Tugas Akhir Kuliah Pendidikan Pancasila
“KONFLIK POSO MELANGGAR HAM”
Disusun oleh :
ANDRI FAJARYANTO 11.11.4708 Kelompok C S1 – Teknik Informatika Drs. Tahajudin Sudibyo
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
Abstrak Konflik yang terjadi di Poso terjadi sekitar akhir taun 1998. Konflik ini terjadi karena perbedaan agama. Konflik ini juga membawa derita kepada orang-orang yang sebenarnya tidak ingin terlibat didalamnya. Korban yang jelas terseret didalamnya adalah para perempuan dan juga anak anak. Mereka kehilangan tempat tinggal mereka. Kehilangan hak untuk hidup mereka, hak untuk memlih agamanya masing. Masih ditambah dengan kekerasan dan perilaku yang kurang terpuji terhadap kaum perempuan. Anak-anak yang masih dibawah umur juga menjadi korban. Terutama dalam perkembangannya dan juga psikologinya. Tentu saja ini akan menghambat pertumbuhan mereka. Selain itu, ini juga akan mempengaruhi perilaku mereka. Tindakan anarkis yang mereka lihat sehari hari akan dikenang selama hidup mereka. Dan akan menyisakan trauma yang dalam dikehidupan mereka. Efek yang lain adalah mereka kekurangan tempat bersekolah, karena banyak sekolah yang dibakar dan juga harus dipulangkan saat sekolah karena terdengar isu akan adanya penyerangan.
Latar belakang Ribuan masyarakat terancam ketentraman hidup dan kebebasan memeluk agama. Tidak tau bagaimana harus mengakhiri semua konflik ini. Bahkan tidak tau apa yang harus mereka lakukan. Pelanggaran ham terjadi setiap hari. Anak-anak, remaja, dewasa, para wanita yang diperlakukan seperti budak, laki laki yang diculik dan tidak dikembalikan, entah dibunuh atau dikemanakan. Nyawa mereka seperti abu yang sudah tidak berharga dan siap untuk dibuang. Harusnya cerita ini diungkap sampai akhir dan diusut tuntas oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi, khususnya di poso dan umumnya dimana saja. Sekarang mungkin sudah jarang kita dengar berita kekerasan diposo. Mungkin juga hampir tidak pernah. Tapi apakah itu menjamin kejadian 1998 itu tidak akan terulang lagi. Sepertinya tidak ada orang yang bisa menjaminnya. Ketidakjelasan masalah ini menjadi pemicu jika masih ada dendam yang masih tertinggal didalamnya. Sewaktu waktu bisa meledak lagi dan kericuhan akan kembali terulang. Tentunya semuanya kembai lagi kepada masyarakat poso. Ingin kembali hidup damai ataukah masih ingin bercerai berai. Kesadaran setiap individu sangat dibutuhkan ketika mereka mengingikan bagaimana hidup tentram, nyaman dan tenang dalam bermasyarakat.
Rumusan masalah 1. Bagaimana pelanggaran HAM terjadi? 2. Siapakah korban dari pelanggaran HAM?
Pendekatan secara Historis Desember 1998, peristiwa konflik poso yang terjadi menjadi awal dari perubahan tatanan kehidupan masyarakat poso secara drastis. Para perempuan, laki laki dewasa, orang tua, remaja, anak anak, lajut usia dan segala usia dari segala lapisan tanpa terkecuali, terserat, dipaksa masuk dalam tepian dan pusaran konflik kekerasan berdarah yang berkepanjangan. Sebagian dipaksa terlibat untuk sekedar bertahan atau untuk menyerang demi mempertahankan kehidupan. Yang terjadi konflik poso dilihat, dibicarakan semata mata sebagai pembicaraan peristiwa politik. Sebagai peristiwa politik, pembicaraan peristiwa politik terfokus pada analisis aktoraktor yang berkepentingan dalam konflik. Setiap kali ada pembunuhan, penembakan misterius, peledakan bom yang memakan korban jiwa, bermunculan analisis-analisis yang dianggap sebagai latarbelakang konflik Poso dilengkapi dengan penggalan cerita-cerita tentang salah satu komunitas agama atau kedua komunitas agama. Agama pada saat konflik tidak hanya tidak dibicarakan tapi secara sistematis dihilangkan, terpinggirkan. Misalnya, kisah para tetangga dan para bersaudara. Misalnya, kisah para tetangga dan para bersaudara yang berbeda agama saling membantu untuk menyamarkan identitas agama. Jika sweeping Kartu Tanda Penduduk (KTP) terjadi, atau bila isu penyerangan dari kelompok agama yang mengatasnamakan Islam, maka merka yang muslim akan memberi peringatan awal dan melindungi tetangga yang kristen. Demikian sebaliknya. Dibeberapa poros jalan keluar dari poso. Dimana sering terjadi sweeping KTP dari pihak kristen. Mereka saling mengajarkan agama secara sederhana agar tidak terjadi kekerasan, seperti Islam mengajarkan kristen syahadad dan kristen mengajarkan Islam denganbunyi doa Bapa Kami.
Secara Yuridis Konflik ini telah melanggar butir butir yang terkandung didalam pancasila. Pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalamnya terkandung arti bagaimana mengamalkan dan saling menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan sehingga terbentuknya kerukunan hidup yang aman. Tetapi konflik yang terjadi di poso adalah akibat dari pecahnya pemeluk agama Islam dan Kristen. Di negara ini terdapat keberagaman agama. Setiap warga negara indonesia mempunyai hak asasi untuk memeluk agama. Hal ini telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal 29. Selain melanggar sila pertama, konflik ini juga melanggar sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam sila ini mengandung arti kemanusian adalah naluri yang harus dikembangkan
ditengah
bahwa peri
masyarakat agar
kesejahteraan dan kebahagiaan dapat berkembang dalam pergaulan masyarakat. Nilai nilai yang terkandung dalam sila ini membentuk bangsa menjadi bangsa yang lemah lembut, bersopan santun, bertenggang rasa, saling mencintai, bergotong royong serta memangdang manusia lain sama dengan sama derajatnya. Namun jika manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan maka akan terjadi perpecahan diantara manusia, seperti halnya pada konflik poso ini. Konflik ini juga melanggar Undang Undang Dasar 1945 & amandemennya pasal 28 A yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemudian pasal 28 I ayat 1 “Hak untuk hidup hak, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat ke 2 “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Selanjutnya adalah pasal 28 J ayat 1 “setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pembahasan Konflik poso terjadi sekitar akhir tahun 1998. Berbagai pelanggaran HAM (hak asasi manusia) seperti mereka tidak mendapat kehidupan yang layak. Mendapat perlakuan yang kasar. dan ironisnya sampai terjadi pelecehan seksual. Konflik ini ternyata dipicu dengan sesuatu yang sebernya hal yang sudah tidak asing. Yaitu perbedaan agama. Antara Islam dan Kristen. Perang seperti ini sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebelum nabi Muhammad SAW sudah ada perang agama. Setiap kelompok atau individu seslalu menganggap agamanya paling benar. Paling diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa. Hal seperti itu menjadikan seseorang atau sekolompok orang berfikiran bahwa agama yang lain itu sesat. Mungkin didalam suatu negara yang semua warganya beragama sama itu wajar terjadi. Tetapi jika seperti itu diterapkan di Indonesia, ataupun dinegara yang menganut asas demokrasi, tentu itu akan menghambat dan akan menjadi permasalahan. Apa lagi ditambah dasar negara indonesia adalah pancasila yang didalamnya yang sudah jelas bahwa dinegara ini diakui 5 (lima) agama. Ditambah di UUD 1945 ditegaskan pasal 29 ayat 2 yang berisi tentang kebebasan memeluk agama sesuai keinginannya. Hal itu jadi tidak bisa membatasi seseorang untuk memilih agama dan kepercayaan yang dia inginkan. Ditambah juga negara menjamin keselamatan. Kurangnya kesadaran akan UUD 1945 dan pancasila membuat masyarakat poso terus memompa perang waktu itu. Banyak masyarakat yang tidak ingin merasakan konflik tetapi mereka tidak bisa menolak dan harus masuk terseret dikonflik itu. mereka hanya menganggap agama mereka paling benar dan mengabaikan agama agama yang lain. Terutama melupakan kalo negara ini termasuk demokrasi dan bebas memilih pendapat. Entah mereka yang berkonflik sadar ataukah tidak. Konflik ini hanya membawa bencana bagi mereka sendiri. Terutama bagi mereka yang tidak ikut dalam konflik dan akhirnya harus terseret masuk dalam konflik yang mereka tidak inginkan. Contoh nyatanya adalah para anak-anak dan perempuan dewasa. “Dalam konflik Poso, fenomena tersebut nampak pada pelecehan sesual massal yang terjadi di Desa Sintuwulemba pada bulan Mei 2000. Para perempuan dikumpulkan di suatu tempat untuk ditelanjangi. Para pelaku menuduh mereka menyembunyikan sesuatu yang berakibat buruk. Alasan paling terpat untuk memungkinkan dobrakan nilai “perempuan baik-baik” terpaksa “diabaikan”. Para perempuan melakukannya demi keselamatan laki-laki dan anak-anak. Di luar apa yang menjadi tujuan penyerangan tersebut, kelompok
penyerangan tersebut, kelompok penyerangan yang notabene laki-laki telah menggunakan kuasanya atas kelemahan perempuan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang bias gender”. Kata Lian Gogali (2009:50) Penderitaan kaum perempuan demi memperjuangkan keselamatan anak-anak dan suami mereka sangat besar. Walaupun sudah berjuang seperti tetapi mereka juga belum bisa menemukan suami-suami mereka. Sampai sekarang para suami juga belum pulang, dan entah masih hidup ataukah sudah mati itu juga mereka tidak tau. Korban selanjutnya adalah anak anak. Tidak kalah mereka juga menjadi korban yang sama seperti para perempuan. Hanya saja penderitaan mereka berbeda. Meskipun begitu sepertinya penderitaan ini sama sama berat. Bagaimana tidak, dalam keadaan masih kecil mereka sudah berada dalam konflik yang mereka tidak tau bagaimana bisa terjadi konflik. Lian Gogali berkata “kekerasan yang dialami, dilihat dan didengar oleh anak, biasanya akan mendasariperilaku sosialnya. Situasi konflik bersenjata menempatkan anak dalam berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, mental dan juga rentan pada kekerasan seksual. Hancurnya institusi keluarga dalam situasi perang menyebabkan perlindungan terhadap anak lemah, bahkan terabaikan. Anak-anak yang pernah mengalami kekerasan atau selamat dari konflik bersenjata mengalami masalah gangguan kejiwaan yang parah dan tidak bisa hidup dengan „normal‟ dalam lingkungannya yang baru. Disamping itu, anak sangat rentan dalam eksploitasi ekonomi dan seksual karena tidak adanya jaminan keaman (2009:59) Ditambah lagi anak-anak banyak yang putus sekolah karena banyak sekolah yang dibakar. Banyak juga sekolah yang di tutup karena takut dengan penyerangan penyerangan. Sekolah tidak ada, rumah sudah hangus dibakar. Lalu kemana mereka harus pergi. Kepedihan ini bukan hanya mereka yang meresakan. Bangsa ini juga menangis melihat pertempuran ditanah air yang disebabkan oleh perbedaan kecil. Yaitu perbedaan agama saja. Selanjutnya Lian Gogali “Di awal konflik poso, meskipun sekolah tidak dibubarkan, tindakan pengamanan dengan meliburkan sekolah atau memulangkan anak apabila mendengar isu akan terjadi konflik sering dilakukan. Sejak tahun 2000, keadaan semakin buruk. Di Poso, sekolah sekolah dibakar dan dihancurkan. Bulan Mei 2000, tercatat satu SMU, satu SMP dan satu SD dibakar. Bulan Juli 2000, dua pesantren/madrasah dan 2 SD dibakar. Tahun 2002 tercatat 4 sekolah terbakar dan sekolah lainnya tutup dan atau tidak berfungsi.(2009:60)
Haruskah kita diam melihat semua pelanggaran HAM ini yang dengan mudah meraja lela di Poso? Bahkan aparat keamanan di Poso tidak peduli dengan konflik dan laporan laporan pelanggaran ham yang diterima oleh para perempuan. Kalau sedah begitu tidak akan mudah mengakhiri konflik yang seperti ini kan? Yang dipikirkan saat ini, saat semuanya sudah berlalu adalah bagaimana cara untuk menghilangkan trauma mereka. Ingatan yang mengganggu psikologi mereka. Apalagi untuk anak-anak, pasti akan banyak menghambat pertumbuhan mereka. Juga bisa berakibat dengan perilaku mereka yang pasti condong ke arah yang negatif. Karena banyak terpengaruhi perilaku anarkis yang sering mereka lihat setiap hari.
KESIMPULAN DAN SARAN a) Kesimpulan: Dari hasil diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan agama. Para penganut agama yang tidak bisa mengamalkan pancasila dan UUD 1945. Mereka yang seharusnya saling menghormati dan menghargai agar terciptanya kedamaian dan kerukunan antar umat beragama ternyata sebaliknya. Malah mereka membuat konflik dan memecah belah daerahnya sendiri. Dan juga merusak fasilitas yang ada. Bertindak anarkis yang mereka tidak sadari, ini akan berakibat fatak terhadap pertumbuhan anak-anak terutama psikologi mereka.
b) Saran: Agar terciptanya kerukunan antar umar beragama seharusnya saling menghormati, saling menghormati, dan tidak saling membunuh menciptakan konflik seperti ini. Sebenarnya dikedua agama ini tidak ada perintah untuk konflik. Apalagi sampai berbuat anarkis menyiksa orang orang yang tidak bersalah. Menyeret mereka ke gerbang penyiksaan yang mereka tidak inginkan dan bukan mereka yang membuatnya seperti ini.
REFERENSI Gogali, Lian (2009) “Konflik Poso; Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan”, Yogyakarta, Galangpress.