Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.)
STATUS DAN PERKEMBANGAN PERIKANAN PUKAT CINCIN DI BANDA ACEH Tuti Hariati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 20 Juli 2011
ABSTRAK Dalam periode tahun 1995-1998 terdapat dua cara atau metode penangkapan pukat cincin di perairan Banda Aceh. Cara pertama adalah mengejar gerombolan ikan pelagis besar pada siang hari dan cara kedua mengumpulkan kelompok ikan pelagis kecil menggunakan cahaya lampu pada malam hari. Tujuan penelitian pada tahun 2009 adalah untuk memperoleh informasi baru perkembangan perikanan pukat cincin, penambahan cara penangkapan, komposisi hasil tangkapan, indeks kelimpahan, dan puncak hasil tangkapan ikan pelagis yang dominan. Data yang dikumpulkan terdiri atas jumlah kapal, ukuran kapal, ukuran jaring, hasil tangkapan per jenis ikan dan per kapal; jumlah hari operasi tahun 2008 dan 2009, yang diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo. Data dikelompokkan lalu ditabulasi dibuat grafik serta dianalisis. Hasil menunjukkan, bahwa perikanan pukat cincin mengalami perkembangan baik dalam jumlah dan bobot kapal maupun ukuran jaring. Dalam periode ini cara penangkapan bertambah dengan cara ketiga yaitu menangkap dua kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda-benda terapung (kayu-kayuan dan sampah). Berdasarkan atas menurunnya hasil tangkapan dan catch per unit of effort pukat cincin menggunakan cara dua diduga sumber daya ikan pelagis kecil di perairan ini sudah menipis. Catch per unit of effort ikan pelagis besar yang tertangkap dengan cara satu dan cara tiga juga tidak meningkat, sehingga untuk ketiga cara tersebut diperlukan pengendalian upaya. KATA KUNCI:
pukat cincin, ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, Banda Aceh.
ABSTRACT:
State and development of purse seine fishery in Banda Aceh waters. By: Tuti Hariati
In the period of 1995-1998, there were two kinds of fishing method in the purse seine fisheries of Banda Aceh. The 1st method is to pursue the large pelagic fishes shooling in the day time, and the 2nd method is to catch small pelagic fishes gathered by light at night. This research in year 2009 was aimed to obtain the new information on the recent development of the fishery, the additional fishing method as well as catch composition, index of abundance and the peak catch of the dominant pelagic fishes. Number of vessel, dimention of vessel and purse seine net, catch by species and by vessel; number of trip, duration of trip during years 2008 and 2009 were collected from Lampulo Fishing Port. These data were grouped to make some tables and graphics. Result shows, number and volume of vessel, and dimention of purse seine net had developed from those in the 1995-1997 period. Also, the fishing methods had increased, 3rd method was operated to catch the fishes gather under the floating object (blogs and garbage). Based on the decreasing catch per unit of effort resulted from the 2nd method, the small pelagic resourses had probably declined, the catch per unit of effort resulted from both the 1st and 2nd method, however, also did not increase. Therefore, the effort number of the three fishing method have to be managed. KEYWORDS:
purse seine, large pelagic fishes, small pelagic fishes, Banda Aceh
PENDAHULUAN Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis di perairan Banda Aceh dan sekitarnya dengan alat tangkap pukat cincin yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Banda Aceh telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Berdasarkan atas hasil penelitian yang dilangsungkan dalam periode tahun 1995-1997, penangkapan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu 1) mengejar gerombolan ikan pelagis besar pada siang hari; dan 2) mengumpulkan ikan pelagis
kecil dengan bantuan sinar lampu yang dipasang pada malam hari. Jenis hasil tangkapan yang diperoleh dari cara pertama terdiri atas kelompok ikan pelagis besar seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), mandidihang (Thunnus albacares), tongkol (Euthynnus affinis), cucut (Requiem shark sp.), dan lain-lain (Bahar, 1994), sedangkan dari cara kedua diperoleh jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan layang (Decapterus sp.), selar (Carana spp.), banyar (Rastrelliger kanagurta), siro (Amblygaster sirm), dan tembang (Sardinella fimbriata) (Hariati et al., 2001).
___________________ Korespondensi penulis: Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440
157
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 157-167
Penangkapan menggunakan kedua cara tersebut menghasilkan kelompok jenis-jenis ikan yang sesuai dengan sasaran. Dalam periode tahun 1995-1997 daerah penangkapan kapal pukat cincin penangkap ikan pelagis besar adalah perairan dari utara Banda Aceh sampai Sabang dan di lepas Pantai Calang (barat Banda Aceh). Daerah penangkapan ikan pelagis kecil terbatas di antara pulau-pulau kecil yang terletak di perairan Banda Aceh seperti Pulau Aceh dan Pulau Bereuh. Lama tiap trip kapal pukat cincin, baik yang menangkap ikan pelagis besar (disebut juga pukat cincin cakalang) maupun yang menangkap ikan pelagis kecil saat itu hanya satu hari dengan lama di jalan hanya 2-9 jam. Bobot rata-rata kapal pukat cincin cakalang 24 GT (Bahar, 1994) sedangkan kapal penangkap ikan pelagis kecil hanya 6-9 GT (Hariati et al., 2000). Setelah periode tahun 1995-1997 belum diperoleh informasi baru mengenai kegiatan penangkapan kapal pukat cincin di perairan Banda Aceh yang saat ini telah menjadi bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Laut Andaman dan Selat Malaka (Nurhakim et al., 2007), sedangkan data dan informasi baru mencakup perkembangan aspek penangkapan pukat cincin sangat diperlukan sebagai dasar penyusunan kebijakan pengelolaan. Tujuan penelitian sumber daya ikan pelagis di perairan sekitar Banda Aceh pada tahun 2009 adalah untuk memperoleh informasi perkembangan perikanan pukat cincin Banda Aceh saat ini antara lain jumlah dan volume kapal, dimensi jaring, jumlah hari operasi, hasil tangkapan, dan indeks kelimpahan menurut cara atau metode penangkapan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu
dan jenis ikan hasil tangkapan tiap kapal yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2009. 3. Jumlah kapal pukat cincin Banda Aceh dan yang andon di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo. 4. Data ukuran kapal, gross tonage, merek, dan kekuatan mesin, panjang dan dalam jaring, serta ukuran mata jaring adalah hasil pencatatan dan pengukuran oleh Tim Registrasi Food and Agriculture Organization-Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo. 5. Informasi lainnya seperti tiga cara penangkapan dan desain jaring diperoleh dari wawancara dengan para nakhoda dan literatur. Analisis Data Data hasil tangkapan pukat cincin menurut jenis ikan dari tiap kapal dipisahkan dan menurut sasaran kelompok jenis ikan (pelagis besar, kecil, dan gabungan pelagis besar dan kecil), lalu masingmasing ditabulasi per bulan mewakili tiap cara atau metode penangkapan Jumlah trip tiap bulan diperoleh dari jumlah kapal yang beroperasi menurut cara penangkapan. Lama trip (jumlah hari di laut tiap trip kapal) adalah selisih hari pendaratan dua kapal yang sama. Daerah penangkapan dari sejumlah kapal contoh dihimpun menurut sasaran ikan dan metode penangkapan. Komposisi hasil tangkapan Data hasil tangkapan tiap-tiap jenis ikan menurut tiga cara penangkapan tahun 2008 dan 2009 dijumlah, lalu dihitung persentasenya terhadap masing-masing hasil tangkapan total: % Ki = Ci/Ctotx100% ………..…………………... (1
Penelitian sumber daya ikan pelagis di wilayah pengelolaan perikanan Laut Andaman dan Selat Malaka dilakukan pada periode bulan Maret sampai Desember 2009.
di mana Ki = komposisi jenis ikan i Ci = hasil tangkapan i Ctot = hasil tangkapan total
Jenis Data
Indeks kelimpahan/laju tangkap/catch per unit of effort
Data yang dikumpulkan terutama adalah: 1. Jenis dan jumlah hasil tangkapan pukat cincin, jumlah trip, dan lama trip. 2. Data tersebut diperoleh dari buku catatan harian kapal pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Banda Aceh yang mencatat tanggal berangkat dan tiba, serta jumlah
158
Hasil tangkapan total menurut tiga cara penangkapan tahun 2008-2009 dibagi dengan jumlah hari di laut: C.r.i = Ci/das …………………………………….. (2
Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.)
di mana C.r.i = laju tangkap ikan i das = jumlah hari operasi pada periode yang sama Rata-rata hasil tangkapan bulanan jenis ikan yang dominan Rata-rata hasil tangkapan bulanan (jenis ikan yang dominan) pada tiap musim penangkapan (musim barat, peralihan 1, timur, dan peralihan 2) selama tahun 20082009 diuji secara statistik dengan selang kepercayaan nilai tengah (Ostle, 1972; Vargas-Guzman et al., 2004) untuk mengetahui perbedaan hasil tangkapan tiap musim. Xrata-rata ± (t0,975x(N-1)xSd/N0,5 ............................. (3 di mana: N Xrata-rata Sd
= jumlah contoh (bulan) dalam tiap musim selama tahun 2008-2009 = nilai tengah hasil tangkapan bulanan dalam tiap musim = standar deviasi
HASIL DAN BAHASAN Jumlah Unit, Bobot Kapal Pukat Cincin, dan Dimensi Jaring Jumlah kapal pukat cincin asal Banda Aceh di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo sampai tahun 2009 ada 93 unit, ditambah kapal andon dari Idi Rayeuk (pantai timur Aceh) 61 unit dan dari Sigli 10 unit, sehingga jumlah total 164 unit. Pada periode tahun 1995-1997 jumlah pukat cincin di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo hanya 86 unit, terdiri atas 69 unit kapal penangkap ikan pelagis besar dan 17 unit kapal penangkap ikan pelagis kecil (Hariati et al., 2000). Jumlah kapal penangkap ikan pelagis besar dan kapal ikan pelagis kecil yang konsisten selama periode ini masing-masing 30 dan 23 unit, kapal penangkap ikan pelagis gabungan 17 unit, sedangkan yang berganti-ganti sasaran jenis ikan berjumlah >50 unit, 40 unit kapal lainnya diduga sedang beroperasi di luar wilayah. Saat ini armada pukat cincin penangkap ikan pelagis kecil mengalami perkembangan volume kapal, dari <10 GT menjadi 11-30 GT, sedangkan bobot kapal penangkap ikan pelagis besar tetap 19-30 GT namun kekuatan mesin meningkat dari 40 PK menjadi 120160 PK. Panjang dan dalam jaring pukat cincin yang digunakan pada tahun 2009 telah berkembang dari
semula panjang 654 m (Bahar, 1994) menjadi panjang 800-1.200 m. Dalam jaring relatif tetap yaitu 35-40 m. Ukuran mata jaring 1,0 inci (25,44 mm) pada kantung (bunt), 1,5; 2,0; dan 3,0 inci pada badan jaring dan 4,0 inci pada bagian sayap tetap seperti pada periode tahun 1995-1997. Kedalaman jaring yang relatif pendek dan tidak bertambah sejak tahun 1990-an, karena di perairan tersebut banyak terumbu karang yang dapat membahayakan jaring. Menurut Idham (2002) konstruksi jaring pukat cincin Banda Aceh adalah modivikasi dari pukat cincin tipe Amerika, dirancang berdasarkan atas kebiasaan nelayan dan disesuaikan dengan kondisi jaring untuk menangkap ikan perenang cepat. Bahan jaring pada bagian-bagian sayap, badan, dan kantung dari nilon multifilamen. Tali ris atas dan bawah terbuat dari bahan poly ethylene, tali kolor dari kuralon, pelampung dari busa sintesis, dan pemberat dari timah hitam. Di perairan barat Sumatera dimensi jaring pukat cincin Sibolga yang digunakan di dalam penangkapan ikan pelagis besar adalah panjang 1.000 m, dalam 100 m, dan mata jaring di bagian kantung 3-4 inci. Untuk menangkap ikan pelagis kecil, digunakan jaring dengan panjang 700 m, dalam 60 m, dan ukuran mata jaring di bagian kantung 1 inci (Hariati, 2005). Cara Penangkapan dan Daerah Penangkapan Dalam periode 2008-2009 telah digunakan tiga cara penangkapan pukat cincin yaitu: 1. Mengejar gerombolan ikan pelagis besar pada siang hari terutama ikan cakalang dengan daerah penangkapan (Gambar 1) meliputi perairan laut dalam yaitu di lepas pantai Calang sampai Pulau Beras (barat Banda Aceh), dan dari lepas pantai Banda Aceh ke utara sampai utara Sabang (Pulau Weh) dan ke arah barat sampai lepas pantai Kabupaten Pidie. Di perairan Pidie 3 mil dari pantai dipasang rumpon laut dalam untuk mempermudah pengejaran gerombolan ikan pelagis besar. 2. Mengumpulkan ikan pelagis kecil di bawah cahaya lampu. Pada tahun 1995 digunakan lampu fluorescence 30 watt 10 buah, saat ini lampu mercury 100 watt pada malam hari; daerah penangkapan yang utama adalah perairan antara Pulau Aceh dan Pulau Beras di sebelah barat daya Banda Aceh (Gambar 1). 3. Menangkap gerombolan ikan yang berkumpul di bawah benda-benda yang terapung seperti kayukayuan dan sampah yang terapung di perairan. Daerah penangkapan (Gambar 1) di perairan laut dalam, sebelah utara dan timur Laut Sabang, serta di lepas Pantai Sigli (Pidie).
159
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 157-167
Cara ketiga mulai dilakukan oleh armada pukat cincin Idi Rayeuk pada tahun 1995-1997 dengan sasaran utama ikan layang dungon (layang biru) karena ada permintaan untuk digunakan sebagai umpan beku dalam perikanan rawai tuna di Jepang.
Gambar 1. Figure 1.
Daerah penangkapan yang ditempuh adalah di perairan sebelah timur Laut Sabang (di perairan Pulau Pisang). Jumlah hari di laut tiap trip dari Idi Rayeuk 3-7 hari (Hariati, 2005a).
Peta daerah penangkapan pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Banda Aceh. Map of fishing grounds of purse seiners in the Lampulo Fishing base, Banda Aceh. Keterangan/Remarks:A: daerah penangkapan ikan pelagis besar (cara 1); B: daerah penangkapan ikan pelagis krcil (cara 2); C: daerah penangkapan ikan pelagis terutama untuk layang biru dan cakalang (cara 3)/A: fishing grounds of large pelagic fishes (1st fishing method); B: fishing ground of small pelagic fishes (2nd fishing method); C: fishing ground of pelagic fishes especially for scad mackerel and Skipjack Tuna (3rd fishing method) Sumber/Sources: Encarta (2009)
Daerah penangkapan untuk cara satu dan dua sama dengan pada periode tahun 1995-1997 yaitu di perairan Selat Malaka sekitar Banda Aceh, sedangkan untuk cara tiga adalah di perairan sebelah timur Laut Sabang di luar daerah penangkapan semula. Daerah penangkapan pukat cincin Banda Aceh yang menggunakan cara tiga merupakan perluasan daerah penangkapan pukat cincin Banda Aceh, namun juga sebagai daerah penangkapan pukat cincin yang berbasis di Idi Rayeuk sejak tahun 1995 (Hariati et al., 2000).
160
Lama Trip Jumlah hari di laut kapal pukat cincin Lampulo 17 hari rata-rata lama trip untuk tiap cara penangkapan berkisar antara dua dan empat hari (Tabel 1). Lama trip cara dua pada saat ini rata-rata dua hari (Tabel 1), sudah naik dari tahun 1997-an yang hanya satu hari dalam tiap trip, di mana hasil tangkapan didaratkan tiap hari (one day fishing). Lama trip kapal pukat cincin (dua hari) yang menggunakan cara satu relatif tetap dari tahun 1997, diduga karena mudah mendapatkan hasil tangkapan. Trip yang menggunakan cara tiga paling lama karena daerah penangkapan yang relatif lebih jauh.
Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.)
Tabel 1. Table 1.
Rata-rata lama trip kapal pukat cincin yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo dengan tiga cara penangkapan The averages of days per trip of purse seiners landed at the Lampulo harbour using 3 fishing methods
Cara penangkapan/ Fishing method st 1 nd 2 rd 3
Jenis/kelompok jenis ikan target/ Target group/fish Big pelagic fishes Small pelagic fishes Mackerel scad
Rata-rata jumlah hari per trip/ Average days per trip 2.1 2.0 4.0
Keterangan/Remarks:cara satu: untuk menangkap kelompok jenis ikan pelagis besar; cara dua: untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil menggunakan rumpon; cara 3: untuk menangkap kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda yang terapung (kaju, sampah)/1st method: to pursue big pelagic fishes school; 2nd method: to catch small pelagic fishes using Fad’s; and 3rd method: to catch pelagic f ishes school under floating object (wood, garbage)
Ada juga kapal-kapal yang pada tiap bulan hanya mendarat satu kali di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo atau tidak mendarat setiap bulan; diduga bahwa Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo bukan satu-satunya tempat pendaratan armada tersebut, melainkan juga di lokasi-lokasi pendaratan lainnya di sepanjang pantai utara Aceh dekat daerah penangkapan yang ditempuh, misalnya di Mereudu (Kabupaten Pidie Jaya), Peudada (Kabupaten Bieureun), Lhok Seumawe (Kabupaten Aceh Utara), dan Idi Rayeuk (Kabupaten Aceh Timur). Jumlah Hari Operasi Pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah hari operasi pukat cincin cara satu dan tiga dari tahun Tabel 2. Table 2.
2008; dalam cara tiga peningkatan jumlah hari operasi tersebut sangat nyata, sebaliknya jumlah hari operasi cara dua turun (Tabel 2). Rata-rata jumlah hari operasi tertinggi selama tahun 2008-2009 (Tabel 2) adalah dari cara satu (sasaran ikan pelagis besar), karena di perairan laut dalam seperti perairan Banda Aceh, sumber daya ikan pelagis besar lebih banyak sehingga lebih mudah dicari daripada sumber daya ikan pelagis kecil. Rata-rata jumlah hari operasi dari cara ketiga adalah yang paling rendah terutama pada tahun 2008. Selain karena letak daerah penangkapan yang relatif jauh (Gambar 1), bagi nelayan Banda Aceh cara ketiga merupakan metode penangkapan yang baru diadopsi dari nelayan Idi Rayeuk. Namun pada tahun 2009 jumlah hari di laut untuk cara satu dan tiga meningkat (Tabel 2).
Jumlah hari di laut kapal pukat cincin Banda Aceh menggunakan tiga cara penangkapan pada tahun 2008 dan 2009 Day at sea of Banda Aceh purse seiner using 3 fishing methods during years 2008 and 2009
Tahun/Year 2008 2009 Rata-rata/Average
Jumlah hari di laut (hari) kapal pukat cincin menggunakan tiga cara:/ Day at sea (day) of purse seiner using 3 fishing methods: st nd rd Cara 1/1 method Cara 2/2 method Cara 3/3 method Total 2.770a 2.724bc 1.236a 6.730 3.280ab 2.118ab 3.156b 8.554 3.025b 2.421ab 2.196a
Keterangan/Remarks: cara satu: untuk menangkap kelompok jenis ikan pelagis besar; cara dua : untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil menggunakan rumpon; cara tiga: untuk menangkap kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda yang terapung (kaju, sampah); nilai-nilai dalam kolom yang diikuti dengan sub skrip yang berbeda adalah berbeda nyata/1st method: to pursue big pelagic fishes school; 2nd method: to catch small pelagic fishes using Fad’s; and 3rd method: to catch pelagic f ishes school under floating object (wood, dirt); values in columns followed by the different superscript are significantly different
Hasil Tangkapan, Indeks Kelimpahan (Catch Per Unit of Effort) Total, dan Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan
tertinggi diperoleh dari penggunaan cara ketiga dan pertama, hasil tangkapan yang terendah dari cara kedua, mengingat ikan target dalam metode dua (jenisjenis ikan pelagis kecil) berukuran lebih kecil dibandingkan dengan jenis-jenis ikan pelagis besar.
Pada Tabel 3, rata-rata hasil tangkapan yang
161
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 157-167
Pada tahun 2009 terjadi peningkatan hasil tangkapan pukat cincin yang menggunakan cara satu dan tiga (Tabel 3), yang disebabkan oleh peningkatan jumlah hari operasi pada kedua cara tersebut (Tabel 2). Hasil tangkapan pukat cincin cara dua pada tahun Tabel 3. Table 3.
2009 mengalami penurunan dari tahun 2008 (Tabel 3), diduga karena jumlah hari operasi yang turun atau ada kemungkinan lain misalnya stok ikan pelagis kecil yang makin menipis.
Hasil tangkapan kapal pukat cincin Banda Aceh menggunakan tiga cara penangkapan pada tahun 2008 dan 2009 Total catch of Banda Aceh purse seiner using 3 methods in 2008-2009
Tahun/Year 2008 2009 Rata-rata/Average
Hasil tangkapan total pukat cincin (ton) yang menggunakan tiga cara penangkapan/ Total catches of purse seiner (ton) using 3 fishing methods: Cara 1/1st method Cara 2/2nd method Cara 3/3rd method 1.666b 2.266ab 1.661a 1.211ab 2.902bc 3.646b 2.584e 1.439d 2.653e
Keterangan/Remarks: cara satu: untuk menangkap kelompok jenis ikan pelagis besar; cara dua: untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil menggunakan rumpon; cara tiga: untuk menangkap kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda yang terapung (kaju, sampah); nilai-nilai dalam kolom yang diikuti dengan sub skrip yang berbeda adalah berbeda nyata/1st method: to pursue big pelagic fishes school; 2nd method: to catch small pelagic fishes using Fad’s; and 3rd method: to catch pelagic fishes school under floating object; values in columns followed by the different superscript are significantly different
Indeks kelimpahan (catch per unit of effort) Nilai catch per unit of effort pukat cincin Banda Aceh menggunakan cara tiga paling tinggi (Tabel 4) karena hasil tangkapan terdiri atas dua kelompok jenis ikan yaitu kelompok pelagis besar dan kecil, sedangkan hasil tangkapan dari cara satu dan dua terdiri atas satu kelompok ikan. Dalam tahun 2009 nilai catch per unit of effort cara satu cenderung naik dari nilai pada tahun 2008 namun secara statistik tetap. Catch per unit of effort cara tiga cenderung turun dari nilai-nilai catch per unit of effort tahun 2008, namun secara statistik juga tetap; sedangkan catch per unit of effort cara dua turun nyata (Tabel 4). Catch per unit of effort pukat cincin yang menggunakan cara dua turun meskipun jumlah upaya juga turun; diduga merupakan indikasi bahwa sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Banda Aceh Tabel 4. Table 4.
mengalami tekanan penangkapan akibat pemanfaatan yang lama sejak tahun 1970-an dengan cukup intensif antara lain dengan penambahan jumlah kapal dan bobot yang semakin meningkat sedangkan daerah penangkapan sempit, serta peningkatan intensitas alat bantu lampu dari 10-15 buah lampu Fluorescence 40 watt tiap kapal pada tahun 1995-1997, diganti dengan 10-15 buah lampu merkuri 1.000 watt, yang meningkatkan indeks kelimpahan dari 322 kg/hari (Hariati et al., 2000) menjadi 612,6 kg/hari (2008) dan turun menjadi 574,1 kg/hari pada tahun 2009 (Tabel 4). Komposisi hasil tangkapan pukat cincin Operasi penangkapan pukat cincin menggunakan tiga cara atau metode di perairan sekitar Banda Aceh menghasilkan komposisi jenis-jenis ikan pelagis (Tabel 5).
Catch per unit of effort kapal pukat cincin Banda Aceh menggunakan tiga cara penangkapan pada tahun 2008 dan 2009 Catch per unit of effort of Banda Aceh purse seiners using 3 methods in 2008-2009
Tahun/Year 1995-1997 2008 2009 Rata-rata/Average
st
Cara 1/1 method 828,3a 873,2a 850,7ab
CPUE dari:/CPUE (kg/day )from: nd Cara 2/2 method *) 322,0 612,6bc 574,1ab 593,3a
rd
Cara 3/3
method 1.125,2a 1.063,6a 1.094,4bc
Keterangan/Remarks: cara satu: untuk menangkap kelompok jenis ikan pelagis besar; cara dua: untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil menggunakan rumpon; cara tiga: untuk menangkap kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda yang terapung (kaju, sampah); nilai-nilai dalam kolom yang diikuti dengan sub skrip yang berbeda adalah berbeda nyata/1st method: to pursue big pelagic fishes school; 2nd method: to catch small pelagic fishes using Fad’s; and 3rd method: to catch pelagic fishes school under floating object; values in columns followed by the different superscript are significantly different Sumber/Sources: *) Hariati et al. (2000)
162
Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.)
Tabel 5. Table 5.
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin Banda Aceh menggunakan tiga cara penangkapan selama tahun 2008-2009 Catch composition of purse seine of Banda Aceh using 3 fishing methods in the periode 2008-2009
Kelompok/Jenis ikan/Group/fish
Komposisi/Composition (%) Cara 1/1st method Cara 2/2nd method Cara 3/3rd method
Pelagis besar Cakalang/Skipjack tuna Mandidihang/Yellow fin tuna Tongkol/Eastern little tuna, Frigate mackerel Pelagis kecil Layang/Scads Siro/Spotted sardine Selar bentong/Big eye scad Banyar/Indian mackerel Tembang/Fringelscale sardine Lain-lain Kambing-kambing/Leather jacket Lain-lain Total
Cara pertama Jenis-jenis ikan hasil tangkapan pukat cincin di Banda Aceh menggunakan cara pertama (Tabel 5) terdiri atas ikan cakalang, tiga spesies ikan tongkol yaitu tongkol komo (Euthynnus affinis), tongkol krei (Auxis thazard), dan tongkol lisong/tongkol cerutu (Auxis rochei) dan ikan tuna/mandidihang. Jenis ikan lain-lain terutama adalah ikan kambing-kambing (Alutera monoceros dan Abalistes stelatus). Menurut Collette & Nauen (1983) ikan cakalang ditemukan berkelompok-kelompok di perairan lepas pantai, baik di daerah tropis maupun sub tropis di tiga samudera (Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik). Ikan cakalang bersifat pelagis, oseanik, serta beruaya jauh, cenderung dapat berkelompok dengan kelompok-kelompok hewan lainnya seperti burung laut, ikan paus, ikan cucut, serta benda-benda yang terapung. Ikan cakalang mencapai matang seksual pada umur maksimum 12 tahun. Di daerah tropis ikan cakalang memijah sepanjang tahun sehingga memungkinkan untuk tingkat penangkapan yang tinggi dibandingkan dengan jenisjenis tuna lainnya. Keberadaannya dominan di berbagai perairan dalam, misalnya di perairan barat Sumatera (Hariati, 2005b; Hariati & Sadhotomo, 2007). Dengan cara pertama (mengejar gerombolan ikan) di perairan laut dalam pada siang hari, ikan cakalang tertangkap dominan bersama ikan tongkol lisong serta jenis-jenis ikan tongkol lainnya dan mandidihang. Menurut Froese & Pauly (2005) hasil sampingan pada
51,5 13,5 31,5
5,0
42,5 10,1 3,8
-
46,0 15,0 11,5 6,0 3,5
31,0 0,5 0,5 0,1 0,1
3,0 0,5 100,0
5,0 8,0 100,0
5,2 6,2 100,0
penangkapan menggunakan cara satu (mengejar gerombolan) lebih sedikit dibandingkan dengan hasil sampingan dari setting di dekat benda-benda terapung (cara tiga). Cara kedua Jenis-jenis ikan hasil tangkapan pukat cincin di perairan Banda Aceh yang menggunakan cara kedua terutama terdiri atas ikan pelagis kecil (Tabel 5) seperti ikan layang abu-abu (Decapterus macrosoma); selar bentong (Selar crumenophthalmus), banyar, siro, dan tembang. Di perairan lepas pantai utara Jawa, jenis-jenis ikan pelagis kecil oseanik seperti ikan layang (50%), banyar, dan siro (20%). tertangkap dengan pukat cincin ukuran besar di bawah sinar lampu di malam hari; ketika itu menjelang akhir tahun, massa air oseanik memasukki perairan Laut Jawa (Potier & Sadhotomo, 1995). Dengan metode penangkapan yang relatif sama, di dekat pulau-pulau kecil di perairan Banda Aceh yang bersifat oseanik dan dangkal tertangkap jenis-jenis ikan pelagis kecil dengan jaring pukat cincin mini didominansi ikan layang dan siro. Ikan lain-lain yang tertangkap (Tabel 5) antara lain ikan kuwe (Carangidae), alu-alu (Sphyraena spp.), cumi-cumi (Loligo spp.), tongkol krei, cakalang, dan semar (Mene maculata). Cara ketiga Jenis-jenis ikan yang tertangkap terdiri atas ikan
163
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 157-167
pelagis besar dan kecil (Tabel 5) dan didominansi oleh ikan cakalang dan layang biru (Decapterus macarellus) bersama jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan siro dan banyar. Selanjutnya tertangkap ikan kuwe, alu-alu, semar, tongkol krei, tongkol komo, lisong, mandidihang, dan kambing-kambing. Sesuai dengan Froese & Pauly (2005), jenis-jenis hasil sampingan yang tertangkap dengan metode ketiga lebih banyak daripada metode pertama. Hal ini diduga karena pada metode ketiga ikan cakalang, layang, dan jenis-jenis lainnya sedang berkumpul dengan solid dan tidak banyak bergerak sehingga mudah ditangkap, dibandingkan dengan gerombolan ikan cakalang dan lainnya yang tertangkap menggunakan cara satu. Sejak tahun 2000 ikan semar dan ikan kambing juga terdapat di dalam hasil tangkapan pukat cincin di perairan Laut Jawa dan sekitarnya dengan jumlah yang besar terutama pada tahun 2005 (Suwarso et al., 2008). Menurut Atmaja & Nugroho (2006) munculnya ikan kambing-kambing dan semar dalam hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan Selat Sunda merupakan indikasi penyusutan sumber daya ikan pelagis kecil. Sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa dan sekitarnya yang didominansi oleh ikan layang sudah banyak tereksploitasi sehingga jumlahnya makin berkurang. Maka timbul ruang (niche) kosong di dalam perairan, yang kemudian diisi oleh jenis ikan lain seperti ikan kambing-kambing (di Jawa dinamakan ikan ayamayaman) dan ikan semar sebagai pengganti peran ikan layang. Demikian juga di perairan Banda Aceh yang banyak memiliki perairan karang sebagai habitat dari ikan kambing-kambing, ketika jumlah ikan pelagis kecil dan besar berkurang, tempatnya diisi antara lain oleh ikan kambing-kambing dan semar. Perkembangan armada pukat cincin khususnya cara dua dari tahun 1995-1997 menyebabkan peningkatan catch per unit of effort ikan pelagis kecil pada tahun 2008 dari 322 kg/hari menjadi 613 kg/hari, yang turun lagi pada tahun 2009 (574 kg/hari). Meskipun jumlah hari (Hariati et al., 2000) cara dua dalam tahun 2009 turun, ternyata tidak mampu meningkatkan catch per unit of effort sehingga diduga stok ikan pelagis kecil di perairan Banda Aceh telah menipis. Sebaiknya jumlah upaya yang menggunakan cara dua tidak ditambah karena daerah penangkapannya terbatas. Dampak perkembangan armada terhadap penangkapan cara satu dan tiga menyebabkan jumlah
164
hari operasi masing-masing cara pada tahun 2009 meningkat, juga hasil tangkapan. Namun pada tahun 2009 catch per unit of effort dari penangkapan cara satu dan tiga secara statistik masing-masing tidak meningkat dari tahun 2008. Maka jumlah upaya untuk cara satu dan tiga juga sudah semakin tinggi sehingga perlu dikendalikan, antara lain dengan menempuh daerah penangkapan baru di lepas pantai. Puncak hasil tangkapan ikan pelagis dari tiga cara penangkapan Berdasarkan atas kondisi oseanografis dan iklim, pada tiap tahun terdapat empat musim penangkapan yaitu musim barat yang berlangsung pada periode bulan Desember sampai Pebruari, musim peralihan 1 pada periode bulan Maret sampai Mei, musim timur bulan Juni sampai Agustus, dan musim peralihan 2 bulan September sampai Nopember. Pada Gambar 2A rata-rata hasil tangkapan bulanan ikan cakalang dan tuna (Thunnus) menggunakan cara satu mencapai puncak pada musim peralihan 2 namun rata-rata hasil tangkapan ikan tongkol mencapai puncak pada musim peralihan 1. Puncak hasil tangkapan ikan cakalang di perairan selatan Jawa juga berlangsung pada musim peralihan 2 (Merta et al., 2004). Pada Gambar 2B rata-rata hasil tangkapan ikan layang dan banyar yang tertangkap di perairan Banda Aceh dengan cara dua mencapai puncak pada musim peralihan 1, sedangkan yang terendah terjadi pada musim peralihan 2. Untuk ikan siro dan bentong (Selar crumenophtalmus) puncak hasil tangkapan terjadi pada musim barat dan peralihan 1. Pada periode tahun 1995-1997 di perairan Banda Aceh dan perairan Aceh Timur yang merupakan bagian-bagian dari Selat Malaka, rata-rata hasil tangkapan ikan pelagis kecil mencapai puncak pada musim peralihan 1, namun di perairan timur Sumatera Utara (bagian selatan dari Selat Malaka) puncak terjadi pada musim timur dan peralihan 2 (Hariati et al., 2001). Di Laut Jawa pada periode tahun 2002-2007 puncak hasil tangkapan tiap jenis ikan berbeda. Puncak-puncak hasil tangkapan ikan layang, banyar, tembang, serta bentong dan siro masing-masing pada bulan Agustus, September, Juni, dan Desember yang secara keseluruhan berlangsung dari musim timur sampai awal musim barat (Chodriyah & Hariati, 2010) Menurut Wudianto et al. (2007) puncak hasil tangkapan ikan layang di perairan Natuna berlangsung pada musim peralihan 1 dan 2.
Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.) B Rata-rata hasil tangkapan bulanan/ Monthly C atch (Ton)
R ata-rata h asil tan g kap an b u lan an /A verag e o f m o n th ly catch (T o n )
A 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Barat
Peralihan 1
Musim/Season (2008-2009) Cakalang
Tongkol
Timur
Peralihan 2
Musim/Season (2008-2009)
Tuna
Layang
Banyar
Siro
Bentong
Rata-rata Hasil tangkapan
bulanan / monthly catch (Ton)
C 250 200 150 100 50 0 Barat
Peralihan 1
Timur
Peralihan 2
Musim /Season (2008-2009) Layang
Gambar 2.
Figure 2.
Cakalang
Fluktuasi musiman jenis-jenis ikan dominan hasil tangkapan pukat cincin Banda Aceh yang menggunakan cara satu (Gambar 2A), cara dua (Gambar 2B), dan cara tiga (Gambar 2C) selama tahun 2008-2009. Seasonal fluctuation of fishes caught by purse seine of Banda Aceh using 1st method (Figure 2A), 2nd method (Figure 2B), and 3rd method (Figure 3) during years 2008-2009.
Dalam Gambar 2C rata-rata hasil tangkapan ikan cakalang dan layang biru dari cara tiga mencapai puncak pada musim peralihan 2. Di perairan sekitar Likupang, Sulawesi Utara, puncak musim ikan layang biru yang tertangkap dengan soma pajeko terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada musim peralihan 1 dan 2 (Luasunaung, 2003). Perbedaan puncak hasil tangkapan ikan pelagis di tiap perairan diduga terkait dengan perilaku jenis ikan di antaranya ruaya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Armada pukat cincin di perairan Banda Aceh yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo lebih berkembang dibandingkan tahun 1995-1997 antara lain dalam jumlah dan bobot kapal, panjang jaring kekuatan mesin, serta intensitas cahaya lampu dari alat bantu.
2. Dengan bertambahnya cara penangkapan, dari dua menjadi tiga cara, daerah penangkapan berkembang sampai ke timur Laut Sabang. 3. Peningkatan intensitas cahaya dari alat bantu dalam cara dua telah meningkatkan catch per unit of effort ikan pelagis kecil pada tahun 2008 dari 322 kg/hari pada tahun 1995-1997 menjadi 613 kg/hari, yang turun lagi pada tahun 2009 (574 kg/ hari). Meskipun jumlah hari operasi cara dua pada tahun 2009 turun, namun catch per unit of effort tidak meningkat (turun), sehingga diduga stok ikan pelagis kecil di perairan Banda Aceh telah menipis karena telah diupayakan sejak lama (tahun 1970). 4. Dampak perkembangan armada terhadap penangkapan cara satu dan tiga menyebabkan jumlah hari operasi masing-masing cara meningkat, dan dapat meningkatkan hasil tangkapan kedua cara tersebut. Namun pada
165
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 157-167
tahun 2009 catch per unit of effort dari penangkapan cara satu dan tiga secara statistik tidak meningkat (tetap).
Chodriyah, U. & T. Hariati. 2010. Musim penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (3): 217-223.
5. Puncak hasil tangkapan ikan pelagis besar (ikan cakalang dan tuna) dan layang biru terjadi pada musim peralihan 2, sedangkan puncak hasil tangkapan ikan tongkol berlangsung pada musim peralihan 1 bersama-sama dengan puncak ikan pelagis kecil (ikan layang abu-abu, banyar, siro, dan bentong).
Froese, R. & D. Pauly. 2005. Katsuwonus pelamis. In Fish Base 2005. http://en.wikipedia.org/wiki/ Skipjack_tuna Hariati, T., E. S. Girsang, & D. Nugroho. 2000. Perkembangan pukat cincin di Selat Malaka. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 6 (2): 4352.
Saran 1. Upaya penangkapan dengan cara duatidak dapat ditingkatkan karena sempitnya daerah penangkapan ikan pelagis kecil. 2. Sebagian upaya pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar dengan cara satu dan tiga perlu dialihkan ke perairan yang lebih jauh di lepas pantai.
Hariati, T., E. Sriyati, & S. Mardliyah. 2001. Perubahan musiman komposisi hasil tangkapan dan kelimpahan ikan pelagis kecil di perairan Selat Malaka. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (1): 53-61. Hariati, T. 2005. Perkembangan pemanfaatan ikan pelagis kecil menggunakan pukat cincin Sibolga di perairan barat Sumatera pada tahun 2003. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 11 (2):57-67.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset pengkajian stok, lingkungan sumber daya ikan pelagis ekonomis penting, demersal, dan sistem operasi penangkapan di Selat Malaka dan pantai timur Sumatera, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan LautMuara Baru, Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Banda Aceh, beserta staf Sdr. Ulil Azmi, Sdr. Tommy, dan Sdr. Kurnia, S.P., atas bantuan dan kerja sama selama survei ini yang berlangsung pada tahun 2009. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2006. Indikator penyusutan sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitarnya. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 1 (1): 37-41. Bahar, S. 1994. Studi teknologi pukat cincin cakalang di perairan Daerah Istimewa Aceh. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 85: 9-18. Collette, B. B. & C. E. Nouen. 1983. Food and Agriculture Organization species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos, and Related Species Known to Date. Food and Agriculture Organization Fish. Synop. 125 (2): 137 pp.
166
Hariati, T. 2005a. Ikan layang biru (Decapterus macarellus), salah satu spesies ikan pelagis kecil laut-dalam di Indonesia. Dalam Warta Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 15-22. ___. 2005b. Perkembangan pemanfaatan ikan pelagis kecil oleh pukat cincin Sibolga di perairan barat Sumatera pada tahun 2003. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (1): 57-67. Hariati, T. & B. Sadhotomo. 2007. Aktivitas kapal pukat cincin Sibolga tahun 2002-2005 dan laju tangkap pukat rapat dan pukat jarang pada periode bulan Januari sampai Juli 2005 (Pasca Tsunami). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3) Desember: 179-190. Idham. 2002. Desain konstruksi purse seine Aceh di Lampulo Kota Banda Aceh. Thesis. Fakultas Perikanan. Universitas Abul Yatama. Aceh Besar. 50 pp. Luasunaung, A. 2003. Pendugaan musim ikan malalugis biru (Decapterus macarellus) di perairan sekitar Likupang, Sulawesi Utara. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 17 pp. Merta, I G. S., B. I. Prisantoso, & S. Bahar. 2004. Musim penangkapan ikan pelagis besar. Dalam
Status dan Perkembangan Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hariati, T.)
Musim Penangkapan ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. 8-28. Nurhakim, S., V. P. H. Nickijuluw, D. Nugroho, & B. I. Prisantoso. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan: Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. Buku 2. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 47 pp. Ostle, B. 1972. Statistics in Research. The IOWA State Uni. Press. Ames. IOWA. USA. 80 pp. Potier, M. & B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. In BIODYNEX of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. Ministry of Agriculture. AARD, ORSTOM. European Union. 195-214.
Suwarso, Wudianto, & S. B. Atmadja. 2008. Perubahan upaya dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil sekitar Laut Jawa: Kajian pasca kolaps perikanan pukat cincin besar. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2 (1) April: 15-24. Vargas-Guzman, J. A., Warrick, D. E. Myers, S. A. Musil, & J. F. Artiola. 2004. Statistics an geostatistics in environmental monitoring. In Environmental Monitoring and Characterization. Edited by J. F. Artiola, I. L. Pepper, & M. L. Brusseau. Elsevier Academic Press. 29-48. Wudianto, Suwarso, & T. Hariati. 2007. National country report for Indonesia. SEAFDEC Information Collection for Sustainable Pelagic Fisheries in the South China Sea. Vol. 1. Marine Fish. Res. Development and Manag. Dept. Center SEAFDEC. Kuala Trengganu. Malaysia. 70-110.
167
Tingkat Efesiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hufiadi, et al.)
Tingkat Efisiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh Hufiadi, Mahiswara dan Tri Wahyu Budiarti Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Agustus 2011; Disetujui terbit tanggal: 4 Agustus 2011
ABSTRAK Akhir-akhir ini, penangkapan berlebih merupakan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan faktor-faktor input yang tidak efisien yang digunakan dalam usaha penangkapan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap pukat cincin di Banda Aceh. Efisiensi penangkapan dan pemanfaatan kapasitas dari pukat cincin yang dikaji dianalisis dengan menggunakan teknik data envelopment analysis (DEA). Data dianalisis menggunakan program linear (linier programming) dengan bantuan software DEAP version 2.1 kemudian pengolahan data dilanjutkan menggunakan program Microsoft Excel version 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa armada purse seine di Banda Aceh telah melebihi nilai optimumnya atau telah terjadi kelebihan kapasitas pemanfaatannya. Untuk mencapai nilai optimumnya nelayan pukat cincin perlu mengurangi input yang digunakan. Kata kunci :
efisiensi, kapasitas penangkapan, pukat cincin, Banda Aceh
ABSTRACT :
Capacity Efficiency Level of Purse Seine Fisheies in Banda Aceh By: Hufiadi, Mahiswara, and Tri Wahyu Budiarti
Management of fishing capacity following the method of measurement has become an important issue of excess capacity and overfishing that serious problem faced in Indonesia fisheries management. Assessment-based fisheries management capacity of the catch is an alternative approach to control the input factors that are not efficiently used in fishing effort. The purpose of this study is to measure the level of technical efficiency and capacity utilization of purse seine Banda Aceh. Capture efficiency and capacity utilization of purse seine were analyzed by using the technique of data envelopment analysis (DEA). Data was analyzed using linear programming the software DEAP version 2.1 and then the analysis was continued using Microsoft Excel version 2007. The results showed that purse seine in Banda Aceh exceed the optimum value or excess fishing capacity so that to achieve the optimum level of the purse seine fishers, the inputs used should be reduced. Keywords :
Efficiency, fishing capacity, purse seine , Banda Aceh.
PENDAHULUAN Para pelaku usaha perikanan pukat cincin (purse seine) di Banda Aceh terus mengembangkan, baik sistem maupun teknik penangkapan untuk mempertahankan usahanya. Sejak tahun 2005 perikanan di Banda Aceh telah mengalami peningkatan kapasitas penangkapan yang ditandai oleh peningkatan dominasi ukuran kapal yang lebih besar, yaitu perubahan perkembangan dari motor tempel dan kapal motor <5 GT ke sarana penangkapan ukuran 10-15 GT dan 20-25 GT. Perkembangan kapasitas penangkapan dalam rangka upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas penangkapan ikan meliputi ukuran kapal dan kekuatan mesin penggerak semakin besar, teknik serta taktik penangkapan yang terus berkembang. Seperti negara berkembang lainnya, peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan skala kecil di
perairan Indonesia telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan over capacity dan pengurangan kelebihan jumlah upaya penangkapan (Berkes et al., 2001 dalam Wiyono & Wahju, 2006). Untuk membantu para pengelola perikanan mengetahui lebih baik kondisi perikanan, maka pemahaman terhadap bagaimana menentukan keragaan alat tangkap, pengkajian tentang efisiensi teknis, dan pemanfaatan kapasitas penangkapan ikan, merupakan suatu hal yang penting. Sampai saat ini, tingkat efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas penangkapan pukat cincin di Banda Aceh belum diketahui. Oleh karena itu, dalam menentukan tingkat efisiensi kapasitas armada penangkapan pukat cincin di Banda Aceh penting dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat dari efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap pukat cincin di Banda Aceh.
___________________ Korespondensi penulis: Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut (BRPL) Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
169
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 169-175
METODOLOGI Pengumpulan Data Data dan informasi perikanan yang dihimpun terkait karakteristik perikanan tuna setempat yang diperoleh melalui pengukuran langsung, pencatatan dan wawancara dengan pegawai instansi, pelaku usaha, nelayan pemilik, nakhoda dan awak kapal. Beberapa informasi penangkapan yang diperoleh antara lain: karakteristik operasional penangkapan, armada penangkapan, alat tangkap dan hasil tangkapan. Metode pengumpulan data adalah melalui pengamatan secara langsung di lapangan, pengukuran, wawancara serta pencatatan data yang telah tersedia pada instansi terkait. Untuk analisis efisiensi penangkapan perikanan pukat cincin menggunakan 114 kapal sampel pukat cincin Banda Aceh yang beroperasi pada musim Barat tahun 2009.
Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). DEA adalah analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Pertama, ditentukan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (x v). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989): TE = Maxθ 1
Analisis Data Analisis kapasitas penangkapan dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal pukat cincin 114 unit yang berbasis di Lampulo, Banda Aceh yang dijadikan sebagai decision making unit (DMU). Proses perhitungan yaitu informasi utama dari faktor input unit penangkapan ikan yang akan dicari yaitu: input tetap (tonnage kapal (GT), ukuran kapal kapal (m), kekuatan mesin (HP)) dan pariabel input (hari di laut, jumlah tawur, ABK, lampu dan BBM); sedangkan aspek output yang akan dicari adalah hasil tangkapan. Nilai efisiensi diperoleh melalui penghitungan dengan teknik data envelopment analysis (DEA), dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh Fauzi dan Anna (2005) dalam mengukur efisiensi kapasitas perikanan di DKI Jakarta. Menurut Cooper et al. (2004), ada dua model DEA yang berkembang yaitu CCR dan BCC (BankerCharnes-Cooper). Baik model CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu input-oriented dan output-oriented. Tipe input-oriented digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented digunakan untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan menghasilkan angka efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004). DEA yang digunakan untuk menganalisis efisiensi pukat cincin di Banda Aceh ini menggunakan model BCC. Data di analisis menggunakan program linear (linier programming) dengan bantuan software DEAP kemudian pengolahan analisis dilanjutkan menggunakan program Microsoft Excel version 2007.
170
.................................................(1
θ , z, λ
Pada kondisi :
θλ1*jn θu
1 jm
J
≤
∑zu , j jm
(output dibandingkan DMU)
j =1
J
∑zx
j jn
≤ xjn,
n ∈ xf
= λjnxjn ,
n ∈ xv
j =1 J
∑zx
j jn
j =1 dimana
z j adalah variable intensitas untuk j th
zj ≥ 0, j = nilai 1,2,.....,efisiensi J, pengamatan; teknis atau proporsi λ jn ≥ 0, n = 1 , 2 ,....., N , ditingkatkan pada kondisi dengan mana output dapat
produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan input secara optimum xjn terhadap pemanfaatan input dari pengamatan xjn dengan kriteria: VIU<1 : kapasitas berlebih, VIU>1 : kekurangan input dan VIU=1 : kapasitas optimal. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output,TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan θ 1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut:
TECU =
u 1 = * * θ1 u θ1
……....................….. (2
Tingkat Efesiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hufiadi, et al.)
HASIL DAN BAHASAN
Kapasitas Penangkapan
Perikanan Pukat Cincin Banda Aceh
Kapasitas pukat cincin berlampu
Beberapa armada penangkap ikan yang berbasis di Pelabuhan Lampulo (Banda Aceh) secara umum didominasi oleh perikanan pukat cincin dan perikanan pancing. Pukat cincin yang menggunakan jasa pelabuhan perikanan Lampulo, Banda Aceh terdiri dari pukat cincin lokal dan pendatang (andon). Pukat cincin andon berasal dari Aceh Besar, Idi, Sigli, Sabang, Calang, Pidie, Lhoksumawe, Bireun, dan Ide Rayeuk.
Hasil analisis DEA single output (total tangkapan) pukat cincin berlampu, menunjukkan bahwa sebaran nilai CU antara 0,1-1,0. Kapasitas penangkapan 31kapal dari 90 kapal sample (34,44%) termasuk optimal (CU=1) dan 69 kapal lainnya (65,56%) dengan kisaran nilai CU antara 0,01-0,3; 21 kapal (23,33%) nilai CU berkisar antara 0,4-0,6 dan 13 kapal (14,44%) dengan kisaran CU antara 0,7-0,9 (Gambar 1).
Armada pukat cincin sangat berkonstribusi dalam mendaratkan ikan pelagis di Pelabuhan lampulo Banda Aceh. Hasil pendaratan ikan dari pukat cincin terdiri dari ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Berdasarkan data periode tahun 2005-2009, jenis ikan pelagis yang didaratkan di Pelabuhan Lampulo tercatat bahwa perikanan pelagis besar didominasi oleh jenis ikan cakalang dan tongkol, sedangkan perikanan pelagis kecil didominasi oleh ikan layang, kembung dan sunglir. Bedasarkan waktu operasinya, terdapat beberapa tipe pukat cincin yang berbasis di Banda Aceh yaitu antara lain: 1) pukat cincin harian yaitu pukat cincin yang beroperasi pada siang hari atau malam hari saja. Pukat cincin harian ada yang berangkat pada pagi hari dan pulang sore hari atau pukat cincin yang berangkat sore hari pulang pada pagi hari. Purse sine harian yang hanya beroperasi pada siang hari tidak menggunakan alat bantu lampu dan beroperasi pada pagi dan sore hari jam 5.30 pagi dan 6 sore, daerah operasi umumnya ke perairan sekitar Sigli dan Melaboh. 2) disamping pukat cincin harian terdapat pula yang mencapai dua sampai tiga hari di laut. 3) Beberapa pukat cincin terdapat pukat cincin yang melakukan operasi penangkapan di rumpon dengan lama operasi dalam satu trip mencapai satu minggu di laut. Kapal pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Lampulo umumnya terbuat dari bahan kayu dengan dimensi kapal bervariasi yaitu: rata–rata panjang kapal kapal 21,2 m, lebar kapal 4,4 m dan dalam 1,9 mr. Mesin penggerak yang digunakan berkekuatan 140-160 PK. Lama di laut umumnya berkisar 1-3 hari, jumlah tawur 1-5 kali, penggunaan BBM rata-rata 238 liter, pemakaian lampu rata-rata 29 buah, palkah 1-3 buah dan penggunaan es balok hingga 100 balok. Jumlah ABK pada perikanan pukat cincin harian di Banda Aceh umumnya berkisar 15-25 orang.
Gambar 1.
Figure 1.
Sebaran nilai pemanfaatan kapasitas (CU) kapal pukat cincin berlampu di Banda Aceh Distribution of capacity utilization rate purse seiner with lamp in Banda Aceh
Tingkat penggunaan input variable (VIU) rata-rata kapal pukat cincin berlampu dengan single output secara total diperoleh nilai yaitu tingkat upaya hari di laut sebesar 0,867, jumlah tawur 0,750, jumlah palkah 0,871, ABK 0,959, lampu 0,900, BBM 0,811 dan nilai VIU Es sebesar 0,747 (Gambar 2). Potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mengurangi penggunaan VIU upaya hari laut sebesar 7,03%, jumlah tawur 20,91%, Palkah 7,27%, ABK 4,27%, lampu 6,10% BBM 10,25% dan Es 15,98%. Sementara perbaikan angka efisiensi untuk variabel tetap yaitu panjang kapal 2,47%, lebar kapal 3.01% dalam kapal 6,87% dan mesin 0,87% (Gambar 3).
171
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 169-175
(12,50%) berada pada kisaran 0;4-0,6; dan 1 kapal (4,17%) dengan kisaran CU 0,7-0,9.
Gambar 2.
Figure 2
Rata-rata tingkat pemanfaatan input variabel pukat cincin berlampu di Banda Aceh The average utilization rate of the input variable purse seiner with lamp in Banda Aceh.
Gambar 4.
Figure 4.
Sebaran nilai pemanfaatan kapasitas (CU) kapal pukat cincin tanpa lampu Banda Aceh. Distribution of capacity utilization rate purse seiner without lamp in Banda Aceh
Tingkat penggunaan input variable (VIU) rata-rata kapal pukat cincin tanpa lampu dengan single output secara total seperti disajikan pada Tabel 6. Tingkat upaya hari di laut sebesar 0,542, jumlah tawur 0,511, jumlah palkah 0,501, ABK 0,531, BBM 0,497 dan nilai VIU Es sebesar 0,597 (Gambar 5).
Gambar 3.
Figure 3
Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal pukat cincin berlampu di Banda Aceh Projected improvements each input purse seiner with lamp in Banda Aceh.
Gambar 5.
Rata-rata tingkat pemanfaatan input variabel pukat cincin tanpa lampu di Banda aceh The average utilization rate of the input variable purse seiner without lamp in Banda Aceh.
Kapasitas pukat cincin tanpa lampu
Figure 5.
Hasil analisis DEA single output armada pukat cincin tanpa lampu, menunjukkan bahwa sebaran nilai kapasitas penangkapan (CU) antara 0,1-1,0, seperti disajikan pada Gambar 4. Terdapat 14 kapal dari 24 kapal sample (58,33%) memiliki tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1 atau 100%, sedangkan 10 kapal lainnya (41,66%) tidak optimal. Sebaran kapal tidak optimal yaitu 6 kapal (25,00%) pada kisaran CU antara 0,1-0,3; 3 kapal
Pada Gambar 6 memperlihatkan potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mungurangi penggunaan VIU upaya hari laut (HL) sebesar 15,23%, jumlah tawur (JT) 16,24%, Palkah (JP) 16,59%, ABK 15,60%, BBM 16,71% dan Es 1,44%. Sementara perbaikan angka efisiensi pariabel tetap kapal yaitu lebar 1,12%, dalam 1,18% dan mesin 15,89%.
172
Tingkat Efesiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hufiadi, et al.)
L ebar 1,12% 1,44%
1,18%
Dalam Mes in
16,71%
15,89%
Hari laut Tawur
15,60%
15,23%
P alkah AB K
16,59%
BBM 16,24% ES
Gambar 6.
Figure 6
Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal pukat cincin tanpa lampu di Banda Aceh Projected improvements each input purse seiner without lamp in Banda Aceh.
Pembahasan Perhitungan perbandingan relatif tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan pukat cincin Banda Aceh dibedakan berdasarkan pukat cincin yang menggunakan lampu (berlampu) dan yang tidak menggunakan lampu (tanpa lampu). Pukat cincin berlampu sebanyak 31 kapal dari 90 kapal sampel (34,44%) termasuk optimal (CU=1) dan 69 kapal lainnya (65,56%) katagori tidak optimal sementara nilai rata-rata pemanfaatan kapasitas penangkapan pukat cincin tanpa lampu dari 24 kapal sampel sebanyak 14 kapal (58,33%) memiliki tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1 atau 100%, sedangkan 10 kapal lainnya (41,66%) adalah tidak optimal Pukat cincin yang mencapai nilai kapasitas optimal (CU=1) diduga kondisi perikanan pukat cincin tersebut telah memanfaatkan kapasitas penangkapan dengan efisien. Sementara sebagian besar pukat cincin (79 kapal) pemanfaatan kapasitas penangkapan yang tidak optimal yang ditandai nilai CU kurang dari 1. Nilai pemanfaatan input variabel pukat cincin berlampu dan pukat cincin tidak berlampu umumnya VIU<1, diduga bahwa sistem penangkapan pukat cincin tersebut telah terjadi surplus input sehingga untuk mencapai nilai optimumnya nelayan pukat cincin perlu mengurangi input yang digunakan. DEA
dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi yaitu dengan mungurangi input atau menambah output (Kirley and Squires 1999). Tingkat VIU pukat cincin dapat di ukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Dalam konteks ini, input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisiensi teknis penuh (kapasitas optimal). Jika rasio VIU kurang dari satu maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga pelaku usaha sebaiknya mengurangi penggunaan input tersebut (Fare et. al,1994). Tingkat VIU kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan barat Aceh menunjukkan nilai masih kurang dari optimum. Hal ini diduga perikanan pukat cincin di Banda Aceh mengalami kapasitas berlebih. Pada kondisi perikanan over capacity dapat ditentukan langkah alternatif untuk mengurangi over capacity diantaranya membatasi kapasitas kapal dilihat dari ukuran kapal, alat tangkap, mesin kapal dan menerapkan pembatasan musim (Sularso, 2008). Oleh karena itu berdasarkan perhitungan DEA, agar pengusahaan perikanan pukat cincin Banda Aceh berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien maka untuk pukat cincin berlampu direkomendasikan mungurangi VIU upaya hari laut sebesar 1,50%, jumlah tawur 6,35%, Palkah (JP) 11,73%, ABK 0,37%, lampu 4,31% BBM 11,32% dan ES 22,31%. Perbaikan angka efisiensi untuk panjang kapal 6,36%, lebar kapal 6.89% dalam kapal 6,93% dan mesin 3,26%. Beberapa kapal pukat cincin tanpa lampu yang nilai VIU-nya tidak optimal dilakukan usaha perbaikan upaya hari laut sebesar 15,23%, jumlah tawur 16,24%, palkah 16,59%, ABK 15,60%, BBM 16,71% dan ES 1,44%. Perbaikan lebar 1,12%, dalam 1,18% dan mesin 15,89%. Semakin lama kapal pukat cincin di laut ternyata juga bukan merupakan penyebab kenaikan laju tangkap untuk beberapa jenis ikan yang dominan, akan tetapi secara keseluruhan fluktuasi laju tangkap cenderung lebih dipengaruhi oleh fluktuasi tahunan daripada lamanya kapal di laut (Sadhotomo et al. 1986). Disamping itu tidak ada jaminan bahwa semakin besar ukuran kapal maka akan meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Memang secara teoritis menunjukkan bahwa besarnya ukuran kapal maka akan berimplikasi pada jangkauan daerah penangkapan yang semakin jauh. Selain itu, faktor sumberdaya ikan yang sudah sangat terbatas menyebabkan ukuran kapal yang semakin besar tidak serta merta mempunyai efisiensi tinggi. Faktor keterbatasan sumberdaya ikan menyebabkan
173
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 169-175
kekuatan mesin yang diukur dengan besaran HP (Horse Power) berpengaruh negatif terhadap tingkat efisiensi secara teknis. Umumnya hasil tangkapan mulai menurun seiring berakhirnya musim ikan. Namun diduga jumlah upaya tidak dikurangi pada bulan atau periode tidak musim ikan sehingga terjadi kelebihan upaya penangkapan. Informasi musim penangkapan ikan di perlukan untuk menentukan waktu operasi penangkapan ikan yang tepat dan mengurangi resiko kerugian. Berdasarkan IMP terdapat pola musim perikanan pukat cincin yang berbasis di Lampula (Banda Aceh) selama kurun waktu tahun 2005-2009 menujukkan bahwa musim penangkapan terjadi pada bulan April, Mei, Juli hingga Nopember dan mengalami puncak musim bulan April. Dalam rangka mengatasi kapasitas berlebih pukat cincin Banda Aceh yang beroperasi di barat Aceh, penerapan kebijakan pembatasan intensitas operasi penangkapan dengan mengurangi VIU terutama dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas penangkapan (trip melaut) pada saat tidak musim ikan. Langkah tersebut merupakan strategi kebijakan relatif memiliki resiko kecil dibandingkan dengan kebijakan pengendalian input dengan menarik kapal-kapal yang dinyatakan tidak efisien. Meskipun kebijakan kedua ini secara ekonomi mampu mencegah kapasitas berlebih dengan efektif, akan tetapi dampak sosial yg muncul diperkirakan akan jauh lebih besar seperti penganguran. Menurut Sularso (2005), penerapan kebijakan ini perlu memperhatikan tindakan terhadap kapal-kapal yang dikeluarkan dari perairan, bagaimana bentuk kompensasi dan siapa yang akan memberikan kompensasi perlu dikaji secara hati-hati.
strategi kebijakan yang relatif memiliki resiko kecil dibandingkan dengan kebijakan pengendalian input dengan menarik kapal-kapal yang dinyatakan tidak efisien. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset pengkajian operasi penangkapan ikan tuna di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD ) 2010, di Balai Riset perikanan Laut, Muara Baru Jakarta DAFTAR PUSTAKA Cooper, W.C., Seiford, L.M. Tone, & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher Fare, R. Grosskopf, & E. Kokkelenberg. 1989. Measurring Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 30: 655-666 pp. Fare, R. Grosskopf S, & C.A.K Lovell. 1994. Froduction Frontiers. United Kingdom: Canbidge University Press. 296 pp. Fauzi, A. & S. Anna. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustakan Utama Kirkley, J.E. & Squires, D.E. 1999. Capacity and Capacity Utilization in Fishing Industries: Discussion Paper 99-16 University of California Departement of Economics. San Diego. 34 hlm.
KESIMPULAN Kapasitas penangkapan pukat cincin berlampu di Banda Aceh yang sebagian besar tidak optimal (65,56%), sementara pukat cincin yang tanpa lampu sebagian besar adalah optimal (58,33%). Untuk perbaikan kapasitas pkat cincin yang tidak optimal dapat dilakukan dengan mengurangi input variabel seperti: hari di laut, jumlah tawur, palkah, ABK, lampu BBM dan ES. Strategi pengurangan pada input variabel tersebut berkaitan dalam menghemat operasional penangkapan. SARAN Dalam rangka mengetasi kapasitas berlebih pukat cincin di Banda Aceh penerapan kebijakan mengurangi intensitas operasi penangkapan berdasarkan musim penangkapan, merupakan
174
Sadhotomo, B., S.Nurhakim & S.B. Atmadja. 1986. Perkembangan Komposisi Hasil Tangkapan dan Laju Tangkap Pukat Cincin Di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPL. Jakarta. (35): 101-109. Sularso, A. 2005. Alternatif pengelolaan perikanan Udang di Laut Arafura. Disertasi (tidak dipublikasikan), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB.130 pp. Sularso, A. 2008. Kapasitas perikanan tangkap (fishing capacity) di perairan Arafura. Sumber Daya, Pemanfaatan, dan Opsi Pengelolaan Perikanan di Laut Arafura. BIODINEX 2. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 59-84.
Tingkat Efesiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh (Hufiadi, et al.)
Wiyono, E. S. & R. I. Wahju. 2006. Perhitungan kapasitas penangkapan (fishing capacity) pada perikanan skala kecil pantai suatu penelitian pendahuluan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 381-389 pp.
175
Analisis Upaya Efektif dari ..... Industri di Samudera Hindia (Atmaja, S.B., et al.)
ANALISIS UPAYA EFEKTIF DARI DATA VESSEL MONITORING SYSTEM DAN PRODUKTIVITAS PUKAT CINCIN SEMI INDUSTRI DI SAMUDERA HINDIA Suherman Banon Atmaja1), Mohamad Natsir1), dan Adi Kuswoyo2) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 23 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011 2)
ABSTRAK Akhir-akhir ini pukat cincin yang dioperasikan menggunakan rumpon laut-dalam (payao) telah menjadi masalah serius pada perikanan tuna. Hal ini karena hasil tangkapan komersialnya lebih menurunkan stok ikan tuna dibandingkan metode lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi aktivitas penangkapan dari kapal pukat cincin berdasarkan atas data mendekati waktu sebenarnya (nearly real time) vessel monitoring system dan catatan nelayan yang digunakan untuk mengestimasi jumlah tawur dan produktivitas. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa estimasi tawur dari data vessel monitoring system lebih besar dari aktivitas penangkapan yang sebenarnya, alasan perbedaan berkisar 24-43%. Hal ini diakibatkan lebih banyak kegagalan tawur dan tidak ada aktivitas penangkapan karena kondisi cuaca yang buruk. Produktivitas dari lima trip kapal contoh selama tahun 2010 menunjukkan hasil tangkapan berkisar 14-63 ton/trip dengan produktivitas berkisar 0,5-1,73 ton/ tawur, di mana produktivitas terendah terjadi pada trip keenam (bulan Juli sampai Agustus). Hasil tangkapan didominansi oleh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), sedangkan gerombolan ikan cakalang kerapkali bercampur dengan juvenile madidihang (Thunnus albacares) dan juvenile tuna mata besar (Thunnus obesus) yang menghuni lapisan permukaan dan memangsa terutama jenis ikan epipelagis. Keberhasilan perikanan pelagis sebagian besar tergantung pada pengaruhpengaruh jangka pendek, seperti kondisi gelombang besar, arus, terang bulan, dan suhu permukaan laut. KATA KUNCI:
analisis, upaya, efektif, vessel monitoring system, produktivitas, pukat cincin, Samudera Hindia
ABSTRACT:
Efforts effective analysis of the data vessel monitoring system and productivity of purse seiners semi industry in the Indian Ocean. By: Suherman Banon Atmaja, Mohamad Natsir, and Adi Kuswoyo
Recently, the purse seiners that operated using fish aggregating devices has become a serious problem in tuna fisheries. This commercial catches affected on the declining of tuna stocks compared to other methods. The objective of this study is to evaluate the activity of purse seiners based on nearly real time vessel monitoring system data and records data of the fishermen which was used to estimate haul numbers and productivity. The research concluded that the estimated haul of vessel monitoring system by data is larger than the actual fishing activity, which the difference ranged from 24-43%. It causes more failure haul and no fishing activity due to bad weather conditions. Productivity of 5 trips vessel samples during the year 2010/2011 showed the catch per trip ranges from 14-63 tons and productivity ranges from 0.5-1.73 ton/haul, in which the lowest productivity occurred on the six trip (July until August). The catch was dominated by skipjack (Katsuwonus pelamis) and schools of skipjack often mix with juvenile yellowfin (Thunnus albacares), and big eye (Thunnus obesus). The fish inhabit the surface layer and feed mainly on epipelagic prey. The success of pelagic fishery is largely depend on short term factors, such as the huge waves, currents, moon light and sea surface temperature.
KEYWORDS:
efforts effective, analysis, vessel monitoring system, productivity, purse seiners, Indian Ocean
PENDAHULUAN Perikanan pukat cincin semi industri melewati suatu masa bergolak pada periode kemerosotan hasil tangkapan dan kinerja ekonomi di Laut Jawa, telah
mendorong pengusaha melakukan relokasi usaha perikanannya secara swakarsa. Sementara pengusaha tidak merelokasi usahanya, melakukan diversifikasi usaha dengan mengganti perangkat penangkapannya, dengan mengalihkan sebagian kapal penangkap
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
177
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 177-184
menjadi kapal penangkap cumi-cumi (Loligo sp.) dan berganti alat tangkap dengan menggunakan jaring cantrang (Atmaja, 2008). Relokasi usaha perikanan tersebut juga dituangkan dalam salah satu hasil rumusan rencana pengelolaan perikanan Laut Jawa, yaitu menutup secara bertahap penambahan kapal penangkapan baru khususnya untuk kapal-kapal di atas 30 GT dan mendorong pengalihan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan perikanan yang dalam kondisi under exploited. Sejarah perubahan pukat cincin dengan sasaran penangkapan ikan pelagis kecil ke pelagis besar merupakan hasil proses pembelajaran dari kapten kapal (tekong) nelayan Aceh. Nelayan Pekalongan hanya memiliki pengalaman di perairan dangkal di Paparan Sunda untuk memperoleh keterampilan mengeksploitasi sumber daya ikan cakalang dan tuna (Thunnus) di perairan laut-dalam, pengusaha mengontrak nelayan Aceh. Kegiatan nelayan Aceh meliputi pembuatan dan rancang bangun jaring, serta mengoperasikannya. Pada waktu operasi penangkapan dengan mengikutsertakan beberapa tekong pukat cincin sebagai anak buah kapal. Kini sebagian besar kapten kapal sudah mampu mengadopsi keterampilan nelayan Aceh. Salah satu metode yang sangat diperlukan untuk melakukan pengelolaan perikanan adalah monitoring, control, and surveillance atau pemantauan, pengendalian, dan pengawasan. Sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system) merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan atau aktivitas kapal ikan berdasarkan atas posisi kapal yang terpantau di monitor vessel monitoring system di pusat pemantauan kapal perikanan (fisheries monitoring center). Flewwelling et al. (2002) mengatakan bahwa secara umum status berbagai stok ikan dan lingkungan laut telah memunculkan insentif yang kuat bagi negara-negara untuk menerapkan vessel monitoring system sebagai suatu komponen dari keseluruhan strategi monitoring, control, and surveillance. Lebih jauh, kemajuan teknologi, khususnya yang terkait dengan vessel monitoring system yang berbasis satelit, berpotensi untuk meningkatkan efektivitas sistem monitoring, control, and surveillance melalui dihasilkannya berbagai data yang berguna dengan biaya yang relatif murah dibandingkan hanya dengan mengandalkan tindakan monitoring, control, and surveillance yang lebih tradisional, seperti penegakan hukum di laut secara
178
manual. Sistem pemantauan kapal (vessel monitoring system) digunakan terutama untuk tujuan penegakkan perikanan, tetapi juga memberikan informasi tentang distribusi spasial dan temporal dari aktivitas penangkapan untuk digunakan dalam perikanan dan pendugaan lingkungan serta pengelolaan (Lee et al., 2010). Analisis terintegrasi vessel monitoring system dan data log book akan memungkinkan data perikanan yang akan dianalisis pada skala spasial jauh lebih akurat dan membuka berbagai aplikasi yang potensial (Gerritsen & Lordan, 2011). Regulasi ini berdasarkan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen K.P. Nomor: 05/ MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap dan Permen K. P. Nomor: 05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, yang mengamanatkan kewajiban kapalkapal perikanan untuk memasang transmitter vessel monitoring system, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. Selama ini data vessel monitoring system belum digunakan untuk evaluasi alokasi upaya penangkapan berdasarkan atas perilaku aktivitas penangkapan dan estimasi upaya penangkapan efektif secara mendekati waktu sebenarnya (nearly real time). Sebagai diskusi pendahuluan, tulisan ini memberi gambaran penggunaan data vessel monitoring system untuk estimasi upaya penangkapan efektif dan produktivitas dari kapal contoh. BAHAN DAN METODE Data untuk tulisan ini diperoleh berdasarkan atas hasil pengumpulan data dengan dua cara, yaitu melalui pencatatan data langsung di lapangan yang dilakukan melalui enumerasi yang dilakukan oleh nakhoda kapal dan pengumpulan data vessel monitoring system untuk masing-masing kapal contoh. Total enumerasi yang dilakukan oleh nakhoda kapal didapatkan lima trip, enumerasi ini dilakukan pada periode bulan Pebruari 2010 sampai Pebruari 2011, adapun data yang dicatat meliputi posisi tawur, jumlah hasil tangkapan, spesies dominan, dan kondisi umum cuaca. Pengumpulan data vessel monitoring system dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari aktivitas penangkapan kapal pukat cincin contoh. Data vessel monitoring system yang digunakan adalah data vessel monitoring system dari kapal contoh pada periode bulan Mei 2009 sampai Maret 2010. Bentuk-bentuk data vessel monitoring system
Analisis Upaya Efektif dari ..... Industri di Samudera Hindia (Atmaja, S.B., et al.)
mendekati waktu sebenarnya yang digunakan dalam penelitian ini berupa posisi, kecepatan, dan arah haluan kapal, keseluruhan posisi dari data vessel
monitoring system yang digunakan terletak pada lokasi penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.
P. Sumatera 6°
Latitude (S)
P. Jawa 7°
8°
Lokasi daerah Penangkapan 9° 102°
103°
104°
105°
106°
Longitude (E)
Gambar 1. Figure 1.
Lokasi daerah penangkapan kapal contoh. Fishing ground location of sample vessel.
Untuk menunjang data dan informasi tersebut juga dilakukan wawancara atau diskusi dengan nakhoda dan anak buah kapal. Klasifikasi kapal contoh memiliki bobot 27 GT, mesin 280 PK, jaring berukuran (panjang 1.600 m, dalam 100 m), dan mata jaring bagian kantong 2 inci, posisi kantong di pinggir). Alat bantu penangkapan adalah rumpon laut-dalam (payao) setiap kapal sekitar 5-7 payaos, lampu sorot (spotlight) 35 buah berkisar 20.000-30.000 watt dan fish finder. Selain itu, kapal contoh telah menggunakan metode pembekuan cepat (plate freezing atau sharp freezing). Data selanjutnya diolah dengan analisis kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. Analisis deskriptif berupa grafik berdasarkan atas data vessel monitoring system mendekati waktu sebenarnya berupa posisi, kecepatan, dan heading kapal, untuk estimasi upaya penangkapan efektif dan aktivitas penangkapan (estimasi posisi tawur), sedangkan produktivitas kapal mulai dicatat oleh enumerator (nakhoda kapal) dan produktivitas dikatakan dengan hasil tangkapan per tawur. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Data Perikanan
Nizam Zachman Jakarta menunjukkan jumlah kapal masuk sangat jauh lebih banyak dari kapal bongkar. Situasi ini mempunyai dua arti, pertama kapal yang masuk tidak membawa hasil tangkapan, dan kedua jumlah kapal yang dapat dimonitoring hasil tangkapannya hanya sebagian kecil, kemungkinan telah terjadi unreported baik disreported maupun misreported. Sebagian besar kapal pukat cincin yang masuk dan bongkar didominansi kapal yang berbobot di atas 50 GT (Gambar 2). Rata-rata kapal pukat cincin yang masuk melakukan kegiatan bongkar hanya 33% (Gambar 3), sedangkan rata-rata catch per unit of effort pukat cincin berdasarkan atas kapal masuk hanya 8,25 ton, sedangkan catch per unit of effort per bongkar sekitar 25,1 ton (Gambar 4). Pengamatan bongkar hasil tangkapan dari kapal contoh, aktivitas bongkar dilakukan dari jam 8.00-21.00 WIB selama dua hari, tidak ada pelelangan secara langsung. Hasil tangkapan berupa ikan beku ditimbang oleh pengurus kapal dan langsung diangkut oleh mobil, tanpa adanya kehadiran pegawai pelabuhan. Dengan demikian penggunaan data hasil tangkapan berdasarkan atas data statistik Pelabuhan Samudera Nizam Zachman sangat meragukan untuk dianalisis lebih lanjut. Situasi ini mendorong pendekatan individu kapal untuk memperoleh produktivitas melalui pencatatan hasil tangkapan harian dengan melibatkan nakhoda kapal.
Dari data statistik Pelabuhan Perikanan Samudera
179
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 177-184
Jumlah kapal (unit)
400
Masuk
300
Bongkar
dan 6). Hal ini menegaskan bahwa perikanan pukat cincin yang beroperasi di perairan laut-dalam didukung dengan keberadaan rumpon laut-dalam (payao).
200 100 0 21-30
31-50
51-100
101-200
>200
Ukuran bobot kapal (GT)
Gambar 2.
Jumlah kapal pukat cincin yang masuk dan bongkar berdasarkan atas ukuran bobot tahun 2008. The number of purse seiners entering and unloading based on the size of GT in 2008.
Figure 2.
Jumlah kapal (unit)
100 75 50
Masuk Bongkar
25
Gambar 5.
0 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
B ul a n
Gambar 3.
Jumlah kapal pukat cincin yang masuk dan bongkar menurut bulan tahun 2008. The number of purse seiners entered and unloading by month in 2008.
Figure 3.
Figure 5.
Ploting track dari data mendekati waktu sebenarnya vessel monitoring system dan estimasi posisi tawur pada trip 1-4. Ploting track of nearly real time vessel monitoring system and estimation of position haul on trip 1-4. Sumber/Sources: Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Tahun
2009-2010) 35
CPUE (ton)
28 21
Cpue( masuk) Cpue(bongkar)
14 7 0 J
Gambar 4. Figure 4.
F
M
A
M
J J Bulan
A
S
O
N
D
Catch per unit of effort kapal pukat cincin menurut bulan tahun 2008. Catch per unit of effort of the purse seiners by month in 2008.
Analisis Upaya Efektif dari Data Vessel Monitoring System Berdasarkan atas data vessel monitoring system dan aktivitas penangkapan kapal contoh menunjukkan tujuan daerah penangkapan relatif sama (Gambar 5
180
Gambar 6. Figure 6.
Posisi tawur pada trip ke 4-7 kapal contoh. The position of haul on the trip 4-7 of vessel samples.
Analisis Upaya Efektif dari ..... Industri di Samudera Hindia (Atmaja, S.B., et al.)
Berdasarkan atas empat trip (bulan Mei 2009 sampai Maret 2010) yang mengandung data vessel monitoring system menunjukkan estimasi tawur selama di daerah penangkapan berkisar 92-100% (Tabel 1). Estimasi tawur ini ditentukan berdasarkan Tabel 1. Table 1.
Upaya penangkapan efektif berdasarkan atas data vessel monitoring system Efective of fishing effort based on vessel monitoring system data
Pada lima trip sebagai kapal contoh selama bulan Pebruari 2010 sampai Pebruari 2011 menunjukkan bahwa aktivitas tawur selama di daerah penangkapan berkisar 57-76% (Tabel 2). Rendahnya aktivitas tawur pada trip bulan Juli sampai Agustus 2010 dan trip bulan Desember 2010 sampai Maret 2011 (Tabel 2 dan Gambar 7) tersebut diakibatkan karena tidak melakukan aktivitas penangkapan yang disebabkan kondisi cuaca yang buruk (dari catatan nelayan menunjukkan bahwa kecepatan gelombang mencapai lebih dari 15 knot memicu tinggi gelombang sekitar 3 m, arus timur yang kuat dan angin barat yang kencang). Pada trip bulan Desember 2010 sampai Tabel 2. Table 2.
atas kecepatan kapal pada malam hari jam 4.00-5.00 pagi, dengan mengabaikan keputusan nakhoda tidak melakukan aktivitas tawur karena kondisi cuaca yang buruk dan pada saat posisi kapal sedang berlindung.
Maret 2011 terlihat perbedaan yang mencolok antara jumlah hari di laut dengan lama di daerah penangkapan, karena hanya berlindung di Pulau Selatan Ujung Kulon selama 31 hari. Analisis cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika maritim menunjukkan pada periode tersebut badai tropis yang kemungkinan terjadi di perairan Samudera Hindia dengan ketinggian gelombang mencapai 3 m, dengan Trip 1 Trip 2 kecepatan angin mencapai 15-30 bulanknot. Mei- Dengan bulan Agustusdemikian estimasi tawur berdasarkan Juli atas data vessel Oktober monitoring system cenderung lebih2009 besar dari aktivitas (hari) 2009 (hari) tawur yang sebenarnya. Menuju daerah penangkapan 3,8 2,1
Di daerah penangkapan 43 52 Kembali ke pelabuhan 2,4 2,5 Lama trip 49,2 56,6 Estimasi tawur 43 tahun 2010- 52 Upaya penangkapan efektif dan hasil tangkapan berdasarkan atas data observer Persentase aktivitas tawur (%) 100 100 2011
Efective of fishing effort and catch based on observer in the period of 2010-2011
Lama trip Di daerah penangkapan Total hasil tangkapan (ton) Tawur Catch per unit of effort (ton/hari) Catch per unit of effort (ton/tawur) Persentase aktiviatas tawur
Trip 4 (bulan PebruariMaret) 54 49 61,73 36 1,14 1,74 73%
Trip 5 (bulan MaretMei) 57 53 40,12 39 0,70 1,03 74%
Trip 6 (bulan JuliAgustus) 57 53 14,73 30 0,26 0,49 57%
Trip 7 (bulan SeptemberNopember) 59 55 51,84 42 0,88 1,23 76%
Trip 8 (bulan DesemberPebruari) 88 52 50 31 0,57 1,6 57%
181
Aktivitas penangkapan (hari)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 177-184 90
60
30
0 Feb-Mar
Mar -Mei
Juli-Agus
Sep-Nop
Des-Feb
Tri p Lama di laut
Gambar 7. Figure 7.
Lama di daerah penangkapan
Lama trip, lama di daerah penangkapan, dan jumlah tawur. Day at sea, day at fishing grounds, and numbers of hauling.
Produktivitas Pada umumnya nilai hasil tangkap per satuan (catch per unit of effort) menggambarkan kelimpahan stok ikan di suatu perairan. Nilai catch per unit of effort yang besar didapat dari usaha perikanan yang dilakukan terhadap kelimpahan stok yang tinggi pula, sebaliknya nilai catch per unit of effort yang kecil akan diperoleh dari kelimpahan stok yang rendah. Variabilitas catch per unit of effort dapat menggambarkan indeks kelimpahan nisbi pada suatu perairan. Pada Tabel 2 dan Gambar 8 menampilkan hasil tangkapan per trip, catch per unit of effort tertinggi dijumpai pada bulan Pebruari sampai Maret 2010 (trip 4) sebesar 61,73 ton, kemudian bulan September sampai Nopember 2010 (trip 7), dan bulan Maret sampai Mei 2010 (trip 5) masing-masing 51,84 dan 40,12 ton, sedangkan yang terendah dijumpai pada bulan Juli sampai Agustus 2010 (trip 6) sebesar 14,73 ton). Hasil tangkapan didominansi ikan cakalang, gerombolan ikan cakalang kerapkali bercampur dengan juvenil madidihang dan juvenil tuna mata besar yang menghuni lapisan permukaan dan memangsa terutama jenis ikan epipelagis. Perubahan terjadi ketika kondisi suhu lapisan permukaan (suhu permukaan laut) hangat, perubahan ini mengakibatkan beberapa jenis ikan tuna dan cakalang pindah ke kolom air yang lebih dalam dan dingin. Ikan lebih sulit diakses oleh alat tangkap permukaan, karena ikan berada di luar jangkauan kedalaman jaring. Ada banyak laporan tangkapan dan distribusi ikan pelagis besar (ikan tuna) yang berhubungan dengan suhu permukaan laut, pertemuan antara dua massa air yang memiliki suhu yang berbeda (front suhu permukaan laut) dan konsentrasi oksigen (Tameishi
182
Tawur
& Sugimoto, 1992 dalam Gaol, 2003). Dengan melakukan migrasi baik vertikal atau horisontal dalam rangka untuk tetap tinggal di habitat yang disukai atau mikro habitat, distribusi vertikal ikan pelagis biasa ditimbulkan dari kondisi dalam kolom air (Freon et al., 2005). Penurunan suhu permukaan laut akan diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan, sebaliknya peningkatan suhu permukaan laut akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan. Nelayan telah mengenali perubahan suhu permukaan laut melalui perubahan komposisi hasil tangkapan dari warna pada fish finder (apabila berwarna merah dapat dipastikan adalah gerombolan ikan layang (Decapterus sp.), sedangkan ikan cakalang berwarna kuning), di mana pada suhu lapisan permukaan hangat akan digantikan gerombolan ikan layang. Romanov (2000) mengatakan bahwa hanya dua spesies, sebagai sasaran utama (ikan cakalang dan madidihang) yang tercatat dan dilaporkan. Sementara sebagian besar hasil sampingan non tuna yang berasosiasi dengan rumpon yang tidak dilaporkan tercatat lebih dari 40 spesies ikan dan hewan laut lainnya. Persentase spesies utama adalah ikan cakalang sekitar 70% dan madidihang sekitar 22%, sedangkan sisanya sebagai hasil sampingan (8%). Hallier & Gaertne (2008) mengatakan ikan cakalang yang tertangkap terutama ikan dewasa, sedangkan ikan madidihang dan tuna mata besar berukuran juvenil (FL < 100 cm). Hasil tangkapan ikan madidihang dan tuna mata besar di Samudera Hindia dan Atlantik, saat ini telah mendekati atau di atas hasil maksimum yang lestari. Menangkap proporsi besar ikan muda menurun hasil per rekruitmen. Dengan demikian, hasil tangkapan juvenil ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup populasi ikan tuna.
Analisis Upaya Efektif dari ..... Industri di Samudera Hindia (Atmaja, S.B., et al.)
Fluktuasi hasil tangkap berdasarkan atas aktivitas tawur (Gambar 9a dan b) memperjelas bahwa pengaruh jangka pendek lingkungan adalah besar pengaruhnya terhadap tingkah laku dan penyebaran ikan dan catchability. Penyebaran biomassa ikan tampaknya bersifat random, perubahan hasil tangkapan dapat dikaitkan dengan perubahan pola agregasi dan mengakibatkan mempengaruhi catchability dan ketersediaan stok ikan yang dieksploitasi. Bagaimanapun keberhasilan aktivitas tawur jangka pendek dipengaruhi oleh lingkungan pada skala harian dan mingguan. Faktor lingkungan tersebut mempengaruhi tingkat agregasi kedalaman ikan.
Gambar 8. Figure 8.
Total hasil tangkapan menurut trip. Total catches by trip.
Hasil Tangkapan (ton)
9 Feb-Maret2010 (trip 4) Maret - Mei 2010 (trip 5)
6
3
0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 Waktur Tawur 80
6
Fluktuasi60hasil tangkapan menurut tawur. Fluctuations in the catch by haul. Hasil tangkapan (ton)
Gambar 9a. Figure 9a.
40 20
Juli-Agus 2010 (trip 6)
Hasil Tangkapan (ton)
0 Feb-Mar
Mar-Mei
Juli-Agus
SepSep-Nop - Nop 2010Des-Feb (trip 7)
Trip
4
2
0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 Waktu Tawur
Gambar 9b. Figure 9b.
Fluktuasi hasil tangkapan menurut tawur. Fluctuations in the catch by haul.
183
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 177-184
KESIMPULAN 1. Jumlah estimasi tawur dari data vessel monitoring system lebih besar dari pada aktivitas tawur yang sebenarnya. Penggunaan data vessel monitoring system dari perikanan pukat cincin pelagis besar lebih lanjut untuk keperluan ploting dalam menentukan penyebaran rumpon laut-dalam (payao). 2. Keberhasilan aktivitas tawur jangka pendek dipengaruhi oleh lingkungan pada skala harian dan mingguan, di mana faktor lingkungan tersebut mempengaruhi tingkat agregasi kedalaman ikan. 3. Penyebaran biomassa ikan tampaknya bersifat random, perubahan hasil tangkapan dapat dikaitkan dengan perubahan pola agregasi dan akibatnya berpengaruh pada catchability dan ketersediaan stok ikan yang dieksploitasi. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika perilaku perikanan pukat cincin: perubahan pola eksploitasi dan substitusi alat tangkap, T. A. 2010, di Balai Riset Perikanan LautMuara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. 2008. Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Dinamika Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 100 pp. Flewwelling, P., C. Cullinan, D. Balton, R. P. Sautter, & J. E. Reynolds. 2002. Recent trends in monitoring, control, and surveillance systems for
184
capture fisheries. Food and Agriculture Organization Fisheries Technical Paper. No.415. Rome. Food and Agriculture Organization. 200 pp. Fréon, P., P. Cury, L. Shannon, & C. Roy. 2005. Sustainable exploitation of small pelagic fish stocks challenged by environmental and ecosystem changes: A review. Bulletin of Marine Science. 76 (2): 385-462. Gaol, J. L. 2003. Kajian karakter oseanografi Samudera Hindia bagian timur dengan menggunakan multi sensor citra satelit dan hubungannya dengan hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 226 pp. Gerritsen, H. & C. Lordan. 2011. Integrating vessel monitoring systems data with daily catch data from logbooks to explore the spatial distribution of catch and effort at high resolution. ICES Journal of Marine Science. 68: 245-252. Hallier, J. P. & D. Gaertne. 2008. Drifting fish aggregation devices could act as an ecological trap for tropical tuna species. Marine Ecology Progress Series. 353: 255-264. Lee, J., A. B. South, & S. Jennings. 2010. Developing reliable, repeatable, and accessible methods to provide high resolution estimates of fishing effort distributions from vessel monitoring system data. ICES Journal of Marine Science. 67: 1,260-1,271. Romanov, E. V. 2000. Bycatch in the soviet purse seine tuna fisheries on FAD Associated Schools in North Equatorial area of the Western Indian Ocean. Proceedings of the Soutern Scientific Research Institute of Marine Fisheries and Oceanography. 45: 106-121.
Perikanan Pancing Ulur Tuna di Kedonganan, Bali (Sulistyaningsih. R. K., et al.)
PERIKANAN PANCING ULUR TUNA DI KEDONGANAN, BALI Ririk Kartika Sulistyaningsih, Abram Barata, Kiroan Siregar Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Juli 2011
ABSTRAK Tuna merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang memiliki nilai komersial tinggi. Sumberdaya ikan ini akan terus ditangkap, karena permintaan pasar global terhadap komoditas ini terus meningkat. Pancing ulur merupakan salah satu alat tangkap berskala rakyat untuk menangkap tuna di sekitar rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Penelitian yang dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan mulai bulan April sampai Nopember 2009, bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang perikanan pancing ulur tuna, meliputi aspek penangkapan (deskripsi armada penangkapan, alat tangkap dan daerah penangkapan) dan aspek produksi (komposisi hasil tangkapan dan catch per unit of effort). Hasil penelitian menunjukkan, ada tiga metode pengoperasian pancing ulur tuna, yaitu metode “tomba”, “batu” dan “layangan”. Para nelayan juga mengoperasikan dengan cara tonda untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan sampingan (bycatch). Daerah penangkapan meliputi selatan Pulau Bali sampai Pulau Lombok. Total hasil tangkapan tuna (madidihang, tuna mata besar dan albakora) mencapai 53,7% (1.016.992 kg) dan ikan bycatch sebesar 46,3% (876.789 kg). Madidihang mendominasi hasil tangkapan utama (74,54%), sedangkan ikan bycatch didominasi oleh cakalang (58,4%) dan baby tuna (28,6%). Catch per unit of effort (CPUE) hasil tangkapan utama pancing ulur tuna cenderung meningkat pada bulan April sampai Juni dan menurun pada bulan Juli sampai Nopember, sedangkan nilai CPUE tertinggi ikan hasil tangkapan sampingan terjadi pada bulan Oktober. KATA KUNCI :
perikanan tuna, pancing ulur, Kedonganan, Bali
ABSTRACT :
Tuna Hand Line Fishery at Kedonganan, Bali. By: Ririk Kartika Sulistyaningsih, Abram Barata and Kiroan Siregar.
Tuna is one of fisheries commodity of a highly commercial value. This fish resource continuing to be exploited due to increasing global market demand. Hand line is one of the small scale fishing gear to catch tuna around fish agregating device. Research has been conducted from April until November at the fish landing Kedonganan. The study aimed to investigate tuna hand line fisheries covering aspects of the exploitation, the description of fleet, fishing gear, fishing ground, production, catch composition and catch composition per unit of effort. The results showed, that there are three methods of tuna fishing operation, by fishing rods i.e “tomba”, “stone” and “kites”. The fishers also operate tonda fishing method to get bycatch. The fishing ground include southern island of Bali until Lombok island. Total catches of tuna (yellowfin, bigeye and albacore) reached 53,7% (1.016.992 kg) and bycatch reached 46,3% (876.789 kg). Yellowfin catches dominate the total catches (74,54 %), while bycatch dominated by skipjack (58,4%) and baby tuna (28,6%). Catch per unit of effort (CPUE), of the main catches of tuna fishing tended to increase in April to June and decreased in July to November, while the highest CPUE of the bycatch occured in October. KEYWORDS :
tuna fishery, hand line, Kedonganan, Bali
PENDAHULUAN Tuna merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan yang berpotensi dalam mendukung perekonomian Indonesia. Jepang adalah negara tujuan ekspor tuna tertinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa (Ditjen P2HP, 2009 dalam Hutagalung, 2010). Keadaan tersebut mendorong usaha penangkapan tuna semakin berkembang cepat seiring permintaan pasar dengan harga sangat tinggi. Pemanfaatan sumber daya tuna di Samudera Hindia, terutama di sebelah barat daya Pulau Sumatera, ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Jln. Pelabuhan Benoa-Bali
selatan Pulau Jawa, Pulau Bali sampai Nusa Tenggara dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat (Anonymous, 2010). Kondisi pasar baik domestik maupun internasional belum jenuh, sehingga masih ada peluang usaha untuk ditingkatkan, khususnya di perairan kawasan timur Indonesia (Martosubroto, 2010). Pada umumnya, pelaku usaha penangkapan tuna yang berkembang di kawasan Samudera Hindia terdiri atas kapal-kapal komersial berskala industri dan perikanan skala rakyat (Mertha et al., 2003). Untuk
185
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 185-191
menangkap tuna yang berukuran besar, kapal-kapal berskala industri menggunakan alat tangkap rawai tuna (tuna longline), sedangkan pada perikanan skala rakyat menggunakan pancing ulur (hand line) yang beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Pesatnya perkembangan nelayan pancing ulur berkaitan erat dengan tingginya permintaan ikan tuna (>10 kg) di pasar lokal maupun internasional. Industri-industri perikanan tuna mempunyai peranan dalam hal pemasaran karena setiap saat siap menampung hasil tangkapan tuna dari nelayan pancing ulur. Tempat pendaratan tuna berskala rakyat di Provinsi Bali terletak di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kedonganan, Kabupaten Badung. Pantai Kedonganan merupakan daerah pendaratan ikan yang cukup potensial karena berbatasan dengan Samudera Hindia. Letaknya strategis karena tidak jauh dari industri perikanan tuna yang lokasinya berada di Pelabuhan Umum Benoa. Berdasarkan wawancara dengan beberapa nelayan Kedonganan, eksploitasi sumber daya tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan telah berlangsung sejak 2004 dan cukup intensif menggunakan alat tangkap pancing ulur dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Alat tangkap ini dioperasikan oleh nelayan-nelayan dari Sinjai Sulawesi Selatan. Selain tuna berukuran besar sebagai hasil tangkapan utama, nelayan pancing ulur Kedonganan juga menangkap ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang bernilai ekonomis penting. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang perikanan pancing ulur tuna di Kedonganan, meliputi deskripsi armada penangkapan, alat tangkap, daerah penangkapan, produksi, komposisi hasil tangkapan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit of effort). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan, Kabupaten Badung - Bali. Pengumpulan data mulai bulan April sampai November 2009, dengan menggunakan metode survei harian dan wawancara terhadap responden (nelayan dan pengusaha atau pedagang pengumpul tuna). Data tersebut terdiri atas 1) aspek penangkapan meliputi spesifikasi dan jumlah (unit dan trip) armada penangkapan, konstruksi alat tangkap, cara pengoperasian dan informasi daerah penangkapan, 2) aspek produksi meliputi komposisi berat per spesies ikan hasil tangkapan utama dan komposisi ikan-ikan hasil tangkapan sampingan. Pengukuran berat hasil tangkapan sampingan ada
186
yang menggunakan media keranjang dan penimbangan per spesies ikan. Analisis Data Hasil Tangkapan Per Upaya Penangkapan (CPUE) Mengacu Gulland (1983) dalam Rosneli (1999), hasil tangkapan per upaya dihitung menggunakan rumus : CPUE = Catch (kg) Effort (trip) HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Penangkapan Armada pancing ulur nelayan Kedonganan pada umumnya mempunyai ukuran panjang berkisar 12 17 m; lebar 2,5 - 3,7 m; dan dalam 1,5 – 2,5 m. Kapal terbuat dari kayu, letak mesin di dalam kapal dengan merk Yanmar dan Jian Dong yang mempunyai kekuatan 230-300 PK. Tiap armada memiliki 2 - 3 unit palkah dengan kapasitas maksimum 1 - 2 ton per palkah. Jumlah anak buah kapal berkisar 5 – 7 orang, yaitu nahkoda, bagian mesin dan pemancing. Konstruksi alat tangkap pancing ulur nelayan di Kedonganan sangat sederhana, yaitu tali utama yang digulung pada jerigen sebagai pelampung atau ada juga yang digulung pada penggulung plastik, pemberat timah, kemudian disambung dengan tali pancing dan mata pancing. Tali utama terbuat dari bahan monofilamen no. 200 – 300 dengan panjang sekitar 200 – 250 m, tali pancing juga terbuat dari bahan monofilamen no. 100 – 150 dengan panjang 40 – 50 m dan menggunakan mata pancing no. 2 - 4 yang diikat pada tali pancing. Selain itu, nelayan juga membawa batu yang digunakan sebagai pemberat untuk memasukkan alat tangkap ke dalam air. Setiap operasi penangkapan, nelayan pancing ulur membawa 5 sampai 10 gulung pancing ulur. Konstruksi alat tangkap pancing ulur berbeda-beda di setiap daerah, sebagai perbandingan yaitu konstruksi alat tangkap pancing ulur nelayan Prigi dan Sendang Biru. Pancing ulur nelayan Prigi, terdiri atas pancing no. 6 – 8, pemberat timah dan tali pancing dengan bahan senar monofilamen (Nurdin, 2009). Sedangkan konstruksi pancing ulur nelayan Sendang Biru menggunakan tali pancing jenis monofilamen no. 100 yang mempunyai panjang antara 100 – 200 m tegantung ukuran ikan dan kedalaman
Perikanan Pancing Ulur Tuna di Kedonganan, Bali (Sulistyaningsih. R. K., et al.)
renang. Pancing yang digunakan yaitu pancing berkait no. 5 dan no. 7. Selain itu nelayan juga membawa batu yang digunakan sebagai pemberat untuk memasukkan pancing ke dalam air (Nurdin & Nugraha, 2007).
palsu seperti tali rafia, bulu sutera ataupun umpan ikan tiruan. Jumlah operasi penangkapan sebanyak 5-6 kali setting dan hauling dalam sehari. Waktu operasi penangkapan lebih banyak dilakukan pada pagi sampai malam hari.
Ada tiga metode pengoperasian pancing ulur, yaitu metode “tomba”, “batu” dan “layangan”. Pancing tomba dioperasikan dengan menggunakan jerigen 5 liter atau sterofoam sebagai pelampung, yang dilepas ke permukaan laut dengan mata pancing nomor 3 dan memakai umpan hidup (bandeng). Pancing batu dioperasikan dengan menggunakan penggulung plastik yang dipegang langsung oleh nelayan di kapal, memakai umpan berupa ikan (baby tuna, cakalang) yang dipotong-potong dan dikaitkan pada mata pancing nomor 4 serta menambah timah atau batu sebagai pemberat. Pancing ulur yang dioperasikan dengan metode layangan menggunakan mata pancing no. 2, memakai umpan ikan layang segar dan tali pancing diikat sedemikian rupa pada ekor layangan serta dibiarkan terulur di permukaan laut mengikuti gerakan layangan sampai disambar ikan. Ikan-ikan yang tertangkap dengan tiga metode pengoperasian pancing ulur ini, tidak hanya tangkapan utama tetapi juga ikan-ikan non target. Untuk menambah hasil tangkapan sampingan (ikan non target), nelayan Kedonganan menggunakan metode pancing tonda. Pengoperasian pancing tonda dilakukan di bagian buritan kapal, sementara kapal melaju dengan kecepatan tertentu. Umumnya menggunakan umpan
Dalam operasional, armada pancing ulur menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon yang telah ditenggelamkan di sekitar daerah penangkapan pada kedalaman 500 – 1500 m. Unit– unit rumpon dirakit dan dibangun oleh nelayan perorangan maupun sekelompok nelayan. Komponen utama rumpon terdiri atas pelampung (ponton besi), tali utama (tali kuralon dan serat kayu berdiameter 2,5 cm), atractor daun kelapa (30 – 40 pelepah), tali cabang dan jangkar atau pemberat (blok–blok semen 30 kg sebanyak 25 buah). Jenis rumpon yang di pasang terdiri atas 2 macam, yaitu rumpon laut dalam (<2.000 m) dan laut dangkal (<500 m). Total waktu di laut yang diperlukan dalam satu trip penangkapan antara 7 – 14 hari. Dalam satu bulan mencapai 2 – 3 kali trip atau rata-rata 2 kali per bulan. Usaha menangkap tuna dengan pancing ulur dilakukan pada lokasi-lokasi penempatan rumpon. Berdasarkan hasil wawancara, daerah penangkapan nelayan pancing ulur yang berbasis di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan meliputi daerah selatan Pulau Bali sampai dengan Pulau Lombok atau berada pada posisi 1140 – 1160 bujur timur dan 100 – 120 lintang selatan.
187
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 185-191
Penggulung Plastik
Monofilamen No. 200-250
Jerigen / Sterofoam
Monofilamen No. 250-300
Kili-kili Monofilamen No. 100-150
Pancing no. 4-5
Kili-kili
Monofilamen No. 150-200
Pancing no. 2-4
Pemberat 1kg
Pancing Batu
Pancing Tomba
Umpan Bandeng/Layang/ Cumi palsu
Penggulung
Gambar 1. Figure 1.
Konstruksi pancing ulur tuna nelayan di Kedonganan Tuna hand line construction of the fisher in Kedonganan
Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan utama pancing ulur adalah ikan tuna yang berukuran besar. Terdapat 3 jenis tuna yang tertangkap, yaitu madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus) dan albakora (Thunnus alalunga). Hasil tangkapan sampingan yang tertangkap antara lain ikan tuna muda (baby tuna), cakalang (Katsuwonus pelamis), layang (Decapterus sp), lamadang (Colryphaena hippurus), sunglir (Elagastis bipinnulata), tenggiri (Acanthocybium solandri), tongkol (Auxis sp), cucut (Charcarinus sp) dan kelompok bill fish meliputi marlin hitam (Makaira indica), marlin biru (Makaira mazara), marlin loreng (Tetrapturus audax), todak (Tetrapturus angustrirostris), layaran (Istiophorus platypterus) dan meka (Xiphias gladius). Secara keseluruhan total hasil tangkapan utama armada pancing ulur yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan mulai April sampai Nopember 2009 adalah 53,7 % (1.016.992 kg) dan hasil tangkapan sampingan yaitu 46,3 % (876.789 kg).
diikuti tuna mata besar (1.286 ekor) dan albakora (93 ekor). Nelayan pancing ulur Kedonganan lebih sering mengoperasikan pancing ulur antara kedalaman 50 – 100 m, sehingga hasil tangkapannya didominasi oleh madidihang. Hasil penelitian Barata et al. (2010) menyebutkan bahwa, sebaran madidihang dan albakora berada pada kisaran kedalaman 35 - 300 m dan tuna mata besar pada kisaran kedalaman 92 - 470 m. Albakora walaupun berada pada sebaran kedalaman yang sama dengan madidihang tetapi jarang tertangkap, dikarenakan jenis ikan ini tidak termasuk dalam kelompok ikan yang dapat berasosiasi dengan rumpon. Menurut Sumadhiharga (2009), madidihang bersifat epipelagis dan oseanis yang menyukai perairan di atas dan di bawah lapisan termoklin. Akan tetapi, perubahan suhu yang tinggi dalam lapisan termoklin dapat mengakibatkan madidihang meninggalkan lapisan tersebut. Tuna yang tertangkap di sekitar perairan dekat pulau memang lebih banyak jenis madidihang, karena sifat kemampuan renangnya pada level permukaan perairan.
Tabel 1. menunjukkan madidihang mendominasi hasil tangkapan yaitu 758.038 kg (74,54 %), diikuti tuna mata besar dan albakora. Komposisi jumlah madidihang yang tertangkap adalah 16.837 ekor,
Jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan sampingan adalah cakalang sebesar 58,46 % (512.549 kg), diikuti baby tuna, kelompok bill fish, layang, tongkol, lamadang, tenggiri, sunglir dan cucut
188
Perikanan Pancing Ulur Tuna di Kedonganan, Bali (Sulistyaningsih. R. K., et al.)
(Tabel 2). Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang digunakan nelayan pancing ulur untuk mengumpulkan ikan-ikan kecil disekitarnya. Menurut Monintja (1993) diacu dalam Sudirman & Mallawa (2004), ikan cakalang dan baby tuna adalah jenisjenis ikan yang sering berasosiasi dengan rumpon. Tabel 1. Table 1.
No. 1. 2. 3.
Tabel 2.
Table 2.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk datang memangsa ikan-ikan kecil. Ikan cakalang dapat bertahan disekitar rumpon selama 340 hari (Uktolseja, 1987 diacu dalam Diniah et al. 2001).
Komposisi hasil tangkapan utama kapal pancing ulur yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan bulan April sampai Nopember 2009 Composition of the main catch of hand line boat landed at the fish landing base Kedonganan April to November 2009 Jenis Ikan / Species Madidihang Mata Besar Albakora
Komposisi (Kg) Composition (Kg) 758.033 257.466 1.493
Komposisi hasil tangkapan utama kapal pancing ulur yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan bulan April sampai Nopember 2009 Composition of the main catch of hand line boat landed at the fish landing base Kedonganan April to November 2009
Jenis Ikan / Species Cakalang Juvenille tuna Billfish Layang Tongkol Lamadang Tenggiri Sunglir Cucut
Komposisi (Kg) Composition (Kg) 512.549 251.281 98.852 7.989 3.448 2.343 132 165 30
Komposisi (%) Composition (%) 58,458 28,659 11,274 0,911 0,393 0,267 0,015 0,019 0,003
Catch Per Unit of Effort (CPUE) Produksi hasil tangkapan utama armada pancing ulur yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan setiap bulannya mengalami perubahan sepanjang tahun 2009. Nilai CPUE tertinggi untuk hasil tangkapan utama armada pancing ulur terjadi pada bulan Juni (1.728,10 kg/trip) dan nilai terendah pada bulan Nopember (4,68 kg/trip) (Gambar 2).
Komposisi (Ekor) Composition (tail) 16.837 1.286 93
Komposisi (%) Composition (%) 74,54 25,32 0,15
Tingginya CPUE pada bulan Juli dikarenakan aktivitas penangkapan tuna banyak dilakukan pada bulan Mei sampai Juli. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pancing ulur Kedonganan, musim penangkapan tuna terjadi pada bulan-bulan tersebut dan kondisi laut yang juga turut mendukung operasi penangkapan ikan. Nilai cacth per unit of effort hasil tangkapan utama mengalami penurunan sejak bulan Juli sampai Nopember dikarenakan beberapa faktor, antara lain pengaruh musim penangkapan tuna, penurunan upaya penangkapan (trip), adanya gelombang dan angin besar. Hasil wawancara dengan penduduk setempat, penurunan hasil tangkapan utama juga disebabkan oleh banyak nelayan yang pulang ke kampung halaman selama masa lebaran dan baru kembali pada tahun berikutnya. Nilai CPUE tertinggi hasil tangkapan sampingan terjadi pada bulan Oktober (1482,55 kg/trip) dan nilai terendah pada Juni (195,30 kg/trip) (Gambar 3). Tingginya nilai CPUE pada bulan Oktober dikarenakan hasil tangkapan utama jarang tertangkap sehingga nelayan Kedonganan berupaya meningkatkan hasil tangkapan sampingan. Sebaliknya pada bulan April sampai Juli, nilai CPUE masih rendah karena pada bulan-bulan tersebut adalah musim penangkapan tuna di daerah rumpon sehingga nelayan jarang menangkap ikan-ikan non target. Sejak bulan Nopember ada kecenderungan CPUE hasil tangkapan sampingan menurun kembali.
189
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 185-191
DAFTAR PUSTAKA
2000 1800
C P UE (kg /trip )
1600
Anonymous. 2010. Kondisi Perikanan Tuna Longline di Benoa. Prosiding Seminar dan Evaluasi Monitoring Perikanan Tuna di Pelabuhan Umum Benoa (tidak dipublikasikan). Pusat Riset Perikanan Tangkap.
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOPEMBER
Bulan
Gambar 2.
Catch per unit of effort dari hasil tangkapan utama kapal pancing ulur (April – November 2009) Catch per unit of effort for the main catch of hand line boat (April – November 2009)
Figure 2.
Diniah, M. Ali Yahya, S. Pujiyati, Parwinia, S. Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi, & A. Farhan. 2001. Pemantauan Sumberdaya Tuna Cakalang Secara Terpadu. Makalah Palsapah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
1600 1400 1200 CPUEE
Barata, A., Dian N., Andi B., Gamadi, Irwan J., I Gede A.S., I Nyoman S. C. N., & Ahmad Y.A. 2010. Hasil Riset Hook Timer dan Temperature Depth Recorder Selama Program Observer Tuna Longline di Samudera Hindia. Prosiding Seminar dan Evaluasi Monitoring Perikanan Tuna di Pelabuhan Umum Benoa (tidak dipublikasikan). Pusat Riset Perikanan Tangkap.
1000 800 600 400 200 0 April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Bulan
Gambar 3.
Figure 3.
Catch per unit of effort hasil tangkapan sampingan kapal pancing ulur (April – November 2009) Catch per unit of effort for the bycatches of hand line boat (April – November 2009)
KESIMPULAN 1. Pengoperasian pancing ulur yang dilakukan nelayan Kedonganan untuk menangkap tuna, dalam tiga metode yaitu tomba, batu dan metode layangan. 2. Daerah penangkapan nelayan pancing ulur tuna yang berbasis di Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan meliputi daerah selatan Pulau Bali sampai dengan Pulau Lombok. 3. Madidihang mendominasi hasil tangkapan utama, sedangkan cakalang mendominasi hasil tangkapan sampingan armada pancing ulur. 4. Nilai catch per unit of effort hasil tangkapan utama cenderung meningkat pada bulan April sampai Juni dan menurun pada bulan Juli sampai Nopember, sedangkan catch per unit of effort hasil tangkapan sampingan cenderung meningkat pada bulan Juli sampai Oktober dan menurun pada bulan Nopember, April sampai Juni.
190
Hutagalung, P.S. 2010. Market Measures Dalam Pemasaran Tuna di Jepang, USA dan Uni Eropa. Prosiding Seminar dan Evaluasi Monitoring Perikanan Tuna di Pelabuhan Umum Benoa (tidak dipublikasikan). Pusat Riset Perikanan Tangkap. Martosubroto, P. 2010. Mampukah Kita Mengembangkan Perikanan Tuna Yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Evaluasi Monitoring Perikanan Tuna di Pelabuhan Umum Benoa (tidak dipublikasikan). Pusat Riset Perikanan Tangkap. Mertha, I. G. S., K. Kusno, & Budi, I. P. 2003. Pengkajian Stok Ikan di Samudera Hindia (WPP 4). Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia. Jakarta, 23-24 Juli. 13-30 pp. Mertha, I. G. S., M. Nurhuda, & A. Nasrullah. 2006. Perkembangan Perikanan Tuna di Pelabuhan Ratu. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (2) : 117-127. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Nurdin, E. 2009. Perikanan Tuna Skala Rakyat (Small Scale) Di Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Bawal. 2 (4) : 177 – 183. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Nurdin, E. & B. Nugraha. 2008. Penangkapan tuna Dan Cakalang Dengan Menggunakan Alat Tangkap Pancing Ulur (Hand Line) Yang Berbasis Di Pangkalan Pendaratan Ikan Pondokdadap
Perikanan Pancing Ulur Tuna di Kedonganan, Bali (Sulistyaningsih. R. K., et al.)
Sendang Biru, Malang. Bawal. 2 (1) : 25 - 31. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Rosneli. 1999. Parameter Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Didaratkan di TPI Pariaman Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Fakultas Perikanan. Universitas Bung Hatta Padang. 410 pp.
Sumadhiharga, O.K. 2009. Ikan Tuna. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sudirman H. & Mallawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
191
Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan …………….. Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal (Ernawati. T., et al.)
PRODUKTIVITAS, KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN JARING CANTRANG YANG BERBASIS DI PPP TEGALSARI, TEGAL Tri Ernawati, Nurulludin dan Suherman Banon Atmadja Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 9 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011
ABSTRAK Jaring cantrang merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama beroperasi di Laut Jawa. Cantrang merupakan alat tangkap yang cukup efektif untuk memanfaatkan sumberdaya ikan demersal. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan kapal berukuran relatif kecil yaitu kurang dari 10 GT. Alat tangkap cantrang di Tegal dioperasikan oleh kapal-kapal dengan ukuran berkisar 5 -30 GT. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi mengenai produktivitas cantrang, komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapannya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011. Data hasil tangkapan dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas cantrang per trip, per hari dan per tawur berbeda-beda. Perbedaan hasil tangkapan antara lain disebabkan oleh: a) adanya perbedaan perlakuan teknik pengoperasian jaring cantrang karena pengaruh gelombang, arah arus dan kemampuan olah gerak kapal, b). jumlah tawur/setting yang berbeda-beda tiap hari nya dalam setiap trip dan c). kondisi fishing ground yang berbeda. Perbedaan komposisi hasil tangkapan cantrang disebabkan oleh kondisi sumber daya di daerah penangkapan dan perbedaan kedalaman perairan. Perubahan daerah penangkapan cantrang tidak dipengaruhi oleh perubahan musim. Perubahan daerah penangkapan lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi cuaca dan pengalaman berdasarkan perolehan hasil tangkapan pada trip-trip sebelumnya. KATA KUNCI :
cantrang, produktivitas, komposisi hasil tangkapan, daerah penangkapan
ABSTRACT :
Productivity, catch composition and fishing ground of danish seine in Tegalsari landing base of Tegal City. By : Tri Ernawati, Nurulludin, and Suherman Banon Atmaja.
Danish seine (cantrang) is a traditional fishing gear having been used for a long time in Java Sea. Cantrang is an effective fishing gear to exploit the of demersal fish resource. Before 1980, cantrang was operated by using small boat less than 10 GT. In Tegal the danish seine were operated by boat with size were between 5–30 GT. The aim of this study is to obtain the information on productivity, catch composition, and fishing ground of cantrang. The research was conducted by survey method. Data were calculated during the period of March 2010 to January 2011. Catch data was analyzed by Analysis of Variance. The result showed that productivity of Danish seine per trip, per day and per setting was different. The differences of catch were caused by several factors such as: a) a different treatment of cantrang operation because of the wave influence, current direction, and ability of ship manuver , b). the number of setting per day in every trips and c). the different condition of fishing ground. The difference of cantrang catch composition is caused by condition of resource in different fishing ground and the waters depth. The alteration of cantrang fishing ground is not influenced by the change of season. It is influenced by the condition of weather and the experience based on the fish catch result on the previous trips. KEYWORDS :
Danish seine, productivity, catch composition , fishing ground
PENDAHULUAN Jaring cantrang merupakan alat tangkap tradisional yang telah lama beroperasi di Laut Jawa. Sebelum tahun 1980 jaring cantrang dioperasikan dengan menggunakan kapal berukuran relatif kecil yaitu kurang dari 10 GT dengan jumlah ABK sebanyak 3 orang. Pengoperasian jaring masih ditarik dengan tangan (Unar, 1978). Pengembangan usaha perikanan
tangkap telah memungkinkan terjadinya perubahan teknologi perikanan tangkap di wilayah Laut Jawa, termasuk cantrang yang merupakan pengganti dari alat tangkap trawl. Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1987 ditemukan alat gardan sebagai alat bantu penarik jaring. Pada awalnya gardan banyak digunakan oleh nelayan Jawa Timur. Dengan adanya gardan, cantrang akhirnya dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif dengan cara ditarik dengan sebuah
___________________ Korespondensi penulis: Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440
193
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 193-200
perahu atau kapal, sehingga sangat efektif untuk menangkap sumber daya ikan demersal. Cantrang merupakan alat tangkap yang cukup efektif untuk memanfaatkan sumber daya ikan demersal (Suhendrata & Badrudin, 1990). Kapal–kapal yang mengoperasikan cantrang semula berukuran dibawah 10 GT, kondisi saat ini berkembang mencapai ukuran lebih dari 50 GT. Alat tangkap cantrang berkembang cukup pesat dan meluas, salah satunya yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kotamadya Tegal. Alat tangkap cantrang yang berbasis di Tegal mempunyai ukuran sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya kapal yang mengoperasikannya. Menurut Hadisubroto (1992), perikanan cantrang di Tegal mulai berkembang pesat tahun 1989 sejak pelarangan trawl pada tahun 1980. Alat tangkap cantrang di Tegal dioperasikan oleh kapal–kapal dengan ukuran menurut surat perijinannya berkisar 5 – 30 GT. Pada tahun 2005 dikeluarkan Perda No 3/ Tahun 2005 oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah yang mengizinkan beroperasinya alat cantrang bagi kapal yang berukuran di bawah 30 GT. Alat tangkap ini telah berkembang pesat, bahkan kapal- kapal pukat cincin yang berukuran 100 GT banyak beralih menggunakan alat tangkap cantrang. Kegiatan penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor musim dan cuaca. Perubahan musim akan berpengaruh terhadap perubahan-perubahan kondisi faktor oseanografi baik fisik dan biologinya. Perubahanperubahan ini tentunya akan berpengaruh terhadap kelimpahan ikan, pergerakan ikan dan tingkah laku ikan. Perubahan cuaca akan mempengaruhi operasional penangkapan ikan terkait dengan keberhasilan penggunaan alat tangkap khususnya cantrang. Dengan demikian perubahan musim dan cuaca akan mempengaruhi produktivitas hasil tangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan daerah penangkapannya. Menurut Ernawati & Sumiono (2009), produksi bulanan PPP Tegalsari berfluktuasi, produksi melimpah terjadi di bulan–bulan pada musim barat. Namun dalam tulisan sebelumnya, produktivitas belum dikaji. Informasi mengenai produktivitas khususnya untuk armada cantrang, masih relatif terbatas. Kondisi ini disebabkan pendataan terhadap hasil tangkapan cantrang di tempat-tempat pendaratan belum tercatat dengan baik. Pada
194
umumnya sistem pelelangan untuk hasil tangkapan cantrang belum optimal pelaksanaannya. Hasil tangkapan cantrang dibeli langsung oleh bakul, pengumpul, dan perusahaan pengolah. Oleh karena itu, informasi mengenai produktivitas cantrang sangat diperlukan terkait dengan efesiensi dan optimalisasi dalam melakukan penangkapan. Berdasarkan lamanya hari operasi dalam setiap trip, armada cantrang yang berbasis di PPP Tegalsari diklasifikasikan dalam empat kelas. Yaitu : 1). cantrang yang beroperasi selama 1- 3 hari, 2). cantrang yang beroperasi selama 1 minggu-an, 3). cantrang yang beroperasi 2 mingguan, dan 4). cantrang yang beroperasi 3-4 mingguan. Pada makalah ini bahasan difokuskan pada cantrang yang beroperasi 3-4 mingguan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji produktivitas hasil tangkapan cantrang, komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapannya. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai Januari 2011 di PPP Tegalsari, Tegal. Lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Pengumpulan data dengan metode survei dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara, dan pencatatan langsung ketika survei di lapangan. Pencatatan data per trip secara time series dilakukan pada unit kapal cantrang yang bernama KM Timbul Karya Baru (GT 30), mempunyai ukuran P = 20 m, L = 6 m dan D = 4 m. Mesin yang digunakan ada tiga macam yaitu mesin utama dan dua mesin bantu. Mesin utama yang berfungsi untuk penggerak kapal ber tipe Mitsubishi Fuso D 16 yang memiliki kekuatan 500 PK. Mesin bantu terdiri dari mesin penggerak gardan merk Donfeng 30 pk dan mesin untuk lampu merk donfeng 28pk. Data dicatat oleh nahkoda kapal dalam fishing log boot yang dibawa setiap trip nya. Buku fishing log boot diisi, data tentang hasil tangkapan, jumlah tawur, posisi, kedalaman, dan jumlah hari operasi di laut untuk setiap trip. Hasil pencatatan oleh nahkoda divalidasi dengan mengirimkan observer untuk mengikuti operasi kapal pada trip tertentu. Periode hari operasi kapal per trip ditampilkan pada Tabel 1.
Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan …………….. Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal (Ernawati. T., et al.) -2
-3
-4
-5
-6
Tegal -7
-8
-9 105
106
107
108
Gambar 1. Figure 1. Tabel 1. Table 1.
109
110
111
112
113
114
115
116
117
Lokasi Penelitian, Tegal. Map of research location in Tegal
Periode hari operasi kapal per trip Periode of day operation in of boat one trip
Analisis Data Analisis mengenai spesifikasi kapal, alat tangkap dan daerah penangkapan dilakukan secara deskriptif dalam bentuk gambar dan tabulasi. Sedangkan analisis produktivitas untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil tangkapan per setting/tawur maupun per hari dan per trip dengan lama operasi yang berbeda-beda digunakan uji analisis ragam (ANOVA) klasifikasi satu arah. Asumsi yang digunakan adalah bahwa data hasil tangkapan (kg) untuk setiap trip menyebar normal. Hipotesanya adalah : 1. Ho : tidak terdapat perbedaan hasil tangkapan per hari dengan lama operasi H1 : Terdapat perbedaan hasil tangkapan per hari dengan lama operasi
Trip ke/Trip
Tanggal Operasi/Date of operation
1 2 3 4 5 6 7 8 9
14 Maret – 7 April 2010 21 April – 15 Mei 2010 25 Mei – 19 juni 2010 29 Juni – 25 Juli 2010 5 Agustus – 27 Agustus 2010 25 September – 20 Oktober 2010 30 Oktober – 24 November 2010 7 Desember – 28 Desember 2010 7 Januari – 31 Januari 2011
2. Ho : tidak terdapat perbedaan hasil tangkapan per tawur dengan lama operasi H1 : Terdapat perbedaan hasil tangkapan per tawur dengan lama operasi HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas hasil tangkapan Selama periode bulan Maret 2010 sampai Januari 2011 KM Timbul Karya Baru beroperasi sebanyak sembilan trip. Jumlah hasil tangkapan total per trip cukup berfluktuasi (Gambar 2). Rata–rata hasil tangkapan cantrang setiap trip nya adalah 27.298,6 kg/trip. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke-
195
Σ hari op of day
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 193-200
6 (21 hari efektif) dan trip ke- 9 (17 hari efektif). Sedangkan hasil tangkapan menurun terjadi pada trip ke – 5 (18 hari efektif) dan trip ke – 8 (15 hari efektif). Berdasarkan perubahan–perubahan hasil tangkapan setiap tripnya, tampaknya jumlah hari efektif tidak terlalu berpengaruh terhadap perolehan hasil tangkapan. Perolehan hasil tangkapan lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis keterbatasan jumlah perbekalan dan kondisi cuaca. Cuaca buruk akan membatasi dan mempersulit olah gerak kapal. Menurut Ernawati & Sumiono (2009), perubahan cuaca sangat berpengaruh terhadap keberhasilan hasil tangkapan cantrang.
Figure 4.
Rata-rata hasil tangkapan per tawur (kg/tawur) An average catch per set (kg/set)
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Trip ke
Gambar 2. Figure 2.
Hasil tangkapan cantrang per trip. Catch of denish seine per trip
Hasil tangkapan cantrang per hari pada trip yang berbeda-berbeda memiliki rata-rata 1.412,3 kg/hari. Rata-rata hasil tangkapan cantrang per hari cenderung meningkat, walaupun terjadi sedikit penurunan pada trip ke-5 (Gambar 3). Sementara untuk rata-rata hasil tangkapan per tawur cantrang berfluktuasi setiap tripnya (Gambar 4). Rata-rata hasil tangkapan per tawur/setting jaring cantrang adalah 192,2 kg/tawur dan rata-rata jumlah tawur per trip adalah 114 kali. Hasil tangkapan per tawur tinggi terjadi pada trip ke-6 (147 kali tawur) dengan rata-rata 214,2 kg/tawur dan ke-9 (93 kali tawur) dengan rata-rata 217,1 kg/tawur.
Gambar 3.
Rata-rata hasil tangkapan per hari (kg/hari)
Hasil analisa ragam (ANOVA) terhadap rata-rata hasil tangkapan per hari dengan lama hari operasi adalah berbeda nyata (á = 0,05; Fhitung = 2,21; Ftabel = 1,99). Hasil ANOVA terhadap rata-rata hasil tangkapan per tawur dengan lama hari operasi juga berbeda nyata (á = 0,05; Fhitung = 4,38; Ftabel = 1,99). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil tangkapan per hari dan per tawur dalam setiap hari operasi yang berbeda-beda. Perbedaan hasil tangkapan antara lain disebabkan oleh : 1) Perbedaan perlakuan teknik pengoperasian jaring 3000 cantrang karena 250 pengaruh gelombang, arah arus dan kemampuan olah gerak kapal. 2500 200 2) Jumlah tawur/setting yang berbeda- beda tiap hari 2000 nya dalam 150 setiap trip 1500 3) Kondisi fishing ground yang berbeda 100 1000 rata2 hasil tangkapan per hari rata2 catch/tawur (kg) (kg)
Hasil tangkapan (kg/trip)
35000
196
Gambar 4.
500
50 cantrang tahun 2002 di pangkalan Hasil penelitian 0 pendaratan Kronjo, terhadap 0 1Tangerang 2 3 4 5 6 cantrang 7 8 3 4 hasil 5 6 7 8 dengan lama trip < 81hari 2diperoleh bahwa tidak Trip keTripharian keterdapat perbedaan hasil tangkapan dalam setiap hari operasi yang berbeda-beda (Ernawati, 2003).
Perbedaan hasil penelitian di Kronjo dan Tegal disebabkan oleh perbedaan daerah penangkapan, ukuran kapal, dan alat tangkap. Kapal-kapal cantrang dengan lama trip 1 mingguan umumnya memiliki ukuran relatif kecil dibandingkan dengan kapal-kapal cantrang yang beroperasi 3 – 4 mingguan. Fishing ground dari kedua tipe kapal cantrang tersebut berbeda. Kapal yang beroperasi 1 mingguan mengoperasikan alat tangkap di sekitar pantai yang merupakan area padat tangkap, dengan sumber daya ikan yang relatif lebih sedikit. Kapal cantrang yang beroperasi 3 – 4 mingguan mempunyai kemampuan untuk beroperasi di perairan yang lebih jauh, dengan sumber daya ikan yang relative lebih banyak. Pantai merupakan daerah padat tangkap dengan tekanan
9
9
Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan …………….. Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal (Ernawati. T., et al.)
eksploitasi jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah perairan laut bagian tengah (off shore). Pada wilayah perairan off shore, armada yang mampu mengeksploitasi relatif terbatas (kapal – kapal berukuran besar). Oleh karena itu sumberdaya ikan di perairan laut off shore masih relatif melimpah dibandingkan di daerah pantai.
Tabel 2. Table 2.
Komposisi hasil tangkapan cantrang besar Fish catch composition of big denish seine
Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan cantrang terdiri dari 25 jenis ikan, yakni ikan demersal dan beberapa jenis ikan pelagis. Rata–rata hasil tangkapan cantrang besar adalah 27.298,6 kg/kapal atau 27,3 ton/kapal. Hasil tangkapan didominasi berturut-turut oleh jenis ikan kuniran (Upeneus spp) sebesar 6,96 ton (25,5%), coklatan (Scolopsis taeniopterus) sebesar 6,12 ton (22,4%), kurisi (Nemipterus spp) sebesar 2,56 ton (9,4 %), Gontor/selar (Selaroides leptolepis) sebesar 1,71 ton (6,3 %), Swangi/demang (Priacanthus spp) sebesar 1,59 ton (5,8%), dan kapasan/rengganis (Gerres spp, Pentaprion longimanus) sebesar 1,43 ton (5,2%) (Tabel 2). Hasil tangkapan cantrang umumnya jenis-jenis ikan yang berukuran relatif kecil. Junus., et.al (1994) menjelaskan bahwa alat tangkap cantrang sangat efektif untuk menangkap jenis-jenis ikan demersal berukuran kecil. Komposisi hasil tangkapan tiap trip relatif hampir sama, namun terdapat perubahan-perubahan untuk jenis yang mendominasi. Berdasarkan hasil tangkapan per trip terdapat dua jenis ikan yang selalu dominan dibanding jenis-jenis lainnya yaitu ikan kuniran (Upeneus spp), ikan coklatan (Scolopsis taeniopterus) dan kurisi (Nemipterus spp) Menurut Widodo (1980), perairan Laut Jawa bagian barat terdapat jenis ikan demersal yang mempunyai daerah penyebaran merata dari kedalaman 20–80 m, diantara nya adalah kuniran (Upeneus spp), kurisi (Nemipterus spp) dan beloso (Saurida spp). Berdasarkan kondisi penyebarannya, sangat memungkinkan bahwa ikanikan demersal hasil tangkapan cantrang besar didominasi oleh ikan kuniran (Upeneus spp), ikan coklatan (Scolopsis taeniopterus) dan kurisi (Nemipterus spp). Perlu diketahui bahwa ikan coklatan tergolong dalam famili yang sama dengan ikan kurisi yaitu famili Nemipteridae.
Jenis/Fish Species
No
Rata-rata/Average kg
%
6961.2
25.5
1
Kuniran(Upeneus spp)
2
Coklatan (Scolopsis taeniopterus) 6125.3 22.4 Abangan/kurisi 9.4 Pada hasil (Nemipterus penelitianspp) terdahulu tahun2563.9 2000, dengan Gontor/selar (Selaroides leptolepis) 1713.9 6.3
3
4 alat sampling trawl di perairan Utara Jawa Tengah pada 5 Demang (Priacanthus spp) 1594.4 5.8 musim timur diperoleh komposisi hasil tangkapan Kapasan/rengganis (Gerres spp, Pentaprion 6 longimanus) 1429.4 5.2 dominan terdiri dari kelompok petek (Leiognathidae) 7 Balakan/beloso (Saurida spp) 941.7 3.4 52%, kurisi (Nemipteridae ) 11,5%, layur (Trichiuridae) 8 Pari (Dasyiatis sp) 794.8 2.9 6,8% dan beloso (Synodontidae) 5,0% 588.3 (Sumiono, et 9 Cumi (Loligo spp) 2.2 al. Manyung/Utik 2002). Dengan alat yang sama pada tahun 2.1 2005 (Arius spp) 10 586.8 11 di perairan Petek (Leiognathidae) Utara Jawa Tengah pada 475.6 musim 1.7 barat 12 Blamah/gulamah (Scianidae) 402.8 1.5 diperoleh komposisi hasil tangkapan yang relatif sama 13 Kacer/tunul (Sphyraena spp) 1.4 391.7 yaitu petek (Leiognathidae) 38,9%, beloso 14 Etong (Abalistes stellaris) 356.1 1.3 (Synodontidae) 10,75%, kurisi (Nemipteridae) 10,65% 15 Buntek/buntal (Diodontidae, Tetraodontidae) 316.8 1.2 danGatep/kuwe kuniran (Mullidae) 8,76% (Ernawati, 2007). 16 (Carangidae) 244.4 0.9 Demikian halnya dengan hasil penelitian untuk0.8 hasil 17 Selok (Clupeidae) 225.0 18 Ekor Kuningcantrang (Lutjanus lineolatus, lutjanus) 113.9jenis0.4 tangkapan kecil L.didominasi oleh ikan 19 Balong (Epinephelus spp) 106.3 0.4 petek (Leiognathidae) sebesar 42 kg (16,5%) dan Kakap merah (Lutjanus malabaricus, kurisi (Nemipterus spp) sebesar 33 kg (13%) (Tabel 20 0.3 L.erythropterus) 71.4 21
Beronang/Semadar (Siganus spp)
38.9
0.1
22
Sebelah/Pihi (Psettodes erumei)
30.6
0.1
23
Kaci kaci/Nyai (Haemulidae)
19.8
0.1
24
laosan (Polynemidae)
16.7
0.1
25
Lencam (Lethrinus spp)
13.9
0.1
26
Lain-lain Total
1180.9
4.3
27304.4
100.0
197
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 193-200
3). Perlu diketahui bahwa cantrang-cantrang kecil beroperasi di daerah pantai utara Jawa sedangkan cantrang-cantrang besar beroperasi di perairan yang relatif lebih dalam. Perbedaan komposisi hasil tangkapan antara cantrang besar, trawl, dan cantrang kecil disebabkan oleh kondisi sumberdaya pada daerah penangkapan dan kedalaman perairan berbeda. Sebagai contoh ikan-ikan kurisi yang tertangkap baik oleh trawl maupun cantrang kecil di perairan utara Jawa memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan hasil tangkapan cantrang besar. Burhanuddin, et al. (1984) menyatakan bahwa kurisi kecil hidup di perairan pantai yang dangkal, sedangkan
kurisi berukuran besar hidup sampai kedalaman 60 m. Demikian halnya dengan ikan petek, yang hidup bergerombol pada perairan yang dangkal (Nontji, 1987). Beck & Sudrajat (1978) menegaskan bahwa nilai tangkapan tertinggi ikan petek diperoleh pada kedalaman perairan antara 10 m hingga 20 m. Selain karena perbedaan sebaran sumber daya, perbedaan komposisi hasil tangkapan antara cantrang besar dan kecil menunjukkan bahwa perairan pesisir pantai di utara Jawa sudah mulai jenuh, melihat dari hasil tangkapan yang sedikit dan ukuran ikan yang kecilkecil. Bisa dikatakan perairan pesisir utara Jawa sudah mengalami over fishing.
Tabel 3.
Daerah Penangkapan
Table 3.
Komposisi hasil tangkapan cantrang kecil Fish catch composition of small denish seine
No
Jenis/Species
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Petek (Leiognathus spp) Kepak/belo (Anandostoma chacunda) Kurisi (Nemipterus spp) Kuniran (Upeneus sulphureus) Swangi/Belong/demang/(Priacanthus sp) Semar (Menne maculata) bilis (Hilsa keele) Layur (Trichiurus sp) Pari (Dasyiatidae) Gulamah/tigawaja (Scianidae) Selar (Selaroides leptolepis) Beloso (Saurida micropectoralis) Teri (Stolephorus sp) Simping (Amusium pleuronectes) Blekutak (Sephia spp) Gatek/kue/gerong(Carangidae) Gerot-gerot (Pomadasys spp) Cumi cumi (Loligo sp) alu-alu (Sphyraena spp) kerong2/jambrung (Therapon theraps) Kipas bulu (Aluterus monoceros) Lencam (Lethrinus sp) Kakap (Lutjanus spp) Bawal Putih (Pampus argenteus) Blanak (Mugil sp) Manyung/utik (Arius spp) Kapasan (Pentaprion longimanus) Selar Kuning (Selaroides leptolepis) Etong (Balistidae) Sebelah (Psettodes erumei) Remang (Muraenesocidae) Kiper (Selenotoca multifasciata) Lidah (Cynoglosus lingua) Bawal hitam (Formio niger) Cucut lain lain Campur Total
(Sumber Laporan teknis riset tahun 2008)
198
Rata-rata/Average kg % 41.8 16.6 36.1 14.3 33.2 13.1 17.4 6.9 14.3 5.7 7.9 3.1 7.8 3.1 7.7 3 7.1 2.8 6.7 2.7 5.8 2.3 5.7 2.3 5.2 2.1 5.1 2 4.8 1.9 4.8 1.9 4.6 1.8 4.1 1.6 2.7 1.1 2.6 1 2.4 1 1.6 0.6 1.3 0.5 1.3 0.5 1.3 0.5 1.1 0.4 0.8 0.3 0.8 0.3 0.6 0.2 0.3 0.1 0.3 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 3.7 1.4 11.1 4.4 252.4 100
Daerah penangkapan kapal cantrang besar yang berbasis di PPP Tegalsari relatif jauh dengan waktu tempuh sekitar dua sampai tiga hari. Daerah penangkapan cantrang terbagi dalam dua kelompok area perairan. Kelompok pertama berada di Laut Jawa sebelah barat (Perairan timur Sumatera dan selatan Bangka-Belitung). Kelompok kedua di Laut Jawa selatan Kalimantan (sekitar Tanjung Puting dan Tanjung Selatan) (Gambar 5). Selain dipengaruhi pengalaman nelayan terkait perolehan hasil tangkapan pada trip-trip sebelumnya, penentuan daerah penangkapan armada cantrang juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim. Armada cantrang melakukan kegiatan penangkapan di kelompok area pertama pada musim peralihan dan musim barat, sementara kegiatan penangkapan di kelompok area kedua pada musim timur. Badrudin, et al. (1989) menjelaskan bahwa pada musim barat kawasan yang relatif teduh terjadi di perairan pantai timur Lampung atau Sumatera Selatan dibandingkan dengan kawasan lainnya, sebaliknya musim timur di mana angin tenggara berhembus kencang telah menyebabkan timbulnya kawasan-kawasan perairan yang teduh (lee area) di perairan Tanjung Selatan-Muara Barito dan Tanjung Puting-Teluk Kumai dibandingkan dengan kawasan perairan lainnya. Badrudin et al. (2011) juga menegaskan bahwa pada periode musim timur perairan Tanjung Selatan diduga merupakan tempat berlindungnya ikan demersal dari tekanan arus akibat hembusan angin tenggara yang terus-menerus pada kecepatan yang tinggi, demikian pula sebaliknya pada musim barat. Perilaku pengelompokan ikan demersal tersebut diduga berkaitan erat dengan adanya arus atau massa air dengan organisme atau ikan yang ada di dalamnya sehingga terbentuk sejenis pusaran yang terlindung di kawasan perairan yang teduh.
Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan …………….. Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal (Ernawati. T., et al.)
Badrudin, Aisyah, & Tri Ernawati. 2011. Kelimpahan Stok Sumberdaya Ikan Demersal di perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. 17 (1). Beck, U. & A.Sudradjat., 1979. Variation in size and composition of demersal trawl catches from the north coast of Java with estimated growth parameters for three important food-fish species. Special Report. Contrib. of Dem.Fish.Pro. No. 7-1979. LPPL-GTZ. 80 pp. Burhanuddin., S. Martosewojo., A.Djamali, & R. Moeljanto. 1984. Perikanan Demersal di Indonesia. LON – LIPI, Jakarta. : 9 – 55 pp. Daerah penangkapan kapal cantrang yang berbasis di Tegalsari Fishing ground of denish seine base in Tegalsari
Ernawati, T. 2003. Daerah Operasi dan Produktivitas Armada Perikanan Tangkap yang Berbasis di Kronjo Tangerang. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
1. Perolehan hasil tangkapan cantrang per trip, per hari dan per tawur berbeda-beda. Perbedaan hasil tangkapan antara lain disebabkan oleh : a) perbedaan perlakuan teknik pengoperasian jaring cantrang karena pengaruh gelombang, arah arus dan kemampuan olah gerak kapal, b). Jumlah tawur/setting yang berbeda-beda tiap hari nya dalam setiap trip dan c). Kondisi fishing ground yang berbeda.
Ernawati, T. 2007. Distribusi dan Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Trawl di Perairan Utara Jawa Tengah pada Musim Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 7.(1).
Gambar 5. Figure 5.
KESIMPULAN
2. Perbedaan komposisi hasil tangkapan cantrang disebabkan oleh perbedaan kondisi sumber daya di daerah penangkapan dan kedalaman perairan. 3. Perubahan daerah penangkapan cantrang dipengaruhi oleh perubahan musim dan pengalaman berdasarkan perolehan hasil tangkapan pada trip-trip sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Anonymus. 2008. Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Demersal dan Udang Penaeid di Laut Jawa (Losari Transek). Laporan Teknis Riset. Balai Riset Perikan Laut. Jakarta. Badrudin, H. Wahyuono, & S. Umiyati. 1989. Sumber daya ikan demersal yang potensial bagi bahan baku pakan ikan budi daya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Penelitian menuju Program SwaSembada Pakan Ikan Budi Daya. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan No.17/ 1989: 73-77.
Ernawati, T. & B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 15. No. 1. Jakarta. Hadisubroto, I. 1992. Perikanan Cantrang di Kotamadya Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 75. BPPL. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 367 pp. Suhendrata, T., & M. Badrudin., 1990. Sumber Daya Perikanan Demersal di Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPL. Jakarta. No 54. Sumiono, B., Sudjianto, Yunus Soselisa, & T.S. Murtoyo. 2002. Laju Tangkap dan Komposisi Jenis Ikan Demersal dan Udang pada Musim Timur di Perairan Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. 8 (1).
199
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 193-200
Widodo, J. 1980. Potensi & Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal di Laut Jawa di Luar Kedalaman 20 meter. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekilah Pasca Sarjana, Program Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
200
Junus, S., R. Djamal & S. Karyaningsih. 1994. Perikanan Cantrang dan Beberapa Aspeknya (Studi Kasus Pemalang). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 88. BPPL. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Laju Eksploitasi Kepiting Bakau ........ Mangrove Mayang,Subang-Jawa Barat (Syam. A. R., et al.)
LAJU EKSPLOITASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE MAYANGAN, SUBANG – JAWA BARAT Amran Ronny Syam1), Suwarso2) dan Sri Endah Purnamaningtyas1) 1)
Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Suberdaya Ikan Jatiluhur Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 23 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011 2)
ABSTRAK Penelitian tentang dinamika populasi kepiting bakau (Scylla serrata) telah dilaksanakan di perairan mangrove Mayangan, Kecamatan Legonwetan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Contoh kepiting diambil secara acak dari hasil tangkapan bubu. Data sebaran frekuensi lebar karapas dikumpulkan selama sebelas bulan pengamatan. Analisis data parameter populasi dilakukan dengan bantuan software FISAT (FAO-ICLARM Stock Assessment Tools). Hasil analisis menunjukkan terdapat beberapa kelompok umur/ukuran kepiting bakau. Lebar karapas asimptotik populasi kepiting bakau mencapai 147 mm dengan koefisien pertumbuhan tahunan (K) 0,59. Laju eksploitasi kepiting bakau (E = 0,4) masih di bawah laju eksploitasi optimum. Hasil tangkapan kepiting bakau mencapai 23,8 ton per tahun. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa 70% berupa kepiting muda (nama lokal “keroyo”). Kondisi ini (growth over fishing) akan semakin mengkhawatirkan jika penangkapan berlangsung terus. Kondisi lingkungan perairan di sekitar mangrove dan perairan pantai cukup menunjang kehidupan biota termasuk larva kepiting bakau dan larva biota lain. KATA KUNCI:
Scylla serrata, parameter-populasi, Mayangan.
ABSTRACT:
The exploitation rate of mud crab (Scylla serata) in the mangrove water of Mayangan, Subang – West Java, by Amran Ronny Syam, Suwarso and Sri Endah Purnamaningtyas
Research on population dynamics of mud crab (Scylla serrata) was conducted in mangrove waters Mayangan, District Legonwetan, Subang regency, West Java. The current work was done based on carapace width frequency distribution data collected during eleven months of observation. The crab samples were taken randomly from the catch of trap net. Analysis was using software FISAT (FAOICLARM Stock Assessment Tools). Results show that there were several groups of age / size of mud crabs. Asymptotic length of mud crab population has reached 147 mm (carapace width) with an annual growth curvature (K) 0.59. Exploitation rate (E = 0.4) Of the mud crab population wos under the optimum level. Total undercrab production reached 23.8 tonnes per year, where most of the catch (88%) was of Scylla serrata. The results of field measurements was approximately 70% of young crabs (local name “keroyo”). This condition of growth over fishing has occurred. It will be more worried if this condition continues. Environmental condition of the waters around mangroves and coastal waters seems be povurable to support the life animal including mud crab larvae and other animals larvae. KEYWORDS:
Scylla serrata, population parameter, Mayangan
PENDAHULUAN Pada beberapa tahun terakhir ini produksi kepiting bakau di sekitar Pantai Utara Jawa (Pantura) mulai dirasakan menurun terutama ukuran-ukuran yang besar (Sulistiono et al., 2000). Hasil tangkapan kepiting bakau di lokasi kajian dalam penelitian ini sebenarnya masih berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun dalam beberapa analisis terdapat kecenderungan produksinya menurun per satuan usaha (LRPSI, 2008). Dalam mendukung kegiatan perikanan terutama pengayaan stock (stock enchancement) diperlukan ___________________ Korespondensi penulis: Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur-Purwakarta Jln. Cilalawi Tromol Pos 01 Jatiluhur-Purwakarta
penyediaan informasi dasar bagi pemacuan sumber daya ikan termasuk di dalamnya adalah komoditas kepiting bakau (Scylla spp). Dalam sistem penamaan ilmiah, kepiting bakau termasuk Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Klas Malacostraca, Ordo Decapoda, Infraordo Brachyura, Famili Portunidae, Genus Scylla. Kerabat dekat kepiting bakau sefamili adalah rajungan (diantaranya adalah Portunus pelagicus) dari Famili Portunidae. Meskipun banyak jenis kepiting yang hidup di hutan bakau, namun Scylla spp yang bernilai ekonomis penting dalam perdagangan baik regional maupun international. Semula kepiting bakau yang
201
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 201-207
dibudidayakan secara luas itu adalah Scylla serrata, namun sebenarnya terdiri dari empat jenis dan secara sederhana disebut sebagai Scylla spp (Keenan et al., 1999). Genus Scylla tersebut pada umumnya disebut kepiting bakau. Genus Scylla ini dapat dijumpai di sekitar Indo – Pasifik Barat. Dari empat jenis yang ada, jenis Scylla serrata yang paling luas distribusinya yaitu mencakup bagian barat Samudera India, Jepang, dan pulau pulau bagian selatan Pasifik (LeVay, 2001). Di Indonesia menyebar di sekitar Sumatera, Jawa, Kalimantan, Pulau Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian (Cholik,1999). Terdapat beberapa jenis kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Desa Mayangan antara lain Scylla serrata, Scylla olivacea, Scylla tranquebarica dan Scylla paramamosain (Rugaya, 2006). Sebagai salah satu sumber daya ikan yang bernilai ekonomis penting (Sulistiono et al, 1994), kepiting bakau (Scylla spp.) diduga populasinya telah mengalami tekanan eksploitasi yang semakin meningkat (LRPSI, 2008). Kondisi yang serupa dengan hal tersebut, seperti yang dilaporkan (Angell, 1992 in Le Vay. 2001) bahwa adanya tekanan-tekanan karena penangkapan baik untuk semua ukuran, ukuran juvenil untuk pond culture sampai pada ukuran-ukuran betina yang bertelur untuk premium markets berdampak pada semakin banyaknya kepiting yang didaratkan selama lebih dari dua dekade ternyata
Gambar 1. Figure 1.
202
berukuran semakin kecil dari ukuran maksimumnya. Selain tekanan aktivitas perikanan juga habitat hidupnya, yaitu lahan mangrove cenderung dikonversikan untuk wilayah pertambakan maupun peruntukan lainnya dan pemanfaatan kayu-kayu mangrove sebagai bahan kayu bakar dan sebagainya. Jika hal ini tidak ditanggulangi maka populasi kepiting bakau akan terus menurun sehingga pada gilirannya tidak hanya dampak ekologis yang terjadi namun juga dampak ekonomis terhadap nelayan. Dampak ekologis adalah menghilangnya kepiting bakau pada mata rantai ekosistem yang akan mengganggu keseimbangan alami ekosistem hutan mangrove. Pada akhirnya, nelayan akan kehilangan salah satu sumber tangkapannya, padahal kepiting bakau harganya selalu baik dan permintaan terus meningkat. Dengan memantau laju eksploitasi kepiting bakau maka pengelolaan sumberdayanya di sekitar mangrove Mayangan dapat lebih terkendali. Berkaitan dengan hal itu maka perlu penyiapan data dasar terutama yang menyangkut data parameter populasi kepiting bakau khususnya jenis Scylla serrata yang mendominasi hasil tangkapan di perairan tersebut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di perairan mangrove desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar 1) pada bulan Januari hingga Nopember 2009.
Peta lokasi pengamatan dan pengambilan contoh kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang – Jawa Barat. Map of sampling area of mild crab in the waters around the mangrove of Mayangan, District Legonkulon, Subang - West of Java.
Laju Eksploitasi Kepiting Bakau ........ Mangrove Mayang,Subang-Jawa Barat (Syam. A. R., et al.)
Pendugaan parameter populasi kepiting bakau (S. serrata) didasarkan pada data length-frequency yang dikumpulkan setiap bulan selama bulan Januari sampai Nopember 2009. Data length-frequency itu adalah distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau. Lebar karapas merupakan bagian tubuh yang tumbuh lebih konstan daripada bagian yang lain. Pengambilan contoh dilakukan setiap hari terhadap hasil tangkapan kepiting yang diperoleh dari sekitar 20 orang nelayan contoh per hari dengan hasil tangkapan umumnya antara 5-50 ekor kepiting per trip. Pada setiap kali sampling dilakukan pengukuran parameter morfologi (karakter tubuh) yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, berat tubuh, jenis kelamin. Identifikasi jenis Scylla serrata dilakukan terlebih dahulu. Data biologi kemudian ditabulasi menurut waktu (bulan) dan kelas panjang dalam tabel length-frequency dengan interval kelas panjang 5 mm. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data hasil tangkapan dari nelayan pengumpul. Parameter pertumbuhan (L”, K, t0) diduga menurut hubungan umur dan pertumbuhan dengan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy (Pauly, 1980; FAO, 1996) sebagai berikut :
{
Lt = L∞ 1 − e − k ( t −t0 )
dimana: E = laju eksploitasi (exploitation rate) F = mortalitas penangkapan (fishing mortality) M = mortalitas alamiah (natural mortality) Z = mortalitas total (total mortality) Jika nilai E sama dengan 0,5 berarti eksploitasi telah mencapai optimal dengan asumsi bahwa mortalitas penangkapan seimbang dengan mortalitas alamiah stok tersebut (Pauly, 1980; Gulland, 1971). HASIL DAN BAHASAN Laju tangkap sebagai indeks kelimpahan Data produksi kepiting bakau dari Mayangan yang diperoleh pada tahun 2009 (April sampai Nopember) menunjukkan fluktuasi dari bulan ke bulan. Rata rata hasil tangkapan mencapai 1109 ekor per hari atau 107 kg/hari dengan total hasil tangkapan selama masa tersebut mencapai 23,8 ton. Jika data hasil tangkapan pada tahun 2009 dibandingkan dengan data tahun 2007 (LRPSI, 2008) menunjukkan peningkatan 71 % (10 ton selama 2 tahun) atau 125 ribu ekor selama 2 tahun (Gambar 2). Hal ini menunjukkan semakin intensifnya penangkapan kepiting bakau pada masa itu.
}
50000
Produksi (individu)
45000
dimana: Lt = panjang ikan pada saat umur t (predicted length at age t) L” = panjang asymptotic (asymptotic length) K = laju pertumbuhan tahunan (growth constant) t0 = umur teoritis (age of fish at length zero)
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Spt
Okt
Nov
Des
Periode Pengamatan
Umur teoritis (t0) dan mortalitas alami dihitung dengan rumus empiris Pauly (Pauly, 1980; Pauly, 1983; Sparre et al.1989) seperti berikut:
2007
Gambar 2.
Log (−t 0) = −0,3922 − 0,2752 Log L∞ − 1,038Log K LogM = −0,0066 − 0,279Log L∞ + 0,6543Log K + 0,4634 LogT
Pendugaan laju kematian total (Z) dihitung dengan metode length converted catch curve (Pauly, 1980; Pauly, 1983; FAO, 1996; Sparre et al., 1989). Analisis data dibantu dengan menggunakan prangkat lunak FiSAT (FAO-ICLARM Stock Assessment Tools) (FAO, 1996), FISAT II, 2004. Laju eksploitasi (exploitation ratio) dihitung dengan rumus berikut:
E=
F F+M
dan
Z=M+F
(Pauly,1980)
Figure 2.
2008
2009
Produksi kepiting bakau hasil tangkapan nelayan di Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang – Jawa Barat The Production of mangrove crab caught by fishermen in Mayangan, District Legonkulon, Subang - West Java.
Karakteristik Populasi: Rasio kelamin, Struktur ukuran dan Hubungan panjang – berat Hasil pengamatan komposisi jenis kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Mayangan menunjukkan bahwa kepiting bakau yang tertangkap didominasi oleh jenis Scylla serrata. Dari 7123 ekor yang diukur S. Serrata 88 %, kemudian S. tranquebarica 11,8 %
203
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 201-207
dan sisanya adalah S. paramamosain. Dengan demikian produksi kepiting bakau dari jenis Scylla serrata diduga sekitar 21 ton per tahun. Rasio kelamin betina-jantan menunjukkan 1 : 3. Hal ini menggambarkan bahwa populasi kepiting yang berkelamin jantan lebih banyak berada di perairan mangrove. Diduga bahwa betina dewasa yang matang gonad senantiasa bermigrasi ke arah laut untuk memijah (Satria & Syam, 2009).
determinasi R2 = 0,9. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar karapas kepiting tersebut cenderung lebih cepat dari bobot tubuhnya (Gambar 4). Jika koefisien b dalam persamaan tersebut mendekati 3 atau lebih, kondisi tubuh kepiting cenderung lebih gemuk. Faktor makanan diduga sangat berpengaruh terhadap kondisi tersebut. Hal ini dapat diketahui dari kegiatan nelayan dalam pembesaran kepiting bakau dalam kurungan yang diberi pakan secara intensif.
Struktur ukuran kepiting bakau yang tertangkap pada umumnya berukuran kecil (keroyo). Data distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau jenis S. serrata dari pengambilan bulan September menunjukkan bahwa 69 % berukuran 55 – 80 mm sedangkan yang berukuran lebih dari 80 mm sekitar 31 % (Gambar 3). Pada bulan Oktober kepiting yang berukuran kurang dari 80 mm sekitar 70 % sedangkan kepiting yang berukuran lebih dari 80 mm sekitar 30 % (Gambar 3). Gambar 4.
Figure 4.
Gambar 3.
Figure 3.
Distribusi frekuensi lebar karapas S. serrata dari data pada bulan September dan Oktober 2009 di Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang – Jawa Barat. The Carapace width frequency distribution of S. serrata from the data in September and October 2009 in Mayangan, District Legonkulon, Subang – West Java.
Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting bakau (S. serrata) dari seluruh data yang diperoleh menunjukkan hubungan yang alometrik dengan persamaan y = 0,0037 x 2,377 dengan koefisien
204
Hubungan lebar karapas – bobot kepiting bakau (S. serrata) dari seluruh data yang diperoleh dari Bulan Januari - Nopember 2009 di Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang – Jawa Barat The relationship of Carapace width weight of mud crab (S. serrata) of all data obtained from January to November 2009 in Mayangan, District Legonkulon, Subang – West Java.
Distribusi frekuensi ukuran dan dugaan parameter populasi. Data lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) yang dikumpulkan dari enumerator dan fieldtrip yang disusun dalam bentuk distribusi frekuensi menunjukkan beberapa modus yang dapat diinterpretasikan sebagai kelompok umur (kohor). Data tersebut setelah dianalisis dengan ELEFAN (melalui software FISAT) menunjukkan garis pertumbuhan dan menghasilkan nilai parameter pertumbuhan populasi (L”, K). Nilai panjang tak terhingga atau biasa disebut sebagai L infiniti atau panjang asimptotik (L”) mencapai 147,18 mm lebar karapas dengan koefisien kurvatur pertumbuhan (K) sebesar 0,59 per tahun (Gambar 5).
Laju Eksploitasi Kepiting Bakau ........ Mangrove Mayang,Subang-Jawa Barat (Syam. A. R., et al.)
dan 135 mm (Gambar 7). Dengan rumus pertumbuhan VonBertalanffy tersebut diketahui bahwa lebar karapas kepiting bakau pada saat tertentu merupakan fungsi dari panjang asimptotic (L”), laju pertumbuhan (K) dan umur (t). Dari kelima kelompok umur tersebut dapat diduga umur kepiting bakau berturut-turut sebagai berikut: 0,8; 1,1 ; 1,8 ; 3,2 dan 4,2 tahun.
Gambar 5.
Figure 5.
Garis pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) dari analisis data distribusi frekuensi melalui metode ELEFAN (dengan SS = 11, SL = 145 mm, dan Rn = 0,147) The growth curve of mangrove crab (S. serrata) from the analysis of frequency distribution data by the ELEFAN method (with SS = 11, SL = 145 mm, and R = 0.147)
Program ELEFAN menerjemahkan data distribusi frekuensi dengan merunut pergeseran modus sebaran tersebut dalam urutan waktu (time series) yang disesuaikan dengan kurva VonBertalanffy. Kurva yang melalui modus terbanyak akan menggambarkan pola pertumbuhan dari kepiting tersebut (Sparre & Venema, 1992). K adalah parameter kurvatur yang merupakan parameter laju pertumbuhan. Parameter tersebut merupakan suatu nilai yang menyatakan seberapa cepat mencapai panjang asimptotik. Jika nilai K tinggi menunjukkan pertumbuhan cepat tetapi berumur pendek, namun jika nilai K rendah menunjukkan pertumbuhan lambat namun dapat berumur panjang untuk mencapai L” (long live species). Nilai K dari kepiting dalam penelitian ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan nilai K yang diperoleh LeVay et al., 2007 (K = 2,39 per tahun). Parameter to dan mortalitas alamiah (M) diduga dari hasil perhitungan rumus empiris Pauly (1980). Hasilnya diperoleh nilai to sebesar -0,3345 dan nilai M sebesar 1,5911. Dari nilai parameter pertumbuhan tersebut, dapat dibuat rumus pertumbuhan dari kepiting bakau tersebut yaitu Lt = 147,18 {1-e -0,59 (t + 0,3345)}. Rumus pertumbuhan tersebut dapat dipakai sebagai penduga umur kepiting bakau (S. serrata) dari ukuran lebar karapasnya (Gambar 6). Hasil pengukuran lebar karapas kepiting bakau tersebut setelah dikelompokkan dalam sebaran frekuensi dan dianalisis berdasarkan metode Bhattacharya yang memisahkan modus-modus dalam distribusi tersebut. Hasil pemisahan itu menunjukkan tiga kelompok umur yaitu kelompok umur dengan modus 54,49 mm; 71,88 mm; 96,27 mm; dan dua kelompok umur tua yaitu 125,3 mm
Lt = 147,18 {1-e
Gambar 6. Figure 6.
Gambar 7. Figure 7.
-0,59 (t + 0,3345)
}
Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy kepiting bakau (S. serrata) The Von Bertalanffy growth curve of mud crab (S. serrata) .
Distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) The Frequency distribution of carapace width of mud crab (S. serrata)
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menduga indeks kematian total kepiting bakau adalah length converted catch curve yang menghubungkan antara logaritma jumlah (N) pada sebaran frekuensi lebar karapas dengan umur relatif (t) yang diturunkan dari rumus pertumbuhan VonBertalanffy. Sudut miring (slope) dari persamaan regresi tersebut dipakai sebagai penduga indeks total kematian (Z). Nilai total mortalitas (Z) kepiting bakau (S. Serrata) dari analisis Length Converted Catch Curve tersebut diperoleh sebesar 2,74 (Gambar 8). Dengan demikian maka laju tingkat eksploitasi (exploitation rate) dapat diduga yaitu sebesar 0,4193.
205
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 201-207
tumbuh dan mengantisipasi terjadinya lebih tangkap (over fishing). Ln (N/∆t) = 12,837 – 2,739 (t) r = 0,9
Gambar 8. Figure 8.
Length Converted Catch Curve kepiting bakau Length Converted Catch Curve of mangrove crab
Laju tingkat eksploitasi (E) maksimum didasarkan atas adanya keseimbangan antara laju kematian akibat penangkapan (F) dengan laju kematian akibat faktor-faktor alamiah di perairan tersebut. Selanjutnya nilai optimal eksplotasi yang lestari (sustainable yield) diasumsikan sama dengan 0,5 (Gulland, 1971). Hasil analisis dari riset ini menunjukkan indeks rasio eksploitasi sebesar 0,4. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tekanan eksploitasi semakin meningkat meskipun belum mencapai titik kulminasi sebagai batas maksimum yang lestari (MSY). Jika pola penangkapan kepiting bakau di Mayangan yang komposisi hasil tangkapan kebanyakan dari ukuranukuran kepiting bakau muda dan hal ini berlangsung terus menerus maka dikhawatirkan akan terganggu kelestariannya (growth over fishing). Dengan demikian maka disarankan agar dilakukan pengendalian penangkapan bagi kepiting bakau muda untuk memberikan kesempatan tumbuh. KESIMPULAN DAN SARAN
PERSANTUNAN Penelitian ini didanai oleh Bantuan Sosial Dikti dan APBN (BRKP) Tahun Anggaran 2009. Pada kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Institusi yang mendanai penelitian ini yaitu Direktorat Pendidikan Tinggi (Kementrian Pendidikan Nasional, Juga kepada Badan Riset Kelautan dan Perikanan (Kementrian Kelautan dan Perikanan), serta Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur (yang telah mengkoordinir kegiatan riset). DAFTAR PUSTAKA Cholik F. 1999. Review of mud crab culture research in Indonesia. Proceeding of Mud Crab Aquaculture and Biology. Australian Centre for International Agricultural Research, (ACIAR), Canberra, (78):1420. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: 112 pp. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta: 163 pp. FAO. 1996. FAO-ICLARM stock assessment tools: User’s manual. FAO-Computerized Information Series Fisheries: 126 pp. FISAT II. 2004. FAO – ICLARM Fish Stock Assessment Tools Version 1.13. Rome. Gulland, J.A. 1982. Fish stock assessment. A manual of basic methods. FAO/Wiley Series on Food and Agriculture, Vol 1. 233 pp.
Populasi kepiting bakau jenis Scylla serrata di perairan Mayangan yang tereksploitasi membentuk tiga kelompok umur yang didominasi oleh ukuran modus 55 mm, 72 mm, dan 96 mm yang diduga berumur 0,8 – 1,8 tahun; sedangkan sebagian kecil berukuran 125 mm dan 135 mm yang diduga berumur tua yaitu 3 – 4 tahun.
Gulland, J.A., 1971. The fish resources of the oceans. FAO Fishing News (Books) Ltd.. Surrey: 255 pp.
Laju tingkat eksploitasi kepiting bakau jenis S. serrata cukup tinggi meskipun belum mencapai titik MSY, dengan total produksi dari hasil tangkapan nelayan mencapai 21 ton per tahun.
Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Proceeding of the International Forum on the Culture of Portunid Crabs. Asian Fisheries Science (14): 101-111
Disarankan kepada pengelola perikanan kepiting bakau agar mengendalikan penangkapan kepiting bakau muda (keroyo) untuk memberi kesempatan
Le Vay L., V.N.Ut & M. Walton. 2007. Population ecology of the mud crab Scylla paramamosain
206
Keenan, C.P., P.J.F. Davie & D.L. Mann. 1999. A revision of the genus Scylla De HAAN, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology, 46 (1): 217-245.
Laju Eksploitasi Kepiting Bakau ........ Mangrove Mayang,Subang-Jawa Barat (Syam. A. R., et al.)
(Estampador) in an estuarine mangrove system; a mark-recapture study. Mar. Biol. 151: 1127-1135.
24 Oktober 2009. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan.
LRPSI, 2008. Pemacuan Stok Kepiting Bakau (Scylla spp) di Pantai Utara Jawa. Laporan Akhir Hasil Penelitian 2007, Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, PRPT, BRKP, DKP, Jatiluhur.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I. Manual. FAO Fish. Tech. Pap. No. 306/1.
Pauly, D. 1983. Converted catch curve a powerful tool for fisheries research in the tropic (Part. I). ICLARM, Philippine. Fishbyte I(2): 9 – 13. Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stock. FAO Fish. Circ. No. 729: 54 pp. Rugaya H. S.S. 2006. Karakter morfometrik kepiting bakau (Scylla serrata, Scylla paramamosain dan Scylla olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan, Kab. Subang, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Sorihi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. 1 (5): 26 – 42. Satria, H. & A.R. Syam. 2009. Migrasi pemijahan kepiting bakau (Scylla serrata) ke arah laut dari perairan mangrove Mayangan, Subang. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II,
Sparre, P., E.Ursin and S.C. Venema. 1989. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part I. Manual. FAO Fish. Tech. Pap. (306/1): 337 pp. Sulistiono, A.M. Kamal, Gunarto, Sulaiman, & A. Djabarsyah. 2000. Peningkatan stok kepiting bakau di Pantai Barat Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ARMP). Sulistiono, S. Watanabe, & S. Tsuchida. 1994. Biology and fisheries of crabs in Segara Anakan Lagoon in Ecological assessment for management planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java (eds. F. Takashima and K. Soewardi). NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. DOHM Press. Tokyo, Japan. 65 – 76 pp.
207
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target ..……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
RELUNG EKOLOGI BEBERAPA IKAN TARGET HASIL TANGKAPAN BUBU DI SEKITAR TERUMBU BUATAN PERAIRAN TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT Agus Arifin Sentosa dan Hendra Satria Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011
ABSTRAK Terumbu buatan yang ditempatkan di perairan Teluk Saleh merupakan salah satu upaya rehabilitasi habitat. Keberadaan ikan target yang tertangkap di sekitar terumbu buatan menunjukkan peranan terumbu buatan dalam pemacuan stok ikan karang di perairan Teluk Saleh. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis relung ekologi beberapa ikan target di Teluk Saleh. Penelitian dilakukan pada modul terumbu buatan di perairan Pulau Rakit dan Pulau Ganteng, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat pada bulan April, Juni, dan Oktober 2010. Contoh ikan target diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan bubu. Ikan samel dibedah saluran pencernaannya diambil lalu diberi formalin 4% untuk pengamatan di laboratorium. Analisis kebiasaan makanan menggunakan indeks preponderan. Hasil menunjukkan jenis ikan target yang tertangkap bubu terdiri dari 10 famili dan 20 spesies. Analisis kebiasaan makanan menunjukkan sebagian besar ikan target yang tertangkap tergolong ikan karnivora dengan kisaran luas relung antara 1,00 – 3,21. Tumpang tindih relung pada komunitas ikan target menunjukkan adanya kesamaan dalam pemanfaatan sumber daya makanan alami. Analisis pengelompokan dengan similaritas 50% menunjukkan komunitas ikan target di Teluk Saleh memiliki kesamaan dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami di Teluk Saleh. KATA KUNCI :
kebiasaan makanan, relung ekologi, ikan target, Teluk Saleh
ABSTRACT :
Ecological niche of some target fish species caught using fish trap in artificial reef of Saleh Bay, West Nusa Tenggara. By : Agus Arifin Sentosa and Hendra Satria
Artificial reef placed in the waters of the Saleh Bay is one of the habitat rehabilitation efforts. The presence of target fish species caught around the artificial reefs showed its roles to enhance coral fish stock in the waters of Saleh Bay. The aim of this research was to analyze ecological niche of some target fish species. The study was conducted on artificial reef modules placed in the waters of Rakit Island and Ganteng Island, Saleh Bay, West Nusa Tenggara in April, June and October 2010. Fish samples were collected from fisher catch by using traps. Fish samples were sectioned and the gut organ was preserved in 4% formaldehyde for further analyze in the laboratory. Food habits of the fish were analyzed by using index of preponderance. The result showed that target fish species caught consisted of 20 species of 10 families. The Most of the fish species were belong to carnivorous fish with interval niche breadth between 1.00 to 3.21. Niche overlap of the target fish community indicated the same utilization of natural food resources. Cluster analysis showed that the target fish community in the Saleh Bay had similarities in natural food resources utilization. KEYWORDS :
food habit, niche ecology, target fish species, Saleh Bay
PENDAHULUAN Teluk Saleh terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat merupakan perairan semi tertutup dan berhubungan langsung dengan Laut Flores dengan penutupan karang hidup di beberapa wilayah perairannya yang berkisar antara 10 – 52% (Hartati et al., 2005). Ekosistem terumbu karang di Teluk Saleh, merupakan wilayah yang telah menjadi perhatian pemerintah dalam program rehabilitasi dan pengkayaan habitat (Hartati & Edrus, 2005). Upaya rehabilitasi habitat dalam rangka peningkatan kembali ___________________ Korespondensi penulis: Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur-Purwakarta Jln. Jln. Cilalawi Tromol Pos 01 Jatiluhur-Purwakarta
daya dukung lingkungan di perairan Teluk Saleh telah dilakukan oleh Loka Riset Pemacuan Stok Ikan (LRPSI) melalui pemasangan terumbu buatan pada lokasi yang terpilih, yaitu perairan Pulau Rakit dan perairan Pulau Ganteng pada tahun 2005. Hasil penelitian pada tahun 2006 oleh LRPSI menunjukkan kondisi oseanografi perairan Teluk Saleh sepanjang tahun 2004 hingga 2006 sangat menunjang untuk pertumbuhan ikan dan non ikan, terutama untuk rehabilitasi perikanan melalui rekayasa habitat terumbu buatan (Satria et al., 2011).
209
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 209-219
Ikan karang merupakan ikan yang hidup berasosiasi dengan karang (coral reef) sebagai habitat hidupnya sehingga keberadaan ikan di terumbu karang sangat tegantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri (Sale, 1991). Keberadaan terumbu buatan di Teluk Saleh dapat menggantikan habitat alami ikan karang tersebut yang telah rusak dan dapat berperan dalam upaya peningkatan stok ikan karang. Faktorfaktor yang mempengaruhi keberadaan ikan di terumbu buatan antara lain kondisi perairan, kondisi arus, jenis bahan terumbu buatan dan struktur terumbu buatan (Mujiyanto & Sugianti, 2008). English et al. (1994) telah mengklasifikasikan ikan karang menjadi ikan indikator, ikan mayor dan ikan target. Terkait fungsi terumbu buatan (artificial reef) sebagai teknologi pengkayaan stok ikan di perairan, maka keberadaan ikan target di sekitar terumbu buatan menjadi suatu hal yang penting mengingat ikan target merupakan golongan ikan sasaran penangkapan yang biasa dicari oleh nelayan untuk dikonsumsi atau dijual dan umumnya merupakan ikan ekonomis penting (Terangi, 2004). Kebiasaan makanan ikan (food habit) bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis makanan alami yang dimakan oleh ikan (Effendie, 2002). Kajian kebiasaan makanan memiliki peran yang cukup penting dalam kajian ekologi, sebab kajian tersebut terkait dengan pemanfaatan sumber daya makanan yang ada di lingkungan (Krebs, 1989). Analisis kebiasaan makanan merupakan dasar bagi analisis selanjutnya yang terkait dengan relung ekologi, seperti tingkat trofik, luas relung dan tumpang tindih relung. Pengkajian tentang trofik level (trophic level), relung ekologi (niche ecology) yang dinyatakan dalam luas relung (niche breadth) dan tumpang tindih relung (niche overlap) pada komunitas ikan karang sangat diperlukan mengingat fungsi penting komunitas ikan tersebut dalam menyokong ekosistem dan merupakan organisme terbanyak di ekosistem terumbu karang (Hall, 1999). Konsep tingkat trofik dan relung ekologi terkait dengan jejaring makanan (food chain) sehingga dapat menjadi gambaran posisi species/individu dalam suatu rantai makanan dalam suatu komunitas. Pendekatan tingkat trofik dan luas relung beserta tumpang tindihnya dapat digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan sumber daya perairan oleh komunitas ikan dan toleransi antar organisme dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia
210
(niche overlap) terkait kompetisi yang terjadi di dalamnya (Hespenheide, 1975). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis relung ekologi beberapa jenis ikan target hasil tangkapan bubu di perairan Teluk Saleh, termasuk kebiasaan makanan tingkat trofik, luas relung dan tumpang tindih relung makanan. Kajian tersebut berdasarkan pada pemanfaatan sumber daya makanan alami oleh ikan target di perairan sekitar terumbu buatan di Teluk Saleh. Informasi tersebut bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekologi di sekitar perairan terumbu buatan sebagai upaya pemantauan rehabilitasi lingkungan dan perencanaan pengelolaan sumber daya ikan di Teluk Saleh. Mardlijah (2008) menyatakan bahwa pengetahuan mengenai biologi ikan, khususnya aspek kebiasaan makanan alami ikan-ikan komersial atau ikan target dapat bermanfaat dalam peningkatan aktivitas penangkapan ikan yang menguntungkan. Nikolsky (1963) menambahkan bahwa jumlah ketersediaan ikan di suatu lokasi merupakan fungsi dari potensi sumber daya makanan alami yang tersedia, sehingga pengetahuan mengenai hubungan antar ikan dengan makanan alaminya menjadi sangat penting untuk prediksi dan eksploitasi stok ikan yang ada. BAHAN DAN METODE Lokasi, Waktu dan Teknik Pengambilan Contoh Penelitian ini dilakukan pada modul terumbu terumbu buatan yang telah diletakkan pada tahun 2005 di perairan Pulau Rakit dan Pulau Ganteng, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Pengumpulan data dengan metode survei dilakukan pada bulan April, Juni dan Oktober tahun 2010. Contoh ikan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan bubu setempat mengingat obyek penelitian adalah ikan target yang merupakan golongan ikan sasaran penangkapan yang biasa dicari oleh nelayan untuk dikonsumsi atau dijual. Contoh ikan serta diidentifikasi jenisnya, diukur panjang dan bobotnya. Selanjutnya, contoh ikan tersebut dibedah pada bagian perut dan diambil saluran pencernaannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan diberi larutan formalin 4% sebagai pengawet. Pengamatan isi saluran pencernaan ikan dilakukan di Laboratorium Biologi Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan.
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target Hasil .……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
Gambar 1. Figure 1.
Letak posisi modul terumbu buatan di perairan Pulau Ganteng dan Pulau Rakit, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Artificial reef modules placed in the waters of Ganteng and Rakit Island, Saleh Bay, West Nusa Tenggara.
≤
Analisis Data Kebiasaan Makanan Ikan Analisis data untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan (food habits) menggunakan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) yang dikemukakan oleh Natarajan & Jhingran (1961) dalam Effendie (1979) :
IP > 25% = Makanan utama V x Oi IP(%)5%= ≤nIPi 25% = Makanan pelengkap IP < 5%(V xO ) = Makanan tambahan ∑ i i i =1
Tingkat Trofik Tingkat trofik ikan ditentukan berdasarkan pada hubungan antara tingkat trofik organisme makanan alaminya dan kebiasaan makanan ikan sehingga dapat diketahui status ikan tersebut dalam jejaring makanan dalam ekosistem (Caddy & Sharp, 1986) dengan rumus sebagai berikut:
x 100 …………......….. (1 Tp = 1 + Keterangan : IP = Indeks bagian terbesar (Index of Preponderance) Vi = Persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = Persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i n = Jumlah organisme makanan ikan (i = 1,2,3,...n) Analisis kebiasaan makanan ikan dibedakan menjadi tiga kategori yang dikemukakan oleh Nikolsky (1963), yaitu:
Ttp xI i .....................…………..(2
∑ 100
Keterangan: Tp = Tingkat trofik ikan Ttp = Tingkat trofik kelompok makanan ke-p Ii = Indeks bagian terbesar untuk kelompok makanan ke-p Tingkat trofik dikategorikan sebagai berikut: Herbivora dengan nilai 2; Omnivora dengan nilai 2,5; dan Karnivora dengan nilai 3 atau lebih (Caddy & Sharp, 1986).
211
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 209-219
Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan Perhitungan luas relung makanan ikan dilakukan dengan menggunakan metode “Levin’s Measure” (Collwel & Futuyma, 1971), yaitu :
yang dikonsumsi oleh ikan menggunakan analisis multivariat dengan similaritas 50% dengan bantuan perangkat lunak MINITAB 13 yang dideskripsikan dalam bentuk dendrogram. HASIL DAN BAHASAN Jenis-Jenis Ikan Target yang Tertangkap Bubu
..............………………….. (3
Keterangan : Bij = Luas relung kelompok ukuran ikan ke-i terhadap sumberdaya makanan ke-j Pij = Proporsi dari kelompok ukuran ikan ke-i yang berhubungan dengan sumber daya makanan ke-j n = Jumlah kelompok ukuran ikan (i = 1,2,3,…….n) m = Jumlah sumber daya makanan ikan (j = 1,2,3,……m) Nilai tumpang tindih relung makanan menunjukkan adanya kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan antara ikan jantan dan betina serta oleh beberapa kelompok ikan. Perhitungan tumpang tindih relung makanan menggunakan “Simplified Morisita Index” (Horn, 1966 dalam Krebs, 1989), yaitu: n
m
n
m
i =1 j =1 k =1 n 2
∑∑ Pij i=1 j =1
l
+ ∑∑ Pik
2
………….. (4
i =1 k =1
Keterangan: Ch = Indeks Morisita yang disederhanakan Pij,Pik= Proporsi jenis organisme makanan ke-i yang digunakan oleh 2 kelompok ukuran ikan ke-j dan kelompok ukuran ikan ke-k n = Jumlah organisme makanan m,l = Jumlah kelompok ukuran ikan Analisis Pengelompokan Analisis pengelompokan variabel (clustering analysis) dilakukan untuk mengetahui interaksi antar jenis ikan yang dievaluasi berdasarkan pada makanan
212
Jenis ikan target yang tertangkap oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu di sekitar penempatan terumbu buatan di perairan Teluk Saleh terdiri atas 10 famili dan 20 jenis, yaitu famili Siganidae (Siganus javus, Siganus fuscescens), Scaridae (Scarus ghobban, Scarus flavipectoralis), Nemipteridae 1 (Scolopsis lineatus, Scolopsis ciliates), Bij = n m(Lethrinus nebulosus, Lethrinus ornatus), Lethrinidae Lutjanidae (Lutjanus carponotatus, Lutjanus vita, Pij 2 Lutjanus Carangidae (Decapterus i =1 erythropterus), j =1 kurroides, Caranx papuensis, Gnathanodon speciosus), Serranidae (Cephalopholis boenack, Epinephelus macrospilos), Holocentridae (Sargocentron melanospilos), Leiognathidae (Leiognathus dussumieri) dan Scombridae (Euthynnus affinis, Acanthocybium solandri).
∑∑
l
2∑∑∑ PijPik Ch =
Berdasarkan peranannya, ikan karang dapat diklasifikasikan menjadi ikan indikator, ikan mayor dan ikan target. Ikan indikator merupakan ikan yang kehadirannya merefleksikan kondisi kesehatan karang, umumnya berasal dari famili Chaetodontidae. Ikan mayor adalah golongan ikan hias dan non ikan hias yang selalu berasosiasi dengan karang, baik sebagai penetap maupun sebagai pelintas. Ikan target merupakan golongan ikan sasaran penangkapan nelayan untuk dikonsumsi atau dijual, umumnya merupakan ikan ekonomis penting (English et al., 1994; Terangi, 2004).
Kebiasaan Makanan Ikan dan Tingkat Trofik Kebiasaan makanan (food habit) adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan (Effendie, 2002). Makanan merupakan faktor penting dalam populasi ikan karena ketersediaan makanan akan menentukan besar atau tingkat populasi ikan di suatu perairan. Selain itu, makanan juga dapat berpengaruh terhadap kondisi ikan dan bentuk-bentuk persaingan yang terjadi di suatu perairan (Lagler, 1972).
Kebiasaan makanan dan tingkat trofik ikan target di terumbu buatan Teluk Saleh Food habits and trophic level of target fish species in artificial reef of Saleh Bay
Fito plankton /Phyto plankton 0
Jenis Ikan/ Fish Species Siganus javus Siganus fuscescens
Alga/ Algae 0
Index of preponderance (%) Zoo Seresah Detritus/ plankton Moluska/ Karang/ Tumbuhan Detritus /zoo Mollusca Coral /Debris plankton 0 25 15 60 0
0
0
0
0
20
0
0
0
0
0
0
0
0
Ikan/ Fish
0
0
0
0
Scarus ghobban
9,45
90,55
0
0
0
0
0
0
Scarus flavipectoralis
6,89
13,11
0
0
0
80
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
Lethrinus nebulosus
0
0
0
0
0
30,63
3,58
32,45
33,33
0
0
Lethrinus ornatus
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
Scolopsis ciliatus
*)
Lutjanus carponotatus
*)
10
Udang/ Shrimp
0
Scolopsis lineatus
70
Tak Teridentif ikasi/ identified 0
Kepiting/ Crab
0
0
0
0
0
0
0
0
41,43
44,29
14,29
Lutjanus vitta
0
0
0
0
0
15
0
0
85
0
0
Lutjanus erythropterus
0
0
0
0
0
6,94
0
4,17
0
88,89
0
Decapterus kurroides
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
Caranx papuensis
0
0
0
0
0
0
0
25
0
75
0
Gnathanodon speciosus
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
70 0
10 0
0 0
20 0
0 100
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
0
Cephalopholis boenack Epinephelus macrospilos Sargocentron melanospilos Leiognathus dussumieri
1,17
0
0,36
2,76
3,57
6,43
0
0
35,71
50
0
Euthynnus affinis
0
0
0
10
0
0
0
0
90
0
0
Acanthocybium solandri
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
Keterangan: a) Karnivora; b) Herbivora; c) Omnivora cenderung karnivora. *) Tidak dianalisis tingkat trofiknya karena ada komponen makanan yang tidak teridentifikasi jenisnya (unidentified).
213
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target Hasil .……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
Tabel 1. Table 1.
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 209-219 Acanthocybium solandri Euthynnus affinis Leiognathus dussumieri Sargocentron melanospilos Epinephelus macrospilos Cephalopholis boenack Gnathanodon speciosus Caranx papuensis Decapterus kurroides Lutjanus erythropterus Lutjanus vitta Lutjanus carponotatus Lethrinus ornatus Lethrinus nebulosus Scolopsis ciliatus Scolopsis lineatus Scarus flavipectoralis Scarus ghobban Siganus fuscescens Siganus javus 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Index of Preponderance Fitoplankton Detritus Coral Ikan
Gambar 2. Figure 2.
Algae Zooplankton Kepiting Tidak Teridentifikasi
Komposisi makanan komunitas ikan target yang ditemukan di perairan Teluk Saleh Food composition of target fish species caught in the waters of Saleh Bay
Berdasarkan analisis saluran pencernaan ikan-ikan target yang tertangkap bubu di perairan Teluk Saleh, diketahui bahwa jenis-jenis makanan ikan yang ditemukan terdiri atas fitoplankton, alga, seresah tumbuhan, detritus, zooplankton, moluska, koral, kepiting, udang dan ikan. Analisis kebiasaan makanan ikan menunjukkan bahwa ikan target memiliki variasi makanan alami yang berbeda-beda. Sebagian besar ikan target hanya terdiri dari satu atau beberapa jenis makanan saja, kecuali Leiognathus dussumieri yang komposisi makanannya relatif lebih bervariasi dibandingkan dengan ikan target lainnya. Komposisi kelompok makanan alami pada komunitas ikan target di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 2. Makanan dapat menunjukkan tingkat trofik organisme (Caddy & Sharp, 1986). Tingkat trofik ikan target berdasarkan kebiasaan makanannya disajikan pada Tabel 1. Tingkat trofik merupakan posisi kebiasaan makanan suatu organisme dalam rantai makanan, seperti produsen utama, herbivora, karnivora dan lainlain sehingga merupakan gambaran posisi species/ individu dalam suatu rantai. Pengkajian tentang tingkat trofik pada komunitas ikan sangat diperlukan mengingat fungsi penting komunitas ikan dalam menyokong ekosistem dan merupakan organisme terbanyak di ekosistem terumbu karang. Pendekatan trofik level dapat digunakan untuk mengevaluasi
214
Seresah Tumbuhan Moluska Udang
kesehatan dan kondisi ekosistem, sehingga merupakan mata rantai awal yang penting dipertimbangkan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan (Sriati et al., 2009). Berdasarkan analisis tingkat trofik menurut Caddy & Sharp (1986), komunitas ikan target yang tertangkap di sekitar terumbu buatan Teluk Saleh terdiri atas 83,33% karnivora, 5,56% herbivora dan 11,11% omnivora yang cenderung bersifat karnivora. Ikan target yang berperan sebagai karnivora dapat digolongkan sebagai piscivora jika makanan utama ikan tersebut adalah ikan-ikan lainnya. Beberapa ikan piscivora tersebut antara lain Cephalopholis boenack, Epinephelus macrospilos, dan Acanthocybium solandri. Siganus javus dan Scarus flavipectoralis merupakan ikan omnivora yang cenderung bersifat karnivora karena nilai tingkat trofiknya berada pada kisaran 2,75 – 2,99. Scarus ghobban merupakan satu-satunya ikan herbivora yang ditemukan dalam komunitas ikan target dengan makanan berupa fitoplankton dan alga. Ikan target umumnya merupakan ikan ekonomis penting yang banyak ditangkap nelayan dan bersifat karnivora (Terangi, 2004). Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis komunitas ikan target yang tertangkap d Teluk Saleh yang sebagian besar berperan sebagai ikan karnivora.
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target Hasil .……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
Luas Relung Makanan Luas relung (niche breadth) makanan menunjukkan proporsi sumberdaya makanan alami yang dimanfaatkan oleh organisme. Selain itu, luas relung juga dapat menggambarkan selektivitas makanan (Kreb, 1989). Hasil analisis luas relung makanan komunitas ikan target yang tertangkap di sekitar terumbu buatan perairan Teluk Saleh secara kualitatif disajikan dalam Gambar 3. Berdasarkan luas relungnya, jenis ikan target yang ada dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar. Kelompok I merupakan kelompok ikan yang mempunyai tingkat trofik berkisar 2,0-2,5 dan merupakan kelompok herbivora yang bersifat spesialis.
Gambar 3. Figure 3.
Kelompok ini hanya memanfaatkan fitoplankton dan alga sebagai makanannya. Kelompok I hanya terdapat satu spesies, yaitu Scarus ghobban. Kelompok II merupakan kelompok ikan yang mempunyai tingkat trofik berkisar antara 2,5 – 3,0 dan merupakan kelompok omnivora. Kelompok ini memanfaatkan fitoplankton, alga, detritus, zooplankton, moluska, koral dan udang sebagai makanannya sehingga cenderung bersifat generalis. Jenis ikan ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap fluktuasi ketersedian makanan yang ada. Kelompok III merupakan kelompok ikan yang mempunyai tingkat trofik lebih besar dari 3,0 dan cenderung bersifat spesialis serta berperan sebagai ikan karnivor atau ikan predator.
Hubungan antara tingkat trofik dan luas relung makanan komunitas ikan target yang tertangkap di Teluk Saleh. Relationship between trophic levels and niche breadth of food for target fish species caught in Saleh Bay.
Sejumlah spesies yang hidup bersama dalam suatu komunitas yang seimbang tergantung pada beberapa faktor, antara lain jumlah total macammacam sumber daya yang dimanfaatkan oleh sekelompok organisme (luas relung), toleransi kesamaan antar kelompok organisme dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia, dan jumlah total sumber daya yang dimanfaatkan oleh komunitas organisme tersebut (MacArthur dalam Hespenheide, 1975).
Luas relung (niche breadth) dapat menggambarkan pemanfaatan sumber daya makanan suatu komunitas organisme (Giller, 1984). Luas relung makanan dapat membantu dalam menentukan posisi suatu spesies ikan di dalam rantai makanan yang berguna dalam pengelolaan sumber daya ikan (Krebs, 1989). Ikanikan yang memiliki luas relung makanan yang kecil atau sempit menandakan bahwa ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumber daya makanan yang tersedia di perairan atau bersifat spesialis. Ikan
215
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 209-219
yang memakan beragam sumber daya makanan diduga luas relung makanannya akan meningkat, walaupun sumber daya yang tersedia menurun karena bersifat generalis (Levins, 1968 dalam Krebs, 1989). Hasil analisis menunjukkan luas relung komunitas ikan target di Teluk Saleh relatif lebar, berkisar antara 1,00 – 3,21. Luas relung yang lebar dimiliki oleh Lethrinus nebulosus, Leiognathus dussumieri dan Siganus javus. Hal tersebut menunjukkan ikan-ikan tersebut cenderung bersifat generalis dan mampu menyesuaikan diri terhadap fluktuasi ketersediaan makanan sehingga menunjukkan kesuksesan keberadaannya di perairan. Luasnya relung makanan ikan-ikan tersebut juga dapat menjadi faktor pendukung untuk berkembang menjadi populasi yang besar di perairan Teluk Saleh. Luas relung yang sempit umumnya dimiliki oleh ikan-ikan karnivora seperti Scolopsis lineatus, Lethrinus ornatus, Decapterus kurroides, Cephalopholis boenack, Epinephelus macrospilos, Sargocentron melanospilos, dan Acanthocybium solandri. Organisme tersebut hanya memanfaatkan salah satu sumber daya makanan yang tersedia atau bersifat spesialis. Walaupun demikian, ikan tersebut memiliki adaptasi yang baik juga sehingga jika ketersediaan makanannya di suatu wilayah perairan berkurang, maka ikan tersebut akan berenang ke wilayah perairan lain untuk mencari makanannya. Tumpang Tindih Relung Tumpang tindih relung (niche overlap) terjadi jika terdapat dua organisme memanfaatkan sumber daya makanan yang sama sehingga dapat menggambarkan kompetisi antar organisme dalam suatu ekosistem. Tumpang tindih relung makanan
Gambar 4. Figure 4.
216
adalah daerah ruang relung yang dihuni oleh dua penghuni relung atau lebih (Pianka, 1974 dalam Krebs, 1989). Jika nilai tumpang tindih tersebut tinggi (berkisar satu), maka kedua kelompok organisme yang dibandingkan memiliki jenis makanan yang sama. Sebaliknya, bila nilai tumpang tindih yang didapatkan sama dengan nol, maka tidak didapatkan makanan yang sama antar kelompok organisme yang dibandingkan (Colwell & Futuyma, 1971). Nilai tumpang tindih relung antar jenis ikan target yang tertangkap di Teluk Saleh berkisar antara 0 – 1 (Lampiran 1). Nilai tumpang tindih relung yang terbesar terjadi antara Siganus fuscescens dengan Gnathanodon speciosus, Scolopsis lineatus dengan Lethrinus ornatus dan Decapterus kurroides, Lethrinus ornatus dengan Decapterus kurroides, Cephalopholis boenack dengan Epinephelus macrospilos dan Acanthocybium solandri, serta Epinephelus macrospilos dengan Acanthocybium solandri. Adanya tumpang tindih relung tersebut menunjukkan ikan target di perairan Teluk Saleh cenderung memanfaatkan sumber daya makanan alami yang sama. Interaksi Antar Jenis Ikan Interaksi antar jenis ikan terjadi jika suatu jenis ikan mempunyai preferensi terhadap makanan atau habitat yang sama dengan jenis ikan lainnya. Jika jenis ikan tersebut mempunyai preferensi yang sama, maka peluang terjadinya kompetisi sangat tinggi. Namun, jika hanya berupa kesamaan dalam memanfaatkan makanan atau habitat, maka hal tersebut dikatakan bersifat komplementaritas (Tjahjo et al., 2009).
Analisis pengelompokan makanan alami komunitas ikan target di Teluk Saleh Cluster analysis of food of target fish species in Saleh Bay
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target Hasil .……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
Analisis pengelompokan variabel menggunakan analisis multivariat dengan tingkat kesamaan 50% menunjukkan bahwa komunitas ikan target yang tertangkap di Teluk Saleh terbagi menjadi tiga kelompok. Hal tersebut sama dengan pengelompokan berdasarkan luas relung dan tingkat trofik. Hasil analisis multivariat dinyatakan dalam bentuk dendrogram (Gambar 4). Walaupun terdapat pengelompokan ikan, namun secara umum komunitas ikan target di Teluk Saleh dapat dikatakan memiliki kesamaan dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami di Teluk Saleh mengingat nilai indeks similaritasnya yang lebih besar dari 50%. KESIMPULAN 1. Ikan target di perairan Teluk Saleh memiliki variasi makanan alami yang berbeda-beda dan sebagian besar makanan ikan target hanya terdiri dari satu atau beberapa jenis. 2. Berdasarkan tingkat trofik, komunitas ikan target yang tertangkap di sekitar terumbu buatan Teluk Saleh terdiri atas 83,33% karnivora, 5,56% herbivora dan 11,11% omnivora dengan kisaran luas relung antara 1,00 – 3,21. 3. Komunitas ikan target di Teluk Saleh sebagian besar memiliki kesamaan dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami.
Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. 390 pp. Giller, P.S. 1984. Community structure and the niche. Chapman and Hall. New York,. 153 pp. Hartati, S. T., Krismono, A. Thamin, S.E Purnamaningtyas, Mujiyanto, Suprihanto, Suzi Mardia Syarif & Wasilun. 2005. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian: Rehabilitasi habitat dan pemacuan stok sumber daya perairan karang di Teluk Saleh NTB. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan). Hartati, S.I. & I.N. Edrus. 2005. Komunitas ikan karang di perairan pantai Pulau Rakiti dan Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No. 2: 83 – 93 pp. Hespenheide, H.A. 1975. Prey characteristics and predator niche width In Ecology and evaluation of communities. Martmel and Diamond (Editor). The Belknap press of harvard University Press Cambridge. 158-179 pp. Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. Harper and Row Publisher. New York. 652 pp.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset evaluasi rehabilitasi habitat melalui terumbu buatan di perairan Teluk Saleh Nusa Tenggara Barat, Tahun Anggaran 2010 di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta.
Lagler, K. F. 1972. Freshwater fishery biology. Second Edition. WMC Brown Company. Dubuque, London. 421 pp.
DAFTAR PUSTAKA
Legendre, L. & P. Legendre. 1983. Numerical ecology: Developments in environmental modelling, 3. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam. 419 pp.
Caddy, J. F. & G. D. Sharp. 1986. An ecological framework for marine fishery investigations. FAO Fish. Tech. Pap. 283. 152 pp.
Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1988. Statistical ecology: A primer on methods and computing. John Wiley & Sons. New York. 335 pp.
Collwel, R. K. & D. J. Futuyma. 1971. On the measurement of niche breadth and overlap. Ecology. 52 (4): 567-576.
Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan madidihang (Thunnus albacares) yang didaratkan di Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 14 No. 2 Juni 2008: 227 – 235 pp.
Effendie, M. I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 pp. English S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resource (2nd edition).
Mujiyanto & Y. Sugianti. 2008. Pengamatan komunitas ikan karang sebagai indikator keberhasilan pemasangan modul terumbu buatan di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan I. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan
217
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 209-219
Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 229 – 240 pp. Nikolsky, G.V. 1963. The ecology of fishes. Translated by: L. Brikett. Academic Press, London and New York. 352 pp. Sale, P.F. 1991. Ecology of coral reef fishes. In: The ecology of fishes on coral reefs. Ed. P.F. Sale. Acad. Press, Inc. San Diego, 754 pp. Satria, H., Mujiyanto, B.I. Purnawati, D. Wijaya, Riswanto, U. Sukandi & I. Suprihanto. 2011. Laporan akhir kegiatan riset: Evaluasi rehabilitasi habitat melalui terumbu buatan di perairan Teluk Saleh Nusa Tenggara Barat. Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan).
218
Sokal, R. R. & F. J. Rohlf. 1995. Biometry: The principle practice of statistics in biological research. W. H. Freeman and Company. 877 pp. Sriati, S. Sukimin, V.P. Siregar, S. Woutuyzen, & A. Sunudin. 2009. Trofik level komunitas ikan di ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan: BI-13, 1 – 7 pp. Terangi. 2004. Panduan dasar untuk pengenalan ikan karang secara visual. Indonesian Coral Reef Foundation, Jakarta. 23 pp. Tjahjo, D.W.H., S. Purnamaningtyas & A. Suryandari. 2009. Evaluasi peran jenis ikan dalam pemanfaatan sumber daya pakan dan ruang di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.5( 4) : 267 – 276.
Relung Ekologi Beberapa Ikan Target Hasil .……….Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Sentosa. A. A., et al.)
Lampiran 1. Tumpang tindih relung makanan ikan target yang tertangkap di Teluk Saleh Attachment 1. Food niche overlap of target fish species caught in Saleh Bay Nomor Spesies
No. 1 2 3 4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
1,00
0,85
0,00
0,87
0,00
0,00
0,49
0,00
0,00
0,15
0,07
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,12
0,04
0,00
1,00
0,00
0,93
0,26
0,00
0,67
0,26
0,18
0,43
0,07
0,26
0,00
0,85 1,00
0,00
0,00
0,00
0,10
0,26
0,00
1,00
0,17 1,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,50
0,00 0,00
0,00 0,17
0,00 0,08
0,00 0,93
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,10
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00
0,51
0,60
0,97
0,00
0,00 0,00 1,00
0,00 0,00
1,00
0,00 0,00 1,00
0,00
0,26
0,00
0,00
0,00
0,00
0,99
0,00
1,00
0,00 1,00
0,00 0,51
0,21 0,39
0,00 0,62
0,00 0,06
0,00 0,17
0,00 0,67
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,49
0,72 0,06
0,00 0,53
0,00 0,00
1,00
0,60
0,97
0,00
0,00 0,51 1,00
0,00
0,26
0,00
0,00
0,00
0,00
0,99
0,00
1,00
0,62 1,00
0,66 0,01
0,60 0,97
0,66 0,00
0,18 0,43
0,64 0,00
0,64 0,00
0,00 0,00
0,59 0,02
0,62 0,98
0,64 0,00
1,00
0,00
0,95
0,07
0,99
0,99
0,05
0,55
0,00
0,99
1,00
0,00 1,00
0,26 0,00
0,00 0,92
0,00 0,92
0,00 0,31
0,00 0,53
0,99 0,00
0,00 0,92
1,00
0,00
0,00 1,00
0,00
0,10
0,26
0,00 0,00
0,52 0,52
0,00 0,00
0,00 1,00
1,00
0,00
0,00
0,00
1,00
0,00 1,00
0,52 0,00
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1,00
1,00
17 18 19 20
1,00
1,00
Keterangan Nomor Spesies 1 2 3 4 5 6 7
Siganus javus Siganus fuscescens Scarus ghobban Scarus flavipectoralis Scolopsis lineatus Scolopsis ciliatus Lethrinus nebulosus
8 9 10 11 12 13 14
Lethrinus ornatus Lutjanus carponotatus Lutjanus vitta Lutjanus erythropterus Decapterus kurroides Caranx papuensis Gnathanodon speciosus
15 16 17 18 19 20
Cephalopholis boenack Epinephelus macrospilos Sargocentron melanospilos Leiognathus dussumieri Euthynnus affinis Acanthocybium solandri
219
Hubungan Fluktuasi Ketinggian Muka Air……………ikan di Giam Siak Kecil (Marini, M., et al.)
HUBUNGAN FLUKTUASI KETINGGIAN MUKA AIR DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU Melfa Marini dan Husnah Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Juli 2011
ABSTRAK Perairan rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK) merupakan bagian dari cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang terletak di Kabupaten Siak dan Bengkalis. Proses siklus nitrogen, produktivitas perairan dan hasil tangkapan ikan berkaitan erat dengan fluktuasi tinggi muka air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan yang dikaitkan dengan fluktuasi ketinggian permukaan air di GSK. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei lapangan dan dari catatan harian enomerator (nelayan). Pengambilan sampel dilakukan pada Februari-November 2010, selama penelitian dilakukan pemantauan terhadap alat tangkap ikan, identifikasi jenis ikan hasil tangkapan, komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan ikan menurut alat tangkap, waktu maupun perbedaan daerah penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ikan yang tertangkap sebanyak 23.924 ekor terdiri dari 37 spesies dari 12 famili. Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh famili Siluridae sebesar 32,72% (8 jenis), Channidae 23,61% (4 jenis), dan Bagridae 20,75% (3 jenis). Kondisi tinggi muka air rendah terjadi pada awal Maret hingga pertengahan Juli, sedangkan kondisi tinggi muka air puncak terjadi pada akhir Juli hingga akhir Februari. Stasiun Tasik Air Hitam merupakan lokasi yang memiliki potensi besar sebagai daerah produksi perikanan, hal ini ditandai dengan ditemukannya hasil tangkapan hampir sepanjang tahun. Ikan Wallago leerii, Channa melastoma dan Hemibagrus nemurus merupakan jenis-jenis ikan yang berpotensi besar untuk dikembangkan di GSK, Provinsi Riau. Hasil tangkapan ikan tidak berkorelasi kuat dengan tinggi muka air GSK yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) baik pada alat tangkap lukah maupun jaring sebesar 0,34-0,35. KATA KUNCI :
komposisi, Fluktuasi Air, Cagar Biosfer, Giam Siak Kecil
ABSTRACT:
Water Level Fluctuation and fish catches relationship in Giam Siak Kecil, Riau Province. By : Melfa Marini and Husnah
Giam Siak Kecil (GSK) floodplain is part of Giam Siak Kecil-Bukit Batu biosphere reserve, located in Siak and Bengkalis regencies. Water fluctuation plays an important role in regulating nutrient cycle, water productivity and fish yield in such floodplain. The objective of this study is to investigate spesies and composition of fish catch and its relation to the water level of the GSK floodplain. An inventory field survey was conducted in 14 sampling sites from February to November 2010. Water level fluctuation was recorded daily by setting water level gauge in Tasik Betung station. Fish samples were collected from fisher catch of different fishing gears such as pot traps and gillnet with differen mesh sizes. The results showed that the number of fish caught was 23,924 individuals compost of 37 species of 12 families. The composition of the catch was dominated by family Siluridae of 32.72% (8 species), Channidae 23.61% (4 species), and Bagridae 20.75% (3 species). The lowest water level was occurred at the beginning of March until mid of July. Kanal the highest water level was occurred in late ofJuly to late of February. The hight potential yield was estimated in Tasik Air Hitam station which was indicated by the present of fish catch in the whole year. Wallago leerii, Channa melastoma, and Hemibagrus nemurus are the fish species that constitute a great potential to develope at GSK floodplain. Catches did not correlate signifficantly with GSK high water level as indicated by the coefficient of determination (R2) in both fishing gear pot trap and gillnets of 0.34 to 0.35. KEYWORDS :
Fish composition, Water Fluctuation, biosfer reserve, Giam Siak Kecil
PENDAHULUAN Giam Siak Kecil (GSK) merupakan bagian dari cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) yang terletak di Kabupaten Siak dan Bengkalis Provinsi Riau, yang ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 26 Mei 2009 di Pulau Juju, Korea Selatan. ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Beringin No.308 Mariana. Banyuasin III. Kab. Banyuasin Tlp. 0711-7537194/0711-7537205
Cagar Biosfer ini merupakan cagar biosfer ketujuh yang dimiliki Indonesia, menjadi bagian dari jaringan 553 cagar biosfer dunia yang tersebar di 107 negara. Cagar Biosfer merupakan satu-satunya konsep kawasan konservasi dan budidaya lingkungan yang diakui secara internasional. Cagar biosfer GSK-BB memiliki karakteristik khas yaitu hutan rawa gambut
221
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 221-228
yang tiada duanya di dunia, agak berbeda kekhasannya dengan Hutan Gambut Semenanjung Kampar (dengan sedikit rawa) dan diinisiasi oleh pihak swasta yang berkerjasama dengan pemerintah melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. Kekhasan tersebut menyebabkan GSK menjadi daerah yang berpotensi besar penghasil produksi perikanan, didukung oleh ekosistem yang dimilikinya yang sangat beragam yaitu rawa banjiran (floodplain), baik secara spasial maupun temporal (
[email protected]. 2010), dicirikan oleh fluktuasi air antara musim kemarau dan penghujan yang bervariasi sepanjang tahun. Pada saat musim kemarau volume air sangat kecil dan hanya ditemukan pada sungai utama, cekungancekungan tanah (lebung), dan danau tapal kuda (oxbow lakes). Pada musim penghujan air meluap mengenangi daerah paparan, danau, genangan dan alur sungai. Kondisi ini mengakibatkan beragamnya habitat yang tersedia bagi organisme akuatik (Welcomme, 1985), memungkinkan banyak spesies ikan memanfaatkan daerah ini dalam berbagai cara untuk menunjang proses kehidupannya seperti untuk pemijahan (Copp, 1989; Lim et al., 1999), pengasuhan anak-anak ikan (Ribeiro et al., 2004; Sommer et al., 2004), mencari makan dan habitat untuk ikan-ikan dewasa (Borcherding et al., 2002).
November 2010. Penetapan stasiun pengambilan contoh didasarkan pada adanya perbedaan mikrohabitat dan pengambilan sampel dilakukan pada stasiun yang telah ditentukan. Studi pendahuluan pada survei pertama dilakukan pada 15 station dan pada survei berikutnya dilakukan di 14 station. Stasiun sampling mencakup empat rawa lebak (flooded grassland/savannah floodplain) yaitu Tasik Serai, Tasik Katialau, Tasik Betung dan Tasik Air Hitam. Selain itu ada dua stasiun di Sungai Siak Kecil yaitu stasiun Siak Kecil Hulu yang terletak antara Tasik Katialau dan Tasik Betung, dan Siak Kecil Hilir yang terletak pada bagian hilir dari Tasik Air Hitam. Semua stasiun pengamatan terletak dalam wilayah inti (core) dari kawasan konservasi GSK.
Terjadinya fluktuasi kedalaman merupakan akibat limpahan air dari sungai, danau dan atau air hujan (Junk & Wantzen, 2004), sehingga perubahan kedalaman air musiman mempengaruhi kondisi kualitas air (Hartoto, 2000) dan ritme kehidupan ikan (Lowe-McConnell, 1987), serta faktor utama yang menentukan struktur komunitas ikan rawa banjiran (Lowe-McConnell, 1987; Baran & Cain, 2001; Hoeinghaus et al., 2003) namun belum diketahui pengaruhnya terhadap jumlah ikan hasil tangkapan di rawa banjiran cagar biosfer GSK. Mengingat GSK baru ditetapkan sebagai cagar biosfer yang merupakan bagian dari rawa banjiran di sub DAS Mandau sehingga informasi mengenai organisme perairan yang ada di wilayah tersebut khususnya ikan, masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara hasil tangkapan ikan dengan fluktuasi ketingian muka air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di rawa banjiran GSK, Provinsi Riau.
Jumlah jenis dan sebaran ikan pada masingmasing stasiun diketahui dari data jenis-jenis ikan yang dikumpulkan nelayan yang diletakkan dalam wadah yang telah diberikan pengawet formalin 10%. Sampel ikan didapatkan dari berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan di setiap stasiun penelitian. Sampel ikan diukur panjang dan berat masing-masing menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 1 mm dan timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. Ikan diidentifikasi menggunakan Saanin (1968) dan Kottelat et al., (1993).
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan sebanyak empat kali di wilayah GSK Provinsi Riau (Gambar 1), dari Februari-
222
Pengumpulan data jenis, komposisi jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan nelayan pada masingmasing stasiun dilakukan dengan cara langsung dari hasil tangkapan nelayan pada saat pengambilan contoh (survei) dan secara tidak langsung berdasarkan pada catatan hasil tangkapan harian yang dilakukan oleh nelayan sebagai enumerator. Data ketinggian muka air dilakukan dengan cara mencatat ketinggian muka air harian yang dilakukan oleh enumerator di Tasik Betung.
Sebagai data dukung yang menunjang kehidupan ikan parameter fisiko-kimiawi perairan diamati bersamaan dengan survei mengikuti petunjuk dari APHA (1989). Data komposisi jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan nelayan pada masing-masing stasiun ditabulasi dan dibahas secara deskriptif sehingga diketahui pola penyebarannya terhadap hasil total tangkapan ikan, komposisi jenis ikan antar waktu dan stasiun di GSK (Magurran, 1988). Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui korelasi antara ketinggian muka air dengan jumlah ikan hasil tangkapan dan komposisi jenis.
Hubungan Fluktuasi Ketinggian Muka Air………………….. di Giam Siak Kecil (Marini, M., et al.)
Stasiun penelitian GSK, Provinsi Riau (Sumber: Sinarmas Forestry. 2010). GSK Research station of Riau Province (Source: Sinarmas Forestry. 2010). Keterangan
: Lokasi Penelitian
Analisis Data Hubungan fungsional atau keterkaitan antara fluktuasi tinggi muka air dengan hasil tangkapan ikan selama 1 tahun dilakukan analisis korelasi dan model regresi polynomial (Walpole & Myers, 1985). Sebagai peubah bebas ialah CPUE (Y), sedangkan sebagai peubah terikat ialah tinggi muka air (X) dengan persamaan pendugaan sebagai berikut: Y=a+b1X2+b2X di mana: Y X b b1, b2
= hasil tangkapan ikan (kg/hr/nelayan) = tinggi muka air (cm) = intersep = koefisien regresi
HASIL DAN PEMBAHASAN
muka air tersebut akibat limpahan air dari sungai, danau dan atau air hujan. Pada Gambar 3, terlihat tinggi muka air harian dikaitkan dengan laju penguapan dan curah hujan harian berdasarkan pemantauan klimatologi di Pekanbaru tahun 2010, khususnya dengan curah hujan kurang berkaitan erat. Hal ini diperkirakan karena kondisi tataguna lahan dan lokasi dari GSK yang berbeda dengan tataguna lahan di kawasan rawa banjiran lain, didominasi oleh penutupan lahan hutan tanaman industri dan hutan alam, serta letaknya yang berada di tengah hutan tanaman industri.
Ketinggian Ai (cm)
Gambar 1. Figure 1.
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1 9 17 25 3 11 19 27 5 13 21 29 7 15 23 1 9 17 25 3 11 19 27 5 13 21 29 6 14 22 30 8 16 24 3 11 19 27
Tinggi Muka Air Harian Giam Siak Kecil
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus September Oktober November
Waktu pengamatan (hari)
Kondisi tinggi muka air GSK berada pada level terendah pada awal Maret hingga pertengahan Juli, sedangkan kondisi air mencapai puncak dimulai pada akhir Juli hingga akhir Februari (Gambar 2). Menurut Junk & Wantzen (2004) terjadinya fluktuasi tinggi
Gambar 2. Figure 2.
Tinggi muka air harian Giam Siak Kecil, Provinsi Riau pada 2010. Daily water level of Giam Siak Kecil, Riau Province in 2010.
223
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 221-228
Berdasarkan atas pengukuran beberapa parameter kualitas air selama penelitian (Tabel 1), perbedaan tinggi muka air dan pengaruhnya terhadap kondisi kualitas air di GSK cenderung tidak jauh berbeda untuk seluruh stasiun. Pada kondisi air berada pada tingkatan terendah di setiap stasiun terjadi peningkatan suhu air permukaan, bahan organik, karbondioksida terlarut, daya hantar listrik dan bahan organik terlarut, sedangkan kecerahan air cenderung mengalami penurunan dari kondisi air dangkal ke kondisi air tinggi.
A
70
B
60
Penguapan (mm)
50 40 30 20 10 0 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 1 7 131925 Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Waktu Pengamatan (hari)
Gambar 3. Figure 3.
Laju penguapan (A) dan curah hujan (B) harian (BMKG Provinsi Riau, 2010). The daily rate of evaporation (A) and precipitation (B) (BMKG Riau Province, 2010).
Perubahan kualitas air diduga lebih mempengaruhi ikan yang bukan penghuni tetap rawa banjiran yang tidak memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi ekosistem rawa. Menurut hasil pengukuran parameter kualitas air diketahui bahwa perairan GSK memiliki kandungan organik tinggi yang dicirikan dengan air berwarna hitam disebabkan oleh adanya pelarutan senyawa humus hasil dekomposisi gambut atau serasah, selain itu dicirikan pula oleh rendahnya nilai pH dan oksigen serta rendahnya dan produktivitas perairan.
Tabel 1. Kualitas air Giam Siak Kecil Provinsi Riau Table 1. Water quality of Giam Siak Kecil Riau Province 140 120
Siak Kecil November
Agustus
Mei
Februari
November
Agustus
Mei
Februari
40
November
60
Agustus
Mei
80
20
P 180 150 190 130 190 160 200 210 190 T 270 310 230 130 290 260 230 210 250 30,8 31,2 28,9 30,8 30,4 33,0 31,5 33,8 31,6
0
140 1220 90 390 240 8 152229-6 132027150 4 111825 140 2 9 162330160 7 142128 5 121926 350 3 101724270 1 8 152229 6 132027 4 111825 200 300 210 460 500 240 Februari 130 Maret 270 April 210 Mei Juni 90 Juli Agustus 330 September Oktober November 33,8 29,6 29,5 30 31,5 29,8 30,1 29,9 30 28,3 29,4 Waktu pengamatan (hari)
32 3,5 1,7 21,4 0,6 93,3
63 11,8 3,5 2,6 9,6 7,5 86,7
47 9,5 3,5 3,3 9,1 -
33 7,8 3,5 1,9 4,8 1,3 100
52 3,5 2,3 19,7 0,6 33,3
50 5,9 3,8 3,8 9,6 12,3 50
57 4,1 4,0 4,5 8,1 2,1 -
50 4,7 3,8 2,6 4,5 2,6 43,3
Komposisi Hasil Tangkapan Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian 23.924 ekor yang terdiri dari 37 spesies dari 12 famili (Melfa & Husnah, 2011). Komposisi jenis hasil tangkapan didominasi oleh jenis ikan air tawar dari famili Siluridae sebesar 32,72% (8 jenis), Channidae 23,61% (4 jenis), Bagridae 20,75% (3 jenis), Belonidae 9,33% (1 jenis), Helostomatidae 8,02% (1 jenis), Pangasidae 1,97% (1 jenis), Cyprinidae 1,89% (6 jenis), Ambassidae 1,26% (2 jenis), Nandidae 0,35% (1 jenis), Clariidae dan Osphronemidae sebesar 0,05%
224
Februari
November
Agustus
Mei
Februari
November
Agustus
Suhu air o permukaan( C) Kecerahan air (cm) Bahanorganik (ppm) pH (unit) DO (mg/l) COD (ppm) BOD ( mg/l) DHL (π)
Mei
Kedalaman air (cm)
Februari
Parameter
Serai
Curah hujan (mm)
Katialau
Rata-rata hasil pengamatan 100 Betung Air hitam
25 3,5 1,4 18,4 0,6 66,7
47 8,4 3,8 3,7 9,4 3,9 60
43 6,8 3,5 3,5 9 3,2 -
46 6,1 4 2,5 4,7 2,5 60
27 3,0 2,0 20,8 0,4 126,7
30 15,9 3,5 3,1 9,8 10,4 166,7
37 11 3,3 3,2 9,4 2,8 -
33 9,6 3,5 3,2 4,8 3,1 123,3
45 3,5 0,8 21 0,3 80
44 10,1 3,5 2,1 9,9 5,4 125
33 6,4 3,5 1,4 8,9 1,2 -
6,8 3,8 2,2 2,3 2,1 80
(masing-masing 1 dan 2 jenis) (Gambar 4). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lowe-McConnell (1987) bahwa ikan perairan tawar di Asia tropika didominasi oleh famili Cyprinidae dan Siluridae. Berdasarkan tingkat keanekaragaman, jenis ikan GSK pada saat penelitian lebih tinggi dibanding pada tahun 2007 yang telah diidentifikasi oleh LIPI (Anonimous, 2007). Hal ini diduga disebabkan pengambilan contoh dilakukan lebih intensif selama satu tahun, sehingga lebih banyak jenis ikan yang terwakili. Sekitar 80% dari jenis ikan yang ditemukan
Hubungan Fluktuasi Ketinggian Muka Air………………….. di Giam Siak Kecil (Marini, M., et al.)
memiliki nilai ekonomis. Selain itu diperkirakan juga, disebabkan oleh pengaruh ketinggian air dimana pada tahun 2007 kondisi tinggi muka air di GSK sangat rendah cenderung kering sehingga menyebabkan sebagian besar ikan bermigrasi mencari tempat untuk mempertahankan hidupnya.
Hubungan komposisi hasil tangkapan ikan dengan fluktuasi ketinggian muka air Berfluktuasinya tinggi muka air di perairan rawa banjiran menyebabkan beragamnya alat tangkap yang digunakan dan hasil tangkapan yang diperoleh (Ondara, 1993). Berdasarkan atas alat tangkap yang digunakan, nelayan GSK menggunakan 4 jenis alat tangkap yaitu lukah, jaring, jala dan pancing. Tetapi yang paling banyak digunakan adalah alat tangkap lukah dan jaring.
35 30 25
% Berat
20 15
Pengoperasian alat tangkap lukah ditemukan pada hampir semua stasiun penelitian sedangkan alat tangkap jaring ditemukan hanya pada 3 stasiun yaitu Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Air Hitam (Gambar 5). Pengoperasian alat tangkap lukah dan jaring secara bersamaan hanya dilakukan pada stasiun Tasik Air Hitam, yang kemungkinan disebabkan oleh kondisi habitat dari perairan itu sendiri yang memiliki kedalaman paling rendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Mendominasinya alat tangkap lukah tersebut diduga karena jenis-jenis ikan yang ada merupakan jenis ikan rawa banjiran.
10 5 0
Famili
Gambar 4.
Komposisi jenis ikan di Giam Siak Kecil pada 2010. Fish Composition of GSK in 2010.
Figure 4.
100% 90% 80% 70%
% Berat
60% 50% 40% 30% 20%
Lukah
.
Gambar 5. Figure 5.
Lukah dan jaring
Sungai siak kecil
Katialau Jaring
Air hitsm
Serai
Betung
Sungai siak kecil
Betung
Air hitsm
Serai
Katialau
Sungai siak kecil
Betung
Serai
Katialau
0%
Air hitsm
10%
Wallago leerii Selais Ompok eugeneiatus Kryptopterus micronema Kryptopterus limpok Kryptopterus apogon Pangasius polyuranododn Trichogaster leerii Pristolepis fasciata Helostoma temminckii Rasbora cephalotaenia Puntius lineatus Pectenocypris korthausae Parachela oxygastroides Osteochilus spilurus Osteochilus melanopleurus Clarias nieuhofi Channa striata Channa pleuropthalmus Channa melastoma Channa lucius Belontia hasselti Pseudeutropius brachypopterus Mystus bimaculatus Hemibagrus nemurus Bagrichthys macracanthus Parambassis macrolepis
Komposisi Jenis Ikan berdasarkan atas alat tangkap yang digunakan di GSK, Provinsi Riau. Fish Composition based on fishing gear used at GSK, Riau Province.
Pada Gambar 5 terlihat, bahwa jenis ikan yang tertangkap baik pada alat tangkap lukah, jaring, maupun pada saat alat tangkap lukah dan jaring dioperasikan secara bersamaan yang mendominasi adalah ikan dari famili Siluridae jenis Wallago leerii sekitar 24% dan dari famili Bagridae dengan jenis Hemibagrus nemurus sekitar 19,1%. Jenis ikan tersebut merupakan jenis ikan-ikan ekonomis penting
dan umum didapat di lahan rawa lebak atau dikenal dengan jenis ikan hitam (black fish) dan ikan putih (white fish) yang umum terdapat di perairan sungai atau danau yang juga dapat ditemukan di rawa lebak sebagai ikan pendatang yang masuk karena banjir atau saat luapan air sungai. Hal ini ditandai dengan ditemukannya jenis-jenis ikan tersebut pada hampir semua stasiun penelitian.
225
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 221-228
Ketinggian air (cm)
16 15
160
14
Tinggi muka air (cm)
150
13 12
140
11
130
10 9
120
8
110
7 6
100
5
90
4 3
80
2
70
1 4 7 81015161921 2 2252 82 93 02 4 5 910121519202 2 3273013 5 6 7 8 9101112131415161718192021 2 2232 42 52 62728293012 3 4 5 6 7 8 9101112131415161718192021 2 2 3242 52 6272829303112 3 4 5 6 7 8 910 April
25
170
23
160
21
15
130
13
120
11
110
9
100
7
90
5
80
(Kg/hari/nelayan)
17
140
3
70
1 26 282 4 6 810121417192 2 242830115 7 9 11131517192 1 2 3252729312 4 6 810121416182 0 22 2426 28 30 1 3 5 7 9111315171921 2 32 5 27293 11618202 2 242628 3 02 4 6 8 1012141618202224262830 13 5 7 9
P e bru a ri
M a re t
Ap ril
J u ni
J uli
A gus tus
S e pte m be r
Okto be r
N o v e m be r
W aktu Pengamatan (Hari)
Gambar 6.
Figure 6.
Total tangkapan pada alat tangkap lukah di Tasik Air Hitam pada tahun 2010 Total catch of pot trap in Tasik Air Hitam in 2010
Untuk alat tangkap jaring (Gambar 7) menunjukkan tingkah laku yang sedikit berbeda dengan alat tangkap lukah. Hasil tangkapan ikan dengan jaring cenderung meningkat pada saat air tergenang cukup lama (MeiAgustus) dengan kisaran hasil tangkapan 4-8 kg/hari/ nelayan dan saat tinggi muka air tertinggi yaitu pada November dengan kisaran hasil tangkapan 5-16 kg/ hari/nelayan. Alat tangkap lukah dan jaring dioperasikan secara bersamaan pada saat tinggi muka air terendah yaitu pada April-Mei dengan kisaran hasil tangkapan kedua alat tersebut 1-4 kg/hari/nelayan, hal tersebut diperkirakan dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati hasil tangkapan untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal.
226
J uni
juli
Agus tus
Total tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitam pada tahun 2010. Total catch of gillnet in Tasik Air Hitam in 2010.
19
150
Rata-rata tangkapan
Ketinggian air (cm))
Rata-rata tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
Me i
Waktu pengamatan
Gambar 7.
Figure 7. Ketinggian air (cm) 180
Rata-rata tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
170
Rata-rata tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
Hubungan antara tinggi muka air dengan hasil tangkapan ikan pada alat tangkap lukah (pot trap) selama periode Februari-November 2010 tertera pada Gambar 6. Hasil tangkapan ikan berfluktuasi dan seperti berbanding lurus dengan fluktuasi tinggi muka air. Puncak hasil tangkapan ikan pada alat tangkap lukah terjadi pada pertengahan September yaitu pada kisaran 13-26 kg/hari/nelayan, dengan tinggi muka air rata-rata 150-155.4 cm. Hasil tangkapan terendah terjadi pada Juni-Juli yaitu pada kisaran 1-3 kg/hari/ nelayan, dan berbanding lurus dengan tinggi muka air yaitu 70-120.3 cm yang hampir mencapai titik terendah.
Tidak terlalu beragamnya komposisi jenis dan hasil tangkapan baik pada saat air tinggi maupun rendah, diduga disebabkan oleh kondisi dari perairan GSK itu sendiri. Fluktuasi tinggi muka air, musim air rendah dan tinggi pada tasik dan pada Sungai Siak Kecil relatif lebih rendah (lebih kurang 1,5 m) dibandingkan dengan fluktuasi tinggi muka air pada beberapa danau atau tasik di rawa banjiran di Sumatra Selatan ataupun di Kalimantan yang lebih dari 2 m. Hal tersebut diduga berkaitan dengan pasokan air yang relatif kurang karena sumber air pada tasik sebagian besar dari Sungai Siak Kecil dengan debit air yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan sumber air rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan yang berasal dari sungai besar dengan debit air relatif lebih tinggi. Fenomena ini didukung oleh Ondara (1993) yang menyatakan bahwa volume air permukaan dan air tanah yang berasal dari curah hujan itu bergantung pada luas, jenis dan kepadatan tumbuh-tumbuhan dan tataguna tanah di kawasan DAS yang bersangkutan. Makin luas DAS makin konstan keadaan banjir kawasan DAS tersebut, artinya tinggi permukaan air tidak cepat berubah-ubah.
Hubungan Fluktuasi Ketinggian Muka Air………………….. di Giam Siak Kecil (Marini, M., et al.)
Komposisi Jenis ikan hasil tangkapan lukah di GSK, Provinsi Riau. Composition of fish catches of pot traps at GSK, Riau Province. Regresi polymonial antara hasil tangkapan ikan dengan tinggi muka air tertera pada Gambar 10. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa selama periode 10 bulan dari Februari-November 2010, hasil tangkapan ikan mempunyai korelasi yang tidak nyata baik pada alat tangkap lukah maupun jaring dengan tinggi muka air dengan koefisien determinasi (R2) yang diperoleh hanya 0,354 pada alat tangkap 100% lukah dan 0.348 pada alat tangkap jaring yang berarti hanya 34%. Hal ini, menunjukkan bahwa hasil 80% tangkapan ikan belum tampak dipengaruhi oleh tinggi 60% muka air.
B
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 10.
Hubungan antara hasil tangkapan ikan dengan tinggi muka air di GSK selama periode Februari sampai November 2010.
Waktu Pengamatan
Hasil tangkapan ikan di GSK berfluktuasi dan tidak berbanding lurus dengan fluktuasi tinggi muka air. Puncak hasil tangkapan ikan pada alat tangkap lukah terjadi pada pertengahan September yaitu pada kisaran 13-26 kg/hari/nelayan, dengan data tinggi muka air mulai meningkat rata-rata 150-155,4 cm. Hasil tangkapan terendah terjadi pada Juni-Juli yaitu pada kisaran 1-3 kg/hari/nelayan, dan berbanding lurus dengan tinggi muka air yaitu 70-120,3 cm yang hampir mencapai titik terendah.
227
oktober
Serai Katialau Betung Air hitsm
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Dalam kasus ini, untuk memastikan keterkaitan antara hasil tangkapan ikan dengan tinggi muka air 20% akan semakin jelas jika perhitungan dilakukan dalam periode 0% yang lebih panjang, misal selama 5 tahun, mengingat GSK merupakan daerah rawa banjiran yang sangatPebruari dipengaruhi oleh tinggi mukajuli air. agustus september Maret April Juni
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
40%
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
AA
A
% Berat
Pada Gambar 9 terlihat, stasiun Tasik Air Hitam merupakan lokasi yang memiliki potensi besar sebagai daerah produksi perikanan, hal ini ditandai dengan ditemukannya hasil tangkapan sepanjang tahun. Jenis ikan dari famili Siluridae yaitu Wallago leerii, jenis ikan dari famili Channidae yaitu Channa melastoma dan jenis ikan dari famili Bagridae yaitu Hemibagrus nemurus merupakan jenis-jenis ikan yang berpotensi besar untuk dikembangkan.
Serai Katialau Betung Air hitsm Siak Kecil
Gambar 9. Figure 9.
november
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 3 September 2011 : 221-228
Hasil tangkapan ikan tidak berkorelasi kuat dengan tinggi muka air GSK yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) baik pada alat tangkap lukah maupun jaring sebesar 0,34-0,35. Pengaruh fluktuasi tinggi muka air terhadap hasil tangkapan ikan tampak perlu dihitung dalam periode waktu yang lama sehingga keterkaitan ke- 2 faktor tersebut menunjukkan korelasi yang nyata. PERSANTUNAN Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr, Husnah, M,Phil (Koordinator kelompok peneliti Sungai Rawa Banjiran, Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang), atas bimbingannya dalam penulisan karya ilmiah ini dan rekan-rekan pada kelompok peneliti Sungai Rawa Bajiran 2010 atas kerjasama kita selama di lapangan maupun di laboratorium sehingga karya ilmiah ini selesai. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dewan Redaksi yang telah mengoreksi dan memberikan masukan pada tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2007. Keanekaragaman Hayati Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Blok Tasik Betung dan Hutan Konservasi PT. Arara Abadi Blok Bukit Batu, Riau. Laporan Akhir. Kerjasama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan PT. Arara Abadi, Sinar Mas. Asia Pulp and Paper, Riau (unpublished). Baran, E, & Cain 2001. Ecological approaches of flood-fish relationships modelling in the mekong River Basin. In: Koh. H, L & A, Hasan Y, (eds). Proceedings of the National Workshop on Ecological and Environmental Modelling. Universiti Sains Malaysia. Penang Malaysia, 3-4 September 2001. Boercherding, J, Bauerfeld M, Hintzen D &Neumann D 2002. Lateral migrations of Fishes between Floodplain Lakes and their drainage Channels at the Lower Rhine; diel and Seasonal aspects. Journal of Fish Biology 61:1154-1170. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company. Copp, GH 1989. The habitat diversity and fish repdoductive function of floodplain ecosystems. Enveromental Biology of Fishes 26:1-27.
228
Hartoto DI 2000. Relationship of water level to water quality in an oxbow lake of Central Kalimantan PP: 375-386, in: Procceedings of International Symposium on Tropical Peatlands. Bogor, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian institute of Sciences. Junk, W,J & KM, Wantzen 2004. The Flood pulse concept : new aspects approarches and applications-an update In Welcomme R, And T, Petr (ed). Proceedings of the Second International Symposium on the Management of Large Rivers For Fisheries Volume II. FAO Regional Office For Asia and the Pacific. Bangkok, Thailand-RAP, Publication 2004/17. Hoeinghaus DJ, CA Layman, DA Arrington & KO Winemiller. 2003. Spatio-temporal Variation in fish assemblage structure in tropical floodplain creeks. Enviromental Biology of Fishes 67: 379-387. Kottelat, M, A,J, Whitten, S.N.Kartika, & S. Wirjoatmodjo 1993. Freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi. Berkeley Books. Singapura. Lowe-Mc Connell RH 1987. Ecological Studies in tropical Fish Communities. Combridge University Press. London. Magurran, A,E 1988. Ecological Diversity and Its Measurements. New Jersey. Princeton University Press. Melfa, M & Husnah 2011. Sebaran jenis-jenis ikan di Giam Siak Kecil, Provinsi Riau. Dalam proses penerbitan pada prosiding Forum Perairan Umum Indonesia ke-8. Palembang. Saanin, H 1968. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan I dan II. Bandung: Penerbit Binatjipta. Sommer TD, WC Harrell, R Kurth, F Feyrer, SC Zeug & G O’Leary. 2004. Ecological Pattern of early life stages of fishes in large river-floodplain of the San Francisco Estuary. Am. Fish Soc. Symp. 39: 111123. Walpole, R. E. & R. H. Myers. 1985. Probability and statistics for engineers and scientists. McMillan Pub. Co. New York. 765 pp.