acara pemakaman tersebut Kepala suku Wenehule Huby dan Kapolres Jayawijaya AKBP Robert Djonso.
172
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
B.1.2. Lagi-Lagi Ada yang Tertembak di Waghete “Polisi tidak ada yang terlibat penembakan. Sebab saat kejadian tidak ada anggota polisi yang dibekali dengan senjata. Sebelum adanya kejadian itu, senjata-senjata telah dikandangkan, dengan dirantai dan disimpan di gudang logistik,” Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Drs. Kartono Wangsadisastra. Pernyataan di atas, mengandung perbedaan dari fakta sebelumnya yang menyebutkan satu pelaku penembakan yang mengakibatkan tewasnya Moses Douw warga Waghete, Distrik Tigi, Kabupaten Paniai pada 20 Januari 2006 adalah anggota polisi. Terungkapnya pelaku polisi ini sebelumnya telah melalui proses intrograsi oleh Kapolres Paniai, AKBP Antonius Dance dihadapan warga terhadap 6 anggotanya yang bertugas saat itu. Di hadapan warga, Kapolres menanyakan siapa diantara 6 polisi itu yang telah melakukan penembakan. Kemudian terungkap bahwa Bripda Ronald Isac Tumena diduga kuat sebagai pelaku. Sementara salah seorang pelakunya lagi yaitu anggota TNI AD bernama Letnan Dua (Inf) Arif Budi Situmeang (NRP 110200352003) anggota Komandan Pleton Timsus Yonif 753/Arga Vira Tama. Arif telah melakukan penembakan terhadap Yulieke Kotoki dan Petrus Pekey yang mengakibatkan luka serius. Pengadilan militer yang berlangsung di Markas Komando Resor Militer 173/Praja Wira Braja, Biak, Papua pada 25 Februari hanya memvonis Arif Budi Situmeang 8 bulan penjara. Majelis hakim persidangan ini dipimpin oleh Mayor (Chk) Sutrisno. Sehari sebelumnya oditur militer hanya menuntut hukuman lima bulan penjara. Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIT di tanggal 19 Januari 2006, sebuah mobil Mitsubishi Strada L 200 dengan Nomor Polisi DS 8803 KA masuk ke Waghete dengan tujuan Nabire dan ada beberapa di antaranya juga ada yang akan ke desa Gakokebo. Ketika mobil tersebut melintas, ada empat warga yang sedang memperbaiki jalan yang rusak. Mereka lalu memberhentikan mobil tersebut dengan tujuan meminta sedikit uang sebagai bentuk jasa perbaikan jalan yang rusak tersebut. Namun ditanggapi dengan kasar oleh salah penumpang mobil yang juga adalah anggota Polsek Tigi Distrik Waghete bernama Ronald Tumena dan Ondo Ritonga. Akibat dari perang mulut itu menyebabkan insiden fisik pun tak dapat dihindari. Akibat insiden tersebut mengakibatkan warga sipil babak belur oleh pukulan aparat Polisi. Kemudian anggota Polisi tersebut mengajak korban untuk ke Mapolsek Tigi esok paginya untuk diselesaikan lebih lanjut. Tanggal 20 Januari 2006 Pukul 08.20 WIT, para warga yang memperbaiki jalan pada tanggal 19 Januari 2006 mendatangi kantor Polsek untuk melaporkan kejadian kemarin sambil membawa dan memperlihatkan surat perintah kepala kampung tentang perbaikan jalan tersebut. Namun surat itu langsung direbut dan dirobek oleh anggota Polisi dan sesaat sesudah itu aparat TNI dari TIMSUS 753 mendatangi kantor Polsek, lalu tanpa berkomentar langsung memukul para Melianus Douw hingga mengalami luka memar. Wargapun tidak tinggal diam, mereka melakukan aksi perlawanan dengan tujuan ingin membalas perlakuan aparat sehingga insidenpun tak dapat dihindari. Dalam insiden tersebut Moses Douw seorang laki-laki yang berumur 19 tahun yang adalah seorang pelajar, tertembak mati oleh aparat Polisi dan TNI di depan kantor Polsek Tigi. Di samping itu tembakan aparat juga melukai dua orang lainnya yaitu seorang perempuan bernama Yulinceke Kotouky yang berumur 14 tahun yang kena tembak di paha kanan oleh aparat
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
173
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
kepolisian, dan seorang laki-laki bernama Petrus Pekey (18 tahun) yang kena tembak di kaki kiri. Petrus Pekey adalah salah satu korban yang ditembak di sekitar kali Wakey yang berada di samping kantor Koramil oleh Letnan Dua Infanteri Arif Budi Situmeang yang merupakan anggota TNI AD Tim Khusus Yonif 753. Pada tanggal 21 Januari 2006, para korban luka tembak tersebut akhirnya dikirim untuk dirawat di RSUD Siriwini Nabire. Akhirnya kedua korban luka tembak tersebut sembuh, namun masih trauma dengan kejadian tersebut. Setelah dirawat sampai sembuh di RSUD Nabire.
Menindaklanjuti kasus ini, maka pada tanggal 21 Januari 2006, Danrem 173/Praja Vira Braja Biak, Kolonel Infanteri Ervi Triasunu memimpin tim untuk melakukan investigasi kasus penembakan tersebut. Investigasi dilakukan di kampung Waghete Distrik Tigi. Sama seperti temuan KontraS, dari hasil investigasi terungkap bahwa pelaku penembakan adalah Letnan Dua Infanteri Arif Budi Situmeang yang adalah komandan Pleton Tim Khusus Yonif 753 Arga Vira Tama dan Bripda Ronald Isac Tumena seorang anggota Polri yang bertugas pada Kantor Polsek Tigi. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, pelaku penambakan yang tidak lain adalah Letnan Dua Infanteri Arif Budi Situmeang Komandan Pleton Tim Khusus Yonif 753 Arga Vira Tama yang mengakibatkan tewasnya Moses Douw hanya dijatuhi hukuman 8 bulan penjara. Hal ini berdasarkan Putusan Majelis Hakim pengadilan III-19 Jayapura, yang mana lebih lama 3 bulan dari tuntutan yang semulanya yang hanya 5 bulan penjara. Sidang yang dilangsungkan di Makorem 173 PVB ini pun mengundang protes banyak kalangan, dan KontraS Papua sendiri melalui konferensi pers dan aksi damainya tanggal 25 Februari 2006 yang berlangsung di depan Kantor KontraS Papua mengatakan bahwa sidang kasus Waghette hanyalah sebuah Sinetron Politik. Tabel III.7 Korban Kasus Waghete No. Nama
Umur Sex Status
Alamat
Keterangan
1
Moses Dou
19
L
Pelajar
Waghete
Ditembak mati dengan senjata di depan polsek Tigi.
2
Petrus Pekey
18
L
Pemuda
Waghete
Ditembak luka-luka oleh TNI samping kantor Koramil Tigi.
3
Yunike Kotouky
14
P
Swasta
Waghete
Luka tembak oleh Polri.
Tabel III.8 Pelaku Kasus Waghete No.
Nama
Umur
Sex
Pangkat
Jabatan
Keterangan
01.
Ronald Tumena
30
L
Bripda
?
Pelaku penganiayaan
02.
Ondo Ritonga
27
L
Bripda
?
Pelaku penganiayaan
174
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
03.
Bertus Kiambra
28
L
?
?
Pelaku penganiayaan
04.
Arif Budi Situmeang
34
L
Letda Infanteri
Danton Timsus Yonif 753
Pelaku penambakan
B.1.3. Insiden Abepura 16 Maret 2006 Insiden Abepura 16 Maret 2006 dapat dikatakan sebagai kasus paling mencolok di tahun 2006. Insiden ini melibatkan aparat kepolisian dengan massa yang melakukan pemalangan dua ruas jalan, tepatnya di depan kampus Universitas Cenderawasih. Insiden terjadi ketika aparat berusaha membubarkan massa yang melakukan pemalangan. Namun massa akhirnya harus berbenturan dengan aparat. Sebelum insiden terjadi, Kota Jayapura dan beberapa kota lain di Papua bahkan di Jakarta sedang dilanda demam Anti Freeport. Di Jayapura, ekspresi Anti Freeport dilakukan oleh gerakan massa dengan memalang jalan Abepura-Waena/Sentani. Aksi palang jalan ini dimotori oleh Front Pepera dan Parlemen Jalanan dengan tuntutan ditutupnya PT. Freeport Indonesia. Sebab menurut mereka, kehadiran perusahaan raksasa asal AS itu kurang membantu kehidupan masyarakat di Papua. PT. Freeport dianggap sebagai salah satu sponsor terjadinya pelanggaran HAM di bumi Amungsa, dan proses investasinya yang penuh manipulasi. Insiden antara aparat dan massa terjadi di hari kedua pemalangan jalan. Sehari sebelumnya pemalangan sudah berlangsung sejak pukul 12.00, dan baru dibuka pada 18.00 meski hanya satu ruas jalan. Sementara pada hari kedua, upaya pihak kepolisian untuk membubarkan massa yang memalang jalan inilah yang berakhir rusuh. Akibat insiden ini 3 anggota polisi dan 1 anggota intelijen TNI AU tewas di tempat. Selain korban tewas, terdapat pula korban luka-luka dari kedua pihak di antaranya 10 anggota polisi dan 21 warga sipil. Sekitar 40 warga sipil ditangkap dan ditahan di Mapolresta Jayapura dengan alasan kepentingan penyelidikan. Warga yang ditahan tersebut diambil langsung dari sekitar lokasi kejadian. Tabel III.9 Korban di Pihak Aparat Negara No
Nama
Kesatuan Keterangan
1
Briptu Pol. Arizona Horota
Polri
Tewas akibat tertusuk benda tajam pada rusuk kiri dan kening kanan
2
Briptu Pol. Syamsudian
Polri
Tewas akibat kepala remuk terkena lemparan batu
3
Bharatu Daud Sulaiman
Polri
Tewas akibat kepala remuk terkena lemparan batu
4
Serda Agus Supriyadi
TNI AU
Tewas dianiaya di belakang kampus Fakultas Kedokteran Uncen.
5
Briptu Juhat Eko Pranoto
Polri
Luka di kepala (beberapa hari kemudian meninggal)
6
AKP. Kupan Purba
Polri
Luka di pelipis kiri
Aceh Merajut Damai dan Keadilan
175
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
7
Briptu M. Hadi
Polri
Luka di Kepala
8
Briptu syarir W
Polri
Luka sobek di pelipis kanan
9
Briptu Rubiono
Polri
Luka di kepala
10
Briptu Leo Takdale
Polri
Luka di kepala
11
Bripda Ali Rusdin
Polri
Tangan Patah dan luka di kaki
12
Bripda Randi R. Ramanov
Polri
Bibir pecah dan luka pada telinga kanan
13
Bripda Habel Pataba
Polri
Luka di kaki
14
Abdul Muis
Polri
?
Sumber: KontraS Papua dari RSU Abepura dan RSUD Dok II Jayapura. Tabel III.10 Korban di Pihak Warga Sipil/Mahasiswa No
Nama
Umur
Status
Keterangan
1
Martinus Hisage
30
Mahasiswa
Meninggal dunia, sesudah dirawat akibat tembakan aparat
2
Etinus Kulla
21
Mahasiswa Fisip Uncen Pelipis mata kiri sobek
3
Obatius Wanimbo
32
Mahasiswa Teknik Elektro
Uncen Lubang di dada menembus tulang belakang
4
Cunding Levi
?
Wartawan Tempo/SPP
Mata kiri memar dan hidung keluar darah.
5
Ishak Ulmami
32
Mahasiswa STT GKI
Luka tembak di paha kiri
6
Jhon Giay
?
Mahasiswa USTJ
Luka tembak di punggung
7
Hermanus Maiseni
?
Pelajar SMU Diaspora
Luka di pelipis kiri kanan, luka di dagu kiri menembus pipi kanan.
8
Glen Mahulette
5
Murid TK
Luka tembak di lutut kanan
9
Kilion Somou
21
Mahasiswa STIH Umel Luka tembak di paha kanan Mandiri
10
Djie Makanuay
30
Mahasiswa
Luka tembak di paha kanan
11
Yuvenius Tekege
21
Mahasiswa Fakultas Hukum Uncen
Luka Tembak di bahu kiri
12
Amandus
27
?
Luka robek di dahi, memar di perut dan alis kanan robek
13
Erick
20
?
Luka pada mulut dan mata kanan
14
Abraham Bemey
24
?
Luka kepala belakang dan pipih kiri sobek
15
Markus Ningdana
42
?
Luka di mulut dan dahi lecet
16
Alexandra Wajangkon 20
Mahasiswa
Luka di kepala
17
Michael L
19
Mahasiswa
Luka memar di pipi kiri
18
Emanuel Ronsumbre 21
Mahasiswa
Luka memar di pipi kiri
19
Philips S. Kamar
?
Luka di kaki kiri
176
40
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
20
Widi Kogoya
21
Mahasisiswa
Luka pipi kiri dan kanan serta tangan
21
Meky Komboy
33
?
?
22
Alex Wayangkau
21
?
?
23
Marlani Samou
?
?
Luka tembak di paha kiri
24
Menahen Gombo
24
Mahasiswa
Luka memar di punggung dan kepala
Sumber: RS Dian Harapan, RSUD Dok II dan KontraS Papua. Korban di tubuh aparat kemudian menjadi pembenaran bagi korps Brimob untuk mengadakan penyisiran. Penyisiran yang dilakukan anggota Brimob Polda Papua ke asrama-asrama mahasiswa asal Pegunungan Tengah, membuat seluruh penghuninya ketakutan dan menyingkir ke tempat yang lebih aman. Selain melakukan penyisiran ke asrama-asrama, aparat Brimob juga melakukan razia KTP di depan Markas Brimob Kotaraja terhadap angkutan-angkutan kota (angkot) yang melintas. Bila dalam angkot tersebut ditemukan penumpang dengan tampang “Orang Pegunungan” maka penumpang tersebut akan dihajar. Asosisasi Mahasiswa Pegunungan Tengah se Indonesia (AMPTI) bersama Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah di Asrama Nayak dalam jumpa persnya tanggal 24 Maret menyatakan bahwa satu anggota masyarakatnya tewas akibat penyisiran yang dilakukan anggota Brimob di Jalan Baru Kota Raja. Korban tewas, Danny Hisage (22) diduga kuat menjadi korban penyisiran tanggal 17 Maret setelah ditembak pada bagian rusuk atas. Korban sempat dirawat di RSUD Abepura sebelum akhirnya meninggal dunia. Tabel III.11 Data Korban Penyisiran No
Nama
Umur
Status
Keterangan
1
Hofni Wesareak
24
Mahasiswa
Ditangkap 17 Maret 2006, Di dalam angkot di Kotaraja. Dipukul dengan popor senjata, sepatu dan tongkat selama perjalanan. Sampai di Mapolresta Jayapura, masih dipukul sampai tak sadarkan diri
2
Isse Gwijangge
?
Mahasiswa
Sda.KTP diambil dan dibuang sambil berkata: “Orang Wamena menyusahkan kami di Jayapura, Kalau babi diajar masih bisa dengar, kamu ini apa?”
3
Senas Daby
24
Mahasiswa
Ditangkap 4 April 2006 di depan Toko Multi Grosir Tanah Hitam, Abepura. Di bawah ke Mapolsekta Abepura dan diancam akan dibunuh, 1 jam kemudian dipulangkan
4
Yenius Hisage
?
?
Ditembak di rusuk kiri
5
Denius Wetipo
?
?
Ditembak di kaki kiri
6
Martinus Wetipo
?
?
Dipukul babak belur
7
Elkana Lokobal
?
?
Dipukul babak belur dan tersangka
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
177
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
8
Musa Asso
?
?
Dipukul babak belur dan tersangka
9
Moses Lokobal
?
?
Dipukul babak belur dan tersangka
10
Rafael Natkime
19
Mahasiswa
Ditangkap dalam angkot depan Brimob (17/ 3/06) dipukul dengan popor senjata di rahang kanan, dengan martil di kepala dua kali, tinju di muka, todong pakai senjata api di arah mata korban. Sambil berkata, “Kau hafal nama dan muka saya, supaya nanti kau jadi tentara, tembak saya”.
11
Welem Solme
30
Mahasiswa
Ditarik paksa keluar dari angkot, dipukul dan diinjak sampai babak belur dengan sepatu laras, popor senjata di bagian kepala, muka, tangan dan kaki.
12
Artono Dekme
19
Mahasiswa
Ditarik paksa keluar dari angkot, dipukul di leher, di bagian rusuk kiri dan ditendang pada paha kiri.
13
Apolos Kusamah
23
Mahasiswa
Ditangkap 17/03/06 di Gubuk Kotaraja, ditendang, dipopor di rahang, dahi dan kepala sampai sobek, Korban dibawa ke dalam tahanan di markas Brimob, 15 menit ditahan lalu di bawah ke Mapolsekta Abepura dan didata, 20 menit kemudian di bawa lagi ke Polresta Jayapura, diperiksa lagi berkaitan dengan kasus insiden.
14
Moses Yelipele
15
Danny Hisage
Petani dan buruh Dianiaya oleh sejumlah anggota Brimob di bangunan Jl. Yotefa, Kamp Key-Abepura 22
?
Tertembak pada bagian rusuk atas, akhirnya meninggal di RSUD Abepura
Sumber : Data KontraS Papua. Akibat penyisiran yang dilakukan aparat Brimob tersebut, asrama-asrama yang menjadi sasaran kemarahan aparat Brimob rusak parah. Aparat Brimob tidak hanya merusak kaca-kaca jendela asrama tetapi seisi asrama. Asrama-asrama tersebut di antaranya Asrama Nayak, Asrama Ninmin, dan Asrama Komoro. Tabel III.12 Data Kerusakan Asrama Akibat Penyisiran No Nama & Alamat
Keterangan Penghuni
Kerusakan/Kerugian
1
Laki-laki : 50 Perempuan : 8 Melarikan Diri: 15 Kembali: 43 (tetapi tidak tinggal lagi di asrama) Luka : 2 Ditangkap: 2
1. Kaca jendela nako, barak putra dan putri 372 buah; 2. Kaca jendela 8 lembar; 3. Daun pintu barak putri 7 buah; 4. Daun Pintu putra 8 buah; 5. Lemari 2 buah 6. Ijasah (SD-SMU) hilang, 1 orang
178
Ninmin, Jl. Biak Kelurahan Hedam Distrik Abepura
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
DPO: 4 orang
mahasiswa 7. Biaya pengobatan 2 orang akibat dianiaya polisi/Brimob sebesar Rp. 500. 000, 00
2
Kamoro, Jl. Biak Kelurahan Hedam Distrik Abepura
Laki-laki : 40 Perempuan : Melarikan Diri: 17 Kembali: 1 Luka : 1 Ditangkap: 2
1. Komputrer dan Monitor color LG 15 inch satu set hilang; 2. Bak air bocor kena tembakan; 3. Peralatan masak, kuali, belanga, panci, piring, gelas kena tembakan dan tendangan; 4. 13 engsel pintu kamar rusak; 5. Ijasah SD, SMP, SMU + 1 buah rekening BPD hilang; 6. Has kawat jendela rusak; 7. Seng atap asrama kena tembakan; 8. Kipas angin komputer 1 buah, stavoi 1 buah, kipas angin 1 buah rusak; 9. 1 buah gitar hancur + 2 buah ember dan 1 gayung pecah
3
Elisa
Laki-laki : 48 Perempuan : Melarikan Diri: 8 Kembali: 40 Luka : 2 Ditangkap: 1
1. Terbakarnya gubuk tempat penyimpanan barang berharga; 2. Pakaian dibakar; 3. Pembakaran buku-buku dan al kitab; 4. Barang-barang seisi rumah terbakar
4
Nayak, Jl. Sorong-Kamkey Kelurahan Asano Distrik Abepura
Laki-laki : 150 Perempuan : Melarikan Diri: 50 Kembali: 100 Luka : 5 Ditangkap: 4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kaca jendela bening 500 buah Kaca jendela nako/loker 15 jendela Daun pintu 8 buah Lemari buku dan lemari pakaian 6 buah Televisi 1 unit Alat-alat dapur dirusak Meja dan kaca meja Papan nama dirusak
5
Asrama Nabire, Jl. Sosial, Padang Bulan, Kelurahan Hedam Distrik Abepura
Laki-laki : 53 Perempuan : 8 Melarikan Diri: 10 Kembali: 43 (tidak lagi tinggal di asrama) Ditangkap: 2 DPO: 4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Plafon ditembak 25 kaca jendela hancur Pintu asrama depan rusak Komputer 1 unit hilang Televisi dirusak Kaca meja pecah Kaca muka ukuran lebar hancur 2 buah lemari
Sumber : Data Tim Advokasi Papua Tanah Damai.
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
179
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Tabel III.13 Data Penghuni Asrama yang Disisir No
Nama Asrama/Kampus
Jumlah Awal
Jumlah Pasca Penyisiran
Pulang
1
Nayak
83
15
63
2
Ninmin
25
10
15
3
Mimika
15
4
10
4
Nabire
25
15
10
5
IMI
19
8
11
6
Elisa
23
12
11
7
Sorong
28
12
16
8
Putri Jayawijaya
21
10
11
9
UNCEN
35
15
20
10
Acemo
22
10
12
11
Moni
41
33
8
Jumlah
337
132
187
Sumber : Data KontraS Papua. Selain itu, akibat penyisiran sejak tanggal 17 Maret, tiga warga sipil terkena peluru nyasar yang ditembakkan aparat Brimob yang masih berkeliling di jalan. Mereka adalah Katrin Ohee (9); Ny. Solehah (39) dan anaknya Ratnasari (12). Katrin Ohee tertembak di bahu kanan ketika sedang mengangkat jemuran di halaman rumahnya. Sedangkan Ny. Solehah tekena di paha kanan, anaknya Ratnasari tertembak pada jari kaki kanan. Biaya perawatan ketiga korban tersebut ditanggung pihak kepolisian. Di hari yang sama, empat wartawan masing-masing Dewa (ANTV), Endi (RCTI), Aryo dan Goror (TV7) serta satu lagi dari Metro TV dianiaya sejumlah anggota Brimob di depan markas Brimob di Kota Raja. Keempat wartawan tersebut datang dari Jakarta untuk meliput situasi paska insiden. Selain dianiaya, para anggota Brimob tersebut juga menghancurkan kamera dan perlengkapan peliputan lainnya. Akibatnya Kapolda Papua meminta maaf kepada wartawan atas aksi pemukulan tersebut. Kapolda sendiri berjanji akan mengganti peralatan para wartawan yang dirusak dalam insiden itu serta menindak sesuai pentahapan yang ada di jajaran kepolisian.
B.1.4. Pistol Menyalak, Johanis Kurisi Terkapar Pada hari Rabu, tanggal 20 September 2006 pukul 01.00 WIT, telah terjadi penembakan terhadap Yohanis Kurisi, laki-laki, 23 tahun yang merupakan seorang mahasiswa di depan mata jalan Asrama Haji Kota Raja. Sebelum terjadi penembakan korban bersama dua orang temannya mengkonsumsi miras (minuman keras) tepatnya di depan toko minuman depan mata jalan Asrama Haji Kotaraja. Setelah mengkonsumsi miras, korban dan dua orang temannya membubarkan diri untuk kembali ke
180
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
rumahnya. Namun korban tidak langsung pulang tetapi berdiri sebentar sambil menunggu seorang saudaranya yang sehari-hari kerjanya sebagai tukang parkir di sekitar tempat kejadian perkara (TKP) untuk diajak bersama-sama membeli gorengan di depan kantor Telkom Kota Raja. Dalam perjalanan untuk menuju tempat gorengan itu korban tidak berjalan bersama saudaranya tetapi saudaranya duluan sedangkan korban mengejar dari belakang. Saat korban dalam perjalanannya menuju tempat gorengan, tepatnya di depan kantor Taspen korban mendengar ada teriakan yang mengatakan, “Saya dipotong dan diancam!”, setelah korban datangi, ternyata yang di ancam itu saudara sepupu dari korban yang sehari-harinya sebagai penjual bensin eceran di sekitar tempat kejadian perkara. Karena korban mendengar teriakan seperti itu dan melihat bahwa saudaranya telah diancam oleh beberapa orang maka dia (korban) berlari ke rumah untuk memberitahukan teman-temannya di belakang Perpustakaan Daerah. Ketika sampai di rumah korban mengambil parang dan memberitahukan kepada teman-temanya bahwa saudara mereka yang berjualan bensin telah diancam akhirnya mereka semua keluar dari rumah untuk mencari saudara mereka. Waktu keluar dari rumah, korban tidak bersama teman temannya tetapi korban sendiri mendahului yang lain menuju tempat penjualan bensin eceran untuk mencari saudara sepupunya. Ternyata saudaranya sudah tidak berada ditempat kejadian itu lalu korban mencarinya ke arah Kantor DPR Kota Jayapura, namun tidak menemukannya. Kemudian korban kembali dan berdiri di samping apotik Mitra Sehat Farma untuk melihat saudaranya itu ke arah kiri dan kanan jalan. Di situlah korban mendengar ada suara orang yang mengatakan bahwa itu, “Ada satu orang bawa parang!”. Pada saat itulah korban mendengar bunyi tembakan sebanyak dua kali tetapi tidak mengenai korban, tetapi yang ketiga kalinya mengenai langsung pada punggung korban. Diselimuti dengan kebingungan dan ketakutan, akhirnya korban yang tidak tahu apa-apa memutuskan untuk melarikan diri. Saat melarikan diri itu korban masih sempat mendengan bunyi tembakan yang keempat kalinya tetapi tidak mengenai pada korban. Korban terus lari melewati Jalan Baru Kotaraja menuju ke SMK 5 Kotaraja dan akhirnya kembali memasuki perumahan DPR Kota Jayapura di Jalan Baru Kotaraja dan di situlah korban masuk ke dalam salah satu rumah di sekitar perumahan DPR kota Jayapura dan menginap sampai esok paginya. Tanggal 20 September korban diantar pulang ke keluarganya yang beralamat di belakang Perpustakan Daerah Papua di Kota Raja. Oleh keluarganya korban diantar ke RSUD Abepura untuk mendapatkan perawatan. Namun korban tidak mendapatkan perawatan. Tanggal 21 September 2006, barulah koban dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Rumah Sakit Dian Harapan Waena untuk mendapatkan perawatan. Tanggal 24 September 2006 korban berhasil dioperasi dan proyektil peluru berhasil di keluarkan oleh dokter. Operasi sendiri dipimpin oleh dr Theo Rompis, Sp,Bd di ruang operasi milik rumah sakit Dian Harapan Waena. Operasi ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam, yang dimulai pukul 09.00 WIT. Menurut dokter Theo bahwa mereka berhasil mengeluarkan sebuah benda asing berbentuk kerucut dan tidak beraturan dengan panjang 2 cm X 7 mm X 5 mm berwarna metalic kehitam-hitaman yang tidak lain adalah proyektil peluru. Masih menurut dokter Theo bahwa benda asing itu masuk ke dalam tubuh korban namun tidak menembus rongga tubuh korban dan tidak
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
181
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
mengenai paru-paru. Benda asing yang diyakini sebagai peluru itu masuk ke dalam tubuh korban dan mengenai dinding dada sebelah kiri, tepatnya di antara tulang belikat sebelah kiri dan sebelah atas tulang rusuk bagian belakang. Setelah operasi itu, kondisi korban berangsur-angsur membaik. Dua hari pasca penembakan barulah diketahui pelaku penambakannya adalah anggota Polresta Jayapura berinisial MG. Pelaku melakukan penambakan dengan menggunakan senjata api jenis Revolver. Selain kasus-kasus diatas, sepanjang tahun ini, kekerasan aparat yang terjadi di Papua: 1.
Pada 21 Februari, terjadi insiden kekerasan pasca operasi penyisiran (sweeping) yang dilakukan oleh Kapolsek Tembagapura AKP I Ketut Suratnya beserta anggota brimob serta satuan pengamanan yang tergabung dalam sebuah Task Force melakukan pemeriksaan KTP dan melarang kegiatan pendulangan emas yang dilakukan oleh warga menyebabkan terjadinya bentrokan antara antara sejumlah pendulang emas tradisional disekitar Mile 71 dan aparat keamanan perusahaan. Bentrokan itu menyebabkan 2 anggota keamanan PT Freeport, 3 polisi dan 3 warga terluka akibat lemparan batu dan terkena panah. Akibatnya tiga orang mengalami luka tembak, mereka yang tertembak yaitu Jomidas Waker, Sulian Tinal, dan Morib, sementara sumber lain mengatakan luka tembak itu dialami oleh 5 orang warga antara lain Melinus Tabuni, Yulian Murib, Leo Waker (ketiganya dari suku Dani), Molinus (suku Moni) dan Jekson Magai (suku Damal). Sementara dipihak aparat 5 orang dari tim task force mengalami luka-luka dan satu mobil kaca depannya pecah. Sweeping dan pengusiran para pendulang emas tradisional ini memang lebih merupakan kepentingan Freeport. Rencana sweeping ini sebelumnya telah diminta ditunda oleh Kapolda Irjen Tommy Jacobus, namun ternyata diabaikan oleh Kapolsek Tembagapura. Hingga saat ini tidak ada proses hukum yang dilakukan terhadap para pelaku penembakan warga itu.
2.
Pada 28 Maret, terjadi penembakan misterius terhadap wisudawan Universitas Cenderawasih Alfredo Ick (24), hingga korban mengalami luka tembak. Selongsong peluru telah diperiksa oleh forensik Mabes Polri yang terindetifikasi berasal dari revolver SNW senjata ini digunakan oleh Polri maupun TNI. Sejauh ini tidak diketahui siapa pelaku dari penembakan misterius itu.
3.
Pada 11 Mei, Polda Papua melarang penyelenggaraan seminar bertema tuntutan penutupan PT Freeport melalui surat bernomor B/909/V/2006/Intelkam. Surat tertanggal 11 Mei 2006 itu ditandatangani Dir Intelkam Kombes Agus Kusnasi. Padahal jelas dalam UU No. 9/98 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat tidak ada ketentuan bagi penyelenggara seminar yang termasuk kegiatan ilmiah untuk menyampaikan pemberitahuan kepada polisi.
4.
Pada 15 Mei, dua pendukung David Hubi tewas dan enam orang lainnya luka, serta anggota Polres Jayawijaya, Bripda Rahman juga mengalami luka. Ketika Kepala Kejaksaan Negeri Wamena Sriyatin yang dibantu aparat Polres Jayawijaya dengan Kapolresnya Roberd Djoenso melakukan penjemputan paksa terdakwa korupsi, mantan Bupati Jayawijaya David Agustinus Hubi. Penjemputan ini diwarnai bentrokan antara massa dan polisi pada Senin. Dihadapan Majelis Hakim pada 12 Juli, empat terdakwa insiden kekerasan antara polisi dan demonstran di Abepura mengaku mengalami penyiksaan oleh polisi saat disidik di Mapolsek Kota Abepura
182
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
dan Mapolda Papua. Mereka adalah Ricky Jitmau (19), Muhammad Kaitam (20), Pieter Stevanus Buinei (21), dan Yasya Echo Merano Berotabui alias Eko (24). Kasus ini telah dilaporkan ke mabes Polri, namun hingga saat ini tidak ada proses hukum bagi para pelaku penyiksaan tersebut.566 5.
Pada 28 Agustus, Nelson Rumbiak (21) terpidana kasus bentrok mahasiswa dan aparat keamanan 16 Maret lalu di depan kampus Uncen Abepura menjadi sasaran amukan sejumlah anggota Dalmas Polrest Jayapura yang melakukan penganiayaan terhadapnya. Peristiwa penganiayaan oleh anggota Dalmas itu terjadi di LP Abepura setelah Nelson beserta 7 terdakwa lainnya usai mengikuti persidangan. Ketika turun dari bis yang ditumpangi Nelson langsung dipukul oleh aparat Dalmas yang berada depan pintu bis. Hingga saat ini tidak ada proses hukum terhadap para pelaku penganiayaan.
6.
Pada 13 Oktober, kerusuhan yang disebabkan oleh pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terjadi di Kantor Distrik Kota Lama, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, mengakibatkan mpat warga mengalami luka tembak. Mereka adalah Tarian Telengge dengan luka tembak dikaki kanan, Mondin Tabuni luka tembak di tiga butir peluru dipinggang, Lele Talengging luka tembak di bagian perut, dan Yamesi Kogya luka tembak di perut kiri. Hingga saat ini tidak ada proses hukum atas peristiwa tersebut.
7.
Pada 18 Nopember, Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut dikriminalkan oleh polisi dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap bendara merah putih. Kriminalisasi ini didasari oleh tindakan Forkorus yang menutupi peti mati Markus Kalem dengan bendera Bintang Kejora. Padahal pemakaman bukan merupakan aktifitas kenegaraan yang harus menggunakan bendera Merah Putih, dan penggunaan bendera Bintang Kejora itu tidak lebih dari bentuk kebebasan berekspresi warga negara.
Dalam kasus Wasior dan Wamena, juga belum ada perubahan. Berkas kasus Pelanggaran HAM Wasior 13 Juni 2001 Wamena 4 April 2003 yang di limpahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung RI, sampai sekarang belum di tindaklanjuti. Kejaksaan Agung menganggap bahwa berkas tersebut belum memenuhi syarat-syarat formil, diantaranya saksi-saksi yang memberikan keterangan tidak di sumpah. Kejaksaan Agung mengacu pada Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang antara lain menyebutkan bahwa berkas pelanggaran HAM dapat di kembalikan jika syarat materiilnya tidak di penuhi. Pada tanggal 4 Juli 2004 Komnas HAM telah merampungkan dan menyerahkan berkas kasus Wasior Wamena ke Kejaksaan Agung. Sampai sekarang tidak ada inisiatif dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam mernyelesaikan kasus ini. Begitu pula dengan kasus Abepura. Pelanggaran HAM berat Abepura merupakan kasus pertama yang diadili di pengadilan HAM yang tidak melalui mekanisme persetujuan DPR. Pengadilan HAM Makasar menyidangkan kasus pada tanggal 7 Mei 2004 dengan terdakwa Kombes Pol Daud Sihombing dan Brigjen Johny Waenal Usman. Dalam kasus ini tercatat 3 orang meninggal dunia serta 63 orang luka berat. Tiga orang yang meninggal dunia itu adalah Ori Ndrunggi (19 thn) Joni Karunggu (20 thn) meninggal karena disiksa di kantor Polisi serta Elkius Suhimap tewas di tembak 566
Penyiksaan Terdakwa Kasus Abepura Akan Dilaporkan, Kompas, 14 Juli 2006.
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
183
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
di kawasan Skyline. Jaksa penuntut umum menuntut para terdakwa (Johny Waenal Usman dan Daud Sihombing) sepuluh tahun penjara. Majelis Hakim yang di ketuai oleh Edi Wibisono SE.SH.MH (Daud Sihombing) dan Jalaluddin SH (Johny Waenal Usman) pada September 2005 dalam putusannya menyatakan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat. Membebaskan membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan JPU. Jaksa Penuntut Umum pengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan di bebaskannya Johny Waenal Usman dan Daud Sihombing. Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung perkara Abepura di periksa oleh majelis Hakim Agung yang di ketuai Parman Suparman. Bumi Papua terkandung banyak kekayaan alam di dalamnya, membuat Pemerintah Indonesia dengan alasan untuk pembangunan mengundang investor baik asing maupun dalam negeri melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam di sana. PT Freeport Indonesia adalah salah satu perusahan penanaman modal asing yang melakukan eksploitasi tembaga dan emas. Untuk mengamankan pengoperasaiannya PT Freport menggunakan dan membayar aparat TNI Polisi untuk menjaga semua asset-asetnya. Kehadiran PT Freport Indonesia di Papua tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat serta rakyat Papua. Yang terjadi malah eksploitasi bebesar-besaran yang merusak ekosistem alam serta ketidak seimbangan sosial. Masyarakat setempat terkangkang kebebasannya karena banyaknya pospos militer di sekitar pemukiman mereka dan area PT Freeport dengan alasan menjaga keamanan. Pembuangan Tailing oleh PT Freeport menyebabkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Selain itu juga terjadi perubahan sosial ekonomi Suku Amungme dan Komoro berupa hilangnya hak ulayat atas tanah adat, rusaknya system sosial ekonomi-sosial, lingkungan hidup. Masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat penjaga keamanan berupa Intimidasi, penyiksaan maupun pembunuhan dengan alasan terlibat dalam gerakan OPM.
B.1.5. ALDP, ELSHAM, LBH dan KontraS Papua Menggugat Pada tahun 2006, proses peradilan yang berlangsung di Jakarta tak memberi daya tarik apapun bagi rakyat Papua. Kepercayaan akan kesungguhan negara menegakkan keadilan tampaknya masih diragukan oleh rakyat Papua. Hal ini juga terlihat dalam penanganan kasus Wamang yang sempat mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapan dirinya. Hakim Ketua Madjedi Hendi Siswara SH, dalam putusannya menolak permohonan pemohon para tersangka kasus Timika 2002. Iwan Niode, kuasa hukum pemohon menyatakan tidak kaget dengan hal itu karena sebelumnya sudah tahu arah putusan itu.567 Gugatan praperadilan ini diajukan tersangka kasus Timika 2002 melalui kuasa hukumnya Koalisi LSM Untuk Kasus Mile 62-63 Timika (KontraS Papua, Elsham, ALDP, dan LBH Papua, dll) terhadap tindakan Kapolri cq Kapolda Papua yang telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka yang diluar prosedur. 567
Suara Pembaruan, 1 Februari 2006.
184
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Sekadar menyegarkan ingatan, penangkapan terhadap para tersangka itu dilakukan oleh FBI AS bersama polisi tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Kemudian surat penangkapan itu baru ditandatangani oleh 12 orang tersebut pada 12 Januari 2006 atau satu hari setelah proses penangkapan di ruang Reskrim Polda Papua di Jayapura yang ditandatangani oleh Drs M Situmorang selaku Direktur Reserse Kriminal Polda Papua. Sementara pihak pihak Polda Papua menyatakan surat perintah penangkapan itu sudah dikeluarkan pada 11 Januari 2006. Ajaibnya, 12 Januari Situmorang baru tiba dari Jakarta.568 Para tersangka kasus penembakan karyawan Freeport ini kemudian dibawa ke Jakarta dan di adili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal locus dan tempus delikti dari kasus ini ada di Timika, Papua. Berawal dari pemeriksaan saksi mahkota yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2006 atas nama Nelson Rumbiak (terpidana 16 Maret 2006), Ferdinand Pakage (terpidana) dan Aris Mandowen (terdakwa), terhadap terdakwa Yasya Echo Berotabui dan Sedrik Jitmau. Dalam sidang tersebut para saksi mahkota menolak semua keterangan mereka dalam BAP yang memberatkan para rekannya dengan mengatakan dalam persidangan bahwa mereka terpaksa membuat pernyataan memberatkan karena mereka dipaksa dan disiksa polisi. Pengakuan tersebut diungkap oleh Ferdinand Pakage bahwa dia disiksa dan mengalami penembakan yang menembus telapak kakinya yang dilakukan oleh mantan Wakapolresta Jayapura AKBP Aris Purbaya yang saat ini menjabat sebagai Kapolres Persiapan Teluk Bintuni; hal senada juga diungkapkan oleh Nelson Rumbiak dan Aris Mandowen yang menyatakan bahwa saat diperiksa oleh penyidik polisi dan Direktur Reserse Kriminal Polda Papua, AKBP Paulus Waterpauw, mereka disiksa di Polda Papua. Berdasarkan keterangan ini, maka jaksa penuntut berjanji menghadirkan saksi tambahan dan saksi verbalism pada sidang hari ini, 28 Agustus 2006. Namun saksi yang dihadirkan tidak sesuai sebagaimana nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya oleh saksi mahkota, Nelson Rumbiak, Ferdinand Pakage dan Aris Mandowen pada sidang minggu sebelumnya. Hal ini telah diprotes oleh para penasehat hukum, namun hal ini ditolak oleh hakim tanpa alasan yang jelas. Situasi inilah yang mendorong terjadinya perdebatan dalam ruang sidang baik antara hakim dan Penasehat Hukum maupun para terdakwa dan para saksi mahkota dengan para saksi polisi yang dihadirkan. Inilah yang menyebabkan polisi marah dan melakukan pemukulan terhadap Nelson Rumbiak di LP Abepura. Para kuasa hukum dari terdakwa kasus bentrokan Abepura tidak dapat menghadirkan saksi yang meringankan, karena para saksi tersebut tidak berani untuk memberikan kesaksian. Lebih-lebih setelah polisi melakukan kekerasan yang kasat mata terhadap para terdakwa di Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Upaya untuk menghindari dari pertanggungjawaban hukum atau pengadilan militer pada kasus Wagete diatas merupakan satu gambaran bagaimana keadilan tetaplah ‘barang mewah’ bagi korban, dan rakyat Papua. Tahun sebelumnya rakyat Papua dikecewakan oleh putusan Pengadilan HAM di Makasar yang membebaskan dua terdakwa kasus Abepura 2000. Sementara hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap pelanggaran HAM di Wasior (2001) dan Wamena (2003) hingga saat ini belum juga ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh Jaksa Agung. Kekerasan lama dilupakan. Pelaku dibebaskan. Kekerasan baru tak berhenti. 568
Replik Terhadap Jawaban Termohon, Koalisi LSM Untuk Kasus Mile 62-63 Timika, 25 Januari 2006, hal. 3-4.
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
185
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
B.2. Freeport, Bisnis, dan Kekerasan “Saya sudah mengingatkan untuk menunda dahulu sweeping pada pendulang emas karena sekarang sedang berlangsung proses pilkada gubernur Papua. Kejadian ini mengganggu proses demokrasi itu, “ (Kapolda Irjen Tommy Jacobus)569. Pernyataan itu dilontarkan Kapolda Papua Irjen Tommy Jacobus pasca terjadinya insiden antara pendulang (tradisional) emas dengan aparat keamanan Polsek Tembagapura serta satuan pengamanan PT Freeport, 21 Februari 2006. Jika peringatan ini mendapat perhatian seluruh jajaran aparat keamanan setempat dan PT Freeport, insiden kekerasan dan penembakan mungkin tidak perlu terjadi. Insiden ini menelan korban tiga orang yaitu Jomidas Waker, Sulian Tinal, dan Morib. Sumber lain menyebut lima orang warga lainnya yaitu Melinus Tabuni, Yulian Murib, Leo Waker (ketiganya dari suku Dani), Molinus dari suku Moni dan Jekson Magai dari suku Damal) juga mengalami luka serius akibat aksi pembakan aparat. Paska insiden tersebut, sejumlah mahasiswa asal Papua, organisasi non pemerintah (ornop) serta organisasi massa juga melakukan demonstrasi menuntut penutupan FI. Demonstrasi ada di manamana, dari Jakarta, Papua, Semarang, Makasar hingga Sulawesi Utara. Aksi protes di Jakarta pada pertengahan Maret malah diwarnai aksi penangkapan oleh Polda Metro Jaya. Tanpa alasan yang jelas, polisi menangkap enam aktivis yang ada di lokasi demonstrasi. Enam orang itu antara lain Islah (KontraS), Ridho (PBHI), Arie Ariyanto dan Yudi (LMND), Wahyu dan (LS-ADI), Abdul Karim/Rawing (LS-ADI), Agus Suparwono (Walhi). Keenam aktivis ini tengah melakukan advokasi pendampingan terhadap para demonstran. Meski terjadi penangkapan, kantor PT Freeport di Plaza 89 itu kembali didatangi para demonstran pada hari ketiga dan seterusnya. Mantan Ketua MPR Amien Rais juga ikut protes. Menurut Amien, selama ini FI telah menguras kekayaan dan membohongi Indonesia. Puncaknya, aksi mahasiswa yang berlangsung di depan kampus Universitas Cenderawasih, Abepura pertengahan Maret lalu berakhir tragis. Empat orang anggota kepolisian dan satu anggota TNI AU tewas. Dari pengamatan KontraS, ada beberapa faktor mengapa FI selalu memicu kontroversi. Misalnya, meskipun keberadaannya menghasilkan uang berlimpah, kesejahteraan rakyat Papua berada pada titik rendah. Data Litbang Kompas tahun 2005 menyebutkan, 72 desa dari 84 desa yang berada di Kabupaten Mimika, tempat Freeport beroperasi, merupakan desa tertinggal (Kompas, 13/10). Belum lagi adanya perlakuan kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga sekitar perusahaan yang melakukan pendulangan di areal sampah tailing hasil penambangan. Di sisi lain kerusakan lingkungan terkait pembuangan limbah ke Danau Wanagon melalui sungai. Belum lagi Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme dan Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro mensinyalir, Dana Kemitraan yang selama ini dikucurkan oleh PT. Freeport kerap menimbulkan ketegangan dan perang suku (Kompas, 14/10). Hal yang juga penting dikemukakan adalah keberadaan TNI/ Polri dalam mengamankan Freeport yang kerap berdampak pada kekerasan dan pelanggaran HAM.570 569 570
Tembagapura Tegang, Kegiatan Tambang Terhenti, Sinar Harapan, 22 Februari 2006. Wilayah tempat operasi FI sudah seperti daerah operasi militer karena semua komponen aparat keamanan ada disana. Masyarakat berhadapan dengan aparat, tidak bisa berbuat apa-apa bahkan merasa tidak aman di tanahnya sendiri. Banyak warga setempat pernah mengalami kekerasan militer dan menderita trauma kolektif yang tak mudah disembuhkan.
186
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Freeport adalah ‘ladang emas’ bagi banyak pihak, termasuk kepentingan militer, setidak-tidaknya para pimpinan militer yang bertugas disana. Wajar kemudian bila ada sejumlah pejabat keamanan di kawasan tambang emas ini kemudian ‘mengabdi’ pada PT. Freeport. Investigasi yang dilakukan oleh Global Witness (Juli 2005) telah membuka tabir bisnis militer yang sangat menggiurkan. Global Witness menggungkapkan bahwa pada tahun 2001 Freeport telah mengeluarkan sebesar 4,7 juta dollar AS dan 5,6 juta dollar AS di tahun 2002 sebagai biaya jasa keamanan yang diberikan kepada TNI/Polri. Yang lebih mengejutkan, terdapat pembayaran berjumlah 247,705 dollar AS dari Freeport pada seorang Jenderal bernama Mahidin Simbolon. Sekalipun kasus ini cukup mengemuka, tak ada tindakan hukum sama sekali yang dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan TNI sendiri bersikap pasif untuk melakukan pengusutan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh perwira TNI yang menerima ‘uang keamanan’ tersebut. Belum lagi, pungutan liar terkait akses areal pendulangan. Jika ingin lebih dekat ke pusat pembuangan tailing, pungutan ongkos semakin mahal. Nilai terendah dari transaksi memasuki daerah pendulangan ini ratusan rupiah hingga jutaan rupiah. Sementara jumlah pendulang tradisional disana mencapai 3.500 orang dalam setiap harinya. Global Witness adalah sebuah ornop internasional berbasis di Washington DC. Laporan Global Witness juga menjelaskan bahwa pemegang saham Freeport McMoRan (FM) telah menyadari adanya problem ini. Pemegang saham yang bernaung di bawah dua Yayasan Pensiunan Kota New York ini mempersoalkan pembayaran jasa keamanan itu yang terjadi pasca insiden penembakan Timika, Agustus 2002. Pengeluaran dana ini dicurigai mengandung unsur pemerasan dan suap selain itu dikhawatikan melanggengkan terjadi pelanggaran HAM di daerah berpotensi konflik ini. Jika benar, Freeport bisa dituduh melanggar Foreign Corrupt Practices Act, sebuah Undang Undang Praktek Korupsi Luar Negeri Amerika. Dampaknya akan sangat serius bagi reputasi maupun nilai saham perusahaan. Sikap keras ditunjukkan oleh Dana Pensiun Pemerintah Norwegia yang pada Juni 2006 mencabut investasinya di Freeport senilai 240 juta dollar. Menteri Keuangan Norwegia, Kristin Halvorsen menyatakan keputusan itu diambil atas rekomendasi Dewan Etika (Council on Ethics) mereka. “Keputusan ini merupakan refleksi penolakan kami terhadap pelanggaran norma etika pada investasi kami,” kata Halvorsen, dengan alasan Freeport telah melakukan pengrusakan lingkungan yang sangat serius. The New York Times edisi akhir Desember 2005 menjelaskan, FI telah mengeluarkan dana 20 juta dollar AS (200 milyar rupiah) untuk militer dan polisi. Dana itu dikeluarkan dalam kurun waktu 1998 hingga Mei 2005. Dana tersebut dibagi-bagikan pada para anggota TNI dan Polri berpangkat jenderal, kolonel, mayor dan kapten. Kepentingannya, memastikan mereka terus menjaga tambang dari gangguan. Meskipun sementara, Pemerintah sempat mengambil tindakan. Kementerian Lingkungan Hidup melakukan audit dampak lingkungan hidup di lokasi FI. Hasil itu mengungkapkan FI telah melakukan beberapa pelanggaran serius. Ironisnya, tak ada sanksi dari pemerintah. Pemerintah hanya meminta FI melakukan pembenahan selama 2-3 tahun. Sementara tim lintas departemen yang dibentuk Pemerintah hanya mengkaji porsi pendapatan negara dari Freeport, tanpa mempersoalkan kontrak karya. Berbeda dengan sikap pemerintah, Executive Vice President PT FI, Armando Mahler, malah mengatakan kesiapannya untuk membicarakan perbaikan dan penyempurnaan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia (April, 2006). Anehnya, pemerintah malah tidak mengambil langkah-langkah bagi revisi
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
187
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
kontrak karya ini. Padahal memperbesar sharing bagi pemerintah telah menjadi trend, terutama di Amerika Latin, Bolivia dan Venezuela. Melihat dua posisi diatas, wajar bila kemudian masyarakat mempertanyakan sikap pemerintah. Kepentingan siapa yang sesungguhnya diperjuangkan pemerintah atas FI? Bila kepentingan rakyat Papua lebih utama, saatnya di tahun 2007 ini pemerintah merevisi kontrak karya yang berkeadilan. Termasuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM di seputar polemik Freeport. Sebenarnya, peluang untuk merevisi kontrak karya telah ada di era Abdurrahman Wahid. Namun kemudian tertunda karena adanya peralihan kekuasaan politik ke Megawati. Dari perdebatan saat itu, tampaknya ide untuk merevisi kontrak karya bukan sekadar memperbaiki isi kontrak karya khususnya soal profit-sharing. Melainkan kesiapan pemerintah akan konsekuensi-konsekuensi politiknya. Mulai dari bagaimana mengelola dana non budgeter yang mengalir dari Freeport ke kantong instansi pemerintah, pembayaran jasa keamanan lewat pejabat, hingga ketidaksiapan untuk menghadapi orangorang “kuat” yang menikmati keuntungan di balik pola relasi itu. Sebaiknya pemerintah memprioritaskan soal Freeport di tahun ini. Sebab kian lama menentukan sikap, pemerintah akan kian sulit keluar dari masalah ini. Kelambanan sikap itu bisa memicu ketidakpastian lagi di kalangan orang Papua. Pemerintah harus berani, agar isu Freeport tidak terus menjadi bulan-bulanan politik dan kepentingan elite di Papua dan Jakarta. Urusan Freeport selalu kontroversial. Sekitar empat tahun lalu, yaitu pada 31 Agustus 2002, insiden penembakan juga terjadi di wilayah Freeport, yaitu Mil 62-63 Tembagapura. Saat itu, aksi penembakan ditujukan terhadap bus yang mengangkut karyawan Freeport. Penembakan ini mengakibatkan 3 warga tewas, yaitu Ted Burgon (71), dan Rickey Lyne Spear (44) yang keduanya merupakan warga negara Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia FX Bambang Riyanto. Penembakan juga menyebabkan 9 orang lainnya luka-luka. Diawal pengusutan, polisi mendeteksi keterlibatan aparat militer. Wakil Kepala Polda Papua, Brigjen Raziman Tarigan, ketua tim Investigasi Polda Papua waktu itu menyatakan TNI terlibat dalam kasus ini. Peristiwa ini membuat Amerika Serikat geram yang berakibat penghentian program International Military Education and Training (IMET) dan embargo suku cadang senjata. Amerika kemudian mengirim FBI untuk melakukan investigasi. Selain itu, mulai muncul pula pertanyaan dari para pemegang saham Freeport McMoRan yang bernaung dalam dua Yayasan Pensiunan Kota New York. Mereka mempersoalkan pembayaran jasa keamanan pasca insiden penembakan Timika, Agustus 2002. Pengeluaran dana ini dicurigai mengandung unsur pemerasan dan suap. Sayangnya proses persidangan yang dijalankan oleh Antonius Wamang dan kawan-kawan (dkk) gagal mengungkap tabir ini. Termasuk soal pembelian senjata yang akui Wamang dibeli dari Sersan Jefry di Jl. Jaksa, Jakarta Pusat, pada Juni 2001.571 Ketika diinterogasi oleh aparat Polsek Kuala Kencana, Wamang menyatakan adanya kelompok lain dari satuan TNI yang ikut melakukan penembakan.572 Padahal ini penting bagi koreksi praktek hitam aparat TNI di Papua. Dan hingga 571 572
Indopost, 1 Februari 2006. MajalahTempo, Edisi 16-22 Januari 2006.
188
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
jatuh vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 7 November lalu, (Antonius Wamang divonis seumur hidup, Agustinus Anggaibak dan Julianus Deikme, masing-masing divonis pidana penjara selama tujuh tahun, sedangkan keempat terdakwa lainnya, diantaranya Ishak Onawame, Esau Onawame, Hardi Tsugumol dan Jarius Kibak masing-masing divonis satu tahun enam bulan penjara.) para terdakwa tetap menolak dituduh sebagai pelaku penembakan yang menyebabkan kematian 3 karyawan FI itu. Keadaan-keadaan diatas semakin menurunkan kepercayaan rakyat Papua kepada Jakarta. Bahkan sejumlah warga Papua sudah mencapai titik kekecewaan dan kemarahan yang luar biasa. Hal ini bisa terlihat dalam aksi protes menentang Freeport yang berujung aksi kekerasan terhadap salah satu ruang di gedung Plaza 89. Aksi ini terjadi di waktu subuh. Jika ditelusuri, sebenarnya aksi mendatangi Kantor PT Freeport di Plasa 89 oleh para mahasiswa Papua terjadi karena sebab yang bisa dipahami. Mereka mendemo kantor Freeport setelah menyaksikan tayangan berita di Head Line News Metro TV tanggal 22 Februari 2006 tentang peristiwa penembakan yang dilakukan oleh aparat Brimob terhadap tiga orang warga sipil yang sedang melakukan pendulangan di areal tailing tempat penambangan Freeport. Sepuluh orang mahasiswa itu antara lain Yan Matuan, Nur Wenda, Martheos Binianggelo, Medy D Paragaye, Gomer Kogoya, Lamberth Devlan Kogoya, Paul Wolom, Alus Wenda, Betenus Magayang, serta Nur Danny Wenda Dengan menggunakan kendaraan mikrolet M 16 Jurusan Kp Melayu-Pasar Minggu mereka mendatangi gedung Plasa 89 kuningan, kemudian mereka secara bersama-sama melakukan pengrusakan terhadap barang-barang di di gedung Plasa 89 Kuningan antara lain berupa kaca-kaca gedung, Komputer dan berkas arsip yang berada di gedung Plasa 89 dengan menggunakan batu Koral, pot bunga, batu bata, batu Blok dan bensin yang di bawa dari asrama mereka di Jalan Otista No 82 Jakarta Timur. Setelah mendatangi gedung Plasa 89, dengan menumpang kendarangan mereka mereka mendatangi kantor KontraS untuk meminta perlindungan hukum. Kemudian aparat kepolisian melakukan negosiasi dengan KontraS untuk membawa kesepuluh orang mahasiswa ini ke polda Metro Jaya untuk menjalani proses hukum. Lalu tak berapa lama kemudian, sekitar pukul 10.00 pagi, dengan didampingi oleh penasehat hukum dari KontraS, PBHI, dan LBH Jakarta di bawa ke Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. Sekitar pukul 14.00. mereka di periksa di unit Satresmob DitKrimum Polda Metro Jaya, dan semuanya di tetapkan sebahgai tersangka dengan tuduhan melanggar pasal 170 KUHP dan menjalani masa tahanan selama 20 Hari terhitung dari tanggal 24 Februari 2006 sampai 15 Maret 2006. Pada 15 Maret 2007 masa tahanan mereka di perpanjang oleh kejaksaan tinggi Jakarta dari tanggal 16 sampai tanggal 24 April 2006, kemudian di perpanjang oleh Jaksa penuntut umum dari tanggal 24 April 2006 sampai dengan tanggal 13 Mei 2006. kemudian di perpanjang oleh ketua pengadilan selama 30 hari. Pada 27 Mei 2006 perkara pidana sepuluh mahasiswa ini mulai di sidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh majelis Hakim yang pimpin Achmad Sobari. Jaksa Penuntut Umum yang di ketuai oleh Supomo SH mendakwa mereka dengan dengan ancaman pidana sebagaimana di atur dalam pasal 170 ayat 1 KUHP.
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
189
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Pada sidang selanjutnya para terdakwa menyampaikan nota keberatan atau eksepsi yang menolak dakwaan jaksa. Para terdakwa bersikukuh bahwa mereka datang ke persidangan sebagai bentuk dan konsekwensi dari perjuangan membela rakyat papua dari setiappenindasan yang di lakukan oleh kaum kapitalis yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat papua. Mereka datang ke persidangan bukan karena di tangkap tapi meyerahkan diri. Para terdakwa berpendapat bahwa peristiwa pengrusakan Plasa 89 bukan peristiwa yang berdiri sendiri tapi ekses dari ketidakadilan yang terjadi di Papua. Salah satu bentuk ekses yaitu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 22 Februari 2006 tentang peristiwa penembakan yang dilakukan oleh aparat Brimob terhadap tiga masyarakat sipil papua yang sedang melakukan pendulangan emas di daerah pembuangan tailing tempat penambangan PT Freeport. Mereka adalah masyarakat asli Papua sebagai bagian dari warga negara Indonesia, di tembak di tanah bangsanya sendiri dan tidak pernah ada proses hukum bagi pelaku dan keadilan bagi korban. Melihat peristiwa tersebut para terdakwa tergugah untuk memperjuangkan hask-hak dan keadilan bagi masyarakat papua dengan cara mendatangi Plasa 89. Dalam kesempatan ini juga mereka mengatakan bahwa peristiwa Plasa 89 bukanlah merupakan tindakan kriminal tetapi suatu tindakan membela Negara yang sifatnya preventif dan heroik terhadap eksploitasi kekayaan alam Papua, serta kesewenang-wenangan aparat TNI dan Polri. Mereka mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu bersama memperjuangkan harga diri dan integritas bangsa kita yang di jajah oleh bangsa asing. Dalam eksepsi ini mereka meminta Majelis Hakim untuk 1) menolak seluruh dakwaan dari Jaksa penuntut umum, karena pemerintah, institusi Kepolisian, Jaksa, Hakim dan Pengadilan ini bukanlah makelar orang asing; 2) segera menetapkan para terdakwa untuk segera keluar dari tahanan demi hukum; serta 3) memutuskan bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum adalah batal demi hukum atau setidak-tidaknya harus di nyatakan tidak dapat di terima. Pada sidang selanjutnya Jaksa Penuntut Umum tetap pada dakwaannya dan menganggap bahwa dakwaan sudah jelas dan lengkap. Atas eksepsi dan jawaban atas eksepsi tersebut Majelis Hakim dalam putusan selanya menolak eksepsi dari penasehat hukum terdakwa dengan alasan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah sesuai sebagaimana diatur dalam pasal 143 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Ketika masuk pada pemeriksaan saksi, semua saksi yang di hadirkan oleh jaksa penuntut umum, tidak seorang pun mengenali dan melihat para terdakwa melakukan pengrusakan, padahal dalam pasal 184 KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan pembuktian adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari hasil pemeriksaan sidang terdahulu jaksa penuntut umum menyatakan Yan Matuan dkk (para terdakwa) terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan di dalam surat dakwaan, yaitu melanggar pasal 170 ayat 1 KUHP yang berbunyi “barang siapa secara terang-terangan dan
190
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan” sehingga Jaksa Penuntut Umum menuntut para terdakwa dengan hukuman pidana 12 bulan penjara dan potong masa tahanan. Para pengacara yang mendampingi para terdakwa dalam surat pembelaannya yang berjudul “Lihat, rasakan, dan dukung perjuangan kami. Berikan keadilan karena Papua adalah bagian dari Indonesia” meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum, karena jelas dalam persidangan berdasarkan pendekatan hukum formil sesuai dengan pasal 170 ayat 1 KUHP dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti. Dalam putusan perkara ini majelis menganggap bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pidana sebagaimana di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu majelis hakim menjatuhkan hukuman 4 bulan 18 hari kepada para terdakwa serta memerintahkan jaksa penuntut umum untuk segera melepaskan mereka dari tahanan. Para pengacara terdakwa menilai putusan hakim ini jauh dari rasa keadilan karena berdasarkan fakta hukum, tidak seorang saksipun yang di ajukan oleh jaksa penuntut umum yang menyatakan secara tegas dan jelas, bahwa pelaku pengrusakan Plasa 89 adalah ke sepuluh terdakwa ini. Bagi kesepuluh mahasiswa ini bahwa putusan pengadilan bukanlah akhir dari perjuangan membela keadilan di papua dan mereka tetap meminta pemerintah RI untuk melakukan tindakan tegas, termasuk untuk menutup PT Freeport sebagai salah satu sumber persoalan dari terus berlangsungnya bisnis keamanan, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
B.3. Paradigma Lama Elit Kekuasaan B.3.1. Menyikapi OPM “Ini skenario tingkat tinggi sekelompok orang, bukan murni dari kelompok yang selalu disebut OPM,” (Laksamana Muda Mohammad Soenarto, juru bicara Markas Besar TNI)573 Pernyataan diatas disampaikan Soenarto terkait dengan dengan penembakan terhadap dua anggota TNI di Gunung Pomo, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Menarik mengamati siapa sesungguhnya pihak lain yang dimaksud oleh Soenarto, karena kecurigaan tentang adanya ‘OPM rekayasa’ juga kerap menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat sipil. Bila TNI menyadari hal itu, jauh lebih baik bila kelompok yang bermain di Papua dibuka keberadaannya, agar tidak menjadi rumors yang dapat merugikan TNI sendiri akhirnya. Sepanjang 2006 ini setidaknya tercatat 4 peristiwa konflik bersenjata antara TNI dan mereka yang disebut ‘OPM’. Serangan pertama yang diduga dilakukan oleh OPM adalah di Kampung Wembi, Distrik Arso, Kabupaten Keerom. Ketika serangan oleh OPM ini terjadi di kampung itu mahasiswa dan anggota TNI tengah melakukan pengobatan massal. Serangan itu mengakibatkan 4 orang tewas dua mahasiswa dan dua diantaranya adalah anggota TNI, satu anggota TNI kritis dan 2 mahasiswa mengalami luka-luka. 573
Setelah Penembakan Tentara, TNI Tak Tambah Pasukan, Koran Tempo, 11 Desember 2006.
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
191
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Kedua, 3 September, OPM melakukan penembakan terhadap mobil patroli Reaksi Cepat sekuriti PT Freeport Indonesia, namun tidak ada korban dari peristiwa ini. Menurut jubir OPM Erimbo, penyerangan ini merupakan bagian dari tuntutan OPM kepada pemerintah Indonesia agar mengakui Kedaulatan Papua Barat. Ketiga, 8 Desember 2006, seorang Sersan Satu Kopassus Joko Sutanto dan seorang purnawiran TNI AD Thobias Sirken dibunuh oleh anggota OPM di Gunung Pomo, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Menurut Jubir Mabes TNI Laksamana Muda Mohammad Soenarto, pembunuhan ini adalah skenario tingkat tinggi sekelompok orang, bukan murni dari kelompok yang selalu disebut sebagai OPM. Keempat, 13 Desember, anggota OPM merampas senjata api milik seorang anggota Brimob yang tengah bertugas jaga di pos keamanan yang berada di tengah Kota Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Hanya ada satu jalan bagi pengakhiran ketegangan antara pemerintah dan ‘OPM’. Yaitu dengan menerapkan model dialog sebagaimana telah diterapkan dalam penyelesaian konflik Aceh. Pemerintah harus sadar bahwa pendekatan keamanan yang selama ini terapkan dalam merespon konflik telah terbukti gagal dan memakan korban anak bangsa sendiri.
B.3.2 Menyikapi Suaka Politik dan Politik Menyalahkan ‘Yang Lain’ Pemberian visa proteksi sementara (temporary protection visa) terhadap 42 orang dari 43 orang pencari suaka asal Papua telah membuat pemerintah dan banyak politisi senayan atas nama “nasionalisme” berang terhadap pemerintah Australia. Negara ini seolah lupa bahwa konstitusinya sendiri telah mengaku suaka sebagai hak dari setiap orang (Pasal 28 ayat 2). Dan jauh lebih baik pemerintah memperbaiki sikap dan kebijakannya di Papua dengan mengakhiri impunity dan menegakkan penghormantan atas hak asasi manusia. Langkah ini dapat menjadi alat kampenye efektif dan membangun kepercayaan komunitas internasional tentang kondisi Papua. Ketika muncul persoalan 43 warga Papua meminta suaka ke Australia, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menuding LSM-LSM sengaja mendramatisasi Papua untuk mendapatkan uang. Tuduhan yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia Hamzah Thayeb, menurutnya gerakan separatis memanfaatkan jaringan gereja untuk mengkampanyekan gerakan Papua merdeka. Kepala BIN Syamsir Siregar menuduh Amien Rais sebagai provokator kasus Abepura berdarah, begitu pula Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menuduh LSM yang disupport LSM asing sebagai dalang kerusuhan di Abepura. Tudingan ini merupakan bentuk pengalihan isue atas kegagalan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan, serta gagalnya intelejen mengantisipasi konflik dan kekerasan yang terjadi. Tudingan diatas berekses pada tindak aparat dilapangan, ketika para polisi Polda Metro menangkap secara sewenang-wenang terhadap 6 aktifis yang berasal dari KontraS, Walhi, PBHI, PRD, LS-ADI, LMND, ketika para aktifis itu tengah mendampingi para mahasiswa Papua yang tengah melakukan demonstrasi di depan gendung Plaza 89 Jakarta dimana PT. Freeport Indonesia berkantor.
192
Papua Menanti Elit Berubah : Profesionalisme Aparat untuk Melindungi HAM Kembali Diuji
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Pada Rapimnas TNI pada September lalu, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai upaya LSM asing dengan menggunakan tokoh Desmond Tutu untuk kembali mempersoalkan Papua ke forum internasional.
B.3.3 Menyikapi Pelaksanaan Otsus Diakhir tahun 2006, pemerintah menyampaikan rencana akan melakukan revisi terhadap Undang Undang Otonomi Khusus Papua, padahal UU ini belum sepenuhnya dijalankan. KontraS berharap, kebijakan ini bukan sekadar tambal sulam dalam menyelesaikan problem Papua. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya kembali ke aturan yang ada yaitu UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. UU Otsus telah menyediakan jalan keluar bagi masalah Papua secara komprehensif, mulai dari aspek pengelolaan pemerintahan, keamanan hingga mengenai perbaikan kondisi kesejahteraan dan hak asasi rakyat Papua. Amanat pendirian Majelis Rakyat Papua (Pasal19-25), pendirian Pengadilan HAM dan KKR untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia (Pasal 45-46) hingga Partai Politik Lokal (Pasal 28) yang belum juga terbentuk. Kelembagaan ini semua merupakan jalan untuk mengakhiri diskriminasi dan memberikan ruang partisipasi politik yang lebih luas. Namun sayangnya segala hal yang diwajibkan oleh UU Otsus tersebut belum berhasil diwujudkan di Papua. Satu-satunya yang berhasil dibentuk baru MRP, itupun terlambat selama empat tahun. Keterlambatan pembentukan MRP inilah yang menimbulkan sikap kurang percaya kepada Pemerintah daerah dan pusat saat ini. Pada Juli lalu Presiden SBY malah berencana menerbitkan instruksi presiden tentang percepatan pembangunan Papua. Penerbitan Inpres dapat mengingkari semangat otonomi khusus Papua, bila penerbitan inpres itu diambil sebagai jalan pintas yang dipilih pemerintah pusat untuk merevisi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Itu berarti pemerintah telah mereduksi otsus Papua hanya dengan Inpres. Sementara, dari hasil rapat koordinasi menteri yang dilaksanakan pada Oktober lalu telah diputuskan pemerintah menetapkan lima langkah prioritas yang menjadi fokus akselerasi pembangunan di Papua sesuai dengan UU tentang Otonomi Khusus. Lima prioritas itu meliputi peningkatan pelayanan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, infrastuktur dasar, peningkatan sekuriti, serta peningkatan pemberdayaan sumber daya manusia daerah. Melalui keputusan ini pemerintah kembali menafikan kebutuhan akan pengakhiran impunity dan penegakan HAM lewat pembentukan pengadilan HAM dan KKR lokal di Papua.
C. Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara Teror dan kekerasan di Poso sepanjang tahun 2006 belum berhenti, bahkan meluas hingga ke Palu, ibukota provinsi Sulawesi Tengah. Kondisi ini menunjukkan bahwa tindakan yang selama ini diambil pemerintah tidak signifikan berhasil menghentikan teror dan kekerasan di wilayah yang dilanda konflik sejak tahun 1998 ini. Berbagai kebijakan negara di tingkat pusat juga belum menjawab persoalan konflik Poso yang sesungguhnya.
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
193
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Pada pertengahan Oktober 2005 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhono mengeluarkan Instruksi Presiden No 14 Tentang Percepatan Pemulihan Situasi Sosial dan Keamanan di Poso kepada delapan Menteri, tiga Pejabat Setingkat Menteri, Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Poso. Selanjutnya, pada tanggal 23 November 2005, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Widodo AS, melantik Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Poso,574 dengan mandat kerja selama enam bulan untuk mewujudkan keterpaduan, kerjasama dan koordinasi dengan satuan kendali operasi penanganan di Poso. Satgas juga bertugas mendukung, mendorong dan mem-back up secara teknis maupun operasional seluruh aparat dan instansi yang menangani masalah Poso, dengan pandangan bahwa upaya pembangunan dan peningkatan harmoni sosial di masyarakat Poso selama ini berjalan lambat. Satgas juga ditugaskan memback up penanganan sejumlah kasus yang tidak dapat ditangani aparat maupun instansi setempat.575 Harapan masyarakat Poso akan kedamaian di sisi lain berhadapan dengan kenyataan mulusnya gerakan para pelaku kekerasan dalam menebarkan teror, seolah-olah tidak terjangkau oleh aparat keamanan. Kegagalan aparat keamanan dan intelejennya menangkap para penyebar teror di Poso merupakan sutau keanehan. Kegagalan negara menciptakan rasa aman di Poso dan tidak adanya pertanggungjawaban otoritas keamanan atas situasi semacam ini mengindikasikan bahwa penanganan segala bentuk teror dan kekerasan tidak lagi dimungkinkan dengan cara biasa seperti penambahan pasukan atau pembentuk satuan tugas. Karenanya KontraS bersama organisasi masyarakat lainnya mendesak pemerintah segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.576
C.1. Kilas Balik Upaya Negara Merespon Kekerasan Menjelang akhir tahun 2005, Pasar Daging Maesa di Palu diguncang ledakan sebuah bom high explosive. Delapan orang meninggal dunia dan 43 lainnya mengalami luka-luka terkena serpihan bom.577 Sebagai respons atas peristiwa tersebut, pada 5 Januari 2006 pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopskam) Sulawesi Tengah,578 dengan Ketua seorang perwira polisi, Irjen Pol Paulus Purwoko, Kepala Divisi Humas Mabes Polri dan Wakil Ketua seorang perwira militer, Brigjen AY Nasution, Kepala Staf Divisi I Kostrad, Cilodong. Koopskam bertugas selama 3 bulan dan dapat diperpanjang masa kerjanya 1 kali.579 Respon insidental terhadap insiden-insiden yang terjadi di Sulawesi Tengah seperti di atas bukanlah yang pertama kali. KontraS mencatat, sedikitnya enam operasi pemulihan keamanan dengan pola Satgas ini dibentuk dengan Surat Keputusan Menkopolhukam (Kep-58/Menko/Polhukam/11/2005) tertanggal 17 November 2005. 575 Menurut Widodo AS, Satgas Poso mempunyai empat tugas pokok, yaitu mempercepat pengungkapan kasus teror dan kriminal yang terjadi di Poso, membina dan memelihara harmoni sosial dalam masyarakat, menciptakan keamanan dan rasa aman masyarakat, serta menyelesaikan masalah-masalah residual pasca konflik, khususnya penyelesaian penyimpangan bantuan sosial dan penanganan pengungsi serta rehabilitasi sarana dan prasarana yang hancur akibat konflik. Lihat www.detik.com, 23 November 2005. 576 Siaran Pers Bersama KontraS, HRWG, Imparsial, LPSHAM, KontraS Sulawesi, YLBHI, PBHI, Poso Marowali Watch : Pembunuhan Irianto Kongkoli: Pemerintah Harus Ambil Langkah Ekstra, Jakarta, 16 Oktober 2006. 577 Laporan HAM 2005, Penegakan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006. 578 Koopskam Sulawesi Tengah dibentuk dengan Surat Keputusan Menkopolhukam, (Skep/Menko/Polhukam/1/2006) tertanggal 4 Januari 2006. 579 Koopskam Diresmikan, Kompas, 6 Januari 2006. 574
194
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
perbantuan (BKO TNI/Polri) telah digelar pemerintah di Poso dan Palu sampai dengan akhir 2005.580 Pemerintah juga meningkatkan status Kepolisian Resort (Polres) Poso menjadi Polres Khusus, dengan konsekuensi kekuatan personel organik dan peralatan yang berbeda dengan Polres lainnya. Dengan status Polres Khusus, Poso akan memiliki sekitar 2000 personil dengan peralatan yang lebih canggih. Pemerintah juga mempromosikan program Polisi Masyarakat (community policing) dalam agenda Polres Khusus Poso, dimana aparat kepolisian disebar ke desa-desa dengan kekuatan 5 hingga 8 personil per desa. Dalam perjalanannya, program ini terancam gagal. Di beberapa wilayah seperti Kecamatan Lage, Poso Kota, dan Tentena-Pamona Utara terjadi penolakan masyarakat dengan menjadikan personel polisi dan Pos-pos Polisi Masyarakat sebagai sasaran kemarahan masyarakat setiap kali muncul insiden baru. Ironisnya, sementara ribuan aparat TNI dan Polri diterjunkan ke Poso, kekerasan masih terus terjadi. Sepanjang tahun 2006, terjadi 16 kasus terkait pengeboman. 2 kasus lainnya adalah penemuan bom aktif yang kemudian di-disposal oleh kepolisian. Selain itu, terjadi 4 kasus penembakan, 1 kasus pembunuhan, 5 kasus pembakaran, 1 kasus penyerangan, 2 kasus penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), 5 kasus amuk massa, 15 kasus provokasi teror dan 2 kasus konflik antar aparat (TNI/Polri). (Lihat Tabel. 1) Kondisi ini diperburuk serangkaian peristiwa yang terus ’memanaskan’ situasi Poso, seperti eksekusi Tibo cs, Penembakan Pendeta Irianto Kongkoli, dan Insiden Bentrokan Gebang Rejo di malam Idul Fitri, 22 Oktober 2006. Tabel III.14 Tindak Kekerasan Pasca Deklarasi Malino (2002-2006) No
Peristiwa 2002
2003
Tahun 2004 2005
Total
Keterangan
2006
1
Penyerangan
15
11
1
0
1
28
Penyerangan disertai pembakaran rumah-rumah penduduk dan fasilitas umum
2
Penculikan
1
2
1
0
0
4
Diantaranya dilakukan oleh aparat TNI 711 Raksatama (Kasus Toyado)
3
Penangkapan sewenangwenang
0
3
1
20
3
27
Umumnya dilakukan aparat Kepolisan BKO – Polda Sulteng dan Densus AT 88 Mabes Polri
4
Pembunuhan
4
3
3
0
1
11
5
Pemboman
14
8
4
6
22
54
6
Penembakan
19
10
7
0
4
40
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Sering pula ditemukan bom yang tidak meledak
195
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
7
Penganiayaan
19
1
2
10
2
34
8
Pembakaran
0
0
1
0
8
9
Total
72
38
20
36
41
207
Sumber: Litbang KontraS (Desember 2006). Di tengah kontroversi dan perhatian publik terhadap upaya pemerintah menyelesaikan konflik Poso, pada 22 September 2006, tiga terpidana mati kerusuhan Poso 2000, Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu akhirnya berhadapan dengan tiga regu tembak Brimob Polda Sulteng. Keesokan harinya, dua orang pedagang ikan asal Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang melintas di jalur trans Sulawesi dicegat dan dianiaya hingga tewas oleh sekelompok warga di Dusun Pongge’e Desa Taripa, Kecamatan Pamona Timur. Tindakan ini diduga sebagai reaksi atas eksekusi yang dilakukan terhadap Tibo Cs, sementara para pelaku lainnya termasuk yang nama-namanya juga disebut Tibo Cs bebas melenggang tanpa tersentuh hukum. Pada 16 Oktober 2006 Sekretaris Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pdt. Irianto Kongkoli tewas ditembak oleh orang tidak dikenal di Palu. Polisi menuding kelompok Mujahidin Tanah Runtuh dan Kelompok Kayamanya atau kelompok Kompak sebagai pelaku pembunuhan tersebut.581 Dua hari paska penembakan Pdt. Irianto Kongkoli, Mabes Polri menurunkan Tim Supervisi ke Palu dan Poso yang terdiri dari mantan Dankoopskam Irjen Pol Paulus Purwoko, Dankor Brimob Irjen Pol. SY Wenas, dan Deops Polri Irjen Pol FX Sunarno. Sebelumnya Wakabareskrim Irjen Pol Gorries Mere juga sudah berada di Poso.582 Pada tanggal 22 Oktober 2006, dua hari menjelang perayaan Idul Fitri, terjadi bentrokan antara aparat Brimob BKO Kelapa Dua Depok Jawa Barat dan warga Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota sehingga mengakibatkan satu orang warga, Syaifuddin alias Udin tewas diterjang peluru dan dua warga lainnya mengalami luka tembak. Esok harinya, saat iring-iringan jenasah Syaifuddin menuju pemakaman, seorang anak berumur 3,5 tahun terkena peluru nyasar polisi yang terprovokasi oleh massa pengantar jenazah. Peristiwa-peristiwa tersebut telah memancing kemarahan warga Poso. Selama sepekan ribuan warga berunjuk rasa dengan menduduki kantor-kantor pemerintahan, menuntut penarikan seluruh aparat Brimob yang diperbantukan di Poso. Kapolri Jenderal Pol Sutanto menolak tuntutan itu karena bentrokan yang terjadi dinilai bermotif teror. Senada dengan Kapolri, Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan lantang mengatakan “Tidak ada satu orang pun warga negara yang bisa mengultimatum pemerintah”.583 Di sisi lain, setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Joko Suyanto mengirim Tim Investigasi yang terdiri dari Aster TNI, Kepala BIN, dan Irwasum Polri Komisaris Polisi Yusuf Manggabarani ke Poso dan mensiagakan sekitar 200 personil dari Kodam VII Wirabuana untuk membantu pemulihan keamanan di Poso.584 Pernyataan Wakadiv Humas Manbes Polri, Brigjen Pol Anton Bahrul Alam, lihat http://catatanposo.blogspot.com/2006/10/ densus-88-tangkap-15-pelaku-aksi.html. 582 Jenderal Mabes Sudah Tinggalkan Poso, Radar Sulteng, 31 Oktober 2006. 583 Kalla Turun Lagi, Radar Sulteng, 26 Oktober 2006. 584 Warga Minta Brimob Ditarik, Diberi Waktu 1 x 24 jam, Radar Sulteng, 25 Oktober 2006. 581
196
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Menyusul langkah Panglima TNI, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengadakan pertemuan dengan tokohtokoh Islam untuk membahas langkah-langkah pemulihan situasi Poso yang kembali memanas, yang juga dihadiri Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Muhammad As’ad. Menurut Kalla, berdasarkan temuan Tim Investigasi Pemerintah, pada saat terjadinya peristiwa tersebut aparat Brimob hanya melakukan patroli biasa, namun dipersepsikan warga sedang melakukan penyerbuan. Namun sejumlah Ormas Islam yang juga mendapat informasi dari lapangan menilai lain. Mereka menyatakan bahwa keberadaan pasukan tersebut justru membuat teror baru di Poso.585 Pada tanggal 29 Oktober 2006, Yusuf Kalla juga menggelar pertemuan terpisah dengan para perwakilan masyarakat Muslim dan Kristen Poso dan Palu.586 Pertemuan dengan perwakilan masyarakat Muslim menghasilkan kesepakatan pembentukan Tim Independen Pencari Fakta kasus kekerasan yang terjadi di Kelurahan Gebangrejo dan pemulihan kondisi perekonomian di Poso pasca kerusuhan dan kekerasan. Pada hari yang sama Perwakilan masyarakat Muslim kembali ke Poso dan menggelar ujung rasa terkait peristiwa malam Idul Fitri. Pertemuan Kalla, Kapolri dan sejumlah menteri dengan perwakilan masyarakat Kristen juga menghasilkan kesepakatan yang hampir sama, yaitu perlunya pembentukan tim rekonsiliasi dan penuntasan segera kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Poso dan Palu.587 Kesepakatan Kalla dengan perwakilan masyarakat Muslim dan Kristen Poso tidak disertai dengan keseriusan aparat Kepolisian memeriksa dan menahan beberapa orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan dan teror di Poso selama ini. Tuntutan penarikan aparat Brimob BKO oleh ribuan pengunjuk rasa di Poso justru disikapi dengan tudingan balik Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Pol Anton Bahrul Alam, bahwa 29 warga Poso dari kelompok Mujahidin Tanah Runtuh dan Kompak Kayamanya berada dibalik seluruh kasus kekerasan dan teror di Poso dan ditetapkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Mabes Polri.588 Penetapan ini dinilai warga Poso untuk mengalihkan kasus penyerangan aparat Brimob ke Tanah Runtuh yang menewaskan seorang warga sipil dan legitimasi atas ketidakmampuan mereka memberi rasa aman.589 Aparat Kepolisian juga mengait-ngaitkan hubungan 29 DPO Poso dengan Jaringan Terorisme Asia Tenggara pimpinan Nurdin M Top. Sepekan kemudian Tim Pencari Fakta Independen590 untuk kasus 22 Oktober 2006 yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dengan Wapres mulai bekerja. Saat dimintai keterangan oleh anggota TPF Tanah Runtuh pada 2 November 2006 di Palu, Kapolda Sulawesi Tengah mengaku bahwa pada saat Kalla Turun Lagi, Radar Sulteng, 26 Oktober 2006. Islam-Kristen Sepakat Rekonsiliasi, Hari ini Dua Komunitas Dipertemukan, Radar Sulteng, 30 Oktober 2006. 587 Ibid. 588 Nama-nama 29 DPO Mabes Polri a.l: Kelompok Tanah Runtuh: Basri, Wiwin Kalahe alias Tomo, Agus jenggot alias Boiren, Nanto alias Bojel, Iwan Asapa alias Ale, Ardin alias Rojak, Iin alias Brur, Amril Ngiode alias Aat, Yudi Parsang, Dedi Parsang, Kholik Syafaat alias Rusdi, Sanusi, Enal, Hamdara Tamil, Anang, Nasir, Ateng Mardjo, Yasin Lakita, Tugiran, Sarjono, Aii Lakita, Opi Bonesompe, Udin alias Andi Bocor, Wahono, Rijal, dan Taufik alias Upik. Sementara itu, dari Kelompok KayamanyaKompak: Alex, Zulkifli, dan Mujadib Brekele, www.detik.com, 31 Oktober 2006. 589 Keluarga 26 Buronan Terorisme Poso akan Lawan Polisi : http://catatanposo.blogspot.com/2006/11/keluarga-26-buronanterorisme-poso-akan.html. 590 Tim Pencari Fakta Kasus Tanah Runtuh dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menkopolhukam, Oktober 2006, dengan beranggotakan: Irjen Pol Budi Utomo (Deputi V/Kamnas), Brigjen TNI Subaja Jiwapraja (Wadan Puspom TNI), Rahyono (Asdep 3/V), Brigjen Pol Abdurahman (Kapus Provos Mabes Polri) Brigjen Pol Wahyono (Waka BIK), Sukirno (Asdep 4/V), Tan Aspan (Asdep 4/IV), Sunarto (Staf BIN), Tri Jaladara (Depdagri), Kombes Pol Ruslan Riza (Wakapus Labfor Polri), Drs Najamuddin Ramli (PP Muhammadiyah), serta, Yahya Mangun (Ketua MUI Poso). 585 586
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
197
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
peristiwa itu anggota polisi terdesak dan panik.591 Penyataan ini bertentangan dengan temuan salah seorang anggota Tim Investigasi yang dibentuk masyarakat Muslim Tanah Runtuh, Harun Nyak Itam Abu, yang menyatakan bahwa warga tidak menyerang polisi, tapi sebaliknya polisi yang menyerang warga. Menurut Harun, sebelum peristiwa, aparat kepolisian sudah menyebar di sejumlah titik di sekitar Pesantren Amanah sejak sore hari.592 Belakangan, Tim Poso Komnas HAM yang diketuai Wakil Ketua Komnas HAM, Zumrotin K Susilo, melakukan monitoring ke Poso terkait kasus Tanah Runtuh. Pada tanggal 14 November 2006, Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM pada penyerangan aparat Brimob tersebut.593 Pelanggaran tersebut berupa penganiayaan oleh aparat kepolisian terhadap tiga petugas medis Rumah Sakit Umum Poso yang sedang bertugas saat mereka melintas di depan markas Polres Poso.
C.2. Ternyata, Kekerasan Belum Berhenti Di Poso Paska Malino, tingkat kekerasan yang melibatkan masyarakat menurun, sementara tingkat kekerasan oleh aparat keamanan (TNI dan Polri) meningkat. Ini membuktikan bahwa konflik dan kekerasan yang terjadi tidak semata-mata merupakan tindakan insidentil masyarakat sipil dan didasari motifmotif kepentingan kelompok yang bertikai. Sayangnya fakta keterlibatan anggota Polri dan TNI tidak secara tegas diakui. Apa yang terjadi ditengarai merupakan akibat ketiadaan aturan tentang mekanisme pengamanan dalam perjanjian Malino yang berbasis pada keamanan masyarakat Poso. Sebagai contoh, dalam Deklarasi Malino, pada bidang Keamanan dan penegakan Hukum, disebutkan point tentang pelucutan senjata. Kepolisian kemudian menyita ribuan senjata api dan amunisi. Namun di sisi lain, represi dengan menggunakan senjata api oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) meningkat. Bahkan terjadi bentrokan antara TNI dan Polri. Pada periode Januari-Februari-Maret 2006, setidaknya tercatat telah terjadi 3 kasus penembakan. Kasus tersebut menimpa Ferdy,594 warga Tomini, William, pemilik toko emas warga Palu Selatan pada saat terjadi aksi perampokan di tokonya bersamaan denga waktu sholat Jum’at, dan Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriadi. Peristiwa itu terjadi ketika Rudi dalam perjalanan dengan mengendarai sepeda motor menuju mesjid untuk menunaikan sholat Subuh pada 25 Januari 2006. Rudi masih sempat mengenali senjata yang digunakan pelaku yaitu revolver SNW (Snit Wasom) kaliber 38 mm.595 Kasatgas Poso Brigjen Pol A. Bambang Suedi yakin Menurut Kapolda Sulteng, “Karena warga membunyikan tiang listrik, tiba-tiba ratusan orang datang dan menyerang polisi sehingga polisi membuang tembakan peringatan ke udara dan meminta bantuan tambahan pasukan dari Polres Poso” : http:// catatanposo.blogspot.com/2006/11/tim-investigasi-tanah-runtuh-berdarah.html 592 Ibid. 593 Komnas HAM Temukan Pelanggaran pada Kasus TR, Radar Sulteng, 15 Nopember 2006. 594 Ferdy, warga Tomini, Kabupaten Parigimoutong, Sulteng, ditembak oleh empat orang penembak misterius pada 28 Februari 2006. Korban mengalami luka di bagian perut dan dalam kondisi yang kritis. Menurut Ajun Komisaris Besar Rais D. Adam, Juru Bicara Polda Sulteng, korban telah diikuti pelaku sepulang mengantar majikannya dengan mengendarai sepeda motor. Lihat, Koran Tempo, 2 Maret 2006, Warga Parigi Ditembak. 595 Jenis senjata digunakan oleh TNI dan Polri. Pada kasus penembakan terhadap Wisudawan Universitas Cenderawasih (Uncen) pada akhir Maret 2006, peluru yang bersarang di tubuh korban telah diidentifikasi oleh Puslabfor Mabes Polri juga berasal dari senjata yang sama yaiu revolver SNW berkaliber 38. Pada kasus Uncen ini sejumlah senjata api yang dimiliki oleh satuan Brimob diperiksa. 591
198
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
penembakan itu berkaitan dengan pengungkapan kasus di Poso.596 Selain penembakan misterius, aksi pengeboman masih terus berlangsung. Pengeboman597 pertama terjadi di dekat gereja GKST Jemaat Sion Poso pada 9 Januari 2006, sekitar pukul 22.30. Tidak berapa lama dari peristiwa peledakan bom tersebut, sekitar 50 meter dari lokasi peristiwa pada tanggal 10 Januari sekitar pukul 00.30, kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Poso yang terdiri dari kantor Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Dinas Perikanan, Dinas Peternakan, dan Badan Pengawas Daerah. Dalam suasana Poso yang masih tegang akibat aksi pengemboman dan kebakaran sejumlah kantor pemerintah, aparat TNI dari Batalyon Kavaleri Makassar dan Brimob malah saling baku tembak dari sore hingga malam hari itu.598 Di tengah situasi itu pada malam harinya (pukul 20.45 Wita) kembali sebuah bom meledak di depan kantor Satuan Tugas Penanganan Poso. Sejumlah peristiwa dalam hitungan 24 jam ini semakin menunjukkan ketidakberdayaan negara dalam mengatasi teror dan dirinya sendiri. Tiga hari kemudian, pada tanggal 13 Januari, teror melalui telepon menimpa Hotel dan Restoran Patimura, Poso. Hotel dan Restoran tersebut diancam akan diledakan. Empat hari kemudian, selama dua hari berturut-turut (17-18 Januari) Gereja Tolitoli juga mendapat ancaman serupa. Ledakan bom kembali terjadi pada tanggal 10 Maret, kali ini sasarannya adalah Pura Agung Jagatnata Stana, Poso. Ledakan ini mengakibatkan Nengah Sugiarta salah seorang warga mengalami lukaluka. Dua belas hari kemudian 500 meter dari Pura tersebut kembali terjadi ledakan bom, tepatnya di pos siskamling, namun tidak ada korban. Di antara ketidakberdayaan aparat keamanan menangkap para penyebar teror bom, masyarakat terus menemukan sejumlah bom rakitan. Aparat keamanan kemudian mengamankan sejumlah bom yang ditemukan di beberapa tempat.599 Pertama pada 4 Maret 2006, kemudian 9 Maret di halaman belakang SMU 1 Poso, dan terakhir 11 bom rakitan di Kelurahan Sayo, Poso Kota.600 Lalu siapa sebenarnya pelaku teror dan kekerasan yang berlangsung di bumi Sintuwu Maroso ini? Pemerintah mengatakan bahwa aksi kekerasan yang terjadi di Sulteng tidak terlepas dari jaringan teroris Al Qaidah (Hendropriyono, ketika menjadi Kepala BIN), atau terkait dengan teroris Umar Al-Faruq, buronon nomor 1 Amerika Serikat. Tanpa mau kehilangan muka pemerintah juga Ditembak dari Dekat, Kapolres Poso Lolos, Indopost, 26 Januari 2006. Di akhir tahun 2005 tepatnya tanggal 31 Desember, sebuah bom meledak di pasar Maesa, Palu, bom ini menewaskan 7 orang dan 54 lainnya mengalami luka-luka. Bom ini terjadi di tengah pasukan TNI/Polri memang tengah disiagakan untuk mengantisipasi aksi diteror yang biasa terjadi pada momentun Natal dan Tahun Baru. Beberapa saat setelah pengeboman pasar tersebut ditengah kesibukan aparat polisi dan intelejen mengidentifikasi lokasi, seorang paruh baya tanpa gentar menyampaikan protesnya dengan lantang, “tidak ada gunanya lagi polisi datang kemari. Korban sudah bergelimpangan.” 598 Peristiwa ini berawal dari penolakan seorang polisi diperiksa oleh Batalyon Kavaleri Makassar yang tengah melakuka sweeping di jalan Pulau Sumatera yang berjarak 300 meter dari Polres Poso. Sikap penolakan yang diikuti makian dan meludah ke arah anggota Yonkav memancing emosi anggota Yonkav. Polisi itu mengendari motor ke arah Markas Polres dan di kejar oleh anggota Yonkav. Sesampainya di Polres anggota Yonkav memukul seorang anggota Brimob dan melepaskan tembakan. Sekitar 100 meter seteleh anggota Yonkav meninggalkan Polres kembali terdengar rentetan tembakan dari arah Polres. 599 Selama Juli 2005-Januari 2006 pada operasi Situwu Maroso VII telah berhasil mengumpulkan 12 bom rakitan, 5 granat, 206 senjata api rakitan, 13 senjata api standar dan 1.327 butir amunisi. Keberhasilan aparat keamnan mengumpulkan senjata ini berkat semakin tumbuhnya kesadaran warga untuk menciptakan keamanan di Poso. 600 Kompas, 17 Maret 2006. Sumber lain mengatakan: Kepala Penerangan Satuan Tugas Pengamanan Poso AKBP Her Ariss menjelaskan bahwa 9 senjata api rakitan itu diamankan di wilayah Kelurahan Sayo, Poso Kota dan 5 bom rakitan aktif tersebut ditemukan di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota. 596 597
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
199
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
mengatakan aksi kekerasan yang terjadi masih dilakukan oleh kelompok-kelompok lama, tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud. Pertanyaannya, serapi itukah para penerbar teror melakukan aksinya sehingga sulit diendus oleh negara? Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror, pada 9 Februari 2006 sempat menangkap Ustad Sahal Alamri alias Sunarto. Penangkapan yang lebih tepat sebagai aksi penculikan ini dilakukan Densus 88 sekitar pukul 09.00 WITA, ketika Sahal tengah mengendarai sepeda motor di Jl. Pulau Sumatera, Poso kota. Ia di awalnya dibawa ke Mapolres Poso dan di evakuasi ke Mapolda Sulteng di Palu menggunakan helikopter, sampai akhirnya diterbangkan ke Jakarta dengan pengawalan ekstra ketat dan di introgasi selama sepekan di Mabes Polri. Pada 15 Februari 2006, Mabes Polri membebaskan Alamri karena tidak terbukti terlibat jaringan terorisme. Sampai saat ini polisi masih menahan 5 tersangka lainnya yang diduga terlibat aksi teror di Poso dan Palu, mereka antara lain adalah Wahid dan Khalid Topo berserta tiga orang lainnya belum diketahui identitasnya. Kelima orang ini ditangkap pada 7 Maret 2006 di Poso. Penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 ini menuai protes dari Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam Poso. Menurut Adnan Arsal, Ketua FSPUI Poso, Densus 88 telah melakukan berbagai penangkapan tanpa bukti serta penyiksaan terhadap warga muslim. Adnan meminta agar Densus ini segera ditarik keberadaannya dari Poso, jika tidak ummat Islam akan melakukan perlawanan fisik.601 Keberadaan Tim Koopskam tidak sepenuhnya mendapat sambutan positif di lapangan. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS mengakui terdapat resistensi atau penolakan602 terhadap keberadaan tim tersebut di Sulteng.603 Namun resistensi ini tidak begitu menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap penanganan kasus di Sulteng. Pemerintah malah memperpanjang keberadaan Tim Koopskam ini hingga Juni sebelum masa kerja 3 bulan pertama berakhir. Tanpa sungkan dengan situasi Sulteng yang masih jauh dari rasa aman, Widodo AS mengatakan bahwa Tim-tim itu sedikit banyak telah berhasil meredam aksi-aksi teror yang ada. Kritik terhadap kerja Koopskam juga disampaikan oleh Pendeta Damanik, Ketua Sinode Gereja Kristen Sulteng, menurutnya Satgas Poso belum menyentuk persoalan Poso secara komperhensif. Pemerintah berulangkali mengelak dari tudingan masyarakat bahwa konflik Poso tidak terlepas dari peran aparat pemerintah (TNI/Polri/Intelejen/pejabat korup) sendiri. Sinyalemen akan keterlibatan aparat ini kembali terkuak dari kesaksian para korban penembakan misterius yang dialami oleh Ivon Nathalia (18) dan Siti Nuraini (18) pada 8 Oktober 2005. Dalam testimoni pada 25 Maret 2006 yang mereka sampaikan kepada Kapolda Suteng, Oegroseno, kedua korban menyatakan mengenal lelaki yang menembak mereka adalah seorang polisi berpangkat Brigadir Polisi Satu yang bertugas di Polres Poso. Indikasikasi keterlibatan aparat dalam konflik Poso pun secara analistis telah disampaikan oleh KontraS, setidaknya dalam release yang dikeluarkan KontraS pada 21 November 2005, dalam catatan KontraS aksi kekerasan di Poso memiliki karakter kekerasan yang khas dengan pengetahuan dan Kemarahan ini dipicu oleh penangkapan terhadap Andi Ipong dan M Yusuf pada November 2005 lalu. Resistensi terhadap keberadaan Koopskam ini, tidak mengurangi dukungan masyarakat bagi terciptanya rasa aman di Poso. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah bom temuan masyarakat yang disampaikan kepada pihak keamanan. 603 Tim Pemantau Poso Masih Ditolak, Koran Tempo, 10 Maret 2006. 601 602
200
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
keahlian tertentu dalam beraksi secara tertutup: penembakan misterius, peledakan bom, dan pemenggalan di tempat-tempat sepi seperti kebun, ladang, atau jalan pintas. Kekerasan di tempat keramaian dilakukan di waktu-waktu tertentu yang sepi, dini hari dan larut malam. Termasuk upaya memicu momentum lokal dan nasional seperti bulan puasa, Hari Raya Idul fitri, Hari Natal, Tahun Baru, bahkan pergantian pasukan, hingga Pilkada. Selain itu, aksi kerap berdekatan pos keamanan setempat.604 Pada ledakan yang terjadi di depan Kantor Satuan Tugas Pengamanan Poso, sepertinya peneror mengirim pesan bahwa mereka tidak takut akan keberadaan Satgas itu. Sebagaimana pula jauh sebelumnya telah banyak tim-tim dan operasi di gelar namun tidak berhasil menghentikan aksi para penyebar teror. Ini menujukkan respon monoton pemerintah ini sudah sangat dikuasai oleh pelaku dan tidak dianggap serius, sehingga mereka tetap terus memelihara kekerasan di sana. Pihak kepolisian sendiri sepertinya telah memiliki sejumlah sinyalemen yang sama, setidaknya pada bulan November 2005, informasi yang dihimpun pers dari kepolisian membenarkan adanya gerakan yang teroganisir dari Jakarta yang terus menghembuskan teror di Poso dan Palu. Sinyalemen serupa secara implisit juga disampaikan oleh Kapolda Sulteng, Oegroseno, yang meragukan keterlibatan Noor M Top dalam serangkaian teror disana. Menurut Oegroeseno, Noor Din Top tidak mempunyai kepentingan di Poso. Ditambahkan, pelaku teror di Poso lebih tertuju kepada “teroris opportunis”. Sekalipun tidak menjelaskan siapa sesungguhnya yang dimaksud, namun sepertinya Kapolda ini memiliki pengetahuan sendiri tentang siapa yang bermain di Poso. Upaya melacak keterlibatan aparat ini seperti mulai dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal ini ditunjukkan dengan dilakukannya uji balistik terhadap 15 senjata api jenis revolver milik anggota Polres Poso, dibawa ke Laboratorium Forensik Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk uji balistik.605 Lima belas pucuk senjata api merek Colt 38 dan Smith & Wesson (S&W)606 itu diduga pernah digunakan dalam kasus penembakan misterius di Poso. Berulangnya kegagalan negara membongkar jaringan dari pelaku kekerasan di Palu dan Poso ini, membuat masyarakat mendesak negara untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.607 Tim yang diusulkan ini terdiri dari individu-individu yang kredibel, independen dan berpengalaman serta memperhatikan perwakilan-perwakilan masyarakat, terutama masyarakat Poso dan Palu. TGPF ini nantinya difokuskan untuk membongkar jaringan dan jenjang pelaku kekerasan yang berlangsung sejak 1998 lalu.608 Menurut Asmara Nababan, keberadaan TGPF ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang semakim merosot terhadap aparatur negara. Usulan sejenis juga sempat dilontarkan oleh anggota DPR ketika melakukan rapat dengar pendapat antara Komisi Hukum dan HAM dengan Kapolri Jenderal Sutanto di DPR RI 30 Januari 2006.609 Modus operasi di atas diikuti kelihaian dalam cara melarikan diri sehingga terhindar dari monitor aparat yang sungguh-sungguh menjaga keamanan. Keahlian lainnya, memiliki kemampuan eksekusi terampil, mampu menembak tepat sasaran tubuh korban yang vital, survey tempat dan profil korban serta akses mendapatkan, menggunakan dan menyimpan alat yang digunakan berupa senjata api, amunisi, dan bahan peledak. 605 Siaran Pers KontraS Sulawesi, 18 Maret 2006. 606 Jenis senjata yang sama dengan yang melakukan penembakan terhadap Kapolres Poso Rudi. 607 Menurut Asmaran Nababan TGPF akan sulit terbentuk tanpa dukungan yang kuat dari dunia Internasional. 608 Siaran pers KontraS No.38/SP-KontraS/XII/05: Peledakan Bom di Pasar Daging Maesa Palu. 609 DPR sebelumnya juga pernah membentuk Pansus tentang Poso pada tahun 2005 namun hasil tidak banyak berarti. 604
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
201
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Namun gagasan ini ditolak oleh Kapolri dengan alasan polisi masih bisa mengendalikan keamanan. Pendapat serupa juga disampaikan perwira tinggi Mabes Polri yang ditugaskan di Koopskam Sulteng, ia meragukan efektifitas dari TGPF ini seperti TGPF-TGPF lainnya, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan TGPF yang sebelumnya. Menurutnya lebih penting mendorong kinerja aparat penegak hukum disana agar bisa bekerja lebih optimal. Konflik secara massif antar kelompok berlatar agama di Poso dapat dikatakan telah berakhir sejak tahun 2002. Namun teror di Poso dan Palu masih terus terjadi hingga saat ini. Sepanjang tahun dari awal konflik hingga Maret 2006 teror berupa pengeboman, penembakan misterius dan pembunuhan mutilasi masih terjadi.
C.3. Bom dan Kekerasan yang Tetap Hidup di Poso Bom terus meledak di Poso. Peristiwa ini terjadi di Kompleks Pura Jagat Nata Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir Sulawesi Tengah pada tanggal 10 Maret pukul 07.30 Wita. Akibat dari ledakan bom ini seorang warga (I Nengah Sugiharto, 40, sekretaris kelurahan Kasiguncu) mengalami luka serius di bagian kaki sebelah kiri. Ironisnya, lokasi kejadian peristiwa hanya berjarak + 500 meter dari Markas Kompi IV Brimob Polda Sulteng atau hanya berjarak 100 meter dari pos jaga Brimob. Ledakan bom yang tejadi di Desa Toini ini merupakan bagian dari pemeliharaan kekerasan di Poso dalam 7 tahun terakhir. Dalam 3 tahun terakhir, kekerasan yang terjadi di Poso merubah pola kekerasan dari terbuka menjadi kekerasan secara tertutup dengan cara penembakan misterius dan pengeboman, sebagaimana yang nampak dari kasus terakhir di Desa Toini. Peristiwa ini juga menjadi cermin bahwa selama ini proses penegakan hukum tidak dilakukan dalam upaya penciptaan perdamaian di Poso. Yang terjadi hanya kegiatan-kegiatan simbolik berupa penempatan-penempatan pos-pos Polisi dan TNI (dengan sandi Operasi Sintuwu Maroso (20012005) dan Operasi Lanto Dago (2005-sekarang). Bahkan, melalui Inpres No. 14 Tahun 2005 tentang Pemulihan Situasi Poso, Pemerintah telah membentuk satuan operasi teritorial seperti Satuan Tugas (Satgas) Poso dan Palu, Koopskam Sulteng, namun upaya itu seakan tidak punya makna apa-apa. Nyatanya rangkaian kekerasan di Poso pun semakin massif. Tabel III.15 Kekerasan di Sulawesi Tengah pada Periode Januari – Maret 2006 No
Kasus
Jumlah Kasus
Korban Meninggal
Pelaku
Luka-Luka
1
Peledakan bom
4
2
Penemuan bom
4
OTD
3
Terror Bom
2
LLD (21), OTD
4
Penembakan
3
5
Penangkapan
1
202
1
1
1
Orang Tak Dikenal (OTD)
OTD Detasemen 88
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
6
Amuk massa
1
Massa
7
Terror lainnya
1
Orang Tertentu
8
Perseteruan Aparat
1
TNI dan Polisi
9
Pembakaran
1
OTD
Sumber: Litbang KontraS. KontraS sendiri mendesak dan menuntut agar pemerintah Pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasi keamanan dan kebijakan yang telah dibuat berkaitan dengan persoalan Poso. Pemerintah Pusat juga segera menghentikan berbagai rekayasa yang terjadi dengan tujuan pemeliharaan kekerasan, intimidasi dan trauma di masyarakat Poso sehingga upaya rekonsiliasi menjadi gagal. KontraS juga meminta agar para tokoh agama dan masyarakat di Poso dengan sepenuh hati mencari dan mendorong formulasi penyelesaian persoalan di Poso secara komprehensif, diluar upayaupaya simbolik yang dilakukan pemerintah lokal dan pusat. Diharapkan pula, para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Poso menghimbau masyarakat agar tidak terpancing tindakan-tindakan provokatif yang berusaha memperluas konflik. Sementara itu, rencana Polisi Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk melakukan Uji Balistik atas 15 anggotanya yang diduga terlibat aksi kekerasan, merupakan langkah maju dan patut dihargai. Langkah Polisi untuk melakukan Uji balistik atas anggotanya ini sendiri, merupakan contoh yang baik bagi kesatuan Aparat Keamanan lainnya.Sebaiknya langkah yang telah ditempuh pihak Kepolisian ini juga diikuti oleh Kesatuan Keamanan lainnya, seperti TNI dan Unit-unit Intelejen dari berbagai Kesatuan Kabupaten Poso, wilayah Sulawesi Tengah dijadikan daerah konsentrasi operasi Intelejen, dimana aparat Intelejen juga banyak yang dipersenjatai. Hingga, lebih baik lagi kalau Uji Balistik dilakukan secara menyeluruh atas Aparat Keamanan baik TNI maupun Polri, termasuk agen-agen Intelejen baik yang berasal dari daerah maupun Pusat, sebaiknya Uji Balistik dilakukan menyeluruh bagi seluruh kesatuan dan tingkatan. Langkah Uji Balistik menyeluruh ini adalah pilihan terbaik yang harus dilakukan.
C.4. Pelatihan Militer Di Wilayah Poso Rabu 19 April, aparat TNI Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso Poso mengerahkan pasukannya ke Kota Tentena, Ibu Kota Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso. Mobilisasi ini tidak dilakukan dalam rangka latihan tetapi dengan tujuan menghadapi aksi protes warga Poso. Sebagaimana diketahui sejumlah masyarakat gencar melakukan protes atas ketidakadilan dan intimidasi yang dialami masyarakat korban dalam proses pembebasan lahan di mega proyek PLTA Sulewana Poso. Aksi show of force ini merupakan bentuk persekongkolan antara PT. Bukaka Group dan TNI sebagai teror psikologis bagi masyarakat yang menuntut keadilan atas haknya. Tindakan ini juga menunjukkan bahwa mobilisasi dan penguatan instalasi militer seperti pembentukan Batalyon organik TNI/Polri ataupun dalih operasi pemulihan keamanan di Poso juga digunakan sebagai alat pengaman kepentingan bisnis segelintir elite politik dan elite bisnis.
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
203
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Padahal, patut dikhawatirkan konflik dan kekerasan justru dipelihara di Poso karena menguntungkan bagi upaya pengamanan pembangunan PLTA Sulewana, Poso. Kita juga mengkhawatirkan, tindakantindakan kritis masyarakat dalam menentang ide pembangunan PLTA, menolak pembebasan tanah untuk kepentingan tersebut atau menuntut pemenuhan hak sebagai kompensasi pembangunan akan dianggap sebagai kelompok yang membahayakan bagi kondisi Poso. Hal ini jelas merupakan modus kriminalisasi masyarakat di wilayah konflik seperti Poso demi kepentingan pembangunan dan perluasan bisnis. Untuk itu KontraS, meminta Panglima TNI untuk segera menghentikan kegiatan pelatihan militer TNI 714 Sintuwu Maroso di Tentena karena telah menimbulkan kembali trauma warga yang tujuh tahun terakhir ini menghadapi ancaman keamanan. Termasuk pula meminta otoritas pembangunan PLTA Sulawena dan Menteri Pertahanan untuk tidak membiarkan keterlibatan TNI dalam pengamanan bisnis Pembangunan PLTA Sulewana. Karena, pengamanan yang terbaik di Poso adalah pemenuhan hak-hak masyarakat.
C.5. Salah Tangkap Atas Dalih Terorisme KontraS, Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS HAM) Sulteng, dan Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pengacara Indonesia (DPD SPI) Sulteng mendesak Kapolda agar segera melakukan klarifikasi atas penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri di Palu. Pada Senin 8 Mei 5, Densus 88 akan melakukan penangkapan atas Taufik Bulaga warga kelurahan Lawanga, Kabupaten Poso. Termasuk pula sebelumnya, kasus penangkapan orang yang disangka teroris di Kabupaten Tolitoli, Sabtu (6/5). Penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri saat ini memang sedang gencar dilakukan, terutama ditujukan kepada orang-orang yang dianggap terlibat tindak Terorisme. Namun, sejumlah penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri ini, telah mengundang reaksi dan protes dari masyarakat luas. Protes dari masyarakat luas ini, terutama berkaitan dengan cara-cara penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri, yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya, dimana kerapkali diiringi dengan tindak kekerasan. Contoh, tindak kekerasan ini data dilihat dari kasus salah tangkap oleh Densus 88 Anti Teror Polri di Desa Pandajaya, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso, pada 1 Juni 2005 lalu. Penangkapan warga Desa Pandajaya ini sendiri mengakibatkan kurang lebih 10 orang warga menjadi korban salah tangkap dan tindak penyiksaan. Operasi penangkapan yang dipimpin oleh Kompol Ricky Naldo CH Sik (Wakapolres Poso saat itu). Kasus ini sendiri telah dilakukan Pra-Peradilan yang dimenangkan warga korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Poso Juli 2005 lalu. Kondisi ini berkaitan dengan masalah landasan hukum pemberantasan tindak terorisme seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dimana harus diakui cukup rentan untuk salah pengertian dalam prakteknya. Seperti Pasal 26 ayat (1) tentang bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan Intelejen. Secara umum Perpu ini memang kontroversial.
204
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
C.6. Tuntutan Evaluasi Koopskam Hingga saat ini, pemerintah tetap tidak pernah memperlihatkan keseriusannya dalam upaya untuk menegakan hukum di Poso. Adanya Komando Operasi Keamanan (Koopskam), yang telah berjalan enam bulan (Januari-Juni 2006) belum membawa kemajuan konkret dalam membongkar otak kejahatan di Poso. Hal ini, terlihat jelas dengan tidak adanya kemajuan penanganan aksi kekerasan yang terjadi di wilayah konflik itu. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi Koopskam guna mengetahui masalah dan kendala-kendala yang dihadapi, termasuk mengumumkan laporan hasil kerja dari Koopskam kepada masyarakat. Selama tahun 2006, telah terjadi 21 peristiwa kekerasan yang menimbulkan tiga orang korban. KontraS sendiri mencatat langkah Koopskam dalam upaya penegakan hukum atas peristiwa itu, termasuk yang terjadi di 2005, belum mendapat hasil maksimal. Malah kerap membuat masyarakat merasa kurang nyaman. Berbagai kasus salah tangkap yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror dengan dalih memberantas terorisme, telah ikut menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum. Misalnya, pada kasus Sahal Alamri, ditangkap 9 Februari, lalu dilepas pada 15 Februari. Termasuk beredarnya surat-surat kepolisian seperti kasus penangkapan Taufik Bulaga pada 8 Mei 2006. Kondisi ini ditambah runyam dengan penempatan pasukan sebanyak dua ribuan personel yang tersebar di berbagai kecamatan di Poso, seperti Poso Pesisir, Pamona dan Lage. Aparat yang kerap membawa senjata secara terbuka, telah membuat situasi jauh dari kondusif, ditambah lagi dengan pertikaian aparat keamanan pada 10 Januari 2006. Ketidakseriusan penegakan hukum juga terlihat jelas pada saat penggalian kuburan dan upaya rekonstruksi atas beberapa kejadian di masa lalu memicu pro kontra di tengah masyarakat, seperti kasus penggalian kuburan mendadak pada 10 Mei 2006. Ada kesan ini dilakukan tanpa perencanaan strategis, serta tanpa melibatkan Komnas HAM dan ahli-ahli independen, serta mekanime yang benar dan sesuai standar internasional. Hal ini juga kian dipicu dengan beredarnya selebaran-selebaran gelap yang bertujuan memicu pertikaian kelompok masyarakat di Poso, Palu dan sekitarnya. Selebaran gelap ini juga berisi tuduhan negatif terhadap tokoh-tokoh masyarakat dengan sentimen agama. Sementara itu, hal senada telah pula dilontarkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju yang menyatakan, keberadaan Koopskam sudah tidak diperlukan lagi. Karena menghimpun kekuatan di masyarakat untuk bersatu teguh, lebih harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Berdasarkan kondisi di atas KontraS mendesak Presiden SBY untuk segera mengevaluasi implementasi Inpres No 14 tahun 2005, tentang penyelesaian konflik poso secara komprehensif dan mengumumkan hasilnya ke masyarakat. Evaluasi juga harus mencakup audit anggaran operasi pemulihan keamanan dan penegakan hukum di poso (Operasi Cinta Damai, Operasi Maleo I-IV, Operasi Sintuwu Maroso I-VII, Koopskam serta Satgas Poso dan Satgas Palu), secara transparan dan terbuka.
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
205
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
C.7. Satu Tahun Bom di Tentena KontraS, Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) kembali mempertanyakan proses hukum dari kasus ledakan bom di Tentena tersebut. Kita tak akan pernah bisa melupakan begitu saja, karena ledakan-ledakan tersebut telah menewaskan 22 orang dan melukai 75 orang. Dan nyatanya, peristiwa kekerasan dari pemboman ini bukan merupakan ledakan yang terakhir. Karena, pemboman, penemuan bom dan ancaman adanya bom terus terjadi di Sulawesi Tengah.
Tabel III. 16 Pemboman, Penemuan dan Ancaman Bom di Sulawesi Tengah (28 Mei 2005 – 28 Mei 2006) No
Keterangan
Jumlah Kasus
Laki-laki MD
Lk
Korban Perempuan Campur Anak Luka MD Luka MD Lk L/P L P L P
1
Pemboman
11
14
4
15
2
121
1
-
-
-
2
Penemuan bom
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Ancaman bom
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Total
23
14
4
15
2
121
1
-
-
-
Sumber : Litbang KontraS, 2006. Keterangan: MD = meninggal dunia, Lk = luka.
Paska pemboman Pasar Tentena, dalam rangka mengusut pelaku dan motif peledakan ini, jajaran Mabes Polri, Polda Sulawesi Tengah dan Polres Poso menggelar operasi penangkapan terhadap sejumlah warga masyarakat yang diduga terlibat. Pada 1 Juni 2005 sejumlah aparat kepolisian menangkap 4 warga desa Pandajaya tanpa prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seperti yang kerap dan lazim dilakukan oleh aparat kepolisian kita. Maka, pada saat mereka ditangkap dan diinterograsi, mereka mengalami berbagai macam bentuk penyiksaan dan segala bentuk kekerasan serta intimidasi lainnya. Padahal jelas-jelas hal ini melanggar UU nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, atau merendahkan martabat manusia. Dan, sebulan paska pemboman pasar Tentena, aparat keamanan kembali kecolongan dengan terjadinya pemboman dan penemuan bom di Poso. Entah seperti sebuah rekayasa sandiwara, nyatanya pemboman, penemuan dan ancaman bom yang terbaru seringkali menutupi kasus-kasus pemboman yang sudah lama, dan bahkan mengubur kasus-kasus tersebut tanpa ada pengungkapan dan proses hukum. Disisi lain respon aparat keamanan yang seringkali tidak strategis malah menyebabkan timbulnya rasa tidak aman didalam masyarakat. Hal ini terbukti, setiap ada peristiwa kekerasan, akan dijawab dengan adanya penambahan jumlah aparat keamanan di Poso. Contohnya kasus pemboman
206
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
pasar Maesa di akhir tahun 2005 dijawab dengan pembuatan Komando Operasi Keamanan (Koopskam) yang langsung dibawahi Menkopolhukam Widodo AS. Sementara itu, pembentukan Koopskam ini sendiri, tidak dibarengi dengan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan yang tergabung dalam operasi atau satuan tugas lainnya, sehingga kehadiran Koopskam tidak juga membawa manfaat bagi kedamaian di Poso. Bahkan untuk menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di Poso, pemerintah menjadikan Poso sebagai Polres Khusus. Dengan Polres Khusus ini, jumlah antara aparat keamanan dengan jumlah penduduk dalam komposisi yang ideal. Poso merupakan satu-satunya wilayah yang mendapatkan kekhususan dimana tiap desa memiliki minimal satu polisi desa. Nyatanya pola seperti ini tidak menjamin masyarakat merasa nyaman, karena hingga hari ini tidak ada evaluasi atas keberadaan polisi desa. KontraS, LPS-HAM dan PBHI, telah menuntut dan mendesak adanya pengusutan semua kasus kekerasan secara transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas adanya penegakan hukum. Termasuk segera dilakukan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan yang bertugas di Sulawesi Tengah, yakni kinerja Koopskam, Satgas Poso, Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri, dan seluruh aparat yang terkait agar terciptanya perdamaian di Poso.
C.8. Eksekusi Mati Fabianus Tibo Cs Setelah melalui negoisasi yang alot, pada tanggal 25 Juli 2000 di Desa Beteleme, Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu akhirnya menyerahkan diri kepada Komandan Batalyon II Operasi Cinta Damai, Kapten Infanteri Agus Firman Yuswono dan Kapten CZI. Aldi Rinaldy dan kemudian diserahkan kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.610 Walaupun berbagai usaha telah dilakukan oleh ketiga terpidana mati Poso itu bersama dengan pengacaranya, akhirnya pada tangal 10 Nopember 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Biro Hukum Sekretariat Negara RI menolak permohonan Grasi para terpidana yang diajukan oleh Tim Pembela Kemanusiaan. Harapan untuk keadilan dan pengungkapan kebenaran atas konflik yang terjadi di Poso dikhawatirkan banyak pihak. Setelah melalui penundaan karena gejolak masyarakat baik di Sulawesi Tengah, Jakarta dan Nusa Tenggara timur yang menolak pelaksanaan eksekusi mati tiga terpidana akhirnya pada tanggal 22 September 2006, kejaksaan tinggi Sulawesi Tengah memerintahkan tiga regu tembak dari Brimob Polda Sulteng melakukan eksekusi di sebuah lokasi di kota Palu. Pro kontra pelaksanaan eksekusi mati Tibo CS tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat, institusi negara – kejaksaan dan kepolisian pun berseteru atas dasar pelaksanaan eksekusi, Kapolda Sulteng, 610
Selanjutnya oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah didakwa telah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana, Pembakaran dan Penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut” pada bulan Maret hingga Juli 2000 di Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya Kecamatan Poso Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir Tepi Sungai Poso Desa Tagolu Kecamatan Lage. Bahwa perbuatan berupa Pembunuhan, Pembakaran, Penculikan, Penganiayaan pada dasarnya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai (Kristen-Islam), Permohonan GRASI ketiga Terpidana Mati, Tim Pembela Hak Asasi Manusia (TP-HAM), 2005
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
207
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Brigjen Pol Oegroseno akhirnya dimutasi oleh petinggi Mabes Polri karena sikapnya yang menolak perintah pelaksanaan eksekusi mati ketiga terpidana. Menjelang pelaksanaan eksekusi mati ketiga terpidana, di sejumlah daerah seperti di Tentena, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur bereaksi dengan melakukan aksi protes yang disertai dengan pembakaran kantor-kantor pengadulan dan kejaksaan. Keesokan harinya, 23 September 2006 di Desa Polenganyara Pamona Timur terjadi pembunuhan terhadap dua pedagang ikan asal Masamba, Sulawesi Selatan. Saat itu warga Polenganyara melakukan sweeping di jalan trans Sulawesi sebagai reaksi penolakan eksekusi mati Tibo Cs.
C.9. Penembakan Pendeta Irianto Kongkoli Senin, 16 Oktober 2006, sekitar pukul 08.20 Wita kembali terjadi penembakan di Palu ibu kota Sulawesi Tengah terhadap Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST, Pdt. Irianto Kongkoli Mth. Korban meninggal di tempat setelah sebuah timah panas menerjang kepala bagian kiri (belakang) korban. Keterangan yang berhasil dihimpun jaringan Pokja Poso di Palu menyebutkan korban bersama dengan isterinya hendak belanja keramik di Toko bangunan Sinar Kasih, Jl, Monginsidi Palu. Saat masuk di pintu toko tiba-tiba sebuah tembakan dari arah belakang korban menembus kepala bagian belakang. Korban langsung jatuh dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saksi di tempat kejadian peristiwa melihat dua orang lelaki berboncengan dengan sepeda motor Honda Supra menembak orang nomor dua di Majelis Sinode GKST itu. Setelah melakukan aksinya penembak itu langsung tancap gas ke arah selatan poros Jl. Monginsidi. Pola yang digunakan pelaku serupa dengan beberapa kasus penembakan misterius lainnya yang kerap terjadi di Poso – pelaku berboncengan, menggunakan sepeda motor dan dilakukan ditempat terbuka (ramai). Penembakan dengan korban “targeting” ini bukan pertama kali terjadi di Palu dan Poso. Pada tanggal 16 Nopember 2003 Bendahara Sinode GKST, Orange Tadjoja yang ditemukan tewas di Poso Pesisir dengan luka tembak dan pukulan benda keras dibagian kepala, kemudian tertembaknya seorang pendeta perempuan GKST, Pdt. Susianti Tinulele saat berkhotbah didepan jemaatnya di gereja Effata Palu pada tanggal 18 Juli 2004, dan serangkaian peristiwa lainnya yang telah mengakibatkan meninggalnya warga sipil di Poso dan Palu. Di Tentena, ibukota Kecamatan Pamona Utara ribuan warga terkonsentrasi setelah mendengar berita tertembaknya pendeta Kongkoli. Konsentrasi massa di tentena akhirnya dapat dikendalikan oleh tokoh agama dan masyarakat setempat dengan mengarahkan pelaksanaan doa untuk almarhum disejumlah gereja. Atas peristiwa itu, KontraS, HRWG, Imparsial, LPSHAM, KontraS Sulawesi, YLBHI, PBHI, Poso Marowali Watch mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah ekstra untuk menangani teror yang kerap terjadi di daerah sulawesi Tengah. Dalam siaran persnya pada tanggal 16 Oktober 2006, sejumlah organisasi itu menegaskan bahwa segala bentuk teror dan kekerasan yang terjadi di
208
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
Poso sungguh tidak bisa ditolerir lagi. Kekerasan yang berlangsung lama di depan ribuan aparat keamanan yang menjaga daerah itu merupakan konfigurasi yang sangat paradoks. Penanganan segala bentuk teror kekerasan yang terus berulang ini tidak lagi dimungkinkan dengan cara biasa seperti penambahan pasukan atau pembentuk Koopskam yang terbukti gagal bahkan dipermainkan oleh para penyebar teror. Sebagai tindakan mendesak Kepolisian diminta untuk melakukan penyelidikan atas pembunuhan ini serta melakukan pengamanan terbadap masyarakat serta upaya pencegahan atas kekerasan tidak terus terjadi. Juga sepatutnya diambil langkah ekstra oleh pemerintah dalam menjawab spekulasi dan kekerasan yang terus berlangsung ini. Pemerintah pusat didesak turun langsung dalam pemulihan situasi di Poso dan Palu, baik keamanan maupun kesejahteraan masyarakat dan langkah ini barus ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta yang bertugas untuk menyelidiki kasus-kasus yang mendapat perhatian masyarakat luas, serta menjadikan basis penyelidikannya untuk dapat ditindak lanjuti secara projusticia, sekaligus dapat mendorong rekonsiliasi antar warga yang lebih subtantif.
C.10. Bentrokan Di Malam Lebaran Persis pada malam Lebaran, 22 Oktober 2006 terjadi bentrokan di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota antara ratusan warga setempat dengan puluhan aparat kepolisian (Brimob).611 Bentrokan terjadi sekitar pukul 21.15 WITA di saat warga sedang mempersiapkan tempat untuk ibadah sholat Ied. Satu orang menjadi korban, Syaifuddin alias Udin. Selain jatuh korban jiwa juga terdapat tiga orang yang luka tertembak, beberapa kendaraan polisi dan kantor Polmas (Polisi Masyarakat) di wilayah Gebangrejo rusak dibakar612. Keesokan harinya, di hari Lebaran, 23 Oktober 2006 bentrokan berulang lagi antara ratusan pengantar jenazah Udin dengan anggota Brimob di Jalan Pulau Seram.613 Massa pengantar jenazah meneriaki dan melempari aparat Brimob dengan batu dan dibalas dengan melepaskan tembakan yang menciderai tiga penduduk sipil, salah satunya adalah anak berusia 3 tahun yang sedang bermain di depan rumahnya.614 Di hari yang sama rumah kontrakan sejumlah aparat kepolisian di Jalan Pulau Alor dan Gereja Eklesia di Jalan Pulau Seram, Gebang Rejo dibakar oleh orang yang tidak dikenal.615 Pasca bentrok, Polri menetapkan dua tersangka yang dituduh membawa senjata tajam di lokasi.616 Ada dua versi peristiwa bentrokan di Tanah Runtuh 22 Oktober 2006 tersebut; versi polisi menyatakan wargalah yang terlebih dahulu menyerang polisi saat operasi razia –untuk mengamankan Idul Fitrisenjata tajam dan senjata api.617 Meski pihak Polri menyatakan akan menyelidiki dan mengevaluasi peristiwa tersebut secara internal,618 namun pada hasil akhirnya pihak Polri tetap bersikukuh bahwa Keamanan Poso; Kekhawatiran Itu Kembali Menjadi Kenyataan, Kompas, 26 Oktober 2006. Polisi dan Warga Bentrok di Poso, 2 Tewas, Suara Pembaruan, 23 Oktober 2006. 613 Warga-Brimob Bentrok di Poso; Empat Warga Tertembak, Republika, 26 Oktober 2006. 614 Hari Lebaran, Poso Rusuh, Koran Tempo, 26 Oktober 2006. 615 Mob attacks police house in Poso, the Jakarta Post, 26 Oktober 2006. 616 Polisi Tetapkan Dua Tersangka Kasus Penembakan Poso, Koran Tempo, 27 Oktober 2006. 617 Polisi dan Warga Bentrok di Poso, 2 Tewas, op cit. Polisi Klarifikasi Penyebab Bentrokan Akhir Pekan Lalu, Kompas, 29 Oktober 2006. Polisi Temukan Bukti Penyerangan terhadap Aparat, Koran Tempo, 30 Oktober 2006. 618 Delapan Brimob Diperiksa Terkait Kasus Poso, Koran Tempo, 1 November 2006. Polisi Akan Rekonstruksi Kasus Poso, Koran Tempo, 3 November 2006. 611 612
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
209
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
polisi telah melaksanakan prosedur secara benar.619 Sementara versi kedua justru menuduh aparat polisi yang melakukan serangan terlebih dahulu.620 Peristiwa ini baru menjadi lebih terang ketika Polri mengumumkan kepada publik daftar 29 nama DPO (Daftar Pencarian Orang) pada akhir Oktober 2006.621 Nampaknya polisi memperoleh informasi bahwa banyak para pelaku teror dan kekerasan di Poso khususnya penembakan Pdt. Kongkoli di Palu- mengarah ke Tanah Runtuh.622 Alasan peristiwa 22 Oktober 2006 karena operasi razia semata menjadi mencurigakan. Ketidakjelasan versi mana yang bisa dipertanggungjawabkan inilah kemudian mendorong H. Adnan Arsal -Ketua Forum Silaturahmi Umat Muslim (FSPUI) Poso - meminta pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen atas berbagai masalah di Poso, termasuk insiden Gebang Rejo ini623. Pasca dua kali bentrokan warga Tanah Runtuh dengan Brimob, Ketua Majelis Taklim Khalid bin Walid, Sugianto Kaimuddin -usai khotbah Sholat Ied- membacakan pernyataan sikap pimpinan Ormas dan Parpol Islam yang intinya mendesak Kapolri menarik seluruh anggota Brimob BKO dari Poso dalam tempo 1x 24 jam dan mengembalikan 4 petinggi Polri dari Poso.624 Keempat petinggi Polri tersebut adalah Paulus Purwoko, Wenas, FX Sunarko, dan Gories Mere.625 Keempatnya merupakan figur Kristen. Operasi di malam Lebaran ini tentu saja mengundang banyak kecurigaan mengingat dilaksanakan pada momen terpenting umat Islam mempersiapkan hari yang dianggap paling sakral dan mengapa operasi itu dipimpin oleh figur Kristen. Kecurigaan ini kemudian bisa dijadikan hipotesa bahwa operasi 22 Oktober 2006 ini bertujuan untuk memprovokasi kemarahan orang-orang yang menjadi target buruan polisi untuk bergerak turun menunju Tanah Runtuh. Setelah mereka berkumpul membawa amarah, maka Polri kemudian bisa menggulung mereka pada operasi penyerbuan lanjutan (11 Januari 2007 dan 22 Januari 2007). Keanehan akan tidak sensitifnya Polri juga bertambah mengingat pasca penembakan Pdt. Kongkoli di bulan Ramadhan, berbagai pihak termasuk BIN- memberikan petanda bahwa Lebaran di Poso memiliki kemungkinan rusuh626. Berakhir pula kebijakan keamanan berbasis polisi masyarakat. Polisi kemudian menjadi sasaran kebencian masyarakat. Reaksi pasca rusuh Lebaran di Tanah Runtuh juga direspon oleh kalangan petinggi di Jakarta. Salah satunya dari Wapres Jusuf Kalla yang juga merupakan inisiator Deklarasi Malino. Jusuf Kalla merespon tuntutan para tokoh Islam dengan sikap keras bahwa pemerintah tidak bisa menerima ultimatum dari siapa pun627 dan justru mendukung pemberlakuan UU Antiteror kepada mereka yang dituduh teroris oleh Polisi.628 Sikap ini kembali dinyatakan Kalla yang didampingi oleh MenkoPolhukam, Menkumham, dan Kapolri, saat datang ke Palu untuk bertemu dengan para pejabat pemerintahan Sulawesi Tengah Kepala BIN Ingatkan Komitmen Adnan Arsal, Kompas, 7 November 2006. Hari Lebaran, Poso Rusuh, op cit. 621 Tokoh Islam Diberi Daftar Buron Poso, Media Indonesia, 1 November 2006. Polri Ungkap Nama Pelaku Teror Poso, Media Indonesia, 2 November 2006. Police seeks 29 people for involvement in Poso terrorism, the Jakarta Post, 2 November 2006. 622 Wapres: Tangkap Teroris di Poso; Pemerintah Didesak Bentuk Tim Pencari Fakta, Kompas, 27 Oktober 2006. 623 Ibid. 624 Warga-Brimob Bentrok di Poso; Empat Warga Tertembak, op cit. 625 Pasukan BKO Brimob Tidak Ditarik dari Poso, Suara Pembaruan, 26 Oktober 2006. 626 Lebaran di Poso Dirancang Rusuh, Republika, 17 Oktober 2006. BIN warns of more Sulawesi unrest, the Jakarta Post, 17 Oktober 2006. 627 Warga Jangan Ultimatum; Wakil Presiden Kemungkinan Akan ke Poso, Kompas, 26 Oktober 2006. 628 Wapres: Tangkap Teroris di Poso; Pemerintah Didesak Bentuk Tim Pencari Fakta, op cit. 619 620
210
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
dan tokoh-tokoh agama Islam dan Kristen- pada tanggal 29 Oktober 2006.629 Hasil yang menarik dari pertemuan itu adalah bersedianya pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta -yang kemudian dipimpin oleh MenkoPolhukam Widodo AS- yang melibatkan unsur masyarakat, namun hanya untuk insiden Gebang Rejo 22 Oktober 2006.630 Pernyataan ini sejalan dengan sikap Polri yang justru menambah 1.000 personel lagi ke Poso.631 Pihak TNI, melalui Kodam VII/Wirabuana juga menambah pasukannya ke Poso sebanyak satu Batalyon.632 Sementara itu sikap beberapa kelompok Muslim juga tetap tegas meminta penarikan aparat Brimob BKO. Ribuan massa dari 22 ormas Islam –dipimpin oleh Adnan Arsal- melakukan demonstrasi di Poso pada tanggal 30 Oktober 2006, sehari setelah pertemuan antara Jusuf Kalla dengan para tokoh Poso633.
C.11. Polri Menetapkan 29 DPO (Daftar Pencarian Orang) Pasca penembakan Pdt. Kongkoli pada pertengahan Oktober 2006, Polri nampaknya sudah berancangancang mempersiapkan suatu operasi pengejaran terhadap mereka yang dituduh sebagai para dalang perusuh Poso dan bertanggung jawab atas berbagai aksi teror dan kekerasan yang terjadi di Poso-Palu beberapa tahun belakangan ini. Operasi pengejaran ini langsung mengarah kepada dua kelompok;634 Tanah Runtuh dan Kayamanya Kompak.Temuan ini disampaikan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Anton Bachrul Alam di akhir Oktober 2006.635 Anton Bachrul Alam menyatakan 15 tersangka dari dua kelompok tersebut yang bertanggung jawa atas 13 kasus sejak 2001 dan Polri juga masih mencari 29 nama lain terkait peristiwa teror dan kekerasan di Poso dan Palu.636 Munculnya daftar nama-nama tersebut diduga merupakan hasil interogasi terhadap beberapa tersangka, khususnya dari keterangan Hasanuddin dan Haris637 yang ditangkap oleh polisi sejak Juli 2006. Pihak Polri kemudian segera meminta Adnan Arsal –yang juga merupakan mertua Hasanuddinuntuk membantu polisi bernegosiasi dengan para DPO agar mau menyerahkan diri.638 Negosiasi ini oleh Polri diberi tenggat satu minggu (hingga 9 November 2006) dan setelah lewat polisi akan melakukan Kalla meets Poso leaders in bid to ease tensions, the Jakarta Post, 30 Oktober 2006. Wapres Temui Tokoh Islam-Kristen, Media Indonesia, 30 Oktober 2006. 630 Pemerintah Bentuk Tim Pencari Fakta Poso, Koran Tempo, 31 Oktober 2006. Tim Pencari Fakta Dibentuk, Kompas, 31 Oktober 2006. Ada empat kesepakatan dari pertemuan tersebut: pertama, penyelesaian masalah secara damai dengan menghidupkan lagi Pokja Malino; kedua, teror merupakan musuh bersama; ketiga, pembentukan TPF untuk kasus Tanah Runtuh; keempat, akan ada program pemulihan ekonomi dan sosial dari pemerintah. Untuk yang terakhir ini pemerintah – lewat Menko Kesra Aburizal Bakrie- menyatakan akan mempersiapkan Rp 100 milyar, yang akan dicairkan pada 2007. Pemerintah Siapkan Rp 100 Milyar untuk Pembangunan Poso, Suara Pembaruan, 2 November 2006. Pemerintah Tetap Minta Bantuan, Republika, 2 November 2006. 631 Polisi Tetapkan Dua Tersangka Kasus Penembakan Poso, op cit. 632 Kodam VII Kirim 1 Batalion Zipur ke Poso, Suara Pembaruan, 31 Oktober 2006. Troops sent to follow up on government commitment in Poso, the Jakarta Post, 31 Oktober 2006. 633 Demo Poso Nyaris Lumpuhkan Kota, Indopost, 31 Oktober 2006. 634 Satu-satunya sumber tulisan yang membahas cukup lengkap mengenai kedua kelompok ini adalah International Crisis Group/ ICG. 635 Dua Kelompok Bermain di Poso, Media Indonesia, 31 Oktober 2006. 636 15 Ditangkap, 29 Lagi Buron, Indopost, 1 November 2006. Polri Umumkan 15 Tersangka; Kasus Poso, Ujian Kredibilitas Pemerintah, Suara Pembaruan, 1 November 2006. Tokoh Islam 637 Jihadism in Indonesia: Poso on the Edge, International Crisis Group, Asia Report No. 127, 24 Januari 2006. Bisa diakses di: http:// www.crisisgroup.org/home/getfile.cfm?id=2723&tid=4624&type=pdf&l=1. Hasanuddin dan Haris sendiri sedang menjalani persidangan di Jakarta untuk kasus pembunuhan (mutilasi) tigas siswi SMU di Poso (Oktober 2005). 638 Tokoh Islam Diberi Daftar Buron Poso, Media Indonesia, 1 November 2006. 629
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
211
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
penangkapan paksa.639 Manuver polisi ini nampaknya menyulitkan posisi Adnan Arsal sebagai tokoh paling penting di komunitas Muslim Poso.640 Adnan Arsal sendiri memaknai manuver polisi itu bukan sebagai pernyataan komitmennya untuk menyerahkan para buronan kepada polisi.641 Menurutnya komitmennya terhadap kepolisian hanyalah sebatas memberikan himbauan kepada para buruan polisi tersebut.642 Adnan Arsal juga tidak ingin polisi melakukan penyiksaan lagi, sebagaimana yang dilakukan pada tersangka lain, padahal masalah inilah yang ditakuti oleh para buronan tersebut.643 Adnan Arsal juga menyatakan penangkapan bukan solusi terbaik644, sambil mengkhawatirkan manuver ini juga akan menyulut kemarahan komunitas Muslim Poso dan memperburuk situasi daerah Poso.645 Pada awal November Adnan Arsal berkunjung ke Jakarta untuk meminta bantuan dari organisasi massa Islam untuk membantu jihad di Poso agar umat Islam jangan dizalimi.646 Sikap ini jelas menunjukkan polisi tidak akan mendapat dukungan dari komunitas Muslim Poso dalam memburu daftar DPO tersebut. Manuver polisi kepada Adnan Arsal lebih merupakan tekanan terhadap dirinya. Pada 8 November 2006 diadakan pertemuan segi tiga antara tokoh Muslim Poso – tanpa kehadiran Adnan Arsal-, pejabat pemerintah daerah, dan Kapolda Sulawesi Tengah yang hasilnya sudah jelas dari awal, tidak ada penyerahan DPO dari masyarakat.647 Meski demikian Polri kemudian menambah tenggat waktunya menjadi 14 November 2006 dan diperpanjang lagi menjadi 24 November 2006.648 Hubungan Polri dengan Adnan Arsal bahkan semakin buruk setelah pihak Polri –lewat juru bicaranya, Brigjen Sisno Adiwinoto- merencanakan akan menangkap Arsal atas dugaan penghasutan dan melindungi buronan.649 Namun tindakan ini tidak dilaksanakan Polri. Kapolri Jend Sutanto kemudian menegaskan Adnan Arsal tidak akan ditangkap karena dinilai cukup membantu polisi.650 Pihak Muslim memang mempertanyakan mengapa polisi hanya mengejar 29 DPO Muslim tersebut dan tidak melakukan hal yang sama kepada tersangka dari komuntas Kristen atas kerusuhan Poso di masa lalu.651 Salah satu pertanyaan besarnya adalah mengapa polisi tidak menginvestigasi lebih lanjut 16 nama tokoh Kristen yang disebut-sebut Tibo cs sebelum dieksekusi.652 Kritik terhadap Semua Pelaku Kasus Poso Harus Ditindak, Media Indonesia, 4 November 2006. Meskipun sebagian besar daftar buruan tersangka tersebut berasal dari orang-orang yang berasal dari komunitas dekat Adnan Arsal, hingga kini tidak ada temuan yang meyakinkan bahwa Adnan Arsal terlibat dalam aksi-aksi yang mereka lakukan. Lihat Jihadism in Indonesia: Poso on the Edge, op cit. 641 Polri Tunggu Komitmen Arsal; Arsal Hanya Menghimbau 29 Orang untuk Menyerah, Kompas, 4 November 2006. 642 Ibid. 643 Ibid. 644 Pekan Ini Polisi Kejar 29 Pelaku Kekerasan Poso, Koran Tempo, 6 November 2006. 645 Police hunt Poso suspects despite militants’ anger, the Jakarta Post, 4 November 2006. Din Syamsuddin: Penegakan Hukum di Poso Harus Adil, Republika, 4 November 2006. 646 Polri Akan Tangkap Para Tersangka, Kompas, 6 November 2006. 647 Pertemuan Poso tanpa Hasil; Tenggat Berakhir, Polisi Terus Buru 29 Tersangka, Media Indonesia, 9 November 2006. 648 Polisi Perpanjang Tenggat Penyerahan Buron Poso, Koran Tempo, 22 November 2006. 28 Tersangka Poso Minta Kelonggaran, Suara Pembaruan, 23 November 2006. Batas Waktu untuk DPO Diperpanjang, Kompas, 25 November 2006. 649 Polisi akan Tangkap Adnan Arsal, Koran Tempo, 11 November 2006. Sejumlah Tokoh Lindungi Adnan Arsal dari Incaran Polisi, Koran Tempo, 13 November 2006. 650 Buron Poso yang Menyerah Dibedakan, Koran Tempo, 17 November 2006. 651 Din Syamsuddin: Penegakan Hukum di Poso Harus Adil, op cit. 652 Sudah menjadi pendapat umum di komunitas Muslim, bahwa peristiwa pembantaian di Pesantren Walisongo 23 Mei 2000 lalu menjadi pemicu radikalisasi dan kemarahan umat Muslim di Poso dan luar Poso. Menjadi pendapat umum di komunitas Muslim bahwa mereka yang masuk daftar buruan polisi merupakan korban dari konflik Poso yang lama, pra Deklarasi Malino. Juga menjadi pendapat umum di komunitas Muslim bahwa polisi melakukan diskriminasi dengan tidak mengusut 16 nama tersebut. 639 640
212
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
pengumuman daftar buruan oleh polisi ini juga dikeluarkan oleh beberapa tokoh Muslim nasional.653 Selain itu strategi ini juga dianggap aneh mengingat otoritas penegakan hukum –dalam hal ini mencari dan menangkap tersangka- jelas hanya ada di tangan kepolisian, bukan di tangan masyarakat sipil. Polisi nampaknya juga tidak terlalu yakin cara ini efektif dan meragukan kemauan Adnan Arsal.654 Polisi juga menjanjikan tidak akan melakukan praktek penyiksaan terhadap buruan DPO tersebut.655 Nampaknya yang terakhir ini merupakan praktek lazim yang dilakukan polisi terhadap mereka yang diduga sebagai teroris di Poso656. Di tingkatan masyarakat, pasca pengumuman daftar DPO oleh Polri menciptakan suasana yang tegang dan khawatir mereka akan menjadi korban salah tangkap dan disiksa, seperti -menurut penduduk setempat- biasa terjadi. Bahkan sempat ada tiga pegawai Rumah Sakit Umum Dokter Asnah Awwad –pada insiden 22 Oktober 2006 mengevakuasi korban- yang sudah menjadi korban salah tangkap dan mengalami penyiksaan oleh polisi.657 Sementara itu beberapa pihak keluarga dari daftar buruan Polri menyatakan tidak akan menyerahkan anaknya ke polisi karena yakin mereka tidak bersalah658. Di tengah-tengah Polri sudah sangat siap untuk menggunakan upaya paksa untuk menangkap 29 DPO, satu buronan, Andi Bocor, menyerahkan diri dan langsung dibawa ke Polda Sulawesi Tengah.659 Setelah beberapa hari diperiksa polisi, Andi Bocor kemudian dilepaskan dengan alasan tidak terbukti terlibat dalam kasus kekerasan dan selama pemeriksaan bersikap kooperatif.660 Dia dianggap terlibat dalam pembunuhan Hasrin Laturope, petugas banpol (September 2005).661 Setelah Andi Bocor, Polri mengumumkan dua buronan DPO lainnya, Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir menyerahkan diri.662 Mereka diduga terlibat aksi-aksi peledakan bom dan perampokan uang. Setelah 7 hari (4 Desember 2006) diperiksa di Markas Polda Sulawesi Tengah, mereka akhirnya dilepaskan dengan alasan kurang bukti.663 Pada 6 Desember 2006, kembali seorang DPO menyerahkan diri, Sahrir Lakita, yang diduga terlibat dalam perampokan uang kas Pemda Poso (April 2005).664 Keesokan harinya, satu DPO lagi, Upik Kongkong, juga menyerahkan diri.665 Kedua nama terakhir juga dilepas Din: Polisi tidak Sensitif, Republika, 3 November 2006. Seruan MUI Soal Penanganan Poso; ‘Jangan Gunakan Pendekatan Kekuasaan’, Republika, 5 November 2006. 654 Polri Akan Tangkap Para Tersangka, op cit. 655 Polri Tak Akan Siksa Pelaku Teror, Kompas, 1November 2006. 656 Jihadism in Indonesia : Poso on the Edge, op cit. Dugaan penyiksaan juga dilaporkan dalam laporan ICG: Weakening Indonesia Mujahidin’s Networks: Lessons from Maluku and Poso, ICG, Asia Report No. 103, 13 Oktober 2005. Bisa diakses di: http://www.crisisgroup.org/ home/index.cfm?action=login&ref_id=3751. 657 Militant hunt has Poso locals spooked, the Jakarta Post, 7 November 2006; Polisi Abaikan Tenggat Kelompok Islam, Koran Tempo, 7 November 2006. 658 Orang Tua Tersangka Poso Siap Jadi Tameng, Koran Tempo, 8 November 2006; Belum Ada Buron Serahkan Diri, Media Indonesia, 9 November 2006. 659 Satu Buron Poso Menyerah, Koran Tempo, 16 November 2006; Satu dari 29 DPO Poso Serahkan Diri, Kompas, 16 November 2006; Fugitive surrenders in Poso, the Jakarta Post, 16 November 2006. 660 Polisi Lepaskan Satu Tersangka Poso, Koran Tempo, 19 November 2006; Police release fugitive citing lack of evidence, the Jakarta Post, 19 November 2006. 661 Satu dari 29 DPO Poso Serahkan Diri, op cit. 662 Dua Buronan DPO Poso Menyerahkan Diri, Kompas, 29 November 2006; Dua Tersangka Kasus Poso Menyerahkan Diri, 29 November 2006. 663 Lagi, Dua Warga Poso Dibebaskan, Kompas, 5 Desember 2006; Penahanan Dua Tersangka Ditangguhkan, Media Indonesia, 6 Desember 2006. 664 Teror Poso Dikontrol dari Jawa, Media Indonesia, 7 Desember 2006. 665 DPO Poso Serahkan Diri, Media Indonesia, 9 Desember 2006. 653
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara
213
Kil as Balik Politik HAM 2006 ilas
meski tetap dijadikan tersangka untuk beberapa kasus pemboman.666 Sementara itu pada akhir November 2006, Menko Polhukam, Widodo AS, sebagai penanggungjawab Tim Pencari Fakta insiden Tanah Runtuh mengumumkan hasil temuan TPF beserta lima rekomendasi. Menurut TPF insiden Tanah Runtuh 22 Oktober 2006 lalu dipicu oleh dua hal; adanya patroli Brimob saat warga sedang bertakbiran dan adanya suara rentetan tembakan yang berasal dari sebuah madrasah yang diikuti suara tiang listrik yang dipukuli masyarakat.667 Sementara lima rekomendasinya adalah:668 pertama, perlu tindak lanjut hukum pasca rusuh; kedua, komitmen menajamkan konsep pengamanan wilayah; ketiga, perlu dibangun komunikasi dan interaksi antar masyarakat dan aparat; keempat, perlu penegakan hukum terhadap 29 tersangka melalui pendekatan efektif; kelima, perlunya penyelesaian dan penuntasan masalah keamanan di Sulawesi Tengah. Hasil laporan TPF ini pun mengundang pertanyaan. Sejak awal bertugas dan menginvestigasi di lokasi kejadian, TPF mengindikasikan adanya pelanggaran HAM.669
Sahril dan Ufik Tatap Tersangka Bom Poso, Koran Tempo, 15 Desember 2006. Kerusuhan Tanah Runtuh Poso; TPF Simpulkan Dua Pemicu, Media Indonesia, 29 November 2006. 668 Kerusuhan Tanah Runtuh Poso; TPF Simpulkan Dua Pemicu, op cit. 669 TPF Poso Terkejut; Mendengar Kesaksian Kebrutalan Aparat, Indopost 6 November 2006. TPF Poso Indikasikan Ada Pelanggaran, Media Indonesia, 15 November 2006. 666 667
214
Kekerasan di Poso dan Palu : Kegagalan Negara Yang Dipelihara