J. Analisis, Desember 2016, Vol.5 No.2 : 168 – 174
ISSN 2302-6340
KEGAGALAN REKONSILIASI MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK KOMUNAL The Failure of Community Reconciliation Post – Communal Conflict in Poso Moh. Nutfa1, Dwia Aries Tina Pulubuhu2, Syafullah Cangara3 ¹Jurusan Pascasarjana Sosiologi, Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Email:
[email protected]) ²Jurusan Pascasarjana Sosiologi, Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Email:
[email protected]) ³Jurusan Pascasarjana Sosiologi Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Email:
[email protected])
ABSTRAK Pasca konflik masyarakat Poso menemui kegagalan rekonsiliasi, sehingga semakin sulit untuk menemukan perdamaian sejati yang didambakan bersama. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor kegagalan rekonsiliasi pada masyarakat Poso saat ini. Desain penelitian adalah mix method dengan pendekatan triangulasi konkuren. Sampel penelitian sebanyak 104 responden dan informan sebanyak 9 orang yang di pilih secara purposive sampling untuk sumber data kualitatif. Data penelitian adalah data kualitatif yang dikumpulkan melalui metode observasi terbatas, wawancara dan studi pustaka sebagai upaya mendalami faktor-faktor yang diteliti. Analisis interaktif digunakan untuk melihat pola kegagalan rekonsiliasi melalui tahapan analisis yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan pengabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan rekonsiliasi di dorong oleh dua faktor dominan yaitu, keterikatan masyarakat pada kondisi masa lalu meliputi traumatik konflik dan ketidakpuasan damai serta kekhawatiran masyarakat pada situasi masa kini karena tidak adanya jaminan keamanan dan pendekatan berbasis militeristik untuk pemulihan keamanan pasca konflik. Disimpulkan bahwa kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso pasca konflik disebabkan oleh tidak tuntasnya penyelesaian akar-akar konflik dan tidak terpenuhinya kebutuhan kesejahteran masyarakat pasca konflik. Kata Kunci: Konflik, rekonsiliasi
ABSTRACT Post-conflict, the community in Poso failed to reconcile, so it is more difficult for them to undergo true peace among them. This research aims to explain the factors causing the failure of reconciliation among Poso community at present. The sample of the research consisted of 104 respondents and 9 informants selected using purposive sampling method as the sources of qualitative data. The qualitative data were obtained through limited observation, interview, and library study as an attempt to explore more deeply the factors studied. Interactive analysis was used to look at the pattern of the failure of reconciliation through the stages of analysis, i.e. data reduction, data presentation and conclusion, while data validation was done through triangulation. The results of the research indicate that the failure of reconciliation driven by two dominant factors, i.e. the attachment of the community to the condition ini the past including traumatic conflict and dissatisfaction of peace as well as the community's concern at the present situation because of the absence of security and militaristic based approach for post-conflict security recovery. It was concluded that the failure of post-conflict reconciliation in Poso community is caused by incomplete settlement of the roots of conflict and the unfulfillment of need of community’s welfare post-conflict. It is hoped the presence of a new reconciliation model that can be used as a long-term program to realize a social harmony among Poso community. Keywords: Conflict, reconciliation
168
Konflik, rekonsiliasi
ISSN 2302-6340
Faktor keterikatan pada kondisi masa lalu adalah bayangan atau ingatan tentang peristiwa konflik sebagai sebuah tragedi sosial yang memberi kesan buruk dalam kehidupan masyarakat Poso pasca konflik. Kondisi ini layaknya virus yang menular pada generasi muda pasca konflik melalui sosialisasi yang diperoleh dari cerita-cerita terutama dalam lingkungan keluarga. Sementara itu, kekhawatiran pada kondisi saat ini yang mengancam perdamaian justru menjadi penguat bayangan masa lalu dan merupakan akumulasi dari kecemasan kolektif akibat tidak terpenuhinya kebutuhan rasa aman yang selama ini didambakan. Kedua faktor di atas merupakan dua elemen pada dua sisi mata uang yang sama, sebagai akibat dari tidak terpenuhinya harapan damai dan tidak hilangnya akar-akar konflik lama. Galtung berpendapat bahwa tujuan utama menciptakan perdamaian dimulai dari mengubah sikap pratagonis, menjaga komitmen damai, meminimalisir perilaku merusak dan membangun perdamaian sebagai upaya untuk mengatasi kontradiksi yang terletak pada akar konflik (Galtung dalam Miall dkk., 2000). Sementara itu, keadaan ideal pasca konflik apabila kesejahteraan berupa rasa aman, kedamaian dan keharmonisan telah dirasakan kembali masyarakat sehingga merasa betah untuk mendiami suatu wilayah bekas konflik di mana mereka berada (Ismail, 2014). Nutfa & Sakaria (2015), berpendapat bahwa membangun perdamaian pasca konflik yang ideal adalah melalui rekonstruksi trust yang terdiri dari empat indikasi yaitu, menggiring individu untuk berorientasi kelompok (asosiasi), membudayakan kerjasama, menumbuhkan sifat jujur dan membudayakan sikap loyalitas atau altruisme demi kepentingan bersama. Lahirnya dua faktor kegagalan rekonsiliasi di atas memberi makna bahwa pasca konflik masyarakat Poso belum sepenuhnya mencapai suatu keadaan ideal yang bebas dari hambatan-hambatan rekonsiliasi sehingga komitmen damai yang dijunjung tinggi mampu membawa suasana harmonis sebagaimana sebelum konflik. Tulisan ini sangat urgen dalam memahami kegagalan-kegagalan rekonsiliasi yang dialami masyarakat Poso pasca konflik. Untuk itu, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor dari
PENDAHULUAN Masyarakat Poso, telah lebih dari satu dekade pasca Deklarasi Malino pada Desember 2001, hingga saat ini belum merasakan kedamaian sejati dari tragedi kemanusiaan di masa lampau yang pernah mereka alami bersama. Pasca kesepakatan damai itu dilakukan, sejumlah hambatan rekonsiliasi menjadi penghalang bagi perdamaian. Traumatik masa lalu, dendam, ketidakpuasan damai dan ketidakpercayaan (distrust) merupakan indikasi-indikasi kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso sebagai satu fakta yang tidak terhindarkan dalam kelangsungan rekonsiliasi saat ini. Kegagalan rekonsiliasi yang dialami masyarakat Poso setidaknya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu, keterikatan masyarakat pada kondisi masa lalu dan kekhawatiran masyarakat pada kondisi sosial masa kini yang mengancam perdamaian. Dugaan ini diperkuat oleh pendapat Trijono (2007), bahwa wilayah-wilayah pasca konflik umumnya menghadapi masalah konflik dalam tiga jenis, yaitu akar konflik di masa lalu yang belum terselesaikan, pendorong konflik akibat perubahan yang terjadi di kemudian hari, dan dampak konflik pada masyarakat. Sementara di sisi lain, juga memiliki tiga jenis potensi perdamaian, yaitu akar nilai-nilai perdamaian, pendorong perdamaian perubahan yang hendak terjadi, dan kapasitas lokal untuk perdamaian. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa rekonsiliasi masyarakat Poso pada Desember 2001 sungguh tidak melibatkan masyarakat sipil. Deklarasi Malino hanya disepakati oleh tokoh kedua agama sehingga mengabaikan kepentingan damai masyarakat akar rumput sehingga menjadi cikal bakal ketidakpuasan damai masyarakat. Akibatnya rekonsiliasi masyarakat Poso mengarah pada kegagalan nyata (Ruagadi, 2010). Begitu pula Cangara (2012), hasil penelitian bahwa indikasi kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso karena rekonsiliasi hanya difasilitasi oleh pihak ketiga, sehingga berpeluang menjadi kekerasan berdalil agama. Pelibatan masyarakat sangat diperlukan terutama bila didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal. Penelitian Katemba (2015), menemukan pula bahwa pasca konflik, masyarakat Poso masih terikat dengan kondisi masa lalu, yang melahirnya sentimen kelompok, melebarnya peluang segregasi dan relasi sosial kian merenggang. 169
ISSN 2302-6340
Moh. Nutfa
lahirnya kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso pasca konflik komunal.
memperlihatkan gambaran keterpisahan antar komunitas Islam dan Kristen dalam kehidupan sosialnya. Segregasi sosial sebenarnya telah nyata sejak konflik mencuat kepermukaan. Ini ditandai ketika kehidupan masyarakat Poso telah yang terpisah-pisah berdasarkan komunitas agama. Sehingga terbentuk kategori teritorial atas komunitas agama, yaitu wilayah pemukiman komunitas Islam dan pemukiman Kristen. Segregasi sosial ini menggambarkan bahwa relasi sosial antar umat beragama di Poso masih berada dalam suasana tidak harmonis. Jika kembali menengok masa lalu jauh sebelum konflik, segregasi sosial masyarakat Poso sudah terjadi sejak sekitar seabad yang lalu. Pada mulanya wilayah Poso di huni oleh golongan masyarakat Kristen. Baru kemudian, tahun 1947 masuk golongan para imigran (pendatang) yang dominan beragama Islam. Pada masa ini, segregasi sosial cenderung didasarkan pola pemukiman penduduk bedasarkan geografis, di mana wilayah pegunungan atau perbukitan di huni oleh penduduk beragama Kristen, sementara wilayah pantai (pesisir) di huni oleh penduduk beragama Islam. Segregasi sosial bawaan masa lalu itu pada akhirnya semakin melebar setelah konflik Poso terjadi, meskipun pola sebelumnya sedikit berbeda dengan pola segregasi sosial saat ini yang lebih ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial pasca konflik. Meskipun upaya pengintegrasian telah diupayakan namun masyarakat Poso masih memilih untuk hidup secara terpisah yang berbasis agama. Segregasi sosial ini yang kemudian menjadi hambatan utama dalam proses rekonsiliasi masyarakat Poso saat ini.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Poso Kota dan Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Desain penelitian adalah mix method dengan pendekatan triangulasi konkuren. Informan Penelitian Informan penelitian berjumlah 9 orang, meliputi tokoh agama, tokoh pemuda, perempuan eks pengungsi dan pelaku konflik. Informan ditentukan secara purposive sampling atas pertimbangan usia, pekerjaan dan pengetahuan informan tentang objek penelitian yang ditelusuri sebagai sumber data kualitatif. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sebagai instrumen kunci dalam penelitian kualitatif (Bungin, 2008). Selain peneliti, instrumen lain seperti pedoman wawancara turut digunakan dalam penelitian ini. Data penelitian adalah data kualitatif yang dikumpulkan melalui metode observasi terbatas, wawancara dan studi pustaka sebagai upaya mendalami faktor-faktor yang diteliti. Analisis Data Data hasil penelitian diolah secara kualitatif sebagai data deskriptif. Untuk memudahkan proses pengolahan data digunakan model analisis interaktif Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga rangkaian proses yaitu, mereduksi data temuan, menampilkan data hasil reduksi dan penarikan kesimpulan untuk penguatan data (Bungin, 2012). Dengan demikian, diperoleh suatu hasil analisis kualitatif yang sistematis dari pokok masalah yang akan dijelaskan.
Traumatik yang Berkepanjangan Konflik Poso tidak hanya menyisakan puingpuing bangunan yang terbakar oleh api, namun juga meninggalkan kesan buruk dalam ingatan masyarakat Poso. Dampak konflik yang paling utama dirasakan dan sangat sulit untuk di hilangkan pasca konflik Poso adalah kesan traumatik. Lima belas tahun pasca konflik, masyarakat Poso masih menyimpan traumatik yang berkepanjangan. Bayangan masa lalu itu seakan tidak kunjung hilang dari ingatan mereka. Kita mesti menyadari bahwa tragedi kemanusiaan Poso memberi efek buruk pada psikis masyarakatnya sehingga meskipun upaya
HASIL PENELITIAN Segregasi Sosial di Tengah Rekonsiliasi Masyarakat Poso Pasca konflik Poso, problema baru yang muncul dalam kelangsungan rekonsiliasi masyarakat Poso sebagai dampak dari konflik komunal itu adalah segregasi sosial. Keadaan ini 170
Konflik, rekonsiliasi
ISSN 2302-6340
penyembuhan traumatik telah dilakukan, namun konflik Poso masih nyata dalam ingatan masyarakat Poso. Pendek kata bahwa masyarakat Poso saat ini masih berada dalam belenggu masa lalu (konflik) yang sulit dihilangkan dan membutuhkan jangka waktu yang lama untuk melupakan.
Poso yang labil menandai bahwa pemerintah dan aparat keamanan telah gagal memberikan jaminan rasa aman dan kedamaian pada masyarakat sipil pasca konflik. Padahal sejatinya masyarakat Poso pasca konflik membutuhkan kesejahteraan sosial berupa rasa aman dan damai. Hal ini tidak hanya berefek pada psikis, melainkan juga pada relasi sosial yang semakin sulit untuk membangun hubungan emosional sebagaimana sebelum konflik.
Ketidakpuasan Damai Selain traumatik berkepanjangan, faktor lain yang menjadi indikasi kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso adalah masih adanya rasa ketidakpuasan damai pada sebagian kalangan masyarakat Poso. Ketidakpuasan damai cenderung dialami oleh kalangan yang telah kehilangan nyawa anggota keluarganya atau menjadi korban kekerasan semasa konflik. Rasa ketidakpuasan damai ini ditujukan baik kepada lembaga pemerintah maupun kepada para pelaku kekerasan. Ketidakpuasan damai yang masih dialami sebagian kalangan masyarakat Poso lebih disebabkan oleh rasa tidak puas pada penegakkan hukum yang berkeadilan serta tidak adanya saluran dendam bagi para korban yang merasa paling dirugikan semasa konflik seperti terbunuhnya anggota keluarga. Kondisi inilah yang melemahkan nilai-nilai konsensus damai sebagaimana pernah diikrarkan oleh perwakilan masing-masing kubu pada Deklarasi Malino.
Pemulihan Keamanan Berbasis Militeristik Pemulihan keamanan pasca konflik yang ditandai dengan peningkatan jumlah aparat keamanan TNI-Polri di wilayah Poso rupanya memiliki arti berbeda dalam pendefinisian masyarakat Poso terhadap kinerja institusi keamanan tersebut. Terdapat tiga fakta yang tidak dapat dipungkiri dari pendekatan berbasis militeristik untuk pengamanan wilayah Poso yaitu; Pertama, masyarakat menilai bahwa institusi TNI-Polri dalam operasi pengamanan wilayah Poso cenderung oportunistik sehingga tidak sungguh-sungguh membawa misi perdamaian. Kedua, masyarakat Poso mendefinisikan bahwa operasi keamanan berbasis militeristik justru membuat masyarakat menjadi takut dan mendefinisikan situasi semakin mencekam. Ketiga, masyarakat kedua komunitas agama ini mengalami distrust bahkan kebencian pada aparat keamanan khususnya Densus 88 dan Brimob oleh kalangan tertentu, terutama di picu oleh berbagai kasus salah tangkap. Masyarakat Poso menilai bahwa pendekatan berbasis militeristik untuk alasan pemulihan keamanan adalah sangat tidak logis bagi mereka sebab model pendekatan militeristik ini sudah mereka alami sejak konflik Poso berlangsung. Pasca konflik, aksi teror dan radikalisme oleh segelintir kelompok kekerasan, di nilai tidak mesti ditangani dengan operasi ribuan aparat keamanan yang tidak kunjung usai hingga saat ini. Dengan demikian, masyarakat telah menilai bahwa bukti tidak tuntasnya rekonsiliasi masyarakat Poso adalah pemulihan keamanan berbasis militeristik yang tidak berujung.
Ketiadaan Jaminan Keamanan Bagi Masyarakat Sipil Situasi sosial wilayah Poso yang akhir-akhir ini semakin mencekam akibat ancaman teror dan radikalisme, menyebabkan munculnya ketakutan kolektif masyarakat Poso. Situasi yang tidak aman juga membuat masyarakat semakin merasa terancam dan mendapat tekanan mental berupa kecemasan-kecemasan sehingga aktivitas sosial masyarakat selalu dibayangi rasa takut dan diliputi kekhawatiran. Saat ini, masyarakat Poso tengah menghadapi sebuah kebingungan terhadap situasi sosial yang tidak dapat diprediksi sehingga masyarakat mudah untuk khawatir karena merasa bahwa ancaman teror dan radikalisme seakan nyata dihadapan mereka. Rasa kekhawatiran dan ketakutan masyarakat makin bertambah manakala tidak adanya jaminan keamanan dari aparat keamanan setempat. Masyarakat menilai bahwa situasi sosial
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa kegagalan rekonsiliasi pada masyarakat Poso pasca konflik komunal diindikasikan ke dalam lima faktor 171
ISSN 2302-6340
Moh. Nutfa
dominan, yaitu segregasi sosial, traumatik konflik berkepanjangan, ketidakpuasan damai, tidak adanya jaminan keamanan pada masyarakat sipil dan pendekatan keamanan berbasis militeristik. Segregasi sosial merupakan faktor paling utama yang menjadi kendala perdamaian masyarakat Poso, sebab sejak upaya rujuk damai dilakukan, masyarakat kedua komunitas kehilangan keinginan untuk menyatu pada satu wilayah yang sama. Artinya bahwa rekonsiliasi ini gagal mengembalikan kehidupan sosial masyarakat Islam dan Kristen untuk kembali hidup rukun berdampingan sebagaimana sebelum konflik. Meskipun konflik lebih dari lima belas tahun berakhir, namun masyarakat Poso hingga saat ini masih menyimpan kesan-kesan traumatik konflik yang berkepanjangan. Pada masyarakat Kristen, traumatik konflik secara perlahan mulai dilupakan, sebab bagi mereka konflik merupakan masa lalu yang harus segera dilupakan dan dijadikan pelajaran bersama. Konflik di pandang sebagai kesahalan bersama yang mesti ditoleransi. Sementara, pada masyarakat Islam, traumatik masih begitu melekat dalam ingatan mereka, bahkan dirasakan sulit untuk dihilangkan. Konflik nyatanya masih menjadi bayangan dalam kehidupan sosial sehingga apabila kondisi terakumulasi dan tidak mampu direkonsiliasi, maka kemungkinan dapat menjadi pemicu konflik baru. Sebagaimana Muluk (2010), menemukan bahwa masyarakat pasca konflik cenderung mengalami traumatik ingatan masa lalu konflik. Kebencian dan dendam yang telah tertanam dalam ingatan dan kesadaran dapat muncul kembali sehingga sulit merestorasi itu. Akhirnya, kekhawatiran timbul bila ingatan kolektif penuh dendam menjadi potensi baru yang ditransmisikan pada generasi berikutnya sehingga konflik dapat terulang kembali. Sulitnya menghapuskan traumatik konflik menjadi satu tantangan besar dalam program rekonsiliasi masyarakat pasca konflik. Sehingga, proses pemulihan traumatik ini mesti membutuhkan jangka waktu yang panjang dan berkesinambungan atau sampai batas yang tidak dapat ditentukan. Senada dengan Afif (2015), berpendapat bahwa efek traumatik yang ditimbulkan dari sebuah konflik memang berlangsung hingga beberapa dekade, sehingga tidak ada batasan waktu untuk mengukur keberhasilan penyembuhan traumatik.
Faktor ketiga dalam kegagalan rekonsiliasi adalah munculnya rasa ketidakpuasan damai yang tidak tersalurkan. Masalah ini memang sudah berlangsung sejak konflik Poso dalam masa-masa transisi damai antara tahun 2000 hingga akhir 2001. Namun, penyelesaian hukum terhadap kekerasan yang tidak berujung pangkal dan berkeadilan akhirnya memunculkan ketidakpuasan damai oleh kalangan masyarakat Poso. Rasa ketidakpuasan damai itu akhirnya berujung pada lahirnya ketidakpercayaan (distrust) pada pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab atas konflik Poso, yang di nilai gagal dalam menjalankan fungsi kelembagaan sebagai saluran konflik (savety valve). Padahal di sisi lain masyarakat pasca konflik membutuhkan rasa kepercayaan (trust) sebagai suatu energi dan modal sosial (Hasbullah, 2006). Begitu pula Fukuyama (2002), bahwa kepercayaan (trust) adalah ekspektasi yang hadir dalam komunitas tentang perilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan bersama. Desember 2001 diadakan kesepakatan damai antara pihak Islam dan Kristen. Namun sebagaimana praktiknya, substansi dari kesepakatan tersebut hanyalah “milik” perwakilan, sebab masyarakat sipil yang terlibat langsung dalam tindak kekerasan ternyata merasa tidak dilibatkan. Begitu pula dengan masyarakat pengungsi sebagai korban konflik juga merasa bahwa kesepakatan damai itu adalah paksaan bahkan tanpa sosialisasi intens. Akibatnya, perdamaian masyarakat Poso dikatakan sebagai perdamaian “di atas kertas” dan tanpa dilandasi oleh nurani kolektif. Sebagaimana Trijono (2009), mengutarakan bahwa suatu kesepakatan damai antar pihak bertikai dikatakan kuat apabila kesepakatan itu dilandasi oleh konsensus nilai yang luas dan melibatkan pihak-pihak yang berlegitimasi politik yang kuat, sehingga menciptakan perasaan memiliki dan berkomitmen damai yang kuat. Pandangan ini memberi arti bahwa sebuah kesepakatan damai mesti melibatkan tokoh-tokoh atau pemimpin kharismatik, sehingga perdamaian itu dapat dihargai, di terima dan akhirnya menumbuhkan rasa kepuasan damai yang bertahan lama secara bersama. Rasa aman merupakan satu hal khusus yang diinginkan oleh manusia dan masyarakat 172
Konflik, rekonsiliasi
ISSN 2302-6340
manapun. Rasa aman adalah kebutuhan dasar yang mesti dipenuhi dalam kehidupan sosial masyarakat Poso pasca konflik. Sebab, jika rasa aman tidak dapat dipenuhi maka, masyarakat ini terus berada dalam bayang-bayang ketakutan. Terciptanya rasa aman dapat menentukan terpenuhinya kebutuhan dasar lainnya. Menurut Galtung bahwa rasa aman memberi peluang bagi masyarakat untuk bekerja, mendapat sumber daya ekonomi dan bahkan terbebas dari ancaman kemiskinan. Selain itu, terciptanya rasa aman memberi kebebasan dari depresi dan dominasi struktur. Lebih dari itu, rasa aman memungkinkan manusia berkesempatan mengembangkan identitas kultural secara optimal (Trijono, 2007). Hal demikian berbeda dengan kondisi sosial masyarakat Poso pasca konflik di mana, rasa aman yang diinginkan masih belum terpenuhi, sebab lembaga pemerintah dan aparat keamanan setempat masih gagal memenuhi janji pemulihan keamanan pasca konflik. Ketika kekuatan ancaman kelompok radikalisme tidak mampu dinetralisir oleh institusi keamanan, akhirnya menjadikan masyarakat kedua komunitas agama ini mengalami hambatan dalam relasi sosial. Program pemulihan keamanan pasca konflik tidak hanya menemui bergagai kendala, namun juga justru menjadi ancaman berbalik arah bagi masyarakat Poso sendiri. Pemulihan keamanan ini cenderung berbasis militeristik. Banyaknya pasukan keamanan yang beroperasi di wilayah Poso justru memunculkan persepsi buruk oleh masyarakat yang menilai bahwa pemulihan keamanan model demikian justru memperparah keadaan. Masyarakat semakin mendefinisikan bahwa ancaman konflik baru seakan menjadi nyata. Hal ini diperparah lagi ketika operasi keamanan ini lebih dari satu dasawarsa tidak kunjung usai, sehingga memunculkan kesan ketidakseriusan institusi keamanan dalam memberikan jaminan rasa aman pada masyarakat. Kondisi tersebut sejalan dengan temuan Aditjondro (2004), bahwa situasi sosial Poso yang labil, bagi masyarakat Poso hanya dimanfaaatkan oleh institusi TNI-Polri sebagai proyek pengamanan dan pembangunan basisbasis/kantong-kantong militer di wilayah-wilayah Poso, bahkan berujung pada persaingan kedua institusi tersebut untuk perebutan wilayah pengamanan.
Menyimak tabir masalah-masalah di atas, dipahami bahwa kegagalan rekonsiliasi pada masyarakat Poso tidak lepas dari kelima faktor di atas. Sejauh ini, masyarakat Poso belum menemukan perdamaian sejati. Penerapan modelmodel rekonsiliasi cenderung setengah hati atau tidak berkelanjutan. Masyarakat akhirnya semakin merasa dibiarkan begitu saja tanpa mendapat perhatian serius serta tidak berdaya menghadapi tantangan-tantangan perdamaian. Kegagalan rekonsiliasi ini menjadi satu kesan buruk bagi masyarakat Poso. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan bahwa kegagalan rekonsiliasi masyarakat Poso di dorong oleh dua faktor utama yaitu: Pertama, keterikatan pada kondisi masa lalu meliputi traumatik konflik dan ketidakpuasan damai. Kedua, kekhawatiran pada situasi masa kini meliputi tidak adanya jaminan keamanan dan pendekatan berbasis militeristik untuk pemulihan keamanan pasca konflik. Disarankan perlunya model-model rekonsiliasi konflik komunal sebagai pemecah masalah dari tidak tuntasnya rekonsiliasi masyarakat Poso. DAFTAR PUSTAKA Afif A. (2015). Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran Di Masa Lalu dan Upayaupaya Melampauinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Aditjondro G. (2004). Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya. Makalah tidak diterbitkan. Jakarta. Bungin B. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Bungin B. (2012). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Memahami Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Cet. Ke-8. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cangara S. (2012). Rekonsiliasi Masyarakat Pasca Konflik: Kasus Masyarakat Poso dan halmahera Utara. Makalah dalam Konferensi Nasional Ikatan Sosiologi 173
ISSN 2302-6340
Moh. Nutfa
Indonesia (ISI) 19–20 Oktober 2012. UMM: Malang. Fukuyama F. (2002). Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan oleh Ruslani. Qalam: Yogyakarta. Hasbullah J. (2006). Social Kapital Menunggu: Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press. Ismail F. (2014). Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama: Konflik, Rekonsiliasi dan Harmoni. Bandung: Remaja Rosdakarya. Katemba G. (2015). Keberlangsungan Perdamaian Di Poso: Studi Kasus Interaksi Sosial Masyarakat Poso Pasca Konflik Di Kelurahan Kayamanya. Tesis Pascasarjana UNHAS. Nutfa M. & Sakaria A. (2015). Membangun Kembali Perdamaian Berbasis Trust. Jurnal Kritis Volume I. Juli 2015. ISSN 2460-3848. Makassar. Miall H. dkk. (2000). Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Mengola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Muluk H. (2010). Mozaik Psikilogi Politik Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ruagadi H. (2010). Konflik dan Tindak Kekerasan Poso: Tinjauan Sosiologis tentang Persepsi Masyarakat. Tesis Pascasarjana UNHAS. Trijono L. (2007). Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Trijono L. (2009). Pembangunan Perdamaian Pasca Konflik Di Indonesia: Kaitan Perdamaian, Pembangunan dan Demokrasi, dalam Pengembangan Kelembagaan Pasca Konflik. Jurnal Isipol Vol. 13 Juli 2009. Di akses 18 Juni 2015. Availabel from: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.ph p/jsp/article/download/66/57
174