I R PR EN
D
ANALISIS SE
TJ
PEMEKARAN WILAYAH
Oleh
Tim Analisa APBN
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
DAN BEBANNYA PADA APBN
Bagian Analisa APBN Sekretariat Jenderal DPR.RI 2007
Bab I PENDAHULUAN I. Latar Belakang
R
I
Peningkat an j umlah daerah, baik it u provinsi maupun kabupaten/kota akibat pemekaran
PR
wilayah paska pemberlakuan ot onomi daerah (desent ralisasi) secara signifikan memberi
EN
D
beban pada Anggaran Pendapat an dan Belanj a Negara (APBN), Karenanya diperlukan
TJ
t ambahan pendapat an negara unt uk memenuhi kebut uhan anggaran t erhadap daerah
SE
yang dimekarkan tersebut. Bagi pemerint ah pusat pemekaran wilayah it u berimplikasi
–
pada t ambahan beban bagi APBN karena harus menyediakan dana unt uk pembangunan
BN
kant or, gaj i pegawai, dan biaya operasional inst ansi vert ikal di daerah, sej alan dengan
AP
pelaksanaan ot onomi daerah dan dilakukannya desent ralisasi fiskal. Perlu perhatian
KS AN AA N
selanj ut nya t erhadap dampak pemekaran wilayah t ersebut adalah t erhadap pelayanan publik, penyaluran dana bagi hasil, dan peluang pelimpahan sebagian paj ak pusat ke
LA
daerah.
PE
Pemekaran daerah dilakukan pada hakekat nya unt uk meningkat kan efisiensi dan
AN
efekt ivit as penyelenggaraan pemerint ahan dan pembangunan di daerah sehingga dapat
AN
D
meningkat kan kesej aht eraan masyarakat . Jika demikian, pemekaran daerah it u t idak
AR
menj adi beban bagi APBN apabila ada manfaat nyat a dan j elas bagi peningkat an
pelayanan
AN G
memperburuk
G
kesej aht eraan masyarakat . Namun, apabila pemekaran daerah t ersebut t ernyat a publik
di
daerah,
pemekaran
daerah
akan
menj adi
IS A
kont raprodukt if bagi ot onomi daerah. Oleh karena it u perlu dilakukan evaluasi yang
AN
AL
konprehensif.
BI R
O
Permasalahan
Secara konsept ual pemekaran daerah di era berlakunya ot onomi daerah t ent unya disertai dengan desent ralisasi fiskal pula yang berakibat penambahan anggaran negara,
namun disisi lain pemekaran daerah mengurangi beban pemerint ah pusat dalam bidang urusan pelayanan kepada masyarakat daerah, penggunaan sumberdaya yang lebih efisien, pemant apan perencanaan pembangunan, peningkat an part isipasi masyarakat , sert a peningkat an persat uan dan kesat uan. Dalam kont eks pelayanan publik di at as,
2
penggunaan belanja pembangunan menjadi sorotan utama karena sifatnya yang langsung menyent uh
pada
peningkat an
kualit as
pelayanan.
Sebelum
diberlakukannya
desent ralisasi fiskal, belanj a daerah sebagian besar dit ent ukan oleh pemerint ah pusat . Namun dalam era desent ralisasi fiskal, alokasi t ransfer dana dari pusat kepada daerah bersifat bebas (block grant ) at au t idak dit ent ukan secara spesifik penggunaannya.
R
I
Bagaimana kondisi fiskal daerah sebelum dan pada era desent ralisasi, baik dari sisi
EN
D
PR
struktur pendapatan daerah, perencanaan dan pelaksanaannya
SE
TJ
Metodolologi
–
Met ode yang digunakan dalam penulisan ini adalah met ode diskript if . Adapun data
BN
Penelit ian bersumber dari dat a sekunder, berupa realisasai APBD t ahun anggaran 2001
AP
sampai dengan t ahun anggaran 2007. Unt uk memperkuat hasil analisis dari t emuan dat a
KS AN AA N
sekunder, agar diperoleh informasi yang lebih mendalam t ent ang kebij akan yang dilakukan daerah digunakan dat a berupa hasil penelitian, pendapat pakar para pakar di
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
beberapa harian, hasil seminar, dan pemberitaan yang terkait dengan topik .
3
BAB II PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DAN PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM
PR
R
I
1. Prinsip Otonomi Daerah
D
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-
EN
luasnya dalam art i daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengat ur semua
kebij akan daerah unt uk memberikan
SE
Daerah memiliki kewenangan membuat
TJ
urusan pemerint ahan diluar yang menj adi urusan Pemerint ah Pusat .Pemerint ah
BN
–
pelayanan, peningkat an peran sert a, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
KS AN AA N
AP
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain it u ot onomi daerah j uga didasarkan pada prinsip ot onomi yang nyat a dan bert anggung j awab . Prinsip ot onomi yang nyat a adalah suat u prinsip bahwa unt uk
LA
menangani urusan pemerint ahan dilaksanakan berdasarkan t ugas,wewenang, dan
PE
kewaj iban yang senyat anya t elah ada dan berpot ensi unt uk t umbuh hidup dan
AN
berkembang sesuai dengan pot ensi dan kekhasan daerah sedangkan ot onomi yang
D
bert anggung j awab adalah ot onomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-
AN
benar sej alan dengan t uj uan dan maksud pemberian ot onomi, yang pada dasarnya
AR
unt uk memberdayakan daerah dan meningkat kan kesej aht eraan rakyat
yang
AN G
G
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
senant iasa
AL
harus
IS A
Seiring dengan prinsip ot onomi darah t ersebut penyelenggaraan ot onomi it u sendiri
AN
berdasarkan
berorient asi
kepent ingan
dan
pada
peningkat an
aspirasi
yang
kesej aht eraan
t umbuh
dalam
masyarakat masyarakat .
BI R
O
Penyelenggaraan ot onomi daerah j uga harus menj amin keserasian hubungan ant ara daerah dengan daerah lainnya art inya mampu membangun kerj asama unt uk mencapai tujuan bersama sekaligus mencegah ketimpangan antar daerah.
Hal pent ing lainnya bahwa penyelenggaraan ot onomi darah harus mampu menj amin hubungan yang serasi ant ar Pemerint ah Daerah dan Pemeint ah Pusat , art inya mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4
2. Maksud dan Tujuan Pembentukan Daerah Otonom
a. Maksud dan Tujuan Pembentukan daerah otonom baru adalah: 1. Tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
R
I
2. Mewujudkan hakekat otonomi daerah
D
EN
pemerintahan , pembangunan dan pembinaan masyarakat serta
PR
3. Mendukung dan mendorong daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan
TJ
4. Mendekatkan dan meningkatkan pelayanan yang ditujukan untuk
SE
kesejahteraan rakyat.
–
b. Unt uk menwuj udkan maksud dan t uj uan t ersebut , pembent ukan daerah harus
BN
mempert imbangkan berbagai fakt or sepert i kemampuan ekonomi, pot ensi daerah
AP
luas wilayah, kependudukan dan pert imbangan aspek sosial polit ik,sosial
KS AN AA N
budaya, pert ahanan dan keamanansert a pert imbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah it u dapat menyelenggarakan dan mewuj udkan t uj uan
LA
dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
PE
II. Syarat-syarat Pembentukan Daerah Otonom Menurut Undang–undang Nomor
AN
32 tahun 2004
AN
D
1. Dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 32 2004 disebutkan bahwa pembentukan daerah
AR
ot onom baru dit et apkan dengan undang undang pembent ukan daerah ot onom
G
baru berupa penggabungan daerh atau pemekaran wilayah. Pemekaran dari suatu
AN G
daerah menj adi 2 ( dua ) daerah at au lebih dapat dilakukan set elah mancapai
IS A
bat as minimal usia penyelenggaraan pemerint ahan sebagaimana diat ur dalam
AL
Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam penj elasan Pasal 4 ayat (4)
AN
t ersebut , bat as minimal usia penyelenggaraan pemerint ahan suat u daerah unt uk
BI R
O
dapat dimekarkan adalah : a. Provinsi 10 ( sepuluh ) tahun ; dan b. Kabupaten/kota 7 (tujuh) tahun
2. Pasal
5
UU Nomor
32
Tahun
2004
menent ukan
bahwa
pembent ukan
daerahot onom harus memenuhi t iga sayarat yang meliput i syarat administ ratif, fisik dan teknis. a. Syarat Administratif
5
Pembent ukan
daerah
ot onom
baru
harus
memenuhi
syarat -syarat
administrative sebagai berikut : 1. Syarat administratif Pembentukan Provinsi diatur dalam pasal 5 ayat (2) a. Persetujuan DPRD kabupaten /kota Persetujuan DPRD dalam ket ent uan ini diwuj udkan dalam bent uk
R
I
keput usan DPRD yang diproses berdasarkan pernyat aan aspirasi
PR
sebagian besar masyarakat setempat .
EN
D
b. Perset uj uan Bupat i / walikot a yang akan menj adi cakupan wilayah
TJ
provinsi.
SE
c. Persetujan DPRD provinsi induk
–
Perset uj uan DPRD dalam ket ent uan ini diwuj udkan dalam keput usan
BN
DPRD yang diproses berdasarkan pernyat aan aspirasi
KS AN AA N
d. Persetujuan Gubernur
AP
masyarakat setempat.
sebagian
Perset uj uan Gubernur dalam ket ent uan ini di wuj udkan dalam bent uk keput usan Gubernur bersarkan hasil kaj ian t im yang khusus dibent uk
LA
oleh pemerint ah provinsi
yang bersangkut a t erhadap perlunya
PE
dibent uk provinsi baru dengan mengacu pada perat uran perundang-
AN
undangan. Tim yang dimaksud dapat mengikut sert akan t enaga ahli
AN
D
sesuai dengan kebutuhan
AR
e. Rekomendasi menteri dalam negeri
G
2. Syarat Administ rasi Pembent ukan Kabupat en / kot a diat ur dalam pasal 5
AN G
ayat (3) UU nomor 32 Tahun 2004)
IS A
a. Persetujuan DPRD Kabupaten/Kota
BI R
O
AN
AL
b. Persetujuan Bupati/Walikota yang bersangkutan c. Persetujuan DPRD Provinsi d. Persetujuan Gubernur serta e. Rekomendasi Menteri dalam Negeri
b. Syarat Teknis diatur dalam pasal 5 ayat (4) UU nomor 32 tahun 2004 Syarat teknis yang menjadi dasar pembentukan yang mencakup : 1. Faktor Kemampuan Ekonomi Fakt or kemampuan ekonomi diukur dari paaduk Domest ik regional Brut o ( PDRB) daerah yang bersangkutan
6
Ukuran kedua adalah Penerimaan daerah yang bersangkut an . Hal ini dapat dilihat dari rasio penerimaan Daerah Sendiri
t erhadap pengeluaran rut in
serta rasio Penerimaan Daerah Sendiri terhadap PDRB. 2. Potensi Daerah Pot ensi daerah diukur dari lembaga keuangan sarana dan prasarana ,
R
I
ekonomi, sarana pendidikan , sarana sekolah, sarana t ransport asi dan
PR
komunikasi, saran pariwisata serta ketenaga kerjaan
EN
D
3. Sosial Budaya
TJ
Diukur dari t empat / kegiat an inst it usi soaisl sert a sarana olah raga yang ada
SE
didaerah tersebut
–
4. Sosial Politik
BN
Diukur dari part isipasi masyarakat dalam berpolit ik sert a j umlah organisasi
Kependudukan Diukur dari jumlah penduduk
6. Luas Daerah
KS AN AA N
5.
AP
kemasyarakatan
LA
Dilihat dari luas daerah dengan sub indicat or rasio j umlah penduduk urban
PE
t erhadap j umlah penduduk (khusus unt uk pembent ukan kot a), luas wilayah
AN
secara keseluruhan, sert a luas
AN
D
dimanfaatkan
wilayah yang secara efekt if yang dapat
AR
7. Pertahanan dan Keamanan
G
Pert ahanan dan keamanan dilihat dari t ingkat keamanan dan ket ert iban
AN G
dimasyarakat
IS A
8. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
BI R
O
AN
AL
Yang dimaksud dengan fakt or lain dalam hal ini adalah pert imbangan kemampuan keuangan, t ingkat kesej aht eraan masyarakat sert a rent ang kendali yang diukur dari j arak kecamat an ke pusat pemerint ahan sert a rat arata lama waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan.
c. Syarat Fisik diatur dalam Pasal 5 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 Syarat fisik meliputi : 1. Paling sedikit memiliki 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi 2. Paling sedikit 5 ( lima ) kecamatan untuk pembentukan kabupaten 3. Paling sedikit 4 ( empat) kecamatan untuk pembentukan kota
7
4. Telah menetapkan lokasi calon ibukota dan
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
5. Memiliki sarana dan prasarna pemerintahan
8
Bab III
OTONOMI DAERAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
PR
R
I
1. Kebijakan Otonomi Daerah
EN
D
Kebij akan desent ralisasi dan ot onomi daerah yang dit uangkan dalam UU No. 32 Tahun
TJ
2004 t ent ang Pemerint ahan Daerah sebagai penggant i UU No. 22 Tahun 1999 pada
t erwuj udnya kesej aht eraan masyarakat
melalui peningkat an
–
unt uk mempercepat
SE
dasarnya merupakan amanah UUD 1945 sebagai upaya mewuj udkan cit a-cit a nasional
AP
BN
pelayanan, pemberdayaan dan peran sert a masyarakat , pembangunan daerah, sert a peningkat an daya saing daerah dengan memperhat ikan prinsip demokrasi, pemerat aan,
KS AN AA N
keadilan, keistimewaan atau kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Selama lebih dari lima t ahun pelaksanaan ot onomi daerah sej ak diberlakukannya UU No.
pemerint ahan daerah.
Berbagai
dalam penyelenggaraan
PE
LA
22 Tahun 1999, t erj adi perubahan yang cukup posit if
kebijakan t elah dihasilkan oleh Daerah dalam
D
AN
pengembangan kemandiriannya. Hal ini dit andai dengan munculnya kreat ivit as dan
AN
inovasi yang dilakukan oleh Pemerint ah Daerah dalam memecahkan masalah-masalah
AR
lokal yang menj adi t ugas ut amanya ant ara lain di bidang pendidikan, kesehat an,
AN G
G
perij inan dan lain sebagainya. Sedangkankan dari sisi demokrasi, di Daerah t elah dilaksanakan serangkaian pemilihan Kepala Daerah t anpa adanya hambat an yang cukup
IS A
berarti. Walaupun ada kasus-kasus di beberapa Daerah yang belum teratasi tetapi hal itu
AN
AL
menjadi bagian dari pembelajaran.
O
Disadari bahwa pelaksanaan Ot onomi Daerah masih belum memuaskan t erut ama
BI R
berkait an dengan pembangunan infrast rukt ur di Daerah yang banyak dikeluhkan baik oleh para invest or maupun warga masyarakat . Di beberapa Daerah kit a t emui bangunan sekolah yang rusak, rumah sakit yang kurang memadai, j alan rusak, j embat an roboh, dan sebagainya. Jika hal ini dibiarkan dapat menyebabkan rendahnya mut u pendidikan dan kesehat an masyarakat , t erhambat nya j alur dist ribusi barang dan j asa sehingga t erj adi ekonomi biaya t inggi yang menyebabkan produk dari Daerah t idak dapat bersaing
9
dan pada akhirnya arus investasi ke Daerah terutama di luar Pulau Jawa akan terus berkurang.
2. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah
R
I
Banyaknya persoalan yang dihadapi Daerah akibat t erbat asnya infrast rukt ur t idak dapat
PR
begit u saj a menj adi t anggungj awab sepenuhnya Pemerint ah Daerah, mengingat Daerah
EN
D
merupakan bagian dari suat u sist em NKRI yang memiliki kewenangan dan pendanaan
TJ
yang t erbat as. Daerah-daerah yang t idak memiliki sumber daya alam menj adi sangat
SE
t ergant ung dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi
AP
untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Daerah.
BN
–
Hasil yang dikucurkan Pusat, walaupun dalam praktiknya dana-dana tersebut tidak cukup
KS AN AA N
Selain masalah kurangnya dana yang dimiliki Daerah, Pemerint ah Daerah j uga dihadapkan pada beberapa persoalan regulasi dan manaj emen yang perlu segera diat asi. Salah sat u penyebab t imbulnya “ kebingungan” Daerah dalam mengimplement asikan
LA
otonomi daerah adalah tidak lengkapnya regulasi atau peraturan pelaksanaan yang dapat
PE
dij adikan acuan Daerah. Selain it u, masih ada perat uran perundang-undangan sekt oral
AN
yang t idak sej alan dengan kebij akan ot onomi daerah. Sedangkan dari Aspek Manaj emen,
AN
D
dirasakan kurangnya dukungan kepemimpinan dan manaj emen dalam mengurus
AR
implement asi ot onomi daerah yang t ercermin dari lemahnya pengawasan, pembinaan,
G
sert a monit oring dan evaluasi yang dilakukan Pemerint ah at au oleh Provinsi sebagai
AN G
wakil pemerint ah Pusat t erhadap pelaksanaan ot onomi di daerah. Hal ini menyebabkan
IS A
munculnya serangkaian permasalahan di Daerah, misalnya adanya penafsiran yang
AL
berbeda-beda t ent ang ot onomi daerah, munculnya produk-produk Perda di beberapa
AN
daerah yang bermasalah, dominasi legislat ive t erhadap eksekut if, dan t umpang
O
t indihnya insit usi pengawasan fungsional yang ada di Daerah (misalnya BPK, BPKP, It j en
BI R
Depdagri, Bawasda Propinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota).
Pengelolaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang menggunakan Formula sepert i Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kurang t ransparan. Hal ini berpot ensi unt uk disalaht afsirkan dan menj adi rawan unt uk dijadikan obyek dari oknum tertentu untuk disalahgunakan.
10
3. Aspek Otonomi Daerah
Untuk mengetahui prospek otonomi daerah dalam pembangunan nasional dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya:
R
I
Dari aspek ideologi, nilai-nilai yang t erkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara
PR
yang mengamanat kan pengakuan ket uhanan, semangat persat uan, pengakuan hak azasi
EN
D
manusia, demokrasi, dan keadilan sert a kesej aht eraan sosial bagi seluruh rakyat
TJ
Indonesia sej alan dengan t uj uan ot onomi daerah yait u dalam rangka pendemokrat isasian
–
SE
dan pemberdayaan masyarakat.
BN
Dari aspek polit ik, pemberian ot onomi kepada Daerah merupakan wuj ud dari pengakuan
AP
dan kepercayaan Pusat kepada pemerint ah daerah, unt uk mengembalikan harga diri
KS AN AA N
pemerint ah dan masyarakat daerah yang selama ini dieksploit asi Pusat . Kepercayaan Pusat dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan mencipt akan hubungan yang harmonis ant ar pusat dan daerah, yang pada akhirnya akan mendorong
PE
LA
dukungan daerah terhadap kebijakan-kebijakan Pusat.
AN
Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
AN
D
daerah dalam meningkat kan dan mengembangkan perekonomian di daerah. Peningkat an
AR
t ersebut akan membawa pengaruh signifikan t erhadap peningkat an kesej aht eraan
G
masyarakat . Ot onomi daerah dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para
AN G
pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional maupun global sehingga ot onomi t idak
IS A
lagi dit uding sebagai penghambat kegiat an ekonomi, indust ri dan perdagangan dengan
AN
AL
menjamin mobilitas barang, jasa, manusia, dan modal.
O
Dari aspek sosial budaya, kebij akan ot onomi daerah merupakan pengakuan t erhadap
BI R
keanekaragaman daerah sekaligus sebagai upaya melest arikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya daerah. Pengakuan t ersebut pada akhirnya akan menumbuhkan rasa kesetaraan, sejajar dan keadilan antar daerah.
Dari aspek pert ahanan dan keamanan, kebij akan ot onomi daerah menumbuhkan kepercayaan Daerah t erhadap Pusat yang dapat mengeliminir gerakan-gerakan separat is yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesaturan Republik Indonesia.
11
Bab IV PERKEMBANGAN ANGGARAN BELANJA KE DAERAH
pada t ahun 2001,
D
Sej ak dimulainya era ot onomi daerah dan desent ralisasi fiskal
PR
R
I
1. Perkembangan Anggaran Belanja ke Daerah Dalam APBN
EN
pelaksanaan ot onomi daerah dan desent ralisasi fiscal kini t elah berj alan lebih dari lima
TJ
t ahun. Selama kurun wakt u t ersebut kebij akan desent ralisasi fiskal diarahkan unt uk, (1)
SE
meningkat kan efesiensi pemanfaat an sumber daya nasional, (2)
meningkat kan
BN
–
akunt abilit as, t ransparansi dan part isipasi mayarakat (3) mengurangi kesenj angan fiskal
AP
ant ara pusat dan daerah dan ant ar daerah (4) meningkat kan pelyanan publik sert a (5)
KS AN AA N
meningkatkan efisiensi melalui anggaran berbasis kinerja.
Sej alan dengan kebij akan desent ralisasi fiskal dan ot onomi daerah dimaksud, maka besarnya penyerahan sumber-sumber pendanaan oleh pemerint ah pusat
kepada
LA
pemerint ah daerah, yang diimplement asikan dalam bent uk t ransfer belanj a ke daerah.
PE
Dari t ahun ket ahun t erus menglami peningkat an baik dari segi cakupan, j enis dana yang
AN
didaerahkan, maupun dari segi besaran alokasi dana yang didaerahkan.
D
Selanj ut nya dalam rangka meningkat kan akunt abilit as publik dan pelayanan publik
AN
t ingkat lokal, maka sesuai dengan azas demokrasi, pada t ahun 2004 DPR.RI dan
AR
Pemerint ah t elah melakukan revit alisasi kebij akan desent ralisasi fiskal yang dit andai
AN G
G
dengan disahkannya Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 t ent ang Perimbangan Keuangan ant ara Pemerint ah Pusat dan Pemerint ah Daerah sebagai penggant i Undang
IS A
Undang Nomor 25 Tahun 1999.
AL
Dibidang dana perimbangan, revit alisasi kebij akan desent ralisasi fiskal sebagaimana
AN
yang t ermuat
dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 meliput i ant ara lai (1)
BI R
O
dimasukannya persent ase bagi hasil PPh Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 ant ara Pemerint ah pusat dan pemerint ah daerah (2) Penyempurnaan bagi hasil sumber daya alam, dengan penambahan bagian daerah dari sekt or pert ambangan panas bumi (3) Penambahan variabel kebut uhan fiskal
dalam perhit ungan dana alokasi umum (DAU)
sert a (4) penyempurnaan definisi dan krit eria dana alokasi khusus (DAK) dengan ant ara lain mengalihkan DAK yang bersumber dari dana reboisasi ke dalam dana bagi hasil
12
(DBH). Dengan adanya upaya penyempurnaan tersebut
maka pengelolaan fiskal oleh
pemerintah daerahn menjadi semakin meningkat. Seiring dengan t erj adinya peningkat an pengelolaan fiskal oleh pemerint ah daerah, terjadi pula peningkatan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah secara signifikan dalam beberapa t ahun t erakhir, t erut ama pada t ahun 2006. Apabila
sebesar Rp 150,5
PR
t erhadap PDB), maka pada t ahun 2005 j umlah t ersebut meningkat
R
I
pada t ahun 2004 realisasi belanj a ke daerah mencapai Rp 129,7 t rilyun (5,6 persen
EN
D
t rilyun (5,5 persen t erhadap PDB) . Sement ara it u dalam RAPBN-P 2006 alokasi belanj a
TJ
ke daerah diperkirakan mencapai Rp 219,4 t rilyun (7,0 persen dari PDB) yait u meningkat
SE
sebesar Rp 68,9 trilyun atau 45,8 persen dari realisasinya dalam tahun 2005.
–
Peningkat an alokasi anggaran belanj a ke daerah ini ant ara lain berkenaan dengan lebih
BN
t ingginya penerimaan dalam negeri , yang membawa konsekuensi pada lebih t ingginya
AP
DBH dan DAU. Selain it u, peningkat an alokasi anggaran belanj a ke daerah t ersebut j uga
KS AN AA N
berkait an dengan adanya penyesuaian persent ase DAU, yait u dari semula 25 persen dari pendapat an dalam negeri (PDN) net o sampai dengan t ahun 2003 , menj adi 25,5 persen dari PDN net o dalam t ahun 2004 dan t ahun 2005 dan selanj ut nya menj adi 26 persen dari
LA
PDN net o dalam t ahun 2006. Peningkat an alokasi anggaran ke daerah yang cukup
PE
signifikan t ersebut diharapkan semakin meningkat kan kemampuan keuangan daerah
AN
dalam pembiayaan pembangunan daerah. Sehingga memberikan manfaat yang besar bagi
AN
D
kesejahteraan masyarakat.
AR
Dalam pengelolaan pengelolaan keuangan daerah yang semakin besar ini, pemerint ah kaidah-kaidah efisiensi,
efekt ifit as,
sesuai
G
daerah harus mampu menj abarkannya dengan mengikut i
AN G
fleksibilit as,
t ransparansi
dan
akunt abilit as
dengan
at uran
IS A
pengelolaan keuangan negara. Alokasi anggaran belanj a ke daerah t ersebut t erdiri dari
AN
AL
dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian
O
2. Pemekaran Daerah
BI R
Sej ak dit et apkannya PP Nomor 129 Tahun 2000 t ent ang Persyarat an Pembent ukan dan Krit eria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, j umlah daerah ot onom baru menunj ukkan peningkat an yang cukup signifikan. Berdasarkan Grafik V.16 dapat
diket ahui bahwa sej ak t ahun 1999 sampai dengan t ahun 2007, j umlah daerah ot onom baru mengalami peningkat an sebanyak 166 daerah baru, sehingga pada t ahun 2007 j umlah daerah ot onom secara keseluruhan menj adi 492 daerah, yang t erdiri dari 33 provinsi, 369 kabupat en, dan 90 kot a. Dengan menambahkan sat u kabupat en dan lima
13
kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka j umlah keseluruhan kabupaten/ kota di
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Indonesia adalah sebanyak 465 kabupaten/kota (370 kabupaten dan 95 kota).*
G
Pembent ukan daerah ot onom baru dapat menimbulkan permasalahan, j ika t idak
AN G
didukung oleh kemampuan ekonomi dan keuangan yang memadai. Berdasarkan hasil
IS A
evaluasi sement ara t erhadap 147 daerah ot onom baru, diket ahui bahwa daerah ot onom
AL
baru menghadapi berbagai macam permasalahan, ant ara lain penyerahan pembiayaan,
AN
personil, peralat an dan dokumen (P3D), bat as wilayah, dukungan dana kepada daerah
O
ot onom baru, mut asi PNS ke daerah ot onom baru, pengisian j abat an dan t at a ruang.
BI R
Pemekaran daerah j uga mempunyai dampak yang cukup besar t erhadap APBN, yaitu dampak t erhadap DAU,
penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan,
dan
pembangunan inst ansi vert ikal. Dampak pemekaran daerah t erhadap DAU adalah menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah lain yang t ersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di Indonesia karena bert ambahnya j umlah daerah. Penurunan t ersebut
14
pada gilirannya dapat membebani APBN, karena adanya kebij akan hold harmless sehingga dibutuhkan dana tambahan (dana penyeimbang/dana penyesuaian). Dampak
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
pemekaran daerah terhadap DAU dapat dilihat dalam Tabel V.15.
AN
Unt uk membant u penyediaan sarana dan prasarana pemerint ahan di daerah ot onom
unt uk
mendukung kelancaran
AN
digunakan
D
baru, mulai t ahun 2003 t elah dialokasikan DAK bidang prasarana pemerint ahan yang penyelenggaraan
pemerint ahan
daerah
AR
pemekaran. Kegiat an yang dibiayai diarahkan unt uk pembangunan/ perluasan gedung
AN G
G
kant or pemerint ahan daerah. Daerah yang menerima adalah daerah yang t erkena dampak pemekaran (daerah ot onom baru dan daerah induk). Perkembangan j umlah DAK
AL
IS A
bidang prasarana pemerintahan yang diserahkan ke daerah dapat dilihat Grafik V.17.
AN
Berdasarkan Grafik V.17. tersebut dapat diketahui bahwa DAK bidang prasarana
BI R
O
pemerintahan yang dialokasikan ke daerah pada tahun tahun 2003 adalah sebesar Rp88,0 miliar unt uk 22 kabupat en/ kot a, at au t iap daerah rat a-rat a menerima Rp4,0 miliar. Jumlah DAK bidang prasarana pemerint ahan t ersebut t iap t ahun t erus meningkat sej alan dengan meningkat nya j umlah daerah ot onom baru. Pada t ahun 2007 DAK bidang prasarana pemerint ahan t elah mencapai Rp539,0 miliar unt uk 159 kabupat en/ kot a, at au t iap daerah rat a-rat a menerima Rp 3,4 miliar. Konsekuensi lain dari pemekaran daerah t erhadap keuangan negara adalah penambahan kant or-kant or vert ikal unt uk mendanai
15
urusan-urusan pemerint ahan yang menj adi kewenangan pemerint ah pusat , yait u pert ahanan, keamanan, agama, kehakiman, dan keuangan. Penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka pembukaan kant or inst ansi vert ikal t ersebut ant ara lain unt uk Kant or Kepolisian, Kodim, Kant or Agama, Pengadilan, Kej aksaan, Bea Cukai, Paj ak, Kant or Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Badan Pert anahan Negara, dan Badan
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Pusat Statistik.
IS A
Dengan dibukanya kant or-kant or t ersebut , pemerint ah pusat harus menyediakan dana
AL
unt uk sarana dan prasarana gedung kant or, belanj a pegawai, dan belanj a operasional
AN
lainnya. Alokasi anggaran kement erian/ lembaga unt uk daerah ot onom baru berdasarkan
BI R
O
Rencana Kerj a dan Anggaran Kement erian/ Lembaga (RKA KL) t ahun 2005 s.d. 2007 ditunjukkan dalam Tabel V.16.
16
I R PR D EN TJ SE
–
Berdasarkan Tabel V.16, dapat diket ahui bahwa pemekaran daerah mempunyai dampak
BN
yang cukup besar t erhadap keuangan negara, sehingga pemekaran daerah ke depan
AP
perlu dilaksanakan secara selekt if dan hat i-hat i. Pemekaran daerah diharapkan dapat
KS AN AA N
memberikan manfaat nyat a dalam mendukung upaya peningkat an pelayanan publik dan kesej aht eraan rakyat . Oleh karena it u, dalam revisi PP Nomor 129 Tahun 2000, persyarat an kelulusan pembent ukan daerah baru menj adi lebih diperket at dengan
LA
menet apkan nilai mut lak (harus memenuhi nilai minimal) bagi 4 fakt or dominan yait u:
PE
kependudukan, kemampuan ekonomi, pot ensi daerah, dan kemampuan keuangan. Selain
AN
it u, ket ersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pelayanan minimal j uga
AN
D
menj adi syarat mut lak dalam penilaian usulan pembent ukan daerah baru.Secara umum,
AR
arah kebij akan penat aan daerah akan lebih dit ekankan pada prinsip efisiensi dan
AN G
sebagai berikut:
G
efekt ivit as penyelenggaraan pemerint ahan daerah dengan menempuh langkah-langkah
IS A
a. Menyusun inst rumen persyarat an pembent ukan daerah ot onom yang berorient asi peningkat an
kualit as
pelayanan
dan
kesej aht eraan
rakyat
dengan
AL
kepada
AN
mempert imbangkan aspek-aspek demokrat isasi, pert ahanan dan keamanan, dan
O
seterusnya;
BI R
b. Menyusun inst rumen evaluasi yang t epat unt uk menget ahui kemampuan daerah otonom dan efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. Melaksanakan monitoring dan evaluasi secara terprogram untuk mengetahui perkembangan kemampuan daerah otonom dan efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; d. Merancang skenario pembinaan t erhadap daerah-daerah ot onom sesuai dengan hasil evaluasi;
17
e. Merancang pola kelembagaan yang berbasis pelayanan, dalam art i t idak set iap daerah ot onom harus membent uk sendiri-sendiri kelembagaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat , akan t et api dapat pula melaksanakan kerj asama ant ar daerah dengan membent uk kelembagaan yang j angkauannya t idak t erbat as
diharapkan t uj uan ut ama pelaksanaan ot onomi
daerah dan
PR
Dengan demikian,
R
I
pada satu daerah otonom tertentu.
EN
D
desent ralisasi fiskal dalam meningkat kan kesej aht eraan masyarakat , mendekat kan
–
SE
TJ
pelayanan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah dapat tercapai.
BN
2. Dampak Pemekaran daerah Bagi APBN
AP
Dengan diberlakukanya ot onomi daerah memberikan ruang kepada daerah unt uk
KS AN AA N
melakukan pemekaran daerahnya menj adi beberapa daerah ot onom. Sej ak t ahun 2001 sampai dengan saat ini t elah t erbent uk 3 propinsi baru, 80 kabupat en baru dan 18 kot a baru sehingga j umlah keseluruhan propinsi menj adi 33 propinsi, 348 kabupat en, dan 86
LA
kot a. Sedangkan yang masih proses pembahasan undang-undang ada 17 daerah baru
PE
dimana 12 diantaranya merupakan usulan hak inisiatif DPR.
AN
Peningkat an j umlah derah ot onom t ersebut berdampak pada anggaran negara dan
AN
D
daerah karena memerlukan t ambahan pendanaan. Bagi pemerint ah pusat , menampah
AR
beban APBN karena harus menyediakan dana unt uk pembangunan gedung kant or, gaj i
beban apabila ada manfaat
nyat a dan j elas bagi
AN G
akan menj adi
G
pegawai, dan biaya operasional inst ansi vert ikal di daerah. Biaya ini sebenarnya t idak peningkat an
IS A
kesejahteraan masyarakat.
AL
Tuj uan pemekaran daerah Menurut Noldy Tuerah dosen Universit as Sam Rat ulangi
AN
Manado, adalah unt uk peningkat an kesej aht eraan masyarakat , mendekat kan pelayanan,
O
kemandirian daerah, dan pemerat aan pembangunan ekonomi. Sehingga out put yang
BI R
diharapkan adalah t erpenuhinya pelayanan dasar, pelayanan publik lebih luas dan mudah diakses, cepat, transparan dan akuntabel. Dalam kasus pemekaran kabupat en Humbang Hasundut an, dampak pemekaran t erhadap penyelenggaraan
pemerint ah
sepert i
pemangkasan
wewenang kepada sat uan kerj a perangkat
birokrasi
melalui
pemberian
daerah dan pemerint ah kecamat an,
pelayanan akt a cat at an sipil secara langsung ke kecamat an, penebit an kart u t anda penduduk secara gratis, dan pelayanan kesehatan dasar gratis.
18
Demikian j uga yang terj adi pada kabupaten Minahasa, pemekaran telah berdampak dalam pembanguanan daerah tersebut. Seperti pelayanan umum yaitu dengan penyederhanaan birokrasi melalui Unit
Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA),
peningkatan pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Permasalahan pembent ukan daerah baru kurangnya memperhat ikan fakt or ekonomi dan
R
I
keuangan sehingga dapat menyebabkan kont ra produkt if t erhadap ot onomi daerah.
PR
“ Pemekaran daerah berdampak t erhadap keuangan negara dal am hal pembagian DAU,
EN
D
penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan, dan pembangunan inst ansi vert ikal,”
TJ
kat a Mardiasmo, Direkt ur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam acara workshop
SE
nasional keuangan daerah
–
Dampak pemekaran daerah t ersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di
BN
Indonesia yait u melalui pengurangan riel porsi DAU, karena bert ambahnya j umlah
AP
daerah (fakt or pembagi). Penurunan t ersebut pada gilirannya dapat membebani APBN,
KS AN AA N
karena adanya kebij akan hold harmless sehinggga dibut uhkan dana t ambahan (dana penyeimbang/dana penyesuaian).
Demikian j uga pemerint ah harus menyediakan DAK bidang prasarana pemerint ahan
LA
unt uk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerint ah daerah sebagai akibat dari
PE
pemekaran. Unt uk t ahun 2006 penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan
AN
mencapai Rp. 448,68 miliar atau meningkat 64,95 persen dari tahun 2005 yang hanya Rp.
AN
D
272,00 miliar. Daerah penerima t ahun 2006 berj umlah 137 kabupat en/ kot a dan 1
AR
propinsi. Sedangkan beban APBN lainya adalah pembukaan kant or-kant or inst ansi
G
vert ical unt uk membiayai urusan-urusan pemerint ahan yang menj adi kewenangan
AL
IS A
kejaksaan.
AN G
pemerint ah pusat sepert i kant or kepolisian, kodim, kant or agama, pengadilan dan
O
AN
3. Potret APBD Sebelum dan Saat desentralisasi Fiskal
BI R
3.1 Penerimaan Daerah
Isu ut ama dari PAD dikait kan dengan pelaksanaan ot onomi daerah adalah bahwa PAD merupakan pencerminan dari l ocal t axing power yang menurut sebagian pihak seyogyanya cukup signifikan besarnya. Namun, pengalaman menunj ukkan bahwa PAD kabupaten/kota secara umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD.
19
Memasuki era desentralisasi, rata-rata kontribusi PADterhadap total penerimaan kabupaten/ kota mengalami penurunan. Dilihat dari kabupaten/ kota secara keseluruhan, kontribusi PADterhadap total penerimaan sebelum desentralisasi mencapai 10,2 persen, turun menjadi 8,1 persen pada era desentralisasi, atau mengalami penurunan sebesar 2,1 persen. Kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pengeluaran pada era
R
I
desentralisasi menunjukkan penurunan apabila dibandingkan sebelum desentralisasi.
PR
Kont ribusi PAD t erhadap t ot al penerimaan unt uk Kabupat en/ Kot a di Jawa
EN
D
sebelum desent ralisasi rat a-rat a sebesar 13,1 persen dari t ot al PAD, pada era
TJ
desent ralisasi kont ribusi t ersebut menj adi sebesar 10,6 persen at au mengalami
SE
penurunan sebesar 2,5 persen. Unt uk kabupat en/ kot a diluar Jawa, kont ribusi PAD
–
t erhadap t ot al penerimaan sebelum desent ralisasi sebesar 8,4 persen, pada era
BN
desent ralisasi kont ribusi t ersebut menj adi 6,5 persen at au mengalami penurunan
AP
sebesar 1,9 persen.
KS AN AA N
Dilihat dari sisi komposisi pada pos-pos PAD, paj ak daerah dan ret ribusi daerah Kont ribusi pos-pos PAD t erhadap t ot al PAD sebelum dan pada era desent ralisasi mengalami pergeseran sebagai pos PAD yang menyumbang kont ribusi t erbesar. Unt uk
LA
kabupat en/ kot a di Jawa, ret ribusi daerah yang sebelum desent ralisasi memberikan
PE
kontribusi rat a-rat a t erbesar yakni sebesar 46 persen, t urun menj adi 34,1 persen.
AN
Sedangkan paj ak daerah yang sebelumnya berada urut an kedua dengan kont ribusi rat a-
AN
D
rata sebesar 38,4 persen, naik keurutan pertama dengan kontribusi menjadi 45,6 persen.
AR
Lain halnya kabupat en/ kot a di luar Jawa, paj ak daerah sebelum desent ralisasi
G
memberikan kont ribusi t erhadap t ot al PAD rat a-rat a sebesar 55 persen, t urun menj adi
AN G
48,4 persen pada era desent ralisasi. Ret ribusi daerah yang sebelum desent ralisasi
IS A
menempat i urut an kedua dengan kont ribusi rat a-rat a sebesar 31,4 persen, t urun
AL
keurut an ket iga dengan kont ribusi sebesar 23,1 persen. Lain-lain pendapat an yang sah
BI R
O
AN
naik keurutan 3 dengan kontribusi sebesar 26 persen.
20
Tabel 1. Rata-rata Kontribusi PAD Terhadap Total Penerimaan Sebelum dan Pada Era Desentralisasi
Jawa
14,2
12,0
13,1 8,0
13,2
10,6
Luar Jawa
8,5
8,2
8,4
6,0
7,0
6,5
9,8
10,2
6,7
9,4
8,1
TJ
EN
Jawa + Luar Jawa 10,6
R
Rata-2
PR
98/99 99/00 Rata-2 2001 2002
I
Era Desentralisasi (%)
D
Sebelum Desentralisasi (%)
Daerah
BN
–
SE
Sumber : DJPKPD, Departemen Keuangan (diolah)
KS AN AA N
AP
3.2 Perencanaan APBD
Pola perencanaan sebelum ot onomi lebih menit ik berat kan pada pert umbuhan nasional dan mengacu pada program sekt oral yang t elah dit et apkan oleh pusat , sehingga kurang menampung aspirasi/ kebut uhan daerah. Kondisi ini membawa konsekuensi kepada
PE
LA
penerapan pola alokasi dana yang lebih menit ik berat kan pada t arget sekt oral, bukan
D
AN
didasarkan atas penetapan prioritas yang diusulkan oleh daerah.
AN
Di awal pelaksanaan ot onomi daerah, dimana dana disalurkan pemerint ah pusat ke
AR
pemerint ah daerah secara block grant , penyusunan anggaran dilakukan melalui Perencanaan part isipat if
ini
AN G
G
pendekat an perencanaan pembangunan part isipat if.
melibat kan masyarakat pada t ingkat paling bawah, sehingga pembangunan yang
IS A
dipriorit askan adalah kebut uhan masyarakat yang benar-benar dibut uhkan dalam rangka
AN
AL
memecahkan masalah yang diidentifikasi bersama dengan potensi lokal yang dimiliki.
BI R
O
Kabupat en Temanggung misalnya, Kabupat en yang t erlet ak dit engah-t engah Propinsi Jawa Tengah ini dalam perencanaan anggarannya mengembangkan “
Gerakan
Pembangunan yang Berawal dari Pedusunan (GERBANG DUSUNKU)” . Unt uk membiayai program Gerbang Dusunku, melalui Keput usan Bupat i Nomr 050/ 14 Tahun 2004 t elah disusun program Dana Gerbang Dusunku (disingkat dengan DAGERDU). Program ini unt uk memberikan bant uan dana kepada masyarakat desa sampai t ingkat dusun, unt uk membant u masyarakat sampai dengan t ingkat dusun membangun sarana dan prasarana
21
dasar (infra strutur) seperti jalan, jembatan, pengairan/ irigasi, air bersih, sarana pendidikan, kesehatan, dll. sesuai prioritasnya.
3.3 Belanja Daerah
R
I
Sesuai dengan Perat uran Pemerint ah Nomor 5 Tahun 2000 t ent ang Pengelolaan dan
PR
Pert anggungj awaban Keuangan Daerah, pada pasal 8 disebut kan bahwa APBD disusun
EN
D
berdasarkan pendekat an kinerj a. Anggaran berdasarkan kinerj a merupakan suat u sist em
TJ
anggaran dengan mengut amakan upaya pencapaian hasil kerj a at au out put dari
SE
perencanaan lokasi biaya at au input yang dit et apkan. Dengan sist em anggaran t ersebut ,
–
efisiensi dan efekt ivit as pengelolaan keuangan daerah diharapkan menj adi lebih baik,
AP
BN
transparan, demokratis, dan akuntabel.
KS AN AA N
Sepert i yang t erj adi di Kot a Denpasar, Kot a dengan andalan sekt or pariwisat a sebagai sumber penerimaan daerah ini dalam menyongsong ot onomi daerah mulai t ahun 2001 t elah mencanangkan kegiat an yang disebut
dengan Pengembangan Kemampuan
LA
Pemerint ah Kot a (PKPK). Kegiat an ini bert uj uan unt uk meningkat kan kemampuan aparat
PE
dan kelembagaan pemerint ahan sehingga dalam j angka panj ang mampu mewuj udkan
AN
Good governance, dan dalam j angka pendek mampu melaksanakan t ugas dan fungsi
AN
D
pemerint ahan, memberikan pelayanan umum kepada masyarakat , sert a mendorong
G
AR
partisipasi swasta dalam membangun daerah.
AN G
Mulai t ahun anggaran 2003, t elah menerapkan anggaran berbasis kinerj a pada dinas-
IS A
dinas di j aj aran Pemerint ah Kot a Denpasar sesuai Keput usan Ment eri Dalam Negeri
AL
Nomor 29 Tahun 2002 t ent ang Pedoman Pengurusan, Pert anggungj awaban dan
AN
Pengawasan Keuangan dan Belanj a Daerah Pelaksanaan Tat a Usaha Keuangan Daerah
O
dan Penyusunan Perhit ungan APBD. Sampai dengan t ahun anggaran 2003, Belanj a daerah
BI R
diklasifikasikan kedalam belanj a rut in dan belanj a pembangunan. Secara keseluruhan, t ot al kedua belanj a t ersebut pada era ot onomi t elah mengalami kenaikan sebesar 2 kali lipat dibanding sebelum otonomi daerah dilaksanakan.
Pada era ot onomi, rat a-rat a belanj a kabupat en/ kot a di Jawa naik 203 persen dibandingkan sebelum ot onomi. Dari kenaikan t ersebut , belanj a rut in mengalam kenaikan sebesar 211 persen sement ara it u belanj a pembangunan naik sebesar 183
22
persen. Sementra itu belanja daerah untuk Kabupaten/ kota di luar pulau Jawa mengalami kenaikan sebesar 194 persen. Belanja rutin naik sebesar 200 persen, sedangkan belanja pembangunan naik menjadi 184 persen. Bunga Rampai Hasil Penelitian 2004 Potret Fiskal Daerah Sebelum dan Pada Era Desentralisasi
R
I
Dilihat dari komposisi belanj anya, komposisi belanj a rut in dan pembangunan ant ara
PR
sebelum ot onomi dan era ot onomi daerah t idak banyak mengalami perubahan. Unt uk
EN
D
kabupat en/ kot a di Jawa, sebesar 75 persen dialokasikan unt uk belanj a rut in, dan sisinya
TJ
sebesar 25 persen untuk belanja pembangunan. Sedangkan kabupaten/kota di luar Jawa,
SE
sebesar 66 persen dari t ot al belanj a digunakan unt uk belanj a rut in, sedangkan sisinya
BN
–
untuk belanja pembangunan.
AP
Pada era ot onomi daerah, Pos belanj a rut in yang mengalami peningkat an adalah pos
KS AN AA N
belanj a barang. Di era ot onomi, porsi pos ini mengalami kenaikan baik unt uk daerah di Jawa maupun luar Jawa.
LA
Unt uk Kabupat en/ Kot a di Jawa, porsi pos belanj a barang sebesar 8,1 sebelum ot onomi
PE
daerah, naik menj adi 9,8 persen set elah era ot onomi. Naiknya porsi pos belanj a barang
AN
tersebut mengurangi porsi untuk belanja perjalan dinas dari 2,1 persen sebelum otonomi
AR
AN
D
menjadi 0,6 persen pada era otonomi.
G
Unt uk Kabupat en/ Kot a di luar Jawa, porsi belanj a barang sebelum ot onomi sebesar 9,4
AN G
persen naik menj adi 12,1 persen pada era ot onomi. Naiknya porsi belanj a barang
AL
IS A
tersebut akibat dari berkurangnya pos belanja pegawai.
AN
Kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari rasio PAD t erhadap belanj a rut in pada era
O
ot onomi secara keseluruhan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan
BI R
sebelum ot onomi. Rat a-rat a rat io PAD t erhadap belanj a rut in Kabupat en/ Kot a di Jawa sebesar 18,6 persen sebelum otonomi, pada era otonomi turun menjadi 12,7 persen atau mengalami penurunan sebesar 5,9 persen. Unt uk Kabupat en/ Kot a di Luar Jawa rat a-rata rat io PAD t erhadap belanj a rut in sebelum ot onomi sebesar 12,5 persen, pada era otonomi menjadi 10,1 persen, atau mengalami penurunan 2,4 persen.
23
Alokasi belanja pembangunan Kabupaten/ Kota di Jawa paling besar adalah untuk sektor transportasi. Sektor ini sebelum otonomi menyerap 24,03 persen dana pembangunan dan pada era ot onomi t et ap menj adi priorit as ut ama walauapun porsinya t urun menj adi 22,02 persen. Sekt or Aparat ur pemerint ah sebelum ot onomi menduduki priorit as 4, pada era ot onomi naik menj adi priorit as 2. Sement ara it u, sekt or hukum menj adi sekt or
PR
R
I
paling rendah prioritasnya.
EN
D
4. PP No 129/2000
TJ
Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerint ah daerah ini t elah menimbulkan
SE
t ekanan t erhadap APBN akibat adanya sej umlah dana yang harus dit ransfer kepada
–
pemerint ah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerint ah pusat unt uk
BN
membuat krit eria yang j elas dan t egas dalam menyet uj ui pemekaran pemerint ah daerah
AP
baru.
KS AN AA N
Berhubungan dengan krit eria t ersebut , pemerint ahan Gus Dur pada akhir 2000 t elah mengeluarkan PP No 129/ 2000 t ent ang Persyarat an Pembent ukan dan Krit eria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam PP t ersebut dinyat akan
LA
bahwa daerah dapat dibent uk at au dimekarkan j ika memenuhi syarat -syarat ant ara lain:
PE
kemampuan ekonomi, pot ensi daerah, sosial budaya, sosial polit ik, j umlah penduduk,
AN
luas daerah, sert a pert imbangan lain yang memungkinkan t erselenggaranya ot onomi
AN
D
daerah.
AR
Namun, krit eria t ersebut dirasakan kurang bersifat operasional. Misalnya, dalam bent uk
AN G
dimekarkan.
G
st andardisasi berapa besar nilai set iap indikat or sehingga suat u daerah layak unt uk
IS A
Lemahnya dasar penent uan krit eria ini t elah menimbulkan celah t erj adinya pot ensi
AL
'kerja sama' antara daerah yang ingin dimekarkan dan aparat pemerintah pusat termasuk
AN
DPR. Selain it u, prosedur pemekaran yang berdasarkan hasil penelit ian yang dibuat oleh
O
daerah yang ingin dimekarkan t ersebut , mengandung pot ensi yang besar pula unt uk
BI R
suatu 'tindakan manipulasi'. Sudah menj adi rahasia umum bahwa dengan adanya pemekaran pemerint ah daerah, maka akan t imbul posisi dan j abat an baru. Dan, ini berimplikasi lebih j auh lagi dengan munculnya sist em birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan j abat an ini t ent unya t idak t erlepas dari adanya aliran dana dari pemerint ah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.
24
5. Dana Transfer Mot ivasi unt uk membent uk daerah baru t idak t erlepas dari adanya j aminan dana t ransfer dari pemerint ah pusat kepada pemerint ah daerah. Dalam era desent ralisasi ini, bent uk dana t ransfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang t erdiri dari Dana
R
I
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sert a Dana Bagi Hasil baik bagi hasil
PR
paj ak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan dit ransfer
EN
D
kepada pemerint ah daerah t ermasuk pemerint ah daerah baru berdasarkan krit eria dan
TJ
formula tertentu.
SE
Komponen t erbesar dalam dana t ransfer pemerint ah pusat kepada pemerint ah daerah
–
adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah t erhadap alokasi DAU dan akhirnya
BN
membebani APBN sebenarnya lebih bersifat t idak langsung. Hal ini dikarenakan DAU
AP
yang dialokasikan didasarkan pada perhit ungan daerah induk dan baru kemudian
KS AN AA N
dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal t ersebut menyebabkan adanya kepast ian daerah menerima DAU ini, sehingga secara polit is memberikan mot ivasi unt uk memekarkan daerah. Tent unya sebagai daerah baru,
LA
penerimaan DAU t ersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerint ah
PE
sepert i kant or pemerint ahan, rumah dinas, sert a pengeluaran lain yang berkait an
AN
dengan belanja pegawai.
AN
D
Pengeluaran yang berkait an dengan aparat ur pemerint ahan ini j elas memiliki pengaruh
AR
yang sedikit kepada masyarakat sekit ar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat
G
t ent unya akan menj adi berkurang dikarenakan pada t ahun-t ahun awal pemekaran
AN G
daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerint ahan.
IS A
Karena it u, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menj adi opport unit y loss t erhadap
AL
penyediaan infrast rukt ur dan pelayanan publik kepada masyarakat . Ini t ent unya
AN
merupakan jumlah yang tidak sedikit.
O
Pada 2003, sebanyak 22 kabupat en/ kot a baru sebagai hasil pemekaran sepanj ang 2002
BI R
t elah menerima DAU sebesar Rp1,33 t riliun. Jumlah ini t erus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, t elah menerima DAU Rp2,6 t riliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini t ent unya j uga akan mengurangi j umlah DAU yang dit erima daerah induk sehingga memiliki pot ensi yang besar pula t erj adinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban t erhadap APBN bert ambah lagi dengan adanya
25
intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini. Salah sat u bent uk pengeluaran langsung oleh pemerint ah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifest asikan dalam bent uk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Dana Reboisasi. Salah sat u j enis dari DAK Non DR digunakan unt uk membiayai pembangunan
R
I
prasarana pemerint ahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana
PR
Rp88 miliar hanya unt uk membangun prasarana pemerint ahan daerah pemekaran at au
EN
D
set iap daerah pemekaran akan mendapat kan dana sebesar Rp4 miliar. Jumlah ini t erus
TJ
bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar.
SE
Terlihat j elas bahwa set iap ada daerah pemekaran, beban APBN akan semakin
–
bert ambah besar. Apalagi j ika daerah yang dimekarkan t ersebut adalah pemekaran
BN
pemerint ah provinsi. Fakt a t elah menunj ukkan set iap ada pemekaran provinsi, maka
AP
akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.
KS AN AA N
Penj elasan singkat di at as mengembalikan kit a kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yait u opport unit y cost . Jelas, bahwa adanya pemekaran t elah menimbulkan opport unit y cost yang sangat besar pada penyediaan infrast rukt ur dan pelayanan kepada Kit a semua menyadari
bahwa pembangunan
LA
masyarakat .
di
daerah
bukanlah
PE
pembangunan aparat pemerint ah daerah t et api merupakan pembangunan masyarakat
AN
daerah secara keseluruhan. Pemerint ah pusat perlu mengambil t indakan segera unt uk
AN
D
menghent ikan t unt ut an pemekaran daerah yang sangat t idak t erkendali ini. Jika
AR
pemekaran daerah t idak didasarkan pada krit eria yang t egas dan t erukur, maka kondisi
G
hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka.
AN G
Sudah saat nya pemerint ahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat t erbat as
IS A
t ersebut kepada sekt or-sekt or yang bersent uhan langsung dengan peningkat an st andar
AN
AL
kehidupan masyarakat.
O
6. Kendala Implementasi Kebijaksanaan Otda di Indonesia
BI R
Selama hampir seperempat abad kebij aksanaan Ot onomi Daerah di Indonesia mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 t ent ang Pokok-Pokok Pemerint ahan di Daerah. Ot onomi Daerah disini diart ikan sebagai hak, wewenang dan kewaj iban daerah unt uk mengat ur dan mengurus rumah t angganya sendiri sesuai dengan perat uran perundang-undangan yang berlaku. Prinsip pelaksanaan Ot onomi Daerah it u sendiri adalah Ot onomi Daerah yang nyat a dan bert anggung j awab. Pada hakekat nya Ot onomi Daerah disini lebih merupakan kewaj iban
26
daripada hak, yaitu kewaj iban Daerah untuk ikut melancarkan j alannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesej ahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pelaksanaan
Ot onomi
Daerah
t ersebut
membawa
beberapa
dampak
bagi
penyelenggaraan Pemerint ahan Daerah. Diant aranya yang paling menonj ol adalah
R
I
dominasi Pusat t erhadap Daerah yang menimbulkan besarnya ket ergant ungan Daerah
PR
t erhadap Pusat . Pemerint ah Daerah t idak mempunyai keleluasaan dalam menet apkan
EN
D
program-program pembangunan di daerahnya. Demikian j uga dengan sumber keuangan
TJ
penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.
SE
Beranj ak dari kondisi t ersebut t imbul keinginan Daerah agar kewenangan pemerint ahan
–
dapat didesent ralisasikan dari Pusat ke Daerah. Akhirnya t anggal 7 Mei 2001 lahirlah
BN
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t ent ang Pemerint ahan Daerah yang menegaskan
AP
kembali pelaksanaan Ot onomi Daerah. Ot onomi Daerah disini diart ikan sebagai
KS AN AA N
kewenangan daerah ot onom unt uk mengat ur dan mengurus kepent ingan masyarakat set empat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
LA
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t ersebut maka dimulailah babak
PE
baru pelaksanaan Ot onomi Daerah di Indonesia. Kebij akan Ot onomi Daerah ini
AN
memberikan kewenangan ot onomi kepada Daerah Kabupat en dan Kot a didasarkan
AN
D
kepada desent ralisasi saj a dalam wuj ud ot onomi yang luas, nyat a dan bert anggung
AR
jawab.
G
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerint ahan, kecuali
AN G
kewenangan di bidang polit ik luar negeri, pert ahanan keamanan, peradilan, monet er
IS A
dan fiskal, agama, sert a kewenangan bidang lainnya yang akan dit et apkan dengan
AL
Peraturan Pemerintah.
AN
Namun demikian lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t idak sert a mert a dapat
O
menyelesaikan permasalahan dominasi kekuasaan Pusat yang dirasakan Daerah selama
BI R
ini. Berbagai permasalahanpun muncul sebagai ekses implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut . Sebagian pihak menganggap bahwa kebij aksanaan Ot onomi Daerah yang diat ur oleh UU 22/ 1999 adalah kurang t epat , sehingga perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplemen-t asikan kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut secara umum dapat kit a klasifikasikan dari beberapa aspek ant ara lain;
27
aspek politik, aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek aparatur pemerintahan baik Pusat maupun Daerah dan aspek masyarakat. Dari segi aspek polit ik kebij aksanaan Ot onomi Daerah sebenarnya sudah mendapat dukungan secara nasional dengan dit et apkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Namun demikian dalam perj alanan pelaksanaan UU t ersebut
sepert inya kurang
R
I
mendapat perhat ian dan dukungan polit ik di t ingkat nasional. Hal ini t erlihat dari belum
Daerah.
Mengingat
kebij aksanaan
Ot onomi
Daerah
ini
D
Ot onomi
EN
kebij aksanaan
PR
dilakukannya penyesuaian beberapa Undang-Undang yang t idak sej alan dengan
TJ
menyangkut seluruh aspek kehidupan dan penyelenggaraan pemerint ahan maka sudah
SE
seharusnya UU 22/1999 dijadikan acuan bagi Undang-Undang lainnya.
–
Sebagai t indak lanj ut dari aspek polit ik t ersebut adalah aspek regulasi at au perat uran Undang-Undang
Nomor
22/ 1999
sebagai
regulasi
BN
perundang-undangan.
induk
AP
kebij aksanaan Ot onom Daerah yang diamanat kan pasal 18 UUD 1945 t ent u harus diat ur
KS AN AA N
lebih lanj ut dengan Perat uran Pemerint ah dan Keput usan Presiden sert a perat uran perundang-undangan lainnya. Unt uk mengat ur lebih lanj ut t ent ang kewenangan ant ara Pusat , Propinsi dan Kabupat en/ Kot a t elah dit erbit kan Perat uran Pemerint ah Nomor 25
LA
Tahun 2000 t ent ang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Ot onom, dimana PP t ersebut
PE
memberikan kejelasan dari batasan kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
AN
Namun demikian regulasi implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut masih
inkonsist ensi
at au
AR
Pemerint ah
Keput usan
Pemerint ah Pusat
G
Perat uran
AN
D
sangat t erbat as, padahal masih sangat banyak hal yang harus segera diat ur dengan Presiden.
Disamping it u
dalam mengeluarkan regulasi
j uga t erdapat
bagi
pelaksanaan
AN G
kebijaksanaan Ot onomi Daerah t ersebut , sepert i Keput usan Presiden Nomor 10 Tahun
IS A
2001 t ent ang Pelaksanaan Ot onomi Daerah di Bidang Pert anahan. Keppres t ersebut
AL
menganulir kewenangan di bidang pert anahan yang sudah menj adi kewenangan Daerah
AN
dengan mengembalikannya menjadi kewenangan Pusat.
O
Dari aspek kelembagaan unt uk mengimplement asikan kebij aksanaan Ot onomi Daerah
BI R
mengharuskan adanya rest rukt urisasi kelembagaan pemerint ahan baik di Pusat maupun Daerah. Secara bertahap hal ini telah dilakukan antara lain dengan melakukan peleburan
t erhadap inst ansi vert ikal yang berada di Daerah menj adi Perangkat Daerah sert a pelimpahan
pegawai
negeri
sipil
Pusat
ke
Daerah.
Namun
demikian
dalam
pelaksanaannya masih mengalami kendala yang disebabkan ant ara lain perbedaan persepsi dalam menafsirkan regulasi yang ada. Sehingga t imbulnya ekses sepert i pembent ukan dan pemekaran organisasi Perangkat Daerah t anpa memperhat ikan
28
kapasitas dan kondisi Daerah setempat. Hal ini juga mengakibatkan timbulnya pembengkakan kebutuhan belanja pegawai. Kendala berikut dalam implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah adalah t erbat asnya kapasit as sumber daya manusia aparat ur baik di Pusat dan Daerah. Ket erbat asan kapasit as ini menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami
R
I
konsep dan semangat Ot onomi Daerah. Kondisi ini akan menghambat percepat an
PR
implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah. Sebagian di ant aranya merasa t akut akan
EN
D
kehilangan kekuasaan dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam menerapkan
TJ
Ot onomi Daerah. Kondisi SDM aparat ur t ersebut sebenarnya t idak t erlepas dari sist em
–
kehilangan kreatifitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya.
SE
kerj a dan regulasi yang berlaku selama ini, sehingga mengakibat kan mereka sepert i
sendiri kendala yang t ampak adalah kondisi
BN
Sedangkan dari aspek masyarakat
AP
masyarakat yang sudah cukup lama t erabaikan. Berbagai program pemerint ah selama ini
KS AN AA N
sebagian kurang menyent uh kepent ingan masyarakat karena direncanakan secara top down . Sehingga kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut disambut secara beragam oleh masyarakat . Walaupun t anggapan masyarakat cukup beragam, namun secara umum
LA
masyarakat cukup ant usias dalam menymabut kebij aksanaan Ot onomi Daerah. Hanya
PE
saja sebagian kurang yakin apakah Pusat sudah spenuh hati dalam mengimplementasikan
AN
kebijaksanaan ini.
AN
D
Dari pengalaman melaksanakan kebij aksanaan Ot onomi Daerah semenj ak Januari 2001
AN G
Daerah.
G
AR
dapat disimpulkan beberapa kendala yaitu antara lain : a. Belum memadainya regulasi at au perat uran pelaksanaan kebij aksanaan Ot onomi Terdapat nya inkonsist ensi Pemerint ah Pusat dalam melaksanakan kebij aksanaan
IS A
b.
AL
Otonomi Daerah.
Belum t erdapat nya persamaan persepsi dalam menafsirkan kebij aksanaan Ot onomi
AN
c.
O
Daerah dari berbagai kalangan.
BI R
d.
Terbatasnya kemampuan SDM dalam melaksanakan kebijaksanaan Otonomi Daerah.
Kendala-kendala t ersebut akan dapat diat asi, j ika semua komponen bangsa t urut memberikan dukungannya.
Memvonis bahwa UU 22/ 1999 harus segera direvisi
merupakan suat u langkah yang kurang t epat . Hendaknya dilakukan monit oring dan evaluasi yang komprehensif t erhadap pelaksanaan kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut . Mengingat wakt u pelaksanaan UU 22/ 1999 yang kurang dari sat u t ahun,
29
kiranya akan lebih baik jika diupayakan dulu mengoptimalkan implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
7. Evaluasi Daerah Pemekaran Ada sej umlah persoalan t erkait pemekaran daerah t ersebut . Di ant aranya, ada 87,71
R
I
persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralat an, dan
PR
Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah ot onomi baru belum memiliki bat as wilayah
EN
D
yang j elas. Selanj ut nya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana
TJ
kepada daerah ot onomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit
SE
dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.
–
Pemekaran harus bet ul-bet ul diperhat ikan dengan sungguh. Jadi, pemekaran bukan
BN
unt uk kepent ingan birokrasi t api unt uk pendekat an pelayanan kepada masyarakat .
AP
Selain it u perlu dikaj i berapa daerah pemekaran yang ideal unt uk negara kepulauan
KS AN AA N
seperti Indonesia .
Hasil t im kaj ian Dewan Pert imbangan Ot onomi Daerah menyebut kan, dari 16 daerah yang diusulkan DPR, hanya lima daerah yang layak dimekarkan. Daerah-daerah lainnya
LA
masih memerlukan klarifikasi berbagai syarat , sepert i administ rasi, aspek t eknis, dan
PE
fisik kewilayahan.
AN
Belum seluruh calon daerah memenuhi syarat , berdasarkan pengamat an DPOD di
AN
D
lapangan, ada daerah yang sudah layak dimekarkan, ada yang masih perlu klarifikasi,
AR
Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, usulan dari DPR tentang
G
pemekaran beberapa daerah it u t ak bisa dibahas karena harus menunggu revisi
AN G
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran daerah. Tetapi,
IS A
karena usulan dari DPR, pemerintah harus ikut membahas.
AL
11 calon daerah yang diusulkan DPR belum bisa dimekarkan. Alasannya, banyak calon
AN
daerah yang belum memenuhi skor minimal pot ensi dan kemampuan ekonomi. Bahkan,
O
uj ar dia, ada sat u daerah induk yang akan dimekarkan menj adi dua, yang nant inya bisa
BI R
mematikan daerah induk.
30
Bab IV
R
I
PENUTUP
PR
Ot onomi daerah merupakan suat u keniscayaan yang sangat st rat egis dan t epat dalam
EN
D
penyelenggaraan pemerint ahan daerah unt uk menghadapi berbagai t ant angan dan
TJ
peluang global. Unt uk it u diperlukan suat u kondisi yang kondusif dalam mendukung
–
SE
pelaksanaan otonomi daerah, antara lain :
BN
Perlunya penguat an fungsi koordinasi dari seluruh pemerint ahan daerah unt uk
AP
mewuj udkan Pembangunan Nasional t erint egrasi dan sinergis yang didasari semangat
di
daerah,
KS AN AA N
kebersamaan dan kerjasama. Koordinasi menjadi alat sinkronisasi program pembangunan pembangunan lint as wilayah dan lint as sekt oral
yang mendukung
Pembangunan Nasional Jangka Panj ang. Selain it u, perlu kej elasan pembagian peran
LA
ant ar t ingkat an pemerint ahan yang proporsional disert ai sumber-sumber pembiayaan
PE
yang mencukupi disert ai dengan opt imalisasi part isipasi masyarakat dan swast a dalam
AN
D
AN
pembangunan nasional.
AR
Perlu adanya keseimbangan dalam mengedepankan ot onomi daerah ant ara t uj uan yang
G
bersifat subt ansi dan yang bersifat administ rat if. Secara subt ant if t uj uan ot onomi
AN G
daerah sesungguhnya adalah mensejahterakan masyarakat dengan langkah-langkah yang
IS A
lebih konkrit berupa pengent asan kemiskinan, meningkat kan sumber daya manusia
AL
melalui peningkat an kualit as pendidikan dan kesehat an, pemberant asan korupsi,
AN
peningkat an kinerj a pelayanan publik di Daerah. Namun hal ini akan sulit diwuj udkan
O
t anpa adanya kewenangan yang proporsional dan dana yang memadai bagi Pemerint ah
BI R
Daerah.
Perlu adanya konsist ensi kebij akan yang bermuara pada penyelenggaraan ot onomi daerah dengan memberikan kepast ian hukum sehingga menghilangkan mult i t afsir at as kebij akan dan meredam kepent ingan sekt oral (ego sekt oral) t ermasuk pengawasan oleh inst ansi fungsional di Daerah yang akhir-akhir ini sering dipolit isasi oleh pihak-pihak tertentu.
31
Pemerintah Daerah perlu secara terus menerus mengembangkan kapasitas baik kelembagaan eksekutif maupun legislatif, perencanaan dan pengelolaan keuangan, kemitraan dengan masyarakat dan pihak swasta dalam membangun daerah. Selain itu, pengembangan kapasitas kepada masyarakat
juga perlu ditingkatkan dengan
PR
EN
D
kebijakan-kebijakan terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat.
R
I
memberikan kesempat an yang luas dalam menyampaikan aspirasi dalam menyusun
TJ
Dengan mempert imbangkan segi efisiensi dan efekt ivit as pelayanan publik, peningkat an
SE
kerj asama ant ar daerah unt uk mengelola pelayanan publik perlu fasilit asi baik oleh
–
Asosiasi (Badan Kerj asama Daerah) at aupun oleh Pemerint ah. Tuj uan kerj asama ant ar
AP
KS AN AA N
bahkan pertukaran produk unggulan daerah.
BN
Daerah juga dapat ditingkatkan untuk menjadi wadah pertukaran ide, informasi, gagasan
Perlu adanya kesediaan Pemerint ah unt uk membuka ruang part isipasi yang lebih luas dengan melibat kan seluruh st akeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
LA
kebij akan ot onomi daerah. Dengan memfungsikan segenap asosiasi pemerint ahan daerah
PE
(BKKSI, APEKSI, ADKASI, ADEKSI dan APPSI) sebagai wadah perj uangan aspirasi bersama
AN
daerah yang dapat merepresent asikan kepent ingan daerah, sehingga Daerah t idak
AN
D
berj uang sendiri-sendiri at au mencari keunt ungan sendiri yang akhirnya dapat
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
ditunggangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
32
DAFTAR PUSTAKA 1. Nota Keuangan RAPBN 2008 2. Tri Wibowo, St udi Ef ekt ivit as Desent ral isasi Fiskal Terhadap Kinerj a Ekonomi
3. Kompas, Dampak Pemekaran Daerah 18 Desember 2006
EN
4. DJAPK http://www.djapk.depkeu.go.id/index_detaill.asp?id=160
D
PR
R
I
Daerah, Badan Analisa Fiskal Depertemen Keuangan , Jakarta 2004
TJ
5. KCM, Depdagri Perketat Persyaratan Jadi Daerah Otonom, 6 Pebruari 2006
SE
6. Makalah, Konsent rasi Polit ik Lokal dan Ot onomi Daerah, Ruang Seminar FISIPOL
BN
Kendala Implement asi Kebij aksanaan Ot da Di Indonesia, Agust us
AP
7. Kompas,
–
UGM Yogyakarta, 13 Agustus 2001.
KS AN AA N
2001
8. KCM, Depdagri Evaluasi 148 Daerah Pemekaran, Senin 22 Mei 2006 9. Kompas, Kapasit as Pemda Menyelesaikan Masalah Mendasar Belum Memadai, 2
LA
desember 2006
PE
10. Badan Kerj asama Kabupat en Seluruh Indonesia (Bkksi) Prospek Ot onomi Daerah
AN
Dalam Pembangunan Nasional 25 Agustus 2004
D
11. Suara karya Kamis, 7 Desember 2006
AN
12. Kompas, 14 Februari 2007
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
13. Syarif Syahrial, Pemekaran Pemerintah Daerah dan Beban APBN, Jakarta
33
KS AN AA N
LA
PE
AN
D
AN
PR
D EN
220.069,5
142.338,1 49.222,6 22.081,2 5.685,3 12.734,5 3.661,4
216.592,4 59.358,4 -
27.141,4 13.580,8 10.889,7
-
1.731,1 619,8 320,0
-
88.765,6
145.664,2
4.349,9 335,9
11.569,8 -
4.014,0
-
7.242,6
3.477,1
1.775,3 5.467,3
-
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
2006 (APBN)
TJ
149.580,7
AP
BELANJA UNTUK 120.314,3 130.005,0 DAERAH 98.204,1 I. Dana 111.070,4 123.149,6 Perimbangan 94.656,6 1 Dana Bagi Hasil 24.884,1 31.369,5 37.368,4 a. Perpajakan 22.578,9 17.740,1 - PPh 5.161,9 4.785,3 - PBB 8.708,5 9.772,6 - BPHTB 2.171,0 3.182,2 b. Sumber Daya Alam 15.328,2 19.628,3 - Minyak Bumi 6.831,5 9.739,2 - Gas Alam 6.419,7 7.704,6 - Pertambangan 1.145,4 1.408,2 Umum - Kehutanan 731,6 536,3 - Perikanan 200,0 240,0 2 Dana Alokasi 76.977,9 82.130,9 Umum 69.159,4 3 Dana Alokasi 2.723,0 3.650,3 Khusus 613,1 a. Dana Reboisasi 811,8 b. Non Dana 2.723,0 2.838,5 Reboisasi II. Dana Otonomi Khusus Penyesuaian 9.243,9 6.855,4 3.547,5 1 Dana Otonomi 1.539,6 1.642,6 Khusus 2 Dana Penyesuaian 7.704,3 5.212,8 Sumber : APBN nota keuangan (2002 – 2006) diolah
2005 (APBN-P)
SE
2004 (APBN-P)
–
2003 (PAN)
BN
2002 (PAN)
R
I
BELANJA KE DAERAH, 2002 - 2006 (miliar rupiah)
34
35
BI R O IS A
AL
AN
AN
AR
G
AN G AN
D KS AN AA N
LA
PE
BN
AP
–
EN
TJ
SE
PR
D
I
R
I R PR D EN TJ SE – BN AP KS AN AA N LA
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.