J. Analisis, Desember 2016, Vol.5 No.2 : 175 – 180
ISSN 2302-6340
KONFLIK SOSIAL DALAM PROSES PEMEKARAN WILAYAH Social Conflicts in the Process of Breaking up Region Muhammad Fajrin Syal 1, Tahir Kasnawi 2, Rahmat Muhammad 3 1
Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin,
[email protected] 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar,
[email protected] 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar,
[email protected]
ABSTRAK Konflik sosial adalah konflik yang terjadi sebagai akibat adanya perselisihan antara dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam suatu masalah atau tujuan sehingga mengakibatkan adanya perlawanan fisik dansaling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mempetakan konflik serta melihat dinamika konflik yang terjadi pada proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan. Peneltian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, obeservasi dan dokumentasi terhadap informan yang terlibat langsung dalam konflik. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik sosial pada proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan horizontal. Pemetaan konfliknya diawali dari sumber konflik yang melatarbelakangi, isu-isu yang diangkat dalam konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sikap dan perilaku kelompok yang berkonflik. Adapun, dinamika konfliknya diwarnai dengan berbagai insiden kekerasan hingga jatuh korban dikedua belah pihak. Kata Kunci: Konflik, pemetaan, dinamika, pemekaran wilayah
ABSTRACT Social conflicts are conflicts that occur as a result of a dispute between two different groups of interest in a problem or goal, resulting in their physical resistance and threatening each other, pressing, to destroy each other. This research aim to analyze and to map out the conflict, and to see dynamics of conflict occured in the process of breaking up of the South Buton Regency. The study used qualitative approach. Data were collected through interviews, observation and documentation to wards informants directly involved in conflict. The results indicate that there two types of the conflict in the process of breaking up of South Buton regency, namely, vertical and horizontal conflict. Mapping of the conflict starting from the conflict sources which constitute a background for the conflict, issues adopted in the conflict, parties involved in the conflict, attitude and behavior of the groups involved in the conflict. Where as the dynamics of the conflict marred by various incident, violence which fell victims of the two parties. Keywords: Conflict, mapping, dynamic, breaking up region
daerah provinsi dan pembentukan daerah kabupaten/kota. Sedangkan pasal 33 menyatakan bahwa, ayat (1) pemekaran daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) huruf a berupa: a. pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru; atau b. penggabungan bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi satu daerah baru. Ayat (2) pemekaran daerah sebagaimana dimaksud pada
PENDAHULUAN Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, pada pasal 32 menyatakan bahwa, ayat (1) pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (3) berupa: a. pemekaran daerah; dan, b. penggabungan daerah. Ayat (2) pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pembentukan 175
Muhammad Fajrin Syal
ISSN 2302-6340
ayat (1) dilakukan melalui tahapan daerah persiapan provinsi atau daerah persiapan kabupaten/kota.Hal ini memungkinkan daerahdaerah yang memiliki potensi dan sumber daya dapat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk suatu daerah otonomi baru. Di era desentralisasi sekarang ini, pemekaran wilayah suatu daerah bukanlah hal yang asing lagi, daerah-daerah yang merasa memiliki potensi dan memenuhi syarat menurut undang-undang untuk memekarkan wilayahnya, berlomba-lomba untuk mengusulkan pemekaran daerah diwilayahnya. Tentunya ini merupakan angin segar bagi daerah-daerah yang selama ini memiliki potensi sumber daya namun tidak berkembang karena masih dikontrol oleh daerah induk. Tidak bisa dipungkiri juga keinginan suatu daerah untuk memekarkan wilayahnya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan elit didaerah tersebut.Hal inilah yang menjadi masalah dalam tujuan pemekaran tersebut. Pada dasarnya pemekaran suatu wilayah adalah dimaksudkan untuk lebih mensejahterahkan masyarakat diwilayah tersebut mulai dari peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan, kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, dll. Dalam proses pemekaran suatu daerah akan selalu terjadi perselisihan atau konflik, baik itu konflik vertikal antara elite dan rakyat, maupun konflik horizontal antara rakyat dengan rakyat. Konflik sendiri adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memiliki fungsi positif (Coser, 1957), konflik menjadi entitas hubungan sosial (Dahrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954). Teoriteori sosiologi konflik memberi pengaruh besar terhadap berbagai pendekatan analisis konflik mulitidisipliner. Sosiologi konflik structural seperti pemikiran Dahrendorf dan Coser mempengaruhi pendekatan kajian konflik, terutama yang disebut sebagai pendekatan primordial dan instrumental. Sedangkan sosiologi konstruksi sosial konflik dan interaksionisme simbolis mempengaruhi pendekatan konstruksi sosial (Susan, 2009).
Di Buton Selatan sendiri dalam proses pemekarannya terjadi pro dan kontra dimasyarakat, yang memunculkan berbagai macam konflik. Mulai dari konflik vertikal antara pemerintah daerah induk (Kab.Buton) dengan masyarakat, maupun konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra dengan pemekaran wilayah. Ini sangat disayangkan karena melihat latar belakang suku dan budaya, masyarakat didaerah tersebut memiliki suku dan budaya yang relatif sama yaitu suku Buton. Inilah yang akan menjadi lokus penelitian penulis untuk menganalisis konflik pada pemekaran wilayah di Kab. Buton Selatan yang seharusnya masyarakatnya mendukung penuh tanpa adanya konflik karena merupakan gerbang untuk kemajuan daerahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemetaan konflik dari pihak-pijak yang bertikai, menentukan jenis konfliknya dan mendeskripsikan dinamika konfliknya dalam proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Nazir (2009), penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang melukiskan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena kelompok atau individu. Sedangkan Faisal (2007), mendefinisikan penelitian deskriptif yaitu menggambarkan dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendiskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Dasar penelitian adalah study kasus. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan. Karena di Kecamatan ini tempat terjadinya konflik sosial. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam (indeep interview), pengamatan (observation), dan dokumentasi dengan penentuan informan menggunakan snowball sampling.
176
Konflik, pemetaan, dinamika, pemekaran wilayah
ISSN 2302-6340
pendidikan, aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan, aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur diwilayah Buton Selatan. Kedua, isu-isu, Dimasa-masa saat proses pemekaran, terjadi tanda tanya besar apakah Buton Selatan akan mekar atau tidak. Ini dikarenakan pejabat pemerintah daerah Kabupaten Buton dan Gubernur Sulawesi Tenggara belum menginginkan Buton selatan untuk dimekarkan. Buton Selatan sendiri dalam proses pemekarannya telah banyak menguras tenaga, materi bahkan darah karena diwarnai dengan beberapa konflik kekerasan. Pada periode ini kelompok yang pro pemekaran terus berupaya merapatkan barisan agar apa yang diusahakan dapat terealisasi. Upaya-upaya yang dilakukan kelompok yang pro pemekaran agar Buton Selatan bisa mekar yaitu dengar mengembangkan isu-isu yang pro pemekaran. Perkembangan isu pada periode ini dapat diidentifikasi menjadi dua. Pertama, isu yang diciptakan diawal perjuangan yaitu Buton Selatan harus mekar. Isu ini disuarakan oleh kelompok pro pemekaran yang notabenya adalah masyarakat diwilayah Buton Selatan dengan mempertimbangkan tidak meratanya pembangunan di Kab. Buton. Pembangunan hanya terfokus di Pasarwajo ibukota Kab. Buton, dalam hal pelayanan publik dan infrastruktur jalan, tidak dibenahinya akses jalan khususnya jalan yang langsung menuju Pasarwajo sehingga masyarakat yang mendiami wilayah Buton Selatan harus melewati Kota Baubau bila ingin ke Ibukota Kab. Buton. Selain itu para elit penguasa beserta kronikroninya hanya menguras sumber daya alam yang ada diwilayah Buton Selatan tanpa memberikan kontribusi yang berarti untuk perkembangan daerah ini. Isu ini merupakan isu utama dalam proses pemekaran Buton Selatan. Ketiga, pihak-pihak, Pada proses pemekaran Buton Selatan ada beberapa kelompok/pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak-pihak ini adalah representasi dari kepentingan yang dibawa. Pihakpihak tersebut diantaranya kelompok pro pemekaran yaitu masyarakat yang berada diwilayah Buton Selatan, kelompok kontra pemekaran yaitu sebagian masyarakat diwilayah Buton Selatan (Kecamatan Lapandewa dan Kecamatan Sampolawa) yang menuntut agar ibukota Kabupaten dipindahkan di Kecamatan Sampolawa, Aparat keamanan (TNI, Polisi, Satpol PP), Pemerintah daerah Kab. Buton,
Analisis Data Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. (Bogdan & Biklen, 2007). Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, dimulai dengan menyusun data dari hasil wawancara, lalu mengelompokkan data yang sejenis atau proses klasifikasi data, mereduksi atau menyederhanakan data, kemudian menyajikan data. HASIL PENELITIAN Pemetaan konflik merupakan metode menghadirkan analisis terstruktur terhadap konflik tertentu pada waktu tertentu pula. Dari kasus konflik yang terjadi dalam proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan, pemetaan konflik perlu dilakukan guna melihat kejadian konflik secara terstruktur dan jelas. Pertama, konflik muncul karena ada kondisi yang melatar-belakanginya, kondisi tersebut yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik. Konflik sosial yang terjadi dalam proses pemekaran Kabupaten Buton selatan menghadirkan dua kelompok yang pro dan kontra. Kemunculan kelompok pro pemekaran dikarenakan banyak factor, mulai dari minimnya pelayanan publik, kurangnya pelayanan kesehatan terutama di daerah kepulauan, akses transportasi yang tidak memadai, karena untuk menuju pasarwajo (ibukota Kab. Buton) harus melalui Kota Baubau sedangkan jalan langsung yang menuju pasarwajo tidak memadai dan terlalu jauh. Ditambah lagi pembangunan yang tidak merata, karena selama ini pembangunan terfokus di Pasarwajo ibukota Kabupaten Buton. Kemudian dari kelompok yang kontra melihat Buton selatan sebagai sebuah daerah yang belum maju dari sisi pembangunannya, dari sisi pendidikannya dimana banyak dari masyarakat diwilayah Buton Selatan menyekolahkan anaknya di Kota Baubau, dari sisi ekonominya, yang menganggap wilayah Buton Selatan belum layak untuk dimekarkan. Sesuai dengan undang-undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah pasal 36, kelompok kontra pemekaran melihat belum baiknya pertumbuhan ekonomi, aksesibilitas pelayanan dasar 177
Muhammad Fajrin Syal
ISSN 2302-6340
Kelompok pro pemekaran mengorganisir masyarakat yang berada diwilayah Buton Selatan untuk berjuang bersama-sama memekarkan Buton Selatan dari Kabupaten Buton. Kelompok pro pemekaran menjalin lobi-lobi dengan pemerintah daerah, provinisi hingga pusat dan DPR RI untuk meloloskan Buton Selatan menjadi daerah otonomi baru. Sedangkan kelompok yang kontra pemekaran melakukan berbagai cara untuk menghambat pemekaran Buton Selatan sampai aspirasinya terpenuhi, dengan melakukan penyataan sikap didepan kantor DPR RI untuk meninjau kembali lokasi ibukota Kabupaten Buton Selatan yang disepakati di Kecamatan Batauga untuk di pindahkan di Kecamatan Sampolawa. Keempat, sikap, Kelompok pro pemekaran menyalahkan pemerintah daerah Kabupaten Buton dan Gubernur Sulawasi Tenggara atas gagal dimekarkannya Buton Selatan sebagai daerah otonomi baru pada tahun 2012-2013. Ini dikarenakan pemerintah daerah Kabupaten Buton dan Gubernur Sulawesi Tenggara belum menyetujui Buton Selatan mekar, padahal Buton Selatan telah memenuhi percepatan administrasi teknis dan titik kelayakan untuk menjadi Kabupaten baru melalui peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2007, dan sudah layak unutk dimekarkan. Sedangkan dari pihak pemerintah daerah Kabupaten Buton dan Gubernur Sulawesi Tenggara menyangkal karena penyebab belum dimekarkannya karena masih menyisahkan permasalahan salah satunya ada sebagian masyarakat di Kecamatan Sampolawa yang meminta untuk lokasi ibukota dipindahkan ke Sampolawa. Kelima, perilaku dan tindakan, Kurang berpihaknya pemerintah daerah Kab. Buton dan Gubernur Sulawesi Tenggara dalam menyikapi aspirasi rakyat Buton Selatan untuk memekarkan diri dari Kabupaten Buton dengan belum menyetujuinya membuat masyarakat Buton Selatan yang tergabung dalam kelompok pro pemekaran geram dan membuat aksi-aksi provokasi dan penetangan lewat demonstrasi. Hal ini dilakukan agar mendapat perhatian media dan pemerintah pusat sehingga pemekaran Buton Selatan benar murni karena aspirasi rakyat. Tercatat ada beberapa kali demonstrasi yang berujung ke konflik kekerasan antara kelompok pro pemekaran dengan kepolisian.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa konflik sosial yang terjadi dalam proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan memiliki sumber konflik yang dilator belakangi oleh pemerintah daerah yang belum menginginkan Buton Selatan mekar. Pada pilkada Kab.Buton tahun 2012 yang dimenangkan oleh Laskar Umar Bakri (Bupati dan wakil Bupati terpilih) dalam dua putaran, kian meresahkan masyarakat pro pemekaran. Ini dikarenakan Bupati Buton terpilih Umar Samiun belum menginginkan Buton Selatan untuk dimekarkan dan hanya menginginkan Buton Tengah yang dimekarkan. Alasannya karena Buton Selatan belum layak untuk dimekarkan. Habermas (2007), memahami konflik sebagai sesuatu yang inheren dalam system masyarakat. Hal ini tidak lepas dari fakta hubungan kekuasaan dalam system sosial, dan sifat kekuasaan adalah mendominasi dan diperebutkan, fakta ini menciptakan steering problem. Menurut Robbin (2007), konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Konflik sosial yang terjadi dalam proses pemekaran Kabupaten Buton selatan menghadirkan dua kelompok yang pro dan kontra. Kemunculan kelompok pro pemekaran dikarenakan banyak factor, mulai dari minimnya pelayanan publik, kurangnya pelayanan kesehatan terutama di daerah kepulauan, akses transportasi yang tidak memadai, karena untuk menuju pasarwajo (ibukota Kab. Buton) harus melalui Kota Baubau sedangkan jalan langsung yang menuju pasarwajo tidak memadai dan terlalu jauh. Ditambah lagi pembangunan yang tidak merata, karena selama ini pembangunan terfokus di Pasarwajo ibukota Kabupaten Buton. Kemudian dari kelompok yang kontra melihat Buton selatan sebagai sebuah daerah yang belum maju dari sisi pembangunannya, dari sisi pendidikannya dimana banyak dari masyarakat diwilayah Buton Selatan menyekolahkan anaknya di Kota Baubau, dari sisi ekonominya, yang menganggap wilayah Buton Selatan belum layak untuk dimekarkan. Sesuai dengan undang-undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah pasal 36, kelompok kontra pemekaran melihat belum baiknya pertumbuhan ekonomi, aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan, aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan, aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur diwilayah Buton Selatan. 178
Konflik, pemetaan, dinamika, pemekaran wilayah
ISSN 2302-6340
Sejak dilantiknya Bupati Buton Umar Samiun, 18 Agustus 2012, tensi kelompok pro pemekaran semakin meningkat dikarenakan Bupati Buton terpilih Umar Samiun belum menginginkan Buton Selatan mekar. Hal ini pula telah digambarkan oleh Dahrendorf (1959), yang menyatakan relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Ia mendefinisikan kekuasaan: “Kemungkinan bahwa satu actor dalam suatu hubungan sosial akan berada dalam posisi melakukan perlawanan tanpa melihat dari kemungkinan perlawanan itu menyerah”. Menurut Wallace & Wolf (1995), esensi kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Jadi dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi fakta tak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan adalah ”lasting source of friction”. Pada bulan juni 2013, Badan Legislasi Nasional (Balegnas) DPR RI melakukan moratorium terhadap Rancangan Undang-Undang Kabupaten Buton Selatan. Alasan Balegnas malakukan moratorium terhadap Rancangan Undang-Undang Kabupaten Buton Selatan, karena masih menyisahkan dua masalah. Pertama; penentangan dari pemerintah Kabupaten Buton Selatan karena melanggar pasal 14 ayat 2 Undang-Undang no.13 tahun 2001, tentang pembentukan Kota Baubau, yakni belum malakukan penyerahan asset sampai saat ini dalam arti penyelewengan wewenang. Kedua; permasalahan penempatan ibukota Kabupaten Buton Selatan. Hal ini menjadi pemicu dari dua jenis konflik sosial, yaitu konflik vertikal karena adanya penentangan dari pemerintah daerah Kabupaten Buton dan konflik horizontal antara kelompok pro yang menginginkan pemekaran yang letak ibukotanya di Kecamatan Batauga sesuai kesepakatan sebelumnya dengan kelompok kontra yang mengingkan ibukota dipindah ke Kecamatan Sampolawa. Pada periode ini berada pada fase prakonflik, karena adanya ketidak sesuaian keinginan dan kepentingan dari pihakpihak yang berkonflik. Ditahun yang sama setelah Balegnas melakukan moratorium terhadap Rancangan
Undang-Undang Kabupaten Buton Selatan. Kelompok pro pemekaran merasa keinginannya dan kepentingannya tidak terpenuhi dan melakukan aksi konfrontasi lewat berbagai macam demonstrasi. Demontrasi yang dilakukan oleh kelompok pro pemekaran mulai dari pemerintah daerah Kabupaten Buton hingga ke pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara. Krisis konflik terjadi saat demontrasi kelompok pro pemekaran yang terjadi pada akhir November 2013 dikantor DPRD provinsi Sulawesi Tenggara selama enam hari, yang menagih janji Ketua DPRD provinsi Sulawesi Tenggara untuk mengundang pemerintah daerah Kabupaten Buton dan pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara untuk rapat dengar pendapat dengan masyarakat Buton Selatan mengalami kebuntuan. Setelah konflik terbuka terjadi dan atas desakan masyarakat serta pemberitaan di media, ketua DPRD provinsi Sulawesi Tenggara malakukan mediasi dengan mengundang pemarintah daerah Kabupaten Buton dan pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara untuk hadir dalam rapat dengar pendapat dengan masyarakat Buton Selatan terkait pemekaran daerah di wilayah tersebut. Pada bulan februari 2014 kelompok kontra pemekaran yakni sebagian masyarakat di Kecamatan Sampolawa dan Kecamatan Lapandewa melakukan demontrasi di gedung DPR RI yang menuntut ibukota Kabupaten Buton Selatan yang sebelumnya di Kecamatan Batauga untuk dipindahkan ke Kecamatan Sampolawa dengan alasan letak geografis karena berada di tengah-tengah dari 7 kecamatan di wilayah Buton Selatan. Hal ini membuat DPR RI kembali menunda pembahasan Rancangan UndangUndang Kabupaten Buton Selatan pada 12 februari 2014, karena pemerintah daerah Kabupaten Buton belum menyerahkan berkas keputusan tentang lokasi ibukota Kabupaten Buton Selatan. Dan akan dijadwalkan kembali pada bulan juni 2014. Pada periode ini konfrontasi kembali terjadi yang dilakukan kelompok pro pemekaran. Kelompok pro pemekaran intens melakukan demontrasi untuk mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan media nasional karena pemekaran Kabupaten Buton Selatan murni aspirasi dari masyarakat. Pada bulan maret 2014 demontrasi yang terjadi di kantor camat Batauga 179
Muhammad Fajrin Syal
ISSN 2302-6340
berujung pada konflik terbuka antara kelompok pro pemekaran dengan aparat keamanan. Krisis konflik yang terjadi dikantor camat Batauga adalah rentetan dari penundaan kembali RUU Kabupaten Buton Selatan. Krisis konflik ini menyebabkan jatuh korban dikedua belah pihak.
kondisi wilayah dan potensi konfliknya, agar dalam proses pemekaran wilayahnya tidak menjadi pemicu konflik didaerah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bogdan & Biklen. (2007). Qualitative Research for Education : An Introduction to Theory and Methods. London: Allyn and Bacon, Inc. Coser L. (1957). The Function of Sosial Conflict. New York: The Free Press. Dahrendorf R. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Societies. Stanford: Stanford University Press. Faisal S. (2007). Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Habermas. (2007). Moral Consciousness and Communicative Action, diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen. Cambridge: Polity Press. Maslow A. (1954). Motivation And Personality. New York: Harper & Row Publiser. Nazir M. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Robbins S. (2007). Manajemen. Edisi kedelapan. Jilid 2. Jakarta: PT. Indeks. Susan N. (2009). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014,Tentang Pemerintahan Daerah. Wallace & Wolf. (1995). Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity. New Jersey: Prentice Hall.
KESIMPULAN DAN SARAN Pemetaan konflik dalam kasus konflik pada proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan dimulai dari, sumber konflik yang melatar belakanginya, isu-isu yang diangkat dalam konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sikap-sikap kelompok yang terlibat dalam konflik, dan perilaku/tindakan kelompok-kelompok yang berkonflik. Jenis-jenis konflik dalam proses pemekaran Buton Selatan ada dua, konflik vertikal antara kelompok pro pemekaran yang mewakili masyarakat Buton Selatan dengan pemerintah daerah dan konflik horizontal antara kelompok pro pemekaran dengan kelompok kontra pemekaran yang mewakili masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah daerah. Dinamika konflik dalam proses pemekaran Kabupaten Buton Selatan diwarnai dengan berbagai insiden kekerasan hingga jatuh korban dikedua belah pihak. Adapun saran dari penelitian ini, pertama; penentuan letak calon ibukota Kabupaten/Kota/Provinsi dalam proses pemekaran suatu wilayah hendaknya dikaji lebih dalam, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam proses pemekaran hingga daerah tersebut dimekarkan. Kedua; pemerintah pusat dan DPR RI didalam mengkaji Rancangan Undang-Undang daerah otonomi baru hendaknya memperhatikan
180